Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong Bagian 9
Ketiga anak itu termangu. Lam Tian hampir menangis karena suhu dan subonya bertengkar itu. Dia seorang anak cerdas. Ia tak tahu apa artinya anak liar. Tapi karena hal itu menyebabkan kedua suhunya bercekcok, ia duga kata-kata itu tentu tak baik. Maka buru-buru ia mengatakan, "Suhu, Hong Lu anak baik, bukan anak liar. Aku berjanji tak memakinya dia anak liar lagi."
Maksudnya hendak mengambil hati, siapa tahu suhunya malah membentaknya dengan kalap, "Siapa bilang bukan? Dia memang anak liar, hasil hubungan haram antara seorang wanita jalang dengan lelaki bangsat. Kau boleh sesukamu memakinya atau memukul. Kalian lihat, akupun juga akan memukulnya!"
Habis berkata ia menyambar tubuh Hong Lu terus diangkatnya, "Anak jadah, kau bukan keluarga Ku, enyahlah!"
"Wuut" Hong Lu dilemparnya keluar pintu.
Kejut Ku hujin bukan kepalang. Ia tersipu-sipu menolongnya. Tiba2 di luar tampak seseorang yang menyambuti Hong Lu dan diletakkan turun lagi, serunya dengan tertawa, "Pangcu, hujin, maafkan aku mengganggu!"
Dia ternyata Kwee Ciang yang karena mendengar Ku Pin bercekcok dengan isterinya, datang melerai. Ia datang tepat pada saat Hong Lu terancam jiwanya. Ku hujin memaki suaminya berhati kejam. Karena marah Ku Pin lupa diri. Sebenarnya betapapun bencinya, ia tak berani membunuh Hong Lu. Melihat anak itu tak kurang suatu apa. diam-diam ia merasa lega.
Kwee Ciang suruh ketiga anak itu masuk tidur, kemudian memberi nasehat kepada suami-isteri Ku Pin. Setelah itu iapun bilik ke kamarnya sendiri. Selagi ia memikir-mikir tentang bahaya yang mengancam Ang-tik-pang, diantaranya dari Ciau Toa To, Tin-tik-pang, Wan Hian Kwan dan It Yap, tiba-tiba pintunya diketuk orang. Ternyata Hong Lu datang. Ia suruh anak itu masuk.
"Hong Lu, mengapa kau belum tidur? Apa kau masih penasaran karena dipukul suhumu tadi?" tanyanya kepada Hong Lu yang tampaknya seperti habis menangis.
Kwee Ciang membelai kepala anak itu dan menghiburnya. Hong Lu bertanya apakah arti perkataan anak liar, anak haram itu. Kwee Ciang tertegun tak dapat menjawab.
"Paman Kwee, kalau kau benar suka padaku, beritahukanlah!"
Kwee Ciang seorang jujur yang tak dapat berbohong. Ia cari akal tapi sukar menerangkan. Akhirnya ia menggambarkan sebuah perumpamaan. Hong Lu yang terang otaknya dengan cepat dapat menangkap artinya. Anak dari suami-isteri gelap, disebut anak liar atau anak haram.
"Mereka mengatakan aku anak liar, apakah benar?"
Kwee Ciang terdesak lalu menghela napas, "Hong Lu, pertanyaanmu terlalu jauh,"
Tapi Hong Lu kembali gunakan senjata 'katanya paman suka padaku' untuk mendesak, sehingga Kwee Ciang tak berdaya lagi dan mengangguk. Hong Lu pun segera menanyakan siapa ayah dan ibunya. Mendengar itu seketika Kwee Ciang melongo.
Memang peristiwa Ku hujin dan It Yap itu di dunia persilatan hanya Kwee Ciang seorang yang tahu. Ketika Ku hujin membawa bayi ke atas gunung Thay-heng-san, Kwee Ciang mengikutinya. Ia heran mengapa Hong Lu tahu.
Hong Lu si cilik cerdik itu memperhatikan mimik wajah Kwee Ciang. Ia tahu paman itu tentu menyembunyikan rahasianya. Ia mendapat pikiran. Tiba2 ia mencabut pisau dan dilekatkan ke tenggorokannya sendiri dan serunya, "Paman Kwee, jika kau tak mau memberitahukan, aku akan bunuh diri di hadapanmu!"
Kwee Ciang terbeliak kaget. Ia ulurkan tangan hendak menyambar tangan Hong Lu tapi anak itu gesit sekali. Ia loncat mundur dan guratkan ujung pisaunya ke tenggorokan. Beberapa tetes darah mengucur.
Kwee Ciang makin gugup. Ia berteriak, "Hong Lu, kau gila? Jangan gerakkan tanganmu!"
"Kau suka memberitahukan tidak?" seru anak itu.
"Baik, lepaskan pisaumu dulu"
"Tidak, beritahukan dulu!"
Kwee Ciang mati kutu. Ia tahu anak itu ke ras kepala. Ia kuatir dia benar-benar akan bunuh diri. Akhirnya dengan lemah lembut ia membujuk: "Baiklah, akan kuberitahu. Tetapi kau harus lepaskan pisaumu dan meluluskan sebuah permintaanku".
"Tentang apa?" tanya. Hong Lu.
Kwee Ciang sudah berkecimpung selama tiga puluhan tahun di dunia persilatan. Pengalamannya cukup banyak. Tapi toh ia tak berdaya berhadapan dengan seorang anak kecil saja. Terpaksa ia menyatakan: "Kau tak boleh mainkan pisau dan tak boleh cari perkara."
Hong Lu menurut dan simpan pisaunya. Barulah Kwee Ciang menerangkan bahwa ayah Hong Lu itu adalah tokoh nomor satu di dunia persilatan, lebih sakti dari Ku Pin. Dia seorang imam. Aslinya orang she Ho tetapi memakai gelar pertapaan It Yap.
"Dan mamahku?" tanva Hong Lu yang diam-diam bangga mempunyai ayah demikian.
"Ku hujin sendiri!"
Kejut Hong Lu seperti disengat kalajengking. Pisaunya jatuh ke lantai, teriaknya: "Apa kata paman?''
"Ibu kandungmu bukan lain ialah isteri Ku pangcu itu sendiri atau ibu dari Hui Kun" Kwee Ciang mengulangi.
Hong Lu terpukau seperti patung dan pada lain saat ia menjerit terus lari keluar. Kwee Ciang manyambarnya: "Kau toh sudah berjanji padaku tak boleh cari perkara?"
"Aku hendak mencari mamah!"
"Apa kau tak takut pada Ku pangcu? Dia tentu akan membunuhmu kali ini."
Hong Lu menangis: "Mengapa mamah tak mau mengakui aku dan membiarkan mereka memaki aku anak liar?"
"Karena ia tak seharusnya melahirkan kau. Jika ia mengakui dirimu, ia tentu dihina orang."
Sudah tentu anak sekecil Hong Lu tak mengerti persoalan itu. Ia hendak meronta tapi tak dapat lepas dari cengkeraman Kwee Ciang. Kwee Ciang membujuknya: "Hong Lu, kau harus menjalankan janjimu padaku. Malam ini tidurlah denganku di sini dan besok pagi anggap saja seperti tak tahu urusan ini. Pada suatu hari ayahmu tentu akan datang mencarimu ke sini."
Hong Lu mengusap air matanya dan menegas: "Apa sungguh?"
"Jika dia tak datang, aku dapat membawamu kepadanya. Ya, memang kau lebih enak tinggal bersama ayahmu. Dia tentu sayang padamu."
"Kalau begitu mamah tak cinta padaku."
"Dia mencintaimu dalam hati. Bukankah tadi ia membelamu?"
Hong Lu tetap tak mengerti, mengapa ibunya hanya mencintainya dalam batin, tidak sekalian dalam lahir Ia menurut ketika Kwee Ciang menyuruhnya tidur bersama di ranjangnya. Tetapi ia tak dapat tidur. Ketika didengarnya Kwee Ciang sudah tidur mendengkur, ia ambil putusan mencari Ku hujin untuk menanyakan hal itu.
Baru ia hendak berbangkit, tiba-tiba Kwee Ciang menggeliat. Buru-buru ia pura-pura tidur lagi. Beberapa saat kemudian setelah Kwee Ciang kembali mendengkur dengan hati-hati ia turun dari ranjang. Pintu dibuka, sekali lagi ia berpaling ke ranjang. Ketika dilihat Kwee Ciang masih tidur pulas, barulah ia menutup pintu dan melangkah keluar. Tapi sebenarnya Kwee Ciang tidak tidur. Begitu Hong Lu keluar iapuu segera bangun dan menguntitnya. Dilihatnya Hong Lu menuju ke kamar Ku Pin. Kwee Ciang ambil putusan, begitu anak itu hendak mengetuk pintu, terus akan ditutuk jalan darahnya dan dibawa kembali.
Karena tegangnya tubuh Hong Lu sampai menggigil. Tiba di muka pintu kamar Ku Pin, Hong Lu beberapa kali hendak mengetuk pintu tapi tak jadi. Ia bersangsi dan jeri. Masih terbayang di pikirannya akan wajah Ku Pin yang bengis dan Ku hujin yang menyayang kepadanya. Sementara itu Kwee Ciang bersembunyi di balik sebuah pohon dan siapkan thiat-lian-cu.
Hong Lu masih heran, mengapa ibu kandungnya itu segan mengakuinya? Mengapa ia membiarkan anaknya diejek dan dihina orang? Ah, didunia ini siapakah orangnya yang tak menyintai aku lagi? Demikian pikirnya dengan pilu, Tiba-tiba ia teringat akan It Yap tojin. Bukankah imam itu ayahnya? Ya, kalau ia dapat mencarinya, ayahnya itu tentu dapat membawanya kepada Ku hujin dan menegurnya mengapa tak mau mengakui ia sebagai anaknya?
Bahwa anak Sekecil itu dapat mempunyai pertimbangan sedemikian jauh, Sungguh jarang. Kwee Ciang melihati bayangan Beng Lu yang kembali tidur ke kamarnya sendiri. Diam-diam ia memuji kecerdasan anak itu, tapi iapun menguatirkan keselamatannya. Ya, memang pada suatu hari Ku Pin tentu akan membunuh anak itu,
Keesokan harinya ia dipanggil oleh Ku Pin, hendak menyerahkan urusan Ang-tik pang pada Kwee Ciang lagi karena ia hendak pergi. Atas pertanyaan Kwee Ciang, Ku Pin menerangkan bahwa pagi itu Hong Lu lenyap. Ku hujin marah dan memukuli Tang Bing kemudian dengan membawa bayinya pergi mencari Hong Lu.
"Apakah pangcu hendak mencari hujin?" tanya Kwee Ciang.
"Aku tak pusing dengan dia. Yang kupikirkan ialah pembicaraan kita kemarin itu. Jika Wan Thian Cik belum meninggal, sungguh berbahaya sekali. Aku hendak menyelidiki ke Tin-tik-pang sana," kata Ku Pin.
"Ya, baik sekali. Harap pangcu lekas kembali supaya kita rundingkan lagi " kata Kwee Ciang. "Tentang Hong Lu, dia seorang anak, kasihan, sudilah pangcu mengampuninya"
"Eh, semalam ada orang melihatnya datang ke kamarmu. Entah bagaimana tengah malam ia keluar lagi. Tahukah kau ke mana perginya?" tiba2 Ku Pin bertanya.
"Ia mengatakan hendak mencari ayahnya. Karena beralasan akupun tak mencegahnya "
Atas pertanyaan Ku Pin apakah anak itu tahu siapa ayahnya, Kwee Ciang menyahut: ' Sudah tentu tahu, kalau tidak masa ia pergi?'
Wajah Ku Pin berobah: "Kau yang memberitahukan?"
Kwee Ciang mengangguk. Ku Pin meliriknya tajam. Diam2 ia menganggap orang itu tahu terlalu banyak dan menjadi komplotan isterinya, maka lebih baik dilenyapkan saja.
"Kwee Ciang. rahasia rumah tangga keluarga Ku jangan sampai kau uwarkan, membuat aku malu," lahirnya terpaksa ia tahan kemarahannya.
Kwee Ciang berjanji mengindahkannya.
"Sudah berapa tahun kau tahu hal itu? " tanya Ku Pin.
"Enam tahun" Ku Pin mendengus. Begitulah setelah menyerahkan segala urusan, ia berangkat dengan naik kuda. Di tengah jalan ia merancangkan rencananya.
"Hong Lu tentu mencari ayahnya dan hujin pun tentu ke sana juga. Jika mereka bertiga bersatu, tentu celakalah aku. Lebih baik kukejar jejak hujin. Kalau beruntung dapat melenyapkannya, itu lebih baik. Kepergian Hian Kwan itu tentu menuntut balas ke Tin-tik. Kalau aku ke sana, tentu berjumpa dengannya. Tapi aku bersamanya hanya dapat mengalahkan Tan Ping. Kalau Wan Thian Cik belum meninggal dan kami menolongnya, terang tidak menguntungkan diriku. Sampai saat ini Tin-tik-pang lebih menguntungkan menjadi kawan daripada lawan. Perlu apa aku memusuhi mereka? Ah. lebih baik aku mengejar hujin saja," demikian akhirnya ia menentukan langkahnya.
Pada malam itu ia tiba di kota Eng-hong di tepi perairan Thay-ou. Ia menginap di sebuah hotel besar. Ia marah karena jongos masih belum membawakan hidangan malam. Waktu ia hendak membuka pintu mencarinya, tiba-tiba terdengar suara dampratan, "Setan cilik, mau sembunyi kemana kau? Hm, kau membisu?"
"Plak". terdengar suara tamparan.
Tapi si setan cilik bukannya menangis malah tertawa mengejek: "Siau-jiko, jangan main raja-rajaan. Kita toh sama-sama jadi piaraan orang, mengapa saling menghina?"
Mendengar suara itu Ku Pin berjingkrak kaget. Ya, itulah anak liar yang hendak dikejarnya itu. Ketika ia mengintip, dilihatnya jongos tengah mencengkeram leher baju si setan cilik dan memukulinya. Anak itu bukan lain ialah Hong Lu.
Ternyata setelah minggat dari rumah, Hong Lu berjalan menurut sepembawa kakinya. Di wilayah Kiangsu yang sedemikian luasnya sudah tentu sukar baginya mencari sang ayah. Akhirnya tibalah ia di kota Eng-hong situ. Karena tak mau mencuri atau mencopot, terpaksa ia minta nasi pada hotel situ. Pengurus hotel mengatakan tak dapat memberi nasi kecuali anak itu sudah bekerja di situ. Hong Lu terpaksa bekerja sebagai jongos.
Habis setengah harian bekerja menyapu lantai, membersihkan meja, memasak air dan membelah kayu, masih si jongos suruh Hong Lu mengantarkan hidangan ke kamar Ku Pin. Diam-diam Ku Pin girang dan siap menanti kedatangan anak itu.
Sekonyong-konyong di luar halaman terdengar derap dua ekor kuda berhenti. Begitu turun, salah seorang penunggangnya terus meneriaki jongos dan suruh menyediakan makanan. Suaranya lantang sekali dan Ku Pin terkesiap kaget karena rasanya kenal dengan orang itu.
"Siau-ji, kau berani menghina seorang anak kecil?" salah seorang tetamu itu tertawa dingin. Ia lari menghampiri Hong Lu dan mengangkat muka anak itu. Serunya: "Lo Tiau, anak ini beroman cakap, cobalah kau lihat kemari!"
Tetapi kawannya yang dipanggil Lo Tiau itu tak menghiraukan melainkan berkaok-kaok minta makanan. Jongos dengan gemetar meminta maaf: "Ciu-ya, Tiau-ya, lain kali hamba tak berani kurang ajar. Hai, setan cilik, mengapa tak lekas antarkan makanan itu ke dalam kamar?"
"Kentut! Bawa kemari dulu makanan itu untuk kami," kata si Tiau-ya yang tanpa sabar lagi terus mengambil hidangan itu dan mengganyangnya.
Waktu mengintip dari kamarnya, Ku Pin dapatkan yang dipanggil Tiau-ya dan Ciu-ya itu bu kan lain ialah Tiau Ho Hong dan Ciu Bing. Karena tak ingin kesamplokan dengan mereka, buru2 Ku Pin sembunyikan diri dalam kamarnya.
Hong Lu tajam matanya. Melihat Ho Hong berwajah luar biasa, ia duga tentu bukan orang sembarangan. Ia melayaninya dengan hormat. Jongos mendongkol karena hidangan tadi disambar Ho Hong tetapi tak berani bercuit. Ia Kembali membuat masakan.
Kuat sekali makan Ho Hong. Ia masih belum kenyang dan Hong Lu pun segera menanyainya ingin apa lagi. Ho Hong girang sekali: "Bagus, kau anak cerdik. Siapa namamu?"
Hong Lu memberitahukan namanya sambil menuangkan arak lagi. Ciu Bing anggap nama Hong Lu itu tak sembabat dengan seorang kacung hotel. Ia duga anak itu tentu mempunyai riwayat, maka iapun menanyainya.
"Toa-ya berdua, aku sendiri tak tahu bagaimana asal usulku. Hanya orang orang menghina aku sebagai anak liar. Kabarnya aku mempunyai seorang ayah yang lihay sekali, seorang imam," kata Hong Lu dengan menangis.
"Ha, ha, imam juga punya anak? Siapa namanya?" Ho Hong tergelak-gelak.
"Kata orang ia bernama It Yap. Aku sekarang hendak mencarinya."
Saking kagetnya Ho Hong dan Ciu Bing loncat bangun. "Anak, apakah kau tak bohong?" Ciu Bing menegas.
"Setan cilik, kau tahu siapa It Yap tojin itu? Jangan ngoceh tak keruan, ho!" seru Ho Hong.
"Dia adalah ayah kandungku. Apakah toaya kenal padanya?" Hong Lu berdebar-debar hatinya. Ho Hong menanyakan siapakah ibu anak itu dan baru Hong Lu hampir mengatakan namanya, Ciu Bing buru2 batuk untuk memutuskan omongan Hong Lu.
Kemudian ia membisiki Ho Hong: "kita tak mempunyai suatu permusuhan dengan It Yap, tak perlu mengetahui urusan pribadinya,"
"Sudah tentu. Sebagai tokoh persilatan yang termasyhur ia tentu tak mau melakukan perbuatan hina. Kuduga tentu ada orang yang hendak memburukkan nammya dengan sengaja menyuruh anak itu mengaku imam itu sebagai ayahnya. Hm, dalam hal ini kita tak boleh tinggal diam," sahut Ho Hong,
Ciu Bing pun tak percaya akan keterangan Hong Lu tadi. maka ia suruh Ho Hong mencoba sianak. Dan Ho Hong segera menyuruh Hong Lu datang ke dekatnya. Tapi si cilik pintar. Ia tahu Ciu Bing bisik-bisik dengan Ho Hong dan timbullah kecurigaannya jangan-jangan kedua orang akan mempermainkannya, maka iapun tak mau datang.
"Hai, setan, cilik dengar tidak? Baik, lihat kupatahkan tulangmu!' Habis menggebrak meja Ho Hong lalu memukul.
Hong Lu melejit kesamping. Ho Hong memandang Ciu Bing sejenak, lalu memukul lagi.
Sekonyong-konyong di luar pintu terdengar suara wanita mendamprat: "Bangsat kolokan, kau berani menghina seorang anak kecil?"
Dan berbareng dengan suaranya wanita itupun sudah melesat tiba dan menangkis "plak" tangan Ho Hong terasa sakit, mulutnya sampai menjerit kaget. Tahu berhadapan dengan tokoh lihay, ia buru-buru melindungi dada dengan tangan kiri sambil menyurut mundur ia sudah mencabut senjatanya!
Yang datang ternyata seorang nikoh (rahib) tua. Matanya berapi-api dan gerakannya gesit sekali. Ho Hong memberi hormat: "Dari mana nikoh ini? adakah aku Tiau Ho Hong ini seorang bangsat kolokan? Ha, ha, ucapan sukoh terlalu berat!"
Nikoh tua itu menudingnya dan tertawa: "Tak perlu kau mengatakan namamu. Seorang Kun-ih-wi hanya layak bersimaharajalela di kota raja, Begitu berpisah dari dari raja, lalu menjadi bangsat kolokan." Dan menunjuk nada Ciu Bing ia berkata pula. "Jika aku Leng Giok sin-ni tak lamur, kau tentulah Ciu kongcu."
Mendengar nama Leng Giok, Hu Hong dan Ciu Beng tergetar hatinya. Buru-buru Ciu Bing memberi hormat.
"Kalian datang kemari karena hendak melancong atau ada urusan lain?" tanya nikoh itu.
Karena orang tak sungkan bicaranya, Ho Hong mendongkol, sahutnya: "Hal ini tak perlu kau urusi. Aku sedang memberi pelajaran pada anak, apa sangkut pautnya dengan urusanmu?"
Leng Giok tertawa: "Jika lain anak, aku tak ambil pusing. Tetapi anak ini, ha, ha, aku tentu ikut campur".
"Mengapa?'' Ho Hong marah.
"Anak besar, kau hanya menyanjung It Yap, mengatakan kepandaiannya tinggi dan tentu tak mau melakukan perbuatan yang tak senonoh, hmm, kau menyanjung setinggi langit pada manusia rendah yang tak bermoral itu. Sebaliknya kau tak memandang sebelah mata sama sekali kepada aku Leng Giok."
"Apakah kata kataku tadi salah?" Ho Hong marah.
Leng Giok tak menghiraukannya. Ditariknya Hong Lu dan dielus-elusnya: "Anak, kau mau mencari ayahmu bukan?"
Melihat nikoh itu ramah sekali, Hong Lu pun tak takut dan menyahutlah ia dengan terus terang, "Ya, mamah tak mau mengakui aku, aku hendak mencari ayah saja,,"
"Ha. kalau begitu kita seperjalanan. Kau hendak cari padanya, akupun juga," Leng Giok tertawa.
"Bagus, suthay, kau tentu seorang baik," teriak Hong Lu dengan girang.
"Apakah aku ini orang baik, aku sendiri tak tahu. Mari kita pergi, jangan hiraukan mereka." kata Leng Giok sambil memimpin tangan Hong Lu melangkah keluar.
Dengan gusar Ho Hong menghadang: "Sin-ni apa artinya ini?"
"Tiau Ho Hong, apakah kepalamu gatal?" Leng Giok sin-ni mengejek,
Ho Hong adalah jago nomor satu di kota raja. Di mana-mana ia selalu disambut dengan kehormatan. Sudah tentu ia tak terima diperlakukan sedemikian oleh si nikoh, serunya: "Sin-ni, rupanya kau sengaja cari perkara. Silakan keluarkan kepandaianmu!"
"Tiau Ho Hong, apakah hubungan anak ini dengan kau? Mengapa kau ribut tak keruan?"
"Dia mengaku It Yap ayahnya, ini terang mengaku-aku saja. Aku harus menanyainya sampai jelas."
Leng Giok mendongak tertawa nyaring. Sesaat kemudian baru berkata: "Sungguh menggelikan kau seorang anak besar punya mata tak bisa melihat. Mengatakan It Yap seorang baik. Dia berjina dengan isteri Ku Pin dan melahirkan anak ini. Dan lagi, ia masih hendak mencari Wan Hian Kwan, tak mau mentah-mentah menyerahkan pada Ku Pin seorang."
Merah pada selebar wajah Ciu Bing, berserulah ia dengan berat: "Lo-cianpwe. Wan Hian Kwan adalah isteriku, tahukah kau?"
Leng Giok tergelak-gelak: "Putera dari menteri kerajaan tay-haksu, It-bin-hu-jin (nyonya terhormat) dari Thay-cu-sau-poh, siapakah orangnya yang tak tahu?"
"Kalau sudah tahu mengapa kau menghina isteriku?"
"Fakta adalah fakta, mengapa kau melarang aku mengatakannya? Hmm, tulangmu rasanya juga gatal, ya?" Leng Giok manantang.
Ho Hong mencabut golok gergajinya dan membentak: "Ciu kongcu adalah menteri kerajaan, mana dapat dibandingkan dengan kau. Lihat serangan!"
Golok dihantamkan dengan jurus tok-hiat-hoa-san. Leng Giok sin-ni marah dan dorongkan seoelah tangannya. Golok terdorong ke samping kemudian menyisihkan Hong Lu ke pinggir.
Leng Giok berkata: "Jangan takut, lihat lo-sinni akan main-main."
Iapun mengambil thiat-hud-tim (kebut besi) dan menunjuk Ho Hong: "Kau bukan tandinganku, suruh si buntung itu maju sekali!"
"Kita bertempur sampai duaribu jurus. Siapa yang dibantu dia bukan ksatria." Ho Hong berteriak marah.
Sejak pada duapuluh tahun yang lalu dikalahkan Wan Thian Cik, ia tak pernah menderita kekalahan lagi. Dan karena baik kawan maupuu lawan sama menyanjungnya, iapun menjadi sombong. Cepat ia sapukan kebut ke kaki lawan, ketika Ho Hong loncat ke atas, Leng Giokpun lempangkan hud-tim untuk menusuk perut. Ho Hong terpaksa tekuk pinggangnya dan buang tubuh ke belakang.
"Mau unjuk demontrasi?" Leng Giok tertawa menghina dan menyerang lagi sampai tiga jurus, atas, tengah dan bawah.
Ho Hong tertawa enteng. Ia putar tubuhnya berlincahan kakanan kiri kemudian loncat ke belakang, serunya: "Sin-ni, untuk menghormat orang yang lebih tua, aku mengalah sampai tiga jurus."
Leng Giok gusar sekali: "Kau mengalah tiga jurus, masakan aku tak mampu mengalah sampai tiga puluh jurus padamu, ayo!" Ia selipkan hud tim di leher baju dan memandang Ho Hong dengan gusar.
Ho Hong juga orang yang berhati tinggi. Sudah tentu ia tak sudi menerima kemurahan begitu rupa, serunya: "Pakailah senjatamu itu terus, kalau tidak, aku tak merasa bangga dengan kemenanganku."
"Apa kau sudah yakin menang? Hm, jika aku tak mampu dengan tangan kosong mengalah sampai tiga puluh jurus...."
"Lalu bagaimana?" tukas Ho Hong,
"Aku bersedia menuntun kuda kalian untuk mencari Wan Hian Kwan," sahut Leng Giok, "Tetapi kalau aku dapat mengalah sampai tiga puluh jurus kau bersedia bagaimana?"
"Aku akan menuntun kudamu untuk mencari It Yap tojin." jawab Ho Hong.
Kedua-duanya berwatak jumawa. apalagi keluar mereka ke dunia persilatan itu serupa tujuannya. Dengan berita kematian Wan Thian Cik, Leng Giok menganggap dirinya sebagai jago nomor satu di dunia, karena ia menganggap enteng pada It Yap. Pun selama berpuluh tahun di kota raja, Ho Hong tak pernah ketemu tandingannya. Ia ikut pada Ciu Bing keluar itu dengan tujuan untuk menantang jago-jago persilatan. Ia bercita-cita menjadi jago nomor satu di dunia, namanya termasyhur di empat lautan.
Karena perangainya sama dan tujuannya serupa, maka begitu bergebrak keduanya serupa, maka begitu bergebrak keduanya lalu bertempur dengan seru. Tiga buah serangan Ho Hong dapat dielakkan Leng Giok. Ho Hong robah permainannya, ia tutukkan ujung golok lurus ke muka, sekonyong-konyong di tengah jalan ia balikkan golok dan menghantam dengan tangkainya. Aneh sekali jurus permainan itu, sampai Ciu Bing sendiri merasa heran, Tetapi Leng Ciok tetap tenang saja dan tertawa dingin: "Mengapa tak berobah lagi?"
Benar juga, golok dibalikkan lagi, dari menutuk dirobah menjadi menabas pinggang orang.
"Cukup dengan sejurus?" Leng Giok tertawa.
"Anggap saja sudah dua jurus!" Ho Hong kemerah-merahan mukanya.
"Kau jujur juga. Tetapi akupun tak mau kalah hati, anggap saja satu jurus dan kau masih punya dua puluh enam jurus, ayo lekas!"
"Terang dua jurus, aku tak mau menerima kemurahan hatimu. Hm, dua jurus tadi dapat kau pecahkan, sekarang terima ini!"
Ho Hong gunakan jurus ping-ho-to-sia atau sungai es cair turun, Ujung golok ditusukkan ke dada orang. Leng Giok tahu jurus istimewa dari ilmu golok Lui-bun-to kaum Hopak. Jurus itu tak ada perobahan geraknya. Ho Hong sengaja unjuk kepandaian. Gerakannya dilambatkan, namun tak urung ujung goloknya telah mengeluarkan angin keras yang menekan dada Leng Giok. Diam-diam nikoh itu memuji kepandaian lawan. Ia empos semangatnya dan loncat mundur. Tapi pada saat itu juga, Ho Hong menggembor keras. Sekonyong-konyong ia robah gerakannya, ujung golok yang hanya terpaut tiga inci dari dada orang itu, dicongkel ke atas. Dan ketika Leng Giok tersentak kaget, dengan cepat golok diputar menurun ke bawah membabat kaki lawan.
Ho Hong membagi jurusnya dalam tiga gerak, pertama pelahan, kedua cepat dan ketiga kuat. Gerakan ini mirip dengan meletusnya halilintar di musim panas. Dan Leng Giok tak menyangka sama sekali jurus ping-ho-to-sia itu sedemikian hebatnya. Ia baru saja loncat ke belakang, kalau sekarang harus loncat ke belakang lagi, terang tentu termakan golok. Tapi biar bagaimana ia harus menghindar. Maka tiba-tiba ia doyongkan tubuhnya ke belakang hingga rebah di tanah, kemudian ia gunakan punggungnya untuk menekan tanah "Wut" iapun melejit ke samping dan loncat bangun. Mata golok menyambar di sisi hidungnya hanya setengah dim jaraknya. Sungguh berbahaya!
Ciu Bing kagum sekali melihat pertandingan yang luar biasa itu. Bermula Hong Lu mempunyai kesan baik terhadap Leng giok, tapi karena beberapa kali sin-ni itu menghina It Yap, iapun tak suka dan memuji supaya nikoh itu kalah, tapi pada lain saat ia teringat. Kalau Ho Hong kalah, dia akan menuntun kuda si nikoh dan mencari It Yap. Ah, lebih baik dia yang kalah saja. Demikian pikiran Hong Lu.
Melihat Leng Giok kelabakan, tertawalah Ho Hong mengejeknya: "Lo-nikoh, bagaimana rasanya seranganku tadi?"
Merah padam wajah rahib itu. Bahwa ia sampai bergelundungan ke tanah, rasanya lebih malu dari pada kena ditusuk golok. Ia tak dapat menyahut.
"Tiau congkoan, apa kau rasa sudah menang? Jangan bergirang dulu, lho! Ya, sudah sampai berapa jurus sekarang?" seru Hong Lu.
"Meskipun hanya satu jurus tapi karena mengandung tiga buah perubahan, bolehlah dihitung tiga jurus." sahut Ho Hong.
Mendengar beberapa kali Ho Hong selalu memberi kemurahan, seolah-olah nanti tentu memperoleh kemenangan, melototlah mata Leng Giok. Kalau dapat seketika itu juga ia hendak menghantam mampus lawan. Tetapi ia sudah berjanji lebih dulu tidak boleh balas menyerang, terpaksa ia biarkan saja. Kini ia hadapi serangan lawan dengan hati-hati sekali. Berkat ginkangnya yang lihay dan kewaspadaan yang tinggi, dua tigabelas serangan Ho Hong dapat dihindarkan dengan baik.
Setelah memperhitungkan hanya tinggal sepuluhan jurus lagi. Ho Hong berbalik menjadi gelisah. Segera ia keluarkan ilmu simpanannya yang aneh. Ia simpan goloknya dan melesat maju. Terpisah dua meteran dari Leng Giok, ia mulai mengitari lawan dengan gaya terhuyung huyung. Setelah dua kali putaran, langkah kakinya dilambatkan tetapi dua putaran lagi, kembali dipercepat. Tanpa menyerang, tanpa merapat, hanya berputar-putar saja.
"Apa-apaan bangsat ini?" mau tak mau Leng Giok heran juga dibuatnya. Sekalipun ia kaya pengalaman, namun tak tahu juga apa yang dimaukan Ho Hong itu.
Setelah belasan kali mengitari, Leng Giok pun terpaksa turut berputar juga untuk selalu menghadapi lawan. Ia tahu walaupun gerak gerik lawan itu aneh, tapi sebenarnya suatu persiapan untuk menyerang setiap waktu. Sekali ia lengah, musuh tentu menyerangnya. Sebenarnya mudah sekali untuk memecahkan, tapi ia terikat akan janji tak boleh menyerang, jadi terpaksa dengan susah payah harus menghindari saja.
Berapa kali Ho Heng seperti maju menyerang tapi tiap kali ia tarik dirinya dan berputar lagi. Tiba-tiba Leng Giok rasakan ada serangkum tenaga menekan dari muka, bayangan Ho Hong berkelebatan muncul lenyap di hadapannya.
"Apakah ini bukan ilmu silat Hong-bun-cui-kui?" teriak Leng Giok.
Baru berteriak begitu ia rasakan belakang kepalanya disambar angin keras. Buru-buru ia hendak ke bawah. Baru ia hendak loncat lolos dari kepungan, di sebelah muka berkiblat cahaya kilat yang merangsang dari bawah ke atas. Mata Leng Giok yang jeli dapat mengetahui ancaman itu.
"Jangan main gila!" teriaknya sambil melambung ke udara dan gunakan jurus si-hiongjia-hoan-hun, berjumpalitan di udara dan melayang turun tiga tombak jauhnya.
"Crat" tak urung tumit sepatunya kena terpapas golok.
Memang yang dimainkan Ho Hong itu ialah ilmusilat Hong-bun-cui-kui-kun atau setan pemabukan di depan istana. Ilmu silat ini hampir lama dengan yu-sim-ciang dari ilmusilat Pat-kwa-bun, Hanya bedanya waktu berputar-putar langkahnya sempoyongan seperti orang mabuk. Caranya berlatih lebih sukar dari jurus yu-sim-ciang Pat-kwa-bun. Ilmu silat Hong-bun-cui-kui itu diciptakan pada masa kerajaan Lam Song.
Karena latihannya sukar, banyak orang yang segan belajar. Dua tiga ratus tahun kemudian, hampir tak ada lagi. Dan sampai pada kerajaan Beng, sudah tak ada orang yang menggunakan lagi.
Leng Giok tak menyangka sama sekali kalau Ho Hong dapat memainkan ilmu silat itu. Untung ia seorang tokoh tua yang banyak pengalaman sehingga dapat juga mengatasinya, Buru-buru Ho Hong gunakan jurus oh-kiong-tham-jiau (naga hitam ulurkan cakar) menyerang dari belakang. Inipun diketahui oleh Leng Gok. Tapi Ho Hong tak kurang akal. Cepat ia robah oh-liong-tham-jiau menjadi to-he-yu-liong atau naga berenang di bawah golok. Secepat kilat golok dicabut terus ditabaskan ke kaki. Untung hanya mengenai tumit sepatu saja.
Ciu Bing melongo melihat pertandingan yang luar biasa itu.
"Tiau Ho Hong. kau masih mempunyai permainan kukway apa lagi, silakan mengeluarkan," seru Leng Giok.
Ho Hong berpaling pada Ciu Bing menanyakan masih kurang berapa jurus lagi. Ciu Bing mengatakan hanya tinggal lima enam jurus. Ho Hong gelengkan kepala. "Kalau Hong-bun-cui-kui-kun dapat dipecahkan, dengan apa lagi untuk menyerang? Demikian" pikirnya.
Memang demikianlah. Kalau seorang tokoh dapat bertahan diserang sampai tigapuluhan jurus, terang kepandaiannya dua tiga kali lebih tinggi dari yang menyerang.
"Hai, toa-ko-ji, kau puas mengaku kalah tidak? Apa sudah kehabisan ilmu? Ha, ha, lekas tuntun kudaku mencari It Yap," Leng Giok menertawakannya.
Wajah Ho Hong membesi, ia paksakan tertawa: "Sin-ni, bagaimana dengan tumit sepatumu?"
"Apa kau mau cari alasan?" Leng Giok marah. "To-he-ju-liong adalah jurus yang ke tiga puluh satu."
Ciu Bing terkesiap, tapi pada lain saat ia teringat bahwa ketika Ho Hong berputar-putar tadi, beberapa kali hendak lancarkan pukulan im-ciang. Ya, walaupun tak jadi dikeluarkan seluruhnya, tapi dianggap juga sudah melancarkan pukulan. Dihitung-hitung, Ho Hong memang sudah gerakkan im-ciang sampai tujuh delapan kali. Maka pada waktu ia gunakan jurus to-he-yu-liong, sudah menginjak jurus yang ke tiga puluh satu.
"Sin-ni, memang kau telah memenangkan jurus yang ke tiga puluh. Tapi pada jurus ke tiga puluh satu kau kalah. Memang satu kali, kalah satu kali, jadi seri. Jika suruh aku serta merta mengaku kalah, kecuali kita harus beradu lagi dalam ilmu senjata," Ho Hong tak mau kalah suara.
Belum Leng Giok menyabut, Hong Lu sudah berseru "Hai, orang tinggi besar, kau sungguh tak punya malu!"
"Anak jadah kau minta mampus?" bentak Ho Hong.
Walaupun tak tahu siapa sebenarnya yang menang atau kalah, tapi dari pembicaraan kedua orang tadi mengertilah Hong Lu kalau si nikoh tua yang lebih lihay. Dengan punya andalan begitu, besarlah nyalinya. Ia mengejek: "Tinggi besar, kaulah manusia jadah. Lekas tuntun kuda kami mencari ayahku, kalau tidak, ayahku tentu akan mengajarmu!"
Ho Hong marah dan hendak memukul anak itu, tapi disambut dengan hud-tim oleh Leng Giok. Demikian keduanya bertempur lagi dengan senjata.
Sekonyong-konyong di luar terdengar orang berteriak: "Ada pencuri melarikan kuda, hai, lekas.... lekas...."
Berisiknya orang yang keluar dengan membawa obor menyebabkan Ho Hong dan Leng Ciok berhenti bertempur. Mereka loncat ke luar disusul pula oleh Ciu Bing. Penjaga istana menangis dan mengatakan kalau ada pencuri melarikan seekor kuda. Ia coba menghalangi, tapi dipukul. Ho Hong heran, masakan ada pencuri kuda hanya mencuri seekor kuda saja. Ia ambil putusan untuk menyudahi pertempuran dengan si nikoh. Dengan pura-pura hendak mengejar pencuri kuda, ia mengajak Ciu Bing pergi.
Sementara itu Leng Giok sin-ni pun segera ajak Hong Lu masuk kedalam ruangan Karena hari sudah terang tanah, maka iapun minta pesan makanan. Dalam omong-omong selanjutnya, Leng Giok sin-ni merasa suka dengan Hong Lu yang pintar sekali bicaranya.
"Lo-suthay, apakah kau sudah punya murid? Muridmu tentu lihay sekali?" tanya Hong Lu. Suatu pertanyaan yang membuat Leng Giok terkesima. Beberapa saat kemudian baru ia mengatakan bahwa seumur hidup ia tak ingin menerima murid. Begitu pula dengan Wan Thian Cik dan It Yap tojin serta seorang tokoh yang lebih sakti lagi yakni Hui Sim hweaio. Mereka berempat itu merupakan tokoh-tokoh yang paling menonjol di dunia persilatan,
Waktu menanyakan si jongos, Leng Giok mendapat keterangan bahwa pencuri kuda itu ialah tetamu yang menginap di kamar nomor tiga. Seorang lelaki yang cakap sekali, umurnya di antara tigapuluhan tahun.
"Ku Pin!" serentak Leng Giok berseru.
"Ya, Ku pangcu!" seru si cilik Hong Lu.
"Dia keluar? Ha, ha, di dunia persilatan pasti terjadi pertunjukan gempar. Hong Lu, makanlah yang kenyang kemudian kita pergi!" kata Leng Giok.
"Ku pangcu tentu akan mencelakai aku, dia marah kepadaku!" kata Hong Lu. Tapi si nikoh mengatakan jangan takut, ia yang tanggung.
Begitulah setelah menangsel perut secukupnya, Leng Giok segera ajak Hong Lu berkuda menuju ke selatan.
Dalam perjalanan itu, hati Hong Lu selalu berdebar-debar. Dengan diketahuinya bahwa Ku Pin keluar lagi, dia sangat cemas. Dia memastikan bahwa keluarnya Ku Pin tentu akan mencari dia.
Sikap Hong Lu itu tak lepas dari pengamatan Leng Giok. Dia heran, mengapa anak yang cerdas dan berani itu kelihatan begitu cemas. Lalu ia ingat bahwa anak tadi menguatirkan dirinya akan ditangkap oleh Ku pangcu. Ada apanya antara dia dengan dia dengan Ku Pin?
Dan atas pertanyaan Leng Giok, Hong Lu menjawab. "Ku pangcu benci sekali kepadaku. Dia tentu akan memukulku, harap su-thay mau menolong diriku," demikian jawaban Hong Lu.
"Mengapa dia begitu membencimu?"
"Karena, aku ini.... Ku hujin itu punya...."
Leng Giok tertawa, "Takut apa? Dia juga orang busuk!'' ia hendak menuturkan tentang skandal Ku Pin dengan Wan Hian Kwan, tapi pada lain saat ia anggap Hong Lu yang masih kecil itu tentu tak mengerti, maka tak perlu. Ia hanya berjanji bersedia membelanya dari bahaya.
-^dwkz^smhn^- Dua saingan bertemu Beberapa hari menempuh perjalanan, mereka tak menjumpai bayangan Ku Pin maupun Ciu Bing dengan Ho Hong.
"Lo-suthay, kakiku ngilu dan sakit, bolehkah beristirahat dulu di dalam hutan ini?" tanya Hong Lu ketika mereka tiba di sebuah hutan di Kiangpak.
Leng Giok nengiakan. Sambil mengeluarkan daging kering, Leng Giok suruh Hong Lu mencari air.
Sambil membawa kantong air, Hong Lu celi-ngukan kian kemari. Ia mendapat akal, memanjat pohon tinggi. Benar juga dilihatnya pada jarak beberapa puluh tombak terdapat sebuah aliran air.
Buru2 ia melorot turun dan "blung...." tahu2 ia kecemplung ke dalam sebuah lubang. Lubang itu atasnya tertutup rumput hingga Hong Lu tak melihatnya tadi.
Selagi ia mengusap pantatnya yang sakit dan cari akal bagaimana akan keluar, tiba2 terdengar suara melengking, "Kurang ajar! Siapa yang merusak usahaku ini!"
Yang muncul ternyata seorang dara cantik. Ia kaget waktu melihat seorang anak kecemplung dalam lubang, "Hai, setan cilik, mau apa kau di situ?"
"Aku justeru yang akan bertanya, apakah kau yang membuat lubang ini?" seru Hong Lu.
Melihat si setan cilik tak senang, si dara mengira tentu karena sakit terbanting ke dalam lubang, maka ia tertawa geli, "Ya, mau apa?"
"Kurang ajar benar kau! Perlu apa membuat lubang jebakan?'' teriak Hong Lu dengan marah.
"Lubang untuk menjebak harimau, bukan kau. Siapa suruh kau masuk? Sudah tak kusuruh mengganti kerugian, mengapa malah marah2 padaku?" seru si dara.
Melihat kantong air pecah, marahlah Hong Lu. Ditimpukkannya benda itu kepada si dara, "Suruh ganti kerugian? Baik, kau ganti dulu tempat air ini!''
"Tidak sudi! Tidak sudi!" teriak si dara.
"Kalau begitu turunlah, kita berbicara," seru Hong Lu.
"Kau seperti anak ayam buta mata, menciap-ciap tak keruan. Hm, aku tak sudi turun, kalau berani, naiklah!"
"Baik, tunggulah, jangan lari!" Hong Lu terus enjot tubuhnya ke atas tapi masih kurang setengah meter dari mulut lubang. Beberapa kali ia mencoba lagi, tetap serupa.
"Melihat gerak-gerikmu, kau ini rupanya murid jempolan dari seorang sakti. Ha, ha, naik saja dengan merangkak, jangan coba loncat seperti tupai kesiangan," si dara mengejek.
Hong Lu terpaksa menurut. Dengan susah payah akhirnya dapat juga ia merangkak ke atas. Begitu meraih seutas akar rotan, ia hendak loncat keluar, maksudnya hendak unjuk kepandaian. Tetapi, "bum...." rotan putus dan ia jatuh kembali ke dalam liang.
Si dara tertawa cekikikan, "Hm, tahu rasa kau sekarang, besok jangan suka memaki-maki orang lagi, lho!" Ternyata dialah yang memotong akar rotan itu dengan pisau.
"Bagus, kau tak memperbolehkan aku naik ke atas, akupun melarang aku turun kebawah," seru Hong Lu lalu duduk bersila seperti seorang imam berilmu.
Dara itupun baru empatbelasan tahun umurnya jadi masih nakal. Ia senang dengan tingkah laku Hong Lu, "Anak tolol, jangan berlagak begitu dong, naiklah!"
Tapi Hong Lu cebirkan bibirnya tak mau menghiraukan.
"Oho, tidak mau mempedulikan? Bolehlah, akupun tak peduli," kata si dara sambil berbaring di tepi mulut lubang. Sampai beberapa lama, akhirnya si daralah yang tahan, ia loncat bangun.
Hong Lu melirik dan diam-diam girang. Dilihatnya dara itu bingung sendiri. Ini berarti taktik perang dinginnya berhasil.
"Aduh", tiba-tiba ia menjerit. Dahinya menjadi benjol tertimpuk kerikil.
Kiranya si dara yang melemparnya, lalu berseru: "Budak busuk, mau naik tidak?" Nadanya seperti orang meminta.
Hong Lu berdiri: "Naik ya naik, tapi kau harus minta maaf!"
"Apa yang perlu dimintakan maaf?" seru si dara.
"Mengapa kau panggil aku anak tolol, budak busuk?"
"Ha, ha, apakah bukan? Baiklah, kupanggil kau anak baik," si dara geli.
"Itulah." seru Hong lu lalu memanjat lagi. Kuatir si dara jail lagi ia gunakan ilmu bik-hou-yu-jiang-kang atau cicak merayap tembok. Akhirnya dapatlah ia naik keluar.
Waktu si dara menanyakan apakah masih marah, bocah itu menyatakan minta ganti tempat airnya. Si dara menjawab ia tak punya.
"Lha habis bagaimana nanti? Tidak membawa air, lo-suthay tentu memaki aku," kata Hong Lu.
"Lo suthay, siapa ia?"
"Kau tak perlu tahu, hm, tidak punya tempat tak apa asal kau dapat membawakan air untuknya."
"Hi, hi, kau ini benar tolol. Sini kan tepi sungai Tiangkang, di mana-mana ada air jernih. Pelancong-pelancong tak ada yang membawa kantong air, kecuali kau," kata si dara.
"Sudahlah, kalau tak mau mengganti tetap kau harus turut menghadap lo-suthay," kata Hong Lu seraya terus mencengkeram pundak si dara. Karena tingginya hanya sebatas pundak orang, maka tangannya itu hanya mengenai lambung si dara.
Si dara rasakan badannya agak lunglai "Kau cari mampus ini!" ia geliatkan lambungnya dan menampar muka si anak. Tetapi rupanya Hong Lu sudah sedia, cepat ia menghindar.
Diam-diam dara itu memuji kepandaian si bocah kecil. Namun bagaimanapun kepandaian dara itu lebih unggul tiga empat kali. Ia menggertak dengan tangan kiri, begitu Hong Lu menggegos ke samping, si dara membarengi mengait dengan kakinya.
"Bluk" Hong Lu jatuh mencium tanah.
"Kau masih memukul aku!" teriak Hong Lu dengan marah. Sekali mencabut belatinya ia lalu loncat menusuk dada si dara.
Si dera tak mau menghindar melainkan tertawa: "Ehh, kau mau membunuh orang, bagus, jantan sekali kau!"
Aneh. mendengar suara itu hati Hong Lu berdebar keras dan tangan kanannya terkulai sehingga tusukannya tak mengenai, Ya, jangankan membunuh orang, sedang membunuh ayam saja ia tak berani.
"Hai, bagaimana kau? Kau harus mencarikan akal supaya aku bisa membawa air," serunya.
Si dara ganda tertawa dan menyabarkannya, Ia menanyakan siapa nama Hong Lu. Karena merasa kalah, terpaksa Hong Lu memberitahukan namanya.
"Eh, nama itu seperti nama anak perempuan. Siapakah suhumu, dia tentu seorang lo-cianpwe," kata si dara.
"Lo-cianpwe sih bukan, karena umurnya baru tigapuluhan tahun."
"Oh. namanya....?"
Karena benci pada Ku Pin. Hong Lu tak mau menerangkan.
Si dara mengomel: "Kau setan cilik ini memang suka mengacau orang. Tidak mau bilang tak apa, masakan aku tak dapat menebak."
Ia lalu menyebutkan satu persatu nama tokoh persilatan yang berumur tigapuluhan tahun. Ketika menyebut nama Ku Pin. wajah Hong Lu berubah.
"Oh, apa sungguh Ku Pin?" cerdik sekali si dara sudah menduganya.
Mengira kalau si dara tentu jeri dengan Ku Pin, Hong Lu pun mengiakan: "Ya, benar, suhuku ialah Ku Pin, ketua Ang-tik-pang. Dia lihay sekali, dengan sebuah tinju ia dapat menghantam mati dua ekor harimau. Pulang nanti tentu kuadu kan pada suhu kalau kau menghina aku, dia tentu...."
"Lihat pukulanku!" tiba-tiba dara itu mencengkeram kedua bahu Hong Lu.
"Mengapa kau hendak memukul aku?" teriak Hong Lu sambil mendak ke bawah dan serudukkan kepalanya ke perut si dara.
"Bum" karena tak menyangka sama sekali dara itu terpental, sampai empat lima langkah.
"Lo-suthay, tolong, ada orang mau membunuh!" Hong Lu terus lari sambil berteriak-teriak.
Tapi si dara dengan sebatnya sudah loncat mengejar. Dalam dua tiga loncatan saja ia sudah dapat menghadang Hong Lu: "Aku tak memukulmu, ayoh ikutlah aku!"
Tapi Hong Lu enggan dan berputar tubuh terus dari lagi. Kali ini si dara tak mau memberi ampun lagi. Sekali bergerak ia menutuk jalan darahnya Hong Lu terus dijinjingnya dan dibawa lari. Sepanjang jalan Hong Lu jerit-jerit memanggil Long Giok su-thay. Namun gerakan si dara cepat sekali, larinya seperti terbang. Setelah melintasi puncak gunung dan sungai, akhirnya tibalah mereka di sebuah tempat yang indah sekali pemandangannya. Ternyata di situ sebuah hutan dengan sebuah air terjun setinggi dua tiga tombak. Si dara mengambil selembar kain minyak yang rupanya memang sudah disediakan di situ. Setelah menutupi kepalanya dengan kain minyak itu ia segera menerobos ke dalam air terjun. Hong Lu basah kuyup kepalanya. Di belakang air terjun ternyata terdapat sebuah tanah yang indah bertumbuhkan rumput dan bunga.
(Bersambung) KENALKAN Dunia ini ramai. Siapa yang meramaikan? Manusia. Dunia ini kejam. Siapa yang melakukan kekejaman? Manusia. Dunia ini kotor. Siapa yang mengotori? Manusia juga.
Kalau manusia-manusianya sudah kotor, suami hidung belang, isteri nyeleweng, paderi berbuat cabul dan manusia2 lain saling berebut kekuasaan dan harta benda, bagaiman dunia ini tidak semakin kotor.
Hong Lu, anak yang dilahirkan tanpa dikehendaki oleh orangtuanya, harus menderita hinaan dan ejekan sebagai anak liar atau anak haram.
Anehnya, seorang ibu terpaksa malu mengakui anak kandungnya sendiri....
-^dwkz^smhn^- Jilid 13
Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
KENALKAN Dunia ini ramai. Siapa yang meramaikan? Manusia. Dunia ini kejam. Siapa yang melakukan kekejaman? Manusia. Dunia ini kotor. Siapa yang mengotori? Manusia juga.
Kalau manusia-manusianya sudah kotor, suami hidung belang, isteri nyeleweng, paderi berbuat cabul dan manusia2 lain saling berebut kekuasaan dan harta benda, bagaiman dunia ini tidak semakin kotor.
Hong Lu, anak yang dilahirkan tanpa dikehendaki oleh orangtuanya, harus menderita hinaan dan ejekan sebagai anak liar atau anak haram.
Anehnya, seorang ibu terpaksa malu mengakui anak kandungnya sendiri....
-^dwkz^smhn^- Tiba di sebuah pondok mungil, segera terdengar suara orang menegur, "Hm, mengapa main2 sampai setengah hari?" Nadanya halus dan merdu sekali mengikat jiwa pendengarnya.
Ya, memang dara itu bukan lain Ih Ih adanya, "Sau hujin, aku membawa seorang tetamu kecil, coba tebak siapa!"
"Oh, makanya kakimu begitu berat. Hm, tetamu siapa?" seru orang di dalam pondok.
"Lihatlah saja," Ih Ih tertawa seraya melangkah masuk.
Ruangan pondok itu bersih dan necis sekali. Di meja terdapat sebuah vaas yang penuh bunga-bunga segar. Yang dipanggil 'sau-hujin' itu tengah duduk menyulam.
"'Hm, lagi-lagi kau mempermainkan anak kecil. Siapa itu? Lekas buka jalan darahnya!" sau-hujin atau nyonya muda menegurnya.
Sambil meletakkan Hong Lu ke atas meja, berkatalah Ih Ih, "Sau-hujin, jika kau tahu anak ini siapa, kau tentu tak mendamprat aku."
Sau-hujin tak menyahut melainkan gerakkan jarinya dan sekali mulut Hong Lu mengaduh, ia rasakan tubuhnya enak dan dapat bergerak lagi. Ternyata nyonya itu gunakan jarum bu-sing-sin-ciam untuk membuka jalan darah Hong Lu.
Waktu melihat sau-hujin itu seorang wanita muda yang cantik sekali, Hong Lu segera menangis dan meratap minta tolong padanya.
"Sau-hujin, bocah ini bernama Ho Hong Lu murid dari Ku Pin," kata Ih Ih.
Mendengar nama Ku Pin, nyonya cantik itu merah pipinya, tapi pada lain saat lalu mengerut gelap, "Benarkah? Dimana Ku Pin, apa berada di Ang-tik-ou?"
Menduga sau-hujin itu majikan dari Ih Ih, Hong Lu tabahkan nyalinya, "Begitu mendengar nama suhu mengapa kalian lalu tanya ini itu? Kalian tentu jeri pada suhuku. Hujin, budakmu tadi telah menghina aku. Kasih hajaran dulu padanya, baru nanti kuberitahukan."
"Kau tak mau memberitahukan, ya sudah. Kau tentu lapar, hai, Ih Ih, bawakan makanan untuknya yang enak. Dengar tidak?" tiba2 nyonya cantik itu berkata dengan lemah lembut.
"Hujin, kau...." Ih Ih hendak membantah tapi si nyonya cantik sudah memberi tanda supaya lekas keluar. Terpaksa Ih Ih memimpin tangan Hong Lu diajak keluar. Ia menanyakan mengapa anak itu bermain main keluar seorang diri.
Karena sikap Ih Ih berobah lunak, Hong Lu pun mau melayani bicara.
Siapa nyonya muda yang cantik itu kalau bukan Wan Hian Kwan. Karena luapan hati, malam itu ia telah menuruti rayuan Ku Pin. Tapi setelah itu ia merasa menyesal dan malu pulang. Dengan membawa Ih Ih, diam diam ia lolos dari kota raja. Bentrokan Ciu Bing dengan Ku Pin, ia tak tahu. Ia menuju ke selatan dengan tujuan untuk sementara waktu menghindari berjumpa dengan suaminya. Disamping itu ia hendak menuntut balas pada It Yap dan Tan Ping. Ketika lewat di tempat situ, tanpa disengaja ia menemukan tempat yang indah di balik air terjun. Tertarik oleh keindahan tempat itu, akhirnya ia ambil keputusan, sementara waktu menetap disitu.
Setelah selesai makan, maka Hong Lu dibawa ke hadapan Hian Kwan lagi. Dalam percakapan Hong Lu menuturkan riwayat dirinya.
"Apa? Ayah bundamu itu...." Hian Kwan terbeliak kaget.
Hong Lu masih bocah sudah tentu tak tahu bahwa perbuatan orang tuanya itu memalukan, maka dengan wajar sekali ia menjawab: "Ayahku bernama It Yap tojin dan ibuku adalah suhuku sendiri yakni isteri Ku pangcu!"
Hian Kwan menggebrak meja: "Mengapa begitu? Hm, kau tentu bohong, bohong!"
Saking kagetnya Hong Lu sampai berjingkrak. Ia tundukkan kepala tak berani menyahut.
"Hm, kiranya kau juga bunga keliaran. Kalau bertemu, mudah menistamu!" Hian Kwan berkata seorang diri. Ia masih dendam ketika tempo hari dihina oleh Ku hujin. Dari pembicaraan selanjutnya ia tahu kalau suami-isteri Ku Pin itu pergi ke daerah selatan.
"Bagus, kalian hendak datang. Ku hujin, akan kugurat wajahmu dan kau Ku Pin akan kutusuk dadamu!" bermacam peristiwa yang lampau terbayang di benaknya. Wajahnya sebentar merah sebentar pucat.
Beberapa saat kemudian ia balik ke tempat duduknya dan menyulam. Hong Lu mengira yang disulam tentu sebangsa bunga, siapa tahu ketika ia menghampiri ternyata yang disulam itu adalah seekor naga hitam yang sedang beringas. Hong Lu ketakutan dan buru2 hendak balik tapi dibentak Hian Kwan, "Hai, anak jadah, mau apa kau?"
"Aku hendak pergi karena ditunggu orang. Kalau aku tak pulang, ia tentu marah,* kata Hong Lu.
"Siapa?" "Leng Giok sin-ni."
"Ha, ha, kiranya nikoh tua yang tak tahu malu itu. Biarkan dia menunggu, peduli apa?" seru Hian Kwan.
"Mengapa kau memaki lo-suthayku? Kalau ia mendengar, tentu kau tak diampuninya," Hong Lu marah.
"Apa salahnya memaki dia? Apa kau anak haram ini berani membelanya?" tegur Hian Kwan.
Hong Lu paling benci kalau dikatakan anak haram. Tak peduli berhadapan dengan siapa, ia lalu loncat hendak menyeruduk dengan kepalanya. Tapi hanya sekali Hian Kwan kibaskan lengan bajunya, anak itu terlempar ke belakang akan membentur tembok. Hian Kwan terkejut. Ia menyesal telah mencelakai seorang anak yang tak berdosa. Baru ia hendak memburunya tiba2 tubuh Hong Lu yang hampir membentur tembok tadi melayang kemuka lagi, menjurus ke arah Hian Kwan. Dan berbareng itu terdengar bentakan seorang wanita, "Bagus, Wan Hian Kwan, kau berani memaki orang, ya?"
Melihat yang muncul itu Leng Giok sin-ni, Hian Kwan marah. Ia kibaskan lengan bajunya untuk mengenyahkan tubuh Hong Lu.
"Anak itu berdosa apa, mengapa kau memperlakukannya begitu?" teriak Leng Giok.
Tapi sekalipun mulutnya mengatakan begitu namun tangannya mendorong ke muka hingga tubuh Hong Lu terpental ke muka lagi. Demikianlah Hong Lu seperti dibuat uncal-uncalan (lempar-lemparan) oleh Hian Kwan dan Leng Giok. Saking sakitnya, Hong Lu men-jerit2. Tetapi bukannya berhenti sebaliknya kedua wanita itu malah memperkuat dorongannya.
"Oh, anakku, kasihan benar kau!" tiba-tiba pintu terbuka dan muncullah seorang wanita yang cepat sudah menyambuti tubuh Kong Lu.
Hian Kwan dan Leng Giok terkejut. Buru-buru ia hentikan permainannya. Mereka lebih kaget demi mengetahui wanita itu adalah Ku hujin. Hong Lu menangis tersedu-sedu di dalam pelukan ibunya.
"Hian Kwan, kalau mau bunuh, bunuhlah aku. Mengapa kau mengganas pada seorang anak kecil? Hm, kau benar-benar seorang ular cantik yang berbisa!" teriak Ku hujin. Kemudian iapun mendamprat Leng Giok: "Hai, siapkan ini nikoh busuk? Anak ini salah apa padamu sampai kau memperlakukan begitu kejam?"
"Tadi kami hanya main-main. Anakmupun tak kena apa-apa mengapa kau ribut tak keruan?" Leng Giok marah juga.
Memang keduanya tadi telah gunakan lwekang sedemikian rupa, hingga tak sampai melukai Hong Lu. Soalnya mereka sama-sama keras kepala tak mau menyambuti Hong Lu.
"Ku hujin, kau manusia yang tak kenal budi...." masih Leng Giok marah-marah karena dimaki sebagai 'nikoh busuk' tadi.
"Apakah yang tak kenal budi? Siapa kau ini nikoh busuk? Mengapa kau membuat bal-balan anakku? Aku sudah mengikuti kau beberapa hari!" teriak Ku hujin. Memang ia telah menguntit perjalanan Leng Giok selama beberapa hari. Tapi karena gerak gerik nikoh itu aneh, maka Ku hujin tak berani turun tangan.
Dimaki nikoh busuk lagi, Leng Giok terus memukulnya. Tapi dengan sebat sekali Ku hujin sudah mencabut pedang dan memapas tangan si nikoh.
"Perempuan jalang, kau berani bermain pedang di hadapanku! Hmm, kau anggap aku Leng Giok sin-ni orang macam apa?" damprat Leng Giok.
Ku hujin terkesiap kaget, la memang belum kenal nikoh itu tatapi sudah mendengar kemasyhuran namanya. Seorang tokoh yang dihormatinya, Amarahnya berkurang dan bertanyalah ia: "Mengapa kau melemparkan anakku?"
Melihat ramai-ramai itu Hong Lu cepat loncat ke tengah mereka: "Ku hujin, suthay itu menolong aku, bukan melemparkan. Harap jangan berkelahi!"
"Hong Lu, ayahmu It Yap dan dia adalah ibumu sendiri, Mengapa kau tak memanggilnya mamah? Ha, ha, kalau Ku Pin mendengar tentu akan girang sekali!" Leng Giok tertawa mengejek.
Ku hujin merah padam mukanya.
Melihat suasana sudah reda, Hong Lu meminta ketika wanita itu duduk, jangan petentengan.
"Hong Lu, kau mau ikut siapa, dia atau aku?" teriak Ku hujin
"Apakah kau mengakui aku sebagai anakmu?" dengan cerdik Hong Lu balas bertanya.
Merah muka Ku hujin dibuatnya. Ia memeluk anak itu dengan mesranya. Sejak melahirkan (enam tahun), baru pertama kali itu Ku hujin menunjukkan keibuannya dengan mesra.
"Hong Lu, panggillah aku mamah!" katanya dengan lemah lembut.
Hong Lu meronta dari pelukan ibunya dan berkata dengan dingin: "Kau masih tetap memanggil aku Hong Lu. Aku bukan lagi muridmu dan bukan lagi anak liar yang kau pungut di pinggir jalan. Jika suruh aku memanggilmu 'mamah', harap kau memanggil aku dulu!"
Mendengar kata-kata yang cerdik itu diucapkan oleh seorang bocah, Leng Giok berseru memuji: "Bocah pintar, kau sungguh cerdik dan perwira. Kau tidak kecewa menjadi anak It Yap tojin."
Sebaliknya Ku hujin yang tersinggung dengan kata-kata si nikoh itu, segera mendorong Hong Lu disuruh minggir, kemudian menyerang Leng Giok: "Nikoh cerewet, makanlah pedangku!"
Sambil kibarkan lengan jubahnya, Leng Giok mendamprat Ku hujin sebagai manusia yang tak kenal budi
"Apa? Kenal budi? Aku toh tak kenal padamu? Kabarnya kau ini seorang tokoh persilatan nomor satu, tapi kiranya hanya seorang nikoh busuk. Ayo, kita bertempur sampai duaratus jurus, baru nanti aku membuat perhitungan dengan si wanita busuk she Wan itu," teriak Ku hujin.
Leng Giok tak mau mengungkat pertolongannya kepada Ku hujin tempo hari. Ia terima tantangan nyonya itu. Hian Kwan hanya melihat saja mereka bertempur. Ia duga kedatangan Ku hujin itu tentu tak menguntungkan baginya, maka biar dibunuh oleh Leng Giok. Sekurang-kurangnya apabila tidak mati, toh nanti hujin itu sudah kehabisan tenaga jika berhadapan dengannya (Hian Kwan).
Siat itu Ih Ih masuk dengan menghunus pedang. Buru-buru Hian Kwan membisiki, menyuruh keluar.
"Wut", Leng Giok ayunkan kepdanya tapi Ku hujin menghindar sambil maju lagi untuk menusuk lengan lawan.
"Lepaskan!" demikian sambil berteriak Leng Giok mengebut dengan lengan bajunya.
"Krak" pedang Ku hujin patah.
Waktu pedangnya kena dilihat dengan lengan jubah tadi, Ku hujin tahu bahwa pedangnya pasti kena direbut. Daripada menerima hinaan begitu, lebih baik ia kerahkan lwekang untuk mematahkan pedangnya sendiri. Memang dengan tindakan itu Ku hujin berhasil terhindar dari kekalahan, tapi tak urung tubuhnya pun terhuyung-huyung menjorok ke muka.
"Rase betina yang licin!" damprat Leng Giok dengan gusarnya. "Lepaskan pedangmu!" kembali ia berteriak sambil mencengkeram lengan Ku hujin. Tadi ia membentak suruh orang lepaskan pedang, tapi gagal. Ini berarti suatu hinaan. Kali ini nikoh yang berhati sombong itu tentu harus dapat melaksanakan maksudnya.
Ku hujin tak dapat menghindar lagi dan pedangnya tentu kena disebut. Tiba-tiba Leng Giok rasakan punggungnya seperti hendak ditusuk dengan benda dingin, buru-buru ia menampar ke belakang.
"Hong-ji, apa kau gila? Lekas mundur!" teriak Ku hujin dengan cemasnya.
Ia terkejut demi melihat Hong Lu menusuk Leng Giok dari belakang. Tapi sudah terlambat, anak itu merasa seperti ditimpa tenaga ratusan kati. Kakinya lentuk tak dapat berdiri lagi, Tapi ketika akan terkapar di lantai, tiba-tiba ia merasa seperti tersedot oleh suatu tenaga sehingga ia dapat berdiri lagi.
"Setan cilik, mengapa kau menusuk aku?" tegur Leng Giok.
"Mengapa kau menyerang mamahku" Hong Lu balas bertanya.
"Ha, ha, akhirnya kau memanggilnya 'mamah' juga. Ah, sudahlah, mengingat itu, mamahmu tak kubunuh,"
Memang aneh sekali watak nikoh itu. Apa yang orang menganggap benar, ia mengatakan salah. Tapi apa yang dianggapnya salah oleh orang, ia mengatakan benar. Ia hanya menurutkan kemauannya sendiri tak menghiraukan orang lain. Begitulah habis berkata, benar juga ia lalu tak mau menyerang lagi. Setelah membersihkan pakaiannya ia lalu menghampiri ke tempat Hian Kwan dan menikmati lukisan naga yang disulam Hian Kwan.
Diam-diam Hian Kwan membatin, jika nikoh itu pergi, ia tentu segera dapat menempur Ku hujin. Maka iapun segera mengutarakan: "Leng Giok sin-ni, jika kau tiada senang, silakanlah. Kamarku ini sempit, tak sesuai menerima tetamu."
Ia berharap nikoh itu akan marah dan pergi. Tapi ternyata diam saja, tetap menikmati sulaman naga hitam. Terpaksa Hian Kwan mengulangi lagi sampai dua tiga kali. Namun tetap sinikoh tak menghiraukan. Akhirnya Ku hujin lah yang tak tahan: "Wan Hian Kwan, mari kita bertempur!"
Hian Kwan tak mau banyak bicara terus mengambil pedangnya dan bertempur. Karena pedangnya sudah kutung, Ku hujin terpaksa memakai pedang kecil kepunyaan Hong Lu. Sekalipun demikian, dapat juga ia melayani permainan Hian Kwan.
Leng Giok sin-ni tak ambil pusing. Tetap ia menikmati sulaman naga. Beberapa saat kemudian tiba-tiba ia loncat ke tengah mereka dan berseru, "Baik, sekian sajalah!"
Hian Kwan dan Ku hujin itu tokoh2 yang lihay, namun dalam kebutan hud-tim Leng Giok sin-ni yang segencar air terjun itu, mereka dapat juga dibuat terpental mundur.
"Kau bilang sudah tak mau berkelahi, mengapa datang lagi?" teriak Ku hujin dengan marah.
"Ku hujin, siapa yang bicara padamu?" Leng Giok tertawa, kemudian berseru kepada Hian Kwan, "Ciu hujin, apakah naga hitam yang kau sulam itu lukisan dari naga jahat yang timbul di telaga Thay-ou tempo hari?"
"Benar, bagaimana sulamannya baik tidak?"
"Aku tak pernah melihat naga itu dan tak tahu apakah lukisanmu itu mirip atau tidak. Mirip ya baik, tidak mirip ya sudah, apa lagi yang harus dikatakan?" seru Leng Giok.
"Habis, apa yang kau tanyakan?" tanya Hian Kwan.
"Waktu menaklukkan naga itu kabarnya terdapat seorang tua dan seorang muda yang berjasa besar. Si tua itu ialah ayahmu dan si muda itu kekasihmu, benarkah itu?"
"Nikoh cabul, hati-hatilah mulutmu!" Hian Kwan marah sekali.
"Mereka itu benar-benar tak tahu diri," seru Leng Giok.
Hian Kwan penasaran dan mengatakan kalau kedua orang itu berhasil menusuk mata si naga sampai buta.
"Tapi binatang itu toh belum mati! Tahukah kau ia berada di mana sekarang?"
"Apa kau hendak menaklukkannya?" tanya Hian Kwan pula.
"Di kolong langit ini kecuali aku siapa lagi yang dapat melawan makhluk itu? Siapa yang mempunyai keberanian begitu?"
Hian Kwan girang sekali. Ia dapat jalan untuk mengenyahkan nikoh itu. Dengan jelas ia tuturkan keadaan telaga Thay-ou dengan pulau-pulaunya.
"Terima kasih Ciu hujin. Aku hendak menaklukkan naga itu. Di seluruh jagad, akulah yang nomor dua. Hai, setan cilik, apa kau tak ingin melihat?" habis berkata Leng Giok menyambar Hong Lu terus dibawa lari keluar.
Sudah tentu Ku hujin terperanjat, "Hai, nikoh busuk, apa kau gila?' teriaknya sambil mengejar.
"Ku hujin, tunggu dulu, aku hendak bicara," Hian Kwan sarungkan pedangnya terus memburu.
Ginkang Leng Giok tiada tandingannya di dunia. Dalam sekejab saja ia sudah lari lima enam puluh tombak. Sementara Ku hujin tetap mengejar dan berteriak-teriak kalap meminta kembali Hong Lu.
Tiba-tiba ia teringat sesuatu dan kendorkan larinya, lalu berputar lari menuju ke sebuah karang besar. Ketika hampir tiba, didengarnya ada suara bayi yang menangis. Ternyata In Ih berada disitu dan membopong Hui Kun.
"Budak hina, kau cari mampus!" teriak Ku hujin sambil loncat menghantam Ih Ih. Tapi tepat pada saat itu muncullah Hian Kwan yang dengan sebatnya sudah menangkis. Ketika berbentur, keduanya sama-sama tersurut mundur.
"Hian Kwan, hendak kau mengapakan anakku itu?" seru Ku hujin.
"Tidak apa-apa. Karena kau sehari-harian separti orang gila, mana dapat merawat anak. Biarlah aku menolongmu merawatnya," sahut Hian Kwan.
Marah Ku hujin bukan kepalang: "Wanita hina, kau sudah merebut suamiku, masih mau merampas anakku lagi. Kau ini manusia atau bukan, punya prikemanusiaan atau tidak?"
"Kalau mau meminta kembali anakmu, boleh saja. Asal kau mau mendengar bicaraku," jawab Hian Kwan dingin-dingin.
Ia melindungi Ih Ih yang tengah membawa pergi Hui Kun. Beberapa kali Ku hujin hendak menerjang, tetapi selalu dipaksa balik oleh pukulan Hian Kwan.
Kiranya waktu Ku hujin dengan mengempo bayinya turun gunung mencari Hong Lu, ia dapatkan puterinya itu dibawa Ih Ih masuk ke goha di balik air terjun.
Semula ia sudah memperhitungkan bahwa di tempat kediaman Hian Kwan nanti tentu akan bertempur. Kuatir bayinya nanti terluka, ia segera menyembunyikannya di balik sebuah batu karang besar, ia kira di situ tentu aman.
Tetapi Hian Kwan telah memperhitungkannya bahwa Ku hujin tentu membawa bayinya maka diam2 ia suruh Ih Ih menyelidiki di sekitar tempat situ. Rencana Hian Kwan, kalau dapat hendak membuat Ku hujin cacat. Tapi kalau tidak dapat, bayi itu akan dibuat tanggungan supaya Ku hujin tidak berani mengganggunya lagi.
"Jika mulutmu masih suka memaki aku, aku pun tak sungkan lagi. Asal aku berteriak tiga kali, bayimu tentu mati," seru Hian Kwan. Kemudian ia meneriaki Ih Ih supaya siap-siap. Setelah itu ia minta supaya Ku hujin menyerahkan senjatanya. Terpaksa nyonya itu menurut juga. Ku hujin minta supaya dirinya dibunuh saja.
"Ku hujin, apakah kau tetap membenci aku? Itupun dapat dimengerti. Duduklah dan mari kita omong2 dengan tenang," kata Hian Kwan.
"Wan Hian Kwan, apa maumu? Apakah kau akan meminta Ku Pin? Hm, jika suka, ambillah!" kata Ku hujin setelah duduk.
"Siapa sudi dengan Ki Pin mu itu! Dia orang yang tak punya malu. Aku pernah makan getahnya, apakah kau kira aku tak benci padanya?" bermula nada Hian Kwan keras, tapi kata2 yang terakhir diucapkan dengan pilu.
Ku hujin tak sampai hati lagi memakinya.
"Ku hujin, akan kukembalikan bayimu, tapi kau harus menuruti tiga buah permintaanku."
"Bilanglah!" "Pertama, selanjutnya kau tak boleh datang kemari mengganggu aku. Kesulitanku sudah bertumpuk-tumpuk, aku tak mau diganggu lagi, Apakah kau meluluskan?"
"Yang kedua?" tanya Ku bujin.
"Ah, kau harus mengatakan dulu dapat menerima yang pertama itu atau tidak. Ah, kita kaum wanita memang paling menderita. Kita sama-sama sependeritaan, mengapa harus saling bunuh sendiri?"
Tergerak hati Ku hujin mendengar pengataan Hian Kwan itu. Pikirnya: "Ucapannya itu jujur. Musuh besarku nomor satu ialah It Yap dan Kedua Ku Pin. Yang satu menodai, yang satu menelantarkan aku. Jika tidak dirayu manis oleh Ku Pin, Hian Kwan tak mungkin jatuh ke dalam pelukannya."
Memikir sampai di sini, nyonya itu dapat memaafkan Hian Kwan. Iapun segera mengiakan.
"Yang kedua, kita bersatu untuk membasmi musuh kita berdua. Kau dapat menerima atau tidak?"
"Siapa musuh kita bersama itu?"
"Banyak sekali. Asal kita bersata padu, siapakah yang dapat melawan lagi?" kata Hian Kwan.
"Coba sebutkan misalnya," masih Ku hujin meminta penjelasan.
"Misalnya. Ku Pin dan It Yap, bukankah mereka itu musuh kita? Mereka harus dilenyapkan, tapi entah apakah kau tega atau tidak?"
Isi hatinya dibuka, Ku hujin serentak menepuk pahanya dan berseru: "Bagus, aku menerima. Dan yang ketiga?"
"Hak ini baik kutangguhkan dulu. Kelak apa bila sudah tiba saatnya tentu tanpa kuberitahukan kau sudah akan mengerti sendiri," seru Hian Kwan.
"Ha, apa saja? Karena kita sudah berjanji bersatu, tak seharusnya kau menyembunyikan apa-apa terhadapku!"
"Sudahlah Ku hujin, jangan kuatir. Percaya saja padaku. Hal itu terhadap kita berdua ada manfaatnya tiada kerugiannya," kata Hian Kwan.
Ku hujin masih mendesak lagi tapi Hian Kwan segera menepuk bahunya dan membangunkan semangatnya: "Ayo Ku hujin, kita berjuang bahu membahu, membasmi semua lelaki jahat dt dunia ini demi untuk kepentingan kaum wanita!"
Ku hujin tergugah semangatnya. Serentak ia bangkit dan minta senjatanya. Hian Kwan menganggap pedang Hong Lu itu terlalu kecil maka ia memberikan sebilah pedang lain.
Setelah menyerahkan bayinya supaya dirawat Ih Ih, Ku hujin dan Hian Kwan terus hendak berangkat. Tapi tiba-tiba Ku hujin teringat sesuatu. Ia memberi pesan lagi, "Ih Ih, jiwa Hui Kun kuserahkan kepadamu. Jika sampai terjadi apa2, aku Ku hujin.... hm, sebaiknya tak kukatakan lebih jauh. Dan ingat Ih Ih, jika Ku Pin sampai datang kemari, sekali-kali jangan kau berikan bayi ini kepadanya, mengerti?"
Ih lh mengiakan dan berangkatlah kedua wanita yang senasib itu mencari musuh-musuhnya dan membasmi kaum lelaki jahat.
Sekarang kita ikuti perjalanan Leng Giok yang membawa Hong Lu itu. Setelah menoleh ke belakang tak melihat bayangan Ku hujin lagi, maka Leng Giok pun kendorkan langkahnya. Hong Lu meronta minta turun dan terus hendak lari balik tapi dicegah oleh Leng Giok yang sambil memimpin tangan si bocah terus diajaknya berlari. Hong Lu merasa seperti terbang.
Tiba-tiba dilihatnya di sebelah muka terdapat sebuah air terjun. Ia menjerit, "Lepaskan, lepaskan, aku hendak pakai kain minyak."
"Perlu apa?' sahut Leng Giok yang dengan gunakan ginkang istimewa segera menerobos.
Sekeluarnya dari air terjun itu ternyata pakaian Leng Giok tetap kering, paling2 hanya ada dua tiga tetes air di atas rambutnya.
"Suthay, ilmu kepandaianmu hebat sekali!" Hong Lu kagum.
Leng Giok Giok girang, sahutnya: "Suthaymu ini masih punya lain kepandaian yang lebih hebat lagi."
"Ajarkanlah kepadaku, suthay," sahut Hong Lu.
"Boleh, boleh, asal kau ikut aku dan tak memikirkan mamahmu lagi. Dalam satu setengah tahun, tanggung kau tentu punya kepandaian yang aneh-aneh."
Oleh karena Hong Lupun tak begitu mendalam kecintaannya terhadap sang ibu, maka dengan girang ia mengiakan. Demikianlah selama dalam perjalanan itu tak henti-hentinya Leng Giok menceritakan tentang kejadian-kejadian yang menarik di dunia persilatan dan tentang ilmu kepandaian yang aneh aneh. Tujuan mereka ialah ke telaga Thay-ou mencari si naga jahat.
Ada beberapa peristiwa yang dijumpai selama dalam perjalanan itu. Pertama, bertemu dengan seorang anak gembala yang menangis di tengah hutan. Ternyata seekor kambingnya ditimpuk mati oleh orang dengan senjata thiat-liancu. Juga ayah dari anak itu kehilangan tiga ekor sapinya, Menurut keterangan pak tani tersebut, yang membunuh sapinya ialah seorang imam. Ia lalu melukiskan perawakan dan roman imam itu.
"Itulah It Yap!" tanpa terasa Leng Giok berseru.
"Itulah ayahku!" pun Hong Lu serentak berteriak.
Mendengar itu, bukan kepalang marah pak tani. Ia menerjang Hong Lu dengan kapaknya tapi kena dihindari bahkan perutnya dijotos Hong Lu. Petani yang bertubuh tinggi besar itu makin kalap. Ia menghujani Hong Lu dengan kapaknya. Hong Lu berlincahan menghindar dan gerakan kakinya mengait kaki orang.
"Bum" si petani jatuh, tapi jatuhnya menimpa Hong Lu. Hong Lu tele-tele karena hampir tak dapat bernapas. Untung buru-buru ditolong Leng Giok.
"Kalau mengait kaki orang, jangan dari muka, tetapi harus lekas-lekas menyingkir ke samping," kata Leng Giok sambil mengajarkan gerakan bagaimana cara mengait kaki orang.
Hong Lu hendak mencobakan kepada si petani lagi tapi dicegah Leng Giok dan kemudian memberi uang kepada si petani atas kerugian sapinya yang hilang itu.
Kejadian kedua, terjadi ketika Leng Giok dan Hong Lu mampir di sebuah rumah makan. Di situ terdapat beberapa tetamu lelaki. Mereka ramai membicarakan tentang tokoh dan kejadian-kejadian di dunia persilatan, antaranya Ku Pin, Wan Hian Kwan dan lain-lain. Tapi Leng Giok tetap tak mengacuhkan. Ia pesan hidangan sayur dan arak. Ketika jongos datang dengan membawa pesanan, karena masakannya enak, Leng Giok memberinya persen. Empat orang lelaki yang duduk di sebuah meja marah karena jongos hanya melayani Leng Giok saja. Salah seorang dari mereka menampar muka jongos itu. Malah orang lelaki yang bermuka brewok itu mengeluarkan kata-kata yang mengejek Leng Giok. Namun Leng Giok tetap tinggal diam.
Hong Lu panas hatinya tapi dicegah oleh Leng Giok yang menyuruhnya segera makan. Hong Lu memuji-muji kelezatan masakan koki rumah makan situ.
"Hong Lu, tahukan kau apa bumbunya masakan yang lezat ini?" tanya Leng Giok sin-ni.
"Apa bukan telur itik?"
"Bukan, telur itik itu adalah makanan. Bumbu masak antara lain ialah kecap, garam, bawang dan lain-lain. Selain itu masih ada bumbu istimewa yang dapat menambah nikmatnya masakan. Bumbu istimewa itu sehabis dipakai terus dibuang. Orang yang makan tak merasa, tetapi bagi yang sudah berpengalaman tentu tahu juga rasanya."
Hong Lu menyatakan tak tahu dan minta suthay itu memberitahukan.
"Ya, bumbu istimewa itu tak lain tak bukan ialah tikus. Begitu tikus turut dimasukkan dalam masakan, wah, rasanya bukan kepalang lezatnya. Setelah selesai, tikus itupun dibuang."
Mendengar itu serentak muntah-muntah Hong Lu. Celakanya ia menyemprot si lelaki brewok tadi. Sudah tentu si brewok marah sekali dan loncat menghantam Hong Lu.
"Bum" Hong Lu menghindar dan mejalah yang menjadi korban. Masakan muncrat mengenai pipi si brewok Dia makin gusar.
Bermula Hong Lu takut tapi Leng Giok meng anjurkan supaya berani, ketika si brewok menyerang. Leng Giok meneriaki Hong Lu supaya mengait kaki si brewok.
"Bum" si brewok jatuh ngeloso mencium lantai. Dua buah giginya rompal.
Melihat itu kawannya segera maju menghantam Hong Lu dengan golok. Kembali Leng Giok meneriaki supaya Hong Lu menyeruduk perut lawan dengan kepala. Dan lagi-lagi Hong Lu berhasil membuat lawannya rubuh. Demikianlah setiap kali mendapat petunjuk dari Leng Giok supaya menggunakan jurus-jurus yang diajarkan kepadanya, akhirnya dapat juga Hong Lu mengalahkan keempat lawannya itu.
Ternyata keempat orang itu disebut sebagai Ui-buti-su-kiat atau Empat pendekar kaum she Ui. Mereka merupakan empat serangkai durjana yang malang melintang di wilayah Siamsay. Mereka datang ke telaga Thay-ou karena memenuhi undangan Tan Ping.
Di tangan Hong Lu, si setan cilik yang telah mendapat gemblengan dari tokoh sakti Leng Giok sin-ni, keempat jagoan itu akhirnya melarikan diri. Leng Giok suruh Hong Lu mengejar dan meringkus toako (pemimpin) mereka yang bernama Ui Ke Ik.
Dalam waktu kurang dari setengah jam saja Hong Lu berhasil membawa jagoan itu ke hadapan Leng Giok yang masih menunggu di rumah makan.
Atas pertanyaan Leng Giok, orang she Ui itu menerangkan bahwa mereka diminta bantuannya oleh Tan Ping. Membantu urusan apa nanti setelah berhadapan dengan Tan Ping baru akan diberitahukan.
"Begitu datang ke suatu tempat, kau lalu main raja-rajaan, ya? Mengejek seorang nikoh dan menghina seorang anak kecil!" damprat Leng Giok.
Keempat saudara Ui itu minta maaf: "Harap lo-cianpwe suka mendengar keterangan kami. Coba tadi pagi kami tak kesampokan dengan seorang imam kemudian berkelahi dan kami dihajar pontang panting, tentu kami tak penasaran."
Atas pertanyaan Leng Giok, mereka menerangkan bahwa orang itu sekarang berada di sekitar telaga Thay-ou. "Katanya ia mempunyai sebuah senjata sakti yang dapat dibuat membunuh naga dalam telaga Thay-ou itu. Kami hendak minta lihat, tapi bukannya diberi lihat sebaliknya diberi bogem mentah. Ai, imam itu lihay sekali tapi terlalu berandalan."
Leng Giok suruh mereka jangan bicara keras-keras, ia memberitahu siapa imam itu. Ketika mendengar nama It Yap. keempat jagoan itu hampir copot nyalinya.
"Sekarang beberapa partai persilatan telah berkumpul di sekitar telaga Thay-ou. Sewaktu-waktu dapat timbul pertempuran yang hebat, lebih baik kalian kembali saja ke tempat kalian, jangan turut campur di air keruh," Leng Giok menasehati.
"Tetapi bagaimana dengan Tan pangcu...."
"Ah, dia kan hanya bangsa kacang hijau saja. Lawan cucu muridku saja ia tak menang. Ayo, kalian mau kembali tidak? Apa perlu kupakai kekerasan?"
Karena melihat Leng Giok marah, keempat jagoan itu ketakutan dan terpaksa menurut perintahnya. Setelah mereka pergi, Hong Lu menyatakan hendak mencari ayahnya. Maka Leng Giokpun segera ajak ia berangkat lagi. Sambil menikmati pemandangan yang indah dari telaga Thay-ou. akhirnya pada hari itu mereka tiba di Sociu. Tiba-tiba Leng Giok mengajak Hong Lu masuk ke kota: "Ya, mari kita turut menyatakan bela-sungkawa kepada persilatan. Sayang keburu ia sudah mati sebelum aku datang,"
Tiba-tiba Hong Lu mempunyai pikiran: "Su thay, jika pada suatu hari, kau berjumpa...."
Leng Giok tertawa: "Perlu apa kau susah payah mencarinya itu? Ha, ha, setelah Wan Thian Cik meninggal, sekarang hanya ayahmu dan akulah yang paling sakti. Namun memutuskan siapakah yang sesungguhnya lebih sakti, tak boleh tidak harus diadu."
Setelah masuk pintu kota sebelah selatan, mereka menuju ke pintu utara dan terus keluar.
Kira-kira tiga li lagi, berhentilah Leng Giok di sebuah bekas gedung yang besar. Leng Giok menerangkan bahwa bekas gedung itu adalah milik Wan Thian Cik. Setahun yang lalu masih ramai dengan tetamu-tetamu dan pesta perjamuan. Tetapi sekarang sudah menjadi tumpukan puing.
Waktu Leng Giok mengajak masuk ke kota lagi mencari rumah makan, tiba-tiba Hong Lu berteriak: "Hai, ada orang, lihatlah suthay!"
Leng Giok memandang ke arah yang ditunjuk oleh Hong Lu tapi tak menampak suatu apa: "Hong Lu, jangan ketakutan seperti melihat setan di tengah hari bolong. Sekalipun Wan Thian Cik menjadi setan, pun tak mungkin ia muncul di siang hari."
Malam itu Leng Giok menginap di sebuah hotel. Hong Lu yang masih terbayang pada orang yang dilihatnya diantara tumpukan puing gedung Wan Thian Cik siang tadi, tak dapat tidur. Demi dilihatnya Leng Giok sudah tidur bertutupkan selimut, ia lalu turun dan ranjang, membuka pintu dan lari menuju ke bekas gedung keluarga Wan.
Hong Lu tertegun di malam terang itu. Tiba-tiba diantara reruntuhan tampak suatu letikan api dan suara orang berbisik. Hong Lu terkejut dan menduga tentu disebelah dalam terdapat orang. Ia memanjat sisa pagar yang indah hangus. Ia siapkan pedangnya dan menunggu dengan hati berdebar.
Benar Juga, tampak tiga sosok manusia berindap-indap mendatangi. Ketika lalu di sebelah pohon, mereka tak bicara apa-apa. Dan karena membelakangi, Hong Lu tak dapat melihat wajah mereka. Ketiga orang itu menuju ke sebuah panggung kecil yang sudah bobrok.
"Toako, apakah di sini?" tanya salah seorang yang bernada parau,
"Tua bangka itu mengatakan, ditanam di panggung (pagoda tempat mencari angin) di halaman belakang," sahut kawannya.
Begitulah mereka segera ayunkan paculnya. Kini tahulah Hong Lu, mereka itu bangsa penjahat yang hendak mencuri. Ia ambii putusan untuk mengganggu mereka. Dipungutnya beberapa butir kerikil.
Tak lama kemudian terdengar suara berdering dari pacul membentur logam. "Ha, di sinilah!" seru salah seorang dengan girangnya.
Dua orang kawannya segera lemparkan pacul dan menghampiri. Dan pada lain saat mereka tampak mengangkat sebuah peti besi yang sudah karatan.
"Paling tidak peti ini sudah sepuluhan tahun ditanam di sini." seru salah seorang.
"Apa tidak begitu? Memang telah kuduga dia tentu mempunyai mustika maka begitu ditekan ia lalu memberitahukan, Ha, ha, kita tentu kaya raya," sahut yang seorang. Dari nada suaranya, terang orang itu seorang ahli lwekang.
"Ha, toako, siasatmu itu memang agak ganas. Orang tua itu mati tidak, hiduppun tidak." kata si orang bernada parau.
"Loji, bagimana kau ini. Kalau tidak begitu masakan ia mau mengaku," kata si ahli lwekang.
Kawannya yang seorang mencegah mereka jangan ribut-rikut dan lekas-lekas membuka peti itu.
"Ting. tang. ting, tang", kedengaran peti besi itu dibacoki dan akhirnya dibanting ke tanah.
"Aneh, aneh, hm. Mengapa peti ini tiada kuncinya sama sekali. Bagaimana kita akan membukanya?" orang yang ketiga tadi marah-marah.
Si orang bersuara parau menyulut korek dan menyuluhi peti itu dengan seksama. Dari penerangan korek, tahulah Hong Lu bahwa mereka itu ada yang bermuka brewok dan yang dua masih muda. Mereka gunakan golok dan pedang untuk mengorek dan mencungkil, namun peti itu seolah-olah kebal senjata tajam, Malah tiba-tiba golok si brewok rompal. Saking marahnya ia ambil sebuah batu besar dan dihantamkan sekuat-kuatnya pada peti itu. Tapi peti tetap tak apa-apa. Hong Lu geli melihat dua penjahat itu terlongong-longong mengawasi peti besi. Si orang yang bernada parau memungut peti dan mengocak-ocaknya.
"Ai, di dalamnya terdapat benda, tapi apa daya kita tak dapat membuka!" katanya.
"Mereka tak datang dan peti ini tetap tak terbuka." si brewok muring-muring. Dia bukan lain ialah Tan Ping dan kedua kawannya itu ialah Tan Hwat dan Tan Ciau. Mereka mengundang keempat saudara Ui dari Siamsay itu bukan lain untuk membuka peti itu. Keempat saudara Ui itu penjahat-penjahat yang ahli membuka segala peti besi.
Akhirnya Tan Hwat mengusulkan supaya membawa pulang dulu peti itu, nanti pelahan-lahan berdaya untuk membukanya. Begitulah ketiga bajak she Tan itu keluar dari panggung dengan membawa peti besi. Melihat itu timbul keinginan Hong Lu untuk merebutnya dan diberikan kepada sang su-thay (Leng Giok sin-ni). Cepat ia timpukkan tiga butir kerikil ke arah mereka.
"Hih, ada setan!" karena punggungnya tersambar angin, Tan Ping menjerit. Sedang Tan Hwat sudah sabetkan pedangnya ke belakang dan berhasil memukul salah sebutir batu.
"Sahabat dari mana yang mengganggu itu harap keluar sajalah!"
Baru Tan Ping berseru begitu, sesosok bayangan kecil melesat keluar dan tahu-tahu menusuk perutnya dengan pedang kecil. "Trang" karena tak mencekal senjata, dalam gugupnya Tan Ping menangkis dengan peti besi itu dan putuslah pedang Hong Lu.
"Kau ini siapa, engkoh kecil?" tegur Tan Hwat seraya menusuk dengan pedangnya yang kutung. Hong Lu menangkis. Tan Hwat rasakan tangannya kesemutan.
Tan Ciau hendak mencengkeram punggung Hong Lu, baru Hong Lu menghindar, Tan Ping membabat dengan peti besi. Hong Lu terpaksa menangkis dengan pedangnya. Tan Ping dan kawan-kawannya itu tak jauh berlainan dengan keempat saudara Ui.
Ya, Tan Ping seorang saja sudah jauh lebih lihay dari Hong Lu. Apalagi masih ada Tan Hwat dan Tan Ciau. Hanya dalam belasan jurus saja Hong Lu sudah pontang panting tak keruan. Adalah karena Tan Ping bertiga akan menangkap hidup-hidupan, jadi mereka tak mau berlaku ganas. Coba tidak, tentu tadi-tadi Hong Lu sudah jatuh
Tiba-tiba terdengar sebuah tertawa nyaring dan mencullah sesosok bayangan yang sekali ayunkan tangan kirinya, ketiga saudara Tan dan Hong Lu terpental ke samping, kemudian secepat kilat tangan kanannya merampas peti diri Tan Ping.
"Ha, ha, telah kulihat semua gerak gerikmu. Tan Ping, peti besi ini biar kusimpannya, bolehkah?"
Karena kejutnya Tan Ping tak tahu siapa orang itu.
"Bum" Ia meninju dadanya. Tapi secepat itu ia menjerit kesakitan dan menyurut mundur. Dada orang itu keras melebihi peti besi tadi. Dan tertawalah orang itu: "Tan Ping, kau tak kesal padaku? Tan Hwat, lepaskan pedangmu dan mundurlah ke samping!"
Sebaliknya Hong Lu yang tak kenal orang itu, dengan nekadnya menyapukan pedangnya, tepi dengan cepat orang itu sudah merampas pedang Hong Lu: "Hai engkoh cilik, mengapa engkau hendak membunuh aku?"
"Berikan peti itu kepadaku!"
Orang itu tertawa gelak-gelak: "Peti ini berisi benda yang sama harganya dengan sebuah kota. Buat apa kau? Rupanya kau bisa silat juga. Siapakah suhumu? Mengapa kau dibiarkan berkeliaran malam?"
Pada saat itu barulah Tan Ping bertiga mengetahui bahwa itu ternyata It Yap tojin.
"Suhu?" buru-buru Tan Hwat menyimpan pedang dan memberi hormat.
Tan Ping dan Tan Ciau tak berani berbuat apa-apa lagi.
Adalah Hong Lu yang heran. Kalau suhunya, mengapa merebut peti kepunyaan muridnya?
"Jika kusebut nama suhuku, kau tentu pingsan nanti. Kembalikan dulu pedangku itu, lalu berikan peti itu," sahut Hong Lu.
Melihat kegarangan si bocah cilik, It Yap tertawa gelak-gelak: "Begitu kau sebutkan nama suhumu, akan kukembalikan kepadanya tetapi tidak kepadamu."
"Oh, baik!" tiba-tiba Hong Lu enjot tubuhnya dan serudukkan kepalanya ke perut It Yap sambil gaplokkan kedua tangannya: "Ayo, rebah!"
Terhadap keempat saudara Ui ia dapat menjungkalkan. Tetapi terhadap It Yap, Ia seperti mendongkel sebuah gunung saja.
"Maling cilik, tambahi tenagamu lagi!" It Yap senang melihat kebandelan anak kecil itu.
Gagal menjungkalkan imam itu, Hong Lu diam-diam sudah mendapat akal. Melihat tangan kanan si imam memeluk peti dan tangan kiri mencekal pedang kecil (milik Hong Lu), kedua lengannya agak terbuka. Secepat kilat Hong Lu masukkan tangannya ke dalam ketiak si imam dan mengilinya. It Yap keri dan tertawa geli. Karena tertawa tubuhnya lemas sehingga peti besi dan pedang terjatuh ke tanah. Sabelum tahu apa yang terjadi. Hong Lu sudah cepat-cepat mengambilnya dan terus lari.
"Hai, maling ciiik, hendak lari ke mana kau?" seru It Yap.
Tapi Hong Lu tak menghiraukan dan terus lari sekencang-kencangnya. Tiba-tiba ia melihat di hadapannya Tan Ping sudah menghadang dan berseru: "Anak haram, berikan peti besi itu!"
Dengan gertakkan tangan kiri, tangan kanannya merebut peti. Tapi Hong Lu tahu akan tipu gerakan Tan Ping. Sambil tundukkan kepala, ia menyelinap ke samping. Indah dan tongkas sekali gerakan anak itu sampai It Yap tertawa memujinya. Pun Tan Hwat dan Tan Ciau turut maju merebut. Tiga orang tua lawan seorang anak kecil. Mereka berloncatan seperti tiga ekor kucing hendak menerkam tikus. It Yap makin geli dan gembira. Karena tak kuatir peti itu akan lepas dari tangannya, iapun hanya melihat saja dengan tertawa.
Untungnya saat itu malam hari, coba siang tentu Hong Lu sudah berpegang. Sampai sepenanak nasi lamanya, ketiga orang itu tetap tak mampu menangkap Hong Lu. Peti itu tak kurang dari dua tiga puluh kati beratnya. Karena tangannya capai, Hong Lu menaruhkan di atas kepalanya. It Yap makin geli melihat tingkah laku anak itu. Diam-diam ia heran, siapakah anak kecil yang begitu menginginkan sekali peti itu? Aneh, sejak melihat anak itu, timbullah kesan baru dalam hati si imam, seolah-olah terdapat ikatin batin.
"Anak liar, siapakah suhumu? Hm, jangan salahkan aku berlaku kejam," Tan Ping marah-marah.
"Kau mau turun tangan tapi takut kepada suhunya, ha, ha!" diam-diam It Yap geli dalam hati.
Dan memang demikian jalan pikiran Tan Ping. Setelah tahu siapa suhu anak itu. baru nanti ia membuat pertimbangan lagi.
Melihat kepala bajak itu mengamuk, takut juga Hong Lu, serunya: "Baik, begitu suthayku datang. tulang belulangmu tentu dicincang lebur."
"Siapa suthaymu?" tanya Tan Ping.
"Leng Giok sin-ni, dengar tidak?"
Bukannya kaget sebaliknya Tan Ping bertiga dan It Yap tertawa gelak-gelak karena mengganggap bocah itu berbohong. Ya, memang Leng Giok Sin-ni itu selamanya tak menerima murid. Tan Ping segera menjotos dengan tangannya. Angin menderu-deru dengan dahsyatnya. Melihat orang tak takut akan suthaynya, buru-buru Hong Lu berseru: "Aku she Ho, ayahku lihay sekali!"
Tan Ping batalkan pukulannya dan mengambil sebatang kayu besar untuk menghalangi Hong Lu. Kemudian baru ia menanyakan siapa ayah bocah itu. Tapi Hong Lu berputar tubuh terus lari.
"Bum" sial dangkal, ia tertumbuk sebuah batu dan jatuh bersama dengan peti besi. Cepat ia loncat bangun tapi besi telah direbut Tan Hwat.
"Ayahku bernama It Yap tojin, ayo kau takut tidak?" serunya.
Waktu Hong Lu menyebut she Ho, It Yap memang sudah berdebar. Dan ketika mendengar pengakuan Hong Lu itu, It Yap tercengang. Demikianpun Tan Hwat. Secepat kilat setan cilik itu sudah menyambar peti besi dan terus dibawa lari.
"Wut" Tan Ping menyongsongnya dengan pukulan kayu. Cepat sekali Tan Ping memukul itu hingga Hong Lu tak dapat menghindar lagi. Sekonyong-konyong terdengar bentakan menggeledek: "Tan Ping, kau berani mengganas?"
"Krak" It Yap loncat menangkis dan tongkat kayu. Tan Ping itu mencelat ke udara.
Kemudian tangan kiri menyambar Hong Lu, ia bertanya: "Siapakah kau ini?"
Melihat wajah garang dari It Yap, Hong Lu ketakutan juga, sahutnya dengan gemetar. "Aku.... aku...."
"Kau bagaimana, bilanglah!"
"Aku berkata, ayah kandungku, itu ah, aku.... belum pernah melihatnya...."
It Yap lepaskan tangannya dan tertawa: "Anak, jangan takut, tak usah mengatakan, mari kuperiksa dirimu," Ia memeriksa telinga kiri Hong Lu, ternyata terdapat sebuah tahi lalat.
Ia menghela napas, Hong Lu itu ternyata anaknya sendiri, tapi mengapa keluyuran seorang diri? Enam tahun berselang, It Yap pernah melihat anaknya itu, ialah ketika Hong Lu masih berumur enam bulan dan dibawa ke gunung Thay-Hongsan oleh Ku hujin bersama Kwee Ciang. Tapi sejak itu ia tak pernah melihatnya lagi.
"Anakku!" tanpa dapat dicegah lagi ia memeluk Hong Lu.
Sudah tentu Tan Ping bertiga melongo, Masakan seorang imam yang terkenal suci mempunyai seorang anak. Mereka saling berpandangan, Sedang Hong Lu sendiri juga diliputi oleh pelbagai perasaan. Dalam pikirannya, ayahnya itu seorang gagah perwira yang terhormat. Siapa tahu ternyata seorang penjahat yang berebutan peti besi dengan muridnya sendiri. Diam-diam Hong Lu merasa kecewa dan putus asa.
It Yap lepaskan tangannya dan suruh Hong Lu memanggilnya ayah. Dengan tersendat-sendat Hong Lu berseru: "Yah kau sungguh...."
"Panggillah lekas! Begitu kau memanggil aku peti besi ini akan kuserahkan kepadamu?"
Hong Lu gelengkan kepala: "Tidak, aku tidak mau!"
Benci Tapi Rindu Cinta Dibawa Mati Karya Sd Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Habis kau mau apa?"
"Kalau kau benar ayahku, mengapa kau tak mencari aku ke Ang-tik-ou? Mengapa kau...."
Bagi Hong Lu yang masih sekecil itu, ia merasa ayahnya itu beda sekali dengan ayah biasanya. Seorang ayah tentu tidak begitu.
It Yap menghela napas: "Anak, apa kau tak suka padaku?"
Hong Lu gelengkan kepala.
"Ah, aku mengerti. Memang dahulu ayahmu ini tidak baik. Tak seharusnya aku melahirkan kau. Anak, begini sajalah. Mari kuajak kau mencari mamahmu. Bila bertemu, kita bertiga takkan berpisah lagi. Apa kau puas?"
Kata-kata It Yap itu hanya luapan hati sesaat. Sudah tentu ia tak berhak memiliki isteri orang lain apalagi hendak berkumpul selama-lamanya. Segera ia ajak berangkat.
Tiba-tiba terdengar suara tertawa nyaring: "Nanti dulu, Hong ji, apa kau melupakan suthay?" Sesosok bayangan melesat dan Leng Giok sin-ni muncul dengan mencekal kebut besi.
"Kau, kau juga datang?" seru dengan terkejut.
Leng Giok sin-ni tertawa mengekeh: "Karena hati nurani ayah sudah dibangunkan, akuilah anak dan cucumu. Kalian ayah dan anak berkumpul apakah aku disuruh makan angin saja?"
"Leng Giok, kau takkan merebut anakku, bukan?" It Yap tertawa dingin.
Leng Giok menuding dengan kebut pertapaannya: "Siapa sudi dengan anakmu. Aku hanya maukan itu."
Ternyata yang dikehendaki Leng Giok itu ialah peti besi. Serentak Tan Ping berteriak: "Itu barang milikku siapapun tak boleh mengambilnya." Ia terus loncat hendak mengambilnya tapi Leng Giok segera mengebut dengan hud-timnya: "Hm, manusia bopeng yang tak kenal tingginya langit."
Tan Ping rasakan tangan kirinya seperti dipelintir dan sekali Leng Giok membentak, tubuh Tan Ping terlempar ke udara. Tan Ping ketakutan sekali. Untung buru-buru ia menggeliat dan dapat turun ke tanah dengan selamat.
"Bopeng, berdirilah di situ, jangan bicara, jangm melarikan diri, tentu kuampuni. Tetapi jika melanggar, jiwamu tentu kucabut." Leng Giok sin-ni memberi peringatan keras.
Tan Ping dapatkan lengan kirinya itu hanya terluka merah. Ia tahu sin-ni itu masih berlaku murah hati. Maka iapun tak berani membantah lagi.
"Sin-ni, jangan unjuk kegarangan! Peti ini sudah sepuluh tahun lamanya kuincar. Aku takkan memberikan kepada orang lain," kata It Yap.
"Imam busuk, besar sekali mulutmu. Sayang akupun juga mempunyai keinginan begitu. Dalam sepuluh tahun ini aku selalu menyumpahi Wan Thian Cik. Pada suatu hari aku tentu akan merubuhkannya dan merebut peti ini. Ha, meskipun dia sekarang sudah mati, tapi aku tetap tak melepaskan keinginanku itu."
"Leng Giok, apa kau kira Wan Thian Cik itu sungguh sudah mati?" tanya It Yap.
"Masakan tidak?" Leng Giok terkejut.
"Kalau ia sudah mati bagaimana Tan Ping dapat mencari peti ini?" sahut It Yap.
"Hai, kalau dia belum mati, aku mempunyai rencana lain. Hm, bopeng, kemarilah!" seru Leng Gok.
Tan Ping sangsi tak berani maju.
"Tak usah tanya dia, tanya aku sajalah!" kata It Yap.
"Apa?" seru Leng Giok.
"Tempo Wan Thian Cik menerima pukulan mautku, dia terus ditangkap Tan Ping. Bermula kukira ia tentu mati, tetapi setelah mendapat keterangan dari keempat saudara Ui, barulah timbul kecurigaanku. Masakan mereka datang hendak membantu bertempur. Setelah kupikir mendalam, kedatangan mereka itu tentulah disuruh Tan Ping membuka kunci. Mengapa sampai mendatangkan mereka dari tempat sejauh itu? Apa lagi kalau bukan peti besi kepunyaan Wan Thian Cik itu. Kesemuanya itu telah menimbulkan kesimpulan bahwa Wan Thian Cik tentu masih hidup dan disiksa Tan Ping sedemikian rupa supaya memberitahukan tempat peti besi ini. Itulah sebabnya maka kuhajar mereka...."
"Kau hanya menghajar, tetapi akulah yang menggebah mereka pulang ke Sepak. Ha, mereka bilang kau mempunyai senjata yang ampuh sekali!" tukas Leng Giok.
It Yap mengeluarkan kipas besi yang hitam mengkilap, ujarnya: "Inilah senjata itu, ha, ha, begitu meletus suaranya dapat merubuhkan seekor sapi. Memang lihay sekali. Apakah kau hendak menyaksikan?"
"Oh, kalau begitu empat ekor sapi milik pak tani itu, kau yang membunuhnya?" seru Leng Giok
Kiranya lt Yap menguntit Ku Pin di kota raja, beberapa kali imam itu masuk ke gedung Ping-poh-gi-hun (gedung angkatan perang). Imam itu dapat menerobos penjagaan yang kuat dan berhasil mengambil beberapa puluh pelor serta bahan peledak. Dengan begitu, senjata kipas itu dapat di gunakannya. Saking girangnya ia tak menghiraukan urusan Ciu Bing dan Hian Kwan lagi. Setelah pesiar ke beberapa tempat yang indah pemandangannya, ia kembali ke Kanglam lagi. Untuk menjajal kipas itu, ia memilih sapi.
"It Yap, apakah kau hendak mengandalkan senjatamu itu untuk menggertak aku?" tegur Leng Giok.
It Yap tertawa gelak-gelak dan menyimpan kipasnya: "Tanpa senjata itu belum tentu aku kalah padamu. Ya, Leng Giok, memang kita harus bertempur untuk menetapkan siapa yang lebih kuat. Apakah kita bertempur sekarang atau kapan, aku hanya menurut saja."
"Masakan kau tak tahu sifatku yang berangasan. Sekarang juga kita boleh bertempur. Setelah menjatuhkan kau, aku masih punya banyak urusan lain yang penting," sahut Leng Giok.
Mendengar ucapan si nikoh yang begitu yakin tentu menang, tertawalah It Yap: "Urusan apa lagi yang hendak kau kerjakan itu? Mau menyiapkan sembahyangan arwahmu atau lainnya?"
Leng Giok mendengus: "Pertama, karena Wan Thian Cik belum meninggal, aku harus mencarinya. Kedua, karena naga jahat itu masih hidup, akupun hendak membasminya. Coba bilang, apakah itu bukan urusan penting?"
It Yap mengangguk: "Benar, memang penting. Tapi dikuatirkan malam ini kau tak sempat lagi mengerjakan."
"Imam busuk, jangan mengentut busuk, lihat seranganku!" dengan marah Leng Giok segera menghantamkan kebutnya. Tapi sambil menangkis, It Yap menyuruhnya berhenti dulu. Ternyata ia memimpin Hong Lu ke pinggir: "Nak, berdirilah di sini dulu. Lihatlah ayahmu hendak mengunjukkan kepandaian. Nanti setelah kuhajar nikoh tua yang berandalan itu, akan kuajak kau pesiar."
"Apa tidak mencari mamah?" tanya Hong Lu.
"Ya, baiklah, jangan banyak bicara, tunggu di sini," kata It Yap seraya mendorong anaknya ke belakang pohon.
"It Yap, malam ini kita tak jadi bertempur saja," tiba-tiba Leng Giok berkata.
"Mengapa?" tanya It Yap dengan heran.
"Kulihat malam ini kau baru bertemu dengan anakmu. Aku tak sampai hati membunuhmu. Kau boleh ajak anakmu pesiar ke mana saja, asal kau tinggalkan peti ini."
Bermula It Yap tergerak hatinya. Tapi mendengar kata-kata yang akhir, timbullah angkaranya: "Tak jadi bertempur pun tak apa. Tetapi jangan harap aku mau memberikan peti ini padamu."
"Habis mau kau berikan siapa?"
"Apakah aku tak dapat membawanya pergi?" balas It Yap.
"Baik, karena kau bertegang leher, kita putuskan dengan unggulnya senjata," Leng Giok marah dan It Yap pun mencabut pedangnya: "Ya memang begitulah yang paling tepat"
Adalah Tan Ping yang menyela menganjurkan supaya sebelum bertempur, lebih baik peti itu dibuka dulu. "Ingat, si tua Wan itu tak dapat dipercaya seratus persen."
Leng Giok setuju tapi ia tak tahu bagaimana hendak membukanya.
"Aha, dua cabang atas berada di sini, masakan sebuah peti saja tak manpu membuka?" Tan Ping tertawa mengolok.
Leng Giok marah: "Baik, It Yap kemarilah, ayo kita bersama-sama menghancurkan peti ini."
Tetapi It Yap ganda tertawa: "Bodohmu sendiri mengapa mau mendengar obrolan si bopeng. Aku tak sudi menghiraukan. Lihat serangan!" Ia terus menyabat dengan pedangnya. Tapi secepat itu Leng Giok sudah kebutkan hud-tim untuk menindas. Baru sampai di tengah jalan, pedang si Imam sudah hampir kena dilihat. It Yap lintangkan pedangnya dan memutar. Gerak perobahan membabat dengan mendatar itu, juga istimewa sekali.
"Bagus!" seru Leng Giok.
"Ah, jangan kelewat memuji!" sahut It Yap.
Habis itu, keduanya bertempur lagi dengan seru. Pertempuran yang dilakukan oleh dua tokoh utama itu, sudah tentu menakjubkan sekali. Yang tampak hanya dua sosok bayangan dan dua besi berkilat menyambar-nyambar.
"Lo-ji, Lo-sam, mengapa kita tak menggunakan kesempatan ini untuk menyerobot peti?" tiba-tiba Tan Ping mendapat pikiran dan mengajak kedua sutenya. Tetapi kedua sutenya itu menolak, lebih baik tunggu dulu sampai pertandingan selesai. Terpaksa Tan Ping menurut. Tetapi matanya tak melihat pertempuran melainkan terus melekat pada peti besi itu saja.
Beberapa saat kemudian tiba-tiba kedengaran It Yap berteriak dan tangan kirinya mendorong lawan. Leng Giok mendak ke bawah, mengelakkan pukulan lalu maju mengebut. It Yappun menyingkir sambil menangkis dengan pedang. Tampak jurus itu pelahan sekali gerakannya seolah-olah seperti dua saudara seperguruan yang tengah berlatih. Pada hal sebenarnya penuh dengan gerak perobahan yang rumit sulit. Siapa yang berayal sedikit saja, tentu akan termakan pedang atau pukulan atau hud-tim. Kalau tidak binasa, tentu cacat seumur hidup.
Empat lima puluh jurus sudah berlangsung, namun jangankan terluka, ujung baju merekapun tak ada yang tersentuh. Tadi karena kedahuluan lawan, dada It Yap terasa ampek.
"Apakah mereka sedang saling menjajagi kepandaian?" tanya Tan Giau.
"Benar," kata Tan Hwat, "suhu pernah menceritakan. Ketika ia, Wan Thian Cik dan Leng Giok mengadu kepandaian tempo dulu, masing-masing mempunyai keistimewaan sendiri. Terutama suhu dan Leng Giok itu, kekuatannya berimbang. Tetapi mereka berdua sudah bertahun-tahun tak mengadu kepandaian lagi maka kalau tidak diuji tentu tak ketahuan siapa yang lebih lihay sekarang ini. Barang siapa yang terangsang untuk mencapai kemenangan, tentu akan menderita sendiri.
"Sekarang sih tak apa, tapi nanti apabila bertempur merapat tentu lebih menyeramkan lagi," kata Tan Ciau.
-^dwkz^smhn^- Berebut Pusaka Ketika Tan Hwat memandang ke gelanggang, Leng Giok dan It Yap sudah mandi keringat, tetapi gerakan kaki dan tangan mereka masih tetap teratur.
Sekonyong-konyong terdengar kedua jago itu sama bersuit nyaring dan masing masing mundur beberapa langkah, kemudian saling berpandangan.
"Ji-ko, apa mereka sudah selesai? Siapa yang lebih unggul?" tanya Tan Ciau.
"Entahlah, tanya saja pada toako," sahut Tan Hwat.
Tapi.... ke mana Tan Ping? la celingukan ke sana sini, tapi tak melihat bayangan toakonya.
Dalam pada itu It Yap dan Leng Giok saling berseru keras dan bertempur lagi. Kali ini pertempuran dilakukan dengan cepat sekali. Dalam beberapa kejab saja mereka sudah bertempur seratus jurus lebih. Dari pertandingan yang tadi, jauh beberapa kali lebih cepat. Yang kelihatan hanya sesosok bayangan kelabu dan bayangan hijau berlincahan kian kemari. Mereka berhantam dengan pukulan tangan kosong. Dalam lingkaran seluas sepuluhan tombak, debu dan batu-batu bertebaran ke mana-mana.
Bermula masih kelihatan siapa dan siapa, tapi lama kelamaan mereka seolah-olah jadi satu. Mana Leng Giok mana It Yap sukar dibedakan.
Selagi Tan Ciau dan Tan Hwat tak habis-habisnya menyatakan kekaguman, tiba-tiba terdengar suara benturan keras dan kedua jago itu sama terlempar satu tombak.
"Sudah berapa jurus'?" tanya Leng Giok.
"Seribu lebih!" sahut It Yap.
"Mengingat kau dan anakmu baru berjumpa, akupun tak mau turunkan tangan ganas, tahukah?" seru Leng Giok.
It Yap memberi hormat dengan kedua tangannya: "Banyak terima kasih. Mengingat kau telah melindungi Hong-ji, maka akupun tak mau berlaku kejam, tahukah? Ha, ha!"
"Kita teruskan atau tidak?" tanya Leng Giok.
"Sudah tentu, sampai ada yang kalah dan menang!" jawab si imam.
Setelah menguji kepandaian It Yap, harapan Leng Giok untuk menang mulai goyah. Katanya: "Siapa yang kena tertutuk, dianggap kalah?"
"Sudah tentu begitu. Masakan kita akan bertempur sampai mati," nada It Yap mulai lunak.
"Kita harus membatasi waktunya. Apa kau setuju kalau kita bertempur untuk seribu jurus lagi?" tanya Leng Giok.
"Boleh, tetapi kita harus mencari juri untuk menghitungnya," kata It Yap.
Tapi ketika ia berpaling ternyata yang kelihatan hanya Tan Hwat dan Tan Ciau. Sedang Tan Ping tak ada. Dan waktu melirik ke arah pohon, ia menjerit kaget. Ternyata di bawah pohon itu, Hong Lu sudah tak kelihatan lagi.
"Celaka, si bopeng main kayu ini" Leng Giok berseru.
Tiba-tiba dari balik pohon, muncullah Tan Ping, Hong Lu dikepit dan tenggorokannya dilekati belati, serunya: "It Yap totiang Leng Giok su-thay. Jika kalian menghendaki Hong Lu hidup harap meluluskan tiga buah permintaanku!"
Kiranya sewaktu Leng Giok bertempur mati-matian dangan It Yap, Tan Ping diam-diam menyelinap ke arah pohon dan menutuk jalan darah Hong Lu. Ia hendak menggunakan anak itu sebagai barang jaminan untuk menekan kedua tokoh itu.
Marah Leng Giok bukan kepalang. Cepat ia bergerak hendak menerkam Tan Ping, tapi Tan Ping segera mengancam: "Jangan bergerak, atau jangan salahkan aku tak kenal kasihan." Ia guratkan belatinya sedikit ke tenggorokan Hong Lu. Beberapa tetes darah mengucur.
"Baiklah Tan Ping, sebutkan permintaanmu itu!" akhirnya Yap mengalah juga.
"Pertama kau harus menyerahkan senjata kipas itu kepadaku," kata Tan Ping.
Karena kecintaan terhadap anak begitu besar, dengan tak banyak bicara It Yap segera memberikan kipas istimewa itu. Menerima itu, girang Tan Ping bukan kepalang.
"Dan yang kedua?" tanya It Yap.
"Peti besi ini harus diberikan padaku selama-lamanya. Kalian tak boleh menginginkan."
"Aku tak sudi, aku tetap hendak membunuhmu!" damprat Leng Giok. Ia gerakkan Hud-tim' hendak menerjang lagi. Tapi Tan Ping berteriak: "Baik, kalau begitu kita sama-sama mati!" Sedikit menggurat ujung belati, kembali tenggorokan Hong Lu mengeluarkan darah.
Melihat itu Leng Giok terperanjat dan menyurut mundur. Betapa keras wataknya tetapi berhadapan dengan si bopeng yang begitu licin, iapun tak dapat berbuat apa-apa lagi.
"Tan Ping, jangan turun tangan. Aku menerima permintaanmu yang kedua. Ambillah peti besi itu," lagi-lagi It Yap mengalah.
"Apakah Leng Giok sin-ni tak ada pertanyaan?" tanya Tan Ping.
Leng Giok lototkan matanya dengan gusar. Melihat itu It Yap segera mewakili mengatakan bahwa sin-ni itupun tak punya keberatan apa-apa.
"Bagus, lo-ji. ambillah peti itu," serunya kepada Tan Hwat.
Tapi rupanya Tan Hwat tak setuju dengan perbuatan toakonya yang begitu kotor. Apalagi terhadap suhunya. Tidak demikian dengan Tan Ciau yang karena melihat Tan Hwat diam saja, lalu maju mengambil peti besi itu.
"Yang terakhir, maafkan atas kekurang-ajaranku ini. Ialah aku hendak minta sioaya lo-cianpwe berdua bersumpah pada langit, bahwa lo-cianpwe takkan mengurus lagi peristiwa malam ini. He, he, maksudku ialah, selanjutnya kelak locianpwe berdua harus bersumpah takkan mencari balas padaku. He, he, apakah lo-cianpwe berdua setuju?".
It Yap dan Leng Giok saling berpandangan dengan membisu.
Tan Ping tertawa dingin: "Jika lo cianpwe berdua tak setuju, maka.... he, he, lo-cianpwe berarti membunuh Hong Lu." Habis berkata, ia lantas bergerak seperti hendak menggorok leher Hong Lu.
It Yap dan Leng Giok membanggakan diri sebagai jago nomor satu di dunia. Tetapi dalam keadaan seperti itu, mereka kelabakan setengah mati. Tiada lain jalan kecuali hanya menurut permintaan Tan Ping. Dan bersumpahlah mereka kepada langit, kalau mereka takkan mengadakan perhitungan lagi kepada Tan Ping.
Selesai sumpah itu, barulah Tan Ping lepaskan Hong Lu. Ia menghaturkan terima kasih kepada lt Yap dan Leng Giok. kemudian ajak Tan Ciau pergi. Tan Hwat terpaksa mengikuti sang toako juga.
It Yap cepat menghampiri anaknya dan memberi pertolongan. Ternyata luka Hong Lu itu tak berarti. Adalah Leng Giok yang banting-banting kaki seraya mencaci maki Tan Ping, It Yap menghiburnya dengan mengatakan bahwa sekalipun Tan Ping memiliki peti dan kipas, tapi tiada gunanya karena toh tak dapat menggunakan senjata itu.
"Ai, pertandingan kita terganggu ini. Hendak kemana kau sekarang? Kalau tak ada urusan lain, mengapa kita tak lanjutkan bertempur lagi sampai selesai?" kata Leng Giok.
"Ah, kau benar-benar haus berkelahi. Kulihat Tan bopeng itu tentu mempunyai rencana, mungkin...."
"Mungkin bagaimana?" tukas Long Giok.
"Aku sih tak yakin, hanya mungkin ia hendak menghadapi seseorang. Hm, memang musuh-musuhnya banyak sesali."
"Kalau begitu mari kita bersama-sama menggagalkan rencananya itu," ajak Leng Giok.
Tetapi It Yap tertawa: "Bukankah kita ini termasuk cabang atas, perlu apa harus bersama-sama. Silakan kau ambil jalanmu sendiri dan aku pun akan memilih jalanku. Sampai ketemu lagi.
"Hai, nanti dulu! Kapan kita bertemu lagi untuk menetapkan siapa yang lebih unggul?" seru Leng Giok.
"Setelah kuserahkan anak ini pada mamahnya, tentu akan kulayani kau sampai tiga ribu jurus," sahut It Yap.
"Cari isteri? Siapakah isterimu? Ha, ha, tak malu!"
Panas telinga It Yap mendengar ejekan itu, namun ia tak menghiraukan dan terus ajak Hong Lu pergi, Sebenarnya anak itu tak tega berpisah dengan Leng Giok, tapi karena tujuannyapun memang hendak mencari ayahnya, terpaksa ia ikut juga. Sebelum berangkat ia pamitan pada Leng Giok: "Suthay, apa kau jadi menaklukan naga jahat itu?"
Leng Giok mengangkat tubuh anak itu dan membelai-belai kepalanya: "Orang tuamu itu bukan manusia baik, tetapi kau berlainan. Sekarang memang aku hendak pergi membasmi mahluk jahat itu. Ikutlah pada ayahmu. Kelak bila ayahmu berjumpa dengan mamahmu, mereka tentu berkelahi. Nah, kau membantu siapa?"
Hong Lu tak dapat menyahut pertanyaan itu.
"Jika aku jadi kau, aku tentu membantu mamah. Nah, sampai sekian, besok tentu berjumpa lagi." dengan kebutkan hud-timnya, sin-ni itu melesat pergi.
"Yah, kalau berjumpa dengan mamah, apakah kalian pasti berkelah?" tanya Hong Lu.
It Yap tertawa: "Jangan dengarkan ocehan nikoh itu. Ayah dan ibumu tak akan berkelahi, Ayo kita berangkat."
Sekeluarnya dari kota Sokiu, mereka pesiar melihat tempat-tempat yang beralam indah. It Yap mengharap dapat bertemu dengan Ku hujin dan Tan Ping juga. Melihat Hong Lu tampak tak gembira, It Yap menghiburnya: "Nak, selama ayah di sampingmu tak mungkin ada orang yang berani menghinamu. Kelak jika kau berkelana seorang diri, asal kau sebut nama ayahmu, orang tentu bagaimana kau tahu?"
"Orang tentu akan mengejek aku karena mempunyai ayah seorang imam," sahui Hong Lu,
Sembarangan saja anak itu menyahut tanpa menghiraukan betapa pedih dan tertusuk perasaan It Yap. It Yap hanya tertawa: "Kau salah Mereka tentu akan lari terbirit-birit tak berani mengganggu kau lagi!"
Sekarang mari kita mengikuti keadaan Tan Ping. Dengan girangnya ia pulang ke Tin-tik-pang. Mereka mengharap dapat membuka peti besi itu. Dengan benda pusaka yang ada di dalamnya. Tan Ping bermimpi akan merajai dunia persilatan. Tetapi apakah sebetulnya yang berada di dalam peti besi itu?
Pada permulaan ahala Beng, pengaruh orang Mongol di daerah Tiong-goan mulai berkurang. Beberapa pahlawan bangsa Han, antaranya Cu Goan Ciang, Tan Yu Lang, Tio Su Seng dan lain-lain, mulai dan saling menancap kaki di beberapa daerah. Keadaan negara kacau, kekuasaan pemerintah terpecah belah. Pun persatuan di kalangan persilatan pun ikut rusak. Ada yang membantu Cu Goan Ciang, ada yang membantu Tio Su Seng dan ada pula yang membantu orang Mongol. Mereka saling gontok gontokan.
Api Di Bukit Menoreh 15 Pedang Sakti Tongkat Mustika Angin Hutan Api Gunung Karya Herman Pratikto Misteri Kapal Layar Pancawarna 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama