Bidadari Bermata Bening Karya Habiburrahman El Shirazy Bagian 4
"Saya sudah dapat tempat kos, Mbak. Sudah saya bayar. Nanti sore terima kunci."
"Oh ya, bagus."
Ia lalu berangkat kerja. Ratih ia lihat juga sudah bersiap berangkat kerja. Ia harus naik angkot tiga kali untuk sampai ke tempat kerja. Sementara ia jalani saja. Tiga hari bekerja di situ sebenarnya ia agak kurang nyaman. Perlakuan sang majikan menurutnya keras berlebihan. Karyawan cuma dua. Dirinya dan Lestari seorang gadis dari Majalengka. Peraturannya, karyawan tidak boleh ada yang duduk sepanjang kerja. Dan ia yang baru dua hari kerja sudah diminta hafal ratusan jenis mainan anak dan harganya. Jika ia bertanya tentang harga dijawab oleh majikan, tetapi begitu pembeli pergi, ia dimaki-maki dan dimarahi seolah-olah telah melakukan dosa tak terampunkan. Lestari sampai menangis ketika mengalami hal yang sama.
"Aku rasanya sudah tidak kuat lagi. Sudah enam bulan aku di sini. Rasanya aku bisa mati berdiri. Tapi aku tidak tahu harus bekerja apa lagi?"
Ayna menyatakan keluar dari toko itu, siang itu juga. Konsekuensinya, ia tidak dibayar kerja empat hari di situ. Ia balik ke rumah Ratih dengan maksud mengemasi barangnya untuk pindah ke tempat kos-nya. Namun ia menjumpai hal yang tidak pernah ia sangka. Sampai di rumah Ratih, ia menemukan Mpok Wanti menangis tersedu-sedu.
"Ada pencuri! Pulang belanja aku lihat pintu rumah sudah terbuka. Televisi hilang. Barang-barang di kamar acak-acakan!" Air mata perempuan tua itu mengalir desar.
Ayna langsung lari ke kamarnya. Barang-barang berharga di tasnya hilang semua. Uang yang ia bawa dari Purwodadi, perhiasan hilang dan buku tabungan hilang. Celakanya, kartu ATM-nya ada dalam buku tabungan itu. Namun ijazah dan surat-surat dalam map masih ada. Kini ia tidak punya apa-apa kecuali uang tiga ratus ribu dalam dompetnya, dan jam tangannya. Ia menunggu Ratih pulang untuk pamitan.
Ayna melihat Ratih syok melihat rumahnya kecurian.
"Apa tidak sebaiknya lapor Pak RT, Mbak, biar dilaporkan polisi?"
"Tidak usah, nanti malah runyam dan panjang urusannya. Ya udah, memang nasib. Uangku di kamar juga hilang. Empat juta."
Ketika Ayna pamit mau pergi, Ratih menyampaikan sesuatu yang tidak pernah ia duga sama sekali.
"Sebentar, tidak apa-apa kamu pergi. Tapi maaf ada totalannya. Kamu nginap di sini satu minggu, dan makan selama ini ada totalannya. Tidak ada makan gratis. Mohon maaf!"
Ayna berpikir bahwa perempuan itu tulus menolongnya. Ternyata ia melakukan pemerasan secara halus. Ia berpikir, mungkin ia bukan korban yang pertama diperasnya. Mungkin ada gadis-gadis lugu dari desa yang mengalami hal yang sama dengannya.
"Tujuh hari di sini, tujuh ratus ribu murah itu. Makannya tiga ratus lima puluh ribu. Dipaskan saja satu juta. Itu ongkos taksinya tidak saya hitung."
"Tapi saya tidak punya apa-apa, Mbak. Uangku tinggal tiga ratus ribu. Yang lain diambil pencuri. Kartu ATM pun ikut diambil pencuri. Dua ratus ribu saja ya, mbak. Yang seratus biar aku gunakan jalan."
"Itu kau masih punya jam tangan."
"Ini mahal, Mbak. Belinya dulu tiga juta."
"Begini saja. Aku kasih lima ratus ribu. Jam itu untukku. Atau nggak apa-apa kau pergi, tapi kau hutang padaku."
Akhirnya Ayna memilih melepas jam tangannya. Sejak itu ia lontang-lantung di Bogor. Sampai suatu sore ia jalan-jalan di sebuah mal di pusat kota. Ia berniat mau melamar kerja ke restoran-restoran yang ada di situ. Siapa tahu ada rezeki di sana.
Tampaknya saat itu ada pertunjukan di sana. Pengunjung begitu ramai. Ia melihat seorang ibu setengah baya berjalan tenang. Penampilannya sopan dan anggun. Ibu itu membawa cangklong bermerek. Ia melihat seorang pemuda memepet ibu itu, dan melakukan sesuatu yang mengagetkannya.
Cepat sekali tangan pemuda itu bergerak.
Dengan memakai silet, ia sobek tas ibu itu dan ia ambil dompetnya. Lalu pura-pura jalan dengan sangat tenang. Ibu itu sama sekali tidak merasa apa yang terjadi dengan tasnya. Ayna langsung lari dan memegang jaket pemuda itu.
"Berhenti!" teriak Ayna.
Pemuda itu agak kaget. "Ada apa, Mbak?"
"Kembalikan dompet ibu itu!"
"Dompet apa?" Muka pemuda itu pucat. Orang-orang langsung memandanginya.
"Tolong semuanya pegangi pemuda ini. Dia copet!"
"Jangan asal bicara, ya!"
"Tolong, amankan copet ini! Dia menyobek tas ibu itu lalu mengambil dompetnya. Dimasukkan di saku celananya! Kalau tidak percaya geladah saja!"
Beberapa orang memegangi tangan pemuda itu lalu menggeledah dan menemukan dua dompet di saku pemuda itu.
"Oh my God! Yang itu dompetku! Dan tasku, oh! Kurang ajar, ini tas mahal!"
Pemuda itu digebuki orang-orang lalu diamankan oleh sekuriti mal. Ibu itu lalu mengajak Ayna bicara di sebuah restoran yang ada di dekat situ. Ibu itu mengulurkan beberapa lembar ratusan ribu, tapi Ayna menolaknya.
"Kalau begitu ini, kartu nama saya. Kalau kau perlu bantuan ibu datang aja ke alamat ini."
Ayna mengangguk. Di kartu nama itu tertulis: "Hj. Rosidah Nur Wahyuddin, SE., Direktur Utama PT. Tsania Waras Rezekia." Lengkap dengan alamat kantor, rumah, dan nomor telepon serta fax. Itulah awal mula dirinya berjumpa dengan Ibu Rosidah. Hari berikutnya Ayna datang ke rumahnya dan disambut dengan sangat ramah.
"Kalau ibu ada pekerjaan yang pantas untuk lulusan pesantren seperti saya."
Bu Rosidah lalu meminta dirinya untuk menceritakan siapa dirinya, dan pengalaman kerjanya. Ayna menceritakan perjalanan panjangnya mengadu nasib dari Jawa. Pengalamannya menjadi khadimah keluarga Pak Kyai ia ceritakan panjang lebar. Namun ia tidak menceritakan pengalamannya pernah terjebak menjadi istri seorang konglomerat hitam bernama Yoyok. Bu Rosidah mendengarkan cerita Ayna dengan penuh antusias.
"Baik. Sekarang ibu ingin dengar, prestasimu apa? Apa prestasi yang paling membanggakanmu? Apa kau punya?"
Ayna diam sesaat. Ia paling tidak suka menonjolkan kelebihan dirinya.
"Kalau tidak punya, ya tidak apa-apa. Sikapmu yang berani menangkap copet itu bagi itu sebuah prestasi luar biasa. Banyak orang lihat kejahatan itu diam saja karena takut. Apalagi perempuan. Tapi kau berani. Kalau kau ada prestasi lainnya lebih baik, jadi ibu bisa meletakkan kamu di tempat yang pas."
"Ada Bu. Alhamdulillah saya lulusan terbaik di sekolah saya saat SMP. Saya juga pernah juara karate se-kabupaten. Saat masih SMP. Saya pernah juara hafalan juz 'amma juga saat masih SMP. Ketika masuk pesantren dan lanjut di Madrasah Aliyah, tahun pertama saya masuk tiga besar. Setelah itu biasa saja sebab saya banyak kerja menjadi khadimah seperti sudah saya ceritakan. Alhamdulillah saat Ujian Nasional, saya diberi waktu untuk fokus belajar oleh Bu Nyai dan Pak Kyai selama dua bulan. Dan nilai UN saya terbaik se-Jawa Tengah dan nomor sepuluh se-Indonesia."
"Oh ya?" Ayna meraih tas ranselnya dan mengeluarkan ijazah-ijazahnya, piagam dan lembar nilai UN. Juga selempar kliping berita tentang dirinya di koran yang tersimpan dalam map arsipnya. Gadis itu memperlihatkannya kepada Bu Rosidah.
"Kalau yang bisa langsung kerja, kau bisa datang ke kantor ibu besok. Aku tunggu jam delapan pagi. Seorang office boy baru saja keluar karena diterima PNS. Kau bisa menggantikannya. Sementara itu lowongan yang ada. Nanti kalau ada formasi lain yang lebih baik, kau bisa ibu tempatkan di sana. Tapi kalau mau yang langsung lebih baik, tidak sekadar di level office boy, kau harus sabar. Ibu akan coba bantu mencarikan lowongan di tempat lain, di kolega-kolega ibu."
"Besok saya ke kantor ibu. Jam setengah delapan saya akan sampai di sana, insya Allah."
Ayna merasa tidak bisa menunggu lagi. Sebab ia nyaris sudah dua minggu hanya makan roti kering dan air. Ketika bekalnya tinggal seratus ribu ia belikan roti kering yang ia makan sepotong ketika sahur dengan air putih dan sepotong ketika berbuka. Ke mana-mana ia jalan kaki. Dalam kondisi seperti itulah ia betul-betul merasakan jadi hamba Allah yang paling lemah. Tidak ada yang tahu kecuali dirinya dan Allah, bahwa malam-malam ia pernah mengambil sisa nasi kotak tetangga kamarnya yang dibuang ke tempat sampah. Ternyata sisa nasi kotak dengan sisa-sisa ayam bakarnya yang bagi sebagian orang tidak berharga, bagi orang lain bisa jadi sangat berharga. Ia sampai menangis ketika menyadari bahwa ia merasakan begitu nikmatnya makan sisa-sisa nasi orang lain. Di situ ia merasakan kebesaran nikmat Allah.
Keesokan harinya Ayna benar-benar datang, dan bertemu Bu Rosidah tepat jam delapan. Sejak hari itu juga
Ayna resmi kerja di Kantor PT. Tsania Waras Rezekia. Gedung kantor itu berada di sebuah bangunan ruko tiga lantai di tengah kota. Lantai satu dan dua digunakan untuk Tsania Spa & Skin Care, sedangkan lantai paling atas untuk administrasi kantor. Perusahaan itu bergerak di bidang pelayanan kebugaran dan kesehatan, khususnya perawatan kulit dengan brand Tsania Spa & Skin Care. Nasabahnya rata-rata kelas menengah atas. Cabangnya sudah ada dua puluh lima di sepuluh kota besar Indonesia.
Ayna bekerja dengan penuh kesungguhan. Semua tugasnya ia kerjakan penuh perhatian. Tugas utamanya adalah menjaga kebersihan, kerapian, dan segala keperluan Bu Rosidah. Keramahan dan keanggunannya membuat semua tetamu Bu Rosidah memberikan pujian. Ayna bukan jenis pekerja yang hanya menunggu perintah atasan. Ia adalah pekerja yang kreatif dan pikirannya jalan. Dalam waktu tidak lama, ia tahu jenis-jenis kue kesukaan sang majikan. Maka diam-diam di kamar kos-nya ia membuat adonan dan ia bawa ke kantor lalu ia masak dengan oven yang ada di dapur kantor. Begitu kue matang, ia hidangkan pada Bu Rosidah, dan tamu yang datang. Juga ia bagi pada teman-teman. Tak heran jika dirinya disayang oleh majikan dan dicintai oleh hampir semua karyawan.
Dua bulan bekerja, Ayna merasa gajinya lebih dari cukup untuk hidup di perantauan. Ia berpikir harus menambah ilmu pengetahuan. Melihat ketangkasan Bu Rosidah mengelola bisnis dan menjadi penyebab orang lain dapat makan, ia tertarik untuk belajar yang serupa. Bukankah Sayyidah Khadijah, istri Rasulullah Saw. juga pebisnis ulung, yang dengan kekayaannya bisa membantu dakwah?
Awal bulan ketiga, ia putuskan untuk kuliah DI Manajemen Administrasi di Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Yogiatama Bogor. Ia tidak muluk-muluk harus SI, dan tidak muluk-muluk harus di kampus terkenal. Yang paling penting baginya adalah paling terjangkau, paling memungkinkan dan nyaman belajar. Kampus yang ia pilih itu dekat dari tempatnya bekerja, juga dekat dari tempat kos-nya. Ia bisa kuliah di kelas akhir pekan. Biayanya terjangkau. Yang ia perlukan adalah kunci-kunci mengembangkan diri. Selanjutnya sambil bekerja ia akan banyak belajar. Dan dengan kuliah, meskipun cuma DI, ia sudah merasakan bangku perguruan tinggi.
Sebagai bentuk unggah-ungguh, ia minta izin Bu Rosidah ketika mau ikut kuliah akhir pekan. Dan konglomerat perempuan yang murah senyum itu sangat mendukungnya. Hubungan dirinya dengan Bu Rosidah semakin baik, dan semakin dekat. Penampilannya juga sedap dipandang. Itu menaikkan citra positif Tsania Spa & Skin Care.
Tiga bulan setelah kuliah, ia diangkat menjadi asisten pribadi Bu Rosidah. Ia diminta mencari orang yang bisa mengisi tempatnya. Ia lalu merekomendasikan Lestari, gadis yang menderita di toko mainan anak itu. Menjadi asisten pribadi Bu Rosidah adalah pintu masuk ke dunia bisnis dalam level tinggi. Baginya, menjadi asisten seorang perempuan tangguh di dunia bisnis lebih mahal dari duduk di bangku kuliah Fakultas Ekonomi. Semua rapat penting, juga bertemu kolega bisnis, ia dilibatkan. Bu Rosidah seperti sengaja membimbingnya. Sebelum rapat, misalnya, satu hari sebelumnya terlebih dahulu ia diberi tahu apa yang harus disiapkan oleh seorang direktur, serta apa tugas asisten direktur. Hingga akhirnya ia seolah mengerti jalan pikiran Bu Rosidah.
Ada satu kejadian yang membuat Bu Rosidah semakin percaya padanya. Sudah menjadi etika, bahwa dirinya tidak akan meninggalkan kantor sebelum jam kerja habis dan Bu Rosidah telah meninggalkan kantor. Jika jam kerja habis tapi Bu Rosidah masih di kantor, ia dengan setia tetap berada di kantor. Hal itu ternyata diperhatikan oleh Bu Rosidah. Yang ternyata hanya dia asisten yang sesetia itu.
Malam itu, Bu Rosidah seperti sedang asyik membaca buku di ruang kerjanya. Tiba-tiba ponselnya berdering. Usai menerima telepon, Bu Rosidah memanggil Ayna.
"Tolong, panggilkan Pak Dadang untuk segera ambil mobil di rumah, bawa ke sini terus ngantar ke bandara. Harus cepat. Ini Miss Pauline sudah di Kuala Lumpur dan mau terbang ke Jakarta. Kita harus jemput di bandara."
"Bukannya jadwalnya dia sampai besok sore, Bu?"
"Semestinya begitu. Tapi acara dia di Kuala Lumpur ada yang dibatalkan, jadi dia memilih terbang ke Jakarta lebih cepat."
"Tapi Pak Dadang kan sedang cuti, Bu."
"Tetap panggil dia. Siapa lagi? Nggak mungkin kita pakai taksi. Dan nggak mungkin malam-malam begini cari penyewaan mobil."
Ayna menghubungi Pak Dadang, namun sopir Bu Rosidah itu tetap tidak bisa datang malam itu.
"Pak Dadang sedang di rumah sakit, istrinya sedang bukaan tujuh, Bu. Tidak bisa."
"Aduh bagaimana ini? Bingung aku. Mau nyuruh si Anton, nanti geger lagi dia sama istrinya. Waduh repot banget. Tolong tulis, Na, harus nambah sopir."
"Mungkin Pak Satpam bisa nyopir, Bu."
"Ah, nggak bisa dia. Bisanya naik sepeda motor. Bagaimana ini? Miss Pauline penting, dia bintang dari Prancis mau kita jadikan bintang iklan bareng artis papan atas kita."
"Kalau ibu percaya sama saya, biar saya yang nyopir." Bu Rosidah kaget bukan kepalang. "Kau serius? Ini nggak guyonan, Na!" Ayna mengeluarkan SIM dari dompetnya. "Saya serius, Bu, ini SIM saya!"
Acara menjemput bintang iklan dari Prancis berjalan lancar. Bahkan lebih dari ekspektasi Bu Rosidah sebab sambil menyopiri Lexus, Ayna bisa nimbrung berbincang menggunakan bahasa Inggris dengan lancar.
Seminggu setelah itu, Ayna diminta Bu Rosidah untuk tinggal di rumahnya.
"Sudah lama ibu mencari orang yang cocok menemani ibu. Belum juga ketemu. Aku merasa cocok denganmu. Selama ini aku tinggal bersama dua orang pembantu; Mbok Mur dan Mbok Ginah. Tolong, jangan tolak tawaran ibu. Atau ibu profesional saja, kesediaanmu tinggal di rumah ibu untuk menemani ibu akan ibu hargai per harinya. Mau berapa per harinya?"
"Ayna terima dengan senang hati. Toh, selama ini Ayna sudah anggap Ibu layaknya ibunda kandung saya sendiri. Jadi tidak usah pakai hitungan per harinya berapa begitu."
Dan tinggal bersama Bu Rosidah di Perumahan Bogor Sentausa benar-benar mengingatkan masa-masa dirinya tinggal berdua dengan ibunya di Kaliwenang. Masa-masa ia kelas enam SD hingga lulus SMP. Setelah itu ia ke pesantren, lalu ibunya wafat. Ia memperlakukan Bu Rosidah layaknya ibunya sendiri. Dan ia belajar banyak darinya. Ternyata Bu Rosidah adalah istri seorang Guru Besar Ekonomi Pertanian IPB, almarhum Profesor Nur Wahyuddin. Jadi, ada ribuan buku dalam rumah itu. Dan ia diizinkan membaca buku mana saja yang ia suka.
Bu Rosidah tinggal sendirian, karena anak-anaknya tidak ada yang tinggal di situ. Bu Rosidah memiliki empat orang anak, yang sulung bernama Asna Nur Kamila, ia harus ikut suaminya sebagai diplomat yang selalu pindah-pindah tempat tugas. Sekarang sedang tugas di Finlandia. Yang kedua bernama Anjar Nur Prakoso, berprofesi sebagai dokter spesialis bedah syaraf di RSUD Bandung. Anak ketiga bernama Anton Nur Satriyo, bekerja di sebuah perusahaan minyak multinasional di Jakarta. Dan yang bungsu, sudah meninggal sejak umur satu tahun, namanya Tsania Nur Rezekia. Nama si bungsu diabadikan jadi nama perusahaan.
"Ibu merasa hidup lagi ada teman diskusi dan bicara di rumah ini. Ibu tidak ingin kau hanya jadi karyawan, kau harus jadi pemilik perusahaan. Coba buatlah ide buat usaha apa? Buat proposal bisnisnya. Ibu akan bantu ide dan bantu merealisasikannya hingga jadi sebuah usaha yang hidup," ujar Bu Rosidah suatu pagi. Tawaran itu membuat kedua mata Ayna berbinar-binar.
"Saya akan mulai dari usaha bikin roti, Bu. Modalnya tidak besar. Di rumah ini juga ada oven bagus dan jarang dipakai. Dari kecil dulu dititip di kantin-kantin perkantoran di sekitar kantor kita."
"Ide yang cerdas. Segera mulai!"
Usaha membuat dan jualan roti dan kue itu kini mulai berkembang. Ayna sudah menyewa ruko di dekat Universitas Ibn Khaldun sebagai tempat usaha yang ia beri nama 'Roti Barokah'. Ia teringat nasehat Pak Kyai, hidup ini yang penting barokah, penuh ridha Allah. Apa saja kalau barokah, meskipun sedikit itu lebih baik daripada banyak tapi tidak barokah. Ia menamai usahanya dengan 'Roti Barokah' dengan harapan itu menjadi rezeki yang barokah bagi dirinya dan bagi siapa saja yang terlibat dengan bisnis itu. Termasuk semua orang yang membeli dan mengonsumsi roti itu. Jadi dalam nama, ada doa.
Bu Rosidah seperti ingin menurunkan semua ilmu bisnisnya pada Ayna. Ketika ia melihat ada satu titik kelemahan Ayna, ia langsung perbaiki. Setiap bulan, Bu Rosidah membantu mengevaluasi perkembangan bisnis Ayna. Bu Rosidah juga menyarankan Ayna ikut membaca majalah-majalah bisnis. Bahkan tidak jarang ia menyarankan agar Ayna ikut kursus singkat satu sampai tiga hari.
"Ini di FE UI Depok ada kursus tentang Design Thinking for Business dan Pricing Strategy, kau harus ikut!"
"Besok di ITB Dramaga ada seminar Profesor Tom Redman dari Melbourne, seorang pakar Operasional Risk Management, kau harus ikut. Bawa rekaman!"
"Ini ada kursus satu pekan tentang Managing Talent for Every Manager di Singapura. Ini penting bagimu untuk bekal memimpin perusahaan kelas global. Kau harus ikut, ibu sudah daftarkan dan sudah bayar!"
"Pekan depan, kau harus ke Bandung, ada seminar sehari tentang bisnis kuliner. Pembicaranya para CEO perusahaan kuliner terkemuka Tanah Air. Kau harus ambil pengalaman mereka dan dapatkan kontak mereka untuk membangun jaringan!"
Begitulah Bu Rosidah menggembleng dirinya.
Dan Ayna tidak pernah sekalipun membantah saran Bu Rosidah. Baginya perempuan itu adalah "Bu Nyai"nya dalam bidang bisnis dan ekonomi. Bu Rosidah tidak hanya sukses bisnis jasa perawatan kulit, ia juga sukses dalam bisnis properti dan travel. Setelah Ayna tampak sukses dengan bisnis roti di Bogor, ia sendiri tertarik untuk bisnis makanan.
Kini Ayna tidak hanya menjadi asisten Bu Rosidah, tetapi ia sering juga merangkap menjadi sopir dan sekretaris Bu Rosidah. Atau lebih tepatnya, ia mirip koordinator para sekretaris Bu Rosidah. Sebab di semua lini usaha, sesungguhnya Bu Rosidah punya sekretaris.
Selain berkembang dalam dunia bisnis, Ayna tetap berusaha tidak melupakan amal-amal ukhrowi. Ia terlibat aktif di dua pengajian, yaitu pengajian para pegawai dan karyawan Tsania Spa & Skin Care dan pengajian majelis taklim ibu-ibu di perumahan sebelah yang diasuh Ustadzah Fatimah. Selain itu Ayna juga memimpin gerakan muslimah peduli anak-anak jalanan. Gerakan itu mulai mendapat dukungan dari banyak kalangan di Bogor dan sekitarnya.
Ayna menyadari sepenuhnya bahwa itu semua adalah karunia dari Allah yang harus ia syukuri. Tanpa karunia, taufik dan rahmat Allah, ia tidak akan mendapatkan segala nikmat yang ia rasakan.
"Ya Rabbana lakal hamdu hatndan katsiran thayyiban mubarakan fih," lirihnya.
Ayna melihat jam dinding di kamarnya. Sudah jam enam kurang seperempat, ia harus mandi dan siap-siap. Sebab setengah tujuh ia harus mengantar Bu Rosidah ke tengah kota Jakarta. Gadis itu bangkit dari tempat tidurnya. Sebelum masuk ke kamar mandi ia meraih ponselnya yang sedang ia charge lalu membukanya. Ternyata Lestari meneleponnya tujuh kali sejak menjelang Shubuh. Ia langsung menelepon Lestari.
"Ada apa, Tari?"
"Belum dapat kabar, Mbak? Nggak baca berita?"
"Berita apa?" "Sungai itu meluap. Benar firasat Mbak Ayna! Untung anak-anak sudah kita ungsikan ke masjid."
"Mbok Sani bagaimana?" tanya Ayna penuh cemas.
"Hanyut bersama rumah itu."
"Inna lillahi wa inna ilaihi roji'un."
"Ini saya dan Mila sedang menuju masjid itu. Anak-anak kita bawa ke rumah yang sedang kita siapkan itu aja ya Mbak?"
"Ya. Kamar-kamarnya kan sudah selesai dicat. Nanti kau beli karpet yang murah saja, sementara mereka tidur di lantai di atas karpet tidak apa. Sambil kita lengkapi semuanya. Hari ini saya harus ke Jakarta."
"Iya Mbak Ayna."
Wajah Mbok Sani yang tulus itu langsung terbayang di pelupuk mata Ayna. Kalau ajal sudah datang tak ada yang bisa mengurungkan. Bagaimana tidak? Mbok Sani dibujuk-bujuk tetap tidak mau tidur di masjid, ia pilih tetap di rumah kumuh di atas sungai itu. Ayna hanya berdoa semoga Allah mengampuni segala dosanya dan menerima segala amal baiknya. Meskipun miskin, Mbok Sani tidak pernah tinggal sembahyang dan sayang pada anak-anak jalanan.
BAGIAN 14 Ayna menamainya Bait Ibni Sabil, atau rumah anak jalan. Karena memang rumah itu ia wakafkan untuk menampung anak-anak jalanan, dan kaum dhuafa.
Bait Ibni Sabil sesungguhnya adalah dua rumah tipe 21 yang berdampingan. Setelah direnovasi, dari depan tampak menyatu. Namun di dalam tetap dibuat terpisah. Hanya saja halaman belakang dijadikan satu sehingga tampak luas. Halaman belakang yang agak luas itu yang menjadi pertimbangan Ayna memilih rumah itu untuk dijadikan Bait Ibni Sabil. Pertimbangan lainnya rumah itu dekat dengan masjid yang takmir masjidnya Ayna kenal dan mau menjadi salah satu pembina Bait Ibni Sabil.
Rumah itu ia beli dari uang ibunya yang dihutang oleh Bu Nurjannah. Sesungguhnya dirinya nyaris melupakan piutang itu. Tapi Bu Nurjannah, teman ibunya di Amman dulu itu memang orang yang amanah. Ia berhasil bangkit dari keterpurukan, dan yang pertama kali ia cari adalah Ayna. Untungnya Ayna tidak pernah ganti nomor ponsel sejak ia membelinya di Stasiun Balapan saat melarikan diri sekian tahun yang lalu itu.
Bu Nurjannah menemuinya dan membayar dua belas ribu dinar yang ia hutang dari ibunya, tunai. Dengan ditambah infak dari Bu Rosidah dan beberapa orang dermawan bisa untuk membeli dua rumah tipe 21 di sebuah perumahan di pinggir Kota Bogor. Rumah itu sepenuhnya diwakafkan untuk dakwah membina anak-anak jalanan dan dhuafa. Ayna meniatkan seluruh biaya yang ia keluarkan untuk Bait Ibni Sabil pahalanya untuk kedua orang tuanya.
Dua orang relawan sudah tinggal di rumah itu menemani anak-anak jalanan yaitu Mila dan Uun. Lestari sebenarnya juga mau tinggal di situ tapi tidak ia izinkan sebab ia memerlukan Lestari untuk jadi tangan kanannya mengurus bisnis "Roti Barokah." Ia sendiri adalah direktur Bait Ibni Sabil. Yang ia perlukan adalah satu atau dua orang relawan lelaki yang mau tinggal di situ untuk menemani anak laki-laki. Sementara ini Pak Hamid, takmir masjid Al Mukhlasin ikut membantu menjaga Bait Ibni Sabil.
Tidak mudah ternyata mengurus anak-anak yang biasa hidup di jalanan. Mereka tidak mudah diarahkan hidup lebih tertib dan teratur. Untunglah Mila dan Uun adalah dua gadis tangguh. Mila Badriyah adalah mahasiswi penyiaran Islam yang dulu pernah jadi seksi pendidikan di Pesantren Tambak Beras Jombang. Dan Uun Sholihatun adalah mahasiswi psikologi yang dulu pernah dibesarkan di Pesantren Dhuafa Rancabango, Garut. Jadi mereka bisa menaklukkan anak-anak jalanan itu.
"Dik Mila dan Uun, boleh membuat iklan resmi bahwa kita mencari relawan untuk mengasuh atau mendamping santri putra. Jadi Bait Ibni Sabil ini konsepnya adalah pesantren. Bukan sekadar rumah penampungan belaka, yang hanya jadi tempat untuk makan dan tidur saja. Jadi pengasuhnya diutamakan pernah belajar di pesantren. Utamakan yang bacaan Al-Qur'an-nya benar, sehingga bisa mengajar anak-anak baca Al-Qur'an dengan benar," kata Ayna memberi amanah pada rapat pengurus Bait Ibni Sabil pagi itu.
Mila, Uun dan Lestari mengangguk-angguk paham.
"O, jadi aku tidak boleh ikutan jadi pengasuh di sini karena aku tidak lulusan pesantren ya?" goda Lestari pada Ayna.
"Jujur aja, itu salah satu alasannya. Kau jadi pengurus di sini ya, bahkan wajib. Ikut ngaji di sini kalau sudah jalan pengajiannya boleh. Tapi jadi pengasuh di sini, tidak. Kau memonitoring pergerakan 'Roti Barokah' saja."
"Iya ya, Mbak. Eh, Mbak Ayna sudah baca koran hari ini?"
"Koran yang apa?"
"Yang ada penjaja 'Roti Barokah' masuk rubrik 'Serba-serbi Ramadhan'. Mungkin si penjaja roti kita itu bisa direkrut jadi relawan. Siapa tahu dia dari pesantren."
"Mana korannya? Ada? Coba lihat!"
Lestari mengeluarkan tas cangklongnya dan mengeluarkan koran yang ia maksud.
"Ini, Mbak!" Ayna mencari rubrik yang dimaksud. Ia melihat sebuah foto yang membuat hatinya sangat tersentuh. Seorang anak muda memakai topi dan seragam 'Roti Barokah', mulut dan hidungnya ditutup masker. Pemuda itu tampak begitu santai duduk di trotoar, tangan kanannya memegang mushaf yang terbuka. Tampaknya ia sedang membacanya. Dan di sampingnya tampak gerobak keliling 'Roti Barokah'.
"Di bulan Ramadhan, penjual roti keliling memanfaatkan istirahatnya dengan membaca Al-Qur'an. Wajar jika Ramadhan disebut bulan Al-Qur'an." Begitu koran itu menulis.
"Lestari, nanti pas pembagian THR buat acara khusus untuk memberi penghargaan untuk orang ini. Pengumuman mencari relawan titipkan juga pada para pedagang keliling kita. Jika di antara mereka ada yang tertarik, ya diwawancara dulu dan dites bacaan Al-Qur'an-nya."
"Satu lagi, Mbak."
"Apa?" "Ada wartawan mau mewawancarai Mbak, terkait penyelamatan anak-anak jalanan itu dari banjir. Mbak bersedia?"
"Kau saja yang wawancara."
"Baik, Mbak." Kira-kira jam sepuluh pagi musyawarah di Bait Ibni Sabil selesai. Ayna langsung mengajak Lestari menuju kantor 'Roti Barokah' untuk rapat evaluasi perkembangan bisnis bulan sebelumnya. Dari bagian marketing dan bagian keuangan ia mendapatkan data bahwa pemasukan terbesar 'Roti Barokah' adalah dari penjualan keliling, dan yang dititip di berbagai warung dan minimarket. Sedangkan penjualan roti di toko roti sendiri tidak menggembirakan. Ia minta semua anak buahnya memberikan ide-ide segar untuk meningkatkan omset penjualan, khususnya yang di toko roti.
Setelah shalat Zhuhur, ia meluncur ke kantor Tsania Spa & Skin Care. Bu Rosidah memintanya untuk menentukan siapa-siapa yang diterima untuk bekerja di cabang yang akan dibuka di daerah Bintaro. Ia diminta untuk membahas dengan Bu Titik, manajer SDM. Bu Rosidah sendiri, sedang fokus menangani perusahaan travel yang katanya sedang lampu kuning.
"Kita memerlukan sebelas karyawan. Enam perempuan dan lima laki-laki. Ini nama-nama yang sudah lulus wawancara, ada dua puluh orang. Kita perlu membuang sembilan. Silakan, Mbak Ayna lihat! Ini sudah ditata berdasarkan penilaian kami, yang paling atas paling tinggi nilainya," jelas Bu Titik sambil menyerahkan setumpuk data.
Ayna meneliti satu persatu data para pelamar dan lembar penilaian Bu Titik dan timnya. Ia terkejut ketika membaca data pelamar terbaik nomor tiga. Ia sangat mengenal pelamar itu. Tak lain adalah Neneng Kamila Dewi dari Bekasi yang pernah menghina dirinya dan ibu kandungnya itu. Meskipun ia telah memaafkan, tapi anak itu belum pernah minta maaf kepadanya secara langsung. Namun dalam lembar penilaian itu, segala yang terkait dengan kepribadian Neneng ditulis positif dan baik. Ia berharap demikian. Tapi mulut judes Neneng itu kembali terbayang di pelupuk matanya begitu saja.
Sesaat ia ragu, ia harus bagaimana memperlakukan berkas Neneng itu? Ia heran kenapa Neneng mendaftar ingin jadi karyawan Tsania Spa & Skin Care? Apa bisa dia melayani pelanggan dengan baik? Apa benar dia pernah punya pengalaman kerja di sebuah spa di Bandung? Dan yang ia heran, Neneng cuma lulus beberapa kursus keterampilan saja. Kenapa tidak kuliah? Bukankah dulu katanya diterima di kampus negeri di Jakarta? Ataukah kuliah tapi tidak lulus? Ada banyak pertanyaan yang membuatnya ragu.
Akhirnya, nama Neneng termasuk sembilan orang yang ia coret. Ia tidak mau disalahkan jika nanti ternyata Neneng membuat onar di tempat kerjanya. Siapa yang dapat menjamin Neneng tidak melakukan hal meresahkan seperti di pesantren dulu? Meskipun dalam catatan psikolog yang mewawancarainya Neneng dinilai sebagai pribadi yang kooperatif dan mudah bersimpati pada orang lain. Ia meragukan penilaian itu.
Ada sedikit kepuasan menyusup dalam jiwanya ketika ia berani mencoret nama Neneng. Tiba-tiba ia bertanya, apakah keputusannya itu didasari rasa dendam? Ia tidak bisa menjawabnya. Hanya saja ia berdalih pada dirinya, anggap saja Neneng tidak ada. Biarkan dia mencari kerja di tempat lain saja. Daripada keberadaannya membuat tidak nyaman dirinya dan mungkin banyak orang lainnya. Bukankah ia juga berhak menjaga kenyamanan hatinya?
Menjelang Ashar, semua pekerjaannya hari itu telah ia bereskan. Maka ia memutuskan pulang. Ia ingin tadarus Al-Qur'an di rumah dan berbuka bersama Mbok Mur dan Mbok Ginah. Baru saja sampai rumah dan baru saja membuka mushaf, ponselnya berdering. Ustadzah
Fatimah memintanya menjadi pembicara di acara buka puasa majelis taklim ibu-ibu perumahan sebelah. Ustadzah Fatimah berhalangan karena harus ke Serang, ibunya kritis di rumah sakit.
"Jangan saya, Ustadzah! Aduh saya bisa apa. Carikan ustadzah yang lain saja!" Ayna berusaha menolak.
"Waktunya mepet. Sudah saya tawarkan agar diganti Ustadzah Fulanah, tapi Bu RW tidak mau, nggak suka. Katanya kalau Ustadzah Fulanah itu ceramahnya isinya selalu bid'ah, bid'ah dan bid'ah, semuanya bid'ah, semua ajaran ulama kita dulu dianggap salah semua. Lha, Bu RW dan ibu-ibu yang lain malah minta kamu!"
"Aduh, saya ngomong apa?"
"Itu aja bacakan kitab yang kamu bawa dari pesantren itu aja. Kayak yang pernah kau lakukan itu. Ibu-ibu senang katanya. Bacakan satu dua baris saja, yang penting ada sedikit hikmah yang disampaikan menjelang buka bersama."
Akhirnya ia tidak bisa menolaknya. Dengan berat hati ia terpaksa menjadi badal Ustadzah yang pernah nyantri di Diniyyah Putri Padang Panjang dan menyelesaikan SI dan S2-nya di Kuliyyatul Banat, Al Azhar, Kairo.
Satu-satunya kitab yang ia bawa merantau adalah kitab tipis berjudul "Nashaihul 'Lbad" yang ditulis oleh Syaikh Nawawi Al Bantani. Ia mengaji kitab itu sampai khatam dua kali pada Bu Nyai Nur Fauziyah. Tidak ada satu kalimatpun yang lepas saat ia mengaji. Kitab itu, kata Bu Nyai adalah syarah atau penjelas kitab Al Munabbihat Alal Isti'dad Li Yaumil Ma'ad yang ditulis oleh ulama besar ahli hadits dari Mesir yaitu Imam Ibnu Hajar Al Asqalani.
Kitab itu penjadi pelipur jiwanya setelah Al-Qur'an. Dulu ia mengaji rutin setelah Isya' di pesantren. Karenanya kitab itu sering ia baca-baca menjelang ia tidur setiap ada waktu luang. Setiap kali membacanya ia seperti langsung diajak bicara oleh Baginda Nabi Saw., juga diajak bicara para ulama.
Dan sore itu ia tidak banyak membacanya. Ia hanya membacakan sepuluh baris saja, atau sepertiga halaman kitab kuning itu. Tepatnya di halaman tujuh. Di antara yang ia baca,
"Qila: harakatut tha'ati dalilul ma'rifati, kama anna harakatal jismi dalilul hayati"
Ia lalu mengartikan dan menjelaskan, ia mengingat-ingat bagaimana Bu Nyai dulu menjelaskan. Berkali-kali ia mengingatkan ia bukan ustadzah, ia hanya menyampaikan apa yang dulu pernah ia dapatkan.
"Arti kalimat ini, dikatakan bahwa gerakan taat kepada Allah itu menunjukkan makrifah, sebagaimana gerakan badan menunjukkan adanya kehidupan. Maksudnya, jika seseorang bergerak untuk melakukan amal-amal ibadah kepada Allah, itu menandakan seseorang itu mengerti Allah. Semakin banyak ia bergerak ibadah berarti semakin banyak ia mengerti Allah. Jika sedikit gerakannya dalam ibadah berarti sedikit juga pengetahuannya tentang Allah. Sebaliknya kalau ada manusia tidak bergerak ibadah tanda ia tidak mengenal Allah."
Ibu-ibu majelis taklim itu tampak antusias menyimak. Seorang ibu muda diam-diam merekam materi yang disampaikan Ayna dengan video smartphone, tanpa disadari oleh Ayna.
Malam itu usai tarawih, Ayna tetap memaksakan diri untuk menunggu Bu Rosidah pulang. Sesungguhnya ia sangat mengantuk dan ingin tidur di kamarnya. Ia menunggu Bu Rosidah seperti dirinya menunggu ibunya sendiri. Ia duduk di sofa sambil membaca Al-Qur'an pelan-pelan hingga terlelap begitu saja.
Pukul sebelas malam ia terkaget bangun mendengar suara pintu dibuka. Ia langsung tersenyum sambil mengucek kedua matanya ketika yang datang Bu Rosidah.
"Dari tengah kota sampai Cibubur, macetnya luar biasa."
"Mau dibuatin teh, cokelat panas kesukaan ibu atau apa?"
"Biar Mbok Ginah saja."
"Mereka sudah tidur. Biar Ayna saja. Mau apa, Bu?"
"Jahe saja, biar segar."
Bu Rosidah menghempas tubuhnya ke sofa panjang. Ayna beringsut ke dapur lalu beberapa menit kemudian datang dengan membawa nampan berisi dua cangkir jahe panas dan pisang goreng yang masih hangat. Bu Rosidah menyeruput jahe panas itu dengan memejamkan kedua matanya. Sesekali ia menghembuskan napas dengan berat. Ayna tahu ibu angkatnya itu sedang memikirkan sesuatu yang mengganggu ketentraman.
Ayna kembali ke dapur lalu datang dengan membawa baskom berisi air panas dan handuk kecil. Ayna meletakkan baskom di lantai. Gadis itu lalu memasukkan kedua kaki Bu Rosidah di dalam baskom. Dengan penuh perhatian Ayna mencuci dan memijit kaki ibu angkatnya itu. Bu Rosidah membuka kedua matanya sambil tersenyum. Bahkan anak perempuan dan menantunya tidak ada yang seperti itu perhatiannya kepadanya.
"Ada masalah ya, Bu?" lirih Ayna sambil mengurut punggung kaki Bu Rosidah.
"Masalah yang sama, yang belum bisa ibu pecahkan dalam tiga bulan ini. Kau tahu kan semua anak ibu tidak ada yang mau memegang bisnis yang ibu rintis. Hanya menantu ibu di Bandung, si Hayati, istrinya Anjar yang mau bantu-bantu ibu. Itupun tidak bisa total. Ia hanya mau membantu cabang-cabang bisnis yang ada di Bandung. Lha, ini ada menantu ibu ikutan bantu ibu di travel tapi selalu bikin masalah. Kau tahu kan?"
"Mbak Martina, istrinya Mas Anton?"
"Iya, aku sampai judek. Kudu piye? Kalau orang lain sudah kupecat sejak dulu. Dia berlaku seolah-olah dialah pemilik travel itu. Dia ambil keputusan sesuka-sukanya saja. Kalau benar dan mendatangkan untung, ya nggak apa-apa. Lha, ini bikin perusahaan tekor. Baru saja pihak keuangan laporan, program tour yang dia bikin ke Korea tidak bikin rugi seratus juta. Sebelumnya juga sama. Eh, ini dia sudah meneken kontrak atas nama perusahaan dengan sebuah PH film. Yang isinya perusahaan akan mensponsori semua biaya transportasi dan akomodasi pembuatan film di Norwegia. Pihak keuangan sudah menghitung, minimal perusahaan akan keluar uang satu setengah miliar setengah. Apa nggak stres aku! Dia bilang ini untuk branding. Ada keuntungan non-materiil yang besar. Bisa mencapai sepuluh miliar, katanya. Masalahnya perusahaan travel ini sedang megap-megapl Kalau aku cut dan aku pecat dia, maka ujungnya dia akan buruk lagi hubungannya sama Anton. Padahal Anton cerita kalau Martina sudah baikan lagi. Tapi kalau dia terus di perusahaan travel ini, ya ambruk perusahaan ini. Bingung aku harus bagaimana?!"
"Boleh Ayna kasih masukan, Bu."
"Apa masukanmu?"
"Ibu perlu sedikit berkorban untuk menyelamatkan aset lebih besar. Sebenarnya kan Mbak Marlina ingin punya usaha travel sendiri, ibu kan pernah cerita begitu, tapi ibu masukkan dia ke perusahaan ibu. Lha, dia itu jenis yang tidak mau diatur orang lain, tapi juga jenis yang tidak berani ambil risiko. Lha, ini saat yang tepat membuatkan dia tempat usaha. Kan dia bilang akan ada branding dan keuntungan besar. Ya buatkan saja travel, ibu mungkin keluar sedikit uang untuk itu. Satu dua orang di perusahaan travel yang selama ini selalu dukung Mbak Marlina, masukkan saja di travel baru itu. Kasihkan sepenuhnya travel itu pada Mbak Marlina. Lha, biarkan travel baru itu yang kerja sama dengan PH itu. Untung dan risiko, biar Mbak Marlina yang tanggung. Tentang dana sekian miliar yang harus dikeluarkan, kan katanya dia baru saja dapat warisan sekian miliar. Ya, biar pakai dana itu. Kalau untung, ya biar dia jalan. Kalau rugi, biar dia tahu rasanya usaha, cari uang tidak mudah. Selama ini kan dia tidak pernah menanggung risiko. Biar tahu risiko bisnis!"
"Masukanmu menarik sekali, Na." Kedua mata Bu Rosidah berbinar.
"Ibu sudah shalat Isya' dan tarawih?"
"Belum." "Ayo, Ayna temani."
"Lho, kamu belum shalat Isya?"
"Sudah tadi di masjid. Ayna juga dengerin ceramah setelah shalat Isya', tapi pas tarawih Ayna pulang, sebab Ayna merasa pasti ibu belum tarawih. Kalau tarawih sendiri ibu pasti malas, Ayna nunggu ibu aja biar enak tarawihnya."
"Terima kasih, Na."
Kedua mata Bu Rosidah tiba-tiba berkaca-kaca begitu saja. Ia melihat Ayna seperti bidadari yang menyamar jadi manusia. Ia jadi berpikir, jika Ayna nanti menikah dan hidup bersama suaminya, apakah ia bisa mendapatkan ganti yang serupa Ayna?
Ramadhan mendekati pengujung bulan. Enam hari lagi lebaran. Ayna sudah menyiapkan THR untuk seluruh karyawan. Anak-anak yatim dan jalanan sudah dibelikan baju baru untuk lebaran. Uun pamit pulang kampung setelah menyerahkan hasil seleksi relawan yang akan ikut membina santri putra. Panitia seleksi memilih dua orang, Firman seorang mahasiswa IPB yang pernah belajar di pesantren modern, dan Udin, penjaja roti yang masuk koran.
"Firman akan mulai tinggal di Bait Ibni Sabil setelah lebaran, tapi Udin minta sekarang. Ia ingin lebaran bersama anak-anak itu, sebab kontrakannya pas habis, katanya," lapor Uun dengan pakaian rapi siap pulang.
"Sama sekali tidak masalah, si Udin boleh datang sekarang. Biar Mila yang mengaturnya. Salam buat keluargamu di kampung."
Mendekati lebaran seperti itu kerinduan pada kampung halamannya tetap saja datang. Meskipun di Kaliwenang ia tidak punya siapa-siapa lagi kecuali Atikah dan keluarganya, ia tetap merindukan suasananya. Lebaran di kampung kelahirannya selalu mengingatkan masa-masa indah bersama ibu dan neneknya.
Ayna menyeka air matanya, sudah sekian lama ia tidak ziarah ke kuburan ibu, nenek dan kakeknya. Ia hanya bisa mendoakan dari jauh semoga mereka semua dimuliakan oleh Allah di alam kubur sana. Setiap kali sedekah dan infak ia tidak pernah lupa mengirimkan pahalanya untuk mereka.
Avanza putih itu memasuki gerbang rumah cukup mewah di dalam Perumahan Bogor Sentausa. Ayna mengarahkan mobilnya ke garasi. Ia agak kaget mendapati garasi itu telah penuh. Ada mobil yang belum pernah ia lihat terparkir di situ. Fortuner putih terbaru. Plat nomornya masih putih dengan angka berwarna merah. Di samping mobil itu ada SUV Lexus mewah milik Bu Rosidah. Ayna berpikir ibu angkatnya itu mungkin perlu mobil serep, terutama kalau tiba-tiba mobilnya dipakai Anton begitu saja. Ayna memarkir Avanzanya di halaman tak jauh dari garasi.
Ayna memasuki rumah itu sambil melihat jam tangannya. Sepuluh menit lagi waktu buka tiba. Ia langsung menuju ruang makan. Di situ Bu Rosidah sudah menunggu sambil membaca Al-Qur'an. Hidangan buka puasa telah lengkap tersaji di meja. Mbok Mur dan Mbok Ginah telah menyiapkan semuanya.
Sambil menunggu azan Maghrib, Ayna membaca dzikir sore. Ia membaca Wirdul Lathif, wirid yang dibaca di pesantrennya di waktu pagi dan petang. Wirid itu isinya hampir sama saja dengan dzikir Al Ma'tsurat yang dibaca oleh Ustadzah Fatimah. Isinya adalah dzikir yang diajarkan Rasulullah Saw. untuk dibaca di waktu pagi dan petang. Sebagian besar dzikir dan doa pagi dan petang yang ada dalam Wirdul Lathif atau Al Ma'tsurat bisa dijumpai dalam kitab Al-Adzkar yang ditulis oleh Imam Nawawi atau kitab Tuhfatudz Dzakirin yang ditulis oleh Imam Syaukani. Demikian Ustadzah Fatimah suatu ketika menjelaskan tentang dzikir pagi dan petang.
Azan Maghrib berkumandang tepat sesaat setelah Ayna menyelesaikan wiridnya. Ia langsung mendoakan semua orang yang dicintainya baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Ia memintakan ampunan, taufik, dan rahmat untuk mereka.
Tiga butir kurma mengawali ritual buka puasanya disambung dengan kolak pisang. Entah kenapa ia merasa tidak mantap buka puasa tanpa kolak. Baginya, seolah-olah kolak hukumnya fardhu 'ain ketika buka puasa. Tanpa kolak, seolah-olah ia merasa berdosa. Berbuka puasa tanpa kolak seperti shalat tanpa wudhu. Ia mengatakan hal itu kepada Lestari dan para staf di kantornya. Ia sering tersenyum sendiri dengan perumpamaannya itu yang tentu hanya canda belaka.
"Ibu punya hadiah dan bonus untukmu, tidak boleh kamu tolak," senyum Bu Rosidah sambil tersenyum.
"Terima kasih, Bu. Apa hadiahnya, Bu?"
Bu Rosidah meraih sesuatu di saku baju kurungnya.
"Ini kuncinya. Barangnya ada di garasi. Kau pasti sudah lihat. Semoga kau suka warnanya. Ibu berharap itu bermanfaat."
"Ayna merasa tidak layak menerima itu, Bu."
"Kau selalu begitu, kau layak menerima lebih dari itu. Mulai besok, kau wajib pakai Fortuner itu. Mobilmu bisa kau hibahkan untuk operasional pesantren anak jalananmu."
"Iya, Bu. Matur nuwun sanget. Hanya Allah yang bisa membalas kebaikan ibu." Mata Ayna berkaca-kaca.
"Oh ya, ada kabar gembira. Pertama, saranmu tentang travel itu kayaknya tepat. Marlina semangat sekali, dan Anton akan terlibat. Mereka akan bisnis bareng. Semoga jadi kebaikan mereka berdua. Yang kedua, lebaran kali ini semua anak dan cucu ibu akan datang dan kumpul di sini. Dua hari sebelum lebaran, insya Allah sudah sampai sini semua."
"Termasuk Mbak Asna yang suaminya tugas di Finlandia?"
"Ya, mereka sudah dalam perjalanan pulang sejak satu pekan yang lalu, tapi mampir dulu umrah, katanya."
"Alhamdulillah."
"Ibu sudah merencanakan nanti lebaran kedua kita semua liburan ke Anyer. Anjar dan istrinya, sudah menyiapkan semuanya. Kau kebagian tugas menyiapkan acara bakar ikan bersama," wajah Bu Rosidah tampak berkilat-kilat bahagia.
"Insya Allah, Bu."
Malam itu rumah itu seperti dipenuhi bunga kebahagiaan. Sepulang dari tarawih, Bu Rosidah terus bercerita tentang masa kecil anak-anaknya hingga mereka dewasa dan berada di posisinya masing-masing. Ayna mendengarkan dengan penuh antusias. Hari berikutnya, pagi-pagi sekali, untuk menyenangkan hati Bu Rosidah, Ayna mengajak orang tua angkatnya mencoba Fortuner yang dihadiahkan kepadanya. Ayna begitu lincah mengendarainya keliling Kota Bogor. Bahkan gadis itu memacunya ke Puncak dan kembali lagi ketika matahari mulai hangat.
Itu hari efektif kerja terakhir bagi karyawan 'Roti Barokah'. Hari itu akan diadakan acara buka puasa bersama, pembagian gaji, bonus, THR dan penghargaan bagi karyawan berprestasi. Ayna berangkat ke kantor 'Roti Barokah' lebih awal dari biasanya dengan mengendarai Fortuner barunya. Ia mengecek semua persiapan bersama Lestari.
"Selain anak-anak kita yang di Bait Ibni Sabil, kita juga mengundang seratus anak yatim untuk kita beri santunan," ;apor Rahma, penanggung jawab acara sore itu.
"Alhamdulillah."
Tiba-tiba ponsel Ayna berdering. Sebuah panggilan masuk dari nomor tak dikenal. Ia tetap mengangkatnya. Dan sangat kaget begitu mendengar suara dari seberang sana.
"Mbak Ningrum, ya?"
"Iya. Alhamdulillah kau tidak lupa sama aku, Na."
"Suara Mbak, tidak mungkin aku lupakan."
"Alhamdulillah, akhirnya bisa nyambung. Ini penting banget, Na."
"Iya, aku juga senang banget bisa nyambung. Ada apa, Mbak?"
"Bu Nyai, Na!" "Kenapa?" Terdengar isak tangis. "Bu Nyai sudah satu bulan lebih sakit. Ini masih di Rumah Sakit Sardjito Jogja. Kata dokter tidak ada kemajuan. Kemarin beliau nyebut-nyebut kamu, katanya jika umurnya tidak panjang lagi, sebelum meninggal ia ingin ketemu kamu, begitu katanya. Datanglah, Na, datang ya, cepetan!"
"Insya Allah, Mbak."
Tanpa menghiraukan Linda, Rahma dan para stafnya yang ada di sekitarnya, Ayna menangis teringat Bu Nyai, orang yang juga telah ia anggap sebagai ibunya sendiri. Ia memutuskan hari itu juga akan berangkat ke Jogja.
BAGIAN 15 Arus mudik belum begitu padat. Setelah menempuh perjalanan darat selama dua belas jam lebih, Ayna akhirnya sampai di Kota Yogyakarta. Ia memilih perjalanan darat dan memilih membawa mobil sendiri, sebab selain membezuk Bu Nyai, ia juga ingin mudik ke Kaliwenang. Ia mengajak Lestari untuk menemani perjalanannya.
Itu adalah perjalanan terjauhnya membawa mobil sendiri. Sebelumnya perjalanan terjauhnya adalah ke Cirebon, Serang, dan Bandung. Yang paling sering adalah perjalanan ke Bandung mengantar Bu Rosidah ketika Pak Dadang berhalangan. Meskipun jauh, ia merasa nyaman duduk di kursi sopir. Ia harus mengakui mengendarai Fortuner terbaru yang masih gres dengan Avanza tua rasanya berbeda. Ia berani melaju di atas seratus dua puluh kilometer per jam sepanjang Tol Cipali. Terasa mantap dan nyaman. Diiringi suara murattal Syaikh Sudais, perjalanan terasa indah dan tentram.
Ia beruntung memiliki teman dan staf yang bisa diandalkan. Urusan gaji dan THR karyawan 'Roti Barokah' ia serahkan pada Rahma dan Iqbal. Urusan Bait Ibni Sabil, ia serahkan kepada Mila dan Ustadzah Fatimah. Dan urusan tetek bengek lebaran di rumah Bu Rosidah, ia percayakan kepada Mbok Mur dan Mbok Ginah. Bu Rosidah sendiri merasa legowo, ia harus ke Jogja dan mudik ke Kaliwenang. Ibu angkatnya itu tidak akan kesepian sebab keluarga besarnya akan datang.
Ia berangkat dari Bogor jam sebelas siang, dan memasuki parkiran Rumah Sakit Sardjito hampir jam dua belas malam. Ia dan Lestari langsung menuju Paviliun Wijaya Kusuma untuk mencari kamar VIP yang nomornya telah diberitahu oleh Ningrum. Di lobi Paviliun Wijaya Kusuma, ia bertemu Ningrum dan beberapa santri putri yang sedang istirahat. Di antara mereka ada yang sedang tidur sambil duduk.
Ayna memeluk Ningrum tanpa bisa menahan isak tangisnya. Dua sahabat itu begitu haru melepas rindu.
"Cepat sekali kau datang, tadi pagi aku bel kau dan sekarang kau sudah di sini."
"Kalau saat itu aku bisa langsung terbang, pasti aku lakukan."
"Pakai kereta?"
"Tidak, pakai mobil sendiri."
"Alhamdulillah. Berarti kau masih lelah. Ini, Bu Nyai baru sare. Baru saja. Kau istirahat saja dulu, kalau mau kau bisa ke Kaliurang. Istirahat di tempat Pak Kyai Badrudduja. Pak Kyai, Gus Asyiq, Neng Malihah dan anak-anaknya
sedang nginap di sana. Lha, besok pagi-pagi ke sini."
"Yang nunggu di kamar siapa?"
"Gus Asif dan istrinya, Neng Hilwa, putrinya kyai Thayyib Cirebon."
"Gus Afif?" Ningrum menggeleng sedih.
Malam itu Ayna hanya menjenguk sebentar ke kamar Bu Nyai. Kedua matanya berkaca-kaca melihat wajah guru sekaligus ibu yang sangat ia cintai. Wajahnya begitu pucat, tampak tua dan kurus. Rambutnya telah banyak beruban. Ia lalu mengajak Lestari mencari penginapan yang tak jauh dari RS Sardjito. Akhirnya ia memutuskan menginap di hotel milik UGM.
Perempuan setengah baya itu terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Cairan infus tergantung di dekat kepalanya dan mengalir setetes demi setetes melalui selang di tangan kirinya. Pak Kyai Sobron, Gus Asif dan istrinya serta Ningrum tampak duduk menunggui. Beberapa kali Pak Kyai Sobron membujuk agar Bu Nyai mau makan sarapan yang disediakan rumah sakit, tetapi Bu Nyai selalu menggeleng.
"Ummi nggak selera sama sekali, Bah. Nanti malah muntah," lirihnya.
"Atau mau dicarikan makanan yang lain? Ummi harus makan biar segera sembuh."
"Nggak usah, Bah. Kalau memang sudah takdirnya, Ummi ikhlas, Bah."
"Ummi kok selalu begitu, tidak boleh. Abah ingin Ummi sembuh dan kembali menemani Abah membimbing santri-santri."
Kedua mata perempuan setengah baya itu kembali berkaca-kaca.
"Maafkan Ummi kalau selalu merepotkan Abah, merepotkan anak-anak dan para santri."
"Nggak ada yang direpotkan, semua sayang sama Ummi."
"Mana Ayna, katanya datang, mana?"
Pak Kyai Sobron memberi isyarat kepada Ningrum agar mendekat.
",Injih. Mi, tadi malam dia datang, sudah menjenguk Ummi. Tidak tega mau membangunkan Ummi yang sedang sare. Dia menginap di hotelnya UGM. Sebentar lagi datang. Ini baru jam delapan. Kasihan dia masih lelah sebab nyetir sendiri dari Bogor ke sini, demi ketemu Ummi."
"Mana video pengajian Ayna itu, aku mau lihat lagi."
Ningrum lalu membuka ponselnya dan memutar sebuah video yang ia dapat dari Facebook kerabatnya di Bogor. Itu rekaman video berdurasi lima belas menit ketika Ayna mengisi pengajian buka puasa menggantikan Ustadzah Fatimah. Ayna sendiri tidak tahu bahwa video pengajiannya telah menyebar ke mana-mana.
Bu Nyai Nur Fauziyah tersenyum sambil mengusap air matanya menonton video itu. Apa yang disampaikan Ayna, persis yang ia sampaikan saat ia mengajarkan kitab itu pada Ayna dan teman-temannya beberapa tahun yang lalu. Ia bahagia bahwa muridnya itu paham, dan mengajarkan isi kitab itu kepada banyak orang. Kebahagiaan seorang guru adalah ketika muridnya mampu mengajarkan kebaikan kepada banyak orang. Pak Kyai juga bahagia mendengarkan isi pengajian Ayna.
Ketika Bu Nyai dan Pak Kyai sedang asyik menonton video pengajian Ayna, pintu kamar pelan-pelan terbuka. Tampak Ayna masuk pelan-pelan diikuti Lestari. Ia agak kaget mendengar suaranya sendiri. Ia langsung paham bahwa itu adalah suara dirinya yang sedang membacakan kitab NashaThul 'Ibad beberapa hari yang lalu. Yang menyadari keberadaan Ayna di situ pertama kali adalah Ningrum.
"Itu Ayna," kata Ningrum nyaris teriak.
Bu Nyai dan Pak Kyai langsung melihat ke arah pintu. Ayna memandangi Bu Nyai dengan air mata meleleh. Gadis itu mengucapkan salam lalu mencium tangan kanan Bu Nyai. Sesaat lamanya Ayna mencium tangan perempuan yang dikasihinya itu. Air mata Ayna yang hangat membasahi punggung tangan Bu Nyai Nur Fauziyah.
"Matur nuwun ya, Na, kamu menyempatkan waktu menjenguk Ummi."
"Ayna minta maaf jika terlambat dating," jawab Ayna sambil mengangkat mukanya menatap wajah Bu Nyai Nur Fauziyah.
"Enggak, Ummi senang sekali kau datang."
"Ummi sakit apa?"
"Tidak tahu. Ummi kayak lumpuh. Kedua kaki tidak bisa dibuat jalan, tangan masih lumayan bisa buat megang."
"Ummi senang lihat kamu tambah cantik dan sudah sukses. Ummi sudah dengar semua dari Ningrum. Ummi juga sudah baca berita kamu di koran."
"Berita di koran?" Ayna heran.
Bidadari Bermata Bening Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Itu lho, berita yang kamu menyelamatkan anak-anak jalanan. Kalau tidak kamu selamatkan mungkin mereka sudah hanyut diterjang banjir. Kau juga buat penampungan apa namanya ya? Bait Ibni Sabil?"
Ayna langsung menoleh melihat Lestari.
"Iya, Mbak Tari yang menjelaskan semua itu kepada wartawan. Maaf kalau tidak berkenan."
"Duduklah, Na. Ummi pengin dengar ceritamu. Jadi selama sekian tahun ini bagaimana perjalananmu? Alhamdulillah kamu sudah jadi orang di Bogor sana. Alhamdulillah."
"Iya, Ayna pasti cerita. Ummi sudah sarapan?" Ayna melihat menu yang disediakan rumah sakit masih utuh.
"Ummi tidak selera."
"Ayna bawakan bubur sumsum hangat. Ummi coba makan ya, Ayna suapi, ya?"
Bu Nyai mengangguk. Pak Kyai, Gus Asif dan istrinya dan Ningrum agak heran, kenapa Bu Nyai manut saja sama Ayna.
"Ummi duduk, ya, biar enakan?"
Bu Nyai kembali mengangguk. Ayna mencoba mendudukkan Bu Nyai, dengan sigap Ningrum membantu. Ayna lalu minta bungkusan yang dibawa Lestari. Ia membuka bubur sumsum yang terbungkus kertas dan menuangkan ke piring lalu pelan-pelan menyuapkan ke mulut Bu Nyai. Ayna menyuapi dengan penuh kasih saying, seolah menyuapi ibu kandungnya yang sedang sakit.
Melihat pemandangan itu Pak Kyai tak bisa menahan lelehan air matanya. Rasa berdosa istrinya karena tidak mempertemukan Afif dan Ayna dalam ikatan suci ternyata terus dibawa. Itu agaknya yang membuatnya sakit. Dan obatnya adalah kehadiran mereka berdua. Keberadaan Ayna menjadi sebagian dari obat itu.
Sambil menyuapi Ayna menceritakan perjalanan hidupnya. Bagaimana ia hidup bersama Yoyok dari keluarga yang tidak beres. Bagaimana ia memberi syarat kepada Yoyok. Bagaimana ia dicerai Yoyok dan jadi nyaris jadi korban Bandot Tua Brams Margojaduk. Bagaimana ia melarikan diri hingga akhirnya terdampar di Bandung. Bagaimana rasanya hidup luntang-lantung jadi gelandangan di Bandung. Bagaimana rasanya makan nasi sisa orang lain yang ia ambil dari tempat sampah. Hingga ia bertemu Bu Rosidah yang memperlakukan dirinya seperti anaknya sendiri. Bagaimana ia berkenalan dengan dunia bisnis, belajar bisnis dan menekuni dunia bisnis. Ia membuat usaha 'Roti Barokah' dan juga mendirikan rumah penampungan anak jalanan bersama para dermawan dan orang baik di Bogor. Ia bercerita dengan polos dan tulus seperti seorang anak bercerita kepada ibunya.
Tak terasa bubur sumsum itu habis. Pagi itu cahaya kehidupan pelan-pelan bersinar dalam wajah Bu Nyai.
"Jadi kau belum menikah lagi?" tanya Bu Nyai.
"Belum, Ummi. Saya belum berpikir menikah lagi. Saya malah berpikir mungkin akan meniru Rabi'ah Adawiyah yang tidak menikah sampai akhir hayatnya. Kecuali...., ah sudahlah."
"Kecuali apa?" Ayna diam dan menunduk. "Kecuali menikah dengan Afif. Iya kan?" lirih Bu Nyai.
Ayna mengangguk pelan. "Saya akan setia menunggu kedatangannya. Kalau ternyata dia entah di mana, sudah menikah, ya tidak apa-apa. Saya akan menempuh jalan Rabi'ah Adawiyah. Saya sudah punya banyak anak di Bait Ibni Sabil. Saya akan hidup bersama mereka."
"Dia akan datang kepadamu. Percayalah pada Ummi. Dia bisa jauh dari Ummi, tapi tidak bisa jauh darimu."
"Ummi berlebihan."
"Ummi merasa dia ada di dekatmu."
"Saya tidak mengerti maksud Ummi."
"Soalnya, Ummi pernah mimpi. Dalam mimpi itu, Ummi lihat kamu berjalan kaki terus ke arah barat sana, lha Ummi lihat diam-diam di kejauhan Afif selalu ikut di belakangmu, ia menapaki bekas telapak kakimu. Itu jalannya masih tanah, yang kalau diinjak ada bekasnya."
"Saya tidak pernah bertemu dia, sama sekali tidak pernah, sejak ketemu pas dia sakit itu."
"Kemarin Ummi dapat petunjuk."
"Petunjuk apa, Mi?"
"Keberadaan Afif. Firasat Ummi, dia ada di Bogor."
Ayna melirik Pak Kyai. Pak Kyai mengangguk pelan seolah mengatakan agar dia mendengarkan saja apa yang disampaikan Bu Nyai.
"Ningrum. Itu foto yang kau dapat dari kerabatmu di Bogor mana?"
"Foto yang mana ya, Mi?"
"Yang kemarin kau tunjukkan padaku. Itu yang kata kamu lagi ramai di internet. Penjual roti yang baca Al-Qur'an itu, lho!"
Mendengar itu hari Ayna langsung berdesir.
Ningrum memperlihatkan foto yang dimaksud Bu Nyai.
"Ibu yakin ini Afif! Coba, Na. Kau amati baik-baik!"
Ayna melihat foto itu. Seorang lelaki memakai topi dan seragam 'Roti Barokah', mulut dan hidungnya ditutup masker. Pemuda duduk di trotoar, sambil membaca Al-Qur'an. Tapi Ayna tidak melihat tanda-tanda itu adalah Afif.
"Itu Afif kan?"
"Saya tidak tahu, Ummi. Dia pakai masker."
"Lha, itu di seragamnya ada tulisan 'Roti Barokah'. Itu roti kamu kan?"
"Iya, bener, Mi."
"Itu Afif, cara duduknya Ummi hafal. Terus itu, topinya, itu topi yang pernah dia pakai waktu jualan gulali. Tulisan di topi itu, persis, Ummi nggak mungkin salah."
"Saya tidak yakin, Ummi."
"Kau harus yakin. Berarti dia kan karyawan kamu selama ini. Kau bisa kan memanggil dia untuk datang ke sini? Untuk menjenguk Ummi-nya yang sedang sakit? Ayo, hubungi dia, biar Ummi yang bicara!"
Wajah Ayna pucat. "Saya tidak punya kontak orang itu, Mi. Kalau dia bukan Mas Afif, bagaimana? Ada puluhan penjaja roti keliling yang bergabung dengan 'Roti Barokah', dan sekarang mereka sebagian besar sudah mulai pulang kampung."
"Tolonglah, Ummi. Hubungi anak ini, ini Afif. Kau kan bos-nya, kau bisa minta anak buahmu mencari nomor telepon dia!" desak Bu Nyai.
"Ummi, sabar ya, Abah tahu banget kalau Ummi sangat merindukan Afif. Tapi jangan mendesak Ayna seperti itu. Ummi kan tahu selama ini Afif tidak punya hape. Kita tahu itu!"
"Tapi aku yakin itu Afif. Itu Afif," isak Bu Nyai pelan.
Tiba-tiba Ayna merasa ada yang menjawilnya. Ternyata Lestari. Ayna mendekati Lestari.
"Mbak, itu kan anak muda yang dipilih sama Mila dan timnya untuk ikut membina santri putra. Dia sekarang kan sudah tinggal di Bait Ibni Sabil. Kita bel saja melalui Mila. Bener nggak dia orangnya?" kelas Lestari dengan berbisik di telinga Ayna. Wajah Ayna langsung berbinar cerah.
"Ummi, Ayna akan coba memastikan, apakah lelaki yang difoto itu benar Mas Afif. Ayna minta waktu. Semoga paling lambat nanti malam sudah ada kejelasan."
Ayna minta izin keluar diikuti Lestari. Ayna mencari tempat yang enak buat duduk dan bicara. Ia melihat bangku besi di tengah taman. Ia duduk di situ seraya menelepon Mila. Ia menanyakan perihal anak-anak Bait Ibni Sabil. Juga menanyakan perihal si Udin yang baru saja tinggal di situ.
"Anak-anak sudah kerasan dan mudah dikendalikan. Setelah Idul Fitri mereka sudah siap untuk kita masukkan ke sekolah layaknya anak-anak pada umumnya. Alhamdulillah, kita tidak salah memilih si Udin. Orangnya rendah hati, ringan tangan, dan bacaan Al-Qur'an-nya bagus banget. Jauh diatas ekspektasi saya. Kalau Mbak Ayna dengan sendiri pastri merinding deh. Tadi malam kan hujan, jadi anak-anak shalat Isya dan tarawih di rumah. Si Udin itu yang ngimami. Ih, keren banget. Kalau dengar bagaimana dia baca Al-Qur'an kayaknya tidak rela dia jualan roti keliling," cerocos Mila di telepon. Penjelasan itu membuat dada Ayna berdesir-desir. Jangan-jangan benar yang dikatakan Bu Nyai. Terkadang seorang ibu itu firasatnya kuat kalau menyangkut anaknya.
"Aku jadi penasaran nih, Mil. Begini aja, nanti malam suruh shalat di rumah lagi saja. Terus kau rekam si Udin itu pakai video, yah. Gimana caranya, pokoknya rekam, dan harus tampak jelas mukanya. Supaya aku tahu itu bukan suara orang lain. Terus kirim lewat WA ya!"
"Wah, lha baru saja si Udin bilang sore nanti anak-anak mau diajak iktikaf di masjid. Katanya nanti malam itu malam dua puluh tujuh. Mungkin Lailatul Qadar. Gimana, Mbak? Kalau di masjid kan yang ngimami Pak Hamid."
"Begini, suruh buka puasa di rumah. Terus Maghrib shalat di rumah. Baru boleh iktikaf mulai Isya'. Begitu. Wis pokoknya kamu atur! Azan Isya' aku sudah harus terima video kirimanmu lewat WA!" tegas Ayna memberi ultimatum. Mila tidak bisa membantah lagi.
Selepas shalat Ashar, Ayna diikuti Lestari kembali datang menjenguk Bu Nyai. Pak Kyai, Gus Asif dan istrinya masih menunggui di kamar VIP itu. Ningrum tidak ada diganti Mbak Malihah, istri Gus Asyiq. Ayna melihat makan siang yang disediakan rumah sakit tidak disentuh oleh Bu Nyai.
"Ummi belum makan siang, nggih?" tanya Ayna pada Bu Nyai.
"Iya, alasannya selalu nggak selera. Orang sakit ya nggak selera, tapi harus dipaksa supaya cepat sembuh," malah Pak Kyai yang menjawab.
Ayna tersenyum. "Ayna bawa beberapa kotak nasi gudeg untuk buka puasa. Kalau Ummi kerso, Ayna siapkan."
"Ah, nggak selera."
"Ayna juga bawakan sup asparagus kesukaan Ummi. Masih hangat, mau?"
Bu Nyai mengangguk. Wajahnya tampak cerah. Ayna langsung menyiapkan sup itu ke dalam mangkok. Sejurus kemudian Bu Nyai tampak lahap menyantap sup asparagus yang disuapkan oleh Ayna.
"Tadi ditanya mau sup apa, bilangnya nggak selera. Lha, sekarang kalau yang bawa Ayna, kok yo gelem. Kalau yang nyuapi Ayna kok slap-slup mau. Apa kalau yang nyuapi tangannya Ayna itu rasanya tambah enak?" seloroh Pak Kyai membuat yang ada di ruangan itu tersenyum.
"Lha njenengan modelnya hanya tanya, mau nggak ini, mau nggak itu? Nggak ada baunya nggak ada barangnya, ya nggak membuat selera. Lha, kalau Ayna kan beda, dia nawari barangnya ada, baunya tercium. Terus dia masih hafal kesukaan Ummi, sup asparagus," sahut Bu Nyai.
"E ladalah, aku ini sudah jadi suamimu puluhan tahun kok masih kalah sama Ayna bab selera makanmu, Mi. Nggak apa-apa yang penting makan yang banyak biar segera sembuh. Nanti Ayna tidak boleh balik ke Bogor sebelum Ummi sembuh."
"Ya nggak begitu, Bah. Kasihan Ayna," tukas Bu Nyai.
"Nggak apa-apa, Mi, saya akan tunggui Ummi sampai sembuh. Kalau ingin Ayna bisa segera beraktivitas lagi di Bogor, maka Ummi harus segera sembuh."
"Sudah-sudah, doakan saja Ummi-mu ini segera sembuh." Nada bersemangat itu kembali hadir dalam kata-kata Bu Nyai. Pak Kyai bisa menangkap hal itu.
Usai menghabiskan semangkok sup asparagus, kening Bu Nyai tampak berkeringat. Ayna lalu memijit-mijit kaki Bu Nyai. Perempuan setengah baya itu tampak menikmati pijitan itu. Hampir setengah jam lamanya Ayna memijit kaki Bu Nyai. Neng Hilwa, istri Gus Asif mendekat hendak menggantikan Ayna memijit kaki Bu Nyai, tetapi Bu Nyai menolaknya.
"Biar Ayna saja! Dia masih ingat bagian mana yang harus ditekan keras, bagian mana yang harus disentuh," ucap Bu Nyai seraya mengisyaratkan agar Neng Hilwa duduk saja di tempatnya.
"Na, ini tubuh Ummi kok rasanya lengket semua. Sejak kemarin belum disibin," ujar Bu Nyai.
"E alah, lha tadi perawat datang menawarkan sibin tidak mau, kok sekarang minta sibin. Ummi ini piye? Asif, sana panggilkan perawat!" sahut Pak Kyai.
"Lha, tadi nggak keringetan, Bah, ini Ummi bisa gembrobyos. Jadi ingin disibin."
Asif melangkah menuju pintu, tapi Ayna mencegah.
"Tidak usah, Gus Asif. Biar saya saja yang menyibin Ummi. Biar saya saja."
"Sana keluar semua, biar Ayna bekerja!"
Tanpa dikomando semua yang ada di ruangan itu melangkah keluar, kecuali Ayna. Gadis itu dengan cekatan menyiapkan air hangat di baskom, lalu dengan hati-hati melepas semua pakaian Bu Nyai bagian atas. Lalu menyibin dengan penuh kasih sayang seolah menyibin ibu kandungnya sendiri yang sedang sakit. Usai menyibin, Ayna mencarikan pakaian ganti dan membantu Bu Nyai memakainya.
Menjelang Isya', Ayna menerima kiriman video dari Mila. Gadis bermata bening itu membukanya dengan hati berdegup. Sosok pemuda berwajah tirus berpeci hitam tampak dilayar ponselnya. Air mata Ayna keluar begitu saja. Itu wajah Gus Afif. Pemuda itu lalu membaca surah Al Fajr, indah sekali, dan pada rakaat kedua membaca surah Al Balad.
Ayna menemui Bu Nyai dan Pak Kyai dengan mata berkaca-kaca.
"Ummi benar, lelaki yang membaca Al-Qur'an di trotoar itu ternyata Mas Afif. Dia sekarang tinggal di Bait
Ibni Sabil. Ini dia sedang mengimami shalat Maghrib," suara Ayna bergetar. Bu Nyai dan Pak Kyai menonton video di layar ponsel Ayna. Asif dan istrinya mendekat. Bu Nyai tidak bisa menyembunyikan tangisnya.
"Alhamdulillah, benar kan firasatku. Jika Nabi Ya'kub dengan mencium baju Yusuf saja bisa merasakan kalau Yusuf masih hidup dan kedua matanya yang buta bisa sembuh. Apakah aku tidak bisa merasakan kalau yang di trotoar itu adalah Afif. Aku ini ibunya, yang melahirkannya. Sekarang bagaimana caranya Afif datang ke sini. Tolonglah, Abah!"
"Asif, Ayna, Malihah, menurut kalian bagaimana? Apa aku harus menjemput Afif?" Pak Kyai mengajak musyawarah.
"Sebaiknya jangan Abah yang ke Bogor. Biar Mas Asyiq atau Dik Asif," jawab Malihah.
"Yang penting harus gerak cepat, aku khawatir dia lari lagi! Aku tidak mau kehilangan dia lagi. Sudah cukup pengembaraannya. Ibarat burung dia harus kembali ke sarangnya," sahut Bu Nyai.
"Kalau begitu tidak usah ditunda. Besok langsung berangkat pakai penerbangan pertama. Dari Jogja jam enam, turun yang di Bandara Halim Jakarta. Dari Halim ke Bogor cuma setengah jam. Saya bisa siapkan orang yang jemput di Bandara Halim. Siangnya sudah bisa terbang balik ke Jogja. Sore, insya Allah, Ummi sudah bisa buka puasa bersama Mas Afif. Siapa yang menjemput, sekarang juga saya bisa carikan tiketnya!" tukas Ayna dengan mata berbinar-binar.
"Biar saya saja yang menjemput Dik Afif!" kata Gus Asif mantap.
"Kalau Afif datang, aku rasanya ingin berlebaran di rumah, tidak di rumah sakit."
"Aamiin. Insya Allah, kita semua lebaran di rumah," gumam Pak Kyai Sobron.
BAGIAN 16 Ayna melirik jam tangannya. Pukul delapan. Mentari bersinar hangat. Dua burung hinggap di ranting pepohonan. Wajah Ayna tampak cerah menawan. Dengan kursi roda, gadis muda itu mendorong Bu Nyai menuju taman. Meski wajahnya masih tampak pucat, tetapi perempuan setengah baya itu tampak menyungging senyum. Bu Nyai minta berhenti di dekat segerumbul bunga krisan merah muda.
"Aku seperti tidak sabar lagi, Na."
"Tidak sabar lagi apa, Mi?"
"Tidak sabar untuk segera bertemu Afif."
"Ayna mengerti, Mi."
"Dan aku lebih tidak sabar lagi Na."
"Lebih tidak sabar apa, Mi?"
"Lebih tidak sabar lagi untuk melihat dirimu dan Afif berjumpa, lalu menikah."
"Ah Ummi, belum tentu Mas Afif mau. Bisa jadi kan dia berubah pikiran? Waktu yang berjalan bisa mengubah keadaan."
"Aku tidak akan bisa memaafkan diriku lagi kalau sampai tidak bisa menikahkan dirimu dengan Afif. Aku sangat yakin, Afif juga menunggu saat bertemu dan menikahi dirimu."
"Sepenuhnya saya pasrahkan semua urusan kepada Allah."
"Allah tidak pernah sedikit pun menzalimi hamba-Nya. Eh, kira-kira ini Asyiq sudah bertemu Afif belum, Na?"
"Tadi Gus Afif terbang pakai pesawat pertama ke Halim. Mendarat di Halim kira-kira pukul tujuh sepuluh menit. Lalu meluncur ke Bogor. Ya, kira-kira Gus Asyiq sudah memasuki kawasan Bogor, mungkin setengah jam lagi, kalau tidak ada macet dan halangan Gus Asyiq akan jumpa Mas Afif."
"Alhamdulillah, semoga urusan lancar."
"Aamiin." Sementara itu, pada waktu yang sama, di belahan bumi yang lain, tepatnya di Bogor suasananya sungguh berbeda. Matahari terhalang awan. Hujan lebat baru saja reda. Gerimis masih turun. Jalanan basah. Air kecokelatan mengalir di gorong-gorong dan selokan, sebagian meluap menggenangi jalan.
Di jalanan sebuah perumahan di pinggir Bogor, tampak seorang pemuda bersama beberapa anak lakilaki sibuk mengambili sampah yang menyumbat selokan. Mereka tampak basah kuyup. Gerimis masih mengguyur rintik-rintik. Seorang gadis berjilbab cokelat muda datang dengan membawa payung dan mendekati pemuda itu.
"Bang Udin, ada tamu!"
"Siapa?" "Katanya saudaranya Bang Udin, penting banget, katanya!"
"Saudaraku, siapa ya?!" wajah pemuda itu kaget. "Udah cepetan!"
"Iya ini dikit lagi, biar sekalian lancar alirannya."
"Ya, benaran segera temui tamu itu."
"Iya, Mbak." Gadis itu lalu melangkah pergi. Pemuda itu mempercepat kerjanya. Lima belas menit kemudian ia telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia meminta kepada anak-anak untuk melanjutkan kerja baktinya melancarkan aliran selokan perumahan itu, sementara ia sendiri bergegas melangkah menuju asrama Bayt Ibni Sabil. Sebuah taksi terparkir di jalan depan Bayt Ibni Sabil. Pemuda itu semakin penasaran, siapakah gerangan yang mengaku saudaranya? Ia masuk asrama dari pintu samping dan langsung cepat-cepat ke kamar mandi untuk bersih-bersih. Tak lama kemudian ia telah rapi mengenakan sarung dan kaos biru tua lengan pendek, dengan kopiah putih di kepala. Ia melangkah mantap ke ruang tamu yang juga menjadi ruang serba guna yang hanya berupa hamparan karpet hijau.
Di atas karpet ia melihat dua orang pria. Yang satu memakai seragam biru muda, tampaknya itu sopir taksi dan satunya lagi sedang asyik membaca Al-Qur'an dengan tangan kanan memegang mushaf kecil. Ia langsung terkesiap. Ia tahu betul siapa lelaki itu. Benar dia adalah saudaranya, bahkan saudara kandungnya. Kakak sulung yang sangat ia cintai dan ia hormati. Tak terasa air matanya meleleh.
" Assalamu'alaikum, Mas Asyiq," lirihnya. Asyiq langsung menghentikan bacaannya dan melihat ke asal suara. Rasa bahagia langsung memenuhi dadanya begitu ia melihat wajah adiknya.
"Wa'alaikumussalam, Dik Afif!"
Asyiq bangkit dari duduknya, Afif langsung berhambur memeluk kakaknya dengan air mata melelah. Ia berusaha menahan isak tangisnya. Sesaat lamanya mereka berpelukan hangat penuh kasih sayang. Afif menyeka air matanya, keduanya saling melepas pelukan.
"Dari mana Mas tahu aku ada di sini?" tanya Afif seraya duduk.
Asyiq menghela nafas sambil terus memandangi wajah adiknya yang kini tampak benar-benar berwajah dewasa.
"Dari Ayna." Dada Afif bergetar mendengar nama itu. Afif mengangguk-angguk pelan dengan mata berkaca-kaca.
"Ummi memintaku untuk menjemputmu."
Afif memejamkan kedua matanya dan menghela nafas panjang.
"Ummi sudah tahu bahwa aku akan pulang tanpa dijemput jika aku merasa sudah tiba waktunya pulang. Ibarat shalat, saya belum tahiyyat akhir, Mas."
"Sudah berbulan-bulan Ummi sakit. Dan kini Ummi terbaring lemah di rumah sakit ditunggui oleh Ayna. Ummi minta aku menjemputmu dan membawamu bertemu dengannya. Secara pribadi aku merasa, Ummi sakit-sakitan karena didera rindu luar biasa kepadamu."
"Insya Allah, Ummi tidak apa-apa, Mas. Ummi akan sembuh. Izinkan aku merampungkan langkah hingga tahiyyat akhir dan salam, Mas."
"Tolonglah pulang, adikku. Lebih mulia kau salam sekarang dan memenuhi panggilan Ummi, daripada kau bersikukuh melanjutkan perjalananmu. Aku khawatir kalau kau tetap melanjutkan lakumu, justru tidak menjadikanmu dekat dengan Allah. Kau malah terperangkap secara halus oleh keangkuhanmu. Kau tentu ingat kisah Juraij yang diceritakan Baginda Nabi Saw. kepada para sahabatnya. Kisah yang sangat masyhur. Ada di dalam kitab-kitab hadits tepercaya. Juraij mendapat cobaan karena tidak menyahut panggilan ibunya. Dia lebih memilih tetap shalat. Juraij masih beruntung akhirnya tetap berjumpa ibunya. Kalau kau nekat, terus ternyata Ummi tambah parah sakitnya karena kau tidak mau pulang. Kok sampai, misalnya, na'udzubillah, kita tidak berharap, Ummi wafat. Apakah bukan dirimu yang menjadi salah satu penyebabnya, meskipun ajal di tangan Allah? Apakah kau rela dan tega terjadi seperti itu."
"Adikku, ayo pulang, Ummi terus menyebut namamu. Ketika aku terbang dari Jogja, Ummi penuh harap malam nanti sudah berjumpa denganmu. Semoga kebesaran jiwamu mau menjumpai ibu yang melahirkanmu ditulis Allah sebagai amal saleh, dan menjadi wasilah terkabulnya semua yang kau cita-citakan untuk kebaikanmu di dunia maupun di akhirat."
Afif tidak bisa menahan tangisnya mendengar semua yang dikatakan kakaknya. Kata-kata itu pelan dan penuh kasih sayang, namun ia merasa nurani dan kesadarannya seperti dicambuk-cambuk. Ia beristighfar sampai relung jiwa paling dalam. Ia merasa salah. Ya, benar kata kakaknya, jangan-jangan ia telah dibelenggu oleh kesombongan dan keangkuhan. Bukankah anak yang tidak mau menyahut panggilan ibu yang melahirkannya, dengan alasan apapun, sesungguhnya adalah anak yang angkuh. Ia merasa lebih penting dari ibunya. Kesibukannya merasa lebih penting dari ibunya."
"Kenapa tidak kau ingat kisah Uwais Al Qarni dan bagaimana baktinya kepada ibunya? Berbakti kepada kedua orang tua juga bisa menjadi thoriqoh untuk meraih ridha Allah. Bukankah jalan yang ditempuh para sufi ujungnya adalah demi meraih ridha Allah?"
"Iya, Mas. Sudah cukup, Afif mengerti." Afif terisak-isak.
"Jadi kau mau ikut pulang denganku?"
"Iya, Mas, Afif akan ikut Mas Asyiq untuk berjumpa dengan Ummi."
"Alhamdulillah. Tidak sia-sia aku beli dua tiket pesawat. Segeralah berkemas adikku, kita harus segera meluncur ke bandara. Ini Pak Najib, sopir taksi, sudah menunggu."
"Iya Mas. Tunggu sebentar, saya berkemas dulu dan pamit pada teman-teman."
Tepat pukul delapan malam lebih lima menit, Asyiq dan Afif keluar dari Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Mereka langsung bergegas ke parkiran, tempat di mana Asyiq meletakkan mobilnya. Di dalam mobil Afif mengganti kaosnya dengan baju batik lengan panjang yang ia beli di dalam bandara. Ia ingin berpenampilan yang bagus yang membuat ibunya bahagia.
Ketika mereka sampai di RS Sarjito, dan mulai melangkah menuju Paviliun Wijaya Kusuma, dada Afif seperti bergetar disesaki rasa rindu dan cinta kepada ibundanya yang membuncah-buncah secara tiba-tiba. Kedua matanya tak ayal berkaca-kaca. Mereka akhirnya sampai di sebuah kamar, Asyiq membuka pelan pintu kamar itu. Tampak Bu Nyai Nur Fauziyah sedang makan malam disuapi oleh Ayna. Keduanya tampak begitu akrab. Afif melihat pemandangan itu. Dua perempuan yang sangat dicintainya itu kini ada di hadapannya. Keduanya tidak menyadari bahwa Asyiq dan Afif telah berdiri di pintu kamar itu.
"A..a..assaamulamu 'alaikum, Ummi," ucap Afif menahan isak.
Bu Nyai dan Ayna terhenyak dan langsung melihat asal suara. Sendok berisi nasi yang telah diangkat oleh Ayna tidak jadi disuapkan ke mulut Bu Nyai.
"Wa'alaikumussalam. Oh, Afif anakku, kau datang juga, Nak. Ya Allah, Alhamdulillah, anakku datang."
Afif langsung menghambur mencium kedua tangan ibunya, dan memeluk ibunya. Tangis keduanya pecah. Asyiq yang menyaksikan itu juga terbawa haru. Air matanya meleleh. Demikian juga Ayna yang hatinya halus. Sambil beringsut mundur untuk memberi ruang kepada Afif, air matanya meleleh.
"Maafkan segala dosa Afif, Ummi. Maafkan jika kepergian Afif membuat Ummi menderita."
"Tidak, Nak. Ummi yang salah, Ummi bahkan belum bisa memaafkan dosa Ummi yang tidak mempertemukan kamu dengan orang yang kamu cintai. Aku panggil kamu karena Ummi ingin mempertemukan dirimu dengan orang yang kamu cintai. Ini, lihat Ayna ada di sini. Dia masih setia menunggumu. Ummi akan bahagia kalau bisa melihat kalian berumah tangga."
Mendengar kata-kata itu hati Ayna bergetar hebat. Ia berharap bahwa Afif tidak berubah hatinya. Ia menunggu apa kalimat yang akan diucapkan Afif setelah mendengar kalimat ibundanya itu. Afif menangis terisak-isak sambil memeluk ibunya.
"Sudah, Fif, sudah, sudah! Apa kau tidak ingin lihat wajah Ayna? Ini Ayna ada di sini, Nak."
Afif melepaskan pelukannya, dan memandangi wajah ibundanya dengan saksama. Jari-jarinya menyentuh wajah yang mulai tampak keriputnya.
"Afif ingin menatap wajah Ummi, bukan Ayna!"
Bu Nyai kaget. "Lho, kenapa tidak ingin melihat wajah Ayna? Kau sudah tidak suka sama dia?"
Afif menggeleng. "Terus?" "Aku tidak rindu sama Ayna, sebab selama aku di Bogor, terutama dua tahun ini, hampir tiap pekan aku bisa melihat wajah Ayna, atau kelebat sosok Ayna. Setiap hari aku berjualan roti keliling, itu roti milik Ayna."
Bu Nyai tersenyum sambil mengusap air matanya.
"Ayna, berarti mimpiku benar, aku melihat Afif selalu mengikuti jejak langkahmu. Kau dengar sendiri pengakuan Afif."
Ayna menyeka kedua matanya yang berkaca-kaca.
"Mas Afif, kejam!" lirih Ayna.
Afif kaget. Pemuda itu spontan menatap wajah Ayna. Pandangan keduanya bertemu. Ayna menatap wajah Afif dengan saksama, ingin rasanya ia memeluk sosok yang ada di hadapannya itu. Gelora cinta sedemikian hebat membuncah dalam dadanya. Hanya air matanya yang meleleh mewakili perasaannya.
"Apa aku menyakitimu sehingga kau sebut aku kejam?"
"Selama ini kau bisa mengobati dahagamu, tetapi kau biarkan aku terpanggang dalam bara. Bukankah itu perbuatan yang curang dan kejam?"
"Maafkan aku, sungguh sama sekali aku tidak bermaksud curang."
Bu Nyai Nur Fauziyah tersenyum, mendengar dialog keduanya, ia bisa merasakan betapa besar rasa cinta di antara mereka berdua.
"Syiq, Asyiq!" Bu Nyai memanggil Asyiq yang masih berdiri di dekat pintu menyaksikan itu semua. Asyiq mendekat.
"Iya, Mi." "Aku sudah tidak sabar melihat mereka berdua akad nikah. Mungkin tidak kalau malam ini mereka akad nikah?"
"Malam ini, Mi?" kaget Asyiq. Afif dan Ayna juga kaget dan saling berpandangan.
"Iya, malam ini juga. Secara syariat begitu, nanti rame-ramenya belakangan. Yang penting mereka berdua sudah sah jadi suami-istri."
"Ya bisa saja, Mi. Ayna kan walinya pakai wali hakim, kepala KUA Secang bisa saya minta datang malam ini ke sini. Saksi bisa siapa saja yang penting muslim dan memenuhi syarat sebagai saksi. Mahar tinggal disiapkan. Abah juga dalam perjalanan kemari, ini Abah baru saja selesai ceramah di Masjid Jogokarian. Intinya sangat memungkinkan dan bisa, Mi," jelas Asyiq.
"Alhamdulillah," wajah Bu Nyai tampak berbinar-binar. "Kalian akad nikah malam ini saja ya, di sini saja, biar diatur semuanya oleh Asyiq. Kalian pasti setuju kan?" tanya Bu Nyai kepada Afif dan Ayna.
"Saya ikut apa kata Ummi saja," lirih Afif sambil melirik Ayna.
Ayna hanya diam menunduk, pelan-pelan air matanya meleleh.
"Bagaimana Ayna? Kau mau? Afif sudah setuju."
Ayna masih diam. Sesaat lamanya ruangan itu hening.
"Dia diam saja berarti setuju, Mi," suara Afif memecah keheningan.
"Iya, itu kalau Ayna belum pernah menikah. Dia sudah pernah menikah, maka persetujuannya harus jelas lewat kata-kata," jawab Bu Nyai. "Bagaimana Ayna, kau setuju?"
"Mohon maaf, Ummi. Saya tidak setuju! Mohon maaf," lirih Ayna sambil mengangkat mukanya menatap wajah Bu Nyai, lalu menunduk lagi. Kata-kata Ayna membuat semua yang ada di ruangan itu kaget, terutama Bu Nyai dan Afif.
"Tidak setuju? Kenapa Ayna? Apa kami sudah terlambat lagi?!"
Ayna menggeleng. "Terus kenapa tidak mau, Na?"
"Begini, Ummi..." Belum sempat Ayna melanjutkan kalimatnya, Afif memotong.
"Saya bisa memahaminya, Ummi. Ayna sekarang bukan seperti Ayna yang dulu. Sekarang dia adalah perempuan yang sukses. Jadi mana mungkin akan mau menikah dengan pemuda gelandangan seperti Afif ini. Tapi Afif ikhlas kok, Mi, apapun keputusan Ayna. Yang paling penting ia bahagia dengan keputusannya."
Ayna terisak mendengar kata-kata Afif yang mengiris hatinya itu. Tetapi kata-kata itu tidak membuatnya merasa sakit, justru sebaliknya ia merasa bahagia. Sebab ia bisa merasakan bahwa kata-kata Afif itu lahir dari kedalaman cinta.
"Jadi kenapa tidak mau, Ayna? Ummi ingin dengar."
"Ummi, saya ingin menjelaskan tapi sudah dipotong duluan. Mohon tidak salah mengerti. Saya bukan tidak setuju menikah dengan Mas Afif. Bukan. Saya hanya tidak setuju kalau akad nikahnya dipaksakan malam ini, di sini. Tidak. Saya tidak mau. Apakah penantian panjang saya hanya akan menjadi kenangan yang kurang nyaman bagi saya. Saya ingin akad nikahnya di Masjid Pesantren. Di saksikan banyak orang. Didoakan banyak ulama dan kyai. Monggo mau kapan waktunya saya bersedia. Mas Afif, jangan berkata begitu. Kenapa, sudah su'udzan duluan. Saya, insyaAllah, lebih setia dari Dewi Sinta yang menunggu Sri Rama, yang pernah saya ucapkan dulu."
Afif tidak bisa menahan isak tangisnya. Ia minta maaf atas ucapannya.
"Ayna sini, Nak!"
Ayna meletakkan piring dan sendok yang masih dipegangnya lalu mendekati Bu Nyai.
"Njih, Mi." "Mendekat lagi, Nak."
Afif minggir dan Ayna mendekati Bu Nyai hingga sangat dekat. Bu Nyai lalu memeluk erat Ayna sambil terisak.
"Terima kasih, Na. Kau sudah kuanggap anakku sendiri, dan aku ingin kau benar-benar jadi anakku."
"Injih, Mi." Sesaat kedua wanita itu berpelukan cukup lama.
Sejurus kemudian Pak Kyai Sobron datang diiringi Malihah, Ningrun dan Bardi yang sudah menjadi suami Ningrum. Suasana haru kembali pecah. Malam itu juga di kamar itu diadakan rapat dan kesepakatan-kesepakatan tercapai. Akad nikah antara Afif dan Ayna akan diadakan di Masjid Pesantren, pada pagi hari ke tujuh bulan Syawal. Setelah walimah akan langsung dilanjutkan dengan pesta Walimatul 'Ursy yang akan digelar di halaman masjid selama dua hari. Yaitu ketujuh dan kedelapan bulan Syawal. Semua kyai yang ada di Secang dan sekitarnya akan diundang, semua guru dan teman-teman seangkatan Ayna dan Afif akan diundang. Semua kerabat Ayna di Kaliwenang dan keluarga angkat Ayna serta teman-temannya di Bogor juga akan diundang.
Malam itu, Ayna rebahan di kamarnya di hotel UGM dengan hati berbunga-bunga. Ia tidak bisa memejamkan mata karena bahagia. Salah satu mimpi terbesarnya yaitu bersanding dengan pemuda yang dicintainya akan menjadi kenyataan. Kisah panjang berjalanan hidupnya yang berliku terbayang begitu saja sampai saat sahur tiba.
Ayna membangunkan Lestari untuk sahur di restoran hotel, lalu berkemas-kemas. Usai shalat Shubuh, ia dan Lestari akan meninggalkan Jogja menuju kampung halamannya. Ia sudah pamit pada Bu Nyai dan Pak Kyai bahwa ia akan lebaran di kampung halaman. Hari pertama Idul Fitri, ia akan ziarah ke makam ibu, nenek dan kakeknya lalu bersilaturahim ke kerabat dan tetangganya di Desa Kaliwenang. Hari kedua ia akan bersilaturahim ke guru-gurunya, baik guru di madrasah, maupun gurunya di SMP. Silaturahim itu sekaligus ia gunakan untuk menyampaikan undangan langsung kepada mereka agar berkenan hadir pada hari akad dan walimatul drsy yang telah direncanakan. Pada hari ketiga ia akan pergi ke Pondok Pesantren Kanzul Ulum, Candiretno untuk bersilaturahim kepada Pak Kyai dan Bu Nyai. Lalu hari itu juga ia akan terbang ke Jakarta lewat Jogja, untuk bertemu keluarga angkatnya di Bogor.
Dan pada hari keenam lebaran, ia dan keluarga besar angkatnya dari Bogor akan kembali ke Pondok Pesantren Kanzul Ulum Candiretno untuk acara akad nikah pada hari berikutnya.
Itulah rencana yang telah ia susun dengan matang dan telah ia musyawarahkan dengan Bu Nyai dan Pak Kyai. Dan mereka merestui dan menyetujuinya.
Ada banyak hari bahagia dalam hidupnya, meski ada juga dukanya. Tetapi hari itu dan hari-hari setelahnya sampai saat akad nikah itu akan tiba ia rasakan sebagai hari yang sungguh sangat membahagiakan jiwanya. Ia belum merasakan kebahagiaan seperti yang ia rasakan sekarang. Kebahagiaan dengan warna yang berbeda dari semua jenis bahagia yang pernah dikecap oleh jiwanya. Ia merasa dunia ini sepenuhnya adalah semerbak harum bau mawar merekah di musim semi penuh barakah. Ia menyadari semua itu semata-mata adalah karunia dan rahmat dari Allah.
Pagi itu kesibukan besar terjadi di Pondok Pesantren Kanzul Ulum, Candiretno, Secang, Magelang. Di pinggir jalan sepanjang 1 km menuju pesantren umbul-umbul pesantren, dan umbul-umbul warna-warni dipasang berjajar. Di kanan kiri gerbang pesantren umbul-umbul khas janur melengkung berdiri anggun. Halaman masjid sepenuhnya disulap menjadi istana jamuan. Tratag dan deklit terbaik telah terpasang di sana. Panggung pelaminan yang megah berhias bunga berdiri gagah berhadapan dengan masjid.
Ribuan orang telah berkumpul di dalam masjid. Masjid itu penuh orang. Ratusan lainnya duduk di kursi di halaman masjid. Di serambi masjid satu grup rebana terus mengumandangkan shalawat yang menafaskan kegembiraan dan kesucian.
Dari arah rumah Kyai Sobron, tampak iringan pengantin pria datang. Gus Afif atau Muhammad Afifuddin berjalan diiringi Pak Kyai Sobron, Gus Asyiq, Gus Asif, Kyai Yusuf, Kang Bardi, dan beberapa santri senior. Gus Afif tampak gagah dan tampan pagi itu. Ia mengenakan setelan jas putih gading dengan kemeja putih tanpa dasi. Kopiahnya juga putih gading. Seuntai bunga melati melingkar di lehernya. Wajahnya tampak bersih bersinar.
Iring-iringan itu sampai di halaman masjid. Seketika grup rebana melantunkan syair thala'al badru. Suasana gembira dan syahdu berbalut kesucian menyergap semua yang hadir di situ. Semua mata memandang ke arah rombongan khususnya ke arah pengantin pria. Kyai Sobron tidak bisa menahan air matanya yang meleleh.
Sementara itu, di sebuah kamar rumah tamu pesantren, Ayna baru saja selesai berdoa usai shalat Dhuha. Irama thalaal badru ia dengar dengan jelas. Ia tahu pengantin pria sudah mendekati tempat akad nikah. Air matanya meleleh begitu saja.
Ayna berdiri dari atas sajadahnya. Pelan-pelan ia melepas mukenanya. Dan tampaklah dirinya telah mengenakan baju pengantinnya. Pintu kamarnya diketuk, ia mempersilakan yang mengetuk untuk membuka dan masuk.
Bu Nyai, Bu Rosidah, dan seorang perempuan tukang rias masuk. Ayna mencoba tersenyum pada Bu Nyai Nur Fauziyah. Calon mertuanya itu menyeka air matanya.
"Kau siap, Na?" lirih Bu Nyai sambil memegang kedua pipi Ayna.
Ayna mengangguk. "Kau ridha, Afif jadi suamimu?"
Ayna kembali mengangguk. "Sebut nama Allah, sucikan jiwa ragamu, bahwa kau menikah bukan karena dunia, bukan karena apapun kecuali karena Allah."
"Bismillah, injih Ummi."
"Ayo kita ke masjid. Sebentar lagi prosesi akad nikah akan dimulai."
Ayna mengangguk. "Maaf sebentar!" tukang rias menahan.
Perempuan muda berjilbab biru tua itu merapikan jilbab dan baju kurung yang dikenakan Ayna. Baju itu juga putih gading. Tukang rias itu lalu memasang mahkota di atas jilbab yang dikenakan Ayna. Ia mengamati sebentar wajah Ayna. Dengan tisu ia mengelap bekas lelehan air mata Ayna.
"Tersenyum dong, Mbak Ayna, jangan menangis. Jadi terkesan sedih. Sebenarnya senang apa sedih sih mau menikah dengan Gus Afif?"
Ayna tersenyum. "Lha, begitu dong. Sudah, kita siap berangkat." Mereka keluar dari kamar. Di ruang tamu Mbak Malihah, Ningrum, Lestari dan beberapa teman seangkatannya telah menunggu. Ada Rohmatun, Zulfa, Laila, Fara, dan Azka. Rombongan itu lalu melangkah menuju masjid. Begitu rombongan itu sampai di halaman masjid, kembali grup rebana mengumandangkan syair Thala'al Badru. Hati Ayna bergetar hebat. Keharuan dalam kebahagiaan seperti meremas hatinya. Rasanya ia ingin menangis bahagia. Dengan sekuat tenaga ia menahannya. Akhirnya ia sampai di tempat yang telah di sediakan. Ia dan rombongan duduk di bagian shaf perempuan.
Di dekat mihrab masjid tempat akad nikah telah disiapkan. Meja dampar pendek yang telah dibungkus kain batik ada di situ. Di sekitar meja itu telah duduk Gus Afif, Pak Kyai Sobron, Kyai Yusuf Badrudduja, Simbah Kyai Hamdan Baijuri dari Watucongol, ketua KUA, dan Mbah Kamali.
Gus Afif duduk berhadapan dengan Simbah Kyai Hamdan Baijuri yang didampingi ketua KUA. Di samping Gus Afif, duduk Kyai Sobron. Lalu di sebelah Kyai Hamdan adalah Mbah Kamali yang akan menjadi saksi dari pihak pengantin perempuan. Sementara saksi dari pihak pengantin lelaki adalah Kyai Yusuf Badrudduja. Ketua KUA sebagai wali hakim mewakilkan kepada Kyai Hamdan Baijuri untuk menikahkan Ayna dengan Gus Afif.
Seremonial akad nikah dimulai.
Gus Asif menjadi pembawa acara pagi itu. Dengan bahasa Jawa halus yang enak didengar, Gus Asif menyampaikan racikan acara pagi itu. Setelah membuka dengan membaca surah Al-Fatihah Gus Asif mempersilakan seorang santri putra bernama Humaidun untuk membaca Al-Qur'an. Humaidun adalah seorang santri Kanzul Ulum yang baru saja menjuarai MTQ tingkat kabupaten.
Surat Ar Rum dari ayat 17 hingga 22 dibaca dengan sangat fasih, tartil dan indah.
Setelah itu, ketua KUA Secang membaca dan mencocokkan data kedua pengantin dengan cepat. Kemudian tibalah acara inti, yaitu khutbah nikah dan akad nikah.
Suasana hening dan khidmat sangat terasa ketika simbah Kyai Hamdan Baijuri menyampaikan khutbah yang pernah disampaikan Rasulullah Saw. ketika menikahkan putrinya, Fatimah, dan disambung dengan akad nikah. Begitu Simbah Kyai Hamdan Baijuri selesai mengucapkan kalimat ijab dengan bahasa Arab sambil menyalami tangan pengantin pria, dengan sangat mantap Gus Afif menjawab,
"Qabiltu nikahaha wa tazwijaha li nafsi bil mahril madzkur haalan!"
Ketua KUA menanyakan kepada para saksi, apakah ijab qabulnya sudah sah? Para saksi dengan kompak menjawab, sah.
Simbah Kyai Hamdan langsung memimpin doa barakah untuk kedua mempelai.
Kyai Sobron mengamini sambil terisak-isak, demikian juga Bu Nyai Nur Fauziyah. Ayna terus mengusap air matanya yang tak berhenti mengalir. Ningrum dan semua teman Ayna yang sudah mengetahui segala kisah dan penderitaan Ayna tak kuasa menahan isak tangisnya.
Mereka semua mengamini sambil menangis.
Begitu doa selesai, Ayna tidak kuat lagi menahan luapan keharuan yang menyesak di dadanya. Ia memeluk Bu Nyai Nur Fauziyah sambil menangis terisak-isak.
Gus Asif yang menjadi pembawa acara meminta agar semuanya tenang karena acara belum selesai.
"Acara berikutnya adalah penyerahan buku nikah untuk kedua mempelai. Mempelai perempuan dipersilakan maju di samping mempelai pria."
Bu Nyai menuntun Ayna yang terus mengusap kedua matanya dengan sapu tangan. Ayna duduk di samping Gus Afif. Ia merasa dirinya seperti melayang di angkasa karena bahagia. Ia telah resmi menjadi istri pemuda yang ia cintai. Ia menerima buku nikah dengan tangan bergetar. Ia dan suaminya menunjukkan buku nikah. Tukang foto minta supaya kedua pengantin tersenyum untuk diambil gambarnya.
"Kalian sudah halal, Ayna kau sudah boleh mencium tangan suamimu," gumam Simbah Kyai Hamdan Baijuri sambil tersenyum.
Ayna lalu memandang wajah suaminya. Ia lalu menyalami suaminya dan mencium tangan suaminya dengan penuh cinta. Hati Ayna berdesir dahsyat. Keharuan dari lubuk jiwanya tumpah. Ayna seperti tidak mau melepas tangan suaminya. Air matanya meleleh membasahi punggung tangan kanan suaminya. Suara isak tangisnya tak bisa ditahan lagi. Itu adalah tangis isak bahagia.
Sementara itu tangan kiri Afif menyentuh ubun-ubun istrinya sambil mendoakan barakah untuk istrinya. Air mata Gus Afif juga meleleh.
Dalam hati, Gus Afif tiada berhenti memuji Allah atas segala karunia-Nya. Ia nyaris tidak percaya bahwa yang kini mencium tangannya yang ia pegang ubun-ubun kepalanya adalah Ayna Mardeya. Gadis pujaan hatinya itu kini telah menjadi istrinya yang sah di mata syariah dan negara.
Adakah kebahagiaan bagi seorang lelaki yang melebihi memiliki istri yang salehah, cantik, dan sangat dicinta sepenuh jiwa?
BAGIAN 17 Purnama menyepuh kawasan Jubaiha. Dari balkon apartemennya di lantai lima, Ayna menikmati suasana senja. Di bawah sana tampak Jalan Ahmed At Tarawenah masih ramai. Di sepanjang jalan itu berdiri kafe, restoran, dan pertokoan yang memenuhi kebutuhan mahasiswa. Itu adalah jalan legendaris bagi mahasiswa yang belajar di The University of Jordan, Amman. Jalan itu terletak tepat di sebelah utara pagar kampus paling prestisius di Yordania. Di jalan itulah terdapat Babul Yaman, nama untuk salah satu gerbang The University of Jordan berada.
Semilir angin musim semi menerpa wajah Ayna. Di bawah sana sekelompok mahasiswa keluar dari Babul Yaman. Mereka langsung menyerbu Math'am Hadramaut. Itu memang waktunya mahasiswa bubaran dan makan malam. Ayna paling suka menikmati suasana senja seperti itu. Sambil berdzikir usai shalat Maghrib, ia duduk di balkon melihat pemandangan kampus tempatnya menimba ilmu bersama suaminya. Paling senang jika ia melihat sosok suaminya berjalan keluar dari Babul Yaman. Langkah demi langkah suaminya akan ia ikuti dari atas. Dan ia menunggu pintu apartemennya diketuk. Itu saat yang selalu mendebarkan. Dengan penuh perasaan rindu ia akan membukakan pintu untuk suaminya. Lalu melihat senyumnya, dan seringkah setelah menutup pintu ia akan menciumnya. Penuh mesra. Selalu begitu. Padahal ia hanya berpisah beberapa jam saja.
Ayna memandang purnama yang sempurna. Bulan itu seperti sedang tersenyum padanya. Tiba-tiba ia ingin suaminya ada di sampingnya dan membisikkan kalimat mesra, "Cahaya purnama itu tidak bisa menandingi keindahan cahaya wajahmu, Dinda."
Ayna tersenyum sendiri. Sudah berulang kali ia mendengar kalimat itu dari suaminya. Tetapi entah kenapa ia tidak pernah bosan dan terus ingin mendengarnya. Ayna memandang ke bawah ke arah Babul Yaman sambil mengusap perutnya. "Kita tunggu Abah ya, Nak," lirihnya sambil mengusap perutnya penuh kasih.
Seorang mahasiswi bercadar keluar dari gerbang. Ia berjalan tenang. Dua orang mahasiswi berambut pirang dengan baju sopan melangkah beberapa meter di belakangnya. Lalu seorang mahasiswa memakai jubah dan kafayeh tampak berjalan tergesa sambil terus bicara di ponsel yang ia tempelkan di telinga.
Bidadari Bermata Bening Karya Habiburrahman El Shirazy di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dengan sabar Ayna menunggu.
Ketika ia melihat sosok berjaket biru memakai kopyah putih, dengan syal merah melilit di leher, ia langsung tersenyum. Itu adalah suaminya. Itu adalah ayah dari janin yang sedang dikandungnya. Sosok bersyal merah itu belok kanan begitu keluar dari Babul Yaman.
Ayna terkesiap. Ia bertanya-tanya ketika melihat suaminya tidak langsung menuju apartemen, tetapi malah berjalan ke arah kanan. Hei, mau ke mana dia? tanyanya dalam hati. Tiba-tiba ia tersenyum, pasti suaminya akan ke Math'am El Zerbaan, sebab tadi siang ia pesan agar untuk makan malam dibelikan nasi bukhor dan farokh masywi di sana.
Ayna kembali tersenyum sambil menatap rembulan. Ia merasa menjadi perempuan paling beruntung di atas muka bumi ini. Sebab suaminya itu benar-benar berusaha menepati semua janji yang pernah diucapkannya di rumahnya, di Kaliwenang dulu. Ia masih ingat betul janji suaminya itu,
"Dengar, demi Allah, jika aku jadi suamimu aku janji akan memuliakan kamu, apapun yang kamu pinta akan aku turuti selama aku mampu. Kau akan menjadi perempuan paling berbahagia karena mendapatkan curahan cinta dan kesetiaan paling besar yang dimiliki seorang lelaki kepada perempuan di atas muka bumi ini. Aku akan berusaha dengan seluruh kemampuanku untuk membahagiakan kamu. Sebab aku sangat mencintai kamu. Aku akan menjagamu lebih dari menjaga diriku sendiri. Aku akan menghormatimu seperti para nabi menghormati istri mereka."
Sudah dua tahun menikah, setiap hari rasanya masih seperti pengantin baru. Suaminya begitu perhatian dan menjaganya. Seingatnya, belum ada pemintaannya yang tidak dikabulkan oleh suaminya.
Setiap kali ia mengingat perjalanan cintanya, ia selalu mengingat kebesaran karunia Allah SWT. Pertemuannya kembali dengan orang ia cintai itu melebihi keharuan pertemuan cinta Sri Rama dan Dewi Sinta.
Ia hampir tidak percaya bahwa ia akhirnya resmi jadi istri Gus Afif setelah akad nikah di Masjid Pesantren berlangsung dengan penuh khidmat. Disaksikan ratusan kyai, ribuan santri dan masyarakat. Pesta pernikahannya sangat meriah, tiga kali lipat lebih meriah dan megah dibandingkan dengan pernikahannya yang pertama dulu. Rasa bahagia yang ia rasakan berlipat beribu kali dari yang pertama. Ah, bukankah pernikahannya yang pertama justru derita yang ia rasa? Dalam pesta pernikahan itu hampir seluruh teman seangkatannya di pesantren datang, kerabat dan tetangga di Kaliwenang juga datang, teman-teman dan karyawannya juga datang. Dan paling membahagiakan adalah Bu Rosidah dan keluarga besarnya datang penuh kesungguhan. Bu Rosidah mendampingi dirinya di panggung bersama pengantin putra, Pak Kyai dan Bu Nyai menerima seluruh tamu.
Seterusnya detik demi detik adalah kebahagiaan yang ia rasa, serta ledakan cinta yang selama ini ia pendam bertahun-tahun lamanya.
Dan di malam zafaf, ia merasakan kebahagiaan yang susah dicari tandingannya. Hanya para penghuni surga yang bisa memahaminya. Ia masih ingat betul kata-kata suaminya. Sambil berlinang air mata suaminya itu berkata kepadanya setelah mengambil sesuatu yang paling berharga miliknya,
"Kau membuktikan kata-katamu, Dik. Demi Allah, kau lebih suci dari Dewi Sinta. Kau benar-benar ratunya bidadari, sesuai namamu Ainul Mardhiyah."
Sungguh dirinya merasa sangat bangga dan bahagia luar biasa mendengar pujian dan pengakuan suaminya itu. Ketika itu segala derita yang pernah dilaluinya seketika sirna. Penantian panjang yang berliku dan penuh penderitaan, dibayar oleh Allah dengan kebahagiaan tiada terkira indahnya. Ia berpikir, itu adalah balasan orang bersabar ketika di dunia, bagaimana dengan balasan di akhirat kelak?
Dan di malam zafaf itulah ia dan suaminya memutuskan untuk mewujudkan impian belajar di negeri para nabi, yaitu Mesir. Negeri di mana Al Azhar University berdiri. Negeri di mana Siti Hajar yang tak lain adalah ibunda Nabi Ismail berasal. Dan dari keturunan Nabi Ismail itulah lahir Nabi Agung Muhammad Saw..
"Tapi kau akan mengorbankan banyak hal, Dik. Kau akan meninggalkan semua yang sudah kau raih dengan susah payah. Bisnismu, jaringanmu dan lain sebagainya."
"Kalaulah seluruh isi dunia ini diberikan kepadaku, aku rela meninggalkannya asal bisa hidup bersamamu, Mas. Apalagi hidup bersama dalam keadaan menuntut ilmu. Bukankah menuntut ilmu adalah ibadah? Apakah ada yang lebih indah dari menuntut ilmu? Menuntut ilmu ke Mesir adalah impian Mas sejak lama. Itu sudah jadi impian yang menyumsum. Dan kemudian jadi impianku. Kebahagiaan kita tidak akan lengkap kalau kita tidak mewujudkan impian itu ketika kesempatan terbuka di depan mata."
Yang paling bahagia mendengar mereka berdua mau melanjutkan kuliah ke Mesir adalah kedua mertuanya, yaitu Pak Kyai Sobron dan Bu Nyai Nur Fauziyah.
"Setiap tahun kami akan menengok kalian, insya Allah!" kata Bu Nyai dengan mata berkilat bahagia.
Yang paling sibuk mencari informasi adalah Gus Asif. Sebab ia lulusan Al Azhar University Kairo sebelum melanjutkan S2 di Istanbul. Semua informasi yang ia dapat disampaikan dalam musyawarah keluarga besar Kyai Sobron.
"Secara pribadi, saya berpendapat, untuk kajian keilmuan Islam paling dalam dan moderat, ya di Al Azhar. Tapi situasi di Mesir setelah kudeta militer tidak senyaman sebelumnya. Di beberapa titik angka kriminalisasi meningkat. Teman-teman PPMI sih tetap mengatakan kondisi aman. Tapi menurut saya pribadi, Dik Afif, mungkin lebih baik cari tempat belajar yang bobotnya sama dengan Al Azhar tapi lebih nyaman. Saran saya pribadi Maroko atau Yordania. Di dua negara itu banyak ulama-ulama besarnya, sanad keilmuan mereka jelas, sebagian mereka juga belajarnya di Al Azhar. Ini pendapat saya." Begitu uraian Gus Asif dalam musyawarah itu.
Ayna sendiri ketika ditanya ia hanya menjawab ikut suaminya. Jika suaminya ke Mesir ia akan ikut, jika ke Maroko ia akan ikut, jika ke Yordania dia akan ikut, di Indonesia juga ia akan ikut.
Bu Nyai Nur Fauziyah akhirnya memutuskan agar mereka berdua melanjutkan belajar di Yordania saja. Dengan banyak pertimbangan. Di antaranya adalah untuk mencari jejak saudara Ayna seayah satu-satunya, yaitu Ameera.
"Nanti kalau kalian mau S2 dan keadaan Mesir lebih baik, kalian bisa lanjut S2 di sana. Sekarang kuliah di Amman saja, agar ibu kalau malam-malam tidak kepikiran kalian." Begitu titah Bu Nyai yang tidak bisa mereka bantah karena tujuannya adalah kebaikan.
Yang membuatnya terkejut adalah ketika ia menyampaikan rencananya itu kepada Bu Rosidah, ibu angkatnya yang selama ini sangat dekat dengannya. Ia mengira ibu angkatnya itu akan keberatan dan memintanya mengurungkan niatnya. Tetapi tanggapan ibu angkatnya itu sungguh di luar dugaannya.
"Rencana mulia kalian itu harus kalian wujudkan. Jangan tunda-tunda segera berangkat. Kalian harus merasakan indahnya belajar di negeri orang, berdua. Indah sekali. Kerugian besar kalau kalian tidak pernah merasakan itu. Ah, ibu jadi ingat masa-masa dulu menemani almarhum suami ibu, Professor Nur Wahyuddin. Saat itu beliau ambil S3 di Berkeley, California, Amerika. Oh, itu masa-masa yang indah tak terlupakan. Ibu dukung seribu persen, dan kau tidak usah memikirkan bisnis yang sudah kau rintis. Tidak usah khawatir, sistemnya sudah bagus, akan tetap jalan, ibu yang akan mengawal. Insya Allah, ibu akan sering menengok kalian di Amman. Kalian bahkan akan sering membantu travel ibu, sebab kita akan sering buat paket umrah plus tour Amman dan Al Quds."
Akhirnya mereka berdua berangkat ke Yordania dan kuliah di The University of Jordan, Amman. Ayna memilih kuliah di Fakultas Syariah jurusan Islamic Finance, sedangkan suaminya kuliah di Fakultas yang sama namun beda jurusan. Suaminya memilih jurusan Ushul Fiqh.
Tak terasa, ia dan suaminya sudah dua tahun di Amman. Kini dirinya sedang mengandung anak pertama buah percintaan mereka. Ia dan suaminya sepakat untuk melahirkan anak mereka di Amman. Itu hal yang biasa bagi mahasiswa Indonesia. Tetapi menjadi hal yang luar biasa bagi melengkapi sejarah percintaan mereka berdua.
Benar kata Bu Rosidah, ia akan menyesal seandainya mengurungkan niat belajar di luar negeri. Ada pengalaman indah yang susah dilukiskan ketika memadu kasih dengan orang yang dicintai sambil menuntut ilmu di negeri orang.
Ia mendengar bunyi kunci pintu diputar. Hatinya berdesir indah. Entah kenapa setiap hari ia selalu merasakan keindahan demi keindahan berjumpa suaminya pulang dari masjid. Ia bergegas menyambut kedatangan suaminya di ruang tamu.
Suaminya meletakkan sandal di rak sambil menenteng sebuah bungkusan. Bau sedap ayam panggang langsung tercium. Suaminya menatapnya dengan muka bahagia berseri. Ia menyambut dengan mencium tangan suaminya dan melepaskan syal dari lehernya.
"Aku buatkan sambal dulu ya, Dik. Biar makannya lebih terasa mantap."
"Mas, aku mau ngomong sesuatu, tapi Mas jangan marah ya?" katanya manja.
"Apa aku bisa marah padamu, Sayang? Ada apa, katakan saja."
"Tiba-tiba aku ingin makan yang lain, bukan nasi bukhori dan farakh tnasywi. Mungkin ini yang disebut ngidam, Mas."
Suaminya menatap dirinya tanpa marah sedikitpun, malah tersenyum.
"Mau makan apa, Sayang?"
"Mau makan nasi Mansaf."
"Tenang di bawah sana ada, kok."
"Tapi Ayna tidak mau mansaf yang di bawah. Ayna maunya makan di tempat yang kita pernah makan bareng Pak Dubes, Mas Yunus Ketua HPMI dan Pak Nur Ikhlas, orang Indonesia yang telah lama tinggal di Amman itu."
Suaminya agak kaget, tapi kembali tersenyum.
"Oh, itu Fakhreldin Restaurant. Iya kan?"
"Iya." "Kalau begitu kau segera siap-siap. Pakai jaket tebalmu. Ini musim semi tapi sedikit dingin. Yang ini buat sarapan besok aja, ya?"
Ayna mengangguk. Malam itu, dengan mengendarai sedan Elantra merah, Ayna dan Afif berjalan-jalan menyusuri jalanan Kota Amman yang rapi dan bersih. Afif mengendarai mobil itu dengan tenang dan santai. Semua jalan utama di Amman telah ia hafal dengan baik. Ayna tampak begitu bahagia. Afif sesekali melirik wajah istrinya yang tampak tambah cantik diterpa sinar purnama. Afif mengarahkan mobilnya ke daerah Jabal Amman, tepatnya ke Jalan Thaha Husein, di mana Fakhreldin Restaurant berdiri anggun.
Sungguh beruntung mereka mendapatkan tempat yang strategis meskipun restoran itu penuh malam itu.
Ketika mereka datang, sepasang kakek dan nenek yang duduk di taman belakang bangkit pergi. Seorang pelayan mempersilakan mereka duduk di situ. Ayna memesan makanan yang ia idamkan, sedangkan Afif memesan lamb chops. Untuk minum Ayna memesan hot orange sedangkan Afif memesan mint tea.
Ayna menikmati panorama Amman di bawah sepuhan sinar purnama malam itu. Sementara Afif terus memandangi wajah istrinya yang tampak bercahaya mukanya. Mata istrinya itu begitu bening dan indah. Ia tak pernah bosan memandanginya. Keindahan wajah istrinya itu mengingatkan keagungan Tuhan yang melukisnya.
Ayna melihat seorang perempuan muda berhidung mancung makan sambil menyuapi balitanya yang berumur kira-kira dua tahun. Ayna tersenyum. Ia langsung teringat Ameera, saudaranya seayah lain ibu. Akhirnya Allah mempertemukan dirinya dengan satu-satunya kerabat yang berhubungan nasab dengannya. Ia masih ingat saat ia mendatangi rumah Ameera, mulanya diterima biasa saja. Tetapi setelah ia jelaskan siapa dirinya dan menunjukkan foto-foto ibunya bersama ayahnya dan Nyonya Jihan, ibu Ameera, maka Ameera dan seluruh keluarganya menerimanya dengan keharuan luar biasa. Ia masih ingat bagaimana Ameera memeluknya sambil menangis cukup lama.
Ketika itu, ia dan suaminya menyewa rumah agak jauh dari kampus agar murah. Begitu Ameera dan keluarganya tahu bahwa dirinya dan suaminya belajar di The University of Jordan, mereka langsung memaksa untuk tinggal di apartemen mereka.
"Kalian harus pindah ke kawasan Jubaiha. Ameera punya apartemen, tepat di depan Babul Yaman, pintu gerbang universitas. Sekarang masih ditempati oleh mahasiswa dari Brunei, dua bulan lagi habis kontraknya. Kalian bisa pindah ke sana, dan harus pindah ke sana!" ucap Ameera memberi ultimatum. Ayna menolak dengan halus tawaran Ameera itu, ia mengatakan tidak perlu pindah dengan alasan sudah nyaman tinggal di apartemen yang ia tinggali saat itu.
"Percayalah sama saya, apartemen Ameera lebih nyaman. Saya tahu daerah tempat kalian tinggal, itu memang murah tapi kurang aman. Tapi kalau Jubaiha, jauh lebih aman. Dan kalian hanya perlu jalan kaki ke kampus. Kalau kalian tolak tawaran saya, lebih baik jangan pernah anggap saya saudara. Anggap saja kita tidak pernah kenal! Karena kalian masih menganggap saya ini orang lain," rajuk Ameera.
Akhirnya Ayna menerima tawaran Ameera. Dan sesungguhnya apa yang dikatakan Ameera benar adanya. Ia dan suaminya jauh merasa lebih nyaman tinggal di Jubaiha. Ke kampus hanya tinggal jalan kaki. Semua keperluan belajar bisa ia dapatkan di dekat situ.
Tiba-tiba Ayna melihat satu keluarga Arab datang, diiringi dua pembantunya berwajah Asia. Ketika mereka bicara ia tahu mereka dari Indonesia, tepatnya dari Jawa. Ayna tetap diam di tempatnya. Melihat dua orang pembantu itu ia teringat Neneng.
Ah, nama itu lagi. Ya, sungguh tidak mengira setengah tahun lalu ia di-pertemukan oleh Allah dengan Neneng di Amman. Kondisi Neneng sangat memprihatinkan. Ia diberitahu oleh teman-teman HPMI ada TKW yang kondisinya menyedihkan sedang ditolong di sekretariat mereka. Ketika TKW itu mau dibawa ke KBRI malah tidak mau.
"Temukan saya dengan Mbak Ayna dan Gus Afif. Saya pernah melihat mereka di sebuah restoran. Saya harus ketemu mereka. Mereka satu pesantren dengan saya!"
Akhirnya pengurus HPMI mengubunginya dan ia datang ke sekretariat. Begitu ia bertemu Neneng, perempuan yang pernah menghinanya itu menangis dan bersimpuh di kakinya.
"Ayna, maafkan aku. Maafkan segala dosaku selama ini padamu! Kalau kau tidak memaafkan aku, aku akan terus menanggung derita sampai akhir hayatku."
Neneng lalu meminta bicara empat mata dengannya. Di kamar, di sekretariat HPMI itu Neneng menceritakan semua penjalanan hidupnya yang penuh derita sejak keluar dari pesantren.
"Entah kenapa, aku tidak diterima di kampus yang aku tuju. Setahun aku tidak kuliah sebab aku inginnya kuliah di kampus negeri. Tahun berikutnya aku ikut tes ujian masuk perguruan tinggi negeri. Tidak tembus juga. Saat itu kondisi keluargaku juga sedang buruk. Ayah dan ibuku bercerai. Aku ikut ibuku. Dua adikku ikut ayah. Ibu kawin lagi, tapi aku tidak ada yang membiayai kuliah. Aku cari kerja. Pindah-pindah. Pernah mencoba melamar ke tempat-tempat kerja yang bagus di Jabodetabek tapi ditolak. Sampai akhirnya ada lowongan kerja di sini gajinya besar. Aku tergiur. Aku berangkat ke sini. Inilah hukuman atas kelancanganku dulu itu. Di sini aku mempunyai majikan yang bengis dan kejam, tapi aku tidak berdaya apa-apa. Salah sedikit aku dicambuk. Entah sudah berapa puluh atau berapa ratus kali punggungku ini dicambuknya. Ini lihat punggungku!"
Ayna meneteskan air mata melihat punggung Neneng yang rusak.
"Pasporku dipegang mereka. Selama ini aku seperti dikurung sama mereka. Sesekali diajak keluar tapi diancam tidak boleh macam-macam. Kali ini aku nekad, sebab aku tidak kuat lagi! Aku lompat dari apartemen lantai tiga, alhamdulillah cuma kaki kananku yang mungkin patah tapi aku bisa cari taksi menuju universitas dan ketika di jalan aku lihat mahasiswa Indonesia aku minta tolong lalu diajak ke sini."
Hari itu, Ayna didampingi suami dan ketua HPMI membawa Neneng ke KBRI. Dengan bantuan KBRI akhirnya Neneng bisa mendapatkan seluruh haknya dan bisa dipulangkan ke tanah air dengan selamat. Kini Neneng ikut membantu Mila mengurus anak-anak jalanan di Bait Ibni Sabil di Bogor.
Ayna menyeka kedua matanya yang basah. "Kenapa Dik, kok menangis? Apa hari ini ada perkataan atau perlakuan Mas yang mengecewakanmu?" lirih Afif.
Ayna tergagap dan cepat-cepat mengusap mukanya dengan tisu.
"Ah, tidak, Mas. Justru Ayna sangat bahagia. Saking bahagianya sampai kedua mata Ayna basah," jawabnya sambil tersenyum.
Afif tersenyum dan memandang wajah istrinya dalam-dalam. Ia merasa begitu bahagia dan tenteram.
"Kok ngelihatin Ayna terus sih, Mas? Itu lho lihat panorama purnama itu, indah banget."
"Jujur ya, Dik, di dunia ini paling indah adalah panorama yang ada di wajahmu. Wajahmu yang anggun dan kedua matamu yang bening adalah surga yang tiada tandingannya di atas muka bumi ini."
"Ah, Mas Afif jangan gombal ahl"
"Kau tahu, Mas sungguh-sungguh. Aku lebih memilih menikmati wajahmu daripada panorama purnama."
Muka Ayna langsung bersemu merah.
"Terima kasih ya, Mas, atas segala cinta yang kau curahkan. Aku merasa menjadi perempuan paling beruntung di atas muka bumi ini."
"Alhamdulillah. Segala puji milik Allah. Aku pun merasakan hal yang sama."
"Mas, kalau tidak ada orang-orang itu rasanya aku ingin menciummu sekarang," lirih Ayna.
"Subhanallah, aku pun merasakan hal yang sama."
Mereka berdua lalu tersenyum, dan saling memandang penuh cinta.
Mereka berharap bahwa kemesraan mereka selamanya dicatat sebagai amal ibadah oleh Allah 'Azza wa Jalla. Kemesraan yang menerbitkan ridha Allah Yang Maha Mencurahkan cinta.
Tamat Bukit Pemakan Manusia 7 Bulir Bulir Pasir Waktu Karya Sidney Sheldon Manusia Pemusnah Raga 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama