Ceritasilat Novel Online

Dari Mulut Macan Ke Mulut 1

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp Bagian 1


Mulut Macan 1 1 JILID I * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 1 2 Mulut Macan 1 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid I SETELAH menyelesaikan urusan Pek lian-hwe
(serikat Teratai Putih) di kota Lam-koan, Liu
Yok bermaksud segera kembali ke kota Lokyang untuk menengok keluarganya. Bisa
dibilang sekarang seluruh keluarga Liu Yok,
mulai dari neneknya, ibunya, ketiga saudara
tirinya, sudah pindah ke Lok-yang semua.
Bersatu dengan keluarga Sebun Beng, paman
Liu Yok. Yang paling penting, di Lok-yang ada
Sun Cu-kiok, puteri Gubernur Propinsi Ho-lam,
calon isteri Liu Yok. Namun, dulu ketika datang ke Lam-koan Liu
Yok hanya seorang diri, kini justru ia
memperoleh dua pengikut yang tertarik untuk
mempelajari cara hidup dan falsafah hidup Liu
Yok yang aneh namun "manjur" menangkal
Mulut Macan 1 2 kekuatan-kekuatan jahat ilmu sihir. Tokohtokoh Pek-lian-hwe cabang Lam-koan yang
jago-jago sihir ternyata tak berdaya terhadap
Liu Yok (baca kisah "Menaklukkan Kota Sihir").
Dua pengikut itu masing-masing ialah Cu Tongliang, perwira rahasia Kaisar, yang pernah
menjadi korban guna-guna tokoh-tokoh Peklian-hwe sehingga menjadi sesosok manusia
lumpuh raganya maupun jiwanya. Pengikut
yang kedua ialah Siau Hiang-bwe, yang sering
dipanggil juga A-kui, yang bukan lain adalah
puteri dari ketua cabang Pek-lian-hwe di Lamkoan. Justru ayahnya Siau Hiang-bwe inilah
yang mengguna-guna Cu Tong-liang, namun
Siau Hiang-bwe sendiri menjadi tumbal
kehebatan ilmu sihir ayahnya. Bertahun-tahun
gadis cantik itu seakan kehilangan masa depan
karena menjadi seorang gadis hilang ingatan
yang harus dikurung di ruang bawah tanah,
karena ayahnya tidak rela Siau Hiang-bwe
berkeliaran di luar rumah dalam keadaan gila.
Jadi kedua pengikut Liu Yok ini, Cu Tongliang dan Siau Hiang-bwe, sebetulnya patut
Mulut Macan 1 3 menjadi musuh besar satu sama lain yang saling
membenci sampai ke tulang sungsum. Cu Tongliang adalah perwira kerajaan yang pernah
"mencicipi" ilmu hitam Pek-lian-hwe, sedang
Siau Hiang-bwe adalah puteri tokoh Pek-lianhwe yang merupakan organisasi bawah tanah
yang anti pemerintah kerajaan. Tetapi dengan
kewibawaan Liu Yok, kedua orang itu dapat
rukun. Cu Tong-liang melepas jabatannya
sebagai perwira kerajaan dan memilih untuk
belajar kerohanian dari Liu Yok, begitu pula
Siau Hiang-bwe meninggalkan rumahnya dan
ayahnya di Lam-koan untuk belajar hal yang
sama. Liu Yok dengan senang hati menyambut niat
kedua orang itu, dengan mengutip ajaran yang
dianutnya, "Jika seorang tidak rela kehilangan
segalanya, ia tidak dapat menjadi murid-Nya...."
Tapi Liu Yok tidak mau menjadi guru kedua
orang itu, dengan alasan bahwa dirinya sendiri
pun masih belajar. Ia lebih suka menganggap Cu
Tong-liang dan Siau Hiang-bwe sebagai teman
belajar bersama. Mereka bertiga jadi seperti
Mulut Macan 1 4 saudara. Cu Tong-liang yang tertua dipanggil
"kakak" oleh Liu Yok dan Siau Hiang-bwe,
begitu juga Liu Yok dipanggil "kakak" oleh Siau
Hiang-bwe. Mereka meninggalkan Lam-koan, hendak
pulang ke Lok-yang. Tetapi dengan kesepakatan
bersama, mereka bukannya menempuh jarak
yang paling pendek, malah memutar mengambil
jalan barat. Alasannya, hendak sekalian melihatlihat wilayah barat yang budayanya agak
berbeda itu. Entah hari ke berapa dari perjalanan
mereka sejak meninggalkan Lam-koan, mereka
bertiga sudah tiba di kota yang cukup besar,
kota Seng-toh, ibu kota Propinsi Se-cuan.
Mereka bertiga melakukan perjalanan jalan
kaki yang santai tanpa tergesa-gesa, dan
sepanjang jalan itulah Liu Yok di saat-saat luang
menerangkan ajaran yang dianutnya, setahap
demi setahap. Kadang-kadang digunakannya
peristiwa-peristiwa yang dijumpai untuk
memperjelas apa yang dibicarakan.
Mulut Macan 1 5 Di Seng-toh mereka berhenti beberapa hari
untuk menikmati kota tua itu. Mereka
mengambil sebuah penginapan yang agak
murah sewanya, untuk menghemat bekal, dan
mengambil kamar-kamar yang berdampingan.
Pagi itu, Siau Hiang-bwe mengetuk pintu
kamar Liu Yok, sambil memanggil, "Kakak Yok!
Kakak Yok! Sudah bangunkah Kakak?"
Pertanyaan yang sebenarnya kurang perlu,
sebab Siau Hiang-bwe tahu pasti bahwa Liu Yok
selalu bangun pagi untuk menikmati hubungan
sangat akrab dengan Penciptanya. Tak peduli di
mana pun tempatnya, entah sedang di kota, di
desa atau di padang belantara sekalipun.
Dari dalam kamar penginapan itu terdengar
jawaban Liu Yok, "Ada apa, A-kui, masuklah!"
Siau Hiang-bwe mendorong pintu dan
melangkah masuk, ia melihat Liu Yok sudah
dalam keadaan segar, padahal sepagi itu masih
banyak orang terlena di bawah selimutnya. Tapi
Liu Yok sudah duduk di kursi, dengan kitab
terbuka di atas meja, diterangi sebatang lilin
menyala. Kitab yang dipakai bersama oleh Liu
Mulut Macan 1 6 Yok dan kedua teman seperjalanannya, dibaca
bergantian. Namun Cu Tong-liang nampaknya
tidak berminat kepada buku itu.
Liu Yok mengangkat wajahnya menatap Akui, "He, A-kui, kau kelihatannya kurang tidur.
Apakah kurang sehat?"
"Tidak. Semalam aku bermimpi, Kakak Yok."
"Hampir setiap malam setiap orang
bermimpi." "Ya, Kakak juga pernah menjelaskan
kepadaku. Kalau di waktu tidur ada pembuluh
darah yang kurang lancar mengalirnya, orang
akan bermimpi. Kalau siang harinya terlalu
sibuk bekerja, malamnya mimpi juga. Tetapi
Kakak bilang juga, ada mimpi yang merupakan
isyarat-isyarat dari dunia lain, baik dari Sang
Maha Pencipta maupun dari kekuatan-kekuatan
jahat yang menyelimuti dunia. Dan kalau mimpi
jenis ini, hati kecil kita merasakannya,
bukankah begitu, Kak?"
Liu Yok mengangguk-angguk, "Ditulis di
buku ini, Yang Maha Kuasa berbicara kepada
Mulut Macan 1 7 umat-Nya dengan beberapa cara. Kadangkadang melalui mimpi, meski jarang digubris."
"Mungkin mimpiku semalam dari jenis yang
ini, Kak...." kata Siau Hiang-bwe agak bimbang,
sambil menarik kursi dan duduk berseberangan
meja dengan Liu Yok. "Apa yang kau impikan?"
"Aku mimpi, perjalanan kita bertiga tiba di
sebuah kota kecil di seberang sebuah padang
ilalang yang sangat luas. Ada hutan, ada bukit,
ada sungai dekat kota kecil itu. Orang-orangnya
hidup bahagia. Tiba-tiba kulihat awan amat
hitam di atas kota itu, awan hitam di atas kota
itu sepertinya berubah bentuk menjadi..." A-kui
tiba-tiba berhenti bicara dan mengerutkan
pundaknya dengan rasa ngeri.
Liu Yok paham perasaan A-kui, dan tidak
mendesak A-kui agar meneruskan bicaranya. Ia
biarkan A-kui sendiri yang melanjutkan katakatanya, "... gumpalan awan hitam itu berubah
bentuk menjadi sebuah kota... sebuah kota
tergantung di langit... seperti yang pernah...."
Mulut Macan 1 8 Liu Yok mengangkat tangannya dan
mengangguk paham, "Aku mengerti. Kota di
dunia gaib yang pernah mengurung sukmamu,
bukan? Kota di dunia gaib yang pernah
kumasuki dengan sukmaku, dengan tuntunanNya dan kekuatan-Nya, ketika aku harus
mengeluarkan sukmamu dari sana."
Liu Yok paham kenapa A-kui ngeri
membicarakan "kota di langit" itu, karena di
saat jiwanya ditawan di "kota langit" itulah saat
A-kui menjadi seorang gadis gila yang raganya
terkurung di sebuah ruang bawah tanah selama
bertahun-tahun. Kini tiba-tiba "kota langit" itu
muncul di mimpinya, tidak heran kalau A-kui
menjadi gelisah. Liu Yok membiarkan perasaan A-kui tenang
dulu, baru bertanya, "Cuma itu mimpimu? Awan
hitam yang berubah bentuk menjadi sebuah
kota di atas langit?"
"Masih ada lanjutannya. Dari kota itu keluar
seekor harimau hitam yang besar diikuti
mahluk-mahluk aneh, ada yang seperti manusia
tapi bertanduk, ada yang seperti hewan, ada
Mulut Macan 1 9 yang setengah hewan setengah manusia.
Mahluk-mahluk itu dipimpin macan hitam itu
lalu turun dari langit, sebagian keluar dari bumi,
menguasai kota kecil di bumi itu. Begitulah."
"Agaknya memang kau hendak diberi tahu
sesuatu dari alam atas...."
Wajah Siau Hiang-bwe nampak cemas,
"Berbahayakah?"
Liu Yok menjawab, "Cari tuntunan-Nya.
Tuntunan-Nyalah yang terbaik. Sekelam dan
sedahsyat apa pun yang bakal kau alami."
"Mudah-mudahan... mimpi biasa... tak ada
artinya...." "Berlatihlah mempercayai hati nuranimu.
Sang Penuntun Maha Agung itu mengajar di
situ. Bukan di otak, juga bukan di perasaan yang
terombang-ambing." Cu Tong-liang muncul di pintu kamar,
"Bagaimana? Hari ini kita jadi meneruskan
perjalanan atau tidak?"
"Tanya A-kui. Semalam ia kurang tidur,
apakah ia cukup sehat untuk melakukan
perjalanan?" Mulut Macan 1 10 Sebelum Cu Tong-liang bertanya kepadanya,
A-kui sudah menjawab lebih dulu, "Aku cukup
sehat untuk berjalan jauh."
"Kalau bergitu, hari ini kita tinggalkan Sengtoh."
* ** Kota Seng-tin adalah sebuah kota kecil yang
tenang selama berpuluh tahun. Dari generasi ke
generasi. Kota yang letaknya terpencil jauh dari
kota-kota lain. Secara militer tak pernah masuk
hitungan namun justru itu yang membuatnya
aman. Dalam perang-perang besar yang selama
melanda daratan besar, tak ada satu pihak pun
yang sudi membuang pikiran untuk Seng-tin.
Secara militer, Seng-tin tak ada apa-apanya.
Penduduknya berladang, beternak dan ada
yang berdagang kecil-kecilan. Situasi kota
kadang-kadang menjadi sedikit ramai kalau ada
kafilah-kafilah dagang jarak jauh yang
beristirahat beberapa hari di kota itu, tetapi itu
amat jarang-terjadi. Mulut Macan 1 11 Di kota itu juga tidak ada perajurit satu
orang pun. Pasukan kerajaan yang terdekat dari
situ berjarak tiga ratus ii lebih di kota Yu-pin.
Warga kota tenang-tenang saja,

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan menganggap segalanya serba aman.
Sampai pada suatu hari, situasi yang aman
tenteram selama beberapa generasi itu harus
berakhir. Awalnya ialah ketika siang hari yang panas
itu tanah di kota Seng-tin serasa bergetar oleh
derap kaki puluhan ekor kuda dan puluhan
lelaki garang penunggang-penunggangnya.
Udara jadi gelap oleh tebalnya debu yang
dihamburkan kaki-kaki kuda-kuda itu.
Dan hati warga Seng-tin mulai merasa tidak
enak melihat rombongan asing ini. Ini bukan
rombongan kafilah dagang jarak jauh seperti
biasanya. Kafilah dagang biasanya membawa
unta-unta bermuatan barang, kali ini tak ada
unta seekor pun, tak terlihat barang dagangan
yang nampak adalah senjata-senjata. Kafilah
dagang juga sering membawa orang-orang
bersenjata sebagai pengawal dalam perjalanan,
Mulut Macan 1 12 tetapi tidak menimbulkan kesan menakutkan
seperti ini. Dan warga kota yang paling kencang debar
jantungnya ialah Ao Khim, si pemilik rumah
makan kecil-kecilan untuk para musafir, karena
di depan rumah makan Ao Khim inilah
rombongan orang-orang bersenjata yang
menakutkan ini berhenti, berlompatan turun
dari kuda dan memasuki rumah makan di
pinggir jalan itu. "Mudah-mudahan sehabis makan minum,
mereka akan melanjutkan perjalanan...." Ao
Khim berharap dalam hati. "Dan kalau kulihat
tampang mereka, aku tidak akan kaget kalau
seandainya nanti mereka pergi begitu saja
tanpa membayar makan minumnya."
Biarpun hati sudah berprasangka, Ao Khim
menyongsong juga orang-orang itu dengan
sikap seramah-rarnahnya. "Selamat datang di
rumah makanku, Tuan-tuan. Aku mendapat
kehormatan besar oleh kunjungan Tuan-tuan...."
Ao Khim berhenti bicara dan menelan
ludahnya dengan kaget ketika mata kapak yang
Mulut Macan 1 13 tajam tiba-tiba tinggal setengah jari dari ujung
hidungnya, dipegangi oleh salah seorang
penunggang kuda itu. Dan Si penunggang kuda
berkata tanpa sedikit pun mengimbangi
keramahan yang ditunjukkan Ao Khim tadi,
"Sediakan tempat terbaik buat pemimpin kami
supaya jangan sampai kami robohkan tempat
ini!" "I... iya..." Ao Khim mencari-cari dengan matanya,
yang mana yang menjadi pemimpin rombongan
itu, sampai akhirnya matanya berhenti pada
seorang yang nampaknya disegani oleh yang
lain-lainnya. Orangnya ternyata tidak bertampang garang seperti yang lain. Ia lelaki
berumur empat puluh tahunan, bertubuh
ramping, tegap, kulit wajahnya tercukur bersih
dan agak pucat. Selalu tersenyum. Pada
pakaiannya ia rangkapkan kulit macan, dan ada
mantel hitam di punggungnya. Ia tidak terlihat
membawa senjata sepotong pun.
Mulut Macan 1 14 Ao Khim membungkuk hormat kepada
orang ini. "Apakah Tuan adalah pimpinan
rombongan ini?" Orang itu mengambil tempat duduk, lalu
menjawab, "Ya. Namaku Beng Hek-hou. Nama
kota kecil ini apa?"
"Seng-tin." "Sebuah kota yang menyenangkan untuk
tempat tinggal." Diam-diam Ao Khim cemas kalau tiba-tiba
saja Beng Hek-hou dan gerombolannya ini
betah di Seng-tin, apalagi kalau sampai menetap
selamanya. Maka Ao Khim mencoba menghilangkan minat Beng Hek-hou, "Kota
yang tidak ada apa-apanya, Tuan. Di sini masa
depan seperti terkubur, orang harus rela hidup
hari demi hari yang begitu-begitu terus."
"Di sini aman?"
Sekarang Ao Khim "ganti jurus" ingin
menggertak orang-orang liar ini agar jangan
berminat tinggal lebih lama di Seng-tin, "Ya
tentu saja aman. Selain karena tidak ada
kekayaan yang berarti di sini, tidak ada
Mulut Macan 1 15 perampok yang berminat kemari. Tetapi juga
karena di kota ini ada guru silat Ciu Koan yang
hebat main tombaknya. Hampir semua lelaki di
kota ini, mulai yang remaja sampai yang
setengah umur, pernah jadi muridnya."
"Jadi karena Ciu Koan, kota ini aman ya?"
"Benar, Tuan." Beng Hek-hou tertawa terkekeh, "Kalau
begitu, kedatanganku di Seng-tin ini tidak boleh
diam-diam saja. Guru silat Ciu Koan harus
mengetahuinya. Duan Le, pergilah sampaikan
salamku kepadanya!" Beng Hek-hou menyuruh seorang anak
buahnya yang bertubuh gendut dan berewokan, pakaiannya dirangkap kulit binatang.
Anak buahnya yang bernama Duan Le itu
paham apa yang dimaksudkan oleh pemimpinnya, paham pula arti kedipan mata
yang dilontarkan Beng Hek-hou dengan diamdiam, dan ia pun segera melangkah
meninggalkan rumah makan itu.
Ao Khim mengira kepala gerombolan itu
benar-benar ingin menyampaikan salam kepada
Mulut Macan 1 16 guru silat Ciu Koan. Ao Khim gembira karena
menyangka gertakannya berhasil menggetarkan
nyali si pemimpin gerombolan.
Sementara Beng Hek-hou telah bertanya,
"Nah, rumah makan ini punya apa yang cukup
layak untuk dihidangkan kepadaku?"
Pada saat yang sama, Duan Le sedang
berada di jalanan, mencari-cari rumah guru silat
Ciu Koan. Karena Ciu Koan cukup terkenal di
kota itu dan kota itupun hanya kota kecil, maka
dengan beberapa kali bertanya-tanya, dapatkah
Duan Le menemukan rumah guru silat itu.
Sebuah rumah berkurung tembok, dan
pastilah berhalaman luas untuk mengajar silat.
Pintunya yang tertutup rapat itu nampaknya
cukup tebal. Agaknya hari itu bukan hari
latihan, maka di luar maupun dari dalam rumah
itu terlihat sepi-sepi saja.
Duan Le menggedor daun pintu dengan
gelang tembaga yang tergantung di pintu.
Ketika beberapa saat tidak ada yang
membukakan pintu, Duan Le tidak sabar lagi. Ia
memutar-mutar gadanya yang disebut Tok-kakMulut Macan 1
17 tong-jin (gada berbentuk orang-orangan
berkaki satu, terbuat dari perunggu) sampai
anginnya menderu, lalu menghantam ke pintu
gerbang itu. Dengan tiga kali hantam, jebollah
pintu itu, palang pintunya patah.
Duan Le melangkah masuk sambil
memanggul gadanya, dan berteriak, 'Mana yang
namanya Ciu Koan?" Tadi ketika Duan Le menggedor-gedor
pintu, guru silat Ciu Koan sedang berlatih di
halaman samping. Dan ketika mendengar
gedoran, guru silat ini baru saja melap tubuhnya
yang berkeringat dan hendak memakai bajunya
untuk menemui tamunya, namun tahu-tahu
sudah terdengar suara pintu dijebol, disusul
teriakan Duan Le yang bernada tidak
bersahabat itu. Maka Ciu Koan pun keluar
dengan membawa tombak kebanggaannya,
sambil menggerutu, "Orang gila dari mana ini
yang hendak cari perkara denganku?"
Setelah berhadapan dengan Duan Le, guru
silat yang berusia setengah abad namun
Mulut Macan 1 18 tubuhnya masih berotot itupun bertanya, "Siapa
kau, sobat? Kenapa merusak pintu rumahku?"
Sambil memanggul gadanya dan berdiri
kukuh, Duan Le menyahut, "Aku harus
melenyapkanmu?" Ciu Koan mengerutkan alis, "Ada
permusuhan apa antara engkau dengan aku?
Atau barangkali antara pihakmu dengan
pihakku?" Duan Le menjawab seenaknya sambil
menggaruk-garuk perutnya, "Tidak ada
permusuhan apa-apa kok. Memangnya membunuh harus ada permusuhan dulu? Alasan
kami sederhana saja, kami ingin mengambil alih
kota ini, tetapi warga kota membanggakanmu
sebagai pelindung kota ini, maka ya harus
membunuhmu...." Ciu Koan gusar, "Yang mengangkat aku jadi
pelindung kota ini bukan aku sendiri!
Penduduklah yang menganggapnya demikian!"
"Aku tidak tanya asal-usulnya sampai kau
dijadikan pelindung kota, pokoknya kau harus
mati karena kami ingin menguasai kota ini. Itu
Mulut Macan 1 19 saja. Sederhana bukan? Kalau kau mati,
penduduk akan kehilangan andalannya dan
mudah kami kuasai." Kegusaran Ciu Koan meluap. Ia hentakkan
gagang tombaknya ke bumi, sambil menyahut
keras, "Kalau memang itu maumu, lakukanlah.
Lihat saja nanti, siapa yang bakal membunuh
siapa!" "Bagus, memang aku juga ingin cepat-cepat
selesai!" Habis berkata demikian, Duan Le
menghantamkan gadanya mendatar menyapu
tubuh Ciu Koan dengan menimbulkan angin
menderu keras. Ciu Koan tak berani menangkis keras lawan
keras, biarpun tangkai tombak terbuat dari
rotan pilihan tetapi pasti akan patah. Ia melejit
menghindar, kemudian tombaknya meluncur
bagaikan lidah seekor ular menikam perut Duan
Le. Ciu Koan agak kaget melihat lawannya
ternyata tidak berusaha menangkis tombaknya,
melainkan memutar tubuhnya.
Mulut Macan 1 20 Ia melejit menghindar, kemudian tombaknya meluncur bagaikan lidah ular
menikam perut Duan Le dan seperti seekor
gajah mengamuk dia kembali mengepruk
dengan gada perunggunya. Ciu Koan harus mengandalkan kelincahannya menghadapi "gajah mengamuk"
ini. Ia yakin kalau tubuhnya kena gada
perunggu itu, biarpun hanya terserempet pasti
akan ada tulangnya yang patah.
Namun Ciu Koan tidak hanya berputarputar
menghindar saja. Ia kemudian

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mengeluarkan kemahirannya bermain tombak,
dan ujung tombaknyapun seolah menjadi
banyak seperti sekawanan lebah yang
mengerumuni Duan Le. Bukan saja ujung
tombaknya, tetapi pangkal tangkai tombaknya
juga merupakan senjata yang berbahaya.
Begitulah, pertarungan di halaman rumah
itu jadi seperti seekor gajah gila berkelahi
dengan sekawanan lebah. Kemudian Ciu Koan paham kenapa Duan Le
tidak menggubris ujung tombaknya, setelah
Mulut Macan 1 21 beberapa kali ujung tombaknya mengenai kulit
Duan Le secara telak namun ternyata kulit itu
tidak terluka seujung rambut pun! Duan Le
ternyata punya ilmu kebal. Semula Ciu Koan
mengira ujung tombaknya tak mampu
menembus karena kulit hewan yang tebal yang
dipakai merangkapi tubuh Duan Le Tetapi
waktu ujung tombak mengena kulit lengan
Duan Le tak tertutup apa-apa dan tetap tak
dapat melukai, sadar lah Ciu Koan bahwa
lawannya ini memang kebal.
"Pantas dia tidak berusaha membela diri
sedikit pun melainkan hanya menyerang
terus...." Pikir Ciu Koan sambil semakin berhatihati.
Tetapi Ciu Koan tidak berkecil hati. Ia tahu,
ilmu kebal semacam Kim-ciong-toh (Ilmu
Lonceng Emas) ataupun Tiat-po-san (Ilmu Baju
Besi) pun ada kelemahannya. Ada bagianbagian tubuh yang tidak bisa dibuat kebal,
misalnya bagian kemaluan seorang lelaki,
lekukan lener, bidang segitiga di bawah dagu,
bagian di belakang telinga dan beberapa tempat
Mulut Macan 1 22 lain. Tetapi bagian-bagian lemah itu adalah
sudut-sudut kecil yang susah dibidik, apalagi
tubuh lawannya terus bergerak dengan
serangan-serangan berbahaya.
Biarpun demikian, Ciu Koan dengan gigih
dan tekun tetap berusaha mencapai tempattempat lemah di tubuh lawan dengan ujung
tombaknya. Duan Le sendiri makin gusar dan
mengamuk makin hebat. Permainan gada
perunggunya sebetulnya tidak banyak variasinya, lebih banyak main kepruk dan main
seruduk saja, bahkan kakinya kadang-kadang
juga menendang atau menginjak dengan kasar.
Makin hebat amarah Duan Le, di dalam
jiwanya ada suatu kekuatan lain yang bangkit
dan mengambil alih tubuh dan pikirannya Duan
Le pelan-pelan. Dalam keadaan semakin tak
sadar diri, deru gada perunggu makin hebat,
dan kini dari mulut Duan Le kedengaran geramgeram seperti suara seekor beruang yang
marah. Mulut Macan 1 23 Ciu Koan yang sekian lama belum berhasil
menusuk tempat lemah, diam-diam mulai ganti
siasat dan berharap Duan Le akan cepat
kehabisan tenaga. Dengan senjata berbobot seberat gada
berbentuk orang-orangan, diharapkan tenaga
Duan Le akan cepat habis. Kalau sudah habis
tenaganya, mungkin takkan sulit untuk ditusuk
bagian lemahnya. Namun setelah ditunggu-tunggu sekian
lama dan tenaga Ciu Koan sendiri mulai susut,
ternyata Duan Le masih mengamuk sehebat
semula. Tak ada tanda-tanda kelelahan sedikit
pun. Ketika Ciu Koan memperhatikan lawannya,
ia pun mulai melihat kejanggalan. Lawannya
berkelahi dengan mata terpejam, seperti tak
ingat diri sendiri! Dari mulutnya mulai sering
terdengar geram-geram aneh, dan setiap
geraman membuat Ciu Koan sakit kepalanya
dan makin kabur pandangan matanya.
Maka sadarlah Ciu Koan bahwa lawan nya
ini bukan saja bertenaga besar, berilmu kebal,
Mulut Macan 1 24 tetapi juga memiliki sejenis ilmu gaib untuk
mengacaukan perlawanan musuhnya.
Makin kecillah harapan Ciu Koan untuk
keluar dari kesulitan itu. Dalam hatinya kini ia
berharap akan mendapat bantuan dari orang
lain, mungkin dari murid-muridnya yang
beberapa di antaranya sudah cukup matang
dalam ilmu tombaknya. Mudah-mudahan ada
tetangga yang mendengar ribut-ribut itu lalu
mengabari murid-muridnya.
Dan yang muncul di halaman itu malahan
seorang yang tidak diharapkan oleh Ciu Koan,
yaitu anak satu-satunya, Ciu Bian-li, gadis
remaja berusia tujuh belas tahun itu. Ciu Bian-li
muncul dari dalam rumah dalam pakaian
ringkas dan menjinjing tombak, karena
mendengar keributan itu. Dengan berani gadis itu hendak ikut
bertempur, membantu ayahnya yang nampak
amat tertekan, namun ayahnya justru berteriak,
"Bian-li, jangan! Panggil saja kakak-kakakmu!"
Tetapi Ciu Bian-li ibarat anak kambing yang
belum tahu apa artinya takut kepada macan.
Mulut Macan 1 25 Dilarang ayahnya, bukannya ia menurut, malah
berseru, "Ayah, kita berdua pasti akan menang!"
Lalu gadis itu melompat ke tengah
gelanggang sambil menikamkan ujung tombaknya ke mata Duan Le dengan gerak tipu
Kim-siam-hi-long (Katak Emas Bermain
Gelombang). Ciu Koan dengan nada cemas meneriaki
puterinya, "Bian-li, hati-hatilah! Orang ini kebal
dan...." Jantung Ciu Koan serasa berhenti berdetak
ketika melihat tangkai tombak puterinya
berhasil ditangkap oleh Duan Le, biarpun mata
Duan Le dalam keadaan tertutup rapat, karena
dalam keadaan semacam kesurupan. Menyusul
gada perunggunya menghantam ke arah Ciu
Bian-li yang berkutat tidak mau melepaskan
tombaknya. Ciu Koan tak ingat lagi keselamatan dirinya
sendiri karena puterinya terancam. Sekuat
tenaga ia melemparkan tubuhnya untuk
menubruk puterinya sendiri agar lolos dari
Mulut Macan 1 26 hantaman gada perunggu, sambil berseru,
"Lepas tombakmu, Nak!"
Gadis itu memang jatuh bergulingan
ditabrak ayahnya, sehingga lolos dari serangan
mematikan, tetapi ayahnyalah yang harus
"membayar harga" penyelamatan itu. Pundak
kiri Ciu Koan terserempet gada perunggu Duan
Le, dan meskipun hanya terserempet tapi sudah
cukup membuat guru silat itu terpental sambil
menggelogokkan darah dari mulutnya.
"Ayah!" teriak Si Gadis darijdrak beberapa
langkah, tanpa daya, dan teriakan gadis itu tak
mampu mencegah ketika Duan Le meraung
seperti beruang, lalu menginjak dada Ciu Koan.
Terdengar suara gemeretak tulang-tulang patah
yang mengantar nyawa Ciu Koan meninggalkan
raganya. Ciu Bian-li pingsan melihat nasib ayahnya.
Sementara Duan Le beberapa saat lamanya
berdiri, kesadarannya pelan-pelan menguasai
dirinya kembali, ketika kekuatan asing yang
baru saja menguasainya itu pelan-pelan
Mulut Macan 1 27 mengendap jauh ke dalam kekelaman di suatu
sudut kedalaman jiwanya. Pelan-pelan Duan Le membuka matanya,
dan ketika melihat tubuh Ciu Koan dan Ciu
Bian-li bergeletakan di dekat kakinya, Duan Le
pun tahu bahwa ia sudah menyelesaikan tugas
yang diperintahkan Beng Hek-hou. Meskipun ia
tidak ingat bagaimana kejadiannya, sebab tadi
ia sedang tak ingat diri sendiri.
Duan Le menarik napas, lalu sambil
memanggul gada perunggunya ia berjalan balik
ke rumah makan tadi. "Bagaimana?" tanya Beng Hek-hou.
Dengan dingin Duan Le menjawab, "Guru
silat Ciu Koan sudah mati."
Berita itu bagaikan halilintar meledak di
atas kepala beberapa warga Seng-tin yang
berada di rumah makan itu.
"Bagaimana matinya?" tanya Ao Khim
penarasan. Beng Hek-hou tertawa, "Tidak jadi soal
bagaimana cara matinya, yang jelas andalan
Mulut Macan 1 28 kota ini sudah mati. Jadi kami sekarang yang
bertanggung jawab untuk keamanan kota ini."
Begitu enaknya Beng Hek-hou bicara,
seperti mengambil alih sesuatu yang tak
berharga sedikit pun. Padahal yang diambil alih
itu adalah masa depan seluruh penduduk Sengtin. Penduduk Seng-tin yang semula hidup
bebas dalam kerukunan dan perdamaian,
sekarang hendak diperintah begitu saja oleh
kelompok orang-orang asing ini. Perbedaannya
bagaikan siang dan malam.
Ao Khim bukan jago berkelahi, namun gusar
juga melihat sikap seenaknya dari rombongan
orang-orang ini. Untuk melawan terangterangan memang tidak berani, tetapi untuk
mencoba mengulur waktu dan mencegah secara
halus, Ao Khim berani. Katanya, "Harap Tuan
Beng ketahui, guru silat Ciu Koan itu tokoh yang
menonjol di kota ini, tetapi tidak berkedudukan
apa-apa. Kematiannya hanya berarti bahwa
kota Seng-tin kehilangan seorang warga yang
baik, yang suka menolong. Itu saja. Tidak lebih."
Mulut Macan 1 29 Beng Hek-hou mengangguk-angguk, "Ooo,
begitu? Kalau begitu, pengambilalihanku atas
kota ini tidak bersangkut-paut dengan matihidupnya Ciu Koan. Pokoknya mulai hari ini aku
harus dipatuhi di sini. Habis perkara!"
Ao Khim gemas sekali menghadapi sikap itu,
namun berusaha tetap berbicara baik-baik,
"Harap Tuan Beng ketahui juga, bahwa kami di
kota kecil ini sudah biasa merundingkan segala
sesuatu di antara warga kota. Tidak mungkin
kami memutuskan sesuatu pun tanpa melalui
rapat seluruh warga kota lebih dahulu."
Jawaban Beng Hek-hou semakin menjengkelkan, "Itu sungguh kebiasaan yang
sangat baik, tetapi buang-buang waktu dan
tidak praktis. Mulai sekarang, ada yang lebih
praktis untuk menentukan segala sesuatu, yaitu
aku yang menentukan segalanya dan harus
dipatuhi semuanya. Pokoknya beres. Aku ini
orangnya adil, bijaksana dan tahu perasaan
kok." Mulut Macan 1 30 "Tetapi... dengan hak apa Tuan melakukan
itu?" hati Ao Khim makin panas dan makin
mengabaikan keselamatannya sendiri.
"Coba lihat, apa yang dipegang anak
buahku?" "Senjata...." "Nah, itulah yang memberi aku hak untuk
bertindak begini. Ada kekuatan, maka katakataku adalah hukum. Sederhana bukan?
Paham?" Namun peristiwa itu terlalu mendadak dan
terlalu diluar dugaan. Ao Khim masih saja
geleng-geleng kepala, dalam hati timbul niat
untuk menggerakkan warga Seng-tin agar
bersatu mengusir gerombolan ini. Warga Sengtin yang laki-laki dewasa dan bisa berkelahi,
kalau dikumpulkan akan berjumlah tiga ratusan
orang, masa kalah dari gerombolan yang tidak
lebih dari empat puluh orang ini, biarpun yang
empat puluh ini tampangnya seram-seram?


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sikap bandel Ao Khim itu agaknya mulai
menjengkelkan Beng Hek-hou, sehingga 'Beng
Hek-hou berkata, "Agaknya kau belum paham
Mulut Macan 1 31 juga. Atau tidak mau paham? Tidak rela aku
menjadi penguasa kota ini? Baiklah aku adakan
sedikit demonstrasi kekuatan gaibku."
Lalu Beng Hek-hou memejamkan matanya
dan bibirnya terlihat bergerak-gerak. Suasana
hening beberapa saat lamanya.
Ao Khim geleng-geleng kepala, dalam
hatinya mentertawakan "kekuatan gaib" orang
ini karena ia tidak merasakan apa-apa. Ia
melangkah ke dapur dan bertekad akan
mengacuhkan tamu-tamu tak diundang ini. Ia
menghentakkan kakinya ketika merasa ada
beberapa ekor semut merambati kakinya.
Namun ternyata semut-semut yang merayapi tubuhnya makin banyak, dari segala
sudut rumah makan itu semut-semut
berdatangan hanya untuk merambati dan
menggigiti Ao Khim. Di tempat itu memang
banyak semut karena banyak remah-remah
makanan, jenisnya juga bermacam-macam.
Namun kali ini semut-semut itu digerakkan oleh
suatu kekuatan tak terlihat, hanya mengincar
Mulut Macan 1 32 Ao Khim dan tidak peduli yang lainnya, mereka
menggigiti dengan ganas. Ao Khim yang sedang melangkah ke dapur
itu mulai kerepotan. Ia gunakan sepasang
tangannya untuk menepuk-nepuk seluruh
tubuhnya, membunuh puluhan semut, tetapi
ratusan dan bahkan ribuan semut lainnya mulai
menggigit sekujur tubuhnya.
Di depan mata anggota-artggota gerombolan, maupun warga kota yang
kebetulan ada di situ, Ao Khim mulai "menari"
gara-gara semut-semut itu. Bahkan kemudian
bergulingan sambil menggaruk dan menggeloser-geloserkan tubuhnya di tanah.
Menggaruknya makin ganas sampai kulitnya
berdarah oleh tangannya sendiri, namun semutsemutnya pun makin banyak dan makin ganas.
Ruangan itu kemudian penuh suara lolongan Ao
Khim yang menimbulkan rasa seram bagi warga
kota yang mendengarnya. Ao Khim yang
berlumuran darah itu bergulingan kesana
kemari sambil menjerit-jerit putus asa,
menabrak meja dan kursi, menggaruk-garuk
Mulut Macan 1 33 tubuh, tapi semut-semut hidup tak pernah
berhenti mengalir menyerbu tubuhnya.
Tak tahan lagi, Ao Khim menjerit-jerit,
"Bunuhlah aku! Bunuh aku! Aku berterima
kasih kalau ada yang mau membunuh aku !"
Namun siapa berani bertindak menuruti
permintaan itu, di bawah tatap mata yang tajam
dari orang-orang bersenjata itu?
Akhirnya Ao Khim berseru dengan suaranya
yang parau kepada Beng Hck hou, "Tuan Beng,
jangan siksa aku lebil lama... bunuh aku! Bunuh
aku!" Beng Hek-hou tertawa terkekeh, "Siapa mau
nyawamu. Kalau kau mati, tentu aku tak dapat
menikmati masakan masakanmu yang enak.
Kau harus tetap hidup untuk melayani aku,
penguasa kota ini!" Lalu Beng Hek-hou kembali komat-kamit,
maka semut-semut pun meninggalkan tubuh Ao
Khim. Juragan rumah makan itu berangsurangsur tenang meskipun masih merintih.
Setelah penyiksaan itu benar-benar berakhir, Ao Khim bangkit tertatih-tatih dengan
Mulut Macan 1 34 pakaian dan kulit yang robek robek oleh
cakaran tangannya sendiri tadi, sorot matanya
memancarkan rasa ngeri yang amat membekas
di jiwanya. Namun ia membungkuk hormat
kepada Beng Hek-hou sambil berkata, "Terima
kasih..." Dengan pandangan mata angkuh penuh
kuasa, Beng Hek-hou menatap wajah-wajah
bermimik gentar dari orang-orang Seng-tin di
rumah makan itu. "Kalian baru melihat sebagian
kecil dari kemampuan sihirku. Dan aku yakin
bahwa kalian akan bersedia mematuhi aku,
betul?" Beberapa kepala mengangguk, meski
dengan ragu. Beng Hek-hou terkekeh pula, "Bagus. Sebar
luaskan pengambilalihanku atas kota ini,
sebelum matahari terbenam, jangan ada warga
kota kecil ini yang belum tahu. Dan peraturan
pertama yang kukeluarkan ialah, tak boleh ada
warga kota ini yang bepergian keluar dari batas
kota tanpa ijinku. Yang melanggar akan
Mulut Macan 1 35 mendapat hukuman yang belum pernah kalian
bayangkan." Warga kota itupun mengeloyor lesu
meninggalkan rumah makan Ao Khim, sambil
meratapi hari-hari kelam yang menghadang
langkah mereka. * * * Bagaimanapun garangnya ancaman Beng
Hek-hou, dan bagaimanapun ngerinya apa yang
dialami guru silat Ciu Koan dan Ao Khim yang
memporak-porandakan ketenangan kota kecil
itu, namun naluri kemerdekaan yang sudah
berakar puluhan tahun di hati warga Seng-tin
tak gampang padam hanya dengan beberapa
gertakan. Sekian lama mereka hidup damai dan
rukun tanpa perlu diperintah siapa-siapa,
berdasar kesadaran sendiri-sendiri, tiba-tiba
kini segerombolan orang asing yang tak keruan
dari mana asal-usulnya hendak memerintah
begitu saja. Mulut Macan 1 36 Ketika hari sudah gelap, beberapa murid Ciu
Koan dan beberapa bekas murid, berkumpul
diam-diam di rumah seorang murid terpercaya
yang bernama Ek Yam-lam. Untuk bisa
berkumpul seperti itupun tidak semudah
kemarin, ketika Seng-tin masih bebas. Sekarang
harus berhati-hati, sebab orang-orang asing itu
berpatroli di jalan-jalan Seng-tin.
Ek Yam-lam seorang penggembala kambing,
ia sudah lima belas tahun menjadi murid Ciu
Koan, dan ia tidak terima kematian gurunya
begitu saja. Pemuda seperempat abad berkulit
kehitaman dan bertubuh kekar itu dengan suara
emosional menghasut teman-teman seperguruannya yang berkumpul diam-diam di
rumahnya di pinggiran kota. Pertemuan hanya
diterangi sebatang lilin, dan yang hadir ternyata
hanya lima orang. Memang hampir semua lelaki
di Seng-tin pernah mendapat pelajaran silat dari
Ciu Koan, tetapi kalau urusannya sampai harus
membela gurunya dengan mempertaruhkan
nyawa menentang gerombolan, banyak yang
lebih suka tidak ikut-ikutan. Banyak yang ikut
Mulut Macan 1 37 sedih atas kematian guru silat Ciu Koan, tapi
tidak punya nyali untuk membalaskan
kematiannya, sekaligus mengusahakan kembali
kebebasan Seng-tin dari gerombolan.
Dan ternyata orang-orang yang berkumpul
di rumah Ek Yam-lam itupun tidak semuanya
berani menentang gerombolan. Terbukti,
setelah sekian lama Ek Yam-lam bicara berapiapi untuk mengobarkan keberanian temantemannya, ternyata teman-temannya tetap
dingin-dingin dan tawar saja. Meski tidak
diucapkan terang-terangan, tetapi terbaca di
wajah mereka bahwa mereka pun jeri terhadap
gerombolan. Akhirnya dengan patah semangat Ek Yamlam menghela napas dan berkata, "Rupanya
percuma saja kukumpulkan kalian malam ini
Dan percuma pula almarhum guru kita
mendidik kalian dengan tekun selama
bertahun-tahun...." Giam Lok yang bertubuh pendek gempal
dan beralis tebal menyahut, "Kakak Lam,
terserah kalau aku dianggap penakut. Tapi akal
Mulut Macan 1 38 sehatku bilang, kalau kita lawan gerombolan itu
sekarang, kita sama dengan cari mati. Lihat
nasib guru kita, padahal di antara kita tidak ada
yang semahir guru dalam bermain tombak.
Apalagi, kita kalah jumlah, kalah pengalaman,
dan yang paling menakutkan, orang-orang
gerombolan itu belajar ilmu gaib. Kita? Kita
tidak paham sedikit pun hal-hal yang gaib
begitu." "Aku yakin, kita bisa kerahkan semua lakilaki di Seng-tin itu untuk bersama-sama
melawan..." sahut Ek Yam-lam. "Kalau kita
bersatu, kita pasti menang!"
"Nyatanya, warga kota dicengkam ketakutan. Cerita tentang Paman Ao Khim yang
diserang semut itu sudah menyebar luas. Mana
mungkin membangkitkan semangat perlawanan
mereka? Malam ini, mendengar derap kuda di
luar rumah saja semua orang sudah berkerut
ngeri." Ek Yam-lam memegangi kepalanya dengan
dua tangan yang sikunya bertumpu di atas meja,
seolah takut kepalanya itu mendadak copot dari
Mulut Macan 1 39 bahunya. Sesaat kemudian ia bertanya, "Lalu,
apakah kita akan berpangku tangan saja?"
"Tentu saja tidak. Kalau Kakak setuju,
malam ini Ho Tong dan Ibun Lai sanggup untuk
pergi dari Seng-tin, menempuh perjalanan jauh
ke Yu-pin untuk menjumpai Kakak Kiao,
memohon bantuannya."
Ho Tong dan Ibun Lai juga murid-murid Ciu
Koan yang hadir pula saat itu. Rahkan mereka
berkata sambil menunjukkan bekal mereka.
"Kalau Kakak Lam setuju, kami langsung
berangkat sekarang juga, tidak perlu lagi
mampir ke rumah. Bekalnya sudah kami bawa."
Ek Yam-lam termenung memikirkan
gagasan itu. Kiao Tong-kin di Yu-pin adalah
murid Ciu Koan pula, tetapi ia berguru kepada
banyak pendekar sehingga kemahiran silatnya
mengungguli Ciu Koan almarhum. Selain itu, ia
berhasil mendirikan Kim-eng Piau-hiang
(Perusahaan Pengawalan Elang Emas), di mana
ia punya, bawahan puluhan jago silat dari
berbagai aliran. Rasanya Kiao Tong-kin memang
paling cocok dimintai pertolongan, mudahMulut Macan 1
40 mudahan masih ada ikatan batin antara Kiao
Tong-kin dengan kampung halamannya, yaitu
Seng-tin. Akhirnya Ek Yam-lam mengangguk,
"Baiklah. Berangkatlah dan hati-hatilah."
Ternyata Ho Tong dan Ibun Lai memang
sudah siap menempuh perjalanan jauh, dan itu
terlihat dari dandanan mereka. Mereka
berpakaian ringkas berwarna gelap, agar lebih
mudah menyusup keluar kota Seng-tin malam
itu. Tak ketinggalan tentunya adalah senjatasenjata mereka. Tombak sebagai senjata
andalan murid-murid Ciu Koan, tetapi mereka
juga membawa pisau-pisau yang diselipkan di
sepatu dan sekantong piao (senjata rahasia).
Mereka yakin akan bisa keluar dari Seng-tin
malam itu. Sebab Seng-tin ialah sebuah kota


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kecil tak berdinding, dan anggota gerombolan
yang jumlahnya kurang dari empat puluh orang
itu diyakini tak mampu mengawasi setiap
jengkal perbatasan kota, apalagi Ho Tong dan
Ibun Lai sebagai orang-orang Seng-tin sejak
Mulut Macan 1 41 lahir mengenal setiap sudut kota kecil itu
seperti mengenali telapak tangannya sendiri.
Mereka berdua pun menghilang di
kegelapan malam di batas kota. Rumah Ek Yamlam memang terletak di pinggiran kota, tempat
di mana rumah-rumah penduduk sudah jarang,
dan banyak belukarnya. Ho Tong dan Ibun Lai terus mengendapendap dengan hati-hati sampai di luar kota.
Setelah kira-kira satu li dari pinggiran kota,
mereka mulai memasuki daerah padang ilalang
yang luasnya bukan main. Daerah itu
sebenarnya cukup gawat di malam hari, sebab
adanya gerombolan serigala yang jumlahnya
sampai ratusan. Hewan-hewan buas itu amat
ditakuti para pemburu yang paling hebat
sekalipun, lebih ditakuti dari sepasang harimau
sekalipun. Tetapi penduduk Seng-tin yang
sudah puluhan tahun diam di situ telah
mempunyai penangkalnya. Mereka membuat
semacam bubuk yang baunya amat dibenci
serigala-serigala itu. Kalau bubuk itu ditaburkan
ke badan, serigala takkan sudi mendekatinya.
Mulut Macan 1 42 Ho Tong dan Ibun Lai masing-masing sudah
membekali diri dengan sekantong bubuk
buatan tradisional Seng-tin itu.
"Kita tidak perlu lagi berjalan mengendapendap, kita sudah di luar kota." kata Ho Tong
lega. Baru saja selesai kata-katanya, tiba-tiba di
belakang mereka terdengar derap beberapa
ekor kuda. Ketika mereka menoleh, mereka
lihat lentera-lentera lampion bertangkai bambu
panjang berayun-ayun seperti serombongan
kunang-kunang, makin dekat.
Ho Tong dan Ibun Lai terkesiap, serempak
mereka melompat ke pinggir jalan dan
menenggelamkan diri ke tengah-tengah lautan
ilalang setinggi manusia itu. Sambil berjongkok
di tengah-tengah ilalang, mereka juga
menyiapkan tombak mereka untuk perlawanan
seandainya kepergok. Senjata rahasia pun
sudah dikeluarkan dari kantong.
Mereka mengintip hati-hati dari celah-celah
ilalang, dalam kabut mereka melihat ada lima
penunggang kuda berpakaian hitam dan
Mulut Macan 1 43 bersenjata. Mereka membawa lampion-lampion
bertangkai bambu untuk menerangi kegelapan,
merekalah anggota-anggota gerombolan penguasa baru di Seng-tin.
Terdengar salah seorang dari penung-gangpenunggang kuda itu menggerutu, "Dinginnya
seperti ini, sementara teman-teman yang lain
sedang menghangatkan diri dengan arak dan
perempuan-perempuan Seng-tin, kita malah
sedang keluyuran di udara terbuka seperti ini."
Di persembunyian, Ho Tong dan Ibun lai
terkesiap mendengarnya. Entah wanita-wanita
muda Seng-tin mana yang malam itu jadi
korban, karena di Seng-tin tidak ada rumah
bordil? Ho Tong dan Ibun Lai pun masingmasing punya sanak keluarga perempuanperempuan muda.
Tiba-tiba salah seorang penunggang kuda
itu menurunkan lampionnya sampai dekat ke
tanah, mengamat-amati tanah, rumput-rumput
ilalang yang terinjak, lalu berserulah ia, "He,
teman-teman, ada jejak baru di sini!"
Mulut Macan 1 44 Ada yang melompat turun dari kuda,
berjongkok memeriksa jejak itu, lalu menuding
ke arah tempat Ho Tong dan Ibun Lai
bersembunyi sambil berkata, "Ke sana!"
"Kurang ajar orang-orang Seng-tin ini,
sudah diberi peringatan, masih ada juga yang
coba-coba kabur..." geram seorang sambil
menghunus pedangnya lalu turun dari kuda.
"Temukan mereka!"
Di tempat sembunyi, Ho Tong dan Ibun Lai
mengeluh dalam hati. Mereka sadar, betapa
hijau mereka dalam pengalaman. Mereka
bersembunyi tetapi lupa menghilangkan jejak.
Tetapi semangat perlawanan menggelora di
hati kedua anak muda itu. Ho Tong
menggenggam lengan Ibun Lai dan berbisik di
kupingnya, "Kalau kita berdua mati, habislah
harapan rakyat Seng-tin. Karena itu, biar
kupancing perhatian bangsat-bangsat itu, dan
kau harus melanjutkan perjalanan ke Yu-pin."
Tetapi Ibun Lai menjawab tegas dengan
berbisik pula, "Tidak, kau saja yang pergi. Aku
yang memancing mereka."
Mulut Macan 1 45 Keduanya memang bersahabat akrab, dan
sekarang mereka berebutan untuk berkorban
demi sahabat, juga demi tetap terjaganya
harapan bagi rakyat Seng-tin.
Keduanya sama-sama ngotot, akhirnya
dengan berbisik-bisik mereka bersepakat untuk
mengundi siapa yang pergi dan siapa yang
berkorban. Mereka memainkan permainan
"gunting, batu, kertas" (semacam "sut" dengan
jari yang melambangkan gajah, semut dan
manusia). Akhirnya Ho Tonglah yang harus
melanjutkan perjalanan ke Yu-pin.
Mata Ho Tong berkaca-kaca karena tahu
inilah saatnya ia melihat sahabat karibnya
untuk terakhir kali dalam keadaan hidup. Ho
Tong bisa memastikan nasib apa yang bakal
menghadang sahabatnya ini.
Ho Tong memeluk Ibun Lai dan berbisik
sambil terisak, "Aku takkan melihatmu lagi."
Ibun Lai pun terharu, "Jangan keci! hati, asal
kelak kau lihat wajah orang-orang Seng-tin
kembali dalam kebebasan karunia alamnya, kau
sama dengan melihatku. Sekarang kita harus
Mulut Macan 1 46 bertindak. Tunggu sampai mereka terpancing
olehku, baru kau kabur secepatnya."
Habis berkata demikian, Ibun Lai pun tidak
membiarkan rasa haru berlarut-larut membuatnya lemah. Ia melepaskan pelukan Ho
Tong, Ibun Lai bergeser belasan langkah.
Sementara itu, anak buah gerombolan yang
empat orang itu semuanya sudah turun dari
kuda. Mereka maju berjajar, satu sama lain
berjarak kira-kira lima langkah, dengan lentera
di tangan kiri diangkat tinggi-tinggi, senjata di
tangan kanan digenggam erat, mata waspada
seakan ingin melihat ada apa di balik setiap
helai ilalang. Salah seorang anggota gerombolan tiba-tiba
mendapat gagasan, "Kenapa tidak kita bakar
saja ilalangnya? Ilalang ini cukup kering."
Temannya menyahut. "Dan kita ikut mati
terpanggang di sini, tolol?"
Saat itulah Ibun Lai tiba-tiba muncul dan
langsung tangan kanannya menghamburkan
belasan piau ke arah empat lawannya. Ia tidak
terlalu mahir melempar piau, tetapi Mulut Macan 1 47 lemparannya lumayan juga, apalagi dilakukan
secara mendadak dan dalam suasana malam
berkabut pula, maka terdengar dua diantara
anggota gerombolan itu mengaduh. Satu kena
pundaknya, yang lain kena pahanya.
Ibun Lai sengaja memperdengarkan suara
tertawa mengejek untuk menarik perhatian
lawan-lawannya, "He-he-he, bangsat-bangsat
rendah, kau boleh kenal hebatnya laki-laki
Seng-tin sekarang." Lalu Ibun Lai melompat ke depan, ketika
tangannya menabur lagi, kali ini bukan piau
melainkan tanah berpasir.
Sayang lawan-lawannya terlalu berpencar
dan taburan pasirnya tak mencapai mereka
berempat, hanya orang terdekatlah yang
mencaci-maki sambil menutup matanya.
Agaknya matanya kena. Lentera yang
dipegangnya jatuh dan membakar ilalang.
Tanpa beban pikiran akan mati hidupnya
sendiri, Ibun Lai mengamuk dengan tombaknya.
Ternyata pada awalnya ia berhasil juga
membuat keempat lawannya agak kelabakan,
Mulut Macan 1 48 apalagi karena di antara mereka ada yang sudah
terluka oleh piau dan ada yang kelilipan pasir
pula. Namun setelah berjalan beberapa gebrak,
anggota-anggota gerombolan yang lebih
berpengalaman itu dapat menyusun diri mereka
dalam satu kerja sama. Yang terluka tidak
tetganggu oleh luka mereka yang tidak
seberapa. Yang kelilipan cepat membersihkan
matanya, lalu ikut berkelahi.
Setelah keempat orang itu mampu
bertempur bersama dengan kompak, Ibun Lai
pun mengalami tekanan berat. Namun ditopang
semangat berkorbannya, perlawanannya tidak
mudah dihabisi. Sementara itu, Ho Tong merayap diam-diam
di balik ilalang, menjauhi tempat perkelahian.
Air matanya menetes, tetapi ia menguatkan hati.
Setelah puluhan langkah, barulah dia berlari
sekencang-kencangnya. Ibun Lai tidak tahu sudah sejauh mana Ho
Tong, karena cahaya api tak menjangkau
Mulut Macan 1 49 seluruh sudut padang ilalang itu. Ia melawan
saja mati-matian. Suatu kali, sambil meraung gusar Ibun Lai
menerjang maju ke depan, tombaknya
memainkan gerak tipu Ya-long-tiau-kan
(Serigala Liar Melompati Parit). Yang diincar
ialah seorang yang bersenjata golok, ujung
tombak Ibun Lai terarah ke perutnya.
Pemegang golok itu menangkiskan golok ke
samping, tahu-tahu kakinya menyepak ke depan
dengan cepat, mengenai paha Ibun Lai. Ibun Lai
sempoyongan, dan seorang lawan yang
bersenjata toya kayu hitam menggebuk ke arah
kepala Ibun Lai. Ibun Lai sempoyongan tetapi masih sempat
menunduk untuk menyelamatkan kepalanya.
Gebukan itu kena ke pundak, tetapi agaknya
dibiarkan saja oleh Ibun Lai yang sudah nekad.
Bahkan dengan gerakan tanpa jurus, tombaknya
ditikamkan sekena-kenanya ke arah Si
pemegang kayu hitam itu. Terjadilah "tukar-menukar"
antara keduanya. Pundak kanan Ibun Lai serasa remuk
Mulut Macan 1 50 Ibun Lai sempoyongan, dan seorang lawan yang
bersenjata toya kayu hitan menggebuk ke arah
kepala Ibun lai Mulut Macan 1 51 kena gebukan, tetapi ujung tombaknya amblas
terjepit tulang-tulang rusuk si anggota
gerombolan yang langsung terjengkang dengan
tombak tetap menancapi tubuhnya.
Ibun Lai tak bersenjata lagi, tetapi nampak
menyeringai puas, agaknya rela mati asalkan Ho
Tong dapat lolos. Lengan kanannya tak bisa
digerakkan lagi karena pundak kanannya
remuk, tetapi dengan tangan kiri ia mencabut
pisau yang diselipkan di sepatu. Pisau digerakgerakkan dengan kacau dan tanpa tenaga ke


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segala arah. Tiga anggota gerombolan yang tersisa itu
gusar. Geram salah seorang,
"Kau sudah sekarat, tikus kecil. Usahamu
untuk kabur dari Seng-tin sia-sia saja. Besok
mayatmu akan kami seret di sepanjang jalanan
di Seng-tin." Ibun Lai tmerasakan matanya kabur, dan
pisau di tangan kiri itu tak ada artinya sedikit
pun. Ia dihabisi oleh tiga orang lawannya yang
marah karena kehilangan seorang kawan pula.
Mulut Macan 1 52 Ketiga anggota gerombolan itu terengahengah menatap mayat Ibun Lai yang agak
hancur, kata salah seorang, "Kita seret mayat ini
di belakang kuda, besok pagi. Biar seisi kota
tahu akibatnya kalau membangkang."
Tetapi seorang anggota gerombolan yang
lain berkata, "Tadi rasanya ada dua jejak. Kita
baru temukan seorang."
Mereka menatap ke kegelapan di kejauhan,
"Agaknya yang seorang itu takkan terkejar.
Untuk menemukan satu orang di tempat seluas
ini, apalagi orang itu mengenal tempat ini sejak
kecil, ibarat usaha menemukan sebatang jarum
di dasar lautan." "Jadi?" "Kita laporkan kepada Ketua."
Demikianlah mereka kembali ke kota,
menemui Beng Hek-hou dan melaporkan apa
yang terjadi. Beng Hek-hou gusar mendengarnya. Ia
menunjuk ke mayat Ibun Lai dan memerintahkan, "Potong-potong mayat itu.
Mulut Macan 1 53 Sebarkan ke seluruh pelosok kota. Batok
kepalanya pancangkan di depan pasar!"
"Baik. Yang lari itu bagaimana?"
Beng Hek-hou tertawa dingin, "Besok pagi
dia akan kembali sendiri ke kota ini!"
Mendengar itu, anak buahnya tahu bahwa
pemimpinnya ini akan memakai ilmu gaibnya.
Malam itu Ek Yam-lam tidur dengan gelisah.
Apa yang terjadi di Seng-tin siang harinya
terlalu membekas di pikirannya, ditambah lagi
sedikit banyak ia kuatir juga nasib Ho Tong dan
Ibun Lai, meskipun kedua saudara seperguruannya itu menyatakan keyakinannya
untuk bisa lolos dari Seng-tin dengan selamat.
Tiap kali ia terpejam, bayangan-bayangan
buruk muncul di pelupuk matanya. Dalam
sepotong mimpinya ia bahkan melihat tubuh
Ibun Lai berlumuran darah dicabik-cabik
serigala, sedangkan Ho Tong berlari ketakutan
di tengah-tengah padang ilalang, dikejar
mahluk-mahluk terbang berwajah seram.
Karena tak bisa tidur, akhirnya Ek Yam-lam
duduk-duduk saja sambil memandangi nyala
Mulut Macan 1 54 pelita. Untung ia tinggal seorang diri di rumah
berdinding tanah liat dan beratap ijuk itu,
sehingga tak ada orang lain mengurusnya kapan
ia bangun atau tidur. Tetapi kalau sedang gelisah seperti itu,
rasanya ia membutuhkan teman juga. Apalagi
sebentar-sebentar tengkuknya terasa dingin
oleh perasaan seram yang entah dari mana
datangnya. Di kejauhan terdengar lolong anjing
liar mengalun panjang. "Mudah-mudahan mereka berdua selamat...." Menjelang dini hari, ia dapat juga tidur
pulas biarpun tidak lama.
Ia dibangunkan oleh cahaya fajar yang
menerobos jendela, juga oleh suara kambingkambingnya di kandang.
Dengan langkah terhuyung-huyung karena
masih agak mengantuk, ia melangkah ke sumur.
Ia menimba air lalu membasahi kepala dan
mukanya dengan air dingin sehingga jadi agak
segar. Mulut Macan 1 55 Namun ketika ia melangkah menuju
kandang kambing, tiba-tiba matanya me-.
nangkap adanya sesosok tubuh yang
berjongkok meringkuk di sudut halaman
belakang. Ek Yam-lam terkesiap, dalam
keremangan pagi buta ia tidak mengenali siapa
orang itu. Maka ia melangkah mendekati
dengan waspada, sambil bertanya, "He, siapa
itu?" Orang yang berjongkok itu mengangkat
wajahnya dari antara lutut-lututnya sambil
menyeringai lebar, bola matanya jela-latan ke
sana-sini. Ek Yam-lam kaget bukan main karena
orang itu adalah Ho Tong.
"Ho Tong...." Ho Tong menatap Ek Yam-lam lekat-lekat,
pertanyaannya pun ganjil, "He, siapa kau?
Bukankah rumah ini rumah Kakak Ek Yam-lam,
siapa kau, sehingga kau di rumah ini?"
Ek Yam-lam bingung, kenapa Ho Tong tidak
mengenalinya? Lagi pula, katanya mau pergi ke
Yu-pin bersama Ibun Lai, kok malah sepagi ini
Mulut Macan 1 56 sudah di Seng-tin kembali tanpa Ibun Lai? Di
mana Ibun Lai? Yang jelas, Ek Yam-lam takkan memperoleh
jawaban dari Ho Tong, sebab Ho Tong bicara
kacau. "Ho Tong, tidakkah kau kenali aku? Aku Ek
Yam-lam. Aku Kakak Lam-mu itu."
Ho Tong berdiri, menatap Ek Yam-lam agak
lama, lalu geleng-geleng kepala sambil berkata,
"Aku tidak mudah tertipu. Kau mahluk keparat,
sepanjang malam kau sudah coba menipuku
dengan menyamar sebagai guruku yang sudah
mati, menyamar sebagai Ibun Lai, dan sekarang
kau pura-pura jadi Ek Yam-lam. Tetapi aku tahu
kau adalah roh jahat itu."
Lalu Ho Tong mengeloyor pergi, meninggalkan Ek Yam-lam yang terlongonglongong.
Ek Yam-lam ingin menahan Ho Tong, tetapi
apa yang hendak ia katakan kepada Ho Tong
yang mendadak jadi aneh itu? Dalam
keremangan pagi masih sempat dilihatnya Ho
Tong menjauh, sambil bicara sendiri, kadangMulut Macan 1
57 kadang seperti marah-marah dan kadangkadang tertawa-tawa.
Akhirnya dengan perasaan pilu Ek Yam-lam
sampai pada suatu kesimpulan. Ho Tong telah
terganggu ingatannya, alias gila.
"Mungkinkah ini arti mimpiku semalam?"
Ek Yam-lam merenung. "Ho Tong dan Ibun Lai
mengalami suatu peristiwa yang mengguncang
jiwanya, sehingga Ho Tong jadi begitu dan entah
bagaimana dengan Ibun Lai? Padahal mereka
adalah anak-anak muda yang bernyali besar.
Tapi kalau sampai seguncang itu jiwanya,
pastilah peristiwanya terlalu hebat mungkin
juga terlalu aneh." Namun dalam pilunya mengingat nasib Ho
Tong, Ek Yam-lam tetap menyimpan suatu
harapan dalam hati, "Kalau hanya guncang
jiwanya, pasti akan berangsur-angsur sembuh,
apabila sudah tenang kembali."
Bagaimanapun gundahnya hati Ek Yam-lam
kali itu, ia tidak melupakan kewajibannya setiap
hari, memberi makan kambing-kambingnya,
menimba sumur. Kemudian setelah Mulut Macan 1 58 membersihkan diri dan sarapan pagi, ia
bermaksud menuju ke rumah almarhum
gurunya untuk membantu-bantu di sana.
Mungkin untuk melihat wajah gurunya untuk
terakhir kali, kalau peti jenazahnya belum
ditutup. Ketika melewati jalan-jalan kota Seng-tin
pagi itu, Ek Yam-lam merasakan suasana yang
berbeda. Biasanya, saat kota bermandi cahaya
matahari seperti saat itu, kota serasa hidup
dengan kegiatan penduduknya, terutama di
pasar dan sekitarnya. Kali ini penduduk nampak
sedikit yang ada di jalanan. Dan yang sedikit
itupun semuanya bermuka tegang, murung,
tergesa-gesa sampai tak ada tegur sapa satu
dengan yang Jain. Tegur sapa yang ramah yang
biasanya menghidupkan suasana kota, sekarang
tidak terdengar. Kalau melihat perbedaan
suasana Seng-tin sekarang dibandingkan
kemarin, baru terasa betapa besar nilai
kebebasan yang sudah hilang dari kota itu.
Sesuatu yang amat bernilai tetapi kurang dijaga
baik-baik karena terlalu santai, terlalu merasa
Mulut Macan 1 59 aman, menganggap itu sudah seharusnya ada
dan dengan sendirinya akan ada seterusnya.
Dan setelah hilang baru terasa.
Ek Yam-lam yang tengah berjalan gontai
melewati sebuah gang, perhatiannya tertarik ke
sebuah rumah yang pintunya tertutup rapat,
namun dari balik pintu itu terdengar suara
tangis beberapa perempuan tertahan-tahan.
Warga kota kecil Seng-tin mengenal satu
dengan yang lain, dan Ek Yam-lam pun kenal
siapa yang tinggal di rumah itu. Terdorong
hatinya, Ek Yam-lam berbelok memasuki
halaman rumah sederhana itu dan mengetuk
pintunya yang tertutup sambil memanggilmanggil, "Bibi Joan! Bibi Joan!"
Sesaat kemudian pintu terbuka dan seorang
perempuan setengah baya dengan mata
bengkak habis menangis muncul di pintu. "Alam, masuklah..." perempuan itu menepi dari
pintu. "Masuklah...."
"Tidak, Bibi, aku sedang ada keperluan lain.
Aku hanya kebetulan lewat dan mendengar ada
suara tangisan. Ada apa, Bibi?"
Mulut Macan 1 60 "Gerombolan orang-orang berbaju hitam itu
benar-benar biadab seperti setan. Semalam
mereka ambil puteriku A-kiam begitu saja, dan
paginya dikembalikan setelah semalaman
diperkosa bergantian entah oleh berapa
orang...." Bibi Joan menjelaskan sambil
menangis. "Untung kami berhasil mencegah Akiam bunuh diri, tetapi dia akan menanggung
cemoohan orang seumur hidupnya."
Darah Ek Yam-lam mendidih mendengarnya. Ia kenal keluarga miskin ini
hidup dari berjualan kue-kue, punya tiga anak
perempuan dan A-kiam yang kena musibah itu
adalah yang tertua. Kini beban penderitaan
keluarga itu bertambah setelah apa yang
dialami A-kiam. Kedua tangan Bibi Joan mencengkeram baju
Ek Yam-lam dan mengguncang-guncang tubuh
Ek Yam-lam yang kokoh berotot itu, wajahnya
yang basah air mata menengadah, menatap
wajah Ek Yam-lam sambil menuntut, "Kapan
penjahat-penjahat itu pergi dari sini? Dan
apakah laki-laki Seng-tin yang jumlahnya
Mulut Macan 1 61 ratusan tidak dapat mengusir mereka yang
hanya puluhan orang.? Terutama murid-murid


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

guru silat Ciu Koan, mana kegagahan kalian
membela kota ini?" Ek Yam-lam tak sanggup menatap mata
janda miskin itu. Tanpa sepatah kata pun ia
merenggutkan lengan-lengan kurus Si Janda
Miskin agar lepas dari baju Ek Yam-lam, lalu Ek
Yam-lam sendiri mengeloyor pergi, meninggalkan keluarga Bibi Joan dalam
kedukaannya. Dalam langkahnya, Ek Yam-lam melewati
beberapa rumah yang mengalami nasib sama
dengan keluarga Bibi Joan. Ada perempuan
muda anggota keluarga itu yang dicomot begitu
saja dari rumahnya untuk menghibur anggotaanggota gerombolan Beng Hek-hou, lalu
paginya dikembalikan. Ada perempuanperempuan muda yang cukup tabah menjalani
hari depan yang kelam dengan noda melekat di
nama mereka, tetapi ada satu orang dari sebuah
keluarga, yang tak tahan menanggung malu dan
menggantung diri. Mulut Macan 1 62 Ek Yam-lam yang niatnya semula hendak ke
rumah gurunya almarhum, sekarang malah
berjalan tanpa tujuan dengan lesu. Di pinggir
telinganya seakan terngiang terus tuntutan Bibi
Joan, "Mana kegagahan murid-murid guru silat
Ciu Koan dalam ?membela kota ini?"
Bersambung jilid II Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 6/08/2018 13 : 01 PM
Mulut Macan 1 63 Mulut Macan 2 1 JILID II * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 2 2 Mulut Macan 2 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid II E K YAM-LAM menarik napas, katanya dalam
hati untuk membela diri sendiri, "Bibi Joan
tidak mengerti bahwa menghadapi gerombolan
itu tidak cukup dengan otot dan senjata, karena
gerombolan itu punya kemampuan gaib untuk
menyerang jiwa manusia, bahkan membuatnya
gila seperti Ho Tong."
Hari itu suasana dukacita serta kemarahan
terpendam melingkupi kota Seng-tin. Yang
paling berduka tentunya adalah keluargakeluarga yang kena musibah. Yang perempuanperempuan mudanya diperkosa, gantung diri
atau keluarga Ho Tong yang tahu bahwa Ho
Tong sudah jadi orang gila yang keluyuran di
jalan-jalan sambil bicara sendiri, menangis
Mulut Macan 2 2 sendiri, tertawa sendiri, kadang-kadang
memaki-maki. Yang paling berduka adalah keluarga Ibun
Lai yang menemukan bagian-bagian tubuh Ibun
Lai tersebar di pelosok-pelosok kota, dan batok
kepalanya ditancapkan di depan pasar. Suatu
peringatan yang amat tegas dari pihak
gerombolan, agar jangan ada warga Seng-tin
yang melawan. Semangat perlawanan memang padam
dalam diri sebagian besar warga kota, tetapi
tetap ada segelintir warga kota yang
semangatnya membara terus.
Ketika malam tiba dan suasana seluruh kota
kecil sudah amat sepi seperti kota hantu, dan
derap kaki penunggang-penunggang kuda yang
berpatroli itu seperti bunyi utusan-utusan alam
maut yang menggedor-gedor jantung, maka di
rumah Ek Yam-lam tetap ada pertemuan.
Setelah Ibun Lai dipotong-potong dan Ho
Tong dibuat gila, mestinya tinggal tiga orang
murid guru silat Ciu Koan yang meneruskan
perlawanan diam-diam, yaitu Ek Yam-lam
Mulut Macan 2 3 sendiri sebagai pimpinan, lalu Giam Lok dan
Yao Kang-beng. Tetapi malam itu kelompok
perlawanan ketambahan satu orang, seorang
pemuda bernama Lui Kong-sim, calon suami
puteri Bibi Joan yang bernama A-kiam. Mudah
ditebak motivasi bergabungnya Lui Kong-sim ke
dalam kelompok itu, tentu berkenaan dengan
nasib calon isterinya, A-kiam. Mudah dilihat
dari wajah Lui Kong-sim yang keruh dengan
dendam terpancar di matanya.
"Kemarin malam A-kiam dan beberapa
temannya jadi korban, bahkan A-lian bunuh
diri." geram Lui Kong-sim, yang juga murid guru
silat Ciu Koan. "Malam ini entah siapa
perempuan-perempuan muda Seng-tin yang
jadi korban kebiadaban mereka, dan besok pagi
entah gadis mana yang akan membunuh diri
menyusul A-lian? Dan kita ini lelaki-lelaki
macam apa kalau berpangku tangan terus?"
Giam Lok menyabarkan saudara seperguruannya itu, "Tentu saja kita tidak
berdiam diri terus, Saudara Lui. Bukankah kita
berkumpul di sini dengan satu maksud,
Mulut Macan 2 4 sedangkan kita sebenarnya bisa enak-enak tidur
di rumah dan mempersetankan tuntutan
keadilan di hati kecil kita?"
"Kapan kita serbu gerombolan itu ? Mereka
bermarkas di rumah besar milik Paman Ma di
belakang rumah makannya Paman Ao."
"Kita berempat menyerbu ke sana?
Tidakkah itu seperti empat ekor laron
memasukkan diri ke dalam api?"
"Kita ajak seluruh warga Seng-tin, pasti
banyak yang mau!" Namun Giam Lok menggelengkan kepala,
"Seisi kota ini dicengkeram ketakutan. Sudah
bukan rahasia lagi bahwa pemimpin gerombolan itu adalah penyihir hebat. Ho Tong
yang sekarang berkeliaran tak waras itu
contohnya!" "Lalu kita berkumpul di sini untuk apa?
Sekedar berkeluh-kesah dan merenungi
kemalangan tanpa bertindak apa-apa?"
Agaknya Giam Lok dan Lui Kong-sim hampir
bertengkar, seandainya Ek Yam-lam tidak
cepat-cepat melerai kedua teman Mulut Macan 2 5 seperguruannya itu, "Kalian jangan bertengkar.
Kita memang tidak boleh bertindak membabibuta sebab itu sama dengan bunuh diri, namun
juga bukan berarti tidak bertindak apa-apa."
"Kakak Lam punya gagasan?"
Kata Ek Yam-iam. "Ternyata anggota
gerombolan itu bisa juga dibunuh. Buktinya, ada
satu dari mereka yang tidak kebal dari
tombaknya Ibun Lai. Kita tidak perlu menyerbu
markas mereka, tetapi kalau kita hadang salah
satu anggota gerombolan yang sedang
berpatroli, kita bunuh, mungkin semangat
perlawanan warga kota akan bangkit juga.
Biarpun mungkin keberanian karena ketakutan." "Keberanian karena ketakutan?"
"Ya, karena saking takutnya lalu jadi
berani." "Yang ini agaknya boleh dicoba, meskipun
jangan mengharap gerombolan itu akan angkat
kaki dengan cepat." Tetapi... kalau kematian anggota gerombolan itu membangkitkan kemarahan
Mulut Macan 2 6 pimpinan gerombolan, bagaimana? Dia penyihir
hebat, dia bisa menyihir kota ini sehingga
tertimpa malapetaka."
"Jangan kuatir...." kata Ek Yam-lam. "Tadi
waktu aku berpikir-pikir, tiba-kutemukan suatu
ajaran kuno orang-orang tua, katanya pengaruh
sihir jahat dapat dipunahkan dengan semacam
benda. "Benda apa?" "Darah hewan-hewan berbulu hitam. Anjing
hitam, kucing hitam, ayam hitam, burung hitam
dan sebagainya. Siramkan diam-diam ke tanah
sekitar tempat tinggal orang-orang jahat itu,
maka sihir jahatnya akan macet!"
"Kalau tidak mempan, bagaimana. Giam Lok
masih ragu. "Tidak ada usaha yang tanpa resiko. Kakak
Lok!" tukas Lui Kong-sim. "Mari kita jalankan
sekarang!" "Kita bagi tugas." kata Ek Yam-lam. "Aku,
Saudara Lui dan Saudara Yao akan menyergap
anggota gerombolan yang berpatroli, mudahmudahan kematian anggota gerombolan itu
Mulut Macan 2 7 akan membuka mata warga, bahwa mereka
bukan siluman-siluman tak terkalahkan
melainkan manusia-manusia biasa seperti kita,
sehingga keberanian warga kota bangkit!"
Giam Lok heran kenapa namanya tak
disebut, tanyanya, "Lalu aku, kenapa tidak
diikut-sertakan?" "Tugas Saudara Giam tidak kalah
pentingnya...." Ek Yam-lam berusaha tidak
meremehkan Giam Lok. "Kau kumpulkan darah
binatang-binatang berbulu hitam sebanyakbanyaknya. Kambing hitamku pun boleh kau
sembelih. Habis itu, siramkan darah itu ke
sekitar kediaman Beng Hek-hou. Kalau bisa,
sebelum fajar harus sudah selesai. Jangan
sampai ketahuan oleh mereka, paham?"
Giam Lok cuma mengangguk, lalu
menjalankan tugasnya. Sementara Ek Yam-lam
dan kedua kawannya pun keluar mencari
korban. * ** Mulut Macan 2 8 Maka esok harinya kota kecil itu kembali
gempar, karena ada mayat seorang anggota
gerombolan tergeletak di fengah jalan, di depan
pasar. Tempat di mana batok kepala Ibun Lai
terpancang kemarin. Orang-orang Seng-tin ketakutan, tak
sanggup mereka membayangkan bagaimana
kemarahan gerombolan itu kehilangan satu
anggotanya. Karena ketakutan itulah maka
seluruh isi kota tetap berada dalam rumah dan
menutup pintunya rapat-rapat. Siapa pun tidak
ingin "kena getah" dari matinya anggota
gerombolan itu. Begitulah, kalau kemarinnya sesepi-sepinya
jalanan di Seng-tin masih ada sedikit orang di
jalan, maka kali ini tidak satu pun orang Sengtin di luar rumah. Sampai ke gang-gang kecil tak
nampak ada orang satu pun. Kota itu seolah
kena wabah. Kemudian bumi seolah bergetar ketika Beng
Hek-hou sendiri bersama puluhan anak buanya
menunggang kuda menuju ke tempat


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tergeletaknya mayat anak buahnya itu. Jantung
Mulut Macan 2 9 segenap penduduk Seng-tin seperti digedorgedor oleh derap kaki kuda itu.
Beng Hek-hou menghentikan kudanya di
dekat mayat anak buahnya yang tergeletak itu,
wajahnya merah padam. Geramnya, "Tikustikus kota ini agaknya belum ikhlas aku
memerintah mereka. Kumpulkan semua warga
kota di tempat ini! Semua! Tak terkecuali!"
Anak buahnya segera berpencaran ke
segenap pelosok rumah. Menggedor dengan
kasar pintu demi pintu, meneriaki warga kota
agar berkumpul. Tetapi warga kota terlalu ketakutan untuk
mematuhi perintah itu. Mereka mendengar
gedoran pintu dan teriakan-teriakan para
bandit, tapi mereka tak mampu mengambil
keputusan. Mereka sadar, menentang perintah
gerombolan amatlah berbahaya, tetapi menuruti perintah juga tak kalah berbahayanya.
Pikiran para warga kota benar-benar buntu,
membeku oleh rasa takut yang amat hebat.
Bahkan ada yang mengutuk orang yang
membunuh anggota gerombolan itu, entah
Mulut Macan 2 10 siapa, menganggap pembunuh itu telah
menimbulkan kesulitan besar bagi seluruh
warga. Ketika anggota gerombolan sudah berkumpul di depan pasar, Beng Hek-hou
bertanya, "Mana tikus-tikus itu. Kenapa belum
ada yang terlihat batang hidungnya?"
Sahut Duan Le, orang nomor dua dalam
gerombolan itu, yang membunuh Ciu Koan,
"Kami sudah kelilingi kota kecil ini, kami sudah
menggedor tiap pintu, kami teriaki. Sebentar
lagi mereka akan berdatangan. Mereka
ketakutan, jadi agak lamban."
Namun setelah ditunggu sekian lama tak
satu orang pun muncul, Beng Hek-hou habis
sabarnya. Katanya sambil tertawa dingin.
"Tikus-tikus kota ini mengira mereka bisa
berbuat seenaknya terhadap kita. Bagus. Ini
memberi alasan kepadaku untuk lebih banyak
memamerkan ilmuku." Lalu Beng Hek-hou mengeluarkan sehelai
bendera hitam segitiga kecil, anak buahnya
sering mendengar Si Pemimpin menyebut
Mulut Macan 2 11 bendera itu sebagai Hong-hun-ki (Bendera
Awan dan Angin). Beberapa saat Beng Hek-hou
memejamkan matanya sambil berkomat-kamit
mulutnya, lalu bendera itu dikibar-kibarkan di
atas kepalanya sambil membentak garang.
"Datanglah!" Pagi itu cerah, langit berwarna biru jernih
dan awan yang ada tipis saja dengan pinggirnya
terguyur cahaya keemasan dari mentari pagi.
Namun setelah Beng Hek-hou menggoyangkan
bendera kecilnya, angin yang semula sepoisepoi tiba-tiba makin kencang dan makin
dingin, akhirnya menderu dahsyat sampai pasir
dan debu terangkat naik. Selain amat kencang,
juga amat dingin, dan kuda-kuda tunggangan
pun melonjak-lonjak dan meringkik-meringkik
gelisah, menyibukkan penunggangnya masingmasing.
Selain angin menakutkan yang secara
mendadak menghantam seluruh Seng-tin, langit
yang semua cerah pun tiba-tiba terselubung
awan hitam tebal dan rendah, sinar matahari
tertutup sama sekali. Seluruh warga kota sadar
Mulut Macan 2 12 bahwa angin badai itu bukan angin badai biasa,
sebab di tengah-tengah suara angin yang
menderu menakutkan itu sayup-sayup juga
terdengar suara bermacam-macam hewan.
Hewan-hewan tanpa wujud, juga suara
tambur semacam musik pengantar perang bagi
para perajurit, padahal tak ada orang yang
membunyikan tetabuhan macam itu.
Apalagi warga Seng-tin, sedang anak buah
Beng Hek-hou yang sudah terbiasa melihat Sang
Pemimpin mempraktekkan ilmu gaib itu pun
merasa ngeri juga. Beng Hek-houw memasukkan bendera
hitam ke bajunya, lalu mengeluarkan bendera
berwarna lima dengan gambar berbagai hewan
di permukaannya. Ada yang mewakili hewan
terbang, ada yang mewakili hewan darat, hewan
air, hewan di dalam tanah dan sebagainya.
Beng Hek-hou membaca mantera sejenak,
lalu mengayunkan bendera itu dari arah langit
ke bumi, sambil berkata, "Dengan bendera sakti
Ban-siu-ki (Selaksa Hewan) kuperintahkan
semua hewan di dalam rumah semua orang
Mulut Macan 2 13 Seng-tin untuk memaksa keluar rumah semua
manusia di dalamnya."
Pada salah satu rumah warga Seng-tin yang
agak berada, orang seisi rumah sedang
meringkuk ketakutan dalam rumah. Bukan saja
ketakutan akan gedoran pintu dan teriakan
bandit-bandit tadi, melainkan juga terhadap
angin dan cuaca gelap yang mendadak serta
aneh itu. Apalagi kemudian ada gemuruh
halilintar dan lolong serigala di kejauhan.
"Pemimpin gerombolan itu benar-benar
mempunyai ilmu siluman, tidak ada gunanya
menentangnya." keluh Si Kepala Rumah-tangga
yang bernama Ni Hoa-seng itu.
"... apalagi membuatnya gusar, meskipun
dengan alasan mengupayakan kebebasan kota
ini." Seluruh keluarganya berkumpul di ruangan
yang pengab karena tertutup rapat itu, dengan
wajah ketakutan. Puterinya yang baru berumur
sepuluh tahun memeluk erat-erat kucing
berbulu tebal kesayangannya.
Mulut Macan 2 14 Tetapi tiba-tiba kucing yang dipelihara sejak
kecil dan amat jinak itu mengeong dan hendak
meninggalkan pangkuan anak perempuan Ni
Hoa-seng itu. Si Anak Perempuan mempererat
pelukannya agar kucingnya tidak pergi, sambil
membujuk, "Jangan ke mana-mana, manis....
Di luar dugaan siapa pun bahwa kucing
meronta, mengeong ganas lalu melonjak sambil
mencakar Si Anak Perempuan sampai
lengannya berdarah. Anak perempuan itu tentu
saja menjerit kaget dan kucing pun lepas dari
pangkuannya. Ibunya langsung hendak memeriksa luka
puterinya, sementara orang lain di ruangan itu
hendak menangkap si kucing kesayangan
keluarga itu. Seluruh keluarga merasa kelakukan si
kucing masih kelakuan biasa, dan terlukanya Si
Anak Perempuan adalah ketidaksengajaan.
Tetapi ketika kucing itu melompat ke atas meja,
berdiri dengan punggung melengkung ke atas
dan ekor tegak dengan sekujur bulu-bulunya
tegak semua, sorot matanya tajam dan ganas
Mulut Macan 2 15 dan belum pernah sebelumnya seisi rumah
melihat si kucing manis dalam sikap seperti itu.
Dua anak lelaki Ni Hoa-seng mencoba
mendekati dan menjinakkannya sambil mulutnya berbunyi. "Pus... pus... pus sayang...."
Dan hasilnya adalah cakaran ganas yang
membuat punggung telapak tangan dari salah
satu anak lelaki itu tergores dalam. Anak itu
menjerit dan menangis, sehingga ibunya yang
sedang merawat kakak perempuannya itu jadi
kebingungan. Ni Hoa-seng samar-samar merasakan
adanya hubungan antara angin badai aneh yang
mengamuk di luaran dengan sikap si kucing
yang tidak biasanya itu. Terasa ada hawa aneh
di ruangan itu, hawa yang membuat tidak enak
hati. Tetapi dua anaknya sudah terluka oleh ulah
si kucing, dan ini cukup membuat Ni Hoa-seng
marah kepada si kucing, betapa pun sayangnya
seisi rumah kepada hewan itu. Ni Hoa-seng
menyambar sebatang sapu, lalu dengan gagang
sapu hendak dihantamnya si kucing di atas
Mulut Macan 2 16 meja, namun kucing itu mengeong dahsyat dan
lebih dulu menerkam Ni Hoa-seng. Kecepatan
dan kekuatannya di luar kewajaran, seandainya
Ni Hoa-seng dapat berpikir jernih pastilah akan
sadar bahwa kucing itu sudah ditunggangi
kekuatan berpribadi dari dunia lain.
Ayunan gagang sapu Ni Hoa-seng yang
bertubi-tubi itu tidak berhasil mengenai si
kucing, malah menghancurkan perabotan
rumah dalam ruang itu. Sementara si kucing
makin ganas dan menyerang siapa saja.
Ruangan itu jadi penuh pekik ketakutan dan
jerit tangis isteri serta ketiga anak Ni Hoa-seng
yang berlarian ke sama kemari di ruangan yang
porak-poranda itu. Ni Hoa-seng sendiri, setelah gagang sapunya
patah dan dia mendapat luka-luka berdarah,
dipojokkan ke suatu kesadaran bahwa yang
dihadapinya bukan lagi kucing biasa. Kuatir
akan keselamatan keluarganya, ia berteriak,
"Keluar semua dari ruangan ini!"
Isteri dan anak-anaknya berhamburan
keluar lewat pintu, ke ruang lain. Ni Hoa-seng
Mulut Macan 2 17 keluar paling belakangan untuk melindungi
keluarganya. Setelah mereka berada di ruangar lain,
mereka anggap urusannya sudah selesai, tak
terduga ternyata kucing kesurupan itu terus
mengejar. Di ruang lain itu, bahkan seekor
burung hias dalam kurungan tiba-tiba
mendobrak keluar dari kurungannya, suatu
kekuatan yang tidak masuk akal, lalu bersamasama si kucing mengejar Si Empunya Rumah
dan keluarganya. Ni Hoa-seng diuber-uber terus oleh hewanhewan peliharaannya, dikejar ruangan demi
ruangan, sampai keluar rumah, dan terus
digiring sampai ke hadapan Beng Hek-hou di
depan pasar! Mulanya Ni Hoa-seng dan keluarganya
menyangka bahwa hanya mereka yang
mengalami hal ganjil dan menakutkan dengan
hewan-hewan rumah, ternyata setelah mereka
di luar rumah, mereka baru tahu bahwa
tetangga-tetangga mereka pun mengalami
Mulut Macan 2 18 masalah serupa meskipun hewannya lain, tanpa
kecuali. Babi-babi keluar dari kandang dan
mengamuk, begitu pula ayam-ayam, sapi, kuda,
kambing, bahkan hewan yang sehari-harinya
lucu dan disenangi kanak-kanak seperti kelinci
pun mengamuk. Kera-kera merenggut lepas
rantainya. Apa yang pernah terjadi di rumah-rumah
milik Ao Khim, ketika semut semut menjadi
ganas dan membuat Ao Khim sampai meratap
minta dibunuh karena tidak tahan penderitaan,
kini terulang, dalam ukuran yang jauh lebih
besar. Sekarang bukan hanya di sebuah ruangan
rumah-rumah, melainkan di seluruh kota kecil
itu. Bukan hanya semut, tetapi bermacammacam binatang. Yang tidak punya hewan
peliharaan juga tidak selamat dari musibah itu,
mereka diamuk oleh hewan-hewan yang bukan
peliharaan seperti tikus-tikus yang mendadak
berbondong-bondong keluar dari lubanglubangnya atau selokan-selokan, dan burungburung di pepohonan. Dengan didalangi
Mulut Macan 2 19

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kekuatan gaib yang besar, seekor anak ayam
yang baru menetas pun berubah menjadi
monster pembawa bencana yang menakutkan.
Dan seluruh warga kota Seng-tin pun
tergiring oleh hewan-hewan itu untuk
berkumpul di depan Beng Hek-hou di pusat
kota. Mereka menggigil berdiri di udara terbuka
terhembus angin dingir yang didatangkan oleh
sihir Beng Hek hou itu, namun juga menggigil
karena gentar. Semua warga kota berhimpun di situ, tak
ada yang tertinggal satu pun, sampai bayi-bayi
yang masih menyusu juga. Di depan segenap warga kota, Beng Hek-hoa
didampingi penunggang-penunggang kuda yang
bersenjata menatap garang ke arah warga kota.
Katanya dingin. "Tikus-tikus yang malang,
berkumpulnya kalian di tempat ini membuktikan bahwa aku berkuasa atas mati
hidup kalian. Aku bahkan mampu mencabut
nyawa kalian melalui hewan peliharaan kalian
yang paling manis sekalipun, atau bahkan
melalui semut-semut yang masuk ke tubuh
Mulut Macan 2 20 kalian dan menggerogoti bagian dalam tubuh
kalian. Ada yang ingin mencoba?"
Ratusan warga yang berkumpul di jalan
besar di dekat pasar itu pun menunduk
semuanya. Dari kejauhan terdengar suara
nyanyian parau oleh Ho Tong si orang gila baru,
suatu bukti lain dari kekuasaan Beng Hek-hou
atas kota kecil itu. Di tengah bungkamnya sekalian warga kota,
Beng Hek-hou berkata pula dengan dingin,
"Semalam ada orang tolol yang melakukan
tindakan bodoh. Mereka membunuh salah
seorang anak buahku...." katanya sambil
menunjuk dengan cambuk kuda ke arah mayat
anggota gerombolan. "... dan ada yang menyiramkan darah hewan
di sekitar tempat kediamanku. He-he-he, siapa
pun pelakunya, aku yakin orang itu pastilah
orang tolol yang menyangka kekuatan gaibku
dapat dipunahkan dengan darah hewan-hewan
berbulu hitam seperti kata orang turuntemurun. He-he-he... ilmu gaib yang begitu
gampang dipunahkan dengan darah hewan
Mulut Macan 2 21 berbulu hitam adalah ilmu gaib kelas kambing,
dan ilmu gaibku bukan dari kelas yang
demikian. Kalian lihat sendiri pagi ini
kemampuan gaibku." Beng Hek-hou berhenti sebentar, lalu
melanjutkan dengan suara tinggi. "Dan
pelakunya harus mendapat hukuman! Dengarkan, tikus-tikus busuk, aku inginkan
orang yang sudah melakukan tindakan tolol
semalam. Kuberi batas waktu sampai
terbenamnya matahari nanti sore, kalau kalian
belum menyerahkan orang-orang itu, maka
setiap hari aku akan membunuh satu orang,
sampai kudapatkan orang itu!"
Penduduk kota menggigil gentar. Satusatunya orang yang bergembira secara diamdiam hanyalah Ou Sing, Si Pembuat Peti Mati
satu-satunya di Seng-tin. Sudah beberapa bulan
dagangannya sepi karena orang Seng-tin jarang
yang mati, tetapi hari-hari belakangan ini
dagangannya agak laris dengan matinya guru
silat Ciu Koan, lalu Ibun Lai, lalu gadis yang
menggantung diri sehabis dinodai gerombolan.
Mulut Macan 2 22 Sekarang dengan pengumuman Beng Hek-hou
itu, Ou Sing boleh berharap bahwa paling tidak
setiap hari peti matinya akan laku satu biji. Ia
berharap agar si warga kota yang membunuh
anggota gerombolan itu jangan cepat-cepat
tertangkap. Sudah tentu harapan Ou Sing itu hanya
disimpan dalam hati, tidak ditampilkan terangterangan.
Sementara itu, Beng Hek-hou dan anak
buahnya kemudian berderap kembali ke
markasnya di pinggiran kota Seng-tin.
Ek Yam-lam, Giam Lok, Lui Kong-sim serta
Yao Kang-beng, yang semalam melakukan
"tindakan tolol" yang menggusarkan Beng Hekhou itu, ada di tengah-tengah warga kota yang
mendengar Ultimatum Beng Hek-hou itu. Ketika
semua bubaran, mereka berkumpul di rumah
Ek Yam-lam. Sepanjang jalan, mereka menjumpai banyak
mata warga kota menatap curiga ke arah
mereka berempat, rupanya warga kota banyak
yang sudah menduga bahwa keempat pemuda
Mulut Macan 2 23 murid almarhum Ciu Koan inilah yang semalam
melakukannya. Apalagi di antara warga kota
ada yang semalam dimintai hewan berbulu
hitam oleh Giam Lok, katanya untuk disembelih
dan diambil darahnya. Meski banyak warga kota sudah menduga
perbuatan mereka berempat, tetapi kebanyakan
warga kota masih sungkan kalau menunjukkan
mereka berempat kepada gerombolan. Hati
kecil mereka melarang, sesama warga kota yang
bertahun-tahun hidup akrab dan saling
memperhatikan seperti sebuah keluarga besar,
kok tiba-tiba saling mengkhianati hanya karena
gertakan orang luar? Tetapi sebagian warga kota amat
menguatirkan ancaman Beng Hek-hou tentang
"satu hari membunuh satu warga kota" itu.
Dan orang yang kuatir ini pun berusaha
mencari orang yang sepaham untuk melaksanakan niatnya. "Gara-gara perbuatan beberapa orang,
seluruh warga kota kena getahnya." kata orang
itu kepada warga kota lainnya. "Kalau orangMulut Macan 2
24 orang yang menentang gerombolan itu tidak
diketemukan, salah satu warga kota yang tidak
bersalah akan menjadi korban saat matahari
terbenam nanti. Mungkin kau, mungkin aku,
mungkin salah seorang yang kita kasihi."
Yang diajak bicara termangu-mangu, "Habis
bagaimana? Kita tidak tahu siapa yang
melakukannya semalam."
"Kalau tahu, bagaimana? Kau bersedia
bertindak bersama aku dan bersama beberapa
teman-teman sepaham lainnya, untuk mencegah jatuhnya korban tal berdosa di
antara warga kota?" "Kau tahu?" "Aku menduga adalah empat murid guru
kita yang belakangan hari ini nampak berkasakkusuk. Ek Yam-lam, Gian Lok, Lui Kong-sim dan
Yao Kang-beng." Kedua orang yang sedang berbicara itu
kebetulan adalah murid-murid mendiang Ciu
Koan juga. Yang diajak bicara membelalakkan matanya,
"Lalu, apakah kita harus menyerahkan saudaraMulut Macan 2
25 saudara seperguruan kita sendiri ke tangan
gerombolan? Apakah kita tega?"
"Saudara seperguruan ya saudara seperguruan, dan hatiku pun sebetulnya tidak
tega." sahut yang punya gagasan sambil
menghindari tatapan tajam dari lawan
bicaranya. "... tapi apakah seluruh warga kota harus
menderita gara-gara ulah mereka berempat?
Coba renungkan." Yang diajak bicara pun merenung ingat
bahwa ia pun punya sanak keluarg. yang ada
kemungkinan menjadi korban ultimatum Beng
Hek-hou tadi, sehingga akhirnya dia pun setuju,
"Jadi, demi menyelamatkan seluruh warga kota,
kita harus menangkap keempat teman kita itu
untuk diserahkan kepada gerombolan?"
"Apa boleh buat."
"Apakah tidak ada jalan lain?"
"Kalau ada jalan lain, masa aku pilih yang
paling tidak enak ini? Kaukira aku memilih ini
dengan senang hati? Kaukira aku tidak memiliki
rasa persahabatan dengan mereka berempat?"
Mulut Macan 2 26 "Apakah sudah kaupertimbangkan baikbaik kemungkinan lain, misalnya bergabung
dengan mereka sekalian untuk memperkuat
kelompok perlawanan mereka?"
Si Pencetus Gagasan geleng-geleng kepala.
"Bukankah baru saja kita lihat dengan mata
kepala kita sendiri betapa hebat sihir Si Kepala
Gerombolan? Lihat, tubuhku masih sakit karena
dipatuki ayam-ayam peliharaanku sendiri.
Kekuatan macam itu mana mungkin kita lawan
hanya dengan otot dan tombak kita, biarpun
seandainya seluruh lelaki di Seng-tin ini bangkit
melawan serempak?" Yang diajak bicara pun akhirnya mengangguk-angguk setuju. "Kalau begitu, kita
perlu tambahan tenaga untuk menangkap Ek
Yam-lam berempat." "Ya, kumpulkan orang-orang yang sepaham
di rumahku, nanti tepat tengah hari."
Mereka pun berpisah. Saat itu langit di atas kota Seng-tin sudah
cerah kembali, awan gelap dan angin dingin
Mulut Macan 2 27 yang menakutkan tadi sudah sirna. Binatangbinatang pun kembali normal.
Sementara itu, Ek Yam-lam berempat
tengah berunding di kediaman Ek Yam-lam.
"Kalau matahari terbenam nanti dan kita
belum menyerah, akan ada warga kota yang
mati...." kata Giam Lok menyesal. "Ini gara-gara
tindakan kita yang kurang pikir, hanya
menuruti hati yang panas."
Namun Lui Kong-sim berpendapat lain.
"Pakailah kepala dingin. Mari kita berhitung,
satu hari satu warga kota mati, dan satu hari
satu gerombolan kita bunuh. Satu di pihak kita,
satu di pihak sana. Tidak sampai dua bulan
seluruh gerombolan akan habis, sedang kota
Seng-tin akan kehilangan puluhan warganya
tetapi kita tetap banyak."
Giam Lok geleng-geleng kepala. "Astaga,
Saudara Lui, kau ini sedang menghitung-hitung
nyawa manusia atau bukan? Kenapa kauanggap
nyawa-nyawa warga Seng-tin hanya sebagai
angka-angka mati yang tiada harganya?
Mulut Macan 2 28 Bagaimana kalau yang mati itu salah seorang
anggota keluargamu?"
Namun Yao Kang-beng membela Lui Kongsim. "Perhitungan Kakak Sim memang
kedengarannya agak kejam, tetapi rasanya
itulah satu-satunya jalan untuk membebaskan
kembali kota kita. Warga juga harus berani
berkorban, kalau mengingini kebebasan."
Hampir mereka bertengkar, ketika tiba-tiba
pintu depan diketuk. Keempat murid Ciu Koan
itu serempak bungkam seperti jangkerik yang
diinjak sarangnya. Mereka bertukar pandangan
dengan wajah tegang, sampai ketukan itu
terulang lagi. "Tenanglah." kata Ek Yam-lam kepacUi
ketiga temannya sambil mengangkat kedua
tangannya. "Yang datang ini bukan gerombolan.


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau gerombolan pastilah main dobrak begitu
saja. Biar kutemui."
Lalu bangkitlah Ek Yam-lam membukakan
pintu. Yang di depan pintu ternyata Ou Sing si
tukang peti mati. Mulut Macan 2 29 "Lho, Paman Ou..." sapa Ek Yam-lam.
"Paman salah alamat datang kemari, tidak ada
yang pesan peti mati di rumah ini kok."
Ou Sing menyelinap masuk tanpa disuruh,
sambil mendorong tubuh Ek Yam-lam lalu
menutup pintu, katanya dengan wajah tegang
sambil memandang Ek Yam-lam berempat.
"Biarpun sekarang tidak ada yang mati, tapi
kalau kalian berempat tidak cepat-cepat kabur
maka sebentar lagi di sini akan ada empat
mayat. Yaitu mayat kalian!"
"Lho, kenapa? Anggota-anggota gerombolan
sedang ke sini?" "Bukan! Tetapi warga kota sendiri yang
hendak menangkap kalian dan menyerahkan
kalian kepada bandit-bandit itu! Dipimpin Pang
Se-bun!" "Kakak Bun yang memimpinnya?" Ek Yamlam hampir tak percaya. Pang Se-bun adalah
murid Ciu Koan yang sudah agak tua, Ek Yamlam menghormatinya, sekarang tahu-tahu ia
dengar Pang Se-bun memimpin sekelompok
Mulut Macan 2 30 warga kota hendak menangkap Ek Yam-lam
berempat. Sementara Lui Kong-sim sudah menggebrak
meja dan berkata dengan sengit, "Kalau sudah
dalam situasi sesulit ini, baru ketahuan siapa
yang berwatak pengkhianat dan siapa yang
satria sejati. Hem, Pang Se-bun, jadi sedemikian
rendah moralmu sebenarnya."
Giam Lok menyahut, "Jangan gegabah
menilai orang lain buruk dan diri sendiri benar,
Adik Sim. Kakak Bun bertindak begini pasti ada
alasan kuatnya." "Alasan kuat apa? Cari muka kepada banditbandit itu?"
"Belum tentu seburuk itu pamrih Kakak
Bun. Mungkin untuk menyelamatkan warga
kota dari ultimatum Si Kepala Bandit."
"Paman Ou, bagaimana Paman tahu?"
"Tentu saja tahu, karena Pang Se-bun juga
mengajak aku, akan tetapi aku mana sudi
mengkhianati sesama warga kota yang sudah
seperti keluarga ini demi menyenangkan Si
Kepala Bandit? Kutolak ajakan Pang Se-bun!
Mulut Macan 2 31 Alasanku, karena perlawanan kalian bertujuan
mulia, membebaskan kota kita tercinta ini.
Tujuan kalian harus didukung setiap warga
kota!" "Paman Cu ini sudah tua, tak terduga
bernyali sebesar ini dan bersemangat segagah
ini!" Keempat anak muda itu tidak tahu pamrih
Ou Sing yang sebenarnya, yakni agar Ek Yamlam dan kawan-kawannya jangan cepat-cepat
tertangkap, supaya tercapailah target dagang
Ou Sing yaitu : satu peti mati terjual setiap
harinya. Ek Yam-lam kemudian menanyai ketiga
temannya, "Bagaimana sikap kita menghadapi
ini?" Dengan hati panas dan mengepalkan tinju,
Lui Kong-sim menjawab. "Menghadapi orangorang yang tidak iagi mengenal apa artinya
setiakawan, buat apa sungkan-sungkan? Kita
hadapi mereka!" "Tetapi kita hanya berempat, dan mereka
banyak." Mulut Macan 2 32 "Kakak Giam, kau takut mati?"
Sahut Giam Lok tajam, "Mati konyol tanpa
arti apa-apa, hanya karena sikap sok berani dan
sok jagoan, itu aku benar-benar takut."
Ek Yam-lam yang paling senior di tempat
itu, lalu memutuskan. "Kita hindari mati konyol
tanpa arti. Kita hindari mereka."
"Ke mana?" "Di luar kota banyak tempat sembunyi yang
baik. Ada hutan, ada bukit, ada danau kecil....
gerombolan bandit tak mudah menemukan kita.
Kita harus tetap hidup untuk meneruskan
perlawanan." Giam Lok menarik napas. "Dan penduduk
kota yang menanggung akibat dari perlawanan
kita itu." "Saudara Giam, jadi maumu bagaimana?"
"Aku... ingin membiarkan diriku ditangkap
oleh Pang Se-bun dan rombongannya, lalu
diserahkan kepada gerombolan. Entah hendak
diapakan, terserah. Yang penting gerombolan
tidak lagi membunuhi warga kota."
Mulut Macan 2 33 Si Tukang Peti Mati Ou Sing terkesiap
mendengar niat Giam Lok yang bisa
menggagalkan "rencana pemasaran"nya. Ia lalu
menakut-nakuti Giam Lok, "kalau dibunuh
langsung, masih tidak menderita. Tetapi kalau
disiksa dulu, bagaimana?"
"Apa boleh buat."
"Kalau dibuat lupa diri sendiri seperti Ho
Tong, bagaimana?" Agak ragu sejenak, tetapi Giam Lok
menjawab juga, "Kalau memang warga kota
mendapat keuntungan, biarlah."
Lui Kong-sim mengejek. "Yang terang,
warga kota takkan mendapat keringanan apaapa dari sikap menyerahmu itu, Kakak Lok.
Sebab meskipun kau menyerah, aku tidak sudi
menyerah. Aku tetap akan membunuh penjahat
lagi nanti malam." "Aku juga!" Yao Kang-beng mendukung Lui
Kong-sim. "Berarti kalian berdua menyebabkan
gerombolan tetap marah kepada warga kota!"
suara Giam Lok meninggi karena jengkelnya.
Mulut Macan 2 34 "Ya! Warga kota akan menderita, tetapi ada
hasilnya! Dalam waktu tertentu mereka akan
bebas!" Giam Lok menatap Ek Yam-lam. "Bagaimana, Kakak Lam?"
Ek Yam-lam memutuskan. "Penyerahan
dirimu akan percuma, Saudara Giam. Lebih baik
kau ikut menyingkir bersama kami."
Ou Sing mendesak. "Kalau hendak
menyingkir, cepatlah. Sekarang sudah hampir
tengah hari!" Mereka berempat segera meninggalkan
rumah Ek Yam-lam itu, menuju ke luar kota
Seng-tin, setelah mengucapkan terima kasih
kepada Ou Sing yang sudah "menolong" mereka.
Ou Sing menatap kepergian keempat murid
Ciu Koan itu sampai jauh, lalu tertawa terkekehkekeh, "He-he-he, satu peti terjual setiap
hatinya. Siapa tidak bakal cepat kaya?"
Kemudian Ou Sing sendiri pun bergegas
menyingkir dari rumah Ek Yam-lam yang
dikosongkan itu, agar jangan sampai
Mulut Macan 2 35 berpapasan dengan Pang Se-bun dan
rombongannya. Ketika Pang Se-bun dan rombongannya tiba
dan mereka tak menemukan siapa pun untuk
ditangkap, Pang Se-bun termangu-mangu. "Pasti
ada yang memberitahu mereka, dan mereka
kabur duluan." "Berarti... saat matahari terbenam nanti,
gerombolan akan membunuh satu orang untuk
membuktikan ancaman mereka."
Pang Se-bun dan teman-temannya pun
bubar. Dan siang itu adalah saat-saat yang amat
menegangkan bagi seluruh warga Seng-tin,
menunggu matahari terbenam, menunggu salah
seorang warga akan ditunjuk untuk menjadi
"korban hari pertama".
Matahari pun lingsir, derap kuda para
bandit menggema di seluruh kota, meneriaki
agar seluruh warga kota berkumpul di lapangan
di depan pasar. Belajar dari pengalaman tadi pagi, ketika
diamuk hewan-hewan, kali ini seluruh warga
Mulut Macan 2 36 kota berbondong-bondong menuruti seruan itu.
Sambil menyadari bahwa satu dari mereka,
entah siapa, melakukannya sebagai perjalanan
yang terakhir. Di atas kudanya, dengan mantel hitam yang
berkibar tertiup angin dari padang ilalang, Beng
Hek-hou Nampak seperti utusan alam maut
yang sedang menjalankan tugasnya mencabuti
nyawa ! manusia-manusia di bumi.
"Bagaimana?" serunya."Aku sudah memberi
waktu satu hari ini kepada kalian, dan apakah
kalian sudah bisa menyerahkan pengacaupengacau itu?"
Melihat seluruh warga kota yang menunduk
bungkam sehingga menimbulkan kesunyian
yang menekan jiwa, Beng Hek-hou bisa
menerka bahwa warga kota belum akan
menyerahkan "pengacau-pengacau" itu.
Beng Hek-hou tertawa dingin, suaranya
kemudian tidak bernada kemarahan, melainkan
dengan nada yang amat pasti dan tak terbantah.
"Kalian harus bekerja lebih keras besok pagi,
untuk menyerahkan pembunuh anak buahku
Mulut Macan 2 37 itu. Tetapi aku harus menepati kata-kataku.
Satu orang dari kalian harus mati sore ini."
Seluruh warga kota membeku ketakutan di
tempatnya masing-masing. Sementara Beng Hek-hou mengeluarkan
sekeping mata uang, katanya, "Aku adalah orang
yang adil, aku tidak mau main tunjuk siapa yang
harus mati, tetepi dengan undian. Peluang
kalian untuk mati sama rata besarnya. Salah
seorang anak buahku akan melemparkan uang
ini dengan mata tertutup, siapa yang kejatuhan
mata uang ini, dialah yang harus mati hari ini."
Membicarakan orang yang hendak dibunuh,
nada Beng Hek-hou kalem saja, sedangkan anak
buahnya pun banyak yang senyum-senyum.
Beng Hek-hou menyerahkan mata uang itu
kepada seorang anak buahnya, lalu anak
buahnya melempar mata uang itu ke udara
sambil memejamkan matanya.
Orang-orang tidak berani melihat ke mana
jatuhnya mata uang itu, namun kemudian
terdengar lolongan pilu dari Ou Sing si tukang
Mulut Macan 2 38 peti mati, "Tidak! Tidak! Jangan aku! Jangan
aku!" Karena "mata uang" itu jatuh ke atas diri Ou
Sing. Orang-orang lainnya lalu bubar ketakutan,
meninggalkan Ou Sing yang berlutut di tanah
sambil meratap-ratap sekeras-kerasnya.
Beng Hek-hou tersenyum dingin, "Nasibmu
buruk, Pak Tua." "Jangan aku, kumohon jangan aku!"
"Kenapa harus bukan kau?"
"Karena akulah satu-satunya orang yang
bisa membuat peti mati di Seng-tin ini! Kalau
aku mati, mayat-mayat dikubur dengan apa?"
Beng Hek-hou nampak senang sekali
melihat dan mendengar ratapan Ou Sing. Dalam
keadaan seperti itu, terasa benar nikmatnya
menjadi orang yang berkuasa atas mati
hidupnya orang lain. "Nasibmu sudah ditentukan, Pak Tua. Anakanak, bunuh dia!"
Mulut Macan 2 39 "Tunggu! Tunggu! Jangan! Kuberitahukan
nama-nama orang-orang yang membunuh anak
buah Tuan kemarin malam!"
Golok salah seorang bandit yang hampir


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

diayunkan ke tengkuk Ou Sing, tertahan
geraknya di udara ketika Beng Hek-hou
mengisyaratkan penundaan.
"Pak Tua, kau tahu nama mereka?"
"Ya!" sahut Ou Sing cepat-cepat, kuatir
kepalanya keburu protol. Demi hidupnya
sendiri, dia pun tidak segan-segan mengorbankan siapa saja. "Mereka adalah
empat orang murid guru silat Ciu Koan. Nama
mereka Ek Yam-lam, Giam Lok, Lui Kong-sim
dan Yao Kang-beng!" "Kau ini bikin repot saja, Pak Tua. Kenapa
tidak kaukatakan ketika orang-orang masih
berkumpul di sini tadi? Jadi bisa kami tangkap
mereka?" "Mereka sudah tidak di kota ini! Mereka
sudah kabur keluar kota!"
"Terima kasih atas keteranganmu, Pak Tua."
Mulut Macan 2 40 Ou Sing tersenyum mendengar kata-kata
bernada ramah itu, karena menyangka dirinya
akan dibebaskan dari kematian. Dan ketika
golok Si Anak Buah Gerombolan menimpa
tengkuknya, setidaknya wajah Ou Sing adalah
wajah yang tersenyum. Sementara Beng Hek-hou balik ke
markasnya diiringi anak buahnya, tetapi sambil
berkata perlahan, "Kalau keempat pengacau itu
sudah diketahui namanya, tidak sulit untuk
menyantet mereka, di mana pun mereka berada
sekarang." * ** Ek Yam-lam berempat bersembunyi di
sebuah bukit di seberang telaga kecil di sebelah
barat Seng-tin. Malam itu, mereka duduk
mengelilingi perapian dengan perut kenyang
sehabis menikmati makan malam berupa
kentang liar yang dibakar, serta beberapa
potong daging binatang buruan. Badan juga
terasa agak segar setelah mandi di tepi telaga.
Namun pikiran merekalah yang gelisah,
Mulut Macan 2 41 memikirkan kota Seng-tin yang mereka
tinggalkan. "Sore ini, entah siapa yang menjadi
korban?" Giam Lok bergumam sendiri tanpa
mengharapkan jawaban dari ketiga temannya.
Ek Yam-lam juga termenung saja, membisu.
Ia agak mencemaskan puteri gurunya, Ciu Bianli. Gadis itu sedang berduka karena kematian
ayahnya, mudah-mudahan tidak bertambah
berat beban pikirannya. Sementara Lui Kong-sim yang di-mabuk
dendam karena pacarnya, A-kiam, dinodai oleh
para bandit, terus saja menatap ke kota Seng-tin
di kejauhan, seolah-olah matanya dapat
menembus gelap malam berkabut yang sejauh
itu. Beberapa saat keadaannya sunyi, sampai
terdengar Lui Kong-sim tiba-tiba bertanya,
"Kakak Lam, malam ini kita masuk kota atau
tidak?" Ek Yam-lam ingin tahu juga keadaan kota,
sahutnya, "Ya, tunggu setelah malam agak larut
sebentar lagi. Aku ingin Mulut Macan 2 42 tahu siapa yang mati sore ini."
"...dan kita juga harus membunuh
setidaknya satu bandit malam ini, sesuai
rencana kita!" sambung Lui Kong-sim.
"Rencanamu bukan rencana kita...." Giam
Lok meralat ucapan Lui Kong-sim. "Rencana
yang akan mengakibatkan gerombolan semakin
marah dan warga kota jsemakin ditindas."
"Baik! Memang rencanaku, karena itu
sekarang aku yang akan melakukannya!" Lui
Kong-sim jengkel dan bangkit sambil
menyambar tombaknya, siap berangkat.
Yao Kang-beng yang selalu sependapat
dengan kakak seperguruannya yang satu ini
pun sudah siap-siap untuk berangkat.
Namun sebelum Lui Kong-sim melangkah,
tiba-tiba lututnya lemas dan ia jatuh berlutut,
melepaskan tombaknya jatuh ke tanah lalu
kedua tangannya memegangi kepala.
Ek Yam-lam dan lain-lainnya kaget, "Ada
apa, Adik Sim?" "Kepalaku mendadak sakit sekali...." keluh
Lui Kong-sim yang sekarang bahkan tidak tahan
Mulut Macan 2 43 sakitnya dan menggeloser-geloser di tanah
sambil memegangi kepala. Teman-temannya heran. Mereka mengenal
Lui Kong-sim cukup lama, dan tahu bahwa
pemuda itu bertubuh sehat, tidak pernah sakit
berat, dan tiba-tiba sekarang mereka melihat
Lui Kong-sim semenderita itu. Teman-temannya
juga bingung karena dalam pelarian mereka,
mereka tidak berbekal obat-obatan, sedang
dalam soal pengobatan mereka juga tidak tahumenahu.
Selagi ketiga orang itu bingung, tiba-tiba
Yao Kang-beng juga roboh, memegangi
kepalanya dan menyusul mengalami seperti Lui
Kong-sim. Berturut-turut Ek Yam-lam dan Giam
Lok juga mengalami hal yang sama. Keempatnya
bergelimpangan di tanah, di sekitar perapian,
berguling-guling sambil memegangi kepala
mereka yang seolah-olah ditusuk-tusuk ribuan
jarum di dalamnya. Tak tahan lagi mereka
melolong-lolong kesakitan di tengah-tengah
padang yang sunyi itu. Mulut Macan 2 44 Di tepi danau memang ada tabib yang hidup
menyendiri dikelilingi kebun tanaman-tanaman
obatnya, namanya Tabib Kian, tetapi jaraknya
terlalu jauh dari tempat Ek Yam-lam berempat,
tak mungkin diteriaki. Sedang untuk berjalan ke
tempat tabib itu juga tak ada tenaga lagi.
Dan seandainya mereka berempat masih
punya kekuatan untuk berjalan ke sana, belum
tentu Tabib Kian bisa mengobatinya, sebab
tabib itu hanya mahir penyakit-penyakit
alamiah, yang bisa diobati dengan tumbuhtumbuhan berkhasiat, sedangkan yang diderita
oleh keempat pemuda murid Ciu Koan itu tidak
bersumber dari penyebab yang alamiah.
Penyebabnya ialah Beng Hek-hou yang
sedang duduk di dalam kamar semedinya yang
gelap, hanya diterangi beberapa batang lilin di
sekitar tubuhnya. Di depannya ada empat buah
boneka lilin yang panjangnya tak lebih dari
sejengkal. Masing-masing boneka itu ditulis
nama Ek Yam-lam, Giam Lok, Lui Kong-sim dan
Yao Kang-beng seperti yang diberitahukan oleh
Ou Sing sebelum matinya tadi.
Mulut Macan 2 45 Sambil menyeringai ganas, Beng Hek-hou
menusuk-nusukkan belasan jarum ke kepala
boneka-boneka bernama itu.
Dan akibatnya, jauh di tengah padang
belantara sana, Ek Yam-lam berempat pun
semakin gulung-koming dengan sakit kepalanya
yang menghebat. Rencana Beng Hek-hou ialah
menyiksa keempat pemuda itu semalammalaman. Pertama dengan sakit kepala, lalu
"babak kedua" nya nanti dengan rasa ketakutan
yang menghebat. "Babak ke tiga"nya dengan
pandangan-pandangan palsu dan penglihatanpenglihatan semu, dan esoknya Beng Hek-hou
yakin bahwa keempat pemuda itu akan tiba
kembali di Seng-tin, bergelandangan sebagai
orang hilang ingatan seperti Ho Tong.
Tetapi "babak pertama" pun belum selesai,
rencana Beng Hek-hou sudah terhambat.
Di tempat Ek Yam-lam berempat tersiksa
itu, tiba-tiba muncul seorang lelaki setengah
abad berpakaian serba putih berlapis jubah
putih sampai ke lutut, sepatunya juga putih,
Mulut Macan 2 46 pedang yang dibawanya juga bersarung putih
dan ronce-roncenya berwarna putih pula.
Orang ini mengerutkan alisnya menyaksikan penderitaan Ek Yam-lam berempat, firasatnya yang tajam langsung bisa
merasakan hawa jahat di tempat itu.
Lelaki setengah baya kemudian duduk
bersila, mengheningkan cipta, mulutnya
bergerak-gerak perlahan mengucapkan sesuatu
yang tak terdengar. Meskipun ia hanya duduk
saja, namun agaknya ia mengeluarkan banyak
energi sehingga jidatnya nampak berkeringat.
Sementara Beng Hek-hou di ruang
semedinya di Seng-tin, tiba-tiba merasakan
serangan gaibnya terhalang. Ketika ia hendak
menusukkan jarum ke sekian kalinya ke boneka
yang bertuliskan nama empat sasarannya, tibatiba tangannya gemetar, makin lama makin
hebat. Ketika Beng Hek-hou memaksa diri
untuk menusukkan jarum itu, malah ujung
jarum itu seolah terpental balik dan menusuk
tangannya sendiri. Mulut Macan 2 47 Beng Hek - hou berdesis kaget, sekaligus
kesakitan juga. Menyusul amarahnya pun
bangkit karena tahu bahwa ia sudah ketemu
tandingan. Pertempuran yang terjadi kemudian
adalah pertempuran jarak jauh antara dua
pakar ilmu gaib. "Siapa pun kau, kau mau menjajal
kemampuan Pangeran Macan Hitam dari
Pegunungan Ki-lian-san ini... baik!" geram Beng
Hek-hou sambil mencopot ikat kepalanya dan
mengurai rambutnya. "Kau akan rasakan
ilmuku yang lebih tinggi."
Lalu dalam ruangan gelapnya yang hanya
diterangi lima batang lilin yang ditaruh dilantai
dalam posisi segilima, dan Beng Hek-hou duduk
di tengahnya dengan rambut terurai, mulailah ia
menggumamkan mantera yang lebih keras.
Mantera yang makin lama terdengarnya makin
mirip geraman hewan, apalagi kemudian mata
Beng Hek-hou terbalik hingga kelihatan
putihnya dan dari sudut bibirnya ada air liur
kental berbusa menetes deras.
Mulut Macan 2 48 Si Orang Berpakaian Putih di tengah padang
belantara itu pun mulai merasakan meningkatnya tekanan. Tubuhnya nampak
bergetar, gumamnya makin keras.
Beng Hek-hou makin kehilangan kesadarannya, ia menggigit lidahnya sendiri
sampai berdarah namun tidak merasakan sakit
sedikit pun, lalu ludah berdarahnya disemburkan ke arah lima lilin di sekitarnya.
Lilin-lilin itu pun tiba-tiba menyala lebih besar
apinya dan nyalanya biru. Sesuatu yang tidak
wajar, sebab menurut kewajaran kalau lilin
diludahi pastilah mati, namun yang ini malah
menyala lebih besar. Orang berpakaian putih di tengah padang
belantara itu pun agak kaget melihat api unggun
yang dinyalakan Ek Yam-lam itu tiba-tiba
membesar sendiri dengan nyala berwarna biru
dan hampir menyambarnya. Si Orang


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Berpakaian Putih yang juga mulai kehilangan
kesadarannya, tiba-tiba menudingkan dua
jarinya ke udara, jari telunjuk dan jari tengah
yang dirangkapnya. Lalu jari-jari itu bergerak Mulut Macan 2
49 Sesuatu yang tidak wajar, sebab menurut
kewajaran kalau lilin diludahi pastilah mati,
namun yang ini malah menyala lebih besar.
Mulut Macan 2 50 gerak seolah-olah membuat tulisan-tulisan di
udara. Api biru yang menyala itu pun perlahanlahan mengecil kembali, bahkan lebih kecil dari
semula sampai hampir padam. Pada saat yang
sama, rintihan Ek Yam-lam dan ketiga temannya
agak mereda. Sementara lima lilin yang mengelilingi Beng
Hek-hou juga surut apinya, hampir padam. Di
ruangan yang tertutup rapat itu tiba-tiba ada
angin dingin kencang yang entah dari mana
masuknya. Tubuh Beng Hek-hou menggeletar,
dari mulutnya keluar geram bermacam-macam
jenis hewan. Disertai suara gemeretak di tulang
lehernya, kepalanya berputar satu lingkaran
penuh di atas pundaknya. Dengan mata tetap
terbalik putih, mulut berliur dan berbusa serta
rambut berdiri tegak, Beng Hek-hou mengeluarkan suara, "Siapa kau, berani
menentangku?" Pada saat yang sama, di tengah padang
belantara, mulut Lui Kong-sim pun tiba-tiba
mengeluarkan suara berat menggeram yang
Mulut Macan 2 51 bukan suara Lui Kong-sim sendiri. "Siapa kau,
berani menentangku?"
Dalam keadaan cuma sedikit sadar, orang
berbaju putih itu berdesis dan suaranya pun
bukan suaranya sendiri. "Akulah penguasa
Bukit Pek-go-nia (Bukit Buaya Putih),
diperintah oleh Ibunda Abadi Tak Berasal-usul
(Bu-seng Lo-bo) untuk mengambil alih Sengtin!"
Lalu jari-jarinya bergerak-gerak menulis
beberapa huruf lagi di udara, dan api unggun itu
padam sama sekali. Bersamaan dengan padamnya lilin-lilin di
ruang tempat Beng Hek-hou, bahkan pimpinan
gerombolan itu sendiri terbanting kejang di
lantai dan lama tak bergerak-gerak. Busa di
mulutnya bercampur darah.
Di padang belantara, orang berbaju putih itu
pun perlahan-lahan sadar kembali. Ia pun
merasakan tubuhnya bermandi keringat
meskipun malam dingin. Ia bangkit mengumpulkan kayu bakar dalam kegelapan,
Mulut Macan 2 52 lalu menyalakan kembali api unggun yang tadi
padam. Di bawah cahaya api yang menyala kembali,
Ek Yam-lam berempat pun pelan-pelan bangun,
pakaian mereka kusut dan berdebu, begitu juga
muka mereka, karena tadi mereka bergulingan
di tanah saking sakitnya. Kini dengan heran
mereka merasakan kepala mereka tidak sakit
lagi, dan lebih heran lagi melihat adanya lelaki
setengah baya yang berwajah ramah dan
berpakaian serba putih itu.
"Ada apa... dengan kami?" Yao Kang-beng
masih bingung dengan apa yang baru saja
dialaminya. "Dan.... Tuan ini siapa?"
Orang berjubah putih itu menjawab sambil
tersenyum ramah, "Entah kalian ini bermusuhan dengan ahli gaib yang mana, kalian
hampir saja dibuat gila oleh ilmu gaib jahat yang
baru saja menyerang kalian."
"Lalu... kenapa sekarang kami masih waras
dan tidak gila?" Mulut Macan 2 53 "Itu karena aku lewat dan melihat kalian,
lalu kupatahkan kekuatan gaib jahat yang
menyerang kalian itu."
Ek Yam-lam berlutut menghormati orang
itu, diikuti ketiga temannya, kata Ek Yam-lam
mewakili teman-temannya. "Kalau begitu, kami
berhutang nyawa kepada Tuan. Terimalah
ucapan terima kasih dan hormat kami. Bolehkah
kami juga mengetahui nama Tuan yang mulia?"
"Namaku Wong Lu-siok, dari Pek-go-nia
(Bukit Buaya Putih). Adalah kewajibanku untuk
mengamalkan ilmuku untuk menolong sesama.
Kalian sendiri siapa, kenapa sampai bermusuhan dengan siluman yang menyerang
kalian tadi?" Ek Yam-lam memperkenalkan diri dan
Pertarungan Dikota Chang An 2 Pendekar Slebor 66 Tabir Pulau Hitam Arok Dedes 7

Cari Blog Ini