Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap Bagian 4
*** DUA PULUH Hari esoknya berlangsunglah kesibukan lain. Sebuah mobil sedan dan sebuah lagi pick-up dengan bak tertutup meluncur memasuki pekarangan. Empat orang laki-laki berpenampilan rapi turun dari kedua mobil itu,disertai seorang lelaki setengah baya. Kecuali yang disebut terakhir, Ramandita tidak mengenal satu pun lainnya. Kenalan Ramandita itu memang hanya bertujuan mengantarkan dan memperkenalkan tamu pada Ramandita.
"Tugasku sebagai penghubung selesai sudah hari ini,sekarang tiba waktunya aku mengurus diri sendiri,bukankah begitu?" katanya, sambil tak lupa mengerling pada Magdalena,
"Uban suamimu mulai tumbuh.tetapi kau malah tampak makin muda saja, Magdalena.Petualangan-petualanganmu pasti mengesankan ya?"
Magdalena menggumam tersipu,
"Ah Oom Hardi" "Aku bersimpati padamu, Ramandita," orang itu berkata lagi.
"Tetapi maaf. Urusanmu hari ini buatku terlalu musykil. Jadi kuputuskan agar tidak ikut campur terlalu jauh..."
"Tak apa, Oom Hardi."
"Nah. Selamat tinggal. Dan... selamat berburu hantu!"orang itu tertawa misterius, masuk ke mobilnya,kemudian berlalu ke jalan raya.
Sementara Aki Juhari melakukan tapa semedi di salah satu kamar tidur yang ia kunci dari dalam. Magdalena sibuk di dapur membuat hidangan untuk tamu,sementara Ramandita dan Harianto membantu tamu-tamu itu mengangkati peti-peti karton yang berat dari mobil pick-up. Begitu pula membantu memasukkan atau menempatkan benda-benda tersebut sesuai petunjuk salah seorang tamu yang memperkenalkan dirinya dengan nama Alex Paduhai, mengaku kelahiran Nias. Menurut Oom Hardi, kepala rombongan tamu-tamu itu meraih titel kesarjanaan di Kansas University, Amerika, dan ahli dalam bidang astronomi.Tampangnya serius, cara kerjanya tangkas dan terampil, tetapi tutur katanya maupun sikapnya tetap ramah dan menyenangkan. Ia pun tidak berusaha menyembunyikan kekagumannya ketika berhadapan dengan Magdalena.
"Anda suami yang sangat beruntung, Bung Ramandita," katanya, mengomentari dengan suara tulus.
Tengah mereka sibuk bekerja, muncul pula Robinson Tarigan, lengkap dengan pakaian seragamnya. Dan tentu saja bersenjata. Ketika ia lihat Ramandita melirik sarung pistol yang tergantung di kopelrimnya. Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan menceletuk dengan seringai lebar,
"Biar tampak gagah. Mana istrimu yang suka kelayapan itu?"
Lebih dulu ia berkenalan dengan tamu-tamu tuan rumah, dan setelah itu hampir tak pernah jauh dari Magdalena, dengan siapa ia mengobrol santai yang beberapa kali diseling gelak tawa berderai. Tingkah laku keduanya membuat suasana jadi rileks, seolah-olah yang berlangsung di dalam rumah adalah sesuatu yang rutin sehari-hari. Sedikit-banyak hal itu membantu mengurangi ketegangan yang terus mengusik perasaan Ramandita.Menjelang tengah hari segala sesuatunya sudah beres.Kegiatan akan berpusat di dua ruangan. Yakni ruang duduk, yang telah dikosongkan bagian tengahnya.Kursi dan meja-meja dipinggirkan, sebagian dipindahkan ke koridor halaman belakang .Ada kabel-kabel tambahan menjulur dari stop kontak disalah satu sudut tembok menjurus ke atas, menembus lalu lenyap di sebelah lain langit-langit akustik. Terpisah di bagian bawah langit-langit tampak tiga buah benda-benda elektronik dalam ukuran mini. Masing-masing sebuah alat penerima suara dan dua buah kamera yang dapat berputar secara otomatis.Salah satu kamera itu dilengkapi dua alat pembantu.Alex Paduhai menjelaskan,
"Antena mini itu akan menangkap, menampung dan menetralisir arus maupun sinar magnetis yang tanpa antena itu,mungkin saja menghancurkan kamera. Kotak kecil elastis dari bahan plastik di sebelahnya menyimpan apa yang kami sebut ultra shock filter. Filter jenis ini masih langka dipergunakan. Kami memerlukannya selain untuk mempertajam fokus yang akan ditangkap kamera, sekaligus juga menetralisir bias-bias cahaya yang terlalu tajam dan membuat film terbakar."
Menunjuk ke lensa lainnya, ia melanjutkan,
"Yang tanpa antena tanpa filter ini kamera biasa. Juga dioperasikan secara otomatis untuk menangkap dan merekam adegan atau gerakan-gerakan benda-benda yang biasa kita lihat dengan mata normal. Yang berbeda, kamera ini mempergunakan lensa infra merah.Siapa tahu satu dan lain sebab lampu listrik padam dan keadaan berubah gelap gulita."
Robinson Tarigan yang akhirnya tertarik juga pada kegiatan-kegiatan para teknisi dan astronom itu,kemudian menguntit ikut ke kamar pembantu untuk melihat apakah segala sesuatu berjalan lancar. Dua orang teknisi di kamar itu duduk menghadap dua buah televisi close circuit. Di bekas tempat tidur pembantu juga terlihat sebuah video rekorder dan sebuah tape rekorder. Dua-duanya berukuran besar, dengan pita berkapasitas maksimum 1000 feet.
"Dengan kapasitas itu kita tak usah kalang kabut mengganti pita sehingga tidak ada kemungkinan rekaman terputus-putus. Cukup untuk kebutuhan selama lebih kurang 20 jam, nonstop. Mudah-mudahan saja kita tak perlu bekerja selelah itu...." ujar Alex Paduhai, tersenyum segan.
"Hebat!" Robinson mendecakkan lidah.
"Buat apa kalian bersusah payah membeli peralatan yang serba mahal ini?"
"Sehari-harinya untuk mengamat-amati aktivitas bintang-bintang. Dalam tingkat terendah, tentu saja.Yang di luar kemampuan kami, dapat kami peroleh lewat komunikasi terus menerus dengan Peneropong Bintang Bosscha di daerah Lembang, Bandung...."
"Cuma itu?" "Nah. Kami juga sesekali ikut mendeteksi gejala-gejala gempa di permukaan bumi. Dan beruntung mencapai sukses merekam gerhana matahari. Begitu pula merekam peluncuran komet Halley yang menakjubkan itu. Data maupun rekaman lengkapnya sebagian sudah disiarkan di berbagai media massa. Sebagian lagi yang sifatnya intern kami simpan di lemari arsip dan juga pada file-file komputer. Bila Pak Komandan berminat,kapan saja Anda boleh melihat lihat hasil pekerjaan kami di kantor...."
Robinson Tarigan mengangkat pundak sambil mengeluh,
"Kita sedang berburu yang lebih hebat,kukira!"
Alex Paduhai tersenyum. Katanya,
"Berbicara soal hantu, baru kali inilah kami mendapat informasi yang benar-benar lain dari yang lain. Beberapa rekan pernah mencoba menelusuri ke berbagai daerah. Walau boleh dibilang tanpa hasil yang memuaskan, beberapa diantaranya ada juga yang terekam. Namun sangat terbatas dan sulit dianalisis. Begitu pun, kami tak pernah putus asa. Maka, sewaktu salah seorang rekan memberitahu kasus Pak Ramandita, kami langsung menaruh minat. Begitulah, kami diinstruksikan untuk membantu sekuat tenaga dan sesegera mungkin. Dengan harapan,tentu saja, hantu itu benar-benar ada dan kami sukses merekam penampakannya...."
"Kalian harus!" dengus Robinson setengah tak acuh.
"Dengan demikian aku dapat membuat laporan lengkap mengenai mengapa dan bagaimana korban-korban itu mati terbunuh secara misterius dan mengerikan. Berdoa sajalah. Supaya hantu itu sudi memperlihatkan wajah cantiknya. Lumayan untuk dinikmati sebagai hiburan dari rasa sepi, bukan?"tambahnya, seraya mengerling ke arah Ramandita.
"Dan... kalau ia benar-benar muncul, Komandan?"
Ramandita menyeringai, dengan sorot mata menantang.
"Yaah. Barangkali saja ia mau disuruh membuat secangkir kopi untuk mengurangi mumet di benak ini!"jawab sang Komandan, disusul tawa membahak riang.
Yang mendengarkan mau tidak mau ikut terpengaruh lalu tertawa bersama-sama.
"Yang pasti, ia tak akan lolos lagi dari tanganku!"terdengar ucapan keras di belakang mereka.
Aki Juharilah yang berkata itu. Dengan wajah kaku ia mengumumkan,
"Bila segala sesuatunya sudah siap,marilah kira mulai sekarang juga!"
Ramandita bergumam heran,
"Hari masih siang, Ki,Tidakkah kita menunggu sampai tengah malam nanti?"
"Tak usah. Yang kita hadapi bukan hantu biasa. Ingat pertama kali kau bertemu dengan gadis itu, Nak Rama? Kau sendiri bilang, sedikit pun gadis itu tidak terpengaruh pada sinar matahari yang menerpa tubuhnya. Kalau hantu biasa, pasti sudah kucar-kacir!"
"Hem. Kukira yang terpantas buatku adalah tetap diruangan sempit ini. Hitung-hitung nonton film televisi secara cuma-cuma!"
Ajun Komisaris Polisi Rnbinson Tarigan berujar kalem.
Aki Juhari membalas sama kalemnya,
"Tambahan satu orang memang sering-sering malah merepotkan!"
Tentu saja sang Ajun Komisaris menggemeretakkangigi, tetapi kemudian ia tertawa. Membahak, walau sedikit sumbang. Aki Juhari kemudian mengajak Ramandita dan Harianto ke ruang tengah, di mana Magdalena sudah menunggu dengan wajah tabah meski sinar matanya jelas kelihatan tegang. Ramandita menutup pintu-pintu, begitu pula jendela. Aki Juhari menghamparkan seprai di lantai, dengan bantuan Harianto yang kelihatan pura-pura bermental baja,padahal jari-jemarinya terlihat gemetaran.
Aki Juhari memberi petunjuk-petunjuk mengenai apa yang akan dan harus mereka perbuat selanjutnya.
"Kita masing-masing harus rebah telentang dengan tubuh lurus tak bergerak-gerak, mata terpejam, sambil membaca jampi-jampi pelindung diri yang sebelumnya telah kuajarkan. Supaya aman, baiklah kita melafazkannya lagi. Seorang demi seorang."
Harianto melafazkan dengan benar kata demi kata,meski sesekali tersendat gugup. Ramandita lancar.Hanya Magdalena yang harus mengulang lagi dan lagi,bukan karena takut, melainkan karena jampi-jampi itu baru tadi malam ia dengar. Sementara Harianto dan Ramandita sudah didikte dua hari sebelumnya, yakni ketika mereka menyusun rencana upacara memanggil roh.Setelah Magdalena berhasil melafazkannya dengan jelas dan benar, Ramandita kembali mengingatkan,
"Belum terlambat untuk mundur, kekasihku...."
Magdalena menjawab dengan senyuman manis dan kata-kata tabah,
"Sepasang kekasih wajib saling mendampingi dan melindungi, bukan?"
Aki Juhari mendehem halus, lalu menunjuk kepermukaan seprai. Memberitahu di sebelah mana masing-masing mereka rebah, bagaimana pula posisi dan perpaduan kaki nantinya.
"Posisi rebah kita akan membentuk empat mata angin,"katanya.
"Bukankah mata angin ada delapan, Ki?"
Harianto nyeletuk ditahan.
"Betul. Tetapi kalian pasti pernah melihat, empat mata angin tambahan itu selalu dibentuk lebih pendek dari empat mata angin utama. Nah, yang empat lagi itu akan terbentuk sendiri dari sudut-sudut pertemuan sisi-sisi telapak kaki kita. Mari kita lihat...."
Mereka pun berbaring telentang sesuai petunjuk Aki Juhari. Setiap pasang kaki dirapatkan sendiri-sendiri,lalu masing-masing sisi luar telapak kaki yang seorang disentuhkan ke sisi telapak kaki yang lainnya.
"Bila dilihat dari atas,"
Aki Juhari menerangkan, "posisi kita saat ini sudah membentuk delapan penjuru mata
angin...." "Orang tua itu benar!"
Robinson mengumpat pendek dikamar pembantu, sambil matanya awas memperhatikan setiap adegan yang berlangsung dilayar kedua televisi. Suara-suara dari ruang duduk pun terdengar cukup jelas. Bahkan juga napas-napas Harianto yang keras memburu sewaktu Aki Juhari memutuskan mereka berempat siap memulai upacara.Pelan dan tersendat-sendat pada mulanya. Untuk kemudian terdengar bunyi koor yang bergaung semakin keras dan nyata sewaktu keempat orang di ruang duduk membacakan jampi-jampi. Sesekali ditingkahi Aki Juhari dengan kalimat-kalimat mantra untuk memanggil roh leluhurnya yang bernama dan bergelar aneh-aneh, memohon bantuan mendatangkan roh yang dikehendaki. Di kamar pembantu yang juga tertutup Robinson mulai duduk dan berdiri dengan tegang dan mata membelalak, mulut terbuka tak mengeluarkan suara. Dan di luar rumah, dua orang polisi berpakaian preman berjaga-jaga di dekat pintu pagar masuk. Siap menghalangi siapa saja yang ingin berkunjung atau menyelonong tanpa dikehendaki. Salah seorang dari mereka memegang sebuah pesawat handy talkie untuk mendengar atau melaporkan ke markas besar.Yang seorang tiba-tiba bergumam lirih.
"Aneh... aneh...."
"Apa?" tanya polisi satunya lagi.
"Matahari mestinya panas terik di siang bolong ini.Tetapi kok hawa yang menyapu wajahku terasa dingin sejuk, ya?"
"Hem. Agaknya kau memercayai semua omong kosong yang hanya pantas menakut-nakuti anak-anak badung itu. Aku sih malah merasa gerah. Mudah-mudahan saja ada penjual es sirup lewat di sini.."
"Juga penjual mie bakso."
"Ya. Juga penjual mie bakso!" kawannya mengangguk setuju.Di ruang duduk, meski sebelumnya mesin pendingin udara telah dimatikan Ramandita dan ruangan menjadi pengap dan menggerahkan, hawa dingin itu justru menyerang lebih tajam. Makin lama makin hebat sehingga Harianto menggigil dengan gigi bergemeletukan. Tangan kirinya menggenggam semakin erat tangan kanan Ramandita yang juga mulai gemetar. Tangan-tangan Magdalena di sebelah lain lebih gemetar lagi. Hanya tangan Aki Juhari saja yang tetap tenang dan diam. Melalui tangan kirinya ia salurkan uap hangat untuk membantu Magdalena yang sempat mengeluh karena tak kuat menahan serbuan hawa yang semakin dingin membeku.
Lalu suatu ketika Ramandita merasakan suatu getaran menyentak-nyentak di kedua telapak kakinya.Kaki-kaki lainnya yang menempel membentuk segiempat persis di lingkaran benang kuning emas juga merasakan getaran yang sama. Yang paling kuat merasakannya adalah Magdalena. Getaran menyentak-nyentak itu terasa menghujam-hujam seperti menerobos masuk lewat kedua telapak kaki,terus merembet semakin naik dan naik, disusul perasaan ganjil bahwa ia tidak lagi berpikir sesuai kehendaknya sendiri. Ada pikiran-pikiran lain muncul mengganggu, dan itu jelas bukan pikiran pribadi Magdalena. Pikiran asing itu bersarang lebih kuat dari pikiran asli, berusaha menguasai, lalu memperbudak semena-mena baik jalan pikiran maupun alam bawah sadar Magdalena.
Lalu roh itu pun datang. Kejam. Dan buas tidak terkira! *** DUAPULUH SATU Kemunculan pertama roh penasaran itu didahului suara mengerang pendek bagai leher tercekik yang keluar dari celah-celah bibir Magdalena. Suatu dorongan gaib perlahan-lahan mengangkat tubuhnya.Bangkit dari posisi rebah ke posisi duduk tegak lurus.Dengan bibir menggurat tajam dan galak. Serta mata berputar-putar liar mengawasi sekitar.Lalu terdengarlah desis kemarahan,
"Siapa yang berani-berani mengusik diriku dari tidur yang pulas,he?!"
Aki Juhari tidak mengenali suara itu, tetapi sadar apa yang ia dengar.
Ramandita mengenalinya. Tahu yang ia dengar bukan suara asli Magdalena, melainkan suara.
..si Nona! Tetap rebah tak bergerak dengan kelopak mata terkatup rapat, mereka berdua berusaha menarik tangan Magdalena agar rebah kembali. pertalian badani antar mereka berempat tidak boleh putus. Kalau tidak,pengaruh mantra-mantra akan terpecah belah. Dan Aki Juhari kemungkinan besar gagal menundukkan kekuatan jahat yang bersemayam di tubuh Magdalena.Merasakan tarikan kuat pada tangan kiri kanannya,Magdalena merunduk memperhatikan. Tampak olehnya tiga sosok tubuh laki-laki rebah di sebelah kiri kanan maupun di depannya.
"Manusia-manusia terkutuk. Hem... boleh coba! Mari kita lihat siapa yang paling perkasa!"
Ia menggeram. Pada saat ia menggeram, Magdalena pun berjuang membetot lepas genggaman kuat di masing-masing telapak tangannya. Sekaligus ia juga berusaha menekuk lutut, agar ujung kakinya terpisah dari pertautan tiga pasang kaki lelaki itu. Berusaha lolos dari lingkaran magis ciptaan Aki Juhari di antara jahitan benang-benang kuning emas. Tetapi seperti dikomando,baik Aki Juhari maupun Ramandita ngotot membetot kearah berlawanan.Magdalena gagal meloloskan diri.Namun tidak menyerah begitu saja.
Tiba-tiba ia mengubah taktik. Tertawa mengikik ia memandang lurus ke depan. Ke arah Harianto yang menggigil hebat saking ketakutan.
"Hei, kau. Si brewok! Bukankah kau ikut andil memanggilku supaya bangkit dari kubur? He... he...he... ini aku datang. Untuk meremas-remas buah pelirmu. Awas saja!?"
Perkataan "awaslah" itu ditekankan sedemikian rupa,seolah-olah ia sedang bersiap-siap melaksanakan ancamannya. Tak pelak lagi, Harianto membuka kelopak mata seraya berteriak ngeri,
"Jangan...!" Secepat itu pula Harianto bergerak melepaskan diri.Karena mantra ditujukan pada roh orang yang sudah mati bukan pada roh orang yang masih hidup, dengan sendirinya Harianto mudah saja menghindar. Begitu tangannya terlepas dari genggaman Aki Juhari maupun Ramandita, yang pada saat yang sama tengah memusatkan tenaga pada tangan-tangan mereka yang memegangi tangan Magdalena, Harianto mencoba bangkit. Sayang persendian lututnya lemas bukan:alang-kepalang. Hilang akal, Harianto yang wajahnya memucat bagai kapas sewaktu melihat seringai seram dari bibir Magdalena, hanya mampu menjauh dengan beringsut-ingsut sampai masuk ke kolong meja kerja:Ramandita. Merasa sedikit lebih aman, barulah;Harianto mampu menggerakkan sisa-sisa tenaga untuk melindungi diri. Yakni duduk merungkut di sudut tembok yang gelap, tak peduli kepalanya membentur bagian bawah bidang meja dari kayu tebal dan keras itu. Usahanya untuk berteriak sia-sia saja lantaran lidahnya makin kelu dan kelu saja.Sementara itu di atas hamparan kain seprai yang lebar Magdalena tertawa meringkik. Pertalian magis yang mengurungnya telah buyar begitu Harianto menyeret diri ke kolong meja. Ia pun seketika beringsut menjauh.Lalu duduk bersila dengan sikap santai sambil dari mulutnya terdengar suara Si Nona,
"Ayo. Kita bermain-main sejenak!"
Ramandita sadar akan bahaya yang mengancam.Setelah melihat apa yang ia cari, Ramandita berujar memelas,
"Lena "
"Aku Nona!" potong Magdalena,
"Masa lupa?" "Persetan! Kau telah..."
"Apa?" wajah Magdalena berubah garang.
"Sudah mengkhianatiku, masih juga kau menyebutku setan? Kurang ajar. Nih, rasakan!"
Dari mulutnya memancar sinar biru keputih-putihan,tajam menyilaukan. Ramandita cepat mengatupkan kelopak mata. Sinar menyilaukan itu lenyap. Namun hantaman kuat dari sinar Itu tahu-tahu sudah menerpa tubuhnya, mendorongnya mundur tersuruk-suruk lalu tiba-tiba kakinya pun terangkat. Tubuhnya melayang keras ke belakang mengempas di tembok, lantas jatuh tengkurap di lantai.
Kesakitan. Magdalena tertawa terkekeh-kekeh.
Tawanya berat dan rendah.
Namun pengaruhnya luar biasa.
Karena mendadak semua benda apa saja di ruangan itu pada bergetar. Makin lama makin hebat. Botol-botol minuman di rak jatuh bergulingan lalu terempas dilantai dengan suara hingar bingar. Disusul jatuhnya benda-benda hias dari keramik, buku-buku tebal yang tersusun rapi, patung-patung ukir buatan Bali yang semuanya tersimpan di rak lebar dan besar pada berjatuhan pula ke lantai. Salah satu buku tebal itu mendarat di kepala Ramandita yang sedang berusaha bangkit. Kepala Ramandita menegun, lalu tubuhnya kembali menengkurap di lantai, terkulai.
"Dan kau, manusia busuk yang berlagak jadi pahlawan penyelamat!"
Magdalena menyeringai ke arah Aki Juhari yang kini sudah bangkit dan duduk bersila.Berhadapan langsung dengan Magdalena, dengan kelopak mata tetap terpejam rapat, mulut komat-kamit membaca mantra, telapak tangan terletak menangkup di masing-masing paha.Magdalena tersenyum manis. Dan berujar sama manisnya,
"Terimalah salam perkenalanku, manusia buruk rupa!"
Lalu sepasang mata Magdalena diarahkan ke sebuah guci besar antik dari porselen, peninggalan zaman Batavia yang tegak bergetar di samping bawah rak besar. Guci itu meliuk lalu jatuh pelan di permukaan lantai, kemudian berguling sangat cepat dan melesat menuju punggung Aki juhari. Tampaknya, tulang punggung Aki Juhari pastilah akan remuk redam,karena ia tetap duduk bersila tanpa melihat serbuan guci porselen dari arah belakangnya.
Namun secara menakjubkan, pada detik-detik kritis, tubuh Aki Juhari sekonyong-konyong melayang naik ke atas. Tergantung diam di antara langit-langit dan lantai, masih tetap dalam posisi bersemedi. Guci pun lewat seperti kilat dibekas tempat duduknya. Terus menyerbu ke depan dengan sasaran pasti:
Magdalena senjata makan tuan! Magdalena membelalak. Lantas berseru keras. Guci terangkat setiba di depan lututnya, melayang melewati kepalanya, lalu melesat terbang ke arah tembok. Guci antik bernilai jutaan rupiah itu pun pecah berantakan.Pecahannya jatuh berserakan dengan suara berderai-derai di lantai. Salah satu kepingannya melesat ke dekat Ramandita. Masih terkulai lemah dan sakit,Ramandita mengenali asal kepingan benda yang terpacak ke dinding kayu rak besar di dekatnya,
"Berhentilah menghancurkan segala sesuatunya,Magdalena...." ia merintih, putus harapan.
"Kau...Menghancurkan milikmu sendiri!
" Tetapi Magdalena yang ia sebut-sebut saat itu tengah marah besar karena hampir saja ia kena dipecundangi Aki Jauhari. Dengan kemarahan yang meluap-luap ia meneruskan aksinya. Tubuh Magdalena terangkat dari lantai, terbang ke arah si orang tua yang masih tetap tergantung di awang-awang. Menyadari datangnya serangan, Aki Juhari mengangkat kedua tangan dengan telapak terbuka ke depan sebagai penangkis.Begitu dua pasang telapak tangan mereka beradu,berlangsunglah adu kekuatan tanpa suara. Aki Juhari tetap tidak berusaha melihat ke arah lawan, untuk menghindari tusukan sinar sejenis laser dari mata Magdalena.
Tahu siasat lawan, Magdalena mengarahkan sinar biru dari matanya pada kedua pasang tangan mereka yang saling mendorong.Terjadilah percik-percik api berwarna biru, putih, dan kuning, lalu merah. Magdalena tampak meringis, sakit dan marah luar biasa.Akan halnya Aki Juhari, meskipun tidak tampak mulutnya meringis, jelas terlihat sedang menanggung azab sengsara. Dari sudut-sudut mulutnya yang mengatup rapat, menetes ke luar butir-butir darah. Dan lebih banyak lagi dari lubang-lubang hidung serta telinga.
Akhirnya Aki Juhari membuka mulutnya juga.Hanya untuk melepaskan geraman keras dan pendek.
Akibatnya, Magdalena terdorong mundur ke belakang lalu jatuh ke lantai di atas kedua kakinya.
Limbung sejenak, kemudian berdiri gontai.
Adapun Aki Juhari posisi semedinya pecah, lalu disertai rintihan derita yang memilukan tubuhnya jatuh terempas di lantai.Pantatnya lebih dulu terempas, menimbulkan perasaan pening tidak kepalang, mata berkunang-kunang.Kemudian orang tua yang malang itu meliuk, terkulai diam di lantai.
Tak bergerak-gerak. Melihat itu ketakutan Harianto yang bersembunyi dikolong meja kerja, tibalah di titik puncak, ia mengerang,sambil merasakan cairan hangat mengalir deras membasahi selangkangan serta paha celananya. Cairan itu juga mengalir lalu menggenang di lantai.Magdalena mengerutkan dahi. Mengumpat tak senang,
"Bau pesing apa ini?"
Hidungnya kembang kempis mengendus-endus. Setelah mengetahui apa dan dari arah mana bau pesing itu,Magdalena melangkah cepat lalu membungkuk mengawasi ke bawah meja.
"Hem. Kau kiranya. Sungguh tak sopan. Kencing seenaknya di depan orang. Menghina, ya?!"
Lantas sebelah tangannya terulur ke depan.Harianto yang tak berdaya ditarik dari kolong meja,diseret sepanjang lantai sambil terus dicaci maki.Harianto hanya mampu mengeluh karena tidak ada yang dapat ia perbuat. Tubuhnya sudah loyo kesadarannya pun mulai hilang.Tetapi aneh bin ajaib di saat tubuhnya diangkat secara ringan seperti mengangkat karung berisi kapas saja laiknya, hanya dengan sebelah tangan Magdalena saja,mendadak Harianto memperoleh kekuatannya kembali.Itu pun cuma untuk menjerit,
"Tolooong! Dia mau...membunuhku... toloooong!"
Ramandita mengangkat kepalanya. Matanya nanar memandang tubuh sahabatnya yang siap dilemparkan ke tembok sementara yang melemparkan ambil ancang-ancang diiringi tawa mengikik berkepanjangan.Ramandita beringsut duduk, berusaha membuka mulut untuk memohon Magdalena tidak berlaku kejam pada sahabatnya.Pada saat itulah pintu depan didobrak orang dari luar.Dua polisi berpakaian preman yang tadi sudah tak sabar mendengar suara ribut-ribut di dalam rumah,menyerbu masuk. Serbuan mereka dibarengi pula oleh serbuan AKP Robinson Tarigan yang menendang terbuka pintu tembus ke koridor belakang. Kemunculan mereka yang serempak, didahului suara hingar bingar pula, menarik perhatian Magdalena. Tangannya diturunkan. Harianto pun jatuh. Namun tidak terlalu keras. Beruntunglah dia mendarat di tempat empuk.Yakni di atas perut Aki Juhari. Dan pingsanlah Harianto seketika.Ramandita mampu juga duduk lalu bersandar susah payah di tembok. Adapun dua polisi berpakaian preman, begitu masuk langsung tertegak diam dalam posisi menggelikan. Sebelah kaki terangkat, tubuh condong ke depan, tangan terkepal dengan siku menekuk. Posisi berlari menyerbu, tetapi tanpa kelanjutan apa-apa. Tak ada lagi gerakan yang mampu mereka lakukan, begitu mata mereka berdua bertemu dengan mata Magdalena. Robinson Tarigan tak kurang-kurang sial.
Sejenak ia terhindar dari perhatian Magdalena.
Tangannya terangkat. Dan tangan itu sudah menggenggam sepucuk pistol dengan laras tertuju lurus ke kepala Magdalena.
"Menyerah atau kutembak!" desisnya, keren.
Magdalena pelan-pelan memutar kepalanya. Ia mengawasi sang Ajun Inspektur dengan pandangan heran, kemudian pelan-pelan bibirnya tersenyum.
"Tembaklah... tembaklah...." bisiknya tajam.
Ia berjalan maju ke arah Robinson dengan dagu tegak.
Menantang. "Berhenti! Atau..."
Ucapan Robinson putus sampai disitu. Tangannya yang menggenggam pistol tampak gemetar, basah berkeringat. Jari telunjuknya bergerak mundur ke pelatuk, siap memuntahkan peluru dari moncong senjatanya. Melihat gerakan telunjuk tangan Robinson. darah Ramandita tersirap. Hasrat menyelamatkan nyawa Magdalena memberinya sedikit kekuatan untuk bangkit berdiri dan berteriak memperingatkan.
"Jangan tembak! Dia Magdalena.Komandan! Jangan tembak!"
Robinson masih tidak menembak. Arah laras pistol pun perlahan-lahan menyimpang, kemudian memutar.Perlahan tetapi pasti, laras pistol itu terangkat miring,lalu menghujam di jidat Robinson sendiri. Wajah perwira polisi itu berubah pucat.
Keringat dingin menyembur ke luar. Tangan kirinya berusaha menceng-kram pergelangan tangan kanan, dengan maksud mengalihkan arah laras pistol. Gagal menarik, jemari tangan kirinya beralih berusaha membuka jemari tangan kanan, dengan harapan pistolnya terlepas sendiri. Semua usahanya sia-sia belaka.Robinson menyipitkan mata, pasrah secara terpaksa karena telunjuknya jelas semakin dalam menarik pelatuk. Magdalena menyeringai buas, tertawa lunak.
"Kasihan!" bisiknya.
Menaruh iba. "Ayo, bengkokkan...!"
Laras pistol di genggaman tangan Robinson Tarigan tampak mengepulkan asap. Laras besi baja itu membara merah, kemudian menekuk bengkok ke arah lantai. Tak ubahnya pistol mainan dari plastik, yang menekuk lemas karena serangan panas api. Uap panas dari genggaman besi baja di telapak tangannya secara naluriah menimbulkan reaksi. Memekik tertahan,Robinson secara refleks membuka sendiri telapak tangannya.Pistol jatuh ke lantai. Dan telapak tangan sang Tarigan tampak melepuh terbakar. Lelaki malang itu jatuh menahan derita. Mana jantungnya sudah menciut pula.Riang gembira menyaksikan atraksi hebat yang dipertunjukkannya, Magdalena tertawa mengikik.Tubuhnya pun melayang dengan gerakan menari-nari sepanjang ruangan. Dari satu sudut ke sudut lain.Tanpa menjejak di lantai maupun di langit-langit.Tubuhnya mengambil posisi rebah lurus seakan ingin tidur, rileks. Rambutnya yang tebal bergelombang berurai lepas. Namun tidak ke bawah, melainkanterurai begitu indah di permukaan eternit langit-langit akustik. Tampaknya ia benar-benar sedang tidur-tiduran dan Ramandita tengah memandang bukan dari bawah melainkan dari atas.
"Bagaimana Ramaku sayang?" bisiknya lembut.
Bisikan Si Nona. "Puas melihat show cuma-cuma yang kupersembahkan untukmu seorang?"
Lutut Ramandita masih goyah.
Menyandar di tembok,ia menengadah dan bertanya memelas,
"Baiklah, Nona.Aku... menyerah...."
"Hanya menyerah?" bibir Magdalena tersenyum manis sekali.
"Katakanlah apa keinginanmu. Tetapi bebaskanlah istriku dari perbudakanmu!"
"Kau sudah tahu apa yang kuinginkan, bukan?"
"Aku... maaf. Aku lupa."
"Dasar laki-laki!" umpat Magdalena, namun bukannya menghina, malah terdengar mesra,
"Sudah dapat manisnya, sepah dibuang begitu saja. Tetapi aku tahu siapa kau. Sadar betapa besar pengaruhmu atas diriku.Lagi pula..."
Magdalena mengerdip nakal.
Berkata semakin mesra, "Aku menyukai permainan biadab indah kita di pagi yang manis itu!"
Ramandita tidak mengomentari apa-apa. Magdalenapun rupanya tak sabar pula. Nada suaranya berubah tajam ketika ia memberitahu,
"Aku menghendaki mereka!"
"Siapa, Nona?" "Ayahku yang pengkhianat. Si Komar. Dan Sumarna,lurah jahanam itu. Tunjukkan padaku dimana mereka bersembunyi!"
Ramandita tercekat. Lalu mencoba menjelaskan,
"Tetapi, Nona. Mereka itu hanya tokoh-tokoh imajiner dalam novelku. Dan..."
"Aku tak mengerti apa maksudmu, Ramandita. Dan aku tak peduli. Tunjukkan mereka padaku. Karena hanya kau satu-satunya orang yang dapat melakukannya, seperti kau juga dapat memanggilku kapan kau suka. Setelah mereka kutemukan, aku akan pergi. Untuk selamanya. Bergabung dengan ibuku malang, Larasati!"
"Permintaanmu itu sesuatu yang mustahil, Nona!"
"Apa boleh buat!"
"Cobalah dengar dan pertimbangkan. Aku sudah bilang,bahwa mereka itu..."
"Aku tak sudi lagi mendengarkan alasanmu yang macam-macam itu!" bentak Magdalena tiba-tiba.
Wajahnya berubah galak, menakutkan.
"Lihatlah apa yang kulakukan pada tubuh istrimu!"
Lalu tubuh yang setengah menempel di langit-langit ruangan itu meliuk-liuk keras. Wajah galak menakutkan itu berubah memelas, memperlihatkan penderitaan yang tiada tertahankan, diiringi suara merintih-rintih kesakitan. Suara asli Magdalena.
"Ampun... berhentilah menusuk-nusuk jantungku..Aduh, jangan patahkan tulang-belulangku. Tolong...aku tak kuat... aaaaak!" dan air mata menetes dan terus menetes dari sudut-sudut mata Magdalena, jatuh keseprai.
Lembap, basah. Jiwa Ramandita bagai ikut terkoyak.
Ia merintih, "Hentikan menyiksa istriku. Nona!"
Liukan tubuh Magdalena berhenti. Posisinya kembali keposisi tidur.
Santai-santai saja. Hanya suara-suara SiNona, yang masih tetap galak,
"Itu belum apa-apa. Kau telah melakukan kesalahan besar. Yang teramat sangat besar. Dan itu menyiksa roh ibuku. Dengan sendirinya,menyiksa diriku pula...."
"Apa maksudmu?"
"Ibuku mati terbunuh. Tak apa mengenai itu. Yang sungguh keterlaluan, mengapa roh-roh jahat ditubuhnya tidak dibunuh lebih dulu? Sehingga roh-roh jahat itu ikut menguasai diriku setelah aku dilahirkan.Tidakkah kau lihat akibat kesalahanmu yang faal itu? Aku mereka perbudak. Aku dipaksa mereka menyedot cairan tubuh korban-korbanku, melalui rahimku. Untuk memuaskan dahaga mereka. Setelah itu barulah mereka merencah dan mengunyah habis daging-daging korbanku itu. Mereka selalu haus dan lapar. Selalu haus dan lapar...."
"Mereka... siapa?"
"Ini... lihatkah?"
Tubuh Magdalena pelan-pelan menegang kaku, lalu gaun yang dikenakannya memperlihatkan sembulan-sembulan di beberapa tempat. Di dada, di perut, dipinggang, di paha, di betis. Sembulan-sembulan itu makin menonjol ke depan, kemudian merobek-robek retas gaun Magdalena. Disusul meletaknya sosok-sosok kecil hitam legam, bermata merah darah, menyeringai memperlihatkan gigi-gigi bagai gergaji, tajam mengerikan. Sosok-sosok makhluk kecil entah mirip kadal atau ular itu meliuk-liuk buas dan seakan murka karena dipaksa memperlihatkan diri. Setelah mendesis-desis dengan bunyi mendirikan bulu roma, makhluk-makhluk hitam kecil itu melesat secepat kilat, masuk lagi ke bagian dalam tubuh Magdalena. Meninggalkan bekas-bekas robekan di gaun. Dan dari celah-celah robekan itu tampak kulit tubuh Magdalena yang tadinya putih mulus melepuh merah kehitam-hitaman seperti terbakar hangus.Ramandita hanya diam ternganga. Lupa memikirkan,mungkin saja raga Magdalena barusan didera azab sengsara yang jauh lebih mengerikan.
"Nah...." Magdalena, dengan suara Si Nona, berujar tegas.
"Tugasmu pula untuk mengembalikan makhluk-makhluk itu ke tempat mereka yang layak.Tanpa mereka, barulah aku akan mati dengan tenang,tenteram, dan roh ibuku dapat tidur dalam kedamaian yang abadi..."
Ramandita akhirnya mampu juga membuka mulut begitu lepas dari pukau yang menyihirnya sesaat melihat makhluk-makhluk menyeramkan tadi.Komentarnya pun pendek saja,
"Wah!" "Yang jelas, Ramandita!"
"Apa?" sahut Ramandita, terperanjat.
"Ucapkanlah lebih jelas. Apakah kau bersedia membantuku menemukan Komar dan Sumarna? Serta mengembalikan makhluk-makhluk jahat itu ke tempat mereka semula!"
"Aku..." Ramandita kembali gugup. Si Nona, melalui mulut Magdalena, bersungut beringas,
"Ingat. Kau tak boleh ingkar janji lagi. Bila kau ingkar janji, aku akan terus mengambil korban dan korban sebanyak aku suka. Dan pada akhirnya aku pun pasti tega... mengorbankan dirimu!"
Kalimat terakhir itu mengherankan Ramandita.
"Pasti tega... Ah ya. Kini aku teringat. Mengapa setelah kita bersanggama pagi itu... aku tidak mengalami nasib seperti laki-laki yang kemudian tidur denganmu?"
"Karena.... " Magdalena berhenti sejenak, kulit wajahnyapun memerah. Lalu berujar malu-malu,
"Kukira aku..jatuh cinta padamu!"
"Apakah kau tidak. Rama?"
"Aku...." Ramandita ragu mau menjawab apa. Terkilas dalam ingatannya ketika mula-mula ia putuskan untuk mencari Si Nona, menyatakan tanggung jawabnya karena telah menodai kesucian gadis itu. Bahkan waktu itu sempat berpikir bahwa bukan mustahil diam-diam ia juga sudah menaruh cinta pada Si Nona.
"Hem... aku mengerti,"
Magdalena bergumam lembut.Tak ada nada kebencian dalam suaranya, suara SiNona, ketika ia melanjutkan,
"Cintamu hanya kaupersembahkan untuk satu orang saja. Yakni, pada istrimu. Yang raganya saat ini kupinjam sementara...."
"Maukah kau melepaskannya sekarang?"
Ramandita segera memohon.
"Dan bagaimana dengan permintaanku?"
Habis akal, Ramandita menjawab,
"Akan kubantu mengantarmu ke tidurmu yang abadi!"
"Aku percaya padamu, Ramandita. Nah. Aku akan pergi ke tidurku yang sifatnya sementara dan senantiasa resah tersiksa. Sambil menanti kau lunasi janjimu. Selamat tinggal, lelaki tampan. Sambutlah ini istrimu ini...."
Selesai berkata demikian, dari sekujur tubuh Magdalena memancarlah keluar sinar biru, namun tanpa bias putih yang tajam menyilaukan mata itu. Sinar biru bergerak-gerak melingkar, kemudian mulai pecah,menebar.
Ramandita tersadar. Setengah kaget ia menghambur kedepan dan tiba tepat pada saatnya di tengah permukaan seprai yang terhampar di lantai, untuk menyambut secara naluriah dengan kedua lengannya tubuh Magdalena yang jatuh dari langit-langit.Karena masih lemas dan terasa sakit di beberapa bagian tubuhnya, sambutan Ramandita tidak begitu sempurna.Ia memang dapat menangkap tubuh Magdalena, tetapi kemudian jatuh berlutut lantas terjerembap membawa tubuh istrinya ke lantai. Berguling sesaat lalu berhenti diam, terdengar suara keluhan dari mulut Magdalena.Dan itu memang suara asli istrinya.
"Aduh...Ramandita. Apa yang telah...?"
Putus sampai di situ. Karena Magdalena sudah keburu pingsan, tak sadarkan diri.
Ramandita duduk, membawa kepala Magdalena keharibaannya, merangkul dada istrinya dengan lengan-lengan gemetar dan wajah membias pucat. Lalu dari sudut-sudut matanya menetes butir-butir air bening.Yang kemudian jatuh di pipi Magdalena.
"Ya Tuhan...." Ramandita ingin menjerit.
Jeritan yang tertahan di tenggorokan.
"Bermimpikah aku?"
Tidak. Ramandita tidak bermimpi.
Ada gerakan-gerakan dan suara-suara keluhan lain di sekitarnya.Dua polisi berpakaian preman yang mematung dalam posisi menggelikan itu meneruskan serbuan mereka keruang duduk, sambil bertanya kalang kabut,
"Ada apa?:Mengapa? Siapa yang..."
Di belakang Ramandita, Robinson Tarigan mendengus marah,
"Tanganku. Mengapa telapak tanganku terbakar?"
Dan pada anak buahnya, ia menggeram,
"Siapa yang menyuruh kalian meninggalkan pos?"
Aki juhari menggeliat bangun. Setelah ia mengetahui siapa yang memberati gerakannya, ia pun bersungut-sungut.
"Uh. Tidur tak lihat-lihat orang?"
Lalu ia tepiskan tubuh Harianto yang masih pingsan. Aki Juhari menambah dengan kesal
"Hem. Bau pesing, lagi.Sialan!"
Dari pintu belakang yang menganga terbuka muncul wajah lain yang tampak begitu pucat. Suaranya pun terengah-engah,
"Ada yang dapat kubantu?" Alex Paduhai, si astronom,bertanya khawatir.Robinson Tarigan membentak,
"Bah!"
Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dan bah lagi. Bukan main kesalnya dia. *** DUAPULUH DUA Aki Juhari sadar bahwa dirinyalah yang jadi tumpuan kekesalan si perwira polisi. Orang tua itu tampak jengkel sekali. Namun toh komentar yang keluar dari mulutnya terdengar masih tetap sopan,
"Bersyukurlah,Pak Komandan. Tidak ada yang cedera serius, saya harap!"
"Tidak?" Robinson mendengus berang, ia perlihatkan luka bakar di telapak tangan kanannya. Kulitnya melepuh, sampai tampak dagingnya setengah hangus.
"Lalu ini apa? Sate ya?!"
"Sabar, Pak Komandan. Sebentar juga sembuh.Percayalah, tak akan meninggalkan bekas apa-apa...."
"Aku percaya. Kalau tidak, kau sudah kupenjarakan!"
Masih tetap beringas, sang Ajun Inspektur memandang sekeliling ruang duduk yang hancur berantakan. Seolah habis dilanda gempa. Banyak sekali barang yang rusak atau pecah. Yang masih utuh, berserakan tumpang tindih. Salah satu dinding tembok malah retak. Dan rak besar berada dalam posisi miring.
"Entah berapa juta rupiah pula kerugian materi akibat ide sintingmu!" gerutu Robinson lagi sembari menggelengkan kepala, prihatin.
Aki Juhari diam saja, ia membantu seorang teknisi menyadarkan Harianto dari pingsan. Begitu siuman,Harianto memekik tertahan, lalu membelalak heran. Ia mengusap-usap matanya sejenak, memandang orang-orang yang mengelilinginya, lantas bertanya khawatir,
"Apakah keadaan sudah aman?"
Tak ada yang menjawab. Harianto disuruh tahu sendiri. Dan ia pun tersenyum-senyum, malu hati.
"Di mana kau simpan tembakauku itu?" tanya Aki Juhari.
Harianto merogoh saku celananya, panik sebentar, kemudian ribut mencari.
"Barangkali jatuh!" katanya. Yang lain-lain ikut mencari.
Akhirnya bungkusan kecil berisi tembakau mentah milik Aki Juhari ditemukan di kolong meja kerja. Setengah terbenam dalam genangan air kencing Harianto di bagian lantai yang sedikit lekuk.
Aki Juhari membuka bungkusan kecil itu. Tembakaunya sudah basah kuyup semua. Baunya jangan dikatakan lagi. Merah padam kulit muka Harianto melihatnya.Tetapi Aki Juhari tidak marah. Orang tua itu malah senyum-senyum dikulum. Melirik ke Robinson Tarigan,ia bergumam senang.
"Nak Yanto seperti sudah tahu saja, bahwa supaya pengobatan lebih mujarab,tembakau ini mesti dikencingi...."
"Mau diapakan tembakau itu?" tanya Robinson mengerutkan dahi.
Lubang-lubang hidungnya disempitkan karena tak tahan mencium bau pesing.
"Sebagian diusapkan ke luka bakar. Sebagian lainnya...diisap. Seperti mengisap rokok, begitu. Tentu saja setelah dikeringkan lebih dulu,
" jawab Aki Juhari. "Dan... Bapak sendiri yang akan mengisapnya, bukan?"tanya Robinson.
Wajahnya kelihatan cemas.
"Bukan dong!" "Lantas, siapa kalau begitu?"
Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan tambah cemas.Aki Juhari memberi tahu dengan kalem,
"Ya, Pak Komandan sendiri!"
Robinson tak pelak lagi mengumpat panjang pendek.Harianto mundur diam-diam, tetapi ketahuan. SiPerwira Polisi sudah melihatnya, lantas menghardik garang,
"Kau sih! Kencing tak pakai permisi!"mengumpat panjang pendek lagi, ia menambahkan dengan keluhan,
"Coba kalau aku sendiri yang mengencinginya... bah!"
Untuk menebus kencing tak permisinya, Harianto bersedia mengeringkan sebagian tembakau di bawah sinar panas matahari di pekarangan belakang. Sisanya yang masih basah kuyup oleh Aki Juhari dengan cepat diusapkan ke seluruh permukaan telapak tangan Robinson Tarigan. Sambil mengusap, Aki Juhari komat-kamit membaca mantra. Begitu ia selesai mengusap-usap dan tangannya ditarik mundur,tampaklah telapak tangan Robinson yang terluka bakar mengerikan itu sudah sembuh.
Utuh seperti semula. Sedikit pun tak ada bekas-bekas luka bakar di situ.
"Setan gemar pada yang busuk-busuk,"
Aki Juhari menjelaskan. "Berikan yang paling busuk padanya, dan pengaruhnya pun akan hilang dengan sendirinya."
"Kalau begitu,"
Robinson berujar gembira.
"Aku tak usah lagi merokok tembakau yang sudah dikencingi itu,bukan?"
"Harus, Pak Komandan!"
"Lho. Bukannya sudah sembuh!"
Robinson membolak-balik telapak tangannya dengan bangga.
"Dari luar, memang tampaknya sudah. Dari dalam,belum."
Aki Juhari menerangkan dengan khidmat.
"Maka itulah sebagian tembakau harus diisap. Bukan asapnya yang penting, melainkan nikotin yang tersedot oleh mulut. Nikotin yang sudah bercampur zat-zat dari air kencing itulah yang menjadi penyembuh dari dalam tubuh."
Sang Ajun Inspektur membelalak. Kali ini dia tidak menyebut, bah, melainkan dengan mulut menganga ia mengeluh,
"Waaah..." Acuh tak acuh Aki Juhari meninggalkannya. Dengan sisa tembakau yang masih basah ia pergi ke kamar tidur, ke tempat mana sebelumnya Magdalena sudah dipindahkan Ramandita.
"Mudah-mudahan perempuan malang itu sudah siuman pula, dan cederanya tidak terlampau parah,"desah Aki Juhari, prihatin.
Yang lain-lain mengikuti ke dalam. Toh tidak ada yang melarang. Magdalena menggeliat di tempat tidur. Ia sudah siuman, dan baru saja habis menangis dalam pelukan kasih suaminya. Robek-robek pada pakaiannya jelas memperlihatkan kulit tubuh yang melepuh terbakar di sana-sini. Demikian pula di betis-betisnya.Daging-daging tubuh Magdalena pun jelas kelihatan,bahkan lebih parah keadaannya dari pada telapak tangan Robinson. Daging-daging yang terbakar itu tampak bagai berlubang.
Bekas makhluk-makhluk kecil hitam dan menakutkan itu menembus keluar masuk.Aki Juhari memerlukan tempo lebih lama dan mantra yang lebih banyak pula ketimbang sewaktu menyembuhkan luka bakar di telapak tangan Robinson.Beberapa kali Aki Juhari terlihat meringis kesakitan,peluh pun membanjir keluar dari pori-pori kulit wajahnya. Akhirnya tangan yang mengusap-usap ia tarik mundur, lalu terduduk lemas dan letih.Tampaklah gaun Magdalena masih robek-robek di sana sini, tetapi luka bakar sudah tak tampak lagi. Kulit tubuhnya sudah kembali putih mulus. Betisnya yang telanjang pun semakin sedap dipandang.Penyembuhan berikut tidak ada yang berminat menyaksikan. Sementara yang lain-lain sibuk bekerja diruang duduk maupun di kamar pembantu, Robinson pergi ke kakus.
Ia buang air besar sambil mengisap rokok berbalut kertas dengan tembakau yang sudah dikeringkan itu. Tak seorang pun tahu apakah selama di dalam kakus tertutup itu ia buang air besar atau tidak.
Mereka hanya mendengar beberapa kali orang menyumpah serapah dan menyebut nama Harianto.
Malam harinya mereka semua berkumpul di koridor belakang. Karena kamar pembantu terlalu sempit,semua peralatan dipindahkan ke luar dan kursi-kursi disusun berderet sehingga semua mereka kebagian tempat duduk untuk menyaksikan pertunjukan di layar televisi. Banyaklah ragam komentar tercetus selama pemutaran rekam ulang hasil pemotretan di ruang duduk itu.Di layar, jelaslah posisi rebah Ramandita, Aki Juhari,Magdalena, Harianto yang tegak lurus dengan telapak tangan saling bertaut, menunjuk ke arah empat mata angin. Pertemuan sisi-sisi kaki mereka berempat pun membentuk persegi yang sudut-sudutnya menunju kempat arah mara angin pula percakapan mereka memulai upacara memanggil roh. Disusul koor samar-samar dari mulut mereka sewaktu melafal mantra.Lalu dari bagian kosong di antara telapak kaki,muncullah asap tipis menyerupai kabut. Lantas saja Aki Juhari berkomentar puas,
"Di ruang duduk tadi aku mengaku kalah bertarung dengan roh jahat ini. Tetapi kalian lihatlah. Dalam satu hal aku benar, Ramandita dijadikan tameng. Ternyata dugaanku tidak keliru, ia bersembunyi di balik persenyawaan benih hasil persenggamaannya dengan Ramandita. Persembunyiannya segera terbuka begitu di kain seprai ikut melarut hasil persenyawaan benih Ramandita dan Magdalena.Terbukti, bukan? Aku telah berhasil mengurung dia!"
Yang lain diam saja. Semua asyik dan tampak tegang menyaksikan layar, di mana asap menyerupai kabut itu semakin tebal dan tebal, berputar-putar sebentar diantara kurungan telapak kaki. Lalu suatu saat muncullah sinar biru dari tengah asap. Sinar itu bertambah terang dan menyilaukan. Menari-nari sebentar di antara telapak-telapak kaki pengurungnya,sinar biru keputihan tampak seperti tertegun di depan telapak kaki Ramandita, disusul gerakan meliuk seakan menghunjam di telapak kaki itu.
Ramandita bersungut gemetar,
"Jadi... hunjaman itulah yang tadi kurasakan..."
Puas menjelajahi dan menghunjam-hunjam di telapak kaki Ramandita, sinar biru berputar-putar lagi,kemudian berhenti di depan telapak kaki Magdalana.Melihat itu Magdalena meluruskan duduknya di kursi,menahan napas sambil matanya terbuka lebar menatap ke layar televisi. Tampak di layar, betapa sinar biru itu menghunjam masuk seluruhnya ke dalam tubuh Magdalena dan lenyap seketika.
Harianto memekik tertahan sewaktu di layar tampak Magdalena bangkit perlahan-lahan ke posisi duduk,dengan wajah dingin dan kaku, dan mata berkilat kemerah-merahan. Dialog-dialog pun terdengar dari mulut Magdalena. Suara Si Nona, yang kemudian bersiasat mempecundangi Harianto.
'Di situlah letak Magdalena kita!" desah Aki Juhari lirih sewaktu di layar televisi tampak jelas Harianto melepaskan diri dari ikatan magis. Tetapi tidak ada yang tertawa sewaktu melihat bagaimana Harianto beringsut dengan punggung menempel di lantai, lalu lenyap di balik kegelapan kolong meja kerja.Mereka semua sama tegang dan sama ngerinya menyaksikan apa yang kemudian berlangsung, dan suara-suara yang mau tak mau membuat bulu roma mereka berdiri. Bahkan Alex Paduhai dan anak buahnya yang telah melihat semua adegan itu sebelumnya toh kembali tegang dan bahkan mengeluarkan peluh dingin. Kalaupun mereka bersuara, yang terdengar hanyalah desah-desah takjub,ngeri, kaget, diseling bunyi napas-napas memburu pertanda jantung maupun paru-paru mereka berpacu ekstrakeras.Hanya sekali Robinson terpekik. Yakni ketika laras pistol yang tertuju ke arah tubuh Magdalena perlahan-lahan membelok berubah arah tahu-tahu sudah menempel di jidatnya sendiri!
Sempat pula ia bergumam tersendat,
"Andai bukan ulah sendirilah itu...pasti semua ini... kuanggap... adegan-adegan film murahan!"
Lalu ia menyeka peluh dingin di jidatnya.
Wajahnya pucat sendiri. Lalu semuanya pun berakhir. Seperti mulanya, akhir pertunjukan berantakan, dan kesibukan-kesibukan yang berlangsung setelah Si Nona pamit pada Ramandita dan tak lupa mengembalikan raga Magdalena yang beruntung masih sempat disambut jatuhnya dari langit-langit oleh Ramandita.Sementara yang lain bertukar pandang, masih di cekam kengerian. Aki Juhari meminta salah seorang teknisi memutar ulang adegan ketika Si Nona pamit pada Ramandita.
Permintaan segera dipenuhi.
Jelas terlihat sinar biru itu menebar pecah dari sekujur tubuh Magdalena sebelum tubuh itu jatuh ke bawah lalu disambut tangan-tangan Ramandita dengan panik.Sinar biru itu kemudian membentuk garis lurus, lalu melesat dan hilang di ubun-ubun Ramandita yang tengah sibuk menampung jatuhnya tubuh Magdalena.
"Apa... apa artinya ini?"
Ramandita bertanya, tersedak.
Yang lain mengawasi Aki Juhari. Menunggu dengan wajah sama tegang. Aki Juhari sebaliknya mengawasi Ramandita dengan tenang. Dan tenang-tenang pula ia memberitahu.
"Roh jahat itu kini telah menemukan tempat persembunyian yang paling aman. Sekaligus pula dapat melindungi dirinya."
"Di...?" tanya Ramandita, panik.
"Di dalam tubuhmu. Tepatnya, di alam pikiranmu!"
*** Menjelang tengah malam, keadaan di dalam rumah Ramandita sudah lebih tenang daripada sebelumnya.Alex Paduhai, astronom yang orang Nias itu beserta anak buahnya sudah pergi dua jam sebelumnya. Meski tampak masih menyimpan kengerian di wajah-wajah mereka, pada umumnya mereka kelihatan puas dan gembira. Alex Paduhai berkata sewaktu pamit,
"Saya akan membujuk pimpinan kami agar membatalkan tagihan pembayaran yang sudah kalian sepakati. Terus terang, hari inilah pertama kali kami memperoleh hasil dari jerih payah sekian tahun. Dan hasil yang pasti bakal menggemparkan pula!"
Mereka pergi bersamaan dengan kedua anggota polisi berpakaian preman itu. Dengan instruksi dari komandan mereka agar menutup mulut rapat-rapat,dengan jabatan masing-masing sebagai taruhan bila instruksi dilanggar. Mereka diharuskan kembali kemarkas untuk melapor dan dari markas tetap menghubungi Ajun Komisaris Polisi Robinson Tarigan mengenai situasi di luaran. Robinson memutuskan tinggal di rumah Ramandita.
"Aku harus yakin dulu SiNona benar-benar pergi dan tidak lagi meninggalkan kerangka misterius lebih banyak di atas meja kerjaku!"katanya, ngotot Harianto tidak bersedia tinggal.
Ia masih ketakutan. Dan ia punya dalih yang memang masuk akal untuk pergi dan tidak ikut campur urusan selanjutnya.Katanya:
"Aku takut pada hantu. Tetapi lebih takut lagi pada Bos!".
Tetapi sebelum berangkat ke percetakan, ia masih sempat mendengarkan rencana mengenai usaha Aki Juhari mengakhiri sepak terjang Si Nona. Maka sebelum pamit ia sempat berpesan setengah berseloroh pada sahabatnya,
"Tulis selengkapnya, ya? Anggap saja lanjutan cerita bersambungmu yang sudah habis itu.Pasti dimuat!"
Meskipun perabotan, isi rak, keramik hias sudah tak lengkap lagi, guci antik pun sudah tak meninggalkan bekas, secara keseluruhan ruang duduk itu telah kembali pada fungsinya semula. Merangkap jadi ruang kerja Ramandita. Bedanya, kalau biasanya Ramandita bekerja sendirian dan paling tak suka ditunggui, kali ini ia duduk menghadapi mesin tiknya dengan Aki Juhari duduk pula di seberang meja. Plus dua lainnya di kursi jok, Magdalena dan Robinson Tarigan yang duduk dengan wajah cemas. Apalagi setelah Aki Juhari kembali wanti-wanti pada Ramandita,
"Ingat! Begitu urusan Si Nona selesai, kalian harus berpisah. Dan cepat tinggalkan dia."
"Bukan itu yang kukhawatirkan, Ki," keluh Ramandita lesu.
"Melainkan, apakah aku dapat mengonsentrasikan pikiran...."
Dengan bantuan tenaga batinku yang akan kusalurkan ke batinmu, kau pasti sanggup. Imajinasimu akan berkembang dengan sendirinya. Dengan satu catatan yang harus kau camkan benar-benar.'
"Apa, Ki?" "Hentikan imajinasimu pada saat yang tepat. Yakni saat kalian harus berpisah!"
"Bila tidak dapat kuhentikan?"
"Risiko teramat besar. Maaf, aku tak tahu sebesar apa.Tak tahu pula bagaimana wujudnya. Yang jelas, pasti berbahaya. Kau masih dapat mundur...."
"Dan membiarkan Si Nona meneruskan petualangannya?"
Ramandita mengeluh lantas menggelengkan kepala.
"Aku bersedia mengambil risiko itu. Apalagi risiko itu pun tak perlu ada selama aku mampu membatasi imajinasiku sebagai seorang pengarang."
"Yakinkan itu dalam dirimu, Nak!" bisik Aki Juhari,tajam.
"Akan kucoba. Sambil mesin tikku berjalan."
"Siap?" "Siap, Ki!" Magdalena berpegangan ke tangan Robinson Tarigan,seakan memohon supaya perwira polisi ini bersiap sewaktu-waktu untuk melindungi Ramandita. Robinson mengusap lembut punggung tangan Magdalena, tetapi tidak tahu apa yang harus dikatakan. Kecuali,
"Lebih baik kita mulai berdoa, Magdalena."
Magdalena berdoa. Robinson Tarigan juga berdoa.
Namun tetaplah Tuhan jua yang menentukan nasib manusia.Sementara Ramandita duduk santai di kursi putarnya sebagaimana biasa kalau ia bekerja ditemani mesin tik,maka Aki Juhari bersedekap di dada. Mulut komat-kamit dan mata terpejam rapat. Lalu suatu saat ia mengembuskan napas keras ke depan, membuat asap rokok yang diisap Ramandita bertemperam.
Ramandita masih merenung.
Mulutnya makin kuat mengisap rokok, dan setelah mencicipi kopi dari gelas, ia memasukkan sehelai kertas HVS ke rol mesin tik dan jari-jemarinya mulailah beraksi.
Imajinasinya telah bekerja.
Robinson bangkit dari duduknya. Segan dan tampak sedikit takut, ia berjalan menuju meja kerja dan berdiri sedikit di belakang kursi putar yang diduduki Ramandita. Sebelumnya Aki Juhari telah memberikan tugas padanya agar membaca keras-keras setiap kata hasil ketikan Ramandita, agar dapat didengar Aki Juhari, tetapi tidak dapat didengar oleh Ramandita sendiri karena lubang-lubang telinganya lebih dulu telah dimantrai sehingga tidak dapat diusik pihak ketiga. Hanya satu hal yang tak boleh dilakukan Robinson, jangan menyentuh tubuh Ramandita selama bekerja.Sambil membantu dengan kekuatan batinnya supaya Ramandita dapat berimajinasi dengan lancar dan sempurna, Aki Juhari menajamkan telinga untuk mendengar apa-apa yang dibaca sang Ajun Inspektur Di kursinya, Magdalena ikut mendengarkan. Dengan wajah tambah lama tambah tegang.
** DUAPULUH TIGA Setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan,demikian hasil ketikan Ramandita yang dibaca keras-keras oleh Robinson, tibalah aku di desa yang terletak di kaki Gunung Galunggung itu. Aku mencari-cari Si Nona dangan mataku, tetapi tidak melihatnya. Aku tiba-tiba ingat, ia ada di dalam alam pikiranku. Maka aku memanggilnya,
"Nona?" "Aku di sini," kudengar sahutan lembut basah.
Ah. Si Nona sudah berdiri di sebelahku. Tersenyum bahagia. Wajahnya semakin cantik saja. Di bawah sinar rembulan, tampak matanya begitu indah, ia masih begitu muda. Polos, dengan wajah seakan tak berdosa.Mengeluh dalam hati karena telah melibatkan dirinya dalam kejahatan-kejahatan terkutuk, aku menuding dengan jari telunjuk,
"Kau lihatkah rumah itu, Nona?"
Matanya mengikuti arah jari telunjukku ke sebuah rumah kecil di bawah bukit. Walau kecil tetapi rapi dan resik. Halamannya ditanami bebungaan yang sedang mekar-mekarnya, walau malam telah larut dan cuaca terasa dingin sejuk menusuk sampai ke sumsum.
"Rumah siapa itu?" tanya Nona.
'Saniah." "Aku tidak membutuhkan dia!" kudengar Si Nona menggerutu pelan.
Maka kujelaskan padanya, "Saniah itu seorang janda.Tanpa anak, masih muda, cantik pula. Setelah Sumirah meninggal dunia di tangan ibumu, Pak Lurah mengalihkan perhatiannya pada Saniah. Setelah ibumu meninggal pula, Sumarna makin getol mendekadi Saniah. Nah, itu dia... lihat!"
Pintu depan rumah kecil itu terbuka. Cahaya lampu minyak menerobos ke luar. Tampak bayang-bayang sesosok tubuh perempuan melongokkan kepala,mencari-cari. Sesosok tubuh pun muncul dari kegelapan dan tahu-tahu sudah berdiri di depan Saniah.
"Diakah... Sumarna?" tanya Si Nona, menggeram.
"Ya. Keluarga Saniah menentang keras hubungannya dengan Sumarna. Itulah sebabnya mereka melangsungkan pertemuan diam-diam, sementara Sumarna masih mencari jalan bagaimana membujuk keluarga Saniah...."
Pintu rumah kecil itu tertutup lagi setelah Sumarna menyelinap masuk.
Si Nona bertanya bingung,
"Apa yang harus kulakukan?"
"Pergilah ke sana. Masuklah ke tubuh Saniah.Selanjutnya, kau sudah tahu apa yang harus kau lakukan..."
"Tetapi... aku tak pernah memakai raga orang lain.Ibuku, Larasati, juga tidak..."
"Kau mempunyai kelebihan dibandingkan ibumu,Nona. Ibumu lahir normal, kau tidak. Ibumu lahir ditempat tidur. Kau... lahir dan tumbuh besar di dalam kubur. Itulah sebabnya kau dapat muncul di dunia kami. Dunia nyata. Kelebihannya lagi, kau dapat meminjam raga orang lain tidak saja sebagai kamuflase,tetapi sekaligus juga sebagai perantara membalaskan dendam kesumat. Nah. Pergilah sekarang, sebelum mereka..."
Ramandita berhenti mengetik. Kertas di mesin tik dicabutnya, diganti dengan yang baru. Tenang-tenang pula ia menyulut rokoknya sebatang lagi, merenung memandangi mesin tik. Sikapnya acuh tak acuh, seolah ia sedang sendirian saja laiknya.
Aki Juhari tetap duduk bersila.
Tanpa bergerak. Bahkan seperti tak bernapas.
Di kursi lainnya, Magdalena duduk menunggu dengan tegang dan wajah pucat. Dan di sebelah kursi putar Ramandita, Ajun Komisaris Polisi Robinsoo Tarigan berdiri kaku.Ramandita meneguk kopinya lagi.
Kembali mengetik. Belum habis ucapanku, tahu-tahu Si Nona sudah lenyap. Aku hanya melihat sinar biru menyilaukan melesat menembus kegelapan malam, berputar-putar sejenak di atas atap rumah janda muda itu. Lalu, sinar biru itu menukik ke bawah dan masuk menerobos atap genting.
Aku duduk menunggu dengan tegang.
Menit demi menit berlalu.
Mataku hampir tak berkedip mengawasi rumah Saniah. Sampai sinar biru itu tampak melesat lagi dari atap rumah Saniah,menari-nari sejenak, kemudian melesat ke tempat dimana aku duduk menanti. Saat itulah terdengar suara jerit perempuan dari dalam rumah Saniah. Pastilah Saniah sendiri yang menjerit amat menyeramkan itu.Terdengar suara terengah-engah di sebelahku. Ketika aku menoleh, kulihat Si Nona duduk dengan kaki berjuntai rileks, melepaskan lelah. Matanya mengawasi rumah Saniah, dan rumah-rumah lain disekitarnya.Makin banyak sinar lampu terlihat. Sosok-sosok tubuhpun berlompatan keluar dari pintu-pintu rumah yang terbuka, lalu berlari-lari ke arah yang sama.
Rumah Saniah. "Bagaimana?" tanyaku, gemetar.
"Sudah." "Sudah apanya?" tanyaku tak puas seraya mengawasi wajah gadis di sebelahku.
Wajahnya tampak gundah, ia tidak tampak gembira sedikit pun ketika menjelaskan,
"Dendam ibuku sudah terlampiaskan. Yang kini ditangisi Saniah tinggal tengkorak dan tulang-belulang Sumarna saja!"
Aku ingin bertanya mengapa wajahnya justru tampak murung. Tetapi perhatianku keburu dialihkan oleh sosok tubuh laki-laki yang berlari-lari dengan wajah tegang, tak jauh dari tempat kami duduk. Kuawasi kearah mana larinya orang itu, lantas berkata cemas,
"Hentikan dia, Nona!"
"Laki-laki itu?"
"Ya. Dia akan memberitahu kejadian di rumah Saniah pada keluarga Sumarna. Komar, menantu Sumarna,tinggal di rumah yang sama. Komar tak boleh tahu apa yang telah menimpa mertuanya. Kalau ia tahu, ia akan mempersiapkan diri untuk melakukan perlawanan padamu. Ia kawan dekat dukun yang ikut membantu menundukkan ibumu sebelum ibumu mereka pancung!"
"Oh!" Si Nona meluruskan duduknya.
Memancar sinar biru dari matanya.
Cepat sekali sinar biru itu mengejar, sampai laki-laki itu tersusul. Sinar biru menghantam tengkuk laki-laki yang tak tahu apa-apa itu, yang tiba-tiba terjerembap jatuh.
Tak bergerak lagi. "Kau... bunuh dia?" tanyaku ngeri.
Si Nona menggelengkan kepala.
"Hanya pingsan,"katanya.
"Yakinkah kau, Ramandita, saat ini Komar ada di rumahnya?"
"Tentu." "Bagaimana kau begitu yakin?"
Sesaat aku bingung mencari jawab.
Tetapi kemudian aku tersenyum.
Berkata kalem pada gadis itu,
"Aku yang punya cerita, bukan? Jadi aku pun tahu mengenai segala sesuatunya yang terjadi saat ini. Bahkan jelas kuketahui pula, istri Komar sedang berjalan menuju kamar mandi. Hampir-hampir tanpa pakaian..."
Sinar biru menghantam tengkuk laki-laki yang tak tahu apa-apa itu. Tiba-tiba ia terjerambab jatuh dan tak bergerak lagi.
*** DUAPULUH EMPAT Pergantian kertas lagi.Ramandita menekankan puntung rokoknya ke asbak,tetapi tidak menyulut sebatang rokok lainnya. Tidak pula menyentuh kopi yang tinggal setengahnya lagi dalam gelas, dan pasti sudah dingin pula. Ia rupanya sedang in dan cepat sekali mesin tiknya berdetak-detak tak terhentikan. Kecuali sewaktu ketikannya ada yang salah, lalu dihapusnya dengan cairan type-ex.
"Antarkanlah aku ke sana, Rama!"
"Tidak mungkin, Nona. Waktu kita sangat terbatas.Mungkin saja ada orang lainnya yang pergi memberitahu ke sana, bahwa Sumarna sudah mau..."
"Aku tak tahu tempatnya!"
"Gampang. Rumah Pak Lurah paling besar dan paling megah di desa ini. Maklum ia juga menampung anak menantu serta cucu-cucunya, dengan siapa ia tidak ingin berjauhan. Komar tinggal di paviliun. Tetapi sumur dan kamar mandinya di luar. Tak pakai atap.Kau dapat melihat istri Komar sedang mencuci tubuhnya di situ. Malah saat ini kudengar ia bersenandung. Lagu Melayu. Kalau tak salah lagu..."
Sinar biru menyilaukan itu melesat lagi di depan mataku. Lenyap di balik pepohonan, muncul di sekitar jalan desa, menyelinap dari satu atap rumah ke atap lain, kemudian menghilang entah ke mana.
Cuaca semakin dingin pula.
Di depan rumah Saniah tampak semakin banyak orang.
Terang benderang di sana.
Begitu banyak obor. Memperlihatkan wajah-wajah ketakutan. Aku pun dapat mendengar samar samar teriakan-teriakan panik, bentakan-bentakan, dan jerit tangis di sana-sini....
Lalu tiga orang lelaki yang sama-sama membawa obor tiba-tiba meninggalkan rumah Saniah. Kuikuti arah langkah mereka pergi.
Wah, wah... bukanlah jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang tadi ditempuh orang sebelumnya yang telah dipingsankan Si Nona?
Apakah mereka mulai curiga karena belum juga ada keluarga Saniah yang muncul?
Aku tertegak panik. Salah seorang dari ketiga laki-laki itu menoleh kearahku. Cepat aku berlindung di balik sebatang pohon besar. Orang yang menoleh itu mengatakan sesuatu pada teman-temannya. Mereka berdebat sebentar,tetapi kemudian meneruskan perjalanan. Lalu mendadak seseorang terjungkal ke tanah. Dua yang lain berteriak kaget lalu marah-marah. Obor-obor lalu didekatkan ke bekas orang terjungkal itu. Leher kunaikkan untuk ikut melihat dari jauh. Ternyata orang tadi terjungkal karena kakinya menubruk tubuh laki-laki yang pingsan itu. Heran, sebelumnya mereka tidak melihat laki-laki yang terkulai pingsan di tengah jalan itu. Mungkin masih asyik mempertengkarkan apa yang dilihat salah seorang dari mereka tadi. Merekapun sibuk menyadarkan orang itu.
Bagus. Jadi Si Nona mendapat lebih banyak waktu terluang.Setelah yang pingsan itu siuman, masih ribut pula mereka berdebat. Tampak mereka mulai ketakutan, lalu berjalan cukup dekat satu sama lain, meneruskan ketujuan semula. Sambil melirik ke kiri-kanan. dan menerangi dengan obor tempat-tempat yang gelap atau terhalang.Akhirnya mereka lenyap di belokan jalan desa dekat alun-alun.
Bagaimana dengan Si Nona?
Dapatkah ia temukan rumah yang dicari?
Juga Komar? Ataukah ia masih sibuk mencari?
Aku duduk dengan kaki-kaki gemetar.Dari ufuk Timur sudah mulai terlihat bias-bias samar.Matahari pagi akan segera terbit.
*** Robinson Tarigan batuk-batuk.
Berpaling ke jendela. Gorden tertutup, tetapi ada sedikit celah. Lewat kaca jendela, tampak suasana hitam legam di luar rumah. Belum tampak pertanda bahwa pagihari akan tiba. Berpaling lagi ia lihat Ramandita sudah selesai memasang kertas baru ke rol mesin tik.Ia duduk sejenak menyandar di kursi, sambil menyulut sebatang rokok. Asap rokok dikepulkan lewat hidungnya. Matanya mengawasi asap-asap rokok itu.Lalu siku-siku tangannya bertelekan di atas meja.Berpikir keras dengan mata nyalang memandang kedepan. Di seberang meja, Aki Juhari tetap duduk tak bergerak. Tetapi Ramandita seperti tak melihatnya.Bahkan tidak terpengaruh oleh Magdalena yang tiba-tiba menggeliat di kursinya. Jelas sudah, Ramandita tenggelam dan larut dalam imajinasinya.Tak sadar, rokok menyala di antara jari tengah dan jari telunjuk tangan kanannya mengenai helai-helai rambutnya. Terdengar bunyi bergemeretak halus,tercium bau rambut terbakar. Ramandita menghela napas panjang. Mengisap rokoknya sekali lagi, lalu meletakkannya di asbak. Lalu mengusap perut sebentar.
"Hem..." ia bergumam pelan.
"Tiba-tiba aku lapar. Tapi tanggung nih....
Robinson hampir saja memberi komentar. Tetapi Ramandita sudah meneruskan mengetik. Magdalena bangkit dari kursi.
Pergi ke dapur. Robinson menoleh sekilas, angkat bahu, lantas terus pula membaca apa-apa yang diketik Ramandita.
Sinar biru itu muncul lagi.
Dan tahu-tahu Si Nona sudah duduk pula di sebelahku. Wajahnya semakin murung saja. Malah seperti mencemaskan sesuatu.
"Gagal?" tanyaku, waspada.
"Tidak," jawabnya, lirih.
"Kali ini kau lebih lama. Mengapa?"
Komar kaget ketika aku melalui istrinya, mengajaknya bersetubuh. Dia bilang,
"Hei, yang tadi apa belum cukup?"
Lalu aku memaksa istrinya meliuk-liukkan tubuh sedemikian rupa, sampai Komar terangsang sendiri.
Cepat sekali ia menerkam.
Malah seperti mau memerkosa saja.
Lalu... Terdengar jerit sayup-sayup di kejauhan. Lebih banyak lagi penduduk lari keluar rumah. Menuju alun-alun desa. Bukti Komar sudah menebus dosa-dosanya pada Larasati, pikirku.
Aku tidak sedih. Tak harus merasa berdosa. Semua ini hanya fantasi.
Cerita fiksi. Biarlah mereka mati. Seperti orang-orang lainnya, siapa, kapan,di mana pun juga, harus mati. Menurut kodrat mereka masing-masing.
Mungkin juga, sesuai karma.
Kalau karma itu memang ada.
Pelan-pelan aku bangkit. "Ayo kita pergi," desahku, hampir-hampir tak bersemangat.
"Ke?" "Desa ini akan bergolak. Lalu penduduk akan pergi beramai-ramai menuju tempat mereka menguburkan ibumu. Kita harus mendahului mereka...."
Kuawasi puncak gunung di arah Timur.
Bias itu semakin menebar.
Semakin terang. Rupanya Si Nona mengetahui apa sebabnya aku melihat ke arah sana.Tersenyum ia berkata,
"Tak usah khawatir. Dengan aku, kau akan cepat sampai ke tempat yang kita tuju."
Ia menggenggam telapak tanganku.
Katanya, "Ceritakan di mana tempat itu...."
Aku menceritakan tempatnya. Masih jelas dalam ingatanku, suatu hari aku pergi piknik ke kaki Gunung Galunggung, setelah letusan beruntun dan bersejarah itu terjadi. Suatu saat aku tersesat, kehilangan kawan-kawan seiring. Letih dan lapar aku tiba juga dikaki sebuah bukit. Bersandar di sebatang pohon raksasa yang daunnya rimbun sekali. Di dekatku duduk terlihat segundukan tanah berpasir. Seekor kadal hijau kehitaman mengintip dari bawah akar pohon. Waktu kuhentak, kadal itu lari menyelinap, tetapi bukan kebalik semak belukar, melainkan ke dalam gundukan tanah berpasir. Dan tak pernah lagi keluar dari sana.Setelah kawan-kawan seperjalanan menemukanku dan kami kembali ke Jakarta, kejadian sekilas itu menimbulkan ide dalam pikiranku. Imajinasiku membayangkan gundukan tanah itu adalah sebuah kuburan.
Kuburan terpencil. Dan seseorang telah jatuh sebagai korban hasutan dan kebiadaban manusia.Kubayangkan, istrinya kemudian membalas dendam.Pada saat aku tengah memikirkan untuk menuangkan ide itu menjadi sebuah novel misteri, seorang kenalan lamaku di universitas mengirim surat. Memberitahukan bahwa ia sudah menikah dengan seseorang dari sekian banyak kekasihnya. Nama gadis itu, Larasati.
Ya, mengapa tidak? Larasati, hem. Larasati-lah istri yang ingin membalas kematian suaminya itu!
Berisik juga ketika Magdalena meletakkan penganan dimeja kerja Ramandita. Ia juga menyediakan segelas kopi yang diberikan kepada Robinson Tarigan, yang tentu saja disambut dengan gembira. Diam-diam Robinson juga menyambar sebatang rokok milik Ramandita, menyulutnya dengan nikmat.
Aki Juhari tidak menegur.
Orang tua itu masih bertapa semedi.
Magdalena mengawasi Ramandita.
Yang diawasi kalem-kalem saja mengganti kertas di rol mesin tik.Kalem pula menyambar penganan yang terhidang,tanpa mengetahui bagaimana makanan itu sampai terhidang, dan siapa yang menghidangkannya. Dengan mulut masih mengunyah Ramandita toh mampu sekaligus mengisap sebatang rokok. Dan jari-jemari terus beroperasi di tuts-tuts mesin tik.Magdalena hampir saja menyentuh Ramandita untuk mengatakan sesuatu, tetapi Robinson menegur lembut,dan Magdalena dengan gundah pergi ke tempat duduknya semula. Wajahnya yang pucat, tampak sangat gelisah. Perhatiannya tak lepas dari sang suami,namun telinganya terpusat pada kalimat-kalimat yang dibacakan Robinson.
Waktu pun terus berlalu. "Nah, itu dia tempatnya!"
Misteri Perawan Kubur Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Nona tertegun. Gumamnya, "Heran, aku tidak ingat lahir dan keluar dari dalam kuburan ini...."
"Apa saja yang kau ingat, Nona?" tanyaku ingin tahu.
"Yah... tiba-tiba aku merasa terpanggil. Dan tiba-tiba pula aku sudah ada di rumahmu. Kau datang. Kita berbicara. Lalu...wajah gadis itu memerah, dan ia tampak tersipu waktu mata kami bertemu.
"Apakah aku menjerit terlalu keras waktu itu?" tanyanya malu-malu,
"Sangat keras!" jawabku lalu tertawa.
Menambahkan, "Sampai aku khawatir ada tetanggaku yang mendengar."
"Andai kita dapat mengulanginya lagi..."
Si Nona tak meneruskan kata-katanya, ia mengawasi wajahku dengan mata sendu. Bibirnya setengah terbuka, mengharap. Untunglah ia segera sadar ada hal lain yang harus kami kerjakan, dan itu lebih penting daripada apa pun juga. Setelah kami berbicara sebentar, ia kemudian rebah di atas kuburan ibunya.Kakinya merapat satu sama lain, dengan telapak menghadap ke bagian bawah akar-akar pohon raksasa tempat aku pernah menyandar dulu itu.
Mataku lantas mencari-cari.
Dan di bawah sebelit akar besar tampaklah kadal hijau kehitaman itu. Matanya mengawasiku dengan curiga. Mata kemudian kualihkan mencari-cari kalau ada sepotong kayu.Namun yang kulihat hanyalah lautan pasir, dan semak belukar liar di beberapa tempat. Sesaat aku bingung,akan tetapi kemudian aku menemukan ide cemerlang.
Aku memutar hati-hati. Kadal misterius itu pun menoleh, mengikuti gerakanku. Tanpa tahu, gerakanku berputar justru semakin mendekati akar tempatnya berlindung. Setelah memperhitungkan dengan saksama,cepat sekali kuangkat sebelah kakiku lalu kuhunjamkan ke bawah.
Kadal itu terperanjat. Mencoba lari. Tubuhnya lolos sebagian, tetapi sisanya tergencet oleh akar yang kuinjak.
Terdengar bunyi cicitan halus.
Mencicit dan terus mencicit.
Dan bunyi cicitan itu menimbulkan gerakan samar-samar di tubuh Si Nona. Ia menggeliat dengan wajah seperti menahan sakit. Lalu beberapa bagian depan tubuh serta betisnya mulai berubah. Seperti membengkak mirip bisul. Lalu bisul-bisul itu pun pecah bersama datangnya matahari.Dari pecahan bisul terdengar lebih banyak lagi suara mencicit.
Lebih nyaring pula. Sahut-menyahut,riuh-rendah, dan membuat bulu romaku berdiri tegak.Kemudian dengan mata membelalak kulihat makhluk-makhluk mirip kadal itu bersembulan keluar....
Lagi pergantian kertas. Ramandita tampak tegang. Dan tanpa beristirahat ia terus saja mengetik.
Ia bekerja secara menggila.
Seakan ia takut ketinggalan sesuatu.
Atau, menakuti sesuatu. Diam-diam Robinson ikut merasa takut.
"Dari pecahan bisul itu terdengar suara-suara mencicit,kemudian makhluk-makhluk mirip kadal bersembulan keluar.
Suara Robinson sewaktu membaca, jelas bergetar.
*** DUAPULUH LIMA Makhluk-makhluk pengisap darah maupun daging dan apa saja yang ada di tubuh manusia kecuali tengkorak dan tulang-belulang itu, berloncatan meninggalkan tubuh Si Nona. Gadis itu tampak teramat sangat menderita, namun mulutnya terkatup rapat.
Tidak bersuara. Alangkah tabah gadis itu menahan azab sengsara.
Aku benci memikirkannya. Dan dengan benci memandangi makhluk-makhluk terkutuk mirip kadal berbadan ular itu, yang jumlahnya belasan. Semuanya bukan merayap, melainkan tegak pada kaki-kaki belakang serta ekornya, mengelilingi kadal yang tergencet di bawah akar yang kuinjak dengan kakiku.Biji-biji mata mereka yang semerah saga tampak meredup sedih.
Berdukacita. Dan ketika kadal di bawah akar sekarat lalu mati, makhluk-makhluk itu bukan lagi mencicit, melainkan melolong-lolong marah. Perhatian mereka kini teralih ke arahku.Aku tahu itu akan terjadi, dan aku sudah siap. Namun toh jemariku sempat gagal membuka ritsleting celana panjangku. Syukurlah berhasil juga, dan cepat celana dalamku di bagian depan ku turunkan. Makhluk-makhluk menjijikkan tetapi juga menakutkan itu mulai melompat.
Mereka terlambat. Air kencingku sudah keluar. Mengalir deras, dan kubuat sedemikian rupa supaya memercik secara melingkar dan melebar. Tiap kali makhluk-makhluk itu terciprat air kencingku, tiap kali pula lolongan lengking bergema seakan mau memecahkan gendang telingaku saja. Sakit sekali, perih rasanya. Aku berusaha bertahan, sampai air seniku habis dan makhluk makhluk itu terkulai seluruhnya dibawah kakiku.
Matahari semakin bersinar terang.Makhluk-makhluk itu pun berubah rupa jadi arang,terus mengabu, lalu embusan angin pagi menerbangkannya entah ke mana. Mungkin bersatu dengan lautan pasir.
Lenyap tak berbekas. Yang tinggal:hanyalah bangkai kadal yang sial itu saja.
Tergencet dibawah akar. Setengah hancur. Luar biasa, bahwa Si Nona... seperti pernah kulihat waktu dulu kami bertemu pertama kali lalu berpisah,tidak terpengaruh oleh sinar matahari. Kulitnya tampak mulus-mulus saja. Malah semakin manis, semakin berseri. Wajahnya pun kelihatan merona lebih merah,matanya bersinar cemerlang, dan senyumannya...betapa memabukkan.
Aku sempat tergoda. Namun sebelum aku benar-benar tergoda, aku pun cepat berkata,
"Sekarang, Nona.Semuanya telah berakhir. Dendam Larasati dan dendammu sudah terlampiaskan tuntas. Makhluk-makhluk jahat yang bersemayam di tubuhmu sendiripun telah musnah..."
Aku menelan ludah, dan jiwaku terasa getir waktu kutambahkan,
"Tiba waktunya kita berpisah, Nona..!"
Robinson Tarigan terperanjat waktu Ramandita menyentakkan kertas hasil ketikannya dari mesin tik.Lebih terperanjat lagi sewaktu ia lihat Aki Juhari membuka kelopak matanya, mengeluh letih, kemudian berujar lunak pada Ramandita,
Berakhir sudah. Berhentilah mengetik, anakku. Kau perlu istirahat dan..."
Dan seakan tak dengar tak melihat, Ramandita dengan tangkas telah memasang selembar kertas baru di rol mesin tik.
Ia tidak minum. Tidak merokok. Tidak tercenung dulu untuk berkonsentrasi. Ia terus saja mengetik seperti orang kesurupan.
"Ramandita!" Aki Juhari membentak nyaring.
"Hentikan! Kubilang, hentikan!"
Ramandita terus mengetik.
Mengetik. Mengetik, seperti tak mendengar Magdalena menjerit pelan saking cemasnya. Robinson bingung, tak tahu mau berkata apa. Lalu secara naluriah ia letakkan telapak tangannya di pundak Ramandita. Berkata dengan suara berat,
"Sudahlah, Bung!"
Tak ada reaksi. Ramandita tidak terusik sedikit pun.
"Celaka!" desis Aki Juhari, panik.
"Imajinasinya tak dapat kuhentikan!"
Lalu ia kembali bertapa semedi, memanggil-manggil Ramandita.
"Pulanglah, Nak Rama. Pulanglah!"
Robinson menepuk-nepukkan telapak tangannya. Jatuh cukup keras di pundak Ramandita. Tetapi mesin tik terus berjalan. Dan tanpa sadar Robinson terus pula membacanya
*** Sinar cemerlang di mata Nona tiba-tiba berubah sendu.Mata indah itu berkilat-kilat.
Basah. Tiba-tiba aku pun sadar, mengapa setelah dendam kesumatnya terlampiaskan dan makhluk-makhluk jahat Itu tidak lagi merajalela dalam tubuh dan jiwanya, wajah SiNona begitu murung dan gundah. Setelah menyadarinya, hatiku terenyuh. Hati-hati, kucoba membujuknya selembut mungkin,
"Aku tahu kau mencintaiku, Nona...."
"Tetapi kau tidak, ya?" ia menukas cepat.
Suaranya getir. Dan matanya kian membasah.
Bingung aku mau jawab apa. Kemudian aku teringat ketika pertama kali kami berpisah, lalu aku kemudian sibuk mencari kemana ia pergi. Dan sempat berpikir untuk bertanggung jawab atas apa yang pernah kami perbuat di tempat tidur. Tanpa kusadari aku pun bergumam,
"Sulit menjawabnya. Nona. Hanya saja...semenjak rumah tanggaku berantakan dan aku ditinggalkan Magdalena, aku tak lagi punya keberanian untuk jatuh cinta. Lalu kau muncul dalam kehidupanku. Dengan caramu yang misterius... dan pengorbananmu yang lebih misterius. Saat itu mungkin... aku lantas berpikir, bahwa apa salahnya aku memulainya lagi"
"Dengan?" "Kau, Nona." "Dan?" matanya kembali bersinar. Meski semakin basah dan basah juga.
"Aku belum pasti."
"Barangkali dapat kujelaskan padamu, Rama," desah gadis itu, tersenyum ganjil namun tampak teramat:manis, seakan menyimpan kebahagiaan yang hanya ia sendiri yang dapat merasakan. Katanya, tenang dan bahagia,
"Aku sudah mengandung...."
Tentu saja aku terperanjat setengah mati.
"Apa?" "Mungkin kedengarannya aneh, Rama. Kita baru berkumpul beberapa hari. Namun toh aku sudah mengandung. Aku dapat merasakan kehadiran janin itu, Ramandita. Dan aku bahagia menyambut:kehadirannya...."
"Mustahil," bisikku, bingung.
"Apa yang mustahil, Rama, mengingat semua yang telah terjadi di antara kita?" ia balas berbisik, tersenyum.
"Mengenai itu... masih dapat kuterima. Tetapi..."
Nona tidak tampak tersinggung atau kecewa. Tetap tabah dan tegar, ia memberitahu,
"Kau cemas mengenai laki-laki lainnya, dengan siapa aku bermain cinta,bukan? Alangkah buta matamu, Ramandita. Kau sendiri yang mengatur segala sesuatunya, ingatkah? Semua lelaki itu tidak sempat menanam benih mereka di rahimku. Karena sebelum mereka sampai ke situ,makhluk-makhluk jahat yang buas di dalam tubuhku sudah lebih dulu beraksi. Kau tidak ikut jatuh sebagai korban, adalah karena... seperti kukatakan tadi. Kau yang mengatur segala sesuatunya, bukan? Mereka pun lantas tak mengusikmu. Kalau mereka mengusikmu,aku akan... bunuh diri. Dengan sendirinya, mereka pun pasti ikut mati."
Aku terdiam. Tak berkomentar.. "Berat hatimu meninggalkan istrimu, Rama?"
"Ya..." "Hem. Suaramu bimbang. Aku dapat mengerti mengapa. Bayangan istrimu merintih nikmat ketika ia diperkosa tetap menghantui jiwamu yang paling dalam,bukan? Lalu... istrimu masih lari dari satu lelaki kepelukan lelaki lain. Mereguk kenikmatan demi kenikmatan lain. Kau berusaha menerimanya dengan wajar: Namun jiwamu yang paling dalam menentang keras. Apakah aku salah, Ramandita?"
*** Ramandita merenggut kertas dari mesin tik. Ketika akan menggantinya dengan yang baru, tangannya disambar Aki Juhari, disertai bentakan lantang,
"Cukup! Hentikan sampai di situ, sebelum kau celaka karenanya!"
Robinson mencium bahaya besar. Naluri polisinya bereaksi cepat. Didahului permintaan maaf, tengkuk Ramandita dihantamnya dengan pukulan karate. Tidak terlalu keras, namun biasanya sudah melumpuhkan siapa saja yang pernah dimakan pukulan sisi telapak tangan kanan perwira polisi itu.
Hasilnya, Ramandita tidak terganggu. Juga ketika Magdalena memekik-mekik. Ia terus saja mengetik dan mengetik.
Aki Juhari menangis. Tanpa daya ia hanya mengawasi dengan sedih bagaimana Ramandita melampiaskan imajinasi gaib yang merasuki alam pikiran pengarang muda itu. Robinson Tarigan menyumpah serapah,lagi-lagi dengan memukul dan kali ini lebih keras.Tetapi jerit tangis Magdalena menahannya.
"Jangan sakiti suamiku, Komandan!" isak Magdalena,setengah meratap.
Robinson mengumpat. Dan terdorong juga hatinya untuk melanjutkan baca, yang diam-diam ia sadari,telah menimbulkan keasyikan tersendiri dalam sanubarinya.
Dengan hati berat aku menjawab,
"Kau benar. Nona."
"Dan kau ragu-ragu menerima kehadirannya kembali?"
"Ya." "Kau cinta padanya?"
"Luar biasa cinta."
"Dengan itukah kau hidup selama ini?"
"Benar. Dan kupikir-pikir, sungguh aneh. Sering orang bilang, manusia tak mungkin hidup bahagia hanya dengan cinta saja. Tetapi aku dapat, meski hidupku terasa rapuh."
Si Nona diam. Entah apa yang dipikirkannya.
Aku sendiri pun tidak tahu apa yang dipikirkannya.
Begitu kacau. Dan membingungkan. Si Nona hamil. Dan aku bakal jadi seorang ayah....
Lalu tiba-tiba aku tahu apa yang harus kulakukan.
Kuraih tangan gadis itu. Lalu aku berkata padanya,
"Aku belum tahu apakah aku telah jatuh cinta padamu,Nona. Yang aku tahu, aku telah berdosa padamu. Dan aku ingin menebusnya...."
"Maksudmu, Rama?" suaranya terengah ketika ia menengadah.
"Kau akan jadi seorang ibu, bukan?"
Si Nona mengangguk, patah-patah, namun matanya yang basah kembali bersinar bahagia.
Aku merunduk. Mengecup bibirnya. Tubuhnya kurangkul, menciumnya lagi, lantas berbisik di telinganya,
"Bila demikian, Nona.Harus ada seorang ayah untuk anak kita, bukan?"
Nona menangis. Aku pun menangis. Lama kemudian baru aku mampu berkata,
"Marilah kita pergi, Nona."
"Ke mana?" "Ke suatu tempat. Di mana tak ada orang lain kecuali kita berdua!"
Nona tertawa renyah. "Maksudmu, bertiga?" katanya.
"Ya. Bertiga. Dengan anak kita."
Dan aku tertawa bersamanya.
Ketika aku menengadah, mataku beradu dengan matahari di langit cerah.
Matahari cemberut iri. *** PENUTUP Detak terakhir mesin tik bergaung panjang kemudian sepi mencekam. Jari-jemari Ramandita masih menyentuh tuts-tuts mesin tik, namun tak ada lagi gerakan. Tubuhnya duduk lurus di kursi putarnya.
Dengan mata menerawang. Jauh. Sangat jauh. Bibirnya tersenyum. Bahagia. Ia tetap seperti itu, manakala terdengar suara tangis tersendat-sendat. Lalu Magdalena melompat dari tempat duduknya, berlari ke meja kerja suaminya.Robinson Tarigan menyisih memberi jalan. Magdalena merangkul suaminya disertai ratap tangis menyayat hati,
"Rama, cintaku, suamiku, sayangku...."
Kelopak mata Ramandita mengerjap.
Lengan-lengannya terkulai, menjauh dari mesin tik, lantas menggelantung loyo di pahanya. Pelan-pelan lehernya:berputar, mengawasi tempat sekitarnya dengan pandangan heran. Sewaktu Magdalena menciumnya, ia menghindar, lalu dengan mata membelalak ia bertanya,
"Siapa kau?" Magdalena tak tertahankan lagi, memekik ketika Robinson membujuknya dan membimbingnya duduk dikursi. Ramandita seperti baru menyadari bahwa bukan hanya Magdalena saja yang ada di dekatnya ia mengawasi Robinson dengan dahi mengerut, begitu pula sewaktu melihat Aki Juhari yang tertunduk lemas di seberang mejanya.Ganti-berganti ketiga orang itu ia pandangi lalu bergumam lebih bingung lagi,
"Siapa kalian-kalian ini? Mengapa kalian ada di sini... di manakah aku?"
Tak seorang menjawab. Semua berwajah pucat. Lalu muncullah ledakan pertanyaan mengciutkan Itu dari mulut Ramandita,
"Dan... siapa pula... aku?"
Aki Juhari kembali menangis.
Lama baru ia mampu menjelaskan,
"Alam pikirannya telah pergi. Bersama SiNona. Dan... anak mereka!"
"Siapa? Nona yang mana? Anak siapa? Alam pikiran..."
Ramandita menggelengkan kepala dengan susah payah. Lalu berkata dengan suara memelas.
"Adakah seseorang yang dapat menjelaskan, siapa aku ini sebenarnya?"
Tidak. Walau dijelaskan pun, ia tidak akan mengerti.
Kecuali bahwa suatu hari, beberapa tahun kemudian,dapat juga ia memahami yang dikatakan Magdalena ini,
"Dengan kau telah melupakan seluruh masa lamamu, kita berdua akhirnya dapat memulainya lagi..."
"Memulai apa, Lena?"
"Cinta kasih." Dan itulah yang ia rasakan seterusnya bersama Magdalena. Barangkali demikian pula halnya dengan alam pikiran Ramandita yang asli.
Beserta Si Nona. Dan anak-anak mereka. Di dunia sana. Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,30 Agustus 2018
Terimakasih TAMAT Dadu Setan 3 Raja Naga 01 Tapak Dewa Naga Kisah Bangsa Petualang 3
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama