Ceritasilat Novel Online

Benci Tapi Rindu 3

Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong Bagian 3


Teng Thong yang tajam matanya, memang sudah cepat melihat ancaman itu. Maka tadi dia cepat menyambar galah besi, loncat ke samping kapalnya dan terus menghantam perahu Hui Kun. Hebat memang tenaga jago tua itu. Perahu Hui Kun terpental beberapa meter dan bahkan remuk sepertiga bagian. Teng Thong menyusuli lagi untuk mengait perahu Hui Kun yang terbakar itu, agar jangan sampai berkeliaran kemana-mana menimbulkan bencana pada perahu-perahu pemerintah.
Karena perahu sudah hampir terbakar, Hui Kun bertiga tak dapat tinggal disitu lebih lama lagi. Mereka cepat loncat kedalam kapal Teng Thong. Disitu anakbuah Theng Tong sedang sibuk memadamkan api sembari memaki kalang kabut.
"Hm, apakah kalian bertiga budak ini juga orang Tin-tik-bun?" tegur Teng Thong.
Hui Kun tak kenal siapa jago tua Teng Thong itu. Karena dirinya dimaki sebagai seoiang budak, marahlah ia. "Tua bangka, berani benar mulutmu memaki orang," teriaknya seraya terus menghantam.
"Sumoay, jangan gegabah!" cepat Lam Tian berseru sembari cepat2 loncat menghampiri. Untuk menolong surnoaynya, terpaksa ia harus menghantam punggung Teng Thong. Siasat itu berhasil juga. Teng Thong lepaskan Hui Kun untuk menangkis Lam Tian,
"Bluk..." keduanya sama tersurut tiga langkah ke belakang.
"Bagus, seorang thaubak yang hebat!" Teng Thong tertawa dingin. Ia serentak mencabut pedang dan lantas menusuk dada Lam Tian dengan jurus Lu cui-heng-hun atau Au-mengalir-diantara-awan.
Lam Tian menyadari akan tenaga lawan yang hebat. Iapun cepat mencabut pedang dan menghindar dengan membungkukkan tubuh.
"Teng lo-enghiong, apakah engkau sungguh-sungguh hendak berkelahi dengan seorang siau-pwe?"
Siau-pwe artinya orang yang lebih muda atau angkatan muda.
"Aku dengan Ciu ciangkun datang ke telaga ini perlu untuk membasmi kawanan perampok, bukan bergurau dengan engkau," Teng Thong berseru nyaring.
"Sekalipun terhadap bangsa berandal perampok, toh harus ditanya dulu."
"Perlu apa berkering ludah? Engkau bukan golongan mereka. Dalam tiga jurus aku pasti dapat mengetahui siapa gurumu," Teng Thong makin marah.
Lam Tian juga kaget dan marah. Kaget karena sekali gebrak saja, jago tua itu sudah mengetahui kalau dirinya bukan murid Tin-tik-bun. Dan ia marah karena menganggap orang tua itu terlalu sombong terhadap anak muda. Ia memutuskan untuk menempur jago tua itu. Hitung-hitung untuk membeli hati orang Tin-tik-pay.
"Sring...." pedang Lam Tian segera menyambar jenggot Teng Thong. Sekalipun sudah berumur 60-an tahun tetapi Teng Thong masih berdarah panas, gampang marah. Tahu kalau Lam Tian hendak main gila, dia marah sekali.
Teng Tong hantamkan tangan kiri tetapi hanya sebagai gerak ancaman kosong. Setelah itu baru dia gerakkan pedang untuk menangkis.
"Lepaskan pedangmu!" teriaknya.
Ia yakin pedang anak muda lawannya tentu jatuh. Tetapi diluar dugaan ternyata Lam Tian tak mau adu kekuatan. Pedangnya digelincirkan di sepanjang batang pedang Teng Thong untuk membabat lengannya.
"Lepaskan pedangmu!" Lam Tian juga membentak menirukan gaya gertakan lawan tadi.
Kali ini Teng Thong kalah cerdik. Gerakan Lim Tian iru adalah suatu gerak meminjam tenaga lawan untuk menghantam lawan. Karena tenaga Teng sedang melancar maka sukarlah baginya untuk menarik.
"Tring..." tahu2 pedang pusaka Teng Thong yang sejak berpuluh tangan telah mengangkat namanya dalam gelar Hui-thian-jong-liong atau Naga-hijau-melarnbung-kelangit, betul2 telah terlempar ke udara.
"Bagus, bagus, engkau suruh lepaskan pedang, koq dia menurut sekali. Tetapi yang menyuruh adalah si muka putih dan yang menurut kata adalah si brewok," seru Hui Kun seraya bertepuk tangan menyoraki.
Berpuluh tahun dengan pedang pusaka itu Teng Thong menggetarkan dunia persilatan, Tak terduga saat itu dia dapat dijatuhkan oleh seorang 'kerucuk' yang tak ternama. Saking kejutnya, dia sampai terlongong seperti patung.
Lam Tian enjot tubuhnya untuk menyambar pedang yang melayang ke udara itu. kemudian dia melayang pula turun dihadapan Teng Thong seraya menghaturkan pedang itu kepada yang empunya, "Teng lo-enghiong, mash ada dua jurus, harap muka memberi muka kepada wanpwe."
Dengan meringis Teng Thong menyambuti pedangnya. Buru ia hendak membuka mulut, tahu2 ujung pedang si anak muda sudah menusuk rusuk kirinya.
"Tangkas benar," diam2 dia memuji dalam hati seraya menangkis.
Siapa tahu tusukan Tian itu hanya suatu gertakan kosong karena tiba2 ujung pedangnya dicongkelkan keatas untuk menowel lengan kiri lawan.
"Ganas benar!" diam2 jago tua mengeluh karena perobahan serangan anak muda itu dilakukan luar biasa cepatnya.
Tadi dia baru melakukan setengah gerakan dan pedang lawan sudah tinggal tiga dim dari ketiaknya. Untung dia sudah kenyang makan asam garam pertempuran. Dalam keadaan yang terjepit itu ia cepat bertindak, tangan kiri menampar dada Lam Tian. Gerak itu memang berbahaya bagi dirinya tetapi juga bagi lawan. Karena dia pasti terluka ujung pedang Lam Tian tetapi dada anak muda itu juga pasti dapat ditamparnya remuk.
Lam Tian tak mau melayani cara bertempur untuk 'sama2 terluka? itu. Dia tertawa dan mencelat mundur, terunya, "Lo-cianpwe, masih ada sejurus lagi!"
Teng Thong mengusap keringat yang membasahi leher dengan ujung bajunya. Diam2 dia mengeluh, "Sungguh berbahaya!"
"Jurus ketiga segera datang, harap lo-cianpwe bersedia!" sesaat kemudian Lam Tian berseru sembari sudah menyerang secara istimewa.
Pedang ditabaskan dari sebelah kanan sedang tangan kirinyapun menghantam. Kali ini Lam Tian menyerang dengan teiang-terangan. Serangan itu mengandalkan tenaga dalam.
-^dwkz^smhn^- Jilid 04 KENALKAN Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Demikian semboyan seorang yang konsekwen menjalankan tugas atau hendak melaksanakan cita-citanya.
Kekerasan hanya digunakan pada saat dimana segala cara sudah menemui jalan buntu. Kebijaksanaan yang ditampilkan dalam sikap rendah diri, merupakan cara pengamanan yang baik.
Dimana budi bahasa mengalami kegagalan, barulah senjata berbicara. Demikian yang menjadi pedoman Lau Lam Tian yang tengah mengemban tugas dari gurunya.
-^dwkz^smhn^- Tin-tik-pang Jago tua Teng Thong mendongkol sekali atas tantangan Lam Tian. Dia menganggap Lam Tian itu sombong sekali karena berani menantang adu Iwekang dengan dia.
"Krek...." ia tangkiskan pedangnya. Akibatnya, kedua pedang mereka sama2 putus.
Lam Tian tertawa berseri. Teng Thong bermuram durja. Mengapa? Bukankah keduanya sama-sama menderita putus pedangnya?
Memang sepintas begitulah keadaannya. Tetapi menurut penilaian yang sesungguhnya, memang terdapat perbedaannya.
Teng Thong memapas kutung pedang Lam Tian adalah berkas ketajaman dari pedang pusakanya. Sedang Lam Tian memapas kutung pedang lawan, bukan mengandalkan pedangnya itu pedang pusaka, melainkan menggunakan jurus ilmu pedang yang hebat. Kalau dinilai, Lam Tian lebih unggul.
"Lo-cianpwe, tiga jurus telah selesai, dapatkah engkau menebak siapa suhuku?" Lam Tian berseru tertawa.
Teng Thong tegak termangu-mangu. Selama berpuluh tahun berkelana dalam dunia persilatan, belum pernah ia melihat permainan ilmu pedang semacam itu.
Pantas seorang jogo tua semacam Teng Thong bingung menilai ilmu pedang yang dimainkan Lam Tian. Karena jurus yang dimainkan anak muda itu tak lain adalah ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat. Ilmu pedang itu belum berapa lama diciptakan Ku Pin dan masih dirahasiakan.
Gerak Lim Tian yang pertama jadi adalah jurus kesatu dari ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat yang disebut Kim-go-jat-hay atau Kura2-emas-muncul-dilaut. Jurus kedua disebut To-kwa-kim-go atau Kura2-emas-berjungkir-balik. Sedang jurus ketiga disebut Kim-go-hi-biat atau Kura2-emas-mempermainkan-ikan. Karena Ku Pin belum pernah menggunakan diluaran maka tak heran kalau Teng Thong tak mengetahui.
Karena malu, orang bisa marah. Demikian Teng Thong. Dia malu karena tak dapat menjawab pertanyaan Lam Tian. Dan ketika Lam Tian tertawa, marahlah jago tua itu. "Budak busuk, siapakah suhumu? Engkau kelewat kurang atar! Hayo, kita mengadu pukulan," ia lemparkan kutungan pedangnya dan terus memaki.
Sebenarnya Lim Tian itu seorang yang sabar dan pandai menahan nafsu. Tetapi dalam pertempuran tadi, dia telah lupa diri karena dirangsang nafsu ingin menang. Tetapi setelah dapat mengutungkan pedang lawan, diam2 dia merasa menyesal sendiri.
Waktu mendengar tantangan Teng Thong untuk mengadu pukulan, sebenarnya dia maju mundur bersangsi. Tetapi tidak demikian dengan Hui Kun. Mendengar ji-sukonya ditantang lagi, serentak dara itu tertawa nyaring
"Tua bangka, dengarlah. Aku adalah puteri Ku ciangbun dari perguruan Ang-tik-pay. Dan dia adalah ji-sukoku, namanya Lau Lam Tian. Kalau anak murid Ang-tik-pay keluar, jangan harap engkau bisa jual lagak. Lekas suruh perahu2 kalian itu keluar dari perairan Thay-ou. Ini berarti kami masih mau memberi jalan hidup kepadamu!" serunya.
"Ho, bagus, kiranya kalian ini murid dari Ku Pin. Hm, budak busuk, aku akan mengadu jiwa dengan engkau," teriak Teng Thong lalu minta dua batang pedang kepada anak buah perahu. Yang sebatang diserahkan kepada Lam Tian.
Teng Thong segera membuka serangan dengan cepat dan dahsyat. Kali ini pertandingan mereka bukan lagi pertandingan antara tentara negeri melawan kawanan bajak. Tetapi antara dua partai persilatan yang sedang mengadu keunggulan masing2.
Karena urusan sudah berkembang sampai begitu, terpaksa Lam Tian melayani dengan hati2. Tetapi dia tak mau menggunakan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat lagi melainkan ilmu pedang dari perguruannya Ang-tik-kiam-hwat saja.
Sebenarnya tenaga Teng Thong lebih unggul sedikit dari Lam Tian. Tetapi mengapa tadi dia sampai kalah sehingga pedangnya terpapas kutung, adalah karena kesaktian dari ilmu pedang Kim-go-kiam- hwat itu.
Dihadapan para anak buahnya, sudah tentu Teng Thong tak mau unjuk kelemahan untuk men derita kekalahan yang kedua kalinya lagi. Pat-sian-kiam atau ilmu pedang Delapan-dewa, dimainkan dengan gencar. Demikian keduanya sama mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Walaupun permukaan geladak perahu itu sempit tetapi bagai kedua jago yang hebat ilmu gin-kangnya, hal itu bukan suatu halangan. Dalam beberapa kejab saja, mereka sudah bertempur sampai 40 jurus.
Saat itu kapal2 pemerintah makin mengepung rapat. Enam buah perahu Tan Cun, sudah dua buah yang terbakar lagi. Ciu ciangkun, komandan angkatan laut pemerintah Beng mulai memberi perintah supaya kapal merapat pada perahu musuh. Beberapa awak kapal sudah siap sedia dengan tali dan kain untuk mengait perahu musuh.
Ciau ciangkun adalah kepala maritim kerajaan Beng yang bertugas diperairan Kanglam. Sebenarnya sudah lama dia ingin membasmi kawanan Tin-tik-pang yang merajalela di telaga Thay-ou. Tetapi dia tak berani sembarangan bergerak karena harus memperhitungkan kedelapan pemimpin Tin-tik-bun yang termasyhur namanya.
Kebetulan pada waktu itu cong-kau-su Hui-thian-jong-liong Teng Thong datang ke daerah selatan. Segera Ciu ciangkun meminta bantuannya.
Dengan mengerahkan belasan kapal besar, pada tengah malam buta mereka lalu bergerak menyerang Thay-ou. Kebetulan pada malam itu yang bertugas meronda adalah Tan Cun, pemimpin nomor tujuh dari Tin-tik-pang. Dalam pertempuran itu Tan Cun dapat dikalahkan dan menderita kerusakan besar karena lima buah perahunya dapat dihancurkan dan dibakar.
Dengan mencekal tombak, Tan Cun memberi perintah kepada anak buahnya supaya melepas panah. Tiba2 di udara tampak sebatang panah api meletus dan menghamburkan percikan bunga api. Girang Tan Cun bukan kepalang.
"Anak-anak, jangan takut, bangkitlah semangatmu, toa-thiu sudah datang sendiri," serunya membangkitkan semangat anak buahnya yang mulai menurun.
Toa-thau artinya pemimpin pertama.
Pada lain saat tampak enam buah perahu meluncur dari arah timur laut. Dalam perahu yang ditengah, tampak berdiri sedang lelaki bopeng yang berperawakan gagah. Itulah Tan Ping, ketua dari Tin-tik-bun.
Tan Ping datang bersama Tan Hwat, pemimpin kedua dan Tan Ciau, pemimpin ketiga. Dia mendapat laporan tentang serangan kapal pemerintah ying telah menyergap rombongan perahu Tan Cun.
Demi melihat perahu2 anak buahnya telah dibakar dan dihancurkan oleh angkatan laut pemerintah, marahlah Tan Ping. Segera dia meniup terompet, tiga kali memanjang dan satu kali pendek.
Sebagai sambutan dari terompet pertandaan itu maka tiga buah perahu kecil meluncur datang dengan pesat.
"Apakah sudah siap?" seru Tan Ping.
"Sudah," sahut anak buah perahu sekoci yang ternyata memuat rumput kering dan belirang bahan pembakar,
Tan Ping segera melontarkan sebatang anak panah ke arah perahu Ciu ciangkun. Itu merupakan tanda serbuan. Anak buah Tin-tik-bun yang berada di sekoci itu segera menyudut bahan bakar. Seketika belirang berkobar menjilat rumput kering. Dengan cepat perahu itu dikayuh kearah kapal tentara pemerintah.
Melihat itu pasukan pemerintah segera lepaskan hujan anak panah. Dengan bersorak-sorak anak buah Tin-tik-pang loncat kedalam air. Mereka mendorong perahu yang memuat rumput terbakar itu kearah kapal pemerintah.
Melihat itu awak kapal Ciu ciangkun tak dapat mendekati. Tetapi karena galah itu terbuat daripada kayu maha dengan mudah dapat dimakan api.
"Bum...." perahu api membentur kapal, meledak dan terbakarlah kapal Giu ciangkun.
Teng Thong dan Lam Tian yang masih bertempur seru itu, terkejut sekali melihat kapal2 pemerintah Beng sama terbakar. Teng Thong loncat menuju ke bagian haluan kapal dan memberi perintah supaya memutar haluan kapal.
"Serbu!" melihat kesempatan itu Hui Kun segera ajak Jui Jui dan Kiki menyerbu kawanan awak kapal pemerintah.
"Membantu orang harus membantu sampai tuntas." pikir Lam Tian. Ia segera mengejar Teng Thong dan menyerangnya lagi.
"Jui Jui, Ki Ki, ayah. kita ringkus jenderal Ciu itu," Hui Kun mengajak kedua pelayan itu sehabis merobohkan beberapa awak kapal musuh.
Rombongan Teng Thong terdiri dari tiga buah kapal besar. Yang satu sudah terbakar, satu berputar haluan dan yang satu adalah yang dinaiki Teng Thong itu.
Hui Kun bertiga segera mengganyang kapal yang tengah berputar haluan itu. Mereka bertiga dapat melemparkan belasan awak kapal musuh ke dalam air.
Melihat Tan Ping datang, Teng Thong memikirkan keselamatan Ciu ciangkun. Ia tak bernapsu untuk melayani Lam Tian maka diapun terus main mundur saja. Tetapi Lam Tian tak mau melepaskannya. Kemana lawan pergi, selalu dikejarnya.
Ketika melihat ada dua buah kapal musuh tiba2 berputar haluan mendatang dan diatas salah satu kapal terdapat dua orang yang tengah bertempur seru, heranlah Tan Hwat pemimpin kedua dari Tin-tik-bun. Buru2 dia memimpin empat buah perahu sekoci untuk menyambutnya.
Teng Thong tak dapat melepaskan diri dari libatan Lam Tian. Terpaksa dia bertempur sembari memberi komando kepada anak buahnya supaya lepaskan panah api.
Tetapi serangan Tan Hwat itu dibagi menjadi beberapa bagian. Selain perahu api, pun ada lagi perahu2 yang diberi perisai kulit harimau untuk menahan panah musuh. Begitu sudah mendekati kapal musuh, perahu2 itu lemparkan untaian-untaian demi yang sudah disulut api ke arah kapal pemerintah. Dibantu desir angin bulan tiga, cepat sekali kapal2 pihak pemerintah itu dimakan api. Dua buah kapal yang coba hendak melarikan diri sudah terkepung dalam lautan api.
Hui Kun dan kedua pelayan tadi melayang ke perahu Tan Hwat. Dari situ mereka loncat lagi ke kapal untuk mencari Ciu ciangkun.
Tan Hwat kenal pada Jui Jui dan Ki Ki tetapi dia tak tahu siapa Hui Kun itu. Saat itu pertempuran rapat telah berlangsung dengan seru.
"Ji-te. kenalkah engkau siapa orang itu?" Tan Ping berseru seraya menuding kearah Lam Tian.
Ketika Tan Hwat menurut arah yang ditunjuk Tan Ping dilihatnya seorang tua berdiri diatas haluan kapal. Segera ia mengenalinya.
"Toako, kiranya si tua itu yang datang makanya Ciu ciangkun bernyali besar berani melakukan penyerangan," serunya menjawab pertanyaan Tan Ping,
Kiranya saat itu dalam suatu kesempatan yang tak terduga, Teng Thong dapat meloloskan diri dari kejaran Lam Tian. Ia melayang keatas tiang perdana (tiang besar) yang berada ditengah-tengah kapal, Tiang itu tingginya tiga tombak. Teng Thong tegak berdiri diatasnya dengan jenggot yang putih bergoyang gontai tertiup angin, Hui-thian-jong-liong rampak gagah perkasa sekali.
Karena Lam Tian kini tak dapat mengejarnya lagi maka dengan leluasa Teng Thong memberi Komando kepada anak buahnya. Para awak kapal serentak menyerbu tapi dapat dibuat kocar kacir oleh Lam Tian.
"Hohan, tarima kasih atas bantuanmu. Harap memberitahukan nama hohan yang mulia," seru Tan Ping.
Lam Tian hanya ganda tertawa, sahutnya, "Tangkap dulu si tua itu baru nanti kita bicara lagi."
"Ceburkan dia dalam air sajalah." seru Tan Ping yang segera bersama Tan Hwat menghujani Teng Thong dengan senjata rahasia.
Sembari menangkis serangan senjata rahasia. Teng Thong balas menimpuk dengan hui-to atau golok terbang. Saat itu pemimpin ketiga, Tan Ciau pun sudah tiba di barisan musuh. Ia memimpin kawanan anak buahnya untuk menggempur awak kapal musuh.
Karena kawanan anak buah Tin-tik-pang itu memiliki kepandaian silat maka dapatlah mereka membasmi musuhnya.
Pada saat itu perahu yang dinaiki Lam Tian makin gawat. Tiang utama sudah dijilat api.
"Krak, bum...." tiang utama itupun dalam beberapa saat kemudian tumbang. Keadaan makin kacau. Dalam keadaan seperti itu, tampak sesosok bayangan melayang turun keatas geladak. Tetapi berbareng itu tiang-lintang atau tiang kecil yang melekat pada tiang utama tadi, pun berhamburan jatuh ke bawah.
Teng Thong hanya menjagai tiang besar yang hendak menjatuhi dirinya dan tiang besar itupun rubuh kira2 setengah meter saja di sampingnya. Lantai geladak yang terbuat dari papan tebal, amblong karena kejatuhan tiang besar itu.
Teng Thong memang dapat menjaga diri sehingga tak sampai kejatuhan tiang besar, tetapi dia segera dihujani oleh beberapa tiang-lintang yang berhamburan jatuh kearah kepadanya. Karena kaget Teng Thong menjerit dan cepat loncat ke samping. Tetapi disitu diapun sudah disambut oleh muncratan tiang besar yang jatuh tadi. Keping 2 tiang besar itu melayang hendak menindih tubuhnya.
"Meskipun dia seorang pembesar kerajaan tetapi juga seorang persilatan. Mana aku berpeluk tangan saja melihat dia mati konyol" diam2 Lam Tian timbul rasa kasihan kepada Teng Thong.
Cepat dia enjot tubuh melayang ke sana. Diseretnya tiang besar yang termakan api tadi. Sekali lempar, tiang yang beratnya tak kurang dari dua tiga ratus kati itu jatuh kedalam air. Teng Thong cepat loncat bangun. Tanpa mengucap terima kasin, ia lantas berputar tubuh dan loncat ke atas kapal lain yang belum dimakan api.
Tan Ping yang menyaksikan peristiwa itu, diam2 heran sendiri. Anak muda itu membantu pihak musuh?
Tetapi saat itu dilihatnya Teng Thong kembali sudah loncat menyerang ke perahu pihak Tin-tik-bun dan merubuhkan beberapa anak buah Tin-tik-bun. Tan Ping tak sempat memikirkan tindakan Lam Tian tadi. Cepat ia perintahkan perahunya untuk membantu anak buahnya yang diserang Teng Thong itu.
Tiba2 terdengar suara terompet kerang-laut mendenging-denging. Dan tiba2 anak buah pasukan pihak Tin-tik-bun muncul dari tiga jurusan.
Kiranya yang datang itu adalah bala bantuan dari Tin-tik-bun yang dipimpin oleh Tan Cong pemimpin keempat dan Tan Kiat pemimpin keenam serta Tan Ing pemimpin ke delapan.
Melihat itu gentarlah hati Teng Thong. Dalam pertempuran tadi, jelas diketahuinya bahwa kepandaian Ciu ciangkun itu hanya biasa saja. Maka pikir punya pikir, akhirnya Jago tua itu mengambil keputusan untuk meloloskan diri saja.
"Asal dapat melindungi Ciu ciangkun dari kepungan bajak Thay-ou itu, rasanya kita masih belum kehilangan muka sama sekali," pikir Teng Thong.
Ia segera tujukan perahunya ke tempat kapal Ciu ciangkun.
Dari jauh Lam Tian melihat gerak gerik jago tua itu. Ia berpendapat asal dapat menangkap Teng Thong, tentulah seluruh anak buah pasukan pemerintah akan menyerah.
Tetapi baru saja ia hendak bertindak, didengarnya Tan Kiat berseru nyaring, "Dengarlah, hai pasukan musuh. Kamu sudah terkepung dari delapan penjuru. Siapa yang berani membangkang tentu akan diganyang oleh barisan setan air kam!"
Heram Lam Tian dibuatnya. Apakah Cui-kui-tui atau Barisan Setan-air itu? Karena ingin mengetahui, diam2 ia melayang ke perahu Tan Kiat dan bersembunyi diatas payon perahu. Ingin sekail ia mengetahui bagaimanakah gerak genk barisan Setan Air itu.
Sebagai jawaban atas perintah Tan Kiat tadi, pasukan pemerintah segera menghujani ratusan anak panah. Tan Kiat marah sekali.
"Barisan Setan-air, seranglah!" teriaknya memberi perintah.
Berpuluh anak buah Tin-tik-bun yang berpakaian singsat dan mencekal senjata tajam macam linggis, segera loncat kedalam air dan tak muncul lagi.
Lam Tian heran. Ia turun dan menyelinap ke buritan kapal Tan Kiat. Kapal itu memang besar, dapat muat tiga empat ratus orang. Maka dengan mudah Lam Tian menyusup diantara mereka tanpa diketahui orang.
Dilihatnya seorang lelaki gagah tengah menekan pergelangan tangannya sendiri. Lam Tian duga dia tentu Tan Kiat maka bertanyalah ia kepada seorang thaubak. "Sedang mengapakah pemimpin kita itu?"
"Apakah engkau seorang baru?" thaubak itu balas bertanya.
Lam Tian mengiakan. 'O, makanya," sahut thaubak itu, "pemimpin kita nomor enam itu tengah menghitung waktu. Nanti tentu terjadi pertunjukan bagus. Pasukan pemerintah Beng itu, biasanya suka menindas rakyat maka kalau menenggelamkan mereka, rasanya kan tidak berdosa?"
Tiba2 terdengar teriakan gempar dari kapal pemerintah. Ketika Lam Tian memandang, ternyata kapal musuh sedang berguncang-guncang dan pelahan-lahan mulai tenggelam kedalam air. Air sudah masuk ke geladak dan awak kapalpun panik tak karuan. Ada yang lemparkan busurnya, ada yang memanjat ke tempat yang tinggi.
"Barisan Setan-air telah mendapat hasil. Waktunya tepat sekali. Baru tiga perempat jam sudah dapat melubangi kapal. Setiap kapal dibor tiga buah lubang besar," thaubak tadi menerangkan kepada Lam Tian dengan gembira.
Tan Cun memberi perintah supaya melepas anak panah. Kapal musuhpun makin cepat tenggelam. Awak kapal tak berdaya sama sekali. Ada yang loncat kedalam air dan ada yang mati terpanah. Belasan kapal yang dikerahkan Ciu ciangkun, separoh jumlahnya telah kelebu. Pihak pemerintah Beng telah menderita kerugian besar.
Dari sebuah kapal yang sudah setengah tenggelam, tampak sesosok bayangan berkelebat. Kiranya dari puncak tiang besar yang dinaikinya tadi, Teng Thong dapat melihat bebas ke sekeliling penjuru dan apa yang terjadi, dapat dilihatnya semua. Meskipun ilmu silatnya tinggi tapi ia tak dapat berenang. Mau tak mau jago tua itu gentar juga dalam hati. Ketika dia sedang mencari-cari Ciu ciang kun, tiba2 sesosok bayangan hitam melayang datang. Bayangan itu tak lain adalah Lim Tian.
"Budak kecil, kita berdua tak punya dendam permusuhan, mengapa engkau terus menerus mengejar aku?" seru Teng Thong dengan tertawa getir sambil siapkan beberapa senjata rahasia thi-lian-cu atau biji-teratai-besi.
Lam Tian hinggap diatas tiang belakang, sahut nya tertawa, "Pernah kutolong jiwamu tapi sepatah katapun engkau tak menyatakan apa-apa, apakah ini pantas?"
Habis berkata dia lantas enjot tubuhnya. Teng Thong taburkan thi-lian-cu dengan kedua tangannya. Di udara Lam Tian bergeliatan untuk mengebut senjata rahasia itu dengan lengan bajunya.
Selekas hinggap di tiang tengah, Lam Tian segera menerkam. Teng Thong loncat ke tiang bagian atas tetapi Lam Tian tetap mengejarnya. Demikian keduanya kejar mengejar, dari satu ke lain kapal. Walaupun Teng Thong bergelar Hui-thian-jong-liong atau si Naga-terbang tetapi dalam ilmu lwekang ternyata dia tetap kalah unggul dengan Lam Tian.
Sekalian anak buah Tin-tik-pang sama mengikuti pertempuran di udara itu dengan kagum. Belum pernah mereka menyakitkan pertempuran yang begitu seru yang luar biasa.
Mereka tak kenal siapa Lam Tian tetapi karena anak muda itu mengejar Teng Thong, merekapun bersorak-sorak membantu moril kepada Lam Tian.
Saat itu kelima pemimpin Tin-tik-pang sudah berkumpul jadi satu. Hanya pemimpin kesatu Tan Ping yang masih sibuk mencari anak buah Tin-tik pang yang terluka.
Disana tiba2 Lan Tian loncat melambung lurus ke udara sembari menghujani pelor kearah Teng Thong. Cara melambung dengan lurus itu, jauh lebih sukar dengan melayang secara mendatar. Ia hinggap di puncak tiang.
Waktu itu Teng Thong sedang melayang di udara, Betapapun hebat lwekangnya namun tak kuasa lagi dia untuk menghindari hujan pelor dari Lam Tian. Dada dan telapak kakinya masing-masing terkena sebuah pelor dan "buum...." jatuhlah dia ke geladak bawah.
Tetapi ternyata jago tua itu memang hebat. Jatuh dari tempat yang sedemikian tingginya, dia tak pingsan kecuali hanya pusing saja. Ketika kawanan anak buah Tin-tik-pang hendak meringkusnya, ia bersuit keras dan loncat bangun. Empat lima anak buah Tin-tik-pang segera dilemparkan kedalam air.
Kelima pemimpin Tin-tik-pang tadi cepat menghunus senjata dan menyerbu maju.
"Lau Lam Tian, jangan berkepala besar. Hari ini kita telah mengikat permusuhan," seru Teng Thong. Dengan deliki mata Teng Thong berteriak nyaring. "Aku adalah pembesar kerajaan, siapa yang berani menyerang aku?"
Melihat jago tua yang sudah terluka itu masih sedemikian garangnya, kelima pemimpin Tin-tik-pang jadi terkesiap. Kesempatan itu digunakan oleh Teng Thong untuk loncat ke samping kapal. Dia meayambar sekeping papan lalu loncat ke dalam air. Dengan bantuan papan itu ia hendak berusaha berenang meloloskan diri.
Anak buah Tin-tik-bun hendak melepas anak panah tetapi dicegah Lam Tian, "Jangan, musuh yang melarikan diri jangan dikejar!"
Kawanan anak buah Tin-tik-bun memandang kearah Tan Hwat dan berkatalah pemimpin kedua dari Tin-tik-bun itu, "Si tua itu sudah merasakan kelihayan kita. Kali ini biarlah kita kasih ampun kepadanya!"
Dalam pertempuran malam itu, pihak Tin-tik-pang telah mendapat kemenangan basar. Belasan semua. Ada yang tenggelam, ada yang terbakar.
Tan Hwat berterima kasih dan mengundang Lam Tian hendak menunggu sumoaynya dulu. Tan Hwat teringat akan tiga nona yang menyerang kapal musuh tadi. Yang dua terang adalah pelayan dari Ji hujin. Tetapi yang seorang, ia tak kenal. Tentulah nona itu yang dimaksud Lam Tian sebagai sumoaynya.
"Maaf, Lau tayhiap, apakah Ji hujin yang mengirimmu kemari? Pernah apa engkau dengan hujin?" tanya Tan Hwat dengan tertawa.
Lam Tian hanya tertawa saja tak mau menyahut.
"Tuh, sumoaynya datang" tiba2 Tan Ciau berseru.
Lam Tian berpaling dan tampak olehnya perahu dari Tan Ping, pemimpin Tin-tik-bun, telah meluncur datang. Di muka geladak, tiga orang anak perempuan tengah tertawa cekikikan sambil menuding seorang lelaki yang terikat tangannya.
Ketiga nona itu tak lain adalah Hui Kun, Jui Jui dan Ki Ki. Dan lelaki yang terikat tangan nya itu.... Ciu ciangkun, komandan pasukan kapal pemerintah Beng yang melakukan serangan pada kaum Tin-tik-pang. Sedang Tan Su sendiri duduk di buritan perahu. Wajahnya mengerut gelap seperti orang yang tengah memikirkan sesuatu.
"Lau tayhiap, ayo kita menemui toako," seru Tan Hwat demi perahu Tan Su sudah datang merapat.
Setelah kelima pimpinan Tin-tik-bun dan Lam Tian loncat ke perahu Tan Su maka Tan Hwat segera memperkenalkan Lam Tian kepada Tan Ping pemimpin kesatu, "Toako, inilah Lau tayhiap, dia...."
"Aku sudah tahu, tak usah banyak bicara. Lekas kembali ke markas," Tan Ping hanya mendengus dingin.
Tan Hwat heran juga melihat sikap dingin dari sang toako itu. Jangan lagi mau menyambut, sedang melihat kepada Lam Tian saja, Tan Ping tak mau. Terpaksa Tan Hwat memberi perintah supaya anak buahnya menaikkan bendera segitiga, suatu pertandaan untuk perintah pulang ke markas.
"Loya, kita pulang ke Tong-thing-san atau ke Sik-san?" tanya Ki Ki.
"Ke Sik-san! Masih banyak soal yang hendak kutanyakan kepadamu," bentak pemimpin Tin-tik-bun itu.
Ki Ki leletkan lidah kepada Jui Jui, kemudian berkata pula, "Loya, bukan karena hamba banyak mulut tetapi hujin menitahkan hamba supaya mengantar Lan tayhiap ini dan tak mengatakan suruh hamba tinggal di Sik-san. Bagaimana kita melapor kepada hujin nanti?"
"Hujin, hujin saja. Kalian hanya tahu akan hujin sebaliknya tak mempedulikan omonganku! Kurangajar, lekas enyah, jangan banyak mulut!" Tan Ping menggembor keras.
Tetapi Ki Ki tak gentar. Ia bersama Jui Jui segera undurkan diri. Kiranya kedua budak itu bersama Hui Kun, tadi telah ikut mengobrak-abrik pasukan negeri. Bahkan akhirnya mereka dapat menangkap Ciu ciangkun juga. Tak berapa lama Tan Ping pun datang untuk monolong Tan Cun. Setelah membakar dua kapal musuh dan musuh melarikan diri barulah ketua Tin-tik-pang itu bertemu dengan Hui Kun dan kedua pelayan itu.
Hui Kun seorang dara yang jujur. Waktu berkenalan dengan pemimpin Tin-tik-bun itu dia memberitahukan namanya dan nama ayahnya bahkan menceritakan juga peristiwa di Thong-ting-san kepada Tan Ping. Ia memuji setinggi langit kepada Ji Yan.
Sebenarnya Tan Ping masih dapat memaafkan perbuatan kedua murid Ang-tik-pay yang telah berani mengadu biru di telaga Thay-ou, Tetapi bahwa kedua anak itu berani juga datang ke Tong-thing-san yang merupakan daerah terlarang bagi orang luar, Tan Ping menjadi curiga dan tak senang hati.
Belum sampai setengah jam saja, iring-iringan perahu kawanan Tin-tik-bun itupun tiba di Sik san.
Sik-san adalah sebuah bukit yang terletak disebelah utara telaga Thy-ou. Alam pemandanganya amat indah dan merupakan markas besar kaum Tin-tik-pang. Karena letaknya berdekatan dengan kota Sou-ciu maka dahulu kaum Tin-tik-bun itu sering bentrok dengan kaum Ciau-ke-cun (keluarga Ciau) di Sou-ciu. Kemudian mereka berunding dan kesudahannya mereka pun setuju untuk menetapkan garis daerah kekuasaannya, yalah Tin-tik-bun pindah ke desa Bu-sik daerah gunung Sik-san tersebut.
Begitu merapat pantai, mereka segera disambut oleh Tan Su dan rombongan thaubak. Setelah melirik pada Lam Tian, pemimpin kelima dari Tin-tik-bun itu menghaturkan pujian.
"Toako, hari ini engkau telah memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Kawanan pembesar negeri, tentu tak berani lagi memandang rendah kepada kita." katanya.
"Lo-ngo, bagus benar pekerjaanmu!" seru Tan Ping.
Sudah tentu Tan Su menjadi kaget dan bertanya, "Kenapa toako?"
"Jebluskan dulu pembesar anjing itu ke dalam tahanan, nanti baru kita bicara lagi. Engkau telah bekerja bagus sekali" kata Tan Ping.
Tan Su terpaksa menurut. Disuruhnya orang segera menggusur Ciu ciangkun ke atas gunung. Setelah itu Tan Ping lalu memerintahkan supaya mencatat semua kemenangan dan kerugian. Berapa kerugian perahu, anak buah Tin-tik-bun yang terluka dan binasa. Siapa2 yang membuat pahala dalam pertempuran, semuanya satu persatu ditulis dalam buku sehingga makan waktu sampai setengah bari. Selama itu Lam Tian dan Hui Kun tak dihiraukan sama sekali.
"Tan thongcu, kami berdua kan tetamu jauh, mengapa didiamkan saja? Masakan tak disuguhi teh?" karena tak sabar lagi maka Hui Kunpun menggerutu.
Tetapi Tan Ping tak mempedulikannya. Ia suruh dua orang pelayan ke ruang belakang mengambil alat tulis dan kertas serta merpati pos. Rupanya dia hendak berkirim surat kepada Ji Yan.
"Toako, Lau tayhiap inilah yang mengalahkan Teng Thong. Jasanya besar sekali, seyogyanya kita mengadakan perjamuan untuk menyatakan terima kasih kepadanya," kembali Tan Hwat mengingatkan.
Namun Tan Ping tetap diam saja. Demi melihat sikap toakonya yang aneh itu, Tan Ciau dan saudara-saudaranya merasa heran. Silih berganti mereka menganjurkan kepada sang toako.
"Selain berani mengadu biru ke tempat kita, budak ini juga telah mencuri kupunya.... hm, menjengkelkan tidak?" akhirnya Tan Ping membuka suara.
"Apa? Dia berani menyerbu ke markas kita?" dari sekian pimpinan Tin-tik-bun. hanya Tan Ing yang berani mengutarakan keheranannya.
"Kalau tak percaya, tanya sendiri kepadanya." seru Tan Ping seraya menunjuk Lam Tian.
Memberi bantuan sebaliknya mendapat perlakuan yang sedemikian kasarnya, sudah tentu Lam Tian marah.
"Benar, aku Lau Lam Tian, telah mendapat perintah dari suhuku, Ku Pin ketua partai Ang-tik-kiu-pay, untuk bersama sumoayku Ku Hui Kun, membikin perhitungan kepada Tin-tik-bun," lemnya.
Para pimpinan Tin-tik-bun tak mengira sama sekali bahwa pemuda yang telah melepas budi pada mereka itu, ternyata anak murid dari pihak musuh.
"Kami telah datang menurut adat kebiasaan kaum persilatan, mengapa kalian tak memperlakukan menurut adat peraturan persilatan? Apakah kalian memang tak memandang mata kepada kami?" kembali Lam Tian berseru.
"Baik, akan kusambut kalian dengan kehormatan?" seru Tan Ping yang lantas suruh orangnya mengambil alat pres dari batu.
Tan Hwat terkesiap lalu membisiki toakonya, "Toako, mengapa hari ini engkau marah besar? Pemuda itu benar murid Ku Pin tetapi telah memberi bantuan kepada kita. Janganlah gunakan pres batu untuk mencelakainya."
"Lo-ji, engkau tak tahu, dia...." sebenarnya Tan Ping hendak mengatakan bahwa anak muda itu telah mencuri isterinya tetapi rupanya sang mulut berat mengatakan.
"Dia, mengapa? Walaupun dia seorang musuh besar tetapi pun seorang penolong. Tak boleh kita memperlakukannya sebagai musuh. Kalau sampai tersiar di dunia persilatan, orang tentu akan menghina bahwa kita kaum Tin-tik-pay membalas budi dengan kejahatan," kata Tan Hwat.
Tan Ping anggap peringatan Tan Hwat itu beralasan juga. Akhirnya mengalah, "Ya, sudahlah, bawa mereka ke kamar tetamu. Biarkan mereka menginap semalam. Setelah kuselidiki benar tidaknya gerak gerik mereka itu, baru nanti akan kupertimbangkan lagi."
Tan Hwat segera mempersilakan Lam Tian beristirahat ke kamar yang disediakan untuk tetamu.
"Maaf, kita belum membuat persiapan yang layak. Besok pagi baru kita dapat melaksanakan maksud Lau toako itu," katanya.
"Hm, rupanya Tan mencurigai gerak gerik Tan Su dan kedua bujang perempuan itu. Dalam sarang harimau ini, baiklah kuunjukkan sedikit kepandaian untuk mematahkan moril mereka agar pekerjaanku selanjutnya dapat berjalan lancar" Lam Tian menimang-nimang.
"Ji-thauleng," katanya, "sekarang masih sore, aku belum dapat tidur. Tentang pemandangan alam di telaga ini, tadi telah kusaksikan. Sekarang mumpung iseng, ingin benar kusaksikan apa yang dimaksud dengan press batu itu."
Hui Kun memang dara yang suka iseng. Segera ia bertepuk tangan, "Benar, aku juga kepingin melihatnya."
"Bagaimana kalau besok pagi saja?" Tan Hwat menjadi sibuk.
"Apa sih itu alat press batu? Aku tak gentar, mengapa engkau sendiri malah merasa jeri? Ha, ha, ha," Lam Tian tertawa.
Merah telinga Tan Hwat mendengar tawa ejekan itu. Terpaksa ia diam saja. Adalah Tan Ping yang segera suruh orang mengambil alat press itu.
"Barang siapa yang datang hendak menantang berkelahi, harus lebih dahulu sanggup mencoba alat press ini. Nah, Lau Lam Tian, beranikah engkau mencobanya?" seru Tan Ping.
Ternyata alat press itu terbuat daripada papan baja dan tiang kayu. Papan baja itu dapat menurun kebawah, disebelah bawahpun dipasang selembar papan baja juga.
Beberapa saat mengawasi, masih Lam Tian belum mengerti kegunaan alat itu. Dalam pada itu Tan Ping tertawa dan suruh orangnya menggotong sebuah batu besar. Beberapa saat kemudian, empat orang thaubak menggotong sehuah batu besar, diletakkan diatas papan baja.
"Lau Lam Tian, lihatlah apakah badanmu lebih keras dari batu itu?" kata Tan Ping yang segera memberi perintah.
Keempat thaubak serentak mulai memutar dan turunlah papan besi belah atas ke bawah.
"Krek, krek" batu besar yang beratnya tak kurang dari empat lima ratus kati itu, hancur lebur menjadi potongan kecil2.
Diam2 Lam Tian terperanjat. Ia taksir, tenaga press (tindihan) alat itu tak kurang dari seribu kati beratnya.
"Lau Lam Tian, beranikah engkau mencobanya?" Tan Ping tertawa mengejek.
Hui Kun bingung dan mencegah sukonya, "Ji-suheng, Tin-tik-bun tidak punya jago2 yang berani mengadu ilmu silat. Mereka hanya mengandalkan alat gila-gilaan untuk menakuti orang. Tak usah kita meladeninya,"
"Budak hina, engkau takut, ya?" kembali Tan Pan Ping mengejek.
Lam Tian tertawa gelak2. "Tan Ping, permainanmu itu mungkin dapat menakuti lain orang, tetapi jangan harap dapat menggertak aku!" serunya.
"Baik, berbaringlah diatas alas baja itu!" seru Tan Ping.
"Kalau alat permainanmu itu tak dapat menindas aku, kita harus menyelesaikan urusan kita dengan aturan kaum persilatan," kata Lam Tian.
"Sudah tentu. Nanti apabila engkau tak tahan sakit, berteriaklah dan kami tentu akan menghentikan. Dan kalau engkau tak tahan, kitapun tetap akan menyelesaikan urusan kita menurut peraturan persilatan," kata Tan Ping.
"Tentu," sahut Lam Tian.
Setelah pecahan batu dibersihkan, dengan tak gentar Lam Tian segera berbaring dibawah dan lantas suruh keempat thaubak itu mulai memutar. Sebaliknya adalah keempat thaubak itu yang menjadi keder. Mereka saling berpandangan sendiri.
"Aku tak takut, mengapa kalian takut sendiri? Ha, ha, sekalipun nanti aku kepencet mati, tak nanti arwahku membalas dendam kepadamu," seru Lim Tian.
Keempat thaubak itu keraskan hati dan mulai memutar. Papan baja pelahan-lahan mulai turun. Para pemimpin Tin-tik-bun dan Hui Kun sama menahan napas. Dan ketika papan baja sudah mulai menyentuh Lam Tian, Hui Kun segera mengatupkan mata tak berani melihat.
Lam Tian empos semangat dan dengan gunakan tenaga Tah-ong-ki-ting atau Raja-Poh-ong-menyangga-perapian, kedua tangannya menyangga keatas. Ternyata luar biasa tenaga anak muda itu. Papan baja yang sudah menurun itu terpental naik lagi sampai beberapa dim. Karena putarannya turut terputar balik maka keempat thaubak tadipun menjerit kesakitan. Tangan mereka serasa sakit bukan kepalang.
Lam Tian kerahkan tenaganya. Dengan menggerung keras dia mendorong sekuat-kuatnya.
"Krekkkkk" papan baja itu seketika meluncur naik ke puncak lagi. Alat putarannya berputar2. Keempat thaubak tak kuasa menahan lagi dan terpental satu. tombak jauhnya.
Lam Tian loncat banun, serunya, "Alat press itu memang hebat tapi tetap tak mampu menandingi gwa-kang (tenaga-luar) dari Tah-ong-ki-tin, Ha, ha, Tan Ping, engkau menyerah atau tidak?"
Para pemimpin dan anak buah Tin-tik-bun yang menyaksikan pertunjukan itu sama terlongong-longong. Hui Kun pun membuka mata lagi dan bertepuk tangan, "Tan Ping, engkau kalah. Menurut peraturan persilatan, engkau harus meluluskan dua buah permintaan kami, tidak boleh menolak!"
Selama ini entah berapa banyak jago yang menyerah pada alat press itu dan tak seorangpun yang mampu mengembalikan tindihan papan baja itu. Tan Hwat kagum dan keder terhadap Lam Tian,
"Lau tayhiap mempunyai tenaga yang mengagumkan sekali, aku tunduk," katanya.
Merah muka Tan Ping, serunya. "Engkau menang, terserah. Lo-ji. ajaklah mereka beristirahat, besok pagi kita bicara lagi."
"Tan Ping, ucapanmu tadi berlaku atau tidak?" tanya Hui Kun.
"Besok pagi kita bicara lagi. Sekarang aku tak punya waktu menemani kalian," ujar Tan Ping seraya melangkah masuk.
Tan Hwat menjelaskan bahwa memang perangai sang toako itu keras maka dia minta supaya sang tetamu jangan memanggil di hati. Kemudian dia ajak kedua anak muda itu ke ruangan tetamu. Lam Tian memberi isyarat mata kepada sumoaynya. Mereka ikut Tan Hwat menuju ke kamar tetamu.
Waktu Tan Hwat menemani tetamunya bercakap-cakap, tiba2 ada seorang thaubak datang.
"Toa-thauleng meminta ji-thauleng datang kesana," kata thaubak itu.
Tan Hwat meminta maaf kepada Lam Tian lalu ikut thaubak itu. Beberapa saat kemudian Tan Hwat kembali, wajahnya tampak kurang senang.
"Bukan sengaja aku hendak memperlambat kehendak kalian" katanya, "hanya karena sekarang kita kedatangan serombongan jago2 kuat, toako minta aku menyambutnya. Maka besok pagi mungkin tak dapat melayani kalian berdua. Harap kalian berdua tinggal dulu disini."
Lam Tian silakan ketua kedua itu mengurus pekerjaannya. Tan Hwatpun bergegas pergi. Sejam kemudian tiba2 Tan Hwat muncul lagi. Kali ini dia datang bersama lima orang imam. Wajah kelima imam itu garang sekali. Langkah mereka berat dan tegap, menunjukkan tanda-tanda berkepandaian silat tinggi. Sebaliknya dengan muka kurang senang, Tan Hwat mengantar mereka ke kamar tetamu. Setelah menunjukkan kamar-kamar yang disediakan, tanpa bicara sepatahpun Tan Hwat lantas berlalu. Pun kelima imam itu bersikap dingin saja. Tanpa mempedulikan tuan rumah, mereka masuk ke kamar dan menutup pintunya.
"Ji-thauleng....", ketika Tan Hwat lewat di muka pintu, Hui-Kun memanggilnya dengan berbisik. Tapi Tan Hwat pura-pura tak mendengarnya terus melangkah keluar.
"Ji-suko. lihatlah, betapa kurang ajarnya orang itu" Hui-Kun marah-marah.
Rupanya Lam Tian lebih sabar. Ia mengatakan mungkin karena sibuknya, Tan Hwat itu sampai bingung.
Baru mereka berkata begitu, tiba-tiba terdengar suara "tuk-tuk".
Ketika Lam Tian berdua mengintai dari sela lubang pintu, ternyata salah seorang imam yang berjubah kuning sedang memaku sebuah benda di atas pintu. Habis itu ia lalu masuk lagi. Lam-Tian dan Hui-Kun keluar melihatnya. Ternyata benda itu adalah sebuah pertandaan pat-kwa (pertandaan kaum agama Budha, berbentuk segi delapan).
"Apa ini?" tanya Hui-Kun. Tapi karena baru pertama kali itu Lam Tian keluar ke dunia persilatan, maka iapun hanya menggeleng kepala saja.
Setengah jam kemudian, kembali datang serombongan orang. Begitu mereka melangkah masuk, lantai rumah tergetar keras. Langkah kaki mereka yang berat itu, seolah-olah bukan dari kaki manusia melainkan kaki gajah. Kembali Lam Tian mengintai dari sela pintu. Ternyata yang datang itu juga terdiri dari lima orang yang bertubuh tinggi besar, bermuka brewok. Bahkan kepala rombongan itu luar biasa besarnya, mirip dengan seorang raksasa.
"Tan Lo Hwat, apakah makan malam nanti terdiri dari hidangan yang lezat," mereka tertawa-tawa menanyakan tuan rumah.
Sahut Tan Hwat: "Limpa itik yang direndam lama, usus burung wi-jui, kaki babi muda...."
"Mengapa tak ada ikan su-say-le-hi-nya?" si raksasa tertawa bertanya.
Tan Hwat merah mukanya. Ia Silakan kelima tetamu itu beristirahat karena ia masih ada lain urusan.
"Hai, lekas bawa hidangan malam itu ke mari, aku sudah lapar sekali," si raksasa meneriaki Tan Hwat yang bergegas-gegas pergi itu.
Tan Hwat diam saja sedang kelima orang itu tertawa gelak-gelak. suaranya menyerupai guntur.
"Menjemukan sekali!" Hui Kun mendamprat pelahan seraya menutup daun telinganya.
Tiba-tiba gelak tertawa mereka itu berhenti. Hui Kun kembali mengintip dari lubang pintu. Ternyata kelima orang itu tengah memeriksa pertandaan pat-kwa yang dipaku di atas pintu oleh imam tadi. Mereka kasak kusus pelahan sekali hingga Hui Kun tak dapat mendengarnya.
Beberapa jenak kemudian, kelima orang itu masuk ke dalam kamarnya. Pintupun ditutupnya pelahan-lahan. Agaknya mereka itu jeri juga terhadap kelima imam tadi. Kamar mereka itu di samping kamar rombongan imam, kesemuanya berhadapan dengan kamar Lam Tian. Setelah dilihatnya sampai sekian saat tak ada gerakan apa-apa, barulah Hui Kun menanyakan sukonya tentang orang-orang itu. Namun Lam Tian tetap gelengkan kepala.
Menjelang malam datanglah seorang thaubak kekamar Lam Tian dengan membawa hidangan. Thaubak itu mengatakan: "Ji-thauleng pesan jika tuan hendak memerlukan apa-apa. supaya pesan padaku."
"Kami tak perlu apa-apa melainkan hendak bicara sedikit padamu," kata Hui Kun.
''Nona hendak bicara apa silakan," sahut si thaubak,
"Ji-thauleng itu aneh sekali gerak geriknya, bukan?'
"Kalau menilik golonganmu kaum Tin-tik-bun yang selalu plintat plintut itu, rupanya seperti hendak merencanakan sesuatu komplotan gelap? Hm. jika sampai ketahuan aku, tentu kuurus nanti." kata Hui Kun pula.
Dihina begitu, si thaubak tak terima bantuan.
"Kami kaum Tin-til-bun selalu menggarong yang kaya, membantu yang miskin. Golongan pembesar korup dan kaum persilatan yang bejat moralnya tentu kami hantam. Mengapa kami harus plintat plintut?"
"Habis mengapa kau tak berani memberitahu padaku?" tanya Hui Kun.


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tentang hal apa?" balas si thaubak.
"Tentang kedua rombongan yang tak keruan itu," kata Hui Kun.
"Kapan aku bilang tak berani?"
"Nah, apa kau benar-benar berani?"
"Mengapa tidak? Masakan aku takut padamu!"
Hui Kun nyalakan lagi api bakarannya: "Tentu saja!
Daia thaubak itu hampir meledak, serunya nyaring: "Jika tak berani memberitahukan kepada mu, aku bukan Tan A kiu."
Hui Kun unjukkan jempol tangannya memuji: "Itulah baru jantan!"
"Apakah kalian pernah mendengar tentang nama Bo-san-to-su (imam dari Bo-san)?" tanya A-kiu.
"Tentu saja, mereka adalah imam-imam yang beriman, nama mereka tenar di dunia persilatan." kata A-kiu.
Lam Tian dan Hui Kun diam-diam mengangguk. Hun Kun tertawa pula: "Hai, bung A-kiu jangan keras keras, mereka tinggal di sebelah muka. Awas kalau kedengaran mereka."
"Aku tak takut pada mereka! Partai kami telah beberapa kali berkelahi dengan mereka. Itu waktu merekalah yang menang. Mereka hanya pandai jual aksi, memaku tanda pat-kwa untuk menakut-nakuti orang," teriak A-kiu.
Kini barulah Lam Tian mengerti bahwa pemasangan tanda pat-kwa itu berarti suatu tantangan.
Kata A-kiu pula, "Tahukah kalian mengapa pihak kami berkelahi dengan pihak Bo-san? Hmm kalau diceritakan memang menjengkelkan sekali. Sebenarnya kedua pihak itu tak saling campur urusan. Mereka tinggal di Sociu selatan, kami menetap di Sociu utara. Sepuluh tahun lamanya tak terjadi apa-2. Siapa tahu setelah ketua mereka meninggal, maka ketua baru mengatakan kalau hong-sui (letak alam) mereka tidak baik. Dua buah aliran sungai akan dibendung diganti dengan terusan. Pada hal kematian ketua mereka yang lama itu adalah karena sudah tua. Orang sudah tua tentu mati. Segala macam hong-sui takkan dapat menolong, benar tidak?"
Lam Tian diutus suhunya ke selatan itu adalah untuk tugas menyelesaikan permusuhan antara tiga partai disitu: Tin-tik, Bo-san dan Ciat-pak. Tentang sebab musabab permusuhan itu, suhunya tak memberitahukan. Lam Tian hanya disuruh bertindak menurut keadaan yang dihadapinya. Sudah tentu Lim Tian girang mendengar keterangan thaubak tadi. Buru-buru ia menyahut: "Ya, sudah tentu, kaulah yang benar."
Kata A-kiu pula: "Karena tindakan mereka menutup aliran sungai itu, maka celakalah pihak kami. Kami tak punya hasil ikan su-say-le-ni lagi dan terpaksa berkelahi dengan mereka...."
"Bagaimana omonganmu itu? Apakah hal itu mengakibatkan hong-sui pihakmu?" tanya Lam Tian.
"Kami tak percaya segala macam hong-sui. Mungkin kalian tak tahu. Pencaharian kami di telaga ini, kecuali memungut beaya dari kapal-kapal niaga yang berlayar di sini, pun yang pokok ialah memelihara ikan. Di antara hasil penangkapan ikan itu, yang paling utama ialah ikan su-say-le hi (ikan hi bersirip empat). Hidup kami semua tergantung dari hasil ikan le-hi itu. Memelihara ikan jenis itu tidak mudah. Airnya harus terdiri dari air sungai yang kotor tercampur dengan air sumber yang jernih. Air dari terusan sungai Yang-ku-kiang kotor, sedang dari Bo-san mengalirkan air sumber yang bersih. Karena imam hidung kerbau itu menutup aliran atas, maka air jernih tak dapat mengalir lagi. Yang hidup hanya le-hi sirip dua, yang sirip empat mati semua, sampaipun telurnya tak dapat menetas sama sekali. Hm, coba kalian timbang, menjengkelkan tidak kawanan hidung kerbau itu?"
"Lalu apa tindakan kalian?" tanya Hui Kun.
Jawab A-kiu: "Empat kali kami datang ke Bo-san, berunding dan bertengkar. Empat kali itu juga kami bertempur dengan mereka, tak menang pun tak kalah. Akhirnya tao-thauleng marah, katanya: 'kalau lain orang bisa berbuat, masakan aku tidak'. Iapun lalu menutup beberapa aliran sungai di pantai selatan Thay-ou. Sungai-sungai itu tak berguna untuk pelayaran tetapi berfaedah untuk pengairan. Sociu selatan dan daerah Ciat-pak memerlukan air dari situ untuk sawah-sawah mereka. Karena ditutup, dan Ciat-pak-pay berkaok-kaok. Tadi mereka telah mengirim lima orang jagonya untuk membereskan urusan ini?"
"Apakah kelima kerbau tolol tadi?" tanya Hui Kun. A-kiu mengangguk.
Diam-diam Lam Tian merasa heran. Karena air dari sumber ditutup pihak Bo-san, Tin-tik-bun lalu menyerang mereka. Tetapi mengapa Tin-tik-bun lalu menutup aliran sungai-sungainya sehingga pihak Ciat-pak menjadi kelabakan? Apakah Tin-tik-bun masih kurang hanya bermusuhan dengan satu pihak saja. Baru Lam Tian hendak menanyakan lebih lanjut, tiba-tiba terdengar lonceng bartalu-talu. Kiranya Tan Ping hendak, memanggil seluruh anak buahnya untuk mengadakan permusyawarahan. Buru-buru A-kiu pamitan pada Lam Tian,
Setelah makan, Lam Tian mengajak sumoay nya berunding: "Siau-sumoay, kiranya tugas yang diberikan suhu kepada kita itu, begitulah."
Hui Kun jebilkan bibirnya dan marah, "Hmm, kau memanggil aku siau-sumoay lagi?"
"Ah, sumoay yang baik, jangan marahlah. Bagaimana kita harus berbuat aku yang rendah mohon tanya pendapatmu," Lam Tian tertawa.
"Rasanya pihak Imam Bo-san itulah yang jahat. Kita bantu Tan Ping menempur mereka."
"Tapi dia juga menutup sungai yang mengairi sawah pihak Ciat-pak," bantah Lam Tian.
Hui Kun seorang dara yang masih bersifat kekanak-kanakan. Benar ia pintar, tapi untuk urusan besar ia masih kurang pertimbangan. Ia anggap bantahan sukonya itu beralasan juga, maka ia segera berkata, "Kalau begitu kita bantu pihak Ciat-pak untuk menghajar si Tan bopeng itu."
Lam Tiam geli, ujarnya: "Jadi, habis membantu Tan Ping lalu berbalik menggebuknya?"
"Menurut pendapatku, kita berdiri netral saja. Tidak membantu pun tidak memusuhinya."
"Kalau begitu kan lebih baik kita tinggalkan telaga ini?" Hui Kun tertawa.
"Ah, aku hanya bergurau saja. Kita bersikap menunggu dulu. Begitu sudah jelas persoalannya, kita bantu yang harus dibantu, kita gempur yang bersalah," kata Lam Tian.
Hui Kun menyetujui. Tiba2 di luar jendela tampak bayangan berkelebat. Seraya menegur, Lam Tian sudah menerobos keluar jendela. Beberapa jenak kemudian, Lam Tian sudah masuk kembali dengan menjinjing dua orang. Karena kamar gelap, maka muka kedua tawanan itu tak kelihatan. Hui Kun nyalakan lampu dan kedua tawanan itu tertawa cekikikan. Astaga, kiranya mereka adalah Jui Jui dan Ki Ki, kedua bujang Ho Ji-yan. Sudah tentu Lam Tian buru2 melepaskannya.
"Mengapa kalian disini?" tanya Hui Kun.
Kedua bujang itu mengatakan hendak pamit dan menanyakan kalau2 Lam Tian hendak titip apa2 kepada Ji hujin. Lam Tian gelengkan kepala: "Pesan sih tidak, tapi pertanyaan ada. Siapakah hujin-mu yang misterius itu? Maukah kalian memberitahukan padaku?"
Sebaliknya Hui Kun menanyakan apakah kedua bujang itu tadi dihajar oleh Tan Ping.
"Mana dia berani? Ha, dia mencurigai Lau tayhiap dan Ji hujin.... Hmm, kalau hujin mengetahui, tentu tak memberi ampun padanya," kata Jui Jui.
"Kasihan Tan Su ngo-ya itu. Dia dimaki habis-habisan oleh Tan Ping toaya," menerangkan Ki Ki.
"Hujin kalian itu masih muda belia. Orangnya cantik dan ilmu silatnya tinggi. Tetapi mengapa mau menjadi ih-thay-thay ( nyonya nomor dua ) dari toa-thauleng?" tanya Hui Kun.
Kedua bujang itu hanya saling berpandangan tak berani menyahut. Buru2 Lam Tian menyudahi: "Katakan pada nyonya majikanmu itu bahwa aku tak puas dengan kekalahanku menghadapi Ngo-hoa-pai-bun-tin itu. Kelak kalau ada kesempatan, aku hendak mencobanya lagi."
Kedua bujang itu lalu minta diri, tapi tiba-2 Ki Ki kembali dan membisiki ke dekat telinga Hui Kun, "Loya mempunyai seorang puteri yang cantik. Su-komu cakap dan gagah, harus hati2 menjagainya."
Hui Kun terbeliak, sementara Ki Ki pun sudah loncat keluar jendela. Hui Kun meneriakinya tapi bujang itu sudah tak kelihatan bayangannya lagi.
"Ha, mengapa bujang itu mengatakan hal itu. kepadaku? Peduli apa dengan puteri Tan Ping, mengapa aku harus menjaga su-ko?" diam2 Hui Kun memaki dalam hati.
Tetapi ketika ia berpaling, dilihatnya Lam Tian itu memang seorang pemuda yang ganteng dan gagah. Seketika timbullah suatu perasaan baru kepadanya.
"Ji-suko, disini hawanya panas, lebih baik kita jalan2 keluar," ia ajak sukonya.
"Kau datang kemari hendak jong-pang (menentang pada suatu partai persilatan) atau hendak pesiar? Saat ini orang Tin-tik-bun dikerahkan untuk menghadapi musuh, perlu apa kita cari perkara? Tidurlah sore-2 untuk melepaskan, lelah," Lam Tian menolak.
Kamar yang ditempati Lam Tian itu terdiri dari dua buah kamar. Kamar dalam dipakai Hui Kun dan ia tidur di kamar luar. Lam Tian heran mengapa sekarang Hui Kun begitu penurut. Setelah Hui Kun masuk tidur, iapun coba meramkan mata. Tapi aneh, bayangan Ho Ji Yan mendadak seperti muncul di pelapuk matanya. Nyonya muda yang jelita itu tersenyum manis kepadanya dan berkata-kata dengan suaranya yang merdu. Lam Tian memaki dirinya sendiri lalu coba berusaha untuk mengusir bayangan itu, namun bayangan itu tetap tak hilang. Akhirnya ia terpaksa duduk untuk mengerahkan lwekangnya. Lama sekali baru ia berhasil mengusir bayangan itu.
Pagi2 seorang toa-thaubak sudah mengundang Lam Tian dan Hui Kun supaya dahar pagi di ruangan besar. Ternyata di situ sudah disiapkan tiga meja makan. Meja tengah diperuntukkan tuan rumah. Meja sebelah kiri ditempati oleh kelima orang tinggi besar kemarin yakni jago2 dari Ciat-pak-pay. Sementara meja sebelah kanan masih kosong.
Tan Hwat memperkenalkan Lam Tian dan Hui Kun pada kelima jago Ciat-pak. Tapi dikarenakan kedua anak muda itu masih belum terkenal, maka kelima jago Ciat-pak itu agak memandang rendah. Setelah memberi salam sekedarnya, mereka lalu berbicara dengan Tan Ping saja. Kedua anak muda itu tak dihiraukan.
Tan Hwat mempersilakan Lam Tian dan Hui Kun duduk pada meja kecil di sebelah meja bagian tadi, "Maaf, Lau tayhiap dan nona Ku, ini adalah kemauan toako, apa boleh buat"
"Ji-thauleng, terima kasih. Aku tergolong angkatan muda, mana berani menonjolkan diri," kata Lam Tian.
Kedelapan jago pilihan dari pihak Tan-tik-bun sudah siap duduk di tempatnya. Mereka bicara dengan gembiranya bersama kelima raksasa Ciat-pak.
Ketika Lam Tian memandang ke meja sebelah sana, ternyata di atasnya terdapat enam perangkat mangkuk dan sumpit. Heran ia dibuatnya. Meja itu diperuntukkan kelima imam, mengapa disediakan enam mangkuk? Tiba2 terdengar derap kaki dan masuklah kelima imam dari Bo-san itu. Tan Ping berbangkit dan dengan sikap tawar mempersilakan mereka duduk. Ketika melihat Lam Tian dan Hui Kun, kelima imam itu berhenti. Kedua anak muda itupun buru2 bangkit, "Wanpwe Lau Lam Tian menghaturkan hormat kepada cianpwe berlima," kata Lam Tian sambil memberi hormat.
Pemimpin imam itu tak membalas hormat orang sebaliknya malah menegur dingin: "Hai, bocah, apakah engkau hendak membantu?"
Lam Tian tidak menyahut sedang Tan Ping pun terbahak-bahak: "Giok Ceng to-tiang, mereka berdua juga hendak jong-bun padaku, jangan kuatir!"
Imam itu adalah ketua Bo-san yang baru, bergelar Giok Ceng. Ia mendengus, tetapi tak mau membalas hormat ia segera ajak keempat sutenya duduk di mejanya.
Thaubak segera menghidangkan anak dan makanan. Selama makan minum itu ketiga rombongan tersebut tak bercakap-cakap. Setelah itu mereka saling meraba senjatanya dan saling lirik-lirikan. Suasana menjadi tegang. Beberapa jenak kemudian, Tan Ping lemparkan cawannya dan berseru keras: "Giok Ceng totiang, bilakah datangnya orang undanganmu itu?"
"Tak usah tunggu padanya, silakan mengatakan kemauanmu." sahut Giok Ceng,
"Bagus, apakah pertandingan kita sekarang ini menurut cara dahulu?" tanya Tan Ping.
"Sudah tentu" sahut Giok Ceng seraya lemparkan sebuah tanda pat-kwa ke lantai.
Tan Ciau dan Tan Cong serentak loncat bangun dan berteriak: "Bo-san tojin, apakah kalian benar-benar hendak menghina orang? Kalian menutup sumber sungai, habis kami disuruh makan apa?
Tiba tiba dari pihak Ciat-pak-pay tampil seorang yang berseru lantang: "Benar ucapanmu itu, aku Sin Bun-san juga ingin bertanya kepadamu, Tan Ping, Mengapa tanpa sebab kau menutup hulu sungai (sungai-bagian atas)?. Lalu pihakku Ciat-pak disuruh makan apa?"
Giok Ceng kicupkan matanya dan memandang kelima raksasa Ciat-pak itu dangan seksama, katanya: "Maaf, mataku telah lamur, kiranya saudara berlima...."
Orang Ciat-pak tadi sudah lantas menyahutnya: "Aku yang rendah adalah Sin Bun-san, Selamanya aku mencari penghidupan dengan bercocok tanam bersama keempat saudaraku ini. Kami bangsa orang kasar, kalau ada hal-hal yang kurang senonoh harap totiang berlima memaafkan."
"Oh. kiranya Ou-ciu-ngo-hou (lima harimau dari Ou-ciu). Sudah lama pinto amat mengagumi," sahut si totiang.
Dalam pada itu diam-diam ia bergirang dalam hati karena mengetahui bahwa harimau itu juga bermusuhan dengan pihak Tin-tik-bun. Asal dapat merangkul mereka sebagai kawan, Tin-tik-bun pasti dapat dikalahkan. Begitulah ia segera memperkenalkan keempat imam kepada jago-jago Ciat pak itu.
Kelima imam dari Bo-san itu terdiri dari Giok Ceng, Giok Hi, Giok Kwan, Giok Hong dan Giok Gwe. Mereka berlima menetap di Bo-san-tong. Karena mempunyai kepandaian silat tinggi, mereka mendapat murid banyak dan merupakan sebuah partai. Hanya karena selama ini mereka hidup menyendiri tak berhubungan dengan dunia persilatan, maka sampaipun kelima Harimau Cu-ciu yang termasyhur itu mereka sudah tak mengenalnya, sekalipun tempat tinggalnya juga di daerah telaga Thay-ou,
Kawanan Harimau Ou-ciu itu dipimpin oleh Sin Bun-san, kemudian Ou Gun, Tiok Piau Tang Seng dan Pon King. Mereka merajai daerah Ciat-pak dan merupakan 'raja kecil' di situ.
Mempunyai sawah banyak sekali dan suatu waktu juga berdagang. Mereka bertenaga besar sekali dan tergolong jago-jago gwakang (tenaga luar) yang terkenal di dunia persilatan.
"Hm, kamu hendak menempel kelima Harimau itu untuk menghadapi aku. Mengapa aku menutup hulu sungai yang mengalir ke daerah Ciat-pak adalah justeru untuk memberantas perbuatanmu itu" diam-diam Tan Ping menertawakan Bo-san-tosu yang coba membaiki jago-jago Ciat-pak. Ia sudah mempunyai rencana, tapi belum mau mengatakan.
Adalah Tan Ciau dan Tan Cong yang tak dapat mengendalikan diri, sudah lantas berteriak: "Giok Ceng totiang, bagaimana kemauanmu itu, apakah kedua aliran sungai itu menjadi milikmu sendiri?"
Giok Ceng tertawa gelak-gelak: "Habis, kalau tak begitu lalu bagaimana kami berharga menjadi pemimpin Bo-san-pay? Ketahuilah, jika kedua aliran sungai itu tak kututup, tak ada seorangpun yang berani menjabat sebagai ciang-bun (pemimpin) partai kami. Hong-suinya tak baik. Hal ini sekalipun kujelaskan kau tentu tetap tak mengerti."
"Jadi artinya kau ingin hidup sendiri dan tak mempedulikan lain orang mati. Hm, imam busuk, apakah kau tahu apa makannya 'peribudi' yang dijunjung kaum persilatan?"
"Kau kenal peribudi, tak nanti kau menutup sumbar air orang! Kau berani mengatakan aku, tapi tak mau menengok tingkahmu sendiri. Sute, ayah, hajar saja dia!" Giok Ceng marah sekali.
Sebagai sambutan, Giok Hong dan Giok Gwe loncat ke muka dengan menghunus pedang: "Tan Ciau, Tan Cong, ayo kita bertempur."
Tan Giau dan Tan Cong maju menerjangnya. Dua pasang lawan segera bertempur dengan seru. Tetapi lewat jurus yang ke limapuluh, Tan Ciau dan Tan Gong mulai kewalahan dan main mundur.
Melihat itu Tan Hwat berseru: "Bertempur secara rombongan lebih ramai!"
Tanpa mempedulikan apa-apa, ia lalu menghunus pedang dan menerjang ke dalam gelanggang.
"Apa?" teriak Giok Hi yang juga lalu menerjang dengan pedangnya.
Tan Hwat adalah pemimpin kedua dari Tin tik-bun. Kepandaiannya hanya setingkat di bawah Tan Ping. Dengan ilmu pedang thay-keh-kiam, ia berhasil dapat merobah situasi pertempuran.
Sekalipun Giok Hi masuk, pertandingan tetap berjalan seri.
Kiranya empat kali sudah pihak Tin-tik dan Bo-san itu bertempur. Kalau bertempur satu persatu, pihak Bo-san yang menang, tapi kalau secara keroyokan pihak Tin-tik yang menang. Maka walaupun sudah bertempur empat kali, kedua pihak itu tetap belum ada yang kalah.
Sebenarnya kata-kata Giok Ceng tadi ditujukan untuk membakar pihak Ciat-pak supaya suka membantu. Tetapi ternyata si raksasa Sin Bun-san itu punya otak juga, pikirnya: ?Musuh kita adalah Tin-tik-bun. Bo-san-to-su itu jahat, perlu apa membantu mereka? Nanti kalau Tin-tik-bun sudah payah, baru kita keluar. Dengan perhitungan itu ia larang sute-sutenya bergerak. Tunggu perkembangan saja?.
"Orang mengatakan imam-imam Bo-san itu lihay, kiranya begitu saja kepandaiannya," pikir Lam Tian setelah beberapa saat menyaksikan pertempuran itu,
Lewat beberapa jurus kemudian, tiba-tiba terdengar suara ketawa menghina: "Sam-sute, minggirlah!"
Seorang imam maju ke tengah gelanggang. Sekonyong-konyong ia menghantam Tan Cong. Begitu Tan Cong tundukkan kepala menghindar, ia susuli dengan sebuah tendangan. Bum, Tan Cong terpelanting sampai jungkir balik.
Lam Tian terkesiap melihat ketangkasan imam itu. Kiranya itulah Giok Kwan tojin. Imam itu getarkan pedangnya untuk menangkis Tan Hwat: "Ayo, seranglah aku saja, tak usah keroyokan!"
Tan Hwat adalah pemimpin kedua sedang ia (Giok Kwan) juga pemimpin kedua dari Bosan-tosu, Jadi tingkatan mereka berimbang. Keduanya dulu pernah berkelahi dan nyata-nyata Tan Hwat bukan tandingannya. Tapi di hadapan banyak mata, sudah tentu Tan Hwat tak mau dihina. "Sute mundurlah! Biarlah kuminta pelajaran padanya," serunya.
"Ayo, kita bertempur sampai seratus jurus. Kalau seri, anggaplah kau yang menang, gunung Co-san akan kuserahkan padamu. Kalau kau kalah, aliran sungai tetap tak kami buka," kata Giok Kwan.
"Jangan banyak ribut, mari kita mulai," bentak Tan Hwat sambil pasang kuda-kuda menurut ilmu pedang Thay-kek.
Giok Kwan menjalankan tiga buah gerakan dari jurus sam-khi-ciu-long, yakni salah satu jurus yang paling istimewa dalam ilmu pedang partai Bosan-tong yang disebut Thian-kiam-hwat. Tan Hwat tetap tenang saja. Begitu lawan sudah berkonyong-konyong ia menahan kepala orang berbareng itu menendang dadanya. Gerakan itu adalah jurus Thay-gwe-se-ing dari ilmu pedang Thay-kek-kiam. Melihat dirinya tertindas dan bahkan menerima dua buah serangan yang berbahaya mau tak mau Giok Kwan keder juga. Cepat ia mendorong lawan sekuat-kuatnya. Karena tenaga kepandaian itu lebih tinggi dari Tan Hwat, maka dorongannya itu telah berhasil membuyarkan serangan Tan Hwat yang tersurut mundur sampai tiga langkah.
Selama belasan tahun belajar pada Ku Pin, selain ilmu silat dari Ang-tik-pay sendiri, pun Lam Tian mendapat pelayaran berbagai macam ilmu di dunia persilatan. Sudah tentu ia mengerti juga tentang ilmu pedang Thay-kek-kiam itu. Diam-diam ia menyayangkan gerakan Tan Hwat tadi. Kalau saja Tan Hwat itu sedikit kuat lagi tenaganya, imam jumawa itu pasti dapat dikalahkan.
Tan Hwat maju menyerang lagi. Keduanya bertempur dengan seru. hingga empatpuluh jurus masih belum ada yang kalah. Tetapi sewaktu mencapai jurus yang ke limapuluh. mulailah jalannya pertempuran berobah. Kalau Giok Kwan semakin keras serangannya adalah Tan Hwat mulai kewalahan, ia terus main mundur. Untung Tan Hwat itu mahir Thay-kek-kiam. Coba tidak, tentu tadi-tadi sudah keok.
Sebenarnya diam-diam Tan Ping sudah gelisah dan hendak membantu sutenya, tapi kuatir ditertawakan orang. Sebaliknya pemimpin Bo-san yakni Giok Ceng, tak henti-hentinya tertawa gelak-gelak memuji sang sute (Giok-Kwan). Sedang rombongan Ciat-pak diam saja hanya mengikuti jalannya pertandingan dengan penuh perhatian.
Dengan susah payah dapatlah Tan Hwat melayani sampai dua tigapuluh jurus lagi. Tapi setelah itu, habislah sudah daya tempurnya. Ia benar-benar dikurung oleh sinar pedang lawan, tak mampu ia membela diri lagi. Pada saat itu tak tahan lagilah Tan Ping. Serentak ia berbangkit, serunya: "Sute, mundurlah. Biarlah aku minta pelajaran dari Giok Kwan to-tiang."
Demi untuk keselamatan sutenya, tak peduli lagi ia akan tertawaan orang. Terus ia turun gelanggang. Tapi karena saat itu Tan Hwat sudah dikurung pedang, tak dapat ia sembarang saat keluar gelanggang. Karena itu Tan Ping pun tak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya tegak di samping dengan kemalu-maluan. Giok Ceng tertawa mengejeknya hingga ketua Tin-tik-hun itu makin merah mukanya.
Pada detik-detik Tan Hwat sudah akan dirubuhkan, Hui Kun menginjak kaki sukonya dan berbisik: "suko, apa kau tak lekas turun tangan?"
"Apa kau suruh aku bantu Tin-tik-bun?" tanya Lam Tian yang tak mempunyai alasan untuk turun tangan.
"Bukan, aku hanya meminta kau menolong Tan Hwat. Dalam kalangan Tin-tik-bun, dialah yang paling baik terhadap kita," sahut Hui Kun.
"Jadi kita membantu kebenaran, bukan membantu orang, bukan? Pihak Bo-san memang jahat, tapi Tin-tik-bun juga salah, bagaimana aku dapat menolongnya?"
Baru Lam Tian membantah begitu, di sana terdengar suara babatan pedang. Sebuah lengan baju Tan Hwat kena terpapas kutung dan orang-nyapun sudah mundur terpojok di dinding tak dapat mundur lagi. Satu-satunya orang yang dapat menolong hanyalah Tan Ping. Tapi kalau ketua Tin-tik-bun itu bergerak, ia pasti ditertawakan orang. Ia amat gelisah sekali.
"Tan Hwat, jika tak mau menyerah lepaskan pedangmu, jangan salahkan aku tak kenal kasihan," Giok Kwan berseru nyaring sambil putar pedangnya lebih seru.
"Ah, apa boleh buat," diam2 Tan Ping mengeluh dan terus hendak loncat menerjang. Tapi pada saat itu Lam Tian pun sudah loncat ke dalam gelanggang dan menarik balik ketua itu, "Kalau kau maju, bisa menang tapi kalah muka. Sudah, di sini sajalah!'''
Pada saat Tan Ping tertegun, Lam Tian sudah loncat ke muka, serunya, "Hai, gembira benar kalian berdua bermain-main. Mengapa tak mengajak aku?"
Sekali dorong, Giok Kwan mencelat sampai satu tombak lebih.
Karena kemenangan yang sudah di depan mata tiba2 diganggu, marah sekalilah Giok Kwan, "Bagus, kiranya Tin-tik-bun mengundang orang. Eh, Tan Ping. Kau pembohong besar, huh, tak tahu malu."
"Siapa bilang dia orang undanganku?" teriak Tan Pin g.
"Kalau tidak mengapa ia membantu sute-mu?" seru Giok Kwan.
Lam Tian mendongak tertawa nyaring, "Hidung kerbau, jangan naik pitam. Karena kulihat permainan Thay-kek-kiam dari Tan ji-thay-leng tadi kurang benar, aku hendak memberi petunjuk kepadanya. Mengapa kau katakan aku membantunya?"
Dari kedua pihak, Bo-san dan Tin-tik-bun, terdengar beberapa suara dengusan. Diam2 Hui Kun memuji kecerdikan sang suko di dalam mencari alasan.
"Budak busuk, siapa kau ini?" Giok Kwan menegur.
"Aku adalah budak busuk," sahut Lam Tian dengan tertawa,
"Apa kau dari partai Thay-kek-pay?"
Lam Tian gelengkan kepala, "Bukan, aku adalah si budak busuk."
Giok Kwan anggap Lam Tian itu kalau bukan bocah yang masih hijau tentulah seorang yang kurang waras. Maka iapun tidak marah malah tertawa: "Bagus, budak busuk, kau bilang mau mempertunjukkan permainan yang benar untuk Tan Hwat, nah, silakan mendemontrasikan."
Ia masukkan pedang ke sarung dan kembali ke tempat duduknya lagi. Ia melirik Tan Hwat dan tertawa mengejek. Maksudnya, mengapa tak melabrak seorang yang berani menghinanya?
Memang Tan Hwat sendiri juga merasa, bahwa sekalipun ia ditolong Lam Tian, tapi di hadapan orang banyak dikatakan ilmu ped?ngku belum sempurna, maka.... Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya. Hendak mengatakan akan menantangnya atau hendak meminta pelajaran, bingung ia dibuatnya. Anak muda itu menolong dirinya, bagaimana ia hendak menantangnya berkelahi? Pun Lam Tian itu masih muda dan tergolong angkatan muda yang tak ternama, bagaimana ia hendak minta pelajaran?
Lam Tian tertawa gelak2. Ia tak menghiraukan Tan Hwat melainkan berkata kepada Giok Kwan, "Tapi main pedang itu harus ada kawannya, ya tidak?"
"Sudah tentu, kan dia masih terpaku di sebelahmu?" kata Giok Kwan sembari menuding Tan Hwat.
"Bukan dia yang kumaksudkan, tapi kau!" sahut Lam Tian.
Ditantang begitu Giok Kwan tertawa gelak2, lalu katanya, "Budak kecil, apakah kepalamu terasa gatal?"
Giok Ceng pun tak mau ketinggalan menambah komentar, "Itulah yang dinamakan baru belajar merangkak, sudah mau masuk sekolah. Ji-sute berilah dia beberapa jurus pelajaran agar untuk selanjutnya kaum muda itu jangan memandang rendah kepada kaum tua."
Giok Kwan bangkit dan berjalan seenaknya ke dalam gelanggang. Ia menguap lalu berkata, "Mari, budak, jangan buang2 waktu!"
"Nanti dulu, sebentar lagi, bolehkah?" tanya Lam Tian.
Giok Kwan kembali menguap. Acuh tak acuh ia menjawab, "Boleh, masakan aku takut kau mampu terbang ke langit."
Karena pihak Bo-sanlah yang pertama-tama menutup saluran sungainya sehingga timbul permusuhan itu, maka Lam Tian anggap Bo-sanlah yang menjadi biang keladinya. Ia ambil keputusan untuk menundukkan kawanan orang2 gagah yang ada di situ baru kemudian akan mudah untuk mendamaikan.
Dan yang pertama-tama harus ditundukkan dahulu adalah kelima orang imam dari Bo-san yang congkak itu.
Berpaling ke arah Tan Ping. ia berseru: "Toa-thauleng. memang aku diutus oleh suhuku untuk mendamaikan urusan ini. Maka biarlah aku Lam Tian menjadi juru pendamai dalam urusan thauleng ini."
Tan Ping tertawa dingin: "Begitukah? Ha, ha, suhumu Ku Pin sungguh tak tahu diri."
Nyata ketua Tin-tik-bun itu mencela maksud Ku Pin yang dianggapnya suka usil.
Karena Lam Tian mengucap dengan nyaring, maka pihak Bo-san dan Giat-pak mendengarnya juga. Serentak Giok Ceng tertawa: "Ku Pin tak datang sendiri melainkan menyuruh seorang anak yang masih belum hilang bau pupuknya. Ha, ha, sute, lucu tidak?"
"Budak busuk, pulang saja ke dalam kandungan ibumu!" teriak Giok Hi.
Maka gemuruhlah para hadirin tertawa gelak-gelak.
"Toako, anak itu.... ha, ha, ho.... ho...."
Pemimpin kedua dari pihak Ciat-pak tertawa gelak-gelak menandingi Lam Tian. Sebaliknya pemimpin kesatu, yakni Siau Bun-san tampil ke muka dan berkata kepada Lam Tian: "Sebagai anak murid Ku Pin, kepandaianmu tentu hebat."
Lam Tian mengucapkan kata-kata merendah.
"Bagaimana kalau kita mengikat persahabatan?" tanya Sin Bun-san pula sambil terus ulurkan tangannya untuk menjabat tangan Lam Tian. Sin Bun-san gunakan gwakang ting-thian-lip-te untuk mengepalnya.
Seketika Lam Tian rasakan tangannya kesakitan. Diam-diam ia mengerti kalau orang hendak menjajalnya. Ia mengambil keputusan. Kalau gunakan ilmu gwakang perguruannya yang disebut pah-ong-ki-ting tentulah kurang menghormat, maka ia akan menghadapi dengan cara yang halus.
Sin Bun-san yakin bahwa remasannya tentu akan dapat menghancurkan tulang tangan si anak muda. Tetapi betapalah kejutnya demi ia merasa seperti mengepal segunduk kapas yang lunak sekali. Buru-baru ia lepaskan cekatannya: "Hebat sekali kepandaian saudara ini!"
"Ah, saudara kelewat memuji!" sahut Lam Tian. Ternyata ia telah gunakan lwekang untuk melunakkan tangannya seperti kapas. Ia melawan kekerasan dengan kelunakan.
Melihat si anak muda rendah hati, Sin Bun-san merasa suka. Ditariknya Lam Tian ketempat duduk mereka untuk diperkenalkan dengan para sutenya. Kini pemimpin kedua Oi Cun tak berani menertawakan lagi.
Giok Kwan tojin yang sejak tadi memasang kuda-kuda tapi Lam Tian enak-enak berkelakar dengan raksasa-raksasa dari Ciat-pak, menjadi marah-marah, "hu, budak she Lau, kau berani berkelahi tidak?"
Terpaksa Lim Tian menghampirinya; "Giok totiang, aku hendak memberi nasehat kepadamu, entah kau suka menerimanya tidak."
"Siapa mau iseng bercakap-cakap dengan budak seperti macammu itu?" rupanya Giok Kwan sudah tak dapat menahan kesabarannya lagi. Ia terus melolos pedang dan mengajak Lam Tian bertempur.
Terpaksa Lam Tian mengiakan. Segera ia mengambil sikap dalam kuda-kuda Thay-kek-kiam, yakni persis yang dilakukan oleh Tan Hwat tadi. Melihat itu Giok Kwan merasa dipermainkan. Dengan menggerung keras ia lalu mainkan tiga jurus ilmu pedang Thia-kiam-hwat dari partai Bo-san.
"Kalau kugunakan lain ilmu pedang, kau tentu penasaran," batin Lam Tian. Ia pindahkan pedang ke tangan kanan, dan berdiri dengan sebelah kaki kanan. Begitu tangan kiri memukul ia lantas menyusuli dengan tabasan pedang dan yang terakhir kaki kirinya menendang ke dada Giok Kwan. Itulah jurus thay-gwe-sing seperti yang dimainkan Tan Hwat tadi.
Sebagaimana dalam menghadapi Tan Hwat tadi, kali inipun Giok Kwan mendorong dengan tangan kiri. Ia menggunakan tenaga penuh, lebih hebat dari ketika mendorong Tan Hwat tadi. Tetapi ia menjadi terkejut karena tubuh Lam Tian tak bergeming laksana sebuah gunung. Melihat kegagalannya, Giok Kwan hendak mengganti jurus, tapi tahu-tahu kaki Lam Tian sudah bergantian, kaki kiri yang dibuat berdiri sedang kaki kanan dibuat mendepak dada Giok Kwan. Bergantian itu berlangsung dengan cepat sekali sehingga tak memberi kesempatan bagi Giok Kwan lagi.
"Bluk", perut imam itu termakan dan terlempar sampai dua tombak lebih.
"Brak", ia terbentur meja, mangkuk, piring pecah berhamburan, sayurnya membasahi pakaiannya.
Imam itu terlongong-Iongong kesima. Ia tak menduga kalau Thay-kek-kiam mempunyai perobahan gerak yang sedemikian tebatnya. Seluruh hadirin juga terperanjat, tak terkecuali Tan Hwat sendiri.
"Giok Kwan totiang, jurus permainan tadi boleh dibuktikan. Jika kau masih penasaran, boleh mencobanya lagi."
"Baik, kita bertanding lagi!" teriak Giok Kwan yang merah padam mukanya.
"Ai, hidung kerbau, kau gila atau waras? Katanya gunung Bo-san akan kau hadiahkan. Kau sendiri yang menjanjikan, lho!" teriak Hui Kun.
"Aku hanya bertaruh dengan Tan Hwat saja!" sahut Giok Kwan.
"Huh, peduli apa. Kau kalah dan harus menyerahkan gunung itu. Hm, sudahlah, gunung busuk semacam itu siapa yang kepingin. Cukup asal kau sudah mengaku kalah, ya sudah," seru Hui Kun.
Masih kawanan imam itu mengira kalau kekalahan Giok Kwan tadi hanya secara kebetulan saja. Maka majulah Giok Gwe menantang Lam Tian, tapi segera disambut Hui Kun, "Potong ayam tak perlu memakai pisau sapi. Menilik rupamu tentu tak punya kepandaian tinggi, mari kita main2 beberapa jurus!"
Baik nada ucapannya maupun langkah kakinya ketika maju ke dalam gelanggang, Hui Kun menirukan gaya Giok Kwan. Ia menguap dan berkata dengan enggan, "Hidung kerbau, serangan di mulai."
Dalam gerakan kilat, Hui Kun menyerang leher lawan.
Giok Gwe diam saja. Begitu musuh tiba, ia lalu menabas tangannya. Tetapi Hui Kun dengan lincah sekali dapat menghindar. Di lam sekejab saja, keduanya sudah bertempur sampai sepuluh jurus. Dalam kawanan imam Bo-san, Giok Gwe terhitung yang paling lemah sendiri. Namun untuk melawan Hui Kun, ia masih dapat mengatasi. Dalam suatu kesempatan ia dapat menusuk tenggorokan Hui Kun, tapi tiba2 Hui Kun lenyap. Selagi ia terlongong-Iongong keheranan, tiba-tiba belakang kepalanya tersambar angin. Buru-buru ia balikkan pedangnya ke belakang, "Budak busuk, berani membokong!"
Baru ia membentak begitu, punggungnya terasa dilekati oleh ujung pedang.
"Asal kudorongkan, jiwamu tentu melayang. Hidung kerbau, lekas buang senjatamu dan nanti kuampuni," Hui Kun mengancam dengan tertawa dingin.
Sebelum menjadi imam, Giok Gvve adalah penjahat besar dari Ho-se. Entah sudah berapa jiwa yang melayang di tangannya. Bahwa hari itu ia jatuh di tangan seorang dara, membuatnya malu tak kepalang. Lam Tian gelengkan kepala karena tahu bahwa sang sumoay lagi2 gunakan jurus ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat yang bernama sin-go-yang-ki atau kura-kura sakti pentang sayap. Seorang jago pengalaman semacam Giok Gwepun dapat dijatuhkan oleh jurus itu.
"Hidung kerbau, apakah kau sungguh2 minta mati? Itulah mudah!'' serunya. Ia sedikit dorongkan pedangnya ke muka dan robeklah jubah imam itu.
"Bunuh sajalah aku!" teriak Giok Gwe.
Hui Kun hanya tertawa, "Aku tak tega membunuhmu!"
Tepat pada saat Hui Kun berkata begitu, tiba2 terdengar bunyi gemerincing. Pedangnya terpental sampai tiga depa hingga punggung Giok Gwe kena tergurat dalam. Berbareng itu sesosok bayangan melayang datang dan menghantam kepala Hui Kun.
Dalam pada itu setelah merasa ancaman pedang lawan tergeser, dengan tangkasnya Giok Gwe sabatkan pedangnya ke belakang untuk menusuk dada Hui Kun. Dengan demikian Hui Kun terancam dari muka dan belakang.
Dalam saat2 yang membahayakan jiwanya itu, tiba2 sesosok tubuh melayang dan menghantam bayangan tadi sampai terpental dua tombak jauhnya. Bayangan itu terdampar jatuh tak dapat bangun lagi. Setelah itu, si penolong menyambar pedang Giok Gwe dan mendorongnya. Giok Gwe terhuyung-huyung sampai beberapa meter. Kiranya penolong itu adalah Lam Tian. Sedang yang dihantam rubuh tadi adalah Giok Hi.
Sambil melempar pedang Giok Gwe yang dirampasnya itu ke atas atap, berserulah Lam Tian, "Terhadap seorang anak perempuan, mengapa menggunakan serangan ganas? Bo-san-to-su, apakah kalian masih ada muka menyebut diri sebagai imam yang beriman?"
Melihat kedua sutenya rubuh, Giok Ceng to-jin menendang meja terus loncat ke tengah gelanggang, "Budak busuk, hebat benar kepandaianmu. Aku hendak meminta beberapa jurus pelajaran."
Belum Lam Tian menyahut, Tan Ping pun sudah loncat datang, serunya, "Tunggu dulu, aku hendak bicara. Permusuhan kita tak boleh diselesaikan orang luar. Imam tua, empat kali kita sudah pernah bertempur, mari segera kita lanjutkan lagi sampai ada kesudahannya. Siapa yang kalah atau menang, tetap akan berlaku perjanjian yang kita adakan dahulu itu."
Mengapa mendadak Tan Ping keluar? Kiranya setelah melihat Lam Tian dapat merubuhkan ketiga imam, kalau sampai Giok Ceng tojin kena dirubuhkan, pihak Tin-tik-bun tentu akan disela oleh kaum persilatan. Dapat mengalahkan kelima imam karena nengandaikan bantuan Lam Tian. Walaupun menang, Tan Ping merasa tak ada muka. Maka ia segera tampil untuk menantang Giok Ceng. Ia mengharap dapat menang. Seandainya kalah, ia akan minta Ji-hujin (Ho Ji-yan) untuk membalas dendam.
Giok Ceng tahu juga isi hati ketua Tin-tik-bun itu. Sebenarnya ia tak berani memastikan akan dapat memenangkan Lam Tian. Tapi kalau dapat menangkan Tan Ping, itu sudah suatu keuntungan moral yang besar. Nama Tan Ping lebih termasyhur beberapa kali dari Lim Tian. Ia menyambut girang tantangan Tan Ping. Segera ia lakukan serangan dengan pedangnya. Tan Ping bertempur dengan memakai golok. Dan Lam Tianpun terpaksa mundur.
-^dwkz^smhn^- Jilid 05 KENALKAN. Perjalanan tugas seorang jago muda seperti Lau Lam Tian memang penuh berbagai duri rintangan. Menghadapi jago2 yang lihay, tipu muslihat yang licik dan gadis2 yang cantik dan centil.
Diantara rintangan2 itu, paras cantik merupakan godaan yang paling berbahaya. Hanya ksatrya yang berhati baja dapat menghindarkan diri dari libatan panah2 berbahaya yang terlepas dari sorotan mata dan senyum memikat dari wanita cantik.
Tetapi dunia ini memang aneh. Semakin menjauh malah semakin didekati. Demikian yang dialami Lam Tian. Silih berganti panah2 asmara itu menghambur kepadanya....
-^dwkz^smhn^- Pemuda Aneh Pertandingan antara kedua partai itu, telah berlangsung dengan seru. Ilmu pedang Giok Ceng ternyata jauh lebih lihay dari sute-sutenya. Ia selalu menusuk bagian jalan darah dari sang lawan.
"Empat kali bertanding, imam bangsat ini selalu menusuk jalan darahku. Hai, apakah aku tak dapat menggunakan ilmu memukul jalan darah juga?" pikir Tan Ping sembari berkelit.
Ternyata permainan ilmu golok dari ketua Tin-tik-bun itu adalah ilmu golok Pat-kwa-to. Dalam melayani serangan musuh itu, tapun gunakan dua buah jari kirinya untuk menutuk jalan darah lawan.
Ilmu tutuk dari aliran Pat-kwa-bun itu mempunyai keistimewaaan tersendiri. Berpokok pada kelincahan, tenang dan kecepatan. Lincah dan cepat itu mudah dijaga. Yang paling sukar diduga adalah pokok ketenangan itu. Sekali bergerak, sembilanpuluh persen tentu mengenai sasarannya. Sebagai seorang ahli tutuk, diam2 Giok Ceng juga gentar.
Pada waktu mencapai jurus yang kesepuluh, tiba2 Giok Ceng berseru keras. Begitu pedangnya dapat menyisihkan golok, ia lalu merapat maju dan menutuk jalan darah thian-keng-hiat di lengan kanan Tan Ping. Tan Ping cepat menghindar sambil tendangkan kaki kanannya ke perut orang. Tutukan dibalas dengan tendangan. Sekali Giok Ceng luput, ia tentu akan termakan tendangan pada jalan darah cong-keng-hiat di bawah pusarnya.
Cepat ia robah gerakannya. Dua buah jarinya tadi ia pentang. Sasarannya tetap pada jalan darah thian-keng hiat di lengan orang. Tan Ping dapat menghindar tapi tak urung jalan darah siau-hay-hiat yang berdekatan sekali dengan jalan darah thian-keng-hiat itu kena termakan.
"Trang" golok Tan Ping jatuh ke tanah. Tapi bersamaan dengan saat itu, kaki Tan Ping tadipun melayang datang. Buru2 Giok Ceng mendak kebawah. Benar bawah pusarnya tak kena tapi tak urung perutnya terdupak juga. Aduh, sakitnya bukan kepalang.
Dengan demikian keduanya sama-sama terluka dan berhenti bertempur. Tan Ping salurkan napas untuk membuka jalan darahnya yang tertutuk. Giok Ceng juga salurkan lwekang untuk mengobati lukanya itu. Beberapa saat kemudian, Tan Ping tampak bergerak memungut goloknya dan berseru, "Ayo, kita bertempur lagi!"
Kembali kedua pemimpin itu bertempur seru. Mereka bertempur sampai tigaratusan jurus. Hingga tengah haripun belum ada kesudahannya. Akhirnya mereka bersepakat hentikan pertempuran untuk makan siang dulu. Setelah beristirahat, kembali mereka lanjutkan pertempurannya. Tetapi sampai petang hari, pun tetap belum ada kesudahannya.
"Nyalakan lampu!" Giok Ceng berteriak dengan penasaran.
Pertempuran ditunda sebentar. Setelah lampu disulut, kembali keduanya bertempur lagi.
Tiba2 di luar ruangan terdengar suara orang tertawa gelak2, kemudian seruan nyaring, "Saudara-saudara, maafkan aku datang terlambat."
Tahu2 di dalam ruangan situ muncul seorang baru. Ia berpakaian warna hijau. Ia memberi hormat kepada para hadirin dan memperkenalkan diri sebagai Ho Hong Lu. Semua hadirin yang pernah mendengar tentang nama Ho Hong Lu buru2 berdiri memberi hormat. Sebaliknya Lam Tian dan Hui Kun yang tak kenal dengan nama itu hanya saling berpandangan sendiri.
Ho Hong Lu seorang pemuda yang berparas cakap. Dari dandanannya dan senjatanya yang terselip di pinggang, nyatalah ia itu seorang bangsa bu-hiap (pendekar). Melihat kedatangan orang itu, wajah gelap dari Giok Ceng serempak berganti seri kegirangan, "Ho tayhiap, ternyata kau datang juga, silakan duduk!"
Keempat sute Giok Ceng segera bergegas-gegas membawa Ho Hong Lu duduk. Keempat imam itu amat menghormat sekali kepada pemuda itu.
Diam2 Lam Tian menduga, tentulah pemuda itu orang undangan dari pihak Bo-san. Sebaliknya ketika Lam Tian memandang ke pihak Tin-tik-bun, tampak Tan Ping dan sute-sutenya mengunjukkan wajah jeri. Para anak buah Tin-tik-bun sama bersiap-siap memegangi senjatanya. Tidak berbeda pula keadaan Ciat-pak. Kelima raksasa itupun mengunjukkan rasa kegelisahan. Diam2 Lam Tian membatin, bahwa Hong Lu itu tentu mempunyai latar belakang hebat.
Hong Lu memandang ke sekeliling hadirin. Dan ketika tiba pada Lam Tian dan Hui Kun, ia tampak tersenyum dan menganggukkan kepala, ujarnya. "Giok Ceng totiang, siapakah kedua anak muda itu...."
Belum habis ia mengucap, Tan Ping sudah maju menghampiri dan memberi hormat, "Sudah lama kudengar nama Hoa-tang-hui-hong Ho tay-hiap yang termasyhur, sayang selama ini aku tak punya rejeki untuk berkenalan. Kedatangan Ho tayhiap ke mari ini, entah hendak memberi petunjuk apa kepadaku?"
Ho Hong Lu tertawa ringan, baru ia hendak menyahut, Giok Ceng sudah merebutnya, "Tan lo-toa, biarlah kau tahu. Karena kau mengundang orang, masakan aku tak boleh? Ho tayhiap telah meluluskan untuk membantu aku membela keadilan."
Mendengar itu berobahlah muka Tan Ping, ujarnya, "Ho tayhiap, apakah kau benar2 tak memberi muka kepadaku?"
Ho Hong Lu hanya tertawa tak menyahut. Tiba2 ia berbangkit, katanya, "Tan toako, mohon tanya siapakah orang undanganmu itu? Apakah kedua saudara itu?" Ia menunjuk ke arah Lam Tian dan Hui Kun.
"Benar. Mereka berdua adalah anak murid dari Ku thocu ketua Ang-tik-kiu-pay yang disuruh suhunya untuk membantu aku. Harap kalian bertiga saling berkenalan dulu," sahut Tan Ping.
Tan Ping tahu kalau pihaknya tak mampu menandingi Ho Hong Lu itu. Maka ia sengaja meminjam nama Ku Pin untuk menggertak pemuda itu.
Mendengar nama Ku Pin, Ho Hong Lu bukannya gentar sebaliknya malah berobah wajahnya. "Oh, kiranya Ku lo-enghiong juga memperhatikan urusan ini. Kedua saudara itu tentu lihay, ha, ha!" Ia tertawa keras seolah-olah menghina Lam Tian dan Hui Kun.
Walaupun masih muda tapi nama Ho Hong Lu itu sudah termasyhur di seluruh wilayah Hoa-tang. Entah dengan cara bagaimana kelima imam Bo-san itu dapat mengundangnya. Tan Ping insyaf bahwa hanyalah Lam Tian yang mampu menandingi jago muda itu. Ia hendak mengadu kedua anak muda itu supaya berkelahi.
Katanya, "Ho tayhiap memang benar, saudara Lau Lam Tian ini memang bebat sekali. Di bawah pimpinan seorang jendral ternama tentu tak ada serdadu yang lemah. Kalau tidak masakan Ku ciangbun mengutusnya."
Lam Tian tabu maksud orang, diam2 ia mendamprat ketua Tin-tik-bun itu.
Tapi Hui Kun tak dapat menahan perasaannya lagi, "Tan toa-thau-leng, kau salah. Kami berdua datang demi keadilan untuk membereskan perselisihan ini. Sekali-kali bukan bala bantuan Tin-tik-bun. Jika kedua pihak mau berdamai, kamipun tak perlu turun tangan lagi. Apa itu pujian tetek bengek terhadap suhengku tadi, kiranya tak usah diucapkan disini."
Dsam2 Lam Tian memuji sang sumoay. "Sejak turun gunung, baru kali ini ia bicara tepat."
Hong Lu tertawa mengejek: "Karena saudara berdua berani menjadi juru pendamai, tentulah mempunyai alasan untuk itu. Nah, tolong tanya Lau tayhiap, apakah yang menjadi peganganmu?"
Lam Tian kurang puas dengan kata-kata orang yang tak sungkan itu, sahutnya "Aku berpegang peri-kebajikan kaum persilatan. Meratakan jalan yang jelek, menolong orang yang kesusahan, bukankah sudah menjadi kewajiban orang persilatan?"
"Memang, tapi juga harus menyelidiki benar tidaknya, adil tidaknya sesuatu urusan, baru dapat bertindak. Saudara Lau, kurasa lebih biik kau jangan campur tangan urusan ini saja." kata Ho Hong Lu.
Sebenarnya Lam Tian itu seorang yang kuat batinnya. Tetapi bahwa dirinya dinasehati begitu rupa seperti seorang anak kecil, mau tak mau marah jugalah ia: "Kalima imam Bo-san telah menutup aliran sungai sehingga menyusahkan kehidupan orang, apakah ini adil? kau berkeras membantu pihak Bo-san, ini lebih tidak adil lagi! Ho tayhiap, tadi kau tanya padaku apa dasarnya aku datang ini. Nah, sekarang pertanyaan itu kukembalikan kepadamu?"
Hong Lu tertawa gelak-gelak: "Belasan tahun aku berkelana di dunia persilatan yang menjadi andalanku ialah benda ini" Ia melepas senjatanya yang dililitkan di pinggang.
"Jadi kau mengakui bahwa Kau ini orang undangan pihak Bo-san?" tanya Lam Tian.
"Kapankah aku memberi pengakuan itu?" sahut Hong Lu.
Mendengar itu semua hadirin terbelalak kaget. Kelima imam Bo-san lebih tercengang lagi.
Kata Giok Ceng: "Ho tayhiap, apa katamu?"
"Ho tayhiap, apa katamu?" juga Tan Ping berbareng mengajukan pertanyaan serupa.
"Kubilang aku bukan orangnya Bo-san, apakah kalian tak mendengarnya?" Ho Hong Lu tertawa geli karena melihat semua orang sama terbelalak matanya itu.
"Ho tayhiap, kalau begitu apakah kau hendak membantu Tan Ping?" serempak berserulah kelima imam.
Ho Hong Lu gelengkan kepalanya: "Juga tidak!"
"Habis hendak apa kau ke mari?" Tan Ping menjadi tegang hatinya.
"Maksudku itu sederhana sekali, yakni hendak memberi nasehat kepada saudara Lau itu," sahut Ho Hong Lu. Senjatanya yang aneh bentuknya itu dibuat main-main dengan tangannya.
"Terima kasih atas kebaikanmu itu, entah apakah maksud Ho tayhiap lebih lanjut," kata Lam Tian.
"Sama seperti yang kukatakan tadi, ialah lebih baik Lau-heng hindarkan diri dari urusan ini." sahut Hong Lu.
"Apa sebabnya?"
"Karena kepandaianmu itu masih cetek, dikuatirkan namamu akan jatuh," jawab Hong Lu.
"Baik, kalau begitu aku menolak nasehatmu itu!" Lam Tian mulai marah.
Wajah Ho Hong Lu berobah "Apakah sungguh?"
"Mengapa tidak!"
"Baik, karena kau tak mendengar nasehat-ku, apakah kau menghendaki kita berdua mengikat permusuhan-peribadi?
"Mengapa aku takut? Ho tayhiap, silakan memulai," sahut Lam Tian dengan suara keras.
"Apakah kau tak menyesal?"
Lam Tian sungguh tak mengerti atas sikap pendekar muda yang ditakuti orang-orang itu. Tegas-tegas ia menjawab: "Apakah pertanyaanmu itu perlu kujawab. Sekali-kali tidak!"
Ho Hong Lu tertawa: "Baik, semua orang menjadi saksi. Besok siang kita bertempur."
Lam Tiam hanya mengangguk. Tapi diam-diam ia heran melihat sikap aneh dari pemuda itu. Masakan tak mau mendengar nasehatnya lalu diajak bermusuhan?
Juga Tan Ping tak kurang herannya. Tapi karena pemuda itu (Hong Lu) tak membantu pihak mana-mana, maka iapun lega. Sebaliknya adalah pihak Bo-san yang kecele karena Ho Hong Lu telah mengingkari janji hendak membantu mereka. Hanya setelah mendapatkan pemuda gagah itu mengikat permusuhan peribadi dengan Lam Tian, merekapun agak reda kekuatirannya.
"Seorang gagah berani bicara tentu herani melakukan. Kalian berdua adalah pemuda-pemuda gagah, mengapa tak bertempur sekarang juga agar diketahui siapa yang lebih gagah?" Giok Ceng totiang tertawa untuk membakar kedua pemuda itu.
Diluar dugaan, Hong Lu sebaliknya malah menggantungkan senjatanya ke pinggang lagi dan barjalan kembali kesudut ruangan. Katanya dengan tertawa: "Aku sih tak keberatan, tapi Lau tayhiap tak punya tempo!"
"Mengapa tak punya tempo?" seru Giok Ceng.
"Karena ia hendak seorang diri melawan kelima imam Bo-san. Imam Bo-san telah menutup aliran sungai, merusak penghidupan orang. Selain memandang rendah pihak Tin-cik-bun juga tak mengindahkan akan peri keadilan kaum persilatan. Lau-heng, bukankah begitu ucapanmu tadi?" jawab Ho Hong Lu dengan nyaring.
Putar-putar akhirnya, kembali pemuda she Ho itu memusuhi pihaknya, menyebabkan kelima imam itu marah besar. Serempak mereka berdiri dan maju ke tengah gelanggang, memaki keras: "Ho Hong Lu, kau kelewat menghina orang, hm, hm!"
Walaupun marah2, tapi karena gentar akan kelihayan Ho Hong Lu, maka kelima imam itu pun tak berani menantangnya berkelahi.
"Lau-heng, mengapa kau tak lekas2 mengganyang mereka, tunggu kapan lagi?" kata Ho Hong Lu.
Lam Tian mencabut pedangnya dan berseru, "Totiang berlima, aku hendak menghaturkan nasehat."
Tapi rupanya kelima imam yang sudah berbaris rapi dengan senjata terhunus itu tak mau mendengar omongan Lam Tian lagi.
Berserulah Giok Ceng, "Budak busuk, semuanya adalah karena kebusukanmu. Mari kita bertempur sampai tigaribu jurus!"
Ia segera memberi komando kepada keempat sutenya untuk segera bergerak. Kelima imam itu berpencar keempat jurusan untuk mengepung Lam Tian.


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Giok Kwan ingat akan kekalahannya tadi. Dengan jurus ih-sing-te-tou ia segera menyerang dulu. Begitu Lam Tian menangkisnya, Giok Hong dan Gok Gwe menyerang dari kanan kiri, Giok Hi menyerang dari belakang. Mereka bergerak secara berbareng.
Tadi Lam Tian sudah mengetahui kepandaian dari kawanan imam Bo-san. Kiranya diantara mereka hanya Giok Ceng yang paling lihay. Segera ia kebutkan pedangnya melingkar-lingkar untuk menangkis keempat batang pedang itu. Pikirnya, "Aku harus selekasnya mengatasi mereka. Kalau sampai Giok Ceng keburu turun tangan, pertempuran ini tentu akan berlarut panjang."
Segera ia melakukan suatu gerakan yang mengagumkan. Ia menghantam Giok Kwan yang menyerang dari muka, menyikut Giok Hong yang menyerang dari kanan dan menutukkan ujung pedangnya ke arah Giok Gwe yang menyerang dari kiri. Giok Gwe coba menghindar mundur tapi kalah cepat dengan Lam Tian. Sebelum Giok Gwe dapat berdiri tegak, Lam Tian sudah menyelinap ke belakangnya dan menusuk punggungnya. Giok Gwe menggerung dan terhuyung-huyung ke belakang. Lam Tian segera menyusulinya pula dengan sebuah hantaman.
"Bluk" tubuh Giok Gwe yang besar itu terlempar sampai tiga tombak jauhnya.
Gerakan itu dilakukan oleh Lam Tian dalam waktu yang cepat sekali hingga Giok Kwan tak keburu menolong sutenya.
Hui Kun bertepuk tangan tertawa kegirangan, "Bagus, bagus!"
"Memang bagus sekali, kepandaian suheng-mu itu luar biasa," tiba2 terdengar suara orang memuji pelahan.
Ketika berpaling, Hui Kun dapati orang itu bukan lain yalah Ho Hong Lu. Girang Hui Kun mendengir pemuda itu memuji sukonya, "Ho-toako, hidung kerbau itu sudah dua kali mendapat luka. Yang pertama dari aku. Tapi aku tak sehebat gerakan suko tadi. Bakankah kau melihat dua buah guratan luka pada punggung imam itu?"
Ho Hong Lu mengangguk, serunya, "Lihatlah, Giok Ceng mulai turun tangan!"
Ketua Bo-san itu mencabut pedang dan menyerang dengan hebatnya. Ia benar2 marah melibat salah seorang sutenya rubuh tadi, Ia suruh ketiga sutenya yang lain untuk mengepung Lam Tian. Namun dengan gagahnya Lam Tian aapat melayani serangan keempat imam itu.
Sambil mengikuti sang suko bertempur itu, tak henti-hentinya Hui Kun memuji-muji kepandaiannya kepada Ho Hong Lu. Tiba2 Hong Lu bertanya apakah benar ayah Hui Kun itu memiliki suatu ilmu pedang sakti yang tak boleh dipertunjukkan oleh muridnya.
Hui Kun mengiakan, "Ya, itulah ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat, ciptaan ayahku sendiri. Tadi aku telah gunakan salah sebuah jurus yang disebut Sam-go-yang-ki untuk melukai punggung Giok Gwe." Kemudian ia tuturkan bagaimana hebatnya gerakan ilmu pedang yang dimainkannya tadi itu.
Hong Lu hanya mengangguk kepala saja dan diam2 mencatat dalam hati. Sikap itu diartikan lain oleh Hui Kun. Ia anggap sampaipun seorang pendekar ternama dari Hoa-tang saja begitu mengagumi ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat, maka Hui Kun makin bangga. Katanya pula, "Ayahku mempunyai dua macam ilmu pedang. Yang satu, iatah yang kukatakan tadi. Sedang yang satunya ialah ilmu pedang Ang-tik-kiam-hwat. Lihatlah, suko sedang menggunakan ilmu pedang itu."
Hong Lu memperhatikan dengan seksama. Memang gerakan pedang Lam Tian itu gencar sekali, tapi bukan Kim-go-kiam-hwat. Tadi Lam Tian hanya sekali menggunakan jurus Sin-go-yang-ki, selanjutnya ia berganti dengan Ang-tik-kiam-hwat. Hong Lu merasa kecewa karena tak dapat mengetahui gerakan ilmu pedang Kim-go-kiam-hwat lebih lanjut.
Pertempuran telah berjalan sampai empatpuluhan jurus. Dengan ikut sertanya Giok Ceng, memang keadaan makin hebat. Tadi Lam Tian terpaksa gunakan jurus Sin-go-yang-ki karena hendak mematahkan moral kawanan imam itu. Setelah berhasil merubuhkan seorang lawan, ia tak mau menggunakannya lagi. Kini ia memakai Ang-tik-kiam-hwat. Juga ilmu pedang itu tak kurang hebatnya.
Rupanya Giok Ceng berempat benar2 menghendaki jiwa Lam Tian. Mereka bertempur mati-matian sehingga sepeminum teh kemudian, Lam Tian agak terdesak. Melihat itu Hong Lu menganjurkan Hui Kun supaya membantu sukonya. Jawab Hui Kun, "Sekali suko gunakan Kim-go-kiam hwat, sepuluh Giok Ceng pun tentu akan rubuh. Apalagi kulihat sekarang ini dia masih belum kepayahan."
Memang penilaian Hui Kun itu benar. Betapapun lihaynya Giok Ceng namun tetap tak dapat mengimbangi gerak gerik Lam Tian yang luar biasa itu. Pelahan tetapi tentu, situasi berobah menguntungkan Lam Tian.
Tiba2 Giok Kwan berseru karas dan lempangkan pedangnya ke muka. Tetapi belum seruannya itu habis, tiba2 belakang kepalanya tersambar angin. Tahu2 pedang Lam Tian sudah mengancam di tengkuk lehernya.
Giok Kwan buru2 tundukkan kepala dan gunakan jurus Hoam-sim-biat-ciok atau Membalik-badan-menghantam-batu. Tetapi ternyata ancaman Lam Tian itu hanya gertakan kosong. Begitu lawan mengendap ke bawah, ia lantas maju merapat dan sekali menabas, pedang Giok Kwanpun mencelat ke udara. Karena tak bersiaga, seorang thaubak kejatuhan pedang itu dan rubuh ke tanah.
Giok Kwan masih belum mau menyerah. Dengan tangan kosong ia coba menghadapi lawan. Giok Ceng masih dapat bertahan tetapi ketiga sutenya itu sudah kepayahan. Permainan pedang mereka sudah kacau.
Selama itu Tan Ping telah mengikuti jalannya pertandingan dengan penuh perhatian. Demi melihat kelihayan Lam Tian, diam2 dia gentar juga dalam hati. Kalau muridnya saja sudah sedemikian lihay, apalagi Ku Pin sekarang.
Selagi dia merenung hal itu, di gelanggang terdengar suara gemerincing keras. Kembali dengan suatu gerak yang indah, Lam Tian dapat mementalkan pedang Giok Hong ke udara.
Kuatir kalau anak buahnya kejatuhan lagi Tan Ping cepat menyanggapi pedang itu. Ia rasakan tangannya kesemutan, hampir saja pedang itu terlepas lagi. Kembali Tan Ping mengagumi tenaga si anak muda.
Dalam pada itu kembali terdengar suara menggedebuk. Kiranya dada Giok Hong kena tinju Lam Tian sehingga imam itu terhuyung-huyung ke belakang.
"Budak busuk, aku hendak mengadu jiwa dengan engkau," Giok Ceng berteriak murka. Pedang terus diputarnya seperti angin puyuh. Ia betul2 menjadi beringas sekali. Namun semua serangannya yang berbahaya, satu demi satu dapat dipecahkan Lam Tian. Lam Tian tahu bahwa kenekadan Giok Ceng itu hanya usahanya yang terakhir untuk coba2 menolong kekalahannya yang tinggal tunggu saat saja.
Melihat kegagahan sang suko, kembali Hui Kun menghambur pujian. Jurus2 yang digunakan sukonya untuk mengalahkan musuh musuhnya itu, dipamerkan kepada Hong Lu.
Sekonyong-konyong terdengar derap kaki dan muncullah seorang pendatang di ruang situ. Dia seorang pemuda yang cantik sekali, muka putih bibir merah dan bertubuh langsing. Umurnya diantara 21 tahun. Ia berdiri di sebelah Tan Ping menuding sana menuding sini sambil melekatkan perhatiannya ke arah Lam Tian. Kemudian dia berbisik-bisik kepada Tan Ping, Dan Tan Ping pun hanya tersenyum saja lalu balas membisiki ke telinga pemuda cakap itu seraya menuding Hui Kun. Pemuda itu mengangguk-anggukkan kepala. Rupanya dia tampak mengagumi permainan pedang Lam Tian tapi berkali-kali dia juga berpaling kearab Hui Kun.
Mengkal hati Hui Kun melihat gerak gerik pemuda itu. Pikirnya, "Huh, anak yang tak sopan, mau merasai hui-to, ya?"
Pertandingan berjalan tigapuluh jurus lagi. Kembali Lam Tian unjuk kegagahannya. Ia menusuk jalan darah Giok Kwan hingga imam itu tak dapat berkelahi lagi. Kemudian menendang Giok Hong sampai terlempar tiga tombak jauhnya. Begitu jatuh imam itu tak dapat bangun lagi. Kini Lam Tian tinggal berhadapan dengan Giok Ceng seorang.
"Bagaimana, apa engkau masih mempertahankan?" teriak Lam Tian. Namun pemimpin Bosan itu diam saja dan bekas bertempur.
Setelah mengetahui sukonya tentu menang, legalah hati Hui Kun. Sebagai gantinya kini dia cari perkara. Dia hendak tumpahkan kemarahannya kepada si pemuda cantik tadi.
"Budak busuk, lihat serangan," serunya.
"Ih, engkau menantang aku?" seru pemuda cantik itu tersenyum. Sekali sambar, dia sambuti hui-to yang dilontarkan Hui Kun, terus dikantongi.
"Kurang ajar, engkau mencuri hui-toku!" teriak Hui Kun,
"Eh, pintar betul. Engkau sendiri yang melepaskan hui-to, mengapa menuduh aku yang mencurinya. Kalau begitu, biar kuambil sekali," kata pemuda cantik itu dengan suara melengking persis nada seorang gadis.
Hui Kun benci kepada lelaki yang bernada kecil seperti seorang banci. "Engkau kembalikan tidak?" serunya.
"Tidak, coba engkau akan berbuat bagaimana. Kecuali kau punya.... ah. kumaksudkan kecuali dia yang memintanya," kata pemuda pemuda itu sembari menunjuk Lam Tian.
Hui Kun merah mukanya. Maju ke muka, dia membentaknya, "Mengapa harus dia? Apakah aku tak dapat memintanya?"
"Apa kepandaianmu? Hmm, apakah kepandaianmu memadai separoh dari kepandaian sukamu itu?" kata si pemuda cantik.
Tanpa menyahut lagi, Hui Kun terus mengirim serangan. Pemuda itu menggodanya, "Nona kecil, apa tak malu? Di depan sekian banyak orang masa berani memukul seorang lelaki?"
Baik rombongan Tin-tik-pang maupun Giat-pak, sama tertawa gelak2. Kini sebagaian besar, orang sama mengalihkan perhatian kepada Hui Kun dan si pemuda cantik. Penonton yang mengikuti pertempuran Lam Tian makin berkurang.
Pemuda cantik itu bergeliat dengan luwas sekali untuk menghindari serangan Hui Kun. Karena dibuat buah tertawaan orang, Hui Kun makin marah. Ia terus merangsang maju.
Pemuda cantik itu mengoloknya, "Kalau ku ladeni engkau berkelahi, orang tentu menuduh aku menghina kaum perempuan. Ah, benarlah aku mengalah saja," kembali pemuda itu mengolok Hui Kun.
Pemuda itu menghindar lagi. Hui Kun makin geregeten. Ia mencecer pemuda itu dengan pukulan. Demikianlah dalam ruang itu kini terjadi adegan kejar-mengejar antara seorang gadis dengan seorang pemuda. Beberapa kali Tan Ping hendak mencegah tetapi urung.
Adalah melihat sumoaynya berkelahi dengan orang, Lam Tian menjadi kerupukan dan marah. Buru2 dia menyerang Giok Ceng dengan gencar.
Sudah sejak tadi sebenarnya Giok Ceng mandi keringat. Namun dia masih tetap nekad. Pedang di tangan kanan dan pukulan tangan kirinya, berbareng digunakan. Lam Tian menghindar dari pukulan, mendesak pedang lawan dan membentaknya, "Totiang, apakah engkau betul2 tak sayang jiwamu?"
Giok Geng tak menyahut melainkan menyerang lebih gencar. Sebetulnya kalau mau, dengan gunakan ilmu pedang Kim-go-kim-hwat, Lam Tian dapat segera menyudahi pertempuran itu, Tetapi ia masih menghormat Giok Ceng sebagai seorang ketua partai. Ia harap imam itu mau mundur sendiri.
Pada suatu kesempatan ketika berpaling ke belakang, Lam Tian melihat kini sumoaynya dan pemuda cantik itu sudah sama2 menghunus senjata. Mereka bertempur dengan seru, Dan ternyata pemuda itu lebih tinggi kepandaiannya dari Hui Kun. Rupanya ia hanya mempermainkan Hui Kun saja. Dan Hui Kun kelihatan ngotot sekali tapi sia2 saja.
Sudah tentu Lam Tian tak rela sumoay yang dipermainkan orang. Pikirnya, kiranya suhunya tak nanti marah kalau kali ini dia menghajar imam yang bandel itu. Setelah empat kali menghindari serangan, sekonyong-konyong tangan kirinya menjotos dada Giok Ceng. Tapi Lam Tian tetap menghormat imam itu maka tenaga pukulan nyapun hanya tujuh bagian saja.
Misteri Sittaford 3 Dendam Berkarat Dalam Kubur Karya Abdullah Harahap Pendekar Pedang Dari Bu Tong 7

Cari Blog Ini