Ceritasilat Novel Online

Medal Of Love 2

Medal Of Love Karya Thelapislazuli Bagian 2


"Kamu kalau cemberut gitu, aku turun yaa. Kita ngga usah jadi pergi." Ancam Rara
Rara memang tahu bagaimana cara menangani Reno. Buktinya, kini Reno sudah mengubah ekspresi wajahnya.
"Aku ngga pernah menang kalau ribut sama kamu." Aku Reno.?
"Jangan cemberut, ganteng!" Rara mengucapkan dengan secepat kilat dan mengangetkan Reno.?
"Coba ulang, Sa. Ulang ngga?" Reno memaksa Rara mengulang perkataannya namun Rara menutup mulutnya rapat. Reno menepikan mobilnya dan memaksa Rara untuk
mengucapkannya.? "Clarissa Aurora, kamu ulangi perkataan tadi atau aku cium?" Reno juga tahu bagaimana caranya menang dari wanita ini.?
"Tadi aku bilang jangan cemberut, gan.. teng!" Rara sengaja memecah pujiannya.?
"Terima kasih, Sayangku. Aku memang ganteng. Bahkan Mas Radith kalah ganteng." Reno mengatakkan dengan wajah puas. Ia senang jika mendengar Rara memujinya
dengan kata yang sebenarnya sudah bosan ia dengar itu.
"Sa, kamu lebih seneng aku panggil Rissa atau Rara?" Reno bertanya karena ia merasa bingung, saat menyebut nama perempuan yang mengganti namanya dengan
nama panggilan untuk keluarganya itu.?
"Panggil my rival juga boleh." Jawab Rara cepat. Sebenarnya Rara lebih senang jika melihat Reno menjadi menyebalkan seperti dulu daripada sosoknya yang
manis saat seperti ini.? "My lovely rival? Terus kamu manggil aku apa?" Reno bertanya balik.?
"Yaa, manggil Reno. Maunya dipanggil apa? Bang Reno?" Rara teringat jika dirinya dengan Reno memang berbeda bulan dan Reno lebih tua 4 bulan darinya.?
"Jangan abang ah.. kayak tukang jualan. Manggil aku Mas aja mau ngga, Sa? Biar mesra kayak Mas Radith sama Mba Neona gitu." Reno yang memang tidak mau
kalah dengan Radith pun mengajukan permintaan pada Rara yang kini tampak sedang menimbang-nimbang.?
"Hmm.. Kalau Akang Reno?" Saran asal pun keluar dari mulut Rara yang membuat Reno terbahak.
"Yeeuh, si Eneng ulah kitu atuh." Reno menggeleng-gelengkan kepala. Rara memang selalu tampak serius di luar namun aslinya ya seperti ini.?
"Masalah panggilan aja kenapa ribet sih, Ren. Kalau aku sih terserah kamu mau panggil aku apa. Clarissa itu nama untuk teman-teman. Kalau Ibu sama Budhe
manggilnya Rara. Sejak aku ke Jogja aku ngubah sekalian jadi Rara." Rara menjelaskan.?
"Yaudah aku manggil kamu Sa aja deh. Kalau aku panjangin kan bisa jadi Saaaayang." Putus Reno dan membuat Rara tertawa. Lihat! Reno memang selalu punya
pilihannya sendiri. "Ya sudah aku manggilnya Mas Reno aja gimana?" Akhirnya Rara memutuskan pilihannya lantas? tersenyum ke arah Reno. Hal ini membuat Reno kaget lantas mengerem
mobilnya secara mendadak.?
"Kamu serius mau manggil aku Mas? Serius, Sa?" Tanya Reno dengan wajah berseri-seri. Ternyata benar kata Radith, saat wanita yang kita cintai memanggil
kita dengan sapaan Mas, maka ada debaran lain di hati.
"Duuh Mas! Jangan mengerem mendadak gini. Iya, aku mau manggil kamu Mas, ngga boleh?" Rara membenarkan duduknya.?
"Mana mungkin ngga boleh? Aku aja rasanya mau lari keliling GBK gara-gara kamu manggil aku Mas. Meski aku cuma tua karena bulan tapi panggilan kamu kayak
gitu bikin aku semakin siap jadi imam buat kamu." Reno tersenyum dan menatap dalam bola mata Rara. Pipi Rara pun memerah mendengar perkataan Reno.
"Minta izin dan restu sama Budhe dulu kalau mau meminang aku, Mas. Kita harus ke Jogja dulu. Kemarin aja harusnya kamu melamar aku tuh di depan Budhe,
satu-satunya keluarga yang aku punya." Rara mengungkapkan fakta yang harus diingat Reno.?
"Besok kita ke sana gimana?" Reno bertanya dengan wajah penuh harap sedangkan Rara melolotkan matanya dan berdecak kesal.?
"Kebiasaan semuanya dadakan! Mau bikin aku mati muda ya? Besok itu Senin. Aku masih banyak kerjaan ngedit artikel. Artikelnya juga tentang Mas semua."
Rara memang sudah meniatkan memanggil Reno dengan sapaan Mas, jadi mulutnya tidak lagi kaku.?
"Aku kenapa sih jadi hits banget di majalah kamu?" Reno mempertanyakaan pertanyaannya selama ini.?
"Itu.. karena." Rara jadi teringat Bos nya di kantor. Apa reaksi Lyra jika tahu, bahwa selama ini Rara lah yang ditunggu dan dicintai Reno? Sejak acara
ulang tahunnya yang didatangi Reno saja, Lyra tampak begitu bahagia dan memasang foto Reno super besar di ruangannya.?
"Itu karena?" Reno mengulang perkataan yang digantung Rara.?
"Mba Lyra suka Mas." Jawab Rara cepat. Hatinya terasa seperti tercubit. Ternyata pertahanan dirinya selama ini justru runtuh saat Reno sudah di sampingnya.
Ada rasa memiliki yang jauh lebih besar sehingga Rara merasa dirinya berhak untuk cemburu.?
"Kamu cemburu ya? Ngaku!" Tembak Reno. Ia tahu nada bicara wanita yang cemburu itu seperti apa. Lagipula, ia masih ingat adegan saat dirinya datang ke
pesta ulang tahun pemimpin redaksi itu. Mata Rara tak mau pindah dari dirinya dan Lyra.?
"Aku seneng kamu cemburu. Makasih sudah merasa bahwa kita saling memiliki. Aku justru takut kalau kamu ngga cemburu." Reno menggenggam tangan kekasih hatinya.
Meski Reno tidak pernah memiliki hubungan dengan wanita siapapun selain terakhir dengan Nadhira saat SMA. Dirinya masih sangat tahu bagaimana cara memperlalukan
wanita dengan baik.? "Mas ngga suka sama Mba Lyra kan?" Rara bertanya dengan was-was.
"Haha tuh kan bener. Kamu cemburu! Ngga kok, Sa. Kalau aku tertarik, sudah dari dulu aku deketin dia. Tipe yang kayak gitu mah, sekali sapa juga tekuk
lutut. Memangnya kamu! Aku harus jungkir balik dulu. Sudah jungkir balik terus kamunya hilang sewindu. Aku bisa ngalahin penyanyi bertubuh tambun itu kalau
bikin lagu Sewindu versi Langit Moreno." Reno mengatakannya dengan wajah penuh percaya diri nan sombong yang membuat Rara tersenyum malu.
"Terima kasih karena telah berjuang untuk aku yang seperti ini Mas." Rara berkata dengan tulus dan senyuman yang manis di mata Reno.?
"Kita berjuang bersama yaa sekarang. Aku cinta kamu, Sa." Ucap Reno. Reno merasa dirinya sedang meminjam jiwa Radith yang selalu mengatakan cinta pada
istrinya itu.? "Rara juga cinta Mas." Rara mengatakkannya dengan cepat, karena secepat itu pula pipinya memerah. Reno mengulum senyum karena ia hafal bahwa wanita di
sampingnya ini sebenarnya ekspresif namun juga? pemalu. Jika sudah begitu, maka bicara cepat adalah pilihan Rara.?
*****? Membelah ibu kota di hari Minggu menuju taman rekreasi memang butuh perjuangan. Reno dan Rara baru saja sampai setelah menempuh 3 jam perjalanan.?
"Kita makan siang dulu yaa, baru main-main di wahana." Ajak Reno yang tidak dibantah Rara. Mereka berdua pun keluar dari mobil.
Reno menambahkan kaca mata hitam di wajahnya sedangkan Rara menggunakan benda yang diberikan Neona padanya. Sebuah kacamata dan selendang untuk menutup
rambutnya. "Itu dari Mba Neona?" reno memperhatikan selendang yang ada di kepala Rara.?
"Iya, pas kemarin aku nolak buat kencan dengan alasan takutnya ada yang nangkep kita jalan bareng, Mba Neona ngasih ini." Rara menunjukkan kacamata dan
selendang yang ia tahu itu tak pernah dipakai Neona.?
"Lagian kamu kenapa sih ngga mau go public? Aku bukan artis loh." Reno memprotes keinginan Rara sejak kemarin.
Rara memang meminta hubungan mereka dirahasiakan dengan alasan dirinya adalah editor yang bertanggung jawab atas berita Reno. Rara bisa membayangkan apa
tanggapan semua orang saat tahu sang editor adalah pacar dari si objek tulisan. Mereka pasti akan menilai yang tidak-tidak. Belum lagi, reaksi dan tanggapan
Lyra.? "Mas memang bukan artis, tapi pernah digosipin sama artis kan? Makanya masih diselidiki mulu sama pers." Rara menjelaskan apa yang selama ini menjadi fokus
para pencari berita terhadap Reno. Reno pun menggeleng-gelengkan kepala.
"Okey, aku terima semua alasan kamu. Tapi ini ngga selamanya yaa, Sa. Aku lebih baik kamu keluar pekerjaan kamu daripada hubungan kita yang keganggu. Kamu
mau bikin butik atau toko kue kayak cita-cita kamu, aku buatin." Reno menyampaikan pandangannya.
Rara kaget karena Reno masih mengingat pembicaraan mereka tentang cita-cita Rara dulu saat mereka sedang melakukan pelatihan bersama.?
Rara hanya mengangguk tanpa mau membalas perkataan Reno. Baginya, Reno kalau sudah begini, akan berubah menjadi Reno yang arrogant dan yang ada justru
mereka akan adu mulut dan kencan ini pun terancam gagal.?
Mereka pun memilih restoran cepat saji lalu menyantap menu makan siang pilihan masing-masing.?
"Kebiasaan dari dulu deh, ngambil saos tapi saosnya ngga dicolek sedikit pun. Buat aku aja ya." Reno memprotes kebiasaan Rara yang menyia-nyiakan saos
di piringnya. "Iya, buat Mas saja. Kok masih inget sih?" Rara sebenarnya tersipu saat mendengar Reno mengingat dirinya dengan detail.
"Apa sih yang ngga aku ingat tentang kamu? Kamu sudah ada di kepala dan hatiku selama sewindu ini dan akan selamanya begitu, Sa." Reno pun mencolek saos
di piring Rara menghabiskan menu makan siangnya kali itu.
Seusai makan siang dan beribadah, mereka pun akhirnya memasukki wahana bermain yang semakin ramai. Reno dan Rara menikmati wahana-wahana yang membuat adrenalin
mereka terpacu. Reno senang saat melihat ekspresi tertawa lepas milik Rara begitupun Rara yang sangat bahagia saat tangannya digenggam Reno dengan erat.?
"Kita kayak anak abg baru jadian yaa?" ucap Rara saat Reno membelikkannya cotton candy.
"Kita memang kehilangan moment itu, makanya harus dibayar sekarang." Reno meminum air mineral yang baru ia beli. Rara jadi merasa bersalah. Kalau dirinya
tidak pergi ke Jogja, pasti mereka sudah mengalami kenangan manis pacaran seperti ini dari dulu.?
"Jangan minta maaf. Ini takdir kita, Sa. Kamu pernah bayangin ngga, kalau dulu kita langsung jadian? Mungkin, itu cuma cinta sesaat anak remaja yang bisa
putus karena kesibukkan atau bosan. Tapi karena kejadian itu, aku sama kamu belajar untuk menjaga semua perjanjian hati kita ini." Reno menyela sebelum
Rara sukses mengeluarkan suaranya untuk meminta maaf. Reno tahu, ini akan selalu dianggap kesalahan bagi Rara. Sedangkan bagi Reno, ini semua adalah anugerah
dan pembelajaran.? "Okey, aku ngga bakal minta maaf. Jadi, apalagi yang dilakuin anak abg yang baru jadian?" tanya Rara antusias.?
"Kita sampai sore di sini, habis itu kita ke pantai yaa. restoran di sana enak kok makanannya dan aku mau lihat senja bareng kamu." Reno membeberkan rundown
yang sudah ia rancang selama semalamnya.?
"Baiklaah! Yuk naik wahana itu!" Rara menunjuk wahana bianglala. Reno pun mengandeng tangan Rara menuju antrian yang mengular.?
Saat mereka berada di puncak, Reno pun mengeluarkan ponselnya.?
"Sa, aku mau kita foto di sini." Reno menarik wajah Rara akan mendekat pada dirinya. Rara menuruti keinginan Reno dan mendekatkan pipinya ke samping pria
yang ia cintainya itu.? Banyak foto yang diambil Reno, hingga salah satunya adalah saat Reno mengecup kening Rara. Ia teringat teguran Radith atas aksi nekatnya mencium Rara tiba-tiba
waktu itu. Jadi Reno berpikir kalau mencium di kening tidaklah menjadi masalah sebesar di tempat lain.
Momen kaget Rara tertangkap sempurna oleh kamera handphone Reno. Pipi Rara memerah sempurna dan justru semakin membuat Reno semakin gemas.?
"Astagaa kamu makin imut tahu ngga? Tadi kan nanya apa yang dilakuin anak abg yang baru jadian. Ya, gitu sudah cium-cium." Reno tertawa jahil melihat
Rara yang kini memunggunginya.
"Mas!!! Kita tuh belum halal ya! Aku bukan para wanita yang suka dan biasa dicium-cium. Kalau Mas masih cium-cium kayak gitu aku marah dan kita putus."
Ancam Rara yang membuat Reno panik.
Rara jelas berbeda dengan wanita yang selama ini mencoba mendekati Reno. Mereka dengan sukarela memberikan anggota tubuhnya untuk dijamah Reno, meski ia
tidak pernah mau melakukkannya. Saat setan nafsunya berbicara, hanya ada wajah sang Bunda dan Rara di dalam pikiran Reno.?
"Maaf yaa, Sa. Aku ngga maksud melecehkan kamu. Aku cumaa.."?
"Iya, jangan diulangi. Pegangan tangan cukup!" Rara berjalan meninggalkan Reno yang tampak frustasi dan menyesal. Sepanjang jalan pun dihabiskan Reno untuk
membujuk dan meminta maaf pada Rara.?
Sesampainya di depan kostan Rara, akhirnya perempuan ini memaafkan kesalahan Reno.
"Sa, aku pulang yaa.. Tolong jangan marah apalagi sampai kabur. Aku bakal cari kamu ke ujung dunia. Aku janji ngga ada cium-cium sebelum kita ijab sah."
Reno berkata dengan nada sangat menyesal.
"Iya aku pegang janji, Mas. Eh tapi itu bener kalau aku hilang, Mas cari aku ke ujung dunia?" Tantang Rara. Reno pun menggeram.?
"Jangan nantang seorang Langit Moreno Trisdiantoro, Sa. Aku akan tahu kemana kamu pergi dan kamu memang ngga akan boleh pergi dari aku." Ucap Reno dengan
nada sombong dan posesif.
"Iya iyaaa Mas Reno sayang. Aku ngga nantang. Mas hati-hati pulangnya. Makasih buat hari ini." Rara mengelus tangan Reno dan memberikan senyuman yang mampu
menurunkan emosi Reno. Reno membalas senyum itu dan mengusap puncak kepala Rara lantas pamit untuk pulang.
*** BAB 13 Setelah mengalami akhir pekan yang super membahagiakan, kini Rara sudah kembali menjalani aktivitas di kantornya. Mengedit seluruh artikel dari para reporter
yang akan diterbitkan ke dalam majalah. Bagi Rara aktivitas itu sangatlah menyenangkan. Apalagi saat ini ia sedang mengedit artikel tentang Langit Moreno
yang kini sudah resmi menjadi kekasihnya.
Meskipun demikian, Rara dan Reno masih sering ribut seperti saat mereka masih menjadi siswa SMA dulu. Tadi pagi contohnya. Mereka ribut soal Reno yang
ingin mengumumkan ke seluruh dunia kalau Rara ini adalah tunangannya. Rara jelas tidak sepakat. Ia merasa akan banyak orang yang dirugikan dengan berita
itu.? "Aku ngga mau Mas kalau hubungan ini sampai kecium awak media. Aku bisa kehilangan pekerjaan. Kalau Mba Lyra tahu, terus dia mecat aku, gimana? Aku ngga
ada kerjaan lagi. " Rara berkata pada Reno di dalam mobil saat mereka berangkat ke kantor bersama.?
"Kalau kamu kehilangan pekerjaan, ya sudah. Kamu jadi istri aku aja. Ngurus aku bakal lebih sibuk kok dari kerja kantoran. Lagian gaji dari aku banyak
plusnya. Kamu dapat cinta, kasih sayang, peluk, cium dan itu dari aku hehe.." Reno menanggapi dengan wajah tengilnya seperti biasa.
"Pokoknya ngga ada yaa bilang-bilang awak media! Kalau Mas nekat, aku mundur aja dari hubungan ini." Ancam Rara yang membuat Reno langsung terbungkam dan
menunjukkan wajah kesal. "Kamu jangan ngancem kayak gitu, Sa! Kamu tahu kan, aku bakal gila kalau kamu ngga di samping aku. Oke, aku sepakat untuk tidak ngomong sama siapa-siapa.
Tapi jangan ngambek dan cemburu, kalau di media ada berita gossip beberapa artis sama aku yaa. Aku masih disangkut-sangkutin sama mereka karena aku masih
single di mata mereka." Reno memperingati dan Rara pun mencoba meyakinkan dirinya untuk tidak akan cemburu.?
Sebenarnya alasan takut kehilangan pekerjaan hanyalah hal yang Rara gunakan untuk menutupi ketakutan utamanya. Ia tidak mau, nama baik Reno rusak karena
keadaan dirinya. Di dalam pikiran Rara, ia yakin kalau awak media akan mencari tahu siapa dirinya.
Jika ada wartawan yang mengetahui asal-usul Rara, sudah pasti nama Reno ikut buruk di mata masyarakat. Apalagi saat ini Reno berada di perusahaan Ayahnya
yang otomatis akan mempengaruhi nama baik perusahaan di depan para pemegang saham. Rara tidak mau hal buruk terjadi pada keluarga yang begitu baik padanya.
"Hooooy Ra! Tumben banget lo ngedit dengan wajah banyak ekspresi. Kadang senyum, terus geleng-geleng terus cemas. Lo lagi kenapa sih?" Suara Winny menginterupsi
lamunan Rara akan kejadiannya tadi pagi.?
"Hah, kenapa Win? Loh kok lo ada di sini?" Rara yang baru kembali dari lamunannya pun bertanya layaknya orang bodoh.?
"Yaaah... beneran kesambet nih anak! Lo kenapa sih, Ra? Perasaan gue, lo itu jadi aneh sejak ulang tahun Mba Lyra deh. Diajak kenalan sama Moreno, bukannya
bahagia, malah pulang cepet." Ungkap Winny sambil mengunyah kripik milik Rara.
Rara sebenarnya gatal ingin cerita pada sahabatnya ini. Namun, Rara meragukan kerapatan mulut Winny. Bukan mustahil, jika cerita ini akan sampai ke meja
Mba Lyra, bukan?? "Waktu itu gue pulang cepet kan karena ngga enak badan." Jawab Rara.
"Hmmm.. Tapi lo yakin, lo pulangnya ke kostan? Kok gue ke kostan, lo nya ngga ada?" Winny dengan gaya wartawan pengejar berita beraksi menyudutkan Rara.
Matanya memicing tajam pada Rara.
"Kan gue bilang, gue ngga enak badan. Makanya gue ke apotik dulu." Bohong Rara. Benar juga kata orang, sekali berbohong akan menciptakan kebobongan selanjutnya.?
"Lo ke apotik jam berapa memangnya? Gue mampir ke kostan lo itu jam 9 loh, Ra dan lo belum pulang juga. Gue nunggu dan lo balik jam 10an diantar mobil. Jadi itu mobil siapa?" Tanya Winny yang membuat Rara tak berkutik.
Kejadian Reno menggeretnya ke rumah Neona memang sudah terjadi sepekan lalu. Namun selama ini Winny ada liputan di Bali. Baru kali inilah mereka bertemu
kembali. "Well, gue memang ngga pandai bohong dan susah juga bohong sama best reporternya Majalah Beraneka Kisi. Nanti jam makan siang, gue cerita deh sama lo.
Tapi jangan ember ya!" Rara akhirnya mengalah dan menjanjikan cerita pada Winny.
Winny terlihat bahagia karena ia memang selalu berhasil mendapatkan informasi apapun dari narasumber. Winny mulai berpikir untuk pindah menjadi wartawan
investigasi gossip yang pasti bayarannya besar.
?Lumayan buat modal nikah.? Pikir Winny.
***** "YaAllaaaah Rara demi apa?!" Winny berteriak tidak percaya dengan apa yang baru diceritakan oleh Rara. Winny memang tahu semua tentang Rara termasuk perihal
Rara yang sampai detik ini tidak tahu siapa Bapaknya. Namun Winny tidak tahu dan tidak menyangka kalau selama ini Rara lah perempuan yang ditunggu seorang
Langit Moreno Trisdiantoro.
"Jaga mulut ya Win, gue masih mau kerja di majalah ini soalnya. Kalau Mba Lyra tahu, gue bisa dipecat." Rara memperingatkan Winny dengan wajah memelas.?
"Lo dipecat Mba Lyra juga langsung jadi Nyonya Moreno, Ra. Ngga usah kerja, duduk manis, duit yang nyamperin lo." Winny berkata hal yang mirip dengan apa
yang diucapkan Reno. Membuat Rara menelan ludah dengan kasar.
"Sembarangan banget sih, Win! Lagian gue belum tentu juga nikah sama Mas Reno kan?" Rara menundukkan kepalanya. Ada kecemasan dan ketakutan dalam hatinya
jika ucapannya itu menjadi kenyataan.?
"Lo yang sembarangan! Cincin di tangan kiri lo apaan kalau lo ngga bakal nikah sama Moreno? Lo jangan ngada-ngada, Ra! Hmm.. atau lo suka sama pria lain
yaa kayak Mas Rion?" Winny dengan kemampuan introgasinya kembali membuat Rara tersentak.?
"Gue ngga pernah ngeliat Mas Rion ya, Win. Lo jangan bikin gosip! Gue ngga bakal nikah sama Mas Reno soalnya.."
"Soalnya lo merendahkan diri lo sendiri, Ra. Ra, masa lalu itu bukan kesalahan lo. Jangan jadi diri lo yang menanggungnya. Tadi kata lo, Reno dan keluarganya
menerima lo apa adanya, terus apa masalahnya?" Winny meminum jus melon yang sejak tadi ia abaikan karena cerita Rara yang jauh lebih menarik.?
"Gue ngga mau nama baik Keluarga Trisdiantoro hancur, Win. Mereka terlalu baik buat gue. Masa gue menghancurkan nama baik mereka? Gue cinta sama Mas Reno
dan justru karena itu gue ngga mau kalau nama Mas Reno rusak karena gue." Rara menghembuskan nafasnya kasar.
"Ra, pemikiran lo itu salah besar. Moreno sama lo sama-sama kehilangan selama 8 tahun. Kalau Moreno ngga serius sama lo, dia sudah pacaran sama siapa saja,
Ra. Bahkan ya kalau gue masih single gue maju deh, deketin pria rupawan kayak dia. Tapi dia terlalu cinta sama lo, Ra. Jujur ya, pergi dari seorang pria
kayak Moreno itu adalah hal terbodoh yang pernah gue denger dari seorang Rara." Winny mengatakan pendapatnya yang dibenarkan juga oleh logika dan perasaan
Rara.? "Ra, dengerin gue. Lo jangan dengerin apa kata dunia. Reno mencintai lo sedalam itu dan satu-satunya orang yang lo punya di saat ini. Jangan bodoh, Ra."
Winny memperingati Rara.?
Rara pun memeluk sahabatnya ini dengan erat. Winny ternyata lebih dewasa dari apa yang dibayangkan Rara. Semua nasihat Winny benar dan kini Rara hanya
perlu berani untuk mengambil keputusan untuk masa depannya.?
Setelah mereka selesai makan siang, dua sahabat itu? pun kembali ke kantor. Winny sudah berjanji untuk menyimpan rahasia Rara dengan sebaik mungkin. Ia
tahu, resiko apa yang akan ditanggung Rara jika Mba Lyra tahu siapa cinta Reno yang sebenarnya.
Bukan hanya Rara yang akan dipecat. Bisa-bisa majalah Beraneka Kisi ini ditutup karena Lyra patah hati saat tahu narasumber beritanya sudah memiliki tambatan
hati yang ternyata editor khususnya selama ini.?
*****? "Hai, Sayang!" Sapa Reno saat Rara masuk ke dalam mobil Reno yang terparkir 500 meter dari gedung kantor Rara.?
"Hai Mas! Maaf ya, nunggunya lama." Rara memasang sabuk pengaman dan memperhatikan wajah Reno yang sedikit lelah.?
"Aku ngga apa-apa nungguin kamu lama. Cuma kapan ya aku bisa jemput di depan kantor kamu langsung? Ngga di depan minimarket gini. Pake pinjem mobilnya
Mas Radith pula." Reno memprotes semua permintaan Rara. Meskipun akhirnya ia mengabulkannya karena Reno begitu tak mau melewatkan apapun kesempatan bersama
Rara. "Maafin aku, Mas. Maaf kalau aku banyak maunya." Rara pun menyesal. Ia menyadari dirinya terlalu banyak merepotkan Reno. Padahal dulunya Rara adalah wanita
simple yang mandiri.? "Ngga apa-apa, Sa. Aku paham. Demi kamu apapun aku lakuin. Jangan bermuka sedih dong. Kamu cocokkan judes." Reno mengacak rambut dan mengusap pipi Rara.?
"Makasih ya, Mas." Rara memberikan senyuman terbaiknya yang merupakan vitamin penyemangat bagi Reno. Hari ini Reno sangat lelah dengan kerjaan kantor.
Namun senyum Rara tadi membuat dirinya melupakan semuanya.?
"Kalau kamu senyum kayak gitu aku pingin segera menghalalkan kamu deh, Sa. Biar senyum itu cuma punya aku doang. Terus bisa lihat di pagi hari saat bangun
tidur dan di malam hari sebelum tidur." Reno menjalankan mobilnya dengan mengulum senyum.
Di dalam kepala, Reno membayangkan betapa bahagia dirinya jika apa yang diucapkannya tadi menjadi kenyataan. Melihat Radith dan Neona yang bermesraan kapanpun
saja sudah membuat dirinya ikut bahagia, apalagi jika dia yang menjadi pelakunya.?
"Mas harus ke Jogja dulu. Minta izin sama Budhe." Rara mengajukkan syarat pada Reno.?
"Kalau gitu, aku besok ke Jogja ya, Sa? Kan aku selalu bilang aku sudah mau ke Jogja. Kamu yang ngelarang mulu. " Reno melemparkan ide gila yang melahirkan
protes dari Rara. "Mas Renoo!! Kenapa dadakan mulu sih?! Jangan main-main, Mas." Rara merengut kesal.
"Kok main-main? Aku saking seriusnya begini, Sa. Kamu tuh jangan menilai yang dadakan itu buruk dan tanpa pemikiran. Aku mikir gini selama delapan tahun
loh. Gimana kalau bulan depan?" Tanya Reno dengan wajah serius.
"Iyaa.. aku tahu kalau Mas sudah mikir selama ini. Maaf karena aku kaget, Mas. Hmmm.. Kalau bulan depan bisa sih. Tapi pekerjaan Mas, gimana?" Rara pun
bertanya sekaligus mengingatkan Reno akan tanggung jawabnya.
"Ada Mas Andre, sekertaris Ayah. Jadi tiga hari izin ngga masalah kok." Reno dengan pemikiran praktisnya selalu membuat Rara geleng-geleng kepala.
Setelah perdebatan itu, mereka pun melanjutkan obrolan tentang diri mereka masing-masing. Selama 8 tahun, banyak hal yang terlewatkan oleh keduanya. Sudah saatnya bagi Reno dan Rara untuk mengenal satu sama lainnya dengan lebih baik dari awal.?
*** BAB 14 Delapan tahun yang lalu.?
Pagi itu, Rara menyiapkan dirinya dengan baik. Hari ini tes seleksi olimpiade tingkat sekolah. Sejak menjadi murid SMA, Rara sudah sangat menginginkan
posisi juara olimpiade nasional dengan matematika sebagai bidang yang ia tekuni.
Matematika adalah mata pelajaran favoritnya sejak SD. Kebetulan juga Rara mengenal Pak Leon, guru matematikanya di sekolah dan juga juri kompetisi matematika
saat ia SMP dahulu. Pak Leon yang memang membuka bimbel di rumahnya menyilahkan Rara mengikuti bimbel itu dengan gratis. Hal ini dikarenakan Pak Leon sangat
senang dengan kecerdasan Rara dan ia juga bagaimana keadaan ekonomi keluarga Rara.?
"Ra, kamu sudah mau jalan?" Ibu menghampiri putrinya yang sedang mematut diri di cermin.?
"Iya, Bu. Doakan Rara lolos ya, Bu. Kalau menang di tingkat nasional, uangnya lumayan buat pengobatan Ibu. Terus ada beasiswanya juga buat Rara kuliah."
Rara memeluk Ibunya. Rara merasakan tubuh Ibunya semakin melemah dan kurus. Ia pun kini harus mengatur nafasnya agar air matanya tidak keluar.?
"Makasih ya, Sayang. Ibu doakan kamu selalu mendapatkan yang terbaik dalam jalan hidupmu. Maafkan Ibu ya Nak. Ibu.."?
Rara paham kemana arah pembicaraan Ibunya. Ibunya selalu meminta maaf dengan keadaan yang sudah terjadi ini.?
"Bu, Rara sudah bilang, apapun yang terjadi di masa lalu, itu sudah menjadi dahulu. Sekarang Ibu harus sehat. Omongan orang jangan didengerin ya, Bu. Yang
penting Ibu sama Rara bahagia." Rara kembali memeluk Ibu dan mencium kedua pipi malaikat yang melahirkannya ke dunia ini.?Rara pun berpamitan dan segera
pergi ke sekolah. Di sekolah, Rara menutup semua luka dan sedih yang ia rasakan dengan ekspresi dingin, datar dan cenderung judes. Banyak orang yang tak suka dengan sikap
Rara dan mengatakan bahwa Rara terlalu kaku. Rara tidak punya sahabat apalagi sebuah genk. Selama di SMA ini, dirinya hanya sibuk belajar, mengurus ibunya
dan mengikuti ekstrakurikuler KIR (Kelompok Ilmiah Remaja).?
Sesampainya ke sekolah, Rara mencari ruangan tempat ia menjalani tes. Rara masuk ke dalam ruangan yang sudah ia temukan lantas melihat ada 8 orang yang
sudah datang dan menjadi 9 karena ditambah dirinya. Tinggal satu lagi kandidat yang akan mengikuti tes seleksi ini. Rara pun membuka catatannya hanya untuk
memastikan beberapa materi.?
?Aku tidak boleh gagal.? Tekad Rara dalam hati.?
Tak berapa lama, murid bernama Langit Moreno masuk ke dalam ruangan. Sembilan pasang mata memicingkan mata tak percaya pada sosok Reno. Termasuk Rara.
Reno menatap setiap peserta dengan wajah datar. Ia sebenarnya malu berada di sini. Reno tahu, semua orang tidak percaya dengan keikutsertaannya di seleksi
ini. Kalau tidak karena niatnya membantu Radith untuk mendekati Neona, sudah pasti Reno tidak akan mau mengikuti tes ini.?
"Eh.. eeh!" Reno memanggil Rara yang duduk di sebelahnya. Rara diam tak bergeming.?
"Yang dikuncir kuda, Nama lo siapa ya? Ngga tahu gue." Reno menyentuh lengan Rara sehingga Rara pun menoleh.
Rara sebenarnya mengakui kalau Reno adalah siswa tertampan di sekolah ini. Namun mengingat siapa Reno, siapa keluarganya apalagi pacar Reno, Rara hanya
bisa mengagumi sosok itu dari jauh dan dalam diam.
"Clarissa. Itu nama gue." Jawab Rara dengan ketus. Ia memang dipanggil Clarissa oleh semua orang selain Ibunya.?
"Judes amat sih! Minjem pensil ada ngga?" Reno mendapati dirinya lupa membawa pensil dan itu pasti karena dirinya terlalu gugup akibat Bunda dan kakaknya terlalu heboh hari ini.?
"Ada nih. Sudah tahu mau ujian pensil saja lupa bawa." Rara meminjamkan pensil dengan nada ketus. Dalam hatinya bersorak gembira karena seorang Langit
Moreno meminjam pensilnya. Rencana Rara ia akan menyimpan pensil itu karena Reno telah memakainya.
Reno menerima pensil dengan senyum yang tidak dibalas oleh Rara. Reno pun mengerutkan dahinya.
?Dasar wanita kutu buku aneh. Mana ada cewe yang nolak senyum gue? Kebiasaan lihat buku gini nih.?Reno pun sibuk menilai Rara dari atas sampai bawah.
Rara sebenarnya sedang sibuk menenangkan jantungnya yang berdegup kencang karena senyuman Reno tadi. Rara menyukai Reno diam-diam sejak mereka menjalani
MOS. Hanya saja, Reno mengejar Nadhira, siswi tercantik dan terseksi satu angkatan yang kini sudah menjadi pacarnya. Rara sudah pasti luput dari pandangan
Reno. Tadi saja, Reno tidak tahu siapa namanya. Meski sakit, Rara harus ikhlas menerimanya.


Medal Of Love Karya Thelapislazuli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?Ra, bangun kamu dari mimpi. Reno hanya pantas dengan wanita sekelas Nadhira. Kamu harus mundur.? Ingat bathin Rara pada otaknya.
Proses tes dijalani dengan lancar oleh Rara. Dirinya kini sedang menunggu pengumuman di kantin. Dari mejanya ia melihat Reno sedang berada di antara Ibu,
Kakak dan Ibu Neona, guru matematika yang menjadi guru privat Reno. Sudah menjadi pengetahuan umum, jika Reno mengikuti klinik matematika dan juga les
privat dengan guru baru di sekolah mereka itu.
Rara menahan air matanya saat melihat gelak tawa yang Reno yang begitu bahagia. Reno ditemani oleh Ibu dan kakaknya sedangkan Rara harus berjuang sendiri
dan tak bisa membagi banyak masalah pada Ibunya. Bahkan yang ia tahu keadaan kesehatan ibunya semakin memburuk.?
Selang beberapa waktu, pengumuman pun terdengar dari pengeras suara. Semua orang berlari menuju papan informasi. Rara pun berlari dan melihat namanya menjadi
perwakilan nomor 1 sekolah mereka. Setelah melihat siapa perwakilan nomor 2, ia pun membeku di tempat. Ternyata Reno lah orangnya. Apakah ini tanda dirinya
akan bisa berada dekat dengan Reno??
Rara kini sedang memperhatikan Reno dan wanita yang dipanggilnya Bunda tengah saling berpelukan. Tak jauh dari tempat Reno dan Bundanya, Ia melihat Kakak
Reno dan Ibu Neona berpelukkan erat.
?Mungkin mereka ada hubungan spesial?? Tanya Rara dalam hati.
Rara memang bukan tipikal siswi yang senang bergosip seperti Nadhira yang bahkan dijuluki si Ratu Gosip. Bahkan Rara jarang sekali terlihat berinteraksi
dengan siswa-siswi lainnya.?
Rara pun pulang ke rumah membawa kabar bahagia itu pada Ibunya. Ibunya mengeluarkan senyum dan air mata haru. Membuat Rara semakin berjanji apapun akan
ia lakukan hanya untuk melihat senyum sang matahari dalam hidupnya. Mentari Abadi, itulah nama Ibunya yang memang menjadi sumber cahaya dalam hidup seorang
Rara. ***** Pengumuman hasil seleksi sekolah itu membuat Rara dan Reno otomatis sering bertemu. Meskipun keputusannya adalah mereka melakukan pelatihan sesuai dengan
guru bimbingan masing-masing. Reno dengan Ibu Neona sedangkan Rara dengan Pak Leon. Di sini Rara merasakan dua hal. Pertama ia senang karena bisa berlatih
dengan penuh konsentrasi sedangkan yang kedua ia juga merasa sedih karena kesempatan bareng dengan idola dalam diamnya itu harus tertunda.
Tanpa terasa ternyata pelatihan ini sudah berjalan satu bulan. Di suatu sore saat Rara baru selesai berlatih di sekolah, Pak Leon menerima sebuah telepon.
Ternyata telepon itu mengabarkan jika Langit Moreno mengalami kecelakaan. Membuat Rara kaget juga sedih. Untungnya Rara selalu bisa menutupi apa yang ia rasakan. Sehingga hanya ekspresi normal lah yang ia tunjukan ke depan Pak Leon saat itu.
Semua warga sekolah mengetahui jika Rara dan Reno kini adalahs sepasang rival yang sedang bersaing memperebutkan posisi delegasi dari kota mereka untuk
masuk ke tingkat provinsi. Selama ini Rara bertahan dengan sikap judes dan galaknya terhadap Reno. Meski saat mendengar Reno kecelakaan seperti saat ini,
Rara pun ingin menjenguknya bersama Ibu Neona. Alasannya harus bersama Ibu Neona adalah agar perhatian Rara tidak mencolok. Ingat, Rara tidak suka gosip.
Maka keesokan harinya, Rara sudah bersiap dengan setoples cokelat buatan tangannya sendiri. Ia berharap cokelat ini akan diterima dengan baik oleh Reno.
"Bu Neona, apakah hari ini Ibu mau menjenguk Reno?" Tanya Rara dengan senyum.
"Eh iya Clarissa, kamu mau jenguk Reno kah?" Tanya Ibu Neona.
Rara pun mengangguk dan tersenyum. Rara berharap semoga guru privat Reno ini tidak menangkap perhatian khusus dari dirinya untuk Reno.
"Kalau begitu, nanti kamu bareng sama Ibu saja ya.." Begitu putus Bu Neona yang disetujui oleh Rara.?
Kini keduanya sedang menunggu taksi on-line. Rara memperhatikan guru matematika yang berada di sampingnya. Sungguh sosok keibuan yang penuh kewibawaan.
Begitu nilai Rara. Untungnya sang supir segera datang dan jalanan sore itu cukup lengang. Maka ia pun kini sudah sampai di ruangan tempat Langit Moreno dirawat.
Seorang wanita yang dulu memeluk Reno saat pengumuman itu tersenyum ramah pada Rara dan Neona. Menyambut kedatangan keduanya selayaknya mereka adalah keluarga
Reno juga. Rara pun merasa senang dengan penerimaan Bunda Reno.
Di ranjang tampak Reno yang penuh lilitan perban namun tetap saja bermuka tengil juga tampan. Bunda dan Ibu Neona pun memilih meninggalkan Rara dan Reno
berdua. Membuat keduanya kini merasa canggung. Reno yang kaget dengan kedatangan rivalnya ini pun memilih membuka obrolan.
"Kok tahu gue dirawat? Perhatian sama gue?" Tanya Reno dengan wajah yang menyebalkan.
"Jangan ge-er! Semua warga sekolah juga tahu lo kecelakaan. Lagian tadi gue juga diajak Bu Neona kok." Jawab Rara sengit dan berbohong.
"Ooh.. Semua orang tahu toh." Tanggap Reno yang syarat akan nada kecewa.
"Kenapa jadi mellow gitu? Pacar lo ngga jenguk?" Tanya Rara yang tidak melihat tanda-tanda kedatangan Nadhira.
"Bukan urusan lo! Lagian ke sini mau ngapain sih? Ngajak ribut?" Tanya Reno galak.
"Galak banget sih! Penuh perban juga tuh kepala! Kurang bocor ya?" Tanya Rara tak kalah sengit.
"Kalau cuma mau ganggu gue tidur, mending pulang, Sa. Kita ribut kalau gue sudah sehat wal'afiat aja." Reno menghembuskan nafasnya dengan kasar.
"Nih gue bawain lo cokelat. Semoga cokelatnya bisa membuat lo seneng dan cepat pulih. Gue ngga mau jadi delegasi seorang diri. Kalaupun gue jadi delegasi
tunggal dan menang, itu harus setelah kita sama-sama tanding di seleksi tingkat kota. Jadi lo harus sehat ya, Ren." Rara akhirnya mampu menjelaskan tujuan
kedatangannya. Entah mengapa suara Rara terdengar mengalun indah di telinga Reno. Seorang rivalnya justru lebih bisa perhatian daripada pacarnya yang entah
ada dimana sekarang. "Ini cokelatnya ngga lo tambahin racun kan?" Tuduh Reno untuk menutupi rasa senang di dalam hatinya.
"Kalau gue mau bikin lo mati, mending nih toples gue pukul ke kepala lo!" Tanggap Rara yang sudah kembali judes.
"Ampuun, Sa! Galak banget sih jadi cewe. Ya sudah sini. Cokelatnya gue terima. Makasih yaa." Reno mengucapkan kalimat terakhir dengan nada lembut yang
membuat Rara menjadi salah tingkah.
"Iya sama-sama." Jawab Rara mencoba biasa.
"Boleh bantuin buka toplesnya? Biar gue bisa nyobain cokelatnya dan pastiin ada racun apa ngga." Reno sebenarnya mau meminta Rara bersikap manis padanya
namun beginilah caranya. "Manja banget sih!" Meski protes, Rara tetap membukakan toples dan mengambil sebuah cokelat untuk Reno. Si pasien tengil nan tampan itu pun mengunyahnya.
"Ini buatan lo? Apa beli? Kok enak?" Itu bentuk kalimat pujian berbalut ngajak ribut khas Reno.
"Buat kok. Bilang aja enak!" Balas Rara dengan kesal.
"Iya cokelatnya enak dan manis." Reno memandang mata sang rival dengan lekat. Membuat sang empunya semakin salah tingkah dan memutuskan untuk pulang.
Untungnya semesta berpihak pada Rara. Tiba-tiba pintu kamar inap Reno diketuk dan muncullah sosok kakak dari Reno dan Ibu Neona.
"Bu, saya pamit pulang dulu ya. Setidaknya saya sudah tahu keadaan partner sekaligus rival saya ini. Dia manja ya Bu, ternyata." Ejek Rara yang sebenarnya
ingin menutupi kegrogiannya. Wajah Reno pun terlihat cemberut namun menggemaskan di mata Rara.
"Wah benar banget itu. Reno memang manja. Terima kasih ya sudah jenguk Reno! Kalian itu sama-sama delegasi olimpiade matematika ya?" Kakak dari Reno pun
bertanya pada Rara. "Iya, Mas. Saya sama Reno sama-sama delegasi sekolah. Oh iya, Mas ini kakaknya Reno sekaligus pacar Bu Neona ya?" Rara bertanya sesuai dengan asumsinya.
"Jawab itu Mas pertanyaannya. Malah senyum-senyum!" Suara Reno terdengar mendukung pertanyaan Rara. Rara kini merasa tak enak karena suasana menjadi canggung
karena pertanyaannya. "Oh iya, Clarissa bukannya kamu ada pelatihan sama Pak Leon?" Tanya Bu Neona yang Rara tahu itu pasti sebuah pertanyaan untuk pengalihan. Rara pun mengerti
situasi lantas pamit pulang.
"Bu, Mas, Ren, Clarissa pulang dulu ya." Rara pun keluar dari ruang inap Reno dengan hati yang berbunga-bunga. Pasalnya, saat ia berpamitan tadi, Reno memberikan senyuman manis yang biasanya Rara lihat dari jauh dan bukan untuknya.
*** BAB 15 Dua pekan setelah kejadian Reno kecelakaan pun sudah berlalu. Selama itu, baik Rara maupun Reno semakin serius menjalani pelatihan untuk seleksi tingkat
kota. Hanya ada empat orang yang bisa mewakili kota untuk seleksi tingkat provinsi. Keduanya tentu ingin hasil yang terbaik untuk perjuangan mereka masing-masing.
Terlebih Rara yang mengincar hadiah utama dari OSN untuk sang ibu dan masa depannya.
Seleksi tingkat kota pun terjadi hari ini. Seleksi itu dilakukan di sekolah lain. Rara diantar pihak sekolah sedangkan Reno diantar Bunda dan kakaknya.
Keduanya kini sudah memasuki ruang ujian meski ujiannya akan dilangsungkan 20 menit lagi.
Rara sedang membuka catatannya sedangkan Reno sibuk memperhatikan Rara.?
"Sa..." Panggil Reno pada Rara.
"Kenapa? Mau pinjam pensil lagi?" Tanya Rara ketus.
"Ngga kok. Cuma mau bilang.." Reno menjeda perkataannya karena ia ingin Rara menoleh kepadanya. Ternyata strategi itu berhasil. Rara pun menoleh ke arahnya.
"Apa?!" Tanya Rara dengan galak yang sebenarnya ia sedang menutupi kekikukannya.
"Selamat berjuang my rival! Kita harus lolos seleksi tingkat kota ini." Ucap Reno dengan senyum yang sengaja ia terbitkan untuk musuh cantiknya ini.
Rara yang mendengar kata rival pun merasakan desiran di hatinya.
"Iya.. Sukses juga, Ren." Jawab Rara yang sudah tidak mau menatap Reno. Sang putra bungsu Keluarga Trisdiantoro itu pun menggeleng heran.
"Cuma Clarissa kayaknya yang ngga suka senyum gue." Gerutu Reno sambil menuju tempat duduknya.
Ujian pun dimulai. Rara dan Reno mengerjakan semuanya dengan baik. Kali ini Reno punya keinginan untuk lolos di tingkat kota. Bukan karena ia ingin menjadi
juara OSN atau membantu sang kakak yang sedang pdkt dengan guru privatnya. Melainkan karena Reno ingin lebih mengenal Clarissa Aurora Pradipta lebih dalam
dan baik. Iya, Reno tertarik pada rivalnya itu.
Setelah ujian selesai, Reno terburu-buru keluar dari ruangan. Dirinya ingin bertemu sang Bunda dan Bu Neona dengan segera. Hingga tanpa sadar, Reno menjatuhkan
kartu pesertanya. Untungnya hal itu dilihat Rara. Sehingga perempuan pintar nan sederhana itu pun? mengambilnya dan mencari sang rival yang sudah pergi
entah ke mana. Rara berkeliling sekolah mencari siswa tertengil namun tampan itu. Hingga ia melihat sosok Reno di kantin indoor ber AC.
"Renoooo!" Rara berteriak memanggil nama yang sebenarnya selalu membuat harinya penuh debaran. Ia pun mendekati meja yang terisi oleh Bunda, Bu Neona dan
Mas Radith. "Eh, maaf ternyata ada Mas Radith, Bu Neona dan Bundanya Reno. Tadi manggil cuma mau ngajak makan siang aja. Tapi kayaknya ngga jadi deh." Rara tersenyum
pada semuanya sambil merutuki dirinya. Apalagi kini dahi Reno berkerut bingung. Pasti di dalam kepala Reno sedang bertanya 'Sejak kapan seorang Clarissa
mengajak makan bersama seorang Reno?'
"Kamu ikut makan siang sama kami saja Clarissa. Ngga apa-apakan Bun?" Tanya Mas Radith pada sang Bunda yang diakhiri dengan kedipan mata yang disadari
oleh Reno. "Ngga usah, Mas. Saya makan di sini saja." Tolak Rara dengan sopan.
"Ngga apa-apa, Clarissa. Bareng kami saja yaa." Bu Neona ikut mendukung Mas Radith. Akhirnya Rara pun mengangguk setuju. Bunda tampak memperhatikan tatapan
yang terjadi antara Rara dan putra bungsunya itu. Mungkinkah ini sebuah pertanda?
"Pengumumannya masih jam 3 kan? Kita makan di luar aja deh ya.." Ucap Mas Radith sambil menggandeng tangan Bu Neona. Membuat Rara tampak bingung.
"Mereka baru jadian." Suara Reno sudah terdengar dari arah samping.
"Oh..." Tanggap Rara bingung.
Kini semuanya pergi bersama dalam satu mobil. Bunda sengaja meminta duduk paling belakang. Tujuannya karena Bunda ingin melihat anak-anaknya berpasangan
tanpa ada gangguan darinya.
Sejak berangkat makan siang hingga mereka kembali lagi ke sekolah tempat seleksi dilangsungkan, Reno tak henti-hentinya menggoda sang kakak dan guru privatnya
yang hari ini memiliki status baru.
"Jangan godain Mas terus, Ren. Mending Mas akhirnya punya pacar yang high quality. Kamu punya pacar menang cakep doang. Perhatian juga ngga. Mana dia sekarang?
Mana dia pas kamu kecelakaan? Yang kamu sebut rival buktinya bisa datang dan jauh lebih perhatian sama kamu." Balasan dari Mas Radith akan godaan Reno
ini justru membuat Reno semakin sadar dan mengalihkan pandangannya pada Rara yang sedang sibuk menatap keluar jendela. Rara bertindak begitu pun sebenarnya
karena ucapan Mas Radith. Ia merasa takut jika perhatiannya kemarin ditangkap lalu dilecehkan oleh Reno dengan olokannya.
Kini mereka semua sudah kembali ke sekolah tempat seleksi diadakan. Para panitia sedang bersiap mengumumankan delegasi kota ini untuk seleksi tingkat provinsi.
Semua tampak tegang. Reno pun melihat wajah Rara yang begitu tegang sama seperti dirinya. Tanpa sadar Reno menggenggam tangan Rara dengan erat. Membuat
sang empunya terkaget namun pura-pura tak tahu dan menikmati genggaman yang begitu pas di tangannya dan hangat itu.
Pengumuman pun dibacakan. Nama Clarissa pun disebut pertama kali. Membuat Rara melepas genggaman Reno dan terpekik bahagia. Cita-citanya semakin dekat.
Perjuangannya pun terbayar satu demi satu. Meski demikian, Rara kini langsung merasa cemas 'apakah Reno lolos? Apakah dia masih punya kesempatan untuk
dekat dengan Langitnya itu?'
Dan delegasi terakhir yang mewakili cabang matematika adalah atas nama Langit Moreno Trisdiantoro.
Semua orang terpekik bahagia. Reno pun mengucapkan syukur pada Tuhan tak henti-hentinya. Reno merasa akhirnya ia bisa membanggakan keluarganya dan juga
berkesempatan untuk lebih dekat dengan Clarissa. Sang kakak memeluk Reno dengan sangat erat, begitupun Bunda.
"Ren, selamat ya! Kita harus berjuang sampai nasional! Ingat. Gue butuh lawan dan gue mau itu lo." Rara pun memberanikan diri untuk bersikap layaknya teman
dengan memukul bahu Reno cukup keras.
"Jangan nyesel ya nanti kalau ngajak gue jadi lawan!" Reno pun membalas perkataan Rara sambil menahan senyum yang ia rasa akan segera terbit di bibirnya.
Rara pun menggeleng dengan keras.
"Ngga akan nyesel kok gue!" Jawab Rara yang meyakinkan bahwa dirinya tidak akan pernah menyesal karena telah bersaing dan memiliki rasa pada orang yang
sama. ******* "Jadi dengan terpilihnya Clarissa dan Moreno sebagai delegasi kota, pelatihan diserahkan pada diknas tingkat kota. Tapi jika Pak Leon dan Bu Neona masih
melatih murid didiknya masing-masing kami persilahkan. Seleksi tingkat provinsi akan dilaksanakan satu bulan lagi. Jika lolos menjadi wakil provinsi, maka
olimpiade tingkat nasional akan dilaksanakan sebulan setelah dinyatakan lolos tahap provinsi." Begitu pengumuman yg diberikan oleh Pak Ali yang nyatanya
membuat Rara dan Reno saling bersorak bahagia di dalam hati.
"Sebulan lo latihan bareng gue. Jangan ngajak gue ribut ya." Rara berkata duluan karena ia sedang menutupi rasa senang di hatinya.
"Yang biasanya ngajak ribut bukannya situ? Jangan galak-galak. Nanti lo naksir gue lagi." Balas Reno dengan senyum menggoda juga tawa renyahnya. Rara yang
merasa terolok oleh perkataan Reno pun memilih untuk meninggikan nadanya dan menatap garang ke arah sang lawan.
"Bercandaan lo itu ngga lucu, Langit Moreno!" Rara lantas pergi meninggalkan Reno yang ternganga karena kaget dan merasa bersalah. Meski biasanya mereka
adu mulut, tapi baru kali ini Reno merasa Rara begitu marah padanya.
'Bercandaan yang mana yang Clarissa maksud sih?' Tanya Reno dalam hati.
***** Setelah kejadian marahnya Rara pada Reno, kini siswi cerdas itu menghindar dari Reno. Kalaupun mereka terpaksa bertemu dalam pelatihan, Rara memilih mengabaikan
Reno. Ia sudah paham kalau suatu hari perasaannya pada Reno hanya akan berakhir dengan pengolokan dan penolakan.
Reno yang baru saja putus dengan Nadhira justru lebih uring-uringan karena kebisuan Rara. Kalau putus dengan perempuan yang berselingkuh dengan pria lain
justru membuat Reno bahagia tiada tara.
Bukan karena sudah ada objek pdkt yang baru, tapi Reno merasa, Nadhira memang bukanlah wanita yang pantas untuk bersanding dengannya. Perempuan yang hanya
mengukur hubungan dengan materi serta romantisme tanpa mengerti arti sebuah komunikasi, kesabaran dan juga perjuangan memang lebih baik diputuskan saja.
"Sa, lo marah sama gue?" Tanya Reno saat keduanya baru selesai pelatihan.
"Ngga." Jawab Rara cepat.
"Oke, berarti lo marah. Sa? Lihat gue." Pinta Reno yang menahan tubuh lawannya itu.
"Ogah! Awas gue mau balik. Lo ngga usah ngalangin gue! Ngga usah deket-deket sama gue." Jawab Rara yang mah enggan melihat mata Reno.
"Loh terserah gue dong mau dekat sama siapa. Apalagi gue sekarang jomblo." Tanggap Reno kesal.
"Iya jomblo juga baru dua hari. Terserah lo mau deket siapa, asal jangan sama gue! Sekarang minggir ngga?" Pinta Rara yang semakin dihalangi jalannya dengan
tubuh Reno. "Memangnya kenapa kalau gue deket sama lo?" Reno memaksa Rara untuk mendongakkan kepala dan menatap marah sang penanya.
"Gue ngga mau dibilang sama satu sekolah kalau gue ini alasan lo putus sama Nadhira. Itu satu. Satu lagi. Kita itu beda Ren!" Rara sedikit berteriak melupakan
mereka berada di tempat pelatihan yang sudah tentu banyak orang.
"Iya kita beda. Aku langit sedangkan kamu auroranya. Mereka tetap cocokkan meski berbeda?" Reno menatap Rara, si gadis yang mendeklarasikan diri sebagai
musuhnya? namun justru memanggil jiwa Reno untuk memperhatikannya lebih jauh.
"Ngga usah berpuisi. Gue bukan cewe yang biasa meleleh karena gombalan lo yang ngga mutu itu! Minggir!" Rara pun meninggalkan Reno yang terdiam. Cukup
bagi Rara ia melakukan adegan remaja labil yang menjijikan ini.
'Oke, Sa. Kamu justru telah berhasil membuat seorang Moreno menoleh ke arah yang selama ini ia abaikan.' Ujar Reno di dalam hatinya dengan mantap.
***** Sejak adegan drama menjijikan yang dilihat semua orang itu, Reno justru semakin giat mengusili Rara setiap hari selama mereka menjalani pelatihan. Ada-ada
saja ulah Langit Moreno ini pada Rara. Seperti yang terjadi saat ini.
"Saa.. Minta minum dong." Pinta Reno yang jelas-jelas pasti bisa membelinya sendiri.
"Beli sendiri." Jawab Rara singkat.
"Kantin jauh, Sa. Bentar lagi pelatihannya mulai. Bagi ya?" Reno masih meminta.
"Gue kasih tapi lo pindah duduk ya?" Ucap Rara yang sebenarnya sedang menyelamatkan kesehatan jantungnya.
Selama pelatihan, Reno selalu duduk di samping Rara. Membuat delegasi dari sekolah lain menilai bahwa mereka berdua ini memiliki hubungan yang lebih dari
sekedar teman. "Ngga bisa. Gue duduk sini dan tetap minta minum." Reno mengambil botol minum Rara lalu menenggak isinya dengan santai. Rara pun hanya bisa mengeleng-gelengkan
kepala dengan kelakuan Reno yang semakin menjadi-jadi ini.
Selama dua pekan menjalani pelatihan, Reno lebih banyak tertidur. Bagi Reno, berlatih dengan Bu Neona lebih baik daripada pelatihan ini.
"Sa, pinjem catetan yaa. Gue kan tadi tidur." Pinta Reno di akhir sesi pelatihan rasa tidur siang baginya.
"Ngga. Kita ini tetap saingan ya! Mana ada saingan menjemin pedang ke saingannya?" Tolak Rara yang menggunakan logika saat itu berhubungan dengan kompetisi.
"Kata Pak Ali kan kita harus saling membantu. Masa lo ngga mau bantu gue? Lagian coba lihat dong pembahasan hari ini." Reno memang sama sekali tidak tahu
apa yang dibahas pelatih hari ini.
"Ini. Tapi gue juga belum selesai."? Akhirnya Rara memberikan catatan yang sebenarnya juga belum rapi dan selesai.
Reno memperhatikan soal pada buku catatan Rara yang belum selesai itu lantas mengambil pensil dari tempat pensilnya.
Jika A679B adalah bilangan 5 angka yang habis dibagi 72 maka nilai bilangan tersebut adalah
"Clarissa kebanggaan sekolah.. Ini tuh begini caranya." Reno mencoret-coret buku Rara dengan lihainya.
"2 = 8 x 9= 2^3x 9 Artinya bahwa bilangan A679B harus habis dibagi 8, tapi dalam hal ini bilangan ratusan(sebab 2^3) harus habis dibagi 8.
Kemungkinan dari bilangan
79B adalah : 791 : 8 = sisa 7 792 : 8 = habis dibagi 793 : 8 = sisa 1 794 : 8 = sisa 2 795 : 8 = sisa 3 796 : 8 = sisa 4 797 : 8 = sisa 5 798 : 8 = sisa 6 799 : 8 = sisa 7 Karena 792 habis dibagi 8, maka diperoleh B = 2. Sehingga bilangannya menjadi A6792. Kemudian untuk pembagi 9, hasil jumlah digit bilangan dibagi 9, sehingga
menjadi :A + 6 + 7 + 9 + 2 = A + 24 Agar A + 24 habis dibagi 9 maka nilai A yang mungkin hanya 3. Jadi bilangan tersebut adalah 36792."
Reno berhasil membuat Rara terpukau dengan kecerdasannya. Bahkan di saat orang ini tidur pulas, dirinya bisa lebih mengerti dari Rara.
"Kalau gitu ngapain masih minjem buku gue?" Tanya Rara sengit menutupi kekagumannya.
"Susah banget ya Sa buat mengakui kalau gue juga setara otaknya sama lo? Maksud lo kita beda itu karena lo pinter sedangkan gue ngga kan?" Tanya Reno yang
membuat Rara panik. Sama sekali bukan itu maksudnya.
"Ngga usah asal nebak, Ren. Gue ngga pernah beda-bedain orang atas kemampuan otaknya kok. Nih kalau lo mau pinjem buku catetan gue." Rara pun menyerahkan
bukunya pada Reno yang sedang mengulum senyum.
"Tapi tetap ngga mau ngakuin kalau gue pinter nih?" Tuntut Reno pada sang rival.
"Iya, lo pinter dan cerdas! Puas?" Tanya Rara galak.
"Oh tentu.. Saaaa...yang." Reno mengedipkan sebelah matanya menggoda Rara yang memutar bola matanya dengan jengah.
"Jangan salahin kalau tangan gue mendarat di pipi lo ya, Ren. Panggil nama gue yang benar. Gue bukan cewe-cewe yang mau namanya diganti-ganti sembarangan
sama lo!" Rara pun meninggalkan Reno yang masih setia dengan senyum di bibirnya.
'Galaknya kamu itu yang bikin aku semakin suka kamu, Sa. Aku akan menjadi Reno yang berotak cerdas bahkan lebih dari kamu. Biar aku sedikitnya ada di mata
dan hatimu, Sa.' Tekad Reno di dalam hatinya.
Sangat disayangkan karena Reno salah mengartikan kata beda yang diucap Rara dan ia juga tidak tahu kalau dirinya sudah memenuhi hati Rara seutuhnya.
*** BAB 16 "Reen.. Kamu stress ya?" Suara Bunda menginterupsi Reno yang sedang khusuk menekuni buku catatan Rara.
"Hah? Ngga kok Bun. Memangnya Reno kenapa?" Tanya Reno balik pada sang Bunda yang kini sedang mengecek suhu tubuhnya.
"Bunda takut kamu gila deh. Kamu lagi baca buku yang isinya angka semua tapi cekikikan kayak lagi baca komik." Bunda menjelaskan apa yang sejak tadi ia
lihat. "YaAllaah Bunda.. Reno itu sehat, waras dan masih tampan gini kok. Jangan dibilang gila dong. Ini tuh lagi baca catatan Rissa." Reno tak mampu menahan
senyum saat mulutnya mengucapkan nama sang rival.
"Clarissa itu baik banget ya, Ren. Sudah begitu anaknya cerdas, cantik, sopan dan sederhana. Bunda suka deh. Kamu kok bisa buta gitu sih Ren? Yang gitu
bisa luput itu gimana?" Bunda menginterogasi sang putra bungsunya.
"Iya yaaa.. Bun. Reno juga heran kenapa mata elang ini ngga bisa nemuin benda berkilau kayak Rissa gitu." Reno mengakui kelalaiannya.
"Makanya nyari tuh jangan yang fisik aja, Ren. Tuh lihat Mas kamu. Dapetnya guru kamu yang cantiknya luar dalam." Bunda memuji sang calon menantu.
"Tapi Clarissa ngga suka Reno, Bun. Dia bilang kita beda. Yaa.. Dia pinter, Reno kan begini." Adu Reno pada sang Bunda.
"Aah masa anak kayak Clarissa membeda-bedakan orang? Bunda ngga yakin maksudnya itu. Lagian kalau kamu yakin Clarissa itu berharga untuk dikejar kenapa
ngga dikejar sih Ren? Jadi pria cerdas yang mencuri hatinya dong tapi tanggung jawab setelahnya. Jangan nyuri hati anak gadis orang terus kamu jadinya
sama yang lain." Bunda menasihati anaknya yang berpotensi menjadi playboy itu.
"Iyaa Bun. Reno ngga mau jadi pria brengsek kok. Reno kan sayang Bunda. Pria yang sayang Bundanya tidak akan menjadi pria brengsek. Jadi.... Kalau Reno
sama Clarissa, Bunda setuju?" Tanya Reno penuh semangat.
"Sangat!" Jawab Bunda yang tak kalah semangat dari sang anak. Membuat Reno memeluk sang Bunda dengan erat dan mengucapkan terima kasih.
***** Tanpa terasa waktu seleksi tingkat provinsi pun berlangsung hari ini. Pelatihan tingkat kota sudah diikuti keduanya selama satu bulan tanpa jeda. Ilmu
dan kemampuan Rara dan Reno sebagai delegasi pun semakin bertambah. Meski ada hal lain juga yang kini tumbuh subur di hati Reno. Iya, Reno kini menyukai
Rara sang rivalnya. "Sa. Sukses buat kita ya. Semoga kita barengan sampai nasional nanti." Reno mengucapkan kalimat penyemangat yang menghangatkan hati Rara yang sebenarnya
sedang dingin tak menentu.
Keadaan ibu semakin parah di rumah. Rara tak punya cukup uang dan tidak ada tetangga yang mau menolongnya. Bahkan dengan tega mereka mengatakan bahwa itu
adalah karma untuk kelakuan sang ibu dulu.
Rara pun menjawab dengan senyum yang juga menghangatkan hati Reno. Melihat Rara tersenyum itu adalah hal langka bagi mata Reno. Padahal jika sang rival
ini tersenyum, maka keayuan wajah Rara semakin bertambah.
Selama mengerjakan soal, Reno selalu membayangkan dirinya dan Rara yang bisa semakin dekat, berjalan bersama dan hingga memiliki hubungan yang spesial.
Sedangkan Rara sedang memikirkan bagaimana keadaan sang Ibu. Hal itu membuatnya kurang berkonsentrasi hingga beberapa soal tidak ia kerjakan dengan sempurna.
Dua jam mengerjakan soal ternyata cukup memeras otak Rara dan Reno. Membuat keduanya hanya diam saat berada di mobil sekolah yang menjemput mereka.
Saat jalanan macet, Reno pun berniat mengajak bicara Rara yang sejak tadi hanya diam seribu bahasa. Reno pun menoleh ke arah sang rival yang ternyata sedang
tertidur dengan dahi berkerut.
"Kamu sedang mikir apa, Sa? Kenapa kamu tertutup banget sih? Kasih sedikit celah buat aku ya, Sa... Aku mohon." Ucap Reno dalam hati.
Ada keinginan dalam dirinya untuk menarik tubuh mungil Rara dan menjadikan tubuhnya sebagai sandaran tubuh Rara. Namun keinginan gila itu ia tahan karena
ini mobil sekolah yang berisi Pak Ali, Pak Leon serta calon kakak iparnya.
***** Setelah seleksi tingkat provinsi selesai diselenggarakan. Kehidupan sekolah Reno dan Rara pun kembali normal. Tidak ada jadwal pelatihan padat bagi keduanya.


Medal Of Love Karya Thelapislazuli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka senang? Tidak sama sekali! Keduanya saling merasa ada yang hilang. Hingga akhirnya Reno lah yang memutuskan untuk menemui Rara yang selalu ada di
perpustakaan kala jam istirahat makan siang.
"Ngga ke kantin?" Tanya Reno yang sudah duduk di samping Rara. Rara pun kaget dengan kedatangan Reno. Ia pun melepas jepitan rambut dan menurunkan poni
sampingnya untuk menutupi pandangan ekor matanya.
"Ini dilepas biar gue pasangin ya?" Tanya Reno yang sudah mengambil jepit berbentuk bintang itu lantas menyelipkan kembali di poni Rara. Rara pun ingin
berteriak marah karena jantungnya sudah mau copot akibat ulah Reno.
"Ssstss.. Ini perpustakaan." Reno sudah mengantisipasi kemarahan Rara dengan baik.
"Pertanyaan gue belum dijawab loh. Ngga ke kantin?" Tanya Reno dengan nada lembut yang membuat Rara membenci Reno saat ini juga. Ini menguji kemampuan
akting Rara namanya. "Lihatnya?" Jawab Rara mencoba ketus.
"Huuuft... Susah banget sih, Sa buat bisa deket sama lo. Kita kan ngga mungkin jadi rival terus." Reno mengeluhkan tindakan Rara.
"Kenapa ngga mungkin? Lagian kenapa kita harus gencatan sejata?" Tanya Rara yang sebenarnya sedang merasa takut akan spekulasi dan harapan yang mulai tumbuh
di otak dan hatinya. "Memangnya gue segitu menyebalkannya ya? Boleh tahu cara biar gue bisa dan boleh deket sama lo itu gimana, Sa?" Tanya Reno tanpa menyerah.
"Kalahin gue dulu baru lo boleh deket sama gue." Rara memilih syarat ini karena ia yakin dirinya tak akan pernah kalah dari Reno. Meski itu artinya ia
sedang menutup pintu hatinya sendiri untuk kehadiran Reno yang selama ini ia ingini.
'Munafik!' Maki Rara pada dirinya sendiri.
"Oke! Gue terima syaratnya. Inget, Sa. Sepandai-pandainya tupai melompat, dia bisa jatuh. Sepandai-pandainya Clarissa, Moreno pasti akan bisa lebih pandai
darinya." Ucap Reno yang sebenarnya juga tak yakin. Mengapa syarat untuknya sesusah ini? Bahkan dulu syarat diterima cintanya oleh Nadhira terpenuhi semudah
Reno pergi ke toko perhiasan.
Reno pun semakin? yakin bahwa Rara lah yang terbaik dan pantas diperjuangkan. Meski usianya masih 17 tahun, tidak ada yang salah kan kalau ia sudah merasa
menemukan belahan jiwanya? Meski semua orang mengatakannya itu hanyalah cinta monyet. Reno tidak peduli.
****** Hari pengumuman pun tiba. Reno kaget juga bingung bukan main. Satu sisi ia sangat bahagia karena ia lolos ke tahap nasional sedangkan satu sisi dirinya
merasa sedih karena Rara tidak lolos tahap nasional.
Rara tidak lolos itu artinya Reno mengalahkan Rara. Itu berarti dirinya bisa mendekati Rara seperti syaratnya Rara waktu itu. Tapi....
Rara tidak lolos itu artinya Reno akan kehilangan waktu bersama Rara. Apalagi untuk persiapan tahap nasional, dirinya harus mengikuti karantina. Sebuah
dilema yang berat untuk dijalani.
Selalu bersama tapi tidak bisa dekat. Atau tidak selalu bersama tapi dirinya dibukakan akses untuk mendekat. Untungnya semesta memilihkan pilihan kedua
untuknya. "Sa... Syarat lo sudah gue penuhin ya? Gue bahagia bukan karena ngalahin lo. Tapi gue bahagia karena gue bisa deket sama lo." Aku Reno yang bertemu Rara
di lorong kelas. "Kenapa sih Ren lo mau deket sama gue? Banyak perempuan yang mau deket sama lo. Jangan gue." Tolak Rara.
"Apapun alasannya lo ngga bisa nolak, Sa. Mulai saat ini gue berhak deketin lo. Suka ngga suka, lo sudah ngasih syarat dan gue sudah memenuhinya." Reno
si pemaksa membuat Rara menelan ludahnya kasar. Bagaimana pun ia sudah mengucapkan kata-kata yang tidak bisa ditarik lagi.
Rara sebenarnya sedih bukan main dengan pengumuman itu. Cita-citanya terasa hancur. Tidak lolos OSN itu artinya ia tidak punya kesempatan untuk mengobati
sang ibu dan meneruskan cita-citanya.
"Ayo, Sa.." Reno menarik tangan yang memang pas digenggamannya menuju kantin. Reno merasa menang dari Rara karena pemenuhan syarat yang sudah ia lakukan
itu. Maka mulai saat ini, Reno akan melakukan misi-misinya. Diantaranya membuat semua orang tahu akan kedekatannya ini. Rara pun pasrah dengan tarikan
tangan pria yang memang ia sukai dalam diam itu.
***** Reno itu spontanitas dan tukang paksa. Setidaknya itu pendapat Rara pada sosok yang sudah berhasil memintanya untuk datang ke acara ulang pernikahan ke
30 tahun kedua orang tuanya.
Rara menutupi keadaan asli sang ibu dan dirinya dari Reno. Bukan karena ia malu tapi Rara tak mau dikasihani dan dianggap mencari untung dengan berdekatan
dengan keluarga Reno yang hartawan itu. Lagipula Rara berpikir kedekatan mereka ini hanya sebatas teman saja, bukan?
"Lo kenapa maksa mulu sih Ren?" Tanya Rara dengan kesal saat memasuki mobil yang dikendarai Reno. Bahkan dari mobil Reno ini saja Rara sudah merasa ciut.
"Karena lo sukanya dipaksa. Mana ada Clarissa cepat bilang iya sama gue?" Tanggap Reno yang sedang tersenyum penuh kemenangan.
"Gue ngga kenal sama orang-orang di sana, Ren." Kata Rara lagi.
"Loh yang pentingkan lo kenal sama Bunda. Yang ngadain acara itu kan Bunda. Ngapain mikirin tamu-tamu yang lain. Jangankan lo. Gue aja ngga kenal mereka
siapa." Reno menatap jalanan dengan serius.
"Bu Neona ada ngga?" Tanya Rara.
"Ya ada dong. Semua calon menantu Keluarga Trisdiantoro datang hari ini." Jawab Reno melempar kode.
"Mas Radith punya kakak lagi, Ren? Atau Mas Radith calonnya dua? Aaaaw!" Rara mengaduh saat jemari Reno menyentil pelipisnya.
"Katanya otaknya pinter! Haaaah yang bener aja Mas Radith mau punya lagi! Dia sudah mentok sama Mba Neona, Sa. Kita juga cuma dua bersaudara." Jelas Reno
berharap wanita di sampingnya ini mengenangkap maksudnya.
"Yang salah pemilihan diksi tuh lo ya, Ren! Kalau calon Mas Radith cuma satu ya bilang dong... Calon menantu datang. Kata semua itu lebih dari satu." Rara
merengut kesal sambil mengusap pelipisnya.
"Ya.. Emang lebih dari satu. Kan tadi gue bilang kami dua bersaudara. Mas Radith dan gue." Tanggap Reno kesal.
"Ooh lo bawa calon juga? Ngapain ngajak gue? Mau pamer kalau lo ngga cuma ngalahin gue di olimpiade tapi juga soal pacar?" Tanya Rara galak. Sebenarnya
ini bentuk penutupan rasa sakit yang mulai ia rasakan di hatinya.
'Ternyata Reno sudah punya calon... Makanya Ra, bangun dari mimpi!' Maki Rara pada hati dan otaknya.
"Susah kalau ngomong sama yang selalu berpikiran buruk sama gue. Diem, Sa. Jangan bikin gue emosi. Gue lagi nyetir." Ucap Reno dengan dada yang naik turun.
Wanita di sampingnya ini sungguh membuatnya mendidih.
Sesampainya di kediaman Trisdiantoro, Rara digandeng erat oleh Reno. Membuat Rara ingin berontak namun tak bisa. Mereka pun berjalan menuju tempat Mas
Radith dan Bu Neona berada.
"Ehem.. Yang ulang tahun pernikahan itu Bunda dan Ayah ya, kenapa Mas sama Mba yang mesra-mesraan di sini? Bikin mata panas aja sih!" Reno menggoda Mas
Radith dan gurunya itu. "Loh ada Clarissa. Hai Sa, kamu diajak Reno ya? Tanya Bu Neona yang mengalihkan pembicaraan. Rara pun tersenyum ke arah gurunya itu.
"E..eh iya Bu. Reno yang paksa saya buat ikut. Padahal saya malu Bu." Jawab Rara terbata.
"Kenapa malu Clarissa? Kamu bisa bareng Ibu kok." Bu Neona tersenyum manis pada Rara.
"Kalau kamu sama Clarissa, aku sama siapa? Sudah biarin aja, Clarissa tanggung jawab Reno. Kamu sama aku." Ucap Mas Radith yang membuat Rara sedikit tersenyum.
Ternyata soal memaksakan kehendak dua kakak beradik tampan beda usia ini jagonya.
"Emang dasar kakak posesif alay! Semua aja dicemburuin. Yuk, Sa! Kan sudah aku bilang kamu itu barengnya sama aku. Kita ambil minum dulu." Ucap Reno yang
sudah menggandeng tangan Rara menjauh dari Bu Neona dan Mas Radith.
"Kenapa jadi manggilnya aku kamu? Latah Ren?" Tanya Rara ketus.
"Iya.. Enak denger Mas Radith begitu sama Mba Neona. Kita juga harus begitu." Putus Reno tanpa bisa dibantah.
Keduanya pun bertemu dengan Bunda dan Ayah. Rara mengucapkan selamat kepada kedua orang tua Reno yang dihadiahi ciuman dan pelukan erat dari aang Bunda.
Membuat Rara merasa tersanjung sekaligus ngeri.
'Kalau mereka tahu aku anak haram, pasti Bunda dan Reno tak akan seperti ini.' Ucap Rara dalam hati.
****** Hari pelatihan dijalani Reno dengan ogah-ogahan. Ia merasa hampa karena tidak ada Rara di sampingnya. Akhirnya Reno pun menggunakan taktik dan pemaksaannya
sehingga Rara mau menemaninya belajar di perpustakaan.
"Di pelatihan jangan tidur mulu. Ngga ada buku catetang yang bisa dipinjam kan?" Tanya Rara yang menurut Reno sudah jauh lebih jinak daripada yang? dulu.
"Iyaa... Tapi jenuh banget. Ngga ada kamu di sana." Reno mencoba menggoda Rara.
"Ini soalnya belum dikerjain, Ren. Kerjain sana." Rara mengalihkan pembicaraan yang justru membuat Reno gemas.
"Sa, kamu pernah tahu ngga sih kalau kehadiran kamu penting buat aku?" Tanya Reno dengan serius.
"Keberadaan rival itu memang penting buat jaga semangat sih." Jawab Rara cuek.
"Bukan sebagai rival, Sa. Sa.. Lihat aku dulu sini." Reno meminta perhatian Rara yang sejak tadi justru sibuk memilihkan soal untuk Reno.
"Kalau aku suka sama kamu, tanggapan kamu apa, Sa?" Tanya Reno dengan jantung yang bergemuruh.
"Kalau ngga lagi taruhan, yaa pasti stress sama soal matematika." Jawab Rara ketus yang sebenarnya sudah terbang ke langit.
"Aku ngga pernah berarti baik ya Sa di mata kamu? Kayaknya semua salah." Ucap Reno dengan raut wajah sedih. Membuat Rara mau menangis saat itu juga. Andai
Reno tahu yang sesungguhnya.
"Bukan gitu. Cuma ini terlalu mustahil buat terjadi,Ren." Ujar Rara lirih.
"Mustahil? Peluang aja tidak pernah bernilai nol ya, Sa. Apa yang mustahil? Kamu ngga mau jadi pacarku ya, Sa?" Tanya Reno yang membuat Rara terdiam.
Rara yang sudah lama memiliki rasa pada Reno jelas tidak mungkin menolak permintaan ini, andai keadaannya tidak begini. Karena Rara tidak ingin Reno terpecah
konsentrasinya karenan permintaan mustahil ini, Rara pun mengajukan sebuah? syarat yang menurutnya bagus untuk Reno.
"Bukan ngga mau Ren, tapi aku punya syarat buat kamu. Kalau kamu mau jadi pacar aku." Ucap Rara dengan yakin.
"Katakan, Sa." Tantang Reno.
"Jadilah juara OSN dan bawa medali emas ke depanku. Aku mau jadi pacar kamu kalau kamu berhasil melakukan syarat ini dengan baik." Begitu ucap Rara yang
membuat Reno melolot. Sedetik kemudian Reno pun mengangguk mantap.
"Kamu tunggu dan doakan aku. Karena aku terima syarat kamu sepenuhnya. Inget ya, Sa. Ini perjanjian hati. Kalau aku berhasil, kamu harus jadi pacar aku."
Reno menyanggupi syarat Rara dan menatap gadis itu dengan serius. Membuat Rara pun merasa takut. Ia takut kau keadaan yang memaksanya untuk tidak memenuhi
perjanjian hati ini. Setelah perjanjian hati itu, Reno menjalani karantina dengan senang hati. Pasalnya ia sudah tahu apa yang menjadi tujuan utamanya selain mengerjakan soal
di tingkat nasional nanti. Rara adalah alasannya mempunyai gairah berkompetisi yang maksimal.
Selama karantina Rara dan Reno berhubungan dengan alat komunikasi tanpa bisa saling bertemu langsung. Di sekolah pun sedang berlangsung UAS. Rara sebenarnya
sedang dalam keadaan kalut dan sedih. Ibunya semakin parah hingga akhirnya sang Budhe meneleponnya.
"Kamu sama Mentari pulang ke Jogja saja, Ra. Sini tinggal sama Budhe." Begitu ajakan Budhe yang membuat Rara merenung sepanjang malam. Ada cinta yang harus
ia tinggalkan dan relakan jika ia pergi ke Jogja. Tapi ini yang terbaik untuk keadaan ibunya.
Rara pun menyetujui ide Budhenya lantas mengurus kepindahan sekolahnya secara diam-diam dan dalam waktu yang sangat cepat. Reno jelas tidak tahu dengan
rencana ini. "Ra, kamu yakin mau meninggalkan Jakarta?" Bunda bertanya pada Rara saat keduanya sudah berada di Stasiun Gambir.
"Yakin Bu..." Jawab Rara menahan air matanya. Ia tahu hari ini Reno berangkat ke Surabaya untuk bertanding. Ia berharap hasil terbaik untuk cintanya. Meski
ia merasa berdosa karena akan menjadi pengingkar perjanjian hatinya bersama Reno.
Sebenarnya Reno sempat memaksa Rara untuk mengantarnya ke Bandara, namun Rara berhasil membujuk Reno dengan memberikan janji akan selalu menghubungi Reno
hingga waktunya tiba. Sore harinya saat Rara sudah sampai di Jogja, ia pun menghubungi Reno.
"Haloo.. Reno, kamu sekarang lagi apa?" Tanya Rara begitu lembut membuat Reno bolak balik memastikan siapa yang meneleponnya ini. Rara memilih begitu karena
ia pikir ini adalah saat-saat terakhirnya berbicara dengan Reno.
"Aku mau balik ke Hotel. Rangkaian acara seleksinya baru besok nih, Sa. Aku janji akan bawa medali emas buat kamu. Aku janji." Ucap Reno mantap yang membuat
Rara menangis deras di seberang sana.
"Jangan dibawa stress ya.. Jangan lupa makan sama istirahat yang cukup. Kamu harus fit di hari seleksi." Pesan Rara dengan susah payah ia ucapkan karena
Rara harus menormalkan suaranya.
"Siap! Makasih ya Sa. Tunggu berita kemenangan aku ya. Inget perjanjian kita! Bye my lovely rival!" Tutup Reno dengan hati berbunga-bunga namun langsung
kaget karena Bu Neona sudah di belakangnya yang kini justru membahas siapa peneleponnya itu.
Reno pun berkonsentrasi penuh selama proses seleksi. Sedangkan Rara di sana hanya mampu berdoa dan memangis saat mengingat semua tentang Reno. Reno adalah
sosok yang Rara cinta dalam diam. Sosok yang akhirnya memiliki rasa yang sama dan mau berjuang untuk dirinya.
Setiap selesai beraktivitas, Reno selalu mengabarkannya pada Rara. Kesulitan soal yang dihadapi, juri yang menyebalkan hingga rasa makanan dan udara Surabaya
yang panas juga Reno ceritakan pada Rara.
Tanpa terasa waktu pengumuman pun tiba. Rara yang tahu dengan tepat kapan waktunya itu pun sudah mulai menghitung mundur. Ini waktunya ia berpamitan pada
kehidupan Reno untuk selamanya.
Sore hari dering handphone Rara terdengar. Nama Moreno pun terdapat di layar. Namun Rara menahan diri sekuat tenaga untuk tidak mengangkatnya. Hingga sebuah
pesan dikirimkan Reno padanya.
Aku berhasil bawa medali emas. Tunggu aku di Jakarta, Sa. Aku cinta kamu.
Rara pun melepas sim card dan membuangnya di saluran air depan rumah Budhenya. Ia mengucapkan kata selamat tinggal dalam isakan pilu kepada cintanya.
'Ngga usah nyari aku, Ren. Kamu pantas mendapatkan wanita yang lebih baik dari aku. Biarkan aku di sini. Kita berbeda. Bukan karena kamu, tapi karena aku
yang begini. Selamat buat medali emasnya! Kamu hebat, Ren! Aku mencintaimu. Bahkan sangat mencintaimu. Maafkan aku dan tolong lupakan aku.' Ucap Rara di
dalam hatinya sambil terus terisak. Membuat Ibu yang melihatnya pun merasa bersalah dan bersedih.
'Kalau dia pria baik yang dituliskan Tuhan untuk berjodoh dengamu, kalian pasti akan bertemu di suatu hari nanti, Nak. Ibu pun merestui hubungan kamu dengannya.' Ucap Ibu dalam hati.
*** BAB 17 "Mas Reno..." Rara memanggil sosok tampan di sampingnya.
"Kenapa sayang?" Tanggap Reno lantas menurunkan koran yang sedang ia baca.
"Aku ngantuk. Izin tidur dulu ya." Ujar Rara yang memang sejak tadi sering menguap.
"Ini tuh izin buat pinjem bahu apa gimana?" Tanya Reno sambil tersenyum menggoda sang kekasih yang sudah melotot galak.
"Ngga! Nanti Mas cari kesempatan." Rara menjawab dengan nada menuduh membuat Reno mengelengkan kepala keheranan. Hanya wanita bernama Rara lah yang menolak
bahu dan perhatian manis Langit Moreno lainnya.
"Ya sudah selamat tidur, Sayang." Reno mengusap kepala Rara yang sudah mulai tertidur dengan bantal yang melingkar di lehernya.
"Enakan juga bahu aku, Sa..." Gerutu Reno.
Kini mereka sudah ada di ruang tunggu Bandara Soekarno-Hatta dengan tujuan penerbangan Jogjakarta. Setelah ajakan Reno sebulan yang lalu, akhirnya mereka
benar-benar akan pergi menemui Budhe untuk meminta izin dan restunya.
Selama sebulan ini, keduanya menjalani hubungan yang tidak pada umumnya. Perbandingan antara diskusi-debat dan bermesraan mereka adalah 30:60:10. Meski
demikian, proses itu membuat Reno jadi tahu kalau Rara justru yang menyukai dirinya terlebih dahulu. Rara dan Reno memang saling menceritakan apa yang
terjadi di 8 tahun yang lalu berdasarkan versi mereka masing-masing.
"Uncleeee Reno! Aunty cantiiik!" Suara anak kecil terdengar menggangu semua telinga di ruang tunggu itu. Reno pun memutar tubuhnya dan mendapati rombongan
peserta tambahan ke Jogjanya kali ini.
Peserta tambahannya adalah Radith, Neona, Dave, Bunda dan Ayah. Iya, mereka semua ngotot untuk ikut dengan alasan macam-macam.
"Ayoo! Bunda sudah lama tidak ke Jogja. Sekalian mau kenalan sama Budhenya Rara." Itu alasan Bunda.
"Ayah ikut Bunda." Itu kata Abimanyu Trisdiantoro.
"Kami ikut biar kamu ngga macem-macem sama Rara." Kata Neona.
"Mas ikut Neona kemanapun dia pergi, Ren." Kata Radith dan yang terakhir ini kata Dave.
"Waah Jogja?? Dave mau ke sana! Ke rumahnya Aunty Rara kan? Ikuut! Dave mau makan gudek!"
Membuat Reno pun menyetujui tanpa bisa bernegosiasi terlebih dahulu. Sekarang semua orang sepakat untuk memanggil Rara dengan nama sapaannya saat ini.
Hanya Reno yang masih bertahan dengan panggilan sejak SMAnya dulu.
"Biar bisa dipanjangin jadi Sayang." Begitu alasan Reno yang selalu melakukan sesuatu berdasarkan kehendak dan kemauannya sendiri.
"Daveee jangan teriak-teriak. Aunty kamu baru tidur." Reno memeringati keponakan yang kini sudah berdiri di depannya dengan tas ransel biru favoritnya.
"Aunty cantik kalau lagi tidur seperti sleeping beauty yaa.. Tapi Uncle kurcacinya!" Dave membuat Reno cemberut lantas menggendong dan mengelitiki keponakan
semata wayangnya ini. "Aaa ampun ampun geli! Uncle geli! Daddy tolongin Dave!" Dave pun meronta dan meminta tolong pada Radith yang justru membuat Rara terbangun.
"Yeay Aunty bangun! Berarti Dave pangerannya. Soalnya Dave yang bisa membangunkan Aunty." Dave berhasil melepaskan diri dari Reno lalu memeluk Rara. Membuat
Rara tersenyum bahagia. "Jangan cemberut, Ren. Kamu jadi jelek!" Ejek Radith.
"Ren, kamu mending beliin Ayah kopi daripada manyun gitu. Biarin Dave sama Rara." Ayah pun menyuruh Reno yang akhirnya menurut dan jadi pelayan dadakan untuk semua anggota keluarganya. Iya, semuanya menitip kopi padanya.
Saat Reno melangkahkan kakinya untuk membeli kopi, ia pun terpaku dan memutar balik tubuhnya. Sayangnya gerakan yang ia lakukan terlambat.
"Morenoooo?!" Seorang wanita sudah berseru memanggil namanya. Mau tidak mau Reno pun memutar badannya dan menyapa wanita itu.
"Eh.. Mba Lyra." Reno menyapa dan mengeluarkan senyum tipis yang membuat sang wanita senang bukan kepalang.
"Mau pergi kemana?" Tanya Lyra pada Reno yang sedang mengetik sebuah pesan lalu mengirimnya ke grup chat berisi anggota keluarganya.
"Eeh apa Mba?" Reno bertanya ulang.
"Mau pergi kemana dan sama siapa?" Ulang Lyra dengan senyum lebar.
"Oh.. Mau ke Jogja sama keluarga." Jawab Reno datar.
"Serius mau ke Jogja? Aku juga loooh! Mana keluarga kamu?" Seru Lyra. Kalau sudah begini mau bagaimana? Ternyata mereka itu satu pesawat juga.
Setelah Reno selesai membeli kopi, dirinya yang diikuti Mba Lyra pun menuju tempat duduk yang berisi keluarganya. Semua memasang wajah dingin dan tak bersahabat
apalagi Bunda. Entah bagaimana, pokoknya Bunda merasa wanita di depannya ini yang akan menghalangi cinta Rara dan Reno di kemudian hari.
"Om Abi selamat pagi! Apa kabar Om?" Sapa Lyra yang memang mengenal Ayah Reno yang juga teman dari Papanya.
"Pagi... Lyra ya?" Ayah pura-pura bertanya.
"Ah iya, Om. Tante apa kabar?" Kini Lyra beralih ke Bunda.
"Baik." Jawab Bunda ketus yang membuat Neona tersenyum di balik majalah yang sengaja ia baca itu.
"Pasti ini Kakak kamu sama istrinya ya?" Lyra menyapa Radith dan Neona yang sibuk dengan bacaan mereka masing-masing. Ini semua perintah Reno.
"Iya." Jawab Radith dan Neona hanya tersenyum. Neona tidak bisa berakting jadi ia lebih baik diam dan hanya tersenyum.
Seorang anak kecil di samping Neona pun tak luput dari pandangan Lyra.
"Hai adik kecil. Siapa namanya?" Tanya Lyra pada Dave.
"Davendra Nadithya Trisdiantoro, Tante." Jawab Dave dengan sopan.
Lyra mengangguk dan dengan lancangnya duduk di dekat Reno yang tampak celingak celinguk mencari keberadaan Rara.
"Auntyyyy cantik! Kenapa ke kamar mandinya lama sekali?" Tanya Dave dengan polosnya.Membuat semua orang hampir jantungan. Untung saja Dave ini punya hobi
memanggil Rara dengan sapaan Aunty Cantik.
"Maaf ya Dave, tadi aunty sakit perut." Jawab Rara pelan.
"Tapi kenapa jadi pakai kacamata hitam dan kerudung?" Tanya Dave yang memang tidak ikut terbriefing oleh Radith.
"Dave sini yuuk sama Oma. Oma tadi bawa permen cokelat." Bunda menyelamatkan situasi. Dave tetaplah anak kecil yang mudah teralihkan dengan makanan kesukannya.
Neona pun memeluk Rara yang sudah duduk di sampingnya.
"Ini siapa ya?" Tanya Lyra yang selalu berusaha akrab dengan keluarga Reno ini.
"Ini adik istri saya. Dia lagi kurang enak badan." Jawab Radith cerdas dan masuk akal. Dave pasti memanggil aunty pada adik kedua orang tuanya, bukan?
"Ooh begitu." Lyra tidak melanjutkan penasarannya karena kini ia sibuk menggoda dan menarik perhatian Reno. Membuat mata Rara terasa panas.
"Ini yang dimaksud sama Reno waktu dia mau hubungan kalian go public. Biar tidak ada yang seperti ini. Kamu yang sabar dan kuat. Reno juga pasti ngga nyaman."
Neona tahu kalau Rara pasti tak nyaman dengan pemandangan di depannya. Hingga guru matematika ini pun memberi penguatan juga penyadaran pada Rara.
Rara pun merenung sepanjang perjalanan di udara hingga mereka sampai di Jogja. Ternyata ini maksud Reno. Ini yang tidak diingini oleh Reno dan nyatanya
mengganggu kenyamanan hatinya juga.
Sesampainya mereka di pintu kedatangan domestik, mobil pesanan Bunda sudah menunggu dan siap mengantar rombongan Keluarga Triadiantoro ke desa tempat Budhe
tinggal. "Tadi ngga nyamankan lihat Lyra begitu sama aku?" Tanya Reno saat mereka semua sudah berada di dalam mobil.
"Maafin aku Mas. Aku selalu punya keputusan yang egois." Aku Rara yang membuat Reno menggeleng.
"Kita itu lagi belajar, Sa. Aku dan kamu belajar menjalani hubungan ini. Salah itu wajar tapi menyerah itu yang salah." Tutur Reno yang membuat Rara mengelurkan
air mata. "Jangan nangis, Sayang. Rasa tidak nyaman dan tersiksa yang tadi sama-sama kita rasa itu tanda bahwa kita punya rasa saling memiliki. Setelah dari Jogja,
kita go public ya? Ngga usah pikirin kamu akan dipecat atau nama baik keluarga aku yang akan jelek dsb. Kita jalanin bersama. Aku lebih takut kehilangan
kamu lagi daripada menghadapi semuanya berdua kamu. Setuju sama aku?" Tanya Reno yang mendapat anggukan mantap dari Rara.
Sudah cukup bagi Rara untuk menyiksa dirinya dan Reno dengan semua ketakutannya. Setelah melihat bagaimana Reno digoda atasannya tadi, Rara sadar bahwa
ketakutan utamanya adalah saat Reno tidak di sampingnya dan bersama wanita lain.
"Jangan pergi dan tinggalin Rara ya, Mas." Permintaan ini akhirnya Reno dengar dari mulut kekasih hatinya.
"Tidak akan pernah, Sa. Jangan berpikir aku akan membalas dendam atas kepergianmu dulu. Justru aku yang memintamu untuk tetap di sampingku, menjadi istri
dan ibu untuk anak-anakku. Kamu mau kan Sa? Setelah dari Budhe ini kita menikah?" Ujar Reno yang membuat seluruh orang di mobil ini senyum dan menggelengkan
kepala. Untung Dave sedang tidur.
"Iya Mas, Rara mau. Rara mau menikah sama Mas Reno." Rara pun menghilangkan semua ketakutan yang selama ini bercokol di kepalanya. Ia merasa tak ikhlas
kalau kebahagiaannya harus ia ditukar dengan ketakutannya atas perkataan orang.
"Seorang Langit Moreno si pria tampan rupawan meminta gadis pujaan hatinya untuk menikah di mobil travel. Itu judul berita bagus banget? yaa..." Suara
Radith sudah tenggelam karena suara tawa dari Bunda dan Neona.
"Mas Radiiith!!!!! Ini lagi serius! Lagian kenapa pada nguping sih?" Protes Reno karena obrolannya dengan Rara terganggu.
"Kita ngga nguping anakku. Cuma ini kan mobil. Ya semuanya denger." Bunda masih tertawa-tawa karena melihat wajah kesal Reno dan wajah merah padam dari
Rara. "Anaknya Ayah kenapa melamarnya ngga elit banget sih? Radith di kantin sekolah pas adiknya lagi seleksi. Ini lagi Reno di mobil travel." Ayah angkat suara
yang membuat hanya Bunda yang tertawa. Radith dan Neona pun terdiam karena malu mengingat apa yang dikatakan Ayah.
"Haaah di kantin aja ngatain yang di mobil travel!" Ujar Reno mengejek tak mau kalah.
"Kalau dulu Ayah melamar Bunda dimana?" Tanya Neona yang justru kini membuat Ayah dan Bunda terdiam.
"Nah bener juga pertanyaan Mba Neona! Jawab, Yaah! Dimana?" Cecar Reno.
"Ayaaaah.. Bundaaaa.. Jadi dimana?" Tanya Radith
"Ayah kalian melamar Bunda di parkiran mobil." Jawab Bunda yang menahan gelak tawa karena kini wajah suaminya merah padam menahan malu karena dua anaknya
sudah tertawa keras dan mengejeknya balik.
"Emang Trisdiantoro payah banget deh kalau soal milih tempat melamar!" Teriak Reno.
"Kakek kalian lebih ngaco. Itulah sebab The Trisdiantoro begini." Ayah kini menyalahkan Bapaknya.
"Kakek dimana Yah memangnya?" Tanya Radith.
"Kandang bebek." Jawab Ayah yang membuat semua orang terbahak-bahak. Rara pun merasa sangat bahagia karena berada di tengah keluarga yang sangat harmonis
dan hangat ini. Rara semakin yakin untuk menerima Reno dan menjalani niat suci mereka berdua.
****** Kini keluarga idaman itu sudah sampai di depan rumah sederhana nan asri milik Budhe. Halamannya yang luas membuat Dave kini berlari ke sana kemari mengejar
ayam dan bebek. Budhe yang sudah dikabarkan Rara pun menyiapkan sajian pembuka berupa rebusan pisang, singkong dan ubi yang merupakan kesukaan Ayah dan
Bunda. Budhe kagum dengan cara keluarga ini berkenalan dengannya. Tidak ada jejak sombong dan angkuh dari tutur kata dan perbuatan keluarga ini. Semua bersahaja
dan ramah. Bahkan Bunda langsung akrab dengan Budhe hanya karena setelah berbicara tentang makanan.
Nenek baik. Itulah panggilan Dave untuk Budhe yang membuat Budhe mencium pipi Dave yang putih dan gembul itu. Dave pun sudah minta dibuatkan macam-macam
oleh kakak kandung dari Ibu Rara itu.


Medal Of Love Karya Thelapislazuli di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Nenek baik, janji yaa besok bikinin ayam goreng yang dibumbuin kuning lagi kayak gini. Tempe mendoannya juga bikinin lagi." Begitu pinta Dave membuat
Budhe mengangguk senang. Radith dan Neona meminta maaf atas permintaan Dave, namun Budhe justru menggeleng dan mengatakan senang memiliki cucu seperti
Dave. Setelah makan siang bersama, Budhe dan Rara duduk berhadapan dengan semua anggota keluarga Trisdiantoro kecuali Dave yang kini sedang tidur siang.
"Mba Martini. Sebelumnya saya mewakili keluarga mengucapkan terima kasih atas sambutan dan penerimaannya di rumah ini. Maaf kalau kedatangan kami justru
jadi merepotkan, Mba. Kami ke sini sebenarnya ingin menyampaikan niat tulus dan suci dari Langit Moreno, putra bungsu kami kepada Rara. Putra kami ini
ingin minta izin dan restu Mba karena dia berniat membangun rumah tangga dengan memperistri Rara, keponakan Mba." Ayah membuka perbincangan serius ini.
"Justru saya yang meminta maaf jika penyambutan saya tidak berkenan di hati Keluarga Pak Abi dan Bu Herlina. Sebagai satu-satunya keluarga Rara, saya merasa
sangat bahagia dengan niat baik dari Nak Moreno. Saya sudah pasti mengizinkan dan merestui semua hal yang membuat keponakan saya bahagia. Hanya saja...
Keluarga Rara berbeda dengan kalian. Apakah itu tidak mengganggu ke depannya?" Tanya Budhe mengingatkan.
"Kami sudah tahu semuanya, Mba. Kami pun merasa itu bukan masalah untuk keluarga kami. Yang paling penting adalah kebahagian Reno dan Rara." Bunda pun?
angkat suara meyakinkan Budhe yang sudah menangis haru. Budhe melihat kemantapan hati dan keseriusan dari semua mata milik anggota keluarga Trisdiantoro.
"Sebenarnya anggapan orang tentang Rara anak haram itu salah. Mentari itu tidak hamil di luar nikah. Ia menikah dengan Bapaknya Rara meski di bawah tangan.
Pernikahan siri yang selalu merugikan pihak perempuan ini yang membuat Mentari tidak berkedudukan kuat atas pernikahannya. Sayangnya saya tidak pernah
tahu siapa nama suami Mentari dan bagaimana wajahnya sampai saat ini." Terang Budhe yang membuat Rara kaget. Jadi dirinya bukanlah anak haram. Dirinya
lahir dari sepasang suami istri yang halal di mata agama meski negara belum mengakui dan mencatatnya. Ini informasi yang baru Rara ketahui selama 25 tahun
ia hidup. "Kami paham, Mba. Bagi kami apapun yang terjadi di masa lalu biarkan begitu adanya. Saat ini, ada yang harus bergerak dan maju ke depan. Masa lalu hanya
boleh meninggalkan pelajaran berharga bagi semua orang." Tanggap Ayah yang mendapat anggukan semua orang.
"Budhe, jadi saya boleh memperistri Rara kan ya? Budhe merestui dan mengizinkannya kan?" Tanya Reno memastikan dengan gayanya yang selalu tak sabaran.
"Budhe mengizininkan, Nak. Cuma yaaa.. Setahu Budhe, Rara itu punya pria idaman dari zaman ia pindah ke sini. Tiap malem ditangisin sambil dipanggilin
gitu namanya." Budhe pun membuat Reno melolot kaget.
"Haaah?! Siapa Budhe namanya?" Tanya Reno yang sudah melolot marah.
"Namanya mei lo'feli rival apa ya?..." Budhe pun mengucapkan apa yang selama ini ia dengar dengan logatnya yang lucu sambil menggaruk kepalanya.
"Budheeeee!!!!" Pekik Rara yang kini menutup wajahnya.
"Siapa Sa yang kamu tangisin? Lo'feli? Namaku jadi jelek yaa..." Goda Reno yang kini sudah tahu siapa yag ditangisi Rara setiap malam itu.
"Gimana-gimana sih kok Bunda gagal paham?" Bunda meminta penjelasan.
"Reno itu dulunya ribut mulu sama Rara, Bunda. Panggilan mesranya My lovely rival. Nah mungkin Budhe dengernya jadi mei lo'feli rival kayak tadi." Neona
menjelaskan hal sedang menjadi tertawaan Radith saat ini.
"Reno renooo.... Wahahaha marah sana kamu sama yang namanya lo'feli." Bunda kini sudah bisa ikut tertawa terbahak-bahak.
"Clarissaaa... Saaaaayang. Daripada nangisin lo'feli, mending nikah yuk sama Mas Reno! Restu Budhe sudah di tangan nih." Reno kini mengejar Rara yang berlari
karena malu digoda semua orang.
"Jangan lari lagi!" Ujar Reno yang berhasil menangkap Rara di halaman belakang.
"Aku maluuu!" Rara masih menutup wajahnya membuat Reno tertawa karena gemas.
"Heey jangan malu dong. Itu bikin aku terbang ke langit ke 7 loh. Sa, sekarang lepas tangan kamu dari wajah. Aku mau ngomong." Reno menatap Rara dengan
lekat. "Menikah denganku, maka aku berjanji untuk selalu membuat kita merasakan semuanya bersama. Kalau kamu bahagia, senang, sedih dan sakit aku pun begitu."
Rara pun mengangguk dan menghamburkan diri ke dalam pelukan Reno. Membuat Reno kaget dan juga senang. Ia pun membalas pelukan hangat Rara yang begitu pas
di dalam rengkuhan tubuhnya.
***** Malam harinya, Budhe, Bunda, Neona dan Rara sedang membuka album yang menampilkan foto Rara saat kecil juga Ibunya.
"Na.. Bunda kok rasanya kenal sama Ibunya Rara yaa.. Wajahnya ngga asing. Tapi siapa ya? Bunda ngga inget punya temen namanya Mentari Abadi." Ucap Bunda
pada menantu kesayangannya saat Rara dan Budhe sudah tidak di sekitar mereka.
"Kalau Bunda merasa kenal, berarti kemungkinan Bapaknya Rara ada di sekitar kita Bun." Jawab Neona yang tahu kalau kehidupan sosial Bunda itu sangat luas.
"Nanti kalau sudah pulang ke rumah, Bunda mau bongkar album-album lama. Jangan-jangan dunia ini beneran sempit ya, Na?" Tanya Bunda kepada Neona yang justru
teringat perdebatannya dulu dengan Radith soal dunia sempit.
"Iya Bunda. Oh iya, nanti Neona bantu ya, Bunda." Neona pun tersenyum pada Ibu mertua super baiknya ini.
*** BAB 18 Dua pekan setelah kembali dari Jogja, keduanya memang masih menjalani hubungan diam-diam. Meski tanggal pernikahan sudah diputuskan dan akan berlangsung
6 pekan lagi. Terlalu cepat untuk persiapan? Silahkan bertanya pada Langit Moreno yang ternyata sudah menyiapkan semuanya secara diam-diam.
Reno tak tanggung dalam menyiapkan pesta pernikahannya. Gaun pengantin Rara pun ia pesan dari desainer terkenal ibu kota. Siapa lagi kalau bukan Nadine
Serilda Hendratama yang juga merupakan anak dari rekanan bisnis sang Ayah.
"Mas... Gaun pengantinnya ngga berlebihan? Mending uangnya ditabung, gimana?" Tanya Rara pada Reno yang langsung menggeleng keras.
"Aku nabung selama 8 tahun, Sa. Ini pesta pernikahan impian aku. Jadi please kali ini aja, biarin semuanya aku yang urus." Reno dengan kemauannya memang
selalu begitu. Reno dan Rara kini sedang dalam perjalanan menuju gedung tempat acara ulang tahun Delivery Express digelar. Ya, hari ini DE berulang tahun yang ke 40.
Momen ini digunakan Reno untuk memublikasikan hubungan mereka. Bagaimanapun DE akan dipegang olehnya ketika ia sudah menikah nanti.
"Muka kamu kok kayak mau ujian gitu sih? Senyum dong sayang." Reno mengusap pipi Rara dengan lembut.
"Ketakutan aku selama ini ada di depan mata, gimana ngga takut? Pasti banyak awak media kan?" Tanya Rara.
"Heey, kalau kamu takut terus, kapan hubungan kita maju ke depan? Kita sudah sepakat untuk selalu bersama kan?" Tanya Reno pada Rara yang mengangguk ragu.
"Mas... Rara boleh minta bantuan? Ini bukan syarat kok. Rara cuma minta bantuan." Rara menolehkan kepala ke arah Reno.
"Katakan sayang. Aku harus melakukan apa, hmm?" Tanya Reno antusias.
"Bantu cariin Bapakku Mas. Aku mau tahu siapa dia. Cukup selama ini aku ngga pernah punya akte kelahiran dan selalu menggunakan surat keterangan lahir
dari Bidan." Rara hampir mengeluarkan air mata yang langsung diusap oleh ibu jari Reno.
"Jangan nangis, Sa. Oke, kita cari bareng-bareng ya. Besok atau kapan gtu, kita ketemu Yudi. Dia temenku pas kuliah yang dulu bantu aku untuk nemuin kamu."
Jawab Reno yang membuat Rara sedikit merasa tenang.
Jiwanya mantap akan menikah dengan Reno tapi jauh di dalam lubuk hatinya Rara takut dengan semua hal yang dibayangkannya selama ini. Bagaimana jika nama
baik keluarga Reno yang jadi korban atas asal usulnya?
"Makasih ya, Mas." Ucap Rara dengan senyum yang melegakan hati Reno.
"Sekarang aku minta kamu tersenyum, jangan nunduk dan jangan minder. Kamu itu calon Nyonya Moreno, okey?" Pinta Reno pada Rara yang akhirnya mengangguk
dan tersenyum ke arahnya.
Setelah membelah kemacetan ibu kota, kini keduanya sudah memasuki pelataran gedung tempat ulang tahun DE digelar.
Banyak tamu-tamu yang sudah berdatangan. Mereka sangat terlihat menawan dengan pakaian yang mahal juga perhiasan berharga ratusan juta. Suasana seperti
ini sebenarnya tidak disukai oleh Rara. Baginya ballroom ini penuh dengan aura persaingan dan kemunafikan dari para pembisnis yang hadir. Saling rangkul
padahal saling tikam. Saling menyapa padahal saling memaki. Ya, dunia kalangan atas memang tak pernah sederhana dan menyenangkan, bukan?
Rara melihat Radith, Neona dan Dave sudah berada di sana. Ia pun? mengajak Reno bergabung dengan mereka semua.
"Haaai Ra, kamu cantik banget." Puji Neona pada calon adik iparnya.
"Ini karena dress pilihan Mba kok. Makasih ya, Mba." Rara tersenyum tulus pada sang guru yang kini ia sapa dengan panggilan Mba.
"Haai Dave sayang!" Sapa Rara ke arah Dave yang tampak sedang cemberut.
"Aunty kok datangnya lama? Uncle pasti telat jemput ya?" Tanya Dave sambil memicingkan mata mirip Neona.
"Jalananya macet, Sayang. Lagian kan sekarang Aunty sudah di sini. Jangan cemberut dong." Goda Rara pada calon keponakan lucunya ini.
"Sini deh, Uncle gendong." Reno menggedong keponakan kesayangannya itu. Membuat Dave kembali ceria.
"Renooo.. Ampun deh. Dave sudah gede. Itu baju kamu juga jadi lecek. Kamu nanti pidato di depan." Bunda datang bersama Ayah.
"Ngga apa-apa. Kalau sama Dave spesial kayak martabak." Reno menjawab sambil menciumi pipi Dave. Membuat Radith senang karena ia bebas menggandeng sang
istri tanpa gangguan Dave.
Tak berapa lama, suara MC pun terdengar tanda acara sudah dimulai. Semua menghadap arah panggung. Semua orang membuat Rara merasa kecil dan merapat ke
arah Neona. "Jangan menunduk, Rara. Tegakan pandangan kamu karena kita semua itu setara." Neona memeringati.
"Rara minder, Mba." Aku Rara.
"Mba juga ngga suka banget sama acara kalangan atas begini. Makanya dulu sempet nolak Mas Radith karena dia anak orang berada. Mba dulu maunya dapet suami
yang biasa saja. Tapi Tuhan justru menakdirkan Mba sama Mas Radith. Mau tidak mau, Mba harus membiasakan diri meski bukan menerjunkan diri pada acara semacam
ini. Sekedar menghormati, meski tidak usah menjadi pemain dunia kalangan atas ini."
"Bunda juga ngga suka kok. Kita itu sama, anak-anakku. Bunda sukanya jadi ibu rumah tangga yang pakai daster bolong, sibuk nonton gosip dan ngurusin anak-anak.
Bukan jadi nyonya besar yang ngikut segala macam arisan. Mulai dari berlian sampai berondong." Bunda menambahi perkataan Neona yang akhirnya membuat mereka
semua tertawa bersama. "Makanya Bunda bahagia banget saat Radith dan Reno milihnya wanita-wanita seperti kalian." Bunda memeluk Rara dan Neona dengan erat.
Suara Reno di panggung menghentikan adegan berpelukan mereka bertiga. Kini Reno sedang berpidato dan ditemani oleh sang Ayah di depan.
"Malam ini, saat DE berusia 40 tahun. Saya Langit Moreno, selaku putra bungsu keluarga Trisdiantoro akan mengumumankan sesuatu hal yang penting. Ayah saya,
Abimanyu Trisdiantoro memutuskan bahwa saya lah pewaris perusahaan ini. Dulu saya mengatakan pada beliau, bahwa saya akan menerima amanah itu jika saya
sudah menikah. Akhirnya syarat itu bisa saya penuhi sendiri. Ya, saya akan menikah enam pekan lagi dengan seorang wanita yang sudah saya cintai selama
delapan tahun ini tanpa jeda. Wanita super yang membuat saya berubah menjadi lebih dari sekedar baik. Wanita itu bernama Clarissa Aurora Pradipta. Dialah
calon Nyonya Moreno yang sudah berada di tengah-tengah kita malam ini. Kepada calon istri saya Clarissa, dimohon maju ke depan." Reno menatap Rara yang
tampak gugup menaiki panggung.
"Tatap mereka semua, sayang." Bisik Reno yang kini sudah memeluk pinggang mungil Rara. Rara pun tersenyum ke arah kamera. Beberapa wartawan dari koran
nasional, majalah bisnis dan juga televisi sibuk mengambil foto mereka berdua. Sudah pasti setelah ini mereka berdua akan menjadi headline surat kabar.
Saat proses potong tumpeng yang dilakukan Ayah dengan Reno, Rara pun menggandeng erat tangan Bunda. Tampak banyak wanita yang mengeluh dan kecewa saat
tahu Reno sudah bertunangan dan akan segera menikah. Rara bisa mendengar jelas kalau mereka, para putri-putri pembisnis itu menamai diri mereka sebagai
LM FC. Langit Moreno Fans Club.
"Semua baik-baik saja kan?" Tanya Reno yang kini sudah di samping Rara.
"Yang ngga baik-baik itu besok, Mas. Di kantor majalahnya Mba Lyra." Rara mengutarakan ketakutannya lagi.
"Besok kamu resign saja. Bikin toko kue sama Mba Neona, gimana?" Tanya Reno yang justru mendapat pukulan dari Rara.
"Selalu sesuka-sukanya aja sih! Mas kamu itu kenapa sih selalu ngegampangin segala sesuatu?" Tanya Rara bersungut-sungut.
"Hidup sudah rumit, Sayang. Aku ini taktis bukan ngegampangin. Ngga usah takut, okey?" Tanya Reno yang mulai gemas dengan Rara.
"Iyaaa.. Baiklah." Jawab Rara menghembuskan nafas panjang. Sepanjang sisa acara, Rara justru berpikir akan semua hal hingga ia beride untuk menemui Lyra
besok pagi. Buat apa dia takut? Cintanya dan Reno bukan kesalahan kan?
"Besok aku mau bilang sama Mba Lyra. Aku mau resign baik-baik." Ucap Rara saat ia diantar pulang oleh calon tunangannya.
Ciiiiiiit...... "Hah? Kamu bilang apa sayang?" Reno yang kaget pun mengerem mobilnya secara tiba-tiba.
"Iiih Mas! Kagetnya berlebihan banget sih! Tadi katanya aku jangan takut. Sekarang aku berani, malah kaget." Omel Rara.
"Aku seneng banget loh! Ini kaget yang penuh bahagia, Sayang. Secepat itukah keputusan kamu berubah? Boleh tahu kenapa?" Tanya Reno yang masih menepikan
mobilnya. "Aku mau bahagia sama Mas dan mencintai Mas dengan cara normal seperti yang lain. Aku lelah dengan ketakutanku, Mas. Cinta kita pantas ada di muka bumi
ini tanpa takut kecaman dari pihak manapun. Aku benar?" Tanya Rara dengan yakin.
"Ra? Ini kamu serius kan? Aku bahagia banget loh ini. Aku nangis boleh ngga sih?" Reno benar-benar menghapus air mata harunya. Akhirnya doanya pada Tuhan
satu per satu dikabulkan. Selama ini Reno ingin Rara percaya pada diri dan cinta yang ia miliki.
"Jangan nangis! Mas jelek kalau nangis." Ejek Rara pada Reno yang kini sudah cemberut membuat Rara gemas.
"Aku mau kita melangkah bersama. Jadi aku ngga mau memberatkan langkah Mas Reno. Maaf kalau ketakutanku sering membawa kesusahan bagi, Mas. Rara sayang
dan cinta Mas Reno." Ucap Rara yang membuat Reno terbang ke langit ke 7.
"Jangan bilang maaf, Sayang. Ini perjuanganku sebagai pria dalam mengejar cinta. Perjuangan Mas Radith tuh panjang banget deh buat dapetin Mba Neona. Bahkan
Mas Lendra, Kakaknya Mba Neona juga cerita kalau dia jungkir balik buat dapetin istrinya, Mba Lala. Justru itu yang jadi kebanggaan buat kami, para kaum
pria, Sa." Ucap Reno dengan bangga.
"Kalau aku kasih syarat lagi ngga apa-apa dong?" Goda Rara.
"Apa? Kamu mau minta apalagi? Minta aku bikin candi? Aku bukan Badung Bondowoso, Sayang. Tapi kalau kamu minta aku bikinin kamu hotel aku bisa." Ucap Reno
sombong. "Sombooong!!! Syaratku Mas Reno harus mau makan sayuran hijau selama kita menjelang nikah. Aku pantau dari Bunda loh. Bisa?" Tantang Rara pada calon suaminya.
"Koook gtu sih, Sa? Aku ngga doyan.. Kalau muntah gimana?" Tanya Reno panik.
"Ngga makan sayur hijau ngga nikah." Ancam Rara menahan tawa.
"Ya Tuhaaan.. Cinta Moreno terhalang sayuran hijau! Eeh.. Tunggu deh! Kamu nyuruh aku makan sayuran hijau biar aku subur ya? Biar kamu cepat punya anak
ya? Hooooo Clarissa ternyata berpikiran sejauh itu! Sip deh sayangku! Kamu siap-siap ya." Reno pun mengedipkan matanya menggoda sang tunangan yang kini
sudah memerah sempurna. "Ngga gituuuuuuu! Astaga, Mas Reno nyebelin!" Rara pun menutup wajahnya karena malu. Sungguh ia tak berpikir ke arah sana. Reno pun tak mau mendengar pembelaan
apapun dari Rara. Baginya calon istrinya ini memang perhatian padanya dan selalu mau yang terbaik untuknya seperti syarat medali emasnya dulu.
****** Senin pagi di kantor berita Beraneka Kisi. Rara sejak tadi sudah menarik nafas dalam lalu mengembuskannya pelahan. Sejak Reno mengantarnya hingga lobi
gedung ini, semua mata memandangnya dengan tatatapan tak bersahabat. Hanya Winny yang setia mendukung Rara seperti saat ini. Kini keduanya sedang menunggu Lyra datang ke dalam ruangannya.
Tak menunggu lama, wanita itu pun datang dengan wajah yang menakutkan.
"Ha! Bagus kamu sudah berada di depan ruangan saya. Masuk Clarissa Aurora Trisdiantoro!" Ucap Lyra sinis.
"Gue tunggu di sini. Lo harus semangat!" Winny pun menepuk pundak sahabatnya. Menunggu dengan cemas.
Sementara itu di ruangan Mba Lyra. Rara sudah duduk di depan pemilik kantor majalah ini. Memandangnya dengan tatapan penuh emosi.
"Jelaskan semuanya, Rara!" Mba Lyra menyuruh Rara dengan nada tinggi.
"Saya minta maaf, Mba. Saya minta maaf karena menutupi semuanya. Bahkan saya menutupi jati diri saya dari Reno selama 8 tahun ini. Hingga waktu Mba ngadain
pesta ulang tahun, saya dan Reno bertemu lagi, Mba. Kami saling menjaga hati selama ini hingga akhirnya kami berencana seperti yang sudah Mba ketahui."
Rara menjelaskan dengan sangat hati-hati.
"Sudah buat surat resign? Saya ngga mau ya di sini ada pengkhianat kayak kamu! Pantas saja Mas Rion kamu abaikan. Ternyata kamu dapat ikan kakapnya. Hebat
juga radar dompet tebal kamu." Lyra melecehkan Rara yang membuat Rara tersinggung lamtas bangun dari kursinya.
"Ini surat resign saya, Mba. Sebenarnya saya tidak harus meminta maaf pada Mba atas hubungan saya. Reno dan saya saling mencintai dan cinta kami bukan
tumbuh karena merebut dari siapa-siapa, Mba. Satu lagi, saya memang bukan putri dari kerajaan bisnis manapun tapi saya juga bukan gold digger seperti yang
dituduhkan, Mba. Terima kasih untuk kesempatan kerja di sini, Mba. Saya pamit dan mohon maaf kalau saya tidak bisa bekerja secara profesional." Rara membalas
hinaan Lyra yang menurutnya sudah sangat keterlaluan itu.
Rara pun keluar lantas memeluk Winny dengan erat. Kini keduanya menuju kubikel Rara untuk merapikan semua barang-barang Rara hari itu juga. Semua orang
tampak membisu. Sedih dengan kepergian Rara namun tidak mau ikut campur. Lyra bisa membabi buta saat ia sedang marah. Rara pun pamit dengan semua orang
di sana. Saat Rara berada di lobi gedung milik keluarga Wilaga, putra sulungnya ternyata sudah berada di sana. Tak jauh berbeda dengan Lyra, Rion tampak berang
saat melihat Rara. "Jadi Langit Moreno adalah alasan kamu menolak saya? Jawab Rara!" Bentak Rion.
"Orion Sastra Wilaga! Siapa yang memperbolehkan Anda meneriaki calon istriku, ha?!" Suara Reno tak kalah kerasnya dari Rion. Membuat semua orang terkaget.
Reno dengan emosinya bisa membakar gedung ini kalau ia mau. Dadanya pun masih naik turun saat Rara mendekat ke arahnya.
"Tunggu aku, Mas. Biar aku yang jawab pertanyaannya." Rara mengusap lengan Reno yang tampak memerah menahan emosi yang sudah di ubun-ubun.
"Mas Rion tidak usah membentak saya. Pertama, saya masih mendengar. Kedua, Mas tidak punya hak untuk marah. Sejak awal, pernahkah saya merespon Mas? Pernahkah
saya membuka sebuah celah untuk Mas? Kalau jawabnya pernah coba sebutkan apa dan kapan itu terjadi."? Ujar Rara dengan tenang membuat Rion membeku di tempat.
"Saya tidak merebut Mas Reno dari Mba Lyra begitu pun Mas Reno. Dia tidak merebut saya dari Mas. Kami bahkan sudah mengenal jauh sebelum saya mengenal
kantor majalah ini. Delapan tahun yang lalu, kami sudah saling mencintai. Jadi biarkan kami berbahagia. Mas Rion tidak punya hak atas hidup dan pilihan
saya." Rara pun meninggalkan Rion yang mengusap wajahnya kasar. Bagaimanapun semua ucapan Rara itu benar. Wanita itu tidak pernah memberikan kesempatan
apa-apa untuknya. Hanya Rion sendirilah yang sudah melambungkan harapannya setinggi bintang di angkasa.
Rara pun menggandeng tangan Reno yang masih gemetar karena emosi menuju mobil. Mereka pun meninggalkan gedung majalah itu dan menuju rumah Bunda.
"Minum dulu, Mas. Kalau masih gemetar jangan nyetir." Rara mengusap lengan Reno yang basah karena keringatnya.
Reno pun mengambil botol mineral dari Rara, menenggaknya lantas menarik nafas seperti yang diajarkan Radith padanya. Akhirnya emosinya sedikit menurun
saat melihat Rara tersenyum manis ke arahnya.
"Makasih sudah membela aku. Aku ngga apa-apa kok. Aku berani dan kuat karena Mas dan cinta kita ini. Seperti kata Mas cinta kita tidak salah. Jadi buat
apa kita takut?" "Aku boleh peluk kamu ngga, Sa?" Pinta Reno yang disetujui oleh Rara. Reno pun menepikan mobilnya lantas memeluk Rara. Usapan tangan Rara pada punggungnya
membuat emosi itu hilang entah kemana.
"Jangan marah sampai mau meledak gitu lagi ya. Rara sayang dan cinta Mas Reno kok." Rara memberanikan diri mengecup pipi Reno. Membuat yang empunya melupakan
amarahnya dan justru kini menggoda Rara.
"Setelah nikah, aku yakin yang agresif itu kamu, Sa. Tapi ngga apa-apa aku suka yang begini. Wanita galak itu kan lebih seksi apalagi kalau di kasur."
Ujar Reno yang kini sudah mendapat cubitan dari Rara.
Reno pun meringis namun hatinya menghangat saat melihat kekasihnya akhirnya berani melawan ketakutannya. Membela dan mengedepankan cinta mereka berdua.
"Mas bukannya meeting ya pagi ini? Kok balik ke kantor aku?" Tanya Rara pada Reno. Ia heran mengapa Reno berada di kantornya lagi.
"Feeling dong. Masa aku ngga punya radar keadaan calon istriku? Mas minta tolong Ayah buat rapat dulu. Untungnya beliau paham. Kamu temenin Bunda aja di
rumah. Bunda pasti seneng deh." Jawab Reno dengan senyum manis. Senyum yang tak pernah berubah sejak pertama Rara melihatnya di MOS saat mereka berdua adalah siswa SMA.?
*** BAB 19 Rara dan Reno pun akhirnya sampai ke kediaman Trisdiantoro. Bunda yang sedang sibuk membuka-buka album fot pun kaget saat melihat kedatangan mereka berdua.
Reno menjelaskan semuanya hingga membuat Bunda ikut marah dengan kelakuan Rion yang membentak calon menantunya.
"Anaknya Mba Lily kok begitu sih? Ya sudah biar nanti Bunda yang urus. Ini hak kalian untuk bahagia kok. Yang pelakor pembinor aja menuntut hak untuk hidup
bahagia, apalagi kalian yang tidak merebut siapa-siapa." Begitu tanggapan Bunda yang ternyata tahu istilah hits itu.
"Bunda, Reno berangkat dulu ke kantor. Titip calon istri ya, Bun." Ucap Reno dengan wajah tengilnya.
"Ini anak Bunda juga ya, Ren. Sudah sana kamu pergi.? Ngga usah berlebihan! Di sini Rara aman." Bunda mendorong putra bungsunya yang malah sibuk menggoda
Rara hingga keduanya jengkel pada Reno.
Setelah mobil Reno meninggalkan garasi, Bunda mengajak Rara untuk melihat-lihat foto Bunda bersama teman-temannya. Meski Bunda tidak mengatakan niatnya
yang sedang mencari potongan memori atas Mentari Abadi. Namun ia tetap menunjukkan semua foto dengan antusias.
"Ini foto Bunda sama temen Bunda namanya Sigmalia. Keluarga dia lucu deh, Ra. Masa semuanya nama fisika gitu. Suaminya Rhomario, Nama anaknya..... Duh
lupa Bunda. Yang perempuan Thetaria apa yaa yang putra sulungnya lupa namanya." Bunda menunjukkan foto dirinya dengan Keluarga Nugroho. Pemilik perusahaan
energi di negeri ini. Rara pun mengangguk antusias dan tertawa saat mendengar cerita Bunda atas nama unik yang dimiliki kelurga itu.
"Kalau ini, sahabatnya Ayahnya Reno. Ini Mas Tian. Anaknya yang buatin kamu gaun itu. Mas Tian tuh pria idola jaman dulu deh. Bunda ngefans meski hatinya
mentok sama Abimanyu." Bunda cekikikan mirip Reno yang membuat Rara ikut tertawa dan melupakan masalah yang baru saja terjadi antara dirinya dan Lyra tadi
pagi. "Ini Mas Adrian Tanjung..."
"Ini istrinya ya Bun?" Tanya Rara.
"Bukan, ini justru istrinya Mas Tian. Istrinya Mas Adrian ngga ikut kayaknya deh waktu ini. Istrinya dosen gitu, Ra. Lupa Bunda namanya." Bunda membolak
balik album yang berisi semua pembisnis kelas teras di Indonesia itu.
"Bunda, temennya Bunda sama Ayah kan banyak. Kenapa Mas Reno ngga Bunda jodohin? Kenapa justru Bunda menerima Rara yang jelek bibit bebet bobot nya ini?
Ini terasa seperti mimpi deh Bun." Rara bertanya hal yang selama ini ia pendam.
"Alasannya simpel sayang. Cinta tidak suka dipaksa. Biarkan cinta yang hadir dengan jalannya sendiri. Bunda yakin apa yang dipilih anak-anak Bunda sudah
mereka amati, timbang dan pikirkan masak-masak. Sebagai orang tua, tugas kami mendukung. Bukan mencampuri lantas membebani. Lagian, siapa bilang bibit
Gema Di Ufuk Timur 2 Pendekar Bloon 10 Sang Maha Sesat Runtuhnya Kerajaan Manchuria 1

Cari Blog Ini