Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp Bagian 7
kecewa karena gagal, tapi lega juga karena tidak
ketahuan sebagai pelakunya.
Kini dengan lagak seorang hakim yang adil,
Lui Kong-sim berkata kepada kedua perempuan
itu, "Bibi berdua, diamlah dulu! Urusan kalian
bisa diselesaikan nanti dan kita akan
menghukum berat siapa yang bersalah!
Sekarang kita selesaikan dulu silang pendapat
Mulut Macan 12 6 dengan Saudara Giam ini. Ini harus beres. Kalau
tidak, Saudara Giam ini akan merasa benar
dengan pendapatnya, padahal salah. Dia akan
menularkan pendapatnya kepada orang lain,
dan jalan suci dari langit akan ditinggalkan
banyak orang, lalu kota ini akan kena bencana
dahsyat!" Kedua perempuan yang bertengkar itu tidak
berani berkutik lagi. Lui Kong-sim kembali menghadapi Giam
Lok sambil bertanya mengejek, "Saudara Giam,
kau bilang bahwa tanpa kekuatan-kekuatan suci
penjaga-penjaga keamanan kita akan tetap
hebat, apakah ucapanmu itu ada buktinya, atau
cuma kira-kira?" "Aku buktinya. Aku sembuh dari sakit
karena semangatku, bukan karena pertolongan
gaib mana pun." "Sekarang kita uji, benarkah semangatmu
bisa mengalahkan kekuatan-kekuatan dari
langit." kata Lui Kong-sim.
Giam Lok kaget, "Saudara Lui, apa
maksudmu?" Mulut Macan 12 7 "Bertanding. Apalagi selain itu? Kau
bertanding dengan semangatmu yang kau
banggakan, dan kau akan melawan salah
seorang dari kami yang menggunakan kekuatan
gaib." Bukannya gentar, namun Giam Lok merasa
kurang adil. "Saudara Lui, kau tahu bahwa aku
sembuh dari sakit baru beberapa hari, mana
mungkin melawanmu?" "Bukan melawanku, tetapi melawan dia!"
sahut Lui Kong-sim sambil menunjuk salah
seorang pengikutnya. Darah Giam Lok mendidih oleh rasa terhina
ketika melihat orang yang ditunjuk Lui Kongsim itu adalah seorang bocah tanggung
berbadan kurus dan pendek. Usianya kira-kira
tiga belas tahun, tetapi lagaknya berusaha
nampak seperti seorang jagoan yang sudah
dewasa. "Aku... melawan dia?"
"Ya." Mulut Macan 12 8 "Kakak-kakaknya dan kakak iparnya adalah
teman baikku, mana bisa aku melawannya?
Apalagi dia jauh lebih muda dari aku."
"Saudara Giam, tidak perlu sungkan, sebab
ini bukan pertarungan untuk saling membunuh,
melainkan hanya uji coba. Jadi tidak usah pakai
alasan macam-macam untuk menghindari
kekalahanmu yang akan membuktikan kesalahan pendapatmu!"
Kata-kata Lui Kong-sim yang tajam itu
bagaikan minyak disiramkan kepada api,
membuat hati Lui Kong-sim menyala. Rasanya,
biarpun ia belum lama sembuh dari sakit, Giam
Lok merasa mampu mengalahkan anak kecil itu
tanpa menciderainya. Sementara, anak itu sudah mengeluarkan
sehelai ikat kepala kuning untuk dililitkan di
kepalanya, lalu matanya terpejam dan mulutnya
berkomat-kamit, kemudian tubuh itu bergetar.
Giam Lok geleng-geleng kepala, lalu ia
mendekati anak itu sambil menghimpun
Semangatnya dan meningkatkan kesiagaan
sampai ke puncaknya, dengan keyakinan bahwa
Mulut Macan 12 9 semangatnya tetap mampu mengatasi apa pun,
termasuk kekuatan-kekuatan gaib.
Jarak Giam Lok dengan anak itu masih
beberapa langkah, tetapi anak itu tiba-tiba
melambaikan tangan kurusnya perlahan,
serempak Giam Lok merasa hatinya guncang
dan konsentrasinya buyar. Berikutnya, tubuhnya terpental ke belakang tanpa disentuh
oleh Si Anak. Lui Kong-sim dan teman-temannya tertawa
riuh, membuat kuping Giam Lok' sampai
memerah. Dengan mengertakkan gigi, Giam Lok
bangkit kembali, lalu menghimpun kembali
semangat dan konsentrasinya untuk kembali
mendekati Si Anak Kecil dengan amat hati-hati.
Si Anak, dalam keadaan masih tidak sadar,
hanya melakukan gerak pelan seperti menari.
Tahu-tahu Giam Lok merasa tubuhnya diputar
seperti gasing, tak tertahan oleh Giam Lok
sendiri. Sampai tubuhnya terhempas lagi.
Kali ini sebelum Giam Lok bangkit, Si anak
menaik-turunkan tangannya, maka tubuh Giam
Lok pun terhempas naik-turun tanpa henti.
Mulut Macan 12 10 Berikutnya, tubuhnya terpental ke belakang
tanpa disentuh oleh si anak.
Mulut Macan 12 11 Makin riuhlah gelak tawa Lui Kong-sim dan
teman-temannya. "Ayo, Saudara Giam, tunjukkan semangatmu
yang hebat itu!" "Masa semangatmu hanya segini saja
hebatnya?" Giam Lok gusar dan malu bukan main,
tetapi tak mampu lepas dari keadaan itu. Tak
peduli sudah menghimpun semangat sebisabisanya untuk mengendalikan diri, ia tetap
terbanting-banting oleh kekuatan tak terlihat.
Lui Kong-sim merasa cukup mempermainkan Giam Lok, sambil membaca
mantera dia merenggut ikat kepala kuning dari
kepala Si Bocah Tanggung. Si Bocah langsung
terkulai roboh ke tanah dengan mata terpejam,
tubuhnya cepat ditangkap oleh teman-teman
Lui Kong-sim yang lain. Giam Lok pun tidak lagi
terhempas-hempas. "Masih butuh bukti lain, Saudara Giam?"
tanya Lui Kong-sim. Dengan hati bergolak oleh kemarahan dan
rasa malu meluap-luap, Giam Lok bangkit lalu
Mulut Macan 12 12 bergegas pergi dari situ. Dalam kemarahannya,
uang pemberian Si Nenek yang dipesankan
untuk dibelikan hadiah bagi ibu Giam Lok demi
memperbaiki hubungan, sekarang dibawa Giam
Lok ke bengkel besi kepunyaan Pang Se-hiang,
adik Pang Se-bun. Giam Lok memesan sebuah
tombak besi seberat tujuh puluh dua kati.
Tombak besi seberat itu biasa digunakan
untuk melatih tenaga. Baik ujung tombak
maupun gagangnya terbuat dari besi padat
semuanya. Murid-murid almarhum Ciu Koan
yakin, kalau sering memainkan tombak besi
yang beratnya beberapa kali lipat tombak biasa,
maka kalau memainkan tombak biasa akan jadi
lebih cepat dan mantap. Dengan memesan
tombak besi, Ciam Lok tetap yakin bahwa
semangat dan kekuatan jiwa raga manusia
dapat dilatih untuk mengatasi apa saja,
termasuk yang gaib. Pulang dari bengkel Pang Se-hiong, Giam
Lok menjumpai rumah bekas kediaman Ek Yamlam itu sudah sangat rapi dan bersih. Bahkan di
dapur ada beberapa macam masakan di atas
Mulut Macan 12 13 meja, entah dari mana bahan-bahannya. Itu
mengherankan Giam Lok. Tetapi ia tidak dapat
bertanya kepada Si Nenek, sebab nenek itu
tidak kelihatan batang hidungnya di situ.
Hanya saja, meski Si Nenek tidak disitu,
Giam Lok seolah bisa merasakan rasa kecewa
yang dalam dari hati si nenek tertinggal di
udara ruangan itu. Rasa kecewa karena uang untuk membeli
hadiah pemulihan hubungan dengan ibu Giam
Lok malah digunakan untuk memesan tombak
besi. * * * Di pondoknya, Tabib Kian sedang bersiapsiap mengunjungi Seng-tin. Biasanya, kalau ia
bersiap-siap ke Seng-tin, wajahnya akan
berseri-seri gembira, sebab merasa sebagai
tabib yang masih dibutuhkan orang. Tetapi kali
ini wajahnya murung saja, sebab belakangan ini
Tabib Kian merasa dirinya sudah tidak berguna
Mulut Macan 12 14 lagi. Ia merasa iimu pengobatannya sudah
ketinggalan jaman, sehingga tidak lagi dapat
menyembuhkan orang-orang Sen-tin yang sakit.
Kali ini ia ke Seng-tin juga bukan untuk
mengobati orang, melainkan hendak mengembalikan sekantong uang kepunyaan
Nyonya Yao yang dititipkan melalui Siau Hiangbwe. Selain itu, kecemasannya akan nasib Siau
Hiang-bwe membuat Si Tabib ingin cari berita
tentang Siau Hiang-bwe. "Aku ikut!" kata Cu Tong-liang begitu
mendengar Tabib Kian hendak ke Seng-tin.
Sudah beberapa hari Cu Tong-liang menghabiskan waktu hanya dengan membantu
Liu Yok berkebun sambil mengobrol ringan, dan
ia mulai merasa jemu. Ia ingin ke Seng-tin, apa
pun resikonya. Sangat di luar dugaan, bahwa Liu Yok pun
tiba-tiba berkata, "Aku juga ingin melihat-lihat
seperti apa Seng-tin itu dengan mata
jasmaniahku." Mulut Macan 12 15 Cu Tong-liang sudah tegang wajahnya,
kuatir Liu Yok "si picik dan fanatik" ini akan
menimbulkan gara-gara besar di Seng-tin nanti.
"Kenapa, Kakak Liang?" tanya Liu Yok ketika
melihat wajah Cu Tong-liang yang menegang.
"Begini, Saudara Liu... kau mungkin akan
lebih kaget melihat keadaan Seng-tin. Orangorangnya menganut keyakinan lain yang
barangkali amat membuat Saudara Liu tidak
senang. Jadi, apakah tidak lebih baik kalau
Saudara Liu tetap di rumah saja?"
Liu Yok menyeruput teh hangatnya sambil
menaikkan sebelah kakinya di bangku. "Aku
sudah melihat sejatinya Seng-tin di alam batin,
sekarang ingin juga kulihat bayangannya di
bumi seperti apa." Mati-matian Cu Tong-liang hendak mencegah Liu Yok, "Lebih baik jangan, Saudara
Liu. Tidak akan cocok. Lagipula, bukankah
Saudara pernah bilang, bahwa kali ini giliran Akui yang menanganinya?"
"Dulu waktu aku berkata begitu, aku lupa
sesuatu. Waktu itu, aku berpikir bahwa aku ya
Mulut Macan 12 16 aku, A-kui, ya A-kuj, pribadi sendiri-sendiri. Aku
lupa yang tertulis di bukuku bahwa semua yang
sudah menyambut anugerah itu sudah menjadi
sedarah-sedaging-seroh, diibaratkan sebuah
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tubuh. Jadi, urusan A-kui adalah urusanku juga.
Dan semalam kubaca lagi, kalau satu orang
dapat menaklukkan seribu musuh, maka dua
orang akan menaklukkan sepuluh kali lipatnya."
Cu Tong-liang garuk-garuk kepalanya yang
tidak gatal, sadar bahwa ia tidak dapat
mencegah Liu Yok. Entah bagaimana nanti
reaksi Liu Yok kalau melihat bendera-bendera
dengan "huruf suci" yang dikibarkan di segenap
pelosok Seng-tin sebagai "penangkal pengaruh
buruk alam maupun roh jahat"? Tidakkah Liu
Yok akan mengkritiknya sebagai pemberhalaan
benda-benda mati? Bagaimana nanti reaksi Liu
Yok kalau mendengar pembicaraan orang-orang
Seng-tin yang menghubung-hubungkan segala
sesuatunya dengan "mahluk-mahluk suci di
langit"? Bagaimana reaksi Liu Yok bila ia
melihat toko Ban Ke-liong yang laris dikunjungi
orang-orang yang ingin mencari sosok patung
Mulut Macan 12 17 untuk dipuja? Dan bagaimana pula reaksi
penduduk Seng-tin kalau melihat sikap Liu Yok?
Cu Tong-liang ngeri membayangkannya.
Ketika itulah Liu Yok berkata dengan kalem,
agaknya memahami gejolak hati Cu Tong-liang.
"Kakak Liang, Kakak Liang. Kakak kuatir aku
akan berpidato di tengah-tengah jalan atau di
tengah pasar, mengkritik orang-orang Sengtin?"
Cu Tong-liang Cuma nyengir sambil
melanjutkan sarapan paginya. Dalam hati, ia
memang ngeri membayangkan Liu Yok benarbenar akan bertindak demikian di Seng-tin. Kata
Liu Yok pula, "Tidak. Nanti Kakak Liang hanya akan
melihat wadah kasarku ini menyusuri lorong
demi lorong di Seng-tin, mengikuti ke mana
langkah Paman Kian tertuju. Dan mungkin
Paman Kian akan mengajak wadah kasarku ini
sedikit dimanjakan di... warung bubur kacang tempat kegemaran Paman Kian.
Bukankah begitu, Paman?"
Mulut Macan 12 18 Biarpun Tabib Kian sedang agak murung,
namun mendengar pertanyaan Liu Yok itu dia
pun tertawa kecil. Katanya, "Pasti A-kui yang
mempromosikan bubur kacang itu kepadamu,
A-yok. Dia pernah kuajak ke sana."
Sementara Cu Tong-liang menangkap "arti
terselubung" yang lain dalam kata-kata Liu Yok
itu. Pikirnya, "Hem, dia hanya menjanjikan
'wadah kasar'nya yang tidak melakukan apaapa yang membahayakan. Dia tidak menjanjikan
tentang 'manusia sejati'nya alias rohnya apakah
akan melakukan sesuatu atau tidak di alam
batin. Tetapi biarlah. Asal 'wadal kasar'nya
tidak melakukan sesuatu di Seng-tin, biar
'manusia sejati'nya mau jungkir balik di alam
batin pun terserah. Setelah sekian bulan berjalan bersama Liu
Yok, sedikit banyak Cu Tong-liang paham juga
tentang jalan pikiran Liu Yok tentang "wadah
kasar" alias ?kemah' alias "manusia berkodrat
alamiah" ini dengan "manusia sejati" alias
"penghuni kemah" alias "manusia berkodrat
ilahiah". Tetapi Cu Tong-liang belum paham
Mulut Macan 12 19 benar bahwa "manusia sejati" Liu Yok itu jusru
memiliki kekuatan yang berjuta-juta kali lipat
dari "wadah kasar" yang terdiri dari darah,
daging, tulang dan otot-otot itu. Karena ketidakpahamannya akan kekuatan batin inilah yang
membuat Cu Tong-liang sampai berpikir, "Asal
'wadah kasar'nya tidak melakukan apa-apa,
terserahlah kalau 'manusia sejati'nya mau
jungkir-balik atau melakukan apa pun asai
dalam batin saja." Ketiga orang itu pun kemudian bersiap-siap
untuk berangkat. Tabib Kian tidak membawa
kotak obatnya, yang dianggapnya takkan
banyak berguna lagi. Ketika mereka sudah melangkah di padang
ilalang yang luas itu, diguyur cahaya matahari
pagi yang hangat keemasan, sedikit banyak
kemurungan Tabib Kian agak tersapu bersih
juga. Liu Yok diam-diam membatin, "Inilah
manusia alamiah. Gembira dan sedih tergantung
kepada situasi alam sekitarnya, kepaca sikap
orang terhadapnya." Mulut Macan 12 20 Ketika memasuki kota Seng-tin, dan melihat
bendera-bendera "kerajaan langit' berkibar di
mana-mana, Cu Tong-liang diam-diam memperhatikan bagaimana sikap dan air muka
'wadah kasar Liu Yok ini. Ternyata air muka
'wadah kasar' itu hanya berkerut sedikit
alisnya, tetapi tidak menampakkan lebih dari
itu, dan tidak mengucapkan apa-apa.
Sementara Cu Tong-liang tidak menyadari
bahwa alam batin Liu Yok sudah bertindak dan
menimbulkan kepanikan dahsyat pada penghuni-penghuni alam gaib yang selama ini
menguasai jiwa dan pikiran orang-orang Sengtin. Kepanikan di alam gaib yang akan segera
tercermin di alam kasar yang menjadi
bayangannya Di rumah keluarga Yao, suasananya seperti
biasa. Yao Kang-beng, salah seorang kepercayaan Guru Wong, sudah bersiap-siap
dengan jubah putihnya ada banyak benda suci
di kantong bajunya bersiap menghadap Wong
Lu-siok. Mulut Macan 12 21 Yao Sin-lan nampak semakin sehat sejak ia
dibebaskan dari kewajiban ikut dari kelompok
penari. Gadis itu nampak sedang berjalan-jalan
di kebun bunga di samping rumah, diiringi gadis
cilik pembantunya. Yao Pek-hoat, ayah Yao Kang-ben dan Yao
Sin-lan, yang baru saja pulang dari berniaga di
kota Tiang-an, siap-siap pergi ke tokonya dan
membuka tokonya untuk memamerkan barangbarang dagangan yang dibawanya dari Tiang-an
kota kuno bersejarah itu.
Tetapi harapan yang menggebu-gebu dari
saudagar kawakan itu jadi sedikit surut, ketika
mendengar kata-kata lsterinya, "Orang-orang
Seng-tin sekarang lebih suka membelanjakan
uang merenta untuk membeli barang - barang
yang ada khasiat gaibnya, misalnya: patungpatung
porselen Ban Ke-liong yang melambangkan mahluk-mahluk gaib di kerajaan
langit. "Ah, Ban Ke-liong, dia pernah pinjam
uangku. Kalau kutagir uangnya dia ngotot
berkata bahwa dia pernah membayarnya.
Mulut Macan 12 22 Memangnya dia anggap aku pikun. Kalau dia
sudah bayar, kok dibuku catatan keuanganku
tidak tercatat" "Tetapi hati-hati sekarang dengan Ban Keliong, suamiku. Kau tidak boleh berlaku kasar
kepadanya, atau kau akan membuat marah
banyak warga Seng-tin. "Lho, kenapa?" "Sebab orang banyak percaya bahwa Ban
Ke-liong ini sekarang sering dihubungi oleh
'dewa' saat dia mengerjakan arca porselennya.
Dia sering mimpi di-tampaki dewa ini atau
dewa itu, lalu dibuat patungnya. Setelah
patungnya jadi, eh, tahu-tahu ada orang yang
membelinya dengan harga mahal, katanya
orang itu beberapa malam sebelumnya juga
melihat tokoh gaib yang sama dengan yang
dibuat patung itu, lalu bertekad mencari
patungnya untuk memujanya."
"Ooo, begitu? Jadi sekarang Ban Ke liong
tidak sekedar membuat vas bunga atau
mangkuk-mangkuk indah, tetapi mengaku
dihubungi dewa segala?"
Mulut Macan 12 23 "Hati-hati kalau bicara begitu di hadapan
orang lain...." desis Nyonya Yao kuatir. "Bahkan
di hadapan anak kita sendiri. Dia sudah menjadi
penganut sekte baru itu, bahkan menjadi salah
seorang yang terkemuka. Dia menjadi salah
seorang pembantu kepercayaan Guru Wong."
Yao Pek-hoat mengangguk-angguk. "Kota ini
sudah banyak berubah, tidak seperti setahun
yang lalu ketika kutinggalkan. Tetapi biarlah,
aku justru bisa memanfaatkan kedudukan
terhormat A-beng sekarang ini untuk
memperlaris dagangan yang kubawa dari kota
Tiang-an. Akan kusuruh A-beng bilang bahwa
beberapa barang daganganku dari Tiang-an itu
adalah benda keramat milik orang suci atau
pendekar sakti jaman dulu. Ada khasiat gaibnya.
Pasti daganganku akan selaris dagangannya Ban
Ke-liong, he-he-he...."
"Apa yang kaubawa dari Tiang-an,
Suamiku?" ''Sebagian besar barang dagangan biasa,
tetapi ada beberapa yang bisa laku tinggi buat
yang keranjingan hal-hal aneh-atau gaib."
Mulut Macan 12 24 "Misalnya?" "Kubawa beberapa buar tameng, tombak
dan senjata-senjata model kuno lainnya."
"Betul-betul kuno? Beberapa ratus tahun
umurnya?" Yao Pek-hoat tertawa, "Ah, itu baru
berumur beberapa bulan. Buatan tukang-tukang
besi di Tiang-an. Tetap, sengaja dibuat seperti
kuno, agar tinggi harganya. Tetapi kuketahui
siasat tukang-tukang logam itu dan aku berhasil
menawar murah. Sekarang akan kujual mahal di
Seng-tin, he-he-he."
Perbincangan pasangan suami isteri usia
senja yang sudah setahun tak bertemu itu pun
tiba-tiba terputus ketika Yao Kang-beng masuk
ke ruangan itu dengan wajah terengah-engah
tegang. Lalu tiba-tiba saja ia berlari ke dinding
untuk mengambil pedang yang tergantung di
dinding, yang dengan terhunus hendak
dibawanya keluar. Nyonya Yao kaget, kuatir Yao Kang-beng
mencelakai adiknya lagi. Kalau kemarinkemarin hanya dengan tangan kosong, janganMulut Macan 12
25 jangan hari ini akan menggunakan pedang?
Cepat Nyonya Yao bangkit dan memegangi
lengan anak lelakinya. "Ada apa, A-beng? Ada
apa?" Di sela-sela engah napasnya, Yao Kang-beng
menjawab, "Ada siluman jahat di kebun bunga!
Siluman itu sakti, harus kubunuh dengan
pedang yang telah di-manterai oleh Guru Wong
ini!" Nyonya Yao kaget, pegangannya di lengan
anaknya semakin kuat. "Siluman apa? Jangan
mengigau, Nak. Mana ada siluman di siang
bolong begini?" "Sungguh, Ibu, aku melihatnya. Dia bersisik
hijau dan berambut merah. Matanya seperti
nyala api, lidahnya yang bercabang terjulur
sampai ke tanah. Dia ditemani mahluk jahat
lainnya berwujud katak besar yang bisa bicara."
Yao Kang-beng terus melangkah, biarpun
lengannya dipegangi kuat-kuat oleh ibunya.
Maka Nyonya Yao jadi terseret oleh Yao Kangbeng, dalam hati ibu tua itu ada semacam
bisikan agar dia terus memegangi anaknya,
Mulut Macan 12 26 sebab kalau dibiarkan saja akan menimbulkan
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bencana besar. "Lepaskan aku, Ibu! Ibu memperlambat
gerakku, nanti kedua siluman itu keburu lari."
"Tidak ada siluman di rumah ini, Nak.
Sadarlah, siumanlah."
"Ibu tidak melihatnya sebab Ibu tidak
mempunyai 'mata ketiga' yang dapat menembus
ke alamnya para siluman. Aku memilikinya,
baru semalam aku mendapatkannya setelah
bermeditasi di depan patung Dewa Bermata
Tiga." Tak peduli alasan apa pun yang dikemukakan Yao Kang-beng, ibunya tetap
menuruti bisikan aneh dalam hatinya untuk
terus memegangi Yao Kang-beng, biarpun
terseret-seret. Mereka tiba di kebun bunga di samping
rumah, Yao Kang-beng menuding dengan
pedangnya ke tengah-tengah kebun bunga
sambil berkata, "Lihat, Ibu, itulah kedua siluman
yang kukatakan tadi."
Mulut Macan 12 27 Yang dikuatirkan oleh Nyonya Yao pun
terbukti, karena yang dituding sebagai "dua
siluman" itu ternyata adalah Yao Sin-lan dan
bujang wanita ciliknya yang bernama Honghong. Keruan pegangan tangan Nyonya Yao
semakin kuat. "A-beng, mereka adalah adikmu dan Honghong, coba lihat baik-baik. Mereka adikmu dan
Hong-hong, bukan siluman."
"Siluman itu telah menyihir mata ibu
sehingga mata Ibu telah dikelabuhi mereka.
Mereka siluman, aku tahu. Aku melihat dengan
'mata ketiga'ku." "Itu adikmu, bukan siluman! Ilmu gaibmu
itulah yang menyesatkan pandanganmu!"
Nyonya Yao ngotot. "Suamiku, bantu aku."
Yao Pek-hoat yang lama meninggalkan
Seng-tin dan kurang paham perubahanperubahan di kota kelahirannya, benar-benar
heran melihat kelakuan isteri dan anak lakilakinya itu. Namun ia melihat gawatnya
keadaan, dan ikut memegangi Yao Kang-beng
sambil berteriak-teriak mencegah. Biarpun
Mulut Macan 12 28 usianya sudah lima puluh tahun lebih, namun
tubuhnya masih cukup sehat, masih mampu
menempuh perjalanan jauh ke Tiang-an, dan
kekuatannya membuat Yao Kang-beng tertahan
langkahnya. Sedangkan Nyonya Yao sambil memegangi
anak laki-lakinya, juga meneriaki anak
perempuannya, "Sin-lan, cepat lari!"
Yao Sin-lian dalam beberapa hari ini baru
saja merasa. agak gembira melihat perubahan
sikap kakaknya yang sedikit demi sedikit
membaik. Ia juga senang bahwa ia dibebaskan
dari kewajiban menari "bagi dewa" yang
ternyata mustahil sempurna tanpa kerasukan
"penari langit" padahal Yao Sin-lan tidak pernah
kemasukan "penari langit" itu. Kini melihat
kakaknya berwajah beringas dengan pedang di
tangannya, dipegangi ayah ibunya yang
menyuruh Yao Sin-lian lari, gadis itu pun
bingung dan sedih. Kenapa dengan kakaknya?
Kakaknya yang selanru beberapa hari ini sudah
membaik sikap nya, adakah sekarang tiba-tiba
kembali begitu membencinya sampai membawa
Mulut Macan 12 29 bawa pedang segala? Saking bingung dan
sedihnya menghadapi perubahan yang tidak
diduga-duga itu,. Yao Sin-lan malah berdiri
mematung saja tidak cepat-cepat lari. Padahal
ayah ibunya yang sudah tua itu bagaimanapun
tak bisa terus menerus memegangi Yao Kangbeng yang meronta semakin kuat dan semakin
beringas wajahnya. "Sin-lan, cepat lari!" Teriak Nyonya Yao
pula. Yao Kang-beng pun berteriak, "Ibu, Ayah,
lepaskan aku. Nanti kedua siluman itu keburu
lari!" Yao Sin-lan masih juga kebingungan, belum
juga lari. Tetapi saat itu, tiba-tiba di samping
Yao Sin-lan sudah muncul Si Nenek Bungkuk
yang ditemui Yao Sin-lan beberapa hari yang
lalu. Nenek itu langsung saja menyeret pergi
Yao Sin-lan dan pembantu ciliknya sambil
berkata, "Selamatkan jiwa kalian."
Digandeng Si Nenek yang tidak diketahui
bagaimana datangnya, Yao Sin-lan dan HongMulut Macan 12 30 hong dibawa berlari menyeberangi halaman
samping itu lalu ke halaman depan.
Yao Kang-beng mengejar, meskipun
langkahnya berat karena diganduli kedua orang
tuanya yang tetap memegangi lengan kanan dan
kirinya. "Lepaskan aku, Ayah, Ibu! Siluman-siluman
itu keburu kabur!" "Sadar, Nak, sadar!" tangis Nyonya Yao. "Oh,
Langit, tolong sadarkan anakku!"
Bukannya sadar, Yao Kang-beng tiba-tiba
malah sekuat tenaga menggerakkan tubuhnya
untuk melepaskan pegangan ayah ibunya.
Gerakannya begitu. kuat, sehingga pegangan
kedua orang tuanya mengendor. Ketika Yao
Kang-beng dengan kasar menggerakkan tubuh
sekali lagi, kedua orang tuanya sampai terjatuh
ke tanah. Langkah Yao Kang-beng kini tidak
terhambat lagi untuk memburu Yao Sin-lan dan
Hong-hong yang kini sudah mencapai pintu
halaman depan. Mereka sedang hendak
membuka pintu halaman depan.
Mulut Macan 12 31 Yao Kang-beng yang sedang memburu itu
tiba-tiba bersikap ketakutan dan berteriak,
"Jangan buka! Hei, jangan buka!"
Tetapi pintu itu sudah terbuka, dan di depan
pintu berdirilah Tabib Kian, Liu Yok dan Cu
Tong-liang. Sebenarnya Tabib Kian baru saja
mengangkat tangannya hendak mengetuk pintu,
tapi sudah lebr dulu terbuka dan dalam.
Yao Kang-beng yang beringas denga pedang
dl tangannya, ketika menatap Liu Yok tiba-tiba
menutupkan lengan kirinya di depan matanya,
seolah amat silau, melangkah mundur sambil
ketakutan lalu tiba-tiba ia membalikkan
tubuhnya sambil lari terbirit-birit meninggalkan
rumah itu lewat pintu yang lain.
Yao Kang-beng lari meninggalku rumah, dan
di Jalanan orang-orang minggir dengan kaget
melihat pembantu ke percayaan Guru Wong Ini
memegang pedang terhunus, la berlari-lari
menuju kerumah almarhum guru silat Ciu Koa
yang di siang hari pintunya selalu terbuka lebar,
karena tempat itu sudah menjadi semacam
Mulut Macan 12 32 rumah ibadah untuk pengikut-pengikut Wong
Lu-siok. Kedatangan Yao Kang-beng yang menggemparkan itu tentu saja membuat orangorang di rumah ibadah itu bertanya-tanya
dalam hati. Sementara Yao Kang-beng terus
menerobos ke bagian dalam bangunan itu, dan
ketika bertemu dengan Ek Yam-lam dan Ciu
Bian-li, ia langsung berteriak, "Kakak Lam,
gawat Rumahku dimasuki dan dikuasai
siluman-ailuman Keluargaku disandera oleh
siluman-siluman jahat itu Mana Guru Wong?
Guru Wong harus segera menggunakan ilmu
dewanya untuk menolong keluargaku"
Ek Yam-lam dan Ciu Bian-li buru-buru
menangkapnya, sambil mengatakan bahwa
Guru Wong masih bersemedi dan belum bisa
ditemui. Sementara itu, di rumah keluarga Yao,
suasana menakutkan dengan mengamuknya
Yao Kang-beng, sekarang terasa agak aman
setelah Yao Kang-beng pergi. Namun Nyonya
Yao remas |uga membayangkan apa yang
Mulut Macan 12 33 terjadi di luar sana, di jalanan, dengan anak lakilakinya yang berlarian panik dengan pedang di
tangan? "Suamiku, coba susul A-beng dan tenangkan
dia!" kata Nyonya Yao yangh mukanya masih
pucat dan berkeringat karena takut dan
tegangnya tadi. Yao Pek-hoat agak ragu, tetapi ia melangkah
juga. Sebelum suaminya melangkahi ambang
pintu, Nyonya Yao menambahkan pesan "Cari
beberapa orang untuk membantu mungkin kau
perlu menemui Guru Muda Pang lebih dulu."
"Guru Muda?" Yao Pek-hoat agak asing
dengan istilah itu setelah sekian lama
meninggalkan Seng-tin. "Maksudku, Pang Se-bun, yang punya toko
rempah-rempah dan bumbu-bumbu di pojok
pasar itu lho...." "O... yang adiknya jadi tukang besi itu?"
"Benar." Mulut Macan 12 34 Setelah Yao Pek-hoat pergi, Tabib Kian yang
baru datang itu pun bertanya "Nyonya, ada
kejadian apa di sini?"
Nyonya Yao merasa serba salah. Ia paling,
tidak suka kalau ribut-ribut dalam keluarganya
sampai diketahui orang luar, apalagi menyebar
luas dan menjadi gosip. Dulu, peristiwa Yao
Kang-beng memukuli adiknya pun hendak
dicobanya menutup-nutupinya dengan menyogok sejumlah orang yang menjadi saksi
mata kejadian itu dengan "uang tutup mulut".
Tabib Kian termasuk yang disogoknya dengan
uang, dititipkan lewat Siau Hiang-bwe. Nyonya
Yao menganggap keributan dalam keluarga itu
dapat menyuramkan pamor keluarga Yao. Tak
terduga, selagi peristiwa yang dulu saja belum
sepenuhnya dilupakan orang, sekarang Tabib
Kian bertiga muncul di saat Yao Kang beng
bertingkah seperti orang gila. Pertanyaan Tabib
Kian tadi benar-benar susah, dijawab.
Maka Nyonya Yao tidak menjawab, malahan
balik bertanya, "Tabib Kian, ada keperluan apa
ke sini?" Mulut Macan 12 35 Tabib Klan mengeluarkan kantong uang
pemberian Nyonya Yao melalui Siau Hiang-bwe
beberapa waktu yang lalu, yang isinya masih
utuh karena tidak diambil sedikit pun oleh
Tabib Kiai "Nyonya, aku berterima kasih untuk
perhatianmu, tetapi aku tidak tahu apa gunanya
uang sebanyak ini Nyonya kirim kan kepadaku."
"Bukankah ada sepucuk surat kusertakan?"
"Ooo, itu maksudnya? Kalau hanya! itu,
dengan senang hati aku akan melakukannya
untuk Nyonya, tanpa mengharapkan imbalan.
Aku hanya mau menerima imbalan untuk obatobatku dan jasa pengobatanku, sebab memang
itulah pekerjaanku."
Nyonya Yao tidak mau menyebut untuk apa
uang itu, karena malu kepada Coa Tong-liang
dan Liu Yok yang belun dikenalnya. Begitu pula
dalam sahutannya Tabib Kian tidak menyebutnyebut untuk apa uang itu, melindungi muka
Nyonya Yao. Nyonya Yao menatap Cu Tong-liang dan Liu
Yok dengan agak curiga, curiga jangan-jangan
kedua orang asing ini sama dengan pemerasMulut Macan 12
36 pemeras yang sudah menghabiskan banyak
uang Nyonya Yao untuk "uang tutup mulut"?
Terpaksa Tabib Kian menjelaskan, "Kalau
Nyonya ingin kedua temanku ini untuk tutup
mulut akan apa yang dilihatnya tadi, mereka
akan tutup mulut. Tanpa upah. Bukan kebiasaan
mereka mencerita-ceritakan rahasia keluarga
orang. Aku kenal mereka."
Nyonya Yao mengangguk canggung, ingin
berterima kasih terang-terangan namun terlalu
merasa gengsi, katanya, "Baiklah. Uang ini
kuterima kembali, dan jangan bilang aku tak
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tahu... berterima... eh, maksudku, berbuat baik.
Aku sudah memberi, kau yang tidak mau terima.
Dan maafkan aku karena aku sedang banyak
kesibukan, aku belum dapat menerimamu. Sinlan, Hong-hong, ayo masuk!"
Lalu masuklah nyonya itu dengan gaya
anggun ke dalam rumahnya sendiri, diikuti Yao
Sin-lan dan Hong-hong. Begitu saja meninggalkan Tabib Kiun bertiga di halaman.
Tabib Kian berdiri termangu-mangu,lalu
katanya, "Luar biasa. Ia berusaha sekuat tenaga
Mulut Macan 12 37 memberi kesan kepada orang lain bahwa
keluarganya sangat harmonis, serba beres, tidak
pernah terjadi apa-apa. la menjadikan dirinya
sendiri tembok tinggi untuk menutupi
pandangan orang luar terhadap sekeluarga-nya.
Apa tidak lelah bersikap begitu bertahuntahun?"
Kata Cu Tong-liang, "Kukira, sedikit banyak
semua orang punya sifat seperti itu. Ingin
menutupi kejelekan diri sendiri, keluarganya
sendiri, atau kelompoknya sendiri."
"Betul, Kakak Liang. Itu Normal. Asal jangan
sampai menjadi tembok keangkuhan sehingga
menolak pertolongan dari luar yang tulus,
padahal sedang membutuhkan pertolongan itu."
"Sekarang kita ke mana, Paman Kian?"
"Ke mana lagi kalau bukan ke warung bubur
kacang?" * * * Di halaman belakang rumahnya, A-kun
sedang asyik bermain-main sendiri, boneka
Mulut Macan 12 38 porselen "A-hwe" ditaruh berdiri beberapa
langkah di dekatnya dan itulah satu-satunya
teman bermainnya. Tidak ada anak-anak Sengtin yang berani bermain-main dengan A-kun,
ngeri kena akibat buruk. Anak Seng-tin terakhir
yang berani bermain dengan A-kun ialah Akoan, anak si tukang peti mati Ciok Yan-lim. Dan
semua sudah tahu nasib A-koan. Gadis cilik itu
dijanjikan oleh A-kun untuk "diajak bermainmain ke taman indah" dan ternyata A-koan lalu
meninggal dunia. Tetapi juga tidak ada orang
Seng-tin yang berani memprotes langsung
kepada A-kun maupun kepada orang tuanya.
Memprotes A-kun sama dengan memprotes "A hwe" sama dengan memprotes "kerajaan gaib
yang mempunyai kuasa mutlak atas nasib
manusia" dan bisa amat gawat akibatnya.
Selagi asyik bermain, tiba-tiba wajah A-kun
menjadi tegang dan ia memiringkan kepalanya
seperti mendengarkan sesuatu. Boneka porselen "A-hwe" diambilnya dan mulut boneka
ditempelkan ke kupingnya.
Mulut Macan 12 39 Habis "mendengarkan A-hwe" A-kun
meninggalkan keasyikan bermainnya, melangkah masuk ke dalam rumah untuk
menjumpai ayahnya dan berkata dengan nada
memerintah, "Ayah, keamanan kota ini
terancam. A-hwe baru saja bilang bahwa saat ini
Beng Hek-hou sudah masuk kota bersama dua
pembantunya, siap menyebarkan kejahatan dan
bencana! Sekarang mereka ada di warung bubur
kacang!" Pang Se-bun sedang bersiap-siap pergi
untuk membuka warungnya, tetapi mendengar
kata-kata puterinya, ia langsung mengambil
tombaknya lalu menuju ke tempat berkumpulnya pengawal-pengawal kota. Biarpun yang bicara hanya A-kun, namun Pang
Se-bun seyakin orang-orang Seng-tin lainnya
bahwa perkataan A-kun adalah sabda dewa
yang tabu untuk dibantah.
Di tempat berkumpulnya para pengawal
kota ada sepuluh orang pengawal yang sedang
duduk-duduk mengobrol, diantaranya terdapat
adik Parg Se-bun sendiri, dengan senjatanya
Mulut Macan 12 40 yang Khas sebagai seorang tukang besi, yaitu
martil besi. Mereka heran melihat kedatangan Pang Sebun yang bergegas dan berwajah sungguhsungguh, dan sebelum mereka berkata apa-apa,
Pang Se-bun sudah berkata, "A-hiong, siagakan
seluruh pegawai maupun sukarelawan yang
mau membantu, bahkan kalau perlu bekerja
sama dengan Lui Kong-sim serta temantemannya juga tidak apa-apa. Awas, seluruh
kota. Perketat penjagaan di seluruh kota, sebab
Beng Hek-hou sudah menyusup masuk kota ini."
Orang-orang itu berlompatan bangun
sambil menyambar senjata masing-masing. Tak
lupa mengenakan segala macam jimat
pelindung dan penambah keamanan pemberian
Wong Lu-siok. Kemudian Pang Se-bun menunjuk dua di
antara para pengawal itu untuk mengikutinya
ke warung bubur kacang guna "meringkus Beng
Hek-houw". Dua orang yang dipilih itu yang
dinilai paling tinggi kemampuannya. Merekalah
pengawal-pengawal yang mudah berjalan di api,
Mulut Macan 12 41 memanjat golok bersusun, dan yang penting,
dapat bertempur dengan kemampuan yang
bukan kemampuan mereka sendiri melainkan
kemampuan lain yang jauh lebih dahsyat dari
kemampuan normal mereka. Demikianlah Pang Se-bun bertiga menuju ke
warung bubur kacang, demi menjalankan
perintah "A-hwe" lewat A-kun.
Sementara itu, di warung bubur kacang,
Tabib Kian bersama Cu Tong-liang sedang
menikmati bubur kacang yang lezat, memakai
sendok-sendok kecil dari kayu. Liu Yok begitu
menikmatinya, sampai ia naikkan satu kakinya
di bangku warung. Ketika itulah Cu Tong-liang kebetulan
melongok keluar pintu dan melihat Pang Se-bun
serta dua pengawal kota sedang berjalan
tergegas dengan wajah amat bersungguhsungguh dan senjata-senjata di tangan.
Cu Tong-liang heran, ada apa sehingga Pang
Se-bun bersikap siap tempur macam itu?
Sebagai teman, Cu Tong-liang merasa perlu
menawarkan bantuannya. Ia tinggalkan meja
Mulut Macan 12 42 dan menuju ke pintu sambil berseru, "Saudara
Pang, ada apa?" Adalah di luar dugaan Cu Tong-liang, bahwa
Pang Se-bun mendadak menuding ke arah Cu
Tong-liang sambil berseru, "Beng Hek-hou, kau
sudah diusir dari kota ini, sekarang berani
kemari lagi? Kota ini bukan lagi makanan
empukmu, melainkan sekarang siap menghajarmu!" Mula-mula Cu Tong-liang menyangka
bahwa Pang Se-bun menuding seseorang yang
dibelakangnya, dan orang yang di belakangnya
itu adalah Beng Hek-hou. Maka dengan sigap Cu
Tong-liang melompat menjauhi ambang pintu
sambil memutar tubuh, untuk "menghadapi
Beng Hek-hou". Ternyata ia tidak melihat Beng Hek-hou,
dan lebih kaget lagi ketika melihat Pang Se-bun
tetap menghadapinya dengan garang. "Jangan
coba-coba lari, Beng Hek-hou. Beberapa waktu
yang lalu kau bisa lolos, sekarang jangan harap
bisa lolos." Mulut Macan 12 43 "Saudara Pang! Tidakkah kau mengenalku?
Aku Cu Tong-liang, sahabatmu!"
"Kau sudah membunuh Cu Tong-liang
sahabatku? Bagus, bertambah kuat alasanku
untuk membunuhmu!" Lalu sambil membentak, ujung tombak Pang
Se-bun meluncur ganas ke leher Cu Tong-liang.
Ketika Cu Tong-liang menghindar, pangkal
tangkai tombak berganti menyambar dahsyat.
Sambil mengelak, Cu Tong-liang heran
bukan main melihat kelakuan Pang Se-bun itu.
Panutan kota Seng-tin ini kok begini
tindakannya? Seperti orang tidak sadar. Cu
Tong-liang dikira Beng Hek-hou, dan ketika Cu
Tong-liang menjelaskan siapa dirinya, malah
dikiranya Beng Hek-hou mengaku sudah
membunuh Cu Tong-liang.... aneh betul. Sudah
gilakah Pang Se-bun? Heran atau tidak heran, Cu Tong-liang
benar-benar harus bekerja keras menyelamatkan diri dari labrakan Pang Se-bun
yang makin lama makin ganas.
Mulut Macan 12 44 Lalu sambil membentak, ujung tombak Pang Sebun meluncur ganas ke leher Cu Tong-liang.
Mulut Macan 12 45 Secara normal, Cu Tong-liang jauh lebih
terlatih berkelahi dari Pang Se-bun. Cu Tongliang adalah mantan perwira Kaisar yang sudah
berpengalaman dalam ratusan pengalaman
berbahaya. Tetapi! Cu Tong-liang sadar bahwa
sejak awal segalanya sudah tidak normal. Pang
Se-bun sampai mengira Cu Tong-liang sebagai
Beng Hek-houw itu saja sudah tidak normal.
Sebelumnya juga Cu Tong-liang sudah
menjumpai kejadian tidak normal di rumah
keluarga Yao, di mana Yao Kang-beng
menyangka adik perempuannya dan pembantunya sebagai "dua siluman". Dan dalam
pertarungannya dengan Pang Se-bun sekarang,
juga tidak berjalan secara normal.
Cu Tong-liang harus berpontang-pan-ting
menyelamatkan diri dari serangan membadai
Pang Se-bun. Cu Tong-liang amat cepat
geraknya, tetapi Pang Se-bun lebih cepat. Pang
Se-bun begitu cepat sehingga seolah berubah
menjadi manusia berlengan tiga pasang dan
memegang tiga tombak, saking cepat
gerakannya. Cu Tong-liang yang sedikit banyak
Mulut Macan 12 46 tahu "keanehan" Pang Se-bun, tahu bahwa saat
itu Pang Se-bun sudah berada , total di bawah
pengaruh "sesuatu" yang oleh Pang Se-bun
sering diceritakan sebagai "pendekar tombak
dari abad silam". Banyak orang-orang di pinggir jalan
menonton perkelahian itu. Tidak sedikit yang
sambil berkomat-kamit membaca "doa penolak
siluman" ajaran Wong Lu-siok, atau sekedar
memegangi benda-benda "suci" di depan tubuh
sebagai pelindung diri. Cu Tong-liang yang sedang amat terdesak
itu melihat di antara penonton banyak
pengawal-pengawal kota yang sudah dikenal Cu
Tong-liang. Kepada mereka, Cu Tong-liang
berteriak, "He, bantu aku sedikit, jelaskan
kepada Guru Muda Pang kalian bahwa aku
bukan Beng Hek-hou, aku adalah sahabat kalian,
sahabatnya juga." Karena sambil berbicara, konsentrasinya
dalan pertarungan sedikit mengendor, maka
pundaknya tersodok keras oleh gagang tombak
Pang Se-bun sehingga Cu Tong-liang Mulut Macan 12
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
47 sempoyongan. Belum sempat berdiri tetap, kaki
Pang Se-bun menghujam keras ke perut Cu
Tong-liang sehingga Cu Tong-liang terbungkuk
dan terpental beberapa langkah di tanah.
Pang Se-bun berseru, "Mampuslah sekarang
kau, Beng Hek-hou!" la melompat dan tombaknya meluncur
dengan ujungnya ke bawah, siap "memaku"
tubuh Ca Tong-liang dengan permukaan tanah.
Penonton-penonton di tepi jalan bersorak
mendukung Pang Se-bun, sebab di mata mereka
yang kelihatan adalah Beng Hek-hou, bukan Cu
Tong-liang yang mereka kenal. Ketika Cu Tongliang berteriak-teriak tadi, yang terdengar di
kuping mereka bukan kata-kata seperti yang
diucapkan Cu Tong-liang, melainkan ancaman
Beng Hek-hou, bahkan geram yang mirip suara
macan. Namun saat ujung tombak Pang Se-bun
hampir menembus dada Cu Tong-liang, dan tak
ada kesempatan sedikit pun bagi Cu Tong-liang
untuk menyelamatkan nyawanya, Pang Se-bun
tiba-tiba melihat bahwa yang hendak
Mulut Macan 12 48 ditikamnya Itu adalah Cu Tong-liang, bukan
Beng Hek-hou. Sekuat tenaga Pang Se-bun yang
amat kaget itu berusaha menyimpangkan ujung
tombaknya. Gerakan yang terlalu spontan dan
tanpa persiapan itu membuat tubuh Pang Sebun terbanting ke samping dan bergulingan,
tetapi ujung tombaknya tidak mengenai Cu
Tong-liang. Tertatih Pang Se-bun bangkit duduk,
dengan terheran-heran ia menanyai Cu Tongliang, "Saudara Cu, apa yang terjadi? Di mana
Beng Hek-hou" Cu Tong-liang pun garuk-garuk kepala
karena sama bingungnya dengan Pang Se-bun.
Dengan agak jengkel Cu Tong-liang menjawab,
"Tidak ada Beng Hek-hou di sini. Dari tadi
kududuk di warung bubur kacang itu dan tidak
kulihat Beng Hek-hou. Saudara Pang, yang baru
saja kau serang mati-matian dan amat sengit itu
adalah aku, bukan Beng Hek-hou."
"Apa?" "Ya, begitulah. Tanya orang-orang, itu...."
kata Cu Tong-liang sambil menuding orangMulut Macan 12
49 orang Seng-tin yang tadi menyaksikan
perkelahian. Pang Se-bun menyapukan pandangan ke
arah orang-orang itu, dengan suara bimbang
karena meragukan kewarasan otaknya sendiri.
"Saudara-saudara warga Seng-tin, apa yang
kalian lihat tadi? Apakah kalian melihat aku
bertempur dengan Beng Hek-hou, atau dengan
Tuan Cu ini?" Orang-orang yang ditanya juga bingung,
sebab mereka pun tadi melihat Pang Se-bun
bertempur melawan Beng Hek-hou, entah
bagaimana, tahu-tahu "Beng Hek-hou"nya
berubah jadi Cu Tong-liang yang mereka kenal.
Perubahan pandangan yang tak masuk akal itu
membuat mereka hanya bisa membungkam
ketika ditanya Pang Se-bun.
Orang-orang itu tercekam dalam kebingungan massal, dan tanpa menjawab
pertanyaan Pang Se-bun, satu demi satu mereka
mengeloyor pergi. Yang paling bingung
sebenarnya adalah Pang Se-bun, sebab
keterangan tentang Beng Hek-hou itu diperoleh
Mulut Macan 12 50 dari A-kun puterinya, dan A-kun memperolehnya dari A-hwe, sedangkan A-hwe
adalah "juru bicara kerajaan dewa-dewa di
langit", lalu siapa yang bohong? A-kun, A-hwe,
atau "para dewa"?
Sementara itu, di dalam warung, Tabib Kian
juga terheran-heran tetapi keheranannya
ditujukan kepada Liu Yok lewat sorot matanya
yang tak habis mengerti. Sebab beberapa menit
yang lalu, Tabib Kian melihat Liu Yok
memandang ke luar jendela warung dan
berkata perlahan, "Kalian mahluk-mahluk
keparat yang membingungkan pikiran manusia
dan mengacaukan panca indera, kalian
kubelenggu. Selubung gaib kalian atas pikiran
dan panca indera orang-orang ini, kukoyakkan
hancur." Tabib Kian bertanya-tanya dalam hati,
kepada siapa Liu Yok berbicara? Apakah katakatanya ada hubungannya dengan Pang Se-bun
yang pulih pikirannya dan panca inderanya
sehingga tidak lagi menganggapnya sebagai
Beng Hek-hou? Jadi, kalau begitu, yang
Mulut Macan 12 51 dilakukan Liu Yok itu adalah suatu kegiatan
yang menimbulkan dampak kuat di alam gaib,
meskipun di alam kasar hanya tindakan amat
sepele, hanya berbicara ke udara kosong di luar
jendela? Yang membuat Tabib Kian masih ragu, ialah
karena Liu Yok melakukan semuanya itu
dengan gaya yang tidak anggun sama sekali.
Bahkan waktu mengucapkan juga mulutnya
masih aoa bubur kacang yang belum ditelan
kakinva masih di atas bangku, dan habis
mengucapkan itu dia meneruskan makan bubur
kacangnya dengan gaya tidak terjadi apa-apa.
Soalnya Tabib Kian membayangkan kalau
seorang ahli Ilmu gaib mempraktekkan
ilmunya, biasanya pakai sesajen, melakukan
gerak-geriknya dengan gaya, bukan seperti Liu
Yok yang seenaknya. Sementara itu, di luar warung, Pang Se-bun
telah membangunkan Cu Tong-liang disertai
permintaan maaf tak habis-habisnya. Biarpun
masih mendongkol, Cu Tong-liang memaafkannya juga. Mulut Macan 12 52 "Saudara Cu, ke mana saja kau selama
beberapa hari ini?" Cu Tong-liang berdebar-debar ingat
pengalamannya "menolong Siauw Hiang-bwe"
entah Pang Se-bun dan orang-orang Seng ?tin
lainnya mengetahuinya atau tidak? Jawabnya,
"Aku di rumah Tabib Kian."
"Sekarang Saudara Cu ke Seng-tin untuk
apa?" "Akuhanya mengatarkan Paman Tabib.
"Aku heran bias terjadi peristiwa seperti
tadi. Aku penasaran dan ingin memperoleh
jawaban. Saudara Cu, katanya kau punya teman
yang agak paham soal-soal aneh ini, yang
namanya Liu Yok, maukah Saudara mengantarku menemuinya.?"
Cu Tong-liang merasa agak geli dalam hati
mendengar kata-kata Pang Se bun itu. Cu Tongliang yang sekian lama bersama-sama Liu Yok.
belakangan sedang condong mengaguni Wong
Lu siok, sementara Pang se-bun yang bahkan
sudah diajari beberapa macam "ilmu sakti" oleh
Wong Lu-siok, agaknya malah mulai tertarik
Mulut Macan 12 53 kepada Liu Yok meskipun baru mendengar
namanya. Ada yang tersembunyi dalam hati Pang Sebun ialah, ia mulai merasakan ajaran Wong Lusiok itu ada yang kurang beres. Cuma kurang
beresnya di bagian yang mana, Pang Se-bun
belum jelas. Sahut Cu Tong-liang, "Saudara Pang, saat ini
Saudara Liu sedang duduk di dalam warung."
Pang Se-bun nampak bergairah sekali. "Aku
ingin berbicara dengan Guru Liu...."
"Jangan memanggilnya 'guru' kepadanya,
dia tidak suka...." "Lalu harus panggil apa?"
"Panggil 'saudara' seperti antara kita."
Pang Se-bun mengangguk sambil melangkah ke dalam warung. Dengan isyarat
gerakan tangannya, ia menyuruh kedua orang
pengawal kota yang mengikutinya tadi pergi.
Ketika Pang Se-bun hendak melangkah
masuk ke dalam warung, Cu Tong-liang kembali
memperingatkannya, "Tombakmu lebih baik
Mulut Macan 12 54 jangan dibawa masuk, Saudara Pang. Saudara
Liu juga tidak senang melihat senjata."
"Kalau senjata untuk membela diri atau
membela hak?" "Dia tetap tidak suka. Baginya, senjata tetap
senjata, tetap saja alat untuk membunuh."
"Aneh benar orang ini...." kata Pang Se-bun
hanya dalam hatinya, namun ia tidak membawa
masuk tombaknya, melainkan disandarkannya
di ambang pintu sebelah luar.
Tiba di depan meja tempat Liu Yok dan
Tabib Kian masih makan bubur kacang, Cu
Tong-liang memperkenalkan, "Saudara Liu,
kukenalkan kepadamu Saudara Pang, tokoh
terkemuka di kota ini. Dan Saudara Pang, inilah
Saudara Yok." Liu Yok duduk seenaknya menghadapi
penguasa-penguasa gaib di Seng-tin, kini ketika
berhadapan dengan "mahluk darah-daging"
Pang Se-bun, memberikan sikap hormat yang
selayaknya. Ia membungkuk hormat sambil
menjura, "Salamku untul Kakak Pang."
Mulut Macan 12 55 Tanpa bertele-tele Liu Yok langsung
menunjukkan sikap persaudaraannya dengan
memanggil "kakak" kepada Pang Se-bun.
Pang Se-bun merasakan jiwanya hangat
segar oleh sikap Liu Yok itu. "Aku merasa sangat
beruntung berjumpa dengan pemegang 'rahasia
langit' seperti Saudara Liu."
"Jangan menyanjungku, Kakak Pang,
sanjunglah Yang Maha Menganugerahkan
pengetahuan itu kepada umat manusia. Silakan
duduk." Pang Se-bun dan Tabib Kian sudah lama
saling kenal, mereka bertukar salam sebelum
Pang Se-bun duduk. Si Pemilik warung dengan sangat hormat
mendekati Pang Se-bun dan menanyakan
pesanan. Si Tukang Warung sadar, yang
dihadapinya adalah seorang pembantu terpercaya dari Wong Lu-siok Si "utusan langit".
Si Tukang Warung kuatir kalau kurang hormat
kepada Pang Se-bun akan mengakibatkan
bencana dalam kehidupannya. Apalagi Si Guru
Mulut Macan 12 56 muda Pang ini adalah ayah dari A-kun yang
perkataannya ditakuti orang-orang Seng-tin.
Namun, untuk pertama kalinya sejak ajaran
Wong Lu-siok dianut di kota itu, entah kenapa
Pang Se-bun merasa risih dengan penghormatan berlebihan dari Si Tukang
Warung. Perasaan Pang Se-bun itu mungkin
karena baru saja mendengar dari Cu Tong-liang
tentang Liu Y ok yang tidak mau dipanggil
"guru" dan ingin bersaudara dengan semua
orang.
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Ketika Pang Se-bun menyebutkan pesanannya, Si Tukang Warung dengan
kegembiraan meluap-luap menyediakan pesanan itu. Ia berharap warungnya akan
mendapat rejeki besar karena dikunjungi orang
dekat dari "utusan langit".
Setelah duduk semuanya, langsung saja
Pang Se-bun bertanya kepada Liu Yok, "Saudara
Liu, kudengar dari Saudara Cu bahwa kau ini
juga punya semacam... kemampuan ajaib seperti
Guru Wong." Mulut Macan 12 57 Liu Yok menggelengkan kepala. "Barangkali
Kakak Pang salah dengar. Aku tidak punya
kemampuan apa-apa. Aku hanya sekedar
menuruti pimpinan-Nya. Apa-apa yang berasal
dari diriku sendiri, tak ada artinya."
Pang Se-bun bingung mendengar jawaban
Liu Yok itu, sehingga Cu Tong-Liang harus
membantunya bicara, "Saudara Liu, Saudara
Pang ini sedang bingung oleh peristiwa tadi, dan
membutuhkan jawaban yang mudah diterima."
Liu Yok mengangguk, dan menjawab jelas,
"Singkatnya, peristiwa-peritiwa ganjil di Sengtin hari ini adalah akibat kemarahan mahlukmahluk gaib yang menguasai kota ini.
Kemarahan mereka mempengaruhi manusiamanusia yang mereka kendalikan, dan mahlukmahluk gaib itu ingin menimbulkan kekacauan
agar manusia-manusia saling mencelakai."
Liu Yok berkata begitu ringan, tanpa
bersusah payah hendak menyodorkan bukti
yang bisa diterima akal. Ia bicara dengan sikap
"mau dipercaya ya syukur, tidak dipercaya ya
terserah". Meskipun demikian cara Liu Yok
Mulut Macan 12 58 bicara, di kedalaman jiwa Pang Se-bun terasa
ada sesuatu yang meneguhkan kata-kata Liu
Yok dan membuat Pang Se-bun mempercayainya. Pang Se-bun jadi berkeringat dingin
mendengar berita buruk tentang kemarahan
mahluk-mahluk gaib penguasa kota itu, ia
membayangkan kota Seng-tin bakal kena
bencana besar. "Para dewa dan bidadari, para panglima
langit dan bangsawan-bangsawan kerajaan
langit marah?" tanya Pang se-bun ketakutan.
"Oh, marah kepada siapa mereka?"
"Kepadaku." sahut Liu Yok sambil
menyendok bubur kacangnya dan menyuapkannya ke mulutnya dan mengunyah
dengan amat nikmat. Pang Se-bun tercengang. Liu Yok ini sedang
menimbulkan amarah kerajaan langit kok
begini santai sikapnya? Tidakkah Liu Yok tahu
akibatnya kalau menimbulkan amarah mahlukmahluk tak terlihat yang "berkuasa atas mati
hidup manusia" itu? Mulut Macan 12 59 "Saudara Liu, dosa besar apa yang sudah
kaulakukan, sehingga menimbulkan kemurkaan
mereka?" "Bukan aku yang berdosa, tetapi mereka.
Mereka pernah bersama Si Malaikat Durhaka
memberontak kepada kekuasaan Yang Maha
Kuasa, lalu terbuang dari surga. Di bumi mereka
menyesatkan manusia dengan berbagai agama
dan filsafat palsu. Dan mereka marah kepadaku,
karena aku membawa hukuman-hukuman Yang
Maha Kuasa, Raja Segala Rajaku, Panglima
Tertinggiku, untuk mahluk-mahluk jahat itu.
Malaikat-malaikat buangan itu."
Inilah yang dikuatirkan Cu Tong-liang,
sehingga ia cepat-cepat berkata, "Saudara Liu,
kita harus menghargai orang-orang Seng-tin
dengan keyakinan mereka."
"Aku menghormati manusia sebagai mahluk
ciptaan termulia. Karena penghormatanku
kepada martabat manusia itulah aku sangat
marah kepada mahluk-mahluk yang merampas
kebebasan jiwa manusia, menunggangi manusia
untuk melakukan kehendak mahluk-mahluk itu
Mulut Macan 12 60 dan bukan kehendak manusia sendiri, lebih
buruk lagi, menuntut manusia untuk bersujud
kepada mahluk-mahluk gaib itu."
"Saudara Liu, aku kira Saudara Pang sulit
mengikuti jalan pikiranmu itu."
Cu Tong-liang mencoba "mengerem" Liu
Yok karena kuatir Pang Se-bun marah. Tak
terduga Pang Se-bun, meskipun mukanya agak
tegang dan pucat karena kata-kata Liu Yok tadi,
maiah berkata, "Tidak apa-apa, Saudara Cu. Aku
tetap bisa memahami apa yang dikatakan oleh
Saudara Liu." Hanya dalam hatinya, Pang Se-bun
mengakui kebenaran kata-kata Liu Yok tentang
mahluk-mahluk gaib yang menunggangi
manusia untuk melakukan kehendak mahlukmahluk itu, sehingga manusianya jadi
berkelakuan lain dari kepribadian aselinya.
Pang Se-bun melihat contohnya sehari-hari di.
Seng-tin. A-kun puterir.ya yang makin berkuasa
dan makin memerintah semua orang termasuk
kedua orang tuanya sendiri, Pang Se-bun
merasa seolah kehilangan puterinya itu
Mulut Macan 12 61 semenjak A-kun menjadi "anak langit". Juga Yao
Kang-beng, Lui Kong-sim, Ek Yam-lam, dan
banyak orang Seng-tin lainnya yang rasanya jadi
berkepribadian asing. Bahkan tidak terhindari,
Pang Se-bun harus mengaku jujur dalam hati
bahwa dirinya pun tak terhindar dari pengaruh
"kepribadian asing" yang sering membuat
dirinya bertingkah laku di luar kemauan sendiri.
Contoh yang "masih hangat" ialah ketika tadi ia
menyerang Cu Tong-Uang dengan dahsyat
karena menganggap Cu Tong-liang sebagai Beng
Hek-hou. Sesuatu yang amat tidak masuk akal,
tetapi nyatanya sudah terjadi.
Kemudian tanya Pang Se-bun terbata-bata,
"Saudara Liu, kalau mahluk-mahluk... eh,
penguasa-penguasa kerajaan langit itu marah
kepadamu, lalu apakah... apakah Saudara Liu
tidak akan... tidak akan... celaka?"
Liu Yok menggeleng ringan. "Tidak. Kalau
aku marah, barulah mereka celaka, sebab
kemarahanku adalah kemarahan-Nya."
"Saudara tadi mengatakan... mereka itu
mahluk-mahluk jahat. Tetapi nyatanya mereka
Mulut Macan 12 62 membebaskan Seng-tin dari Beng Hek-hou yang
memiliki sihir hitam."
"Maaf kukatakan terang-terangan, Kakak
Pang. Orang-orang Seng-tin seperti lepas dari
mulut macan lalu masuk ke mulut buaya.
Macannya dan buayanya satu majikan, macan
ibarat tangan kirinya, buaya ibarat tangan
kanannya." Pang Se-bun termangu, benarkah "mahlukmahluk suci" yang selama ini dipuja-puja untuk
menangkis kembalinya "siluman-siluman"
ternyata "satu majikan" dengan silumansiluman peliharaannya Beng Hek-hou?
Cu Tong-liang sudah tegang sendiri, kuatir
percakapan Liu Yok dan Pang Se-bun itu bisa
membuat panas suasana Seng-tin.
Tiba-tiba terdengar suara di jalanan, "Guru
muda Pang!" Lalu nampak Yao Pek-hoat, lelaki setengah
tua yang terkenal sebagai saudagar pengembara
itu. Lelaki setengah abad itu tengah melangkah
bergegas-gegas ke warung bubur.
Mulut Macan 12 63 Pang Se-bun bangkit dan menyambut keluar
pintu sebagai tanda hormat orang yang lebih
muda. "Ada apa, Parnan Yao?"
Pang Se-bun sebenarnya kikuk juga
dipanggil "guru muda" oleh lelaki yang
seangkatan dengan ayahnya ini. Lebih dulu ia
persilakan Yao Kang-beng duduk di dalam
warung, bersama-sama Cu Tong-liang, Tabib
Kian dan Liu Yok. Melihat ketiga orang yang tadi
singgah sebentar di rumahnya ini, Yao Pek-hoat
ragu sejenak. Tetapi ia tidak berwatak seperti
isterinya yang suka menutupi kekurangankekurangan dalam keluarganya, lagipula
menganggap bahwa Tabib Kian bertiga toh tadi
sudah memergoki tingkah laku Yao Kang-beng
puteranya, jadi tak ada yang perlu ditutupi lagi.
Bersambung jilid XIII Sumber Image : Koh Awie Dermawan
first share in Kolektor E-book
Pringsewu 29/08/2018 20 : 13 PM
Mulut Macan 12 64 Mulut Macan 13 1 JILID XIII * Karya : STEVANUS S.P. pelukis : WIDODO Percetakan & Penerbit
CV "G E M A" Mertokusuman 761 RT 02 RW VII
Telp 35801 - SOLO 57122 Mulut Macan 13 2 Mulut Macan 13 1 Dari Mulut Macan ke Mulut Buaya
Karya : STEFANUS S.P. Jilid XIII D ENGAN ringkas dan suara bernada gugup,
Yao Pe-hoat menceritakan kepada Pang Sebun tentang kelakuan Yao Kang-beng puteranya
yang hampir membunuh adik perempuannya
sendiri dengar pedang, karena menganggap
adiknya sebagai siluman. Kisah itu ditutup
dengan suara bernada memohon, "Guru muda
Pang, tolonglah keluarga kami."
Sekali lagi Pang Se-bun melihat bukti
peristiwa penyesatan pandangan dan pikiran.
Yang dialami Yao Kang-beng tak berbeda
dengan yang baru saja dialami Pang Se-bun
sendiri. Pang se-bun menyangka Cu Tong-liang
sebagai Beng Hek-hou, sedangkan Yao Kangbeng menyangka adiknya siluman dan hampir
membunuhnya. Mulut Macan 13 2 "Sungguh menakutkan kalau sampai warga
Seng-tin banyak yang mengalami ini. Bagaimana
kalau ada yang menyangka bayinya sebagai
ayam lalu menyembelihnya?" pikir Pang Se-bun.
"Gurumuda Pang, bagaimana?" Yao Kangbeng memohon.
"Nanti kucoba bicara kepada Saudara Yao.
Paman tenang-tenang sajalah menunggu di
rumah...." cuma itu yang bisa dikatakan Pang Sebun. Mau menawarkan jalan keluar yang
bagaimana, sedang Pang Se-bun sendiri baru
saja mengalami salah lihat sampai hampir
membunuh Cu Tong-liang? Saat itu Liu Yok bicara pula, "Jangan kuatir,
Paman. Saat ini ada bala tentara yang jauh lebih
besar dari yang menguasai kota ini secara tak
terlihat. Mereka menjaga agar orang-orang kita
ini tidak saling mencelakakan."
"Bala tentara?" serempak Tabib Kian, Yao
Pek-hoat, Pang Se-bun dan bahkan Cu Tongliang yang sedikit banyak sudah tahu
"keanehan" Liu Yok itu pun bertanya
tercengang. "Mana tentaranya?"
Mulut Macan 13 3 "Sama tak terlihatnya dengan tentara gaib
yang menguasai Seng-tin." sahut Liu Yok.
"Orang gila dari mana lagi ini?" pikir Pekhoat. Namun setelah ditenangkan oleh Pang Sebun, dia pun pulang ke rumahnya.
Kemudian Pang Se-bun berkata kepada Liu
Yok, "Saudara Liu, aku percaya bahwa pulihnya
pandangan mataku tadi karena tindakanmu.
Kalau tidak, pasti aku masih menyangka
Saudara Cu sebagai Beng Hek-hou. Saudara Liu,
maukah kau memberi muka kepadaku untuk
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menjelaskan lebih lanjut tentang kejadiankejadian ganjil di kota ini?"
Liu Yok mengangguk. * ** Bersamaan dengan ketika Pang Se-bun di
warung bubur mengundang Liu Yok ke
rumahnya, di rumah keluarga Pang Si Cilik Akun yang sedang duduk memangku boneka
porselennya itu tiba-tiba tersentak kaget.
Wajahnya memucat ketakutan, lalu ia merosot
Mulut Macan 13 4 turun dari kursinya dan berlari sekencangnya
keluar rumah. Nyonya Pang terkejut dan meneriakinya, "Akun, mau ke mana?"
Jawab A-kun sambil terus berlari, "Ada
dewa jahat yang hendak mencelakakan A-hwe!
A-hwe adalah teman baikku, tidak boleh
dicelakakan siapa saja!"
A-kun berlari menuju ke rumah milik
almarhum Ciu Koan dulu. Di sebuah ruangan tengah dari rumah
almarhum Ciu Koan, sedang terjadi suatu
pembicaraan yang serius antara Ek Yam-lam,
Ciu Bian-li, Yao Kang-beng, Lui Kong-sim dan
perempuan setengah baya berwajah dingin
angker yang adalah adik perempuan dari
almarhum Ciu Koan. Yao Kang-beng yang masih membawa
pedangnya dari rumah itu baru saja
menceritakan bahwa di rumahnya ada "dua
siluman" yang hendak dibunuhnya, tetapi ayah
ibunya mencegahnya karena mengatakan
Mulut Macan 13 5 bahwa "dua siluman" itu adalah Yao Sin-lan dan
Hong-hong si pelayan cilik.
"Ayah dan Ibu pasti sudah disihir matanya
oleh siluman-siluman itu, sehingga sampai
menganggap mereka sebagai Sin-lan dan Honghong," demikian Yao Kang-beng menutup
ceritanya dengan menyalahkan ayah ibunya.
"Kota kita sedang menghadapi penyusupan
kekuatan-kekuatan jahat kelas berat...." desis
Bibi Ciu kuatir. "Kita harus mengadakan
persiapan yang memadai...."
"Semua ini adalah salahnya Kakak Pang
yang berhati lembek itu," Lui Kong sim
berkomentar dan langsung menyalahkan,
seperti biasanya. "Ia terlalu terbuka kepada
unsur asing yang menodai ajaran suci kita. Coba
pikir, Cu Tong-liang itu siapa? Bukankah orang
asing itu tidak sepaham dengan kita? Tetapi
oleh Kakak Pang dia disambut dengan
bersahabat, malah dijadikan pelatih Peng-hoat
(teori militer) untuk pengawal kota. Ini
keterlaluan. Mulut Macan 13 6 Para pengawal itu adalah prajurit-prajurit
para dewa sendiri, mana boleh dilatih orang
najis macam Cu Tong-liang? Dan lihatlah
akibatnya, sesetelah Cu Tong-liang datanglah
Siau Hiang-bwe, utusan para siluman yang
membawa hawa jahat untuk kota ini, sampaisampai adik dan anak dari Kakak Ciok Yan-lim
meninggal oleh hawa jahat itu. Sesudah Siau
Hiang-bwe kita penjarakan, datanglah pentolan
yang lebih jahat yang namanya Liu Yok. Sudah
pasti kedatangannya untuk menggoyahkan
keyakinan kota ini, untuk menghancurkan
agama suci kita!" Kata-kata Liu Kong-sim yang membakar
hati seperti api disiram minyak ketika A-kun
datang dan langsung mengadu sambil menangis,
"Ayah jahat! Ayah mengundang dewa jahat
bernama Liu Yok ke rumah, padahal A-hwe
sudah bilang kepadaku bahwa dewa jahat itu
bermaksud menyakiti dan menganiaya A-hwe!
Tak ada yang boleh menganiaya A-hwe!"
Kalau anak kecil lain yang berkeluh-kesah
seperti itu, boleh saja didiamkan. Tetapi orangMulut Macan 13
7 orang Seng-tin menganggap A-kun ini lain.
Inilah "juru bicara kerajaan langit" yang katakatanya tabu untuk diabaikan. Sudah terbukti
beberapa kali, yang berani mengabaikan akan
memperoleh bencana. Kata Lui Kong-sim, "Nah, apa sudah
kubilang? Kakak Pang keterlaluan. Orang yang
menentang kerajaan langit itu malah diundang
ke rumahnya dan diperlakukan sebagai tamu
terhormat!" Di antara orang-orang yang sedang
berbincang itu, Ek Yam-lam yang terhitung
paling tenang. Dengan terheran-heran dia
menangkap suatu keganjilan. Orang-orang itu
tiba-tiba saja begitu sering menyebut nama Liu
Yok, padahal sebelumnya tidak pernah
sekalipun nama itu disebut-sebut. Sekarang
tiba-tiba Yao Kang-beng menyebutnya sebagai
"penyihir maha jahat" dan Lui Kong-sim
menyebutnya "orang yang akan menghancurkan agama suci" seolah-olah Lui
Kong-sim sudah tahu jauh sebelumnya, disusul
A-kun yang langsung menyebutnya sebagai
Mulut Macan 13 8 "dewa jahat" padahal kalau mendengar cerita Akun berikutnya ternyata Liu Yok itu bahkan
belum menginjak rumah keluarga Pang ketika
A-kun kabur terbirit-birit mengungsikan "Ahwe".
Ek Yam-lam merasa dalam hati, kok seolaholah ada "pihak tertentu" yang tiba-tiba saja
menaruh komentar-komentar tentang Liu Yok
ke bibir orang-orang itu. "Pihak tertentu" yang
tentunya tidak menyukai Liu Yok, sebab
komentar tentang Liu Yok bernada negatif
semuanya. Dan siapakah "pihak tertentu" itu?
Apakah mahluk-mahluk gaib yang menguasai
Seng-tin tanpa terlihat itu?
"Kita harus bertindak cepat sebelum
bencana mendahului kota!" kata Lui Kong-sim
sambil memukul meja. "Bibi Ciu, mintakan restu
kepada Guru Wong, aku akan meringkus Liu
Yok di rumah Kakak Pang sekarang juga seperti
dulu aku tangkap dan penjarakan Siau Hiangbwe!"
Mulut Macan 13 9 Tetapi sebelum Lui Kong-sim meninggalkan
kursinya, di ambang pintu sudah terdengar
suara, "Tidak perlu."
Semua orang serempak menoleh, dan
mereka melihat Wong Lu-siok berdiri di
ambang pintu. Dandanannya yang serba putih
seperti dulu itu tak berubah, mulai dari topi,
pakaian sampai sepatu. Dandanan yang
membuatnya seperti khayalan orang tentang
dewa dari langit itulah yang mempesona orangorang Seng-tin, bahkan sampai kini pun masih.
Tetapi wajahnya yang anggun, bersih dan
berjenggot indah itu sekarang kelihatan agak
kuyu dan pucat, nampak seperti kelelahan.
Belasan hari Wong Lu-siok mengurung diri
di kamar semedinya, bahkan orang-orang
seperti Ek Yam-lam, Ciu Bian-li serta Bibi Ciu
yang sehari-harinya berdiam di situ pun tidak
pernah melihat wajah Si Guru ini, kecuali
mendengar suaranya dari balik pintu tertutup
yang memerintahkan ini itu. Sekarang tiba-tiba
tanpa diminta sudah muncul sendiri dengan
wajahnya yang kuyu, apakah baru sakit tetapi
Mulut Macan 13 10 berusaha menyembunyikannya dari mata
orang-orang Seng-tin agar ceritanya sebagai
pembawa pesan dari dewa-dewa tidak ternoda?
muncul, serempak orang-orang di ruang itu
berlutut menghormat sampai jidatnya menempel lantai. Tak terkecuali adalah A-kun
yang dimanjakan seantero Seng-tin, sekarang
juga harus bersikap sepatutnya kepada "utusan
langit" ini. Kata Wong Lu-siok, "Kalian semua, ikut
aku." Orang-orang itu heran mendengar suara
Wong Lu-siok kok jadi kecil seperti suara
perempuan? Namun tak ada yang berani
menanyakannya. Mereka hanya bangkit lalu
mengikuti Wong Lu-siok meninggalkan ruangan
itu. Wong Lu-siok diikuti orang-orang itu
menuju sebuah ruangan besar yang dulunya
adalah Lian-bu-thia (balai latihan silat) ketika
Ciu Koan masih hidup dan mengajar silat.
Tempat itulah yang digunakan Wong Lu-siok
mengurung diri belasan hari.
Mulut Macan 13 11 Kini, begitu orang-orang memasuki ruangan
setelah Wong Lu-siok sendiri membukakan
pintunya, semerbaklah bau dupa dan bunga
yang menusuk hidung. Di ujung ruangan, di
seberang pintu, ada patung besar penguasa gaib
yang oleh Wong Lu-siok sering diterangkan
sebagai "ratu langit" alias "ibu semua ajaran di
dunia" dengan sesaji lengkap di depannya.
Patung besar itu seolah-olah begitu hidup dan
memancarkan pengaruh yang menggetarkan.
Ketika Wong Lu-siok tersungkur bersujud di
depan patung itu, semuanya mengikutinya. Lalu
mereka bersama-sama melagukan sebuah syair
sanjung puja yang sebelumnya sudah mereka
hapal, bahkan banyak warga Seng-tin yang juga
hapal. Selesai memuja, Wong Lu-siok berkata lagi
dengan suaranya yang tetap mirip wanita dan
mengherankan pendengar-pendengarnya itu,
"Kalian diperkenankan bangkit oleh ibunda
ratu." Mulut Macan 13 12 Orang-orang itu baru berani bangkit, dan
baru sempat memperhatikan keadaan ruangan
itu. Dan mereka terheran-heran.
Di ruangan itu tidak ada perabot lain seperti
meja atau kursi, semuanya disingkirkan. Yang
tertinggal hanyalah sebuah meja kecil di
samping altar "ratu langit" dan di atas meja
kecil itu ada tujuh buah patung dan tujuh buah
topeng. Baik wajah patung-patung maupun
topeng-topeng itu dikenal sebab sudah pernah
diajarkan oleh Wong Lu-siok sebagai
"pembesar-pembesar kerajaan gaib" yang
diterangkan sekaligus dengan "jabatan" dan
"tugas" mereka atas menusia-manusia di bumi.
Tetapi di lantai ruangan yang seluas itu,
nampak ada sebuah peta besar, hampir seluruh
lantai. Dan kalau dilihat jalan-jalannya, loronglorongnya, letak rumah-rumahnya, itulah kota
Seng-tin. Miniatur kota Seng-tin.
Bukan itu saja, di setiap rumah itu juga ada
patung-patung tanah liat yang kecil-kecil,
dibentuk asal-asalan saja asal kelihatan ada
kepala dan badannya. Pada patung-patung kecil
Mulut Macan 13 13 itu tergores nama setiap penduduk Seng-tin.
Ada ratusan patung asal jadi itu, dan mereka
semua menempati rumah masing-masing.
Patung yang bertuliskan nama Ciok Yan-lim
misalnya, ya ditempatkan di rumah Ciok Yanlim dalam denah miniatur Seng-tin ini. Kalau
diteliti ternyata nama beberapa warga kota
yang sudah mati juga diikut-sertakan.
Ketika orang-orangnya memandangi denah
dan patung-patung kecil itu dengan terheranheran, Wong Lu-siok menerangkan, "Belasan
hari aku mendapat kehormatan berbicara
dengan Sang Ibunda Ratu, dan kulaksanakan
perintahnya secermat-cermatnya. Inilah yang
harus kita jalankan untuk memperkuat
pengaruh ajaran suci kepada jiwa orang-orang
di Seng-tin." Semua orang dengan seksama memperhatikan Wong Lu-siok, lalu Wong Lusiok menuding ke meja kecil tempat patungpatung dan topeng-topeng itu sambil berkata,
"Kalian masing-masing ambillah patung-patung
maupun topeng-topeng itu, setiap orang satu
Mulut Macan 13 14 patung dan satu topeng, dari yang kalian puja
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dan kalian mintai kekuatan setiap hari."
Yao Kang-beng yang memuja "dewa
bermata tiga" langsung mengambil patung dan
topeng yang berwujud sama dengan pujaannya.
Ia percaya tokoh dunia gaib itulah yang
memberinya "kesaktian mata ketiga" yang
membuat ia dapat "melihat siluman meskipun
silumannya sedang menyamar sebagai manusia". Bibi Ciu memilih "dewi keadilan" yang
tampangnya seram dan dingin seperti dirinya
sendiri (atau dirinyalah yang sedikit demi
sedikit jadi seperti yang dipujanya)?.
Keponakannya, Ciu Bian-li memilih "ratu
kegelapan malam" yang patung dan topengnya
berwajah cantik dan kakinya menginjak mega.
A-kun tidak ingin berpisah dengan "ahwe"nya, tetapi hatinya diliputi rasa gentar
bukan main ketika ia merasakan kemarahan "Ahwe" ditujukan kepadanya. A-hwe memaksa Akun untuk memilih, tetapi A-kun melihat di
antara patung-patung dan topeng-topeng itu
Mulut Macan 13 15 tidak ada yang seperti A-hwenya. Namun di
pinggir telinganya serasa ada bisikan dan
dorongan untuk memilih patung dan topeng
berwujud bidadari berpakaian serba merah dan
sedang menari di tengah-tengah kobaran api.
"Itulah ujudku yang sebenarnya, bukan seperti
patung yang kau bawa-bawa itu...." demikian
suara bisikan itu. A-kun merasa sedikit kecewa,
jadi A-hwe selama ini tampil di depannya tidak
dengan wujud aselinya, alias membohonginya?
Tetapi di bawah sorot mata yang mengancam
dari patung besar di altar, A-kun mengambil
juga patung dan topeng "A-hwe dalam wujud
sebenarnya" itu, sementara patung kesayangannya ditaruh di meja.
Lui Kong-sim memilih patung dan topeng
seorang yang berdandan seperti panglima
perang jaman kuno, tetapi bersayap dua di
punggungnya. Juga bertaring, dengan tangan
kanan memegang petir dan tangan kiri
memegang gumpalan bola api. Terkesan oleh
kegagahan mahluk itu, Lui Kong-sim mengambilnya. Mulut Macan 13 16 Ek Yam-lam mengambil patung berujud
seorang tua berwajah cerah tersenyum,
berjenggot putih panjang, berjubah indah dan
tangannya memegang pena bulu. Wong Lu-siok
sering menceritakan mahluk suci yang satu ini
sebagai "dewa ilmu pengetahuan".
Setelah semuanya mengambil, di meja kecil
tersisa patung seorang dewa yang agak aneh
ujudnya. Ujudnya seperti dua manusia yang
saling membelakangi lalu disatukan, bukan
dengan tali, tetapi dengan kulit dan daging. Jadi
manusia dengan dua muka dan dua dada tetapi
tidak ada punggung, tengkuk dan pantatnya.
Lengannya ada empat dan memegang senjata
yang berbeda-beda. "Mari kita pakai topengnya," kata Wong Lusiok, dan ia sendiri mulai memakainya. Suatu
keanehan, bahwa Wong Lu-siok mengucapkan
itu dengan perasaan sangat enggan dan amat
terpaksa, begitu pula mimik wajahnya sebelum
tertutup topeng adalah mimik wajah seseorang
yang sedang digiring ke tempat penyiksaan.
Mulut Macan 13 17 Pdngikut-pengikut dekatnya itu sebetulnya
merasa heran juga, namun tidak berani
menanyakannya. Mereka pun memakai topeng
pilihan masing-masing, A-kun jadi kelihatan
aneh, sebab tubuhnya masih tubuh kecil kanakkanak, namun topeng itu dibuat untuk ukuran
orang dewasa. Ia jadi sesosok mahluk bertubuh
cebol bertampang dewasa. Wong Lu-siok lalu menentukan tempat
duduk mereka masing-masing, dalam posisi
bersila, mengitari miniatur Seng-tin itu. Patungpatung kecil mereka ditaruh di depan mereka,
dihadapkan ke arah "Seng-tin", dengan
demikian "Seng-tin" seolah dikepung oleh tujuh
mahluk suci yang dilambangkan patung-patung
itu, dan juga tujuh orang yaitu Wong Lu-siok
dan kawan-kawannya. Lalu ketujuh orang itu
bergandengan tangan dan terdengar suara
Wong Lu-siok melengking bagaikan perempuan,
"Kalian adalah tujuh manusia yang kupilih
langsung dari singgasanaku di langit. Kalian
abdi-abdiku, karena itu kutuntut pengorbanan
kalian untuk menjadi saluran-saluran Mulut Macan 13 18 kekuatanku sampai Seng-tin benar-benar
takluk, kare na selama ini Seng-tin belum benarbenar takluk. Masih ada orang macam Giam Lok
yang tidak mau tunduk kepadaku. Pengorbanan
kalian ialah, kalian tetap dalam posisi ini, tidak
makan dan tidak minum, memusatkan kekuatan
jiwa kalian untuk penaklukan Seng-tin. Jiwa
kalian adalah kereta perangku."
Keenam orang lainnya sudah tahu kalau
Wong Lu-siok mulai kesurupan, mereka juga
merasakan suhu ruangan itu menurun tajam
sehingga menjadi dingin, sayup-sayup ada angin
bertiup agak kencang dalam ruangan itu
padahal semua jendela dan pintu tertutup. Juga
bau sejuta macam bunga tetapi sekaligus juga
bau belerang yang menyengat hidung.
Suasana ruangan itu menciptakan dalam
bayangan pikiran Ek Yam-lam dan lain-lainnya,
bahwa sang ratu langit yang sering
dikhotbahkan oleh Wong Lu-siok benar-benar
datang ke ruangan itu. * ** Mulut Macan 13 19 Selagi di bekas rumah guru silat Ciu Koan
itu terjadi kegiatan yang sifatnya gaib, maka di
bekas rumah Ek Yam-lam juga terjadi kegiatan
sekelompok orang yang sifatnya tidak gaib
sama sekali. Ada tujuh orang pemuda yang dipimpin
Giam Lok, habis berlatih silat selama berjamjam dengan tombak besi yang berat. Tubuhtubuh lelaki-lelaki muda tanpa baju itu nampak
mengkilat kulitnya karena keringat. Dan kini
mereka semuanya berteduh, sementara alatalat latihan silat masih bergeletakan di halaman
belakang rumah bekas kediaman Ek Yam-lam
itu. Giam Lok nampak tidak sekurus waktu baru
sembuh dari sakit dulu, sekarang nampak mulai
pulih otot-ototnya yang tegap. Dalam belasan
hari ini memang sengaja Giam Lok latihan berat
setiap hari, dibarengi makan sebanyakbanyaknya. Makanannya dikirim oleh rekanrekan yang sepaham dengannya untuk
"memenangkan kembali akal sehat di Seng-tin",
sebab ibunya sendiri tidak mau mengirim
Mulut Macan 13 20 makanan kepada Giam Lok. Selain latihan fisik
di siang hari, di malam hari Giam Lok juga
latihan memupuk semangat dengan merenungi
dan meresapi nasehat-nasehat almarhum
gurunya, Ciu Koan, tentang semangat
kependekaran. Giam Lok yakin kalau seorang
pesilat yakin dalam jiwanya sendiri, pasti
takkan mudah dibanting-banting "dari jarak
jauh" seperti yang dialami Giam Lok dulu di
halaman rumah Bibi Kim. Giam Lok juga
melakukan "pembinaan mental" kepada rekanrekannya itu.
Demikian pula siang itu, sambil menyeka
keringat yang terus membanjir karena kerasnya
latihan tadi, Giam Lok menanyai temantemannya, "Teman-teman, masihkah kalian
yakin bahwa semangat kita yang tinggi akan
mengatasi hambatan apa pun? Termasuk
kekuatan yang dikatakan kekuatan gaib para
dewa?" "Tentu, kami tetap yakin. Tidakkah Kakak
Giam melihat bagaimana bersemangatnya kami
latihan tadi? Latihan yang begitu bersemangat,
Mulut Macan 13 21 mana bisa dilakukan oleh orang yang tidak
yakin?" "Benar, kesembuhan Kakak Giam dan Kakak
Ho membuktikan bahwa semangat manusia
mempunyai kekuatan di atas segalanya!"
Ho Tong juga ada dl kelompok itu. la senang,
bahwa ia mulai berteman lagi, terlepas sedikit
demi sedikit dari kenangan pahitnya sebagai
orang gila dulu. Namun ketika mendengar
bahwa kesembuhannya dikait-kaitkan dengan
"semangat manusia yang mengatasi segalanya",
Ho Tong diam-diam tidak setuju, la merasa
semangatnya tidak punya andil apa-apa dalam
kesembuhannya, la hanya merasa berpindah
dari suatu alam asing yang gelap dan penuh
mahluk menakutkan, mendadak ke alam
manusia kembali. Ia tidak paham bagaimana
bisa terjadi begitu, baru ketika ia ketemu Si
"nenek misterius" yang mengaku diutus
seorang bernama Siau Hiang-bwe yang juga
pernah sakit jiwa seperti Ho Tong, Ho Tong
diberitakan bahwa kesembuhannya bukan
karena ia bertekad dengan semangat sendiri
Mulut Macan 13 22 untuk sembuh, melainkan terjadi karena Siau
Hiang-bwe merelakan diri menjadi saluran
untuk kesembuhan. Ho Tong tak paham tentang
"saluran kesembuhan" itu namun ia begitu
mudah mempercayai nenek itu. Itulah sebabnya
Ho Tong tidak sependapat dengan Giam Lok
tentang "semangat manusia mengatasi segalanya" itu, hanya Ho Tong tidak mau
mengatakannya karena kuatir melemahkan
tekad teman-temannya. Jadi, meski Ho Tong
ikut dalam kelompok Giam Lok ini namun tidak
benar-benar sependapat. Lebih tepat kalau
disebut Ho Tong bergabung hanya ingin
sekedar berteman daripada terkucil sebagai
orang yang pernah gila. "Kenapa Kakak Giam menanyakan tekad
kami?" tanya seorang anggota kelompok yang
bernama In Bun-san, sambil menggosok
keringatnya pula. Sahut Giam Lok, "Karena malam nanti kita
akan bertindak. Akan kita bakar rumah bekas
kediaman guru kita itu. Biar penduduk kota ini
Mulut Macan 13 23 tahu bahwa segala kepercayaan tahyul mereka
itu omong kosong." Mendengar itu, beberapa orang membungkam. Giam Lok maklum, sebagian
besar anggota kelompoknya itu adalah bekas
murid-murid Ciu Koan, dan sedikit banyak
masih ada ikatan batin dengan rumah itu,
biarpun rumah itu sekarang digunakan untuk
kegiatan Wong Lu-siok, Mendengar Giam Lok
mengajak membakar rumah itu, semuanya
kaget juga. Giam Lok berkata pula, "Aku maklumi
perasaan kita, tetapi sadarilah, rumah itu sudah
dikeramatkan sedemikian rupa oleh saudarasaudara kita warga Seng-tin, sehingga
kehilangan akal sehat mereka. Bahkan, tahukah
kalian apa yang dikatakan orang-orang Seng-tin
pagi ini? Omongan mereka sudah seperti orang
tak berakal. Coba dengar, ketika aku di pasar,
aku dengar beberapa orang membicarakan,
katanya tadi malam beberapa tetangga dari
Paman Ou Siang si tukang peti mati yang sudah
almarhum itu mendengar di rumah Paman Ou
Mulut Macan 13 24
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ada suara orang bekerja dengan kayu dan palu,
padahal rumah itu kosong sejak Paman Ou
meninggal. Lebih tidak masuk akal, katanya
pagi-pagi orang-orang mendatangi rumah itu
dan menemukan bahwa semalam ada yang
bekerja membuat peti mati di rumah kosong itu.
Lebih gila lagi, tanda ini dikatakan isyarat dari
Langit segala. Ada yang menafsirkan bahwa
sebentar lagi peti mati akan laris di Seng-tin,
alias banyak orang yang akan mati. Banyak
orang jadi ketakutan."
"Benar, orang-orang jadi bertingkah-laku
tak masuk akal. Ada yang takut melangkahi
pintu, dan pamanku tidak berani melewati
simpang tiga lebih dari satu kali sehari, katanya
itu pantangan yang bisa mencelakakannya kalau
dilanggar." Beberapa orang lagi juga memberi
kesaksian tentang orang-orang yang jadi
berkelakuan ganjil sejak beberapa hari ini. Dari
yang sekedar lucu sampai yang sudah
membahayakan nyawa orang lain. Kalian
dengar tentang Yao Kang-beng yang hendak
Mulut Macan 13 25 membunuh adiknya dengan alasan bahwa
adiknya itu siluman?"
"Bukan begitu ceritanya, Kakak Giam
Katanya, Kakak Yao itu mendapat anugerah dari
langit berupa ?mata ketiga? dan ia benar-benar
melihat siluman." "Omong kosong itu!" tukas Giam Lok
setengah membentak sehingga temannya yang
sedang bicara itu terbungkam takut.
"Itu dongeng tak masuk akal! Itu hanya akalakalannya Yao Kang-beng agar dikira benarbenar punya ilmu gaib, supaya orang-orang
takut kepadanya! Jangan sedikitpun pkirankita
dipengaruh oleh itu! Kita hanya berhadapan
dengan cara berpikir yang keblinger dan tidak
ada itu yang namanya mahluk-mahluk gaib
segala!" "Tetapi perlukah kita membakar bekas
rumah Guru?" "Terpaksa, kita tidak boleh membiarkan
tingkah aneh orang-orang itu sampai membuat
ada nyawa melayang. Aku percaya, arwah guru
kita sendiri akan setuju. Kalau tempat itu
Mulut Macan 13 26 dibakar, runtuhlah segala tahyul di kota kita
ini." Akhirnya semua menyetujui, meski ada juga
yang masih ragu dalam hati seperti Ho Tong.
Kata Giam Lok, "Nah, kita istirahat agar nanti
malam kita bias bertindak dalam kondisi segar.
Ingat, bulatkan semangat. Tak ada yang bisa
menaklukkan atau mempermainkan semangat
kita!" Orang-orang itu pun bubar pulang kerumah
masing-masing. Ketika Giam Lok melangkah masuk ke
dalam rumah bekas kediaman Ek Yam-lam, dia
terc engang melihat bagian dalam rumah yang
berantakan tadinya sekarang sudah rapi.
Bahkan di atas meja dapur sudah ada masakan
lezat yang tak pernah terbayangkan. Memang
setengah harian Giam Lok di halaman belakang,
berlatih bersama teman-temannya, dan kini
dalam keadaan lapar. Rasa-rasanya Giam Lok langsung bisa
menebak siapa yang melakukan. Giam Lok pun
memanggil-manggil, "Nek... Nenek...."
Mulut Macan 13 27 Giam Lok langsung menduga kepada Si
Nenek tak dikenal yang singgah di situ belasan
hari yang lalu, kemudian pergi entah ke mana
sejak Giam Lok memutuskan untuk menggunakan uang pemberian Si Nenek untuk
membuat tombak besi ketimbang untuk
membelikan hadiah bagi ibunya demi
memperbaiki hubungan. Sejak itu Si Nenek tidak pernah lagi
menemui Giam Lok. Kini Si Nenek tiba-tiba
muncul di ambang pintu dapur, lalu berkata
kepada Giam Lok, "Aku mendengar rencanamu,
anak muda. Kau pikir dengan membakar rumah
itu, kau akan membereskan semua masalah?"
"Aku yakin, ya."
Si Nenek geleng-geleng kepala, "Kuberi tahu
caranya. Kalian semua orang-orang Seng-tin
saling memaafkan, saling memperbaiki hubungan, tidak perlu saling menuntut siapa
benar siapa salah. Nah, mulailah dengan Ibumu.
Nanti pengaruh jahat itu akan menghilang dari
Seng-tin." Mulut Macan 13 28 Giam Lok hanya tertawa mendengar Si
Nenek yang kedengaran anjurannya terlalu
menganggap gampang masalahnya, terlalu
gegabah dan dangkal. Meski Giam Lok heran
juga, tadi tidak ada kegiatan apapun di dipur,
kok lalu tiba-tiba sudah tersedia hidangan
selengkap ini? "Masakan ini untukku, Nek?" Giam Lok coba
mengalihkan pembicaraan. "Ya. Tetapi bukan berarti aku setuju
rencanamu." "Mari makan bersama-sama, Nek," ajak
Giam Lok yang agaknya memang enggan
membicarakan rencananya dengan nenek yang
"sangat baik hati tapi terlalu meremehkan
masalah besar Seng-tin" ini.
Wajah Si Nenek nampak murung dan
kurang puas mendapat jawaban Giam Lok yang
serba menghindar itu, tetapi ia duduk juga di
kursi makan. Ia mencedok sedikit makanan air
semacam sup, lalu sambil makan dia tetap
menggiring Giam Lok ke masalah yang ingin
dibicarakannya, "Kau tidak pecaya bahwa
Mulut Macan 13 29 keluarga yang utuh dan saling mengasihi adalah
benteng yang amat kuat, bahkan terhadap
kekuatan-kekuatan gaib jahat?"
Giam Lok tidak berani terang-terangan
mengutarakan ketidak-percayaannya, ia hanya
meneruskan makannya tanpa menjawab.
Si Nenek mendesaknya lagi, "Kau sadar,
bahwa kau berhadapan dengar sesuatu yang
gaib dan tidak alamiah?! Kau pikir sesuatu yang
alamiah seperti! membakar bekas rumah Ciu
Koan itu akan mencabut akar masalahnya?"
"Nek, pokoknya urusan membebaskan Sengtin adalah urusan kami. Hendaknya Nenek
nikmati hari-hari Nenek dengan tenang dan
damai." Si Nenek tidak menghabiskan supnya, lalu
melangkah keluar tertatih-tatih, sehingga
dengan perasaan tidak enak Giam Lok berkata,
"Nek, aku tidak mengusir Nenek. Bahkan aku
ingin Nenek bersamaku terus."
Suara jawaban Si Nenek sudah terdengar
dari luar pintu dan makin jauh. "Aku juga tidak
merasa diusir kok. Aku hanya ingin jalan-jalan."
Mulut Macan 13 30 "Hati-hati di jalan, Nek."
Giam Lok kemudian sendirian menikmati
hidangan sebanyak dan seenak itu, sambil
menggerutu, "Nenek aneh, entah siapa dia."
Habis makan Giam Lok beristirahat sebaikbaiknya, menunggu turunnya matahari untuk
melaksanakan rencana. Ketika matahari sudah terbenam dan hari
gelap, satu persatu anggota-anggota kelompok
Giam Lok berkumpul di rumah itu. Semuanya
berpakaian ringkas namun tidak membawa
senjata, karena senjata-senjata sudah lebih dulu
disimpan di bekas rumah Ek Yam-lam itu.
Giam Lok senang melihat seluruh
kelompoknya berkumpul tak kurang seorang
pun. "Semangat kalian adalah harapan untuk
seluruh Seng-tin," pujinya.
"Kita berangkat sekarang, Kakak Giam?"
tanya In Bun-san bersemangat sekali, sambil
mengikatkan sepasang golok bersilang di
punggungnya. "Tunggu sebentar lagi, sampai jalanan
benar-benar sepi," cegah Giam Lok.
Mulut Macan 13 31 "Jalanan sudah sepi, Kakak Giam. Dalam
beberapa hari ini apakah Kakak Giam tidak
merasakan perbedaan suasananya? Biasanya
sampai agak malam warung Paman Ao masih
buka, dan Paman Giam masih berkeliling
dengan pikulan ini pangsitnya. Tetapi dalam
beberapa hari ini, belum sampai hari benarbenar gelap, semua pintu sudah ditutup rapat,
orang-orang di jalanan sudah tak kelihatan satu
pun." "Aku merasa dalam beberapa hari ini di
kota Seng-tin lebih cepat menjadi gelap.
Ada gumpalan awan hitam yang datang
setiap matahari terbenam, tetapi bukan
membawa hujan. Juga ada angin yang keras
bertiup, dan udara yang demikian lama makin
dingin, dan kabut yang turun begitu rendah
sampai...." "Cukup!" bentak Giam Lok. "Kau mau
melemahkan semangat teman-teman? Dan ingin
menghubung-hubungkan cuaca yang tidak biasa
itu dengan hal-hai gaib"
Mulut Macan 13 32 "Tetapi, Kakak Giam, di seluruh kota juga
tercium bau belerang dan bermacam-macam
bunga yang...." 'Tutup mulutmu! Malam ini kita babat
sumber ketahyulan di kota ini, dan besok warga
Seng-tin akan tahu bahwa akal sehatnya yang
menang" Mereka bersiap-siap, kemudian berangkat
ke sasaran. Selain senjata-senjata, tidak lupa
mereka bawa bumbung-bumbung minyak dan
batu api. Begitu melangkah keluar, hati Giam Lok
agak bercekat juga melihat bahwa di luar sudah
penuh kabut tebal sampai ke tanah, padahal
matahari belum lama tenggelam. Udara juga
terasa amat dingin, angin tajam bertiup. Kota
Seng-tin berubah jadi seperti suatu alam yang
asing. Ho Tong yang melangkah di samping Giam
Lok sambil memanggul tombaknya itu, rasarasanya pernah melihat alam seperti itu, bahkan
pernah menghuninya. Mulut Macan 13 33 Malam ini kita babat sumber ketahyulan di kota
ini, dan besok warga Seng-tin akan tahu bahwa
akal sehatnya yang menang"
Mulut Macan 13 34 Sedangkan Giam Lok sendiri sebenarnya
tidak tenteram hatinya, di kupingnya serasa
terngiang kata-kata Si Nenek siang tadi, "... kau
berhadapan dengan sesuatu yang tidak
alamiah... kau berhadapan dengan sesuatu yang
tidak alamiah...." Namun Giam Lok menyembunyikan itu
jauh-jauh di dasar hatinya, dan dengan gagah
memberi komando bagaikan panglima perang,
"Berangkat!" Kelompok itu pun berbaris gagah bak
pasukan ke medan laga. Sambil melangkah, Giam Lok berusaha
menjaga lemangat teman-temannya dengan
menyebut tempat-tempat yang dilewatinya. Ini
perlu, sebab suasana malam itu cukup aneh,
sehingga pikiran orang-orang perlu dijaga dan
diingatkan terus-menerus bahwa mereka "tetap
berada di Seng-tin" dan belum "pindah ke alam
lain". "Eh, lihat, kebun buah-buahan Paman Giam
yang dulu sering kita ambili buahnya. Masih
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ingat?" Mulut Macan 13 35 Demikianlah, Giam Lok menyerocos terus
agar teman-temannya jangan terlalu tegang.
Toh teman-temannya sulit menghapus ketegangan mereka. Terutama Ho Tong,
suasana Seng-tin makin mengingatkannya
kepada suasana "suatu tempat asing yang
pernah dihuni berbulan-bulan", yaitu ketika ia
menjadi orang gila. Dalam perjalanan menuju bekas rumah
guru Ciu, mau tidak mau mereka melewati
sebuah lorong di mana terdapat rumah kosong
bekas kediaman Ou Sing si tukang peti mati.
Rumah yang sedang ramai dibicarakan orang,
dikabarkan kalau malam hari "ada suara orang
bekerja di situ tetapi kalau didatangi tidak
terlihat apa-apa". "Kakak Giam, bukankah kita... akan
melewati rumah kosong berhan... eh, maksudku,
bekas kediaman Paman Ou?" tanya seorang
teman Giam Lok, suaranya agak tertahan,
setengah tertelan. Mulut Macan 13 36 "Ya, memangnya kenapa?" sahut Giam Lok.
"Kau mulai takut? Kau mulai percaya omongan
orang-orang yang mulai luntur akal sehatnya?"
"Tentu saja tidak!" yang ditanva pun
menyahut dengan nada ?.egagih mungkin.
"Bagus. Jaga semangat kalian. Kita bertindak
begini justru sedang hendak mengikis pikiran
bodoh yang memalukan kota kita ini!"
Baru selesai kata-kata itu, t bu tiba di tengah
lorong itu angin menerpa mengiris kulit,
disertai suara siut anginnya menciutkan nyali,
dan saat itulah teman Giam Lok yang berlagak
gagah berani Itu berkata, "Kakak Giam,
mendadak kelapaku kok pusing-pusing,
barangkali aku kurang sehat."
Belum lagi Giam Lok menjawab, seorang
teman yang lain sudah memutuskan, "Kalau
kurang sehat ya jangan dipaksakan. Mari
kuantar pulang." Cerdik juga orang ini, sebab mengantar
pulang berarti ikut pulang juga.
Disusul kata seorang teman lainnya, "Biar
aku juga mengantarnya. Kalau dia jatuh di jalan,
Mulut Macan 13 37 jadi ada dua orang yang menggotongnya... kalau
satu orang saja mana cukup?"
Alangkah gusarnya Giam Lok mendengar
kata-kata teman-temannya itu. "He, pengecutpengecut bernyali tikus, kalau kalian memang
takut dan tidak ingin meneruskan perjalanan
ini, pulanglah. Jangan cari alasan macammacam. Sana, pulang, mudah-mudahan kalian
ketemu hantu di jalan."
Orang-orang itu agak tersinggung juga
dikatakan "pengecut bernyali tikus", namun
melihat suasana yang makin tidak wajar,
mereka keder juga. Kuatir kena akibat-akibat
buruk dari mahluk-mahluk gaib, dan buyarlah
apa yang selama berhari-hari ditanamkan Giam
Lok di benak mereka, yaitu tentang "akal sehat
di atas segalanya". Begitu mendengar Giam Lok memperbolehkan pulang, langsung empat orang
memisahkan diri. Empat orang, padahal tadi
yang minta ijin hanya tiga orang. Satu orang
minta ijin karena "tidak enak badan" dan dua
orang "ingin mengantar"-nya.
Mulut Macan 13 38 Giam Lok membanting kaki sambil
meneriaki keempat temannya yang sudahi jauh
itu, "Percuma kalian jadi laki-laki! Mulai besok
belilah pupur dan gincu!"
Ho Tong berkata, "Kakak Giam, Ketika kita
membentuk kelompok ini, bukankah sudah
disepakati bahwa ini kelompok sukarela? Kalau
ada yang ragu-ragu, dia boleh mengundurkan
diri, tidak ada paksaan. Kakak Giam tentu tidak
mau jadi seperti Lui Kong-sim yang mengecam
dan melawan siapa saja yang tidak sepaham
dengannya kan?" Giam Lok membungkam termangu, memandangi kelompoknya yang mengecil jadi
empat orang termasuk dirinya.
"Apakah kau berubah pendirian, Saudara
Ho?" "Terus terang saja, pengalamanku ketika
gila lalu sembuh, aku sembuh bukan karena
semangatku sendiri. Ketika itu aku merasa
berada di suatu tempat asing yang... suasananya
mirip seperti sekarang ini."
Mulut Macan 13 39 "Ah, sudah! Mau ikut tidak?" tukas Giam
Lok. Yang ditawari Ho Tong, dua orang yang
tersisa lainnya yang menjawab, "Kakak Giam,
mengembalikan warga kota kepada akal sehat
bukan dengan cara begini. Kita bisa
mengumpulkan orang-orang yang sepaham,
seorang demi seorang, dan lama-lama...."
"Kau ingin pulang, pulanglah!"
Tanpa pamit, kedua orang itu putar tubuh
dan meninggalkan Giam Lok. Dengan kesal
Giam Lok berkata kepada Ho Tong, "Semua
sudah mengundurkan diri di tengah jalan, nah,
Saudara Ho, apa yang kautunggu?"
"Aku tetap bersamamu, Kakak Giam."
"Untuk apa? Kau sudah tidak meyakini lagi
garis perjuangan kelompok ini, bahwa semangat
manusia adalah satu-satunya yang paling
unggul. Buat apa bersamaku lagi?"
"Kakak Giam, sejak dulu, sejak aku mulai
bergabung dengan Kakak, sebenarnya aku
sudah tidak sepaham dengan Kakak tentang
semangat manusia itu. Pengalamanku sendiri
Mulut Macan 13 40 buktinya. Ketika aku dibuat gila dengan sihir
oleh Beng Hek-hou, memangnya Kakak Giam
anggap semangatku lemah, sehingga dengan
mudah aku diperlakukan seperti itu? Tidak.
Justru saat itu semangatku sedang tinggitingginya hendak menuju ke kota Yu-pin. Toh
aku kena juga. Dan ketika aku sembuh, tak lain
karena ada orang tak kukenal yang mendoakan
kesembuhanku." "Kata Siapa?" "Kata seorang nenek-nenek yang datang
entah dari mana, yang jelas omongannya begitu
mudah diterima oleh hatiku."
"Jadi kau juga bertemu dengan nenek itu?
Aku juga. Aku tahu nenek itu orang baik, tetapi
dia sudah pikun, omongannya jangan dianggap
bersungguh-sungguh. Kata nya, masalah di
Seng-tin ini bisa hilang sendiri kalau semua
orang mau saling memaafkan, khususnya
keluarga-keluarga menjadi utuh kembali. Coba
pikir, omongan macam itu kalau bukan
omongan orang pikun lalu omongan apa?"
Mulut Macan 13 41 "Entahlah, Kakak Giam, aku mempercayai
kata-katanya." "Baiklah, terserah kepadamu. Sekarang kita
kembali ke pokok persoalan, lalu bagaimana
sikapmu sekarang? Dalam urusan hendak
membakar markas Wong Lu-siok?"
"Kuanjurkan jangan, Kakak Giam. Pakai cara
lain saja. Aku yakin akan makin banyak orang
Seng-tin yang bisa diajak omong baik-baik
tentang betapa kelirunya pikiran mereka.
Tetapi kalau Kakak Giam ingin meneruskan
langkah, aku akan bersama-sama Kakak."
"Tapi kau sudah tidak yakin akan
keunggulan semangatmu lagi."
"Aku minta maaf tidak berterus-terang sejak
dulu. Tetapi sekarang aku blak-blakan, bahwa
sejak aku bergabung dalam kelompok ini, aku
sebenarnya tidak sepaham dengan Kakak."
"Lalu, kenapa bergabung?"
"Aku... sebagai bekas orang gila yang dijauhi
oleh orang-orang yang masih takut kepadaku,
dengan bergabung dalam kelompok Mulut Macan 13 42 mendapatkan jalan berkumpul kembali dengan
beberapa teman." "Jadi kau memperalat kelompok itu untuk
kepentinganmu sendiri ya?"
"Kakak Giam juga memperalat kesembuhanku untuk mempopulerkan pendapat Kakak dan aku diam saja, tidak
memprotes." Keduanya sama-sama bungkam membeku
di tengah-tengah lorong gelap berkabut yang
bersuasana serem itu. Kata Giam Lok akhirnya, "Tinggalkan aku,
Saudara Ho. Aku dapat melakukan semua
rencana seorang diri, tanpa bantuan kalian. Aku
yakin akan kemampuanku!"
Lalu Giam Lok sudah melangkah pergi
dengan menjinjing tombaknya, namun Ho Tong
melangkah di samping Giam Lok dan berkata,
"Aku tetap ikut, biarpun tidak sepaham dengan
Kakak. Kita bisa tetap saling membela."
Giam Lok malah mempercepat langkahnya
sambil berkata, "Orang yang tidak percaya diri
Mulut Macan 13 43 sendiri malah akan merepotkan aku, bukan
membantu." Kata Ho Tong, "Aku bukan tidak percaya
diri, melainkan menyadari keterbatasan diri.
Aku menyadari, ada sesuatu kekuatan tak
dilihat di alam semesta ini, yang jauh melebihi
kekuatan manusia. Tak terlihat tapi ada dan
bekerja, seperti dalam pertitiwa kesembuhanku
dari kegilaan." Giam Lok geleng-geleng kepala. "Pertama,
aku tidak percaya kekuatan tak terlihat itu
melebihi manusia. Kedua, kekuatan tak terlihat
itu jahat, selalu ingin memperbudak manusia,
membuat manusia seolah-olah hanya boneka
wayang di tangan dalang. Contohnya, dulu Sengtin dikuasai Beng Hek-hou dengan kekuatan
macam itu. Lalu Wong Lu-siok datang dengan
kekuatan gaib juga, mengaku kekuatan gaibnya
dari pihak yang baik, mengusir Beng Hek-hou.
Tetapi apa jadinya? Ternyata Wong Lu-siok juga
menguasai kota ini, membuat orang-orang jadi
aneh dan asing satu dengan yang lain. Itulah
Mulut Macan 13 44 hasilnya kalau terlalu menggantungkan diri
kepada yang tak terlihat.
Manusia jadi permainan, pindah-pindah
dari cengkeraman kekuatan yang satu ke
kekuatan yang lain. Karena itu berhentilah
mengharapkan sesuatu yang tak kita kenal,
lebih baik mengandalkan diri sendiri. Pakai otak
sebaik-baiknya, pasti kita jaya'"
Ho Tong ternyata punya tikap yang sama
teguhnya dengan Giam Lok, "Meskipun sikap
yang berbeda Silakan Kakak berkeyakinan
demikian. Tapi aku percaya lain. Memang di
alam raya ini ada kekuatan-kekuatan gaib yang
jahat, yang ingin menunggangi manusia untuk
menuruti bisikan mereka. Tapi pasti ada juga
suatu kekuatan yang benar-benar baik, bukan
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang pura-pura baik seperti kekuatan gaibnya
Wong Lu-siok. Bukan. Nah, kekuatan yang
benar-benar baik ini pastilah lebih kuat dari
yang jahat, menjaga agar yang jahat itu tidak
benar-benar menguasai alam semesta. Inilah
kekuatan yang patut didambakan oleh manusia,
Mulut Macan 13 45 kekuatan yang patut diusahakan untuk kita
ketemukan." "Ah, tidak masuk akal itu, Saudara Ho."
"Menurutku sangat masuk akal. Kalau di
alam semesta tidak ada kekuasaan yang benarbenar baik itu, entah apa namanya, pasti alam
semesta ini sudah hancur lebur dan kacau-balau
karena yang jahat. Buktinya, alam semesta
masih tetap dalam keteraturan, meskipun
disana-sini ada kerusakan-kerusakan oleh alam
maupun manusia." "Baiklah, kau dengan keyakinanmu, aku
dengan keyakinanku. Mari kita buktikan mana
yang benar. Diuji dengan ujian sejati dengan
bersama-sama menghadapi Wong Lu-siok. Aku
andalkan semangat diriku sendiri, kau andalkan
'kekuatan yang benar-benar baik'mu itu."
Dengan demikian, kedua sahabat itu samasama meneruskan langkah ke medan laga,
namun tidak dengan sehati lagi, melainkan
dengan keyakinannya sendiri-sendiri. Dan
seolah malah ingin saling membuktikan bahwa
dirinya lebih benar. Mulut Macan 13 46 Ketika mereka tiba di depan gedung bekas
kediaman Cku Koan, mereka melihat rumah
besar itu pun diselimuti kabut tebal sehingga
menimbulkan kesan antara ada dan tidak ada.
Angin yang dingin dan keras membuat benderabendera di sekitar rumah itu berkibaran, terasa
di hati memang ada pengaruhnya.
Yang mendebarkan kedua pemuda pemberani itu, ialah ketika melihat pintu
gerbang depan terbuka lebar kedua daun
pintunya, namun tidak nampak ada seorang
pun. Angin yang bertiup cukup keras untuk
menggerak-gerakkan sedikit daun-daun pintu
depan, biarpun daun-daun pintu itu cukup tebal
dan berat, menimbulkan suara keriat-keriut
lemah diengsel-engsel pintunya. Di kiri kanan
pintu ada sebuah lampion yang mungkin
disengaja kertasnya berwarna biru sehingga
cahaya lampion pun berwarna biru, dan Giam
Lok serta Ho Tong kalau saling memandang
akan kelihatan berkulit muka biru, seperti...
mayat yang sudah beberapa hari.
Mulut Macan 13 47 Giam Lok tertawa dingin, untuk membesarkan nyalinya sendiri, "Hem, ini akalakalan yang tidak bermutu untuk mencoba
menakut-nakuti orang. Tetapi kali ini mereka
kena batunya bertemu dengan Giam Lok."
Lalu Giam Lok melangkah maju dengan
gagah, dan dengan heran Giam Lok melihat Ho
Tong pun melangkah tidak kalah beraninya.
Pikir Giam Lok, mungkin temannya ini
mengandalkan "kekuatan yang benar-benar
baik yang menjaga alam semesta" namun yang
belum dikenal oleh Ho Tong itu.
Sepasang lampion biru di kiri kanan pintu
itu nampak bergoyang-goyang kena angin.
Karena kabut, tidak terlihat talinya, demikian
anggapan Giam Lok. Tetapi setelah dekat,
ketajaman mata Giam Lok mendapati kenyataan
bahwa sepasang lampion itu memang tidak ada
talinya, tidak ada tangkainya, alias terapungapung begitu saja di udara.
"Semangat manusia yang mengungguli
segalanya" di hati Giam Lok pun memperoleh
pukulan keras melihat kenyataan yang tak bisa
Mulut Macan 13 48 diterangkan ini. Tetapi untuk mundur, ia malu
kepada Ho Tong, maka dengan mengeraskan
kepala dia melangkah memasuki pintu, dan Ho
Tong mendampinginya karena tidak tega
membiarkan sahabatnya sendirian menghadapi
keanehan itu. Namun Ho Tong justeru bersikap
lebih tenang dari Giam Lok, agaknya tidak
terlalu kaget meski sudah mengetahui lampionlampion itu tergantung di udara kosong. Ho
Tong merasa ada sesuatu yang menguatkan
jiwanya, memberinya keberanian.
Rumah bekas kediaman guru silat Ciu Koan
itu sudah amat dikenal oleh semua muridmuridnya, temasuk Giam Lok dan Ho Tong. Bisa
dibilang rumah almarhum Ciu Koan adalah
"rumah kedua" bagi semua murid-muridnya,
karena seringnya para murid berada di situ.
Namun kali ini begitu Giam Lok dan Ho
Tong melangkahi pintu, mereka merasa
terjeblos ke suatu alam yang belum pernah
dikenal, bagi Giam Lok. Sedangkan bagi Ho
Tong, rasanya "sudah tidak asing lagi" karena
pernah mengenalnya, yaitu ketika ia dianggap
Mulut Macan 13 49 gila oleh orang-orang Seng-tin. Ho Tong pernah
"tinggal di dalamnya" dan bersyukur bahwa ia
berhasil "keluar dari sana". Sekarang Ho Tong
"mengunjunginya"
kembali, jantungnya berdebar-debar juga, namun kali ini merasakan
ada sesuatu dalam hatinya yang membuatnya
berani. Pandangan kedua pemuda itu dikaburkan
oleh kabut, tetapi mereka heran melihat samarsamar ada bentuk bukit-bukit dan lembah di
depan mereka. Kenapa bukit-bukit dan lembah?
Bukankah itu halaman rumah mendiang guru
mereka? Giam Lok membungkam, tidak berani asal
mangap lagi. Ho Tong justeru yang mencoba
membesarkan hati kawannya. "Alam seperti ini
pernah mengurung jiwaku, tetapi ada yang
menolongku sehingga aku dapat keluar kembali.
Berarti apa yang kita lihat ini bukannya sesuatu
yang maha kuasa, melainkan terbatas."
Giam Lok bungkam tak menjawab, masih
bingung. Dan suara Ho Tong yang terdengar
kembali, "Kalau kita mau keluar dari sini, aku
Mulut Macan 13 50 percaya, kekuatan yang pernah menolongku itu
akan menolongku kembali."
Baru saja Ho Tong selesai berkata demikian,
di belakang mereka terdengar suara berkeriut
keras, dan daun pintu yang tebal itu telah
terkatup sendirinya. Tetap tak terlihat batang
hidung seorang pun. Sementara dari arah "bukit" di depan
terlihat nyala-nyala api beterbangan dalam
gelapnya malam. Orang-orang di daerah Secuan barat-daya sering menceritakan tentang
"burung api hantu" di bukit yang angker.
Sekarang Ho Tong sendiri sama bingungnya
dengan Giam Lok. Apakah keyakinannya
tentang "kekuatan yang benar-benar baik" itu
adalah keyakinan-yang berdasar, atau sekedar
persangkaan membabi buta yang akhirnya
bakal mengecewakan? Saat itulah di kaki "bukit" dalam kegelapan
sana sayup-sayup terdengar teriakan minta
tolong, "Kakak Lok, tolong...."
Giam Lok yang semula membeku, kini
tersentak kaget. "Itu suara adikku, A-lik! Dia
Mulut Macan 13 51 harus kutolong!" Lalu Glam Lok sudah hendak
menerobos ke depan, tetapi Ho Tong
menyambar lengannya, menahannya. "Kakak,
jangan gegabah. Itu bisa perangkap."
"Dengan dasar apa kau menduga
demikian?" Ho Tong ragu menerangkannya, sebab
berarti harus menceritakan sebagian dari
pengelamannya ketika dia berada dialam asing.
Itu alias ketika ia masih gila. Namun akhirnya la
jelaskan juga, "Waktu aku masih... gila, dalam
pikiranku pernah, bahkan sering, kudengar
suara orang yang kucintai menjerit dari tempat
gelap tanpa kelihatan wujudnya. Entah tempat
gelap Itu sebuah guha atau sebuah sumur.
Ketika kukejar ke asal suara Itu, yang ada
hanya... mahluk-mahluk aneh yang akan
mengeroyokku, tidak ada orang yang hendak
kita tolong itu." Giam Lok menjadi ragu bertindak setelah
mendengar keterangan Ho Tong Itu. Pikirnya,
"Ho Tong ini bekas orang gila, dan sekarang
Mulut Macan 13 52 kalau keterangannya kupercayai mentahmentah, apakah aku juga tidak gila namanya?"
Selagi Giam Lok terombang-ambing, sayupsayup kembali terdengar seruan adik
perempuannya minta tolong.
Saat itu pikiran Giam Lok sudah mulai
kehilangan arah. Ia sudah bingung menentukan
di mana dirinya, apa yang dialaminya, dan apa
tujuan tindakannya. Segala gerak-geriknya
sekarang sekedar berlandasan naluri paling
mendasar dari mahluk-mahluk hidup. Naluri
ketakutan, ingin menyelamatkan diri, ingin
membela orang yang dlsayangi... dan segala
tindak-tanduknya bukan lagi berdasar rencana
yang rapi yang dipertimbangkan masak-masak.
Bagaimana bisa mempertimbangkan kalau
segala sesuatu sudah jungkir balik dan tidak
masuk akal? Begitu mendengar teriakan itu. sekali lagi,
Giam Lok berlari ke depan dengan ujung
tombaknya merunduk setinggi dada. Ho Tong
mendampinginya. Mulut Macan 13 53 Mereka berlari menerobos ke dalam kabut,
dan rasanya mereka memasuki sebuah lorong
yang terbentuk oleh dua deretan benderabendera. Semua bendera kelihatan berwarna
hitam karena gelapnya. Giam Lok jadi ingat
dongeng kuno yang pernah didengarnya
tentang jaman Cun-ciu, sebuah jaman kacaubalau ribuan tahun yang silam ketika daratan
Cina masih belum menjadi sebuah kerajaan
yang utuh melainkan terdiri dari wilayahwilayah kecil yang berperang terus. Ketika itu,
kata orang, bahkan para dewa dari gununggunung pertapaan ikut berperang, ada yang
memihak sini ada yang memihak sana. Menurut
cerita, tidak jarang para dewa membentuk
formasi militer campuran antara perajurit
manusia yang berdarah daging dengan mahlukmahluk tak berdarah daging. Senjata-senjatanya
juga bukan hanya pedang, tombak dan panah,
tetapi juga "senjata-senjata" yang tidak lazim
seperti sin-ki (bendera dewa) yang disembahyangi dan ditaruh di posisi-posisi
tertentu, pasir emas, kertas jimat yang dibakar
Mulut Macan 13 54 saat-saat yang ditetapkan, potongan-potongan
tubuh manusia (biasanya pesakitan dari
penjara) yang ditanam, pedang yang bisa
terbang sendiri dan sebagaima. Lalu tokohtokoh dari pihak-pihak yang sedang berperang
biasanya menantang lawan untuk membuktikan
ketinggian ilmu dengan memecahkan formasi
yang dibentuknya. Tentu saja yang dibutuhkan
oleh orang yang berniat memecahkan nya
bukan hanya ilmu silat dan ilmu militer,
melainkan juga pengetahuan gaib dan saranasarananya. Sekarang, sambil berlari di antara
deretan bendera-bendera itu Giam Lok merasa
seolah-olah ia sedang memasuki suatu barisan
gaib dari jaman Cun-ciu dulu. Bedanya, Giam
Lok tak ubahnya binatang tak berakal yang
bergerak sekedar menuruti dorongan naluri
saja. Giam Lok sampai terengah-engah di "lorong
bendera" yang seolah tak ada ujungnya itu, dan
sekian lama berlari namun belum juga melihat
adiknya yang tadi bersuara minta tolong itu. Ho
Mulut Macan 13 55 Tong yang berlari di sebelahnya tentu saja juga
Dari Mulut Macan Ke Mulut Buaya Karya Stefanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ikut kelelahan. Ho Tong kemudian berhenti, sambil
berteriak, "Berhenti saja, Kakak Giam. Itu bukan
suara adikmu, itu hanya tipuan untuk
membuatmu kehabisan tenaga dan makin kacau
pikiranmu...." Giam Lok berhenti. Pemuja "semangat
manusia" itu kini pucat berkeringat, terengahengah, menatap ke sekelilingnya dengan
bingung. Di sekelilingnya yang terlihat hanya
ribuan, bahkan mungkin jutaan bendera di
tengah-tengah kabut malam. Seandainya Giam
Lok masih berpikir jernih, tentu ia akan heran,
sebab di rumah bekas kediaman gurunya tak
ada tempat seluas itu, sampai cukup dijadikan
"hutan bendera" macam itu. Namun saat itu
pikiran Giam Lok sudah membeku, malah Ho
Tonglah yang masih dapat berpikir, biarpun
lumayan bingung juga. Malah Ho Tong yang sekarang dengan
berani berteriak ke sekelilingnya, "He, entah
kalian mahluk yang namanya manusia, atau
Mulut Macan 13 56 siluman, atau kalian sebut diri kalian apapun
Juga, tunjukkan batang hidung kalian! Kalian
tidak maha kuasa! Kalian terbatas! Ada yang
jauh lebih kuat dari kalian, yaitu yang sudah
mengeluarkan aku dari dunia kalian, dan kalian
tak berdaya mencegahku! Kali ini pun kalian
takkan berdaya atasku Ada yang melindungiku!" Sebagai jawaban, dari tengah kabut tiba-tiba
terdengar suara seseorang, "Besar sekali
mulutmu, bocah kemarin sore. Siapa yang
melindungimu?" Ho Tong bingung sejenak, namun ngotot
menjawab, "Pokoknya ada! Dan sekarang pun
akan tetap melindungiku."
Terdengar suara langkah kaki mendekat,
dan Ho Tong sudah agak lega. Kalau yang
datang ini langkahnya bersuara, itu tandanya
manusia biasa, sebab kalau hantu kabarnya
jalannya mengambang, la membesarkan hati
Giam Lok, "Jangan takut, Kakak Giam, kita
menghadapi manusia biasa. Barangkali dia
Mulut Macan 13 57 memang sakti sehingga dapat mengacaukan
Pedang Berkarat Pena Beraksara 15 Pendekar Rajawali Sakti 142 Istana Ratu Sihir Bergaya Sebelum Mati 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama