Desperate Mrs Karya Agustine Bagian 2
"Minuman seperti biasa, Tuan." jawab Lita.
"MINUMAN BIASA SEPERTI APA?!!!"
Bersamaan dengan teriakannya itu Sebastian menggebrak meja di hadapannya. Membuat semua yang ada di ruangan melompat kaget. Suara teriakan dan gebrakan tangannya di meja itu menggema di ruang tamu yang besar itu.
Ya Tuhan, aku yakin kaki mereka semua sedang lemas sekarang. Dan, ini semua adalah salahku.
"Kopi hitam tanpa gula, Tuan." jawab Lita lagi. Aku merasa kagum padanya karena masih sanggup membuka mulut dalam keadaan seperti ini.
Sebastian mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia tampak begitu tertekan.
"Martha, tolong kau cek semua persediaan makanan dan minuman di dapur. Aku takut ada persediaan yang sudah kedaluwarsa." ucap Sebastian dengan nada bicara yang lebih tenang. Ia seperti merasa menyesal telah berteriak tadi.
"Tapi, kami selalu memeriksa persediaan makanan di sini, Tuan. Dan, semua masih baru." jawab Martha.
"Jangan membantahku! Aku mohon!"
Ucapan Sebastian membuat Martha terdiam. Ia berusaha tetap bersikap hormat tapi tetap tegas pada Martha.
Sebastian bangkit dari sofa, berniat meninggalkan kami semua ke atas, tapi sebelum itu ia kembali berbalik,
"Aku tidak mau kejadian ini terulang lagi di sini. Oh iya satu lagi, Martha. Mulai besok aku tidak mau lagi melihat wajahnya di rumah ini."
Ucapan Sebastian yang ditujukan pada Lita itu membuat seluruh pelayan kaget, begitu pula aku.
"Maaf, Lita. Kau ku pecat. Aku tidak bisa mentolerir kecerobohan sekecil apapun di sini. Jangan ada yang berdebat lagi tentang masalah ini. Selamat malam."
Sebastian berjalan ke atas, meninggalkan kami semua. Aku terpaku di tempatku, melihat Martha dan beberapa pelayan lain yang berusaha menenangkan Lita. Tapi, Lita tampaknya tetap berusaha tegar walau air mata sudah jatuh membasahi pipinya.
Perbuatanku untuk memberikan keadilan pada Seth malah harus memakan korban lain, seseorang yang tidak bersalah seperti Lita. Ya Tuhan, maafkan aku ...
*** Beberapa hari setelah kejadian itu, aku masih belum memikirkan tentang langkah lain apa yang harus aku lakukan untuk memberi Sebastian pelajaran. Aku masih menunggu waktu yang tepat agar tidak ada kecurigaan dalam diri Sebastian.
Keadaan rumah masih belum kondusif sejak kejadian itu. Sebastian masih tampak dingin pada mereka semua. Ia hanya berbicara sekedarnya pada para pelayan. Begitu pula padaku. Sepertinya ia masih merasa kesal karena pelayan yang ia perlakukan dengan sangat baik malah melakukan pekerjaan yang ceroboh.
Aku mendengar desas desus yang berhembus di kalangan para pelayan kalau minuman yang Lita berikan malam itu membuat Sebastian merasakan sakit perut yang luar biasa sehingga ia harus di larikan ke unit kesehatan kantor. Akibat insiden itu, Sebastian harus menunda jadwal pertemuannya dengan kliennya yang datang jauh-jauh dari Swiss. Padahal Sebastian sudah mempersiapkan semuanya dengan sangat rapi demi proyek bernilai jutaan dolar itu. Tapi semuanya harus berantakan seperti itu ...
*** Siang itu aku meminta izin pada Sebastian untuk mengunjungi rumah Papa. Sejak aku menikah dengan Sebastian, aku belum pernah lagi bertemu dengan Papa dan Andrew. Aku benar-benar merindukan mereka berdua.
Kabar terbaru yang ku dapat, Andrew dan Ashley sudah resmi berpacaran sekarang. Aku tidak tahu apakah itu berita baik atau buruk untuk Ashley. Mendapati seseorang seperti Andrew yang kadang menyebalkan tapi kadang juga bisa begitu romantis. Ya, kalau dipikir mungkin nasibku dan Ashley tidak jauh berbeda. Tapi, paling tidak, dalam kasus ini Ashley benar-benar mencintai Andrew. Tidak seperti yang aku rasakan pada Sebastian sekarang ...
Aku sampai di rumah agak terlambat. Jam menunjukkan pukul tujuh. Aku yakin sekali Sebastian sudah sampai di rumah lebih dulu tapi aku tidak khawatir. Yang paling penting ia tahu kemana aku pergi, jadi aku tidak akan diberondong oleh berbagai macam pertanyaan sesampainya di rumah nanti.
Sesampainya di dalam aku langsung berniat untuk menyusul Sebastian di ruang kerjanya. Karena tadi Papa menitipkan sebuah hadiah untuknya, oleh-oleh dari Jepang. Aku merasa tidak sabar untuk memberikan hadiah itu pada Sebastian. Siapa tahu hadiah dari mertuanya itu bisa membuat mood Sebastian sedikit membaik. Aku sudah bosan melihat sikap dinginnya beberapa hari ini.
Setelah aku mengetuk pintu kerjanya dan mencoba untuk membuka pintu, ternyata pintu kerja Sebastian sudah terbuka lebih dulu dari dalam. Dan, yang membuatku lebih kaget lagi, aku berpapasan dengan lelaki aneh yang ku temui dua kali di kafe waktu itu. Saat melihatku, lelaki itu langsung tersenyum ke arahku dan pergi begitu saja.
Aku bergidik melihat senyuman lelaki itu dan aku langsung saja berlari ke dalam ruang kerja Sebastian.
Sebastian tampak kaget melihat kedatanganku yang tergesa-gesa.
"Bisa tidak kau mengetuk pintu dulu sebelum masuk, Nyonya Agustine?" tanya Sebastian sambil tetap fokus pada kertas di hadapannya. Sepertinya kertas-kertas itu tampak lebih cantik dan menarik dariku.
"Aku sudah mengetuk pintu tapi kau yang tidak mendengar." jawabku dengan nada ketus.
"Sebastian, siapa lelaki yang baru saja keluar dari sini tadi?"
"Lelaki yang mana?"
Aku tahu ia hanya pura-pura tidak tahu. Aku berjalan ke arahnya dan menutup kertas di hadapannya. Ia tampak kaget.
"Aku serius, Tuan Agustine."
Sebastian menarik nafas. Ia tahu aku sedang tidak main-main saat ini.
"Ia adalah orang suruhanku. Ia ku tugaskan untuk mengikutimu saat berada di luar rumah."
"Apa? Kau pasti bercanda."
Aku tertawa tidak percaya. Lelaki itu sudah membuatku ketakutan setengah mati tapi ternyata ia adalah orang suruhan Sebastian untuk memata-mataiku. Untunglah semenjak aku menikah dengannya, aku belum pernah sama sekali bertemu dengan Seth. Kalau tidak, Sebastian pasti sudah mengetahui semuanya.
Sebastian bangkit dari kursinya dan memegang lenganku.
"Aku minta maaf, Anna. Tadinya aku hanya berniat meminta bantuannya untuk mencari tahu info tentangmu dan keseharianmu sebelum kita menikah. Karena kau tahu kan, kita belum pernah mengenal satu sama lain sebelumnya."
Ide yang terlalu berlebihan.
"Tapi, setelah kita menikah, aku merasa mungkin tidak ada salahnya kalau tetap membiarkannya menjagamu saat kau berada di luar rumah. Lagipula, aku kan tidak selalu bisa ada di sampingmu."
"Kau tahu Sebastian? Lelaki itu justru yang membuatku ketakutan setengah mati."
"Ya, aku minta maaf. Lagipula kedatangannya kemari tadi itu untuk mengambil bayaran terakhirnya. Aku sudah tidak membutuhkan bantuannya. Aku percaya kau tidak akan mengkhianatiku di luar, Anna."
Aku seperti ingin tertawa mendengar ucapan Sebastian. Mengapa ia begitu naif?
"Kau janji tidak akan menyuruh orang lain untuk mengikutiku lagi, kan?"
"Tidak akan. Aku berjanji."
Senyuman mengembang di bibir Sebastian. Membuatku merasa ingin ikut tersenyum. Keadaan ruangan menjadi sangat sunyi dan tatapan lelaki ini membuatku gugup. Tiba-tiba aku teringat sesuatu,
"Oh iya hampir lupa, aku membawa titipan dari Papa."
*** BAB 12 Akhir pekan kali ini Sebastian mengajakku ke acara makan malam yang diadakan oleh perusahaannya. Ia mengundang para staff yang bekerja membantunya selama ini. Makan malam ini adalah acara makan malam rutin yang diadakan setiap tiga bulan sekali. Acara ini diadakan sebagai bentuk apresiasi yang diberikan oleh pihak perusahaan kepada para karyawan yang sudah bekerja keras selama ini.
Ini adalah acara makan pertama yang ku hadiri sejak resmi menjadi Nyonya Agustine.
Makan malam itu diadakan di sebuah hotel berbintang. Acaranya cukup meriah karena dihadiri oleh hampir seluruh staff yang bekerja di kantor bersama Sebastian. Aku memperhatikan kebanyakan karyawan Sebastian berusia sekitar 25 sampai 40 tahun. Tidak ada yang terlalu muda juga tidak ada yang terlalu tua. Mereka semua adalah orang-orang yang terlihat cerdas dan mempunyai semangat tinggi dalam bekerja.
Walau pun Sebastian adalah si Boss Besar, tapi aku melihat ia dengan senang hati berbaur dengan bawahannya yang lain. Sebastian adalah sosok yang ramah namun tetap disegani. Semua karyawan menyukainya dan kebanyakan dari mereka mengatakan bahwa aku sangat beruntung mendapatkannya.
Oh, benarkah begitu? I don't think so.
Saat acara makan malam berakhir, semua orang berbaur untuk berbincang satu sama lain. Tidak ada kesenjangan di antara mereka. Semuanya terlihat sama. Kekeluargaan dalam kelompok kerja yang Sebastian bangun begitu terasa. Pada titik ini, aku merasa sangat bangga padanya.
Sebastian tiba-tiba memperkenalkanku pada seorang wanita muda. Namanya Emily. Usianya kira-kira sama denganku. Ia adalah sekretaris baru di perusahaan tempat Sebastian bekerja. Emily menggantikan sekretaris lama yang mengundurkan diri setelah melahirkan.
Gadis ini tampak cantik, muda dan mempunyai semangat yang tinggi. Dari cara bicaranya, aku tahu ia wanita yang sangat cerdas. Tidak heran kalau ia bisa menempati salah satu posisi penting di OneComp. Tentu saja setelah melewati beberapa kali proses seleksi.
Saat melihat Emily, entah mengapa pikiran jahatku kembali datang ke permukaan. Aku merasa kalau gadis ini bisa menjadi jalan untukku memulai misiku yang selanjutnya dalam memberikan pelajaran pada Sebastian. Ia begitu cantik, pintar dan memegang peranan cukup penting di kantor. Ya, dugaanku tak akan meleset kali ini, Emily lah orang yang tepat yang akan membantuku kali ini.
*** "Maaf Nyonya Agustine, tapi saya tidak bisa menerima ini. Saya tidak bisa melakukannya."
Emily mendorong kembali cek yang ku berikan padanya barusan. Siang ini, aku memintanya untuk menemuiku di sebuah restoran berbintang. Bagi seorang sekretaris baru seperti Emily, adalah suatu kehormatan mendapat undangan makan siang bersama istri dari pemilik tunggal di perusahaan tempatnya bekerja, Nyonya Savannah Agustine.
Sebastian sedang pergi beberapa hari untuk menghadiri peresmian kantor cabang barunya di luar kota. Itulah alasanku berani mengundang Emily untuk makan siang dan berusaha merayunya untuk membantuku menjalankan misiku selanjutnya. Tapi, kenyataannya gadis itu langsung saja menolakku mentah-mentah.
Aku menyandarkan tubuhku ke sofa. Hari ini aku memakai kacamata hitam agar gadis itu tidak bisa dengan jelas melihat kedua mataku. Jadi, aku lebih leluasa memperhatikannya. Aku pura-pura memantik sebatang rokok dan memesan whiskey untuk mengintimidasinya. Padahal aku bukanlah seorang perokok, aku sama sekali tidak menghisap rokok itu. Aku hanya memainkannya di jariku dan memantul-mantulkannya di asbak untuk membuang abu pada ujungnya.
Ternyata strategiku cukup berhasil. Aku bisa melihat Emily tampak sedikit gugup melihat penampilanku. Ia benar-benar gadis yang masih sangat polos.
"Apa jumlahnya kurang?" tanyaku dengan nada datar.
"Bukan begitu, Nyonya. Ini bukan masalah uang. Sebelumnya saya minta maaf. Tapi, saya benar-benar tidak bisa membantu anda. Saya telah disumpah bahwa saya harus bertanggung jawab pada pekerjaan saya."
Gadis yang cukup berani. Otakku mulai berpikir.
"Begini, Emily. Kau sekretaris baru di sana, kan? Dan, kau tahu kalau karyawan baru terkadang sering membuat beberapa kesalahan? Maksudku, jika kau membantuku kali ini dan Sebastian mengetahui semuanya, hanya akan ada dua kemungkinan yang akan terjadi padamu. Pertama kau dipecat karena dianggap bodoh, yang kedua Sebastian akan tetap mempekerjakanmu. Kau tetap akan mendapatkan uang dalam cek itu. Kau tahu Emily, uang itu cukup untuk mengajak ibu dan adik kecilmu jalan-jalan ke luar negeri berkali-kali."
"Maaf, Nyonya Agustine saya tidak bisa. Bekerja di OneComp. adalah impian saya sejak lama dan sebelum saya masuk ke sana, saya telah melewati banyak sekali seleksi. Hanya orang-orang terpilih yang bisa bekerja di sana, Nyonya."
Aku membuka kacamata hitamku, menatap padanya.
"Kau tahu siapa aku, Emily? Kau tahu siapa Papaku?"
Kesabaranku sudah habis. "Ya, Nyonya. Ayah anda adalah Tuan James Worthington."
"Dan, kau tahu apa yang akan dilakukan oleh Papaku jika aku mengatakan padanya kalau sekretaris baru Sebastian sedang berusaha merayu menantu kesayangannya itu? Kau tahu benar kalau Papaku akan selalu mendengarkan ucapanku."
"Tidak, Nyonya. Jangan lakukan itu. Saya bisa dipecat. Kasihan ibu dan adikku."
Aku menarik nafas, gadis itu ada di genggamanku sekarang.
"Begini saja, Emily. Aku akan memberikanmu dua pilihan. Yang pertama, kau menerima tawaran dariku untuk membantuku dan mengambil cek itu. Dengan resiko kau akan dipecat hanya karena dianggap bodoh. Tapi kita berdua tahu benar kalau kau bisa bertahan hidup bersama ibu dan adikmu selama beberapa bulan dengan cek pemberianku itu.
Atau pilihan kedua, kau menolak membantuku, lalu kau juga akan tetap dipecat dengan tuduhan telah berusaha menggoda boss besarmu. Lalu ibu dan adikmu akan menjadi gelandangan di jalan. Pilihan ada di tanganku, Emily?"
Aku menyesap whiskey-ku. Menikmati saat cairan itu terasa panas menjalari lidah dan tenggorokanku.
Aku bisa melihat Emily tampak bingung. Lalu dengan perlahan ia menarik kembali cek yang masih tergeletak di meja itu.
"Baiklah, Nyonya. Saya akan menuruti kemauan anda."
Senyuman mengembang di bibirku. Aku mengangkat gelas whiskey-ku ke udara lalu berkata dalam hati,
"Bersulang untuk kehancuran Sebastian Agustine dan ayahnya yang sudah lebih dulu membusuk di neraka!"
*** Selepas pertemuanku dengan Emily, aku mendapat pesan singkat dari Seth dan ia mengatakan kalau ia sedang berada di apartemennya. Ia sedang tidak ada jadwal manggung dan latihan hari ini. Aku merasa sangat senang mendapat kabar itu. Rasa rindu di hatiku rasanya tak tertahankan lagi.
Aku meminta John kembali ke rumah dengan alasan mengambil dompetku yang tertinggal di kamar. Sesudah kepergiannya, aku sengaja mematikan ponselku. Aku tahu langkah yang ku ambil benar-benar nekat. Aku yakin sekali sehabis ini John dan Martha akan kebingungan mencari di mana aku meletakkan dompet itu. Tapi, siapa perduli. Yang paling penting buatku saat ini adalah Seth. Ya, hanya Seth Logan. Lelaki yang paling ku cintai di dunia ini.
Aku pergi ke apartemen Seth dengan menggunakan taksi. Sepanjang perjalanan aku memakai kacamata hitam dan sengaja menggerai rambutku, aku juga memakai syal yang agak ku naikkan sedikit ke bibirku agar orang-orang tidak terlalu bisa mengenaliku.
Saat pertama kali Seth membukakan pintu untukku, aku langsung saja melompat untuk memeluknya. Oh, aku benar-benar merindukan Seth-ku ini. Merindukan senyumnya, tawanya, suaranya, dekapannya dan aroma tubuhnya. Aku merindukan semua hal tentangnya.
Aku memeluk Seth dengan sangat erat. Tapi, tanpa ku duga sebelumnya ia langsung menarik tubuhku, melepas pelukanku padanya.
"Apa ini benar Anna? Gadis cuek yang ku kenal dulu?" tanya Seth pertama kali. Aku merasa Seth sedang memperhatikanku dari ujung kaki sampai ujung kepala. Ia tampak tersenyum tidak percaya melihat perubahan penampilanku.
"Ya, tentu saja. Memang ada berapa Anna yang kau kenal di luar sana, huh?"
"Ada banyak Anna yang ku kenal, tapi hanya yang satu ini yang aku sukai."
Aku terkekeh mendengar ucapan Seth. Entah mengapa apapun yang? ia lakukan atau ucapkan selalu bisa membuatku tertawa. Mungkin ini yang dinamakan cinta.
Aku berjalan mengikuti Seth ke arah sofa. Kami duduk bersebelahan.
"Kau mau minum sesuatu?" Seth menawarkan. Ia sudah mau berdiri saat aku menahannya.
"Tidak perlu. Aku kesini hanya karena merindukanmu. Tidakkah kau rindu padaku?"
"Aku merindukanmu lebih dari apapun, Anna."
Senang rasanya mendengar jawaban Seth. Lelaki ini begitu tampan, walau berbeda versi dari Sebastian.
"Aku memintamu kemari karena ingin membicarakan tentang rencanamu selanjutnya. Mengenai Sebastian."
Lalu akupun mulai menceritakan semua hal yang terjadi di rumah kemarin dan pertemuanku dengan Emily untuk rencana selanjutnya.
"Aku tahu, aku selalu bisa mengandalkanmu, Anna."
"Apapun akan kulakukan untukmu, Seth." aku bersungguh-sungguh.
Seth menggenggam tanganku. Ingin sekali rasanya aku memeluknya sekarang, seperti yang biasa ku lakukan dulu. Aku rindu aroma tubuhnya.
Segera saja aku memeluk Seth dengan erat, menikmati aroma tubuhnya. Tapi, tak lama ia menarik tubuhku dan menatapku.
"Kenapa Seth? Apa ada yang salah?" tanyaku bingung.
"Tidak ada apa-apa, Anna. Aku hanya merasa tidak enak."
"Kenapa? Kau tidak mencintaiku lagi?"
"Aku sangat mencintaimu, Anna. Dan, akan selalu begitu selamanya. Tapi, sekarang keadaannya sudah berbeda. Kau sudah menikah dan aku tidak mau dianggap menggoda istri orang lain. Apalagi istri dari seorang Sebastian Agustine."
Hatiku merasa sedih mendengar ucapan Seth. Lelaki ini begitu baik. Ia bahkan masih saja memikirkan tentang perasaan musuhnya sendiri. Sementara ayahnya dulu sama sekali tidak memikirkan tentang kehidupan anak dan istri ayah Seth sebelum melakukan semuanya dulu.
Aku semakin bersumpah dalam hatiku kalau aku akan membuat kehidupan Sebastian menderita untuk membayar apa yang telah ayahnya lakukan pada Seth-ku dulu.
*** BAB 13 Tiba-tiba saja aku terbangun dari tidurku. Entah kenapa aku terbangun padahal aku tidak sedang bermimpi sama sekali. Keadaan di luar masih sangat gelap, itu bisa dilihat dari jendela kamar yang memang tidak pernah tertutup gorden.
Saat aku melihat jam dinding, waktu menunjuk pukul dua pagi.
Aku kembali berguling, menikmati tempat tidur dan selimut yang begitu nyaman ini. Tapi, tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara tidak asing yang berasal dari depan pintu kamar mandi,
"Kau terbangun, Sayang?"
Dengan reflek aku mengangkat tubuhku dan duduk. Sebastian sudah ada di hadapanku sekarang. Di tengah malam seperti ini. Ia sudah memakai piyama sutra miliknya.
"Jangan bingung begitu, Anna. Aku sengaja tidak memberi tahumu kalau aku akan pulang malam ini. Aku cuma tidak mau kau menunggu, karena aku tahu kalau akan sampai tengah malam. Aku seharusnya pulang besok pagi. Tapi, aku memutuskan untuk pulang lebih cepat. Aku begitu merindukanmu."
Sebastian berjalan mendekatiku dan naik ke atas tempat tidur. Ia menatapku sambil tersenyum.
"Apa yang kau lakukan selama aku tidak ada, Sayang?" bisik Sebastian. Aku yakin sekali John sudah menceritakan semuanya pada Sebastian. Dan, pertanyaan ini pasti akan mengarah ke sana.
"John sudah menceritakan semuanya?" daripada berlama-lama, lebih baik aku yang bertanya lebih dulu. Sebastian tersenyum mendengar pertanyaanku. Entah apa makna dari senyumannya itu. Tapi, yang pasti ia tampak begitu tampan.
Aku selalu menyukai senyuman Sebastian. Wajahnya begitu maskulin tapi saat ia tersenyum, itu mampu membuat jantungku bergemuruh di dalam sana.
"Ya, John sudah menceritakannya. Kau tahu, Sayang. Kau sungguh membuat kami semua khawatir. Memangnya kemana kau kemarin?"
Sebastian menatap kedua mataku. Seperti sedang berusaha membaca apa yang ada di pikiranku.
"Ponselku waktu itu tiba-tiba saja mati. Aku jadi tidak bisa menelepon John." aku terus berusaha bersikap tenang.
"Kau tidak bohong?" suara Sebastian berubah menjadi dingin. Entah mengapa tubuhku meremang seketika.
"Tidak." "Lalu kau kemana lagi sampai baru tiba di rumah saat hampir malam?"
Entah mengapa tiba-tiba aku merasa kalau ruangan ini menjadi semakin panas. Mungkin karena aku terlalu gugup.
"Aku pergi ke salon." jawabku sekenanya. Entahlah apakah Sebastian akan percaya atau tidak. Aku tidak perduli.
"Benarkah?!" Tiba-tiba Sebastian meraih rambutku yang tergerai dan menciumnya. Ia seperti sedang menikmati aroma rambutku. Tetapi kedua matanya tetap memandangiku, membuatku merinding.
"Iya." Lagi-lagi Sebastian tersenyum, aku tahu ada sesuatu di balik senyuman menawannya itu.
Ia menatap tajam padaku. Seperti minta untuk didengarkan.
"Dengar aku, Anna. Aku tidak mau hal seperti itu terjadi lagi. Kau mengerti?" bisik Sebastian. Aku tidak memberi respon apapun. Aku hanya diam terpaku merasakan aura sensual yang terpancar dari sosok di depanku ini.
"Dan, jangan pernah sekalipun kau berani bermain-main di belakangku. Karena kalau aku sampai tahu, kau akan menyesal, Sayang."
Aku tahu kalau ucapannya itu adalah suatu peringatan. Peringatan keras. Lelaki di hadapanku ini adalah Tuan Sebastian Agustine dan ia paling tidak suka dibantah.
"Iya, Sebastian. Aku mengerti."
Sebastian menyeringai. Ia tampak puas dengan jawabanku.
"Baiklah, kalau begitu. Ku rasa sekarang masih banyak waktu untuk bercinta dengan istriku sebelum aku kembali ke kantor lagi besok, kan? Aku sengaja pulang lebih awal karena aku selalu merindukanmu, Anna."
*** Begitulah kehidupanku berjalan selama beberapa minggu setelahnya. Aku lebih banyak berdiam diri di rumah. Karena aku tidak mau Sebastian merasa curiga lagi. Aku terus berusaha menjadi anak baik, menjadi istri yang sesungguhnya untuk Sebastian, sambil menunggu kabar perkembangan dari Emily.
Setiap hari pekerjaanku hanya berjalan-jalan berkeliling rumah Sebastian yang besar itu, membaca novel atau mendengarkan musik. Saat aku pergi ke dapur untuk mencoba membantu Martha, wanita itu selalu melarangku.
Sudah hampir sebulan sejak pertemuan terakhir kami di apartemennya itu, Seth tidak pernah lagi menghubungiku. Sekarang ia selalu begitu. Pergi dan datang semaunya. Aku berusaha tetap mengerti situasi ia dan band nya saat ini. Mungkin jadwal tur promo album baru bersama band-nya yang membuat Seth kesulitan untuk menghubungiku.
Setiap pulang dari kantor, terkadang Sebastian membawakanku hadiah-hadiah kecil. Seperti bunga, pakaian, sepatu dll. Ia pun bersikap sangat baik padaku. Membuatku terkadang merasa menyesal sudah berbuat begitu jahat padanya. Tapi, semuanya sudah terlambat, aku sudah meminta Emily melakukan semuanya dan aku hanya tinggal menunggu hasilnya.
*** Suatu hari, aku melihat Sebastian pulang dengan wajah yang kusut. Persis seperti saat kasus minuman Lita waktu itu. Ia tidak menyapa semua orang saat pertama masuk ke rumah dan setelah membersihkan diri, Sebastian lebih banyak menghabiskan waktu di ruang kerjanya. Aura gelap yang menyelimuti Sebastian membuat tidak ada seorang pun yang berani mendekatinya. Termasuk aku.
Aku yakin sekali ada sesuatu hal buruk yang sudah terjadi di kantor. Apa yang Emily lakukan pasti sudah membuahkan hasil. Tapi, entah mengapa aku merasa tidak terlalu senang kali ini. Mungkin apa yang ku lakukan terlalu berlebihan.
Keesokan harinya, Sebastian masih seperti itu. Ia pulang dalam keadaan kusut dan setelah dari ruang kerjanya, ia menghilang entah kemana. Ia seperti sedang berusaha menghindari orang-orang di rumah.
Aku memutuskan untuk menghampiri Martha dan bertanya padanya,
"Martha, di mana Sebastian?" tanyaku pada Martha yang tampak sibuk membuat minuman, untuk dirinya sendiri.
"Tuan Sebastian ada di bar belakang, Nyonya. Kalau sedang seperti ini pasti sedang terjadi hal yang buruk di kantor." wajah Martha tampak sedikit khawatir.
"Apa ia sering seperti ini?" entah mengapa aku tiba-tiba merasa khawatir. Belakangan Sebastian bersikap begitu baik padaku dan hal yang terjadi sekarang membuatku merasa kasihan melihatnya.
Itulah wanita, perasaanku bisa berubah-ubah dengan cepat seketika. Kemarin aku begitu membenci Sebastian dan menggebu ingin membuatnya menderita tapi sekarang aku malah merasa kasihan melihatnya.
"Tidak juga. Tapi, kalau sedang seperti ini Tuan Sebastian biasanya tidak mau diganggu dulu. Ia mau menyendiri."
Aku terdiam mendengar ucapan Martha, tapi setelah itu aku memutuskan untuk menyusul Sebastian di sebuah bar kecil yang terletak di halaman samping rumahnya. Bar kecil itu menghadap ke arah kolam renang yang cukup besar.
Saat aku pertama kali datang, aku melihat Sebastian sedang duduk seorang diri sambil memandangi gelas kecil yang berisi vodka di hadapannya. Aku berjalan perlahan mendekatinya.
Wajah Sebastian tampak mengeras dan matanya sedikit basah. Apakah ia baru saja menangis?
"Sebastian?" Ia menoleh ke arahku. Tatapannya biasa saja. Tidak senang tapi juga tidak marah.
"Masuklah, Anna. Sudah larut."
Aku duduk di salah satu kursi bar yang tinggi dan dapat berputar itu.
"Aku tidak akan masuk sebelum kau memberitahuku apa yang terjadi, Sebastian."
"Tidak ada yang terjadi, Anna. Ini hanya urusan pekerjaan."
"Kau tidak mau menceritakan semuanya padaku. Istrimu sendiri?"
Sebastian tampak tersenyum mendengar ucapanku. Aku pun tidak mengerti kenapa aku harus menyebut kata "istri" padanya barusan.
"Kau ingat sekretaris baruku, Anna?" jawab Sebastian. Aku memperhatikannya yang sudah mulai sedikit mabuk, "gadis bodoh itu mengacaukan semuanya."
Benar saja dugaanku, ini semua akibat ulah Emily. Tapi, aku tidak pernah menyangka kalau semuanya akan berdampak begitu besar pada diri Sebastian.
"Mengacaukan bagaimana?" tanyaku penasaran.
"Gadis itu tidak menyiapkan berkas penting yang akan dipakai untuk rapat penting tadi pagi. Padahal rapat itu adalah pertemuan untuk membahas proyek besarku selanjutnya. Dan, sebelum ini ia sudah membuat kacau karena barang pesanan untuk bagian produksi yang ku suruh ia pesan, belum datang juga sesuai dengan tanggal dibutuhkan. Padahal, proses produksi tidak bisa berjalan tanpa bahan-bahan itu."
Emily bahkan lebih pintar dan lebih berani dari yang ku bayangkan sebelumnya.
Aku bangkit dan mengusap punggung Sebastian untuk menenangkannya. Aku tidak tahu kenapa aku melakukannya. Seharusnya aku merasa sangat bahagia saat ini karena rencana keduaku telah berjalan dengan sangat baik. Tapi, entah kenapa tiba-tiba aku merasa kasihan sekali melihat Sebastian.
"Kau tahu, Anna. Ayahku telah membangun perusahaan ini dengan tangannya sendiri. Dan, saat ia meninggal dunia, akulah satu-satunya orang yang bertanggung jawab atas kelancaran perusahaan ini. Jadi, kalau ada sesuatu hal buruk yang terjadi di sana, aku tidak akan memaafkan diriku sendiri, Anna."
Aku terus mengusap pundak Sebastian tapi entah kenapa aku merasa tidak puas hanya melakukan itu. Aku mendekap tubuh Sebastian dari belakang. Aku merasa ingin membuatnya tenang dan melindunginya.
Tiba-tiba Sebastian meraih tanganku dan mengecupnya. Ia membimbingku untuk berdiri menghadapnya.
"Sudahlah, Anna. Tidak apa-apa. Sekarang lebih baik kau masuk. Nanti aku akan menyusul."
Kemana Sebastian yang sering menggodaku dulu? Kemana Sebastian yang sangat menyebalkan dulu sampai membuatku muak melihatnya? Kenapa sekarang ia begitu serius?
"Kau tidak mau aku menemanimu di sini?"
"Aku akan masuk kalau minumanku habis. Aku berjanji."
Sebastian tersenyum, membuatku jadi ikut ingin tersenyum. Sebelum aku beranjak pergi, aku mengecup sudut bibirnya beberapa detik. Tak lama aku merasakan Sebastian tersenyum, membuat wajahku terasa panas seketika karena malu. Langsung saja aku melepas ciumanku dan berbalik sambil mengucap,
"Selamat malam, Sebastian."
*** BAB 14 Hari ini hari Minggu. Seperti biasa aku selalu menjadi orang terakhir yang membuka mata di pagi hari. Terkadang aku berpikir kalau Sebastian adalah seorang suami yang cukup sabar memiliki istri pemalas sepertiku.
Keadaan rumah di hari itu cukup sepi. Saat pertama aku turun, para pelayan sepertinya sedang bersembunyi di tempat teraman mereka, yaitu dapur. Sementara di luar hujan tampaknya sudah turun dari semalam. Sebenarnya ini adalah momen yang tepat untuk kembali ke tempat tidur dan meringkuk di balik selimut yang nyaman itu. Apalagi jika ditambah dengan kopi hangat, makanan ringan dan netflix. Ini akan menjadi hari Minggu yang sangat sempurna.
Aku turun dan tidak melihat Sebastian. Tapi, saat aku tiba di ruang makan, aku melihat sarapan nampaknya sudah siap dari tadi. Tapi, belum ada yang menyentuhnya sama sekali.
Aku duduk di salah satu kursi dan mulai menikmati susu hangat yang sudah disiapkan untukku. Tiba-tiba aku melihat salah seorang pelayan lewat dan aku segera saja memanggilnya,
"Jan, kau melihat Sebastian?"
Pelayan bernama Jan itu berhenti dan segera menghampiriku.
"Tuan Sebastian ada di ruang gym, Nyonya. Beliau berpesan kalau saya harus memanggil beliau kalau Nyonya Anna sudah turun. Dan, sekarang saya berniat memanggil Tuan Sebastian."
"Tidak usah, Jan. Biar aku yang susul Sebastian. Kau boleh pergi mengerjakan yang lain."
Jan tersenyum padaku dan segera berpamitan untuk pergi. Sepeninggal Jan, aku langsung saja pergi ke ruang gym yang Jan maksud.
Ruang gym itu adalah sebuah ruangan khusus tempat Sebastian biasa melatih fisiknya. Di sana terdapat beberapa alat kebugaran. Mulai dari treadmill, dumbbell, sit up bench, swiss ball, static bicycle, dll. Salah satu dinding ruangan ditutupi oleh cermin yang sangat besar menutupi seluruh dinding itu, dari lantai sampai mencapai langit-langitnya. Sehingga membuat ruangan itu tampak lebih luas.
Saat aku memasuki ruang gym itu, aku melihat Sebastian sedang berlatih tinju. Ia tampak sangat serius memukuli samsak yang tergantung di tiang dengan pukulannya yang mantap. Wajahnya tampak benar-benar serius dan tatapan matanya itu benar-benar berkonsentrasi penuh pada target di depannya itu. Seakan-akan benda itu adalah musuhnya yang sebenarnya.
Setiap Sebastian habis memukul samsak itu, ia lalu dengan cekatan berusaha menghindar saat benda itu ingin menghantam balik ke wajahnya. Karena saking seriusnya aku yakin ia tidak sadar akan kehadiranku.
Aku duduk di salah satu kursi kayu panjang yang ada di ruangan itu. Mengeratkan piyama lengan panjang yang ku pakai di tubuhku.
Aku terus memperhatikan Sebastian. Penampilannya hari ini benar-benar membuatku tertarik. Ia berlatih menggunakan celana training panjang, dengan sebuah kaus tanpa lengan yang tampak kebesaran di tubuhnya. Memperlihatkan otot-ototnya yang sudah mulai berkeringat.
Rambutnya yang biasanya selalu tertata rapi, sekarang dibiarkan acak-acakan tidak beraturan. Entah mengapa Sebastian tampak sangat menarik sekarang. Ditambah dengan wajahnya yang mulai berkeringat itu.
Sebastian terlihat beberapa tahun lebih muda daripada penampilan kantoran yang biasanya.
Setelah beberapa menit kemudian, Sebastian menghentikan latihannya. Ia tampak membungkuk sambil bertumpu pada kedua lututnya. Nafasnya terengah-engah dan keringat berjatuhan dari keningnya.
"Sudah latihannya?" sapaku pertama kali. Sebastian menoleh ke arahku dan tersenyum. Wajahnya yang memerah karena keringat benar-benar tampak menggoda. Sudah berapa lama aku menikah dengannya dan aku belum pernah menyadari kalau suamiku ini memang begitu menawan. Sayangnya, ketampanan dan kesempurnaan fisiknya itu mengingatkanku pada sosok ayahnya, Tuan Fabio Agustine.
Sebastian kembali menegakkan tubuhnya dan berjalan ke arahku. Ia menyusul duduk di sampingku.
"Aku tidak tahu kalau kau suka berlatih tinju." ucapku lagi. Sebastian hanya tersenyum kecil.
"Aku hanya berlatih tinju untuk melatih fokus, Anna. Aku merasa belakangan ini aku sudah mulai kehilangan fokus ku. Khususnya dalam pekerjaan. Maka itu aku merasa banyak hal tidak menyenangkan yang terjadi."
Sebastian menyeka keringatnya dengan handuk kecil yang tadi tergeletak di sampingnya.
"Kenapa begitu? Apa ada sesuatu yang mengganggu konsentrasimu?"
"Aku tidak tahu. Sejak menikah denganmu aku jadi sering kehilangan konsentrasiku. Mungkin karena kau selalu memenuhi isi kepalaku."
Aku tahu Sebastian hanya bercanda dengan ucapannya itu. Tapi, entah kenapa aku merasa malu mendengarnya.
Sebastian sepertinya tahu kalau aku merasa kikuk dengan ucapannya berusan, ia lalu menoleh ke arahku dan berkata,
"Kau masih memakai piyama itu, Anna? Ya Tuhan!"
Sebastian tertawa. Ia mungkin tidak habis pikir pada kemalasan istrinya ini.
"Ayolah, Tuan Agustine. Ini hari Minggu. Kau tahu di luar hujan, cuacanya sangat dingin. Sehabis sarapan nanti mungkin aku berencana untuk kembali ke kamar dan menghabiskan sisa hari ini dengan meringkuk di balik selimut dan menikmati makan siang di kamar. Aku akan menghabiskan waktu dengan menonton beberapa film."
"Sangat tidak produktif." Sebastian mengejekku.
"Aku tidak akan memaksamu untuk bergabung denganku, Tuan Agustine."
Sebastian tertawa lagi. Tawa yang sangat menawan.
"Baiklah jangan marah. Kalau begitu aku akan mengikuti semua kegiatanmu hari ini, Nyonya Agustine. Mungkin paling sial berat badanku akan naik lima kilo nanti malam."
"Terlalu berlebihan."
Aku melirik malas padanya dan lagi-lagi Sebastian menertawakanku. Tiba-tiba saja ia bangkit dari kursi dan berdiri di hadapanku.
"Sudahlah, sekarang aku mau sarapan. Perutku lapar sekali. Kau mau ikut aku atau berjalan sendiri."
Aku tidak mengerti dengan pertanyaannya. Tapi, sebelum aku menjawab, Sebastian sudah lebih dulu mengangkat tubuhku dan melemparku ke atas pundaknya. Membuat kepalaku berada di bawah sekarang.
Lalu Sebastian berjalan ke arah luar dengan santai, sementara aku terus berteriak karena aku takut akan ketinggian,
"Sebastian! Turunkan aku!!!"
*** Sore harinya ternyata Sebastian mengajakku ke sebuah konser. Dalam bayanganku, konser itu adalah sebuah pergelaran musik di mana para penonton akan berdiri di depan sebuah panggung dan ikut bernyanyi sambil berlompatan. Tapi, ternyata semua itu jauh dari perkiraanku.
Konser yang Sebastian maksud kali ini adalah sebuah konser piano tunggal seorang maestro yang berasal dari Amerika. Di mana acara itu diadakan di sebuah hall yang sangat besar dan mewah, dan semua orang yang datang berkunjung rata-rata memakai setelan jas dan gaun indah. Konser untuk kalangan para pengusaha dan pejabat elit.
Sebelum acara dimulai, aku dan Sebastian berdiri di dekat pintu masuk aula yang belum dibuka sambil menikmati minuman yang disediakan. Dalam hati aku berpikir, acara konser macam apa ini? Bagaimana caranya orang-orang itu akan menikmati musik dengan gaun panjang dan setelan jas seperti itu.
Lima menit sebelum pintu dibuka, tiba-tiba saja aku dan Sebastian dikagetkan oleh seorang wanita yang datang menghampiri kami.
"Hei, Sebastian Agustine!" sapa wanita itu pertama kali lalu langsung saja memeluk Sebastian dengan sangat erat. Sebastian tampak bingung dan tidak mengenalinya sampai wanita itu berkata lagi,
"Ini aku, Olivia Wilson. Kau ingat?" wajah wanita itu benar-benar tampak menuntut supaya Sebastian mengingatnya.
"Olivia?" Sebastian tampak berpikir sejenak, "oh ya, aku ingat. Ya Tuhan, apa kabar, Ollie?" Sebastian tertawa lepas. Belum pernah aku melihatnya tertawa seperti itu sejak kami menikah dan hidup bersama.
Aku memperhatikan Olivia. Usianya mungkin sama dengan Sebastian. Ia datang bersama seorang laki-laki yang juga masih muda. Tapi, kalau dilihat dari wajah dan penampilannya, lelaki itu sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Sebastian. Suamiku ini memang begitu mempesona.
"Apa wanita cantik ini adalah pacar barumu, Ian?" Olivia berpaling padaku lalu tersenyum dengan sangat manis.
Tunggu dulu? Apa yang wanita itu katakan tadi? Pacar? Dan, tunggu dulu, satu lagi. Ia memanggil Sebastian dengan Sebutan Ian dan Sebastian memanggilnya dengan sebutan Ollie? Oh, Ya Tuhan, am i missing something here?
Sebastian tertawa mendengar pertanyaan Olivia dan ia tiba-tiba saja menarik pinggulku agar lebih dekat dengannya.
"Bukan, Ollie. Wanita cantik ini bukan pacarku. Dia adalah Mrs Agustine." Sebastian melirik ke arahku dan tersenyum dengan sangat manis.
"Kau pasti bercanda, Ian? Kapan kalian menikah?" Olivia tampak histeris tidak percaya.
"Beberapa bulan lalu. Kami masih dalam masa bulan madu. Bukan begitu, Sayang?"
Sebastian mengecup keningku lalu berpindah ke pipiku.
"Ah, kalian manis sekali. Maaf, aku tidak tahu kau sudah menikah. Aku baru saja kembali dari Sidney. Oh, iya kenalkan ini Mark. Tunanganku."
Lelaki kikuk itu mengulurkan tangan padaku dan Sebastian. Saat aku menjabat tangannya, aku merasa seperti sedang bersentuhan dengan sebuah bongkahan es.
"Baiklah, Ian. Ku rasa sepertinya pintu sebentar lagi akan dibuka. Sampai ketemu lagi nanti. Hubungi aku kalau ada kesempatan." Olivia mengecup pipi Sebastian. Sementara tunangannya itu hanya diam seperti orang bodoh.
Wanita itu bahkan tidak mengucapkan salam perpisahan sama sekali padaku. Dasar wanita bodoh!
Aku melihat Olivia dan Mark pergi meninggalkan kami. Tiba-tiba saja Sebastian mencium pipiku, membuatku kaget.
"Hei, ada apa?" tanya Sebastian menggodaku.
"Tidak ada apa-apa, Ian." jawabku mengejek. Sebastian tersenyum.
"Kau cemburu?"
Desperate Mrs Karya Agustine di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Tidak sama sekali. Hanya penasaran siapa wanita cantik itu?"
Sebastian meraih lenganku dan membuatku berdiri menghadapnya. Ia lalu menatapku.
"Olivia adalah teman kuliahku, Anna. Tapi, sudah lama sekali kami tidak bertemu. Dulu ayahnya dan ayahku berteman cukup dekat. Ayahnya adalah seorang pengusaha tembakau yang sangat kaya raya."
Aku memalingkan wajahku, menghindari tatapan kedua mata abu-abunya yang sangat mempesona itu,
"Ollie dan Ian. Sepertinya nama kalian sangat cocok jika bersanding di undangan pernikahan."
Tiba-tiba Sebastian meraih wajahku dan mendekatkannya dengan wajahnya sendiri. Aku berpikir ia akan menciumku tapi tidak, Sebastian hanya menatapku lalu berbisik,
"Kau membuatku ingin menutup bibirmu yang manis itu dengan bibirku supaya kau bisa berhenti bicara omong kosong, Sayang."
Sial, ucapan Sebastian membuatku membeku seketika. Ia benar-benar membuatku malu. Tiba-tiba saja Sebastian menjentikkan jarinya di depan wajahku hingga aku tersadar dari lamunanku,
"Sudahlah. Pintu sudah dibuka. Ayo kita masuk."
*** Konser malam itu adalah acara pergelaran musik yang benar-benar luar biasa. Saat pertama kali aku masuk ke dalam aula besar itu, aku melihat sebuah panggung yang sangat besar dan indah dengan sebuah piano tepat di tengahnya. Para penonton yang kebanyakan berpakaian seperti ingin menghadiri pesta makan malam itu duduk di sebuah kursi empuk yang dihiasi pita besar pada sandarannya.
Aku heran melihat orang-orang yang hadir. Bagaimana caranya mereka akan menikmati sebuah sajian musik dengan pakaian dan duduk tenang seperti ini?
Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya yang ditunggu pun datang. Saat pertama kali mendengar maestro itu memainkan pianonya, bulu kudukku berdiri seketika. Jari-jari lelaki paruh baya itu benar-benar seperti magic dan membuat kami semua terhipnotis oleh permainanya. Musik yang ia mainkan benar-benar romantis dan sakral. Membuatku merasa seperti ingin menangis saat mendengarkannya.
*** Pulang dari konser luar biasa itu, aku dan Sebastian mampir ke sebuah restoran yang berada satu area dengan aula tempat diselenggarakannya konser tadi. Saat kami sedang asyik berbincang, tiba-tiba aku melihat Olivia berada di salah satu meja bersama Mark. Ia seperti melihat ke arah meja kami dan dari gelagatnya, aku tahu ia berniat menghampiri meja kami.
Aku tidak mau wanita itu bergabung denganku dan Sebastian. Entah kenapa dari awal melihatnya, aku tidak suka pada Olivia. Aku tidak suka melihat ada wanita lain yang membuat Sebastian tertawa selain diriku.
Apakah aku cemburu? Aku tidak tahu. Tapi, yang pasti aku akan memberikan sedikit pelajaran pada wanita 'barbie' sialan itu setelah ini.
"Aku ke toilet sebentar, ya?" ucapku pada Sebastian. Ia tidak menyadari keberadaan Olivia karena meja wanita itu berada di belakang Sebastian duduk.
Aku bangkit dengan membawa segelas red wine.
"Hei, kenapa harus membawa wine ke toilet?" tanya Sebastian heran. Aku hanya menjawabnya dengan sebuah senyuman.
Dengan sangat percaya diri aku berjalan ke arah meja Olivia dan saat sudah hampir berada di sampingnya aku berpura-pura tersandung dan menumpahkan minumanku tepat ke dadanya. Olivia berteriak histeris.
"AHHHH !!! OH YA TUHAN !!! APA-APAAN INI ???"
Olivia berteriak sambil mengibas-ngibaskan tangannya pada gaunnya yang sudah kotor terkena red wine ku.
"Oh, maaf sekali, Miss Wilson. Aku tidak sengaja. Tadi kakiku tersandung sesuatu."
Olivia tiba-tiba menjadi sedikit tenang saat mengetahui akulah pelakunya. Mrs Agustine, istri dari 'teman kuliahnya'. Tapi, wajahnya tidak bisa berbohong kalau ia masih sangat kesal karena gaun mahalnya itu menjadi kotor sekarang.
"Tidak apa-apa, Mrs Agustine. Tidak apa-apa."
Aku masih memasang muka memelas, seakan-akan aku sedang menyesali perbuatanku. Tiba-tiba Olivia bangkit dari kursinya.
"Ayo Mark, kita pulang saja." ucap Olivia kesal. Mark bangkit dari kursinya dengan wajah bingung.
"Tapi pesanan kita belum datang, Ollie. Kau tidak mau mencoba membersihkannya dulu di toilet?"
"Tidak perlu. Selera makanku sudah hilang. Aku malu sekali memakai pakaian kotor seperti ini."
"Sekali lagi maafkan aku, Miss."
Aku mencoba membantu dengan mengibas-ibas pakaiannya tapi itu malah membuat noda red wine di gaunnya semakin melebar. Olivia semakin jengkel.
"Tidak apa-apa, Mrs Agustine. Selamat malam!"
Olivia berjalan dengan terburu-buru diikuti Mark dari belakang. Aku memperhatikan mereka sambil menggenggam gelasku dengan erat. Entah kenapa seperti ada sesuatu yang ingin meledak dari dalam diriku. Perasaan senang yang sangat luar biasa!
Bibirku mengkerut menahan tawa yang hampir pecah. Aku menarik nafas, mencoba mengatur perasaan yang hampir meledak itu lalu berbalik dan kembali berjalan ke arah meja Sebastian.
Aku kembali melirik ke arah pintu, pasangan aneh itu sudah benar-benar pergi. Dalam hati aku berbisik,
"So long, Bitch!"
*** BAB 15 Beberapa hari belakangan entah kenapa aku lebih suka berada di rumah. Mempelajari setiap sudut rumah besar itu yang belum sempat terjamah olehku sepenuhnya sambil menunggu Sebastian pulang bekerja.
Sejak bertemu dengan Olivia hari itu dan melihat kedekatan Sebastian dengannya, aku merasa sedikit tidak nyaman pada diriku sendiri. Harus ku akui kalau Olivia adalah wanita yang sangat cantik dan matang. Cara berpakaian dan berjalannya sangat anggun. Ia memang benar-benar tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga "kerajaan". Sementara aku? Walau berasal dari keluarga kaya, sejak kecil Papa tidak pernah ambil pusing dengan gaya berpakaian atau caraku bersikap. Papa selalu mencintaiku apa adanya.
Apakah aku cemburu? Aku sendiri tidak mengerti. Menghabiskan waktu hampir setiap hari bersama Sebastian, walau kadang ia bisa begitu menyebalkan tapi jujur aku benar-benar tidak suka saat melihat ia dekat dengan wanita lain. Walau itu teman lamanya sekalipun. Ditambah lagi, Seth sekarang sudah sangat jarang menghubungiku. Membuat pikiranku hanya terfokus pada satu manusia bernama Sebastian Agustine.
Untuk masalah "pembalasan dendam" Seth, aku belum tahu lagi apa yang harus aku lakukan setelah ini. Mungkin aku harus menunggu Seth menghubungiku dulu nanti.
*** Siang ini aku berniat untuk mengunjungi Sebastian di kantornya. Aku sengaja tidak memberitahunya untuk melihat bagaimana reaksinya nanti saat melihatku tiba-tiba datang. Sebastian bukan orang bodoh, sejak awal ia tahu kalau aku tidak menyukainya. Ia hanya pura-pura menutup mata dan telinganya demi mendapatkan hak nya sebagai seorang suami. Lagipula, siapa orang yang suka dengan perjodohan. Walau dijodohkan dengan orang paling kaya dan tampan di dunia sekalipun.
Aku berniat mengunjungi Sebastian untuk mengajaknya makan siang. Itupun kalau ia tidak sibuk. Tapi, saat pertama kali aku memasuki ruangannya dengan diantar oleh salah satu sekretarisnya, aku melihat Sebastian tampak sedang mengecek sebuah berkas. Di samping mejanya ada seorang wanita muda yang berdiri sambil memperhatikan Sebastian.
Saat pertama kali menyadari kehadiranku, Sebastian hanya melirik sekilas lalu memberi isyarat padaku untuk duduk. Aku duduk di sebuah sofa besar yang berada di ruangan itu. Lalu aku memperhatikan wanita yang sedang berdiri itu. Ia tampak sedang memperhatikan lelaki di depannya itu tanpa berkedip. Tampak ada kesan memuja dalam tatapannya dan aku tidak suka itu.
Apa wanita itu tidak tahu aku ini siapa? Bagaimana mungkin seorang wanita bisa menatap lelaki dengan cara seperti itu sementara istri si lelaki ada di ruangan yang sama dengan mereka.
Tak berapa lama Sebastian tampak menandatangani berkas itu lalu mengembalikannya pada wanita itu.
"Terima kasih, Tuan." wanita itu memberikan Sebastian senyuman yang sangat manis.
"Nanti sehabis makan siang, kau temani aku ke bagian produksi. Ada beberapa hal yang perlu kau catat di sana nanti." jawab Sebastian dengan nada datar.
"Ya, Tuan. Permisi."
Wanita itu berlalu. Sepeninggal wanita itu, Sebastian bangkit dari kursinya dan berjalan ke arahku.
"Sebuah kejutan, Sayang. Aku tidak pernah menyangka kau akan datang kemari." Sebastian menyusul duduk lalu mencium keningku.
"Apa ada larangan seorang istri mengunjungi suaminya di kantor?" jawabku dengan nada malas. Sebastian tersenyum, "aku kesini untuk mengajakmu makan siang di luar kalau kau tidak sedang sibuk."
"Boleh. Kebetulan aku tidak ada jadwal penting hari ini. Selesai makan siang aku akan melakukan survey ke bagian produksi bersama Joan. Kau mau ikut?"
"Wanita tadi?" "Iya dia sekretaris baru. Aku sudah memecat Emily."
Bagus sekali. Aku menyingkirkan gadis pintar dan polos seperti Emily dan mendapatkan pengganti seorang wanita sundal yang berani menatap bos nya dengan cara seperti itu. Luar biasa!
Tentu saja aku akan ikut. Aku tidak akan membiarkan mereka berjalan berduaan di sana.
"Aku akan bergabung dengan kalian."
Sebastian menahan tawa mendengar jawabanku. Entah apa yang ada di dalam pikirannya saat ini. Aku tidak perduli.
*** Selesai makan siang, seperti rencana awal aku pergi menemani Sebastian dan Joan ke bagian produksi. Ini adalah sidak mendadak yang dilakukan Sebastian untuk memantau kinerja para pekerjanya.
Saat pertama kali kami tiba, para pekerja tampak sibuk bekerja dengan sangat baik. Mungkin sudah ada desas desus di antara mereka kalau atasan mereka akan datang ke bawah.
Sebastian terus berjalan sambil memperhatikan dengan Joan yang selalu membuntutinya di belakang dengan sebuah buku catatan dan pulpen di tangannya. Aku berjalan lebih lamban di belakang, untuk memperhatikan mereka. Tak lama, Sebastian berhenti dan tampak berbincang dengan seorang lelaki yang menggenggam sebuah walkie-talkie di tangannya. Si Pengawas.
Aku berhenti sejenak karena merasakan ada sesuatu yang mengganjal di dalam sepatuku. Aku mengeceknya, ternyata ada sebuah batu kecil yang mengganjal. Saat tanganku mencoba mengambil batu kecil itu, tiba-tiba saja mataku terpaut pada sesuatu yang menggantung di atas langit-langit ruangan.
Ada sebuah pengait tali katrol yang hampir putus berjuntai-juntai tepat di atas kepala Sebastian. Aku kembali melihat ke arah Sebastian tapi ia masih tampak asyik berbincang dengan lelaki pengawas itu. Sementara pengait katrol itu tak lama lagi pasti akan menimpa tepat di kepalanya.
Dengan sekuat tenaga aku berusaha lari ke arah Sebastian. Berpacu dengan pengait yang sedang meluncur ke bawah itu. Secepat kilat aku mendorong tubuh Sebastian dan merasakan ada sesuatu yang menghantam kepalaku. Aku ambruk ke tanah. Semua hal seperti bergoyang di sekelilingku. Lalu pandanganku menjadi gelap ...
*** Seminggu setelah kejadian itu, keadaanku sudah jauh lebih baik. Sejak kecelakaan itu aku tidak sadarkan diri dan baru membuka mataku tiga hari kemudian. Berita mengenai aksi heroik yang ku lakukan langsung menyebar ke seluruh pelosok negeri. Ruang tempatku dirawat di rumah sakit dipenuhi oleh karangan bunga yang dikirim oleh teman dan rekan bisnis Sebastian dan Papa. Para wartawan berlomba untuk mengambil gambarku tapi tak ada satupun dari mereka yang berhasil. Sebastian meminta seluruh pengawalnya untuk menjagaku dengan sangat ketat.
Sekarang, aku sudah kembali ke rumah. Tetap dengan pengawalan ketat dan perawatan dari dokter.
"Bagaimana keadaan anda, Nyonya Agustine? Apa kepala anda masih sering sakit?" tanya dokter Lily. Ia adalah dokter yang menanganiku sejak aku di rumah sakit. Dan, sekarang Sebastian memintanya untuk tetap memantau perkembanganku di rumah.
Aku duduk bersandar di atas tempat tidur.
"Terkadang. Tapi, aku sudah merasa lebih baik sekarang."
Dokter Lily tersenyum mendengar jawabanku. Ia beranjak dan merapikan peralatan dokternya.
"Bagus. Saya akan datang lagi besok. Kalau ada apa-apa segera hubungi saya. Saya permisi dulu, Nyonya. Selamat siang."
Dokter Lily pergi meninggalkanku sendiri di kamar. Sepeninggal dokter Lily, aku memijat-mijat kepalaku sendiri, rasanya mulai pusing lagi.
"Minumlah dulu."
Aku dikagetkan dengan suara Sebastian. Saat aku membuka mataku, ia sudah duduk di tepi tempat tidur. Ia menyodorkan segelas air padaku. Perlahan aku mengambilnya dan meminumnya sedikit. Sebastian lalu kembali meletakkan gelas itu ke meja di samping tempat tidur.
"Kau sudah lebih baik?" tanya Sebastian. Aku merasa kalau tatapannya berbeda dari biasanya. Ia tampak sedang menahan marah. Rahangnya mengeras dan wajahnya sedikit memerah. Membuatku sedikit takut padanya sekarang.
"Iya, aku sudah lebih baik."
"Bagus, Anna. Karena ada beberapa hal yang ingin ku katakan padamu."
Sebastian menatapku dengan tajam. Ya Tuhan, ada apa ini? Jangan hal yang aneh. Keadaanku belum pulih benar dan kepalaku masih sakit. Aku pasti tidak akan bisa kabur kalau Sebastian melakukan hal aneh padaku nanti.
Aku masih diam terpaku di tempatku. Tiba-tiba saja Sebastian meraih tanganku dan meletakkannya dalam genggamannya. Ia mengusap-usap tanganku perlahan. Sikap lembutnya justru membuatku semakin takut.
Sebastian menarik nafas lalu menatapku dalam, membuatku tak bisa bergerak sama sekali. Lalu ia berkata dengan sangat perlahan seakan ingin membuatku mendengar dengan jelas setiap kata-katanya,
"Kau tahu sesuatu, Anna, kecelakaan yang menimpamu kemarin itu bukanlah sebuah kecelakaan melainkan sebuah sabotase yang dilakukan seseorang untuk mencelakaiku."
Perkataan Sebastian seperti petir di siang bolong. Mataku tiba-tiba membulat tak percaya. Semoga semua ini tidak seperti yang ku bayangkan.
"Detektif Sullivan sudah mengatakan padaku bahwa pelakunya adalah Alan, salah satu pegawaiku. Dan, kau tahu apa yang dikatakan Alan, Anna? Alan mengatakan kalau ia melakukan semua itu karena ia dibayar oleh seseorang yang ingin mencelakaiku. Dan, apa kau tahu siapa orang yang sudah membayar Alan?"
Sebastian menarik rahangku dan mendekatkan wajahku pada wajahnya sendiri. Membuatku dengan jelas melihat sosok tampan yang sedang murka itu. Jantungku berdegup dengan sangat cepat. Aku berharap kalau Sebastian tidak akan pernah menyebut nama itu. Ku mohon jangan pernah ...
"AKU BERTANYA PADAMU, ANNA! APA KAU TAHU SIAPA ORANGNYA?!"
Sebastian membentakku. Membuat jantungku berpacu. Aku benar-benar tidak sanggup menjawabnya. Aku hanya menggelengkan kepalaku.
Sebastian tiba-tiba tersenyum. Senyumannya justru membuatku jadi lebih takut lagi. Perlahan ia berbisik tepat di hadapanku,
"Orang itu adalah Seth Logan. Kau dengar aku, Sayang? Ya, orang yang sudah membayar Alan adalah Seth Logan. Pacarmu. Dan, Seth-mu yang paling kau cintai itu sekarang sudah meringkuk di penjara."
Sebastian melepas wajahku dengan kasar hingga membuat wajahku berpaling darinya. Tanpa terasa air mata meleleh di pipiku. Apa yang terjadi Tuhan? Kenapa semuanya jadi seperti ini? Biar bagaimana pun aku masih begitu mencintai Seth dan sekarang ia harus membayar atas kelancangannya menantang seorang Sebastian Agustine.
Sebastian menyadari kalau wajahku sudah basah oleh air mata. Ia kembali meraih wajahku dengan kasar lalu tertawa. Aku benar-benar membencinya saat ini. Sebastian sedang memperlihatkan wujud aslinya padaku sekarang. Ia adalah seorang iblis! Persis seperti ayahnya.
"Ouh, kau menangis, Sayang? Kau menangisi Romeo-mu?" lagi-lagi Sebastian tertawa, "kisah kalian berdua membuatku muak!!!"
"Kau jahat Sebastian! Sama seperti ayahmu!"
Aku tidak bisa lagi menahan emosiku. Raut wajah Sebastian berubah seketika saat mendengar aku menyebut ayahnya barusan. Tiba-tiba ia menjambak rambutku ke belakang hingga membuat wajahku mendongak ke arahnya. Rasanya sakit sekali. Lelaki ini benar-benar bajingan! Ayahnya dulu sudah menghancurkan kehidupan keluarga Seth dan sekarang Sebastian juga menghancurkan masa depan Seth dengan mengirimnya ke penjara. Padahal, Seth sedang berada di puncak karier bersama bandnya. Aku menyesal pernah merasa kasihan padanya! Seharusnya ku habisi saja ia sekalian kemarin!
Sebastian kembali menatapku lalu berbisik,
"Apa kejadian yang menimpaku beberapa waktu kemarin juga ada hubungannya dengan lelaki itu? Apa kegagalan proyekku dengan klien dari Swiss itu ada hubungannya dengan dia?"
"Bukan Seth yang melakukannya tapi aku!"
Jawabanku justru membuat Sebastian semakin merasa tertantang.
"Kau masih membela dia, Anna?" cengkraman di rambutku semakin erat. Tapi, aku berusaha untuk tidak meringis di hadapannya.
"Memang aku pelakunya! Kalau kau mau hukum saja aku!"
Sebastian melepas cengkramannya dari rambutku. Ia lalu berdiri di hadapanku.
"Aku tidak percaya kalian begitu saling mencintai. Si lelaki membela si wanita dan si wanita membela si lelaki."
Aku memang tidak tahu menahu tentang rencana Seth untuk mencelakaimu waktu itu. Dasar Sebastian Agustine bodoh!
"Kau dengar aku, Anna. Ayahmu adalah orang yang membantu perusahaan yang ayahku dirikan dulu. Ayahmu adalah orang yang membantu perusahaan ini lepas dari kebangkrutan, lalu sekarang, kau anak kandungnya berusaha untuk menghancurkan perusahaan yang pernah diselamatkan oleh ayahmu sendiri? Kau itu tidak pernah berpikir apa yang akan terjadi jika perusahaan ini sampai hancur, Anna! Bukan hanya aku yang akan hancur tapi juga nasib puluhan ribu karyawan serta keluarga mereka. Apa kau pernah berpikir ke sana? Tentu saja tidak! Kau hanya memikirkan dirimu sendiri dan juga Romeo-mu itu. Kalau bukan karena permintaan ayahmu, aku pasti sudah mengirimmu ke penjara bersama kekasihmu itu."
Setiap kata yang keluar dari mulut Sebastian penuh dengan kegetiran. Wajahnya tampak benar-benar tidak percaya kalau aku sudah melakukan semua itu. Jangankan Sebastian, aku sendiripun kadang tidak percaya kalau aku sudah melakukan semuanya.
"Kalau saja ayahku tidak merasa berhutang budi pada ayahmu, kalau bukan karena ayahku yang memintaku untuk menikahimu sesaat sebelum kematiannya, aku pasti sudah menikah dengan wanita yang ku cintai dulu, Anna. Bukan menikahi gadis manja sepertimu!"
Dari sekian banyak ocehan yang keluar dari mulut Sebastian, kenyataan inilah yang paling menyakitkan hatiku. Akhirnya ia mengatakan juga alasannya menikahiku. Sejak awal aku tahu kalau ia tidak mungkin mau menikahiku karena alasan cinta, tapi aku tidak menyangka kalau rasanya akan sesakit ini saat mendengar semuanya dari mulut Sebastian sendiri seperti sekarang.
Aku mencoba untuk bangkit dari tempat tidur. Aku sudah tidak tahan lagi mendengar semua ocehan yang keluar dari mulut si Iblis itu. Aku berdiri tepat di hadapan Sebastian, menantangnya dengan sisa tenaga yang ku punya,
"Kau itu gadis manja, Anna. Kau tidak cantik dan tubuhmu tidak menggairahkan. Kalau aku mau, aku bisa mendapatkan wanita manapun yang jauh lebih cantik darimu."
Tanganku sudah mengepal dengan sangat kuat. Berani-beraninya ia berkata seperti itu pada seorang Savannah Worthington. Setelah ia menikahiku, menghancurkan impianku bersama Seth dan memperlakukanku dengan kasar seperti tadi. Aku benar-benar sudah muak melihat wajah Sebastian.
Saat aku mencoba untuk memukul wajahnya, tiba-tiba secepat kilat ia menangkap pergelangan tanganku dan mencengkramnya erat. Membuatku meringis kesakitan kali ini.
"Kau dengar aku," Sebastian berbisik, "kalau bukan karena nama besar ayahmu, kau itu bukan siapa-siapa, Savannah."
Sebastian melepas tanganku dengan kasar dengan sebuah seringaian di bibirnya. Tiba-tiba saja, dengan cepat ia merampas ponselku yang tergeletak di meja. Aku yang sadar Sebastian telah merampasnya berusaha merebutnya kembali tapi gagal, tenagaku tidak cukup banyak untuk bergumul dengannya sekarang.
"Sebastian, aku mohon kembalikan ponselku! Kau manusia jahat, Sebastian Agustine!"
Aku jatuh duduk di lantai kamar. Sebastian berjongkok di hadapanku lalu meraih rahangku lagi. Ia menatapku tajam dan berkata,
"Dengar, Anna. Kita belum selesai."
Ia melepas wajahku dan berjalan ke arah pintu. Meninggalkanku sendiri yang masih duduk di lantai dengan berurai air mata. Aku benar-benar membencinya saat ini.
Tak lama Sebastian menghilang di balik pintu dan terdengar bunyi tanda pintu dikunci.
*** BAB 16 Siang itu, saat aku sedang duduk bersandar di atas tempat tidur, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang yang sedang mencoba membuka kunci pintu kamar dengan perlahan. Aku tahu itu pasti Martha. Dan, benar saja, saat aku menoleh ke arah pintu, aku melihat wanita itu masuk dengan membawa nampan berisi makanan dan minuman.
"Ini makan siang untuk anda, Nyonya." ucap Martha dengan sangat pelan dan sopan. Aku tersenyum kecil ke arahnya.
"Terima kasih, Martha. Letakkan saja makanannya di meja. Nanti akan ku makan kalau aku sudah lapar."
"Tidak, Nyonya Anna. Tuan Sebastian meminta saya membawa kembali semua piring-piring ini dalam keadaan kosong. Belakangan anda tidak pernah menghabiskan makanan yang saya bawa. Malah terkadang makanannya tidak tersentuh sama sekali."
Selera makanku hilang karena aku selalu memikirkan keadaan Seth. Aku terlalu mengkhawatirkan keadaannya di dalam penjara. Bagaimana ia makan, bagaimana ia tidur dan apakah para Polisi itu memperlakukannya dengan adil setelah ia ketahuan telah melakukan percobaan untuk mencelakai salah satu pengusaha penting di kota ini?
"Aku akan makan nanti. Kau jangan khawatir. Sekarang kau boleh pergi."
"Saya tidak akan pergi sebelum anda memakan makanan ini. Saya hanya tidak mau anda mendapat masalah lagi dengan Tuan Sebastian."
Aku mengalihkan pandanganku dari Martha. Berusaha menghindari tatapannya agar ia tidak tahu kalau aku benar-benar merasa ingin menangis sekarang. Kebaikan wanita ini begitu membuatku tersentuh. Bisa dibilang hanya Martha lah orang yang bisa ku percaya di rumah ini sekarang. Tapi, tetap saja aku tidak bisa mencurahkan seluruh isi hatiku padanya. Biar bagaimanapun, ia sudah bekerja pada keluarga ini sejak Sebastian kecil. Martha pasti akan tetap berpihak pada Tuannya itu.
"Apa anda mau saya suapi, Nyonya Anna?" lanjut Martha dan itu malah membuatku semakin terharu. Begitu banyak hal yang sudah terjadi padaku dan sekarang aku seperti tidak bisa menerima perlakuan baik yang orang lain lakukan padaku.
"Aku akan makan nanti, Martha! Jangan khawatir!"
Aku menjawab Martha dengan nada membentak. Air mata jatuh ke pipiku. Seketika aku merasa sangat menyesal telah berbicara begitu kasar pada Martha. Aku berpaling pada Martha dan mencoba mengusap air mataku sendiri. Aku merasa begitu menyesal dan malu. Emosi ku benar-benar tidak stabil belakangan ini.
"Maafkan aku, Martha. Aku akan makan setelah ini. Kau boleh pergi sekarang."
Martha tersenyum dengan tulus ke arahku. Senyumannya membuat hatiku merasa hangat. Tiba-tiba ia mendekatiku dan meraih tangan kananku. Martha mengusap tanganku dengan lembut lalu berkata,
"Semua akan baik-baik saja, Nyonya. Tuan Sebastian hanya sedang kesal. Beliau tidak pernah berlarut-larut saat marah pada seseorang."
Martha mengatakan hal itu seakan-akan ia tahu segalanya dan seakan-akan apa yang ia katakan itu benar adanya. Tetapi, kalau mengingat bagaimana Sebastian membentak, menatap, menjambak rambutku dan menertawaiku beberapa hari lalu, sepertinya Martha belum benar-benar mengetahui sifat Tuannya itu dan kesalahan apa yang sudah ku perbuat sehingga Tuannya murka seperti itu.
Martha tersenyum lagi padaku, lalu berkata,
"Tuan Sebastian sangat mencintai anda, Nyonya Anna. Percayalah."
*** Kira-kira setengah jam setelah kepergian Martha, tiba-tiba aku mendengar suara seseorang yang mencoba membuka kunci pintu kamar. Tapi, kali ini dengan suara yang lebih kasar dan orang itu terdengar tidak sabar untuk membukanya.
Aku tahu benar siapa orang yang mencoba membuka kunci pintu dan hal itu membuat jantungku berdetak lebih cepat dan waspada seketika. Itu adalah cara Sebastian membuka pintu. Sudah beberapa hari sejak pertemuan kami yang terakhir waktu itu, ia tidak pernah lagi mengunjungi kamar ini. Ia memilih untuk menempati kamar lain.
Mungkin ia sudah muak melihat wajahku. Di satu sisi aku menyukai keputusannya itu. Aku sendiri pun sudah muak melihat wajahnya. Dan, berpisah selama beberapa hari tampaknya merupakan keputusan bagus untuk mendinginkan suasana dan kepala kami masing-masing.
Aku tetap berusaha tenang duduk bersandar di tempat tidur. Ku alihkan wajah dan pandanganku dari pintu. Aku masih begitu enggan melihat wajah si lelaki jahat itu.
Aku mendengar Sebastian menutup pintu dan segera berjalan ke arahku. Ia menarik sebuah kursi kecil dan duduk tepat di samping tempat tidur. Sebastian melempar sebuah map yang berisi kertas-kertas ke arah kakiku yang sedang berselonjor. Ia sepertinya sengaja melakukan itu supaya aku melihat map itu.
"Kau masih belum memakan makananmu juga?"
Pertama kali aku mendengar suaranya, jantungku terasa seperti ingin melompat keluar dari dadaku. Suara dan cara bicara Sebastian begitu dingin. Membuat nyaliku ciut juga.
Aku masih terus bertahan dengan sikapku. Aku berusaha untuk tidak melakukan gerakan sama sekali. Aku tidak mau kalau sampai Sebastian menyadari kalau aku sedang merasa takut padanya.
Tak lama terdengar suara piring yang diambil dari atas nampan lalu setelah itu suara sendok yang mulai beradu dengan piring.
"Kau mau makan sendiri atau aku terpaksa harus memaksamu?"
Aku tetap diam. Terdengar Sebastian menarik nafas.
"Kau jangan coba-coba menguji kesabaranku, Anna."
Aku tetap diam. Padahal dalam hati aku sedang ketakutan setengah mati. Aku hanya tidak ingin Sebastian merasa menang. Ia sudah menghancurkan hidupku dan mengirim Seth-ku ke penjara. Ia harus tahu kalau aku tidak pernah menyukainya sama sekali.
Lagi-lagi Sebastian menarik nafas lalu tiba-tiba terdengar suara piring yang terbanting ke lantai. Suaranya begitu nyaring membuatku langsung berpaling dan tertegun setelah melihat piring yang berisi makanan tadi sudah pecah berkeping-keping dan berserakan di lantai. Sebastian telah membantingnya. Dia benar-benar sudah kehilangan akal.
Aku merasa tubuhku sedikit gemetar. Tapi, lagi-lagi aku mencoba memalingkan wajahku dari Sebastian. Aku tidak tahu kenapa aku melakukan itu. Mungkin saja rasa takut yang begitu besar membuat tubuhku bergerak dengan sendirinya.
"Sikapmu sangat kekanak-kanakan, Anna." suara Sebastian terdengar lebih dingin dari sebelumnya. Tapi, entah kenapa aku merasa semakin ingin menantangnya.
"Anna?" Sebastian memanggil namaku lagi. Tapi, aku tetap bergeming.
"Aku memanggilmu, Savannah Agustine."
Tiba-tiba saja wajahku berpaling ke arahnya. Kami berdua bertatapan. Wajah Sebastian tampak tenang tapi pandangan matanya mematikan. Sementara aku, aku sedang berusaha menahan agar mulutku ini tidak mengeluarkan sepatah katapun dengan cara mengatupkan gigiku rapat-rapat. Aku yakin saat ini Sebastian bisa melihat rahangku yang mengeras.
Aku benar-benar tidak suka mendengar nama itu disebut setelah namaku. Aku benar-benar membenci dan mengutuk keluarga ini dan tidak sudi memakai nama itu di belakang namaku.
Sebastian mendekatkan wajahnya padaku, menatapku tajam.
"Aku paling tidak suka kalau ada orang yang tidak menganggapku saat aku berbicara padanya."
Perduli setan denganmu, Sebastian Agustine!
Sebastian sepertinya tahu kalau aku tidak memperdulikan ucapannya barusan. Segera saja ia beranjak dan mengambil map yang tadi ia lempar ke arah kakiku. Tak lama ia kembali duduk dan menatapku lagi,
"Baiklah, aku tidak perduli kalau kau tetap tidak mau makan. Itu pilihanmu sendiri, Anna. Oh iya, aku merasa sudah cukup bersabar denganmu. Kalau begitu kita langsung saja ke pokok permasalahan kenapa aku mau repot-repot menyempatkan diri untuk mengunjungimu lagi di sini."
Sebastian terus berbicara tanpa memperdulikanku. Sepertinya ia sudah tahu kalau aku tidak akan mengeluarkan sepatah katapun untuk menanggapinya.
"Seperti yang sudah ku katakan padamu sebelumnya. Bahwa urusan kita belum selesai, Anna. Kau tahu, kau sudah membuat beberapa kesalahan fatal dan kau pantas mendapatkan hukuman atas perbuatanmu itu. Maka itu, aku sekarang akan memberikanmu tiga pilihan yang harus kau pilih. Suka atau tidak."
Permainan macam apa yang akan ia mainkan setelah ini. Aku pun tidak tahu ...
"Pilihan pertama, aku akan tetap membiarkanmu tinggal di rumah ini dengan syarat, kau tidak boleh keluar dari rumah ini sama sekali tanpa seizinku dan kau harus menuruti semua perintahku. Kau tahu kan, aku adalah raja di rumah ini dan aku paling tidak suka dibantah."
Pilihan terburuk yang pernah ku dapatkan dalam hidupku. Sampai matipun aku tidak akan pernah menerima tawaran itu.
"Pilihan nomor dua. Mungkin pilihan ini akan menjadi pilihanmu, karena nantinya kau bisa kembali bertemu dan hidup bersama lagi dengan kekasihmu itu. Pilihannya adalah, aku akan mengirimmu ke penjara. Itu sebagai ganjaran atas perbuatanmu selama ini."
Pilihan yang cukup menarik. Sejujurnya aku tidak keberatan walau harus dipenjara sekalipun. Asalkan aku tidak harus melihat tampang si brengsek ini setiap hari. Tapi sayangnya, sepertinya aku tidak bisa mengambil pilihan ini, karena kalau sampai orang-orang tahu, reputasi Papa akan sangat hancur. Dan, aku tidak mau hal itu terjadi. Aku sudah cukup membuat Papa kecewa dan aku sudah berjanji untuk tidak melakukannya lagi.
Mungkin pilihan ketiga akan lebih baik.
"Dan pilihan ketiga, aku terpaksa harus memintamu untuk pergi dari rumah ini, Anna."
Oh Ya Tuhan! Aku benar-benar tidak menyangka kalau pilihan ketiga benar-benar berpihak padaku. Akhirnya Tuhan mendengar doaku. Memang sudah sejak lama aku ingin sekali keluar dari rumah ini. Dengan keluarnya aku dari sini, itu berarti aku akan terbebas dari sosok Sebastian Agustine. Selamanya ...
Sebastian tampak membuka map yang berada di tangannya. Ia lalu membaca surat-surat yang ada di dalam map itu dan berkata,
"Aku mau kau memutuskan semuanya sekarang, Anna. Ku beri kau waktu satu menit."
Aku pura-pura berpikir. Padahal aku sudah mengambil keputusan sejak tadi. Lagi-lagi aku berusaha menahan tawaku yang hampir pecah. Perasaan itu datang lagi. Perasaan senang yang berlebih membuat diriku seperti ingin meledak.
"Bagaimana, Anna?" tanya Sebastian.
Aku mencoba membuka mulutku,
"Baiklah Sebastian, aku sudah memilih. Dan, aku memilih pilihan nomor tiga."
Aku tetap berusaha bersikap tenang. Aku tidak mau Sebastian mengetahui bahwa pilihan nomor tiga tadi adalah sebuah mimpi yang jadi nyata untukku.
Sebastian tampaknya tidak terkejut. Dengan tenang ia memberikanku map berisi surat yang terlihat seperti surat perjanjian dan sebuah pulpen. Perlahan aku menerimanya.
"Ini ada sebuah surat perjanjian yang harus kau tanda tangani. Sebagai kesepakatan kita ..."
Belum sempat Sebastian menyelesaikan ucapannya, aku sudah lebih dulu menandatangani surat perjanjian itu, tanpa membacanya lebih dulu.
Persetan dengan isinya. Yang paling penting bagiku sekarang adalah terbebas dari iblis berwujud manusia bernama Sebastian Agustine ini.
Aku menyerahkan kembali map itu pada Sebastian dan ia tampak menyeringai ke arahku. Aku tidak tahu apa makna dari senyuman itu. Tapi, tampaknya ia sedang mengejekku dalam hati.
Tak lama, Sebastian menutup map itu dan menatapku lagi,
"Aku benar-benar tidak menyangka kalau kau tidak mau membaca isinya dulu, Anna."
Untuk apa? Yang paling penting bagiku adalah segera pergi jauh darimu, Tuan Sebastian Agustine!
"Tapi, tidak apa-apa. Aku hanya berharap kalau kau tidak akan menyesal nantinya." Sebastian melanjutkan. Ia bangkit dari kursi dan berdiri di hadapanku.
"Baiklah, Anna. Kau boleh pergi meninggalkan rumah ini besok pagi. Sekarang kau beristirahatlah dan nikmati masa-masa paling nyaman dalam hidupmu untuk yang terakhir kalinya. Karena besok mungkin semuanya tidak akan sama seperti ini lagi. Selamat beristirahat."
Sebastian berjalan ke arah pintu dan menghilang di baliknya. Tak lama, seperti biasa, pintu itu kembali terkunci.
Aku terdiam, berusaha mencerna apa makna dari perkataan terakhir Sebastian barusan. Tapi, siapa yang perduli. Yang paling penting bagiku sekarang adalah, tak lama lagi aku akan pergi jauh darinya. Aku benar-benar merasa tidak sabar menunggu hari esok tiba.
*** BAB 17 Malam sebelum aku keluar dari rumah itu, aku tidak bisa tidur sama sekali. Hatiku terlalu senang, mirip seperti seorang gadis kecil yang tidak sabar menantikan pesta ulang tahunnya esok hari. Akhirnya, setelah sekian lama, aku berhasil juga keluar dari kediaman keluarga Agustine.
Bisa dibilang kalau malam itu aku tidak tidur sama sekali. Aku sibuk mengepak pakaian yang akan aku bawa besok dan membayangkan rencana-rencana yang akan ku lakukan setelah keluar dari sini. Aku berusaha untuk tidak membawa banyak barang, lagipula semua yang ku miliki sekarang adalah pemberian Sebastian dan aku sudah bersumpah untuk tidak membawa sepeser pun uang darinya nanti.
Aku benar-benar ingin mengakhiri hubunganku dengan Sebastian dan aku tidak mau lagi merasa berhutang apapun padanya. Aku sudah berbuat salah padanya tapi aku juga sudah berhasil menyelamatkan nyawanya. Paling tidak, itu bisa sedikit membayar kesalahanku selama ini. Jadi, menurutku semuanya impas.
Paginya, aku sudah bersiap dengan semua barang-barangku. Saat aku turun dengan membawa sebuah koper kecil yang berisi beberapa potong pakaian, ternyata di bawah Martha sudah menungguku.
"Selamat pagi, Nyonya Anna."
Aku terus berjalan ke arah wanita itu. Sampai akhirnya kami berdiri berhadapan sekarang.
"Jangan panggil aku dengan sebutan Nyonya, Martha. Aku bukan Nyonyamu lagi. Panggil saja aku Anna. Ya, Anna saja."
Martha tersenyum padaku. "Anda akan selalu menjadi satu-satunya Nyonya di rumah ini. Dan, hal itu tidak akan pernah berubah selamanya."
Terserah kau saja, Martha. Terima kasih banyak. Tapi, mulai saat ini aku akan meninggalkan rumah ini dan tak akan pernah kembali lagi. Aku berbisik dalam hati, aku tidak sampai hati berkata seperti itu padanya. Biarlah semua hal ini ku simpan untuk diriku sendiri saja.
Aku menoleh ke arah lantai atas. Mencari di mana Sebastian. Aku berniat untuk berpamitan padanya. Perasaan hatiku sedang bahagia saat ini, jadi aku akan bersikap sedikit lebih bersahabat padanya. Toh, habis ini aku juga tidak akan pernah bertemu dengannya lagi, kan?
"Apa Sebastian belum turun?" mataku masih mencari-cari, tapi sepertinya tidak ada tanda-tanda keberadaan Sebastian di atas.
"Tuan Sebastian sudah berangkat pagi-pagi sekali, Nyonya. Tuan hanya meminta saya untuk memberikan ini pada anda."
Martha memberikanku sebuah ponsel. Itu adalah ponselku yang waktu itu dirampas oleh Sebastian. Seketika aku tersenyum melihat benda itu. Benda itu adalah harta milikku satu-satunya yang paling berharga. Tanpa ponsel itu, aku benar-benar buta akan dunia luar.
Dengan cepat aku mengambil ponselku dari tangan Martha.
"Terima kasih banyak, Martha. Aku benar-benar membutuhkan benda ini."
"Ada satu lagi, Nyonya." Martha memberikanku sebuah amplop dan saat aku membukanya ternyata amplop itu berisi sebuah cek dengan jumlah nominal uang yang cukup banyak di dalamnya, "Tuan menitipkan ini untuk bekal anda setelah keluar dari sini."
Aku mengembalikan cek itu pada Martha.
"Tidak perlu, Martha. Sampaikan ucapan terima kasihku pada Sebastian nanti. Ponsel ini adalah satu-satunya yang ku butuhkan. Aku tidak butuh apa-apa lagi."
"Baiklah, Nyonya. Kalau begitu saya akan memanggil Oscar sekarang. Ia yang akan mengantar anda sampai ke tempat tujuan. John bertugas mengantar Tuan Sebastian ke kantor hari ini."
Aku tidak mau berdebat lagi dengan Martha. Sebagai seorang asisten rumah tangga, wanita ini sudah bekerja cukup baik dan semua yang ia lakukan pasti hanya untuk kebaikan semua orang yang ada di rumah ini. Lagipula tidak ada salahnya Oscar mengantarku setelah ini. Toh, aku juga tidak punya uang sama sekali untuk membayar taksi.
Tanpa menunggu jawabanku, Martha sudah pergi dan beberapa menit kemudian ia kembali bersama seorang lelaki berseragam hitam. Oscar adalah salah satu supir pribadi yang bekerja untuk Sebastian.
Oscar segera saja membawa koper kecilku ke luar dan meninggalkanku berdua dengan Martha. Entah kenapa tiba-tiba aku merasa sangat ingin menangis saat ini. Di satu sisi aku merasa senang karena akan keluar dari rumah itu, tapi di sisi lain aku begitu berat meninggalkan Martha. Wanita ini begitu mengingatkanku pada sosok mendiang ibuku sendiri.
Aku berjalan beberapa langkah, mendekati Martha. Langsung saja aku memeluknya dengan erat.
"Terima kasih, Martha. Karena selama ini kau sudah memperlakukanku dengan sangat baik di sini. Terima kasih."
Aku melepas pelukanku dan tanpa terasa air mata sudah jatuh membasahi pipiku. Lagi-lagi Martha tersenyum ke arahku, senyumannya begitu tulus dan menenangkan.
"Saya sudah bekerja di sini sejak Tuan Sebastian berusia tujuh tahun, Nyonya. Saya sudah menganggap beliau sebagai anak saya sendiri. Jadi, saya juga sudah menganggap anda sebagai anak saya sendiri. Setiap orang melakukan kesalahan. Yang paling penting adalah, bagaimana kita berusaha untuk tidak mengulanginya lagi dan mencoba untuk memperbaiki semuanya. Saya yakin, kalau memang Tuan Sebastian dan anda masih berjodoh, Tuhan akan menyatukan kalian berdua kembali."
Aku terdiam mendengar ucapan Martha. Ucapannya barusan membuka pikiranku untuk tidak mengulangi kesalahanku dan mencoba memperbaiki semuanya. Tapi, itu semua bukan untuk Sebastian, melainkan untuk Papa. Aku berjanji akan memperbaiki semuanya demi Papa.
Dan, untuk harapan di akhir ucapannya, aku benar-benar tidak meng-amininya. Aku berdoa semoga aku tidak akan pernah bertemu dengan Sebastian lagi. Selamanya.
"Terima kasih banyak, Martha. Sekarang aku harus pergi. Selamat tinggal."
*** Saat aku sudah berada di dalam mobil, aku segera memakai kacamata hitamku. Aku tidak mau Oscar melihat mataku yang sedikit memerah karena habis menangis tadi.
"Kita mau kemana, Nyonya?" tanya Oscar sambil melirikku dari kaca spion tengah.
"Kita ke kediaman keluarga Worthington sekarang."
Oscar mulai menjalankan mobilnya. Aku berniat untuk pergi ke rumah Papa, paling tidak untuk melihat keadaannya. Aku merasa begitu merindukannya sekarang. Aku berharap kalau Papa belum berangkat ke kantor saat aku sampai nanti.
Sekitar satu jam kemudian, mobil yang ku tumpangi berhenti tepat di depan gerbang rumahku. Mike, si penjaga gerbang rumahku tidak memperbolehkan mobil yang ku tumpangi masuk ke dalam.
Aku segera keluar dari dalam mobil dan menghampirinya.
"Mike, biarkan kami masuk." ucapku pada Mike tapi ia masih tidak mau membuka gerbang itu. Dari sebuah celah kecil yang ada di gerbang, Mike berbicara padaku. Benar-benar tidak sopan!
"Maaf Nona Anna, tapi anda tidak bisa masuk. Tuan James berpesan pada saya kalau anda datang, saya harus menahan anda supaya tidak masuk ke dalam."
Apa-apaan ini?! Papa tidak mungkin melakukan ini padaku.
"Itu tidak mungkin, Mike. Aku tidak percaya. Sekarang cepat kau buka gerbangnya. Aku ingin bertemu Papaku!"
Kesabaranku mulai habis dan aku sudah tidak mau lagi berdebat dengan Mike. Tapi, lelaki itu tetap pada pendiriannya.
"Maaf, Nona Anna. Saya hanya menjalankan perintah Tuan James."
Aku menarik nafas. Benar-benar tidak bisa dipercaya. Aku anak perempuan kesayangan seorang James Worthington sekarang harus berdebat dengan seorang penjaga hanya untuk masuk ke rumah Papaku sendiri.
Tiba-tiba, terdengar suara Oscar memanggilku dari dalam mobil.
"Nyonya Anna, apa kita harus pergi ke tempat lain atau ..."
"Kau pergi saja, Oscar. Aku bisa mengurus semuanya sendiri. Terima kasih. Kau boleh pergi sekarang."
Oscar pergi meninggalkanku dengan mobilnya. Sementara aku masih berdiri di depan gerbang yang menjulang tinggi itu seorang diri. Lagipula aku harus pergi kemana, aku tidak punya tujuan lain lagi dan aku juga tidak memegang uang sepeser pun.
Aku kembali mengintip ke dalam, berbicara pada Mike.
"Apa Papa sudah berangkat ke kantor?"
Desperate Mrs Karya Agustine di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi, sebelum Mike menjawab pertanyaanku, tiba-tiba pintu gerbang itu secara otomatis terbuka lebar. Membuatku sedikit kaget. Tak lama, aku melihat mobil yang biasa dipakai oleh Papa mulai berjalan ke arah luar.
Aku bersiap untuk menghampiri mobil Papa tapi mobil itu terus saja berjalan melewatiku ke arah luar. Aku bisa melihat Papa duduk di kursi penumpang seorang diri.
"Papa, ini aku Anna. Buka dulu kaca jendelanya, Papa ..."
Aku menggedor-gedor kaca jendela mobil Papa, tapi ia hanya terdiam seolah menganggapku tidak ada. Pandangan Papa terus lurus ke depan, tanpa menoleh ke arahku sama sekali.
Mobil itu pergi menjauh dan semakin lama semakin kecil dalam pandanganku.
Tidak ada yang lebih menghancurkan perasaanku daripada kejadian barusan. Papaku sendiri, sekarang bahkan sudah tidak mau menemuiku lagi. Padahal dulu, aku adalah putri kesayangannya ...
Entahlah, aku tidak bisa menggambarkan betapa hancurnya hatiku sekarang. Aku berusaha mengerti perasaan Papa sekarang. Selama ini ia selalu mempercayaiku dan begitu menyayangiku. Sudah sepantasnya Papa merasa begitu kecewa padaku setelah semua kekacauan yang sudah ku lakukan belakangan ini.
Aku menarik nafas dan mengusap air mata yang sudah terlanjur jatuh ke pipiku. Belakangan aku berubah menjadi sangat sensitif dan gampang sekali menangis. Dan, aku benci itu. Aku tidak mau orang lain menganggapku lemah. Aku adalah seorang keturunan Worthington dan hal itu tidak akan berubah selamanya. Walaupun sekarang Papaku sendiri tidak mau lagi menemuiku.
Perlahan, aku pergi meninggalkan kediaman Papa. Dengan menggeret koper kecilku itu. Aku tidak punya uang sama sekali dan perutku sangat lapar. Aku tidak sempat sarapan sebelum pergi tadi. Sekarang aku hanya perlu mengikuti kemana kakiku akan melangkah, karena aku sendiri tidak tahu, kemana aku akan pergi setelah ini.
*** Aku memandangi ruangan itu. Sebuah ruangan yang sangat kecil dan pengap. Yang ada di dalamnya hanya sebuah sofa usang, sebuah meja kecil dan sebuah tv kuno yang terdapat di sudut ruangan. Ini adalah ruang tamuku yang baru. Sangat jauh berbeda dari yang pernah ku miliki selama ini, tapi hanya ini yang bisa ku raih sekarang.
Tadi siang, sepulangnya dari kediaman Papa, aku terus berjalan sambil berpikir. Aku harus terus bertahan, tapi bagaimana caranya aku akan bertahan tanpa uang sepeser pun. Lalu tanpa sengaja aku teringat ponselku.
Dengan berat hati aku terpaksa menjual ponsel kesayanganku di sebuah toko dan sialnya, si pemilik toko menghargai ponselku dengan harga murah. Padahal, aku yakin sekali lelaki itu tahu kalau ponselku itu harganya sangat mahal. Tapi, seperti bisa membaca situasiku, ia berusaha mengambil keuntungan dari situasiku ini.
Dari toko itu pula aku membeli sebuah ponsel lagi, sebuah ponsel candybar bekas yang ia jual dengan harga yang cukup mahal untuk ponsel seperti itu. Tapi, aku terpaksa membeli ponsel itu, untuk mengaktifkan nomor teleponku. Aku takut Andrew atau Papa akan menghubungiku nanti. Walaupun, aku tahu kalau si pemilik toko mendapat keuntungan dobel dariku. Tapi, tidak apa-apa. Aku yakin suatu hari Tuhan akan membalasnya.
Dan, di sinilah aku sekarang. Uang dari hasil penjualan ponsel itu ku pakai untuk membeli makanan dan menyewa sebuah apartemen kecil di pinggiran kota. Aku terpaksa menyewa kamar kecil ini karena harganya murah. Aku harus bertahan sampai nanti aku mendapatkan pekerjaan baru.
Aku berjalan ke ruang kamar. Tiba-tiba aku teringat pondok Sebastian di hutan waktu itu. Kamar ini tidak jauh lebih baik bahkan bisa dibilang lebih buruk dari kamar di pondok itu. Tempat tidurnya sangat kecil dan kasurnya keras seperti batu. Aku tidak tahu apakah aku akan bisa tidur nyenyak di atasnya nanti.
Tiba-tiba aku merasa sangat mengantuk. Tubuhku lelah sekali setelah berjalan cukup jauh tadi. Aku melepas seluruh pakaianku dan bergerak ke kamar mandi. Di dalamnya terdapat sebuah bath tub dan syukurlah keran air hangatnya masih berfungsi. Aku mulai masuk dan duduk bersandar di dalam bath tub, memejamkan mataku sambil menikmati air hangat yang mulai membasahi tubuhku itu.
*** Keesokan harinya aku bangun kesiangan lagi. Entah kenapa aku bisa tidur dengan begitu nyenyak di kasur keras seperti itu. Mungkin aku terlalu lelah. Selesai sarapan dengan makanan seadanya aku mulai bersiap pergi ke luar.
Aku harus mencari pekerjaan. Uang simpananku lambat laun akan habis dan aku tidak punya apa-apa lagi untuk dijual. Aku terlalu sombong karena tidak mau menerima cek dari Sebastian waktu itu. Padahal jumlahnya cukup banyak. Mungkin saja ia sudah tahu kalau aku akan hidup susah seperti ini. Ah, tapi aku tidak merasa menyesal. Paling tidak, aku keluar dari rumah itu dengan membawa harga diriku sepenuhnya.
Aku berkeliling mencari pekerjaan dengan bus. Belum pernah sekalipun dalam hidupku, bepergian dengan kendaraan umum seperti itu. Rasanya benar-benar tidak karuan. Ditambah dengan sengatan sinar matahari yang begitu panas menusuk kulitku. Kepalaku pusing sekali rasanya.
Sudah beberapa tempat ku datangi. Dan, mereka semua menolakku dengan alasan tidak ada lowongan. Padahal, di beberapa tempat aku bahkan belum berhasil masuk ke dalam sama sekali, tapi satpam penjaga sudah mengusirku begitu saja. Andai mereka tahu siapa aku ini, mungkin mereka bisa sedikit bersikap lebih sopan padaku.
Sebastian benar, tanpa nama besar Papa, aku memang bukanlah siapa-siapa ...
Tidak pernah ku bayangkan sebelumnya kalau akan sesulit ini mendapat pekerjaan. Padahal aku hanya melamar ke kafe atau restoran kecil. Aku sengaja tidak melamar ke perusahaan karena aku tidak mau orang-orang tahu kalau anggota keluarga Worthington dan Agustine hidup melarat seperti ini. Aku tetap harus menjaga nama baik Papa di mata para koleganya.
Hari itu aku sampai di apartemen pukul delapan malam dengan tangan hampa. Aku tidak berhasil mendapat pekerjaan. Tapi tak apa, besok akan ku coba lagi.
*** Saat aku sedang menikmati air hangat di dalam bath tub, tiba-tiba saja aku dikagetkan dengan suara seseorang yang mengetuk pintu apartemenku. Entah kenapa aku jadi waspada seketika. Tidak ada seorang pun yang tahu tempat tinggalku dan aku baru dua malam tinggal di sini. Mustahil ada orang yang datang mengunjungiku.
Pintu itu terus diketuk dengan nada pelan. Sepertinya orang itu tidak mau terlalu membuatku terganggu. Tapi, dengan datangnya ia malam-malam begini sudah cukup mengganggu bagiku.
Aku keluar dari bath tub dan memakai jubah mandiku. Perlahan aku berjalan ke arah pintu dan mengintip orang itu dari lubang pintu. Aku melihat seorang laki-laki berjas berdiri di depan pintu. Dandanannya sangat rapi dan berkelas. Ia pasti bukan orang sembarangan. Tapi, untuk apa dia ke sini malam-malam begini dan dari mana ia tahu tempat tinggalku. Aku bahkan tidak mengenalnya sama sekali.
Tapi, tidak apa-apa yang penting itu bukan Sebastian seperti yang ku khawatirkan sebelumnya.
Perlahan aku membuka pintu dan lelaki itu tampak tersenyum padaku.
"Selamat malam, Nyonya Agustine. Nama saya Dennis, Dennis Sanders. Saya adalah seorang pengacara."
Aku terpaku melihat sosok itu. Ia begitu tampan dan menarik. Dengan sepasang lesung di pipinya, membuat senyumannya begitu menawan.
"Nyonya Agustine?"
Suara Dennis memecah lamunanku. Semoga ia tidak tahu kalau aku sedang mengagumi ketampanannya, karena kalau ia sampai tahu, aku pasti akan merasa malu sekali.
"Oh ya, silahkan masuk."
Dennis masuk ke dalam ruang tamuku yang sangat tidak pantas untuknya. Sepatu yang ia kenakan bermerk Gucci dan dasinya terbuat dari sutra. Lelaki ini pasti pengacara yang dibayar mahal. Tanpa ku persilahkan lebih dulu, Dennis duduk di atas sofa usang itu. Tapi, wajahnya tidak tampak keberatan sama sekali.
Aku menyusul duduk di sofa yang sama tapi agak jauh darinya. Dennis seperti memperhatikan rambutku yang basah. Benar-benar bodoh sekali, aku seharusnya mengganti pakaianku dulu tadi.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan Sanders?" ucapku pertama kali memecah keheningan. Aku tidak mau lelaki itu menatapku lebih lama.
"Ya, Nyonya Agustine. Saya ke sini sebagai kuasa hukum Tuan Sebastian Agustine. Saya hanya ingin memberikan titipan dari beliau."
Dennis memberikanku sebuah amplop. Jantungku berdetak dua kali lebih cepat. Apakah itu adalah sebuah surat permohonan cerai untukku?
Tapi, saat aku membukanya, ternyata di dalamnya ada dua buah kartu debit dan sebuah kartu kredit. Aku menarik nafas.
"Apa maksudnya ini?"
"Begini, Nyonya Agustine. Secara hukum anda dan suami anda masih berstatus sebagai suami istri. Dan, saya ke sini untuk memberikan hak anda sebagai istri yang diberikan oleh suami anda, Tuan Agustine. Anda bisa pergunakan kartu-kartu itu untuk membiayai kehidupan anda sehari-hari, Nyonya."
Aku meletakkan amplop itu ke atas meja. Kenapa Sebastian masih saja menghantui hidupku walau sudah berada jauh darinya.
"Aku tidak butuh! Kau boleh bawa amplop itu kembali dan katakan pada klienmu supaya jangan mengganggu hidupku lagi!"
"Jangan salah paham, Nyonya. Klien saya hanya berusaha memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya. Karena jika beliau tidak menjalani kewajibannya, Tuan Agustine akan terkena sanksi."
Aku tidak perduli apakah Sebastian akan kena sanksi atau apapun! Itu bukan urusanku lagi.
"Aku sudah memutus hubunganku dengannya dan aku tidak mau lagi berurusan dengannya."
"Tapi, secara hukum tidak seperti itu, Nyonya. Anda suka atau tidak. Saya akan tetap meninggalkan amplop itu di sini karena untuk itu saya dibayar. Saya hanya menjalankan tugas saya."
Lelaki ini benar-benar membuatku kesal. Seketika aura ketampanannya hilang. Ia tak jauh beda dengan Sebastian. Mereka sama-sama menyebalkan.
"Baiklah, kalau begitu sampaikan ucapan terima kasihku pada klienmu. Dan, bilang padanya kalau aku sudah tidak mau berurusan sama sekali dengannya. Oh ya, satu lagi, berhenti memanggilku dengan sebutan Nyonya Agustine. Aku tidak suka mendengarnya."
Dennis bangkit dari sofa dan beranjak ke arah pintu. Aku berjalan mengikutinya dari belakang.
"Baiklah kalau begitu, Nyonya. Saya pamit. Terima kasih dan selamat malam."
*** BAB 18 Berhari-hari setelah itu aku masih terus berusaha mencari pekerjaan. Tapi, tak ada satupun yang ku dapat. Aku mulai merasa putus asa, lalu keputusasaan itu berubah menjadi kemarahan, yang lalu menjadi rasa frustasi dan kembali lagi pada keputusasaan.
Aku tahu aku harus terus bertahan, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya. Sementara uang simpananku semakin hari semakin menipis. Aku tahu kalau seharusnya aku sudah mencari tempat tinggal yang lebih murah lagi, tapi ku rasa tidak akan ada kamar sewa yang harganya lebih murah dari apartemen sempitku ini.
Aku mulai tidak sarapan dan makan siang. Setiap malam aku makan di warung di pinggir jalan yang makanannya tidak enak tetapi harganya murah. Aku mencari warung-warung yang sesuai dengan sisa uangku yang tinggal sedikit, di mana aku bisa makan dengan sekenyang-kenyangnya dan minum sepuas-puasnya.
Terkadang, aku merenung dalam kegelapan malam di kamar ku yang sempit itu dan berpikir, hidupku benar-benar sudah jungkir balik sekarang. Ku rasa mungkin inilah makna dari ucapan terakhir Sebastian hari itu.
*** Di saat aku sudah benar-benar putus asa dan kesabaranku hampir habis, tiba-tiba saja Tuhan seperti mengulurkan tangan-Nya untuk membantuku. Aku mendapatkan pekerjaan di sebuah pabrik pengemasan daging. Terdengar sangat menyedihkan memang, aku seorang anak gadis James Worthington dan istri dari seorang Sebastian Agustine kini harus menjadi seorang buruh pabrik.
Pendapatanku bekerja di pabrik itu bahkan jauh dibawah pendapatan Lita dan Emily dulu. Ku pikir, mungkin inilah karma yang harus ku dapat karena sudah berbuat jahat pada mereka. Tapi, entahlah, aku sendiri tidak mengerti.
Aku memasuki sebuah ruangan yang cukup besar tetapi jadi tampak sempit karena kardus-kardus bekas yang tersusun di setiap sudut ruangan. Itu adalah ruangan atasanku. Saat pertama kali masuk, aku menghadap seorang lelaki berusia empat puluhan. Ia memakai kemeja putih dengan lengan yang tergulung sampai ke sikunya. Ia tampak sedang memperhatikan surat lamaranku saat ia menyadari kehadiranku di hadapannya.
"Nona Worthington?" ia meyakinkan. Aku tersenyum kecil ke arahnya. Jujur aku merasa sangat gugup. Ini adalah wawancara kerjaku yang pertama, "silahkan duduk." lelaki itu menambahkan.
Dengan ragu aku duduk di sebuah kursi lipat yang ada di seberang meja kerjanya. Lelaki itu menutup surat lamaranku lalu ia tampak memperhatikanku,
"Jadi, namamu Savannah Worthington?"
Aku sedikit gugup mendengar lelaki itu menyebut namaku. Semoga ia adalah orang yang tidak up-to-date tentang dunia luar, jadi ia tidak harus mengenali nama keluarga yang ku pakai.
"Apa kau memiliki hubungan keluarga dengan James Worthington? Lalu nanti kau akan mempunyai suami bernama Sebastian Agustine?" lelaki itu menatapku dengan seksama. Jantungku mulai berdetak dengan sangat cepat. Tapi, sebelum aku menjawabnya, ia malah tertawa dengan geli, "tenang aku hanya bercanda. Aku hanya bingung, ini suatu kebetulan yang menarik. Namamu sangat mirip dengan putri kesayangan Tuan James Worthington. Tapi, tidak mungkin kan anak seorang milyarder melamar kerja di pabrik seperti ini." ia kembali tertawa geli. Dengan kikuk aku ikut tertawa dengannya. Berusaha menutupi kegugupanku.
Ya, secara logika memang tidak mungkin. Tapi, inilah kenyataannya. Hidupku memang sangat memalukan!
"Kenapa kebetulannya sangat aneh, ya?" ia menatapku lagi dengan mata berbinar.
"Aku tidak tahu," jawabku gugup. "mungkin ibu dan ayahku menyukai nama itu dulu."
Aku tidak bohong. Mungkin Papa dan Mama menyukai nama Savannah sehingga mereka menamaiku seperti itu dulu.
"Oh ya, tentu saja. Semua orang begitu memuja seorang James Worthington. Aku juga sudah lama mengidolakannya. Dan, mungkin orang tuamu juga ya, sampai-sampai mereka menamai anak mereka persis seperti nama anak perempuan Tuan Worthington?"
Aku terdiam mendengar ocehan tidak karuan dari mulut lelaki di hadapanku ini.
Ternyata dugaanku mengenainya salah. Aku tidak tahu apakah dunia ini terlalu sempit atau Papaku yang terlalu terkenal. Ternyata lelaki ini tahu kalau James Worthington memiliki seorang anak perempuan bernama Savannah. Tapi, syukurlah ia sama sekali tidak mengenali wajah anak perempuan itu.
Tak lama, lelaki itu tampak menarik nafas. Lalu ia mencoba untuk lebih serius.
"Baiklah, maafkan aku. Tidak seharusnya kita membahas perihal namamu itu. Namaku Tom dan aku adalah HRD di sini. Aku tidak mau berbasa-basi lebih lama lagi denganmu, Nona. Karena sejak awal aku sudah sangat terkesan dengan nilai-nilai di ijazahmu. Kau ku terima bekerja di sini. Selamat bergabung, Nona Savannah Worthington."
Perasaanku campur aduk mendengar kalimat itu. Aku senang karena akhirnya aku mendapat pekerjaan tapi di sisi lain aku juga sangat gugup. Ini adalah pengalaman pertamaku bekerja.
"Kapan saya bisa mulai bekerja, Tuan?" tanyaku perlahan. Perasaan senang bercampur gugup ini merusak segalanya.
"Kau akan bekerja langsung hari ini juga."
*** Aku diantar langsung oleh Tom ke bagian produksi. Sebelumnya aku diberikan sebuah seragam berwarna putih lengkap dengan penutup kepala dan masker untuk menutup mulut. Tempat ini tidak terlalu buruk menurutku. Pabrik ini dipenuhi oleh para pekerja yang kebanyakan wanita, lantainya cukup bersih dan cara pengepakan daging di sini dilakukan dengan mesin. Cukup steril.
Yang sedikit mengganggu hanya suara-suara deru mesin yang memenuhi seisi ruangan besar itu.
Tom memanggil seorang wanita berbadan gemuk. Wajah wanita itu keras, sepertinya ia jarang sekali tersenyum.
"Liz, aku membawakanmu seorang anak baru. Namanya Savannah Worthington."
Liz memperhatikanku dari ujung kaki sampai ke ujung kepala dengan tatapan sinis. Wajah wanita itu sangat menakutkan. Tampangnya kasar seperti lelaki dan tubuhnya gemuk dan kekar. Aku merasa sepertinya Liz bahkan mungkin bisa membanting tubuhku hanya dengan sebelah tangannya.
"Ajari dia dengan baik, Liz. Jangan sampai ia bekerja sembarangan." ucap Tom dengan wajah cerianya.
"Kau tenang saja, Tom." jawab Liz. Ya Tuhan, bahkan suaranya saja sudah membuatku takut.
Tom berpaling padaku. "Ini Liz, ia adalah pengawasmu di sini, Worthington."
"Ayo anak baru, ikuti aku." ucap Liz.
Aku berjalan mengikuti Liz di belakangnya. Ada beberapa karyawan perempuan yang tampaknya sedang memperhatikanku. Ku harap tak ada satupun dari mereka yang mengenaliku atau mengetahui identitasku yang sebenarnya.
Liz berhenti di depan sebuah mesin yang tidak terlalu besar. Aku tidak tahu apa yang harus ku lakukan dengan mesin itu.
"Jadi begini, anak baru. Di hadapanmu ini adalah mesin vakum untuk membuang oksigen dari dalam plastik. Jadi nanti kau akan diberikan potongan daging yang diletakkan di dalam sebuah plastik dan kau harus mem-vakumnya menggunakan mesin ini. Kau tahu apa gunanya?"
Ia menatapku, menunggu jawaban. Aku menggelengkan kepalaku.
"Gunanya supaya kualitas daging tetap terjaga dan juga bisa lebih tahan lama. Sekarang kau mengerti?"
Ku rasa iya. "Iya, Liz." jawabku singkat. Aku benar-benar takut melihat wanita ini.
"Bagus, kalau tidak mengerti kau harus bertanya. Karena kalau kau bekerja tidak becus, aku tidak akan segan untuk memberikanmu hukuman."
*** Aku sampai di apartemen pukul tujuh. Sebenarnya aku sudah pulang dari tempat bekerja sejak pukul empat, tapi jalanan yang sangat macet membuatku harus menderita lebih lama lagi di luar rumah.
Aku langsung saja menjatuhkan tubuhku ke atas sofa usang itu saat pertama kali menginjakkan kakiku di apartemen. Tubuhku sangat lelah karena harus bekerja dengan berdiri seharian tadi. Perutku juga sangat lapar sementara uang simpananku semakin hari semakin menipis. Sekarang prioritas utamaku adalah uang untuk ongkos bekerjaku besok. Tapi, aku sedikit merasa lega karena Tom tadi mengatakan kalau seluruh karyawan akan dibayar setiap hari Jumat. Dan, itu berarti dua hari lagi mungkin aku akan bisa sedikit makan enak.
Saat aku sedang memejamkan mataku, tiba-tiba aku merasakan ponselku bergetar di dalam saku celanaku. Dan, saat aku melihat layar ponselnya, ternyata Andrew yang menelepon. Dengan cepat aku mengangkat panggilannya,
"Halo, Andy." "Halo, Anna. Bagaimana kabarmu?" suara Andrew terdengar sedikit parau. Aku tidak tahu kenapa.
"Aku baik, Andy. Kau jangan khawatir." jawabku berusaha meyakinkannya.
"Kau sekarang tinggal di mana, Anna? Apa semua baik-baik saja?" nada bicara Andrew terdengar khawatir.
"Aku berada di suatu tempat yang aman, Andy. Dan, aku baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir. Oh iya, bagaimana keadaanmu sendiri? Suaramu terdengar aneh, apa kau sedang sakit?"
Ada jeda beberapa detik. "Andy?" Terdengar Andrew menarik nafas. Lalu perlahan ia berkata lagi,
"Sebenarnya aku menelepon untuk memberi tahukanmu sesuatu, Anna."
Tiba-tiba saja perasaanku menjadi tidak enak. Kalau Andrew sudah berbicara perlahan seperti itu, pasti memang ada sesuatu hal penting yang ingin ia sampaikan.
"Tentang apa, Andy?" aku menggenggam ponselku lebih erat. Menunggu jawabannya.
"Papa terkena serangan jantung, Anna. Dan, sekarang Papa sedang dirawat di Rumah Sakit."
Perkataan Andrew menghantamku seketika. Itu tidak mungkin. Aku tahu Papa adalah seorang lelaki yang sangat kuat. Papaku adalah seorang ksatria. Ia tidak mungkin terkena serangan jantung.
Tanpa ku sadari air mata kembali jatuh di pipiku.
"Kau tahu, Anna. Kami sangat mengkhawatirkanmu, terlebih lagi Papa. Kau tidak seharusnya memutuskan untuk keluar dari kediaman keluarga Agustine, Anna."
Jadi, serangan jantung yang Papa alami itu karena ia terlalu mengkhawatirkan keadaanku. Ternyata, lagi-lagi keputusan yang ku ambil salah. Aku tidak berhasil memperbaiki semuanya di mata Papa. Aku memang benar-benar seorang pecundang.
"Kau tahu aku tidak bisa, Andy ..." aku mulai terisak, "sejak awal kau tahu aku tidak pernah mencintai Sebastian."
"Tapi, kau istrinya, Anna. Dan, keputusan yang kau ambil begitu egois."
Andrew terdengar begitu kecewa padaku. Sejak kecil kami sering bertengkar dan ia sering sekali marah padaku, tapi aku merasa kalau kemarahannya saat ini berbeda.
"Di Rumah Sakit mana Papa dirawat, Andy? Aku ingin melihat keadaannya."
Aku berusaha mengendalikan perasaanku dan berhenti menangis. Aku harus terus bertahan.
"Aku minta maaf, Anna. Tapi, ku mohon kau jangan datang ke sini dulu. Keadaan Papa belum stabil dan aku takut kedatanganmu hanya akan memperburuk keadaannya. Papa begitu kecewa padamu."
Apakah seburuk itu situasinya?
"Baiklah, Andy. Aku mengerti."
Hening. "Andy, apa aku sudah mengacaukan semuanya?"
Andrew menarik nafas. "Maaf, Anna. Aku harus kembali ke dalam untuk melihat keadaan Papa. Jaga dirimu baik-baik. Aku menyayangimu."
Terdengar suara sambungan terputus. Andrew telah menutup teleponnya. Aku tertunduk lesu sambil memperhatikan layar ponselku. Membayangkan kembali percakapanku dengan Andrew barusan. Aku benar-benar sudah berdosa besar pada Papa karena sudah membuatnya menderita seperti ini.
Perlahan tubuhku merosot ke sofa dan aku meringkuk di atasnya. Aku benar-benar merasa sedih sekarang. Hatiku hancur berkeping-keping mendengar tentang keadaan Papa. Tanpa terasa air mata jatuh dari sudut mataku,
"Maafkan aku, Papa." bisikku dengan suara yang hampir tidak terdengar, "maafkan aku."
Seketika aku melupakan rasa lelah dan lapar di perutku. Perlahan ku pejamkan mataku dengan erat. Dan, tak lama aku pun mulai terlelap.
*** BAB 19 Keesokan paginya aku bangun terlambat. Sebenarnya tidak terlalu terlambat jika aku bisa melakukan semua persiapan dengan cepat. Aku tidak mau sampai terlambat karena ini adalah hari ke-dua ku bekerja. Lagipula, kalau aku terlambat, pasti Liz akan memakanku hidup-hidup. Wanita itu benar-benar menjadi momok yang sangat menakutkan untukku.
Aku mandi dengan cepat, hanya memakai krim wajah dan bedak lalu menguncir rambutku seluruhnya dengan gaya ekor kuda. Aku melewatkan sarapanku lagi karena selain untuk menghemat waktu, aku memang tidak memiliki apa-apa lagi untuk dimakan.
Aku berjalan dengan cepat bahkan hampir setengah berlari ke halte bus. Dan, seakan Tuhan tahu perjuanganku hari ini, saat pertama kali aku sampai, bus yang ku tunggu datang tanpa harus menunggu lama. Dengan cepat aku menerobos masuk ke dalam dan menarik nafas lega.
Keberuntunganku tidak sampai di situ, saat pertama kali aku sampai di pabrik, aku berhasil menulis absen tepat beberapa detik sebelum alarm masuk dibunyikan. Lagi-lagi aku menarik nafas lega. Paling tidak, hari ini aku tidak akan mendapat masalah dengan Liz, si wanita besar itu.
*** Hari ini aku sampai di apartemen pukul lima. Jalanan tidak terlalu macet, jadi aku bisa sampai lebih awal. Sesampainya, tanpa menunggu lama aku langsung membuka seluruh pakaianku dan merendam tubuhku dengan air hangat di dalam bath tub. Sekujur tubuhku lelah dan otot-ototku terasa sakit sekali.
Baru saja aku menikmati air hangat yang sedang meresapi kulitku, tiba-tiba saja aku dikagetkan oleh suara ketukan di pintu apartemenku. Aku menarik nafas dengan kesal. Kenapa orang-orang senang sekali mengganggu kesenangan dan waktu istirahatku!
Perlahan aku keluar dari bath tub karena orang itu terus saja mengetuk pintu itu. Aku mengeringkan tubuhku dan memakai pakaianku kembali. Aku tidak mau kejadian dengan Dennis waktu itu terulang lagi karena aku hanya memakai jubah mandiku. Setelah selesai, aku berjalan ke arah pintu dan mengintip dari lubang kecil. Jantungku seperti berhenti berdetak saat melihat David sudah berdiri di depan pintu apartemenku.
Aku membalikkan tubuhku dan bersandar pada pintu. Lelaki itu pasti ke sini atas perintah Tuannya. Kenapa Sebastian tidak pernah puas mengganggu kehidupanku?!
David terus saja mengetuk pintu itu sampai aku bisa merasakan getarannya di punggungku yang sedang bersandar pada pintu.
"Nyonya Agustine, tolong buka pintunya atau saya akan mendobrak pintu ini."
Kurang ajar sekali pengawal satu ini. Berani-beraninya ia mengancamku. Tapi, aku tahu ia pasti tidak main-main dengan ucapannya dan tubuhnya yang tinggi besar itu pasti akan dengan mudah menghancurkan pintu ini.
Dengan perasaan kesal aku membuka pintu. Di hadapanku David berdiri menjulang seperti seorang raksasa, mengenakan setelan jas berwarna gelap dan kacamata hitamnya. Ia datang membawa sebuah gaun panjang berwarna merah yang sangat cantik.
"Untuk apa kau kemari?!" tanyaku tanpa basa-basi. Aku benar-benar lelah dan kedatangan lelaki ini membuat suasana hatiku menjadi buruk.
"Saya diperintahkan oleh Tuan Sebastian untuk menjemput anda, Nyonya. Anda harus ikut saya dengan mengenakan gaun yang saya bawa ini."
Mataku melotot ke arah David,
"Katakan pada Tuanmu kalau aku tidak akan menuruti kemauannya. Sekarang kau pergi saja dari sini sebelum emosiku semakin memuncak."
Aku berniat menutup pintu, tapi dengan cepat David menahannya dengan sebelah tangannya yang kekar.
"Tuan Sebastian memberi saya perintah seperti itu Nyonya, dan kalau anda menolak, Tuan sendiri yang akan bertindak. Beliau ada di bawah, sedang menunggu di mobil."
Aku menelan ludah. Demi Tuhan! Sebastian benar-benar tidak pernah puas mengganggu hidupku.
"Katakan padanya aku tidak perduli!"
Aku membanting pintu apartemenku sekuat tenaga, tepat di depan wajah David. Setelah itu pintu langsung ku kunci rapat-rapat dan aku berlari masuk ke dalam kamar.
Nafasku terengah-engah. Aku benar-benar tidak mau lagi bertemu dengan Sebastian. Aku sangat lelah dan butuh istirahat. Dan, setiap bertemu dengannya aku pasti akan kehilangan lebih banyak energi lagi karena harus menahan emosi saat berdebat dengannya.
Beberapa menit kemudian, kembali terdengar suara ketukan di pintu apartemenku. Aku berusaha menutup kedua telingaku dengan bantal tapi suara pintu yang diketuk itu seperti terus menghantuiku.
Akhirnya aku menyerah dan berjalan terburu-buru ke arah pintu. Dengan perasaan kesal ku buka pintu apartemenku dan tiba-tiba saja ...
Aku tertegun melihat sosok di hadapanku itu. Sebastian sudah berdiri di hadapanku dan aku bersumpah demi apapun kalau malam ini ia benar-benar terlihat tampan. Sebastian memakai setelan tuxedo berwarna hitam dan rambutnya disisir rapi ke belakang. Ia menatapku dengan sebelah alis yang melengkung ke atas. Benar-benar seperti dewa yang turun dari khayangan.
Ah, tapi persetan dengan ketampanannya! Ia pasti ke sini untuk menggangguku lagi.
"Ku pikir, masalah kita sudah selesai setelah aku keluar dari rumahmu, Tuan Agustine." ucapku sambil berkacak pinggang di depannya. Lalu mataku melirik pada David yang masih setia berdiri di belakang Tuannya.
"Kalau kau berpikir begitu, berarti ada beberapa hal yang belum kau mengerti sepenuhnya, Anna. Biar ku jelaskan semuanya padamu. Tapi, pertama-tama biarkan aku masuk dulu. Tidak baik membiarkan tamu menunggu di luar terlalu lama."
Tanpa ku persilahkan, Sebastian sudah lebih dulu masuk bersama David. Aku tidak bisa berbuat apa-apa untuk menahan mereka. Aku hanya memandangi kedua lelaki kurang ajar itu yang sudah masuk ke apartemenku tanpa izin.
David meletakkan gaun dan sepatu yang dibawanya ke atas sofa usang itu. Lalu ia meminta izin pada Sebastian untuk pergi. Meninggalkanku berdua dengan Tuannya.
"Untuk apalagi kau kemari, Sebastian? Demi Tuhan, jangan ganggu hidupku lagi!"
"Aku kemari karena ingin mengajakmu pergi menghadiri pesta pernikahan anak salah satu rekan bisnisku, Anna."
"Bagaimana kalau aku bilang 'aku tidak mau'?"
Aku masih berdiri memperhatikan Sebastian yang sudah duduk di atas sofa.
"Oh, ayolah Anna, ku rasa kau belum benar-benar membaca surat perjanjian kita waktu itu, ya?"
"Surat perjanjian apa?"
Aku benar-benar lupa, lalu seketika aku teringat pada surat perjanjian yang ku tanda tangani waktu itu. Aku tidak membaca isinya sama sekali. Pantas saja waktu itu Sebastian seperti mengejekku dalam hati. Sial, lelaki ini pasti sudah menjebakku.
Sebastian tampak tersenyum lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa. Ia terlihat santai dan tidak keberatan sama sekali jika tuxedo mahalnya itu harus bersentuhan dengan kulit sofa usang yang ia duduki.
"Jadi, begini. Biar ku jelaskan lagi padamu. Dalam surat itu tertulis, walaupun kita sudah tidak tinggal serumah lagi, status kita masih resmi sebagai suami istri. Kau tahu, kita tidak pernah resmi bercerai, Anna. Dan, sebagai sepasang suami istri kita masih harus menjalankan kewajiban kita masing-masing. Kemarin aku sudah berusaha untuk memenuhi kewajibanku sebagai suami dengan memberi nafkah padamu walau kau menolaknya. Dan, sekarang aku kesini untuk meminta hakku sebagai suami. Kau masih berkewajiban menemaniku ke setiap acara yang akan ku hadiri sebagai seorang Nyonya Agustine. Kau mengerti maksudku?"
Mulutku ternganga mendengar penjelasan Sebastian. Ternyata mimpi burukku belum berakhir.
"Tidak bisa, Sebastian. Ini benar-benar konyol. Kau sudah menjebakku!"
Sebastian tertawa melihat ekspresi tidak percaya yang ku tunjukkan barusan.
"Anna, Sayangku. Ternyata selain naif kau juga wanita yang sangat ceroboh. Aku sendiri tidak percaya kalau kau mau menandatangani surat itu tanpa membacanya dulu. Kalau kau berpikir kau bisa pergi begitu saja dariku, kau salah besar. Lagipula, aku mengajakmu karena aku hanya berusaha menjaga nama baikku sendiri, Anna. Aku tidak mau semua orang tahu kalau ada sesuatu hal yang tidak menyenangkan sedang terjadi pada rumah tanggaku."
Aku berusaha mencari kata-kata untuk melawan Sebastian, tapi otakku sekarang seperti tidak bisa berpikir. Tapi, tetap saja aku tidak akan mau menuruti kemauannya. Malam ini aku tidak akan pergi kemana-mana. Titik!
"Aku tidak akan pernah menuruti kemauanmu, Sebastian! Kau tidak bisa membodohiku. Sekarang lebih baik kau pergi dari sini. Aku sangat lelah dan ingin beristirahat."
Aku berlari ke dalam kamar dan membanting pintu. Aku benar-benar kesal dan tidak percaya dengan apa yang Sebastian katakan barusan. Isi surat perjanjian itu benar-benar merugikanku.
Aku menarik nafas dan berniat untuk merendam tubuhku kembali di dalam air hangat. Sepertinya itu bisa membuat otot-ototku sedikit lebih santai. Aku kembali melepas pakaianku dan masuk ke dalam bath tub. Aku memejamkan mataku saat air hangat itu mulai merendam tubuhku.
Aku merasa mengantuk, dan mulai menutup kedua mataku.
Beberapa saat kemudian aku terbangun. Aku tidak tahu sudah berapa lama aku berendam di sana. Aku terbangun karena merasakan air yang sudah mulai dingin.
Aku keluar dari bath tub dan mengenakan handuk. Tapi, saat aku kembali masuk ke kamar, aku kaget setengah mati melihat Sebastian yang sedang duduk di pinggiran tempat tidurku. Di sampingnya, terkulai sebuah gaun merah cantik yang tadi dibawa oleh David.
"Jawabanku sudah jelas, Sebastian! Sekarang keluar dari kamarku. SEKARANG!"
Aku berteriak dan sedikit gemetar. Mataku mencari-cari sesuatu untuk menutupi tubuhku yang hanya berbalut handuk. Lalu aku melihat selimut di atas tempat tidur, aku langsung saja menariknya dan menutupi seluruh tubuhku dengan selimut itu.
Sebastian tertawa melihat kelakuanku.
"Ayolah, Anna. Aku sudah lelah bermain-main denganmu. Kita tidak punya banyak waktu lagi. Kita hampir terlambat. Sekarang kau pakai gaun ini agar kita bisa segera pergi."
"Bagaimana kalau aku tidak mau memakainya?" aku bisa mendengar suaraku bergetar. Sebastian bangkit dan berjalan mendekatiku. Aku mundur beberapa langkah, berusaha menghindarinya.
"Kalau kau tidak mau pakai sendiri biar aku yang memakaikannya. Tapi, sebelumnya aku akan menyetubuhimu dulu di atas kasur yang keras itu."
Wajahku memanas seketika mendengar ucapannya barusan. Sebastian benar-benar tidak memiliki sopan santun!
Tiba-tiba ia mendekat lagi padaku lalu berbisik,
"Bagaimana, Anna? Kau terima tawaranku?"
*** Pesta pernikahan itu adalah pesta yang sangat meriah. Tamu-tamu undangan yang datang semuanya dari kalangan kelas atas. Makanan dan minumannya sangat enak, dekorasinya indah dan pengantinnya sangat cantik dan tampan.
Tadi di apartemen akhirnya aku menyerah dan dengan perasaan dongkol setengah mati aku terpaksa memakai gaun itu sendiri. Aku tidak sudi kalau Sebastian sampai menyentuhku lagi.
Sepanjang pesta berlangsung, Sebastian tidak pernah membiarkanku jauh-jauh darinya. Ia terus saja melingkarkan lengannya di pinggulku, dan sesekali ia berusaha mengecup telingaku. Sepertinya ia tahu kalau mata-mata kamera itu bisa kapan saja mengambil gambar dari kebersamaan kami berdua.
Aku bisa melihat kalau semua orang tampak sangat kagum melihat keharmonisan hubungan kami. Walau mereka tidak tahu kalau aku sedang tersiksa sekali saat ini. Satu-satunya hal yang ku sukai dari pesta ini adalah makanannya yang enak dan melimpah. Aku seperti seekor kucing yang tersesat di sebuah pasar ikan. Luar biasa sekali rasanya.
*** Kami pulang dari pesta sekitar pukul dua belas. David dan Sebastian sendiri yang mengantarku kembali ke apartemenku.
Limo yang dikendarai David berhenti tepat di depan gedung apartemenku. Aku sangat lelah dan mengantuk. Dan, besok aku masih harus berangkat bekerja. Tanpa mau mengucap sepatah katapun, aku berniat untuk turun dari mobil itu, tapi Sebastian menarik tanganku.
"Kau tidak mau memintaku untuk mampir dan bermalam di kamarmu malam ini, Anna?" Sebastian tersenyum menggodaku. Wajahnya sendiri juga tampak kelelahan dan mengantuk tapi ia terus saja berusaha untuk terlihat sempurna.
Aku menyeringai ke arah Sebastian. Tidak percaya kalau ia masih saja sempat melontarkan lelucon tidak lucu itu padaku saat ini. Segera saja ku tutup pintu mobilnya dan sedikit berlari kecil masuk ke dalam apartemenku. Sehabis ini aku akan langsung tidur. Ku harap besok pagi aku tidak akan bangun terlambat lagi.
*** BAB 20 Hari Minggu ini aku memutuskan untuk lari pagi di taman seorang diri. Ini adalah hari Minggu ke-5 ku sejak aku bekerja. Dan, aku sangat bersyukur karena sekarang bisa dibilang kehidupanku sudah berubah ke arah yang sedikit lebih baik. Paling tidak, sekarang aku sudah memegang sedikit uang dari hasil kerjaku yang dibayarkan setiap minggu.
Ada hal lain yang juga membuatku sedikit bahagia. Aku mendengar kabar dari Andrew kalau keadaan Papa sudah jauh membaik, walau Andrew masih melarangku untuk menjenguk Papa. Tapi, aku berusaha mengerti alasan Andrew melarangku, itu semua demi kebaikan Papa sendiri.
Dan, satu hal lagi yang membuatku bisa sedikit bernafas lega karena sejak pesta malam itu, Sebastian tidak pernah lagi menggangguku. Baik datang ke apartemen atau hanya sekedar menghubungiku. Aku berharap kalau ia benar-benar tidak akan menggangguku lagi. Selamanya.
*** Sehabis berlari-lari kecil mengelilingi taman kecil di dekat apartemenku, aku memutuskan untuk duduk di sebuah bangku panjang yang terbuat dari kayu. Nafasku terengah-engah dan keringat mengucur dari dahiku. Sejak bekerja di pabrik itu, sedikit demi sedikit aku mulai terbiasa bangun pagi. Ku pikir, itu adalah sebuah perubahan yang positif untukku.
Misteri Kutukan Addleton 1 Joko Sableng 24 Jubah Tanpa Jasad Sumpah Palapa 16
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama