Ceritasilat Novel Online

Bintang Di Atas Alhambra 1

Bintang Di Atas Alhambra Karya Ang Zen Bagian 1


?BINTANG DI ATAS ALHAMBRA
Ang Zen Cetakan Pertama, November 2013
Penyunting: Mahfud Ikhwan
Perancang sampul: Fahmi Ilmansyah
Pemeriksa aksara: Titish A.K. & Kembang Kasih
Penata aksara: Endah Aditya
Diterbitkan oleh Penerbit Bunyan
(PT Bentang Pustaka) Anggota Ikapi ISBN 978-602-7888-86-9 BINTANG DI ATAS ALHAMBRA PENULIS: ANG ZEN DITERBITKAN OLEH: PT BENTANG PUSTAKA
Untuk Bapak dan Mimi, kedua orangtuaku, yang telah mengantarkanku pada gerbang mimpi dengan penuh cinta.
Untuk Bunda Euis, istriku, Kaka Amar dan Neng Yarra, kedua anakku, yang telah menemani dan setia menanti ayah menempuh mimpi.
Bersama kalian, kita akan mengarungi impian baru.
"Buku ini semakin mengingatkan kita, bahwa mimpi adalah bibit kenyataan. Setiap mimpi yang dibela, adalah mimpi yang bisa jadi nyata. Penulis berhasil menceritakan sebagian mimpinya menjadi cerita fiksi yang hidup dan kadang jenaka. Diramu dengan bumbu sejarah, hukum, dan petualangan dari Kuningan di Jawa Barat sampai Granada di Eropa Barat, novel ini pantas dibaca."
Ahmad Fuadi, penulis novel bestseller Trilogi Negeri 5 Menara
"Begini cara buku bagus bekerja, bikin kita ngiri sekaligus terinspirasi! Saya membayangkan mata Iip yang menatap bintang dari kampung halamannya. Lalu, ia membacakan haos-haos, semacam mantra, bahwa ia akan melihat bintang yang sama dari penjuru dunia lainnya. Waktu terus berjalan sambil tak henti memberi kejutan-kejutan takdir yang tak terbayangkan. Dan, abracadabra! Beberapa tahun kemudian, Iip mewujudkan impiannya. Ia menatap kilau bintang-bintang yang sama dari kota-kota di Australia dan Eropa!"
Fahd Djibran, penulis dan bloger
"Tempat semua mata air mimpi selalu berada di tempat kita lahir dan besar, Bukan legenda di ujung dunia Novel ini menyatakan betapa pentingnya madrasah dan sekolah-sekolah di pelosok Nusantara. Lembaga-lembaga itulah yang terus menjadi suluh bagi mimpi anak-anak. Di bagian lain, suasana kehidupan menjalani kuliah di negeri orang yang menjadi setting dalam novel ini juga mengingatkan saya pada suka-duka perjuangan sekolah di luar negeri. Selamat membaca novel yang menarik ini."
Anies Baswedan, Rektor Paramadina, pendiri GIM (Gerakan Indonesia Mengajar)
"Kisah-kisah yang di sajikan dengan detail dalam novel ini menunjukkan betapa penulisnya adalah seorang tukang cerita piawai dan penulis yang harus diperhitungkan."
Zaim Rofiqi, sastrawan "Kisah petualangan dua orang dari dua dunia dan tradisi berbeda ini secara tidak langsung meneguhkan semangat toleransi dan perdamaian. Iip, seorang santri dari desa, berjumpa dengan Lisa Gomez, seorang gadis dari Santiago, Cile, dan memeulai pengembaraan mereka dari Melbaourne menuju Andalusia. Sungguh sebuah setting cerita yang unik dan kaya. Harus dibaca oleh siapa pun yang ingin menghadirkan mimpinya dalam kehidupan nyata. Sangat inspiratif."
Komaruddin Hidayat, cendekiawan muslim.
"Fenomena Islam, dilukiskan secara indah, kuat, dan nyata, oleh tokoh Iip, melampaui Australia, Eropa, Indonesia, dan Dusun Cidewa. Kisah nyata yang mendidik dan mendorong siapa pun untuk meraih mimpi. Lebih dari sekadar novel, Bintang di Atas Alhambra kaya akan pelajaran sejarah dan bahkan antropologi agama! Dan, berkontribusi bagi studi Islam di Indonesia."
Amelia Fauzia, alumnus Universitas Melbourne, Direktur UIN Trust Fund
*** Pesan Lelaki Tua di Albaicin
TERIK MATAHARI tanpa ampun menghajar Sierra Nevada. Langit sepenuhnya biru ketika penduduk lokal tengah bersiap untuk siesta. Mereka akan menikmati waktu tidur siang, sedangkan aku malah berjibaku mendaki bukit berbatu dan berdebu. Angin musim gugur yang bertiup sepoi-sepoi menemani dan menguatkan tekadku untuk terus mendaki. Setapak berundak yang kulalui tampak sepi. Di kanan-kiri, aku melihat rumah-rumah kecil yang menempel di lembah berbaris rapi. Rumah-rumah itu seluruhnya dicat putih.
Di belakangku, terbentang permadani keindahan yang tak biasa. Pohon kaktus yang sedang berbuah tumbuh menyempil di antara rerumputan tanah keras. Sesekali aku berhenti untuk menarik napas dan menoleh ke seberang bukit. Alhambra. Ya, di seberang sana, si jelita Alhambra yang kesepian menatap Granada dari kejauhan. Istana yang megah dan indah itu seperti dijaga, tetapi juga dipenjara oleh Sungai Darro yang membelah Pegunungan Sierra Nevada. Aku beruntung telah melihat tempat itu secara langsung kemarin.
Hari ini, aku tengah menjelajahi salah satu sisi bukit di Pegunungan Sierra Nevada. Orang menyebut tempat ini Bukit Sacromonte atau Bukit Suci. Aku menaiki satu per satu anak tangga. Saat hampir tiba di ujung tangga, tubuhku sudah basah kuyup oleh keringat. Sebuah spanduk berbahasa Spanyol yang artinya lebih kurang 'Selamat Datang di Bukit Sacromonte', menyambutku. Spanduk itu menempel pada tembok sebuah bangunan di dekat gerbang masuk yang dinaungi pohon rindang. Keberadaan pohon itu cukup memberi kesejukan di tengah matahari yang bersinar terik. Pohon-pohon delima dan sebuah bentangan kain putih raksasa juga terlihat di pojok kanan loket pembelian tiket.
Lisa masih berjalan di belakangku, kepayahan mendaki anak tangga yang terjal. Lisa melambaikan tangan ketika aku memandanginya dari puncak bukit, seolah memintaku agar menunggu. Aku memutuskan untuk menunggu sambil beristirahat di bawah rimbun pepohonan. Saat duduk, aku baru menyadari bahwa aku berada di antara pohon delima yang sedang berbuah. Buahnya yang merah tampak begitu cantik. Delima dalam bahasa Spanyol disebut Granada. Mungkin karena di sini banyak tumbuh pohon delima, kota ini lantas dinamai Granada atau Kota Delima. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Granada diambil dari bahasa Arab karnattah yang berarti 'bukit bagi orang asing'.
Setelah beberapa menit, akhirnya Lisa sampai di atas. Dengan napas terengah-engah, ia bergegas menyusulku yang sudah berada di depan loket pembelian tiket. Saat membeli tiket, seekor anjing mengendus-endus sepatuku seolah-olah ingin memastikan bahwa aku orang baik-baik. Tanpa membuang waktu, kami bergegas menuju ke tepian bukit yang dipenuhi gua. Gua-gua ini kelihatan sudah dimodifikasi sedemikian rupa agar terlihat menarik sebagai objek wisata. Seluruh mulut gua dicat putih, disesuaikan dengan warna bangunan lain di daerah ini. Pada setiap mulut gua dipasangi papan yang terbuat dari fiber ditutup plastik bening berisi informasi seputar gua tersebut.
Sebagian besar gua ini bukan merupakan gua alami, melainkan dengan sengaja dibuat oleh manusia untuk dihuni. Menurut legenda, gua-gua ini digali oleh para budak yang ditinggalkan tuan-tuannya, para bangsawan Muslim Granada. Selama berabad-abad, tempat ini telah digunakan oleh para budak belian, gipsi, dan gelandangan sebagai tempat tinggal.
Gua-gua dan Bukit Sacromonte ini berada di sebelah timur Albaicin. Albaicin atau Albayzin adalah kota tua peninggalan orang-orang Arab-Islam yang sejak abad ke-15 terusir dari Spanyol akibat kebijakan inkuisisi dalam proses reconquesta-penaklukan kembali wilayah-wilayah di Semenanjung Iberia oleh penguasa Kristen. Di Granada sendiri, kebijakan itu dimulai sejak jatuhnya Granada ke tangan Ratu Isabella dan Raja Ferdinand pada 6 Januari 1492.
Ketika itu, ribuan orang Islam berbondong-bondong meninggalkan Granada menuju Afrika karena hanya itu satu-satunya pilihan yang tersedia. Beberapa yang bertahan di Granada mati diinkuisisi dengan berbagai cara karena dianggap bidah dan yang lain memilih pindah agama. Mereka yang memilih pergi masih berharap untuk dapat kembali ke tanah yang telah dihuni oleh leluhurnya selama hampir seribu tahun. Karena tetap berharap untuk bisa kembali ke Granada, mereka meninggalkan para budak mereka di kota yang sekarang menjadi Albaicin. Konon, mereka juga mengubur barang-barang berharga di sepanjang Pegunungan Sacromonte, di bawah pepohonan delima atau zaitun, dengan harapan kelak saat Granada kembali ditaklukkan pasukan Islam, barang-barang itu bisa diambil lagi.
Bertahun-tahun para budak itu menunggu tuan-tuan mereka kembali. Namun, tidak ada tanda-tanda hal itu akan terjadi. Islam sepertinya akan sepenuhnya hilang dari bumi Granada. Budak-budak itu telantar: hidup tanpa rumah, tanpa tuan, dan tanpa harapan. Diam-diam, mereka tahu para tuan mengubur barang berharga di Bukit Sacromonte, di atas lembah Sungai Darro, persis di seberang Istana Alhambra. Oleh karena itu, para budak mulai menggali tanah yang dicurigai menyimpan harta karun di perbukitan itu, berharap bisa menemukan sesuatu yang disembunyikan tuan-tuan mereka. Namun, hasilnya nihil. Putus asa, akhirnya para budak itu menjadikan gua yang digalinya sebagai tempat tinggal.
Begitulah asal usul gua-gua di Bukit Sacromonte yang kudengar. Sisa-sisa legenda itu masih bisa kulihat. Di dalam gua, ada banyak perkakas dan artefak bekas penggalian. Ada pula ilustrasi mengenai proses gua-gua itu digali dan digunakan sebagai tempat tinggal. Ada juga foto-foto keluarga penghuni terakhir gua-gua ini sebelum diambil alih oleh Pemerintah Spanyol untuk dijadikan objek wisata.
Ketika asyik mengambil foto, aku melirik ke arah Lisa yang tengah berbincang-bincang dengan seorang lelaki tua. Lelaki itu berkepala botak dan memakai kacamata. Rambutnya terlihat rontok dimakan usia dan jaketnya agak kumal. Aku melengos tak peduli, tetap sibuk mengagumi gua-gua ini sambil melihat ke lembah Sungai Darro.
"Hai, kenalkan, ini Paulo." Lisa datang menghampiriku bersama lelaki tua itu.
Aku mengulurkan tangan sambil memperkenalkan diri. Paulo segera menjabat tanganku. Tatapannya tajam. Matanya memancarkan aura sekaligus misteri. Sepertinya lelaki tua ini bukan orang sembarangan.
"Paulo tidak bisa bahasa Inggris," kata Lisa
"Bisa sedikit sekali," potong Paulo.
"Oke, senang bertemu denganmu. Aku harus pergi." Paulo tidak berkata apa-apa lagi kepadaku selain berpamitan dalam bahasa Spanyol. Itu pun baru kupahami setelah diterjemahkan oleh Lisa. Aku merasa kaget. Sungguh lelaki tua yang aneh. Untuk apa ia datang jika hanya untuk berpamitan? Aku belum sepenuhnya sadar dari kaget ketika lelaki bernama Paulo itu menghilang di balik anak tangga yang tadi kudaki.
"Tidak perlu kaget," ujar Lisa. Sepertinya ia memahami kegelisahanku.
"Tetapi, kenapa lelaki itu tiba-tiba pergi setelah berkenalan denganku?" Aku masih dihantui sejuta pertanyaan.
"Tadi kami tak sengaja bertemu. Paulo berasal dari Rio de Janeiro. Sudah dua bulan ia tinggal di Granada. Beberapa kali ia datang ke Bukit Sacromonte dan berkeliling Kota Albaicin. Ketika tadi Paulo bertanya, aku bilang bahwa aku datang berdua denganmu. Paulo kelihatan terkejut ketika tahu bahwa kau orang Indonesia. Ia bertanya-tanya bagaimana seorang gadis Santiago bisa berkawan dengan lelaki Indonesia dan terdampar di Granada? Akhirnya, aku bercerita tentang perjalanan kita hingga bisa sampai di sini."
Apa yang disampaikan Lisa sedikit menjawab kegelisahanku.
"Paulo menanyakan beberapa hal tentangmu. Aku menjawab apa adanya. Aku bilang bahwa kau seorang muslim yang sedang bernostalgia dengan sejarah kejayaan Islam dan bahwa kita berdua bertemu di Melbourne ketika sama-sama kuliah," lanjut Lisa.
"Bagiku, lelaki itu kelihatan misterius. Tatapan matanya seperti lautan yang tenang, tetapi menghanyutkan," timpalku.
"Paulo memberikan ini untukmu," sahut Lisa. Ia menunjukkan sebuah amplop kecil merah jingga dengan motif kaligrafi bunga dan buah delima. Aku tahu itu adalah jenis amplop yang banyak dijual di toko suvenir. Lisa menyodorkan amplop itu ke arahku.
"Paulo berpesan agar kau menceritakan kepada orang lain tentang bagaimana impianmu menjadi kenyataan. Paulo juga bilang, mimpi terindahmu terkubur di balik bebatuan sungai kehidupan di tanah kelahiranmu."
"Apa, Lisa? Pesan untukku?" Aku bertanya seakan tak percaya dengan sesuatu yang baru saja kudengar.
"Ya, Paulo menitipkan pesan untukmu. Aku juga tidak tahu alasannya." Paulo menjelma menjadi gua-gua yang penuh misteri. Wajahnya, tatapannya, seolah menghardikku, tetapi juga memberi kesan mendalam padaku. Apa gerangan yang ada di dalam amplop itu? Uang? Tidak mungkin. Aji-mat? Bisa jadi. Tapi, sudahlah. Dia bukan siapa-siapa. Lupakan saja. Toh, aku tidak mengenalnya.
Sore ini, aku dan Lisa sengaja ingin menikmati lembayung senja dari Bukit Sacromonte. Kami duduk di bangku yang menghadap lembah Sungai Darro. Suasana tiba-tiba begitu syahdu dan romantis. Juga penuh aura magis. Di seberang bukit, Alhambra memerah disinari lembayung senja. Angin sore seperti memberi tahu bahwa selalu ada muara untuk berlabuh bagi para pengembara di samudra. Selalu ada akhir yang kadang getir pada setiap petualangan yang berakhir. Kenangan selalu indah karena ada perpisahan. Kerinduan selalu menyelinap karena pernah ada kebersamaan. Aku akan merindukan semuanya: petualangan ini, Lisa, Alhambra, Granada. Namun, tampaknya kelak lautan akan terlalu jauh untuk diarungi kembali
Di sekitar kami, tumbuh rimbun pohon delima dan buah kaktus. Aku melemparkan delima muda yang jatuh sia-sia ke lembah di hadapanku.
Lisa meloncat untuk menggapai buah delima yang memerah dari sebuah dahan yang nyaris roboh. "Kau ambil dan simpan ini," kata Lisa sambil memasukkan buah delima itu ke ranselku. "Delima yang kau biarkan kering akan tahan bertahun-tahun. Ini akan menjadi penanda kenangan. Kelak ketika kau melihatnya, kau akan ingat kepadaku, pada tempat ini, pada petualangan kita."
Lantas, masing-masing kami sibuk dengan lamunan jauh. Aku menarik napas panjang, menghirup dalam-dalam udara segar yang diembuskan angin Pegunungan Sierra Nevada. Tanpa kusadari, kesedihan dan haru menyergapku. Apakah ini mimpi? Setelah kebersamaan ini berakhir, kapan lagi aku bisa bertemu dengannya? Kapan lagi aku kembali ke sini? Andai aku bisa memilih, aku enggan beranjak dari sini. Aku masih ingin tinggal lebih lama lagi. Namun, apa daya, di kota jelita ini aku hanya singgah. Dan, selalu harus ada pulang ketika kita dahulu pergi.
Hari mulai beranjak gelap. Lampu-lampu penerang di sekitar Alhambra di seberang sana mulai menyala. Istana itu semakin merah merona. Istana itu dinamai Alhambra yang berarti 'istana merah'. Pada setiap pagi dan sore hari, saat diselimuti sinar matahari, istana itu akan tampak menyala merah. Di bawahnya terhampar kota tua Albaicin yang serbaputih. Albaicin sendiri berarti 'kota putih'. Istana Merah berdiri megah di atas bukit seperti mengayomi kota putih yang terbentang di pangkuannya.
Pemandangan luar biasa itu tak mampu mengalihkan pikiranku dari bayangan Paulo. Aku masih dihantui kata-kata lelaki tua itu. Ceritakanlah tentang bagaimana impianmu menjadi kenyataan. Apa yang harus aku ceritakan? Entahlah. Mimpi terindahmu terkubur di balik bebatuan sungai kehidupan di tanah kelahiranmu. Apa maksud kata-katanya? Ah, entahlah.
"Amplop ini boleh dibuka sekarang?" Aku menoleh ke arah Lisa.
"Kau hanya boleh membukanya di tempat kau memulai petualangan, Ip."
*** Mimpi di Pesantren NAMAKU IIP, Muhammad Syarip. Ingat, pakai "P", bukan "F". Aku adalah bagian dari suku bangsa yang ditakdirkan sulit membedakan P, V, dan F. Sering dipitnah tidak bisa bilang hurup F. Ingat, itu semata-mata pitnah! Sebenarnya, aku tidak terlalu suka apabila orang bertanya asalku dari mana. Jadi, lebih baik aku memperkenalkan diri terlebih dahulu bahwa aku urang Sunda.
Aku orang biasa saja, tak ada yang istimewa. Aku berasal dari sebuah desa kecil, tinggal di rumah yang sederhana. Desaku dipeluk erat perbukitan, dipenuhi pepohonan hijau laksana zamrud yang beruntai. Tempat kunang-kunang masih bisa menari di tengah embun malam. Juga tempat kolam ikan berbaris rapi di pinggir kampung dan sawah terhampar sampai di tepian hutan desa. Di sebelah barat, menjulang Gunung Ceremai yang penuh misteri.
Ketika kecil, aku tidak bersekolah di sekolah terbaik, juga tidak bepergian ke mana-mana dengan mobil atau motor pribadi. Aku berangkat sekolah menggunakan angkot, ojek, atau berjalan kaki. Sesekali, aku bergelantungan pada delman yang semakin murung ditinggal zaman.
Aku perlu memperkenalkan namaku terlebih dahulu sebab tak jarang hal itu menjadi sebuah beban dan juga siksaan. Nama yang diberikan ayahku ini terlalu nyunda dan terkesan kampungan. Mungkin tidak ada masalah jika aku hanya tinggal di kampung, menjadi guru ngaji, atau kuli di pasar. Namun, jika aku bekerja di sebuah perusahaan multinasional, boleh jadi nama itu bisa membuatku gagal jadi presiden direktur. Sebab, orang-orang cenderung lebih suka nama yang keren dan berwibawa. Kalau sudah begitu, nama semacam Iip, Memet, atau Udin bisa menjadi penjara seumur hidup.
Namaku juga kelak menjadi masalah di kantor imigrasi negara lain. Tak jarang aku dicurigai sebagai teroris hanya karena ada kata "Muhammad" pada namaku. Sekali waktu, ingin rasanya pergi ke notaris untuk ganti nama. Namun, apa daya, orangtuaku telanjur memberiku nama Iip Muhammad Syarip demi menegaskan identitas anaknya sebagai urang Sunda.
Keluargaku adalah keturunan kiai. Mungkin karena itulah, setelah aku tamat SD, orangtuaku menyekolahkanku ke pesantren, bukan ke sekolah negeri. Ayah ingin sekali kelak aku menjadi kiai dan memiliki pondok pesantren. Kata Ayah, aku harus meneruskan cita-cita kakek untuk mendirikan pesantren di kampung. Kakek adalah kiai yang cukup terkenal di daerahku. Namun, karena tidak punya uang, Kakek tidak pernah bisa mewujudkan cita-citanya membuat pondok. Dakwahnya terpusat di sebuah mushala di samping rumah.
Ayah tidak bisa mewujudkan cita-cita kakek karena ia lebih memilih jadi pegawai negeri sipil, mengabdi sebagai guru di sekolah negeri. Ayah malah sama sekali tidak pernah menghabiskan hidupnya di pesantren karena ketika kecil bisa belajar agama langsung dari Kakek.
Berkat dorongan Ayah dan Mimi, ibuku, aku mantap menuntut ilmu di pesantren. Aku bersemangat untuk pergi mondok karena memang aku bercita-cita ingin menjadi kiai. Ada satu lagi alasan kuat aku ingin jadi kiai. Sejak sekolah dasar, Ayah dan Mimi sudah mengajariku ceramah. Awalnya, aku hanya menghafal teks ceramah yang dibuat Ayah sambil meniru gaya ceramah Kiai Zainuddin MZ. Belakangan Ayah menyuruhku meniru gaya Ustaz Jujun yang menurutnya lebih nyunda. "Ceramah yang baik adalah," kata Ayah, "ceramah yang menggunakan bahasa lokal. Lebih masuk ke hati dan justru bisa mengenai sasaran dakwah."
Setiap ada acara keagamaan di kampungku, seperti Maulid Nabi, Rajaban , dan bulan puasa, Ayah selalu ingin mengorbitkanku. Aku sering disuruh jadi MC atau membaca sari tilawah . Kalau acaranya di mushala Kakek, aku malah diminta ceramah. Seminggu sebelum manggung, aku disuruh menghafal teks pidato yang dibuatkan Ayah sambil mendengarkan kaset ceramah Ustaz Jujun. Hasilnya, penampilanku selalu memuaskan. Ayah dan Mimi senang. Menurut keduanya, aku punya bakat untuk menjadi penceramah yang baik. Orang-orang kampung juga bilang begitu. Entah benar atau hanya untuk menyenangkanku, aku tidak tahu. Yang jelas, di antara teman-teman sebayaku waktu itu, hanya aku yang mau dan mampu berceramah di depan orang banyak.
Bisa jadi karena selalu dibilang berbakat menjadi pendakwah itulah aku semangat pergi ke pesantren.
Pesantren tempat aku menuntut ilmu bukan pesantren hebat atau terkenal seperti Gontor, Tebu Ireng, dan Lirboyo. Pesantren tempatku mondok hanya memiliki beberapa puluh orang santri. Jika digabung dengan santri kalong, jumlah santrinya lebih dari seratus orang. Ayah bilang, tadinya aku mau dikirim ke sebuah pesantren terkenal di Jawa Timur, tetapi Ayah khawatir karena jaraknya terlalu jauh. Saat itu, aku masih terlalu kecil untuk dilepas hidup sendirian, juga merepotkan kalau Ayah atau Mimi mau menengok.
Lagi pula, kata Ayah, biaya mondok di pesantren terkenal itu terlalu mahal. Ada seorang tetangga yang anaknya mondok di sana dan baru setengah tahun sudah keluar karena tak sanggup menanggung biaya. Karena itulah, Ayah memutuskan untuk mengirimku ke pesantren tradisional di Karangtawang, sebuah desa yang tidak jauh dari desaku. Murah meriah dan dekat dari rumah.
Karangtawang termasyhur karena punya banyak kiai terkenal. Desa itu juga dekat dengan makam keramat. Di Lengkong, tetangga Desa Karangtawang, terdapat sebuah makam wali yang selalu ramai dikunjungi. Orang sekitar biasa menyebut tempat itu Makam Pusara Eyang Hasan Maulani, seorang tokoh legendaris penyebar agama Islam di kawasan Kuningan. Konon, yang dikubur di sana sebenarnya bukan jasad Eyang Maulani, melainkan hanya rambutnya. Jasad Eyang Maulani dimakamkan di Makassar, tempat beliau meninggal dalam pengasingan. Namun, ada yang bilang sebaliknya. Justru yang di Makassar itu rambutnya saja, sedangkan jasadnya dimakamkan di Lengkong. Entah mana yang benar.
Lengkong juga punya Pusara Keramat Mbah Dako, orang sakti yang merupakan murid Eyang Maulani. Mbah Dako adalah orang yang melanjutkan misi Eyang Maulani untuk membuat penduduk Kuningan memeluk agama Islam.
Lebih jauh, di daerah Karangtawang, berdiri empat pesantren besar dan beberapa pesantren kecil. Para kiai yang memimpin pesantren-pesantren itu masih merupakan kerabat dan saudara. Semuanya mengaku keturunan Eyang Maulani. Malah, ketika aku tinggal di pesantren, ada legenda yang lebih hebat: semua kiai di sana merupakan keturunan Nabi Muhammad lewat jalur Eyang Hasan Maulani. Kabarnya, Eyang Maulani memiliki silsilah yang nyambung ke Sunan Gunung Jati di Cirebon dan bermuara pada Nabi Muhammad. Ketika itu aku percaya saja. Sekarang, aku tahu bahwa itu hanya mitos belaka.
Setiap pesantren punya mitos sendiri-sendiri yang dipercayai para santri. Ketika aku nyantri, misalnya, ada seorang kiai yang sangat sakti. Saking saktinya, konon, hampir setiap Jumat beliau selalu melakukan shalat Jumat di Masjidil Haram. Karena itu, kiai itu sangat jarang shalat Jumat di pesantren. Untuk pergi ke Mekah, cukup membuka pintu kamar dengan membaca doa-doa, lantas kekuatan gaib akan membawanya ke sana. Aneh bin ajaib! Kadang terlintas pikiran, jangan-jangan beliau hanya tidur di kamar dan tak mau diganggu. Namun, tak ada santri yang berani berpikir seperti itu. Bisa kualat.
Aku tinggal di pesantren yang dipimpin oleh seorang kiai yang moderat dan berpikiran maju, setidaknya jika dibandingkan dengan kiai-kiai yang ada di desa itu. Pesantren itu bukan pesantren yang paling ngetop di Karangtawang. Ayah bilang tidak apa, yang penting aku bisa mondok sambil bersekolah. Saat itu hampir semua santri di Karangtawang tidak bersekolah. Mereka adalah santri salaf yang hanya belajar kitab kuning. Namun, Ayah bersikeras agar aku tetap mengenyam pendidikan formal selama tinggal di pesantren. Untuk itu, Ayah harus mendatangi langsung Pak Kiai untuk mengajukan permintaan khusus agar anaknya diizinkan bersekolah dari pagi sampai siang baru mulai nyantri selepas sekolah. Kiai itu mengizinkan.
Karena berdiri di dua kaki itulah aku sering diejek santri lain. "Mau jadi kiai, kok, nggak serius, malah belajar kitab putih ? Di pesantren harusnya belajar kitab kuning," ejek mereka. Ejekan itu kadang membuatku merasa minder. Tetapi, ya, sudahlah, tidak apa-apa.
Jangan bayangkan pesantrenku seperti pesantren modern. Pesantren ini sepenuhnya tradisional. Orang biasa Menyebutnya sebagai pesantren salaf (tetapi bukan salafi). Salaf sendiri berarti 'para pendahulu yang paling awal'. Disebut demikian karena untuk menunjukkan bahwa pesantren-pesantren tersebut masih memegang teguh metode pengajaran dan materi pelajaran sebagaimana dulu diajarkan oleh nenek moyang. Juga mungkin, karena pesantren jenis ini ingin mempertahankan ajaran-ajaran dari para pendahulu Islam yang paling awal.
Biasanya, orang membedakan pesantren salaf dengan pesantren modern dari bahan kajian dan metode belajar. Di pesantren salaf, para santri biasanya hanya mempelajari kitab kuning sambil duduk bersila melingkar, mengelilingi kiai yang duduk di tengah atau di depan. Para santri sehari-hari bersarung dan berkopiah. Untuk makan, di sebagian besar pesantren salaf, para santri harus memasak sendiri, lantas makan bersama-sama beralaskan nampan atau daun pisang.
Pesantren modern sudah nyaris meninggalkan ciri khas itu. Di sana, santri tak hanya mempelajari kitab kuning, tetapi juga buku-buku ajar yang digunakan anak sekolah pada umumnya. Para santri sudah tidak lagi sarungan. Sehari-hari mereka menggunakan jas, dasi, dan celana panjang. Pakai kopiah sesekali saja, biasanya saat mengaji atau shalat. Santri juga belajar teater, marchingband, bermain alat musik, baris berbaris, dan lain-lain. Sementara itu di pesantren salaf, santri belajar jampi-jampi putih alias haos-haos dan tirakatan. Pelajaran tentang kesenian hanya sedikit, pun biasanya hanya dalam bentuk kesenian rebana alias "band kepret" atau shalawatan.
Aku punya cerita lucu tentang haos-haos. Selama beberapa tahun mondok, sudah beberapa jampi aku pelajari. Misalnya, untuk membuat seorang perempuan mabuk kepayang, aku cukup membaca sepotong ayat Al-Quran Surah Yusuf ayat 4, Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya, "Wahai ayahku, sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan, kulihat semuanya sujud kepadaku." Kemudian ditambah kutipan hadis tertentu beberapa kali sambil melihat wajah perempuan itu. Dijamin perempuan itu akan mabuk kepayang! Itu namanya ilmu pelet dasar atau disingkat IPD.
Pada kesempatan lain, seorang penjual minyak wangi yang mengaku lulusan pesantren di Jawa Timur datang untuk menjual minyak ajaib. Para santri membeli dengan penuh semangat karena konon minyak ajaib itu bisa digunakan untuk menangkap maling. Dengan menggantungkan benang keramat pada botol minyak wangi, benang ajaib itu akan berayun ke arah maling itu berlari. Minyak itu juga bisa digunakan sebagai pengasihan jika dipakai sambil melafalkan tiga kali shalawat. Khasiat lainnya, dagangan akan cepat laku jika diolesi minyak itu sedikit saja.
Semua haos-haos itu dipelajari di kelas bawah. Ketika kelas 3 madrasah tsanawiyah dan hampir lulus dari pesantren, aku diberi izin untuk menguasai jampi-jampi "pamungkas". Kang Mpud, seorang santri senior, yang mengajariku. Katanya, dengan melafalkan Surah Al-Fatihah dan shalawat, aku bisa mengundang roh siapa pun untuk datang merasuki tubuhku. Para santri menyebutnya ilmu nyambat. Aku bisa menjadi Bruce Lee, Rambo, bahkan mantan presiden Soeharto. Kawanku yang sedang jatuh cinta pada seorang santri perempuan ingin mengundang roh perempuan idamannya itu untuk datang merasuki dirinya.
Syarat jampi pamungkas itu berat: puasa selama tujuh hari berturut-turut, ditambah melafalkan Surah Al-Fatihah dan shalawat sebanyak 129 kali setiap habis shalat. Aku dan beberapa santri lain menerima tantangan itu. Kami berpuasa tujuh hari dan melakukan zikir sebagaimana disyaratkan. Dalam tradisi pesantren, belajar jampi-jampi putih, sebagai lawan jampi-jampi ilmu hitam, disebut juga ilmu hikmah.
Setelah berpuasa selama seminggu, lima orang santri berkumpul di lapangan bola. Sekitar pukul sembilan, selepas pengajian malam, Kang Mpud akan menguji ilmu kami. Semacam tes apakah lulus atau tidak menguasai jampi pamungkas.
Dayat, kawanku, diminta jadi yang pertama. Ia disuruh memejamkan mata, berkonsentrasi melafalkan Surah Al-Fatihah dan shalawat sambil memohon kepada Allah untuk menjadi... aku tidak tahu ia ingin menjadi apa. Aku dan tiga santri lain tegang menunggu roh siapa gerangan yang akan dipanggil Dayat. Tiba-tiba, seperti kesetanan, ia meloncat ke sana kemari sambil menendang-nendangkan kaki. Tangannya memasang jurus. Kakinya siaga dengan kuda-kuda. Ia terus beraksi seolah-olah sedang berkelahi melawan musuh bebuyutan dalam dunia persilatan.
Setelah beberapa lama, sang santri senior menghampirinya dan melafalkan jampi lain. Kang Mpud lantas menyembur Dayat tepat di wajah. Seketika Dayat sadar. Napasnya terengah-engah kecapekan.
"Aku memanggil Jet Li," ujarnya penuh bangga.
Aku terkagum-kagum karena Dayat berhasil mendatangkan roh pendekar kungfu kesukaannya.
Setelah seorang kawan lain beraksi, selanjutnya giliranku maju ke depan. Kang Mpud memerintahkan hal yang sama. Aku berkonsentrasi, memejamkan mata, melafalkan shalawat dan Surah Al-Fatihah sambil meminta agar roh Nabi Khidir datang merasuki tubuhku.
Aku berusaha sekuat tenaga. Sekali lagi. Konsentrasi! Konsentrasi!
Huh, roh itu tak kunjung datang! Aku tetap dengan kesadaranku. Aku yakin saat itu kawan-kawan santri yang lain sedang tegang menunggu siapa gerangan roh yang akan kupanggil.
Aku coba sekali lagi. Bismillah. Gagal. Tetap gagal! Akhirnya, aku membuka mata. Kang Mpud menghampiriku dan bertanya alasan aku gagal. Aku katakan mungkin rohnya tidak mau datang.
"Siapa yang kau panggil?" tanya Kang Mpud.
"Nabi Khidir," jawabku.
Semua santri yang hadir di sana terbahak-bahak. Aku masih bingung dan merasa tidak enak pada sang senior karena gagal dalam tes itu.
Ia menyarankanku mengulangi lagi tirakatan puasa seminggu jika ingin sukses. Aku tidak mengikuti sarannya. Tak apa aku gagal mengusai jampi-jampi. Bagiku, jampi-jampi pamungkas itu tidak terlalu penting. Lagi pula, aku merasa tidak berbakat jadi kiai ahli ilmu hikmah.
Selama mondok di pesantren salaf, setiap pagi aku sendirian ke luar pondok untuk sekolah. Letak sekolahku tidak terlalu jauh dari pondok, masih berada dalam lingkup satu desa. Untuk pergi ke sana hanya butuh waktu sepuluh menit, berjalan ke arah barat melewati jamban yang sekaligus tempat mandi santri, lapangan bola yang becek, dan pematang sawah. Gunung Ceremai yang menjulang perkasa menjadi saksi setiaku setiap pagi. Pada puncaknya, selalu lamunanku aku tambatkan.
Pulang sekolah biasanya pukul satu siang. Aku harus buru-buru pulang ke kobong karena pukul dua harus mengikuti pengajian. Tidak ada makan siang gratis. Aku langsung bergegas ke dapur umum. Bukan untuk makan, melainkan untuk masak. Biasanya, santri masak secara berkelompok. Satu kelompok terdiri atas empat atau lima orang teman sekamar yang masak secara bergiliran.
Aku tidak punya kelompok masak karena hanya tinggal di kamar berdua dengan kakak sepupuku. Ketika masuk pesantren, Pak Kiai menyuruhku tinggal di sebuah rumah tua, persis di samping rumahnya. Tempat itu terpisah dari tempat tinggal santri lain. Aku tinggal bersama sepupuku dan satu keluarga santri senior yang mengajar di pesantren. Karena si santri senior sudah berkeluarga dan masak terpisah, jadi aku hanya masak berdua dengan sepupuku.
Jangan bayangkan kami menggunakan kompor gas atau kompor minyak. Sebelum mulai memasak, aku harus membelah batang-batang kayu menjadi lebih kecil untuk digunakan sebagai kayu bakar. Saat musim kemarau, aku sedikit beruntung karena kayu sudah kering dan bisa langsung dipakai. Namun, saat musim hujan, kayu bakar harus disimpan terlebih dahulu di atas tungku untuk dikeringkan. Tak ada peralatan masak apa pun selain kastrol untuk memasak nasi liwet dan sebuah kuali. Kastrol itu pun milik bersama, jadi harus berebut jika ingin memakainya. Selain itu, memasak terasa lebih seru ketika hujan. Air dari genting yang bocor menetes di mana-mana. Aku harus mengambil plastik untuk menutupi tungku. Bahaya jika sampai air menetes ke tungku, bisa-bisa api padam. Alhasil, nasi liwet gagal matang dan aku batal makan.
Para santri terbiasa makan dengan lauk sederhana, hanya ikan asin bakar atau kukus. Ikan asin adalah penyelamat kehidupanku saat di pesantren. Uang yang diberikan Ayah setiap awal bulan pasti habis pada minggu kedua. Untuk bertahan hidup, aku biasanya membeli ikan asin lumayan banyak, kira-kira cukup untuk lauk makan sampai akhir bulan. Jika beruntung, rawa-rawa di samping lapangan bola juga bisa memberi sumber vitamin. Ada tanaman kangkung dan bayam yang sengaja ditanam oleh pengurus pesantren.
Ikan asin dan kangkung itu cukup dimasak di atas nasi liwet yang hampir matang. Ikan asin, sedikit minyak sayur, potongan cabai, tomat, dan bawang dimasukkan ke dalam plastik, diikat, dan dilubangi, kemudian dicemplungkan ke atas nasi yang hampir matang. Setelah itu, baru masukkan kangkung.
Dengan baju kumal, muka lusuh, bau ikan asin dan asap, aku harus bergegas langsung menuju aula kecil di samping mushala pesantren untuk mengaji. Seringnya aku masih memakai seragam sekolah, ditambah kopiah hitam dan sarung. Guru ngaji maklum kalau aku datang terlambat. Beliau sudah bosan mengingatkan. Bagaimana lagi? Aku harus masak dan makan dulu selepas sekolah.
Pukul empat sore, kami beristirahat sebentar untuk shalat Ashar. Setelah itu, pengajian kembali dilanjutkan sampai pukul setengah enam. Para santri hanya punya waktu bebas setelah pengajian sore selesai sampai waktu magrib tiba. Biasanya, kami bermain bola di lapangan samping pesantren dengan menggunakan seragam khusus: sarung. Kami merasa sayang membuang waktu kembali ke kobong untuk berganti pakaian. Karenanya, selepas ngaji, kami langsung menggiring bola ke lapangan, sedangkan kopiah dan kitab kuning kami simpan di pinggir lapangan.
*** Jimat Sang Alumnus SUATU MALAM, selepas pengajian Isya, aku duduk sendirian di teras selatan lantai dua asrama kayu. Biasanya, tempat ini menjadi tempat favorit santri untuk berkumpul pada malam hari karena dari situ kami bisa melihat perkampungan yang terhampar hingga perbukitan pinggir desa. Namun, malam itu terasa sepi. Karena sedang malas ngobrol dengan santri yang lain, aku memilih duduk menyendiri. Pagi harinya di sekolah, ada sebuah kejadian yang membuatku merenung. Sebuah renungan yang mungkin terlalu serius untuk seorang anak ingusan berumur 13 tahun.
Langit terlihat cerah, bintang-bintang tampak bersinar. Malam itu, bulan tak kelihatan karena masih awal bulan Hijriah.
Di langit bagian selatan, kulihat konstelasi bintang kesukaanku: rasi bintang layang-layang. Orang Barat biasa menyebut mereka Crux atau Bintang Salib Selatan. Kata guru geografiku, kalau kita tersesat pada malam hari, mendongaklah ke langit dan carilah susunan bintang layang-layang di atas sana. Ekornya pasti menunjukkan arah selatan. Selama ribuan tahun, rasi bintang layang-layang telah menjadi penunjuk arah.
Pada bintang-bintang itulah, biasanya aku mengadu dan berbisik. Malam itu, aku mengadu kejadian di sekolah. Pagi tadi, seorang alumnus datang untuk berbicara di depan para siswa madrasah tsanawiyah. Kata-katanya telah membiusku. Bicaranya lurus, bulat, dan teratur. Intonasinya rapi. Mukanya cerah dan penuh percaya diri. Ucapannya menjadi sihir bagi siswa yang hadir.
"Mimpi saya bermula dari madrasah tua yang hampir roboh ini," Kang Hafid, alumnus itu, berkisah. Saat itu, pukul sepuluh pagi. Di luar, hujan turun sangat deras. Hujan itu membuat pengurus OSIS sibuk mengambil ember dan menempatkannya di sudut-sudut kelas yang bocor. Air menetes dari langit-langit kelas yang sudah lapuk. Sihir Sang Alumnus sedikit terinterupsi, tetapi tidak lama.
"Masih seperti dulu. Jika hujan, kelas ini bocor," ujarnya sambil tersenyum simpul. "Tidak ada perubahan yang berarti sejak saya meninggalkan sekolah ini 12 tahun lalu. Atapnya masih bocor; toiletnya masih berupa kakus di atas kolam ikan belakang sekolah; kelasnya dipakai bergantian dengan madrasah diniyah; pintunya tak bisa dikunci; dan dindingnya berlubang," ia meneruskan.
Guru-guru yang duduk di barisan depan tertawa malu menyadari kondisi sekolah yang telah reyot.
"Tetapi, tidak perlu berkecil hati. Saya yang orang desa dan sekolah di madrasah tua, alhamdulillah bisa sukses. Tentu kesuksesan itu relatif. Tetapi, saya merasa cukup berhasil, Adik-Adik. Saya bicara di sini bukan untuk menyombongkan diri, tetapi sekadar berbagi pengalaman. Syarat kesuksesan hanya satu: kita harus punya mimpi. Tak perlu takut bermimpi setinggi langit. Lihat bintang terang di atas. Tataplah bintang-bintang dan bisikkan mimpi kalian! Saya dulu bermimpi ingin sekolah tinggi di luar negeri. Saya menatap ke arah bintang sambil bermimpi: suatu saat nanti, bintang itu akan saya lihat dari menara kampus Universitas Al-Azhar di Kairo atau dari Kota Leiden. Dan, mimpi saya benar-benar terwujud. Saya bisa melanjutkan sekolah ke luar negeri. Meski bukan dari Leiden atau Kairo, bintang-bintang itu bisa saya pandangi dari Sydney! Adik-adik tahu di mana Sydney itu? Di Australia, sebuah benua di selatan Pulau Bali." Sang alumnus berbicara panjang lebar penuh semangat.
Kang Hafid adalah lulusan Universitas Sydney. Ia bercerita kepada kami, murid-murid di madrasah reyot itu, bahwa sebagian mimpinya telah terwujud. Teman-teman seangkatannya banyak yang berakhir menjadi tukang jualan es cendol, bubur kacang hijau, guru madrasah, tukang sate, atau satpam. Sementara itu, ia berhasil menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi di Jakarta, sebuah profesi yang sangat prestisius bagi seorang anak kampung.
Selepas lulus kuliah di IAIN, Kang Hafid mendapatkan beasiswa master dari Pemerintah Australia. Setelah sekolah dua tahun di Negeri Kangguru dan menggondol gelar master hukum, kampus memintanya kembali untuk mengajar. Di sela-sela kesibukannya sebagai dosen, ia juga menjadi konsultan hukum di sebuah perusahaan asing. Kali ini, ia datang atas undangan pihak sekolah untuk memberikan semangat kepada para siswa bahwa bersekolah di madrasah reyot di kampung bukan halangan untuk memiliki mimpi setinggi langit. Karena, mimpi yang akan mengubah segalanya.
Pada bintang layang-layang malam itu, aku bertanya lagi: apakah benar mimpi bisa mengubah segalanya?
Tiap hari makan ikan asin dan rebus kangkung, mana bisa sekolah tinggi, apalagi ke luar negeri, gumamku dalam hati saat itu. Kopiah hitam kumal yang selalu menempel di kepala, kulepas dan kulipat. Tanganku refleks memukul-mukulkan kopiah itu ke dinding berlumut di hadapanku. Mataku menatap ke arah bintang layang-layang.
Cerita Kang Hafid tiba-tiba menjelma ajimat atau haos-haos yang sesungguhnya. Semenjak hari itu, aku telah tersihir oleh semangat dan cita-cita menggebu untuk bisa melihat bintang-bintang dari tempat yang jauh dari tanah leluhurku.
Ya, aku sudah menggantungkan mimpiku setinggi langit. Kelak, aku akan melihat bintang itu dari langit Mekah, Kairo, atau bahkan Leiden!
*** Brunswick AKU INGIN memulai kisah ini dari Brunswick, bertahun-tahun selepas aku menggantungkan mimpiku pada bintang layang-layang. Brunswick adalah kota di utara Melbourne, tempat aku dan istriku tinggal selama aku menempuh pendidikan master Hukum Internasional di Australia.
Kami tinggal di sebuah apartemen yang sangat sederhana dengan dua kamar tidur, sebuah ruang tamu, kamar mandi, dan dapur. Di apartemen itu bukan hanya kami yang tinggal. Kamar belakang dihuni seorang mahasiswa dari Aceh yang sedang menamatkan pendidikan doktoral jurusan Teknik Elektro. Namanya Izzullah Baharuddin. Kami biasa memanggilnya Bahar. Namun, karena ia lebih sering berada di kampus dan di lab, apartemen itu sepenuhnya berada dalam kekuasaan kami. Mulai dari urusan listrik, air, kebersihan, telepon, bahkan memasak, semua kami yang mengurus.
Apartemen kami adalah sebuah apartemen tua yang bagian luar catnya sudah kusam dan teralis pintunya sudah copot sebagian. Di kamar mandi, bathtub sudah tidak bisa dipakai karena bocor, beberapa sudut sedikit berkarat, dan dudukan toilet telah retak. Keramik kotak-kotak putih yang menempel di dinding kamar mandi sebagian juga sudah copot.
Sebuah sofa tua merah, dengan lakban putih untuk menambal lubang di beberapa sudutnya, terletak di ruang depan menghadap sebuah lukisan tua yang entah sudah berapa generasi tergantung di sana. Lukisan yang penuh debu dan kusam. Lukisan laut dengan pepohonan khas daerah subtropik di sepanjang pesisirnya. Ketika duduk di sofa tua itu, aku sering melamun membayangkan Cidewa, daratan di seberang Australia, kampung tempat aku menuntut ilmu dulu.
Sofa itu selalu jadi sumber perdebatan. Bahar adalah orang yang sepenuhnya lelaki. Ia ingin interior yang simpel, sederhana, tidak susah, dan tidak repot. Ia berkali-kali mengusulkan agar sofa itu dibuang saja. Aku dan istriku yang selalu keberatan. Istriku beralasan karena belum ada gantinya yang baru. Duduk di karpet tanpa kursi tidaklah nyaman, terutama pada musim dingin.
Di tempat kami tinggal, membuang sampah sembarangan apalagi sampah besar seperti kursi adalah sebuah pelanggaran hukum. Warga harus membuang sampah atau barang-barang yang tidak terpakai langsung ke tempat pembuangan sampah akhir yang letaknya lumayan jauh, di daerah Monypond, sekitar 15 menit naik mobil ke arah timur. Untungnya, dua kali dalam setahun pemerintah kota di Victoria memberi kebebasan untuk membuang barang-barang yang sudah tidak terpakai di depan rumah masing-masing. Semua barang yang tidak terpakai, seperti kursi tua, kulkas rusak, televisi butut, kasur kusam, laptop, komputer, sekarung piring dan gelas, atau apa pun, bisa dibuang di depan rumah. Biasanya, dumping day berlangsung pada bulan Juni. Di akhir masa dumping day, pemerintah kota akan memunguti semua sampah itu dengan mobil bak terbuka.
Pada akhir perdebatan penuh canda itu, Bahar selalu mengalah. Toh, ia sebenarnya tidak terlalu peduli. Ia terlalu sibuk memikirkan rumus-rumus trigonometri dan kalkulus untuk memecahkan misteri pancaran sinyal gelombang listrik.
Di dapur, semua peralatan sudah tua dan kusam. Tidak ada perabot yang baru. Wajan, rice cooker, piring dan gelas, mangkuk sayuran dan buah, panci dan kuali, semuanya adalah warisan dari penghuni sebelumnya. Piring dengan motif yang sama tidak ada yang genap satu lusin. Gelas juga begitu. Aneka warna dan motif bercampur jadi satu. Me-ji-ku-hi-bi-ni-u: merah-jingga-kuning-hijau-biru-nila-ungu.
Bagi kami, hal itu bukanlah masalah. Masalah baru muncul ketika ada kawan main ke apartemen. Setiap tamu mendapatkan gelas yang berbeda warna dan bentuknya. Istriku kadang merasa malu. Ia beberapa kali memaksaku pergi ke IKEA, supermarket besar yang menjual keperluan rumah tangga, untuk memborong peralatan dapur. Aku selalu menolak. Aku bilang, buat apa beli yang baru dan mahal? kita hanya akan menetap di Melbourne selama dua tahun. Sayang jika semua perabotan dapur itu ditinggalkan. Istriku selalu mengalah meski tetap merasa malu jika ada kawan-kawan yang datang ke rumah untuk arisan atau pengajian.
Kami baru beberapa bulan tinggal di apartemen itu. Aku sedang menempuh kuliah pascasarjana dan istriku menemani. Tadinya ia memilih tinggal di Indonesia karena merasa sayang untuk meninggalkan karier dan pekerjaan yang telah lama dirintisnya. Namun, akhirnya ia memutuskan ikut bersamaku karena satu alasan: rahimnya dianugerahi buah hati kami. Istriku tak mau ditinggal sendirian dalam keadaan hamil. Aku pun tak tega meninggalkannya sendiri. Aku beruntung karena mendapatkan beasiswa dari Pemerintah Australia yang menanggung biaya kuliah sekaligus biaya hidupku dan keluarga.
Aku dan istriku biasanya menghabiskan sore yang cerah menelusuri trotoar ke arah selatan, melewati aneka toko dan kafe, menuju toko swalayan Indonesia. Letaknya berada di ujung deretan pertokoan sebelum Taman Princes. Pemilik toko itu adalah seorang keturunan Tionghoa-Jakarta yang sudah bertahun-tahun tinggal di Melbourne. Di sana, tersedia berbagai hal yang berbau Asia-khususnya Indonesia. Ada mi instan, kerupuk, taoco, tahu, tempe, susu kedelai, petai, bahkan jengkol dan singkong. Harga jengkol dan singkong di sana mahal sekali. Satu plastik jengkol beku-berisi delapan biji jengkol-harganya sekitar enam dolar. Tempe selebar tangan, harganya enam dolar. Sementara itu, satu bungkus tahu harganya lima dolar. Ke sanalah aku dan istriku biasanya belanja keperluan sehari-hari.
Jika tidak berjalan-jalan, kami biasa menghabiskan waktu di taman. Melbourne terkenal sebagai Kota Taman atau Garden City. Sekitar 30 meter di samping tempat tinggal kami, ada Taman Warr yang cukup luas dengan pohon oak besar di tengah. Pohon eukaliptus juga merindangi beberapa sudut taman itu. Jika musim semi tiba, taman itu menjadi sangat indah. Daun pohon mapel Jepang berubah warna menjadi merah jingga. Sementara itu, seluruh batang magnolia pink diselimuti bunga. Ceria dan bergairah. Pohon itu menyala pada musim semi. Rumput hijau seperti karpet alam menyelimuti lapisan tanah. Bangku-bangku dari kayu dan tempat untuk barbeku tersedia di bawah pohon oak dan dapat digunakan setiap pengunjung. Burung-burung dari mulai betet, tekukur, camar, sampai gagak, bersarang dengan nyaman di pepohonan. Burung-burung itu tidak perlu takut mati di tangan pemburu liar karena keberadaan mereka dilindungi.
Di taman itulah biasanya aku dan istriku menghabiskan sore atau menyambut pagi sembari merajut impian dan cita-cita masa depan.
*** Menjadi Anggota "PKI"
BINTANG LAYANG-LAYANG masih siaga. Subuh yang sebentar lagi datang tak membuatnya terburu-buru menghilang. Dari dapur apartemenku di Brunswick, jika tak mendung, bintang itu selalu terlihat berkilau. Dapur menghadap ke arah selatan dengan jendela kaca besar yang membuatnya terasa lega dan lebih terang. Ketika aku dan istriku tengah duduk di meja makan sembari mengobrol pada malam hari, bintang layang-layang di langit selatan itu selalu setia menemani. Bintang-bintang itu seperti bergelantungan di atas gereja tua yang hanya terlihat salibnya saja dari dapur apartemenku. Setiap kali melihat bintang itu, aku selalu teringat Kang Hafid dan kata-katanya yang membakar semangatku dulu. Tidak terasa, sekarang aku sudah berhasil meraih mimpiku sendiri dan menginjakkan kaki di negeri yang dulu ia ceritakan.
Sudah pukul empat pagi. Hari ini aku harus sudah bangun sebelum subuh. Bukan karena aku selalu bangun tepat waktu untuk menunaikan shalat. Bukan. Kali ini aku harus bangun pukul empat demi pekerjaan sampingan baru: menjadi kuli pasar. Pagi-pagi buta, kira-kira pukul setengah lima, aku harus sudah berada di Pasar Victoria. Karena itu, mau tidak mau, aku harus segera bangun, cuci muka seadanya, sikat gigi, lalu shalat Subuh. Cukup sepuluh menit.
Lima menit berikutnya aku gunakan untuk bersiap-siap: mengisi botol air minum, membawa permen, memakai jaket dan helm sepeda. Tidak lupa aku mengecek lampu sepeda. Di Melbourne, jika hari masih gelap, pengendara sepeda wajib memakai lampu. Jika tidak, polisi bisa menilang dan mendenda 50 dolar.
Tepat pukul 04.15, aku mengayuh sepeda menyusuri jalanan yang masih sepi. Angin berembus lumayan kencang. Maklum, saat ini adalah pengujung musim gugur menjelang musim dingin.
Sepagi itu, Kota Melbourne masih terlelap tidur. Hanya para sopir taksi yang terlihat berkumpul di depan restoran cepat saji. Sesekali, aku menjumpai petugas kebersihan dengan mobil sapunya yang unik. Mobil itu seperti mobil tangki minyak. Di dekat ban depan dipasang sapu raksasa berbentuk bulat yang berputar-putar untuk menyedot sampah dan debu. Di dekat ban belakang, kain lap berukuran jumbo dipasang menyilang, tak henti bergerak untuk mengepel jalanan. Sementara itu, air dari selang otomatis menyemprot ketika kain lap menyentuh aspal. Mirip cara kerja ikan sapu-sapu membersihkan akuarium.
Saat mengendarai sepeda seorang diri seperti ini, ingatanku sering kali berkelana. Waktu dua puluh menit mengayuh sepeda selalu kuisi dengan obrolan imajiner antara aku masa kini, aku masa lalu, dan aku yang akan datang.
Kadang, sekonyong-konyong, aku teringat kiai dan kawan-kawan santri di Karangtawang dulu, jalanan becek, pematang sawah, dan lapangan bola. Aku dengar dari seorang kawan, nasib pesantren kini semakin memprihatinkan. Tidak banyak lagi santri yang mau belajar di sana. Bukan hanya di pesantrenku, di hampir semua pesantren di Karang tawang juga dilanda krisis santri. Jumlah peminatnya terus berkurang, yang tersisa hanya santri kalong.
Aku sendiri sudah menduga hal itu akan terjadi. Sekarang, semakin sedikit orangtua mau mengirim anaknya ke pesantren salaf yang hanya belajar kitab kuning dan ilmu agama. Rata-rata mereka ingin anaknya belajar agama sekaligus ilmu umum. Karenanya, pondok pesantren modern lebih diminati. Di Kuningan, sekolah Islam baru banyak bermunculan. Kualitasnya cukup bagus. Biayanya juga tidak terlalu mahal. Kondisi ekonomi saat ini jauh lebih baik dibandingkan zaman dahulu sehingga orangtua bisa mengirim anaknya ke sekolah yang lebih bermutu.
Pesantren salaf sejak dulu dikenal sebagai tempat menuntut ilmu anak-anak dari keluarga kurang mampu. Ketimbang tidak mendapatkan ilmu sama sekali, orangtua yang tidak mampu membiayai anaknya belajar ke sekolah yang bagus biasanya memilih pesantren salaf. Pesantren salaf dan madrasah-madrasah kecil, diakui atau tidak, telah menjadi penyelamat bagi masyarakat kelas bawah. Setidaknya, dengan masuk ke pesantren atau madrasah, sejelek apa pun sekolah itu, mimpi anak-anak bisa terus dihidupkan.
Sayang, pesantren di Karangtawang tidak mau berubah dan beradaptasi. Pesantren-pesantren itu tetap memegang teguh pola lama: santri hanya belajar di pondok mengkaji kitab kuning dan tidak belajar ilmu umum. Mungkin niatnya bagus karena ingin menjaga tradisi. Namun, bukankah tradh si harus berdialog dengan kemajuan supaya tidak lenyap digerus zaman?
Lamunanku selalu berhenti di lampu merah. Aku harus berhati-hati dan tidak nekat menerobos meski jalanan terlihat sepi. Karena, terkadang mobil dari arah berlawanan tiba-tiba menyeruduk lantaran pengemudinya mabuk.
Perjalanan dari Jalan Decarle, Brunswick-tempat apartemenku berada-ke Pasar Victoria biasanya kutempuh dalam waktu 20 menit. Saat berangkat, waktu tempuh lebih cepat karena jalanan menurun. Perjalanan pulang memakan waktu lebih dari 30 menit. Setelah perempatan Jalan Albert, tepat di depan Butik Eeman, butik busana muslim milik orang Surabaya, jalanan mulai menanjak. Tanjakan itu baru berakhir di perempatan Jalan Albion, beberapa ratus meter dari apartemenku.
Saat jalanan sepi seperti pagi ini, rasa takut kadang menghampiri. Bukan takut setan, bukan takut kuntilanak. Di sini, kedua mahluk itu tidak ada. Di sini, aku takut kepada manusia. Ceritanya begini, di sepanjang Sydney Road, ada beberapa pub dan bar yang biasanya buka sampai dini hari pada akhir pekan. Orang-orang mabuk yang baru pulang pada dini hari sering kali membuat ulah. Bahar, kawan serumahku, pernah di adang orang mabuk pada saat mengendarai mobil. Kawanku yang lain juga pernah babak belur dikeroyok.
Aku benar-benar takut kalau tiba-tiba ada orang mabuk memberhentikan atau menabrak sepedaku. Di Melbourne, mabuk dan minuman beralkohol sedang menjadi masalah serius. Puluhan orang di Melbourne ditangkap polisi setiap minggu karena kejahatan terkait minuman beralkohol. Baru-baru ini, ada usulan di parlemen negara bagian Victoria untuk mengubah peraturan konsumsi alkohol. Di sini, secara legal orang baru boleh meminum minuman berakohol jika sudah berumur 18 tahun. Batas usia minimal ini ingin diubah menjadi 20 tahun. Usulan itu ditentang banyak orang sampai akhirnya batal disahkan parlemen.
Hal lain yang membuatku khawatir ketika melewati Sydney Road saat sepi adalah peristiwa pembunuhan yang setidaknya sudah terjadi dua kali sejak aku tinggal di sini. Satu pembunuhan terkait cekcok antaretnis. Ada sekelompok pemuda keturunan India yang cekcok dengan pemuda kulit putih. Seseorang yang kebetulan lewat mencoba melerai percekcokan itu. Namun, nahas, sang dewa penolong malah dikeroyok oleh salah satu kelompok yang terlibat pertikaian. Sang samaritan justru menjadi korban. Pembunuhnya tidak tertangkap karena keburu melarikan diri ke Thailand. Seorang pemuda India yang terluka mengalami koma dan terbaring di rumah sakit selama beberapa minggu.
Pembunuhan kedua, aku tidak tahu persis apa penyebabnya. Konon, yang ini terkait utang piutang bos mafia. Ah, jadi ingat novel Mario Puzo. Aku khawatir jadi korban salah sasaran anak buah Don Corleone-nya Australia. Semoga saja tidak.
Syukurlah, sejauh ini aku baik-baik saja. Di jalanan yang selalu sepi, sesekali aku menemukan orang mabuk tergeletak di trotoar. Tentu lebih baik begitu dari pada mereka berdiri mengadangku.
Aku tiba di Pasar Victoria pukul setengah lima. Pada saat itu, pasar sudah mulai ramai. Mobil-mobil pengangkut sayur dan buah sudah mulai membongkar muatan. Forklift, mobil pengangkut barang, hilir mudik. Dari sudut pasar, aroma kopi menggoda hidungku. Aku bergegas mengayuh sepeda ke tempat parkiran khusus sepeda. Rantai kunci sepeda tidak pernah lupa kubawa. Biar tidak ketinggalan di rumah, kunci sepeda itu sengaja kuikat di bawah sadel tempat duduk. Di Melbourne, sepeda lebih sering hilang dari pada mobil atau kendaraan bermotor. Sepeda motor yang diparkir di pinggir jalan akan aman, tidak ada yang berani mencurinya. Mobil juga sama. Namun, coba saja tinggalkan sepeda. Tak sampai 10 menit, sepeda itu bisa raib. Kadang, meski sudah dikunci, sepeda itu masih bisa dicuri dengan cara dirusak kuncinya atau digotong langsung tanpa dikendarai.
Awalnya, aku merasa aneh mengapa bisa begitu. Di kampungku, motor atau mobil menjadi primadona para pencuri, sementara sepeda hanya dicuri oleh maling kelas teri atau maling kurang kerjaan. Namun ternyata, di Melbourne mencuri sepeda motor dan mobil justru tidak ekonomis. Ada sistem yang bisa membuat kendaraan curian yang sudah dilaporkan ke polisi tidak bisa mengisi bahan bakar di pom bensin. Tentu saja, di sini tidak ada penjual bensin eceran dalam botol atau jeriken di pinggir jalan. Selain itu, menjual kendaraan bermotor curian juga hampir mustahil.
Sepeda justru sebaliknya. Sepeda tidak punya pelat nomor, tidak perlu pakai bensin, tidak ada nomor registrasi, dan lain-lain. Beberapa jenis sepeda juga berharga cukup mahal. Harga sepeda bagus dari bahan titanium bisa sampai lima ribu dolar. Mencuri sepeda juga gampang, tinggal dikayuh jika diparkir sembarangan atau dirusak kuncinya jika diparkir di tempat sepi. Karenanya, meski jelek, sepedaku harus tetap dikunci agar lebih aman.
Nah, sekarang aku sudah siap bekerja sebagai kuli. Ya, sebagai kuli!
Pertama, aku harus memindahkan boks besi berisi barang dagangan ke tempat yang semestinya. Setiap pedagang menempati kaveling tertentu. Pagi itu aku bertugas di lorong R-K bagian depan. Peti besi seukuran lemari baju harus kusingkirkan dulu dari kaveling karena isinya harus dibongkar. Didorong sekuat tenaga!
Jangan dikira enteng memindahkan boks besi itu. Beratnya entah berapa kuintal. Untung saja boks itu disangga oleh roda sehingga tidak terlalu susah dipindahkan.
Setelah boks itu berada di posisi yang semestinya, aku mulai membuka toko. Aku harus memasang kerangka toko, menutupnya dengan kain, dan memasang jaring-jaring besi berbentuk persegi empat untuk menggantung barang dagangan. Terakhir, tinggal merapikan.
Semuanya terjadi di Pasar Victoria. Mahasiswa menyebut tempat ini Vicmart alias Victoria Market. Pasar Victoria adalah pasar tradisional unik yang resmi berdiri pada 1878, sekitar enam tahun setelah imigran Inggris mendarat di daratan milik suku Aborigin yang kini bernama Australia. Di pasar ini para imigran Inggris generasi awal berjualan domba, ayam, sapi, juga sayuran dan buah-buahan.
Aku tidak tahu persis sejarah Pasar Victoria. Namun, desas-desus menyebut bahwa sebagian lahan pasar itu merupakan bekas kuburan. Salah satu yang konon terkubur di sana adalah jenazah John Batman. Batman-bukan si pahlawan beropeng yang kita kenal-adalah orang Inggris pertama yang menghuni Melbourne. Batman juga dianggap sebagai pendiri Victoria.
Selama lebih dari 130 tahun, Pasar Victoria tetap mempertahankan bentuknya sebagai pasar tradisional. Pasar itu terdiri atas banyak lapak, mirip Pasar Permai atau Pasar Ular di Tanjung Priok, tetapi tentu tidak becek, awut-awutan, dan kumuh. Manajemen pasar juga diurus secara rapi, bersih, dan profesional. Setiap pedagang mempunyai lapak portable. Jika fajar menyingsing, mereka menggelar dagangannya. Jika sore tiba, mereka mengemasi barang-barang itu dan menyimpannya dalam boks besi.
Seperti pasar-pasar lain yang mencerminkan karakter kota tempatnya berada, Pasar Victoria mencerminkan Melbourne yang kosmopolit. Di sini, kita bisa berjumpa orang dari berbagai suku bangsa: Irlandia, Inggris, Argentina, Cile, Vietnam, India, Arab, Indonesia, Negro, Aborigin, dan lain-lain. Sayangnya, pedagang ulung dari Padang belum mendarat di Vicmart. Di pasar ini, keberagaman membaur jadi satu. Orang Muslim bekerja berdampingan dengan orang Yahudi, bertransaksi dengan orang Rusia, sekaligus berbagi tempat dengan orang Vietnam. Pasar membuat semua kepentingan, ideologi, dan prasangka menjadi tak terlalu penting lagi. Yang penting di pasar hanya satu: bertransaksi dan menghasilkan keuntungan.
Yang paling unik di Vicmart adalah lapak-lapak tempat berdagang. Jika di Pasar Ular atau Pasar Permai pedagang menempati lapak yang sama, di Vicmart, setiap pedagang berpindah lapak setiap hari dalam seminggu. Jika toko baju si Robert hari ini ada di gang K, besok ia akan ada di gang C atau D. Minggu berikutnya, ia akan kembali ke gang K lagi. Otoritas pasar mengatur agar setiap hari lapak-lapak itu berpindah tempat.
Aku tidak tahu alasannya mengapa bisa seperti itu. Mungkin agar setiap pedagang secara adil kebagian giliran berjualan di tempat strategis. Sistem ini juga membawa berkah tersendiri bagi mahasiswa sepertiku yang ingin mencari uang saku tambahan. Ada ratusan pekerjaan informal di Pasar Victoria, misalnya menjadi tukang buka-tutup toko dan tukang angkut boks dagangan. Boks-boks yang sudah dirapikan oleh para tukang buka-tutup, dipindahkan ke lokasi lain. Setiap sore, selepas pasar tutup, dengan menggunakan mobil forklift, sekelompok pekerja memindahkan boks dagangan ke lokasi lapak yang dipakai hari berikutnya.
Di Vicmart, kita bisa mendengar suara khas pedagang Vietnam atau China yang tidak bisa melafalkan hurur R, "One dollal, one dollal, apple one dollcd." Ada juga suara pedagang majalah keliling menawarkan dagangannya, "Big issue! Big issue!" Di pojok dekat toilet, pedagang tas memutar keras-keras speaker, "Come on, what a bargain, Italian bags, Italian bags, fifty percent off."
Kalau sedang beruntung, di jalan antara tempat penjual sayuran dan penjual daging, aku sering mendengarkan pengamen profesional menyanyikan lagu-lagu berbahasa Spanyol dari Amerika Latin. Sesekali, pengamen dari Jepang memamerkan kemampuannya menyanyikan lagu-lagu Negeri Samurai.
Di Pasar Victoria, aku bekerja sebagai CAO. Meski namanya mirip, pekerjaan ini jauh berbeda dari pekerjaan CEO, Chief Executive Officer. CAO merupakan kepanjangan dari Close and Open yang pekerjaan utamanya membuka dan menutup toko. Buka toko pada pagi hari, tutup sore hari. Jam buka toko itu tergantung bos masing-masing. Beberapa bulan pertama, ketika bekerja di toko kaus milik seorang imigran Kamboja bernama Anti, aku mulai bekerja pukul setengah enam pagi lantaran toko milik Anti siap pukul sembilan. Sekarang, di toko milik Mr. Danny, aku harus mulai buka pukul setengah lima karena Mr. Danny ingin tokonya buka pada pukul setengah tujuh atau paling telat pukul tujuh. Sementara itu, waktu tutup toko semuanya seragam, antara pukul tiga sampai pukul empat sore.
Tentu saja, waktu buka toko terkait bayaran. Kalau buka pada waktu normal, aku hanya dibayar sekitar 35-40 dolar untuk buka dan tutup. Namun, jika harus datang lebih pagi, bayarannya juga lebih bagus. Mr. Danny membayarku 80 dolar untuk sekali buka dan tutup.
Menjadi CAO adalah pekerjaan sampingan utama para pelajar asing di Kota Melbourne. Ini pekerjaan kasual yang paling gampang dan banyak kesempatannya. Pelajar Indonesia yang bekerja sebagai kuli CAO menyebut diri kami anggota "PKI". Bukan Partai Komunis Indonesia tentu saja, melainkan Persatuan Kuli Indonesia. Selain kuli CAO, ada juga kawan yang bekerja sampingan sebagai petugas kebersihan kantor. Sebagian yang lain bekerja sebagai loper koran dan dengan demikian otomatis menjadi anggota "PKS" (Pelempar Koran Sejahtera). Beberapa kawan yang benar-benar beruntung bekerja sebagai staf tidak tetap di kantor pengacara atau bekerja di kampus.
Ada kesepakatan tidak tertulis di sini: jika baru pertama datang ke Melbourne dan ingin bekerja, jadilah kuli di Pasar Victoria. Dengan begitu, kita akan bertemu banyak kawan sesama pelajar. Dari kawan-kawan di pasar itulah, kita bisa mendapat banyak informasi pekerjaan lain. Jaringan kerja dimulai di pasar. Jika sudah bosan jadi anggota PKI, semester berikutnya bisa beralih ke kantor sebagai petugas kebersihan, ke pabrik daging, atau ke pabrik cokelat. Macam-macam peruntungan orang. Namun, peruntungan itu sebagian dimulai dari pasar ini.
Dengan menjadi CAO, seorang pelajar single bisa mencukupi kebutuhan pokoknya selama seminggu. Jika kerja 3 hari buka-tutup toko dengan upah 40 dolar per hari, dalam seminggu bisa mendapatkan uang sekitar 120 dolar. Uang itu cukup untuk membeli tiket transportasi, daging, buah, dan beras. Pekerjaan ini juga tidak banyak menyita waktu, dalam sehari cukup bekerja maksimal 4 jam. Kalau sudah ahli, waktu yang dibutuhkan bisa lebih cepat. Pekerjaan itu juga tidak mengganggu jadwal kuliah karena kuliah biasanya dimulai pukul sepuluh pagi dan selesai sebelum pukul tiga sore. Atau, bisa juga memilih bekerja pada hari libur akhir pekan supaya tidak bertabrakan dengan waktu kuliah. Karena alasan waktu kerja yang fleksibel ini, pekerjaan CAO sangat populer di kalangan pelajar Indonesia.
Aku juga beberapa kali mendengar dari para pemilik toko bahwa mereka hanya ingin merekrut CAO baru dari pelajar Indonesia, bukan India atau Vietnam. Aku tidak tahu alasannya. Namun, kata Mr. Danny, pelajar Indonesia rata-rata pekerja keras dan tidak rewel. Pelajar Indonesia juga dianggap lebih rajin bangun pagi sehingga tidak telat buka lapak.
Beberapa orang terkenal yang sering muncul di televisi, dulu semasa kuliah di Melbourne juga bekerja di sini. Malah, konon ada seorang yang dulunya termasuk komandan para kuli. Sampai sekarang, para dokter, ahli hukum, ahli administrasi, ahli pembangunan, ekonom, dosen, fisikawan, dan ahli elektro, tak segan "berlaga" di pasar ini, bekerja sebagai kuli. Jadi, kami, para pelajar di Melbourne ini, kuliah sekaligus "kuli-ah". Kuliah di kampus, dan "kuliah" di Pasar Victoria.
Karena para pedagang tahu pekerjanya adalah orang-orang terpelajar, biasanya kami berkawan baik, bahkan hingga saat pulang ke negara asal dan tidak lagi bekerja pada mereka. Jangan bayangkan nasib kuli di Australia sama dengan nasib kuli di Indonesia. Di sini kuli tidak dianggap lebih hina dibandingkan dengan pengacara dan direktur, meski bayarannya tentu jauh berbeda. Walau demikian, menjadi kuli selama 10 jam dalam seminggu cukup untuk menghidupi keluarga sehari-hari. Uang beasiswa atau uang kiriman dari rumah bisa sedikit ditabung.
*** Anugerah Terindah SISA LIBUR musim dingin sebentar lagi selesai. Aku sedang resah menunggu. Benar kata Obbie Mesakh ketika ia bersenandung bahwa menunggu itu meresahkan.
Obbie Mesakh resah dan gelisah menunggu kekasihnya yang tak kunjung datang. Aku sedang gelisah menunggu kehadiran anak pertamaku. Bukan di sudut sekolah, aku menunggunya di sudut Jalan Decarle, Brunswick, tempat apartemenku berada.
Waktu memang relatif. Jika dilihat dari perspektif tahanan di penjara Abu Ghraib, Guantanamo, atau Sukamiskin, waktu setahun mungkin akan terasa seperti puluhan tahun. Sebaliknya, jika sedang berbulan madu di Paris atau Ciater, waktu sebulan tak terasa berlalu seperti baru sehari.
Pastinya, waktu terasa berjalan lebih lama jika sedang menunggu. Seperti yang kualami sekarang. Aku sedang gelisah, terpenjara dalam gundah. Orang-orang yang tengah menunggu bagaikan terpenjara waktu, sehari terasa terlalu lama untuk dilewati. Aku juga merasakan demikian. Waktu berjalan seperti kura-kura Galapagos. Lambat sekali!
Dokter memperkirakan dua hari yang lalu anakku sudah lahir. Namun, ia tak juga datang. Dokter menyuruhku tenang. Katanya, 70 persen kelahiran anak pertama melewati waktu perkiraan lahir. Aku tidak terlalu khawatir, cuma gelisah karena harus menunggu. Menunggu membuatku harus berkompromi dengan waktu yang membeku. Untuk mengisi waktu penantian itu, sejak istriku hamil tua, aku dan istri berdiskusi tentang nama untuk anak kami nanti.
"Harus nama Islami," usul istriku.
"Tetapi jangan latah!" jawabku. "Setahu Ayah, ada empat orang saudara yang memberi nama anaknya Adzka. Nama Najwa ada lebih banyak lagi. Kita harus cari nama unik," sahutku.
"Yang jelas, jangan Enok, Eneng, Ujang, Asep, Pepen, Tatang, Iip, atau semacamnya. Nanti dikira kampungan. Seperti nama Ayah yang kurang komersil, tidak laku dijual," kata istriku. "Nggak cocok untuk nama presiden," lanjut istriku sebelum aku sempat memotongnya.
"Jangan sampai nanti anak kita gagal jadi presiden atau menteri karena namanya kurang keren. Mungkin itulah sebab kenapa susah menemukan direktur bernama Udin, Paijo, atau Katiyem," istriku melanjutkan komentarnya.
"Mungkin kita harus membuat nama yang mengakar dalam tradisi Sunda. Tetapi, jangan yang norak. Pokoknya, jangan kasih nama anak kita dengan nama berujung hurup 'o' seperti Soeharto atau Sujatmoko. Kita, kan, bukan orang Jawa, Yah."
Aku buka situs pencari, menelusuri alamat penyedia nama-nama. Susah juga. Aku tiba-tiba punya ide aneh.
"Kita kasih nama Singadiwangsa atau Perwatakusuma atau yang panjang sekalian: Danubrata Kusuma Wijaya Kerta Wardhana. Tuh, panjang dan keren, bukan?" Aku mulai lagi berkelakar. "Nama itu gagah sekali. Nama itu sering ayah dengar dari obrolan para tetua kampung ketika ayah kecil. Ada juga nama lain, Singadipraja," kataku setengah bercanda.
Istriku menolak mentah-mentah. Ia tahu aku tidak serius dengan usulanku itu.
"Nanti dikira anaknya Sisingamangaraja," timpalnya.
Istriku mengusap-usap perutnya yang semakin buncit. Tiba-tiba, ia menarik tanganku dan menempelkannya di perutnya. Terasa ada gerakan menendang-nendang dari dalam perut istriku. Ajaib!
"Bagaimana kalau Shakuntala? Shakuntala adalah putri jelita yang dinikahi Raja Dusyanta. Ayah membaca kisahnya dari sebuah novel yang ditulis oleh Kalidasa. Shakuntala itu ibu dari para pahlawan dan kesatria dalam kisah Mahabarata."
"Boleh juga," jawab istriku singkat. "Tetapi, kok, terdengar menyeramkan, ya?" Belum-belum, ia merevisi persetujuannya tadi. Dahinya mengerut. "Lebih bagus nama pengarangnya itu, Kalidasa. Nama yang cantik itu."
"Kita masukkan ke daftar calon nama anak kita jika ia perempuan. Nanti tinggal dicoret kalau-kalau tidak cocok," kata istriku. Aku setuju.
"Yarra, itu nama yang indah! Sungai yang membuat Kota Melbourne menjadi sempurna. Yarra adalah kata dalam bahasa Aborigin yang berarti aliran atau sesuatu yang mengalir. Nama yang bagus dan sangat filosofis, kan?" seruku seperti mendapat ilham. "Dunia ini pada dasarnya adalah objek yang selalu mengalir. Ayah jadi ingat saat belajar filsafat dasar di kampus dulu. Perdebatan klasik dalam filsafat Yunani kuno tentang realitas berputar pada pertanyaan apakah dunia ini mengalir, berubah-ubah tanpa henti atau ajek? Panah yang memelesat dari busurnya, kata para pembela keajekan, sebenarnya tidak bergerak. Anak panah senantiasa tetap dalam tempat yang berbeda-beda. Penentangnya berpendapat bahwa realitas ini senantiasa mengalir, terus berubah. 'Panta rhei, everythingflows,' kata Heraklitos. Yarra. Bagus, kan, Mbun?" Kataku panjang lebar.
"Biasa, deh, ceramah lagi," istriku protes.
Tetapi, rupanya ia setuju dengan usulku yang satu ini. Lihat, kami sudah mengantongi dua nama untuk perempuan.
"Bagaimana jika anak ini laki-laki?"
Kami ingin jenis kelamin anak pertama ini menjadi kejutan. Karena itu, aku dan istriku sengaja tidak melakukan USG.
"Asal jangan dikasih nama Singadiwangsa saja." Lagi-lagi ia meledekku sembari menyodorkan secangkir kopi hitam. Tanganku bergerak ke arah cangkir ketika mataku melihat sampul buku yang sedari tadi kupegang.
"Amartya! Ya, itu nama yang bagus."
Aku sedang memegang buku karya Amartya Kumar Sen, seorang ekonom peraih nobel yang berasal dari India, tetapi berkarier di Inggris dan Amerika Serikat. Beberapa bukunya sudah kulahap sejak kuliah di Ciputat meski bagiku tulisannya agak susah dipahami karena terlalu banyak memuat istilah ekonomi. Walau demikian, ide besarnya bisa sedikit aku tangkap. Menurut Amartya Sen, kesalahan para pemikir ekonomi adalah karena mereka menyederhanakan gagasan pembangunan pada ukuran-ukuran ekonomi semata. Sebuah negara yang sedang membangun dikatakan sukses kalau pertumbuhan ekonominya stabil dan tinggi. China selalu jadi rujukan karena pertumbuhan ekonominya selalu di atas delapan persen per tahun. Indonesia bukan contoh yang bagus karena pertumbuhan ekonominya hanya empat sampai lima persen per tahun.
Untuk mengejar pertumbuhan, kadang ada banyak hal yang harus dikorbankan. Yang paling sering jadi tumbal adalah kebebasan. Lihat zaman Soeharto dulu. Lihat Malaysia dan Singapura sekarang. Atas nama pertumbuhan, kebebasan menjadi nomor dua. Kebebasan bisa membuat kekacauan. Kekacauan bisa mengganggu stabilitas keamanan. Kalau negara tidak aman, investor tidak mau masuk. Kalau tidak ada investor yang datang, susah negara mau berkembang. Jadi, culik saja orang-orang yang dianggap jadi duri untuk pertumbuhan. Toh, tidak apa-apa mengorbankan satu-dua orang untuk kepentingan rakyat. Itu kira-kira logika para despot.
Amartya Sen bilang bahwa pembangunan tidak boleh sama sekali mengesampingkan kebebasan. Bahkan, katanya, development is freedom, pembangunan adalah kebebasan itu sendiri.
Sampai di sana, aku mentok karena Amartya kemudian mengeluarkan jurus-jurus ekonomi untuk membuktikan secara matematis hubungan antara kebebasan dan pertumbuhan. Sementara, aku bukan ekonom.
"Baik, nama Amartya bisa kita masukkan ke dalam daftar," ucapan istriku membuyarkan lamunanku.
"Bahkan, ini nama bagus karena bisa digabung dengan nama tengah ayah: Muhammad! sahutku.
"Lho, bukannya Amartya Iip?" sahut istriku sambil tertawa terbahak-bahak.
Sebuah ciuman mendarat di pipiku. Sungguh balasan setimpal telah membuat istriku puas tertawa karena berhasil mengejekku.
"Oke, Amartya Muhammad. Amartya yang merupakan anaknya Bapak Muhammad Syarip. Siapa tahu nanti anakku jadi profesor di Cambridge seperti Amartya Sen. Bukankah nama adalah doa?"
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji dan syukur kepada Allah yang telah menganugerahkan mutiara hidup dan amanah kepada kita, khususnya kepadaku. Kedua, dua jempol patut diacungkan untuk istriku tercinta yang telah mengantarkan Amartya pada napas dunia dengan tabah, sabar, kuat, dan penuh kasih sayang. Ketiga, terima kasih harus diucapkan kepada Suster Ivon, dr. Leane, dan dr. Keane, bidan dan dokter anak yang telah membantu persalinan dan memantau kondisi Amartya di rumah sakit The Royal Women Hospital. Terakhir, kepada saudara dan handai tolan semua yang telah mendoakan kelancaran persalinan Kami hanya bisa berterima kasih. Perjuangan istriku mengantarkan bayi kami ke dunia sungguh sebuah perjalanan panjang.
Istriku mulai merasakan mulas pada pukul sebelas malam waktu Melbourne. Lendir kuning bercampur sedikit darah terlihat di pembalutnya. Perutnya didera sakit hebat. Sakit itu kadang hilang begitu saja. Aku tahu itu pertanda Amartya akan segera datang. Namun, rupanya itu baru awal perjuangan istriku. Jumat malam itu aku tidur larut.
Selepas pukul tiga pagi, rasa sakit di perutnya semakin intens. Saat itu, aku yakin Amartya akan lahir tak lama lagi. Aku cemas dan takut, sekaligus senang. Namun, aku tak mau buru-buru datang ke unit gawat darurat The Royal Women Hospital karena belajar dari pengalaman beberapa kawan. Saat istri mau melahirkan, mereka datang terlalu dini. Hasilnya malah disuruh pulang lagi oleh pihak rumah sakit dan baru boleh kembali lagi jika sakit terasa terus-menerus dalam waktu satu menit. Itu tandanya sudah bukaan lima dan hampir siap menjalani proses persalinan.
Belakangan ketika istriku dirawat, aku baru tahu bahwa mereka "menolak" pasien karena harus membuat skala prioritas. Jumlah kamar yang tersedia diutamakan untuk orang yang benar-benar membutuhkan. Pasien yang gawat yang akan lebih dahulu dirawat, itu prinsipnya. Lagi pula, dirawat dan istirahat di rumah juga jauh lebih baik ketimbang menunggu di rumah sakit.
Aku dan istri tidak mau diusir pihak rumah sakit. Petunjuk yang diberikan rumah sakit juga menyuruhku tetap di rumah selama mungkin, sekuat mungkin, kecuali kalau air ketuban mulai keluar cukup banyak atau ada pendarahan. Kami berusaha bersabar. Istriku menahan rasa sakit hebat di rumah sampai pukul tujuh pagi. Luar biasa. Istriku memang luar biasa.
Fajar mulai menyingsing. Udara di luar masih sangat dingin. Maklum, saat itu Juli. Belahan bumi selatan sedang berada pada puncak musim dingin. Angin berembus agak kencang. Pagi itu, rumah sakit masih sepi. Aku dan istri datang dengan tergesa-gesa. Bahar membantu membawakan tas pakaian.
Dua orang perawat menyambut kami. Aku langsung menghampiri resepsionis dan bilang bahwa beberapa saat yang lalu aku sudah menelepon. Ia memintaku menyebutkan nomor kode berobat istriku. Semacam kata kunci. "644724," ujarku singkat. Sang perawat mengecek nomor itu di komputer dan meminta kami menunggu sambil menandatangani dokumen asuransi.
Hatiku berdebar dan khawatir, jangan-jangan pihak rumah sakit akan menyuruh kami pulang lagi ke rumah. Untung kehawatiran itu tidak terbukti.
"Istri Anda luar biasa, kuat menahan rasa sakit di rumah. Selamat, sebentar lagi Anda akan menjadi ayah!" Ucapan seorang dokter yang memeriksa istriku mengusir kekhawatiran kami. Ternyata, serviks istriku sudah terbuka 10 sentimeter. Telat sedikit bisa repot, bisa-bisa melahirkan di jalan.
Tubuh istriku gemetar menahan rasa sakit di perutnya yang semakin hebat. Aku hanya bisa menghiburnya, membesarkan hatinya, sambil menggenggam tangannya. Perlahan, kucium kening istriku.
Pukul delapan pagi istriku masuk ruang bersalin. Bidan dari ruang pemeriksaan awal menyerahkan kami kepada Suster Ivon. Suster Ivon dengan sigap menyiapkan semuanya: alat deteksi detak jantung, tabung oksigen untuk membantu pernapasan, gunting, kapas, suntikan, dan lain-lain. Di ruang itu, hanya ada aku, istriku, dan Suster Ivon yang merupakan mahasiswa semester akhir Jurusan Kebidanan di Universitas La Trobe.
Ia memperkenalkan diri sekaligus membesarkan hati kami. Aku, katanya, tak perlu khawatir. Meskipun belum lulus dari universitas, jam terbangnya menangani persalinan sudah tinggi. Ia juga terus dimonitor oleh seorang bidan senior dan seorang doker. Bidan senior dan dokter hanya sesekali masuk ke ruang persalinan untuk melihat kondisi istriku. Selepas itu keluar lagi karena harus mengecek juga pasien-pasien di ruang bagian persalinan lain. Sebelum keluar, mereka meninggalkan satu kalimat singkat, "Bagus, tidak ada masalah." Kata itu cukup membuatku tenang. Aku tahu dari Suster Ivon bahwa tidak ditangani oleh dokter atau bidan senior justru merupakan pertanda baik. Artinya, tak ada masalah dengan kehamilan istriku.
Istriku tiba-tiba mengaduh. Matanya memejam dan tubuhnya gemetar menahan sakit yang sangat.
"Keep pushing ... keep pushing," kata Suster Ivon berulang-ulang, dengan intonasi dan pembawaan yang tetap tenang meski melihat istriku kesakitan. Istriku sudah siap mengejan, mengeluarkan buah hati kami dari rahimnya. Atas petunjuk Suster Ivon, istriku sudah tahu bahwa kalau perutnya didera rasa sakit kuat seperti hendak buar air, ia harus menarik napas dan mengejan sekuat tenaga.
Sembari memegangi istriku, aku menerjemahkan semua perintah Suster Ivon:
"Terus mengejan terus Mbun terus .... Tarik napas dulu!"
Istriku menarik napas, lalu kembali mengejan sekuat tenaga.
Suster Ivon membetulkan posisi pinggul istriku dan menyuruhnya menarik napas dalam sebelum mengejan.
"Ugh ugh Entah itu usaha keberapa kali istriku yang mengejan mengeluarkan bayi mungil yang akan kami namai Amartya.
Kepala jabang bayi kami sudah mulai kelihatan. Sesaat aku merasa seperti bermimpi melihat kepala mungil dengan rambut lebat itu. Aku terus menyemangati istriku.
"Ayo, Mbun, sedikit lagi, rambutnya sudah kelihatan, tuh."
Tanganku menyeka keringat yang membasahi kening istriku. Suster Ivon menarik tangan istriku dan menempelkan tangan itu ke rambut jabang bayi yang baru keluar.
"Look, he is coming. Come on, one more pushing!"
Aku menerjemahkan ucapan Suster Ivon.
Aku menyaksikan detik demi detik kelahiran Amartya dari rahim ibunya.
"Deep long pushing deep long pushing ...!" Suster Ivon menyuruh istriku mengejan yang lama sekuat tenaga.
Tralalaaa ...! Akhirnya, Amartya datang juga. Selamat sentosa. Duniaku sesaat tenggelam dalam semesta kebahagiaan dan haru.


Bintang Di Atas Alhambra Karya Ang Zen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tangisannya keras memecah pagi yang beranjak pergi.
Sungguh peristiwa luar biasa dan ajaib melihat perut istriku berbuah Amartya. Sebuah proses yang rumit dan indah berakhir sudah. Sebuah proses panjang yang penuh pengorbanan dan mengharukan.
Sejak awal pembuahan, perjalanan bibit calon manusia itu tidak mudah. Jutaan bibit berlari lintang pukang mengikuti kompetisi maraton untuk menemui indung telur yang sudah menunggu di ujung fimbriae, bagian tubuh perempuan dekat rahim yang bentuknya mirip tanduk kerbau. Sebagian besar sperma peserta lomba akan berguguran di tengah perjalanan. Secara alamiah, kelenjar pituitary memicu organ perempuan mengeluarkan hormon oksitoksin. Hormon ini fungsinya luar biasa. Ia akan menyeleksi bibit yang datang sehingga hanya bibit terbaik yang akan meneruskan perjalanan menuju terowongan falopii, ruang mirip terowongan yang menghubungkan rahim dengan fimbriae, tempat sang ratu indung telur berada. Dari jutaan bibit, hanya ratusan saja yang berhasil sampai di terowongan falopii. Akhirnya, hanya satu yang bisa membuahi sang indung telur. Yang lainnya mengorbankan diri dengan menabrakkan diri ke dinding luar indung telur agar sang juara bisa masuk membuahi. Sebuah cerita tentang solidaritas dan pengorbanan yang tak pernah kita sadari. Bibit itu lantas berubah menjadi ektoderm, segumpal daging cikal bakal manusia. Perlahan, ektoderm akan menjelma jadi embrio. Setelah sembilan bulan, lahirlah si jabang bayi.
"Eak ... eak ... eak Subhanallah, itu suara Amartya! Aku membayangkan bayi mungilku tengah berkata, Dad, Mum, here I'm coming!
Alhamdulillah, anakku lahir dengan selamat. Masa-masa menegangkan melewati persalinan anak pertama berakhir sudah.
Awalnya, aku kira Amartya akan langsung dimandikan. Ternyata tidak. Suster Ivon hanya mengelapnya dengan kapas dan tisu, lalu meletakkan bayi mungil itu di dada istriku. Istriku terlihat lemah, tetapi bahagia. Senyumnya mengembang dari wajah yang kelelahan. Bayi kecil dalam dekapan memberi energi super yang dengan sekejap membuatnya bisa melupakan rasa sakit selepas melahirkan.
Amartya terus menangis. Suaranya kencang memecah keheningan pagi menjelang siang.
Suster Ivon tiba-tiba menyodorkan gunting kepadaku. Seorang dokter datang tergesa untuk membantu. Aku sangat kaget karena disuruh menggunting ari-ari anakku sendiri. Biasanya, di kampungku, tali ari-ari itu digunting oleh dokter atau bidan.
"Bismillah." Dengan perasaan ajaib, aku mengguntingnya.
Di Australia, seorang ayah sangat disarankan menemani istrinya melahirkan. Bahkan, para bapak juga disuruh menggunting tali ari-ari anaknya. Mungkin semacam seremoni peluncuran perdana. Aku jadi teringat gambaran pejabat masa Orde Baru sedang menggunting pita ketika peresmian atau peluncuran sebuah produk.
"Ini fenomena baru," kata Suster Ivon. "Sebelumnya tidak begini. Hingga tahun 1980-an, di beberapa rumah sakit, terutama yang dikelola oleh pihak Katolik, suami dilarang menemani istrinya melahirkan dan hanya disuruh menunggu di luar ruang persalinan," lanjutnya lagi.
Istriku diminta beristirahat. Amartya tetap di dadanya. Buah hati kami itu terus menangis sambil berjuang mencari sumber makanan. Bayi mungil itu belum juga menemukan air susu yang dicarinya. Saat itu, aku meminta izin untuk mengazani Amartya.
Suster Ivon sibuk membereskan semua alat-alat yang sudah dipakai membantu proses persalinan. Seorang dokter lain datang melihat kondisi istriku dan Amartya. Ia datang membawa timbangan bayi. Berselang satu jam dari persalinan, Amartya diangkat dari dada ibunya. Kini, saatnya bocah mungil itu ditimbang. Beratnya 3,118 kilogram. Panjangnya 50 sentimeter. Ideal, kata dokter. Semoga Amartya tumbuh tinggi, tidak pendek seperti ayahnya.
Setelah Amartya selesai ditimbang, ibunya-istriku tercinta-disuruh bangun dari tempat tidur. Dokter memintanya mandi dan sedikit jalan-jalan. Aku tidak tega. Aku tahu istriku masih kelelahan setelah berjuang lebih dari 10 jam menahan rasa sakit dan melahirkan. Aku mengajukan penolakan kepada dokter dengan alasan kasihan kepada istriku.
"Tetapi, itu justru bagus," kata dokter. "Membuat otot-otot longgar dan relaks," lanjutnya lagi.
Dokter berhasil meyakinkan kami. Istriku akhirnya menurut. Dengan susah payah, ia bangkit dan mencoba berdiri tegak, lalu aku memapahnya ke kamar mandi. Dokter juga meminta istriku buang air kecil sebelum kami diperbolehkan pindah ke ruang istirahat di lantai empat. Amartya sudah dibedong. Istriku diminta berjalan sambil berpegangan pada kereta bayi.
Aku mengira akan ditempatkan di kamar barak. Ternyata tidak. Aku diberi kamar nomor 48. Kamar itu setara dengan ruang VVIP di rumah sakit bagus di Jakarta. Kamar itu khusus disiapkan buat kami. Ada sebuah televisi, lemari, kereta bayi, meja kecil, dan kamar mandi dengan bathtub. Kasurnya bisa diset otomatis. Kalau istriku merasa kecapekan tidur telentang, ia tinggal menekan tombol di samping ranjangnya. Ranjang itu akan bergerak sendiri, menyesuaikan posisi sesuai keinginan. Juga ada beberapa tombol lain. Tombol hijau untuk memanggil perawat, sementara tombol merah untuk kepentingan darurat. Pokoknya super.
Jujur, aku agak kaget dengan fasilitas kamar dan pelayanan yang kami dapatkan. Kaget karena aku membayarnya hanya dengan kartu asuransi dan sebuah kode: 644724. Pikiranku melayang, bagaimana jika istriku melahirkan di Jakarta? Fasilitas dan pelayanan sekelas ini tentu tidak murah.
Suster Ivon menyerahkan kami kepada perawat yang bertugas di ruangan itu sambil memberikan sebundel dokumen. Perawat itu dengan sigap menerima. Ia mengecek gelang identitas di kaki Amartya dan kaki istriku untuk mencocokkan kodenya-untuk menghindari kejadian anak yang tertukar. Ia juga menghitung jari kaki dan tangan Amartya, apakah lengkap?
Aku lupa nama perawat di kamar 48 yang kali pertama menerima kami. Namun, prosedur standar di sini, setiap perawat harus memperkenalkan dirinya sebelum ia menangani pasien. "Jangan ragu-ragu untuk meminta bantuan," kalimat itu selalu terucap disertai seulas senyum.
Perawat itu membacakan laporan singkat mengenai istriku.
"Mira Asmarandana, datang pukul 7.00 pagi, melahirkan pukul 09.55. Normal. Obat yang dikonsumsi adalah Ostelin (vitamin D) dan Ferro Grad Ion. Alergi cuaca (eczema)." Perawat itu tampak kesulitan melafalkan nama istriku.
"Ya," jawabku singkat.
"Istri Anda luar biasa, jarang ada yang datang setelah bukaan sepuluh," puji perawat itu.
Aku makin terkesan dengan pelayanan yang mereka berikan. Semua staf di sini melayani kami dengan ramah.
Mereka, misalnya, akan menerangkan dengan detail, bahkan jika aku sekadar bertanya singkat. Ketika khawatir bayiku akan kelaparan karena air susu istriku belum keluar setelah persalinan, aku bertanya kepada seorang perawat mengenai kapan air susu ibu bisa keluar. Suster Margareth, perawat yang berjaga saat itu, menerangkan bahwa kolostrum yang keluar sesaat setelah ibu melahirkan cukup untuk bayi sambil menunggu air susu yang akan keluar lancar dalam beberapa hari.
"Bayi bisa bertahan dengan asupan yang sedikit itu. Kolostrum mengandung vitamin dan juga gula yang bagus untuk imunitas dan menahan rasa lapar bayi sampai air susu ibunya keluar. Kita tidak perlu khawatir. Paling-paling, bayi banyak menangis karena lapar. Ia harus dibiasakan mendapat makanan dengan berusaha. Belajar menyedot susu dari ibunya. Dalam rahim, ia dapat makanan secara otomatis. Semuanya butuh adaptasi. Sampai ASI keluar pada hari kedua atau ketiga-tergantung kondisi setiap orang-bayi cukup mengkonsumsi kolostrum. Bahkan, bayi bisa bertahan hidup jika pun tidak diberikan apa-apa selama dua hari," terangnya dengan muka ramah. Garis-garis di keningnya adalah pertanda ia sudah cukup umur. Ia adalah seorang perawat senior.
"Kami sekuat tenaga menghindari susu formula. ASI eksklusif jauh lebih baik dan bermanfaat untuk anak. Jika tidak sangat terdesak, kami tidak akan memakai susu formula. Jika terpaksa harus memakainya, kami akan meminta izin terlebih dahulu kepada Anda." Suster Margareth melanjutkan penjelasannya sambil tersenyum.
Penjelasan itu sedikit membuatku kaget. Di negaraku, beberapa rumah sakit langsung memberi susu formula kepada bayi yang baru lahir, bahkan tanpa meminta izin dari orangtua si bayi. Argumennya, susu formula diperlukan sebagai nutrisi pengganti, sambil menunggu air susu keluar dari payudara ibu. Aku tahu soal ini dari seorang mahasiswa kedokteran lulusan UGM yang sedang mengambil magister kedokteran di kampus yang sama denganku. Ia bercerita tentang para mafia susu formula yang sekuat tenaga membombardir para ibu agar mau mengganti ASI dengan susu sapi. Selain bekerja sama dengan rumah sakit untuk memberi susu formula kepada bayi baru lahir, mereka juga memberi sampel paket susu formula secara cuma-cuma. Mahasiswa kedokteran itu juga bercerita hal lain yang lebih mengerikan. Entah benar entah salah, ia bilang, di Indonesia saat ini sedang marak fenomena banyak dokter yang menyarankan pasien melahirkan dengan operasi caesar. Selain prosesnya lebih cepat dan tanpa rasa sakit, bayarannya juga lebih besar dan lebih banyak obat yang dibutuhkan. Sebagian oknum dokter dan rumah sakit nakal kadang mencari alasan agar pasien mau melahirkan lewat operasi Caesar, misalnya dengan mengatakan bahwa posisi bayi sungsang atau ari-arinya melilit. Sementara, pasien yang tidak tahu apa-apa menurut saja.
Aku, sih, berharap semoga cerita itu tidak benar.
Sejak hari pertama setelah Amartya lahir, secara berkala, perawat mengecek suhu badan bayi kami dengan termometer. Kondisi rahim istriku juga dicek. Setiap waktu makan, kami bebas memilih menu seperti di restoran. Tersedia berbagai pilihan, mulai dari masakan Italia sampai menu halal khas rumah sakit. Aku makin kagum dengan pelayanan kesehatan di negara ini.
Istriku sempat minta pulang pada hari kedua. Alasannya, karena rumah sakit tidak mengizinkan aku menemaninya saat malam hari. Peraturan mengharuskan keluarga penunggu pasien pulang pukul sepuluh malam. Karena itu, aku tidak bisa menemani istriku. Padahal, justru pada malam hari ia sangat kerepotan mengurus Amartya yang mulai rewel. Alasan rumah sakit cukup masuk akal, aku butuh istirahat dan istriku sudah mendapatkan perawatan dan bantuan yang ia butuhkan. Namun, tetap saja istriku merasa kerepotan. Mungkin karena ia sungkan memijit tombol hijau untuk memanggil perawat. Mungkin ia malas meminta bantuan karena harus berpikir keras menerjemahkan pertanyaannya ke dalam bahasa Inggris, bahkan sekadar untuk bilang, "Kenapa bayiku terus menangis?" atau "Bagaimana mengetahui anakku sudah kenyang atau belum?" Jadi, terpaksa ia mengurus sendiri Amartya. Memang ada kontrol rutin setiap dua jam oleh perawat, tetapi itu tetap kurang membantu.
Atas berbagai pertimbangan, kami bertahan selama tiga hari di kamar 48. Aku akhirnya bisa menemani istriku pada malam kedua atas izin rumah sakit. Aku bilang pada perawat bahwa aku tidak keberatan tidur di sofa. Lagi pula, istriku minta ditemani. Kami hanya berdua di negeri orang, tidak punya siapa-siapa. Teman-teman yang datang sekadar menengok dan turut bersukacita menyambut kelahiran bayi kami. Jadi, akulah satu-satunya tempat bersandar istriku.
Pada hari ketiga, 3 Juli, sebelum istriku diperbolehkan pulang, kondisi kesehatannya kembali diperiksa. Ia juga mendapatkan injeksi anti-rubela dan diberi pengarahan dari ahli, entah ahli apa namanya, tentang senam pasca-melahirkan, olahraga otot vagina, cara mengembalikan bentuk perut, dan tip-tip pasca-persalinan. Aku juga ditraining tentang cara memandikan bayi, diberi tahu cara mengetahui bayi sudah cukup makan atau belum, hal yang harus dilakukan sepulang dari rumah sakit, dan lain-lain.
Akan tetapi, bagiku yang paling menarik adalah sesi foto-foto. Seorang perempuan tiba-tiba datang membawa kamera. Ia meminta izin kepada kami untuk memfoto Amartya. Setelah itu, ia memberiku brosur dan bilang bahwa foto-foto Amartya bisa dilihat online pada tanggal 30. Foto akan tetap jadi privasi, aku harus masuk ke situs web dengan memasukkan kode tertentu untuk melihat foto anakku.
"Jika berminat menyimpan foto-foto yang kami buat, Anda tinggal membelinya secara online, kalau tidak berminat juga tidak masalah," kata perempuan itu sambil tersenyum.
Subhanallah, inilah sebentuk kehidupan modern yang beradab!
Pukul satu siang aku dijemput kawan baikku, Dimas. Aku meneleponnya beberapa hari menjelang persalinan, meminta tolong kepadanya untuk menjemput kami dari rumah sakit usai istriku melahirkan. Kebetulan, ia punya mobil dan tidak keberatan menjemput kami. Hidup di perantauan mengajarkan betapa berartinya pertemanan.
Amartya dimasukkan ke kapsul bayi yang sudah aku siapkan sebelumnya. Kapsul itu mirip keranjang belanjaan. Kain beledu halus abu-abu melapisi fiber kapsul bayi itu. Di tengahnya, ada sabuk pengaman yang harus dipasangkan ke tubuh bayi. Di Australia, jika kita membawa bayi di mobil tanpa menggunakan kapsul, kita bisa kena denda karena melanggar hak asasi anak. Sama halnya jika anak di bawah umur dibiarkan duduk di mobil tanpa bahy seat.
Kami meninggalkan rumah sakit dengan perasaan sukacita. Amartya sehat, istriku juga. Kami tidak membayar Sepeser pun karena biaya persalinan telah ditanggung asuransi kesehatan. Aku hanya mengeluarkan uang untuk membeli vitamin seharga 10 dolar.
Di dalam tas, aku menyimpan sertifikat kelahiran Amartya dan buku biru untuk mencatat riwayat perawatannya sampai berusia 6 tahun.
Amartya lahir di tengah keheningan musim dingin. Tanpa kehangatan keluarga besar yang biasanya akan berbondong-bondong ke rumah sakit menengok cucu atau keponakan. Namun, tidak apa-apa. Iip Muhammad Syarip boleh dilahirkan di kampung Bojong oleh paraji dengan fasilitas apa adanya. Namun, anak Iip Muhammad Syarip, Amartya, lahir di Melbourne. Perbaikan gengsilah setidaknya.
*** Bunda Minta Pulang MUNGKIN MENGURUS bayi lebih sulit dibanding mengurus organisasi. Bayi tak bisa diajak negosiasi, apalagi kompromi. Semua keinginannya harus dituruti. Masalahnya, kita harus menafsirkan apa keinginannya. Itu yang susah. Bayi tidak bisa bicara. Ia hanya bisa menangis. Jika lapar, ia menangis, haus juga menangis. Menangis melulu! Orangtua yang dituntut untuk mengerti yang diinginkan bayinya. Mungkin ini masalah biasa bagi orang yang sudah pernah punya anak. Bagi orangtua baru, hal ini merupakan tantangan tersendiri.
Begitu pula yang aku dan istriku hadapi. Kami sekarang punya raja dan bos baru. Amartya namanya. Ia tidak suka kompromi. Ia otoriter. Aku dan istri masih harus meraba-raba keinginannya. Maklum, kami baru beberapa bulan jadi orangtua. Setiap malam, sejak ia lahir, aku dan istri kehilangan waktu tidur pulas karena tangis Amartya meledak setiap dua jam.
Aku harus menerapkan ilmu hermeneutika-ilmu tentang cara menafsirkan-untuk mengetahui arti tangisannya. Apakah ia ingin makan? Itu selalu menjadi analisis pertama. Jika demikian, istriku dengan senang hati menyusuinya. Kadang setelah disusui, ia akan tidur lagi. Namun, lebih sering ia terus menangis, mendendangkan nyanyian pada malam sunyi. Kalau sudah begitu, penafsiran selanjutnya diterapkan: tangisan itu berarti ia ingin ganti popok. Maka, kami gantilah popoknya. Masih juga nangis? Walah, mungkin kepanasan akibat mesin pemanas. Langsung saja, penghangat ruangan yang berada di pojok kamar kami matikan meski saat itu masih musim dingin. Biarlah udara sedikit dingin. Kami bisa menyelimutinya dengan kain tebal. Kalau Amartya masih nangis juga, mungkin ia capek tidur telentang. Kalau begitu, kami akan menggendongnya keluar kamar untuk mencari suasana lain. Tak lupa, aku minta maaf kepada Bahar yang waktu tidurnya pasti ikut terganggu oleh suara tangisan Amartya. Bahar biasanya memaklumi yang terjadi.
Begitulah suasana kamar di sudut Jalan Decarle, Brunswick, selama beberapa minggu. Detik demi detik dilalui dengan menegangkan. Penuh harapan sekaligus ketakutan. Setiap malam aku berharap Amartya bisa tidur segera. Ibunya harus istirahat. Aku harus kembali membuka buku atau jurnal, mengerjakan tugas riset untuk makalah kuliah yang sama sekali belum tersentuh. Kalau hingga pukul sepuluh malam Amartya belum juga tidur, biasanya ia akan terjaga sampai pagi. Dan, itu berarti tidak ada jatah tidur bagi kedua orangtuanya. Juga tidak ada buku atau jurnal yang bisa kubaca.
Kadang malam-malam tertentu terasa begitu menegangkan. Seminggu lalu, aku sudah hampir menelepon bagian gawat darurat rumah sakit. Amartya tak henti-henti menangis. Istriku sudah menyusuinya, mengganti popok baru, menyetel suhu ruangan agar tidak terlalu dingin atau panas, tetapi tangisan Amartya tak kunjung reda.
Pada saat seperti itu, tiba-tiba istriku mengeluh pusing sakit kepala. Kaki dan persendiannya terasa pegal. Ia merasa kedinginan luar biasa. Waduh, bahaya. Kalau istriku sakit, bagaimana Amartya bisa menetek? Awalnya, aku mengira karena ia terlalu capek. Aku menggendong dan memindahkan Amartya ke ruang tengah. Lantas, aku meminta istriku untuk tidur. Kalau Amartya terus menangis, aku akan memberinya susu formula. Dokter menyuruhku siap sedia susu formula, untuk berjaga-jaga jika suatu saat dibutuhkan.
Dua jam telah berlalu, tetapi demam istriku tak kunjung hilang. Aku cek suhu badannya dengan termometer. Hampir 39 derajat. Di atas normal. Badannya tambah menggigil.
Sambil menggendong Amartya, aku memijat kaki istri tercinta. Kami tak punya siapa-siapa lagi di sini. Tak ada nenek atau kekek yang bisa membantu menggendong Amartya. Tak ada pembantu yang bisa dimintai tolong untuk sekadar membuatkan teh manis hangat. Aku juga tidak enak meminta pertolongan kepada Bahar.
Selimut hangat dari wol sudah kusampirkan ke tubuh istriku sejak dua jam lalu. Aku juga menyalakan penghangat ruangan. Tak mempan. Istriku tetap merasa kedinginan, badannya terasa panas, pusing, dan pegal-pegal. Aku khawatir ia terkena infeksi pasca-melahirkan. Namun, istriku bilang tak merasa sakit di organ reproduksi.
Aku bingung sendiri. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Amartya menangis di gendonganku, sementara istriku terbaring sakit. Waduh! Waktu telah beranjak tengah malam. Tadinya, aku ingin menelepon kawanku, anak kedokteran asal Yogya itu, tetapi hari sudah terlalu larut. Lebih baik kami bertahan. Sebutir pil parasetamol sudah diminum istriku sekadar untuk meringankan rasa sakit dan pusing. Amartya mulai kelelahan. Ia tertidur di sofa depan setelah beberapa saat kugendong.
Menjelang dini hari, aku membuka laptop. Aku mencari tahu apa gerangan yang terjadi pada istriku. Tentu situs yang aku kunjungi adalah Google. Aku mengetikkan kata kunci: "menyusui, pusing, panas-dingin" lantas menekan tombol enter. Ada banyak jawaban diberikan oleh ustaz Google. Aku klik salah satu, sembarang saja. Aku selalu pilih yang paling atas. Alasannya karena kalau disimpan pertama di list Google, itu bisa jadi situs yang paling banyak dibaca dan dikunjungi. Dari situs itu, aku menemukan jawaban: kemungkinan istriku kena infeksi ringan di payudara. Mastitis namanya. Penyebabnya karena produksi ASI terlalu banyak dan tidak semua dikonsumsi bayi. Oleh sebab itu, ada sisa ASI mengendap di kelenjar payudara dan mengeras. Payudara akan mengencang dan muncul flek merah. Itulah yang menyebabkan infeksi.
Istriku memeriksa bagian dadanya sesuai dengan informasi dari internet. Betul, rupanya istriku kena mastitis. Ada flek merah di payudaranya, juga seperti batu atau gumpalan keras di sekitar puting. Aku berubah jadi dokter dadakan berkat pertolongan Google. Aku lega karena ini bukan penyakit serius, cukup dengan mengompres bagian dadanya dengan air hangat agar sisa ASI mencair dan keluar.
Aku membuat metode penyembuhan sederhana: botol-botol kaca bekas bumbu kuisi dengan air panas lantas kubungkus kain. Istriku menempelkan botol itu ke bagian dadanya yang menggumpal.
Pagi harinya, ia merasa sedikit baikan. Seperti hari-hari sebelumnya, aku membuatkan sarapan pagi. Setelah sarapan cornflake, sebutir telur, dan segelas susu, pusingnya mulai hilang. Ia juga minum lagi parasetamol sekitar pukul tujuh pagi untuk mengurangi rasa sakit.
Aku menyuruh istriku menyusui Amartya selama mungkin agar ASI yang diproduksi tubuhnya tidak mengendap sia-sia. Aku baru tahu, ketika awal menyusui, tubuh ibu akan menyuplai ASI sebanyak mungkin. Itulah kenapa banyak ASI yang menetes keluar. Perlahan-lahan produksi ASI akan menyesuaikan kebutuhan si bayi. Dalam proses penyesuaian ini, ada perubahan hormonal dalam tubuh istriku. Itulah yang membuatnya tidak nyaman, suka pusing-pusing, dan pegal-pegal. Setelah produksi dan kebutuhan ASI stabil, semuanya akan kembali normal. Betul dugaanku. Hari berikutnya, istriku sudah bisa jalan-jalan ke Barkley Square dan berbelanja di minimarket Indonesia untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Amartya juga tidak rewel seperti hari-hari sebelumnya.
Badai hampir berlalu. Minggu-minggu yang menegangkan siap digantikan minggu-minggu yang menyenangkan. Tak lama lagi, Amartya bisa melihat dan tersenyum kepada ibu-bapaknya. Bayi akan bisa melihat saat usia 6 sampai 8 minggu. Untuk saat ini ia hanya bisa melihat samar-samar dua warna: hitam dan putih. Ia juga akan bisa menangkap gerakan. Sebentar lagi, ia akan melihat bapaknya yang ganteng dan ibunya yang cantik.
Bulan-bulan pertama sebagai orangtua sungguh melelahkan, menegangkan, dan luar biasa sibuk. Aku harus membagi waktu antara kuliah, mengerjakan tugas, bekerja, dan mengurus anak-istri. Dokter meminta agar istriku tidak dulu terlalu capek dan banyak bergerak.
Beberapa kawan menyarankanku menyiapkan tiket agar keluarga kami bisa datang ke Melbourne untuk membantu sementara. Aku menolak. Terlalu repot. Lagi pula, Mimi dan Ayah akan kesulitan naik pesawat. Mereka orang desa yang belum pernah naik pesawat. Kalaupun Mimi berangkat, mungkin harus diantar orang lain. Biayanya jadi dobel. Akhirnya, kami putuskan untuk mengurus Amartya berdua saja, apa pun risikonya.
Pada bulan-bulan pertama, aku harus pergi ke Pasar Brunswick seminggu tiga kali untuk membeli sayuran, buah-buahan, dan daging. Aku juga yang harus mempersiapkan sarapan dan makan malam untuk kami. Harus pula pergi ke laundry di ruko-ruko dekat Hustler untuk mencuci baju. Namun, pada waktu yang bersamaan, sebisa mungkin aku juga harus berada di apartemen menemani istriku mengurus Amartya.
Buatku, memasak, mencuci, dan mengerjakan urusan domestik lain bukan urusan luar biasa. Sejak lulus SD dan masuk ke pesantren di Karangtawang, aku terbiasa mengerjakan keperluan sehari-hari sendiri. Tanpa kusadari, pesantren telah membuatku lebih siap hidup mandiri dan kreatif. Lagi pula, yang kuhadapi di Australia itu tidak ada apa-apa-nya dengan apa yang harus aku kerjakan di pesantren dahulu.
Sekarang, dengan mudah aku bisa memasak dengan kompor gas yang lengkap fasilitasnya. Kompor itu bisa untuk memanggang, membakar, dan menggoreng sekaligus. Dulu, ketika di pesantren, yang tersedia hanya bongkahan-bongkahan kayu bakar yang masih harus dibelah dan dikeringkan sebelum bisa digunakan. Dulu, harus mencuci baju pakai sabun colek di jamban yang airnya mengalir dari selokan di pinggir sawah. Kini, aku hanya butuh memasukkan baju kotor, menabur deterjen, dan mengucurkan pewangi ke mesin cuci. Tinggal masukkan koin 5 dolar ke lubang uang di atas mesin cuci, pijit tombol start, tunggu setengah jam, dan selesai. Sambil menunggu cucian kering, aku bisa membaca koran bekas yang ditinggalkan orang serta mendengarkan musik dari iPod. Dulu, yang dimasak hanya ikan asin yang dikukus di atas nasi liwet dengan kangkung rebus. Sekarang, aku bisa memasak filet tuna atau maryland ayam-dada ayam yang sudah dibersihkan tulang dan kulitnya-tiga kali seminggu. Jika bosan makan nasi, bisa kapan saja masak mashed potato-kentang rebus yang ditumbuk-dipadu steik daging sapi dan kacang polong. Atau masak piza.
Sekarang, sayuran yang kukonsumsi juga bukan kangkung atau bayam. Harga kangkung di Melbourne mahal sekali: lima dolar satu ikat, setara dengan empat puluh ribu rupiah atau seharga sekilo paha ayam. Makanya, kami jarang sekali masak kangkung. Selain itu, mendapatkannya juga agak susah karena tidak sembarang pasar menjual kangkung. Biasanya hanya ada di Pasar Little Saigon, sebuah pasar Asia yang sebagian besar pedagangnya adalah imigran Vietnam di daerah Footscray. Makanya, sayuran sehari-hari yang biasa kumasak adalah zucchini, wortel, kol, leek, atau selada. Ada juga salad campuran berbagai sayuran yang bahkan tidak aku tahu namanya.
Jadi, seberat apa pun yang kuhadapi di Melbourne, tetap jauh lebih ringan dan menyenangkan dibanding dengan yang kulakukan dulu di Karangtawang. Kami benar-benar menikmatinya. Istriku dengan penuh bahagia menjalani hari-hari sebagai ibu baru. Separuh hidupnya tercurah pada bayi mungil kami. Namun, ia masih sering protes jika aku terlalu lama berada di perpustakaan. Atau, mengeluh karena merasa tidak enak dan kasihan kepadaku yang terlalu sibuk. Sering juga ia minta pulang ke Indonesia karena merasa jadi beban baru buatku.
"Ayah, apa Bunda pulang saja ke Indonesia?" istriku kembali melontarkan ide itu pada suatu senja ketika aku baru saja pulang dari Pasar Victoria.
"Lho, ada apa, kok, tiba-tiba minta pulang?" tanyaku kaget. "Apa karena ayah kurang bisa mengurus Bunda?" tanyaku lagi sebelum istriku sempat menjawab pertanyaan pertamaku.
"Ayah sudah sangat baik sekali kepada Bunda dan Amartya. Bunda malah merasa tidak enak dan takut
"Takut kenapa?" tanyaku memotong.
"Khawatir Ayah gagal dapat nilai bagus gara-gara terlalu sibuk mengurusi Bunda dan Amartya," jawabnya. "Karena itu, lebih baik Bunda pulang saja," lanjutnya lagi.
Istriku pergi ke kamar mendengar suara tangisan lantas kembali ke dapur sambil menggendong Amartya. Amartya tampak nyaman di pelukan bundanya. Kuperhatikan, wajah Amartya mirip sekali dengan wajahku. Hanya ada titipan dagu belah dan sepasang mata bola dari bundanya. Selebihnya, ia merupakan salinan diriku.
"Bukankah kita sudah sepakat akan sekuat tenaga bertahan, Mbun, apa pun risikonya?" Istriku senang sekali dipanggil "Mbun". Sebenarnya, ia ingin dipanggil bunda, tetapi menurutnya panggilan "Mbun" lebih lucu dan unik. Lebih lagi, kata itu mirip dengan kata embun. Istriku memang sebening embun pagi.
"Risikonya terlalu besar jika sampai Ayah gagal atau nilainya jelek. Akan jadi bencana jika ayah pulang tanpa gelar. Apa jadinya kalau orang kampung tahu ayah pulang karena gagal atau nilainya jelek?" Suaranya terasa menggelegar di telingaku.
Aku kuliah di Melbourne atas beasiswa dari Pemerintah Australia. Ada pasal dalam perjanjian yang kutandatangani dalam kontrak beasiswa yang lebih kurang berbunyi, "Jika penerima beasiswa gagal dalam dua mata kuliah atau nilainya buruk, beasiswa akan diputus dan yang bersangkutan dipulangkan." Itu artinya, bisa-bisa aku pulang sambil gigit jari. Istriku tentu tidak rela jika nilaiku hancur atau bahkan gagal lulus karena urusan keluarga.
"Ayah bisa membagi waktu, Mbun. Jadi, Bunda tenang saja. Toh, ini hanya tiga bulan pertama setelah Amartya lahir. Nanti Amartya tidak akan terlalu rewel lagi. Kita juga akan semakin terbiasa dengan semua ini," kataku berusaha meyakinkan. "Ayah akan semakin tidak tenang jika Mbun dan Amartya pulang. Pasti akan ingat dan kepikiran terus," aku meneruskan.
"Tetapi, bagaimanapun, kuliah Ayah harus sukses. Kesuksesan Ayah adalah kesuksesan Bunda dan Amartya. Di kampung, ada banyak orang yang mengurus Bunda dan Amartya. Ayah juga bisa bebas di sini, tidak ada yang ngerepotin. Bisa belajar di perpustakaan sampai malam. Bisa jalan-jalan naik sepeda keliling kota sambil foto-foto seperti kawan ayah yang lain," istriku terus berargumen agar permintaannya dikabulkan.
"Ayah harus bekerja di pasar, kuliah, mengerjakan tugas, masih ditambah mengurus Bunda dan Amartya pula. Harusnya Bunda yang mengurus Ayah. Bunda merasa berdosa karena ngerepotin Ayah. Karena itu, lebih baik Bunda pulang saja ke Indonesia."
"Mbun, sudahlah, kita bicarakan lagi soal ini lain kali, ya," pungkasku.
*** Para Utusan Tuhan ORANG DI balik pintu itu sudah mengetuk pintu beberapa kali. Aku tidak mendengarnya karena sedang asyik mengobrol dengan istriku di dapur. Ketika kuintip dari lubang pintu, mereka sudah akan pergi. Dari balik pintu, aku melihat dua orang lelaki. Seorang mengenakan jas hitam rapi. Yang lain berkemeja dan berdasi. Orang dengan jas hitam terlihat seperti keturunan Tionghoa. Yang satunya tampak seperti orang Ambon atau kuduga berasal dari daerah Indonesia Timur. Ketika aku membukakan pintu, mereka urung pergi. Aku meminta maaf karena tidak lekas membuka pintu sambil mempersilakan mereka masuk.
"Aku Steven," kata lelaki yang berjas.
"Aku Lilipali," yang lain tersenyum memperkenalkan diri.
Aku sudah bisa menerka siapa mereka. Ini bukan kali pertama aku kedatangan dua orang tamu dengan pakaian necis dan parlente. Aku juga sudah bisa menduga tujuan mereka bertamu ke apartemen kami dan yang akan mereka sampaikan.
Seperti tamu-tamu sebelumnya, mereka menolak masuk ke rumah karena alasan hanya ada perlu sebentar dan sedikit terburu-buru. Setelah memperkenalkan diri, Steven dan Lilipali mengeluarkan kertas bundelan dokumen dari tas jinjingnya.
Aku tahu dua orang yang berdiri di hadapanku sudah lama tidak menginjak tanah airnya. Atau, memang hanya leluhurnya saja yang berasal dari Nusantara. Bahasa Indonesia mereka pas-pasan dan banyak keseleo lidah. Meski begitu, mereka menerangkan maksud kedatangan mereka dengan antusias.
"Aku mohon maaf mengganggu Bapak punya waktu. Kita hanya ingin kasih ini berita." Steven memberi selebaran bertuliskan "Yesus Memberikan Kehidupannya bagi Banyak Orang, Kenapa Ia Melakukannya?" Entah kenapa dia memanggilku Bapak, padahal aku sama sekali tidak kelihatan seperti bapak-bapak.
"Terima kasih atas informasi dan undangan ini," jawabku sambil tersenyum. Singkat. Dua orang di hadapanku bisa menebak bahwa aku seorang muslim.
"Meskipun Bapak seorang muslim, tidak ada salahnya datang ke acara ini. Semacam ceramah saja. Atau, kalau Bapak punya kawan Kristiani, sudi kiranya memberi ini informasi kepada Bapak punya kawan." Orang yang memperkenalkan diri sebagai Lilipali itu berbasa-basi minta maaf kepadaku.
"Insya Allah, Pak, nanti kusampaikan," jawabku.
Seruling Samber Nyawa 1 Pendekar Naga Geni 24 Pendekar Empat Serangkai Pendekar Muka Buruk 20

Cari Blog Ini