Ceritasilat Novel Online

Dari Mulut Macan Ke Mulut 10

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp Bagian 10


berada juga dalam ruangan itu, Isi "dewa api"
nampaknya ingin melakukan sesuatu menanggapi kata-kata Pang Se-hiong itu, tetapi
langkahnya ragu karena tertahan seorang
prajurit berpakaian gilang-gemilang yang
menatapnya tajam-tajam sambil memegangi
pedang yang seolah membara ditangannya.
Mulut Macan 17 34 "Pang Se-hiong berhak mendapat jawaban
dariku!" si "dewa api Persia" berkata sambil
menunjuk ke arah Pang Se-hiong yang sedang
berbaring di dipan. Si prajurit menyala berpedang api
menjawab, "Tentu. Kau boleh menjawabnya,
tetapi aku akan ikut mendengarkan jawabanmu.
Sesuai tugasku, aku harus mengawasi agar
semua orang di Seng-tin ini tidak disesatkan,
tidak ditipu oleh Kau dan teman-temanmu. Kau
dan teman-temanmu harus membeberkan siapa
diri kalian sebenarnya, sifat jahat kalian, dan
kalian tidak boleh mengaku-aku sebagai
penolong, pemberi keberuntungan dan sebagainya. Kalau kau dan teman-temanmu
sudah membeberkan diri apa adanya dan masih
ada manusia yang rela memuja kalian, aku
takkan, merintangi. Artinya manusia itu
memilih dengan sadar setelah tahu siapa kalian
sebenarnya, tidak karena ditipu oleh janji-janji
menyesatkan. Kami menghormati pilihan yang
dibuat manusia...." Mulut Macan 17 35 Si Mahluk Api menggeram gusar dan
sekujur tubuhnya seakan menyala, ia amat tidak
suka bahwa dirinya hanya bisa tampil terangterangan kepada orang-orang Seng-tin, dengan
demikian tak dapat menipu, "He, kau ini mahluk
yang mulia, kenapa rela menjalankan perintah
dari mahluk rendahan yang terbuat dari tanah
liat yang namanya manusia? Tidakkah kau
merasa terinjak?" "Aku bangga mematuhi ketentuan Penciptaku, kepada-Nya aku mengabdi.
Penciptaku memberi ketentuan agar kami
menjaga mahluk yang bernama manusia, ya
kami jalani itu. Kau akan gagal kalau mencoba
membujuk aku untuk memberontak kepada
Sang Pencipta, seperti yang kau lakukan
bersama teman-temanmu dulu."
"Dengan cegahanmu, kau membuat celaka
beberapa teman Pang Se-hiong. Kaki mereka
melepuh kena api karena tidak kami lindungi."
"Itu yang harus kami laksanakan berdasar
kemauan Siau Hiang-bwe. Orang-orang itu
Mulut Macan 17 36 melepuh kakinya, tetapi jiwanya barangkali bisa
ditarik dari kesesatan."
"Kau juga tidak dapat mengusirku dari sini,
Pang Se-hiong memberi tempat untukku di
hatinya. Buktinya dia memasang gambarku...."
bantah Si Mahiuk Api pula sambil menunjuk
gambar yang ditempel di dinding dan dipuja
Pang Se-hiong. Si Prajurit Berpedang Api menjawab, "Ya,
kau mendapat tempat karena membohongi
Pang Se-hiong. Kau mengaku sebagai pelindung
dan penerang kehidupan serta memberi
kekuatan dan kesaktian. Coba kau ungkapkan
diri terang-terangan betapa jahatnya kau,
betapa kau hendak menarik manusia sebanyakbanyaknya ke kekelaman abadi, tentu Pang Sehiong takkan memujamu...."
"Tetapi kau lihat sendiri, perempuan gemuk
itu tetap memuja dan bersekutu dengan kami,
bahkan mengikat janji abadi dengan banyak
dari kami, padahal Nyonya Liong sudah tahu
siapa kami. Nah, apa katamu?"
Mulut Macan 17 37 "Perempuan itu terdorong oleh nafsunya
untuk menjadi amat berkuasa dengan memiliki
banyak kelebihan dari dunia kita, dan ia
mempertaruhkan apa saja untuk mendapatkannya, termasuk kekekalan jiwanya.
Ia sudah memilih, bahkan memilih dengan
bebas di bawah pengawasan kami, bisa apa lagi
kami?" "Sekarang biarkan Pang Se-hiong memilih."
"Silakan. Tetapi tanpa tipuan, tanpa
paksaan." "Kau benar-benar sudah diperbudak
manusia." "Kami dan manusia sudah ditentukan
tempatnya masing-masing."
Sementara Pang Se-hiong dengan rasa
kecewa terus menatap gambar pujaannya,
sampai ia mengantuk dan tertidur.
Dalam mimpinya, Pang Se-hiong kembali
berada di tempat ia dan teman-temannya
hendak berlatih tadi. Adegan demi adegan
diulangi kembali oleh Pang Se-hiong. Mulai saat
itu ia dan teman-temannya bersimpuh di depan
Mulut Macan 17 38 gambar "dewa api dari Persia" memohon
perlindungan dari api dan tajamnya senjata.
Cuma kali ini tempatnya terasa agak lain bagi
Pang Se-hiong. Sekan-akan ada dua alam yang
berbeda dirangkap jadi satu. Selain sebuah
halaman tertutup yang sepuluh hari sekali
dijadikan tempat latihan kekebalan, juga
nampak dikelilingi gunung-gunung gersang
dengan geronggang-geronggang gua yang
menganga, dalamnya gelap menyeramkan.
Lalu di halaman tertutup itu, sehabis Pang
Se-hiong dan teman-teman memuja, mereka
mulai menumpuk bara api yang akan diinjakinjak. Ikat kepala kuning pemberian Wong Lusiok mulai dipakai, mantera-mantera mulai
dibaca, lalu beberapa orang dengan berani
mulai menginjak api, namun kemudian menjerit
kesakitan dan mengaduh-aduh karena kakinya
melepuh. Yang lain-lainnya yang belum
terlanjur menginjak api, termasuk Pang Sehlong, kaget. Mereka bingung kenapa tiba-tiba
mereka tidak kebal api lagi?
Mulut Macan 17 39 Ketika itulah Pang Se-hiong melihat Nyonya
Liong melangkah memasuki halaman tertutup
itu. Bersamaan dengan datangnya Nyonya
Liong, Pang Se-hiong melihat dari gua-gua di
bukit-bukit gersang itu bermunculan macammacam mahluk aneh dan mengerikan yang
langsung membentuk suatu barisan besar di
belakang Nyonya Liong. Bukan hanya dari guagua di bukit, bahkan bumi pun merekah dan
mengeluarkan berjenis-jenis mahluk dahsyat
bersama asap beraroma belerang. Dari langit
beterbangan turun mahluk-mahluk elok dengan
tampang dan dandanan seperti lukisan alam
gaib di tempat-tempat pemujaan. Mahlukmahluk yang oleh para pemuja-pemujanya
dikenal sebagi "mahluk-rnahluk suri" yang menguasai berbagai kekuatan alam maupun nasib
dan garis hidup manusia. Dengan terheranheran Pang Se-hiong melihat mahluk-mahluk
elok yang biasa dipuja itu ternyata bergabung
dalam satu barisan dengan mahluk-mahluk
menjijikkan yang keluar dari guha-guha dan
rekahan bumi. Mulut Macan 17 40 Pang Se-hiong bingung melihat ini, jalan
pikirannya yang sudah lama diyakininya dan
bahkan diyakini leluhurnya, kini terjungkirbalik tak keruan. Menurut pemahaman lama
Pang Se-hiong, mahluk-mahluk gaib yang jahat
yang disebut "siluman" dan biasanya
bertampang mengerikan, bermusuhan dengan
mahluk "suci" yang umumnya bertampang
anggun dan biasa dipuja di tempat-tempat
pemujaan, dibuat patung-patungnya dan
gambar-gambarnya. Dipercayai turun-temurun
bahwa "siluman" bermusuhan dengan "para
dewa" untuk melambangkan ikejahatan
bermusuhan abadi dengan yang dipercaya
sebagai kebaikan. Maka kalau orang diganggu
kekuatan jahat, mereka pun memuja dan
meminta tolong kepada "kekuatan yang baik"
untuk mengusir yang jahat itu. Tetapi sekarang
Pang Se-hiong melihat yang jahat itu bercampur
aduk dengan yang "baik", yang keluar dari perut
bumi dan bertampang menjijikkan itu bersatu
barisan dengan yang turun dari angkasa dengan
tampang-tampang elok mereka. Mereka satu
Mulut Macan 17 41 golongan!Para pengganggu dan para "penolong"
ternyata satu golongan! Pang Se-hiong melihat, di antara silumansiluman yang keluar dari gua dan dari perut
bumi itu beberapa di antaranya pernah dilihat
tampangnya di jagad kasar. Pang Se-hiong ingat,
apabila anak buah gerombolan Beng Hek-hou
sedang berkelahi dan makin kesurupan, maka
ujud mereka pun berubah pelan-pelan, ada yang
keluar sisiknya, ada yang keluar cakarnya,
bulunya, taringnya, tanduknya dan sebagainya.
Bahkan Beng Hek-hounya sendiri dapat
berubah total menjadi seekor harimau besar
berbulu hitam. Mahluk-mahluk yang pernah
memunculkan diri lewat anak buah Beng Hekhou itulah yang kini dilihat Pang Se-hiong di
alam mimpinya. Yang membuat Pang Se-hiong
penasaran, ialah melihat mahluk-mahluk itu
berada dalam satu barisan dengan mahlukmahluk "suci" yang terlukis dalam gambargambar atau lukisan-lukisan yang dipuja
pengikut-pengikut Wong Lu-siok. Terlihat
dalam barisan itu ada "A-hwe", "teman" A-kun
Mulut Macan 17 42 yang tampangnya mirip boneka yang dibawabawa A-kun, namun kini nampak dewasa,
berdandan serba merah, dan matanya garang
kenakutkan. Juga nampak berbagai tokoh gaib
yang gambar dan patungnya beterbangan di
Seng-tin, dianggap sebagai "penolong" atau
penangkal pengaruh jahat", ternyata bergabung
dengan siluman-siluman jelek itu.
Diiringi oleh pasukannya itulah Nyonya
Liong memasuki halaman tertutup itu, dan
terlibat percakapan dengan Pang Se-hiong dan
teman-temannya. Percakapannya persis percakapan siang tadi, yang intinya ialah,
Nyonya Liong menjanjikan kekuatan hebat bila
Pang Se-hiong dan teman-temannya mau
menjadi sekutu mahluk-mahluk yang berbaris
di belakang Nyonya Liong itu. Percakapannya
persis tepat seperti siang tadi.
Pang Se-hiong dan teman-temannya
menolak, apalagi kemudian Ho Tong datang
mendukung penolakan Pang Se-hiong dan
teman-teman. Nampak mahluk gaib yang
mengikuti Nyonya Liong itu amat gusar, paras
Mulut Macan 17 43 muka mereka jadi menakutkan menatap Pang
Se-hiong dan teman-teman, namun herannya,
mereka tidak juga menerkam Pang Se-hiong
sekalian. Marah tetapi tidak berani, entah apa
yang mereka takuti. Pang Se-hiong menoleh ke sekelilingnya
untuk melihat apa atau siapa yang
menyebabkan mahluk-mahluk gaib itu takut.
Kemudian Pang Se-hiong samar-samar dapat
melihat bahwa di sekitar tubuh Ho Tong ada
cahaya lembut mengerudungi Ho Tong, begitu
lembutnya sehingga kalau tidak diperhatikan
benar-benar takkan tampak. Apakah pasukan,,
gaib di belakang Nyonya Liong itu gentar
kepada cahaya lembut itu? Ho Tongnya sendiri
kelihatan ketakutan kepada Nyonya Liong.
Mimpi Pang Se-hiong berantakan ketika
isterinya pulang, mengguncang-guncang tubuhnya sehingga bangun. "He, sore-sore
begini kok tidur. Sudah selesai menimba atau


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

belum?" Pang Se-hiong terbangun geragapan dengan
keringat membasahi tubuhnya, katanya kepada
Mulut Macan 17 44 isteririya, "Maaf, aku tertidur dan bermimpi.
Untung hanya mimpi."
"Kakak kelihatan lesu, ada apa?"
Pang Se-hiong belum putus harapan bahwa
suatu kali nanti dewanya akan menjawab
permohonannya, ia belum mau menerima
mentah-mentah begitu saja omongan Nyonya
Liong dan juga mimpinya. Ia bertekad nanti
malam akan lebih khusyuk memuja.
Sambil duduk dengan masih mengantuk, ia
menatap gambar yang ditempelkan di dinding,
sambil melontarkan pertanyaan dalam hati,
"Benarkah kau sejahat yang dikatakan Nyonya
Liong, dan sekarang sudah memihak Nyonya
Liong dan meninggalkan aku?"
Tidak tahan oleh pertanyaan menggelisahkan yang menggedor-gedor jiwanya, sore itu juga Pang Se-hiong
meninggalkan rumahnya dan menuju ke bekas
kediaman guru silat Ciu Koan. la akan bertanya
kepada siapa saja yang bisa ditemuinya di
tempat itu. Mulut Macan 17 45 Pang Se-hiong terbangun geragapan dengan
keringat membasahi tubuhnya, katanya kepada
isterinya, "Maaf, aku tertidur dan bermimpi.
Untung hanya mimpi. Mulut Macan 17 46 Ketika ia melangkah masuk bekas kediaman
Ciu Koan itu, ia merasakan suasana yang
berbeda dari biasanya. Biasanya di ruangan
depan nampak orang-orang Seng-tin yang
khusuk memohon di depan berbagai arca,
suasananya terasa di alam lain. Tetapi kali ini
hanya kelihatan satu dua orang yang sedang
bersujud. Halaman depan dan samping nampak
kotor dengan dedaunan kering yang rontok dari
pepohonan perindang. Langkah Pang Se-hiong menyusuri halaman
samping, dan langkahnya tertegun ketika
melihat di pojok halaman ada patung porselen
"A-hwe" yang dulu suka dibawa-bawa A-kun itu
sekarang terhunjam kepalanya ke dalam debu,
bercampur daun-daun kering. Patung porselen
kecil yang dulu menjadi alat komunikasi A-kun
dengan dunia gaib, dan apa yang A-kun
beritahukan ternyata benar-benar menjadi
kenyataan. Pang Se-hiong mematung beberapa saat.
Sedang runtuhkah kerajaan gaib yang selama
beberapa bulan ini begitu mencekam jiwa
Mulut Macan 17 47 orang-orang Seng-tin, sekarang sedang runtuh,
mengecewakan pemuja-pemujanya?
Pang Se-hiong melangkah ke ruang tengah
yang biasanya dianggap suci, tidak sembarangan orang boleh ke situ. Namun kali
ini Pang Se-hiong melangkah ke situ tanpa ada
yang mencegahnya. Gelap. Saat itu sudah
rembang petang tetapi lampu belum dipasang.
Entah ke mana perginya Bibi Ciu dan Ciu Bian-li
yang biasa merawat tempat itu.
Pang Se-hiong terus melangkah ke belakang,
dan ketika ia memasuki ruang tempat dulu
berlatih silat, barulah ia menjumpai orang. Tiga
orang, yaitu Ek Yam-lam, Ciu Bian-li dan Bibi
Ciu. Sedangkan Lui Kong-sim dan Yao Kangbeng tidak kelihatan lagi batang hidungnya.
Suara langkah kaki Pang Se-hiong membuat
ketiga orang itu serempak menoleh.
Takut dimarahi karena telah melanggar
tempat terlarang, Pang Se-hiong coba
menjelaskan dengan takut-takut, "Maafkan
kalau aku menyelonong tidak sopan. Aku
Mulut Macan 17 48 sampai ke ruang tengah, tidak ada yang
kutemui. Jadi aku...."
Ternyata Ek Yam-lam menjawab ramah,
"Tidak apa-apa, Saudara Pang. Ke-sinilah."
Pang Se-hiong melangkah takut-takut
memasuki ruangan yang temaram tanpa lampu
di senja hari itu. Langkahnya menyimpangi
"miniatur Seng-tin" di lantai, dan ketika melihat
arca besar "ratu langit" di ujung ruangan maka
terdorong oleh kebiasaan, Pang Se-hiong pun
bersujud sampai mukanya mengenai lantai,
sedang Ek Yam-lam bertiga membiarkannya
saja. Sikap mereka bertiga yang acuh tak acuh
selagi ada orang bersujud itu pun bukanlah
sikap yang biasa. Habis bersujud, Pang Se-hiong bertanya,
"Gurumuda Ek, aku datang dalam kebingungan
untuk memperoleh jawaban pasti dari Guru Lui.
Sebagai penghubung antara langit dan bumi,
kuharap Guru Lui punya jawaban."
Ek Yam-lam menjawab, "Lui Kong-sim
sendiri baru saja kebingungan, lalu ia
memperoleh jawaban pasti dari Nyonya Liong.
Mulut Macan 17 49 Dan sekarang ia ikut Nyonya Liong. Juga Yao
Kang-beng." Pang Se-hiong melongo, berdebar-debar
bahwa apa yang ditakutkannya benar. Bahwa
yang dipujanya selama ini adalah mahluk gaib
yang jahat, bukan penolong.
Melihat kebingungan Pang Se-hiong, Ek
Yam-lam bertanya, "Kenapa bingung, Saudara
Pang? Merasa kehilangan pegangan?"
Lalu oleh Ciu Bian-li disambung, "Kecewa
sih kecewa, kau punya banyak teman dalam
kekecewaan, Kakak Hiong. Ada ratusan pemuja
di Seng-tin yang sedang kecewa, antara lain ya
kami bertiga ini...."
"Jadi kalian bertiga ini juga sedang kecewa?"
"Benar. Mulanya kami ragu apa yang
dikatakan oleh Nyonya Liong. Kami anggap itu
sebagai hujatan kepada penguasa-penguasa
angkasa, masa penguasa-penguasa kerajaan
gaib itu dikatakan sebagai penjahat-penjahat
yang bertujuan menghancurkan manusia? Kami
gusar, kami memohon kepada penguasapenguasa gaib itu agar menghukum Nyonya
Mulut Macan 17 50 Liong buat kelancangannya. Tetapi doa kami tak
terjawab, malah kesannya makin kuat bahwa
seluruh kekuatan gaib yang ada di Seng-tin
memihak Nyonya Liong semuanya, dibuktikan
dengan demonstrasi dahsyat kekuatankekuatan gaib oleh Nyonya Liong. Bukan hanya
kekuatan-kekuatan gaib 'putih' yang diperkenalkan Guru Wong dari Bukit Buaya
Putih, bahkan kekuatan-kekuatan hitam
pendukung Beng Hek-hou dulu seolah-olah
kembali bermunculan semua memperkuat
Nyonya Liong. Ini aneh. Jadi sulit membedakan
mana kekuatan putih dan mana yang hitam...."
"Lho, kok cocok dengan mimpiku sore ini?"
pikir Pang Se-hiong. Tetapi tidak dikatakannya.
Sementara Bibi Ciu yang biasanya berwajah
dingin dan angker itu menggerutu, "Ternyata
yang namanya siluman dan dewa-dewa dari
Bukit Buaya Putih itu setali tiga uang, ingin
mencelakakan manusia."
"Sudah, Bibi, jangan kecewa. Anggap saja
orang berpacaran. Tadinya kita kira pacar kita
itu orang baik-baik, tak tahunya pencoleng. Ya
Mulut Macan 17 51 hubungan putus, tetapi tidak seperti dunia
kiamat." Ek Yam-lam tertawa mendengar penggambaran Ciu Bian-li itu.
Pang Se-hiong kemudian bertanya, "Kenapa
kalian bertiga tidak ikut Lui Kong-sim dan Yao
Kang-beng sekalian?"
Bahwa Pang Se-hiong sudah tidak lagi
mencantumkan sebutan "guru" dan "gurumuda" kepada kedua orang itu, menandakan
bahwa dia pun sudah kehilangan hormat
kepada kedua orang itu. Jawab Ek Yam-lam, "Kami belum gila. Kalau
sudah tahu yang dipuja itu ternyata mahluk
jahat alias setan, mana sudi kami mengikutinya?
Apalagi diajak mengikat janji abadi, bahkan
setelah mati? Biarpun ditawari kebal api, kebal
senjata, bisa terbang, bisa masuk ke tanah dan
berjalan dalam tanah, bisa menunggang mega
dan entah apa lagi?"
"Tetapi Nyonya Liong, Lui Kong-sim dan Yao
Kang-beng kok mau?" Mulut Macan 17 52 "Itu urusan mereka...." sahut Ek Yam-lam.
"Aku sendiri, dulu pertama kali bertemu dengan
Wong Lu-siok dan melihat ilmu gaibnya, aku
kagum, juga didorong rasa butuh untuk
menandingi ilmu Beng Hek-hou. Setelah Beng
Hek-hou enyah dan aku menjalani ajaran Wong
Lu-siok, terus terang saja aku merasa tidak
bahagia, sering merasa bahwa aku hanya
ditunggangi oleh kekuatan tertentu yang entah
dari mana, aku merasa bukan lagi diriku
sendiri." Pendengar-pendengarnya tidak menjawab,
namun serempak dalam hati mereka terdengar,
suara hati mereka masing-masing, "Lho, kok
sama?" Tiba-tiba saja Ciu Bian-li, "E, omong-omong
soal Wong Lu-siok, bagaimana dia sekarang?"
Mereka jadi ingat akan Wong Lu-siok yang
dijebloskan ke kamar sempit oleh perintah Lui
Kong-sim dulu. Dan mereka juga ingat si
"penyihir wanita jahat" Siau Hiang-bwe yang
sudah dijebloskan ke sel yang sama, lebih dua
bulan yang lalu. Mulut Macan 17 53 Tiba-tiba saja suatu rasa bersalah mengusik
hati mereka, tetapi tak ada yang berani
mengatakannya terang-terangan.
"Bagaimana ya, mereka?" paling-paling itu
yang dilontarkan Ciu Bian-li.
Dan bibinya menyahut, "Orang sudah sekian
lama tidak diberi makan dan minum kok
bagaimana. Ya terang mati...."
"Perlukah... kita tengok... mayat mereka?
Mungkin kita bisa... menguburnya secara
layak?" Serasa semuanya memperoleh sebuah jalan
untuk mengurangi rasa berdosa mereka. Jalan
keluar yang tidak memadai, tetapi bisa sedikit
mengurangi tekanan di hati mereka.
Mereka berempat bangun lalu menuju ke
ruang sempit tempat memenjarakan orang itu.
Bibi Ciu menyalakan sebuah lampion bertangkai
untuk menerangi jalan. Ketika Pang Se-hiong tiba di depan pintu sel
yang terbuat dari kayu tebal itu dan mulai
membukanya, yang lain-lain sudah menutup
hidung, berjaga-jaga terhadap bau busuk dua
Mulut Macan 17 54 mayat manusia yang mereka kita akan mereka
lihat. Mayat Wong Lu-siok dan Siau Hiarig-bwe.
Ketika pintu kayu tebal sudah terbuka,
memang terhembus bau busuk, tetapi bau
busuk yang tidak seberapa. Bau busuk udara
pengab yang lama tidak mengalir, namun bukan


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bau busuk mayat. Keempat orang di depan pintu itu samasama tidak berani menatap ke dalam sel, namun
setelah beberapa saat berkatalah Ek Yam-lam,
"Bibi Ciu, angkat lampionnya...."
Dengan terpaksa Bibi Ciu mengangkat
lampionnya... dan keempat orang itu terheranheran melihat di dalam sel ada dua orang yang
mengangkat telapak tangan untuk menutupi
mata, silau oleh cahaya lampion karena sudah
lama mata mereka tidak kena cahaya sedikit
pun. Dua orang hidup! Wong Lu-siok dan Siau
Hiang-bwe. Mereka memang nampak agak
kurus dan kotor, tetapi hidup. Rambut Siau
Hiang-bwe yang dulu digunting gundul di
lapangan, kini sudah tumbuh pendek.
Mulut Macan 17 55 "Kalian... masih... hidup?" Ek Yam-lam
bertanya terbata-bata karena tak mempercayai
pandangannya sendiri. Tertatih-tatih Siau Hiang-bwe berusaha
berdiri dengan berpegangan tembok, sambil
matanya belum berani langsung menatap ke
lampion. Wong Lu-siok ingin membantunya,
namun Wong Lu-siok sendiri nampak begitu
lemah. Ek Yam-lam melangkah masuk untuk
menolong Wong Lu-siok, sementara Ciu Bian-li
menolong Siau Hiang-bwe. Sambil menuntun, Ciu Bian-li berkata,
"Maafkan aku, Cici Siau. Maafkan juga seluruh
orang Seng-tin...." Sambil melangkah tertatih keluar sel sempit
itu, Siau Hiang-bwe menjawab, "Kau dan
seluruh Seng-tin tidak bersalah. Kalian cuma
tertipu dan dikendalikan oleh suatu pengaruh
jahat...." Sementara itu, begitu Wong Lu-siok tiba di
luar sel, Bibi Ciu dan Pang Se-hiong bersujud
sampai mukanya mengun-jam tanah, kepada
Mulut Macan 17 56 Wong Lu-siok dan Siau Hiang-bwe. Kata Bibi Ciu
dengan gemetar ketakutan, "Kami mahluk hina
dina ini telah melakukan dosa besar, menghina
dan memenjarakan manusia-manusia penjelmaan dewa seperti Guru Agung Wong dan
Siau. Aku mohon ampun dan jangan dikutuk...."
Wong Lu-siok kaget dan sedih melihat
sesama manusia bersujud kepadanya, ia hendak
membangunkan mereka, tetapi malah ia hampir
roboh karena lemahnya. Ek Yam-lam buru-buru
menangkap tubuh yang sudah kurus dan berbau
itu. Dengan sedih Wong Lu-siok geleng-geleng
kepala, "Bangun, jangan berlutut kepadaku.
Jangan mengulangi kesalahan fatal untuk kedua
kali. Dulu kalian memuja aku sebagai 'utusan
kerajaan angkasa? dan itu kesalahan besar,
sekarang apakah kalian akan mengulanginya?
Bangkitlah. Jangan berlutut kepadaku, aku
manusia seperti kalian."
Bibi Ciu dan Pang Se-hiong saling toleh
dengan kebingungan, mereka sedang kehilangan pegangan gara-gara pertemuan dan
Mulut Macan 17 57 percakapan dengan Nyonya Liong, dan ketika
mereka melihat Wong Lu-siok dan Siau Hiangbwe masih hidup setelah lama tidak makan
minum, mereka anggap itu keajaiban yang
menandingi keajaibannya Nyonya Liong dan
mereka berharap akan mendapat pegangan
kembali. Ternyata sikap Wong Lu-siok malah
menyalahkan mereka. Tanya Pang Se-hiong bingung, "Tetapi....
kalau bukan manusia istimewa yang dipilih
langit, mana bisa tidak makan dan minum
sekian lama dan tetap hidup?"
Wong Lu-siok menarik napas. "Aku harus
mohon maaf kepada seluruh orang Seng-tin, aku
harus berlutut di depan mereka semua, karena
ajaran yang kubawa kepada mereka. Sekarang
aku tahu bahwa semua manusia itu istimewa di
mata dan di hati Seng-tin. Satu demi satu,
pribadi demi pribadi, punya tempat di hati-Nya,
asal manusia menyambut anugerah besar-Nya.
Kalian pun sama istimewanya dengan Liu Yok,
dengan Siau Hiang-bwe...."
Mulut Macan 17 58 "Maksudku... kami pun bisa meningkat
menjadi dewa?" "Kalau manusia menjadi dewa, itu bukan
meningkat tetapi merosot. Dari mahluk ciptaan
tertinggi ke derajat mahluk yang lebih rendah.
Kaum persilatan amat bangga kalau mendapat
sebutan 'setengah dewa' padahal itu artinya
turun derajat." "Guru Wong... kami bingung...."
Ek Yam-lam menukas, "Saudara Pang, kami
maklumi kebingunganmu, sebab aku sendiri
juga bingung. Kita semua sedang bingung.
Tetapi tidakkah kau ingat bahwa Guru Wong
dan Nona Siau sedang lapar dan haus?"
Bibi Ciu cepat-cepat bangun, lalu berlari ke _
dapur untuk menyiapkan bubur. Sementara
Wong Lu-siok yang dipapah Ek Yam-lam dan
Siau Hiang-bwe yang dipapah Ciu Bian-li
menuju ke ruang tengah. Pang Se-hiong
menyalakan lampu-lampu di ruang tengah.
Tak lama kemudian Bibi Ciu membawa
hidangannya, wajah dingin dan angkernya dulu
Mulut Macan 17 59 sekarang sudah "cair" dan "menguap" entah ke
mana. Orang-orang itu makan bersama. Wong Lusiok serta Siau Hiang-bwe harus bersusah
payah lebih dulu meyakinkan orang-orang
lainnya agar tidak merasa minder karena
bersantap bersama "manusia istimewa",
meyakinkan orang-orang lainnya bahwa
mereka semua sama dan sederajat dan layak
bersantap bersama. Habis bersantap, terjadi percakapan lama
yang dipandu Siau Hiang-bwe, sementara Wong
Lu-siok kadang-kadang ikut mengomentari.
Orang-orang yang kehilangan pegangan itu
pelan-pelan merasa mendapatkan pegangan
kembali. Larut malam, Pang Se-hiong melangkah
kembali ke rumahnya. Tadi ia pergi dengan
bingung, sekarang dengan rasa tenteram di hati.
Ketika masuk ke dalam rumah, tiba-tiba hatinya
guncang lagi melihat gambar pujaannya yang
ditempel di dinding itu seolah melotot marah
kepadanya. Namun dalam jiwa Pang Se-hiong
Mulut Macan 17 60 ada semacam rasa teguh yang membuatnya
tidak menggubris gambar itu dan langsung ke
kamar tidurnya. * * * Malam itu adalah malam yang bakal tak
mudah dilupakan oleh warga Seng-tin. Malam
ketika ratusan serigala di padang ilalang
belantara digerakkan oleh suatu pengaruh dan
mereka melolong panjang di pinggiran kota,
begitu dekat dengan pemukiman penduduk.
Dan sejuta kelelawar beterbangan mencicit-cicit
di atas kota, dan hewan-hewan di Seng-tin
menjadi gelisah semuanya.
Mendekati tengah malam, lolong serigala
semakin menakutkan, bahkan hewan-hewan itu
berkelompok-kelompok berada di jalan-jalan
dan lorong-lorong Seng-tin.
Pintu-pintu rumah di seluruh Seng-tin
terkunci rapat semuannya, mengurung Mulut Macan 17 61 penghuni-penghuninya dalam pengabnya kengerian dan ketakutan. "Inilah bukti dari ancaman Nyonya Liong
tadi siang...." kata seseorang yang menggigil di
belakgn pintunya. "Mungkin sebaiknya kita turuti saja
kemauan Nyonya Liong. Dialah yang paling
berkuasa di Seng-tin ini. Pengikut-pengikut
Wong Lu-siok pun tidak berdaya mengatasi
tindak-tanduk Nyonya Liong, malah sekarang
Lui Kong-sim dan Yao Kang-beng menjadi
pengikutnya." "Kabarnya Ban Ke-liong juga, dan beberapa
orang lagi." "Juga Giok Yan-lim si tukang peti mati."
"Apakah orang-orang itu semua akan jadi
sesakti dan setabiat dengan Nyonya Liong?"
"Mungkin saja, kalau kekuatan yang mengisi
tubuh mereka berasal dari sumber yang sama."
"O, mengerikan sekali, mau jadi apa kota
Seng-tin ini nantinya? Satu orang semacam
Nyonya Liong sudah begitu menakutkan,
mendatangi rumah demi rumah sambil
Mulut Macan 17 62 mengajak orang-orang mengikuti jejaknya,
apalagi kalau orang semacam itu bertambahtambah jumlahnya. Oh, para dewa, para
panglima angkasa, ke mana saja mereka?
Kenapa mereka tidak lagi menolong kita seperti
dulu mereka menolong kita dari Berg Hek-hou?"
Percakapan mereka terhenti ketika ada
lolong serigala terdengar begitu dekat, di luar
halaman rumah mereka. Untung pintu halaman
tertutup dan terpalang kuat. Namun demikian
suara serigala-serigala yang menggaruk-garuk
daun pintu dengan garang, berusaha masuk,
membuat jantung para penghuni rumah
berdentang-dentang. Belum lagi suara tubuhtubuh kelelawar yang bertubi-tubi menghempas
atas dan jendela. "Ini pasti ulah Nyonya Liong, dia
mengerahkan kekuatan gaibnya menggerakkan
hewan-hewan itu menteror seluruh kota. Oh,
dewa, turun-tanganlah, selamatkan manusiamanusia lemah ini"
"Aku ingin kencing, tetapi tidak berani
keluar pintu.,.." Mulut Macan 17 63 "Kencing di dalam saja...."
"Nanti bau...."
"Tampung kencingmu di buli itu...."
Tiba-tiba pintu halaman diketuk, dan orangorang di rumah itu serempak terdiam seperti
jengkerik diinjak sarangnya.
Beberapa saat kemudian ketukan itu
terdengar lagi. Bersambung jilid XVIII Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 30/08/2018 20 : 46 PM
Mulut Macan 17 64 Mulut Macan 18 1 JILID XVIII * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 18 2 Mulut Macan 18 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid XVIII O RANG-ORANG dalam rumah saling pandang
dengan ketakutan. Seorang berdesis, "Tidak
salahkah kupingku? Ketukan pintu itu oleh


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

manusia atau oleh serigala-serigala tadi?"
"Serigala mana bisa mengetuk pintu?"
"Dalam keadaan normal memang tidak bisa,
tetapi apakah saat ini keadaannya normal?
Bukan hal aneh kalau serigala yang sedang
ditunggangi kekuatan jahat itu bisa meniru
suara ketukan untuk memancing dan
memangsa kita!" "Mengerikan, kalau sampai...." suara orang
dalam rumah itu terhenti karena ketukan di
pintu depan terdengar lagi, dan kali ini
ditambah suara, "A-seng, A-hun, kalian di
dalam?" Mulut Macan 18 2 Kakak beradik yang sedang dalam rumah itu
menggigil, bisik Si Kakak, "Astaga, serigalaserigala itu bisa berbicara...."
"Dan suaranya seperti suara Kakak Ho
Tong." Suara di luar pintu terdengar lagi, "He,
kalian dengar aku tidak? Aku dititipi barang
belanjaan oleh Paman Kiong, pemilik warung
beras itu. Tadi menjelang sore ibu kalian
berbelanja di warung itu, sudah membayar
tetapi lupa membawa belanjaannya karena
terlalu asyik mengobrol. Ketika aku mampir
warung Paman Kiong, aku dititipi beras
belanjaan ibu kalian. Paman Kiong kuatir malam
ini tidak ada yang ditanak di dapur kalian."
A-seng dan A-hun saling pandang. Kata-kata
orang di luar pintu itu membuat rasa lapar
mereka kembali diaduk-aduk. Tadi sore
memang ibu mereka pergi membeli beras, tapi
lupa ketinggalan di warung, dan ketika hari
sudah gelap dan hendak mengambilnya ke
warung, tahu-tahu bermunculanlah serigalaserigala memasuki kota yang membuat seluruh
Mulut Macan 18 3 orang Seng-tin mengunci diri dalam rumah.
Malam itu, ibu dan kedua anak laki-lakinya itu
hanya makan sisa-sisa nasi siang tadi yang tak
memadai untuk menghilangkan rasa lapar
mereka. Tetapi mereka terlalu takut untuk membuka
pintu, sebab pikiran mereka yang dicekam
ketakutan itu beranggapan mana ada orang
mempertaruhkan nyawa berkeliaran di luar
yang penuh serigala, kalau bukan orang itu
"serigala yang menyamar"?
Sekian lama suara Ho Tong terdengar di
luar halaman dan mengetuk-ngetukkan tanpa
digubris. Sampai suara itu berhenti sendiri. Aseng dan A-hun lega, namun sekaligus juga
diingat kembali akan rasa lapar mereka.
Tiba-tiba di luar halaman luar terdengar
gedebuk, seperti ada suara benda berat
dijatuhkan dari tembok halaman.
"Kak, apa itu?" desis A-hun tertahan.
"Apakah serigalanya melompati tembok
halaman?" "Ssst...." Mulut Macan 18 4 Wajah kedua kakak beradik itu memucat
ketika mendengar langkah-langkah kaki yang
sudah tidak di luar halaman lagi melainkan
sudah di dalam halaman. Suara langkah itu
mendekati pintu, dan suara ketukan di pintu
membuat jantung kakak-beradik itu hampir
copot. "A-seng, A-hun, ini aku, Ho Tong. Aku
terpaksa memanjat dinding karena kalian tidak
membukakan pintu halaman."
"Kak.... bagaimana? Kita bangunkan Ibu?"
"Jangan... coba diintip dari celah-celah
pintu...." Si Adik mengintai dari celah-celah di antara
papan pintu, dan melihat di luar memang Ho
Tong yang membawa bungkusan besar.
"Dia memang Ho Tong, Kak."
"Bagaimana kalau.... itu siluman yang
sedang mengubah rupa?"
"Kalau siluman pasti bisa menembus
dinding begitu saja, tidak perlu ketuk-ketuk
pintu. Lagipula... aku lapar sekali, Kak. Tak
mungkin bisa tidur dengan perut selapar ini."
Mulut Macan 18 5 "Baik. Kita ambil resiko membuka pintu.
Aku yang buka, kau berjaga di belakangku.
Kalau ternyata yang datang ini... Siluman, cepat
tutup pintunya!" Demikian mereka membuka pintu dengan
hati-hati, dan lega ketika yakin bahwa yang di
depan pintu benar-benar Ho Tong. Apalagi
membawa beras. "Ini belanjaan ibu kalian yang ketinggalan di
warung Paman Kiong," kata Ho Tong sambil
menyodorkan bungkusan itu.
A-seng menerimanya. "Terima kasih, Kakak
Ho. Maafkan sikap kami, kami benar-benar
takut..." "Tidak apa-apa, dalam suasana aneh begini,
siapa tidak takut? Aku pun amat takut, tetapi
mengingat beras ini penting bagi kalian,
kupaksakan diri." "Tetapi... apakah Kakak Ho tidak bertemu
dengan serigala-serigala itu?"
"Untungnya tidak. Kalian lihat, aku utuh
bukan?" Mulut Macan 18 6 "Tetapi Kakak Ho benar-benar mempertaruhkan nyawa. Urusan bebas ini kan
bisa ditunda besok?"
"Ya... aku kira kan A-hun sudah tidak tahan
lapar. Dia kan tidak boleh telat makannya?"
A-seng tertawa, sementara adikfiya yang
gemuk dan gembul itu merengut.
Kata Ho Tong pula, "Nah, sekarang aku tidak
berani pulang. Aku kuatir perjalanan pulangku
takkan beruntung saat aku berangkat kemari."
"Tidur di sini saja, Kakak Ho."
"Ya." A-hun kemudian merengek, "Kak, berasnya
segera ditanak...." * ** Menjelang fajar, serigala-serigala itu
meninggalkan Seng-tin kembali ke tengah
padang belantara, begitu juga jutaan kelelawar
itu. Namun warga Seng-tin masih juga
mengurung diri di rumah masing-masing, atau
Mulut Macan 18 7 di rumah orang lain karena tak sempat pulang.
Ketakutan yang mencekam semalam-malaman
tak gampang dihilangkan dalam waktu singkat.
Ada sebuah keluarga yang terdiri dari
hampir seluruhnya wanita, kecuali si kepala
rumah tangga. Semalam-malaman keluarga itu
disiksa kecemasan karena si kepala rumah
tangga yang lelaki itu pergi sejak sore dan
kemudian tidak pulang. Entah ke mana. Seisi
rumah cuma berani berharap-harap agar sang
suami atau ayah menumpang berlindung di
rumah siapa saja yang disinggahinya. Tapi
kadang-kadang terlintas juga kecemasan kalau
membayangkan sang ayah atau suami itu nekad
hendak pulang ke rumah lalu ketemu serigalaserigala.
Begitu fajar tiba dan suara serigala tak
terdengar lagi, si isteri sekaligus ibu yang cemas
itu pun berkata kepada anak-anaknya vang
perempuan semua, "Kalian jangan ke manamana. Ibu akan mencari ayah kalian, tutup dan
palang pintunya selama Ibu pergi."
"Ibu akan mencari ke mana'*"
Mulut Macan 18 8 "Pertama-tama mungkin ke warung bakmi
itu, kemarin malam ayahmu bilang mau ke
sana." Ternyata baru saja pintu dibuka. Suami
sudah di depan pintu, keluarga itu jadi
kegirangan. Satu-persatu orang-orang mulai keluar rumah, membuat suara-suara di jalanan untuk
menimbulkan situasi normal kembali dan
mengusir ketegangan. Orang-orang yang
semalam terkurung ketegangan dalam rumah
pun satu demi satu keluar rumah.
"Yang semalam itu benar-benar gila, belum
pernah terjadi seperti itu."
"Ancaman Nyonya Liong benar-benar
terbukti." "Yang aku herankan, ke mana perginya
mahluk-mahluk suci yang selama ini kita puja,
yang katanya akan selalu melindungi dan
memberkahi kita?" "Kata Nyonya Liong, semua mahluk gaib
sudah memihak kepadanya, termasuk yang
selama ini kita puja."
Mulut Macan 18 9 "Kalau memihak Nyonya Liong, berarti
semalam ikut... menteror kita melalui serigalaserigala dan kelelawar-kelelawar itu?"
Yang ditanya tidak menjawab dengan katakata, cuma dengan pandangan putus asa.
Pandangan dari orang yang ditinggalkan oleh
pelindung andalannya. "Eh, semalam ada korban jiwa apa tidak
ya?" "Entahlah. Kalau di pasar mungkin kita bisa
mendengar banyak." "Ingin rasanya aku ke pasar, tetapi apakah
jalan ke sana aman?"
"Aku kira sudah aman sekarang."
Matahari mulai bersinar cerah di atas
padang ilalang seperti hari-hari sebelumnya. Di
pasar Seng-tin satu demi satu penjual mulai
menggelar dagangan, pembeli-pembeli juga
mulai berdatangan. Tetapi kali ini suasananya
lebih ramai karena banyak orang datang ke
pasar bukan untuk berjual beli melainkan hanya
ingin bertukar berita tentang peristiwa sema
lam. Mulut Macan 18 10 Cerita-cerita jadi semakin bervariasi,
bumbu-bumbu untuk menambah serunya kisah
pun tidak lupa ditambahkan. Dan ketika
pertanyaan sampai ke "apakah semalam ada
orang yang jadi korban" maka tak terdengar ada
yang jadi korban. Selain tentang tak adanya korban jiwa,
dalam cerita-cerita itu muncul pula kesaksiankesaksian sulit dipercaya tentang "orang-orang
nekad" yang dalam keadaan sebahaya itu masih
sempat memikirkan dan memperhatikan orang
lain. Misalnya Ho Tong yang sempat-sempatnya
mengantarkan beras. Dan ada juga selain Ho
Tong yang melakukan hal serupa, misalnya
memberi tahu suatu keluarga bahwa anggota
keluarga yang dicemaskan ternyata dalam
keadaan selamat di suatu tempat. "Orang-orang
nekad" yang membuat sebagian besar warga
Seng-tin seolah diingatkan kembali bahwa Sengtin pernah hidup sebagai sebuah keluarga besar
yang anggota-anggotanya saling Mulut Macan 18 11 memperhatikan. Sesuatu yang hampir mereka
lupakan. Tanpa seorang pun mengucapkannya,
namun dalam hati sebagian besar warga Sengtin ada pengakuan, bahwa dalam peristiwa
semalam bukan hanya kekuatan jahat yang
dilepaskan Nyonya Liong yang beroperasi
dengan dahsyat menakutkan, melainkan ada
kekuatan lain yang juga bekerja, kekuatan yang
sifatnya bertentangan dengan kekuatan Nyonya
Liong. Kekuatan yang membuat beberapa warga
Seng-tin, misalnya Ho Tong, menyempatkan diri
untuk memperhatikan kepentingan orang lain.
Menyempatkan diri di saat tekanan ketakutan
dahsyat mencekam. Pembicaraan orang-orang di pasar itu tibatiba terhenti ketika melihat sekelompok orang
memasuki pasar. Yang berjalan paling depan


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

adalah Nyonya Liong sendiri, diikuti empat
orang yaitu Lui Kong-sim, Yao Kang-beng, Ban
Ke-liong si tukang keramik dan Ciok Yan-lim, si
tukang peti mati. Mulut Macan 18 12 Ada ratusan orang di pasar itu, namun tak
seorang pun berani bersuara, bahkan bernapas
pun tak berani terlalu keras. Suasana jadi sunyi
sekali. Dalam suasana sesunyi itu, suara Nyonya
Liong tidak perlu keras-keras untuk bisa
didengar setiap orang, "Semalam kalian sudah
mengalami sendiri dahsyatnya kekuatan kami.
Apakah kalian belum juga mau mengakui
junjungan kami dan menyembahnya?"
Tak ada yang menjawab, suasana tetap
sunyi. Nyonya Liong melanjutkan, "Kalian ini aneh,
apa keberatannya memuja junjungan-junjungan
kami? Padahal selama ini kalian sudah
memujanya, sudah memasang gambarnya atau
patungnya di rumah kalian. Nah, pribadi yang
sama itulah yang kupuja sekarang. Kenapa
kalian malah meninggalkannya?"
Orang-orang itu tetap membungkam.
"Apakah karena kalian baru tahu sekarang
kalau tokoh-tokoh gaib yang dulu kalian puja itu
ternyata penguasa-penguasa jahat, bukan
Mulut Macan 18 13 penguasa-penguasa yang baik seperti sangkaan
kalian waktu kalian puja dulu?"
Orang-orang di pasar tidak menjawab,
namun kesunyian itu terkoyak suara derit
engsel pintu dari warung rempah-rempah
kepunyaan Pang Se-bun. Warung itu memang
saling membelakangi dengan rumah kediaman
Pang Se-bun. Warungnya menghadap pasar,
rumah kediaman menghadap ke jalan besar.
Serempak orang-orang menoleh kearah
suara itu, dan melihat Pang Se-bun melangkah
keluar dengan wajah ramahnya yang sudah
dikenal oleh orang-orang Seng-tin. Pang Se-bun
lalu membuka papan-papan penutup warungnya, dibantu oleh Liu Yok yang belum
dikenal banyak oleh orang-orang Seng-tin.
Sikap Pang Se-bun yang begitu santai, tak
terpengaruh ketegangan akibat hadirnya
Nyonya Liong dan pengikut-pengikutnya,
justeru menampilkan wajah tegang di pihak
Nyonya Liong dan pengikut-pengikutnya.
Mulut Macan 18 14 "Dia meremehkan kita...." desis Lui Kongsim gusar. "Menganggap kita tidak ada sama
sekali..." "Tunjukkan kekuatan sihirmu, Nyonya
Liong...." hasut Ciok Yan-lim. "Beri contoh
kekuatan hebat dari Kejahatan Tertinggi agar
dilihat orang-orang Seng-tin."
Semula orang-orang Seng-tin ketakutan
sekali kepada Nyonya Liong dan kelompok
kecilnya, yang semalam berhasil mendatangkan
ribuan serigala dan kelelawar ke Seng-tin.
Namun justru ketika Lui Kong-sim dan Ciok
Yan-lim mencoba mendorong Nyonya Liong
untuk mencelakakan Pang Se-bun dan Liu Yok,
tiba-tiba di antara orang-orang Seng-tin ada
yang berani bicara meskipun suaranya rada
gemetar, "Apa salahnya orang membuka pintu
warungnya?" Ketika Nyonya Liong dan kawan-kawannya
menoleh ke arah Si Pembicara, Si Pembicara
pun tiba-tiba berkerut gentar dengan wajah
tegang dan pucat. Sementara dalam hati ia
menyalahkan diri sendiri, "Nah, mampuslah kau
Mulut Macan 18 15 sekarang. Dasar mulut lancang. Apa sangkutpautmu dengan mati hidupnya Pang Se-bun
yang bukan sanak-kadang sehingga kau
membahayakan diri dengan berkata seperti tadi
kepada Nyonya Liong?"
"Kau ingin dikutuk sekalian?" geram Lui
Kong-sim kepada Si Pembicara tadi, membuat Si
Pembicara tambah pucat membeku.
Tetapi tiba-tiba terdengar suara pembicara
kedua yang membela pembicara pertama,
"Paman Lao Im benar, Nyonya Liong. Apa
salahnya Juragan Pang membuka pintu
warungnya, hingga hendak dikutuk?"
Beberapa kepala mengangguk-angguk mendukung, meski dalam suasana ketakutan di
bawah tatapan mata yang menakutkan dari
Nyonya Liong dan pengikut pengikutnya.
Sikap saling membela meskipun takut takut
itu memang membuat gusar Nyo nya Liong, atau
lebih tepat, membuat gusar kekuatan yang
bersarang di dalam Nyonya Liong. Kekuatankekuatan yang semula menikmati puja dan
sembah rak yat Seng-tin yang dibohongi bahwa
Mulut Macan 18 16 yang mereka sembah itu "baik dan sangat
menolong", kemudian datang kekuatan yang
lebih besar yang memaksa kekuatan yang
disembah rakyat Seng-tin itu agar keluar dari
benteng-benteng kebohongannya, menampilkan
wajah aseli sebagui pembohong, pembunuh dan
pencuri, sehingga putuslah hubungan mereka
dengan pemuja-pemuja mereka. Kekuatankekuatan gaib itu kemudian "pindah rumah" ke
Nyonya Liong karena Nyonya Liong tetap
bersedia menghamba mereka meski tahu siapa
mereka sebenarnya. Nyonya Liong tidak tertipu,
melainkan dalam kehendaknya yang bebas
memilih untuk bersekutu dengan kekuatankekuatan jahat itu. Kini, kekuatan-kekuatan
jahat itu seolah ditantang ketika melihat orangorang Seng-tin saling membela, saling
memperhatikan, menjadi rantai kemanusiaan
yang kokoh. Kata Nyonya Liong lantang, "Orang-orang
Seng-tin, peristiwa semalam adalah bukti
kekuatan kami! Apakah kalian tidak takut kalau
Mulut Macan 18 17 kami menunjukkan kekuatan-yang lebih besar
lagi?" Orang-orang Seng-tin lebih ketakutan dari
tadi. Saat itulah Pang Se-bun yang sudah selesai
membuka warungnya, melangkah didampingi
Liu Yok mendekati Nyonya Liong, katanya
ramah dan hormat, "Syukurlah semalam tidak
ada seorang pun warga Seng-tin yang celaka.
Apakah kekuatan gaib yang kau lepaskan itu
berbaik hati kepada warga Seng-tin, ataukah
ada kekuatan yang lebih besar yang
menahannya agar tidak mencelakai orang, dan
kekuatan yang dilepaskan Nyonya Liong itu
tidak mampu?" Setitik harapan timbul di hati orang-orang
Seng-tin ketika mendengar kata-kata Pang Sebun yang bernada menentang Nyonya Liong.
Semenjak Nyonya Liong tampil di Seng-tin
dengan ajakan-ajakan dan ancaman-ancaman
serta demonstrasi kekuatan hebatnya, warga
Seng-tin jadi bingung dan kehilangan pegangan
kenapa dewa-dewa dan dewi-dewi yang
Mulut Macan 18 18 diperkenalkan oleh kaum Bukit Buaya Putih itu
diam dan. tidak menolong? Mereka sudah
tanya-tanya ke beberapa tokoh yang dianggap
"dekat dengan kerajaan langit" seperti Pang Sebun atau Ek Yam-lam, tapi yang ditanya juga
bingung. Orang bingung bertanya kepada orang
bingung. Orang Seng-tin sekarang lega melihat
Pang Se-bun menunjukkan sikap tegas terhadap
Nyonya Liong. "Mudah-mudahan kekuatan suci para dewa
membuat mundur Nyonya Liong dengan segala
ulahnya yang menakutkan...." beberapa orang
diam-diam berdoa dalam hati.
Belum sempat Nyonya Liong menjawab, Liu
Yok sudah ikut mendukung Pang Se-bun, "Jawab
dan jangan berbohong."
Dalam dada Nyonya Liong menggemuruh
kegusaran hebat dari berjuta-juta balatentara
dunia gaib, tetapi kata-kata Liu Yok terlalu kuat
untuk mereka bangkang. Kata-kata dari seorang
manusia penerima anugerah untuk melarang
dan mengijinkan di dunia kasar dan di dunia
gaib. Limpahan kekuasaan kepada manusiaMulut Macan 18
19 manusia penyambut anugerah itulah yang
dalam beberapa hari belakangan memaksa
balatentara langit membuka kedoknya terhadap
warga Seng-tin. Karena tidak perani melanggar larangan
berbohong yang diucapkan Liu Yok, tetapi juga
tidak ingin berkesan lemah di depan mata
warga Seng-tin, penguasa gaib di dalam diri
Nyonya Liong menjawab secara tidak langsung,
"Kekuatan kami hebat. Kami pernah membuat
burung-burung di udara menjadi buas lalu
menyerbu sebuah desa, mematuk mata orangorang di desa itu sehingga desa itu menjadi desa
orang-orang buta. He-he-he. Hai, warga Sengtin, itu belum sampai kulakukan atas kalian,
pasti kalian pun takkan suka kalau itu sampai
terjadi." Pang Se-bun sudah marah dan hendak
menantang Nyonya Liong, tatapi ia menahan
diri dan berkata kepada Liu Yok, "Saudara Liu,
hentikan dia!" "Kenapa harus aku, Kakak Pang? Semua
penerima anugerah dianugerahi limpahan
Mulut Macan 18 20 kuasa yang sama, tergantung masing-masing
berani menggunakannya atau tidak. Kakak Pang
harus belajar berani menggunakannya, hasilnya
akan sama denganku, tak ada bedanya...."
"Aku percaya. Tetapi kalau aku melakukannya di depan mata warga Seng-tin,
sebagian warga masih menganggapku tokoh
kepercayaan dari Bukit Buaya Putih, dan
mereka akan kembali ke ajaran lama. Aku tidak
mau itu terjadi. Kau saja, Saudara Liu."
Liu Yok menggeleng, "Itu pun bisa
menimbulkan salah paham warga kota ini,
Kakak Pang. Beberapa hari yang lalu, aku
pernah disangka penjelmaan dewa dan orangorang hendak bersembah sujud kepadaku,
bahkan konon Ban Ke-liong si tukang keramik
sudah membuat beberapa patungku. Ini jelas
tak boleh terjadi." "Kesalah-pahaman bisa dijelaskan belakangan, tetapi sebaiknya kau yang
menghadapinya, Saudara Lui. Aku melihat dulu
sambil belajar." Mulut Macan 18 21 Akhirnya Liu Yok maju ke depan, matanya
menatap mata Nyonya Liong dan berkata,
"Kalian tak bisa melakukan itu di Seng-tin,
karena aku keberatan. Penguasa langit macam
apa pun dan dewa macam apa pun tidak boleh
melanggar kata-kataku!"
"Karena kau dewa tertinggi ya?" ejek Ciok
Yan-lim. "Karena aku manusia," sahut Liu Yok.
"Mahluk ciptaan termulia."
Nyonya Liong tiba-tiba menggeliat, tubuhnya yang gemuk itu berubah pelan-pelan,
juga wajahnya, juga pakaiannya, semuanya
terjadi di bawah cahaya siang bolong dan di
depan ratusan mata orang-orang Seng-tin.
Berubahlah Nyonya Liong menjadi seorang
perempuan muda yang cantik, bertampang
perempuan dari kawasan padang pasir dengan
hidungnya yang mancung, bermahkota, berpakaian indah seperti ratu, seluruh


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pakaiannya dikuasai warna merah tua dan
ungu. Pada mantel terluarnya yang berwarna
merah darah itu bersulamkan ratusan lambang
Mulut Macan 18 22 dari kepercayaan-kepercayaan yang ada di
dunia, dari kepercayaan-kepercayaan besar dan
luas sampai kepercayaan-kepercayaan sukusuku terpencil yang terbatas pemeluknya. Sosok
ratu berjubah merah itu berdiri mengambang di
udara. Pang Se-bun dan juga orang-orang yang
pernah masuk ke tempat aula latihan tempat
patung "ratu langit" alias "ibu tak berasal-usul"
alias "ibu banyak kepercayaan di bumi" alias
"pemberi berkah semua tempat siarah dan
semua benda keagamaan" dapat segera
mengenal bahwa tokoh gaib yang muncul
terang-terangan di depan mata telanjang orangorang Seng-tin itu tampangnya persis dengan
patung yang ditaruh di bekas aula latihan silat
di rumah almarhum Ciu Koan. Kemunculannya
yang terang-terangan itu sekaligus menyangkal
anggapan orang bahwa rnahluk gaib jahat selalu
muncul hanya malam hari dan tampangnya
selalu jelek menyeramkan. Yang muncul melalui
Nyonya Liong kali ini muncul di bawah sorot
Mulut Macan 18 23 matahari yang terang-benderang, tampangnya
juga sangat memikat. Orang-orang Seng-tin gemetar menyaksikan
itu. Dari tengah-tengah udara, mahluk dari alam
lain itu memperdengarkan suaranya yang
merdu, "Orang-orang Seng-tin, jadilah pengikutku. Akulah yang akan mempersatukan
seluruh agama di bumi pada akhir jaman kelak."
Liu Yok berkata, "Jangan menjerat orang.
Kalau mau mengajak orang menjadi pengikutmu, jelaskan juga resikonya, supaya
orang jangan tertipu!"
Mahluk dari alam lain itu dengan gusar
menjawab, "Liu Yok, kau berani memerintahku?" Jawab Liu Yok tenang, "Ya, aku
memerintahmu. Dan berat bagimu kalau tidak
mematuhi perintahku, sebab akulah pelaksana
hukuman-Nya." "Liu Yok, mahluk hina yang terbuat dari
debu, jangan lupa siapa dirimu! Kau ini cuma
anak seorang bajingan busuk bernama Liu JingMulut Macan 18
24 yang, cucu luar seorang bandit yang dibenci
banyak orang yang bernama Sebun Him!"
Dicaci sehebat itu, Liu Yok tertawa saja,
sadar bahwa dirinya sedang dipancing untuk
marah agar "turun ke kawasan alamiah" yang
ada di bawah kendali musuhnya ini. Jawabnya,
"Liu Yok yang itu sudah tidak ada lagi, kau salah
alamat. Sekarang lihatlah siapa yang bersama
aku di dalam sini...."
Ketika mengucapkan "di dalam sini" Liu Yok
menunjuk dadanya sendiri. Saat itu sang ratu
dunia gaib tiba-tiba menutup matanya seolaholah silau, sambil memalingkan mukanya.
Orang-orang Seng-tin ikut memandang Liu
Yok dan mereka heran karena dada Liu Yok tak
ada apa-apanya, tak ubahnya dada orang lain.
Kenapa mahluk gaib itu nampaknya silau dan
tak tahan? Sebenarnya Liu Yok cemas juga. Yang
dicemaskan bukan si "ratu langit" melainkan
cemas kalau sehabis peristiwa itu lalu orangorang Seng-tin memuja dan mendewa-dewakan
Liu Yok. Untuk itu, Liu Yok juga berkata kepada
Mulut Macan 18 25 mahluk gaib itu, "Dan lihat pula yang ada di
dalam Kakak Pang Se-bun, di dalam Paman
Tabib Kian, di dalam Siau Hiang-bwe, di dalam
Saudara Ho Tong, di dalam Kakak Cu Tongliang! Pandang itu, kau lihat siapa?"
Dengan perkataan itu, Liu Yok sengaja
memperdengarkan kepada warga Seng-tin
bahwa kekuasaannya atas mahluk-mahluk gaib
bukan karena kehebatan Liu Yok pribadi
melainkan karena anugerah yang ia terima, juga
yang diterima oleh Pang Se-bun, Ho Tong dan
sebagainya tadi. Liu Yok ingin menunjukkan
bahwa kuasanya itu bukan karena usahanya
sendiri seperti menjalani bertapa atau menyiksa
diri atau bersemedi dan sebagainya.
Sementara si ratu dunia gaib itu menggeliatgeliat seperti cacing kepanasan di tengahtengah udara. Posisi Liu Yok, Pang Se-bun, Ho
Tong dan orang-orang yang disebut tadi
kebetulan berpencaran, seperti mengepung Si
Ratu Gaib, sehingga ke mana pun Si Ratu Gaib
memandang maka ia akan memandang yang
Mulut Macan 18 26 berada dalam orang-orang tadi, yang
membuatnya silau dan gelisah.
Kata-kata Liu Yok sekaligus juga menyadarkan bahwa dalam diri mereka pun
ada yang sama ditakutinya oleh mahluk-mahluk
jahat, tak berbeda antara yang di dalam Liu Yok
dengan yang di dalam mereka, Pribadi Yang
Mahahadir itu. Liu Yok pun melancarkan "jurus"
berikutnya, "Oleh anugerah, kami ditinggikan
melebihi semua pemerintahan dan kerajaan
gaib di langit. Karena itu, jangan berani-berani
lebih tinggi dari kami! Turun!"
Si ratu alam gaib itu pun terhempas ke
tanah, dan meneruskan menggeliat-geliat
seperti cacing di abu panas. Pengikutpengikutnya seperti Lui Kong-sim, Yao Kangbeng, Ban Ke-liong dan Ciok Yan-lim mundur
dengan menampilkan ketakutan hebat di wajah
mereka. Sementara dari antara kerumunan
orang-orang Seng-tin, Liu Yok melangkah maju
mendekati Nyonya Liong yang sedang "dipinjam
raganya" oleh ratu gaib itu.
Mulut Macan 18 27 Liu Yok pun melancarkan "jurus" berikutnya,
"Oleh anugerah, kami ditinggikan melebihi semua
pemerintahan dan kerajaan gaib di langit.
Karena itu, jangan berani-berani lebih tinggi
dari kami! Turun!" Mulut Macan 18 28 Mula-mula Liu Yok tampil sendirian, tetapi
kemudian ia menoleh ke orang banyak dan
berkata kepada mereka, "Saudara-saudara
warga Seng tin yang sudah sekeyaklnan
denganku, mendekatlah bersamaku. Kerja sama
kita akan melipat-gandakan tekanan kita
terhadap penguasa-penguasa jahat yang
berkumpul dl dalam tubuh Nyonya Liong.
Penguasa penguasa jahat yang selama ini sudah
menyiksa warga Seng tin."
Beberapa orang nampak tugu menanggapli
ajakan Lui Yok Itu, mereka masih terbelenggu
pikiran "tidakkah berbahaya kalau manusia
sebagal mahluk yang lemah tanpa daya Ini
menentang penguasa-penguasa gaib yang
menentukan nasib manusia"? Meski sebagian
kecil orang Seng-tin sudah menerima ajaran
yang disampaikan Liu Yok, masih saja pikiran
lama itu belum terkikis. Tetapi ada beberapa
orang yang ikut melangkah maju meski dengan
langkah ragu. Ada Pang Se-bun, lalu Ho Tong,
Tabib Kian, Cu Tong-liang, Siau Hiang-bwe, si
pemilik warung bubur kacang dan beberapa
Mulut Macan 18 29 orang lagi. Bahkan kemudian juga penganutpenganut baru seperti Pang Se-hiong yang baru
dua hari menjadi penganut ajaran itu. Lebih
mencengangkan orang-orang ialah ketika
munculnya tokoh-tokoh pembawa dan penyebar sekte dari Bukit Buaya Putih seperti
Ek Yam-lam, Ciu Bian-li, Bibi Ciu dan bahkan si
kecil A-kun, dan orang-orang tercengang ketika
melihat Wong Lu-siok sendiri muncul
bergabung menuruti anjuran Liu Yok.
Orang-orang itu membentuk lingkaran
mengelilingi Nyonya Liong yang sedang gulungkoming dalam wujud "ratu langit" itu. Lalu
orang-orang itu mulai saling bergandengan
tangan melingkar. Tindakan sepele seperti bergandengan
tangan itu ternyata berakibat hebat kepada si
"ratu langit", ia jadi seperti binatang buas,
menggunakan raga Nyonya Liong untuk
mencoba menerjang keluat lingkaran, mencoba
memutuskan lingkaran. Gigi-giginya menyeringai buas dengan air liur kental
berleleran, mata terbelalak lebar. Tampang ayu
Mulut Macan 18 30 si "ratu langit" sudah tak tersisa. Selain
sikapnya yang beringas menakutkan, dari mulut
Nyonya Liong juga keluar bermacam-macam
suara binatang, suara caci-maki dari bahasa
yang aneh, bahkan aneh juga bahwa dari mulut
yang gigi-giginya terkatup rapat itu bisa keluar
suara tambur pasukan yang berangkat
berperang. Orang-orang yang bersama-sama Liu Yok
berada dalam lingkaran itu banyak yang
menjadi ketakutan melihat keberingasan dan
kekalapan mahluk di tengah lingkaran itu,
mahluk yang sudah sulit dikenali lagi apakah
masih Nyonya Liong atau "ratu langit" atau
jenis-jenis mahluk yang banyak bercampur jadi
satu. Dalam keadaan macam itu, beberapa orang
sudah hendak kabur terbirit-birit saja. Namun
Liu Yok membesarkan hati, "Jangan gentar,
amuknya adalah amuk menjelang kekalahan!
Hunus pedang dan panah Yang Maha Kuasa dan
hujankan kepada musuh!"
Mulut Macan 18 31 Orang-orang masih bingung mendengar
seruan Liu Yok itu, dan Liu Yok sendiri sadar
bahwa kata-katanya tidak dimengerti oleh
teman-temannya, maka Liu Yok menggantinya
dengan kata-kata yang dapat dimengerti temantemannya meskipun artinya sama dengan
sebelumnya, "Hujani dengan kata-kata dari
hukuman yang tertulis dalam buku, itu akan
menyakiti kekuatan-kekuatan jahat itu!"
Lalu Liu Yok memulainya, "Hai penguasapenguasa gaib, nasib kalian seperti sekam ditiup
angin! Kalian dikejutkan dan diburu api merah
Yang Maha Kuasai" Siau Hiang-bwe mengerti, dia pun sudah
sering meminjam dan membaca buku Liu Yok,
maka dia pun mengikuti jejak Liu Yok dengan
"menembak" penguasa-penguasa gaib itu
dengan kata-kata dari buku, "Kelaliman dan
kekerasan kalian menimpa kepala kalian
sendiri!" Tadi waktu Liu Yok mengucapkan, maka si
mahluk gaib dalam lingkaran itu terhempashempas dan terombang-ambing, benar-benar
Mulut Macan 18 32 seperti sekam dibawa angin. Lalu ketika Siau
Hiang-bwe mengucapkannya, si mahluk gaib
memegangi kepalanya sambil melolong
kesakitan seolah-olah kepalanya ditimpa
sesuatu, padahal baik Liu Yok maupun Siau
Hiang-bwe tak nampak sedikit pun menyentuh
tubuh Nyonya Liong. Cu Tong-liang yang serba sedikit juga sudah
pernah membaca buku Liu Yok, ikut
mengucapkannya, meski sekedar meniru Liu
Yok dan Siau Hiang-bwe.

Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wong Lu-siok yang sudah disadarkan Siau
Hiang-bwe, tidak ikut bicara, meski tetap dalam
lingkaran orang-orang yang bergandengan
tangan itu. Namun sambil melihat peristiwa di
depan matanya, Wong Lu-siok melihat
bagaimana "ratu langit" yang dulu ia puja-puja,
sekarang tak berdaya dihajar Liu Yok dan lainlainnya dengan ayat-ayat dari kitab suci, yang
oleh Liu Yok diistilahkan sebagai "pedang dan
panah yang Maha Kuasa".
Setelah sekian lama menghajar mahluk gaib
itu, sehingga nampak sosok si mahluk gaib yang
Mulut Macan 18 33 meminjam tubuh Nyonya Liong itu terkapar
lemas di atas debu. Liu Yok pun menghentikan
rentetan kata-katanya. Si "ratu langit" itu mendesis dan berkata,
"He, Wong Lu-siok, kau pernah kuberi kekuatan
hebat sehingga memperoleh nama besar
sebagai penyihir aliran putih, juga sebagai guru
kerohanian yang dihormati orang, kenapa kau
berbalik melawanku sekarang? Kembalilah
bersekutu denganku, akan kulipat sepuluhkan
pemberianku. Kau akan memiliki kesaktiankesaktian seperti dewa-dewa jaman purba."
Wong Lu-siok menggeleng, "Aku takkan
menjual jiwaku lagi. Dulu, orang orang
mengagumlku dan bahkan memuja ku, tetapi
jiwaku amat tertekan oleh siksaanmu. Sekarang
jiwaku terasa bebas, bahagia. Ditawari apa pun
aku takkan mau lagi seperti dulu."
Liu Yok menambahkan, "Lagipula kesaktian
yang kautawarkan itu toh tidak dapat
membuatmu mampu menahan hukumanhukuman Yang Maha Kuasa yang kami ucapkan
tadi." Mulut Macan 18 34 Si "ratu langit" kini beralih kepada A-kun,
"Anak manis, A-hwe kangen kepadamu lho.
Kenapa kau tinggalkan dia? Dia akan
mengajakmu ke tempat-tempat yang indah."
Pang Se-bun sebagai ayah A-kun sudah
berdesir dadanya, kuatir puterinya salah jawab
dan masuk perangkap mahluk jahat itu. Ingat
akan yang pernah dikatakan Liu Yok tentang
wewenang seorang ayah atas anaknya yang
belum dewasa dan belum sempurna kehendaknya, maka Pang Se-bun yang
menjawab, "He, mahluk jahat, tidak akan
kuserahkan anakku kepadamu.'*
Mahluk Itu kemudian menawarkan kekayaan berlimpah kepada pemilik warung
bubur kacang. Pemilik Warung Bubur Itu
sebenarnya sudah lama tidak puas akan tingkat
perekonomiannya yang "begitu begitu saja" dari
tahun ke tahun. Tawaran si mahluk jahat tentu
menggoyahkan jiwanya. Namun mendengar
suara dalam hati kecilnya, diperkuat dengan
mendengar kesaksian Wong Lu-siok yang
Mulut Macan 18 35 mantan "utusan ratu langit" itu, Si Pemilik
warung itu pun akhirnya menolak dengan tegas.
Liu Yok bersyukur melihat keteguhan hati
orang-orang itu. Lingkaran orang-orang itu
jadinya tetap tak terputus.
Kata Liu Yok kemudian, "Nah, mahluk jahat,
kau sudah mendengar sendiri jawaban mereka.
Mereka menjawab dalam keadaan bebas dari
tekanan. Dan kau harus menghormati
keputusan mereka, jangan sampai kulaksanakan lagi hukuman Yang Maha Kuasa
kepada kalian. Aku tahu juga, kau di situ tidak
sendiri tetapi dikelilingi hulubalanghulubalangmu. Aku perintahkan, tunjukkan
semua hulubalang bawahanmu!"
Si mahluk jahat meludah-ludah sengit dan
menjawab dengan suara parau, "Liu Yok
keparat, aku tidak di bawah perintahmu!"
"Kau dibawah perintahku, dan aku mampu
memaksamu. Atau kulaksanakan lagi hukuman
tadi?" Mahluk itu meringkuk di tanah, membungkam. Mulut Macan 18 36 Liu Yok habis sabarnya, lalu dia mulai
"menembak" lagi dengan kalimat-kalimat
hukuman dari bukunya. Siau Hiang-bwe
mengikutinya, juga Cu Tong-liang. Si mahluk
mulai menggeliat-geliat dan hendak mengamuk
seperti tadi, suara bermacam-macam binatang
dan bahasa-bahasa aneh kembali berhamburan
dan mulutnya yang berliur dan berdebu.
Amuknya makin dahsyat, dan berusaha
menerjang keluar dari lingkaran orang-orang
yang bergandengan tangan itu. Susah dipahami
bahwa lingkaran yang seperti anak-anak
bermain itu menimbulkan siksaan hebat kepada
mahluk itu, tetapi begitulah kenyataannya. Dan
seperti tadi, amukannya tak pernah berhasil
memutuskan lingkaran itu.
Liu Yok pun tidak membuang waktu lagi,
bentaknya, "Kuperintahkan, tundukkan seluruh
panglima-panglima jahatmu!"
Kejadian selanjutnya membuat orang-orang
seolah bermimpi. Bahwa Nyonya Liong tadi
tiba-tiba mengalami "pengambil-alihan" lalu
berubah ujud, begitu pula kini Nyonya Liong
Mulut Macan 18 37 berubah-ubah ujud, bukan hanya satu kali
melainkan puluhan kali. Sambil terbanting-banting di tengah-tengah
lingkaran, ujud "ratu langit" berangsur
menghilang, namun tidak berarti menjadi
Nyonya Liong kembali, melainkan ujud-ujud
lain. Sebentar jadi seorang berdandan panglima
perang jaman kuno, sebentar jadi seperti
seorang berpakaian bangsawan negeri asing,
sebentar berujud bidadari jelita yang dilukis di
bangunan-bangunan kuno, sebentar berujud
raksasa jelek menakutkan, sebentar berubah
jadi hewan seperti ular besar, macan hitam,
buaya putih, kura-kura, kelabang besar, atau
binatang-binatang aneh seperti singa bersayap,
manusia setengah ikan dan sebagainya.
Mengherankan pula bahwa di antara ujud-ujud
yang berubah-ubah itu kadang-kadang nampak
ujud-ujud "orang suci" yang dimuliakan di
berbagai keyakinan. Rupanya itulah hulubalanghulu-balang si "ratu langit" yang dipaksa
muncul oleh Liu Yok, dipaksa menampakkan
diri melajui perubahan fisik Nyonya Liong.
Mulut Macan 18 38 Melihat ujud-ujud itu, orang-orang Seng-tin
dengan rasa ngeri melihat ujud-ujud yang
selama ini mereka puja, karena mereka sangka
sebagai penolong dan pemberi keberuntungan.
Itulah ujud-ujud yang pernah mengilhami Ban
Ke-liong untuk membuatkan patung-patung
dari porselen. Sementara orang-orang melihat
dengan rasa ngeri, Nyonya Liong terus saja
bertukar ujud. Di antara ujud-ujud yang
ditampilkan, muncul pula ujud tokoh-tokoh
dalam sejarah, raja-raja atau bangsawanbangsawan berbagai bangsa yang diyakini
"keturunan dewa" atau "penjelmaan dewa"
yang "turun ke dunia untuk membasmi
kejahatan di jamannya". Kadang Nyonya Liong
juga berujud menjadi seperti api yang menyala,
gumpalan asap hitam, bahkan lumpur, dan
pernah juga menghilang selama beberapa detik.
Rupanya itulah semua hulubalang sang ratu
langit yang dipaksa ber "parade" menampilkan
diri oleh Liti Yok. Selain ketakutan melihat bermunculannya
tokoh-tokoh dori negeri gaib itu, warga Seng-tin
Mulut Macan 18 39 sekaligus juga terbuka mata hatinya bahwa
tokoh-tokoh gaib itu ternyata bisa dipaksa
mematuhi seorang manusia seperti Liu Yok.
Manusia yang menyadari anugerah Penciptanya
dan menerima anugerah itu dengan yakin.
Setelah penguasa-penguasa gaib itu selesai
bergiliran memamerkan ujudnya, akhirnya yang
nampak kembali adalah ujud Nyonya Liong.
Nyonya gemuk itu nampak berantakan terpuruk
di tanah berdebu di tengah-tengah pasar Sengtin itu, terengah-engah, berkeringat, ingus dan
air liurnya tak berhenti mengalir keluar dari
hidung dan mulutnya, bercampur darah,
rambutnya awut-awutan dan pakaiannya kusut,
la nampak begitu kelelahan dan kesakitan.
Liu Yok berkata, "Sudah habis? Sudah
menampakkan ujud semua yang bersarang
dalam tubuh anak manusia ini?"
Nyonya Liong kelihatan mengangguk lemah.
Namun Liu Yok masih mengeluarkan kata-kata
untuk mengamankan keputusannya, "Kalau
masih ada yang bersembunyi dan tadi belum
menampakkan diri, maka akan kulepaskan
Mulut Macan 18 40 pasukanku untuk mendatangi mereka dl tempat
persembunyian mereka dan menyeret keluar
mereka." Dari mulut Nyonya Liong terdengar dosis
lemah, "Sudah semuanya.... sudah semuanya...
Llu Yok manusiakeparat, kau menyakiti aku...."
Sahut Liu Yok tenang, "Menjalankan amanat
Bapakku memang terdiri dari dua sisi yang
nampaknya seolah berlawanan, tetapi ibaratnya
dua sisi dari sekeping mata uang. Sisi pertama,
kepada mahiuk yang sejenis denganku, yaitu
manusia, aku adalah pelayan yang harus
selembut-lembutnya dan sesabar-sabarnya, sisi
ke dua, terhadap mahluk-mahluk jahat seperti
kalian yang ribuan tahun menunggangi dan
membohongi manusia, seenaknya menentukan
nasib manusia, membuat manusia kehilangan
keakraban dengan penciptanya. Terhadap
mahiuk?mahluk seperti kalian, kami harus
keras sekeras-kerasnya, kejam sekejamkejamnya, seperti tertulis di bukuku bahwa
kamilah pelaksana hukuman Yang Maha Kuasa,
kamilah pemegang pedangnva. Kalian harus
Mulut Macan 18 41 dipaksa melepaskan cengkeraman kalian atas
manusia dengan tindakan-tindakan amat keras
dan kami." "Tetapi... banyak manusia mengabdi ke pada
kami." "Dan itu memberiku alasan untuk meng
hajar kalian lebih berat lagi. Sekarang
dengarkan, kubelenggu kalian dan kuberi
kesempatan Nyonya Liong untuk kembali
memilih tanpa jiwanya dipengaruhi, "Mari kita
usung Nyonya Liong ke rumahnya. Paman Kian,
tolong bawa kotak obatnya, Nyonya Liong
memerlukannya." Dengan menggunakan papan-papan seadanya yang dibuat jadi usungan, Nyonya
Liong pun dibawa ke rumahnya. Liu Yok dan
lain-lain mengikutinya. Di rumah Nyonya Liong yang hidup
sendirian, setelali Nyonya Liong dibaringkan di
kamarnya, Liu Yok sekali lagi menanyai Nyonya
Liong tentang keputusannya untuk mengabdi
kepada kekuatan-kekuatan jahat. Liu Yok
mengatakan, kalau Nyonya Liong mau,
Mulut Macan 18 42 perjanjian itu bisa dibatalkan dan kekuatankekuatan jahat yang gaib takkan bisa menuntut


Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kalau manusianya teguh dengan keputusannya.
Mendegar tawaran Liu Yok itu, Nyonya Ling
dengan sorot mata penuh kebencian menatap
Liu Yok dan berdesis, "Penguasa-penguasa gaib
itu membuat hidupku ada artinya. Orang-orang
jadi gentar kepadaku, aku menentukan nasib
mereka. Apa yang membuat orang lebih bangga
dari itu?" "Ada yang membuat manusia jauh lebih
bangga dari itu, yaitu kalau manusia berada
pada posisi yang tepat dihadapan Sang Maha
Pencipta. Manusia menjadi mitra dialog-Nya,
bertukar isi hati tanpa tirai, mengasihi dan
dikasihi. Dan kekuatan-kekuatan yang dijanjikan oleh penguasa-penguasa itu, mana
mampu menahan kekuatan Sang Pencipta
melalui orang-orang yang menerima anugerahnya? Di Pasar tadi buktinya."
"Aku membencimu, Liu Yok, kau mempermalukan junjungan-junjunganku, kau
mempermalukan kerajaan di angkasa. Dengan
Mulut Macan 18 43 kehendakku yang bebas saat ini, kunyatakan
bahwa aku akan tetap bersekutu dengan
penguasa-penguasa gaib itu dan menerima
kesaktian-kesaktian dari mereka! Aku tolak
usulmu. Dan enyahlah dari sini!"
Liu Yok, Pang Se-bun dan lain-lain pun
keluar dari rumah itu dengan hati yang sedih.
Tiba di jalanan, Pang Se-bun bertanya
kepada Liu Yok, "Saudara Liu, kenapa tidak kau
gunakan kuasamu untuk memaksa Nyonya
Liong tunduk kepada sesembahan yang benar?"
Liu Yok menggeleng, "Berhadapan dengan
setan-setan, bagaimanapun kuatnya mereka,
kita dilimpahi kuasa tak terbatas oleh Sang
Pencipta untuk memaksa mahluk-mahluk gaib
itu tunduk. Tetapi kita tidak diberi sedikit pun
atas kehendak manusia. Tidak boleh ada
pelanggaran sedikit pun terhadap kehendak
manusia, bahkan meski untuk tujuan baik. Sang
Maha Pencipta yang menciptakan kehendak
manusia pun menghormatinya. Tidak ada
manusia menjadi penyembah yang terpaksa
kepada Sang Pencipta."
Mulut Macan 18 44 "Jadi Nyonya Liong...."
"Mudah-mudahan mau merenung lalu
mengubah keputusan. Kalau demikian, bisa
tertolong. Kalau tidak mau tertolong, Yang Maha
Kuasa sendiri pun tak kan bisa menolongnya."
Peristiwa di pasar itu menjadi bahan
obrolan warga Seng-tin sampai beberapa hari.
Bahkan Liu Yok harus buru-buru meninggalkan
Seng-tin untuk menghindarkan Seng-tin dari
kesesatan baru, yaitu menyembah Liu Yok. Liu
Yok pergi bersama Siau Hiang-bwe dan Cu
Tong-liang, dan rombongannya bertambah satu
orang, Wong Lu-siok. Sebelum Liu Yok pergi, Pang Se-bun sempat
menyalin seluruh isi buku milik Liu Yok, dan
salinan itu menjadi tuntunan bagi Pang Se-bun,
Ho Tong dan sebagainya untuk menapaki jalan
yang sudah diawali. Hampir setiap sore di rumah Pang Se-bun
berkumpullah orang-orang seperti Ho Tong, Ek
Yam-lam dan sebagainya untuk membahas
salinan buku Liu Yok itu. Jumlah orang yang
berkumpul bertambah-tambah terus.
Mulut Macan 18 45 Sampai tibalah saatnya Pang Se-bun dan
kelompoknya mendapat "pekerjaan rumah"
untuk mempraktekkan salinan buku Liu Yok itu.
Suatu pagi, ketika Pang Se-bun sedang
membuka papan-papan warungnya, seorang
berlari-lari dan berkata, "Kakak Pang, Nyonya
Liong..., Nyonya Liong...."
"Kenapa Nyonya Liong? Bikin ulah lagi?"
tanya Pang Se-bun. Diam-diam ia merasa agak
gentar juga. Liu Yok dan Siau Hiang-bwe sudah
pergi dari Seng-tin, kalau sekarang Nyonya
Liong kambuh memamerkan ilmu gaibnya yang
dahsyat, siapa bisa menanggulanginya?
Namun ketika ia berpikir begitu, ia merasa
bersalah dalam hati. Bersalah karena ia telah
membuat Liu Yok jadi andalan, padahal itu salah
menurut Liu Yok sendiri. "Nyonya Liong..., meninggal dunia...."
Nyonya Liong memang tidak berkeluarga
lagi, jadi kalau terjadi apa-apa, warga Seng-tin
yang mengurusnya bersama-sama.
Pang Se-bun sedih juga mendengar Nyonya
Liong meninggal dunia selagi masih dalam
Mulut Macan 18 46 ikatannya dengan kekuatan-kekuatan hitam di
alam gaib, la termenung sesaat, lalu berkata,
"Kalau meninggal, ya tetangga-tetangga
mengurusnya. Biayanya ditanggung seluruh
warga kota besama...."
"Tak ada yang berani menyentuh mayatnya,
Kakak Pang, sebab kata tetangga-tetangganya
semalam ada kejadian aneh...."
Pang Se-bun berdebar, "Kejadian apa lagi?"
"Mari kita dengarkan saja."
Pang Se-bun terpaksa menuju ke rumah
Nyonya Liong, ketika ketemu Ho Tong sedang
membeli sesuatu di warung, Ho Tong diajaknya
sekalian. Di rumah Nyonya Liong sudah banyak
tetangga berkerumun, tetapi semuanya di luar
pintu, tak ada yang berani masuk ke dalam.
"Di mana jenazah Nyonya Liong?" tanya
Pang Se-bun ketika datang.
"Di dalam." "Kenapa tidak segera diurus?"
"Kami takut kena apa-apa."
"Lho, kena apa-apa bagaimana?"
Mulut Macan 18 47 "Soalnya semalam ada kejadian seram."
"Kejadian seram bagaimana?"
Seorang tetangga yang rumahnya berseberangan dengan rumah Nyonya Liong lalu
bercerita, "Semalam anjing-anjing di gang ini
melolong semalam-malaman. Aku bangun dan
hendak memeriksa di luar kalau-kalau ada
orang jahat. Begitu ku jenguk keluar, kulihat
dari dalam kabut muncul sebuah kereta yang
berhenti di depan rumah Nyonya Liong...."
"Kereta?" Pang Se-bun heran, sebab tak
seorang pun penduduk Seng-tin yang punya
kereta. Paling-paling joli.
"Ya, kereta beroda empat dan berwarna
hitam seluruhnya. Dua ekor kuda yang
menariknya juga berbulu hitam, saisnya juga
berjubah hitam dan sepasang matanya seperti
mata kucing di malam hari. Lalu kulihat Nyonya
Liong juga dalam pakaian hitam keluar dan
rumah itu, naik ke dalam kereta itu, lalu
pergilah keretanya. Aku heran, kutanya Nyonya
Liong, hendak ke mana malam-malam, tetapi ia
tidak menjawab." Mulut Macan 18 48 Beberapa tetangga lain memperkuat cerita
orang itu. Pang Se-bun menarik napas, "Nyonya Liong
sudah memilih pilihannya sendiri dengan segala
akibatnya. Sekarang kita urus jenazahnya
selayaknya manusia."
"Tetapi...." Pang Se-bun tahu apa yang hendak
diucapkan orang itu, dan ia menukasnya, "Kita
mengandalkan perlindungan Tuhan Yang Maha
Kuasa dan takkan terjadi apa-apa. Ayo."
Selain meninggalkan Nyonya Liong, warga
Seng-tin juga mendengar kalau Lui Kong-sim,
Han Ke-liong serta Ciok Yan-lim pergi dari Sengtin dan tak ada yang tahu ke mana mereka
bertiga. Sedangkan Yao Kang-beng tetap di Seng-tin.
Tetapi ia punya kebiasaan aneh. Ia jadi suka
berdandan seperti perempuan, memakai gincu
dan pupur segala, dan entah bagaimana
datangnya keahlian, tahu-tahu ia bisa
menirukan "tarian langit" padahal tidak pernah
berlatih sebelumnya. Mulut Macan 18 49 Menghadapi hal-hal seperti itu, Pang Se-bun
selalu membesarkan hati orang-orang yang
sering beribadah bersama di rumahnya, "Ini
tugas kita, saudara-saudara. Yang bersama kita
sama dengan yang bersama Saudara Liu Yok.
Dengan berdoa dan menelaah salinan buku
Saudara Liu, suatu kali kita pun akan dapat
memulihkan Saudara Yao. Jangan putus
harapan." TAMAT Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 30/08/2018 21 : 38 PM
Mulut Macan 18 50 Pedang Pelangi 10 The Hunger Games Karya Suzanne Collins Suling Naga 21

Cari Blog Ini