Ceritasilat Novel Online

Hexagon Love 1

Hexagon Love Karya Hasdian Ks Bagian 1


?Hexagon Love Oleh HasdianKS Ini bukan lagi kisah cinta segitiga dimana ada tiga hati yang merebutkan satu cinta dan berakhir dengan satu hati yang tersakiti atau justru ketiga hati
itu tersakiti. Tapi ini adalah kisah dimana ada enam hati yang saling tertaut. Lantas bagaimanakah para pemilik hati itu menyikapinya? Akankah mereka memperjuangkan cintanya
atau justru berbalik dan mencoba menerima apa yang menjadi takdirnya.??
#ini adalah kisah squel dari anak-anak tokoh yang ada di cerita :
-Hati Yang Bicara -Destiny Of Love -Mimpi dan Rahasia -Keegoisan Cinta -Cinta Dari Allah. Blurb Muhammad Ramadhan Shiddiq
Pria berusia 18 tahun. Putra dari Rania-Ardhan (Destiny Of Love)
-Cinta?? Aku tidak tau harus mengartikannya seperti apa. Bagiku cinta itu yang membuatku damai. Membuatku lebih mengenal sang Penciptaku.
. . Adinda Zahra Abhimanyu Gadis berusia 17 tahun. Putri dari Ara-Abhi (Hati Yang Bicara).
-kata umi, cinta itu rumit. Tidak bisa di tebak juga aneh.
. . Clarista Adzana Aditama Gadis berusia 17 tahun. Putri dari Hana-David (Cinta Dari Allah)
-Cinta itu saat aku merasakan debaran yang sulit aku artikan.
. . Zhafran Yusuf Ar-Ridwan Pria berusia 16 tahun. Putra dari Syamil-Syania (Mimpi Dan Rahasia)
-Cinta itu masalah nanti. Karena semua akan tiba pada masanya. Tapi aku juga tidak bisa mengelak saat cinta datang secara tiba-tiba.
. . Aurelia Ferdian Aditama Gadis berusia 18 tahun. Putri dari Vania-Dava (Keegoisan Cinta).
-Cinta adalah saat aku merasa bahagia berada di sekitarnya.
. . Rendra Aditya Pria berusia 18 tahun. Putra dari Rendi-Ghina. Sahabat Syam dan Ara (Mimpi dan Rahasia - Hati yang Bicara)
-kata papa. Cinta itu Setia.
1. Intro Matahari tampak cerah. Terlihat dari cahayanya yang begitu terang menyinari bumi. Bahkan burung-burung pun dengan riang berterbangan dari dahan ke dahan.
Sebuah mobil berwarna putih berhenti di sebuah pekarangan rumah yang tidak terlalu memah namun cukup indah. Sebelum turun dari mobilnya. Sang pemilik itu
menyempatkan dirinya untuk menyisir rambutnya sejenak.
Kemudian ia segera melangkahkan kakinya untuk keluar.
Baru saja kakinya bisa berpijak dengan sempurna di atas tanah. Seorang perempuan dengan seragam SMA nya sudah berdiri dengan berkacak pinggang di hadapannya.
"Aduuhh. Udah gue bilangin jangan kesiangan. Masih aja bandel. Hari ini tuh lo MOPD. Kalo lo telat gimana coba." Ucap perempuan itu tanpa jeda.
"Telat ya telat sih. Palingan juga di hukum. Lagipula kan ada kakak." Jawabnya disertai sebuah cengiran.
"Stop it!! Harus gue bilang berapa kali lagi Zhafran!! Jangan panggil gue kak. Oke?? Kita seumuran. Gue jadi berasa tua tau nggak!" Kesalnya lalu segera
memasuki mobil Zhafran. Zhafran hanya menggelengkan kepalanya. Sudah menjadi kebiasaannya jika harus selalu ada perdebatan di antara mereka.
"Ya emang udah tua sih. Ngaku aja kok susah." Ucap Zhafran lirih. Namun naasnya telinga perempuan di sampingnya itu sangat tajam.
"Hello.. umur gue baru tujuh belas. Dan jangan karna gue lebih tua dari lo. Lo seenaknya bilang gue tua. Umur kita cuma beda satu tahun oke?" Ucap perempuan
itu. "Umi dulu ngidam apa sih? Perasaan umi nggak secerewet elo deh."
"Jangan bawa-bawa umi gue oke?" Ucap perempuan itu lalu memilih diam. Sementara Zhafran malah tersenyum.
"Kalo diem gitu kan cantik."
Dan perempuan itupun hanya terdiam tanpa menghiraukan ucapan Zhafran.
*** "Adindaaaaa!!" Suara teriakan itu mengiring kedatangan Adinda. Sementara yang di panggil hanya terkekeh sembari merentangkan tangannya.
"Ehh busett.. gue nggak mau peluk lo." Ucap perempuan itu lalu terkekeh. Lalu matanya melirik seseorang yang ada di belakang Adinda.
"Btw dia siapa?" Tanyanya.
Adinda menoleh lalu mendapati Zhafran yang masih berdiri di belakangnya.
"Eh. Ngapain lo masih ngikutin gue" tanya Dinda pada Zhafran.
"Galak bener deh. Cepet tua tau rasa tuh." Celetuk Zhafran yang membuat perempuan di samping Dinda tertawa.
"Oiya. Nih kenalin. Clarista. Sahabat gue. Dan dia. Entahlah gue bingung mau nyebut dia apa. Namanya Zhafran." Dinda memperkenalkan Clarista pada Zhafran.
Zhafran pun menjabat tangan Clarista.
"Yaudah din. Gue ke lapangan dulu." Ucap Zhafran kemudian. Lalu ia juga berlamitan pada Clarista setelah itu dirinya benar-benar meninggalkan dua perempuan
itu. *** "Pokoknya gue nggak mau tau. Lo harus gantiin novel gue." Pekik seorang gadis sembari mengambil satu novel di dalam tasnya.
"Gue minta maaf. Sumpah gue nggak sengaja. Gue lupa taruh dimana tuh novel." Ucap seorang pria yang duduk di samping gadis itu.
"Nggak mau tau lo ganti novel gue oke!" Pekiknya lagi.
"Yaelah. Novel lo kan udah banyak." Ucap pria itu frustasi.
"Yaa kan.." "Kalian ngapain sih. Berisik banget." Ucap seorang pria yang baru saja masuk ke dalam kelasnya. Lalu meletakkan tasnya tepat di belakang kursi gadis itu.
Gadis itu pun berbalik lalu bersiap untuk mengadukan nasibnya.
"Ram.. lo tau kan? Novel yang tempo hari gue beli bareng elo? Masa iya, di hilangin sama Rendra. Terus dia nggak mau ganti. Kan nyebelin." Keluh Gadis
itu. Sementara Rama, hanya menggelengkan kepalanya melihat tingkah kedua sahabatnya.
"Yaudah sih. Beli lagi." Jawab Rama enteng yang membuat mulut gadis itu menganga lebar. Ia kira Rama akan membelanya ternyata..
"Tuh kan." Celetuk Rendra yang membuat perempuan itu menatap tajam kepadanya.
"Tapi seharusnya lo ganti novel Aurel sih Ren. Kan lo yang hilangin. Tanggung jawab lah." Ucap Rama kemudian yang membuat gadis itu-Aurel tersenyum penuh
kemenangan. "Lo ganti pokoknya!" Ucap Aurel yang membuat Rendra pasrah.
"Oke deh. Nanti pulang sekolah kita ke toko buku." Ucap Rendra yang membuat Aurel tersenyum riang.
"Dua ya..." ucapnya yang membuat Rendra merasa tertekan.
***** 2. Jangan Mengulang Sejarah
Rendra menggelengkan kepalanya saat melihat manusia ajaib di hadapannya. Bukan-bukan ajaib. Melainkan Aneh. Jika pagi tadi dia marah-marah tak karuan,
jusru kini tengah tertawa riang sembari melangkahkan kakinya menuju mobilnya.
"Senengnya.. kesambet setan apa lo?" Tanya Rendra sembari mengikuti langkahnya dari belakang.
"Seneng lah. Seneng banget. Kan mau di beliin novel sama Rendra. Dua lagi." Ucapnya sembari menekan kata 'dua'. Sementara Rendra mendengus.
"Elo mah sukanya meres gue Rel.. padahal gue nggak sengaja ngilanginnya." Keluh Rendra.
"Lo denger kata Rama kan? Jadi cowok itu harus tanggung jawab." Pekik Aurel yang membuat Rendra menengok ke arah sekelilingnya.
"Lo kalo ngomong tanggung jawab jangan keras-keras dong. Emangnya gue ngehamilin elo apa?" Ucap Rendra yang langsung mendapat ketukan buku di kepalanya.
"Amit-amit deh.. lo kalo ngomong jangan ngasal kenapa?" Gerutunya.
"Yudah sih. Bawel banget. Buruan jalan lagi. Masih mau gue beliin novel kan?"
Dan tanpa menjawab ucapan Rendra. Aurel langsung melenggangkan kakinya menuju mobil.
Rendra lagi-lagi hanya bisa menggelengkan kepalanya. Kemudian kembali melanjutkan langkahnya untuk menyusul Aurel. Namun langkahnya terhenti saat ada dua
gadis menghadang langkahnya. Dahinya mengernyit menatap dua gadis itu.
"Bang!" Panggil salah satu dari mereka.
"Apa?" Tanya Rendra berpura-pura. Sejujurnya ia tau apa maksud gadis di hadapannya ini. Dan ia hanya bisa menghitung detik saja sampai gadis itu berkata..
"Nebeng pulang." Ucapnya disertai dengan cengiran khasnya.
"Bukannya lo berangkat sama Zhafran? Terus tuh bocah kemana?" Tanya Rendra.
"Dia udah pulang lah. Kan hari ini dia cuma MOPD." Jawab Adinda.
"Loh. Ada Clarista?" Tanya Rendra pada gadis di sebelah Dinda dan mengabaikan ucapan Adinda.
"Ish.. bang Rendra itu loh. Gimana Dinda boleh nebeng nggak? Sama Clarista juga." Ucap Adinda lagi.
Namun baru saja Rendra akan membuka mulutnya saat sebuah suara menginterupsinya.
"Ren.. lama banget sih." Ucap Aurel sembari menghampiri Rendra.
"Loh. Adinda.. Clarista.. ada apa?" Tanya Aurel pada kedua adik kelasnya itu.
"Hai kak." Sapa Dinda.
"Hai Din.. kalian ngapain sih? Lagi malak Rendra ya?" Tanya Aurel disertai dengan bibir yang berkedut menahan tawa.
"Enggak kak. Ini.. kita mau nebeng pulang bang Rendra. Soalnya umi nggak bisa jemput."
"Dan tante Hana juga nggak bisa jemput?" Tanya Aurel pada Clarista.
"Iya kak." Jawab Clarista.
"Gimana Ren? Boleh nggak?" Tanya Aurel pada Rendra.
"Gue mau ke toko buku sama Aurel." Jawab Rendra menjelaskan. Namun detik berikutnya ia menepuk keningnya. Merasa salah dalam menjawab. Maka sebelum dua
gadis itu membuka mulutnya. Ia segera memanggi Rama yang berjalan tak jauh darinya.
"Ram.. Rama!!" Teriak Rendra anarkis yang membuat beberapa orang menoleh kepadanya.
Rama yang merasa terpanggil pun memutar arahnya dan berjalan menghampiri Rendra.
"Ada apa?" Tanyanya cool. Lalu matanya melihat ada tiga gadis di hadapan Rendra.
Aurel, Clarista dan Adinda.
"Lo mau pulang kan?" Tanya Rendra dan tentu saja di angguki oleh Rama.
Sementara ketiga perempuan itu di tambah Rama menatapnya oenuh kebingungan.
"Nah kebetulan lo pulang. Gue boleh minta tolong anterin Dinda sama Rista pulang ya. Gue pergi dulu. Assalamu'alaikum." Ucap Rendra lalu menarik Aurel
pergi. Aurel menatap Rendra bingung.
"Lo kenapa sih?" Tanya Aurel saat ia sudah mendudukkan badannya di kursi mobil Rendra.
"Gila aja. Dinda sama Clarista itu tipe cewek macem elo yang doyan banget sama novel. Kalo mereka ikut. Bisa ludes uang jajan gue. Gue aja kapok ngajakin
Dinda ke toki buku. Sumpah deh. Dia beli buku banyak banget. Minta di bayarin lagi." Gerutu Rendra yang membuat Aurel tergelak.
"Terus-terus?" "Ya gue minta tagihan sama tante Ara lah." Ucapnya santai dan membuat Aurel semakin terbahak.
*** Sementara Rama yang di tinggalkan bersama dua perempuan di hadapannya hanya bisa menggaruk tengkuknya kaku.
"Jadi kalian mau pulang?" Tanya Rama kepada dua perempuan itu.
"Iya kak. Tapi kakak nggak usah khawatir. Kita pulang sendiri kok." Ucap Clarista tak enak hati.
"Iya kak. Kak Rama kalau mau duluan nggak papa." Lanjut Dinda.
Dan kini Rama dibuat semakin bingung. Ia harus bagaimana?.
"Yasudah kalian aku antar aja. Ayo." Ajak Rama Akhirnya.
"Tapi kak. Kita malah ngrepotin kakak." Ucap Dinda semakin tidak enak. Dalam hatinya ia sudah menggerutu tidak karuan karena ulah Rendra.
"Nggak papa. Yaudah. Ayo.. sekalian juga kan." Ucap Rama yang akhirnya tidak bisa di bantah oleh Dinda maupun Clarista.
"Oh iya. Clarista kamu itu sepupunya Aurel kan??" Tanya Rama membuka percakapan saat mereka telah berada di dalam mobil.
"Iya kak. Ada apa?" Tanya Clarista.
"Enggak papa kok. Tanya aja." Jawab Rama. Dan selanjutnya yang ada hanyalah keheningan. Baik Rama, Dinda maupun Clarista tak ada yang berbicara.
*** "Arghh..." Zhafran berteriak frustasi saat lagi-lagi gawangnya kebobolan. Berada satu tim dengan pamannya-Devan dan melawan papanya yang satu tim dengan
Rendi tidaklah mudah. "Ish.. harusnya papa itu satu tim sama Zhafran." Keluhnya. Sementara Syam hanya tertawa melihat tingkah anaknya.
"Kalo papa satu tim sama kamu. Ya mana bisa papa ngalahin kamu." Jawabnya lalu berjalan ke arah Zhafran lalu menepuk bahu anaknya.
"Ran. Kamu satu sekolah kan sama Rendra?" Tanya Rendi yang tengah mengelap peluhnya.
"Iya om." "Kok dia belum pulang?"
"Kalo soal itu Zhafran kurang tau. Tadi Zhafran pulang awal. Kan Zhafran cuma MOPD." Jawabnya.
"Biasanya yang MOPD sama yang biasa pulang bareng. Kok kamu pulang dulu?" Kini giliran Syam menelisik anaknya curiga.
"Entah. Emang peraturannya gitu."
"Kamu nggak bolos kan?" Tanya Syam memastikan.
"Ya enggak lah pa. Papa nggak percaya sama Zhafran? Coba deh tanya bang Rendra atau kak Dinda."
Baiklah. Syam memilih untuk percaya. Lagipula Ia kenal dengan anaknya. Dan anaknya tidak mungkin begitu.
"Terus Dinda pulang sama siapa? Tadi pagi kan kamu yang jemput?" Tanya Syam lagi.
"Paling juga bareng bang Rendra. Atau minta jemput umi atau om Abhi mungkin."
"Hati-hati Ran. Jangan sampai mengulang sejarah." Ucap Rendi pada Zhafran yang membuat Syam menatap Rendi penuh ancaman. Sementara yang di tatap hanya
tertawa. "Sejarah apa om?" Tanya Zhafran tidak paham.
"Tanya aja sama papamu." Ucap Rendi lalu segera berlari pergi.
*** 3. Nggak Peka Sepertinya matahari telah kalah hari ini. Buktinya ia menyerah dengan datangnya awan-awan yang menghitam. Bahkan langit pun memilih untuk menangis. Zhafran
tersenyum menatap hujan yang turun. Bukan karena ia terlampau senang dengan adanya hujan. Hanya saja ia merasa geli saat mengingat perkataan papanya.
"Hujan itu hal yang paling romantis. Selain bisa membuat senyum mamamu menjadi lebih lebar. dia juga masih tetap datang meski sudah jatuh berkali-kali.
Seperti papa. Biarpun mama kamu sering buat papa terjatuh. Tapi buktinya papa masih tetap datang ke mama kamu. Sampai akhirnya dia nerima papa dan muncul
kamu." Dan setelah itu sebuah cubitan mendarat di lengan Papanya-Syam. Tentu saja cubitan itu berasal dari Syania (mama Zhafran) yang dilakukan karena
malu. Entahlah. Zhafran paling senang saat melihat kebersamaan mama dan papanya. Papanya yang suka menggombal dan menggoda mamanya. Sementara mamanya yang selalu
terlihat menggemaskan saat papanya mulai menggoda.
Ia bahkan ingin. Jika nanti sudah saatnya. Ia ingin membina rumah tangga seperti papanya yang tetap romantis seperti anak muda walaupun umur sudah tidak
lagi muda. Zhafran melangkahkan kakinya. Mengabaikan hujan yang terus mengguyur tubuhnya. Ia suka hujan. Mungkin juga karena pengaruh mamanya yang juga suka hujan.
Tapi Zhafran tidak terlalubmemikirkan hal itu. Intinya, hujan membuatnya nyaman.
Zhafran berjalan ke arah kanopi tempat parkir sepeda motor guru. Matanya menyipit saat melihat seorang gadis yang masih berseragam SMA lengkap berdiri
di sana. Sementara jam pulang sekolah sudah berlalu dua jam lalu. Zhafran mempercepat langkahnya untuk menghampiri perempuan itu.
"Belum pulang?" Tanya Zhafran yang membuat perempuan itu terkejut.
"Zhafran?? Lo kok--"
"Lo kok belum pulang kak?" Potong Zhafran.
Perempuan itu menghela nafasnya.
"Tadi ada diskusi kelompok. Pas mau pulang malah hujan." Jawabnya.
"Diskusi sama Dinda juga?" Tanya Zhafran memastikan.
"Enggak. Dia udah pulang. Lo sendiri?" Tanya perempuan itu.
"Abis futsal. Kakak di jemput? Atau bawa mobil?" Tanya Zhafran lagi. Perempuan itu menatap Zhafran yang sudah basah kuyup. Jujur saja. Ada rasa takut yang
mennyelinap dalam hatinya. Takut jika Zhafran akan sakit.
"Lo kok malah hujan-hujanan sih? Nggak dingin?" Bukannya menjawab perempuan itu malah balik bertanya.
"Enak tau hujan-hujanan. Udah ayo pulang. Biar gue anter. Lo pasti belum di jemput kan?" Tawar Zhafran yang jujur saja membuat perempuan itu terkejut.
"Clarista!. Ayo.. apa perlu gue seret?" Tanya Zhafran lagi. Kini ia malah memercikkan air hujan ke arah wajah Clarista.
"Zhafran!! Iih basah! Lo jail banget sih. Pantesan Dinda suka ngomel sama lo."
"Alah. Dia mah emang kerjaannya ngomel..yaudah mau pulang atau enggak? Sekolah udah sepi loh. Kecuali kalo mau disini di temani teman-teman dari dunia
lain. Kal--" "Gue pulang!" Putus Clarista.
*** "Ini bener?" Tanya Zhafran menghentikan mobilnya di depan rumah yang tidak terlalu besar.
"Iya. Mau mampir dulu?" Tawar Clarista. Tapi langsung di jawab dengan gelengan kepala Zhafran.
"Langsung pulang aja deh. Udah basah semua gue." Ucapnya sembari memperhatikan bajunya yang basah akibat hujan-hujanan tadi.
"Salah sendiri hujan-hujanan." Cibir Clarista.
"Gue suka hujan. Makanya gue hujan-hujanan."
"Yaudah. Gue turun ya. dan makasih buat tumpangannya." Ucap Clarista lalu bersiap untuk keluar dari mobil Zhafran.
"Clarista.." panggil Zhafran dan langsung menghentikan pergerakan Clarista.
"Ya?" Tanya Clarista. Sedangkan Zhafran malah menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia juga tidak tau, mengapa ia memanggil Clarista. Seolah panggilannya
tadi refleks meluncur begitu saja dari bibirnya.
"Gue panggil Clarista aja ya? Nggak usah pakai 'kak'?" Mendengar ucapan Zhafran membuat Clarista tertawa.
"Semerdeka lo deh. Asal lo jangan panggil gue tante, mama, nenek dan sebagainya." Dan kini justru berganti Zhafran yang tertawa.
"Ide bagus juga." Jawabnya yang membuat Clarista mendelik.
*** Malam ini hujan telah reda. Mungkin langit tidak mau terlalu lama menangis. Meski bulan dan bintang tidak muncul. Setidaknya sudah tidak ada lagi rintik
hujan yang turun. ZhafranYusuf : lagi ngapain?
Dinda menatap ponsel yang menampilkan pesan dari Zhafran. Pesan itu sudah masuk setengah jam lalu. Hanya saja ia baru membukanya.
AdindaZaa : lagi lihat bintang.
ZhafranYusuf : langit lagi mendung.lo lagi nggak ngigau kan?
Dinda terkekeh melihat balasan Zhafran. Tentu saja ia sedang tidak mengigaum tapi ia hanya ingin bercanda.
AdindaZaa : enggak lah. Bintangnya ada banyak. Kayaknya elo yang ngungau deh.
ZhafranYusuf : Semerdeka lo deh.
Lagi-lagi Adinda terkekeh melihat balasan pesan dari Zhafran. Lalu dengan segera ia membuka line dan menekan sambungan VideoCall.
"Apa?" Tanya Zhafran saat pertama kali mengangkat VideoCall Adinda.
"Salam dulu kali. Assalamu'alaikum Zhafran." Jawab Adinda. Di seberang sana Zhafran tersenyum.
"Wa'alaikumsalam Adinda."
Adinda mengamati dengan seksama wajah Zhafran. Sepertinya ada yang berbeda.
"Wajah lo pucet amat deh. Lo sak--"
"Gue nggak papa." Sela Zhafran. Namun sesaat kemudian Adinda langsung mematikan sambukan VideoCall itu dengan sepihak. Membuat Zhafran kesal dan kemudian
ia sudah bisa menebak apa yang akan terjadi berikutnya.
"Mii... Dinda izin ke rumah Zhafran sebentar yaa. Mau jengukin dia. Dia lagi sakit." Teriak Adinda sembari menuruni tangga. Sementara Ara yang tengah berada
di ruang keluarga bersama Abhi hanya bisa menggelengkan kepalanya melihat sikap anak gadisnya.
"Udah malem sayang. Besok aja." Ucap Abhi santai namun tetap terlihat tegas.
"Sebentar aja kok Yah." Bujuknya pada sang Ayah.
"Ini sudah jam berapa? Anak gadis jangan suka keluar malam. Jenguk besok kan bisa." Jawab Abhi lagi. Dan Adinda tau. Ayahnya ini tipikal orang yang sulit
di bantah. Namun tidak ada salahnya jika ia berusaha lagi.
"Ayah kan tau. Dinda suka nggak tenang kalo lihat Zhafran sakit. Ayolah Yah. Janji.. Dinda cuma sebentar. Atau ayah ikut Dinda?" Lobi nya lagi. Kini matanya
sudah melirik-lirik ke arah Uminya. Meminta pertolongan.
Sementara Ara hanya terkekeh melihat kode yang di kirimkan Anak gadisnya. Betapa miripnya Adinda dengan dirinya. Jika dulu dirinya yang tidak bisa tidur
saat Syam sakit. Kini giliran anaknya dan anak Syam. Jika Zhafran sakit maka Adinda tidak akan tenang.
"Izinin aja sih Kak. Kasihan juga.. tapi cuma sebentar kan?" Tanya Ara yang langsung di angguki Adinda.
"Iya. Sebentar kok Yah." Bujuknya lagi pada sang Ayah.
Abhi menghela nafasnya gusar. Jika sudah di keroyok dengan dua perempuan yang paling dia sayang ini. Sekeras dan sebeku apapun dia. Pasti akan meleleh
juga. "Yasudah. Jam setengah sembilan harus sudah sampai rumah." Ucap Abhi. Sementara Adinda bersorak ria. Lalu berjalan menghampiri Ara dan Abhi dan mencium
pipi mereka secara bergantian.
"Terimakasih Ayah.. terimakasih Umi.." ucapnya lalu segera berlari keluar dan pergi menuju rumah Zhafran.
*** "Habis hujan-hujanan lagi kan?" Zhafran menghela nafasnya saat melihat seorang gadis masuk ke dalam kamarnya sembari berkacak pinggang. Siapa lagi kalau


Hexagon Love Karya Hasdian Ks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan Adinda. "Lo tuh bandel banget deh. Udah tau kalo habis hujan-hujanan langsung demam. Tetep aja di hujan-hujanan." Cerocosnya. Bukan apa-apa. Dinda hanya khawatir
saja setiap kali melihat Zhafran sakit.
"Perasaan mama bawelnya nggak begini amat. Kok elo malah yang bawel sih." Ucap Zhafran sembari membenarkan posisinya agar menjadu duduk. Sementara Adinda
masih setia berdiri dengan kedua tangan di pinggangnya.
"Elo tuh kalo di khawatirin suka nggak peka. Pulang aja lah." Ucap Dinda kesal lalu berbalik dan keluar dari kamar Zhafran. Tak memperdulikan lagi teriakan
Zhafran yang menggema. Masa bodoh dengan Zhafran yang kini mendobrak-dobrak pintu kamarnya akibat Dinda kunci dari luar. Intinya kali ini Dinda kesal.
"Loh. Kok langsung pulang Din?" Tanya Syania saat Dinda akan menyalaminya.
"Udah malem tan. Nanti kena omel Ayah." Ucapnya lalu terkikik. Sementara Syania menggelengkan kepalanya melihat ulah Syania.
"Nah itu Zhafran kenapa?" Tanya Syania saat mendengar teriakan Zhafran yangvmemanggil nama Dinda.
"Biarin aja deh Tan. Dinda pulang yaa. Assalamu'alaikum." Ucap Dinda lalu melenggang pergi. Namun baru beberapa langkah ia berjalan. Ia kembali berbalik.
"Oh iya Tan. Tadi kamar Zhafran, Dinda kunci dari luar. Tolong tante bukain yaa. Kasihan Zhafran."
*** 4. Rama Berbeda dari hari-hari sebelumnya. Dimana hujan selalu asyik mengguyur bumi. Tapi kini saatnya matahari untuk menang, kali ini matahari bersinar terang
dengan gagahnya. Bahkan membuat peluh dua pria yang masih asik menendang bola itu bercucuran.
Renda mendudukkan tubuhnya tepat di sebelah Aurel. Tangannya menodong minta di beri minum.
"Capek." Ucapnya setelah menenggak habis satu botol air mineral.
"Buruan ganti baju. Keringat lo bau." Ucap Aurel sembari menutup hidungnya membuat Rendra berdecak.
"Kadang yang bau-bau gini itu yang ngangenin." Ucap Rendra santai dan langsung mendapat lemparan sapu tangan dari Aurel.
"Thanks Rel." Ucap Rendra santai.
Sementara di lain sisi Rama tersenyum kemudian menggelengkan kepalanya melihat kelakuan dua anak manusia yang tidak pernah akur itu. Lalu ia berjalan mendekat.
"Nih minumnya Ram." Aurel menyodorkan satu botol air mineral pada Rama.
"Makasih." Ucap Rama sembari tersenyum. Dan Aurel hanya mengangguk.
"Giliran Rama aja. Di manis-manisin. Kalo sama gue, sepet amat." Cibir Rendra.
"Suka-suka gue lah." Balas Aurel sembari menjulurkan lidahnya. Membuat Rendra mendengus sementara Rama tersenyum menahan tawanya.
"Gue kalo lagi gini berasa punya pacar dua deh." Ucap Aurel tiba-tiba.
"Itu sih mau lo." Cibir Rendra yang membuat Aurel mengerucutkan bibirnya.
"Ih.. siapa bilang? Gue ogah kali sama lo."
"Hati-hati kemakan omongan sendiri." Ucap Rendra santai yang langsung membungkam mulut Aurel.
"Bodo'.. udah lah. Gue pulang aja. Sebel gue sama lo." Ucap Aurel yang tiba-tiba kesal dan langsung melangkah keluar dari stadion futsal itu.
Rama yang melihat Aurel berjalan keluarpun segera menyusulnya.
"Rel.." panggilnya. Tapi Aurel masih tidak berhenti. Membuat Rama harus berlari dan menghadang langkahnya.
"Gue anter." Ucapnya tenang. Tapi Aurel tau. Bahwa ucapan Rama tidak bisa di tolak.
"Yaudah." Jawabnya pasrah.
*** Aurel tidak pernah tau bahwa Rama akan membawanya ke tempat seperti ini. Tempat dimana banyak sekali anak-anak kecil yang tengah belajar mengaji. Jujur
Aurel bahagia. Namun ia juga malu karena nyatanya anak-anak yang ada di sana khususnya yang perempuan, semuanya berjilbab. Sementara dirinya? Rambut panjangnya
saja terurai. Terlebih saat ia bertemu seorang anak kecil yatim piatu. Meski mereka sudah tidak mempunyai orang tua mereka begitu tegar menjalani hidup.?
"Ram.." Aurel memanggil Rama yang berdiri di sampingnya.
"Ya?" "Gue malu." Ucapnya. Rama memgernyitkan dahinya. Tidak paham dengan apa yang Aurel katakan.
"Di sini cuma gue yang nggak pake jilbab. Gue malu." Ucap Aurel jujur. Kini Rama tersenyum.
"Ikut gue." Ajak Rama. Sebenarnya Aurel ingin bertanya. Mau di bawa kemana lagi dirinya. Namun hal itu ia urungkan dan memilih untuk langsung mengikuti
Rama saja. Aurel terus mengikuti Rama. Ia di ajak masuk ke dalam sebuah ruangan yang seperti ruang kantor. Dan ia masih tidak tahu tujuan Rama. Rasa takut? Sama sekali
tidak ada. Karena Aurel percaya bahwa Rama adalah orang baik dan tidak mungkin bermacam-macam dengannya.
"Assalamu'alaikum." Salam Rama sembari mengetuk pintu ruangan itu.
"Wa'alaikumsalam." Jawab suara perempuan dari dalam. Tak lama kemudian pintu itu terbuka. Dan nampaklah seorang wanita paruh baya yang kira-kira seusia
Mamanya. Perempuan itu terlihat begitu anggun dengan balutan baju muslimahnya.
"Assalamu'alaikum tante Rania." Sapa Aurel. Ya.. ia mengenal perempuan itu. Perempuan itu adalah Rania. Bundanya Rama.
"Wa'alaikumsalam. Aurel kan?" Tanya Rania.
"Iya tante." Ucapnya lalu menyalami Rania. Setelah itu ia lihat Rama mendekat pada Rania dan membisikkan sesuatu. Bisa Aurel lihat bahwa perempuan paruh
baya itu tersenyum. Dan hal selanjutnya adalah ia di tarik untuk masuk ke dalam ruangan sementara Rama menunggu di luar.
*** Rama masih duduk di luar ruangan Bundanya. Menunggu Aurel yang tengah di makeover oleh Bundanya.
Sebenarnya tidak berubah begitu drastis. Hanya saja ia meminta pada bundanya agar Aurel di pinjami baju muslim untuk mengganti seragam SMAnya yang berlengan
pendek. Sekitar 10 menit Rama menunggu hingga akhirnya Aurel keluar dari dalam ruangan Bundanya dengan balutan baju muslimah. Untuk beberapa saat ia terpaku.
"Gue nggak pantes ya? Pake baju muslim gini?" Tanya Aurel yang membuat Rama tersadar.
"Lo cantik." Cukup. Hanya itu yang terlontar dari mulut Rama. Secara tulus dan tanpa paksaan.
"Jangan gombal. Lo nggak pantes." Ucap Aurel sembari tertawa. Sementara Rama menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Yaudah ayok." Ajak Rama yang langsung di angguki Aurel.
Aurel begitu bahagia kali ini. Ia sangat senang bisa di ajak ke panti asuhan yatim-piatu milik keluarga Rama. Setidaknya ia sedikit-banyak belajar di sana.
Dan kini saatnya ia mengikuti kelas mengaji. Ia bisa mengaji. Hanya saja kemampuannya tidak seperti laki-laki yang kini tengah bermurotal dengan indahnya.
Siapa lagi kalau bukan Rama. Suaranya begitu merdu saat melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Bahkan hati Aurel terasa bergetar. Matanya mendadak memanas.
Suara Rama benar-benar merdu dan indah hingga menyentuh ke dalam dasar hatinya. Hingga tanpa terasa sebulir air mata lolos melintasi pipinya. Hatinya benar-benar
tersentuh saat mendengar lantunan ayat demi ayat yang di lantunkan Rama.
*** "Makasih untuk hari ini." Ucap Aurel saat ia baru saja turun dari mobil Rama.
Langit sudah berubah menjadi gelap. Bukan karena mendung. Melainkan karena bumi telah berotasi mengubah siang menjadi malam.
"Gue boleh ikut masuk?" Tanya Rama yang tiba-tiba sudah ikut turun dari mobilnya.
Aurel tampak berpikir. Ia takut papanya marah. Karena jujur ia belum izin sama sekali. Dan HP nya? Entahlah, mungkin sudah mati karena kehabisan batrai.
"Silahkan." Jawabnya kemudian.
Benar. Baru saja Aurel membuka gerbang rumahnya. Papanya sudah berkacak pinggang di teras rumah. Aurel tampak ketakutan. Tidak-tidak. Sebenarnya papanya
tidak segalak dsn semenakutkan itu. Hanya saja ini sudah lebih dari jam delapan malam. Dan ia tadi tidak izin.
"Biar gue yang ngomong sama papa lo." Lirih Rama. Aurel menoleh sekilas. Dan langsung mendapatkan senyum menenangkan dari Rama.
"Terserah lo deh." Jawabnya kemudian.
"Assalamu'alaikum om." Sapa Rama lalu mencium tangan Dava-papa Aurel.
"Wa'alaikumsalam." Jawab Dava tegas. Dava menatap Rama sekilas. Lalu beralih pada anak gadisnya.
"Darimana saja?" Tanya Dava to the point.
"Maaf om. Sebelumnya biar Rama jelaskan." Ucap Rama. Sementara Dava hanya diam membuat Rama melanjutkan kata-katanya.
"Tadi waktu selesai ekstra saya ajak Aurel ke panti asuhan. Dan kami mengikuti pengajian di sana. Dan setelah selesai pengajiannya saya langsung antar
Aurel pulang." Jelas Rama.
Dava menatap Rama mencoba menelisik kebenaran ucapan Rama. Lalu ia kembali menatap anak gadisnya yang berdiri di samping Rama. Dan ia baru sadar Bahwa
saat ini Aurel tengah mengenakan pakaian muslim serta jilbab.
"Apa om bisa pegang omongan kamu Rama? Kenapa kamu tidak izin dulu?" Tanya Dava lagi. Ia hanya ingin menjadi seorang ayah yang tegas.
"Om bisa pegang omongan saya. Kalau om tidak percaya. Om bisa menghubungi Ayah atau Bunda saya. Kebetulan beliau juga bersama dengan kita." Jawab Rama.
Dan Dava mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Lalu kenapa kamu tidak menghubungi papa atau mama? Kamu tau sejak sore mamamu sudah sangat Khawatir?" Tanya Dava. Kini bukan lagi pada Rama melainkan
pada Aurel. Aurel yang di tanya seperti itu hanya menunjukkan cengirannya.
"Lupa pa.. hehe.. lagian ponsel Aurel kayaknya Lowbat deh."
"Yasudah kamu masuk. Dan kamu Rama. Sudah malam. Silahkan pulang." Usir Dava halus dan langsung di angguki oleh Rama.
"Assalamu'alaikum Om." Ucapnya sembari mencium tangan Dava kemudian berlalu pergi.
*** 5. Hijrah?? Tidak ada yang tau kapan hidayah itu datang. Semuanya tidak akan pernah terduga oleh siapapun. Termasuk saat ini. Rendra tengah terheran-heran menatap
perempuan yang baru saja masuk kedalam kelasnya. Bahkan gerakannya mulai masuk hingga duduk di bangkunya yang tepat di depan Rendra mata Rendra masih terus
mengamatinya. Rendra mengucek matanya. Memastikan bahwa penglihatannya tidak bermasalah. Mesatikan bahwa matanya masih normal. Dan saat perempuan itu menoleh.
Ia baru tersadar. Bahwa apa yang ia lihat adalah nyata.
"Ck.. jangan lihat gue begitu." Ucap perempuan itu sembari menutup wajahnya lalu berbalik lagi. Tidak ingin menatap Rendra. Sementara Rendra malah beranjak
dan berdiri tepat di depan perempuan itu yang membuat perempuan itu terus menunduk.
"Lo apa-apaan sih? Lihatin gue segitunya. Iya gue tau gue cantik. Plis deh jangan lihatin gue kayak gitu." Ucap Perempuan itu. Tapi Rendra tidak peduli
dengan ocehannya. "Lo serius Aurel kan?" Tanya Rendra dengan bodohnya. Membuat satu pukulan mendarat di lengannya dan membuat ia meringis.
"Bodoh!! Ya iya lah. Lo kira gue siapa?" Sungut Aurel.
"Enggak. Gue kira tadi ada bidadari nyasar ke sini." Ucap Rendra yang kontan saja membuat Aurel salah tingkah.
Dan sayangnya hal itu di sadari oleh Rendra yang membuat Rendra tersenyum dengan seringainya.
"Ciee bapeer..? padahal gue bohong.." setelah berucap Rendra langsung berlari. Membuat Aurel berteriak sembari mengejarnya.
"Rendraaaaaaaa..... awas yaa.." teriaknya heboh. Sementara Rendra terkikik menoleh ke belakang melihat Aurel yang masih berusaha mengejarnya.
Aurel yang terus berlari tidak memperhatikan sekelilingnya. Hingga ia tidak tau bahwa ada dua orang yang tengah berjalan melintasinya. Membuat ia menabrak
dua orang itu dan berakhir terjatuh.
Rendra yang melihat hal itupun segera berlari menghampiri Aurel.
"Aduh... sorry yaa. Maaf gue nggak lihat tadi. Kalian nggak apa-apa kan?" Tanya Aurel panik.
"Kak Aurel?" Aurel mendongak saat namanya di panggil. Dan wajah Dinda lah yang ia lihat.
"Elo Din?? Sorry yaa. Tadi gue lagi ngejar Rendra dan nggak merhatiin sekitar gue." Ucap Aurel tidak enak hati.
Lalu ia bangkit dan mengulurkan tangannya pada Dinda. Namun matanya menyipit saat melihat seorang laki-laki yang turut terjatuh tadi. Ia kira ia hanya
menabrak Dinda. Ternyata ia juga menabrak orang lain.
"Eh. Maafin gue ya.. gue nggak sengaja." Ucap Aurel pada laki-laki itu.
"Iya nggak papa kok." Jawabnya.
"Lo nggak papa Rel??" Tanya Rendra yang tiba-tiba sudah berada di belakang Aurel. Membuat Aurel bersungut kesal.
"Gara-gara lo nih. Gue nabrak Dinda sama dia."
"Elah.. Zhafran doang mah. Sorry ya Ran. Sorry juga Din. Ini anak emang ceroboh banget." Ucap Rendra yang langsung mendapat tatapan tajam dari Aurel.
"Iya bang. Nggak papa kok." Jawab Dinda.
Sementara Zhafran terdiam memperhatikan tiga orang yang berinteraksi itu.
"Eh iya kak. Kenalin dia Zhafran. Adek kelas kita." Ucap Dinda memperkenalkan Zhafran pada Aurel.
"Oh iya. Gue Aurel."
"Zhafran." Setelah prosesi perkenalan itu. Aurel pun pamit bersama Rendra untuk kembali ke kelas. Masih seperti biasa. Jika Aurel dan Rendra berada di tempat yang
sama maka keributan akan terus terjadi.
"Bisa diem nggak sih!! Berisik." Sebal Aurel. Karena Rendra terus saja mengoceh.
"Suka-suka lah. By the way Rama pake jurus apa sih?? Sampai bikin lo jadi berjilbab gini?? Hebat tuh anak." Gugam Rendra. Sementara Aurel lebih memilih
mempercepat langkahnya daripada meladeni Rendra.
*** Dinda baru saja sampai di kelasnya lalu ia menoleh pada Zhafran yang masih berdiri di belakangnya. Sebenarnya ia agak risih saat Zhafran mengantarnya hingga
sampai di kelas. Hanya saja ia tidak menolak. Lagi pula ia juga nyaman seperti ini.
"Gue ke kelas dulu ya Din." Pamit Zhafran.
"Okay.. belajar yang bener. Kalo guru lagi jelasin lo dengerin jangan tinggal tidur."
Zhafran terkekeh mendengar nasehat Dinda.
"Siap boss... lo juga ya.. jangan suka nyontek saat ulangan." Ucapnya lalu segera berlalu sebelum mendapat teriakan dari Dinda.
Zhafran berlari hingga ia nerasa kehabisan nafas dan ia berhenti tepat di depan perpustakaan. Mengatur nafasnya yang tidak teratur akibat berlari.
"Zhafran??" Zhafran terkejut saat tiba-tiba ada yang memanggilnya. Ia menoleh lantas tersenyum dengan manisnya.
"Lo ngapain?" Bukannya menjawab Zhafran malah cengengesan.
"Hai kak." Ucapnya lalu terkekeh.
"Eh?? Sejak kapan lo panggil gue kak?" Tanya orang itu.
"Gue menghargai elo sebagai kakak kelas. Masa iya gue panggil 'Clarista'? Kesannya gue nggak sopan." Jawab Zhafran yang membuat Clarista tertawa.
"Oh gitu. Jadi gue harus panggil lo 'adek'?"
Zhafran lagi-lagi tertawa.
"Jangan lah.. kesannya gue kayak adek-adek imut." Kini giliran Clarista yang tertawa.
"Eh.. eh.. malah ketawa lagi." Cibir Zhafran.
"Selagi ketawa belum di larang. Nggak papa lah ketawa." Elak Clarista.
"Yaudah deh. Sesuka lo aja. Gue ke kelas dulu ya Ris.." pamit Zhafran. Dan Clarista hanya mengangguk.
"Hati-hati." *** "Gue masih nggak percaya." Rendra kini masih lekat menatap Aurel yang tengah sibuk menutup wajahnya dengan buku.
"Ram.. tolongin gue.." bisik Aurel.
Bukannya membantu Rama malah tertawa. Hingga membuat Aurel merasa kesal.
Rama berdeham. Untuk menormalkan suaranya.
"Udahlah Ren. Jangan di lihatin terus Aurelnya." Ucap Rama yang membuat Aurel tersenyum ceria.
"Gue kaget aja. Lihat nih anak tiba-tiba pake jilbab." Ucap Rendra. Aurel mengerucutkan bibirnya. Tentu saja ia kesal dengan Rendra. Karena pria itu sedari
tadi masih saja tidak mempercayai perubahan dirinya.
"Lo nggak boleh gitu dong. Kalau ada teman yang mau berhijrah menjadi lebih baik itu harus di dukung. Bukannya nggak percaya. Beri dia support bukan malah
bikin dia down." "Bener tuh." Potong Aurel yang langsung cengengesan saat Rama mengalihkan pandangannya pada dirinya.
"Iya deh. Iya.. maafin gue ya Rel." Ucap Rendra pada akhirnya. Entahlah setiap kali ia mendengar penuturan Rama. Maka ia tidak bisa membantah. Karena apa?
Karena apa yang di katakan Rama itu adalah benar.
Aurel tersenyum akhirnya ia terhindar dari tatapan Rendra. Huh.. pikirannya bahkan sudah melayang kemana-mana. Ia takut bahwa Rendra akan menjadi psikopat.
Tapi sekali lagi itu adalah pemikiran absurd seorang Aurel. Buktinya kini Rendra sudah kembali seperti semula.
"Makasih ya Ram." Ucap Aurel tulus yang di balas dengan senyuman oleh Rama.
"Nanti gue nebeng pulang bareng yaa??" Pinta Aurel pada kedua pria itu Rendra dan Rama. Membuat keduanya menatap Aurel.
"Gue atau Rendra?" Tanya Rama memastikan.
"Yang ikhlas memberikan tumpangannya sama gue." Jawab Aurel.
"Yaudah nanti lo pulang sama gue aja." Ucap Rendra.
"By the way lo lebih cantik pake jilbab." Lanjut Rendra yang entah mengapa membuat kedua pipi Aurel terasa panas. Tapi dengan segera ia mencoba untuk menguasai
dirinya. "Gue emang cantik kali." Sahut Aurel yang sebenarnya adalah alibi agar dirinya tidak salah tingkah.
"Nyesel gue." Rutuk Rendra. Tapi Aurel tidak menggubrisnya.
"Tapi gue dukung deh proses hijrah lo. Semoga lo bisa istiqamah."
"Amin." *** 6. Friendzone Clarista bersama Adinda tengah tertawa sembari berjalan menuju kantin. Sebenarnya tidak ada yang lucu di antara mereka. Tapi entahlah, mereka tetap saja
tertawa. Mereka berjalan memasuki kantin sekolah saat sebuah suara memanggil nama mereka berdua.
"Dinda.. Claristaa.. sini." Baik Dinda maupun Clarista pun menoleh mencari sumber suara.
Adinda mengernyitkan dahinya saat melihat Zhafran tengah duduk bersama Aurel. Namun belum sempat ia berpikir. Tangannya sudah di seret oleh Clarista menuju
meja Zhafran dan Aurel. "Apa lihat-lihat?" Zhafran mengangkat kedua alisnya sembari menatap Adinda.
"Siapa juga yang lihatin elo?? Jangan kepedean. Nggak baik buat kesehatan." Jawab Adinda lalu mendudukkan badannya di samping kanan Aurel. Sementara Clarista
duduk di samping kiri Aurel.
"Tumben sendiri kak?" Tanya Clarista pada Aurel.
"Ya Ampun Ris.. lo nggak lihat manusia di depan gue ini?" Tanya Aurel menunjuk Zhafran sementara Clarista dan Adinda kompak terkikik.
"Dia mah makhluk astral kak. Mana kelihatan." Sahut Dinda.
"Astagfirullah. Jahatnya..." keluh Zhafran seolah-olah teraniaya.
"Ya kan.. biasanya kakak sama Kak Rama dan Bang Rendra. Nah ini.. tumben-tumbenan sama Zhafran." Ucap Clarista lagi.
Aurel tersenyum. "Mereka nanti nyusul kesini." Jawabnya.
"Zhafran.. pesenin makan dong.." ucap Dinda tiba-tiba yang membuat Zhafran memutar matanya.
"Males ah." Jawabnya yang langsung membuat Dinda mengerucutkan bibinya.
"Eh.. apa-apantuh bibirnya monyong gitu. Minta di cium??" Ucap suara di balik tubuh Zhafran. Membuat Dinda mendelik.
"Apaan sih bang??.. cium-cium.. cium nih sepatu gue." Ucap Dinda galak pada Rendra yang baru saja datang. Dan hal itu membuat yang ada di sana tertawa
termasuk Rama yang juga baru datang.
"Yaudah. Biar gue aja yang pesan makan. Dinda mau makan apa?"
"Eh...??" Dinta terkejut saat mendapat tawaran dari Rama.
"Biar Dinda pesen sendiri aja kak." Jawabnya tidak enak hati.
"Dia sukanya bakso kak." Sahut Zhafran.
"Oke. Dinda.. bakso, kalo Clarista?"
"Samain aja kak." Jawab Clarista.
"Lo nggak tawarin gue Ram?" Tanya Rendra.
"Untuk lo. Pesen sendiri." Ucap Rama lalu melenggang pergi. Sementara yang lainnya terkikik.
"Kampret tuh orang!!" Gerutu Rendra.
*** Dan sekarang posisi duduk mereka adalah Dinda yang berhadapan dengan Rendra, Aurel yang berhadapan dengan Zhafran dan Clarista yang berhadapan dengan Rama.
Mereka semua makan dalam keheningan sampai suara Rendra terdengar memecahkan kesunyian itu.
"Ram.. acara bakti sosial di sekolah kita jadinya kapan?" Tanya Rendra.
Namun belum sempat Rama menjawab. Clarista sudah menyahuti dengan pertanyaan.
"Sekolah kita mau ada bakti sosial?"
Rama mengelap bibirnya denga? tissu sebelum ia menjawab.
"Iya.. untuk acara menyambut tahun baru hijriah. Anggota Rohis sekolah kita mau ngadain bazar sekaligus bakti sosial untuk panti asuhan." Jawab Rama.
"Bazar?? Berarti kita boleh diriin stan bazar dong?" Tanya Adinda.
"Iya... tapi kalo mau buat stan bazar harus daftar dulu ke panitia. Biar nanti di data dan di siapkan tempatnya."
"Kapan acaranya Ram?" Tanya Aurel.
"Bulan depan Rel.. inshaAllah. Tinggal nunggu persetujuan kepala sekolah."
"Bikin stan bazar yuk kak." Ucap Dinda sembari menyenggol lengan Aurel.
"Kita?" "Iya.. sama Clarista juga.. ya kan Ris??"
Clarista mengangguk antusias.
"Setuju-setuju."
"Kenapa kita nggak diriin stan bareng aja sih? Kita berenam gitu. Nanti kita tinggal cari beberapa orang lagi buat bantu-bantu kita." Usul Zhafran.
"Boleh juga tuh." Sahut Rendra.
"Kalo elo gimana Ram?" Tanya Aurel. Rama terdiam. Tampak berpikir.
"Kalau gue sih. Boleh-boleh aja. Tapi kayaknya nanti pas hari-H nya gue nggak bisa bantu banyak soalnya.."
"Kita paham kok. Elo kan ketua acara ini, pasti sibuk." Jawab Aurel dan langsung di angguki Rama.
"Berarti deal nih. Kita diriin stan?? Terus kita mau bikin stan bazar apa?" Tanya Zhafran.
"Soal itu nanti di bahas di rumah gue aja. Sekarang bel masuk sudah memanggil." Ucap Aurel yang langsung membuat mereka semua mengangguk lalu beranjak
dadi duduknya. *** Clarista tersenyum menatap seseorang yang ada di sampingnya. Entahlah, setiap menatap orang itu, akhir-akhir ini jantungnya sering berdetak tidak karuan.
Bahkan terdengar melebihi batas normal.
"Kenapa senyum-senyum? Gue ganteng yaa?" Tanya orang itu yang membuat Clarista segera mengalihkan pandangannya lalu menunduk.
"Kepedean." Jawabnya berusaha tenang. Padahal sebenarnya jantungnya berdebar semakin kuat.
"Ris.." "Hmmm.." "Lihatin gue dong." Pinta orang itu membuat Clarista mendongak.
"Lo percaya friendzone nggak??" Tanya orang itu.
Clarista mengernyitkan dahinya. Bingung.
Namun sebuah jentikan di keningnya mengejutkannya.
"Zhafran!! Sakit!!." Desisnya sembari mengusap keningnya.


Hexagon Love Karya Hasdian Ks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maaf-maaf.. abis lo dari tadi diem mulu sih."
"Emang kenapa? Lo tiba-tiba tanya hal itu?"
"Gue itu tanya sama elo Clarista. Harusnya lo jawab, bukan malah balik nanya ke gue." Ucap Zhafran lalu menghentikan langkahnya. Membuat Clarista turut
berhenti. Lantas Zhafran menyandarkan tubuhnya pada rak tempat novel-novel berada.
Sebenarnya saat ini mereka tengah berada di toko buku. Bertiga bersama Adinda. Tapi jika sudah di toki buku seperti ini, Adinda akan sibuk sendiri. Jadilah
Zhafran berjalan menyusuri toko buku ini berasama Clarista.
"Ya.. kalau gue sih percaya nggak percaya." Jawab Clarista.
"Kenapa gitu?" "Karena katanya sih. Ada sebagian orang yang mengalami hal itu."
"Kalau lo sendiri?" Tanya Zhafran. Membuat tangan Clarista yang tengah sibuk memilih novel terhenti.
"Belum." Jawabnya kemudian. Lalu kembali meneruskan kegiatannya memilih-milih novel.
"Belum? Berarti ada kemungkinan untuk 'pernah' dong." Ucap Zhafran.
Kali ini Clarista benar-benar menghentikan aktivitasnya. Lalu beralih menatap Zhafran.
"Kalau menurut gue. Jalanin aja.. karena kita pun nggak tau hal apa yang akan terjadi di masa depan. Mungkin sekarang gue belum pernah ngerasain yang namanya
friendzone seperti yang lo bilang. Tapi pastinya. Gue pun nggak akan bisa menolak jika suatu saat gue harus ngerasain hal itu. Karena friendzone itu kan
menyangkut perasaan. Dan lo tau sendiri kan? Kalau perasaan itu nggak bisa di tebak. Sebagai pemisalan nih. Mungkin sekarang, gue sama elo cuma temenan.
Bisa jadi juga, besok atau lusa. Antara gue atau elo menaruh perasaan pada salah satu di antara kita. Mungkin kita akan berusaha menolak. Tapi nyatanya,
hati pun nggak bisa membohongi kan??"
"Terus??" Tanya Zhafran yang membuat dahi Clarista berkerut.
"Terus apanya Zhafran?"
Zhafran menggelengkan kepalanya. Lalu mengambil novel yang sedari tadi di pegang oleh Clarista.
"Gue bayarin novelnya." Ucap Zhafran lalu pergi begitu saja menuju kasir. Membuat dahi Clarista semakin berkerut.
*** Yang pasti untuk masalah perasaan siapa saja tidak bisa menebaknya. Mungkin benar apa yang dikatakan Clarista. Bahwa perasaan itu aneh dan sulit di atur.
Bahkan Zhafran pun mulai merasakan hal itu. Sebenarnya ia sudah sadar sejak lama. Hanya saja ia selalu mengabaikannya.
Ya.. Zhafran merasakan di mana perasaannya berkecamuk tak karuan. Ia merasakan debaran-debaran yang aneh pada jantungnya setiap kali ia bersama gadis yang
kini duduk di kursi samping kemudinya.
Zhafran sudah merasakan hal itu sejak dirinya dan gadis itu masih duduk di bangku SMP. Siapa lagi dia kalau bukan Adinda Zahra Abhimanyu
Tetangga yang merangkap sebagai sahabat dan kakak kelasnya sejak kecil.
Diam-diam Zhafran mengeluh dalam hati. Mengapa perasaannya muncul begitu cepat? Jika di bilang. Ia saja belum cukup umur untuk merasakan perasaan seperti
ini. Huuh.. tapi apakah perasaan suka itu melihat umur?? Sepertinya tidak. Zhafran melirik sekilas ke arah Dinda yang masih sibuk membaca novel.
"Lihat jalan Zhafran. Lo lagi nyetir." Ucap Dinda tanpa mengalihkan pandangannya. Membuat Zhafran mendengus lalu kembali fokus pada jalanan.
Terkadang ia juga merasa geli sendiri. Mengapa ia bisa suka pada gadis yang galak dan jutek seperti Dinda ini. Dan terkadang ia juga merasa perlu untuk
mengecek otaknya. Karena setiap kali ia melihat Dinda yang jutek dan galak. Bukan malah ia takut ataupun sebagainya. Ia malah bagahagia. Dan seolah Dinda
terlihat begitu manis. "Mau sampai kapan lo baca buku di mobim gue?" Tanya Zhafra sembari menoleh pada Adinda yang masih membaca.
"Udah sampai ya??" Tanya Dinda lalu bersiap untuk turun. Lalu saat ia hendak membuka pintu ia sadar akan sesuatu.
"Zhafraaannn... ini belum sampai rumah gue.." kesalnya. Yang membuat Zhafran tertawa.
"Lah.. siapa juga yang bilang udah sampai di rumah lo? Kan gue cuma nanya? Mau sampai kapan lo baca buku di mobil gue?? Dan lo malah seenaknya mau turun."
"Sebel.." desis Adinda. Dan Zhafran masih tertawa.
"Jangan ketawain gue." Galaknya.
Zhafran pun berusaha menghentikan tawanya sembari pelan-pelan menjalankan mobilnya yang sedari tadi terhenti akibat macet.
"Jangan marah. Nanti cantinya hilang."
*** 7. Hujan Seharusnya pagi ini cerah. Dan matahari bersinar dengan gagahnya. Namun sayang seolah saat ini matahari lebih mengalah pada hujan. Ternyata ia memilih
agar hujan menggantikan dirinya sehingga manusia bisa melihat bahwa langit pun bisa menangis. Huh betapa melankolisnya langit itu.
Aurel masih berdiri di ambang pintu, ia sudah rapi dengan seragam sekolahnya. Hanya saja jika boleh memilih. Ia ingin kembali tidur dari pada harus bersekolah.
Bukan karena ia malas. Tapi karena? dingin yang di timbulkan hujan begitu menusuk kulit hingga menembus ke dalam tulangnya. Membuat ia menggigil.
Namun tiba-tiba sebuah tangan kekar sudah memeluknya dari belakang, menyampirkan jaket ke pundaknya.
"Pakai jaketnya nanti kamu sakit." Aurel mendengus kemudian tersenyum. Tangan kekar itu adalah tangan papanya. Pantas saja mamanya tergila-gila dengan
papanya. Lah ternyata papanya seromantis ini. Dan hal itu membuat Aurel kadang berpikir. Kelak ia ingin mempunyai suami yang seperti papanya, baik, romantis,
tampan, dan perfect. "Papa dulu berapa lama pacaran sama mama?" Tanya Aurel tiba-tiba membuat papanya mengernyitkan dahi.
"Papa nggak pacaran sama mama." Jawabnya.
"Aurel nggak percaya."
"Kenapa tiba-tiba tanya begitu? Mama sama papa emang nggak pernah pacaran kok." Sahut mamanya yang tengah berjalan menghampirinya.
"Yaa.. kan Aurel penasaran aja. Ma." Ucapnya disertai sebuah cengiran.
"Udah.. buruan berangkat. Sekolah dulu yang bener. Jangan mikir pacar-pacaran." Pesan mamanya-Vania.
"Kayak dulu mama nggak pacaran aja." Sahut Dava yang tidak lain adalah papa Aurel.
"Ya kan beda.. pokoknya Aurel belajar dulu ya. Pacaran itu nanti ada masanya." Ucap Vania pada putrinya.
"Pacaran itu kalau ada pacarnya, mama.." jawab Aurel yang langsung membuat papanya tertawa sementara mamanya mendelik tajam.
"Aurel bercanda kok." Ucapnya lalu mencium pipi mamanya.
"Aurel sama papa berangkat ya ma. Assalamu'alaikum." Pamitnya lalu menuju mobil papanya. Sementara papanya? Masih sibuk menjalankan ritualnya sebelum meninggalkan
rumah. Apa lagi? Selain mencium kening mamanya dan berganti mamanya mencium tangan papanya. Aurel akui. Mama dan papanya itu sangat romantis.
*** Dinda turun dari mobil Ayahnya sembari mengeratkan jaketnya. Tangan kirinya sibuk memegangi payung.
"Yah.. Dinda sekolah dulu yaa. Assalamu'alaikum." Pamitnya setelah mencium tangan Ayahnya. Sementara Abhi mengamati putrinya itu hingga benar-benar masuk
ke dalam sekolah. Hari ini, Abhi memang tidak mengizinkan Dinda untuk berangkat bersama Zhafran. Bukan karena Abhi tidak lagi mempercayai Zhafran. Hanya
saja hujan yang begitu deras membuatnya was-was jika Zhafran harus berangkat bersama Dinda. Bahkan Abhi pun meminta Syam agar tidak membiarkan Zhafran
membawa mobil sendiri. Setidaknya untuk hari ini. Entah Abhi yang terlalu lebay dalam menyikapi sesuatu ataupun sebagainya. Yang jelas. Ini adalah firasat
seorang Ayah. Ia hanya ingin putrinya selamat. Sudah.. begitu saja.
"Baru dateng?" Dinda hampir saja membuang payungnya akibat terkejut.
Ia benar-benar kaget melihat kedatangan Zhafran yang secara tiba-tiba.
"Lo sendiri?" Tanya balik Dinda.
"Udah dari tadi sih."
"Di anter om Syam??"
"Iya." "Lo kenapa?" Tanya Dinda yang melihat Zhafran begitu lesu.
"Gue nggak papa."
"Yakin?" Tanya Dinda memastikan. Karena tidak biasanya Zhafran selesu ini.
"Lo sakit?? Gue anter ke UKS yuk." Ajak Dinda. Namun Zhafran segera menolaknya.
"Gue nggak papa Dinda. Gue cuma pengen hujan-hujanan."
Dan demi apapun. Dinda langsung menepuk dahinya.
"Ihh... nyebelin deh.." Dinda mendengus lantas pergi meninggalkan Zhafran yang terkekeh.
Emang bener gue pengen hujan-hujanan. Batinnya sembari mengendikkan bahu dan beranjak menyusul Dinda.
*** Clarista berjalan santai menuju masjid sekolah. Istirahat pertama telah tiba dan langit masih setia dengan hujannya. Namun hal itu tidak menyurutkan niatnya
untuk melaksanakan Sholat Dhuha seperti biasanya.
"Tumben sendiri??"
"Astagfirullah." Clarista mengelus dadanya akibat terkejut, lalu kepalanya menoleh menatap orang yang membuatnya kaget.
"Kaget banget ya?" Tanya orang itu sembari garuk-garuk kepala tidak jelas. Mungkin merasa bersalah.
"Banget bang." Jawab Clarista masih mencoba menenangkan dirinya.
"Maafin abang deh." Clarista mengangguk.
"Dinda mana? Biasanya sama Dinda?" Tanya Rendra yang hanya mendapati Clarista seorang diri.
"Dia lagi halangan bang. Nah, bang Rendra kok sendiri? Kak Aurel sama Kak Rama mana?" Tanya Clarista yang baru menyadari bahwa Rendra juga tengah sendiri.
"Udah berangkat dulu dia. Abang di tinggalin."
"Oh." Sesingkat itu?? Batin Rendra.
"Yaudah. Kita barengan aja.. mau ke masjid kan??" Tanya Rendra lagi mencoba untuk mengajak Clarista berbicara.
"Iya" Nggak bisa lebih panjang? Gumam Rendra dalam hatinya. Namun kini Rendra tidak memancing Clarista untuk berbicara lagi. Melainkan ia memilih untuk tenang
berjalan Clarista. "Nak.. nak.. kalian."
Mendengar seorang guru memanggil mereka bambuat Clarista maupun Rendra menghentikan langkahnya.
"Kesini sebentar." Ucap guru itu membuat Clarista dan Rendra mau tak mau menghampiri guru itu. Yang tidak lain adalah bu Yeyen. Seorang guru BK.
"Iya bu?" Tanya Clarista saat sampai di hadapan bu Yeyen.
"Kalian mau kemana?" Tanya bu Yeyen sembari menatap Clarista dan Rendra secara bergantian.
"Masjid." "Masjid." Baik Clarista maupun Rendra sama-sama menoleh saat mereka tanpa sengaja menjawab secara bersamaan.
"Nah.. satu tujuan kan?? Ibu boleh pinjam satu payung. Kalian kan kurus-kurus. Bisa lah satu payung berdua."
"Tapi..." "Iya bu.. silahkan." Potong Rendra lalu menyerahkan payungnya pada bu Yeyen. Sementara Clarista merasa bingung sendiri.
"Nggak papa kan Ta? Kalau abang ikut bareng ke masjid?" Tanya Rendra. Sementara Clarista terdiam sedikit ragu.
"Boleh.. sama teman jangan pelit-pelit." Ucap bu Yeyen lalu segera pergi. Meninggalkan Clarista yang masih diam.
"Ta?? Kalau ngga mau. Biar abang lari aja deh. Sekalian hujan-hujanan." Ucap Rendra dan bersiap berlari namun langkahnya terhenti saat Clarista memanggilnya.
"Abang yang pegang payungnya ya??" Dan tanpa menunggu lama. Rendra langsung mengambil alih payung Clarista untuk memayungi mereka berdua.
Selama perjalanan yang ada hanya keheningan. Namun jujur saja Rendra sangat menikmati momen itu.
*** "Jadi mim kecil itu namanya waqaf lazim? Yang artinya harus berhenti?" Aurel bertanya pada Rama yang duduk di hadapannya.
Rama membenarkan posisi duduknya agar lebih nyaman sebelum ia menjawab dan kembali menjelaskan pada Aurel.
"Iya mim kecil atau waqaf lazim itu artinya harus berhenti. Tapi lo juga harus teliti jangan sampai ketuker sama mim kecil yang jadi pertanda bacaan iqlab."
"Terus gue harus bedainnya gimana?"
"Lo tau bacaan iqlab kan?" Tanya Rama. Dan Aurel langsung mengangguk.
"Nun mati atau tanwin yang bertemu huruf ba' kan??" Rama mengangguk.
"Yaudah berarti lo paham." Ucap Rama.
"Seriussnyaaaaa..." Aurel mendengus saat Rendra muncul merusak suasana.
"Ganggu aja lo." Sebalnya.
"Bilang aja lo mau berduaan sama Rama. Iya kan?"
"Suka-suka gue lah." Sahut Aurel.
Rama yang sedari tadi melihat kedua sahabatnya itu hanya mampu memijit keningnya.
"Istigfar-istigfar." Ucap Rama sembari menepuk bahu Rendra kemudian beranjak pergi.
*** 8. Terlalu Cepat??? Ada yang bilang cinta itu anugerah, ada pula yang bilang bahwa cinta itu musibah. Lalu bagi Zhafran. Akan seperti apa cinta itu?.
Zhafran menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ia jadi di landa dilema sendiri. Ia pernah berpikir bahwa cinta itu masalah akhir, cinta masalah nanti. Tapi
nyatanya sekarang? Cinta itu bahkan datang dengan sendirinya, seolah mengajak Zhafran bermain.
Huh.. ia mendesah.. benar, jika ia memikirkan cinta maka tidak akan ada habisnya. Karena topik cinta itu sendiri pun selalu menjadi topik hangat di setiap
harinya dari zaman purba mungkin hingga zaman akhir dunia nanti.
"Lo kenapa sih?? Dari tadi garuk-garuk kepala mulu. Punya kutu ya?" Mendengar kalimat itu. Reflek tangan Zhafran menyentil dahi orang itu. Membuat sang
pemilik suara mengaduh. "Sakit ish.." desisnya.
Bukannya meminta maaf Zhafran malah terkekeh. Membuat orang itu mendengus.
"Din." Panggil Zhafran. Kali ini mereka tengah berada di danau, tempat di mana orang tua mereka sering menghabiskan waktu bersama dulu.
"Hmm.." Dinda hanya bergumam.
Sedangkan Zhafran malah terdiam. Antara bingung dan ragu, apakah ia akan melanjutkan kalimatnya atau tidak.
"Kenapa?" Tanya Dinda karena sedari tadi Zhafran tidak melanjutkan kalimatnya.
"Cuma pengen manggil aja." Jawab Zhafran disertai cengirannya. Membuat Dinda menjadi gemas.
"Din." Panggil Zhafran lagi setelah cukuo lama terdiam.
"Apa lagi?" Tanya Dinda yang kini menolehkan wajahnya menatap Zhafran.
"Lo tau kisah orang tua kita?" Tanya Zhafran yang membuat dahi Dinda berkerut.
"Tau." Jawab Dinda lalu kembali menoleh menatap senja. Sementara Zhafran terdiam.
"Mereka bersahabat sejak kecil. Dan masing-masing pernah memiliki perasaan lebih. Tapi sayangnya Allah tidak mengizinkan. Allah membuat mereka bertemu
takdir mereka masing-masing. Umi dengan Ayah. Sedangkan om Syam dengan tante Syania." Jelas Dinda dan Zhafran hanya terdiam. Sejujurnya ia juga tau akan
hal itu. "Terus. Kenapa tiba-tiba lo tanya hal itu ke gue?"
Zhafran yang tadi terdiam pun terkejut dengan pertanyaan Dinda yang mendadak. Ia gelagapan tidak tau harus menjawab apa.
Sedangkan mata Dinda menyipit, memperhatikan Zhafran yang salah tingkah.
"Jangan bilang kalau lo suka sama gue??" Tangan Dinda menunjuk Zhafran sedangkan matanya masih menyipit seolah mengintimidasi Zhafran. Hingga Zhafran semakin
salah tingkah. "Apaan sih Din." Ucap Zhafran sembari menurunkan tangan Dinda yang masih menunjuk padanya.
"Lo suka sama gue?" Tanya Dinda.
Ingin sekali Zhafran berkata? iya gue suka sama lo Dinda. Tapi nyata yangvkeluar dari mulutnya?.
"Suka sama lo? Enggak lah. Mana mungkin." Jawabnya lalu tertawa. Sebenarnya tawanya sumbang. Karena sejenis tawa yang di paksakan. Sementara Dinda mendengus.
"Terus kenapa lo tiba-tiba tanya hal itu?" Zhafran yang berpikir bahwa ia bisa bernafas lega pun sepertinya batal. Kini ia kembali gelagapan.
"Ya.. yaa pengen tanya aja."
"Nggak percaya."
"Serius." "Lo suka sama gue kan?? Mata lo aja bilang kalo lo suka sama gue. Gue itu cewe peka Zhafran. Ngaku aja kalo lo itu suk..."
"Gue suka Clarista." Dinda terngaga saat mendengar ucapan spontan Zhafran. Sementara Zhafran malah merutuki mulutnya yang asal bicara.
"Serius lo suka Clarista??" Tanya Dinda tak percaya.
Gue seriusnya suka sama lo.
"Ih.. Zhafran..jawab dong!! Serius lo suka Clarista??" Tanya Dinda? lagi. Tapi bukannya menjawab Zhafran malah mengendikkan bahunya. Ia sudah putus asa
sekarang. Tidak tau lagi apa yang akan ia lakukan.
*** Lain hal nya dengan Zhafran dan Dinda. Di sisi lain justru Aurel tengah menikmati jalan-jalannya bersama Rendra. Seharusnya bukan hanya mereka berdua.
Melainkan bertiga bersama Rama. Hanya saja Rama masih sibuk dengan urusan Rohisnya. Jadilah kini Aurel bersama Rendra berjalan berdua menyusuri mall untuk
mencari makan. "Lo apa nggak capek rel? Baca novel segini banyaknya.?" Rendra mengangkat plastik yang berisikan beberapa novel Aurel yang baru saja mereka beli.
"Enggak lah. Justru semakin banyak novel malah gue semakin seneng."
Rendra menggelengkan kepalanya.
"Ish.. beneran. Namanya juga hobi." Lanjut Aurel lagi.
"Laper nih. Makan yuk.. lo laper nggak?" Tanya Rendra.
"Emm... laper nggak yaa??" Aurel yang pura-pura berpikir langsung mendapat jitakan dari Rendra.
"Tinggal bilang laper aja kok susah." Gerutu Rendra lalu menyeret Aurel menuju salah satu restoran terdekat mereka.
Aurel terkekeh melihat Rendra yang makan begitu lahapnya. Ternyata Rendra begitu kelaparan.
"Lo makan pelan-pelan kali Ren." Ucap Aurel sembari menyodorkan tissu ke hadapan Rendra.
Rendra menatap tissu yang ada di hadapannya.
"Lo suruh gue makan tissu??" Tanya Rendra dengan bodohnya dan membuat Aurel berdecak.
"Ya kali. Emang lo doyan tissu?? Enggak kan?? Lo tuh kalo makan kayak anak kecil ngga bisa bersih. Bersihin dulu gih." Pinta Aurel sembari kembali menyodorkan
tissu pada Rendra. Bukannya mengambil tissu yang di berikan Aurel. Ia malah tertawa.
"Kirain lo minta gue makan tissu."
"Enggak lah. Mana tega gue. Yaudah gih. Bersihin."
"Kok minta gue yang bersihin sih."
"Terus siapa? Masa gue?" Tanya Aurel.
"Ya harus elo lah. Kalo di novel-novel yang lo baca kan biasanya kalo cowoknya makannya nggak rapi pasti yang bersihin ceweknya. Sekarang bersihin doong.."
pinta Rendra sembari memajukan wajahnya agar lebih mendekat ke arah Aurel.
Sedangkan Aurel malah salah tingkah sendiri. Pipinya tiba-tiba memanas. Bahkan detak jantungnya pun berlari kencang.
"Nggak mau." Ucap Aurel lalu memyerahkan tissu di tangannya pada Rendra.
"Harus mau dong.."
"Kan lo bukan cowok gue. Ngapain gue bersihin. Bersihun sendiri gih." Ucap Aurel lagi. Sebenarnya sebagai alibi agar kegugupannya tidak terlalu terlihat.
"Pliss... bersihin kek. Anggep aja gue cowok lo."
Perfect. Sukses sudah Rendra membuat jantung Aurel berlari semakin kencang.
"Gue nggak mau Rendraa." Ucapnya penuh penekanan.
"Kenapa??" Nanti gue baper. "Elo kan udah gede. Ish.. gitu aja nggak tau." Dan nyatanya pun mulutnya bertolak belakang dengan hatinya.
"Ah elo mah nggak asik." Dengus Rendra lalu mengambil tissu dan membersihkan mulutnya.
Aurel tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Terkadang ia bingung sendiri dengan dirinya. Rendra itu usil, jail, nyebelin, nyusahin. Jika di bandingkan Rama.
Maka Rendra akan sangat bertolak belakang dengan Rama. Yang membuat Aurel merasa aneh adalah. Mengapa ia bisa jatuh cinta pada Rendra yang usil, jail dan
nyebelin ini. Padahal jika mau, bisa saja ia suka pada Rama yang lebih perfect di banding Rendra. Tapi tetap saja Rendra yang lebih menang di hatinya.
Rasa bahagia, senang, gembira. Semua itu selalu ia rasakan saat bersama Rendra. Sebenarnya ia merasakan hal itu juga dengan orang lain. Tapi saat bersama
Rendra, rasanya berbeda. Huh.. cinta sungguh aneh. Tapi benarkah yang Aurel rasakan itu cinta?? Tidakkah ini terlalu cepat??
*** 9. Jatuh Cinta Konsekuensi jatuh cinta adalah harus siap patah hati.
*** Seperti yang sudah di rencanakan. Kini Acara Bazar sekolah yang di adakan dalam rangka menyambut tahun baru hijriyah pun berlangsung. Dan ada banyak sekali
stand Bazar yang memenuhi lapangan sekolah. Salah satunya adalah FoodStand milik Zhafran dan teman-temannya.
"Udah sana. Lo keliling nemenin Clarista." Ucap Dinda sembari menyenggol bahu Zhafran. Zhafran mendengus. Sejak kejadian di danau itu. Dinda selalu saja
menggodanya. "Bawel." Dengusnya.
"Keburu Clarista di tikung bang Rendra. Tau rasa deh." Lanjut Dinda. Zhafran menghela nafasnya.
"Iya-iya.. yaudah. Gue susul Clarista dulu." Ucap Zhafran lalu berlari menyusul Clarista yang tengah membawa penampan dengan berbagai macam makanan di
sana untuk di tawarkan kepada pengunjung Bazar.
"Sini gue bawain."
"Eh??" Clarista terkejut saat tiba-tiba Zhafran sudah berada di hadapannya dan merebut penampan yang ada di tangannya.
"Ah.. lo pasti capek kan? Karna gue temen yang baik. Maka gue siap bantuin lo." Ucap Zhafran yang membuat Clarista tertawa.
"Kenapa nggak dari tadi coba." Ucapnya yang membuat Zhafran tersenyum. Lalu mereka berjalan bersama menawarkan makanan yang mereka jual.
"Maafin gue ya Ris." Ucap Zhafran secara tiba-tiba membuat dahi Clarista mengkerut.
"Maaf kenapa? Emang lo punya salah ya sama gue?"
Zhafran menghela nafasnya saat mendengar pertanyaan Clarista. Bahkan ia tidak tau harus memulai dari mana. Ia takut salah. Ia juga takut menyinggung perasaan
perempuan baik di dekatnya ini. Tapi ia juga tidak bisa membohongi perasaannya.
"Malah bengong."
"Gue bingung." Jawab Zhafran yang membuat dahi Clarista semakin berkerut.
"Lo pernah suka sama seseorang?atau mungkin lebih tepatnya jatuh cinta." Tanya Zhafran yang langsung membuat Clarista tercekat.
Jatuh cinta? Bahkan Clarista sendiri pun tidak tau seperti apa itu jatuh cinta? Hatinya bertanya-tanya. Apakah jatuh cinta itu seperti saat jantungnya
selalu berdebar-debar saat ia di dekat seseorang? Apakah jatuh cinta itu saat ia selalu memikirkan orang yang sama setiap saat? Diam-diam Clarista menghela
nafasnya. Ia terlalu kaku untuk hal ini. Ia belum pernah merasa seperti ini di dekat siapapun. Yang jelas ia merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya saat
ia berada di dekat laki-laki yang ada di dekatnya ini. Apakah seperti ini bisa di katakan bahwa ia tengah jatuh cinta?
Clarista menggeleng. "Mungkin terlalu aneh. Tapi gue sendiri pun masih nggak bisa bedain antara suka biasa dengan suka karena jatuh cinta." Jawab Clarista
dan Zhafran pun mengangguk.
"Kenapa?" Tanya Clarista lagi. Sedangkan Zhafran malah menggelengkan kepalanya.
"Lo pernah ngerasain detak jantung lo berdetak lebih cepet saat lo deket seseorang? Dan setiap saat tanpa lo sadari lo terus mikirin orang itu.?" Tanya
Zhafran tiba-tiba. Sementara Clarista terdiam. Ia ingin megiyakan pertanyaan Zhafran. Tapi ia juga ragu.
"Emang kenapa sih?" Alih-alih menjawab Clarista malah memilih untuk bertanya.
Dan lagi-lagi Zhafran di landa dilema. Ia tidak tau apakah ia harus berterus terang dengan Clarista atau tidak.


Hexagon Love Karya Hasdian Ks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Gue lagi suka sama seseorang." Ucap Zhafran yang tanpa sadar membuat Clarista menahan nafasnya.
"Tapi gue bohong sama dia." Lanjut Zhafran dan Clarista masih terdiam.
Ceritanya berlanjut di bawah ini
i "Gue bilang kalau gue suka sama lo."
Degg!! "Gue??" Tanya Clarista tak percaya sementara Zhafran mengangguk.
"Sorry. Mungkin ini mengganggu lo. Tapi tenang aja. Gue nggak bener-bener suka sama lo dalam artian seperti itu kok. Lo kan sahabat gue." Ucap Zhafran.
Dan kini pun Clarista paham apa yang di maksud Zhafran. Tapi tanpa Clarista sadari. Ada bagian sudut hatinya yang terluka. Rasanya begitu sesak saat mendengar
Zhafran berkata seperti itu. Tapi ia berusaha menepisnya kuat-kuat.
"Gue tau. Dia yang lo maksud itu Dinda kan?" Tanya Clarista yang membuat Zhafran terkejut.
"Lo tau dari mana?" Tanya Zhafran. Sementara Clarista tertawa. Tapi tawanya tidak seperti biasanya. Seperti menyiratkan sebuah luka.
"Di kening lo aja ada tulisannya kalo lo suka sama Dinda." Ucap Clarista yang membuat Zhafran mencibir ucapan Clarista.
"Maafin gue ya Ris. Gue harap kalo misalnya Dinda bilang ke elo kalo gue suka sama lo. Lo jangan terganggu. Anggep yang Dinda omongin itu.."
"Iya Zhafran. Gue paham kok. Btw.. beneran lo suka Dinda?" Tanya Clarista memastikan. Meskipun pada akhirnya ia pun akan tau bahwa Zhafran memang menyukai
Dinda. "Gue harap lo nggak ngomongin hal ini sama Dinda. Gue nggak mau persahabatan gue hancur gara-gara gue suka sama dia." Jawab Zhafran. Clarista pun mengangguk.
Lalu tersenyum getir. "Lo bisa percaya gue."
*** "Ih... lo tuh kalo nggak bisa bantuin mending diem aja deh. Ngribetin banget deh." Gerutu Aurel karena sedari tadi Rendra terus saja merecokinya tanpa
mau membantunya menawarkan makanan dagangan mereka pada pengunjung bazaar.
"Jualan itu yang sabar. Elo sih dari tadi ngomel mulu. Mana ada yang mau beli kalo gitu." Aurel mendengus sembari mengerucutkan bibirnya.
"Jangan manyun gitu. Nanti di kira orang malah lo minta di cium." Ucap Rendra yang membuat Aurel semakin kesal.
"Ah.. elo mah nyebelin. Minggir sana. Biarin gue jualan sendiri. Ada lo juga nggak membantu apa-apa." Sungutnya. Dan mendengar hal itu membuat Rendra langsung
merebut dagangan di tangan Aurel agar berpindah di tangannya.
"Rasanya kayak gue itu cowok nggak berguna banget." Dengus Rendra yang membuat Aurel terbahak.
"Uluhhh... lucunya kalo ngambek." Ucap Aurel lalu kembali tertawa dan hal itu membuat dirinya langsung mendapat jitakan dari Rendra.
"Coba aja yang bantuin gue itu Rama. Pasti deh gue damai banget jualannya. Sayangnya Rama lagi sibuk." Gumam Aurel menyindir Rendra.
"Terus-terusin aja belain Rama. Puji dia yang baik-baik dan yang buruk serahin semua ke gue. Elo mah nggak pernah lihat kebaikan gue Rel. Yang lo lihat
cuma yang buruknya aja." Gerutu Rendra. Dan sukses membuat Aurel kembali tertawa hingga terpingkal-pingkal bahkan perutnya pun hingga merasa sakit.
"Elo ngambek kayak anak perawan lagi pms aja sih." Ucap Aurel di sela-sela tawanya.
"Ya kali gue berubah jadi perawan gitu. Gue cowok tulen kali."
"Oke-oke. Berhenti bikin gue ketawa. Ayo kita jualan lagi." Ucap Aurel lalu kembali berjalan dengan Rendra untuk menawarkan dagangannya.
Aurel tengah sibuk menawarkan dagangannya kesana-kemari saat tiba-tiba pertanyaan Rendra membuatnya terdiam.
"Gimana?" Tanya Rendra karena? sedari tadi Aurel hanya terdiam.
"Gimana apanya?"
"Gimana kalo gue suka sama seseorang?" Tanya Rendra dengan nada seriusnya. Diam-diam ada sesuatu yang mengusik hati Aurel. Terlebih saat Rendra menatapnya
lekat. "Eh." Rendra terkejut mendengar respon Aurel.
"Jadi lo pernah juga jatuh cinta?" Dan kini malah Aurel salah tingkah sendiri di tanya seperti itu.
Aurel menghela nafasnya mencoba menetralkan dirinya agar tidak salah tingkah.
"Ya pernah lah. Namanya juga manusia. Normal kali kalo pernah jatuh cinta." Jawab Aurel lalu pergi meninggalkan Rendra. Rendra yang tersadar pun berlari
mengejar Aurel dan berusaha menghentikan langkahnya lagi.
"Apa lagi?" Tanya Aurel kesal.
Tidak. Sebenarnya kekesalannya hanya untuk menutupi kegugupannya. Bahkan jantungnya pun mulai berdetak aneh lagi.
"Siapa cowok yang lo suka?" Tanya Rendra yang membuat Aurel tersentak.
"Cowok itu elo Rendra." Ucap Aurel. Tapi sayangnya hanya dalam hatinya. Mana mungkin ia sefrontal itu mengatakan dirinya suka pada Rendra. Bodoh sekali
dirinya jika sampai mengatakan hal itu.
"Malah bengong.. gue tau. Lo suka sama Rama kan??" Tanya Rendra. Sementara Aurel berdecak.
"Gue sukanya sama elo Rendra. Sama Elo!!! Bukan Rama!!" Teriak Aurel. Dan lagi-lagi hanya di dalam hatinya.
"Ish.. apaan sih?!! Kok malah jadi gue yang di interogasi. Lagian siapa sih cewek yang udah buat lo jatuh cinta itu?" Tanya Aurel. Kemudian ia terdiam.
Sejenak memejamkan matanya. Ia takut sekali Rendra mendengar detak jantungnya. Ia takut Rendra menyadari kegugupannya.
"Lo lihat ke sana. Ke arah jarum delapan." Titah Rendra. Aurel pun menurutinya. Dan saat ia menoleh. Ia mendapati Zhafran dan Clarista yang tengah tersenyum
bersama sembari menjual dagangannya.
Rasanya ada hantaman keras di dada Aurel saat itu juga.
"Cla-Ris-Ta." Ucap Aurel sembari menahan sesaknya. Dan di hadapannya Rendra malah menganggukkan kepalanya sembari tersenyum riang. Ia tidak menyadari bahwa
ia telah menyakiti hati perempuan di hadapannya. Rasanya Aurel ingin sekali menangis. Tapi apa hak nya? Ia hanya sahabat Rendra. Jadi ia tidak punya hak
melarang Rendra untuk jatuh cinta pada siapa saja termasuk Clarista- sepupunya sendiri.
"Rel.." panggil Rendra karena sedari tadi Aurel hanya terdiam.
"Lo kan sepupu Clarista tuh. Bantuin gue kek. Biar deket gitu sama dia." Dan lagi-lagi perkataan Rendra itu menyakitinya. Lalu ia bisa apa? Menolak pun
rasanya tak bisa. "Tapi gue nggak bisa janji banyak sama lo." Ucap Aurel lalu berjalan pergi meninggalkan Rendra yang masih terdiam menatap Clarista yang tengah berjualan
dengan Zhafran. *** "Sendiri aja?" Dinda tersentak saat sebuah suara mengejutkannya. Ia berbaik dan mendapati Rama berdiri di hadapannya.
"Yang lain mana?" Tanya Rama lagi karena sedari tadi Dinda hanya terdiam.
"Eh.. iya kak. Yang lain lagi keliling." Jawab Dinda. Rama pun mengangguk paham.
"Yaudah sini gue bantuin." Ucap Rama lalu segera membantu Dinda menyusun botol-botol minuman pada lemari pendingin.
"Maafin gue ya kalo gue nggak banyak bantu." Ucap Rama di sela-sela pekerjaannya. Dinda pun tersenyum.
"Nggak papa kali kak. Kita paham kok. Kak Rama pasti sibuk. Kan kak Rama panitia acara ini." Ucap Dinda. Yang membuat Rama tersenyum
"Yang ini taruh mana?"
"Sebelah sana kak. Deket kotak itu." Rama pun mengangguk lalu mengikuti apa yang di perintahkan Dinda. Setelah semuanya selesai. Rama pun mendudukkan badannya
di kursi samping Dinda. Menunggu pengunjung datang.
"Emang kerjaan kak Rama udah selesai ya?" Tanya Dinda setelah sekian lama mereka hanya terdiam.
Rama menoleh. Sejenak menatap Dinda. Lalu matanya kembali beralih pada pengunjung bazaar.
"Belum sih. Tapi alhamdulillah udah nggak sebanyak tadi. Masih bisa lah kalau di tinggal sebentar untuk jualan di sini." Jawab Rama Dinda pun mengangguk.
Karena sedari tadi mereka hanya terdiam. Dinda pun memberanikan dirinya untuk menoleh. Dinda menghela nafasnya. Rasanya bahagia sekali berada di dekat
orang yang ia sukai. Sudah sejak lama sebenarnya ia suka pada Rama. Tapi tentu saja ia suka secara diam-diam. Sejak pertama kali mendengar suara azan Rama
di masjid sekolah Dinda sudah jatuh cinta. Dan selama itu pula ia hanya bisa memendamnya. Dan hanya bisa menatap Rama dari jauh.
Dinda menundukkan kepalanya. Tak seharusnya ia berpikir sejauh ini.
'Andai aja kakak tau kalau aku suka sama kakak. Nggak tau deh. Sekarang akan seperti apa. Pasti kakak nggak akan mau duduk deket aku.'
Batin Dinda. "Ck." Dinda menoleh saat mendengar Rama berdecak. Dilihatnya Rama yang tengah tersenyum sembari menggelengkan kepalanya. Sementara matanya lurus menatap
ke depan. Dinda yang di landa penasaran pun ikut menoleh. Mencoba mencari objek yanh tengah di tatap Rama. Dan saat itu juga Dinda? bisa melihat Aurel yang tengah
tersenyum sembari melambaikan tangannya. Lalu di belakang Aurel ada Rendra yang tengah mengusili Aurel dan membuat perempuan itu kesal.
Dinda kembali menatap Rama yang masih tersenyum ssmbari menatap Aurel. Lagi-lagi ia merutuki perasaannya. Sebenarnya sudah sejak lama ia tau bahwa Rama
mempunyai perasaan lebih pada sepupu sahabatnya itu. Meskipun Dinda yakin baik Aurel atau Rama sendiri tidak menyadari hal itu. Bahkan dari cara Rama melihat
Aurel pun sudah berbeda. Tapi sayangnya meskipun ia tau bahwa Rama menyukai Aurel. Perasaannya pada Rama masih tidak berubah.
"Kak Aurel cantik ya kak." Tanyanya tiba-tiba.
"Ya. Dia selalu cantik." Ucap Rama tanpa sadar. Dinda tersenyum getir mendengar ucapan Rama.
Sementara Rama yang tersadar akan ucapannya langsung beristigfar. Kemudian ia menoleh pada Dinda yang masih tersenyum.
"Kak Rama suka ya sama kak Aurel?" Tanya Dinda. Sementara Rama malah gelagapan. Dan hal itu langsung saja membuat Dinda tertawa. Tapi sayangnya tawanya
sumbang. Jadi untuk menutupi hal itu Dinda memilih untuk kembali berbicara.
"Kelihatan banget soalnya. Dari cara kak Rama mandangin kak Aurel aja udah beda." Ucap Dinda lagi-lagi harus menahan rasa sakit di hatinya.
"Masa sih? Kayaknya sama aja deh." Dinda tak menjawab. Ia hanya mengangguk.
"Oh iya. Kira-kira udah berapa pemasukan kita hari ini?" Tanya Rama yang jelas sekali mengalihkan pembicaraan. Tapi sayangnya hal itu tidak bisa mengalihkan
perasaan Dinda agar tidak merasa sakit saat mengetahui kenyataan bahwa Rama benar-benar menyukai Aurel. Karena nyatanyanya pun hatinya masih terasa nyeri
meskipun ia mencoba menepisnya.
*** 10. Kecelakaan jatuh cinta itu memang aneh. Kadang ia bahagia kadang ia berduka. Kadang pula bahagia dan duka itu dirasakan bersama-sama. Seperti apakah
itu rasanya? Tentu saja memilukan. Maka begitu pula yang Aurel rasakan. Entah sudah berapa lama ia duduk di antara dua orang yang membuatnya merasa bahagia
dan sakit di saat bersamaan.
"Jangan bengong. Nanti kesambet!" Aurel mendengus saat orang di sampingnya mulai bersuara. Bagaimana ia bisa tidak melamun. Jika sedari tadi ia di diamkan.
"Gimana nggak bengong coba? Orang dadi tadi di anggurin." Gerutunya. Sementara orang yang mengajaknya bicara malah tertawa.
"Cemburu?" Bodoh!! Aurel mengumpat dalam hati. Ia ingin menjawab iya. Tapi ia juga tidak ingin mengakuinya.
"Loh. Kak Aurel sama bang Rendra udah jadian?" Tanya satu orang lagi di samping Aurel yang membuat Aurel dan Rendra saling menatap?
"Jadian??" Tanya Rendra.
"Ya kali Ris. Enggak lah. Siapa juga yang mau jadian sama dia" Jawab Aurel yang seratus persen berbanding terbalik dengan hatinya.
"Gue juga mikir-mikir kali kalo mau jadian sama lo." Ucap Rendra membalas perkataan Aurel. Aurel tau. Rendra hanya bercanda. Tapi mengapa terasa begitu
menyakitkan di hatinya. "Oh gitu? Yaudah lah gue pergi aja." Ucap Aurel lalu beranjak. Clarista yang semula ingin menahan Aurel pun di cegah oleh Rendra.
"Udah biarin aja. Kakak lo mah emang sensi an. Bentar lagi juga balik ke sini." Ucap Rendra. Dan Clarista pun duduk kembali meskipun pikirannya melayang
memikirkan Aurel. *** Sementara Aurel yang merasa dadanya begitu sesak berniat untuk menuju toko buku yang terletak tak jauh dari kafe tempat ia bersama Rendra dan Clarista
tadi. Tapi saat hidungnya mencium aroma es krim. Ia pun memilih memutar tubuhnya menuju kedai es krim. Mungkin dinginnya es krim bisa sedikit mendinginkan
pikirannya. Begitu pikirnya. Maka dengan mantap Aurel melangkahkan kakinya menuju kedai es krim itu dan segera memesan es krim vanila kesukaannya.
Aurel menatap kursi-kursi penuh yang ada di kedai itu. Hanya ada sebuah kursi yang kosong. Itu pun harus berbagi meja dengan seorang pria yang duduk di
sana. "Permisi.. gue boleh..."
"Kak Aurel??" "Zhafran??" Aurel terkejut mendapati pria itu adalah Zhafran. Maka tanpa menunggu persetujuan ia segera mendudukkan badannya.
"Ah.. ternyata elo. Gue duduk di sini ya.. boleh kan?" Tanyanya.
"Mau di larang juga lo udah duduk duluan kak." Cibir Zhafran yang membuat Aurel tertawa.
"Lo sendirian aja?" Tanyanya sembari menyendok es krimnya.
"Sama Dinda sih. Tapi dia masih di toko buku. Tau sendiri lah. Kalo dia udah di toko buku kayak gimana?" Lagi-lagi Aurel tertawa.
"Malah ketawa."
"Gue tau penderitaan lo yang di campakkan Dinda demi buku-buku itu." Ucap Aurel setelah menghentikan tawanya.
Kemudian mereka terdiam. Tidak tau lagi apa yang ingin mereka bicarakan. Hanya ada suara alunan musik yang sengaja di putar oleh pemilih kedai itu.
"Lo sendiri, sendirian aja kak?" Tanya Zhafran memecah keheningan di antara mereka.
"Hmm??" Aurel mendongak dengan tangan yang masih menyendokkan es krim ke mulutnya.
"Gue sama Rendra sama Clarista juga." Jawab Aurel.
"Clarista? Tumben."
Aurel tak menjawab ia hanya mengendikkan bahunya.
Sedangkan Zhafran malah berdecak sembari menyodorkan tissu kepada Aurel.
"Bersihin mulut lo kak. Kotor semua. Kayak anak kecil aja." Ucapnya. Dan tanpa menunggu lama. Aurel pun segera mengambil tissu yang di berikan Zhafran.
Dalam hati ia sedikit mengeluh. Mengapa situasi ini harus mengingatkan dirinya pada Rendra.
"Es krim lo nggak di makan? Keburu cair tuh." Ucap Aurel yang melihat es krim Zhafran yang mulai mencair.
"Gue sebenernya nggak terlalu suka sama es krim." Jawabnya yang membuat mata Aurel terbelalak.
"Lahh... kalo nggak suka. Terus ngapain di beli." Ucapnya sembari menggeleng dramatis.
"Pengen aja." *** Dinda masih sibuk meneliti satu-persatu judul novel beserta sinopsisnya. Huh.. ia kadang juga bungung sendiri. Padahal ia sudsh terbiasa ke toko buku dan
membeli buku. Ralat. Lebih tepatnya membeli novel. Tapi saat lagi-lagi ia kembali ke toko buku. Ka selalu saja di hadapkan dengan kebingungan ingin memilih
novel yang seperti apa. Andai saja uangnya cukup. Mungkin semua novel sudah ia beli. Sayangnya uang di dompetnya hanya mampu untuk membeli maksimal empat
novel. Jadi ia harus pandai-pandai memilih.
"Rindu nya-Tere Liye itu bagus." Dinda tersentak saat mendengar sebuah suara menginterupsinya. Cepat-cepat ia membalik badan. Dan matanya langsung terbelalak
saat mendapati Rama berdiri di hadapannya.
"Kak Rama?"? Rama hanya tersenyum mendapati keterkejutan Dinda.
"Itu novelnya bagus." Ucap Rama sembari menunjuk novel Rindu karya Tere liye. Dinda pun mengambilnya.
"Kakak udah pernah baca?" Tanya Dinda. Dan Rama pun mengangguk.
"Kakak suka baca novel juga?" Lagi-lagi tingkat ke kepoan Dinda meningkat.
Rama menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
"Enggak terlalu juga sih. Mungkin hanya beberapa gendre aja. Enggak banyak kok." Dinda pun mengangguk mendengar jawaban Rama.
"Sendiri aja?" "Ya?" Dinda mendongakkan wajahnya mencoba menanyakan lagi apa yang Rama tanyakan.
"Lo kesini sedirian?" Tanya Rama.
"Oh.. enggak kok. Gue ke sini sama Zhafran kak. Tapi nggak tau deh kemana tuh orang. Mungkin lagi keluar bentar." Dan kini giliran Rama yang menganggukkan
kepalanya. *** Kini Rendra dan Clarista sama-sama di landa keresahan karena Aurel tak kunjung kembali dan ponsel serta tas Aurel tertinggal.
"Elo sih bang.. sekarang dimana coba kak Aurelnya?" Mendengar ucapan Clarista membuat Rendra merutuki dirinya. Seharusnya tadi ia mengejar Aurel bukan
malah dudum berdiam saja.
"Yaudah bang. Rista cari aja deh kak Aurelnya." Ucap Clarista lalu beranjak. Namun tangan Rendra dengan cekatan menahannya.
"Lo tunggu sini. Biar abang yang cari."
"Gue ikut." Rendra menggeleng.
"Lo tunggu sini. Jagain barang-barang. Biar gue yang cari." Ucap Rendra lalu beranjak meninggalkan Clarista.
Rendra berjalan keluar kafe mencoba mencari sosok Aurel. Tujuan utamanya adalah toko buku yang tak jauh dari tempatnya berdiri.
Namun saat Rendra baru saja sampai di depan pintu toko buku itu. Ponselnya berdering.
Zhafran : Ren, gue Aurel. tolong lo ajak pulang Dinda. Dia sekarang lagi di toko buku. Papa Dinda dan papa Zhafran kecelakaan. Gue lagi di rumah sakit
nemenin Zhafran. Mata Rendra terbelalak saat membaca pesan dari Aurel yang menggunakan nomor ponsel Zhafran. Ia segera melesat masuk kedalam toko buku. Mencari sosok Dinda.
Dan saat ia menemukan Dinda ia segera menariknya keluar.
"Bang!! Lo apa-apaan sih main tarik aja!!" Gerutu Dinda. Tapi ia tidak peduli.
"Lo jangan banyak bicara. Kita ke rumah sakit sekarang. Ayah lo kecelakaan."
"Apa??" Dinda tampak terkejut. Tapi Rendra tidak peduli. Ia segera menarik Dinda yang mematung untuk di ajak ke rumah sakit.
Saat sampai di mobilnya. Rendra teringat sesuatu. Ia bingung harus bagaimana. Lalu ingatannya tertuju pada saat ia menarik Dinda. Ia juga melihat Rama
berdiri di sana. Lalu dengan segera ia mengambil ponselnya.
"Halo Ram.. lo dengerin gue. Tolong lo anter Clarista pulang. Dia ada di kafe deket toko buku. Ini urgent gue nggak bisa balik jemput dia. Besok gue jelasin
semuanya." Ucapnya lalu segera menutup ponselnya.
Lalu ia masuk ke dalam mobil dan mendapati Dinda yang tengah terisak.
"Lo tenangin diri lo. Om Abhi pasti nggak apa-apa." Ucapnya lalu segera menacap mobil menuju rumah sakit.
**** 11. Lebih pantes cerewet Rama segera berlari menuju kafe yang di maksud Rendra, matanya menelisik ke seluruh penjuru kafe dan saat ia menemukan sosok Clarista, ia segera berjalan
menghampirinya. "Assalamu'alaikum." Sapanya.
Clarista yang sedari tadi melamun pun terkejut saat mendengar salam dari Rama.
"Wa'alaikumsalam. Loh kak Rama?"
Tanpa memghiraukan Clarista, Rama langsung mendudukkan tubuhnya di hadapan Clarista.
"Aku mau nganterin kamu pulang." Ucapnya langsung pada inti.
Sementara Clarista yang belum paham akan keadaan pun di buat bingung.
"Anterin Rista pulang? Maksud kak Rama?"
Rama mencoba membetulkan posisi duduknya sebelum menjawab pertanyaan Clarista.
"Tadi Rendra nyuruh gue buat ajak lo pulang bareng. Kebetulan tadi ketemu sama gue di toko buku. Dan dia udah pulang." Jelasnya.
"Bang Rendra pulang sama kak Aurel?" Tanya Clarista.
Mendengar nama Aurel. Rama mengerutkan keningnya.
"Ada Aurel juga? Tadi sih Rendra pulang sambil narik-narik Dinda." Dan kini giliran dahi Clarista yang berkerut.
"Ada Dinda juga? Kok bisa sih? Kalo Bang Rendra sama Dinda, terus kak Aurel dimana?" Tanya Clarista bingung. Sedangkan Rama juga turut bingung dibuatnya.
Sekarang posisinya begini. Rama berada di posisi yang tidak tau apa-apa, ia tadi hanya berencana membeli buku dan tanpa sengaja bertemu Dinda, kemudian
secara tiba-tiba Rendra datang dan memintanya mengantar Clarista pulang. Ia kira Rendra kemari hanya dengan Clarista. Tapi ternyata ada Aurel juga. Dan
masalahnya dimana Aurel, baik Clarista maupun Rama sama-sama tidak tau keberadaannya.
"Emang tadi gimana sih?" Tanya Rama mencoba mencari jawaban dadi teka-teki ini.
"Duh.. ceritanya panjang kak. Intinya kak Aurel tadi pergi, dan tas, dompet sama hp nya juga ketinggalan di sini. Dan dia nggak bawa apapun. Dan tadi bang
Rendra pergi juga buat cari kak Aurel." Rama memijat pelipisnya saat mendengar penjelasan dari Clarista. Ia mencoba berpikir mencari solusi yang baik.
"Bentar deh, gue telfon Rendra dulu. Siapa tau tadi dia udah ketemu Aurel." Ucap Rama dan Clarista pun menyetujui pendapat Rama.
*** Rendra segera berlari menyusul Dinda yang lebih dulu berlari menuju ruang UGD. Dan saat ia sampai sana, ia mendapati Aurel yang tengah terduduk sendiri
sembari menundukkan wajahnya. Sementara baik Dinda maupun Zhafran dan keluarganya sudah tidak ada di sana.
"Rel.. mereka.."
"Mereka ada di dalem." Potong Aurel sebelum Rendra menyelesaikan pertanyaannya.
Rendra pun menganggukkan kepalanya lalu segera mendudukkan badannya di samping Aurel. Dan pada saat itu pula ia bisa melihat bahu Aurel bergetar dan suara
isakan-isakan kecil mulai terdengar. Dan hal itu membuat Rendra terkejut.
"Rel, lo nangis?" Tanya Rendra dengan bodohnya. Namun tidak ada jawaban daei Aurel hanya suara isakan yang terdengar semakin kencang yang sebagai jawaban.
Rendra mengusap wajahnya gusar. Ia bingung harus bagaimana. Ingin memeluk, tapi...
"Rel.." sekali lagi Rendra mencoba memanggil Aurel.
"Biarin gue nangis Rendra. Gue udah nggak kuat nahan dari tadi." Ucap Aurel di sela-sela tangisnya. Membuat Rendra tidak bisa berbuat apa-apa.
"O..oke.. silahkan nangis." Ucapnya sembari menepuk-nepuk bahu Aurel menenangkan.
"Gu..gue nggak bisa bayangin kalo misalnya yang ada di posisi Zhafran atau Dinda itu gue. Gu-gue sayang banget sama papa gue." Ucap Aurel lagi. Sementara
Rendra hanya terdiam sembari tetap menepuk-nepuk bahu Aurel untuk menenangkannya.
Ia ingat kata papanya. Bahwa saat perempuan menangis, yang mereka butuhkan adalah ketenangan. Jadi sebisa mungkin ia menenangkan. Dan saat perempuan itu
mulai meluapkan emosinya. Yang harus ia lakukan adalah mendengarkan dan jangan membantah atau berkomentar. Karena di saat seperti itu perempuan hanya ingin
di dengar bukan di komentari apalagi di bantah.
Setelah merasa sedikit tenang. Aurel mengangkat wajahnya dan mulai menghapus sisa-sisa air matanya. Dan hal itu tidak luput dari pengawasan Rendra.
"Jangan di lihatin." Ucap Aurel sembari membuang mukanya dari Rendra.
"Kenapa?" "Gue jelek kalo abis nangis." Jawab Aurel yang membuat Rendra terkekeh.
"Malah ketawa lagi." Cibir Aurel. Masih membuang muka.
"Rel..." "Hmm.." "Lo tau? Selama temenan sama lo, baru kali ini gue lihat lo nangis." Ucap Rendra.
"Dan gue bener-bener panik tadi pas lihat lo nangis. Gue bingung harus gimana buat tenangin lo." Lanjutnya. Aurel belum menjawab. Ia masih terdiam.
"Jangan nangis lagi ya Rel." Ucap Rendra lagi.
"Kenapa?" Tanya Aurel.
"Kan lo bilang sendiri, kalo lo jelek kalo abis nangis. Jadi jangan nangis lagi." Jawab Rendra yang langsung membuat Aurel menoleh padanya.
"Nyebelin!" Gerutunya.
"Lo lebih pantes cerewet dadipada mewek kayak tadi." Ucap Rendra lagi.
"Tau ah.. gue mau sholat Ashar. Gue belum sholat." Ucap Aurel lalu beranjak dari duduknya.
"Yaudah. Gue juga belum. Yuk, sholat bareng.? Biar gue jadi imam lo." Ucap Rendra santai. Namun tanpa Rendra ketahui perkataannya itu menimbulkan getaran
dahsyat pada jantung Aurel.
*** "Gimana kak?" Tanya Clarista pada Rama. Dan lagi-lagi dan lagi hanya gelengan kepala Rama yang menjadi jawaban.
"Nggak di angkat, nomor Dinda juga nggak aktif." Jawab Rama.
"Terus gimana?" Tanya Clarista bingung.
"Kita cari kak Aurel aja deh. Mungkin dia masih di sekitar sini." Lanjutnya lagi.
Sementara Rama buru-buru menggelengkan kepalanya.


Hexagon Love Karya Hasdian Ks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Udah sore. Mending gue anter lo pulang, biar Aurel gue yang cari."
"Tapi kak.." ucapan Clarista terhenti saat tiba-tiba Rama bangun dari duduknya.
"Udah, nggak ada tapi-tapian. Sekarang gue anter lo pulang. Biar Aurel nanti gue yang cari. Ngga baik juga anak cewek pulang malem." Ucap Rama tak terbantahkan.
Membuat Clarista mau tak mau harus segera pulang.
*** Aurel mengerutkan keningnya saat melihat Rendra yang terkejut setelah melihat ponselnya yang tertinggal di mobil.
"Kenapa?" Tanya Aurel.
"Rama." "Rama?" "Dia ngebom gue."
"Maksudnya? Ngomong yang jelas dong.." pinta Aurel yang masih tidak paham.
"134 panggilan tak terjawab dan 24 pesan. Semuanya dari Rama." Jawab Rendra.
"Laaah... ada apa sama si Rama?"
Rendra membenarkan duduknya lalu segera memasang seatbeltnya.
"Dia nanyain keberadaan lo. Tadi gue minta dia buat anterin Clarista pulang.."
"Oh iya Clarista.." pekik Aurel tiba-tiba. Membuat Rendra menoleh kepadanya.
"Buruan telfon Rama. Bilang kalo gue sama lo. Kasihan mereka. Jangan-jangan masih nungguin gue di mall lagi." Ucap Aurel dan Rendra menuruti perintah Aurel
untuk menelfon Rama. "Ram.. Aurel udah sama gue. Maaf tadi hp gue ketinggal di mobil. Lo sama Clarista udah pulang kan?"
".." "Oke-oke. Thanks yaa. Sorry ngrepotin lo."
"Gimana?" Tanya Aurel setelah Rendra menutup telfonnya.
"Rama baru aja nganterin Clarista dan niatnya dia baru mau balik lagi ke mall buat nyari lo." Jelas Rendra.
"Beruntung banget deh gue punya sahabat kayak Rama. Perhatian banget, sampai bela-belain nyari gue." Ucap Aurel dengan senyum di bibirnya.
"Jadi lo merasa tidak beruntung punya sahabat kayak gue? Gue tadi juga cariin lo tau." Cibir Rendra. Sementara Aurel malah terkekeh.
"Uluh-uluh... beruntungnya punya Rendra sama Rama. Sahabat paling baik pokoknya." Ucap Aurel lagi. Sementara Rendra malah mencibir ulah Aurel.
*** 12. Kalau Allah sudah berkehendak
"Lo yakin?" Tanya Zhafran pada perempuan di sampingnya. Raut wajah kekhawatiran tidak bisa Zhafran sembunyikan walau sebentar
"InshaAllah. Jangan lebay deh. Gue itu lebih tua dari lo. Jadi nggak usah sebegitu khawatirnya lah." Jawab Dinda asal.
"Tumben sadar diri kalau tua." Cibir Zhafran. Sementara Dinda mendengus.
"Cuma beda setahun Zhafran. Plis deh jangan jadi nyebelin."
"Setahun juga umur Din. Tetep aja lebih tua." Ucap Zhafran tak mau kalah.
Tapi sayangnya Dinda sudah terlalu malas menanghapi Zhafran. Maka ia lebih memilih untuk segera pergi menuju ke halaman rumah sakit dan menghampiri ojek
pesanannya. Dan Zhafran yang melihat Dinda pergi pun segera berlari menyusul Dinda dan buru-buru menghadangnya.
"Lo disini diem. Awas kalo sampai bergerak." Ancam Zhafran lalu segera berlari menghampiri ojek pesanan Dinda dan membayarnya.
"Eh.. gue kan belum ngojek. Kenapa di suruh pergi bapaknya?" Protes Dinda.
"Pokoknya gue yang nganter lo. Nggak boleh ojek-ojekan." Tegas Zhafran lalu menarik lengan baju Dinda dan membawanya menuju mobilnya.
*** "Gue nggak ngerti." Ucap Aurel setengah frustasi. Matanya menatap lurus ke arah langit yang mulai jingga, perlahan ia tau bahwa senja akan hadir sesaat
lagi. Dan memang, ia sangat menyukai senja seperti mama dan papanya.
Sementara satu perempuan lagi menatapnya tak mengerti. Ia tidak pernah mengira bahwa Aurel akan sekeras kepala ini.
"Perasaan itu nggak bisa di paksa kak." Ucapnya mengingatkan Aurel. Bukannya ia ingin menggurui hanya saja ia juga tidak ingin di paksa.
"Jadi maksud lo, gue lagi maksa lo?" Tanya Aurel yang langsung mendapat gelengan kepala dari perempuan di sampingnya.
"Bukan gitu." Aurel mendesah. Ia tidak tau maksud dari perempuan di sampingnya. Bukan.. lebih tepatnya ia memang tidak ingin tau.
"Kita sama-sama perempuan kak. Aku harap kakak juga paham dengan apa yang aku maksud."
"Tapi.." "Clarista minta kakak jangan terus berpura-pura. Karena berpura-pura bahagia itu lebih sakit." Aurel tergagap mendengar ucapan Clarista.
"Jangan munafik, jangan terus membohongi perasaan. Emangnya kakak nggak capek? Membohongi perasaan kakak sendiri?" Aurel masih terdiam mendengarkan kata
demi kata yang di ucapkan Clarista. Ia benar-benar merasa telah ditampar dengan kata-kata itu. Sementara Clarista segera bernjak dari duduknya.
"Clarista pulang dulu kak. Rista harap kakak bisa pikirin. Bahwa perasaan itu datang dengan sendirinya, tanpa di minta tanpa di paksa. Dan perasaan itu
juga tidak bisa di paksakan. Dia mengalir dengan sendirinya, karena dia punya jalan yang ia pilih." Ucap Clarista lalu segera pergi meninggalkan Aurel
yang masih duduk termenung di bangku taman sembari menatap langit yang semakin jingga.
Ia juga tidak paham dengan dirinya sendiri. Mengapa ia jadi seperti ini. Bukankah masalah hati itu begitu rumit. Mengapa ia harus terjebak perasaan di
antara sahabat dan sepupunya?
Jika bisa, mungkin Aurel sudah menghapus perasaannya kepada Rendra sejak lama. Tapi sayangnya rasa itu pun masih enggan beranjak dari hatinya.
Lalu apakah ia harus menyalahkan hatinya? Tidak. Hatinya tidak bisa di salahkan. Karena hatinya pun tidak pernah menginginkannya.
*** Zhafran menatap Dinda yang tertidur pulas di mobilnya, perjalanannya menuju kantor Abhi masih jauh. Mungkin masih sekitar satu jam lagi. Dan hal ini dikarenakan
keadaan jalan yang begitu macet sehingga menghambat perjalan mereka yang seharusnya hanya menempuh perjalanan selama satu jam. Kini harus mereka habiskan
selama lebih dari dua jam.
Andai lo tau kalo gue sayang banget sama lo
Batin Zhafran sembari melirik Adinda yang masih tertidur. Tapi ia tau bahwa Adinda tidak akan pernah tau bahwa rasa sayangnya sudah melebihi rasa sayang
seorang sahabat. Karena ia pun tidak akan membiarkan Adinda tau. Sebab ia begitu takut jika Adinda tau akan perasaannya malah membuat persahabatan mereka
hancur. "Ngapain lo lihatin gue?" Ucap Dinda secara tiba-tiba dengan mata masih terpejam membuat Zhafran langsung mengalihkan pandangannya.
"Baru nyadar kalo gue cantik?" Tanya Dinda sembari membenarkan duduknya, lalu mengedarkan pandangannya menatap sudah sampai mana perjalanan mereka.
"Pengen banget ya di bilang cantik?" Cibir Zhafran. Padahal dalam hatinya tentu saja ia mengakui bahwa Dinda cantik.
Dinda menoleh sekilas pada Zhafran yang masih menatap jalanan macet.
"Enggak sih. Gue sadar diri aja, kan di mata lo yang paling cantik itu Clarista." Ucapnya. Sementara Zhafran mengeluh dalam hati. Selalu ia merasa bersalah
setiap kali Dinda menyebut nama Clarista sebagai perempuan yang ia suka.
"Semerdeka lo aja." Dan nyatanya ia pun masih tetap memilih berbohong dan tidak mau mengakui perasaannya yang sebenarnya.
Sementara langit pun semakin jingga, mungkin sebentar lagi jingga itu akan berubah menjadi gelap. Namun dua anak manusia yang masih terjebak dalam kemacetan
itu pun masih terdiam, bergelut dengan pikiran masing-masing.
Dan hal itu benar-benar membuat aura canggung begitu terasa. Dan baik Zhafran maupun Dinda sangat membenci kecanggungan.
"Din.." "Ran.." Keduanya tertawa saat tanpa sadar saling memanggil secara bersamaan.
"Lo dulu." Ucap Dinda.
"Ladies first." Ucap Zhafran dan Dinda pun berdecak.
"Cowok itu martabatnya jadi imam, dia yang di depan. Bukan cewe. Jadi lo sebagai calon imam harus bicara duluan. Gue mah cewe, nanti jadi makmum. Kan di
belakang." Rancau Dinda. Sementara Zhafran malah terpaku mendengar ucapan Dinda. Ia benar-benar merasa seperti ABG labil yang suka baper hanya dengan kalimat
sederhana dan tidak bermakna. Karena ia pun tau bahwa apa yang di katakan Dinda itu hanya rancauan tidak jelasnya.
"Gue tau, cowo itu martabatnya jadi imam. Karna gue imam yang baik, maka gue persilahkan lo ngomong duluan."
"Eh.." kini malah giliran Dinda yang terkejut.
"Imam yang baik??" Tanyanya lagi. Lalu tak lama kemudian tawa Dinda pecah di dalam mobil. Ia benar-benar tidak bisa menahan tawanya.
"Kesannya lo itu suami dan gue istri deh. Ada imam-imam segala pula." Ucap Dinda di sela-sela tawanya. Sementara berbeda dengan apa yang di rasakan Zhafran.
Ia justru merasa deg-degan yang luar biasa.
"Kan lo yang mulai. Jangan-jangan lo emang pengen jadi istri gue ya?" Tuduh Zhafran asal.
Sementara Dinda malah semakin tertawa. Dan setelah ia selesai dengan tawanya. Ia berdeham sebelum menjawab pertanyaan Zhafran.
"Yaa.. kalo Allah sudah berkehendak mah gue bisa apa? Jadi istri lo juga bukan masalah." Ucapnya lalu kembali tertawa sedangkan Zhafran benar-benar bungkam.
Merasakan degub jantungnya yang kian berpacu kuat. Ah.. mengapa malah situasinya menjadi seperti ini. Zhafran benar-benar takut bahwa Adinda melihat keanehannya.
**** 13. Sama-sama Mengingatkan
Matahari bersinar begitu terik, membuat suhu udara menjadi tinggi.
Sesekali Rendra mengusap peluhnya yang sedari tadi berjatuhan.
"Ya Allah. Ini masih di bumi aja panasnya kayak gini. Apalagi di neraka nanti. Na'uzubillahimindzalik. Jangan sampai deh."
"Makanya banyakin ibadah. Biar masuk surga." Sahut Aurel.
"Amin. Iya deh iya.? Makasih udah di ingetin." Jawab Rendra lalu mendudukkan badannya di samping Aurel.
"Minum dong." Pinta Rendra sembari berusaha merebut sebuah botol minuman di tangan Aurel. Dengan cepat Aurel menyembunyikan botol yang ada di tangannya.
"Enak aja. Ini punya Rama! Beli sendiri sana." Rendra mendengus.
"Rama aja terus. Gue kapan di perhatiinnya." Keluhnya
"Udah-udah. Berantem mulu deh." Ucap Rama menengahi. Namun dua manusia itu tidak ada yang menjawab, Rendra sibuk dengan dengusannya semetara Aurel lebih
memilih untuk memberikan satu botol minuman kepada Rama. Rama menerimanya lalu tersenyum.
"Makasih ya Rel." Aurel mengangguk.
"Ah.. males ah.. berasa obat nyamuk gue." Ucap Rendra lalu melenggang pergi, membuat Rama tertawa sementara Aurel hanya diam sembari menatap punggung Rendra
yang mulai menjauh. Lebih baik seperti ini---batin Aurel.
"Rel.." panggil Rama. Tapi Aurel masih terdiam.
"Aurel." Panggil Rama lagi. Tapi Aurel belum juga menjawab.
"Aurel." Panggil Rama sekali lagi. Kali ini sembari menepuk bahu Aurel. Membuat gadis itu terlonjak kaget.
"Eh iya.. gimana?" Tanyanya.
"Lo kenapa?" "Enggak kok. Yaudah pulang yuk." Ajak Aurel. Dan Rama hanya bisa mengangguk. Lagi pula ia juga butuh istirahat setelah lelah bermain futsal.
*** Rendra menatap horor perempuan yang ada di hadapannya. Bagaimana tidak. Ia baru saja masuk ke dalam rumahnya pukul 2 siang setelah lelah mengikuti mata
pelajaran olahraga di jam terakhir. Dan ia belum meletakkan tubuhnya yang lelah. Kini ia harus di hampiri oleh gadis yang entah sejak kapan datang.
"Apa?" Tanyanya pada gadis itu.
Gadis itu hanya tersenyum lalu mendudukkan tubuhnya di sofa ruang tamu.
"Bang. Nonton yuk." Ajaknya tanpa aba-aba.
Sementara Rendra memutar matanya. Tentu saja. Gadis ini selalu datang hanya saat ada butuhnya.
"Biasanya juga sama Zhafran." Ucapnya lalu ikut duduk berhadapan dengan gadis itu.
"Lah.. sejak kapan Zhafran mau di ajak nonton? Kan biasanya Dinda nontonnya sama abang." Rendra mendengus namun juga membenarkan ucapan Dinda. Memang dari
dulu Zhafran paling anti menonton film di bioskop, entah apa alasannya dia juga tidak tau.
"Yaudah gue mandi dulu. Lo tunggu sini. Btw lo tau mama gue kemana?" Tanyanya pada Dinda. Karena ia tau. Dinda pasti tau di mana keberadaan mamanya.
"Iya tadi tante Ghina bilang, katanya mau nemenin om Rendi ke Balikpapan." Benar kan? Dinda tau dimana keberadaan orang tuanya. Kadang Rendra sendiri bingung.
Sebenarnya yang anaknya itu siapa? Ia atau Dinda? Mengapa setiap akan pergi yang selalu di beri tau adalah Dinda bukan dirinya.
"Berapa hari di balikpapan?" Tanyanya lagi.
"Tiga hari. Itu kalo urusannya langsung beres. Kalo enggak ya bisa satu minggu."
"Seminggu?" Tanya Rendra terkejut. Dinda mengangguk.
"Nyantai aja kali bang. Iya seminggu. Dan seperti biasa. Lo di titipin ke Umi. Jadi untuk beberapa hari ini lo nginep di rumah gue."
"Bahasa lo Din. 'Di titipin' emang gue balita?" Mendengar ucapan Rendra, Adinda malah tertawa.
"Ya kali, ada balita segede elo bang. Udah buruan sana mandi." Usir Dinda. Dan dengan berat hati Rendra menyeret tubuhnya untuk segera mandi.
*** "Doorrrrrr." "Astagfirullah.." Clarista mengelus dadanya saat seseorang mengejutkannya. Namun bukannya meminta maaf, orang yang membuatnya terkejut malah tertawa terbahak-bahak.
"Zhafraaaaan... ih." Clarista berteriak kesal. Sedangkan Zhafran masih saja terus tertawa.
"Terus aja ketawa. Dasar nyebelin." Dengus Clarista.
"Ehm." Zhafran berdeham setelah ia menghentikan tawanya.
"Maaf-maaf. Abisnya lo melamun mulu sih.? Gue panggilin dari tadi cuma diam aja. Mikirin apa sih?" Tanya Zhafran. Sedangkan Clarista mendengus.
"Kepo banget!" Jawabnya sewot. Namun malah terlihat lucu di mata Zhafran.
"Btw, jalan yuk. Mau nggak? Gue izinin ke om David deh." Ucap Zhafran tiba-tiba membuat Clarista menoleh menatapnya.
"Jalan kemana?"
"Kemana aja asal sama kamu." Jawab Zhafran lalu terkekeh. Meskipun Clarista tau bahwa yang di katakan Zhafran adalah sebuah candaan. Tapi tetap saja membuat
jantungnya deg-degan tak karuan.
"Minta izin dulu deh. Kalo di izinin gue mau. Kalo enggak ya gue pulang." Ucap Clarista setelah menetralkan detak jantungnya.
"Siap." Jawab Zhafran lalu segera mendial nomor David yang tidak lain adalah nomor ayah Clarista.
Setelah mendapatkan izin dari ayah Clarista yang tentu saja di sertai dengan beberapa persyaratan yaitu tidak boleh berlama-lama dan harus pulang tepat
waktu. "Yuk.. kata om David boleh asal pulang tepat waktu." Ajak Zhafran.
"Emang mau ngajakin kemana?"
"Ada deh.. rahasia lah."
"Lo nggak nyulik gue kan? Kok gue serem ya?" Zhafran langsung tertawa mendengar ucapan Clarista.
"Iya lo gue culik."
"Tuh kan bener. Gue nggak mau ah."
"Ya kali Ris, penculik izin dulu kalau mau nyulik." Dan kini giliran Clarista yang tertawa.
"Yaudah. Lo jadi nyulik gue nggak?" Tanyanya.
"Jadi lah. Sia-sia gue izin kalo nggak jadi."
*** "Parah-parah.. gue nyesel lo ajak nonton." Gerutu Rendra saat mereka baru saja keluar dari bioskop.
Sedangkan Adinda sedari tadi hanya tertawa melihat wajah pucat Rendra.
"Ya elah bang, cuma film doang."
"Cuma film dong? Gue beneran takut kali." Lagi-lagi Adinda tertawa.
"Iya deh iya. Maafin Dinda."
"Udah tau gue nggak suka film horor. Masih aja di ajak nonton." Kesal Rendra. Sedari tadi ia mati-matian menahan takut. Bukan takut pada hantunya tapi
takut pada lagu horor yang di putar dalam film.
"Udah ah. Ayo makan. Udah laper nih perut." Ucap Dinda lalu melenggang meninggalkan Rendra.
Rendra yang melihat Dinda pergi pun langsung mengejarnya.
"Makan--makan.. udah ayo pulang. Umi udah masak. Lo nggak kasihan apa? Udah susah masak malah nggak di makan."
Adinda mendengus "maksud Dinda juga itu. Kita makan di rumah."
"Yaudah ayo pulang." Ucap Rendra lalu berjalan mendahului Dinda.
*** Zhafran masih terdiam menatap lurus langit yang mulai menguning. Begitu pula Clarista yang duduk di sampingnya. Sejak kedatangan mereka di danau ini. Belum
ada satu patah katapun yang terucap dari mulut mereka.
"Indah." Ucap Clarista tiba-tiba, membuat Zhafran langsung menoleh padanya.
"Suka?" Tanyanya. Clarista tersenyum lalu menganggukkan kepalanya.
"Nggak nyesel gue di culik elo." Zhafran tertawa mendengar kalimat yang keluar dari mulut Clarista.
"Baru kali ini gue denger ada orang yang bahagia di culik." Dan kini giliran Clarista yang tertawa.
"Btw, apa yang lo rasain saat lihat senja seperti ini?" Tanya Zhafran yang langsung menghentikan tawa Clarista.
"Kalo lo?" Bukannya menjawab, Clarista malah balik bertanya.
"Kalo di tanya jangan balik nanya. Di jawab dulu pertanyaannya." Cibir Zhafran.
"Oke, menurut gue saat gue melihat senja. Gue merasa kalau gue kecil. Dan gue harus banyak-banyak bersyukur karena Allah SWT telah menciptakan keindahan
yang luar biasa. Dimana langit yang semula berwarna biru cerah secara perlahan berubah menjadi jingga lalu ungu dan berakhir gelap. Tapi akhir gelap itu
bukanlah akhir segalanya karena di esok hari pun langit kembali cerah."
"Dan nikmat Tuhanmu manakah yang engkau dustakan?" Sahut Zhafran dan Clarista tersenyum.
"Iya Ran. Kita sebagai manusia kadang merasa lalai akan nikmat Allah yang begitu melimpah. Kita sering kali kurang bersyukur." Dan seperti ini lah yang
Zhafran suka dari Clarista. Perempuan itu selalu mengingatkannya kepada Allah.
"Padahal Allah sudah memberikan kita kenikmatan yang tak terhingga. Bernafas misalnya. Bisa bernafas itu pun nikmat, karena jika tidak, maka berarti kita
mati." Sambung Clarista.
"Makasih Ris." Ucap Zhafran.
Dahi Clarista berkerut. "Makasih untuk?"
"Makasih karna lo selalu ngingetin gue agar selalu mendekat kepada Allah." Jawab Zhafran.
"Zhafran... kita itu sama-sama manusia. Sama-sama makhluk ciptaan Allah. Jadi sudah seharusnya jika kita saling mengingatkan. Mungkin sekarang aku yang
mengingatkan kamu. Tapi suatu hari, kamu yang juga harus mengingatkan aku jika aku lalai."
"Iya Clarista. Kita sama-sama mengingatkan. Yaudah pulang yuk. Sesusai perjanjian sama om David. Nggak boleh sampai magrib." Ajak Zhafran lalu bangkit
dari duduknya. Dan mau tak mau Clarista pun turut bangkit dan berjalan pulang bersama Zhafran.
*** 14. kapan halalin aku? Aku mencintaimu dalam bait doa yang aku ucapkan pada Sang Pencipta.
Aku mencintaimu pada setiap kata-kata yang ku rangkai menjadi sebuah kalimat.
Tapi aku mencintaimu hanya sekedar ini saja.
Tidak lebih, cukup seperti ini.
Karena aku tidak ingin mencintaimu melebihi cintaku pada-Nya.
Karena aku lebih mencintai Dia dari pada kamu yang belum tentu menjadi imamku.
Maafkan aku jika selacang ini mencintaimu tanpa persetujuanmu.
Karena ini rasaku, ini hatiku, dan aku tidak bisa memaksanya untuk tidak mencintaimu.
-aza "Manteb nih puisi.. siapa sih aza?" Tanya Rendra pada Aurel. Aurel mengendikkan bahunya.
"Ya mana gue tau. Elo sendiri kenal nggak sama si aza itu?"
"Ya kalo gue kenal, gue nggak akan tanya elo Aurel cantik." Ucap Rendra penuh penekanan pada kata 'Aurel Cantik'.
"Baru sadar kalo gue cantik? Udah dari dulu kali." Jawab Aurel dan langsung mendapat cibiran dari Rendra.
"Udah deh buruan ke kantin. Laper gue." Ucap Aurel lalu melenggang mendahului Rendra menuju kantin.
Sementara Rendra masih memikirkan siapa penulis puisi itu. Otaknya berputar, ia seperti mengenal tulisan itu. Karena tulisannya tidak asing bagi dirinya.
Tapi tetap saja, dalam keadaan lapar otaknya akan lebih lambat dalam bekerja. Maka dari itu ia memilih untuk mengejar Aurel yang sudah lebih dulu menuju
kantin. Kantin tampak ramai. Tentu saja, namanya juga kantin. Setiap kali jam istirahat tiba pasti banyak manusia-manusia dengan perut lapar berdatangan untuk
mengisi perutnya. Kepalanya menengok kesana kemari untuk mencari keberadaan Aurel. Dan saat ia menemukannya ia segera melesat menyusul beberapa orang yang turut duduk bersama
Aurel. "Makan itu bukan masalah dimana dan sama siapanya. Tapi masalah halal atau enggaknya."
"Nah bener tuh Dinda. Yang penting halal." Sahut Rama.
"Terus kapan kamu halalin aku?" Celetuk Aurel asal-asalan. Membuat orang-orang di hadapannya berdeham-deham tidak jelas. Sementara Rama malah tampak menegang.
"Udah di kode-in tuh kak. Buruan di halalin." Tambah Zhafran. Membuat Rama semakin menegang. Sedangkan Dinda yang juga ada di sana sedari tadi mengamati
Rama. Senyum terbit di bibirnya. Bukan karena ia bahagia, melainkan senyum getir karena nyatanya sangat terlihat dari mata Rama bahwa pria itu menaruh
perasaan lebih kepada Aurel.
Sementara Aurel yang sedari tadi menjadi biangnya malah tengah duduk tenang sembari mengaduk-aduk minumannya.
"Aku mencintaimu dalam bait doa yang aku ucapkan pada Sang Pencipta." Ucap Rendra tiba-tiba. Ia baru saja datang dan berbicara seperti itu membuat lima
orang di hadapannya menoleh ke arahnya. Kemudian Rendra tanpa berucap lagi, ia mendudukkan badannya tepat di hadapan Clarista yang tengah menikmati nasi
gorengnya. "Aku mencintaimu dalam bait doa yang aku ucapkan pada Sang Pencipta. Aku mencintaimu pada setiap kata-kata yang ku rangkai menjadi sebuah kalimat." Ucap
Rendra lagi. Clarista mendongak menatap Rendra.
"Tapi aku....."
"Lo kenapa bang?" Potong Zhafran yang membuat Rendra mendengus.
"Abis ngapalin puisinya aza tuh tadi." Sahut Aurel.
"aza?" Tanya Clarista.
"Itu, ada puisi yang di tempel di mading. Nama penulisnya aza. Nggak tau deh siapa. Tapi Rendra baper tuh sama puisinya." Jawab Aurel.
"Enak aja, gue nggak baper kali." Protes Rendra.
"Terserah." Jawab Aurel.
"aza siapa sih?" Tanya Rendra.
"Adinda Zahra Abhimanyu." Ucap Zhafran spontan. Membuat semuanya menoleh menatap Adinda.
"Apa??" Tanya Dinda seolah tidak terjadi apa-apa.
"Beneran? Aza itu elo?" Tanya Aurel.
"Makanya gue nggak asing sama tulisannya." Tambah Rendra. Sementara Dinda memilih diam tak menjawab. Sebenarnya ia malu saja.
"Emang gimana sih puisinya bang?" Tanya Clarista, membuat Rendra tersenyum penuh arti.
"Rista mau denger. Kebetulan abang hafal." Ucapnya lalu berdeham.
"Aku mencintaimu dalam bait doa yang aku ucapkan pada Sang Pencipta.
Aku mencintaimu pada setiap kata-kata yang ku rangkai menjadi sebuah kalimat.
Tapi aku mencintaimu hanya sekedar ini saja.
Tidak lebih, cukup seperti ini.


Hexagon Love Karya Hasdian Ks di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Karena aku tidak ingin mencintaimu melebihi cintaku pada-Nya.
Karena aku lebih mencintai Dia dari pada kamu yang belum tentu menjadi imamku.
Maafkan aku jika selacang ini mencintaimu tanpa persetujuanmu.
Karena ini rasaku, ini hatiku, dan aku tidak bisa memaksanya untuk tidak mencintaimu."
Selepas Rendra membacakan puisi itu. Semuanya menatap Dinda. Membuat Dinda kelabakan.
"Emang siapa Din yang kamu cintai dalam bait Doa yang kamu ucapkan pada Sang Pencipta?" Tanya Rama. Membuat ia semakin kelabakan. Pipinya bahkan sudah
memerah. Andai saja ia punya keberanian. Mungkin ia sudah meneriaki Rama dan mengatakan bahwa yang ia maksud adalah Rama. Sayangnya keberanian itu tidak
di milikinya. Terlebih saat ia menatap perempuan yang duduk di samping Rama, Aurel--perempuan yang Rama sukai. Hatinya langsung terasa sakit.
"Ada lah." Jawab Dinda.
"Cie malu-malu. Kayaknya Dinda yang lebih siap di halalin deh Ram. Buruan Ram halalin." Ucap Aurel asal. Membuat pipi Dinda semakin merah.
"Kak Rama kan maunya halalin kak Aurel." Ucap Dinda menyatakan fakta yang ada. Namun sayangnya fakta itu tidak di ketahui orang-orang di sekelilingnya.
"Kok jadi gue sih?." Ucap Rama.
"Udah Ram. Halalin dua-duanya aja." Ucap Rendra asal.
"Satu aja berat. Apalagi dua."
"Gue mah. Mau halalin Clarista aja lah."
"Eh??" Clarista menatap Rendra tajam.
"Ngaco semuanya deh." Lanjut Clarista. Membuat semuanya tertawa.
"Mungkin mereka udah pengen nikah kali Ris." Jawab Zhafran.
"Zhafran jangan mulai deh. Makan dulu gih." Ucap Aurel menginterupsi Zhafran. Membuat Zhafran terkekeh lalu melanjutkan makannya. Dan keadaan pun menjadi
hening, tidak seramai tadi. Semua memilih untuk menikmati makanannya sebelum bel masuk berbunyi.
"Tapi abang serius loh Ris." Ucap Rendra tiba-tiba.
"Abang makan dulu deh. Clarista belum siap di halalin. Mau sekolah" Ketus Clarista membuat semuanya kembali tertawa kecuali Aurel. Karena biarpun bercanda.
Ucapan Rendra benar-benar mengusiknya. Ah hati.. mengapa kau rapuh sekali??
*** 15. Tidak bisa di paksa Mentari tampak bersiap untuk kembali ke peraduannya. Langit yang semula biru lalu berubah jingga dan kini bersiap untuk menjadi hitam. Burung-burung mulai
berterbangan kembali ke sarangnya. Suara Azan perlahan menggema sambung menyambung dari masjid satu ke masjid lainnya.
"Sholat dulu Din." Ucap Rendra saat ia baru saja keluar kamar dan mendapati Dinda masih duduk di ruang keluarga. Kemudian di susul Zhafran yang sudah siap
dengan baju kokonya. "Nggak siap-siap? Udah azan loh." Ucap Zhafran. Ya, kedua pria itu untuk satu minggu ini memang tinggal di rumahnya. Karena orang tua mereka tengah pergi
ke luar kota untuk urusan pekerjaan.
"Iya, kalian duluan aja. Dinda lagi nggak sholat. Mau jamaah di rumah kan?? Udah di tunggu Ayah." Jawab Dinda, dan dua pria itu pun segera bergegas menuju
mushola kecil yang ada di rumahnya untuk menjalankan kewajiban sebagai hamba.
Sedangkan Adinda memilih untuk menuju dapur, menyiapkan makanan untuk makan malam.
*** Angin mendesau lebih kencang seiring dengan jarum jam yang sudah menunjukkan pukul 9 malam. Tapi tiga orang remaja yang masih asik menatap bintang itu
belum juga mau beranjak dari duduknya.
"Lo nggak tidur Din? Udah malem tau." Ucap Zhafran pada Dinda yang masih berdiri di balkon sebelah kamarnya dengan Rendra.
"Iya tuh. Anak cewek nggak baik begadang." Tambah Rendra.
"Gue belum ngantuk bang." Jawab Dinda.
Keheningan kembali tercipta diantara mereka bertiga. Hanya kilauan bintang dan senyuman bulan sabit yang semakin bercahaya menghiasi malam yang sedari
tadi mereka pandangi. "Lo kenapa suka sama Clarista bang?" Tanya Dinda tiba-tiba. Membuat Rendra maupun Zhafran menoleh padanya.
"Kenapa?" Tanya Rendra memastikan.
Dinda hanya diam tak menjawab pertanyaan Rendra.
"Gue juga nggak tau Din. Kenapa gue suka sama Clarista." Jawab Rendra.
Dinda menolehkan kepalanya, melirik Zhafran yang sedari tadi hanya terdiam.
"Kalo misalnya Zhafran juga suka sama Clarista gimana dong bang?" Zhafran menoleh pada Adinda saat mendengar ucapan gadis itu.
"Kok gue?" Protes Zhafran.
"Ya kalo Zhafran suka, terserah dia lah. Perasaan dia juga kan. Bener nggak Ran? Tapi bukannya Zhafran sukanya sama elo ya Din?" Ucap Rendra yang membuat
Dinda terkejut. "Ngaco lagi lo bang, jangan dengerin Din." Ucap Zhafran yang mulai salah tingkah. Ia mendesah pelan. Mengapa ia harus terjebak dalam pembicaraan seperti
ini. "Gue tau kok." Jawab Dinda yang membuat Zhafran dan Rendra menoleh. Sementara jantung Zhafran mulai berdetak tak karuan. Benarkah Dinda tau bahwa ia menyukainya
melebihi sahabat? Lalu mengapa selama ini perempuan itu malah berpura-pura dan selalu menggodanya dengan Clarista?.
Sepasang Pendekar Kembar 3 Pendekar Mata Keranjang 23 Tumpahan Darah Di Supit Urang Pendekar Lembah Naga 29

Cari Blog Ini