Clurit Bata Putih Karya Suparto Brata Bagian 1
Karangan Suparto Brata Pelukis : Sriwidjono Penerbit/Pencetak : PT. GEMA
Metrokusuman 761 Blok 17/VI Sala
Ijin Penerbitan : No. Pol.5/28/Intel IV/1967
Tgl. 4 April 1967 Cetakan Pertama Percetakan/Penerbitan C.V. GEMA Sala ? 1967
JILID I PADA suatu hari yang panas, angin timur sedang bertiup dengan hebatnya sehingga ombak
laut memukul-mukul pantai dengan serunya, berlabuhlah sebuah perahu layar dari pantai
seberang di pelabuhan Surabaya. Perahu dari Madura. Perahu itu bukanlah satu satunya
perahu yang berlabuh di situ pada hari itu. Banyak sudah perahu yang datang menjeberangi
selat Madura sebelumnya. Setelah dirapatkan, berloncatanlah para penumpangnya ke darat.
Mereka berjumlah enam-belas orang, terhitung perahu yang sarat penumpang. Tiga orang
diantara penumpang-penumpang yang naik ke darat itu, berjalan dengan cepat menuju ke
selatan. Dua orang pemuda dan seorang lagi perempuan. Mereka semua berpakaian adat,
tidak berbeda dengan penumpang yang lain. yang laki memakai baju serba hitam, baju tanpa
leher dengan dada terbuka, kaus dalamnya lorek merah dan putih. Tampak sangat tampan.
Sedang yang perempuan memakai kain warna warni, bayunya hijau muda, rambutnya
disanggul tinggi, agak rusak karena dikacau angin. Ketiga orang ini kelihatan gembira. Lakilaki yang lebih muda agaknya baru sekali itu naik didaratan situ, kentara dari sikapnya yang
tercengang. Ia banyak bertanya kepada yang lebih tua, dan sekaliannya disahut dengan
senyum. Kadang-kadang perempuan muda yang berjalan bersama mereka mencampuri
pembicaraan dengan tertawa-tawa juga.
"Jadi, langkah apa yang harus kutempuh pertama-tama?"
Begini Din. Jika orang tuamu memang menghendaki engkau meneruskan sekolah, baiklah
kau teruskan. Orang seperti awak ini lain pendapatnya. Jika engkau sudah lama disini, nanti
terbuka pikiranmu, bahwa bangsa kita yang telah makan sekolah, menjadi kurang senang
dengan perlakuan orang asing disini. Nanti engkau kukenalkan dengan Haji Bahrum. Ia lebih
bisa menjelaskan sebab musababnya kepadamu," jawab yang lebih tua.
"Wi, aku kurang setuju sebenarnya dengan maksudmu memperkenalkan Jabodin pada Haji
Bahrum," sela perempuan muda teman mereka. "Sebab engkau melibatkan Jabodin pada
pertikaian politik. Sedang orang tua Jabodin mengirimkan dia kemari untuk sekolah."
"Karena itu, aku tadi bilang, dia boleh saja meneruskan sekolahnya, Mah. Aku hanya mau
mengenalkan dia dengan Haji Bahrum jika ia memerlukan, jika ia sudah terpengaruh dengan
orang-orang seperti kita ini."
Apakah salahnya terlibat pertikaian politik, jika begitu pengaruh keadaan disini? Di kandang
kambing kita mengembik, di kerangkerg harimau kita mengaum, bukan?" ujar Jabodin,
pemuda baru itu. "Jawawi memang tidak salah. Benar, Din. Suasana orang-orang kita disini diliputi dengan
pertikaian politik. Dan politik bagi orang-orang kita berarti bertengkar! Bertengkar satu sama
lain! Itulah yang kurang kusukai jika engkau kenal dengan Haji Bahrum."
"Nah, nah! Engkau sudah keliru ngomong, Mah. Haji Bahrum tidak begitu menerangkan
tentang politik. Orang kita yang sudah tinggi penghidupannya harus tahu politik, agar orangorang Belanda tidak gampang menjerumuskan kita menjadi budaknya. Sedang bertengkar
yang kau maksud tadi kukira karena engkau kenal orang macam Bahrowi, Aluw?, Mat Toha
yang biasa memusuhi orang kita. Mereka itu orang-orang buta, makan gaji dari pemerintah
Belanda. Dengan Bahrowi misalnya, susah kita bicara, sebab dia kaki tangan Van Greven,
kepala polisi Belanda yang jahat itu! Ah, kau keliru, Mah! Keliru, Patimah ini, Din! Sudahlah
percayalah kepadaku. Menyeberang kemari kau bersamaku, orang tuamu mempercayakan
engkau berteman denganku. Apa pula yang hendak dirisaukan? Percayalah kepadaku!"
Jabodin, orang yang baru sekali itu mendarat ditanah Jawa, memang kagum dengan sikap
temannya seperjalanan. Jawawi dulu juga sekolah di Sampang, tapi lebih dulu lulus dan pergi
ke Surabaya. Waktu kembali menengok kampung halamannya, pemuda Jawawi kelihatan
lebih cakap dan cerdik, bicaranya meyakinkan. Dikampungnya ia menjadi teladan bagi
pemuda lainnya, dan banyak gadis terpikat olehnya.
Patimah, tidak lebih tua dari Jabodin. Dulu pernah ikut neneknya dan bersekolah bersama
sama dengan Jabodin. Tetapi sebelum naik kelas tiga ia telah pindah ke Surabaya, ikut orang
tuanya. Ia lebih lama tinggal di Surabaya. Waktu itu Patimah menjenguk neneknya di
Sampang, dan waktu kembali ke Surabaya bersama l 'sama seperjalanan der gan Jabodin dan
Jawawi. la kenal juga dergan Jawawi waktu adik Jawawi kawin dengan orang Surabaya.
Kemudian ia tidak kenal biasa, tetapi serirg juga bergaul, baik dilapangan sosial maupun
dalam kegiatan pergerakan bangaa.
"Sebentar, Din. Aku singgah dikedai itu. Ada barangku yang kutitipkan orang situ," ujar
Jawawi waktu melewati sebuah kedai.
Patimah memegangi tangan Jabodin pada kesempatan itu. Mukanya pucat, sikapnya gelisah.
Waktu Jabodin menengok kearahnya, dicobanya tersenyum menghapuskan kesan
diwajahnya. "Mengapa, Mah?" tanya Jabodin. Hati pemuda itu bergolak juga dipandangi mata yang
bagus. "Ah, tidak apa-apa. Engkau sekarang kelihatan gagah. Mukamu tampan, badanmu kekar. Tak
kusangka orang pu Sampang bisa begini kuat," kata Patimah setengahrja bergurau.
Apa yang dikatakan Patimah itu mungkin keadaan bi Jabodin yang sesungguhnya. Tetapi
pemuda itu melihat bahwa apa yang tersirat dihati Patimah waktu memegangi tangannya
bukanlah seperti apa yang dikatakan itu. Jiabodin melihat juga bahwa Patimah berhati kecut.
Berhubung dengan kepergian Jawawi singgah dikedai itu. Ada apa gerangan? Apa pula yang
dirisaukan gadis dalam hubungarnya dengan perselisihan perdapat d tentang politik tadi?
Berbagai pikiran timbul, tapi tidak dia satupun dinyatakan dengan perkataan. Segala yang
ucapkan teman perempuan itu diterimanya dengan selayaknya. Mukanya merah padam
mendapat pujian, kejantanan tentang dirinya dari seorang gadis ayu.
"Hm, jangan kira dipulau kapur orang tak dapat kubur!" balas Jabodin dengan tersenyum
pula. Jawawi datang dengan membawa sabit ditangan. Sabit ini kecil, melengkung panjang, sekilas
terlihat reperti bulu ekor ayam jantan. Orang didaerah Surabaya lebih kenal dengan nama
clorit. Melibat ini Jabodinpun terkejut. Agaknya inilah yang membuat kecut hati Patimah. Ya,
bahkan ketika itu Jabodin merasa jari-jari Patimah gemetar memegangi tangannya. Tapi
Jawawi tampaknya tidak mengindahkan perubahan air muka teman-temannya. Dengan
tenang saja ia menyelitkan senjata tajam itu dipunggungnya.
"Mengapa pula engkau membawa senjata semacam itu, Wi?" tanya Jabodin tak dapat
menahan gelora perasaannya.
"Ah, biasa! Biasa orang sini bawa senjata tajam," kata Jawawi dengan suara tertekan. Ia
menyebutnya biasa, tetapi terasa benar pada tekanan suaranya bahwa hatinya tidak nyaman.
Mereka melalui Eerste Kade, jalan yang melintas menuju kota. Pada waktu siang hari bolong
begitu, hawa daerah pelabuhan panasnya bukan main. Dan dari pelabuhan kebota, tidak
terdapat pohon yang rindang ataupun rumah yang berjejal. Tanah lapang sepi yang ditumbuhi
ilalang, atau jalur-jalur jalan kereta api, terbentang disana. Juga Eerste Kade amat sepi. Tidak
ada orang lalu lalang, meskipun pada siang hari. Tetapi bagi orang bumi putera yang tidak
punya uang untuk membayar taksi atau dokar, biasa melalui jalan melintas yang sunyi ini.
Mereka bertiga berjalan dengan tidak perduli panas terik, dan tidak mengandung rasa tergesa
sedikitpun. Mereka berganti-ganti bicara, bahkan seringkali bicana berbarengan, karena
akrabnya. Tetapi setelah lewat pertengahan jalan, tiba-tiba Jawawi berhenti. Senjata tajam
dipunggungnya dicabut. "Mengapa Wi?" Patimah yang cepat bertanya. Suaranya setengah menjerit.
"Hatiku tak enak. Kulihat ada orang merunduk runduk diserokan depan itu!" jawab Jawawi.
Suaranya bergetar. Jabodin yang tidak tahu keadaan tidak tahu sikap apa yang harus dilakukan. Sedang Patimah
terdengar mengisak-isak menangis.
"Jangan menangis, Mah! Bikin hati gundah saja!" bentak Jawawi.
Belum lagi selesai kesiap-siagaan itu, dihadapan mereka telah berdiri tiga orang laki laki
menghadang jalan. Seorang diantaranya masih muda dan sebaya dengan Jawawi, berdiri
dengan bertolak pinggang, agaknya menjadi pemimpin mereka.
Belum lagi bertegur sapa, ia telah tertawa terbahak-bahak : "Ha ha, ha. ha! Mukanya sudah
pucat seperti mayat! Ha, ha, ha! Setan buruan! Dari mana kau?"
"Bahrowi! Apa maksudmu menghalang disitu?" tanya Jawawi dengan gugup. Namun ia maju
beberapa langkah membuat jarak dengan teman-temannya.
"Wi, Jawawi! Jangan maju!" sedu sedan Patimah melarang.
"Ha, ha, ha, ha! Diperintah oleh perempuan, Ia berhenti! Inikah pendekar yang disebut sebut
oleh Haji Bakri ujar pemuda yang bertolak pinggang laput memakai pakaian Madura, tetapi
waktu berbicara itu diperguhakan bahasa Jawa logat Surabaya yang kasar.
Jabodin yang tidak mengerti bahasa Jawa berdiri tegak tak bergerak tak tahu bahwa melihat
sikapnya orang pengadang itu sedang mencaci-maki temannya. Tetapi karena ia tidak
mengerti persoalannya, maka pemuda dari Sampang ini diam saja Hanya perhatiannya juga
yang tercurah kepada pertikaian sahabatnya ini.
Patimah telah terdengar menahan Jawawi dua kali dengan bahasa Madura. Agaknya
pertemuan seperti inilah yang ditakutkan perempuan itu sejak Jawawi membawa clorit.
Jawawi melangkah maju lagi dengan clorit digenggamanya, tapi musuh nya kelihatannya
tidak gentas tidak apa meskipun dengan tangan kosong.
Ha, kau datang membawa clorit, ja? Dasar pengecut! Ayo, kemarilah! Bacokkan cloritmu itu
di dadaku! Huh. clorit belian Pasarturi, mana bisa mempun dikulitku! Ini dada Bahrowi ha,
ha. ha, Bahrowi turunan Sawunggaling!" ejek pemuda bertolak pinggang itu dengan nada
menjakitkan hati. Tekebur kau, Bahrowi! Kau pamerkan tebal kulit mu, aku tak gentar! Sebab engkau
pengkhianat! Engkau menindas kaum pergerakan, karena makan gaji sama Van Greven! Aku
tidak merasa malu malu bertempur denganmu menggunakan senjata, sebab aku diutus
bangsaku! Bagaimana tebal kulitmu itu, tentu akan hancur juga kena logam ini! Apakah
engkau telah bertekad hendak mati? Sayang pendekar sakti-seperti engkau mati sebagai
pengkhianat bangsa, Bahro. wi!" seru Jawawi.
"Ha, ha, ha, ha, masih banyak mulut juga! Apa perlunya siang aku datang mencegatmu jika
aku ragu dengan tindakanku? Bahrowi mau membunuh jago Haji Bakri, yang disebut
pendekar muda buruan polisi itu! Ayoh, jangan banyak cakap. Lebih baik kau lindungi
nyawamu dengan clorit itu sebelum mati konyol oleh pukulan mautku!"
"Kurangajar! Terimalah clorit Batapotih! Robek perutmu" seru Jawawi sambil membabatkan
cloritnya. Patimah menjerit-jerit. Jabodin menyaksikan perkelahian itu dengan melompong. Sedang
kedua pengawal Bahrowi siap siaga dengan senjata masing-masing berdiri pada tempatnya.
Jawawi dan Bahrowi berkelahi mengadu nyawa.
Jawawi membacokkan senjatanya dengan pukulan memucuk. Kekuatan ayunannya ada pada
ujung senjata itu, sehingga meskipun kelihatannya tanpa tenaga, tetapi jika mengenai, akan
hebatlah luka yang ditimbulkannya. Bahrowi tidak gegabah memasangkan dadanya seperti
sumbarnya. la seorang pendekar yang tangkas. Dan sangat terkenal karena beraninya.
Ditangkapnya tangan Jawawi, akan dipilianya kebelakang. Tapi Jawawi bukan percuma
disebut sebagai pendekar muda oleh Haji Bakri, seorang pergerakan yang menjadi intaian
kaum penjajah. Jawawi menarik cloritnya dengan gaja mengarit rumput teki, lalu
menyabetkan senjata itu dengan sabetan berganda Bahrowi terpaksa meng. undurkan diri
sebab serangan Jawawi ini amat berba. haja. Lalu melesat kearah musuhaja dengan gerakan
mendadak, sehingga Jawawi terpaksa menghindarkan diri dengan membungkuk. Kesempatan
itu dipergunakan pula untuk membuat serangan maju bertubi-tubi kepada musuhnya yang
tidak bersenjata itu. Melihat keuletan Jawawi dalam bermain clorit, gugup juga Bahrowi
pendekar Kalwaron ini tindaknya Ia memutar dirinya. Tapi clorit Jawawi memburu membelit
pinggangnya. Trang! Suara logam beradu terdengar. Kiranya dengan cekatan Bahrowi
mencabut belati dipinggangnya, dan menangkis serangan bertubi-tubi yang susah dielakkan
itu. Jawawi undur kebelakang merasakan benturan logam tangkisan Bahrowi. Dengan belati
ditangan Bahrowi tindakannya lebih gesit. Ia meloncat, melesat, menghindar, regera
menyerang dengan sigap dan ringan targan. Melihat kelincahan musuhnya yang terkenal
dengan loncatan maut, gentar juga hati Jawawi. Memang sejak permulaan perkelahian ia
gentar menghadapi Bahrowi. Tetapi ia harus melawannya jika ingin namanya tetap harum
dikalangan jago-jago pencak kaum pergerakan. Tapi nasib tak bisa dihindari, malang tak bisa
dielak. Waktu serangannya yang terkenal dengan jurus anak kail terapung-apung. Kaki lawan
dengan keras menyepak belakangnya. Jawawi membungkuk mendekap bagian yang sakit.
Tetapi pada ketika itu benas belati Bahrowi menancap dari samping. Jawawi menggeliat,
senjatanya terlempar. Belum lagi jatuh, tubuh Jawawi kembali lagi kena dugang, sehingga
kemball melengkung, dan tusukan yang kedua, ketiga, keempat bertubi-tubi mengenai
punggung dan pinggangnya sebelum tubuh itu jatuh kebumi. Begitu sengit Bahrowi
menyerangnya sehingga teriakan kekuatannya dicurahkan sepenuhnya. "Mah! Hih! Ini
untukmu! Hah, kon!" Jawawi mengaduh dan merintih kesakitan. Akhirnya tak kuat lagi ia melawan, darah
mencurat dari lubang di badannya, dan iapun terguling guling. Napasnya tersengal-sengal.
"Hai, berhenti! Berbenti! Kejam, kau! Kejam! jahanam!" teriak Jabodin hendak melerai.
Tetapi tak diindahkan oleh musuh Jawawi yang jahat itu. Maka diambilnya clorit Jawawi,
dan dengan membabi buta pemuda Jabodin mengamuk! Dia memukul mukulkan clorit
temannya asal kena, tanpa ilmu menjurus atau memukul. Tak tahan hatinya melihat
sahabatnya disiksa begitu rupa. Sudah terang dari awal perkelahian bahwa Jawawi tidak
menyukai perkelahian itu serta melawan dengan hati goyah. Namun musuhnya melancarkan
serangan maut! Melihat tindakan Jabodin ini kedua pengawal Bahrowi hendak ikut campur. Tetapi melihat
pula cara Jabodin menyerang dengan asal pukul saja mereka kembali tegak dan tersenyum.
Bahrowi yang mendapat serangan, menghindar dan mengejek. la meloncat ke kiri dan
kekanan sambil tertawa-tawa seperti orang bermain loncat tali.
"Ha, ha, ha, mau apa kau pemuda dungu? Pukulan cara kampungan lagi, masa bisa kau
mengenakan kulit tu. Nih.. kenakan tanganku. Hut, tidak bisa bukan? Lagi? Ha, ha, ha, hal"
ujarnya dengan menggoda. Ditegakkan lengan kanannya didepan hidung Jabodin, waktu
clorit Jabodin mengait, lengan itu dengan cepat hilang tapi segera kembali pada tempatnya.
Jabodin dengan marahnya tetap saja menyerang tanpa siasat. Menilik serangan orang yang
terserang ini, Bahrowi segera mengambil tindakan. Tidak tahu lagi dari mana asalnya, tibatiba dada Jabodin terasa panas, dan tubuhnya terpental jauh jatuh didekat Patimah.
"Ha, ha, ha ha ha! Tolong itu, Mah! Suruh dia belajar pencak dulu, lalu menyerangku, ha, ha,
ha! Mah, terima kasih Mah! Selamat tinggal! Sampai ketemu Ya, cung!" ujar Bahrowi
dengan sombong. Lalu dengan keraknya meninggalkan tempat pembunuhan itu bersama
teman-temannya. Jabodin merasa sesak dadanya. Ia hendak bangun dan mengejar pembunuh, tetapi napasnya
yang sesak tidak memperkenankan tubuhnya bergerak bebas. Lagi pula Patimah memegangi
dengan erat. "Lepaskan, Mah! Biar kuhajar orang biadab itu!" seru Jabodin meskipun ia tahu benar tidak
akan menang bertanding dengan pemuda gesit itu.
"Jangan, Din! Percuma! Dia pendekar yang telah terkenal dikalangan jago-jago pencak
Namanya Bahrowi," kata Patimah dengan bahasa Madura,
"Kau kenal dia, ja? Awas, aku akan menuntut balas! Tolong ingatkan aku akan rupanya jika
kemudian hari pangling, ya! Aku kurang tajam mengingat wajah orang." ujar Jabodin.
"Lalu, apa yang kita kerjakan sekarang? Ini soal pembunuhan, mestikah kita lapor kepada
polisi ?" "Din. Jangan menuntut bales! Ini urusan politik. Kau tak usah ikut campur. Sebaiknya kita
panggil orang dekat-dekat sini untuk mengangkut jenazah teman kita. Kita lapor selayaknya.
Tapi jangan mengharap pengusutan dari pihak yang berwajib. Percuma. Bahrowi ada dipihak
pemerintah. Ia membunuh Jawawi tentu atau perintah Van Greven!"
"Hah, engkau tahu banyak. Tapi tidak adil! Harus ada tindakan hukum. Bagaimana aku tidak
ikut jam pur? Aku menyaksikan pertarungan yang tidak adil ini! Lagi pula Jawawi waktu ini
sebagai temanku, bahkan pelindungku ! Tidak Mah aku harus menuntut balas!"
"Mereka berkelahi dengan jujur, Din. Seorang lawan seorang !"
"Hah? Tapi aku yang tak tahu ilmu pencakpun mengerti, bahwa ilmu pencak Bahsori, ch,
siapa tadi itu, jauh lebih tinggi dari pada Jawawi. Perkelahian itu tidak adil!"
"Lantas, kau mau apa? Apakah engkau akan melawan si pandai pencak itu? Oh, Din. Aku
bilang, janganlah melibatkan diri pada urusan mereka. Ja. nganlah menerjunkan diri pada
urusan politik! Kau masih murni dalam pikiran dan perbuatan Sekolahlah saja seperti
kehendak orang tuamu," ujar Patimah dengan setulus hatinya. Air matanya meleleh juga.
Dalodin tidak memperdulikan nasihat perempuan muda itu. Hatinya telah hangus. Maka
jawabnya dengan seram: "Aku akan belajar pencak. Aku akan menun. tut kematian Jawawi.
Ini, clorit yang kugenggam ini akan kugunakan untuk mencabik-cabik jantung Bah sori! Tadi
kudengar juga ancam Jawawi bahwa clorit ini kemudian yang akan melunasi jiwa Bahsori!
Ta Bahsori, Bahsori, kuingat ingat nama itu!"
"Bahrowi Din. Bukan Bahsori! Oh, Din, kau akan menyesal mengambil keputusan begitu.
Menyesal!" ujar Patimah.
Jabodin tidak mendengarkan lagi. Ia memeriksa jenazah temannya. Masih hangat, tapi tidak
bernyawa lagi. Darahnja masih menetes. Tapi Jabodin tidak merasa ngeri. Didukungnya
mayat temannya, dan berisarat kepada Patimah agar meneruskan perjalanan. Patimah dengan
sedu-sedan mengikuti dari belakang, dan memberi petunjuk secukupnya mana-mana jalan
yang harus dituju. Jenazah Jawawi disambut oleh keluarganya dengan hujan tangis. Adik Jawawi, Jainap
namanya, pingsan menyadari bahwa orang mati yang dibawa orang masuk rumahnya adalah
kakaknya! Patimah membantu kerepotan rumah sahabatnya dengan merasa dirinya berdosa.
Tapi ia lebih kuatir lagi akan tindakan Jatodin selanjutaja, sebagai orang baru yang buta
keadaan tetapi jiwanya marah dan dendam. Oleh sebab itu ia selalu mendampingi Jabodin
selama dalam pelajaran itu.
"Din.. Berikanlah kepadaku cloritmu. Berbahaya disini membawa lorit," bisik Patimah.
Disini tidak saja berkeliaran orang pergerakan yang berpihak kepada Jawawi, tapi juga
menyelinap mata-mata Van Greven yang ingin menyelidiki pergerakan itu selanjutnya. Sebab
Jawawi terhitung tokoh muda yang gesit dalam pergerakan, meskipun tidak begitu pandai
dalam hal main pencak. Kematian Jawawi tentu menarik perhatian kedua belah pihak yang
bermusuhan. Sebab itu berlakulah dingin. Janganlah bertindak yang memberi kesan engkau
terang terangan dipihak Jawawi. Nasibmu tidak akan lebih baik dari Jawawi jadinya.
Berikanlah senjata tadi kepadaku."
Jabodin tidak mau memberikan. Hatinya memang keras sebagai keadaan tubuhnya yang
Clurit Bata Putih Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kekat Lagi pula senjata tajam yang dibawanya sekarang membawa khasiat pada dirinya. Ia
merasa tenang dan sanggup melawan segala kemungkinan. la telah memperhatikan bentuk
clorit Jawawi dan menimang-nimang mana yang tepat untuk dibacokkan, disabitkan dan
siasat penyerangan lainnya. Pada pangkal clorit itu, dekat pada kayu pegangannya ada tanda
tiga pesegi panjang bertumpukan. Bagi Jabodin tanda ini seolah-olah menjadi jimat kesaktian
senjata itu, asal saja dipergunakan dengan sepat.
Sebelum jenazah dibawa kekubur, tamu yang melayat segera mengetahui cerita
sesungguhnya yang terjadi dengan kematian Jawawi. Maka nama Patimah dan Jabodin pun
menjadi terkenal disitu. Mereka menghujani berbagi bagi pertanyaan kepada kedua orang
muda yang menyaksikan peristiwa pembunuhan itu.
Diantara para tamu, ada yang menggerakkan hati Jabodin untuk mengetahui lebih lanjut.
Orang ini bersama dua orang laki-laki lainnya mendekati Jabodin serta menanjakan tentang
clorit Jawawi. "Apakah kau tahu Jawowi membawa clorit waktu berkelahi dengan Bahlowi?"
bisik orang itu. "Ya. Dia membawa clorit yang bertanda tiga pesegi panjang bertumpukan pada pangkalnja,"
jawab Jabodin devgan curiga.
"Heh? Engkau melihat tanda itu pula malahan! Itulah clorit dari Bataputih. Masih ditempat
perkelahian sanakah kira-kira clorit itu sekarang?" tanya orang itu.
"Tidak. Kusimpan. Kujadikan kerang-kenangan bagiku atas kematian seorang sahabat!"
"Kausimpan? Berikanlah kepada kami. Tak ada gunnanya
clorit itu bagimu. Paling akan disita gopermer sebagai tanda
bukti. Berikanlah kepada kami dan bilanglah hilang jika
polisi menanjakan!" pinta orang itu dengan sangat.
"Aku tidak akan memberikan clorit itu kepada siapa juga,
baik kepada kalian maupun kepada polisi." jawab Jabodin
dengan tegas. Tamu itu memandang Jabodin dengan tajam: Jabodinpun
memandang dengan tajam, menundukkan di hatinya yang
kukuh. Tamu itu tampaknya berpikir-pikir sebab kemudian
pandangannya lunak lalu tersenyum.
Aku percaya akan perkataanmu! Bukankah begitu kak?"
ujar tamu tadi setengahnya minta pendapat teman-teman
lainnya. Teman-temannya pada mengangguk. Sungguh,
jangan sekali memberikan clorit itu kepada siapa juga. Jika
"Ya, dia membawa clorit yang
engkau tidak sudi menjimpan, ya berikanlah kepada kami.
bertanda tiga persegi panjang
Atau, jika sekiranya engkau menghadapi kesukaran tentang
pertumpukan pada pangkalnya"
clorit itu, datanglah di kepada kami. Pergilah kekampung
Batapotih. Carilah rumah pembantaian didalam kampung. Jika engkau bermaksud
menyerahkan clorit itu, berikan kepada tukang daging disana. Tetapi jika maksudmu lain,
misalnya karena minta bantuan kami, masuklah ketempat penjualan daging. Tanyalah harga
hati sapi setengah kilo. Jika penjual daging itu menanjakan uangmu, bukalah cloritmu itu, dan
ancamkan kepada penjual daging itu. Itu isjarat baginya untuk membawa engkau ketempat
kami. Selalulah bersiap dengan clorit ditangan sehingga engkau ketemu dengan kami.
Mengerti?" Jabodin amat terpesona oleh keterangan orang ini. Bukan saja karena ceritanya yang aneh,
melainkan juga sikap orang ini yang tegas dan memerintah. Sesudah berkata demikian, dan
Jabodin mengangguk tanda mengerti, orang itupun pergi bersama teman-temannya. Jabodin
tidak lagi melihat mereka sampai selesai penguburan. Ia akan bertanya kepada Patimah soal
ini, tetapi segera diurungkan. Rasa cemburu terhadap pengetahuan perempuan muda ini
timbul dihatinya, sehingga kiranya tidak perlu segala sesuatunya ditanyakan dan dilaporkan
kepada Patimah. Maka soal rumah pembantaian di Batapotih ini diputuskan tidak dikabarkan
kepada Patimah. Dan inilah langkah yang pertama ia bertindak tanpa pengetahuan gadis itu.
Jabodin meneruskan sekolahnya di Ambachschool. Tetapi sejak semula hatinya tidak tenang
hidup melulu bersekolah saja. Peristiwa pembunuhan Jawawi itu tetap terbayang-bayang
dihatinya. Pada suatu hari, ia membawa clorit peninggalan Jawawi kekampung Batapotih.
Setelah beberapa kali ia menanjakan tentang rumah pembantaian dikampung situ, akhirnya
ketemu juga. Rumah itu didepan merupakan toko daging, dengan beberapa paha sapi yang
telah dikuliti tergantung disitu. Ada seorang berbadan tegap, memakai baju kaus lorek dan
celana hitam, sedang memotong-motong paha sapi dipembantaian. Pisau potong itu
kelihatannya amat tajam, dan besar sekali. Namun dengan tetap hati Jabodin memasuki
tempat daging bergantungan dan bertanya kepada laki laki yang sedang sibuk bekerja.
"Berapakah harga hati setengah kilo, kak?" tanyanya.
Laki itu memandangi Jabodin dengan mata mendelik. Kumisnya yang tebal dan bengkok
menambah ke jamnya pandangan ini: "Tanya-tanya harga segala mana uangmu, hah?!"
jawabnya membentak. Meskipun laki laki kejam itu telah lebih dulu menggenggam pisau pemotong daging yang
besar dan tajam ditangannya, tetapi mengingat pesan orang yang dirumah Jainap dulu, maka
dengan tepat Jabodin mengeluarkan tloritnya dari bayunya dibelakang, terus diacungkan
kepada orang berku mis bengkok itu : "Kau lihat ini!" ganti Jabodin membentak. Suaranya
keras dan tegas. Hah?! Hai, tolong ! Pak, ada tamu! Tamu bawan clorit! Mari, kuantar ketempatmu. Pak, tamu
pak!" "Ya." seru orang berbaju kaus lorek itu. Setengah ia bicara kepada orang dalam, setengahnya
menyilahkan Jabodin masuk kebagian rumah yang lebih dalam, melalui pintung depan.
Jabodin tidak kurang waspada. Ia tahu, orang ini berteriak-teriak dengan sengaja memberi
isjarat kepada seorang didalam rumah supaya mengadakan persiapan penyambutan. Namun,
meskipun Jabodin siap dan waspada, ia sangat terkejut ketika masuk ruangan dalam, tiba-tiba
dadanya dipukul oleh seorang pemuda yang sebaya dengannya. Jabodin mengelak, meskipun
terlambat tetapi itu menolong juga. Dan sebelum pemuda musuhnya 'mengulang
pemukulannya, ia telah menggerakkan cloritnya ke arah musuh.
Ruang tempat mereka bertengkar cukup luas. Luas dan tidak ada perabot rumah yang
ditempatkan pada ruangan itu. Lawan Jabodin pemuda bertangan kosong, ketika melihat
Jabodin bersenjatakan clorit, segera mengelakkan diri dengan jurus pencak. Jabodin ingat
cara berkelahi Jawawi dan Bahrowi, mereka tidak memukul dan menangkis dengan baku
hantam, tetapi dengan jurus yang teratur datangnya. Namun waktu itu ia tak sempat berpikir
panjang, segera disabitkan gloritnya secocok mungkin untuk melukai musuhnya. Sebab jika
ia tidak segera menyerang, tentu kena serang. Tapi lawannya agaknya telah
memperhitungkan gerakan Jabodin, sehingga dengan mudahnya meloncat kekiri dan
kekanan, keatas dan mendekam kebawah menghindarkan serangan Jabodin, tapi sekali waktu
iapun menyerang Jabodin dengan gigih. Tidak tampak rasa takut atau gentarnya menghadapi
Jabodir yang mengamuk dengan cloriinya.
Setelah berkali kali sabetan clorit tak berhasil mengenai lawannya, dan beberapa kali bahkan
ia sendiri kena pukul orang bertangan kosong itu, maka didenganya orang menghentikan
perkelahiannya. "Hooop! Berhenti! Cukup, cukup! Saleh, menyingkirlah!"
Jabodin menghentikan serangannya. Sedang pemuda lawannya menghormat secara pencak,
lalu menghilang dipintu belakang yang nganga. Lenj?pnya diiringi puji. an orang:
"Gerakanmu cukup gesit, dan sikapmu cukup sabar, Leh! Bagus, bagus!"
Orang yang melerai perkelahian itu tiada lain adalah tiga orang yang datang melawat Jawawi
dirumah Jainap dahulu. Maka segeralah Jabodin tahu, bahwa mereka itu guru pencak. Karena
itu Jabodin menghormat kepada mereka sebagai pengganti salamnya.
"Nah, Jabodin! Akhirnya engkau datang juga. Mari duduklah, kita biasa duduk bersila begini.
Bagaimana kabarmu? Disini kita bisa bercakap cakap terus terang.
Tak usah kuatir didengar musuh. Dari pandanganmu waktu dirumah Jainap dulu itu aku yakin
bahwa engkau akan membela kehormatan temanmu Jawawi. Apa sekarang? Apakah
keperluanmu kesini?" ujar orang itu Sebelum duduk, ia mengulurkan tangannya dan mel
neruskan perkataannya : "Baiklah kita berkenalan dulu Aku yang disebut Morgan. Haji
Morgan yang mendirikan perguruan pencak di kampung ini. Ini pembantu-pembantuku, Cak
Tojib dan Sirot. Tadi itu, Saleh murid kami."
Jabodin bersalaman. Sekarang legalah hatinya dan ia bisa tertawa. "Anu, kak. Kata kata
kalian dulu memikat hatiku. Terutama mengapa benar kalian menginginkan mengambil clorit
ini? Dan apa hubungannya kalian dengan Jawawi?" tanya Jabodin setelah duduk la masih
menggunakan bahasa Madura, meskipun bahasa Jawa telah pula dipelajari sedikit
"Ah, gampang saja jawabnya, Din! Jawawi ada lah murid perguruan kami, sedang clorit itu
juga dari kami asalnya. Tiga empat pesegi panjang yang bertumpuk sebagai tanda clorit
Batapotih," keterangan Haji Morgan. Orangnya tinggi besar, tetapi sekarang ini ramah tamah.
"Adakah hubungannya perguruan pencak ini dengan politik yang dianut Jawawi?" tanya
Jabodin. "Ada, meskipun tidak resmi. Kami saling berhubungan. Jawawi adalah seorang tokoh
pergerakan nasional yang muda belia. Perkembangan bakatnya dalam menghimpun dan
menyadarkan rakyat telah tampak. Buah pikirannya dipakai oleh kaum cendikiawala bangsa
kita. Tapi bersama tumbuhnya pikirannya yang berguna itu, tumbuh pula bahaya maut yang
dilancarkan secara tidak terang-terangan oleh pihak pemerintah. Jika tokoh pergerakan yang
telah terkenal seperti Ir Sukarno, Surjaningrat, Haji Bahrum, ancamannya penangkapan dan
pembuangan ketanah seberang, bagi pemuda-pemuda atau orang yang baru tumbuh adalah
pembunuhan secara kebetulan yang dilancarkan secara pengecut. Itulah sebabnya kaum
pergerakan merasa perlu mempersenjatai pemudanya dengan memberikan ilmu pelajaran
pencak untuk menjaga diri. Jawawi memilih perguruan kami untuk menggembleng
jasmaninya. Tapi sayang, sebenarnya kecerdikan otaknya agaknya lebih trampil dari pada
gerakan ilmu pencaknya, sehingga apa yang dicapainya tentang ilmu pencak tidaklah bisa
diandalkan. Namun kami merasa kecewa dan bertanggung. jawab atas kematiannya,
meskipun kami tahu musuhnya adalah jago pencak yang amat mahir. Itulah sebabnya kami
minta betul kepadamu, agar cloritnya diserahkan kepada kami sebab malulah kami jika
ketahuan bahwa Jawawi yang terbunuh dalam perkelahian disiang hari bolong dan secara
jujur ternyata menggenggam glorit Batapotih, yang berarti pula bahwa dia murid perguruan
sini!" Jabodin mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Haji Morgan. Sekarang telah
gamblang baginya seluk beluk persoalan pembunuhan Jawawi. Jika ia masih juga berniat
menuntut balas, maka kiranya ia melangkahkan kakinya dengan sadar, tidak membabi-buta
seperti selama ini. "Adakah kedatanganmu kemari hendak menyerahkan jlorit itu, Din?" tiba tanya Haji Morgan.
"Tidak!" sahut Jabodin sepontan. "Tidak! Aku telah bersumpah akan menuntut balas
kematian Jawawi dan membunuh lawannya dengan clorit ini!".
"Heh!? Kau mau melawan Bahrowi?! Ha, ha, ha, ha. Jangan main-main kau Din. Kau telah
menyaksikan sendin hetapa gesitnya, betapa masaknya dan sempurnanya ilmu pencak
Bahrowi! Sedang pencakmu?! Oh. aki telah menyaksikan tadi, kau tak bisa membacokkan
cloritmu kepada Saleh! Apa yang kau andalkan hendak membunuh Bahrowi? Akan kau
runduk pada waktu di tidur lelap? Jangan sembrono. Bahrowi, gerak nalurinya begitu hidup
dan tepat. Ia bisa menangkis 20 sanganmu selagi tidur lelap. Dikalangan dunia pencak ia
telah terkenal sakti, sehingga dikabarkan kulitnya tidak mempan oleh batokan senjata tajam.
Nyawani rangkap, kata orang pernah terpukul mati tetapi hiduj lagi! Orang kebal seperti itu
hendak kau lawan dengar ilmu pencakmu yang tidak pandai mengenai Saleh tadi? Oh, Din
Jatodin! Sedikit pakailah otakmu, nak!"
"Memang! Memang aku tak bisa main pencak," sabut Jabodin dengan tunduk, mengakui
kebodohannya. "Tetapi andaikata aku temukan orang yang suka mengajari aku ilmu pencak,
kiraku akan berhasil menjalankan tuntutan dendamku!"
Ucapan Jabodin ini disambut dengan senyum oleh Haji Morgan. Diamatinya Jabodin sekali
lagi, lalu berkata dalam bahasa Jawa logat Surabaya kepad pembantunya : "Nah, apa kataku,
Cak Tojib? Aku telah mengira, penjelidikan kita dulu itu tidak sia-sia." Kepada Diabodin ia
berkata dalam bahasa Madura: "Suka kah kiranya engkau belajar pencak di sini? Disini
perguruan Batapotih, dulu tempat Jawawi belajar pencak juga".
"Mengapa tidak? Bukankah sudah kuterangkan!" sahut Jabodin.
"Begini. Din. Kami sendiripun ingin menebus malu kami. Bagaimanapun juga tentang clorit
itu tentu ketahuan orang juga akhirnya, dan akan teranglah bahwa Jawawi murid Batapoih!
Sangat cemar nama perguruan kami. Karena itu aku mencari cloris itu, clorit yang digenggam
Jawawi waktu bertempur dan gugur, untuk kami sembunyikan. Itu usaha kami untuk
menyembunyikan persoalan Jawawi sementara waktu. Kami akan mencari jago yang akan
kami didik, jago yang memang berbakat. Jika ia berkemauan keras, tentulah kami dapat
mencarikan tandingan Bahrowi murid Haji Jen dari Pandegiling itu. Kami telah melihat gerak
gerikmu selagi berusaha menghindarkan dan membalas serangan Saleh tadi. Bakatmu kiranya
tidak mengecewakan. Mungkin akan lebih sempurna dari apa yang kami harapkan. Sekarang
engkau sendiri mengatakan hendak membalas kematian Jawawi dengan clorit Batapotih.
Tepat kiranya. Pucuk dicinta ulam tiba! Bagaimana? Akan bertekadkah engkau menjadi
pendekar didikan Batapotih?"
"Tentu! Tentu! Oh, aku senang sekali! Aku akan menjadi murid yang tekun, murid yang
rajin." sahut Jabodin dengan wajah berseri-seri. "Kapankah saya bisa mulai belajar?"
"Jatodin. Sebenarnya sejak datangmu masuk kedal daging sini, dan bertanya soal harga hati
sapi, kau telah mulai belajar pencak. Ilmu pencak, meskipun pada umumnya dikenal orang
sebagai olah ketangkasan jasmani, namun sesungguhnya harus disertai latihan rokhani
keberanian, kejujuran, ketenangan, kewaspadaan, dan kesiap-siagaan. Kami ajarkan
ketangkasan jurus melulu tanpa siasat batiniah, kepandaianmu akan percuma. Sia-sia. Bahkan
engkau mungkin akan mencemarkan nama baik perguruan kami karena tingka lakumu yang
sombong, tinggi hati, atau suka pamer. Bukan itu saja, tetapi kesukaan memamerkan
ketangkasan itu saja sudah menjadi kebiasaan yang membahayakan untuk keselamatan
dirimu sendiri! Ya. ingat, sebelum engkau belajar mengenakan jurus hendaklah keadaan
batinmu kau cuci sendiri, kau bersihkan dari niat jelek. Pendeknja bukan saja keadaan
jasmani, olah batinpun akan kami gembleng. Jabodin kau telah mulai pelajaranmu yang
pertama, pelajaran awal. Sekarang berdirilah. Mari kita lihat urat-uratmu. Ilmu pencak tidak
hanya mencurahkan kekuatan melulu tetapi juga akal dan siasat. Dan juga ilmu tubuh.
Dengan susunan urat-syaraf yang begini, tepat untuk memusatkan jurus ini, begitu
seterusnya," kata Haji Morgan. Sambil berkata-kata demikian ia melakukan segala
sesuatunya yang penting untuk pelajaran permulaan murid barunya.
Jabodin yang tidak mengetahui apa-apa tentang ilmu pencak menurut saja, seperti seseorang
yang diukur bidang tubuhnya hendak dibuatkan pakaian baru untuknya. Pemuda ini
mempunyai dada yang tegap, kaki yang panjang. Urat-uratnya tersembunyi pada kulitnya jadi
halus sehingga tidak gampanglah orang menerka nerka kekuatannya. Tetapi Haji Morgan
sekali memegang lengannya, tahulah sudah betapa kemampuan urat urat Jabodin. Bakatnya
sungguh luar biasa. Jika betul saja menyalurkannya, Haji Morgan percaya apa yang dicitacitakan, yaitu mendapatkan murid yang akan mewarisi segala ilmu kepandaiannya berpencak,
akan tercapai. Selama ini belum pernah ia mendapatkan murid berbakat, sehingga meskipun
nama perguruannya harum, tetapi inti kepandaiannya masih tetap belum tersiarkan. Masih
tetap dimiliki oleh Haji Morgan pribadi. Juga kegesitannya dalam menggunakan senjata
khusus clorit yang telah terkenal itu belum pernah diturunkan dengan sungguh hati kepada
muridnya. Karena memang belum ada orang yang berbakat yang sekiranya sanggup
meneruskan serta mengamalkan ilmu pencak Haji Morgan itu. Sekarang, mempelajari uraturat Jabodin, tulang belulang serta pernapasannya, Haji Morgan mengangguk-angguk.
"Cak Tojib. Inilah anak yang kuharapkan. Tata sarafnya sempurna, pernapasannya tertib.
Biarlah gerak-gerak dasarnya nanti kuajar sendiri, biar murni. Yah, agaknya Tuhan memberi
jalan. Kematian Jawawi, bukanlah alamat punahnya perguruan Batapotih yang I terkenal
dengan cloritnya, tetapi justru mempertemukan diriku dengan orang semacam Jabodin". Ia
berkata-kata itu dalam bahasa Jawa, sehingga Jabodin yang dibicarakan berhadapan muka ia
tidak mengerti sama sekali. Kepada Jabodin kemudian ia berkata dalam bahasa Madura :
"Mari, tirukan gerakan ini, nak!" Haji Morvan menggerakkan tangannya amat lamban,
ditirukan Jabodin dengan mudah, tapi gegabah.
"Hai! Jangan terlalu cepat!" tegur sang guru.
"Coba ulangi lagi! Nah, ini, ada kekeliruan sedikit!"
Sebenarnya, pelajaran awal itu sangat menjemukan. Jabodin tidak melihat gerakan gerit
seperti yang telah dilancarkan Bahrowi dulu itu, tetapi lebih mirip seperti orang menari.
Namun ia harus menirukan dengan sabar. Ya, meskipun tidak tahu benar apa kegunaan akhir
dari gerak gerak perlahan itu, ia menirukan dengan sungguh hati dan secepat mungkin.
Kemudian hari, setelah Jabodin lancar dan mahir, serta pada waktu menghadapi bahaya maut,
ternyata bahwa gerak dasar ini sangat menolong dan berguna, terutama dalam me.
agendalikan nafsu dan bersikap tenang. Yah, kemudiana hari Jabodin terkenal sebagai
pendekar yang bersikap tenang dan ketenangannya ini pula yang membawa namananya
kepercaturan pencak tingkat pertama. Ia mempelajari jurus-jurus awal dengan sungguh hati,
sehingga gerakan dasar dalam ilmu pencak dilakukan dengaali betul dan sempurna.
"Ini dasar!" ujar Haji Morgan. "Jika telah kau pelajari ini, ilmu yang paling tinggipun dalam
gerakan pencak dapat kau capai. Dan aliran apapun bisa kau pelajari dengan mudah".
Begitulah akhirnya pemuda yang meninggalkan kampung halamannya berniat memburu ilmu
kepandaian tehnik dan pertukangan disekolah, serta merta karena ajaran dan pengalaman
hidupnya menjadi seorang pendekar yang berbakat. Dan sebagai pendekar, tentu saja ia
mengalami pertikaian", petengkaran-petengkaran, bertempat, tantang-menantang. Tanpa
pengalaman itu tidaklah mungkin seorang pendekar mencapai percaturan penjak tingkat
pertama. Dan ini yang dikuatirkan Jaenab.
Perempuan muda ini sangat kuatir jika Jabodin yang dikenalnya kembali sewaktu dalam
perjalanan dari jampang ke Surabaya, terlibat dalam pertikaian pencak yang mempertaruhkan
jiwa itu. Jabodi sangat menaik perhatiannya, dan tatkala itu diketahuinya benar pahwa
pemuda ini masih murni, suci, belum terpengaruh baik dalam pertikaian politik maupun
pertarungan pencak. Patimah seorang gadis yang lincah, baik dalam seakan tingkahlakunya, maupun dalam
pikiran dan pergaulan masyarakat. Ia masih sangat muda jika dilihat dari umurnya, tetapi
sudah cukup dewasa jika ditilik lari pengalaman serta pemikirannya. Otaknya cerdas. Hal itu
dapat pula dilihat dari wajahaja yang cakap dan pandangan matanya yang tajam. Tapi ia
seorang peramah, jika bicara dengan seorang teman senyumnya selalu menjungging dibibir,
sedang kata-katanya bernada berseloroh atau berjenaka. Hanya pada waktu diperlukan ia bisa
berbicara tegas dan memerintah. Dan justru itu ia berhasil memasuki alam pergaulan alam
berbagai tingkat kehidupan. Ia bisa omong-omong sama dengan saudara-saudaranya sesuku
yang mengembara ketanah Jawa sebagai perantau miskin. la kenal dengan orang-orang
semacam Jawawi. Bisa bergaul dengan ?noniks dan sinyo' yang selalu mempergunakan
bahasa Belanda. Nonik dan sinyo Bumiputerapun dikenalnya. Dengan orang tua seperti Haji
Clurit Bata Putih Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bahrum, atau pendekar terkenal seperti Haji Jen, Patimahpun kenal. Kaaknya ada yang
belajar diperguruan tinggi Nias, maka dengan masyarakat atudenten Patimahpun tidak asing
lagi. Rumahnya menjadi pusat pertemuan-pertemuan. Hilir mudik pemuda pemudi datang
kerumahnya. Ayahnya seorang ambtenaar yang rajin, dan berpendidikan tinggi. Sikapnya
kepada anak-anaknya bebas, sehingga kakak-kakak Patii mah ada yang meneruskan sekolah
sampai perguruan! tinggi Namun Patimah memilih Huishoutschool sebagai tempat
penatarannya. Seorang pemuda datang kerumahnya pada suatu sore. Waktu ia hendak menanjakan orang
yang dicari-cari yaitu kakak Patimah yang bernama Nariman, tercengang mendapat sambutan
gadis cakap yang tak ada kikuknya sama sekali menghadapi tamu laki "Ya? Siapa yang
engkau cari, kak?" tanya gadis itu "Nariman." Singkat, tersekat oleh ludah.
"Oh, kak Nariman pergi main catur. Silahkan duduk. Ayohlah."
"Main catur? Tentu lama dia nanti kembali. Anu, biarlah besok aku kembali," ujar tamu itu
dengan gugup. "Ai, mengapa tidak duduk dulu. Ayohlah. Tidak ketemu kak Man tidak mengapa bukan
bertamu disini? Kita tambah kenalan baru. Ayoh, kak. Heh, siapa nama kakak, nanti bisa saja
teruskan kepada kak Man."
"Janto, Suyanto, orang pindahan baru dari Sala Dia telah mengerti. Aku mau mendaftarkan
dalam team main bridge." Kata teman-teman mahasiswa kakakmu ketuanya," kata tamu itu.
Akhirnya lancar juga bicaranya Ia memakai bahasa Belanda dengan fasih.
"Jadi, sungguh mas To tidak sudi duduk dirumah ku sore ini karena kak Man tidak ada
dirumah? Atau takut berkenalan dengan gadis lancang seperti aku ini?" sambut Patimah
dengan mengiraikan rambutnya yang menjurai diatas dahinya.
"Tam," kata tamu itu 'man' mahasiswa arkan dalam wala.
Dengan tersenyum tersipu-sipu, terpaksa pemuda tamu itu naik rumah. Dan berkenalan
dengan Patimah. Dan berbicara dengan gadis itu. Meskipun didasari dengan sifat kebetulan,
namun perbincangan mereka riuh juga. Dan lama juga baru Suyanto meninggalkan kursinya.
Kemudian hari, ia kembali lagi bertamu kerumah itu.
Ya, itulah Patimah. Peramah dan pandai melajani teman-teman keluarganya. Tidak yang tua,
tidak yang muda. Pada suatu masa, belum lama berselang, gadis cakap ini giat menyelenggarakan rapat yang
diketuai seorang muda bernama Jawawi. Jawawi mengadakan pidato', dan menulis buah
pikirannya dimajalah-majalah pergerakan. Patimah ikut menyelenggarakan rapat dan
kemudian tentu saja berhubungan pula dengan Haji Babrum, dengan Surjaningrat, Dr.
Sutomo dan lainnya lagi. Kegiatan ini kemudian mengakibatkan hal yang tidak diinginkan
oleh orang tuanya. Kegiatan Patimah tercium oleh anak buah Van Greven, sehingga ayah
Patimah mendapat teguran langsung dari kepala polisi ini. Ayah Patimah dipanggil kekantor
polisi, berhadapan dengan mencer Van Greven, hanyalah karena urusan anaknya perempuan
yang telah memprakarsai sebuah rapat pergerakan dikampung Plampitan. Apapun juga
persoalannya, tetapi bagi seorang ambtenaar berpendidikan tinggi dipanggil kekantor polisi
sungguh mencemarkan. Dalam pergaulan masyarakat tingkatnya nama ayah Patimah ditandai
dengan huruf 2 merah, termasuk orang yang wajib diasingkan, sedang beberapa haknya
dicabut. Dilapangan tennis sudah tak ada lagi yang suka melawannya. Sedang kenaikan
pangkatnya ditunda satu tahun. Hal ini semua diterangkan kepada Patimah, dan sebagai gadis
yang tahu diri dan tahu membalas guna, tindakan gopermen terhadap ayahnya ini dirasakan
sebagai pengalaman yang pahit. Malah langkah selanjutnya dikerjakan dengan lebih berhatihati. Meskipun bagaimanapun beratnya kegiatan dalam lapangan pergerakan terpaksa
ditinggalkan. Sekarang hanya giat dalam lapangan sosial. Meski begitu anak buah Van
Grevon belum juga puas. Mereka menganggap pergaulan Patimah dengan Jawa terlalu rapat,
sehingga pantas dicurigai. Maka Patimah selalu diamat-amati. Gadis Ini merasa juga dirinya
tidak bebas lagi. Risaulah hatinya. Maka untuk menghilangkan jejak kegiatannya dan untuk
mejajaki pihak Van Greven bahwa ia benar telah jera dengan kegiatan politik, ia langsung
bertegur sapa dengan Vi Greven. Bergaul dengan kepala polisi bangsa Belanda itu berarti
bermain dekat api. Dari pergaulan itula maka ia kenal baik dengan Aluwi, Bahrowi dan M.
Toha, pendekar penjilat yang tak kenal malu. Tetapi bagaimanapun juga, darah Maduranya
tidak bisa ia lunturkan begitu saja. Ia tak bisa melepaskan pergaulan lama. Ia tetap akrab
dengan gadis yang terhimpit dalam MJMB. la tak bisa lepas sama sekali dengan Jawawi, dan
sahabat lama lainnya. Kedatangan Jabodin di Surabaya memikat hatinya. Pemuda yang suci, murni, dan
perangainya elok. Lagi pula Patimah telah mengenalnya dahulu, tatkala masih ingusan. Maka
nasihat Patimah yang pertama adalah Janganlah masuk dalam pergumulan politik. Janganlah
ikut bertarung dalam percaturan pencak. Janganlah suka mabuk-mabukan seperti orang
Surabaya pada umumnya. Janganlah .....?" pendeknya banyak lagi larangan yang bisa
diberikan berdasarkan pengalamannya yang pahit. Ya, lebih pengalaman-pengalaman pahit
waktu dia ikut giat dalam pergerakan nasional memberikan pelajaran kepadanya dan
menginginkan ajaran ini diserap habis oleh orang murni Jabodin. Karenanya seringkali ia
mengharap kedatangan Jabodin dirumahnya, dan sekali dua dijumpainya pemuda ini
ditempat-tempat pergaulan umum. Meskipun Patimah lebih muda daripada Jabodin, namun
pengalamannya membuatnya tua dan nasihat-nasihatnya banyak sekali kepada Jabodin, agar
hati mengatur langkah dalam memasuki gelanggang penghidupan ditanah perantauan.
Tanpa Jawawi, sebenarnya hampir Jabodin tidak mempunyai kenalan dikota besar Surabaya.
Rumah tempatnya menumpang adalah atas petunjuk orang tuanya. Maka perkenalarnya
kembali dengan Patimah dirasa sangat menguntungkan. Pada pandangannya Patimah seorang
gadis yang akrab, elok rupa dan perbuatan, cerdas pikirannya dan luas pemandangannya.
Mungkin karena kesepian tak mempunyai teman, tapi lebih mungkin karena tertarik akan
wajah ayu gadis itu, maka Jabodin yang telah meningkat dewasa itu amat senang hatinya tiap
kali mendapat surat undangan dari Patimah. Undangan untuk berkunjung kerumah gadis itu.
Meskipun agak kikuk bagi Jabodin memasuki rumah Patimah, karena suasana rumah Patimah
sudah berbeda sekali dengan masyarakat orang-orang Madura di Surabaya, namun krasan
juga Jabodin duduk berjam-jam berbincang-bincang dengan gadis ayu itu.
"Mah, ajarilah aku bahasa Jawa. Orang disini semuanya menggunakan bahasa Jawa dan aku
tidak mengerti sepatahpun!" ujar Jabodin pada suatu sore.
"Tentu saja mereka bicara dalam bahasa Jawa sebab disini tanah Jawa. Baiklah, kuajar kau
bahasa Jawa. Tapi engkau harus rajin datang kemari dan rajin menghafal. Sebenarnya tanpa
guru pun kemudian hari engkaupun tentu bisa berbahasa Jawa. Tetapi dengan berguru
kiranya lebih cepat. Bahasa Jawa sebenarnya tidak banyak berbeda dengan bahasa Madura,
jadi tentu lebih mudah kau fahami."
Dan sebenarnya, dengan berguru Patimah, Jabodin hanya dalam waktu yang singkat telah
pandai berbahanda Jawa, meskipun logat Maduranya masih membekas benar ada. Patimah
amat berjasa dalam hal ini. Tetapi ada sesuatu yang kurang disenangi pada gadis ini, yaitu
nasihat-nasihatnya tentang politik dan pencak. Karena itu waktu Jabodin mengambil langkah
belajar pencak pada Haji Morgan, ia tidak menceritakan hal itu pada Patimah. Bahkan banyak
hal yang diketahuinya tentang pergerakan nasional kemudian hari, tidak pula diceritakan
kepada gadis itu. Beberapa kali Jabodin mendapat pujian karena kemajuannya dalam pelajaran pencak.
Bakatnya memang baik. Dalam waktu pendek saja ia telah mencapai tirgkat menengah.
Namanya sebagai pendekar muda mulai muncul ketika ia diajak Saleh, teman seperguruannya
pergi ke Tarik. "Kakakku jadi Asisten Wedana disana," ujar Saleh. Mereka naik dokar saja, sambil melihat.
lihat sawah ladang. Kakak Saleh menyambutnya dengan gembira. "Wah, wah! Kebetulan! Antarkan aku besok
pagi ke Krian beramai-ramai. Teman Asisten Wedana Krian ada hajat menyunatkan anaknya.
mBakyumu tak bisa ikut, sakit !"
Begitulah keesokan harinya mereka naik dokar lagi menuju ke Krian. Tarop Asistenan sudah
penuh dengan tamu-tamu. Kecuali tayuban yang paling digemari penduduk sekitar Krian,
juga diadakan main kartu sekedarnya. Asisten Wedana Krian baru sekali itulah selama
setahun menjabat sebagai kepala daerah mempunyai hajat, maka tamu yang diundangpun
tidak saja dari daerah Krian, tetapi juga pembesar-pembesar dari Sidoarjo dan Surabaya
datang pula. Lewat tengah hari, pejabatat banyak yang pulang, sedang tayuban dan main
kartu tampaknya makin seru. Memang demikian biasanya keadaan didesa-desa Jawa Timur
pada waktu itu. Bupati Sidoarjo ketika pulang bersama isterinya berbisik kepada tuan rumah: "Ssstt, kulihat
tamumu ada seorang musuhku. Dulu waktu aku menjabat menteri polisi di Mojosari dia
kukenal sebagai orang pendatang dari Balungbendo, entah sekarang. Tapi aku tahu betul dia
seorang penjahat Ilmu pencaknyapun tinggi. Dia duduk main kartu disebelah tukang kendang
itu. Sebaiknya kau awasi!"
"Maksud kangjeng bupati apakah pemuda. pemuda yang datang bersama Asisten Tarik ?"
tanya tuan rumah. "Bukan pemuda. Orang yang kumisnya tebal itulah!"
"Oh, Matkamhar! Ya dia orang Balungbendo Memang pendekar terkenal. Tetapi kegiatan
kejahatannya tidak pernah saya dengar, kangjeng!"
"Ya. Mungkin. Tapi menilik senyumnya yang sumbang dan tertawanya yang hambar itu
Wajib kau berhati-hati. Bagiku ia kukenal sebagai Baron!"
"Baron Balungbendo?" ucap tuan rumah terkejut apakah yang tahun lalu dikabarkan telah
membunuh tiga orang warok penantangnya dari Caruban?! Wahl berbahaya! la terlalu banyak
minum dan menderita kekalahan! Panas badannya, panas hatinya! Berbahaya!"
"Lebih baik perintahkan polisi Badu mengawal gerakannya. Meskipun banyak minum,
gerakan pencak nya masih hebat! Jangan terlambat. Jika ia mulai mengadakan pengrusakan,
segera saja tangkap. Itulah tindakanku tatkala aku di Mojosari," ujar bupat Sidoarjo.
Sepeninggal kangjeng bupati, suasana menjad lebih gila. Orang yang suka tayuban tambah
berani minta gending dan memperlakukan teledeknya kian lupa aturan. Lewat jam tiga siang,
tiba-tiba terdengar bentakan yang keras, sehingga orang dan gamelan berhenti bersuara. "Kau
main curang, Asisten Tarik!" serta pembuat gaduh. Orangnya tinggi, besar, kumisnya tebal.
"Lihat, kau lipati ujung kartu baru itu sehingga tak tahu kartu apa itu! Kembalikan semua
uangku!" "Mana bisa, Matkamhar? Main kartu sudah biasa membalik dengan mengintip ujungnya.
Bukan maksud ku melipati untuk menandai kartu!" debat Asisten Tarik Saleh yang duduk
didekat mereka juga menjadi tegang melihat kehebohan itu.
"Kembalikan uangku! Kalau tidak ......!" Tok. Belati yang besar tiba-tiba ditancapkan oleh
Matkamhar pada meja main.
"Kau mabuk, Matkamhar....?" ujar Aristen Tarik mencoba mempertahankan kemenangannya.
Namun mukanya pucat juga.
"Diana! Bawa sini uang itu!" seru Matkamhar.
Seorang yang memakai celana dan sepatu seperti orang Bropah, datang mendekati, seraja
menuding Matkambar: "Kau jangan bikin gaduh disini, Matkamhal!"
"Kau jangan ikut-ikut. Badul"
Terlambat. Badu telah mendekap Matkamhar baru dibawa keluar tarop. Tapi Matkamhar
tidak penurut seperti kebanyakan orang, jika berhadapan dengan pojai Badu. Baru saja Badu
berhasil menyeret dua langkah, Matkambar telah menggerakkan punggungnya, tahu Badu
telah terpelanting jatuh dimeja. Dengan cekatan, Matkamhar memukul polisi malang itu
dengan jurus maut, tepat kepada rahangnya. Des! Dan seketika itu juga wajah polisi itu
menjadi biru. Darah mengalir lewat mulutnya, sedang matanya membelalak kabur.
"Hai, Asisten tamak! Hendak kau bawa kemana uang itu?! Sini lemparkan pundi itu!" ujar
Matkamhar, dan sekali sahut belati besar dimeja tadi tergenggam lagi ditangannya. Suasana
pesta pora menjadi gelanggang perkelahian!
Ketika Matkamhar hendak menjangkau pundi-pundi tempat uang, sebuah pukulan melayang
kearah tangan yang menjangkau pundi-pundi. Saleh meluncarkan pukulan!
"Bangsat! Kau mau mampus seperti Badu jal" teriak Matkamhar membelalaki Saleh. Apa
kepentinganmu dengan aku ?"
"Aku adik Asisten Wedana Tarik!" sahut Saleh dengan sabar.
"Hah!? Kau bela kakakmu yang main curang? Baik. Lekas maju, kukorek dadamu dengan
ini!" seru Matkamhar sambil mengacungkan belatinya. Lalu dengar cekatan menyerang
Saleh. Saleh tak sempat menduga duga kepandaian lawan. Meskipun ia telah siap menanggulangi
segala kemungkinan, tetapi serangan begitu cepat dengan senjata begitu berbahaya, tidak
terpikirkan. Saleh segera melonca undur menghindari serangan kilat. Tapi malang baginya
kakinya terantuk kaki kursi dan jatuh terlentang. Matkamhar tidak membiarkan kesempatan
itu, terus saja menubruk lawannya dengan belati ditangan. Ditungganginya Saleh yang
terlentang dan diayunkannya tangan yang bersenjata tajam. Saleh telah kehilangan akal dan
menangkis dengan membabi buta. Tangkisannya lebih bersifat menghalangi tusukan belati
besar daripada menyingkirkan bahaya secara mutlak. Namun Matkamhar tidak leluasa
menghunjamkan senjatanya, dan ini menunda kematian Saleh yang tak berdaja lagi.
"Jangan terlalu loba, jahanam! Sekali bertarung! kau hendak melayangkan dua nyawa
lawan!" terdengar suara gagah. Dan seketika itu juga belati yang telah terayun menuju
kerusuk Saleh terlepas dari genggaman Matkamhar, terlempar jauh. Jerit penonton terdengar
ngeri. Kiranya tangan Matkanhar ditendang oleh se orang pemuda teman Saleh.
Matkamhar terkejut bukan main. Ia memandang penyerangnya. Lalu meloncat melepaskan
Saleh, sebab depakan kedua telah dilancarkan oleh teman Saleh.
"Bagus! Kalian mau keroyok aku, ya! Ha, ha, ha Aku tidak loba sekali tarung membunuh dua
tiga nyawa. Sekarang anak muda-muda mau berlagak pemberani. Tahu kau siapa aku? Hah?
Tahun yang silam tiga orang warok! dari Caruban menantangku, mampus sekaligus, ha ha
ha! Tidak loba! Tidak royal main bunuh bagi Baron Balungbendo, ha, ha, ha! Ya, kau dengar
julukku sekarang, Ya, aku Baron Balungbendo, ha, ha, ha!" sumbar Matkambar.
Sekalian yang menyaksikan terkejut! Juga Asisten Tarik. Juga Saleh Sebab nama itu tahun
yang silam telah menjadi buah bibir orarg karena keberaniannya menyabung nyawa. Tapi
bagi jago baru seperti Jabodin, nama itu bukan apa-apa. Ia tidak gentar sedikitpun. Apa lagi
sepak terjangnya sekarang terang guna pembelaan kebenaran, atau setidaknya mencegah
pembunuhan berturut-turut.
"Din, hati'! Dia bukan sembarang pemain pencak!" seru Saleh yang telah berdiri
memperingatkan kawannya. la sendiri gemetar sekarang, serenta diketahuinya musuhnya
Baron Balungbendo! Tidak heran punggungnya bisa membantingkan polisi Badul.
Jabodin maju dengan hati tenang. Matanya waspada. Ia mempergunakan kepongahan lawan
untuk menghancurkan kekuatannya. Maka ketika Matkamhar alias Baron Balungbendo
tertawa berbahak-bahak Jabodin cepat maju dan melancarkan jurus percobaan. Percobaan,
tapi disusul dengan serangan tangan kiri yang kuat. Baron Balungbendo membiarkan dirinya
kena pukulan pertama, tetapi segera menghindar pada pukulan tangan kiri. Ia tahu kekuatan
pukulan beruntun ini. Sambil lalu disabetkan tangannya pada Jabodin, tapi Jabodin bukan
penunggu serangan. Ia telah melancarkan serargan lagi dengan cekatan, sehingga sabetan
Matkamhar tak mengena, bahkan orang berkumis ini harus segera melonjat lagi.
"Kurargajar! Pada siapa kau berguru cara begini! Hut! Aduh! Jah, awas pembalasan!" seru
Matkamhar waktu bertanding. Jahodin bertambah cepat menyerang dan tidak memberi
kesempatan Matkamhar bermain tenang dengan mulut bersumbar. Juga Maikamhar yang
menerima serangan bertubi-tubi dan berbahaya, tidak lagi menganggapnya ringan lawannya.
Mulutnya terkatub, perhatiannya tercurah pada gerak gerak Jabodin. Menurut perdapatrya
gerakan-gerakan Jabodin sangat sederhana, termasuk pelajaran. pelajaran pertama pendidikan
pencak, tetapi jurus-jurusnya terasa berisi dan antap. Matkamhar tidak berani bertindak
sembrono. Apa lagi Jabodin memiliki gerakan yang gesit luar biasa.
"Aduh!" keluh Baron Balungbendo itu berkali kali terdengar. Napasnya mendengus-dengus,
sedangkan Jabodin kelihatarnya tidak kekurangan apa-apa. Napas baik, ketenangan terpuji
Baron Balungbendo sangat terdesak. Senjata tidak lagi ia punyai! Mau lari, malu rasanya.
Kekuatirannya bertambah-tambah melibat lawannya yang muda belia tak habis-habisnya
melancarkan pukulan? Akhirnya apa yang dikuatirkan terjadi. Rehangnya kena pukul, lalu
menjusul perutnya, lalu dadanya, lalu kalamenjingnya, lalu .....! Bertubi-tubi dengan sangat
cepatnya. Meskipun badan Matkamhar besar dan kukuh, tapi pukulan antap yang bertubi-tubi
itu akhirnya berhasil juga menjatuhkan. Dan selama itu, agaknya Jabodin tidak melancarkan
pukulan maut, hanyalah pukulan penghancur kekuatan lawan. Baron Balungbendo jatuh
terguling-guling, namun tidak juga serangan lawan berhenti. Sepak terjang lawan masih juga
diterimanya, sehingga akhirnya ia tak bisa bergerak lagi. Lumpuh! Tak berkutik! Tidak
terduga-duga, tiba-tiba para penonton yang menyaksikan pertarungan ini bersorak, dan
memuji ketangkasan dan kebijaksanaan Jabodin. Sesungguhnya Jabodin mengembalikan
semangat orang untuk bersenang-senang tanpa menimbulkan korban lebih banyak lagi.
"Ayoh, gong, gong pukul! Kita mulai dengan Godril!" seru seorang tua yang telah ompong,
tapi begitu gemar tayuban. "Mana sampurnya, ayo wak kendang. Godril!"
Orang yang berkepentingan mengusut kehebohan bertindak dengan tepat. Mayat polisi Badu
yang tak tertolong diangkut pergi, sedang Matkamhar dibelenggu dibawa kekantor Asistenan.
Gong berbunyi lagi, meskipun tidak semeriah lagi, perayaan orang sunat diteruskan. Dimulai
dengan gending Godril, permintaan orang tua kranjingan tayuban.
Sejak itu nama Jabodin mulai menanjak. Saleh menceritakan halnya kepada Haji Morgan,
guru pencak itu mendengarkannya dengan rasa puas, sambil mengangguk-angguk ia berkata:
"Hari depannya memang cemerlang! Dengan gerak-gerak dasar saja ia sudah bikin gopoh
Baron Balungbendo. Apa lagi kemudian hari jika pelajarannya telah setingkat dengan
engkau, Saleh. Tirulah ketekunannya dalam mengayunkan jurus yang sempurna. Tentang
kesabaran engkau sudah cukup, tapi jurus-jurusmu kurang tepat seringkali kuperhatikan....."
Pada suatu hari sedang Jabodin berlatih dengan sungguh hati melawan Cak Tojib, pembantu
utama Haji Morgan, rumah pembantaian Batapotih ketamuan seorang tua, pakai songkok dan
celana. Wajahnja tampan, meskipun usianya sudah lanjut, matanya tajam dan bersinar-sinar,
langkahnyapun tegak. Tamu ini di antar oleh Haji Morgan dengan hormat sekali. Dengan
lirikan mata selama sedang berlatih itu, Jabodin berkata dalam hati bahwa Haji Morgan
sedang menerima tamu orang penting. Mungkin guru pencak yang lebih tinggi tingkatnya.
Dan melihat gelagatnya latihannya dengan Cak Tojib ini dipamerkan oleh gurunya untuk
suguhan tamunya. Maka Jabodin tidak akan memalukan gurunya dan berlatih dengan giat.
Gerakan gerakannya dipergesit, sehingga Cak Tojib terkejut dan melayani dengan penasaran.
Melihat ini, Haji Morgan bertepuk tangan tanda memuji, sedang tamunia mengangguk.
Berhenti dulu, berhenti!" perintah Haji Morgan setelah mereka dibiarkan bertarung beberapa
jurus lamanya. Bagaimana ji (singkatan dari panggilan haji) pendapatmu tentang pemuda
ini?" Tamunya mengangguk angguk lagi, jawabnja: "Kelihatannya lebih cekatan daripada
Jawawi." Haji Morgan tertawa sebelum menjambung: "Tentu saja! Jabodin ini bakatnya memang baik
sekali, sedang kan Jawawi, dia belajar pencak karena terpaksa, guna menjaga dirinya!"
Clurit Bata Putih Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm, amat sayang dia telah tidak ada. Pencak mungkin ia tidak cakap. Tapi pikirannya besar.
Ia sungguh pendekar bangsanya dalam membangkitkat rakyat kita, pendekar dalam lapangan
politik!" ujas tamu yang terhormat itu.
"Din, kemari. Ini, saya kenalkan engkau dengan bapak ini. Namanya Haji Bahrum, mungkin
engkau telah mendengarnya pula. Beliaulah yang membimbing Jawawi dalam pergerakan,
dan menyerahkan kepadaku untuk diajar ilmu pencak. Tiada yang lebih malu dengan
kematian Jawawi daripada perguruan pencak Batapotih, tapi tiada yang lebih kecewa
kehilangan pemuda itu daripada Haji Bahrum ini, Din."
"Dan tidak ada yang lebih dendam hatinya terhadap Bahrowi, pembunuh Jawawi, daripada
aku, pak Haji!" sambung Jabodia setelah menjabat dengan hormat tangan Haji Bahrum.
Sekaranglah rasanya ia mendapat kesempatan yang lebih baik mempelajari politik dari. pada
yang didengar dari Patimah!
"Jabodin. Ilmu pencakmu ini kiranya kurang lengkap jika padamu tidak kami ajarkan soalsoal kebangsaan. Bisa jadi engkau akan menjadi pendekar jagoan yang suka bergumul melulu
dan tidak memikirkan kemajuan bangsamu. Oleh sebab itu, serta merta dalam menilikmu
karena mendapat laporan kami bahwa Batapotih telah mendapatkan ganti Jawawi, Haji
Bahrum hendak bergaul denganmu dan menginsafkan kepadamu bagaimana nian kedudukan
bangsa kita sekarang ini. Ah, barangkali engkau belum lagi mendengar apa bangsa itu?! Nah,
kapan temuilah Haji Bahrum ini. Tempat tinggalnya tidak tetap, sebab saudaranya banyak,
Hanya karena bergaul dengan kerabatnyalah orang bisa menemui Haji Bahrum seperti
sekarang ini . . . . . . . . !" ujar Haji Morgan.
Jabodin menyanggupkan diri untuk berhubungan dengan Haji Bahrum. Ia akan meluangkan
waktu untuk mengerti lebih jelas tentang bangsa dan tanah air, Memang bisa juga ia akan
diombang- ambingkan seperti halnya Baron Balungbendo, mempergunakan kepandaiannya
main pencak untuk kepentingan nafsunya, jika ia tidak mempunyai pedoman yang jelas
tentang kebangsaan. Dan pertemuan pertama dengan Haji Bahrum, bahkan kesan yang
mendalam. Orang tua yang gagah berpakaian seperti ayah Patimah ini bicaranya amat sabar,
tapi maksudnya terang dan jelas. Meskipun hal yang belum pernah dipersoalkan oleh
Jabodin, bisa diutarakan dengan jelas oleh Haji Bahrum. Hal itu menambah nambah sikap
hormat Jabodin kepada ahli penghimpun kemauan rakyat ini. Begitu terpikatnya anak muda
ini, sehingga waktu Haji Bahrum pergi meninggalkan rumah pembantaian Batapotih, iapun
turut. Dipandang dari sudut lepas dari perburuan, keper. gian Jabodin menjertai Haji Bahrum
meninggalkan rumah pembantaian Batapotih ini adalah suatu keuntungan. Tetapi dipikirkan
dari sudut keperwiraan, hati Jabodin sangat kecewa tidak putus-putusnya. Hari belum lagi
lepas ashar waktu dia mengikuti Haji Babrum meninggalkan rumah gurunya. Padahal
biasanya, pada hari latihan, Jabodin selalu pulang larut malam. Meskipun tidak berlatih
sepanjang waktu, iapun senang beromong-omong dengan Cak Tojib atau Sirot, Hari itu,
justeru pada Jabodin tidak ada, sebelum matahari terbenam, rumah Haji Morgan kedatangan
bahaya. Ada lima orang berbaju preman masuk rumah pembantaian kampung Bata potih
dengan merunduk-runduk. Seorang yang masih muda, masuk keruangan dalam sebelum
penjual daging yang berkumis tebal didepan rumah sempat memberitahukan orang dalam
tentang tamu-tamu yang mencurigakan.
"Hai, Morgan! Dia ini rumahmu, ya? Kau telah bikin kacau dan melanggar peraturan
gopermen! Tahu salahmu?! Kau telah melindungi orang yang dicurigai gopermen
mengadakan gerakan anti gopermen. Kesini kulihat tadi! Mana orangnya? Serahkan! Disini
Haji Bahrum tadi ya? Apa perlunya kesini? Rapat? Ya, rapat?! Ha, mukamu pucat sudah!
Tentu kau bersekongkol dengannya, pengacau keamanan rakyat! Tak kukira, Haji Morgan
ikut ikutan dalam gerakan anti pemerintah! Heh?!" suara pemuda itu dengan lantang dan
kurangajar. "Mat Toha! Tahan mulutmu! Kau cari perkara menantangku! Memang aku ketamuan Haji
Bahrum tadi siang, tapi tidak untuk mengadakan rapat atau perundingan lain yang melanggar
undang-undang gopermen! Jangan umbar suara tak tertentu! Jika maksudmu moncoba
kepandaianmu, mari kulayani, tak usah banyak tuduhan yang kotor-kotor kau lontarkan.
Bikin suram namamu sendiri! Mau apa kau, huh? Pergi sana jika tidak berani!" ujar Haji
Morgan tidak kalah angkuh.
"Ha, ha, ha! Kau kira tebal kulitmu? Kau kira tambah kesaktianmu dengan menberikan cloritclorit khusus bertandakan tiga batu merah bertumpukan? Ha, ha, ha! Tidak kau cium sendiri
bau bangkai didepan hidungmu? Pendekar muda jago Haji Bakri kedapatan terkelepar
ditengah tanah lapang di siang hari bolong menggenggam clorit Batapotih, ha,ha,ha!" ujar
pemuda yang disebut Mat Toha sambil tertawa mengejek.
"Mati kau!" seru Haji Morgan meloncat dan melancarkan pukulan. Angin berdesir karena
pukulan orang marah itu, sebab sindiran Mat Toha yang tajam. Tentu saja Haji Morgan
mengerti yang dimaksud dengan bangkai yaitu mayat Jawawi! Pukulan yang dilancarkan
sungguh ampuh. Leher Mat Toha bisa patah andaikata tidak segera mengelak.
Mat Toha mengelak dengan sigap, dan suara tertawanya berderai. derai : "Ha, ha, ha! Haji
Morgan, aku membawa perintah untuk membunuh orang yang suka melindungi Haji
Bahrum! Sebaiknya bawa saja clorit mu untuk mempertahankan dirimu, agar kematianmu
tidak menyangkut-nyangkut pembantumu juga. Kau akan terbunuh karena membela diri, itu
lebih adil dan jujur! Lihat, akupun mencabut pedangku!" serunya sambil menarik pedang
Ponorogonya. Pembantu Mat Toha yang jumlahnya lebih banyak dan mempunyai wewenang dari gopermen
pada muncul diambang pintu, sehingga membuat Cak Tojib, Sirot dan Saleh tak bisa berbuat
apa. Mereka hanya menyaksikan pertarungan pemimpin perguruan dengan Mat Toha,
pembantu Van Greven. Nama Mat Tohapun tidak kalah tenarnya dikalangan jago pencak,
meskipun umurnya masih muda belia. Ia teman akrab Bahrowi dan juga berasal dari
Kaliwaron. Sebenarnya karena pengaruh Bahrowilah Mat Toha menggabungkan diri menjadi
pembantu Van Greven dalam memberantas dan mengawasi kegiatan pergerakan nasional anti
pemerintah dengan cara memelihara jago pencak bangsa bumi putera. Siasat kepala polisi
bagian politik ini ternyata lebih berhasil. Dan dalam kedudukannya, Mat Toha yang muda
belia itu telah diserahi memimpin penangkapan bersama anak buahnya.
Melihat kelebatan pedang Ponorogo ini, Haji Morgan segera tahu bahwa Mat Toha tidak
main-main dan hanya nyawalah taruhannya dalam pertarungannya ini. Maka iapun tidak
malu-malu menjambret clorit yang ter. selit didinding ruangan, Haji Morganpun bersiap
dengan memutar senjata pegangannya Ia mahir sekali dalam mempergunakan senjata clorit
schingga namanya menjadi harum dan murid dari perguruannyapun diajarkan khusus main
senjata clorit apa bila sudah pada tingkat terakhir. Murid Haji Morgan yang membawa clorit
tentulah orang yang tidak banyak tandingnya dikalangan ilmu pencak. Sekarang guru pemain
clorit itu membela nyawanya dengan senjata pegangannya! Terang berbahaya. Clorit yang
diputar bersuara mengiang-ngiang, sedangkan kibasan angin berpusat sekitar ruangan. Mulamula disambitkan ujung clorit itu kearah jari-jari Mat Toha, meskipun hanya disambitkan
tetapi kekuatannya begitu besar, sehingga jika tidak pandaia orang menghindarinya akan
rantarlah jari jari. nya. Mat Toha waspada. Ia menarik tangannya, tapi cepat kembali
menjurus dengan ujung pedang lurus mengarah jantung Haji Morgan. Pak Haji tidak kurang
awas, bersicepat menggantol pedang lurus itu dengan cloritnya, set! Tapi luput. Pedang masih
lurus mengarah jantungnya. Diulang sabetan cloritnya, luput lagi dan masih juga pedang itu
mengarah jantungnya. Akhirnya terpaksa Haji Morgan merendahkan diri. Heran akan
ketepatan Mat Toha yang menusuk bertubi-tubi kesatu arah dengan cepatnya. Melihat badan
direndahkan, segera pedang disabetkan cepat pada punggung lawan. Dengan seluruh
kekuatan curahan perhatian. Tapi Haji Morgan pada sekejap itu pula telah meloncat undur.
Sekejap ijuma! Lalu kem. bali dengan gabetan? berganda yang mempunyai sasaran luas, tapi
yang dituju khusus perut Mat Toha. Pemuda ini tahu bahaya yang mengancam segera
meloncat terbang. Pemainan clorit yang mahir memburunya dengan merubah arah sambaran
cloritnya. Mat Toha ngeri melihat bulu ayam dari baja menyambar-nyambar ke arah
perutnya. Ia segera mengerahkan kekuatannya serta mengadu pedangoja. Terpaksa! Trang!
Mat Toha terpental kesudut ruang. Lebih mendingan begitu daripada terobek perutnya. Ia
tahu betul jaringan sambaran clorit Haji Morgan mempunyai kekuatan seperti baja. Andaikata
hanya secara kasar ia mengadu pedangnya, barangkali pedang Ponorogonya akan patah
berkeping, keping! Tapi Mat Tohapun ahli bermain pedang sema cam itu, sehingga bisa
mengatur benturan bagaimana agar menyelamatkan nyawanya. Sekarang ia kembali
menyerang. Pedangnya diputar cepat pada ujungnya, sehingga bukan lagi jantung Haji
Morgan yang menjadi sasaran, tetapi semua dadanya. Haji Morgan yang terperanjat karena
benturan senjata tadi, dengan gesitnya loncat menghindar. Sekarang gilirannya meloncat
kekiri kekanan menghindari putaran pedang yang menjurus kesegala arah! Akhirnya ia pun
harus mengadu kekuatan senjatanya. Trang! Bunga api menyembur dari benturan kedua
senjata itu. Namun keduanya tak mau undur. Bunga api mencetus, putaran senjata masing' tak
mau berhenti. Tetap sama sama menyerang. Toha memukul, lalu menghindar. Morgan
menghindar segera memukul. Menghindar, memukul, menangkis, bunga api berhamburan,
dua orang berkelebat memenuhi ruangan dengan angin. angin berkesyuran. Mereka hampir
tidak menginjak jobin. Keduanya rasanya pantas terbang! Satu menjejak jobin terus
meloncat, ganti yang lain menjejak jobin terus melenting. Sama gesit, sama tak mau
menyerah. Orang yang menyaksikan sama terkejut ketika tiba tiba mereka melihat tetes'
keringat dilantai menjadi merah. Tetes darah! Tetes terus kering karena tiupan angin.
Kemudian tetesan darah ini tambah banyak, tidak pada jobin saja, tetapi menyiprat. nyiprat
pada dinding sekitar ruangan! Namun tidak ada yang tampak kendor gerakannya. Toha masih
gesit, Morgan yang jauh lebih tuapun masih tangkas. Siapa gerangan yang luka? Siapapun
juga yang luka, tentulah menjadi korban dari pertarungan ini. Bunga api memercik, mercik,
bunyi baja beradu berdering. dering. Lalu kepingan baja bertaburan seperti tetes darah tadi.
Kepingan baja clorit! Clorit Bata Potih cuil sedikit demi sedikit. Tapi akhirnya berserak-serak
juga. Kepingan baja. Lalu terdengar jeritan seru yang mengerikan. Sebentar kemudian bunyi
debam tubuh jatuh kejobin. Tidak satu. Tapi kedua-duanya! Satu kesana, satu kemari!
Sunyi senyap! Orang-orang yang menyaksikan terasa terhenti napasnya. Mulutnya kering
terkatup. Udara pertempuran masih mengiang-ngiang ditelinga mereka. Lama nian mereka
tetap berpandang-pandangan tak tahu yang dikerjakan. Namun tubuh dua orang yang habis
bertempur, sama-sama tak bergerak, satu disini yang lain disana.
Toha masih gesit. Mogan yang
jauh lehin tuapun masih tangkas
Kemudian, kemudian sekali, barulah mereka menginsafi
akan diri mereka masing. Melihat Haji Morgan masih
kencang menggenggam cloritnya, namun clorit ini telah
cuil-cuil pada mata tajamnya. Ia jatuh tersungkur, tak
sadarkan diri. Sedang Mat Toha, jatuh terbungkuk, tak
bergerak juga. Tangannya memegang pedang, namun
pedang inipun tidak utuh. Telah puntung sampai pangkalnya
Tangan yang menggenggam pangkal pedang ini penuh
dengan darah merah. Mung. kinkah darah ini pula yang
tercecer disekitar ruangan itu? Untuk beberapa waktu
lamanya para saksi tidak mengetahui siapa yang kalah
diantara petarung itu, dan ruara siapakah yang berteriak
mengerikan tadi. Melihat banyaknya darah yang terdapat
ditubuh Mat Toha, kiranya orang inilah yang banyak
mencipratkan darah dan teriakan tadi sangat kuat seperti
suara muda juga. Tapi dari perut Mat Toha yang kembang
kempis, tentulah pemuda ini masih hidup. Sedang pada Haj
Morgan, karena jatuhnja tersungkur, orang tidak
mongetahui pernapasannya.
"Lihat!" seru Saleh tiba! Pemuda yang paling sabar diantara para saksi ini agaknya paling
dahulu sadar. la menuding kearah corit yang juil'. Namun bukan tilorit itulah yang menjadi
perhatiannya. Tetapi barang cair yang bergerak gerak, berwarna merah. Barang cair ini
bergerak dengan lincah diantara benda' yang diam, berkumpul dan mengalir! Ya, Haji
Morgan mulanya tidak tampak kena darah, tetapi dari bawah tubuhnya yang tersungkur darah
mengalir dengan derasnya! Maka tahu lah orang bakwa Haji Morganlah yang mengalami
luka berat. Orang mulai menolong jagonya masing! Cak Tojib dan Sirot membalikkan tubub
Haji Morgan Panggungnya utuh tak mengandung darah, tetapi dahil nya, dadanya, perutnya,
lengannya ternyata penuh dengan luka-luka! Bukan itu saja. Jika clorit senjatanya hanyalah
cuil-cuil dan cuilan bajanya terserak dilantai, maka senjata lawan patah sampai pada
pangkalnya, tidak sekepingpun patahan pedang itu terdapat dilantai. Ya, patahan pedang itu
masuk kedahi, leher. dada dan perut Hadil Morgan! Haji Morgan mati bertempur bagai
dicincang tubuhnya, luka di mana-mana!. Namun ia bertempur sampai akhir hidupnya, tanpa
mengeluh, tanpa menjerit, dan tidak kehilangan kegesitannya sampai nyawanya hilang!
Mat Toha tidak mengalami banyak luka. Agaknya ia menjerit bukannya karena kesakitan,
melainkan sebagai pengerahan tenaganya yang terakhir. Oleh pembantu-pembantunya ia
diangkat keluar dari rumah pembantaian. Tak ada orang yang berani menghalangi. Sebab
senantiasa orang-orang Van Groven pergi kemana juga membawa surat tugas atas nama
gopermen! Peristiwa itulah yang sangat dikecewalan oleh Jabodin. Kecewa, mengapa waktu itu dia tidak
ada dirumah pembantaian, mengapa la meninggalkan siang?! la yakin, seandainya ia hadir
tentu tak sampai gurunya itu meninggal dunia! Setidaknya ia bisa membantu mengusir
cecunguk jahanam itu! Setelah matinya pendekar Batapotih, perguruan disitupun bubar. Dengan agak gugup Jabodin
menemui Cak Tojb, menganjurkan agar ia tetap mau menurunkan ilmunya kepada Jabodin.
Cak Tojib menggelengkan kepala. "Tidak Din. Ilmuku sungguh tak seberapa. Apa lagi jika
maksud hendak membalas dendam Bahrowi atau Mat Toha, terang ilmuku tak bisa mencapai
sampai disitu." "Lalu bagaimanakah dengan aku ini? Akan terhenti sampai sekiankah?" tanya Jatodin dengan
menelan ludah hendak menangis saja.
"Kau barus cari guru lain !"
"Tetapi ilmu menggunakan clorit itu hanya perguruan Bata potihlah yang memiliki! Aku
harus menggunakan senjata itu untuk melunasi dendamku," ujar Jabodin dengan sungguh
hati. Mereka berdua terdiam, Berbagai bagai pikiran menembus jalan keluar. Akhirnya Jabodin
juga yang bicara : "Waktu Jawawi hendak bertempur dengan Bahrowi, Bahrowi ada
menyebutkan bahwa Jawawi jago yang disebut-sebut oleh Haji Bakri. Bagaimana jika aku
berguru kepadanya?" Hah?! Haji Bakri?!" saut Cak Tojib dengan mata terbelalak. Ja memandangi Jabodin dengan
mata berapi-api penuh kebencian dan keheranan.
Jabodih menjadi heran, tanyanja: "Mengapa? Siapakah Haji Bakri?"
"Kau kenal Haji Bakri? Haji Bakri dari Kalianak?" sahut Cak Tojib ganti mengajukan
pertanyaan. Sikapnya masih tegang.
Jabodin menggelengkan kepala. Memang sebenarnyalah ia tidak tahu siapa yang disebut Haji
Bakri itu. "Siapakah dia? Tolong jelaskan."
"Hah, hampir tak percaya aku, usul tadi dari engkau datangnya!" kata Cak Tojib setelah reda
napasnya. "Jabodin. Kau telah masuk kedunia pencak. Bagaimapapun juga sedikitnya ilmumu, tapi
orang tahu bahwa engkau memiliki bakat yang amat baik, karena itu berhati-hati lah dalam
bergaul dengan pendekar-pendekar aliran lain. Salah engkau bisa terjerumus kedalam
pergaulan dendam yang tak putus-putusnya! Pendekar sakti biasanya tekebur dengan
kesaktiannya dan menantang? mencari lawan. Jika didengarnya di Bangil ada orang gagah,
segera orang berduyun-duyun kesana, hendak mencoba kesaktian orang baru muncul itu. Jika
di Gedangan terdengar ada pendekar baru, berdatangan pendekar lain kesana, mencoba
kepandaian orang baru. Begitu, selalu begitu. Maka hati-hatilah engkau melangkah
berbekalkan kepandaianmu pencak itu. Perihal Haji Bakri menurut penjelidikan kami begini,
kematian Jawawi sebenarnya menjadi tanggung-jawab dua orang, yaitu Haji Bakri dan
seorang perempuan bernama Patimah .....!"
"Hah!" terloncat suara Jabolin karena mendergarkan nama perempuan itu. Tetapi segera ia
bisa menguasai dirinya. "Ja, dua orang itulah! Sebab semula kami mendidik Jawawi dalam ilmu pencak bukanlah
maksud kami mengajukan dia kepertarungan pencak. Tapi hanya sekedar untuk pembelaan
diri sebagai seorang perintis pergerakan. Jawawi jauh lebih berguna sebagai pelopor
pergerakan dari pada jago pencak. Tapi Haji Bakri, orang yang bermuka dua ini agaknya
meniup niupkan api dendam. Mengetahui kami mendidik jago muda, dikabarkannya hal ini
kepihak Van Greven. Entah bagaimana perhubungan Haji Bakri dengan Belanda itu. Tapi
begitulah menurut penyelidikan kami mengapa sehingga pihak Van Greven mengetahui ada
jago pencak dari Batapotih. Ini tadi engkau sendiri bilang, Bahrowi menyebut nama Haji
Bakri sebelum membunuh Jawawi. Jadi teranglah Haji Bakri menyeret Jawawi kehadapan
Bahrowi! Perlu kau ketahui, bahwa Haji Bakri bukanlah guru pencak. Bahkan mungkin tidak
pandai main percak! Jadi mengertilah engkau kiranya mengapa aku sangat heran ketika ia
menyebut mau belajar pencak kepadanya!" begitu kisah penjelasan Cak Tojib.
Jabodin terpaksa tersenyum mendengarkan kisah kebodohan dirinya. Dan mengapa pula
Patimah tersangkut?" tanya pemuda itu kemudian.
"Hah, selain engkau, siapakah orang yang bersama Jawawi ketika dia dipergoki Bahrowi?
Patimah! Perempuan molek inilah yang ikut mengatur pertemuan Jawawi dan Bahrowi.
Perempuan ini...." Cak Tojib lalu mengisahkan kehidupan Patimah. Jabodin menahan diri.
Sama sekali agaknya tidak diketahui oleh Cak Tojib bahwa Jabodin kenal akrab benar dengan
Patimah. Sekarang jelas bagi Jabodin, mengapa Patimah terlalu cemas hatinya ketika Jawawi
singgah kewarung dekat pelabuhan, mengambil clorit titipannya. Ya, mungkin benar bahwa
Patimah ikut mengatur pertemuan mereka. Jabodinpun ingat, betapa Patimah mencegah daya
upayanya hendak membela Jawawi, Jabodinpun ingat, bagaimana Bahrowi akhirnya
berkawan akrab kepada Patimah pada akhir pertemuan di Eerste Kade dulu! .... hati-hatilah
bergaul dengan perembuan molek, Din!" Cak Tojib menutup kisahnja,
Mereka berpikir-pikir lagi. Jabodin terang tidak bisa memecahkan persoalannya, sebab ia
tidak kenal dengan guru-guru pencak lainnya.
Baiklah kita tunggu Sirot. Mungkin ia mempunyai pendapat yang baik," kata Cak Tojib.
Pikirannya sudah buntu. Sirot, pembantu Haji Morgan yang lain, ternjata mempunyai pikiran yang cemerlang,
katanya: "Bagaimana jika kita kirimkan Jabodin ketempat Haji Jen di Pandegiling?"
"Hh?!" seru Cak Tojib terkejut. Tapi segera takjub oleh pendapat yang baik ini. "Ya! Jika
beliau mau menerima murid, kiranya kepadanyalah sebaiknya Jabodin kita kirimkan!"
"Siapakah Haji Jen itu ?" tanya Jabodin ingin tahu.
Dia guru Bahrowi! Ya, tak ada orang yang lebih cakap mendidikmu untuk melawan Bahrowi,
kecuali Haji Jen! Pikiran yang bagus! Tapi orang tua ini telah lama tidak menerima murid la
telah ditorong oleh Bahrowi. Dan selamanya ia tidak mau menerima murid secara
sembarangan. Muridnya mesti memiliki bakat-bakat yang tepat," kata Cak Tojib.
Clurit Bata Putih Karya Suparto Brata di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kurang sempurnakah bakatku ?" tanya Jabodin dengan tunduk,
"Tidak! Itulah maka aku takjub dengan usul Sirot tadi. Kau orang yang paling memiliki bakat
pencak! Tetapi Haji Jen ini susah menerima murid. Pekertinya aneh! Perguruan Bata
potihpun memilh-milih murid. Tak pernah ada empat murid sekaligus dalam suatu masa
pendidikan ditempat kami. Paling banyak tiga orang. Waktu engkau masuk menjadi murid
kami, kamipun hanya mendidik Saleh. Memang begitulah perguruan-perguruan pencak yang
telah tinggi tingkatnya. Tapi Haji Jen ini lebih membatasi diri lagi dalam memilih dan
menerima murid!" "Dimanakah rumah beliau?" tanya Jabodin. Ia ingin sekali hubungan dengan guru ini.
Alangkah bahagianya jika bisa menjadi muridnya. Ini berarti dia tentu menang berhadapan
dengan Bahrowi! Cak Tojib tidak segera menyawab pertanyaan Jabodin terakhir. Ia berpikir pikir. Lalu
mengangguk-angguk, katanya: "Begini saja, Din. Datanglah malam Jumat kemari. Kita pergi
ketempat Haji Jen malam hari. Lepas tengah malam. Kita tidak boleh banyak bicara soal
engkau dan bakatmu, tetapi beliau harus mengerti langsung bahwa engkau berbakat baik.
Caranya kita harus menjadi pencuri. Aku dan engkau masuk kerumahnya, datang ketempat
tidurnya, lalu bunuhlah dia dengan clorit Bata potih!"
"Pembunuhan? Tidak mungkin Cak Tojib. Aku tidak mau membunuh orang tidur. Dan
bukanlah cara yang paling baik menyingkirkan Haji Jen, guru Bahrowi, untuk menyendat
kemahiran Bahrowi selanjutnya, Lebih baik aku langsung membunuh Bahrowi waktu tidur!"
ujar Jatodin dengan bersemangat,
Cak Tojib tertawa gelak-gelak, katanya : "Ha, ha, ha. Aku sangsikan siapakah yang terancan
bahaya dalam pencurian malam Jum'at nanti, engkau ataukah Haji Jen yang sedang tidur
pulas! Ini perlu kuperingatkan kepadamu, Din. Aku yakin, engkau tidak akan berhasil
membacok orang tua yang sedang tidur itu, tetapi sebaliknya, kau akan medapat bagianmu
jika tidak waspada! Haji Jen, Din, pendekar yang luarbiasa ketaja man inderanya!"
"Jadi maksud sebenarnya, aku tidaklah hendak membunuh beliau ?"
Maksud sebenarnya aku hendak memperkenalkan bakatmu langsung dengan calon gurumu
yang berkepandaian tinggi itu! Namun kau harus dengan sungguh melakukan percobaan
pembunuhan. Harus kau pilih betul bagian tubuh yang mana sekiranya dalam sekali bacok
dengan bakatmu yang baik itu orang tidur bisa mati tanpa sesambat lagi! Sebab hanya dengan
demikian Haji Jen mengetahui engkau mempunyai naluri tinggi dalam mengetrapkan
senjata!" petunjuk Cak Tojib.
Begitulah mereka berjanji untuk bertemu lagi pada malam Jum'at sesudah tengah malam.
Sementara itu Saleh dan Sirot disuruh menyelidiki tempat Haji Jen. Mana-mana bagian
rumah yang rapuh sehingga dengan mudah nanti Cak Tojib dan Jabodin bisa masuk. Dimana
pula tempat tidur orang tua itu, dan apa pula kebiasaannya, sehingga Jabodin tidak
mengalami halangan mutlak pada waktu melakukan pembunuhan.
Pada malam Jum'at hari perjanjian, Cak Tojib dan Jabodin sudah siap melakukan
pembunuhan. Mereka dengan mudah memasuki tempat tempat yang diinginkan, berkat
ketelitian penjelidikan Saleh dan Sirot. Mereka berhasil memasuki bilik tempat tidur Haji
bjen tanpa membangunkan penghuni rumah lainnya. Melihat orang tua yang tidur
mendengkur itu, hati Jabodinpun gelisah sebentar. Mungkinkah ia melakukan pembunuhan
terhadap orang tua yang tak berdaya ini? Mungkinkah orang tidur pasrah ini mempunyai
kesaktian menangkis serangan mautnja? Bagaimana jika tidak? Jabodin merasa dosa dalam
hati! Namun pandang isyarat Cak Tojib yang juga ikut masuk kebilik itu, menghapuskan keraguraguannya. Maka ia memikirkan soal lain. Ia memikirkan bahwa orang tua inilah yang
membuat Bahrowi sakti sehingga sepantasnya kakek ini menerima hukumannya karena
mendidik orang yang buruk tingkah lakunya. Bagaimanapun juga Haji Jen ikut bertanggung
jawab atas tingkah laku anak muridnya yang biadab. Maka dengan sekuat tenaganya, dengan
perasaan dendam yang meluap-luap, dibacoknya leher orang tidur itu. Orang tidak akan
membutuhkan ulangan! Tentu mati tanpa sadar lagi! Darah mencurat dari leher yang hampir
putus! Tapi Jabodin terkejut. Ia merasakan hembusan angin yang kuat, sehingga dengan sendirinya
ia mengelak kekiri, dan segera pula menjatuhkan diri dengan clorit siap menjambit bayangan
yang menyambar-nyambar dengan diiringi angin santer! Dengan sigapnya, ia pun meloncat
berdiri lagi, dan menyahut kelebatan orang didepannya. Tapi harus segera memutar diri, jika
ingin tubuhnya tidak terbentur pukulan yang dahsyat. Jabodin tidak melihat lagi bentuk apa
kelebatan-kelebatan bayangan didepannya, dan ia menggerakkan cloritnya dan badannia
hanyalah karena naluri saja. H.lang sudah kewaspadaan nia. apa lagi siasat mengatur
menyerang, sama sekali lepas tak terkendalikan.
"Hai, berhentil Berhenti! Cukup, wak Haji! Cukup!" seru Cak Tojib melerai. Ia
mengacungkan tangannya dengan sikap tak berdosa.
"Kurangajar, pemuda ini! Heh, siapa kau! Maling, pembunuh! Salah alamat, kau! Kuhajar
kau. pengecut!" umpat Haji Jen. Ia berdiri dengan wajah berapi-api. Tangannya mengacung
bergetar-getar kearah hidung Jabodin. Jabodin dengan pasrah berdiri tunduk. Untung ada
orang ini yang membuat aku ingat diri! Siapa pula engkau, heh? Kawan pengecut ini?! Heh,
dikiranya siapa aku ini, dirunduk mau dibunuh sedang tidur nyenjak! Ini Haji Jen, kau tahu?
Kau salah alamat membacokkan cloritmu ketenggorokanku sedang aku tidur nyenjak! Salah
alamat!" "Cukup, wak Haji, cukup! Benar hebat tindakan wak Haji, kami sangat mengagumi. Namun
maksud kami datang kemari bukanlah sekali-kali berniat jahat hendak membunuh Haji Jen.
Tidak!" bela Cak Tojib:
"Kau mau mungkir lagi! Jahanam! Ayo, kubuat perhitungan!"
"Sabar, wak Haji, sabar. Tidak ingatkah wak Haji dengan saya? Cak Tojib, wak Haji Toyib
dari Bata potih" Haji Jen memandang lebih teliti. Wajahnya surut dari berapi-api menjadi keheran-heranan:
"Tojib! Betul kau Tojib! Heh, oh, tak kusangka! Apa pula akalmu masuk kerumahku dengan
cara begini? Malam, pakai senjata lagi! Apa maksudmu membawa teman pengecut ini,
Tojib?!" "Yah, ampunilah wak Haji, tidak kami yang salah. Begini, wak Haji. Bisakah kita bicara
dengan tenang?" ujar Cak Tojib masih ragu.
"Wah, ada saja akalmu, Yib. Malam begini mengadakan pembicaraan! Masakan tak ada
waktu lain !! "Ayoh, sana, keluar dari kamar! Kita omong diruang! depan! Wah, wah! Tojib ini, rek!" ujar
Haji Jen. Mereka keluar dari bilik. Baik Cak Tojib maupun Jabodin kelihatannya sangat hormat dan
merundukrunduk, beberapa kali minta ampun. Diluar bilik, ternyata telah bangun pula
anggauta keluarga lainnya. Diantaranya ada seorang gadis yang memandang ketakutan,
dengan tak mengindahkan keadaannya sendiri. Ia memakai baju tidur yang kusut, rambutoja
pun kusut terurai. Tapi tentu saja tamu' malam ini tidak mem. perdulikan amat tentang
keluarga Haji Jen, sebab sibuk memikirkan sikapnja terhadap tuan rumah yang sakti.
Begini, wak Haji!" Cak Tojib memulai bicaranya. Beberapa hari yang lalu pemimpin kami,
Haji Morgan dari Batapotih, gugur bertempur....."
"Ya. Aku dengar itu. Ia seorang pahlawan yang paling gigih. Heh, ya Tojib. Aku lupa
menjampaikan ikut sedihku dengan kematian Haji Morgan. Maafkan kelalaianku, Ya, aku
orang tua sering lupa sekarang ini. Inna lillahi wainna ilaihi roji'un, semoga arwahnya
diterima Allah dan mendapat tempat selayaknja".
"Nah, itu wak Haji. Kami ada kesulitan sedikit. Tahu tentang murid kami ini Jabodin
namanya. Bagaimana pandangan wak Haji tentang dia tadi? Ia baru mendapat pelajaran
dasar," sambung Cak Tojib.
Haji Jen mengerutkan keningnya, berpikir-pikir. Yah bagus! Ingat aku sekarang! Gerak
nalurinya amat bagus! Jadi dia murid Batapotih? Hm!"
Bakatnya kami ketahui memang luar biasa baiknya. Sedang ia bercenderung mau meneruskan
pelajaran pencaknya. Tapi kami tidak bisa mengajarnya. Maka ada minat kami menyerahkan
Jabodin ini kepada wak Haji!" kata Cak Tojib dengan tidak kurang-kurangnya menghormat
"Ah, ini akal bulus namanya! Aku mengerti sekarang apa maksudmu menjuruh pemuda ini
menyerangku malam"! Heh heh, sungguh sopan caramu, Yib Toyib! Ha, ha, ha! Ya, memang
benar! Jika kau mengusulkan begitu saja kukira memang kutolak! Aku tidak menerima murid
baru lagi! Tapi sekarang, heh, heh, Toyib rek! Tapi begini, Yib. Terus terang saja. Memang
sebenarnya bakat anak ini bagus sekali, bagus sekali. Tapi aku tidak bisa menerimanya, Yib.
Tetap tidak bisa. Aku mau mengaso dulu."
"Wah, wak Haji! Sungguh betapa kecewa hati anak muda ini! Terus terang saja, sebenarnya
padanya telah tertanam bibit permusuhan. Pertama ia ingin membela temannya yang telah
meninggal, kedua tentu saja ia akan menuntut balas kematian gurunya. Jamak hal yang
demikian, bukan, wak Haji? Tetapi yang sungguh kami maksudkan ialah pendidikan
pribadinya. Ia telah kami taburi bibit kejujuran, membela kebenaran dan ingat akan nasib
bangsanya. Jika pendidikan ini terbengkalai langsung tak langsung la telah kehilangan lagi
seorang pahlawan." "Tunggu sebentar. Dia akan menuntut balas kematian gurunya. Kudengar Mat Tohalab yang
membunuh Haji Morgan?"
"Betul wak Haji. Maka dengan Mat Tohalah dia mengadakan perhitungan. Sedang teman
yang dibelanya bernama Jawawi, seorang tokoh pergerakan yang cemerlang, tapi telah
dibunuh oleh Bahrowi!"
"Heh! Bahrowil Dengan Bahrowi ia mau menuntut balas?! Gilakah engkau? Tahukah
engkau, heh, siapa Bahrowi itu?" tanya Haji Jen dengan selidik kepada Jabodin.
"Ya, wak Haji. Saja dengar Bahrowi adalah murid wak Haji?"
"Nah, kau tahu! Dan kau tahu betapa gesitnya muridku itu?"
"Saja menyaksikan waktu Jawawi dibunuh. Sungguh hebat sepak terjangnya!" ujar Jabodin
dengan hormat. "Dan kau tetap hendak menuntut balas?"
"Justru sepak terjang yang gesit tapi digunakan dengan cara kurangajar itulah maka saja
bertetap hati hendak menuntut balas!"
Haji Jen terdiam. Dipandanginya Jabodin dengan teliti. Ia memikirkan sesuatu yang harus
diputuskan segera. "Kau tidak akan mendapatkan guru yang bisa mendidikmu mengalahkan
Bahrowi! Di daerah Surabaya ini, di Jawa Timur ini, tak ada orang yang bisa mendidik
muridnya untuk mengalahkan Bahrowi. Dia anak bandell Anak berani! Dan cakap!"
"Juga Haji Jen tidak bisa mendidik pemuda berbakat yang bisa mengalahkan Bahrowi?!" sela
Cak! Tojib dengan sungguh hati.
Haji Jen terperanjak. Dahinya masih mengkerut. Pikirannya belum memutuskan. Setelah
memandangi Jabodin dengan sungguh lagi, ia menarik napas panjang, lalu katanya: "Heh, ini
gara-garamu, Tojib! Akal bulus! Hm Berat, berat! Ya, begini saja. Datanglah kemari tiap
malam Jumat, seperti malam ini. Kita bisa berlatih setelah larut malam. Kau harus menyadari,
sebenarnya aku sudah tidak mengajarkar ilmu pencak lagi kepada orang lain, kecuali
Bahrowi. Tetapi sekarang baiklah kucoba mengajarmu pada malam hari. Tidak boleh ada
orang lain tahu bahwa aku mendidik murid lagi! Malam Jumat menjelang jam dua atau jam
tiga, ya ?" Tidak terkirakan gembira Jabodin diterima menjadi murid Haji Jen. "Akan saja kerjakan
dengan sungguh hati, wak Haji!" ujarnya.
Setelah merundingkan soal lain, tamutamu itupun mohon pamit. Tapi sebelum berdiri, tiba
masuklah gadis yang tadi berdiri ketakutan didepan bilik tidur Haji Jen membawa air panas
dalam talam. "Heh, repot segala, nih!" ujar Cak Tojib.
"Sudah dini hari, sebentar lagi waktu subuh. Sudah biasa kami bangun pagi," kata gadis itu
dengan ramah. "Kau masih ingat, siapa ini?" tanya Haji Jen kepada gadis itu.
"Tentu. Bukankah dia Cak Tojib, pembantu utama Haji Morgan? Oh Ya, pak. Aku
mengucapkan ikut bela sungkawa akan gugurnya pak Haji Morgan! Kasihan! Peristiwa itu
sungguh menjedihkan!" ujar gadis itu. Sekarang pakaiannya sudah rapi, rambutnya disanggul
licin, tampaklah parasnya yang elok dan peramah. Meskipun dididik dirumah seorang Haji,
gadis ini bebas tingkah lakunya. Ibunyapun seorang terpelajar, sedang ayahnya, anak Haji
Jen, seringkali bepergian ketanah Melaju.
"Ya, Ni. Memang begitulah agaknya suratan takdir," sebut Cak Tojib dengan tenang. "Ni,
jangan terkejut. Aku datang malam ini dengan cara yang tidak sebagaimana mestinya. Maaf
jika mengacaukan pikiranmu. Ini, Ni, bekas murid Haji Morgan akan melanjutkan
pelajarannya pada Haji Jen, kakekmu."
"Ah! Kakek kan tidak ambil murid lagi dalam beberapa tahun ini?" ujarnya dengan bahasa
Jawa logat Madura. Lalu bicara kepada kakeknya dalam bahasa Madura : "Bagaimana, sih,
kek? Nanti akan terjadi heboh lagi sama si Rowi!"
Haji Jen menarik napas panjang dan geleng kepala. Hatinya memang bimbang. "Tojib ini
apa, bikin gara-gara! Begini, Ni. Jabodin ini akan kuajar pada waktu malam, jika orang tidak
ada yang bangun." Gadis itu masih saja kelihatan gundah. Lalu memandang kepada pemuda yang sejak tadi
belum di. tegurnya. Jabodin sebaliknya, sejak kehadiran cucu Haji Jen ini matanya tak lepas
memandangi perawan ayu ini. Ketika matanya bersambung pandang dengan gadis itu,
barulah ia menundukkan kepala. Namun masih sanggup berkata dengan bahasa Madura yang
halus: Hatiku sangat kecewa jika sekiranya ditolak menjadi murid wak Haji Jen."
"Heh, anda orang Madura juga kiranya?" tanya gadis itu dengan heran. Sama sekali ia tak
mengira bahwa pemuda itu pandai berbahasa Madura. Ia tahu betul. Cak Toyib orang
Surabaya, tidak bisa berbahasa Madura. Maka dikiranya temannyapun tidak pandai berbahasa
Madura. "Ya, dari Sampang," jawab Jabodin bertahan memakai bahasa Madura.
"Hm! Tak kusangka!" ujar cucu Haji Jen dan mengawasi Jabodin lebih teliti. Ia menimbangnimbang sesuatu dibenaknya. Ho! Anda tahu, kakek sebenarnya tidak lagi mengajarkan ilmu
pencak! Telah berpuluh puluh orang ingin belajar. Setengahnya anak orang kaya raya yang
mau membayar dengan mahal. Banyak pula anak orang kuasa. Tapi kakek menolak.
Kamipun senang kakek berbuat demikian. Sebab sebenarnya kami tidak suka sama main
pencak pencak begitu, Penghuni rumah ini hampir sekaliannya perempuan. Karena itu kami
menyukai perbuatan yang damai. Entahlah apa pula bujukan kalian maka kakek suka
menjadikan anda muridnya!"
"Begini, Ni. Ia mau membalas dendam pembunuh gurunya," sahut kakeknya.
"Nah, itu lagi! Itu pantangan kami dengan adanya main pencak- pencak! Dendam dibalas
dengan dendam! Macam perbuatan apa pencak ini, heh?" ujar gadis itu dengan semangat.
Suaranya merdu bergetar. "Aku telah berkali-kali berkata kepada kakek. Kek, hentikan
pelajaranmu pada Bahrowi" tapi agaknya kakek sudah terikat oleh ancaman, sehingga tidak
bisa menolak lagi. Sedang sikap Bahrowi, anda tahu bukan Bahrowi jago pencak nomor
wahid itu? Ya, sedang sikap Bahrowi semakin kurang ajar dan dimana-mana mencari lawan
atau korban! Sebenarnya dengan mengajarkan pencak kepada Bahrowi itu kakek sudah
menanam pekerti buruk! Tetapi agaknya .....!"
"Jangan keras-keras, Ni. Hari masih malam !" tukas Haji Jen: "Ni, dengan mendidik Jabodin
ini maksudku hendak menyingkirkan Bahrowi! Mendengar cerita Tojib ini, Jabodin bukanlah
buruk laku seperti Bahrowi Lagi pula iapun orang pergerakan. Bukankah begitu, engkau
bilang tadi, Yib?" "Apa wak Haji!" tanya Cab Tojib yang tidak tahu banyak tentang bahasa Madura, meskipun
pergaulannya di Batapotih meliputi orang-orang Madura belaka.
Ah! Bukankah Jabodin orang pergerakan?" ulang Haji Jen dengan bahasa Jawa.
"Ya, wak Haji. Ia mulai belajar dari Haji Bahrum!"
"Nah, apa kataku tadi? Kita tidak salah didik sekarang. Ni!"
Gadis remaja itu menggigit bibir. Lalu: "Ah, entahlah! Kukira bukan urusan perempuan
mencegah orang main pencak! Minumlah pak Toyib. Minumlah, heh siapa nama anda ?"
"Jabodin!" tiga orang laki laki menyawab bersama,
"Ya. minumlah kak! Aku membantu ibu didapur, kek!" Lalu pergi.
"Hm! Cucuku yang satu ini kenesnya bukan kepalang. Kuasanya dirumah melebihi ibunya.
Tapi pada jalan yang benar. Keras dan benar! Seharusnya ia seorang laki laki supaya bisa
masuk pergerakan kebangsaan. Sayang cuma perempuan, kerjanya membantu ibunya di
dapur. Bikin juadah ijas, dijual dipasar Gresik. Karena itu pagi sudah bangun.....!" cerita Haji
Jen dengan ramah tamah. Dalam perjalanan pulang, kedua laki, Cak Tojib dan Jabodin, dadanya merasa sesak karena
terharu. Mereka bicara soal beruntungnya Jabodin diterima menjadi murid Haji Jen.
"Tapi awas, Din. Kau harus waspada. Jangan hendaknya kau kabar- kabarkan keuntunganmu
Sepasang Rajah Naga 12 Pendekar Mabuk 053 Titisan Dewa Pelebur Teluh Menyelamatkan Pesawat Pemalite 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama