Ceritasilat Novel Online

Misteri Perawan Kubur 2

Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap Bagian 2


*** DELAPAN Besok paginya, berita yang termuat di hampir semua surat kabar isinya tak jauh berbeda. Telah ditemukan kerangka utuh laki-laki di sebuah gedung sekolah dasar.Asal-usulnya belum diketahui. Diduga kuat kerangka itu dicuri dari suatu tempat yang masih diselidiki polisi.
Motif belum jelas. Kemungkinan besar untuk diperjualbelikan secara tidak sah. Kepergok ronda malam, sipencuri bersembunyi di gedung sekolah dasar dimaksud, kemudian melarikan diri dengan meninggalkan barang curiannya. Menurut polisi, jejak si pencuri sudah diketahui dan kini sedang ditelusuri.Ramandita meletakkan surat kabar terakhir yang dibacanya. Di situ tertulis sinyalemen tambahan,
"Sumber kami mensinyalir, di balik kasus ini terlibat seseorang penganut ilmu hitam...."
"Kenapa semua orang selalu berpikir tentang takhayul?" keluh Ramandita dalam hati, seraya bangkit dari kursinya.
Gontai, ia berjalan ke jendela.
Memandang keluar,tanpa tahu apa sebenarnya yang sedang ia cari. Jalanan di bawah sana tampak lengang-lengang saja. Gedung bertingkat yang dijadikan kantor pusat surat kabar tempatnya bekerja, memang berlokasi di kawasan tenang dan adem. Di latar depan terlihat bagian belakang gedung-gedung bertingkat lainnya; tempat perkantoran atau hotel yang satu sama lain saling tinggi-meninggi. Di sebaliknya barulah hiruk-pikuk-nya kota Jakarta.Untuk sesaat Ramandita mendambakan suasana sibuk dan hingar bingar yang menjadi ciri khas kota metropolitan itu. Bergabung dengan manusia-manusia lainnya yang terus bergerak dan bergerak tanpa henti,sibuk dan sibuk terus tanpa mengenal lelah. Seolah takut dunia keburu kiamat, sementara anak istri dirumah belum sempat diberi makan.Ramandita tidak peduli kapan kiamat akan tiba. Ia ingin menyatu dengan suasana riuh rendah itu karena di sana ia hanya berpikir tentang apa yang terlihat dan apa yang harus dikerjakan. Bukan seperti di tempatnya sekarang ini berdiri. Benar, di sekitarnya masih terdengar suara ributnya mesin-mesin tik, deringan telepon, detak-detak sepatu hilir mudik, suara bercakap-cakap diseling seloroh untuk mengurangi kejenuhan karena harus mengerjakan yang boleh dibilang sama setiap harinya.Akan tetapi semua itu berjalan terlalu tenang.
Monoton. Dengan ritme yang hampir tak pernah berubah. Tidak ada tantangan sedikit pun. Kecuali bila kau mendadak dipanggil bos yang marah-marah karena sirkulasi oplah menurun, volume iklan berkurang, kuota berita tertinggal jauh dari media lain. Dengan akhir yang sama, kembali ke pekerjaan yang itu-itu juga. Sampai kau tiba-tiba sadar, bahwa kau sudah terlalu tua untuk memulai yang lain!
Ramandita berpaling sewaktu telinganya menangkap suara umpatan kasar,
"Yahudi terkutuk itu, uh!"
Ia lihat Alex baru saja duduk di kursi sambil meletakkan sebuah map tertutup di atas meja kerja Ramandita. Masih berbicara pada dirinya sendiri, Alex meneruskan,
"Makin banyak saja alasannya. Bikin kepala tambah mumet!"
Ramandita duduk santai di kursinya.
"Hei. Siapa pula yang telah membakar janggutmu, Alex?"
"Siapa lagi kalau bukan si kikir jahanam itu!" dengus Alex sambil menyambar dan melahap kue yang ada dimeja, jatah Ramandita.
"Coba saja pikir. Rama. Yang mau kupinjam tak seberapa. Cukup buat beli bensin.Eh, dia bilang kas lagi kosong. Padahal sempat kuintip,di laci kasnya yang setengah terbuka kulihat uang bertumpuk-tumpuk!"
"Bonmu ditolak lagi, ya?" gumam Ramandita,tersenyum.
"Kalau ditolak doang sih, tak apa. Ini, masih beri nasihat macam-macam. Berhematlah! Bergiatlah! Enak saja dia ngomong. Mana bisa berhemat kalau yang akan dihemat pun tak punya. Mana bisa bergiat, kalau uang saku pun tak ada. Yahudi haram jadah itu!"
Alex terus saja mengomel panjang-pendek,
"Kau punya, Alex," desah Ramandira, menyabarkan.
"Hanya saja, salah menggunakannya..."
"Uh, ikut-ikutan pula kau, Rama!"
Alex tambah berang.Ramandita menyeringai lebar.
"Kau sih. Buat apa kaupunya pacar sampai empat lima orang, sementara dengan mengawini salah satu dari mereka sudah lebih dari cukup?"
"Aku masih ingin bebas."
"Betul. Tetapi kebebasan yang harus kau bayar mahal.Aku dengar-dengar belakangan ini gajimu setiap bulan impas dengan gundukan bon yang kau tanda tangani..."
"Tetapi kan tidak sampai defisit?"
Alex membela diri. "Memang tidak. Aku cuma mengingatkan. Buat apa kau capek-capek banting tulang, kalau setiap akhir bulan kau tak mendapatkan apa-apa kecuali baju selembar yang melekat di badan?"
"Aku masih muda. Masih banyak waktu..."
Alex berdalih. Namun sempat merenung.
"Tetapi sampai kapan? Kau toh tahu sendiri, Alex.Waktu terus berjalan. Tanpa kompromi. Kita akan diinjak-injak apabila kita belum juga berusaha menguasai serta mengatur waktu yang masih tersisa.Segeralah kawin, Kawan!"
"Lantas jadi duda seperti kau?"
Alex balas menyeringai. "Wah..." Ramandita menggelengkan kepala.
"Payah kalau sudah ngomong dengan orang yang seguru seilmu..."
Alex tertawa. Ramandita mau tidak mau ikut tertawa.Dijangkaunya map yang diletakkan Alex tadi.Membuka lalu menyimak isinya. Lembar demi lembar.
"Semua data terkumpul di sini?"
"Ya." "Tak ada yang terlewat?"
"Tidak. Kecuali bahwa aku tak percaya sepenuhnya pada mereka. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan..."
"Biarlah kubaca dulu laporanmu. Setelah itu baru kita bongkar apa yang mereka tutup di bawah batu!"
"Oke...." Alex bangkit. "Oh ya. Ada pesan dari Pak Tarigan. Katanya ingin bertemu denganmu. Pribadi."
"Kok tidak ia katakan sendiri padaku, ya..." gumam Ramandita melamun, sambil membayangkan perwira polisi yang tadi malam bertemu dengannya di lokasi gedung sekolah dasar tempat terbujur kerangka manusia berseragam Hansip.
Ah. Tentu saja. Ajun Komisaris Polisi itu sedemikian sibuk dan tegang. Yang memenuhi pikiran beliau hanyalah, pembunuhan macam apa yang sedang ia hadapi. Dan bagaimana supaya masyarakat luas tidak dibuat gempar. Lalu sibuklah perwira polisi itu menggamit setiap wartawan yang muncul di lokasi. Sampai berbusa mulutnya mengucapkan kalimat-kalimat yang sama dengan wajah keren,
"Tolonglah tidak menulis macam-macam.Tulislah apa yang saya katakan ini..."
Hubungan baik tidak boleh dirusak. Juga kode etik,hindari berita yang dapat menyebabkan masyarakat gelisah dan ketakutan. Maka, apa-apa yang dikatakan Robinson Tarigan, itulah pula yang ditulis di surat kabar terbitan hari ini.
"Potret kerangka yang diduga hasil curian itu pun diimbau supaya tidak dimuat. Tunggu sampai ada lampu hijau dari kami" pesan Ajun Komisaris tegas.
Dan hukum orang Timur pun berlakulah, saling hormat-menghormati. Urusan kebenaran yang hakiki hanya ada di dalam saku orang Barat sana!
Paling tidak apa yang sempat diutarakan Harianto dinihari tadi di percetakan ada benarnya,
"Berdoa saja agar rekan-rekan kita tidak mengkhianati Pak Tarigan. Bila saja ada yang memberitakan apa yang dianalisis dokter itu, aku yakin pembaca yang rajin mengikuti cerita bersambungmu akan berpikir-pikir. Selanjutnya, dapat kau bayangkan sendiri, Rama!"
Sampai detik ini, Ramandita belum tergoyahkan, ia masih tetap pada pendiriannya. Bahwa ada sesuatu yang salah. Ia harus tahu di mana letak kesalahan itu.Dan bagaimana cara memperbaiknya. Tanpa ia ikut tenggelam di dunia takhayul. Dunia yang buat Ramandita hanya mungkin ada dalam imajinasi saja....
Ia tekuni laporan Alex. Dengan harapan isi laporan itu akan membuktikan kebenaran prinsipnya. Laporan Alex memang sangat menarik. Bila saja boleh diberitakan, pastilah akan dilahap pembaca dengan bernafsu, untuk kemudian dijadikan bahan pergunjing-an yang bakal tak habis-habisnya. Objeknya saja sudah cukup mendebarkan, kerangka berseragam Hansip.Tidak seperti apa yang pagi ini ditulis di koran.
Hanya kerangka. Titik. Tetapi apakah kerangka itu berpakaian atau tidak, dan bagaimanapun bagus serta lengkapnya laporan Alex, tetap saja tidak memenuhi apa yang diharapkan Ramandita.Laporan Alex merupakan rangkuman keterangan-keterangan yang ia peroleh sepanjang sisa malam tadi sampai pagi hari ini. Semuanya ada 21 lembar, diketik rapi. Tetapi Ramandita dapat meringkasnya cukup dengan satu halaman ketik saja.Tadi malam lima orang Hansip yang dapat giliran tugas meronda di lokasi kejadian, beristirahat di pos sekitar pukul satu dini hari. Salah seorang dari mereka kemudian berkata mau buang hajat besar karena mendadak perutnya mulas. Orang itu lantas berlari-lari jegal memasuki gedung sekolahan yang berdekatan dengan pos Hansip. Salah seorang teman malah melihat dengan mata kepala sendiri, si rekan yang perutnya mengulah itu masuk ke salah satu kakus sekolahan, ia tak lagi melihat si rekan setelahnya, karena yang lain-lain mengajak main domino. Keadaan lingkungan tenang-tenang saja. Aman damai seperti malam-malam sebelumnya.Satu jam lewat ketika komandan ronda memutuskan untuk berkeliling lagi. Barulah mereka teringat pada sirekan yang sakit perut, yang ternyata belum muncul-muncul juga. Cemas kalau teman mereka tidak cuma mulas saja, salah seorang Hansip ditugaskan melihat apa yang terjadi dengan rekan mereka. Pintu kakus tadi terbuka, tetapi si rekan sudah tidak ada didalamnya. Apakah terus pulang ke rumah?
Ah, tidak biasanya. Rekan itu dikenal paling getol dan disiplin,dan selalu pamit pada yang lain walau hanya akan membeli sebatang rokok.
"Mungkin perutnya masih sakit. Lantas ia rebahan disalah satu bangku panjang, dan tertidur" komandan regu menyimpulkan.
Kembali lagi dilakukan pencarian, dan mereka temukanlah kerangka manusia itu. Terbujur utuh dilantai salah satu gang yang gelap . Yang mengejutkan,kerangka itu mengenakan pakaian tak teratur tetapi sama dengan seragam mereka. Dengan bantuan lampu baterai, mereka pastikan bahwa seragam kerangka itu adalah seragam teman yang menghilang tadi. Ada label namanya. Dompetnya pun utuh di saku belakang,lengkap dengan identitas KTP maupun SIM orang yang sama. Juga sepatu di kaki kerangka adalah sepatu teman mereka pula.Polisi dilapori, dan muncul tak lama kemudian. Dokter polisi yang datang belakangan memastikan bahwa kerangka itu asli bekas manusia, utuh setiap bagiannya,dan masih segar. Masih tercium anyirnya darah, masih tersisa serpihan-serpihan daging. Kesimpulan sementara, korban telah dibunuh, waktu pembunuhan belum lama, dan dibunuh langsung di tempat.
Tetapi kemana semua cairan tubuhnya?
Ke mana organ-organ yang semestinya ada selain tengkorak dan tulang-belulang?
Dan, apa, atau siapa pembunuhnya?
Ridwan, 35 tahun, telah berkeluarga dengan dua anak,yang pakaian seragamnya dikenakan kerangka itu, takada lagi kabar beritanya. Tidak pulang ke rumah, dan tidak diketahui pula ke mana perginya...
kalau ia benar-benar pergi!
Sementara, bekas manusia di lantai gang sekolahan itu belum dapat dipastikan identitasnya, dan kini masih diperiksa satu tim dokter-dokter ahli di laboratorium Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
"Ada telepon!" Ramandita yang tengah merenungi laporan Alex, dikejutkan suara Halida, sekretaris redaksi.
"Dari?" "Bung Wempi. Kalau tak salah, ia yang menerbitkan buku-bukumu, bukan?"
Hampir tak bersemangat, Ramandita mengangkat gagang telepon di mejanya setelah lebih dulu disambungkan Halida ke telepon utama.
"Halo?" "Aduh, Rama. Ke mana saja kau? Dua minggu sudah kau tidak menelepon!" sahut lawan bicaranya.
"Ada apa?" Ramandita tak bergairah. "Mana naskah baru yang kau janjikan?"
"Ah, itu lagi. "
Novel yang bikin runyam Ramandita
"Barukuselesaikan. Dua malam yang lalu..." jawabnya takacuh.
"Dapat kami terima salah satu copy-nya hari ini?"
"Besoklah." "Jam?" "Akan kutelepon lebih dulu."
"Bagus. Jadi kami dapat menyiapkan honorarium untuk naskahmu yang berikutnya. Oh ya. Bukumu yang paling akhir akan kami cetak ulang. Besok dapat kauambil sekalian honornya...."
"Terima kasih."
Selesai bertelepon, Ramandita terenyak lagi di kursinya.
Berpikir. Uang masih tetap mengalir.
Tetapi untuk apa? Magdalena masih tetap sibuk dengan lelaki lain. Tak ada tanda-tanda ia akan kembali pada Ramandita.Kalaupun Magdalena sesekali menelepon, hanya untuk menanyakan hal yang sama, kau baik-baik saja?
Coba kalau Magdalena tetap di rumah. Tak akan ada perempuan lain.
Juga tidak Si Nona! Apa kata Si Nona sebelum mereka berpisah pagikemarin?
"Hati-hatilah, Ramandita. Kau akan lihat akibat perbuatanmu telah ingkar janji!"
Kerangka berseragam Hansip itukah?
Ramandita merinding. Kemudian menggeram marah,
"Tak ada hubungannya seujung rambut pun!"
Pasti begitulah halnya. Kerangka itu nyata. Si Nona sama nyatanya. Nonsens bahwa Si Nona anaknya Larasati. Karena jelas-jelas Larasati hanyalah tokoh cerita novel. Boleh saja sepupu Harianto merasa dirinya disiksa hantu beliau. Itu salahnya sendiri. Siapa yang menyuruh dia mengencingi kuburan keramat. Soal sepupu Harianto terbukti sembuh setelah minta maaf pada penghuni kubur, itu lumrah. Orang sialan itu kualat. Tobat dari kualatnya, sembuhlah dia. Karena Tuhan telah mengampuni dosa-dosanya.
Itu saja. Titik. Adapun Si Nona, lain halnya.
Si Nona hanya ilusi. Kalau bukan ilusi, Si Nona bukanlah hantu. Raganya utuh dan hangat sebagaimana perempuan lainnya.Begitu pula desah-desah napas ketika berahinya memuncak, serta pekik tertahannya ketika kegadisannya direnggut Ramandita. Gadis-gadis lainpun akan bereaksi sama. Karena mereka itu manusia.
Manusia yang hidup. Bukan hantu! Ramandita harus mencari dan menemukan Si Nona.Harus tahu apa tujuan gadis itu sebenarnya. Permainan apa yang sedang ia lakonkan. Dan siapa yang berdiri dibelakangnya. Bukan mustahil, orang misterius dibelakang Si Nona sama dan sejenis dengan orang yang dahulu merusak pernikahan Ramandita, sehingga Magdalena minggat karena tak kuat menanggung aib.Orang-orang durjana itu kemudian berhasil dipukul balik oleh Ramandita. Maka kini, akan ia pukul balik pula manusia-manusia salah kaprah yang telah memperalat Si Nona. Tetapi yang pertama-tama harus dilakukan Ramandita adalah, temukan Si Nona lebihdulu!
Benar, itu bukan pekerjaan mudah.
Perlu tempo. Dan tentu saja, biaya. Tetapi Ramandita punya banyak tempo. Uang pun masih terus mengalir, bukan?
Ramandita tahu pada siapa ia harus pergi. Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan.
Memang tidak ada petunjuk.
Tidak pula identitas. Tetapi bahwa gadis itu ada, cukuplah sebagai pegangan. Ia akan memberitahu ciri-ciri Si Nona pada ahlinya di kantor polisi, Sketsa gambaran Si Nona akan dibuat, lalu disebarkan. Setelah itu, menunggu. Sambil memanfaatkan waktu yang ada untuk bertanya dan memasuki setiap celah yang mungkin ada kaitannya.Dengan gembira Ramandita bangkit dari duduknya.Semula ia akan menelepon, tetapi urung.
Langsung sajalah ke sana.
Berdoa saja Pak Tarigan ada di tempat.Dan, hem... bukankah Ajun Komisaris Polisi itu memang ingin bertemu dengannya?
Ramandita turun ke lantai bawah menuju halaman parkir. Di anak tangga terbawah, ia menoleh ketika mendengar suara orang bertengkar berbisik. Alex sedang mengeluh dengan suara sengaja direndahkan,rupanya malu kalau ditangkap telinga yang tidak dikehendaki,
"Masa iya, lima puluh ribu rupiah saja kau tak punya!"
Herman, pengelola bagian iklan, mengangkat pundaknya dengan sabar.
"Buat apa aku berbohong padamu?"
"Lantas, yang di amplop tadi?"
"Bukan punyaku. Dan aku harus menyetorkannya kekasir. Tak boleh kurang walau satu sen. Bisa-bisa gajiku dipotong, lagi...!"
Alex masih akan mendesak, tetapi keburu digamit Ramandita. Ditanyai,
"Kau butuh berapa sih?"
"Cuma lima puluh ribu..." sahut Alex, dengan mata berkilat.
Penuh harap.Ramandita membuka loketnya. Menyerahkan dua lembar lima puluhan dan ratusan ribu. Alex menerimanya dengan dahi berkerut.
"Lho, dikasih lebih malah mengerutkan dahi. Masih kurang, ya?"
Ramandita bersungut-sungut.
"Tetapi..." Alex bingung.Ramandita maklum. Tersenyum lebar, ia menjelaskan,
"Ini bukan utang. Tak perlu kau bayar kembali...."
"Yang benar!" "Demi Tuhan. Laporanmu yang kubaca tadi kemungkinan besar tak dapat kita muat. Tetapi tetap saja harus dibayar, bukan? Nah, anggaplah ini sebagai bayarannya. Oke?"
Sebelum Alex sempat berkomentar, Ramandita segera berlalu menuju mobilnya. Menit itu juga ia sudah melupakan Alex. Karena pikirannya kembali sudah dipenuhi apa yang patut dipikirkan. Kira-kira apa jawabannya kalau nanti Pak Tarigan bertanya,
"Apamu gadis ini, sehingga kau begitu menginginkannya?"
Hem. Jawab saja begini, "Kukira ia seorang penggemar,yang diam-diam jatuh cinta tetapi malu berterus terang.Ditimbang-timbang, akhirnya aku tertarik juga. Aku bermaksud melamarnya!" .
Ramandita mengemudikan mobilnya dengan bibir tersenyum.
Mengapa pula tidak? Si Nona masih muda,cantik rupawan pula. Dan masih perawan ketika Ramandita menidurinya. Cinta memang belum tumbuh. Tetapi nanti juga akan datang sendiri, setelah mereka menikah. Pasti gadis itu tidak akan menolaknya. Bila ia tolak juga, suatu ketika kelak laki-laki lain akan berteriak marah pada Si Nona,
"Kau sudah tidak perawan lagi!"
Astaga. Jangan-jangan benar gadis itu memang salah seorang penggemar. Begitu keranjingannya pada novel-novel yang ia baca, sehingga lama-kelamaan ia jatuh hati pada si pengarang. Tentunya ia adalah seorang gadis yang istimewa. Karena terbukti ia juga punya imajinasi.Mereka belum pernah kenal satu sama lain. Jadi Si Nona harus yakin bahwa ia tidak akan bertepuk sebelah tangan.Maka ia buatlah rencana-rencana.
Sebuah surprise. Ia tampilkan dirinya dengan gaya penampilan tokoh-tokoh misterius dalam novel-novel Ramandita.Begitu akhirnya mereka bertemu muka, si gadis pun melaksanakan rencananya. Bercerita macam-macam.Lalu diakhiri dengan kejutan, bermain cinta.Barangkali, akhir yang mengejutkan itu semula tidak termasuk rencana Si Nona. Ia hanya merencanakan permainan-permainan awal saja. Tetapi siapa nyana,berahinya telanjur naik, tidak dapat lagi dikendalikan.Gadis itu terlambat menyadari akibat permainan sandiwara yang telah ia lakonkan sesungguh hati.Sebagai wanita normal, Si Nona tentu saja menjadi sangat malu karenanya. Kemudian takut ia dianggap sebagai perempuan murahan di mata Ramandita. Lalu Si Nona pun berpura-pura marah. Dan dengan imajinasinya yang brilian, ia ciptakan suasana yang secara tidak langsung membuat Ramandita merasa berdosa, lalu merasa berkewajiban untuk mempertanggungjawabkan apa yang telanjur mereka lakukan.Setelah itu tinggal menunggu.
Dan... Dan, apa pun yang ada dalam pikiran gadis itu,Ramandita memang telah dihinggapi perasaan berdosa.Benar, ia tidak meminta, tidak memaksa. Gadis itu sendiri yang menawarkan secara sukarela. Tetapi persoalannya bukanlah, paksaan atau atas dasar suka sama suka. Melainkan, seorang gadis telah hilang kesuciannya. Itu dapat merusak masa depan si gadis.
Dan Ramandita lah penyebabnya!
Yakin teka-teki telah terjawab, Ramandita mengemudi-kan mobilnya dengan perasaan gembira. Tidak lagi merasa terganggu oleh kesimpulan menakutkan si Harianto yang percaya takhayul itu. Memang, masih perlu dipertanyakan bagaimana Si Nona sampai tahu bahwa Larasati sudah mati, Larasati sudah hamil ketika jenazahnya dikuburkan, kemudian melalui jabang bayi roh Larasati bangkit dari kubur untuk menuntaskan dendam yang terkandas di tengah jalan. Patut pula dipikirkan apa dan siapa di belakang semua ini.Jawabannya akan ia peroleh nanti. Setelah ia temukan Si Nona.
"Berjaga-jagalah, gadis cantik!" gumam Ramandita.
Lalu ia pun bersiul-siul.
Gembira. *** SEMBILAN AKP Tarigan tidak ada di tempat.
"Masih di ruang Kasatserse!" ujar seorang anggota Sabhara yang dijumpai Ramandita di ruangan seksi pembunuhan.
Ia lalu menunggu sambil mengobrol dengan beberapa teman sesama wartawan. Yang dibicarakan lagi-lagi mengenai penemuan kerangka malam harinya. Ramandita lebih banyak mendengarkan. Hasilnya, idem dito dengan isi laporan Alex. Tak ada sesuatu yang baru.Ketika orang yang ditunggu muncul, Ramandita memisahkan diri. Sang Ajun Komisaris langsung menarik Ramandita ke ruang pribadinya, sambil tak lupa menginstruksikan pada anak buahnya agar tidak diganggu sampai selesai berbicara dengan tamunya.
"Serius amat sih?" tanya Ramandita setelah mereka duduk sambil menikmati minuman dingin yang diantarkan oleh anak buah si Robinson.
"Aku perlu input darimu!" jawab yang ditanya, datar.
"Tentang?" "Kerangka berseragam Hansip!"
Ramandita terbatuk. Lalu berujar hati-hati,
"Apakah tidak terlalu pagi Bapak meminta bantuan orang luar?"
"Ah. Jangan berbasa-basilah!"
Robinson cemberut. "Kasus yang satu ini sebuah modus baru, Ramandita.Sungguh-sungguh baru. Setahuku belum pernah terjadi. Dan belum pernah kudengar dokter ahli forensik kita itu mengeluh seperti orang habis akal. Kau tahu apa yang ia keluhkan?"
Dan Robinson pun menirukan suara dan mimik orang yang ia bicarakan,
"Ini bukan perbuatan manusia. Ini perbuatan setan!"
Tanpa disadarinya, Ramandita tersentak. Ia cicipi minumannya sambil berpikir, apakah sudah tiba waktunya ia percaya pada omongan Harianto yang menggelikan itu?
Tidak. Jangan dulu! "Bagaimana dengan autopsi?" tanyanya, dengan mulut terasa kering.
"Masih belum selesai. Tetapi tadi aku telah menghubungi laboratorium. Kata mereka, jelas sudah kerangka itu masih baru sekali. Mereka temukan beberapa tetes darah. Memang sudah kering, tapi sudah dapat dipastikan bahwa korban meninggal sekitar tengah malam tadi...!"
Robinson bersandar di kursinya dengan wajah muram. Lanjutnya,
"Kau lihat, bukan?Ada unsur-unsur yang aneh dalam kasus ini. Terlalu aneh, sehingga sulit dijangkau akal sehat manusia biasa. Dan aku masih tetap manusia biasa, Ramandita,bukan Ellery Queen. Bukan pula Hercule Poirot. Hem...andai kata tokoh-tokoh masyhur itu ada di sini sekarang..."
Robinson merenung, disusul senyuman masam di bibirnya.
"Konon pula aku!"
Ramandita tersenyum sama masamnya.
"Tetapi kau pernah memberi masukan untukku,Ramandita. Sesuatu yang sebelumnya tidak terpikirkan olehku. The Black Widow. Si Janda Hitam. Ingat,bukan?"
"Tentu saja...!"
Lamunan Ramandita menerawang.
"Janda yang selalu berpakaian hitam-hitam semenjak ditinggal mati oleh suaminya. Dan tetap seperti itu,sampai akhirnya ia mati terbunuh 20 tahun kemudian.Belum pernah kudengar ada seorang istri yang tahan berkabung selama itu..."
Ramandita menggeleng-gelengkan kepala, tidak mengerti.
"Lebih mengherankan lagi, bahwa ia bukan berkabung atas kematian sang suami. Melainkan atas apa yang telah ia perbuat dengan suaminya itu!"
"Sebelum jadi suaminya!"
Robinson mengingatkan. "Itulah yang dulu kuherankan. Laki-laki itu toh menikahi dia juga secara sah. Namun tetap saja perempuan itu merasa berdosa. Dosa yang menurut dia tidak terampunkan. Yang kemudian harus ia tebus dengan nyawanya sendiri. Hem. Itulah risikonya kalau orang sudah terlalu fanatik agama...."
"Dan kemudian merangsang imajinasimu,"
Robinson memandang kagum pada tamunya.
"Ah. Hanya kebetulan, Pak. Kulihat anak tunggal janda itu lebih fanatik dari ibunya. Aku tahu sedikit mengenai aliran kepercayaan yang mereka anut. Kebetulan anak tunggal si janda tertarik pada pengetahuanku. Kami lantas ngobrol. Berdiskusi. Lalu ketika kemudian ia bilang dosa tak berampun hanya dapat ditebus dengan nyawa, aku mulai berpikir-pikir. Lebih-lebih dia juga menyebutkan prinsip yang kontradiksial, bunuh diri juga adalah dosa. Terpikir olehku, si janda tidak meminum racun itu atas kemauannya sendiri. Tetapi diminumkan oleh orang lain, tanpa diketahui si korban.Pertanyaannya adalah, siapa orang yang paling tepat dan tega melakukannya? Si janda tidak punya musuh.Ia disegani bahkan dihormati oleh lingkungannya yang serba terbatas dan tertutup. Apakah tidak mustahil cinta si anak yang berlebihan pada ibunya, telah menimbulkan sebuah ide? Yakni, penderitaan batin Ibu harus kutolong... hanya aku yang dapat melepaskannya dari beban dosa!"
"Lalu, berkat masukanmu, aku pun bertindak!"
Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan menyambut gembira.Ikut asyik dengan lamunan kerja sama mereka yang unik dan tak terlupakan itu.
"Kuserang anak itu dengan tuduhan ingin mengangkangi warisan ibunya yang tak mati-mati juga.Kuberi ia kesan bahwa cinta kasihnya pada sang ibu hanya kamuflase. Bahwa ia sebenarnya teramat sangat membenci ibunya. Ingin ibunya cepat-cepat mati sebelum harta ibunya habis dipergunakan untuk kegiatan-kegiatan sosial serta keagamaan. Dia jadi berang. Berteriak-teriak mengatakan bahwa mestinya sudah jauh-jauh hari ibunya ia bunuh. Bukan karena harta. Tetapi karena cinta kasih pada ibunya.Mengerikan, bukan?"
"Mengharukan!" bantah Ramandita, tak sependapat.
"Lihatlah. Betapa kemudian harta ibunya yang tersisa cukup banyak, ia hibahkan semua pada perkumpulan agama mereka. Dan ia hidup tenang di penjara.Dengan pikiran gilanya, bahwa ia akhirnya mampu juga melakukan sebuah tugas yang sangat suci!"
Sejenak mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing.Lalu tiba-tiba Sang Ajun Komisaris mengeluh,
"Tugas suci. Itulah yang kuemban sekarang. Menghindarkan masyarakat luas dari kepercayaan yang bukan-bukan.Termasuk ibu anak-anakku di rumah...."
"Lho, kok melibatkan istri Bapak?"
Ramandita nyeletuk,heran.Robinson menyeringai masam. Katanya,
"Kau juga yang bikin gara-gara, Ramandita...."
Ramandita tambah heran. "Aku?" "Jelas. Cerita-cerita misteriusmu selalu dilahap istriku mentah-mentah begitu saja. Ia percaya bahwa cerita yang kau tulis, kalaulah bukan kau alami sendiri pastilah ditulis berdasarkan pengalaman orang lain.Bukan sekadar imajinasi..."
Ramandita tertawa bergelak.
"Separah itukah tanggapan Ibu?"
"Malah sangat parah, menurutku. Tetapi ibunya anak-anak tak seluruhnya salah. Kau tahu bukan, kami sama-sama berasal dari daerah Karo. Di daerah kami sana, kepercayaan pada takhayul tetap kuat. Bahkan sampai sekarang animisme belum seluruhnya berhasil diberantas. Sebenarnya malu aku mengakuinya, Rama,Salah seorang paman mertuaku dulu dibunuh beramai-ramai oleh penduduk yang menuduhnya seorang dukun ilmu hitam. Kalau di Jawa ini, semacam santet lah...!"
"Lantas apa hubungannya dengan kasus yang kita hadapi?" tanya Ramandita pelan, untuk menutupi kekagetannya akibat perwira polisi itu larut dalam perasaannya sehingga lepas omong.
Tetapi mungkin juga Sang Ajun Komisaris sadar akan apa yang ia ceritakan. Karena ia berteman cukup dekat dengan Ramandita yang mau tidak mau terkadang membuat rekan-rekan seprofesi Ramandita jadi iri.
"Itulah yang ingin kumintakan pendapatmu, Rama,"jawab Robinson, sungguh-sungguh.
"Aku belum sempat mengikuti novel terakhirmu yang dimuat bersambung di surat kabar kalian. Aku hanya mendengar lewat istriku. Dan katanya ia sedikit kecewa..."
"Oh, ya?" "Istriku bilang, tokoh Larasati dalam ceritamu itu patut dikasihani. Katanya lagi, kau terlampau kejam.Mengubah karakter seorang wanita yang tadinya begitu lembut dan penuh kasih sayang, mendadak jadi kejam dan buas. Dari istrikulah aku tahu sebagian isi ceritamu. Dan tahukah kau bahwa itu pula yang terpikirkan olehku ketika tadi malam aku melihat kerangka di gedung sekolahan itu?"
Ramandita berupaya agar dirinya tetap kelihatan tenang. Ia bertanya santai,
"Apa yang dapat kubantu,Pak Tarigan?"
"Pendapatmu. Aku harus mencari semua aspek dari kasus yang misterius ini, bukan? Misalnya, kalau korban memang dibunuh tengah malam tadi, apa yang menyebabkan kita hanya menemukan tulang belulang?"
"Alat pembunuh yang canggih, barangkali. Seperti sinar laser," jawab Ramandita, hampir-hampir tanpa dipikirkan lebih dulu.
"Mengapa tidak kau bilang sekalian, bahwa sipembunuh makhluk angkasa luar? Yang turun dari salah satu benda UFO?" tuan rumah bersungut-sungut mencemooh.
"Jangan macam-macamlah!"
"Sejauh ini aku belum punya pandangan. Apalagi yang kuketahui barulah permukaannya saja..." jawab Ramandita, membuang perasaan kesal yang tampak nyata di wajahnya. Namun diam-diam ia teringat pada Si Nona.
Mungkinkah? Haruskah ia beritahu sekarang mengenai gadis itu?
Mendadak ia teringat maksud semula datang menemui perwira polisi itu. Ia harus menemukan Si Nona. Sketsa mengenai ciri-ciri gadis itu pasti dapat membantu.Belum sempat Ramandita mengemukakan apa yang ada dalam pikirannya, Robinson sudah keburu berdiri lalu mengambil sebuah map dari tumpukan di atas meja itu, mengeluarkan salinan sebuah berkas yang kemudian ia sodorkah ke tangan Ramandita.
"Bacalah ini. Dan camkan, sifatnya masih rahasia. Off the record, Belum seorang pun teman-temanmu yang kami beritahu...."
"Apa ini?" desah Ramandita sambil membuka-buka sepintas berkas itu.
"Hasil berita acara yang kami buat pagi ini. Aku mencurigai petugas-petugas ronda itu tidak memberi keterangan sebenarnya dalam tanya jawab tadi malam di lokasi kejadian. Jadi kuminta mereka hadir lengkap pagi ini untuk dimintai keterangan tambahan...."
"Dan?" "Mereka kemudian terpojok, lalu sepakat untuk membersihkan nama baik masing-masing. Mereka memberikan pernyataan baru. Untuk meyakinkan kami, mereka malah ngotot bersumpah bahwa keterangan mereka kali ini benar apa adanya!"
Karena berkas itu berlembar-lembar, diketik spasi rapat pula, perlu waktu yang tidak sedikit untuk mempelajarinya.
"Boleh kubawa pulang?" kata Ramandita, berharap.
"Silakan. Tetapi ingat. Walau apa yang mereka kemukakan bukan hal yang aneh, tetapi harus kau rahasiakan. Kemudian, katakanlah bagaimana pendapatmu. Makin segera, makin baik. Oke?"
Saatnya untuk pergi. Ramandita bangkit dari kursinya,mengucapkan terima kasih dan berjalan ke pintu diantar oleh tuan rumahnya. Di pintu, Robinson nyeletuk,
"Apa belum bosan jadi bujangan?"
"Duda, maksud Bapak," komentar Ramandita,menyeringai.
"Sama saja. Tetap saja dibutuhkan seorang perempuan.Katakanlah, Magdalena-Magdalena yang lain..." sang Ajun Komisaris tersenyum bijaksana.
"Selamat siang, duda pengkhayal" tambahnya seraya menutup pintu di depan batang hidung Ramandita.Ketika menerima berkas itu, entah mengapa kepala Ramandita berdenyut aneh. Instingnya telah mencium sesuatu. Oleh karenanya ia urungkan maksud kembali ke kantor. Ia langsung pulang ke rumah untuk dapat mempelajari isi berkas yang ia bawa dengan lebih leluasa, tanpa ada yang mengganggu.
Empat orang petugas malam di TKP (Tempat Kejadian Perkara), memberi keterangan yang hampir senada.Malam itu mereka berpapasan dengan seorang perempuan yang tampak berjalan sendirian di tempat gelap dan sepi. Ketika didekati perempuan itu tidak lari.Ditegur menyahut pula dengan genit. Pasti pelacur yang masih nekat berkeliaran karena belum mendapat mangsa, pikir mereka sependapat.Gerak-gerik dan obrolan si perempuan yang berbau porno membuat mereka terangsang.
"Saya masih normal, Pak. Mana istri di rumah lagi hamil tua!" begitu dalih seorang dari mereka sebagaimana tertulis di berkas yang dibaca Ramandita.Perempuan itu tak keberatan mereka ajak ngobrol dipos. Dalam cahaya terang, mereka sama terpesona.Ternyata perempuan itu masih muda.
Cantik rupawan pula. Heran, bagaimana perempuan semacam dia mau jadi pelacur murahan?
Setelah menilik pakaian siperempuan yang tampak sederhana, mereka pun berpikir tentulah perempuan itu berasal dari kalangan bawah dan tidak punya koneksi untuk naik ke tingkat yang lebih atas.Omong punya omong, perempuan itu tidak menolak ketika diajak tidur.


Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Asal aku tidak dikeroyok beramai-ramai" katanya,tertawa nakal.
"Maksudmu, kau bersedia digilir?" tanya salah seorang peronda, seraya menelan ludah.
"Mau saja. Dengan syarat, aku boleh memilih siapa yang lebih dulu bermain cinta denganku...."
Dan ia memilih Ridwan yang bertubuh paling kekar,dan memang tampan pula wajahnya. Ridwan kemudian menghilang di gedung sekolahan itu bersama si perempuan. Yang lain terpaksa menunggu giliran dengan penuh perasaan iri pada keberuntungan Ridwan yang terpilih sebagai pembuka pintu yang tentulah masih segar. Sambil menunggu mereka juga berjaga-jaga, siapa tahu ada yang mengintip perbuatan mereka.
Menit demi menit berlalu.
Setengah jam lewat sudah, Ridwan belum kembali juga.Kepala ronda bersungut tak sabar,
"Jangan-jangan dia main dobel. Terus naik-turun, tak ingat kawan sendiri!"
Diputuskanlah untuk melihat apakah Ridwan sudah selesai. Alangkah kaget mereka, ketika tidak menemukan baik Ridwan maupun perempuan misterius itu. Yang mereka temukan justru seonggok kerangka manusia. Berpakaian acak-acakan, dan bersepatu pula.
Pakaian dan sepatu Ridwan sendiri!
Ramandita terhenyak di kursinya.
Siapa perempuan itu? Ke mana Ridwan menghilang?
Dalam berkas, pertanyaan pertama tidak terjawab.Pertanyaan kedua, juga belum terjawab, kecuali ada petunjuk. Bahwa sudah satu bulan Ridwan dan istrinya perang dingin karena cekcok urusan rumah tangga.Ridwan maunya bercerai. Konon mau kawin lagi,namun tak diketahui jelas siapa dan di mana kekasih gelapnya bertempat tinggal. Kesimpulan sementara,malam itu Ridwan memutuskan lari dengan kekasih gelapnya. Tetapi karena satu dan lain hal yang masih perlu diselidiki, Ridwan melaksanakan keputusannya dengan cara yang misterius.Di halaman terakhir berkas pemeriksaan, pada bagian kosong tertulis nota pertanyaan polisi,
Kerangka siapa? Dan siapa yang menyimpannya di TKP?
Kepala Ramandita berdenyut lagi.
Keras. Denyut itu belum berakhir, ia sudah melompat dan mengangkat telepon. Nomor-nomor diputar, dan disahuti dalam tempo singkat. Langsung oleh AKP Tarigan sendiri.
"Perempuan itu!"
Ramandita berkata gemetar ditelepon.
"Apakah kalian teringat membuat sketsanya?"
"Pasti dong. Kok masih kau tanya. Dan suaramu...apakah kau sakit perut?"
"Boleh kulihat copy-nya?"
"Kau di mana?" "Di rumah." "Yang kau minta akan tiba di rumahmu dalam setengah jam..."
Robinson agaknya mau bertanya lagi, tetapi hubungan telepon sudah lebih dulu diputuskan oleh Ramandita. Terkaan polisi itu benar. Perut Ramandita mendadak terasa sakit.
Melilit-lilit. Terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan,seorang petugas berpangkat Bharada muncul di rumah Ramandita untuk menyerahkan lembar amplop. Lupa mengucapkan terima kasih, Ramandita masuk lagi kedalam rumah.Amplop diletakkan di meja kerjanya. Dipandanginya selama beberapa detik dengan mata menyipit, seakan takut amplop itu berisi bom surat yang sewaktu-waktu dapat saja meledak. Kemudian dengan tangan gemetar dia membukanya. Mata dipejamkan waktu jari-jarinya mengeluarkan selembar kertas khusus untuk membuat foto kopi. Lalu sambil menggumamkan doa yang tak jelas, Ramandita membuka mata.
Dan ia melihatnya. Melihat gambaran kasar tetapi tidak perlu diragukan lagi.
Si Nona. *** SEPULUH Dan malam pun tiba.Untuk kesekian kalinya, Raharjo menguap lagi.
"Sialan!" ia membatin kesal.
"Jangan tidur dulu kau!"
"Ya. Pekerjaan belum selesai."
Masih ada beberapa notulen lagi yang harus dipelajari Raharjo sebelum esok pagi ia tampil di hadapan pemegang sebagian saham perusahaannya. Orang lain boleh saja tidur Tetapi tidak Raharjo, yang sedang dirongrong kesulitan akibat omzet penjualan hasil produksi perusahaannya menurun drastis. Pertimbangan neraca terlalu berat sebelah, sehingga untuk menyelamatkan mukanya,Raharjo terancam melempar sebagian saham pribadinya ke pasaran bebas. Beruntung empat orang manajernya menemukan jalan keluar, meskipun dengan sedikit menyerempet-nyerempet bahaya.
Itulah yang harus ia putuskan malam ini, sebelum esok pagi mengumumkannya di depan para pemegang saham.
Untuk menghindari kantuk dan pikiran yang sudah mulai letih, Raharjo menunda dulu pekerjaannya.
Ia keluar dari kamar hotel tempat ia sudah menginap selama beberapa hari agar dapat bekerja lebih tenang.
Di koridor berlapis karpet beludru merah hati, ia berpapasan dengan seorang room boy yang bertanya sopan apakah Raharjo membutuhkan bantuan. Raharjo menggelengkan kepala sambil berlalu, masuk ke lift dan naik ke teras terbuka di lantai atas hotel berbintang empat itu. Di situ ada bar yang buka nonstop selama 24jam.
Tiba di teras yang dimaksud, Raharjo pergi ke meja bar dan memesan gin dan tonic tanpa es pada pelayan yang dengan segera mendatanginya. Sewaktu melonjorkan kaki untuk mengendurkan otot-otot yang tegang, matanya menangkap bayangan sesosok tubuh yang duduk sendirian di pojok teras terbuka, bermandi sinar rembulan.
"Siapa perempuan itu?" tanya Raharjo pada pelayan yang muncul mengantarkan pesanannya.
Sepasang mata yang ditanya mengikuti arah telunjuk Raharjo. Dahi berkerut, disusul gumaman heran,
"Barusan tempat itu kosong. Kok tahu-tahu sudah ada yang menduduki...."
"Sekarang zamannya serba cepat,"
Raharjo bergumam tertawa melihat keheranan pelayan itu.
"Barangkali kau tak melihat ketika ia duduk di situ...."
"Mustahil, Tuan. Barusan saya lewat di sana, sebelum tadi Tuan panggil. Bahkan saya sempat membersihkan meja di sampingnya, membereskan peralatan minum tamu yang sebelumnya duduk di situ!"
"Apakah ia selalu duduk sendirian seperti itu? Melamun?"
"Mana saya tahu, Tuan."
"Belum pernah melihatnya? Tidak tahu siapa dia?"
"Tidak, Tuan. Tentunya salah seorang tamu yang baru masuk malam ini. Akan saya sampaikan, apabila Tuan hendak berkenalan..." si pelayan menawarkan jasa.
"Biar kulakukan sendiri!"
Raharjo memutuskan dengan cepat.
"Tolong antarkan minumanku ke sana!"
"Baik, Tuan." Raharjo tidak tahu apa yang mendorong hatinya untuk nekat mendatangi si perempuan. Hasratnya bangkit begitu saja. Mungkin karena ia terlalu lelah bekerja, dan kini membutuhkan sesuatu untuk menghibur diri.Mencari teman ngobrol, adalah sebuah hiburan juga,bukan?
Mengangguk pada si perempuan yang seketika mengangkat muka, Raharjo menyapa,
"Hai..." "Hai," sahut perempuan itu lembut.
"Sedang menunggu seseorang?"
"Tidak." "Keberatan ditemani?"
"Tak apa. Silakan..." perempuan itu menggerakkan dagu ke kursi kosong di sebelahnya, yang segera diduduki Raharjo dengan suka cita.
Sebelum mengenyakkan pantat yang sudah tak sabar, Raharjo mengulurkan tangan dengan tertib.Ia memperkenalkan diri.
"Raharjo..." Uluran tangan disambut dengan hangat. Si perempuan tidak menyebut namanya. Kecuali senyuman manis dibibir, dan itu jauh lebih besar nilainya dari sebuah nama.Pelayan datang menyusul. Minuman Raharjo diletakkan di meja, sambil bertanya hormat pada siperempuan,
"Minum apa, Nyonya?"
"Nona," gumam si perempuan, tersenyum.
"Aku belum mau minum Sekarang ini. Terima kasih."
Selagi pelayan dan si perempuan bertanya jawab,Raharjo memanfaatkan waktu yang teramat singkat itu untuk mempelajari perempuan yang duduk disebelahnya. Tidak seperti umumnya wanita yang terbiasa menginap di hotel mewah, perempuan ini mengenakan pakaian sederhana saja. Modelnya pun jelas ketinggalan zaman. Ataukah Raharjo yang tidak mengikuti, bahwa para perancang mode sudah kehabisan bahan lantas berpaling pada mode guru-guru mereka tempo dulu?
Namun kesederhanaan pakaian maupun mode yang membalut tubuh perempuan muda itu justru lebih menonjolkan kecantikannya yang menawan hati. Tipe kecantikan yang menjadi idola Raharjo, membuatnya sering tidak betah di rumah untuk mencari lalu kemudian meniduri idola-idola itu.
Apakah perempuan ini juga adalah...
"Ada pesanan lain, Tuan?"
Raharjo menjawab tersentak,
"Ah. Tidak. Terima kasih!"
Si pelayan mengangguk sopan, kemudian berlalu sambil tak lupa bibirnya mengulas senyum mengerti.Senyuman si pelayan itu tanpa disadari membuat Raharjo tertawa kecil.
"Ada yang lucu?" tanya si perempuan ingin tahu.
"Oh. Tidak. Aku hanya menertawakan diri sendiri...."sahut Raharjo tanpa dipikirkan lebih dulu.
"Hem?" "Barusan tadi aku berpikir yang bukan-bukan."
"Tentang?" "Kau." "Aku?" perempuan itu membelalak.
Menambah indah penampilannya.
"Apa yang Anda pikirkan mengenai diriku?"
Nah, sesaat Raharjo mati kutu. Tetapi tidak percuma ia telah banyak makan asam garam. Cepat sekali Raharjo sudah menemukan jawab,
"Aku pikir, kau tentunya habis berselisih dengan temanmu menginap..."
"Hem?" "Maaf. Tetapi terus terang aku berpendapat, lelaki itu telah berbuat bodoh membiarkan gadis secantik Nona duduk sendirian di sini..."
Si gadis tertawa renyah. "Bagaimana kalau kukatakan,bahwa aku hanya ingin menikmati kota Jakarta diwaktu malam?"
"Kenikmatan itu tak berarti bila kita sendirian"
Raharjo melempar umpan. "Ada Anda sekarang."
Si gadis tersenyum. "Tetapi aku tidak ingin berkelahi dengan teman Nona!"
"Tak perlu." "Oh, ya?" Wajah gadis itu seketika berubah muram. Matanya teramat sendu, menatap jauh ke kegelapan malam yang temaram di kejauhan, lalu mengeluh getir,
"Ia tak dihotel ini. Dan aku tak tahu apa yang dilakukannya sekarang. Juga tidak tahu, apakah ia masih memikirkan aku atau sudah melupakan sama sekali."
"Manusia tak tahu diri!"
Raharjo nyeletuk. Bersimpati.
"Bukan tak tahu diri," si perempuan menggeleng.
"Ia cuma tidak tahu, apa arti hubungan kami yang sebenarnya."
"Nona menyesalinya?"
"...Mungkin," perempuan itu menghela napas panjang.
"Ah. Mengapa kita berbicara tentang dia? Lebih menyenangkan bila kita berbicara saja dengan siapa! kita berhadapan saat ini, bukan?"
Umpan telah disambar, pikir Raharjo. Tinggal menyentakkan kail. Seraya menatap lurus ke mata siperempuan, yang tidak pula menghindar, Raharjo meraih kesempatannya yang teramat langka itu.
"Ada kalanya Nona, berbicara hanya membuang-buang waktu...." katanya, harap-harap cemas.
"Aku sependapat!" si perempuan lagi-lagi mengurai senyum.
"Di kamar mana kau menginap?"
"Banyak kamar di hotel ini..."
"Mau melihat-lihat kamarku?"
"Mengapa tidak? Hawa di sini pun sudah semakin dingin."
Mereka tak berbicara soal tarif. Tak perlu, pikir Raharjo.Ia sudah tahu mengaturnya. Tinggal mengingat di hotel kelas apa mereka berkencan, dan sejauh mana mereka saling memuaskan satu sama lain. Raharjo pun tidak perlu khawatir jadi skandal, Ia tahu bagaimana mengatasinya. Ia juga punya tangan-tangan jahil tapi berotot yang siap membantu kapan saja ia perintahkan.Karena ia punya uang.Room boy yang tadi sedang berbicara dengan dua orang tamu yang akan masuk ke kamar mereka,sewaktu Raharjo dan pendampingnya keluar dari lift yang membawa mereka ke bawah. Room boy tersenyum sopan. Dua yang lain pura-pura tak melihat.Di hotel ini, siapa saja boleh berbuat sesuka hati. Selama yang lain tidak terganggu, dan tidak ada pihak-pihak yang dirugikan.Perempuan itu menolak minum setelah mereka masuk ke kamar. Ngobrol sejenak, melantur tak tentu arah diselang-seling tawa lepas yang semakin mengakrabkan satu sama lain. Pendahuluan pun selesai, dan dengan gembira mereka naik ke tempat tidur.Mulanya, segala sesuatu berlangsung tenang, hangat,menggairahkan.
Lalu rintihan-rintihan senang mendadak berubah jadi sentakan-sentakan mengejutkan. Itu terjadi ketika si perempuan menggeliat naik dan bergerak di atas tubuh Raharjo.Suatu saat si perempuan merunduk dan mengulum bibir Raharjo. Tak melepaskannya lagi!
Di puncak nikmat berahi, kelopak mata Raharjo terbuka sedikit, lalu tersentak melebar.
Tetapi hanya itu. Ia tak mampu melepaskan mulutnya dari mulut siperempuan. Anggota tubuh lainnya pun tidak berdaya melepaskan diri. Dalam paniknya, Raharjo masih sempat menangkap suara-suara aneh dan mengerikan.Suara yang mengalir dari tubuhnya ke tubuh siperempuan. Seperti disedot keras dan buas.Dan tubuh yang menjepitnya sedemikian kuat dan kejam itu bukanlah tubuh si perempuan cantik.
Ia tak tahu apa. Kecuali bahwa sosok tubuh itu teramat aneh dan menakutkan. Dari tubuh itu bersembulan keluar tonjolan-tonjolan hitam yang menganga, bergerigi, lalu menyayat, dan menggerogoti tanpa kenal ampun.Sebelum sempat memikirkan sesuatu, Raharjo sudah lenyap. Benar, tidak seluruhnya lenyap. Karena masih ada yang tersisa.
Yakni, tengkorak. Plus, tulang belulangnya.
*** SEBELAS Suara itu terdengar lagi. Seperti tubuh yang besar dan berat diseret-seret. Lalu berhenti, diam.
Ramandita juga berdiam. Tak berani bergerak. Matanya nyalang mengawasi kegelapan di sekitarnya.
Ia merasa terancam. Takut setengah mati, karena tak tahu bahaya apa yang tengah dihadapinya.Dalam ketakutannya, Ramandita juga tak habis pikir bagaimana ia sampai ke tempat yang begitu asing dan menyeramkan. Kalau tak salah, ia telah memasuki hutan belantara. Entah mau apa, dan entah apa yang dicari.
Lalu ia tersesat. Terperangkap di tempat sepi dan gelap pekat itu. Bias rembulan menerobos lewat celah-celah dedaunan rimbun di atas kepalanya.Cahaya yang sangat lemah, tak berdaya.
Nah, itu terdengar lagi. Kepala Ramandita ditelengkan, mendengar-dengar. Dan mendadak saja, samar-samar sepasang tangan menjulur dari kegelapan. Tangan-tangan itu panjang,semakin panjang. Gerakannya pun sangat cepat. Tahu-tahu saja Ramandita sudah dicengkeram kuat,pundaknya ditekan ke bawah, sampai Ramandita jatuh berlutut tanpa mampu melepaskan diri.
Kemudian ia melihatnya. Melihat sebentuk kepala yang teramat besar, hitam bergerigi, dengan sepasang mata berwarna merah kehijauan mengawasinya dengan tajam.
Ramandita mencoba berteriak.
Tetapi lidahnya kelu. Sekujur tubuhnya pun kaku membeku. Peluh dingin mengucur deras, lalu ikut membeku, membuat tubuhnya semakin terjepit.Matanya membelalak ngeri saat kepala makhluk misterius itu terjulur ke depan. Moncong yang lancip menganga lebar, memperlihatkan lidah tipis panjang serta taring-taring runcing yang tajam berkilauan.
Ramandita mengeluh, pasrah.
Habislah ia dicaplok, dikunyah-kunyah, mungkin juga ditelan bulat-bulat. Dan tiba-tiba saja terdengar suara lain. Suara berdering yang berulang-ulang. Kepala hitam bergerigi itu seketika berpaling ke arah bunyi berdering. Matanya yang merah kehijauan berkilat marah. Lalu entah bagaimana, mata yang mengerikan itu mendadak ketakutan dan detik berikutnya kepala itu pun lenyap. Tekanan di pundak Ramandita mengendur pula. Tangan-tangan gaib itu menciut,kemudian ikut lenyap.Saat itulah Ramandita menangkap adanya cahaya menembus kegelapan. Terdengar lagi bunyi deringan yang sama. Ramandita coba berteriak minta tolong.Tetapi hanya erangan saja yang keluar dari bibirnya yang kaku membeku. Beruntung, tangan kanannya pelan-pelan dapat ia gerakkan, ia menggapai-gapai kearah bunyi dering itu, berharap dapat menyentuh penolongnya yang pasti berdiri di sana. Setelah meraba-raba, telapak tangan Ramandita berhasil menyentuh sesuatu yang licin tetapi keras. Pada waktu bersamaan, cahaya itu pun semakin dekat, semakin jelas.
Ramandita jadi silau. Ia kerjapkan kelopak matanya,sampai terbiasa dengan cahaya terang itu. Bunyi berdering tadi terdengar sekali lagi. Dan benda licin keras di telapak tangannya bergetar lembut. Sel-sel otak Ramandita bekerja cepat, dan tiba-tiba ia menyadari sesuatu.
Telepon, pikirnya. Bunyi teleponlah yang menyelamatkan Ramandita!
Ingatan itu membuat Ramandita terlonjak.Mata ia buka lebar-lebar.
Astaga, ia ada di ruang kerjanya sendiri.
Tertidur dengan kepala terkulai di meja. Cahaya yang ia lihat ternyata cahaya lampu duduk. Dan memang gagang teleponlah yang sedang digenggamnya.
"Mimpi buruk sialan!" ia membatin keki, sambil secara naluriah gagang telepon didekatkan ke telinga.
"Halo" lambat-lambat ia dengar suara halus lembut.
"Halo?" Ramandita membuka mulutnya dengan suara payah. Megap-megap meraih hawa segar sebanyak mungkin untuk mengisi rongga paru-parunya yang beberapa saat tadi kering menyakitkan.
"Aku tahu kau ada di rumah, Yang!" suara di seberangsana berujar mesra.
"Lena...!" bisik Ramandita. Lega.
Sekaligus rindu. "Oh!" "Kau tidak sakit, bukan?"
"Tidak. Tidak. Apa kabarmu?"
"Seperti biasa...." suara Magdalena terdengar menyimpan rasa sendu.
Tetapi segera berubah riang lagi ketika melanjutkan,
"Aku hanya ingin tahu, apakah kau baik-baik saja. Sayangku...."
Ramandita mengeluh, "Akan lebih baik lagi bila kauada di sini!"
"Masih kutimbang-timbang, Yang."
"Sampai kapan?"
"Entah..." "Aku merindukanmu, Magdalena!"
"Aku tahu." "Itu saja tidak cukup, Magdalena!"
Di seberang sana terdengar tawa lembut, merdu bergairah. Lebih-lebih bergairah lagi ucapannya,
"Kalau kau ingin tidur denganku, Rama..."
Ramandita menyela tidak senang,
"Untuk kemudian berpisah lagi. Apa kaupikir aku dapat bahagia hanya dengan bersanggama barang satu-dua jam denganmu?"
"Maafkan aku, Yang."
"Yeah. Keputusan ada di tanganmu ini!"
"Rama..." . Tanpa menunggu lanjutan kata-kata Magdalena,Ramandita sudah mengentakkan gagang telepon dengan marah. Sesaat kemudian, ia menyesal. Bukan begitu caranya kalau ia masih menghendaki Magdalena kembali. Mestinya ia lebih bijaksana, dan...
Tetapi buat apa? Seperti kata Magdalena tadi, masih kutimbang-timbang. Diam-diam, Ramandita pun ikut menimbang-nimbang.
Sudah berapa banyak lelaki yang diajak tidur oleh Magdalena?
Sedang Ramandita, belum seorang pun!
Apa? Belum? Bagaimana dengan Si Nona?
Ramandita mengerang. Sudah bangunkah dia? Atau masih berkelana di alam mimpi?
Ia pandangi mesin tikydi depannya. Terbaca:
Gadis Suruhan. Judul sebuah cerica pendek. Bukankah itu atas permintaan Harianto untuk menyenangkan Marianna, istrinya yang pencemburu itu?
Ia lantas teringat dirinya sempat berkonsentrasi untuk cerita dengan judul tersebut.Lantas karena letih dan pikirannya menerawang tak menentu, ia pun tertidur.
Lalu bermimpi. Haram jadah,buruk benar mimpinya tadi!
Ramandita menggeliat. Memutar kursi tempat ia tertidur, lantas pergi ke jendela. Begitu jendela dibuka,matahari seketika menerobos masuk, hangat menggigit.Melirik ke arlojinya, Ramandita dapat melihat pukul berapa ia terbangun: 09.20 pagi.
"Kesiangan lagi, ya?" seseorang menyapanya dari halaman samping rumah sebelah.
Tante Isye, yang tengah menjemur cucian. Ramandita membalas dengan senyuman. Lalu ia diberitahu bahwa Pak RT tadi mengetuk pintu rumahnya, tetapi karena Ramandita masih tidur, Ketua RT itu lantas pergi lagi.
"Ada perlu apa dia?" tanya Ramandita, sekadar berbasa-basi.
"Katanya sih bakal ada sensus. Sekalian urusan iuran kampung...."
"Oh!" "Omong-omong soal Pak RT, Dik Rama..."
Tante Isye kambuh lagi penyakit bergunjingnya, pikir Ramandita.
"Tahukah kau bahwa anaknya yang dulu ketahuan mengisap ganja itu..."
Tak ada kelanjutannya lagi,lantaran terganggu oleh seorang bocah perempuan kecil yang datang berlari-lari, lantas sambil menangis anak itu mengadu kepada ibunya. Pantat Lusi rupanya dicubit oleh Dudung, anak tetangga mereka.Tante Isye pun sibuk membujuk Lusi. Berjanji akan balas mencubit pantat Dudung.
"Bila perlu, pantat bapaknya sekalian!" umpat Tante Isye seraya menyeret anaknya masuk ke dalam rumah.
Ramandita pun pergi ke kamar mandi. Setelah itu kedapur, karena perutnya terasa lapar. Malas menanak nasi, ia rebus saja dua butir telur ayam, lalu dengan air panas bekas malam hari di dalam termos, ia menyeduh kopi susu.Sewaktu menikmati sarapan paginya, telepon berdering lagi. Ternyata Pak Robinson Tarigan.
"Sudah ada masukan buat kami, Ramandita?"
Pertanyaan itulah yang tadi malam ikut mengganggu konsentrasi Ramandita. Seraya menahan kesal, ia menjawab dengan suara diramah-ramahkan,
"Sementara ini belum, Pak..."
Sang Ajun Komisaris mengeluh,
"Jadi aku harus segera mencari seorang dukun!"
Ramandita hampir tertawa.
"Separah itu keadaannya?"
"Saat-saat ini, Ramandita, ocehan orang sakit jiwa pun akan kuperhatikan dengan sungguh-sungguh.Pilihanku jatuh pada dukun. Paling tidak, seorang dukun masih agak waras cara berpikirnya...."
Ramandita menangkap nada serius dalam pembicaraan si perwira polisi. Lantas ia pun menanggapi dengan serius pula.
"Setahuku, Pak. Seorang dukun memerlukan objek yang masih utuh. Bukan yang sudah diacak-acak dokter-dokter kita di laboratorium itu. Jadi kupikir, sudah terlambat untuk..."
"Belum. Belum terlambat!"
Robinson memotong tegas. "Objek lainnya masih utuh. Sampai dukun tiba, akan kubiarkan bekas manusia yang sial itu tetap terbaring ditempat tidurnya!"
"Apa?" Ramandita tersentak. Kaget. "Agar kagetmu hilang, datanglah ke sini sekarang juga!"
Lalu Robinson memberi tahu ke mana Ramandita harus pergi.Tak sampai lima menit, Ramandita sudah bergegas dari rumah. Ia jalankan mobilnya dengan mulut menyumpah-nyumpah tiap kali ia terhalang oleh lalulintas yang macet. Saking tegang pikiran, ia sempat bertengkar hebat dengan seorang sopir taksi yang tiba-tiba menyalip lantas berhenti tiba-tiba dengan posisi tanggung di depan mobilnya, karena lampu diperempatan sudah menyala merah. Pengendara-pengendara lain ikut memaki si sopir taksi, sehingga suasana jadi semakin ramai. Si sopir taksi bungkam takbisa bicara. Apalagi petugas Polantas yang tadi tak terlihat tahu-tahu sudah berdiri di sebelah taksi. Si sopir diperintahkan meminggirkan kendaraannya, diiringi teriakan menghasut orang-orang yang menyaksikan.
Lampu hijau menyala. Ramandita langsung tancap gas,Kecuali mobil patroli polisi di pelataran parkir, tak ada tanda-tanda terjadi kehebohan di dalam hotel yang tak lama kemudian dimasuki Ramandita. Suasana tampak biasa-biasa saja. Baru setelah ia keluar dari lift di lantai 6, ia berhadapan dengan suasana tegang, Petugas sekuriti hotel mencegat ketika ia berjalan ke kamar bernomor 607. Tetapi petugas polisi yang mendampingi berjaga-jaga di depan pintu tertutup itu segera mengatakan sesuatu pada si petugas sekuriti hotel.Pintu lalu dibuka, dan secepat itu pula ditutup kembali setelah Ramandita menyelinap ke dalam.Di situ lebih banyak orang.Di situ suasananya jauh lebih tegang.Dan di atas seprai tempat tidur yang acak-acakan,tampaklah seonggok tulang-belulang manusia yang mengerikan, tetapi tulang-belulang yang ini telanjang.Yang membuat bulu kuduk Ramandita meremang adalah letak tengkorak. Tengkorak itu menghadap pas di tempat Ramandita berdiri tegak. Rongga mata yang kosong pada tengkorak itu seakan melontarkan tuduhan marah. Dan rongga mulut yang menganga kosong di antara dua baris gigi itu seakan menyumpah serapah.
Pada Ramandita! Tas tustel yang disandang Ramandita hampir saja meluncur jatuh, kalau tak keburu ditahan seseorang.Lalu telinganya menangkap suara dingin Robinson Tangan,
"Surprise, ya?"
Dokter yang sedang membungkuk ke tempat tidur menggumamkan sesuatu dengan nada marah. Sang Ajun Komisaris mendekati dokter itu, lalu mereka berdua segera terlibat diskusi yang mereka lakukan dengan suara perlahan. Ramandita menggapai kursi paling dekat, terenyak dengan wajah pucat dan jiwa yang kembali diteror mimpi-mimpi buruk.
"Menyeramkan memang!" seseorang bergumam didekatnya.
Ramandita menoleh, dan segera mengenali Brigadir Polisi Dua Priadi yang menyandar di tembok,menatap segan onggokan tulang di tempat tidur.
"Dan seorang anak manusia kembali hilang misterius.Kali ini seorang usahawan terkemuka...."
Priadi menambahkan. . "Bagaimana ceritanya, Pak Priadi?" tanya Ramandita,kelu.
"Sederhana saja, Bung Ramandita," sahut yang ditanya,mengulang apa-apa yang telah ia catat dalam notes pribadinya.
Tepat pukul tujuh pagi, sopir Raharjo, si pengusaha dimaksud, muncul di hotel sesuai instruksi majikan sehari sebelumnya. Tampaknya Raharjo belum bangun.Jadi sopir itu turun ke lobi di bawah, membaca-baca surat kabar sambil menunggu. Seperempat jam kemudian ia naik lagi ke atas. Kembali mengetuk pintu kamar suite nomor 607 yang ditempati majikannya.Masih tak ada sahutan. Seorang pelayan kamar menyarankan si sopir supaya turun lagi ke lobi.Dari sana menelepon lewat saluran lokal ke kamar yang dituju. Juga telepon tidak diangkat. Atas persetujuan manajer hotel, dicobalah membuka pintu dengan kunci master setelah si sopir dengan gelisah memberitahu bahwa majikannya tidak biasa bangun kesiangan,apalagi harus menghadiri pertemuan penting pagi itu.Mustahil pula majikannya tak terbangun meski pintu telah digedor.Usaha membuka pintu dengan kunci master juga gagal.Terhalang anak kunci yang menempel dari sebelah dalam, pertanda si penghuni masih ada di tempat.
Diambillah jalan darurat.
Seorang petugas sekuriti hotel meminta izin pada penghuni kamar 609 untuk masuk ke teras di sebelahnya, melalui teras kamar 609. Pintu ke teras kamar suite 607 tertutup rapat tetapi tidak terkunci. Si petugas membukanya sedikit. Lalu batuk-batuk kecil sebagai tanda kehadirannya. Karena tidak ada reaksi dari dalam, ia putuskan masuk saja.Lima menit setelah si petugas sekuriti terdengar memekik tertahan, polisi dilapori,
"Seorang tamu hotel lenyap misterius. Tempatnya digantikan seonggok kerangka manusia di atas tempat tidur!"
"Dari mana munculnya tulang-belulang terkutuk itu?"
Priadi menggelengkan kepala, tak habis mengerti.
"Dan ke mana si penghuni yang sah? Keluar melalui teras,lalu terjun ke bawah? Pasti hancur remuk dia.Mayatnya pasti ditemukan di basement. Terbang, kalau begitu? Dengan apa? Atau dia punya sayap, berubah jadi manusia kelelawar?"
"Aku meragukan kemungkinan itu, Prjadi" yang berkata ini AKP Tarigan yang telah bergabung lagi didekat mereka.
"Tetapi tak ada salahnya kau naik kelantai paling atas. Siapa tahu Tuan Raharjo yang hebat itu justru jadi manusia cicak?"
Setelah Prjadi berlalu, Robinson mengawasi Ramandita dengan sorot mata tajam menusuk.


Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Masih juga tidak punya masukan, Rama?" tanyanya ketus.
"Nanti dulu, Komandan!"
Ramandita bersungut, resah.
"Bagaimana aku harus menerangkan bahwa..."
"Biarlah aku yang menerangkannya padamu!"
Robinson menyela "Setelah aku membuka-buka suratkabar kalian itu, dan mempelajari sebagian isi cerita bersambungmu, aku pun sependapat dengan apa yang pernah diributkan istriku, Ramandita. Tokoh imajinermu, Larasati, teramat kejam dan buas dalam melampiaskan dendam kesumatnya. Ia memangsa setiap korbannya secara berlebihan, sehingga yang tersisa hanyalah tulang belulang korbannya saja..."
"Protes Anda akan kucacat, Komandan," desah Ramandita, lesu.
"Belumkah terbuka pikiranmu, Ramandita?"
Robinson berujar pedas. "Saat ini aku tidak ingin berdebat tentang dunia fiksimu. Bukalah matamu lebar-lebar,Kawan. Lihatlah ke dunia nyata. Dan apa yang kita peroleh? Dua malam lalu kerangka berseragam Hansip dan malam ini..."
AKP Tarigan melirik marah ke atas tempat tidur.
"Kerangka di kamar hotel. Kerangka yang sama-sama masih segar. Masih tersisa pula tetes-tetes darah serta serpihan-serpihan daging. Seakan disengaja. Persis sebagaimana tertulis dalam cerita fantasimu yang menyeramkan itu."
"Hanya kebetulan belaka, Pak Tarigan..."
"Mungkin. Yang pasti tetap melibatkan seorang perempuan di dalamnya!"
"Larasati?" dengus Ramandita ingin tertawa.
Namun perutnya terlalu sakit untuk tertawa.
"Hentikanlah berolok-olok, Ramandita. Aku berbicara mengenai perempuan yang saat ini hidup di dunia nyata!"
"Oke. Oke. Teruskan!"
Ramandita menyerah. "Empat,orang saksi mata sudah lebih dari cukup, Ramandita.Terakhir kali mereka melihat Raharjo, seorang perempuan menemaninya. Mereka tak tahu siapa. Tak pernah melihat sebelum maupun setelahnya. Tetapi mereka masih ingat ciri-cirinya...."
"Sudah dibuat sketsa, Pak Tarigan?"
"Tak perlu. Modusnya toh sama. Jadi kami tinggal memperlihatkan sketsa yang ada pada kami!"
"Dan?" "Positif. Seperti kubilang tadi, perempuan yang sama.Mengherankan, bukan?"
Tidak mengherankan, pikir Ramandita. Tidak, bila yang melakukannya memang Larasati.
Tetapi Si Nona...benarkah ia terlibat dalam kedua kasus ini?
Bila benar,mengapa Ramandita tidak jatuh sebagai korbannya pula?
Toh ia telah melakukan hubungan seksual dengan Si Nona. Seperti yang dilakukan Larasati dengan korban-korban yang kemudian dibunuhnya melalui hubungan seksual itu.
"Komandan?" seorang inspektur polisi mendekat lalu berbisik-bisik dengan komandannya.
Sang Ajun Komisaris seketika tampak kaku wajahnya dan bergegas pergi menuju meja tempat telepon menunggu diangkat.Ramandita mendekati si Ajun Inspektur. Bertanya panik,
"Korban baru lagi?"
Yang ditanya menjawab getir,
"Kalau pantas disebut korban, kamilah itu...."
"Ada kejutan baru agaknya?"
"Urusan intern, Bung Ramandita. Maaf saja..."
AKP itu akan berlalu, tetapi ditahan oleh Ramandita.
"Sudahlah, Pak. Kita buang saja birokrasi itu ke tempat sampah. Tuh, aku punya jaminan memuaskan, bukan?" bujuk Ramandita seraya mengerling , ke arah Robinson yang diam dengan wajah kaku mendengar pembicaraan seseorang di telepon.
"Yah. Kau sudah seperti orang dalam ini!"
Ajun Inspektur itu menyeringai.
"Lagi pula tak ada salahnya kuberitahu. Agar kalian orang-orang pers tidak nanti ditanya-tanya, mengapa kasus yang kita hadapi saat ini mendadak dipetieskan. Itulah yang dapat kutangkap dari pembicaraan singkat di telepon tadi...."
"Hem. Ada malaikat-malaikat yang kuasa menghitamputihkan kalian, ya?"
Ramandita berujar penuh minat.
"Malaikat yang juga makan nasi seperti kita-kita ini?"
"Soal makan nasi, Bung. Itu kuragukan. Mereka pasti lebih tertarik pada roti dan keju..."
Si polisi tersenyum dikulum.
"Namun apa pun yang mereka makan, tak ada bedanya, bukan?"
"Lalu, siapa mereka itu?"
"Off the record, ya?"
Si Ajun Inspektur merendahkan suaranya.
"Mereka Ketua dan wakil ketua dewan komisaris hotel haram jadah ini. Adapun kedudukan mereka secara resmi di mata umum ialah..."
"Inspektur!" AKP Tarigan menggeram dari meja telepon.
"Siap, Komandan!"
"Instruksikan anak-anak yang saat ini berkeliaran disetiap sudut hotel. Tamu-tamu harus diperlakukan lebih lunak. Penggeledahan tunda sebentar, sampai surat perintahnya diturunkan. Mengerti?"
"Siap, Komandan!" jawab yang diperintah, tegas.
Lantas sambil berlalu ia mencibir ke arah Ramandita.
"Nah, apa kubilang!" bisiknya, masam.
"Dokter?" suara AKP Tarigan masih tetap angker,namun kali ini lebih lembut.
Dokter kepolisian berkepala botak yang sedang melap keringat di jidatnya menoleh.
"Sebaiknya barang busuk itu kita pindahkan,Dokter."
"Sekarang juga?"
"Benar. Makin cepat makin baik. Kita harus menghindari skandal, bukan?"
AKP Tarigan menyeringai kecut.
"Lalu? Rencana Anda dengan dukun itu?"
"Ah. Nanti sajalah itu kita pikirkan. Kau sendiri juga menentangnya bukan, Dokter?"
"Entahlah. Bahkan aku meragukan apakah aku masih berpikiran sehat sekarang ini!"
Si kepala botak menggeleng-geleng hilang akal. Lalu memerintahkan para pembantunya untuk melaksanakan perintah Tarigan. Saat itulah Ramandita teringat pada, tugas rutinnya.
Tetapi ia ragu-ragu. Apa gunanya ia memotret? Toh tak dapat dimuat. Nanti pun ia dapat meminjam dari bagian identifikasi kepolisian.
"Bung Ramandita?" seseorang tiba-tiba menyapanya dengan nada hati-hati.
Ramandita menoleh dan seketika berhadapan muka dengan seraut wajah laki-laki bertampang menarik tetapi jelas sedang gelisah. Laki- laki bersetelan lengkap dan perlente itu menambahkan,
"Saya dibisiki Pak Komandan mengenai Bung..."
"Hem. Dia mestinya meminta izinku lebih dulu!" rungut Ramandita berseloroh seraya mengerling ke arah Tarigan yang sedang sibuk memberi perintah pada salah seorang anak buahnya.Si perlente tidak tergugah oleh seloroh Ramandita. Ia tetap saja gelisah.
"Berkenan ikut dengan saya? Sebentar saja..." katanya, memohon.
"Ayolah!" Ramandita menyatakan setuju. Ia gembira karena dapat menjauh dari onggokan bekas manusia ditempat tidur. Diam-diam ia juga berharap orang ini punya sesuatu. Paling tidak, petunjuk bahwa onggokan tulang-belulang mengerikan itu bukanlah hasil perbuatan Si Nona.
*** Mereka berdua turun dengan lift ke lantai bawah,kemudian masuk ke kantor hotel yang nyaman dan mewah.
Ramandita dipersilakan duduk. Ditawari minuman yang tentu saja disambut Ramandita dengan senang hati. Dari tadi kerongkongannya sudah kering.
Dadanya lebih-lebih lagi.
Haram jadah! Mengapa semua mimpi buruk ini harus terjadi?
"Bung ini wartawan, bukan?" si perlente bergumam resah, di balik mejanya.
Sebelum Ramandita mengiyakan, ia sudah meneruskan,
"Saya sangat berterima kasih bahwa Pak Tarigan tidak memperkenankan nyamuk pers berkeliaran di dalam hotel kami malam ini. Menakjubkan bahwa Bung menerobos pengawalan ketat anak buah beliau."
"Itu urusanku," desis Ramandita, mulai curiga apa maunya orang ini.
"Betul. Saya setuju. Dan tak akan ribut mengenai itu!" siperlente menyela dengan suara waswas.
Seolah dia sudah diberitahu, bahwa dia bakal jatuh sebagai korban berikutnya.
"Saya ajak Bung ke kantor saya, adalah untuk membicarakan hal lain. Saya bertindak atas nama direktur hotel. Kami berharap Bung bersedia melakukan kerja sama."
"Untuk?" "Yah... kami tak berhak melarang Bung memuat berita mengenai skandal mengerikan di suite 607 tadi. Kami hanya dapat berharap, kalaupun toh Bung muat juga beritanya, tolonglah nama hotel kami tidak disebut-sebut. Walau inisialnya sekalipun. Bila itu sampai terjadi, Bung dapat bayangkan sendiri..."
"Hem!" Ramandita merengut tak senang.
"Tamu- tamu kalian akan minggat ketakutan, bukan? Desas-desus akan tersebar luas. Lalu kalian bangkrut sebelum sempat menarik napas...!"
"Syukurlah, Bung memahaminya...."
"Lantas?" "Pertama-tama akan saya tulis cek tunai. Atas nama Bung!"
Si parlente membuka tas kerjanya,mengeluarkan buku cek dan pulpen, siap menulis diselembar buku berharga itu.
"Apakah sepuluh juta rupiah cukup?"
Jadi itulah semuanya, pikir Ramandita, mulai kesal. Tak ada petunjuk. Tak ada bantuan apa pun untuk meyakinkan alibi Si Nona. Dan itu hanya menjurus kesatu hal saja: Ramandita terpaksa mengikuti jalan pikiran Harianto!
Ia tidak memperlihatkan kekesalannya. Justru timbul pikiran iseng. Sekadar mengendurkan pikiran tegang. Ia mendengus acuh tak acuh, tetapi kata-katanya diberi tekanan khusus,
"Reputasi terkadang sangat mahal harganya, bukan?"
"Benar," si perlente menyetujui, sambil dahinya mengerut.
"Untuk itu kami bersedia menaikkan jadi lima belas juta rupiah. Bagaimana?"
"Lima puluh juta!"
Ramandita nyeletuk seenak perutnya saja.Laki-laki gagah di belakang meja berlabel manajer itu menyeringai kecut.
"Saya yakin Pak Direktur tidak akan keberatan dengan dua puluh juta," katanya, bimbang.
"Lima puluh!" "Begini, Bung Ramandita. Seperti Bung tahu sendiri..."
"Apa yang kuketahui itu urusanku!" ujar Ramandita dengan wajah dibuat sekeren mungkin.
Di dalam hati ia tertawa. Intermezo ini benar-benar menyenangkan!
"Situ yang harus mengerti, bahwa aku tak biasa makan sendiri. Aku punya beberapa teman lain yang pasti akan bertanya-tanya. Dan mereka semua tentu saja punya mulut untuk disuapi. Lima puluh juta. Tak kurang"
"Wah. Saya harus berbicara dulu dengan Pak Direktur.Tetapi saya khawatir beliau..."
"Teruskanlah berkhawatir. Selamat siang!" dengus Ramandita, lalu dengan wajah galak bangkit dari kursinya.
Bersiap-siap pergi. "Lima puluh juta. Baiklah. Baiklah!" si perlente menyerah.
"Saya mungkin dapat teguran keras. Atau dikenakan sanksi potong gaji. Tetapi saya belum siap untuk pindah kerja di tempat lain. Duduklah Bung Ramandita, sementara ceknya saya isi...."
Ramandita tidak duduk. "Tak perlu," katanya.
"Tetapi...." si perlente pucat pasi wajahnya.
Dengan wajah berubah iba kasihan, Ramandita mengurai senyuman manis di bibir.
"Ketahuilah, Kawan. Ada satu hal yang paling tak kusukai dalam hidup ini. Yakni diperas orang!" katanya, seraya mengawasi wajah siperlente yang tampak kebingungan.
"Maka itu, selalu kuingatkan diriku agar tidak melakukan hal yang sama terhadap orang lain. Paham?"
Wajah si perlente berubah cerah.
"Paham!" katanya,riang.
"Jadi Bung tak keberatan dengan sepuluh saja?"
"Satu sen pun haram kuterima!"
"Saya.. saya tak mengerti...."
"Situ akan mengerti bila menghentikan kebiasaan menyuap mulut orang lain dengan cara kotor!"
"Maaf. Keadaan memaksa saya...."
"Hem. Betul juga. Ada kalanya kita harus menyerah pada keadaan. Lupakan sajalah. Dan terima janjiku,untuk tidak menyebut-nyebut nama hotel kalian.Sebagaimana kalian kehendaki walau inisialnya sekalipun. Oke?"
Orang itu termangu-mangu sejenak. Baru setelah ia lihat Ramandita berjalan ke pintu, ia buru-buru bangkit menyusul. Dijabatnya tangan Ramandita dengan keras.Tanpa menyembunyikan keharuan di wajahnya, ia berkata sungguh-sungguh,
"Bung tak akan pernah saya lupakan. Kapan-kapan Bung berniat istirahat beberapa hari di hotel kami, Bung tinggal angkat telepon. Kami akan sediakan suite yang paling bagus. Cuma-cuma,tentu saja!"
"Terima kasih. Imbalan, itu lebih memadai kukira,"sambut Ramandita acuh tak acuh, sambil cepat-cepat berlalu.
Dengan pikiran bertambah sumpek.
*** DUABELAS Ramandita tiba di kantor pusat surat kabar mereka,berbarengan dengan Harianto. Ia cegat sahabatnya itu di pelataran parkir. Terus diseret ke warung kopi terdekat. Setelah memesan minuman sambil mencicipi makanan ringan yang terhidang di meja, Ramandita langsung mengutarakan apa yang telah ia putuskan sekembali dari hotel.
"Aku mulai berpikir-pikir untuk memercayai saja omonganmu, Yanto!" katanya, tanpa sadar menghilangkan ketegangan dalam suaranya.
Harianto latah, ikut tegang.
"Larasati?" bisiknya tersedak.
"Bukan. Si Nona!"
"Ah. Si gadis misterius. Tak juga berhasil menemukan jejaknya, ya?"
"Jangankan aku. Polisi saja belum."
"Atau tak akan pernah. Gadismu itu jelas bersembunyi di tempat paling aman dan tak mungkin dijejaki!"
"Di manakah itu?"
Ramandita tersenyum, mencemooh.Harianto menjawab tak peduli,
"Di lubang kubur Larasati!"
"Malangnya, kuburan Larasati itu tak pernah ada.Kecuali di sel-sel otak seorang pengarang yang kemudian dicurahkan ke mesin tik!"
Ramandita mengerang, jemu.
"Kita lupakan saja dulu kuburan imajiner itu. Lalu kita pergi ke tempat lain..."
"Ke mana?" "Sukabumi. Aku tak tahu apa yang kudapatkan nanti di sana. Barangkali saja dukun yang kau sebut-sebut itu dapat membantu..."
Dengan semangat Harianto menanggapi,
"Aku yakin ia dapat. Kapan kau ingin pergi?"
"Hari ini juga!"
"Wah. Aku banyak pekerjaan, Rama..."
"Alaa, Yanto. Ini hari Sabtu, bukan? Terbitan hari Minggu bukan bagianmu!"
"Tetapi aku tak boleh lepas tangan begitu saja,Ramandita. Bisa-bisa aku kecolongan lagi seperti dulu.Terpaksa bolak-balik menghadap ke pengadilan.Repotnya setengah mati!"
"Repot apa!" Ramandita tertawa kecil. "Malah kau untung. Buktinya? Artis penyanyi yang waktu itu menggugat surat kabar kita toh akhirnya; menarik pengaduannya. Lantas kau menikahi dia. Hidup bahagia dengannya, sampai sekarang..."
"Bahagia. Hem!"
Harianto merenung. Murung. "Pada mulanya, memang. Tetapi semenjak kandungan Marianna diangkat, ia sering dicekam ketakutan tiap kuajak bersetubuh. Sekali-sekali ia memang mampu mengatasi ketakutannya, dan berhasil mencapai klimaks. Tetapi banyak kali ia merasa terpaksa melayaniku, lantas berakhir dengan stres. Dan aku terpaksa lari dan lari lagi pada perempuan lain...."
"Anna tidak sepenuhnya bersalah, Yanto."
"Betul. Mestinya aku yang mengurangi jadwal. Pun aku telah bolak-balik berkonsultasi ke psikiater. Namun tetap sulit membatasi jadwal yang kami sepakati berdua. Yang sering kali kulanggar dan kulanggar lagi!"
Harianto menghela napas panjang dan berat.
"Semua itu dimulai dari masa kecilku, Rama. Dan bukan pula salah orangtuaku seluruhnya. Salahku juga bergaul dengan bocah-bocah tanggung sebayaku yang terbiasa hidup liar. Aku pun lantas keranjingan buku-buku dan gambar-gambar porno. Lalu tiap kali perbuatanku dipergoki Ayah atau Ibu, tiap kali pula aku dicambuk dan dicambuk lagi. Anehnya, semakin keras aku dicambuk, hasrat berahiku justru tambah bangkit .Masih beruntung ekses yang lebih buruk tidak menjangkitiku,menyiksa secara fisik perempuan yang kutiduri. Namun toh nafsu seksualku yang menggebu-gebu tetap sulitku kendalikan"
"Hei. Mie kocokmu sudah dingin!"
Harianto tersadar, lantas tertawa parau.
"Uh. Kita sudah melantur ke mana-mana, ya?"
Berpikir sejenak,Harianto kemudian memutuskan,
"Baiklah. Kita pergi ke Sukabumi hari ini juga. Tetapi setelah beberapa urusan di kantor lebih dulu kuselesaikan!"
"Terima kasih, Yanto,"
Ramandita berujar gembira.
"Kemungkinan besar kita harus-bermalam, Rama."
"Jadi bantulah aku untuk sama-sama pamit pada istriku!"
"Sebagai jaminan, ya?"
Ramandita tertawa bergelak.
"Habis? Hanya kau satu-satunya orang dengan siapa aku dapat pergi bermalam tanpa dicurigai istriku. Si Anna tahu betul kau laki-laki yang setia pada istri,meski kau dan istrimu berpisah. Yaaah, meskipun dia itu artis numpang beken.... bekas artis maksudku, tetapi kalau sudah uring-uringan, dia tak ada tandingannya dalam kontes nyanyiin suami!"
Mereka berdua lalu masuk ke kantor. Dan ternyata cukup banyak urusan masing-masing yang harus dikerjakan. Baru lepas maghrib mereka dapat pulang kerumah Harianto. Sang nyonya tidak keberatan suaminya pergi bersama Ramandita.
"Asal kembali utuh. Tak ada cacat cela!" sindirnya,tertawa.
*** Di Sukabumi mereka istirahat sejenak untuk makan malam dan membeli oleh-oleh roti kaleng serta kain sarung untuk Aki Juhari yang akan mereka temui. DiCisolok, mobil terpaksa mereka titipkan di rumah salah satu penduduk. Dari situ naik ojek sepeda motor melalui jalanan sempit berbatu-batu, naik-turun sangat curam dan berbahaya. Baru sekitar pukul 11 malam mereka sampai ke alamat yang dituju.
"Memang pada jam begini Aki Juhari biasanya ada dirumah..." pengemudi ojek menjelaskan.
"Apakah kalian tidak lupa membawa roti kaleng dan kain sarung kesukaannya?"
"Beres," jawab Ramandita, sambil bersyukur Harianto sudah mengingatkan lebih dulu.
"Syukurlah. Biasanya kalau sudah selemari, orang tua itu akan membagi-bagikan kain sarungnya. Saya sendiri sudah tiga kali kebagian!" pengemudi ojek itu tertawa gembira.
"Nah. Itu beliau sudah membuka pintu. Sudah tahu bakal ada tamu berkunjung!"
Apa yang dikatakan pengemudi ojek itu memang benar. Ketika Ramandita masuk ke rumah bersama Harianto, di atas meja ruang tamu sudah terhidang dua gelas kopi tubruk dan sepiring penganan ringan.Mereka dipersilakan duduk dan minum lebih dulu sebelum membicarakan maksud kedatangan mereka.Sembari mencicipi kopi hangat yang terasa sangat nikmat karena hawa malam yang dingin menggigit,Ramandita mempelajari tuan rumah. Orangnya tampak biasa-biasa saja. Tidak terlalu tua, meski menurut Harianto konon usianya sudah mencapai satu abad.Tutur kata maupun pendengaran tuan rumah pun masih jelas dan teratur, gerak-gerik tetap energik.
Aki Juhari berkain sarung dan baju sontog saja. Tak sebagaimana dibayangkan dan ditulis Ramandita dalam novel-novel misterinya: pakai ikat kepala, sarung disandangkan di pundak, plus kalung dan gelang akar bahar. Wajah Aki Juhari pun tidak kecut, matanya tidak kemerahan-merahan, sikapnya tidak menakutkan.
Aki Juhari lebih mirip ustad di tempat-tempat pengajian yang sesekali diikuti Ramandita.Selesai mencicipi hidangan, Aki Juhari tiba-tiba berujar,
"Kalian mau minta bantuan mencari seorang perempuan, ya?"
Tentu saja Ramandita tersedak. Bagaimana orang tua ini tahu apa tujuan mereka?
Ia melirik kawannya yang manggut-manggut dengan sikap tenang, tanpa memperlihatkan keheranan sedikit pun juga.Aki Juhari meneruskan lagi, dengan tutur kata yakin,
"Yang kalian cari bukanlah perempuan sembarangan.Melainkan perempuan yang ada kaitannya dengan alam gaib. Ada kekuatan jahat bersembunyi di balik tubuhnya. Dan kekuatan jahat itu telah mengambil korban orang-orang yang tak berdosa. Apakah aku benar?"
Tak pelak lagi Ramandita bertanya takjub,
"Bagai,mana Aki mengetahuinya?"
"Dengan melihat wajahmu, Nak Ramandita"
"Oh." "Dapat memberikan ciri-dri perempuan itu?"
Ramandita segera mengeluarkan amplop tebal yang sengaja dibawanya. Sketsa yang menggambarkan wajah kasar Si Nona ia perlihatkan pada orang tua itu,yang mempelajarinya dengan saksama.
"Gadis muda lagi cantik rupawan...." gumamnya,menggeleng.
"Wajahnya begini polos dan lugu. Tak tampak seperti orang berdosa. Apalagi memiliki ilmu hitam yang jahat..!"
Aki Juhari kemudian menanyakan bagaimana mulanya Ramandita berkenalan dengan gadis itu. Juga mengapa gadis itu dicurigai telah mengambil korban, dan bagaimana keadaan korban-korban yang dimangsanya.Orang tua itu mendengarkan dengan serius, dan dahinya mengerut ketika Ramandita menuturkan keheranannya bagaimana mungkin tokoh dalam cerita fiksi yang ia tulis muncul di dunia nyata?
Aki Juhari kemudian bertanya hal-hal yang lebih detail.Setelah Ramandita teringat, ia lalu menceritakan mengenai malam berkabut serta obrolan iseng dengan Harianto di percetakan. Si orang tua lantas manggut-manggut mengerti. Katanya,
"Aku selalu bernasihat pada anak-anak muda agar tidak berucap atau bertingkah laku sembrono, tanpa lebih dulu dipikir buruk-baiknya. Nasihatku adalah bila tersesat di hutan,jangan sebut-sebut harimau. Bila pikiran kita sedang gelap, jangan panggil-panggil setan...!"
Ramandita menahan napas. "Jadi di situlah letak kesalahanku," desahnya, gelisah.
"Tetapi, Ki, sesungguhnya aku tak pernah percaya bahwa hantu itu benar-benar ada..."
"Hantu, anakku!"
Aki Juhari tersenyum. "Hanyalah istilah. Secara umum, kita menyebutnya setan!"
"Setahuku, setan hanya ada dalam diri manusia...."
Ramandita terpancing berdebat.
"Itu memang betul, Nak. Tetapi setan juga ada di luar diri manusia. Apalagi bila manusia itu lemah imannya.Kalau tak lemah iman, mungkin lemah mental, atau juga fisik. Dalam kondisi seseorang sedang lemah, apapun dapat terjadi. Termasuk peristiwa-peristiwa gaib.Aku tidak bermaksud mengatakan kau sedang lemah iman atau sedang sakit mental atau fisik, anak muda.Kau kelihatan sehat wal afiat. Cuma saja, terkadang kita lupa diri, bukan? Dan kita suka lupa apa yang disuruh camkan orang-orangtua kita. Bahwa mulutmu adalah harimaumu. Paham?"
Ramandita mengangguk. Ia memang sering mendengar perumpamaan itu. Baik lewat pembicaraan sehari-hari,dan juga terutama ketika masih bocah ia sering mengikuti pengajian. Teringat ke situ, diam-diam Ramandita menyesali diri sendiri. Sejak ia berpisah dengan Magdalena, jiwanya selalu terguncang. Ia dan Magdalena saling mencintai satu sama lain. Saling mengasihi dalam keadaan apa pun juga.
Tetapi mengapa musibah itu harus terjadi di antara mereka?
Sebagai seorang wartawan, Ramandita telah menulis berita sesuai hati nuraninya dan sebagaimana adanya.Ia bertujuan membongkar perbuatan buruk dan jahat orang lain, yang jelas-jelas merugikan masyarakat banyak.
Itikadnya baik. Tetapi akibatnya justru mengerikan. Justru dirinya yang jatuh sebagai korban.Kalau hanya Ramandita saja, tak apalah. Tetapi Magdalena yang tak berdosa, harus ikut sebagai korban?
Tuhan tidak adil, begitulah Ramandita sering mengeluh. Dan ia pun mulai melalaikan apa yang pernah didapatinya dari orangtua maupun guru mengajinya.
Aki Juhari benar sekali. Belakangan ini iman Ramandita semakin lemah.
Lalu Tuhan pun mengujinya.
Melimpahi Ramandita dengan cobaan berat. Yang tak masuk di akalnya pula!
*** TIGABELAS Ramandita keranjingan menulis berita kejutan. Salah satu berita yang ia tulis dua tahun yang lalu,menyebabkan seorang bupati terpaksa dicopot dari kedudukannya. Dalam suatu perjalanan keliling ke daerah, Ramandita berhasil mengungkapkan informasi yang dapat dipertanggung jawabkan, bahwa sejumlah tender proyek besar di daerah tersebut senantiasa dimenangkan secara bergiliran oleh salah satu dari lima perusahaan yang bernaung di bawah satu grup.Masing-masing perusahaan itu dipimpin oleh seorang direktur, yang ternyata hanya berkuasa di atas kertas saja. Mereka digerakkan oleh orang-orang lain yang berdiri di belakang layar dengan posisi sebagai anggota dewan komisaris. Data yang diperoleh Ramandita menunjukkan bahwa kelompok dalang itu punya kaitan erat dalam hirarki keluarga bupati yang sekaligus merangkap jabatan sebagai pemimpin proyek.Informasi yang diperoleh Ramandita dari perusahaan saingan yang dengan sakit hati terpaksa gulung tikar itulah yang menyebabkan bupati setempat dimutasi kekantor gubernur menempati sebuah meja tanpa telepon,tanpa anak buah, kecuali seorang sekretaris.
Tetapi Ramandita tidak mau berhenti sampai di situ saja.Manusia-manusia brengsek harus menerima hukuman yang setimpal dengan perbuatannya!
Demikian Ramandita berpikir.
Dan, Ramandita beruntung.
Salah satu grup perusahaan itu terbukti pernah melakukan manipulasi pajak besar-besaran yang menyebabkan negara dirugikan sekitar dua miliar. Tetapi berkat pengaruh sang bupati, manipulasi itu berhasil ditutupi. Tetapi korban manusia jatuh karenanya. Salah seorang staf inti di perusahaan itu berniat membongkar rahasia setelah istrinya beberapa kali dizinahi pimpinan perusahaan itu sendiri. Tak kuat menanggung aib, si istri bunuh diri. Suaminya kemudian minta berhenti,tetapi sebelumnya berhasil mencuri sejumlah dokumen.Yang ia curi tak pernah ditemukan, karena dokumen itu telah ia titipkan pada seorang kepercayaannya, dan orang itulah yang menyerahkan pada Ramandita dengan syarat identitasnya tidak diungkapkan.Ditambah informasi lainnya, Ramandita kemudian memuat lengkap isi dokumen itu di surat kabar tempatnya bekerja. Si bekas bupati beserta mertuanya yang pimpinan perusahaan dimaksud, tentu saja kalang kabut. Ada indikasi kuat mereka terlibat dalam pembunuhan itu, dan bayangan jeruji penjara sudah tak terelakkan lagi. Lalu tekanan dan teror mental pun muncul dari mana-mana yang mau tak mau membuat Ramandita berwaspada.
Sayang, ia lengah. Suatu malam ketika ia beristirahat disebuah vila milik almarhum mertuanya, ia dan istrinya didatangai tiga orang tamu tak dikenal. Dengan berpura-pura sebagai petugas kelurahan setempat yang ingin membicarakan rencana perayaan Hari Kemerdekaan, ketiga laki-laki itu dipersilakan masuk.Dan terjadilah apa yang seterusnya menjadi trauma dalam kehidupan rumah tangga Ramandita.Selagi Magdalena pergi ke dapur untuk membuatkan minuman, salah seorang tamu bergerak cepat.Tahu-tahu saja ia sudah berdiri di belakang Ramandita,dengan mata sebilah pisau komando menempel di leher Ramandita. Pelayan yang terbaring sakit di kamarnya,diringkus. Magdalena yang tak menduga apa-apa,diseret dari dapur. Tiga laki-laki misterius itu bekerja tanpa banyak bicara.
"Kalian berdua akan kami biarkan tetap hidup," kata salah seorang lelaki itu.
"Tetapi hidup yang akan penuh penyesalan"
Ramandita tak kuasa melawan. Karena laras sepucuk pistol menempel di jidat Magdalena. Mulut Ramandita disumpal dengan isolasi plastik lebar yang mereka keluarkan dari tas yang mereka bawa ke vila itu.Dengan isolasi itu pula Ramandita diikat kuat ke lemari besar di ruangan tengah. Dengan ngeri ia hanya dapat melihat bagaimana lengan Magdalena kemudian ditusuk dengan sebuah alat suntik, lalu dipaksa rebah telentang di lantai. Tetap dengan todongan laras pistol di jidatnya disertai ancaman:
"Bertingkah macam-macam, kepalamu hancur!"
Menit demi menit berlalu, tak terjadi apa-apa.Ramandita yang semula menduga istrinya diberi suntikan morfin dalam dosis tinggi, kemudian melihat bagaimana Magdalena mulai menggeliat resah,mengerang secara aneh, dan matanya bergerak liar.Lelaki bersenjata tadi segera mengangkangi tubuh Magdalena dengan mulut menyeringai.
"Kau pasti ingin ke surga bersamaku, bukan?" lelaki itu berkata menyeringai.
Lalu dimulailah perkosaan itu.Mulanya Magdalena melakukan perlawanan, tetapi lambat laun berubah menunjukkan reaksi menyambut.Begitu bergairah dan bernafsunya, sehingga Ramandita segera menyadari bahwa yang disuntikkan ke tubuh Magdalena adalah obat perangsang yang kuat. Dua laki-laki lain, bertopeng, segera pergi keluar rumah.Tentu saja untuk berjaga-jaga. Dan si tokoh pimpinan yang tak mengenakan penutup muka sama sekali, naik turun dengan leluasa di atas tubuh Magdalena,bergulingan di lantai dalam luapan nafsu seksual yang menggebu-gebu.Ramandita hanya mampu menyumpah-nyumpah ketika terdengar rintihan nikmat dan senang dari mulut Magdalena, kala istrinya mencapai klimaks seksual.Sambil tertawa kecil ia berkata pada Ramandita,
"Istrimu bukan saja cantik, tetapi juga hebat dalam bercinta...."
Magdalena yang masih terkulai letih kemudian disepak pada tengkuknya. Laki-laki itu kemudian berlalu.Sebelum lenyap, ia sempat berkata kagum,


Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oom Tarjo memang punya banyak cara untuk melumpuhkan wanita."
Di situlah kuncinya.. Sutarjo, pimpinan perusahaan yang terlibat manipulasi dan pembunuhan itulah yang jelas dimaksudkan oleh laki-laki yang kemudian menghilang bersama dua temannya itu. Kalimat perpisahan yang menentukan itulah yang kemudian dipakai sebagai patokan oleh Ramandita. Dibantu oleh Robinson Tarigan dan dibekali rekomendasi dari seorang perwira tinggi di Mabes Polri, Ramandita akhirnya berhasil melacak silelaki yang ternyata seorang bekas residivis kelas kakap di Jakarta.Tiga bulan kemudian, bekas bupati dan mertuanya terlibat dalam suatu perkelahian di kompleks penjara.
Simertua mati terbunuh. Si bekas bupati lebih beruntung.Ia berhasil diselamatkan petugas yang cepat turun menguasai keadaan, tetapi bekas Bupati itu harus meringkuk di penjara dengan tubuh cacat di sana sini sepanjang hidupnya. Ramandita telah melampiaskan dendam kesumatnya secara tuntas.Tetapi di balik pembalasan dendam itu, ia juga jatuh sebagai korban. Selain biaya materi yang tak sedikit untuk melaksanakan dendamnya, ia juga terpaksa harus melepaskan Magdalena.
"Aku selalu dihinggapi perasaan bahwa kau pasti jijik padaku, teringat peristiwa di vila malam itu...." begitu ucap Magdalena dengan tabah.
"Aku juga mencintaimu, Rama, dan cintaku padamu tak akan pernah berakhir. Tetapi cinta saja tidaklah cukup,bukan?"
Kemudian Magdalena pergi. Magdalena tidak mau menerima kenyataan, bahwa semua itu terjadi bukan atas kehendak mereka berdua.
"Satu-satunya yang masih dapat kita lakukan, Rama," katanya beberapa waktu kemudian,
"adalah bertemu satu-dua jam,sekadar melepas rindu. Sampai akhirnya cinta itu mati dengan sendirinya. Dan kita tidak lagi terikat satu sama lain..."
"Nah...." Aki Juhari membuyarkan lamunan Ramandita.
"Tugaskulah untuk membantu Nak Ramandita sedapat-dapatnya. Maafkanlah aku sebentar..."
Orang tua itu kemudian masuk ke ruang dalam.Ramandita menoleh ke Harianto, yang membalas dengan senyuman lirih.
"Kita datang pada orang yang tepat, bukan?"
Harianto bergumam pelan. "Entahlah. Aku masih bingung," bisik Ramandita,gelisah.
"Aku masih yakin bahwa Si Nona itu manusia biasa adanya, bukan hantu!"
"Kita lihat saja nanti."
Aki Juhari kembali. Ia letakkan sebuah baskom berisi air di atas meja. Selain air, di baskom itu juga tampak rempah-rempah, bunga warna-warni plus beberapa pucuk daun. Setelah membakar kemenyan, Aki Juhari meminta tamu-tamu supaya tenang dan tidak mengganggu selama ia bersemedi. Menangkupkan lengan bersilang di depan dada, Aki Juhari kemudian duduk tegak dengan kelopak mata dipejamkan.Mulutnya pun komat-kamit tanpa suara.Melihat sikap semedi Aki Juhari, Ramandita menahan napas.
"Kalau yang ini... persis yang kutulis di novelku!"ia membatin, terus menyempitkan lubang hidung untuk menahan bau menyan yang tajam serta mengganggu pemapasannya.
Sekali ia hampir terbatuk, namun ditahannya sekuat daya. Akhirnya paru-paru terpaksa ia longgarkan, dengan membiarkan hidungnya dimasuki bau menyan secara leluasa.Ia menunggu bunyi guntur atau petir. Ia juga menunggu bunyi lolongan anjing di ke jauhan yang sayup-sayup terdengar. Pun ia menunggu hawa dingin yang menyergap tiba-tiba. Tetapi suasana tetap saja tenang. Hawa dingin memang terasa, tetapi tidak lebih dingin dari ketika mereka datang. Malah hawa sedikit hangat, mungkin karena asap menyan yang terus mengepul. Apa yang ditunggu Ramandita, hanya ada dalam cerita karangannya saja!
"Hap!" Aki Juhari membentak mengejutkan. Kelopak matanya terbuka nyalang, menatap lurus ke baskom.Ramandita sempat kaget mendengar suara-orang tua itu tiba-tiba memecah keheningan. Dan meski sudah sering ia tulis dalam novel-novelnya, toh dia dibuat lebih kaget ketika menyaksikan bagaimana dedaunan serta bebungaan di permukaan air dalam baskom satu demi satu menyisih sendiri. Begitu pula rempah-rempah yang terbenam di dasar baskom. Hingga tinggal lingkaran air bening serta dasar baskom yang putih berkilauan memantulkan cahaya lampu di atas mereka.Satu-dua detik permukaan air tampak bergetar.
Kemudian diam. Ketika air bergetar lebih hebat lagi,Aki Juhari berbisik-bisik seperti pada diri sendiri,
"Aku melihat perempuan-perempuan berkeliaran di sebuah ruangan. Besar dan pengap oleh bau asap rokok. Aku melihat banyak laki-laki hilir mudik. Laki-laki berseragam... ada yang bersenjata... Ah, polisi-polisi...."
Ramandita melirik ke permukaan air. Kecuali getaran air, ia tidak melihat apa pun lagi. Sementara si orangtua meneruskan dengan bisikan semakin tajam,
"Nah.Itu dia. Duduk di kursi... sedang berbicara dengan salah seorang polisi itu... Benar. Pasti dia. Tak kuragukan lagi!"
"Nona?" Ramandita menyela tanpa dapat dicegah.
"SiNona? Di kantor polisi? Bagaimana mungkin?"
Permukaan air diam mendadak. Dedaunan,rempah-rempah, bebungaan, kembali bergerak pula,mencari tempat kosong di permukaan maupun didalam air. Harianto terdengar mendengus kesal seraya menatap tak senang pada sahabatnya. Ditatap begitu,Ramandita menyeringai kecut. Namun Aki Juhari tidak tampak marah karena terganggu. Aki Juhari bangkit dari duduknya, masuk cepat ke dalam, dan keluar lagi dengan sebuah boneka kayu serta dua batang paku.
"Mumpung dia masih di sana...." katanya, tersengal-sengal,
" mumpung pula dia tak siap menghadapi kita,biarlah dia kulumpuhkan lebih dulu!"
Dan sebelum Ramandita sempat berkomentar, Aki Juhari sudah menusukkan ujung-ujung paku ke lutut-lutut boneka kayu. Dengan paku-paku tetap tertancap, boneka kayu dicemplungkan si orang tua ke dalam baskom.
Kamar Gas 11 Dewa Arak 78 Pembalasan Dari Liang Lahat Wanita Iblis Pencabut Nyawa 4

Cari Blog Ini