Ceritasilat Novel Online

Benci Tapi Rindu 10

Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong Bagian 10


Adalah dalam situasi yang gelap itu di dunia persilatan timbul seorang tokoh gagah perwira bernama Liok Liam Co. Ia keturunan dari Liok Siuhu seorang menteri ternama pada kerajaan Song.
Dengan sebilah pedang ia memberantas kekacauan dunia persilatan itu. Akhirnya ia menyelenggarakan rapat besar orang gagah di gunung Thaysan.
Di situ dibuat sepasang Kim-gin-ho-lou atau buli-buli emas dan perak sebagai lambang kekuasaan dari pemimpin bulim yang hendak diangkat.
Liok Liam Co mempunyai nama dan kewibawaan yang tinggi dan mempunyai kepandaian untuk menundukkan kawanan orang gagah. Maka dialah yang diangkat menjadi pemimpin persilatan dan menerima Kim-gin-ho-tou itu, sebagai perlambang bahwa semua partai dan orang gagah diseluruh negara tunduk padanya. Sepasang Kim-gin-ho-lou itu diakui sebagai cap kekuasaan dunia persilatan.
Liok Liam Co segera mengerahkan seluruh orang persilatan untuk membantu gerakan Cu Goan Ciang dan mendirikan dinasti Beng. Sejak itu, sepasang Kim-gin-ho-lou itu diakui sebagai tanda kekuasaan dari dunia persilatan.
Dari jaman ke jaman, Kim-gin-ho-lou itu berpindah-pindah dari satu ke lain tangan, sampai pada rapat besar dari para ketua partai yang diselenggarakan di kota raja, karena dapat menundukkan semua orang gagah, akhirnya Wan Thian Cik menerima tanda kekuasaan itu dan diangkat sebagai pemimpin dunia persilatan.
Karena merasa telah mengikat banyak permusuhun. Wan Thian Cik memendam ho-lou itu di bawah tanah. Khusus ia membuat peti besi yang kebal senjata tajam untuk tempat Kim-gin-ho-lou tersebut. Karena nilai Ho-lou itu sedemikian besarnya, maka setiap orang persilatan tentu menginginkannya. Dan tentu Juga bercita-cita untuk memilikinya.
Pada waktu Wan Thian Cik menerima pukulan fatal dari It Yap, ia hanya pingsan tapi belum meninggal. Hanya saja dengan pukulan itu, Wan Thian Cik menjadi seorang cacat yang hilang semua tenaga kepandaiannya. Tan Ping membawanya pulang dan ditawan di Tin-tik-pang, Di situ kerena siang malam mendapat siksaan dan tekanan, akhirnya karena tak tahan lagi Wan Thian Cik segera memberitahu. Itulah sebabnya maka malam-malam Tan Ping dan kedua sutenya menggali tanah di halaman belakang bekas gedung Wan Thian Cik.
Kalau Tan Ciau memuji setinggi langit atas kecerdikan sang toako, sebaliknya Tan Hwat tampak tak gembira, memang ditangan Wan Thian Cik, Kim-gin-ho-lou itu tepat sekali. Tapi di tangan Tan Ping, mungkin akan runyam. Orang persilatan yang dapat mengalahkan Tan Ping itu banyak sekali jumlahnya.
"Toako, menurut pendapatku, dari benda yang berada didalam peti ini, kita hanya boleh mengambil sebuah saja, jangan kedua-duanya," kata Tan Hwat.
"Apa sih isinya?" tar ya Tan Ciau. Tan Ciau mengambil peti besi itu dan dikocok-kocok: "Dengarlah, apakah bukan suara intan berlian?"
"Lo-ji, apa maksudmu dengan mengatakan kita tak boleh mengambil kedua-duanya itu?" tanya Tan Pig.
"Nanti setelah tiba di rumah, kita paksa Wan Thian Cik membukanya. Kita ambil saja barang-barang yang berharga. Rasanya sudah cukup untuk melewati sisa hidup kita selama ini. Tentang Kim-giu-ho-hou-lo he, he, he, kurasa...."
"Kau rasa bagaimana?" tukas Tan Ping.
"Kurasa lebih baik diberikan kepada lain orang saja. Benda itu, he, he.... ya pendek kata lebih baik tak kita miliki" kata Tan Hwat.
"Ha, kau memang tak punya nyali. Hm, kau hendak menyerahkan benda itu kepada suhumu, bukan? kau ini sebenarnya membantu dia atau aku?" Tan Ping marah.
"Baik, baik. kalau tak mau mendengarkan nasehatku, tak apalah. Perlu apa marah marah melukai perasaan orang?" kata Tan Hwat.
Tan Ping menepuk-nepuk bahunya dan tertawa garang:" Lo-ji, orang yang jadi toako itu tentu sudah punya perhitungan. Sudahlah, tak usah kau kuatir!"
Markas Tin-tik pang itu didirikan dipesisir selatan dari telaga Thay-ou. Gedungnya hanya terdiri dari tiga buah ruangan dan anak buahnya-pun baru dua ratusan orang. Tiba di rumah, tampak Tan Cong, Tan Su dan yang lain-lain cemas wajahnya.
"Ha, toakomu pulang dengan membawa kemenangan, mengapa kalian bermuram durja?" tegur Tan ping.
Tan Su nenerangkan bahwa musuh besar mereka telah datang. Kemudian ia menunjukkan pada tulisan kapur yang terdapat di dinding tembok. "Memberitahukan bahwa It-bin-hu-jin Wan Hian Kwan akan berkunjung kemari."
"Takut apa? Ha, ha, kalian ini bernyali tikus semua, bagaimana hendak menggerakkan urusan besar?" bukannya kaget sebaliknya Tan Ping malah tertawa lebar.
Tan Cong tetap memperingatkan bahwa Hian Kwan pasti datang, maka lebih baik mengadakan persiapan yang rapat.
"Waktu kuhancurkan sarang ayahnya itu, sudah kuperhitungkan anak perempuannya tentu akan datang menuntut balas. Saudara-saudara, jika tidak jitu mengatasi kesulitan, masakan aku berani gegabah bertindak? Siang-siang aku sudah mengadakan persiapan seperlunya, malah yang kukuatirkan kalau ia tak jadi datang. Atau datang tapi secara sembunyi. Inilah yang menyulitkan. Kalau datang dengan terang-terangan, itulah yang kita nanti nantikan."
"Tapi ia tidak seorang diri melainkan dengan kawan. Tu lihatlah!" kata Tan Su sambil menunjuk tulisan didinding. Ternyata tulisan itu menyatakan bahwa Ku hujin juga berkunjung.
"Bagus, iapun datang juga. Kedua orang itu merupakan musuh bebuyutan, begitu bertemu tentu akan bertempur mati-matian," seru Tan Ping. Ia hanya tahu bahwi Hian Kwan dan Ku hujin itu menpunyai dendam, tetapi ia belum mengetahui bahwa kedua wanita itu kini telah bersatu. Tan Ping segera perintah anak buahnya untuk mengadakan penjagaan kuat.
Malamnya kira-kira pukul satu, tampak dua sosok tubuh lari di sepanjang atap gedung markas Tin-tik pang. Siapa lagi mereka kalau bukan Hian Kwan dan Ku hujin, Hian Kwan mengusukan, lebih baik tak perlu bertindak secara terang-terangan.
"Takut apa? Kalau kita berdua bersatu padu, siapa yang dapat melawan?" bantah Ku hujin.
"Memang begitulah. Tetapi soalnya kita harus menolong ayahku. Ku hujin, apakah beritamu dapat dipercaya?"
Ku hujin memberi kepastian bahwa ia mendengar hal itu dengan telinganya sendiri, ialah bahwa Wan Thian Cik masih hidup. Tapi untuk memastikan kebenarannya malam itu mereka berdua menyelidiki ke markas Tin-tik-pang,
Ketika melihat keadaan markas itu gelap dan sunyi, mereka masuk dari halaman belakang. Dan loncat melalui tembok sampai menyusur lorong serambi, mereka tak berjumpa dengan seorangpun jua. Gedung itu mempunyai sepuluh kamar yang berderet-deret. Dari kamar yang berada di tengah, terdengar suara orang bercakap-cakap dan tertawa-tawa. Ketika membuat lubang pada kertas jendela dan mengintai ke dalam, ternyata hanya beberapa anakbuah Tin-tik-pang saja. Ku hujin ajak Hian Kwan mencari lagi ke lain lorong. Setelah berbiluk-biluk akhirnya mereka tiba di sebuah kebun bunga. Bunga-bunga tumbuh dengan suburnya, tetapi seorangpun tetap tak tampak. Ku hujin mengatakan bahwa dulu ia pernah hadir dalam upacara peresmian berdirinya Tin-tik-pang. Ketua Tin-tik-pang mengatakan bahwa di kebun bunga situ terdapat sebuah kamar rahasia. Maka ia ajak Hian Kwan berpencaran menyelidiki tempat itu. Jika bertemu musuh, harus memberi tanda suitan panjang, Demikianlah mereka segera berpencar.
Setelah beberapa saat menyusur dalam kegelapan, Hian Kwan tiba di bawah gunung-gunungan batu. Tiba-tiba dilihatnya di sebelah muka ada sesosok bayangan berkelebat. Ia membuntuti tetapi orang itu lenyap. Karena menduga orang tentu tersembunyi di belakang gunung-gunungan batu, Hian Kwanpun mencari ke sana. Tetapi tak berhasil menemukan apa-apa.
"Bluk", sekonyong-konyong terdengar suara benda jatuh di tanah. Rupanya seperti adat kebiasaan orang persilatan melemparkan batu untuk 'bertanya jalan' atau menyelidiki keadaan. Hian Kwan cepat menuju ke arah suara itu.
"Bluk" kembali terdengar suara semacam itu lagi. Dan ketika Hian Kwan menghampiri ternyata ia berada di sebuah jalanan kecil.
"Sahabat dari mana, harap unjukkan diri," demikian teriaknya. Tapi tak ada jawaban.
"Bluk" lagi-lagi suara batu terlempar di tanah, diam-diam Hian Kwan membatin, jangan-jangan ada orang sakti yang menunjukkan ia jalan menemui ayahnya atau musuh yang hendak memikatnya masuk perangkap. Setelah merenung sejenak, ia ambil putusan untuk terus mengikuti tanda itu.
Tak berapa lama tibalah Hian Kwan di sebuah kolam ikan. "Masakan ayah ditawan di dalam ikan ini?" pikirnya.
"Plung" sebuah kerikil terlempar ke dalam kolam itu. Sekali in Hian Kwan dapat meneliti arah datangnya lemparan itu yang dari sebelah belakang. Buru-buru ia berpaling tetapi yang tampak hanya langit bertabur bintang dan angin berembus dingin.
"Cianpwe, kau berada di mana?" serunya dengan pelahan. Tetapi tiada reaksi apa-apa sampai Hian Kwan malu sendiri.
"Plung" kembali terdengar suara batu dilemparkan ke dalam air. Hian Kwan terkejut dan sadar. Ia mulai mengamat-amati kolam itu. Panjangnya tiga sampai empat meter, lebarnya kurang lebih dua meter, dalamnya tak kurang dari tiga meter. Airnya jernih, berkilau-kilauan memantulkan wajah rembulan. Di tengah kolam terdapat sebuah alat parcaran air yang tengah menyemburkan air. Hian. Kwan heran kolam itu tak ada sesuatu yang mencurigakan. Karena ia tak pandai berenang, maka iapun tak berani terjun ke dalam air.
Selagi ia merenung mencari akal, tiba-tiba ia tersadar. Ya, tidakkah perkakasnya terletak pada alat pancuran itu. Sekali ayunkan tubuh ia loncat ke atas alat itu. Ternyata di situ terdapat sebuah roda yang terus diputarnya. Roda berputar dan terdengarlah air bergemuruh. Girang hati Hiari Kwan bukan kepalang. Ia loncat ke tepi kolam dan bersuit nyaring memberi tanda pada Ku hujin.
Roda makin berputar kencang dan air kolam pun makin surut. Cepat air menjadi kering. Hian Kwan loncat turun. Dinding kolam itu dibuat dari batu marmer dan dasar kolam dari pelat baja. Karena tidak mendapatkan barang suatu lobang, Hian Kwan menetapkan pedangnya pada pelat baja. Ternyata di bawahnya merupakan lubang. Tapi bagaimana hendak membukanya, Hian Kwan tak tahu.
Selagi ia kebingungan, kembali terdengar batu jatuh. Kali ini jatuhnya dibagian tengah kolam. Hian Kwan buru-buru menghampiri, setelah meraba-raba sebentar, ia dapat menemukan sebuah tombol kecil. Sekali ditekan maka separo dari pelat baja itu terangkat naik. Hai, ternyata sebuah lubang. Degan menghunus pedang Hian Kwau menyusup turun. Ternyata di situ merupakan sebuah kamar rahasia yang kokoh. Ada meja kursi dan juga sebuah ranjang. Dari kasur dan selimutnya yang kacau, terang kalau habis ditiduri orang.
"Yah!" teriak Hian Kwan dengan girang. Tapi tiada terdengar penyahutan apa-apa.
"Ah...." ternyata kamar itu kosong melompong. Hian Kwan putus asa, pikirnya: "Kamar ini terang dibuat mengurung ayahku, tetapi mengapa kosong? Apakah Tan Ping sudah mengetehui kedatanganku dan telah dulu memindahkan ayah".
Selagi ia menimang-nimang, tiba-tiba terdengar suara teriakan hiruk pikuk. Tahu-tahu kolam ikan itu sudah dikelilingi berpuluh-puluh obor.
"Tangkap penjahat! Tangkap penjahat" teriak mereka.
Hian Kwan enjot melesat keluar dan loncat ke atas, serunya: Tan bopeng, keluarlah kalau berani!"
Dari barisan obor itu tampil seorang lelaki yakni Tan Hwat lalu memberi hormat: '"Ah, Wan lihiap, akhirnya kau datang juga."
"Mana ayahku? Lepaskan dia dan kubikin habis segala urusan. Kalau tidak, jangan salahkan aku berlaku kejam!" teriak Hian Kwan.
Belum Tan Hwat menyabut. Tan Gong dan Tan Ciau maju ke muka dan ajak Tan Hwat mengepung Hian Kwan, Pertempuran segera terjadi. Berpuluh-puluh anak buah Tin-tik-pang berteriak-teriak dan mengerubuti Hian Kwan. Tapi mana mereka dapat melawan si jelita. Dalam dua tiga gebrak saja, Tan Cong sudah mendapat tusukan pedang, Tan Ciau sebuah pukulan dan Tan Hwat yang coba bertahan mati-matian, akhirnya juga menerima sebuah tusukan.
"Kalian mau melepaskan ayahku atau tidak?" teriak Hian Kwat.
Sebagai jawaban, Tan Hwat bersuit dan semua obor segera dipadamkan. Anak buah Tin-tik-pang berteriak-teriak sambil mundur. Pada lain kejab mereka sudah menghilang.
Kiranya Tan Ping itu pandai dalam ilmu barisan Ngo-beng-sut. Walaupun markasnya kecil tapi didirikan menurut formasi Ngo-beng, di mana-mana terdapat lorong dan ruangan gelap. Jika tak mengerti soal Ngo-beng, memang sukar memasuki markas Tin-tik-pang.
Hian Kwan benar tinggi ilmu silatnya tapi ia tak begitu mengerti soal Ngo-beng-sut, Maka untuk beberapa saat ia termangu- mangu. Tiba tiba terdengar suitan panjang dari sesosok tubuh melesat datang: "Ciu hujin, kau disitu?"
Kiranya yang datang itu adalah Ku hujin. Ia mendengar suitan pertandaan yang diberikan Hian Kwan tadi. Karena Hian Kwan itu menjadi isteri Ciu Bing, maka ia dipanggil sebagai Giu Hujin atau nyonya Ciu. Girang Hian Kwan bukan kepalang. Segera ia menuturkan apa yang dialaminya tadi.
"Ini menandakan bahwa ayahmu belum meninggal. Tapi Tan bopeng itu memang licin sekali. Ia tentu sudah memindahkan ayahmu. Tetapi biarlah kuperiksanya dulu" kata Ku hujin sambil masuk ke dalam kamar rahasia.
Tiba-tiba ia berteriak memanggil Hian Kwan. Dengan tersipu-sipu Hian Kwan menyusul masuk. Kiranya Ku hujin tengah mengamat-amati sebuah peti besi. Digoncang-goncangnya peti itu dan diraba-rabanya, menyulut korek dan diperiksanya bagian belakang peti itu. Ternyata di situ terdapat tulisan beberapa huruf: e, b, c, d..... dan seterusnya.
"Ha, ha, hebat benar orang yang membuat peti ini tapi mana dapat menyulitkanku!" tiba-tiba Ku hujin tertawa.
Karena tak mendapatkan ayahnya Hian Kwan merasa sebal dan segera hendak ajak Ku hujin pergi. Teiapi Ku hujin tertawa dan membanggakan dirinya sebagai ahli kunci nomor satu didunia. Ia hendak membuka peti besi itu dulu dan minta Hian Kwan menunggu sebentar. Terpaksa Hian Kwan mengalah. Ia siapkan tiga batang hui-to sekeliling luar kolam.
"Tring" tiba-tiba terdengar bunyi mendering dan Ku hujin berteriak kegirangan karena berhasil membuka peti itu. Begitu melihat isinya, kedua wanita itu kesima heran. Beratus zamrut dan mutiara berbeda berhamburan menyilaukan mata. Tapi itu saja masih belum mengherankan. Ketika Ku bujin mengambil sebuah Kim-ho-lou (buli-buli emas) dan sebuah Gin ho-lou (buli-buli perak), ia benar benar terpaku kesima.
"Ciu hujin. semua ini adalah ayahmu, masakan kau tak tahu?" beberapa saat kemudian Ku hujin kedengaran berkata.
"Benarkah? Tetapi apa gunanya sepasang ho lou itu?" seru Hian Kwan.
Memang ayahnya belum pernah memberitahukan hal itu. Baru setelah Ku hujin menerangkan nilai sepasang buli-buli itu, Hian Kwan terkejut girang: "Ah, kiranya cap pertandaan pemimpin Bu-lim. Mengapa ayah tak pernah bilang?"
"Tidak menemukan ayahmu, mendapat pusaka ini juga tak mengecewakan. Ciu hujin, ini milik ayahmu, ambillah," baru Ku hujin berkata begitu tiba-tiba di sebelah luar terdengar suara tertawa nyaring. Cepat-cepat Ku hujin dan Hian Kwan loncat keluar. Ai, kiranya Leng Giok sin-ni....
-^dwkz^smhn^- Jilid 14 KENALKAN. Lidah tali bertulang. Demikian kiasan untuk ucapan yang tak bertanggung jawab. Pagi bilang merah sore putih.
Ada pula kelihayan lidah itu, yalah untuk merayu. Rayuan maut. Demikian istilah rayuan Ku Pin yang memang tampan tetapi seorang hidung belang.
Rupanya Hian Kwan menyadari kalau dirinya menjadi korban rayuan maut. Sudah terlanjur basah maka diapun mandi sekali....
-^dwkz^smhn^- "Beriku sepasang ho-lou itu padaku!" seru si nikoh sambil mengebas-ngebaskan hud-tim.
Melihat dia, marah Hian Kwan bukan kepalang, Lebih-lebih Ku hujin yang serentak memakinya: "Nikoh busuk, mau apa kau?"
"Sudah tentu ada keperluan. Berikan benda yang kau pegang itu padaku, lekas!" Leng Giok tertawa. Karena sudah bersumpah, ia tak boleh merebut peti pusaka itu dari Tan Ping. Tapi karena benda itu sekarang berada di tangan Ku hujin. ia berhak mengambilnya. Ia anggap hal itu tidak menyalahi sumpahnya.
Ku hujin menyimpan ho-lou itu ke dalam baju lalu berseru: "Ho, aku memang justeru hendak mencarimu. Mana anakku?" Ia terus loncat menusuk.
Leng Giok kebutkan hud-tim untuk menyisihkan pedang dan berseru: "Ho, percuma saja engkau hendak melawan aku. Daripada sia-sia membuang jiwa, baik berikan saja ho-lou itu!"
"Berikan dulu anakku, baru kita bicara lagi," tabut Ku nujih.
"Sin-ni, apakah Hong Lu menjadi korban naga jahat?" tanya Hian Kwan.
"Benar-benar, anak itu sudah dimakan si naga jahat," Leng Giok tertawa. Sebenarnya ia hanya hendak mengolok-olok, tetapi siapa tahu Ku hujin menganggapnya sungguh-sungguh.
"Bagus, nikoh busuk, aku hendak mengadu jiwa padamu!" teriak Ku hujin sambil terus menyerang dengan kalap.
Leng Giok mengebut dengan tangan kiri untuk menangkis, kemudian hantamkan kebut hud-timnya.
Sudah sepuluh jurus Ku hujin lancarkan serangannya, namun tak berhasil. Karena sudah berjanji saling bantu, maka tanpa banyak omong, Hian Kwan pun segera menyerang Leng Giok. Demikian ketiga wanita itu terlibat dalam pertempuran yang seru.
Kiranya dalam perjalanan mencari naga, ketika lalu di daerah Tin tik-pang, Leng Giok yang masih mendongkol terhadap Tan Ping segera timbul pikiran untuk mempermainkannya. Malam itu ia masuk ke markas Tin-tik-pang dan secara tak terduga-duga telah kesempokan dengan Hian Kwan dan Ku hujin.
Karena benci dengan nikoh yang berandalan itu, Hian Kwan pun menyerangnya dengan dahsyat.
Tiba-tiba terdengar teriakan riuh rendah dan berpuluh-puluh obor menyala. Tan Ping dan ketujuh saudaranya memimpin ratusan anak buah Tin-tik-pang melihat pertempuran itu.
Sudah berpuluh tahun Leng Giok membenam diri dalam keyakinan hud-tlm sehingga permainannya itu luar biasa sekali. Pun ilmu pedang Ku hujin juga lihay. Sebenarnya ia lebih tinggi kepandaiannya dengan Ku Pin. Seimbang dengan Hian Kwan. Pada saat itu Leng Giok berhasil menguasai sepasang pedang Hian Kwan. Begitu pedang Ku hujin menyambar, ia mengebut dengan hud-timnya.
"Tring" seketika karena tangannya linu sekali, Ku hujin terpaksa lepaskan pedangnya.
"Bagus, sin-ni, bagus sekali!" teriak Tan Ping.
Tetapi Hian Kwan pun cepat bergerak. Sepasang pedangnya digelincirkan ke atas dan ke bawah dan memaksa Leng Giok mundur selangkah. Kesempatan itu digunakan Ku hujin untuk secepat kilat meraih pedangnya yang jatuh tadi. Kini ia dapat menyerang lagi.
"Bagus!" teriak Leng Giok sambil gerakkan kedua tangannya. Yang kiri menyerang Hian Kwan, yang kanan menyambut Ku hujin.
Dengan persatuan, Hian Kwan dan Ku hujin yakin tentu dapat menundukkan semua jago-jago ternama. Leng Giok sin-ni merupakan tokoh teratas. Jika dapat menjatuhkannya, sekaligus, nama Hian Kwan dan Ku hujin tentu termashur. Dengan pikiran itu, kedua wanita tersebut bertempur sungguh-sungguh. Semua kebisaannya dikeluarkan
Kira-kira seratus jurus kemudian, Leng Giok rasakan tekanan musuh makin berat, gerakan hud-tim nya tak selincah tadi. Ya, memang Hian Kwan dan Ku hujin nu merupakan sepasang wanita gagah yang berilmu tinggi pada masa itu. Betapa kelihayan Leng Giok, namun dengan dikeroyok dua, lama kelamaan pun tak kuat bertahan juga.
Sekonyong-konyong Leng Giok bersuit nyaring. Ia kebutkan lengan baju bagian kiri. Secarik kain bajunya itu robek dan ini segera dimainkan dengan tangan kirinya sebagai sebuah senjata. Ya, kalau malam ini ia kaiah, bukan saja kemasyhuran namanya akan hancur, pun ia tiada muka lagi menginjak di dunia persilatan. Ia harus menjalankan peyakinan sembilan tahun menghadapi tembok lagi. 'Sembilan tahun menghadapi tembok? adalah suatu latihan lwekang yang tinggi. Hal ini ia pernah mengalami sekali, yakni ketika dikalahkan oleh Wan Thian Cik tempo dulu. Ia harus melatih diri sampai sepuluhan tahun lagi, baru berani muncul di dunia persilatan pula. Dan begitu keluar, cita-citanya ialah akan menjatuhkan Wan Thian Cik dan It Yap lojin, merebut Kim-gin-ho-lou dan memimpin dunia persilatan.
Dangan tambah sebuah 'senjata istimewa' tadi, benar juga situasinya berubah. Dari terdesak kini ia terbalik menang angin.
Sejak hidupnya baru pertama kali itu kawanan bajak Tan menyaksikan pertempuran yang begitu dahsyat. Hanya Tan Ping seorang yang acuh tak acuh. Baginya tak ada kepentingannya siapa yang kalah siapa yang menang. Leng Giok yang kalah, diapun senang. Hian Kwan dan Ku hujin yang kalah, dia juga gembira.
Pada saat Ku hujin menusukkan pedangnya, Leng Giok tertawa: "Wanita busuk, lihat, aku hendak menunjukkan kepandaian!"
Sekali balikkan hud-tim nya, ia melibat pedang Ku hujin dan sekali kerahkan Iwekang, "krak", putuslah pedang itu.
Biasanya dalam pertempuran, kalau pedang dapat membabat putus pedang lawan, itu sudah mengagumkan, Tetapi kebut hud-tim adalah benda yang lemas. Kalau dengan hud-tim dapat mematahkan pedang musuh, itu benar-benar ajaib sekali.
Ku hujin terperanjat. Buru-buru ia tamparkan tangannya untuk menghapus sisa tenaga pukulan orang, '"Jangan takut, pakailah ini!" seru Hian Kwan sambil lemparkan pedang di tangan kirinya. Ku hujin menyambuti, dengan senjata itu kembali ia laksana naga yang terjun ke air lagi.
"Loni, sampai di mana kepandaian yang hendak kau pamerkan itu?" Hian Kwan tertawa mengejek. Iapun tusukkan pedangnya dan Leng Giok juga melibatnya, tapi bukan dengan hud-tim, melainkan dengan kutungan lengan baju tadi.
"Bret" terdengar benda yang putus, lagi. Tapi bukan pedang Hian Kwan putus, melainkan robekan lengan baju si nikoh. Ternyata begitu pedangnya dilibat, Hian Kwan buru-buru kerahkan lwekang dan sekali menyentak, putuslah robekan kain lawan. Benar lwekang yang digunakan itu masih kalah dengan lwekang Leng Giok yang dipergunakan mematahkan pedang Ku hujin tadi, namun hal itu kiranya cukup membuat Leng Giok tersentak kaget juga.
Buru-buru Leng Giok kerahkan tenaganya dan lancarkan serangan-serangan berbahaya. Hian Kwan dan Ku hujin terus menerus terdesak mundur. Begitulah berpuluh-puluh jurus telah berlangsung dengan serunya. Menurut perkiraan Tan Ping, ketiga wanita itu sudah bercempur tiga ratusan jurus.
Sesaat Hian Kwan telah membabat, mata pedangnya hanya terpaut tiga dim dari tubuh Leng Giok. Jurus itu disebut jiang-joan-lu-ko. Caranya menggunakan harus memakai seluruh tenaganya. Saking dahsyatnya, ujung baju Leng Giok sampai bergoncangan.
Leng Giok terkesiap juga. Baru ia hendak membalas, tiba-tiba Hian Kwan menjerit kesakitan, dengan pinggang membungkuk ia menyurut mundur. Wajahnya kebiru-biruan, bibir pucat dan dahinya berkeringat. Rupanya ia menahan kesakitan hebat.
"Ciu hujin, kau kenapa?" Ku hujin terkejut mengira Hian Kwan terluka. Saking marahnya ia timpukkan pedang sekuat-kuatnya ke tenggorokan Leng Giok. Ilmu timpukan itu merupakan ilmu simpanannya yang paling diandalkan. Ia baru mau menggunakan gerakan itu apabila sudah dalam keadaan yang berbahaya atau kalau dirinya terluka. Memang kedahsyatan jurus itu sukar dilawan oleh musuh y?ng bagaimana saktinya.
Saat itu Leng Giok sendiri tengah tercengang mengapa tiba-tiba Hian Kwan mengaduh tadi atau tahu-tahu seutas rantai sinar kehijau-hijauan menyambar tenggorokannya. Ia gelagapan sekali dan karena tak keburu menangkis terpaksa ia buang dirinya ke samping kiri dalam gerak ih-kiong-ja-wi. "aduh...." ia dapat menghindari timpukan pedang tapi membentur perut Hian Kwan. Untuk kedua kalinya Hian Kwan berteriak kesakitan.
-^dwkz^smhn^- Buah terlarang "Jangan melukai Ciu hujin!" bentak Ku hujin sambil loncat menghantam.
Leng Giok kebutkan lengan baju untuk menangkis dan menyeletuk: "Siapa yang melukai Hian Kwan?"
Sambil mendekap perutnya, Hian Kwan berseru meminta mereka jangan bertempur dulu. Kiranya sejak menuruti bujukan Ku Pin tempo hari, kini ia sudah hamil hampir dua bulanan. Tadi karena kelewat keras menggunakan jurus jiang-joau-lu-ko. kandungannya goyang sehingga ia merasa sakit sekali.
Pertempuran mereka tadi hanya karena hendak merebut kemasyhuran nama dan peti pusaka. Mereka sebelumnya tak mempunyai permusuhan apa-apa. Kini melihat keadaan Hian Kwan, Leng Giokpun merasa kasihan. Ia menghampiri untuk memberi pertolongan. Begitu mengetahui sebabnya, syam pat Leng Giok makin besar, la tertawa: "Budak Ciu Bing itu sungguh beruntung. Tay haksu kini sudah punya keturunan. Ha, ha, sayang dia tak berada di sini!"
Muka Hian Kwan merah kemalu-maluan. Ku hujin masih teringat ketika dulu bertempur dengan Hian Kwan, iapun menderita goyangkan dengan sehingga jatuh. Pada waktu itu Hian Kwan menaruh kasihan. Teringat akan kebaikan orang, buru-buru Ku hujin memberi obat kuat kepada Hian Kwan. Demikian pertempuran berhenti dengan sendirinya.
Kawanan anakbuah Tin-tik-pang melongo dan tersipu-sipu. Adalah Tan Ping yang tampil dan memberi hormat kepada Ku hujin: "Ku hu-hujin. maaf, aku hendak bicara."
Setelah Ku hujin mempersilakan, maka berkatalah Tan Ping lebih lanjut: "Kalian kaum Ang-tik-pang dan kami dari Tin-tik-pang, sama-sama mencari makan di telaga Thay-ou sini. Sejak dahulu hubungan kita selalu baik, Dengan mengingat hubungan itu, harap Ku hujin meluluskan dua buah usulku."
"Apa? Bilanglah!" Ku hujin dingin saja sikapnya.
"Pertama, harap serahkan Kim-gin-ho-lou itu kepadaku. Kedua, harap jangan kerja sama dengan Wan Hian Kwan, ia adalah musuh besarku," kata Tan Ping.
Saking marahnya tertawalah Ku hujin sekeras-kerasnya: "Tan toa-pangcu, hamba yang rendah menjunjung titah padaku, harap paduka orang tua suka bermurah hati mengampuni jiwa hamba."
Leng Giok turut tertawa mendengar olok-olok itu. Demikian juga Hian Kwan.
"Apakah kau sungguh-sungguh hendak mengangkangi ho-lou itu?" Tan Ping berseru keras
Masih Ku hujin membanyol: "Hamba tak berani, tapi benda itu harus kembali pada pemiliknya. Karena Wan Thian Cik tak ada, barang itu akan hamba serahkan pada puterinya. Jika bapak tak terima, silakan maju delapan orang berbareng!" Ia berpaling, dilihatnya Leng Giok tengah mengurut perut Hian Kwan. Diam-diam ia membatin, nikoh itu ternyata tidak sejahat perkiraannya. Daripada diberikan kepada si bopeng, kalau terpaksa lebih baik diberikan nikoh itu saja.
"Ku hujin, kau bilang pusaka itu harus dikembalikan pada yang empunya, bukan?" Tan Ping tertawa.
"Mengapa perlu bertanya lagi. Kalau Wan Thian Cik cungcu di sini, temu akan kuserahkan padanya," sahut Ku hujin.
"Baik, aku dan semua orang menyaksikan ucapanmu itu!" Tan Ping berseru nyaring dan sekali bertepuk tangan: "keluarkan dia!"
Berpuluh-puluh anak buah Tin-tik-pang menggusur seorang lelaki tua yang bukan lain Wan Thian Cik adanya. Keadaan jago tua itu mirip dengan mayat hidup.
"Lihatlah, apakah dia bukan Wan Thian Cik? Haa, Ku hujin, harap berikan pusaka itu," seru Tan Ping.
Munculnya Wan Thian Cik itu sungguh di luar dugaan. Melihat keadaan ayahnya begitu mengenaskan, hancurlah hati Hian Kwan.
"Ayah!" teriaknya sambil lepaskan diri dari tangan Leng Giok terus loncat ke atas.
Tapi secepat itu juga Tan Ping sudah bersuit dan padamlah barisan obor. Wan Thian Cik entah lenyah ke mana, hanya kedengaran suaranya memanggil puterinya: "Kwan-ji.... Kwan-ji...."
"Wan Hian Kwan, jika kau berani bergerak sembarangan, ayahmu tentu hilang jiwanya!" teriak Tan Ping.
Dengan menangis Hian Kwan memanggil-manggil ayahnya, tapi tiada penyahutan sama sekali.
Tan Ping memberi isyarat supaya obor dinyalakan lagi kemudian tertawa dingin: "Wan Hian Kwan, lebih baik kau turun lagi untuk berbicara dengan terang."
Insyaf bahwa di markas Tin-tik-pang penuh dengan perkakas rahasia, Hian Kwan terpaksa menurut. Sudah beberapa tahun Leng Giok tak melihat Wan Thian Cik. Kini menjumpainya dalam keadaan begitu, seketik timbullah simpatinya. "Tan bopeng, kau ini manusia apa?" teriaknya sambil loncat dan menghantam batok kepala Tan Ping.
Ku hujin cepat menghadangnya dengan pedang: "Sin-ni, tahan dulu!" Ia kuatir sekali sin-ni itu turun tangan, jiwa Wan Thian Cik tentu melayang juga.
Dengan deliki mata kepada Tan Ping, terpaksa Leng Giok tarik kembali pukulannya.
"Tan Ping, kau ini manusia rendah yang licik. Hm, aku dapat menerima syaratmu itu!"
Tan Ping tertawa gelak-gelak dan menengadahkan sepasang tangannya.
Pikir Ku hujin: "Sepasang pusaka ini akulah yang lebih dulu mendapatkan karena akulah yang dapat membuka petinya. Menurut peraturan kaum Hek-to, benda ini sudah menjadi milikku. Jika aku yang mengambil keputusan, rasanya kelak Hian Kwan tentu tak dapat menyesalkan aku,"
Ho-lou dikeluarkan terus dilemparkan: "Jahanam, sambutlah. Jika Wan Thian Cik sampai kena apa-apa kau harus bertanggung jawab!"
Baru Tan Ping mengulurkan tangannya untuk menyambut, tiba-tiba sesosok tubuh melesat dan menyambar ho-lou itu.
"Ku hijin, terima kasih!" kata orang itu terus berputar tubuh pergi.
"Hai, Leng Giok, mau apa kau?" teriak Tan Ping ketika mengetahui ternyata si nikoh yang merebutnya.
"Apa kau mengiri?" sahut Leng Giok.
"Leng Giok, kau juga tokoh terkemuka di dunia persilatan. Mengapa kau menjilat lagi ludahmu?"
"Dalam hal apa aku tak pegang janji?" balas Leng Giok.
Tempo di gedung keluarga Wan kau sudah bersumpah. Hm, apakah yang kau keluarkan itu ucapan manusia atau kentut anjing?" Tan Ping makin marah.
"Tempo hari aku tak mengatakan apa-apa. Yang bicara adalah It Yap. Kau minta aku tak merampas pusaka ini, apakah aku meluluskan?"
Tan Ping teringat memang benar begitu, Yang meluluskan adalah It Yap, jadi nikoh itu tak menyatakan apa-apa.
"Ayo, menyisihlah, jangan menghalangi aku!" Leng Giok tertawa dingin.
Jerih payah selama ini, ternyata mengalami kegagalan total. Dalam adu cengli (alasan) kalah, ada tenagapun tak menang. Satu-satunya jalan ialah menekannya: "Kalau begitu aku terpaksa bertindak terhadap Wan Thian Cik, ha, maaf. maaf!"
Leng Giok balas menertawakan "Bunuhlah Wan Thian Cik, aku sih tak peduli, Saudara-saudara, maaf!" Sekali melesat nikoh itu hanya kumandang tertawanya saja yang masih mengiang, sedang orangnya sudah lenyap entah ke mana.
"Tan Ping, kecewa sekali kau menjadi manusia rendah. Ciu hujin, mari kita pergi," kata Ku hujin.
"Nanti dulu," buru-buru Tan Ping berseru, "kau masih belum meluluskan syaratku yang kedua. Jika kalian bubarkan persekutuan kalian ini, Wan Thian Cik tentu selamat jiwanya"
Ku hujin mendengus: "Sekali meluluskan, aku tetap meluluskan. Baiklah, aku hendak pergi seorang diri!"
Tapi lagi-lagi Tan Ping gelengkan kepala. "Ku hujin, kau tak dapat pergi. Harap kau tinggal di sini dulu karena kami belum menjamu selayaknya."
Walaupun Ku hujin ditahan tapi Hian Kwan tak dapat bersabar lagi: "Tan Ping, apa kemauanmu? Kau sudah menahan ayahku, sekarang hendak menahan Ku hujin lagi!"
Tan Ping ying sudah mempersiapkan rencana busuk itu hanya ganda tertawa: "Inilah syarat permintaanku, meluluskan atau tidak, terserah saja,"
"Kapankah kau sungguh-sungguh akan melepaskan ayahku?" tanya Hian Kwan.
"Sudah tentu akan datang harinya, tidak terlalu cepat pun tidak terlalu lama. Jika saatnya tiba, tentu segera kulepaskan. Silakan pergi kalau mau pergi, kami tak berani menjamu kau."
Buruk rupa Ku hujin itu, tapi hatinya jujur dan tegas. Walaupun tak tahu apa maksud Tan Ping menahannya itu, namun berani juga ia meluluskan. Adalah Hian Kwan yang merasa malu sendiri karena teringat perbuatannya dengan mengambil Hui Kun untuk menekan Ku hujin, persis seperti yang dilakukan oleh manusia rendah Tan Ping.
Begitulah Hian Kwan terpaksa harus pergi seorang dari. Sesaat ia teringat akan Leng Giok sin-ni yang hendak menaklukkan naga. Ia ambil putusan menyusul untuk membantu usaha sin-ni itu. Di samping itu ia berharap mudah-mudahan dengan penjelasan, sin-ni itu mau juga mengembalikan pusaka ho-lou itu kepadanya.
Ketika tiba di pesisir telaga, ternyata hari sudah fajar, Berpuluh-puluh perahu penangkap ikan berlayar ke tengah telaga untuk mencari ikan.
Selain perahu-perahu itu juga terdapat beberapa perahu pesiar yang disewakan kepada pelancong. Di seberang pesisir sana, tampak sebarisan perahu besar dengan bendera segi-tiga. Itulah perahu bajak dari kawanan Tin-tik-pang.
Setelah mondar mandir beberapa saat di pesisir, akhirnya Hian Kwan melihat sebuah perahu ikan yang bagus. Ia loncat ke atas perahu itu, "Hai, mana tukang perahunya?"
Seorang lelaki muncul dari ruang perahu. Setelah memandang Hian Kwan beberapa saat ia menanyakan kehendak nyonya itu. Hian Kwan menyatakan hendak menyewa perahu itu untuk dua tiga hari. Si tukang perahu minta harga tiga tail perak, tetapi Hian Kwan malah memberinya sepotong perak seberat duapuluh tali.
"Sudah cukup? Asal kau mendengar perintahku aku akan memberimu persen lagi!" kata Hian Kwan.
Demikianlah persewaan perahu itu jadi. Ternyata anak buah perahu itu berjumlah lima orang. Setelah mengemasi seperlunya, perahupun mulai berlayar,
"Tukang perahu, apakah perahumu ini dapat bertahan terhadap angin?" tanya Hian Kwan.
Tukang perahu itu membanggakan perahunya sebagai perahu ikan yang terbaik di telaga Thay-ou.
"Bagus, berlayarlah lurus ke utara. Setelah mengitari Tang-thing-san, terus menuju ke barat laut ke Say-cu-lim!" kata Hian Kwan.
"Say cu lim? Apakah pulau yang penuh tikungan teluk itu?" si tukang perahu terkejut.
Hian Kwan menegaskan dan memperingatkan supaya kalau tiba di perairan Say-cu-lim itu harus hati-hati karena banyak karangnya.
"Ai, kiranya nona faham dengan tempat itu. Baiklah, akan kuantar nona ke sana. Siapa nama nona ini?"
Hian Kwan tertawa: "Aku bukannya hendak pergi ke Say-cu-lim. Aku hanya akan meronda ke sekitar tempat itu untuk mencari sebuah barang"
"Cari apa?" tanya si tukang perahu yang ceriwis.
"Tak perlu kau tahu. Cukup kau mendengarkan perintahku saja," akhirnya Hian Kwan menyentilnya.
Tukang perahu itu tersenyum: "ya, baiklah nona Wan"
Hian Kwan terkesiap. Ia heran mengapa tukang perahu itu kenal padanya. Sedang si tukang perahu segera perintah anakbuahnya untuk mendayung lebih cepat. Hian Kwan tegak berdiri menyongsong angin. Rambutnya yang hitam lebat berhamburan mengikuti bajunya yang melambai-lambai tertiup angin. Kecantikan Hian Kwan pada saat-saat seperti itu, sungguh mempesonakan sekali.
"Ah. makanya sehari-harian pangcu selalu termenung-menung saja. Nona itu ternyata secantik bidadari benar, he, he," diam-diam si tukang perahu menghela napas.
Termenung-menung di atas buritan perahu, tiba-tiba pikiran Hian Kwan melayang pada.... Ku Pin. Sudah lama ia tak berjumpa, bagaimana keadaan orang itu sekarang? Memang aneh untuk dikata. Sejak minggat dari kota raja, setiap kali pikiran Hian Kwan terkenang akan orang, orang itu tentulah Ku Pin adanya. Ciu Bing, suaminya sendiri itu, sama sekali tak berbekas dalam lubuk hatinya.
"Jika berjumpa dengan dia.... hm, akan kusuruh ia merasakan kelihayan ilmu pedangku. Hm, tetapi bagaimana sesudah dapat membunuhnya nanti? Hm, jika dia sampat meninggal, ah.... mengapa aku memikirkan hal itu?" demikian golak perbantahan yang timbul dalam hatinya.
"Byur", tiba-tiba segulung ombak besar mendampar ke atas buritan dan membuyarkan lamunan Hian Kwan. Tampak di sebelah depan ada sebuah perahu yang meluncur dengan laju sekali. Didalamnya terdapat seseorang yang sedang minum arak sambil mengomel: "Tukang perahu, kalau mendayung pelahan lagi, terpaksa aku si nikoh tua akan bertindak. Sekali kukebutkan hud-tim, pasti ada kaki patah, lengan putus.... ha, ha, kalau ada arak, tambahlah sedikit lagi!"
Perahu cepat itu sudah terpisah dua tiga puluh tombak dan perahu Hian Kwan, tapi suara orang tadi terang, gamblang sekali. Diam-diam Hian Kwan geli. Ia segera perintahkan tukang untuk mengikuti perahu cepat tadi dari jarak dua tigapuluh tombak. Dan takut kalau ketahuan Leng Giok. Hian Kwan masuk ke dalam ruang perahunya.
Kesan pertama membuatnya terkejut. Ternyata ruang perahu itu dihias indah sekali. Di atas lantai dibentangi permadani dengan dua pasang bantal yang bersulam lukisan burung belibis. Terdapat juga sebuah meja kecil yaug terbuat dari kayu pohon, keempat ujungnya diukir indah. Di atas meja terletak sebuah tempat pedupaan yang asapnya berbau harum semerbak. Permadani tadi juga disulam dengan lukisan seekor naga merah. Sulamannya tampak hidup sekali, sampai seorang ahli sulam seperti Hian Kwan, terpaksa memujinya juga. Di samping perabot-perabot itu masih ada lagi sebuah meja kecil lengkap dengan sepasang sumpit gading, dua buah cawan arak dari batu pualam, sebotol arak wangi dan sebaki masakan ikan su-say-le-hi yang lezat. Itulah hidangan yang paling digemari dan disenangi Hian Kwan. Ikan le-hi itu mengepulkan asap, rupanya baru saja selesai dimasak.
"Tukang perahu!" karena heran Hian Kwan memanggil dan terus hendak melangkah keluar mencari si tukang perahu, Tapi berbareng itu terdengar sebuah tawa pelahan dan ucapan yang lembut: "Hian Kwan, lama nian tak berjumpa. Apakah kau baik-baik saja selama ini?"
Tirai ruang tersingkap dan masuklah seorang lelaki ke dalam ruangan.
"Kau.... kau...." semangat Hian Kwan terasa terbang melihat orang yang muncul itu yang bukan lain ialah Ku Pin, orang yang siang malam dikenangnya.
"Hian Kwan, duduklah. Mari kita bicara pelahan-lahan" Ku Pin tertawa.
Hian Kwan menatapnya. Demi melihat wajah Ku Pin yang cukup dan sikapnya gagah perwira, teringatlah Hian Kwan akan kenangan yang lalu dan merahlah wajahnya. Ia duduk termenung, pikirannya melayang diantara asap dupa yang harum....
"Hian Kwan, kau hendak menaklukkan naga, bukan?" tiba-tiba Ku Pin berkata pula.
"Nikoh itu pernah membantu aku, sudah selayaknya aku membantunya. Ia seorang diri menaklukkan naga, apalagi tak paham keadaan setempat, memang berbahaya!"
"Kau sungguh bersemangat sekali, Kau pernah berjanji padaku, kalau hendak menaklukkan naga, kita lakukan berdua. Lupakah kau?" tanya Ku Pin.
Hian Kwan marah: "Karena itu maka kau lalu memasang perangkap ini? Hm, apakah perahu ikan ini kepunyaanmu? Siapa tukang perahu itu? Bilanglah!"
Ku Pin hanya tertawa, kemudian jawabnya: "Perahu ikan ini milik partai Ang-tik-pang. Ya, memang aku selalu terkenang padamu, betapa ingin berduaan dengan kau. Ai, kecuali.... kecuali harus menggunakan siasat ini, apalagi jalannya?" Ia tiba-tiba mendekap sepasang tangan si jelita seraya berbisik: "Hian Kwan, jangan marah, hatiku tersiksa merindukan kau!"
Hian Kwan menghela napas, pikirnya: "Apakah aku juga tak menderita memikirkan kau?"
Melihat si jelita mulai ramah tetapi sorot matanya masih tak mengasihi, Ku Pinpun tak berani kelewat melanggar batas. Ujarnya "Tukang perahu itu, sebenarnya salah seorang kepercayaanku yang bernama Kwe Ciang. Orangnya memang pintar dan dapat dipercaya."
"Tak usah menyanjung dia begitu tinggi. Kalau ia dapat mengelabuhi aku, apa lagi yang tak dapat dikerjakan?"
Ku Pin tertawa: "Ah, tak usah kita membicarakan hal-hal yang tak perlu. Kuminta kau dahar hidangan. Bukankah masakan ikan su-say-le-hi itu yang paling kau gemari?"
Tanpa menunggu pernyataan si jelita, Ku Pin lalu meletakkan meja hidangan itu di hadapan mereka. Iapun menuangkan arak di cawan Hian Kwan dan cawannya sendiri, ujarnya: "Inilah arak termasyhur dari Secong (Tibet) arak Swat-tiau-ciu. Ketika dikota raja aku pernah mengintari seluruh toko minuman, tapi tak ada. Terpaksa aku beranikan diri masuk ke dalam istana dan berhasil mencuri sebotol. Hendak kupersembahkan arak ini khusus untukmu."
Memang Hian Kwan pernah mendengar tenteng arak Swat-tiau-ciu itu. Ketika ia ikut Ciu Bing menghadap baginda, baginda telah menganugerahi gelar sebagai lt-bin-hu-jin, tetapi raja itu tetap pelit untuk memberikan arak Swat-tiau-ciu itu kepadanya. Arak itu merupakan barang upeti dan Sicong. Kabarnya arak itu dimasak dengan salju puncak gunung yang tertinggi dari gunung Thian-san. Itulah sebabnya memakai nama 'swat' (salju). Puncak gunung Thian-san itu tingginya ribuan meter, untuk mencari salju di sana, sukarnya bukan kepalang.
Menghadapi arak istimewa itu, hati Hian Kwan pun merintih-rintih ingin mencicipi. Dengan tertawa Ku Pin mengangkat cawan arak dan dihaturkan ke muka bibir si jelita: "Cicipilah, jika kau tetap marah padaku, biarlah Ku Pin terjun ke dalam telaga saja."
Dalam masa mengandung itu memang perangai Hian Kwan sering marah. Ia jemu melihat Ku Pin yang hanya pandai mengambil hati wanita, sedikitpun tak mempunyai kewibawaan sebagai seorang lelaki. Kegagahannya semasa bertempur dengan naga tempo hari, kini tiada tampak sama sekali.
"Enyah, enyah sana kau. Jangan menyentuh aku lagi!" Hian Kwan mendorongkan tangan menolak pemberian arak itu.
Ku Pin terkesiap. Karena kejutnya, cawan terjungkir dan araknya mencurah membasahi pakaiannya.
"Loncatlah ke dalam telaga, aku benci padamu!" su Hian Kwan.
Hidung Ku Pin berkempis dan tertawalah ia. "Loncat ke dalam telaga, akupun takkan mati, karena aku pandai berenang. Hian Kwan, janganlah marah. Marilah kita bicara dengan baik-baik sambil menikmati hidangan dan arak istimewa bukankah ini lebih menyenangkan? Perlu apa kita bertengkar untuk hal-hal yang tak berarti?"
Hian Kwan makin jemu melihat tingkah laku Ku Pin. Serentak ia berbangkit dan berseru keras: "Bertengkar? Hm, masakan kau pantas bertengkar dengan aku! Lekas ajak antek-antekmu itu pergi dan tinggalkan perahu ini padaku."
Kembali Ku Pin tertawa gelak-gelak. "Hian Kwan, tahulah aku sekarang. Kau ini memang sedang kalut pikiran, gelisah hati. Sekarang kita berada di tengah telaga, kemana kau suruh aku pergi? Ha, ha, sekalipun perahu ini kuberikan padamu, dapatkah kau mendayungnya?" Ia tertawa lagi sampai lama.
"Plak", Hian Kwan menampar mukanya: "Kau masih berani tertawa besar? Lihat hendak kucabut nyawamu!"
Ku Pin berhenti tertawa dan termangu diam. Sedang Hian Kwan sendiri juga heran, mengapa ia menamparnya? Melihat pipi kiri Ku Pin begap matang biru, ia merasa telah memukulnya terlalu keras. Diam-diam ia menyesal, Ya, mengapa ia menamparnya? Pertanyaan ini ia sendiri tak dapat menjawab. Dan penyesalan itu telah mendorong perasaan kasihan. Rasa kasihan cepat berubah menjadi memukulnya. Kebalikannya, ia malahan harus tahan harus menyayanginya, membelainya,
Kenangan lama timbul kembali. Sesaat ia terbayang akan kebaikan kemesraan Ku Pin. Sesaat ia teringat akan keburukan dan kejelekan Ku Pin. Kalau ingat kebaikannya ia mencintai. Kalau ingat keburukannya, selayaknya ia tak memberi maaf.
Apalagi..... buah yang kini tumbuh dalam tubuhnya itu, memang sebagian karena Ku Pin tapi sebagian lagi karena atas kerelaannya sendiri. Ia tundukkan kepala tak dapat mengambil keputusan.
Suasana dalam ruang perahu itu hening lelap. Keduanya sama berdiri. Ku Pin tengah mengusap-usap pipinya yang sakit, Hian Kwan tengah meremas-remas ujung bajunya. Mereka tak berani berpandangan, hanya pikiran mereka yang telah melayang tak tentu arah. Yang terdengar hanyalah suara Kwee Ciang di luar geladak perahu tengah memberi aba-aba kepada anakbuah perahu untuk mandayung.
Entah berapa lama kemacetan itu berlangsung. Ku Pin mengambil cawan araknya dan meneguknya habis, kemudian duduk di atas permadadi dan berkata: "Hian Kwan, kau telah memukul dengan tepat. Kalau kurang puas, silakan memukul aku lagi. Sejak pertama kali melihat kau, bayangan wajahmu kutanam dalam taman hatiku. Untuk selama-lamanya, kau tetap menjadi milikku. Baik kau tinggalkan aku maupun kau menikah dengan lain orang, tetap serupa. Jiwaku tetap, terpaku dalam kalbuku, tak dapat dicabut tak dapat dilenyapkan. Dan akupun takkan menggoyahkan untuk selama-lamanya...."
Hian Kwan tertawa dingin: "Cukuplah, Ku Pin. Rayuanmu yang indah merdu itu, jika setengah tahun berselang kudengar, tentu hatiku tergerak. Hmm, mengapa aku kau tahan di sini?"
Ku Pin membersihkan arak yang membasahi pakaiannya tadi dan mengisar ke dekat Hian Kwan untuk mempersilahkan duduk: "Hian Kwan, pukullah dan makilah aku sepuas hatimu, asal kau jangan pergi. Oh, Hian Kwan, kau tak tahu, betapa siksa penderitaanku berbulan-bulan mengenangkan kau. Hian Kwan, marilah kita bangun kembali kebahagiaan kita. Toh orang sudah mengetahui bagaimana hubungan kita itu. Apakah kau sudi meluluskan, Hian Kwan."
"Plak" tangan Hian Kwan menggebrak meja dan tubuhnya loncat ke atas. Cepat ia sudah mencabut pedang dan mendamprat: "Ku Pin, kau sungguh tak punya malu. Aku minta kau supaya mati saja!"
Waktu melayang turun, Hian Kwan sudah mengarahkan ujung pedangnya ke tenggorokan Ku Pin.
"Bagus!" teriak Ku Pin yang rupanya sudah siap menghadapi kemungkinan begitu. Ia meraih bantal dan digunakan untuk menangkis serangan.
Begitu kaki Hian Kwan turun ke lamai, kembali ia menusuk pundak kiri Ku Pin. Untuk itu Ku Pin cepat menghindar, serunya: "Hian Kwan, apakah kau sungguh hendak membunuh aku?"
"Wut, wut, wut", tiga buah serangan berturut-turut dilancarkan Hian Kwan sehingga Ku Pin menjadi kalang kabut. Ruang perahu itu hanya satu tombak persegi, sudah tentu menjadi penuh dengan kilatan sinar pedang Hian Kwan. Hanya dua tiga jurus saja Ku Pin sudah kelabakan setengah mati.
"Ku Pin, mengapa kau tak melolos pedang? Apa kau sudah ingin mati?" teriak Hian Kwan,
Saat itu Ku Pin sudah terdesak ke pojok ruangan. Dengan kedua tangan terkulai, ia tertawa getir: "Hian Kwan, jika kau memang betul-betul menghendaki kematianku, akupun tak dapat menolak lagi. Aku tak berani unjuk senjata di hadapanmu."
Hian Kwan kerutkan alisnya dan berseru: "Baik, tunggulah kematianmu!"
"Bruk" tiba-tiba kakinya menendang meja hingga terbalik. Hidangan su-say-le-hi berhamburan, mangkuk cawan berantakan dan masakan muncrat membasahi permadani. Setelah mainkan pedangnya ke kanan kiri, sekonyong-konyong ujung pedang Hian Kwan menyambar jalan derah sim-ih-hiat di dada Ku Pin. Serangan itu meluncur dengan cepat dan keras. Baru Ku Pin menghindar ke samping, pedang Hian Kwanpun sudah membayanginya.
Saat itu Ku Pin sudah buntu jalan, tak dapat menghindar lagi. Pun karena hanya bertangan kosong, ia tak berani menyambuti pedang Hian Kwan, Ia benar-benar tak dapat berdaya lagi dan hanya tinggal tunggu saat dimana sebelah tangan kirinya akan terpapas kutung oleh pedang Hian Kwan.
Sekonyong-konyong gerakan pedang Hian Kwan berubah, dari memapas menjadi menusuk hingga lengan kiri Ku Pin terluka mengeluarkan darah.
"Hai, manusia busuk, mengapa kau tetap tak mau mencabut pedang? Apa kau sudah bosan hidup? Hm, masakan aku sungguh seperti, kau...." Berkata sampai di sini ia terdiam.
Ya, sebenarnya dalam hati si jelita itu rasa cintanya kepada Ku Pin lebih besar daripada rasa bencinya.
Wakil pangcu Kwe Ciang mengira kalau pangcunya sedang be-romansa dengan si juwita. Maka bukan kepalang kejutnya ketika mendengar suara gemerincing senjata, Buru-buru ia suruh seorang anakbuah memegang kemudi sementara ia sendiri lekas menyingkap tirai dan melongok ke dalam ruangan.
"Siapa berani masuk itu?" teriak Hian Kwan yang dengan kalap menaburkan sebatang sin-ciam. Bu-ying-sin-ciam atau jarum tanpa bayangan itu tepat mengenai sasarannya. Untung hanya mengenai bahu Kwe Ciang.
"Pangcu, apa kau tak apa-apa?" teriaknya.
Saat itu Ku Pin pun melolos Pedang. Ia suruh wakil pangcu itu jangan mengurusi dirinya tetapi mengurusi saja kemudi perahu.
"Tetapi aku tetap akan mengurusi kau. lihat pedang!" teriak Hian Kwan seraya menyerang.
"Ah. Hian Kwan, apakah kita tak bisa tidak bertempur?" Ku Pin tertawa kecewa.
"Jika kau dapat menangkan pedangku, segala urusan boleh dihabiskan, semuanya menurut kemauanmu. Tapi kalau tidak, lekas terjun ke telaga dan jangan menyentuh aku," bentak Hian Kwan dengan bengis.
Melihat kekalapan Hian Kwan, terpaksa Ku Pin ambil putusan untuk menundukkannya dulu baru nanti bicara lagi. Segera ia keluarkan ilmu pedang Ang-tik-kiam-hwat. Hian Kwanpun menggunakan ilmu pedang ciptaannya Lok-ih-kiam-hwat. Keistimewaan dari ilmu pedang Lok-ih-kiam-hwat itu ialah selalu dapat mendahului gerakan lawan. Maka tak heran dalam dua tiga gebrak saja Ku Pin sudah kalah angin. Memang Lok-ih-kiam-hwat lebih unggul dari Ang-tik-kiam-hwat, apalagi lengan Ki Pin terluka.
"Hm. Dalam tiga bulan saja mengapa ilmu pedangnya begitu hebat. Jika sekarang tak kutundukkan, kelak tentu sukar lagi," diam-diam Ku Pin membatin. Dan sejak itu ia ambil putusan untuk memperdalam lagi kepandaiannya.
Ya, memang sebelum Hian Kwan menjadi Hek-liong-kui-bo, ia sudah bertempur sepuluh kali lebih dengan Ku Pin. Dalam pertempuran itu, setiap kali Ku Pin kalah, ia tentu berlatih keras dan menantangnya lagi. Kalau Hian Kwan yang kalah, iapun lalu berlatih keras dan mencarinya lagi. Bertahun-tahun pertandingan dari kedua kekasih itu tak pernah selesai. Sampai Hian Kwan menjadi Hek-liong-kui-bo, merekapun masih tetap bertempur. Dan adanya Ku Pin mengutus Lam Tian ke daerah selatan itu, yang penting ialah untuk menyelidiki sampai di mana kemajuan ilmu Hian Kwan itu.
Karena ruang perahu sempit, Hian Kwan loncat keluar. Ia suruh Ku Pin keluar juga. Saat itu Ku Pin sudah menyala darahnya. Ia pikir Hian Kwan hanya menggunakan sebatang pedang, ini tentu mengurangkan tenaganya, Ia mengambil tongkat, dengan alasan lengannya yang sebelah kiri terluka. Dengan tongkat dan pedang, ia percaya tentu dapat mengatasi Hian Kwan. Setelah memeriksa senjata rahasia kim-pit masih penuh, ia segera loncat keluar. Tapi apa yang dilihatnya, membuatnya tercengang. Tampak Hian Kwan sedang berjongkok mengeluarkan jarum sin-ciam dari pundak Kwe Ciang.
"Siapa namamu? Ah, ya, tahulah aku. Kau adalah Kwe toako wakil pangcu Ang-tik-pang. Apakah sekarang kau masih sakit?" tanya Hian Kwan. Sikapnya ramah tamah sekali.
Ku Pin kerutkan alis, pikirnya: "Hmm, ia masih tak merubah perangainya. Cepat marah cepat baik, sebentar panas sebentar dingin. Sesaat merupakan seorang jelita yang lemah lembut, lain saat menjadi seekor harimau betina. Sungguh sukar diraba."
Kwe Ciang tertawa dan mengatakan sudah tak sakit.
"Hian Kwan, kita sebenarnya tak perlu bertempur. Seperti saat ini, kita bercakap-cakap dan tertawa tawa, bukankah jauh lebih baik? perlu apa kita harus mengadu jiwa?" kata Ku Pin.
Mendengar itu serentak berdirilah Hian Kwan: "Banyak sekali alasannya, siapa sudi mendengar rayuanmu, lihat serangan!"
Sekali bergerak dalam jurus Kim-sim-siu-go ia terus menusuk bahu Ku Pin. Ku Pin gentakkan tongkat kayunya dan melambung ke atas payon perahu.
"Haa, kau hendak main udak?" teriak Hian Kwan.
Ia loncat menyusul. Ku Pin menyapu kakinya dengan tongkat. Jurus yang digunakan ialah si-coa-heng-te atau ular mati melintang di tanah. Jurus ini ?dicurinya? dari ilmu tongkat Leng-hun-ciang-hwat kepunyaan Ciu Bing. Ketika kedua kakinya dipatahkan Wan Thian Cik tempo hari, Ku Pin sembunyikan diri di Sopak dan meyakinkan ilmu tongkat.


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hian Kwan yang sedang melayang di udara terkejut sekali diserang begitu. Buru-buru ia tutukkan ujung pedangnya ke tongkat Ku Pin, untuk melambung lagi ke udara, menggeliat dan melayang ke haluan perahu. Sambil memegangi tiang layar dan mencekal pedang, ia berseru: "Ku Pin. apa nama jurusmu itu? Hm, apakah bukan jurus permainan tongkat suamiku? Hm, apa kau tak malu?"
Kwe Ciang memuji ketangkasan si jelita itu. Kalau tak mempunyai kecerdasan dan ketangkasan, tentulah Hian Kwan sudah kecemplung ke dalam air.
Ku Pin tak menghiraukan cemohan Hian Kwan, ia putar pedangnya menyerang terus. Posisinya lebih menguntungkan karena berada di buritan perahu, ia dapat bergerak lebih leluasa. Sedang Hian Kwan yang berada di tepian perahu, tak dapat mundur ke belakang lagi. Rupanya Ku Pin tahu hal itu, ia mendesaknya dengan gencar.
Kedudukan Hian Kwan memang berbahaya. Ia tak dapat menerjang maju tapipun tak dapat mundur ke belakang. Terpaksa ia harus tetap berada di tempatnya untuk bertahan,
Ku Pin menyerang secara istimewa. Pedang di tangan kanan dimainkan dalam jurus ilmu pedang Ang-tik-kiam-hwat, tongkat di tangan kiri dimainkan dalam ilmu tongkat Leng-hun-ciang-hwat. Hian Kwan benar-benar tak dapat bernapas, hanya bertahan tak mampu balas menyerang,
Tiba-tiba terdengar tertawa gelak-gelak: "Pertempuran yang bagus! Pepatah mengatakan 'karena bercekcok, timbullah cinta?. Silahkan kalian bertempur mati-matian, aku si nikoh tua akan melihat saja:"
Kedua orang yang bertempur itu marah mukanya. Lebih-lebih Hian Kwan. Diam-diam ia memaki Leng Giok sin-ni yang bicara semuanya sendiri. Masakan Ku Pin dianggap sebagai suami isteri.
Kiranya karena melihat perahu yang di belakang perahunya ada orang bertempur, Leng Giok lalu putar perahunya kembali. Demi mengetahui siapa yang bertempur itu, ia lalu memakinya. Memang nikoh tua itu suka bicara sesukanya sendiri. Dan tukang perahunyapun tak berdaya. Ke mana nikoh itu mengatakan hendak pergi, tukang perahupun hanya menurut saja.
Saat itu Ku Pin tengah menusuk dada Hian Kwan dengan jurus Tok-coa-jut-tong atau ular berbisa keluar guha dan Hian Kwanpun menangkis.
Tiba-tiba Leng Giok berteriak: "Hian Kwan kau termakan tipunya!"
Baru ia berseru begitu, Ku Pinpun sudah menyapu dengan tongkatnya. Untung karena mendengar peringatan Leng Giok, Hian Kwan sudah siap. Begitu tongkat menyambar begitu lalu ia kebutkan lengan bajunya untuk menyampoknya. Dan memang ilmu kibasan poh-siu-hwat (mengebut dengan lengan baju) termasyhur di dunia persilatan. Bujangnya Ih Ih yang hanya mempelajari lima enam bagian saja, sudah dapat merubuhkan Tan Ping. Maka betapa lihay ilmu kibasan itu, dapat dibayangkan.
Gerakan tongkat yang dilancarkan Ku Pin tadi, sebenarnya berbahaya sekali. Tapi karena dipecahkan oleh Leng Giok, terpaksa ia tarik pulang dan diganti dengan serangan pedang. Kembali pertempuran berjalan dengan seru. Hian Kwan bertempur dengan hat!-hati. Ia keluarkan seluruh kebisaannya untuk melawan. Sehebat-hebatnya kepandaian Ku Pin, tapi ia tak dapat merebut kemenangan dengan lekas.
Beberapa puluh jurus kemudian ketika melihat keadaan Hian Kwan makin berbahaya, timbullah rasa solider pada hati Leng Giok, Tertawalah ia: "Bagus, kalian berdua jangan bertempur lagi, maukah?"
Leng Giok baik maksudnya tapi Ku Pin dan Hian Kwan tak mau menghiraukan dan tetap bertempur terus. Ku Pin bertekad untuk menundukkan Hian Kwan. Hian Kwanpun tak sudi dikalahkan, Karena nasehatnya tak digubris, marahlah Leng Giok. Tiba-tiba ia mengeluarkan sepasang ho-lou (buli-buli arak) dan diangkatnya tinggi-tinggi: "Atas nama pusaka bulim ini, aku memerintahkan kalian berhenti. Apakah kalian berani membangkang?"
Namun tetap kedua orang itu bertempur terus.
"Baik, baik, karena kalian berkeras hendak bertempur sampai mati, akupun tak sudi mengurusi lagi," Leng Giok marah-marah.
"Kena!" Ku Pin berseru dan Hian Kwan mengaduh, jatuh ke belakang. Ku Pin pura-pura menyerang dengan pedang tapi berbareng itu ia menyapu dengan tongkatnya. Dan tongkat itu tepat sekali mengenai kaki Hian Kwan.
Melihat Hian Kwan kecemplung ke dalam air, Leng Giok cepat menolongnya. Ia memungut selembar papan terus dilemparkan ke dalam air. Papan meluncur di permukaan air tepat di tempat yang akan dijatuhi kaki Hian Kwan. Sebenarnya Hian Kwan sudah mengeluh, tapi demi melihat sebilah papan meluncur di bawah kakinya, cepat ia injakkan ujung kaki dengan meminjam tenaga injakan itu ia bergeliat melayang ke atas perahu.
"Bagus!" Leng Giok memuji ginkang Hian Kwan yang lihay itu.
Tetapi sebenarnya yang lihay itu si nikoh sendiri. Karena berkat lemparannya yang istimewa barulah Hian Kwan dapat tertolong. Ku Pin dan Kwe Ciang diam-diam mengagumi kepandaian si nikoh.
"Ku Pin, kau kejam sekali!" teriak Hian Kwan seraya menyerangnya, Ku Pin menangkis dengan tongkat dan pedangnya. Tetapi kali ini Hian Kwan tak mau menderita kekalahan lagi. Pedang dimainkan sedemikian rupa untuk melilit lawan. Namun dengan kelebihan senjata tongkat, Ku Pin tetap dapat menang angin.
Memang dalam pertempuran, dimana kekuatan kedua fihak berimbang, apabila salah seorang mempunyai kelebihan senjata, dialah yang akan menang angin.
Melihat keduanya masih bertempur mati-matian, diam-diam Leng Giok heran, "Apakah mereka bercekcok? Andaikata bercekcok, masakan sampai bertempur begitu sengit?" pikirnya.
Ia anggap Ku Pin itu bukan lelaki baik karena telah menghina seorang wanita. Tapi iapun tak suka pada Hian Kwan yang sesudah ditolong malah tak menghiraukan nasehatnya. Ya, memang apa yang dapat dicapai oleh pikiran si nikoh hanya apa yang dilihatnya saja. Ia tak tahu bagaimana liku-liku asmara yang dapat menimbulkan cinta dan benci.
Sebenarnya kedua orang yang bertempur itu sendiripun tak bermaksud sungguh-sungguh untuk membunuh lawannya. Mereka tetap pria dan wanita persilatan yang menjunjung kehormatan. Hian Kwan hanya ingin menumpahkan kebenciannya Setelah dapat menundukkan Ku Pin, puaslah sudah hatinya. Kepuasan itu merupakan pangkal tumbuhnya sang asmara lagi.
"Ku Pin, apa kau kira dapat mengalahkan aku? Hm, lihat seranganku!" sekonyong-konyong. Hian Kwan robah jurus permainannya. Ia kebutkan lengan bajunya kiri untuk menyampok tongkat Ku Pin. Ku Pin yang tahu kelihayan kebutan itu buru-buru hendak menarik pulang tongkatnya tapi pedang Hian Kwan sudah menabasnya kutung. Ku Pin berkejut dan kesempatan itu digunakan sebaik-baiknya oleh Hian Kwan untuk menyerang, Kini berobahlah jalannya pertempuran. Kalau tidak menang angin setidak-tidaknya Hian Kwan dapat bertanding seri.
Karena nasehatnya tak digubris dan sampai sekian saat tak dapat menerka apa sebab kedua orang itu bertempur, Leng Giok tawar hatinya. Buru-buru ia perintahkan tukang perahu untuk meneruskan perjalanan ke say-cu-lim.
"Sin-ni, harap tunggu dulu, aku hendak bicara." Tiba-tiba Kwe Ciang berseru. Tetapi nikoh yang aneh itu tak menghiraukannya dan tetap berlayar pergi.
Kwe Ciang kelabakan. Kalau sampai kedua orang yang bertempur itu tak mau berhenti, siapakah yang dapat melerai mereka? Dan bagaimana nanti kalau sampai menumpahkan darah? Ia mendapat akal, disuruhnya anakbuah menaikkan layar dan mendayung mengikuti perahu Leng Giok sin-ni. Kalau sampat terjadi apa-apa, masakan nikoh itu tega melihat saja. Demikian pikirnya.
Perahu berjalan samoai belasan li, namun mereka tetap bertempur. Malah kini pertempuran talah mencapai detik-detik yang menentukan. Hian Kwan dapat mendesak Ku Pin ke pojok.
"Ku Pin, lemparkan pedangmu dan mengangguk padaku tiga kali, nanti kuampuni," seru Hian Kwan.
"Mana begitu mudah. Kau mau menangkan aku? Ah, terlalu pagi," sahut Ku Pin yang tak tersangka-sangka timpukkan kutungan tongkatnya, Hian Kwan tertawa dingin. Ia kebutkan lengan baju menyanggapinya. Tapi baru ia hendak menimpukkan kembali kepada Ku Pin, tujuh batang kim-pit melayang ke tubuhnya.
"Hian Kwan, maafkan, terpaksa sekali ini saja," seru Ku Pin. Ternyata selagi Hian Kwan menyambut tongkat, ia serentak taburkan tujuh batang kim-pit.
Hian Kwan terkejut bukan main. Jarak mereka dekat sekali dan ilmu timpukan kim-pit Ku Pin itu pernah menundukkan naga. Dalam gugupnya Hian Kwan gunakan jurus It-ho-jong-thian atau burung ho melayang ke udara.
Di udara bergeliatan dan melayang turun ke samping. Sewaktu melayang ia timpukkan pedangnya ke dada Ku Pin, serunya: "Ku Pin, kau kejam sekali!"
"Blung", Hian Kwan kali ini betul-betul kecemplung dalam air. Sedangkan Ku Pin yang tak menduga sama sekali babwa dalam menghindari serangannya itu Hian Kwan masih dapat melancarkan serangan yang berbahaya, diam-diam iapun mengeluh: "Hian Kwan, apakah kau juga tidak kejam?".
Dengan jurus It-ki-he-leu ia miringkah tubuhnya. Dadanya terhindar tapi tak urung bahunya kena juga kesrempet pedang sampai merobek. Pedang menancap di tiang perahu.
Melihat Hian Kwan kecebur, Kwe Ciang terkejut. Buru-buru ia putar kayuh sedemikian rupa hingga perahu miring sampai sembilan puluh derajat. Tanpa menghiraukan Ku Pin lagi, ia ulurkan sebatang galah kepada Hian Kwan, menyuruhnya memegang. Hian Kwan yang semasa sering bermain di telaga, tidak menjadi gugup karena kecemplung itu. Sekali ia memegang galah ia loncat ke atas geladak perahu lagi,
Pun Ku Pin saat itu lupa pada lukanya.
Tergopoh-gopoh ia menyongsong Hian Kwan: "Hian Kwan, kau tak kena apa-apa, bukan?"
Dilihat orang dalam keadaan basah kuyup itu, malu Hian Kwan bukan kepalang. "Plak", ia memberi tamparan ke muka Ku Pin sampai yang tersebut belakangan itu puyeng kepala.
"Bagus sekali kau" Sehabis memaki Hian Kwan terus menerobos masuk ke ruang perahu dan menguncinya.
Setelah kepalanya berputar-putar sampai beberapa saat barulah Ku Pin dapat tenang. Ketika tampak Kwe Ciang dan anak buahnya melihatnya dengan tertawa geli, Ku Pin merah padam. Kwe Ciang segera membalut lukanya, untung tak berapa dalam. Luka itu tak berarti bagi Ku Pin, yang tak habis membuatnya marah ialah tamparan Hian Kwan tadi. Tetapi kemarahan itu lenyap ketika ia teringat Hian Kwanpun kecemplung dalam air.
Setengah jam kemudian Tang-thing-san sudah tampak dipemandangan. Karena pintu ruang masih tetap terkunci, Ku Pin segera mengetuknya "Hian Kwan. bagaimana kau?" Tetapi tiada penyahutan.
"Hian Kwan, bukalah, mari kita bicara dengan baik-baik, maukah?" kembali ia berseru dengan lembut. Tetapi tetap tiada penyahutan apa-apa.
Sampai berapa kali ia mengulangi seruannya itu, tetap sepi saja. Akhirnya terpaksa ia duduk di buritan perahu.
Karena pertempuran sudah berhenti, Kwe Ciang pun mengurangi kecepatan perahunya, sehingga ketinggalan jauh dengan perahu Leng Giok. Kemudian ia menanyakan apakah masih tetap menuju ke Say-cu-lim. Ku Pin mengangguk.
"Apa tidak kembali saja?" tanya Kwe Ciang. Ku Pin pun mengangguk.
"Ah, kalau begitu lebih balik kembali saja," kata Kwe Ciang. Kiranya ia tahu bahwa keperluan Leng Giok itu akan menundukkan naga dan Hian Kwan hendak membantu nikoh itu. Naga jahat itu berada di sekitar Say-cu-lim, ini berbahaya sekali kalau berlayar ke sana. Apa yang dipikirnya itu dikatakan kepada sang pangcu.
"Kwe Ciang, yang memutuskan kau atau aku? Tutup saja mulutmu, maukah?" Ku Pin tak sabar dan mendampratnya. Kwe Ciang mendengus dan diam.
Memandang ombak yang bergulung-gulung itu, pikiran Ku Pin pun melayang-layang. Wajah dan suara si jelita terbayang-bayang di pelupuk matanya. Makin terbayang makin tak kuat Ku Pin menahan gelora hatinya. Serentak ia berbangkit dan mondar mandir sambil merangkai kedua tangannya: "Ya, asal kujebol pintu, masakan ia mau lari ke mana!" pikirnya.
Beberapa kali ia sudah siap menjebol pintu, tetapi setiap kali pula ia ragu-ragu. Tiba-tiba ia teringat bahwa saat itu perahu berada di tengah telaga. Tadi karena dekat dengan perahu Leng Giok, mungkin Hian Kwan dapat loncat ke sana. Tetapi kini, kecuali mempunyai sayap untuk terbang, masakan Hian Kwan dapat lolos. Akhirnya ia ambil putusan tak perlu terburu-buru. lebih baik menunggu dengan sabar. Untuk merebut hati sang jelita, tak boleh sekali-kali ia gunakan kekerasan.
Magrib tiba dan Ku Pin sudah tiga jam menunggu di luar. Ia mondar mandir lagi di muka pintu. Beberapa kali hendak mengetuk pintu, tapi tak jadi. Beberapa saat kemudian tiba-tiba terdengar suara dari dalam ruang perahu: "Masuklah, di luar tentu dingin sekali!"
Seperti harimau mendengar lengik anak kambing, serentak Ku Pin pun menerobos masuk. Dilihatnya Hian Kwan duduk merebahkan diri di bantal. Ku Pin beringsut-ingsut duduk di dekatnya. Ketika menjamah pakaian Hian Kwan yang masih agak basah, dengan mesranya ia berkata: "Hian Kwan, apakah kau tak ganti pakaian? Ah, nanti tentu masuk angin."
Hian Kwan tertawa dingin: "Terima kasih atas perhatianmu yang begita mesra!"
Tiba-tiba Ku Pin melihat pipi kiri si jelita itu berhias sebuah guratan luka sepanjang dua dim. Kejutnya tak terkira: "Hai, kau mendapat luka itu?"
Hian Kwan mengambil koyok untuk dilekatkan di luka itu. Kata Ku Pin pula: "Apakah aku yang melukai? Jika benar, Ku Pin harus menerima kematian dicincang seribu golok. Balaslah dengan tiga tabasan pedang, aku rela menerima." Ia tak ingat apakah tadi sewaktu bertempur melukai Hian Kwan atau tidak.
"Ku Pin, kau termakan lemparanku pedang tadi, sudah cukup. Sekarang jangan bicarakan hal itu lagi, tutuplah pintu!" Tanpa diminta untuk kedua kali, Ku Pin loncat menutupnya. "Ai, nanti dulu, kau harus mengerjakan perintahku dulu, baru boleh menutup pintu," seru Hian Kwan.
"Ke dalam air, ke dalam air. Ke dalam api aku akan ke dalam api. Asal kau yang menyuruh, aku takkan menolak," kontan Ku Pin menyatakan kesanggupannya.
"Ku Pin, apa itu keluar diri setulus hatimu?"' Hian Kwan tertawa.
Sejak berjumpa lagi, baru untuk pertama kali itu Hian Kwan tertawa berseri. Di bawah penerangan lampu yang remang, wajah jelita itu makin ayu sekali. Ku Pin seperti melayang-layang di nirwana.
"Aku Ku Pin rela dicaci seluruh dunia tapi tak mau mengecewakan kau!"
"Termasuk isteri mu juga? tanya Hian Kwan.
Ku Pin tergetar hatinya tapi cepat-cepat ia berseru nyaring: "Sudah tentu, Hian Kwan, kau tak tahu bahwa meskipun namanya kami berdua itu suami isteri tapi tiada kemesraan sama sekali. Aku Ku Pin....".
"Hi, hi!" Hian Kwan tertawa memutus omongan Ku Pin, serunya: "Bagus, aku percaya padamu, jangan membicarakan isterimu dan jangan bersumpah apa-apa lagi. Tolong aku...."
"Apa? Demi untukmu Hian Kwan, aku sanggup membunuh orang dan melakukan apa saja," buru-buru Ku Pin menyusuli.
"Bagus, kau lemparkan semua anak buah perahu ini ke dalam air. Aku tak ingin meninggalkan mulut yang nanti dapat menyiarkan urusan kita ke mana-mana."
Mendengar itu Ku Pin tersentak kaget, pikirnya: "Kalau membunuh anak buahku sendiri, ah, celaka ini. Tetapi aku sudah memberi pernyataan sanggup, kalau tak kulakukan ia tentu marah. Ini berarti impianku akan buyar semua."
"Termasuk Kwe Ciang itupun harus dilenyapkan pula. Hm, kau ini menurut permintaanku atau tidak?" melihat Ku Pin bersangsi, Hian Kwan mendesaknya.
"Hian Kwan. apakah kau sungguh-sungguh meminta aku begitu?"
"Ya, aku meminta kau melakukan hal itu. Kau mau melakukan atau tidak, terserah saja."
Ku Pin menganggap memang Kwe Ciang itu terlalu banyak mengetahui urusan keluarganya. Hubungan Ku hujin dan It Yap iapun tahu. Akhirnya ia memutuskan menggunakan kesempatan sekarang ini untuk melenyapkan saja. Cepat ia loncat keluar geladak. Kala itu cuaca sudah mulai gelap dan kabut belum hilang. Kwe Ciang dengan kedua anak buahnya sedang berada di haluan perahu. Ku Pin berindap-indap menghampiri mereka.
"Kwe Ciang, apakah kau paham jalanan di sini?" tegurnya.
"Tak begitu faham. Ah kebetulan sekali pangcu datang, harap kau..." ia memandang ke ruang perahu dan tak melanjutkan kata-katanya.
Ku Pin tertawa: "Ah, tak apa, biar aku yang memegang kemudi."
"Setelah melalui kelompok pulau-pulau kecil ini, jalanan sudah rata kembali, nanti aku yang pegang kemudi lagi. Tetapi pangcu, apakah ia mau bersabar menantimu?"
Ku Pin menyambar galah. Kwe Ciang memandang pangcunya sejenak. Tiba-tiba ia berseru kaget: "Hai, Pingcu, mengapa sorot matamu begitu...."
"Apa?" bentak Ku Pin yang masih bersangsi karena tak sampai hati untuk turun tangan.
Sebenarnya Kwe Ciang heran mengapa sorot mata pangcunya sedemikian beringas, pada hal seharusnya berseri-seri karena sudah berjumpa dengan juwita kenangannya. Buru-buru ia simpangkan keterangannya: "Tak apa-apa. mata pangcu lebih tajam dari aku. Kita tentu akan selamat tiba di Say cu-lim, kalau pangcu yang pegang kemudi."
Ku Pin menghela napas. Ya, bagaimana juga ia tak tega hendak menganiaya wakilnya yang sudah bertahun-tahun bahu membahu mengurusi Ang-tik-pang dan berjuang melawan musuh. Ia letakkan galah, ujarnya: "Kwe Ciang, lebih baik kau saja yang mendayung. Asal hati-hati, tentu selamat."
Setelah itu Ku Pin berjalan ke ruang perahu. Tetapi begitu menyingkap tirai gendak masuk, dadanya disambut dengan sebuah pukulan. Buru-buru ia mendorong dengan tangannya, tapi tak urung ia terpental keluar.
"Hian Kwan, dengarlah bicaraku...."
Hian Kwan hanya mendengus tak mau menyahut.
Berada di geladak, Ku Pin berjalan mondar mandir. Matanya memandang lekat-lekat kepada Kwe Ciang. Timbang punya timbang, akhirnya ia memberatkan Hian Kwan juga dari pada Kwe Ciang. Dengan keraskan hati, ia loncat ke haluan perahu dan berseru: "Kwe Ciang, lihatlah apa yang di belakang itu!"
Kwe Ciang berpaling tapi ia segera terperanjat sekali karena tubuhnya terasa kesemutan. Ternyata Ku Pin sudah menutuk jalan darahnya.
"Pangcu, mengapa kau berbuat...."
"Blung" Ku Pin sudah menendangnya ke dalam air.
Keempat anak buah perahu yang mendengar suara orang kecemplung, sibuk menurunkan layar dan menurunkan galah. Tetapi Ku Pin pun menutuk jalan darah mereka dan satu persatu disapu ke dalam air. Kemudian setelah mengemasi peralatan perahu, ia menerobos masuk ke dalam ruang. Di situ tampak Hian Kwan tengah mendekap perut, wajah pucat dan dahinya mengerut kesakitan. Ku Pin kaget dan buru-buru menanyakan.
Dengan tersengal-sengal napas Hian Kwan menyahut: "Ai, siapa lagi kalau bukan..... orok nakal ini kumat.... aduh.... ia menendangi perut, mati aku...."
Kejut Ku Pin tak terkira, serunya: "Apakah kau sudah mengandung?"
"Apa kau tak melihat keadaan tubuhku" dengan gemas Hian Kwan menetap Ku Pin.
"Dia she.... ho, maksudku dia she Ciu atau she Ku?"
Hian Kwan memandang lagi, tapi kali ini sorot matanya penuh dengan kemesraan. Ia menerangkan bahwa anak itu adalah anak Ku Pin. Ku Pin gemetar dilanda kekagetan dan kegirangan. Cepat ia mendekap tangan si jelita dan memberinya ciuman mesra. Ia tertawa nyaring dan panjang.
"Ku Pin, apa yang kau tertawakan? Apakah kau tak mau anak ini?" bentak Hian Kwan.
Ku Pin tersentak berhenti, serunya: "Tidak, tidak begitu. Mengapa aku menolak anak itu? Aku hanya memikirkan kelak kalau lahir ia harus memakai she apa. Ku atau Ciu?"
Hian Kwan suruh sang kekasih menutup pintu dulu tetapi Ku Pin menerangkan bahwa Kwe Ciang dan anak perahu semua telah dilempar ke dalam air. Hian Kwan gembira dan mempersilakan Ku Pin duduk.
"Ah, di tengah-tengah tigapuluh enam ribu pulau di Thay-ou, hanya ada kita berdua. Hian Kwan, acapkali aku memikir dan berkhayal bahwa pada suatu hari kita mengasingkan diri disebuah pulau kosong. Di situ kita lewatkan penghidupan bahagia tanpa ada orang yang mengetahui. Bukankah ini bagus sekali?" tanya Ku Pin.
Hian Kwan membelai rambut sang kekasih tertawa: "Baik sih baik. Kita hanya bertiga, tiada orang lain lagi. Memang dapat menghindarkan kesulitan memberi she pada anak kita ini. Tetapi ini adalah omongan anak kecil. Kau dan aku orang yang sudah dewasa, mempunyai rumah tangga dan kedudukan. Sekali-kali bukan remaja yang baru masuk ke dalam panggung asmara."
Ku Pin rneramkan mata menikmati kebahagiaan dibelai seorang bidadari. Tetapi ia hanya merasa terhibur beberapa saat karena pada lain saat kedengaran menghela napas. Atas pertanyaan Hian Kwan, Ku Pin menyahut: "Tak lain yang kupikirkan adalah anak ini. Hian Kwan, kelak kalau sudah besar dan ditanya orang siapa ayahnya, bagaimana ia haius menyahut?"
"Ah, itu kan urusan besok, tak perlu dirisaukan sekarang. Ku Pin, urusan itu memang sulit dipecahkan, Kalau ia memakai she Ciu kau tak senang. Kalau ia menggunakan she Ku, ah, tentu ditertawakan orang. Hm, kiranya memang banyak hal yang sukar dipecahkan, perlu apa kita memikirkan? Hanya pokoknya kau senang tidak kurawat anakmu itu?"
Tersipu-sipu Ku Pin menyatakan kegembiraannya.
"Ah, bereslah sudah. Kau suka juga, kepada anak ini. Akupun suka padamu dan semua persoalan bereslah. Peduli apa dia she Ku, she Ciu atau she Ho, she Li! Ku Pin, yang kupikirkan hanyalah tentang hubungan kita ini".
Ku Pin cepat menghiburnya: "Ah, baiklah, kasih dia she Ciu saja agar suamimu bergirang hati."
"Aku sudah memikirnya she untuknya she Ciu tidak, she Ku juga tidak, tetapi lain she," kata Hian Kwan.
"Ah mengapa begitu?" bantah Ku Pin.
Tapi Kian Kwan menyuruhnya supaya jangan membicarakan soal itu. Lalu menyuruh Ku Pin supaya menutup pintu.
Malam itu cuaca gelap, tiada bulan tiada bintang. Perahu mereka terombang ambing ditengah telaga. Karena galah perahu diikat oleh Ku Pin, maka perahu itupun hanya meluncur ke arah muka saja.
Entah berapa lama keheningan dalam perahu itu berlangsung, tiba-tiba terdengar suara berderak keras. Rupanya perahu membentur sesuatu. Goncangan perahu itu telah membuat Ku Pin dan Hian Kwan tersentak dari te......
"Celaka, perahu membentur karang!" Ku Pin berteriak dan menerobos keluar.
"Krak" kembali terdengar benturan keras dan perahu miring ke kiri. Segulung ombak besar mendampar ke atas perahu. Pakaian Ku Pin basah kuyup semua. Karena miring, perahu itu kemasukan air banyak sekali. Ketika memandang ke muka, Ku Pin melihat barisan karang besar menghadang di muka perahunya. Walaupun pandai berenang tapi Ku Pin belum paham keadaan Thay-ou. Ia segera meneriaki Hian Kwan supaya keluar.
"Celaka, mengapa kau mendayung ke Hek-mo-san sini?" seru Hian Kwan.
Hek-mo-san atau gunung setan hitam merupakan segugus gunung karang yang paling besar di perairan telaga Thay-ou. Terdiri dari karang yang beberapa puluh tombak tingginya. Banyak juga karang-karang kecil. Ombak di situpun besar. Merupakan daerah maut bagi kaum pelayar.
Dengan mengikat kayuh kemudi, sekali-kali bukan maksud Ku Pin hendak menuju ke gunung ke gunung karang tersebut. Ia tak dapat manyahut teguran Hian Kwan tadi dan hanya menyambar sebatang kapak untuk menabas tiang perahu. Tapi didamprat Hian Kwan yang menyuruhnya supaya ke buritan perahu menjalankan kemudi saja. Sedang Hian Kwan lalu menuju ke haluan perahu untuk memberi komando. Ya, memang meskipun ilmunya berenang kalah dengan Ku Pin tapi ia paham sekali akan keadaan telaga itu.
Ia tahu bahwa perahunya itu sudah menyusup ke dalam gundukan karang dan terdampar di atas salah satu karang sehingga macet. Maka ia menantikan begitu ada ombak mendampar lagi, membarengi air surut ia akan menggerakkan perahu meluncur ke air.
Benar juga ombak bergulung datang dan perahu pun oleng kian kemari. Hian Kwan gunakan ilmu Cian kin-tui supaya jangan jatuh. Untuk kegirangannya, perahu terasa terapung di air lagi. Cepat ia meneriaki Ku Pin supaya memutar kemudi ke kanan dan ia sendiri gunakan galah untuk mendorong karang. Perahu berputar ke kiri dan meluncur. Tetapi baru beberapa meter, kembali perahu membentur karang dan tak dapat bergerak lagi. Ku Pin dan Hian Kwan berusaha untuk mendorong, tapi sampai galah mereka habis patah semua, perahu tetap macet. Ternyata perahu mereka telah terjepit di antara dua buah karang, perahupun berlubang sampai dua buah. Air masuk sehingga kaki Hian Kwan terendam.
"Hian Kwan, kali ini kita akan mati bersama-sama," Ku Pin menyatakan keputus asaan karena sudah tak berdaya lagi.
Tiba-tiba segalung ombak besar mendampar. Dengan girang Hian Kwan suruh Ku Pin pegang kemudi. Begitu ombak mengapungkan perahu, mereka telah berhasil melepaskan perahunya dari jepitan karang.
Tetapi kembali mereka menghadapi bahaya, malah kali ini merupakan bencana besar. Baru meluncur beberapa belas meter, kembali perahu menyusup ke dalam kisaran air. Begitu keras air berkisar sehingga perahu turut berputar-putar. Perahu kian kemari membentur karang. Lubang perahu makin bertambah banyak. Dan karena kemudinya patah, perahupun hanya menurutkan perputaran air saja, oleng ke kanan miring ke kiri.
Mengetahui tiada harapan lagi, Ku Pin menuding ke langit dan memaki-maki. Hian Kwan berusaha untuk menahan diri, tapi akhirnyapun tak kuat, kepalanya puyeng dan matanya gelap. Air masuk dengan darasnya, cepat seluruh geladak dan ruang perahu tergenang.
"Krak" tiba-tiba perahu membentur karang dan sekali ini pecahlah perahu itu. Hian Kwan tergelincir jatuh kedalam air, menyusul Ku Pinpun terlempar. Tetapi ia pandai berenang. Ia berusaha menyelundup ke permukaan air dan meneriaki Hian Kwan. Tetapi tiada penyahutan sama sekali. Empat penjuru gelap pekat.
Ku Pin gelisah sekali. Ia timbul tenggelam berenang mencari Hian Kwan, namun sia-sia jua.
"Oh, Allah, apakah kau menghendaki kami berdua mati?" ia mendongak dan meratap ke langit. Ia menyelam dan meluncur ke sebuah benda hitam. Ia kira benda itu tentu Hian Kwan, siapa tahu ternyata kutungan galah. Apa boleh buat, dengan bantuan galah itu akhirnya ia dapat berenang agak leluasa. Sekalipun begitu Hian Kwan tetap tak dapat diketernukan. Akhirnya pada waktu terang tanah, ia terpaksa mendarat kesebuah karang.
Ia hampir saja mati kedinginan, untung sinar matahari segera menjemurnya kering lagi. Diam-diam ia menyesal mengapa tadi menurut perintah Kian Kwan untuk membunuh Kwi Ciang dan anak buahnya. Jika mereka masih ada, tentu tak sampai mengalami kejadian seperti itu.
Ia tetap penasaran. Ia terjun lagi ke dalam kisaran air untuk mencari Hian Kwan. Namun sampai setengah harian, Hian Kwan tetap hilang.
"Hian Kwan, nasibmu kuserahkan kepada Yang Maha Kuasa. Aku sudah berusaha setengah mati untuk mencarimu," akhirnya ia lepaskan harapannya.
Selama tiga hari ia terkurung di Hek-mo-san. Dia hanya hidup dari ikan kecil yang terdapat di kisaran air. Di sekitar perairan Hek-mo-san tiada tampak sebuah perahupun, karena memang tiada seorang nelayan yang berani datang ke situ. Bagaimana nasibnya nanti, baiklah kita tinggalkan dulu.
-^dwkz^smhn^- Retak kembali Pada hari kedua ada tiga buah perahu besar berlayar menuju ke Tin-tik-pang. Perahu-perahu itu termasuk ukuran yang paling besar sendiri di antara perahu-perahu di telaga Thay-ou. Anak buahnya tak kurang dari tiga puluhan orang dan muatannya banyak.
Seorang lelaki tengah mengisap pipa rokok sambil memandang cuaca langit. Seorang anak kecil berumur lima enam tahun berada di samping.
"Yah, kemana kita hendak mengantarkan muatan ini?" tanya anak itu. Orang lelaki itu mengatakan menuju ke Sociu.
"Kudengar paman Tan mengatakan perahu ini akan singgah di Tin-tik. Apakah tidak akan memperlambat perjalanan?" tanya si anak pula.
Ternyata sejak Wan Thian Cik lenyap, telaga Thay-ou tiada yang mengepalai lagi. Banyak sekali partai-partai bajak, besar maupun kecil mengganas. Pedagang-pedagang yang hendak mengangkut barang terpaksa harus menyewa kawanan pohpiau (pengawal). Rupanya lelaki tadi juga salah seorang pohpiau.
"Perjalanan ke Sociu tentu harus lewat Tin-tik. kita singgah sebentar untuk mengantarkan ia ke Tin-tik-pang, rasanya tiada halangan," kata lelaki itu.
"Siapa ia? Rasanya aku pernah melihatnya," kata h anak.
"Apa, diam-diam kau mengintainya? Hm, ia seorang momok wanita, awas kalau kesampokan, ia tentu mencabut jiwamu," ujar ayahnya.
"Aku tak takut. Ia masih belum tersadar," seru si bocah.
Mendengar itu ayahnya agak heran dan menegas, "Ya, memang, ia masih tidur"
"Paman Ong sendiri juga heran," sahut si anak.
Lelaki itu berbangkit dan mengajak anaknya masuk ke dalam ruang perahu. Di atas ranjang kayu, tampak seorang wanita muda tidur pulas. Wajahnya cantik sekali tapi pucat dan napasnya memburu keras. Rupanya seperti sedang sakit. Lelaki itu menghampiri dan memeriksa pergelangan tangan si wanita. "Aneh, aneh sekali, ia tidak sakit tetapi mengapa tak sadarkan dn?"
"Wan lihiap, Wan lihiap, bangunlah, bangunlah!" akhirnya ia membangunkan serta menggoyang-goyang tubuh si wanita. Namun wanita cantik itu tetap tidur nyenyak.
"Aneh, sudah sepuluh jam kita menolongnya, mengapa ia masih belum tersadar?" orang lelaki menggerutu, Akhirnya karena kehabisan daya disuruh anaknya memanggil paman Tan.
Anak itu bernama Ciau Han Ciang, putera dari Ciau Toa To yakni silelaki tadi. Sedang wanita cantik yang pingsan itu bukan lain Hian Kwan sendiri.
Tak berapa lama datanglah dua orang lelaki. Yang satu she Ong, bertubuh pendek. Yang satu she Tan bertubuh jangkung. Atas pertanyaan Ciau Toa To, si orang she Tan itu menerangkan bahwa kira-kira masih seperjalanan dua jam baru tiba di Tin-tik.
Ciau Toa To kerutkan alisnya.
"Apa yang toako resahkan? Apakah tentang dia?" tanya si orang she Ong.
"Ya, kalau dalam dua jam lagi ia masih belum tersadar, bagaimana kita hendak menyerahkan pada Tin-tik-pang?" kata Ciau Toa To.
Si orang she Tan mengusulkan supaya toako-nya menutuk jalan darah Hian Kwan. Ciau Toa To mengatakan semua daya sudah dicobanya, namun sia-sia belaka.
"Kalau begitu tak usah diserahkan pada Tin-tik-pang. Kita antarkan saja pada Ciu Bing," Kata si orang she Tan.
Mendengar itu Ciau Toa To marah-marah. "Tan toako, kau adalah saudaraku, mengapa bicara semaumu sendiri? Apa yang sudah kita rencanakan, tak boleh setengah jalan. Jaya runtuhnya Ciu-ke-Cung tergantung pada kesempatan ini"
Si orang she Tan buru-buru minta maaf, Sedang si orang she Ong tampak memikirkan sesuatu. Tiba-tiba ia berseru:" Oh, aku teringat sekarang. Ketika ia terapung-apung di atas sebilah papan, ia sudah tak sadarkan diri. Waktu itu akulah yang menolongnya.... Ya, saat itu aku seperti mencium bau yang harum sekali dari tubuhnya. Dan serentak kepalaku terasa berputar-putar, Entah apakah sebabnya?"
Si orang she Tan mengejeknya: "Ha, ha, jangan lupa, dia addah It-bin-hu-jin, menantu dari Tay-haksu dan isterinya dari Thay-cu-sao-po!"
Siorang she Ong marah. "Aku bukan manusia tendah. Tidak seperti kau yang tidak becus apa-apa kecuali berkentut besar!"
"Lho. aku kan hanya bergurau, apa tak boleh? Hai, kau mau apa?" balas si Tan.
"Tutup mulut kalian! Siapa yang berani bertengkar lagi, akan kuberi bacokan golok," bentak Ciau Toa To. Kemudian ia suruh si orang she Ong melanjutkan penuturannya.
"Buru-buru kututup hidungku. Dan kupondongnya ke dalam perahu baru ketahuan kalau bau wangi itu berasal dari bajunya. Kukira.... heh, heh...." si orang she Ong merah mukanya dan hanya menunjuk ke dada Hian Kwan.
"Hian Ciang, kemarilah!" Ciau Toa To memanggilnya. "Kau periksa dadanya!"
Ketika meraba, Hian Ciang menemukan sebuah mainan kelinci dari batu pualam. Ia girang sekali dan meminta kepada ayahnya supaya mainan itu diberikan kepadanya, terus dibawanya lari keluar. Tapi ditampar ayahnya: "Tinggalkan kelinci itu dan keluarlah!"
Hian Ciang lepaskan mainan kelinci itu dan ngeloyor keluar sambil mengomel panjang pendek.
Ketika Ciau Toa To mengambil mainan itu, dan menciumnya, baunya memang wangi sekali. Ia berikan mainan itu pada Tan dan Ong untuk diperiksa. Namun mereka tak dapat menemukan apa-apa yang luar biasa pada mainan itu.
"Toako, jangan kuatir. Kita antarkan ia ke Tin-tin itu hanya suatu rencana pinjam tangan menbunuh orang. Apabila Ciu Bing mendengar, ia tentu menggempur Tin-tin-pang. Dan begitu Tan Ping hancur, kitalah yang bakal menjadi raja diwilayah Thay-ou. Nanti jika tiba di perairan Tin-tik, kita masukkan ia ke dalam kantung kain dan malam-malam kita lemparkan ke sana. Hmm, apakah ia mati atau hidup, pingsan atau sadar pokoknya Ciu Bing nanti tentu akan membikin perihitungin pada Tin-tik-pang. Dan sebenarnya, he, he, Kalau ia mati itu lebih baik....."
Ciu Toa To mengangguk. Tiba-tiba terdengar suara genderang berbunyi dan anak perahu berkaok-kaok. Ciau Toa To dan kedua pembantunya itu cepat-cepat keluar ke geladak. Dilihatnya sebuah perahu melancar datang-dengan laju sekali.
"Hai, perahu yang di sebelah muka, menyingkirlah!" teriak anak buah perahu itu.
Ciau Toa To loncat keatas buritan dan berseru nyaring: "Hai, apakah kau tak punya mata? Apakah tak melihat panji pertandaan dari Ciau Toa To?"
"Oh, kiranya Ciau toako, siaute Tan Su khilaf tak memperhatikan," seru orang dari perahu itu yang bukan lain ternyata Tan Su pemimpin kelima dari Tin-tik-pang.
Setelah saling memberi salam, Tam Su minta supaya diberi jalan karena ia perlu cepat-cepat pulang. Dan habis berkata, Tan Su perintahkan anak buahnya tancap gas. Ciau Toa To marah sekali. Telaga sedemikian luas mengapa perahu Tan Su seolah-olah hendak menerjangnya. Bukankah dapat mengambil jalan lain?
"Toako, kurang ujar sekali orang Tin-tik-pang itu! Hm, coba saja mereka kalau mampu," si orang she Tan yang berwatak berangasan marah juga. Diambilnya galah terus diputarkan ke sebelah kiri.
"Hai, bangsat-bangsat Tin-tik-ping, apa kau berani menerjang?" teriaknya setelah perahu melintang.
Perahunya itu empat lima kali lebih besar dari perahu orang Tin-tik-pang. Jika berbentur, terang perahu Tin-tik-pang yang hancur.
Ciau Toa To diam-diam kuatir. Buru-buru ia menyambar sebatang galah dan berdiri di haluan perahunya. Tiba-tiba perahu Tin-tik-pang itu turunkan layarnya dan menggelincir di samping perahu Ciau Toa To. Hanya terpisah setengah meteran. Perahu itu meluncur pesat ke muka dan dalam beberapa kejab saja sudah jauh.
"Ha, ha, setan cilik Ciau-ke-cung, mata kalian melihat tidak kepandaian tuanmu Tan Su tadi?" teriak Tan Su di atas perahunya.
Ciau Toa To gusar sekali, ia menjemput jangkar terus dilempar ke muka. Jangkar besi yang beratnya seratusan kati itu telah berhasil mengait dan menghentikan perahu Tan Su. Dan begitu Ciau Toa To memerintahkan anak buahnya, perahu Tan Su itu ditarik mundur. Diam-diam Tan Su terkejut melihat kekuatan Ciau Toa To. Hendak melepaskan jangkar, kuatir tenaganya tak sampai. Hendak memutuskan rantai jangkar, dan tak mampu. Apa boleh buat, ia terpaksa melihat saja perahunya diseret balik.
Begitu dekat, Cian Toa To gentakkan jangkar itu ke udara "Tan ngo-thocu, karena kau tak memandang mata kepadaku, terpaksa kusuruh kau bermain-main di air dulu. Lain kali aku akan mengunjungi markasmu untuk memberi penjelasan."
Ia putar-putar jangkar itu sampai sekian saat. Jika tidak bertenaga kuat, mana orang dapat menggerakkan jangkar seberat itu. Tan Su hanya melihati dengan melongo saja.
"Brak" tiba-tiba jangkar dihantamkan dan hancurlah kemudi perahu Tan Su.
"Brak" tiang perahupun dihantam patah. Anakbuah perahu Tan Su menjerit kaget. Tanpa kemudi dan layar, perahu mereka tentu kehilangan arah. Tan Su marah dan mencabut goloknya hendak menghajar perahu lawan. Tetapi Ciau Toa Topun sudah berganti dengan galah. Sekali menyodok, perahu Tan Su menyurut mundur sampai beberapa tombak jauhnya. Tan Su mati kutu.
"Bangsat Tin-tik-ang, apa mata kalian sekarang sudah terbuka?" Si Tan dan Ong tertawa bertepuk tangan, Ciau Toa To memang kuat sekali tenaganya. Begitulah dengan tinggalkan perahu yang terombang ambing di atas air, mereka lanjutan perjalanan lagi.
Dua jam kemudian perahu Ciau Toa To sudah tinggal beberapa li dari markas Tin-tik-pang. Di pesisir penuh dengan berpuluh-puluh perahu Tin-tik-pang. Perahu mereka hilir mudik meronda. Bendera bertuliskan huruf Tan, tampak berkibar-kibar di mana-mana.
Ciau Toa To dengan kedua pembantunya berunding bagaimana untuk menyusup ke daerah Tin-tik-pang. Si Ong mengatakan bahwa ia tahu sebuah teluk di belakang markas Tin-tik-pang yang baik sekali untuk persembunyian. Ciau Toa To segera suruh ia mengemudikan perahu. Ternyata tempat itu memang pelik sekali sukar diketahui musuh.
Sebuah perairan gunung karang yang penuh ditumbuhi rumput panjang dan dilingkupi kabut.
Dengan girang Ciau Toa To mengambil sebuah karung kain dan masuk ke dalam ruang perahu. Tapi begitu ia menyulut lampu, kejutnya bukan kepalang. Ternyata Hian Kwan tengah menangis terlara-lara. Entah sudah berapa lama ia tersadar tadi. Demi melihat Ciau Toa To ia hentikan tangisnya dan berbangkit: "Mau apa kau?"
"Tak apa-apa, aku hanya ingin menengok adakah kau sudah tersadar. Ha, ha, bagus, kau sudah tersadar." sahut Ciau Toa yang pura-pura lalu menyalakan lampu pada hal diam-diam dilemparkan karungnya ke kolong ranjang.
"Apakah kau yang menolong aku?" tanya Hian Kwan.
Ciau Toa To mengangguk. Hian Kwan haturkan terima kasihnya. Setelah menanyakan perihal Hian Kwan kecemplung di telaga itu.
-^dwkz^smhn^- Jilid 15 KENALKAN Hidup itu penuh liku-liku tajam. Barang siapa lengah, akan tergelincir dalam lembah kesukaran.
Cinta merupakan salah satu liku yang bahagia naluri berbahaya. Cinta kalap yang meninggalkan segala norma martabat wanita utama, akan melontarkan bahagia kedalam timbun duka dan cewa.
Hian Kwan telah tergelincir kedalam rayuan gombal yang mengasyik-masyukkan. Dia terbenam dan terhanyut, makin dalam dan makin jauh.
Akhirnya dia harus mencuci lumpur dosa dengan pahitnya cinta dan mengakhiri kisah hidup dengan mati bersama Ku Pin.
Mati mencari bahagia. -^dwkz^smhn^- "Mengapa kau perlu mengurusi hal itu?" Hian Kwan deliki mata.
Melihat itu Ciau Toa To buru-buru minta maaf. Ia cukup kenal siapa si jelita itu. Kalau sampai membikin marah, jangan harap seisi perahu itu dapat melawannya. Ciau Toa To merasa kuatir karena ia juga turut melakukan penyerbuan ketempat Wan Thian Cik tempo hari.
"Apakah kau hanya menolong aku seorang?" tanya Hian Kwan dengan tersipu-sipu merah mukanya.
"Ya, hanya kau seorang. Apakah masih ada kawanmu yang tenggelam juga?" Ciau Toa To terkejut.
Hian Kwan tak leluasa mengatakan. Tetapi diam-diam ia membatin, Ku Pin dahulu pernah bertempur dengan naga, ilmu berenangnya lihay sekali. Tetapi kali ini....
"Kali ini mungkin dia akan mati tenggelam," tanpa disadari mulutnya berseru menyatakan apa yang tengah dlbatinnya.
Ciau Tao To tersentak kaget dan menanyakan: "Wan lihiap, apa katamu?"
"Ah, tak apa-apa," buru-buru Hian Kwan mengalihkan perhatian orang. "Ciau cungcu, karena kau telah menolong jiwaku, maka perbuatanmu turut menggempur ayahku tempo hari, kuhabiskan sampai di sini saja."
Tiba-tiba ia melihat mainan kelinci dari pualam terletak di atas meja. Buru-buru diambil dan disimpan ke dalam bajunya lagi.
"Bukankah tempat ini bernama lo-hou-yan?" tanya Hian Kwan.
Setelah Ciau Toa To mengiakan, Hian Kwan lalu keluar, ke haluan perahu. Dari situ ia loncat ke atas batu karang.
"Wan lihiap, hendak ke mana kau?" seru Ciau Toa To.
"Ke Tin-tik-pang!" sahut Hian Kwan terus melesat lenyap dari pemandangan.
Bahwa dosanya telah dihapus oleh Hian Kwan, girang sekali hati Ciau Toa To. Dan ketika mendengar Hian Kwan hendak ke Tin-tik-pang, girangnya lebih besar lagi. "Ia tentu akan mengobrak abrik Tin-tik-pang, Ciu Bing yang saat ini juga berada di sekitar tempat ini, tentu akan menyerbu juga dan Tan Ping pasti dihancurkan."
Karena daerah situ sudah termasuk kekuasaan keluarga Ciau dan kaum Tin-tik-pang, maka ia hendak serahkan barang antaran itu kepada Ong dan Tan yang mengurusnya, sedang ia sendiri hendak menunggu pecahnya ramai-ramai di markas Tin-tik-pang nanti.
Adalah Hian Kwan yang lari menuju ke Tin tik-pang tadi, walaupun malam gelap tertutup kabut tebal, tapi karena ia memiliki sepasang mata yang tajam, dalam waktu yang singkat saja dapat ia mencapai tempat yang dituju.
"Siapa kau?" bentak kawanan penjaga pintu demi melihat Hian Kwan lari mendatangi. Tapi mereka sudah dikebut oleh Hian Kwan hingga terpental sampai beberapa meter. Beberapa orang yang di dalam, karena mendengar ramai-ramai di luar, segera lari ke luar. Tapi mereka pun dirubuhkan semua oleh Hian Kwan, Dengan kalap Hian Kwan menyerbu ke ruang tengah.
Tan Ping, Tan Hwat dan kawan-kawannya tampak mondar mandir di ruangan situ. Mereka gelisah menanti kedatangan Tan Su yang sudah terlambat temponya. Melihat yang muncul Hian Kwan, kejut mereka tak terkira.
Tersipu-sipu Tan Ping memberi hormat: "Oh, Wan lihiap datang. Ayahmu Wan Thian Cik lo-enghiong tak kurang suatu apa, harap jangan kuatir."
Melihat wajah Hian Kwan beringas sekali, Tan Ping cepat-cepat memberitahukan keadaan Wan Thian Cik.
"Mana Ku hujin? Aku hendak mencarinya," Hian Kwan dingin sekali sikapnya.
"Ku hujin, he, he, iapun baik-baik saja tak kurang suatu apa," jawab Tan Ping.
"Mana ia? Di ruang belakang?" bentak Hian Kwan,
"Ya, ya, mungkin ia sudah tidur!"
"Aku hendak mencarinya, kalian tak boleh mengganggunya. Jika berani melanggar, jangan salahkan aku berlaku kejam," Hian Kwan berseru keras sampai telinga Tan Ping terasa pekak dibuatnya. Serta merta ia mengiakan.
Setelah membiluk beberapa lorong dan tikungan, akhirnya di sebuah kamar besar. Kian Kwan mendengar suara wanita berkata: "Ceng Ih baru dua tahun umurnya, ayahnya lantas mau memberinya pelajaran silat, hm, apa guna ilmu silat? Main pedang putar tongkat dan segala macam ilmu berkelahi, apakah layak bagi seorang gadis? Jika kuturutkan dia, kelak besarnya Ceng Ih tentu hanya pandai berkelahi dan tiada seorang pemuda yang mau melamarnya. Tetapi jika tak kuturut, aku kuatir ayahnya marah, Yan Bo bagaimana ya baiknya?"
"Tetapi hujin, jika orang tak mengerti ilmu silat. tentu akan dihina orang. Terutama anak perempuan, setiap gerak-geriknya tentu dipersalahkan orang saja. Melirik seorang pria, dianggap menentang peradatan, dimaki dan dipukulipun tak berani apa-apa. Olah karena itu, pentinglah seorang anak perempuan itu belajar ilmu silat. Misalnya seperti Wan Hian Kwan lihiap itu. Walaupun ia mengadakan hubungan gelap dengan orang she Ku, tetapi siapakah yang berani menghinanya? Sampai lo-ya sendiri hanya berani memaki dalam batin tapi tak berani berkata apa-apa di hadapannya. Hal itu karena Wan lihiap lihay sekali ilmu silatnya!" sahut seorang perempuan lain.
"Yan Bo, jangan ngaco tak keruan, siapa yang minta kau mengajar aku? Mengapa tak lekas melepaskan baju dan sepatu nonamu yang akan tidur itu?" bentak wanita yang pertama dan wanita yang dipanggil Yan Bo mengiakan.
Hian Kwan kesima mendengar pembicaraan mereka. Ia tak menyangka sama sekali seorang bujang dapat mengeluarkan pendapat begitu. Sengaja ia lambatkan jalannya untuk mendengari pembicaraan mereka lebih jauh.
"Yan Bo, jika kau masih menyebut-nyebut nama si perempuan hina Wan Hian Kwan itu lagi, tentu kutampar mulutmu. Apakah sih Wan lihiap, dia tak lebih dari seorang wanita jalang yang rendah budinya. Pun Ku hujin yang tinggal di sini ini juga bukan wanita baik-baik. Semalam kulihat sendiri ada sesosok bayangan masuk ke dalam kamarnya. Hm, jika seorang wanita tak dapat memegang kesuciannya, dia lebih rendah dari binatang anjing. Persetan dengan sebutan lihiap-lihiap-an itu...."
Ternyata yang bicara itu adalah isteri Tan Ping. Yan Bo, si bujang tengah bernyanyi untuk menidurkan Ceng Ih, putera tunggal Tan Ping.
"Hujin, harap jangan bicara keras-keras. Ku hujin itu lihay sekali ilmu silatnya, nanti kalau kedengaran tentu runyam. Seluruh kaum Tin-tik-pang kita tak ada yang mampu melawannya."
Baru si bujang mengatakan begitu. Tan hujin sudah memberi sebuah tamparan. Keruan Yan Bo menjerit kesakitan, anak momongannyapun tersadar kaget dan menangis jerit-jerit. Dengan terisak-isak Yan Bo membujuk anak itu supaya tidur. Sedang isteri Tan Ping masih memaki-maki bujangnya itu.
Hian Kwan tak mau mendengarkan lebih lanjut. Ketika tiba di halaman belakang, dilihatnya ada sesosok bayangan berkelebat dari dalam sebuah kamar. Lampu kamar dimati hidupkan sampai tiga kali dan menyusul terdengar suara berbisik: "Siapa? Kau lagi?"
Hian Kwan menghampiri ke muka pintu. Didengarnya suara Ku hujin berbisik-bisik: "Kurang ajar! Sudah kularang datang mengapa kau datang lagi? Lekas pergi, jangan sampai dilihat orang."
Hian Kwan tersadar pikirannya. Yang dikatakan oleh Ku hujin itu, ternyata si imam It Yap. Buru-buru ia berbatuk dan berseru: "Aku, Wan Hian Kwan!"
Pintu di buka dan Ku hujin segera mempersilakan masuk. Tampak wajah Ku hujin kemerah-merahan. Ia duduk terdiam sambil memainkan ujung bajunya.
Hian Kwan menghela napas: "Tempo hari kita telah bersepakat untuk bahu membahu membasmi kaum lelaki jahat, siapa tahu.... siapa tahu...."
"Apakah keperluanmu tengah malam datang kemari itu karena hendak mendamprat aku?" tanya Ku hujin.
"Tidak, aku hanya akan menyampaikan sebuah berita jelek dan mengembalikan sebuah benda kepadamu."
"Berita buruk apa? Benda apa?"
"Tempo hari dalam persekutuan kita itu, pertama kita hendak membunuh Ku Pin, kedua It Yap. Siapa tahu ternyata bukannya membunuh sebaliknya mereka malah.... ah, aku dan dia senasib," pikir Hian Kwan. Ia tundukkan kepala tak menyahut.
Melihat itu Ku hujin dapat menduga apa yang terjadi. Ia mendesak supaya Hian Kwan memberitahukan berita buruk itu.
Dipandang tajam oleh Ku hujin, terkesiap juga hati Hian Kwan. Teringat bahwa bagaimanapun Ku Pin itu tetap suami Ku hujin. Wajah Hian Kwan merah padam. Sukar untuknya bagaimana hendak menuturkan peristiwa semalam dengan Ku Pin di perahu itu.
"Hian Kwan, apakah yang telah terjadi? Kau mau bilang atau tidak?" seru Ku hujin sambil mencabut pedang.
"Ku hujin. tempo hari kita telah berjanji akan tiga hal. Yang kesatu apa, apakah kau masih ingat?" seru Hian Kwan.
"Aku tak boleh memusuhi kau lagi. Hm, sebaliknya saat ini kaulah yang mencari perkara padaku, bukan aku. Mungkin kaupun tak cari perkara, tetapi mengapa tersendat-sendat lidahmu? Hm, apakah kau...."
Melihat nyonya itu sudah menaruh kecemburuan, Hian Kwan terpaksa berterus terang. Ia mengambil mustika kelinci, diletakkan di atas meja dan bertanya: "Apakah kau kenal akan benda ini?"
"Itu pusaka dari keluarga Ku, mengapa tak kenal?"
"Benar, simpanlah benda itu, Ku Pin sudah meninggal!"
Ucapan itu seperti halilintar di siang hari dan terbelalaklah mata Ku hujin: "Apa katamu? Ku Pin mati?"
"Memang dia sudah mati kelebuh di dasar telaga. Benda itu diberikan kepadamu sebagai kenang-kenangan!" Hian Kwan tenang-tenang saja.
Seketika pecahlah tangis Ku hujin. Semalam ia telah 'berbulan madu? lagi dengan It Yap, sesalnya bukan kepalang. Kini ia mendengar berita begitu., hatinya makin menderita.
"Ku Pin, oh, Ku Pin, kau telah meninggalkan aku...."
Melihat betapa pedih kedukaan nyonya itu, Hian Kwan hendak menghiburnya, tetapi karena ia sendiri juga mempunyai kesalahan, maka berat mulutnya untuk....
Tiba-tiba Ku hujin berhenti menangis dan deliki mata kepada Hian Kwan: "Bagaimana ia meninggal? Mengapa kau tahu?"


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hian Kwan tabahkan nyalinya. Dalam keadaan begitu, ia harus berani menghadapi kenyataan. Maka dituturkanlah apa yang telah terjadi antara ia dan Ku Piu serta hancurnya perahu mereka.
Serentak berbangkitlah Ku hujin menyambar mustika kelinci itu dan berseru nyaring: "Ku Pin, pantas kau mati, pantas kau mati. Kau boleh beristirahat dengan tenang di dasar telaga." Mustika kelinci itu hendak dibanting.
"Ku hujin, maukah kau memaafkan aku?" mendengar jeritan Ku hujin yang mengandung ratapan hati itu, Hian Kwanpun serempak berdiri.
Ku hujin turunkan tangannya. Dipandangnya Hian Kwan: "Memaafkan? Ha, ha, Ku Pin memang pantas mati Ha, ha, di dunia manusia mana yang takkan mati? Ha, ha, jika aku disuruh memaafkan kau, siapa yang kusuruh memaafkan aku? Kita, kita semua manusia berdosa. Kita yang membanggakan diri mempunyai kepandaian sakti, ternyata sudah tak mampu melepaskan diri dari golak kisaran dosa. Apa itu etiket 'enghiong' dan 'tayhiap'? Hm, aku sendiri tak dapat memaafkan diriku, bagaimana aku dapat memaafkan dirimu? Ha, ha...."
Ku hujin tertawa keras seperti orang gila. Tetapi pada lain saat ia menangis gerung-gerung. Diletakkan mustika kelinci itu ke pipi, berulang-ulang diciumnya juga. Tingkahnya tak ubah seperti orang tak waras.
Selagi Hian Kwan termenung-menung memikirkan ucapan Ku hujin tadi, tiba-tiba terdengar suara gemerincing yang. keras. Mustika kelinci dilempar ke lantai dan Ku hujin tampak terhuyung-huyung tubuhnya. Ia menuding Hian Kwan dan berseru: "Kau.... kau...."
Hian Kwan kaget sekali, teriaknya: "Mengapa? Kau mengapa?"
Ku hujin kembali mencabut pedang dan dengan mata berkilat-kilat memancar api, ia menusuk dada Hian Kwan. Hian Kwan mengegos ke samping.
"Brak" meja hancur berantakan diterjang Ku hujin. Tapi Ku hujin pun tak dapat bertahan diri lagi, ia terjungkal rubuh.
"Ku hujin, kau kenapa?" teriak Hian Kwan ketakutan.
Melihat Ku hujin rubuh, buru-buru ia mengangkatnya. Dilihatnya wajah nyonya itu pucat lesi, tubuhnya mandi keringat, matanya terkatup dan napasnya memburu keras. Keadaannya seperti orang sakit keras.
"Celaka, apakah ia masuk angin?" keluh Hian Kwan yang cepat hendak mengeluarkan obat.
Tiba-tiba Ku hujin membuka mata dan menghantam pundak Hian Kwan sekeras-kerasnya. Karena tak menduga sama sekali, Hian Kwan terpental ampat beberapa meter. Lengan kirinya sakit bukan kepalang, tulangnya patah.
"Ku hujin, apakah yang kau maukan. Kau hendak mengadu jiwa? Aku tak takut padamu!" teriak Hian Kwan dengan marahnya.
Ku hujin loncat menerjang tetapi Hian Kwan menghindar ke samping sambil ayunkan kaki kanan ke perut Ku hujin. Jurus menghindar sambil menyerang ini, ganas sekali. Seharusnya Ku hujin mundur dulu baru maju menyerang lagi. Tapi ternyata ia seperti orang gila. Tanpa menghiraukan tendangan orang, ia tetap merangsang maju seraya pentang kedua tangannya.
Jika mau, Hian Kwan dapat merubuhkan lawan, tapi ia tak sampai hati. Kakinya ditarik dan ia sendiri menyelundup ke bawah tangan Ku hujin.
"Bluk" karena menubruk angin, kembali Ku hujin jatuh.
"Ku hujin jatuh, kita ini senasib, mengapa bertempur sendiri?" teriak Hian Kwan.
Tetapi nyonya itu diam saja tak menyahut. Buru-buru Hian Kwan menghampiri. Ketika diangkat ternyata napas nyonya itu sudah berhenti....
"Ku hujin, bangunlah!" Hian Kwan segera menggoyang-goyang tubuh Ku hujin dengan cemas sekali.
Namun diteriaki berulang kali, nyonya itu tetap tak berkutik lagi, Hian Kwan segera mengangkatnya ke atas ranjang. Ketika diperiksa, ternyata wajah nyonya itu sudah pucat, dagingnya mengeras, sepasang matanya cekung kehitam-hitaman.
Kemudian Ku hujin itu membuat Hian Kwan kelabakan. Tak tahu ia bagaimana hendak berbuat. Rupanya ribut-ribut tadi telah membangunkan anak buah Tin-tik-pang. Tetapi karena jeri kepada Hian Kwan, Tan Ping dan kawan-kawannya tak berani turut campur.
Tak berapa lama haripun sudah terang tanah. Lebih dari tiga jam Hian Kwan duduk termenung-menung di muka ranjang jenazah Ku hujin.
Raja Silat 12 Dewi Sri Tanjung 6 Tersiksa Seperti Di Neraka Api Di Bukit Menoreh 30

Cari Blog Ini