Ceritasilat Novel Online

Misteri Anak Anak Iblis 1

Misteri Anak Anak Iblis Karya Abdullah Harahap Bagian 1


MISTERI ANAK-ANAK IBLIS Penulis : Abdullah Harahap
Penerbit : .... Sumber : Hanaoki - Tjareuh Boelan
Digibook : Mata Malaikat Machine : Samsung E 300 Buku digital ini gratis hanya sekedar untuk berbagi dan melestarikan buku dari kepunahan.dan di larang mengkomersialkan Selamat Membaca..
Ocr by : Yoza Upk Edit teks dan pdf : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 28 Agustus 2018,Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Selamat menyimak !! *** BAB 1 Kabut tipis merayap di antara pepohonan yang berdiri kaku bagaikan barisan kaki-kaki sepasukan raksasa yang mengintai dari kegelapan, makin ke atas kabut semakin tebal, seakan langit tiba-tiba turun untuk menelan bumi yang tertidur di kegelapan malam. Jalan tembus ke tengah hutan tampak suram, meliuk-liuk kelelahan. Sebuah mobil sedan putih melaju terseok-seok dengan susah payah, agar tidak terperosok kelubang-lubang menganga di sepanjang jalan dan tanah keras berbatu-batu itu.Cahaya lampu mobil yang diperkuat dengan lampu kabut, membias samar ke sebelah dalam. Lewat kaca depan terlihat wajah seorang laki-laki yang setengah condong kearah kemudi. Seorang wanita muda duduk dengan wajah tegang disebelahnya. Sebentar-sebentar terhantar keluhan tertahan dari mulutnya tiap kali mobil terbanting waktu melewati jalan berlubang.Sesekali ia memaling ke kaca samping. Matanya membeliak nyalang menatap kegelapan di luar mobil.Jelas ia sangat ketakutan. Takut kalau tiba-tiba dari balik pepohonan muncul sesuatu, tidak tahu sesuatu itu apa. Baik rupa maupun bentuknya.Namun secara naluriah ia dihinggapi perasaan, bahwa sesuatu itu pasti ada, serta terus-menerus mengintai dan mengikuti gerak maju mobil mereka.Lalu ketika mesin mendadak mati dan mobil itu terhentak diam, ketakutan si perempuan pun meledak dalam seruan tertahan:
"Jangan! Jangan berhenti disini!"
Lelaki muda yang duduk di belakang kemudi bergumam resah:
"Siapa pula yang mau berkubang ditempat mengerikan ini?"
"Lantas..... mengapa berhenti?"
Ketakutan si perempuan kian menjadi-jadi.
"Mesinnya mati........"
"Hidupkan lagi!"
"Sedang kucoba," jawab si lelaki yang dengan gugup menekan tombol starter. Ia melakukannya berulang-ulang. Tanpa hasil.
"Jangan-jangan bensinnya habis!"
"Mustahil..." Dan ia melirik ke jarum penunjuk bahan bakar. Paling kurang, tangki masih terisi setengahnya.
"Mungkin kipas putus, atau..."
Lalu ia menarik tombol pembuka kap depan, kemudian membuka pintu sampingnya. Si perempuan akan berkata sesuatu, tetapi segera membatalkannya. Gadis itu memutuskan lebih baik diam. Dan ia pun duduk merungkut di joknya,seraya menatap kuatir ke teman seperjalanannya yang bergegas keluar dari mobil. Pemuda itu menaikkan kap depan. Dengan bantuan lampu baterai ia memeriksa mesin dengan teliti dan tak lama kemudian masuk lagi ke dalam mobil, setelah lebih dulu membanting kap depan sampai menutup rapat.
"Aneh," bisiknya.
"Apa?" si Gadis balas berbisik, seraya merapatkan tubuh ke si lelaki.
"Aku yakin tak ada sesuatu yang salah. Lagipula, baru dua hari yang lalu mobil ini diserpis."
"Lantas?" Yang lelaki berusaha lagi menghidupkan mesin mobil.Juga tanpa hasil. Setengah putus asa ia mengeluh:
"Ada yang aneh pada mobil ini....."
"Maksudmu?" yang perempuan tergagap, ngeri.
"Mesinnya mati begitu saja. Tanpa sebab-sebab yang jelas."
"Kau yakin?" "Ini punyaku. Dan hanya aku yang memegangnya sejak keluar dari Showroom, enam bulan yang lalu. Aku sudah sepuluh tahun memegang mobil sendiri. Sudah gonta-ganti mobil tujuh atau delapan kali. Tetapi baru yang satu ini yang pernah mengulah begini rupa..."
"Jangan-jangan....."
"Jangan-jangan apa?" rungut si pemuda seraya mena-tap si gadis yang tiba-tiba terbungkam.
"Ini perbuatannya."
"Perbuatan siapa?"
Wajah gadis itu memucat seperti kertas waktu ia menyahut dengan suara tertelan:
"Sang Iblis!" *** Seekor babi hutan yang berdiri diam-diam dibalik semak belukar, terkejut manakala terdengar suara hentakan marah di dalam mobil. Babi itu mendengus-dengus liar. Dengan putaran vertikal, sang penghuni hutan dengan moncong bertaring tadi melompati semak belukar lalu berlari sepanjang sebuah jalan setapak mendaki diantara pepohonan.Tiba di sebidang permukaan tanah yang agak rata, sibabi hutan menghentikan larinya. Nafasnya mendengus-dengus semakin liar ketika sorot matanya yang tajam menangkap bayangan sesuatu didepannya.Sesuatu itu bergerak, diiringi suara desahan-desahan berat. Sang penghuni hutan menghentakkan salah satu kaki depannya ke tanah, lalu kemudian kembali berlari.Makhluk itu menerobos semak belukar yang rapat, dan lenyap ditelan kegelapan malam yang berkabut.Zulham berpaling kaget melihat babi hutan itu muncul dan tahu-tahu telah menghilang lagi dalam kegelapan malam yang hitam pekat. Ia merentak bangkit.Gerakannya membuat dipan kayu yang sebelumnya ia tiduri, berderit nyaring. Suara berderit itu meningkahi bunyi dengkur teman tidurnya yang tetap pulas. Tak terusik. Zulham mengintip dari batas penghalang pos jaga yang mereka tempati. Meyakinkan diri bahwa sipenghuni hutan benar-benar sudah pergi.Kemudian ia membungkuk. Meraba-raba bagian depan dipan. Ia menemukan ransel yang ia cari. Lalu tangannya menyelusup ke bagian dalam ransel.Kembali meraba-raba. Teraba olehnya sebuah kamera bertele diantara gumpalan pakaian dan handuk, lalu berkotak-kotak film, sejumlah benda-benda keperluan lainnya, dan akhirnya jari-jemarinya menyentuh ujung sarung pembungkus pisau komando.Semenit setelahnya ia sudah berdiri di luar pondok,dengan pisau terhunus di tangan kanan dan sarung pisau di tangan kiri. Matanya jelalatan memandang sekitar, tanpa menemui sesuatu yang mencurigakan.Kurang puas, ia memutari pondok dengan sikap waspada menghadapi kemungkinan yang dapat saja terjadi. Namun selain udara dingin berkabut dan kegelapan malam yang hitam bagai jelaga, ia tidak menemukan apa-apa lagi.Zulham kemudian memutuskan duduk bersantai dibibir jurang menganga. Bersandar ke sebatang pohon besar, ia menyulut sebatang rokok. Pisaunya telah dimasukkan ke sarung lalu diselipkan dibalik jaket kulit yang membungkus tubuhnya dengan ketat. Resluiting jaket ia tarik sampai sebatas leher. Ia rangkul lututnya yang tertekuk, agar tubuhnya tetap hangat. Mestinya ia pakai topi kupluk agar wajahnya juga tetap hangat.Tetapi satu-satunya topi kupluk yang ada, masih melekat di kepala pemiliknya: si penjaga hutan yang suara dengkurnya bagaikan bunyi mesin derek yang sudah lama tak disentuh pelumas.Dibalik kepulan asap rokok, terbayang lagi wajah orangtua renta yang beberapa saat tadi telah muncul dalam mimpinya dan membuat ia seketika terjaga dari tidur. Orangtua berjubah hijau dan bersorban putih,dengan wajah keriputnya yang misterius. Sepasang mata orangtua itu menyorotkan pandangan suram.Mulutnya terkatup. Sedikit tergetar, ingin mengutarakan sesuatu tetapi tak pernah sanggup untuk melakukannya.
"Apa yang begitu kuat menutup mulutmu, Ompung?"
Ia berbisik resah, dengan rokok tetap terselip di celah bibir.Ia tahu siapa nama orangtua itu. Namun dikalangan keluarga, terpantang menyebut nama orangtua kita sendiri. Apalagi orangtua itu adalah kakek buyut, dan si kakek buyut sudah menggariskan panggilan keluarga untuk dirinya sendiri:
Ompung... suatu sebutan didaerah asal Zulham di Tapanuli, yang arti pasnya adalah kakek.Ompung Zulham adalah Haji pertama di kampung mereka. Beberapa hari setelah memasuki usia yang ke-124, ompungnya pamit pada semua sanak keluarga untuk pergi terakhir kalinya ke Mekkah.
"Aku merasa waktuku sudah dekat" katanya.
"...dan kalau aku meninggal, aku ingin dikuburkan didekat pusara Rasulullah."
Orangtua itu meninggal dunia setiba di Mekkah. Tetapi nama bahkan wujudnya tetap hidup di kalangan keluarga, terutama pada turunan-turunan kesayangan-nya.Zulham sendiri acapkali bermimpi didatangi ompung.Tutur katanya yang lembut serta tatapan matanya yang bening merupakan pertanda ia merestui Zulham.Kerutan dahinya pertanda ia tidak menyenangi rencana atau tingkah laku Zulham. Dan kalau dalam mimpinya sang ompung muncul dengan mulut mengatup dan wajah suram misterius, buat Zulham merupakan pertanda bahwa sang kakek buyut ingin mengatakan bahwa sesuatu yang buruk atau marabahaya tengah mengintai di sekeliling Zulham.Kalau ompungnya kemudian raib seraya mengusap wajah Zulham, ia pertanda bahwa ompung akan berjaga-jaga disekeliling Zulham. Dan kalau ia raib begitu saja, maka itu berarti Zulham terpaksa harus berjuang sendirian.Zulham mengisap rokoknya dengan sedotan keras.Akibatnya ia terbatuk. Rokoknya terjatuh ke pangkuan,menimbulkan percikan-percikan api pada celana jeannya. Cepat-cepat ia tepiskan puntung rokok menyala itu, lalu bangkit berdiri. Pundaknya tergetar.Gelisah. Apa yang ingin disampaikan ompungnya?
Suatu kejadian buruk? Ancaman marabahaya? Atau,kedua-duanya? Dari arah pondok terdengar suara keriut dipan. Sipenjaga hutan tentunya merubah posisi tidur. Agaknya ia tidak menyadari bahwa Zulham sudah keluar dari pondok, karena dengkur penjaga hutan itu kembali menyentak-nyentak di kesunyian malam.Zulham sudah benar-benar terjaga. Dan tidak punya selera tidur kembali di samping orang itu. Karena suara dengkur orang itu terkadang menyerupai bunyi bukit batu longsor yang membuat kelopak mata Zulham sukar terpicing. Kuatir, kalau bukit batu itu benar-benar ada dan tahu-tahu longsor, lantas mengubur mereka hidup-hidup, Zulham mengayun langkah kearah selatan sampai ia menemukan jalan setapak menuju jalan besar di bawah bukit. Kalau tak bisa tidur,biasanya ia pergi bermobil ke mana saja. Berharap sesuatu yang besar atau luar biasa akan ia temui ditengah perjalanannya, dan dapat ia buatkan artikelnya untuk majalah tempat ia mengabdikan karier selama lebih sepertiga usia Zulham sendiri. Atau berkumpul bersama abang-abang becak dan supir-supir taksi diwarung kopi pinggir jalan. Atau juga, menyelinap kekelab malam, mencari kehangatan tubuh seorang perempuan di lantai dansa.Tetapi itu semua di kota. Tidak ditengah hutan semacam ini. Dan satu-satunya hal yang dapat ia perbuat, hanyalah mengayun kaki sekedar mengendurkan otot-otot yang kejang kaku setelah sepanjang siang dan malam melakukan tugasnya hampir-hampir tanpa sempat beristirahat. Barangkali dibawah sana ia bertemu seorang pengelana malam seperti dirinya. Atau binatang hutan yang dapat ia ajak bermain-main dengan pisau komandonya.Zulham bukanlah seorang pembunuh. Tetapi malam ini, betapa ia ingin membunuh. Dan apa yang sangat ingin dibunuhnya, adalah kegelisahan yang teramat sangat menghantui pikirannya.
"Mestinya ompung mengucapkan sepatah dua. Sekedarpetunjuk,
" desahnya sambil menuruni jalan setapak dengan hati-hati. Jalan didepannya gelap, berkabut pula. Ia bisa saja terperosok ke jurang dibalik semak belukar, atau terjerumus masuk lubang dalam bekas perangkap binatang, yang oleh si penjaga hutan banyak terdapat disekeliling mereka.Zulham tidak begitu mengenal jalan setapak ini. Ia baru melaluinya satu kali. Tadi sore, dengan si penjaga hutan sebagai petunjuk jalan. Namun ia tetap saja menerobos jalan setapak itu, didorong oleh suatu keinginan yang sangat untuk berbuat sesuatu. Tak perduli, apa pun sesuatu itu. Yang pasti, naluri wartawannya memaksa ia bergerak dan terus bergerak.Sepanjang siang hari tadi, ia juga bergerak. Menemui beberapa orang, bertanya macam- macam. Malamnya memasuki hutan bersama si penjaga yang mendam-pinginya dengan hasrat menggebu.Terngiang di telinga Zulham ucapan si penjaga hutan yang merupakan sebuah tekad yang tidak dapat dibendung apapun juga:
"Aku harus membalaskan sakit hati ayahku!"
Seseorang di kota telah memberikan nama dan alamat si penjaga hutan pada Zulham. Petunjuk itu ternyata sangat besar gunanya. Ia menemui orang yang tepat untuk menelusuri skandal yang sudah lama ingin dilacak Zulham:
Ayah si penjaga hutan pernah bekerja di perusahaan yang memegang hak mengelola hutan ini, serta memperoleh keuntungan dari pengelolaan itu untuk perusahaannya. Ayah si penjaga hutan itu mengetahui sesuatu. Lalu ia dijebak untuk memperbuat kesalahan demi kesalahan. Ketika karyawan tata usahaitu menyadari bahwa ia telah semakin banyak melakukan kesalahan, polisi sudah keburu muncul dirumahnya dan kemudian menyeretnya ke penjara.
"Saking malunya, ayahku membentur-benturkan kepala ke tembok selnya. Dalam perjalanan ke rumah sakit,ayahku mati sengsara,
" kisah si penjaga hutan waktu Zulham menemuinya beberapa hari yang lewat.
"Untungnya, hanya sedikit orang yang tahu bahwa salah seorang anak almarhum juga terdaftar sebagai karyawan. Jadi aku tidak begitu kuatir akan tertimpa kesulitan karena diam-diam membantu Om Zulham...."
"Bung. Yang sedikit itu dapat saja menimbulkan kesulitan"
Zulham sempat pula mengingatkan.
"Aku tahu siapa mereka, Oom. Mereka akan tutup mulut!"
Zulham tidak mau mengorbankan orang lain begitu saja. Karenanya, ia menambahkan:
"Uang, Bung. Dapat membuka mulut seseorang!"
"Tidak. Kalau orang itu termasuk anggota barisan sakit hati,
" jawab si penjaga hutan tegas.Dan si penjaga hutan yang termasuk juga sebagai anggota barisan sakit hati itu, siang tadi telah membuktikan tekadnya untuk melampiaskan dendam.Ia mengantarkan Zulham pada sejumlah orang yang dapat membuktikan telah terjadi manipulasi dalam pelaksananan reboisasi. Lalu malam ini, si penjaga hutan telah pula membantu Zulham menjelajahi hutan rimba, memasuki sebuah areal yang termasuk hutan lindung. Dengan kamera miliknya, sebuah kamera mutakhir buatan Jerman yang diberi tele berlensa inframerah dan dibantu pula dengan filter yang kuat,Zulham telah berhasil merekam pemerkosaan hutan lindung oleh sejumlah oknum. Kontraktor yang kegiatannya memang sudah lama dicium Zulham itu,ternyata turun sendiri ke lapangan. Ia adalah anak Bupati setempat, dan punya pertalian ipar dengan menantu sang pengusaha pengelola hutan. Posisi itu saja sudah menjamin pekerjaannya. Namun toh,hukum alam tetap berlaku. Seorang maling, tidak pernah menaruh kepercayaan pada orang lain. Seorang maling, tetaplah beranggapan bahwa orang lain juga maling seperti dirinya.Lamunan Zulham buyar ketika langkahnya terhenti beberapa meter di atas jalan besar yang membelah hutan. Ia melihat sebuah mobil putih di parkir sedikit ketengah jalan.
Ah! Ternyata ada juga pengelana malam ditengah hutan ini. Zulham tersenyum, tetapi sekaligus juga heran. Oleh karena itu, ketika kembali ia ayunkan langkah, tangannya meraba ke balik jaket. Gagang pisau komando yang keras dan dingin itu, menimbul-kan kepercayaan pada dirinya.
*** BAB 2 Pada saat Zulham meninggalkan pos di lereng bukit, didalam mobil sedan putih itu tengah berlangsung perdebatan sengit antara si lelaki dengan wanita teman seperjalanannya. Ketika gadis itu menyebut
"Sang Iblis"sebagai sumber malapetaka yang mereka alami, maka sipemuda membentak marah:
"Jangan menyebut-nyebut nama yang terkutuk itu! Aku tak suka!"
"Bilang saja kau takut!"
"Yeah, Aku memang takut," si pemuda mengakui.
"Tetapi bagaimana sampai ia mengetahui kita ada ditempat ini? Kau sendiri yang mengatakan, tempat yang kita tuju hanya kau seorang yang tahu, dan..."pemuda itu terdiam sejenak, lalu:
"Mungkin pelayan dirumahmu itu mengkhianati kita!"
"Jangan menghina dia, Bang. Meski cuma seorang pelayan, ia menyayangi aku seperti menyayangi anak sendiri...!"
"Oke. Oke. Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang?"
"Terserah Abang."
"Baik kalau begitu," si pemuda membuka pintu.
"Abang mau ke mana?"
Gadisnya bertanya ketakutan.
"Kita tinggalkan mobil ini."
"Maksudmu kita jalan kaki?"
Si gadis menggigil. "Aku memang cuma sekali dua ke tempat ini. Tetapi aku tahu betul, kampung yang kita tuju masih beberapa kilo-meter lagi. Dan....!" ia menatap lewat kaca depan mobil,berusaha meneroboskan pandang kearah kegelapan malam yang diliputi kabut itu.
"Kukira lebih aman kalau kita tetap di dalam sini."
Lanjutnya, gemetar. "Katanya terserah aku!"
Kawan prianya berkata kesal.
"Sekarang, sekitar pukul tiga. Dua jam lagi, cuaca sudah lebih terang. Baru setelah itu, aku bersedia kauajak jalan kaki. Ke mana pun jadi. Walau ke dasar jurang..."
Suara gadis itu kian rendah, dan setengah mengisak. Sipemuda sadar kalau gadisnya dilanda ketakutan,seperti dirinya sendiri. Tetapi jalan pikiran si gadis masih lebih masuk akal. Karenanya, si pemuda lantas masuk kembali ke dalam mobil. Namun tak urung, ia bersungut-sungut juga:
"Sementara menunggu, apa yang harus kita lakukan?"
"Tidur." "Tidur?" Si pemuda tertawa. Sumbang.
"Kau masih bisa tidur dengan Sang iblis tengah mengawasi ki..."
"Kau juga menyebutnya."
Desah si gadis, dengan wajah memucat.
"Maaf, sayang."
"Mari kita lupakan saja. Oke?"
"Hem." ".... jangan duduk diam seperti itu, kekasih."
"Hem!" "Yuk. Kita pindah saja ke jok belakang."
"Ah....." "Masih banyak waktu, bukan?"
Si gadis mencoba ter-senyum. Teman prianya memahami arah pembicaraan si gadis. Lantas bertanya setengah mengingatkan:
"Kau tidak akan memberontak?"
Wajah si gadis bersemu merah, waktu menjawab risih:
"Yang dulu itu, aku mempertahankan kesucianku."
"Kukira kau mulai menyukainya."
Si pemuda tersen-yum. "Tepatnya, mendambakannya."
Sahut si gadis, terus terang.
"Begitu ya? Lalu mengapa..."
"Aku mulai kedinginan," bisik si gadis, dengan nada mendesak. Dan ketika pemuda itu membantunya pindah ke jok belakang, sang gadis telah mulai menang-galkan kancing-kancing blusnya. Beberapa detik setelah berbaring di jok belakang, gadis itu malah sudah siap untuk menerima kejantanan si lelaki. Dan lelaki itu dibuatnya menjadi heran. Karena si gadis demikian membabi buta, hampir-hampir tanpa kontrol diri.Namun gairah si lelaki sudah keburu terangsang. Ia segera bereaksi atas serangan bernafsu dari gadisnya.Sedikit pun tidak menyadari, bahwa tubuh gadis itu tak sehangat bagaimana semestinya. Dan, bahwa gadis itu sesunguhnyalah nekad memelopori percumbuan mereka, hanya karena terdorong oleh keinginan melepaskan diri dari suatu perasaan takut yang menyelimuti dirinya. Sedemikian rupa, sehingga si gadis di hati nuraninya berharap, kalaupun kematian datang menyongsong, hendaklah saat yang menakutkan itu tiba dalam keadaan ia dan kekasihnya tengah menikmati kesyahduan cinta yang tiada duanya.Katakanlah, memang sang iblis telah turun tangan untuk menjebak mereka di tengah hutan yang sunyi terpencil ini. Maka ia akan memaklumatkan pada Sang Iblis, bahwa ia telah berhasil melakukan kodratnya yang nyata sebagai manusia. Bukan sebagai Pengabdi yang hak-haknya telah dirampas semena-mena tanpa diperbolehkan mempertahankannya.Tiba pada pemikiran yang jauh semakin dalam itu,membuat si gadis perlahan-lahan dapat melupakan ketakutannya. Perlahan-lahan pula, gairahnya bangkit secara wajar. Manakala pemuda itu memasuki dirinya dengan penuh kasih sayang, si gadis memejamkan kelopak matanya dengan penyerahan yang mutlak.Ia baru membuka lagi kelopak matanya, tatkala iamerasakan sesuatu telah berlangsung tidak menurut keharusan yang lumrah berlaku. Gerakan naik turun sipemuda, sekonyong-konyong berhenti mendadak,disertai keluhan pertanda ia tengah menderita suatu kesakitan yang luar biasa. Pemuda itu berusaha menarik tubuhnya dari si gadis, berusaha dan terus berusaha, sampai ia menyadari bahwa bagian bawah tubuhnya... dari sebatas pinggang, entah bagaimana telah melekat jadi satu dengan bagian bawah tubuh sigadis. Benar-benar melekat, bagaikan dilem dengan perekat yang bukan main dahsyat daya lekatnya.Usaha memaksa si pemuda untuk melepaskan diri juga menimbulkan akibat yang sama pada si gadis. Kulit perutnya seakan dibetot begitu kuatnya, bagaikan mau dicabik-cabik lepas dari daging-dagingnya. Ia menjerit dengan kesakitan yang teramat sangat, dan berusaha mendorong dada si pemuda menjauhi dirinya. Lalu hal yang lebih aneh lagi kemudian terjadilah. Dua pasang mata kedua sejoli yang habis bersenggama itu, terasa mengecil dan mengecil. Namun sorot pandang mereka semakin tajam pula, membuat mata mereka lebih terbiasa dengan kegelapan.Si gadis memelotot ngeri, disusul jeritnya yang tertahan:
"Lidahmu... bercabang....."
Pemuda itu berusaha menjawab. Tetapi dari belakang lidahnya cuma desis saja yang keluar. Desis tajam dan mengerikan. Kepalanya oleng kekiri kekanan. Meliuk-liuk liar, tak kuasa mencegah uap panas yang perlahan tetapi pasti membakar tubuhnya. Pemuda itu ingin berteriak juga ingin memaki-maki. Sayang. Desis dan desis lagi yang dapat ia lontarkan.Desis yang sama mulai pula terdengar dari si gadis,ketika mulut gadis itu mencoba berkata dengan susah payah:
"Wajahmu.... bersisik. Kau... sssssssssss."
Desis dan desis mereka berdua saling bersahut. Mula-mula masih sengau dan berat, lalu perlahan-lahan,semakin tajam dan semakin kecil. Bersamaan dengan itu, tubuh keduanya pun ikut mengecil. Menyusut secara mengerikan.....
*** Zulham mendekati mobil itu dengan sikap waspada.Sebelah tangannya memegang erat-erat gagang pisau komando di balik jaket. Hati-hati ia memutari mobil.Sesekali membungkukkan badan dan mengintip lewat kaca-kaca jendela kendaraan itu. Namun keadaan didalam mobil sama dengan keadaan disekelilingnya.Gelap. Dan sunyi, menyentak.Mestinya ia membawa senter, tetapi percuma ia berharap, karena senternya ada dalam ransel, jauh diatas sana.Setelah ragu-ragu sejenak Zulham membuka mulut:
"Hai. Ada orang di dalam?"
Tak ada sahutan.Zulham menelan ludah. Dan memperkeras suaranya:
"Kalian memerlukan bantuan, hei?!"
Tetap diam.Tetap sunyi. Membeku.Hal itu membuat Zulham punya pikiran, bahwa mobil itu bukannya sengaja berhenti, melainkan mogok. Tidak mungkin ada orang didalamnya. Karena hantu belau penghuni hutan pun pasti terbangun mendengar sapaannya tadi, yang diucapkan setengah berteriak.
"Hemm. Jadi pengemudinya, atau pemiliknya, atau siapapun mereka, telah pergi entah ke mana..." gumam Zulham, kebingungan.Rasa ingin tahunya kemudian mendesak ingin dituntaskan. Maka tanpa berpikir panjang lagi ia berusaha membuka pintu mobil sedan putih itu. Dari empat pintunya hanya pintu di samping kemudi yang tidak terkunci. Begitu pintu terbuka, lampu dalam mobil pun menyala seketika. Tidak terlalu terang,namun cukup untuk memberi gambaran suasana ganjil di dalam mobil.Benda pertama yang terpandang Zulham, sempat membuatnya terjengah. Yakni sehelai kutang wanita yang tergantung begitu saja di lingkaran setir. Benda kedua, tidak lagi terlalu mengejutkan. Yakni sehelai celana dalam wanita yang terkapar di jok depan. Lebih banyak lagi pakaian wanita berserakan di dalam mobil,serta di lantai belakang tampak tertumpuk stelan pakaian pria dengan sepasang sepatu. Luar biasa,pikirnya. Siapapun kedua sejoli itu, mereka tentunya bukanlah manusia-manusia biasa yang pergi berjalan kaki menerobos hutan di kegelapan malam, dengan keadaan sama-sama tanpa busana.Atau, barangkali juga kedua sejoli itu tengah menikmati bulan madu mereka diatas rerumputan, dengan berselimut kabut?
Tak masuk diakal. Adalah lebih pas,kalau mereka bercumbu di dalam mobil yang tidak saja tertutup, tetapi juga udaranya cukup hangat. Lalu,kemana perginya kedua anak manusia yang bertingkah laku ganjil itu?
Jawabannya ada di jaringan sel-sel otak Zulham.Ia teringat pada ompungnya, si tua misterius yang barusan tadi muncul dalam mimpinya. Zulham seketika mencium bau tak sedap disekitarnya.Untuk lebih meyakinkan diri, ia membungkuk ke arah dalam mobil. Tadi matanya sempat menangkap sebuah tas wanita tergeletak di pinggir jok belakang. Kunci penahan ditekannya keatas, lalu ia tegak di luar untuk lebih leluasa membuka pintu belakang. Waktu pintu terbuka, tas wanita yang ia harapkan dapat memberi petunjuk kalau isinya di keluarkan... terjatuh ke tanah dekat kakinya.Zulham baru saja akan membungkuk untuk memungut tas yang terjatuh itu, waktu firasat buruk menahan gerakannya. Ia menegun, dan matanya dengan was-pada menyimak ke lantai mobil. Dari balik tumpukan pakaian laki-laki, sesuatu perlahan-lahan menyembul ke luar. Sesuatu yang hitam sebesar kepalan tangan,berbentuk lancip, dengan lidah bercabang menjulur keluar masuk dari celah moncong yang tipis, serta sepasang mata kecil berwarna merah kehijau-hijauan.Benda hitam itu menjulur dari balik kaki celana entah milik siapa, lalu kemudian terangkat naik dengan mata merahnya yang kehijauan itu memandang ke mata Zulham dengan sorot mata penuh kebencian. Jantung Zulham sempat berhenti berdenyut, sebelum kemudian ia menyadari bahwa mata itu tampak dilinangi butir-butir air bening. itu bukan sorot mata benci.Melainkan mata layu, mohon dibelaskasihanii!
Zulham menelan ludah. Berpikir keras, bagaimana sampai seekor ular hitam yang lingkaran tubuhnya sebesar lingkaran lengan manusia dewasa, terperang-kap didalam mobil. Ia juga belum begitu pasti, apakah itu ular jinak atau ular langka dengan bisa mengan-dung racun mematikan. Selagi Zulham berpikir-pikir apa kiranya yang dapat ia lakukan tanpa ular itu bercuriga lalu mematuknya dari tempat yang sama menjulur pula keluar seekor ular lain. Sisiknya juga berwarna hitam, matanya pun merah kehijauan. Ular yang kedua itu lebih kecil dibanding yang pertama.
"Astaga!" pikir Zulham terkejut.
"Masih berapa banyak lagi ular yang bersembunyi di mobil ini?"
Kejutan itu belum seberapa.Karena kejutan berikut, sungguh tak tertanggungkan.Ketika ular kedua yang lebih kecil menaikkan tubuhnya dengan gerakan meliuk yang kaku, Zulham pun ternganga. Dalam sekejap ia sudah mengetahui, bahwa yang ia lihat bukan sepasang ular. Melainkan seekor.Tetapi, dengan kepala dan leher ganda. Seekor ular berkepala dua!
Tiba-tiba, suatu kilatan cahaya yang samar menerangi udara di sekeliling. Sekejap cuma. Tapi sempat membu-at Zulham tersentak kaget. Dengan ta'jub ia lantas mengetahui bahwa kilatan cahaya samar yang sekejap tadi juga menimbulkan pengaruh pada sosok mahluk berkepala dua di lantai belakang mobil. Bagaikan dikomando, sepasang kepala ular hitam legam itu menyeruak masuk dengan cepat lalu meliuk-liuk liar dibawah tumpukan pakaian. Ular berkepala dua itu tengah berusaha untuk menyembunyikan diri. Itu cuma punya satu arti:
Mahluk itu mendadak ketakutan!
Cahaya tadi muncul lagi di pucuk pepohonan, lebih lama dari yang pertama, kemudian lenyap.Zulham secara naluriah menutupkan pintu mobil. Ia kemudian bergerak mundur, setelah lamat-lamat ia mendengar bunyi mesin yang halus tengah mendatangi ke tempat itu. Sebuah mobil ditengah hutan terpencil dan di malam yang begini menakutkan, sudah cukup mengherankan. Ditambah sebuah mobil lain, itu sudah terlalu banyak dan patut dicurigai.Dari arah jalanan membelok di bawah sana, muncul sebuah mobil yang melaju tergesa-gesa membelah kegelapan malam diantara pepohonan.Kabut telah semakin menipis jua. Zulham mempercepat langkahnya, dan sebelum mobil pendatang itu menerangi mobil pertama dengan sorot lampunya yang tajam menyilaukan, Zulham sudah berada di balik pepohonan besar. Rebah merapat ke tanah keras berbatu, di balik rimbunan semak-semak belukar.Zulham dan si penjaga hutan sengaja menunggu pagi datang dengan tidur di pos di atas sana, dengan maksud menunggu tumpangan. Sekarang ada dua buah mobil di dekatnya. Sungguh suatu keberuntungan yang langka didapatkan. Tetapi Zulham tidak boleh mengambil resiko. Yang mereka tunggu adalah truk pengangkut perbekalan makanan. Bukan mobil-mobil mewah yang entah mengapa tersasar begitu jauh ketempat ini. Dan, dengan salah satu mobil itu dijadikan tempat bersarang seekor ular berkepala dua!
*** BAB 3 Mobil yang baru muncul menurunkan kecepatannya lalu berhenti beberapa meter dibelakang mobil tak bertuan itu. Pintu belakangnya kemudian terbuka.Zulham mendengar percakapan singkat dan tak jelas.Disusul, ia lihat sesosok tubuh lelaki meluncur turun.Setelah pintu ditutupkan kembali, mobil bergerak melewati kendaraan di depannya. Setelah meluncur beberapa belas meter mobil itu menemukan bagian jalan yang lebih lapang lalu dengan hati-hati melakukan gerakan memutar untuk kembali kearah semula.Sementara itu, si pendatang yang baru turun dari mobil rupanya tidak ingin membuang waktu berlama-lama. Ia langsung berjalan mendekati kendaraan di depannya.Memutarinya satu kali, lantas mengintai ke dalam mobil. Pegangan pintu pertama dan kedua diutak-atiknya dengan sia-sia. Ia berputar lagi, dan berhasil membuka pintu di samping kemudi. Seperti yang sebelumnya diperbuat Zulham, orang itu pun lalu menyurukkan setengah badannya ke sebelah dalam.Dari tempat persembunyiannya. hampir saja Zulham berteriak memperingatkan orang itu bahwa ada ular didalam mobil. Tetapi niatnya diurungkan, manakala ia sadari bahwa sikap si pendatang begitu tenang dan percaya diri. Agaknya, orang itu tahu benar apa yangingin dicarinya dan yakin bahwa ia tidak akan menemukan kesulitan. Terbukti dari ucapannya, yang lamat-lamat sampai ke telinga Zulham:
"Ah. Rupanya kalian di sini, anak-anakku. Tenanglah. Tak ada yang perlu ditakuti sekarang..."
Setelah berkata demikian, si lelaki berpindah tempat dan membuka pintu belakang. Pada saat bersamaan,mobil yang tadi mencari tempat putaran telah kembali.Cahaya lampunya yang menyilaukan menerangi tempat di sekitarnya, bahkan juga merembes sampai kepersembunyian Zulham.Zulham rebah semakin rapat di rerumputan. Semak terkuak didepannya terpaksa ia lepaskan sebagian.Kuatir wajahnya terlihat oleh si pengemudi.Samar-samar ia lihat, bahwa selain si pengemudi tidak ada orang lainnya lagi di dalam mobil itu. Apalagi perempuan, sebagaimana diharapkan Zulham. Mobil itu berhenti lagi. Dan lampunya menerangi gerakan tubuh si lelaki yang menyeruak masuk lewat pintu belakang mobil seraya menggumamkan sesuatu. Waktu ia tegak kembali, Zulham sempat terkesima. Orang itu ternyata telah berhasil menangkap ular berkepala dua tadi. Tenang-tenang saja ia mencengkeram percabang-an tubuh ular... yang entah mengapa, terkulai lemah tanpa ada gerakan perlawanan.Barulah sekarang Zulham melihat jelas wujud mahluk ganjil itu. Dari percabangan tubuh sampai pada kedua kepala, panjangnya hampir setengah meter. Ke bawah sampai ekor yang terjuntai di tanah, sepanjang lebih dari satu meter. Besar tubuh ular itu, beserta bentuknya yang aneh, ditambah pula warna kulitnya yang hitam legam... mau tak mau membuat Zulham bergidik ditempat persembunyiannya.Sementara dari mobil yang satunya lagi si pengemudi telah keluar seraya membawa sebuah kotak kardus besar. Dengan seksama Zulham mengamat-amati sipenangkap ular. Dan kembali ia dibuat tercengang.Kalau si penangkap ular adalah seorang pawang, maka tentulah ia bukan seorang pawang biasa. Atau tepatnya, tentulah ia seorang pawang masa kini:bersepatu mengkilap, pakaian perlente. Lengkap dengan jas yang setengah terbuka, dan dasi yang sengaja dilonggarkan. Penampilannya lebih pas untuk seorang direktur Kebun Binatang. Paling kurang,seorang kolektor binatang-binatang liar.Si pengemudi mendekat. Tanpa keragu-raguan sedikitpun, ia buka kotak kardus ke dalam mana ular berkepala dua tadi dijejalkan oleh si lelaki parlente.Tanpa berkomentar sepatah pun, pengemudi itu kembali ke mobilnya lalu menyimpan kardus di jok belakang. Setelah itu, tegak di luar. Diam menunggu dengan sikap seorang hamba yang setia. Adapun silelaki perlente menyuruk masuk lagi ke mobil pertama.Ia melakukan sesuatu di dalam. Setelah keluar, tampak ia sudah memegang gumpalan pakaian maupun dua pasang sepatu laki-laki dan perempuan. Dengan semua itu, ia berjalan kearah mobilnya menanti.Pada saat itulah Zulham dapat menangkap gambaran postur tubuh serta wajah si lelaki perlente. Posturnya sedang-sedang saja. Hanya karena sedikit gemuk,tubuhnya tampak agak pendek. Postur yang umum terlihat di mana saja. Yang tidak umum, adalah wajahnya. Raut wajahnya bundar, beralis tebal berbentuk mata parang, pipi berlemak sehingga hidungnya tampak pesek, serta mulut yang tebal dengan tarikan yang sepintas lalu tampak lemah. Tetapi dagunya kuat, pertanda keteguhan pendirian dan ambisi yang kuat. Serba kontradiksi di wajah orang itu,seketika mengingatkan Zulham pada seseorang.
"Siapa ya?" Zulham berpikir keras.Pikirannya kemudian diganggu ucapan si lelaki parlente:
"Kau bawalah mobil itu. Aku akan mengikutimu dari belakang."
"Baik. Tuan," sahut si pengemudi, sopan seraya membuka pintu untuk lelaki perlente yang jelas sudah,adalah majikannya.Setelah majikannya duduk dengan nyaman di belakang kemudi, si supir menutupkan pintu dengan cara yang sama sopannya, mengangguk hormat kemudian berlalu ke mobil tak bertuan di dekatnya.
"Parlin?" Orang itu membalikkan tubuh seketika:
"Saya, Tuan?"sahutnya.Si wajah bundar menjulurkan kepalanya dari jendela mobil. Tampak senyum samar-samar di bibir tebalnya,sebelum ia bertanya:
"Kau tahu apa yang harus dilakukan dengan mobil itu, bukan?"
Supirnya bimbang sejenak. Kemudian, dengan sikap kaku ia menjawab:
"Tuan percayakan saja pada saya."ia mengangguk lagi, memutar tubuh dan masuk kedalam mobil tak bertuan yang kini punya tuan baru.Setelah pintu-pintunya ditutup, mesin mobil dihidupkan. Bunyi mesin begitu halusnya, pertanda itu termasuk mobil yang masih gress. Ia menjalankannya melewati mobil majikannya, memutar agak jauh didepan sana lalu kembali lagi. Meluncur kearah semula ia dan majikannya datang.Setelah kedua mobil misterius itu berlalu, barulah Zulham bangkit. Ia keluar dari persembunyiannya dengan sekujur tubuh serasa kejang, kaku. Lengan kirinya kesemutan. Seraya menyeringai menahan kesemutan itu, ia perhatikan mobil si penangkap ular yang parlente itu tengah membelok di sebuah tikungan tajam. Lampu belakangnya menyala lebih terang karena sentakan rem, dan plat nomornya... Astaga!
Zulham terpaksa memaki dirinya sendiri. Saking terpesona oleh peristiwa-peristiwa aneh yang tadi berlangsung di depan matanya, ia sampai lupa memperhatikan nomor plat masing-masing mobil itu.Yang ia ingat hanya jenis serta warnanya.Akan tetapi, apa pula perdulinya pada mereka?
Yang pasti, bukan dirinya yang dituju orang-orang itu.Artinya, ia masih aman sampai sekarang. Penyelidikan-nya belum tercium oleh oknum-oknum pemerkosa hutan lindung yang ia yakin juga terlibat dalam manipulasi reboisasi oleh pemegang hak pengelolaan hutan. Lebih baik ia kembali sekarang ke pondok,meneruskan tidurnya yang terganggu dan...
Bayangan Ompungnya muncul kembali dibenak Zulham ketika ia mendaki jalan setapak diantara pepohonan. Gangguan Ompungnya itu, entah mengapa, Zulham percaya bukan tidak punya makna.Wajah murung orangtua itu meresahkan hati Zulham.Mulutnya yang terkatup rapat, lalu kepergiannya yang tanpa pamit, raib begitu saja bersamaan waktu Zulham terbangun... tidak punya arti lain kecuali: sesuatu yang buruk tengah berlangsung, atau ada bahaya mengancam Zulham.Tetapi apa?
Dan masih ada satu pertanyaan lagi, yang tidak kurang penting: siapa laki-laki parlente yang dilihatnya tadi?
Kok, rasaya ia pernah bertemu orang itu di suatu tempat, entah di mana. Serasa ia mengenalnya.Ataukah si penangkap ular itu mengingatkannya pada seseorang, yang kebetulan wajahnya sangat mirip satu sama lain?
Pertanyaan ini pun kembali berbuntut sama:siapa?
Tanpa terasa Zulham tiba di pondok. Keriut pintu yang dibukanya tidak mengusik dengkur si penjaga hutan yang masih tertidur pulas. Zulham merayap naik kedipan dengan perasaan letih. Tidur merupakan jalan terbaik untuk melupakan kerisauan hati. Sebelum berbaring, ia masukkan pisau komando kembali kedalam ransel. Saat tangannya menyentuh kamera,Zulham lagi-lagi terpaksa harus memaki. Pisau komando itu ternyata tidak berguna ia bawa-bawa.Mestinya tadi yang ia bawa adalah tustelnya. Potret ular berkepala dua, apalagi sebesar itu, bagaimana pun tetaplah menarik minat pembaca. Apalagi kalau ia ceritakan, di mana dan bagaimana ia mendapatkan bahan berita itu. Akan ia susun cerita, yang sekiranya paling masuk diakal. Yakni tentang sepasang muda mudi yang memilih tempat bercumbu di tengah hutan gelap terpencil. Saking asyik bercinta, muda-mudi itu membiarkan pintu mobil terbuka. Seekor ular merayap naik, mungkin tertarik oleh kehangatan udara didalam mobil. Munculnya ular berkepala dua itu mengejutkan dan menakutkan kedua orang di dalam mobil. Mereka lantas lari terbirit-birit, lupa kalau mereka bertelanjang bulat. Di tengah jalan, mereka berpapasan dengan mobil lain, yang penumpangnya justru memang tengah mencari ularnya yang hilang.Sungguh suatu berita menarik yang akan melariskan majalah mereka. Konon pula disertai foto-foto, lengkap pula dengan data yang akurat. Sayangnya, tadi ia tidak membawa kamera. Dan ia terlalu takut menyapa siparlente. Kuatir, kalau si parlente itu adalah komplotan para oknum pemerkosa hutan lindung yang tengah dilacaknya. Ular itu, lebih-lebih lagi menakutkannya.Masih terbayang saat ia membuka pintu belakang mobil. Ia bermaksud mengambil dan memeriksa tas siperempuan, tatkala dari bawah tumpukan pakaian muncul kepala-kepala ular itu. Saking kaget, tas tangan yang sudah dipegangnya itu terjatuh, lalu...
Berdentang seketika lonceng di benak Zulham!
Dalam satu loncatan saja ia telah tiba di pintu,membukanya, lalu berlari-lari menuruni jalan setapak.Ia tidak tahu kalau gerakannya yang rusuh itu telah membangunkan si penjaga hutan. Dengan bernafsu,Zulham menerobos semak belukar diantara pepohonan yang rapat. Kabut semakin tipis sekarang. Rupanya pagi telah mulai datang. Dan cuaca mulai pula terang-terang tanah. Namun belum cukup terang untuk mem-bantu pencarian Zulham setiba di jalan besar yang membelah hutan itu. Terlalu banyak lubang-lubang menganga, serta bebatuan yang mencuat tidak teratur di sana-sini. Ataukah barangkali si parlente tadi telah memungutnya, lantas menyatukannya dengan tumpu-kan pakaian yang ditemukannya di dalam mobil?
"Mencari sesuatu, eh?"
Zulham berpaling kaget oleh teguran tiba-tiba itu. Ca-haya silau menerpa wajahnya. Sekejap ia terpejam, dan ketika kelopak matanya dibuka kembali ia lantas meng-enali si penjaga hutan. Orang itu akan bertanya lagi.Tetapi Zulham keburu merampas senter di tangannya dengan kasar. Penjaga hutan itu menggerutu panjang pendek. Zulham tak perduli. Lampu baterai itu ia sorotkan ke permukaan jalan dengan cara terburu-buru. Setelah berjalan kian kemari ia tak juga menemu-kan yang dicari.Sampai suatu saat, si penjaga hutan bergumam:
"Apa itu?" "Mana?" sahut Zulham cepat.
"ltu, di sebelah kiri Oom. Coba diterangi lagi..."
Zulham kemudian menemukannya. Tas tangan wanita itu masih terkancing rapat, rupanya jatuh tersuruk kelubang yang cukup dalam serta terlindung oleh batu besar. Pantaslah si parlente dan supirnya tidak melihat tas tangan itu meski lampu mobil mereka menyala terang benderang. Mana warnanya abu-abu pula.Sewarna dengan batu yang melindunginya.
"Ayo kita kembali ke pondok,
" kata Zulham sembari menyelipkan tas itu ke balik jaketnya.Si penjaga hutan menurut patuh dengan mulut terkatup rapat. Baru setelah tiba di pondok dan Zulham menumpahkan semua isi tas di permukaan dipan, serta diterangi cahaya lampu baterai tampak berserakan seperangkat perlengkapan wanita...
Penjaga hutan itu memberanikan diri bertanya:
"Punya siapa sih, Oom?"
"Seorang pelarian, "jawab Zulham sekenanya, sambil jarinya memperhatikan sebuah buku checque yang isinya tinggal beberapa lembar.
"Pelarian?" "He-eh. Lari dari pagutan ular."
"Ular? Dan siapa yang lari? Mengapa pula..."
"Nah. Ini dia, " rungut Zulham suka-cita.Ditangannya terpegang sehelai kartu SIM dan bergumam membacanya:
"Tenny Puspasari. Umur 27 tahun. Alamat..."
"Wah, perempuan itu tentunya orang kaya. Uangnya banyak,
" potong si penjaga hutan, yang diam-diam rupanya telah ikut-ikutan memeriksa. Di tangannya tergenggam seikat uang kertas lembaran sepuluh ribuan, yang agaknya belum lama diambil dari bank.Matanya bersinar-sinar ketika ia melanjutkan:
"Kalau aku punya uang segini, akan kuboyong anak isteriku kekota. Dan....."
"Ah, kalian orang-orang dusun,
" rungut Zulham sambil mencocokkan nama pada SIM dengan nama pemilik buku cheque. Ternyata sama.
"Kota sudah sumpek.Sudah semakin sempit tempat untuk bernafas. Kalian tak pernah menyadari hal itu. Buat kalian, hidup dikota itu sesuatu yang indah, gampang cari kerja... uang mengalir bagai sungai di musim penghujan, dan... ah.Apa pula ini?"
Si penjaga hutan mendekat. lkut menyimak benda ditangan Zulham yang didekatkan ke lampu senter.Benda itu seuntai kalung emas dengan medalion yang juga terbuat dari emas. Medalion itu berbentuk hati,pinggirannya bertatahkan berlian yang berkilau gemerlapan. Mengapit sebuah lambang di tengah-tengah medalion. Selintas pandang saja, wujud lambang itu dengan mudah dapat diterka.
"Ular, " bisik Zulham, tercekat.
"Ular berkepala dua!"
*** BAB 4 Ramalan cuaca di televisi lagi-lagi meleset.Benar, hujan sudah mulai turun di beberapa kota.Tetapi curahnya begitu malas dan cepat-cepat pula berlalu... bagai tak betah. Jakarta-lah yang paling menderita. Agaknya, alam sedemikian membenci bumi ibukota. Berbulan-bulan sudah, hujan tidak mau singgah. Sekali dua, hujan memang menampakkan diri.Tetapi cuma untuk numpang lewat belaka. Sambil mengejek pula: menjatuhkan rintik-rintik kecil, yang segera menguap hilang sebelum bumi Jakarta sempat membasah.Akibatnya, di siang hari bumi Jakarta menggelegak marah. Udara teramat sangat gerah, mana matahari panas membakar pula. Tingkat polusi yang terus meninggi, malah sudah hilang dari pembicaraan.Cuaca, menjadi bahan obrolan dimana-mana, disertai umpat cerca yang tak habis-habisnya. Terutama cuaca dimalam hari. Begitu malam mulai merayap, cuaca tiba-tiba berubah drastis. Terutama setelah dinihari.Dingin menggigil, nyaris mendekati titik beku.Cuaca dingin seperti itulah yang kini merayapi rumah demi rumah disebuah pemukiman elit dalam kawasan Bintaro. Tusukan tajam hawa dingin itu menembus tembok-tembok tebal dan kokoh, untuk kemudian menggelitik sosok-sosok tubuh yang menyembunyikan diri di balik selimut yang berlapis-lapis sekalipun.
Maria juga merasakannya.lkut tersiksa karenanya.Selimut biasa sudah ia tambahkan dengan seumur bulu binatang yang ia ambil dengan setengah mengantuk dari almari. Tetapi toh terpaan hawa dingin itu terus saja mengganggu. Kantuknya pun perlahan-lahan hilang. Beberapa kali ia menggeliat resah dibawah seli-mut, kemudian menggigil dan mengeluh. Dan disaat kantuknya melenyap, tiba-tiba Maria menyadari sesuatu. itu bukanlah hawa dingin yang biasa.Hawa dingin yang dia rasakan, bukan menyergap,apalagi menggigit. Hawa dingin itu membelai, dan terus membelai. Belaian, yang menyentuh bagian-bagian peka pada tubuhnya. Belaian yang biasa di lakukan pada seorang perempuan jika ingin membangkitkan gairah syahwatnya!
Seketika, Maria tersadar.Kesadaran itu mendorong jari-jemarinya untuk menu-runkan selimut yang menutupi kepalanya. Pada saat bersamaan, leher Maria berputar enggan. Lalu sepasang matanya menatap kearah pintu kamar tidurnya. Pintu itu tertutup rapat. Tetapi dari sanalah hawa dingin yang aneh itu datang. Maria merasa pasti akan hal itu.Sekujur tubuhnya pelan-pelan menegang. Sebelah tangannya bergerak kaku, merayap di permukaan kasur, dan meraba ke bawah bantal.Setelah jari jemarinya menyentuh semacam benda tipis dan dingin seperti es, ia menarik tangannya kembali keposisi semula. Maria sudah tahu sesuatu akan datang pada waktunya, dan dia sudah siap menghadapinya.Namun toh ketika matanya mengawasi lebih tajamk earah pintu kamar tidur, Maria sempat menelan ludah dan kemudian menarik nafas dalam-dalam. Tetap saja,ketegangan di sekujur tubuhnya tidak mau hilang. Ia mencoba menarik nafas sekali lagi. Sedalam-dalamnya.Agar ia lebih tenang, dan yakin bahwa segala sesuatu-nya akan berjalan sesuai rencananya, secepatnya pula,ia berharap. Baru setengah tarikan nafas, Maria sudah berhenti.Diterangi lampu sudut yang bersinar redup, tampaklah bayang-bayang samar-samar memasuki kamar tidur Maria. Bukan dengan membuka... tetapi langsung menembus daun pintu!
Bayang-bayang samar itu tidak lebih dulu berhenti,melainkan terus saja bergerak mendekati tempat tidur.Semakin dekat, wujudnya pun semakin jelas dan nyata.Sosok itu toh akhirnya berhenti juga setelah mencapai sisi tempat tidur, sejajar dengan wajah Maria yang rebah diam di bantal.Sosok tubuh seorang lelaki muda. Tinggi kekar, dengan otot-otot yang menyembul kokoh. Tampak begitu nyata,karena sosok lelaki itu bugil tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya. Bahkan kelelakiannya tampak begitu tegak, seperkasa tubuh keseluruhannya.Tanpa ia kehendaki, Maria mengerjapkan matanya yang sempat terbelalak. Ketika ia palingkan wajah untuk menghindari panorama menakjubkan itu, ia tahu bahwa wajahnya dironai warna semu merah. Bukan hanya takut, tetapi kini ia setengah malu menatap kewajah tampan lelaki itu. Wajah itu licin, bersih, lembut,bahkan tampak seperti kekanak-kanakkan. Namun sinar matanya jelas sinar mata menatap dari seorang lelaki dewasa. Senyuman bibirnya matang, dan sangat yakin pada dirinya sendiri. Begitu pula desis tajam yang menyentuh kendang telinga Maria. Dalam nada perintah yang tidak boleh dibantah:
"Buka!" Alam bawah sadar Maria melakukan penolakan.Namun anggota tubuhnya melakukan gerak berlawan-an, melemparkan selimutnya perlahan-lahan. Kimono tidurnya kemudian menyusul pergi, dilemparkan Maria antara sadar dan tidak, entah kearah mana. Ia tahu ia tidak mungkin melawan kekuatan gaib dari sorot mata lelaki itu. Jadi ia hanya bisa menurut, dengan alam bawah sadar yang terus meronta, meronta, kemudian memberontak lewat kata-kata yang keluar lemah melalui bibir Maria yang setengah terbuka, gemetar:
"Jangan. Jangan lakukan lagi itu... padaku....."
Tetapi lelaki itu telah membungkuk diatas tubuhnya.
"Munafik!" ia mendesis, disertai senyuman mengejek.Maria masih tetap berusaha:
"Jangan. Kita tak boleh..."
"Kau lebih menginginkannya dari aku, bukan?"
Senyuman lelaki itu sudah menjurus pada penghinaan.Diam-diam sebelah tangan Maria merayap perlahan kebawah bantal. Gerakan yang dibuat sedemikian rupa,sehingga sepintas lalu tampak seperti gerakan tangan seorang wanita yang ingin memegang lantas menceng-keram sesuatu untuk mengurangi debaran jantung karena dorongan syahwat yang mulai menanjak.Jari-jemari Maria menyentuh benda berupa logam tipis di bawah bantalnya. Ia meraba sampai menemukan gagang, lalu menggenggamnya dengan hati-hati.Masih ada kesempatan untuk melakukan perlawanan terakhir.Maria harus menunggu sampai lelaki itu lengah, lantas...
Maria melakukan kekeliruan yang teramat fatal.Ia mestinya tidak menunggu. Seharusnya ia mulai sejak awal, ketika lelaki itu menurunkan tubuhnya. Tidak setelah lelaki itu memasuki dirinya!
Masuk perlahan dan hati-hati, seperti tidak ingin menyakiti. Lalu kontradiksi itu pun terjadi. Di luar tubuhnya, Maria masih merasakan hawa dingin yang sama. Namun didalam, uap panas mulai merayap dengan pasti, lalu kemudian membara.Maria kemudian menyerah.Bahkan menikmatinya.Kelopak matanya terpejam-pejam dan barulah kelopak mata Maria membuka nyalang saat ia dengar erangan menyentak di atasnya. Bunyi erangan yang tidak lazim.Seperti leher yang tergorok, atau tersentak, atau bunyi dengkur orang yang kebanyakan merokok. Maria tidak tahu pasti bunyi mana yang benar, padahal ia sudah mendengar bunyi erangan yang sama beberapa kali sebelumnya. Hanya satu hal yang dapat ia pastikan.Pada saat lelaki itu mencapai puncak birahinya, bukan cuma erangan itu saja yang keluar. Melainkan juga,bulu-bulu halus yang dalam tempo singkat nyaris memenuhi kulit wajah si lelaki yang tadinya lembut licin. Bulu-bulu coklat kehitaman. Daun telinganya melebar, menyerupai daun sirih. Jidatnya menyempit,berkerut-kerut. Dan yang terutama selalu mengejutkan Maria, adalah taring-taring berkeluk tajam yang men-yembul dari sudut-sudut mulut makhluk yang masih mengangkanginya.Maria sudah beberapa kali melihat wajah itu sebelumnya.Mula pertama ia menjerit lengking, lalu pingsan. Kali yang kedua, ia masih menjerit, namun tidak sampai pingsan. Setelah itu, ia tidak menjerit, tidak pingsan hanya terengah-engah ketakutan, lantas entah mengapa.... malam ini Maria seakan sudah terbiasa.Tidak ada perasaan apa-apa dalam diri Maria. Kecuali sisa-sisa kenikmatan birahi yang baru saja terselesaikan dan kemudian berlalu perlahan-lahan. Dan sisa-sisa perasaan nikmat itu telah mengkhianati Maria. Mestinya ia berusaha keras menahannya, sehingga ia dapat berpikir normal, dapat mengumpulkan keberanian,lantas bertindak secepat dan sekuat ia mampu melakukannya.Ketika pikiran itu datang, bunyi erangan tadi sudah menjauh.Sosok tubuh mahluk itu pun sudah tidak lagi diatas tubuh Maria. Tetapi sudah bergerak kearah pintu kamar. Mundur, tertatih-tatih lelah, namun dengan wajah yang memancarkan kepuasan dan kegembiraan.Dan wajah yang mundur kearah pintu kamar itu adalah wajah licin bersih, lembut, serta kekanak-kanakan.Sejenak ia berhenti, melempar seulas senyum dan percikan sinar mata yang seakan berkata:
"Kita akan menikmatinya lagi, lain kali..."
Kemudian sosok lelaki itu berlalu. Seperti datangnya,tidak dengan membuka pintu kamar, melainkan langsung menembusnya.Maria merintih, kemudian mengumpat diri sendiri.Cepat sekali ia sudah melompat turun dari tempat tidur. Bantalnya sudah terlempar jauh- jauh. Dan ditelapak tangan kanannya kini tergenggam sebilah pisau dapur yang biasa dipergunakan untuk mengiris dan memotong daging. Dengan ujungnya yang runcing tajam, dan mata pisaunya yang licin berkilau.
"Terkutuklah kau!"
Maria menjerit marah dalam jiwanya.
"Tidak ada lain kali itu lagi. Tidak akan pernah!"
Maria bergerak cepat ke pintu, bertelanjang tubuh,bertelanjang kaki. Sebelum membukanya, lebih dulu ia menarik nafas berulang-ulang. Sedalam-dalamnya,berusaha mengontrol kemarahannya, dan mencoba mengembalikan ketenangan dirinya.Setelah ia mendapatkannya, Maria perlahan-lahan membuka pintu kamar.Hanya sedikit.Cukup untuk mengintip keluar. Dam melihat sosok tubuh lelaki tinggi kekar dan perkasa itu, melangkah santai sepanjang ruang tengah rumah menuju pintu kamar yang lain. Langkah-langkah sosok tanpa busana itu seperti mengambang di permukaan lantai. Kakinya menyentuh meja, dan lewat terus tanpa menjatuhkan bahkan tanpa menggemingkan meja itu sama sekali.Tubuh itu kemudian menembus lalu lenyap di balik pintu kamar disebelah sana.Saat itulah Maria meninggalkan kamarnya.Bersijingkat sepanjang ruang tengah, menuju pintu kamar yang sama. Tiba disana ia berhenti sebentar.Telinganya ditempelkan ke daun pintu. Mendengarkan.Ada bunyi nafas samar-samar. Lalu dengkuran halus.Maria tahu pintu kamar tidak terkunci. Ia pun membukanya dengan hati-hati.Tampaknya terlalu cepat ia bertindak. Karena sosok tubuh lelaki itu tampak baru saja rebah disebuah tempat tidur. Maria sudah akan mundur, ketika ia sadari kelopak mata lelaki itu sudah tertutup rapat bahkan sebelum sekujur tubuhnya rebah dengan baik.Sosok itu kemudian mengabur dan semakin mengabur.Dalam beberapa helaan nafas kemudiannya, sosok itu sudah berubah dalam wujud yang lebih kecil, dan wajahnya tidak lagi kekanak-kanakan. Wajah yang tampak rebah di tempat tidur, setengah tertutup oleh selimut, memanglah wajah seorang bocah tujuh tahun.Bocah itu tertidur pulas. Disebelahnya rebah sebentuk kepala lain. Kepala boneka beruang besar. Maria memperhatikan sejenak, kemudian melangkah masuk.Kakinya tanpa sengaja menyentuh rel mainan kereta api yang memenuhi setengah ruangan kamar bocah itu.Terdengar bunyi berisik. Namun si bocah tetap pulas dalam tidurnya.Sempat tertegun sesaat, Maria kemudian menguatkan genggaman pada gagang pisau dapur ditangannya. Ia bersijingkat mendekati tempat tidur. Lalu perlahan-lahan berlutut, mengawasi wajah bocah di tempat tidur. Wajah lembut tanpa dosa. Tetapi Maria tahu dan sudah beberapa kali merasakannya. Merasakan dosa-dosa tersembunyi dibalik wajah bocah yang tampak polos itu. Dosa-dosa itu akan terus terulang, akan terus menumpuk, sampai tidak tertanggungkan.Terngiang kembali ucapan lembut kebapakan seseorang di telinga Maria:
"Sebaiknya kau mengakhirinya.Sebelum terlambat....!"
Maria sadar siapa bocah itu.Tetapi, sekaranglah waktunya yang tepat!
Pelan-pelan tangannya yang memegang pisau terang-kat keatas. Ujung runcing pisau itu mengarah lurus kelambung dekat iga si bocah. Hanya satu tusukan cepat,dan semuanya akan selesai.Maria menguatkan dirinya.Matanya setengah terpejam dan tiba-tiba timbul keragukeraguannya. Hanya inikah satu-satunya jalan?
Benar-kah bocah ini yang bersalah?
Bukankah ia pernah kukandung dalam rahimku dan....
Dan mulut bocah itu mendadak mengulas senyuman samar. Disusul suara mengigau:
"Mama milik Bobby."
Maria terkejut.Lebih terkejut lagi sewaktu mulut boneka beruang disebelah anak itu terbuka dan berucap lebih jelas:
"Mama milikku. Mama milikku. Mama...!"
Suara-suara yang sama terdengar dari arah lain. Maria berpaling. Kian-kemari mengikuti datangnya setiap suara. Dari mulut boneka anjing buldog, dari mainan serdadu dari laci-laci meja belajar yang terbuka kemudian terbanting menutup, terbuka lagi, menutup terbanting lagi, terbuka, dengan suara yang menyerupai jeritan marah:
"Mama milik Bobby... Mamaa......!"
Mainan kereta api pun bergerak diatas relnya. Lokomo-tifnya memperdengarkan bukan bunyi peluit meleng-king, melainkan jeritan marah yang sama:
"Mamaaaa milik Bobby.... Mamaaaa milik Bobby. Mama....."
Bahkan juga daun jendela yang terkunci menghempas terbuka. Pun daun pintu. Bahkan langit-langit kamar.Semuanya dengan teriakan yang sama. Semuanya dengan kemarahan yang sama. Bahkan lantai pun mulai terguncang. Mula-mula perlahan, lalu kemudian makin keras, berderak-derak seakan mau belah dan runtuh.Maria bangun tersentak.Takut dan panik.Semua benda di ruangan itu mengawasinya. Semuanya meneriakinya, mengancamnya. Lokomotif mainan itu bahkan telah keluar dari rel, dan kini menyerbu kearah kaki Maria. Begitu pula serdadu mainan. Yang satu membunyikan tambur dengan bunyi gegap gempita,sementara serdadu-serdadu lainnya pada menghunus bayonet dan mengarahkan moncong senjatanya kedada dan wajah Maria. Anjing Bulldog itu ikut menggeram, tak kurang murkanya.Ada bunyi lain yang samar menyentuh telinga Maria.Bunyi pisau dapur yang terlepas dari tangannya, jatuh di lantai, dan pisau itu seperti melompat-lompat dengan ujung runcingnya mengarah ke kaki Maria.Tak tahan lagi Maria menjerit.Sambil menjerit, ia berlari menyelamatkan diri. Meng-hambur histeris meninggalkan kamar yang sedang dilanda kemarahan itu. Karena tidak melihat jalan lari,kakinya menyenggol pinggiran meja duduk dari bahan jati yang tebal dan berat. Tak ayal lagi, tubuh Maria limbung.Ia menjerit sekali lagi.Kemudian terhempas di lantai. Tanpa sadarkan diri.
*** BAB 5 Malam itu nasib sial melemparkan Zulham ke kantor polisi.Sungguh menyedihkan!
Mengingat sedemikian banyak keberuntungan yang telah ia peroleh sebelumnya. Beberapa kali lulus dari intaian maut selama penjelajahannya ditengah hutan belantara. Ia pun selalu keluar sebagai pemenang setiap kali bermain kucing-kucingan, yang sesekali diselang dengan main gertak di kantor-kantor pemerintahan kelas bawah. Lalu di tingkat yang lebih tinggi,menembus birokrasi dengan mengandalkan beberapa surat rekomendasi yang sengaja ia bawa dari Jakarta,dimana koneksinya di kantor Gubernur ikut pula unjuk gigi.Hasilnya sungguh memuaskan. Zulham bukan saja memperoleh kepuasan bathin tiada terperi. Baru sebagian kecil dari seluruh hasil liputannya ia ketik dikala senggang, Zulham bahkan sudah gempar sendiri.Bagaimana tidak!
Bahan-bahan yang ia peroleh begitu lengkap. Setumpuk foto-foto yang berbicara mengenai fakta, beberapa rol Film yang siap cetak, rekaman-rekaman pembicaraan yang cukup akurat serta dapat dipertanggung-jawabkan, dan sejumlah dokumen authentik yang kelak dapat ia pergunakan sebagai tameng yang ampuh jika ada pihak-pihak yang nekad mengajak perang.Semua hasil perolehannya itu ternyata tidak saja menyangkut skandal reboisasi dan penghancuran hutan lindung yang melibatkan selain beberapa pengu-saha juga akan menyeret sejumlah nama tokoh terkemuka. Skandal yang tidak hanya merugikan rakyat dan negara, tetapi juga telah meminta korban empat nyawa manusia. Tiga diantaranya, manusia-manusia jujur dan teramat lugu: percaya kebenaran akan melindungi mereka.Manusia satunya lagi, memang patut mati sebagai penebus dosa. Ia termasuk anggota komplotan yang terpaksa harus dilenyapkan dari peredaran, karena ia tahu terlalu banyak, dan pengetahuannya itu mendo-rong dirinya untuk mulai bertingkah.Apa yang membuat Zulham selain puas juga gempar sendiri, adalah apa yang ia peroleh di luar target semula dibalik semuanya itu. Yakni adanya perkawinan antar keluarga yang lebih bersifat bisnis, bahkan bertendensi politik. Zulham mengantongi beberapa pernyataan dibawah sumpah yang dikuatkan sejumlah bukti otentik, bahwa salah seorang pengusaha itu adalah bekas tokoh sebuah partai terlarang. Tokoh itu telah lama menghilang, dan pernah dinyatakan sudah mati. Nyatanya, ia masih hidup, dan putera sulungnya bahkan kini menikah dengan puteri tersayang seorang tokoh berpengaruh luas di kalangan pemerintahan daerah setempat.
Ada petunjuk kuat: pernikahan itu dari pihak si perempuan bermotipkan bisnis. Sedang dari pihak si lelaki bermotipkan peningkatan karier dibidang politik: puteri si pengusaha, diam-diam sudah menanam pengaruh sebagai pengurus teras dalam sebuah organisasi pemuda setempat. Zulham sempat melantunkan piala Adinegoro yang bakal direnggutnya tahun ini, ketika pagi tadi ia pamit dan meninggalkan rumah koneksinya di kantor Gubernur itu. Ia masih punya waktu sisa sekitar dua jam lebih untuk chek-in dibandara. Maka ia manfaatkan sisa waktu itu berkeliling dengan taksi carteran melihat-lihat kota, dan disana sini membeli beberapa souvenir kecil untuk kerabat-kerabat dekatnya di Jakarta.Lalu, bencana kecil itu pun terjadi.Ia baru saja keluar dari sebuah toko, manakala seorang wanita tengah baya yang berjalan di trotoir, tiba-tiba menjerit lengking:
"Aduh. Tasku. Tolooooong...!"
Seorang pemuda tampak berlari meninggalkan wanita itu. Arah larinya ke sebuah sepeda motor yang ditung-gangi seorang pemuda lain, yang berhenti dengan mesin tetap hidup. Pemuda pertama, dengan tas ram-pasan ditangannya harus melewati Zulham untuk sampai ke sepeda motor dimaksud. Refleks menggerak-kan kaki kanan Zulham, dan membuat pemuda itu terhuyung, limbung. Tas perempuan ditangannya terlepas. Jatuh di trotoir. Sayangnya, si pemuda tidak ikut terjatuh. Cepat sekali ia sudah tegak. Dan Zulham yang coba mendekati untuk meringkusnya, tahu-tahu sudah berhadapan dengan sebilah pisau komando.Zulham masih sempat mengelak, namun tak urung lengan bajunya robek. Terdengar teriakan-teriakan disekeliling. Lalu dalam tempo sekejap, pemuda itu bersama pemuda temannya, sudah kabur dengan sepeda motor mereka.Zulham tidak menunggu datangnya ucapan terimakasih atau pernyataan simpati. Waktu chek-in sudah mendekat. Maka ia langsung saja menyelinap masuk kedalam taksi dan setengah membentak supir:
"Jangan hanya melongo saja. Ke Bandara, cepat!"
Bencana berikutnya tidak terlalu mendebarkan.Tetapi betapa sangat menjengkelkan.Jadwal penerbangannya ditunda. Pesawat satu-satunya yang berangkat hari itu ke Jakarta dijejali tamu-tamu penting dari luar negeri. Hanya seorang dua penum-pang murni yang beruntung terangkut. Karena Zulham chek-in ia pada detik-detik terakhir, ia sudah didahului penumpang-penumpang lain yang sama marah dan sama kecewa seperti dirinya. Dua penerbangan hari berikutnya penuh sudah, dan jadwal untuk Zulham hanya mungkin pada hari ketiga.Dua hari menunggu di kampung orang.Dengan tas penuh berisi dinamit yang dapat dipastikan akan membuat beberapa orang setempat akan meledak.
Hancur berkeping-keping! Benar, sumbu dinamit belum dinyalakan Zulham. Belum semuanya ia alihkan kemesin tik. Dan belum tentu dapat segera naik cetak,karena masih harus melalui diskusi dan perdebatan panjang untuk menutup semua lobang-lobang resiko yang dipastikan bakal muncul.Untuk selama beberapa hari mendatang orang-orang itu masih tetap aman tenteram. Yang tidak aman dan sedikit pun tidak merasa tenteram, adalah orang yang menyimpan dinamit. Mungkin saja ada yang sudah buka mulut. lalu desas-desus mulai menebar. Bahkan siapa tahu, jejak Zulham sudah mulai dibaui anjing pemburu.Zulham berpikir cepat.Ia tidak membooking penerbangan untuknya di hari ketiga. Bahkan tak lupa ia tinggalkan pesan pada petugas yang mencatat bookingnya, agar jika terjadi lagi perubahan jadwal supaya Zulham ditelepon kehotel tempatnya menginap. Lalu ia menyebut nama hotel sampai ke nomor kamar yang ia tempati malam tadi.Dari bandara, ia naik taksi yang lain dan minta diantarkan ke sebuah pasar swalayan terdekat. Turun didepan sebuah pasar swalayan, Zulham tidak segera masuk. Ia tunggu sampai taksi itu berlalu cukup jauh,dan kemudian menggapai kearah sebuah becak bermesin, yang kemudian membawanya ke pangkalan sebuah perusahaan bis antar pulau.Zulham beruntung.Ia tiba hanya beberapa menit sebelum bis berangkat.Ada seorang penumpang yang batal berangkat, dan Zulham mengambil alih kursi yang mestinya ditempati orang itu. Kursi yang bersebelahan dengan supir.Zulham mengagumi keterampilan supir-supir bis antarkota disepanjang pulau Jawa. Ia dengar, supir-supir bis antar-pulau lebih hebat lagi. Siapa nyana ia beruntung dapat membuktikannya hari ini. Meski harus mengorbankan sekian ratus ribu rupiah dengan sia-sia,karena tidak memanfaatkan tiket pesawat yang masih dikantonginya.Tetapi, astaga!
Apakah pengorbanan itu perlu?
Apakah tindakan berjaga-jaga dan kewaspadaannya tidak terlampau berlebihan?


Misteri Anak Anak Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Oh... oh! ia sudah terpengaruh oleh film-film spionase yang selama ini merupakan pavorit Zulham!
Teringat semua itu, Zulham tertawa sendiri dan baru terjengah sewaktu supir disebelahnya menoleh, lantas bertanya sopan:
"Ada yang lucu, Oom?"
"Ah. Nggak... Hanya..."
Zulham menggagap. "Teringat seseorang, barangkali?"
"Ah. Ya. Ya..."
Zulham manggut-manggut. Terpojok.Supir bis itu tersenyum.
"Pasti orang yang menggelikan,ya?"
"Menggelikan, benar. Dan tololnya minta ampun!"
Zulham menyetujui. Berpikir sebentar. Zulham kemudian mulai membual. Tentang seseorang dari negeri antah barantah.....
Dan, bencana ketiga benar-benar mengerikan!
Terjadinya di sekitar daerah Baturaja, menjelang tengah malam. Zulham yang sempat terlelap, mendadak bangun karena ingin kencing. Tersuruk-suruk ia sampai juga kebagian belakang bis. Masuk ke toilet. Ia baru saja menutup pintu toilet ketika bis itu terasa membelok tajam. Mungkin teramat tajam, sehingga tubuh Zulham meliuk keras. Wajahnya pasti membentur kaca belakang bis, andai saja ia tidak keburu merangkul dan berpegangan kuat-kuat pada tiang penyangga yang tegak kokoh disamping jamban. Namun toh punggung Zulham sempat terhempas dengan deras, menghantam pintu toilet yang terkuak membuka dalam seketika. Ada bunyi berderak yang terdengar begitu hingar-bingar.Seperti bunyi logam beradu logam. Juga kayu-kayu,lantas kaca yang pecah berderai disana sini.Bis berhenti secara tiba-tiba.Persisnya dipaksa berhenti dengan suatu hentakan keras yang mengejutkan. Masih tetap berpegangan ketiang penyangga dengan punggung setengah meliuk menahan nyeri, mana mata sempat berkunang-kunang pula... telinga Zulham kemudian mendengar suara-suara lainnya. Suara-suara orang menjerit merintih,berteriak-teriak...
Dua jam berikutnya, barulah Zulham menyadari sepenuhnya apa yang telah terjadi. Itupun, setelah ambulans silih berganti datang lalu pergi dengan membawa tiga orang yang meninggal seketika dan sekitar tujuh orang lainnya yang menderita luka berat.Zulham bersama beberapa orang lainnya yang mengalami luka-luka ringan telah selesai pula dirawat di sebuah posyandu setempat.Ketika ia meninggalkan posyandu, ia melihat jalanan yang tadinya sepi dan gelap gulita diramaikan kerumu-nan penduduk. Sejumlah polisi dibantu beberapa sukarelawan sibuk mengatur lalu lintas yang macet.Lampu-lampu sorot mobil polisi, dibantu lampu-lampu petromak menerangi bis yang semula ditumpangi Zulham. Bagian depan bis itu ringsek berat, bagian sisi sebelah kiri nyaris terpapas habis. Bak belakang sebuah truk yang berciuman rapat dengan kepala bis, boleh dibilang hancur berantakan.Menurut pembicaraan yang ditangkap Zulham disana sini, konon truk itu mendadak mogok. Kernetnya baru saja melompat turun untuk memasang rambu-rambu pemberitahuan, tahu-tahu saja sudah muncul mema-suki belokan yang tajam, dibalik belokan mana truk berhenti. Si kernet yang malang. Kata orang, tubuhnya hancur tak tentu rupa.
"Jadi perkedel...!" bisik seseorang lirih, entah siapa.Zulham bergidik. Ngeri.Ia bergidik lebih hebat lagi sewaktu dengan bantuan cahaya lampu sorot.... matanya menangkap bagian depan sebelah dalam kepala bis. Salah satu pecahan besar kayu bak belakang truk masih terhunjam di kap depan bis yang berlipat-lipat mengerikan. Ujung run-cing kayu itu menerobos kedalam dan terus menembus sandaran sebuah kursi.Yakni, kursi di sebelah supir.Kursi yang beberapa detik sebelum peristiwa naas itu terjadi, ditinggalkan oleh Zulham karena desakan mendadak. Ingin kencing.
Seketika, wajah Zulham yang masih pucat, kini bertambah pucat. Desakan itu pun datang kembali.Desakan untuk kencing....
Kesempatan untuk itu diperoleh Zulham setengah jam kemudian. Di kantor Polisi setempat, disela-sela pemeriksaan darurat oleh para petugas pada para penumpang yang selamat untuk dimintai keterangan atau kesaksiannya Sebelum diperiksa, Zulham minta diberi kesempatan pergi ke kamar kecil. Selesai pemeriksaan, Zulham masih memerlukan sekali lagi kembali menyelinap masuk jamban kantor polisi.Baru setelah menemukan tas dan ranselnya diantara tumpukan barang-barang penumpang yang dipindah-kan dan disimpan disalah satu ruangan, keterkejutan dan ketegangan Zulham agak mereda. Ranselnya robek.Tetapi tasnya masih tetap utuh, terkunci. Tak ada tanda-tanda kerusakan akibat benturan bis dengan truk. Hasil perjuangan kerasnya selama satu bulan lebih, jelas tidak terganggu.Zulham kemudian rebah di lantai ruangan itu. Berban-talkan ransel pakaian dan memeluk erat tas yang seakan menyatu dengan dadanya. Ia terpaksa harus menunggu sampai pagi berikutnya tiba dan ada bis lain yang masih mungkin menampung penumpang tambahan. Sementara itu, lebih baik mata dipejamkan.Barangkali dengan tidur barang sejenak....
Kelopak mata Zulham terbuka lagi. Malas. Terasa ada sesuatu yang mengganggu. Rupanya, salah satu bagian tas sedikit menyembul keras, menekan dadanya.
Ah. Itu pastilah kamera miliknya. Jika tidak salah ingat, rol film negatif di dalam kamera itu belum terpakai seluruhnya.Diluar sana, ada peristiwa menarik untuk diabadikan,dan Zulham membalikkan tas dalam pelukannya.Setiap orang, siapa dan kapan pun juga, suatu ketika perlu beristirahat. Dan Zulham begitu lelah. Ia pun ma-sih terkejut. Kelelahan dan kejutan itu perlahan-lahan mengaburkan kesadaran Zulham. Ia tertidur juga.Tidur, yang jelas tidak pulas. Karena sesekali Zulham tampak menggeliat. Resah. Sesekali matanya setengah terbuka, menerawang terjaga, lantas terpejam lagi.Mendengkur sebentar, lantas dengkuran Zulham berubah jadi erangan gelisah.Barangkali, dalam tidur Zulham ada yang usil membisikkan, bahwa bencana-bencana yang dialami sepanjang hari dan malam itu, belum apa-apa. Itu semua tak lebih dari pemulaan. Hanya sebuah overtur belaka, pembukaan sebuah opera, sebelum memasuki opera sesungguhnya. Sebuah opera maut. Dimana kejadian sebenarnya, justru berlangsung diatas pang-gung. Menimpa diri para pelakunya. Dengan Zulham sebagai pemeran utama.Entah benar entah tidak. Yang pasti, dalam tidur Zulham, bayangan sang Ompung melintas tanpa kata.Zulham menggapai.Kemudian merintih. Rintihan resah.
Dan, takut... *** BAB 6 Sekitar pukul dua dinihari, Dokter Anwar menutupkan pelan pintu kamar tidur dibelakangnya. Seketika ia didatangi serempak oleh tiga sosok tubuh. Sumirah,pelayan bertubuh montok, sehat.
"....dengan majikan-nya yang begitu lemah dan bertambah kurus akhir-akhir ini!"
Dokter Anwar membathin, selagi ia meng-awasi wajah Sumirah yang sedang menyembunyikan kegugupan. Sementara wajah Asep suami Sumirah,tampak jelas memperlihatkan kebingungan. Tetapi sikap supir pribadi yang merangkap pengurus rumah itu, masih tetap waspada.Perhatian Anwar lebih tertarik pada wajah orang ketiga. Bukan hanya karena wajah itu memperlihatkan intelektualitas tinggi pemiliknya, melainkan terutama karena wajah dengan lekuk mata yang khas itu memancarkan kekuatiran.Kearah wajah itulah Dokter Anwar menggumamkan kata:
"Tak ada yang perlu dicemaskan. Ia hanya shock.....!"
Sumirah mendesahkan sesuatu yang tak jelas. Asepun menarik nafas lega. Sementara si pemilik mata yang khas tadi, tetap saja dengan reaksi yang sama: kuatir.Anwar tersenyum lembut padanya.
"Punya waktu untuk ngobrol barang semenit dua, Tarida?"
"Dengan senang hati,
" gadis itu menjawab dengan suara mengambang. Tanpa menunggu, ia langsung melangkahkan kakinya kearah sebuah kursi di ruang tengah yang luas dan megah dengan perabotannya yang serba wah. Dokter Anwar bermaksud mengikuti,tetapi keburu teringat sesuatu. Ia mengawasi kedua orang lainnya yang sudah akan beranjak ke koridor yang menuju bagian belakang rumah.
"Sebentar!" Anwar menahan mereka. Suami isteri itu berdiri menunggu.
"Kuharap aku hanya salah dengar saja."
Dokter itu mendesah lembut.
"Tadi, salah seorang dari kalian meributkan sebilah pisau..."
"Pencacah daging!"
Sumirah berujar cepat. Wajahnya memerah karena semangat tinggi.
"Bayangkan, Tuan Dokter. Pisau pencacah daging! Sungguh mengerikan jika sampai terjadi."
Asep, suaminya tampak tak senang.Anwar segera menembak:
"Apa yang kau perkirakan akan terjadi. Mirah? Nyonyamu bermaksud bunuh diri?"
"Bunuh diri? Astaga, Tuan Dokter. Jika saja Tuan tahu."
Deheman Asep menghentikan ucapan Sumirah yang semakin bersemangat itu.
"Tuan Dokter pasti haus.Pergilah ambil minuman, Mirah!"
"Tetapi...." Sumirah mencoba bertahan.
"Kopi atau teh, Tuan Dokter?" suaminya menyambar,seraya melempar seulas senyum sopan pada tamu mereka.
"Teh saja." "Nah, Mirah. Tunggu apa lagi?"
Asep mendeliki isteri-nya.Kecewa dan sakit hari, Sumirah berlalu dari ruangan itu. Baru setelah menghilang di ujung koridor Asep ber-paling lagi ke Anwar, memandang dengan tatap mata segan dan setengah menyesal.
"Maafkan isteri saya,Tuan Dokter..." ujarnya dengan suara direndahkan.
"Ia begitu keranjingan film horor. Sehingga ketika menemu-kan pisau pemotong daging di kamar Tuan Muda, Ia lantas berpikir yang bukan-bukan..."
Anwar mengangguk penuh pengertian.
"Kau bermak-sud mengatakan, bukan Nyonyamu yang membawa pisau itu ke kamar Bobby?"
Asep memerlukan tempo dua tiga detik untuk berpikir,sebelum kemudian ia menjawab hati-hati:
"Tuan pasti tahu banyak mengenai Tuan Muda...."
"Aku dokter keluarga, bukan?"
Anwar mengingatkan dengan senyuman manis.
"Nah. Jadi Tuan tentunya sependapat bahwa Tuan Muda suka berlaku nakal. Terkadang, Tuan Muda malah...."
Asep berhenti. Bimbang.Anwar lantas membantu:
"Agak liar. Begitu?"
Asep tampak lega. Namun masih tetap bimbang.Sekali lagi Anwar menolongnya:
"Pernah selagi aku berkonsultasi dengan ibunya di tempat atau praktek,Bobby diam-diam mengambil gunting bedah. Ia mem-pergunakannya untuk memotong kuku....."
Mendengar itu, barulah Asep bisa tersenyum. Bicaranyapun lantas lebih lancar.
"Begitulah Tuan Muda, Tuan.Jika sifat badungnya bangkit, apa saja diambil. Apa saja dibongkar. Beberapa kali, ketika saya tengah memper-baiki mesin mobil, saya dibuat kalang kabut. Dan...."
Anwar memotong tak sabar, namun tetap dengan nada lembut:
"Anak seusia Bobby terkadang memang suka menjengkelkan. Tetapi, bagaimana dengan pisau yang tadi diributkan istrimu?"
"Itulah, Tuan. Menurut saya, tentulah Tuan Muda yang mengambilnya dari dapur. Pernah, isteri saya meributkan setumpuk sendok dan garpu, yang baru dua hari kemudian kami temukan berserakan di kolong ranjang Tuan Muda. Di situ juga ada beberapa buah kaleng bekas. Tuan Muda hilang, ia mau minta band.Di lain ketika..."
Anwar mengerling kearah lain.
"Ah. Minumanku sudah datang!"
Sumirah memang sudah muncul lagi. Menating baki dengan cangkir teh diatasnya, lengkap dengan poci-poci kecil yang tentunya berisi gula dan susu.Anwar menyambar cangkir itu dengan cepat.
"Cukup teh saja Mirah. Terima kasih."
Lalu Anwar meninggalkan suami isteri yang mendadak tampak saling tidak menyukai itu. Anwar terus saja berjalan ke kursi yang berhadapan dengan kursi lain,dimana Tarida sudah duduk menunggu.
"Rasanya kurang pantas jika aku minum sendirian..."
"Rilek sajalah, Pak Dokter..."
Tarida menyahuti. "Eh, yang harus rilek itu aku atau siapa, Tarida?"
"Kau menguatirkan cuaca yang dingin menghunjam ini, ya?"
*** Dan di perjalanan menuju ke kamar tidur mereka,suami isteri pelayan itu saling tak mau melihat satu sama lain. Konon pula untuk bertegur sapa. Sumirah menyimpang sebentar ke dapur, menyimpan baki dan poci-poci yang tidak disentuh oleh tamu mereka tadi. Asep menunggu di luar pintu. Tetapi isterinya justru malah pura-pura sibuk di dapur.Tak sabar, Asep masuk ke dapur.Tangan isterinya direnggut. Sumirah dipaksa menenga-dah.
"Lihat padaku, Mirah!"
Sumirah ingin memprotes, namun tak jadi, karena ia melihat sinar mengancam dibalik sepasang mata suaminya. Bobot tubuh Asep yang jangkung kurus itu,barangkali tidak sampai setengah dari bobot tubuh Sumirah, namun sang isteri tahu betul siapa suaminya.Belum sampai dua bulan lewat, tiga orang pemuda berandalan coba-coba mengutak-atik pintu mobil majikan mereka yang diparkir di halaman depan. Salah seorang diantaranya bersenjatakan pisau. Asep memergoki mereka. Dan ketika polisi yang dipanggil penelepon datang ke rumah itu, ketiga pemuda berandalan tadi sudah bergeletakan. Yang satu masih belum siuman dari pingsannya. Dua yang lain terikat tali tambang dengan punggung keduanya saling beradu. Yang seorang kakinya patah, satunya lagi wajahnya babak-belur.Suami yang bertampang 'tak ada apa-apanya' itu kini mendesis marah dengan wajah merah padam.
"Kau tahu apa akibatnya jika kau salah omong, Mirah!!"
Sebelum isterinya sempat membuka mulut, Asep sudah menjawab sendiri:
"Kau pasti kehilangan pekerjaan.Bukan itu saja. Kita juga akan kehilangan seorang majikan yang selama ini begitu baik pada kita. Tanpa kemurahan hatinya, kita belum tentu punya tempat menetap senyaman yang ada di rumah ini. Kita pun belum tentu dapat menabung....."
"Tetapi, Kang. Lenganku....."
Sumirah meringis. Sakit.Asep tersadar, dan buru-buru melepaskan cengkraman jari-jemarinya yang menjepit lengan sang isteri tak ubahnya jepitan batang-batang besi.Sumirah mengeluh setengah menangis:
"Mudah-mudahan tidak patah...." dan untuk meyakinkan, ia raba-raba lengannya yang masih sakit. Lengan itu kemudian digerak-gerakkan. Tampaknya tidak ada yang cidera.
"Ah. Syukurlah!"
Sumirah menarik napas lega.
"Tetapi,Kang..."
"Apa lagi?!" Asep masih marah, namun kini lebih terkendali.
"Pisau itu. Pasti Nyonya yang..."
"Aku tahu!" "Dan beberapa malam yang lalu. Aku pergoki Nyonya menjatuhkan bantal ke wajah Tuan Muda yang sedang tidur nyenyak......"
Asep menghela nafas panjang.
"Sudah. Sudah.Lupakan saja!"
"Lalu. Nyonya.....?"
"Percayakan saja pada dokter."
"Bukan itu yang kumaksud, Kang..."
"Ya. Ya. Aku pun tahu apa maksudmu. Tetapi perlukah kau kuingatkan lagi, Mirah? Kita sebaiknya membantu Nyonya. Bukan menambah kesulitannya. Kita ini tahu apa sih? Kita hanya orang kecil. Orang bodoh. Dokter lebih pintar. Lebih tahu mengatasinya. Begitu pula Non Tarida....."
"Hem. Andai saja Oom Zulham ada disini....."
Sumirah berkata mengharap. Setengah melamun.
"Kau merindukan dia, eh?"
"Idiiiiih, Akang ini. Yang enggak-enggak saja!"
Sumirah cemberut. "Aku cuma berpikir hanya Oom Zulham yang begitu dekat dengan majikan kita. Sayangnya,Oom Zulham sudah lama tidak menampakkan batang hidung. Yang aneh, Nyonya sudah lebih satu bulan ini tidak pernah menyinggung-nyinggung soal Oom Zulham..."
"Itu bukan urusan kita." dengus Asep, sambil meme-gang tangan istrinya. Kini dengan lembut. Selembut kata-kata yang keluar dari mulutnya:
"Ayo kita ke kamar, ah!"
"Setelah apa yang terjadi, mana aku bisa tidur, Kang?"
Sumirah mendesah lirih. Namun sambil menuruti langkah suaminya berjalan menuju kamar tidur mereka yang terletak disamping kiri halaman belakang rumah induk.
"Siapa bilang kita akan tidur?"
Sumirah sempat heran mendengar ucapan suaminya.Baru setelah mereka masuk ke kamar dan pintu ditutupkan, keheranannya hilang. Asep langsung me-nyeret Sumirah ke tempat tidur. Terus buka celana.
"Apa-apaan si Akang ini...?"
Sumirah ternganga.Lantas kemudian tertawa.
"Hem. Hem. Pasti karena tadi Akang sempat menyentuh dada majikan kita. Pasti Akang sempat meremas, dan....."
"Diamlah!" Asep menggerutu sambil menaiki tubuh isterinya.
"Dan buka bajumu segera. Atau perlu aku robek-robek?"
"Sabar, Kang. Sabar, dong..."
Kemudian Sumirah cekikikan.
*** "......... itulah semuanya yang kuketahui dan kudengar,Pak!"
Tarida mengakhiri ceritanya dengan suara lelah.
"Dan, aku benar-benar mencemaskan Maria. Lebih-lebih setelah apa yang terjadi dan kusaksikan sendiri barusan tadi!"
Anwar merenung. Lama.Kemudian:
"Apakah ketika Asep muncul, Maria masih tetap dalam keadaan telanjang bulat?"
Tarida menjawab antara sadar dan tidak:
"....ketika aku mendengar jeritan Maria, aku sedang belajar di kamar-ku, Pak Anwar. Aku masih mengenakan pakaian rumah. Berlapiskan selimut, karena tak tahan pada cuaca dingin membeku. Bagusnya aku tak melempar-kan selimut itu sewaktu aku berlari-lari ke ruangan ini.Maria kutemukan disini..." telunjuk jari Tarida mengarah ke lantai dekat kakinya.
"Dengan selimutku itulah tubuh telanjangnya sempat kututupi, sebelum Asep dan isterinya muncul. Asep yang membopong Maria ke kamar. Sementara aku pergi ke telepon,dan....."
Tarida berhenti tiba-tiba.Lekuk matanya yang khas, menarik tajam. Lantas mendesah, heran:
"Aku percaya, Anda tidak semata-mata ingin mempercakapkan tetek-bengek belaka, Pak Anwar!"
Dokter itu memaksakan senyum di bibir. Namun toh tidak menghilangkan kemurungan yang terpateri diwajahnya. Ucapan yang keluar dari bibirnya pun bernada murung:
".... ah. Aku hanya sekedar ingin mengendurkan urat syaraf saja!" ia lantas tertawa.Parau.
"Tak baik jika terlalu tegang, bukan?"
"Dan?" Tarida menuntut. Tidak terlalu memaksa.Anwar menghela nafas. Berat.
"Kamar yang katanya berantakan, bukan bidangku..." ia bergumam, prihatin.
"Apalagi dalam kenyataan, kamar itu masih tetap seperti keadaan semula. Tidak ada yang berubah. Tidak ada beruang melompat-lompat berang, anjing yang menggeram, kereta api yang menderu-deru....."
"Plus, sepasukan tentara bersenjatakan bayonet!"
Tarida menambahkan. Terngat pada igauan Maria sewaktu Maria sempat siuman sebentar, meronta-ronta seperti orang kesurupan, lalu pingsan lagi, sampai akhirnya Dokter Anwar datang memenuhi panggilan telepon Tarida.
"Boneka-boneka mati. Tak berjiwa....!"
Wajah Anwar terangkat. Menegun.Diamatinya wajah Tarida seraya diam-diam mencerna apa yang barusan diucapkan gadis itu. Bukan gaya hiperbolisnya, melainkan kata-karta itu sendiri,
"Kau mengingatkan aku. Untuk mengutarakan apa yang seharusnya kautarakan....."
Tarida diam. Menunggu.Namun meski ia diam, Dokter Anwar menyadari bahwa Tarida sebenarnya sudah tahu.
"Ahli jiwa!" Anwar mendesah. "Itulah yang hari-hari ini akan sangat dibutuhkan oleh sahabatmu, Tarida....."
Kelopak mata Tarida memejam.Ia sudah menduga. Namun toh, ia sempat terpukul juga.Anwar tidak tega melihatnya. Pelan-pelan Anwar ber-diri. Bunyi kursi bergeser, seketika membuka mata Tarida. Anwar memaksakan seulas senyuman menghi-bur.
"Lebih baik memanfaatkan waktu yang masih tersisa, bukan?" ia berkata.
"Sudah waktunya aku pulang ke rumah. Sambil mengingat-ingat, psikiater mana yang paling pas untuk Maria. Kuharap, kau bersedia membantu."
Tarida membelalak: "Aku?" "Dunia kedokteran adalah bidangku,
" Anwar menyeri-ngai lebar. Semangatnya kini kembali.
"Bantuan yang kuperlukan darimu adalah mendekati sahabatmu. Ingat jangan terlalu tergesa. Kau tahu, bagian terbesar bangsa kita masih saja mencak-mencak jika padanya kita beritahu, ia harus pergi menemani seorang dokter jiwa."
"Akan kupikirkan, Pak Anwar."
Tarida balas menyeringai.
"Tetapi tularilah aku barang sedikit semangat Anda ini!"
Tarida mengantar tamunya ke pintu depan.
"Oh ya..." dengus Anwar sewaktu mereka berjabat tangan untuk berpisah.
"Aku baru sekali dua saja bertemu denganmu. Dan nyaris kita tidak punya kesempatan berbintang-bincang seperti sekarang ini....."
"Dunia sudah semakin sibuk, barangkali,
" ujar Tarida.Diakhiri dengan tertawa lunak dan enak didengar.
"Agaknya Anda ingin mengutarakan sesuatu. Tentang cinta, mungkin?"
Diledek begitu, mau tak mau Anwar pun tertawa.
"Mungkin itu, jika saat pertama kali aku bertemu denganmu, usiaku lebih muda 20 tahun...!" ia mengamati sejenak, lurus ke mata Tarida.
"Tetapi terus-terang, aku memang tertarik pada lekuk matamu yang khas...."
"Oh oh. Jantungku mendadak berdebar..."
"Berhentilah menggoda orangtua ini, Tarida!"
Anwar berusaha keras menahan tertawanya yang siap meledak. Suaranya kemudian berubah jadi gumaman bingung.
"Tarida. Tidak dengan tulang pipi menonjol.Kulit putih kekuningan pula...."
"Aduh...!" Tarida mengerling nakal. "Ayo, terus. Terus!"
"Biar kuakhiri saja. Namamu memang Tarida. Namun,sedikit pun aku tidak mau percaya ditubuhmu mengalir darah orang Batak..."
Tarida tercengang.Andaikata ia ada ditempat lain, dalam situasi yang berbeda, mungkin tawanya sudah pecah berderai-derai.Susah payah ia berusaha bersikap setakzim mungkin,sewaktu ia menjelaskan:
"Ibu saya orang Solo. Tulen.Tentu saja bukan dia yang memberiku nama Tarida.Namaku pemberian Ayah. Sayangnya aku tak pernah ingin bertanya, mengapa? Jadi aku cuma mengira-ngira saja. Ayah ingin mengambil nama yang mirip nama-nama orang di daerah asalnya. Sebuah dusun kecil di wilayah Kobe, Jepang..."
Mulut Anwar terbuka untuk mengucapkan sesuatu.Tetapi Tarida sudah mendahului:
"Pantas!" "Sialan!" Anwar memaki. Dalam sekejap ia sudah menghilang didalam mobil miliknya yang diparkir didepan teras. Disana, barulah tawanya lepas.Meledak-ledak. Gembira.
Tarida menyeringai. Sama gembiranya. Kemudian mereka saling melambai, setelah mana mobil dokter keluarga itu berlalu di jalanan yang sudah mulai terang-terang ayam.Tarida kemudian menutup pintu.Sewaktu akan kembali ke kamarnya, secara tidak sengaja ekor mata Tarida menangkap bayangan daun pintu kamar Maria yang tertutup. Sesaat Tarida tertegun. Bayangan sahabatnya yang terbaring sakit dibalik pintu itu, membuat kegembiraan Tarida terenggut hilang.Kesunyian yang merayapi ruangan di mana ia berdiri, mendadak dipecahkan oleh bunyi berdentang. Hanya satu kali. Dan dentangnya tidak terlalu keras. Tarida menoleh ke jam dinding di tembok. Jarum jam menunjukkan pukul setengah lima pagi.Tarida tidak jadi masuk ke kamar.Ia mengalihkan langkah ke kamar mandi. Untuk mengambil air wudhu. Seraya di hati diam-diam memanjatkan do'a:
"Ampunilah dosa-dosa hamba-Mu yang malang ini, ya Allah. Terutama dosa-dosa sahabatku....."
Do'a Tarida disambut muadzin mengumandangkan adzan shubuh dari masjid terdekat. Menggapai-gapai.Sayup-sayup sampai.
*** BAB 7 Konon, seseorang yang pulas karena pengaruh obat penenang, tidak akan tergangggu sedikit pun, walau misalnya, atap rumahnya berdetak ribut lalu runtuh menimpa tempat di mana ia tidur. Jika memang benardemikian, maka Maria harus dikecualikan.Getaran lembut, telah membangunkan Maria.Getaran itu terasa di permukaan dadanya. Mula-mula Maria hanya membuka kelopak mata. Ia belum terjaga sepenuhnya. Tetapi kesadarannya muncul setahap demi setahap. Matanya membuka lebih lebar. Meng-awasi lelangit diatasnya.Kemudian ia bangkit. Duduk di tempat tidur. Ganti mengawasi sekelilingnya, saperti ingin mengenali setiap benda yang terlihat oleh matanya, sampai ia yakin betul bahwa ia berada di kamar tidurnya sendiri.Sejenak, ia mengingat-ingat. Membayangkan sesosok tubuh besar dengan wajah berbulu, dan taring-taringyang mencuat dari sudut-sudut bibir tebal kehitam-hitaman. Lalu gema raung beruang, geramam buas seekor anjing, kereta api yang menderu-deru.... semua-nya dengan penuh kemarahan. Kemudian terasa ia bagai terbang menjauh, lalu terhempas, entah dimana.Apakah semua itu hanyalah mimpi buruk belaka,atau....
Getaran itu terasa lagi.Lebih keras dari tadi.Tangan kanan Maria terangkat perlahan-lahan, meng-gapai kearah dada. Tersentuhlah oleh jari jemarinya liontin bertatahkan berlian, pada kalung yang meling-kari lehernya. Dengan kelopak mata tak sekalipun berkedip, induk jati tangan kanan Maria menekan lambang di bagian tengah liontin dengan gerakan mengusap. Usapan yang teratur, sekali ke kiri, sekali kekanan, sekali keatas, terakhir kali ke bawah, lalu berhenti.Perlahan-lahan getaran tadi pun berhenti pula.Maria masih tetap dalam posisi duduk.Diam membelai.Menunggu.Perlahan tetapi pasti, dalam kamar tidur yang semula sunyi senyap, terdengarlah bunyi semilir angin. Lembut saja. Maria lantas terpesona. Hawa yang tadinya dingin menusuk, dalam seketika berubah hangat, membelai,seperti ingin melindungi. Disusul terdengarnya suara seseorang yang seakan datang dari kejauhan. Suara orang itu menimbulkan pengaruh yang sama: hangat,membelai, ingin melindungi.
".... ada apa, Anakku?"
Mulut Maria membuka. Bergetar.
"Aku.... gagal lagi..."
"Hemm...." Sepi menyentak sebentar, lalu:
"Dia memang terlalu kuat untukmu!"
Bibir Maria semakin bergetar. Kecemasan membayang di pelupuk matanya.
"Apakah aku... masih diterima sebagai... anggota keluarga?"
"Anakku terkasih. Kau masih tetap punya kesempatan."
"'Tetapi....." "Tidak usah cemas. Bukankah aku ada untuk memban-tu? Waktunya akan tiba... segera, namun begitu... perlu kuingatkan sekali lagi. Jangan biarkan ia mendatangi-mu, lalu menguasaimu. Sekarang tidurlah kembali. Aku akan membelaimu... memberimu mimpi-mimpi indah...sampai kau terpuaskan kau akan menikmati sepenuh-nya dan..."
Dan, sementara suara itu masih terus berbicara dengan penuh kasih serta cinta, Maria merebahkan diri.Terkulai pasrah, setengah menanti.Angin semilir di kamar tidur Maria, berputar-putar sebentar, mengitari ranjang, lalu belaiannya mengarah perlahan-lahan ke bagian-bagian yang sensitip disekujur tubuh Maria.Maria mulai bernafas terengah-engah. Ia menggelin-jang, terus menggelinjang, sampai suatu ketika tubuh-nya terangkat melengkung dalam getaran yang hebat.Saat berikutnya, tubuh Maria menggelepar.Ia menjerit pelan. Diakhiri oleh suara merintih tersengal-sengal, tubuh Maria kemudian terhempas ditempat tidur. Diam tak bergerak-gerak. Kelopak mata Maria perlahan-lahan mengatup.Ia kemudian tertidur.Dengan bibir mengurai senyuman puas dan bahagia tiada terperi. Tak lama setelah itu, lidah matahari menggapai dari ventilasi jendela, masuk ke kamar. Dan perlahan-lahan menjilati wajah Maria. Membuat tidur Maria semakin pulas saja.
*** Lidah matahari yang sama menerobos masuk ke kamar mandi sebuah rumah makan di sekitar daerah Baturaja.Zulham berfoya-foya dengan air yang melimpah didalam bak mandi. Nyeri di punggung lenyap sudah.Ketika ia mengeringkan tubuh dengan sehelai handuk,perasaannya begitu segar, tubuh pun teramat bugar.Zulham kemudian menyisir rambut di depan cermin yang digantungkan pada dinding bambu kamar mandi.Kaca cermin itu tinggal sepotong,bekas pecah. Tetapi dengan mundur dua langkah,muncul jugalah seraut wajah pada cermin yang tidak karuan itu. Wajah siapa lag jika bukan wajah anak ibunda yang tampan. Dengan sinar mata tajam walau masih menampakkan sisa-sisa kelelahan, hidung yang kokoh, mulut yang sedikit kaku, dagu yang keras dengan lekukan samar ditengah-tengah, kemudian leher dan...Zulham pun mengerjap. Terperanjat.
"Ya, ampun! Apa yang telah kulakukan?!"
Tiba-tiba ia merasa dirinya tak ubahnya seorang perem-puan. Dan perempuan itulah yang shubuh tadi bersu-jud menghadap Tuhan, dengan seuntai kalung meling-kari leher. Lebih celaka lagi, liontin di ujung kalung, itu menggambarkan sebuah lambang dengan wujud menjijikkan:
ular berkepala ganda! "Memalukan!" Zulham menyesali dirinya.
"Punya orang lagi!"
Dengan hati-hati, kalung ditanggalkan Zulham dari lehernya. Ia bertukar salin. Pakaian kotor ia masukkan ke sebuah kantong plastik. Handuk dan perlengkapan mandi di kantung plastik yang lain. Lalu dengan kalung tadi tergenggam di telapak tangan, ia berjalan masuk kedalam rumah makan, menuju sebuah meja di atas mana tas beserta ranselnya ia tinggalkan: sepenuhnya yakin pada apa yang tertulis pada plakat di atas pintu masuk sebelah dalam dari rumah makan itu:
"KENYAMANAN DAN KEPERCAYAAN ADALAH MOTTO KAMI".
Apalagi di atas plakat itu ada pula plakat lain yang berbunyi:
"JANGAN LUPA.MULAILAH DENGAN BlSMlLLAAH........"
Zulham menyimpan kalung itu kedalam tas kopernya.Kemudian memesan sarapan pagi. Satu jam kemudian,sebuah bis antar pulau memasuki halaman parkir rumah makan. Bis Patas, dan tampaknya belum begitu lama keluar dari pabrik. Beberapa penumpang yang sebelumnya seperjalanan dengan Zulham, pada menghambur mendatangi bis bahkan sebelum pintu-pintunya dibuka. Dua diantaranya tampak berbenturan sikut. Keduanya pun bertengkar. Seorang petugas jaga rumah makan berjalan tenang-tenang kepintu depan sebelah kanan bis. Berbicara dengan supir yang tengah bersiap-siap untuk turun. Sebelum Zulham tadi pergi ke kamar mandi, ia telah menghadiahi petugas jaga rumah makan itu sebungkus penuh rokok kretek, plus selembar uang kertas ribuan. Selesai berbicara dengan supir bis, si petugas berjalan santai memasuki rumah makan. Langsung mendekati meja dimana Zulham duduk menanti sambil mencicipi secangkir kopi panas.Petugas itu tersenyum gembira.
"Beres. Oom bisa ikut dengan bis itu."
"Terima kasih!"
Tetapi si petugas tidak segera berlalu. Zulham sempat berpikir bahwa tip yang tadi ia berikan barangkali masih kurang.Zulham sudah siap merogo saku, tatkala matanya menangkap sinar mata di hadapannya. Apa yang dilihatnya jelas-jelas bukan sinar mata seorang pengemis pinggir jalan. Tetapi lebih mirip sinar mata seorang ahli purbakala. Yang tiba-tiba menemukan sebuah benda kuno paling langka di dunia.
"Saya telah berulangkali melihat-lihat bis yang sebelumnya Oom tumpangi..."
Orang itu berujar pelan dan penuh perasaan.
"Terutama kursi di sebelah supir.Dan... eh setiap kali saya tetap merinding!"
Terbayang dimata Zulham ujung runcing potongan kayu bak belakang truk yang menembus kap depan bis dan kemudian menghunjam ke sandaran kursi dimaksud. Tanpa tertahan, bulu-bulu romanya pada tegak berdiri.
"Begitu pula aku...." ia mengakui dengan jujur.
"Oom ini pastilah memiliki ilmu gaib. Ilmu penolak bala!"
Zulham tercengang. Lalu tertawa, sopan.
"Ah. Aku tak punya ilmu apa-apa kok. Barangkali saja malaikat lagi berbaik hati. Memaksaku pergi kamar kecil sebelum peristiwa naas itu terjadi."
Penjaga rumah makan itu ikut tertawa. Disusul doa yang tulus:
"Semoga Oom tetap dilindungi malaikat.Jangan lupa. Kursi nomor sembilan..."
Zulham kembali mengucapkan terima kasih.Setelah penjaga rumah makan itu berlalu dari depannya, Zulham menyandar di kursinya dengan pikiran menerawang. Seingat Zulham, bukan sekali dua ia menghadapi ancaman bahaya. Terutama semenjak ia menempuh karir di bidang jurnalistik. Akan tetapi,bahaya-bahaya cuma terasakan, namun belum pernah menampakkan muka. Berbeda halnya dengan apa yang dia alami sepanjang hari dan malam kemarin. Bahaya itu bukan lagi mengancam. Bahaya itu sudah langsung memperlihatkan kehadirannya. Tidak tanggung-tanggung pula dalam wujud bencana yang mengerikan!
Apakah ia hanya kebetulan saja sedang bernasib sial?
Dan ia selamat, hanya karena kebetulan ia sedang beruntung?
Zulham diam-diam berharap, semoga benar bahwa malaikat masih berbaik hati mau melindungi-nya. Dengan kata lain, Tuhan masih tetap bersama Zulham. Zulham patut mensyukurinya. Akan tetapi Tuhan juga tidak menghendaki umatNya duduk diam dan pasrah begitu saja. Karena Tuhan telah mengaruniai umatNya otak untuk berpikir ,jiwa untuk merasakan, dan naluri untuk berjaga-jaga.Naluri itulah yang kini menyeruak pikiran dan perasaan Zulham. Naluri yang membisikkan, bahwa bencana yang dia alami bukanlah sekedar nasib sial belaka. Bencana itu, terutama dalam kecelakaan tadi malam, bukan mustahil ada yang menggerakkan.Dengan maksud tertentu, dan sasaran tertentu pula.Apa yang dimaksud memang tercapai. Hanya saja sasarannya yang salah.Dan yang disasar adalah Zulham. Melalui ujung pisau.Dan kayu menghunjam.Teringat sampai di sini. Zulham bergidik seram. Untuk meredakan getaran nalurinya, Zulham mengangkat cangkir kopi didepannya. Didekatkan ke mulut.Dengan tangan gemetar.
*** BAB 8 Karena sang majikan belum juga bangun, tentu saja Sumirah gelisah bukan main. Padahal sekarang sudah tengah hari. Dan apa kata Dokter Anwar di telepon satu jam yang lalu?
"Tenang sajalah. Pada waktunya nanti, dia akan bangun sendiri!"
Mana bisa Sumirah tenang, jika ia hanya diperbolehkan melongok dari pintu. Di larang masuk ke dalam, supaya majikannya tidak terganggu.
"Biarkan majikanmu beristirahat!"
Dokter Anwar mewanti-wanti.Betul, majikannya perlu beristirahat. Tetapi apa salah-nya Sumirah masuk kedalam. Ia akan mendekati tempat tidur, tanpa menimbulkan suara. Hanya untuk memastikan majikannya masih bernafas. Coba, andaikata majikan Sumirah mendadak dapat serangan jantung, berusaha bangun, berusaha memanggil-manggil seseorang untuk dimintai pertolongannya.Tetapi tidak mampu.
Wah...! Biarlah ia tunggu sebentar lagi. Mudah-mudahan saja nantinya yang pergi menjemput ke sekolahan Tuan Muda, pulang segera. Mereka akan bertukar pikiran.Apakah perlu menghubungi dokter sekali lagi, atau tetap bersabar menunggu, atau nekad memasuki kamar tidur majikan mereka.Keputusan yang diambilnya, sedikit mengurangi kegelisahan Sumirah.Namun toh ia sempat terkejut juga manakala terdengar bunyi sesuatu di sebelah kirinya. Bunyi pintu berderit terbuka. Itupun lembut saja. Untunglah Sumirah tidak sampai menjatuhkan kaleng ditangannya. Serempak Sumirah berpaling. Serempak pula wajahnya tampak lega.
"Oh, Nyonya kiranya. Selamat siang..." ia menggagap.Memang benar, Maria-lah yang muncul dihadapan Sumirah. Dalam kimono tidur yang tadi malam dipasangkan sendiri oleh Sumirah ke tubuh lembut namun semampai itu. Apa yang membedakan adalah cara majikannya memandangi. Sepasang mata Maria memang terbuka, namun tidak tampak bercahaya. Cara berdiri Maria tidak sesantai yang biasanya dilihat Sumirah. Begitu kaku. Seperti tidak ingin didekati oleh siapa pun juga.Karena tidak juga ada sahutan dari bibir majikannya yang tetap mengatup rapat, Sumirah berujar lagi:
"Saya akan siapkan makan siang Nyonya, dan..."
Masih tanpa kata, Maria memutar tubuh. Lantas berja-lan ke koridor yang menuju kebelakang rumah. Meni-nggalkan pelayannya begitu saja. Sumirah jadi linglung sendiri.
"Astaga... Ia seperti tidak mendengarkanku.Malah sepertinya... tidak mengenal siapa aku..."
Sumirah mengeluh. Dalam hati.Berdiri kebingungan, Sumirah kemudian menyimpul-kan sendiri kelakuan sang majikan tentu dikarenakan majikannya itu belum sembuh benar. Barangkali juga majikannya masih terlalu lemah. Tidak ingin ngomong.Tidak ingin diganggu, seperti kata dokter. Tetapi mau apa dia pergi ke belakang sana?
Sumirah meletakkan kaleng penyemprot diatas meja ruang tengah. Lantas segan-segan ia mengikuti arah perginya sang majikan. Siapa tahu majikannya ingin memasak sendiri hidangan makan siangnya. Sumirah akan membantu diam-diam, dan...
Kebingungan Sumirah pun kian menjadi-jadi.Tampak Maria terus saja melewati dapur. Melewati kamar-kamar di halaman belakang. Turun ke jalan setapak di taman bunga. Menuju ke kolam renang, disiang hari yang panasnya seterik hari ini, siapapun juga orangnya pasti ingin mencebur ke kolam renang.Tempat ada. kesempatan pun luang pula.Apa yang membuat kebingungan Sumirah menjadi-jadi selagi ia berdiri mengawasi diambang pintu belakang adalah tingkah laku sang majikan.Maria telah tiba diinggir kolam renang. Tampak berdiri sejenak, seperti tidak tahu akan berbuat apa.Lalu, begitu saja menanggalkan kimono. Padahal,Maria tidak mengenakan apa-apa lagi dibalik kimonoitu!
Majikan Sumirah berdiri di sana. Berbugil ria. Seolah ingin mempertontonkan keindahan tubuhnya. Baru beberapa saat berikutnya, nyebur ke kolam. Diambang pintu belakang rumah, Sumirah masih tetap bengong sendiri. Tembok halaman belakang memang tingginya lebih dari dua meter. Diatasnya masih ada lagi pagar besi yang kokoh dan rapat. Pemandangan dari luar memang hanya sampai sebatas bibir tembok saja. Tetapi bagaimana dengan dua rumah lain di luar tembok.Rumah bertingkat yang masing-masing mempunyai jendela yang mengarah ke halaman belakang ini?
Dengan wajah cemas, Sumirah mangawasi jendela lantai atas rumah. Tuan Atmo agak jauh di seberang sana. Syukurlah matahari siang mengarah langsung kejendela itu. Krei-nya diturunkan. Tampak rapat, tetapi bukankah bisa disingkapkan untuk mengintip keluar?
Sambil mengawasi jendela yang tertutup krei itu,Sumirah berbisik mengancam:


Misteri Anak Anak Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Awas Tuan Atmo.Ingatlah. Tuan sudah tiga kali naik haji!"
Sumirah berpaling ke jendela satunya lagi disebelah kanan, jendela itu terbuka lebar. Tak tampak orang didalam. Semoga saja Nyonya Vonny, janda yang saking cerewet bahkan membuat anak-anaknya sendiri tak betah diam di rumah itu, sedang tertidur pulas. Atau sedang ribut mengomeli Mbok Ijah di lantai bawah.Tetapi mungkin saja Nyonya Vonny yang sok alim dan suka menyalahkan itu akan....
Kekuatiran Sumirah dihentakkan oleh deringan telepon.Ia melirik sekilas ke kolam renang. Majikannya tampak baru saja menyelam. Sumirah berlari-lari ke ruang depan, mengangkat telepon dengan nafas tersengal-sengal.
"Ya? Hal..... looo...."
"Kau itu, Mirah?"
Terdengar sapaan lunak seorang perempuan.
"Oh, Non Tarida. Ada apa?"
"Maria sudah bangun?"
"Sudah. Malah sedang asyik berenang. Aduh. Non,saya..."
Ingin sekali Sumirah memberitahu semuanya.Memberitahu bahwa majikannya baru saja bangun.Lalu bertingkah aneh-aneh. Tidak terlihat lapar. Tidak bertanya kemana semua orang, atau apakah ada pesan telepon untuknya. Pun apakah Bobby tidak terlambat berangkat ke sekolah, atau...
Tarida sudah mendahului, "Ya, sudahlah. Biarkan saja dia bersenang-senang. Yang penting ia sudah bangun.Dan karena ia lagi asyik di kolam renang, itu pertanda ia baik-baik saja. Oh ya, Sumirah. Aku cuma sebentar,ini. Aku masih harus mengikuti dua mata kuliah lagi.Setelah itu masih ada responsi. Mungkin malam baru pulang. Tolong beritahu Maria, nanti aku akan pulang langsung ke tempatku kost saja. Jadi...."
"Aduh. Non. Pulangnya ke rumah ini saja,
" Sumirah menyela, dengan penuh harap.
"Enakan Non di sini.Semua tinggal minta dan ambil. Tak perlu membayar,dan...."
Helaan nafas diseberang sana telepon, menyadarkan Sumirah. Wajahnya memucat. Lebih-lebih setelah mendengar desahan tajam di corong telepon:
"Jangan kuatir. Lain kali aku akan membayar!"
"Ya ampun Non, Maaf. Saya tidak bermaksud....."
"Sampaikan salamku pada majikanmu!"
Tarida berujar dingin dan jelas sekali telepon dihentakkan di seberangsana. Tinggal bunyi dengingan panjang saja yang tersisa. Menyakitkan telinga.Sumirah menjauhkan gagang telepon dari telinganya.Lantas memandangi benda itu dengan wajah teramat sangat menyesal. Kemudian ngomong sendiri:
"Ya Tuhan. Kesalahan apa yang telah kuperbuat? Padahal...aku hanya bermaksud mengatakan.... alangkah baiknya Non Tarida pulang ke rumah ini... supaya ia saksikan sendiri bagaimana tingkah laku Nyonya..."
Sumirah menyimpan telepon dengan perasaan galau.Tanpa sengaja ia melihat keluar jendela. Tampak mobil majikannya baru saja membelok masuk ke halaman depan rumah. Rupanya Tuan Mudanya sudah pulang.Pasti Tuan Muda akan menanyakan ibunya, dan...
Seketika Sumirah melupakan kekecewaannya.Ia bergegas ke teras. Bukan Tuan mudanya yang ia cemaskan, melainkan Asep, suaminya. Tidak akan pernah ia lupakan, bagaimana malam tadi ketika suaminya membopong majikan mereka yang pingsan kekamar tidur, wajah suaminya sesekali tampak memerah. Tentu saja. Karena dibalik selimut yang ditutupkan sembarangan majikan mereka tidak memakai sehelai benang pun juga. Secara tidak langsung, di kamar tidur mereka sendiri kemudian Asep mengatakan bahwa ia sempat melihat dada telanjang majikan mereka. Apakah tangan Asep kemudian meremas atau bagaimana, tidak akan membedakan apa-apa.Sumirah tiba di dekat mobil, bersamaan dengan turunnya Bobby sambil menanggalkan ransel sekolah dari punggungnya. Anak itu langsung menanyakan apa yang jelas pertama-tama diingatnya:
"Mama sudah bangun, Mbak?"
"Sudah, Tuan Muda, " Sumirah mengambil alih ransel dari tangan Bobby.
"Nanti Mbok antarkan Tuan Muda menemui beliau."
Dan pada suaminya yang sudah pula turun dari mobil, Sumirah berujar kaku:
"Akang tetap di situ!"
Asep menoleh heran. "Lho....?" "Akang tetap di sini!"
Sumirah mengulangi lebih tegas.
"Nyonya sedang tidak boleh didekati siapa pun juga!"
Asep sudah akan bertanya. Bobby ternyata lebih cepat:
"Memangnya Mama kenapa sih?"
Sumitah mengulas senyum manis pada anak majikannya.
"Tuan Muda sih buleh-boleh saja. Tetapi nanti, setelah ibu Tuan Muda selesai berenang..."
"Kirain apa, Mbok. Iya deh!"
Bobby tertawa. Senang.Anak itu makin senang saja ketika melihat supir keluarganya tampak menggaruk-garuk kepala.Bingung. Jelas Asep sudah mendengar. Tetapi majikannya berenang di kolam 'kan sudah biasa.Mengapa harus.....
"Hem!" Akhirnya Asep mengeluh. "Lantas, aku harus kerjakan apa di sini?"
Sumirah nyerocos: "Bersihin mobil, kek. Bersihin sampah, kek. Atau nyebor tanaman. Apa saja, deh.Pokoknya tidak sampai Akang berkeliaran ke dalam rumah. Tunggu sampai aku memberi lampu hijau!"
Tanpa menunggu protes dari suaminya, Sumirah menarik tangan Bobby.
"Mari, Tuan Muda. Haus pasti,ya?"
Bobby mengiringkan pelayan rumahnya masuk kedalam.
"Bobby rindu Mama."
"Tentu, " sahut Sumirah. "Tuan Muda ganti pakaian dulu di kamar. Saya akan ambilkan Coca atau Tuan Muda maunya Sprite?"
Tengkorak Maut 13 Delapan Kitab Pusaka Iblis Kwi Po Cin Keng Pat Karya Rajakelana Iblis Sungai Telaga 25

Cari Blog Ini