Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen Bagian 10
"Nona Lam, maafkan aku tidak pandai bicara. Maksudku bukan hendak mengatakan bahwa perempuan tidak dapat dibandingkan dengan orang lelaki, kepandaianmu sendiri sekalipun banyak orang kuat golongan lelaki di kalangan kang-ouw, barangkali jarang yang dapat menandingi. Tetapi karena pengetahuanku sangat terbatas, tidak banyak yang kuketahui perempuan muda yang berkepandaian tinggi, maka aku menanyakan kepadanya."
10.57. Perempuan Berbaju Merah
Lam Chun Lui segera berkata sambil tertawa,
"Adik, orang memuji dirimu seharusnya kau merasa gembira!"
Tukang perahu itu juga berkata sambil tertawa:
"Tentang perempuan berbaju merah itu, dahulu aku belum pernah melihatnya. Aku hanya mendengar kabar ilmu goloknya sangat ganas. Orang yang dilukai olehnya itu adalah salah satu kepala bajak laut Soa Thiat San yang menduduki kursi keempat. Hanya satu gerakan saja sudah dibacok dua kali olehnya. Perempuan itu berpakaian merah, kuda tunggangannya juga berbulu merah, nampaknya sesuai benar dengan adatnya yang berangasan."
Can Pek Sin meski belum mengetahui jelas, tetapi dari gambaran yang diberikan oleh tukang perahu itu ia dapat menduga pasti bahwa perempuan baju merah itu bukanlah Thie Po Leng.
Tukang perahu itu berkata pula:
"Kabarnya perempuan berbaju merah itu kemarin juga menuju ke kota Yang-ciu. Mungkin nanti malam setelah kita tiba di pusat, boleh mencari kabar tentang dirinya."
Can Pek Sin karena anggap tidak ada sangkut pautnya dengan perempuan itu, maka juga tiada maksud untuk mencari keterangan lagi.
Mereka melanjutkan perjalanannya, tiba-tiba dapat melihat seekor kuda yang dilarikan dengan cepat menuju ke arah mereka.
Tukang perahu itu lalu berkata:
"Eh, itulah perempuan yang kamu tanyakan tadi."
Kiranya perempuan muda yang berada di atas kuda tunggangannya itu adalah seorang perempuan muda yang berpakaian merah dan kuda tunggangannya pun berwarna merah.
Lam Chiu Lui lalu berkata:
"Kuda merahnya itu benar saja kuda jempolan, barangkali lebih bagus daripada kuda putih tunggangan kau. Pantas saja anak buah Soa Thiat San hendak merampas kudanya."
Sebentar kemudian, perempuan berbaju merah itu sudah mulai dekat, dan romannya juga dapat dilihat dengan nyata.
Ketika Can Pek Sin menyaksikan perempuan itu, diam-diam terperanjat, pikirannya: Oh, kiranya adalah dia. Mengapa aku tadi tidak ingat?
Perempuan berbaju merah itu bukan lain dari pada Liong Seng Hong yang dahulu pernah berkalahi dengan Can Pek Sin ketika berada di rumah Lauw Bong di lembah Phoan-liong-kok
Ketika Liong Seng Hong melihat Can Pek Sin, lalu memperdengarkan suara dinginnya, kemudian mengayun pecutnya, dan kuda merah itu menerobos di antara mereka.
Pecut tadi hampir mengenakan Can Pek Sin. Lam Chiu Lui yang kudanya justru berada di belakang Can Pek Sin juga hampir kena pecut itu. Ia sangat marah, segera balas memecut tetapi kuda perempuan berbaju merah itu larinya kencang sekali, ia sudah kabur jauh.
Lam Chun Lui berkata dengan perasaan heran:
"Perempuan ini sungguh tidak tahu aturan, tanpa memberi peringatan sudah menerjang ia tentunya beranggapan kita anak buahnya Soa Thiat San."
Lam Chiu Lui berkata: "Sayang pecutku tadi tidak mengenakan dirinya. Aku justru ingin lihat sampai dimana tinggi kepandaiannya?"
"Can toako tokh tidak marah, mengapa justru kau yang uring-uringan?" berkata sang kakak sambil tertawa. Karena ia sudah melihat bahwa perempuan berbaju merah itu, kemarahannya ditujukan kepada Can Pek Sin.
Dalam waktu yang sangat singkat itu, rupa-rupa pikiran yang timbul dalam otak Can Pek Sin, kemudian ia berpikir: Sekalipun masih belum lenyap dendamnya terhadap diriku, tetapi biar bagaimana ia adalah sahabatnya Lauw Bong. Seharusnya aku harus memberitahukan kepadanya supaya ia lekas menyingkir.
Pada saat itu perempuan berbaju merah itu sudah terpisah jauh. Can Pek Sin tiba-tiba memutar balik kuda tunggangannya, sehingga mengejutkan Lam Chiu Lui. yang segera menegurnya,
"Can toako, kau mau apa?"
"Aku hendak berkata beberapa kata kepadanya!" jawab Can Pek Sin, karena khawatir tidak dapat mengejar maka ia tidak memberi keterangan yang lebih jelas.
Kuda putih Can Pek Sin bisa lari lebih cepat dari pada kuda berbulu merah itu, sebentar saja sudah lari sepuluh pal lebih, sehingga akhirnya dapat mencapai Liong Seng Hong.
Liong Seng Hong tahu dirinya dikejar segera menghentikan kudanya, ia mengawasi Can Pek Sin dengan sinar mata gusar kemudian menegurnya dengan suara bengis:
"Perlu apa kau mengejar aku? Apakah kau ingin berkelahi lagi?"
Can Pek Sin juga mendongkol, tetapi ia masih mengendalikan perasaannya, jawabnya:
"Nona Liong, kau jangan salah paham, aku hanya ingin memberitahukan kepadamu sesuatu urusan."
Liong Seng Hong agaknya merasa bahwa jawaban anak muda itu di luar dugaannya, katanya dengan nada suara dingin:
"Urusan apa?" "Betulkah kau pernah melukai salah seorang anak buah Soa Thiat San?"
"Betul, kemarin aku pernah melukai seorang bajak laut, tetapi aku tidak tahu ia anak buah siapa, dan kau mau apa?"
"Nona Liong sukakah kau berlaku sabar sedikit? Apakah kau kira aku orang golongan mereka? Aku justru hendak memberi kabar kepadamu."
Liong Seng Hong juga tahu bahwa Can Pek Sin bukanlah orang golongan mereka, maka ia merasa tidak enak sendiri, dengan sikap agak sabar ia bertanya:
"Kabar apa?" "Soa Thiat San sudah mengetahui perkara itu, dia adalah salah satu jagoan daerah Kang-lam, barangkali ia akan mencarimu untuk menuntut balas......"
"Oh, kau sungguh baik, aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu. Namun demikian kau juga tidak menghawatirkan diriku."
"Nona Liong, aku tahu kau berkepandaian tinggi, tetapi Soa Thiat San sesungguhnya juga tidak boleh dipandang ringan. Aku pernah bertempur dengannya, ilmu serangannya yang memindahkan nyawa dalam tujuh langkah sangat lihai sekali. Dengan sejujurnya apabila berkelahi sendirian aku masih belum sanggup menandinginya."
Liong Seng Hong hanya perdengarkan suara di hidung, agaknya tidak percaya keterangan Can Pek Sin.
Can Pek Sin berkata pula:
"Menurut pikiranku, sebaliknya kau lekas meninggalkan daerah Kang-lam, supaya jangan sampai ketemu lagi dengan orang-orangnya Soa Thiat San."
"Kau pintar sekali mencarikan pikiran buat orang lain. Tetapi bagaimana andaikata aku tidak suka berlalu dari sini?"
Can Pek Sin tidak menghiraukan ejekannya, ia berkata pula,
"Aku tidak tahu ada urusan penting apa kau perlu berdiam di daerah Kang-lam ini, tetapi apabila kau memang betul perlu harus berdiam di sini, aku ingin minta kepada Chiu Pangcu supaya mengundangmu ke sana. Lam Hee Lui juga berada di sana, bukankah kau juga kenal dengannya? Jikalau kau berdiam di tempat mereka. Soa Thiat San tidak akan berani mengganggumu lagi."
Liong Seng Hong alisnya nampak berdiri, ia berkata dengan sengit:
"Kau sungguh baik hati, ingin minta Lam Hee Lui melindungi aku. Menyesal sekali, aku tidak dapat menerima kebaikan ini. He, he, kau takut kepada Soa Thiat San, ini adalah urusanmu sendiri. Apakah kau kira aku Liong Seng Hong dapat digertak dan ditakuti olehnya?"
Can Pek Sin sangat mendongkol tetapi ia masih menyabarkan diri, katanya:
"Baiklah, kau anggap saja aku suka mengurusi orang lain. Sekarang aku minta diri!"
Tiba-tiba Liong Seng Hong berkata,
"Tunggu dulu!" Can Pek Sin yang masih sangat mendongkol terpaksa menghentikan kudanya dan bertanya:
"Nona Liong ada urusan apa?"
"Meskipun aku tidak menerima budi kebaikanmu, tetapi bagaimanapun juga aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu. Dahulu, kita pernah berkelahi, dan kini kau telah perlakukan aku sebagai seorang sahabat. Kita satu sama lain masih belum mengetahui nama masing-masing. Aku hanya tahu, mereka panggil kau Can toako, apakah kau seorang she Can?"
Can Pek Sin ditanya secara baik, perasaan mendongkolnya sebagian besar telah lenyap, jawabnya:
"Nama nona Liong aku sudah pernah dengar dari Lam tayhiap. Aku memang seorang she Can namaku Pek Sin."
Liong Seng Hong tersenyum dan berkata:
"Hari itu di rumah Lauw Bong kau pernah berkata bahwa Thie Po Leng adalah encimu, aku semula mengira bahwa kau benar-benar adalah adiknya. Kiranya hanya bersaudara berlainan she."
Muka Can Pek Sin merah seketika, katanya,
"Thie Sui lo-cianpwee adalah sahabat paling akrab kakek luarku di masa hidupnya, maka sejak masih kanak-kanak aku juga bahasakan Kong-kong kepadanya. Maka cucu perempuannya juga seperti juga dengan enciku sendiri. Apa nona Liong masih ada keperluan lain lagi?"
Liong Seng Hong yang menyaksikan sikap Can Pek Sin dalam hatinya lalu berpikir: Nampaknya bocah ini tidak bohong, hubungannya dengan Thie Po Leng mungkin bukan hanya berbatas antara enci dan adik saja.
Kiranya sejak ia berkelahi dengan Can Pek Sin pada hari itu, ia sudah mendengar tentang riwayatnya. Kira ia hanya sengaja menahan Can Pek Sin dengan lain tujuan. Maka setelah mendengar keterangannya lalu tertawa dan berkata:
"Apakah kau hanya semata-mata hendak memberi kabar, sehingga perlu mengejar aku? Sebaliknya aku anggap kau seharusnya masih ada lain urusan yang ingin minta keterangan dariku!"
Ucapan Liong Seng Hong itu justru mengenakan hati Can Pek Sin, memang Can Pek Sin ingin minta keterangan Liong Seng Hong tentang beritanya Lauw Bong, tetapi kemudian karena sikapnya Liong Seng Hong yang tidak bersahabat itu, sehingga tidak ingin bertanya lagi.
"Nona Liong karena kau menanya demikian, tidak halangan aku menceritakannya kepadamu. Aku tahu kau adalah sahabat Lauw Bong. Aku dengan Lauw Bong meskipun dahulu pernah terjadi sedikit perselisihan paham, tetapi semua itu sudah selesai dan kita sudah menjadi sahabat. Dengan terus terang, kedatanganku justru hendak mencari keterangan tentang dirinya, apakah nona Liong tahu?"
"Ucapanmu ini barang kali masih kurang jujur? Apakah kau hanya ingin mencari kabar tentang diri Lauw Bong saja?"
Muka Can Pek Sin jadi merah, tetapi ia mengerti bahwa ucapan Liong Seng Hong itu mengandung maksud, maka terpaksa ia bersabar dan berkata:
"Apabila nona Liong juga mengetahui kabar tentang diri enci Thie, harap minta nona Liong memberi keterangan sekalian."
"Kabar tentang Lauw Bong, aku tidak tahu, tetapi mengenai diri Thie Po Leng aku tahu sedikit. Namun demikian sekarang aku tidak bisa memberitahukan kepadamu. Jikalau kau percaya ucapanku, nanti jam tiga tengah malam kau boleh menjumpai aku lagi."
Can Pek Sin terkejut, "Untuk apa?"
"Aku sudah kata bahwa sekarang aku tidak bisa memberitahukan kapadamu. Kau tidak perlu menanyakan sebabnya. Kau juga tidak boleh memberitahukan perjanjian ini kepada orang lain.
"Pendek kata apabila kau percaya aku, nanti malam kau boleh datang, aku tidak akan mencelakakan dirimu. Kau nanti tahu sendiri bahwa ada orang yang akan memberi kabar kepadamu tentang diri enci Leng mu."
Hati Can Pek Sin menjadi bimbang, tetapi karena banyak waktu untuk berpikir lalu bertanya:
"Entah di mana letaknya tempat untuk mengadakan pertemuan itu?"
"Apakah malam ini kau hendak menginap di markas Chiu pangcu?"
"Benar." "Kalau kau keluar dari pusat Hay-ho-pang, boleh mengikuti jalan di tepi sungai menuju ke utara. Kira-kira tigapuluh pal, kau akan melihat sebuah pagoda putih, itulah tempat dimana nanti malam kita hendak mengadakan pertemuan. Ingat kau jangan membocorkan rahasia."
"Terima kasih, aku sudah tahu."
"Kau datang atau tidak terserah kepadamu sendiri. Baiklah, aku sekarang hendak pergi."
Setelah berkata, lalu menggentak kudanya, dibalikkan ke lain jurusan.
Can Pek Sin juga memutar kudanya untuk balik kepada dua saudara Lam.
Tiba di situ, Lam Chiu Lui segera menegur kepadanya sambil tertawa:
"Can toako, kau kata tidak kenal dengan perempuan itu. Mengapa kau mengejarnya untuk diajak berbicara?"
"Pertama memang aku kira tidak kenal, tetapi setelah aku tegasi, baru aku ingat siapa dia," jawah Can Pek Sin dengan muka merah.
"Siapakah dia?"
"Adik, bagaimana kau selalu suka dengan urusan orang lain?" demikian tegurnya kepada Lam Chiu Lui.
"Apakah salahnya, hanya bertanya saja? Kita tidak gampang-gampang menjumpai pendekar wanita yang begitu cantik dan gagah. Bagaimana tidak boleh mengetahui namanya?" berkata sang adik yang mengandung ejekan terhadap Can Pek Sin.
Can Pek Sin berkata sambil tertawa:
"Kalau aku sebutkan namanya barangkali kalian juga sudah tahu atau setidak-tidaknya pernah dengar. Dia bahkan masih merupakan sahabat toako kalian. Aku dengannya hanya pernah bertemu muka satu kali saja. Namanya bahkan Lam toako yang memberitahukan kepadaku. Dia adalah adik perempuan Liong Seng Hiang."
Lam Chiu Lui terperanjat ia berkata sambil tertawa:
"Aku kira siapa, kiranya adalah Liong Seng Hong. Benar saja seperti apa yang sudah pernah kudengar, dia adalah seorang perempuan galak dan judes. Untung toako belum sampai......"
Bicara sampai di situ, Lam Chun Lui melototkan matanya, sehingga sang adik mengurungkan niatnya. Ia tertawa terkekeh-kekeh, tidak melanjutkan ucapannya.
Lam Chun Lui melarang adiknya menceritakan urusan Liong Seng Hong dengan toakonya, karena ia salah paham dan mengira Can Pek Sin jatuh cinta kepada perempuan galak itu.
Can Pek Sin juga mengerti bahwa perbuatannya tadi menimbulkan perasaan curiga kakak beradik itu, tetapi ia juga tidak perlu memberi penjelasan. Mereka bertiga lalu melanjutkan perjalanannya. Di waktu senja baru tiba di tempat kediaman Chiu Tong.
Itu ada sebuah gedung model benteng, terletak beberapa pal di luar kota Yang-ciu.
Gedung itu merupakan tempat kediaman Chiu Tong, juga digunakan sebagai markas besar partay Hay-ho-pang. Sewaktu mereka tiba di gedung tersebut, Chiu Tong sudah menyambut kedatangan mereka bersama-sama Lam Hee Lui.
10.58. Bertarung Rebutan Kekasih?
Karena Chiu Tong sedang membutuhkan bantuan tenaga, ketika kedatangan tiga jago tingkatan muda itu, merasa sangat girang.
Lam Chun Lui dan adik perempuannya, karena hubungannya dengan Lam Hee Lui yang masih menjadi toako atau kakak tertuanya, maka dengan Chiu Tong boleh dikata masih terhitung orang sendiri.
Can Pek Sin dengan Chiu Tong merupakan sahabat baru yang baru pertama kali bertemu, tidak mempunyai hubungan appa-apa, maka Chiu Tong juga memperlakukan kepadanya sebagai tetamu terhormat.
Setelah saling berkenalan, Chiu Tong lalu mengundang mereka masuk ke ruangan dalam.
Tiba di ruangan dalam, Lam Hee Lui segera bertanya kepada Can Pek Sin:
"Saudara, Can, sejak pertemuan kita pada tahun yang lalu, kau ternyata membuat nama di kalangan Kang-ouw. Aku kira kau sudah bersama-sama Tiat Ceng dan adiknya ke tempat ayah mereka. Bagaimana seorang diri kau datang ke mari?"
"Markas besar paman Tiat di gunung Hok-gu-san, sudah dihancurkan oleh pasukan tentara negeri," jawab Can Pek Sin. "Sekarang mereka sudah pindah ke gunung Kim-kee-nia. Karena aku hendak mencari keterangan tentang diri seorang sahabat, barulah aku datang kemari. Apakah paman Toan masih ada di sini?"
"Khek Gee suami isteri sudah pergi ke lain tempat, tetapi mereka masih akan kembali. Siapa yang hendak kau cari?"
Can Pek Sin merasa tidak enak menyebutkan nama Thie Po Leng, maka ia berkata:
"Aku ingin mencari kabar tentang dirinya Lauw Bong. Karena ayahnya meninggal dunia, aku diminta oleh Li Hong Chun chungcu, untuk menyampaikan berita ini kepadanya."
Lam Hee Lui nampak agak heran, katanya:
"Kepandaian Lauw Cin juga lumayan, ia meninggal secara bagaimana?"
"Ia binasa di tangan orang suku Hwee-khie. Iblis itu bernama Thay Lok, kabarnya ada salah satu orang kuat dari daerah barat," jawab Can Pek Sin, ia segera menuturkan apa yang telah terjadi di kampung Kui-chiu-chung.
Lam Hee Lui meski hubungannya dengan Lauw Cin tidak begitu erat, tetapi karena mengingat sesama orang rimba persilatan daerah Tiong-goan maka lalu berkata,
"Orang gagah dari Hwee-khie berani bertingkah di daerah Tiong-goan, jikalau aku berjumpa dengan Thay Lok, aku juga ingin menguji kepandaiannya."
Setelah omong-omong tentang lain soal, Lam Hee Lui berkata pula:
"Hari ini sebelum kau tiba, sudah ada orang datang minta keterangan kepadaku tentang kabar beritanya Lauw Bong. Tetapi aku justru tidak tahu di mana adanya Lauw Bong sekarang? Saudara Can, sayang kau terlambat setengah hari. jikalau tidak kau bisa bertemu dengan orang itu. Coba kau tebak siapa orang itu?"
Selagi, Can Pek Sin hendak menjawab, sudah didahului oleh Lam Chiu Lui:
"Apakah enci Liong dari keluarga Liong?" berkata gadis itu sambil tertawa, "Can toako tadi sudah berjumpa dengannya!"
"Oh, kiranya kalian sudah berpapasan dengan dia. Bagaimana? Apakah enci Liong itu masih marah kepadamu?" berkata Lam Hee Lui.
"Adat enci Liong itu benar-benar galak sekali. Tetapi toako, kau tidak usah khawatir, Can toako tadi tidak berkelahi dengannya, bahkan mencari padanya dan berbicara berduaan," demikian Lam Chiu Lui berkata.
"O, ya? Kalau begitu tidak perlu aku mendamaikan kalian lagi."
Lam Chiu Lui tertawa terbahak-bahak, lalu berkata:
"Toako, mengapa kau tidak menahannya? Ibu berkata bahwa kepandaian enci Liong itu baik sekali, kalau kau tadi menahannya, aku ingin belajar kenal dengan kepandaiannya! Dan apakah hubungannya dengan Lauw Bong?"
"Lauw Bong dahulu adalah tetangganya. Dalam rimba hijau ia juga terhitung salah seorang jago angkatan muda. Ketika ia mendengar keteranganku tidak mengetahui dimana adanya Lauw Bong, segera pergi lagi. Tentunya pergi mencari keterangan di tempat lain."
"Oh! kalau begitu, ia dengan Lauw Bong tentunya mempunyai hubungan erat sekali?"
Nona itu sebetulnya masih ingin berkata lagi, tetapi ucapannya yang sudah hampir keluar itu ditelannya kembali.
Ketika malam tiba, Chiu Tong mengadakan perjamuan makan bagi para tamunya. Di meja perjamuan, Chiu Tong menceritakan tentang jalannya perampasan ransum negara yang dilakukannya pada sebulan berselang, sedangkan Can Pek Sin juga menceritakan bagaimana telah kebentrok dengan Soa Thiat San dan anak buahnya.
Ketika Chiu Tong mendengar Khong-khong Jie menanam permusuhan dengan Soa Thiat San, diam-diam merasa girang.
Waktu perjamuan makan selesai, sudah hampir jam sebelas malam. Maka Chiu Tong mempersilahkan para tetamunya tidur.
Can Pek Sin tidur dalam satu kamar dengan Lam Chun Lui, sehingga jam dua malam, Lam Chun Lui sudah tidur, tetapi Can Pek Sin masih belum dapat tidur.
Ia masih memikirkan soal perjanjiannya dengan Liong Seng Hong, ia harus pergi atau tidak! Sementara itu hatinya berpikir: Liong Seng Hong meski adatnya galak, tetapi bukan orang jahat, tiada suatu alasan ia harus menipu aku.
Dengan susah payah aku datang kemari, maksudku justru mencari enci Leng, dan sekarang sudah mendapat kesempatan untuk mendapatkan beritanya. Bagaimana aku boleh meliwatkan begitu saja? Tetapi mengapa Liong Seng Hong berlaku demikian misterius?
Meski hatinya penuh rasa curiga, tetapi ia sudah mengambil keputusan hendak pergi.
Maka diam-diam ia bangun, menukar pakaian peranti jalan malam. Selagi hendak keluar kamar kembali ia berpikir: Jikalau Lam Chun Lui sadar tengah malam dan melihat aku tidak ada, bukankah akan menimbulkan buah tertawaan? Perlukah aku beritahukan kepadanya? Tetapi Liong Seng Hong melarang aku memberi tahukan kepada orang ketiga?
Selagi Can Pek Sin masih merasa ragu, Lam Chun Lui tiba-tiba sudah bangun dan kemudian duduk, dengan setengah bergurau ia menegurnya:
"Saudara Can, kau mengenakan pakaian malam hendak ke mana?"
Dengan muka merah Can Pek Sin menjawab gelagapan:
"Aku hendak menemui seorang sahabat, sebelum fajar menyingsing, aku akan kembali. Lam jiko, tolong bantu pegang rahasia, aku tidak ingin mengganggu mereka."
Menampak gerak gerik Can Pek Sin demikian penuh rahasia, Lam Chun Lui agak heran, katanya sambil tertawa.
"Sahabat siapa yang kau hendak jumpai? Apabila kau tidak suka memberitahukan kepadaku sudah saja!"
Mendengar perkataan Lam Chun Lui demikian, Can Pek Sin sebaliknya merasa tidak enak, maka ia terpaksa berkata terus terang:
"Dia adalah nona Liong yang tadi siang berpapasan dengan kita itu, adalah sedikit urusan ia hendak bicarakan denganku."
"Oh, kiranya begitu. Kalau begitu kau pergilah, siaotee pasti akan bantu pegang rahasia," kata Lam Chun Lui sambil tertawa.
Can Pek Sin tahu bahwa pemuda itu sudah salah paham, tetapi ia juga tidak mau menerangkan.
Ia keluar dari lobang jendela, dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Meski gedung itu terdapat banyak peronda malam, tetapi mereka umumnya berjaga-jaga terhadap orang yang datang dari luar, maka tidak menduga ada orang keluar dari rumah.
Keluar dari gedung pusat Hay-ho-pang, Can Pek Sin lari menuju ke tempat yang, ditunjuk oleh Liong Seng Hong.
Sepanjang jalan ia berpikir: Ia mengatakan setelah aku tiba di tempat yang dijanjikan, sudah tentu ada orang yang akan memberitahukan kabar tentang diri enci Leng, entah siapa orang ini?
Dalam waktu sekejap Can Pek Sin sudah lari sejauh tigapuluh pal lebih, benar saja di bawah bukit tampak sebuah pagoda putih.
Waktu itu jam tiga tengah malam, rembulan terang benderang. Dari jauh tampak dua bayangan orang sedang bergerak-gerak, telinganya sayup-sayup juga menangkap suara beradunya dua senjata.
Can Pek Sin terkejut, pikirannya: Ia janjikan aku datang kemari, mengapa di sini ada orang berkelahi?
Ia mempercepat gerak kakinya, setelah berada agak dekat, bukan kepalang terkejutnya.
Kiranya dua bayangan yang bergerak-gerak dekat pagoda itu, bukan lain daripada dua perempuan muda yang sedang bertempur sengit. Satu adalah Liong Seng Hong, sedang yang lain adalah Thie Po Leng!
Can Pek Sin melengak, ia lalu berseru:
"Enci Leng! Kau, bagaimana kau berantam dengan nona Liong?"
Thie Po Leng hanya memperdengarkan suara dingin tidak menjawab.
Sebaliknya dengn Liong Seng Hong, nona itu tertawa terbahak-hak, kemudian berkata:
"Aku tokh tidak membohongimu. Sekarang biarlah kau lihat sendiri enci Lengmu, bukankah ini lebih baik dari pada memberi kabarnya kepadamu?"
Setelah ia bicara dengan Can Pek Sin, segera menahan pedang Thie Po Leng dengan goloknya, kemudian berkata padanya:
"Nona Thie, aku tahu yayamu sudah mempertunangkan kau kepada pemuda she Can ini. Sekarang ia cari kau hendak diajak pulang. Kau pikir bagaimana? Jikalau kau ikut pulang dengannya, permusuhan antara kita segera kuhapus, kita tidak perlu berantam lagi."
Ternyata pada waktu kemarinnya, Liong Seng Hong tiba di tempat itu sebelum tengah hari dan telah menyeberangi sungai, turun hujan lebat sehingga ia harus mencari rumah penginapan. Apa boleh buat, secara kebetulan Thie Po Leng juga menginap di rumah penginapan itu.
Mereka pada waktu sebelumnya belum pernah bertemu muka, tetapi Liong Seng Hong sudah tahu hubungan antara Thie Po Leng dengan Lauw Bong. Sebaliknya dengan Thie Po Leng, ia tidak tahu siapa nona baju merah itu.
Dalam rumah penginapan itu, hanya mereka berdua. Kaum wanita yang masih muda belia satu sama lain tahu bahwa mereka adalah wanita kalangan Kang-ouw, dengan sendirinya ia lalu saling belajar kenal.
Ketika Liong Seng Hong mendengar namanya, segera mengetahui bahwa nona itu ternyata adalah musuhnya sendiri, dalam kalangan asmara.
Liong Seng Hong tidak menimbulkan keributan di rumah penginapan, maka saat itu tidak menyatakan sikapnya.
Menjelang pagi hari, ia baru memasuki kamar Thie Po Leng.
Sudah tentu Thie Po Leng terperanjat atas kedatangan Liong Seng Hong di waktu pagi hari yang masih gelap itu. Ketika ditegurnya, nona itu tidak menjawab, sebaliknya mengeluarkan sebilah belati, sehelai kertas yang sudah ditancap di atas meja dengan ujung belatinya. Kemudian berkata dengan nada suara dingin,
"Perempuan tidak tahu malu, kau lihat sendiri!"
Di atas kertas itu kecuali ditulis perkataan-perkataan yang tidak sedap, juga diterangkan supaya jam tiga tengah malam itu datang ke bawah pagoda itu untuk mengadakan pertandingan ilmu silat.
Thie Po Leng sangat marah, waktu itu juga sudah hendak bertindak, tetapi Liong Seng Hong sudah kabur.
Setelah Thie Po Leng membaca tulisan yang ditinggalkan, ia baru tahu sebab musababnya, sudah tentu ia terima baik tantangannya.
Tetapi Liong Seng Hong mekipun galak dan berbuat menuruti hatinya sendiri, biar bagaimana bukanlah orang dari golongan jahat. Karena ia hanya hendak mengumbar kemarahannya terhadap Thie Po Leng, yang dianggapnya merebut kekasihnya, maka ia menantang berkelahi. Namun setelah berlalu dari kamar Thie Po Leng, ia baru merasa bingung sendiri.
Setelah berada sendirian, ia memikirkan persoalan itu. Apakah malam ini ia harus mengajak berkelahi Thie Po Leng? Dan bagainama memberi hajaran padanya? Sudah tentu ia tidak boleh membunuhnya. Ia hanya ingin mengajar atau memaki saja sudah cukup. Tetapi apakah gunanya baginya? Apalagi di kemudian hari apabila Lauw Bong mengetahui hal itu, bukankah akan lebih bersimpati kepada Thie Po Leng?
Ia berpikir bulak balik, tidak mendapatkan suatu akal sebaik-baiknya untuk memperingatkan Thie Po Leng. Sehingga ia berpapasan dengan Can Pek Sin di tengah jalan, ia baru dapatkan suatu akal, yang dianggapnya sangat sempurna.
Ia ingin menggunakan Can Pek Sin untuk melibat Thie Po Leng, dianggapnya Can Pek Sin masih mencintai nona itu. Asal Thie Po Leng terlibat lagi oleh Can Pek Sin, sehingga tidak bisa melepaskan diri, dengan sendirinya tidak akan menjadi rintangan baginya dalam perhubungan cintanya dengan Lauw Bong.
Liong Seng Hong mengira bahwa akalnya itu sangat sempurna, tidak tahunya antara Thie Po Leng dan Can Pek Sin juga sudah terbit salah paham. Maka ketika Thie Po Leng melihat Can Pek Sin kemarahannya semakin memuncak.
Ia teringat kejadian malam itu, di mana Lauw Bong dan ayahnya ketika datang ke rumahnya hendak mencuri harta bendanya, adalah Can Pek Sin yang membantu Yaya nya mengikat dirinya. Urusannya dengan Lauw Bong yang telah bersepakat hendak mencuri harta benda itu, juga hanya Can Pek Sin yang tahu. Sudah tentu saja dianggapnya adalah pemuda itu yang memberitahukan kabar itu kepada Yaya nya.
Thie Po Leng sifatnya lebih pendiam dari pada Liong Seng Hong, tetapi lebih keras. Ketika dihina tanpa sebab oleh Liong Seng Hong, kemarahan dalam hatinya tidak terbendung, setelah mendengar omongan Liong Seng Hong bahwa kedatangan Can Pek Sin adalah atas undangan nona galak itu, sudah tentu hawa amarahnya semakin berkobar.
Liong Seng Hong yang sebetulnya hendak menghentikan pertempuran itu, sebelum usahanya berhasil, Thie Po Leng sudah mengeluarkan serangannya yang mematikan. Karena ganasnya serangan itu, hampir saja Liong Seng Hong tertikam oleh ujung pedangnya.
Liong Seng Hong marah, katanya dengan suara keras:
"Aku berunding baik-baik denganmu, ternyata kau tidak tahu diri. Apakah kira aku takut kepadamu?"
Thie Po Leng tidak menjawab, kembali menikam dengan pedangnya.
Liong Seng Hong menangkis dengan goloknya, karena menggunakan tenaga kurang cukup, ujung pedang Thie Po Leng masih berhasil melobangi baju Liong Seng Hong.
Liong Seng Hong marah benar-benar, dengan cepat ia balas menyerang bertubi-tubi, serangannya itu sebentar mengarah ke bawah sebentar ke atas, aneh luar biasa. Kiranya Liong Seng Hong dahulu juga biasa menggunakan senjata pedang, oleh karena hari itu pedangnya telah direbut oleh Lam Hee Lui, ketika keduanya berselisih di rumah Lauw Bong, dalam gusarnya, ia lalu bersumpah selanjutnya tidak akan menggunakan senjata pedang.
"Namun demikian senjata goloknya masih menggunakan ilmu pedang. Oleh karena ilmu pedang itu ada pelajaran dari golongan Sin Cie Kow, apalagi dengan ilmu pedang digunakan untuk senjata golok, sudah tentu merupakan suatu tipu serangan yang menyendiri.
Tetapi Thie Po Leng juga bukan bangsa lemah, kakeknya dahulu adalah berandal besar di kalangan Kang-ouw. Kepandaian ilmu silatnya termasuk golongan ganas dan telengas, yang selalu mengumpamakan begitu turun tangan sudah harus melukai lawannya.
Thie Po Leng yang mendapatkan warisan seluruh kepandaian kakeknya, sekalipun pada saat itu tidak ingin mengambil jiwa Liong Seng Hong, tetapi setiap serangannya sedikitpun tidak mengenal kasihan.
Kedua wanita itu karena berkelahi dengan sengit dan sungsuh-sungguh, sehingga serangan dari kedua pihak sangat berbahaya. Can Pek Sin yang menyaksikan merasa sangat khawatir, karena ia tidak menghendaki ada salah satu yang terluka, maka lalu berseru:
"Enci Leng, jangan berkelahi lagi. Nona Liong, harap kau juga mengalah sedikit."
Thie Po Leng menjawab sambil ketawa dingin:
"Can Pek Sin, kau jago boleh maju sekalian! Kau sudah cukup menyusahkan diriku, apakah masih ada muka memanggilku enci Leng? Yaya pernah mengajarimu ilmu kepandaiannya. Sekarang kau boleh menggunakannya semua untuk menghadapi aku, mari majulah."
Meskipun mulutnya berbicara, tetapi tangannya terus bergerak, selama berbicara itu, ia sudah menyerang sampai tujuh kali.
Liong Seng Hong yang juga dalam keadaan gusar lalu berkata:
"Can Pek Sin, kalau kau mau, boleh saja kau dengan encimu berdua mengeroyok aku, atau kalau tidak mau berbuat demikian, kau boleh pergi dari sini. Jangan banyak bicara! Hem, mengapa aku harus mengalah?"
10.59. Kiranya Bocah Ini Lagi!
Can Pek Sin yang tidak dapat sambutan baik dari kedua pihak, lalu memberi penjelasan:
"Aku sedikitpun tidak bermaksud untuk membantu siapapun juga. Enci Leng, aku tahu kau masih membenci aku, tetapi dengarlah dulu keteranganku!"
Sementara itu Thie Po Leng sudah megggunakan satu gerak tipu yang ganas hendak memotong putus lengan Liong Seng Hong, tetapi Liong Seng Hong ternyata juga sangat lihai. Ia sambut serangan itu, dengan satu gerak tipu yang lihai juga, sehingga Thie Po Leng dengan cepat merobah gerak tipunya, dengan demikian kedua senjata lalu saling beradu.
Mereka berdua tidak memperdulikan Can Pek Sin, serangannya semakin ganas, dan pihak manapun yang kurang hati-hati, bisa segera binasa di ujung senjata.
Dalam keadaan demikian Can Pek Sin juga tidak berdaya untuk memisahkan mereka, tiba-tiba ia berseru:
"Enci Leng, tahukah kau bahwa Yaya sudah meninggal? Sebelum menutup mata Yaya telah berpesan menyuruhku menyampaikan kata-kata kepadamu. Pandanglah muka Yayamu. Ikut aku pulang untuk bersembahyang bersama-sama di hadapan kuburannya!"
Thie Po Leng malam itu sejak lari dari rumahnya secara diam-diam, dianggapnya Lauw Bong pasti sudah binasa di bawah golok Yayanya. Ia tidak tahu kedatangan Touw Goan yang turut campur tangan, sehingga tentang kematian Yaya nya itu sedikitpun tidak ada dalam pikirannya.
Selama hampir setengah tahun ia merantau di dunia Kang-ouw, oleh karena ia masih terang terlalu muda lagi pula cantik parasnya, maka merasa segan bergaul dengan segala orang Kang-ouw. Dengan demikian sudah tentu sedikitpun tidak mengetahui berita tentang diri Lauw Bong dan kematian Yayanya.
Walaupun dalam hatinya boleh dikata masih membenci Yaya nya, tetapi perasaan kasih sayang antara cucu dan kakek, biar bagaimana masih ada.
Selama dalam pengembaraannya itu hampir setiap malam mengucurkan air mata jikalau mengingat peristiwa yang menyedihkan yang terjadi di rumah tangganya.
Maka saat itu, ketika dengan secara mendadak mendengar kabar kematian kakeknya, benar-benar bagaikan disambar geledek, seketika itu juga ia hampir jatuh pingsan.
"Dengan cara bagaimana Yaya meninggal? Apakah terbinasa di tangan Lauw Bong dan ayahnya?" demikian ia bertanya.
Dalam keadaan demikian sudah tentu ia tidak mendapat kesempatan untuk meminta keterangan yang lebih jelas, karena pikirannya bingung, sehingga ilmu pedangnya juga lalu kalut!
?Y? Keduapuluh Dua Liong Seng Hong yang sedang memusatkan pikirannya ke dalam pertempuran itu, maka tidak mendengar apa yang dikatakan oleh Can Pek Sin. Saat itu ia sedang menggunakan salah satu gerak tipu untuk menyerang lawannya. Karena tidak terburu menarik kembali serangannya itu, goloknya meluncur menyerang Thie Po Leng.
Thie Po Leng yang mulai kalut serangannya, terbuka lowongan, sehingga golok hampir menembusi dadanya. Untung Can Pek Sin bertindak dengan cepat, ia sudah menghunus pedangnya untuk menangkis golok Liong Seng Hong itu.
Liong Seng Hong yang masih marah lalu membentak:
"Bagus, kalian enci adik boleh maju serentak! Hem, Thie Po Leng, kau sungguh hebat sampai dapat menundukkan dua hati orang lelaki, sehingga semuanya rela berkorban untukmu."
Can Pek Sin menahan golok Liong Seng Hong, dengan perasaan agak mendongkol ia berkata:
"Nona Liong, enci Leng sedang mendengar berita duka, bagaimana kau masih menghinanya?"
Liong Seng Hong mendadak tersadar, kini ia baru mengetahui apa sebabnya ilmu pedang Thie Po Leng menjadi kalut dengan mendadak. Meskipun dalam hati Liong Seng Hong merasa malu, tetapi mulutnya tidak mau mengaku salah, ia malah balas menanya:
"Apa kau kata? Aku sama sekali tidak mengerti?"
Thie Po Leng yang sedang berduka, sudah tentu tidak mempunyai pikiran untuk menanggapi perempuan itu. Ia ingin segera berada di hadapan kuburan Yaya nya untuk menangis sepuas-puasnya.
Pada saat itu, otaknya terlintas kejadian-kejadian di mana dahulu Yaja nya pernah mendesaknya supaya menikah dengan Can Pek Sin, dalam hatinya berpikir: Yaya sudah meninggal bagaimana aku harus pulang, tetapi aku tidak bisa pulang bersama-sama Pek Sin. Yaya, maafkan cucumu yang tidak berbakti, tidak dapat menuruti perintahmu.
Can Pek Sin selagi menahan golok Liong Seng Hong, tidak memperhatikan apa yang dipikirkan oleh Thie Po Leng, sementara itu Thie Po Leng sudah menggunakan kesempatan tersebut untuk lari meninggalkan dirinya.
Tetapi sebelum lari jauh, tiba-tiba terdengar suara orang membentaknya:
"Jangan lari, berandal perempuan yang berani mati. Apakah kau pikir masih bisa kabur?"
Kemudian terdengar pula orang berkata sambil tertawa:
"Soa Pangcu, bukan perempuan ini, melainkan perempuan yang bersenjatakan golok itu. He! pemuda yang bersama-sama dengannya itu bukankah si bocah she Can itu? Bagaimana mereka agaknya sedang berkelahi?"
Can Pek Sin yang saat itu telah mendengar pembicaraan dua orang itu, diam-diam terkejut ketika ia berpaling ke arah mereka. Ia segera dapat melihat bahwa orang yang merintangi Thie Po Leng itu bukan lain dari pada Soa Thiat San dan Siu Gouw.
Kiranya daerah itu termasuk daerah kekuasaan golongan Soa Thiat San. Kedatangan Liong Seng Hong dan Thie Po Leng di tempat itu sudah diketahui oleh mata-mata Soa Thiat San, sehingga segera dilaporkannya.
Soa Thiat San yang hendak membuat perhitungan terhadap Liong Seng Hong segera datang sendiri bersama Siu Gouw yang dahulu dilukai oleh Liong Seng Hong.
Siu Gouw berkata pula sambil tertawa terbahak-bahak:
"Bukankah ini lebih baik? Sebetulnya kita hendak satu orang, sebaliknya kini dapat menangkap tiga. Perempuan itu boleh juga, toako, apakah kau tiada berminat terhadapnya?"
"Benar, bocah she Can ini juga musuh kita. Perempuan ini kalau bukan kawan bocah itu, tentunya kawan bandit perempuan itu. Kau tangkap dia, aku nanti hadiahkan kepadamu."
Thie Po Leng meski pikirannya tidak kalut tetapi tentang pembicaraan dua orang itu, yang bermaksud hendak menangkap dirinya, ia masih tahu. Seketika itu ia menjadi gusar, maka waktu Siu Gouw maju menghampirinya, segera ditikam dengan pedangnya.
Siu Gouw yang menggunakan golok besar dan berat, segera menangkis pedang Thie Po Leng, kemudian mengulur tangannya hendak menangkap diri nona itu.
Thie Po Leng memutar pedangnya menyerang tangan Siu Gouw.
Siu Gouw yang hendak menggunakan gerak tipu tangan kosong merebut senjata lawannya hampir saja tangannya tertikam oleh ujung pedang.
Ia terpaksa menarik kembali tangannya dan melawan dengan goloknya. Hanya beberapa jurus saja telah dapat kenyataan bahwa ilmu pedang Thie Po Leng mulai kalut, maka ia berpikir hendak menangkapnya lagi.
Tetapi di luar dugaannya, selagi sudah hendak berhasil menangkap dirinya, Thie Po Leng tiba-tiba melancarkan serangannya dangan satu gerak tipu yang luar biasa bagusnya, sehingga hampir saja ia tertikam lagi. Terpaksa diurungkannya niatnya dan melawan lagi dengan goloknya. Ia merasa sangat heran, mengapa ilmu pedang perempuan itu sebentar bagus dan sebentar kalut?
Kiranya Thie Po Leng yang pikirannya masih kalut, sudah tentu ilmu pedangnya juga menjadi kalut, tetapi orang yang belajar ilmu silat, setiap kali menghadapi bahaya, dengan sendirinya segera timbul pikirannya untuk berbuat sedapat mungkin untuk melindungi dirinya. Itulah sebabnya, setiap kali berada dalam bahaya, segera mengeluarkan gerak tipunya yang luar biasa.
Karena Siu Gouw juga merupakan salah seorang yang terkuat di dalam golongan Soa Thiat San. Kalau di waktu biasa, mungkin Thie Po Leng juga tidak mudah menjatuhkannya. Apalagi kini dalam keadaan pikiran kalut, sudah tentu ia agak dirugikan kedudukanya. Meskipun beberapa kali ia berhasil menghindarkan dirinya tertangkap oleh Siu Gouw, tetapi biar bagaimaan agak sulit untuk bertahan lebih lama, maka dalam beberapa jurus lagi, keadaannya sudah sangat berbahaya.
Sekarang mari kita lihat Can Pek Sin. Ketika menyaksikan enci Leng nya dipegat oleh orang-orangnya Soa Thiat San, sudah tentu tidak banyak bicara lagi dengan Liong Seng Hong. Ia segera menarik kembali pedangnya dan lari memburu ke arah enci Lengnya.
Kedatangan Can Pek Sin tepat pada waktunya, dengan pedangnya ia sudah berhasil mendesak mundur Siu Gouw, sehingga Siu Gouw tidak bisa berbuat apa-apa lagi terhadap Thie Po Leng.
Dan anak buah Soa Thiat San segera memberi bantuannya, dengan demikian Thie Po Leng dan Can Pek Sin harus menghadapi tiga lawannya.
Pada saat itu seorang yang berdiri di samping Soa Thiat San berkata dengan suara serak:
"Kiranya bocah ini lagi. Bocah ini sesungguhnya suka campur tangan urusan orang lain!"
Logat suaranya menandakan orang itu bukan orang daerah Tiong-goan.
Can Pek Sin yang mendengar suara itu segera menengok ke arahnya, ternyata adalah Thay Lok dari Hwee-kie yang pernah melukai Li Hong Chun dengan ilmunya Hu-kut-ciang.
Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Bukan kepalang terkejutnya Can Pek Sin, tetapi sudah terlanjur menghadapinya, terpaksa tidak memikirkan akibatnya lagi.
Soa Thiat San berkata sambil tertawa:
"Apakah tuan kenal dengan bocah ini?"
"Hem, hem, bocah ini masih belum pantas menjadi tandinganku, tetapi kalau Pangcu ingin aku menangkapnya, boleh saja aku sediakan tenaga."
"Untuk memotong ayam perlu apa harus menggunakan golok besar? Hanya beberapa anak-anak tingkatan muda, bagaimana aku berani minta tuan bantu mengeluarkan tenaga? Sudah cukup tuan menyaksikan pertunjukkan saja."
Kiranya Soa Thiat San yang dulu pernah kenal dengan Thay Lok, ketika mengetahui Thay Lok menuju ke daerah Kang-lam mengejar Cho Peng Goan, ia segera mengundangnya untuk menghadapi Khong-khong Jie.
Anak buah Soa Thiat San yang dibawa malam itu, hanya Siu Gouw yang terhitung berkepandaian cukup tinggi, karena semula dianggapnya hanya untuk menangkap Liong Seng Hong seorang saja. Sudah tentu tidak perlu membawa orang banyak-banyak. Kalau ia mengajak Thay Lok bersama-sama maksudnya hanya menjaga diri Khong-khong Jie yang suka muncul secara tidak terduga-duga.
Saat itu setelah Siu Gouw sudah bertempur dengan Can Pek Sin, karena ia khawatir anak buahnya tidak sanggup melawan, sehingga ditertawakan Thay Lok, maka ia terpaksa bertindak sendiri menangkap Liong Seng Hong.
Liong Seng Hong yang sedang belum dapat mengambil keputusan perlu ataukah tidak ia membantu Thie Po Leng saat itu telah melihat Soa Thiat San menghampiri, ia yang masih tidak tahu kepandaian orang she Soa itu, lalu berkata sambil tertawa dingin:
"Apakah kau adalah orang yang bernama Soa Thiat San itu? Kau menjadi Pangcu apa? Mengapa sebagai seorang pemimpin, kau tidak bisa kendalikan anak buahmu? Dan sekarang bahkan masih berani akan bertindak terhadap diriku. Hem, nampaknya kalian hanya merupakan gerombolan manusia rendah kalangan Kang-ouw, tentunya bukan orang-orang dari golongan yang mempunyai nama."
Soa Thiat San sesaat tercengang mendengar perkataan yang tidak enak itu, tetapi kemudian ia tertawa terbahak-bahak dan berkata:
"Budak hina tidak tahu diri, kau sungguh berani mati buka mulut dan berkata sembarangan dihadapanku. Tahukah kau bahwa aku si orang she Soa bukanlah seorang yang gemar pipi licin, sudah tentu aku tidak merasa kasihan atau sayang dengan kecantikanmu. Sekarang kau bertemu denganku, sedikit banyak harus kau merasakan tangan besiku. He, he, kau mempunyai mata tetapi tidak ada bijinya. Sekarang aku suruh kau menyaksikan dan merasakan kepandaiannya orang yang kau anggap golongan rendah dari kalangan kang-ouw itu."
Liong Seng Hong acuh tak acuh saja, ia segera menyerang Soa Thiat San dengan goloknya.
Soa Thiat San merasa geli, ia memutar kedua tangannya, dengan menggunakan gerak tipu merampas senjata musuh dengan tangan kosong, ia hendak merampas golok Liong Seng Hong.
Ilmunya menggeser kaki menukar serangan, adalah setiap menggeser kakinya satu langkah, mengganti gerak tipu serangan tangannya. Bagi orang biasa saja, di dalam tujuh langkah dan tujuh kali serangan pasti akan binasa, maka serangannya itu dinamakan memindahkan nyawa dalam tujuh langkah.
Untung Liong Seng Hong sangat gesit dan lincah, dengan kelincahan itu ia berhasil menghindarkan dirinya tertangkap, sebaliknya goloknya kadang-kadang mengancam tangan musuhnya.
Namun demikian, karena serangan Soa Thiat San itu tiap kali berlainan gerak tipunya maka baru sepuluh jurus lebih, Liong Seng Hong juga mulai kewalahan.
Im masih untung ilmu golok Liong Seng Hong mempunyai perobahan-perobahan gerak tipu yang sangat aneh, dan semua itu, belum pernah disaksikan oleh Soa Thiat San, sehingga tidak berani bertindak secara ceroboh. Jikalau tidak, sudah sejak tadi Liong Seng Hong tidak sanggup melawannya.
Di pihaknya Can Pek Sin berdua yang menghadapi tiga lawan, sebaliknya malah berada di atas angin. Tetapi ketika melihat keadaan Liong Seng Hong sangat berbahaya ia berusaha hendak mempercepat jalannya pertempuran, maka dalam satu serangan yang sangat ganas ia melukai salah satu musuhnya supaya mengundurkan diri.
Serangan Liong Seng Hong yang hanya memperhatikan serangannya tetapi tidak memikirkan penjagaannya, inilah tidak semestinya dilakukan oleh orang yang berkepandaian tinggi dan sudah banyak pengalaman. Maka Soa Thiat San segera menganggap bahwa gadis itu hanya merupakan seorang anak ayam yang baru keluar dari kandang, dalam satu serangan, dianggapnya pasti berhasil merampas senjatanya.
Tak disangka bahwa ilmu golok Liong Seng Hong ini sangat aneh. Ia berkeberanian besar tetapi mempunyai perhitungan cermat, ia memang sengaja memancing musuhnya supaya merampas goloknya. Maka sewaktu Soa Thiat San hendak turun tangan, ilmu golok Liong Seng Hong tiba-tiba berobah, ia menyerang ke arah bagian yang tidak dapat diduga oleh Soa Thiat San.
Soa Thiat San terperanjat. Ia merasakan angin dingin menyambar mukanya, ternyata golok Liong Seng Hong lewat di pipinya, hampir saja terpapas putung.
Serangan Liong Seng Hong tadi sebetulnya hendak membacok kepala, tetapi ternyata meleset maka diam-diam ia merasa sayang. Ia tak menyangka bahwa kepandaian Soa Thiat San sebetulnya masih jauh di atas dirinya.
Setelah Soa Thiat San berhasil menghindarkan serangan itu, ia juga tidak berani memandang ringan musuhnya.
Pada saat itu pikiran Thie Po Leng juga sudah jernih kembali, maka ilmu pedangnya dapat digunakan seperti biasa.
Can Pek Sin menarik napas lagi, ia berkata dengan suara perlahan:
"Enci Leng, kita harus bekerja sama dengan nona Liong untuk menghadapi musuh tangguh ini, pertikaian antara kita sendiri, boleh tinggalkan dulu. Sekarang aku hendak membantunya, kau harus berlaku hati-hati."
"Kau pergi saja, aku tidak perlu dengan bantuanmu," jawabnya Thie Po Leng meskipun masih mengandung rasa gusar, tetapi sudah mau bicara dengan Can Pek Sin. Mukanya juga tidak menunjukkan sikap marah lagi.
Can Pek Sin juga tidak menghiraukan, karena dianggapnya kepandaian enci Leng nya itu tidak di bawah musuhnya, sekalipun menghadapi dua musuh tetapi tentu masih bertahan satu jam. Sebabnya adalah Liong Seng Hong yang segera perlu dibantu, karena jikalau tidak pasti akan jatuh di tangan musuhnya.
Dugaan Can Pek Sin ternyata tepat, saat itu Soa Thiat San sedang mendesak hebat dan hendak menotok jalan darah Liong Seng Hong.
Can Pek Sin segera bertindak, sambil berseru: "Tahan!" pedangnya juga mengarah jalan darah Soa Thiat San.
Serangannya itu ditujukan ke arah yang sangat berbahaya. Sudah tentu Soa Thiat San harus menolong dirinya sendiri lebih dulu. Dengan demikian, ia terpaksa mengurungkan maksudnya menotok Liong Seng Hong, sebaliknya menyambut serangan Can Pek Sin lebih dulu.
Liong Seng Hong yang terlepas dari bahaya dengan cepat segera menyerang musuhnya dari tiga jurusan.
Soa Thiat San sangat marah, katanya dengan suara keras:
"Bagus sekali, kau bocah ini untung dapat meloloskan jiwamu satu kali, tetapi kau berani main gila! Aku pasti tidak akan membiarkan kalian bisa hidup lagi."
10.60. Penyampaian Pesan Yaya Terakhir
Dengan kedua tangannya ia melancarkan serangan serentak dengan gerak tipu berlainan, sebentar menyerang Can Pek Sin dan sebentar menyerang Liong Seng Hong.
Can Pek Sin melesat tinggi, ia mengeluarkan ilmu serangannya yang meniru burung terbang, serangan yang seharusnya menggunakan tangan kini telah digunakan dengan senjata pedang. Liong Seng Hong juga mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk menyerang musuhnya.
Karena ilmu pedang dan ilmu golok dua anak muda itu, semua terdiri dari gerak tipu serangan tingkatan kelas satu, meskipun kekuatan tenaganya belum sebanding dengan Soa Thiat San, tetapi juga tidak mudah bagi Soa Thiat San untuk merebut kemenangan.
Soa Thiat San yang tidak berhasil menjatuhkan dua lawannya yang masih muda belia itu hatinya merasa sangat cemas.
Sementara Thay Lok menyaksikan pertandingan itu sambil berpeluk tangan, kadang-kadang memberikan pujiannya.
Kiranya kedatangannya ke daerah Tiong-goan justru ingin menggunakan kesempatan tersebut untuk mempelajari ilmu silat berbagai partai dan golongan di daerah Tiong-goan, gerak tipu serangan mengambil nyawa dalam tujuh langkah digunakan oleh Soa Thiat San, gerak tipu serangan Liong Seng Hong yang boleh digunakan dengan memakai pedang atau golok serta gerak tipu Can Pek Sin yang meniru gerakan binatang terbang.
Semua ini nerupakan gerak tipu tersendiri dari daerah Tiong-goan. Walaupun kepandaian orang-orang itu masih belum dapat dibandingkan dengan kepandaiannya sendiri, tetapi semua kepandaian itu ada harganya untuk dijadikan bahan pengetahuan, maka ia menyaksikannya dengan seksama.
Ia juga menahan diri, sebelum diminta oleh Soa Thiat San ia tidak mau bertindak.
Karena pujiannya itu bukan hanya ditujukan terhadap Soa Thiat San saja, tetapi juga terhadap Can Pek Sin dan Liong Seng Hong, maka dalam telinga Soa Thiat San, suara pujian itu sangat tidak enak baginya. Ia merasa malu apabila tidak sanggup menjatuhkan dua lawannya yang masih ingusan itu.
Setelah mengeluarkan seluruh kepandaianya, akhirnya ia mendapat posisi agak baik, tetapi keadaan itu hanya sebentar saja, biar bagaimana ia masih belum mampu merebut kemenangan.
Di lain pihak, keadaan Thie Po Leng juga hampir serupa.
Selagi pertempuran masih berlangsung sengit, dari jauh tiba-tiba tampak dua orang lari mendatangi. Seorang yang berjalan di muka segera memperdengarkan suara tertawanya terbahak-bahak kemudian disusul oleh kata-katanya: "Soa pangcu, bagus sekali kepandaianmu. Hanya sayang sedikit kau bertanding dengan dua bocah yang masih ingusan. Apakah kau tidak akan merasa kehilangan muka dan kedudukanmu? Mereka semua adalah sahabat-sahabat kecilku, urusan apa mereka telah melanggar kau? Biarlah aku yang menggantikannya."
Dua orang yang baru datang itu adalah Lam Hee Lui dan Lam Chun Lui kakak beradik. Meskipun usia Lam Hee Lui juga belum tua tetapi dalam usia sekitar lima-enambelas tahun ia sudah mulai merantau di kalangan Kang-ouw, ia sudah berkelana hampir sepuluh tahun. Selama sepuluh tahun itu, jago-jago golongan muda di kalangan Kang-ouw, kecuali Toan Khek Gee, dialah yang terhitung mendapat nama cemerlang. Maka kedudukannya setaraf dengan Soa Thiat San.
Sementara dengan cara bagaimana mereka bisa datang kemari? Itulah disebabkan setelah Can Pek Sin pergi, Lam Chun Lui merasa tidak enak. Semula ia menganggap Can Pek Sin ada mempunyai hubungan asmara dengan Liong Seng Hong, tetapi kemudian ia pikir lagi bahwa hal itu tidaklah sewajarnya, maka diam-diam lalu memberitahukan kepada saudara tuanya.
Lam Hee Lui setelah mendengar laporannya adiknya juga merasa heran. Ia dengan keluarga Liong dan keluarga Bok yang menjadi kakak menantu Liong Seng Hong, juga bersahabat erat dengan encinya Liong Seng Hong juga pernah memintanya supaya mengawasi sang adik yang sifatnya agak galak itu. Meskipun antara ia dengan Liong Seng Hong masih merasa kurang enak hati karena gagalnya soal perkawinan mereka, tetapi apabila terjadi sesuatu atas diri nona itu di mana ia sedang berada, bagaimana ia ada muka untuk menghadapi kakak perempuannya dan suaminya.
Oleh karenanya, maka ia segera mengajak adiknya untuk menyusul Can Pek Sin.
Lam Hee Lui hanya khawatir jikalau kedatangannya itu akan menimbulkan salah paham semakin besar dari Liong Seng Hong. Ia sungguh tidak menduga akan menjumpai Soa Thiat San sendiri.
Soa Thiat San yang sedang bermusuhan keras dengan Chiu Tong, dan Lam Hee Lui itu merupakan sahabat baik Chiu Tong, dengan sendirinya merupakan musuh besarnya juga, maka setelah berhadapan satu sama lain, tidak mungkin lagi untuk menghindarkan pertempuran itu. Itulah sebabnya Lam Hee Lui segera merasa tanggung jawab atas semua kejadian yang ditimbulkan oleh Can Pek Sin maupun Liong Seng Hong dengan secara terang-terangan yang menantang Soa Thiat San.
Soa Thiat San sudah tentu juga tidak mau mengunjukan kelemahannya, sambil tertawa terbahak-bahak, ia berkata:
"Perempuan baju merah ini telah melukai anak buahku, dan bocah she Can ini adalah musuh besar Touw toako, dengan terus terang aku hendak tangkap bocah ini dan ini budak perempuan itu aku juga hendak bacok dengan golokku seperti apa yang ia lakukan terhadap anak buahku. Sekarang Lam Tayhiap hendak menanggung urusan ini, aku ingin bertanya, bagaimana harus dibuatnya perhitungan?"
"Siapa yang betul dan siapa yang salah, sekarang jangan dibicarakan dulu. Karena aku sudah menyatakan hendak tanggung jawab urusan mereka, maka rekening ini kau boleh minta kepadaku. Asal kau bisa menangkan aku, baik kau hendak tangkap hidup aku atau potong badanku, semua terserah kepadamu sendiri!" jawab Lam Hee Lui sambil tertawa dingin.
"Bagus, Lam tayhiap ternyata adalah seorang yang suka berterus terang, baiklah kita membuat perhitungan begitu saja. Tetapi, aku hendak menerangkan lebih dahulu, dalam suatu pertandingan sudah tentu pihak yang menang berarti kuat, namun sebelum dapat ketentuan siapa yang menang dan siapa yang kalah, orang yang berada di sini semua tidak boleh pergi! Baiklah kalian berdua sekarang boleh mundur, aku akan bertanding dengan Lam Tayhiap!"
Can Pek Sin dan Liong Seng Hong sudah mengundurkan diri, Siu Gouw di lain pihak karena khawatir mereka membantu Thie Po Leng maka ketika mendengar perkataan Pangcunya, juga menghentikan serangannya.
Thie Po Leng tidak suka tinggal bersama-sama dengan Can Pek Sin dan Liong Seng Hong lalu berkata:
"Kalian ada bermusuhan apa, ada hubungan apa denganku?"
Tanpa memperdulikan permintaan Soa Thiat San tadi, ia hendak memaksa untuk berlalu. Siu Gouw menganggap dirinya tidak sanggup menahan berlalunya nona itu dan Can Pek Sin, terpaksa minta bantuan Thay Lok.
Sambil menengadah ke atas Thay Lok berkata dengan suara hambar,
"Kau turut saja perintah Pangcu kalian, ada aku di sini, takut apa?"
Siu Gouw karena mendapat tunjangan Thay Lok, sikapnya menjadi lain, sambil melintangkan goloknya ia berkata dengan suara bengis:
"Jangan pergi!"
Thie Po Leng masih belum tahu kelihaian Thay Lok. Ia masih hendak memaksa jalan selagi hendak bentrok lagi dengan Siu Gouw.
Can Pek Sin sudah kenal benar kepandaian Thay Lok segera mencegahnya dan berkata:
"Enci Leng jangan pergi dulu, aku ingin bicara denganmu. Urusan Yaya mu aku masih belum menjelaskannya."
Bagaimana kematian Yayanya? Itu memang masih merupakan suatu pertanyaan dalam hati Thie Po Leng. Apakah karena marah terhadapnya ataukah mati di tangan Lauw Bong atau ayahnya?
Hanya itu kedua sebab saja yang ia dapat pikirkan, tetapi bagaimanapun juga serupa saja, semua merupakan suatu pukulan hebat bagi dirinya.
Ucapan Can Pek Sin itu justru menyangkut persoalan yang menjadi perhatiannya. Salah paham yang sudah terlalu dalam terhadap Can Pek Sin itu terpaksa di kesampingkan dengan sendirinya lalu berhenti.
"Aku hanya ingin satu hal saja, kapan meninggalnya Yaya ku itu?" demikian Thie Po Leng berkata dengan suara gemetar. Ia tidak berani bertanya secara langsung sebab kematiannya, sehingga harus mengajukan pertanyaan secara memutar.
"Tepat pada malam itu ketika kau meninggalkan rumah."
Hati Thie Po Leng berdebaran, karena malam itu bukankah berarti binasa di tangan Lauw Bong atau ayahnya?
Paras Thie Po Leng berubah seketika pucat bagaikan kertas.
"Apakah mati terbunuh?"
"Mati karena terluka parah."
Thie Po Leng menangis, ia tidak berani bertanya lagi.
"Apakah kau tidak ingin tahu siapa yang membunuh Yaya mu?" demikian Can Pek Sin bertanya.
"Kau, kau tidak perlu menerangkan lagi!"
"Tidak, aku harus memberitahukannya kepadamu, sebab pembunuh Yaya mu adalah Touw Goan!"
Thie Po Leng tercengang, katanya:
"Apa? Siapa katamu?"
"Touw Goan!" Saat itu hati Thie Po Leng merasa, meskipun masih ragu-ragu, sudah agak ringan.
"Touw Goan? Orang itu bukankah justru musuh besarmu sendiri yang telah membinasakan ayah bundamu?" berkata Thie Po Leng yang ia ucapkan dengan tanpa sadar. Sebab selama ini ia belum pernah menceritakan kepada Can Pek Sin bahwa ia sudah mencuri dengar rahasia itu.
"Benar, Touw Goan adalah musuh besarku, juga menjadi musuhmu! Aku masih perlu memberitahukannya kepadamu, Soa Thiat San ini adalah adik angkat Touw Goan!"
Siu Gouw yang mendengarkan pembicaraan mereka, lalu berkata sambil tertawa menyengir:
"Kiranya kalian berdua adalah musuh toako! Ha, ha, ini sungguh kebetulan! Bagus sekali, kau budak hina ini bahkan masih berani mengatakan tidak ada hubungannya dengan urusan di sini!"
Soa Thiat San yang mendengar ucapan Siu Gouw, lalu berkata:
"Siu jitee, jangan merusak peraturan, nanti setelah aku mendapat keputusan siapa yang menang dan yang kalah dengan Lam tayhiap, baru boleh membereskan mereka."
Siu Gouw berdiri tegak sambil mendekap golok dalam pelukannya, ia berkata:
"Itu benar. Biar bagaimana mereka tokh tidak akan bisa terbang dari sini."
Thie Po Leng marah sekali, ia berkata dengan suara keras:
"Bagus, aku sebetulnya hendak pergi, tetapi sekarang tidak lagi."
Can Pek Sin memang hendak menahannya supaya bisa menerangkan persoalan yang menimpa nasib kakeknya, maka sebelum enci Lengnya berlalu, ia mengatakan soal permusuhannya dengan Touw Goan.
Iapun mengerti, menurut tata tertib dunia Kang-ouw, masih ada kesempatan untuk mengharapkan pihak Lam Hee Lui terhadap Soa Thiat San, kemudian baru bersama-sama menghadapi Thay Lok. Apabila saat itu Thie Po Leng memaksa pergi, pasti tidak bisa lolos dari tangan Thay Lok.
Lam Hee Lui yang sudah tidak sabar, segera berkata:
"Sudahlah, mari kita mulai!"
Ilmu serangan Soa Thiat San, sebetulnya terdiri dari kelincahan, kecepatan, kekerasan dan keganasan, baginya sangat menguntungkan apabila melakukan serangan lebih dulu, maka ucapan Lam Hee Lui itu justru yang dikehendaki olehnya. Namun demikian, mulutnya masih pura-pura berlaku merendah, katanya:
"Lam tayhiap sebagai orang yang datang dari jauh, termasuk tetamu kita. Tuan rumah seharusnya mempersilahkan tetamunya bertindak lebih dulu, ini adalah suatu keharusan dalam tata tertib dunia Kang-ouw......"
"Siapa ingin kau mengalah? Tidak usah banyak bicara! Lekas turun tangan!" bentak Lam Hee Lui.
Namun Soa Thiat San masih berkata:
"Ini, mana boleh? Aku si orang she Soa ada lebih tua beberapa tahun darimu."
Lam Hee Lui sudah tidak sabar lagi, bentaknya pula:
"Kau sebetulnya mau menurut atau tidak?"
Soa Thiat San tiba-tiba melancarkan satu serangan ke arah Lam Hee Lui sambil mengeluarkan perkataan: "Baiklah."
Dan setelah melakukan serangannya, baru berkata pula: "Kalau Lam tayhiap memang berlaku merendah, aku si orang she Soa terpaksa menuruti kehendakmu!"
Semua orang mengira ia belum bertindak, tak diduga ia sudah melancarkan serangannya dengan tiba-tiba. Ini sesungguhnya di luar dugaan semua orang. Kiranya Soa Thiat San yang memang sangat licik, ia sengaja berlaku ayal-ayalan dan mengucapkan perkataan merendah, supaya lawannya tidak siap sedia.
Tetapi Lam Hee Lui sedikitpun ia tidak gugup, selagi serangan itu akan mengenakan dirinya, dengan cepat menggerakkan goloknya, balas menyerang lengan kanan Soa Thiat San.
Serangan itu sangat tepat pada waktunya, lagi pula sangat jitu arahnya, apabila Soa Thiat San tidak segera menarik kembali tangannya, kedua-duanya pasti terluka.
Lam Hee Lui paling-paling terluka oleh serangan tangannya, tetapi ia sendiri akan kehilangan sebelah tangannya.
Dalam keadaan demikian, tentu Soa Thiat San tidak mau mengadu kekerasan. Tetapi ia juga tidak menarik kembali tangannya. Dalam saat yang cepat sekali, ia sudah merubah serangannya, tangannya membuat satu lingkaran, kakinya sudah bergerak mengikuti arah yang ditujukan oleh ujung golok Lam Hee Lui, berputaran dengan sangat lincahnya.
Dengan demikian, ujung golok Lam Hee Lui hanya terpisah tiga dim saja, tidak berhasil mengutungi lengannya, sedang telapakan tangan Soa Thiat San liwat di bawah ketiak kiri Lam Hee Lui.
Kedua orang itu bergerak sama-sama cepat dan gesit, sebentar saja Soa Thiat San sudah menggeser kakinya tiga kali, serangannya sudah berganti tiga rupa, Lam Hee Lui juga sudah melancarkan serangan goloknya, sampai tigapuluh enam kali. Tetapi kedua pihak masih belum ada tanda-tanda siapa yang lebih unggul dan siapa yang asor.
Pertempuran itu semakin lama semakin hebat, setiap gerak tipu serangannya juga semakin berbahaya. Kedua pihak sudah bermandikan keringat.
Thay Lok ingin menggantikan kedudukan Soa Thiat San, tetapi itu ada melanggar tata tertib dunia Kang-ouw, juga akan merendahkan kedudukannya sendiri.
Dengan tanpa dirasa, fajar sudah menyingsing. Dua orang bertempur sudah tigaratus jurus lebih, keduanya sudah basah kuyup dengan air peluh, napas mereka terdengar jauh.
Thay Lok khawatir kedua-duanya akan terluka, maka lalu berkata:
"Soa pangcu kau beristirahatlah dahulu sebentar, biarlah aku yang melayani Lam tayhiap, bagaimana?"
Soa Thiat San yang kedudukannya agak baik, hatinya merasa bimbang. Ia tidak ingin menunjukkan kelemahan dihadapan Thay Lok, tetapi ia sendiri tidak mempunyai keyakinan untuk mendapat kemenangan, maka juga takut kalau-kalau dia terluka.
Sebelum ia menjawab, tiba-tiba terdengar suara siulan panjang. Mula-mula kedengarannya jauh sekali tetapi dalam waktu sekejap mata saja, suara itu agaknya sudah di samping telinga, sehingga semua yang mendengarnya sangat terkejut.
Dengan secara tiba-tiba, terdengar suara tertawa dan ucapannya Khong-khong Jie.
"Soa Thiat San, kali ini aku telah mendapat kamu, kau masih hendak lari kemana?"
Bukan kepalang terkejutnya Soa Thiat San, ia yang memang selisih tidak banyak dengan kepandaian Lam Hee Lui, kini karena mendadak dikejutkan oleh kedatangan Khong-khong Jie, sehingga terkena serangan golok Lam Hee Lui, untung lukanya tidak parah.
Kecepatan Khong-khong Jie sesungguhnya tidak dapat dibayangkan oleh pikiran manusia, masih terdengar suara tertawanya, orangnya tiba-tiba sudah berada di depan mata Soa Thiat San, dengan mengeluarkan suara "plak" pipi Soa Thiat San sudah ditampar dengan telak.
Tetapi ia hanya memberi tamparan keras saja, tidak menurunkan tangan kejam.
Terdengar pula suaranya, "Sungguh sial, anjing yang sudah terluka, aku Khong-khong Jie tidak boleh membunuhnya, kali ini kau boleh merasa beruntung nyawamu tidak melayang."
Soa Thiat San sungguh tidak menyangka, bahwa golok Lam Hee Lui yang melukai dirinya berarti menolong selembar jiwanya. Maka ia segera lari terbirit-birit.
Sewaktu Khong-khong Jie muncul secara tiba-tiba, Thay Lok tidak tahu kalau ia tidak akan membinasakan Soa Thiat San.
11.61. Tidak Perlu Kau Lagi!
Kedatangannya yang diminta oleh Soa Thiat San justru untuk menghadapi lawan tangguh ini, maka seketika itu juga ia segera siap untuk menghadapi lawan tangguh ini, maka seketika itu juga ia segera menerjang maju dan tepat setelah Soa Thiat San tertampar pipinya oleh Khong-khong Jie, ia sudah menggantikan kedudukan Soa Thiat San.
Thay Lok segera melancarkan serangannya dengan menggunakan ilmu ?Hut-kut-ciang? yang mengandung racun, sehingga telapak tangan Khong-khong Jie merasa kesemutan dan badannya tergoncang.
"Aku justru merasa gatal tanganku, karena tidak menemukan lawan yang setimpal. Kedatanganmu sangat kebetulan, karena dengan demikian aku boleh melatih otot-ototku, jangan sampai menjadi kendor. Sekalipun serangan tanganmu yang beracun ini dari golongan sesat, dan kekuatanmu juga cukup sempurna, sehingga masih pantas menjadi lawan main-mainku! Bagus, bagus, mari mengadu sekali lagi. Aku ingin melihat ilmu serangan tangan beracunmu dapat melukai diriku atau tidak?" demikian Khong-khong Jie berkata sambil tertawa bergelak-gelak.
Thay Lok mendengar kata Khong-khong Jie tidak takut tangan beracun, dalam hati juga terkejut. Tetapi dalam perjalanannya ke daerah Tiong-goan hari ini, ia sudah sesumbar hendak mengadu kekuatan dengan orang-orang kuat daerah Tiong-goan, sedangkan undangan Soa Thiat San kali maksudnya juga memintanya khusus menghadapi Khong-khong Jie. Apabila ia dalam satu gebrakan sudah kena digertak oleh Khong-khong Jie, bukankah itu akan ditertawakan orang?
Khong-khong Jie berkata pula sambil tertawa:
"Bagaimana? Kau berani atan tidak? Aku memberi kesempatan kepadamu untuk menyerang tiga jurus lebih dulu."
"Siapa sudi kau memberikan kesempatan?" jawab Thay Lok dengan suara keras, yang segera melancarkan serangannya lagi.
Khong-khong Jie dengan gayanya yang manis mengelakkan serangan tersebut, sehingga serangan itu mengenakan tempat kosong.
"Aku sudah berkata memberikan kesempatan kepadamu untuk menyerang lebih dulu, sudah tentu tidak akan balas menyerang. Kau tidak usah khawatir, boleh melakukan serangan sesukamu tidak perlu kau menggunakan pikiran untuk menjaga dirimu," berkata Khong-khong Jie sambil tertawa.
Thay Lok tidak banyak bicara lagi, karena tubuhnya lebih tinggi dari pada Khong-khong Jie, maka sambil merangkap dua tangannya, tiba-tiba menyerang kepala Khong-khong Jie.
Dengan cepat ia menjongkokkan badannya, ia molos meliwati bawah ketiak Thay Lok, sambil melemparkan sebuah dompet seraya berkata:
"Aku sedang kekurangan uang, maka ingin pinjam uangmu untuk dipakai, harap kau jangan kecil hati."
Kiranya sewaktu ia molos dari bawah ketiak orang tadi, sebagai seorang tukang copet yang lihai, tangannya sudah berhasil merogoh saku orang, setelah mengambil uang itu, dikembalikan dompetnya.
Kerugian sedikit uang bagi Thay Lok tidak berarti apa-apa, tetapi kehilangan muka dihadapan orang begitu banyak, inilah yang dirasakan hebat. Dan apa yang sangat mendongkolkan, Khong-khong Jie setelah mengembalikan dompetnya, bahkan maju di hadapannya sambil tertawa cengar cengir mengejeknya.
Thay Lok menggeram kaki dan tangannya melakukan serangan serentak, serangan tangannya tidak terhitung aneh, tetapi serangan dengan kakinya merupakan gerakan kaki tersendiri. Ia dapat melakukan tendangan dengan kedua kakinya secara beruntun meliwati kepala Khong-khong Jie sedang tumit kakinya masih dapat mengarah jalan darah di atas jidat Khong-khong Jie.
Serangan ini sangat hebat dan berbahaya, oleh karena Khong-khong Jie diam-diam sudah berkata tidak akan balas menyerang, maka ia berani menggunakannya.
Khong-khong Jie diam-diam juga memuji hebatnya serangan itu, bagaikan asap ia melesat tinggi ke atas, sehingga ujung kaki Thay Lok hanya menyentuh celana Khong-khong Jie. Sebetulnya Thay Lok masih hendak menendang kakinya, tetapi tidak kena, sebaliknya sepatu Thay Lok kena disambar oleh Khong-khong Jie sehingga terlepas dari kakinya.
Khong-khong Jie lalu tertawa terbahak-bahak kemudian berkata:
"Aku hanya main-main saja denganmu, ini bukan terhitung balas menyerang. Nah, sekarang tiga jurus sudah lewat harus menjadi giliranku untuk menyambut seranganmu. Lekaslah pakai sepatumu."
Dengan muka merah padam Thay Lok membentak dengan suara keras:
"Kau hanya menggunakan ilmu meringankan tubuh untuk menghindari seranganku, ini apa artinya? Apakah kau berani mengadu kekuatan denganku?"
"Mengapa tidak berani?" berkata Khong-khong Jie sambil tertawa. Dengan cepat segera melanjutkan serangannya!"
?Y? Keduapuluh Tiga Karena Thay Lok menyambut serangan itu dengan menggunakan kekerasan, maka beradunya kedua kekuatan itu menimbulkan suara hebat.
Tay-lok merasakan dadanya bagaikan terkena pukulan palu godam, sehingga darahnya dirasakan menggolak. Ia terperanjat, sehingga dalam hatinya berpikir: Aku hanya mengira ilmu meringankan tubuh Khong-khong Jie sudah tidak ada duanya di dalam dunia, kekuatan tenaga dalamnya belum tentu dapat menandingi kekuatanku. Sungguh tidak disangka kekuatannya agaknya lebih tinggi setingkat dariku. Apabila mengadu kekuatan terus menerus secara begini, barangkali sebelum racun yang ia terima itu bekerja, aku sudah tidak sanggup melayani lagi.
Karena berpikir demikian, maka ia segera melompat mundur, tetapi kakinya masih belum bisa berdiri tegak, sehingga harus berputaran untuk menahan supaya dirinya jangan rubuh.
Khong-khong Jie tidak maju menyerang lagi, sebaliknya berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Bagaimana, agaknya kau tidak sanggup menerima pukulanku. Tidak apa, aku boleh memberikan kesempatan bagimu untuk bernapas sebentar. Sungguh sayang apabila kau jatuh begitu saja, dan dengan tidak mudah aku baru menemukan tandingan yang agak setimpal. Aku masih belum merasa puas benar-benar. Maka biar bagaimana kau harus melayani aku sampai puas."
Khong-khong Jie juga menggunakan kesempatan itu untuk membasmi racun dalam tubuhnya. Setelah Thay-lok berdiri tegak ia baru maju lagi dan berkata sambil tertawa:
"Kau sudah berani berkelahi denganku, ini berarti kau harus menuruti keinginanku. Aku suka berkelahi berapa lama, kau juga harus melayani sampai berapa lama. Apabila kau masih mempunyai kepandaian lain, kau boleh keluarkan seluruhnya!"
Pada saat itu Soa Thiat San dan anak buahnya tiba-tiba lari simpang siur. Karena Soa Thiat San yang semula mengharapkan Thay Lok dapat mengalahkan Khong-khong Jie, ternyata kini telah dipermainkan olehnya, maka ia sangat khawatir. Apabila Khong-khong Jie sudah membereskan Thay Lok nanti akan menyerang dia lagi.
Thay Lok yang ditinggalkan begitu saja, benar-benar terkejut dan mendongkol sekali. Ia sangat mendongkol karena ditinggalkan begitu saja oleh Soa Thiat San tanpa memikirkan keadaannya. Ini berarti sudah tidak memandang sahabat lagi terhadapnya. Ia terkejut karena dirinya yang dianggapnya sudah merupakan satu jago terkuat, tidak tahunya dipermainkan oleh Khong-khong Jie demikian rupa. Sekalipun ia hendak menyerah, Khong-khong Jie juga tidak akan melepaskannya begitu saja.
Ketika diserang lagi oleh Khong-khong Jie, tanpa memandang kedudukannya sendiri Thay Lok bergelindingan di tanah, tangannya meraup pasir dilemparkan kepada Khong-khong Jie.
Khong-khong Jie segera berseru:
"Loh! ini berkelahi cara apa?"
Ia segera maju menghampiri hendak menghantamnya. Thay Lok segera melompat bangun dengan demikian terhindar dari serangan Khong-khong Jie.
Khong-khong Jie berkata pula:
"Eh, gerakanmu ini sedikit luar biasa, ya begitulah, apa yang kau mampu kau boleh keluarkan semuanya, dengan demikian aku baru merasa puas."
Kiranya pada waktu itu tubuh Thay Lok yang tinggi besar nampak bergoyang-goyang bagaikan orang mabuk arak, serangannya juga tidak keruan.
Can Pek Sin dan lain-lainnya yang menyaksikan gerakan itu, setelah memandang beberapa lama, baru memahami kedahsyatan gerakan itu.
Karena dengan cara yang demikian, ia dapat menghindarkan mengadu kekuatan terus menerus dari serangan yang dilancarkan oleh Khong-khong Jie, dengan cara itu ia baru menyambuti dengan kekerasan apabila sudah terpaksa tidak dapat menyingkir lagi. Maksud Thay Lok dengan menggunakan ilmu silat itu ialah hendak mengulur waktu, supaya racun dalam tubuh Khong-khong Jie lekas bekerja.
Lam Hee Lui dapat menebak maksud Thay Lok itu, ia merasa agak khawatir, maka lalu berseru:
"Khong-khong cianpwee, Chiu pangcu mendengar kabar kau datang kemari, ia ingin sekali bertemu denganmu. Tidak perlu permainkan orang itu lagi, lekas dibereskan saja, supaya kita bisa pergi bersama-sama menemui Chiu pangcu."
Tetapi Khong-khong Jie menjawab sambil tertawa,
"Perlu apa kau merasa cemas? Hendak bertemu dengan Chiu Tong, ini sulit. Aku masih ingin mencoba kekuatan tenaga dalamku sampai di mana menahan serangan beracun orang ini!"
Thay Lok mengeluarlan gerak tipunya yang aneh-aneh. Khong-khong Jie juga melancarkan serangannya semakin lama semakin cepat, sehingga Lam Hee Lui juga tidak dapat melihat dengan nyata gerak tipu mereka. Tidak lama kemudian, di atas kepala Khong-khong Jie mengepul hawa putih bagaikan kabut menutupi kepalanya. Kiranya Khong-khong Jie telah menggunakan kekuatan tenaga dalam, sehingga racun dari serangan tangan Thay Lok yang ada di dalam tubuhnya, semua dikeluarkan melalui keringatnya.
Selagi pertempuran berlangsung ramai, tiba-tiba terdengar suara bentakan Khong-khong Jie: "Sahabat orang kuat dari mana, bolehkah aku menanyakan maksud kedatanganmu?"
Khong-khong Jie selalu tidak menggunakan istilah orang kuat secara serampangan, maka semua orang yang mendengarnya terkejut. Sesaat kemudian mereka baru mengetahui bahwa di luar kalangan sudah tambah satu orang lagi, yang merupakan seorang laki-laki dan berpakaian berwarna hijau.
Laki-laki itu lalu segera menyahut sambil tertawa:
"Bagus, ini benar-benar merupakan kepandaian yang jarang ada di dalam dunia, hingga membuka mataku si orang she Hoa!"
Can Pek Sin lalu berkata dengan suara girang: "Hoa lo-cianpwee, kau datang!"
Kiranya laki-laki itu bukan lain daripada Hoa Ciong Tay. Thay Lok dan Hoa Ciong Thay keduanya merupakan orang ternama dari pada daerah luar perbatasan, satu sama lain sudah saling mengenalnya. Thay Lok yang saat itu sedang dalam kedudukan sulit tidak bisa melepaskan diri maka ketika melihat kedatangannya, lalu berkata dengan suara girang:
"Hoa tayhiap, tahukah kau siapa orang ini? Orang ini adalah Khong-khong Jie yang dahulu pernah sesumbar hendak mencari kau untuk mengadu kepandaian. Kedatanganmu kebetulan, apakah kau ingin turun ke gelanggang main-main dengannya?"
"Aku sudah tua, sudah tidak mempunyai kegembiraan semacam itu lagi. Sebaiknya biarlah aku berdiri di samping sebagai penonton saja," jawab Hoa Ciong Tay sambil tertawa.
Thay Lok sangat gelisah, ia terpaksa meminta bantuannya secara terus terang tanpa malu-malu lagi.
"Hoa tayhiap, benarkah kau tidak pandang mata sahabat? Bantulah aku!"
"Menonton sandiwara di bawah panggung bukankah lebih nikmat dari pada main sendiri di atas panggung? Mengapa aku harus membantumu?"
Khong-khong Jie tiba-tiba tertawa panjang, kedua tangannya bergerak, bagaikan kucing menerkam tikus, ia menangkap Thay Lok yang bertubuh tinggi besar kemudian dibantingnya, seraya berkata:
"Aku sudah mempunyai tandingan yang lebih baik, sekarang tidak perlu kau lagi, enyahlah!"
Thay Lok bagaikan pesakitan yang mendapat ampun, ia segera merayap bangun dan lari terbirit-birit.
Khong-khong Jie dengan cepat sudah berada di hadapan Hoa Ciong Tay, katanya dengan nada suara dingin:
"Kau tidak ingin berkelahi denganku, tetapi aku justru mencari kau untuk berkelahi. Pendek kata sandiwara ini tidak boleh tidak kau harus turut main!"
Hoa Ciong Tay juga seorang yang beradat tinggi, dahulu ia selalu menghindarkan diri dari Khong-khong Jie, itu semata-mata karena masih mengingat hubungannya dengan Sin Cie Kow.
Pada saat itu melihat sikapnya Khong-khong Jie yang mendesak terus, juga merasa tidak senang, katanya,
"Kalau begitu, kau bermaksud memaksa aku mengawani kau main sandiwara. Hanya, hari ini aku tidak ingin menarik keuntungan darimu."
"Keuntungan apa yang kau dapatkan dariku?"
"Kau tadi sudah bertempur sekian lama dengan Thay Lok, biarlah aku tunggu kau sehingga pulih tenagamu, baru bicara lagi."
"Apakah kau kira aku bertempur dengan Thay Lok, pernah menggunakan tenaga? Coba kau lihat apakah aku ada tanda-tanda terkena racun serangan tangannya?"
Karena racun dalam tubuhnya sudah dikeluarkan semua, memang benar sudah tidak ada sedikitpun racun dalam tubuhnya. Tetapi karena mengeluarkan keringat terlalu banyak, pakaiannya sudah basah kuyup bagaikan ayam kecebur sungai, keadaannya memang menyedihkan. Kalau dikata sama sekali tidak menggunakan tenaga itulah tidak benar.
Hoa Ciong Tay mengawasinya sejenak, lalu berkata sambil tertawa:
"Manusia harus mengenal keadaan sendiri. Memang benar, kau tidak bisa terkena racun tetapi biar bagaimana tenagamu tokh terpengaruh juga. Kalau kita terpaksa berkelahi harus berkelahi sepuas-puasnya, perlu apa aku harus menarik keuntungan darimu?"
"Kau berani memandang rendah diriku? Apa salahnya tenagaku terpengaruh sedikit saja. Apa kau kira aku harus menggunakan seluruh kekuatan tenaga baru dapat mengalahkan kau?"
Hoa Ciong Tay paling benci orang lain tidak pandang mata dirinya, maka seketika itu wajahnya segera berobah, katanya:
"Khong-khong Jie apakah kau kira aku takut kepadamu? Tetapi kau harus memenuhi permintaanku, aku baru suka bertanding denganmu."
"Permintaan apa? Lekas kau katakan!"
"Kau boleh menyebutkan suatu cara, tetapi kau harus memilih cara pertandingan yang menguntungkan bagimu. Jikalau tidak, aku tidak mau bertanding. Sebab dengan demikian barulah adil. Siapapun tidak ada yang menarik keuntungan!"
Khong-khong Jie yang sudah lama ingin mengadu kepandaian dengan Hoa Ciong Tay, sesaat itu lalu berpikir: Apabila aku menyebutkan suatu cara sembarangan, ia pasti tidak akan menerima baik. Apa boleh buat, ia juga terhitung salah seorang terkuat dalam rimba persilatan, biar bagaimana harus memberi muka kepadanya.
Khong-khong Jie setelah berpikir demikian lalu berkata:
"Baiklah, bukankah tadi kau berkata hendak mengawani aku main sandiwara di atas panggung? Sekarang mari kita gunakan pagoda ini sebagai panggung komedi. Aku dengan kau bertanding di tingkat paling atas pagoda ini."
Pagoda itu terdiri tujuh susun. Bagian bawah besar, bagian atas kecil. Dari permukaan tanah sehingga tingkat paling atas setinggi delapanbelas tombak. Apabila dua orang bertanding di ujung tinggi atas pagoda itu, tempat itu tidak seberapa luas. Tidak saja bisa segera terjatuh dari atas apabila terkena serangan lawannya, tetapi juga bisa terpeleset jatuh apabila salah bertindak.
Hoa Ciong Tay yang masih belum lenyap rasa mendongkolnya, lalu berkata sambil menganggukkan kepala:
"Baik, dengan demikian barulah adil!"
Harus diketahui bahwa ilmu meringankan tubuh Khong-khong Jie dalam dunia rimba persilatan sudah tidak ada tandingannya. Bertanding di atas pagoda, sudah tentu menguntungkan Khong-khong Jie.
Can Pek Sin yang mendengarkan itu, bukan kepalang terkejutnya, maka segera berkata:
"Untuk menguji kepandaian, itulah merupakan suatu hal yang wajar, tetapi kedua locianpwee sama-sama merupakan orang sendiri, perlu apa demikian sungguh sungguh?"
Khong-khong Jie tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
"Kau bocah ini mengerti apa? Jikalau tidak sungguh-sungguh, perlu apa bertanding? Baiklah, orang she Hoa, silahkan!"
11.62. Pertarungan Di Puncak Menara
Khong-khong Jie segera bergerak, bagaikan seekor burung bangau yang melesat tinggi ke atas, ujung kaki menotol payon pagoda tingkat ketiga, ujung kaki kanan sewaktu menginjak, ternyata sudah berada di tingkat kelima. Ketika untuk ketiga kali ia bergerak lagi tahu-tahu sudah berdiri di bagian yang paling atas.
Oleh karena gerak badannya terlalu cepat, semua orang yang di bawah tidak dapat melihat dengan nyata, dengan cara bagaimana kakinya itu bergerak, itu seolah-olah burung yang terbang ke atas.
Sebaliknya dengan Hoa Ciong Tay, sekali meloncat ia dapat mencapai ketingkat ketiga. Ia juga tidak dapat menggunakan ujung kakinya dengan beruntun mencapai ke tempat itu. Ia hanya menggunakan tangan naik ke atas setingkat demi setingkat. Meskipun juga cepat, tetapi kalau dibanding dengan ilmu meringankan tubuh Khong-khong Jie, ternyata masih kalah.
"Kau mempunyai gelar dengan sepasang pena dapat menyapu ribuan tentara, aku justru ingin belajar kenal dengan senjatamu yang ampuh itu!" demikian Khong-khong Jie berkata.
"Ini hanya sahabat-sahabat dunia Kang-ouw yang menempelkan mas di mukaku. Bagaimana aku sesuai dengan gelar? Tetapi jikalau kau pasti menginginkan aku menunjukan pertunjukkan dengan senjata itu, aku minta supaya kau menunjukkan kesalahannya! Ilmu pedangmu yang bernama Wan-kong-kiam-hoat sekali bergerak dapat menotok sembilan tempat bagian jalan darah, ilmu pedangmu ini aku juga sudah lama ingin mengenalnya. Sudikah kiranya kau juga memberikan pertunjukkan dengan ilmu pedangmu itu?"
Khong-khong Jie yang dalam waktu belakangan ini sudah meningkatkan ilmu kepandaiannya itu sampai demikian rupa, sehingga dapat menggunakan jari tangannya sebagai gantinya pedang, maka ia tidak menggunakan pedang lagi. Sebaliknya dengan jari tangannya ia segera melakukan serangan terhadap Hoa Ciong Tay. Benar saja serangan itu merupakan semacam serangan mengarah jalan darah yang sangat dahsyat, bahkan lebih lihay daripada menggunakan pedang.
Hoa Ciong Tay juga diam-diam terkejut, untung dahulu ia pernah mencoba kepandaian Tiat Ceng, sehingga sedikit banyak sudah dapat mengenal gerak geriknya ilmu pedang itu, jikalau tidak mungkin agak sulit untuk menghadapinya.
Dalam waktu sekejap mata saja serangan Khong-khong Jie itu, sudah mengancam sembilan tempat bagian jalan darah Hoa Ciong Tay dengan gerak tipunya yang sangat aneh dan kekuatan tenaganya yang sangat hebat.
Sambil memberi pujian Hoa Ciong Tay juga menggunakan kedua senjatanya yang berbentuk alat tulis itu, mengarahkan urat nadi dan otot-otot sekujur badan Khong-khong Jie.
Karena senjata itu lebih panjang dari pada jari tangan, maka dalam hal senjata ia menarik sedikit keuntungan.
Kekuatan serangan Khong-khong Jie ternyata tidak dapat menggerakkan badannya, dan serangan senjata Hoa Ciong Tay sedikitpun tidak menunjukkan tanda kalut. Sebaliknya adalah Khong-khong Jie yang terdesak tidak dapat mendekati badannya, sehingga Khong-khong Jie diam-diam memuji kepandaian lawannya.
Keduanya saling mengagumi, tetapi pertandingan berjalan semakin seru dan berbahaya.
Khong-khong Jie menggunakan ilmu meringankan tubuh yang tanpa tandingan, dengan kepandaian itu untuk melayani lawannya.
Genteng pagoda yang terbuat dari bahan beling, permukaan genteng itu sangat licin, dengan sendirinya agak sulit dapat diinjaknya dengan tegak. Khong-khong Jie dengan rupa-rupa akal, mengeluarkan serangannya yang sangat berbahaya, hendak memancing Hoa Ciong Tay ke pinggir supaya dapat mendorongnya turun ke bawah.
Belum pernah terjadi suatu pertandingan yang sangat berbahaya seperti itu. Can Pek Sin dan lain-lainnya yang menyaksikan dari bawah, semua sudah mengeluarkan keringat dingin dan menahan napas.
Hoa Ciong Tay mengeluarkan seluruh kepandaiannya, dengan sangat hati-hati ia menghadapi lawannya, supaya jangan sampai terpancing olehnya. Namun demikian gerak tipu Khong-khong Jie yang luar biasa anehnya itu, ada beberapa bagian yang Hoa Ciong Tay belum mengenalnya, sehingga beberapa kali hampir terdesak ke pinggir.
Tetapi kepandaian Hoa Ciong Tay menggunakan sepasang senjata itu, benar-benar sudah mahir sekali, dengan kepandaian ilmu menotok jalan darah Khong-khong Jie sangat berimbang.
Dalam hal kekuatan tenaga dalam Hoa Ciong Tay masih menang setingkat.
Tetapi dalam hal ilmu meringankan tubuh, sebaliknya adalah Khong-khong Jie yang lebih tinggi. Hanya Khong-khong Jie yang sedang bernapsu, hampir saja permulaan menguasai keadaan. Ia selalu mengambil inisiatip menyerang, maka dipandangan orang luar, Hoa Ciong Tay berada dalam keadaan sangat berbahaya.
Dalam suatu pertempuran sengit, Khong-khong Jie melesat keluar dan mengitari atap genteng dengan menggunakan gerak tipu bunga jatuh ke tanah, tiba-tiba memutar kedua tangannya menotok jalan darah bagian lutut dan paha Hoa Ciong Tay.
Serangan itu luar biasa anehnya dan berbahaya pula, dalam keadaan demikian Hoa Ciong Tay lalu berpikir: Kalau aku tidak melukainya, dia pasti melukai aku.
Dengan tanpa banyak pikir lagi, ia segera mengerahkan tenaganya ke ujung senjata, segera menancapkannya ke permukaan genteng, maksudnya hendak melepaskan diri dari serangan Khong-khong Jie juga hendak mendesaknya supaya tidak dapat mendekati dirinya.
Serangan Khong-khong Jie tadi terlalu berbahaya. Dalam keadaan demikian, sekarang dialah yang mengalami sedikit kerugian. Sekalipun ia segera melesat menyingkir, tetapi bajunya juga sudah terlubang oleh senjata Hoa Ciong Tay.
Tetapi bersaman dengan itu kaki Hoa Ciong Tay juga sudah menghancurkan genteng yang diinjaknya.
Hoa Ciong Tay mengira bahwa serangan pembalasannya tadi, sedikit banyak akan melukai Khong-khong Jie, tak disangka hanya melobangi bajunya saja, maka diam-diam ia merasa kagum, lalu berkata:
"Hitunglah aku kalah satu jurus, bolehkah menghentikan pertandingan ini?"
Hoa Ciong Tay mengajukan usul itu karena merasa sayang dan takut apabila terluka keduanya, maka ia ingin menyudahi pertandingan supaya satu sama lainnya jangan sampai kehilangan muka. Tetapi karena ucapannya yang mengaku kalah tadi, dalam pendengaran Khong-khong Jie dianggapnya ia yang sudah kalah, maka adat Khong-khong Jie yang mau menang saja, sudah tentu tidak mau menerimanya. Maka ucapan itu bukan saja menarik hasil baik, sebaliknya mengakibatkan bertambah marahnya Khong-khong Jie.
"Kau tidak perlu mengejek aku, kau masih belum kalah, apakah aku harus menerima kekalahanmu begitu saja? Biar bagaimana hari ini kita harus berkelahi sampai mendapatkan keputusan siapa yang lebih unggul," jawab Khong-khong Jie gusar. Sementara itu ia sudah melancarkan serangannya yang bertubi-tubi, sehingga Hoa Ciong Tay yang hendak menunda pertandingan itu tidak berdaya sama sekali.
Meskipun sifat Hoa Ciong Tay tidak seperti Khong-khong Jie yang mau menang sendiri saja, tetapi ia juga seorang yang beradat tinggi hati, mendengar ucapan Khong-khong Jie itu, juga tidak dapat mengendalikan amarahnya lagi.
Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pertempuran berlangsung lagi, kedua pihak sama-sama mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Pertempuran itu mendebarkan hati Can Pek Sin dan lain-lainnya yang menyaksikan dari bawah.
Tidak lama lagi, di atas kepala Khong-khong Jie sudah mengepul hawa putih, badannya sudah bermandikan keringat.
Hoa Ciong Tay di bawah serangan begitu hebat, beberapa kali keadaannya sangat berbahaya. Walaupun dapat menghadapinya dengan baik, tetapi diam-diam juga terkejut. Dalam hatinya berpikir: Jikalau bukan karena ia tadi tidak bertempur dengan Thay Lok, mungkin aku benar-benar tidak sanggup menghadapinya.
Khong-khong Jie yang berulang-ulang melancarkan serangannya masih tidak berhasil menjatuhkan lawannya, diam-diam juga terkejut, pikirannya: Pertandingan di atas pagoda ini aku sebetulnya sudah dapat keuntungan, namun masih belum berhasil menjatuhkannya, apabila bertanding di atas tanah, mungkin belum dapat mengalahkannya.
Tetapi walaupun kedua pihak sama-sama mengagumi kepandaian lawannya, karena sudah telanjur omong besar, siapapun tidak mau mengaku kalah lebih dulu, maka terpaksa bertempur terus.
Dilihat sepintas lalu, kelihatannya Khong-khong Jie yang menguasai seluruh keadaan dengan serangannya yang bertubi-tubi, tetapi sebetulnya adalah Hoa Ciong Tay yang berada di atas angin.
Pertandingan itu sangat mengkhawatirkan Can Pek Sin dan lain-lain. Mereka tidak tahu dengan cara bagaimana dapat menghentikan pertandingan itu, karena salah satu pihak saja yang terluka, merupakan suatu hal yang tidak dikehendaki oleh mereka.
Lam Chun Lui dengan suara perlahan bertanya kepada Can Pek Sin:
"Can toako, Hoa lo-cianpwee inilah yang kau katakan orang luar biasa rimba persilatan yang pernah menolong Tiat Ceng? Bukankah Tiat Ceng sedang berobat dengannya? Bukankah lo-cianpwee ini masih mempunyai seorang putri? Mengapa mereka tidak ikut bersama-sama?"
Can Pek Sin segera tergerak hatinya, ia lalu berseru kepada Khong-khong Jie:
"Khong-khong cianpwee, harap mengingat budi baik lo-cianpwee yang pernah menolong jiwa muridmu, hentikanlah pertandingan ini!"
Sebelum Khong-khong Jie menjawab, Hoa Ciong Tay sudah berkata:
"Tidak perlu urusan muridnya dibawa-bawa kepada suhunya. Aku menolong Tiat Ceng semata-mata karena berjodoh denganku, tidak perlu suhunya turut menanggung budi."
Can Pek Sin sebetulnya bermaksud baik, tetapi dalam keadaan bingung bicaranya tanpa dipikir, sehingga ucapannya itu justru melanggar pantangan Hoa Ciong Tay.
Khong-khong Jie yang beradat suka menang sendiri, walaupun agak payah tetapi juga tidak mau menyerah mentah-mentah maka segera menjawabnya dengan nada suara dingin:
"Benar, pertandingan ini biar bagaimana harus sampai habis. Setelah dapat ketentuan, aku nanti akan berlutut dihadapanmu untuk mengucapkan terima kasih!"
Can Pek Sin semakin gelisah, tetapi ia tidak berdaya sama sekali.
Selagi masing-masing dalam keadaan serba salah, dari jauh tiba-tiba melihat seorang berlari mendatangi bagaikan terbang. Setiba di bawah pagoda, orang baru melihat tegas bahwa orang itu adalah seorang perempuan setengah umur yang berdandan bagaikan paderi perempuan.
Can Pek Sin segera dapat mengenali perempuan itu, dengan suara girang ia berseru:
"Sin lo-cianpwee, kedatanganmu sangat kebetulan!"
Perempuan itu yang bukan lain dari pada Sin Cie Kow, tidak menghiraukan ucapan Can Pek Sin, sebaliknya membentak kepada dua orang yang sedang berkelahi:
"Kalian berebut apa? Perlu apa bertanding? Lekas berhenti! Hem, hem, Khong-khong Jie kau dengar ucapanku atau tidak?"
Khong-khong Jie yang tidak takut segala apa, hanya takut kepada istrinya. Ketika mendengar ucapan istrinya hatinya sedikit bimbang.
Ia takut apabila segera menghentikan pertandingan itu berarti menyerah terhadap Hoa Ciong Tay, namun demikian, gerakannya mulai kendor.
Sebelum ia membuka mulutnya untuk menghentikan pertandingan itu, tiba-tiba Hoa Ciong Tay berseru: "Oh", kemudian melayang turun dari atas pagoda.
Kiranya Hoa Ciong Tay ketika melihat kedatangan Sin Cie Kow, karena hendak memberi muka kepadanya, maka ia sengaja mengalah, ia pura-pura terpeleset dan melayang turun.
Sebaliknya dengan Khong-khong Jie yang tidak menduga tindakan Hoa Ciong Tay itu, maka seketika itu ia terkejut dan berseru:
"Apakah artinya ini?"
Belum lagi hilang perasaan herannya, tiba-tiba dikejutkan oleh kejadian yang lain.
Kiranya ilmu meringankan tubuhnya tak semahir Khong-khong Jie. Sewaktu dirinya masih jumpalitan di tengah udara, tiba-tiba terdengar suara menyambarnya senjata rahasia. Dua buah batu kecil entah dari mana, tetapi sudah terang dilepaskan orang berkepandaian tinggi secara menggelap ke arah Hoa Ciong Tay.
Hoa Ciong Tay yang masih berjumpalitan di tengah udara sudah tentu tidak dapat mengelakkan serangan itu. Untung Khong-khong Jie yang mengetahui bahaya itu, dengan kecepatan bagaikan kilat ia melompat turun, tangannya menyambar butir yang pertama, kemudian menggunakan batu itu untuk menyerang batu yang kedua sehingga terjatuh di tanah, bersama dengan Hoa Ciong Tay melayang turun ke tanah dengan selamat.
Khong-khong Jie sangat marah, ia segera berkata dengan suara keras:
"Bersembunyi di tempat gelap dan membokong orang secara pengecut, apakah itu perbuatannya seorang gagah? Hem, kau sekarang hendak sembunyi juga sudah tidak mungkin lagi, tidak boleh tidak aku akan menyeret kau keluar!"
Khong-khong Jie dari suara melayangnya batu tadi dapat mengenali arah penyerangnya maka secepat kilat ia segera melayang ke arah sebuah tempat yang agak tinggi. Benar saja di belakang tanah yang menonjol itu nampak keluar dirinya seseorang.
Orang itu bentuknya sangat aneh. Tubuhnya kurus kering bagaikan gala, tetapi kepalanya sangat besar, rambutnya tak teratur, kulitnya kuning pucat. Nampaknya seperti seorang berpenyakitan, tetapi sepasang matanya yang lebar, memancarkan sinar tajam.
Orang itu ketika melihat kedatangan Khong-khong Jie, ternyata sedikitpun tidak merasa takut, sebaliknya malah menyambut sambil berkata dengan nada suara dingin:
"Khong-khong Jie, orang lain boleh takut kepadamu, tetapi aku tidak!"
"Kau mahluk macam apa, berani buka mulut besar di hadapanku!"
Kedua tangannya lalu bergerak menghajar kepala orang itu.
Khong-khong Jie nampaknya gusar sekali karena perbuatan pengecut orang itu dan ucapannya yang terlalu sombong, maka sekali bergerak sudah mengeluarkan serangannya yang mematikan.
Orang itu juga menggunakan sepasang tangan kosong untuk menyambut serangan Khong-khong Jie. Ketika kedua kekuatan saling beradu, Khong-khong Jie terdorong mundur oleh kekuatan tangan orang itu.
Ia terperanjat dan terheran-heran, entah dari mana munculnya manusia itu? Apakah lebih kuat daripada Hoa Ciong Tay?
Sebetulnya, kekuatan dan kepandaian orang itu meskipun tergolong ?orang terkuat?, tetapi apabila dibandingkan dengan Hoa Ciong Tay, masih belum seimbang. Sedangkan kekuatan tenaga dalam Khong-khong Jie juga lebih menang setingkat. Tetapi karena Khong-khong Jie agak gegabah, ia lupa bahwa tadi habis bertempur dengan Hoa Ciong Tay, sehingga kekuatan tenaganya terhambur tidak sedikit.
Orang itu mulutnya mengatakan tidak takut Khong-khong Jie, itulah bohong. Justru karena takut Khong-khong Jie dan Hoa Ciong Tay maka barulah ia melakukan pembokongan, dengan maksud untuk menarik keuntungan.
Ia bersembunyi di tempat gelap, menggunakan senjata gelap menyerang orang yang sedang berada dalam keadaan tidak berjaga-jaga. Maksudnya ialah lebih dulu ia hendak membinasakan Hoa Ciong Tay, dan kemudian Khong-khong Jie. Ia benar-benar tidak menyangka kalau khong-khong Jie bisa menolong musuhnya,sehingga rencana orang itu buyar seluruhnya.
Tetapi kini setelah mengadu kekuatan, benar-benar ia tidak takut kepada Khong-khong Jie, ia hanya takut kalau-kalau Sin Cie Kow datang memberi bantuan. Maka ia segera mengambil keputusan, sebelum Sin Cie Kow tiba, ia akan membunuh atau setidak-tidaknya melukai dulu Khong-khong Jie baru kabur.
Khong-khong Jie diam-diam mengeluh, tetapi seumur hidupnya ia belum pernah minta pertolongan orang, sekalipun terhadap istrinya sendiri, karena perbuatan demikian dianggapnya menunjukkan kelemahannya sendiri.
Untung meski kekuatan tenaganya hampir habis tetapi ilmu meringankan tubuhnya masih lebih dari cukup untuk menghadapi musuhnya. Begitu melihat gelagat tidak baik, ia segera main kucing-kucingan dengan orang itu, maka orang itu juga tidak mudah mencapai maksud busuknya.
Di mata orang lain, gerak badan Khong-khong Jie masih tetap lincah gesit, seolah-olah masih bisa menguasai keadaan.
Hoa Ciong Tay juga benci kepada perbuatan pengecut orang itu, tetapi karena ia tahu bahwa Khong-khong Jie sudah mulai bertindak terhadap orang itu, sudah tentu ia tidak pergi menghampiri lagi.
Ia maju ke depan Sin Cie Kow, lalu berkata sambil memberi hormat:
"Kalian berdua suami istri telah mendapat nama baik di kalangan Kang-ouw, aku si orang she Hoa sebagai kawan lama, sudah tentu juga turut mendapat kehormatan. Hanya, tadi dengan tidak sengaja aku telah mengganggu suamimu harap kau sampaikan maafku kepada suamimu. Kini maaf aku hendak pergi dulu."?
11.63. Takut Suami Cemburu!
Ia lalu memutar tubuhnya hendak berlalu.
Sin Cie Kow coba mencegah dengan kata-katanya:
"Sudah sepuluh tahun lebih kita tidak bertemu muka. Apakah dengan demikian kau lalu hendak berlalu begitu saja?"
Dengan menindas perasaannya sendiri, Hoa Ciong Tay menjawab dengan suara hambar,
"Aku tidak mau mengganggu kalian, sebaiknya aku pergi saja."
Sin Cie Kow tahu benar adat suaminya, ia juga khawatir akan menimbulkan kecurigaan suaminya, maka ia diam saja.
Walaupun ia diam saja, tetapi suaminya segera berseru:
"Hoa Ciong Tay, bagaimana kau hendak pergi begitu saja? Tidak bisa!"
Hoa Ciong Tay tercengang, jawabnya dingin:
"Aku sudah mengaku kalah, kau masih mau apa?"
"Tidak benar, tidak benar! Kau belum kalah, bagaimana boleh mengaku kalah? Aku justru hendak menerangkan soal ini denganmu, kau tunggu aku sebentar. Setelah aku membereskan manusia busuk ini, nanti kita berunding lagi tentang ilmu silat."
Dalam hati Hoa Ciong Tay merasa mendongkol tetapi juga geli, maka lalu mendongakkan kepala dan tertawa bergelak-gelak, kemudian berkata:
"Tidak perlu siapa yang menang siapa yang kalah, namun aku sudah tidak sempat mengawani kau lagi."
Hoa Ciong Tay mana tahu, meskipun Khong-khong Jie adalah seorang yang mau menang sendiri tetapi dia seorang jantan. Ia sendiri mengerti bahwa tadi sebetulnya sudah dikalahkan oleh Hoa Ciong Tay maka ia tidak mau menarik keuntungan secara tidak jujur. Khong-khong Jie sifatnya suka bergurau, hanya terhadap ilmu silat ia paling memperhatikan sungguh-sungguh. Menang tetap menang dan kalah tetap kalah, ia dalam hal ini ia harus menjelaskan kepada Hoa Ciong Tay.
Tetapi karena ia bertindak sedikit lengah, musuhnya itu segera mendapat kesempatan balas menyerang. Khong-khong Jie sangat murka, ia ingin segera membinasakannya, tetapi kepandaian orang itu sebaliknya tidak mudah dapat dibinasakan dengan segera. Apa lagi kekuatan tenaga Khong-khong Jie sudah hampir habis. Jangankan membinasakan, sedangkan menghadapinya saja ia harus hati-hati sekali.
Hoa Ciong Tay dan Sin Cie Kow tidak tahu bahwa kepandaian orang itu sedemikan tinggi, mereka hanya menganggapnya Khong-khong Jie sedang mempermainkannya, maka semua tidak ambil perhatian.
Dalam rimba persilatan, memang sedikit sekali jumlahnya orang yang mampu menandingi kepandaian Khong-khong Jie. Bagaimanapun mereka tidak dapat memikirkan Khong-khong Jie bisa kalah di tangan orang itu, walaupun Khong-khong Jie sudah bertempur setengah harian.
Hoa Ciong Tay takut tidak dapat melepaskan diri dari gangguan Khong-khong Jie. Setelah berbicara sebentar, ia berlalu dengan tergesa-gesa. Can Pek Sin segera memburu dan berseru:
"Hoa lo-cianpwee, di mana engko Tiat Ceng? Bagaimana keadaannya?"
"Ia baik-baik saja, kau tunggu sebentar, segera akan dapat melihatnya."
Can Pek Sin sangat girang, ia bertanya pula:
"Apakah ia juga sudah datang?"
Hoa Ciong Tay tidak menjawab, sehingga sebentar sudah pergi jauh.
Lam Hee Lui berkata sambil menghela napas:
"Kepandaian lo-cianpwee ini benar-benar hebat! Dengan paman Khong-khong Jie sudah bertempur setengah hari dan tokh masih bisa berjalan demikian pesat bagaikan terbang."
Lam Chun Lui lalu berkata:
"Ayahnya begitu hebat, putrinya kiranya juga tidak lemah. Entah nona Hoa itu turut datang atau tidak? Hem, apabila Tiat Ceng datang bersama-sama ia, kita di sini benar-benar ramai sekali!"
Lam Chun Lui sangat mengkhawatirkan soal perjodoban adiknya, tetapi ia tidak dapat mengatakan di hadapan Can Pek Sin dan Sin Cie Kow.
Sementara itu Sin Cie Kow nampak sangat masgul, ia berkata kepada suaminya sambil mengkerutkan alisnya:
"Khong-khong Jie, kau dengar atau tidak? Muridmu juga sudah tiba. Kau ingin menjumpainya atau tidak? Lekas bereskan manusia busuk itu, kau jangan main-main lagi!"
Belum habis ucapannya. tiba-tiba terdengar suara seruan tertahan Khong-khong Jie, orangnya lompat melesat beberapa tombak. Sewaktu turun tanah, kakinya ternyata tidak dapat berdiri tegak.
Kiranya Khong-khong Jie tadi di waktu bicara telah memberikan kesempatan kepada musuhnya untuk balas menyerang. Karena musuhnya mendesak demikian hebat, Khong-khong Jie yang benar-benar sudah kehabisan napas, terpaksa lompat menyingkir.
Sin Cie Kow yang menyaksikan keadaan demikian sangat terkejut, ia buru-buru lari menghampiri. Orang itu karena tidak dapat melukai Khong-khong Jie, ketika melihat Sin Cie Kow mengkampiri, juga lalu kabur.
Khong-khong Jie duduk bersemedi, semua orang sudah datang menghampirinya, tetapi tiada satupun yang berani buka mulut.
Tidak lama kemudian, wajah Khong-khong Jie perlahan-lahan berobah merah lagi, lalu membuka matanya.
Sin Cie Kow lalu berkata padanya:
"Kau kenapa? Apakah terluka?"
Khong-khong Jie melompat berdiri dan berkata:
"Mustahil! Bangsat itu bagaimana bisa melukai diriku? Hm, bangsat itu berani membokong selagi orang dalam keadaan bahaya, aku pasti hendak mencarinya untuk membuat perhitungan!"
"Hendak mencarinya untuk membuat perhitungan, juga tidak perlu tergesa-gesa, beristirahatlah dulu dua hari." Demikian sang istri membujuknya.
Tetapi Khong-khong Jie memelototkan mata, dia berkata:
"Apa? Apakah kau kira aku sekarang tidak mampu menghajar manusia busuk itu? Perlu apa harus beristirahat dua hari!"
Sikap Sin Cie Kow segera berubah keren, katanya:
"Aku tidak ijinkan kau demikian mengumbar napsu dan tidak menyayangi diri sendiri, kau mendengar kataku atau tidak??
"Hem, kau benar juga, untuk mencari bangsat itu, juga tidak perlu tergesa-gesa, aku masih ada urusan yang lebih penting, mengapa aku sudah lupa?"
"Itu benar, sebaiknya kita pergi berkunjung kepada Chiu Tong lebih dulu, minta tolong kepadanya untuk mencari kabar tentang diri Tiat Ceng."
Di luar dugaan, Khong-khong Jie telah menggeleng-gelengkan kepala seraya berkata:
"Ini bukan urusan penting." Kemudian berkata lagi seolah-olah pada dirinya sendiri: "Musuh boleh ditunda dulu, tetapi sahabat karib tidak boleh diabaikan begitu saja. Benar, aku harus segera mengejar Hoa Ciong Tay."
Sin Cie Kow yang mendengar ucapanya itu lalu berkata:
"Kau jangan berlaku gila-gilaan lagi."
"Kau jangan khawatir. Aku mencarinya bukan untuk diajak berkelahi, tetapi aku hendak merundingkan soal ilmu silat dengannya, bahkan aku masih hendak minta maaf kepadanya."
Ia agaknya takut akan dirintangi oleh istrinya, maka sehabis berkata lalu lari.
Sin Cie Kow tidak bisa berbuat apa-apa, maka juga tidak bisa merintanginya lagi. Ia lalu berkata sambil menggeleng-gelengkan kepala:
"Adatnya benar-benar semakin tua malah semakin seperti anak-anak. Sudahlah, kita jangan memperdulikannya, mari kita bicarakan soal kita sendiri. Lam Hiantit, bagaimana kau datang kemari? Apakah ibumu baik-baik saja?"
Sin Cie Kow dengan ibu persaudaraan Lam, kedua-duanya sama-sama terkenal di kalangan Kang-ouw sebagai pendekar wanita, apa lagi setelah ia menikah dengan Khong-khong Jie, hubungan kedua keluarga semakin erat.
Thie Po Leng sementara itu lalu berkata:
"Di sini sudah tidak ada urusanku lagi, aku hendak pergi."
Ia masih belum lenyap rasa mendongkolnya terhadap Liong Seng Hong, ditambah lagi dengan kedukaannya atas kematian kakeknya, maka ia tidak mau berdiam lebih lama. Ia ingin sendirian dan menangis sepuas-puasnya.
Adalah Can Pek Sin yang merasa serba salah, mendengar bahwa Tiat Ceng sudah tiba di Yang-ciu, sudah tentu ingin segera menjumpainya. Tetapi dia juga tidak tega hati membiarkan Thie Po Leng pergi seorang diri. Ini bukan hanya karena cinta kasihnya yang masih belum putus, melainkan masih banyak kata-kata yang perlu dijelaskannya. Jikalau tidak hatinya tidak akan merasa tenang.
Pemisahan The Separation 1 Pedang Siluman Darah 9 Demi Tahta Dan Cinta Bulan Jatuh Dilereng Gunung 5
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama