Ceritasilat Novel Online

Komplotan Kelelawar Hitam 1

Komplotan Kelelawar Hitam Karya Unknown Bagian 1


KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko 1 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Komplotan KELELAWAR HITAM Percetakan SWANJAYA Jl. Cihideung 2 ? Tasikmalaya
2 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko I. TERBUNUH Malam bulan purnama raya, hati siapa yang tak gembira melepas lelah
setelah enam hari bekerja berturut-turut. Kini malam Minggu tiba.
Sekali ini kota Semarang tampak sibuk sekali. Mobil bersiutan kian ke mari
dengan lampunya sebentar terang dekat, sebentar memancarkan sinarnya jauh.
Denting bel becak, si roda tiga, sebentar-sebentar terdengar. Kencang amat
pengendaranya mengayuh seolah-olah mereka ingin berlomba kecepatan.
Siapa cepat mengayuh becak, tentu uang masuk juga cepat memenuhi laci
becaknya, mereka ingin mendapatkan tarikan yang banyak sekali. Dan hari
seperti itu mereka pergunakan dengan sebaik-baiknya.
Siapa belum mengenal kota Semarang di waktu malam? Indah! Di sana kita
jumpai beberapa tempat hiburan: Rex, Orion, Lux, Royal, Oris, Grand, Indra,
Roxy. Jagalah dan pula akan dijumpai panggung Ngesti-Pandawa, Sri-Wanita,
Sri-Wijaja dan lain-lain tempat hiburan.
Akan saudara jumpai pula keramaian pasar Ya'ik, di waktu malam itu di
sana-sini tampak lampu dari para penjual kemeja ataupun celana dengan
bahannya yang beraneka, juga tak ketinggalan terdapat pula para penjual obat,
ya serba ragam tampak, di sana.
Tiba-tiba dari jurusan Bojong meluncur sebuah Fiat hitam dengan amat
kencangnya, dengan membunyikan klakson bahaya. Apa gerangan yang telah
terjadi? Fiat hitam, siapa yang kenal akan mobil ini? Jarang orang di daerah
Semarang mengenalnya. Itulah mobil yang pangendaranya telah banyak
berjasa kepada negara. Tampak seorang lelaki memakai pantalon hitam kemeja
putih rapat dengan dasi hitamnya dari sutera. Wajahnya tampak
berkesungguhan memandang ke arah muka. Tiba-tiba Fiatnya dibelokkan ke
kiri menuju ke jalan Poncol. Pada halaman hotel "Rio" berhentilah Fiat itu dan
penumpangnya turun. Dengan bergegas ia memasuki hotel itu, langsung
meruju ke bilik No. 13. Tetapi ketika ia hendak masuk, tiba-tiba seorang
anggota polisi menahannya. Tetapi orang itu segera mengeluarkan sebuah
kartu, ditunjukkan kepada polisi itu.
"Detektif Rudy," kata polisi itu perlahan.
"Ya," sahut Rudy. "Mana sekarang korban itu?"
"Masih terlentang di dalam," jawab polisi itu seraya membuka pintu. Rudy
masuk ke dalam. Di sana dijumpai inspektur Mana sedang berdiri, dekat si
korban. 3 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Hallo Sir!" kata Rudy tersenyum.
"Eh engkau datang, Dy," kata inspektur Mana.
"Ya, aku mendapat telpon tadi dari kantor polisi pusat.
Segera mereka berdua memeriksa korban itu. Disingkapnya selimut yang
menutupi tubuh korban. Tampaklah seorang wanita terlentang tidak bernyawa.
Ketika diperiksa ternyata tak ada luka pada diri korban.
"Segera panggil dokter, Na," kata Rudy. Inspektur Mana memanggil polisi
disuruh memanggil dokter. Seperempat jam kemudian datanglah dokter Guna
dengan membawa alat-alat pemeriksaan. Segera korban tadi diperiksa dengan
amat telitinya. "Tidak ada tanda-tanda bekas senyata," kata dokter seraya berdiri.
Tiba-tiba mata Rudy yang tajam itu melihat arah leher. "Lihat," katanya
seraya menunjuk leher korban. Mata inspektur dan dokter sebera melihat leher
korban. Tampak biru kemerah-merahan bekas jari.
"Ia dicekik," kata inspektur Mana perlahan.
"Coba panggil pengurus hotel," kata Rudy.
Tak lama kemudian Mana datang bersama pengurus hotel, seorang
Tionghwa. "Tuan pengurus hotel ini?" tanya Rudy seraya mengeluarkan notesnya.
"Ya, Tuan; aku pengurus hotel ini," jawab Tionghwa itu.
"Coba dapatkah engkau memberi keterangan sedikit tentang korban ini?"
"Ya tuan, jam sembilan tadi ketika aku akan pergi ke belakang, waktu
sampai di muka kamar ini, aku berhenti sebentar karena kulihat pintunya agak
terbuka sedikit, hal ini di luar kebiasaan nona Hartini, demikian namanya. Ketika
aku membuka pintunya lebar, tampak selimut menjerak di lantai dan ketika
kuangkat selimut tadi, ya tuan, aku terkejut sekali karena dia telah tidak
bernyawa," kata Tionghwa seraya menggerakkan tangannya mengikuti
ceriteranya. Rudy asyik mencatatnya.
"Lalu bagaimana kelanjutannya?" kata Rudy kemudian.
"Segara aku lari ke muka, menelpon ke kantor poIisi, kemudian tuan tahu
sendiri," kata Tionghwa itu mengakhiri perkataannya.
"Dapatkah tuan memberi keterangan lainnya, sebelum ia . . . . nona Hartini,
meninggal?" tanya Rudy tenang. "Kapan ia datang, dari mana dsb."
"Nona Hartini datang ke mari dan diam di sini sejak dua bulan yang lalu.
Menurut surat keterangan ia datang dari Jakarta. Cerita lengkapnya begini..."
kata Tionghwa itu seraya menelan ludahnya, matanya memandang ke atas
4 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko langit-langit, dahinya berkerut sedang mengingat-ingat. Rudy, Inspektur Mana
dan dokter dengan tenang menanti keterangan pengurus hotel itu.
5 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko II. KETERANGAN PENGURUS HOTEL
"Dua bulan yang lalu," kata pengurus hotel memulai ceritanya, "ketika aku
sedang enak-enak duduk di kursi di balik meja pendaftar, dan merokok pula,
tiba-tiba masuklah seorang perempuan muda dengan memakai gaun sutera
tipis berwarna hitam dan di baliknya memakai lagi gaun putih yang hanya
sampai dadanya saya, sehingga kedua pundaknya hanya tertutup oleh gaun
hitam luar. Pada lengannya menjinjing sebuah kopor pakaian kecil. Ia masuk
diiringi oleh seorang lelaki yang memakai pantalon Sharskin kuning gading
dengan memakai dasi kelabu yang berbentuk kelelawar. Aku berdiri
menyambutnya dengan senyum.
"Ee, tuan, masihkah ada sebuah kamar untuk temanku ini?" tanya orang
lelaki itu, seraya melihat orang perempuan yang berdiri di dekatnya.
"Ah, masih banyak kamar yang tersedia tuan," jawabku.
Segera kubuka buku pendaptar tetamu, setelah keterangan cukup aku
memanggil pelayan, yang segera datang.
"Ya Tuan" kata pelayanku, seraya menghormat.
"Min, antarkan tetamu ini ke bilik No. 13 ini kuncinya, kataku. Segera
mereka bertiga menuju ke kamar yang telah disediakan.
Tak lama kemudian Simin datang mengiringi lelaki tadi.
"Tuan, inilah uang sewanya untuk temanku tadi selama dua minggu," kata
lelaki tadi aja mengambil dompetnya. Dikeluarkan beberapa lembar uang.
Setelah saya hitung uang sewanya, segera lelaki itu pergi," demikian
keterangan Tionghwa itu. "Dan terusnya bagaimana, tuan?" tanya Rudy selesai menulis di dalam
notesnya dengan cermat, apa yang diceriterakan Tionghwa tadi.
"Ya tuan, selama di sini nona Hartini selalu kelihatan amat ramah. Hampir
tiap hari ia keluar rumah. Entah urusan apa aku tak tahu karena aku tidak ingin
tahu urusan langgananku, aku tidak pernah tanya apa yang dikerjakan nona
Hartini. Pada suatu malam, setelah nona Hartini ada di sini dua minggu, nona
Hartini pulang dengan wajah yang menunjukkan ketakutan. Rambutnya kusut.
Ia berjalan cepat menuju kamarnya. Aku agak bimbang, mengapa ia pulang
dengan wajah yang begitu. Karena biasanya kalau ia pulang dan bepergian
selalu tampak riang, dan selalu memberi aku ucapan selamat malam. Dalam
kebimbangan diri itu tiba-tiba Simin datang menemui aku, dengan wajah
ketakutan ia berkata : 6 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Tuan, aku dengar tadi nona Hartini menangis di kamarnya."
"Menangis?" tanyaku berkererut dahi.
"Ya, ia menangis dengan badan tertelungkup di kasur."
"Dari mana kau tahu?" tanyaku lebih lanjut.
"Pintu kamarnya tidak rapat ditutup, ketika aku lewat dekat kamarnya,
kudengar suara sedu-sedan, waktu kuperhatikan tangis itu dari kamarnya,
segera aku mendekati pintu dan kulihat nona Hartini menangis."
Setelah mendengar keterangan itu saya segera berdiri dan pergi ke kamar
nona Hartini. Kuketuk pintunya perlahan. Tak lama kemudian pintu itu terbuka
lebar dan nona Hartini berdiri sambil tangannya masih memegang daun pintu,
matanya masih tampak merah.
"Ada kesukaran nona?" tanyaku.
"Tidak, mari masuk sebentar," katanya. Aku menurut.
"Mengapa kali ini nona pulang dari bepergian dengan wajah pucat?"
tanyaku setelah aku daduk di kursi.
"Aku agak saputangan. takut," jawabnya seraya mengusap matanya dengan "Takut? Takut? " tanyaku kemudian. Tiba-tiba nona Hartini senyum.
"Ah, sudahlah tuan, aku tidak kekurangan apa-apa," jawabnya.
Aku tidak mengerti, mengapa tiba-tiba saja terjadi perubahan wajahnya.
??Nona, kalau ada kesukaran katakanlah, aku akan menolongmu."
"Oh terima kasih, tuan sungguh baik hati," kata nona Hartini senyum.
Setelah bercakap-cakap sebentar aku keluar.
Ya, sejak hari itu, sering aku memperhatikan nona Hartini, yang mula-mula
kukenal sebagai seorang perempuan yang ramah dan akhirnya sering aku
jumpai dengan kesedihan. Ya, hanya ini yang kukenal tentang nona Hartini,"
kata pengurus hotel. "Terima kasih atas keterangan tuan yang sebanyak itu," kata Rudy.
"Ah tidak tuan, bukankah sudah pada tempatnya aku membantu tuan
dalam pekerjaan seperti ini? Kelak bila ada sesuatu yang ingin tuan tanyakan
datanglah ke mari," kata Tionghwa itu.
"Tentu tuan, tetapi coba berilah keterangan, dari siapa saya sekiranya
dapat tahu tentang nona Hartini ini?" tanya Rudy.
7 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Oh, ya, barangkali tuan dapat tanya kepada Simin, karena ia sering
bercakap dengannya atau menemui mak Minah. karena dialah yang setiap pagi
masuk kamarnya untuk membersihkannya."
"Oh, terima kasih banyak, Ya, tuan boleh meninggalkan kami," kata Rudy.
Segera pengurus hotel itu keluar. Setelah ditutup pintunya segera Rudy
mendekati diri korban. "Coba dokter tolong periksa diri Hartini ini," kata Rudy.
"Mana, mari kita angkat Hartini ini ke atas pembaringan."
Segera inspektur Mana dan Rudy mengangkat tubuh Hartini dan
dibaringkan di atas pembaringan. Segera dokter memeriksa tubuhnya.
Sementara itu inspektur Mana dan Rudy sedang asyik memperhatikan isi
kamar dengan telitinya, mungkin ada benda-benda yang dapat dipakai untuk
menguraikan pembunuhan itu. Tiba-tiba inspektur Mana menunduk melihat
suatu benda, segera diambilnya setelah jari diselubungi dengan saputangan.
"Dy, coba lihat ini aku mendapatkan sesuatu," kata inspektur Mana. Rudy
mendekati inspektur Mana, turut mengamat-amati benda yang dipegang oleh
jari Mana. "Apa ini, Dy?" tanya Mana. Mereka berdua mengawasi benda yang bulat
gepeng dengan ada tangan-tangannya menjerupai alat pemutar skrup dibuat
dari besi campur baja yang disepuh nikkel. Di samping itu pada lubangnya
menggantung sebuah rantai tembaga dengan sebuah anak kunci yang ada
tulisan serta angka: B 44117.
"Rudy, mungkin ini kunci mobil," kata inspektur Mana, setelah mereka lama
memperhatikan benda itu. "Mungkin benar dan benda yang satunya itu seperti obengan, boleh aku
simpan, Na?" kata Rudy.
"Mengapa tidak," jawab inspektur Mana, seraya memberikan benda yang
ada di atas saputangan itu kepada Rudy.
Tiba-tiba mereka mendengar meong seekor kucing. Ketika mereka cari
kedapatan seekor kucing hitam sedang menggeliat di balik tirai. Kucing hitam
itu segera melompat lari ketika tangan Rudy akan meraihnya. Mata Rudy
berpandangan dengan mata inspektur Mana.
"Ya Na, sekali tempo tangan kita pun sering tak dapat memegang
penjahat," jawab Rudy tersenyum.
"Inspektur, mari sini," tiba-tiba kata dokter. Inspektur Mana dan Rudy
mendekati dokter. Tubuh korban itu telah tidak tertutup pakaian.
"Lihat ini ada gambar tato (tatouer) pada pinggangnya," kata dokter seraya
jarinya menunjuk ke arah pingang si korban.
8 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Pada pinggang itu ada sebuah gambar sebuah kelelawar hitam.
"Gambar kelalawar," kata inspektur Mana perlahan.
"Apa artinya ini?" tanya dokter.
"Ada lagi tanda-tanda seperti ini dokter?" tanya Rudy kemudian.
"Ada, ini sebuah lingkaran kecil di bagian bawah kulit kakinya," jawab
dokter seraya mengangkat telapak yang halus itu.
Tampak ada sebuah gambar tato berupa lingkaran kecil.
"Apa maksudnya ini?" tanya dokter mengulangi, sambil meluruskan tubuh.
"Kami belum menemukan jawabnya, dokter," Jawab Rudy.
"Lalu bagaimana keterangan dokter?" tanya inspektur Mana.
"Keterangan dari saya hanyalah, orang ini terbunuh kira-kira dua jam yang
lalu, dengan dicekik lehernya. Dan si pembunuh memakai kaus tangan ketika
mencekik, lagi pula dari bekas cekikan ini ada berbau minyak motor, mungkin
pembunuh ini secara tiba-tiba karena ternyata tidak ada barang-barang di sini
yang rusak," kata dokter.
"Terima kasih, sampai di sini dahulu pemeriksaan ini. Dapat korban ini
segera dibawa ke rumah sakit, dokter?"
Tak lama kemudian inspektur Mana dan Rudy meninggalkan kamar
bersama dokter, setelah menutupi tubuh si korban dengan kain.
Ketika mereka sampai di ruang depan, mereka mendekati meja pengurus
hotel, yang segera berdiri ketika dilihatnya mereka datang.
"Bagaimana tuan?" tanya pengurus hotel.
"Kami belum mendapatkan jawaban yang tepat, Tuan. Kami mengucapkan
diperbanyak terima kasih. Dan o . . . di mana Simin dan Mak Minah yang kau
katakan tadi?" tanya Rudy seraya mengawasi Tionghwa itu.


Komplotan Kelelawar Hitam Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hari ini kebetulan mereka mendapat libur," jawab Tionghwa itu.
"Di mana tempat tinggal mereka?" tanya Rudy lebih lanjut.
"Mak Minah tinggal di Rojosari Z/40 dan Simin di Mlaten K/69."
Setelah mencatat alamat itu, segera mereka meninggalkan hotel.
Sampai di muka hotel telah banyak orang berkerumun hendak mengetahui
tentang kematian itu. Tak lama kemudian mayat itu diangkut ke dalam mobil
ambulance. "Bagaimana pendapatmu Dy?" tanya inspektur Mana, setelah mereka
menjalankan mobil Fiat, mobil detektif Rudy.
"Besok pagi saja kita lanjutkan pemeriksaan, Na," jawab Rudy.
9 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Setelah mengantarkan inspektur Mana di rumahnya segera Rudy pulang.
10 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko III. HARI KEDUA Pagi-pagi benar Rudy telah bangun. Setelah mandi dan berpakaian segera
ia menuju ke meja makan. Tak lama kemudian pelayannya datang dengan
membawa minuman dan roti untuk santap paginya.
"Ran, nanti kalau ada orang mencari aku, katakan aku pergi," kata Rudy.
"Ya mas,"jawab Diran, pembantunya dalam rumah itu.
"Dan kalau Harsa datang suruhlah ia menyusul aku di ..... ah inilah saja
nanti kau berikan kepadanya," kala Rudy seraya memberikan sebuah amplop
kecil. Tak lama kemudian Rudy telah pergi dengan Fiatnya. Diran, pembantunya
masih termanggu-manggu melihat amplop kecil. Dengan mengangkat
pundaknya segera ia mulai membersihkan rumah.
Kira-kira jam delapan lebih, berhentilah sebuah becak di muka rumahnya.
Turunlah seorang lelaki yang berbadan tegap, lalu mengetuk pintu. Diran
berlari membuka pintu. "Mana Rudy, apa masih tidur?" tanyanya.
"Eh mas Har, sekali ini keliru pendapatmu, mas Dy telah pergi."
"Telah pergi? Pergi ke mana dia?" tanya Harsa.
"Entahlah aku tak diberi tahu, hanya ini tadi ada surat untukmu," kata Diran
seraya mengeluarkan sebuah amplop dari saku celananya.
Setelah membaca isinya, Harsa segera meninggalkan rumah itu.
Dipanggilnya sebuah becak yang sedang melintas di muka. Segera ia naik
setelah memberitahu ke mana tujuannya.
Seperempat jam kemudian berhentilah becak itu pada sebuah rumahminum "Segar"; setelah dibayarnya becak itu, masuklah ia ke dalam.
Di dalam matanya mengawasi ke kiri-ke kanan mencari temannya. Tibatiba dari balik rentetan botol matanya melihat soorang laki-laki yang duduknya
membelakanginya, memakai jas kelabu. Segera Harsa mendekati orang itu,
setelah sampai di belakangnya, ditepuknya bahu orang itu.
"Sudah lama kau menanti saya Dy?" tanya Harsa seraya menarik kursi yang
ada di mukanya. 11 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Sejenak Har," sahut orang itu yang ternyata Rudy adanya.
"Bagaimana soal ke marin Dy?" tanya Harsa setelah mereka memesan
minuman kopi-susu dua gelas.
"Masih remang-remang, malahan masih boleh dikatakan gelap," jawabnya.
"Gelap? Apakah tidak ada benda-benda yang dapat dipakai untuk
memudahkan pengusutan kita?"
"Ya, ada tetapi benda itupun juga masih gelap."
"Apa kita menjumpai, ee ..... kawanan tinggi, Dy?" tanya Harsa.
"Aku belum dapat mengatakan Har, karena segalanya serba masih baru
untukku," jawab Rudy seraya menghirup minumannya.
Mereka berdua berdiam diri. Tenggelam dalam arus pikirannya masingmasing.
Para tetamu rumah-minum "Segar" tak seorang pun yang mengetahui
bahwa nama yang sering mereka dengar dipercakapkan masyarakat ataupun
yang sering mereka baca di halaman-halaman surat kabar detektif Rudy
dengan pembantunya Harsa, kini orangnya sedang enak-enak duduk dengan
lamunan masing-masing. Detektif Rudy, detektif yang masih muda yang sering
menjelesaikan urusan-urusan pelik, gerak kerjanya sering menyerupai tokoh
Sherlock Holmes. Siapa tak kenal tokoh Sherlock Holmes detektif ulung berkat
asuhan gurunya Conan Doyle.1 Di mana ada peristiwa pelik di situ tokoh
Sherlock Holmes muncul.2 Darah Sherlock Holmes ini kiranya mengalir pada tubuh Rudy pula. Sejak
kecil ia sering turut memikir merenung sesuatu peristiwa. Belum puas hatinya
kalau peristiwa yang dihadapinya itu belum menemui penyelesaian. Pikirannya
tertumpah pada desakan hatinya,yaitu menyelesaikan sesuatu perkara sehingga
terang. Orang mana yang tak mengenal kesigapan Rudy, ketangkasan
mengejar musuh, kecerdasannya menguraikan sesuatu peristiwa, ketajamannya
telinga tentang suatu peristiwa; namanya telah harum di kalangan masyarakat.
Kedatangannya di suatu kota selalu disambut dengan amat gembira.
Setengah jam sudah Rudy dan Harsa melamun berarti di situ. Tiba-tiba
Rudy mengangkat bahunya, dan setelah mengernyitkan alisnya, lalu matanya
memandang temannya, seraya katanya :
"Har, mari kita membagi pekerjaan, kumaksud segera kita mencari
keterangan tentang Hartini."
"Ya Dy, akupun selalu siap, dan apa katamu?"
1 2 Baca: Harta dari Agra Baca: Anjing Setan 12 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Begini, hari ini kita menjumpai mak Minah, pelayan hotel."
"Kalau begitu segera kita berangkat saja."
Tak lama kemudian mereka berdiri?setelah membayar uang minuman ?
meninggalkan rumah minum. Setelah mereka telah berada di dalam Fiat, mobil
mulai bergerak. Sampai di perempatan Duwet mobil membelok kanan, mobil
meluncur sepanyang jalan raya. Ketika di perempatan MIaten mobil membelok
lagi ke kanan. Setelah melewati beberapa gang segera mobil membelok ke kiri,
dan berhenti pada muka halaman rumah no Z/40.
Rudy membuka pintu mobil, lalu keluar diikuti Harsa. Setelah meluruskan
celananya, mereka mendekati pintu. Tak lama kemudian keluarlah saorang anak
kecil yang berumur kira-kira delapan tahun.
"Eh . . nak, apa ini rumahnya mak Minah," tanya Rudy.
"Betul pak," jawab anak kecil itu.
"Apa mak Minah ada di rumah?" tanya Rudy kemudian.
"Ya pak, kebetulan ibuku memang ada di rumah hari ini."
"Coba nak, panggil sebentar ibumu, katakan ada tamu."
Anak kecil itu lalu lari ke belakang. Tak lama kemudian datanglah seorang
perempuan yang berumur kira-kira empatpuluh lima, yang memakai baju
dengan lengan bajunya tergulung ke atas, kainnya tampak basah air.
"Maafkan kami, mak," kata Rudy, "Kami mengganggu mak dalam
pekerjaan." "Ah tidak tuan, baru saya aku selesai mencuci pakaian anak-anak. Dan
harap maaf aku hanya berpakaian seperti ini."
"Tak mengapalah mak, kami ke sini karena ada suatu kepentingan."
"Kepentingan apa kiranya? Eh tuan mari kita duduk, hampir lupa aku
menyilakan kalian duduk." Segera mereka duduk.
"Kami ingin mendapatkan keterangan dari mak Minah."
"Amat senang hatiku bila aku dapat memberinya," jawab mak Minah
ramah. "Begini mak, bukankah mak ini bekerja di Hotel Rio?"
"Ya, aku bekerja di hotel Rio."
"Pula aku tahu mak setiap pagi menyapu lantai di sana."
"Betul kata tuan, aku memang kalau pagi menyapu, siang membantu
nyonya masak di dapur."
"Tetapi mengapa mak Minah hari ini tidak masuk kerja?"
13 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Oh, saya mendapat liburan dua hari."
"Dan, bukankah mak Minah kenal dengan nona Hartini yang kedapatan
meninggal itu? Ya, yang diam di kamar no 13?"
"Ya, aku memang kenal baik dengan nona Hartini itu."
"Coba mak berilah keterangan apa yang mak ketahui tentang diri nona
Hartini," kata Rudy seraya mengeluarkan notesnya.
14 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko IV. KETERANGAN MAK MINAH "Ya lebih baik aku mulai menceritakaa sejak awalnya. aku mengenal nona
Hartini," kata mak Minah memulai perkataanya. "Pada suatu pagi ketika aku
sedang menyapu dekat kamar no. J3, tiba-tiba pintu kamar itu terbuka dan
keluarlah seorang perempuan muda.
"Selamat pagi nona," kataku hormat.
"Selamat pagi," jawab nona itu seraya senyum.
"Boleh aku segera membawakan minuman pagi untuk nona?" tanyaku.
"Ya bolehlah," dengan senyum kecil. Setelah meletakkan sapu di belakang,
aku pergi ke dapur. "Min, apakah kamar no 13 belum kau antari minuman" tanyaku kepada
Simin. "Belum mak, karena tadi pintunya masih terkunci, apa sekarang sudah
bangun, biarlah aku mengantarkan minuman sekarang," kata Simin.
"Ah, biarlah aku yang mengantarkan saya," sahutku.
"Eh, ini kan bukan pekerjaan mak?" kata Simin.
"Ya, tetapi bukankah aku sering juga mengantarkan minuman untuk
tetamu?"' kataku seraya menyediakan cangkir.
"Biarlah aku saya mak, ini penting ....." kata Simin.
"Ah tak baik, bukankah penghuni kamar no. 13 itu hanya sendirian, lagi ia
orang perempuan," kataku seraya menuang air masak ke dalam cangkir. Tak
lama kemudian aku segera mengantarkan minuman itu. Kulihat wajah Simin
menunjukan kekecewaan. "Ya Min, hanya tetamu inilah biar aku saja yang
mengurusnya," kataku. Sampai di pintu no. 13 kuketuk setelah mendapat
jawaban segera aku membuka pintu. Segera kuletakan cangkir itu di atas meja.
Kulihat ia sedang menjisir rambutnya di depan cermin.
"Minumannya telah sedia nona," kataku seraya mendekati.
"Biarkan di situ, eh, siapa nama mak?" katanya.
"Ya, panggilah aku mak Minah saja nona, dan kapan nona ke mari?"
"Semalam mak, baru kali ini aku datang di kota Semarang."
"Nona dari mana?" tanyaku ingin tahu.
15 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Dari Jakarta mak," jawabnya, seraya mendekat kursi lalu duduk.
"Dari Jakarta? Sendirian saja?'? tanyaku pula.
"Ya aku sendirian saja mak," jawabnya, seraya mengangkat cangkir.
"Demikian perkenalan kami yang pertama kali dengan nona Hartini."
"Dan bagaimana kelanjutannya mak?" tanya Rudy seraya menggerakgerakan jari kanannya, setelah lama menulis mengikuti cerita mak Minah.
Setelah hening sejenak Rudy berkata pula:
"Coba mak, ingat-ingat apa yang kau ketahui tentang nona Hartini."
Mak Minah masih diam saja. Diangkatnya mukanya, kedua matanya
meredup sedikit, dahinya berkerut sehingga alisnya hampir bertemu. Otaknya
bekerja mengingat-ingat. Setelah agak sejenak, tiba-tiba kelihatan kedua
bibirnya bergerak sedikit.
Rudy dan Harsa memperlihatkan dengan penuh harapan kelanjutan
keterangan dari mak Minah. Tiba-tiba mak Minah mengangguk-anggukkan
kepalanya. "Ya tuan, sedapat mungkin hendak kuurutkan sejak semula," kata mak
Minah melanjutkan keterangannya.
"Hubungan kami bertambah rapat, aku makin senang kepada nona Hartini.
Di hotel itu aku sering juga menginap, kalau banyak pekerjaan dan ternyata
pekerjaan itu tak dapat kukerjakan esok paginya maka aku menginap di sana,
untuk menyelesaikannya, o ya, mungkin tuan juga ingin tahu pekerjaan saya di
sana. Aku selain membersihkan kamar-kamar juga sering membantu masak
nyonya rumah di dapur, seringkali juga aku menerima pekerjaan mencuci
pakaian tetamu yang menginap, ya tentunya, ya, hanya pakaian kecil-keci! saja
serta pakain dalam. Pula sejak nona Hartini di sana akulah yang berkewajiban
merawat kamarnya. Ini atas permintaan nona Hartini sendiri, dan pengurus
hotel juga menyetujuinya.
Pada suatu pagi hari, aku memasuki kamar nona Hartini dengan membawa
minuman paginya, Ya aku telah mendapat kepercayaan nona Hartini untuk
memegang kunci rangkapnya.
Kudapati ia masih berbaring dengan separo badannya sebelah atas tidak
tertutup selimut hanya bagian perut ke bawah masih tertindih selimut yang
sebagian tergelincir ke lantai.
Setelah meletakan cangkir di atas meja, segera aku mendekatinya, kutatap
wajahnya yang masih tenang dalam lelap tidurnya.
Cantik nian wajahnya. Dengan senyum ia kubangunkan. Setelah
mengggeliatkan badannya ia membuka matanya perlahan-lahan.
16 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Ah pagi benar mak datang," katanya dengan senyum lesu.
"Dan minuman nona telah sedia pula," kataku.
"Dengan perlahan ia menyingkap selimutnya, lalu duduk. Ia hanya
memakai ... maaf ... pakaian dalam yang menutupi dari pangkal pahanya sampai
dadanya yang sintal itu saja."
Rudy dan Harsa menahan senyum.
"Setelah diam sebentar ia berdiri dan menuju ke meja rias."
Aku diam saya memandang ia, ketika nona Hartini bercermin.
Diusap-usapnya pipinya, lalu disisirnya rambutnya yang hitam berombak.
Setelah itu ia mendekati meja tengah, mengangkat cangkir lalu meneguk
isinya dengan perlahan-lahan, lalu ia membalik kepadaku.
"Mak Minah, janganlah engkau terkejut bila aku hanya memakai seperti ini,
ya mak, hawa di sini sangat panas, tak tahan aku tidur memakai piyama,"
katanya sambil senyum. "Tak mengapalah nona, aku maklum juga, memang hawa kota pantai itu
panas," kataku. Setelah bercakap sebentar ia mengambil handuk dan
kamar mandi yang tersedia pada tiap-tiap kamar.
pergi mandi, ke Seperempat jam kemudian ia keluar. Tampak wajahnya bersih dengan
bibirnya senyum kecil. "Segar benar mandi pagi mak," katanya seraya mendekati meja rias.
"Benar nona," jawabku. Setelah selesai ia mengenakan gaun Dupon linnen
putih dengan bordiran di kantong dada. Tak lama kemudian ia mengenakan
sepatunya pula. Aku senyum saja melihatnya.
Rudy dan Harsa mengangkat pundaknya.
"Karena hari itu aku tidak mempunyai pekerjaan lagi, maka waktu itu saya
pergunakan untuk bercakap-cakap dengan nona Hartini," kata mak Minah
melanjutkan ceritanya. "Tiba-tiba kulihat di atas meja ada sebuah foto seorang lelaki. "Eh itukah...
e ... tunangan nona?" tanyaku.
"Kekasih, mak, ah, kami berjauhan tempat," katanya.


Komplotan Kelelawar Hitam Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bolehkah aku tahu namanya?" tanyaku ingin tahu.
"Mas Jono, dia bekerja pada NV Sandra di Jakarta."
"Mengapa dia tidak serta nona?" tanyaku memancing.
Ia menarik napas panjang, dengan mengangkat pundaknya.
17 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Kami bertengkar, mak," katanya.
"Bertengkar? Ah mengapa bertengkar pula dengan kekasih?"
"Entah mak, aku waktu itu marah sekali kepadanya."
Kami diam saja agak lama dan aku masih ingin mendengarkan ceritanya.
"Ya mak, kami berlainan paham, dengan jalan yang kami tempuh masingmasing, akhirnya aku sampai di sini."
Demikian perhubungan kami makin erat. Pada suatu hari aku bercakap
dengannya, ke barat ke timur.
"Nona, bolehkah aku bertanya sedikit?" tanyaku.
"Bertanya apa mak?"
"Mengapa kekasih nona tidak pernah menulis surat kepada nona? Kutahu
nona telah dua minggu ada di sini."
"Entahlah mak, aku tak tahu," katanya dengan wajahnya berubah.
"Mengapa nona tidak balik saya ke Jakarta, kembali ke kekasih?"
"Maksudku demikian mak, tetapi aku baru bertugas ... katanya terputus,
entah karena apa. "Tugas?" kataku ingin tahu.
"Ah, sudahlah mak, jangan dilanjutkan percakapan tadi."
Dengan mengangkat bahu aku menurut tapi ... ee.. maaf tuan, hanya
sampai di sini saja dulu, sebetulnya masih banyak yang akan saya ceritakan
tentang nona Hartini," kata mak Minah kemudian.
"Oh, maaf mak. Ya lusa nanti kalau mak menganggur kami datang lagi,"
kata Rudy. Ia dengan Harsa minta diri, lalu naik Fiat.
"Ah Har, bagaimana pendapatmu tentang mak Minah?" tanya Rudy.
"Ya, keterangannya memang penting juga tetapi hampir tak sabar aku
mendengarnya. Soal kecil-kecil diceritakan semua..."
"Memang Har, agak menjemukan, tetapi juga ada hasilnya... keterangan
menjadi bertambah, rupanya Hartini di kota ini ada sesuatu kepentingannya...
kata mak Minah tadi ia bertugas ... ya tugas apa gerangan?" kata Rudy seraya
memutar-mutar stir mobil.
"Ya Dy, meskipun keterangannya seperti cerita film saja ... ya gadis
berpakaian dalam ... tetapi o ya tadi disebut kekasih Jono ...."
"Dapat kita usut," kata Rudy.
"Lalu baiknya bagaimana Dy?" tanya Harsa kemudian setelah mereka diam
agak lama. 18 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Kita dapat mengusut dengan pertolongan kunci mobil, kini tambah
"tugas" dan "kekasih," pula kata Tionghwa pengurus hotel dulu Hartini yang
sering senyum akhirnya pernah dijumpai menangis, dan pula mak Minah tadi
baru tahu akan kebaikan Hartini saja," kata Rudy.
"Dan ke mana kita sekarang Dy?" tanya Harsa.
"Kita singgah di kantor polisi sebentar."
Tak lama kemudian mobil berhenti di kantor polisi pusat. Rudy dan Harsa
segera menuju ke kamar kerja inspektur Mana.
"Hallo Dy, kebetulan engkau ke mari, barusan aku akan menelponmu," kata
inspektur Mana senyum serta menyilakan duduk sejawatnya.
"Ada berita tiba Na?" tanya Rudy, seraya menghempaskan badannya di
kursi, kemudian mengeluarkan tempat rokoknya.
"Ada Dy, mengenai kunci B 44117 dulu itu," sahut inspektur Mana. Setelah
Harsa dan Rudy memasang rokok masing-masing, Rudy berkata:
"Bagaimana?" "Mobil B 44117 telah ditemukan, kini masih ditahan di sana."
"Ya kalau begitu takkan sia-sia kami nanti pergi Jakarta."
"Kalian mau pergi ke Jakarta?" tanya inspektur Mana.
"Ya Na, karena sebagian keterangan tentang Hartini juga di sana."
Setelah bercakap-cakap sebentar, Rudy dan Harsa meninggalkan kantor
poIisi, menuju ke rumah dokter Guna, yang memeriksa korban dulu itu.
"Bagaimana dokter?" tanya Rudy setelah dipersilakan duduk di kamar
kerjanya. "Keterangan bertambah, pada betis si korban kudapati sebuah bintil
merah, hal ini saya belum berani memberi keterangan lebih lanjut mengenai
bintil merah itu, entah luka karena tertusuk sesuatu atau bagaimana, hanyalah
dapat kuberitahukan, pemeriksaanku pada bintil itu sisa-sisa racun ringan."
"Jadi ia diracun dokter?" tanya Harsa.
"Korban itu terkena racun melalui bintil kecil di betisnya."
"Dan kematiannya itu?" tanya Rudy.
"Sukar aku memberi keterangan, entah racun itu yang mematikan, entah
cekikan pada leher itu, ataupun kemungkinan kematian itu terjadi dalam waktu
yang sama." "Apa yang dokter maksud dalam waktu yang sama?" tanya Harsa.
"Bekerjanya racun tingkat akhir, bersama dengan cekikan orang."
19 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Tak ada keterangan lain dokter?" tanya Rudy.
Karena tidak ada keterangan lagi Rudy dan Harsa minta diri.
"Ke mana kita lagi Dy?" tanya Harsa setelah mereka ada di dalam Fiat.
"Ke rumah Simin," jawab Rudy.
Segera Fiat meluncur sepanjang jalan Bojong, akhirnya berhenti di muka
rumah di Mlaten K/69. Ternyata orangnya baru pergi. Rudy dan Harsa lalu pulang.
20 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko V. KEKASIH DAN TEKANAN Selesai santap pagi, segera Rudy meninggalkan rumahnya dengan Fiatnya
menuju rumah Harsa. Harsa sedang duduk di ruang depan.
"Har, mari kita pergi ke Jakarta hari ini," sahut Rudy.
Tak lama kemudian mereka telah ada di dalam Fiat, yang bergerak menuju
batas kota. Setelah enam jam Fiat mereka melaju dengan kencangnya, mobil mereka
berhenti di kantor polisi pusat di kota Jakarta.
Inspektur Kandar menemui mereka.
"Eh ada tetamu dari Jawa Tengah, ah Rudy dan engkau Harsa, mengapa
lama tidak datang di kotaku sambut inspektur Kandar seraya berjabatan tangan
dengan amat girangnya. "Ya Kan, karena ada tugas, aku sampai di sini" sahut Rudy.
Segera mereka dipersilahkan duduk di kamar kerja inspektur Kandar.
Setelah beramah-tamah sebagai kawan yang sudah lama tidak berjumpa
Rudy memberitahukan maksud kedatangannya.
"Ya Dy, tentu aku menolongmu," sahut inspektur Kandar kemudian.
"Dan mobil B 44117 bagaimana? Apa masih ditahan?" tanya Rudy.
"Ya Dy, mobil itu masih saya tahan, dan baiklah sopirnya saya panggil."
Tak lama kemudian inspektur Kandar mengangkat telepon.
"Eh siapa ini? ... O.. engkau Dir, ..... coba panggil sopir mobil B 44117...
Alamatnya? ... cari ... ya ... ya ... segeralah," kata inspektur pada telepon, segera
ia meletakan kembali telepon itu.
Seperempat jam kemudian masuklah seorang anggota polisi.
"Pak sopir itu sedang pergi, besok pagi baru kembali, katanya.
"Ke mana perginya?" tanya inspektur Kandar.
"Ke Surabaya, mengantarkan salah seorang keluarganya."
"Ya sudahlah, boleh engkau keluar," kata inspektur Kandar.
"Lalu Bagaimana Dy," katanya kepada Rudy.
"Kalau begitu kita nanti saja," jawab Rudy.
21 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Lalu ke mana kita akan pergi sekarang Dy?" tanya Harsa.
"Eh kita menjumpai Jono," kata Rudy.
"Dan alamatnya, apa engkau sudah tahu?" tanya Harsa.
"Ah aku belum tahu, tetapi karena bekerja di kantor besar mungkin dia
belum pulang saja, dan kau tahukah di mana letak NV Sandra?" kata Rudy
seraya memandang wajah inspektur Kandar.
"NV Sandra? Coba aku telepon sebentar," kata inspektur Kandar.
Lalu diangkatnya telepon dan disusul katanya :
"Coba sambung bagian perekonomian .... ya hallo...
Kandar dengan siapa saya di sini inspektur berkata .... o... engkau W ... coba ... carikan nomer telpon NV Sandra ... ya
... NV Sandra... Ya saya tunggu," katanya lalu meletakan telepon.
Lima menit kemudian bel telepon berdering, segera alat itu diangkat
inspektur Kandar. "Ya .... hallo ... di sini kantor polisi pusat ... ya ... ada kepentingan .... dengan
. . . dengan pegawai yang bernama Jono ... Ya Jono ... dapatkah kami bercakap
sebentar .... ya ... . saya tunggu... Tak lama kemudian katanya lagi: "Ya saudara
Jono .... kami kantor polisi pusat ..." Inspektur Kandar menutupi lubang telepon,
katanya kepada Rudy: "Apa kepentingannya?"
"Tanyakan saja kapan ia pulang dan di mana rumahnya," sahut Rudy.
"Ya ... hallo," kata inspektur Kandar seraya membuka lubang teleponnya.
"Saudara Jono .... kapan saudara pulang .... sebentar lagi .... dan di manakah
alamat saudara ... ya ... jalan Anggrek B/5 ... Ya terimakasih," kata inspektur
Kandar seraya meletakan telepon.
"Ya Dy, alamatnya jalan Anggrek B/5," katanya.
??Kalau begitu segera kita ke sana saja," sahut Rudy.
"Dy, nanti engkau bermalam di mana?" tanya inspektur Kandar kemudian.
"Hotel Rizal", sudahlah Kan aku minta diri," kata Rudy. Segera ia keluar
diiringi Harsa. "Gantian Har, aku masih penat mengemudi dari Semarang," katanya
setelah duduk di belakang. Harsa memegang stir.
Tak lama kemudian mereka sampai di muka rumah Jl. Anggrek B/5.
Setelah mengetuk pintu, tak lama keluar seorang perempuan muda.
"E . . . apakah ini rumah tuan Jono?" tanya Rudy.
22 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Ya, dia suamiku," jawabnya.
Rudy dan Harsa mengerutkan dahinya sebentar.
"Apakah suami nyonya sudah pulang?" tanya Rudy kemudian.
"Sebentar dia akan pulang, mari masuk tuan," katanya ramah.
Mereka duduk di ruang depan. Setelah bercakap-cakap sebentar masuklah
seorang lelaki yang tinggi tegap perawakannya, memakai celana Sharskin putih,
kemejanya rapat dengan dasinya merah bergaris.
Setelah berkenalan, lalu Jono pergi ke belakang diikuti isterinya.
"Eh Jono telah beristeri ... lalu ... Hartini?", bisik Harsa.
"Ya mungkin Hartini hanya ... belum selesai kata Rudy, keluarlah Jono dari
dalam. Setelah duduk pula, dengan tenang ia mulai membuka perkataan.
"Lalu kepentingan saudara-saudara ke mari?" tanyanya.
"Ya saudara Jono, bolehkah kami memulai bertanya?" kata Rudy.
"Ya silakan saudara."
"Kami dari kepolisian, dan kami hendak meminta sesuatu keterangan dari
tuan," kata Rudy seraya mengeluarkan kartu namanya.
"Detektif Rudy! Ya akan kubantu sedapat mungkin," kata Jono.
"Ya apakah sekiranya ... maaf isteri saudara tidak akan mendengar?"
"Ah penting kiranya. Lalu apa mengenai e ... maksudku menyinggung
rumah tangga?" tanya Jono.
"Demikianlah saudara Jono, apa tidak lebih baik
kita bercakap di lain tempat saja, ya..."
"Kalau demikian mari kita pergi saja."
Setelah Rudy, Harsa dan Jono berpamit kepada istri Jono segera mereka
meninggalkan rumah dengan Fiat.
"Ke mana kita berhenti Dy?" tanya Harsa dibelakang stir.
"E ... berhentilah di rumah makan sana itu," kata Rudy seraya menunjukkan.
Berhentilah Fiat itu di Restoran "Chungking" yang bertingkat dua, mereka
naik tangga ke loteng. Setelah memilih tempat duduk di dekat pagar muka, lalu
ereka memesan minuman. "Ya saudara Jono, kedatangan kami kemari ini perlu membicarakan o ...
tegasnya mengusut perkara nona Hartini," kata Rudy.
23 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Jono agak terkejut, seraya menarik badannya ke belakang.
"Hartini? Mengapa dia?" tanyanya kemudian.
"Bukankah nona Hartini itu kekasih saudara?"
"Ya," jawab Jono pendek.
"Saudara Jono, coba ceriterakan tentang nona Hartini .... kami berjanji akan
menyimpan rahasia itu, nama keluarga saudara tidak akan kami bawa. Perlu
saya jelaskan bahwa kemarin lusa nona Hartini kedapatan meninggal."
"Meninggal? Di mana?" tanya Jono terkejut.
"Ya ... nona Hartini kedapatan meninggal di dalam kamar hotel di
Semarang." "Di Semarang?" tanya Jono seraya dahinya berkerut.
"Ya saudara, dan kini saya minta dengan sangat hendaknya saudara mau
menceriterakan atau menjawab pertanyaan saya mengenai nona Hartini."
Sebelum mereka melanjutkan percakapan, pelayan datang dengan
membawa minuman, setelah meletakan di atas meja ia pergi meninggalkan.
"Ya saudara Jono, apakah telah lama saudara bergaul dengan nona Har."
"Ya, telah setahun saya bergaul dengan Hartini ... untuk terangnya saya
mulai saja," kata Jono memulai keterangannya.
"Pertemuan saya dengan Hartini mula-mula terjadi pada suatu perjalanan
kereta api antara Surabaya-Jakarta, aku mendapat tugas soal perdagangan. Ini
terjadi kira-kira satu tahun yang lampau.
Ketika pulang dengan naik kereta api, aku duduk berhadapan dengan
seorang perempuan muda yang memakai blouse Tricoline putih dengan
strookjeskant Lystav kembang. Kakinya beralaskan sepatu hitam model baru.
Duduknya menghadap angin.
Karena kesepian itu, aku ingin berkenalan dengan ia, tetapi segan aku
memulai membuka kata. Tiba-tiba kesempatan terjadi, angin meniup agak
kencang, ia berdiri hendak mengangkat jendela kaca ke atas, tetapi tak dapat.
"Mungkin rusak saudara," kataku menyapa, memberanikan diri.
Ia diam saya dan memandang aku sebentar.
"Mari kita tukar tempat duduk saja," kataku seraya berdiri. Lalu kami
bertukar tempat. "Kenalkan aku Jono... "
"Hartini," jawabnya senyum.
"Hendak ke mana saudara?" tanyaku kemudian.
24 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Pulang ke Jakarta ... saudara?"
"Sama tujuan, aku datang di Surabayya kemarin malam urusan
perdagangan." Percakapan kami bertambah menyenangkan dalam perjalanan itu. Dan


Komplotan Kelelawar Hitam Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kami hanya memanggil nama saja.
Ketika sampai di Jakarta, aku mencari taksi.
"Har, mari engkau saya antarkan dengan taksi saja," kataku.
"Terima kasih Jon, jawabnya senyum.
Kami naik taksi, lalu menuju alamat rumah Hartini. Setelah sampai kami
turun dari taksi, saya membayar sewanya.
"Boleh aku singgah sebentar Har?" tanyaku.
"Masuklah Jon," jawabnya. Lalu kami naik rumah.
"Anggaplah seperti rumahmu sendiri Jon.
"Terima kasih Har," Jawabku.
Setelah bercakap-cakap agak lama aku minta diri," demikian ceritera Jono.
Rudy dan Harsa masih diam saja, asyik mencatat.
"Demikianlah perkenalan kami pada mulanya," kata Jono, seraya
mengangkat gelas minuman dan menghirup isinya.
Rudy memasang rokoknya, asapnya mengepul naik ke atas di bawa angin
lalu. "Perhubungan kami makin rapat," kata Jono memulai lagi ceriteranya. "Ya
persahabatanku dengan itu belum diketahui oleh istri saya dan Hartini juga
belum tahu kalau aku sudah beristri dan beranak pula seorang. Ya saudara,
manusia sering tak tahan menghadapi cobaan hidup. Setelah tiga bulan aku
berteman Hartini waktu itu ... isteri saya sedang mengandung ... Ya daya nafsu
suami mengalir dalam tubuhku, aku lupa rumah tanggaku. Tanpa
sepengetahuan isteriku aku sering pergi bersama Hartini.
Pada suatu hari aku berkata kepada isteriku bahwa hendak pergi ke Jogja.
Setelah menyediakan pakaian segera aku meninggalkan rumah.
Aku tidak pergi ke Jogja, melainkan pergi ke rumah Hartini. Setelah kubuka
pintunya, kudapati Hartini sedang ada di dalam kamar mandi. Segera kuketuk
pintu kamar mandi itu. "Har," kataku perlahan.
"Siapa itu? Jono kiraku?" jawab dari dalam kamar mandi.
"Ya," jawabku pendek, lalu aku pergi ke ruang depan.
25 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Tak lama kemudian Hartini masuk ke dalam, masih memakai kimono dan
memegang sikat serta handuk di tangannya.
"Eh, Jono," katanya senyum. Aku menoleh membalas senyum dan
mendekati. "Tunggulah sebentar Jon," katanya. "Aku ganti pakaian."
Aku senyum saja mengikuti Hartini masuk biliknya.
"Ah Jono . . . tunggulah di luar."
Tetapi aku diam saja. Segera Hartini mengambil pakain dari dalam
lemarinya. Kemudian ia berganti pakaian di balik bidai.
Tak lama ia keluar dari balik bidai, tubuhnya yang sintal itu disalut blouse
Bircoline putih yang tidak berlengan, pundaknya yang putih tampak terbuka.
Bagian mukanya blouse itu tergunting agak ke bawah sehingga kulit dadanya
yang putih berisi itu tampak nyata.
Di bawahnya sebagai kombinasinya ia memakai skirt Woletta coklat muda."
Jono berhenti sebentar. Rudy dan Harsa tenang mendengarkannya.
"Ya saudara entah kasih entah nafsu sukar aku mengenalnya, karena
merasa kesepian di rumah Ya ... aneh aku merasa kesepian waktu istriku sedang
hamil, aku membutuhkan wanita ... Ya wanita ... dan setelah aku bercakapcakap dengan diselingi gurau, kami berdua pergi berjalan-jalan. Kami melihat
bioskop di Metropole. Jam sembilan malam kami singgah di Dancing Hall. Dan
tiga jam kami berdua berayun lagu-lagu swing serta blues. Ya saudara, nafsu
saya mulai naik ke kepala. Kutahu dalam ayunan itu badan Hartini kurasa
gemetar. Setelah puas kami berayun swing itu segera kami pulang dengan naik taksi
langsung ke rumah Hartini. Malam itu aku menghabiskan waktuku di rumah
Hartini. Esok paginya ketika aku sadar dari tidurku kulihat Hartini telah duduk di
muka cermin, menyisir rambutnya.
"Har," kataku perlahan. Dia senyum seraya membalikkan badannya
kepadaku dengan senyum pula. Ya saudara, siapa orang tak puas memandang
kecantikan Hartini. "Ke sini Har," kataku perlahan. Ia berdiri dan mendekati pembaringan lalu
duduk di tepi. "Tak kecewa engkau Har?" tanyaku seraya mengusap lengannya, yang
terbuka. Tubuhnya hanya tertutup baju tidur saja.
"Mengapa kecewa mas," sahutnya seraya menundukkan kepalanya.
"Bukankah kita sejiwa, mas ... sungguh bahagia," katanya pula.
"Tidakkah engkau kecewa setelah .... o ... semalam tadi?" kataku.
26 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Mengapa kecewa mas, aku kepunyaanmu," bisiknya ke telingaku.
Ya saudara, dengan terus terang dapat kukatakan di sini bahwa Hartini itu
bukan gadis lagi, bukan aku pula yang merenggut kegadisannya. Dan entahlah
aku ini termasuk orang yang ke berapa. Menghina, tidak aku mengatakan
padanya. Karena memang aku telah maklum itu akan tetap memandangnya
sebagai kekasihku. Pada suatu hari, sebulan kemudian, di rumahku terjadi pertengkaran kecil
soal dapur, kejengkelan membawa aku pergi ke rumah Hartini. Kudapati dia
sedang tidur hanya memakai slip chiffon serta bra saja. Tiba-tiba mataku
melihat pinggangnya yang ramping itu ada sebuah lukisan kelelawar hitam.
Aku heran melihatnya, karena selama ini aku tidak mengetahuinya. Dengan
perlahan-lahan ia saya bangunkan.
"Oh engkau Jon," katanya ketika matanya melihat aku.
Aku duduk di tepi pembaringan, masih mengawasi wajahnya.
Ya saudara, gambar kelelawar pada pinggangnya itu, kiranya menjadi bibit
kerenggangan kami. Aku mulai berpikir tentang penghidupan Hartini.
Keherananku padanya, karena kutahu ia tidak bekerja tetapi hidupnya mewah.
Pertengkaran terjadi ketika ia saya tanyai tentang gambar kelelawar hitam
yang ada di pinggangnya itu.
Aku marah betul, kecurigaanku mulai ada. Pada suatu hari aku datang di
rumahnya. Ia sedang pergi. Rumahnya dikunci.
Ketika aku sampai di kamarnya kulihat jendelanya terbuka.
Di atas meja kujumpai sehelai amplop, ketika saya buka ah, aku tidak tahu
apa maksud tulisannya," cerita Jono berhenti.
"O Ya, sampai sekarang surat itu di dompetku", katanya lagi seraya
mengeluarkan dompetnya. Rudy hanya berpandang-pandangan saja. Dari dalam dompet dikeluarkan
sepucuk surat lalu diberikan kepada Rudy.
Dalam surat itu tertulis :
Zmttlgz 8. Pzor znzg kfzh zgzh szbro kvpviwpzzmaf, szizk mz-mgr nzozn wzgzmt wr
wpzozm bvizpf, znyrrzs fzmtrj
Ik. 1000.000 yzczoz>pv hf izyzpzyvirpzm pvkzwz zrattlf
gz 100 wozozn nzm ttz. = pulang. "KELELAWAR HITAM"
27 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Rudy dan Harsa belum tahu akan maksudnya.
"Lalu ini bagaimana saudara Jono?" tanya Rudy.
"Aku sampai sekarang juga belum tahu akan artinya, hanyalah aku
menipunya, surat ini saya letakkan kembali di meja. Dan aku pura-pura menanti
kedatangan Hartini. Tak lama kemudian ia kembali. Dengan senyum menyapaku.
"Eh mas Jon datang. Telah lama mas menunggu?"
"Barusan Har," kataku bohong.
Dia pulang itu membawa beberapa bungkusan yang isinya pakaian, ada
baju tidur baru, beberapa potong slip, skrrt serta bluse.
Tiba-tiba ia mengeluarkan kotak kecil dari dalam saku gaunnya. Ketika
dibuka isinya sebuah giwang dengan bermata berlian kenanga. Sambil senyum
dikena- kan dada telinganya.
" Dari mana kau dapat itu Har?" tanyaku seraya berdiri di belakangnya.
"Beli mas," jawabnya pendek.
"Ah mahal juga kiraku," tanyaku memancing.
"Sepuluh ribu," jawabnya. Aku terkejut mendengar jawaban itu.
Sebelum aku tenang ia sudah membalikkan badannya, menghadap aku.
"Indah mas?" tanyanya senyum manis.
"Kau . . , kau tambah cantik Har," sahutku pelan.
Tiba-tiba lengannya merangkul leherku, aku dipeluknya kencang.
"Masih cintakah mas kepadaku?" bisiknya.
Aku masih diam tercengang, tiba-tiba ia melepaskan pelukannya.
"Telah bencikah mas kepadaku?" tanyanya mendadak.
"Ti . . . . ti . . . dak Har, aku masih cinta padamu," jawabku bimbang.
Ya saudara kelemahanku berulang, kecurigaanku hilang dalam rayuannya.
Tiba-tiba ia melihat surat kecil itu, aku pura-pura tidak tahu.
Setelah dibaca sebentar segera dimasukkan ke dalam laci meja, lalu
mendekati aku diajak duduk.
"Mas, mengapa akhir-akhir ini kulihat ada terjadi perubahan pada diri mas
terhadapku?" Aku diam saja, mataku hanya memandang wajahnya saja.
28 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Katakan mas, aku ingin mendengarkannya."
Aku bingung tak tahu apa yang akan saya katakan.
"Ya .... mengapa engkau tak mau memberi tahu tentang gambar yang ada
di pinggangmu dulu itu," kataku tak sadar.
"Ah, mas mengapa itu diulang kembali. Bukankah telah saya katakan itu
hanya gambar kenang-kenangan saja. Ini kuperoleh ketika aku masih kecil,
kenang-kenangan dari beberapa temanku ketika aku sekolah."
"Betul itu?" tanyaku kurang percaya.
"Mengapa aku membohong kepadamu mas?"
Tiba-tiba disingkapnya blousenya dan tampaklah gambar kelelawar hitam
di kulit pinggangnya. "Ini mas, dibuat oleh orang ... wajahnya aku sudah lupa. Gambarnya
bermacam-macam, temanku yang lain ada gambar orang, keris dll," katanya
seraya memandang aku. "Masih tak percayakah mas akan perkataanku?" tanyanya kemudian.
"Ya aku memang takluk akan bujuk rayu Hartini, kata Jono."
"Dan apakah masih ada lain keterangan?" tanya Rudy.
"Ya saudara, ini mengenai kelanjutan dari cinta dan kebimbanganku."
29 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko VI. SURAT DAN SENJATA "Ya saudara," kata Jono melanjutkan keterangannya, setelah ia memasang
rokok sebatang. "Memang kecintaanku bersama-sama dengan bimbang
kecurigaan. Pada suatu hari aku mendapatkan pula surat dari dalam laci di
rumah Hartini, pun surat itu saya ambil dan saya bawa sampai sekarang," kata
Jono seraya membuka dompetnya kembali.
Dari dalam dikeluarkan beberapa pucuk surat kecil-kecil. Kemudian ia
menyisihkan lima lembar dan diberikan kepada Rudy.
"Ya saudara, semuanya ini saya ambil setelah Hartini membacanya, dan ia
belum tahu maksudku aku megambilnya tanpa diketahui dia."
Detektif Rudy dengan sejawatnya membuka lipatan kertas.
Tertulis pada kertas pertama:
Zm ttlgz S. Getzh yzif, vmtpzf szifh nvtntzmgzipzm fzmt rmr
pv yzm wfm t, wvmtzm mzrp gzphr pzmt gvozs gvihvwrz.
= pulang "KELELAWAR HITAM "
Surat kedua tertulis: Gvpzh wrpviv. pzpzm, gvnyzp zmttlgz 20 pzmt gvig- hzin tpzk kforhr, yvhfp
kzir zpzm ovdzgwpzozm nvo- zgr.
Kzpzrozs kvofif wpzin. = pulang "KELELAWAR HITAM"
"Ah sungguh repot kita membaca surat seperti ini," kata Harsa seraya
meluruskan punggungnya. "Ah berat juga ini, saudara Jono, begini saja baiknya, surat ini saya bawa
untuk dipakai mengusut perkara nona Hartini," kata Rudy.
"Sekehendak saudara, karena akupun kurang maklum akan isinya."
30 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Sekarang lebih baik saudara memberi keterangan saja, e ... mungkin
setelah saudara maklum akan diri nona Hartini serta surat-surat seperti ini,
bukankah ada perubahan pada nona Hartini?
"Ya saudara, memang sejak aku memaklumi akan surat itu, entahlah aku
sering ingin tahu lebih banyak tentang diri Hartini, hampir aku selalu mematamatai dia," kata Jono lalu berhenti sebentar.
"Pada suatu hari aku pura-pura membujuknya, tentang uang yang amat
banyak ia pergunakan pernah ia menjawab ... memang aku ini selalu
berkecimpung dalam uang semata. Waktu itu aku heran akan jawaban yang
seperti itu. Ketika kubujuk lagi ... ia berkata antara lain ... Ya mas mudah
memang aku mendapatkan uang, aku sanggup membeli apa saja, mobil ... tiga
aku sanggup membelinya sekaligus ..."
Keherananku makin bertambah, tetapi tiba-tiba ia membelokkan
percakapan kami. Dan sejak itu kami tak lagi bercakap tentang uang. Pernah
sekali aku membujuknya tetapi ia marah sekali. Dan akupun tak ingin lagi
menyinggung soal itu lagi.
Pada suatu sore hari aku pernah datang di rumahnya, ia sedang mandi;
ketika aku membuka laci mejanya kujumpai sebuah senjata ... pistol. Ya seperti
pistol bentuknya tetapi aneh saudara ... pistol itu lubangnya kecil ... di luar
kebiasaan dari macam pistol ... besar lubangnya sekira sebuah jarum saja.
Karena tak tahu akan gunanya maka segera kumasukkan ke dalam laci lagi. Tak
lama kem udian kami bercakap-cakap di ruang depan," kata Jono.
"Apa sekiranya masih ada sesuatu yang berhubungan
dengan diri nona Hartini..." tanya Rudy kemudian.
"O Ya sesuai dengan surat-surat tersebut ... Ya ... seperti surat yang satu
tadi ... malam harinya saya ajak pergi berjalan-jalan ia menolak.
Katanya malam itu dia mempunyai sesuatu kepentingan. Kecurigaanku
ada, maka ketika aku pulang tidak dengan segera aku menuju rumahku
melainkan aku bersembunji di belakang suatu pohon di tepi jalan.
Tak lama kemudian aku mengikuti Hartini dari jarak jauh. Setelah dua
puluh menit kami berjalan sampailah kami di jalan Seraju, tetapi tiba-tiba
Hartini membelok suatu jalan kecil dan aku tidak dapat menemukan. Hampir
seperempat jam aku menunggu tetapi ia tak tampak maka aku segera pulang.
Esok paginya sebelum aku pergi ke kantor, aku pergi ke rumahnya,
kebetulan ia sedang mengunci pintu rumahnya. Ketika saya tanya ia menyawab
hendak pergi ke Surabaya.
Kulihat ia membawa kopor agak besar.
31 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Itulah apa yang saya ketahui tentang Hartini sejalan dengan surat yang
pertama," kata Jono seraya mengangkat gelas minumannya.
Setelah minum beberapa teguk segera gelas minumannya diletakan di atas
meja lagi. "Dan mengenai surat-surat yang lain ini?" tanya Rudy seraya menunjuk


Komplotan Kelelawar Hitam Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

surat-surat yang masih dipegang Harsa.
Jono mengerutkan dahinya berpikit sebentar.
"O Ya, memang surat-surat yang lalu ini juga, mengenai surat yang ini,"
kata Jono seraya menunjukkan surat yang dipegang Harsa paling atas. "Ini Ya ...
yang ini aku ... esok paginya pergi dengan ia ke Bandung. Kebetulan hari itu
hari Minggu, Sampai di sana kami bermalam di hotel. "Fajar" Ya ... maaf, kami
sekamar dengan ia ... pada kira-kira jam sembilan ia berkata kepadaku henduk
pergi sebentar. Ketika aku akan mengantarkan ia menolaknya. Ia pergi dengan membawa
sebuah bungkusan yang agak besar. Karena tidak boleh mengantar itu akupun
menaruh curiga. Ya, akupun turut pergi setelah ia meninggalkan hotel. Kuikuti
dia dari kejauhan. Pada suatu gang kecil ia membelok, tak lama kemudian ia
berpapasan dengan seorang peranakan Arab. Setelah bercakap sebentar
kulihat ia memberikan bungkusan itu. Segera ia membalikkan badannya
meninggalkan peranakan Arab. Akupun segera menghampiri becak yang
kebetulan lewat. Segera aku menuju ke hotel lagi.
Adapun mengenai surat yang lainnya juga aku ... setelah ia menerima surat
itu aku membaca surat kabar, bahwa semalam ada seorang yang terbunuh oleh
racun. Saudara, aku makin tidak maklum akan diri Hartini. Memang pada akhirakhir ini dia mengalami perubahan. Hartini yang mula-mula kukenal amat
ramah dan halus geraknya itu, pernah kejadian ia berjanji dengan aku akan
pergi melihat bioskop pada jam tujuh, tetapi ketika aku datang di rumahnya
ternyata ia tidak ada, aku menantinya di depan rumahnya sambil duduk di kursi
yang ada di depan rumahnya.
Kira-kira pada jam sepuluh malam berhentilah sebuah taksi di depan
rumah dan turunlah ia dalam keadaan payah, jalannya sempoyongan.
Ketika saya dekati ia tertawa gelak, dan aku mencium bau alkohol dari
mulutnya. Kupapah dia ke pintu. Segera aku mengambil kunci dari saku
bajunya. Setelah saya buka pintu itu segera ia kupapah masuk ke dalam
kamarnya. Ya saudara, Hartini yang kukenal sebagai wanita yang ramah itu,
pada malam itu kedapatan mabuk ... Ya mabuk .... sampai di kamarnya ia segera
kubaringkan di pembaringan.
Dengan gerak gila ia membuka pakaiannya di hadapanku. Dan ah, saudara,
memang aku waktu itu sedang berhati jengkel, ya jengkel mengenai rumah
tanggaku sendiri. Maafkan aku .... Ya ... malam itu hatiku mendongkol karena
32 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Hartini tidak menetapi janji dan sebelumnya pada sore harinya aku bertengkar
dengan istriku ... Ya soalnya .... ah ... soal pribadi suami-isteri ... Ya saudara,
pada malam itu memang ada rasa benciku kepada isteriku ... malam
kekosongan hati ... aku mengada tidak tetapi kenyataan memang terjadi pada
diriku bahwa aku membutuhkan akan diri isteriku, tetapi ia ... menolak ...
karena kandungannya telah tua ... maaf ini kukatakan pada saudara sekalian ...
tetapi aku percaya saudara tentu mau memikirkan ataupun
merasakan bagaimana jika seorang suami merasa kesunyian, aku
membutuhkan hiburan ... ya aku ingin melampiaskan nafsu jenisku ... ya ...
dalam keadaan yang demikian itu aku menghadapi Hartini, jenis lawanku ... dan
... aku gila ... gila akan wajah Hartini ... dalam keadaan yang sedemikian itu
akupun menyerah ... Pagi hari aku meninggalkan rumah Hartini dengan penuh kepuasan. Tetapi
oh, saudara ... malam itu, aku agak heran kepada Hartini ..." kata Jono berhenti
dulu mengambil rokok dan memasang sebatang. Setelah menyala diisapnya
berkali-kali. Rudy dan Harsa masih asyik memandang wajah Jono dengan penuh
perhatian. "Eh mari kita memesan minuman lagi," kata Harsa menyela.
"Oh ya sayapun haus," sahut Rudy.
Segera mereka memesan minuman lagi. Tak lama datanglah pelayan
membawa tiga gelas minuman.
"Eh, aku usul Dy, mari kita pesan makan juga, saya rasa tentunya saudara
Jono juga sudah lapar," kata Harsa.
"Ah tidak," kata Jono.
"Ah mengapa malu-malu," sahut Rudy. Mereka memesan makanan.
Sepuluh menit lagi mereka telah asyik menikmati makanan mereka.
Setelah selesai segera pelayan membersihkan meja.
"Minum rokok," kata Harsa menyodorkan bungkus rokok kepada Jono.
Jono mengambilnya sebatang dan tak lama kemudian mereka bertiga telah
mengepulkan asap rokok dari mulut masing-masing.
Setelah hening sejenak Rudy membuka kata :
"Ya saudara Jono, kami amat berterima kasih kepada saudara."
"Ya asalkan saudara tidak mengenakan nama serta keluarga saya."
"Aku berjanji saudara," kata Rudy.
33 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Ya . . . kelanjutannya," kata Jono meneruskan ceritanya. "Sejak malam itu
aku tahu Hartini telah jarang bepergian jauh, selalu kudapati ia dalam bertekun
membaca majalah saja ...dan oh ya ... malam itu aku tahu .... pada kulit kakinya
sebelah bawah kudapati ada sebuah lingkaran ... ya saudara ... pernah akan saya
tanyakan tetapi aku tak berani menanyakan soal itu ... entah mengapa ... dan
beberapa hari kemudian, aku tahu pada diri Hartini terjadi perubahan ... mulamula kudapati ia sering amat buas ... ya buas kukatakan .... pernah ia sehariharian bermain-main dengan sebuah pisau. Dan aku tahu suaranya sering
menunjukan suara ... maksudku kalimat perintah saja. ... aku makin tidak
mengerti akan perubahan sifatnya. Dan pernah terjadi aku bermalam di
rumahnya .... kudengar ia berkata dalam mimpinya .... berkata ... ya engkau
hendak ingkar .... hati-hati ... aku dapat kejam... Bulu kudukku berdiri ketika aku
mendengar perkataannya itu. Aku makin takut.
Tetapi pernah terjadi ... ya, sesuatu yang amat mengherankan diriku, entah
karena apa seminggu kemudian setelah ia mimpi itu, ia amat kasih kepadaku ....
ia amat menyerah kepadaku .... perubahan yang mendadak itu makin
memusingkan kepadaku ... ia amat mesra padaku, pernah ia menanyakan
tentang perkawinan .... tetapi hal ini mengagetkan aku karena ia hendak
mengajak aku lari ke Singapura ... aku tidak mengeiti mengapa ia berkata
demikian itu. Ia berkata bahwa ia telah cukup uang, mau apa saja tentu tidak
akan kekurangan. Aku menolaknya karena ketakutan akan dirinya.
Pada suatu hari ia menanyakan aku, apakah mau aku diajak pindah ke
Semarang saja ... ketika saya tanya akan kepentingannya tiba-tiba ia marah ...
tetapi tak lama kemudian kemarahannya berubah menjadi lemah lembut .... ia
amat banyak bertanya tentang kota Semarang.
Aku diam saja ketika ia meminta amat sangat pindah ke Semarang.
Tetapi entah kerena apa pada suatu hari ia telah meninggalkan kota
Jakarta. Ia tak memberi tahu padaku. Dan seterusnya aku tidak tahu lagi. Ini
kejadian kira-kira dua bulan yang lalu.
Akhirnya aku hanya tahu tentang dia dari saudara sekalian ini, bahwa ia
meninggal di Semarang. Ah, amat sayang kata Jono mengakhiri ceritanya.
Mereka bertiga diam saja tenggelam dalam lamunan pikiran mereka
masing-masing. Sepuluh menit kemudian Jono mulai membuka perkataan lagi.
"Ya saudara hanya itu saja yang dapat saya berikan kepada saudara
sekalian ... dan sekali lagi ... maafkan, aku minta dengan sangat hendaknya
jangan sampai saudara menyinggung nama saya serta keluargaku."
34 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Oh tentu saudara, nama saudara tidak akan saya bawa dalam perkara, lagi
kami ke sini hanya akan mengetahui tentang riwayat nona Hartini saja, lain
tidak, dan kami amat berterima kasih atas keterangan saudara yang sepanyang
itu, mudah-mudahan dapat saya pergunakan sebagai pemudah pengusutan
pembunuhan terhadap diri nona Hartini," kata Rudy.
Setelah mereka bercakap-cakap soal lain maka mereka lalu meninggalkan
rumah makan. 35 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko VII. CODE "PULANG."
Matahari mulai turun di langit sebelah barat. Kecerahan langit menambah
keelokan kota ibukota Indonesia.
Suasana hotel "Rizal" tampak sunyi. Para penghuni masih enak melepas
lelah di atas tempat tidur mereka.
Tetapi hal demikian itu tidak kita jumpai di kamar tempat detektif Rudy
dan sejawatnya Harsa. Mereka masih asyik bertekun menghadapi pekerjaan mereka. Sehabis
mendengar keterangan kata Jono tadi, mereka asyik mempelajari surat-surat
dari Hartini .... surat yang penuh rahasia.
"Bagaimanakah Har, sudah dapatkah engkau menemukan kuncinya?" tanya
Rudy. "Ya Dy," sahut Harsa seraya mengangkat pundaknya. " Apa maksud dari
surat-surat ini?" "Tak adakah yang cocok dengan kode-kode yang terdapat dalam buku
penunjuk kode?" tanya Rudy.
"Tak ada satupun yang menyinggung," kata Harsa.
Mereka berdua asyik kembali dalam kepelikan surat rahasia itu. Ketika
lonceng berdenting lima kali, pintu kamar mereka diketuk orang. Rudy
membuka pintu. Tiba-tiba masuklah seorang lelaki yang memakai topeng karet tipis. Pada
kedua tangannya menggenggam Colt.
"Angkat tangan," katanya. Rudy dan Harsa yang masih tercengang itu
terpaksa mengangkat tangan mereka.
"Apa maksud tuan ke mari?" tanya Rudy.
"Kami ke mari karena tuan turut mencampuri urusan Hartini," katanya.
"Hartini?" tanya Rudy cepat. Dengan tak diduga ujung sepatunya
menyambar tangan orang itu, Colt terpelanting ke arah sudut kamar. Segera
kepalan Rudy melayang, tetapi orang itu dapat mengelakkan. Pergulatan
terjadi. Harsa mendekati pintu. Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah seorang
yang memakai topeng karet. Bentuk wajahnya sama dengan yang masuk lebih
dahulu. 36 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Ya kalau tidak sayang akan jiwa tuan maka ...," katanya terputus karena
Harsa telah menubruknya. Lengan Harsa dapat memegang pergelangan orang
itu. Pergulatan terjadi pula.
Dengan tak diduga kaki Rudy ditendang oleh lawannya, sehingga ia jatuh
tersungkur dan sebelum ia dapat bangun lawannya telah menubruknya. Sekali
tangan lawannya dapat menemui sasararannya. Tetapi ketika kepalan kedua
hendak menjusul, Rudy dapat mengelakkan. Pergelangan tangan lawannya
dapat terpegang. Saling menindih mereka berusaha mencekik leher masingmasing.
Ketika Rudy ada di bawah, kakinya berkesempatan dapat mendorong perut
lawannya. Sehingga lawannya terpelanting jatuh terjerembab. Dengan cepat
Rudy menubruknya, kakinya lalu ditekuknya ke atas. Karena jatuh lawannya itu
terlentang maka sukarlah ia melepaskan diri dari pegangan Rudy. Tiba-tiba
sebuah kaki lawannya dapat impas.
Kaki Rudy dapat disepak. Dia jatuh. Pergumulan terjadi. Ketika terdapat
kesempatan, maka kepalan Rudy dapat mengenai sasaran pada dagu lawannya,
disusul kepalan yang kedua melayang juga.
Karena telum puas badan lawannya yang sudah lemah itu diangkat dan
sekali kepalan kiri menemui perut lawannya dan kepalan kanan menerjang
dagu. Lawannya jatuh terkulai di balik meja, pingsan. Sementara itu Harsa
dengan lawannya masih berebutan pistol yang masih ada dalam tangan
lawannya. Kekuatan mereka beradu dengan amat seramnya. Ketika Rudy mau
menolong, waktu itu lawan Harsa ada di bawah dan Harsa agak berjongkok di
atasnya. Jari tangannya masih erat memegang pergelangan tangan Iawannya.
Lubang pistolnya menghadap Harsa, sebelum meletus Rudy menubruknya.
Pistol berbunyi dan jerit lawan Harsa terdengar, karena tubrukan Rudy tadi
menyebabkan lubang pistol menghadap badannya sendiri, maka ketika peluru
meletus langsung menembus dadanya, matilah ia.
Segera Rudy dan Harsa berdiri. Sebelum mereka menggerakkan kaki,
masuklah beberapa anggota polisi.
"Angkat tangan!" perintah mereka.
Rudy dan Harsa terpaksa mengangkat tangan mereka.
"Pembunuhan terjadi!" kata anggota polisi yang seorang lagi. Tiba-tiba
masuklah inspektur Kandar. "Eh apa yang terjadi .... he mengapa, engkau Dy...?"
tanya inspektur Kandar seraya mendekati Rudy.
"Ya turunkan tanganmu dulu, Kan," kata Rudy.
Inspektur Kandar senyum kecil, seraya menoleh kepada anggota polisi :
"Ah... ini teman kita ..." katanya. Anggota polisi yang masih memegang
pistol itu masih tercengang karena belum tahu duduknya perkara.
37 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Ya ... ini teman sejawatku ... e.... tinggalkan kami sebentar," perintah
inspektur Kandar. "Tetapi ... borgol dulu orang itu," katanya lagi seraya menunjuk orang yang
masih tertelentang di balik meja.
Setelah mengenakan borgol, keluarlah anggota polisi itu. Tetapi sebelum
menutup pintu, ia kembali masuk lagi. "Harap maaf," katanya kepada Rudy.
" Ah tidak mengapa ... jawab Rudy senyum.
"Ya saya tidak mengerti ...katanya lalu keluar.
Setelah pintu ditutup Rudy tertawa gelak-gelak disusul tertawanya Harsa.
Inspektur Kandar terkejut tak tahu mengapa mereka tertawa.
"Mengapa kalian tertawa?" tanyanya.
"Geli ... masa sore hari berolahraga seperti ini ... ", jawab Rudy.
"Memang salah kami, mengapa waktunya orang tidur kita bertekun, kata
Harsa masih senyum. "Bagaimana? Aku belum maklum apa yang dimaksudkan kalian," kata
inspektur Kandar seraya meletakkan kursi yang terserak jatuh. Kemudian
mereka bertiga mengambil tempat duduk.
Setelah memasang rokoknya sebatang Rudy mulai berkata:
"Ya, Kan, kami tadi baru memeriksa tentang surat-surat, tiba-tiba datanglah
mereka dan segera terjadilah pergulatan tadi."
Setelah mereka menerangkan, mereka bertiga tertawa gelak-gelak . Tak
lama kemudian Rudy mendekati korbannya.
"Ah karena berkelakar korban kami telah terlupakan," katanya. Harsa dan
inspektur Kandar berdiri pula.
"Ya lupa ...," kata Harsa. Segera Harsa keluar menilpon memanggil mobil
ambulance. Tak lama kemudian korban yang tertembak peluru Itu diangkat,
yang satunya mulai bergerak ingat. Segera dibawa oleh Inspektur Kandar ke
kantor polisi bersama-sama mayat itu.
Setelah diadakan pemeriksaan pada tubuh mayat itu maka didapati pada
pinggang mayat itu gambar cocok (tato) berupa kelelawar hitam.
"Eh kita menghadapi gerombolan ini," kata inspektur Kandar.
"Coba tawanannya yang satu tadi dibawa ke mari," kata Rudy.
Tak lama kemudian masuklah tawanan tadi diiringkan pengawalnya. Segera
pada pinggangnya diperiksa. Juga didapati gambar cocock (tato) kelelawar
hitam. 38 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Ah kalau begitu memang kita sekarang menghadapi gerombolan penjahat
yang agak kuat," kata Rudy.
"Apa maksudmu?" tanya inspektur Kandar.
Kemudian Rudy menceritakan tentang kematian Hartini. Badan tawanan itu
diperiksa. Tetapi hanya sebuah gambar itu sajalah yang ada pada tubuhnya.


Komplotan Kelelawar Hitam Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika bajunya diperiksa maka kedapatan sepucuk surat yang di dalamnya
tertulis: Zmttlgz 34 wzm 35. Kvitr pvslgvo "irazo", znyro hfizg- pzmt zwz kz-wz lizmt pzmt wrzn wrpznzi
8. Pzozf grwzp kviof, wpzmtzm nvnzpzr kvoflf.
= pulang. "KELELAWAR HITAM."
"Lagi-lagi?" tanya inspektur Kandar karena tidak tahu" Setelah mayat dan
tawanan dibawa keluar, kemudian mereka bertiga mengadakan perundingan.
Tak lama kemudian Rudy dan Harsa telah ada di bilik mereka di kamar
nomor 8 di hotel "Rizal".
"Ah yang satu belum dikenal kini tambah lagi," kata Harsa.
"Mari kita mulai lagi," kata Rudy seraya menarik kursi dan duduk. Setelah
hening sejenak, tiba-tiba Rudy berkata: "Eh Har dari surat yang terakhir kita
dapati angka delapan ... ya delapan ... seperti, nomer kamar kita...
"Delapan?" kata Harsa seraya mengeluarkan surat yang diambil dari
tawanan tadi. "Ya delapan ... itu nomer kamar kita... kalau begitu memang ada
hubungannya dengan kita...
coba kita periksa," kata Rudy. "A ... ini baru kemungkinan Har ... ini tulisan
WRPZNZI dekat angka delapan setidak-tidaknya berbunji K A M A R .... ah tapi
ini kelebihan dua huruf ..." Coba mungkin yang dimaksud ke kamar ... " kata
Harsa. "Ah tidak mungkin ... coba kita urutkan dari belakang ... I ... R ... Z ... A ... N ...
M ... Z ... A ... P ... K ... R ... E ... ah ini tak cocok karena masa W berarti K," kata
Rudy. "Eh .... mengapa tiap suratnya selalu ada tanda = pulang" .... pulang ....
kembali ... " kata Harsa diputus karena punggungnya ditepuk Rudy dengan
kerasnya, seraya katanya:
39 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Ya ... pulang ... kembali ... sama dengan ... balik ... dan tadi ... ya ..."
"Apa? Aku belum maklum," kata Harsa masih heran.
"Ya Har, tadi Z sama dengan A, coba kita buat daftar alfabet," kata Rudy
seraya menarik kertas lalu mulai menulis alfabet. Setelah selesai dengan
tertawa ia berkata: "Har, tiap suratnya selalu ada tandanya "= pulang", ya
pulang sma balik ... jadi alfabetnya harus kita balik." Tak lama kemudian
selesailah ia membuat tabel itu:
A .................. Z N .................. M B................... Y O .................. L C ................. X P ................... K D .................. W Q .................. J E .................. V R ................... I F .................. U S .................... H G ................. T T .................... G H ................. S U ................... F I ................... R V .................. E J ................... Q W .................. D K .................. P X .................. C L ................... O Y ................... B M ................. N Z .................... A Yipy, A ini ... ya sekarang mudah kita membacanya nanti kalau ada tabel
ini." kata Rudy tersenyum.
Setengah jam kemudian mereka telah menyalin separo semua surat. Secara
urut surat-surat itu berbunyi:
Anggota 8. Kami amat puas atas pekerjaanmu. harap nanti malam datang di jalan
Serayu, ambillah uang Rp. 1.000.000 bawalah ke Surabaya.
Berikan kepada anggota 100 di jalan Mangga.
"KELELAWAR HITAM."
40 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Anggota 8 Tugas baru, engkau harus mengantarkan uang ini ke Bandung, dengan naik
taksi yang telah sedia. "KELELAWAR HITAM."
Anggota 8. Lekas dikerjakan, tembak anggota 20 yang tertangkap polisi, besok pagi
akan lewat jalan Melati. Pakailah peluru jarum.
"KELELAWAR HITAM."
"Ya ... Ya, ini seperti ceritanya Jono ... pergi ke Surabaya bawa bungkusan ...
sebelumnya telah pergi ke jalan Serayu ... ya memang sesuai dengan surat
pertama. Dan ini ... ke Bandung," kata Rudy.
"Ya seperti cerita Jono, ke Bandung," sambung Harsa pula.
"Dan Ya sesuai benar ini ... pembunuhan tawanan di jalan Melati ... ya
memang pernah aku membaca tentang berita itu ... dan ini ...," katanya seraya
membaca surat yang keempat:
Anggota 8. Harap nanti malam datang di gedung tempat kita bertemu.
Rapat anggota lengkap ... dan kenaIkan pangkat dan menerima tugas baru.
"KELELAWAR HITAM"
"Rapat anggota lengkap ... dan kenaikan pangkat..." kata Harsa.
"Ya ... mungkin Hartini dinaikkan pangkatnya, ini seperti kata Jono
mengenai gambar cocok (tato) di bagian bawah kulit kakinya ... ya ... menurut
cerita Jono ... pernah Hartini pulang dengan mabuk. Ah tentunya di sana
diadakan rapat dan pesta besar dengan adanya kenaikan pangkat itu," kata
Rudy. "Ya saya masih ingat, kata Jono pertamanya hanya melihat gambar
kelelawar saja yang ada di pinggangnya, baru setelah malam itu ia tahu ada
tambahan gambar lingkaran itu ... ya mungkin ia telah diangkat sebagai kepala
kecil," sahut Harsa.
41 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Ya memang itu dapat diterima, mari kita lihat surat lainnya," kata Rudy
seraya mengambil surat yang kelima bunjinya:
Anggota 8. Dengan tugas baru harap engkau selalu berhati-hati.
Jangan mudah dirayu pria, ke Semarang engkau bekerja.
"KELELAWAR HITAM."
Surat yang keenam berbunji:
Anggota 8. Peringatan pertama. Hindari temanmu pria itu atau akan kucabut nyawanya.
Ingat ingkar janji untuk kedua kalinya berarti maut.
Pada kami tidak ada peringatan ketiga.
Lekas berangkat ke Semarang dan jangan lupa lekas mencari hubungan
dengan anggota-anggota di sana.
"KELELAWAR HITAM."
"Ah tentunya kepala gerombolan itu mengetahui perhubungan Hartini
dengan Jono," kata Harsa.
"Pula kemungkinan Hartini sering melalaikan tugasnya ... ya ini surat
ancaman ... maksudku peringatan yang pertama dan kedua," kata Rudy.
"Apakah mungkin Hartini hendak ingkar?" tanya Harsa.
"Kemungkinan memang ada, bukankah Jono mengatakan bahwa Hartini
pernah mengajaknya lari ke Singapura?" sahut Rudy.
"Kiraku persediaan uang Hartini banyak ... ya bagiannya mungkin banyak
yang ia terima." "Dan surat yang baru tadi," kata Harsa kemudian.
Surat yang diambil dari tawanan tadi berbunji:
42 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Anggota 34 dan 35, Pergi ke hotel "Rizal", ambil surat-surat yang ada pada orang yang diam di
kamar 8. Kalau tidak perlu jangan memakai peluru.
"KELELAWAR HITAM."
Tiba-tiba Rudy dan Harsa tertawa gelak-gelak. Puas hati mereka setelah
mulai dapat menyingkap tabir pembunuhan Hartini.
43 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko VIII. SOPIR B 44117 Esok paginya mereka telah berada di kamar kerja inspektur Kandar.
Sopir B 44117 inspektur Kandar. telah menghadap dan kini telah duduk di muka meja
Rudy dan Harsa duduk di kursi dekat jendela, sambil menghisap rokok.
"Siapa nama Bapak?" tanya Inspektur Kandar.
"Nama saya Anwar," jawab sopir itu dengan logat Jakarta.
"Tentunya Bapak masih ingat tentang kejadian yang baru lalu... coba Pak
berilah keterangan, bukankah Bapak yang terakhir menghadapi korban itu ...
jangan takut, ceritakan semuanya," kata Inspektur kandar.
"Ya tentu saya ceritain semuanya ... tapi saye harap tuan jangan tuduh
saye kerjain itu pembunuhan," kata sopir Anwar.
"Gini tuan," katanya memulai memberi keterangan. "Waktu itu saye baru
ngomong ame temen di warung, kite sedeng ngopi sekonyong-konyong
dateng seorang laki ame seorang perempuan deketin. Yang laki tanya ame aku,
apa mau aku nganterin mereka pigi ke luar kota ... sehabis putus soal sewa,
sigra saye anterin mereka naik taksi. Ya tuan perjanjian sewa taksi itu, tinggi
banget ... pikirku hari itu saje dapet rejeki banyak.
Kata orang laki itu, saye harus nganterin mereka pigi Semarang.
Oh ya, tuan ini kejadian bukannya yang barusan ... ya saye sejak itu kerep
banget nganterin orang yang perempuan, lagi pula bayarannya juga lumayan.
Soal yang barusan ini, ya ... serem betul ... saya nganterin perempuan itu
pigi Bandung, sehabis mana terus ke Semarang ... yang saye tahu perempuan
langgananku itu dikit lain dari dari mukanye.
Dianye tampak gemetar banget ... Sampai di Semarang kira-kira pukul
delapan. Krena sampai di hotel saya disuruh nganterin bungkusan ke dalam
kamarnya ... sekonyong-konyong ada orang laki nodong pistol padaku ... saye
takut ... lalu angkat tangan ... tetapi orang itu juga perintah ke perempuan itu
angkat tangan, sekonyong-konyong pistolnya bunyi tapi bunyi itu tak kuat dan
perempuan itu jatuh sambil pegangin kakinya ... ya saye heran banget ... aneh
ada pistol tidak bunyi seperti yang lain, seperti yang saye lihat di gambar ... dan
sebelon saye tahu ape-ape orang laki itu suruh saye cekik leher perempuan itu.
Karna saye takut dan sayang ame jiwaku, dengan gemetar ame takut turutin
perintahnye. Kudekati perempuan yang jatuh itu ... tetapi kulihat dianye udah
44 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko pucet banget, badannye tampak lemah Dan ... tuan sigra saj saye kerjain
perintah laki itu. Saye cekik leher perempuan itu tapi belum lama dianye udah
lemes dan saye disuruh pigi tinggalkan kamar itu.
Saye diancem mau dibunu kalo mau bukak mulut di luaran." Demikian
keterangan Anwar. "Apa engkau masih ingat orang lelaki yang menodong pistol itu?" tanya
Rudy kemudian. "Ah sukar, mukanya ... dibungkus karet, hanya saye tau dianye kagak
nggunain tangannye kanan, dianye waktu mistol pake tangan kiri."
"Oh ... kidal agaknya ..." sahut Harsa.
"Lalu engkau mengendarai modbilmu dengan tanpa makai kunci...? tanya
Rudy, tapi diputus sopir itu.
"Eh... di mobilku di sana masih ada kunci yang lain, entah saye kagak tau
dari mane datangnye ... hanya itu saje yang saye tau."
"Ya kalau begitu, cukup ini dulu pak," kata Rudy.
"Ah saye boleh pulang?" tanya sopir.
"Ya pak, kapan saya ada panggilan hendaknya datang ke mari", kata Rudy.
Segera sopir itu meninggalkan kamar kerja inspektur Kandar.
"Setelah hening beberapa jenak, Rudy mulai membuka kesunyian:
"Dari keterangan sopir tadi sesuai dengan pemeriksaan dokter Guna,
kemungkinan kematian Hartini itu bersamaan ... artinya bekerjanya racun itu
bersamaan dengan cekikan sopir tadi ... dan kalau pun tidak dicekik ia juga
pasti mati." "Tadi dikatakan penembaknya kidal ..." kata Harsa.
"Ya kidal ... tetapi eh ... kiraku aku pernah ingat orang kidal," kata Rudy,
seraya mengerutkan dahinya.
?Di mana?" tanya Harsa.
"Entahlah aku agak lupa .... coba nanti-nanti saja," kata Rudy.
Setelah bercakap-cakap sejenak, Rudy dan Harsa minta diri. Sampai di
kamarnya segera mereka membuka bajunya, karena udara amat panas.
"Bagaimana pendapatmu, Dy??" tanya Harsa seraya duduk.
"Keterangan menjadi bertambah... dan Har... bukankah dalam surat-surat
itu menyinggung soal uang," tiba-tiba kata Rudy.
"Ya uang... dan menurut cerita Jono, Hartini dapat dengan mudah uang itu
dihamburkan ... maksudmu?"
45 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Kukira kita menghadapi soal pemalsuan uang," kata Rudy dengan cepat.
"Pemalsuan uang?" kata Harsa.
"Betul, tetapi coba aku telpon sebentar," kata Rudy seraya meninggalkan
biliknya. Ditelponnya kantor polisi pusat. Setelah agak lama bercakap dengan
melalui telpon itu, segera ia balik ke kamarnya."
Tak lama kemudian Rudy dan Harsa telah ada di dalam Fiatnya.
Ketika mereka sampai di kantor polisi pusat, tiba-tiba ada orang lari
menuju halaman kantor polisi.
Ternyata yang lari itu sopir Anwar.
"Tuan... Tuan saye lupa dikit ...?" katanya dengan masih tersengal-sengal
nafasnya. Rudy dan Harsa berhenti menoleh sopir Anwar.
"Ada apa Pak?" tanya Rudy heran.
"Nih ampir saye... ni ada buku kecil yang jatuh di dalam taksi saye ... kejepit
tempat duduk," katanya seraya memberikan sebuah notes. Segera Rudy
menerimanya. Ketika dibaca, ternyata itu buku harian Hartini.


Komplotan Kelelawar Hitam Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pak, amat berterima kasih," kata Rudy.
Segera Rudy dan Harsa masuk ke dalam, menemui Inspektur Kandar.
"Eh perlu benar kiranya, engkau balik kembali?" tanya inspektur Kandar.
"Penting... kata Rudy mendekati meja kerja.
Selelah duduk, segera ia membuka notes harian Hartini ... tiba-tiba ia
senyum. "Ya tak salah lagi, gerombolan "KELELAWAR HITAM" ini aktif dalam
pemalsuan uang," kata Rudy.
"Pemalsuan uang?" tanya inspektur Kandar.
"Ya... he ...telah meluas seluruh Jawa..." kata Rudy terkejut.
Segera mereka bertiga sibuk mengatur perintah kepada segenap anggota
polisi. Surat kabar sore isinya menggemparkan penduduk Jakarta. Dimuat dengan
huruf-huruf tebal tentang terjadinya pemalsuan uang.
Esok paginya di kantor-kantor juga mengalami kegegeran, karena uang kas
mereka ternyata telah palsu semuanya.
46 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Kegaduhan merata di seluruh kota-kota besar di Jawa. Palsu ... palsu ...
uang palsu yang beredar dengan mendadak.
Anggota polisi di seluruh Jawa dikerahkan mengusut.
47 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko IX. SERGAPAN SETENGAH HAMPA.
Rudy dan Harsa sedang sibuk mempelajari buku harian Hartini.
Tiba-tiba mereka segera berdiri, menemui inspektur Kandar.
Segera dikerahkan beberapa pasukan polisi.
"Siap..." perintah inspektur Kandar.
Barisan polisi berbaris teratur mendengarkan perintah.
"Regu pertama mengadakan pengepungan di kompleks Serayu bagian
timur, regu kedua di sebelah barat. Kalau tidak perlu jangan mempergunakan
senjata. Kepunglah gedung di jalan Seraju no. 1/9978. Segera berangkat, regu tiga
dan regu empat mengadakan pengepungan di gedung kertas yang terletak di
jalan Pekojan no. 142/AB, segera berangkat.
Regu kelima dan keenam mengadakan pengepungan di pelabuhan, periksa
dan tahan kapal "RINDANG" serta rumah makan "BAHAR." segera berangkat,"
demikian perintahnya. Segera barisan polisi meninggalkan, pergi menjalankan tugas.
Setengah jam kemudian kota Jakarta menjadi gempar. Suara tembakan
terdengar di sana-sini. Rudy dan Harsa memimpin barisan yang mengadakan pengepungan di
pelabuhan. Rumah makan "BAHAR" telah terkepung.
Tembakan segera terdengar dari rumah-makan itu. Dengan tak gentar
pasukan-pasukan polisi makin mendesak mendekati rumah makan itu.
Sepuluh menit kemudian tembakan dari rumah makan telah tak terdengar,
tak lama kemudian keluarlah dari dalam rumah makan beberapa orang yang
telah mengangkat tangan. Pemeriksaan segera terjadi. Korban peluru di pihak
lawan amat banyak. Pada tubuh mereka diantaranya didapati gambar cocok (tato) Kelelawar
Hitam ... Penggeledahan lebih lanjut, didapati beberapa bungkus uang serta kertas
yang masih lembaran. Ternyata uang itu palsu semuanya.
Segera mereka digiring ke kantor polisi.
48 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Rudy dan Harsa lari ke kapal "RINDANG." Di sana letusan peluru masih
terdengar dengan amat gencarnya. Tetapi tak lama kemudian mereka
menyerah. Jam delapan malam pertempuran selesai. Kota Jakarta menjadi sepi.
Esok paginya surat-surat kabar memberitakan hasil penyergapan yang
terjadi semalam. Pihak gerombolan tertangkap lima puluh orang, di antaranya yang enam
pada pinggangnya terdapat gambar cocok Kelelawar Hitam. Yang meninggal
ada lima belas orang. Dari hasil pemeriksaan, Rudy dan Harsa dibantu inspektur Kandar itu telah
dapat membubarkan kawanan Kelelawar Hitam di kota Jakarta.
"Tetapi aku belum puas," kata Rudy.
"Ya kita harus dapat mengetahui, di mana uang itu dibuat," sahut Harsa.
Dari penggerbekan itu, mereka tidak mendapatkan di mana uang palsu itu
dibuat. Lagi pula mereka menghadapi soal pelik, karena para tawanan yang
ditanyai soal organisasi itu tidak dapat memberi jawaban yang memuaskan.
Mereka tawanan itu tidak ada yang mengenal kepalanya, apalagi melihatnya.
Mereka hanya menerima perintah dari surat saja. Pula antara satu sama lain
tidak ada yang mengenal. Baru setelah terjadi sergapan itu saja mereka
mengenal siapa-siapa anggota Kelelawar Hitam itu. Dari beberapa laporan para
tawanan itu didapat keterangan bahwa gerombolan Kelelawar Hitam itu amat
teratur dan mengenal peraturan yang harus ditaati oleh setiap anggotanya.
Siapa ingkar dan telah mendarat surat ancaman karena kelalaiannya berarti
maut tantangannya. Mereka tidak mengenal apa perikemanusiaan itu. Pokok, siapa ingkar mati.
Dari pengakuan mereka memang hasilnya amat menyenangkan, hidup mereka
yang serba kecukupan itu sebanding dengan tugas berat yang mereka pikul.
Hampir kebanyakan dari mereka itu tidak berani menjalankan keingkaran
karena banyak di antaranya mereka itu rata-rata pelanggar hukum semuanya.
Memang kepala gerombolan itu licin dan pandai memilih anggota-anggotanya
yang dapat diikat dalam organisasi itu.
Matanya yang tajam serta telinganya yang cepat mendengar berita baru
atau keterangan tentang seseorang yang merasa dirinya berkesalahan
melanggar hukum negara. Dengan bujukan uang yang banyak serta ancaman akan dihadapkan
kepada polisi ia dapat mengikat para pelanggar-pelanggar hukum itu.
49 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko X. PENGAJARAN YANG LEBIH LANJUT
Esok pagi berikutnya setelah selesai Rudy dan Harsa mengurus soal
penyergapan semalam, mereka pergi ke kantor polisi.
"Bagaimana Kan? Sudah selesai semuanya?" tanyanya.
"Hampir semua tempat-tempat yang seperti tercantum dalam buku harian
Hartini telah saya adakan pemeriksaan," jawab inspektur Kandar.
"Tetapi sayang kami tidak dapat mengadakan penyergapan terakhir di
sini." "Mengapa demikian?" tanya inspektur Kandar.
"Karena seperti dalam catatan Hartini jang di belakang, di situ tertulis
bahwa pusat organisasi itu telah dipindah ke kota S."
"Kota S? Lalu mana kira-kira yang dimaksud dengan Kota S itu?"
"Secara rabaan mungkin Semarang."
Sstelah bercakap-cakap agak lama Rudy dan Harsa minta diri untuk pulang
ke Semarang. Jam satu siang meraka sudah sampai di kota Semarang lagi.
"Ke mana tujaan kita Har?" tanya Rudy setelah memberhentikan mobilnya
di kantor polisi. "Coba kita cari keterangan dari Mana dulu," sahut Harsa.
"Oh hallo, kalian sudah kembali, bagaimana hasil pekerjaan kalian?" tanya
Inspektur Mana dengan senyum.
"Kurasa amat memuaskan, meskipun belum selesai betul-betul. Memang
tentang pembekukan gerombolan dapat kukatakan hampir sampai di
ujungnya." Jawab Rudy. "Lagi pula mengenai pembunuhan Hartini masih belum
terang betul," katanya lagi.
"Eh masih gelap?" tanya inspektur Mana.
"Gelap sih tidak," kata Harsa.
"Lalu bagaimana, apa ada keterangan lebih lanjut?"
Harsa kemudian menceritakan tentang diri Hartini, Inspektur Mana
mendengarkan dengan penuh minat.
50 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Hanyalah bahan-bahan untuk membuka tabir pembunuhan Hartini kurasa
makin mencapai akhir... begini ... dari pemeriksaan di sini dulu itu ada sedikit
keterangan yang belum kita selesaikan, dari penyelidikan kami dulu ... hasilnya
Hartini di kota ini mendapat tugas, tugas mengedarkan uang palsu, kita tahu
sekarang. Lain dari pada itu kita masih harus menyelidiki pelayan hotel Simin
yang tinggal di Mlaten K/62"
Dari keterangan yang kami peroleh ia pernah menunjukkan rasa kurang
senang ketika mak Minah mengantarkan minuman Hartini ke kamanya. Pernah
ia mengatakan kata penting. Di samping itu keterangan dari sopir taksi Jakarta
dulu itu, ia berkata bahwa Hartini kena tembakan pistol yang berlubang kecil,
kemudian sopir, tadi disuruh mencekik Hartini. Menurut penuturan sopir Hartini
waktu itu menyadi pucat serta lemas setelah mendapat tembakan.
"Pula kata sopir itu pembunuhnya ketika membunuh memakai tangan kiri,
jadi kidal...," demikian kata Harsa.
"Lalu pendapatmu bagaimana, Dy" Tanya inspektur Mana kemudian.
"Dari hasil pemusatan pikiran di perjalanan tadi ialah, tuduhan terakhir
kepada Simin, karena pertama ia telah menunjukkan kecurigaan kami
berdasarkan penuturan mak Minah, kedua dari hasil penyelidikanku ketika
terjadi pembunuhan itu kuasa hotel "RIO" ada di depan, ia melihat siapa saja
yang masuk ataupun keluar dari pintu depan.
Menurut keterangannya yang pernah saya peroleh waktu itu ia hanya
melihat sopir itu saja yang masuk bersama Hartini dari perjalanan.
Dan tak lama kemudian ia melihat sopir itu keluar dengan wajah
menunjukkan rasa takut. Tadi kukatakan tuduhan terakhir jatuh kepada Simin, inipun masih harus
diselidiki lebih lanjut. Kita tahu bahwa Siminlah yang mengurusi soal tamu-tamu hotel "RIO" itu,
menurut kuasa hotel ia bekerja di sana itu dimulai menjelang kedatangan
Hartini di kota ini." Demikian kata Rudy dengan tenangnya.
"Tetapi apakah itu sudah cukup untuk menuduh?" kata Inspektur man.
"Sudah. Namun masih harus dibuktikan lebih dahulu.
"Apakah tidak ada orang lain yang mungkin kena tuduh, maksudku tak
adakah orang lain waktu itu yang menginap di hotel?" tanya Inspektur Mana.
"Oh, ya ... hampir aku lupa mengatakan, waktu itu di Hotel Rio tidak ada
tamu menginap kecuali Hartini saja ... dan kemudian mari kita terus
mengadakan penyelidikan," kata Rudy.
Setelah mengadakan persiapan, mereka bertiga meninggalkan kantor.
51 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Dengan naik Fiat mereka menuju ke hotel. Waktu mereka melangkahkan
kakinya ke ambang pintu mereka berpapasan dengan seorang lelaki yang
tinggi besar. Pada wajahnya menunjukkan garis potongan orang Mongol
dengan mata agak sipit. Kalau Rudy dengan awas tentu akan melihat perubahan wajah orang itu
ketika berpapasan. "Kau terlambat" kata orang itu dengan perlahan.
Rudy dengan teman-temannya tidak menduga sama sekali akan perkataan
orang itu. Mereka bergegas masuk ke dalam.
Apa yang terjadi? Di dalam mereka dapati keributan karena pelayan Simin
kedapatan telah meninggal.
Setelah diadakan pemeriksaan ternyata Simin terbunuh dengan racun luka
bintil kecil merah di lengannya.
Dari pemeriksaan itu Rudy mendapatkan sepucuk surat kecil, bunyinya:
Saudara-saudara Yth, Kukatakan kedatangan saudara itu terlambat. Simin terpaksa kubunuh
karena ia ingkar juga. Dialah yang membunuh Hartini yang ingkar janji pula.
Amat menyesal kali ini tuan-tuan sekalian menggagalkan usahaku, kuakui
ketelitian pekerjaan saudara-saudara.
Biarlah usahaku dapat kukatakan hancur. Tetapi kita akan bertemu lagi di
lain soal. Selamat bertemu kembali. "Kelelawar Hitam"
?Kelelawar Hitam?" tanya Inspektur Mana.
"Ya... oh coba panggil kuasa hotel Har," kata Rudy.
Tak lama kemudian datanglah Tionghwa kuasa hotel itu.
"Siapa saja yang masuk ke dalam tadi, Tuan?" tanya Rudy.
"Hanya seorang saja ... dan orangnya yang barusan keluar, ketika tuan-tuan
masuk tadi," jawab kuasa hotel itu.
"Apa orang Mongol tadi?" tanya Harsa.
"Ya ...," jawab kuasa hotel.
"Ah kabur, tentu orang itu kepala gerombolan Kelelawar Hitam," kata Rudy.
52 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko "Eh ada surat-surat," kata inspektur Mana.
Ternyata isinya menyatakan bahwa Simin menjalankan keingkaran serta
mendapat ancaman pula. "Orang penting juga mungkin Simin ini," kata Rudy.
"Kalau begitu mari kita adakan penyelidikan di rumahnya saja ... tetapi oh
Tuan," kata Harsa kepada kuasa hotel.
"Ada apa tuan?" sahut kuasa hotel.
"Apakah Simin ini kidal?"
"Ya," jawabnya pendek.
Mari kita pergi ke rumah Simin. Mungkin di sana kita mendapat
keterangan lebih lanjut," kata inspektur Mana.
Tak lama kemudian mereka bertiga meninggalkan hotel Rio setelah
memanggil ambulance untuk mengangkut diri korban.
Sampai di rumahnya Simin mereka dapatkan pintunya tidak terkunci.
Rumah itu sepi saja, tidak ada penghuninya. Ketika mereka masuk sebuah
kamar, mereka mendapatkan sepucuk surat.
Saudara-saudara Yth. Aku telah merasa bahwa tuan-tuan sekalian tentu akan ke mari
mengadakan pemeriksaan. Sayang tak sempat kami mengangkuti barangbarang.
"KELELAWAR HITAM."
"Barang-barang?" tanya Harsa.
"Mungkin di sini kita dapatkan percetakan uang palsu itu," kata Rudy.
Ternyata ketika mereka masuk pada suatu bilik di sana di lantainya ada
lubangnya yang masuk ke dalam tanah.
Dengan hati-hati mereka menuruni tangganya. Di dalamnya mereka dapati
alat percetakan uang palsu. Pula didapati beberapa peti uang palsu yang telah
selesai dicetak ataupun kertas-kertas yang masih kosong.
Setelah mengadakan penyitaan, Rudy memberi tahu kepada kota-kota
besar agar diadakan penjelidikan tentang beredarnya uang palsu.
Seluruh Jawa terjadi kegegeran, karena beredarnya uang ratusan palsu.
Kerja gerombolan Kelelawar Hitam memang licin.
53 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Tiap-tiap kantor perdagangan mengalami keributan pula karena uang kas


Komplotan Kelelawar Hitam Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka ternyata isinya uang palsu semuanya, sedangkan uang yang tidak palsu
telah berpindah tempat. "Kali ini mereka hancur," kata Rudy pada suatu sore hari di rumahnya
Harsa. "Ya tetapi tentu ia akan mengadakan aksi yang lain, seperti suratnya."
"Itupun akan kita hadapi dengan penuh ketelitian serta kewaspadaan," kata
Rudy. "Eh tanggal berapa sekarang?" tanya Harsa.
"18 kurasa, ada apa Har?" balas Rudy bertanya.
"Filmnya di Orion kan sudah ganti, mari nanti malam kita nonton?"
"Baiklah untuk meredakan kelelahan," jawab Rudy.
Sore harinya mereka tampak dengan naik Fiatnya menuju ke Orion.
Setelah membeli karcis lalu mereka masuk.
TAMAT FINIR 54 KOLEKTOR eBOOK Penyunting: Kukuh Djatmiko Baca juga: KELELAWAR HITAM di JOGJA.
Siapa yang lebih tangguh?
Detektif Rudykah? Kdj-3 September 2018 55 Keris Naga Sakti 1 Si Jenius Dungu Charlie Flowers For Algernon Karya Daniel Keyes Mayat Dalam Perpustakaan 4

Cari Blog Ini