Ceritasilat Novel Online

Pendekar Banci 3

Pendekar Banci Karya Sd Liong Bagian 3


Sejak kecil mula dia telah ikut dengan Siau Yau cinjin di guha Siau-yau-tong. Selama masa kanak-kanaknya, ia lewatkan dalam kehidupan yang sunyi.
Orang-orang mengatakan bahwa ia seorang anak. perempuan, seorang gadis yang cantik. Tetapi ia tak bangga bahkan tak merasa gembira karena menjadi gadis cantik. Ia anggap cantik itu hanya untuk hidangan mata orang. Mengapa ia harus memuaskan pandang mata orang. Tidakkah lebih baik ia memuaskan hatinya sendiri saja ?
Oleh karena itu maka ia tak mau berdandan dan pupuran ataupun memakai gincu untuk pemerah bibir dan pipinya. Iapun tak menyukai pakaian yang mewah. Ia tak ingin disebut cantik dipuji-puji orang. Tetapi heran, mengaya selama itu, orang tetap memuji kecantikannya ?
Dan ada suatu hal yang ia sendiri tak mengerti mengapa harus begitu. Ia memang senang melihat gadis cantik tetapi ia sendiri tak suka menjadi gadis cantik. Ia lebih senang bersahabat dengan anak perempuan dari pada dengan pemuda.
Mungkin hal itu disebabkan karena ia jarang sekali bergaul dengan anak-anak muda. Tetamu sahabat suhunya yang sering berkunjung ke guha Siau-yau tong, kebanyakan tentu laki-laki yang sudah setengah umur dan tua. Mungkin disebabkan hal itu maka ia tak senang bergaul dengan kaum lelaki.
Demikian kisah hidupnya selama ini. Dan ketika untuk pertama kali turun gunung, sekaligus ia telah berkenalan dengan beberapa pemuda. Yang cakap dan sopan seperti Cong Tik. Yang tergila-gila kepadanya karena salah mengira kalau ia calon mempelainya, sebagai Su Ciau. Yang pendek seperti kedua saudara Lo Thian dan Lo Te serta Ciok Liu Seng. Yang tinggi seperti Malaekat-tolol Sim yong Kan dan lain-lain.
Demikian lamunan-lamunan pengisi waktu dikala ia menunggang kuda menempuh perjalanan seorang diri.
Hari itu dia hanya menempuh perjalanan sejauh tiga empatpuluh li saja. Menghadapi jajaran gunung yang menjulang tinggi, ia anggap kuda yang dinaikinya itu tak berguna. Lebih baik ia lepaskan saja dan berjalan kaki.
Dengan berjalan kaki malah dalam semalam itu ia dapat mencapai enampuluh li. Setelah melintasi dua buah gunung, ia bergegas menuruninya. Saat itu ia hanya kenal arah tetapi tak kenal jalanan. Untunglah malam itu rembulan bersinar terang sehingga menjelang terang tanah, ia dapat menemukan jalan besar lagi. Ketika ia bertanya pada orang di jalan kebetulan sekali memang jalan itu menuju ke telaga Ji-hay.
Ia gembira, semangatnyapun timbul. ia segera menyusur jalanan itu dan menjelang petang hari, tibalah ia dilereng gunung. Tak berapa lama berjalan, di kejauhan ia melihat gerumbul pohon berjajar-jajar dalam warna yang menyejukkan pandang mata. Pohon-pohon itu memancarkan beberapa macam warna.
Hong Ing tahu bahwa di daerah pegunungan Hun-lam itu, banyak terdapat kabut berbisa. Semua berjumlah tigabelas macam kabut beracun. Setiap pohon, hutan ataupun lembah yang memancarkan beraneka warna, disitu kabut beracun tentu makin banyak. Sekali terkena salah satu dari lapisan kabut beracun itu, tentu sukar tertolong jiwanya.
Terpaksa ia harus berjalan mengitari tempat itu. Tetapi tempat yang dilaluinya itupun banyak bertebaran embun dan asap. Ia memperhatikan benda-benda yang berkilau-kilauan di atas pohon-pohon itu. Ah, ternyata benda-benda itu tak lain adalah kupu-kupu besar yang berwarna pelangi.
Ia terus melangkah menghampiri pohon-pohon itu. Dan memang ia suka usil. Tangannya menyambar-nyambar dan berhasil menangkap dua ekor kupu besar. Memandang ke muka, ternyata pohon-pohon dalam hutan disitu penuh dihinggapi kupu-kupu besar. Jumlahnya meliputi puluhan ribu ekor.
Hong Ing seperti berada dalam sebuah taman yang penuh dengan beraneka bunga indah.
Dia menangkapi kupu-kupu seperti memetik bunga. Yang satu lebih indah dari yang lain. Habis menangkap ini, ingin menangkap itu. Habis itu, ingin lagi yang lain.
Selagi dia tengah dibenam dalam kegembiraan menangkap kupu-kupu, tiba-tiba dari belakang terdengar orang berseru :
"O, kukira siapa, ternyata nona Ing".
Bukan kepalang kejut Hong Ing. Cepat ia berpaling dan serentak ia menyurut mundur tiga langkah seperti orang yang hendak disambar ular.
Ternyata yang muncul dibelakangnya itu adalah si muka segitiga Lu Kong Cu, ketua perkumpulan Naga. Orang itu mencekal sebatang kipas. Tertawa sinis sambil berkipas-kipas.
Teringat bagaimana waktu dalam kuil tua, ia pernah mempermainkan dan menampar muka si muka segitiga itu, Hong Ing serasa terbang semangatnya. Tanpa terasa dua ekor kupu-kupu besar yang berada dalam tangannya, terlepas lagi dan terbang.
Lu Kong Cu tetap berkipas-kipas, serunya :
"Nona Ing, tempatku ini disebut Lembah Kupu-kupu. Sepanjang tahun penuh dengan kupu-kupu. Kalau engkau suka, bolehlah kuserahkan seluruh lembah ini kepadamu."
Hong Ing tertawa paksa. "Terima kasih", sahutnya, "silahkan pakai sendiri saja."
Lu Kong Cu menengadahkan kepala tertawa gelak-gelak. Kumandangnya jauh menyusup ke dalam hutan. Ratusan ekor kupu-kupu yang hingga pada pohonpun terkejut dan berhamburan terbang.
Beberapa saat kemudian, Kipas-naga Lu Kong Cu hentikan tawanya dan berseru :
"Sudah barang tentu takkan kuserahkan kepadamu secara percuma. Aku hanya ingin menukarnya dengan sebuah benda. Apakah engkau setuju ?"
Sesungguhnya Hong Ing tertarik akan pemandangan di lembah itu. Pikirannya, apabila membangun beberapa buah rumah di tempat itu bukankah seperti tinggal di tempat dewa. Jauh dari keramaian dan kesibukan dunia, dekat dengan alam yang indah permai.
"Engkau ingin menukar dengan benda apa ? tanyanya.
"Pelana kuda dari bulu beruang salju", sahut Lu Kong Cu.
Tergerak hati Hong Ing, "Sayang barang itu tidak berada padaku, kalau ada sudah tentu aku mau tukar menukar. Perlu apakah engkau dengan pelana itu?"
Ingin Hong Ing mengorek keterangan dari mulut Lu Kong Cu tentang rahasia dari pelana kulit beruang salju itu.
"Budak itu mengatakan berada padamu, tetapi engkau bilang tidak. Kalau hendak main-main dihadapan tuanmu ini, hanya cari penyakit saja !"
Cret, kipas bajapun ditebarkan lalu ditudingkan ke arah Hong Ing, serunya :
"Aku tak percaya kalau engkau mampu lolos dari kipas ini !"
Memang Hong Ing menyadari bahwa tak mungkin ia mampu melawan orang itu. Apalagi saat itu ia sedang menderita luka dan harus menghadap gurunya. Kalau sampai tertangkap oleh Lu Kong Cu, tentu matilah ia.
Tiba-tiba, ia melengking keras dan tubuhnya menggeliat maju seraya lepaskan dua buah pukulan. Memang ia sudah nekad. Lebih baik mendahului daripada didahului.
Lu Kong Cu tertawa dingin. Tubuhnya condong ke samping, kipas dijungkatkan ke atas lalu pelahan-lahan bergerak mengarah jalandarah tangan Hong Ing.
Serangan Hong Ing memang cepat sekali. Kalau tidak karena ilmu pukulan Thian-jiu-ciang itu memiliki perubahan yang sukar diduga, tentulah tangannya sudah terkena tutukan kipas lawan.
Cepat ia tarik kembali pukulannya. Selekas tubuh mengendap ke bawah, cepat dia membalikkan telapak tangannya ke atas. Tangan kiri melindungi dada, tangan kanan ditarik ke belakang.
Lu Kong Cu bukan jago sembarangan. Bahwa tangan kanan Hong Ing malah disurutkan ke belakang dan tak menyerang, dianggapnya sebagai suatu kesalahan.
Seorang tokoh silat setingkat kepandaiannya seperti Lu Kong Cu cepat dapat melihat suatu lubang kelemahan pada fihak lawan.
Lu Kong Cu tak mau mensia-siakan kesempatan itu. Kipas baja segera bergerak dalam jurus Koan-im-song-cu atau Dewi-Kwan-Im-mengantar-anak.
Ujung kipas baja secepat kilat segera menutuk jalandarah Ki-bun-hiat pada dada sebelah kanan dari Hong Ing....
-o0^DW^Agus Ekanto^0o- Jilid 4 Lembah Kupu Kupu Dalam bertempur, dilarang untuk memandang rendah lawan. Lu Kong Cu terlalu yakin bahwa Hong Ing itu bukan tandingnya. Dan memang ia mempunyai alasan untuk menganggap demikian. Sekalipun begitu, tidak seharusnya ia memandang rendah kekuatan lawan.
Memang dalam ilmu silat, sering terdapat gerak-gerak tipuan. Demikian pula dengan ilmu pukulan Thian-jiu-ciang. Ilmu itu penuh dengan gerak-gerak yang sukar diduga isi atau kosong, sungguh atau hanya tipuan.
Gerak menyurutkan tangan kanan yang dilakukan Hong Ing itu ternyata bukan suatu kesalahan sebagai yang diduga oleh lawan. Tetapi memang suatu gerak tipu yang memancing serangan lawan.
Gerakan menarik surutkan tangan kanan itu memang menyebabkan dadanya terbuka tak terlindung. Dan musuh tentu akan terpikat untuk menyerang dadanya.
Adalah karena terlalu yakin akan kepandaiannya dan memandang rendah lawan, Lu Kong Cu yang telah menjadi ketua dari perkumpulan Naga selama berpuluh tahun, telah alpa.
Begitu kipas menutuk ke dada, tiba-tiba tubuh Hong Ing melengkung ke belakang dalam jurus Thiat-pian-kio atau Jembatan-gantung. Karena sasarannya merebah ke bawah, kipaspun menutuk angin.
Pada saat kipas tepat melayang di atas dada, Hong Ing cepat menggeliat ke samping. Dengan gerakan kedua tangannya, ia menabas tangan lawan. Dan keindahan dari jurus yang dilakukan oleh Hong Ing itu, ialah tangan yang kiri hanya suatu gerak kosong, sedang tangan kanan suatu gerak yang sesungguhnya.
Lu Kong Cu terkejut sekali. Diam-diam ia memuji kehebatan jurus Hong Ing. Jika tenaga Hong Ing cukup sempurna, Lu Kong Cu mengakui dirinya tentu celaka.
Perkumpulan Naga itu merupakan sebuah cabang persilatan yang mempunyai aliran ilmu silat, menitik beratkan pada ilmu gin-kang atau ilmu Meringankan-tubuh. Gerakannya macam gaya Naga berlincahan di udara. Dalam berlincahan, mengandung kedahsyatan.
Selekas mengempos semangat, tiba-tiba tubuh Lu Kong Cu melambung ke atas sampai dua meter, bergeliatan lalu melayang turun ke bumi lagi. Tahu-tahu dia sudah berada pada jarak tiga empat meter jauhnya.
Kali ini Hong Inglah yang tercengang. Ia yakin bahwa pukulannya itu tentu dapat mengenai tangan lawan. Tetapi entah bagaimana cara lawan bergerak, ia tak tahu. Yang dilihatnya hanya sesosok bayangan hitam menutup pandang matanya dan tahu-tahu tangannya menghantam tempat kosong. Lu Kong Cu sudah jauh dari tempatnya.
Pada saat ia masih terlongong-longong, Lu Kong Cupun sudah bergerak maju lagi! Kipas yang kerangkanya terbuat dari baja itu segera bergerak-gerak menutuk, memukul, menabas dan menampar. Adakalanya digunakan juga untuk menggurat.
Walaupun ilmu pukulan Thian-jiu-ciang hebat sekali tetapi karena tenaga dalam HongIng tak cukup kokoh, maka setelah bertahan sampai tujuh delapan jurus, diapun menjadi kelabakan sekali.
Tahu bahwa lawan tak mungkin dapat lolos lagi, Lu Kong Cupun tertawa-tawa gembira.
Setelah bertahan sampai beberapa jurus lagi akhirnya Hong Ing tak kuat. Serentak ia berseru : "Berhenti!" Aku bersedia memberikan pelana beruang salju bertahta mutiara itu kepadamu!"
Pada hal ia tak membawa pelana bertahta mutiara itu. Ia berkata demikian karena untuk menyiasati lawan supaya hentikan serangannya. Kemudian ia hendak mencuri kesempatan untuk melarikan diri.
Lu Kong Cu pernah merasakan pil pahit dari Hong Ing waktu berada dalam kuil tua tempo hari. Ia tahu bahwa Hong Ing itu nakal dan pintar menyiasati, banyak tipu daya.
"Ha, ha, ha", Lu Kong Cu tertawa gelak-gelak, "engkau taruh dimana pelana bertahta mutiara itu lekaslah bilang. Kalau tidak, engkau tentu kukurung sampai mati lemas".
Dalam berkata-kata itu ia tak mau hentikan serangannya. Bahkan malah semakin gencar.
Terpaksa Hong Ing bertahan diri mati-matian lagi sampai beberapa jurus. Dia kelabakan sekali. Itu saja karena Lu Kong Cu tak mau membunuhnya. Coba dia mau, tentu sejak tadi dia sudah mati.
Karena siasatnya tak termakan dan lawan bahkan masih menyerang gencar, Hong Ing makin bingung.
Sebenarnya Lu Kong Cu memainkan jurus permainan kipas lebih pelahan. Tetapi hal itu tak mengurangi ancaman bagi Hong Ing. Hong Ing masih tetap terkurung dalam sambaran kipas. Tak mungkin ia mampu meloloskan diri. Tetapi anehnya, ancaman kipas itu tak sampai melukai Hong Ing.
Hong Ing mulai menyadari keadaannya. Adalah berkat minum pil Jit-hoan-leng-tan dari paderi Tay To, maka lukanya dapat ditekan. Tetapi kalau la terus menerus berloncatan kian kemari dan menggunakan tenaga untuk bertahan, tentu akhirnya akan habis juga. Sekali hawa murni dalam tubuhnya berhamburan lenyap, ia tentu akan mati lemas.
Menyadari akan hal itu, dengan napas terengah-engah ia berseru :
"Apa yang engkau kehendaki, lekas katakanlah!"
Lu Kong Cu mendengus dingin.
"Hm, lekas katakan dimanakah engkau taruh pelana bertahta mutiara itu?"
Hong Ing tahu bahwa pelana bertahta mutiara itu sudah dibawa pergi Cong Tik tetapi ia tak tahu dimanakah pemuda itu berada. Karena Hong Ing tak tahu apakah Cong Tik itu bermusuhan dengan Lu Kong Cu atau tidak, maka setelah berpikir sesaat ia segera berseru :
"Pelana bertahta, mutiara itu kusembunyikan di bawah kaki gunung Tay-pat-san. Lekaslah engkau cari kesana!"
Mendengar itu bukan menghentikan serangannya tetapi Lu Kong Cu malah maju merapat dan menutuk bahu kiri Hong Ing.
Hong Ing condongkan tubuh untuk menghindar lalu paksakan diri untuk balas memukul. Tetapi kali ini dialah yang termakan tipu.
Ternyata Lu Kong Cu mengisar kipasnya untuk menutuk bahu Hong Ing sebelah kanan.
Memang ilmu permainan kipas Naga dari Lu Kong Cu yang terdiri dari tigapuluh empat jurus itu khusus untuk menutuk jalandarah lawan. Diantaranya terdapat tujuhbelas jurus yang dapat digunakan untuk ke kanan dan ke kiri dalam waktu yang secepat kilat.
Jurus menutuk bahu kiri kemudian digeliatkan untuk menutuk bahu kanan tadi, disebut jurus Kian-tiau-jit-gwat atau Bahu-memikul-matahari-rembulan. Khusus untuk menutuk kedua bahu orang. Jurus itu luar biasa cepatnya. Banyak tokoh kelas satu dalam dunia persilatan yang sukar terhindar dari serangan itu. Apalagi Hong Ing yang sudah kehabisan tenaga.
Bluk ... jatuhlah ia ke tanah. Lu Kong Cu tertawa dingin, katanya : "Apabila keteranganmu itu benar, pun aku tetap hendak merepotkan engkau supaya mengantarkan ke gunung Tay-pat-san.
"Celaka" diam-diam Hong Ing mengeluh dalam hati. Rencana hendak menyiasati malah ia sendiri turut termakan dalam siasatnya itu.
Sebenarnya tak apalah untuk kembali ke gunung Tay-pat-san lagi. Tetapi ia ingat daya kekuatan pil Jit-hoan-leng-tan itu hanya kurang beberapa hari lagi. Padahal lukanya itu tak ada orang yang mampu menyembuhkan kecuali suhunya sendiri. Apabila ia kembali ke Tay-pat-san lagi, jelas ia tentu akan mati.
Tetapi saat itu ia sudah dikuasai oleh Lu Kong Cu. Mau atau tak mau, suka atau tak suka terpaksa ia harus menurut.
Lu Kong Cu membungkukkan tubuh dan mengangkat tubuh Hong Ing lalu dengan menggunakan ilmu ginkang Naga-terbang, sekali loncat dia sudah mencapai tiga empat tombak dan terus lari sampai setengah li jauhnya.
Tampak di sebelah muka sebuah karang yang tinggi. Batu karang berwarna putih seperti batu giok (kumala). Di bawah karang itu terdapat banyak sekali guha besar kecil. Bentuknya menyerupai ruang batu.
Di luar guha-guha itupun terdapat banyak sekali kupu-kupu. Lu Kong Cu menghampiri sebuah guha yang terletak di tengah. Segera dua orang anak kecil menyambut kedatangannya.
Lu Kong Cu menggerakkan tangan dan memberi perintah kepada kedua anak itu :
"Lekas bawa keluar budak busuk itu!"
Kedua bocah lelaki itu mengiakan lalu berjalan keluar. Sedang Lu Kong Cu terus masuk kedalam guha.
Tampaknya memang seperti sebuah guha tetapi alat-alat perabot dalam guha itu mewah sekali. Keempat dindingnya ditutup dengan sutera emas, Lantainya diselimuti dengan pemadanl. Perkakas ruangan semua terbuat dari batu marmar merah dan kayu cendana yang diukir indah sekali. "
Setelah meletakkan Hong Ing dilantai, Lu Kong Cu lalu mengeluarkan seutas tali dari urat kerbau yang telah direndam minyak sampai bertahun-tahun. Kedua tangan Hong Ing ditelikung ke belakang dan diikat dengan tali itu dan diikat lagi pada sebuah kursi. Setelah itu baru Lu Kong Cu membuka jalan darah Hong Ing yang tertutuk tadi.
Hong Ing coba-coba untuk meronta tetapi tak dapat berkutik. Pada waktu ia hendak bicara, tiba-tiba masuklah dua orang lelaki memanggul seorang pemuda. Ketika memandang ke arah pemuda itu, kejut Hong Ing bukan kepalang. Cong Tik ...!
"Saudara Cong, eh, Cong toako !" serunya, "mengapa engkau jatuh ke tangan orang itu ?"
Sesungguhnya saat itu wajah Cong Tik tampak pucat lesi. Demi melihat Nona Ing ia terbeliak dan merahlah wajahnya. Ia merasa telah berbuat salah kepada Hong Ing.
Tetapi mata Cong Tik yang tajam segera dapat melihat bahwa Hong Ing setitikpun tak memikirkan lagi perbuatannya yang lalu itu. Maka legalah hatinya dan ia berusaha untuk bersikap tenang.
"O, kiranya nona Hong Ing juga berada disini, terima kasih" serunya.
Lu Kpng Cu tertawa dingin.
"Hm, pelana kulit beruang salju yang bertahta mutiara itu, salah satu diantara kalian berdua pasti tahu tempatnya. Yang satu bilang berada di kaki gunung Tay-pat-san. Yang satu mengatakan kalau sudah dirampas oleh Raja-binatang. Sebetulnya mana yang benar. Mumpung kalian berdua ada di sini, bilanglah sejujurnya".
Kini baru Hong Ing mengetahui bahwa Cong Tiklah yang lebih dulu ditangkap Lu Kong Cu. Pemuda itupun menggunakan siasat untuk mengelabuhi Lu Kong Cu. Tetapi rupanya Lu Kong Cu tak percaya keterangannya.
Hong Ing menduga bahwa Cong Tik tiba di Lembah Kupu-kupu itu tentulah dalam perjalanan menuju ke guha Siau-yau-tong mencari dirinya. Diam-diam Hong Ing menyesal karena telah menghilangkan tiga butir mutiara pada pelana itu. Cong Tik tentu hendak meminta ketiga butir mutiara itu sehingga sampai menempuh perjalanan jauh ke Hun-lam. Bahkan akhirnya malah jatuh ke tangan Lu Kong Cu.
Kuatir kalau Lu Kong Cu akan menyiksa Cong Tik, Hong Ing segera berseru :
"Hai, orang she Lu, aku sudah bilang sejujurnya kepadamu tentang tempat pelana bertahta mutiara itu. Memang hanya aku sendiri yang tahu tempatnya. Jangan engkau menyiksa dia, lekas lepaskan!"
Mata Lu Kong Cu berkeliaran kian kemari. Rupanya ia masih bersangsi mendengar omongan Hong Ing itu.
Tiba-tiba Cong Tikpun membuka mulut.
"Lu lo-cianpwe" serunya, "harap suka merapat ke dekatku, aku hendak membisikkan beberapa-patah kata kepadamu ".
Melihat Cong Tik bersikap begitu menghormat kepada Lu Kong Cu, Hong Ing tak puas. Tetapi ia kuatir kalau Cong Tik akan memberitahu sungguh-sungguh tentang tempat pelana bertahta mutiara itu kepada Lu Kong Cu.
Buru-buru ia berkata : "Orang she Lu, jangan dengarkan omongannya. Asal engkau lepaskan aku, tentu segera kuberikan bukti kepadamu".
Lu Kong Cu tertawa mengekeh : "Hm, betapapun tak mungkin engkau mampu lolos dari tanganku!"
Cret, ia tebarkan kipas. Keduapuluh satu batang kerangka kipas yang terbuat daripada baja murni yang tajam sekali, segera ditamparkan pelahan-lahan dua kali ke tali "urat kerbau". Dan tali yang luar biasa kuatnya itupun segera berhamburan putus.
"Ah .. ", Hong Ing menghembuskan napas lega. Segera ia merogoh kantong bajunya. Ketika menyentuh tiga butir mutiara yang masih tersimpan dalam baju, diam-diam bersangsi lagi.
Sebenarnya agar Lu Kong Cu percaya bahwa kedelapan butir mutiara pada pelana kulit beruang salju itu berada padanya, maka ia hendak mempertunjukkan ketiga butir mutiara itu kepada Lu Kong Cu.
Tetapi tiba-tiba saja ia teringat bahwa pada ketiga butir mutiara itu terdapat tiga huruf yang berbunyi Cek-bi-san. Jelas merupakan nama sebuah tempat. Apabila tempat itu diketahui Lu Kong Cu tentu dia akan girang sekali. Apabila tempat itu menyimpan suatu kitab pusaka yang luar biasa ataupun suatu harta karun, bukankah Lu Kong Cu akan mendapat keuntungan besar ?
Itulah sebabnya mengapa Hong Ing tiba-tiba tampak ragu-ragu. Setelah menimang beberapa saat akhirnya ia memutuskan untuk mengeluarkan saja sebutir.
Cepat ia mengambil sebutir dari mutiara itu dan berseru :
"Orang she Lu, lihatlah! Sebutir mutiara pada pelana beruang salju itu berada dalam tanganku ini. Apakah engkau masih tak percaya kalau pelana itu aku yang menanam di bawah kaki gunung Tay-pat-san ?"
Melihat mutiara itu, merahlah biji mata Lu Kong Cu. Cepat ia menyambar mutiara itu dari tangan Hong Ing. Dan ketika melihat tulisan 'Cek' pada mutiara itu, girangnya bukan kepalang.
"Bagus ! Sekarang juga kita berangkat ke Tay-pat-san" serunya dengan serentak.
Hong Ing merasa bahwa kepergiannya ke Tay-pat-san itu ibarat naik punggung harimau. Kalau turun, tentu akan dimakan. Kalau naik terus tentu akan mengalami siksaan mental yang mengerikan. Akhirnya ia memutuskan. Lebih baik tetap naik saja. Mudah-mudahan akan terjadi suatu perubahan yang menguntungkan kepadanya.
Ia berpaling memberi isyarat mata kepada Cong Tik.
Tampak Cong Tik gelisah sekali karena melihat Hong Ing telah menyerahkan sebutir mutiara kepada Lu Kong Cu. Tetapi dalam pada itu, sekarang iapun percaya pada perkataan Hong Ing bahwa pelana beruang salju itu telah disembunyikan dibawah kaki gunung Tay-pat-san. Bahkan diam-diam ia girang juga.
"Lu cianpwe" serunya, "walaupun dalam tingkatan engkau lebih tinggi, tetapi apabila satu lawan satu, belum tentu engkau mampu mengalahkan aku. Bukankah begitu ?"
Walaupun ganas tetapi Lu Kong Cu itu juga licik.. Tanpa malu-malu ia mengiakan pernyataan Cong Tik.
"Sekarang aku hendak bicara secara peribadi dengan nona Hong Ing. Harap engkau ke luar dulu" kata Cong Tik pula.
Sejak masuk ke dalam ruang guha, Cong Tik hanya dipegang oleh dua orang anak buah Lu Kong Cu. Habis berkata, sekali pemuda itu gerakkan tangannya, maka kedua anak buah Lu Kong Cu itupun segera terlempar jatuh ke tanah.
Melihat itu Hong Ing terkejut dan diam-diam ia memuji kesaktian si pemuda. Tetapi dalam pada itu iapun heran mengapa Cong Tik begitu mudah dapat ditawan orang.
"Ah, apakah dia sengaja memang menyerahkan dirinya ditangkap agar dapat berjumpa dengan aku ?" diam-diam Hong Tng membatin.
Saat itu Lu Kong Cu sudah percaya penuh bahwa pelana bertabur mutiara benar-benar memang di sembunyikan oleh Hong Ing. Dia kuatir Cong Tik akan main gila menyuruh Hong Ing jangan mengatakan tempat penyimpanan pelana beruang salju itu.
"Ya, biar mereka saja yang keluar, tetapi aku tetap berada disini. Kalau mau bicara, lekaslah kalian bicara !" serunya. Ia tak marah karena kedua anak buahnya dilempar keluar.
"Maaf, aku hendak bicara empat mata dengan nona Ing, harap Lu cianpwe suka keluar sebentar", Cong Tik tetap menolak bicara.
Terpaksa Lu Kong Cu mengalah. Segera ia melangkah keluar. Setelah itu, barulah Cong Tik menghampiri ke tempat Hong Ing dan bicara dengan bisik-bisik.
"Nona Ing, bukankah mutiara yang engkau simpan itu berjumlah tiga butir ?"
Hong Ing mengangguk. Seketika berubahlah wajah Cong Tik serunya pula :
"Bukankah ketiga-tiganya terdapat ukiran huruf ?"
Hong Ing mengiakan. "Apakah bunyinya?"
"Cek-bi-san" Hong Ing percaya bahwa pemuda itu tentu berfihak kepadanya. Kalau tidak masakan dia rela ditawan. Pada hal jelas kalau mau, Cong Tik dapat melawan mereka. Maka ia memberi keterangan sejujurnya kepada Cong Tik.
Diluar dugaan, setelah mendengar keterangan Hong Ing, tanpa mengucap apa-apa lagi, Cong Tik terus loncat ke mulut guna dan melesat keluar.
Hong Ing termangu-mangu heran. Benar-benar ia tak mengerti sikap pemuda itu. Dan diam-diam iapun heran mengapa Cong Tik berbuat begitu kepadanya. Yang ditanyakan hanya soal huruf pada mutiara. Sepatahpun tak menanyakan tentang dirinya.
Dalam pada itu begitu berada di luar guha. Cong Tik segera berkata dengan bisik-bisik kepada Lu Kong Cu :
"Lu cianpwe, ah, memang Lembah Kupu Kupu ini akan mengalami masa kejayaan. Waktu kutanya kepada nona itu dia mengatakan bahwa apabila dia menerangkan kepada cianpwe dan aku ikut mendengar, dia tentu tak mau melepaskan dia. Maka dia tetap tak mau bilang.
Berhenti sejenak, Cong Tik melanjutkan pula: "Tetapi ah, pada saat menghadapi bahaya, setiap orang tentu akan memikirkan keselamatannya sendiri. Silahkan engkau membawanya ke Tay-pat-san. Percayalah, dua tahun kemudian, Lembah Kupu-kupu pasti akan menjagoi dunia persilatan. Maaf, akupun hendak mohon diri!"
Ucapan yang tak keruan tetapi juga melantang secara blak-blakan, seolah-olah sungguh-sungguh.
Sudah tentu karena berada dalam guha, Hong Ing tak mendengar ucapan itu. Sayang. Apabila dia mendengar, pasti dia segera mengetahui mentalitas dari Cong Tik, seorang pemuda tampan yang berhati serigala.
Habis berkata Cong Tik terus hendak pergi tetapi Lu Kong Cu mencegahnya:
"Tunggu! Engkau hendak mendahului aku ke Tay-pat-san, bukan ?"
Cong Tik tertawa hambar. ?Ah, perlu apa aku ke sana ?"
"Akan kusuruh orang untuk mengawalmu ke barat terus ke tapal Sinkiang, maukah engkau?" seru Lu Kong Cu.
Sebelum Cong Tik sempat menjawab maka Lu Kong Cupun bersuit dan tiba-tiba muncullah seorang nenek yang tua renta.
Cong Tik mengira bahwa yang akan diserahi untuk mengawal dirinya itu tentu si nenek berwajah terutul, yalah nenek yang pernah bertempur mati-matian tetapi berimbang kekuatannya dengan Lu Kong Cu.
Tetapi diluar dugaan ternyata bukan nenek berwajah terutul melainkan seorang nenek lain yang paling tidak termasuk dua angkatan lebih tua dari Lu Kong Cu. Nenek itu bukan lain adalah nenek Li Wan, bergelar Thiat-koan-im atau Dewi Koan Im besi. Dia adalah isteri dari ketua partai Naga, dua angkatan lebih dahulu dari Lu Kong Cu.
Thiat-koan-im Li Wan adalah murid kesayangan dari Cian-jiu-sin-bu atau Dukun sakti Seribu-tangan, seorang tokoh wanita dari daerah Biau yang termashur. Wanita itu jahat dan kejam sehingga dunia persilatan memberinya julukan Biau-ciang Ok-jin, manusia jahat dari daerah Biau.
Saat itu Cong Tik menyadari bahwa percuma saja ia akan bersikap keras kepala. Betapapun ia hendak mengulur waktu dan adu lidah, tetapi tentu sia-sia. Apabila dia menolak tentu akan celaka. Dia pernah merasakan pil pahit dari Thiat-koan-im Li Wan dan tahu bahwa wanita itu memang sakti sekali. Tak mungkin dia mampu menandingi.
"Baiklah" akhirnya ia terpaksa menyetujui dengan diiring tertawa, "walaupun hendak dibuang ke Thian-tiok (India), akupun menurut saja".
Kembali Lu Kong Cu bersuit nyaring. Wanita tua itupun maju menghampiri.
Thiat-koan-im Li Wan ! Dan makin jelaslah keadaan wanita itu bagi Cong Tik. Wanita itu bertubuh pendek, mukanya ditutup dengan kain cadar warna hitam. Dari celah-celah cadar, dapat terlihat wajahnya penuh dengan gurat dan goresan malang melintang sehingga wajahnya tak menyerupai manusia lagi. Sinar matanya memancarkan sorot yang keras dan berpengaruh.
Wanita pendek itu mencekal seutas tali yang panjangnya hanya satu setengah meter. Karena tangannya gemetar maka tali itupun ikut bergoncang tak henti- hentinya, sehingga menyerupai seekor ular yang bergeliatan didalam air.
Tali yang berada di tangan wanita itu, seutas tali yang lemas. Tetapi berada dalam tangannya, tali itu menyerupai sebatang tongkat yang keras, sehingga dapat digunakan sebagai alat untuk berjalan. Bahkan pada waktu menyentuh tanah, tali itu dapat menimbulkan degup suara yang cukup keras.
Jelas sudah bahwa wanita tua itu memiliki ilmu tenaga-dalam yang luar biasa saktinya.
Begitu muncul wanita tua itu terus berkata : "Perintah apakah yang hendak ciangbujin berikan?"
?Ah, harap thay-subo jangan keliwat menjunjung diriku," buru-buru Lu Kong Cu berseru, "budak laki itu terlalu mengganggu kita, maka kumohon thay-subo suka membawanya ke tempat yang jauh. Makin jauh makin baik agar jangan mengganggu pekerjaan kita lagi."
Ternyata dalam partai Naga, ketua itu adalah yang tertinggi. Dan setiap ciangbujin atau ketua partai, selalu tinggal dalam Lembah Kupu-kupu. Setiap duapuluh tahun sekali maka berkumpullah seluruh anggauta partai Naga di lembah itu. Mereka menulis nama dan memilih ketua baru.
Setiap ketua baru yang terpilih, harus dihormati dan ditaati oleh seluruh anak buah partai Naga. Maka walaupun Thiat-koan-im Li Wan itu isteri dari ketua dua angkatan terdahulu tetapi dia harus tunduk pada ketua yang sekarang yakni Lu Kong Cu.
Dengan mata berkilat-kilat nenek tua Li Wan itu memandang ke arah Cong Tik.
"Baiklah" serunya menjawab perintah Lu Kong Cu. Tiba-tiba tali dihentakkan ke arah Cong Tik. Seketika itu Cong Tik merasa dirinya dilanda oleh segelombang tenaga dahsyat sehingga ia terhuyung-huyung sampai tujuh delapan langkah. Setelah mengerahkan tenaga-dalam, barulah ia dapat bertahan diri dan berdiri tegak lagi.
Tahu gelagat kurang baik, dia segera gunakan ilmu gin-kang melesat ke muka.
Sekali menusukkan tali ke tanah, tubuh Thiat-koan-im Li Wanpun segera melambung ke udara. Kain cadar hitam yang menutup wajahnya berkibar-kibar sehingga sepintas pandang wanita tua itu mirip dengan seekor burung yang aneh. Dia mengikuti di belakang Cong Tik. Hanya dalam beberapa kejab saja, kedua orang itupun lenyap ke balik gunung.
Saat itu Lu Kong Cu masih memain-mainkan mutiara. Wajahnya berseri-seri. Ia segera masuk lagi ke dalam guha untuk menemui Hong Ing.
"Hayo, kita berangkat," serunya.
Saat itu walaupun sudah terlepas dari tali pengikat, tetapi Hong Ing rasakan hawa murni dalam tubuhnya masih seperti tatkala menderita luka. Ia segera menyadiri bahwa tadi ia keliwat banyak mengeluarkan tenaga untuk menghadapi serangan Lu Kong Cu. Dalam keadaan seperti itu, ia kuatir mungkin tak dapat bertahan sampai empatpuluh sembilan hari.
Hong Ing makin putus asa. Perjalanan kembali ke Tay-pat-san paling tidak tentu menggunakan waktu selama empatpuluhan hari. Dengan demikian tak mungkin lagi jiwanya akan tertolong.
"Pergi ya pergi, jangan garang-garang begitu!"
Akhirnya karena putus asa iapun nekad.
Merah juga wajah Lu Kong Cu di sentil oleh Hong Ing. Tetapi sebagai seorang ketua sebuah partai persilatan, sudah tentu ia dapat mengendalikan perubahan air mukanya.
Diam-diam Lo Kong Cupun heran mengapa Hong Ing menunjukkan tanda-tanda seperti orang menderita luka-dalam yang parah.
"Budak perempuan, bilakah engkau menderita luka yang separah itu?" tegurnya.
"Tak usah peduli diriku!" seru Hong Ing dengan ketus.
"Bagus masih berani bertingkah!" akhirnya Lu Kong Cu marah juga.
"Aku bebas untuk ngomong dan bertingkah, apakah engkau berani membunuh mati aku". tantang Hong Ing
Memang karena ingin mendapatkan pelana bertabur mutiara, Lu Kong Cu memerlukan tenaga Hong Ing. Sudah tentu dia tak berani membunuhnya. Walaupun marah, tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa terhadap Hong Ing.
"Hm, budak perempuan liar", diam-diam Lu Kong Cu menggeram dalam hati, "sehabis mendapatkan pelana beruang salju, jangan harap engkau dapat hidup lagi!"
Tiba-tiba dari arah luar pintu terdengar orang berseru : "Suhu, ada tetamu !"
Mendengar yang berseru itu anak muridnya sendiri, Lu Kong Cu terkesiap.
"Siapa ?" serunya.
Tiba-tiba terdengar suara orang tertawa mengekeh dan berseru :
"Bagus, Lu-heng, boleh juga engkau bersikap begitu garang! Apakah engkau akan menolak setiap kunjungan tetamu ?"
Mendengar suaranya jelas yang bicara itu dua orang. Lu Kong Cu terkejut. Selama ini ia jarang sekali bergaul dengan dunia persilatan. Menilik nada suaranya yang tak baik, Lu Kong Cu makin terkejut. Untuk menjaga kemungkinan yang tak diharapkan, Lu Kong Cu segera menyambar selimut dan ditutupkan ke tubuh Hong Ing.
Ketika Hong Ing meronta-ronta, Lu Kong Cupun segera menutuk jalan darahnya lalu melesat keluar dari guha.
Ah, serentak Lu Kong Cu terbelalak demi melihat tetamunya itu tak lain ialah kedua saudara kate Lo Thian dan Lo Te.
"Apakah keperluan kalian datang ke sini ?" cepat ia menegur kedua orang kate itu. Sepasang saudara kate itu tertawa, "Kami dengar Lu-heng mendapat rejeki besar maka kamipun datang kemari hendak minta bagian".
Diam-diam Lu Kong Cu mengeluh. Mengapa berita tertangkapnya Hong Ing dapat tersiar ke luar begitu cepat sekali.
Diam-diam ia memperhitungkan. Ia masih dapat menghadapi kedua orang itu. Tetapi apabila tambah lagi musuh yang datang, tentu ia celaka. Apalagi saat itu tiang yang diandalkan, yakni Thiat-koan-im Li Wan, sedang disuruhnya membawa Cong Tik jauh ke daerah perbatasan barat. Coba wanita tua itu ada, tentu dapat menghadapi musuh yang berdatangan, berapapun jumlah mereka.
Terpaksa Lu Kong Cu hanya menyeringai, serunya:
"Aneh, dalam lembah di tengah pegunungan yang begini sepi, apa yang dapat kuberikan pembagian kepada kalian berdua ?"
Lo Thian dan Lo Te saling tukar pandang mata. Tiba-tiba Lo Thian berseru :
"Lo-ji, orang ini sungguh licin sekali !"
"Benar" sahut Lo Te, "kalau tidak diperas tentu tidak keluar minyaknya. Naiklah ..."
Lo Thian cepat loncat ke bahu Lo Te dan keduanya segera menyerang. Dari sepasang orang pendek kini mereka menjadi seorang biasa. Demikian pula setiap gerakan golok, mereka selalu serempak dan seragam sehingga tak ubah seperti satu orang yang bergerak.
Walaupun sudah lama Lu Kong Cu mendengar nama sepasang orang kate dari gunung Tu-lian-san itu sebagai penyamun besar yang kaya dengan emas permata hasil rampasannya di daerah Tibet maupun pedagang-pedagang yang hendak masuk ke Tiong-goan.
Semula Lu Kong Cu memang sudah menduga bahwa kedatangan kedua orang kate itu tentu dengan maksud buruk. Dan setelah mereka benar-benar menyerang, terpaksa Lu Kong Cupun harus melayani juga. Ia akan menundukkan kedua orang kate itu dan lalu menawannya. Akan ia ajak sekalian bersama Hong Ing ke Tay-pat-san. Setelah urusan di Tay-pat-san beres, ia akan paksa kedua orang kate itu menunjukkan simpanan harta emasnya di gunung Tu-lian-san. Hendak ia rampas semua hasil mereka selama bertahun-tahun ini. Dengan demikian sekali tepuk dia akan memperoleh dua lalat.
Tengah dia memperhitungkan segala sesuatu dari sudut yang menguntungkan dirinya, tiba-tiba kedua orang kate itupun menyerangnya. Sret, sret golok dari Lo Thian segera membelah kearah kepala Lu Kong Cu.
Walaupun pernah mendengar namanya tetapi Lu Kong Cu belum pernah melihat kedua orang kate itu, belum pula mengetahui cara-cara mereka bertempur. Dia tercengang ketika menyaksikan bagaimana kedua orang kate itu menyerangnya. Buru-buru ia mengangkat kipas baja untuk menangkis. Tetapi golok Lo Thian lebih cepat datangnya. Untunglah Lu Kong Cu masih sempat tundukkan kepala hingga tak sampai terbelah.
Tetapi pada saat itu pula, Lo Te yang berada di bawah segera membabatkan golok ke kaki Lu Kong Cu.
Lu Kong Cu sedang menjaga tabasan dari atas. Sudah tentu ia tak sempat memperhatikan serangan dari bawah. Memang dengan saling berpanggul itu, sepasang orang kate itu seolah menjadi seorang raksasa yang mempunyai empat tangan dan dua kaki. Waktu bertempur melawan nenek Cenderawasih-Tutul di gunung Tay-pat-san, nenek itu kewalahan dan beberapa kali menderita rugi. Apalagi Lu Kong Cu.
Setelah paksakan diri untuk melayani sampai dua jurus, Lu Kong Cu terpaksa loncat menghindar ke samping lalu bersuit keras.
Bagai tawon dionggok dari sarang, berpuluh-puluh orang segera berhamburan keluar dari guha-guha di sekeliling tempat itu. Mereka adalah anak buah partai Naga.
Lo Thian terkesiap, serunya kepada Lo Te: "Lo-ji, banyak sekali manusianya !"
''Kita berpisah untuk menjagal mereka !" seru Lo Te.
Lo Thian berteriak aneh dan ujung kakinya menginjak bahu Lo Te dan Lo Tepun segera guncangkan bahunya ke atas mengantar gerak Lo Thian yang segera melambung ke udara lalu berjumpalitan meluncur ke arah anak buah partai Naga.
Brak ... Begitu tiba di tanah, Lo Thianpun sudah melukai tiga empat orang.
Sedangkan Lo Tepun lalu mengendapkan tubuh kebawah terus membuang diri bergelundungan ke tanah sambil melakukan permainan golok. Sesaat segera terdengar jeritan ngeri dan lima enam anak buah partai Naga terbabat kutung kakinya bergelimpangan dalam kubangan darah.
Melihat gelagat tak baik dan menyadari anak buahnya itu hanya kawanan 'kantong Nasi' yang tak berguna, diam-diam Lu Kong Cu memperhitungkan. Kalau ia turun tangan, memang ia mampu untuk menahan kedua orang kate itu. Tetapi apabila datang lagi musuh baru, jelas dia tentu celaka. Segala rencana yang hendak dilakukan oleh Hong Ing tentu berantakan.
Sebenarnya Lu Kong Cu juga seorang jantan. Tetapi entah bagaimana pada saat itu, tiba-tiba dia hanya memperhitungkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Ia menyuruh anak buahnya menyerang maju tetapi ia sendiri loncat mundur terus menyelundup ke dalam guna sembari membawa Hong Ing.
Rupanya Lu Kong Cu hendak menggunakan berpuluh jiwa anak buah partai Naga untuk menghalangi kedua orang kate dan dia sendiri hendak menyelamatkan jiwanya dengan membawa tawanannya, Hong Ing.
Melihat Lu Kong Cu melarikan diri, kedua orang kate itupun marah. Mereka tinggalkan anak buah partai Naga lalu loncat mengejar. Sekali loncat mereka sudah mencapai empat lima tombak.
"Hai, jangan lari !" sambil melambung ke udara, Lo Thian segera bergabung dengan saudaranya lagi untuk mengejar.
Peraturan dari partai Naga keras sekali. Perintah ketua harus ditaati walaupun harus menghadapi kematian. Tahu kalau tak dapat menghadapi kedua orang kate itu, namun anak buah partai Naga itu tetap tak mau mundur. Mereka tetap menyerang kedua orang kate. Memang ada juga yang agak pintar. Begitu terluka, walaupun hanya ringan lantas berguling-guling ke tanah dan mengerang-erang tak henti-hentinya seperti orang yang terluka berat.
Oleh karena jumlahnya banyak maka walaupun banyak yang rubuh, namun masih terdapat lebih kurang limapuluh orang yang mengepung Lo Thian dan Lo Te.
Kedua orang kate itu berkaok-kaok dan berkuik-kuik seperti orang yang kebakaran jenggot karena harus mengurusi orang-orang itu.
Ketika berpaling dan melihat keadaan kedua orang kate itu, diam-diam Lu Kong Cu girang. Dengan ilmu gin-kang yang dimilikinya, ia percaya pada saat kedua orang kate itu dapat menerobos dari libatan anak buah partai Naga, ia tentu sudah dapat lari sampai empat limapuluh li jauhnya.
Sekali empos semangat, ia melambung ke atas lagi lalu meluncur turun dengan gerak Naga-bermain-dalam-air, suatu ilmu ginkang warisan dari partai Naga yang memiliki ciri-ciri keistimewaan sendiri. Dengan melambung dan melayang turun itu, setiap kali ia dapat mencapai lima tombak jauhnya. Walaupun harus mengempit tubuh manusia, tetapi tak mengurangi kecepatan geraknya.
Pada saat setelah meluncur turun dan hendak melambung pula, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dingin. Menyusul tiga sosok bayangan hitam susul menyusul telah tiba dan terus menyerangnya.
Saat itu Lu Kong Cu berlari ke arah barat. Matahari yang sedang terbenam di balik gunung masih memancarkan sinar merah yang menyilaukan matanya. Ia tak dapat melihat siapa ketiga pendatang itu. Tetapi dari gerakan tubuh mereka, ia dapat menduga kalau mereka tentu tokoh-tokoh yang lihay sekali tenaga-dalamnya.
Siapakah mereka? Apakah ada pendatang baru lagi yang hendak merintanginya ?
Karena ingin tahu, Lu Kong Cu cepat menghindar ke samping dan serempak pada saat itu, ketiga sosok bayangan itupun turun ke tanah. Ketika memandang, barulah Lu Kong Cu tahu bahwa penyerangnya itu hanya seorang lelaki bertubuh pendek gemuk, memanggul pikulan dani dua buah batu besar. Tadi dia menyerang dengan kedua batu itu. Karena batu itu hampir sama besarnya dengan orangnya, sepintas pandang menyerupai tiga sosok tubuh manusia.
Kini Lu Kong Cu segera mengenali siapa orang pendek itu. Diam-diam ia mengeluh. Ia tahu siapa Ciok Liu Seng. Tetapi ia tetap bersikap tenang. Setelah menganggukkan kepala sebagai tanda hormat, iapun terus menyelinap ke samping hendak melanjutkan langkah.
"Tunggu dulu !" teriak Ciok Liu Seng sambil tertawa.
Lu Kong Cu tak mau terlibat dalam pertempuran dengan orang pendek gemuk itu. Menyurut mundur selangkah, ia berseru :
"Sepasang saudara Lo yang kate telah mendahului engkau selangkah. Apa yang engkau kehendaki, minta saja kepada mereka !"
Ciok Liu Seng juga seorang tua limbung. Mendengar kata-kata itu, ia segera berpaling ke belakang. Dilihatnya saat itu sepasang orang kate sedang mengamuk dan membunuhi anak buah partai Naga. Seketika timbullah dugaan pada Ciok Liu Seng.
"Hai, apakah kamu berdua hendak menelan sendiri ?" serunya.
"Jangan percaya tipu muslihat bangsat itu" teriak Lo Thian dan Lo Te.
Saat itu Ciok Liu Seng dengan kedua orang kate terpisah belasan tombak. Tetapi tanya jawab yang mereka lakukan dapat terdengar jelas. Dari sudut itu dapat diketahui betapa tinggi ilmu tenaga-dalam yang mereka miliki.
Ciok Liu Seng mendapat gelar Lu-Lam-in-hiap atau pendekar tersembunyi dari Lu Lam. Sesungguhnya tempat kediamannya tak jauh dari gunung Tu-Lian-san, tempat tinggal kedua orang kate. Tetapi dasar Ciok Liu Seng memang berwatak angkuh, dia tak mau berhubungan dengan kedua orang kate itu.
Setelah mendengar jawaban dari sepasang orang kate, Ciok Liu Sengpun mau mempercayainya. Cepat ia berpaling menghadap ke muka lagi. Tetapi, astaga ...
Pada saat Ciok Liu Seng sedang berpaling ke belakang berbicara dengan kedua orang kate, Lu Kong Cupun sudah loncat melambung ke udara dan meluncur belasan tombak jauhnya. Cepatnya luar biasa dan sama sekali tak mengeluarkan suara.
"Kurang ajar !" teriak Ciok Liu Seng. Cepat ia memanggul pikulannya lalu berputar-putar sampai tujuh delapan kali. Wut, wut, kedua batu besar itupun segera terlempar melayang ke muka.
Kedua batu besar itu berputar-putar di udara kemudian laksana gunung Thay-san rubuh, secepat kilat pula kedua batu itu melayang ke arah Lu Kong Cu.
Lu Kong Cu yang saat itu tengah lari mati-matian, terkejut ketika mendengar angin menderu keras di belakangnya. Cepat ia berpaling. Astaga ....
Seketika semangatnya serasa terbang ketika melihat dua buah batu besar yang masih terikat dengan rantai dan berikut pikulan besi, tengah melayang di udara dan meluncur ke arahnya.
Lu Kong Cu memang hebat dalam ilmu gin-kang atau meringankan tubuh. Tetapi betapapun saktinya ilmu ginkangnya, tak mungkin mampu menandingi kecepatan dari meluncurnya batu itu. Dan apabila tertimpa dengan batu itu, meski seorang manusia bajapun tentu akan hancur lebur.
Karena takutnya, tanpa banyak pikir lagi Lu Kong Cu terus buang tubuh bergelundungan di tanah.
Ciok Liu Seng disanjung sebagai Batu-meluncur oleh kaum persilatan karena berkat ilmu kepandaiannya melontarkan pikulan batu yang sangat istimewa. Mungkin dalam dunia persilatan hanya dia seorang yang memiliki kepandaian seperti itu. Betapa tidak ! Dua batu besar yang masing-masing beratnya tak kurang dari tiga ratus kati, dapat dilontarkan ke udara dan batu itu dapat berputar-putar lalu meluncur mengejar musuh.
Sedemikian luas orang persilatan mengenal nama Ciok Liu Seng si Batu-komet yang meluncur itu sehingga namanya yang aseli sampai dilupakan orang.


Pendekar Banci Karya Sd Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kepandaian dan kekuatan untuk berputar-putar memikul batu lalu melontarkannya ke udara itu, memang kepandaian istimewa yang telah dilatih selama belasan tahun. Dia menamakan gerak itu sebagai jurus Jit-gwat-ki-hui atau Matahari-rembulan-terbang-serempak.
Sebenarnya ia menyiksa diri sampai belasan tahun berlatih ilmu itu adalah untuk melakukan pembalasan. Tetapi sayang, orang itu sudah mati.
Ketika melihat Lu Kong Cu melarikan diri, Ciok Liu Seng mengira kalau yang dikempit Lu Kong Cu itu tent?u pelana bertabur mutiara. Maka tanpa banyak pikir lagi, ia terus mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang istimewa. Hasilnya benar-benar bukan buatan!
Banyak sekali jago-jago silat yang memiliki pukulan keras dan tenaga yang keras. Tetapi kekerasan macam yang dimiliki Ciok Liu Seng, memang tak ada keduanya.
Walaupun Lu Kong Cu cepat-cepat mengetahui gelagat yang berbahaya dan terus buang diri bergelundungan di tanah tetapi ternyata Ciok Liu Seng mempunyai perhitungan yang tepat dalam menggerakkan kedua batu besar itu. Begitu Lu Kong Cu menggelundung ke tanah, batupun karena digerakkan dengan tenaga-dalam oleh Ciok Liu Seng, terus kontan meluncur ke bawah menimpa Lu Kong Cu.
Untung Lu Kong Cu dapat mempercepat gerak tubuhnya. Sekalipun demikian angin keras dari peluncuran batu itu, perbawanya dapat menghentikan napas orang.
Melihat gelagat yang membahayakan jiwanya terpaksa ia kendorkan kempitannya pada tubuh Hong Ing. Ia susupkan jari tangannya ketanah untuk mempertahankan tubuhnya agar jangan terlempar oleh angin dahsyat.
Dia memang berhasil mempertahankan diri tetapi pakaiannya compang camping dicabik angin. Bahkan selimut yang membungkus tubuh Hong Ingpun terlanda angin dan membubung sampai beberapa meter. Untung karena membentur gerumbul pohon, selimut itupun berhenti.
Karena jalan darahnya tetutuk, Hong Ing tak dapat berbuat apa-apa. Ia rasakan dirinya seperti melayang-layang diudara lalu membentur benda keras dan jatuh ke tanah.
Bum, bum ..... Kedua batu itu menghantam sebatang pohon yang besarnya sepemeluk tangan orang. Pohon bergoncang-goncang keras hendak rubuh.
Menyaksikan adegan yang sedemikian dahsyat Lu Kong Cu leletkan lidah. Tetapi tiba-tiba Ciok Liu Seng loncat menyerangnya lagi. Seketika Lu Kong Cu melihat sepercik sinar warna kuning pelangi yang menyilaukan.
Memang Lu Kong Cu tak tahu bahwa ketika berada di rumah keluarga Tan, Ciok Liu Seng berhasil merampas pedang Thian-liong-kiam dari Hong Ing.
Melihat sinar kuning pelangi melandanya, ia mengira Ciok Liu Seng tentu menyerang dengan pedang. Setitikpun ia tak menyangka kalau Ciok Liu Seng menggunakan pedang pusaka Thian-liong-kiam.
Cret, Lu Kong Cunpun tebarkan kipas baja dikebutkan ke tanah. Dengan meminjam tenaga kebutan itu, tubuhnya melambung ke udara lalu dengan jurus Tay-seng-san-san atau Raja-monyet-menampar-gunung, ia menyongsong pedang lawan.
Jika Lu Kong Cu dari bawah menyongsong ke atas, adalah Ciok Liu Seng menabas dari atas ke bawah. Tring, serentak berterbanganlah kutungan-kutungan kerangka baja ke udara.
Pedang Thian-liong-kiam memang sebuah pusaka yang luar biasa tajamnya. Pedang itu dapat memapas kutung kerangka kipas baja yang berjumlah lebih dari duapuluh batang.
Rupanya Ciok Liu Seng masih belum puas kalau tidak dapat merontokkan nyali Lu Kong Cu. Setelah memapas kutung kerangka kipas, ia masih membelah lagi kipas itu sehingga tidak berujut sebuah kipas.
Saat itu baru Lu Kong Cu menyadari bahwa pedang yang berada di tangan si pendek gemuk Ciok Liu Seng itu bukan pedang sembarangan tetapi pedang pusaka Thian-liong-kiam yang termashur.
Namun sudah terlambat. Saat itu ia sudah kehilangan kipas baja dan akan kehilangan jiwa. Akhirnya ia nekad juga. Ia meremas hancur tali urat kerbau yang mengikat kerangka baja kipas itu, menggenggam sisa kutungan kerangka kipas, serentak ia gunakan ilmu menabur Boan-thian-seng-tou atau Langit-penuh-bertabur-bintang.
Seketika suatu gelombang sinar bergemerlapan dalam kecepatan yang amat kencang dan desis angin yang tajam, mencurah kearah Ciok Liu Seng.
Ilmu lontaran Boan-thian-seng-tou yang dimainkan Lu Kong Cu itu memang luar biasa. Bermula kutungan-kutungan kerangka baja itu merupakan seikat sapu lidi baja yang melayang ke udara. Kemudian tiba-tiba ikat lidi baja itu pecah dan berhamburan mencurah keempat penjuru .. Terjadi beberapa benturan antara sebatang kutungan lidi baja dengan lain lidi baja. Benturan itu menimbulkan dering suara yang nyaring dan kedua lidi baja itupun terus terpencar melayang ke lain arah.
Jika masih memanggul pikulan dengan kedua batu besar, sudah tentu Ciu Liu Seng tak gentar menghadapi hujan senjata rahasia semacam itu. Dengan kedua batu besar, ia mampu menyapu lontaran senjata rahasia yang bagaimana berbahayanyapun. Apalagi hanya kutungan-kutungan kerangka kipas.
Tetapi karena pikulan dan kedua batu itu sudah terlanjur dilontarkan ke udara, Ciok Liu Seng agak gentar. Apalagi ia kuatir kerangka kipas-baja itu mengandung racun maka Ciok Liu Seng segera memutar pedang Thian-liong-kiam untuk melindungi tubuhnya.
Taburan kutungan kerangka kipas itupun berdenting-denting tersapu keempat penjuru oleh pedang.
Hanya beberapa kejab mata, Ciok Liu Seng berjuang untuk melindungi tubuhnya dari hujan kutungan kerangka kipas itu, atau ketika memandang kemuka lagi, ternyata Lu Kong Cu sudah lari sampai satu li jauhnya.
Cepat Ciok Liu Seng loncat keatas pohon. Tampak jauh di sebelah muka, hanya sebuah titik hitam yang meluncur pesat di sepanjang jalan.
Menyadari bahwa sukar untuk mengejar ketua partai Naga itu, akhirnya Ciok Liu Seng terpaksa melayang turun dari pohon lagi dan mencari Hong Ing.
Angin puyuh yang ditimbulkan dari jurus Jit gwat-ki-hui tadi, ternyata dapat melempar tubuh Hong Ing sampai jauh ke dalam semak pohon.
Pada saat itu, tanpa sengaja siku lengan Hong Ing telah membentur sebatang pohon dan terbukalah jalan darahnya yang tertutuk itu.
Saat itu Hong Ing menyadari bahwa daya khasiat pil Jit-hoan-leng-tan pemberian paderi yang menjadi suhu dari pemuda Su Ciau tak mungkin dapat menahan jiwanya sampai empatpuluh sembilan hari lagi. Ia merasa hanya dapat bertahan tiga hari lamanya.
Sebenarnya Hong Ing sudah melepaskan harapannya hidup. Tetapi ketika melihat Lu Kong Cu diserang Ciok Liu Seng dan kedua orang kate dikepung anak buah Lembah Kupu-Kupu, seketika timbul pula semangat hidupnya.
Setelah jalan darahnya terbentur pohon dan terbuka, ia dapat bergerak. Maka ia segera menyusup ke dalam semak. Di sebelah muka tampak sebuah telaga. Ia tahu bahwa tak mungkin ia dapat melarikan diri maka lebih baik ia menyembunyikan diri saja.
Seketika timbul rencananya. Dengan pelahan-lahan ia merangkak ke arah telaga lalu membenam diri ke dalam telaga itu. Sebelumnya ia memetik sebatang buluh ilalang, dikumur dalam mulut untuk pernapasan.
Lebih kurang tiga empat jam ia membenam dalam telaga, dilihatnya langit sudah mulai petang. Maka barulah ia berani menongol ke permukaan air.
Keliling empat penjuru kecuali hanya suara burung yang beterbangan pulang ke sarang tiada lain suara apa-apa lagi. Sunyi senyap...
Hong Ing menghela napas longgar. Ia kira sudah selamat dari kejaran Ciok Liu Seng. Pelahan-lahan iapun merangkak ke daratan. Dengan pakaian basah kuyup, ia menyusup lagi ke dalam semak. Keluar dari semak pohon dilihatnya bintang-bintang bersinar remang di langit. Pohon besar tadi rupanya telah patah terhantam kedua batu dari Ciok Liu Seng. Sedang disisi pohon, terkapar sesosok mayat.
Sebenarnya Hong Ing tak mau mengacuhkan orang itu. la duga tentulah salah seorang anak buah Lembah Kupu-Kupu. Tadi dengan mata kepala sendiri ia menyaksikan betapa kedua orang kate Lo Thian dan Lo te telah mengamuk begitu rupa. Setiap mereka menerjang, tentu ada seorang atau beberapa orang anak buah Lembah Kupu-kupu yang rubuh.
Tetapi entah bagaimana, baru beberapa langkah ia berjalan, ada sesuatu yang timbul dalam hatinya. Siapakah mayat itu?
Cepat ia berpaling dan melihat di samping mayat itu memancar suatu sinar kemilau:
"Hola!", hampir Hong Ing bersorak dalam hati. Ya, jelaslah. Sinar kuning kemilau itu tak lain adalah pedang pusaka Thian-liong-kiam.
"Adakah Ciok Liu Seng melempar pedang pusaka itu?" tanyanya dalam hati. Ah, kalau begitu memang besar sekali rejekinya. Pedang yang telah lepas dari tangannya, dapat kembali lagi.
Segera ia ayunkan langkah menghampiri ke tempat mayat itu. Ah, ternyata memang pedang Thian-liong-kiam. Pedang itu menggeletak di samping orang itu. Cepat ia memungutnya kemudian memandang kearah muka mayat itu.
"Hai ...!" hampir saja Hong Ing melonjak kaget ketika mengetahui bahwa mayat itu bukan lain adalah Ciok Liu Seng sendiri.
Sedemikian kejutnya hingga sampai beberapa saat ia terlongong-longong.
Ketika Ciok Liu Seng menggunakah jurus ilmu Jit-gwat-ki-hui tadi, Hong Ing melihat dengan jelas. Ia sampai lelerkan lidah karena kagum.
Diam-diam ia menimang. Suhunya sendiri Siau Yau cinjin yang memiliki ilmu tenaga dalam sakti belum tentu mampu melakukan jurus Jit-gwat-ki-hui yang dapat melontarkan sepasang batu besar ke udara menurut sekehendak hatinya.
Tetapi mengapa seorang tokoh selihay Ciok Liu Seng sampai mati ? Adalah dia mati sendiri atau dibunuh orang? Mengapa mati sendiri, siapa pembunuhnya?
Dalam hidupnya, baik sedang marahpun tentu selalu riang gembira, tersenyum simpul.
Tetapi saat itu mukanya perot, sepasang biji matanya melotot keluar. Menyeramkan sekali. Apabila bukan karena ciri tubuhnya yang gemuk pendek, tentu sukar untuk mengenalinya. Sukar pula untuk percaya bahwa dia adalah Ciok Liu Seng si Bintang-meluncur yang menggetarkan dunia persilatan.
Meskipun masih marah kepada Ciok Liu Seng yang menyebabkan dirinya sampai terluka parah, tetapi entah bagaimana, setelah melihat orang itu mati dalam keadaan yang begitu menyeramkan, timbul juga rasa kasihan dalam hati Hong Ing.
Ia memberanikan diri untuk memeriksa tubuhnya tetapi tak menemukan suatu luka apapun. Akhirnya Hong Ing tinggalkan tempat itu.
Berjalan ke muka tibalah ia di sebuah tanah lapang. Di situpun terdapat beberapa sosok mayat yang malang melintang. Di antara sosok-sosok mayat itu, ia melihat dua buah golok pendek yang berkilat-kilat tajam sekali. Segera ia menghampiri dan memungutnya. Dilihatnya salah satu dari golok itu terdapat ukiran huruf Thian. Dan yang satu ukiran huruf Te. Segera ia mengenali kedua golok pendek itu tentu senjata dari Lo Thian dan Lo Te, kedua orang kate dari gunung Tu-lian-san.
Tetapi ketika ia memeriksa, ternyata di antara sosok-sosok mayat itu tak terdapat mayat Lo Thian dan Lo Te. Ia heran. Beberapa saat merenung, akhirnya ia tiba pada suatu dugaan. Kemungkinan tentu di tempat itu muncul seorang sakti yang telah membunuh Ciok Liu Seng dan memaksa kedua orang kate itu membuang goloknya untuk melarikan diri.
Tetapi siapakah tokoh sakti itu ?
"Hai, jangan-jangan dia masih berada di sekitar tempat ini ?" tiba-tiba timbul pertanyaan dalam hati Hong Ing. Seketika tegaklah bulu kuduknya.
Segera ia keliarkan pandang mata ke sekeliling penjuru. Tetapi ia tak melihat suatu apa. lapun agak lega pikirannya.
Tiba-tiba ia melihat pula dari samping mayat Ciok Liu Seng itu muncul dua deret benda mengkilap. Setiap deret terdiri dari sembilan gunduk kecil semua berjumlah delapanbelas gunduk-gunduk kecil. Benda-benda itu pelahan-lahan bergerak menuju ke tempatnya. Tak berapa lama benda-benda itupun tiba dihadapan Hong Ing.
Ketika memandang benda-benda itu, Hong Ing hampir melonjak kaget. Keringat dingin segera bercucuran membasahi tubuhnya. Dia berdiri tegak seperti patung.
Kiranya benda-benda yang bundar bentuknya, sejenis binatang yang aneh. Seperti bangsa kura-kura tetapi bukan kura-kura. Panjangnya tiga empatpuluh senti.
Yang lebih aneh lagi telinga, mulut dan hidung serta mata dari benda itu, mirip dengan manusia. Sehingga sepintas pandang benda-benda itu menyerupai benar dengan beberapa kepala manusia yang bergerak-gerak di tanah. Benda-benda aneh itu berhenti pada jarak dua meter di muka Hong Ing.
Hampir kaku tubuh Hong Ing melihat pemandangan yang sengeri itu. Diam-diam ia berpikir, memang di daerah Hun lam dan Kwi ciu itu penuh dengan binatang-binatang yang aneh bentuknya. Sejak tinggal di gunung Ke-tiok-san, memang ia acap kali melihat beberapa jenis binatang yang aneh. Tetapi binatang yang menyeramkan seperti saat itu, benar-benar baru pertama kali ia melihatnya.
"Binatang apakah itu?" diam-diam ia berpikir, "ah, tentu bangsa binatang berbisa. Lebih baik kulenyapkan saja !"
Pada saat ia hendak menahas dengan pedang Thian-liong-kiam, sekonyong-konyong telinganya terngiang suatu suara yang lembut macam nyamuk tetapi kata-katanya terdengar jelas :
"Jangan bergerak, nona. Begitu bergerak, engkau tentu tak dapat bergerak. Jangan pula berpaling ke belakang melihat aku. Binatang itu disebut Katak-manusia. Luar biasa racunnya. Sampai seorang tokoh hebat seperti Ciok Liu Sengpun, harus menyerahkan jiwanya. Jangan sekali-kali engkau bergerak!"
Hong Ing kucurkan keringat dingin. Sebenarnya rasa seramnya sudah hampir hilang, bahkan dia hendak membunuh binatang itu. Tetapi demi mendengar nama Katak-manusia, kembali keringat dingin bercucuran membasahi tubuhnya lagi. Sesaat angin malam berhembus, maka menggigillah tubuhnya.
Tiba-tiba ia teringat bahwa jiwanya memang sudah tiada harapan lagi. Jangankan hanya menggigil kedinginan, sekalipun menderita yang lebih hebat dari itu lagipun tak apa. Ia tak takut mati tetapi kalau mati karena digigit Katak-manusia, ngerilah rasanya. Mau tak mau ia harus menurut anjuran orang itu. Karena sekali ia sampai bergerak, tentulah kawanan katak-manusia itu akan bergerak menyerangnya. Dan sekali tergigit, jangan harap ia dapat hidup lagi.
Tiba-tiba pula ia merasa seperti pernah kenal dengan nada suara orang itu. Demikian pula ilmu Menyusupkan-suara yang digunakan orang itu, rasanya ia pernah tahu. Tetapi ia lupa. Yang jelas orang itu tentu seorang tokoh sakti. Ah, bagaimana caranya ia dapat melihat wajah orang itu? Ya, hanya dengan menundukkan katak-manusia itulah ia akan dapat berpaling ke belakang melihat siapa orang sakti itu.
Setelah menimang-nimang, akhirnya ia harus paksakan diri berdiam seperti patung. Melihat Hong Ing tak bergerak, katak-manusia itupun hanya menjulur-surutkan tubuh tetapi tak bergerak maju lagi.
Berdiri tegak seperti patung memang bukan hal yang enak. Cukup membuat orang menderita. Tetapi saat itu Hong Ing terpaksa harus menyiksa diri. Sekalipun rasanya kaki sudah kesemutan tetapi ia tetap menahan diri tak bergerak sama sekali.
Memang demikianlah perasaan seorang manusia. Dikala pada waktu-waktu biasa, dia dapat bergerak bebas, ia tak merasa bahwa hal itu suatu kenikmatan. Tetapi setelah sakit atau dalam keadaan seperti yang dialami Hong Ing saat itu, barulah terasa, betapalah bahagia kita sesungguhnya ini karena tiap saat dapat bergerak bebas menurut sekehendak hati.
Entah berselang berapa lama kembali telinga Hong Ing terngiang oleh suara ngiang orang itu :
"Engkau pintar sekali, nona. Dari gunung Ceng-shia-san baru saja aku menangkap dua ekor laba-laba Emas. Harus tunggu mereka mengeluarkan ludah dan merangkai jaring, baru dapat menundukkan katak-manusia yang beracun itu. Tahanlah sebentar lagi, tentu takkan terjadi apa-apa. Jangan coba bergerak !"
Timbullah harapan hidup dalam hati Hong Ing. Ia sanggup untuk bertahan. Tetapi sampai beberapa saat lagi tetap belum melihat suatu perubahan apa-apa.
Ia benar-benar tak tahan lagi. Tubuhnya mandi keringat. Keringat bercucuran deras dari dahinya sehingga mengenai mata. Sayup-sayup ia seperti melihat kedelapanbelas bintik-bintik mengkilap bersama bentuk wajah orang itu, serempak mulai menghampiri ke arahnya.
Sepanjang hidupnya, belum pernah ia menderita siksa ketegangan seperti saat itu. Karena tak tahan lagi akhirnya ia memekik keras-keras dan berputar tubuh lari ....
Tetapi ah, ternyata ia tak dapat bergerak. Jalan darah Thian-coan-hiat pada punggungnya terasa mengencang dan ia tak dapat berkutik lagi.
Memandang ke muka ternyata katak-manusia itu masih tetap berada tak jauh di sebelah muka. Tadi hanya khayalan belaka bahwa katak-manusia itu bergerak ke arah tempatnya.
"Nona, telah kuketahui bahwa engkau sedang menderita luka parah. Kukuatir kalau menutuk jalan darahmu, lukamu akan bertambah berat. Karena engkau sudah tak dapat berkutik maka kuberimu kelonggaran." Tiba-tiba telinga Hong Ing terngiang suara orang itu lagi.
Tertutuk jalan darahnya, bagi Hong Ing malah lebih enak. Karena dengan begitu ia tak usah menyiksa diri harus tak berkutik seperti patung.
Tetapi apabila memikirkan bagaimana andaikata katak-manusia itu akan merayap menghampirinya nanti, keringat dingin mengalir deras lagi.
Beberapa jenak kemudian baru terdengar orang itu berkata dengan ilmu Menyusup-suara lagi: "Nona, jangan takut, jaring laba-laba-emas sudah jadi!"
Kini Hong Ing benar percaya pada omongan orang itu. Iapun menghela napas longgar ketika mendengar keterangan itu.
"Apabila engkau rasakan jalan darahmu yang kencang itu sudah terbuka, lekaslah engkau loncat ke sebelah kiri. Harus loncat dengan cepat, ingatlah baik-baik!", kembali suara orang itu terngiang di telinga Hong Ing.
Diam-diam Hong Ing mengiakan. Sesaat kemudian ia rasakan punggungnya terasa longgar. Segera ia mengempos hawa murni dan sekali enjot tubuh, ia gunakan seluruh tenaganya untuk loncat ke sebelah kiri.
Sesaat ia bergerak, katak-manusia itupun mendengkung keras dan mengejarnya. Kecepatan geraknya hampir serempak dengan loncatan Hong Ing. Sudah tentu ia terkejut sekali. Diam-diam ia mengeluh. Apabila orang itu terlambat sedikit saja turun tangan, tentu ia akan mati disambar katak-manusia itu.
Pada detik-detik yang berbahaya itu tiba-tiba segulung sinar emas meluncur dari udara. Rupanya katak-manusia itu tahu kalau sinar emas itu sebuah jaring laba-laba-emas. Cepat binatang itu mundur menghindar tiga iangkah.
Tiba-tiba timbul dalam pikiran Hong Ing untuk mengetahui siapakah penolongnya itu. Melihat jaring laba-laba-emas itu berasal dari samping, iapun segera mengarahkan pandang matanya ke samping. Tetapi yang tampak hanya sebuah gerumbul pohon.
Jaring Laba-laba-emas itu kembali menebar dan kali ini katak-manusia tak dapat menghindar lagi. Cepat jaring itu ditarik ke arah semak.
"Terima kasih, inkong." seru Hong Ing. Sesosok tubuh tinggi besar melesat tiga tombak jauhnya. Hong Ing berseru supaya orang itu berhenti.
"Nona kecil, aku masih ada urusan, harap engkau lanjutkan perjalananmu." seru orang itu yang pada lain saat sudah lenyap.
Sekarang marilah kita mundur sejenak, untuk mengetahui mengapa Cong Tik tiba-tiba dapat muncul di Lembah Kupu-kupu dan tertangkap oleh anak buah Lu Kong Cu.
Oleh karena Cong Tik termasuk salah seorang tokoh yang banyak memegang peran dalam cerita ini, terpaksa kita harus mengikuti perjalanannya selama ini.
Memang Cong Tik seorang pemuda yang cakap tetapi berhati durjana. Dia rela mengorbankan Hong Ing kepada Lu Kong Cu agar dirinya bebas. Tetapi akhirnya ia tetap ditawan oleh Lu Kong Cu yang menyuruh nenek Thiat-koan-im Li Wan untuk membuangnya jauh ke daerah barat.
Kisah dimulai ketika ia bersama Hong Ing berada di gunung Tay-pat-san. Dengan tipu daya ia berhasil membuat Hong Ing tertegun lalu ia terus menyelinap pergi dan bersembunyi dalam semak belukar (lihat jilid 2).
Setelah Hong Ing pergi, baru ia berani keluar dari tempat persembunyiannya. Kuatir kalau di gunung itu akan dipergoki orang, cepat ia melolos baju luar dan membungkus pelana bertabur mutiara itu lalu bergegas tinggalkan tempat itu. Kebetulan pula kuda kurus Pemburu-petir masih beristirahat rebah dibawah pohon. Cong Tik bersorak dalam hati. Seperti mendapat durian runtuh.
Sudah mendapat pelana bertabur mutiara masih menemukan kuda Pemburu-petir lagi.
Masih kuatir kalau kesampokan dengan Hong Ing, Cong Tik sengaja mengambil jalan melingkari gunung lalu menuju ke perbatasan Holam.
Sebenarnya karena tak kenal jalan, Hong Ing berjalan sepembawa kakinya. Dan kebetulan juga mengambil jalan yang dilalui Cong Tik. Tetapi sayang tak berjumpa dengan pemuda itu.
Setelah keluar dari gunung, Cong Tik tiba di sebuah kota dan kebetulan berjumpa dengan Tan Su Ciau. Su Ciau tak kenal kepadanya tetapi ia tahu Su Ciau. Melihat Su Ciau, ia terkejut. Tetapi Su Ciau seorang pemuda yang jujur. Melihat Cong Tik naik kuda Pemburu-petir ia segera menanyainya. Dan ia percaya saja keterangan Cong Tik bahwa kuda itu diketemukannya dari gunung. Padahal jelas kuda itu telah dibawa kabur oleh Cin Hong Ing, calon mempelainya.
Su Ciau anak orang kaya. Daripada ribut-ribut ia mau juga membeli kuda kurus itu dengan harga tiga ribu tail perak.
Karena pelana bertabur mutiara sudah di tangannya, Cong Tik sudah puas. Walaupun kuda kurus itu memang sakti, tetapi asal jangan sampai menimbulkan onar, mau ia menyerahkan dengan Cuma-cuma. Apalagi dibeli sampai sekian mahal, dapat dibuat ongkos perjalanan.
Setelah jual beli selesai, Cong Tik lalu melanjutkan perjalanan menuju ke selatan dan tiba diwilayah Ciat kang. Ia mencari suatu tempat yang sunyi dan membuka bungkusan pelana lalu rnemeriksanya dengan teliti.
Demi mendapatkan pelana kulit beruang salju yang bertabur mutiara itu, entah berapa banyak tenaga dan pikiran yang telah dicurahkannya.
Sebenarnya dia mendapat perintah dari gurunya, paderi Lhama Bu Wi dari Sujwan untuk mencari susiok atau paman gurunya yang sudah bertahun-tahun mengembara ke Tiong-goan tanpa suatu berita.
Sejak kecil Cong Tik sudah diasuh dalam pimpinan paderi lhama itu sehingga ilmu kepandaiannya tinggi sekali.
Ketika tiba di propinsi Holam, dalam rumah makan secara tak sengaja ia telah mendengar pembicaraan orang tentang heboh pernikahan Tan Su Ciau. Mempelai perempuannya telah minggat dengan menggondol seekor kuda kurus. Serentak Cong Tik teringat akan suatu peristiwa.
Suhunya Bu Wi lhama itu seorang yang saleh dan alim. Tiap hari selain membaca kitab suci dan berlatih silat, jarang sekali paderi itu berbicara dengan Cong Tik. Tetapi entah bagaimana dalam tahun-tahun terakhir ini, suhunya sering mengingau dalam tidurnya. Dia bicara keras sekali dalam mimpinya.
Bermula Cong Tik mengira kalau pada tengah malam itu suhunya memanggil dia. Maka buru-buru ia turun dari pembaringan dan menghampiri ke tempat kamar Bu Wi lhama. Tetai paderi lhama itu seperti terjaga dari mimpinya. Ia tak merasa kalau sedang mengingau dan memanggil Cong Tik.
Karena hal itu bukan sekali dua kali, akhirnya timbullah kecurigaan dalam hati Cong Tik, "Apa yang terpikir pada siang hari tentu dimimpikan pada malam harinya" pikir Cong Tik.
Kemudian ia berpikir lebih lanjut. Menilik ilmu kepandaian dan kebatinan yang telah dicapai suhunya, tak mungkin sampai tak dapat menindas hal-hal yang terkandung dalam hatinya. Tetapi mengapa suhunya terus menerus mengingau dalam mimpi nya ?
Akhirnya ia memutuskan untuk mendengarkan apa yang diomongkan suhunya dalam mimpinya itu.
Tetapi dia kecewa dan putus asa karena apa yang diucapkan suhunya dalam mimpi itu hanya lima buah kata saja. Yang dua kata, ia masih dapat menangkap dengan jelas yaitu "susiok" (paman guru). Sedang yang tiga kata, bolak balik hanya 'pelana bertabur mutiara' saja.
Cong Tik tak mengerti apa yang dimaksud dengan pelana bertabur mutiara itu. Pelana apakah itu ? Pelana, tentulah pelana kuda. Tetapi mengapa bertabur mutiara?
Hal itu berlarut-larut tanpa terpecahkan sehingga sampai pada suatu hari suhunya menitahkan dia ke daerah Tiong-goan untuk mencari susiok atau paman guru dari suhunya.
Anehnya dalam perintah itu Bu Wi lhama tidak menyebutkan nama paman guru atau paman kakek guru dari Cong Tik itu. Bu Wi lhama hanya mengatakan bahwa paman kakek guru itu seorang paderi lhama tua yang alisnya panjang sekali.
Cong Tik hanya dibekali seekor burung kakak tua putih yang pandai bahasa manusia. Bu Wi mengatakan bahwa burung kakak tua itulah yang akan mengenali paman gurunya nanti. Bu Wi pesan apabila bertemu dengan lhama tua beralis panjang itu, Cong Tik harus segera mengatakan kalau dia adalah cucu muridnya dan minta supaya kakek guru itu kembali ke Sujwan.
Selama dalam perjalanan, masih Cong Tik menimang-nimang tentang perintah suhunya untuk mencari kakek guru itu dengan hubungan ingau suhunya dalam mimpinya. Namun ia tetap tak dapat memecahkan rahasia itu.
Kini setelah mendengar pembicaraan dari tetamu-tetamu dalam rumah makan tentang heboh perkawinan dalam keluarga Tan, bahwa mempelai perempuan telah minggat dengan membawa sebuah pelana mutiara dan seekor kuda kurus, tergeraklah pikiran Cong Tik. Diam-diam ia menimang. Apakah benda yang selalu menjadi ingau tidur suhunya setiap malam itu, bukankah pelana mutiara juga ? Pelana kuda, hanya sebuah benda biasa. Tetapi mengapa sampai sedemikian rupa menjadi buah tidur suhunya ? Ah, tentulah mengandung suatu rahasia. Pikirnya.
Memang Cong Tik seorang pemuda yang berwajah cakap dan ramah. Tetapi sesungguhnya ia berhati kejam dan tamak. Sejak meninggalkan Sujwan, ia mempunyai suatu pemikiran. Memang suhunya, Bu Wi lhama itu memiliki ilmu kepandaian yang sakti. Tetapi untuk memperoleh seluruh kepandaian dari suhunya itu, rasanya tidak mudah. Bu Wi lhama tiap hari duduk bersemedhi sampai enam jam. Baru hal itu saja, Cong Tik sudah merasa tak sanggup melakukan.
Acapkali ia mendengar orang-orang persilatan mengatakan, bahwa dalam dunia persilatan itu banyak sekali terdapat tokoh-tokoh sakti yang menyembunyikan diri. Ataupun kitab-kitab pusaka, senjata-senjata sakti yang jarang terdapat di dunia. Sukar untuk mendapatkan hal itu. Tetapi apabila punya rejeki dan sekali dapat menemukannya, tentu akan membuat seseorang memperoleh kepandaian yang sakti.
Memikir sampai disitu, diam-diam timbul keinginan Cong Tik terhadap pelana mutiara itu. Pikirnya, dalam keluarga Tan yang sedang mengadakan hajat perkawinan itu, tentu tak begitu memperhatikan akan tetamu. Kurang atau lebih seorang tetamu, tentu takkan diperhatikan oleh tuan rumah.
Tetapi walaupun ia sudah berusaha untuk menjadi tetamu secara terang-terangan, kemudian menyelidiki juga secara diam-diam, tetap ia tak berhasil mengungkap rahasia pelana mutiara itu. Akhirnya ia mundur.
Saat itu ia memperhitungkan bahwa kepergiannya ke tanah Tiong-goan sudah berselang setengah tahun, ia harus pulang ke Sujwan untuk memberi laporan kepada suhunya.
Maka iapun segera berangkat pulang. Tiba digunung Hongsan propinsi Anhui, dia tertarik akan keindahan alam gunung itu. Ia memutuskan untuk menetap beberapa hari disitu.
Pada pagi itu ia berada di puncak gunung Hongsan. Puncak tertutup oleh awan beraneka ragam bentuknya. Sepintas pandang menyerupai gugusan pulau-pulau kecil di tengah laut.
Dalam keindahan alam dan ketenangan suasana itu, ia merasakan dadanya amat longgar, perasaan bebas. la ingin bersuit sekeras-kerasnya untuk menghamburkan kesesakan hawa dalam dada. Tetapi sekonyong-konyong ia mendengar suara orang merintih-rintih.
Cong Tik tertegun. Diam-diam ia merenung bahwa tempat yang seindah gunung Hongsan itu sudah selayaknya menjadi tempat penyepian dari tokoh-tokoh sakti. Tetapi suara tadi jelas suara orang mengerang. Bangsa ko-jiu (orang sakti) tak mungkin mengeluarkan suara demikian.
Tertarik akan suara itu, ia segera ayunkan langkah menghampiri. Dalam sebuah gerumbul pohon-pohon pendek, ia melihat seorang gadis terkapar di tanah. Bajunya lusuh, kakinya mengucurkan darah. Rupanya tentu menderita luka. Begitu melihat ada orang menghampiri, gadis itu mengangkat muka. Ah, seorang gadis yang cantik rupawan.
Timbul keheranan Cong Tik, tegurnya : "Mengapa nona seorang diri disini ?"
Tetapi nona itu tak menjawab melainkan berbalik tubuh, menubruk ke sebuah buntalan. Sikapnya seperti orang yang hendak mempertahankan buntalan itu. Dan serempak pula, ia mencabut pedang yang berada di sampingnya lalu membentak: "Siapa engkau!"
Melihat pedang nona itu berkilat-kilat memancarkan sinar kekuning-kuningan, Cong Tik segera menduga tentu bukan pedang biasa. Seketika timbullah pikirannya untuk merebut pedang itu. Tetapi ia tak tahu apakah nona itu sungguh-sungguh menderita luka atau hanya pura-pura saja.
Tiba-tiba terdengar suara kuda meringkik. Ketika berpaling, ia melihat seekor kuda kurus sedang makan daun-daunan. Makin besar kecurigaan Cong Tik. Puncak Thian-tou-hong merupakan puncak yang tertinggi dari gunung Hongsan. Juga yang paling berbahaya keadaannya. Untuk mencapai puncak itu, tidak mudah. Tetapi mengapa kuda sekurus itu mampu mendaki sampai di puncak situ ?"
"Nona siapa ?" ia cepat balas bertanya. Sepasang mata gadis itu berkilat-kilat serunya :
"Tak usah mengurus diriku! Lekas engkau turun dari sini dan jangan sekali-kali memberitahu orang bahwa engkau bertemu dengan aku bersama kuda kurus itu"
Cong Tik yang cerdik segera tahu apa yang sedang dihadapinya. Bukan hanya pedang di tangan gadis itu sebuah pedang pusaka, pun kuda kurus itu juga bukan kuda sembarangan. Segera ia melangkah maju dan berkata :
"Itu mudah, asal engkau memberikan pedang dan kuda itu kepadaku!''
Gadis itu marah. Dengan gunakan siku lengan untuk menahan tanah, ia bergeliat bangun. Tetapi rupanya ia terlalu memaksa diri sehingga napasnya terengah-engah.
"Apabila pedang dan kuda kuberikan kepadamu apakah engkau takkan mengatakan kepada orang bahwa aku berada disini ?"
Dalam pada berkata-kata itu ia mendekap kencang-kencang buntalan itu. Kesemuanya itu tak lepas dari mata Cong Tik. Apabila dia bukan seorang temaha tentulah ia sudah puas karena permintaannya telah disetujui nona itu. Tetapi ia memperhatikan bahwa buntalan yang dipeluk nona itu tentu merupakan barang berharga. Kalau tidak masakan nona itu memeluknya begitu rupa. Pedang dan kuda masih belum memuaskan hatinya. Namun ia tak mau mengatakan hal itu. Sambil menepuk dada ia berseru :
"Ucapan seorang lelaki, takkan dijilat kembali"
Gidis itu tak bicara apa-apa. Tiba-tiba, ia memutar pedang lalu di lempar menyusup di atas batu karang.
Cong Tik girang sekali. Jelas pedang itu sebuah pedang pusaka yang luar biasa tajamnya. Cepat-cepat ia menghampiri dan mencabutnya. Ketika menjentik dengan jari, batang pedang itu mengeluarkan bunyi mendering yang nyaring sekali. Cong Tik makin girang.
"Pedang sudah engkau terima dan kudapun sudah tinggal ambil, mengapa engkau tak lekas tinggalkan tempat ini ?" seru si nona dengan napas terengah.
Menilik bahwa pedang pusaka yang sedemikian berharga dan kuda telah diserahkan dengan serta merta hanya dengan imbalan supaya ia (Cong Tik) pergi, makin besarlah dugaan Cong Tik bahwa buntalan yang dipeluk nona itu tentu benda yang lebih berharga lagi.
"Nona, aku masih menghendaki dua buah barang lagi baru mau pergi" serunya dengan tertawa menyengir.
"Engkau menjilat ludahmu sendiri !" teriak nona itu marah sekali "ketahuilah, aku bukan gadis yang mudah dihina. Tak lama lagi suhuku, Hian-Li Lim Sam Kho segera datang. Saat itu, mungkin engkau takkan mendapat pedang dan kuda itu!"
Mendengar nama Hian-li Lim San Kho, Cong Tik terkejut. Pernah ia mendengar orang mengatakan bahwa Hian-li Lim Sam Kho itu mempunyai ilmu pedang yang sakti. Ilmu pedang itu diciptakan olehnya dan diberi nama Hian-li-kiam-hwat. Gerakannya cepat dan penuh perubahan yang sukar diduga. Dibanding dengan ilmu pedang Gwat-li-kiam-hwat lebih unggul setingkat.
Apabila yang dikatakan gadis itu benar, lebih baik ia lekas-lekas pergi saja. Ia bersangsi dan mundur tiga langkah. Pikirnya, walaupun andaikata benar nona itu murid dari Hian-li Lim Sam Kho, tetapi dia sedang menderita luka, tentu tak dapat melawannya. Kemudian ia menduga pula bahwa nona itu hanya jual gertak. Tak mungkin Hian-li Lim Sam Kho akan segera datang kesitu.
Setelah meneguhkan nyali, ia tertawa dingin, serunya :
"Sekalipun raja yang datang kemari, aku tetap menghendaki kedua benda itu. Jika engkau tak meluluskan, mungkin engkau akan mendapat kesulitan."
Nona itu marah sekali tetapi ia menyadari kalau tak mampu melawan.
"Engkau masih menghendaki apa lagi ?" serunya.
Cong Tik tertawa gembira.
"Yang satu adalah kerangka pedang ini!"
Gadis itu menghela napas longgar lalu melempar kerangka pedang kepada Cong Tik. Cong Tik menyambutinya lalu menyusupkan pada pinggangnya.
"Lekas bilang, apa yang kedua ?" seru nona itu gopoh.
Cong Tik mengangkat muka dan berseru dengan santai: "Buntalan yang engkau peluk itu."
Kali ini si nona benar-benar tak dapat menahan kemarahannya lagi. Sekali tangan menekan pada tanah, ia melayang menyerang pemuda itu. Tetapi Cong Tik sudah mengetahui bahwa gerakan si nona itu walaupun dahsyat tetapi ibarat pelita yang sudah kehabisan minyak. Cepat ia menghindar ke samping dan bluk .... nona itupun jatuh ke tanah, menjerit marah dan terus pingsan.
Cong Tik menggosok-gosok kedua tangannya. Ia merasa hari itu benar-benar mendapat rejeki yang luar biasa. la duga nona itu tentulah mempelai perempuan yang melarikan diri dan rumah keluarga Tan. Segera ia menghampirinya.
Ia mengambil buntalan si nona, ah, berat sekali. Begitu dibuka, hampir ia melonjak kegirangan. Isinya bukan lain adalah sebuah pelana kuda.
Dilihatnya nona itu menderita luka parah. Tak usah ia turun tangan, tentu sudah mati sendiri. Pada saat dan tempat seperti yang dihadapinya, tak mungkin lain orang tahu akan peristiwa itu. Ia dapat mengambil pelana itu dan mempelajari rahasianya. Ia yakin tentu ada sesuatu yang berharga pada pelana itu. Kalau tidak masakan seorang mempelai perempuan mau melarikan diri hanya karena hendak mencuri pelana itu.
Setelah memasukkan pedang dalam kerangka, ia memasang pelana itu pada punggung kuda kurus. Setelah itu ia bersuit nyaring. Burung kakaktua putih pemberian suhunya, Bu Wi lhama, segera terbang melayang dan hinggap pada bahunya.
Setelah itu maka Cong Tik lalu menuntun kuda kurus menuruni gunung .....
-o0^DW^Agus Ekanto^0o- Jilid 5 Cong Tik tak menyangka bahwa kuda kurus yang tak sedap dipandang mata itu ternyata dapat lari sepesat angin. Dalam waktu yang singkat ia sudah keluar dari daerah gunung Hong-san dan tiba di kota Ceng-yang dan berhenti untuk beristirahat.
Pertama kali melakukan kejahatan, membuat hati pemuda itu berdebar-debar. Dia melakukan perjalanan dengan tergopoh-gopoh.
Ketika malam itu menginap di dalam sebuah hotel, Cong Tik memeriksa pelana kuda dari kulit beruang putih itu. Tetapi kecuali hanya mutiara yang menabur di atas pelana, tak ada hal-hal lain yang menarik perhatiannya.
Dia kecewa namun ia tetap menyimpannya baik-baik. Keesokan harinya iapun melanjutkan perjalanan pula. Tiba-tiba di sebelah muka tampak seorang
"Hah!" hampir ia menjerit dalam hati ketika melihat bayangan gadis itu tak lain seperti gadis yang terluka di puncak gunung Hong-san tadi malam atau gadis pemilik kuda, pedang dan pelana yang dirampasnya itu.
Tetapi gadis itu jelas menderita luka parah, mengapa sekarang sudah sembuh dan tampak segar bugar ?
Perjalanan turun dari gunung Hong-san ke kota Ceng-yang, memerlukan waktu yang cukup lama. Andaikata tiada naik kuda kurus tentu malam itu ia tak dapat menginap di hotel. Tetapi mengapa gadis itu pagi-pagi sudah tiba disitu? Adakah dia dapat lari lebih cepat dari kuda kurus itu ?
Diam-diam Cong Tik mengeluh. Jangan-jangan gadis itu hanya pura-pura saja untuk mencoba dirinya, jika benar demikian, celaka, ia harus berurusan, dengan seorang gadis yang sakti.
Kebingungan Cong Tik itu memang beralasan. Gadis yang terluka di puncak gunung Hong-san memang seperti "pinang dibelah dua" dengan gadis yang terlihat di sebelah muka. Hanya bedanya gadis yang disebelah muka itu agak lebih tinggi. Tetapi perbedaan itupun sukar dilihat apabila kedua gadis itu tak berdiri berjajar.
Memang seorangpun tak menyangka bahwa sesungguhnya gadis yang terluka di puncak Hong-san itu adalah Cin Hong Ing, mempelai perempuan dari Tan Su Ciau, yang melarikan diri dari rumah keluarga Tan. Sedang gadis yang berada di jalan itu adalah Ui Hong Ing, gadis yang minggat dari guha Siau-yau-tong di gunung Ke-tiok-san. Memang paras muka kedua orang itu mirip sekali, seolah sebagai saudara kembar. Padahal keduanya berasal dari tempat yang berlainan, berbeda pula suhu mereka. Cin Hong Ing yang terluka itu murid dari Hian-li Lim Sam Kho. Sedang Ui Hong Ing itu murid dari Siau Yau cinjin, keduanyapun tak kenal mengenal.
Karena sudah kepergok, Cong Tik tak dapat menghindar lagi. Dengan cepat ia mencongklangkan kuda kurus mendahului Hong Ing. Setelah jauh, ia berpaling ke belakang. Ah ... memang mirip sekali dengan gadis yang terluka di gunung Hong-san semalam. Pikirnya.
Saat itu Ui Hong Ing hanya memikirkan perjalanannya, tak menghiraukan tentang gerak-gerik pemuda yang naik kuda kurus itu.
Cong Tik heran. Mengapa nona itu diam saja melihatnya? Ah, apakah mungkin nona itu memang masih terluka? Hm, baiklah ia menyelidikinya.
Cong Tik hentikan kuda. Tampak nona itu tetap ayunkan langkah menghampiri.
"Ah" tiba-tiba timbul suatu pikiran dalam hati Cong Tik, "anak gadis memang berhati lemah, kalau dengan bujuk rayu kata-kata manis ia meminta maaf, tentulah nona itu mau memaafkan kesalahannya kemarin malam.
Cong Tik memang seorang pemuda yang licik dan licin. Dalam melakukan sesuatu, ia tak menghiraukan cara. Parasnya memang tampan tetapi sifatnya buruk, temaha dan licik.
Malam itu dia tiba disebuah kota. Demikian juga dengan Ui Hong Ing. Dilihatnya nona itu bermalam dalam sebuah rumah penginapan. Buru-buru ia menyelidiki keterangan pada jongos. Setelah mendapat keterangan tentang nama gadis itu, dia buru-buru kembali ke dalam kamarnya sendiri. Semalam ia tak bisa tidur pulas karena takut kalau Hian-li Lim Sam Kho datang untuk menghajarnya.
Keesokan harinya ia mendapat keterangan bahwa Ui Hong Ing sudah berangkat melanjutkan perjalanan lagi. Segera iapun mencongklangkan kudanya menyusul.
Semalam ia sudah merencanakan suatu siasat terhadap nona itu. Ia mendahului mengambil jalan singkat dan lalu menggeletak di tepi jalan dan pura-pura mati.
Ui Hong Ing memang terpikat untuk menolongnya. Tetapi sudah tentu nona itu tak mengenalnya. Dia kasihan terhadap pemuda itu. Sudah tentu Cong Tik makin heran dan bingung. Apakah aku salah lihat ? Pikirnya.
Tetapi karena terlanjur sudah basah. Cong Tik memutuskan untuk mandi sekali. Karena teranjur sudah bersalah, ia tetap akan melanjutkan siasatnya untuk mengelabuhi Ui Hong Ing yang dikiranya Cin Hong Ing itu. Ia tetap pura-pura seperti orang yang tengah meregang jiwa mau mati dan kemudian hendak minta tolong kepada nona itu supaya mengantarkan ketiga benda atau pedang, kuda dan pelana bertabur mutiara, ke gunung Tay-pat-san.
Ternyata siasatnya itu berhasil. Hong Ing dapat dikelabuhi. Nona itu mau menolongnya untuk membawakan ketiga benda itu ke gunung Tay-pat-san.
Demikian asal mula Ui Hong Ing menunggang kuda kurus, membekal pedang pusaka dan naik kuda kurus Pemburu-angin menuju ke gunung Tay-pat-san dan dalam perjalanan itu banyak mengalami gangguan-gangguan dari beberapa tokoh aliran Hitam. (jilid kesatu).
Sedangkan Cong Tik setelah melihat Hong Ing sudah jauh, iapun segera melenting bangun. Ia tertawa gelak-gelak karena siasatnya berhasil. Ia akan mengikuti perjalanan nona itu dan tiba pada saatnya, ia akan merampas kembali barang-barang yang dititipkan Hong Ing itu.
Demikian dengan diam-diam ia mengikuti perjalanan Hong Ing. Nona itu ternyata menuju ke utara dan benar-benar ke gunung Tay pat-san. Tetapi dalam pada itu, ia mulai curiga bahwa Ui Hong Ing itu bukan Cin Hong Ing nona yang terluka dipuncak gunung Hong-san. Dia berusaha hendak merebut kembali barang-barang titipan itu. Tetapi ternyata umat persilatan aliran hitam sudah mendengar tentang pusaka keluarga Tan yang dibawa lari oleh mempelai perempuan. Itulah sebabnya mereka berbondong-bondong mencegat perjalanan Ui Hong Ing.
Memang Cong Tik yang terus menerus mengikuti secara diam-diam, tahu juga akan peristiwa pencegatan itu, tetapi ia tak turun tangan. Ia tetap menyembunyikan diri.
Baru setelah Hong Ing memasuki daerah gunung Tay-pat-san , Cong Tik lalu muncul dan dengan mulut manis dan siasat yang licin berhasil ia mendapatkan kembali pelana yang bertabur mutiara itu dari tangan Ui Hong Ing lagi. Setelah dapat, ia terus menggunakan siasat untuk menipu Hong Ing. Ketika Hong Ing berpaling ke belakang Cong Tik terus loncat ke belakang melarikan diri.
Dengan membawa pelana itu segera ia menuju ke Ciat kang dan beristirahat di kota itu.
Saat itu ia tahu bahwa kaum persilatan gempar karena berita pelana kuda bertabur mutiara. Dan mereka berbondong-bondong hendak merebutnya. Bahkan Nenek-Cenderawasih-Tutul tokoh wanita dari pulau Ki-lo-to di Laut Timur yang termashur sakti, ikut-ikutan hendak merebut pelana mutiara itu.
Makin keras dugaan Cong Tik bahwa pelana dari kulit beruang salju yang bertabur mutiara itu tentu sebuah pusaka yang tak ternilai harganya.
Setelah malam tiba dan suasana hotel sunyi senyap, barulah ia mengambil lampu dan mulai memeriksa pelana itu. Tetapi secepat itu ia segera mengetahui bahwa mutiara yang bertabur pada pelana itu ternyata kurang tiga butir.
Makin keras keinginannya untuk menyingkap rahasia yang menyelimuti pelana itu. Segera ia mencongkel sebutir mutiara dan memeriksanya. Ah, ternyata di belakang mutiara itu terdapat ukiran huruf 'gou' atau mulut.
Cong Tik girang sekali. Segera ia mencongkel semua mutiara yang menghias pelana itu. Jumlahnya lebih dari duapuluh butir. Ternyata setiap mutiara belakangnya diukir dengan sebuah huruf.
Setelah dijajar-jajar di atas meja, barulah mutiara-mutiara itu merupakan rangkaian tulisan yang berbunyi demikian:
Masuk mulut..........ke selatan belok ke arah puncak ke tujuh pada bayangan orang yang jatuh pada batu besar ke kiri dan berada dalam guha nomor tujuh.
Cong Tik terkejut. Tetapi secepat itu ia menyadari bahwa dalam guha nomor tujuh tentu terdapat suatu pusaka yang luar biasa. Tetapi pada saat itu juga dia segera kecewa karena tiga butir mutiara yang hilang itu. Tentulah tiga butir mutiara itu mengandung ukiran huruf yang menyebutkan nama dari tempat. Dan tempat itu merupakan kunci dari segala tulisan itu. Tanpa mengetahui tempatnya bagaimana ia hendak mencari guha ketujuh itu? Walaupun huruf yang terdapat di mutiara saat itu tertera huruf ?puncak', yang berarti tentu puncak gunung. Tetapi gunung diseluruh dunia itu banyak sekali jumlahnya. Apa ia harus satu demi satu menjelajahi gunung-gunung itu, entah sampai berapa puluh tahun baru ia berhasil menemukan guha itu.
Jelas bahwa tiga butir mutiara yang hilang itu penting sekali artinya. Tanpa itu, dia tak mungkin dapat mencari pusaka itu.
Lalu siapakah yang mengambil ketiga butir mutiara itu? jelas ia ingat bahwa ketika pertama kali merebut pelana itu dari tangan Cin-Hong Ing atau gadis yang terluka di puncak Hong-san, ia tahu bahwa mutiara pada pelana itu masih lengkap. Tak ada yang kurang. Diam-diam ia menyesal mengapa saat itu ia tak memeriksa mutiara-mutiara itu tak tahu bahwa mutiara-mutiara itu ternyata berukir huruf-huruf penting.
Ah, tetapi apa mau dikata. Sekarang mutiara itu sudah hilang. Ia harus berusaha untuk mencarinya.
Menurut ingatannya, kecuali jatuh di tangan Ui Hong-Ing, pelana itu tak pernah berada ditangan lain orang lagi. Ketiga mutiara yang hilang itu kemungkinan besar tentu berada di tangan nona itu.
Iapun ingat bahwa Ui Hong Ing mengaku sebagai murid dari Siau Yau cinjin diguha Siau-yau-tong digunung Ke-tiok-san, propinsi Hun-lam. Iapun harus mencarinya ke sana. Syukur ditengah perjalanan dapat berjumpa, kalau tidak ia tetap akan menyusul ke guha Siau-yau-tong. Tentulah nona itu akan mengaku dan menyerahkan ketiga mutiara itu.
Demikian setelah tetap keputusannya, ia segera menyembunyikan pelana dan mutiara di dalam tembok hotel, kemudian segera ia berangkat.
Tetapi baru ia membuka pintu kamar, tiba-tiba terdengar seorang gadis bertanya kepada pengurus hotel :
"Pengurus hotel, apakah ada kamar kosong? Dan ketika Cong Tik mengintai, girangnya bukan kepalang. Ternyata nona yang datang itu bukan lain adalah Ui Hong Ing. Tetapi ia heran mengapa pakaian dan sikap nona itu lain dengan Ui Hong Ing yang ia titipi pelana mutiara itu. Selain pakaiannya kumal, letih, pun celananya terdapat bintik-bintik noda darah.
Ia seperti orang tidur yang diguyur air dingin. Seketika ia menyadari bahwa nona itu walaupun wajahnya mirip benar dengan nona yang pernah membawa titipan pelana kuda, tetapi seorang nona lain atau jelasnya nona yang terluka di puncak gunung Hong-san tempo hari. Atau nona yang memiliki pelana mutiara, pedang dan kuda kurus itu.
"Celaka.... " buru-buru ia menyurut ke dalam kamar dan mengucurkan keringat dingin. Diam-diam ia bersyukur karena belum terlanjur keluar dan menemui nona itu.
Memang nona yang datang ke hotel itu adalah Cin Hong Ing, mempelai perempuan dari keluarga Tan yang telah melarikan diri dengan membawa pelana, kuda dan pedang.
Setelah beberapa saat pingsan, ketika sadarkan diri ternyata Cin Hong Ing tak melihat Cong Tik lagi. Ia rasakan kakinya yang terkena senjata rahasia dari Sam Hoa niocu, masih belum sembuh. Dengan susah payah akhirnya ia turun-gunung dan menuju ke tepi sungai Hok-jun-kiang untuk mencari suhunya Hian-li Lim Sam Kho.
Hian-Li Lim Sam Kho tak menentu tempat tinggalnya. Tetapi tokoh wanita itu telah memberi Cin Hong Ing sebatang panah api untuk pertandaan. Setiap kali Cin Hong Ing perlu menemuinya, asal pada tengah malam melepaskan panah api pertandaan itu di tepi sungai Hok-jun-kiang, walaupun berada pada jarak yang jauh sekali, Hian-li Lim Sam Kho pasti akan dapat mengetahui dan terus akan datang. Itulah sebabnya maka Cin Hong Ing menuju ke kota kecil di tepi sungai Hok-jun kiang.
Memang hidup manusia itu sering mengalami hal yang aneh. Dan peristiwa-peristiwa aneh itu sesungguhnya adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi secara kebetulan saja.
Demikian yang dialami Cin Hong Ing. Ketika dia tiba di kota kecil di tepi sungai Hok-jun - kiang itu, secara kebetulan pula, Tan Su Ciau dan Ui Hong Ingpun tiba di kota itu juga dan menginap dihotel itu. Tetapi Cin Hong Ing dan Cong Tik tak tahu kedatangan kedua orang itu.
Begitu melihat Cin Hong Ing sudah masuk ke dalam kamar, Cong Tik mulai menimang-nimang. Ia belum tahu apakah Cin Hong Ing sudah ngetahui tentang rahasia pelana kuda bertabur mutiara itu atau belum. Tetapi karena nona itu hanya seorang diri, apalagi dalam keadaan terluka sehingga jalannyapun terseok-seok, ia percaya tentu dapat mengatasi nona itu.
Demikian ia segera loncat keluar dari jendela lalu berjalan di atas atap mencari kamar si nona. Baru ia hendak membuka jendela, tiba-tiba jendela kamar Cin Hong Ing terbuka lebar dan nona itupun melontarkan sebuah tabung bambu ke udara. Bum ....tabung bambu itu jatuh ketanah, mengepulkan asap tebal yang membubung ke udara. Setelah di tengah udara, gulungan asap itupun berhamburan pecah macam bunga api yang indah.
Sudah tentu Cong Tik terkejut danheran. Ia tak tahu apa yang dilemparkan nona itu, ia nekad memberanikan diri loncat turun ke muka jendela.
"Aha, apakah nona baik-baik saja selama ini?" serunya.
Demi melihat pemuda yang merampas ketiga benda pusakanya muncul lagi, marah Hong Ing bukan kepalang. Serentak ia menyurut mundur selangkah. Kesempatan itu digunakan Cong Tik untuk loncat masuk ke dalam kamar.
"Nona tak perlu takut. Kedatanganku kemari bukan dengan maksud jahat." seru Cong Tik.
Sebenarnya Cin Hong Ing terkejut dan cemas sekali berhadapan dengan pemuda yang telah, merampas pelana kuda, pedang dan kuda kurus. Ia sedang terluka, kemungkinan tentu tak mampu menghadapi pemuda itu apabila dia hendak bermaksud buruk. Tetapi ketika mengangkat muka dan memandang Cong Tik, segera pandang matanya melihat sesosok tubuh sudah berada di belakang pemuda itu. Dan secepat itu kecemasan hatinya bagai awan tersapu angin. Cin Hong Ing serentak tertawa girang.
"Hm, budak hina, kematianmu sudah didepan mata!" teriaknya dangan geram.
Cong Tik tak tahu apa yang sudah terjadi sehingga nona itu tiba-tiba saja telah berubah, tentu main gertak untuk menakut-nakutinya.
"Ho, harap nona jangan menakuti aku. Masakan tubuhku masih segar bugar dan sehat wal'afiat begini, sudah akan mati ?"
Cin Hong Ing tertawa hina.
"Cobalah engkau berpaling ke belakang dulu sebelum engkau menepuk dada berkokok seperti ayam jagoan !"
Namun Cong Tik masih mengira bahwa nona itu hendak menggunakan siasat agar ia berpaling ke belakang terus nona itu akan melarikan diri. Ia tertawa terbahak-bahak, serunya : "Nona jangan harap engkau mampu melarikan diri !"
Habis berkata ia terus mengangkat tangan hendak menutuk Cin Hong Ing.
Tetapi uh .. begitu tangan diangkat, ia merasa tak dapat digerakkan turun lagi. Bukan saja maksudnya hendak menutuk tubuh Si nona itu tak terlaksana, bahkan ia merasa lengannya kesemutan sehingga tak dapat digerakkan lagi...
Kejut Cong Tik bukan alang kepalang. Buru-buru ia salurkan pernapasan menurut ajaran suhunya, Bu Wi lhama. Penyaluran napas dan tenaga murni ajaran Bu Wi lhama itu adalah ilmu untuk membuka jalan darah yang tertutuk lawan. Setelah melakukah dua kali penyaluran napas, berhasillah ia membuka jalan darahnya yang tertutuk orang itu.
Tetapi walaupun sudah terbuka, jalan darahnya sudah bebas tetapi ia tetap tak berani berkutik. Ia tahu bahwa tak mungkin Cin Hong Ing yang melakukan hal itu. Tentu dalam kamar itu telah muncul seorang sakti. Jika saat itu ia melarikan diri. apabila gagal, tentu akan celaka akibatnya.
Diam-diam ia telah mengatur siasat. Biarlah ia pura-pura seperti masih tertutuk jalan darahnya. Begitu orang lengah barulah ia akan meloloskan diri.
Terdengar Cin Hong Ing menghela napas duduk di kursi seraya berseru : "Suhu benda apakah yang suhu bawa itu ?"
"Ing-ji" tiba-tiba terdengar suara orang wanita tua menjawab, "kabarnya engkau ribut mulut dengan suamimu, benarkah itu? Kuanjurkan engkau jangan menikah engkau tetap menikah. Lekas ikut aku, setelah lukamu sembuh, barulah engkau boleh membuat perhitungan lagi dengan kawanan manusia busuk itu !"
Bum, tiba-tiba wanita itu melemparkan sebuah benda ke atas ranjang lalu menghampiri Cin Hong Ing.
Saat itu Cong Tik baru tahu bahwa yang menutuk jalan darah pada lengannya itu tentu wanita berpakaian seperti pertapa itu. Menilik Cin Hong Ing menyebutnya dengan panggilan 'suhu?, ia menduga bahwa wanita tua itu tentulah Hian-Li Lim Sam Kho.
Iapun melirik dan melihat benda yang dilempar wanita pertapa itu ke ranjang bukan lain adalah segulung selimut. Tetapi gulungan selimut itu sedemikian besarnya, tentulah isinya manusia. Dan ketika memandang ke muka tampak Hian-li Lim Sam Kho berdiri membelakanginya, berhadapan dengan Cin Hong Ing. Dengan jelas bahwa wanita sakti itu tentu tak tahu jalan darahnya yang tertutuk sudah terbuka.
Serentak timbullah pikirannya, jika tak saat itu meloloskan diri, lalu hendak menunggu sampai kapan lagi ?
Secepat memutuskan rencana, secepat itu pula ia berputar tubuh dan sekali enjot tubuhnya ia sudah melayang keluar jendela. Didengarnya Hian-li lim Sam Kho menjerit marah. Tetapi saat itu malam gelap gelita. Cong Tik menyelinap ke sebuah gang dan berdiri diam. Dilihatnya Hian Li Lim Sam Kho sambil menghunus pedang lari cepat memburu ke muka tetapi tak berapa muncul kembali dan terus masuk ke dalam kamar Cin Hong Ing lagi.
Cong Tik menghela napas longgar. Ia merasa sudah terlepas dari bahaya maut. Ia harus cepat-cepat tinggalkan tempat itu. Sekali loncat, iapun terus menghilang dalam kegelapan malam.
"Suhu apakah suhu berhasil membekuk bangsat itu?" seru Cin Hong Ing demi melihat suhunya kembali.
Dengan geram Lim Sam Kho menyahut: Ilmu gin-kang bangsat itu hebat sekali dan orang itupun pun licik sehingga dia dapat kabur. Engkau mempunyai permusuhan apa dengan dia ?"
Cin Hong Ing segera menceritakan tentang kisahnya selama ini. Sejak melarikan diri dari rumah keluarga Tan Su Ciau, hingga terluka dipuncak gunung Hong-san dan bertemu dengan Cong Tik yang merampas ketiga benda pusaka itu.
Hiah-li Lim Sam Kho tertawa dingin :
"Ing-ji, jangan kuatir. Orang persilatan semua mengatakan bahwa aku tak mengajarkan ilmu tenaga-dalam yang tinggi kepadamu sehingga mereka berani menghina engkau. Tunggu setelah kuajak engkau pulang ke gunung, dalam waktu satu selengah tahun saja, siapa yang berani menghina engkau lagi!"
Dengan wajah berseri girang Cin Hong Ing segera berlutut: ''Terima kasih, suhu !"
Sekali gerakkan tangan, Lim Sam Kho telah menyedot tubuh muridnya sehingga bangun lagi.


Pendekar Banci Karya Sd Liong di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Sambil menunjuk ke arah ranjang, Lim Sam Kho berkata "Ing ji, ketika dulu engkau mengangkat suhu kepadaku di tepi telaga Se-ou di Hang-ciu, engkau masih menjadi seorang anak gelandangan. Apakah engkau ingat siapakah ayah bundamu? Apakah engkau tak punya sanak keluarga lagi?"
Cin Hong Ing gelengkan kepala :
"Entah, aku tak tahu. Sejak aku dapat berpikir, kudapatkan diriku dipelihara seorang penngemis tua she Cin. Aku ikut padanya untuk mengemis dan memakai she Cin. Nama Hong Ing itupun pengemis tua yang memberi. Aku mempunyai sebuah kalung yang merupakan bentuk huruf Hong Ing. Itulah sebabnya mengapa pengemis tua memberi aku nama begitu".
"Sekarang dimanakah pengemis tua she Cin itu?" tanya Lim Sam Kho.
"Sudah lama meninggal", sahut Hong Ing. "Jika dia tak meninggal aku tentu takkan dihina orang dan suhupun takkan menerima diriku sebagai murid".
Hian-li Li Sam Kho termenung.
"Suhu, mengapa engkau tiba-tiba mengungkap peristiwa itu lagi ? tanya Cin Hong Ing.
Hian-li Lim Sam Kho tak menyahut melainkan menunjuk ke ranjang, "Cobalah engkau buka buntalan selimut itu."
Cin Hong Ingpun melakukan perintah suhunya. Ketika membuka buntalan selimut, ia menjerit kaget : "Ih . , siapakah orang ini ?"
Ternyata dalam gulungan selimut itu berisi seorang gadis yang tampang mukanya menyerupai benar dengan dirinya.
Hian-li Lim Sam Kho gelengkan kepala.
"Aku sendiri juga tak kenal. Hanya malam tadi dia bersama seorang pemuda menginap di hotel sebelah. Kukira dia itu engkau. Tetapi ketika kuperhatikan, dia tak mengacuhkan sama sekali kepadaku, akupun curiga. Tadi kugunakan sebatang dupa Bi-hun-hiang sehingga dia tidur pulas. Saat itu kulihat panah api yang engkau lepaskan. Mungkin dia mempunyai hubungan keluarga dengan engkau maka diapun kubungkus dengan selimut dan kubawa kemari.
Separuh Bintang 4 Keajaiban Negeri Es Karya Khu Lung Antologi Rasa 3

Cari Blog Ini