Ceritasilat Novel Online

Misteri Villa Berdarah 3

Misteri Villa Berdarah Karya Unknown Bagian 3


Renata dan dia pasti telah bertujuan untuk membuat pacarku mati!" Lalu seperti teringat sesuatu, Jefry bermaksud mengambil gelas milik Renata yang tadi
diminum oleh Aryo. Tetapi Ricky langsung menyambar gelas itu dan berkata sambil menatap Jefry, "Aku setuju denganmu, Jef. Tapi kita tidak bisa buru-buru mengambil kesimpulan
semacam ini. Kesannya kamu jadi menuduh seseorang di antara kita yang melakukannya." Ricky masih memegangi gelas itu. "Kita akan periksakan isi gelas ini
besok, dan kita akan tahu apa sesungguhnya yang ada dalam gelas ini yang membuat Aryo sampai mati. Dan sebelum itu diketahui, sebaiknya kita tidak mengambil
kesimpulan apapun..."
Jefry tetap tidak mampu menurunkan amarahnya. "Tapi seseorang pasti sengaja meracuni gelas itu, Rick!" teriaknya. "Dan...sekarang blak-blakan saja, satu-satunya
orang yang ada di dalam ruangan villa ini ketika kita semua berada di luar hanyalah Edi..."
"Jef!" sentak Edi dengan terkejut. "Kamu pikir aku bermaksud meracuni pacarmu?!"
Jefry langsung menatap Edi dengan galak. "Semua orang ada di luar waktu ada kembang api itu, Ed, tapi kamu sama sekali tak keluar sebentar pun. Apa yang
kamu lakukan di dalam?!"
"Sialan!" maki Edi dengan marah. "Aku di kamar mandi, brengsek!"
"Siapa yang menjamin kamu benar-benar di kamar mandi? Dan siapa yang menjamin kalau kamu tidak menaruh sesuatu dalam gelas pacarku?!"
"Jef! Jaga ucapanmu! Apa untungku kalau pacarmu mampus?!"
Jefry yang semenjak tadi telah disulut amarahnya itu bergerak mendekati Edi dengan wajah yang merah padam. Renata memegangi lengan pacarnya, namun Jefry
seperti telah kesetanan. Tetapi sebelum Jefry sempat bergerak lebih jauh, Heru dan Ricky segera menghalang-halangi langkah Jefry.
"Jef, ini semua tidak ada manfaatnya," kata Heru mencoba menyabarkan. "Kamu tidak bisa langsung menuduh Edi seperti itu."
"Besok kita akan mengetahui apa yang terjadi, Jef," sambung Ricky dengan suara yang tenang. "Apapun yang terjadi, besok kita akan tahu apa yang ada dalam
gelas Renata dan setelah itu kita bisa memutuskan langkah selanjutnya."
"Itu kalau bajingan itu belum meracuni kalian!" bentak Jefry dengan galak. "Siapa yang menjamin kalau dia tak akan mengulangi perbuatannya?!"
Edi yang berada di belakang Heru dan Ricky terlihat menerjang ke arah Jefry dengan marah, sementara Jefry telah bersiap melayangkan serangannya pada Edi.
Heru segera menarik Edi agar menjauhi Jefry, sementara Ricky mendorong Jefry.
"Kenapa kalian tidak bisa sedikit dewasa?!" bentak Ricky dengan jengkel. "Masalah ini akan bisa diselesaikan dengan cara yang lebih baik kalau kalian mau
tenang dan tidak seperti anak kecil begini!"
"Apa yang akan kamu lakukan kalau bajingan itu mencoba meracuni Nirina, Rick?!" balas Jefry dengan suara yang masih jengkel.
"Tutup mulut, Jef!" bentak Ricky lagi. "Sekarang kita selesaikan masalah ini sampai di sini, dan jangan ada lagi yang mencoba membuat masalah ini semakin
keruh! Kita telah kehilangan seorang sahabat kita, dan tidak seharusnya kita malah melakukan hal yang konyol seperti ini!"
Sekarang Jefry maupun Edi seperti baru disadarkan bahwa mereka telah kehilangan Aryo, salah satu kawan mereka yang paling dekat. Sekarang Jefry maupun
Edi mulai mau duduk dengan tenang kembali di kursinya masing-masing meski Heru dan Ricky tetap berjaga-jaga agar kedua bocah itu tidak saling menerjang
kembali. Jefry kembali duduk di samping Renata yang kini terisak-isak ketakutan, sementara Edi duduk sendirian di tempat yang tadi diduduki oleh Aryo. Jarum jam
terus berdetak, dan saat Ricky menengoknya, kini jarum jam telah menunjukkan pukul 00:20. Ricky terlihat gelisah. Udara terasa semakin dingin, dan hujan
di luar sepertinya bertambah deras mengguyur bumi.
Rencana semula, Ricky dan kawan-kawannya akan menikmati bir yang telah mereka bawa saat memasuki pergantian tahun, tetapi rencana itu sepertinya jadi terlupakan.
Bahkan gelas-gelas minuman yang masih ada di meja pun kini tak tersentuh lagi. Mungkin mereka masing-masing merasa trauma kalau-kalau ada gelas lain yang
mengandung racun mematikan.
"Apa tidak sebaiknya kita bawa mayat Aryo ke rumah sakit terdekat?" kata Heru kemudian, memecahkan keheningan.
Nirina seperti terkejut dengan usulan itu. "Kenapa kita tidak berpikir itu sejak tadi? Seharusnya kita bawa mayat Aryo ke rumah sakit biar..."
"Tidak perlu," potong Ricky. "Aryo sudah jelas mati dan kita bisa membawanya besok. Sekarang sudah dini hari, di luar hujan lebat, dan butuh waktu berjam-jam
melewati jalan yang gelap dan naik turun untuk bisa mencapai rumah sakit terdekat. Tidak tersesat saja kita sudah untung."
"Tapi..." Nirina masih membantah.
"Tidak ada perlunya, Nir," potong Ricky kembali. "Aryo tidak bisa hidup lagi meski kita berusaha membawanya ke rumah sakit!"
"Kalau begitu kita harus lapor polisi!" usul Heru lagi.
"Kenapa pikiran seperti itu baru muncul sekarang, sih?" tanya Cheryl dengan heran di samping Heru. Keadaan-keadaan yang terjadi secara tiba-tiba dan penuh
ketegangan tadi telah membuyarkan akal sehat mereka hingga tidak ada yang sempat memikirkan langkah bijak untuk menangani mayat Aryo.
"Ponsel kita sudah tak ada sinyal," sahut Ricky. "Mau menghubungi polisi pakai apa?"
"Kan di sini ada telepon," sahut Edi yang masih ingat kalau villa itu dilengkapi telepon.
"Oh, iya!" kata Ricky seperti baru teringat akan hal itu. "Baiklah, sekarang juga aku hubungi polisi!" Lalu Ricky pun segera beranjak mendekati pesawat
telepon di atas bufet. Renata masih terisak-isak di dalam pelukan Jefry. "Aku kan sudah bilang sama kamu, Jef, sebaiknya kita tidak usah ikut acara ini..." katanya sambil terisak.
"Tapi kamu tidak mau mendengar permintaanku... Akibatnya seperti ini..."
Jefry tak dapat menjawab apa-apa. Ia masih sibuk sendiri dengan pikirannya. Dia masih percaya kalau Edi yang telah membubuhkan racun itu ke dalam gelas
Renata, tapi mengapa Edi melakukan hal itu...?
"Sebaiknya bawa Renata ke kamar, Jef," kata Heru. "Dia sepertinya shock..."
Tanpa berkata apa-apa, Jefry pun menuruti saran Heru. Dibawanya Renata menuju ke kamar yang ada di dekat ruang mereka, sementara kawan-kawannya yang lain
menatapnya dengan pandangan hampa. Mengapa malam tahun baru yang direncanakan indah itu bisa rusak seperti ini?
Di dekat pesawat telepon, Ricky terlihat kesal memencet-mencet tombol di telepon. Handel telepon telah terjepit di antara bahu dan telinganya. "Kenapa
telepon ini jadi tidak fungsi?" gumamnya sendirian.
Saat Jefry dan Renata telah berada di dalam kamar dan pintu kamar nampak mulai menutup, tiba-tiba seluruh lampu yang ada di villa itu padam seketika. Ruangan
yang sejak tadi terang-benderang kini berubah menjadi gelap-gulita.
Cheryl yang takut dengan kegelapan terdengar berteriak ketakutan sementara Heru mencoba menenangkannya.
"Mengapa listrik tiba-tiba padam, Rick?" terdengar suara Edi.
"Tidak tahu, mungkin dari PLN-nya," sahut Ricky dalam kegelapan. Ia masih ada di dekat pesawat telepon.
"Sialan!" terdengar makian Jefry yang kini keluar kembali dari dalam kamar. "Kenapa jadi gelap begini?!"
Heru meraih korek gas di dekatnya dan dinyalakannya korek gas di tangannya. Nyala api kecil itu sedikit menerangi ruangan mereka, tapi kegelapan masih
amat menyelimuti. "Tidak ada lilin di sini?" tanya Heru dengan bingung.
"Untung kamu bilang, Her," sahut Ricky. "Ada beberapa lilin di mobilku. Biar aku ambil sebentar." Ricky lalu meletakkan kembali handel telepon di tempatnya
dan beranjak dari tempatnya.
"Aku ikut," kata Nirina sambil beranjak bangkit.
"Kamu tunggu di sini saja, Nir," sergah Ricky.
Nirina pun duduk kembali di kursinya dengan cemberut, dan Ricky mengambil kontak mobilnya di atas meja.
Sambil menunggu Ricky mengambil lilin, Edi ikut menyalakan korek gas seperti Heru agar ruangan itu tidak terlalu gelap. Tak lama kemudian, terdengar suara
pintu mobil yang dibanting, lalu suara pintu depan villa yang ditutup kembali. Ricky pasti telah kembali.
Ricky datang dengan tubuh yang agak basah karena tertimpa hujan yang deras menguyur di luar. Di tangannya ia membawa satu bungkus lilin yang langsung dinyalakan
di atas meja. Enam buah lilin itu kini menyala, memberikan sedikit penerangan di ruangan itu. Suasana jadi terasa begitu mencekam. Di dalam villa yang
terasing, di dalam ruangan yang gelap, diterangi dengan nyala-nyala lilin yang redup. Ditambah lagi dengan perasaan ngeri karena di dekat mereka ada sesosok
mayat dalam sebuah kamar...
"Kamu sudah menghubungi polisi, Rick?" tanya Jefry.
"Teleponnya tidak fungsi," jawab Ricky.
"Apa?" tanya Edi dengan terkejut. "Kan kamu bilang kalau telepon di sini bisa digunakan?"
"Iya," jawab Ricky, "biasanya bisa digunakan, tapi tidak tahu, sekarang tidak bisa lagi!"
"Ada-ada saja," gumam Heru.
"Kenapa jadi begini, sih?!" tanya Jefry dengan kebingungan.
Ricky terlihat gelisah, namun yang lain pun menunjukkan kegelisahan yang sama. Sementara detak-detak jarum jam terus bergerak.
"Kamu punya persediaan lilin yang lain, Rick?" tanya Heru.
"Tidak, cuma itu," sahut Ricky sambil menatap ke arah lilin-lilin yang menyala.
"Kalau begitu jangan kita sulut semua," kata Heru lagi. "Kalau semua lilin ini sudah padam dan listrik belum nyala lagi..."
"Her, aku takut..." sela Cheryl sambil memegangi lengan Heru dengan erat. Dia selalu takut dalam kegelapan. Tempat yang gelap selalu membuat bulu kuduknya
merinding. Jefry yang tadi sempat memahami maksud ucapan Heru kini mulai memadamkan dua lilin di atas meja. Merasakan suasana yang agak gelap, suram dan mencekam
itu membuat Jefry agak bergidik. Ia lalu bergumam, "Sebaiknya kita bawa saja mayat Aryo keluar dari villa ini..."
"Kamu mau membawanya, Jef?" tanya Ricky menantang.
"Kita bawa bersama!" jawab Jefry dengan dongkol. "Seharusnya kita memang sudah membawanya ke rumah sakit sejak tadi!"
"Seharusnya!" sentak Ricky dengan jengkel pula. "Tapi tadi kamu malah ribut terus sama Edi sampai kita lupa melakukan hal itu! Sekarang hujan lebat sekali
dan telepon sama sekali tidak fungsi..."
"Kenapa telepon jadi tidak fungsi hanya karena hujan lebat dan lampu mati?" gumam Cheryl lirih, tapi tak ada yang menanggapi.
Kini tinggal empat lilin yang menyala di atas meja, dan suasana semakin terasa gelap, suram dan mencekam. Ricky terlihat gelisah sekali di atas tempat
duduknya. "Ada apa, Rick?" tanya Heru yang menangkap kegelisahan itu. "Kamu kelihatan gelisah sekali?"
Ricky tergagap. "A-aku...perutku sakit. Aku butuh ke kamar kecil, tapi..."
Heru pun langsung paham. Ricky pasti takut ke kamar kecil di belakang karena itu berdekatan dengan kamar tempat mayat Aryo berada.
"Aduh, aku tak tahan lagi," rintih Ricky kemudian sambil memegangi perutnya. Ia lalu beranjak buru-buru ke belakang tanpa sempat minta diantar atau ditemani
siapapun. Disambarnya sebatang lilin yang menyala untuk menerangi jalannya.
Sepeninggal Ricky, Nirina meraih teko teh di atas meja dan menuangkannya ke dalam gelas di depannya.
"Nir," ucap Jefry tiba-tiba, "jangan minum apapun dulu. Kita harus jaga-jaga..."
"Jef!" teriak Edi dari tempatnya karena merasa dituduh oleh ucapan itu.
"Aku tidak menuduhmu, sialan!" sahut Jefry. "Tapi siapa yang menjamin kalau minuman lain di sini bebas racun?"
Edi akan menjawab kembali, namun Heru segera menengahi, "Tenanglah, Ed. Kita tidak butuh keributan lagi malam ini."
Nirina pun urung menuangkan teko tadi ke dalam gelasnya. Diletakkannya kembali teko itu di atas meja.
Heru menyulut rokoknya dengan nyala lilin di depannya, dan Jefry ikut-ikutan menyalakan rokok. Mereka kemudian saling berdiam diri di tempatnya masing-masing,
seiring detak jarum jam yang semakin terasa nyaring di telinga.
"Mengapa Ricky lama sekali?" gumam Nirina perlahan.
Tapi tak ada yang menyahut. Masing-masing tenggelam dalam kesibukannya sendiri-sendiri. Jefry masih menenangkan Renata yang kini seperti kehilangan semua
tenaganya, sementara Heru masih menghibur Cheryl yang ketakutan dalam suasana yang agak gelap seperti itu. Edi hanya diam mematung di kursinya.
Nirina lalu beranjak bangkit dari tempat duduknya. Ia meraih sebatang lilin di atas meja.
"Mau kemana, Nir?" tanya Heru.
"Mau ke belakang, nyusul Ricky," sahut Nirina dengan tampang jutek.
"Berani sendirian?" tanya Heru lagi.
"Kamu mau menemani?"
Cheryl segera memegangi lengan Heru. "Kamu tetap di sini saja, Her. Aku takut..."
Nirina ingin meminta ditemani Jefry, tapi Jefry sepertinya juga berat meninggalkan Renata. Sementara Nirina agak bingung untuk meminta Edi menemaninya,
karena saat ini Edi masih dianggap ?tersangka? yang meracuni gelas yang membuat Aryo tewas tadi. Akhirnya Nirina pun dengan nekat beranjak ke belakang
sendirian. Toh di sana ada Ricky, pikirnya.
Sekarang di atas meja tinggal dua nyala lilin yang menerangi, dan suasana di ruang tengah itu terasa semakin gelap.
Tiba-tiba terdengar teriakan panik penuh ketakutan dari ruang belakang. Nirina terdengar menjerit-jerit kacau tak karuan.
"Kenapa dia?" tanya Jefry dengan bingung. Ia seperti akan beranjak dari tempat duduknya, tapi Nirina telah kembali dengan wajah yang kacau. Air matanya
nampak bercucuran. "Kenapa, Nir...?" tanya Heru.
"Dia...Ricky...mati!" jawab Nirina dengan wajah yang semakin kacau. "Ricky...dia... Oh!" Lalu tubuh Nirina ambruk ke lantai. Lilin yang ada di tangannya
terlepas dan apinya padam saat membentur lantai.
Heru dan Edi segera beranjak mendekati tubuh Nirina yang kini tergeletak di atas lantai, sementara Jefry dipegangi oleh Renata agar tidak menjauh dari
dirinya. "Dia pingsan," terdengar suara Heru yang memeriksa keadaan Nirina.
Lalu Heru bersama Edi segera memburu ke belakang untuk melihat keadaan Ricky. Di ruang belakang, keduanya terpekik ngeri menyaksikan keadaan Ricky yang
mengenaskan. Tak jauh dari pintu kamar mandi tergeletak tubuh Ricky dengan luka-luka yang mengerikan. Lehernya menganga seperti dihantam benda keras yang
tajam, sementara darah terlihat muncrat kemana-mana. Lantai di sekitar itu pun sepertinya menjadi merah tertutup darah Ricky yang masih nampak mengalir
dari luka menganga di lehernya.
"Oh..." desah Heru dengan ngeri menyaksikan pemandangan di hadapannya.
"Mengapa Ricky bisa begini?" tanya Edi dengan bingung. Seluruh tubuhnya terasa lemas kehilangan tenaga akibat kengerian dan keterkejutan itu.
Heru seperti tersadar tiba-tiba ketika ia berbisik panik, "Cepat pergi, Ed!"
Mereka lalu bergegas kembali ke ruang tengah, tempat Jefry, Renata dan Cheryl berada. Nirina masih tergeletak pingsan di lantai.
"Bagaimana, Her?" tanya Jefry yang masih dipegangi Renata dengan ketakutan.
"Ricky mati, Jef," sahut Heru. "Sepertinya...dia...dibunuh!"
"Sssiapa yang membunuhnya?" bisik Cheryl dengan ketakutan.
"Aku tidak tahu," sahut Heru dengan gemetar. "Sepertinya...ada orang lain dalam villa ini..."
"Maksudmu?" tanya Jefry terperanjat.
Heru menjawab dengan bingung, "Mungkin ada orang yang masuk ke villa ini tanpa setahu kita...dan dia...membunuh Ricky!"
"Tapi aku tidak melihat ada orang yang masuk, Her," sahut Jefry dengan bingung.
"Aku juga tidak lihat!"
"Apakah di villa ini ada pintu belakang?" tanya Edi perlahan, seperti menggumam.
"Aku tidak tahu," jawab Heru. "Tapi setahuku tidak ada. Tadi siang waktu aku mandi, aku sempat melihat-lihat dan sepertinya tidak ada pintu belakang."
"Oh, shit!" maki Jefry dengan jengkel dan panik. "Sebaiknya kita pergi secepatnya dari villa ini!"
"Bagaimana dengan Nirina?" tanya Heru.
"Bawa dia!" jawab Jefry sambil beranjak bangkit, sambil membantu Renata berdiri. "Pasti ada yang tidak beres dengan villa ini!"
Heru segera mendekati tubuh Nirina yang masih tergeletak pingsan di lantai, lalu dicobanya mengangkat tubuh itu. "Ed, bantu aku," kata Heru kemudian.
Edi segera mendekat dan membantu Heru mengangkat tubuh Nirina.
Jefry berteriak pada Cheryl, "Cher, ambilkan kontak mobilku!"
Cheryl meraih dua kontak mobil di atas meja. Dia tidak tahu mana yang milik Jefry. Mereka kemudian dengan panik menuju ke depan untuk segera keluar dari
villa itu. Jefry berada paling depan sambil terus memapah tubuh Renata yang begitu lemas, Cheryl membuntutinya, sementara Heru dan Edi berdua menggotong
tubuh Nirina yang pingsan. Secepat mungkin mereka ingin segera keluar dari dalam villa itu, dan tak peduli kalau harus menerobos hujan lebat di luar. Samar-samar
mereka mendengar suara lolongan anjing di kejauhan.
Tetapi kemudian terdengar makian Jefry yang penuh kemarahan, "Oh, sialan! Sialan...!!!"
"Kenapa, Jef?" tanya Heru yang berada paling belakang.
"Pintu ini terkunci!" jawab Jefry dengan panik.
"Apa?!" Jefry meraung jengkel penuh kepanikan, "Pintu ini terkunci, Her! Dan kuncinya tidak ada di sini! Kita terkurung di villa keparat ini...!!!"
*** 1 Januari, satu hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...
Mereka terduduk lunglai di atas sofa ruang depan, dengan ketakutan dan kepanikan yang makin terasa mencekam. Hujan terdengar masih begitu deras di luar,
sementara petir beberapa kali menyambar dengan kilatan kilat yang menerangi jendela kaca depan villa.
Mereka tadi telah berteriak-teriak sekuat tenaga, meminta tolong pada siapapun yang mungkin mendengar, namun tak ada satu orang pun yang datang. Villa
itu sepertinya terasing dari bangunan-bangunan lain, dan mungkin suara teriakan minta tolong mereka tenggelam dalam derasnya guyuran hujan di luar. Akhirnya
mereka pun merasa sangat capek berteriak dan merasakan tenggorokan yang semakin kering.
Tubuh Nirina yang pingsan telah dibaringkan di atas sofa panjang, sementara yang lain duduk mengelilinginya.
"Kenapa bisa begini, sih?!" rutuk Jefry dengan dongkol. "Apa sebenarnya yang terjadi ini?!"
"Ini salahmu, Jef," sahut Renata dengan lemah. "Kamu tidak mau menuruti aku..."
"Oh, berhentilah menyalahkanku, Ren!" potong Jefry dengan jengkel. Urat-urat wajahnya nampak bertonjolan karena perasaan yang sangat tegang.
"Sepertinya villa ini memang angker," cetus Edi tiba-tiba.
"Apa maksudmu, Ed?" tanya Heru.
"Sori kalau aku harus mengatakannya," kata Edi memulai. "Saat pertama kali aku ke sini bareng Ricky dan Aryo, Ricky sempat menceritakan kalau villa ini
pernah dipakai orang untuk bunuh diri..."
"Oh, sialan!" rutuk Jefry dengan ketakutan. "Kenapa Ricky malah membawa kita ke sini?!"
"Ricky bilang kejadian itu sudah lama," jawab Edi. "Dan menurutnya, tidak akan ada apa-apa di sini. Keluarganya sudah beberapa kali menginap di sini dan
tidak pernah terjadi apa-apa."
"Sekarang terjadi apa-apa!" sentak Jefry. "Bahkan Ricky sendiri juga mati! Dan sekarang kita terkurung di sini! Oh sialan, sialan!"
"Bersabarlah, Jef. Besok pagi hujan pasti sudah reda dan pasti akan ada orang yang lewat." Heru mencoba menenangkan. "Besok kita bisa meminta pertolongan..."
Jefry sebenarnya sudah berencana memecahkan kaca jendela depan, tapi diurungkannya niat itu ketika mengetahui bahwa di balik jendela kaca itu ada kisi-kisi
besi yang tetap tak akan mampu diterobosnya seandainya kaca itu hancur semua sekalipun. Mereka kini benar-benar telah terkurung.
"Apa tidak sebaiknya kita mencoba mencari jalan keluar lain, Her?" tanya Edi. "Mungkin kita belum tahu kalau ternyata ada pintu samping atau di belakang,
atau ada pintu keluar di salah satu kamar..."
Usulan itu sepertinya tak masuk akal di telinga Heru. Dia tahu pasti kalau villa itu hanya memiliki satu pintu depan, dan sejak dia mengelilingi seluruh
villa ini tadi sore, dia tidak menemukan satu pun pintu keluar lain. Tapi dalam keadaan terdesak seperti itu, usulan itu pun direspon Heru dengan sedikit
harapan. "Yah, tak ada salahnya kita coba. Mungkin memang ada pintu lain yang belum kita tahu..."
"Hei, hei, jangan tinggalkan kami!" teriak Jefry dengan panik. Dia tidak bisa bebas pergi karena keadaan tubuh Renata yang sangat lemah, sementara dia
sendiri tidak tega kalau harus meninggalkan Renata.
"Kamu tunggu saja di sini, Jef," kata Heru. Lalu ia berpaling pada Cheryl. "Cher, kamu juga di sini, ya. Temani Jefry dan Renata."
Cheryl tak menjawab apa-apa. Dia memang tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dia merasa takut kalau mengikuti Heru dan Edi untuk menyusuri villa itu,
sementara dia pun merasa ketakutan kalau ditinggalkan oleh Heru. Tetapi Cheryl akhirnya menuruti ucapan Heru untuk tetap tinggal di ruang depan itu. Dia
lalu duduk di dekat jendela sambil menatap ke luar, berharap dia dapat melihat seseorang atau beberapa orang yang dapat dimintainya pertolongan.
Heru dan Edi segera pergi dari ruang depan sambil membawa sebatang lilin. Mereka memasuki kamar demi kamar, berharap ada pintu keluar di salah satu kamar
itu, dan saat akan memasuki kamar tempat mayat Aryo berada, Heru dan Edi saling bergidik ngeri. Mereka berhenti dengan ragu-ragu di depan pintu.
"Kamu masuk dulu, Ed," kata Heru.
"Kamu dulu," jawab Edi dengan sama ketakutannya.
Maka dengan sedikit takut-takut, Heru pun membuka pintu kamar itu dengan lilin di tangannya. Penerangan redup dari nyala lilin itu cukup menerangi isi
kamar dan Heru bergidik ngeri saat melihat mayat Aryo yang masih tertutup selimut di atas springbed. Dengan takut-takut dipandanginya seluruh bagian dinding
di kamar itu dan berharap ada pintu keluar yang tadi tak sempat dilihatnya. Tapi memang tak ada pintu apa-apa di sana.
Saat Heru berbalik dan memutuskan untuk keluar dari kamar itu, Heru baru menyadari kalau Edi sudah tak ada di dekatnya.
"Oh, sialan," rutuk Heru sendirian. "Dia malah pergi!"
Heru bergegas keluar dari kamar itu, tapi tak mendapati Edi di sana. Edi tidak membawa lilin, karena satu lilin yang mereka bawa ada di tangan Heru. Kemana
dia? "Ed...!" panggil Heru. "Eeeed, dimana kamu...?!"
Tak ada jawaban apa-apa. Villa itu terasa sangat hening, yang terdengar hanya suara gemuruh hujan di luar dan samar-samar lolongan anjing di kejauhan.
"Apa dia di kamar mandi?" pikir Heru sambil beranjak menuju ke kamar mandi. Mungkin Edi butuh buang air kecil dan masuk ke sana tanpa sempat memberitahu
dirinya. "Eeed! Edi...!" Heru kembali memanggil-manggil.
Saat ia sampai di depan kamar mandi, Heru masih mendapati mayat Ricky yang mengenaskan, namun Edi tidak ditemukannya. Pintu kamar mandi terlihat tertutup
rapat. Namun di depan kamar mandi terlihat warna merah yang sepertinya bekas darah. Warna merah bekas darah itu sepertinya diseret dari depan kamar mandi. Bekas-bekas
seretan itu semakin nampak di mata Heru ketika ia mendekatkan nyala lilinnya ke lantai
*** Sementara itu, di ruang depan, Cheryl terlihat duduk gelisah sambil memandangi Renata yang terlihat makin lemas dalam pelukan Jefry.
"Jef, kamu tidak apa-apa kalau aku tinggal?" tanya Cheryl tiba-tiba.
"Kamu mau kemana?" Jefry bertanya panik.
"Aku...aku butuh buang air kecil," jawab Cheryl dengan bingung.
"Oh, sialan! Kenapa tidak menunggu Heru sama Edi dulu?"
"Mereka lama sekali. Mungkin mereka sedang di belakang saat ini. Makanya, mumpung mereka masih ada di sana, aku..."
"Cher, kamu tidak ingat kalau di belakang ada mayat Ricky?" ujar Jefry dengan suara bergetar. Sejujurnya ia merasa takut kalau hanya sendirian bersama
Renata, namun dia merasa malu kalau harus mengakui ketakutannya di depan Cheryl. Bagaimanapun juga, ia berharap Cheryl tak meninggalkannya.
"Aku sudah tak tahan, Jef," kata Cheryl sambil memegangi perutnya. "Aku sudah menahannya sejak tadi..."
"Oh, sialan!" rutuk Jefry dengan jengkel. "Pergilah! Tapi jangan lama-lama. Dan katakan ke Heru atau Edi agar mereka cepat kemari!"
"Oke!" jawab Cheryl langsung sambil menyambar salah satu lilin di atas meja.
"Tidak usah bawa lilin, Cher!" kata Jefry langsung. Dia merasa akan tambah takut kalau penerangan di situ semakin berkurang. "Di sini tinggal dua lilin,
kalau kamu bawa satu, di sini tambah gelap."
"Tapi..." "Kan di sana masih ada Heru, dia juga bawa lilin. Kamu bisa nebeng sama dia."
Karena sudah tak tahan lagi ingin buang air kecil, Cheryl pun tak meributkan lagi soal lilin itu. Meskipun dia ketakutan dengan kegelapan, namun hasrat
ingin buang air kecil memaksanya untuk berani.
Maka Cheryl pun beranjak meninggalkan ruang depan itu, dan dengan menggunakan nalurinya, ia berjalan perlahan-lahan menyusuri ruang tengah yang nampak
remang-remang. Dirabanya kursi-kursi yang ada di situ dan diingat-ingatnya arah menuju ke belakang.
Cheryl ingat jarak kamar mandi dengan ruang tengah tak terlalu jauh, dan kalau di sana ada Heru, tentunya keadaan tak akan segelap ini lagi, harap Cheryl
sambil terus melangkah. Dalam hati sebenarnya ia mengutuk Jefry yang tak memperbolehkannya membawa lilin. Cheryl tahu kalau Jefry begitu ketakutan namun
cowok itu tak mau mengakuinya.
Cheryl terus melangkah perlahan-lahan dan matanya makin terbiasa dengan keadaan gelap itu. Sebentar lagi sampai, pikirnya. Tapi kemana Heru dan Edi? Kenapa
tak terlihat nyala lilin sedikit pun?
Cheryl berhenti sesaat untuk menentukan langkah kakinya selanjutnya, namun sesuatu nampak turun dari atas tempatnya berdiri. Sesuatu yang menjulur perlahan-lahan
mendekati kepalanya, namun Cheryl sama sekali tak menyadarinya.
Dan begitu Cheryl akan melangkah kembali, langkah kakinya tertahan ketika ia merasakan ada sesuatu yang melilit di lehernya. Cheryl mencoba meraba lehernya,
namun sebelum jarinya sempat menyentuh sesuatu yang menempel di lehernya, tenggorokannya terasa amat tercekik. Mata Cheryl membeliak panik saat tubuhnya


Misteri Villa Berdarah Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tiba-tiba terasa melayang. Cheryl tak sempat mengeluarkan suara selain hanya erangan lirih yang tak terdengar...
Heru masih mengamat-amati bekas-bekas darah yang terseret itu. Dengan perasaan berdebar-debar diikutinya bekas seretan darah itu dengan pandangan matanya,
lalu samar-samar Heru menyaksikan sosok yang tergeletak di lantai dapur yang tak terlalu jauh dari tempatnya berdiri. Dengan takut-takut didekatinya sosok
tubuh yang tergeletak itu, dan seketika jantungnya berdetak lebih keras. Edi telah terbujur kaku dengan tubuh bermandikan darah. Sama seperti Ricky, lehernya
menganga dengan darah yang membanjir di sekitar tubuhnya.
Secepat kilat Heru segera meninggalkan tempat itu dan buru-buru berlari ke ruang depan. Dia sempat menabrak salah satu kursi di ruang tengah dan jatuh
bersama kursi yang jungkir-balik. Heru memaki-maki tak karuan sementara lilinnya terlepas dari tangannya. Lilin itu tergeletak di lantai namun untungnya
apinya tetap menyala. "Jef..!" seru Heru dengan panik tak karuan saat akhirnya sampai di ruang depan. "Villa ini mungkin memang benar-benar angker! Edi mati! Dia seperti Ricky!"
Jefry yang melihat keadaan Heru yang kacau itu nampak melongo dengan bingung. "Edi mati? Terbunuh?!"
"Iya! Mayatnya ada di dapur," jawab Heru dengan tampang yang kacau.
"Si-siapa yang membunuhnya, Her?" tanya Jefry dengan kacau pula.
"Aku tidak tahu!"
"Kamu tidak tahu?!" ulang Jefry dengan terkejut. "Kan kamu sama dia?!"
"Iya, tapi kami terpisah saat aku memasuki kamar tempat mayat Aryo." Heru mencoba menjelaskan dengan kacau. "Kupikir dia ada di kamar mandi. Tapi kemudian
aku mendapati mayatnya ada di dapur. Dia...seperti Ricky, lehernya menganga..."
"Oh, shit!" rutuk Jefry dengan putus asa. "Ada apa sebenarnya di villa ini?"
Heru duduk dengan napas terengah-engah di atas sofa, dan dia baru menyadari kalau Renata yang tadi nampak shock itu kini telah terkulai pingsan di atas
sofa. Heru menengok ke kanan-kirinya namun tak didapatinya Cheryl di sana.
"Jef, mana Cheryl...?!" tanyanya kemudian dengan bingung.
"Dia menyusulmu."
"Apa...?!" "Tadi dia bilang kalau dia butuh ke kamar mandi." Jefry menjelaskan dengan jengkel. "Aku sudah mencoba menahannya, tapi Cheryl sepertinya sudah tak tahan
untuk buang air kecil. Akhirnya dia pergi dan aku tidak tahu sekarang dia ada dimana."
"Oh, sialan," rutuk Heru. "Kenapa dia harus pergi?!"
Heru seperti akan beranjak bangkit lagi dari kursinya, tetapi Jefry segera menahannya, "Her! Kamu tidak bisa meninggalkan aku seperti ini! Tetaplah di
sini!" "Tapi Cheryl..."
"Dia pasti kembali. Dia hanya butuh ke kamar mandi!"
Heru jadi ragu-ragu. Dilihatnya tubuh Renata yang terkulai pingsan dalam keadaan tak nyaman. Separuh tubuhnya menyandar pada sofa, sementara separuh tubuhnya
yang lain terkulai ke lantai. Sofa yang panjang telah ditempati tubuh Nirina yang juga telah pingsan.
"Jef, sebaiknya bawa Renata ke kamar saja," usul Heru. "Kasihan sekali kalau dia seperti itu..."
Jefry menatap tubuh pacarnya dengan prihatin, lalu berpaling pada Heru, "Bantu aku, Her."
Mereka pun lalu mengangkat tubuh Renata yang terkulai pingsan dan menggotongnya menuju ke salah satu kamar. Heru memegangi bagian atas tubuh Renata dengan
kedua tangannya, sementara Jefry menyangga kedua kaki Renata dengan satu tangan. Tangannya yang lain memegangi sebatang lilin yang menyala. Di muka pintu
kamar, Heru segera membuka pintunya dengan agak susah, lalu mereka membaringkan tubuh Renata di atas springbed yang ada di sana.
"Sebaiknya Nirina juga dibawa kesini," kata Heru kemudian. "Di sini lebih hangat dibanding di luar..."
Jefry tak punya alasan untuk menolak. Maka mereka pun kembali mengulangi menggotong tubuh Nirina dan dibawanya pula ke kamar itu. Dibaringkannya tubuh
Nirina di sisi tubuh Renata yang sama-sama pingsan. Sebuah lilin menyala ditempatkan di atas meja di dekat springbed untuk memberi penerangan kamar itu.
Sesaat kemudian mereka berdiri di dekat springbed sambil saling berpandangan dengan bingung.
"Apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Heru dengan letih.
"Aku merasa kepalaku nyaris pecah, Her," kata Jefry dengan sama letihnya. Ia kemudian berkata dengan ragu-ragu, "Bagaimana kalau...kalau kita ambil bir
yang dibawa Ricky...untuk membantu mengendurkan syaraf tubuh kita..."
Heru menyetujui usul itu. Sejak tadi dia juga merasakan seluruh syaraf tubuhnya hampir pecah berantakan karena diserang ketegangan demi ketegangan. Mungkin
beberapa teguk bir cukup untuk membantu mengendurkan kembali ketegangan urat syarafnya. Maka mereka pun keluar dari dalam kamar itu dan mencari bir yang
tadi dibawa Ricky. "Oh, God!" seru Heru tiba-tiba. "Cheryl..."
Jefry terperanjat. "Ya ampun, kenapa kita bisa lupa sama dia...?!"
Maka kini mereka pun menggunakan dua batang lilin untuk mencari keberadaan Cheryl. Namun kemana pun mereka mencari, Cheryl tak dapat ditemukan. Heru dan
Jefry memeriksa kamar-kamar, namun isi semua kamar tak ada yang berubah. Di kamar mandi tak ada Cheryl, bahkan tak ada bekas-bekas keberadaannya. Jefry
sempat terpekik saat melihat mayat Ricky yang ada di dekat kamar mandi. Di dapur juga mereka tak menemukan Cheryl selain hanya mayat Edi yang sekali lagi
membuat Jefry terpekik ngeri.
"Dimana dia?" bisik Heru dengan penuh khawatir. Lalu dipanggil-panggilnya nama Cheryl dengan panik. "Cheeeer...! Cheryl...! Cheeeeeerr...!"
Tapi tak ada sahutan apapun. Cheryl seperti lenyap ditelan bumi.
"Mungkinkah dia keluar dari villa ini?" tanya Jefry dengan bingung.
"Lewat mana dia keluar?" tanya Heru dengan bingung.
Mereka lalu kembali beranjak untuk memeriksa ruang depan. Namun saat Heru melangkah memasuki ruang tengah kembali, matanya mendapati bercak-bercak air
yang menggenang di atas lantai. Didekatkannya lilinnya pada bercak air itu, dan Jefry ikut memperhatikannya.
"Mungkin bekas air minum kita yang tumpah," kata Jefry sambil memandangi genangan air yang nampak bening itu.
Tetapi Heru punya pikiran lain. Seketika kepalanya menengok ke atas dan dia langsung terpekik. "Cheryl...!!!"
Jefry mengikuti arah pandangan Heru dan dia ikut terpekik ngeri saat menyaksikan salah satu eternit di atap telah terbuka dan tubuh Cheryl tergantung-gantung
dengan seutas tambang besar berwarna gelap yang nampak melilit lehernya.
Heru bangkit dari jongkoknya, lalu berdiri menyaksikan keadaan tubuh Cheryl. Ia sedang memikirkan cara untuk menurunkan tubuh Cheryl, namun pikirannya
seketika buyar ketika melihat wajah Cheryl yang tergantung. Wajah itu nampak begitu mengerikan. Lidahnya terlihat terjulur keluar, dan kedua matanya nampak
melotot memandanginya... 1 Januari, satu hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...
Duduk berdua dengan dua gelas bir di ruang depan, Heru dan Jefry nampak sama-sama letih. Mereka merasakan kepala mereka sedikit ringan setelah meneguk
bir dari gelas masing-masing, namun ketegangan suasana yang mencekam dan kenyataan yang mengerikan dalam villa itu tetap tak dapat membuat mereka tenang.
Asap rokok terlihat mengepul-ngepul dari mulut mereka, sementara hujan masih deras mengguyur bumi. Heru dan Jefry pun masih sama-sama mendengar lolongan
anjing samar-samar di kejauhan.
Di bawah nyala lilin yang tak terlalu terang, Heru menengok jam di tangannya. Pukul 02:37. Oh, mengapa waktu terasa lambat sekali berjalan...?
"Her, menurutmu, apa sebenarnya yang terjadi di villa ini?" tanya Jefry memecahkan keheningan.
"Aku sama sekali tidak tahu, Jef," sahut Heru dengan letih. "Semuanya terjadi begitu cepat dan...misterius..."
"Kamu percaya kalau..." Jefry tak berani melanjutkan ucapannya sendiri.
"Kalau villa ini angker?" tanya Heru menyambung ucapan Jefry yang terputus.
"Yeah...seperti yang dikatakan Edi tadi."
"Mungkin saja iya."
"Oh, sialan si Ricky! Kenapa dia malah membawa kita ke sini?!"
"Jangan lupa, Jef, dia sudah mati."
"Barangkali kita semua pun akan mati, Her, mati seperti mereka..."
"Jangan berkata begitu, Jef. Kita bisa bertahan menunggu pagi dan semoga saja ada orang yang datang..."
"Itu...itu harapan yang tak pasti, kan?"
"Tak pasti, tapi setidaknya kita masih bisa berharap!"
Jefry nampak menyandarkan tubuhnya dengan letih pada sofa sambil menghembuskan asap rokoknya. Ia lalu berkata seperti merenung, "Kenapa aku tidak mau menuruti
kata Renata...? Mengapa aku malah memaksanya ikut ke sini...?"
"Apakah Renata tidak ingin kesini?" tanya Heru dengan bingung.
"Yeah, dia terus-menerus memintaku agar tidak ikut acara ke sini, katanya perasaannya tidak enak terus. Tapi aku malah menyangkanya kalau dia terlalu dikuasai
oleh perasaannya sendiri. Ternyata nalurinya memang benar..."
Heru nampak terdiam sesaat, kemudian berujar, "Yang membuatku tidak habis pikir, Jef, mengapa kita bisa terkunci di sini? Siapa yang telah mengunci pintu
villa ini dan kemana kuncinya...?"
"Aku tidak tahu, Her," jawab Jefry dengan letih.
"Kamu ingat siapa yang terakhir menutup pintu villa ini?"
"Kalau aku tidak salah ingat, kan kamu sendiri yang terakhir menutupnya," jawab Jefry. "Hm, tadi...setelah kita melihat bunga api itu, ingat?"
Heru seperti mengingat-ingat. Segala peristiwa yang telah terjadi malam itu telah mengacaukan semua pikirannya. "Tapi seingatku, aku tidak menguncinya,
Jef. Aku bahkan tidak sempat menyentuh kunci pintunya."
"Mungkin kamu lupa?"
"Tapi sepertinya tidak," jawab Heru merasa yakin. "Kalaupun aku menguncinya, rasanya aku tidak mencabut anak kuncinya..."
Jefry seperti ikut memikirkan hal itu. Dia seperti tengah berpikir keras, sampai kemudian dia menatap lilin yang menyala di atas meja dan segera teringat
sesuatu, "Oh iya, Her, mungkin Ricky yang terakhir menutup pintu itu."
"Ricky...?" "Kamu ingat ketika lampu tiba-tiba padam?" tanya Jefry dengan sungguh-sungguh. "Mungkin kamu atau Edi bertanya pada Ricky apakah dia punya persediaan lilin.
Lalu Ricky bilang kalau dia punya lilin di mobilnya. Ingat? Ricky lalu keluar dan mengambil lilin di mobilnya dan...ya, tak salah lagi, Her, Rickylah yang
terakhir kali menutup pintu villa dan dia pula yang pasti telah menguncinya!"
Heru segera teringat akan hal itu. Ya, dia masih ingat soal lampu yang padam tiba-tiba itu dan dia pun masih ingat soal keluarnya Ricky mengambil lilin
di mobilnya. Heru bahkan kini ingat bahwa waktu itu Nirina sempat ingin ikut keluar namun Ricky mencegahnya.
"Kalau begitu," gumam Heru kemudian, "mungkin anak kunci itu masih ada pada Ricky..."
"Benar," sahut Jefry langsung. Kini Jefry seperti menyaksikan secercah cahaya di matanya. "Kalau memang Ricky yang mengunci pintu villa ini, tentunya dia
pula yang memegang anak kuncinya..."
Heru dan Jefry merasa sedikit punya harapan dengan kenyataan yang mereka pikirkan itu. Maka mereka pun kemudian segera beranjak menuju ke belakang untuk
menggeledah saku-saku baju Ricky. Mungkin anak kunci itu masih ada di sana.
Dengan membawa sebatang lilin yang menyala, Heru dan Jefry melangkah berdampingan menuju ke ruang belakang. Di sana mereka masih mendapati sosok mayat
Ricky masih tergeletak kaku dengan darah yang membasahi sekelilingnya. Jefry nampak bergidik kembali melihatnya dan ia lekas-lekas memalingkan muka.
"Kamu saja yang mencari kunci itu, Her," kata Jefry kemudian sambil tetap memalingkan mukanya.
Heru tak punya pilihan lain. Meskipun dia sendiri merasa ngeri melihat mayat Ricky, tapi diberanikannya dirinya untuk mendekati tubuh itu. Perlahan-lahan
disentuhnya saku jaket Ricky yang ternoda oleh darah dan diraba-rabanya dengan perasaan yang dag-dig-dug. Jefry memegangi lilin di tangannya dengan gemetaran.
Heru merasakan ada sesuatu yang keras di saku jaket itu, dan dia pun yakin kalau itu pasti anak kunci yang mereka cari-cari. Maka dimasukkannya jari-jari
tangannya ke dalam saku jaket Ricky, dan segera diambilnya anak kunci itu.
"Oh, syukurlah," gumam Heru dengan lega. "Anak kunci ini memang ada padanya."
Jefry berpaling dan melihat sebuah anak kunci di tangan Heru. Wajahnya menunjukkan kelegaan yang luar biasa. Mereka akan bisa segera keluar dari villa
terkutuk ini, pikirnya. Jefry segera menarik Heru untuk segera beranjak dari tempat itu. Ia sudah ingin secepatnya keluar dari villa ini.
"Tunggu sebentar, Jef," kata Heru. "Aku butuh buang air kecil..."
"Oh sialan, kenapa tidak ditahan saja?! Kita harus keluar dari villa ini secepatnya, Her!"
"Tapi aku sudah tak tahan, Jef. Semenjak tadi sudah kutahan-tahan dan sekarang rasanya sudah mau jebol. Tunggu sebentar saja, oke?"
"Tapi...tapi, Her..." Jefry nampak bingung dan bergidik. Matanya melirik ke arah sosok mayat Ricky di atas lantai.
"Aku cuma mau masuk ke kamar mandi itu," sahut Heru sambil menunjuk ke kamar mandi yang ada di hadapan mereka. "Aku tidak akan menutup pintunya dan kita
tetap bisa dekat. Kamu cukup tunggu di sini dan aku akan cepat-cepat, oke?"
"Kuncinya..." kata Jefry lagi sambil memandangi anak kunci di tangan Heru.
"Nih," kata Heru memberikan anak kunci itu pada Jefry. "Pegang yang erat, tapi kamu jangan tinggalkan aku."
Jefry menerima anak kunci itu dan memeganginya erat-erat. Ia merasa anak kunci itulah yang akan menyelamatkan mereka dari dalam villa angker ini, dan Jefry
pun akhirnya mau ditinggal Heru. Heru segera masuk ke kamar mandi, dan seperti yang dikatakannya tadi, Heru tidak menutup pintunya. Dia berdiri membelakangi
Jefry yang ada di luar kamar mandi, sementara Jefry menunggu dengan perasaan was-was. Dia tak berani menengok ke belakangnya karena tak mau melihat mayat
Ricky di belakangnya. "Cepat, Her," kata Jefry tak sabar.
"Iya, tunggu sebentar!" sahut Heru dari dalam kamar mandi. "Banyak banget nih, habis sudah ditahan sejak tadi..."
Jefry seperti akan berkata lagi, namun mulutnya tak sempat terbuka ketika sesuatu melayang dengan cepat dari arah belakangnya dan menghantam lehernya dengan
keras. Ccrrrraaaaassshh...!!! Tubuh Jefry langsung roboh ke lantai dengan darah memancar deras dari lehernya yang terbuka menganga. Lilin di tangannya jatuh dan apinya padam seketika
saat menyentuh lantai. "Jef!" seru Heru dari dalam kamar mandi ketika tempat itu tiba-tiba jadi gelap. "Jef...! Kenapa lilinnya mati?"
Tapi Jefry tak menyahut. Heru cepat-cepat mengguyurkan air, lalu segera keluar dari kamar mandi. Dia tak melihat Jefry dalam kegelapan itu. Kenapa dia
malah pergi? Heru akan melangkahkan kakinya, namun dia tak tahu kemana arah yang harus ditujunya. Matanya seperti jadi buta dalam kegelapan yang tiba-tiba itu. Diraba-rabanya
saku jaketnya dan Heru pun bersyukur korek gas miliknya ada dalam saku. Buru-buru dinyalakannya korek gas itu dan seketika Heru terpekik ngeri.
Dalam keremangan nyala korek gas yang redup, Heru dengan cukup jelas menyaksikan tubuh Jefry telah terbujur kaku di lantai dengan darah yang membuncah
di sekitar tubuhnya. Sosok mayatnya berdekatan dengan mayat Ricky.
Apa sebenarnya yang tengah terjadi ini...? Heru seperti akan beranjak dari tempat itu, tetapi dia segera teringat sesuatu. Kunci! Anak kunci tadi dipegang
oleh Jefry. Kini tinggal dia dan Renata serta Nirina yang masih hidup, dan Heru harus secepat mungkin keluar dari villa ini bersama dua cewek itu sebelum
dia sendiri tewas terbunuh. Makhluk apa sebenarnya yang telah membunuh kawan-kawannya...???
Heru melihat batang lilin di dekatnya dan segera diambilnya batang lilin itu lalu dinyalakannya dengan korek gasnya. Dengan perasaan ngeri, Heru memperhatikan
tempat di sekitar mayat Jefry untuk mencari anak kunci yang tadi dipegang Jefry.
Kedua telapak tangan Jefry nampak terbuka dan anak kunci itu tak ada di tangannya. Anak kunci itu pasti terlepas saat Jefry terbunuh, pikirnya. Dengan
gugup dan gemetaran, digunakannya ujung sandalnya untuk mengorek-ngorek genangan darah yang cukup tebal di situ sampai kemudian ditemukannya anak kunci
itu di bawah genangan darah.
Tanpa pikir panjang lagi Heru segera meraih anak kunci itu dan secepat kilat segera ditinggalkannya tempat mengerikan itu. Dia buru-buru menuju ke ruang
depan untuk segera membuka pintu villa sialan itu.
Saat melewati kamar tempat Renata dan Nirina berada, Heru menyempatkan diri untuk menengok keadaan mereka, dan saat membuka pintu kamar itu, Heru melihat
mereka berdua masih tergolek pingsan di atas springbed dengan sebatang lilin yang masih menyala di atas meja. Tak ada tanda-tanda yang mencurigakan, juga
tak ada percikan darah sedikit pun. Oh, syukurlah, gumamnya. Sesaat lagi mereka akan segera terbebas dari villa ini dan secepatnya mereka bisa mencari
pertolongan. Heru lalu meninggalkan kamar itu dan segera mendekati pintu depan villa. Dimasukkannya anak kunci itu ke dalam lubang kuncinya dan diputarnya dengan perasaan
berdebar-debar. "Oh, shit!" makinya dengan kesal. Anak kunci itu tak bisa berputar. Sepertinya ada sesuatu yang mengganjal pada lubang kunci itu hingga anak kuncinya tak
bisa digerakkan. Heru menarik kembali anak kunci itu dan dipandanginya anak kunci di tangannya. Apanya yang salah, pikirnya dengan heran. Apakah ini bukan anak kunci pintu
itu? Tetapi anak kunci ini ada di sakunya Ricky, dan Ricky pulalah yang terakhir menutup pintu ini. Tentunya inilah anak kunci pintu ini!
Heru kembali memasukkan anak kunci itu dan sekali lagi dicobanya untuk membuka kunci pintu itu. Namun sekali lagi anak kunci itu macet, tak mampu berputar
di tempatnya. Sepertinya ujung anak kunci itu tidak tepat dengan pasangannya. Dengan gugup dan dongkol Heru terus mencoba menggerak-gerakkan anak kunci
itu di lubangnya dan berharap di salah satu gerakannya yang gugup itu anak kunci itu bisa membukakan pintunya...
*** Ketika Heru tengah gugup dan sibuk memutar-mutarkan anak kunci di tangannya dan berharap satu gerakan dapat membuat pintu villa itu terbuka, sebuah sosok
muncul dari balik kegelapan. Sosok itu melangkah perlahan tanpa menimbulkan suara. Sosok itu melangkah dengan sesuatu yang mengerikan di tangannya, sesuatu
yang masih meneteskan darah...
Dan kini sosok itu terlihat mendekati pintu kamar yang masih terbuka pintunya; kamar tempat Nirina dan Renata terbaring dalam pingsannya. Dengan lembut
dan perlahan-lahan sosok itu masuk ke dalam kamar, lalu berdiri di dekat springbed, dan dipandanginya dua perempuan yang terbaring di sana.
Nirina terlihat seperti tengah tertidur dengan lelap, sementara Renata nampak bernapas dengan tersengal-sengal, dan tiba-tiba dia seperti tersadar dari
pingsannya. Dengan kepala yang masih terasa berat, Renata membuka matanya dan seketika terpekik ngeri melihat sesosok tubuh yang tengah berdiri memandanginya.
Dan sebelum Renata sempat mengeluarkan suara apa-apa, sesuatu yang mengerikan melayang ke tubuhnya yang masih lemah, menghunjam lehernya tanpa ampun.
Cccrraaaasshh...!!! Renata tewas seketika tanpa sempat membuka suara.
Sosok itu memandanginya sesaat, kemudian berbalik dan keluar dari kamar itu. Ia melangkah dengan halus tanpa suara, dan kini mendekati tempat Heru yang
masih panik dan gugup memutar-mutarkan anak kunci di tangannya, mencoba membuka pintu villa itu.
Hujan masih deras mengguyur seperti tak habis-habisnya dari atas langit, dan suasana di luar nampak begitu gelap dalam pandangan Heru. Dia masih berusaha
untuk terus mencoba menggerakkan anak kunci itu di lubangnya namun usahanya seperti sia-sia. Heru sudah merasa ingin menyerah ketika bulu kuduknya tiba-tiba
merinding. Ia merasakan seperti ada sesuatu yang mendekatinya.
Dan saat Heru mencoba berbalik untuk melihat di belakangnya, sesuatu yang mengerikan nampak melayang dan tepat menghantam lehernya.
Ccccrraaaasshhh...!!! Heru seketika ambruk ke lantai dengan tubuh bermandikan darah yang membuncah dari lehernya yang menganga.
Hujan di luar masih begitu deras, dan petir masih sambar-menyambar.
Lolongan anjing di kejauhan masih samar-samar terdengar.
*** 1 Januari, satu hari sebelum ditemukannya mayat-mayat itu...
Nirina tersadar dari pingsannya yang seperti tidur itu dengan pikiran yang tak langsung ingat dimana dia berada. Saat pertama kali membuka mata, yang dia
lihat adalah atap eternit kamar yang putih, dan dia merasakan tubuhnya begitu lemah, begitu letih.
Nirina terkesiap dan nyaris jatuh pingsan kembali saat menyadari bahwa tubuhnya penuh dengan percikan darah. Nirina bangkit dari berbaringnya dengan ketakutan
dan segera mendapati tubuh Renata di sampingnya telah tewas dalam keadaan mengerikan. Lehernya menganga dengan darah yang membuncah kemana-mana. Dinding
putih kamar di samping springbed itu pun seperti berubah menjadi merah. Merah yang mengerikan...
Seketika pikirannya teringat dengan segala kengerian yang telah terjadi. Ia ada di dalam villa. Ia bersama kawan-kawannya ada di villa milik Ricky... Dan
sesuatu telah terjadi... Sesuatu yang mengerikan telah terjadi di villa ini... Nirina pun segera teringat tentang Aryo yang tiba-tiba mati setelah meminum
sesuatu, juga Ricky... Melihat keadaan Renata di dekatnya, Nirina ingin menangis namun air matanya tak mampu keluar. Kepalanya seperti melayang-layang, dan saat ia turun dari
springbed, pijakan kakinya seperti tak menapak lantai.
Nirina tak sanggup berteriak, tak mampu mengeluarkan suara selain gumaman lirih orang yang mengalami shock berat. Yang dia lakukan kemudian hanyalah berdiri
di dekat springbed itu dengan kaki yang gemetaran dan segera melangkah keluar dari dalam kamar. Dilihatnya sebuah lilin yang masih menyalakan api di atas
meja, dan segera diraihnya lilin yang tinggal separuh itu.
"Jam berapa sekarang?" batinnya saat melangkah keluar kamar. Dia menuju ke ruang tengah dan dilihatnya jam di dinding telah menunjukkan pukul tiga pagi.
Dimana kawan-kawannya...? Dimana Ricky? Jefry? Cheryl...? Heru...?
Nirina seperti orang linglung. Otaknya seperti tak ada lagi di tempatnya. Ia tak mampu berpikir apa-apa lagi. Ia hanya mengikuti langkah kakinya ketika
kedua kaki itu melangkah terseret menuju ruang depan. Nyala lilin di tangannya nampak menerangi lantai dan Nirina segera menyaksikan genangan darah di
lantai itu. Seperti bekas genangan darah yang diseret dari arah depan...? Atau dari arah belakang...?
Langkah-langkah kaki Nirina seperti bergerak tanpa kendali. Dia hanya mengikuti arah genangan darah di lantai itu dan langkah kakinya terus menuju ke ruang
depan. Ketika ia sampai di sana, seketika tubuh Nirina membeku saat menyaksikan sesosok mengerikan berlumuran darah tengah duduk di atas sofa, memandangnya,
dengan kapak yang tajam berkilat di tangannya...
"K-kau...?!!!" pekiknya dengan ketakutan.
Seketika Nirina berbalik dengan panik. Pikirannya seperti disadarkan secara tiba-tiba bahwa dia sekarang tengah berhadapan dengan maut. Maut yang mengerikan,
maut yang telah menewaskan Ricky, juga Renata... Nirina menyeret langkahnya menjauh dari ruang depan itu, dan sosok mengerikan yang dilihatnya tadi kini
bergerak dari tempatnya semula dan melangkah ringan di belakang Nirina.
Nirina mencoba menengok ke belakangnya dan ia melihat sosok mengerikan itu telah berada di belakangnya, melangkah lembut dengan kapak mengerikan itu masih
ada di tangannya. Nirina mencoba berlari, namun langkah kakinya seperti tak mau dibawanya bergerak. Ia hanya melangkah terseret-seret sambil membawa lilin
di tangannya, menuju sejauh mungkin dari sosok mengerikan di belakangnya...
Saat melewati salah satu kamar yang ada di dekatnya, Nirina segera memasuki kamar itu dengan harapan dapat berlindung dan bersembunyi di sana. Namun begitu
ia masuk dan menutup pintunya dari dalam, Nirina seketika lunglai ketika mendapati pintu itu tak memiliki anak kunci. Tak ada gunanya bersembunyi di sini,
pikirnya. Maka dengan panik dan gugup Nirina kembali keluar dari dalam kamar itu dengan niat secepat mungkin melangkah menuju ke ruang belakang.
Tetapi baru saja Nirina keluar dari dalam kamar dan melangkah kembali, sesuatu menjegal kakinya dengan amat keras hingga membuat tubuh Nirina terbanting
dengan keras ke lantai. Nirina mengaduh kesakitan sambil berusaha memegangi lilin di tangannya agar dia tak terjebak dalam kegelapan. Saat Nirina terkapar
di atas lantai, matanya seketika menatap ke atas dan terbelalak ngeri melihat tubuh Cheryl yang tergantung-gantung di langit-langit villa.
Nirina segera bangkit dari jatuhnya dan menahan nyeri punggungnya yang seperti telah remuk. Pikirannya seperti tak mampu lagi digunakannya, dan yang kini
masih ada dalam benaknya hanyalah lari, menyelamatkan dirinya... Dengan tertatih-tatih Nirina kembali melangkah menuju ke ruang belakang dengan harapan
dapat berlindung, dapat bersembunyi, dapat menyelamatkan diri...
Sosok mengerikan berlumuran darah itu masih mengikuti di belakangnya...
Langkah Nirina terus menuju ke ruang belakang. Angannya membayangkan kamar mandi. Ya, mungkin dia bisa bersembunyi di sana, berlindung di sana...
Sekali lagi Nirina mencoba menengok ke belakangnya dan sosok mengerikan itu masih ada di belakangnya. Kini Nirina memperlebar langkahnya dan sekarang ia
memasuki ruangan belakang yang diinginkannya. Tetapi langkah Nirina seketika terhenti ketika matanya menyaksikan sesuatu yang amat mengerikan di sana.
Di dekat kamar mandi nampak tubuh Jefry, Ricky, dan Heru bergelimpangan di sana dengan tubuh penuh darah dan warna merah nampak mengalir kemana-mana. Dan
saat Nirina melayangkan pandangannya, Nirina pun menyaksikan tubuh Edi juga tergolek tak bergerak di atas lantai dengan darah yang sama membuncah di sekitar
tubuhnya. Mengapa bisa begini...? Mengapa semuanya mati...?
Sekarang Nirina telah terpojok. Dia tak bisa memasuki kamar mandi yang tadi dipikirnya dapat digunakannya untuk berlindung, karena di depan pintu kamar
mandi ada tubuh-tubuh mengerikan yang menghalangi langkahnya. Mayat Jefry dan Heru seperti menjaga di depan kamar mandi itu dengan keadaan yang mengerikan
di mata Nirina, dan dia tak punya sedikit pun keberanian untuk melangkahi mayat-mayat itu...
Nirina merasakan jantungnya berdetak dengan amat keras sementara kedua kakinya terasa lunglai. Ia merasa akan pingsan kembali namun ketakutan dan kepanikannya
telah membuat pikirannya memaksanya untuk tetap tersadar. Saat Nirina berbalik untuk mencoba mencari jalan keluar lain yang dapat digunakannya untuk lari,
Nirina telah berhadapan begitu dekat dengan sosok yang amat ditakutinya...
Sosok itu memandanginya, dan Nirina menyadari bahwa kini tinggal dirinyalah satu-satunya yang masih hidup dalam villa ini. Semua kawannya telah mati. Semuanya
telah terbunuh dan Nirina yakin bahwa sosok mengerikan di hadapannya inilah yang telah membantai semua kawannya. Tapi mengapa...?
"Jangan...jangan bunuh aku..." rintih Nirina perlahan dengan suara yang begitu memelas ketakutan. Lilin yang menyala di tangannya semakin memendek dan
Nirina merasakan jari-jarinya dilelehi cairan lilin yang terasa panas di kulitnya.
Tetapi sosok dalam keremangan kegelapan itu hanya menatapnya, mendekatinya satu langkah lagi, tanpa suara, dengan kapak tajam di tangannya yang masih meneteskan


Misteri Villa Berdarah Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darah... "Jangan bunuh aku," rintih Nirina sekali lagi. Suaranya makin memelas. "Aku...aku mau melakukan apapun untukmu, tapi...tapi biarkan aku hidup... Jangan
bunuh aku..." Sekarang kapak tajam itu telah terangkat dan jarak mereka kini telah begitu dekat. Nirina tahu bahwa sekali kapak itu terayun kepada dirinya maka bisa
dipastikan nasibnya akan sama dengan kawan-kawannya, mati dengan leher yang menganga mengerikan...
"Kumohon...jangan bunuh aku..." Nirina kini berlutut dengan amat memelas, meminta dikasihani, dan kini Nirina merasakan air matanya jatuh menetes di pipinya.
Lilin di tangannya semakin memendek dan jari-jari Nirina semakin terasa panas dilelehi cairan lilin. Detak jantungnya yang semenjak tadi tak beraturan
kini semakin tak karuan karena menyadari bahwa ajalnya telah semakin dekat. "Jangan bunuh aku...kumohon... Jangan bunuh aku..."
Tetapi tak ada jawaban untuk Nirina. Sosok di hadapannya hanya diam, memandanginya, penuh teror, dengan kapak yang masih terangkat di tangannya.
Nirina mencoba mengangkat wajahnya yang tertunduk, memandang sosok di hadapannya, berharap air matanya dapat mendatangkan iba, namun ketika pandangan mata
mereka bertemu, kapak itu segera melayang, menghunjam leher Nirina dengan tanpa ampun.
Cccrrraaaassshhh...!!! Lilin pendek di tangan Nirina terpental jatuh ke lantai, namun apinya tidak padam. Darah memercik kemana-mana dan tubuh Nirina roboh di lantai dengan bermandikan
darah. Ruangan tempat berkumpulnya mayat Nirina dan kawan-kawannya seperti disapu dengan warna merah.
Nyala lilin di atas lantai kini telah padam. Hujan di luar seperti mulai berhenti, namun gelegar halilintar masih bersahutan. Anjing di kejauhan masih
melolong, dan suara lolongannya terdengar semakin memanjang. Villa itu kini disaput kegelapan, tanpa sinar, tanpa cahaya...
2 Januari. Rombongan polisi itu datang dengan sirine mobil yang meraung-raung, setengah jam semenjak Arman menelepon mereka. Mobil-mobil mereka terparkir di depan
gerbang halaman villa, sementara beberapa orang polisi nampak masuk ke dalam villa yang terkesan suram itu. Beberapa yang lainnya berjaga-jaga di luar
dengan senjata di tangan.
Komandan Polisi Indrawan sengaja turun langsung ke lapangan karena kebetulan ia tertarik dengan kasus di villa itu. Ia sudah beberapa kali mendengar keangkeran
villa tersebut, dan sekarang ia telah menginjakkan kaki di lantai villa yang konon amat angker itu. Saat membuka pintu depan yang tak terkunci, mata Komandan
Indrawan langsung tertuju pada noda-noda merah bekas darah yang sepertinya nampak diseret dari belakang pintu. Bersama beberapa anak buahnya ia melangkah
mengikuti arah seretan darah itu, sampai di ruang belakang...
"Ya Tuhan," gumamnya dengan terkejut saat menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan di ruangan belakang. Ada tiga mayat lelaki dan satu mayat perempuan, semuanya
masih nampak muda, bergelimpangan bermandi darah dengan leher yang menganga. Tak jauh dari mereka ada seorang lagi yang juga nampak tergeletak tak bernyawa
di pojokan dapur, dengan kondisi yang sama mengerikannya. Lehernya menganga dengan darah yang membanjir di sekitar tubuhnya.
"Komandan," seru seorang anak buahnya.
Komandan Indrawan menengok dan melihat anak buahnya menunjuk ke atas. Komandan Indrawan mengikuti arah yang ditunjuk anak buahnya dan sekali lagi terkejut
menyaksikan seorang perempuan yang juga masih muda nampak tergantung-gantung di atap dengan sebuah tambang besar melilit di lehernya.
Juru foto pihak kepolisian segera sibuk mendokumentasikan kondisi mayat-mayat itu, sementara Komandan Indrawan juga sibuk memberikan banyak perintah untuk
persiapan evakuasi mayat-mayat itu.
"Periksa kamar-kamar," katanya pada dua anak buahnya yang dengan sigap segera membuka pintu-pintu kamar itu.
Di salah satu kamar mereka menemukan sesosok mayat perempuan yang sama mengenaskannya dengan leher yang terbuka menganga, sementara di kamar yang satunya
terdapat sesosok mayat lelaki berusia sebaya dengan yang lain. Di antara semua mayat yang ada di villa itu, sepertinya mayat lelaki yang ada di dalam kamar
itulah yang wujudnya masih utuh, tak ada luka apa-apa di tubuhnya. Kamar ketiga yang juga di periksa tak ditemukan apa-apa.
Sekali lagi juru foto sibuk memotret mayat-mayat itu, sementara di luar terdengar raungan sirine beberapa ambulan yang mendekat ke areal villa tempat kejadian
itu. Sesaat kemudian beberapa petugas medis memasuki villa itu dengan brankar-brankar dalam usungan.
Komandan Indrawan masih sibuk memberikan beberapa instruksi pada anak buahnya di dalam villa itu ketika seorang anak buahnya yang lain datang menemuinya
dari luar. "Komandan," lapornya, "anak-anak pecinta alam di luar itu meminta tolong untuk membawakan salah seorang kawannya yang terluka..."
Komandan Indrawan menjawab dengan tidak sabar, "Iya, mereka sudah menyatakan hal itu di telepon. Berikan satu ambulan untuk mereka, tapi tahan kawan-kawannya
yang lain untuk dimintai keterangan. Kita membutuhkan banyak informasi untuk kasus mengerikan di sini..."
Komandan Indrawan kembali sibuk dengan para anak buahnya dan beberapa petugas medis di dalam villa yang mulai mengangkat mayat-mayat itu ke atas brankar
untuk evakuasi. Satu-persatu mayat-mayat itu diusung dengan brankar dan dimasukkan ke ambulan di luar. Tubuh-tubuh mereka yang mengerikan nampak ditutupi
kain putih. Komandan Indrawan mengawasi setiap mayat yang diambil dari dalam villa itu. Saat mayat lelaki yang berada di dalam kamar telah dipindahkan ke atas brankar,
mata Komandan Indrawan yang begitu tajam melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Tunggu," ucapnya kemudian.
Petugas medis pun tidak jadi menutupkan kain putih pada mayat di atas brankar itu. Lalu Komandan Indrawan mendekatinya, dan dengan perlahan-lahan ditariknya
sesuatu yang ada dalam genggaman mayat itu. Segulung kertas yang putih bersih. Diambilnya kertas itu, lalu dengan aba-aba tangannya Komandan Indrawan memerintahkan
agar mayat itu segera dipindahkan ke ambulan.
Komandan Indrawan membawa gulungan kertas itu, lalu ia duduk di salah satu sofa di ruang depan yang cukup bersih, kemudian perlahan-lahan diluruskannya
gulungan kertas yang ada di tangannya. Ada beberapa lembar kertas ukuran folio dengan tulisan-tulisan tangan yang cukup rapi di dalamnya.
Komandan Indrawan merasakan bulu kuduknya tiba-tiba merinding ketika mulai membaca kata-kata yang tertulis di atas lembaran-lembaran kertas itu...
Selamat tahun baru. Meskipun aku tak pernah bisa lancar saat berbicara, namun aku bisa cukup lancar ketika menulis. Aku sengaja menulis catatan ini untuk ditemukan siapapun
yang berkepentingan, agar mengetahui bahwa mayat-mayat yang ditemukan di dalam villa ini bukanlah dibunuh oleh roh gentayangan ataupun dimangsa binatang
buas. Akulah yang membunuh mereka...
Ya, aku mengakui bahwa akulah yang telah membunuh mereka semuanya. Ricky, Edi, Cheryl, Jefry, Renata, Heru, juga Nirina. Itu adalah nama mayat-mayat yang
ada di dalam villa ini. Mereka semua kawanku, dan akulah pembunuh mereka.?
Aku tahu, aku tak mungkin diajukan ke muka hakim di pengadilan untuk diadili karena saat surat ini ditemukan, aku pun pasti telah menjadi mayat, sama seperti
mereka. Namun meskipun aku tak bisa mengajukan pembelaan apapun di muka pengadilan, aku ingin kau tahu mengapa aku membunuh mereka...
Mungkin kau berpikir aku gila, atau tak waras, karena membunuh kawan-kawanku sendiri. Tetapi jika kau berada di tempatku, menjalani hidup dalam kehidupanku,
maka kau pun pasti akan melakukan sesuatu yang kini telah kulakukan. Semenjak kecil aku diperlihatkan kekejaman demi kekejaman yang nyata, yang begitu
nampak di depan mata kecilku bertahun-tahun yang lalu; kekejaman yang dilakukan oleh ayahku sendiri terhadap ibuku, kekejaman yang amat mengerikan di mataku
bertahun-tahun yang lalu...
Dan semuanya itu masih tergambar begitu jelas di dalam otakku, di dalam pikiranku, di dalam bawah sadarku. Sekuat apapun aku mencoba melupakannya, bayangan
mengerikan itu tetap saja menghantui dalam pikiranku, dalam hidupku, dan aku tak pernah mampu melupakannya. Dosa apakah aku hingga aku dilahirkan oleh
orangtua yang hanya mengajarkanku kekerasan, kekejaman dan perilaku yang tak berperasaan...?
Jika kau menjalani hidup seperti dalam kehidupanku, maka kau pasti heran mengapa aku tak menjadi gila karenanya. Semenjak kecil, setiap malam, setiap kali
aku akan tidur, setiap kali pula bayangan menakutkan menghantuiku. Aku tahu, bahwa beberapa jam setelah aku tertidur, ayahku akan datang dan menggedor-gedor
pintu rumah dan membangunkanku, juga ibuku. Dan aku pasti dipaksa menyaksikan kekejaman demi kekejaman, penganiayaan demi penganiayaan, tangis demi tangis
yang seolah tanpa akhir, tak pernah selesai...
Sampai kemudian ketika aku menyaksikan dengan perasaan ngeri, ketika ibuku terbunuh suatu malam menjelang pagi, aku berpikir bahwa mungkin itulah saat
terakhir malam gelap dalam hidupku. Aku berpikir bahwa mungkin mimpi-mimpi burukku akan usai sampai di situ. Tetapi rupanya aku salah sangka. Kematian
ibuku hanya menjadi awal dari malam-malam panjang yang sama suramnya, awal dari rangkaian mimpi-mimpi buruk dalam hidupku yang seolah tak pernah usai.
Kehidupanku selanjutnya benar-benar seperti malam yang tanpa akhir...
Setiap malam aku selalu ketakutan setiap kali hendak tidur, aku ketakutan kalau mimpi buruk itu kembali dating, mimpi buruk yang mengingatkanku kembali
pada seraut wajah kejam ayahku yang terus-menerus menghantuiku siang dan malam. Aku tak pernah dapat tidur dengan tenang. Selama beratus-ratus malam aku
merasakan sulitnya tidur karena ketakutan pada datangnya mimpi buruk, hingga aku mulai terbiasa dengan obat tidur; satu-satunya berkat yang dapat menolongku
untuk dapat tidur. Semenjak kecil hingga dewasa, satu-satunya pelajaran yang begitu kuat mengakar dalam kesadaranku hanyalah pelajaran kekerasan dan kekejaman, dan aku ingin
melakukan itu, namun aku tak pernah mampu.
Pernahkah kau berpikir bahwa pada awalnya pelajaran diberikan secara teori kemudian berlanjut kepada prakteknya...? Tidak ada praktek tanpa teori, dan
apabila teori diberikan secara terus-menerus, kau pun akan mencoba melakukan prakteknya.
Dan aku merasakan suatu hasrat tersembunyi di dalam diriku, suatu hasrat yang kejam dan keinginan untuk melakukan seperti yang dilakukan oleh ayahku, namun aku tak pernah mampu, sementara hasrat itu semakin hari semakin kuat dan menguasai diriku, suatu hasrat yang tersembunyi begitu rapat di dalam sosokku yang mungkin nampak lemah dan tak berdaya...
Terkadang, aku menangis di dalam hati menyaksikan kehidupan kawan-kawanku yang tak pernah mengenal kesuraman hidup seperti diriku. Mereka begitu bahagia,
menikmati hidup yang damai dengan segala kemewahan dan kebahagiaan yang mampu mereka rasakan. Dan aku juga menangis di dalam hati ketika menyaksikan mereka
memandangku dengan begitu rendah, penuh kesinisan dan seolah aku ini sosok yang tak punya perasaan. Aku membenci mereka! Meskipun aku berkawan akrab dengan
mereka dan terkadang juga membutuhkan mereka, namun jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku membenci mereka...
Aku membenci Ricky yang selalu menganggapku sebagai manusia yang dapat diperintah apapun dengan uangnya. Aku memang membutuhkan uangnya, tetapi aku juga
butuh dimanusiakan, aku butuh dianggap tidak sebatas sebagai pesuruh yang dapat dibayar dengan uang, tapi aku butuh dianggap sebagai kawan...
Aku membenci Nirina yang selalu menatapku dengan sinis, seolah aku ini seonggok kehinaan di matanya. Aku membenci Edi yang selalu menjadikanku bahan keusilannya.
Setiap kali dia iseng ingin mengerjai seseorang, aku selalu dijadikannya sasaran dan dia tak pernah peduli akibatnya terhadap diriku.
Aku tahu kalau seseorang yang menelepon malam-malam ke villa dan berbicara seperti ayahku itu sebenarnya Edi yang sengaja mengerjaiku agar aku ketakutan.
Pernahkah dia berpikir bahwa aku benar-benar ketakutan meski aku menyadari bahwa itu bukanlah ayahku...? Aku sampai menghabiskan beberapa butir obat tidur
malam itu agar aku dapat tidur dan melupakan ketakutanku...
Aku membenci Renata yang menganggapku sebagai anak kecil dan menanggapi pernyataan cintaku seolah sebagai gurauan belaka. Sejujurnya, aku mencintainya,
sungguh-sungguh mencintainya. Dan salahkah aku jika aku mencintainya?
Bukankah aku hanya mencintainya dan dia berhak menerima atau menolakku? Tapi mengapa dia malah menganggapku telah gila hanya karena aku mencintainya? Dia
tak pernah menganggapku ada, dan dia begitu mudah menepiskan aku, tak menghiraukan perasaanku, seolah aku ini salah satu bocah gila yang lepas dari rumah
sakit jiwa. Aku membenci Jefry yang begitu mudah mengancamku hanya karena aku jatuh cinta kepada Renata. Mungkin di matanya aku sama sekali tak berarti, tak punya
harga dan tak punya sesuatu pun yang pantas dihargai. Dia menyuruhku menjauhi Renata seolah aku ini anjing buduk yang kotor dan hina, sementara Jefry tak
pernah mau berkaca untuk melihat dirinya sendiri. Apakah dia berpikir bahwa dia lebih mulia dari aku...?
Aku membenci Heru karena dia begitu mudah mendapatkan cewek manapun yang diinginkannya, dan mungkin tak pernah sedetik pun dia berpikir bahwa itu menyakiti
perasaanku. Dengan semua yang ada pada dirinya, Heru dapat melakukan sesuatu yang tak mungkin dapat kulakukan, dan itu membuatku merasa semakin tak berarti...
Mungkin kau menganggapku gila karena membenci mereka dengan alasan-alasan yang terdengar tak masuk akal ini? Mungkin kau menganggapku tak manusiawi karena
membunuh mereka hanya karena hal-hal remeh seperti itu??
Kalau saja kau ada dalam tempatku dan menjalani hidup dalam kehidupan yang pernah kujalani, maka semua alasan yang telah kuajukan itu semuanya masuk akal
dan alasan-alasan kebencianku kepada mereka bukanlah alasan-alasan yang remeh, begitupun alasan mengapa aku sampai membunuh mereka...
Komandan Indrawan meletakkan kertas-kertas itu sesaat di atas meja, lalu dengan tangan yang sedikit gemetar disulutnya rokoknya. Kemudian dengan dahi yang
berkerut, diambilnya kembali kertas-kertas itu sambil menghembuskan asap rokoknya, dan kembali dibacanya...
Rencana pembunuhan itu muncul dan semakin matang saat aku diminta Ricky untuk membersihkan villa miliknya ini untuk acara kami menyambut malam tahun baru.
Aku, Edi dan Ricky datang ke villa ini dua hari sebelum tahun baru, dan aku kemudian ditinggalkan sendirian untuk membersihkan villa ini. Tanpa sengaja,
ketika Edi sedang keluar membelikan makanan dan minuman, Ricky melontarkan niatnya untuk mengerjai kawan-kawan kami dengan suatu atraksi yang menegangkan
seperti yang pernah ditontonnya di film-film horor.?
Rencananya, pas pergantian tahun baru tiba, ketika kami telah berkumpul semua, aku diminta Ricky berpura-pura mati dengan sebab yang tak jelas, lalu aku
akan diletakkan di kamar yang ada di ruang belakang. Ricky merencanakan, begitu aku telah diletakkan di kamar belakang, aku harus mematikan sekering listrik
yang ada di sana agar lampu villa menjadi padam. Sekering itu kebetulan ada di kamar belakang, dan itulah mengapa aku harus dibawa ke sana.?
Saat lampu padam itu, Ricky akan keluar untuk mengambil lilin yang ada di mobilnya, sambil mengunci pintu villa tanpa diketahui kawan-kawannya. Dan setelah
lilin-lilin menyala serta pintu villa telah terkunci, aku diminta menampakkan diri di hadapan kawan-kawan kami dengan tujuan agar mereka semua menjerit-jerit
ketakutan karena menyangka aku roh gentayangan.?
Menurut Ricky, itu pasti akan menjadi sesuatu yang sangat menegangkan dan tak akan pernah dilupakan kawan-kawan kami seumur hidup mereka. Aku menyetujui
rencana itu, namun aku juga punya rencana sendiri. Dan dari situlah rencana pembunuhanku semakin menjadi matang, dan hasrat yang tersembunyi di dalam diriku
seolah menemukan jalan keluar pelampiasan. Selama dua hari berada di villa ini seorang diri, aku mempelajari seluruh ruangan yang ada di sini, dan mulai
mempersiapkan segala sesuatu yang kubutuhkan untuk membunuh semua kawanku.
Malam itu, seperti yang telah direncanakan Ricky, aku berpura-pura mati setelah meminum sesuatu dari gelas.?
Tetapi ada sedikit persoalan, karena malam itu tanpa sengaja ada pergantian tempat duduk yang di luar rencana kami. Akibatnya, begitu aku diyakini telah
mati dan Ricky memerintahkan agar aku dibawa ke kamar yang ada di ruang belakang, Jefry ngamuk-ngamuk dan mengira kalau ada seseorang yang berkeinginan
meracuni pacarnya. Aku mendengar semua ribut-ribut itu dari dalam kamarku.?
Aku beruntung saat kawan-kawanku menutupi seluruh tubuhku dengan selimut seperti yang diperintahkan Ricky. Dengan begitu, aku bisa terpejam atau membuka
mataku dengan leluasa tanpa takut dipergoki seorang pun dari mereka. Mungkin mereka juga menutupi wajahku dengan selimut karena mereka ketakutan melihat
ekspresi wajahku yang sengaja kubuat mengerikan. Aktingku rupanya berhasil membuat mereka percaya, dan ternyata mereka benar-benar yakin kalau aku telah
mati. ? Aku sengaja menunggu pertengkaran di ruang depan berhenti dulu sebelum mematikan listrik dari sekering sesuai dengan rencana Ricky. Setelah pertengkaran
itu sepertinya telah terhenti, aku pun mematikan sekering yang ada di kamarku, dan seluruh lampu dalam villa itu pun menjadi padam. Aku mendengar Cheryl
menjerit ketakutan, lalu Ricky mungkin berlari keluar mengambil lilin yang memang telah dipersiapkan di dalam mobilnya.?
Sebenarnya, beberapa saat setelah itu aku sudah harus keluar dan menampakkan diri untuk menakut-nakuti kawan-kawan kami dan membiarkan mereka menjerit-jerit
ketakutan ketika mengetahui kalau pintu villa ini kini telah terkunci. Tetapi aku sengaja tidak keluar sampai beberapa waktu lamanya, hingga kemudian Ricky
mungkin menjadi jengkel dan lalu menemuiku sendirian di dalam kamarku.?
Dia bertanya mengapa aku tidak juga keluar, dan aku menjawab kalau aku tidak tahu apakah dia sudah mengambil lilin dan mengunci pintu villa ataukah belum.
Ricky mengatakan kalau dia sudah mengunci pintu villa dan dia tertawa saat menunjukkan anak kuncinya kepadaku. Dia bahkan sempat menceritakan kalau dia
sengaja mencabut kabel telepon dari pesawatnya lalu berpura-pura telepon tak berfungsi lagi ketika kawan-kawan kami meminta agar Ricky menghubungi polisi.
Ricky lalu menegaskan kalau aku sudah saatnya untuk keluar dan membuat kehebohan kawan-kawan kami, lalu Ricky beranjak ke kamar mandi. Karena suasana yang
gelap, dia tidak tahu kalau aku ada di belakangnya dan telah mempersiapkan kapak yang ada di villa itu, dan kugunakan langsung untuk membantainya.?
Ricky tewas seketika di depan kamar mandi, dengan luka mengerikan seperti yang telah kubayangkan. Aku mengambil anak kunci di saku jaketnya, lalu kuganti
dengan anak kunci kamar tempatku berada. Aku berpikir, bisa saja salah satu kawanku yang nantinya akan sampai pada kesimpulan bahwa Rickylah yang telah
mengunci pintu villa. Aku kembali ke kamarku, meletakkan guling di tempatku semula dan menutupinya dengan selimut seperti sebelumnya agar apabila ada yang sampai memasuki kamarku,
mereka akan mengira kalau sosok tertutup selimut di atas springbed itu memang benar-benar aku. Aku yakin kawan-kawanku tak akan ada yang curiga kepadaku
apalagi sampai berpikir untuk mengecek keadaanku.?
Aku lalu beranjak ke dapur, bersembunyi di balik lemari, dan menunggu keadaan memungkinkanku untuk beraksi kembali. Aku terdiam dengan tenang, menanti
saat-saat pembunuhan kedua...
Dari tempatku, aku mendengar suara Nirina yang menjerit ketakutan, mungkin karena melihat mayat Ricky, lalu aku juga mendengar suara-suara Edi dan Heru
yang mencoba mencari jalan keluar dari villa. Suasana yang gelap itu begitu membantuku bergerak leluasa, dan saat aku mendengar Edi serta Heru memasuki
kamar tempat ?mayat?ku diletakkan, aku bergerak mendekati mereka.?
Ketika Heru telah masuk ke dalam kamar dan Edi masih ragu-ragu mengikutinya, dengan nekat aku membekap mulut Edi dan segera menariknya ke arah dapur. Edi
yang ketakutan dan sangat panik itu begitu mudah kutaklukkan, dan saat Edi masih kebingungan serta ketakutan mendapat serangan yang begitu mendadak itu,
aku langsung membunuhnya seperti aku membunuh Ricky
Sekarang aku tahu bagaimana sensasi kenikmatan yang ditimbulkan dari membunuh seseorang. Sekarang aku menyadari mengapa ayahku seperti merasa kecanduan
menyiksa dan menganiaya ibuku setiap malam. Sekarang aku bisa merasakan bahwa membunuh itu mendatangkan suatu rasa kepuasan, suatu sensasi kenikmatan, suatu perasaan berkuasa yang tak terkalahkan. Dan lebih kuat dari candu apapun, kenikmatan membunuh itu seketika telah menguasaiku dan aku sudah ingin melanjutkan pembunuhan berikutnya...
Aku langsung memasuki kamar mandi dan menutup pintunya begitu Edi terkapar di lantai dapur. Aku telah bersiap membunuh siapapun yang mencoba membuka pintu
kamar mandi, namun rupanya Heru tidak membukanya. Dia telah melihat mayat Edi ketika mendekati kamar mandi dan dia sepertinya langsung mendekati sosok
mayat itu.? Mataku yang telah terbiasa dengan kegelapan segera tahu bahwa situasi aman untukku bergerak dan aku langsung menuju ke kamarku kembali sebelum Heru membalikkan tubuhnya.
Di dalam kamarku, aku mendengar suara Cheryl yang ingin ke kamar mandi, dan aku bersiap-siap dengan tambang jerat yang telah kupersiapkan sejak kemarin.
Aku telah membongkar salah satu eternit di atap villa dan aku telah mengalungkan tambang jerat di sana untuk kugunakan sewaktu-waktu. Kinilah saatnya tambang
itu kugunakan, dan aku dilanda sensasi yang memabukkan saat melalui lubang angin di kamarku aku menyaksikan Cheryl yang melangkah perlahan-lahan dalam
kegelapan, mencari jalan menuju ke belakang...
Aku tidak mengenal Cheryl, aku hanya tahu kalau dia salah satu adik angkatanku di kampus. Namun dia telah masuk ke dalam villa ini dan aku telah bersumpah
untuk membunuh siapapun yang ikut dalam acara malam tahun baru ini.?
Ketika Cheryl tengah berdiri kebingungan, perlahan-lahan kuturunkan tambang jerat itu ke kepalanya. Cheryl sama sekali tak menyadari karena suasana yang
gelap, dan jerat yang telah kubuat cukup longgar itu segera terkalung ke lehernya. Aku langsung menariknya dengan kuat melalui lubang yang telah kusiapkan
di kamarku, dan tubuh Cheryl seketika tergantung di langit-langit villa. Aku tersenyum ketika menyaksikan tubuhnya kejang-kejang saat meregang nyawa. Aku
tahu dia pasti tewas tercekik oleh jerat yang amat kuat itu di lehernya...
Tahukah kau bagaimana rasanya ketika kau merasakan bahwa dirimu begitu berkuasa dan dapat mengalahkan orang lain mana pun yang kau inginkan? Aku merasakannya
dengan perasaan yang melayang-layang, seperti sesuatu yang amat memabukkan, dan aku merasa ingin segera kembali mengulanginya...
Kemudian, dari lubang angin di kamarku, aku menyaksikan Heru dan Jefry yang tengah mendekati mayat Ricky di depan kamar mandi. Rupanya mereka telah mengambil
kesimpulan bahwa Rickylah yang telah mengunci pintu villa dan sekarang mereka sepertinya mencari-cari anak kunci itu di saku-saku jaket yang dikenakan
Ricky. Aku menyaksikan mereka dengan tersenyum, karena aku tahu bahwa anak kunci dalam saku jaket Ricky telah kuganti dengan anak kunci pintu kamarku,
dan kunci villa itu kini telah ada dalam genggamanku.
Keberuntungan benar-benar bersamaku. Aku mendengar Heru yang ingin masuk ke kamar mandi, sementara Jefry yang amat penakut dengan hal-hal seram itu sepertinya
melarang. Lalu kulihat Heru masuk kamar mandi dan Jefry berdiri tak jauh dari sana, namun dia tak berani menengok ke belakangnya yang gelap. Aku segera
keluar dan mendekati Jefry perlahan-lahan, dan begitu jarak telah memungkinkan, langsung kuayunkan kapak di tanganku dan leher Jefry terpenggal seketika.
Lilin di tangannya terjatuh dan aku segera bergegas masuk kembali ke dalam kamarku.
Sekarang tinggal Heru, Renata dan Nirina yang belum memperoleh hadiah mereka, dan aku senang menunggu saat-saat menyerahkannya. Beberapa saat kemudian
aku melihat Heru tengah sibuk mengakali kunci pintu villa dan berusaha untuk dapat membukanya. Sekali lagi aku tersenyum. Heru sama sekali tak menyadari
kalau anak kunci yang dipakainya untuk membuka pintu villa itu sebenarnya anak kunci pintu kamarku.?
Aku melangkah perlahan menuju kamar tempat Nirina dan Renata berada sementara Heru masih sibuk dengan anak kuncinya. Aku tahu Renata dan Nirina pingsan
dan dibaringkan di dalam kamar itu, dan aku menyukai saat berdiri di dekat tempat tidur mereka, memilih yang manakah yang akan kubunuh terlebih dulu...
Di luar dugaanku, Renata tersadar dari pingsannya dan tanpa menunggu lama-lama aku langsung melayangkan kapakku ke lehernya. Renata mati seketika, dan
aku merasa puas melihat darahnya membuncah di dinding di dekat tubuhnya. Sementara Nirina masih terlelap dalam pingsannya. Aku ingin langsung membunuhnya,
tapi kupikir mungkin akan lebih mengasyikkan kalau Nirina menjadi korban terakhir, ketika dia telah tersadar dari pingsannya, agar aku dapat menyaksikan
ekspresinya saat ia menyadari ajalnya akan segera tiba...
Maka aku pun keluar dari kamar itu dan mendekati Heru yang masih juga sibuk dengan pintu villa yang tak juga mau terbuka. Heru sepertinya menyadari langkahku
yang mendekatinya, namun langsung kubabatkan kapakku ke lehernya dan Heru pun tewas seketika dengan leher yang menganga. Kuseret mayatnya ke belakang agar
berkumpul dengan kawan-kawannya, lalu aku menunggu di ruang depan, menunggu Nirina tersadar dari pingsannya, menunggu korban terakhir sambil menikmati
sisa-sisa bir yang ada di meja, juga rokok yang ada di sana.?
Tahukah kau bagaimana rasanya menunggu korban pembunuhanmu berikutnya...? Kau akan merasa seperti malaikat maut dan kau akan merasa begitu berkuasa...tak
terkalahkan...dan sekali lagi aku pun menyadari bahwa mungkin seperti itulah yang dirasakan oleh ayahku ketika ia menggedor-gedor pintu rumah kami di larut
malam, bertahun-tahun yang lalu, dan kemudian menganiaya ibuku sampai berdarah-darah...
Nirina terbangun dari pingsannya dan dia melihatku di ruang depan. Dia langsung terlihat shock, terkejut setengah mati. Mungkin dia terkejut karena mengiraku telah hidup lagi padahal sudah mati, dan aku tersenyum sinis kepadanya, merasakan suatu sensasi kesenangan karena sekarang aku akan bisa menunjukkan kepadanya bahwa dia akan sangat membutuhkanku, bahwa dia akan memohon-mohon kepadaku...
Aku begitu menyukai saat melangkah perlahan-lahan di belakangnya yang berjalan dengan ketakutan dan kepanikan sambil gemetaran membawa lilin kecil di tangannya.?
Aku begitu menyukai saat melihatnya kebingungan ketika menyaksikan kawan-kawannya bergelimpangan telah menjadi mayat dengan keadaan yang mengerikan. Aku
begitu menyukai saat melihatnya sangat panik karena tak menemukan satu pun tempat yang dapat dijadikannya untuk berlindung dan bersembunyi. Aku begitu
menyukai saat melihatnya berbalik kepadaku dan merintih dan memohon dan menangis dan menghiba dan memelas... Aku begitu menyukai saat melihatnya kini tak
bisa lagi tersenyum sinis kepadaku, menyaksikannya begitu rapuh dan amat ketakutan...
Dan ketika melihatnya bersimpuh memohon kepadaku... Aku merasa begitu menyukai saat melihat itu, dan aku pun menyukai saat melayangkan kapakku dan membabat
lehernya dan memuncratkan darahnya yang angkuh dan sombong itu... Aku menyukai pembunuhan korban terakhirku...
Kini aku telah merasa lega karena dorongan yang ada di lubuk terdalam di diriku telah kusalurkan semua, dan aku bahagia melihat kawan-kawanku telah menebus
dosa-dosa mereka kepadaku. Aku tersenyum, menikmati sisa-sisa bir yang masih ada, menikmati rokok yang selalu kusukai, dan menikmati detik-detik waktu
yang masih bisa kunikmati.?
Kemudian, setelah puas merasakan segalanya, aku pun kembali ke kamarku, menghabiskan butir-butir obat tidurku, membaringkan diriku di atas springbed tempat
pertama kali aku dibaringkan, lalu menunggu tubuhku tertidur dalam buaian obat tidur yang telah begitu banyak menolong hidupku selama ini. Aku tahu bahwa
ini akan menjadi tidur terakhirku, namun aku puas. Setidaknya dalam kepahitan panjang perjalanan hidupku, sekarang aku dapat tidur dengan senyum bahagia.
? Kepadamu yang membaca surat ini, aku ingin kau tahu bahwa aku sama sekali tidak gila, dan aku sadar sepenuhnya saat aku melakukan segala yang telah kuceritakan
itu. Aku mengakhiri hidupku bukan karena aku takut bertanggung jawab atas perbuatanku, tetapi karena aku ingin malam gelap dalam hidupku segera berakhir.?
Dan kini memang telah berakhir...
selesai Api Di Bukit Menoreh 29 Annes House Of Dreams Buku 5 Karya Lucy Maud Montgomery Lembah Kodok Perak 2

Cari Blog Ini