Ceritasilat Novel Online

Jiwa Ksatria 4

Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen Bagian 4


Can Pek Sin yang tak berhasil dengan serangannya itu, dengan cepat telah berubah pula, dan kini ujung pedangnya menikam dengan lurus.
Serangan itu cepat dan tepat, tapi ternyata masih tak berhasil, ia tetap mengenakan tempat kosong. Namun ia lanjutkan dengan serangannya yang ketiga, dan kali ini menggunakan serangan yang mematikan dalam dua rupa serangan.
Can Pek Sin tidak menghendaki jiwanya pemuda itu, melainkan hendak paksa padanya supaya balas menyerang. Ia sudah menyaksikan sendiri kepadaiannya pemuda tersebut, sehingga ia tahu bahwa kepandaian pemuda itu masih di atas kepandaiannya sendiri, maka serangannya itu tak nanti dapat melukai lawannya, tetapi setidak-tidaknya dapat memaksanya untuk balas menyerang.
Siapa tahu pemuda itu ternyata masih tidak menggunakan goloknya untuk menangkis, hanya sambil berseru: "Satu serangan yang bagus!" Ia menyentil dengan jari tangannya ke arah belakang pedang, sehingga serangan Can Pek Sin tak berhasil melukainya.
"Aku tak suka kau mengalah, kalau kau sengaja hendak mempermainkan aku, aku tidak ada waktu untuk melayanimu!" demikian Can Pek Sin berkata.
Pemuda itu berkata dengan suara sungguh-sungguh:
"Saudara kecil, ilmu pedangmu bagus sekali! Belum sempat aku menyatakan kagumku, bagaimana aku berani mempermainkan kau? Baiklah, akan kuperlihatkan kejelekanku, sambutlah seranganku!"
Mendadak ia melintangkan goloknya dan melakukan serangan dengan cepat. Dari sinarnya yang gemerlapan, Can Pek Sin segera dapat menduga bahwa golok itu pasti golok pusaka.
Can Pek Sin yang sudah lelah, tahu bahwa ia tak mampu menerima serangan tersebut, namun demikian, ia juga tidak mau menyerah begitu saja. Ia segera menggunakan gerak tipu yang mengandung kekuatan keras dan lunak, mengharap dapat mengurangi kekuatan serangan lawannya.
Tetapi apakah ia akan berhasil atau tidak, masih merupakan satu pertanyaan.
Ketika golok dan pedang saling beradu, kesudahannya di luar dugaan Can Pek Sin.
Kalau semula ia menduga sekalipun tidak sampai terluka, tetapi pedangnya tentu akan terpapas kutung oleh golok lawannya. Siapa nyana serangan pemuda yang nampaknya hebat itu, ketika dua senjata saling beradu, ia hanya merasakan seolah-olah dua benda yang saling bersentuhan, dan pemuda itu lalu menarik kembali goloknya kemudian berkata sambil tertawa:
"Saudara kecil, tangkisanmu ini bagus sekali! Jago-jago dalam tingkatan muda, kau adalah salah satu di antaranya."
Can Pek Sin tahu bahwa lawannya itu sengaja mengalah, ia merasa malu dan mendongkol. Selagi hendak menyerang, pemuda itu sudah melanjutkan serangannya, kali ini goloknya mengarah bagian kakinya dari tiga jurusan, bahkan sudah menutup jalan mundurnya ke belakang dan kedua sampingnya. Dibandingkan dengan serangan pertama, masih jauh lebih hebat.
Can Pek Sin tidak dapat meraba maksud serangan itu benar-benar atau hanya gertakan saja, tetapi bagi orang yang mengerti ilmu silat, jika jiwanya terancam, dengan sendirinya mengeluarkan kepandaiannya yang paling ampuh. Tetapi karena ia sudah tidak mempunyai tenaga untuk menghidarkan dari serangan itu, maka ia segera lompat melesat ke atas, dengan masih tetap di tempatnya. Ia melesat untuk menghindarkan serangan sehingga golok pemuda itu lewat di bawah kakinya.
Pemuda itu kembali memberikan pujiannya:
"Satu gerak tipu Ngo-khim-sin-hoat yang bagus sekali."
Can Pek Sin turun ke bawah, dengan suara gusar menegurnya:
"Kau masih ingin bertempur atau tidak?"
Pemuda itu menjawab sambil goyangkan tangan dan tertawa:
"Tidak perlu lagi! Kau mahir ilmu pedang Thin-ceng-kiam-hoat dan ilmu meringankan tubuh Ngo-khim-sin-hoat. Can tayhiap, Can Goan Siu masih pernah apa denganmu?"
Can Pek Sin melengak, ia sekarang baru mengerti bahwa maksud pemuda itu sebetulnya cuma ingin mengetahui asal usul perguruannya.
Karena melihat pemuda itu sudah memasukan kembali goloknya, ia tahu pemuda itu tidak bermaksud jahat, maka ia juga lalu mengembalikan pedangnya kemudian berkata:
"Siapakah engkau? Apakah kau kenal dengan ayah??
Ketika pemuda itu hendak menjawab, mendadak ia berseru: "Eh, sahabat dari mana?"
Can Pek Sin mengikuti ke arah pandangan mata pemuda itu, ia baru dapat melihat Tiat Ceng yang lompat dari tembok pekarangan.
Kiranya Tiat Ceng sudah mendengar pembicaraan antara Can Pek Sin dengan pemuda itu, ia lalu berkata sambil tertawa:
"Can toako, Lam siok-siok, apakah kalian baru pertama kali ini bertemu muka?"
Ia lalu maju memberi hormat kepada pemuda itu dan berkata pula:
"Lam siok-siok, angin apakah yang telah meniup kau kemari!"
Can Pek Sin menepuk kepalanya sendiri seraya berkata:
"Aku benar-benar sudah linglung, tuan ini tentunya adalah Lam tayhiap, Lam Hee Lui!"
Ayah Lam Hee Lui, Lam Cie Hun, pada tigapuluh tahun berselang sama-sama terkenal namanya dengan ayah Toan Khek Gee, Toan Kui Ciang, mereka berdua mendapat julukan dua pendekar berkelana. Ayah Lam Hee Lui kawin agak terlambat. Lam Hee Lui merupakan anak yang pertama tetapi usianya hanya lebih tua beberapa tahun saja dengan Tiat Ceng, namun demikian, tingkatannya lebih tua setingkat dari pada Tiat Ceng.
Lam Hee Lui lalu berkata:
"Sebutan tayhiap aku tidak berani menerimanya. Saudara Can, bagaimana kau tadi berkelahi dengan nona Liong? Tiat hiantit, dan kau, bagaimana kau juga kau tiba di sini?"
Tiat Ceng menjawab: "Panjang ceritanya, mari kita bicara sambil berjalan. O, ya, Thie Lo-enghiong bukankah kau juga kenal? Kau mau mengantar jenazahnya atau tidak?"
"Kau katakan Thie Lo-enghiong, apakah bukan Thie Sui? Lho mengapa, apakah dia telah meninggal dunia?"
"Benar, kematiannya sesungguhnya sangat tidak berharga, juga terlibat banyak persoalan, nanti Can toako akan memberi keterangan padamu. O, ya, adikku juga datang, ia sekarang berada di rumah keluarga Thie!"
Lam Hee Lui tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Thie Sui, hanya pada beberapa tahun berselang, waktu ia baru muncul di dunia Kang-ouw pernah melihat satu kali dalam satu pertemuan para jago. Tetapi Thie Sui adalah seorang tingkatan tua dari golongan rimba hijau, dan ia juga ingin menjumpai Tiat Leng, maka kemudian berkata,
"Kalau begitu, sudah sepantasnya aku memasang hio di kuburannya."
Mereka berjalan meninggalkan rumah keluarga Lauw, Lam Hee Lui menuntun kuda tunggangannya. Di dalam perjalanan, Can Pek Sin dengan ringkas menceritakan kematian Thie Sui.
Lam Hee Lui waktu mendengar kematian sangat menyedihkan dari seorang jago tua, juga menghela napas.
"Sungguh tidak nyana Can tayhiap suami isteri dan Thie locianpwee semuanya mati di tangan Touw Goan. Orang itu belakangan ini mendapat nama di kalangan rimba hijau, aku juga pernah mendengar, tetapi aku tidak tahu kalau dia adalah musuh besar saudara Can." Demikian ia berkata.
Can Pek Sin dulu belum pernah melihat Lam Hee Lui, tetapi karena ia sama tingkatannya dengan Tiat Ceng, maka juga berbahasakan paman terhadapnya.
"Lam siok-siok, mengenai pertikaian antara keluarga Thie dan keluarga Lauw, aku tadi sudah ceritakan, menurut pendapatku, keluarga Lauw yang agak salah.
"Tetapi sekarang urusan sudah lalu, Yaya juga sudah meninggal dunia, Lauw Cin juga sudah terluka parah, tidak ada gunanya kita sebut-sebut lagi. Lam siok-siok, kau kenal baik dengan keluarga Lauw ayah dan anak, dengan nona Liong itu juga merupakan sahabat. Dengan tanpa sebab aku didesak harus berkelahi dengannya, tetapi aku tidak tahu siapa dia, bolehkah kau beritahukan padaku?"
Lam Hee Lui berkata: "Tiat hiantit, mengenai diri nona Liong ini, dengan kau malah masih ada sedikit hubungannya."
"Apa? Sedang namanya saja aku masih belum tahu," sahut Tiat Ceng.
"Bukankah suhu adikmu adalah Sin Cie Kow? Adikmu adalah muridnya yang terakhir. Sin Cie Kow dulu mempunyai dua orang murid, satu adalah Su Tiauw Ing yang sudah menutup mata, satu lagi adalah Liong Seng Hiang, tahukah kau?"
"Oh, apakah nona Liong itu sekeluarga dengan Liong sucie?"
"Benar. Dia bernama Liong Seng Hong, masih pernah adik sekandung dengan Liong Seng Hiang. Usia mereka terpaut sepuluh tahun lebih, encinya sudah menikah dan sudah mempunyai anak, tapi perkawinannya sang adik masih menjadi pikiran encinya.??
Dengan tanpa dirasa, mereka sudah memasuki pekarangan Thie Sui. Tiat Leng yang masih menantikan Tiat Ceng dan Can Pek Sin di hadapan kuburan Thie Sui, seketika melihat Lam Hee Lui, juga sangat gembira dan maju menanyakan.
Tiat Ceng berkata: "Lam siok-siok sedang membicarakan Liong suciemu yang kau belum pernah bertemu muka."
Tiat Leng berkata: "Aku sudah mendengar. Suboh juga pernah menyebut dia, ia selalu teringat kepadanya. Dia menikah dengan siapa?"
"Dia menikah dengan seorang keluarga besar dari kampung Poh-ie, nama suaminya Bok Khong bertetangga juga masih ada hubungan keluarga, Lauw Bong dan Bok Khong merupakan saudara sepupu," berkata Lam Hee Lui.
Can Pek Sin kemudian berkata:
"Kiranya begitu. Kalau demikian halnya, enci nona Liong itu masih pernah enso piauw dengan Lauw Bong."
"Benar," berkata Lam Hee Lui, "Maka mereka berdua juga seperti kau dengan nona Thie, yang bersahabat sejak masih sama-sama kanak-kanak. Ayah bunda Liong sudah lama meninggal dunia, ia berdiam bersama encinya. Kepandaian ilmu pedangnya itu adalah pelajaran encinya. Lauw Bong menggunakan golok, tetapi kepandaiannya masih kalah dengan nona Liong, mereka berdua sering sama-sama melatih. Lauw Bong mungkin sering dibuat mendongkol olehnya," berkata Lam Hee Lui.
Tiat Leng tiba-tiba berkata sambil mencibir.
"Persoalan dua anak muda, bagaimana Lam siok-siok mengetahui sampai begitu jelas?"
"Aku hanya menduga-duga saja. Adatnya Liong Seng Hong sangat galak tentang ini, saudara Can tahu sendiri," berkata Lam Hee Lui sambil ketawa.
Tiat Leng berkata: "Kalau begitu, Lauw Bong tentunya juga bukan seorang baik, ia sudah mempunyai seorang kawan perempuan nona Liong itu, tidak seharusnya merampas Can toako punya enci Leng."
Muka Can Pek Sin menjadi merah seketika mendengar ucapan itu, sementara itu Tiat Ceng menegur adiknya:
"Adik Leng, mengapa berkali-kali aku harus peringatkanmu seorang gadis tak layak berkata seenaknya saja?"
Tiat Leng berkata sambil tertawa:
"Lam siok-siok toh bukan orang luar, takut apa?"
Lam Hee Lui lalu berkata:
"Dalam hal ini juga tidak boleh menyalahkan Lauw Bong, keluarga Lauw sebetulnya sudah melamar, tetapi ditolak oleh encinya."
"Mengapa?" bertanya Can Pek Sin.
"Encinya tidak suka Lauw Bong, mungkin karena menganggap kepandaiannya kurang tinggi, mungkin juga tidak suka adiknya menikah dengan orang dari rimba hijau.
"Siapa yang tahu sebab yang sebenarnya, pendek nya tidak suka saja. Kala itu Lauw Cin berdua anaknya sudah mulai melakukan penghidupan di kalangan hitam, tetapi belum mempunyai kedudukan kuat, hanya kadang-kadang saja keluar mencari mangsa dan pendapatan dibagi."
Tiat Leng kembali berkata sambil tertawa:
"Encinya tidak suka Lauw Bong, bagaimana kau tahu?"
"Setan kecil, kau kecil-kecil orangnya tetapi banyak pikirannya, bagaimana kau berpikir sampai begitu jauh? Enci nona Liong adalah suciemu dan ibuku bersahabat karib dengan suciemu. Setelah aku muncul di dunia Kang-ouw, ibu juga pernah mengajakku berkunjung beberapa kali ke rumah keluarga Bok. Semua itu aku sudah ceritakan pada kalian, kau tidak usah banyak bertanya-tanya lagi."
Sebetulnya Lam Hee Lui masih merahasiakan satu hal. Ia adalah anak sulung. Ibunya ingin supaya ia lekas berumah tangga, maka mengajaknya ke rumah keluarga Bok untuk menjumpai Liong Seng Hiang, maksudnya ialah ingin mencarikan jodoh buat anaknya. Liong Seng Hiang juga ingin menjodohkan adiknya dengan Lam Hee Lui tetapi mengenai lamaran itu, sebelum ibu Lam Hee Lui membuka mulut, Liong Seng Hong sudah mengetahui maksud kedatangannya, maka ia segera menyatakan kepada encinya, bahwa ia bersumpah tidak akan menikah kecuali dengan Lauw Bong.
Di lain pihak, Lam Hee Lui juga sudah dapat tahu kalau Liong Seng Hong jatuh cinta kepada Lauw Bong, dan ia sendiri sebetulnya juga tidak suka adatnya Liong Seng Hong yang galak dan kasar, karena mengetahui hubungan itu maka ia juga semakin tidak berani bertutur kata lagi, bahkan mencegah ibunya membicarakan soal jodoh itu. Akhirnya kedua pihak tidak membuka mulut, dan soal perjodohan itu kandas di tengah jalan.
04.21. Jangan Mengunjukkan Bendera Ayah!
Setelah perjodohan itu, habis sampai di situ, bagi ibunya Lam Hee Lui masih tidak apa, tetapi encinya Liong Seng Hiang masih tetap mengharap agar adiknya bisa menikah dengan Lam Hee Lui.
Liong Seng Hong mengetahui maksud encinya, bukan saja marah terhadap encinya, tetapi Lam Hee Lui juga dibawa-bawa, ikut dibenci. Maka ketika bertemu muka di rumah keluarga Lauw, ia lalu memberi teguran pedas kepada Lam Hee Lui.
Lam Hee Lui dengan kedudukan sebagai paman sudah tentu tidak pantas menceritakan urusan yang menyangkut pribadinya sendiri itu. Maka ia hanya berkata:
"Kemudian Lauw Cin dengan resmi melakukan pekerjaan di kalangan hitam, dalam kalangan hitam, dalam kalangan rimba hijau juga mendapat sedikit nama, tetapi mereka ayah dan anak, setiap tahun masih pulang ke kampungnya beberapa kali. Lauw Bong meski jarang bertemu muka dengan Liong Seng Hong, tetapi hubungan mereka belum putus.
"Hingga pada dua tahun setengah berselang, Lauw Cin dan anaknya tiba-tiba menghilang dari dunia Kang-ouw. Keluarga Bok pernah minta pertolongan orang untuk mencari kabar, juga tidak tahu dimana mereka berada. Selama itu Liong Seng Hiang ingin mencarikan jodoh orang lain buat adiknya, tetapi Liong Seng Hong tetap menolak. Ia terus berusaha untuk mencari Lauw Bong.
"Usahanya itu ternyata, tidak tersia-sia, dalam musim semi tahun ini, telah dapat kabar tentang diri Lauw Bong dan ayahnya, sehingga ia datang kemari untuk mencarinya."
Tiat Leng berkata sambil ketawa-tawa:
"Nona Liong ini tajam juga telinganya, tetapi dengan tanpa sebab ia menantang berkelahi, Can toako, tentunya ia juga sudah mendengar kabar tentang hubungan Lauw Bong dengan enci Leng."
Tiat Leng meskipun usianya masih muda sekali tetapi orangnya cerdas, maka dugaannya itu juga tepat sekali.
Tiat Ceng berkata sambil mengerutkan alisnya: "Adik jangan banyak campur tangan urusan yang tidak ada gunanya."
"Baik, kalau begitu aku harus mengurusi urusan yang ada gunanya. Lam siok-siok, bagaimana kau bisa berada di sini? Kedatanganmu ini karena nona Liong ataukah ada persoalan lain?" berkata sang adik.
"Karena persoalan lain, hanya secara kebetulan saja aku liwat kampung Poh-ie, sehingga mampir di rumah keluarga Bok, aku juga lihat enci nona Liong, kebetulan pula nona Liong pada dua hari berselang pergi secara diam-diam. Meski ia tidak memberi tahukan kepada encinya ke mana ia pergi, tetapi encinya juga sudah tahu kalau ia pergi mencari Lauw Bong.
"Liong Seng Hiang takut sifat adiknya yang galak dan berangasan, nanti menimbulkan huru hara di luaran, ia menanyakan aku akan ke mana, hingga tahu kalau aku harus mengambil jalan ini melalui lembah Phoan-liong-kok. Maka ia minta aku supaya mengamat-amati adiknya, ia pesan aku supaya memerlukan datang ke lembah Phoan-liong-kok untuk menengok Lauw Bong serta meminta adiknya lekas pulang. Urusan pribadi adiknya aku tidak ingin campur tangan, tapi dengan Lauw Bong aku juga punya sedikit hubungan, sudah beberapa tahun kita tidak bertemu aku juga ingin melihatnya, maka datang kemari."
Tiat Ceng bertanya: "Lam siok-siok ada keperluan apa? Bolehkah ditunda sementara, supaya pulang bersama-sama kita dulu?"
"Aku telah terima baik undangan Ciu Ceecu dari Yang-ciu, untuk membantunya merampas uang ransum yang dikirim ke kota raja. Kita sudah berjanji akan bertindak pada akhir bulan, kalau sekarang aku berangkat ke sana, masih ada waktu.
"Setelah persoalan itu selesai, aku nanti akan ke gunung Hok-gu-san menengok ayahmu."
"Oh! ya, aku dengar kabar ransum di gunung ayahmu agak sulit, kali ini jika kita berhasil boleh bagi separuhnya untuk ayahmu. Nanti kalau kalian pulang, tolong sampaikan kabar dulu kepada ayahmu, supaya hatinya merasa tenang."
"Terima kasih, kalian pakai sendiri saja," berkata Tiat Ceng.
"Eh, bagaimana kau berani mengambil keputusan sendiri?"
"Kita sudah mempunyai uang ransum sendiri, mungkin lebih banyak jumlahnya daripada ransum yang akan kau rampas itu."
"Dari mana datangnya?"
Can Pek Sin lalu berkata:
"Thie Yaya yang meninggalkan padaku, itu adalah barang permata peninggalan kakek luarku di masa yang lampau. Lam siok-siok, kalian merampas uang yang dikirim kepada raja, barangkali akan menempuh bahaya besar? Sebaiknya aku bagi dua peti untuk kau bawa pulang, boleh kau gunakan sebagai persediaan jika usahamu itu nanti gagal."
Ia takut Lam Hee Lui tidak percaya, maka lalu mengajak ia ke dalam goa untuk menyaksikan sendiri delapan peti yang berisi barang permata, emas dan mutiara itu.
Lam Hee Lui lalu berkata:
"Saudara Can, kau junjung tinggi persahabatan dan memandang ringan harta kekayaan. Sifat demikian sesungguhnya sukar didapat, tetapi, daripada aku membawa dua peti besar begitu, lebih baik merampas uang ransum kerajaan, yang lebih mudah dibawanya."
"Apakah masih ada orang yang berani merampas dari kau Lam siok-siok?" berkata Tiat Ceng sambil berkelakar.
"Kalian masih terlalu muda, masih tidak tahu bahayanya di dunia Kang-ouw. Dalam perjalanan kalian nanti, juga harus hati-hati. Kau yangan mengira karena ayahmu Beng-cu rimba persilatan, lalu tidak ada orang yang berani merampas barangmu.
"Selama beberapa tahun paling belakang ini, di dunia Kang-ouw banyak muncul tokoh-tokoh yang tidak memandang muka orang-orang kuat golongan putih atau hitam. Touw Goan cuma merupakan salah satu di antaranya. Disamping itu kalian juga menjaga jangan sampai membocorkan rahasia, nanti tentara pemerintah juga akan bertindak terhadap kalian."
"Ya. Ini adalah pertama kalinya kita melakukan pekerjaan, sudah tentu harus lebih hati-hati," berkata Tiat Ceng.
"Dalam perjalanan kalian menuju ke gunung Hok-gu-san ini, hanya ada beberapa orang saja sahabat karib ayahmu yang boleh diminta bantuannya. Yang lainnya. sekalipun ada perintah dari ayahmu, juga tidak boleh tahu rahasianya. Kau harus tahu bahwa hati manusia susah dijajaki, dikhawatirkan mereka nanti lupa daratan karena melihat harta kekayaan, sehingga timbul pikiran yang jahat," pesan Lam Hee Lui, ia memberitahukan beberapa nama sahabat Tiat Mo Lek yang boleh dipercaya, kemudian ia minta diri.
Setelah Lam Hee Lui berlalu, Tiat Leng agak penasaran, katanya:
"Lam siok-siok menganggap kita masih kanak-kanak. Aku bahkan mengharap di jalanan ada orang yang datang merampas, supaya bisa mencoba kepandaian ilmu silatku."
Hari kedua, Can Pek Sin mencari kereta besar yang biasa digunakan oleh Yayanya pergi ke kota membeli barang-barang persediaan makanan untuk setengah tahun. Kereta itu meski sangat besar, tetapi setelah dimuati delapan peti besar, tempat yang terluang tidak seberapa lagi.
Sebelum berangkat, Can Pek Sin sembahyang di depan kuburan Yayanya dan berjanji hendak mencari enci Leng nya sampai ketemu.
<> Karena muatan terlalu besar, empat ekor kuda yang menarik kereta jalannya agak lambat, setiap hari cuma melakukan perjalanan kira-kira seratus lie.
Tiat Ceng khawatirkan adiknya menimbulkan huru hara, dalam perjalanan selalu memberi nasehat padanya: "Dari sini ke gunung Hok-gu-san sedikitnya harus menempuh perjalanan tigaribu lie, menurut keadaan seperti sekarang ini, paling cepat barang kali satu bulan sampai. Kau harus berhati-hati, tidak boleh mengandalkan ilmu kepandaianmu dan tidak memandang mata orang lain. Di waktu beristirahat, terutama harus bisa mengendalikan diri, jangan sembarangan membuka mulut, sehingga membocorkan rahasia."
"Kau cuma lebih tua dua tahun dari aku, tetapi sudah mirip dengan satu kakek-kakek. Aku juga bukan anak kecil lagi, tidak usah kau pesan. Aku tidak ingin menimbulkan urusan tetapi kalau orang lain mencari ribut, tidak boleh tidak aku akan bertindak. Nanti kalian jangan bertengkar dengan aku," berkata Tiat Ceng.
"Ini sudah tentu, apakah kalau orang lain menghina kita, kau tidak boleh bertindak? Walau terjadi demikian, aku nanti membantu menjaga barang-barang ini," berkata Can Pek Sin.
Tiat Ceng hanya bisa menggelengkan kepala, katanya pula:
"Di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai kita tidak boleh memandang ringan orang-orang gagah dunia Kang-ouw."
Tiat Ceng meskipun mulutnya tidak menyatakan apa-apa, tetapi dalam hatinya tidak membenarkan pikiran kakaknya. Touw Goan begitu lihay, tokh juga kita kalahkan. Dalam dunia Kang-ouw memang banyak orang berkepandaian tinggi, belum tentu kita tidak mampu menghadapi.
Berjalan kira-kira enam-tujuh hari, sepanjang jalan tidak ada kejadian apa-apa.
Hari kedelapan, ketika mulai menginjak daerah perbatasan propinsi shoa-tang, keadaan di jalan mulai tidak beres, dalam satu hari saja telah berpapasan dengan beberapa penunggang kuda yang mencurigakan. Rombongan itu terdiri dari dua orang atau tiga orang, semua menuju ke arah yang sama, bahkan ada yang jalan bersama dengan keretanya, agaknya hendak menyelidiki muatan kereta itu.
Tiat Ceng meski pengalamannya di kalangan Kang-ouw masih sedikit karena ia dibesarkan di dalam kalangan rimba hijau, terhadap keadaan orang-orang kalangan hitam, tahu juga sedikit. Ketika melihat gelagat demikian, ia tahu bahwa ada sesuatu yang tidak beres, maka lalu berkata:
"Nampaknya kita sudah diikuti orang bahkan bukan hanya satu rombongan saja."
"Baik, kakak kita jangan mengunjukkan bendera ayah, biar mereka datang merampas!" berkata Tiat Ceng.
"Kita lihat dulu apa maksud mereka? Jika orang dari golongan putih, tidak perlu kita bicarakan, mereka hendak merampas, kita terpaksa menghadapinya dengan kekerasan. Jika dari golongan hitam dan ada hubungan dengan ayah, sebaiknya kita tanyakan dulu, jangan sampai merusak persahabatan."
Berjalan tidak berapa lama, telah tiba di satu desa kecil, waktu itu sudah menjelang senja. Tiat Ceng berkata,
"Hari ini kita harus banyak beristirahat, jangan melakukan perjalanan malam, kita menginap di sini saja."
Di antara mereka bertiga, Can Pek Sin yang usianya paling tua, tetapi pengalamannya di dunia Kang-ouw sedikit, sebaliknya adalah Tiat Ceng yang lebih banyak. Maka dalam perjalanan itu, kebanyakkan dialah yang berlaku sebagai pemimpin.
Setelah masuk ke rumah penginapan, Tiat Ceng memilih sebuah kamar besar yang menghadap ke pekarangan. Ia memberikan sejumlah uang kepada pelayan rumah penginapan, supaya kereta itu boleh diparkir di pekarangan, yang berada di muka kamarnya.
Setelah berada di dalam kamar, Tiat Leng kemudian berkata:
"Engko, rumah penginapan yang kau pilih ini justru merupakan sarang penjahat. Sewaktu kita masuk, aku dapat melihat beberapa orang melongokkan kepala dari jendela untuk mencuri melihat kita. Orang-orang itu rupanya seperti orang-orang yang pada hari ini kita jumpai di jalan."
"Jangan ribut-ribut, malam ini tidak akan terjadi apa-apa. Andaikata ada, kita bertindak juga belum terlambat," berkata Tiat Ceng, sang kakak.
Sehabis makan malam, dengan berturutan rumah penginapan itu kedatangan pula beberapa tamu yang datang menginap. Tiat Leng diam-diam memasang mata, hampir semuanya adalah orang-orang yang tadi siang pernah dilihatnya di tengah jalan.
Waktu itu permulaan musin kemarau, hawa udara masih terasa panas, beberapa tamu itu pura-pura mencari angin, semua berada di pekarangan ada juga yang duduk dekat kereta.
Tiat Leng membuka jendela, ia sengaja berkata dengan Can Pek Sin:
"Can toako, apakah kau sudah sediakan barang antaran untuk encie Leng?"
Can Pek Sin tercengang, jawabnya:
"Barang antaran?Aku justru belum memikirkannya!"
"Kau sungguh tidak teliti, kau belum memikirkan, tetapi aku sudah. Disini ada beberapa butir mutiara yang aku pilihkan dari dalam petimu. Kau lihat, betapa indahnya mutiara ini, kalau diberikan kepada encimu untuk barang perhiasan, betapakah gembiranya enci Leng?" berkata Tiat Leng sambil ketawa.
Mutiara yang ditunjukkan oleh Tiat Leng itu semuanya ada tigapuluh enam butir, setiap butirnya sebesar biji buah lengkeng, sinarnya yang berkilauan, telah dapat dilihat oleh semua orang yang berada di pekarangan. Terdengar suara pujian ramai dari mulut mereka.
Tiat Ceng kerutkan alisnya. Sementara itu sang adik berkata di samping telinganya dengan suara perlahan:
"Biar bagaimana kabar ini tokh sudah bocor, biar saja supaya mereka lekas bertindak."
"Malam ini mereka tidak akan bertindak. Tetapi dengan perbuatanmu ini, besok kita akan menjumpai lebih banyak musuh kuat lagi."
Malam itu, mereka bertiga tidur bergiliran, benar saja tidak ada kejadian apa-apa. Esok pagi mereka berangkat pagi-pagi sekali, tetapi tamu-tamu tadi malam itu ternyata sudah berangkat lebih dulu.
Keluar dari rumah penginapan, Tiat Leng kemudian bertanya kepada kakaknya:
"Engko, bagaimana kau bisa menduga kalau mereka tadi malam tidak bertindak?"
"Beberapa orang itu cuma merupakan cecunguknya saja yang mencari kabar, mereka bukan cuma satu golongan saja. Maksud orang-orang itu barangkali hendak mencari keterangan bagaimana keadaan kita, lalu melaporkan kepada pemimpinnya, nanti baru melakukan perampasan. Karena bukan dari satu golongan saja, maka mereka perlu berunding dulu bagaimana membaginya."
"Bagus, kalau begitu kita tunggu kedatangan mereka."
Waktu tengah hari, ketika mereka melewati sebuah kaki gunung, benar saja terdengar suara mendesisnya anak panah, kemudian ada dua penunggang kuda mendatangi ke arah mereka.
Dua pemuda itu ada laki-laki setengah tua, berperawakan pendek tetapi kekar, wajah mereka mirip satu satu sama lain, mungkin mereka itu sepasang saudara kembar.
Di belakang mereka mengikuti sepasukan kawanan berandal, jumlahnya kira-kira empat atau limapuluh orang. Mereka lalu memisahkan diri, menjadi dua rombongan, menghadang perjalanan kereta.
Tiat Ceng menghentikan keretanya dan menegur mereka:
"Kalian siapa? Mengapa merintangi perjalanan kita?"
Dua penunggang kuda itu menghentikan kudanya di depan kereta, seorang di antaranya kemudian menyahut sambil tertawa:
"Keberanian kamu tiga anak-anak ini benar-benar besar sekali! Dengan tanpa diiringi oleh seorang tuapun sudah berani membawa kereta yang penuh perhiasan? Pribahasa mengatakan, di antara empat penjuru lautan semuanya adalah bersaudara. Kau juga tidak perlu bertanya siapakah kita, mari aku bantu kau membawa kereta."
"Membantu? Itu baik sekali! Tetapi kau ingin membantu dengan cara bagaimana?"
"Berikan kereta itu kepada kita dan kalian boleh pulang dengan tenang."
"Berikan kepadamu? Apakah kau ingin mengantarkan untuk kita? Kau harus bertanya terlebih dulu kita hendak kemana?"
Satu di antara yang usianya lebih muda lalu nyeletuk:
"Aku akan bawa kereta ini ke tempat kita. Siapa mau perduli kau hendak kemana?"
"Kalau begitu, bukankah berarti kalian hendak merampok kereta kita? Ini mana berarti membantu?"
Laki-laki yang lebih tua usianya mendelikkan matanya, dan berkata:
"Bocah kau terlalu tidak tahu diri! Tahukah kau dijalan ini ada banyak orang gagah? Kalau kau berikan kereta itu kepada kami, kalian semua boleh pulang dengan selamat, bukankah ini berarti sudah membantu kalian? Hm, kalau kau ketemu orang lain, tidak gampang kau bicara dengannya, barangkali sesudah minta barangmu, hendak mengambil jiwamu lagi."
"Kalau begitu aku harus mengucapkan terima kasih atas budi kebaikanmu ini."
"Tetapi kalau kita kehilangan kereta ini, orang di rumah akan menyesalkan kita. Lebih baik kalian beritahukan nama kalian lebih dulu," berkata Tiat Ceng.
Laki-laki itu kembali mendelikan matanya dan bertanya:
"Untuk apa?" Tiat Leng kemudian berkata sambiI tertawa: "Supaya kita tidak kesalahan membunuh orang."
Laki-laki itu gusar, dengan suara keras ia berkata:
"Budak yang masih bau pupuk bawang, kau berani omong besar! aku tidak membunuh mati, sebaliknya kau hendak membunuh aku!"
"Kalau kau tidak merampas barang-barang kita, bagaimana kita hendak membunuhmu?" jawabnya Tiat Leng.
"Bagus, aku sebetulnya ingin mengampuni jiwa kalian bertiga, tetapi sekarang tidak lagi!" berkata laki-laki itu dengan gusar.
04.22. Perebutan Sesama Perampok
Ia lalu menggapaikan tangannya, kawanan berandal yang ada di belakangnya lalu maju mengurung kereta barang itu, selagi hendak menantang Tiat Ceng berkata: "Tunggu dulu! Terus terang kuberkata padamu, tadi aku minta kalian memberitahukan nama kalian, sebetulnya juga bermaksud baik. Kau menginginkan kereta ini tidaklah susah, beritahukan saja namamu, jka memang sahabat baik kita, kuberikan kepadamu juga tak ada halangan!"
Tiat Ceng yang sejak kanak-kanak hidup di kalangan rimba hijau, kebiasaan dan bahasa dalam golongan hitam sudah sangat apal, maka meski pengalamannya belum banyak, tetapi ucapannya sudah seperti seorang tua kawakan.
Laki-laki yang usianya lebih muda itu nampak mulai bimbang pikirannya, ia berkata kepada kawannya dengan suara perlahan:
"Koko, beberapa bocah ini barangkali bukan anak-anaknya orang sembarangan, perlukah kita jelaskan dulu baru bertindak?"
Sang ?koko? itu lantas mendelikan matanya dan berkata:
"Hm, Lo-jie, kau benar-benar goblok! Kalau kita sudah jelas siapa mereka, apakah bisa bertindak?"
Sang adik itu baru sadar, dalam hatinya berpikir: Itu memang benar, tiga bocah itu berani mengangkut kereta yang membawa barang perhiasan sangat berharga, sudah tentu mempunyai andalan kuat. Jika kita sudah jelas keadaan mereka, sebaliknya malah tidak bisa berbuat apa-apa. Lebih baik pura-pura tidak tahu, kita ambil saja habis perkara.
Dua saudara itu adalah orang-orang baru dalam kalangan rimba hijau, mereka adalah orang pemberani, gemar melakukan perampasan ?berat?, kini sudah berkeputusan, tidak apalah ?kawan? makan ?kawan?. Saat itu mereka sudah menghunus senjata masing-masing, hendak merampas kereta berisi barang-barang berharga itu.
Tepat pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang berkata:
"Pan Lo-toa, apakah kalian orang-orang dari Po-cu-kong ingin menelan sendiri makanan itu?" seorang laki-laki bermuka hitam dengan cepat sudah berada di depan mereka, di belakangnya diikuti oleh serombongan kawanan berandal, yang jumlahnya lebih banyak dari pada orang-orang Po-cu-kong.
Laki-laki yang disebut Pan Lo-toa itu mengkerutkan keningnya dan berkata:
"Say toako, kau datang terlambat. Menurut aturan, siapa yang datang lebih dulu, dialah yang dapat, tetapi mengingat persahabatan kita, ambillah tiga bagian sebagai bagianmu!"
Dua saudara ini agaknya merasa sedikit jeri terhadap orang she Say itu.
Laki-laki bermuka hitam itu kemudian berkata dengan suara gusar:
"Peraturan dalam kalangan ?hitam? siapa yang melihat mendapat bagian. Dengan hak apa kau hendak mengambil tujuh bagian?"
Orang she Say itu merupakan orang ?kawakan? dalam kalangan rimba hijau, walaupun tahu dua saudara Pan itu berkepandaian tinggi, tetapi juga tak mau dirugikan.
"Paling banyak kuberikan kepadamu empat bagian, kalau kau tidak mau lepas tangan, terpaksa aku hendak menanyakan kepada ?pegawaiku dulu?." berkata Pan Lo-toa dingin.
Dalam kalangan rimba hijau, istilah ?pegawai yang dimaksudkan ialah senjatanya.
Orang she Say itu berpikir, empat bagian boleh juga, tetapi dalam hati masih agak penasaran. Selagi masih dalam keadaan bimbang, Tiat Ceng yang duduk di atas kereta mendadak berdiri dan berkata,
"Kalian jangan ribut. Tuan ini bukankah Say Ceecu, Say Ban Hiong dari Hek-houw-cee? Dan dua tuan ini apakah bukan dua persaudaraan Pan Piauw dan Pan Ciong dari Po-cu-kong? Kalian menghendaki keretaku ini tidak menjadi soal, asal kalian meninggalkan senjata kalian, supaya dapat kubawa pulang untuk memberi laporan."
Ternyata Say Ban Hiong, dahulu pernah hadir dalam pertemuan orang-orang rimba hijau di gunung Hok-gu-san, sehingga Tiat Ceng tahu namanya. Kala ia turut memilih Tiat Mo Lek sebagai Beng-cu, tetapi kemudian tidak mau mendengarkan lagi perintahnya, ia suka membawa caranya sendiri yang berlaku sewenang-wenang terhadap golongan lemah.
Sementara mengenai diri dua saudara Pan itu, Tiat Ceng dapat tahu dari Lam Hee Lui. Nama-nama yang disebutkan oleh Lam Hee Lui, sebagai jago-jago baru yang tidak mau memberi muka kepada siapapun juga, dua di antaranya adalah persaudaraan pan itu.
Ketika mendengar ucapan Tiat Ceng yang dianggapnya masih bau pupuk bawang itu, ternyata bisa menyebutkan asal usul mereka, diam-diam merasa kaget, maka buru-buru menanya: .
"Kau anak siapa?"
Belum lagi Tiat Ceng memberi jawaban, mendadak terdengar suara orang tertawa dan berkata: "Say Ban Hiong, percuma saja kau terhitung salah satu orang tingkatan tua dari rimba persilatan, sampaipun tuan muda dari Beng-cu mu juga tidak tahu!"
Suara itu sangat menusuk telinga, agaknya diucapkan dari agak jauh, orangnya juga tidak kelihatan bayangannya.
Wajah Say Ban Hiong berubah ia lalu berkata: "Pok loya, kau juga datang? Apa? Apakah bocah ini anaknya Tiat Mo Lek?"
Berita yang disampaikan oleh orang itu, sudah tentu mengejutkannya, tetapi kedatangan orang itu yang secara mendadak, juga di luar dugaannya.
Tidak antara lama, mendadak terdengar jatuhnya barang logam di atas tanah, tetamu yang tidak diundang itu sudah berada di tengah-tengah kurungan orang banyak.
Tiat Ceng segera dapat melihat seorang tua berkepala botak, tetapi usianya tidak nampak lebih tua dari pada Say Ban Hiong, entah apa sebabnya Say Ban Hiong merendahkan dirinya sendiri dan memanggilnya loya.
Si botak itu adalah iblis kenamaan dari golongan hitam, namanya Pok Sui Thian. Di masa mudanya, entah mendapat gangguan apa, ia menyembunyikan diri sehingga duapuluh tahun lamanya, berapa tahun paling akhir ini baru keluar dari tempat persembunyiannya.
Di kalangan Kang-ouw ia suka berkelana seorang diri saja, hatinya kejam, perbuatannya telengas, adatnya lebih gila lagi. Siapa yang berjumpa dengannya selagi ia berada dalam keadaan tidak senang, celakalah dirinya orang itu. Usianya belum cukup enampuluh tahun, sebetulnya malah lebih muda dua tahun dari Say Ban Hiong.
Tetapi yang tersebut belakangan ini karena merasa agak jeri, ia rela merendahkan dirinya sendiri, setiap berjumpa selalu memanggil padanya loya.
Setelah tiba di situ, Pok Sui Thian berkata sambil mendelikan matanya:
"Sedikitpun tidak salah, dua bocah itu adalah putra putrinya Tiat Mo Lek, sedang yang satu itu adalah anaknya Can Goan Siu yang sudah menjadi setan. Kenapa? Apakah kalian takut? Berani bertindak atau tidak? Kalau tidak berani lekas pergi, jangan disini menjadi perintang saja."
Pan Piauw gusar, dalam hatinya herpikir, kau orang she Pok meski lihay, kita berdua saudara dengan bahu membahu belum tentu jatuh di tanganmu.
Karena berpikir demikian, maka ia lalu berkata dengan nada suara dingin:
"Tidak perduli dia Tiat Mo Lek, atau Tong Mo Lek, kita berdua saudara tokh tidak mengangkatnya sebagai Beng-cu, tidak perlu takut kepadanya! Barang ini kita yang dapatkan dulu, maaf, hidangan yang sudah di depan mulut ini sudah pasti kita memakannya!"
Ia mengucapkan perkataan demikian, maksudnya adalah tidak mengizinkan Pok Sui Thian sampai bertindak, ?Kawan makan kawan?.
Pok Sui Thian mengerlingkan matanya, sambil tertawa dingin ia berkata:
"Bagus, bagus, cuma dikhawatirkan hidangan itu terlalu panas. Aku tidak perlu berebutan dengan kalian, kalau kalian sudah tidak sanggup makan barulah aku yang pungut. Baiklah kalian berdua saudara kupersilahkan hidangan itu, aku akan berdiri sebagai penonton saja."
Pan piauw berkata dengan suara gusar:
"Baik kau lihat saja! kau sudah berkata sendiri, nanti jangan menyesal! Lo-jie mari maju!"
Ia tidak suka dipandang rendah oleh Pok Sui Thian, sehingga tidak menyuruh anak buahnya turut membantu, hanya dengan saudaranya ia maju hendak merampok kereta.
?Y? Kesembilan Senjata golok dan tombak dua saudara Pan itu, pada waktu belakangan ini telah mendapat nama baik di kalangan Kang-ouw. Si kakak mendapat nama julukan golok mematahkan sukma dan tumbak sang adik mendapat nama julukan tumbak mencabut nyawa. Betapa hebat senjata mereka, dari nama julukan yang mereka dapatkan itu, kita dapat membayangkan sendiri.
Kalau dua orang bersaudara itu maju bersama, dalam kalangan Kang-ouw mendapat nama julukan sepasang harimau merenggut nyawa, dengan dua serangan golok dan tiga serangan tumbak. Ini berarti bahwa yang berhadapan dengan mereka, tidak mungkin dapat mengelakkan diri dari dua serangan golok sang kakak, atau tiga kali serangan tumbak dari sang adik.
Dengan nama dan kedudukan seperti dua saudara Pan itu, sebetulnya tidak seharusnya mengerubuti orang tingkatan muda, tetapi karena mereka menganggap Tiat Ceng dan Tiat Leng adalah putra putrinya Tiat Mo Lek, sedangkan Can Pek Sin adalah putranya Can Goan Siu yang kenamaan dalam dunia rimba persilatan, takut kalau-kalau akan tergelincir, sehingga membuat tertawaan Pok Sui Thian, maka dengan tidak memperdulikan kedudukannya sendiri, mereka maju serentak.
Bagaikan dua ekor burung garuda, dua saudara itu melompat naik ke atas kereta. Tiat Leng yang duduk di atas kereta, sebelum kaki Pan Lo-toa menginjak atas kereta, sudah disambut dengan tusukan pedang, yang diarahkan ke arah lututnya!
Ilmu pedang Tiat Leng, aneh luar biasa, Pan Lo-toa semula mengira pedang itu hendak menikam dadanya, tetapi mendadak ujung pedang menunjuk ke bawah mengarah lututnya. Hebat juga kepandaian orang she Pan itu, ketika mengetahui serangannya mengenakan tempat kosong, meski ia merasa sakit tetapi tidak gugup, ujung golok bahkan diteruskan ke depan sehingga menancap di atap kereta. Dengan demikian badannya tidak sampai turun lagi ke bawah, di atas kereta ia main menendang pedang Tiat Leng dengan kakinya.
Tiat Ceng semula masih ingin berdamai dengan dua saudara itu, akan tetapi dua saudara itu setelah mengetahui siapa muda mudi itu, dan tokh masih tetap hendak merampas juga, bahkan masih menggunakan tangan kejam menghadapi adiknya.
Dengan hati panas ia segera mengeluarkan suara bentakan keras: "Turun!?
Dengan menggunakan ilmu pedang pelajaran dari ayahnya, ia menyerang orang she Pan itu.
Pan Lo-jie segera menyerbu untuk membantu kakaknya untuk menyambut serangan pedang Tiat Ceng.
Senjata pedang dan tombak saling beradu, namun serangan pedang Tiat Ceng ternyata hebat sekali, meskipun tertahan oleh senjata tombak Pan Lo-jie, tetapi tidak mengurangi kehebatannya, ujung pedang meluncur terus hendak membabat tangan Pan Lo-toa.
Pan Lo-toa terpaksa mengurungkan maksudnya hendak menendang pedang Tiat Leng, dengan ujung goloknya ia menangkis serangan Tiat Ceng.
Tiat Ceng secara tiba-tiba melesat ke atas, lalu berdiri di pinggir atap kereta, Pan Lo-jie yang pada saat itu justru melesat ke arah tersebut, segera disambut dengan serangan pedang. Pan Lo-jie belum sempat menggunakan ilmu tombaknya yang khusus mengarah jalan darah karena harus menghindarkan serangan pedang yang sangat hebat itu, terpaksa ia berjumpalitan di tengah udara kemudian melompat turun ke tanah.
Di pihak Pan Lo-toa, pada saat itu juga belum berdiri tegak, maka segera diserang oleh Tiat Ceng sambil berseru: "Kau juga turun!"
Pan Lo-toa sangat repot ia terpaksa menangkis dengan menggunakan ilmu goloknya yang sudah mahir. Dalam soal kepandaian ilmu silat Pan Lo-toa sebetulnya agak tinggi sedikit dari lawannya, akan tetapi, karena posisi Tiat Ceng lebih baik Pan Lo-toa yang semula anggap paling ringan lawannya membuat dirinya mendapat kerugian besar, sehingga golok di tangannya terpukul jatuh oleh pedang Tiat Ceng. Pan Lo-toa lekas menarik kembali tangannya dan melayang turun di depan kereta.
Sementara itu Can Pek Sin duduk di dalam kereta melindungi peti-peti barang permata.
Pan Lo-toa sangat penasaran, ketika melihat Can Pek Sin, dalam hatinya segera berpikir: Biarlah aku tangkap saja bocah she Can ini, boleh kugunakan sebagai orang tawanan untuk memeras.
Dengan cepat ia segera bertindak sambil mengeluarkan suara bentakan keras, ia merobek tutup kereta tangannya diulurkan, untuk menyambar badan Can Pek Sin.
Pan Lo-toa mengira pemuda itu bukan lawannya, siapa tahu pemuda itu mempunyai kepandaian dari pelajaran ayah bundanya serta Thie Sui, kepandaiannya sebetulnya tidak di bawah Thie Sui. Ketika tangan Pan Lo-toa masuk ke dalam kereta, ia tidak menghunus pedangnya, hanya menggunakan sepasang tangan kosong untuk menghadapinya.
Sambaran tangan Pan Lo-toa itu sangat ganas, ia mengira dapat menyambar dada Can Pek Sin, di luar dugaannya ketika tutup kereta robek, tangan Can Pek Sin juga meluncur keluar dengan cepat menyambar pergelangan tangannya.
Gerakan Can Pek Sin ini menggunakan gerak tipu yang dapat dipelajari dari Thie Sui juga mengandung kekuatan tenaga yang dipelajari dari orang tuanya.
Pan Lo-toa terperanjat, ia baru tahu bahwa pemuda itu juga merupakan satu lawan keras karena jarak antara dua orang itu dekat sekali, kedua pihak sama-sama tidak dapat mengelakkan diri dari serangan masing-masing. Meski kekuatan Pan Lo-toa agak tinggi sedikit, tetapi Can Pek Sin menang kedudukan, sehingga akhirnya Can Pek Sin jatuh ke dalam kereta sedang lengan tangan Pan Lo-toa dipelintir oleh Can Pek Sin sehingga patah tulangnya.
Sementara itu Tiat Leng sambil berseru: "Tidak tahu malu!" lalu menikam dengan pedangnya.
Pan Lo-toa yang patah tulangnya, sudah tentu tidak berani menyambut serangan Tiat Leng ia buru-buru lompat menyingkir, tetapi walaupun ia bertindak sudah cukup gesit, tidak urung pundaknya masih kena serangan ujung pedang Tiat Leng, untung tidak mengenakan tulangnya.


Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pok Sui Thian yang menyaksikan itu lalu berkata dengan suara dingin:
"Dua golok dan tombak serangan-serangan harimau, ternyata tidak dapat menunjukkan pamornya lagi. Serangan kalian sudah lebih dari dua golok dan tiga tombak, dan sekarang kuku harimaunya juga sudah dipatahkan. Apa masih mempunyai muka untuk bertempur lagi?"
Dua saudara Pan sangat penasaran, dalam soal kepandaian, mereka satu tonil tidak kalah, daripada dua saudara Tiat itu, juga tidak akan kalah di tangan Can Pek Sin, tetapi karena tindakan mereka yang gegabah sehingga berakhir dengan suatu kekalahan yang amat memalukan ini.
Pan Lo-jie segera menyambung tulang tangan kakaknya yang patah, Pan Lo-toa lalu berkata sambil tertawa dingin:
"Baik, untuk sementara kita mengaku kalah lihat saja nanti!"
Dua saudara itu lalu balik kembali ke rombongannya, tetapi mereka masih tetap mengambil sikap mengurung terhadap kereta yang membawa muatan barang berharga itu dan tak mundur barang setapakpun.
Pok Sui Thian tidak perdulikan mereka lagi, segera berpaling dan berkata kepada Say Ban Hiong:
"Say Thocu, bagaimana dengan kau? Hidangan yang sudah berada di depan mulut ini kau mau makan atau tidak? Kalau kau makan, boleh aku beri kesempatan untuk kau memakannya terlebih dulu."
Say Ban Hiong adalah seorang licik, dalam hati diam-diam sudah mempunyai rencana, maka atas pertanyaan itu ia lalu menjawab:
"Pok loya, aku hanya ingin dapatkan sedikit dari bagianmu, bagaimana berani berebut dengan kau?"
Pok Sui Thian merasa sangat bangga, sementara dalam hatinya berpikir: Tua bangka ini mungkin juga takut menghadapi anak-anaknya Tiat Mo Lek, sehingga menyuruhku bertindak lebih dulu dan ia akan memungut keuntungan yang sudah jadi. Baiklah aku akan menggunakan kesempatan ini mengikat hubungan dengan dia.
Karena berpikir demikian maka ia lalu berkata sambil tertawa:
"Tua bangka, kau sungguh cerdik. Tetapi asal selanjutnya kau suka mendengar kataku, aku akan bagi satu peti, juga tak menjadi soal."
Tiat Ceng lalu berkata sambil tertawa dingin:
"Mengenai beberapa peti barang permata ini, kau belum menanyakan kepadaku mengapa sudah berani mengambil keputusan sendiri."
Pok Sui Thian menyahut sambil tertawa terbahak-bahak:
"Apakah kau masih ingin bertempur denganku? Kau jangan kira karena ayahmu adalah seorang pemimpin golongan rimba hijau, lalu menganggap aku tidak berani terhadap kalian! Kalau kalian tahu lebih baik lekas menyingkir, aku akan mengizinkan kalian pulang untuk memberi tahukan kepada ayahmu, katakan saja bahwa barang-barang permata itu, akulah yang merampasnya.
"Aku boleh menggunakan tata kerama dalam kalangan hitam, dalam waktu satu bulan, aku menantikan kedatangannya untuk mengambilnya kembali!"
"Baiklah, kau anggap saja kereta ini sebagai barang kereta antaran, dan kita yang bertindak sebagai pengawalnya. Menurut peraturan dunia Kang-ouw kalau kau menangkan kita, boleh merampas barang antaran itu. Tidak perlu merembes-rembes ayahku!"
"Bocah kau sungguh sombong, namun aku juga tidak dapat mencari keuntungan darimu, sekarang begini saja, kalian bertiga boleh maju semua!"
Tiat Leng yang mendengar itu lalu bertanya kepada Can Pek Sin dengan suara perlahan:
"Can Toako, apakah kau terluka?"
Can Pek Sin menjawab: "Tidak. Barusan cuma jatuh terguling saja, luka di kulitpun tidak ada."
"Kalau begitu baiklah, kau tetap menjaga di dalam kereta." Ia lalu berpaling dan berkata kepada kakaknya: "Koko, mari kita menghadapi tua bangka itu."
04.23. Kekompakan Pendekar Muda
Pok Sui Thian lalu berkata:
"Bagaimana, kalian sudah selesai berunding atau belum?"
Tiat Ceng berkata: "Kita kakak beradik, meskipun usia kita digabungkan, juga belum ada separuh dari pada usiamu."
"Lalu bagaimana? Kau tidak berani?"
Tiat Leng lalu berkata: "Ini berarti kalau aku dengan kakak mengajar kau, bukan berarti bahwa kita menarik keuntungan darimu. Tetapi jika ditambah dengan Can toako, niscaya kau akan tidak sanggup menghadapi lagi. Sekarang lihat pedang!"
Kakak beradik itu, sebetulnya berdiri di atas kereta. Sewaktu Tiat Leng mengucapkan lihat pedang orangnya sudah bergerak bersama senjatanya dengan gesit sekali menyerang lawannya!"
Pok Sui Thian sedikitpun tidak menduga bahwa gerakan mereka itu sedemikian gesit maka ia lalu berkata:
"Bagus! Tidak kecewa kau menjadi murid Khong-khong Jie!"
Tiat Leng berkata sambil tertawa:
"Kau juga tahu kelihaian guruku."
Sementara itu Tiat Ceng juga memutar pedang panjangnya dengan gerak tipu yang sangat hebat, membabat dari atas, sedangkan Tiat Leng dengan menggunakan ilmu yang totokan dalam waktu satu jurus permulaan itu dengan berturutan sudah mengarah berbagai jalan darah badan lawannya. Meskipun kekuatan tenaganya tidak sebanding dengan kakaknya, tetapi gerak tipunya sangat aneh dan ganas!
Pok Sui Thian juga hebat, dengan tongkat besinya ia menangkis serangan Tiat Ceng, kemudian diputar bahkan membabat pinggang Tiat Leng, lalu berkata sambil tertawa dingin:
"Hebat juga kepandaian kalian berdua, tetapi untuk menghadapi kita belum tiba waktunya."
Kaki Tiat Leng yang belum menginjak tanah sudah disambut oleh serangan tongkat Pok Sui Thian, karena senjata tongkat lebih panjang dari pada pedang, maka Tiat Leng menganggap tidak mampu menembus pertahanan lawannya, sudah tentu ujung pedang tidak dapat menyentuh badan lawannya, sedangkan tongkat sang lawan ada kemungkinan menjatuhkan pedangnya.
Dalam keadaan demikian ia masih dapat menggunakan otaknya. Ia segera merobah gerak tipunya, ujung pedang menempel tongkat lawannya, dengan meminjam kekuatan tenaga lawannya, ia berhasil lompat melesat sejauh tiga tombak!
Sementara itu pedang Tiat Ceng sudah beradu tiga kali, dengan senjata tongkat lawannya sehingga menimbulkan suara mengaung. Tangan Tiat Ceng dirasakan kesemutan, tetapi senjatanya masih belum terlepas. Pedang yang digunakan adalah pedang pusaka yang dahulu dipakai oleh Toan Kui Ciang, tajamnya luar biasa, sehingga tongkat besi Pok Sui Thian juga terpapas sebagian.
Dalam babak pertama itu meskipun Pok Sui Thian berada di atas angin, tetapi ketika menyaksikan kepandaian bocah-bocah itu, diam-diam juga terkejut!
Tiat Ceng setelah berada di tanah, segera maju menyerang lagi, karena kekuatan tenaganya tidak seimbang dengan kakaknya, maka ia lalu menggunakan siasat belut secara berputar-putaran menyerang lawannya. Ujung pedang sebentar nyalahkan ke timur sebentar ke barat, sebentar ke selatan sebentar ke utara, serangan-serangan dengan gerak tipunya yang aneh dan lincah itu, juga merupakan suatu ancaman besar bagi lawannya.
Dalam waktu sekejap mata saja, pertempuran telah berlangsung limapuluh jurus. Tiat Ceng berdua adiknya sudah mengeluarkan seluruh kepandaiannya, sedangkan Pok Sui Thian juga tidak berani berlaku gegabah.
Kalau Tiat Ceng dan adiknya unggul dalam ilmunya meringankan tubuh dan gerak badannya yang lincah, sebaliknya Pok Sui Thian menang dalam hal tenaga dan pengalaman. Kedua pihak bertempur dengan sengit, siapa yang lengah, pasti akan terluka oleh senjata lawannya.
Pan Lo-toa yang sudah disambung lagi, tulang tangannya, meskipun gerakannya kurang leluasa, tetapi tidak menjadikan halangan. Ia bersama saudaranya menyaksikan pertempuran itu dengan penuh perhatian, dalam hati diam-diam merasa heran tetapi juga merasa girang. Terkejut dan heran, karena ia tidak menduga bahwa kepandaian kakak beradik itu ternyata sedemikian hebatnya. Kalau semula ia merasa penasaran tetapi kini setelah menyaksikan kepandaiannya untuk menghadapi Pok Sui Thian, mau tidak mau merasa sangat kagum juga.
Dan yang membuatnya girang ialah karena menyaksikan Pok Sui Thian setelah lebih dari limapuluh jurus, nampaknya mulai kewalahan, keringat sudah membasahi dahinya napasnya tersengal-sengal, maka dalam hati Pan Lo-toa diam-diam telah berdoa, semoga mereka kedua pihak jatuh terluka semuanya.
Pada saat itu, Say Ban Hiong diam-diam menghampiri dua saudara Pan itu dan berkata dengan suara perlahan.
"Sekarang kita tidak bertindak, kapan tunggu lagi?"
Pan Lo-jie agak heran ia bertanya:
"Apa? iblis tua itu telah menghina kita, apa kau ingin membantunya? Aku justru tidak sudi."
"Siapa yang menyuruhmu membantunya?" berkata Say Ban Hiong sambil tertawa.
Pan Lo-toa berkata: "Paman Say maksudmu apakah kita harus menggunakan kesempatan ini, merampas kereta itu?"
"Benar. Di atas kereta itu cuma ada seorang bocah setan itu, yang menjaga. Apa kita masih perlu khawatir tidak sanggup menghadapinya? Biar besok Pok Sui Thian yang berkelahi mati-matian, dan kita yang bertindak lebih dulu!"
Biji mata Pan Lo-toa nampak berputaran, kemudian menatap wajah Say Ban Hiong dan ber kata kepadanya dengan suara datar:
"Apakah kau tidak takut dengan Pok Loyamu itu?"
Muka Say Ban Hiong merah seketika, ia berkata:
"Apakah kau kira aku benar-benar rela diperintah olehnya, dan cuma ingin dapatkan sisa bagiannya saja? Asal kalian berani, kita boleh merampas kereta itu, kemudian menyingkirkan jiwa tua bangka itu!"
Dua saudara Pan itu meskipun agak sakit hati terhadap Say Ban Hiong, tetapi dalam menghadapi persoalan itu, kalau mereka bekerja sama, biar bagaimana lebih baik daripada barang itu ditelan oleh Pok Sui Thian seorang diri.
Pan Lo-toa sebetulnya memang sudah berpikir, setelah Pok Sui Thian luka bersama-sama dengan dua lawannya segera disingkirkan jiwanya, tetapi dua saudara Pan itu, juga masih belum yakin benar memenangkan dirinya. Dan kini Say Ban Hiong telah mengajak mereka bekerja sama, karena mengingat kepentingan bersama, maka kedua pihak lantas setuju.
Pan Lo-toa berkata: "Baik, makanan ini kita bagi tiga bagian!"
Mereka bertiga lalu bergerak maju untuk merampas kereta barang permata itu.
Pok Sui Thian yang sedang bertempur sengit, ketika menyaksikan mereka hendak merampas kereta, lalu berkata dengan suara gusar:
"Kalian hendak berbuat apa?"
Say Ban Hiong menjawab sambil tertawa,
"Tidak apa-apa, kita cuma ingin membantu kau untuk membereskan barang-barang ini dulu, supaya kita tidak perlu memikirkan lagi!"
Pan Lo-toa berkata: "Say toako, kau benar, makanan ini panas sekali, seorang diri tidak sanggup menelan. Kita akan menyingkirkan bocah setan itu, supaya kau boleh menghadapi dua bocah ini dengan tenang. Kita meski pernah ribut mulut, tetapi biar bagaimana masih merupakan orang-orang dalam sendiri, jangan sampai mengadu jiwa."
Maksud Pan Lo-toa ialah karena masih memerlukan tenaga Pok Sui Thian maka ia mengeluarkan perkataan yang enak didengarnya itu, untuk menenangkan hatinya.
Pok Sui Thian sudah tentu tidak percaya perkataan mereka, tetapi ucapan Pan Lo-toa tersebut sedikit banyak memang beralasan, dia pada saat itu masih belum sanggup menjatuhkan lawannya yang masih muda-muda itu. Jikalau sampai terjadi baku hantam antara orang sendiri, yang enak pasti kakak beradik Tiat itu.
Tiat Leng lalu berkata kepada kakaknya:
"Koko, celaka, mereka telah merampas kereta kita!"
Tiat Ceng lalu berkata: "Jangan lengah, penting kita menghadapi musuh yang berada di depan mata kita sendiri!"
Sementara itu telinganya tiba-tiba mendengar suara "trang", pedang Tiat Leng sudah diterbang oleh tongkat Pok Sui Thian. Untung kepandaian meringankan tubuh Tiat Leng sudah sempurna, dengan satu gerakan melesat ia sudah berhasil mengelakkan serangan selanjutnya.
Tiat Ceng mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk mencegah Pok Sui Thian mengejar adiknya.
Pok Sui Thian sebetulnya ingin lekas mengakhiri pertempuran ini, supaya bisa ambil bagian merampas kereta barang berharga. Sementara bagaimana caranya menghadapi Pan Lo-toa bertiga belum dapat kesempatan untuk memikirkannya. Tidak diduga meskipun ia berhasil membikin terpental senjata Tiat Leng, tetapi Tiat Ceng masih sanggup melawan mati-matian.
Tiat Leng tidak terluka berat, sebelum pedang yang jatuh di tangan, sudah berhasil disambar lagi. Tiat Leng yang sifatnya suka menang sendiri, karena agak lengah, telah dirugikan oleh lawannya, sesaat amarahnya lalu berkobar. Setelah menyambar kembali pedangnya, ia segera melancarkan serangannya lagi kepada Pok Sui Thian.
Sebaliknya dengan Pok Sui Thian yang saat itu pikirannya mulai kalut sehingga hampir saja tertusuk oleh ujung pedang Tiat Leng, namun demikian pakaiannya juga sudah tertabas sepotong.
Tiat Ceng bukan khawatirkan Can Pek Sin, tetapi karena ia menganggap Pok Sui Thian adalah orang yang berkepandaian paling tinggi di antara mereka berempat. Jikalau dibiarkan musuh kuat itu lolos, mungkin Can Pek Sin semakin sulit kedudukannya. Maka ia terpaksa menghadapi musuh kuat ini dengan sepenuh tenaga mengharap dapat melukainya, sehingga ia dapat membantu sahabatnya.
Dengan demikian kedua belah pihak sama-sama ingin lekas mengakhiri pertempuran, Pok Sui Thian biar bagaimana sudah mempunyai banyak pengalaman. Setelah mengalami dua kali bahaya, pikirannya mulai tenang kembali. Kakak beradik yang ingin mencari keuntungan dari situ, sebaliknya malah diserang balik oleh lawannya sehingga keadaannya sangat berbahaya.
Dalam pertempuran sengit itu tiba-tiba terdengar suara ?Teng?, ternyata tusuk konde di atas kepala Tiat Leng telah terpukul jatuh oleh tongkat Pok Sui Thian. Jikalau ia tidak lekas-lekas menarik pedangnya, hampir saja dahinya terluka.
Tiat Ceng terperanjat, ia lalu berkata kepada adiknya:
"Adik kau menggunakan siasat berputaran untuk melibat dirinya, sudah cukup asal kau berhasil membuat dia tidak bergerak. Jangan terburu napsu merebut kemenangan."
Karena menganggap kepandaian Pok Sui Thian terlalu tinggi, Tiat Ceng terpaksa merobah siasatnya yang semula.
Di lain pihak dua saudara Pan bertiga yang hendak merampas kereta barang sehingga Can Pek Sin harus menghadapi tiga lawannya.
Pan Lo-jie ingin menumpahkan kemarahannya kepada Can Pek Sin, maka begitu bergerak tombaknya sudah ditujukan kepada lima bagian jalan darah penting di anggota badan lawannya.
Can Pek Sin menangkis dengan pedangnya, bukan saja sudah berhasil mematahkan serangan Pan Lo-jie, bahkan ujung pedangnya, berhasil mengancam bagian jalan darah di dada lawannya.
Pan Lo-toa yang menyaksikan adiknya dalam bahaya, segera membacok dengan goloknya. Karena kekuatan tenaga kedua pihak berimbang, maka meski pedang Can Pek Sin dapat disingkirkan, tetapi Pan Lo-toa sendiri terpental mundur satu langkah.
Pan Lo-toa karena luka di tangan kanannya belum sembuh betul, terpaksa menggunakan tangan kiri, dengan demikian gerakannya agak kurang leluasa.
Can Pek Sin dapat melihat kelemahannya itu maka pedangnya lalu menikam tangan kanan sehingga membuat repot Pan Lo-toa.
Say Ban Hiong yang menyaksikan keadaan demikian lalu berkata sambil tertawa:
"Pan Lo-toa, kau beristirahatlah dulu, biarlah aku yang menggantikan!"
Senjata orang tua itu, adalah sepasang martil yang diperlengkapi dengan rantai, sehingga dapat digunakan untuk menyerang sejarak tiga tombak. Ketika senjata itu mengenakan ujung pedang Can Pek Sin, pedang Can Pek Sin sumpel sepotong.
Pan Lo-toa dengan jalan jumpalitan, melompat bangun, kemudian berkata dengan suara gusar:
"Bocah, hari ini kalau aku tidak berhasil membunuh mati kau aku bersumpah tidak akan menjadi orang lagi."
Dengan tanpa menghiraukan rasa sakit di lengan tangan kanannya, ia malah menyerbu mendahului Say Ban Hiong, untuk mengerubuti Can Pek Sin dengan ilmu golok dan tombak mereka yang sudah terkenal itu.
Say Ban Hiong yang menyaksikan perbuatan orang she Pan itu, hanya tertawa saja sedang dalam hatinya berpikir: Biarlah kau mengalami sedikit kesusahan dulu baru aku nanti bertindak terhadap bocah itu!
Dua saudara Pan itu, dengan bergandengan tangan sebetulnya dapat memenangkan Can Pek Sin, tetapi karena Pan Lo-toa menggunakan tangan kiri, sedangkan Can Pek Sin berkelahi secara mati-matian sehingga serangannya dilakukan dengan sangat ganas, dengan demikian malah pihak dua saudara itu yang dicecer oleh pedang lawannya.
Setelah dua saudara itu repot menghadapi lawannya, barulah Say Ban Hiong bertindak, sepasang senjatanya menyerang dengan hebat.
Can Pek Sin yang sudah bertempur sekian lama, tenaganya sudah mulai berkurang. Pedangnya terlepas dari tangannya oleh senjata Say Ban Hiong, terpaksa ia menggunakan ilmu yang meringankan tubuh dengan jalan berputaran mengitari kereta untuk mengelakkan serangan lawannya.
Say Ban Hiong lalu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Apa kau masih ingin kabur?"
Ia segera melompat ke atas kereta sambil memutar senjatanya.
Di lain pihak dua saudara Pan itu juga memutar senjatanya masing-masing membantu Say Ban Hiong mengeroyok Can Pek Sin.
Can Pek Sin tidak mau melepaskan kereta barangnya, juga tak mau kabur sendiri, tetapi di bawah kepungan dua rombongan orang tua, ia ingin menerjang keluar untuk bergabung dengan dua saudara Tiat, juga sudah tidak bisa. Keadaannya kian lama kian berbahaya, sehingga beberapa kali hampir binasa di bawah tangan musuh-musuhnya.
Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba terdengar siulan panjang dan nyaring.
Say Ban Hiong yang berada di atas kereta segera dapat melihat seorang setengah umur herusia kira-kira empatpuluhan berdandan sebagai seorang pelajar dengan disertai oleh seorang gadis berusia kira-kira enam atau tujuhbelas tahun, bagaikan lajunya anak panah, lari mendatangi.
Say Ban Hiong terperanjat lalu menegur:
"Sahabat dari golongan mana? Berhenti sebentar mari kita berbicara dulu!"
Laki-laki pelajar itu berkata sambil ketawa dingin:
"Sungguh tidak tahu malu tiga orang tua mengerubuti satu anak-anak!"
Dengan tanpa menghentikan kakinya, sudah mengancam masuk ke medan pertempuran.
Juga tak tahu bagaimana ia bergerak, beberapa anak buah rombongan itu yang hendak merintangi majunya laki-laki itu semua pada jatuh ke tanah, sehingga terbukalah jalan baginya.
Say Ban Hiong yang berada di atas kereta, dapat mengenali bahwa laki-laki itu dapat menggunakan ilmu kekuatan tenaga dalam yang tertinggi, sehingga membuatnya semakin terkejut dengan cepat ia berkata:
"Maksud tuan mau apa, marilah kita bicara baik-baik dulu!"
Laki-laki itu berkata: "Dengan maksud apa kalian datang kemari? Apakah masih perlu menanyakan maksud kedatanganku?"
Say Ban Hiong berkata dengan perasaan girang:
"Oh, kiranya kedatangan tuan juga lantaran kereta barang ini, ini mudah sekali untuk berunding.
Ia paling takut bahwa orang yang baru datang ini, ada sahabatnya Tiat Mo Lek, yang datang hendak membantu dua saudara Tiat itu. Tetapi kini setelah mendengar keterangan bahwa maksud kedatangannya itu lantaran kereta barang permata itu, dalam hatinya lalu berpikir, paling-paling dibagi sebagian untuknya, maka ia tidak begitu khawatir lagi.
Gadis kecil itu tiba-tiba memperdengarkan suara bentakannya:
"Ayahku tidak mengijinkan kalian menghina orang lemah, mengapa kalian masih belum berhenti bertempur?"
04.24. Siapa Pendekar Tua Itu?
Dari nada suaranya itu, seolah-olah gadis itu hendak bertindak sebagai orang kuat yang harus melindungi golongan yang lemah.
Say Ban Hiong lalu berkata:
"Ya, kiranya bocah ini juga tidak bisa kabur kemana-mana, biarlah tuan yang menyelesaikannya persoalan ini."
Can Pek Sin yang terlepas dari bahaya, untuk sementara dapat menarik napas lega dalam hatinya merasa kikuk, heran tetapi juga geli.
Inilah pertama kalinya mendengar seorang mengatakan dirinya lemah, sedang orang yang berkata demikian itu cuma seorang gadis kecil yang usianya tidak lebih tua dari pada usianya sendiri. Maka dalam hatinya lalu berpikir: Kedua orang ini entah dari golongan mana, kalau memang hendak merampas kereta, mengapa tidak mengijinkan mereka melukai aku? dan entah bagaimana pula kepandaian gadis cilik ini, mengapa omongannya demikian sombong?
Laki-laki setengah umur itu sambil mendongakkan kepala ke atas berkata dengan suara tenang,
"Baik, aku paling mudah diajak bicara, kalian menginginkan perundingan cara bagaimana?"
Say Ban Hiong dengan menindas perasaannya sendiri berkata sambil herseri-seri:
"Kalian ayah dan anak kita hitung satu bagian, di sini ada delapan buah peti, jadi satu bagian dua peti. Dengan pembagian cara demikian, tuan tentunya boleh merasa puas!"
Laki-laki itu memelototkan matanya dan berkata:
"Tidak bisa!" Dua saudara Pan, berkata dengan suara besar:
"Kau datang terlambat, tetapi kita masih memberi bagian secara adil, ini sudah berarti memberi muka kepadamu, apakah masih ingin dapat lebih banyak lagi?"
Say Ban Hiong tidak ingin menanam bibit permusuhan lebih banyak, maka lalu berkata sambil menggoyang-goyangkan tangannya:
"Tidak usah ribut, mari kita bicara baik-baik. Dan bagaimana maksud tuan?"
Laki-laki itu berkata: "Kalian semua enyah dari sini, dengan demikian aku dapat mengampuni jiwa kalian."
Say Ban Hiong terperanjat dan berkata:
"Jadi kau ingin makan sendiri?"
Laki-laki itu berkata sambil tertawa dingin:
"Kuampuni jiwa kalian, ini sudah berarti memberi muka kepada kalian."
Dua saudara Pan lalu naik darah, mereka mengeluarkan lagi senjata masing-masing dan berkata dengan serentak:
"Mana ada aturan demikian, kalau tuan ingin kawan makan kawan, juga harus menurut peraturan golongan hitam, agar kita dapat melihat kepandaianmu."
Laki-laki itu berkata dengan nada suara dingin:
"Kalian manusia macam apa, adakah itu harga menguji kekuatanku? Bukankah kalian cuma orang-orang yang menghina anak kecil saja? Baiklah Hong-jie, hajar mereka untukku!"
Gadis kecil itu nampaknya sangat girang, setelah menyahut "baik," ia maju menghampiri mereka.
Laki-laki itu berkata pula:
"Tunggu dulu, di antara mereka bertiga ada satu yang lengan tangannya sudah terluka, kita tidak boleh membinasakan orang yang luka. Kau rampas saja senjata mereka sudah cukup."
Gadis kecil itu berkata pula:
"Baik, anakmu mengerti, dua manusia busuk sekalipun ia luka, aku juga tak sudi membunuhnya!"
Sementara itu ia sudah berada di hadapan dua saudara Pan, bahkan tidak mengeluarkan senjata sama sekali.
Dua saudara Pan itu, merupakan jago di dalam rimba hijau, sebetulnya mereka harus menghargakan diri sendiri, tidak boleh bertempur dengan satu gadis cilik dan bertangan kosong pula, tetapi karena mereka dalam keadaan murka, dan gadis cilik itu agaknya juga ada yang dia andalkan, jikalau dua saudara Pan itu tidak bertindak, mungkin benar-benar akan dirampas senjatanya.
Pan Lo-toa membentak dengan suara keras:
"Tuan terlalu menghina orang, jangan sesalkan kita sebagai orang tua menghina seorang anak-anak!"
Dua saudara itu yang sudah biasa bertempur bahu membahu, segera bergerak berbareng, golok dan tombak menyerang gadis cilik itu.
Cepat bagaikan kilat, pada saat demikian, gadis cilik itu sudah meloloskan ikat pinggangnya yang berupa kain sutra yang berwarna merah, hanya dengan satu kibasan yang ringan saja ikat pinggang sutra itu sudah bergerak bagaikan seekor naga, dengan cepat menggulung tombak di tangan Pan Lo-jie.
Gadis cilik itu berkata sambil tertawa terbahak-bahak:
"Bangsat, apa kau kata orang tua menghina anak kecil, apakah kau kira bisa menghina aku?"
Sementara mulutnya masih berbicara, tangannya tidak tinggal diam, tatkala ikat pinggang itu berhasil menggulung senjata tombak, ia tarik dengan perlahan senjata tombak itu, lalu membentur senjata golok kakaknya, ketika gadis cilik itu berseru, "Lepas tangan!" senjata golok dan tombak itu telah terlepas dari tangan dua saudara Pan dan jatuh bersama di tanah.
Sebetulnya jika dibanding kepandaian ilmu silat mereka, meskipun dua saudara Pan habis bertempur dan satu di antaranya terluka, gadis cilik itu masih belum mampu menandingi mereka. Tetapi karena gadis cilik itu menggunakan gerak tipu yang aneh dan bagus sekali, bahkan dilancarkan secara mendadak diluar dugaan mereka, ia meminjam kekuatan tenaga lawannya untuk memberi pukulan, supaya senjata mereka saling beradu, demikianlah dalam satu pukulan saja sudah merampas senjata mereka.
Dua saudara Pan itu dikalahkan secara tidak mengerti tetapi keadaan sudah sedemikian rupa mereka juga tidak ada muka untuk berdiam lebih lama lagi. Lawannya cuma merupakan seorang gadis cilik, tentu mereka tidak merasa perlu untuk mengucapkan apa-apa lagi, maka lalu kabur bersama anak buahnya.
Can Pek Sin yang menyaksikan kejadian itu diam-diam merasa heran, pikirnya: Gadis cilik ini meski menggunakan kecerdikan akal, tetapi biar bagaimana masih terhitung suatu kepandaian tinggi, pantas ia berani buka mulut besar, kepandaiannya memang tinggi sekali, barangkali aku sendiri juga belum tentu bisa memenangkannya.
Laki-laki setengah umur itu berkata sambil menunjuk Say Ban Hiong:
"Kau bagaimana? Apa juga ingin main-main dua jurus dengan anakku?"
Say Ban Hiong berpikir bahwa dirinya sendiri pasti tidak dapat memenangkan laki-laki setengah umur itu, tetapi ia juga sayang meninggalkan kereta berharga itu. Ketika mendengar pertanyaan demikian dengan segera ia lalu menjawab:
"Apakah tuan cuma menyuruh putrimu saja yang bertindak, tidak suka turun tangan sendiri untuk memberi pelajaran?"
Laki-laki itu berkata sambil tertawa dingin: "Kepandaianmu memang lebih tinggi setingkat dari pada dua saudara Pan itu, tetapi masih belum ada harganya bertanding denganku. Asal kau bisa mengalahkan anakku, barang berharga dalam kereta itu boleh kau ambil, aku tidak akan rintangi."
Say Ban Hiong berkata dengan hati girang:
"Baik, dengan adanya ucapanmu ini, aku terpaksa mengunjukkan kejelekanku. Nona kecil, kita hanya main-main beberapa jurus saling duel saja, jangan sampai merusak persahabatan kita, bagaimana?"
Dalam anggapan orang tua itu ia dapat memenangkan gadis cilik itu, tetapi ia juga harus memikirkan pembalasan dari ayahnya, maka bicara sangat merendah. Dalam kata-katanya itu juga mengandung maksud untuk memberitahukan kepada ayahnya bahwa ia tak berani melukai putrinya.
Tetapi gadis cilik itu tidak mengerti maksud yang terkandung dalam perkataannya, ia tertawa geli lalu berkata pada ayahnya:
"Ayah, orang ini takut aku melukai badannya sehingga ia perlu minta-minta dulu padaku! Ayah pikir apakah anakmu perlu mengampuninya?"
Sang ayah lalu menjawab: "Kita pandang sama, rampas saja senjatanya sudah cukup. Supaya jangan dikatakan oleh dua saudara Pan, bahwa kita berlaku berat sebelah."
Gadis cilik itu setelah menyahut "baik" memutar ikat pinggangnya, dengan cara yang lama ia menggulung senjata Say Ban Hiong.
Say Ban Hiong dalam hati lalu berpikir: Aku tidak memberi kesempatan kepadamu untuk meminjam tenagaku memukul aku, aku ingin lihat apakah kau mampu merampas senjataku?
Ia menggunakan senjata di tangan kanannya untuk menjaga dirinya, senjata ditangan kanannya digunakan untuk menyerang gadis itu.
Senjata martil yang diperlengkapi dengan rantai ini, merupakan senjata aneh yang boleh digunakan secara keras tetapi boleh juga digunakan secara lunak. Ketika gerakan gadis cilik itu tidak berhasil menggulung senjatanya, martil orang tua itu sudah menyapu bagian kakinya.
Gadis kecil itu melompat tinggi sambil memutar ikat pinggangnya, sebentar kemudian sudah meluncur turun ke hadapan Say Ban Hiong dan hendak menyambar lehernya.
Say Ban Hiong tidak menduga ia bisa bergerak begitu gesit, dengan cepat menyerang dengan senjata di tangan kirinya, namun kali ini senjata itu telah dilipat oleh, ikat pinggang si nona kecil.
Say Ban Hiong cukup kuat tenaga dalamnya dengan cepat ia tarik kembali senjatanya. Gerak itu ia menggunakan gerak tipu menyendal, bukan saja dapat digunakan untuk mencegah merampas, tetapi juga boleh digunakan untuk melemparkan diri gadis cilik itu.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara bentakan laki-laki setengah umur itu:
"Lepas tangan!"
Say Ban Hiong terperanjat, sementara itu senjata sudah dilipat oleh senjata si nona, dengan mengeluarkan suara "trang" dua martil itu saling beradu dan kemudian jatuh di tanah.
Kiranya laki-laki setengah umur tadi menggunakan suara bentakan dengan ilmu dari golongan Budha membuat Say Ban Hiong terperanjat dan terbang semangatnya, sehingga kekuatan tenaga dalamnya tidak dapat digunakan lagi.
Say Ban Hiong senjatanya dapat dirampas, keadaannya sangat menyedihkan tetapi kalau dibanding dengan keadaan beberapa anak buahnya yang coba ingin merintangi ayah si nona, bertindak terhadap pemimpin mereka, ternyata jauh lebih baik. Sebab beberapa anak buah itu, setelah mendengar suara bentakan itu lalu rubuh semuanya hidung dan telinganya mengeluarkan darah.
Say Ban Hiong sambil menundukan kepala ia berkata:
"Aku sangat kagum! Sudilah kiranya tuan meninggalkan namanya yang terhormat??
Laki-laki itu berkata sambil tertawa dingin: "Kau masih belum pantas menanyakan namaku lekas enyah!"
Perkataan itu sungguh hebat, Say Ban Hiong tahu bahwa kepandaiannya sendiri jauh dari orang itu, terpaksa menahan sabar, lalu perintahkan anak buahnya menolong kawan-kawan yang terluka kemudian berlalu.
Ilmu kekuatan tenaga dalam Can Pek Sin berdasar dari pelajaran dari golongan orang-orang kebenaran, meski belum begitu tinggi kalau dibanding dengan Say Ban Hiong, tetapi lebih murni keadaan. Geraman laki-laki setengah umur tadi, cuma menimbulkan perasaan tidak enak dalam telinganya, tetapi tidak menimbulkan luka apa-apa.
Namun demikian dalam hatinya diam-diam juga merasa heran, pikirnya: Siapakah laki-laki pelajar itu? Ilmunya geraman singa ini, ayah juga bisa tetapi kekuatannya belum begitu hebat. Nona kecil ita meski dapat didikan langsung dari ayahnya tapi dengan hanya satu ikat pinggang kain sutra sudah berhasil merampas senjata Say Ban Hiong, kepandaian itu ternyata juga hebat sekali.
Sementara itu, tiba-tiba ia mendengar suara nona itu yang berkata kepada ayahnya:
"Ayah, masih ada satu bangsat tua yang belum mau berhenti, apa perlu aku juga merampas senjatanya?"
Yang dimaksudkan dengan perkataan bangsat tua oleh nona cilik itu adalah Pok Sui Thian, yang saat itu masih bertempur sengit dengan dua saudara Tiat.
Pok Sui Thian sebetulnya sudah berada di atas angin tetapi karena kedatangan laki-laki setengah umur dengan putrinya itu, telah mengganggu perhatiannya sehingga keadaaan menjadi berimbang.
Laki-laki itu berkata sambil tertawa:
"Hong-jie, senjata bangsat tua itu kau tidak dapat merampasnya. Biar aku sendiri yang mengusirnya! He, kalian dua bocah boleh beristirahat dulu."
Tiat Ceng dan adiknya, juga tidak kenal siapa laki-laki itu, tetapi Tiat Ceng mengerti peraturan dalam rimba hijau, karena laki-laki itu hendak campur tangan. Selagi ia masih belum dapat membedakan, laki-laki itu kawan ataukah lawan, sudah tentu ia terpaksa mengundurkan diri dulu uutuk melihat keadaan selanjutnya.
Laki-laki setengah umur itu dengan kedua tangan dimasukan ke dalam sakunya berjalan dengan tenang menghampiri Pok Sui Thian.
Pok Sui Thian menancapkan senjata tombaknya di tanah, lalu mengeluarkan sepasang senjata Phoan-koan-pit, kemudian berkata dengan suara nyaring:
"Tuan mau apa?"
Laki laki itu berkata dengan suara datar:
"Apakah kau tidak mendengar, pembicaraan dengan Say Ban Hiong tadi? Sekarang aku hanya ingin bertanya kepadamu, kau mau apa?"
"Ini adalah barang makananku yang sudah rada di depan mulut, jikalau kau ingin juga hendak merebut, ha, ha, aku Pok Sui Thian juga bukan seorang yang suka perlakukan seenaknya! Sekarang tidak perlu banyak bicara, aku cuma ingin supaya kau minta makan kepada sepasang senjataku ini!"
Gadis cilik itu mendadak tertawa geli lalu berkata:
"Ini bukan berarti merampas makanan dari mulut macan, melainkan merampas dari mulut anjing. Aku beritahukan lagi kepadamu kalau hendak menggunakan senjata Phoan-koan-pit untuk menghadapi ayahku tidak ubahnya seperti main kampak dihadapan tukang kampak!"
Sang ayah berkata sambil tertawa:
"Hong-jie aku masih belum bergerak jangan kau menakutinya."
Pok Sui Thian berkata dengan suara gusar:
"Apakah kau kira aku Pok Sui Thian seorang yang mudah ditakut-takuti? Dengan perkataan anakmu ini kiranya kau juga pandai menggunakan senjata semacam itu, marilah kita coba-coba!"
Pok Sui Thian sejak muncul lagi di dunia Kang-ouw, belum pernah menemukan tandingan, laki-laki itu tadi hanya menunjukan kekuatan tenaga dalamnya, meskipun juga mengejutkannya, tetapi sebelum bertanding, bagaimana ia mau menyerah mentah-mentah.
Laki-laki itu tertawa terbahak-bahak lalu berkata:
"Kau jangan dengar ucapan anakku. Sudah sepuluh tahun lebih aku tidak menggunakan senjata Phoan-koan-pit, kalau tidak menemukan lawan yang benar-benar seimbang bagaimana aku mau menggunakan secara sembarangan? Apa lagi kau sudah bertempur sekian lama, aku lebih-lebih tidak boleh mencari keuntungan dari dirimu. Maka aku tidak usah khawatir asal senjata Phoan-koan-pit ini bisa malawan tiga jurus saja sepasang tangan kosong ini, aku ayah dan anak segera angkat kaki dari tempat ini biar kau telan sendiri makananmu."
Pok Sui Thian bukan kepalang gusarnya, ia lalu membentak dengan suara keras: "Bagus sekali, aku si orang sempok pernah menghadapi banyak orang gagah, tetapi belum pernah melihat ada seorang sombong seperti kau ini! Aku justru ingin melihat betapa tinggi kepandaianmu!"
Laki-laki itu berkata sambil mengerutkan keningnya:
"Kalau begitu marilah, jangan omong-omong saja! Ingat, hanya tiga jurus saja!
Pok Sui Thian tidak dapat menindas perasaannya dihina demikian rupa maka lalu menggeram dengan hebat:
"Aku lihat bagaimana kau hendak menangkan aku dalam tiga jurus!"
Sepasang senjatanya lalu bergerak, melancarkan serangannya yang mematikan.
Gerak tipu itu dinamakan sepasang Naga keluar dari laut, ujung senjata mengarah empat bagian jalan darah di bagian bawah ketiak, sesungguhnya merupakan sesuatu gerakan totokan yang pandai sekali.
05.25. Pertarungan Dua Nona Muda
Laki-laki itu dengan sepasang tangannya masih tetap dalam sakunya hanya berputar-putaran mengelakkan serangan tersebut. Tiba-tiba lengan jubahnya yang besar bergerak-gerak berterbangan mengeluarkan suara nyaring, dan lengan baju itu berubah bagaikan besi kerasnya. Ketika sepasang senjata Pok Sui Thian menusuk di atas lengan baju itu, satu lobangpun tak berhasil menembusnya, sedang sepasang senjatanya itu sudah disingkirkan oleh kibasan lengan baju lawannya.
Pok Sui Thian hanya merasakan mukanya seperti disambar oleh hembusan angin hebat, ia melompat mundur tiga langkah, sementara nona cilik itu, sudah berkata sambil tertawa terpingkal-pingkal dan mengacungkan sebuah jarinya: "Ini jurus pertama."
Pok Sui Thian maju menyerang lagi, kali ini senjata tangan kiri menotok jalan darah kie-bun-hiat, sedang senjata tangan kanan menotok jalan darah Ceng-ciok-hiat. Dua jalan darah ini merupakan jalan darah kematian bagi tubuh manusia. Pok Sui Thian yang menyerang dengan menggunakan kekuatan tenaga dalam, apabila serangan itu mengenakan dengan tepat betapapun kuatnya orang itu, juga takkan sanggup bertahan.
Tetapi laki-laki itu masih tetap menunjukkan sikapnya yang tenang, ia menantikan sampai sepasang dari senjata itu hampir menyentuh tubuhnya baru ia membentak dengan suara keras:
"Bagus!" kemudian mengulur tangannya untuk menyambar jalan darah Ciok-tie-hiat lawannya.
Gerakan itu dilakukan dengan gayanya yang bagus sekali, tempat yang di arahnya justru merupakan tempat yang tak terbuka sama sekali, dengan demikian, ia lolos dari ancaman senjata Pok Sui Thian.
Kepandaian Pok Sui Thian ternyata juga hebat sekali, dalam saat sangat berbahaya itu dengan tiba-tiba ia merobah gerak tipunya. Sambil memendekkan badannya, sepasang senjatanya digunakan untuk menyapu tangan lawannya. Gerakan ini bukan suatu gerakan totokan, melainkan gerakan dengan menggunakan ruyung.
Kiranya Pok Sui Thian juga dengan senjata ruyung atau tongkat, barusan ia menggunakan tongkat besi menghadapi dua saudara Tiat, dan kali ini menggunakan sepasang Phoan-koan-pit untuk menghadapi laki-laki yang belum dikenalnya itu. Dalam anggapannya karena laki-laki itu tak pernah menyaksikan pertempurannya dengan meggunakan senjata tongkat, ia merasa takut permainan senjata tongkatnya dapat diketahui oleh lawannya, sehingga mudah ditarik kelemahannya, dan kedua, dalam pertempuran jarak dekat, tidak leluasa menggunakan senjata tongkat, begitulah makanya menggunakan senjata Phoan-koan-pit nya.
Sungguh tidak disangka bahwa laki-laki itu ternyata juga merupakan ahli menotok jalan darah sehingga ia menjadi tidak berkutik. Sementara karena tangan laki-laki itu sudah hampir berhasil menotok jatan darahnya, ia tidak dapat menggunakan ilmu totokannya, untuk melawan terpaksa menggunakan ilmu tongkatnya.
Perobahan itu sesungguhnya sangat tepat karena itu merupakan satu-satunya jalan untuk mengelakkan serangan lawannya, andaikata serangan lawannya mengenakan dirinya, sang lawan itu sendiri juga akan terluka.
Laki-laki itu lalu berkata sambil tersenyum: "Bagus, sayang kau bertemu aku!"
Kemudian tangannya memutar balik sehingga serangan Pok Sui Thian mengenakan tempat kosong. Tetapi serangannya sendiri juga berhasil digagalkan oleh lawannya.
Sementara itu terdengar pula suara si nona kecil yang berkata:
"Jurus kedua hanya tinggal satu jurus saja!"
Sang ayah lalu berkata sambil tertawa: "Hong-jie, perlu apa kau tergesa-gesa? Tunggu saja!"
Pok Sui Thian yang sudah berhasil mematahkan dua jurus serangan lawannya, keberaniannya semakin besar, lalu bertanya kepadanya: "Dan kau bagaimana?"
Ia benci sekali terhadap laki-laki itu, maka sekarang balas bertanya dengan meniru sikap dan nada laki-laki tadi.
Sementara itu sepasang senjatanya sudah dikerahkan lagi melancarkan serangannya yang ketiga. Kali ini benar-benar sudah mengerahkan seluruh kepandaiannya, senjata di tangan kiri digunakan sebagai senjata totokan, sedangkan senjata di tangan kanan digunakan sebagai senjata ruyung, sehingga sekaligus dua senjata itu melakukan serangan-serangan menotok, menikam, membabat dan memukul.
Laki-laki itu menjawab dengan suara datar:


Jiwa Ksatria Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak apa-apa, hanya senjatamu itu terpaksa harus kau tinggalkan."
Baru saja ia menutup mulutnya tiba-tiba terdengar suara ?terang-terang? dua kali, sepasang senjata Pok Sui Thian sudah terbang ke tengah udara.
Benar saja hanya dalam waktu tiga jurus saja, Pok Sui Thian sudah mengalami kekalahan hebat!
Kiranya laki-laki tadi dalam dua jurusan pertama cuma digunakan untuk meraba-raba kepandaian dan kekuatan lawannya. Setelah dapat tahu sampai dimana tingginya kepandaian musuh dan dalam jurus ketiga ia baru bertindak untuk merubuhkan lawannya.
?Y? Kesepuluh Dengan wajah pucat pasi Pok Sui Thian bertanya:
"Apakah tuan adalah Hoa Ciong Tay yang mempunyai gelar nama ?Pena penyapu ribuan tentara? itu?"
Laki-laki itu menjawab: "Bukankah kau pernah sesumbar, hendak mengadu kepandaian denganku? Sekarang seharusnya kau sudah merasa puas bukan? Ha, ha, ha, kau bisa menyambuti tiga jurus seranganku tanpa terluka, juga sudah terhitung tidak mudah lagi. Sekarang senjatamu kau boleh bawa, dan pergilah dari sini!"
Pok Sui Thian setelah mendengar jawaban laki-laki itu yang ternyata benar adalah Hoa Ciong Tay, merasa sangat malu sekali sehingga tidak berani berkata sepatah katapun juga.
Ia lalu mengambil ketiga senjatanya, sambil menghela napas panjang ia segera berlalu.
Tiat Ceng bertiga, baru pertama kali ini mendengar nama Hoa Ciong Tay, hingga diam-diam merasa heran. Sedang dalam hati Tiat Ceng berpikir: Kalau didengar dari ucapan bangsat tua tadi, Hoa Ciong Tay ini seharusnya merupakan tokoh terkenal dalam rimba persilatan tetapi mengapa aku belum pernah dengar ayah menyebut namanya?
Setelah Pok Sui Thian berlalu Tiat Ceng bertiga lalu maju memberi hormat kepada Hoa Ciong Tay seraya berkata:
"Terima kasih atas bantuan tenaga Hoa tayhiap."
Dalam pikiran Tiat Ceng sesudah mengusir pergi berandal yang hendak merampas keretanya sekalipun bukan sahabat baik ayahnya, mungkin juga datang membantu dirinya karena memandang muka ayahnya, setidak-tidaknya dengan maksud baik.
Tidak disangka Hoa Ciong Tay lalu menjawab sambil tertawa terbahak-bahak:
"Tiat Siao-ceecu, kau keliru. Kalau aku mengusir orang-orang itu tadi, hanya untuk kepentinganku sendiri bukan untuk kau. Apa kau tidak dengar ucapan kepada orang-orang itu tadi, aku juga hendak merampas keretamu!"
Tiat Ceng merasa terkejut dan agak ragu-ragu, ia berkata pula:
"Apakah Hoa tayhiap ingin main-main dengan Boanpwee?"
Kiranya Tiat Ceng terus menganggap laki-laki itu adalah seorang gagah kenamaan yang suka mengembara dan adatnya senang main-main. Apa yang dikatakannya hendak merampas kereta barang, dianggapnya hendak mempermainkan kawanan berandal itu, bukan dianggap sungguh-sungguh.
Tetapi Hoa Ciong Tay berkata dengan sungguh-sungguh.
"Siapa akan main-main dengan anak-anak seperti kalian ini? Kalau bukan karena delapan peti barang permata ini, perlu apa aku datang kemari?"
Tiat Ceng lalu berkata: "Kalau Hoa tayhiap menghendaki barang-barang kita sebetulnya boleh menyerahkan, tetapi....."
Hoa Ciong Tay cuma dengar separuhnya, lantas memotong perkataannya:
"Tidak usah cerewet apa yang kau ingin ucapkan, aku sudah tahu. Barang ini adalah barang peninggalan Ong Pek Thong, kalian hendak bawa pulang untuk diberikan kepada ayahmu sebagai ransum, betul tidak? Hem! aku tidak perduli itu semua, sekalipun ayahmu ada disini, aku juga tetap hendak merampasnya! Aku juga bukan seorang pendekar, kau jangan panggil aku Tayhiap segala!"
"Hoa sianseng, kepandaianmu tinggi sekali, kita beberapa bocah ini sudah tentu kau tidak pandang mata. Tetapi karena kau tidak memandang persahabatan dalam rimba hijau, dan menginginkan juga kereta kita ini, maka maafkan jika kita juga tidak dapat memberikan dengan kedua tangan terbuka."
"Benar, benar! Begitulah seharusnya. Sudah tentu aku tidak akan mengandalkan kedudukan sebagai orang tua untuk menghina anak-anak, nah, Tiat Siao-ceecu, kau boleh main-main beberapa jurus dengan anak perempuanku. Kalian berdua sebaya usianya, bukankah itu yang paling adil? Apakah kau bisa mengalahkan anakku, aku akan membiarkan kau pergi!"
Selagi Tiat Ceng hendak menjawab, Tiat Leng sudah maju menghampiri dan berkata:
"Satu anak perempuan mengajak berkelahi dengan anak laki-laki, bukankah itu sangat memalukan? Paling adil sebaiknya aku yang melawannya!"
Tiat Ceng lalu berkata: "Adik Leng, jangan mengucap sembarangan, ini bukan permainan anak-anak lagi, kau masih bukan tandingannya."
Tiat Leng berkata: "Kalau begitu kau harus aku pukul lebih dulu. Kau adalah satu laki-laki, tenagamu besar apakah kau masih mempunyai muka menghina satu anak perempuan yang usianya lebih kecil darimu? Orang-orang kuat dalam rimba persilatan selalu mengutamakan keadilan, menghadapi lawan harus seimbang kekuatannya, barulah tidak kehilangan muka dan kedudukannya, peraturan ini aku juga mengerti. Kalau ayahnya tidak mau menarik keuntungan dari kita, kita juga seharusnya tidak boleh menarik keuntungan darinya."
Ucapan itu meskipun masih berbau dan bersifat kekanak-kanakan, tetapi mengandung wibawa dan sifat gagah orang-orang Kang-ouw, tidak kecewa sebagai anak Tiat Mo Lek.
Nona kecil itu melihat sikap Tiat Leng yang polos dan masih kekanak-kanakan, dalam hati juga timbul rasa suka, maka lalu berkata sambil tertawa:
"Adik kecil, aku takut karena kau tadi sudah bertempur sekian lama, sehingga mempengaruhi tenagamu."
Tiat Leng berkata: "Nona Hoa berapa usiamu tahun ini?"
"Enambelas tahun."
"Kau dengan kakakku sebaya usianya, tetapi juga cuma lebih tua dua tahun dari aku. Maka ucapan adik kecil tadi, perkataan kecil itu seharusnya kau buang saja. Begini saja kalau kau bisa mengalahkan aku, nanti kau bertanding lagi dengan kakakku. Sebab kalau kau dapat mengalahkan kakakku, barulah merupakan pasangan yang setimpal dengan kakakku."
Tiat Leng mengucapkan kata-katanya dengan tak disengaja, tetapi dalam pendengaran nona kecil itu ternyata lain pula reaksinya. Seketika itu parasnya menjadi merah lalu ia berkata:
"Baik, aku lihat kepandaianmu bagus sekali, aku juga belum tentu bisa mengalahkanmu. Biarlah aku terima dulu pelajaranmu beberapa jurus saja!"
Sambil tersenyum Tiat Leng berkata:
"Jangan terlalu merendah, silahkan!"
Ia lihat gadis cilik yang baru saja begitu galak dan sombong terhadap Pan Lo-toa dan lain-lainnya. Tetapi terhadap dirinya sendiri jauh berlainan sehingga ia merasa sangat bangga.
Tiat Leng tak tahu, bahwa kedatangannya Hoa Ciong Tay dengan anaknya itu, bukan ingin merampas kereta barang permata, melainkan mengandung maksud lebih dalam. Ia ingin mencarikan suami bagi anaknya, maka ia menyuruh putrinya bertanding dengan Tiat Ceng.
Maksud ayahnya itu diketahui oleh gadisnya.
Maka waktu Tiat Leng tertawa, gadis itu selebar mukanya menjadi merah. Karena pikirannya agak terpengaruh sehingga ujung pedang Tiat Leng dengan tak setahunya sudah mengancam di depan dadanya.
Gadis kecil itu terkejut, cepat-cepat ia mengelak.
Tiat Leng menarik kembali pedangnya dan berkata:
"Mengapa kau tidak mengeluarkan senjatamu, kau sesungguhnya terlalu memandang rendah diriku!"
Gadis kecil itu ketika mengetahui gerak badan Tiat Leng demikian gesit dan lincah ia tahu apabila cuma menggunakan ikat pinggang sutranya, tidak mungkin dapat merebut senjatanya, maka ia lalu berkata sambil tersenyum:
"Kau terlalu cepat, aku masih belum keburu mengeluarkan senjata! Baiklah, sekarang aku hendak membalas, kau harus hati-hati!"
Sementara itu ia lalu mengeluarkan sebuah pecut, lalu digunakan untuk menyerang Tiat Leng. Gerak pecut itu bagaikan ular yang, menyambar mengancam badannya dari berbagai jurusan.
Gadis cilik itu sungguh hebat permainan pecutnya dan gayanya begitu lemas, ia bisa berubah sedemikian keras bagaikan sebatang tombak.
Dalam hati Tiat Leng lalu berpikir: Kekuatan gadis ini nampaknya lebih tinggi dari padaku, tetapi kelincahan dan kegesitannya, belum tentu dapat menandingi aku. Baiklah aku menggunakan kelincahanku untuk melawannya.
Dalam babak pertama, hampir saja membuat lawannya kewalahan, sehingga dianggapnya kegesitan dan kelincahannya lebih unggul dari pada lawannya, pada hal gadis kecil lawannya itu memang sengaja mengalah.
Tetapi ilmu meringankan tubuh Tiat Leng yang ia dapat belajar dari Khong-kong Jie suami isteri, juga merupakan satu kepandaian yang jarang ada tandingannya di dalam rimba persilatan.
Sewaktu ia menggunakan ilmunya yang meringankan tuhuh itu, hanya kelihatan berkelebatnya bayangan dirinya dan berkelebatnya sinar pedang. Sebilah pedangnya seolah-olah berobah menjadi ratusan bilah pedang, sehingga empat penjuru semua ada bayangannya.
Hoa Ciong Tay yang menyaksikan itu lalu memberi pujian sambil tertawa:
"Murid terakhir Sin Cie Kow, benar-benar hebat. Hong-jie, kau harus hati-hati menghadapinya."
Gadis cilik itu menyahut sambil tertawa:
"Anak tidak berani membikin noda nama ayah."
Ia lalu merobah ilmu pecutnya, sebentar kemudiaa pecut itu bagaikan ribuan ekor ular yang berterbangan di tengah udara.
Tiat Leng terperanjat, ia baru tahu bahwa ucapan kakaknya yang sering mengatakan di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada orang yang lebih pandai lagi, bukanlah omong kosong belaka.
Kalau ia kalah di tangan Touw Goan atau Pok Sui Thian itu masih dapat dimengerti, namun gadis cilik she Hoa ini, usianya juga cuma lebih tua dua tahun dari padanya, tetapi kepandaiannya nampak lebih unggul dari padanya. Kepandaian dan kekuatannya serta ilmu kepandaian yang meringankan tubuh, nampaknya juga tidak di bawah dirinya.
Dalam cemasnya Tiat Leng lalu mengeluarkan seluruh kepandaiannya. Ilmu pedang warisan gurunya yang aneh dan hebat, dengan diimbangi oleh ilmu meringankan tubuh, nampaknya semakin hebat sehingga membuat kagum si gadis cilik.
Walanpun Tiat Leng sudah mengeluarkan seluruh kepandaian tetapi masih belum mampu menundukkan lawannya.
Tiat Ceng yang menyaksikan pertandingan itu diam-diam merasa heran, dalam hatinya berpikir: Ilmu meringankan tubuh gadis itu meskipun belum dapat dibandingkan dengan suhu, tetapi merupakan suatu ilmu yang tersendiri. Jikalau pertandingan ini berlangsung terus, mungkin adik nanti akhirnya dikalahkan.
Sementara itu pertandingan kedua pihak sudah sampai ke babak yang menentukan, pecut gadis itu sudah berhasil menembusi lapisan bayangan pedang, kemudian mengarah tangan Tiat Leng untuk menotok jalan darahnya.
Guru Tiat Leng juga seorang ahli ilmu menotok, meskipun Tiat Leng belum berhasil mempelajari seluruhnya tetapi juga sudah paham ilmu tersebut, maka begitu melihatnya ia segera dapat mengenali bahwa gadis lawannya itu hendak menotok jalan darah.
Tetapi saat itu seluruh dirinya sudah berada di bawah ancaman pecut, meskipun ia tahu benar lawannya hendak menotok jalan darahnya juga tidak bisa menyingkirkannya.
Tiat Leng selagi dalam keadaan cemas, ujung pecut gadis cilik itu tiba-tiba liwat melalui tangannya agak kesemutan, tetapi heran, bukan seperti ditotok, tangan itu bahkan masih dapat digunakan dengan leluasa.
Gerakan kedua pihak sama-sama gesitnya, dengan sendirinya Tiat Leng sodorkan pedangnya, dalam keadaan demikian tiba-tiba terdengar suara ?ser-ser? dua kali, gadis kecil itu menarik kembali pecutnya dan herhasil merobek baju Tiat Leng, sebaliknya pedang Tiat Leng juga berhasil memapas sepotong baju lawannya.
Gadis cilik itu melompat keluar kalangan, menarik kembali pecutnya, kemudian berkata sambil tersenyum:
05.26. Tidak Melawan, Kereta Dibawa!
"Ilmu pedang nona Tiat, sungguh hebat, aku sangat kagum! Aku merasa beruntung menyelesaikan pertandingan ini kesudahan seri, kita boleh tidak usah bertanding lagi!"
Tiat Leng tahu bahwa lawannya itu sengaja mengalah, jikalau tidak, ia tadi sudah kena ditotok olehnya, bagaimana bisa memapas bajunya?
Hati Tiat Leng merasa tidak enak tetapi juga merasa bersyukur, ia berkata:
"Kau lebih tua dua tahun dariku, benar lebih tinggi kepandaian dari apa yang aku punyai. Baiklah, aku bukan tandinganmu, sekarang kau boleh bertanding dengan kakakku. Jikalau kau berhasil mengalahkan kakakku, aku baru benar-benar kagum kepadamu. He, siapakah namamu?"
Tiat Leng tidak mau berpura-pura, ia berani mengakui kekalahannya tetapi nampaknya masih ada penasaran, ucapan yang masih bersifat anak-anak itu, sehingga Hoa Ciong Tay yang mendengarkannya turut tertawa.
Gadis itu berkata: "Adik kau masih belum kalah, kau hanya dirugikan karena usiamu masih terlalu muda. Dengan sejujurnya, apabila itu terjadi pada dua tahun yang lalu, pasti bukan tandinganmu, aku bernama Khiam Hong. Kalau tadi kita bertanding tentunya tidak saling mengenal, mari kita bersahabat."
Tiat Leng merasa suka dengan sikap Hoa Khiam Hong yang ramah tamah, ia berkata:
"Baik, aku suka bersahabat denganmu. Tetapi, kau hendak merampas kereta kami, pertandingan ini mungkin masih akan tetap dilanjutkan. Jikalau kepandaianmu dapat menundukkan kakakku, maka kau hendak mengambil kereta, aku juga tidak akan sesalkan kau."
Tiat Leng lalu balik dan berkata kepada kakaknya:
"Koko, sekarang adalah giliranmu." Ia berhenti sejenak tiba-tiba bisik-bisik di telinga kakaknya: "Koko, aku harap kau dapat mengalahkannya. Tetapi ia baru saja pernah mengalah satu jurus terhadap aku, nanti kau juga memberikan kelonggaran kepadanya satu jurus. Jangan sampai melukai dirinya."
Tiat Ceng berkata sambil ketawa:
"Aku mengerti. Bagaimana kita boleh menodai nama baik ayah?"
Hoa Khiam Hong tidak dapat menangkap apa yang dikatakan oleh Tiat Leng pada kakaknya tetapi dalam hatinya berpikir: Entah apa yang dikatakan oleh setan cilik itu kepada kakaknya? apakah mereka sudah dapat menebak maksud hati ayah?
Karena memikir demikian, maka dengan tanpa dirasa selembar mukanya menjadi merah.
Tiat Leng hatinya masih terasa ragu-ragu, ia menganggap kedatangan mereka itu tidak mengandung maksud jahat, tetapi mengapa hendak merampas kereta? Entah mereka itu orang golongan baik-baik atau dari golongan yang jahat?
Tiat Ceng lalu menghampiri Hoa Khiam Hong sambil berdiri dengan mendekap pedangnya ia berkata: "Nona Hoa, aku ingin menerima pelajaran darimu."
Hoa Khiam Hong berkata: "Tiat Kongcu terlalu merendah, seharusnya akulah yang menerima pelajaran darimu."
Tiat Leng lalu berkata: "Kalian berdua semua tidak usah berlaku merendah, aku sudah ingin menyaksikan pertandingan ini. Mulailah!"
Dengan muka merah Hoa Khiam Hong berkata:
"Baiklah, kalau begitu maafkan aku berlaku kurang ajar."
Seketika itu ia menggerakkan pecutnya menyerang ke arah Tiat Ceng.
Ia tahu bahwa sang kakak ini kepandaiannya jauh lebih tinggi dari pada adiknya, ia takut tak mampu menandingi sehingga dipandang rendah oleh pemuda itu, maka begitu bertindak ia sudah menggunakan ilmu pecut tertinggi dari pelajaran ayahnya.
Tiat Ceng yang menyaksikan pecut lemas di tangannya, jika digunakan sebagai senjata tombak bahkan mengandung ilmu totokan, diam-diam juga merasa kagum.
Pedang lalu digerakan untuk menyambut serangan si nona sambil melompat.
Gerak tipu itu adalah ilmu pedang warisan Tiat Mo Lek, gerakannya nampak tidak begitu lincah tetapi hebat.
Selagi pecut Hoa Khiam Hong hendak melibat gagang pedang tiba-tiba ia mendengar suara ayahnya yang memperingatkannya: "Hong-jie kau tidak mengukur dirimu sendiri, kekuatanmu bagaimana dapat dibandingkan dengan Tiat Kongcu?"
Hoa Khiam Hong mendengar peringatan ayahnya segera merobah gerak tipunya, ujung pedang hanya menotok di gagang pedang, sedang badannya sudah lompat balik sejauh satu tombak lebih. Dengan mengandalkan pecutnya yang panjang, kembali ia membabat dan menggulung.
Serangan pedang Tiat Ceng tadi sebetulnya ingin merampas pecut si nona, tetapi ketika melihat si nona itu merubah gerakannya sedemikian cepat, diam-diam juga merasa kagum.
Tiat Ceng yang masih di tengah udara sebelum kakinya menginjak tanah sudah disambar oleh pecut Hoa Khiam Hong. Dalam keadaan yang demikian nampaknya sudah tidak berhasil untuk menyingkir, tetapi ia segera berputaran di tengah udara sehingga serangan Hoa Khiam Hong mengenai tempat kosong.
Ilmu meringankan tubuh Tiat Ceng sudah mewarisi benar-benar kepandaian suhunya, meskipun kepandaian Hoa Khiam Hong juga hebat, tetapi jikalau dibandingkan ternyata masih kalah jauh. Tiat Ceng sambil mengeluarkan bentakan:
"Lepaskan senjatamu!" Ujung pedangnya hendak memapas jari tangannya!
Kalau ia membentak lebih dahulu, itu hanya sebagai tanda peringatan supaya dapat memaksanya melepaskan pecutnya, karena ia tidak ingin melukai tangannya.
Siapa tahu karena perbuatan itu, membuat Hoa Khiam Hong mendapatkan kesempatan untuk memindahkan pecutnya kemudian menyahut sambil tertawa: "Belum tentu!"
Pada saat itu tangan kirinya tiba-tiba sudah tambah sebilah pedang pendek, kiranya itu adalah pedang yang disembunyikan dalam lengan bajunya untuk digunakan jikalau keadaan terdesak.
Hal ini benar-benar di luar dugaan Tiat Ceng, karena kedua pihak berada dekat sekali, dan gerakan pedang Hoa Khiam Hong begitu gesit sehingga tahu-tahu sudah mengancam tangannya.
Jikalau ia melanjutkan serangannya pasti akan terluka kedua-duanya, untung Tiat Ceng tidak gugup dalam keadaan sangat berbahaya ini, mendadak ia rem kakinya, tangannya ditarik kembali. Tangan kiri menyambar pecut Hoa Khiam Hong, kakinya lalu memutar, dengan demikian sehingga Hoa Khiam Hong turut terbawa berputar, sehingga serangan pedangnya dengan sendirinya mengenakan tempat kosong.
Setelah detik-detik yang berbahaya itu berlalu, Tiat Ceng tidak menantikan lawannya merobah gerak tipunya, sudah melompat menyingkir ke samping. Hoa Khiam Hong juga tidak berani mengejar dengan demikian sehingga kedua-duanya masing-masing mundur dua langkah.
Meskipun pertandingan berlangsung belum lama, tetapi masing-masing sudah menggunakan gerak tipu yang berbahaya, meskipun saat yang berbahaya segera telah berlalu, tetapi jika memikirkan keadaannya tadi barulah merasa kaget sehingga mengeluarkan keringat dingin.
Hal itu bukan hanya mereka berdua saja yang kaget, tetapi Tiat Leng dan Can Pek Sin yang menonton juga dibikin terheran-heran dan kemudian berteriak ketakutan. Hanya ayah Hoa Khiam Hong yang tetap tenang, waktu Tiat Leng dan Can Pek Sin berteriak ketakutan, ia malah tertawa terbahak-bahak serta memberi pujian: "Kepandaian meringankan tubuh yang bagus sekali, begitu juga ilmu pedangnya!"
Nampaknya ia sedikitpun tidak mengkhawatirkan anaknya, ternyata tangannya diam-diam sudah menggenggam sebuah batu kecil, apabila bahaya mengancam anaknya, ia sudah siap melepaskan batu untuk menolong anaknya.
Tiat Ceng setelah menarik napas lega, dengan sikap tenang ia menjawab pujian Hoa Ciong Tay.
"Terima kasih atas pujian Locianpwee, Boanpwee sesungguhnya merasa malu untuk menerima pujian itu.
Hoa Khiam Hong yang sementara itu sudah mulai agak tenang lalu berkata sambil tersenyum:
"Jangan merasa bangga dulu, siapa menang siapa kalah masih belum tentu. Sambutlah seranganku ini!"
Dengan pecut di tangan kanan dan pedang pendek di tangan kiri, ia melancarkan serangan serentak kepada Tiat Ceng.
Kini kedua pihak sama-sama tidak berani berlaku ceroboh. Dua senjata Hoa Khiam Hong dapat digunakan baik sekali, gerakannya aneh dan banyak perubahan. Ujung pecut dan pedang sama-sama dapat digunakan untuk dapat menotok jalan darah lawan.
Tiat Leng yang menyaksikan kini baru tahu bahwa tadi waktu ia bertanding dengannya cuma menggunakan pecut, paling-paling hanya menggunakan lima bagian kepandaiannya. Kalau ia semula mengkhawatirkan kakaknya kesalahan tangan sehingga melukai Hoa Khiam Hong, tetapi kini sebaliknya mengkhawatirkan kakaknya sendiri.
Kalau di pihak Tiat Leng mengkhawatirkan kakaknya, sedangkan di pihak Hoa Ciong Tay saat itu sudah dapat melihat gelagat kurang baik dari anaknya.
Kiranya perbedaan ilmu pedang Tiat Mo Lek dengan lainnya, terletak pada titik berat, kaku dan hebat. Pedang digerakkan secara hebat dengan gerakan berat nampaknya kaku tetapi sebetulnya hebat. Ilmu pedang yang tidak menitik-beratkan kepada kegesitan dan kelincahan justeru merupakan ilmu pedang paling baik dan paling susah dipelajarinya. Meskipun kekuatan Tiat Ceng belum memenuhi syarat, tetapi ia sudah mendapatkan intisari dari pada ilmu pedang itu.
Karena Tiat Leng, sudah kenal betul dengan ilmu pedang itu maka dirasakan biasa saja.
Selain dari pada itu disamping itu karena hubungan tali persaudaraan sehingga hanya dapat melihat keadaan bagus di luar pihak lawannya, sebaliknya tidak tahu bahwa kakaknya sendirilah yang justru berada di atas angin.
Suling Emas 9 Darah Dan Cinta Di Kota Medang Seri Kesatria Hutan Larangan Karya Saini K M Masa Yang Paling Indah 1

Cari Blog Ini