Ceritasilat Novel Online

Jiwa Ksatria 3

Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen Bagian 3


Tok-kow sebetulnya tidak ingin berlaku kejam, tapi ketika menyaksikan keganasan Thie Sui, apalagi ia harus menolong jiwa sahabatnya, maka terpaksa turun tangan kejam. Senjata kipasnya, digagangnya ada diperlengkapi dengan alat rahasia, jikalau perlu, bisa digunakan sebagai senjata rahasia yang mengeluarkan sebatang anak panah. Begitulah, saat itu ia menggunakan kipasnya sebagai senjata rahasia untuk menyerang Thie Sui.
Jago tua itu yang sudah terluka kakinya, apalagi terpisah sangat dekat sekali, maka tidak berhasil mengelakkan diri dari serangan tersebut, hingga tangan kanannya yang terkena senjata itu tidak bisa digunakan lagi.
"Bagus, malam ini kita akan musna bersama-sama!" berseru Thie Sui, golok dipindahkan ke tangan kiri, dengan secara kalap menyerang Tok-kow U.
Kipas Tok-kow U yang sudah kehilangan satu tulang, kekuatannya agak berkurang, ia takut tidak sanggup menahan serangan golok jago tua itu, maka tidak berani menggunakan sebagai senjata rahasia lagi.
Thie Sui sudah kurang satu musuh kuat, meski cuma bisa menggunakan tangan kiri, juga masih berada di atas angin. Ia mendesak lawannya sedemikian rupa, hingga Tok-kow U terpaksa mundur terus-terusan.
Lauw Cin yang lompat keluar dari kalangan, segera menghadang di tengah tengah antara Can Pek Sin dan anaknya, ia angkat senjatanya, dengan badan berlumuran darah, ia berkata dengan suara bengis:
"Benar kata Thie Yayanya. Malam ini kita akan musnah bersama-sama! Bong-jie, maju! Kita tidak boleh antapin bocah ini!"
Can Pek Sin yang menyaksikan keadaan Lauw Cin yang sangat menakutkan, dalam hati juga merasa jeri, meski pergelangan tangannya terluka, tapi ilmu meringankan tubuhnya masih tidak terpengaruh. Dengan cepat ia lompat melesat, tapi Lauw Cin tetap mengejar. Di lain pihak, Thie Sui kini sudah berhasil melukai Tok-kow U, keduanya masih bertempur mati-matian.
Pertempuran itu sudah berlangsung hampir dua jam, fajar sudah menyingsing.
Can Pek Sin yang menyaksikan pertempuran hebat itu, pikirannya merasa kalut, pikirnya: Jika aku kabur, Yaya pasti mati. Apa boleh buat, meski aku tidak ingin melakukan pembunuhan, tapi malam ini agaknya sudah tidak dapat aku pertahankan pikiran demikian.
Dengan nekad, ia lompat ke tempat dimana pedangnya tadi telah jatuh, lalu menyontek pedangnya dengan ujung kaki dan sebentar sudah berada di dalam tangannya.
Lauw Cin tetap mengejar. Can Pek Sin lalu membentak. "Menyingkir!" lalu membabat dengan pedangnya.
Kekuatan Lauw Cin jauh di atas Can Pek Sin, tapi ia sudah terluka parah. Ketika senjatanya beradu dengan pedang Can Pek Sin, ia terpental mundur sampai tiga tindak, mulutnya menyemburkan darah.
Lauw Bong segera memburu sambil berseru: "Jangan ganggu ayahku!"
Seperti juga dengan Can Pek Sin, saat itu pikiran Lauw Bong juga sangat kalut.
Meski satu lengannya patah, tapi dendam sakit hatinya terhadap Can Pek Sin sudah tidak begitu dalam lagi. Ia mengerti, Can Pek Sin tadi menyerang padanya dengan geger golok, nyata tidak menghendaki jiwanya. Tapi kini, kini ayahnya dalam ancaman pedang Can Pek Sin! Mau tidak mau ia harus mencegahnya! Ia kertak gigi, dengan cuma satu tangan ia maju menolongi ayahnya.
Can Pek Sin lantas membentak: "Kau hendak menolong ayahmu, apakah aku tidak boleh menolong Yayaku? Siapa yang berani melukai Yaya, aku akan bunuh padanya. Minggir!"
Ia lalu menikam dengan pedangnya, Lauw Bong egoskan diri untuk mengelakan serangan tersebut. Kesempatan itu digunakan oleh Can Pek Sin untuk menolong Yayanya.
Lauw Bong menyingkir bukan karena takut Can Pek Sin, tapi karena mendengar ucapan anak muda tadi, ia mengerti maksudnya cuma hendak memberi pertolongan Yayanya, maka ia tidak mau berlaku nekad dengannya. Jikalau tidak, dengan kekuatan Lauw Bong dengan ayahnya, Can Pek Sin pasti tidak bisa lolos.
Tiba disamping Thie Sui, jago tua itu lantas berkata sambil ketawa bergelak-gelak:
"Siao-sin, kedatanganmu sangat kebetulan! Meski kakiku sudah terluka, tapi mereka juga cuma tinggal si pelajar miskin ini yang masih mempunyai tenaga melawan. Malam ini satupun jangan sampai ada yang hidup!"
Can Pek Sin sebetulnya ingin membujuk Yayanya supaya berdamai saja, tapi dalam keadaan demikian, bagaimana ia berani buka mulut?
Sementara itu, Lauw Cin dan anaknya sudah tiba mengepung padanya.
Di pihaknya Lauw Cin bertiga, hanya Tok-kow U yang lukanya agak ringan. Namun demikian, juga sudah kena dihajar dua kali dengan golok Thie Sui. Jika Lauw Cin dan anaknya tidak keburu memberi bantuan, mungkin ia sudah binasa di tangan Thie Sui.
Kedua pihak saat itu sudah gelap mata semuanya, setiap orang sudah terluka, bedanya cuma ada yang berat dan yang ringan. Siapa yang dapat tahan lebih lama, dialah yang akan mendapat kemenangan terakhir. Dalam pertempuran mati-matian itu, masing-masing sudah tentu menggunakan pukulan-pukulan yang ganas dan mematikan.
Can Pek Sin yang lukanya paling ringan, juga paling sadar ingatannya, tapi dalam pertempuran sengit demikian, jangan kata ia tidak mampu membujuk Yayanya, sedangkan ia sendiri juga tidak mampu kendalikan tangannya, sebab jikalau tidak, ia pasti akan dilukai oleh musuhnya.
03.14. Bersatu Menghadapi Lawan Bersama
Hari sudah mulai terang, Thie Sui sudah mulai kehabisan tenaga. Serangan-serangannya yang cepat dan hebat pada babak permulaan, kini sudah tak kelihatan lagi, pertempuran itu seperti ayam jago bertarung yang sudah mendekati babak menentukan. Masing-masing nampak sangat lelah, gerakannya sangat lambat, terutama di pihaknya Lauw Cin dan anaknya, gerakannya sudah tidak menurut peraturan lagi. Hanya Tok-kow U dan Can Pek Sin yang agak mendingan, tapi juga cuma mampu melindungi dirinya sendiri saja.
Kalau diadakan perbandingan di pihaknya Thie Sui berdua ada lebih baik dari pada pihaknya Lauw Cin bertiga. Lauw Cin keluar darah terlalu banyak, mukanya yang merah sudah berubah menjadi pucat pasi, jika pertempuran itu berlangsung satu jam lagi, sekalipun ia tidak mati di bawah golok Thie Sui, barangkali juga akan rubuh binasa karena kehabisan darah.
Lauw Bong sudah patah satu tangan, dengan tangan sebelah ia tidak bisa berbuat banyak.
Tok-kow U ada satu pendekar kenamaan, tapi saat itu juga sudah kehabisan tenaga, ia cuma bisa mengimbangi kekuatan Thie Sui saja, sudah tidak mampu bergerak melakukan serangan.
Thie Sui berkata sambil ketawa bergelak-gelak:
"Pribahasa ada kata, manusia mati karena harta, burung mati karena makanan. Aku hendak kubur jenazah kalian bertiga di bawah tumpukan harta itu, kalian seharusnya sudah merasa puas."
"Tua bangka she Thie, sekalipun kita binasa, kau sendiri juga tidak akan bisa hidup lebih lama lagi," berkata Lauw Cin gusar.
"Usiaku sudah lanjut, sebetulnya memang sudah mesti mati. Kalian masih muda-muda dan gagah, lalu harus ?jalan? duluan daripadaku...... haha...... Apa lagi yang perlu kubuat sesalan?" katanya Thie Sui sambil tertawa terbahak-bahak.
Ia sebetulnya akan mengejek Lauw Cin dan anaknya supaya pertempuran bisa lekas berakhir.
Can Pek Sin dan Lauw Bong sama-sama merasa berduka, khawatir sekali kalau sampai ada yang mati, hingga sama-sama timbul hasrat hendak mendamaikan mereka. Lauw Bong takut mendapat malu, ia tak berani mengutarakan lebih dulu.
Can Pek Sin menarik napas. Selagi mencari kesempatan untuk mengutarakan maksudnya, mendadak terdengar suara Tok-kow U berkata:
"Tua bangka she Thie. Bagus sekali perbuatanmu! Ternyata kau sudah minta bala bantuan untuk mengurung kita? Bagus! sekarang suruhlah bantuanmu itu unjukkan muka! Kalau dia memang satu laki-laki, tidak perlu main sembunyi!"
?Y? Keenam Thie Sui tercengang ia berkata:
"Apakah melibat bayangan setan? Aku Thie Sui sudah cukup dengan golokku ini untuk mengambil jiwamu, perlu apa minta bantuan?"
Tok-kow U balikkan badannya, mendadak menegur dengan suara keras:
"Sahabat dari mana, hendak turut campur tangan?"
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa terbahak-bahak, di belakang sebuah batu besar dekat gunung-gunungan, ada muncul seorang laki-laki.
Tok-kow U berkata pula sambil ketawa dingin:
"Sahabat tentunya tokh bukan bangsa hantu bukan......? Aha! kiranya kau!"
Bukan kepalang kagetnya orang she Tok-kow itu, orang yang baru muncul itu ternyata adalah Touw Goan.
"Hebat benar kalian bertempur, tapi belum ada yang menang dan yang kalah! Jangan khawatir, aku tidak akan membantu siapapun juga, kalian boleh lanjutkan pertempuran ini sehingga puas!" berkata Touw Goan sambil ketawa besar.
Can Pek Sin diam-diam menarik tangan Thie Sui dan berkata padanya dengan suara pelahan:
"Yaya, orang ini adalah musuhku yang membunuh ayah dan ibu. Kedatangannya ini tidak mengandung maksud baik!"
Can Pek Sin yang berhadapan dengan musuh besarnya, sebetulnya sudah meluap hawa amarahnya tapi karena Yayanya sedang terluka parah, ia tidak tahu bagaimana harus menghadapinya.
Tok-kow U merasa seperti diguyur dengan air dingin, wajahnya berubah seketika, ia berkata dengan suara gemetar:
"Touw Goan, apakah kau ingin memungut keuntungan setelah kita terluka parah semuanya?"
"Dihadapan orang jujur tidak perlu membohong, dugaanmu ini memang benar! Cuma, mengingat kau pernah menolong memberi obat padaku, aku tak akan mengganggumu. Urusan disini, jangan kau turut campur tangan lagi!"
Ternyata orang she Touw itu sudah lama sembunyi di situ. Ia takut unjukkan diri terlalu pagi, takut menghadapi mereka yang pasti akan bersatu padu menghadapi dirinya, suatu hal yang sama sekali tak diinginkan olehnya. Maka ia terus menantikan kesempatan yang paling baik, supaya bila sekali turun tangan dapat terbinasa semua lawannya. Saat itu meski pertempuran kedua pihak belum selesai, tapi orang-orangnya sudah lelah semua. Sudah tentu ia tahu karenanya, lantas unjukkan diri dengan tanpa khawatir lagi.
Dengan munculnya orang ini, pertempuran dengan sendirinya lantas berhenti.
"Touw Thocu!" Berkata Lauw Cin dengan suara gusar. "Perbuatanmu ini berarti kawan makan kawan sendiri. Apakah itu ada perbuatannya seorang gagah?"
"Harta benda ini sebetulnya memang kepunyaan keluargaku. Aku tidak memaki kau, kini sebaliknya kaulah yang memaki aku lebih dulu. Kau dengan berbagai daya upaya hendak mendapatkan harta benda ini, bukankah itu ada perbuatan kawan makan kawan? Heh, heh! Tidak perlu kita saling menuduh. Urusan ini rasanya cuma bisa dibereskan secara adil dengan patokan, siapa yang menang dialah yang kuat!" berkata Touw Goan sambil ketawa dingin.
Can Pek Sin saat itu lantas berkata kepada Yayanya:
"Yaya, orang ini barulah musuh kita yang paling buas dan paling berbahaya! Pertikaian antara kita dengan keluarga Lauw biarlah kita perhitungkan belakangan."
Thie Sui anggukkan kepala.
Lauw Bong juga berkata kepada ayahnya:
"Ayah, pada saat ini kita harus bersatu padu dengan keluarga Thie untuk pertahankan diri. Ucapan bocah she Can ini memang benar. Pertikaian antara kita dengan orang tua she Thie itu kita perhitungkan belakangan saja."
Lauw Cin yang menghadapi kejadian di luar dugaannya itu, membuat pikirannya yang sudah butak menjadi agak sadar. Ia tahu bahwa orang she Touw ini jauh lebih sulit dihadapinya daripada Thie Sui. Di bawah tangannya Touw Goan, lebih susah baginya untuk terlolos dari bahaya maut. Maka seketika itu ia lantas mengambil keputusan tegas. Jawabnya:
"Sekalipun aku terluka di tangan tua bangka she Thie itu, tapi ia sendiri juga mendapat luka tidak ringan, kita sama-sama terluka, rekening ini diperhitungkan atau tidak, sudah tidak menjadi soal lagi. Hei, tua bangka she Thie, apa kau dengan sesungguhnya hendak berserikat dengan aku untuk menghadapi musuh bersama? Sekarang tinggal menanti jawabanmu saja!" berkata Lauw Cin.
Touw Goan berkata sambil ketawa terbahak-bahak:
"Kalian sudah selesai berunding atau belum? Sebetulnya juga tidak ada gunanya untuk berunding, bagaimanapun juga kalian tokh akan kukirim ke akherat. Tentang rekening kalian, boleh diperhitungkan di alam baka saja!"
Karena lima orang itu sudah terluka dan kehabisan tenaga semuanya, kalau Touw Goan hendak turun tangan, sebentar saja dapat membinasakan mereka semua.
Thie Sui dengan mata mendelik dan suara bengis berkata:
"Bagus, bagus! Itulah satu enghiong benar-benar, sungguh galak ucapanmu! Kita beberapa tulang-tulang bangkotan ini, akan kita pertaruhkan denganmu! Kawan-kawan, mari kita maju!"
Thie Sui meski sudah terlalu letih, tapi biar bagaimana ada satu jago kawakan yang sudah mempunyai latihan beberapa puluh tahun, dalam gusarnya, ia telah pertaruhkan jiwanya hendak menggempur musuh yang baru datang itu. Ia gunakan sisa kekuatan tenaganya yang masih ada, goloknya diputar demikian rupa untuk menyerang musuhnya.
Touw Goan merasa jeri juga, ia tidak berani pandang ringan lawannya. Katanya sambil ketawa dingin:
"Thie Sui, kalau kau memang sudah ingin mati, biarlah aku iringi kehendakmu lebih dulu!"
Dengan tameng di tangan kiri, senjata yang berupa gaetan di tangan kanan lantas menggempur kepala Thie Sui.
Can Pek Sin diam-diam mendoa kepada arwah ayah bundanya: "Ayah ibu, lindungilah anakmu!" kemudian lompat melesat dan menikam urat nadi Touw Goan.
Lauw Cin tahu apabila Thie Sui binasa di tangan Touw Goan, ia sendiri juga tidak akan hidup, maka ia lalu satukan diri dengan Thie Sui, sama-sama menghadapi musuh tangguh itu. Begitu melihat Touw Goan sudah bergerak menyerang Thie Sui, ia juga putar senjatanya sepasang phoan-koan-pit, bantu Thie Sui menyerang Touw Goan.
Touw Goan menyambuti serangan Lauw Cin dengan tamengnya. Ujung senjata Lauw Cin patah seketika, dan ujung golok Thie Sui yang juga kesambar, patah sepotong. Kedua orang ini terpental mundur beberapa tindak. Tapi si jago tua tidak rubuh, bahkan ia masih bisa membimbing Lauw Cin yang hendak rubuh.
Sementara itu...... Pedang Can Pek Sin yang menyerang urat nadi Touw Goan telah disampok oleh gaetan orang she Touw itu hingga hampir terlepas dari tangannya. Anak muda ini menderita luka paling ringan, ia masih mempunyai cukup tenaga untuk melawan, ketika melihat gelagat kurang baik, segera mengeluarkan ilmu pedang ciptaan keluarga Can untuk memunahkan serangan Touw Goan. Ia malah masih bisa balas menyerang.
Touw Goan putar gaetannya. Selain bisa menyambuti serangan Can Pek Sin, ia juga sudah menyerang Lauw Bong yang waktu itu sedang maju akan membantu.
Serangan Touw Goan meluncur dengan hebatnya. Lauw Bong yang sudah agak payah, terpapas lagi pundaknya. Can Pek Sin mengancam dengan pedangnya untuk melindungi Lauw Bong yang hendak undurkan diri.
Dalam segebrakan saja Touw Goan dengan dua senjatanya sudah berhasil mendesak mundur ke empat lawannya. Ia merasa sangat bangga, hingga ketawa terbahak-bahak. Ketika kemudian ia maju menyerang lagi dengan tamengnya, adalah Lauw Cin yang dijadikan sasaran. Ia sudah dapat kenyataan bahwa dari empat lawannya itu, adalah Lauw Cin yang terluka paling parah. Karenanya, ia bermaksud hendak "bereskan" orang she Lauw itu lebih dulu.
Thie Sui yang masih membimbing Lauw Cin dengan satu tangannya buru-buru ayun goloknya membacok tameng yang sedang beraksi itu. Touw Goan lantas berkata sambil ketawa:
"Biarlah kalian berdua yang sedang bermusuhan kubereskan bersama-sama!"
Ia kerahkan seluruh kekuatan tenaganya. Tamengnya menindih lebih hebat golok Thie Sui hingga tidak terangkat lagi, bahkan tameng itu kini telah mengancam batok kepala Thie Sui!
Can Pek Sin buru-buru menghampiri buat menolong, tapi pedangnya sudah disingkirkan oleh senjata gaetan Touw Goan, hingga ia tidak bisa maju lagi. Saat itu, sesungguhnya sangat berbahaya sekali keadaannya Thie Sui!
Tok-kow U yang sejak tadi belum turun tangan, ketika menyaksikan keadaan demikian lantas berkata dengan suara lantang:
"Touw Thocu! Aku minta dengan sangat supaya kau suka ampuni dia!"
Tok-kow adalah satu pendekar yang telah mendapat nama. Tentu ia tidak mau menyerang secara menggelap. Ia telah mengeluarkan ucapannya itu untuk memperingati, tapi ia juga tidak tinggal diam.
Orang she Tok-kow ini juga sudah terluka, tapi kalau dibanding dengan Thie Sui dan Lauw Cin, masih agak mendingan keadaannya. Tenaganya memang sudah agak berkurang, tapi ia masih dapat menggunakan ilmunya menotok jalan darah yang memang menjadi kebisaannya.
Terhadap orang she Tok-kow itu, Touw Goan tidak berani terlalu anggap remeh. Ketika dilihatnya kipas bergerak menotok, ia terpaksa tinggalkan Thie Sui, memutar tameng melindungi jalan darahnya, sedang senjata gaetannya menyodok dan menyendal guna menyingkirkan senjata kipas Tok-kow U, sekaligus maksudnya hendak memotong urat nadi orang she Tok-kow tersebut.
Can Pek Sin dan Lauw Bong maju bersama. Mereka dengan senjata masing-masing menyerang Touw Goan dari kedua sisi untuk menolong Tok-kow U.
Touw Goan berkata sambil ketawa dingin:
"Tok-kow U! Sudah kutunjukkan jalan hidup bagimu, tapi kau sekarang hendak mencari mati sendiri!"
"Touw Thocu," jawab Tok-kow U dengan suara hambar, "terima kasih atas kebaikanmu. Tapi penilaianmu atas diriku ternyata keliru jauh sekali! Jikalau aku membiarkan kau membunuh habis kawan-kawanku, sedang aku sendiri lantas kabur begitu saja, bukankah aku akan menjadi seorang rendah yang takut mati?"
Lauw Cin tergerak hatinya.
"Tok-kow lotee, ini bukan urusanmu!" katanya. "Kau......"
"Lauw toako, tidak perlu banyak bicara lagi. Waktu kita angkat saudara dulu bukankah sudah kita berjanji, ada rezeki sama-sama dinikmati, ada bahaya sama-sama kita tanggapi?"
Touw Goan kerlingkan matanya.
"Tok-kow U," ia berkata sambil ketawa dingin, "sekarang tenagamu cuma sisa tinggal tidak seberapa, apa kau masih hendak berlaga sebagai orang gagah? Benarkah kau ingin turut mereka mati bersama-sama?"
Touw Goan dahulu pernah berhutang budi kepada Tok-kow U. Kalau ia sekarang membunuhnya, ia khawatir kalau hal itu tersiar di dunia Kang-ouw akan mencemarkan nama baiknya, karena itu ia sebetulnya tidak ingin bertindak dan mengharap supaya Tok-kow U mengundurkan diri.
Di luar dugaannya, Tok-kow U malah menjawabnya sambil tertawa terbahak-bahak:
"Benar, kita semua sudah terluka. Kekuatan tenagamu sudah pulih. Kalau hendak membunuh kami sangat mudah sekali, tambah aku seorang, bagimu tentu tidak menjadi soal. Justru karena itu, maka aku Tok-kow U selagi masih belum binasa, ingin menerima pelajaranmu beberapa jurus saja!"
Ucapan itu mengandung sindiran hebat, kata-kata ?kekuatan tenagamu sudah pulih? sebetulnya merupakan satu ejekan bagi Touw Goan yang dulu sudah diberi obat sehingga tenaganya pulih kembali dengan cepat, tetapi kini membalas budinya dengan perbuatannya yang sangat rendah dan memalukan. Kecuali itu juga merupakan suatu keterangan bahwa dengan turut campurnya dalam pertempuran itu, bukanlah berarti mengeroyok dengan mengandalkan kekuatan banyak orang. Ucapan itu tidak memaki padanya secara langsung, tetapi sebetulnya lebih menyakiti hatinya.
Touw Goan karena malu berbalik menjadi gusar, bentaknya dengan suara keras:
"Baiklah, kalau kau memang akan mengutamakan kesetiakawanan, ingin dipuji sebagai seorang gagah perkasa, maka aku juga akan mengiringi kehendakmu."
Ia bertindak maju sambil memutar kedua senjatanya, dalam waktu sekejap mata saja sudah melakukan serangan dengan beruntun terhadap ke lima lawannya.
Ia sudah dapat menduga bahwa Tok-kow U yang masih mempunyai daya perlawanan paling cukup, maka separuh kekuatannya digunakan untuk melayaninya.
Thie Sui berempat dengan tekad bulat melawan mati-matian, ternyata masih sanggup melayani, sampai duapuluh jurus lebih. Tapi Thie Sui yang sudah lanjut usianya, apalagi sudah bertempur setengah malam, paling dulu yang mulai payah. Ia merasakan matanya berkunang-kunang, hampir tidak dapat melihat ke mana arah senjata musuhnya.
03.15. Perlakuan Kesatria Saingan Cinta
Can Pek Sin terus mendampingi Yayanya, setiap serangan musuh ditangkisnya dengan secara nekad.
Thie Sui yang sudah merasa putus harapan, lalu berkata kepada cucunya:
"Siao-sin, lekas lari kau! Yayamu sudah hidup tujuhpuluh tahun, matipun tidak mengapa. Tetapi kau harus mempertahankan jiwamu, supaya dapat membalas dendam ayah bundamu!"
Tetapi bagaimana Can Pek Sin dapat meninggalkan Yayanya? Atas anjuran Yayanya itu iapun menjawab:
"Tidak, sebaiknya Yayalah yang mengundurkan diri. Bawalah enci Leng pergi dari tempat ini supaya ia dapat membalas dendam buat Lauw toako, itu juga sudah berarti membalaskan dendam untukku!"
Dalam menghadapi ancaman maut ia masih tidak melupakan enci Leng nya yang diikat dalam kamar, ia takut setelah Touw Goan membinasakan mereka, nanti juga membinasakan dirinya pula.
Lauw Bong yang mendengar pembicaraan itu diam-diam merasa malu terhadap diri sendiri, Thie Sui hanya dapat menghela napas dengan airmata berlinang-linang.
Touw Goan berkata sambil ketawa besar:
"Kalian ingin kabur? Satupun jangan harap bisa! Heh, heh! Bocah she Can, kau ternyata masih mempunyai jiwa kesatria! Aku sebetulnya sudah berjanji dengan ibumu tidak akan membunuhmu! Tetapi, siapa menyuruhmu malam ini harus berhadapan lagi denganku? Ini bukan berarti aku melanggar janjiku!"
Orang she Touw itu sungguh licik, ia memang bermaksud hendak membasmi habis keluarga Can, tetapi mulutnya masih mengucapkan kata-kata manis seakan-akan ia tidak bersalah.
"Bangsat, aku sebetulnya juga tidak akan membalas dendam, tetapi sekarang aku terpaksa akan mengadu jiwa denganmu! Kalau aku tidak dapat membinasakanmu, sekalipun jadi setan juga akan terus mengejar kau!" jawab Can Pek Sin.
"Kepandaianmu sudah mendapat banyak kemajuan. Terus terang, aku memang juga takut kau nanti menuntut balas dendam! Kalau kau sudah berkata demikian, tidak ada lain jalan kecuali akan mengiringi kehendakmu saja, supaya kau bisa lekas-lekas jadi setan gentayangan, supaya bisa lekas menuntut balas!"
Sementara itu, serangan yang dilancarkan olehnya juga semakin ganas, setelah menangkis serangan Tok-kow U, dengan menggunakan tujuh bagian kekuatan, tamengnya menyerang Can Pek Sin!
Kekuatan tenaga Can Pek Sin memang masih kalah jauh untuk menghadapi orang she Touw itu, apalagi sesudah bertempur setengah malaman? Tetapi bagi seorang yang belajar ilmu silat, dalam menghadapi bahaya maut, daya perlawanannya guna pertahankan jiwanya dengan sendirinya timbul begitu saja. Sekalipun kekuatan Can Pek Sin terang tidak sebanding dengan musuhnya, dan ia tidak berani menahan serangan musuhnya dengan mengadu kekerasan, tapi dengan sendirinya ia lalu mengeluarkan ilmu meringankan tubuh pelajaran ayah bundanya untuk mengelakkan serangan tersebut.
Tetapi Thie Sui yang sudah berkunang-kunang matanya, tidak sempat menyingkir, sehingga kebentur dengan serangan itu. Sekalipun Thie Sui sudah mengeluarkan seluruh kekuatan tenaganya, menggunakan goloknya untuk membacok tameng, tapi Touw Goan cuma terpental mundur satu tindak saja, sebaliknya Thie Sui yang terpental sejauh tiga tombak lebih!
Can Pek Sin sangat khawatir, ia memburu sambil berseru: "Yaya, kau......" Tetapi saat itu Touw Goan sudah mengejar, tidak memberi kesempatan orang tua tersebut menyingkir.
Thie Sui terluka parah, tetapi kekuatannya yang sudah mempunyai latihan puluhan tahun, sekalipun tidak bisa bangun, juga tidak sampai binasa. Ia mengeluarkan darah dari mulutnya, sambil merangkak ia berkata:
"Siao-sin, aku tidak apa-apa. Tapi aku tidak dapat melindungi kau lagi. Kau, kau lebih baik lekas lari!"
Can Pek Sin melihat Yayanya masih mampu bicara, hatinya agak lega, ia mengerahkan seluruh tenaganya untuk melawan Touw Goan lagi! Lauw Cin yang terluka paling parah, kembali kena dibentur oleh tameng Touw Goan, kedua senjatanya terlepas dari tangannya dan ia mundur terhuyung-huyung kemudian ditendang lagi oleh Touw Goan. Untung kipas Tok-kow U dan pedang Can Pek Sin berhasil menahan senjata gaetan Touw Goan. Kalau tidak, Lauw Cin pasti sudah mati di ujung senjata lawannya.
Ia tertendang jatuh, dengan berguling-guling ia baru lolos dari bahaya.
Lima orang cuma tinggal tiga, sudah tentu semakin berat menahan serangan musuh yang sangat ganas itu. Ilmu meringankan tubuh Can Pek Sin mahir sekali, gerakan badannya juga sangat lincah, nampaknya lebih leluasa menghadapi musuhnya. Kepandaian Tok-kow U meski terhitung paling tinggi, ilmunya meringankan tubuh juga cukup sempurna, tetapi sayang pahanya sudah terluka, gerakannya kurang lincah sehingga cuma mampu menggunakan tiga bagian kepandaiannya saja.
Touw Goan yang selalu mengincar dan mencari lowongan di tempatnya orang she Tok-kow itu, akhirnya mendapat kesempatan baik, ia berkata sambil ketawa dingin:
"Kau adalah ahli totokan, sekarang aku persilahkan kau coba-coba ilmu totokanku!"
Ujung senjata gaetannya lalu digunakan untuk menotok jalan darah Ie-kie-hiat hingga Tok-kow U rubuh seketika itu juga.
Oleh karena orang she Touw itu masih takut pembalasan sahabat-sahabatnya Tok-kow U maka ia tidak berani bertindak kejam, kalau tidak, ia tentu tidak mau memberi kesempatan hidup lagi kepadanya.
Setelah menotok rubuh Tok-kow U, Touw Goan berkata sambil ketawa:
"Bocah she Can, sekarang tibalah giliranmu!"
Can Pek Sin sudah tidak menghiraukan jiwanya lagi, ia sudah bertekad hendak mengadu jiwa dengan musuhnya, maka setiap serangannya dilakukan dengan sangat berani dan ganas pula. Dalam keadaan demikian, Touw Goan malah tidak mudah mencapai maksudnya, yang hendak mengakhiri pertempuran itu dengan lekas.
Ia tahu bahwa kepandaiannya sendiri jauh lebih tinggi daripada Can Pek Sin, sudah tentu tidak perlu buru-buru sehingga menempuh bahaya terluka bersama-sama. Dianggapnya, biar bagaimana ia tokh tidak akan lolos dari tangannya.
Can Pek Sin sudah mandi keringat, napasnya terengah engah, tetapi ia masih melawan dengan nekad.
Lauw Bong cuma bisa menggunakan sebelah tangan, ia masih bertekad membantu Can Pek Sin melawan musuhnya. Beberapa kali ia hampir menjadi korban senjata musuh.
Can Pek Sin khawatir pemuda itu nanti mati di tangan musuhnya, maka ia lalu berkata kepadanya: "Lauw toako, kau lekas lari! Nona Thie berada di dalam kamar, kau........" ia sebetulnya ingin minta pemuda itu membebaskan Thie Po Leng dan lari bersama-sama, tetapi sebelum sempat mengutarakan maksudnya, tameng Touw Goan sudah mengancam kepalanya. Ia menangkis dengan nekad, sehingga tidak sempat bicara lagi.
Dengan muka merah Lauw Bong menjawab:
"Saudara Can, sekarang aku sudah mengikat tali persahabatan denganmu. Keluar tenaga untuk sahabat, itu sudah menjadi kewajiban seorang kesatria, lelaki tidak perlu takut mati!"
Dengan gerakan satu tangannya, ia menyerang musuhnya dengan nekad.
Touw Goan berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Kau dua bocah yang sudah menghadapi kematian, masih berbicara soal setia kawan, sesungguhnya sangat mengagumkan!"
Dua buah senjatanya digerakkan berbareng untuk menyerang dua lawannya.
Dua pemuda itu meski melawan secara mati-matian, tetapi juga hanya bisa menahan saja, sudah tidak mempunyai kekuatan untuk membalas menyerang.
Saat itu matahari sudah naik tinggi, dua pemuda itu sudah mulai kehabisan tenaga, mereka hanya menantikan kematian, mendadak terdengar suara ringkikan kuda.
Touw Goan segera dapat mendengar derap kaki sepasang kuda pilihan, yang sedang dilarikan ke arahnya. Kuda itu larinya cepat sekali, dan kemudian berhenti di luar tembok pekarangan.
Touw Goan mengerutkan kaningnya, hatinya berkecamuk: Apakah mereka orang-orang golongan hitam yang juga menginginkan harta benda itu?
Tetapi ia adalah seorang pemberani, hal itu tidak dihiraukannya, ia memusatkan perhatiannya supaya dapat lekas mengakhiri pertempuran.
Can Pek Sin yang mendengar suara kuda, hatinya tergerak, pikirnya: Apakah benar ada hal yang begini kebetulan? Mungkinkah mereka kakak beradik yang datang kemari hendak mencari aku?
Ia merasa ada harapan hidup lagi, maka semangatnya timbul kembali, daya perlawanannya juga bertambah hebat. Semua gerak tipu yang paling ganas, yang ia peroleh dari pelajaran Yayanya, telah dikeluarkan seluruhnya. Touw Goan yang tidak ingin mendapat luka, tidak bisa membunuhnya dalam waktu beberapa jurus saja.
Sementara itu, dua sosok bayangan orang melayang turun melalui tembok dinding pekarangan.
Touw Goan dengan tanpa menengok lalu menyapa: "Sahabat dari golongan mana hendak turut campur tangan dalam urusan ini?"
Salah seorang di antara mereka yang baru tiba itu sudah berkata:
"Can toako, apa artinya ini? Siapa laki-laki ini?" suaranya ternyata masih suara kanak-kanak.
Touw Goan tercengang, ia mulai memperhatikan dua orang yang baru datang itu, ternyata hanyalah dua muda-mudi yang usianya sebaya dengan Can Pek Sin.
Dua muda-mudi itu ternyata adalah Tiat Ceng dan Tiat Leng, kakak beradik anak Tiat Mo Lek.
Sejak ketika mereka berjumpa dengan Can Pek Sin di bawah gunung Hok-gu-san, sepulangnya di atas gunung, lalu menceritakan perihal Can Pek Sin kepada ayah mereka. Tiat Mo Lek mendengar kabar kematian suami isteri Can Goan Siu, sedangkan anaknya yang lewat di gunung, tetapi tidak menyampaikan kabar kematian itu kepadanya. Dalam hati ia merasa heran, ia segera dapat menduga bahwa dalam hal pasti ada sebabnya.
Tiat Mo Lek adalah sahabat paling karib Can Goan Siu suami isteri, maka untuk memelihara dan mendidik anak piatunya, dianggapnya sudah menjadi kewajibannya. Maka tindakan Can Pek Sin itu sebetulnya sangat melukai perasaannya. Kala itu ia ingin mencari Can Pek Sin sendiri, tetapi karena mengingat kedudukannya sebagai Beng-cu, yang tidak boleh seenaknya saja meninggalkan gunung, maka segera memerintahkan Tiat Ceng dan Tiat Leng yang mencari di tempat kediaman Thie Sui, serta minta kepada Thie Sui agar Can Pek Sin diperbolehkan ikut serta dengan mereka ke gunung Hok-gu-san.
Kuda tunggangan kakak beradik itu adalah kuda-kuda pilihan pemberian Toan Khek Gee. Dahulu Can Pek Sin pernah melihatnya, maka begitu mendengar suara ringkikannya segera dapat mengenalinya.
Kedatangan kedua saudara itu tepat pada waktunya, Can Pek Sin yang ditanya segera memberi jawaban sambil bertempur:
"Bangsat jahat ini hendak membunuh Yaya, juga hendak membunuh aku!"
Adat Tiat Leng yang lebih berangasan daripada kakaknya, lantas berkata:
"Tanya apa lagi? Kau lihat Can toako sudah terluka! Lekaslah bertindak!"
Tiat Ceng saat itu sudah menyaksikan dengan tegas keadaan di tempat itu, ada tiga orang yang terluka parah dan menggeletak di tanah, belum bisa bangun. Di antara tiga orang itu, kecuali Lauw Cin seorang, Thie Sui dan Tok-kow U telah dikenalnya. Thie Sui sekujur badannya sudah mandi darah, keadaannya sangat payah. Sementara itu senjata Touw Goan masih terus mengancam Can Pek Sin.
Tiat Ceng yang terdidik baik oleh ayahnya, dalam menghadapi segala hal harus mengutamakan ?aturan? lebih dulu, baru boleh bertindak. Maka ketika baru tiba di tempat itu, ia hendak minta penjelasan lebih dulu. Tetapi kini setelah menyaksikan keadaan sekejam itu, hawa amarahnya juga tidak dapat dikendalikan lagi. Pikirnya: Thie kong-kong dan paman Tok-kow adalah sahabat-sahabat ayah, sekarang dilukai oleh orang itu sampai sedemikian rupa, sekalipun aku membinasakan orang itu, juga tidak keterlaluan!
Ia adalah muridnya Khong-khong Jie. Sedang ilmu meringankan tubuhnya dapat warisan dari ayahnya. Cepat ia bergerak untuk mendahului adiknya, dengan pedangnya ia menikam Touw Goan.
Ia menggunakan ilmu pedang ciptaan ayahnya sendiri, pedangnya diputar sedemikian rupa, bagaikan serangan golok yang hebat pengaruhnya. Ketika pedangnya beradu dengan tameng Touw Goan, dua senjata itu mengeluarkan percikan api, pedang Tiat Ceng tidak berhenti sampai di situ saja, dengan satu gaya setengah lingkaran, kembali ia berhasil menyingkirkan senjata gaetan Touw Goan.
Meski ia sendiri juga mundur dua langkah, tetapi dengan gerakannya yang luar biasa itu tadi sudah berhasil memunahkan dua serangannya Touw Goan.
Touw Goan masih dalam keadaan terkejut, Tiat Leng sudah menerjang lagi ke arahnya. Ia adalah muridnya Sin Cie Kow yang tersayang, meski usianya masih terlalu muda, tetapi ilmu pedangnya sudah mahir sekali.
Ilmu pedang Sin Cie Kow mempunyai banyak perubaban yang aneh-aneh. Tiat Leng yang sudah mendapat warisan suhunya, telah menggunakan serangannya yang mematikan. Gaya serangannya itu nampaknya sangat ringan tidak bertenaga. Touw Goan menggunakan tameng hendak menyampok pedangnya, siapa tahu gerakan pedang Tiat Leng mendadak herubah, mengarah ke timur tetapi yang dituju ke barat, semua serangannya ditujukan ke tempat-tempat yang tak diduga oleh lawannya.
Percuma saja Touw Goan mempunyai dua macam senjata, sedikitpun tidak mampu membendung serangan si nona cilik itu. Terpaksa ia kerutkan perutnya, badannya agak melengkung ke belakang, tetapi tidak urung masih terkait ujung pedang, sehingga ikat pinggangnya putus, untung tidak melukai perutnya.
Touw Goan sangat murka, ia lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya, senjatanya gaetan diputar sedemikian rupa, hingga seolah-olah ular beterbangan! Sedangkan senjata tamengnya digunakan untuk melindungi badannya begitu rapat.
Kalau serangan pertama Tiat Leng tadi berhasil dengan baik, itu hanyalah karena Touw Goan masih belum dapat meraba dari golongan mana ilmu pedang yang digunakan olehnya itu, dan kedua karena terlalu memandang ringan lawannya yang masih terlalu muda.
Tetapi dalam hal kepandaian yang sebenarnya, sudah tentu Tiat Leng masih kalah jauh. Maka setelah Touw Goan mengeluarkan seluruh kepandaiannya, pedang Tiat Leng hampir kena tergaet oleh senjata gaetan Touw Goan.
Tiat Ceng dengan cepat maju lagi, dengan kekuatannya yang lebih tinggi dari pada adiknya, barulah dapat memunahkan serangan orang she Touw itu.
Tiat Ceng setelah mendesak lawannya, lalu berkata kepada Can Pek Sin:
"Can toako, kau pergi lihat Yaya dulu, bangsat ini biarlah aku yang membereskan!"
Can Pek Sin setelah dapat melihat jalan pertempuran tadi, meski serangan Touw Goan begitu hebat, tetapi kedua kakak beradik itu masih dapat melawan dengan baik, sekalipun tidak bisa merebut kemenangan, tetapi juga tidak akan kalah. Karena ia sendiri saat itu sudah terlalu letih dan memang benar-benar sudah tidak sanggup melawan lagi, karenanya lalu mengundurkan diri dengan perasaan puas.
Lauw Bong lebih payah keadaannya, baru jalan beberapa tindak, sudah jatuh terduduk.
Can Pek Sin terkejut, lalu bertanya: "Lauw toako, mengapakah dikau?"
"Tidak apa-apa, aku memerlukan istirahat sebentar," jawab Lauw Bong.
Can Pek Sin membimbingnya dan membantunya menggerakkan tulang-tulang dan uratnya, lalu berkata: "Lauw toako, ayahmu terluka parah, bantulah beliau mengobati luka-lukanya. Maafkan aku tidak dapat membantu."
Lauw Bong merasa berterima kasih tetapi juga merasa malu terhadap diri sendiri.
Thie Sui dengan susah payah berusaha untuk duduk, ketika melihat Can Pek Sin menghampiri, airmatanya serentak mengalir deras, katanya:
"Siao-sin, kita malam ini telah mengalami kekalahan hebat."
"Yaya jangan memikirkan itu, bangsat itu bertindak ketika orang dalam keadaan sudah kehabisan tenaga, bukan berarti Yaya kalah dalam tangannya. Sekarang harta itu masih utuh, dan kita juga sudah terlepas dari bahaya. Tiat Ceng bersama adiknya dapat menjatuhkan bangsat itu," jawab Can Pek Sin.
03.16. Pedang Tak Kenal Tingkatan Tua
Can Pek Sin mengeluarkan obat luka, dengan sangat hati-hati diulaskan di badan Yayanya.
Thie Sui berkata sambil menghela napas:
"Siao-sin, kau lebih sayang daripada cucuku sendiri, aku sangat gemas terhadap si Po Leng itu, dia...... Ah! Dia bukan saja sudah menyebabkan celaka aku, tetapi juga tidak patut terhadap dirimu."
"Enci Leng meski berbuat agak kurang dipikir, tetapi itu bukan bermaksud hendak mencelakakan diri Yaya. Hendaknya Yaya mengampuni kesalahannya. Aku lihat, Lauw toako itu......"
Thie Sui mendadak marah, maka lalu menyela:
"Jangan kau sebut enci Leng mu, juga jangan sebut-sebut lagi bocah she Lauw itu. Kalau aku sudah mati, terserah apa yang akan mereka lakukan. Tetapi selagi aku masih hidup, aku, aku tidak akan idzinkan......"
Jago tua itu batuk-batuk, napasnya tersengal-sengal.
Can Pek Sin lalu menengahi:
"Yaya, badanmu kuat, luka-luka luar ini tidak berarti apa-apa, tidak lama pasti akan sembuh. Setelah segala bahaya ini sudah lalu kita nanti akan bicarakan lagi. Sekarang yang perlu jagalah dirimu, jangan sampai lukanya bertambah hebat."
Thie Sui mengawasi jalannya pertempuran antara tiga orang itu, mendadak timbul rasa khawatir, katanya sambil ketawa getir:
"Lukaku bisa sembuh atau tidak, masih merupakan satu pertanyaan. Tetapi mengenai pandanganmu bahwa keadaan sudah berbalik menjadi baik bagi pihak kita, masih terlalu pagi kau ucapkan. Yang sudah terang ialah bencana sudah berada di depan mata kita, aih, aku lihat sebaiknya kau jangan memperdulikan aku lagi, lekas berlalu dari sini, itu lebih baik bagimu!"
Can Pek Sin melepaskan pandangannya kearah dua saudara Tiat, yang memainkan pedangnya demikian bagus, dengan kerja sama yang sangat rapi, melawan musuhnya.
Toaw Goan meski kadang-kadang juga bisa melakukan serangan pembalasan, tetapi nyata dua saudara Tiat itu pelahan-lahan sudah berada di atas angin. Maka ia lalu berkata kepada Yayanya dengan perasaan heran:
"Aku lihat dua saudara itu bagus sekali permainan pedangnya, Yaya tidak usah khawatir."
Thie Sui berkata dengan suara pelahan:
"Kau sudah lupa Touw Goan itu masih pernah apa dengan mereka! Sekarang mungkin mereka berdua saudara itu masih belum mengetahui, jika mereka tahu, aih, inilah merupakan satu bahaya besar!"
Karena Tiat Mo Lek dahulu adalah anak angkatnya Touw Leng Kham, dan Touw Goan adalah orang keturunan keluarga Touw. Jika dari urutannya, ia masih merupakan orang tingkatan tua bagi dua saudara Tiat itu, maka kekuatiran Thie Sui ini sesungguhnya memang bukan tidak beralasan.
"Yaya sesungguhnya terlalu banyak berpikir, aku dengan mereka berdua merupakan sahabat sepermainan sejak masih kanak-kanak," kata Can Pek Sin.
"Bagaimana persahabatan ayah bundamu dengan Tiat Mo Lek? Bukankah lebih dalam daripada kalian orang-orang yang tingkatannya lebih muda? Ibumu masih tidak mengidzinkanmu untuk minta pertotongan kepada Tiat Mo Lek menuntut balas dendam, sampaipun keadaan yang sebenarnya juga melarang kau untuk memberitahukan kepadanya, semua itu apakah sebabnya? Bukankah juga karena kekuatiran itu? Aku sarankan sebaiknya kau lekas pergi saja."
Can Pek Sin sebetulnya percaya kepada dua saudara Tiat itu, tetapi setelah mendengar keterangan Thie Sui, pikirannya mulai merasa tidak tenang. Pikirnya: Jika mau dikatakan mereka dua saudara itu berbalik membantu Touw Goan, rasanya tidak mungkin. Tetapi di antara mereka kedua pihak ada terjalin ikatan hubungan keluarga begitu dalam. Jika dua saudara itu mengetahui asal usulnya Touw Goan, dan kemudian tidak mau campur tangan, memang merupakan bencana besar bagiku!
Selagi masih berpikir, ia telah dapat melihat Tiat Leng dengan satu gerakan yang sangat manis, ujung pedangnya menikam jalan darah Kian-kin-hiat musuhnya. Touw Goan dengan menggunakan senjata gaetannya menangkis tikaman itu, tetapi Tiat Ceng sudah membabat dengan pedangnya dan mengenai tameng musuhnya hingga terdengar suara "trang" dan menimbulkan percikan api.
Touw Goan mundur satu langkah, tiba-tiba ia bertanya: "Siapa ayahmu?"
"Apa maksudmu kau tanya ayahku?" demikian jawab Tiat Ceng.
"Kalian berdua sudah berani turut campur tangan dalam urusan ini, ayah bunda kalian tentunya juga orang-orang dari rimba hijau!"
"Kalau benar mau apa?"
"Kepandaian kalian boleh juga, ayahmu barangkali bukan orang sembarangan?"
"Apa kau ingin bersahabat? Hm, kau bangsat, tidak pantas menjadi sahabat ayah! Ayahku adalah........" menyela Tiat Leng sambil tertawa dingin, tetapi sebelum ucapan ?Beng-cu? keluar dari mulutnya, Tiat Ceng sudah memotong perkataan adiknya, ia berkata:
"Jangan menakutinya!"
Pemuda itu tidak ingin mengandalkan nama besar ayahnya, maka ia melarang adiknya menyebut kedudukan ayahnya, tetapi ia tidak tahu, dengan perbuatan ini ia juga sudah membocorkan rahasianya.
Sewaktu dua saudara itu baru tiba, ucapan ?Can toako? yang keluar dari mulut mereka berdua, sebetulnya sudah menarik perhatian Touw Goan, dan kini setelah mendengar pembicaraan mereka, segera dapat menduga asal usul mereka. Maka seketika itu ia lalu berkata sambil ketawa terbabak-bahak:
"Kau tidak mau menyebutkan aku juga sudah tahu. Ayahmu adalah Tiat Mo Lek, bukan?"
"Kalau ya bagaimana?" berkata Tiat Leng.
Lagi-lagi orang she Touw itu tertawa terbahak-bahak dan berkata:
"Kalau begitu, kita masih terhitung orang-orang sendiri!"
Tiat Ceng tercengang, katanya:
"Kau mengada-ada, siapa orang-orang sendiri dengan kau?"
"Kalian seharusnya masih panggil aku paman!" berkata Touw Goan, "Ayah kalian pernah dibesarkan dan dididik oleh keluarga Touw, ia diangkat sebagai anak angkat oleh toa-pekku. Coba pikirkanlah sendiri, bukankah seharusnya panggil aku paman? Mengapa kalian tidak lekas berhenti bertempur? Ayah kalian menjadi Beng-cu rimba hijau, seharusnya dapat membedakan dengan tegas antara budi dan permusuhan, ia pernah berhutang budi dari keluarga Touw, apakah dalam urusan ini ia belum pernah menceritakan kepada kalian?"
Memang, urusan antara ayahnya dengan keluarga Touw, Tiat Ceng bersaudara sudah pernah dengar dari ayah mereka, tetapi keadaan yang sebetulnya masih kurang jelas bagi mereka.
Untuk sesaat Tiat Ceng tercengang, dalam hatinya berpikir: Ayah pernah berkata bahwa lima saudara Touw itu dahulu sebab tidak disukai oleh orang-orang rimba hijau, akhirnya telah timbul bentrokan dengan orang lain golongan, dan kesudahannya mati semua. Bagaimana kini mendadak bisa muncul keturunan keluarga Touw? Ayah bahkan menggunakan persoalan ini untuk memberi peringatan padaku, jangan karena ayah menjadi Beng-cu, lalu boleh berlaku sewenang-wenang. Cuma, meski ayah tidak setuju perbuatan ayah angkatnya, tetapi ia juga merasa sedih karena terputusnya keturunan keluarga Touw. Andaikata benar orang ini adalah keturunan keluarga Touw, tidak seharusnya aku bunuhnya mati.
Tiat Leng melihat sikap kakaknya, yang agaknya mulai percaya perkataan Touw Goan, lalu berkata sambil tertawa dingin:
"Bangsat ini entah dari mana mendapat keterangan hubungan ayah dengan keluarga Touw, sekarang lantas mengaku-ngaku sebagai keturunan keluarga Touw. Koko, kau jangan percaya obrolannya!"
Mendadak Can Pek Sin melompat bangun dan berkata:
"Dia bernama Touw Goan, meski aku tidak tahu benar asal usulnya, tetapi aku percaya perkataannya, rasanya tidak mungkin ia mengaku-ngaku saja!"
Thie Sui terkejut, ia menegur:
"Siao-sin, kau, apa kau katakan?"
"Satu laki-laki harus berani berlaku terus terang, aku percaya orang ini benar orang tingkatan tua dari saudara Tiat, tidak seharusnya aku mengelabuhi padanya, supaya ia tidak melakukan suatu perbuatan yang menyebabkan ia menyesal di kemudian harinya. Saudara Tiat, kalau kau cuci tangan tidak mau mencampuri urusan ini, itu terserah padamu sendiri. Aku cuma minta satu hal, Yaya tidak seharusnya turut tersangkut dalam persoalanku ini. Aku boleh binasa di tangan Touw Goan, tetapi aku minta supaya kau mau melindungi jiwa Yaya."
Dengan suara lantang Tiat Ceng bertanya:
"Bagaimana kau tahu kalau orang ini tidak menyamar? Dan apakah sebabnya pula orang ini hendak membunuhmu?"
Touw Goan berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Kalau aku bukan keturunan keluarga Touw, bagaimana dengan tanpa sebab aku membunuh ayah bundanya? Ibunya bocah ini, Ong Yan Ie, adalah musuh besarku yang dahulu membunuh mati ayahku dan empat paman dan mamangku. Aku cuma membunuh ayah dan ibunya dua orang saja, masih belum cukup untuk melampiaskan kebencian dalam hatiku. Kalau aku sekarang membunuhnya mati, rasanya juga tidak keterlaluan!"
Tiat Ceng kini baru sadar, dalam hatinya berpikir: Pantas Can toako tidak mau mengabarkan kematian ayah bundanya kepada ayah, kiranya karena kekuatiran ini. Jadi ia ingin menjadi satu laki-laki sejati yang berjiwa besar, tetapi ternyata terlalu salah besar mengukur diriku.
Dua saudara Tiat adalah orang-orang tingkatan muda, pikirannya sudah tentu berlainan dengan orang-orang tingkatan tua sebagai Thie Sui. Segala permusuhan dan budi-baik yang terjadi antara tingkatan tua, mereka hanya menganggapnya sebagai kisah saja, tidak terlalu dibesar-besarkan. Apalagi Tiat Mo Lek juga pernah berkata kepada mereka, permusuhan antara keluarga Touw dan keluarga Ong, sebetulnya hanyalah karena berebutan pengaruh dan harta kekayaan dunia, susah dikatakan siapa yang benar dan siapa yang salah.
Sementara itu perhubungan mereka berdua dengan Can Pek Sin, merupakan sahabat sejak masih kanak-kanak, sudah tentu tidak dapat disamakan dengan segala hubungan dengan orang tingkatan tua yang entah muncul dari mana itu.
Tiat Ceng merasa tergerak hatinya oleh sikap dan jiwa kesatria Can Pek Sin, maka lalu berkata dengan suara nyaring:


Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Touw thocu, aku tidak perduli keteranganmu ini benar atau palsu, tetapi Tok-kow tayhiap dan Thie locianpwe yang ada disini, semuanya adalah sahabat-sahabat ayahku. Kalau kau benar-benar adalah saudara angkat dengan ayahku, tidak seharusnya engkau melukai padanya! Tetapi aku juga tidak ingin membunuhmu mati, asal kau segera berlalu dari sini, itu saja sudah cukup! Jikalau tidak......"
"Jikalau tidak bagaimana?"
"Aku boleh menganggapmu sebagai orang tingkatan tua, tetapi pedangku ini tidak mau memandangmu sebagai orang tingkatan tua dariku!"
"Bagus sekali hei perbuatanmu, kau ternyata sudah berani berlaku kurang ajar terhadap orang tingkatan tua!"
"Thie locianpwee dan Tok-kow siok-siok yang ada disini adalah orang-orang tingkatan tua bagiku, tetapi kau telah melukai mereka, dalam hal ini kaulah yang berlaku salah terlebih dahulu. Mengapa kau masih mau sesalkan aku berlaku kurang ajar?"
Tiat Leng yang khawatirkan keselamatan Can Pek Sin, ingin buru-buru mengusir pergi orang she Touw itu, maka lantas berkata kepada saudaranya:
"Koko, perlu apa banyak bicara dengannya? Ia tidak mampu melawan kita, sekarang hendak mengaku sebagai orang tingkatan tua kita, tetapi aku tidak sudi mengakui paman semacam dia itu."
Gadis cilik itu sambil bicara, pedang di tangannya juga tidak mau diam, dengan menggunakan serangan-serangan yang mematikan ia menyerang musuhnya.
Tiat Ceng lalu berkata: "Kalau kau tidak lekas pergi, aku akan berlaku tidak malu-malu lagi kepadamu!"
Ia segera keluarkan kepandaian ilmunya meringankan tubuh, dengan gerakannya yang sangat lincah, menghujani serangan gencar terhadap Touw Goan.
Dengan kepandaian yang dipunyai oleh Touw Goan, tidak mudah untuk menjatuhkan dua lawannya yang masih muda belia itu, tetapi dua saudara itu juga sulit merebut kemenangan dari tangan Touw Goan. Untuk mendapat keputusan siapa yang menang dan siapa yang kalah, sedikitnya harus seribu jurus ke atas, tetapi Touw Goan lebih dulu sudah bertempur setengah jam lebih dengan Thie Sui berempat, tenaganya sudah terhambur tidak sedikit. Dan kalau hendak bertempur lagi secara mati-matian dengan dua saudara Tiat itu, sudah tentu kekuatan tenaganya tidak dapat menuruti keinginan hatinya.
Karena khawatir Can Pek Sin dan Tok-kow U yang sudah mulai pulih tenaganya nanti turut bertindak, maka Touw Goan terpaksa mengambil keputusan hendak kabur.
Tiat Ceng melihat gelagatnya orang she Touw yang ingin melarikan diri itu, juga tidak menghalangi.
Kepandaian oiang she Touw itu ternyata cukup tinggi, meski sudah bertempur sekian jam lamanya, tetapi gerakannya masih sangat gesit, dengan satu gerakan ia sudah lompat melesat melalui dinding tembok pekarangan. Tiba di luar tembok mulutnya masih mengeluarkan perkataan besar:
"Dua bocah yang tidak tahu diri, hari ini aku membiarkan kalian merasa bangga dulu, aku hendak mencari Tiat Mo Lek untuk membuat perhitungan!"
"Tidak tahu malu, masih berkata membiarkan kita merasa bangga dulu. Baiklah, kau mencari ayahku untuk membuat perhitungan! Hm, kalau ayah tahu bahwa kau telah membunuh mati paman dan bibi Can, apa kau kira ia akan lepaskan kau begitu saja?" berkata Tiat Leng sambil tertawa geli.
Tiat Ceng Lalu berkata: "Jangan perdulikan manusia macam itu, mari kita lihat Thie kong-kong, bagaimana keadaan lukanya?"
Can Pek Sin membimbing Thie Sui, ia berkata:
"Saudara Tiat, hari ini untung kalian telah tiba dalam waktu yang tepat, aku, aku tidak tahu bagaimana harus menyatakan terima kasihku kepada kalian."
"Kau berkata demikian, agaknya berlaku terhadap orang luar saja. Ayah rindu sekali terhadap kau, sehingga memerintahkan kita untuk mencari dan menengokmu. Harap kau tidak anggap kita sebagai orang luar."
Thie Sui merasa menyesal, ia tidak menyangka bahwa dalam pertempuran sengit untuk mempertahankan harta bendanya, kesudahannya ternyata di luar dugaannya sama sekali! Jika diingat bagaimana perasaannya sendiri tadi, yang mencurigakan sikapnya dua saudara Tiat, kini ia merasa sangat malu terhadap dirinya sendiri.
Tok-kow U saat itu sudah terbebas totokannya, ia mengucapkan terima kasih kepada kakak beradik itu.
Lauw Cin yang lukanya paling parah, tidak bisa berjalan, hingga menyuruh anaknya yang menghaturkan terima kasih kepada dua saudara Tiat itu.
Tiat Ceng merasa agak heran, ia menanya Tok-kow U:
"Tok-kow siok-siok, bagaimana kau tahu Touw Goan datang kemari untuk menuntut balas? Hingga perlu bantuan? Apakah lantaran hendak menengok Thie locianpwee, hingga secara kebetulan berjumpa dengannya? Dan siapakah jiwie ini?"
Ditanya demikian, Tok-kow U merasa malu terhadap diri sendiri, ia dengan Thie Sui cuma saling mengenal saja, tidak mempunyai hubungan erat. Ia ada seorang pendekar kenamaan yang tidak mempunyai tetap jejaknya, sudah tentu tidak boleh membohong terhadap orang-orang angkatan muda, maka ia lalu menjawab dengan gugup:
"Dalam urusan ini, hemm, juga boleh dikata kebetulan. Kedua sahabat itu........"
03.17. Kepergian Sang Cucu Perempuan
Selagi ia tidak dapat menyebutkan kedudukannya dua sahabatnya itu, Can Pek Sin sudah memberikan keterangannya:
"Jiwie ini adalah keluarga Lauw, mereka bertetangga dengan Yaya. Tok-kow tayhiap adalah sahabat baik empek Lauw, dan sedang datang bertamu di rumahnya. O, ya, empek Lauw lukanya tidak ringan, harap masuk istirahat dulu, nanti kita bicarakan lagi."
Tiat Ceng yang mendengar keterangan Can Pek Sin, disangkanya mereka itu telah mendengar suara pertempuran, dan datang untuk memberi bantuan.
Ia yang sejak kanak-kanak sudah terdidik baik oleh ayahnya, setelah dewasa, juga mempunyai jiwa sebagai satu kesatria, yang suka menolong sesamanya dan suka bersahabat. Ketika melihat Lauw Bong patah sebelah lengannya, lekas-lekas berkata padanya:
"Lauw toako, lenganmu ini harus lekas disambung. Mari, aku tolong sambungkan. Can toako, tolong kau carikan sepotong kayu."
Kepandaiannya menyambung tulang patah pemuda itu, didapat dari pelajaran suhunya Khong-khong Jie, yang merupakan satu pencopet sakti. Meski ia bukan satu ahli dalam hal pengobatan, tetapi ilmunya menyambung tulang patah, boleh dikata sudah tidak ada tandingannya. Sama mahirnya dengan ilmunya meringankan tubuh.
Dengan cepat ia sudah berhasil menyambung tulang lengan Lauw Bong yang patah.
Lauw Bong memandang sejenak kepada Can Pek Sin, ia seperti ingin mengatakan sesuatu kepadanya, tetapi akhirnya diurungkan. Can Pek Sin lalu berkata padanya:
"Lauw toako, siaotee merasa sangat malu."
Karena lengan pemuda itu telah patah ditangannya, maka ia merasa tidak enak, ketika menyaksikan sikap Lauw Bong, ia lalu mengucapkan perkataan penyesalan seperti di atas. Tetapi tidaklah demikian dengan Lauw Bong, apa yang dipikirkan sebetulnya adalah soal lain. Maka itu, ketika mendengar ucapan Can Pek Sin, ia lalu menyahut sambil tundukan kepala:
"Tidak, yang merasa malu seharusnya adalah aku!"
Mendengar percakapan antara dua pemuda itu, Tiat Ceng sangat heran, tetapi ia tidak berani menanyakan.
Lauw Bong menoleh dan berkata padanya dengan suara perlahan: "Terima kasih."
Lauw Cin tiba-tiba berkata:
"Bong-jie, apa kau bisa berjalan?"
"Aku tidak terluka parah, berjalan saja sudah tentu bisa."
"Baiklah, sekarang kau gendong aku."
Lauw Bong menurut, Lauw Cin suruh ia bawa ke depan Thie Sui.
Thie Sui berkata kepadanya dengan suara keras dan mata mendelik:
"Lauw Cin, kau mau apa? Aku beritahukan padamu, kita bagaikan jembatan dan jalanan, jembatan tinggal jembatan, jalanan tinggal jalanan, tidak mungkin bersatu. Kau jangan kira karena semalam pernah bergandengan tangan menghadapi Touw Goan, kau lalu menganggap boleh pinjam jembatan untuk meratakan jalanmu."
Thie Sui ternyata masih mendendam perasaan sangat benci terhadap Lauw Cin dan anaknya yang telah memancing Thie Po Leng untuk melakukan perbuatan terkutuk itu, maka ucapannya itu sangat pedas, tanpa tedeng aling-aling.
Can Pek Sin sebetulnya hendak berusaha agar kedua keluarga itu hidup damai, tetapi ketika menyaksikan sikap Yayanya yang begitu keras, ia tidak berani mengutarakan pikirannya lagi.
Lauw Cin menjawab dengan nada suara dingin:
"Aku bukan ingin berdamai denganmu, juga bukan mengajakmu bertanding lagi. Kau Thie lo-enghiong tidak pandang mata kepada kita, kita juga tidak berani coba mengikat tali persahabatan dengan kau. Soal semalam telah gagal, untuk selanjutnya kita juga tidak akan datang lagi. Besok kita akan pindah dari lembah Phoan-liong-kok ini, kau boleh merasa puas hatimu. Tetapi, jika kau masih ingin membuat perhitungan, kapan saja kau mencari kita, kita tidak akan mengecewakan kedatanganmu. Apa yang aku hendak beritahukan padamu adalah ini saja, sekarang aku minta diri!"
Dua saudara Tiat sangat heran, tetapi mereka tidak tahu sama sekali pertikaian antara dua keluarga itu, sebagai orang tingkatan muda, sudah tentu tidak boleh campur tangan.
Hati Can Pek Sin sangat kusut, semula ia merasa iri hati terhadap Lauw Bong, tetapi kini karena memikirkan kepentingan enci Lengnya, ketika mendengar Yayanya menggunakan kata-kata kasar untuk memutuskan perhubungan mereka, betapa sedihnya hati enci Lengnya, sudah tidak perlu dikata lagi, yang sudah pasti ialah, enci itu tentu akan membenci padanya selama-lamanya.
Ia ingin memberi tahukan kepada Lauw Bong, bahwa perkataan Yayanya yang mengatakan Thie Po Leng telah membuka rahasia, itu adalah bohong, enci Lengnya itu sebetulnya benar-benar suka kepada pemuda she Lauw itu. Tetapi semua itu tak dapat diutarakan hanya dengan sepatah dua patah kata saja, apalagi di bawah mata Yayanya, bagaimana ia berani mengutarakan pikirannya itu?
Masih ada lagi satu hal, perbuatan Lauw Bong itu sebenarnya juga sangat tercela, ia sebenarnya adalah seorang baik atau jahat, Can Pek Sin sendiri masih belum begitu jelas. Cuma, dari sikapnya semalam yang telah bersama-sama melawan Touw Goan, Lauw Bong juga masih tergolong seorang laki-laki sejati, bahkan masih bisa saling membela.
Can Pek Sin masih dalam keadaan bimbang, sementara itu, Lauw Bong sudah berjalan ke pintu pekarangan sambil menggendong ayahnya. Ia segera memburu dan berkata kepadanya dengan suara rendah:
"Lauw toako, apa kau masih ada perkataan yang aku harus sampaikan kepada enci Po Leng?"
Lauw Bong tercengang, dengan menindas perasaan hatinya ia menjawab:
"Aku tidak ada apa-apa yang perlu disampaikan padanya, hanya mengharap supaya kau baik-baik memperlakukannya, untuk selanjutnya, aku juga tidak bisa ketemu lagi dengannya."
Wajah Can Pek Sin nampak merah, ia berkata kepada diri sendiri: Kalau begitu ia telah salah paham terhadap aku. Dalam keadaan demikian, ia tidak tahu bagaimana harus menjawab.
Sementara itu, Thie Sui sudah berkata kepadanya:
"Mereka bukan merupakan tetamu yang diundang, Siao-sin, kau tidak perlu mengantar!"
Lauw Bong sangat mendongkol, cepat-cepat ia meninggalkan Can Pek Sin dan keluar dari pekarangan rumah keluarga Thie!
Dalam keadaan demikian, Tok-kow U juga merasa tidak enak, maka ia lalu berkata sambil angkat tangan:
"Thie locianpwee, aku tidak mengganggu kau lagi. Tiat hiantit, dihadapan ayahmu, tolong tanyakan kesehatannya. Sekarang aku hendak pergi dulu."
Thie Sui berkata dengan nada dingin:
"Tok-kow tayhiap, kau adalah seorang pendekar kenamaan di kalangan Kang-ouw, kapan saja kau suka datangi pondokku ini, aku si tua bangka pasti akan menyambut dengan tangan terbuka. Tetapi harap kau jangan datang bersama-sama orang-orang yang tidak karuan, sehingga membuat noda namamu sendiri."
Wajah Tok-kow U nampak berubah, sahutnya:
"Pemandanganmu dan pemandanganku berlainan. Aku juga ingin menasihatimu, harta yang tidak halal, lebih baik digunakan untuk pekerjaan yang ada manfaatnya bagi masyarakat."
Thie Sui hanya menyambut dengan tertawa dingin, Can Pek Sin lalu berkata:
"Yaya, urusan sudah lalu, jangan kita bicarakan lagi."
Tok-kow U setelah mengucapkan perkataan tersebut, lalu berlalu dengan hati mendongkol. Tiat Ceng tidak tahu sebab musababnya pertikaian itu, hendak memberi nasihat juga tidak tahu bagaimana harus membuka mulut. Terpaksa berkata:
"Tok-kow Siok-siok, kau tinggal dimana? Besok aku akan datang menengokmu."
"Kau tidak usah datang mencari aku. Hari ini aku akan pergi, selanjutnya juga tidak akan datang-datang lagi ke lembah Phoan-liong-kok."
Setelah mengucap demikian, ia berlalu.
Dengan berbagai pertanyaan dalam otaknya, Tiat Ceng menanya kepada Can Pek Sin:
"Can toako, apakah artinya ini? Mengapa kalian juga bertengkar dengan Tok-kow U?"
"Panjang ceritanya, mari kita bawa Yaya ke dalam dulu, nanti aku ceritakan," sahutnya Can Pek Sin sambil tersenyum masam.
Tiat Leng tadi samar-samar mendengar percakapan antara Can Pek Sin dengan Lauw Bong yang di antaranya ada disebut-sebut nama Thie Po Leng. Sebagai seorang gadis tanggung yang baru berusia limabelasan, masih belum mengerti apa artinya pantangan. Ia bertanya:
"O, ya! Can toako, dimana enci Leng-mu? Mengapa kita tidak melihatnya? Di luar kalian bertempur demikian hebat, mengapa ia tidak keluar?"
"Dia, dia sedang menjaga rumah," jawab Can Pek Sin membohong.
"Aku kira ia sudah keluar. Baiklah, aku justru ingin bertemu dengannya, sudah beberapa tahun kita tidak pernah berjumpa, kepandaian ilmu silatnya barangkali sudah mendapat banyak kemajuan."
Can Pek Sin melirik kepada Thie Sui, jago tua itu berkata dengan suara duka:
"Apa dia masih ada muka untuk menemui orang? Namun demikian, juga tidak dapat menyembunyikan diri untuk selama-lamanya. Baiklah, kalau kalian hendak melihatnya pergilah."
Dua saudara Tiat merasa heran, Tiat Ceng yang usianya lebih tua, sedikit banyak sudah dapat menerka sebagian apa sebabnya. Ia cepat-cepat memberi isyarat dengan lirikan mata kepada adiknya, supaya sang adik tidak semaunya saja bertanya-tanya.
Meskipun Thie Sui terluka parah, tetapi kalau dibanding dengan Lauw Cin, masih agak lumayan sehingga tak perlu digendong. Dengan dipepayang oleh Can Pek Sin dan Tiat Ceng, perlahan-lahan mereka memasuki rumah.
Kedukaan Thie Sui tak dapat dilukiskan. Ia sebetulnya tidak menghendaki peristiwa yang memalukan itu terdengar oleh orang luar, tetapi karena dua saudara Tiat itu telah menolong jiwanya, apalagi mereka juga merupakan sahabat baik cucu perempuannya, ia lalu memutuskan tidak akan menutup rahasia terlebih lama lagi.
Tak lama kemudian mereka sudah sampai di kamar Thie Sui. Can Pek Sin yang merasa kasihan terhadap enci Leng nya, dalam hati berpikir: Ia sudah diikat hampir satu malam, entah bagaimana keadaannya!
Cepat-cepat. ia mendorong pintu kamar sambil terseru: "Enci Leng, enci Leng!"
?Y? Ketujuh Dalam kamar sunyi senyap, tidak terdengar suara menjawab. Di lantai nampak dua utas tambang, dan daun jendela telah terpentang lebar-lebar! Enci Leng nya sudah tidak ada di situ!
Can Pek Sin berdiri terpaku dengan mulut terbuka lebar dan mata membelalak. Thie Sui pun nampak bingung. Mana ia tahu kemana perginya sang cucu? Dilarikan oleh kawanan penjahatkah? Ataukah dia lari itu atas kemauannya sendiri?
Tiat Leng yang bermata tajam tiba-tiba berkata:
"Thie Yaya, coba kau lihat! Di sini ada dua baris tulisan, yang mirip dengan tulisan enci Leng!"
Dua baris huruf itu ditulis di atas suatu meja yang terletak di dekat pembaringan, dengan warna merah, mungkin ia menulis itu memakai darah jari tangannya sendiri. Begini kira-kira bunyi tulisan itu:
"Aku sudah merasa malu untuk merawati Yaya lagi, kini aku pergi, dan takkan kembali! Anggaplah Yaya tak mempunyai cucu seperti aku ini!"
Di bawahnya lagi terbaca:
"Peluk cium terakhir dari cucumu yang telah mendurhaka,
Po Leng" Agaknya Thie Po Leng benar-benar sudah pergi dalam keadaan marah, bahkan sudah bersumpah tidak akan kembali.
Kaburnya Thie Po Leng ini merupakan satu pukulan hebat bagi Can Pek Sin, hampir saja ia tidak dapat berdiri tegak, sementara itu hatinya terus berpikir: Enci Leng tidak meninggalkan sepatah katapun untukku, ia pasti benci sekali padaku.
Thie Sui lebih hebat lagi, orang tua ini berdiri termenung sejak masuk pintu tadi. Tiba-tiba matanya terbeliak, dan berkata: "Budak tidak berbakti itu, baru diumpat sedikit saja, sudah lantas meninggalkan Yayanya yang sudah begini tua!"
Suara jago tua itu agak gemetar, suatu tanda betapa besar kedukaan dalam hatinya dan betapa geramnya ia pada ketika itu. Setelah mengucapkan perkataan demikian mendadak rubuh. Untung rubuhnya cuma di atas pembaringan.
Dalam terkejutnya Can Pek Sin tersadar, ia menyesali dirinya sendiri, mengapa pada saat-saat demikian ia tidak lekas-lekas memberi pertolongan kepada Yayanya.
Pada saat itu, Thie Sui sudah sadar kembali, pertama-tama ia memanggil Can Pek Sin, lalu berkata kepadanya:
"Siao-sin, kemarilah engkau!"
Suaranya masih gemetar, sebelum dapat mengatakan selanjutnya, darah sudah menyembur keluar dari mulutnya, begitu pula luka-luka di badannya yang baru saja diobati, juga mengeluarkan darah, sehingga tempat tidurnya penuh darah.
Sudah bertahun-tahun Thie Sui hidup dengan cucu satu-satunya itu, meski kadang-kadang dicomeli dan dipukul, tetapi betapapun juga, ia masih tetap sayang kepada cucunya itu. Dan sekarang dengan kepergiannya itu, bagaimana tidak membuatnya sangat berduka?
Terutama sikap Thie Po Leng yang tidak melihat padanya ketika sedang bertempur sengit dengan Lauw Cin dan anaknya, andaikata dalam pertempuran itu sang kakek itu binasa di tangan musuhnya, bagaimana?
Tetapi, bagaimana ia tahu pikiran cucunya itu? Yang saat itu sudah menganggap pasti bahwa Can Pek Sin sudah menjual dirinya, ia tahu kepandaian Yayanya tinggi sekali, dalam keadaan sudah siap siaga, sekalipun Lauw Cin dan anaknya tidak binasa, setidak-tidaknya juga akan terluka parah, hingga untuk selanjutnya ia sudah tidak ada harapan untuk bertemu lagi dengan Lauw Bong. Maka perginya gadis itu, sebagian karena merasa malu, tetapi sebagian juga karena sudah merasa putus harapan, hingga tidak perlu berdiam di tempat yang akan meninggalkan kenang-kenangan sedih itu.
Kasihan Thie Sui yang sudah berusia sangat lanjut, telah mendapat pengalaman pahit sedemikian rupa, perasaan sedih, sakit hati, amarah, telah bertumpuk menjadi satu, apalagi barusan mengalami pertempuran hebat yang mengakibatkan luka parah, pukulan bathin itu sangat hebat baginya.
Tiat Ceng yang menyaksikan keaadaan demikian, dengan cepat bertindak, ia menutup seluruh jalan darah Thie Sui yang telah terluka, untuk mencegah supaya darah jangan terlalu banyak mengalir keluar.
Itu adalah ilmu kepandaian tunggal warisan suhunya Khong-khong Jie. Meski darah yang mengalir keluar dari tubuh Thie Sui dapat dicegah, tetapi keadaan Thie Sui sudah nampak sangat payah.
Can Pek Sin sangat bingung, ia membimbing Yayanya seraya berkata:
"Yaya, kau jangan gusar. Beristirahatlah, aku akan pergi mencari tabib."
Letak lembah Phoan-liong-kok sangat terpencil dengan dunia luar, kota yang terdekat juga masih memerlukan perjalanan seratus lie lebih, untuk mencari seorang tabib, paling cepat juga masih memerlukan waktu satu hari. Tetapi Can Pek Sin mempunyai pikiran lain, ia ingin menuju ke rumah keluarga Lauw, mengharap bisa menemukan Tok-kow U, sehingga bisa diminta bantuannya.
03.18. Pesan Terakhir Si Kakek Tua
Tok-kow U adalah seorang pendekar kenamaan, meskipun bukan seorang ahli tabib kenamaan, tetapi pil ?Siao-hun-tan? keturunan keluarganya, manjur sekali untuk menyembuhkan luka dalam. Hanya saja, ia tahu benar sifat Yayanya, yang pasti tidak mau minta pertolongan kepada musuhnya, maka ia mengatakan hendak mencari tabib.
Tetapi Thie Sui tidak mengidzinkan ia pergi, setelah menarik napas dalam, ia berkata dengan suara parau:
"Siao-sin, kau jangan pergi. Aku hendak bicara denganmu, kalau kau tidak dengar pesanku, matipun aku tidak bisa menutup mata!"
Melihat keadaan Yayanya, Can Pek Sin juga merasa khawatir maka terpaksa menurut, ia berkata:
"Yaya, beristirahatlah dahulu."
Thie Sui menggertakkan giginya, dengan suara agak keras ia berkata:
"Aku sudah hidup tujuhpuluh tahun, mati juga sudah tidak mengapa. Kau tidak usah bersedih. Tetapi setelah aku mati, kau harus mencari kembali enci Lengmu."
"Tidak, Yaya, kau tidak boleh mati, kau juga tidak bisa mati. Kalau sakitmu sudah sembuh, aku nanti akan mencari enci Leng, sekalipun ke ujung langit, aku juga akan mencarinya," kata Can Pek Sin.
Di bibir jago tua itu nampak senyuman puas, ia berkata:
"Bagus, bagus. Kau adalah seorang anak baik, sayang Po Leng berlaku tidak pantas terhadapmu. Kalau kau berhasil menemukan dia, beritahukan kepadanya, bahwa aku boleh memaafkannya. Tetapi hanya satu hal, dia tidak boleh menikah dengan bangsat kecil itu, jikalau tidak, sekalipun aku sudah menjadi setan, juga akan menyumpahi mereka berdua. Aih, sebaiknya memang kau...... Tapi aku tidak dapat memaksa kau."
Thie Sui benci sekali terhadap Lauw Bong, ia menganggap cucunya sudah mengkhianati dirinya, semata-mata karena atas anjuran pemuda she Lauw itu, maka sampai matipun tidak mau mengampuninya. Dalam hati mengharap agar Can Pek Sin suka mengawini cucu perempuannya itu, tetapi dengan terjadinya peristiwa itu, ia khawatir Can Pek Sin sudah tidak menyukai cucunya itu lagi, maka ia mengucapkan perkataan tidak dapat memaksa.
Sebaliknya dengan Can Pek Sin, ia tidak dapat menyetujui perintah Yayanya itu, dalam hatinya berpikir: Enci Leng begitu cinta kepada Lauw Bong, untuk apa kita menghalangi maksudnya?
Sementara itu, Thie Sui sudah berkata pula:
"Kau mau mendengar perintahku atau tidak? Biar bagaimana, Po Leng tidak kuidzinkan menikah dengan bangsat kecil itu! Kau harus menyampaikan ucapanku ini dengan tanpa perubahan sepatahpun juga!"
Dengan terpaksa Can Pek Sin berkata:
"Aku akan sampaikan pesan Yaya kepadanya. Tetapi, aku harap Yaya lekas sembuh." Namun dalam hatinya berkata: Andaikata Yaya menutup mata, aku tetap hendak mencari enci Leng, tetapi aku tidak akan campur tangan dalam urusannya.
Thie Sui perkata pula: "Dan lagi, harta benda peninggalan kakek luarmu itu, aku sudah menjaga selama beberapa puluh tahun, selesailah sudah tugas dan kewajibanku. Kau adalah satu-satunya orang yang terdekat, aku sebetulnya akan menanti sehingga kau dewasa, baru akan kuberikan padamu, tetapi sekarang ternyata sudah tidak sempat lagi. Sungguh durhaka cucuku itu, ia telah bersekutu dengan orang luar, untuk mengarah harta benda kita, maka setelah aku mati, kau harus lekas menyingkirkannya ke lain tempat, kau hendak gunakan untuk apa harta benda itu, terserah kepadamu sendiri, aku juga tidak mau tahu lagi."
Can Pek Sin teringat karena gara-garanya harta benda itu, sehingga rumah tangga Yayanya berantakan, maka airmatanya lantas mengalir keluar, ia berkata:
"Yaya, tentang harta itu tidak ada artinya, yang penting adalah jiwa orang. Yaya, kau harus tenangkan pikiranmu, supaya lekas sembuh."
Thie Sui menghela napas, dengan suara terputus-putus ia berkata:
"Benar, yang penting adalah jiwa. Siao-sin, aku mengharap kau bisa membangun lagi nama baik, keluargamu, tentang Yayamu, ai, mungkin tidak bisa melihatmu lagi. Tapi kau adalah seorang anak baik, jiwamu juga besar, di alam baka, aku juga merasa tenang."
Suaranya makin lama makin lemah, akhirnya cuma tinggal napasnya yang juga sudah lemah.
Can Pek Sin menubruk sambil berseru: "Yaya, kau tidak boleh tinggalkan aku!"
Thie Sui memegang kedua tangan Can Pek Sin, tiba-tiba ia berkata:
"Ingat, kau harus cari enci Leng mu sampai ketemu!"
Setelah mengucapkan perkataan itu, napasnya kemudian berhenti.
Can Pek Sin menangis tersedu-sedu, mengingat kebaikan Yayanya, yang melebihi kakeknya sendiri, kesedihannya tak dapat dikendalikan lagi.
Tiat Ceng yang menyaksikan kematian seorang jago dari rimba hijau yang begitu menyedihkan, juga turut mengucurkan air mata.
Sementara itu, Tiat Leng lalu berkata:
"Can toako, janganlah menangis saja. Aku lihat tempat ini sudah tidak sempurna lagi untuk tempat tinggalmu, maka sebaiknya pindah saja dari sini, tetapi kalau kau terlalu bersedih sehingga mengganggu kesehatanmu, bagaimana kau bisa jalan?"
Tiat Ceng juga berkata: "Itu memang benar, Can toako, kau juga harus segera mengatur penguburan jenazah Yayamu."
"Peti mati Yaya siang-siang sudah disediakan, di bawah atap lorong," berkata Can Pek Sin.
"Baiklah, mari ku bantu kau angkat peti mati itu, supaya kita dapat lekas mengubur jenazah beliau."
Setelah peti mati dipantek, kembali Can Pek Sin menangis bagaikan anak kecil, kembali Tiat Leng berkata padanya:
"Janganlah engkau menangis saja, perutku sudah lapar, ada makanan atau tidak?"
Sebetulnya ia belum begitu lapar, ia hanya ingin mengalihkan perhatian Can Pek Sin supaya jangan menangis saja. Ia adalah seorang gadis yang masih kekanak-kanakan, apa yang dipikir juga tidak terlepas dari pikiran kanak-kanak.
Can Pek Sin yang sudah terlalu letih, mendengar perkataan Tiat Leng, perutnya benar-benar dirasakan sangat lapar. Maka berkatalah:
"Di dapur barangkali masih ada sedikit sayuran, baiklah kulihat dulu. Tetapi aku tidak bisa menanak nasi."
Berkata sampai di situ, ia lalu teringat kepada enci Leng nya, sebab setiap harinya sang encilah yang mengurus makannya.
"Tidak mengapa, makan saja seadanya, mari aku bantu kau masak sayur," berkata Tiat Ceng.
Tiga ?anak besar? itu lalu membuat makanan sebisanya, meskipun sayurannya setengah matang dan nasinya agak hangus, tetapi biar bagaimana ada yang dimakan.
Di waktu makan tengah hari, Can Pek Sin baru mendapat kesempatan untuk menuturkan apa yang telah terjadi dengan Thie Yayanya, kepada dua saudara Tiat.
Mendengar cerita itu, hati Tiat Ceng sangat terharu, ia berkata:
"Tidak kukira kau mengalami kejadian yang tidak enak ini. Lebih-lebih tidak disangka bahwa musuh besarmu itu masih mempunyai hubungan dengan ayah. Tetapi aku mengharap supaya kau jangan banyak curiga. Ayah adalah seorang yang paling adil, aku berani tanggung ayah tidak akan membantu pihaknya Touw Goan, sekalipun masih ada hubungan kekeluargaan dari tingkatan tua mereka. Pesan ibumu di saat terakhir, sebetulnya juga terlalu berlebihan."
Ternyata Tiat Ceng hanya tahu sebagian saja, ia mengira ayahnya bersahabat karib dengan ayah bunda Can Pek Sin, tetapi ia tidak tahu di dalamnya masih tersangkut soal lain, lebih-lebih tidak tahu perasaan hati Ong Yan Ie di waktu hendak menutup mata. Karena maksudnya Ong Yan Ie, sebagian disebabkan karena merasa menyesal atas perbuatannya yang lalu, sebagian pula karena hendak menjaga nama baiknya Tiat Mo Lek, jangan sampai ia terlibat dalam kesulitan. Maka ia tidak mengidzinkan anaknya memberitahukan kepada Tiat Mo Lek.
Tiat Ceng berkata pula: "Ayah menyuruh kita mengajakmu pulang ke gunung untuk tinggal bersama-sama, harap kau tidak menolak."
"Aku sudah terima baik permintaan Yaya sekali pun ke pelosok dunia, juga harus mencari kembali enci Po Leng," berkata Can Pek Sin.
"Setidak-tidaknya harap kau singgah dulu beberapa hari di atas gunung. Jikalau tidak, ayah nanti akan menyesali kita karena tidak mampu menjalankan tugas. Sahabat dan kenalan ayah banyak sekali, kau hendak mencari enci Po Leng, juga boleh minta pertolongannya untuk menyelidiki."
Can Pek Sin berpikir, hal itu memang seharusnya memberi keterangan kepada Tiat Mo Lek, maka ia berkata:
"Baiklah, disini aku tokh tidak dapat berdiam lagi. Ku harap engkau membantuku mengubur jenazah Yaya, kemudian kita berangkat."
Ia lalu mengangkat peti mati Yayanya ke kebun, ketika melalui gua tempat simpanan harta benda itu, hatinya merasa sangat terharu. Karena sang Yaya itu sudah beberapa puluh tahun menjaga harta benda itu, maka ia hendak mengubur jenazah Yayanya ke dalam gua tersebut.
Tiat Ceng dan adiknya membantu menggali tanah, peti-peti berisi harta itu dikeluarkan, lalu dimasukkannya peti mati Thie Sui.
Sambil bekerja Can Pek Sin bertanya: "Bagaimana keadaan di atas gunung?"
"Selama lima tahun ini, menurut keterangan ayah, tentara kerajaan sudah tiga kali mengadakan serangan, setiap kali semakin hebat serangannya, barangkali kita tidak dapat pertahankan kedudukan kita di gunung Hok-gu-san. Ayah ingin membubarkan anak buahnya, untuk berpindah ke lain tempat," kata Tiat Ceng.
"Saudara-saudara di atas gunung, biasanya memang hidup dengan mengandalkan tenaga sendiri dengan usaha berladang. Dengan terjadinya serangan tentara kerajaan itu, mungkin tidak dapat melakukan pekerjaannya di sawah dengan baik, dan dengan demikian sudah tentu mempengaruhi penghasilan sawah mereka, kedudukan mereka pasti sangat sulit?"
"Namun, saudara-saudara kita itu sudah biasa hidup demikian."
"Beberapa peti permata ini, bagiku juga tidak ada gunanya. Kita boleh membawanya ke atas gunung, supaya dapat digunakan untuk ransum anak buah ayahmu."
"Tentang ini, entah ayah mau terima atau tidak?"
"Biar bagaimana, aku akan minta ia menerima baik, sekedar sebagai sumbangan untuk membantu usaha ayahmu."
"Baiklah, aku sanggup membantu kau untuk mengangkut semua peti-peti itu ke atas gunung."
Selesai mengubur, menurut tradisi, Can Pek Sin harus menebar tanah pertama di atas makam, dengan mata tergenang air, Can Pek Sin memandang jauh, agaknya sedang memikirkan sesuatu.
Tiat Ceng berkata padanya:
"Can toako jangan bersedih lagi, lekas kita berangkat."
"Ya," jawabnya Can Pek Sin, yang segera menebarkan tanah di atas makam Yayanya. Hatinya masih sangat sedih, karena upacara itu seharusnya dilakukan oleh Enci Leng nya.
"Upacara ini sebetulnya harus dilakukan oleh enci Leng, sayang ia kini tidak dapat mengantar Yayanya yang pergi jauh dan tidak akan kembali lagi."
Tiat Leng adalah seorang gadis sederhana yang sifatnya masih kekanak-kanakan, ia belum mengerti apa artinya duka, sambil mencibirkan bibirnya iapun berkata:
"Apakah kau masih teringat enci Leng mu saja? Aku justru tidak dapat menyetujui sikapmu demikian itu!"
Tiat Ceng berkata: "Adik Leng, janganlah berkata sembarangan saja."
"Apa? Siapa kata sembarangan? Di waktu anak-anak, enci Leng mainnya dengan Can toako terus. Siapa sangka baru berpisahan berapa tahun saja, bertemu lagi lalu berubah hatinya. Kau sekarang capai-capai memikirkan dia, mungkin saat ini ia sedang bersenang-senang dengan bocah she Lauw itu!" berkata Tiat Leng.
"Tadi pagi ketika kemari, apakah di tengah jalan tidak bertemu dengannya?" bertanya Can Pek Sin.
"Kalau kita berpapasan dengannya, siang-siang niscaya kita sudah bawa kembali, apakah masih perlu ditanya? Can toako, kau, kau tidak perlu memikirkan yang bukan-bukan. Dia tidak memenangimu, biarkan saja ia pergi. Apakah di dunia ini hanya dia saja perempuan itu?" berkata Tiat Leng seenaknya.
Tiat Ceng lalu menegur adiknya:
"Seorang gadis, tak layak berkata seenaknya saja. Untung Can toako tahu sifatmu, dan kau juga masih anak-anak."
"Apakah aku salah berkata? Kau lihat Can toako begitu sedih, apakah sebagian bukan karena kematian Yaya dan sebagian karena gara-gara enci Leng? Kau tidak membantuku memberi hiburan kepadanya, sebaliknya mencela aku, padahal kata-kataku ini justru sebenar-benarnya.
Can Pek Sin yang dikatakan demikian, wajahnya merah seketika, ia berkata:
"Enci Leng suka, siapa saja, kita tidak boleh menyalahkannya. Aku, aku juga tidak bermaksud lain, hanya pesan Yaya terakhir, aku harus berusaha untuk mencari dia supaya kembali. Adik Leng, ucapanmu memang betul, mungkin benar ia sekarang berada di rumah keluarga Lauw."
"Aku hanya menduga-duga saja, apakah kau hendak ke rumah keluarga Lauw untuk mencarinya? Sudahlah jangan pergi, apakah tidak malu bertemu dengannya?" berkata Tiat Leng.
"Kalau memang kemungkinan itu ada, aku pikir sebaiknya kucoba mencarinya di sana," kata Can Pek Sin.
Tiat Ceng yang usianya lebih tua, mengerti perasaan Can Pek Sin, berpikir: Kalau tidak mengidzinkan ia pergi mencobanya sendiri, pikirannya tentu tidak akan merasa lega, maka lalu berkata:
"Baiklah, pergilah kau lihat ke rumah keluarga Lauw. Kalau Tok-kow tayhiap belum pergi, tolong kau sampaikan salamku kepadanya. Paling baik kau dapat mengajaknya supaya pergi bersama-sama kita."
"Apa kita tidak perlu mengawani Can toako?" tanya Tiat Leng.
Tiat Ceng menjawab sambil tertawa:
"Biarkan ia pergi seorang diri saja. Kalau kita pergi bersama-sama, akan menyulitkannya, mungkin ia tidak dapat bicara dengan leluasa. Touw Goan sudah kita usir pergi, keluarga Lauw dengan Can toako sudah bukan musuh lagi, apalagi mereka juga sudah terluka parah, sekalipun bermaksud jahat, Can toako juga masih sanggup meghadapinya."
Can Pek Sin juga berkata:
"Tidak apa, rumah keluarga Lauw terpisah tidak jauh dari sini, jika terjadi sesuatu, aku nanti akan memberi tanda dengan siulan, kalian tentunya bisa mendengar. Kalian tunggu disini sebentar, aku akan segera kembali."
Sehabis berkata, ia meninggalkan dua saudara Tiat dan pergi ke rumah keluarga Lauw.
<> Di lereng gunung terdapat banyak tumbuhan bunga beraneka warna. Can Pek Sin teringat waktu pertama kali datang ke gunung itu, apa yang disaksikannya ialah enci Leng nya itu sedang membuat kalung bunga untuk Lauw Bong.
Ia lantas teringat selama satu bulan dalam pergaulan dengan Thie Po Leng, semua itu bagaikan impian saja. Impian yang semulanya indah, tetapi akhirnya berubah menjadi impian buruk.
Sementara itu, dalam hatinya terus berpikir: Enci Leng mencurigai aku menjual dia, dalam hatinya pasti membenci aku. Mungkin ia tidak sudi menjumpai aku. Tetapi, biar bagaimana, sekalipun ia menolak menemui aku, aku juga akan menyampaikan kabar kematian Yaya ini kepadanya. Yaya sangat sayang kepadanya, sedikitnya ia harus pulang satu kali untuk memberi hormat kepada arwahnya. Tetapi apa yang dapat kukatakan kepadanya? Sudah tentu aku tidak dapat menyampaikan kata-kata terakhir Yaya, tetapi aku juga tidak boleh membohonginya.
Dengan pikiran kusut, tanpa dirasa Can Pek Sin sudah berada di depan pintu rumah keluarga Lauw. Di dalam pekarangan, di bawah pohon dimana dulu ia pernah naik di atasnya, tertambat seekor kuda putih.
Dikiranya kuda itu kepunyaan keluarga Lauw yang sudah siap hendak pergi.
Dengan perasaan girang ia mengetok pintu sambil memanggil: "Lauw toako, Lauw toako, Lauw Bong toako!"
Ia tahu ayah Lauw Bong terluka parah, juga tidak berani memastikan Thie Po Leng berada di situ atau tidak, maka hanya memanggil nama Lauw Bong saja.
Beberapa kali ia memanggil, tetapi tidak dapat jawaban dari dalam. Ia mengerutkan alisnya, dalam hatinya berpikir: Kudanya ada di luar, terang didalam pasti ada orang, mengapa tidak mau menjawab? Apakah enci Leng masih membenci aku, hingga melarang Lauw Bong membuka pintu?
Ia lalu mengambil keputusan untuk memasuki rumah dengan jalan paksa.
Ia menggunakan akal seperti dahulu, ialah dengan memanjat pohon besar itu untuk melompat masuk melalui tembok pagar pekarangan.
Ia menengok ke dalam, ternyata tidak tertampak bayangan orang, ia memanggil lagi juga tidak mendapat jawaban. Ia lalu melompat masuk sambil berkata: "Maaf, karena ada persoalan penting, dan kalian tidak suka menemuiku, terpaksa aku masuk sendiri."
Belum lagi ia menginjakkan kakinya, tiba-tiba merasakan desirnya angin halus dan berkelebatnya sinar putih, sebuah jarum bwee-hoa-ciam telah menyambar ke arahnya.
Can Pek Sin terperanjat, untung ilmunya meringankan tubuh sangat sempurna, dalam keadaan demikian masih dapat menolong dirinya dengan satu gerakan lompat melesat ke atas, sehingga jarum itu lewat melalui bawah kakinya.
Dengan jalan jumpalitan di tengah udara, ia menerjang ke arah datangnya jarum tadi, matanya segera dapat lihat seorang perempuan muda dengan pedang di belakang punggungnya berdiri di pojok rumah, nampak perempuan itu hendak mengelakkan diri tetapi belum keburu menyingkir.
Can Pek Sin mengira itu adalah enci Lengnya, maka lantas berkata dengan hati sedih:
04.19. Kau Jangan Terlalu Galak!
"Enci Leng, demikianlah bencimu terhadap aku? Kau hendaki jiwaku, setidak-tidak juga harus dengar dulu keteranganku!"
Perempuan muda itu mendadak berpaling dan berkata:
"Kau siapa? Siapakah enci Leng mu?"
Can Pek Sin kini baru dapat melihat tegas paras perempuan itu, ternyata masih asing baginya. Tinggi tubuhnya memang mirip dengan Thie Po Leng, parasnya sangat cantik, tetapi raut mukanya terdapat tanda-tanda sifatnya yang galak. Usianya juga sebaya dengan Thie Po Leng, mungkin agak tua sedikit.
Can Pek Sin merasa kaget dan malu, katanya dengan suara gemetar:
"Maaf, aku telah salah lihat orang. Aku adalah orang yang tinggal di lembah dekat tempat ini, aku hendak mencari Lauw Bong toako."
"Untuk apa kau mencari Lauw Bong?" bertanya perempuan muda itu.
"Aku hendak bertanya Lauw Bong toako, apakah enci Leng ada disini?"
"Siapa enci Leng? Oh, apakah dia bukannya cucu perempuan Thie Sui?"
"Tepat. Nona, apakah nona kenal dengannya?"
"Kalau begitu, kau adalah adiknya Thie Po Leng?" Ia tidak menjawab pertanyaannya, sebaliknya bertanya keterangan lebih dulu.
Can Pek Sin tidak suka menerangkan asal usul dirinya terhadap seorang perempuan yang baru dikenalnya, maka menjawab seenaknya:
"Ya. Kita selalu berbahasakan enci adik."
Alis perempuan muda itu tiba-tiba berdiri, sambil tertawa dingin ia berkata:
"Aku dengar kabar Lauw Bong terpikat oleh satu siluman rase, kiranya adalah encimu!"
"Mengapa dengan tanpa alasan kau memaki orang?" tegurnya Can Pek Sin gusar.
"Thie Po Leng kejam dan jahat, bukan saja aku harus memakinya jika kujumpai, bahkan aku hendak beset mukanya!"
Can Pek Sin naik darah, katanya sengit: "Kau, kau, benar-benar kurang ajar! Kalau kau berani berkata sembarangan lagi, aku nanti akan berlaku kasar terhadap dirimu!"
Dalam gusarnya. ia berkata tanpa dipikir, sehingga mirip menantang orang.
"Bukankah Lauw Bong terluka oleh kalian orang orang keluarga Thie?"
Can Pek Sin tidak mau memberi keterangan, jawabnya dengan lantang:
"Benar, ia terluka di tanganku, ini tidak ada hubungannya dengan enci Leng!"


Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hm! Encimu adalah satu siluman rase. Kau tentunya juga bukan orang baik. Kalian enci dan adik telah bersekutu mencelakakan Lauw Bong, maka aku juga akan melukaimu."
"Lihat pedang!"
Dengan cepat perempuan itu sudah menghunus pedangnya dan menikam Can Pek Sin.
Serangan itu hebat sekali, Can Pek Sin yang tidak membawa senjata, terpaksa menghadapinya dengan tangan kosong, untung ilmunya meringankan tubuh mahir sekali. Dalam keadaan sangat berbahaya, ia masih berhasil mengelakan serangan tersebut tetapi tidak urung ujung bajunya terpapas sepotong.
Can Pek Sin sangat mendongkol dan gusar tetapi ia masih tidak mau bertanding terhadap seorang perempuan muda dengan tanpa sebab. Setelah mengelakkan serangan tersebut, ia berkata:
"Kau jangan terlalu galak, dengar dulu keteranganku!"
Diperlakukan demikian, Can Pek Sin kini terpaksa hendak menjelaskan letak persoalannya. Tetapi perempuan itu agaknya memang sudah biasa dimanja, ketika mendengar Can Pek Sin mengatakan padanya galak, bahkan semakin marah. Sambil menyerang lagi, perempuan itu berkata:
"Kalau kau ingin kuampuni kesalahanmu, itu mudah sekali, cuma perlu berlutut di hadapanku dan menganggukkan kepala tiga kali, kemudian aku patahkan tulang lenganmu, demikian kau lukai Lauw Bong, demikian pula sekarang aku lukai kau. Dan anggukan kepala tiga kali itu sebagai bunganya. Segala perkataan tidak perlu lagi, aku juga tidak ingin mendengarkan!"
"Aku hanya memandangmu sebagai seorang perempuan, sehingga tidak suka ribut-ribut tanpa sebab. Apakah kau kira aku benar-benar takut kepadamu?"
"Bagus, aku melihat bau air tetemu masih belum kering, tetapi kau berani bermulut besar! Kau tidak takuti aku? Sekarang cobalah lihat kepandaian nonamu!"
Tanpa rewel lagi, ia melakukan serangannya lagi dengan gencar dan dahsyat.
Can Pek Sin kewalahan, ia lalu mengambil keputusan hendak merampas pedang dari tangan si nona.
Ilmu merebut senjata dari tangan musuh dengan tangan kosong keturunan keluarga Can merupakan salah satu ilmu yang tidak ada tandingannya dalam rimba persilatan. Apalagi selama satu bulan itu Can Pek Sin sudah berhasil mempelajari ilmu ?Kin-na-chiu-hoat? dari Thie Sui, ia yakin dapat merebut senjata lawannya.
Saat itu, pedang perempuan itu mengancam pula kedua matanya, dalam gusarnya, Can Pek Sin lalu mengeluarkan ilmu warisan ayahnya, telapak tangannya nerobos bawah ketiak si nona, kemudian menyanggah lengan sikunya dan tangannya hendak mencekam pergelangan tangannya.
Siapa mengira gerakan pedang nona itu aneh sekali. Ketika serangannya mengenakan tempat kosong, dengan cepat telah merubah gerakannya yang semula hendak menusuk biji mata orang, kini berubah menjadi satu gerakan memutar, maka apabila Can Pek Sin tidak menarik kembali tangannya, jari tangannya, pasti akan tertabas kutung.
Can Pek Sin ternyata juga sangat cepat, ia yang kakinya sudah maju setindak, tidak keburu menarik mundur badannya, tetapi ia menuruti gerakan si nona. Kakinya turut memutar sehingga serangan si nona yang dilancarkan secara beruntun sampai tiga kali, setiap serangannya tidak mengenakan sasarannya. Tetapi beberapa gerakan bagus dari Can Pek Sin yang hendak merampas pedang dari tangan lawannya, juga dipunahkan oleh nona itu, sehingga tidak berhasil merebut pedangnya.
Ayah Can Pek Sin kenal baik ilmu silat berbagai cabang partay persilatan. Can Pek Sin yang sejak anak-anak dididik baik oleh ayahnya, dengan sendirinya mewarisi kepandaian dan pengetahuan ayahnya, meski belum dapat dibandingkan dengan ayahnya, tetapi pengetahuannya dalam ilmu pedang dari cabang atau partay yang agak kenamaan, ia dapat mengenali. Tetapi menghadapi ilmu pedang nona itu, meski sudah bertempur sepuluh jurus lebih, masih belum dapat menyelami ilmu pedang lawannya, sehingga diam-diam merasa heran.
Sebaliknya dengan nona itu, ia juga merasa sangat heran. Can Pek Sin yang usianya baru belasan tahun, dan lebih muda daripadanya sendiri, bahkan cuma menggunakan sepasang tangan kosong, untuk menghadapi pedangnya, tetapi ia masih belum mampu merebut kemenangan. Dalam hatinya diam-diam berpikir: menghadapi adiknya yang masih begini muda saja aku belum mampu menjatuhkannya, bagaimana untuk menghadapi encinya.
Dalam cemasnya, serangannya dilakukan semakin hebat dan ganas.
Dalam hal ilmu silat, kepandaian Can Pek Sin sebetulnya lebih tinggi sedikit daripada nona itu, sekalipun ia tidak berhasil merebut pedangnya dengan tangan kosong, tetapi juga tidak sampai dikalahkan oleh lawannya. Tetapi karena semalam suntuk ia tidak tidur, apalagi sudah bertempur sengit setengah malam dan setengah hari lamanya, tenaganya sudah banyak terhambur. Meski ia sudah dapat waktu istirahat dua jam, tetapi letihnya masih belum pulih, maka setelah sepuluh jurus berlalu, napasnya mulai tersengal-sengal.
Perempuan itu ketika menyaksikan keadaan Can Pek Sin, diam-diam merasa lega hatinya, ia mendesak terus dengan serangannya yang semakin ganas.
Namun demikian, ia juga tidak ingin mengambil jiwa anak muda itu. Maksudnya hanya untuk memaksanya supaya mau mengaku kalah, paling-paling hanya dilukai saja, untuk membalas dendam sakit hati Lauw Bong.
Tetapi Can Pek Sin bagaimana dapat menebak isi hatinya perempuan itu? Ketika menyaksikan serangan semakin ganas itu, sudah tentu ia merasa khawatir dan gusar, sehingga ilmu simpanannya yang sifatnya sangat ganas terpaksa ia keluarkan.
Perempuan itu lalu berkata sambil tertawa dingin,
"Apakah kau masih ingin berkelahi terus? Kalau kau mau berlutut di hadapanku, mungkin aku dapat mengampuni jiwamu."
"Kau telah menghina encieku, kaulah seharusnya yang minta ampun!" jawab Can Pek Sin gusar.
Di dalam gusarnya, ia menggunakan gerak tipu Naga menyambar mutiara, tangannya tiba-tiba menyambar lawannya. Perempuan itu karena terlalu memandang ringan lawannya, dalam keadaan tidak terduga-duga telah kena tersambar badannya. Dalam keadaan kaget ia buru-buru menarik mundur dirinya tetapi baju luar bagian dada sudah kena kesambar sehingga sobek.
Perempuan itu, merasa sangat malu dan gusar, bentaknya dengan suara keras:
"Bagus, kau berani berlaku kurang ajar, hari ini aku terpaksa akan membunuhmu mati!"
Cepat ia maju lagi, dengan serangan yang semakin ganas ia mengarah jalan darah Can Pek Sin.
Mengarah jalan darah dengan ujung pedang, kepandaian itu juga merupakan keahliannya Can Pek Sin, tetapi gerak tipu yang digunakan perempuan itu sangat aneh, kadang-kadang mengarah di bnagian-bagian yang tidak terduga-duga, sehingga Can Pek Sin harus menggunakan tenaga sepenuhnya, untuk melayaninya. Tetapi dengan demikian, baginya semakin sulit lagi keadaannya. Diam-diam ia lalu berpikir; jika aku kehabisan tenaga, akhirnya pasti akan terluka di ujung pedangnya.
Ia sebetulnya sudah berjanji dengan Tiat Ceng, apabila ada bahaya yang mengancam, ia akan memberi tanda dengan siulan, semula karena yang dihadapinya itu hanyalah seorang perempuan, ia tidak suka minta bantuan Tiat Ceng, tetapi kini mau tidak mau ia terpaksa minta bantuannya.
Baru saja siulan berhenti, lalu terdengar suara derap kaki kuda yang mendatangi.
Can Pek Sin merasa heran, mengapa Tiat Ceng datangnya begitu cepat? Apakah bukan ia yang datang?
Perempuan itu juga terperanjat, ia lalu memaki:
"Bagus sekali, kiranya sudah sedia pembantu di luar! Hm, kau mengundang bantuan, apa kau kira aku takut?"
Perempuan itu mengira orang yang akan datang itu adalah orang tingkatan tua Can Pek Sin atau mungkin Thie Po Leng sendiri. Kalau Can Pek Sin sudah demikian hebat kepandaiannya, apa lagi orang yang lebih tua tingkatannya? Ada kemungkinan dirinya sendiri nanti akan tertangkap. Dan untuk menghindarkan kehinaan itu, sebaiknya menangkap Can Pek Sin lebih dulu sebelum bantuan itu tiba.
Di pihaknya Can Pek Sin, juga mempunyai pikiran demikian, ia takut orang yang akan datang itu adalah kawannya perempuan itu, maka lalu berpikir: Keadaan sudah mendesak, terpaksa aku harus mengadu jiwa, untuk menangkap perempuan ini, baru aku terlepas dari bahaya. Karena aku mempunyai tawanan di tangan, orang yang akan datang itu pasti tidak akan berani bertindak terhadapku. Setelah Tiat Ceng datang aku tidak perlu takut lagi.
Karena kedua-duanya berpikiran sama, lalu sama-sama mengeluarkan serangannya yang berbahaya. Perempuan memendekkan badannya, pedangnya menikam bagian lutut Can Pek Sin, sedang Can Pek Sin menggunakan gerak tipu ?Kera mencakar?, ia mementang lima jari tangannya, selagi perempuan itu memendekkan badannya ia menyambar tulang Pi-pe-kut di pundak perempuan itu.
Kedua-duanya bergerak sama cepatnya, kalau Can Pek Sin kena tertikam pedang perempuan itu, salah satu pahanya pasti akan menjadi cacat, begitu pula dengan perempuan itu, kalau pundaknya kena kesambar jari tangan Can Pek Sin, tulang pi-pe-kutnya pasti akan hancur. Betapapun tinggi kepandaiannya, juga tidak akan ada gunanya, sama halnya dengan Can Pek Sin, ia juga akan menjadi cacat seumur hidup.
Selagi dua-duanya dalam keadaan berbahaya, mendadak sesosok bayangan orang, bagaikan burung terbang, melayang melalui tembok pekarangan, dan dengan kecepatan bagaikan kilat kibaskan lengan bajunya di tengah-tengah dua orang yang sedang bertempur mati-matian itu.
Saat itu ujung jari tangan Can Pek Sin baru saja menyentuh daging pundak perempuan muda itu tetapi segera didorong oleh orang yang baru datang itu, di lain pihak, ujung pedang si nona sudah menusuk baju orang tersebut, tetapi karena terhalang oleh baju itu, sehingga serangannya tidak mengenakan lutut Can Pek Sin, sedangkan pedang panjang di tangannya, tahu-tahu sudah dirampas oleh orang tersebut.
Can Pek Sin berputaran sampai dua putaran, baru berdiri tegak. Ia kini baru dapat lihat bahwa orang yang memisah dirinya itu adalah seorang laki-laki tegap sudah mempunyai kepandaian demikian tinggi.
Perempuan itu kini juga sudah dapat melihat siapa orangnya yang memisah dirinya tadi. Kalau Can Pek Sin tidak kenali orang itu, sebaliknya dengan perempuan muda itu, yang agaknya kenal baik padanya.
Selagi Can Pek Sin hendak membuka mulut, sudah didahului oleh perempuan itu.
"Hai, orang she Lam, apakah perlunya kau mengikuti aku? Hm, apa kau sengaja hendak menghina aku?" demikian tegurnya.
Pemuda yang disebut she Lam itu lantas menyahut sambil tertawa:
"Kalau kau bisa datang kemari, mengapa aku tidak boleh? Jikalau bukan aku yang bertindak, tulang pi-pe-kut mu barangkali sudah hancur, mengapa kau katakan aku menghina kau?"
Perempuan itu semakin gusar, dengan alis berdiri ia berkata:
"Kau jangan mengira karena kau membantu aku, aku lalu sudi menerima budimu. Aku datang mencari Lauw Bong, ada hubungan apa dengan kau? Mengapa kau mengikuti aku? Aku hendak membunuh bocah ini, apakah hubungan denganmu, sehingga perlu kau campur tangan?
"Hm! kalau bukan kau yang menghalangi, aku pasti sudah berhasil membikin pincang kakinya!"
Wajah pemuda she Lam yang agak hitam itu nampak merah, terang ia juga agak gusar, dengan suara datar ia berkata:
"Nona Liong, jikalau bukan encimu yang minta pertolonganku, aku tidak sudi mencampuri urusanmu. Apa lagi datang kemari juga atas permintaannya Lauw Bong, kau masih belum menjadi nyonya rumah dalam rumah ini, tidak patut kau melarang aku datang kemari!"
Perempuan itu tercengang, kemudian berkata:
"Apakah kau sudah melihat Lauw Bong?"
"Benar. Lauw Bong dan ayahnya semuanya terluka, kuda kereta mereka jalannya sangat lambat, jikalau kau menyusul menuju ke Barat, malam ini barang kali dapat terkejar."
"Bagaimana keadaan luka mereka? Lauw Bong berkata apa dengan kau? Dia suka menemui aku atau tidak?"
"Luka Lauw Cin sangat parah, Lauw Bong agak mendingan, tulang lengan yang patah sembuh. Ia mendengar kabar kau menuju ke mari menyuruh aku pergi melihat, ia minta supaya kau jangan mencari musuh dengan orang keluarga Thie. Tentang ia suka menemui kau atau tidak, aku sendiri juga tidak tahu."
"Ayah dan anak telah dihajar orang sampai terluka, dan tokh masih takut aku mencari musuh dengan siluman rase itu! Hm, kali ini meski ia masih beruntung tidak melayang jiwanya, satu hari kelak pasti akan mati di tangannya siluman rase itu!" katanya perempuan itu sengit.
Karena ia tidak tahu sebab musababnya, hanya mengira Lauw Bong mencegah ia mencari balas, semata-mata karena hendak melindungi Thie Po Leng.
Tetapi Can Pek Sin yang mendengarkan kata-kata yang memaki encinya itu, hatinya panas, tetapi karena adanya pemuda itu, ia merasa tidak pantas ribut mulut dengan seorang perempuan, maka hanya memandang padanya dengan mata melotot.
Pemuda she Lam itu agaknya dapat lihat sikap Can Pek Sin, ia berkata sambil tertawa:
"Aku dengan Lauw Bong tidak berbicara banyak, lantas berlalu dengan tergesa- gesa maka tidak menanyakan sebab musababnya, kau juga tidak perlu memaki-maki yang tidak karuan dulu padanya."
"Benar juga, sekalipun ia tidak sudi menemui aku, aku juga harus melihatnya."
"Tunggu dulu, apakah kau sudah tidak mau mengambil kembali pedangmu ini??
Pedang perempuan itu tadi memang direbut oleh pemuda she Lam itu. Kini mendengar pertanyaan demikian, mendadak marah lagi, katanya dengan sengit:
"Aku tidak mau. Kau simpan saja, satu hari kelak, setelah aku berhasil melatih kepandaianku, aku akan merebut kembali dari tanganmu!"
Setelah mengucapkan demikian, cepat berlalu.
Pemuda she Lam itu cuma mengawasi sambil geleng-gelengkan kepala, adatnya yang mau menang sendiri dari si nona itu, benar-benar menggelikan.
Can Pek Sin yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka, sudah tahu bahwa pemuda she Lam itu adalah sahabatnya Lauw Bong, dengan perempuan muda itu agaknya juga mempunyai hubungan baik, tetapi biar bagaimana, pemuda itu pernah memisah dirinya, sehingga terhindar dari bencana, sudah seharusnya menyatakan terima kasih padanya.
Tetapi sebelum ia menyatakan maksudnya, pemuda she Lam itu sudah mendahului berkata sambil tertawa,
"Saudara kecil, kau agaknya masih belum puas!"
Can Pek Sin tercengang, ia balik bertanya:
"Apa maksudmu?"
04.20. Ngo-khim-sin-hoat Buka Rahasia
"Tidak apa-apa, aku hanya ingin belajar kenal dengan kepandaianmu. Pedang ini kupinjamkan untuk kau pakai, mari!"
Hal ini di luar dugaan Can Pek Sin, ia tidak segera menerima pedang itu.
Pemuda itu berkata pula sambil tertawa:
"Kau sudah lelah, aku tak boleh menarik keuntungan darimu!"
Ia lalu melemparkan pedang berikut sarungnya kepada Can Pek Sin.
Can Pek Sin merasa kaget dan agak mendongkol, pikirnya: Ya, biar bagaimana ia adalah sahabat wanita itu, sudah tentu ia hendak membantunya untuk menghinaku.
Dalam keadaan mendongkol, ia menerima pedang tersebut sambil berkata:
"Baik, aku terima baik keinginanmu, silahkan kau membuka serangan!"
?Y? Kedelapan Pemuda she Lam itu lalu berkata sambil ketawa:
"Aku tadi berkata bahwa aku tidak boleh menarik keuntungan darimu yang masih lelah, sebaiknya kau yang membuka serangan terlebih dulu!"
Can Pek Sin kini baru tersadar bahwa pemuda itu hendak menyambut serangannya dengan tangan kosong. Ia lantas berkata dengan gusar:
"Kepandaianmu lebih tinggi dari padaku, kalau kau hendak menghina aku, tak perlu bertanding lagi. Aku berlaku salah terhadap sahabatmu, kalau kau hendak melakukan pembalasan, terserah padamu, apa yang kau ingin perbuat terhadap diriku, sedikitpun aku tidak akan kerutkan alisku."
Ia keluarkan perkataan demikian, maksudnya hendak menjajaki hati pemuda itu. Jika benar hanya hendak menguji kepandaiannya, seharusnya ia mengeluarkan senjata, ini berarti telah anggap padanya secara adil dan tidak bersifat menghina.
Pemuda she Lam itu tertawa terbahak-bahak, kemudian berkata:
"Saudara kecil, kau tidak usah berlaku begini sombong, baiklah, aku menggunakan golok ini saja, silahkan!"
Can Pek Sin benar-benar tidak menduga maksud pemuda itu, dalam hatinya berpikir: Pemuda ini usianya lebih tua dari padaku, memang seharusnya aku yang berada di pihak muda.
Menurut peraturan dalam rimba persilatan, dalam suatu pertandingan mengadu kepandaian ilmu silat, pihak yang muda selalu membuka serangan lebih dulu.
Sambil mengucapkan perkataan ?maaf?? Can Pek Sin mengangkat pedangnya, kemudian melakukan serangan pembukaan dengan menggunakan ilmu pedang Thian-ceng-kiam-hoat.
Sambil menyahut ?jangan sungkan-sungkan? pemuda itu menggeserkan kakinya satu tindak sembari menekan goloknya, mengelakan serangan tersebut, tetapi ia tidak balas menyerang.
Ilmu pedang keluarga Can bukanlah ilmu pedang sembarangan, nampaknya memang biasa saja, tidak ada apa-apanya yang luar biasa, tetapi mengandung banyak perubahan yang aneh. Ujung pedang mendadak memutar, bagaikan rantai melibat kembali kepada sasarannya, hendak membabat pinggang si pemuda.
Pemuda itu dengan satu gerakan membungkukkan badan dan kaki memutar, sehingga hampir mengikuti gerakannya Can Pek Sin, membuat serangan Can Pek Sin mengenakan tempat kosong.
Petualangan Roh Iblis 2 Rajawali Emas 21 Trisula Mata Empat Pendekar Pemetik Harpa 9

Cari Blog Ini