Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 16
Tiong-san-siang-hou segera memi?sahkan diri dari rombongan itu dan me?nuju ke kota Bu-sek.
-o0^DwKz-Hendra^0o- JIKA di bagian tengah daratan Tiong-kok, yaitu di bukit Siong san di wilayah Ho-lam baru saja terja?di banjir darah kaum persilatan anta?ra Hwe-liong-pang melawan gabungan pa?ra pendekar berbagai perguruan, maka di bagian barat dari daratan Tiong-kok pun sudah mulai terasa kegelisahannya. Wilayah ini terancam pula oleh pertum?pahan darah yang jauh lebih besar. Di sini yang akan bertarung bukan cuma orang-orang dunia persilatan, namun adalah dua kekuatan raksasa, yaitu pa?sukan-pasukan Kerajaan Beng berhadapan dengan laskar pemberontak di bawah pimpinan Li Cu-seng yang jumlahnya ju?ga mencapai ratusan ribu orang! Per?tempuran besar-besaran secara terbuka memang belum terjadi, tapi suasana sudah menghangat, tidak jarang terjadi bentrokan-bentrokan kecil antara ten?tara-tentara kerajaan dengan laskar pemberontak. Kedua pihak sudah mene?tapkan titik-titik pemusatan kekuatan di sepanjang daerah yang akan menjadi ajang pertempuran mereka.
Pemberontakan Li Cu-seng itu disebabkan oleh rasa tidak puas kepada pemerintahan Kaisar Cong-ceng yang di?nilai sangat bobrok dan menimbulkan kesengsaraan rakyat kecil. Dengan da?sar itulah maka Li Cu-seng berhasil mengumpulkan ratusan ribu pengikut, sebagian besar para petani dan nela?yan yang tidak puas kepada Kerajaan Beng.
Di mana ada peperangan, di situ muncul pula kaum pengungsi. Rakyat di daerah yang bakal menjadi ajang per?tempuran itupun kini mulai mengungsi, mengalir ke wilayah yang aman. Meski?pun merekapun sadar bahwa pertentangan antara Keajaan Beng dengan pemberon?tak itu lambat-laun pasti akan menjalar pula ke wilayah-wilayah sekitarnya na?mun toh mereka tetap mengungsi juga, berusaha memperpanjang hidupnya sebe?rapa bisa.
Kota Chung-kin adalah sebuah kota yang letaknya dekat perbatasan antara wilayah Ou-lam dengan wilayah Su-coan. Kota ini menjadi ramai dengan menga?lirnya kawanan pengungsi dari Su-coan, yang ingin memasuki wilayah Ou-lam yang dianggap masih aman. Arus pengungsi itu semuanya menuju ke timur, meninggalkan kampung halaman dan sawah ladang yang mereka cintai dan mereka tetesi dengan keringat mereka setiap hari, tetapi mereka masih lebih cinta kepada nyawa mereka. Perang, bencana maha dahsyat ciptaan manusia sendiri, kini telah mengintai di ambang pintu.
Deretan panjang tubuh-tubuh ku?rus dan kuyu berderet lesu mening?galkan daerah Su-coan, daerah maha su?bur yang sering dijuluki "gudang be?ras"-nya Tiong-kok itu. Namun kini "gudang beras" itu sudah siap dipere?butkan oleh tentara kerajaan dan las?kar pemberontak yang sama-sama menya?dari betapa pentingnya wilayah itu ba?gi perbekalan pasukannya masing-masing.
Di tengah-tengah keresahan yang menghantui para pengungsi tak berdaya itu, muncullah gerombolan-gerombolan penjahat yang memanfaatkan kesempatan sekisruh itu untuk merajalela, meram?pas harta pengungsi-pengungsi yang ma?lang itu. Perampokan, perampasan dan pemerkosaan terjadi secara sewenang-wenang di segala tempat, bahkan tidak jarang terjadi pembunuhan-pembunuhan pula. Rakyat kecil kini benar-benar telah hidup tanpa pelindung lagi! Ten?tara Kerajaan Beng sudah tidak sempat lagi mengawasi keselamatan rakyat, se?bab perhatian mereka sedang terpusat untuk menghadapi laskar pemberontak yang cukup kuat pula. Bahkan tentara kerajaan telah menambah penderitaan rakyat, yaitu dengan jalan merampasi persediaan makanan milik pengungsi?-pengungsi itu. Alasan yang dikarangnya sederhana saja, karena tentara se?dang "membela rakyat" dari ancaman pemberontak, maka rakyatpun harus "membalas budi" dengan menyerahkan persediaan makanan mereka. Habis per?kara.
Demikianlah suasana waktu itu, suasana menjelang runtuhnya sebuah dinasti yang pernah mengalami masa ke?emasan sampai ke negeri-negeri sebe?rang, namun saat itu dinasti Beng ti?dak lebih dari sebuah dinasti yang bo?brok dan lemah. Perang belum dimulai, tapi rakyat sudah menderita lebih du?lu, entah bagaimana nasib rakyat nan?ti jika perang sudah benar-benar pe?cah? Yang terang, rakyat tidak bisa minta perlindungan kepada siapapun, baik kepada tentara kerajaan maupun kepada laskar pemberontak.
Dalam kemelut semacam itu, kaum pengungsi lalu mulai mempersenjatai diri sendiri dan mulai membentuk ke?lompok-kelompok, dengan maksud supaya bisa bersama-sama saling membantu jika diserang oleh pihak lain. Maka muncullah kelompok-kelompok pengungsi bersenjata yang tak terhitung banyak?nya. Lalu akibat berikutnyapun mun?cul. Tidak jarang kelompok pengungsi yang satu mulai menyerang kelompok pengungsi yang lain, karena... lapar! Dan karena kelompok-kelompok ini ber?gerak ke wilayah Ou-lam, maka wilayah Ou-lam yang tadinya aman tenteram itu kini mulai goncang pula!
Siang yang panas itu, nampaklah sebuah barisan pengungsi yang amat panjang sedang meninggalkan kota Chung-king dan menuju ke arah timur. Suaranya hiruk-pikuk bukan kepalang. Suara roda-roda gerobak yang membawa barang atau manusia, suara ringkik kuda, lenguh kerbau dan sapi, bercampur aduk dengan suara jeritan anak-anak yang mengeluh kepanasan. Rombongan yang sangat menyedihkan itu, jika dilihat dari atas lereng bukit akan nampak seperti seekor ular raksasa yang sedang merayap dengan malasnya di bawah panggangan sinar matahari.
Dalam beberapa minggu terakhir ini, pemandangan seperti itu adalah pemandangan biasa. Namun siang itu ada sedikit kejanggalan. Jika arus ma?nusia itu bergerak menuju ke timur, malahan ada dua buah kereta besar yang bergerak ke barat, jadi berlawanan dengan arus pengungsi itu. Kedua kere?ta itu masing-masing ditarik oleh dua ekor kuda tegar, muncul dari sebelah timur dan menuju ke kota Chung-king. Tubuh kereta itu dikerudungi dengan kain rapat-rapat, sehingga orang yang berpapasan tidak dapat melihat ke da?lam kereta.
Karena jalan raya itu sesak dengan arus pengungsi, maka kedua buah kereta itu terpaksa berjalan dengan lambatnya karena kuatir menabrak orang. Kereta yang depan disaisi oleh seorang lelaki yang berpakaian daerah Su-Coan, lengkap dengan sorban putih dan sepatu rumputnya. Dia nampak ke?sal sekali karena lambatnya jalan ke?reta itu, berkali-kali terdengar ge?rutuannya.
Tiba-tiba tenda kereta itu ter?singkap dari dalam, lalu disusul de?ngan munculnya seorang rahib Buddha berkepala gundul yang berjenggot keri?ting berwarna pirang dan bermata biru. Rahib itu bertanya kepada sais kereta, "Apakah jalanan sangat sulit?"
Sais orang Su-coan itu menyahut dengan suara hormat, "Benar, sucia. Agaknya daerah kampung halaman sudah mulai panas oleh udara perang, sehing?ga jumlah pengungsi yang kita jumpai hari ini ternyata berkali lipat jum?lahnya dari yang kemarin."
Rahib bermata biru itu mengangguk anggukkan kepalanya, lalu katanya, "Pang-cu telah berpesan agar kita ti?dak terlalu terburu-buru lagi. Toh perjalanan kita mungkin tinggal dua atau tiga hari lagi, jika tidak ada aral melintang."
"Baiklah, su-cia, aku tidak terburu-buru, hanya ada kesesakan jalan ini memang agak menjengkelkan aku," sahut sais itu. "Bagaimana dengan ke?adaan Pang-cu, apakah sudah membaik?"
Sebelum rahib bermata biru itu menyahut, dari dalam kereta telah ter?dengar jawaban. Suaranya berat dan da?lam, meskipun diselingi dengan suara batuk-batuk namun tetap terdengar berwibawa, "Aku sudah semakin sehat, Au-yang Siau-pa. Terima kasih untuk perhatianmu."
Sais kereta itu nampak lega, "Syukur kepada Thian bahwa kesehatan Pang-cu semakin pulih. Kali ini me?mang kita kalah karena disergap seca?ra licik, tapi aku yakin bahwa kelak kita akan menang dan menumpas para pengkhianat itu. Dan kita akan membuat Hwe-liong-pang kita menjadi sebuah perkumpulan yang bersih, jaya dan di?hormati di dunia persilatan, seimbang dengan Kay-pang, Siau-lim-pay atau Bu-tong-pay."
Suara berwibawa dari dalam kere?ta itu menyahut, "Aku bangga bahwa aku masih memiliki orang-orang berse?mangat ksyatria sejati seperti kau, Auyang Siau-pa. Itu semakin meyakinkan aku akan kemenangan perjuangan yang bakal kita raih."
Dari percakapan tersebut dapat?lah ditebak bahwa kedua buah kereta berkerudung itu ternyata berisi Tong Wi-siang dan tokoh-tokoh Hwe-liong pang lainnya yang telah tersingkir ka?rena dikhianati Te-liong Hiang-cu Tan Goan-ciau itu. Kini mereka sedang dalam perjalanan untuk kembali ke cong-toh (markas besar) mereka di Gunung Bu san, wilayah Su-coan, yang belum sempat dikuasai oleh Te-liong Hiang-cu dan komplotannya. Agaknya, begitu ber?hasil merebut kekuasaan, Te-liong Hiang-cu begitu sibuk mempersiapkan ser?buan ke Siong-san, sehingga lupa untuk menguasai markas besar, padahal dalam markas besar itu masih terdapat sisa kekuatan Hwe-liong-pang yang cukup berarti. Meskipun orang-orang yang tersisa dalam cong-toh itu jum?lahnya tidak terlalu banyak, namun rata-rata setiap orangnya memiliki kepandaian yang dapat diandalkan. Karena itulah Tong Wi-siang harus beradu ce?pat dengan Te-liong Hiang-cu untuk menguasai cong-toh, karena kekuatan dalam cong-toh itulah merupakan ha?rapannya yang terakhir untuk bisa menguasai Hwe-liong-pang kembali.
Kini Tong Wi-siang terbaring di dalam kereta dalam keadaan terluka, akibat sergapan Te-liong Hiang-cu be?berapa saat yang lalu. Karena luka-lu?ka yang dideritanya itu cukup berat, maka tubuhnya tidak sanggup untuk di?bawa melakukan perjalanan dengan me?ringkuk saja di dalam kereta tertu?tup, meskipun hal itu sebenarnya sa?ngat menjemukan. Di dalam kereta tertu?tup itu Tong Wi-siang diikuti oleh dua pengikutnya yang setia, yaitu Hong-goan Hweshio, rahib pelarian dari Siau-lim-si yang berjanggut pirang dan ber?mata biru itu, serta Ui-ki-tong-cu (Kepala Kelompok Bendera Kuning) yang lama, yaitu Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng. Sedang yang menjadi saisnya adalah Auyang Siau-pa, dulunya adalah Hu-tong-cu (Wakil Pemimpin Kelompok) dari Jing-ki-tong (Kelompok Bendera Hijau). Mes?kipun Auyang Siau-pa ini adalah adik sepupu dari Auyang Siau-hui yang berkhianat kepada Tong Wi-siang, namun Au?yang Siau-pa sendiri tetap setia kepa?da Ketua yang syah. Bahkan dia memilih untuk ikut buron bersama Tong Wi-siang daripada tunduk kepada Te-liong Hiang-cu.
Sementara itu, di dalam kereta yang keduapun terdapat seorang yang terluka, yaitu Thian-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit) Siangkoan Hong. Dalam kereta kedua itu ia ditemani oleh Jian-jiu-sin-wan (Lutung Sakti Seribu Tangan) Ling Thian-ki serta Ci-ki-tong-cu (Pemimpin Kelom?pok Bendera Ungu) yang lama, yaitu Lu Siong yang berjuluk Jian-kin-sin-kun (Kepalan Malaikat Seribu Kati). Sedang yang menjadi sais kereta kedua itu adalah Ui-ki-hu-tong-cu lama, yaitu Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pem?belah Gunung) Ji Tiat.
Tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lain?nya yang tetap setia kepada Tong Wi-siang adalah Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) Oh Yun-kim, Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan pe?tir) In Yong, Siau-lo-cia (Lo-cia ke?cil) Ma Hiong serta Kim-liong Hiang-cu Lim Hong-pin tidak nampak dalam rom?bongan itu, sebab mereka punya tugas sendiri-sendiri. Oh Yun-kim, In Yong dan Ma Hiong ditugaskan berjalan di depan untuk mengamankan jalan yang akan dilewati oleh Ketua mereka. Se?dangkan Lim Hong-pin disuruh langsung menuju cong-toh lebih dulu untuk me?nundukkan semua anak buah yang masih ada di sana, sebelum didahului oleh Te-liong Hiang-cu.
Demikianlah, meskipun kedua kere?ta itu berjalan sangat lambat, namun semakin dekat juga ke kota Chung-king. Di dalam keretanya, Tong Wi-siang mem?baringkan tubuhnya dan membiarkan tubuhnya diayun-ayunkan oleh goncangan kereta. Matanya terpejam, namun kadang kadang nampaklah mulutnya menyeringai kesakitan karena menahan rasa nyeri dalam dadanya.
Melihat penderitaan Ketuanya itu, Rahib Hong-goan diam-diam mengutuk da?lam hatinya, "Te-liong Hiang-cu benar-benar telah digelapkan oleh nafsunya untuk menguasai Pang kami dengan sega?la cara. Cara apapun tidak malu untuk dia lakukan, termasuk cara seorang pengecut yang paling rendah sekali?pun."
Kwa Heng juga ikut hanyut dalam gejolak perasaan seperti yang dialami oleh Hong-goan Hweshio. Namun semua?nya hanya tersimpan dalam hatinya dan tidak terucapkan keluar.
Ketika kereta-kereta itu sudah mendekati pintu gerbang kota Chung-king, dari dalam kota itu muncullah seorang lelaki penunggang kuda yang bergegas-gegas menghampiri kereta yang depan. Orang berkuda itu adalah Siau-lo-cia Ma Hiong. Mukanya yang berkulit halus dan bertampang kekanak-kanakan itu nampak agak tegang, namun ia tersenyum begitu berpapasan dengan kereta-kereta itu, tanyanya kepada Auyang Shiau-pa yang duduk sebagai sais, "Auyang Toako, apakah Pang-cu dalam keadaan baik?"
Sebelum Auyang Siau-pa sempat menjawab, dari dalam kereta sudah ter?dengar suara Tong Wi-siang yang berat dan diselingi batuk-batuk kecil, "Aku dalam keadaan baik, Ma Hiong. Nampak?nya ada sesuatu yang akan kau lapor?kan kepadaku?"
Ma Hiong memberi hormat ke arah kereta, lalu berkata, "Suasana di kota Chung-king sudah cukup hangat, namun dalam beberapa hari mendatang ini nam?paknya masih dapat dikatakan aman, ka?rena perang belum akan meletus secepat itu. Hamba dan kawan-kawan sudah me?nyiapkan sebuah rumah penginapan yang tenang untuk tempat istirahat Pang-cu sekalian!"
Terdengar tarikan napas lega da?ri dalam kereta, tanya Tong Wi-siang lagi, "Apa yang kau artikan dengan suasana panas tapi masih aman?"
Sahut Ma Hiong, "Maksud hamba, kota Chung-king sudah dalam suasana perang, lebih dari tiga perempat pen?duduknya sudah mengungsi meninggalkan kota. Kota sudah dipenuhi dengan ka?wanan kuku-garuda (maksudnya pasukan?nya Kaisar), tapi pengikut-pengikut Li Cu-seng sering juga berhasil menyusup masuk kota. Sering terjadi bentrokan bentrokan kecil di dalam kota, namun perang yang terbuka nampaknya belum akan terjadi dalam waktu dekat ini."
"Apakah keadaan di daerah-daerah setelah Chung-king juga sama?"
"Hamba belum mengetahui, sebab belum sempat mengadakan hubungan beri?ta dengan Oh Tong-cu dan In Tong-cu yang berjalan di depan."
"Baik, laporanmu sudah kudengar. Sekarang kau boleh berjalan di depan lagi."
"Siap menjalankan perintah Pang-cu!" jawab Ma Hiong tegas. Setelah memberi hormat lagi ke arah kereta, dia lalu memutar balik kuda tunggang?annya dan balik ke dalam kota Chung-king.
Jika dalam keadaan biasa, tentu saja tanya jawab antara Tong Wi-siang dengan bawahannya itu akan menarik perhatian, sebab yang satu dipanggil "pang-cu" dan yang lain menyebut diri?nya sendiri sebagai hamba. Namun waktu itu ternyata tidak seorangpun meng?hiraukan, apalagi menaruh perhatian kepada percakapan yang janggal itu. Keadaan mereka sendiripun sedang di?rundung kesusahan, mana sempat memper?hatikan orang lain? Andaikata Kaisar Cong-ceng sendiri yang lewat di tempat itu, pengungsi-pengungsi itu tetap tidak akan menghiraukannya.
Dalam pada itu Tong Wi-siang te?lah menggerutu di dalam keretanya, "Seharusnya Hwe- liong-panglah yang ha?rus berhasil menumbangkan pemerintah?an Cong-ceng yang bobrok ini, dan bu?kannya Li Cu-seng. Tetapi perpecahan dalam tubuh Hwe-liong-pang sendiri te?lah melemahkan kita sedemikian rupa sehingga kita tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Agaknya cita-cita Hwe-li?ong-pang akan didahului oleh Li Cu-seng."
Wi-siang nampak menyesal dan sangat penasaran, nada suaranya sema?kin meninggi dan semakin berapi-api, Namun setelah menyadari kenyataan yang terbentang di hadapannya, nada suaranyapun menurun, katanya dengan nada yang pasrah, "Barangkali memang nasib Li Cu-seng yang lebih baik dari nasibku. Tetapi aku mengingini agar dalam waktu yang singkat kita akan berhasil menyusun kekuatan kita kem?bali. Kalau keadaan memungkinkan, aku ingin agar Hwe-liong-pang ikut ambil bagian dalam pergolakan menumbangkan kebobrokan dinasti Beng ini. Hwe-liong pang akan ikut mengisi lembaran seja?rah negeri ini."
"Harap Pang-cu menenteramkan pi?kiran," kata Kwa Heng menghibur Ketua?nya. "Kami semua telah bertekad untuk mengabdi kepada cita-cita Hwe-liong-pang sampai titik darah yang pengha?bisan. Bukan karena mencari kedudukan, namun hanya sekedar terpanggil oleh hati nurani yang tidak dapat lagi bi?sa melihat kebobrokan dibiarkan berla?rut-larut."
Kekerasan wajah Wi-siang segera mencair ketika mendengar ucapan Kwa Heng itu. Katanya, "Terima kasih, kesetiaan kalian sangatlah membesarkan hatiku. Aku hanya menyesalkan kelengahanku terhadap seorang manusia se?licik Tan Goan-ciau, sehingga ular berkepala dua itu telah memporak-porandakan semua rencanaku dengan nafsu berkuasanya yang berkobar-kobar itu. Benar-benar bangsat yang patut dicin?cang !"
Semua penyesalan dan kejengkelan Tong Wi-siang itu berlandas dari per?asaan di hatinya yang paling dalam, yaitu... dendam! Cita-citanya dalam mendirikan Hwe-liong-pang untuk mero?bohkan Kerajaan Beng itu tidak lain juga dilandasi oleh dendamnya itu. Dia mendendam Kerajaan Beng, sebab dianggapnya semua kesengsaraan yang menim?pa keluarganya di An-yang-shia itu disebabkan ketidak-becusan pemerintah Cong-ceng dalam mengatur negara. Ayah?nya terbunuh, sedang kedua adiknya terpencar dan terlunta-lunta di dunia persilatan, untung saja kedua adiknya itu masih selamat dan bahkan telah me?miliki kepandaian tinggi, semua itu merupakan "bahan bakar" yang menyala?kan api dendam di dada Wi-siang. Maka muncullah cita-citanya untuk meroboh?kan Kerajaan Beng, dan mendirikan pe?merintahan baru keluarga Tong! Dengan cita-citanya itu, apabila berhasil, dia menganggap akan dapat menebus ke?hancuran keluarganya selama ini dan mengangkat tinggi-tinggi derajat ke?luarga Tong. Selama ini memang Tong Wi-siang berhasil menyembunyikan mak?sudnya, tidak pernah mengatakan mak?sudnya untuk merobohkan Kerajaan itu secara terus terang. Ia selalu mema?kai istilah "Ingin memperbaiki keada?an". Namun dari gerak-gerik anak buah?nya yang selalu memusuhi pihak keraja?an itu, agaknya orangpun dapat menyim?pulkan tujuan Hwe-liong-pang yang di?gariskan ketuanya. Sekarang, dalam lu?apan perasaannya, Tong Wi-siang telah mengemukakan maksudnya secara blak-blakan. Dia terang-terangan menyesali diri karena dia kalah cepat oleh Li Cu seng dalam mengobarkan pemberontakan. Kini Tong Wi-siang harus merasakan be?tapa sakit dan pahitnya ia terbanting dari cita-citanya yang muluk itu. Se?karang dia harus mengakui kenyataan bahwa dirinya sudah kehilangan seba?gian besar anak buahnya yang mengikuti Tan Goan-ciau, dia sendiri luka dan kehilangan sebagian besar ilmu silat?nya. Hwe-liong-pang yang didirikannya dengan susah-payah itu kini telah tercerai-berai dan bukan lagi merupakan kekuatan yang disegani di dunia per?silatan. Memang masih ada ratusan anak buahnya yang setia, namun apa ar?ti anak buahnya itu jika dihadapkan dengan ratusan ribu prajurit terlatih Kerajaan Beng dengan Panglima-Panglimanya yang berilmu tinggi? Kenyataan se?pahit itu benar-benar sangat membeba?ni pikirannya, dan nyaris meruntuhkan semangat anak muda she Tong itu.
Tidak lama kemudian kedua buah kereta tertutup itu telah menggelin?ding masuk ke dalam kota Chung-king. Ternyata tidak ada lagi penjagaan pra?jurit seperti biasanya, entah kemana prajurit-prajurit yang biasanya berja?ga di tempat itu, mungkin telah ditarik ke garis depan semuanya. Keda?tangan Tong Wi-siang dan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu langsung disambut oleh anak buah Hwe-liong-pang cabang Chung-king yang masih setia kepada?nya. Mereka lalu mengawal kereta-kere?ta itu ke sebuah rumah penginapan yang sudah "dibersihkan" dari tamu-ta?mu lainnya.
Tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu segera menempati kamarnya masing-ma?sing. Sementara para pelayan peng?inapan sibuk mempersiapkan santapan bagi tamu-tamunya yang rata-rata ber?muka angker itu. Para pelayan itu nam?pak gembira sekali sebab orang-orang Hwe-liong-pang telah memberi hadiah seperti orang menyebar pasir saja. Na?mun para pelayan itu dipesankan untuk tidak bercerita kepada orang lain ten?tang rombongan itu.
Siangkoan Hong menyeringai kecut ketika mendengar pesan pelayan-pela?yan itu. Katanya, "Dulu, kita sebagai tokoh-tokoh Hwe-liong-pang ibaratnya tidak takut kepada setan maupun malai?kat, malang-melintang ke sana ke mari tanpa cemas kepada siapapun. Tapi tak kuduga kalau hari-hari belakangan ini kita seperti sekawanan tikus yang tem?pat persembunyiannya takut diketahui oleh si kucing."
Entah karena penderitaannya yang bertubi-tubi, maka Tong Wi-siang men?jadi seorang yang sabar, sahutnya sambil menarik napas, "Begitulah kenyata?annya. Seorang yang bercita-cita ting?gi harus pandai melihat gelagat dan berpikir panjang, dia tahu kapan meng?gunakan kekerasan dan kapan meng?gunakan kebijaksanaan. Dia boleh saja dihina dan dikalahkan, yang penting semangat harus tetap berkobar dan ti?dak boleh padam. A-hong, ingatkah kau dulu ketika kita melarikan diri dari An-yang-shia menjadi buronan yang tak berdaya, tapi kemudian berhasil membangun Hwe-liong-pang? Waktu kita mulai membangun Hwe-liong-pang, kita hanya berempat, toh berhasil. Seka?rang tidak ada salahnya kalau kita mencoba mengulang sejarah lama itu, apalagi di pihak kita masih ada ratus?an orang anggauta yang setia kepada cita-cita kita. Jangan berkecil hati."
"Tapi nasib baik jarang berulang untuk kedua kalinya, A-siang."
"Kita tidak akan menggantungkan diri kepada nasib baik. Keberhasilan kita dulu membangun Hwe-liong-pang juga bukan karena nasib baik semata-mata. Selama kaki kita masih tegak, kita akan berusaha terus."
Tengah kedua orang tokoh terting?gi Hwe-liong-pang itu bercakap-cakap, tiba-tiba di luar rumah penginapan itu terdengar suara ribut-ribut, bah?kan ada pula suara bentakan-bentakan kasar. Terdengar suara bentakan yang keras, "Omong kosong! Aku tidak perca?ya kalau rumah makan dan penginapan ini sudah begitu penuhnya sehingga tidak ada lagi tempat buat kami! Buk?tinya kulihat ruangan ini kosong dan tidak nampak batang hidung seorang tamupun."
Lalu kedengaran suara seorang pe?layan yang gemetar ketakutan, "Harap tay-jin memaafkan, penginapan ini me?mang tidak penuh, tapi sudah diborong oleh serombongan tamu. Demi nama baik rumah penginapan ini, kami tidak be?rani mengusir tetamu-tetamu yang te?lah memborong itu."
"Persetan, aku tidak peduli de?ngan nama baik penginapan kalian. Bah?kan kalau ada tetamu yang memborong seluruh penginapan ini maka mereka pantas dicurigai, mereka tentu akan melakukan perbuatan busuk yang takut diketahui orang lain. Kami akan meme?riksa ke dalam!"
Di dalam biliknya, Tong Wi-siang saling bertukar pandangan dengan Si?angkoan Hong, Rahib Hong-goan dan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang lainnya. Mendengar panggilan pelayan tadi, yang menyebut "tay-jin" kepada teta?mu kasar itu, maka agaknya yang da?tang itu adalah serombongan pejabat pejabat Kerajaan, entah dari kalangan sipil atau tentara.
Dalam pada itu, di ruangan depan telah terdengar suara gedubrakan yang ribut, suara barang-barang yang se?dang dibanting hancur, agaknya sang tay-jin sedang melampiaskan kejeng?kelannya. Mendengar itu, Auyang Siau-pa tidak dapat menahan diri lagi, ia segera bangkit dari duduknya dan berkata kepada Tong Wi-siang, "Pang-cu, ijinkan aku untuk keluar dan menghajar cecunguk-cecunguk begundal Kaisar itu!"
Ma Hiong dan Ji Tiat juga bangkit dari duduknya dan serentak berkata, "Ijinkan kami juga."
Namun Tong Wi-siang menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kening ber?kerut, sambil berkata, "Saat ini, mengingat keadaan Hwe-liong-pang ki?ta, tidaklah perlu kita mencari permusuhan dengan siapapun. Kalian boleh keluar untuk melihat keadaan, dan ka?lau perlu kita mengalah sedikit dengan berpindah tempat penginapan. Bagaima?na pendapatmu, Siangkoan Hong?"
Siangkoan Hong yang berwatak berangasan itu sebenarnya tidak setuju kepada pendapat Tong Wi-siang yang di?anggap "terlalu bijaksana" sehingga nampak lemah itu. Namun demi menjaga muka terang Tong Wi-siang di hadapan anak buahnya, maka ia menyetujui saja ucapan itu.
Begitulah, Auyang Siau-pa, Ji Tiat dan Ma Hiong lalu ditugaskan untuk melihat-lihat keadaan di luar sana. Supaya tidak menimbulkan urusan, maka mereka bertiga keluar tanpa membawa senjata mereka. Tidak terduga bahwa keluarnya Ji Tiat itu justru akan menimbulkan keributan.
Keadaan di ruangan depan yang biasa dijadikan rumah makan itu ter?nyata sudah porak-poranda. Yang da?tang mengacau itu ternyata adalah seorang perwira menengah berpangkat bu-ciang yang diiringi oleh belasan orang prajuritnya. Prajurit-prajurit itu berbicara dengan dialek wilayah Ho-pak, nampaknya mereka memang pa?sukan Kerajaan yang didatangkan dari wilayah Ho-pak. Perwira itu berhidung bengkok seperti paruh burung kakaktua, bermata tajam seperti mata elang, si?kapnya menunjukkan begitu percaya ke?pada kemampuan dirinya sendiri. Dia hanya bersikap dingin sambil melipat tangannya di depan dada, sedang yang menjungkir-balikkan meja kursi serta berteriak-teriak kasar itu adalah pra?jurit-prajurit bawahannya yang agaknya sedang "unjuk kegagahan" di hadapan atasannya.
Ketika Auyang Siau-pa bertiga muncul ke ruangan itu, prajurit-praju?rit itu masih saja menghantami meja kursi, disaksikan oleh pelayan peng?inapan itu dengan tubuh gemetar ketakutan. Munculnya Auyang Siau-pa dan kawan-kawannya itu segera menarik per?hatian para prajurit itu. Apalagi ka?rena melihat Auyang Siau-pa yang ber?pakaian khas daerah Su-coan itu lang?sung menimbulkan kecurigaan, sebab ke?banyakan pengikut laskar pemberontak Li Cu-seng adalah orang-orang Su-coan!
Seorang perwira rendahan yang se?dang menendangi kursi segera menghen?tikan ulahnya, lalu sambil bertolak pinggang dia berjalan mendekati Au?yang Siau-pa, lalu tanyanya dengan angkuh, "Kudengar bahwa penginapan ini sudah diborong seluruhnya oleh orang, apakah kalian yang memborongnya?"
"Benar, tuan," sahut Auyang Siau pa dengan menahan muaknya.
Perwira rendahan itu mengangkat dagunya sambil menyipitkan matanya, tanyanya lagi, "Berapa orang jumlah rombongan kalian?"
Ji Tiat yang tidak sabaran itu hampir saja tak dapat menahan diri dan menjotos ringsek muka perwira rendahan itu. Untunglah dia masih da?pat menekan hatinya, sementara itu Auyang Siau-pa masih tetap bersikap sopan dalam menjawab, "Jumlah kami se?muanya sembilan orang."
"Hanya sembilan orang rombongan, kalian kenapa memborong semua ruangan di penginapan ini dan mengusir semua tamu?"
Sahut Auyang Siau-pa tetap te?nang, "sebab ada dua orang anggauta rombongan kami yang sakit keras dan memerlukan tempat istirahat yang te?nang, sehingga terpaksa kami mohon ke?pada para tetamu untuk meninggalkan tempat ini, lagipula kami tidak sembarangan mengusir melainkan memberikan pula ganti rugi sepantasnya."
Agaknya perwira itu mengira bahwa ketiga orang yang berdiri di hadapan?nya itu mulai takut kepadanya, maka lagaknyapun semakin besar kepala, "Hem, benar-benar mencurigakan. He, kenapa kedua orang anggauta rombongan itu sakit?"
Auyang Siau-pa merasa semakin je?mu kepada perwira rendahan ini, maka jawabannyapun mulai ngawur dan sekenanya saja, "Kami sekeluarga memang ber?asal dari Su-coan untuk menengok kam?pung halaman yang kami rindukan."
Sudah menjadi "kebudayaan" di ja?man pemerintahan Cong-ceng yang bo?brok itu, bahwa tentara kerajaan se?lalu berusaha mengisi kantongnya sen?diri dengan berbagai cara dan berba?gai kesempatan, dan begitu pula kali ini. Si perwira agaknya menganggap bahwa ketiga orang di hadapannya itu merupakan "kambing gemuk" yang gampang diperas, maka dia lalu pura-pura marah dan membentak, "Bicaramu semakin lama semakin mencurigakan, dan tanpa kalian sadari semakin membuka kedok asli ka?lian sendiri. Setiap orang tahu bahwa Su-coan sedang menjadi daerah rawan yang terancam oleh pemberontakan si keparat Li Cu-seng itu, semua pendu?duk telah mengungsi dari wilayah itu, kenapa kalian justru hendak menuju ke sana? Ha-ha, jelaslah sudah bahwa ka?lian akan menggabungkan diri dengan laskar pemberontak untuk merongrong kewibawaan pemerintah! Kalian harus ditangkap dan diperiksa di markas kami!"
Ji Tiat agaknya sudah kehilangan kesabaran, dia tahu bahwa tujuan praju?rit-prajurit itu bukannya benar-benar "berjuang bagi Kerajaan" melainkan ha?nya berjuang bagi kantongnya sendiri, segala alasan percuma dikeluarkan di situ. Maka Ji Tiat lalu melangkah ma?ju dan berkata dengan geramnya, "Mau menangkap kami boleh saja, tapi tanya?lah dulu kedua tinjuku ini!"
Auyang Siau-pa dan Ma Hiong ter?kejut melihat sikap rekannya yang tidak dapat mengendalikan diri itu, mereka hendak mencegah namun sudah ter?lambat.
Sedangkan si perwira rendahan yang congkak itu tidak menduga akan mendapat jawaban seperti itu. Biasanya jika dia mulai menggertak rakyat ke?cil, maka yang didengarnya hanyalah rengekan-rengekan minta ampun, dan kalau sudah begitu barulah terjadi ta?war-menawar tentang berapa yang harus dibayar. Kini, menemui sikap Ji Tiat yang lain dari biasanya itu, si per?wira jadi agak gugup, lalu membentak untuk menutupi kegugupannya, "He, kau berani membangkang perintah seorang perwira kerajaan, itu sama saja dengan memberontak!"
Rupanya perwira itu punya andalan untuk berbuat sewenang-wenang, bukan cuma mulutnya yang garang, namun ilmu silatnyapun tidak buruk pula. Begitu selesai membentak, maka tinjunyapun serentak menjotos dengan jurus Hui-in-ki-lo (Mega Terbang Naik Turun). Kepa?lannya terarah ke hidung lawan, namun jika serangan itu gagal dia siap un?tuk menghantam dada dengan pangkal te?lapak tangannya dan masih ada lanjut?annya pula berupa tusukan jari ke tenggorokan. Begitulah, hanya dengan sebelah tangannya saja si perwira itu ternyata mampu melancarkan serangan tiga berantai yang cepat dan bertena?ga itu.
Ji Tiat dan kedua rekannya terke?siap juga ketika melihat ketangkasan perwira itu. Jika semua prajurit yang berjumlah belasan orang itu berkepan?daian setingkat itu, maka ketiga orang Hu-tong-cu Hwe-liong-pang itu agaknya benar-benar akan mengalami ke?sulitan.
Sebaliknya perwira itupun tidak menyangka kalau Ji Tiat dapat melepas?kan diri dari serangan itu dengan mudahnya. Ia semakin penasaran. Sambil membentak keras dia segera menyambung jurusnya dengan Oh-liong-tam-jiau (Na?ga Jahat Mengulur Cakar) untuk mencengkeram ke pundak Ji Tiat. Kali ini Ji Tiat tidak mau diserang terus tanpa membalas, maka ia menangkis dan balas menghantam lawannya. Dengan demikian timbullah pertarungan sengit antara kedua orang itu, sehingga si pelayan penginapan yang sudah ketakutan itu kini jadi bertambah ketakutan. Ternya?ta tamu-tamu yang memborong rumah penginapannya dan tadi kelihatan ra?mah tamah itu, bisa juga bersikap ga?rang seperti itu.
Auyang Siau-pa dan Ma Hiong sa?ling bertukar pandangan sejenak. Mere?ka sadar bahwa agaknya perkembangan itu sudah tidak dapat dicegah lagi, dan hal itu tidak menguntungkan bagi pihak Hwe-liong-pang. Bertengkar de?ngan prajurit kerajaan tidak menim?bulkan keuntungan apa-apa, malahan akan menimbulkan kerepotan yang tak ba?kal habis-habisnya, sedang rombongan Hwe-liong-pang itu justru sedang menuju ke Bu-san secepat-cepatnya supaya jangan didahului oleh Tan Goan-ciau dan pengikut-pengikutnya.
"Bagaimana ini saudara Ma?" tanya Auyang Siau-pa lirih.
"Untung-untungan kita coba pisah?kan mereka," sahut Ma Hiong. "Di kan?tongku masih ada beberapa tahil perak yang barangkali bisa digunakan un?tuk membungkam anjing-anjing kaisar ini."
Namun sebelum kedua Hu-tong-cu ini melaksanakan niatnya, tiba-tiba terwira berhidung bengkok berpangkat bu-ciang itu telah berseru keras, "Cu Pin, berhenti!"
Begitu mendengar seruan itu, per?wira yang berkelahi dengan Ji Tiat itu segera menghentikan serangannya dan melompat mundur dari gelanggang. Ji Tiatpun tidak mengejarnya, sebab dia diam-diam juga menyesali tin?dakannya yang terburu napsu tadi dan hampir saja mengacaukan urusan besar itu. Ia berharap mudah-mudahan urusan dengan hamba-hamba kerajaan itu mudah diselesaikan, kalau perlu dengan me?nyuap beberapa tahil perak kepada me?reka.
Tapi bukan demikianlah yang ter?jadi, justru kesulitan yang lebih besar kini telah muncul di depan mata.
Bu-ciang berhidung bengkok itu kini telah melangkah ke depan dan ber?kata sambil tertawa dingin, "Bagus, tidak kusangka kalau di tempat yang berjarak ribuan li dari kota Kay-hong akan dapat kutemui Ji Tiat, Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembuka Gunung) yang perkasa. He-he-he, Ji Tiat, masih ingatkah kau kepadaku?"
Ji Tiat menatap bu-ciang itu ta?jam-tajam sambil berpikir keras. Ia merasa bahwa wajah itu memang pernah diingatnya, tapi ia sudah lupa tempat dan waktunya. Dengan hati-hati ia ber?kata, "Siapakah kau?"
Perwira itu menggeram penuh dendam, "Kau tentu masih ingat kepada Thi-bin-sin-eng (Elang Sakti Bermuka Besi) Cio Hong-hoat yang pernah bertempur habis-habisan denganmu di kota Tay-goan? Waktu itu aku berhasil kau kalahkan karena kelengahanku sendiri, namun sekarang kita bertemu kembali dan aku menantangmu untuk mengulangi pertarungan di Tay-goan itu !"
Mendengar nama dan julukan itu, mengeluhlah Ji Tiat dalam hatinya, jelaslah bahwa tidak bisa tidak urusan akan menjadi berlarut-larut dengan hamba-hamba kerajaan ini. Bukannya Ji Tiat takut menghadapi urusan, namun tugasnya untuk mengawal Hwe-liong Pang cu sampai ke Bu-san itu adalah jauh lebih penting ketimbang meladeni prajurit-prajurit itu. Namun agaknya tidak gampang untuk melepaskan diri dari Thi-bin-sin-eng Cio Hong-hoat dengan begitu saja.
Dalam keadaan terjepit itu, Ji Tiat bertindak cepat. Tiba-tiba dia berseru kepada Auyang Siau-pa dan Ma Hiong, "Saudara berdua harap menahan anjing-anjing kaisar ini di sini! Cepat!"
Namun sebagai perwira kawakan, Cio Hong-hoat juga bertindak tidak kalah cepatnya, "Kepung rumah penginapan ini! Kudengar berita bahwa Siang-po-kay-san Ji Tiat telah menjadi anggauta Hwe-liong-pang, padahal Hwe-liong-pang adalah sebuah perkum?pulan gelap yang bersikap menentang kerajaan! Kawan-kawan Ji Tiat itupun tentu orang-orang Hwe-liong-pang yang tidak boleh lolos seorangpun!"
Belasan orang prajurit itu se?gera memencar sambil menghunus senja?tanya masing-masing, menutup semua pintu. Bahkan Cio Hong-hoat memerin?tahkan lebih lanjut, "Salah seorang keluar untuk memanggil bala bantuan."
Seperti diketahui, Hwe-liong-pang bukan saja dimusuhi oleh kaum pendekar golongan lurus, namun juga oleh pihak pemerintah Kerajaan Beng. Itu disebabkan oleh tindakan orang-orang Hwe-liong-pang yang sangat brutal kepada pejabat-pejabat kerajaan, antara lain peristiwa terbasminya Cia To-bun seke?luarga di kota An-yang-shia. Cita-cita Hwe-liong-pang "menumbangkan kebobrok?an dan membangun keadaan baru" itu oleh pihak kerajaan telah ditafsirkan sebagai niat untuk memberontak, se?hingga pemerintah kerajaanpun sudah mengeluarkan pengumuman resmi bahwa Hwe-liong-pang adalah musuh negara. Tidak peduli Hwe-liong-pangnya Tong Wi-siang atau Hwe-liong-pangnya Tan Goan-ciau semuanya harus dibasmi. Perpe?cahan yang terjadi dalam tubuh Hwe-li?ong-pang itu memang belum banyak dike?tahui orang, sehingga orang masih sa?ja menyamaratakan sikap terhadap Hwe-liong-pang.
Waktu itu kota Chung-king hampir kosong penduduknya karena mengungsi, namun justru penuh dengan prajurit-prajurit pemerintah, karena kota itu merupakan sebuah kota penting yang pasti akan dilewati oleh laskar pemberontak apabila hendak menyerbu ke Pak-khia. Kelompok-kelompok prajurit bersenjata hilir-mudik di jalanan. Ma?ka keributan dalam rumah penginapan itu dapat segera diketahui oleh praju?rit-prajurit lainnya, maka dalam seke?jap saja rumah penginapan itu benar-benar telah terkepung rapat!
Cio Hong-hoat tertawa dingin ke?tika melihat Ji Tiat dan kawan-kawan?nya nampak gugup dalam menghadapi perkembangan keadaan itu. Ejek Cio Hong-hoat, "Kalian ibarat ikan dalam jaring, biarpun tumbuh sayap juga ti?dak akan bisa lolos lagi dari sini."
Mengetahui bahwa tidak ada ke?mungkinan lain kecuali bertarung ha?bis-habisan, maka Ji Tiat menjadi ma?ta gelap, teriaknya pula, "Saudara Ma dan saudara Auyang, lindungi Pang-cu, cepat!"
Sadar dari kegugupannya, Auyang Siau-pa dan Ma Hiong cepat-cepat berl?ari menuju ke ruangan dalam. Namun sebelum mereka berhasil mencapai pin?tu ke ruangan dalam, dua orang praju?rit yang bersenjata pedang telah mencegat mereka, lalu menyusul dua orang lagi. Dengan demikian Auyang Siau-pa dan Ma Hiong dipaksa mengha?dapi empat orang lawan bersenjata, se?dangkan mereka sendiri hanya bertangan kosong.
Sementara itu Ji Tiat telah ter?libat perkelahian sengit dengan musuh lamanya, Cio Hong-hoat yang mahir dengan dua macam ilmu tangan kosong bertenaga keras, yaitu Ngo-heng-ciang (Pukulan Lima Unsur) dan Eng-jiau-kang (Cengkeraman Elang). Ternyata Cio Hong-hiat ini masih terhitung saudara seperguruan dengan Ting Ciau-kun.
Perwira bu-ciang she Cio ini mem?buka serangan dengan sebuah cengke?raman ganas Eng-jiau-kau-jiu (Cengke?raman Elang). Tangan satunya menjam?bret pundak dan tangan lainnya menjam?bret pinggul, jika kedua serangannya ini mengenai sasarannya, maka lawannya akan langsung dibantingnya ke tanah. Biasanya kalau sudah begitu sang lawan akan langsung mampus, atau sedikitnya cacad seumur hidup.
Ji Tiat yang sudah waspada akan kemahiran lawannya itu tidak mau dipancing dalam pertarungan jarak de?kat. Sambil menggeser mundur dia mela?kukan gerak Ya-ma-hun-cong (Kuda Liar Membelah Suri), tangannya menangkis ke atas dan ke bawah. Tetapi Cio Hong-hoat terus mendesak ke depan sambil membalikkan telapak tangan dan beru?saha untuk mencengkeram kedua pergelangan tangan Ji Tiat yang untuk me?nangkis itu.
Menghadapi seorang lawan yang be?gitu tangkas, untuk sementara memang Ji Tiat dipaksa untuk bertahan dan mundur saja, sambil mencoba mencari kelemahan dari gaya permainan la?wannya. Ternyata orang she Cio itu sa?ngat mempercayakan serangan-serangan?nya pada kekuatan jari-jari tangannya. Begitu Ji Tiat merasa dapat meng?etahui gaya lawan, maka diapun tidak hanya bertahan saja namun juga balas menyerang. Sambil mengelak ke samping, Ji Tiat membalas dengan sebuah hantaman ke batok kepala lawan dengan jurus Liong-teng-toh-cu (Merebut Mutiara di Kepala Naga). Maka sengit?lah kedua musuh bebuyutan itu meng?ulangi perkelahian mereka dulu. Kali ini bahkan lebih sengit dari dulu, se?bab masing-masing pihak sudah menga?lami kemajuan dalam ilmunya masing-ma?sing. Cio Hong-hoat dengan ilmu Eng-jiau-kang dan Ngo-heng-ciangnya itu benar-benar lawan yang sangat berbaha?ya dengan sepasang telapak tangannya itu. Cengkeraman jari-jarinya akan sanggup untuk merobek kulit lawan atau bahkan langsung mematahkan tulang-tulangnya, sedangkan pukulan Ngo-heng-ciangnya dilatih khusus untuk bertem?pur dalam jarak dekat dan punya kemam?puan untuk menghancurkan bagian dalam tubuh manusia. Begitulah dia menceng?keram dan menghantam berganti-ganti.
Namun Ji Tiat juga bukan seorang lawan empuk. Dia adalah Hu-tong-cu (wakil kepala kelompok) Ui-ki-tong, salah satu dari delapan kelompok Hwe-liong-pang yang pernah disegani dalam dunia persilatan. Julukannya adalah Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pem?belah Gunung), menandakan bahwa ia me?miliki tenaga raksasa yang diibaratkan dapat membelah gunung. Kini dalam menghadapi seorang lawan yang mahir bertempur jarak dekat dan mengandal?kan kekuatan jari-jarinya, Ji Tiat tidak gentar sama sekali, sebab dia sudah biasa berlatih bersama dengan Kwa Heng yang juga mahir berkelahi ja?rak dekat. Julukan Kwa Heng adalah Thi jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) dan mahir Kau-kun (Silat Monyet). Antara Kau-kun dengan Eng-jiau-kang ada persamaannya dalam hal mengandalkan kekuatan cengkeraman jari-jarinya dan memaksa lawannya berkelahi jarak dekat, tapi ada pula perbedaannya. Perbedaan?nya adalah bahwa Eng-jiau-kang banyak menitik beratkan kepada tubrukan-tubrukan dan terkaman-terkaman yang ganas serta bertenaga, sedang Kau-kun lebih licin dan lincah, penuh dengan kelitan-kelitan yang lemas. Maka da?lam menghadapi keganasan Cio Hong-hoat itu Ji Tiat tidak merasa takut sedikitpun, sebab Cio Hong-hoat masih belum mampu bergerak secepat teman berlatih Ji Tiat, yaitu Kwa Heng. Se?dang dalam hal tenagapun Ji Tiat ti?dak perlu merasa ragu-ragu untuk membenturkan kekuatannya secara keras lawan keras.
Sekejap saja kedua seteru bebu?yutan itu telah bertukar serangan be?lasan kali. Cio Hong-hoat bertubuh ringan dan gesit, benar-benar mirip seekor elang ganas yang beterbangan di udara, namun lawannyapun berkelahi dengan gagah perkasa bagaikan sebuah pagoda besi yang takkan goyah oleh ba?dai yang bagaimanapun dahsyatnya.
Dalam pada itu, prajurit-prajurit yang masih belum kebagian lawan, segera menyerbu ke bagian dalam rumah penginapan itu sambil berteriak-teriak penuh semangat. Tiga orang prajurit yang merasa kepandaiannya paling me?nonjol, segera mendahului rekan-rekan?nya untuk menerjang ke dalam. Inilah kesempatan baik untuk mendirikan pahala dan memperoleh kenaikan pangkat, demi?kianlah pikiran mereka.
Namun, baru saja mereka masuk be?berapa langkah, maka prajurit-prajurit sial itu tahu-tahu telah "beterbangan" keluar kembali bagaikan dihantam oleh hembusan angin berkekuatan raksasa. Masuknya mereka menggunakan jurus-ju?rus silat dan gaya-gaya lompatan yang indah, maka keluarnya justru sangat konyol sebab muka mereka yang lebih dulu menghunjam lantai.
Menyusul itu, dari dalam ruangan terdengar bentakan keras, "Kawanan anjing kaisar, kalian masih belum cukup berharga untuk berani jual la?gak di depan ketua kami!"
Lalu muncullah Hong-goan Hweshio, diikuti oleh Ling Thian-ki, Kwa Heng dan Lu Siong. Paling belakang mun?cullah Tong Wi-siang didampingi oleh Siangkoan Hong, keduanya memakai topeng tengkorak dan jubah kebesarannya masing2. Rupanya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu telah mendengar keributan yang terjadi di ruangan depan, juga menyadari bahwa rumah penginapan itu telah terkepung. Maka merekapun memutuskan untuk menerjang keluar daripada mati sebagai tikus dalam li?angnya.
Munculnya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu mau tidak mau telah menciut?kan keberanian Cio Hong-hoat dan pra?jurit-prajuritnya. Apalagi melihat ke?hebatan Hong-goan Hweshio dalam mem?buka jalan untuk Ketuanya. Dengan senjata Hong-pian-jan (Toya Berujung Bulan Sabit) di tangannya, Hong-goan Hweshio menyapu kawanan prajurit yang merintanginya, sekejap saja dua orang prajurit telah terjungkal dalam keada?an luka parah. Ling Thian-ki tidak mau ketinggalan dari rekannya itu, ma?ka dengan sepasang cundriknya diapun telah merobohkan beberapa prajurit.
Kwa Heng telah melemparkan sepa?sang kampak bergagang pendek kepada Ji Tiat sambil berseru, "Saudara Ji, inilah senjatamu!"
Cepat Ji Tiat melompat mundur dan dengan tepat berhasil menyanggapi sepasang senjata andalannya itu. Kini, dengan sepasang kampak pendek telah berada di tangannya, maka Ji Tiat ba?gaikan seekor macan yang tumbuh sa?yapnya, tandangnya semakin beringas dan menggentarkan.
Untuk mengimbanginya, Cio Hong-hoat terpaksa mencabut pedangnya.
Namun perwira she Cio itu mengin?syafi bahaya, bahwa dengan keluarnya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu keada?an akan menyulitkan pihaknya. Maka ia berseru, "Keluar dari ruangan! Perke?tat kepungan di luar!"
Buat prajurit-prajurit yang sudah kewalahan itu, perintah "tinggalkan ruangan" itu ibarat pembatalan hukuman mati buat mereka. Mereka sudah tidak tahan lagi menghadapi amukan orang-o?rang Hwe-liong-pang itu, maka se?rempak merekapun berlompatan keluar ruangan untuk bergabung dengan pasukan yang sudah mengepung di sekitar rumah penginapan itu. Mereka sudah tidak ingat untuk mencari pahala lagi, buat apa pahala jika nyawa melayang? Se?dangkan Cio Hong-hoat sendiri sudah lebih dulu ada di luar ruangan.
Waktu itu, di jalan-jalan raya di depan dan di sekitar rumah peng?inapan itu sudah penuh dengan tentara kerajaan. Barisan pemanah berada di paling depan dan terdiri dari dua la?pis, yang depan berjongkok dan yang belakang berdiri, busur sudah terpen?tang dan anak panahpun sudah terpa?sang, hanya tinggal menunggu aba-aba untuk memanah. Begitu pula beberapa gang kecil di sekitar rumah penginapan itu sudah dijaga ketat, bahkan beber?apa orang perwira yang berilmu tinggi telah berjaga-jaga di atas genteng. Agaknya pasukan pemerintah itu maklum betapa tangguhnya jago-jago Hwe-liong-pang itu, maka mereka mengerahkan tentara sebanyak itu.
Di dalam rumah penginapan, tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu segera mem?buat perhitungan yang cermat. Mereka tahu bahwa di samping kanan dan kiri rumah penginapan itu tentu penjagaan?nya tidak terlalu kuat, sebab tempat tempat itu hanya merupakan gang-gang kecil yang tidak memungkinkan untuk dimuati banyak prajurit. Begitu pula di tempat-tempat itu tentu barisan pa?nah tidak akan leluasa bergerak. Tong Wi-siang segera memerintahkan anak bu?ahnya untuk menerjang lewat samping rumah, sedangkan dia sendiri telah menghunus pedang pusaka yang dite?mukannya di Bu-san, yaitu Jit-kui-po-kiam (Pedang Pusaka Tujuh Setan).
Begitu pedang yang dahsyat itu terlolos keluar dari sarungnya, seke?tika itu tersebarlah suasana seram yang menggidikkan hati. Pedang itu adalah peninggalan Bu-san-jit-kui (Tujuh Setan Dari Bu-san) yang diketemukan Wi-siang dari atas bukit Yu-kui-hong, merupakan sebatang pedang yang mengandung kekuatan gaib yang dapat mempengaruhi orang yang memegangnya. Jika pedang itu ada dalam sarungnya, hawa gaib itu tidak terasa, namun be?gitu dicabut keluar akan mempengaruhi pemegangnya dengan hawa setan yang terpancar daripadanya. Dengan meme?gang pedang itu, si pemegang bukan la?gi manusia yang berakal jernih, me?lainkan akan berubah menjadi mahluk ganas yang tidak berperi-kemanusiaan lagi, jika pedang disarungkan kembali maka si pemegang akan pulih kembali kepada kepribadiannya yang semula. Be?gitu seramnya kesaktian pedang itu, sehingga pengaruhnya tidak luntur mes?kipun sudah ratusan tahun tidak per?nah mengisap darah manusia lagi. Kini Tong Wi-siang telah menarik pedang itu dari sarungnya, menandakan bahwa pertumpahan darah akan segera terjadi.
Hong-goan Hweshio terkesiap me?lihat pedang yang dipegang oleh ketua?nya itu, dengan agak gugup ia berkata, "Pang-cu, apakah pedang itu tidak se?baiknya disimpan dulu? Sebab... sebab ..."
Sikap ramah tamah Tong Wi-siang yang biasanya terlihat itu kini telah lenyap tak bersisa sedikitpun. Sebe?lum rahib Hong-goan menyelesaikan kata-katanya, Tong Wi-siang telah membentaknya dengan bengis, "Tutup mulut?mu! Kita akan jebolkan kepungan mere?ka sambil membunuh anjing-anjing Cong-ceng itu sebanyak-banyaknya! Siapa yang tidak tunduk kepada perintahku, biar?lah darahnya akan dihirup oleh pedang ini!"
Bibir Rahib Hong-goan sudah ber?gerak-gerak hendak menyelesaikan kali?matnya, namun Ling Thian-ki yang lebih mengerti gelagat segera menggamit le?ngan sahabatnya itu dan memberi tanda kedipan mata agar jangan berbicara lagi.
Begitulah, dengan dipimpin sen?diri oleh Hwe-liong Pang-cu orang-o?rang Hwe-liong-pang itu mencoba mener?jang lewat pintu samping yang tembus ke sebuah lorong kecil. Di lorong itu memang telah menunggu puluhan orang prajurit, namun hanya dengan beberapa kali ayunan Jit-kui-po-kiamnya, prajurit-prajurit sial itu langsung berkelojotan mandi darah. Tong Wi-siang kini adalah sesosok hantu haus darah yang tiada taranya, luka dalamnya yang diderita akibat sergapan Tan Goan-ciau itu kini seolah tidak tera?sa lagi.
Rahib Hong-goan yang diam-diam mengikuti di belakang ketuanya dan me?lihat pembantaian itu, diam-diam menggeleng-gelengkan kepalanya dan berka?ta dalam hatinya, "Mengerikan sekali pengaruh pedang iblis itu. Semoga pe?dang itu tidak terlalu sering dicabut keluar dari sarungnya."
Pasukan kerajaan yang mengepung tempat itu agaknya menyadari bahwa orang-orang yang ingin mereka tangkap itu telah membobol pintu samping. Cio Hong-hoat yang mengetahui hal itu segera berteriak memerintahkan, "Mereka menerjang pintu samping, dan pasti akan melompat ke atas genteng sebab lorong itu buntu! Pemanah yang di atas genteng bersiap!"
Benar juga perhitungan Cio Hong-hoat itu, sebab lorong itu memang buntu. Tentu saja Wi-siang dan anak buahnya tidak ingin terkurung dalam lorong buntu itu, namun lari ke jalan raya adalah tidak mungkin sebab di si?tu sudah ditunggu oleh pasukan yang sangat kuat. Jalan satu-satunya adalah naik ke genteng, dan berharap bahwa tinggi rendahnya wuwungan rumah yang tidak merata itu akan dapat me?lindungi mereka dari sambaran panah. Demikianlah mereka terpaksa berlompatan ke atas genteng. Namun ternyata di atas genteng itu juga sudah menung?gu sekelompok prajurit pemanah. Be?gitu tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu menginjakkan kakinya di atas genteng, maka hujan panahpun melanda ke arah mereka. Lu Siong yang gerak-geriknya kurang tangkas itu segera terpanah pundaknya.
Sedangkan Tong Wi-siang benar-be?nar telah dikuasai oleh hawa iblis pe?dang yang dipegangnya, entah dari ma?na datangnya kekuatannya dia telah berhasil menyapu semua anak panah yang tertuju kepadanya, bahkan bebera?pa batang anak panah telah terlempar balik dan mengenai prajurit-prajurit kerajaan itu sendiri.
Seorang perwira yang memimpin pengepungan di atas genteng itu segera berteriak, "Itulah pemimpin pengacau yang dipanggil Hwe-liong Pang-cu itu! Tangkap dia lebih dulu supaya anak bu?ahnya menyerah!"
Bicara memang enak, namun pelak?sanaannya sungguh sulit. Pada hakekatnya keberanian prajurit-prajurit itu sudah runtuh ketika melihat keperkasa?an Hwe-liong Pang-cu itu.
Tong Wi-siang tertawa terbahak-bahak dari balik topeng tengkoraknya, suaranya bagaikan iblis meringkik se?hingga membuat bulu kuduk para pen?dengarnya jadi merinding. Teriak Wi-siang sambil memutar pedangnya, "Benar. Akulah Hwe-liong Pang-cu yang bakal mendepak Cong-ceng sehingga ter?jungkal dari singgasana kekaisarannya! Anjing-anjing Cong-ceng, hayo cobalah tangkap aku!"
Tubuh Tong Wi-siang bagaikan se?sosok bayangan hantu segera berkelebat menerjang kelompok prajurit di atas genteng itu. Kawanan prajurit itu ter?nyata tidak sanggup menghadapi ter?jangan sedahsyat dan secepat itu, bah?kan mereka belum sempat untuk mele?takkan busur dan mencabut pedang mere?ka, darah mereka sudah lebih dulu dihirup oleh Jit-kui-po-kiam yang he?bat itu!
Perwira yang memimpin kelompok prajurit di atas genteng itu jadi ber?gidik ngeri ketika melihat keganasan Ketua Hwe-liong-pang itu. Tanpa malu malu lagi ia cepat-cepat melompat ke bawah genteng, meskipun jatuhnya ke tanah itu agak konyol namun dia boleh berlega hati karena nyawanya selamat.
Meskipun kawanan prajurit di atas genteng itu sudah menyingkir, na?mun tidak berarti tokoh-tokoh Hwe-li?ong-pang itu lalu dapat meloloskan di?ri dengan mudah. Hujan anak panah te?rus menerus terhambur ke arah mereka, sedang bala bantuan prajurit kerajaan terus mengalir ke tempat itu dan semakin merapatkan kepungan. Tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu hanya dapat bergerak setapak demi setapak karena dire?potkan oleh hujan panah yang tak henti-hentinya itu.
Bahkan Li Siong tidak sempat merawat lukanya lagi, sebab tidak ada tempat untuk sembunyi sehingga dia terpaksa terus menerus memutar senjata?nya untuk menghalau setiap panah yang tertuju ke tubuhnya. Gerakannya yang keluarkan banyak tenaga itu telah membuat tubuhnya yang sudah luka itu ber?tambah lemah, darah terus menerus mengalir dari lukanya, sedang mukanya-pun semakin pucat.
Kwa Heng dan lain-lainnya beru?saha sekuat tenaga untuk melindungi Lu Siong, namun mereka sendiripun di?sulitkan oleh hujan panah Itu. Bahkan sesaat kemudian Auyang Siau-pa juga ikut-ikutan terluka, terpanah betis?nya sehingga gerakannya menjadi pin?cang.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 31 DALAM saat segenting itu, Rahib Hong-goan berseru kepada Ketuanya, "Pang-cu, kukira kurang menguntungkan jika kita terus menerus berada di atas genteng dan menjadi sasaran empuk panah lawan. Bagaimana kalau kita tu?run kembali saja dan bertempur di lo?rong-lorong sempit itu?"
Meskipun pikiran Tong Wi-siang sedang keruh oleh hawa membunuh yang dipancarkan oleh Jit-kui-po-kiamnya, namun tidak berarti ia kehilangan se?luruh akal sehatnya. Ia masih dapat melihat bahwa sudah dua orang di pi?haknya yang menderita luka, maka diapun menyahut, "Baik. Kita turun dan bertempur beradu muka dengan begundal-begundal Cong-ceng itu!"
Namun di atas tanah boleh dika?takan sudah tidak ada tempat berpijak sejengkalpun. Di situ tentara kerajaan yang berjumlah ratusan orang sudah berjubal-jubal dan menanti dengan ujung-ujung senjata mereka yang ber?kilat. Melompat ke bawah sama dengan menerjunkan diri untuk menyongsong ujung-ujung senjata yang haus darah itu.
Hong-goan Hweshio memahami kea?daan itu, namun dia bukan cuma pandai mengusulkan namun juga sudah memikirkan caranya. Serunya, "Biarlah aku le?bih dulu membuka jalan untuk kalian!"
Lalu tanpa ragu-ragu atau menung?gu jawaban lagi, dia langsung melompat turun dari atas genteng itu. Sebelum mencapai tanah dia telah menjungkir balikkan badannya, sehingga kaki di atas dan kepala di bawah, sementara senjata hong-pian-jan di tangannya telah berputar sekencang baling-baling yang terhembus angin badai.
Rahib ini benar-benar hebat. Ter?dengarlah suara bentakan ramai, suara senjata para prajurit yang terlempar dari tangan pemiliknya masing-masing, lalu beberapa orang prajurit sial te?lah terlempar karena kena tendangan rahib perkasa itu. Dalam keadaan se?perti itupun agaknya Rahib Hong-goan masih segan untuk melakukan pembunuhan, kecuali jika keadaan memaksa, terbuk?ti dalam kali itupun tidak ada seorangpun prajurit yang terbunuh, paling paling hanya pingsan terkena tendang?annya.
Setelah mencarikan "tempat penda?ratan" bagi kawan-kawannya, maka ber?turut-turut melompatlah Ling Thian-ki, Siangkoan Hong, Kwa Heng, Lu Siong dan lain-lainnya. Dengan demikian kini pa?ra prajurit kerajaan itu tidak bisa lagi mengandalkan senjata panah mere?ka, dan sekarang mereka dipaksa untuk mencabut pedang mereka dan melayani musuh-musuh mereka dalam suatu pertem?puran jarak dekat yang berjubel-jubel.
Di antara perwira-perwira yang memimpin prajurit-prajurit itu ada pu?la beberapa orang perwira yang memi?liki tingkatan ilmu silat yang agak lumayan, namun paling-paling mereka itu tidak cukup berharga untuk menahan amukan tokoh-tokoh Hwe-liong-pang tingkat tinggi seperti Ling Thian-ki dan Hong-goan Hweshio, apalagi Tong Wi siang dan Siangkoan Hong yang mewari?si ilmu Bu-san-jit-kui yang mengerikan itu.
Namun segi jumlah ternyata ikut menentukan jalannya pertempuran pula. Betapa lihainya tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu, namun mereka kewalahan juga menghadapi prajurit yang berjumlah ra?tusan itu. Lapisan kepungan terdepan sudah dibabat habis, muncullah lapi?san ke dua dan seterusnya, sehingga kepungan itu bagaikan berlapis-lapis dan tak tertembus. Bahkan Tong Wi-siang yang berilmu paling tinggi dan sangat mengandalkan pedang Jit-kui-po-kiam itupun mulai kerepotan juga. Luka dalamnya mulai terasa lagi aki?bat pengerahan tenaganya yang berle?bihan, gerakannyapun mulai semakin lambat.
Melihat itu, Siangkoan Hong mu?lai mencemaskan ketuanya sekaligus sa?habatnya itu. Siangkoan Hong sendiri mengalami luka-luka, namun hanyalah luka-luka luar saja. Matanya segera berkeliaran ke sekeliling medan untuk mencari celah-celah yang kira-kira da?pat digunakan untuk meloloskan diri. Tetapi kepungan tentara kerajaan itu benar-benar rapat luar biasa. Terpaksa Siangkoan Hong harus selalu bertempur berdekatan dengan Tong Wi-siang untuk melindungi ketuanya itu.
Dalam cemasnya, Singkoan Hong sempat bertanya, "A-siang, bagaimana dengan luka-lukamu?"
Demikianlah, karena begitu ter?bawa oleh gejolak perasaannya, maka Siangkoan Hong telah memanggilnya "A-siang" dan bukan "Pang-cu" seperti panggilan biasanya. Dalam keadaan ter?jepit antara batas mati hidup itu ma?ka Siangkoan Hong tidak kenal lagi ke?pada Hwe-liong Pang-cu yang menyeram?kan itu, yang dikenalnya hanyalah A-siang, sahabat karibnya sejak masih kanak-kanak di An-yang-shia itu.
Namun Tong Wi-siang yang tengah terpengaruh oleh sifat gaib dari Jit-kui-po-kiam itu telah menyahut dengan kasarnya, "Persetan, aku bukan orang banci yang membutuhkan pertolonganmu! Aku adalah Hwe-liong Pang-cu, calon maharaja negeri ini! Lihatlah, hari ini aku akan menghirup darah begundal-begundal Cong-ceng ini sebanyak-banyaknya!"
Meskipun suaranya begitu garang dan diucapkan dengan nada yang menggi?dikkan hati, tetapi sesungguhnya tena?ga Tong Wi-siang sudah hampir terku?ras habis. Ayunan pedangnya sudah ti?dak semantap tadi lagi, bahkan kadang-kadang nampak ngawur. Namun pengaruh gaib Jit-kui-po-kiam itu membuatnya masih saja merasa haus darah dan ingin membunuh lebih banyak lagi.
Siangkoan Hong menyadari, meski?pun ia mengajak bicara sampai bibir?nya robek sekalipun, sahabat dan ke?tuanya itu tidak akan dapat berpikir jernih, kecuali kalau Jit-kui-po-kiam sudah dilepaskan dari tangannya. Maka Siangkoan Hong mengambil tindakan yang nekad. Tiba-tiba dia menghantam pergelangan tangan Tong Wi-siang se?hingga Jit-kui-po-kiam lepas dari tangan Wi-siang. Sang Ketua itu terke?jut dan berteriak, "A-hong! apakah kau sudah gila?!"
Sahut Siangkoan Hong dengan ter?paksa, "Maaf, A-siang, kau harus ber?istirahat karena keadaan tubuhmu yang belum sehat benar. Biarkanlah kami yang bertempur untukmu, untuk membawamu keluar dari tempat keparat itu." Sam?bil bicara itu maka jari-jari Siangkoan Hong bekerja pula untuk menotok be?berapa jalan darah di tubuh Tong Wi-si?ang sehingga Ketua Hwe-liong-pang itu terkulai lemas. Setelah menyarungkan kembali pedang Jit-kui-po-kiam ke sa?rungnya di pinggang Wi-siang, maka Si?angkoan Hong lalu memanggul tubuh Ketuanya itu sambil berseru kepada orang orangnya, "Terjang ke barat! Selamat?kan Pang-cu!"
Sebaliknya di pihak lawanpun ter?dengar aba-aba, "Perketat kepungan! Mereka akan kehabisan tenaga! Jika me?reka tertangkap akan berarti hilang?nya sebuah penyakit bagi Kerajaan kita, dan pahala buat kalian!"
Yang berteriak-teriak memimpin ini adalah seorang perwira bertubuh gemuk pendek dan berjenggot kaku se?perti ijuk, dia memainkan pedangnya dengan gaya ilmu pedang Heng-san-pay. Gerakannya mantap dan keras, ilmunya cukup tangguh, sebab terbukti ia te?lah sanggup meladeni Hong-goan Hweshio selama ratusan jurus tanpa terdesak sedikitpun.
Siangkoan Hong melihat bahwa perwira gemuk pendek ini agaknya merupakan "otak" dari pengurungan ini, maka sambil tetap memondong tubuh Wi-siang, dia menerjang ke arah perwira gemuk pendek itu. Karena keadaan yang sangat mendesak, maka Siangkoan Hong langsung saja menggunakan sebuah ilmu peninggalan Bu-san-jit-kui yang sangat lihai yang disebut Jit-kui-tiau-goat-sin-kang (Ilmu Sakti Tujuh Setan Me?nyembah Bulan). Mulutnya berkemak-kemik membaca mantera aneh, lalu ia mem?bentak kepada perwira itu, "Mampus kau!"
Perwira yang sedang bertempur dengan Hong-goan Hweshio itu segera mulai merasakan ada semacam pengaruh aneh yang menyusup ke dalam tubuhnya dan mengendalikan semua gerak-ge?riknya. Dengan terkejut dia mengerah?kan seluruh kekuatan batinnya untuk mengatasi pengaruh aneh yang tak dike?nalnya itu, namun ternyata pengaruh itu terlalu kuat dan perwira itu gagal mengatasinya. Ketika pandangan mata?nya membentur pandangan mata Siangko?an Hong dari balik topeng tengkoraknya yang bersinar kehijauan seperti mata kucing itu, maka runtuhlah pertahanan perwira itu.
Hong-goan Hweshio bukan seorang yang kejam dan gemar membunuh, maka ketika melihat lawannya sudah tak ber?daya, dia hanya ingin melumpuhkannya saja. Tapi ia kalah cepat dari Siangkoan Hong, sebab Siangkoan Hong telah lebih dulu mengayunkan pedangnya untuk menembus perut perwira itu.
Keanehan dan keganasan Siangkoan Hong mau tidak mau membuat prajurit prajurit kerajaan itu merasa gentar juga. Kepungan menjadi agak kacau, beberapa orang perwira mencoba mengambil alih pimpinan untuk menggantikan si perwira gemuk yang tewas itu, namun mereka tidak berhasil mengatasi kepa?nikan yang melanda anak buahnya.
"Ilmu siluman!" teriak beberapa orang prajurit dengan ketakutan. "Ki?ta tidak berhadapan dengan manusia-manusia biasa namun sedang berhadapan dengan siluman-siluman!"
Siangkoan Hong tertawa terbahak bahak mendengar teriakan prajurit-prajurit itu, serunya, "Betul, aku memang siluman, kalian mau apa?! Lihat ilmu silumanku yang lain!"
Lalu tangannya merogoh ke dalam sakunya dan mengeluarkan butiran-bu?tiran hitam yang langsung disebarkan?nya ke tengah-tengah para prajurit-pra?jurit. Begitu butiran-butiran itu me?nyentuh tanah atau membentur benda la?in, seketika meledak dan menyebarkan kabut beracun yang berwarna merah, pa?sukan kerajaan menjadi semakin panik, apalagi karena selain kabut beracun itu juga tersebarlah jarum-jarum halus yang langsung merobohkan belasan orang prajurit. Bahkan ada dua orang perwira yang berkepandaian cukup tangguh juga ikut roboh oleh jarum beracun itu.
"Itulah Tong-bu-kiam-ciam-co-boh-tan (Peluru Maut Jarum dan Kabut) ha?sil karya Hwe-liong-pang kami!" teri?ak Siangkoan Hong sambil tertawa. "Si?apa yang masih ingin hidup cepatlah menyingkir dan memberi jalan kepada kami!"
Kawanan prajurit pada menjelang akhir Kerajaan Beng itu memang sudah begitu bobrok. Mereka bisa bersikap garang jika hanya menghadapi para pen?coleng kecil atau rakyat yang tidak bersenjata. Namun begitu menemui la?wan yang keras, maka yang terpikir oleh prajurit-prajurit itu hanyalah bagaimana cara memperpanjang umurnya sendiri. Bahkan sikap semacam itu ter?dapat pula di antara para perwiranya. Para perwira itu, meskipun masih saja berteriak-teriak menganjurkan anak bu?ahnya untuk menyerang, namun perwira perwira itu sendiri tetap saja di garis belakang.
Meskipun begitu, kepungan itu me?mang ketat, dan tidak semua prajurit serta perwira sepengecut itu. Usaha tokoh-tokoh Hwe-liong-pang untuk memecahkan kepungan itu jelas merupakan usaha yang sulit.
Lu Siong merasakan luka-lukanya semakin berat, sehingga dia harus diseret oleh Kwa Heng dan Ji Tiat sam?bil bertempur. Di sekitar mereka, Rahib Hong-goan, Ling Thian-ki, Auyang Siau-pa dan Ma Hiong juga masih berta?han dengan gigihnya.
Pada waktu tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu sudah dalam keadaan yang de?mikian gawatnya, tiba-tiba di bagian belakang dari kepungan pasukan kerajaan itu terjadi keributan, bahkan ter?dengar pula benturan-benturan senjata dan teriakan-teriakan kesakitan. Siangkoan Hong sesaat mencoba mengamati apa yang yang terjadi di bagian bela?kang pasukan kerajaan itu, maka sesaat kemudian iapun berseru dengan penuh semangat, "Itulah Lim Hong-pin bersama sama dengan Oh Yun-kim dan In Yong serta puluhan orang anggauta kita yang datang untuk membantu kita!"
Seruan Siangkoan Hong itu memang berhasil membangkitkan semangat dari Hong-goan Hweshio dan lain-lainnya yang hampir putus asa itu. Bangkitnya semangat mereka membuat tenaga merekapun seakan bertambah, bahkan Lu Siong yang tadinya sudah pasrah nasib itu kinipun mulai bersemangat kembali.
Yang datang itu memang Lim Hong-pin, diiringi oleh Lam-ki-tong-cu In Yong dan Pek-ki-tong-cu Oh Yun-kim beserta anggauta Hwe-liong-pang yang berjumlah puluhan orang. Kota Chung king itu memang tidak jauh lagi letak?nya dari Gunung Bu-san, tempat bermarkasnya Hwe-liong-pang, maka pengaruh Hwe-liong-pang di daerah itupun tera?sa sangat kuatnya.
Serbuan Lim Hong-pin dan orang-orangnya itu ternyata mampu membuat pa?sukan kerajaan jadi kacau-balau di bagian belakang. Meskipun jumlah orang orang Hwe-liong-pang itu tidak mele?bihi empatpuluh orang, namun kepandaian silat rata-rata orang-orang Hwe-liong-pang itu cukup tangguh. Terutama Lim Hong-pin sendiri yang tandangnya bagaikan seekor serigala buas ditengah kerumunan kelinci-kelinci le?mah. Meskipun ia tidak bersenjata, namun prajurit-prajurit yang berani menghalang-halanginya akan dilempar-lemparkannya satu demi satu, seringan orang melempar-lemparkan potongan-potongan kayu saja!
Selain itu, Oh Yun-kim si orang Korea yang berjuluk Bu-ing-tui (Ten?dangan Tanpa Bayangan) itupun menga?muk tanpa senjata pula. Meskipun ti?dak sehebat Lim Hong-pin, tapi ten?dangan-tendangan geledeknya yang ampuh itu telah menjungkalkan belasan orang prajurit. Begitu pula Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Petir) In Yong juga telah melancarkan jurus-ju?rus sepasang goloknya secara tidak ke?nal ampun, membuat barisan tentara kerajaan yang semakin berantakan.
Tidak memakan waktu terlalu lama, barisan Lim Hong-pin telah dapat ber?gabung dengan barisan Siangkoan Hong. Begitu melihat Tong Wi-siang berada dalam gendongan Siangkoan Hong, terke?jutlah Lim Hong-pin. Tanyanya dengan cemas, "Apa yang terjadi dengannya?"
Sahut Siangkoan Hong, "Tidak apa-apa. Aku hanya menotoknya lemas supaya ia tidak semakin parah lukanya. Dia terlalu terpengaruh oleh pedang Jit-kui-po-kiam dan mengamuk hebat se?hingga melupakan keadaan tubuhnya yang belum begitu sehat. Aku terpaksa melumpuhkannya dan tidak mengijinkannya ikut bertempur."
Lim Hong-pin nampak lega, namun ia sempat menggerutu juga, "Yang jadi ketua itu kau atau A-siang? Kenapa kau berkata dengan memakai istilah tidak mengijinkan ?"
Di tengah kepungan itu Siangkoan Hong masih sempat tertawa mendengar gurauan sahabatnya itu. Tanyanya, "Bagaimana keadaan di cong-toh (markas besar)?"
"Menguntungkan kita. Sisa anak buah yang berada di cong-toh ternyata tetap setia kepada Ketua yang syah. Tapi percakapannya kita lanjutkan nan?ti saja, yang penting adalah membawa seluruh anak buah kita ini keluar da?ri kepungan, bahkan keluar sekalian dari kota Chung-king ini," sahut Lim Hong-pin.
Dengan bergabungnya dua kelompok Hwe-liong-pang itu, maka bobollah ke?pungan prajurit-prajurit kerajaan itu, apalagi menghadapi amukan Siangkoan Hong dan Lim Hong-pin yang merupakan pewaris-pewaris tidak langsung dari kepandaian rahasia Bu-san-jit-kui yang pernah menggemparkan dunia persilatan itu. Tanpa perlawanan yang berarti, rombongan Hwe-liong-pang itu berhasil mencapai pintu gerbang barat kota Chung-king dan langsung menero?bos keluar kota. Pihak tentara keraja?an tidak mengejar lebih lanjut. Sela?in merasa gentar akan kegagahan orang-orang Hwe-liong-pang, pihak kerajaan juga menganggap Hwe-liong-pang bukan lawan penting yang harus diladeni ma?ti-matian, yang lebih penting adalah melawan laskar pemberontak Li Cu-seng yang semakin kuat dan semakin mendeka?ti wilayah itu.
Begitu telah tiba di luar tembok kota, rombongan Hwe-liong-pang itu se?gera berhenti. Lebih dulu mereka meng?obati Lu Siong, Ji Tiat dan Auyang Siau-pa yang mendapat luka dalam pertempuran tadi. Sedangkan Wi-siang telah dibebaskan dari totokannya oleh Siangkoan Hong. Setelah itu secara res?mi Siangkoan Hong memberi hormat ke?pada Tong Wi-siang sambil berkata, "Siau-te (adik) telah bertindak ku?rang hormat tadi kepada Pang-cu dan siap menerima hukuman."
Meskipun dalam hubungan seha?ri-harinya Tong Wi-siang dan Siang?koan Hong sangat akrab, bahkan saling memanggil namanya dengan begitu saja, tapi di hadapan sekian banyak anggauta Hwe-liong-pang, Siangkoan Hong tidak berani bersikap kurang hormat, sebab betapapun juga ia harus ikut men?jaga kewibawaan Ketuanya di hadapan segenap anggauta.
Namun Tong Wi-siang yang sudah bebas dari totokan itu ternyata tidak marah, sambil menepuk-nepuk pundak Siangkoan Hong ia berkata, "Jika ti?dak ada tindakanmu yang tegas tadi, ba?rangkali saat ini aku sudah menjadi seonggok daging cincang di tengah-te?ngah kota Chung-king. Kau tidak bersa?lah."
Setelah mengucapkan terima ka?sihnya, Siangkoan Hong bangkit dari berlututnya.
Kemudian Tong Wi-siang mengalih?kan pandangannya kepada Lim Hong-pin dan bertanya, "Kau kuberi tugas untuk menenteramkan dan menguasai keadaan di cong-toh, apakah sudah berhasil?"
Sahut Lim Hong-pin, "Keadaan Cong-toh telah berhasil kami kuasai dengan cepat. Semua anak buah menyata?kan tetap setia kepada Pang-cu dan me?nyatakan marah atas pengkhianatan Tan Goan-ciau. Ada juga beberapa orang anggauta yang nampaknya berpihak kepa?da Tan Goan-ciau, kini mereka sudah kumasukkan ke dalam kurungan dan menunggu keputusan Pang-cu lebih lanjut."
Wi-siang mengangguk-anggukkan kepalanya dengan perasaan puas, kemudi?an ia bertanya kepada Oh Yun-kim dan In Yong, "Kalian kutugaskan untuk mengamati daerah-daerah sepanjang jalan yang kulewati dalam perjalanan pu?langku ke Bu-san. Bagaimana laporan kalian?"
Oh Yun-kim melapor lebih dulu, "Hamba bersama dengan beberapa sauda?ra-saudara kita dari Pek-ki-tong (Ke?lompok Bendera Putih) telah menyeli?diki di kota I-pin dengan seksama. Ke?adaan di kota itu sudah berubah. Las?kar pemberontak Li Cu-seng telah meng?uasai daerah pedesaan, bahkan sudah berani merembes ke dalam kota pula. Dalam kota Yu-pin sendiri tidak ada tentara Cong-ceng sedikitpun, kabar?nya seluruh pasukan telah ditarik mun?dur ke perbatasan Ou-lam untuk memben?dung laskar Li Cu-seng di sana."
"Jadi kota I-pin telah dilepas?kan begitu saja oleh tentaranya Cong-ceng?" tanya Wi-siang.
"Benar, Pang-cu. Pihak Kerajaan Beng agaknya lebih suka memusatkan pasukannya dalam sebuah pasukan yang besar dan kuat, daripada terpencar pencar dan menjadi makanan empuk laskar pemberontak."
"Baiklah. Sekarang aku ingin men?dengar laporan dari lam-ki-tong-cu In Yong!"
In Yongpun segera memberi lapor?an, "Aku bersama-sama dengan beberapa anggauta Lam-ki-tong (Kelompok Bende?ra Biru) telah menyelidiki ke kota Jing-toh (ibukota wilayah Su-coan). Sekarang ini di dalam kota sudah ada duaratus ribu tentara kerajaan yang siap bertempur, pengaruh Li Cu-seng belum terasa di tempat ini."
"Kalau begitu kita akan melewati I-pin saja dan menjauhi Jing-toh," ka?ta Tong Wi-siang. "Meskipun Li Cu-seng bukan sahabat kita, namun dalam keada?an seperti ini lebih baik bertemu dengan Li Cu-seng daripada bertemu dengan anjing-anjingnya Cong-ceng itu."
Kemudian Tong Wi-siang berkata kepada Oh Yun-kim, "Oh Tong-cu, selu?ruh anggauta Pek-ki-tong kuperintah?kan untuk memanggil pulang semua ang?gauta kita yang masih terpencar di berbagai kota, semuanya harus sudah berkumpul di cong-toh dalam waktu se?puluh hari. Namun orang-orang kita yang bertindak sebagai mata-mata un?tuk mengamati keadaan tidak usah di?panggil pulang, biarkan mereka tetap di tempatnya masing-masing dengan tugasnya."
Oh Yun-kim cepat berlutut dan me?nyatakan siap, setelah itu lalu ber?pisah untuk mengerjakan tugas barunya itu.
Sedangkan Tong Wi-siang, Siangko?an Hong, Lim Hong-pin, Hong-goan Hwe-shio, Ling Thian-ki, Kwa Heng, Lu Siong, Ji Tiat, Auyang Siau-pa, Ma Hiong serta In Yong serta anak buah Hwe-liong-pang lainnya segera melan?jutkan perjalanan menuju ke bukit Bu-san.
Dulu, ketika Tong Wi-siang berem?pat menemukan tempat penyimpanan warisan-warisan Bu-san-jit-kui, mereka pernah punya rencana untuk menjadikan puncak Yu-kui-hong sebagai markas pu?sat Hwe-liong-pang. Namun karena tem?pat itu letaknya hampir tegak lurus dengan tanah, terlalu sukar dicapai dan tidak terlalu luas pula, maka akhirnya mereka bersepakat untuk menca?ri tempat lain sebagai markas pusat. Kini yang dijadikan pusat adalah pun?cak Tiau-im-hong.
Selama dalam perjalanan pulang itu, rombongan Tong Wi-siang bertemu dengan arus pengungsi yang tidak henti hentinya mengalir ke arah timur. Ti?dak jarang pula mereka bertemu dengan sepasukan kecil pasukan kerajaan, atau sekelompok kecil laskar pemberontak. Kedua pasukan yang bertengkar ini ternyata sama-sama tidak memikir?kan keselamatan orang banyak, bahkan membebani pundak rakyat kecil dengan kesusahan yang semakin menumpuk. Pa?sukan Kerajaan Beng sering merampas bahan pangan milik rakyat dengan ala?san "untuk membiayai tentara pemerin?tah yang sedang berjuang untuk melindungi rakyat dari gangguan pengacau". Sebaliknya pihak laskar pemberontak juga gemar memaksa laki-laki yang ber?tubuh masih kuat untuk bergabung de?ngan mereka, tentu saja disertai de?ngan bujukan-bujukan yang menarik dan semboyan-semboyan yang mendirikan bu?lu kuduk seperti "berjuang untuk kea?dilan" dan sebagainya. Tapi tidak ja?rang laskar pemberontak ini memaksa secara kekerasan kepada orang yang enggan memanggul senjata. Begitulah kocar-kacirnya di jaman Kaisar Cong teng itu. Rakyat kecil benar-benar tidak punya pelindung lagi.
Melihat penderitaan rakyat di se?panjang jalan itu, Hong-goan Hweshio jadi menarik napas panjang dan menge?luh sendiri, "Rakyat kecil memang di?takdirkan sebagai golongan yang se?lalu menjadi korban, tidak peduli siapapun yang bertikai. Hanya seorang Cong-ceng yang tidak becus memegang kendali kerajaan, namun ketidak-becusannya telah menimbulkan kesengsaraan bagi jutaan orang."
Tokoh-tokoh Hwe-liong-pang itu nampak muram pula wajahnya ketika me?lihat kesengsaraan rakyat itu. Selama dalam perjalanan, belasan kali Wi-siang memerintahkan orang-orangnya untuk membantu rombongan-rombongan pengungsi yang dalam kesusahan. Dan untuk tin?dakan itu, tidak jarang orang-orang Hwe-liong-pang itu harus bentrok senjata dengan para perampok yang me?manfaatkan kesempatan di air keruh, tidak jarang bertempur dengan tentara pemerintah Beng atau laskar Li Cu-seng!
-o0^DwKz-Hendra^0o- SETELAH beberapa hari menempuh perjalanan, akhirnya Tong Wi-siang dan rombongannya tiba di kaki pe?gunungan Bu-San. Pegunungan itu mempu?nyai duabelas buah puncak yang megah, sementara sungai Tiang-kang yang meng?alir berliku-liku di kaki pegunungan itu nampak berkelok-kelok bagaikan se?ekor ular raksasa yang berwarna coklat tua.
Markas Hwe-liong-pang didirikan di atas salah satu dari duabelas pun?cak terkenal itu, yaitu puncak Tiau-im-hong. Dari kaki gunung sudah ke?lihatan bangunan markas yang megah berderet-deret, gentengnya yang ber?warna merah menyolok nampak indah se?kali dengan latar belakangnya suasana pegunungan yang berwarna biru lembut. Sejak dari pinggang gunung sampai ke pintu gerbang markas itu dibuatlah se?buah tangga batu dari lempengan-lem?pengan batu hitam yang keras, jumlah anak tangganya mencapai puluhan ribu buah.
Kedatangan Sang Ketua dengan rom?bongannya itu segera disambut meriah oleh anak buahnya yang masih tinggal di dalam markas. Anak buah Hwe-liong-pang itu memang tidak ikut dalam per?temuan besar di Jian-hoa-kok beberapa bulan yang lalu, sebab mereka bertugas menjaga markas agar tidak kosong sama sekali. Namun kabar tentang pembangkangan Tan Goan-ciau juga sudah sam?pai ke telinga para anak buah yang menjaga markas itu.
Begitu tiba di markas besar, Tong Wi-siang langsung mengeluarkan perin?tah agar pada hari itu juga seluruh anak buah dikumpulkan di ruang perte?muan utama. Ia bermaksud akan menetap?kan garis perjuangan yang baru untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan, baik yang disebabkan oleh Tan Goan-ci?au dan pengikut-pengikutnya, maupun perkembangan yang disebabkan oleh suasana yang semakin memanas antara Kerajaan Beng dengan pemberontak Li Cu-seng yang semakin berani saja.
Setelah terjadinya pemisahan di?ri oleh Tan Goan-ciau, maka jumlah anggauta yang tadinya mencapai tiga ribu orang lebih itu, kini menyusut ha?nya tinggal sekitar enamratus orang. Rupanya Tan Goan-ciau berhasil mere?but hati sebagian besar anggauta kare?na pintarnya ia membuat janji-janji yang muluk-muluk. Andaikata pengikut-pengikut Tong Wi-siang yang masih ber?pencaran di berbagai kota itu nanti?nya berkumpul semua, jumlahnyapun ti?dak akan melebihi seribu orang. Dulu, ruangan pertemuan itu selalu penuh jika diadakan pertemuan seluruh ang?gauta itu, namun kini yang terisi separuhnya saja tidak ada.
Melihat keadaan itu, mau tidak mau Tong Wi-siang menjadi agak masgul juga. Tapi semangatnya tetap berkobar untuk membangun kembali perkumpulan?nya itu.
Meskipun jumlahnya sudah berkur?ang banyak sekali, namun sisa-sisa Hwe-liong-pang itu masih tetap ada da?lam tata-tertib yang tinggi. Semua anggauta duduk menurut kelompoknya ma?sing-masing, yaitu delapan kelompok masing-masing Pek-ki-tong (Kelompok Bendera Putih), Ui-ki-tong (Kelompok Bendera Kuning), Jing-ki-tong (Hijau), Lam-ki-tong (biru), Jai-ki-tong (Coklat), Ci-ki-tong (Ungu), Hek-ki-tong (Hitam) dan Ang-ki-tong. Setiap kelom?pok ditandai dengan warna ikat kepa?la dan ikat pinggang yang sesuai dengan warna bendera kelompoknya masing masing.
Di depan tiap kelompok, sebenar?nya disediakan tempat duduk untuk Tong cu (Kepala Kelompok) dan Hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok), namun banyak kursi-kursi itu yang tidak terisi. Ru?panya banyak kepala kelompok atau wa?kil-wakilnya yang telah gugur atau telah menjadi pengikut Tan Goan-ciau, sedang pengganti-pengganti mereka be?lum ditetapkan.
Di antara delapan kelompok itu, hanya Ui-ki-tong dan Lam-ki-tong saja yang masih lengkap mempunyai Tong-cu dan Hu-tong-cu. Di depan deretan orang orang Ui-ki-tong masih nampak Thi-jiau tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi) Kwa Heng dengan wakilnya, yaitu Siang-po-kay-san (Sepasang Kampak Pembelah Gunung) Ji Tiat. Sedangkan di bagian Lam-ki-tong masih nampak ada Hong-lui-siang-to (Sepasang Golok Angin dan Pe?tir) In Yong serta wakilnya yang berwatak berangasan, yaitu Siau-lo-cia (Locia kecil) Ma Hiong yang berwajah bulat kekanak-kanakan itu.
Kelompok yang masih mempunyai Tong-cu namun sudah kehilangan Hu-tong cunya, masing-masing adalah kelompok Pek-ki-tong yang dipimpin oleh Bu-ing-tui (Tendangan Tanpa Bayangan) Oh Yun-kim serta kelompok Ci-ki-tong yang dipimpin oleh Jian-kin-sin-kun (Pukulan Sakti Seribu Kati) Lu Siong. Wakil kepala kelompok dari Pek-ki-tong dan Ci-ki-tong ini sebenarnya masih hidup, namun mereka telah mengalami cacad berat ketika terlibat dalam pertempuran sengit melawan pengikut-pengikut Tan Goan-ciau di lembah Jian-hoa-kok.
Sedangkan kelompok yang masih me?miliki Hu-tong-cu namun sudah tidak berpemimpin lagi adalah kelompok Jing-ki-tong. Di dalam kelompok ini kursi Hu-tong-cu masih diduduki oleh Auyang Siau-pa, sedangkan kursi Tong-cu yang tadinya diduduki oleh kakak sepupu Au?yang Siau-pa, yaitu Auyang Siau-hui yang berjuluk Co-siang-hui-mo (Iblis Terbang di Padang Rumput), kini telah kosong. Seperti diketahui, Auyang Siau hui telah melakukan bunuh diri di Jian hoa-kok ketika pengkhianatannya ter?bongkar, ia bunuh diri karena takut kalau disuruh menelan Racun Penghan?cur Badan yang merupakan alat hukuman yang mengerikan itu.
Kini, menduduki kursi Hu-tong-cu-nya itu wajah Auyang Siau-pa nampak termangu-mangu, agaknya ia terkenang kakak sepupunya yang telah tiada itu, yang biasanya duduk di kursi sebelah?nya dalam pertemuan-pertemuan semacam itu. Mereka kakak beradik sepupu ada?lah sama-sama anak kelahiran Su-coan, melewati masa kanak-kanak bersama-sama dan merintis cita-cita bersama-sama pula, namun sayang sang kakak sepupu telah terbujuk oleh janji muluk Tan Goan-ciau sehingga melakukan tindakan yang amat bodoh. Kini jasad kakak se?pupunya itu terkubur di tengah Jian-hoa-kok di wilayah Kiang-se sana, yang jauhnya ribuan li dari Bu-san. Meng?ingat hal ini, terasa pedih juga per?asaan Auyang Siau-pa, namun dia menyadari bahwa akibat yang telah diterima oleh kakak sepupunya itu adalah cukup setimpal dengan perbuatannya sendiri.
Sementara itu kelompok-kelompok lain seperti Hek-ki-tong, Ang-ki-tong dan Jai-ki-tong sudah tidak berpemim?pin sama sekali, sebab pemimpin-pemim?pin mereka telah mengikuti Tan Goan-ciau, sedang pemimpin yang baru belum sempat dipilih.
Pertemuan itupun segera dimulai. Suasana hening mencekam semua mata kini menatap ke arah Hwe-liong Pang-cu Tong Wi-siang yang duduk dengan gagah?nya di atas kursi ketuanya, diapit oleh Siangkoan Hong, Lim Hong-pin, Ling Thian-ki serta Hong-goan Hweshio.
Terdengarlah Tong Wi-siang mem?buka pembicaraan, "Agaknya kalian se?dang heran kenapa hari ini aku muncul di depan kalian tanpa topeng tengko?rakku itu? Bahkan aku yakin bahwa se?bagian besar dari kalian tentu baru kali ini melihat wajah asliku, bukan?kah begitu?"
Kata pembukaan yang terdengar ra?mah dan hangat itu memang mencengang?kan para anggauta, terasa lain dari dulu. Dulu, suasana pertemuan semacam itu selalu diliputi oleh suasana men?cekam dan angker. Beberapa anggauta saling berbisik-bisik menyatakan keheranannya, tapi tidak ada seorangpun yang berani memotong ucapan sang Ketua.
Sementara itu Tong Wi-siang te?lah meneruskan, "Salah satu kesalahan terbesar yang pernah kubuat dalam hi?dupku adalah, ketika aku dulu begitu lebar membuka pintu keanggautaan Hwe-liong-pang kita ini, sehingga tidak sedikit kaum sampah persilatan berjiwa bejat yang berhasil menyusup ke da?lam Hwe-liong-pang tanpa melalui sa?ringan, sebagai akibat lebih lanjut adalah menjadi busuknya nama Hwe-liong-pang di kalangan persilatan. Ini benar benar merupakan kesalahanku yang paling besar. Namun kesalahan itu sudah aku perbaiki di Jian-hoa-kok beberapa bulan yang lalu, di mana aku mengada?kan pembersihan tubuh sendiri, Tan Go?an-ciau dan semua pengikutnya kupecat dari keanggautaan Pang, korban yang jatuh juga tidak sedikit sebab Tan Go?an-ciau dan pengikut-pengikutnya mela?kukan perlawanan gigih. Aku menang di Jian-hoa-kok, namun aku lengah di saat berikutnya, sebab Tan Goan-ciau yang melarikan diri itu telah muncul kem?bali dan menyergap aku sehingga luka, bahkan mengambil alih pimpinan Pang. Dengan tindakan pengkhianatannya itu, pang kita yang besar ini telah terbe?lah dua, sebagian besar mengikuti Tan Goan-ciau sedang kita hanya kebagian sebagian kecil. Aku sedih, tapi aku juga puas dan lega sebab mulai saat ini Pang kita ini akan benar-benar terdiri dari orang-orang yang mengab?di cita-cita kita secara sungguh-sung?guh. Jumlah kita memang telah susut dengan banyak, namun kita justru benar benar menjadi teman seperjuangan, ti?dak ada lagi sampah persilatan yang menyusup dan hanya ingin membonceng ketenaran Hwe-liong-pang untuk melaku?kan tindakan-tindakan sewenang-wenang. Mulai saat ini, kita bertekad akan hi?dup secara terang-terangan, seperti perguruan-perguruan kaum lurus lain?nya. Karena itulah kutanggalkan to?pengku, sebab tindakan sembunyi di balik topeng itu hanya pantas dilaku?kan oleh gerombolan-gerombolan sesat!"
Ucapan itu segera disambut dengan tepuk tangan oleh hampir seluruh ang?gauta. Memangnya tidak sedikit pula anggauta Hwe-liong-pang yang selama ini sudah memendam perasaan tidak se?tuju terhadap tindakan-tindakan Hwe-liong-pang yang gelap-gelapan mirip gerombolan sesat itu, maka kini gem?biralah mereka ketika mendengar kepu?tusan Sang Ketua itu.
Tong Wi-siang tersenyum dan meng?angkat tangannya, setelah keadaan menjadi tenang kembali, ia berkata la?gi, "Aku berbesar hati melihat sambut?an kalian. Sekarang aku umumkan se?cara resmi bahwa gelar-gelar yang me?nyeramkan seperti Thian-liong Hiang-cu dan sebagainya itu aku hapuskan dari Pang kita. Kedudukan Tong-cu tetap ada, didampingi oleh Hu-tong-cu, memim?pin kelompoknya masing-masing yang merupakan kelompok kerja dan bukannya kelompok yang bersaing satu sama lain untuk berbuat kekejaman seperti di masa-masa lalu."
Keputusan ini disambut pula.
"Tahap pertama yang akan kita laksanakan, dalam membenahi keadaan Pang kita sekarang, adalah mengisi beberapa jabatan Tong-cu dan Hu-tong-cu yang lowong dengan orang-orang yang bertanggung-jawab. Jabatan su-cia (utusan keluar) untuk sementara biar te?tap diduduki oleh dua orang saja, yaitu Hong-goan Hweshio dan Ling Thian ki, kelak kekosongan ini akan kita pi?kirkan lagi."
Kemudian berturut-turut Tong Wi-siang mengumumkan bahwa Auyang Siau-pa diangkat sebagai Tong-cu untuk Jing-ki tong. Sedang kedudukan wakilnya dise?rahkan kepada seorang anggauta Jing-ki tong yang selama ini cukup menonjol kepandaiannya dan juga kerjanya dan semangatnya, yaitu Yu Ling-hua, se?orang bekas murid Khong-tong-pay yang mahir memainkan sepasang perisai ta?jam Gun-goan-pai.
Ji Tiat dari jabatan ui-ki-hu-tong cu diangkat menjadi Tong-cu Ang-ki-tong untuk menggantikan Ko Ce-yang yang te?lah ikut berkhianat bersama Tan Goan-ciau. Ma Hiong dari kedudukan Lam-ki-hu-tong-cu diangkat menjadi Tong-cu Jai-ki-tong untuk menggantikan Hong long-cu Mo Hui. Untuk para Tong-cu ba?ru maupun yang lama yang belum me?miliki wakilnya, diperbolehkan me?milih wakilnya sendiri dengan pertim?bangan yang masak.
Tinggalah sekarang Hek-ki-tong yang belum punya Tong-cu maupun Hu-tong-cu, maka Tong Wi-siang lalu mempersilahkan para anggauta-anggauta kelompok itu sendiri untuk berunding dan memilih atau mengajukan calonnya sendiri. Kejadian macam itu baru ter?jadi kali ini di kalangan Hwe-liong pang, di mana para anggauta diberi kesempatan mengambil keputusan sen?diri, berbeda dengan masa lalu di ma?na setiap keputusan selalu ditetapkan dari pimpinan tanpa menghiraukan per?asaan anak buahnya. Dari hasil kesepa?katan antara orang-orang Hek-ki-tong sendiri, akhirnya terpilihlah dua orang calon yang dianggap cukup pantas untuk menduduki jabatan Hek-ki-tong-cu atau wakilnya. Kedua orang itu masing-masing adalah anggauta Hek-ki tong yang bernama Kwa Teng-siong yang dijuluki Ya-hui-miao (Si Kucing Terbang di Malam Hari) serta Cu Keng wan yang berjuluk Thi-ciang (Si Tangan Besi). Cu Keng-wan sebenarnya bermaksud mengalah saja dan membiarkan rekannya itu menerima jabatan Tong cu tanpa saingan, namun karena ia ti?dak ingin mengecewakan pendukung-pendukungnya maka diapun menyatakan ber?sedia untuk dicalonkan.
Kedua calon itu disetujui pula oleh Tong Wi-siang, karena kedua or?ang itu dikenal berkelakuan cukup ber?sih dan tidak punya hubungan dengan kelompoknya Tan Goan-ciau. Dalam hal kepandaian silatpun mereka cukup tang?guh, meskipun belum dapat disejajarkan dengan para Tong-cu yang lama se?perti Kwa Heng, Lu Siong, in Yong atau Oh Yun-kim. Karena kedua calon itu sama-sama punya pendukung kuat, maka akhirnya Tong Wi-siang memutus?kan bahwa keduanya harus melakukan pertandingan ilmu silat untuk menen?tukan siapa yang bakal menjadi Tong-cu dan siapa yang akan menjadi Hu-tong-cu.
Kedua orang calon itu segera ma?ju ke depan. Setelah memberi hormat kepada Tong Wi-siang dan tokoh-tokoh tinggi Hwe-liong-pang lainnya, keduanyapun siap bertanding dengan tangan kosong.
"Saudara Kwa, harap berbelas ka?sihan kepadaku," demikian Cu Keng-wan berbasa-basi. Dalam hatinya dia sudah memutuskan akan mengalah saja, namun dia harus berusaha untuk menyembunyikan niatnya itu agar calon lawannya tidak merasa tersinggung.
Ya-hui-miao Kwa Teng-siong juga tidak langsung menyerang, namun berka?ta sambil tertawa, "Kau berolok-olok, saudara Cu, akulah yang sebenarnya ha?rus kau kasihani agar tidak terjung?kal di bawah telapak tangan besimu."
Sesaat kemudian kedua orang itu?pun telah mulai saling gebrak dan mem?pertunjukkan kepandaian andalannya ma?sing-masing. Karena pertandingan itu ditonton oleh para tokoh tertinggi Hwe-liong-pang, maka kedua calon Tong-cu itu tidak berani bersungguh-sung?guh. Bahkan Cu Keng-wan yang berniat mengalah itupun pada mulanya harus menunjukkan kesungguhan hatinya.
Kwa Teng-siong, sesuai dengan ju?lukannya sebagai Kucing Terbang Malam, ternyata memang mempunyai kegesitan dan kelincahan yang luar biasa. Lang?kah-langkahnya enteng dan lemas, tu?buhnya lemas, sedang gerakan-gerakannya dimainkan dengan mengutamakan ke?cepatan serta kelenturan badan, namun bukan berarti tidak ada kekuatannya. Sedang lawannya adalah seorang pela?tih gwa-kang (Tenaga Luar) yang cukup hebat, dengan ilmu Thi-sah-ciang (Ta?ngan Pasir Besi) yang cukup matang. Meskipun ia tidak selincah lawannya, namun desir pukulan dan tendangannya terdengar lebih kuat dan mantap dari lawannya.
Melihat permainan telapak tangan dari Cu Keng-wan itu, diam-diam Auyang Siau-pa juga teringat kepada dua orang anggauta Jing-ki-tong yang punya ilmu serupa itu, meskipun tingkatannya ti?dak setinggi Cu Keng-wan. Kedua orang anggauta itu masing-masing adalah Cong Hun dan Cong Yo, dua bersaudara dari Shoa-tang, yang akhirnya harus mengakhiri hidupnya di tangan macan betina Siau-lim-pay, yaitu Tong Wi-lian.
Terkenang akan kedua orang itu, diam-diam Auyang Siau-pa membatin, "Kedua orang saudara Cong itu sebenar?nya tidak terlalu jahat, sayang pendi?rian mereka terlalu lemah sehingga mu?dah dipengaruhi oleh orang lain untuk melakukan kejahatan. Gara-gara ikut menyerbu Tiong-gi Piau-hang serta men?culik puteri Cian Sin-wi, kedua sauda?ra itu harus mampus di tangan Tong Wi-lian yang ternyata adalah adik perem?puan dari Pang-cu sendiri."
Dalam pada itu, pertarungan anta?ra Kwa Teng-siong dan Cu Keng-wan te?lah berlangsung puluhan jurus tanpa kelihatan siapa yang akan menang dan siapa yang akan kalah. Kedua belah pi?hak telah bermandikan keringat, namun semangat tempur mereka tetap menyala nyala hebat. Tetapi pada jurus yang ke sekian puluh, Cu Keng-wan mulai me?laksanakan rencananya. Sengaja ia mem?buat kesalahan langkah sehingga kaki?nya tersapu oleh tendangan rendah Kwa Teng-siong sehingga ia roboh. Setelah berhasil merobohkan lawannya, ternyata Kwa Teng-siong tidak meneruskan se?rangannya, melainkan membangunkan Cu Keng-wan sambil berkata, "Maafkan kelancanganku, saudara Cu."
Namun Cu Keng-wan tidak nampak marah sedikitpun, bahkan ia langsung memberi selamat kepada Kwa Teng-siong dengan tulus, "Terimalah salamku, Tong cu!"
Dengan demikian kini Hek-ki-tong telah memiliki Tong-cu dan Hu-tong-cu atas pilihan anggauta-anggauta mereka sendiri, maka tepuk tangan riuhpun se?gera berkumandang di ruangan itu. Sua?sana segera berubah menjadi hangat dan penuh semangat persahabatan.
Dalam pandangan Tong Wi-siang serta tokoh-tokoh tinggi Hwe-liong-pang lainnya, sudah tentu "kekalahan" Cu Keng-wan yang disengaja itu tidak da?pat mengelabuhi mata mereka, namun to?koh-tokoh Hwe-liong-pang itu agaknya tidak menunjukkan keberatannya atas sikap itu. Bahkan hal itu menunjukkan bahwa hubungan akrab antar anggauta sudah berkembang lebih baik dengan bersedia saling mengalah, tidak ada lagi hubungan saling mencurigai dan saling menjegal seperti di masa mere?ka masih bercampur-aduk dengan peng?ikut-pengikut Tan Goan-ciau itu.
Dengan demikian acara pertama da?ri pertemuan itupun sudah disele?saikan dengan baik dan lancar.
Kemudian Tong Wi-siang mulai mem?bicarakan bagaimana sikap yang sebaik?nya dari Hwe-liong-pang dalam mengha?dapi perkembangan keadaan saat itu, un?tuk menentukan bagaimana sikap dan tindakan Hwe-liong-pang dalam mengha?dapi pengikut-pengikut Tan Goan-ciau yang masih meraja-lela di dunia persi?latan dan menimbulkan kesalah-pahaman kaum pendekar terhadap Hwe-liong-pang.
Selain itu juga perlu memikirkan sikap Hwe-liong-pang dalam menghadapi masalah pertentangan antara Pemerin?tah Beng dengan pemberontak Li Cu-seng yang semakin tajam itu.
Bicara tentang Tan Goan-ciau dan pengikut-pengikutnya, maka Siangkoan Hong yang berwatak keras itu meng?ajukan usulnya, "Selama pengkhianat dan orang-orangnya itu masih hidup dan berkeliaran dengan bebas untuk me?nyebar fitnah dan kesalah-pahaman an?tara kita dengan kaum pendekar, maka itu ibaratnya penyakit yang belum ter?berantas akarnya. Selain itu juga akan menyulitkan Pang kita dalam hidup secara tenang di dunia persilatan. Me?nurut pendapatku, biarlah aku dan Hong pin masing-masing memimpin sebagian anak buah kita untuk mencari Tan Goan-ciau serta pengikut-pengikutnya, dan membasmi mereka sama sekali."
Namun usul Lim Hong-pin tidak se?keras rekannya itu, "Aku pikir, kita jangan terlalu dipengaruhi oleh lu?apan perasaan, sehingga kehilangan pertimbangan dari beberapa segi. Kita harus menyadari bahwa kekuatan kita saat ini sedang lemah-lemahnya, maka sikap yang sebaiknya bagi kita hanya?lah menunggu dan menahan diri. Bukan?nya kita takut, namun adalah sangat bijaksana jika kita hendak membentur?kan telur dengan batu. Lebih baik ki?ta menunggu perkembangan sambil mem?perkuat diri sendiri, sehingga kita akan bangkit lebih cemerlang dari masa lalu."
Antara Siangkoan Hong yang berwa?tak keras dan berangasan, dengan Lim Hong-pin yang selalu berpikir dengan kepala dingin dan cermat, memang se?ring terjadi perselisihan pendapat. Untunglah bahwa hal itu tidak mengu?rangi keakraban hubungan persahabatan di antara mereka, sebab agaknya masing masing sudah saling memahami watak temannya itu.
Begitu pula kali ini Siangkoan Hong merasa bahwa pendapat rekannya itu agaknya lebih dapat diterima, ma?ka katanya dengan terus terang, "Baik?lah. Pertimbanganku memang tidak se?cermat kau, Hong-pin. Aku menarik usulku tadi."
Pembicaraan itu berlangsung da?lam suasana yang blak-blakan, namun tertib. Kali ini pembicaraan bukan ha?nya dipimpin oleh tokoh-tokoh terting?gi Hwe-liong-pang, namun sampai kepa?da anggauta-anggauta biasapun diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya. Kadang-kadang tidak terhindar adu pendapat yang sengit. Namun akhir?nya Tong Wi-siang sebagai ketua telah menjatuhkan keputusan terakhir, bahwa Hwe-liong-pang untuk sementara waktu akan bersikap menunggu saja, karena merasa belum cukup punya kekuatan un?tuk menghadapi kelompok Tan Goan-ciau yang mencakup sebagian besar anggauta Hwe-liong-pang yang lama, masih ditambah lagi dengan tokoh-tokoh sesat yang menggabungkan diri baru-baru ini.
Waktu diadakan pembicaraan itu, Tong Wi-siang dan teman-temannya be?lum mendengar berita tentang hancurnya sebagian kekuatan Tan Goan-ciau yang sia-sia di Siong-san, dalam usaha me?wujudkan nafsu Tan Goan-ciau untuk menguasai dunia persilatan itu. Jarak antara Gunung Siong-san di wilayah Ho-lam dengan Gunung Bu-san di wilayah Se-coan memang terlalu jauh, mencapai laksaan li, sehingga berita tentang kekalahan Tan Goan-ciau itu belum ter?dengar oleh Tong Wi-siang dan kawan kawannya. Andaikata mereka telah mendengarnya, mereka tentu akan mengam?bil sikap lain, barangkali akan menye?bar anak buahnya untuk menumpas sisa-sisa pengikut Tan Goan-ciau sama se?kali.
Menghadapi keadaan yang semakin panas akibat pertentangan kerajaan Beng dengan pihak Li Cu-seng, muncul juga usul agar Hwe-liong-pang lebih baik bergabung saja dengan pemberontak Li Cu-seng. Namun Tong Wi-siang sudah melihat sendiri kelakuan kelompok-ke?lompok anak buah Li Cu-seng yang ku?rang disukainya, bahkan dalam ang?gapan Wi-siang, anak buah Li Cu-seng sama buruknya dengan kelakuan para prajurit Kerajaan Beng. Karena itu usul itu ditolak, Hwe-liong-pang memu?tuskan untuk berdiri di luar garis pertikaian itu, dan hanya akan ber?tindak menurut keadaan.
Sebelum pertemuan itu dibubarkan, Wi-siang juga telah menjatuhkan pe?rintah kepada seluruh anak buahnya, agar latihan ilmu silat ditingkatkan secara keras, baik secara kelompok per kelompok maupun secara perorangan. Perintah itu berlaku untuk seluruh anggauta Hwe-liong-pang, dari Ketuanya sendiri sampai anggauta yang pa?ling rendah.
Tong Wi-siang sendiri, begitu pertemuan itu selesai segera masuk ke ruang dalam, tempat tingggalnya yang indah seperti istana itu, ia akan mu?lai bersemedi untuk menyembuhkan luka-luka dalamnya sama sekali. Di saat se?perti itu, ia membutuhkan waktu kira-?kira sepuluh hari untuk menyembuhkan diri, tentu saja tidak mampu menjalan?kan tugas sebagai Ketua. Untuk sementara waktu, tugas ketua akan dija?lankan oleh Siangkoan Hong, Lim Hong-pin dan dibantu dua orang Su-cia.
Perubahan menyeluruh yang dia?lami oleh Hwe-liong-pang itu, ternya?ta bukan hanya diucapkan namun juga dilaksanakan secara nyata. Mulai hari itu, setiap pagi hari nampaklah para anggauta berbaris menurut kelompoknya masing-masing, lalu berlari-lari naik turun menyusuri lereng-lereng pe?gunungan Bu-san yang terjal itu, tuju?annya adalah untuk meningkatkan keta?hanan jasmani mereka. Kemudian di?lanjutkan dengan latihan ilmu silat sampai siang hari, di bawah pimpinan kepala kelompoknya masing-masing. Kini setiap anggauta sudah memiliki semangat baru, semuanya bertekad untuk membangun kejayaan Pang mereka yang per?nah punya nama ternoda itu. Tidak seorangpun yang mengeluh atau mengutarakan keberatannya dengan latihan-latihan yang melelahkan itu, semuanya sadar bahwa kejayaan Hwe-liong-pang tergantung dari mereka sendiri, dan bukan kepada orang lain.
Meskipun para Tong-cu dan Hu-tong cu bertindak sebagai pelatih, namun merekapun tidak melupakan untuk mela?tih ilmunya masing-masing pada sore harinya. Di bagian belakang puncak Tiau-im-hong tempat berdirinya markas Hwe-liong-pang, memang terdapat cukup banyak tempat-tempat yang indah dan sepi untuk melatih diri, ke sanalah para Tong-cu dan Hu-tong-cu sering pergi untuk meningkatkan ilmunya. Kadang-kadang mereka berlatih sendiri sendiri, tapi kadang-kadang berlatih berpasangan sambil saling menunjukkan kelemahan pasangannya, sehingga ma?sing-masing dapat memperbaiki diri.
Dalam beberapa hari, para ang?gauta Hwe-liong-pang yang masih ter?pencar di berbagai kota itupun sudah berkumpul di markas semuanya, mereka langsung bergabung dengan kelompoknya masing-masing dan melibatkan diri da?lam kegiatan latihan itu. Orang-orang yang ditugaskan untuk mengawasi keada?an, ternyata telah datang pula dengan laporan-laporan yang tidak menggembirakan tentang keadaan dunia luar.
Pada suatu hari, seekor burung merpati pembawa surat telah tiba di cong-toh dengan sebuah bumbung kecil terikat di kakinya. Itulah berita yang dikirimkan dari salah seorang pengintai Hwe-liong-pang. Ketika Si?angkoan Hong menerima dan membaca su?rat itu, ternyata pengirimnya adalah pengintai di kota Lam-tiong. Dan sete?lah membaca surat itu, nampaklah wa?jahnya berubah jadi merah membara, gerahamnyapun gemeretak menahan ama?rah. Teriaknya sambil menggebrak meja, "Gila! Ini benar-benar gila!"
Mendengar teriakan Siangkoan Hong itu, Lim Hong-pin cepat mendekatinya sambil bertanya, "Ada berita apa, A-hong?"
Dengan suara masih agak gemetar karena menahan amarah, Siangkoan Hong menjawab, "Bajingan Goan-ciau itu be?nar-benar manusia licik yang sangat berbahaya, ular berkepala dua, peng?khianat paling busuk dalam sejarah! Mata-mata kita di Lam-tiong telah melaporkan berita yang mengejutkan. Rupanya setelah dia berhasil merebut se?bagian besar anak buah dengan mengkhi?anati A-siang, dia langsung membawa seluruh begundalnya untuk menyerbu Siong-san, di mana saat itu kaum pen?dekar dari berbagai perguruan sedang berkumpul. Namun si ular busuk itu dikalahkan olen para pendekar, dan sekarang tahukah kau apa yang telah dikerjakannya?"
Lim Hong-pin diam saja dan mem?biarkan rekannya itu mengeluarkan caci maki sepuas hati supaya lega hatinya. Ia belum tahu apa kelanjutan omongan Siangkoan Hong, namun pasti bukan be?rita baik kalau menilik Siangkoan Hong sampai begitu marahnya setelah mendengar laporan itu.
Sementara itu Siangkoan Hong te?lah berulangkali menyedot napas dalam-dalam, seakan-akan ia ingin menyedot seluruh udara sejuk pegunungan Bu-san itu untuk mendinginkan gejolak kema?rahannya. Katanya lebih lanjut dengan suara lebih tenang, "Ular busuk itu dikalahkan para pendekar lalu mengundurkan diri bersama seluruh begundal?nya, namun dalam pengunduran dirinya itu dia sengaja meninggalkan jejak ke arah bukit Bu-san ini, ke arah tempat kita ini! Kini para pendekar yang se?dang menyerbu kemari di bawah pimpin?an si keledai gundul Hong-tay itu. Je?laslah bahwa si ular busuk Goan-ciau itu tahu kalau kita sudah menguasai tempat ini, lalu dia akan berusaha mengadu domba antara kita dengan kaum pendekar itu, agar dia sendiri yang dapat memungut hasilnya. Si ular bu?suk itu sendiri sekarang telah berga?bung dengan kawanan kuku garudanya Cong-ceng secara tidak tahu malu!"
Berita itu memang cukup mengejut?kan dan tidak bisa ditanggapi dengan santai saja. Lim Hong-pin yang biasa?nya bersikap tenang itupun, kini nam?pak agak terguncang ketenangannya. Ia menggeram sambil meremas tangannya, "Tan Goan-ciau telah menjual anak bu?ahnya kepada anjing-anjingnya Cong-ceng. Kini ia tinggal menunggu bentur?an antara kita dengan kaum pendekar, pihak manapun yang akan keluar se?bagai pemenang, tentu keadaannya sudah hampir sama hancurnya dengan yang ka?lah, setelah itu barulah Tan Goan-ciau akan menghancurkan kita sama sekali tanpa banyak kesulitan, apalagi dengan bantuan tentara pemerintah."
"Begitulah. Aku sama sekali tidak gentar jika harus berhadapan dengan kawanan keledai gundul Siau-lim-pay atau hidung-hidung kerbau Bu-tong-pay itu, namun aku benar-benar tidak rela jika Tan Goan-ciaulah yang bakal meme?tik keuntungan dari kejadian ini!"
Dalam keadaan seperti itu, nyata?lah bahwa Lim Hong-pin tetap dapat bersikap lebih tenang. Katanya, "Kita tidak boleh terseret oleh kemarahan dan mengaburkan pikiran jernih ini, kita harus mencari akal supaya jangan terjebak ke dalam akal licik Tan Goan-ciau itu. Kita akan merundingkannya dengan A-siang. Entah berapa hari lagi A-siang akan menyelesaikan semedinya?"
Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebelum Siangkoan Hong menyahut, tiba-tiba dalam ruangan itu telah ber?gema sebuah suara berat dan mantap, "Hari inipun aku sudah menyelesaikan semediku. Ada urusan apa sehingga ka?lian berdua begitu ribut?"
Lalu Tong Wi-siangpun melangkah masuk ke dalam ruangan itu. Meskipun ia nampak lebih kurus, namun wajahnya sudah tidak pucat lagi dan sinar matanyapun tajam berkilauan seperti dulu lagi. Jelas bahwa ia telah menyembuh?kan luka dalamnya. Melihat hal ini di?am-diam Lim Hong-pin dan Siangkoan Hong merasa lega.
"Katamu kau akan bersemedi sepu?luh hari, sekarang kan baru delapan hari?" tanya Siangkoan Hong.
"Perhitungan itu memang agak me?leset. Aku mengira lukaku begitu parah sehingga memutuskan untuk bersemedi sepuluh hari, tapi ternyata lukaku tidak separah dugaanku, terbukti bahwa aku telah berhasil menyembuhkannya sa?ma sekali dalam waktu hanya delapan hari."
Setelah berkata begitu, Wi-siang melepaskan sebuah pukulan ke tengah udara. Terciptalah deru angin hebat akibat pukulan itu, menandakan bahwa keadaan Ketua Hwe-liong-pang itu sudah pulih seperti semula.
Jika sedang ada di hadapan anak buah Hwe-liong-pang, ketiga orang itu saling memanggil dengan sebutan resmi yang berlaku. Namun jika hanya ada me?reka bertiga, maka mereka lebih suka saling memanggil dengan nama pang?gilan sehari-hari selama mereka masih sebagai kawanan berandal di An-yang-shia. Mereka merasa lebih akrab satu sama lain dengan panggilan lama itu.
"Kebetulan sekali kau sudah me?nyelesaikan semedimu, A-siang," kata Siangkoan Hong sambil menyodorkan su?rat yang dibawa oleh burung merpati tadi. "Ada berita penting dari mata-mata kita di Lam-tong, dan membu?tuhkan keputusanmu untuk menentukan sikap seluruh Hwe-liong-pang kita."
Dengan alis yang berkerut, Wi-siang membaca surat itu, kemudian bergumam perlahan, "Benar-benar seo?rang manusia yang berbahaya, licik dan tidak tahu malu, ia sanggup menggunakan cara apa saja untuk mencapai maksudnya. A-pin, bagaimana pikiranmu?"
Dalam hal yang memerlukan per?timbangan, Wi-siang memang lebih meng?andalkan Lim Hong-pin daripada Siang?koan Hong. Bukan karena Siangkoan Hong kurang pintar, melainkan karena sifat pemarah dan berangasan dari Siangkoan Hong itu kurang menguntung?kan jika harus memberi pertimbangan yang membutuhkan kecermatan. Sedang Lim Hong-pin lebih berkepala dingin.
Sahut Lim Hong-pin dengan berhati hati, "Menurut pendapatku, kaum pende?kar di bawah pimpinan Hong-tay Hwe-shio itu tentu bukan manusia-manusia tidak berotak sama sekali yang tidak bisa diajak bicara baik-baik. Aku ya?kin bahwa mereka akan bisa diberi pen?jelasan tentang pergolakan yang terja?di dalam Pang kita. Sebaiknya kita mengirim seorang utusan kepada Hong-tay Hweshio untuk memberi penjelasan bahwa bukan kitalah yang telah menyer?bu Siong-san itu, melainkan Tan Goan-ciau sebagai Ketua yang tidak syah, kita berharap agar Hong-tay Hweshio dapat menerima penjelasan ini dan me?narik mundur barisan pendekarnya."
Hitler Bangkit Lagi 2 Di Sydney Cintaku Berlabuh Sydney Here I Come Karya Mira W Jejak Di Balik Kabut 6
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama