Ceritasilat Novel Online

Benci Tapi Rindu 6

Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong Bagian 6


"Ilmu permainanmu tongkat Leng gong-ci-ang-hwat sangat kukagumi. Tapi entah selain tongkat, senjata apa saja yang biasa kau genakan?" tanya jago tua itu pula.
Ciu Bing menyahut bahwa segala macam senjata sedikit-sedikit ia dapat menggunakan tapi diantaranya yang agak mahir ialah menggunakan pedang,
Wan Thian Cik mengangguk dan mempersilakan pemuda itu memilih pedang yang bagus. Ciu Bing pun segera mengambil sebatang pedang ceng-kong-kiam yang berat. Ternyata Wan Thian Cik hanya dengan tangan kosong dan mempersilakan Ciu Bing yang menyerang lebih dulu.
"Maaf," seru Ciu Bing sambil melambung ke udara dan menabas. Untuk itu Wan Thian Cik menghindar ke samping. Memang Ciu Bing sengaja lancarkan serangan istimewa karena hendak mencuri lihat ilmusilat jago tua itu.
Ciu Bing menyerang dengan seru. Sekonyong-konyong ia menusuk siku lengan kanan orang. Wan Thian Cik balikkan tangan kanan, begitu terhindar dari ujung pedang ia lalu mencengkeram lengan Ciu Bing. Seketika Ciu Bing rasakan lengannya sakit bukan kepalang. Tapi ia adalah jago nomor satu di kota raja. Ancaman bahaya itu tak membuatnya kacau. Ia lingkarkan pedang dan jujukan ujungnya kedada Wan Thian Cik. Jurus itu tergolong jurus yang berbahaya.
"Dia tetamu dan aku tuan rumah, tak baik kiranya kalau dalam dua tiga gebrak kujatuhkan," diam-diam Wan Thian Cik menimang. Ia melangkah mundur tapi ujung lengan bajunya kena terbabat oleh pedang Ciu Bing.
"Wan lo-engbiong, mengapa mengalah?" seru Ciu Bing yang tahu kalau tuan rumah memang sengaja mengalah.
Jago tua itu tertawa gelak-gelak: "Kiranya kau temaha kemenangan. Baik, mari kita bertanding lagi." Segera ia lontarkan sebuah hantaman yang keras. Ketika Ciu Bing menghindar, sebatang pohon kui-hwa rubuh dengan akarnya.
Demikianlah keduanya bertempur, pukulan lawan pedang. Ong Ah Si dan bujang lain-lainnya tak mau melewatkan kesempatan yang sebagus itu. Begitu asyiknya Ah Si melihat pertempuran itu, hingga ia sampai lupa diri, tak henti-hentinya bertepuk tangan memuji jika terjadi suatu jurus yang indah.
"Pemuda ini memang cerdas," diam-diam Wan Thian Cik memuji tatkala diketahui bahwa Ciu Bing selalu mengikuti dengan penuh perhatian segala gerak permainannya (Thian Cik). Sengaja ia lambatkan gerakkannya untuk memberi ketika supaya pemuda itu dapat mengetahui.
"Tak kecewa pemuda ini menjadi jago nomor satu di kota raja. Ia dapat melayani aku sampai tigapuluh jurus." kembali Wan Thian Cik memuji tetamunya.
Demi dilihatnya Ciu Bing terdesak, Wan Thian Cik robah permainannya menjadi kendor hingga sekarang dapatlah Ciu Bing balas menyerang.
Gu Bing bukan orang tolol. Iapun tak mau menyerang sungguh. Dalam suatu kesempatan ia tusukkan ujung pedangnya ke dada Wan Thian Cik dan berseru: "Awas!" Tiba-tiba pedang itu berkeretek dan putus menjadi dua.
"Wan lo-enghiong makin tua makin gagah. Aku menyerah kalah." Katanya sambil membuang kutungan pedang. Sedemikian cepat adegan itu berlangsung sehingga Ah Si dan bujang lain-lainnya tak mengetahui bahwa sebenarnya yang memutuskan pedang itu adalah Ciu Bing sendiri.
"Ciu kongcu, kau terlalu memandang rendah loya," tiba-tiba Ih lh tertawa ejek. Ciu Bing menyangkal tuduhan bujang dara itu.
"Hm, apa kau kira loya tak mampu mematahkan pedangmu itu? Tusuk saja dengan sungguh, mengapa harus patahkan pedangmu sendiri?" seru Ih Ih.
Merah padam Ciu Bing dibuatnya. Ia merasa memang bersalah. Perbuatan itu boleh dilakukan terhadap orang yang lebih rendah kepandaiannya tapi berhadap seorang jago tua seperti Wan Thian Cik? ha! itu bisa dianggap seperti penghinaan.
Rupanya Wan Thian Cik tahu keadaan Ciu Bing. Buru-buru ia bentak Ih Ih supaya diam dan menyuruhnya pergi. Tapi ia memanggilnya kembali: "Malam ini aku hendak makan bersama Ciu kongcu. Suruh nonamu keluar menemani."
"Ciu kongcu, meskipun ilmupedangmu hebat tapi tak dapat menyamai ilmu tongkatmu. Ayo, kita bermain-main lagi. Kau gunakan tongkatmu dan aku pakai pedang. Kita masing-masing mengeluarkan ilmu perguruan kita," kata Wan Thian Cik.
Ciu Bing menyatakan baik. Tiba-tiba Wan Thian Cik mengajukan usul": "Kita. batasi pertandingan itu. Jika kau sanggup melayani aku sampai tigapuluh jurus, kalau aku memang, kau boleh memberi hadiah barang padaku, sebaiknya buku kuno saja. Tapi kalau aku...."
Sebagai orang yang licin cerdik, Ciu Bng segera tahu kemana tujuan hati Wan Thian Cik, buru buru ia berkata: "Kalau aku beruntung menang?"
Mendengar reaksi penyebutan itu diam-diam Wan Thian Cik memuji: "Pemuda ini benar-benar cerdik," Segera ia menggangguk "Sudah tentulah. Apa yang kongcu kehendaki aku tentu menurut."
Wan Thian Cik suruh Ah Si mengambilkan pokiam-nya. "Sudah sepuluhan tahun aku tak memakai pedang ini," kata Wan Thian Cik dengan tertawa.
"Itu sudah sewajarnya. Lo-enghiong teramat sakti, sekalipun tidak pakai senjata, siapa yang dapat menandingi?" kembali Ciu Bing mengobral senyum pujian.
Wan Thian Cik seorang jago tua yang tenar namanya tapi tak urung ia masih suka dipuji.
Setelah memperhitungkan bahwa tuan rumah tentu mengalah maka tanpa sungkan lagi Ciu Bing pun segera membuka serangan dengan loncat ke udara dan sabatkan tongkatnya ke pinggang Wan Thian Cik.
Karena tadi sudah melihat cara Ciu Bing melakukan serangan dengan melambung ke udara, maka kali ini Wan Thian Cik tak mau menghindar melainkan tabaskan pedangnya ke kaki orang.
Tongkat Ciu Bing itu lincah sekali dan dapat dimainkan menurut sekehendak hatinya. Ia tutukkan ujung tongkat ke batang pedang dan dengan meminjam tenaga itu, ia melambung naik lebih tinggi, dari situ ia tutukkan tongkatnya ke bahu orang.
Serangan istimewa itu dihindari oleh Wan Thian Cik. Tapi tak kurang istimewanya, di kala melayang turun, Ciu Bing tutukkan ujung tongkat nya ke tanah untuk melambung ke udara lagi. Dan lagi-lagi dari atas dia menutuk dada lawannya.
"Walaupun kakinya buntung tapi ternyata gerakannya masih tangkas sekali "Baik, hendak-kuberinya pelajaran yang lebih hebat," demikian Wan Thian Cik membatin dan segera ia sudah tutukkan ujung pedang ke tongkat dan tahu-tahu Ciu Bing terlempar sampai dua tombak jauhnya
Begitu melayang turun ke tanah, dengan sikap kim ke-tok-lip atau berdiri dengan sebelah kaki, Ciu Bing putar tongkatnya seperti angin puyuh untuk menyerang tuan rumah. Wan Thian Cik gunakan pedangnya untuk menahan dan gunakan tinjunya untuk memukul punggung orang. Tapi secepat kilat Ciu Bing sudah gunakan jurus hun-hwa-hut-tiu, Ia menjotos tapi di tengah jalan tangannya dibuka untuk menutuk dua buah jalan daran di lengani Wan Thian Cik.
Wan Thian Cik ganda tertawa, sekali kedua tanggannya bergerak, serangan Ciu Bing tadi dihalaunya Demikianlah Ciu Bing melanjutkan dengan serangan yang gencar, sebentar melambung ke udara dan sebentar menyerang dari bawah. Melihat itu Ong Ah Si melongo. Ia tak mengira kalau seorang berkaki buntung tetap begitu gesit sekali.
Pada jurus ke delapanpuluh satu tiba-tiba Wan Thian Cik berseru: "Ciu kongcu, awaslah!" Tinjunya bergantian menghantam kedua lengan pemuda itu, Pada waktu Ciu Bing sibuk hendak menghindar, tiba-tiba Wan Thian Cik membuka kepalan tangannya dan secepat k:lat menutuk jalan darah. Demikian dengan cara penyerangan semacam itu. Ciu Bing menjadi berkunang-kunang matanya. Ia merasa kesana kesini selalu dibayangi oleh berpuluh jari.
Pada saat Ciu Bing akan kena tertutuk, tiba-tiba Wan Thian Cik tertawa gelak-gelak dan merobah gerakannya, jarinya ditekuk menjadi kepalan tinju lagi dan pedangnya dikulaikan ke bawah. Dengan demikian bagian dadanya terbuka. Kesempatan itu tak disia-siakan Ciu Bing yang lalu buang tubuhnya ke belakang sambit tutukkan ujung tongkatnya ke jalan darah di lutut Thian Cik Seketika ia rasakan ada suatu tenaga kuat mengalir feDanjang batang tongkatnya. Tenaga itu seperti mendorongnya terlempar ke belakang. Setelah terhuyung-huyung sekian saat barulah ia dapat berdiri tegak pula.
Ketika memandang ke muka dilihatnya Wan Thian Cik tertawa berseri-seri dan masih berdiri tegak sambil mengusap lututnya.
"Jurus serangan yang hebat!" katanya kemudian dengan tertawa. "Ciu kongcu. kaulah yang menang! Nah, apa permintaanmu, boleh kau katakan saja."
Sudah tentu Ciu Bing tahu bahwa Wan Thian Cik sengaja mengalah padanya. Tapi karena orang tua itu sudah mengaku kalah sungguh-sungguh, terpaksa dengan muka merah dan ragu-ragu ia menjawab sambil memberi hormat: "Wan lo-enghiong, se.... sebenarnya siautit sangat kesengsem kepada puterimu yang serba pintar itu. Maka bila tidak keberatan, secara sembrono siautit ingin mengajukan lamaran."
"Hahaha!" Thian Cik tertawa. Rupanya hal ini memang sudah didalam dugaannya, Katanya: "Dapat memperoleh menantu anak menteri sebagai kau, sudah tentu aku merasa mendapat kehormatan besar. Cuma tidak tahu apakah orang tua mu dapat menyetujuinya?"
"Ayahpun sangat kagum kepada nama besar Wan locianpwe, maka bila perlu siautit akan terus memberi tahukan dengan surat dan diharap dalam waktu singkat ayah dapat mengajukan lamaran resmi," kata Ciu Bing.
Begitulah, memang kedua pihak sudah mempunyai maksud yang sama, maka soal perjodohan itu dengan sendirinya tidak banyak urusan lagi. Untuk selanjutnya keduanya calon mentua dan menantu itu lalu asyik tukar pikiran tentang ilmu silat pada umumnya.
Dan sudah tentu berita tentang diterimanya lamaran Ciu Bing atas diri Hian Kwan dengan cepat telah disampaikan kepada yang bersangkutan oleh pelayan kepercayaannya. Apa yang terjadi kemudian benar-benar di luar dugaan siapapun. Selagi Wan Thian Cik asyik makan minum dan berbicara dengan Ciu Bing, tiba-tiba datanglah Ih Ih dan menyampaikan secarik surut yang ditinggalkan Hian Kwan kepada ayahnya itu.
Mendadak air muka Wan Thian Cik berubah hebat sesudah membaca surat ringkas itu, "Hai dia sudah pergi?" serunya dengan lesu.
"Siapa yang pergi?" tanya Ciu Bing dengan heran.
"Siapa lagi kalau bukan puteriku yang kurang ajar itu." sahut Thian Cik. "Bing-ji, betapa pun urusan ini tentu akari kuselesaikan dengan baik. Kau sudah merupakan anggota keluargaku, maka bolehlah kau tinggal dengan bebas di sini, sementara ini biarlah aku mengundurkan diri dahulu."
Begitulah, dengan marah-marah ia lalu datang ke kamar sang puteri. Segera ia panggil Ih Ih dan ditanyai. Sesudah digertak dan diancam macam-macam siksaan, akhirnya Ih Ih mengaku dengan menangis: "Hamba.... hamba juga tidak tahu mengapa mendadak siucia menghilang, cuma.... cuma perubahan gerak gerik, siaucia ini terjadi sesudah.... sesudah menerima surat bambu dari.... dari Ku-tay-hiap."
"Ha, jadi Ku Pin yang telah mengacau?" teriak Thian Cik, "Apa yang dikatakan didalam suratnya itu?"
"Hamba.... hamba tidak tahu," sahut Ih Ih dengan tergagap-gagap, "Surat bembu itu dibawa oleh Ciong Put Ji. Hamba Cuma.... cuma melihat sekilas saja dan sebagian seperti.... seperti mengatakan Ku-taytaiap sudah mendapatkan akal untuk membasmi naga berbisa, sesudah binatang itu dibasmi, beliau minta siocia suka.... suka menemuinya di pulau Ceng-hi-to pada malam bulan purnama ini."
"Haa? Jadi keparat Ku Pin itu berani memancing putriku yang masih hijau? Benar-benar manusia berhati binatang!" damprat Thian Cik, "Ih Ih, kau ikut padaku!"
Dengan ketakutan Ih Ih hanya menurut saja. Segera Thian Cik perintahkan Ong Ah Si menyediakan dua ekor kuda tunggang. Melihat sang majikan marah-marah dan membawa senjata. Ah Si tidak berani banyak bertanya juga dan melaksanakan perintah itu.
Sesudah memberi pesan pula pada Ah Si agar melayani Ciu Bing dengan baik, lalu Thian Cik berangkat bersama Ih Ih dengan menunggang kuda. Setengah jam kemudian sampailah mereka di tepi danau agung yang luas itu.
Mereka menyewa sebuah perahu dan minta diantar ke pulau Ceng-hi-to. Tukang perahu kenal siapakah Wan Thian Cik itu, maka mendayungnya tambah cepat.
Sementara itu fajar sudah menyingsing. Tapi seluruh permukaan telaga itu diliputi kabut tebal sehingga hampir-hampir tak kelihatan dalam jarak dekat. Untung si tukang perahu sudah banyak berpengalaman sehingga perahu tetap laju. Jarak Ceng-hi-to itu antara limapuluh li jauhnya, ditaksir sote hari baru bisa sampai. Maka sesudah dahar siang, kesempatan itu lalu digunakan Thian Cik untuk tidur sejenak. Tinggal Ih Ih yang mengobrol dengan si tukang perahu di buritan perahu.
"Eh, tumben! Sudah sekian lamanya tida ada kapal dagang berani berlayar di telaga ini, baru hari ini kelihatan pula sebuah kapal dagang," kata si tukang perahu sambil menunjuk ke depan.
Waktu Ih Ih memandang ke depan, ia lihat sebuah kapal layar bertiang tiga sedang meluncur tiba dengan cepat menuju arah angin. Dari bendera yang berkibar di puncak tiang kapal itu tertampak tersulam sebuah huruf ?Tan? yang besar.
"Itu bukan Kapal dagang, tapi adalah kapal bajak!" kata Ih Ih sambil mengerut kening. Waktu ia melongok ke dalam perahu, ia lihat majikannya masih tidur nyenyak. Segera ia ringkaskan bajunya dan dengan perlahan ia melompat ke alas atap perahu.
Tidak lama kemudian, kedua perahu sudah hampir saling simpangan. Mendadak seorang pemuda yang berdiri di haluan kapal layar itu berteriak: "Hai, perahu itu, berhenti! Lekas berhenti!" Berbareng itu juru mudi kapal itu sekonyong-konyong membanting stir sehingga haluan kapal itu seakan-akan menumbuk kearah perahu Ih Ih. Keruan si tukang perahu kaget dan menghentikan perahunya.
Ih Ih menjadi gusar dan mendamprat: "Kurangvajar! Apakah kalian sudah buta? Jalan selebar ini, kenapa main gila dan hendak menabrak perahu orang?"
"Haa, kau budak cilik ini manusia apa, kau berani sembarangan memaki orang? Apa kau tidak kenal Pat-ko-ciu (delapan tokoh) dari Cin-tik yang ditakuti di Tay-cu. ini? Barangkali kau sudah bosan hidup, ya?" demikian damprat pemuda itu.
"Eh garang amat. Memangnya kau Pat-ko-ciu ini siapa yang mengangkat? Enak saja mengaku diri sebagai tokoh apa segala?" balas Ih Ih.
"Budak setan!" maki pemuda itu "Aku Tan Hwat tidak mau membunuh orang yang tak bernama, lekas kau panggil keluar majikanmu saja."
"O, kiranya kau bernama Tan Hwat? Kenapa kau mesti susah-susah hendak menemui majikanku? Seorang budak dari Wan-keh-ceng saja sudah cukup untuk menghajar kau!"
"Jadi kau...." baru Tan Hwat hendak menegas, tiba-tiba di atas geladak kapalnya telah bertambah dengan empat orang dan semuanya bersenjata. Ternyata ada dua buah kapal layar lain telah merapat pula. Terang mereka adalah sekomplotan dengan Tan Hwat.
"Bagus! Semakin banyak semakin baik! Apa kalian mau maju sekaligus atau minta dibajar nona satu persatu?" seru Ih Ih tanpa gentar. "Agar kalian tidak mati penasaran, lebih dulu laporkan nama kalian"
Untuk sejenak pendatang-pendatang baru itu agak keder terhadap sikap Ih Ih yang garang itu. Dari pengakuan mereka diketahui bahwa yang bersenjata toya bernama Tan Kiat, yang bersenjata khik bernama Tan Cong, yang bertombak bernama Tan Cun dan yang bergolok bernama Tan Ping
"Wah benar-benar tokoh-tokoh tersohor semua, sudah lama aku kagum" ujar Ih Ih. "Eh, Tan Cun, siapa lagi kawan yang berada di belakangmu itu?".
Dan baru saja Tan Cun menoleh sedikit lena itu telah digunakan Ih Ih untuk melompat maju, sekali depak "plung" Tan Cun telah ditendang masuk ke dalam telaga.
Keruan Tan Kiat dan Tan Cong menjadi gusar. Serentak mereka menerjang maju. Namun sekali Ih Ih putar pedangnya, sekaligus kedua lawannya didesak mundur.
Selagi lh Ih hendak mengolok-olok pula, sekonyong-konyong terdengar orang menggertak, berbareng golok lawan telah menyambar tiba2. Saking kerasnya tebasan itu sehingga terpaksa Ih Ih melompat mundur.
Waktu ia memperhatikan, tak tertahan lagi ia terbahak-bahak sambil menuding: "Hi hi hi! Ha ha ha! Burik! Apakah mukamu bekas kena parut?"
Orang burik itu bukan lain adalah Tan Ping, Pangcu atau kepala dan Tin-tik-pang. Dia adalah tokoh terkenal di propinsi Hok-kian, cuma paling akhir ini dia diuber-uber oleh pemerintah, maka dengan membawa saudara saudara angkatnya yang tunggal she Tan mereka bermukim di Thay-ou sebagai pangkalan baru. Pada umumnya orang cacat paling serik kalau diolok-olok tentang cacadnya itu. Keruan Tan Ping menjadi murka. "Budak kurang ajar! Apa kau cari mampus?"
"Benar, toako, balaskan sakit hatiku!" seru Tan Cun yang sementara itu sudah merambat naik lagi ke atas kapal.
Kepandaian Tan Ping menang jauh lebih lihay daripada kawan-kawannya, maka dengan cepat ia telah menerjang maju lagi. Beruntun ia melancarkan beberapa kali serangan membacok, membabat, menoiong, sehingga Ih Ih agak kerepotan menangkisnya.
Pada jurus kelima, mendadak Tan Ping menikam dengan goloknya, berbareng sebelah tangannya menukul sambil melangkah maju dan menggertak: "Awas pukulan!"
Untuk menghindari tikaman itu, terpaksa Ih Ih melompat mundur lagi. Dan baru ia hendak balas menyerang, sekonyong-konyong bahunya tersampok pukulan Tan Ping.
Seketika Ih Ih kehilangan imbargan badan dan tanpa ampun lagi ia terjungkal ke belakang dan tercebur ke dalam telaga.
Selagi ia gelisah betapa malunya kalau sampai basah kuyup, tiba-tiba ada orang melemparkan sebilah papan ke bawah kakinya. "Lekas gunakan tiam-cui-ceng-thing!" teriak orang itu.
Ih Ih menurut, begitu menginjak papan ia lalu pinjam tenaga untuk melambung ke udara dan melayang lagi ke atas perahu si bajak. Tan Cun cepat menusuknya dengan galah tapi dapat ditabas putus oleh Ih Ih.
"Budak hina, kau mau bikin huru hara lagi!" teriak Tan Ping seraya ayunkan goloknya.
"Loya!" tiba-tiba mulut Ih Ih berteriak kaget-kaget girang demi dilihatnya Wan Thian Cik muncul. Pun Tan Ping terkesiap kaget melihat jago tua yang sikapnya masih gagah perkasa itu. Apakah kau majikan dari budak liar itu?" seru Tan Ping.
Tan Hwat buru-buru membisiki toako-nya jangan-jangan orang tua itu adalah Wan Thian Cik.
"Aha, kalian terlalu menghormat aku, mau merampas perahuku, salahkanlah!" sahut Wan Thian Cik.
"Tentu masakan kami takut padamu seorang tuabangka," teriak Tan Ciau.
"Jangan hiraukan dia, pokok kita labrak dulu budak itu," seru Tan Hwat.
Tan Ping hendak mencegahnya tapi Tan Cun sudah loncat ke payon perahu.
"Bum", hanya sekali kibaskan lengan baju, Wan Thian Cile telah melempar Tan Cun jungkir balik ke dalam perahunya sendiri. Begitu cepat jago tua itu bergerak sampai sekalian anakbuah bajak tak mengetahui. Tan Cang, Tan Su dan Tan Kiat menghunus senjata dan loncat ke atas payon perahu. Tapi bagaimanapun mereka menyerang dengan mau-matian, ujung baju jago tua tak mampu dikenainya. Bahkan sekonyong-konyong ketika orang itu terperosok jatuh ke bawah, mangkok. piring dan semua perabot makan sama hancur berantakan.
"Kalian harus mengganti, kalau tidak bantu kulaporkan kepada Wan cung-cu," si tukang perahu berkaok-kaok. Kejut ketiga saudara Tan itu tak terkira. Diam-diam mereka mengeluh.
"Apakah kau yang bernama Tan Ping, pemimpin Tin-tik-pat-ko-ciu?" tegur Wan Thian Cik.
Tan Ping mengiakan dan mohon petunjuk.
"Memberi petunjuk sih tak berani, hanya akan menanyakan dua buah hal saja," sahut Wan Thian Cile.
Tersipu-sipu Tan Ping bersedia mengganti kerugian dan berkunjung ke rumah jago tua itu untuk mohon maaf.
"Tahukah kau daerah apa ini? Sudah berpuluh tahun aku menetap di sini, namun tak berani aku mengagulkan diri sebagai ko-ciu," Wan Thian Cik mulai mendamprat. Kemudian tanyanya: "Siapakah yang memberi gelaran ko-ciu kepadamu itu?"
"Dia mengangkat dirinya sendiri!" Ih Ih menyeletuk.
Saat itu Tan Cong bertiga sudah merayap ke atas geladak.
Kawanan Tin-tik-pat-ko-ciu itu sudah ciut nyalinya. Hanya Tan Hwat seorang yang berani bersuara: "Orang bilang Wan Thian Cik itu pemimpin dunia persilatan, ha, ha, kiranya hanya seorang yang suka mengagulkan kepandaiannya menindas orang. Apakah telaga ini milikmu? Mengapa kau tak ijinkan kami cari makan di sini?"
Wan Thian Cik merah padam. Memang sejak puterinya minggat, ia lekas naik darah. Untung Ih Ih yang cerdas dapat menyelamatkan muka majikannya, katanya: "Salah paham adalah urusan yang lumrah terjadi dunia persilatan. Apa yang terjadi tadi, menjadi tanggung jawabku semua, memang tak seharusnya aku menyalahi Tan ji-ya."
Wan Thian Cik pun takkan menarik panjang urasan itu. Ketika ia hendak berlalu. Tan Ping mencegahnya dan memberinya sekotak intan permata. Wan Thian Cik menolak tapi Tan Ping mendesak dan akhirnya memberikan kepada si tukang perahu selaku pengganti kerugian barang-barang yang pecah tadi.
Selanjutnya dalam pembicaraan, Tan Ping menuturkan nasibnya dan mohon diberi perlindungan untuk menetap di telaga Thay-ou situ. Tentang munculnya naga jahat, Tan Ping dan saudara-saudaranya bersedia membantu usaha Wan Thian Cik. Wan Thian Cik menerima uluran bantuan itu karena ia anggap tak sepadan kalau berkelahi dengan Ku Pin maka ia hendak adu kedelapan orang itu dengan Ku Pin.
Demikianlah singkatnya mereka berangkat menuju ke pulau Ceng hi-to. Untuk itu mereka harus menempuh perjalanan selama delapan jam lagi.
Sekarang kita menjenguk tentang diri Hian Kwan. Ia menyesal dan marah dengan keputusan ayahnya hendak menikahkan ia pada Ciu Bing. Setelah menimbang bolak balik, akhirnya ia ambil keputusan untuk minggat mencari orang yang telah mencuri hatinya itu. "Aku cinta pada Ku Pin. entah ia sudah beristeri atau belum, entah dia dapat menikah dengan aku atau tidak, itu bukan soal. Pokok aku hendak menjumpai orang yang kupuja," demikian ia membulatkan tekad.
Ia menyewa sebuah prahu untuk berlayar ke pulau Ceng-hi-to. Di tengah jalan ia berpapasan dengan perahu Tan Su menahan perahu si nona, tapi Hian Kwan menantang supaya Tan Su memanggil kedelapan saudaranya.
"Siapa yang jadi pemimpinnya?" seru Hian Kwan.
"Aku, Tan Ping. Nona kecil, kalau mau main-main silakan ke pesiar, mengapa menantang pada kami?" kata Tan Ping.
"Karena kalian telah menyalahi puteri Wan Thian Cik dari Sociu," sahut Hian Kwan.
Kedelapan bajak itu terbeliak kaget. "Tan Su, apakah kau berani melapor pada ayahku kalau aku cari perkara padamu?" Tan Su tergopoh-gopoh memberi hormat dan menyatakan tak berani.
"Tapi itu bukan berarti maksudku tadi lalu batal. Tan Ping, kalian, berdelapan boleh maju berbareng." seru Hiap Kwan.
Karena malu akhirnya Tan Ping menerima tantangan itu. Begitulah Hian Kwan segera ajak mereka berlabuh di sebuah pulau kosong.
"Tan Ping, mau berkelahi dengan tangan kosong atau pakai pedang?" tanya Hian Kwan. Untuk itu Tan Ping menurut saja. Hain Kwan menyatakan menghadapi mereka dangan tangan kosong karena kalau memakai pedang, mereka tentu tak kuat sampai sepuluh jurus.
"Kau sendiri yang menghendaki, kalau kalah jangan menangis dan mengadu pada ayahmu. Ini kami katakan lebih dulu," kata Tan Ping.
Hian Kwan tertawa: "Akupun perlu menjanjikan dulu, kalau aku memang kalian harus memberi aku sekotak permata."
"Sepuluh kotakpun boleh, asal kau menang." sahut Tan Ping.
"Masih ada lagi. Kalau bertempur, kalian berdelapan harus maju serempak, kurang satu aku tak mau," kata Hian Kwan.
"Biar aku satu lawan satu dengan kau!" teriak Tan Ping dengan kalap.
"Bagus, aku dapat memberi kemurahan lagi. Aku tentu merubuhkanmu dalam sepuluh jurus. Kalau kau merasa kebanyakan, jurusnya boleh di kurangi," Hian Kwan seperti mengasihani mereka.
"Siapa sudi minta kemurahan padamu. Kita bertanding secara adil."
"Bopeng, marilah, jangan banyak omong lagi!" seru Hian Kwan. Tan Ping paling benci kalau dimaki 'bopeng? maka dengan gusar ia segera menebaskan goloknya.
"Ai bopeng, jadi kau pakai senjata, ya, sudahlah, kuberi kemurahan," seru Hian Kwan. Sekali manggeliat ia kebutkan lengan bajunya ke arah jalan darah orang. Tan Ping juga pandai ilmu menutuk. Dengan tangan kiri ia mencengkeram lengan orang, goloknya memapas pinggang.
Menjelang jurus-jurus ke sembilan, Hian Kwan menggunakan ilmu pukulan Siau-lim-si, Tan Ping berhasil menangkis dan meneruskan jarinya untuk menutuk iga, tapi sekonyong-konyong Hian Kwan kebut-kebutkan lengan bajunya. Kebutan itu mengeluarkan angin keras hingga Tan Ping berkunang-kunang matanya dara sebelum tahu apa-apa ia sudah terjungkal rubuh. Tan Hwat dan kawan-kawan segera maju menolong,
"Serangan bagus, jatuhnyapun bagus. Sepuluh jurus tidak lebih tidak kurang," seru Hian Kwan.
Tan Ping merah padam. Tapi mau tak mau ia harus menyerah kalah dengan ilmu tutukan jari Siau-lim dari si nona,
"Bagaimana, kau mengaku kalah tidak?"
Tan Ping mengiakan dan Hian Kwan segera menagih janjinya: "Bawa kotak-kotak itu kemari, biar kupilih sebuah."
Bermula beberapa saudaranya tak setuju tapi Tan Ping memberitahukan mereka bahwa kepandaian nona itu di atas mereka.
Akhirnya Hian Kvvan memilih sebuah kotak yang berisi intan permata mahal. "Kalau kuserahkan ini pada Ku Pin, ia tentu girang sekali," katanya."
"Apa? Kau hendak serahkan kotak itu pada Ku Pin? Kalau kau ambil sendiri, aku rela. Tapi kalau hendak kau berikan pada Ku Pin biar kepalaku hilang, aku tetap akan menentang," seru Tan Ping.
"Ini sudah menjadi milikku, peduli apa kuberikan kepada siapa saja. Kalau kau hendak mengambilnya kembali, boleh saja asal kau mampu," Hian Kwan Menantang.
Tan Ping memberi komando kepada saudara-saudaranya untuk maju menyerbu. Karena mereka sama menghunus senjata maka Hian Kwan pun mencabut sepasang pedangnya. Kalau satu lawan satu. Hian Kwan tentu dapat mengalahkan setiap Tin-tik-pat-ko-ciu. tapi karena dikeroyok ia sibuk juga.
"Aduh!" tiba-tiba Tan Cong menjerit karena termakan tamparan Hian Kwan. Kepalanya berkunang-kunang dan terpaksa mundur. Menyusul Tan Ciau terjungkir balik dan Tan Ping yang menyergap dari belakang juga dipaksa mencium tanah, Untuk Tan Cong yang menerjang dari muka, Hian Kwan menyambutnya dengan sebuah tendangan. Tan Ing dan Tan Kiat kena dihalau dengan tangkai pedang.
Tiba-tiba Hian Kwan merasa ada angin menyambar dari belakang. Tanpa barpaling ia balikkan tangannya menghantam ke belakang. Tapi ia terkejut demi pukulannya itu seperti jatuh pada kapas lunak. Buru-buru ia tambahkan tenaganya tapi sekonyong-konyong tenaga orang itu lenyap hingga tubuh Hian Kwan sendirilah yang condong ke belakang, sedang tangannya itu tetap dilekat oleh orang di belakang tadi.
"Tolol, mengapa tak lekas turun tangan!" teriak orang itu. Nadanya yang perkasa menandakan kalau orang itu ahli Iwekang yang tinggi. Dan yang terang tentu bukan salah seorang dari kedelapan bajak itu.
Dengan girang Tan Hwat segera melakukan perintah itu. Ia menampar pipi Hian Kwan, tapi dengari gerak coan-ciam-in-sian, Hian Kwan cukilkan ujung pedangnya ke urat nadi lengan orang. Tan Hwat dengan lengan berlumuran darah mundur. Orang di belakang itu menghela napas dan memaki Tan Hwat sebagai manusia yang tak berguna. Dalam pada itu setelah dapat menghalau mundur Tan Hwat, secepat kilat Hian Kwan berputar tubuh ke belakang, tapi yang tampak hanya sesosok bayangan kelabu melayang di atas perahu dan pada lain kejab sudah menghilang. Ia tak sempat melihat bagaimana roman muka orang itu. Hanya kalau dilihat dandanannya, terang bahwa orang itu adalah seorang imam.
Biru Hian Kwan merenung-renung siapakah gerangan orang itu mendadak Tan Cun menyerang dengan tombaknya. Tapi Hian Kwan tidak menjadi gugup. Hanya dengan sekali menangkiskan pedangnya, ia dapat membuat kutung tombak Tan Cun telah tertutuk jalan darahnya.
Demikianlah, hanya dalam waktu yang singkat satu demi satu Hian Kwan dapat menjatuhkan kedelapan kawanan bajak yang merajai di telaga Thay-ou itu.
Hian Kwan memandang mereka satu persatu dengan pandangan tajam. Ia tahu bahwa orang asing yang menyerang dari belakang tadi tentulah komplotan mereka. Kemudian katanya: "Siapa imam baju kelabu itu tadi? Ayo lekas bilang!"
Tapi tidak satupun di antara mereka yang mau memberi jawaban.
Melihat pertanyaannya tidak mendapat tanggapan Hian Kwan menjadi jengkel dan marah: "Ha, apa kalian sudah tuli? Lekas jawab!" bentaknya sambil ancamkan ujung pedangnya ke tenggorokan Tan Hwat. Tapi Tan Hwat deliki mata dan tak mau menerangkan.
-^dwkz^smhn^- Pertemuan Hian Kwan siapkan segenggam jarum bu-ing-sin-ciam lalu melangkah ke perahu besar. Jarum itu sebenarnya jarum sulam tapi karena pada waktu ditaburkan tak kelihatan wujud dan suaranya makan kaum persilatan memberinya julukan bu-ing-sin-ciam (jarum tanpa bayangan).
Tapi di dalam tiga buah perahu besar itu Hian Kwan tak dapat menemukan jejak si imam tadi. Apa boleh buat. Setelah suruh tukang perahu mengambil kotak permata, ia segera berlayar ke pulau Ceng-hi-to.
Perahu berlabuh di bawah sebuah karang besar. Setelah makan malam Hian Kwan menyuruh si tukang perahu tidur. Seorang diri Hian Kwan duduk di buritan perahu. Rembulan memancarkan sinarnya yang gilang gemilang ke permukaan telaga. Hian Kwan mengeluarkan surat-kayu dari Ku Pin dan dibacanya berulang-ulang. Pikirannya melamun, begaimana nanti apabila berjumpa dengan Ku Pin.
Entah sudah berapa lama ia termenung-menung dalam lamunan itu. Ketika mendongak ke langit ternyata rembulan sudah jauh di sebelah atas, menunjukkan sudah lewat tengah malam. Setelah meragu sebentar akhirnya ia loncat ke pesisir. Ia berjalan tanpa tujuan, melintasi gunung menyusup hutan, mulutnya tak henti-hentinya memanggil Ku Pin. Ingin ia berteriak keras agar didengar Ku Pin, tapi ia merasa kurang pantas. Akhirnya ia mendapat akal. Cari tempat yang teduh lalu meniup seruling. Dan ia memilih sebuah tempat yang indah berhadapan sebuah aliran sungai yang airnya berasal dari air terjun. Sekelilingnya ditumbuhi pohon bunga tho, kemudian ia mulai meniup serulingnya pelahan-pelahan.
Tiba-tiba dari arah pesisir sana terdengar air menggemerencah. Hati Hian Kwan berdebar keras: "Apakah Ku Pin datang?" pikirnya. Dalam malam sesunyi itu, setiap suara yang bagaimana kecilnyapun tentu kedengaran: "Hm, katanya hendak menunggu kedatanganku, ternyata aku yang datang lebih dulu. Awas, nanti kalau bertemu, tentu kuolok-oloknya."
Ia loncat ke atas sebuah karang besar dan mendekam di situ. Tampak sesosok tubuh kecil kurus menerobos dari belakang sebuah karang di sebelah sana. Dari pakaiannya yang serba hitam dan perawakannya yang pendek langsing, terang orang itu kaum persilatan. Tapi yang dirasakan aneh oleh Hian Kwan, gin-kang orang itu istimewa sekali entah dan golongan partai mana.
"Perawakannya bukan seperti Ku Pin. Siapakah ia?" diam2 Hian Kwan bertanya dalam hati.
Waktu hendak mengejar ternyata orang itu sudah lenyap.
Ketika Hian Kwan balik kembali ke tepi aliran sungai, tiba-tiba terdengar sebuah suara perkasa yang lemah lembut: "Nona Wan, aku Ku Pin dengan hormat menunggumu di sini sampai lama."
Hian Kwan terbeliak dan ketika mengawasi ternyata di tepi sungai itu berdiri seseorang. Siapa lagi kalau bukan Ku Pin, orang yang dirindunya siang malam.
"Kau.... kau sudah datang...." dengan nada getar dan terputus-putus Hian Kwan menegur. Ia memandang sekejab pada Ku Pin lalu tundukkan kepala. Tangannya memain ujung baju tapi mulutnya serasa terkancing karena kata2 yang sudah dirancang tadi, saat itu entah lenyap ke mana.
Ku Pin mempersilakan si jelita duduk pada sebuah batu, lalu Ku Pin sendiri mengambil juga sebuah batu. Batu itu tak kurang lima-enam ratus kati beratnya tapi dapat dipindah Ku Pin dengan enak saja.
"Kau hebat sekali!" Hian Kwan tertawa memuji.
"Ah, nona kelewat menyanjung," sahut Ku Pin.
"Ku tayhiap, sejak kau lenyap, aku dan ayah selalu mencemaskan dirimu dan mencarimu ke mana-mana. Jika mendapat tahu tak kurang suatu apa, ayahku tentu girang sekali," kata Hian Kwan setelah beberapa saat terdiam.
Ku Pin menerangkan bahwa ketika dilempar oleh si naga ke dalam telaga, ia hanya terluka sedikit. Karena pandai berenang, maka ia dapat mencapai sebuah pulau kosong. Teringat akan perjanjiannya, bergegas-gegas ia datang ke pulau Ceng-hi-to situ.
"Bagaimana dengan lukamu?" tanya Hian Kwan.
Ku Pin mengatakan hanya terluka sedikit tak membahayakan. Ia haturkan terima kasih atas perhatian nona itu. Hian Kwan minta Ku Pin jangan bersikap seperti orang asing karena pada hakekatnya mereka adalah kawan seperjuangan membasmi si naga jahat. Ku Pin mengiakan.
"Maka selanjutnya aku memanggilmu Ku Pin dan panggillah aku Hian Kwan. Tak usah kita berbahasa tayhiap dan nona Wan lagi," kata Hian Kwan.
"Sudah tentu aku menurut perintah nona Wan...."
"Ha, kau mulai lagi!" Hian Kwan tertawa.
"Ya, ya, aku salah harus dihukum," Ku Pin tertawa. Keduanya sama-sama tertawa keras dan lenyaplah seketika rasa kikuk mereka.
"Kau minta dihukum, nah, aku hendak meng hukummu."
"Ya, ya, apapun hukuman yang kau jatuhkan, aku tentu menerimanya," Ku Pin tetap tertawa.
"Kuhukum kau menari seperti monyet dan berjumpalitan dua kali"
"Baik. baik," Ku Pin tertawa ge!ak2 lalu benar2 menari monyet dan berjumpalitan sampai dua kali. Hian Kwan bertepuk-tepuk dan tertawa keras. Walaupun umurnya sudah duapuluhan tahun tapi sifat kekanak-kanakan masih belum lenyap.
Habis menari Ku Pin lalu duduk dan tertawa tak henti-hentinya. Beberapa saat kemudian tiba2 Hian Kwan berhenti tertawa dan tertegun.
"Hian.... Hian Kwan, ha, ha, hampir saja tadi aku menjadi sirkus monyet, hai, mengapa kau tertegun?"
"Tadi kulihat ada seorang aneh entah siapa. Tapi rasanya pulau ini tiada penghuninya."
Ku Pin terbeliak kaget dan buru2 menanyakan bagaimana potongan orang itu. Hian Kwan menyatakan bahwa dalam malam segelap itu ia tak dapat melihat jelas akan potongan muka orang itu. Tapi perawakannya kurus langsing. Seketika berobahlah muka Ku Pin dan mulutnya berseru: "Ia...."
"Apa kau kena!?" tanya Hian Kwan.
Jantung Ku Pin merasa melonjak. Menurut apa yang digambarkan Hian Kwan, bukan saja ia kenal baik dengan orang itu, pun rapat sekali hubungannya. Serentak ia berbangkit dan setelah memandang keempat penjuru, barulah hatinya tenteram dan menghela napas. Ia menyahut pertanyaan Hian Kwan dengan gelengkan kepala.
Hian Kwan heran atas sikap Ku Pin tapi dengan alasan yang tepat dapatlah Ku Pin mengalihkan perhatian si nona. Sekalipun begitu, selama beberapa saat Ku Pin tak kedengaran bicara. Ia duduk bertopang dagu.
"Ku Pin, kau undang aku kemari apakah perlunya supaya melihat kau terlongong-longong? Ya, bilanglah, apa perlunya kau undang aku kemari?" akhirnya Hian Kwan membuka kesunyian itu.
"Hian Kwan, ucapanmu itu sukar dijawab, aku...."
"Bagaimana? Masakan seorang lelaki tak dapat bicara dengan lampias?" Hian Kwan marah dan berseru keras.
"Bermula yang berjanji untuk bertemu adalah kau. bukan aku, ingatkah kau?" kata Ku Pin. Hian Kwan mengiakan.
"Itulah maka seharusnya aku yang hendak bertanya, apa perlunya kau undang aku mengadakan pertemuan ini?" tanya Ku Pin.
Pertanyaan itu telah membuat Hian Kwan tersipu-sipu merah dan tundukkan kepala, tak dapat menyahut. Hati jelita itu tertusuk, jantungnya mendebar keras dan tubuhnya gemetar.
"Untuk apa kau undang aku dalam pertemuan itu, mungkin kapat kuduga. Adanya kuundang malam ini kau kemari adalah karena hal itu. Hian Kwan, kau suka padaku, bukan?"
Hian Kwan melengos, sampai lama ia tak mau memandang Ku Pin, bisiknya: "Entahlah."
"Sungguh?" Ku Pin menegas.
"Kau suruh aku.... menyahut bagaimana?" kata Hian Kwan.
Ku Pin tersenyum, "Kalau begitu buatlah sebuah perumpamaan"
Setelah merenung sejenak, Hian Kwan lalu mengambil dua batang jarum bu-ing-sin-ciam dan diletakkan berhadap-hadapan di tanah, "Lihatlah," katanya. Jelita itu kemerah-merahan wajahnya, malunya bukan kepalang.
Tiba-tiba Ku Pin berbangkit dan memeluknya. Dalam rayuan Ku Pin, lupalah si jelita bahwa sebenarnya ia adalah calon isteri Ciu Bing, lupa bahwa Ku Pin itu sudah beristeri dan lupa pula akan segala nasehat ayahnya. Hian Kwan seolah-olah kehilangan kesadaran pikirannya.
"Hian Kwan, bagaimana aku harus membalas budimu?" kata Ku Pin.
"Membalas budi? Bukankah kau juga suka padaku?" bisik Hian Kwan dengan pelahan sekali.
"Bukan melainkan suka saja tetapi aku cinta padamu. Aku seolah-olah gila...."
Menggigillah tubuh Hian Kwan: "Kau cinta padaku dan aku cinta padamu. Tak ada persoalan lagi. besok kirimkan comblang.... aku tentu menerimanya. Perlu apa kau menghela napas?"
Ku Pin kembali menghela napas: "Apakah persoalannya semudah itu?"
Sudah dua kali Ku Pin menghela napas dan sekarang tersedarlah Hian Kwan. Segera ia meronta dari pelukan Ku Pin dan berseru: "Ku Pin, apa maksudmu?"
Ku Pin segera menariknya duduk iapun memberi hormat: "Hian Kwan, apabila kau dengar keteranganku nanti, jangan marah. Kita harus berpikir secara orang dewasa, jangan seperti anak kecil."
Kini kesadaran Hian Kwan mulai kembali. Ia insyaf siapa Ku Pin itu. Ia sudah dapat menduga apa yang henduk dikatakan Ku Pin, tapi ia tetap meminta Ku Pin mengatakan.
"Hian Kwan, dengarlah. Dalam lubuk hatiku kau seorang pendekar wanita yang gilang gemilang. Kujunjung, kuhormatimu serta kumuliakanmu. Bagi orang yang dimabuk asmara, segala apa yang ada pada sang kekasih itu baik semua.... Kau tak tahu, pada malam itu diam-diam aku telah masuk ke dalam kamar dan mengambil beberapa benda"
"Kutahu!" tukas Hian Kwan.
Ku Pin tersentak kaget: "Jadi kau...."
"Itulah maka kukatakan aku cinta padamu dan kau cinta padaku. Ya, kutahu bahwa kau mencintai aku. Apa yang kaukatakan kepada Ciu Bing malam itu, hanyalah membohonginya saja...."
"Jadi kaupun mendengar juga?" seru Ku Pin. Hian Kwan mengangguk.
"Apa yang dikatakan Ciu Bing itu benar. Asal kedua fihak sudah saling mencinta, itulah cukup. Mengapa kau perlu mengelabuhi Ciu Bing," katanya pula.
"Hian Kwan, ketahuilah. Apa yang kukatakan kepada Ciu Bing itu sekali-kali tak bohong," bisik Ku Pin dengan lembut. Betapa halus kata-kata itu diucapkan Ku Pin namun bagi Hian Kwan merupakan bunyi halilintar di tengah hari.
"Apa? Apa kau bilang?" teriaknya,
"Hian Kwan, kau sudah meluluskan takkan marah. Mengapa kau marah lagi? Kita bukan anak kecil, harus memakai kepala dingin. Hian Kwan...."
"Tapi mengapa kau bilang cinta padaku? Hm, apakah kau juga menipu aku?" tukas Hian Kwan.
Ku Pin menghela napas lagi, ujarnya: "Aku cinta padamu, itulah sungguh-sungguh. Apakan kau tak mengerti? Tetapi, aku sudah beristeri, aku mempunyai rumah tangga dan mempunyai nama kehormatan. Aku telah berjanji pada diriku sendiri, takkan berhubungan dengan wanita lain. Hian Kwan, demi kehormatanku, sejak aku berjumpa denganmu, timbullah bibit kasih yang murni dalam hatiku. Kukatakan murni, karena sifat-sifatnya yang tak dipengaruhi nafsu. Hian Kwan, kata orang, pernikahan adalah hasil dari rangkaian asmara. Tapi, dapatkah aku memperisterikan kau? Dapatkah kau menikah padaku?"
Belum habis kata-kata itu diucapkan, pecah lah sebuah tangis Hian Kwan: "Tetapi mengapa kau undang aku kemari? Mengapa kau tak lekas-lekas pulang saja? Kau undang aku kemari apa kah semata-mata suruh aku memdengar kata-katamu semacam itu?"
Ku Pin hendak mengusap airmata si jelita dengan lengan bajunya tapi nona itu menolaknya. Ia masih terisak-isak.
"Kalau tak kuundang kau untuk menerima penjelasan ini, bagiku tak begitu menderita tapi bagimu benarlah kiranya penderitaan batinmu. Hian Kwan, hatimu sedia tapi apakah hatiku juga tak hancur? Ah, dalam beberapa hari ini aku selalu terbayang-bayang wajahmu. Beberapa aku berdaya untuk menghapus bayanganmu di dalam hatiku, tapi sia-sia. Jika keadaan ini berlarut-larut, kita berdua pasti akan terbenam dalam penderitaan, Hian Kwan, untuk kepentingan-mu dan kepentinganku, aku harus mengatakan hal ini kepadamu. Aku tahu bahwa kata-kataku tentu menusuk perasaanmu dan menghancurkan impianmu. Tapi Hian Kwan, maafkanlah aku. Dalam penghidupan yang sekarang aku tak dapat membalas budimu, biarlah dalam penjelmaan besuk, aku menjadi budakmu...." Ku Pin tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tertahan oleh kucuran airmatanya.
Hian Kwan makin membanjir airmatanya.
Hian Kwan mengusapkan lengan bajunya ke mata Ku Pin: "Ku Pin, tak usah kau lanjutkan kata-katamu, aku sudah mengerti. Aku telah mendapatkan orang yang tahu isi hatiku sudah cukup."
Ku Pin mengusap airmata si jelita, ujarnya: "Hian Kwan, kelak kepada siapapun kau akan menikah, aku tetap mencintaimu. Sekalipun kelak kau lupa padaku, namun aku tetap cinta padamu."
Kata-kata itu telah menggerakkan hati sijelita yang dengan airmata bercurcuran deras, segera memberikan ikrarnya: "Ku Pin, karena kau tak dapat menikah padaku, akupun tak mau menikah kepada siapapun. Aku hendak berkelana seorang diri. Setiap matahari terbit dan matahari tenggelam akan selalu kukenang wajahmu."
"Ah, jangan berpikiran begitu. Hian Kwan. Jangan mensia-siakan kemudaanmu, Menikahlah dengan orang yang kau setujui. Biarlah siang malam aku berdoa untuk kebahagianmu. Kebahagiaanmu berarti juga kebahagianku."
Demikianlah kedua kekasih itu masing-masing tumpahkan seluruh isi hatinya dengan asyik masyuk sampai tiba-tiba mereka dikejutkan oleh sebuah suara dingin yang berasal dari atas air terjun.
"Siapa?" tegur Ku Pin.
"Aku masakan kau tak kenal?" sahut orang di atas air terjun itu.
"Kurang ajar, biar kuhajarnya orang itu," seru Hian Kwan yang mengira kalau orang itu berani mengintai.
Dengan gunakan ginkang, cepat ia sudah naik ke atas. Ku Pin buru-buru mencegahnya, tapi Hiang Kwan sudah lepaskan tiga batang bu-ing-sin-ciam. Tetapi orang itu hanya tertawa sinis dan lenyap. Dan ketika Hian Kwan mencapai puncak, ia hanya mendapatkan bayangan kosong saja.
Kembali Ku Pin memanggil Hian Kwan. Si jelita dengan geram menyumpahi: "Enak sekali, ia dapat melarikan diri."
"Hian Kwan. kubilang jangan hiraukan dia, mengapa kau tak mengindahkan kata-kataku? Baiklah, kita harus berpisah, Hian Kwan, apa yang kuutarakan padamu tadi, anggap saja sebagai 'bayangan di kaca, rembulan di sini', jangan menganggap secara sungguh-sungguh."
Menggigilah seluruh sendi tulang Hian Kwan: "Apa katamu? Kau minta aku lupakan pembicaraan kita tadi? Kau bilang cinta padaku selama lamanya, mengapa kau katakan hanya sebagai bayangan di kaca?"
"Kau seorang gadis yang suci murni, mengapa harus ditambah noda. bukankah akan membuat sengsara padamu?" Ku Pin tertawa getir.
"Plak", tiba-tiba Hian Kwan menampar pipi Ku Pin sehingga terhuyung-huyung dan hampir tergelincir ke dalam air terjun. Untung ia segera gunakan cian-kin-thui untuk menahan tubuhnya. Dua buah giginya rontok dan mulutnya berlumuran darah.
"Ku Pin, kau anggap cinta itu hanya sebagai barang permainan saja. Kau bilang tak dapat melupakan aku, masakan aku dapat menghapus bayanganmu? Tapi apa maksudmu menyuruh aku tak menganggap kejadian tadi secara sungguh-sungguh itu?" seru si jelita dengan marah.
Tapi Ku Pin tak menyahut melainkan memungut dua buah giginya yang jatuh di tanah tadi terus berputar tubuh pergi.
"Berhenti dulu!" Hian Kwan loncat menghadang Rupanya ia tak tega melihat mulut Ku Pin berdarah itu. Ku Pin pun berhenti tapi tetap tak berkata apa-apa, Hian Kwan mengusap pipi Ku Pin seraya bertanya: "Apa tidak sakit?"
Di bawah sinar rembulan, tampak wajah Ku Pin yang cakap itu tetap tenang-tenang saja. Ia tegak berdiri laksana pohon jati dilanda angin puyuh. Dalam saat-saat seperti itu menyalalah kembali api asmara dalam hati Hian Kwan. Ia anggap kata-kata Ku Pin tadi hanya untuk menghibur saja. Si jelita ulurkan tangannya dan tertawa: "Ku Pin, jangan marah, aku tak memukulmu lagi. Nah, pukullah aku, ya, pukullah telapak tanganku tiga kali."
Ku Pin mencium tangan si jelita dan tertawa: "Bagaimana aku dapat marah kepadamu? Hian Kwan, biarlah laut kering dan batu hancur, namun cintaku padamu tetap abadi sampai di akhir jaman."
"Baik, Ku Pin, sekarang aku mendapat akal." Waktu Ku Pin menanyakan, jelita itu menerangkan: "Ku Pin, kutinggalkan ayah dan kau buang isterimu. Kita lari jauh, jauh keseberang lautan dan hidup beruntung. Segala cemoohan, makian, hinaan, takkan terdengar lagi, Ha, Ku Pin, bagaimana pendapatmu?"
Ku Pin tersenyum, tiba-tiba terdengar derap kaki lari mendatangi. Hian Kwan terperanjat, bisiknya: "Celaka, ayahku datang!"
"Apa? Ayahmu datang?" Ku Pin pun tak kurang kejutnya.
"Ya, sudah duapuluhan tahun telingaku kenal dengan derap kaki itu. Ku Pin, jawablah lekas, anggukkanlah kepalamu dan segera kita tinggalkan pulau ini. Aku tahu sebuah jalan kecil, tak nanti ayah dapat mengejar kita. Lekas, lekaslah jawab...."
Hian Kwan yakin Ku Pin tentu meluluskan, siapa tahu ia mendapat penyambutan lain "Tidak! Aku tak dapat lari dengan kau. Aku tak ingin mencelakai dirimu dan diriku." Ku Pin menjawab tegas.
Derap kaki makin dekat dan dengan kebingungan Hian Kwan segera mencengkeram leher baju Ku Pin: "Lekas meluluskan, aku tak mengijinkan kau menolak."
Ku Pin berbisik perlahan: "Lepaskanlah, kalau ayahmu datang tak baik dilihatnya. Aku tak dapat meluluskan permintaanmu"
Harapan Hian Kwan telah dihancur-leburkan oleh jawab Ku Pin yang keras seperti palu godam. Seketika meledaklah hati nona itu: "Baik, inilah tanda cintamu, ha, ha, betul-betul malam ini kau mempermainkan aku. Kau pura-pura cinta padaku, setelah dapat menipu lalu membuang aku semena-mena. Aku rela kau peluk, apakah bukan tanda kalau aku sudah menjadi orangmu....?"
Tiba-tiba punggungnya terasa tegang. Dalam keadaan di mana perasaannya sedang nyala, walaupun tahu kalau di belakangnya itu tentu ayahnya, namun tak dapat Hian Kwan menguasai dirinya. Ia balikkan tangan ke belakang dan menghantam.
"Budak hina, bagus betul perbuatanmu" Wan Thian Cik mendamprat dan mendorong. Hian Kwan terhuyung-huyung rubuh ke tanah. Ternyata yang datang itu adalah Wan Thian Cik. Jelas didengarnya akan kata-kata Hian Kwan yang terakhir tadi. Saking marahnya ia menampar lagi muka puterinya itu: "Budak hina, kau punya muka tidak? Kalau tak punya muka, ikutlah pada bangsat itu dan selanjutnya kau bukan orang she Wan lagi.... hm, besar sekali nyalimu, tebal sekali kulitmu...."
Tamparan itu telah menyadarkan pikiran Hian Kwan. Ia menangis karas: "Yah.... yah...."
"Siapa ayahmu? Minggatlah, aku tak mau melihatmu lagi!" damprat Wan Thian Cik makin keras. Habis itu lalu cabut pedangnya dan menuding Ku Pin. "Keperwiraanmu mengorbankan diri membunuh naga, disanjung puji oleh rakyat. Tapi siapa nyana kau ternyata seorang bajingan besar. Lekas bunuh sendiri dirimu agar aku tak usah turun tangan."
Ku Pin tertawa tenang, baru ia hendak menyahut. Hian Kwan tertawa keras dan menuding Ku Pin: "Ku Pin, tunggulah, ha, ha, aku hendak menyerahkan bingkisan selaku upahmu bermain-main cinta dengan aku...." dalam kumandang gelak tertawa yang menyeramkan, Hian Kwanpun sudah melesat pergi.
Ku Pin menghaturkan maaf kepada Wan Thian Cik dan menerangkan dengan sumpah, bahwa seujung rambutpun ia tak mengganggu kehormatan Hian Kwan.
Ku Pin silakan jago tua itu bertanya pada puterinya. Namun jago tua itu masih menegas, "Jadi kau tak melakukan perbuatan yang tak senonoh kepadanya?"
Ku Pin tertawa tapi sampai lama tak menyahut.
"Bilanglah!" Wan Thian Cik membentaknya.
"Lo-enghiong, maaf, pertanyaanmu itu tak perlu kujawab. Jika aku melakukan hal yang tak senonoh, masakan puterimu tadi menangis dan memaki-maki diriku," sahut Ku Pin.
Mendengar itu walaupun diam2 Wan Thian Cik mencaci puterinya tapi ia terhibur juga. Nyata yang tak tahu malu itu adalah puterinya sendiri. Selagi ia masih membayangkan kelakuan puterinya tiba2 datanglah kedelapan saudara Tan. Mereka baru datang karena kalah cepat dengan ginkang Wan Thian Cik. Dan sebelum tahu apa yang dibicarakan Wan Thian Cik dengan Ku Pin, kedelapan orang itupun lalu membacok Ku Pin. Ku Pin tertawa mengejek dan menghindar. Wan Thian Cik buru-buru mencegah mereka.
Tan Ping tertegun dan bertanya, "Wan lo-enghiong, apakah orang ini.... "
"Ya. aku adalah Ku Pin ketua Ang-tik-pang!" sahut Ku Pin.
Kembali Tan Ping terkesiap. Ang-tik-pang baru saja berdiri tapi ternyata pemimpinnya sedemikian lihaynya. Pun terpaksa juga Wan Thian Cik memperkenalkan mereka satu sama lain.
"Kalau Wan lo-enghiong hendak mengapa-apakan diriku, aku rela menyerah, tak usah kalian berdelapan turut campur," kata Ku Pin. Tan Ping dan kawan-kawannya merah mukanya.
"Baik, Ku Pin, aku hendak bicara padamu. Dan kau Tan Ping, silakan pergi dulu," kata Wan Thian Cik. Ketika kembali ke dalam perahu, ke delapan orang itu melihat sesosok bayangan berlarian mendatangi.


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ternyata itulah Hian Kwan yang menjinjing sebuah kotak dengan air mata bercucuran. Melihat itu Tan Ping coba-coba hendak mengambil hati, ia suruh Tan Hwat membantu membawakan.
"Enyahlah!" Hian Kwan kibaskan lengan bajunya dan Tan Hwat mencelat ke udara.
"Nona Wan, kami bermaksud baik, mengapa kau memukul orang?" seru Tan Ping.
"Aku benci kepada semua lelaki busuk di dunia ini. Kebetulan sekali kalian datang." Hian Kwan berteriak nyaring dan "plak, plak, plak" Tan Cong bertiga jungkir balik.
Waktu Tan Ping memburu datang ternyata Hian Kwan sudah lenyap jauh. Tan Hwat marah dan hendak mengundang suhu mereka tapi dicegah Tan Ping,
"Ya hari ini juga kita rampas kedudukan orang she Wan itu," kata Tan Su dengan pelahan. Tan Ping peringatkan sutenya itu supaya jangan bicara keras hingga membocorkan rencana. Kiranya kedatangan Tan Ping ke delapan itu memang mempunyai rencana tertentu. Tapi baiklah kita tinggalkan dulu untuk melihat keadaan Wan Thian Cik.
Jago tua itu menudingkan pedangnya kepada Ku Pin dan menanyakan maksud kedatangannya. Ku Pin mengatakan bahwa ia datang karena soal naga jahat.
"Benarkah? Tidak bohong?" Wan Thian Cik menegas tajam. Ku Pin tetap pada keterangannya tadi.
"Sedang kepada orang tua seperti aku saja kau berani berbohong, maka tak heran puteriku terpikat olehmu," sembari mendamprat Wan Thian Cik layangkan pedangnya: "Sambutlah!"
"Lo-enghiong.... kau...."
"trang!" baru Ku Pin berteriak, pedangnya telah disrondol keluar oleh Wan Thian Cik.
"Ku Pin, yang kau pegang sekarang adalah pedang pusaka. Sebagai seorang ciangpwe seharusnya aku mengalah. Apa artinya tukar menukar pedang ini, kau tentu sudah mengerti." seru Wan Thian Cik.
Masih Ku Pin coba membela diri dengan menyatakan bahwa keterangannya tadi sungguh2 dari lubuk hatinya. Namun sia-sia saja.
"Jangan banyak omong, sambutlah beberapa seranganku ini!" teriak orang she Wan itu.
"Betapa besar nyaliku, mana berani aku menyambut serangan lo-enghiong. Kalau lo-enghiong menganggap aku harus mati, silakan menikam saja," seru Ku Pin.
"Kau berani memikat puteriku, mengapa tak berani menghadapi aku?"
"Kalau hal itu dianggap salah, kesalahan terletak pada puterimu...."
"Tak usah kau coba mengapur dirimu. Kau dapat mengelabuhi seorang gadis yang masih bersih, tapi tak nanti mampu menipu orangtua yang sudah berambut putih seperti aku!" tukas Wan Thian Cik.
Ku Pin tak terima dan minta penjelasan.
Jago tua itu tertawa dingin, ujarnya: "Baik, biar kutelanjangi siasatmu agar nanti kau dapat mati dengan meram. Mulutmu selalu menandaskan bahwa kedatanganmu ke rumah itu semata-mata untuk usaha membasmi naga. Ini saja sudah jelas borokmu. Munculnya naga itu baru terjadi sepuluhan hari berselang. Pada waktu binatang itu muncul, kau sudah berada di So-ciu, padahal kau pergi dari sarangmu di Ang-tik-ou sudah lebih dari setengah bulan. Hai, apakah kau dapat meramal sebelumnya bahwa di telagamu itu bakal muncul seekor naga jahat sehingga kau bergegas-gegas datang kemari?"
Seluruh tubuh Ku Pin menggigil, wajahnya merah padam dan terpaku seperti tonggak. Bagaimana biasanya ia cerdik dan licin, tapi pada saat itu matilah kutunya.
"Ku Pin, kau tak dapat menjawab? Hanya soal itu saja, cukup sudah ketahuan kwalitet hatimu. Dengan pura-pura menjadi pahlawan membunuh naga, pura-pura menjadi seorang suami yang setia pada isteri, kau bermaksud hendak menempel puteriku. Kau adalah harimau yang memakai kulit domba karena hendak mendekati domba. Ku Pin, tinggi sekali tipu muslihatmu! Sayang kalau membunuhmu dengan pedangku. Lebih baik dengan pedangmu sendiri saja."
Ku Pin tetap membela diri bahwa ia tak berbuat yang tak senonoh dengan puteri Wan Thian Cik, ''Dan akulah yang menolak ajakan nona Wan," katanya tandas.
"Baik, sekarang jawablah, apakah kau tak mengutarakan cinta padanya?"
"Karena kami berjanji bertemu disini, hubungan kasih antara pria dan wanita, sudah tentu tak terhindar," sahut Ku Pin.
"Bajingan! Kau mengaku mengutarakan cinta padanya, tetapi kemudian menolaknya, macam apa itu?" teriak Wan Thian Cik yang lalu menusuk dada Ku Pin.
Ku Pin mengelak dan berseru, "Lo-enghiong, kau selalu mau menang sendiri. Masakan kau tak pernah mengalami pergaulan pria-wanita."
Elakan Ku Pin yang bagus itu, diam-diam mendapat pujian Wan Thian Cik. Pedangnya ditusuk-tusukkan ke tenggorokan dan kening Ku Pin: "Aku sudah berumur setengah abad, masakan tak tahu soal pria-wanita."
Tahu bahwa ia sedang berhadapan dengan jago nomor satu, Ku Pin tak berani lengah. Bicara sambil menghindar. Habis itu ia gunakan lh-kong-ih-wi untuk melesat beberapa meter ke belakang.
"Wut" pedang menyambar di atas kain kepalanya.
"Aku memang cinta padanya. Kalau tak kucurahkan isi hatiku, terang aku seorang lelaki palsu, apakah itu salah?" seru Ku Pin.
Wan Thian Cik mendamprat: "Kalau kau ingin menjadi raja, apakah kau dapat mengatakan, kepada raja suruh dia menyerahkannya kepadamu? Jika kau benar cinta padanya, seharusnya berdaya untuk kepentingannya. Tapi dengan perbuatanmu itu, bukankah kau mencelakai dirinya?"
"Wut" ia melesat ke belakang Ku Pin lepaskan sebuah hantaman ke punggung. Memaki, menyelinap dan menghantam itu, dilakukan dengan gerak luar biasa cepatnya.
Karena tak keburu menyingkir, Ku Pin terpaksa dorongkan tangannya ke belakang. Tapi ketika berbenturan, ia rasakan tangannya kesemutan dan menyusul Wan Thian Cik membentaknya: "Enyahlah!" Tubuh Ku Pin tak gugup, ia bergeliatan dan dapat turun dengan tenang di tanah.
"Hebat, sayang budinya rendah!" seru Wan Thian Cik sambil merabunya pula dengan pedang. Pedang bagaikan ribuan titik sinar yang menggerayangi ke tigapuluh enam jalan darah besar di tubuh Ku Pin. Itulah ilmupedang Cian-hong-ban-ci atau bianglala menaburkan ribuan sinar. Berpuluh tahun Wan Thian Cik meyakinkan ilmu pedang itu. Tiada seorang gagah yang manapun dapat menangkisnya.
"Mati aku sekarang!" diam-diam Ku Pin mengeluh.
Namun ia berpantang ajal. Dikeluarkannya ilmu pedang partainya Ang-tik-kiam-hwat yang juga tergolong ilmu pedang luar biasa. Dia gunakan jurus Pat-hong-bong-ih atau angin hujan dari delapan penjuru. Sekalipun tak dapat menyerang tapi dapat bertahan. Sampai tiga kali Wan Thian Cik ulangi serangannya namun tetap tak dapat merubuhkan lawan. Diam-diam jago tua itu memuji kepandaian orang.
"Lo-enghiong, kita...."
"Tutup bacotmu! Tahu apa yang kumainkan tadi?" bentak Wan Thian Cik.
"Cian- hong-ban-ci," sahuf Ku Pin.
Wan Thian Cik terbeliak dan memuji pengetahuan orang.
Kata Ku Pin: "Cian-hong-ban-ci entah sudah menjatuhkan berapa puluh jago lihay, tiap hidung tentu mengetahui. Dahulu ketiga jago dari Hopak telah menggunakan tiga tahun untuk mencari cara memecahkannya."
Senang hati Wan Thian Cik dipuji begitu. Ku Pin tahu hati orang maka ia kembali memuji-muji setinggi langit. Jago tua itu mengusap-usap janggutnya dan tertawa: "Ku Pin, kau bilang Cian-hong-ban-ci itu luar biasa, tapi ilmu permainanmu pat-hong-hong-ih itu juga hebat. Ayo kita main-2 lagi"
-^dwkz^smhn^- Jilid 09 KENALKAN Wanita dilarang bergaul dengan pria yang bukan saudara dan keluarganya. Demikian ajaran jaman dahulu.
Dalam satu segi, ajaran yang telah menjadi tata hidup dalam masyarakat kuno itu, memang baik. Tetapi pada lain segi, menimbulkan akibat lain.
Sesuatu yang dilarang, tentu menimbulkan keinginan orang. Demikian pergaulan wanita dan pria. Setiap wanita yang melanggar ajaran itu, tentu hatinya berisi terhadap pria itu.
Wan Hian Kwan memang cantik sekali laksana seorang bidadari. Tetapi sayang moralnya tidak secantik wajahnya Ia mudah tergetar hatinya akan pria yang cakap wajahnya sehingga dia harus mengalami liku liku kehidupan yang selalu beriak seperti gelombang laut.
-^dwkz^smhn^- Mati demi cinta Mendengar tantangan Wan Thian Cik, ayah dari jelita yang menjadi pujaan hatinya, Ku Pin terpaksa melayani. Tetapi saat itu dia tahu bahwa sifat pertempuran sudah berbeda dengan tadi. Rasanya pertempuran itu tidak mengandung maksud jahat.
Seketika timbul pikiran Ku Pin untuk mengalah saja. Waktu pedang Wan Thian Cik menusuk dadanya, Ku Pin menghindar dan sengaja memberikan lengannya.
Tetapi Wan Thian Cik juga seorang jago tua yang lihay. Dia tahu akan maksud Ku Pin maka buru2 dia menarik pulang pedangnya dan memaki: "Bangsat, apa engkau hendak mempermainkan aku? Jangan kira karena engkau puji, aku lantas mau mengampuni jiwamu. Ayo, keluarkan seluruh kepandaianmu!"
Apa boleh buat. Terpaksa Ku Pin mainkan jurus Pat-hong-hong-ih dengan cermat. Tetapi pada jurus kesebelas, hampir srja kepalanya terbelah oleh pedang jago tua Wan Thian Cik. Ku Pin sampai kucurkan keringat dingin.
"Walaupun tidak memakai jurus Cian-hong-bin-ci, masa aku tak mampu mengalahkan engkau," seru Wan Thian Cik yang serentak merobah gaya permainannya dengan gaya terang-terangan saja agar Ku Pin mengetahui lebih dulu. Tetapi walaupun terang, namun setiap serangan jago tua itu selalu, keras sekali. Tiga empatpuluh jurus kemudian, Ku Pin rasakan kepalanya puyeng.
"Trang...." Pedang mereka saling berhantam dan Ku Pin rasakan tangannya linu. Cepat dia loncat mundur,
"Bangsat, apa engkau tak mampu menghindar? Mengapa harus merusakkan pedangku?" damprat Wan Thian Cik.
Ku Pin tertegun. Ketika mengawasi pedangnya ternyata memang rompal sedikit. Pedang itu adalah milik Wan Thian Cik.
Tiba2 dia mendapat pikiran. Ketika Wan Thian Cik maju menusuk tenggorokannya, Ku Pin juga balas menusuk. Wan Thian Cik terkejut. "Gila, mengapa dia hendak mengadu jiwa," pikir jago tua itu.
Wan Thian Cik memang tak bermaksud hendak mengambil jiwa Ku Pin. Sebagai seorang jago tua, malu rasanya dia bertempur melawan seorang anakmuda. Buru2 dia menangkis. "Edan", pikirnya lagi. "Masa dia benar2 nekad hendak mengadu jiwa".
Memang saat itu Ku Pin balas menghantam sekuat-kuatnya. Itulah yang menyebabkan Wan Thian Cik kelabakan kaget.
"Keparat.... kurang ajar" teriak Wan Thian Cik seraya loncat mundur dan lemparkan pedangnya yang sudah kutung.
Tetapi sebaliknya saat itu Ku Pin tampak terhuyung-huyung dan jatuh. Sambil mengusap-usap lengannya yang sakit, ia menyerahkan pedang milik Wan Thian Cik yang dipakainya itu kepada si jago tua,
"Tanpa memakai pedang pusaka, hm, siapa yang mampu menandingi aku?" gumam jago tua itu, "Ku Pin, mengingat jasamu menumpas naga, pedang pusaka itu kuhadiahkan kepadamu," serunya.
Ku Pin girang sekali. Pedang ditancapkan di tanah lalu dia memberi hormat. "Membasmi naga jahat adalah hasil dari perjuangan kita semua. Aku tak dapat menerima kehormatan sebesar, itu. Pedang ini tetap lo-enghiong yang punya. Aku tak berani mengambil. Hanya kumohon sukalah lo-enghiong memaafkan diriku. Aku berjanji akan pergi jauh, takkan berjumpa lagi dengan puteri lo-enghiong."
Wan Thian Cik tertawa mengejek. "Kalau engkau bicara dihadapan seorang anak perempuan tentulah dia akan terpengaruh," serunya, "tetapi dihadapanku, engkau adalah seorang ketua partai. Engkau telah mempermainkan puteriku. adilkah kalau tak diberi hukuman? Lekas ambil pedang pusaka itu dan aku akan melayanimu dengan tangan kosong!"
Ku Pin terperanjat dan menanyakan apakah akan bertempur lagi.
"Lekas keluarkan ilmu partai perguruanmu yang paling hebat. Jika engkau tak mau terluka," seru Wan Thian Cik, "kukatakan, pedang itu kuberikan kepadamu, tak nanti kuambil kembali. Kerjasama kita dalam gerakan membunuh naga sejak saat ini sudah putus. Mengerti?"
Karena tak dapat menghindar lagi, terpaksa Ku Pin bersiap. Begitulah Wan Thian Cik segera melancarkan serangan dan terpaksa Ku Pin juga gunakan lagi ilmupedang Ang-tik-kiam-hwat. Pertempuran berjalan seru. Bagaimana kesudahannya, harap pembaca bersabar dulu. Sekarang marilah kita tengok dulu bagaimana keadaan si cantik Hian Kwan.
Waktu berlari sambil mendukung peti berisi intan permata itu, diam-2 hati Hian Kwan penuh sesak dengan rencananya.
"Ku Pin, buas sekail hatimu. Batu permata ini akan kutimpukkan kepadamu sebutir demi sebutir. Setiap timpukan akan kusertai dengan umpat caci kutukanku...."
Sedemikian hebat kegoncangan hati jelita itu hingga ia kehilangan kesadaran hatinya. Yang ada dalam pikirannya hanyalah benci, benci dan benci.
Tiba2 dari balik sebuah batu terdengar suara tertawa mengekeh yang menyeramkan.
"Siapa itu!" tegur Hian Kwan.
"Aku!" sahut sebuah suara dari balik batu itu.
"Siapa engkau!" kembali Hian Kwan menegas.
"Lihatlah sendiri!" berbareng dengan itu muncullah seorang wanita setengah tua dihadapan Hian Kwan. Rambut wanita itu terurai kusut, bibirnya tebal, hidung besar dan wajahnya buruk.
"Wan Hian Kwan, kenalkah engkau kepadaku?" serunya.
Menilik gerak geriknya, jelas wanita buruk muka itu tentu memiliki kepandaian silat yang tinggi. Seketika pulihlah kesadaran pikiran Hian Kwan. Kotak segera dilempar ke tanah dan ?apun segera bersiap.
"Siapa engkau? Aku tak kenal! Mengapa engkau menghadang aku?" serunya.
Wanita buruk muka itu kembali tertawa mengekeh dan berseru, "Ku Pin, buas sekali hatimu.... akan kumakimu sepatah demi sepatah, akan kutimpukmu sebutir demi sebutir.... engkau, engkau, apakah tak tahu siapa aku ini?"
Hian Kwan mundur beberapa langkah, Dipandangnya wanita itu tajam2 dan teringatlah ia akan bayangan orang yang tampak di pulau kosong itu. Gin-kangnya nyata lebih hebat dari Ku Pin.
"Kalau tak salah, kita telah pernah berjumpa di pulau kosong ini, bukankah engkau yang merupakan bayangan hitam itu? Hm, mengapa malam itu engkau berani mencuri dengar pembicaraanku?" akhirnya Wan Hian Kwan berseru.
"Nona Wan, engkau mengingat keliru...."
"Tidak, aku tak salah lagi. Bayangan itu jelas engkau," sahut Hian Kwan.
"Kekeliruan yang ini lain dengan kekeliruan yang itu. Ya, memang bayangan itu adalah aku. Hanya saja kita telah berjumpa empat kali, bukan hanya sekali."
Han Kwan terdiam sejenak merenung dan mengiakan. "Ya, pada waktu aku pertama kali melihat Ku Pin engkau muncul dua kali. Dengan yang sekarang, engkau telah muncul empat kali. Tetapi mengapa engkau selalu mengikuti aku saja?
"Herankah engkau?"
"Jawab!" ulang Hian Kwan.
"Siapa yang suruh engkau menaksir Ku Pin?" balas wanita itu.
"Jadi.... jadi.... engkau ini isterinya...." Hian Kwan menyurut mundur dan menggigil tubuhnya.
"Ya, benar, aku adalah isteri yang sah dari Ku Pin. Aku hendak melihat bagaimana wajah pendekar wanita yang telah memikat suamiku itu. Cantikkah ia ataukah seperti siluman?"
"Nyonya Ku, jika engkau menghina aku, aku terpaksa tak sungkan lagi kepadamu. Engkau tak mengurus suamimu sebaliknya malah membuntuti aku saja" Hian Kwan tertawa sinis.
"Pepatah kuno mengatakan 'benda akan lebih dulu busuk baru akan keluar ulatnya'. Ku Pin memang manusia busuk, enggan aku mengurusnya. Tetapi kutu itupun, harus kulenyapkan."
"Perumpamaanmu itu kena betul!" seru Hian Kwan, "tahu kalau suamimu benda busuk, mengapa engkau tak berusaha mencegahnya tetapi sebaliknya engkau ribut mencari kutunya?" balas Hian Kwan.
"Uh, bukannya engkau merasa malu karena sudah main meang-meong dengan Ku Pin, tetapi sebaliknya engkau malah menyalahkan aku. Hm, apa guna engkau banyak membaca buku2 dari orang2 yang bijaksana?"
Kalau dalam keadaan biasa, Hian kwan tentu dapat mendebat. Tetapi saat itu keadaannya sudah putus asa seperti layang2 putus tali. Dia sudah limbung pikirannya. Disamping itu, dia memang merasa bersalah maka diapun diam saja.
Melihat Hian Kwan membisu, diam2 isteri Ku Pin itu mencuri kesempatan untuk menilai.
Diam2 ia memuji kecantikan Hian Kwan. Tetapi serentak dengan itu hatinyapun seperti ditindih batu ribuan kati. Dia tenggelam dalam kepiluan karena teringat, begitu keluar dari rumah, suaminya terus main mata dengan wanita lain.
"Hian Kwan, engkau dan aku, sama2 seorang wanita," katanya, "apa yang terkandung dalam hatimu, silakan bilang. Apakah sekarang engkau masih mengenangkan seorang lelaki yang mensia-siakan cinta wanita itu?"
"Ah, jangan kelewatan," Hian Kwan membela, "dia memuja dan mencintai aku, tandanya dia memang mempersembahkan cinta sejati. Dia tak mau melepaskan engkau, itu tandanya dia seorang berbudi."
"O, rupanya engkau lebih tahu dari aku? Sudah sepuluh tahun aku menjadi isteriniya tapi aku tak tahu bahwa dia seorang lelaki yang tercinta dan berbudi. Selama sepuluh tahun, yang kuhadapi hanyalah seorang patung yang bernyawa," nyonya itu kucurkan air mata. Rupanya ia teringat bagaimana dalam sepuluh tahun itu ia tak pernah mendapat curahan cinta dari sang suami.
"Nyonya Ku, apakah ucapanmu itu dapat di percaya?" tanya Hian Kwan. Ia bertanya begitu karena mendapat kesan bahwa Ku Pin itu seorang yang romantis, pandai merayu.
Melihat sikap si jelita seperti orang yang melamun, hati nyonya itu makin terkejut, "Wan Hian Kwan, apakah engkau sedang menderita rindu?"
Hian Kwan seperti tak mendengar, ia tertawa. "Nyonya Ku, jika keteranganmu bahwa Ku Pin menyiksa batinmu itu benar, aku...."
"Cis, tak tahu malu! Mengapa engkau memanggil namanya saja? Apamukah Ku Pin itu?" lengking nyonya itu.
Tetapi Hian Kwan tetap tak menghiraukan dan melanjutkan kata-katanya, "Jika benar engkau merasa tersiksa, hidup sebagai suami isteri yang hampa, mengapa engkau tak tinggalkan dia dan pergi jauh...."
"Perempuan busuk! Engkau berani mengurusi rumah tangga orang!" damprat nyonya itu.
"Tetapi kalau keteranganmu itu bohong, dan ternyata Ku Pin tidak seperti yang engkau katakan tetapi menyayangimu, ai, aku kan bukan seorang tonggak yang tak punya perasaan, Aku seorang manusia, aku seorang wanita yang punya perasaan. Aku rela melepaskannya, aku tak tega menghancurkan sebuah rumah tangga yang bahagia...."
"Tutup mulutmu, budak hina!" teriak nyonya Ku Pin sembari mencabut pedang.
Namun Hian Kwan tetap tak mempedulikannya dan berkata seorang diri, "Inilah yang disebut cinta. Aku cinta kepadanya dan aku sedia berkorban untuknya...."
"Budak hina, engkau berani terang-terangan menyatakan cinta kepada suamiku? Hm, mana engkau berharga untuk pengorbanan itu?" nyonya Ku Pin tiba2 tusukkan pedangnya ke dada Hian Kwan.
Sambil menangkis berkatalah Hian Kwan "katakanlah, keteranganmu tadi sungguh atau bohong!"
"Kurang ajar, peduli apa engkau dengan Ku Pin. Dia baik atau jahat kepadaku, itu bukan urusanmu," teriak isteri Ku Pin sembari siapkan serangan, "bilanglah, apakah engkau tetap masih hendak melibatnya?"
Waktu menangkis tadi, Hian Kwan tahu bahwa tenaga wanita itu lebih hebat dari Ku Pin maka iapun tak berani berlaku ayal.
"Telah kukatakan tadi," serunya, "jika dia baik kepadamu, aku rela melepaskannya. Tetapi jika dia tak sayang kepadamu, engkaulah yang harus melepaskannya. Terhadap aku, sudah tentu dia bersikap lain."
Gemetarlah tubuh isteri Ku Pin mendengar kata2 Hian Kwan itu. "Dia baik kepadaku, engkau akan kubunuh. Dia tak baik kepadaku, pun engkau juga tetap akan kubunuh. Biarlah malam ini aku akan berkenalan dengan seorang pendekar wanita nomor satu dari Kanglam!" serunya seraya mendahului menabas lengan baju Hian Kwan. Tetapi Hian Kwan mendahului dengan mengibaskan lengan bajunya ke pinggang orang.
"Hian Kwan, loloslah senjatamu, aku tak suka mendapat kemurahan," seru isteri Ku Pin seraya menyurut mundur.
Sebagai jawaban, Hian Kwan menarikan kedua lengan bajunya dengan lebih deras, "Pedangku berada dalam perahu karena tak layak kalau menjumpai kekasih dengan membawa senjata. Nyonya, sepasang lengan bajuku ini kiranya sudah cukup untuk melayanimu."
"Engkau panggil apa kepadanya?" teriak isteri Ku Pin dengan makin kalap.
"Kupanggiinya 'kekasih', engkau tak cemburu, bukan?" sahut Hian Kwan. ,
Diluar dugaan nyonya itu loncat dan menampar pipi Hian Kwan
"plak...." karena tak menduga sama sekali, pipi Hian Kwan termakan tamparan sehingga matanya berkunang-kunang dan bengkak. Setelah terhuyung-huyung beberapa langkah, ia jatuh di tanah.
"Cret" sebat sekali nyonya itu guratkan pedangnya ke pipi Hian Kwan. Habis itu ia tertawa nyaring. Rupanya ia puas sekali.
"Terimalah ini" sekonyong-konyong Hian Kwan loncat bangun dan taburkan lima batang, jarum Bu-ing-sia-cian (jarum sakti tak- kelihatan).
Betapapun lihaynya tetapi isteri Ku Pin berada pada jarak yang dekat dengan Hian Kwan. Dan dalam ilmu menaburkan jarum, Hian Kwan memang sakti sekali. Maka isteri Ku Pin tak berdaya lagi untuk menghindar. Ia mengaduh dan terus membuang tubuhnya ke belakang, Empat batang jarum dapat ia hindari tetapi yang sebatang tepat mengenai bagian perutnya. Wanita itu terkulai duduk dan pedangnyapun jatuh di sisinya.
Setelah mengusap darah di pipinya. Hian Kwan memungut pedang isteri Ku Pin dan menudingnya, "Hm, tak nanti engkau bakal melihat suatu pertunjukan yang bagus."
Ia lari ke sungai untuk membasuh lukanya. Sakitnya bukan kepalang. Tetapi sakit pada lukanya itu tak sehebat sakit pada hatinya, Setiap wanita tentu menyayang kecantikan wajahnya. Walaupun itu dapat diJahit tetapi tentu tetap masih meninggalkan bekas cacad. Inilah yang menyebabkan Hian Kwan pilu hatinya.
"Wanita buruk, nanti tentu kucacah-cacah mukamu juga," jelita itu menyumpah-nyumpah dan menangis. Kemudian ia menghampiri isteri Ku Pin.
"Buduk hina, apakah hatimu sedih? Engkau menangis? Heh, heh, luka pada wajahmu yang cantik itu tentu merupakan kepedihan dalam hatimu. Heh,, heh, apabila Ku Pin melihatmu, dia tentu akan melengos...."
Ucapan wanita itu sangat menusuk hati Hian Kwan. Kala itu matahari mulai memerah di ufuk timur. Kedua wanita itu sama terlongong-longong dalam pikirannya masing2. Pada lain kejab Hian Kwan menghampiri permukaan air dan mengacai mukanya. Sebuah wajah yang cantik gemilang tapi kini berhias segaris guratan luka yang menyotok. Dengan dada berapi2 ia menghampiri isteri Ku Pin.
"Sudah cukup mengacai dirimu? Ha. ha, cantik sekali bukan?" ejek nyonya itu, walaupun ia tak dapat berkutik karena terkena jarum rahasia.
Dalam marahnya Hian Kwan memungut pedang wanita itu dan terus hendak ditusukkan ke tenggorokan orang. Tetapi nyonya Ku Pin malah tertawa keras, "Engkau mau membunuh aku? Bagus, bagus, aku berterima kasih sekali kepadamu."
Kalau mengingat betapa tawar perlakuan Ku Pin kepadanya, wanita itu rela mati. Tetapi demi teringat sesuatu ia tergetar hatinya. Ia teringat bahwa dia sudah mengandung. Seketika dengan sisa tenaga yang masih ada, ia menghardik sekeras-kerasnya, "Hian Kwan, engkau berani membunuh aku?"
Sedemikian keras bentakan itu hingga Hian Kwan tersentak kaget dan pedangnya jatuh ke tanah, Ia tertegun dan berkata seorang diri, "Apa yang kulakukan?"
Tak tahu Ia mengapa tak membikin cacat muka nyonya itu saja sebaliknya hendak menusuk tenggorokannya. Dan mengapa tangannya serasa lemas mendengar bentakan nyonya itu?
Sehabis membentak keras, tenaga dalam nyonya itupun berkurang banyak, la duduk terengah-engah napasnya.
Bercerita sampai disini, Hek-liong Kui-bo berhenti. Ia mendengar jeritan orang dan waktu ditengoknya ternyata Hui Kun menjadi tak ingat orang dan hendak rubuh.
"Hui-ji, kenapa engkau?" tegurnya.
"Wan Hian Kwan.... eh, tidak, Kui-bo, apakah isi yang dikandung dalam perut mama itu, ya aku ini?" tanya Hui Kun.
Kui-bo anggukkan kepala, "Siapa lagi kalau bukan engkau?"
"Kalau engkau teruskan tusukanmu, ibuku mati dan aku pun tentu ikut mati. Betapa kejam engkau. Mama hanya menggurat wajahmu tetapi engkau hendak membunuhnya" Hui Kun menggerutu,
Kui-bo hanya menghela napas tak menyahut. Sudah sepuluh hari lamanya Kui-bo menuturkan kisah hidupnya itu. Kalau haus, ia minum air. Kalau lapar ia makan buah-buahan.
Hui Kun, Ji Yan dan Ceng Ih yang mendengarkan, karena asyiknya sampai lupa makan lupa minum dan lupa tidur.
"Hui-ji, apakah engkau marah kepadaku?" tanya Kui-bo. Tetapi Hui Kun hanya jebikan bibir tak menyahut.
"Ma, teruskan ceritamu lagi. Sebelum Ku Pin datang kemari, selesaikanlah ceritamu itu agar aku jelas akan duduk perkaranya," kata Ji Yan.
"Yan-ji, mengapa engkau berani kurang ajar memanggil nama ayahmu?" bentak Kui-bo.
"Ma, engkau...."
"Aku benci ayahmu tetapi aku cinta sekali kepadanya. Rasa cinta dan benci itu campur aduk. Setempo aku cinta dan benci itu campur aduk. Setempo aku cinta tetapi setempo aku benci kepadanya. Ah, engkau tak tahu bahwa ibumu ini, sudah duapuluh empat tahun limanya timbul tenggelam dalam lautan cinta dan benci".
"Kui-bo engkau benar2 menderita," kata Ceng Ih.
Tiba2 wajah wanita itu memberingas.
"Tahukah engkau mengapa aku tinggal disini? Aku memang tinggal disini agar rasa sesal itu menyiksa batinku. Ya, seorang insan yang masih mempunyai setitik nurani, jika bersalah dan belum menerima hukuman yang setimpal tentu belum dapat tidur pulas," katanya.
"Kalau begitu engkau juga punya nurani?" 'anya Geng Ih.
Kui-bo meraba mukanya yang penuh dengan luka2 lalu tertawa." Sukar dikata karena aku sendiri pun tak tahu apakah aku ini manusia atau bukan. Yang kutahu, aku ini bukan manusia baik. Hm. Ku Pin, Cu Bing, Tan Ping dan lain-lainnya itu juga serigala2 jahat."
"Kiu-bo, apakah kau tak jadi membunuh mamaku?" seru Hui-kun.
Ketika Kui-bo menggeleng, dara itu berseru memuji: "Kui-bo kau masih punya nurani."
Sambil menunjuk pada sebuah luka menggurat panjang di mukanya, Kui-bo menerangkan, kalau itu mamah Hui-kun yang memberinya.
"Dan yang lain2 itu?" tanya Hui-kun.
"Ada sebuah, ayahmu yang melakukan. Sebuah dari Ciu Bing dan yang lain-lainnya sebagian besar adalah aku sendiri yang melukai, sebagian kecil oleh kaum persilatan. Sebelum Wan Han-kwan berobah menjadi Hek-liong-kui-bo, dengan sepasang pedang, aku mengganas setiap jago silat di dunia persilatan. Entah dia kawan atau lawan, baik atau buruk, pokok asal lelaki tentu kubunuh. Luka2 pada wajahku ini semua berasal dari orang lelaki tak ada satupun dari orang perempuan. Ini memberi hiburan padaku," habis berkata, Kui-bo tertawa aneh. Sepasang matanya berkilah memancarkan cahaya kebencian tercambur penyesalan.
Ketiga anak perempuan yang mendengarnya sama berdiri bulu tengkuknya.
Beberapa saat kemudian terjadi pertukaran bicara antara ketiga anak perempuan itu. Hui-kun meminta penegasan dari Ji-yan tentang kata2nya tadi. Ji-yan memberi isyarat mata dan mengajak dara itu ke tepi telaga.
"Ku.... ayahmu.... ayah, ia akan segera datang, tahukah engkau?" setelah beberapa kali merobah panggillannya kepada Ku Pin, akhirnya Ji-yan bertanya, Hui-kun balas menanyakan bilakah ayahnya akan datang.
"Aku tak tahu pasti, mungkin dalam 10-an hari ini ia tentu datang. Kau tentu merasa aneh, ya?".
"Karena kalian telah menahan aku dan suka di sini, ayah tentu akan menyusul kemari. Itu tak mengherankan." sahut Hui-kun.
"Bukan begitu. Ayah memang hendak mencari mamah. Ia kirim kamu berdua ke daerah selatan ini adalah untuk menyelidiki jejak mamah. Duapuluh tahun berselang mereka pernah bertempur puluhan kali, kemudian sama bersembunyi tak mau berjumpa. Kira2 setelah empat tahun bermusuhan mereka, berhenti, sekarang mereka anget lagi. Ai, Apakah mereka akan bertempur sampai ada salah seorang yang mati?" kata Ji-yan.
"Cici Ji-yan, jika mereka bertempur lagi, kau membantu siapa?" tiba2 Hui-kun bertanya.
Pertanyaan itu membuat Ji-yan tertegun. Ia tertawa sayu: "Entahlah!"
"Benarkah? Ah, rasanya tidak. Siapapun yang hendak kau bantu, kau harus memberitahukan padaku. Bukankah tempo hari kau selalu mengatakan hendak membunuh Ku Pin?" Hui-kun mendesak.
Wajah Ji-yan berubah, ia menyilangkan kedua tangannya, alisnya mengerut. Benar2 itu sebuah soal berat baginya. Ia tak tahu bagaimana hendak menjawabnya. "Apakah kau benar2 hendak mendesak aku?" katanya kemudian.
Hui-kun terdiam. "Dan kau sendiri akan membantu siapa?" tanyanya kepada Hui-kun pula.
Hui-kun terkesiap. Lama sekali baru ia dapat menyahut dengan sembari. "Kurasa, aku tetap berpihak ayah."
"Kau rasa? He, itu masih ragu2!" seru Ji-an.
Hui-kun merah mukanya, sahutnya: "Terus terang sebelum Kui-bo menceritakan, aku memang berpihak ayah. Tapi sekarang, ai, bingunglah aku. Kurasa ayah juga tak benar.... Ai, kau suruh aku mengatakan bagaimana?"
Ji-yan mengepal tangan adiknya itu: "Hui-moay, yang bingung bukan hanya kau, akupun bingung juga. Sebelum mamah bercerita, aku belum jelas siapa sebenarnya yang jahat itu. Ai, yang satu ayah, yang satu ibu. Siapakah yang harus kubantu?"
Hui-kun mengangguk: "Dulu kuanggap ayah itu yang terbaik di dunia. Kujunjung dan kucintainya. Sekarang pendirianku itu agak goyah. Ai, cici, baik jangan bicarakan soal itu, ya? Kita senasib, bagaimana hendak menyelesaikan dendam dari orang2 tua kita itu?"
Ji-yan mengiakan. Hui-kun lepaskan tangannya yang dipegang Ji-yan, lalu memeluknya dan menangis.
"Cici, tidakkah kau mendengar yang pertama kali kupanggilmu cici dan yang pertama kali juga kau panggil aku moay-moay (adik). Memang sebenarnya kita ini kakak-adik. Sejak kecil aku telah kehilangan ibu, tak ada yang menyayangi dan merawat aku. Kelak kau harus menyayangi aku sebagai seorang ibu, maukah?"
Ji-yan bercucuran air matanya. Ia memeluk adiknya erat2 dan berjanji akan menuruti permintaan adiknya.
"Sudah puaskah kalian menangis?" tegur Kui-bo ketika kedua kakak adik itu kembali.
"Kui-bo, ceritamu itu menggetarkan perasaan hati kita. Aku turut penasaran dan menangis. Semua lelaki di dunia boleh dibasmi, mereka telah mencelakai dirimu," kata Hui-kun.
Kui-bo hanya mendengus. Ia memandang ke awan yang berarak di langit. Pikirannya jauh melayang kemasa 20-an tahun yang lalu, matanya mengalir mengenangkan nasibnya.
"Kui-bo, aku hendak bertanya. Ayahku adalah musuhmu besar, tetapi mengapa kau sayang kepadaku?" tiba2 Hui-kun bertanya.
Kui-bo gemetar tubuhnya, sampai sekian saat ia tak dapat menyahut.
"Jawablah mengapa kau sayang padaku? Apakah kau merasa bersalah kepada ayah lalu menyayang aku selaku penebus dosa?" tanya Hui-kun pula.
"Sekali-kali tidak" sahut Kui-bo.
"Kalau begitu kau tentu merasa bersalah kepada mamahku?" kembali Hui-kun mendesak.
Hek-liong-kui-bo tundukkan kepala terdiam. Hui-kun tergetar hatinya dan berseru keras: "Bilanglah, ya atau tidak?"
Kerut wajah wanita itu muram suram, Kedua tangannya yang disilangkan itu penuh dengan luka2 bacokan. Melihat itu timbul rasa kasihan Ceng-ih. Gadis itu segera mengalihkan pembicaraan dengan meminta Kui-bo melanjutkan ceritanya.
Hui-kun serentak berbangkit dan menangis meng-gerung2: "Mama, mama, sungguh mengenaskan nasibmu."
Dara itu hendak lari. Tiba2 hujan turun dengan lebatnya dan berbareng itu Kui-bo pun loncat menyambarnya. Hui-kun meronta dan mendampratnya: "Pengemis wanita tua, lepaskan tidak? Hmm, aku benci padamu, kau pembunuh mamaku."
Saking marahnya Kui-bo terus hendak menghantam, tapi untung Ji-yan keburu menangkis: "Ma, hujan, ayo, kita lekas pulang!"
Ketika terbentur dengan tangan Ji-yan, Ji-yan terlempar sampai satu tombak jauhnya. Ceng-ih terkejut dan buru2 melerai. Ketika mukanya tersiram air hujan, tersadarlah pikiran Kui-bo. Segera Hui-kun dipeluknya dan menangislah ia tersedu-sedu. Sementara Ceng-ih lari menolongi Ji-yan. Hujan masih turun, guruh dan guntur saling sahut-sahutan.
Ketika Hui-kun membuka mata, ia dapatkan dirinya berada di sebuah gedung pesanggerahan besar. Kui-bo, Ji-yan, Ceng-ih dengan kawan2 tengah mengawasinya. Kamar itu kosong melompong tak ada barang sebuah perabotnya.
"Sumoay, kau sudah terjaga?" tiba2 terdengar suara lembut dari seorang lelaki yang ternyata adalah Lam Tiam. Ternyata ia berdua dengan Hong Lu.
"Hui-ji. mamamu telah mati keracunan, aku tak membohonginya" kata Hek-liong-kui-bo. "Tapi yang meracuni bukan ayahmu atau aku. Nanti kau tentu mengetahui sendiri apabila sudah mendengar habis ceritaku!"
Tan Ceng Ih buru2 mendesak supaya Kui-bo lekas bercerita.
Sejenak memandang kepada Lam Tian dan Hong Lu. Kui-bo suruh mereka duduk juga tapi hanya boleh mendengar, tak boleh bertanya. Kemudian mulailah ia melanjutkan ceritanya lagi.
"Hian Kwan memungut pedang dan memberikan kembali kepada isteri Ku Pin. Ternyata ia tahu bahwa nyonya itu sedang hamil. Hian Kwan menyatakan bahwa nanti setelah kandungannya lahir, ia akan mencarinya lagi. Ia mengeluarkan jarum bu-ying-sin-ciam yang menyusup di perut nyonya itu.
"Baik, delapan bulan lagi aku tentu datang ke tempat Wan-ke-cung untuk membikin perhitungan dengan engkau," isteri Ku Pin menantang dan terus pergi. Sekalipun sedang mengandung luka namun ia masih dapat berlari pesat sekali.
Baru Hian Kwan hendak pergi, tiba2 terdengar suara ayahnya memanggilnya. Dilihatnya wajah sang ayah merah padam menahan kemarahan besar.
"Mana Ku Pin? Yah, engkau kan tidak membunuhnya, bukan?"
"Apakah begitu ucapanmu pertama-tama ber jumpa dengan ayah?" Wan Thian Cik balas bertanya .
"Yah, bukankah engkau tak...."
"Jika berani menyebut namanya lagi, akan kubunuhmu. Hm, anak perempuan begitu macam, buat apa?" bentak Wan Thian Cik.
Hian Kwan kucurkan airmata dan bergerak pergi tatapi dibentak ayahnya lagi. "Hai, mau kemana engkau!"
"Mencarinya," sahut Hian Kwan.
"Cari siapa? Lekas ikut aku pulang!" Waa Thian Cik berseru nyaring.
Hian Kwan biasanya amat manja dan tak pernah dimarahi ayahnya. Kini dia terkesiap mendengar bentakan ayahnya. Dan Wan Thian Cik pun terus berputar tubuh dan ayunkan langkah. Hian Kwan mengikutinya seperti sebuah orang-orangan kayu. Ia dibawa pulang.
Lewatnya hari, pelahan-lahan telah dapat menyegarkan semangat Hian Kwan yang telah dilumpuhkan asmara itu Kini ia mulai agak segar lagi. Ketika hari itu ia berjalan jalan di taman, tiba2 ia dikejutkan oleh kedatangan Ciu Bing.
"Apa engkau belum pergi? Engkau masih tinggal di rumahku sini?" Hian Kwan bertanya setelah pemuda buntung itu memberi salam.
"Besok aku akan pulang ke Pak khia maka sekarang aku sengaja datang hendak mohon pamit kepadamu," sahut Ciu Bing. Ia menerangkan lebih lanjut bahwa ia harus buru2 pulang karena ada urusan penting.
Hian Kwan tergetar hatinya. Ia tahu apa yang dimaksud dengan urusan penting itu.
"Aku telah mempersembahkan barang tanda pengikat kepada ayahmu. Dan bunga tho ini akan kuhaturkan kepadamu," kata Ciu Bing. Ternyata yang dimaksud dengan bunga tho itu bukanlah bunga segar melainkan bunga yang terbuat dari kepingan emas.
Hian Kwan mengucapkan terima kasih lalu menyanggulkannya di rambut untuk menutupi lukanya yang panjang itu.
Ciu Bing memberinya lagi beberapa belas tusuk kundai dari bermacam-macam bunga. Diam diam Hian Kwan membandingkan, Ciu Bing ternyata lebih cermat dari Ku Pin.
Tiba2 pemuda itu berkata, "Nona Wan, ayahmu mengatakan bahwa Ku Pin belum mati. Itu kebetulan sekali, benda ini tak perlu kuserahkan kepada isterinya."
Ia mengeluarkan sebuah mainan kelinci terbuat dari batu kumala. Waktu Hian Kwan menanyakan, Ciu Bing menuturkan asal usul benda itu.
"Karena Ku Pin masih hidup, tak perlu kusimpan benda ini. Kuserahkan kepadamu agar engkau berikan kepadanya apabila kelak engkau bertemu dengan dia," kata Ciu Bing.
Hian Kwan merasa bahwa benda milik Ku Pin itu amat berharga sekali baginya. Maka ia segera menerimanya.
Tiba2 seorang bujang muncul dan mengatakan kalau Ciu Bing dipanggil Wan cungcu.
"Hian Kwan, aku pergi dulu. Satu atau dua bulan lagi aku tentu kembali," kata Ciu Bing sembari memegang tangan Hian Kwan. Hian Kwan meronta pelahan dan suruh pemuda itu lekas menghadap ayahnya.
"Ya, tetapi aku hendak mendengar kata-katamu sendiri. Hian Kwan, apakah engkau suka menunggu kedatanganku?"
Hian Kwan tundukkan kepala berdiam diri. Ciu Bing tahu bahwa memang begitulah sifat anak perempuan yang tak mau menyahut pertanyaan seorang pemuda, karena malu.
"Hian Kwan, sampai jumpa lagi. Aku selalu terkenang kepadamu. Mungkin tak sampai satu bulan aku tentu sudah kembali," kata Ciu Bing sembari berjalan pergi dengan tongkatnya.
Hian Kwan memandang pemuda bintung itu dengan pikiran hampa. Diam2 jelita itu menghela napas dalam hati.
"Ku Pin, aku tetap cinta kepadamu....
"Trang" tiba2 kelinci kumala itu jatuh ke lantai. Buru-buru ia memungutnya dan membaunya. Ah, ternyata kelinci mainan itu wangi sekali baunya hingga memabukkan orang.
Pada lain saat ia hendak mencium dengan bibirnya. Tiba2 terdengar suara orang tertawa mengikik dan balik gunungan palsu. Ah, ternyata Ih Ih yang datang.
Ih Ih memang tak sengaja datang. Dia datang karena hendak menemui nonanya. Tetapi ternyata diluar pengetahuannya, bujang itu telah menyelamatkan jiwa Hian Kwan.
Ternyata mainan kelinci itu dilumuri orang dengan racun yang ganas sekali. Sekali dicium dengan bibir, tentulah binasalah orang itu. Kedatangan Ih Ih tak lain hanyalah hendak meminta Hian Kwan supaya masuk untuk minum obat som yang telah disediakan di kamarnya. Dan karena dia datang maka terhindarlah jiwa Hian Kwan dari kebinasaan.
Setelah Ciu Bing pergi, datanglah Tan Ping bersama ketujuh saudaranya untuk mengunjungi Wan Thian Cik. Mereka mempersembahkan beberapa peti barang hadiah.
Demikian selama beberapa hari keadaan di rumah keluarga Wan tenang2 saja, tak ada suatu peristiwa apa2.
Pada suatu malam ketika Wan Thian Cik datang untuk menjenguk Hian Kwan di kamarnya, Hian Kwan menanyakan perihal keadaan Ku Pin. Wan Thian Cik mengatakan bahwa Ku Pin memang masih hidup. Ia tak tega membunuhnya mengingat Ku Pin itu berjasa dalam gerakan membasmi naga jahat.
Girang Hiang Kwan bukan kepalang. Ia lalu minta agar ayahnya suka mencari Ku Pin.
Wan Thian Cik mengeluarkan dua buah benda. Sebuah mainan kereta yang terbuat daripada gading, ditarik delapan ekor kuda perkasa. Dan sebuah tusuk kundai dari batu kumala.
Tusuk kundai kumala itu milik Hian Kwan yang dicuri Ku Pin dalam kamarnya.
"Kan-ji," kata Wan Thian Cik, "kereta gading ini dari Ciu Bing, diberikan kepadamu. Dan tusuk kundai kumala ini dari Ku Pin untuk dikembalikan kepadamu. Arah mana yang engkau tempuh, terserah kepadamu."
Hian Kwan terkesiap. "Apakah dia tak bilang apa2?" tanyanya.
"Tidak. Setelah kakinya terkilir jatuh, Ku Pin lalu mengambil benda ini, minta aku supaya mengembalikan kepadamu. Setelah itu dia lantas ngeloyor pergi."
Hian Kwan mematahkan tusuk kundai itu, dilempar ke lantai terus dia jatuhkan diri diatas pembaringan dan menangis tersedu-sedan. Ayahnya menghiburnya. Setelah itu Wan Thian Cik lantas keluar. Tiba di muka pintu ia berpaling dan suruh Hian Kwan menyimpan kereta gading dengan delapan kuda itu.
"Tidak aku tidak sudi!" teriak Hian Kwan.
Wan Thian Cik terkesiap tetapi pada lain saat ia hanya ganda tertawa dan terus pergi.
Hian Kwan menangis tersedu-sedu. Habislah segala impiannya yang indah. Nasibnya sudah ditentukan ayahnya bahwa ia bakal menjadi isteri si buntung Ciu Bing.
Sepuluh hari kemudian Wan Thian Cik menerima kedatangan Tan Ping berdelapan saudara dan seorang imam yang bergelar It Yap tojin, dari gunung Thay-heng-san.
Wan Thian Cik terkejut dan buru2 suruh orang membukakan pintu. Tan Ping memperkenal kan tuan rumah dengan imam itu. Ternyata imam itu adalah guru dari Tan Hwat.
It Yap tojin tinggal di gunung Thay-heng-san untuk mempelajari ilmu pedang. Ia jarang turun gunung dan muncul di dunia persilatan. Tetapi namanya amat termasyhur sekali, tidak dibawah nama Wan Thian Cik.
Kemasyhuran nama imam itu diperoleh pada sepuluh tahun yang lalu ketika di kotaraja diadakan pertemuan antara ketua-ketua seluruh partai persilatan. Berpuluh-puluh ketua partai persilatan yang lihay menghadiri pertemuan itu. It Yap yang waktu itu belum terkenal, bermula tak begitu dipandang orang. Tetapi begitu keluar ke gelanggang, dalam setengah hari saja ia dapat menjatuhkan belasan ketua partai.


Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hari kedua makin seru Da makin unjuk gigi dengan menggulingkan jago2 dari Siaulim, Bu-tong dan Go-bi. Ia hanya tinggal tiga hari di kotaraja lalu pergi. Wan Thian Cik juga datang tetapi terlambat. Ketika dia datang, It Yap tojin sudah tak ada maka keduanya belum pernah bertempur.
Wan Thian Cik dengan perkasa telah dapat menyapu seluruh jago2 dan diangkat menjadi pemimpin dunia persilatan. Beberapa orang yang dijatuhkan si imam It Yap tadi mengusulkan supaya Wan Thian Cik mencari. imam itu ke Thay-heng-san untuk menentukan siapa sebenarnya yang lebih sakti kepandaiannya.
Tetapi Wan Thian Cik hanya ganda tertawa dan tak pernah ke sana. Beberapa orang yang masih penasaran, pergi sendiri ke Thay-heng-san tetapi satu demi satu mereka pulang dengan membawa kekalahan.
Demikian dari tahun ke tahun, entah sudah berapa ratus jago2 silat yang coba2 menantang ke Thay-heng-san namun tak ada yang berhasil. Lama kelamaan orang tak berani lagi kesana dan nama It Yap lojin itupun dilupakan orang.
Sejak peristiwa itu di dunia persilatan orang mempunyai sanjungan yang berbunyi: ?Lam Wan, Pak Yap atau Wan di selatan dan Yap di utara?. Tetapi siapa yang lebih unggul diantara kedua tokoh itu, tak ada yang dapat memastikan. Hanya dalam soal kemasyhuran nama Wan Thian Cik memang lebih menonjol.
Wan Thian Cik tahu bahwa kedatangan imam itu tentu mengandung maksud tak baik maka diapun diam2 berjaga.
Ketika imam itu memberi hormat dengan membungkukkan tubuh, tangannya mengibas dan serangkum angin kuat menampar. Wan Thian Cik buru2 kebaskan lengan baju membalas hormat.
Ketika kedua tenaga dalam itu saling beradu, keduanya sama2 terkesiap dan menarik pulang tenaganya. Ternyata keduanya sama kuat, Wan Thian Cik segera membawa tetamunya masuk. Waktu lewat di depan pintu. It Yap tojin hendak unjuk kepandaian dengan mengelus-elus singa-singaan batu. Singa batu itu masih utuh tetapi begitu tersentuh tangan bujang Ah-si, singa batu itu rubuh hancur lebur menjadi puing debu.
"Siaute mendengar kabar bahwa Wan-heng telah mendapat menantu maka siaute sengaja memerlukan datang kemari untuk mempersembahkan sedikit bingkisan yang tak berharga untuk nona Wan" kata Tan Ping dengan bangga. Ia segera suruh orangnya membuka peti besar yang isinya adalah emas, intan permata yang tak ternilai harganya.
Bermula Wan Thian Cik menolak karena merasa baru saja kenal dan tak pernah memberi budi kebaikan apa2. Tetapi Tan Ping mendesaknya.
"Barang2 tak berarti itu adalah sebagai tanda hormat siaute. Kata orang ?saudara yang tinggal jauh, kalah erat dengan tetangga dekat'. Milikmu adalah milikku, milikku juga milikmu, demikian intisari daripada persaudaraan yang sejati. Mengapa begitu sungkan?"
Habis berkata, tanpa menunggu reaksi tuan rumah lagi, Tan Ping lantas suruh orangnya mengangkut peti besar itu masuk kedalam ruangan dalam.
Bujang Ah-si yang cukup tahu akan kepandaian kedelapan persaudaraan Tan itu, gopoh tampil kemuka.
"Loya-ku seorang yang terhormat," katanya kepada Tan Ping, "mana sudi cari makan bersama kalian? Apakah engkau anggap loya itu seperti bangsa perompak? - Ah-si terus menghadang anak buah Tan Ping yang hendak masuk.
"Engkau ini orang macam apa. hm!" bentak Tan Ciau.
Ah-si agak bingung untuk bertindak. Kalau menempur mereka, ia merasa kurang pantas karena sebagai tuan rumah Tetapi kalau tak menghajarnya, ia tak tahan melihat kosombongan mereka.
Tiba2 ia mendapat akal. Ia busungkan dada menyambut tangan Tan Ciau yang mendorongnya.
"Aduh...." tiba2 Tan Ciau mengaduh kesakitan. Ternyata Ah-si telah gunakan tenaga dalam Toa-lat-pi-peh-jiu untuk menyedot tangan Tan Ciau lalu dipentalkan.
"Bagus, Wan Thian Cik, engkau...." baru Tan Ping berseru begitu, imam It Yap sudah mencegahnya.
"Dibawah pimpinan jenderal ternama, tak ada serdadu yang lemah," imam itu berseru memuji "pinto kagum sekali."
Ia menepuk tangan Tan Ciau yang patah tulangnya itu. Seketika tangan Tan Ciau baik kembali.
"Tan Ping, apa maksudmu mengatakan bahwa 'milikmu juga milikku, milikku juga milikmu? tadi?" tanya Wan Thian Cik.
Tan Ping busungkan dada menyahut, "Tidak apa-apa. Hanya dengan belasan peti emas intan yang kuhaturkan kepadamu itu, kuminta engkau suka tinggalkan telaga Thay-ou sini. Kekuasaan didaerah ini, serahkan saja kepadaku!"
Besar sekali nyali Tan Ping berani mengatakan pernyataan itu kepada Wan Thian Cik. Jelas dia mengandalkan imam It Yap sebagai backing atau andalannya.
Diluar dugaan imam It Yap malah menghaturkan maaf kepada tuan rumah. Wan Thian Cik membalas hormat orang lalu menanyakan mengapa Tan Ping seolah-olah hendak memaksa dia menerima barang2 itu.
"Dia memang menghaturkan dengan kesungguhan hati. Mengapa Wan cungcu menaruh kecurigaan?" kata It Yap.
"Ah, tidak begitu," sahut Wan Thian Cik yang tetap menaruh curiga. Beberapa hari yang lalu Tan Ping bersikap sangat menghormat kepadanya tetapi sekarang dia begitu congkak. Tentu ada udang dibalik batu.
Tiba2 It Yap tertawa keras, "Kabarnya Wan cungcu seorang yang berbudi dan lapang hati. Siapa tahu ternyata banyak curiga, sampaipun menerima hadiah orang saja tak berani. Ha, ha, aku telah salah menilai."
Merahlah wajah Wan Thian Cik seketika. "Jangan totiang menertawakan. Kalau Tan Ping bermaksud baik mengapa ribut2 seperti orang memaksa? Kita adalah orang persilatan. Jika ada apa2, harus berterus terang saja."
It Yap masih tertawa keras. Tetapi ketika melirik ke arah meja, ia melihat disitu terdapat setumpuk surat undangan yang sedianya akan dikirim kepada tokoh2 persilatan. It Yap diam2 merubah rencananya. Kalau dia turun tangan sekarang, kemungkinan jago2 persilatan lain tentu tak puas. Dengan begitu kedudukan Tan Ping di telaga Thay-ou tentu banyak gangguan.
"Brak". Wan Thian Cik menggebrak meja dan berseru keras, "Tetamu kuat tak menghina tuan rumah lemah. Totiang adalah seorang tetamu, mengapa totiang menertawakan tuan rumah? Apakah karena melihat sekarang aku sudah begini tua lalu ingin merebut kedudukan pemimpin persilatan?"
Wajah It Yap mengerut dalam2. "Jika aku berhasrat begitu, dalam pertemuan orang gagah di Pak-kia pada sepuluh tahun yang lalu, tentu aku takkan mundur setengah jalan," serunya.
Wan Thian Cik tergerak hatinya. Ya, memang jika kala itu It Yap tak pergi pasti akan terjadi pertempuran antara harimau lawan banteng.
"Karena Wan cungcu banyak curiga tak mau menerima barang tanda mata, pintopun akan pamit. Undangan ltupun tak perlu dikirim," kata It Yap yang sekonyong-konyong menampar kearah meja. Berpuluh-puluh surat undangan yang tertumpuk diatas meja itu, serentak berhamburan tertiup angin keras. Hebat benar tenaga dalam yang dilancarkan It Yap.
Wan Thian Cik merasa bahwa sebagai tuan rumah tak seharusnya ia bersikap begitu sempit dada. Maka diapun tak segan menghaturkan maaf. Selekas kibarkan lengan baju maka puing2 kertas yang berserakan di lantai itupun sama beterbangan keluar.
"Tempat yang bersih enak buat omong-2" serunya. "Kuharap totiang suka tinggal beberapa hari disini. Nanti setelah anakku menikah, totiang lah yang pertama-tama akan kuminta untuk memberi selamat."
It Yap tojin menyatakan tak keberatan. Tetapi dia minta agar tuanrumah tetap suka memberi pelajaran kepadanya. Wan Thian Cik mengerti maksud orang yang secara halus hendak menantangnya.
Setelah merenung sejenak, Wan Thian Cik berkata, "Kiranya tak usah kita bertempur. Umurku sudah tua dan tenagaku berkurang, Kedudukan pemimpin persilatan mamang seharusnya kuserahkan kepada lain orang. Totiang disegani kaum persilatan, harap suka menerima kedudukan itu."
It Yap tertawa. "Menguji kepandaian adalah sudah lumrah bagi orang persilatan. Tak ubah seperti bertanding ilmu sastera dan lain2. Jika tak sering diuji tentu tak ada kemajuan. Hal itu bukan berarti tentu mengandung maksud tak baik."
Wan Thian Cik tersipu-sipu malu sendiri. Ia sesali dirinya sediri mengapa sekarang berwatak banyak curiga.
"Pinto ingin meminta pelajaran Wan cungcu tentang sebuah kepandaian itu sakti sekali. Kecuali Wan cungcu, tentu tak ada orang yang dapat melakukan. Tapi jika Wan cungcu menaruh kecurigaan, pintopun takkan memaksa dan lebih baik pinto pulang ke gunung saja," kata It Yap.
Wan Thian Cik tahu apa yang dimaksud imam itu. Iapun meluluskan dengan permintaan untuk bersama-sama meyakinkan selama satu bulan. Kepandaian yang dimaksud It Yap itu bukan lain adalah sebuah ilmu pedang ciptaannya yang diberi nama Thian-tik-kiam-hwat.
Kedua jago nomor satu dalam dunia persilatan itu sampai saat itu belum diketahui siapakah sesungguhnya yang lebih unggul. Mereka bicara dengan asyiknya hingga sampai petang hari belum juga mereka keluar. Karena sampai begitu lama, Tan Ping tak sabar lagi dan suruh Ah-si memanggil It Yap tojin. Tetapi bujang itu menolak, Tan Ping marah dan mereka lalu bertempur. Beberapa bujang keluarga Wan yang lain sama datang mengerumuni Mereka ramai2 sama bertaruh. Ada yang pegang Tan Ping, ada yang menjagoi Ah-si.
Dalam pertempuran itu Ah-si hanya gunakan tangan kosong saja, sedang Tan Ping memakai golok. Ternyata keduanya berimbang. Ketika Ah-si terdesak, Ih Ih memperingatkannya supaya menggunakan ilmu permainan Pat-kwa-bun.
Tetapi cara Ih Ih memberi kisikan itu tidak secara langsung, melainkan dengan taktik. Dia mengajak berbicara juru masak keluarga Wan yang bertubuh gemuk. Namanya Pai Hui Jit.
"Hui Jit, bukankah kemarin engkau minta keterangan tentang rahasia ilmu pat-kwa-bun? Nah. dengarlah. Pokok rahasia ilmu itu adalah menggunakan posisi kaki pat-kwat. Serang dulu sebelum musuh bergerak, harus menggunakan kecepatan untuk mendahului kelambanan musuh. Jika engkau dapat bergerak lebih cepat dari lawan, dia pasti mati kutu," kata Ih Ih.
Hui Jit si koki gemuk melongo. Ia tak pernah menanyakan ilmu itu kepada Ih Ih, mengapa pelayan dara itu ngoceh sendiri. Dan memang Ih Ih hanya meminjam si koki gemuk untuk memberi kisikan kepada Ah-si.
Ternyata akal Ih Ih itu berhasil. Ah-si segera terbuka pikirannya. Dengan berseru keras ia maju menerjang Tan Ping. Dalam beberapa kejab saja ia dapat mendesak Tan Ping sehingga pemimpin perompak itu terpaksa loncat keluar dari gelanggang.
Karena mendapat angin, Ah-si tak mau memberi kesempatan lagi. Dengan bersuit keras dia maju menerjang. Sepasang lengan baju di gerakkan seperti sepasang kupu2 yang sedang menari. Lengan baju yang kiri menggunakan tamparan tenaga dalam Poh-siu-bwat, sedang tamparan lengan baju kanan menggunakan tenaga luar Thiat-siu-kang.
Tenaga dalam Poh-siu-hwat bersifat lunak, tenaga luar Thiat-siu-kang bersifat keras. Tan Ping harus memutar goloknya dengan gencar namun tetap dia kalah angin.
"Plak" tiba2 punggungnya termakan tamparan Ah-si, bajunya sampai robek.
Diam2 Tan Ping mengeluh. Lawan sudah mengatahui rahasia ilmugolok pat-kwa-to, kalau dia terus-terusan menggunakan ilmu golok itu, pasti celaka. Satu-satunya jalan ialah harus bertahan diri mati-matian. Dengan mengandalkan kepandaiannya yang memang lebih unggul dari lawan, ia berharap lawan akan kehabisan tenaga.
Perhitungan Tan Ping ternyata tepat. Dua puluh jurus kemudian, serangan Ah-si mulai kendor. Kembali Ih Ih menjadi sibuk. Ia mencabut tusuk kundai dan diremas menjadi sepuluh potong, tiap potong sebesar jarum.
"Hui Jit," serunya pula kepada si koki gendut, "kemarin engkau menanyakan tentang rahasia ilmu Thay kek, nah, sekarang kuberitahu. Ilmu Thay-kek-piy itu berpokok pada musuh diam kita diam. Begitu musuh hendak bergerak, kita harus mendahului menindasnya. Hakekat dari ilmu silat itu pada umumnya adalah begitu, mengerti?"
Sudah tentu si koki gemuk tercengang lagi. Setelah memikir barulah ia menyadari bahwa kata2 Ih Ih itu sebenarnya ditujukan kepada Ah-si. Dan iapun segera menyaksikan sekonyong-konyong pada saat itu Ah-si merobah permainannya. Dia tidak lagi menggunakan kecepatan melainkan memperlambat gerakan kesempatannya, seolah-olah seperti tak bergerak.
Tan Ping yang sudah senin kemis napasnya, dapat kelonggaran lagi. Ia kira Ah-si sudah kehabisan nafas maka dengan menggembor keras ia robah permainannya. Sambil melintangkan golok untuk melindungi dada, ia berkisar posisi. Ah-si-pun tenang2 saja menghindar dan mengikuti gerakan lawan yang berputar2 sampai tiga kali.
Melihat Ah-si acuh tak acuh, marahlah Tan Ping. Secepat memutar ke belakang, segera ia hantamkan tangan kiri dan menusukkan pedangnya ke ulu punggung Ah-si.
Ah-si tetap diam saja walaupun ujung pedang hanya kurang tiga dim dari punggungnya.
"Tar" pedang Tan Ping mencelat ke udara dan menyusul terdengar suara gedobrakan keras. Tubuh pemimpin perampok itu termakan tamparan lengan baju Ah-si sehingga mencelat dan jatuh menyusur ke lantai.
Ternyata pertempuran itu ada taruhannya Kalau Ah-si dapat melayani sampai limapuluh jurus, Tan Ping bersedia menyerahkan peti2 emas permata yang berjumlah limabelas buah itu kepada Ah-si. Karena itu demi melihat Ah-si memang, si koki gemuk Hui Jit dan beberapa bujang rumah tangga Wan Thian Cik, bersorak kegirangan dan mendesak supaya Tan Ping menetapi janji menyerahkan peti2 itu.
Ah-si menghaturkan terima kasih kepada Ih Ih. Ketika keduanya bicara dengan bisik2 tiba2 terdengar suara orang tertawa nyaring. "Ong congkoan, ha, ha, karena engkau mampu menjatuhkan Tan pangcu, kepandaianmu tentu hebat sekali, ha, ha....!"
Ah-si dan Ih Ih terkejut. Ternyata yang tertawa itu adalah seorang imam baju kelabu yaitu It Yap tosu sendiri. Buru2 Ah-si minta maaf atas perbuatannya berkelahi dengan Tan Ping tadi.
Tetapi Ih Ih tertawa mengejek, "Yang salah adalah Tan bopeng itu sendiri. Dia cari gara2 menantang orang. Oh-congkoan mencegahnya, dia malah marah dan menantangnya. Akhirnya setelah kalah dengan Ah-si, dia terpaksa menyerahkan limabelas peti harta permata."
Pintar sekali Ih Ih ngomong padahal sebagian besar hanya bohong. Sudah tentu Tan Ping merah padam mukanya dan terbata-bata berseru, "Engkau.... engkau...."
It Yap hanya ganda tertawa. Tiba2 Wan Thian Cik muncul bersama Hian Kwan. Wan Thian Cik mendamprat habis-habisan Ih Ih dan suruh bujang itu dan Ah-si minta maaf kepada Tan Ping.
Wanita Iblis 8 Seruling Gading Lanjutan Pecut Sakti Bajrakirana Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pemetik Harpa 16

Cari Blog Ini