Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan Bagian 2
sembari mengaduk sebuah panci berisi saus keju jalapeno dan
menyalakan api untuk memasaknya. Setelah beberapa kali mencari
Nona Pringle, mereka masih belum dapat menemukannya juga. Tapi
siapa tahu hari ini hari keberuntungannya.
Restoran Tio's Tacos masih kosong, tetapi tak lama lagi suasana
pasti berubah. Satu jam lagi kira-kira, pengunjung yang akan makan
siang akan mengalir masuk. Dan pada hari Sabtu Merivale Mall
biasanya dipenuhi dengan orang-orang yang akan berbelanja? para
pengunjung yang kelaparan.
Lori baru saja menyalakan mesin tabung es, waktu ia sekelebat
melihat warna yang menarik. Ternyata itu adalah topi ungu yang
bertengger di atas kepala seorang wanita ringkih berpakaian compangcamping.
Nora! "Astaga!" pekik Lori. Matanya terpaku pada pintu masuk Tio's.
Perlahan-lahan, Nora Pringle berjalan melintasi lorong di mall.
Tangannya yang kurus menenteng setengah lusin tas belanjaan.
"Dia kembali! Dan tampaknya dia baik-baik saja!" pekik Lori
dengan mata masih menatap ke arah wanita itu.
"Sudah ketemu wanita kesayanganmu itu?" Isabel mengangkat
kepalanya dari tempat memasak. "Syukur, deh!"
Lori merasa begitu senang dan lega, sehingga ia bingung apa
yang lebih dulu akan dilakukannya. Ia ingin menceritakan mengenai
badan sosial tersebut pada Nora. Ia pun ingin menanyakan tentang
kemungkinannya untuk bekerja, pondokan untuk tempat tinggalnya,
sanak saudara, dan teman-temannya.
"Ini dulu." Dengan mata berbinar penuh semangat, Lori
memasukkan tiga buah tacos ke dalam kantung dan berlari menuju
meja kasir. "Ini atas tanggunganku," ujarnya pada Isabel. "Sebentar aku
akan kembali." "Semoga sukses," sahut juru masak restoran itu.
Dengan penuh semangat Lori bergegas berlari keluar dari Tio's
dan mengamat-amati lantai pertama Merivale Mall. Dilihatnya Nora
Springle duduk membungkuk di atas bangku beton, sibuk mencoretcoret kertas catatannya.
Tenang, tenang! kata Lori dalam hati, jangan bikin nona Pringle
ketakutan. Dengan perlahan sekali dan tanpa suara, gadis itu berjalan
mendekati wanita yang ringkih itu.
"Nona Pringle?" Lori begitu gugupnya, hingga suaranya
terdengar seperti cicit yang lemah.
Wanita itu mendongakkan kepalanya dan berhenti mencoretcoret. Matanya tampak ketakutan dan curiga, begitu ia mengamati
Lori. "Nona Pringle, aku Lori Randall." Lori tersenyum, berusaha
menenangkan wanita itu. Masih ragu-ragu, Nora berdiri, seolah-olah siap untuk
melarikan diri. Lori melangkah ke depannya. "Aku, ehem, aku kerja di Tio's
Tacos, dan aku... punya beberapa contoh makanan untukmu."
Tiba-tiba saja, kata-kata ibunya tergiang-giang kembali.
Kadang-kadang para gelandangan merasa gengsi untuk menerima
sumbangan. Ya, sebaiknya ia menyampaikannya dengan cara yang
lebih baik. "Tio's Tacos," ulangnya. "Kami memberikan tacos gratis...
dalam rangka promosi restoran kami," lalu gadis itu meletakkan
bungkusan kertasnya ke tangan Nora. "Mudah-mudahan Anda suka!"
ujar Lori sambil tersenyum cerah.
Sambil mendekap catatannya di dadanya, Nora menatap
bungkusan berisi tacos itu lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Tidak, terima kasih. Aku tak lapar."
Tak lapar? Lori tertegun. Pipi wanita itu tampak cekung dan
kurus, tidak sesuai dengan kata-katanya. "Ini ada sedikit makanan.
Kenapa tak Anda terima saja? Untuk kapan saja kalau Anda merasa
lapar...untuk nanti juga boleh."
"Tidak ,nona." Dengan cepat, Nora mengumpulkan barangbarangnya dan bergegas menyingkir. "Terimakasih banyak," ujarnya
sambil terburu-buru berlari menuju ke eskalator.
Lori masih berdiri di tempatnya, tangannya masih memegang
kantung makanan itu. Mulutnya menganga keheranan, dan jantungnya
terasa lemas karena kecewa. Nora Pringle telah menolak bantuan
pertamanya. Tercium bau harum makanan saat Lori mengambil kantung
tacos itu kembali. Kok bisa-bisanya Nora menolak makanan ini?
Tentu saja Tio's tacos bukan restoran yang paling oke, tapi
makanannya juga enak-enak.
Kalau Nona Pringle terlalu angkuh untuk menerima makanan,
bisa-bisa dia kelaparan! Bagaimana sih caranya mendekati wanita
miskin itu? Dasar sial! ************* Deretan giginya yang terawat rapi dan berwarna putih bersih itu
beradu dengan gemasnya, saat Danielle memandang keluar lewat
jendela besar di kediaman keluarga Sharp. Matahari mulai terbenam.
Langit berwarna merah tua dan lembayung, menaungi deretan pagar
halaman depan. Malam minggu?lagi-lagi tanpa Don!
Ke mana sih dia? Bisa-bisanya dia terlambat?lagi? Satu hal
sudah jelas: tak bakalan cowok itu ingkar janji untuk kedua kalinya
lalu datang untuk mengarang berbagai macam cerita!
Danielle berjalan melintasi ruang tamu yang ditutupi karpet
halus, sambil berpikir-pikir. Ia telah mencoba menelepon rumah
keluarga James, tapi tak seorang pun yang menjawab. Bahkan ia telah
menelepon bengkel di mana cowok itu bekerja. Tetapi orang-orang di
sana mengatakan bahwa Don tidak masuk seharian.
Maka Danielle pun menunggu, berjalan mondar-mandir di atas
karpet yang mahal itu. Sementara jam dinding Swiss yang elegan
milik ibunya itu terus berputar menggulirkan waktu.
Jam lima, lima tiga puluh, enam, enam tiga puluh! Hampir saja
Danielle menggigiti kuku-kukunya yang telah terpoles rapi itu!
Suara deruman mesin sepeda motor membuat amarahnya
bangkit. Akhirnya... si raja cuek itu datang juga. Terlambat! Sekarang
ini mereka tak mungkin lagi bisa ke Philadelphia tepat pada waktunya.
Dengan gusar Danielle membuka pintu, sebelum Don sempat
memencet bel. Dengan tangan terkepal dan sikap siap menyerang,
Danielle langsung menyemburkan kalimatnya. "Nggak usah ngomong
deh? biar kutebak. Ban motormu kempes lagi dan kau harus melebur
karet untuk menambalnya dulu, lih tunggu, itu sih terlalu biasa.
Anjingmu memakan pe-ermu. Betul nggak! Atau mungkin kau diculik
ke Cina dan harus menggali terowongan untuk pulang!"
Dengan bercekak pinggang, Danielle menurunkan suaranya
dengan nada mengancam. "Aku tahu kau pasti punya alasan yang
paling jitu sampai tega merusak rencana kita ke Philadelphia!"
Setelah meluruskan jari-jarinya dari pegangan gagang sepeda
motornya, Don bersandar dan bersiul. "Tenang, Red. Jangan emosi
dulu dong." Ia menaruh jaket jeansnya di belakang sepeda motornya,
lalu berjalan dengan santai menuju anak tangga. "Maaf ya, soal konser
itu." Permintaan maafnya tampak begitu tulus, tetapi emosi Danielle
sudah terlanjur tinggi. "Maaf saja nggak cukup. Maaf saja takkan
dapat membawaku ke konser Bad Boys itu. Ada apa sih? Apa yang
lebih penting daripada konser itu?"
Don mengamati wajah gadis di depannya dengan teliti. "Kamu
benar-benar mau tahu?" tanyanya. "Kamu mau tahu apa yang
membuatku terlambat?"
Nggak! Aku mau nangis, ngamuk dan berteriak untuk
menggeluarkan semua kejengkelanku! Mata hijau Danielle masih
berapi-api karena marah. Tetapi jauh dalam lubuk hatinya, Danielle sadar bahwa tak ada
gunanya untuk marah. Kalau ia marah, Don pasti akan pergi, dan ia
akan menghabiskan malam minggunya sendirian saja di rumah yang
seperti kuburan itu. Sambil menyingkirkan rambut yang menutupi wajahnya yang
cemberut Danielle menghela napas, "Oh, baik. Coba katakan."
Katakan alasanmu yang telah membuat rencanaku jadi hancur
berantakan! Meskipun masih diliputi kemarahan, Danielle mengambil helm
ekstra Don dan memasangnya di atas rambut merahnya yang tebal itu.
Amarahnya mulai menyurut.
Begitu ia duduk di belakang sepeda motor Don dan wajahnya
diterpa angin malam yang sepoi-sepoi, Danielle merasa senang karena
berada di dekat cowok itu. Bersandar di belakang punggung Don
dengan lengan merangkul erat pinggangnya, Danielle merasa hatinya
membubung tinggi di awang-awang. Jantungnya berdebar kencang
saat mereka berhenti di depan rumah keluarga James.
"Ke sini?" bentaknya. "Kau membatalkan acara konser kita
hanya karena mau mengajakku ke sini?"
Don tertawa. "Aman, Red. Aku jamin deh, orang tuaku sedang
pergi." Di dalam rumah, Don membawanya menuju ke ruang bawah
yang merupakan sebuah ruang kerja. Bukan mesin mobil atau bangku
tukang kayu yang ditemukannya, Danielle terbengong-bengong saat
melihat sebuah kamera yang sangat besar.
"Kamu bikin rekaman video, ya?" tanyanya.
"Bukan, tapi film. Enam belas milimeter." Mata Don berbinarbinar saat ia mengangkat kamera ke bahunya. "Inilah peralatan yang
paling aku sayangi dan banggakan. Aku bisa menangkap objek apa
saja. Biasanya aku merekam dalam warna hitam putih, soalnya biaya
pencetakannya lebih murah. Tapi aku juga suka yang kontras. Lihat
sini, deh...." Waktu Danielle memicingkan matanya ke lensa kamera, Don
membantunya memfokuskan pada jendela ruang bawah tanah.
"Wah... menarik sekali," gumamnya, "tapi?"
"Lalu, setelah kita membidik ukuran panjangnya, aku akan
membidik seluruh objek itu sekaligus." Don lalu menunjukkan tempat
ia menyuntingnya, menyorotnya ke layar dan menyambung setiap
adegan film tadi." "Nggak jelek kan Red?" suaranya terdengar bangga. "Aku
nabung lho untuk membeli peralatan ini. Memang bekas sih, tapi
masih bagus kok. Pengambilan adegan harus meliputi semua sudut.
Kami telah mengerjakannya selama dua minggu, tapi malam ini aku
begitu kagum dengan editingnya."
"Masa, ya?" Danielle terpaku. Membuat film? Don? Ia tak
pernah menyangka bahwa cowok ini juga punya bakat untuk membuat
film. Sembari menyandang kamera di atas bahunya dan membidik
dengan lensa zoom, Danielle teringat akan kencan pertama mereka?
bagaimana Don begitu larut dalam film yang mereka tonton.
Saat itu Danielle masih malu menunjukkan perasaannya pada
Don. Memang, ia tergila-gila pada penampilan cowok itu yang sangat
keren. Tetapi ia pun khawatir kalau ada teman-temannya yang
memergokinya sedang berkencan dengan cowok yang termasuk geng
pengendara sepeda motor. Untuk menghindari teman-temannya, ia mengajak Don nonton
di bioskop yang nggak ngetop. Ia sendiri tak menaruh perhatian pada
film yang diputar di sana? film asing yang ada teksnya. Sebaliknya,
Don justru begitu terpesona.
Don James, pembuat film. Suatu pikiran tiba-tiba melintas
dalam pikirannya. Cowoknya adalah seseorang yang artistik, bahkan
mungkin juga ditakdirkan untuk menjadi seorang aktor Hollywood...
yang berbakat! Ingatan pada konser yang gagal seketika itu pun lenyap dari
pikiran Danielle, begitu sesuatu yang baru menyelinap masuk.
Danielle menyerahkan kamera kembali ke tangan cowok itu, lalu ia
melemparkan senyumnya yang paling manis.
"Bagaimana kalau kita lihat pertunjukan perdananya?" ia
bertanya. "Boleh nggak aku lihat film yang kau buat?"
Don tampak ragu-ragu. "Bagian akhirnya belum selesai semua,
sih," ujarnya sambil merendahkan kamera di atas penopangnya.
"Boleh dong?" Danielle mengerjapkan bulu matanya, yakin
bahwa hal itu akan membuat Don luluh.
"Ya, asal diingat saja, bagian akhirnya belum selesai," ujarnya,
sambil memasukkan pita film ke dalam proyektor. "Duduklah."
Sambil duduk di pojok sofa yang berwarna-warni, Danielle
hampir tak dapat menahan rasa ingin tahunya. Jangan mengeritik
terlalu banyak! batinnya, siap untuk menyaksikan produksi amatiran
yang kurang bermutu. Sesaat kemudian lampu dimatikan, Don memfokuskan
proyektornya ke daerah yang kosong di dinding ruang bawah tanah
itu. Danielle tersenyum begitu ia mengenali para aktornya.
Semuanya dimainkan oleh bekas teman-teman serumah Don? Zack
dan cowok-cowok lainnya yang dilihat Danielle di Video Arcade.
Begitu film mulai berputar, Danielle melihat sesuatu selain
wajah-wajah yang sudah tak asing lagi itu, sesuatu yang ada di luar
Merivale yang sudah begitu dikenalnya. Seakan-akan ada sebuah
jendela rahasia dalam pikirannya yang dibuka, dan membawanya ke
sebuah dunia lain. Film itu berkisah tentang seorang anak laki-laki yang tertantang
untuk ikut dalam balapan sepeda motor. Adegan-adegan awalnya
menggambarkan tentang ancaman dan malapetaka yang dihadapinya,
yang digambarkan dengan menarik oleh sudut-sudut pengambilan
kamera yang luar biasa. Danielle duduk bergeming di tempat duduknya ketika adegan
balap motor itu dimulai. Rasanya benar-benar menegangkan,
jantungnya berdebar kencang.
Sepeda motor cowok itu menikung dengan tajam, mendekati
tebing karang yang terjal? dan maut menghadang di depannya.
Danielle menahan napas, saat batu-batu kerikil berhamburan di
bawah ban motornya. Tetapi kemudian, dengan gesitnya anak itu mengelak dari
pinggir tebing, dan sepeda motornya meluncur kembali ke jalan
beraspal. Ia berhasil lolos dari maut? dan memenangkan
pertandingan itu! Akhir ceritanya sangat menarik. Setelah menang, cowok tadi
meneruskan perjalanannya, semakin cepat dan semakin jauh, melintasi
jalanan menuju ke kehidupan yang baru.
Meskipun waktu pemutarannya hanya berlangsung lima belas
menit, tanpa suara, namun film itu benar-benar merupakan suatu karya
yang hebat. Masih terpaku di tempat duduknya, Danielle merasa
gemetar, napasnya tersengal-sengal.
Danielle menghapus air mata di pelupuk matanya, waktu Don
menyalakan lampu kembali. Ia menghela napas lega. "Bagus sekali,"
bisiknya. Perasaannya begitu bangga, dan kagum. Ia melompat
berdiri, menghampiri Don dan memeluk cowok itu erat-erat. "Wah,
film itu benar-benar hebat!"
Melihat gadisnya suka dengan hasil pekerjaannya, Don
membalas pelukannya. Ia merasa senang dengan pujian yang
dilontarkan Danielle. "Trims Red." Don melonggarkan pelukannya,
sehingga ia dapat menatap mata gadis itu. "Jadi kau suka, ya...."
"Suka?" Danielle melepaskan dirinya dari pelukan Don, dan
mengepalkan tangan di pinggulnya. "Aku sampai kagum deh, kamu
benar-benar berbakat, Don. Berapa lama kau mengerjakannya?"
Don meringis. "Nggak lama, kok. Tapi dari dulu aku ingin
sekali membuat film sendiri. Aku terbiasa bergadang di malam hari
Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
nonton film-film lama di teve."
Danielle memperhatikan saat Don melepas gulungan film dari
proyektor, dan memegangnya di tangannya. Ia tahu bahwa membuat
film bukan hanya sekedar hobi bagi Don. Don benar-benar serius
menangani film. "Tahu nggak," kata Don, "aku selalu berangan-angan untuk
keluar dari sini, dan memasuki sekolah perfilman di U.C.L.A. Banyak
produser film yang sukses tamatan dari sana. Hanya saja? aku tak
tahu? apakah impian ini bisa jadi kenyataan."
Cahaya di matanya yang gelap itu memudar, begitu Don
menyimpan gulungan film tadi kembali ke kotaknya. "Tapi... kau tahu
kan. Rasanya hal itu mustahil dapat terwujud."
"Kenapa nggak?" tanya Danielle. "Kenapa tak mungkin?
Dengan bakatmu itu, kau bisa memperoleh apa pun yang kau
inginkan." Waktu Don menggelengkan kepalanya, Danielle bersikeras.
"Don, itu bisa jadi tiketmu ke Hollywood!"
Don tertawa getir. "Sadar dong, Red. Pertama-tama aku nggak
punya uang untuk bisa masuk ke sekolah bergengsi seperti itu.
Lagipula U.C.L.A. takkan mau menerimaku dengan nilaiku yang paspasan."
"Jangan putus asa dulu, dong!" Kepala Danielle berputar,
mencari-cari kemungkinan baru. Pasti ada jalan keluarnya? dan ia
adalah orang yang berpengalaman untuk mencari jalan lain.
"Kalau ada rekomendasi dari seorang direktur yang bernama
besar, pasti dapat membantumu, kan?" Matanya yang hijau berbinarbinar. "U.C.L.A. pasti takkan memperhatikan nilai-nilaimu kalau
kamu punya selembar surat dari seseorang yang punya pengaruh
besar, 'tul kan?" "Yah, benar juga."
"Nah... kenapa kamu nggak mencoba untuk mendapatkan
selembar rekomendasi?"
Don menggelengkan kepalanya. "Aku tak punya koneksi siapasiapa di dunia perfilm?"
"Tapi kamu bisa mendapatkannya," potong Danielle. Danielle
mengetukkan jari-jarinya yang terawat rapi itu ke atas kotak film yang
terbuat dari logam. "Film ini adalah tiketmu menuju ke kesuksesan. Cuma sutradara
bodohlah yang tak mengenal bakat kreatif di balik filmmu ini."
Senyuman puas terbayang di wajah Danielle begitu ia
menyatakan apa yang ada dalam pikirannya. "Selesaikan dong
penyuntingannya, buat kopi dari filmnya, lalu kirimkan pada sutradara
yang kamu kagumi." Danielle lalu duduk di atas bangku tempat Don melakukan
penyuntingan sambil menyilangkan kakinya yang ramping. "Setelah
sutradara film menyaksikan rekamanmu, ia pasti akan menolongmu."
Don menunduk dengan wajah serius, menatap kotak film di
tangannya. "Ada seorang sutradara? George Colby. Karyanya benarbenar mengagumkan. Orang itu terkenal suka menolong anak-anak
muda yang baru mulai berkecimpung di bidang pembuatan film. Ia
bahkan membentuk Colby Foundation untuk memberikan bantuan
bagi para siswa." "Nah, apa lagi yang kau tunggu?" desak Danielle.
"Kedengarannya bagus tuh."
Senyuman Don tampak penuh harapan, begitu bersemangat,
membuat tubuh Danielle terasa hangat.
"Bagus juga untuk dicoba." Don mengangkat bahunya. "Siapa
tahu." "Persis." Don menyingkirkan kotak film di tangannya, lalu ia berpindah
duduk ke belakang Danielle. Ia meletakkan tangannya di belakang
bahu gadis itu. Kehangatan tangan cowok itu menjalari seluruh kulit
tubuhnya, menembus sweater wolnya.
"Tahu nggak, kamu memang pintar kasih nasihat, Red. Cantik
dan pintar. Benar-benar kombinasi yang dahsyat."
Semoga saja! batin Danielle. Begitu karir film Don mulai
menanjak, maka ia dapat mengkonsentrasikan kekuatannya yang
dahsyat pada kisah cintanya?dengan cowok itu!
Begitu tangan Don merangkul bahunya, Danielle merasa luluh.
Cowok itu berdiri begitu dekat dengannya, Danielle tahu, begitu ia
menoleh, Don pasti akan menciumnya. Jantungnya berdebar-debar.
Don biasanya sangat romantis, kalau saja ia tidak sibuk dengan
masalahnya. Banyak masalah yang mereka hadapi. Ia sendiri capai
mengarang-ngarang cerita untuk Heather dan Teresa. Ia bosan dengan
teman-temannya. Tentu saja ia masih tergila-gila pada Don... dan
mungkin juga jatuh cinta pada cowok itu.
Tinggal masalah waktu saja untuk membereskan masalah ini
dengan segera, agar Don dapat memusatkan perhatiannya pada subjek
favoritnya? Danielle Sharp yang kece!
Sembilan "Oke, Danielle, buka dong rahasiamu," bujuk Teresa.
"Kelihatannya kok dia nggak happy, ya?" mata biru Heather
mengamati Danielle dengan cermat.
Danielle merasa bersyukur pada keredupan lampu restoran
L'Argent yang mewah di lantai atas Merivale Mall. Dalam cahaya
yang remang-remang itu, teman-temannya takkan bisa memperhatikan
sikapnya yang dibuat-buat untuk membohongi mereka.
"Jangan bego, ah," ujar Danielle, sambil pura-pura menguap.
"Rasanya aku ngantuk deh, setelah acara malam minggu yang begitu
mengasyikkan." Ia memutar-mutar matanya sambil berkhayal.
"Pantas ada lingkaran hitam di bawah matamu," ujar Heather
lagi. Mana mungkin! Danielle merasa geram atas komentar
temannya. Wajahnya mulai mengeras! Tapi ia tak jadi melontarkan
kalimat balasannya, sekarang belum saatnya.
"Ngomong-ngomong, gimana konsernya?" desak Teresa. "Siapa
yang nyetir ke Philadelphia?"
"Jelas Don, dong," jawab Danielle. "Tapi kami pakai mobilku."
Heather dan Teresa saling bertukar pandang dengan curiga.
"Apa benar?" tanya Heather.
"Sumpah!" bentak Danielle.
"Kok lucu , sih," ujar Teresa. "Ibuku bilang, dia melihat
mobilmu diparkir di rumahmu malam minggu kemarin, sewaktu
beliau mampir untuk?"
"Wah, beliau pasti salah," sergah Danielle, tangannya meraih
serbet linen yang terletak di atas meja di depannya, lalu
mengibaskannya. "Kami sampai di sana sedikit terlambat... tapi
konsernya hebat deh," lanjut Danielle lagi.
Lebih semangat, dong! Ia menendang kakinya sendiri di bawah
meja. Teman-temannya takkan percaya pada ceritanya kalau ia tidak
menceritakannya, dengan gaya yang berapi-api.
"Yang nonton konsernya penuuuh sekali. Para fansnya seperti...
seperti orang gila saja," lanjutnya.
Eh, apa tadi katanya? Bad Boys kan bukan grup rock keras!
Para penggemarnya bukan orang-orang yang liar, dan mereka cukup
sopan. Sekilas ia melihat pada teman-temannya. Ternyata mereka
tidak menyadari apa yang dikatakannya. Ia cukup aman? sampai saat
ini. "Kasihan ya, pemain gitar utamanya." Heather menusuk
sepotong daging kalkun dari saladnya lalu memasukkannya ke dalam
mulutnya. "Iya, ya," ujar Teresa mendukungnya. "Eh, kau lihat nggak
kecelakaan itu dari tempat dudukmu?"
Hampir saja Danielle tersedak sepotong daun lettus.
Kecelakaan? Gitaris utama? Apa sih yang mereka omongin? Untuk
membuang waktu, gadis itu pura-pura terbatuk-batuk dan meraih gelas
kristal berisi minuman. "Ngeri nggak?" tanya Heather lagi.
Masih tak tahu apa yang mereka maksudkan, Danielle
mengangguk. "Yah... kasihan sekali."
"Berita di koran menceritakan seolah-olah kejadian itu sangat
mengerikan, tapi kita kan nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi."
Mata biru Heather menatap Danielle tajam seakan-akan menelanjangi
gadis itu. "Kencanmu jadi terganggu, nggak?"
"Nggak juga, tuh." Danielle dilanda perasaan ngeri. Jadi,
sesuatu telah terjadi dalam konser itu? sesuatu yang luar biasa.
Teman-temannya justru lebih tahu daripada dia sendiri, padahal
semestinya dia berada di sana!
Danielle merasa terperangkap? tersudut! Tetapi karena ia telah
menceritakan kebohongannya sejak awal, maka tak ada jalan lain, ia
harus meneruskan ceritanya.
"Sebenarnya, nggak ada yang bisa merusak kencanku dengan
Don." Tatapan wajah gadis itu menerawang jauh, saat ia meneruskan
ceritanya, seolah-olah ia sedang berkhayal dengan indahnya.
"Kurasa saat-saat yang paling romantis, adalah waktu mereka
memainkan Stardust Dreams. Tangan Don memelukku, erat sekali.
Lalu di akhir lagu, ia menciumku."
Danielle memejamkan kedua matanya, sambil berceloteh
dengan kisah khayalannya. Biar mereka telan ceritaku! Dengan
perasaan puas, ia membuka matanya dan dengan halus menyingkirkan
piringnya. Tapi ceritanya bukan membuat teman-temannya iri, malahan
mereka menatapnya dengan curiga.
"Stardust Dreams?" ulang Teresa. "Di koran ditulis Bad Boys
malah nggak sempat memainkan lagu itu karena pergelangan kaki
gitaris utamanya terkilir, sehingga dia harus meninggalkan panggung.
Mereka nggak mungkin memainkan Stardust Dreams tanpa Jhonny
Dean sebagai pemain gitar utama!"
Oh, jadi itulah yang terjadi! Danielle menggigit bibir bawahnya,
berusaha untuk tetap tenang sementara ia memutar otak.
"Aneh juga, ya," ujar Heather. "Mungkin kau dan Don nyasar
ke konser yang salah."
"Jangan-jangan kalian memang nggak nonton konser Bad
Boys," suara Teresa terdengar begitu tajam. "Ceritamu nggak masuk
akal deh, Dan. Kenapa sih nggak ngaku saja sama kita?"
Heather turut menyerang. "Ada apa, Dan? Apa kau malu
mengaku bahwa cowokmu itu ingkar janji lagi?"
"Nggak, aku?" "Atau mungkin kisah cintamu dengan Don James sudah nggak
asyik lagi," potong Teresa.
Danielle menatap kedua temannya. "Aku tahu, kalian takkan
mengerti," ujarnya dengan berapi-api.
"Kalian sih nggak pernah merasakan bagaimana kisah cinta
yang sejuta rasanya, sehingga membuat kita jadi panas dingin."
Teresa menahan napasnya, amarahnya bangkit.
Cuma Heather yang masih tetap tenang. "Kok kamu jadi sewot
sih, Danielle. Kita kan cuma mau tahu cerita yang sebenarnya." Ia lalu
menyandarkan tubuhnya ke depan, berbisik dengan suara pelan,
"Kadang-kadang kebenaran memang menyakitkan. Tul, nggak?"
Komentar itu bagaikan pisau yang menghujam jantung
Danielle. Heather tak menyadari bahwa ia benar. Kisah cinta Danielle
dan Don James memang mengasyikkan. Namun hal itu tak pantas
diumbar pada teman-temannya.
Teman-temannya takkan dapat mengerti mengapa ia sampai
batal menonton konser itu. Mereka pasti akan tertawa kalau ia
menceritakan bahwa ia telah menghabiskan malam minggunya
menonton video buatan sendiri di ruang bawah tanah rumah Don
James. Itu tak adil! Kalau Don memang sayang padanya, ia harus
menunjukkannya supaya teman-temannya tahu. Apakah dengan
bunga, permen, musik atau berjalan-jalan di bawah cahaya rembulan.
Don tak pernah ingat untuk memberikan perhatian-perhatian kecil
yang patut diperoleh seorang gadis seperti Danielle!
Ia harus mengatakan sesuatu pada cowok itu, menggandeng
tangannya dan mengajaknya menikmati kisah cinta mereka yang
menyenangkan. Angan-angan Danielle pada cowok itu terlalu tinggi.
Sekali cowok itu berada dalam genggamanya, maka dia harus
menuruti semua yang diinginkan Danielle.
Namun saat ini Danielle perlu mencari jalan keluar dari keadaan
yang tidak menyenangkan ini? dan menyelamatkan mukanya dari
teman-temannya. Sambil mengunyah sepotong roti, ia mengamati wajah kedua
temannya. Mereka mengingatkannya akan burung nasar, yang
berputar-putar lalu menukik dengan tajam, siap untuk mematuknya.
Bibir Teresa berkerut di bawah hidungnya yang mendongak itu,
sementara Heather memandang dengan tajam dan menyunggingkan
senyumnya. Kadang-kadang Danielle heran, kok mau-maunya ia bergaul
dengan anak-anak sombong itu. Mereka selalu bersaing, dan tak
punya rasa belas kasihan.
Di lain pihak, Heather dan Teresa adalah dua gadis paling
populer dan paling digandrungi di Akademi Atwood yang eksklusif
itu. Kalau bicara soal uang, golongan dan kecantikan, Danielle tak
dapat menyangkal bahwa ia termasuk dalam kelas mereka.
Meskipun Danielle merasa capai dan sebal karena harus
bersandiwara terus, namun ia bertekad untuk memenangkan babak
yang terakhir. Pokoknya, setelah malam ini kisah cintanya dengan
Don akan membuat iri cewek-cewek di Merivale. Mereka takkan
melecehkannya lagi, tapi malahan akan memburunya untuk meminta
pendapatnya mengenai cowok-cowok mereka.
Setelah ia dan Don berhasil menarik perhatian orang-orang di
Overlook malam ini, maka kedua sobatnya itu terpaksa menjilat ludah
mereka kembali. "Oke, kalau kalian mau bukti, akan kutunjukkan," tantang
Danielle. "Meskipun aku tak tahu mengapa kalian nggak percaya.
Jelas kalau kalian itu ngiri padaku," sindirnya. "Tul kan?"
"Wah, menurutku sih, nggak ada yang perlu diiriin," bentak
Teresa seraya mengangkat hidungnya yang berbintik-bintik.
Pelayan restoran datang, menawarkan hidangan penutup dan
kopi. Waktu ketiga gadis itu menolak, ia lalu membawakan bon
mereka dan meletakkannya di meja? tepat di depan Teresa!
Dengan tangannya Danielle menutupi wajahnya yang
tersenyum puas. Sejak mereka sepakat untuk makan secara teratur di
L'Argent, mereka membuat suatu permainan kecil. Siapa pun yang
disodori bon oleh pelayan, maka dialah yang harus membayar apa
yang mereka makan. Malam ini Teresa kalah! Danielle merasa senang temannya
yang sombong itu kalah dalam permainan, meskipun tak seorang pun
di antara mereka punya masalah untuk membayar. Teresa dan Heather
mempunyai uang saku yang tak terbatas.
"Baiklah..." Danielle berdiri, melipat serbetnya dan menaruhnya
di atas meja. "Aku harus pergi. Overlook benar-benar romantis malam
ini. Tentu saja Don dan aku takkan menyia-nyiakan kesempatan ini."
"Overlook?" mata cokelat Heather terangkat mendengar tempat
paling populer bagi anak-anak muda itu disebut. "Kedengarannya
terlalu hot dan berat bagi seorang cewek yang punya cowok
khayalan." "Ya, benar,"jawab Danielle. "Jadi aku tak berharap akan
bertemu dengan kalian berdua." Gadis itu lalu menyampirkan tas
kulitnya di bahu dan mengibaskan rambutnya yang merah.
"Trims untuk makan malamnya," ujarnya padaTeresa. Dan
terimakasih banyak untuk nasihatmu!
************
Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Saat Danielle berjalan melintasi lantai dasar Merivale Mall
menuju pintu keluar, Lori masih melayani para pengunjung yang antri
untuk makan malam di Tio's.
Meskipun masih ada kira-kira enam orang lagi di deretan,
namun pikiran Lori melayang-layang. Ia bergerak laksana robot,
menuang soda, membubuhi keju di atas beef enchiladas, dan
tersenyum ramah pada tiap pelangggan.
Namun saat itu pikirannya terganggu oleh Nora Pringle.
Bagaimana wanita itu dapat hidup tanpa bantuan orang lain? Lori
berniat untuk menceritakan padanya tentang badan sosial itu. Tetapi
bagaimana caranya mendekati Nora? Wanita miskin itu tampaknya
sangat malu dan takut untuk berhubungan dengan orang lain.
Kesibukan di rumah makan itu masih berlangsung saat Lori
menangkap bayangan apa yang dipikirkannya. Lengkap dengan topi
ungu dan pakaiannya yang compang-camping, Nora Pringle perlahanlahan melewati pintu masuk Tio.
Melihat wajah wanita yang memelas itu membuat Lori
menghela napas. Ia tak dapat meninggalkan meja kasir sekarang, tak
mungkin meninggalkan empat orang lagi yang lapar di depannya.
Lori berusaha menekan rasa ketidakberdayaannya. Pasti ada
sesuatu yang dapat dilakukannya untuk Nora! Ia tak kaya, tetapi ia
punya tekad. Bukankah ia punya sesuatu untuk ditawarkan?
Sesaat kemudian sebuah ide muncul dalam pikiran Lori. Ia
punya kepandaian menjahit, sementara Nora Pringle membutuhkan
pakaian. Lori bisa mulai dengan baju-baju bekas ibunya,
merombaknya menjadi baju masa kini dan menyesuaikan ukurannya
dengan tubuh Nora! Begitu ide tadi timbul dalam pikirannya, harapan Lori bangkit
kembali. Nona Pringle akan berubah dengan rancangan Lori!
Setelah itu, jika es telah mulai mencair, Lori akan menggunakan
kesempatan untuk menceritakan tentang badan sosial Mimi Turner.
Gembira dengan semangat barunya, Lori menyerahkan nampan
berisi makanan pada seorang pelanggan. "Terima kasih Pak, dan
silakan datang lagi!" ujarnya sambil tersenyum cerah.
Sambil mengedipkan matanya lelaki itu mengambil nampannya.
"Sekarang aku tahu, apa arti kata-kata layani dengan senyum!"
Sepuluh Semuanya kacau hari ini! Sambil menyandarkan tubuhnya di kursi, Danielle menghela
napas dan menatap atap terbuka di atas mobilnya. Langit yang gelap
penuh bertaburan bintang-bintang yang berkerlap-kerlip.
Pemandangan di Overlook benar-benar indah. Namun saat itu
perasaan Danielle sedang hampa.
Akhirnya, ia dan Don pergi juga ke tempat kencan paling
romantis di Merivale. Danielle begitu bersemangat dengan
rencananya... waktu ia menyadari wajah Don yang murung.
Dengan tangan terlipat dan mata menatap lurus ke depan, Don
tampak seperti seorang terdakwa yang siap menunggu dijatuhkannya
hukuman. Ya ampun! Jangan lagi! Ia tahu Don memang sedang
menghadapi berbagai macam masalah, namun lama-lama hal itu jadi
menyebalkan juga! Kapan sih, cowok itu bisa melupakan masalahnya
dan berkonsentrasi penuh padanya?
"Kau ingin menceritakan masalahmu?" tanya Danielle sambil
merapatkan giginya, berusaha untuk tampak seperti seorang cewek
yang penuh tanggung jawab.
Sambil menggosok-gosok matanya, Don menghela napas. "Apa
itu perlu?" Waktu Danielle mengangguk, Don menjelaskan. "Ada perang
lagi di rumah. Ibuku mengambil pekerjaan sampingan untuk mendapat
tambahan uang, dan ayahku marah-marah. Rasanya aku seperti
berjalan di atas bara api, deh. Dan sekarang mereka menganggap
bahwa itu semua adalah salahku. Pengeluaran mereka bertambah
karena aku ada di sana."
"Tapi itu kan bukan salahmu. Nggak bisa dong, mereka
menyalahkanmu!" Don mengangkat bahunya. "Mana aku tahu? Semua yang
kulakukan selalu salah. Mereka marah aku tinggal bersama mereka,
tapi mereka pun tak mengijinkan aku pergi."
"Tapi kau kan sudah tujuh belas tahun!" protes Danielle.
"Mengapa mereka memperlakukanmu seperti anak kecil?"
"Siapa yang tahu, mengapa orangtuaku bisa bersikap begitu
aneh? Mereka sudah kehilangan kepercayaan diri, jadi mereka
menyalahkan aku. Akulah satu-satunya orang yang bisa mereka
tekan? atau begitulah kira-kira. Kadang-kadang aku ingin kabur
dengan motorku saja. Masuk ke rute 32 menuju ke perbatasan,
langsung pergi jauh."
"Kedengarannya asyik juga, tuh. Tapi ajak aku juga, dong,"
goda Danielle. "Tentu dong, Red. Kau dan aku, kita pergi ke tempat jauh yang
lebih baik." "Seperti cowok dalam filmmu itu," tambah Danielle.
Mata hitam Don berbinar-binar. "Persis." Seolah larut dalam
angan-angannya, tangan Don mencengkeram erat setir mobil Danielle.
"Tahu nggak," lanjutnya. "Aku telah memikirkan saranmu
tentang film itu. Aku harus menelepon ke California, tapi akhirnya
aku mendapat alamat studio di mana George Colby membuat filmfilmnya. Aku akan mengirim kopi filmku besok."
"Bagus! Aku doakan semoga sukses."
Senyuman Don menyadarkan Danielle, mengapa ia mau repotrepotnya mendengarkan masalah Don. Ia selalu ingin berada dekat
dengan cowok itu meskipun keadaan sedang tak enak. Ia benar-benar
jatuh cinta pada cowok itu!
"Dengar Red. Apa pun yang terjadi dengan filmku, kau akan
mendapat sepuluh persen dari untungnya, ya. Sesuai Standard para
agen." Tapi aku ingin seratus persen hatimu!
Bayangan kelam terbayang di mata Danielle yang hijau. Ia tahu
bahwa Don sedang mengalami masa-masa yang sulit, tapi bagaimana
dengan dia? Bukankah ia juga butuh perhatian dan hak dalam
hubungan mereka? Don merasa ada sesuatu yang tak beres. Ia menyipitkan
matanya, sambil mengamati wajah Danielle. "Sepanjang malam ini
kita cuma ngomongin tentang aku saja. Aku tahu ada sesuatu yang
mengganggu wajahmu yang cantik ini. Ada apa, sih?"
Sekarang atau tidak selamanya. Danielle harus mengatakan isi
hatinya secara blak-blakan atau menyerah saja. Nggak ada gunanya
membina hubungan yang hambar dengan Don James. Kalau ia
menginginkan hubungan yang romantis, maka ia harus berjuang untuk
itu. "Ini... ini tentang kita." Danielle terdiam sesaat dan menarik
napas dalam-dalam. "Kamu tahu kan perasaanku padamu?" ia
bertanya dengan air mata menggenang di pelupuk matanya.
Don mengulurkan tangannya dan membelai tangan gadis itu.
"Ada apa, Red?"
"Begini..." Suara Danielle terdengar rendah dan parau. Tadinya
ia bermaksud untuk menumpahkan air matanya agar Don merasa iba,
tapi kini emosinya benar-benar tertumpah. Pembicaraan ini bisa
memperbaiki atau malah merusak hubungannya dengan Don.
"Aku selalu berpikir bahwa kamu sayang padaku," bisiknya.
"Tapi akhir-akhir ini aku jadi sangsi."
Tak mampu menatap wajah Don, Danielle memalingkan
wajahnya ke kaca depan mobil. "Aku mulai ragu, waktu kita nggak
jadi ke Philadelphia. Aku jadi berpikir, apa yang biasanya dilakukan
seorang cowok bagi cewek yang disayanginya. Kau tahu... hal-hal
kecil, seperti permen, atau bunga."
Danielle terdiam, berharap Don menyetujuinya.
Namun kesunyian yang berkepanjangan membuat Danielle
semakin gelisah. "Aku jadi sedih karena... karena aku suka kamu," ujarnya
dengan cangggung. Kenapa ia harus mengungkapkan perasaannya dengan terus
terang? Danielle tak suka mengungkapkan isi hatinya. Ia ingin
hidupnya selalu sempurna dan mengungkapkan kesedihannya, sama
saja dengan mengaku kalah.
Don membawa tangan gadis itu ke bibirnya dan mengecup
jemarinya dengan lembut. "Maaf, Red. Kau kan tahu aku takkan
pernah menyakitimu, apa lagi dengan sengaja."
Saat Danielle menatap wajah Don, dilihatnya mata cowok itu
yang kelam dan ekspresi wajahnya yang serius. Apa yang
diucapkannya memang benar! Danielle menelan ludah dengan susah
payah, ia berusaha keras untuk tidak menangis. Sekali ini dalam
hidupnya, ia menemukan seseorang yang benar-benar menyayanginya.
"Jujur deh, aku nggak sadar telah membuatmu kecewa." Don
mengulurkan tangannya, mencoba menghapus air mata yang
menggenang di pelupuk mata gadis itu. Tangannya bergerak di pipi
gadis itu, lalu turun ke dagunya.
Sentuhannya membuat Danielle berdebar. Coba Teresa dan
Heather melihatnya! pikirnya. Ia merasa lega bahwa Don mengerti
perasaannya. "Aku ingin membuatmu bahagia," gumam cowok itu,
tangannya bergerak ke leher gadis itu terus ke tengkuknya. Suaranya
terdengar rendah. "Duuuh Red, kau kan tahu aku benar-benar sayang
padamu." Lalu ia mencium gadis itu.
Dalam pelukan Don, Danielle merasa dirinya melayang-layang
di langit gelap, yang dipenuhi bintang-bintang yang berkerlap-kerlip
di atas mereka. Dan dia bagaikan sebutir berlian, yang bercahaya di
langit, bintang yang paling terang di angkasa.
Danielle sedang jatuh cinta, dan Don juga tergila-gila padanya.
Dalam dekapan Don, Danielle berdoa semoga hal itu akan
berlangsung untuk selamanya.
************* Benar-benar mengasyikkan!
Don James memperhatikan waktu Danielle melangkah menaiki
anak tangga dan menghilang dalam rumah besar keluarga Sharp.
Ia menyukai gadis itu, sejak mereka duduk di kelas enam.
Lampu serambi berkedip-kedip beberapa kali? itulah isyarat
Danielle untuk mengatakan selamat tinggal.
Don menyalakan mesin motornya, suaranya menderu menuruni
pekarangan yang berliku-liku itu. Setelah melewati pintu baja di ujung
pekarangan, ia membelokkan motornya ke jalanan, menjauhi rumah
itu. Ia tahu bahwa malam telah larut. Ia dan Red telah
menghabiskan waktu berjam-jam di Overlook. Ibunya pasti akan
marah-marah lagi, tetapi tak apalah.
Sekarang ini ada sesuatu yang harus dipikirkannya. Ia harus
menuju ke suatu tempat. Don mempercepat laju motornya, angin malam menerpa
tubuhnya, menggetarkan lengan panjang kemeja katunnya. Malam itu
udara terasa hangat, sehingga Don melipat jaket kulitnya di belakang
motornya. Banyak hal yang sedang dipikirkan Don James. Orangtuanya
benar-benar menjengkelkan, dan filmnya memerlukan waktu yang
cukup banyak. Pikirannya penuh dengan hal-hal tersebut, namun
Danielle-lah yang paling penting.
Red. Danielle Sharp. Cantik, menarik, pintar, licin bagaikan es. Kadang-kadang
terlalu percaya diri, tetapi Don tahu dari mana datangnya Danielle.
Orang yang tinggal dalam rumah besar di bukit pun pasti punya
masalah. Don menyadari bahwa orang-orang kaya pun punya masalah
juga, sama seperti orang lain di dunia ini.
Ia dan Danielle juga mempunyai masalah. Sesekali gadis itu
meributkan pakaian Don. Ia ingin Don mengenakan baju mahal seperti
teman-temannya di sekolah bergengsi itu.
Don memang ingin membuat Danielle bahagia, tetapi ia harus
jujur pada dirinya. Ia takkan pernah mengenakan baju mahal? meski
untuk Red sekalipun. Tetapi segalanya begitu berbeda kini. Seperti yang dikatakan
Zack, ia akan kehilangan semuanya itu. Don akan terjungkal karena
cewek kaya berambut merah itu, terjungkal dan jatuh dengan
kerasnya. Kadang-kadang Don hampir tak percaya bahwa Danielle
menyukainya. Teman-temannya telah sering memperingatinya tentang
langkahnya yang kelewat jauh, berkencan dengan cewek kaya dari
Wood Hollow Hills, lingkungan paling bergengsi di Merivale.
Don tak punya uang untuk bersaing dengan cowok-cowok di
sekolah gadis itu, tapi tampaknya Danielle seakan tak peduli.
Batu-batu kerikil berhamburan di belakang ban motornya saat ia
menginjak rem. Tak ada lagi mobil yang lewat di situ pada malam
selarut itu. Berada sendirian di pinggir kota dengan hanya ditemani
bintang-bintang yang meneranginya. Don melajukan mesin motornya
dan terus berlalu. Jadi, apa yang dapat membuat Danielle bahagia? Ia toh dapat
berkencan sebaik cowok-cowok lain. Dan untuk pertama kali dalam
hidupnya, ia ingin melakukannya. Don ingin melakukannya untuk
Danielle. Mulai besok, Danielle takkan tahu apa yang akan dihadapinya.
Sebelas "Apa sih, ini?" tanya Teresa seraya menunjuk isi loker Danielle.
Jantung Danielle serasa berhenti ketika ia menghentikan
langkahnya di koridor Akademi Atwood.
"Bunga! Pasti untukmu." Heather meraih tangan Danielle dan
menghelanya ke tempat itu.
Sebuah keranjang rotan berisi bunga-bunga mawar warna
merah dihiasi dengan pita yang mungil tergantung di handel loker
Danielle. Pasti dari Don! Ingin rasanya Danielle melompat-lompat
kegirangan, tetapi ia berusaha keras menahan dirinya dan hanya
melemparkan senyum bangga pada teman-temannya. Jelas sudah,
pembicaraannya dengan Don tadi malam membuahkan hasil.
"Ada kartunya, lho," Teresa mengulurkan tangannya ke dalam
keranjang bunga itu dan meraih sebuah amplop kecil. "Apa
tulisannya?" ia bertanya sambil menyerahkan kartu itu pada Danielle
dengan penuh rasa ingin tahu.
Mata hijau Danielle berbinar-binar karena bahagia.
Dibandingkan dengan tingkah laku Don, kartu ini benar-benar
romantis. "Jelas ini dari Don," ujarnya seraya menyerahkan kartu itu
pada Teresa. "Mawar merah untuk seorang gadis cantik berambut merah,"
ujar Teresa, sambil membaca tulisan Don. "Puitis sekali."
"Coba kulihat!" Masih ragu-ragu Heather meraih tulisan itu.
Setelah membacanya, ia menyerahkan kartu tadi pada Danielle, dan
menyentuh bunga yang halus itu dengan jarinya. "Wah, wah, wah,"
ujarnya. "Mungkin masih ada harapan bagi si cowok keren itu."
"Lebih dari harapan dong," bantah Danielle, sambil meraih
keranjang bunga itu dan mencium harumnya mawar itu dalam-dalam.
"Tahu nggak artinya kalau cowok kirim bunga merah? Merah kan
artinya cinta yang membara!"
*********** Cokelat?diimpor dari Swiss!
Bingkisan itu terletak di serambi depan rumahnya saat Danielle
pulang dari sekolah. Ia gembira sekali, sampai nyaris lupa diri.
Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Akhirnya, Don mengerti juga! Tak lama lagi semua orang akan
tahu ia adalah pria idaman yang baik? dan kisah cinta mereka akan
tercatat dalam sejarah Merivale.
Tanpa ragu-ragu sedikit pun juga Danielle meraih kotak tadi
dan berlari ke atas tangga, menuju kamarnya. Saatnya untuk
menelepon! Perkembangan yang luar biasa ini harus dilaporkan pada Teresa
dan Heather. Sekali mereka tahu, kabar itu akan tersebar ke seluruh
kota! Dengan santai Danielle melepas sepatunya sambil berselonjor
di sofa putih dan meletakkan telepon ke pangkuannya.
Memang, status orang-orang beken tergantung pada telepon.
Sambil tersenyum, ia memencet nomor telepon Heather. Setidaktidaknya ada satu keuntungan berteman dengan tukang gosip paling
top di kota ini! ************* Dalam beberapa hari saja gosip di Merivale ramai dengan berita
utama yang baru. Sudah dengar belum tentang Danielle Sharp dan Don James?
pasangan paling sensasional di Merivale?
Gosip itu bertambah seru dengan tambahan bermacam-macam
bumbu dan ramalan yang bukan-bukan.
"Kurasa kalian berdua ditakdirkan untuk bersama deh?
selamanya!" ujar seorang anak tingkat dua pada Danielle, saat mereka
bersama-sama sedang antri makan siang di sekolah.
Meskipun Danielle biasanya mengabaikan adik-adik kelasnya,
namun kali ini ia tersenyum pada gadis itu sebelum membayar di
kasir. Kantin Akademi Atwood selalu ramai dengan suara-suara
obrolan pada saat makan siang. Dan akhir-akhir ini, nampaknya
Danielle sedang menjadi pusat perhatian. Teman-teman yang tertarik
lalu berkerumun di meja Danielle, ingin mendengar tentang kisah
cinta paling romantis di Merivale.
"Mobilmu terlihat di Overlook tadi malam, ya," ujar Ashley
Sheppard. "Sudah tiga malam berturutan, lho," tambah Heather. "Wah
nggak lama lagi kau akan memecahkan rekor lokal dong!"
Cewek-cewek yang berkerumun di meja itu tertawa-tawa,
namun mereka segera terdiam begitu Danielle membeberkan
kencannya dengan Don James tadi malam.
Meskipun Danielle senang menjadi pusat perhatian, namun ia
pun merasakan bahwa kisah cintanya yang hot itu menghabiskan
waktu luangnya. Ia dan Don pergi bersama-sama secara teratur,
belanja di Merivale, makan, nonton, atau memarkir mobil di Overlook
untuk menatap bintang-bintang di langit.
Dan saat ia tidak bersama Don, Danielle sibuk menyuapi mulut
para biang gosip yang tak pernah puas itu.
Pada hari Rabu malam, ia seperti orang yang paling beken saja.
Seakan-akan setiap orang tahu siapa dia, dan apa yang dilakukannya
setiap saat. Sambil menatap air mancur yang gemericik di lantai pertama
Merrivale Mall, Danielle menyadari arti sebuah ketenaran saat ia
menunggu Don muncul. "Kau pasti Danielle Sharp, kan?"
Rambutnya yang merah berkelebat di bahunya saat Danielle
menoleh. Suara itu milik seorang gadis bertubuh pendek yang
wajahnya berbintik-bintik dan berkacamata. Sekarang orang-orang
yang tidak dikenalnya pun merasa ingin dekat dengannya!
Mata Danielle berpaling, "Ya, itu saya."
"Apa benar pacarmu akan mengajakmu makan malam di
L'Argent malam ini?" tebak gadis tadi.
"Memangnya kau siapa?wartawan dari Merivale Equirer?"
bentak Danielle. "Pergi sana!"
Sambil mengangkat bahunya, cewek bertubuh pendek tadi
berbalik dan bergabung kembali dengan teman-temannya. Tak lama
kemudian gerombolan cewek-cewek tadi tertawa cekikikan begitu
cewek bertubuh pendek itu menyampaikan laporannya sambil
menunjuk-nunjuk Danielle.
"Monyong, kau!" maki Danielle dalam hati. Kini, begitu kisah
cintanya mulai menggebu, anak-anak kecil pun ingin tahu urusannya.
Tapi itu kan harga yang tak seberapa dibandingkan dengan
kepopulerannya. Malam ini, ia dan.Don akan menikmati makan
malam yang anggun di L'Argent. Setelah itu mungkin mereka akan
menghabiskan waktu memandangi bintang-bintang di Overlook.
Tentu saja Danielle tak dapat bergadang hingga larut malam.
Guru sejarahnya akan memberikan test yang lumayan sulit besok pagi,
dan minggu ini ia belum sempat membuka-buka bukunya. Tetapi
siapa yang bisa berkonsentrasi pada sejarah lama kalau udara sedang
dipenuhi oleh cinta? Saat Danielle mengalihkan pandangannya dari air mancur,
bayangan jaket kulit yang keren menarik perhatiannya. Terbuat dari
kulit warna cokelat, jaket itu dihiasi dengan jumbaian bulu-bulu
merah. Danielle merasa heran bahwa baju bergaya Western yang unik
itu mampu menarik perhatiannya. Modelnya sungguh berbeda dengan
yang dipajang di Facades dan High Hats musim ini. Tetapi yang lebih
mengherankan lagi adalah bahwa cewek yang mengenakan baju itu
adalah sepupunya, Lori Randall.
"Hai Danielle," sapa Lori dengan tampang secerah sinar mentari
pagi. "Apa kabar?"
"Oke dong." Dengan cepat Danielle melirik ke sekitarnya untuk
memastikan tak seorang pun dari teman-temannya yang sombong ada
di tempat itu. Berteman dengan anak Merivale High adalah hal yang
tabu? meskipun anak itu adalah sepupunya sendiri. "Kurasa kau
sudah mendengar cerita tentang diriku yang terakhir?"
"Jelas, dong." Bahkan gosip paling elit di Atwood sampai juga
ke sekolah Lori. "Selamat, deh!"
Dengan gaya acuh tak acuh Danielle mengibaskan rambutnya
ke samping bahunya. "Yah, begitulah," ujarnya, sambil menatap
pakaian Lori dengan lebih saksama. Sekali ini sepupunya tidak
mengenakan seragamnya yang norak itu. "Jaketmu bagus, deh,"
ujarnya dengan tulus. Langsing, cantik, kaya dan sedang jatuh cinta,
Danielle bisa berubah menjadi seseorang yang sangat ramah.
"Trims." Lori memang merasa bangga dengan jaketnya itu. Ia
menemukan selembar kulit di toko, menjahitnya dan menambahkan
jumbai-jumbai dari bulu untuk membuatnya menarik. Hasilnya benarbenar merupakan kreasi Lori Randall yang menakjubkan.
"Ngomong-ngomong, aku lagi nunggu Tuan Kece nih," jelas
Danielle. "Dan aku nunggu Nick di sini. Lihat dia, nggak?"
"Nggak, tuh." Beberapa waktu yang lalu, Danielle pernah
menaruh hati pada si keren Nick Hobart. Persaingan antara kedua
sepupu itu membuat hubungan mereka sedikit tegang. Tetapi tak lama
setelah itu Nick memilih Lori? dan bagi Danielle kini hal itu bukan
masalah, apa lagi kisah cintanya dengan Don semakin menyakinkan.
"Oh, jadi begitu ceritanya ya?" goda Lori. "Aku mendengar
beberapa cerita glamour tentang kau dan Don, dan aku tak tahu apa itu
betul." "Percaya deh!" senyum lembut merebak di wajah Danielle yang
cantik. "Aku nggak tahu apa yang kau dengar, tapi Don... ah, dia
memang cowok yang hebat. Benar lho, Lor. Maksudku, rasanya aku
benar-benar jatuh cinta padanya."
"Danielle! Itu bagus dong!" dengan sukacita Lori memeluk
sepupunya. "Aku ikut senang! Cinta itu asyik, ya?"
Gembira dengan reaksi sepupunya, Danielle tak begitu merasa
keberatan dipeluk gadis itu di tengah keramaian Merivale Mall. Pasti
Heather dan Teresa akan membuang muka kalau melihatnya, tetapi
sikap Danielle jadi agak lembut karena ia sedang jatuh cinta.
"Ups?itu Nick," ujar Lori sambil menunjuk ke arah pacarnya
yang berada di eskalator. "Ikut yuk, untuk sekedar menyapanya?"
"Nggak ah." Danielle menatap jam tangannya yang bertaburkan
berlian itu. "Don pasti datang sebentar lagi."
Mata biru Lori bersinar-sinar bijak. Tidak biasanya sepupunya
itu begitu bernapsu menunggu seorang cowok. Dulu Danielle selalu
membuat cowok-cowok siap menunggu perintahnya.
Mungkin gosip itu benar, bahwa Danielle sedang jatuh cinta
pada Don James. ************* "Aku tahu kau pasti sibuk," ujar Nick begitu ia mengintip ke
dalam sebuah kotak kardus yang ada di tangannya. "Inikah sebabnya
aku tak pernah melihatmu lagi?"
"Senang deh, kau merasa kangen." Lori tertawa. "Tapi aku kan
cuma menghabiskan beberapa malam di depan mesin jahit."
Senyuman menggoda muncul di depan wajah Nick. "Jadi,
sainganku rupanya jarum dan lubang kancing ya?"
"Tapi kau kelihatan tambah keren, deh!" Sambil mengangkat
kotak kardus yang ketiga, Lori menutup bagasi mobil Triumph
merahnya. Meskipun Spitfire itu sudah tua, tetapi mobil itu
merupakan kebanggaan dan kesenangannya. Lori telah bersusah payah
menabung untuk membeli mobil kecil itu.
"Apa selanjutnya, bos?" mata biru Nick berbinar menggoda.
"Bos? Wah, aku senang mendengaranya." Lori tertawa
cekikikan, sambil menunjuk ke seberang tempat parkir. "Kita ke
mall!" Begitu keduanya melangkahkan kaki menuju pintu masuk
Merivale Mall, Lori merasa ragu kalau-kalau rencananya dapat
berjalan dengan baik. Akhirnya rencananya terlaksana juga. Dengan
hampir selusin baju yang telah diperbaiki, Nora Pringle boleh memilih
sesuatu yang disukainya di antara koleksi Lori.
Setelah itu Lori akan mendapat kesempatan.
"Di mana kau akan meletakkan barang-barang ini?" tanya Nick,
langkahnya berhenti di samping lift kaca.
"Coba kita lihat..." Mata biru Lori mengamat-amati lantai
pertama mall. "Di sana, di samping bangku itu."
Ia menunjuk tempat di antara Tio's dan Toko Obat Merivale.
Karena ia harus kerja sejam lagi, maka ia ingin meletakkan kotakkotak tadi di tempat yang terdekat.
Lori meletakkan kotak-kotak tadi di samping bangku. Ia
mengambil secarik tulisan dan meletakkannya dekat kotak-kotak itu.
BAJU-BAJU GRATIS?AMBIL SENDIRI!
"Nah!" Sambil tersenyum, ia melangkah mundur dan
memperhatikan peragaan kecil itu. "Pasti berhasil. Kalau Nora melihat
tulisan itu, mungkin ia mau mengambil beberapa baju."
Sambil merangkul bahu Lori, Nick berkata, "Semoga
rencanamu berhasil?demi Nora dan kau juga."
Sementara Lori memperhatikan baju-baju itu dari kejauhan,
Nick pergi menuju The Big Scoop untuk membeli es krim soda.
Tak lama kemudian dua orang gadis SMP berjalan mendekati
kotak. Itu bukan untuk kalian! ingin rasanya Lori berteriak. Tetapi ia
hanya mampu memperhatikan saja saat kedua gadis tadi memilahmilah pakaian, membentangkan beberapa baju dan mengamatamatinya.
Akhirnya mereka menyingkir?tanpa mengambil apa-apa.
"Kelihatannya sih cukup bagus, tapi modelnya terlalu tua
untukku." Lori mendengar salah seorang gadis berkomentar.
Bagus! pikir Lori. Baju-baju itu memang cocok untuk Nora.
Beberapa menit kemudian, Lori hampir tak mempercayai
matanya. Nora Pringle berjalan melintasi bagian tengah mall,
langsung menuju ke tempat di mana pakaian-pakaian itu berada!
Jantung Lori berdebar gembira, ia melompat dan memasukkan
tangannya yang gemetaran ke dalam kantung jaketnya. Ia berusaha
untuk tetap tenang, sambil menatap dan menunggu.
Ketika Nora melihat tulisan itu, ia berhenti. Lori tersenyum saat
dilihatnya Nora meletakkan kantung-kantung belanjaannya ke lantai
dan dengan hati-hati menjengukkan kepalanya, penuh rasa ingin tahu,
pada kotak-kotak berisi pakaian itu. Ebukulawas.blogspot.com
Yakin bahwa Nora merasa tertarik, Lori baru saja akan
melangkah menghampiri waktu dilihatnya Nora mengambil barangbarangnya dan meninggalkan tempat itu?tanpa mengambil sepotong
pakaian pun. "Tunggu! Jangan pergi dengan tangan kosong!" panggil Lori
dengan putus asa. Tetapi Nora Pringle sudah terlalu jauh untuk dapat mendengar
kata-katanya. Kekecewaan melanda Lori saat ia melangkah mendekati kotakkotak dan mengambil tulisan itu.
Mengapa wanita itu tak mengambilnya?
Ia mengambil baju biru laut, baju lama ibunya yang telah
diubahnya menjadi rompi dengan potongan pendek. Dirabanya baju
wol yang lembut itu, berusaha untuk tidak menyesal. Ia telah bekerja
begitu keras untuk dapat merombak baju-baju itu. Tidur larut malam,
dan bangun pagi-pagi sekali.
Tetapi rencananya telah gagal.
Meskipun Lori bukan orang yang gampang menyerah, namun ia
harus mengakui betapa sulit baginya untuk mendekati Nora Pringle.
Kalau wanita itu tak ingin dibantu, Lori juga tidak dapat memaksanya
untuk menerima bantuan. "Ada apa?" tanya Nick dengan mata lebar karena cemas.
Seperti biasanya, selalu ada kilatan cahaya setiap kali mata
mereka bertemu. Bersyukurlah untuk hal-hal yang indah dalam
hidupmu, tegur Lori pada dirinya sendiri. Bergembiralah bahwa kau
ada di sini, di samping Nick Hobart?yang sedang memegang es krim
soda yang enaaak sekali! "Sudah ngomong belum dengan Nora?" tanya Nick.
"Belum," Lori menghela napas, sambil menaruh baju biru laut
itu kembali ke dalam kotak. "Rasanya aku harus mengakui bahwa
Nora Pringle amat sangat sulit untuk dijangkau."
Dua belas Pagi-pagi begini kok sudah ribut-ribut, sih?
Danielle memicingkan matanya, dan baru sebagian yang
dipolesnya dengan eyeliner, waktu terdengar teriakan-teriakan di
rumah itu. Orang tuanya sedang bertengkar lagi.
Heran, apa mereka bertengkar tentang aku ya? Sambil
memegang pensil mata warna hijau, Danielle berjingkat-jingkat ke
ruang keluarga untuk menguping pembicaraan mereka.
"Aku bosan, Michael," teriak ibunya. "Bosan dan capai tinggal
di tempat yang terpencil ini! Kenapa kita nggak pindah saja ke kota, di
mana...." Lagu lama lagi. Sudah lama Ibu Danielle ingin pindah dari
Merivale. "Memangnya kita cuma tinggal ngangkat koper dan pindah dari
sini!" balas Mike Sharp. "Seluruh bisnisku ada di sini! Semua
kontrakku, semua relasiku...."
Terus saja berantem. Untung, bukan dia sumber kemarahan mereka.
Danielle kembali ke kamarnya untuk bersiap ke sekolah.
Ia duduk di tempat tidur dan meraih sepasang sepatu kulit
warna merah lembut, lalu mengenakannya di luar celana jeansnya.
Sambil menguap lebar, ia merebahkan tubuhnya kembali ke tempat
tidur dan menutup matanya untuk beristirahat kembali dengan nyaman
selama kira-kira dua menit.
Meskipun asyik, pacaran itu benar-benar melelahkan. Semalam
ia dan Don pergi ke Overlook lagi untuk kelima kalinya secara
berturutan, memecahkan rekor lokal!
Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tetapi kisah cintanya yang melegenda itu meminta
pengorbanan. Ujian sejarahnya hancur, ia pun lupa membuat karangan
Bahasa Inggris yang harus diserahkannya besok, dan banyak membuat
kesalahan dalam esai Bahasa Perancis. Ia tak punya waktu untuk
teman-temannya lagi. Don merebut seluruh waktunya, setiap jam,
setiap hari. Danielle pun tak bisa mengeluh. Ia telah mendapatkan apa yang
diingininya. Kisah cinta memang berharga, tetapi cinta itu sendiri
benar-benar indah! Suara lengkingan di lantai bawah menyadarkannya kembali.
Mungkin sebaiknya ia menyelinap saja keluar tanpa ada yang
mendengar. Danielle merasa lapar, tetapi siapa yang mau sarapan di
tengah medan perang? *********** "Kamu Danielle Sharp, ya?"
Rahang Danielle mengeras saat mendengar suara yang tidak
dikenalnya itu. Kini setelah ia menjadi orang beken, ia tak punya
waktu yang santai lagi? baik di mall, maupun di Atwood.
Ia menyimpan buku-bukunya ke dalam loker, membanting
pintunya dan menatap wajah si usil.
"Ada apa, sih?" tanyanya. Dahinya berkerut seraya menatap
wajah seorang gadis bertubuh tinggi kurus yang mengenakan baju
olah raga para siswa tingkat pemula.
Wajah gadis itu merona merah, ia menundukkan kepalanya dan
menatap lantai di bawahnya. "Pacarmu," gumamnya.
"Apa katamu?" Danielle meletakkan tangannya di pinggulnya.
"Cepat katakan."
Dengan malu-malu anak tingkat pemula itu memberikan
selembar kertas yang lusuh ke tangan Danielle. "Ia menunggu di luar,
di belakang gedung olah raga. Hampir saja Bu Malon mengusirnya...
untung ia berhasil membujuknya."
Danielle membuka kertas yang lusuh itu.
Red? Kita pergi lihat matahari terbenam, yuk.
?D Sial, kenapa mesti hari ini? Kening Danielle berkerut saat ia
teringat akan makalah Bahasa Inggris yang harus segera disiapkannya.
Ia harus mengulang ujian sejarah, dan ia juga harus melatih
perbendaharaan Bahasa Perancisnya.
Tetapi Don menunggunya. Dan dalam cuaca secerah hari ini,
bagaimana mungkin ia menolak?
************* "Aku tahu kau pasti datang." Senyum Don menghujam jantung
Danielle. "Mana ada sih, cewek yang bisa menolak berboncengan
dengan motor gede ini."
"Jangan ge-er, ah," goda Danielle, sambil meraih helmnya dan
naik ke belakang sepeda motor Don.
Meskipun sejak kecil Danielle tinggal di Merivale, namun ia
belum pernah menjelajahi daerah pinggiran kota itu. Begitu sepeda
motor Don meraung menuju ke pegunungan, jantung Danielle
berdebar gembira. Angin berhembus, melambaikan ujung-ujung
rambutnya dan menggembungkan lengan panjang blus linennya,
mengingatkan bahwa ia adalah seorang gadis muda, hidup dan bebas.
Begitu Don membelok dari jalan utama, mereka memasuki
daerah yang diteduhi rimbunnya pepohonan evergreen. Udara
dipenuhi bau harum tumbuhan yang berbunga kuning, mawar-mawar
liar, tanah yang lembab dan pohon pinus, semuanya bercampur baur
dalam keharuman yang bahkan lebih harum daripada parfum Fallen
Angel-nya. "Pegangan yang kencang, Red," ujar Don padanya. "Jalanan di
depan mulai berbatu."
Danielle mengencangkan pegangannya, memeluk pinggang
Don erat-erat. Cukup erat untuk dapat merasakan detak jantung cowok
itu. Danielle menutup matanya dan menikmati saat-saat yang indah
itu. Surga! pikirnya. Rasanya seperti berada di surga.
Mereka masih berputar-putar, menembus dinginnya udara
pegunungan, terkadang melewati ladang-ladang dengan kawanan sapi
dan kuda yang sedang merumput.
Danielle selalu menyukai keliaran Don, tindak tanduknya yang
tanpa perhitungan. Namun kini, naik motor di udara terbuka dengan
dia, Danielle mulai mengerti idaman lelaki itu untuk kebebasan. Ada
suatu kekuatan di jalanan?kekuatan, energi dan harapan. Sebuah
dunia baru yang luar biasa menanti di balik bukit, di balik tikungan
berikutnya. Beberapa mil setelah menuruni jalanan mereka tiba di sebuah
tempat yang terbuka. Don mengarahkan motornya ke bawah bayangan
pohon oak, lalu mendorong standar motor dengan ujung sepatu
botnya. "Kita sudah sampai, non."
Danielle melompat dari motor dan melepaskan helmnya. Ia
memandang ke sekelilingnya, dan ia harus mengakui bahwa tempat itu
benar-benar menakjubkan. Selama ini ia selalu memilih untuk pergi ke
tengah keramaian kota daripada ke tempat yang sunyi seperti ini.
Memang, ia belum pernah berada di hutan sendirian bersama Don
James. "Nah, apa yang akan kita lakukan sekarang?" tanya Daniel.
"Makan." Don melepas helmnya dan menggantungkannya di
setang motor. "Makan apa? Apa kita akan mengais untuk mencari akar liar
dan buah berry? Berburu beruang? Mancing?" Danielle tak pemah
membayangka hal itu. Ia tak ingin kuku-kukunya menjadi kotor.
"Nggak dong." Don mengambil tas dari kantung belakang
motornya. "Terlalu banyak kerjaan. Aku bawa beberapa sandwich."
Jalan setapak di antara pepohonan di situ menuju ke sebuah
bukit berumput, dan di baliknya ada sebuah kolam yang airnya jernih
sekali. Don membentangkan sehelai kain di atas rerumputan,
sementara Danielle menyiapkan makanan.
"Sandwich, soda, buah-buahan, kue-kue kering..." mata
hijaunya Danielle berbinar-binar gembira. "Boleh juga untuk acara
mendadak ke pegunungan."
"Aku sih selalu ke gunung tanpa rencana," jelas Don.
Saat keduanya menikmati makan, mereka memandangi
sekawanan itik yang mencebur ke dalam danau di bawah. Don
menceritakan perkembangan terakhir orangtuanya?jelas bukan berita
yang baik. Namun ia juga bercerita bahwa ia telah mengirimkan
filmnya ke alamat George Colby.
"Tahu nggak," katanya, "suatu hari nanti kalau ayahku sedang
nonton televisi, dia akan terpaku pada layar di depannya, saat salah
satu filmku diputar."
Don tertawa. "Pengin tahu deh, bagaimana wajahnya, kalau dia
melihat namaku terpampang dalam daftar nama produsen. Ia selalu
mengatakan bahwa aku tak ada apa-apanya." Mata hitam Don bertemu
dengan mata gadis itu. "Aku tak sabar lagi untuk menunjukkan bahwa
ia keliru." "Kau pasti bisa." Danielle meyakinkan Don, matanya melebar
penuh pengertian. "Aku tahu bagaimana rasanya kalau tak dianggap di
rumah. Cobalah hidup dalam duniamu sendiri dan lupakan
orangtuamu." Don meraih tangan gadis itu, dan menarik Danielle ke dekatnya.
"Kau tahu, Red, untuk seorang gadis kaya banyak sekali yang
kau ketahui tentang masalah cowok."
Danielle menutup matanya. Sinar matahari terasa hangat di
wajahnya, ia ingin melebur dan membaur ke ladang yang dipenuhi
pohon semanggi di belakang mereka.
"Yah..." Ia menarik napas dalam-dalam, menikmati harumnya
bau pohon pinus. "Kupikir aku tahu apa yang akan kau lakukan
karena?karena aku juga punya masalah dengan orangtuaku."
"Aku nggak heran, kok."
Danielle membuka sebelah matanya, dan memandang Don
dengan curiga. "Memangnya kelihatan, ya?"
"Nggak juga sih. Semua orang di Merivale mengira bahwa
hidupmu bahagia sekali." Cowok itu membelai tangan Danielle. "Yah,
hampir semua orang. Aku kan bisa menilai karakter orang juga.
Waktu pertama kali aku bertemu ibumu, aku tahu bahwa dia tidak
bahagia." "Tidak bahagia? Itu sih terlalu halus. Dia sengsara?dan dia
selalu berusaha untuk membuat orang lain di rumah sengsara juga.
Kadang-kadang aku merasa ingin kabur saja, meninggalkan mereka."
Bekas-bekas kepedihan akibat keributan yang didengarnya tadi
pagi menusuk jantung Danielle, membuat tenggorokannya terasa
sesak karena tegang. Ia mulai menceritakan tentang keributan tadi
pagi pada Don, kemudian cerita-cerita lainnya pun meluncur keluar.
Tak lama kemudian tanpa dapat ditahannya, semua kisah
sedihnya mengalir keluar diiringi deraian air matanya. Danielle
menceritakan hal-hal yang tak pernah diceritakannya pada orang lain
di dunia ini. Ia menceritakan tentang rasa sedih dan perihnya saat
mendengar pertengkaran kedua orangtuanya, bagaimana kadangkadang ia terperangkap di antara mereka, dan kadang-kadang malah
diabaikan sama sekali. Tenggorokannya terasa serat dengan air matanya, namun ia
terus bercerita. "Aku tahu, mereka ingin yang terbaik bagiku. Tetapi
mobil mahal dan baju-baju buatan para perancang itu saja tidaklah
cukup. Aku ingin mempunyai keluarga?dengan orangtua yang rukun
dan saling mencintai satu sama lainnya."
Danielle mendengus. "Memang enak sih, punya uang banyak.
Tapi lebih baik ? lebih baik punya orang tua yang memperhatikan
aku," suaranya lenyap dalam isak tangisnya yang makin keras.
"Aku tahu," sahut Don, dengan lembut ia mengusap pipi gadis
itu. Ia merangkul bahu Danielle, dan mengguncangnya dengan
lembut. "Aku tahu bagaimana perasaanmu."
Ia merangkul gadis yang terisak-isak itu, dan dengan sabar
menunggu sampai isak tangisnya mereda.
Dalam rangkulan Don, Danielle merasa aman dan terlindung. Ia
tak merasa malu dengan tangisannya, malah perasaannya menjadi
lega, seolah-olah kesedihan yang terpendam selama bertahun-tahun
telah tersingkir. Danielle mengusap-usap matanya, dan tertawa. "Aku pasti
kelihatan kacau." "Kau kelihatan cantik kok, Red."
"Tahu nggak, aku tak pemah menceritakan tentang orangtuaku
pada orang lain. Tapi aku merasa bahwa kamu pasti mengerti."
"Aku ngerti, kok."
Mata Don yang berkabut itu menunjukkan bahwa ia berkata
jujur. Don memahaminya?mungkin lebih baik daripada ia
memahami dirinya sendiri.
Tiba-tiba saja Danielle merasa ingin menceritakan segalanya
pada Don. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa jatuh cinta?
dengan begitu tulusnya. Ia benar-benar jatuh cinta.
Angin dingin berhembus sepoi-sepoi menerpa mereka,
membuat Danielle gemetar. Kulitnya terasa perih, entah karena
terpaan angin atau karena pandangan mata Don.
Apakah aku akan mengatakan padanya? Apakah ia
mencintaiku? Jawabannya ada di mata Don. Jantung Danielle bergemuruh
hingga ke telinganya saat Danielle menyadari bahwa cowok itu akan
menciumnya. Don meraih dagu Danielle, lalu mengecup pipinya dengan
lembut. Danielle takkan pernah dapat melupakan peristiwa ini untuk
selamanya. Mereka menghabiskan waktu dengan berjalan-jalan di sekitar
danau, membicarakan keadaan rumah yang kacau balau.
Sambil merasakan hangatnya sinar mentari, mereka dudukduduk di dermaga tua di pinggir kolam itu, sambil melepas sepatu bot
mereka, dan merendam kaki di air yang dingin.
"Mau berenang?" tanya Don.
"Nggak usah, ya?" Danielle menceburkan kakinya ke air,
hingga menciprati Don. "Dingin sekali kan, airnya!"
Mereka juga menghabiskan waktu untuk bermalas-malasan di
padang rumput, sambil mencari tumbuhan semanggi berdaun empat.
"Ini ada yang berdaun enam." Don memetiknya dari antara
alang-alang. "Ini termasuk, nggak?"
"Nggak, dong," bantah Danielle. "Harus yang daunnya empat."
"Gimana kalau kita cabut dua?"
"Curang!" pekik Danielle, sambil melemparkan serumpun
semanggi ke arah Don. Sebelum senja berakhir, Danielle menemukan sekuntum
semanggi keberuntungannya. Dengan hati-hati ia memetiknya dan
memasukkannya ke dalam kantung jeansnya.
"Apa yang kau harapkan, Red?"
Danielle melemparkan senyumnya pada Don. "Kalau aku
katakan, pasti nggak bakalan terkabul," gumamnya, lalu ia
menambahkan, "Tapi kamu pasti tahu, deh."
Don menatapnya lama, dan terdiam. "Mungkin saja aku tahu."
Begitu matahari mulai turun, mereka pulang ke rumah. Langit
di barat bersemburat dengan warna-warna biru, ungu, merah dan
jingga, bagai coretan seorang pelukis. Sambil mengerutkan keningnya
Danielle mempererat pelukannya di pinggang Don.
Meskipun mereka menuju ke Merivale, namun Danielle merasa
seakan-akan mereka mengikuti jalur yang salah. Untuk apa mereka
kembali ke tempat di mana sumber masalah itu berada?
Danielle teringat akan kuntum semanggi yang ada di kantung
celananya. Ia memejamkan matanya lalu menyebutkan keinginan
paling romantis yang didambakannya. Ia ingin pergi ke balik matahari
yang terbenam bersama Don... untuk tak pernah, tak pernah kembali
lagi. Tiga belas "Maaf, Kak." Suara yang tak dikenal itu membuat Lori tersadar kembali.
Memandangi etalase bersalju di toko Benson's membuatnya beranganangan tentang sweater besar berajut yang dihiasi dengan bermacammacam warna.
"Maaf mengganggu." Suara itu milik seorang gadis remaja
berambut merah dan keriting. "Aku tidak bermaksud mengganggu,
aku cuma ingin tanya di mana kau membeli sweater itu. Aku sudah
mencari-carinya, tetapi tak bisa menemukannya di toko mana pun
juga." Senyum senang tersungging di bibir Lori saat ia menatap
sweater putih dengan sulaman warna biru dan metalik kuning di
pinggiran lehernya. "Kau tak mungkin bisa menemukan sweater seperti ini di
Merivale Mall," ujar Lori. "Sweater ini dulu kepunyaan ibuku, lalu
kutambahkan beberapa sulaman."
"Masa, ya? Kelihatannya kok, begitu... halus."
Gadis remaja itu tampak terkesan sekali, namun juga tak
menyerah. "Apakah Kakak menerima pesanan?" desaknya. "Aku ingin
sekali punya satu. Nanti kubayar." Matanya yang hitam menyipit,
mengamati Lori dari kaki hingga ke kepala. "Aku rasa ukuran kita
sama, dan aku suka warna itu. Boleh nggak aku membelinya?"
Untuk ketiga kalinya hari itu, Lori mendapat kejutan. "Kurasa
ini tidak untuk dijual." Tawaran seperti ini benar-benar merupakan
penghargaan tinggi bagi rancangannya. Ia tergelitik dengan pujian
Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang berlebihan itu? tapi... masa ia harus menjual baju yang sedang
dipakainya. "Kupikir sweater itu pantas untukku," desak gadis itu lagi.
Sambil menyentuh sulaman yang cukup bagus dari salah satu
lengan bajunya, Lori menjelaskan, "Hobiku memang menjahit, tapi
aku belum bisa membuat banyak baju untuk orang lain."
"Tapi Kakak pasti bisa!" oceh gadis itu lagi. "Bagus untuk masa
depan Kakak! Bagaimana kalau kuberikan nomor teleponku, kalaukalau Kakak berubah pikiran." Rambutnya yang keriting itu
berjuntaian di dahinya saat gadis itu merogoh-rogoh tasnya untuk
mengambil pulpen dan kertas.
Apa yang kulakukan ini pasti benar! pikir Lori sambil
menunggu gadis itu menuliskan nomor teleponnya. Sebelumnya sudah
ada dua orang yang menanyakan tentang rok mini denimnya dan jaket
kulitnya yang berjumbai, yang kini disampirkannya di salah satu
bahunya. Tiga orang tadi mengagumi baju-bajunya dan menanyakan
di mana ia membelinya. Ini sudah ketiga kalinya! Pikir Lori sambil tersenyum. Nanti,
kalau ada orang lain yang memuji sepatu kanvas tenisnya, ia akan
mengirim mereka ke toko sepatu Shoe Hut!
"Teleponlah aku kalau kau berubah pikiran." Sambil
mengibaskan rambutnya yang keriting gadis remaja itu menyelipkan
secarik kertas ke tangan Lori. "Aku suka sekali punya model yang
original!" "Nanti kuberitahu," janji Lori, sambil menyisipkan kertas tadi
ke dalam dompetnya lalu kembali mengamati etalase toko musim
dingin itu sekali lagi. Tetapi begitu ia memandang ke jendela kaca itu, ia menangkap
suatu bayangan berdiri di belakangnya.
Itu Nora Pringle! Dengan langkahnya yang lambat dan hanya berjarak beberapa
meter, Nora pasti mendengar semua percakapan tadi. Mata wanita
yang bulat dan kecil itu, mengikuti sosok gadis remaja berambut
hitam keriting itu menjauh.
Lori masih menatap bayangan wanita itu di kaca etalase, sambil
menggaruk rambutnya yang pirang. Kenapa Nora berdiri begitu dekat
dengannya, melihat, mendengarkan, atau menunggunya? Lori
memutar tubuhnya dengan maksud untuk mendekati wanita itu.
Namun gerakannya membuat Nora terkejut. Dengan panik
wanita itu mengumpulkan kantung-kantungnya dan bergegas
menyingkir. Cepat-cepat ia menyelipkan tubuhnya ke dalam lift yang
kemudian langsung menutup.
Apa kau kira aku ini serigala buas yang jahat? pikir Lori, sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya dengan bingung. Kalau Nora
Pringle begitu takut pada orang, mengapa ia tertarik dengan
pembicaraan mereka? Lori menatap jam tangannya, ia menyadari bahwa ia tak punya
waktu untuk memecahkan misteri itu sekarang ini. Ia harus buru-buru
ke bawah dan mengenakan seragamnya sebelum tamu-tamu
berdatangan untuk makan malam di Tio's.
*********** Di rumah pertanian yang letaknya di pinggir kota, cuaca
tampaknya tak begitu cerah. Udara dipenuhi dengan suasana tegang
dan amarah. Tak seorang pun yang berbicara. Mereka pun tak saling
menatap. Hampir secepat ia berjalan ke pintu, Don menyelinap ke
ruang bawah tanah. Sambil duduk di atas bangku tempat menyunting film, sekali
lagi Don membaca alamat yang ada di belakang amplop tebal di
tangannya: Universitas California?Los Angeles
Sekolah bagi para pembuat dan penghasil film
Setelah menyeka telapak tangannya yang berkeringat pada
celana jeansnya, Don mengoyak sampul surat itu. Jantungnya
berdebar kencang begitu ia membuka lembaran formulir yang tebal.
MERIVALE MALL PENDAFTARAN HARUS DIKETIK ATAU DIISI
DENGAN HURUF CETAK KIRIMKAN RANGKAP TIGA Ini baru permulaan saja. Don membutuhkan selembar
rekomendasi dari George Colby, dan ia harus mendapatkannya. Tetapi
kali ini Don merasa bahwa kunci masa depannya telah ada dalam
tangannya. Dengan penuh semangat ia menelepon untuk melamar. Ia pasti
takkan pernah mencobanya kalau Danielle tak mendorongnya.
Danielle yang cantik dan meyakinkan. Gadis itu miliknya. Dan ia
sangat mencintainya. Bunyi langkah kaki yang berat terdengar menuruni tangga,
memecahkan perhatian Don. Dengan cepat ia melipat surat lamaran
itu dan memasukkannya kembali ke dalam amplop. Orangtuanya
takkan memahami rencananya, rencana rahasianya.
"Coba kau jelaskan," gertak Pak James, sambil melambaikan
selembar kertas ke arah Don. "Kantor telepon mengatakan kita
menelepon ke California sebanyak empat kali. Itu kan lebih dari dua
puluh dollar!" "Aku akan membayarnya," jawab Don.
"Anak tak tahu diri! Kau kan tahu, ibumu dan aku selalu
menghemat dan menabung uang sejak aku kehilangan pekerjaanku.
Kita tak sanggup membayar hal-hal yang memboroskan seperti
telepon jarak jauh."
Don mengangkat bahunya. "Aku harus menelepon. Kan sudah
kubilang, akan kubayar."
"Siapa sih kenalanmu di California?" tanya Pak James, sambil
melambaikan bon pembayaran itu.
"Tak ada." "Lalu, siapa yang kau telepon?" __
Dengan menghela napas putus asa Don menyadari bahwa
ayahnya takkan berhenti membuatnya jengkel sampai ia
menjawabnya. "Kalau Ayah mau tahu, aku menelepon untuk
mendapat informasi mengenai cara yang langsung menuju Hollywood
dan pendaftaran untuk sekolah membuat film."
"Membuat film?" dengus Pak James. "Kalau saja aku mendapat
uang satu sen dari setiap pembuat film yang akan bangkrut, maka aku
bisa jadi jutawan! Nak, akan kuajarkan satu hal padamu dalam hidup
ini agar kau selamat. Carilah sesuatu yang benar-benar profesional dan
jangan sekali-kali berharap untuk hidup dari film picisan itu!"
Meskipun Don tahu bahwa kemarahan ayahnya sedang meluap,
namun tak mungkin ia akan mundur lagi. "Tapi Yah, aku senang
membuat film. Apa aku tidak boleh mendapat kesempatan untuk
bekerja di bidang yang aku sukai?"
"Tentu saja! Tapi coba dong memilih profesi yang nyata?
sesuatu yang bisa cepat menghasilkan untuk membayar bon-bon,
bukan cuma mimpi-mimpi kosong saja!"
Saat mengacung-acungkan bon tadi, tangan Pak James tersentuh
ujung kamera Don. Seketika itu juga kamera itu terlepas dari
standarnya dan terjatuh di lantai menimbulkan bunyi benda pecah.
Dengan tinju terkepal, Don menatap kamera yang terjatuh itu.
Lensanya pecah berkeping-keping. Dari tempatnya duduk, Don
melihat pecahan kacanya berserakan di lantai ruang bawah tanah itu.
"Pecah, ya?" tanya Pak James. "Ma?maaf, Nak. Mungkin itu
suatu firasat. Sudah waktunya kau membenahi diri dan serius dengan
hidupmu. Yah, mungkin ini memang jalan keluar yang terbaik."
Mata hitam Don sulit untuk ditebak saat ia menatap ayahnya.
Bagaimana mungkin ayahnya tak punya perasaan? Ia baru saja
memecahkan kamera Don dan malahan bersikap seakan-akan ia
merasa lega. Don merasa benar-benar putus asa. Laki-laki ini sama sekali
tidak memahaminya. Dia bukan seorang ayah, dalam arti kata yang
sebenarnya. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun Don membalikkan
tubuhnya dan berjalan menaiki tangga, dengan melangkahi dua anak
tangga sekaligus. Ia melewati ibunya di dapur, lalu meraih jaketnya
dari gantungan di belakang pintu dan berjalan keluar sebelum ada
yang dapat menghentikannya.
"Donald? Mau ke mana, kau?" tanya ibunya.
Don melompat ke atas motornya, menstarter mesinnya dan
menuju ke pintu keluar. "Donald!" panggil ibunya lagi. "Kembali ke sini, kalau tidak,
kau tidak mendapat makan malam."
Bagus! pikir Don begitu ia mengarahkan motornya ke jalan
raya. Nggak rugi. ********** "Ayo, cepat pergi!" ujar Ernie Goldbloom. "Sana istirahat dan
pergi dari sini selagi kau bisa."
"Trims Er." Lori melepas celemeknya dan menaruhnya di
bawah meja kasir. "Aku nggak lama kok. Cuma cari udara segar saja."
Sebenarnya Lori ingin sekali melihat obral di D.B. Durants.
Empat puluh persen untuk semua barang! Dengan kegembiraan yang
meluap-luap, Lori bergegas pergi. Pikirannya dipenuhi dengan
berbagai macam warna dan bahan untuk rancangan terbarunya.
Tiba-tiba di sudut, Lori tersandung ke lantai dan menjerit. Ia
bertabrakan dengan seseorang!
"Maaf..." ujarnya, sambil duduk di tengah-tengah tas belanjaan
wanita itu yang berserakan. "Aku tak sengaja... Nona Pringle!"
Lori hampir tak mempercayai penglihatannya. Setelah berharihari ia berusaha mencari Nora Pringle, kini ia bertemu dengan wanita
itu secara tak sengaja! Mata Nora Pringle yang kecil itu melebar saat ia mendengar
permintaan maaf Lori. "Nggak apa-apa kok," gumamnya. Lalu dengan
gugup ia berlutut dan mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan
dari salah satu tasnya yang koyak.
"Oh, mari kubantu." Di sekeliling Lori bertebaran kertas putih.
Lori berlutut di samping Nora dan mulai membantu wanita itu
mengumpulkan dan mengelompokkan kertas-kertasnya.
Nora Pringle tampak tegang saat menerima bantuan Lori. "Aku
bisa kok melakukannya sendiri, betul?"
"Tapi aku ikhlas, kok," potong Lori, sambil mengumpulkan
kertas-kertas itu di pangkuannya. "Kalau tadi aku tidak melamun,
pasti aku takkan menabrakmu..." suara Lori lenyap begitu matanya
menatap sehelai kertas di depannya.
Kertas itu bukan hasil coretan seorang wanita tua yang nyentrik.
Kertas itu adalah hasil cetakan komputer!
DARI : PT. Merivale Mall KEPADA: Nora Pringle, Pemegang saham.
HAL : Laba Perusahaan, dilaporkan oleh Facades, INC.
Ada juga laporan hasil penjualan di Shoe Hut, Platterpus...
bahkan Tio's! Lori terpaku, ia tak mempercayai apa yang baru saja dibacanya.
Kenapa Nora Pringle membawa-bawa laporan keuangan?
"Nggak usah repot-repot," ujar Nora Pringle. "Biar aku sendiri
saja?" "Hai Lori!" tegur Paman Mike.
Tanpa melihat orang itu, Lori sudah mengenal suara pamannya
yang ramah. Dialah yang berhasil memajukan Merivale Mall.
"Hai Nora!" tambahnya. Sambil berkedip, ia merendahkan
suaranya, "Wah, sibuk ya dengan urusan keuangan?seperti biasa."
"Ssst!" desis Nora. "Jangan keras-keras Mike. Bantulah aku
mengumpulkan kertas-kertas ini."
Dengan terperanjat Lori menatap pamannya dan kemudian ke
wanita tua itu. Jelaslah bahwa mereka sudah saling mengenal! Tetapi,
bagaimana mungkin? "Paman Mike," ujar Lori. "Ada apa, sih?"
"Diamlah!" tegur Nora Pringle, sambil memandang ke
sekitarnya dengan rasa cemas.
"Nggak ada apa-apa." Sambil berjongkok untuk membantu
mereka, Paman Mike mengumpulkan segenggam penuh kertas dan
memasukkannya ke dalam salah satu tas. "Bisa dikatakan Nora dan
saya adalah... rekanan."
"Michael!"? suara Nora Pringle terdengar tajam?"Kukira ini
mesti dibicarakan di tempat khusus, misalnya di kantormu? dan
segera!" Empat belas "Mau minum kopi, Nora?" tanya ayah Danielle.
"Boleh. Tapi tanpa gula." Duduk dengan punggung tegak dan
kaki bersilang, Nora tampaknya anggun di antara isi kantor Mike
Sharp yang mewah itu. Meskipun wanita itu masih mengenakan
bajunya yang lusuh, namun ia telah melepaskan topi baret ungunya
dan merapikan rambutnya yang berwarna abu-abu keriting itu.
"Mau kopi, Lori?"
"Tidak, terima kasih Paman Mike." Lori begitu terpesona pada
wanita aneh yang duduk di depannya.
"Saya tahu, kau pasti penasaran sekali, nona," ujar Nora
Pringle. "Tetapi pertama-tama, saya minta kau jangan menceritakan
tentang identitas asliku ini pada orang lain." Matanya yang gelap itu
menatap dengan serius, lalu ulangnya, "Tolong...jangan buka
penyamaran saya!" Masih terkejut dengan apa yang baru didengarnya, Lori hanya
bisa mengangguk-angguk saja.
Mike Sharp memberikan secangkir kopi pada Nora, lalu duduk
di sebuah kursi kulit yang besar di belakang mejanya. "Bisa dikatakan,
Nora adalah kunci kelangsungan hidup Merivale Mall ini. Beliau ini
adalah pendukung yang setia, dan pemegang saham terbesar."
Nora Pringle?pemegang saham! Mata biru Lori dipenuhi
kebimbangan. Itu berarti, Nora adalah orang kaya! "Lalu kenapa Anda
berpakaian seperti gelandangan? Berkomat-kamit, mencoret-coret dan
mengumpulkan tas-tas belanjaan itu?"
"Saya harus berhati-hati dalam meneliti setiap toko,
mempelajari suasana keramaian toko, membuat catatan untuk
memajukannya." Mata Nora yang biasanya waspada dan curiga, kini
tampak berbinar-binar penuh semangat begitu ia menceritakan tentang
pemasaran dan penghasilan yang tinggi.
"Kau lihat," lanjutnya, "perusahaan kami menerima bagian dari
keuntungan yang diperoleh setiap toko. Jadi saya sangat tertarik untuk
memberikan saran bagaimana caranya menaikkan penjualan."
Lori mengangkat bahunya. "Kalau itu sih, aku bisa mengerti.
Tetapi mengapa harus bersikap aneh?dan memakai baju yang
compang-camping?" "Saya tak ingin para pemilik toko tahu siapa saya dan
mengetahui apa yang saya lakukan. Kalau tidak, mereka akan
berusaha mempengaruhi saya atau memanipulasi penjualan." Nora
Pringle mengambil topi baret ungunya. "Samaran ini membantu saya
untuk melakukan survei yang objektif. Dan tas-tas belanjaan itu
sungguh berguna! Saya jadi bisa membawa laporan keuangan, dan
semua informasi yang saya butuhkan ada di sini!"
Begitu teka-teki itu mulai terungkap, wajah Lori merona merah.
Betapa bodohnya ia! "Cerdik sekali ya, Nora ini?" ujar ayah Danielle.
"Ya, cerdik sekali," sahut Lori setuju. Begitu cerdiknya, sampai
aku tertipu! "Pasti kau mengira saya ini orang gila, yang mengejar-ngejar
untuk mendapat makanan dan pakaian." Wajah Lori yang cantik
berkerut. "Bayangkan, aku mengejar-ngejar wanita terkaya di
Merivale untuk memberinya makan, seperti mau minta derma saja!"
Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nora tersenyum. "Saya pikir, kau ini orang yang penuh
perhatian. Saya suka caramu mengusir anak-anak berandalan itu. Kau
benar-benar berani, nona. Saya kagum, deh."
"Bayangkan, kata-kata itu datang dari seorang wanita yang
memiliki dunia!" tambah Mike Sharp sambil tersenyum.
"Selain itu, sebenarnya saya ingin berbicara denganmu?
bahkan sebelum kita bertabrakan." Wanita itu mencondongkan
tubuhnya ke depan, untuk memperhatikan Lori lebih baik. "Saya
selalu memperhatikanmu. Baju-baju yang kau buat itu ternyata
menarik minat para remaja di mall ini."
"Terima kasih," ujar Lori. "Itu cuma hobi kok, dan aku senang
melakukannya." "Oh ya?" Nora Pringle meluruskan kakinya dan merapikan
roknya yang lusuh itu. "Mungkin sudah yang menghasilkan. Apa kau
mau terjun dalam dunia bisnis?"
Lori terpaku, tak tahu apa yang akan dikatakannya.
"Kalau kau merancang dan membuat baju-baju seperti yang
pernah kau kenakan sebelumnya, saya tak berkeberatan untuk
mendukung keuanganmu. Artinya, saya akan memberikan modal kerja
dan berusaha memasukkan baju-baju itu ke toko di mall."
Nora menoleh ke ayah Danielle. "Bagaimana menurutmu,
Mike? Mungkin toko Snazzz! Atau mungkin juga Facades."
Facades! Rancanganku sendiri! Buatan Lori Randall... Lori
dipenuhi oleh kegembiraan yang luar biasa. Impiannya akan menjadi
kenyataan! "Saya rasa Facades akan tertarik," ujar Mike Sharp mendukung.
Denyut jantung Lori bertambah cepat, membuatnya sulit
berpikir secara rasional. "Kedengarannya hebat sekali," ujarnya,
berusaha untuk tetap tenang dan berpikir jernih.
Ia pasti harus bekerja seperti orang gila, sehingga waktu
luangnya akan tersita habis. Tetapi Patsy dan Ann adalah teman-teman
yang baik dan selalu mendukungnya. Dan Nick? yang keren dan baik
hati? pasti mau mengerti. Nick selalu mendorong Lori untuk meraih
apa yang dicita-citakannya.
"Aku harus tanya orangtuaku dulu."
"Tentu," jawab Nora. "Tetapi saya pikir mereka pasti akan
setuju dengan penawaran yang baik ini. Bicarakan dengan mereka,
lalu temui saya. Kita akan mulai dengan modal yang kecil dulu... oh,
bagaimana kalau seribu dollar."
Lori ternganga mendengar kata-kata yang baru diucapkan
wanita itu. Dengan seribu dollar ia dapat membeli separo bahan yang
tersedia di D.B. Durrant! Kini ia sadar, ia sedang bermimpi!
"Itu...itu banyak sekali," ujar Lori terbata-bata.
"Banyak?" mata Nora tampak ragu. "Tidak sayang, itu cukup
untuk modal awal." Masih terbengong-bengong Lori menoleh ke pamannya.
"Aku rasa itu kesepakatan yang bagus," jawab pamannya.
"Kalau saya jadi kau, saya takkan menolak tawaran Nora." Ia
menepuk-nepuk sandaran kursi kulitnya yang besar itu. "Nora dan
saya telah membuat perjanjian bertahun-tahun yang lalu? dan saya
tak pernah menemui kesulitan sedikit pun juga!"
"Pikirkanlah dulu," ujar Nora.
Senyum Mike Sharp yang hangat mendorong semangat Lori
waktu ia berbisik, "Jangan sia-siakan kesempatan bagus ini, nona!"
Lima belas Sebuah bintang mengerlip sesaat, lalu meluncur di langit,
meninggalkan semburat jejaknya.
Itulah aku? bintang yang sedang jatuh. Dari tempatnya
berbaring di atas hamparan rumput berdaun runcing, Don terlentang
memandangi langit bebas yang luas, membayangkan ia berada di
tempat lain selain daripada Merivale.
Pergi dari sini? dan tak pernah kembali lagi. Itukah artinya
bintang tadi? Kata-kata ayahnya sudah cukup jelas. Bapak dan Ibu
James takkan merasa kehilangan anak bungsu mereka. Jadi, apa lagi
yang menahannya di sini? Danielle. Ia mencintai gadis itu. Ia ingin selalu bersamanya. Ia tak ingin
meninggalkan gadis itu, tetapi rasanya ia sedang mati perlahan-lahan,
di bawah atap orangtuanya. Ia harus keluar.
Kadang-kadang aku merasa ingin pergi jauh... ujarnya pada
Danielle waktu itu. Danielle kemudian tertawa, lalu berkata, Tapi kau harus
membawaku juga. Don bangkit dan mengamati lapangan yang kosong. Maukah
Danielle pergi bersamanya?
Tetapi meskipun ia berulang kali bertanya pada dirinya sendiri,
ia tahu itu takkan mungkin terjadi. Danielle adalah bagian dari
Merivale. Ia tidak mempunyai apa-apa, tetapi Danielle mempunyai
teman-teman, rumah? dan kehidupan. Ia tak bisa merenggut gadis itu
begitu saja dari semuanya itu. Itu tidak benar? dan tidak adil bagi
gadis itu. Don melompat ke atas sepeda motornya. Sesaat kemudian
mesin motornya meraung. Ia mengendarainya membelah lapangan,
meninggalkan asap yang mengepul di belakangnya.
Hari telah larut malam. Orangtuanya pasti sudah tidur. Maka ia
dapat menyelinap masuk dan keluar rumah sebelum mereka
terbangun. Satu-satunya hal yang memisahkan dirinya dan jalanan yang
besar itu adalah seorang gadis cantik, pintar, berambut merah dan
bermata hijau, yang pasti akan membuat semua laki-laki bertekuk
lutut. *********** Terdengar suara gemerisik, seperti bunyi dahan pohon yang
menyentuh jendela karena tiupan angin.
Terbuai dengan lamunannya, Danielle yang sedang memeluk
bantalnya hampir tidak mempedulikan suara itu.
Kemudian suara itu terdengar lagi.
Pasti bunyi hujan, pikir Danielle yang masih terbenam dalam
lamunannya. Untuk pertama kalinya sejak kisah cinta mereka
merebak, Don tidak meneleponnya malam itu. Yang lebih gawat lagi,
waktu ia menelepon rumah cowok itu, Bu James mengatakan bahwa
Don telah menghilang. "Di mana sih, Don? Ketika jendelanya berdetak sekali lagi, Danielle melompat turun
dari tempat tidurnya. Ada apa sih?
Waktu Danielle berdiri dekat jendela, ia melihat mobil T-bird
tua Don diparkir di pekarangan rumahnya. Cowok itu berdiri
bersandar pada mobilnya sambil melemparkan kerikil ke jendela
kamarnya. "Stop!" gadis itu tertawa, melambaikan tangannya ke arah Don.
Jadi, dia datang untuk berbaikan kembali, pikir Danielle. Lalu ia
mengenakan jubah satinnya dan mengikatkan tali di pinggangnya.
Kali ini aku akan memaafkannya? karena aku mencintainya.
Dengan perasaan lega, Danielle berlari menuruni tangga, tak peduli
dengan rambutnya yang kusut dan wajahnya yang tak bermake-up.
Ia berlari ke luar dari pintu depan mendapatkan cowok itu.
"Wow!" Don mengangkat tubuh gadis itu dan memeluknya
kuat-kuat. "Lain kali aku harus melemparkan batu yang lebih besar ke
kamarmu." Begitu Don menurunkannya, Danielle mencibirkan bibirnya.
"Aku belum memaafkanmu karena nggak meneleponku hari ini. Ada
apa, sih?" Tangan Don meremas rambutnya, matanya yang hitam tampak
sayu dan bingung. Sesaat kemudian bagasi mobil T-birdnya menarik
perhatian Danielle. Bagasi itu menganga, tutupnya terikat menutupi...
setumpukan kotak! Jantung Danielle berdebar kencang. "Ada apa?" Begitu Don tak
menyahut, Danielle melangkah maju dan melongok melalui jendela
mobil. Peralatan kamera dan berbagai kotak memenuhi lantai dan
kursi bagian belakang. "Aku akan pergi, Red. Ke California."
Pergi! Danielle membalik dan menatap Don, tubuhnya
terhuyung ke mobil. Segalanya terjadi begitu cepat! Mana mungkin
cowok itu meninggalkannya sekarang?
"Aku belum mendapat kabar dari George Colby, tapi itu nggak
masalah. Begitu aku sampai di L.A. aku akan mengiriminya alamatku
yang terbaru. Aku harus pergi, malam ini juga."
"Mengapa?" suara Danielle terdengar parau. "Ada kejadian apa
yang menimpamu?" Don memasukkan tangannya ke saku celananya, dan
mengangkat bahu, "Orangtuaku. Ayahku dan aku ribut besar.
Kemudian ia menjatuhkan kameraku dan berkata agar aku mencari
pekerjaan yang lebih profesional." Senyum Don tampak pedih.
"Percaya, nggak? Nasihat seorang ayah, yang hidupnya sendiri nggak
pernah berhasil!" Meskipun Danielle mengerti mengapa Don begitu sedih, namun
keributan yang terjadi bukanlah alasan yang tepat untuk meninggalkan
Merivale? dan dia! "Ayahmu memang bukan orang pintar, Don. Tapi
kamu, orang yang sangat berbakat." Gadis itu melangkah ke depan
dan menyentuh lengan jaket kulit cowok itu. "Jangan kuatir.
Semuanya pasti akan lewat. Datanglah kemari besok pagi, pasti dia
sudah tak ingat lagi?"
"Besok pagi aku sudah pergi," potong Don. "Kau tahu, Red?
Kalau aku tetap di sini, aku pasti akan jadi seperti mereka. Tidak
bahagia. Selalu ribut. Aku bingung apa yang akan terjadi kalau aku
tidak mengambil kesempatan ini. Kadang-kadang kau harus berani
mengambil resiko. Aku harus pergi sekarang...atau tidak sama sekali."
Ia melangkah maju, dan dengan lembut meletakkan tangannya
di bahu Danielle. "Malam ini aku akan meninggalkan Merivale untuk
pergi jauh." Danielle tersedak. Ia tak percaya hal ini terjadi padanya! Tapi
bayangan kelabu dalam mata Don menyatakan bahwa cowok itu
serius. Dengan gemetar Danielle memegang erat lengan baju cowok
itu dan merapatkan tubuhnya, seakan-akan bumi runtuh di sekitar
mereka. Derik suara jangkrik terdengar di sekitar mereka. Jantung
Danielle berdebar kencang. Ia yakin Don pasti mendengar debar
jantungnya. "Bagaimana dengan sekolahmu?" tanya Danielle setelah ia
berhasil menenangkan dirinya. "Maksudku, bagaimana caranya agar
kau bisa lulus? Kamu kan harus lulus SM A dulu baru bisa masuk
U.C.L.A." "Aku belum tahu," Don menurunkan lengannya, membuat
Danielle merinding. "Aku belum tahu, tapi akan kuusahakan."
Don memegang tangan Danielle yang halus dan mendekapnya
di dadanya. "Aku harus dapat meraih cita-citaku. Kau telah
menunjukkan betapa pentingnya meraih cita-cita."
Aku? Danielle tertegun. Kapan ia melakukan hal itu?
Tenggorokannya serasa tercekat. Ia tak dapat membiarkan Don pergi.
Tidak pada saat cinta mereka sedang bersemi.
"Bawalah aku," pintanya, jantungnya berdebar kencang.
"Don"? suara gadis itu bergetar? "Aku benar-benar mencintaimu.
Aku tak ingin sendirian di Merivale, tanpa kau!"
Nah, ini dia! Mata Danielle mulai berbinar-binar saat ia
membayangkan pelarian mereka. Pasti romantis? Meninggalkan
Merivale! Belum lagi membayangkan masa depan di Hollywood, bersama
Don. Di bawah mentari pantai California?bintang-bintang film?
mobil-mobil mewah. Dan ia tak perlu mendengar kedua orangtuanya
bertengkar lagi. Bagaikan dalam film fantasi. Dapatkah mereka pergi
bersama menyongsong terbitnya mentari?
Namun suatu bisikan dalam hatinya membuat Danielle
tersentak. Ia tak mungkin meninggalkan Merivale selamanya.
Bagaimana dengan sekolahnya? Bagaimana dengan temantemannya... dan keluarganya? Jauh dalam lubuk hatinya ia menyadari,
bahwa ia pasti akan merindukan mereka.
Udara malam begitu dingin, tetapi tangan Danielle terasa hangat
dalam genggaman Don. Saat ia memandang cowok itu, air mata
menggenang di pelupuk matanya. Danielle berharap agar cinta dapat
meniadakan perbedaan di antara mereka. Bukankah cinta membuat
segalanya begitu sempurna?
"Aku mencintaimu, Red. Dan aku ingin membawamu serta."
Don terdiam dan menarik napas dalam-dalam. " Tapi aku nggak bisa.
Hidupmu menyenangkan di sini. Memang ortumu suka bertengkar,
tapi mereka menyayangimu. Aku tak dapat membawamu pergi dari
mereka. Belum saatnya."
Kedua lutut gadis itu bergetar. Don akan pergi, sendirian.
Meskipun ia ingin membantah, namun ia tahu, itu adalah keputusan
terbaik bagi mereka. Don memang benar, tapi kenyataan itu terasa
begitu menyakitkan. Mana mungkin ia dapat mengucapkan selamat
tinggal pada satu-satunya Cowok yang dicintainya?
"Berjanjilah satu hal," bisik Don. "Ingatlah selalu, bahwa aku
mencintaimu." "Selalu," ujar Danielle dengan suara perlahan. Tenggorokannya
tercekat menahan emosinya.
Don tersenyum lembut. "Kurasa kini saatnya mengucapkan
selamat tinggal, Red."
"Tidak! Ini bukan perpisahan. Kita pasti akan ketemu lagi?
suatu saat nanti. Bukankah begitu?" bantah Danielle.
"Tentu, Red. Suatu saat nanti."
Tiba-tiba saja Danielle tak dapat menahan air matanya. Air mata
menggenang, memenuhi matanya yang hijau, terus mengalir ke
pipinya. Oh, ini tak boleh terjadi! Ia tak ingin kehilangan satu-satunya
cowok yang dicintainya, satu-satunya orang yang pernah berbagi
harapan dan impian bersamanya! Namun hal itu terjadi juga.
Dengan lembut Don menghapus air mata dari pipi Danielle.
"Tenanglah, Red." Don mengecup pipi gadis itu dengan lembut, lalu ia
membalik dan masuk ke dalam mobilnya. Don menurunkan kaca
mobilnya, dan menatap gadis itu untuk terakhir kalinya. "Sepertinya
aku harus pergi menyongsong matahari terbit sendirian."
Sesaat kemudian mobilnya mulai menjauh, meninggalkan
kerikil-kerikil yang berhamburan di belakang ban mobilnya.
"Jangan... jangan pergi," pekik Danielle dalam kegelapan.
Sambil terisak ia terus menatap lampu belakang mobil Don yang
semakin menjauh, hingga menjadi sebuah titik? lalu hilang di
kejauhan. Don telah pergi. Dalam satu malam saja, hidupnya hancur
berantakan. Danielle menghapus air matanya. Ia menggosok-gosok
matanya, lalu berlari ke dalam, sambil berharap bahwa semua ini
hanya impian yang akan segera hilang begitu ia terbangun keesokan
harinya. Gadis itu meringkuk di sudut tempat tidurnya sambil melamun,
apa yang akan dilakukannya tanpa Don. Oh, cowok-cowok Atwood
pasti takkan menyia-nyiakan kesempatan untuk dapat berkencan
dengan Danielle Sharp. Ia dapat saja memilih salah satu cowok yang
ada di Merivale? cowok keren yang kaya, punya mobil sport dan
berpakaian rapi. Besok pagi kisah romantisnya yang baru bisa dimulai. Tetapi
malam ini... Danielle menggigil. Malam ini ia masih mencintai Don
James. Ia ingin cowok itu merangkulnya, dan dengan lembut
menghapus air mata di pipinya, seperti yang dilakukannya
Merivale Mall 09 Bukan Perpisahan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebelumnya. Kacau. Sekali ini, dalam hidupnya Danielle Sharp
mengingini sesuatu yang tak mungkin dapat diperolehnya.
Don telah pergi jauh ke barat, menuju ke kehidupan yang baru.
Ia telah pergi... untuk selamanya. Danielle pasti akan rindu pada
cowok itu.END Kisah Para Pendekar Pulau Es 22 Setan Harpa Karya Khu Lung Bandit Di Hotel Istana 2
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama