Ceritasilat Novel Online

Perserikatan Naga Api 5

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 5


Sambil bertempur, imam itu mem?perhitungkan semua untung ruginya jika pertempuran itu diteruskan. Imam itu bukan lain adalah Te-yong Tojin, guru silat di rumah Cia To-bun yang ikut ambil bagian dalam membunuh ayah Tong Wi-hong itu. Setelah berpikir bolak balik akhirnya Te-yong Tojin memutus?kan untuk menunda pembunuhan atas di?ri Wi-hong. Kehadiran Song Kim dan Cian Ping dianggapnya kurang mengun?tungkan, meskipun kepandaian mereka tidak menakutkan, tapi nama besar Ci?an Sin-wilah yang membuat imam itu gentar. Imam itu lebih suka menunggu kesempatan lain di mana Wi-hong sen?dirian saja.
Kemudian terdengar imam itu ter?tawa dingin, katanya, "Hari ini aku sedang banyak urusan dan tidak punya waktu lagi untuk bermain-main dengan tikus-tikus kecil macam kalian. Biar?lah untuk sementara kutangguhkan semua perhitunganku atas kekurang-ajaran kalian."
Begitu habis kalimatnya, ia se?gera melancarkan gempuran hebat bertu?rut-turut ke arah tiga sudut kepungan, membuat Tong Wi-hong kawan-kawannya dipaksa untuk mundur. Dan begitu ke?pungan terasa longgar, bagaikan see?kor burung rajawali, imam itu melompat keluar dari kepungan.
"Bangsat,, mau lari ke mana kau?" bentak Song Kim yang masih merasa penasaran itu sambil memungut tombaknya di tanah.
Namun gin-kang (Ilmu Meringankan Tubuh) dari ketiga anak muda itu ter?paut jauh dengan Te-yong Tojin. Hanya dengan beberapa kali luncuran tubuh yang ringan, Te-yong Tojin telah meng?hilang ke dalam hutan cemara.
Ketiga orang muda itu berdiri termangu-mangu dengan debaran jantung mereka yang semakin keras. Mereka nge?ri kalau mengingat bahwa mereka baru saja bertempur dengan lawan yang be?gitu lihai, bahkan nampaknya imam ber?jubah hijau itu berkepandaian sejajar dengan Cian Sin-wi sendiri. Yang mera?sa paling terancam adalah Wi-hong, se?bab ia tahu bahwa Tojin itu tentu seorang pembunuh bayaran yang disuruh oleh Cia To-bun.
"Sungguh berbahaya, Tojin itu jelas mengincar diriku," desuh Wi-hong perlahan. "Untuk selanjutnya aku harus berhati-hati."
Cian Ping menggantungkan kembali sepasang hau-thau-kaunya ke pelana ku?da sambil menggerutu, "Kukira semua ini adalah gara-gara Song Suheng te?lah bertindak sembrono hanya dengan menuruti kemarahan saja. Belum lagi kita tahu apa maksud Tojin itu yang sebenarnya, suheng telah ingin main pukul seenaknya saja. Tentu saja To?jin itu tidak sudi kita perlakukan ka?sar, dan akibatnya, hampir saja nyawa kita bertiga tidak lolos dari lubang jarum."
Song Kim menjadi penasaran, mak?sudnya tadi adalah ingin pamer kegagah?an dan keberanian, tak disangka ia ma?lah kena dampratan gadis itu. Katanya, "Kenapa kau malah menyalahkan aku, Su-moay? imam tadi nampak begitu liar dan begitu kurang ajar ketika memandang tubuhmu. Dilihat dari sikapnya saja sudah jelas bahwa ia bermaksud busuk. Apakah aku harus berpeluk ta?ngan dan berpura-pura tidak tahu?"
Sambil mengucapkan kata-kata itu Song Kim beberapa kali melirik Tong Wi Hong, jelas kata-katanya yang tajam itu bermaksud untuk menyindir Wi-hong. Wi-hongpun mengerti arah tujuan kata kata itu, meskipun hatinya menjadi pa?nas tapi ditahannya sekuat tenaga su?paya ia tidak bentrok dengan murid Ci?an Sin-wi itu.
Tiba-tiba Song Kim berseru kaget, "Sumoay, kenapa kau?!"
Dilihatnya Cian Ping yang sedang berusaha melompat ke atas kuda itu ti?ba-tiba terhuyung-huyung sambil meme?gangi kepalanya, kemudian roboh dengan muka pucat kebiru-biruan dan mata ter?pejam rapat.
Wi-hong juga terkejut melihat ke?adaan gadis itu, ia segera melang?kahkan kakinya hendak mendekati, namun baru berjalan dua langkah iapun telah merasa kepalanya pusing dan perutnya mual, dan jatuh roboh pula.
Dalam pertempuran melawan Te-yong Tojin tadi, ketiga anak muda yang ku?rang pengalaman itu tanpa sadar telah menghirup hawa beracun yang tersebar dari telapak tangan imam itu. Seperti telah diketahui, Te-yong Tojin ini me?latih pukulan beracun Tok-jan-jiu (Pu?kulan Ulat Berbisa) yang jahat itu. Cian Ping belum mempunyai dasar tena?ga dalam yang kuat, maka dialah yang roboh lebih dulu oleh pengaruh hawa beracun itu. Sedangkan Wi-hong sebenarnya memiliki daya tahan yang terpupuk kuat, tapi luka-lukanya belum sembuh betul dan daya tahannyapun belum pu?lih seperti semula, maka iapun ikut-ikutan roboh.
Yang paling aman adalah Song Kim. Selain punya daya tahan yang kuat, dia juga memakai senjata panjang dalam pertempuran tadi, sehingga ia tidak terlalu terpengaruh oleh udara beracun lawannya. Meskipun ia juga me?rasa agak pusing, tapi tidak sampai membuatnya roboh.
Melihat Cian Ping dan Tong Wi-hong roboh berturut-turut, Song Kim jadi kebingungan harus berbuat bagai?mana. Setelah agak tenang, cepat ia menolong Sumoaynya lebih dulu. Dibaringkan tubuh Cian Ping di bawah sebu?ah pohon yang rindang, lalu secara paksa ia menjejalkan obat pulung pena?han racun buatan Tiong-gi Piau-hang sendiri.
Setelah itu barulah Song Kim ingat kepada Wi-hong. Dilihatnya pemuda yang menyainginya dalam merebut cinta Cian Ping itu juga pingsan ti?dak jauh dari situ. Mendadak suatu pi?kiran jahat menyelinap ke dalam benak Song Kim, "Bocah she Tong ini meru?pakan perintang dalam usahaku untuk mempersunting su-moay, bahkan nam?paknya sumoay kini lebih suka berdekatan dengan bocah gila ini daripada dengan aku. Saat ini tidak seorang-pun yang menyaksikan perbuatanku, le?bih baik kuhabisi saja nyawa anak ini, nanti jika Suhu atau Sumoay menanya?kan akan kujawab bahwa ia mati kena pukulan beracun imam jubah hijau itu."
Muka Song Kim mendadak menyeringai kejam dan beringas, bagaikan se?sosok hantu yang mencium adanya bau mayat. Ia melangkah mendekati tubuh Wi-hong untuk menjalankan niatnya. Na?mun sebagai seorang yang cukup licik dan berhati-hati, dia tidak bertindak ceroboh dan tergesa-gesa, dia harus mengetahui apakah Wi-hong benar-benar pingsan atau cuma agak mabuk. Lebih dulu ia mengguncang-guncangkan pundak Tong Wi-hong sambil memanggil-manggil nama pemuda itu.
Setelah benar-benar yakin bahwa pemuda she Tong itu benar-benar dalam keadaan tak sadarkan diri, maka Song Kim tidak membuang waktu lagi. Jari telunjuk dan jari tengah segera dirangkapkan sekuat lembing besi, tenaga dikerahkan, lalu ditotokkannya ke arah jalan darah Ki-hay-hiat, jalan da?rah Kematian di dada Wi-hong.
Sekonyong-konyong terdengar sua?ra gemerasak di belakangnya. Orang yang hendak berbuat kejahatan biasanya selalu dibayangi ketakutan atau kekuatiran jangan-jangan ada orang yang me?nyaksikan perbuatannya, dan Song Kim tidak terkecuali. Suara gemeresak per?lahan itu telah cukup membuyarkan per?hatiannya dan pengerahan tenaganyapun terganggu, dengan terkejut ia memba?talkan totokannya dan cepat membalik badannya ke belakang untuk menghadapi segala kemungkinan. Namun kemudian Song Kim mengumpat dengan kasarnya, karena yang bersuara tadi ternyata cu?ma dua ekor kelinci hutan yang saling berkejaran.
Song Kim menghembuskan napas panjang-panjang dan mencoba menenteramkan debaran jantungnya. Sekali lagi ia mengerahkan tenaga kedua jarinya dan siap menyelesaikan pekerjaannya, meng?irim nyawa Tong Wi-hong ke akherat.
"Siapapun yang merintangi jalan?ku untuk hidup berbahagiaan dengan Su-moay harus kusingkirkan," tekadnya di dalam hati.
"Suheng, kau sedang apa?" tiba-tiba terdengar suara Cian Ping perla?han-lahan di belakangnya. Agaknya se?telah menelan obat buatan ayahnya, Ci?an Ping mulai mendapatkan kembali ke?sadarannya, meskipun perasaan pusing dan mual masih mengganggunya.
Suara Cian Ping yang lirih itu ibarat bunyi halilintar yang meledak di pinggir telinga Song Kim. Dengan agak gugup dia menyahut sekenanya saja dan tanpa menolehkan muka, "A... aku... sedang berusaha menolong saudara Wi-hong."
"Apakah keadaannya membahayakan?" tanya Cian Ping dengan penuh perhatian membuat rasa cemburu Song Kim jadi ber?kobar kembali.
"Sumoay, agaknya besar sekali per?hatianmu kepadanya, ya?" dengus Song Kim dengan dingin. "Lukanya tidak be?rat sebab ia tidak terkena langsung pukulan imam tadi, agaknya ia cuma menghirup hawa pukulannya."
Legalah hati gadis itu setelah mendengar penjelasan kakak seperguruannya itu, sikap Suhengnya yang dingin itu tidak digubrisnya, bahkan katanya lagi tanpa prasangka, "Syukurlah kalau begitu. Suheng, jika kau sudah selesai menolongnya, cepat ambil kuda-kuda ki?ta. Sebaiknya kita cepat-cepat pulang saja, siapa tahu imam itu pergi untuk memanggil teman-temannya."
Song Kim tidak menyahut sepatah katapun. Dengan langkah gontai menun?tun tiga ekor kuda itu untuk mendekat. Lebih dulu ia membantu Cian Ping naik ke atas kudanya. Dan ketika Song Kim hendak meletakkan tubuh Wi-hong ke atas salah satu kuda itu, Cian Ping berkata, "Suheng, Hong-koko masih be?lum sadarkan diri dari pingsannya, ia bisa jatuh terbanting jika sendirian di atas kuda. Sebaliknya Suheng ber?kuda bersamanya untuk menjaga tubuh?nya agar tidak jatuh."
"Baik," jawab Song Kim sinqkat. Terpaksa iapun berkuda bersama orang yang paling dibencinya, bahkan bertu?gas menjaganya agar tidak jatuh. De?ngan demikian satu dari tiga ekor ku?da itu tidak kebagian penumpang.
Ketiga orang itu lalu berkuda kem?bali ke kota Tay-beng, meninggalkan tempat di mana nyawa mereka baru saja lolos dari lubang jarum. Karena keada?an Cian Ping yang belum segar benar, maka mereka hanya menjalankan kudanya dengan perlahan-lahan.
"Suheng," kata Cian ping. "Dari tadi Hong-koko belum sadar juga, apa?kah kau sudah memberikan obat kepada?nya? He, lihat, kenapa hawa beracun yang nampak di antara kedua alisnya itu justeru semakin menebal?!"
Song Kimpun pura-pura berseru ka?get, "Hah, kenapa jadi begini? Tadi aku sudah menotok beberapa buah jalan darahnya untuk menghentikan menjalar?nya racun, dan sudah kuberi pula sebu?tir obat suhu. Sungguh keji pukulan imam itu!"
"Cepat kau minumkan obat penahan racun beberapa butir lagi kepadanya!" seru Cian Ping dengan cemas.
"Baik!" sahut Song Kim. Dikeluarkannya lagi dua biji obat buatan gu?runya itu, cara mengeluarkan obat itu sengaja diperlihatkan kepada Cian Ping. Lalu Song Kim pura-pura membuka mulut Wi-hong untuk mencekokkan obat itu, tapi diluar penglihatan Cian Ping diam-diam Song Kim menyentil kedua bu?tir obat itu sehingga jatuh ke tanah dan hilang ke dalam semak-semak di te?pi jalan. Song Kim lebih suka kedua butir obat itu terbuang dari pada digunakan untuk menolong saingan cinta yang dibencinya itu !
Diam-diam Song Kim berkata di da?lam hatinya, "Inilah saat yang terba?ik untuk melenyapkan bocah ini, lain kali belum tentu dijumpai kesempatan sebagus ini. Ternyata aku tidak perlu turun tangan dengan tanganku sendiri, karena bocah she Tong ini akan mampus keracunan dengan sendirinya. Aku ha?nyalah memperlambat pengobatan, supa?ya sesampainya di rumah nanti segala usaha sudah akan terlambat. Aku akan berpura-pura menyesal, dan berkabung, dan setelah itu jalanku untuk me?miliki Sumoay akan menjadi sangat li?cin tanpa saingan."
Semakin dipikir, semakin puaslah hati Song Kim karena merasa segala rencananya akan berjalan lancar. Na?mun di hadapan Cian Ping, dia memperlihatkan diri seolah-olah sangat menguatirkan keadaan Wi-hong yang kian mem?buruk.
Karena ketiga orang muda itu memang belum bertamasya terlalu jauh da?ri kota Tay-beng, maka setelah berkuda sekian lamanya, merekapun sudah mema?suki kota dan tidak lama kemudian tiba di depan gedung Tiong-gi-piau-hang yang selalu ramai dengan manusia itu.
Cian Ping yang sudah agak pulih tenaganya itu, segera melompat turun dari kudanya dan hendak membantu Song Kim untuk menurunkan tubuh Wi-hong. Dan alangkah terkejutnya hati gadis itu, ketika dilihatnya muka Hong-koko-nya kini telah bersemu hitam seluruh?nya, sedangkan dengus napasnya begitu berat dan lambat seperti seekor ker?bau yang hendak disembelih ! Ternyata akal Song Kim itu, yaitu mengulur wak?tu supaya racun semakin merasuk di tu?buh Wi-hong, telah berhasil. Kini Song Kim bersorak di dalam hatinya.
"Mampus kau sekarang," pikirnya. "Tapi aku masih berbaik hati mendoakan semoga kau masih kebagian tempat di sorga."
Namun luarnya Song Kim memperlihatkan sikap bingung dan cemas. Ia mengguncang-guncang tubuh Tong Wi-hong sambil berteriak-teriak, "Saudara hong! Saudara Wi-hong! Aduh, kenapa kau sampai begini? Celaka, imam bang?sat itu patut dicincang tubuhnya!"
Sedang kecemasan dalam diri Cian Ping tak terkatakan lagi. Ia memang?gil beberapa orang piau-su anakbuah ayahnya yang tengah berlatih di ha?laman depan agar membantu menggotong tubuh Wi-hong ke dalam rumah. Cian Ping sendiri berlari-lari ke dalam un?tuk memanggil ayahnya. Sikap bingung?nya semacam itu belum pernah terlihat selama ini, dan itu menandakan perasa?an yang terpendam di hatinya terhadap Tong Wi-hong.
Tidak lama kemudian tubuh Wi-hong sudah dibaringkan di dalam biliknya sendiri, dikerumuni oleh Song Kim dan beberapa orang piau-su yang mengenal Wi-hong. Lalu Cian Sin-wi muncul pula ke dalam kamar itu dengan muka yang tegang, diiringi oleh anaknya.
Sejenak pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu memeriksa tubuh Wi-hong, mu?kanya nampak berubah sesaat. Cian Ping semakin cemas melihat perubahan muka ayahnya itu, sebaliknya Song Kim se?makin besar hati dan menaruh harapan. Song Kim sangat yakin di dalam hatinya, biarpun tabib Hoa To dari jaman Sam-kok itu hidup kembali, tidak mung?kin nyawa Wi-hong bisa diselamatkan, menilik keadaan keracunannya yang su?dah cukup hebat.
Sesaat ruangan itu jadi hening oleh ketegangan yang mencekam, lalu terdengar suara Cian Sin-wi berat, "Racun yang menyerangnya disebut Tok jan (Ulat Beracun), yang kemudian oleh seorang murid murtad Bu-tong-pay yang bernama Te-yong Tojin disempur?nakan menjadi semacam ilmu pukulan beracun yang dia beri nama sendiri Tok-jan-jiu. Apakah kalian telah ben?trok dengan orang itu?"
Cian Ping dan Song Kim saling berpandangan tanpa menjawab, dan ini sudah cukup memberi jawaban bagi Cian Sin-wi yang berpengalaman itu.
"Bagaimana keadaannya, suhu?" ta?nya Song Kim sambil mengharap Suhunya akan menggelengkan kepalanya.
Tapi Song Kim kecewa bukan main ketika suhunya menjawab, "Sangat berbahaya, tetapi masih ada harapan untuk ditolong. Dia rupanya tidak terkena langsung oleh tangan imam itu, hanya tersambar oleh angin pukulannya saja."
Kepada Cian Ping, Cian Sin-wi berkata, "Ping-ji, suruh seorang pelayan untuk merebus air segentong penuh sehingga mendidih, di kamar ini juga. Ambilkan botol berwarna hijau yang ada di kamar tidurku itu kemari."
Lalu katanya kepada para piau-su yang masih mengerumuni Wi-hong itu, "Keluarlah kalian supaya udara di da?lam ruangan ini menjadi agak segar. Salah seorang dari kalian harap pergi memanggil Ong Sin-she (tabib-Ong) su?paya datang kemari."
Tabib Ong adalah tabib andalan Tiong-gi Piau-hang karena kemahirannya dalam ilmu pengobatan. Tiong-gi Piau-hang sebagai sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pengawalan tentu cukup sering anggautanya bertempur dengan kaum penjahat yang hendak merampok barang mereka, tentu saja tidak jarang ada pengawal yang gugur atau luka-luka. Karena itu Tiong-gi Piau hang punya seorang tabib khusus yang cukup dapat diandalkan untuk menghadapi keadaan-keadaan seperti itu.
Demikianlah, dengan bantuan Ong Sin-she yang trampil, mulailah Cian Sin-wi berusaha menyembuhkan Tong Wi-hong dari keracunannya. Hanya berdua saja dalam ruangan itu, Cian Sin-wi dan Ong Sin-she melucuti semua pakaian Wi-hong lalu "merebus" tubuh itu dalam sebuah kuali besar berisi air panas.
Setengah hari lebih Cian Sin-wi dan Ong Sin-she bekerja keras di dalam ruangan tertutup itu, dan ketika mata?hari telah tenggelam barulah kedua orang itu nampak keluar dari ruangan dengan pakaian kusut dan sekujur tubuh berbau obat-obatan, namun wajah masing masing justeru menampilkan senyuman gembira.
Ada beberapa orang piau-su yang bersahabat dengan Wi-hong, yang tetap menunggu di depan pintu selama ber?langsungnya pengobatan itu, begitu pu?la Cian Ping dan Song Kim yang bergu?lat dengan perasaannya masing-masing. Begitu melihat Cian Sin-wi dan Ong Sin she melangkah keluar, serentak mereka berdiri menyambut dan bertanya, "Ba?gaimana keadaan Tong Wi-hong?"
Cian Sin-wi menepuk pundak anak gadisnya sambil tersenyum penuh arti, sahutnya, "Ia akan sembuh kembali. Ong Sin-she kita itu benar-benar hebat!"
Tabib yang bertubuh kurus kering namun selalu bermuka riang itupun ter?tawa terkekeh-kekeh dan menyahut gu?rauan Cian Sin-wi, "Cong-piau-thau (pemimpin) membuat aku jadi besar ke?pala."
Serempak orang-orang yang menunggu di depan pintu itu tertawa lega, kecuali Song Kim yang menjadi sangat kecewa dan mengumpat-umpat di dalam hatinya. Cian Sin-wi yang sedang gem?bira itu tidak melihat perubahan wajah murid kesayangannya itu, apalagi cua?ca memang sudah menjadi gelap.
Cian Sin-wi segera menyuruh dua orang piau-su untuk mengantar Ong Sin-she pulang.
Cian Sin-wi sempat pula memerik?sa keadaan Song Kim dan Cian Ping un?tuk mengetahui apakah puteri dan mu?ridnya itu keracunan atau tidak. Ter?nyata mereka juga keracunan tetapi sangat ringan, cukup diobati dengan obat pulung Tiong-gi Piau-hang sendiri. Ringannya kadar racun di tubuh Cian Ping dan Song Kim itu bisa dimengerti, sebab tujuan Te-yong Tojin memang ha?nya ingin membunuh keturunan Tong Tian, sebaliknya imam itu masih sungkan untuk membuka permusuhan baru dengan Cian Sin-wi dan Tiong-gi Piau-hangnya.
-o0^DwKz-Hendra^0o- LUKA-LUKA yang diderita oleh Wi-hong ketika berkelahi dengan para pembunuh bayaran yang disuruh Cia To-bun itu belum sembuh sepenuhnya, dan tahu-tahu kini ia harus berbaring di tempat tidur kembali gara-gara pu?kulan beracun Te-yong Tojin. Dengan demikian keadaan tubuh Wi-hong menjadi sangat lemah saat itu. Tetapi ber?kat ketekunan perawatan Cian Sin-wi, Ong Sin-she dan Cian Ping, maka kesehatan Wi-hong perlahan-lahan dipulih?kan kembali.
Siang itu, ketika Wi-hong tengah melamun di tempat tidurnya tahu-tahu Cian Ping masuk sambil membawakan semangkuk bubur. Diam-diam Wi-hong mulai merancangkan sesuatu di dalam ha?tinya. Ia sebenarnya sudah cukup kuat kalau hanya untuk mengangkat tangan dan menyuapi mulutnya sendiri, tetapi ia lebih senang jika tangan-tangan lembut puteri Cian Sin-wi itu yang me?nyuapi.
Sebaliknya pada diri Cian Ping sendiripun terjadi perubahan yang cu?kup menyolok. Tadinya dia bukanlah se?orang gadis yang sabar dan telaten, bahkan sifat-sifat kekanak-kanakannya dan kebandelannya kadang-kadang membu?at ayahnyapun cukup kewalahan. Tetapi sejak Wi-hong sakit, mendadak saja ga?dis itu menjadi sangat sabar dan sangat penurut dalam melayani segala ke?perluan anak muda itu.
Semua perkembangan dan perubahan yang terjadi pada diri sepasang orang muda itu sulit lepas dari pengamatan Cian Sin-wi yang tajam dan berpenga?laman itu. Cian Sin-wi tahu apa yang tengah berkembang di antara kedua orang muda itu, karena Cian Sin-wi sen?diri juga pernah jadi muda. Orang tua itu bersyukur bahwa pada akhirnya ada juga seorang anak muda yang berhasil menundukkan hati Cian Ping yang se?lalu keras itu. Namun di samping hal yang menggembirakan itu, Cian Sin-wi juga melihat perkembangan yang mence?maskan, yaitu mengenai diri muridnya, Song kim.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 09 BAGI Cian Sin-wi, Song Kim lebih dari sekedar murid. Anak yatim piatu yang sudah dibesarkannya dan dirawat?nya sejak kecil itu hampir senilai de?ngan anak kandung sendiri. Cian Sin-wi tidak akan sampai hati melihat Song Kim patah harapan, dan bahkan bisa ja?di akan patah pula semangatnya untuk menghadapi masa depannya. Namun jika sudah sampai kepada urusan cinta, Ci?an Sin-wi memang tidak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak bisa memaksa anak ga?disnya sendiri untuk menghapus pera?saannya kepada Wi-hong. Pada akhirnya orang tua itu hanya bisa bertindak se?bagai pengawas yang berdiri di luar gelanggang saja.
Dalam pada itu, di dalam kamarnya, Tong Wi-hong sedang disuapi bubur hangat oleh Cian Ping bagaikan seekor anak kelinci yang tidak berdaya.
"Bagaimana keadaan tubuhmu sekarang?" tanya Cian Ping lembut dan pe?nuh perhatian.
Wi-hong pura-pura menyeringai ke?sakitan, dan mengeluh, "Sudah agak baik, tetapi kedua tanganku ini rasa?nya masih lumpuh tanpa kekuatan sama sekali."
Suasana menjadi hening kembali, sampai wi-hong memecah kesunyiannya, "Adik Ping, setelah badanku sehat kem?bali dan tenagaku pulih, aku harus se?gera meninggalkan tempat ini, dan aku tidak tahu kapan lagi bisa kembali ke tempat ini."
Cian Ping tidak menyahut, namun tangannya yang memegang mangkuk itu nampak sedikit bergetar. Dan Tong Wi-hong melanjutkan kata-katanya, "Aku sebenarnya sangat berat hati untuk me?ninggalkan kalian yang sangat berbudi kepadaku. Namun kuharap kalian juga maklum bahwa aku juga masih punya se?buah kewajiban keluarga yang sangat berat. Sakit hati keluargaku sama se?kali belum terbalas, begitu pula na?sib ibu dan kedua orang saudarakupun belum kuketahui."
Cian Ping berusaha menghiburnya, "Jangan terlalu membebani pikiranmu, itu akan merugikan kesehatanmu sendiri. Jika kau tidak menganggap kami sebagai orang luar, tolong beritahukan nama dan ciri-ciri kedua saudaramu dan ibumu itu, supaya kami dapat membantumu untuk melacak jejak mereka. Cabang-ca?bang Tiong-gi Piau-hang tersebar luas di seluruh kota-kota di utara Sungai Besar, anak buah ayahkupun menjelajahi hampir semua jalan-jalan raya yang ada di seluruh negeri. Kukira denqan cara demikian tidak sulit untuk mencari je?jak ibu dan saudara-saudaramu itu. Se?dangkan soal membalas sakit hati kelu?arga, aku menyediakan diri untuk ikut serta membasmi manusia durjana yang bernama Cia To-bun itu."
Wi-hong menarik napas dalam-dalam, pandangannya menerawang ke luar jende?la, ke langit yang biru cerah di sana, sahutnya, "Budi kalian kepadaku sudah setinggi gunung Tay-san dan sedalam lautan, terlalu berat bagi diriku untuk memikul budi sebesar ini. Masakah aku masih akan menambah beban di ha?tiku lagi?"
Cepat Cian Ping menggunakan te?lapak tangannya untuk menekap mulut Wi hong. Dalam keadaan terpengaruh oleh perasaannya, Cian Ping kurang dapat mengendalikan diri, katanya polos, "Aku dan ayah sudah menganggapmu sebagai keluarga sendiri, kau jangan bicara seperti terhadap orang luar. Biar ba?gaimanapun, kamipun merasa wajib untuk membantumu pula."
"Ke..... keluarga sendiri ?" ta?nya Wi-hong menegaskan dengan hati yang terasa hangat.
Muka Cian Ping yang jelita itu seketika menjadi merah padam setelah menyadari bahwa ia telah keterlepasan bicara. Dengan agak tergagap ia menje?laskan untuk menutupi rasa malunya, "Maksudku.....a.....ayah.....sudah menganggapmu sebagai orang.....orang Tiong-gi Piau-hang sendiri....."
Namun perasaan Tong Wi-hong mera?sakan nada lain dalam ucapan si gadis ini. Tiba-tiba saja timbul keinginan pemuda itu untuk menjajaki isi hati gadis itu. Tanyanya sambil menahan tertawa, "Barangkali ayahmu salah ucap, bukan orangnya Tiong-gi Piau-hang tetapi orangnya keluarga Cian, betul ti?dak?"
Muka Cian Ping jadi semakin merah dan dalam pandangan Wi-hong menjadi semakin mempesona. Tangan gadis yang sedang menyangga mangkuk bubur itu ja?di semakin gemetar. Sambil pura-pura jengkel ia menggerutu, "Uh, jangan pu?nya pikiran yang bukan-bukan. Kau tahu apa?"
Tetapi Tong Wi-hong tidak mensia-siakan kesempatan yang baik untuk me?nyatakan isi hatinya. Meskipun de?ngan hati agak berdebaran, ia berkata, "Tentunya ayahmu sangat senang jika aku menjadi menantunya bukan?"
Cian Ping semakin tersipu, tidak mengiakan tapi juga tidak membantah, dengan masih berpura-pura jengkel ia berkata, "Sudah jangan omong saja. Ha?biskan dulu buburnya."
Namun sikap gadis itu semakin keberaniannya, ia mulai menanyakan sesuatu yang selama ini dipendam dalam hatinya, "Adik Ping, aku sangat berat me?ninggalkan engkau. Namun sebelum, aku pergi, aku ingin mengetahui jawabanmu, maukah kelak kau... hi... hidup... bersa... ma dengan... a... aku?"
Meskipun Tong Wi-hong adalah seorang lelaki yang sudah cukup dewasa, namun selamanya dia belum pernah ber?gaul cukup akrab dengan gadis-gadis lain. Kini, biarpun ia telah mengerah?kan seluruh ketenangannya untuk meng?ungkapkan isi hatinya, tak urung sua?ranya gemetar juga dan mukanya menja?di merah.
Namun yang lebih gugup lagi ada?lah Cian Ping. Rasa bahagia yang meluap-luap menyesak di hatinya, ingin rasanya ia menjawab pertanyaan anak mu?da itu, namun bibirnya bagaikan ter?kunci dan tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Akhirnya ia hanya bi?sa menggerakkan kepalanya untuk meng?angguk, menyatakan persetujuan atas pernyataan cinta Wi-hong itu. Setelah itu, ia tidak berani lagi memandang ke arah anak muda itu.
Wi-hong menarik napas lega, dan lupalah dia kepada tangannya yang ma?sih "lumpuh" itu. Secepat kilat ia me?nangkap tangan gadis itu dan menarik?nya, dan sekejap kemudian gadis itu sudah ada di dalam pelukannya.
Kamar itu menjadi sunyi, tidak ada lagi kata-kata yang keluar dari ke?dua belah pihak, sebab mulut mereka sedang digunakan untuk keperluan lain. Dalam kebisuan itu, dua hati muda te?lah berpadu dan menyatukan tekad un?tuk bersama-sama menempuh masa depan yang panjang. Sumpah setia dan segala macam janji indah tidak perlu diucap?kan lagi, sebab hal itu hanya akan membuat terasa berlebihan.
Dulu, ketika keluarga Tong masih utuh di An-yang-shia, Tong Wi-siang sering memanggil Wi-hong dengan sebut?an "si banci", sedang Wi-lian menjulu?kinya "kutu buku", tetapi jika Wi-siang dan Wi-lian saat itu melihat adeg?an dalam kamar itu, maka tidak musta?hil mereka akan mencabut julukan-ju?lukan yang telah mereka berikan kepa?da Wi-hong.
Namun, selain kedua hati yang ba?hagia itu, masih ada sepotong hati yang semakin membara oleh dendam itu dan cemburu. Song Kim, yang sejak ta?di diam-diam bersembunyi di bawah jen?dela, dapat mengikuti pembicaraan dan tingkah laku Tong Wi-hong dan Cian Ping. Dadanya serasa hampir meledak oleh berbagai macam perasaan yang bergalau di rongga dadanya. Bagaiamana ia harus menghadapi kenyataan yang sangat pahit ini? Berjiwa besar, ber?sikap ksatriya dan memberi selamat ke?pada saingan asmaranya, seperti yang sering diajarkan oleh gurunya? Tetapi soal ini merupakan persoalan masa depan dan menyangkut pula soal kebahagia?an diri yang sudah bertahun-tahun diimpikannya, bagaimana persoalannya bisa diselesaikan semudah ajaran guru, demikianlah pikir Song Kim. Akhirnya pemuda itu menggertakkan gigi dan be?rusaha menguasai dirinya, namun di da?lam hatinya ia sudah membulatkan tekad untuk menyingkirkan perintang impian?nya.
Dalam kemelut pikirannya yang se?makin keruh, tiba-tiba teringatlah ia bahwa ia punya seorang kenalan, seorang bekas pengawal dari Tiong-gi Piau hang yang telah dipecat karena bebera?pa pertimbangan. Orang itu adalah seorang yang sangat ahli dalam meramu macam-macam racun. Dan salah satu ha?sil karyanya yang paling sering dibanggakan adalah racun Ang-hong (Ta?won Merah) yang jernih dan tidak ber?bau, seperti air saja. Dan Song Kim mulai berpikir, alangkah baiknya jika semangkuk Ang-hong diminumkan kepada Wi-hong.
Song Kim tidak membuang waktu lagi, luapan perasaannya sudah tidak tertahan lagi dan ia ingin secepatnya melihat orang yang dibencinya itu terjungkal mampus. Siang itu juga ia menemui bekas pengawal yang telah dipecat itu. Dengan imbalan beberapa tahil perak, Song Kim berhasil mendapat?kan sebotol kecil Ang-hong, dan bebe?rapa tahil lagi sebagai uang tutup mu?lut.
Sore hari itu, ketika Tong Wi hong tengah duduk membaca buku di da?lam kamarnya dengan perasaan yang le?ga, tiba-tiba Song Kim masuk dengan muka yang berseri-seri. Wajahnya tidak lagi dingin, bahkan penuh sikap persahabatan, dan tangannya membawa sebuah mangkuk obat. Hal mana cukup membuat Wi-hong jadi keheran-heranan.
"Anak ini entah kesurupan ma?laikat kebajikan dari mana?" pikir Tong Wi-hong tidak habis mengerti.
Sementara itu Song Kim telah me?nyapa dengan hangat, "Bagaimana keada?an kesehatanmu, Tong-heng (saudara Tong), aku mohon maaf karena sudah beberapa hari tidak sempat menjengukmu karena ada beberapa urusan yang harus kuselesaikan atas perintah Suhu. Kini Tong heng nampak bertambah sehat."
Sikap Song Kim yang sama sekali di luar dugaan Wi-hong itu malahan membuat Wi-hong untuk sementara jadi kebingungan dan tidak tahu harus ber?sikap bagaimana. Tetapi sebagai seorang yang dibesarkan dalam keluarga ksatriya persilatan, ia berwatak ju?jur, tidak ada dugaan jelek sedikitpun atas diri Song Kim. Bahkan diam-diam Wi-hong bersyukur di dalam hati kare?na pemuda she Song itu tidak bersikap memusuhinya lagi. Sahutnya, "Terima kasih atas perhatian Song-heng. Pera?watan yang terlalu baik dan sikap ra?mah dari seluruh kerabat Tiong-gi-piau-hang telah membuat aku cepat sem?buh."
Song Kim meletakkan mangkuk yang dibawanya itu di dekat Wi-hong dengan gaya yang sewajar mungkin. Katanya, "Daya tahan tubuhmu benar-benar mengagumkan, Tong-heng, aku yakin dalam waktu kurang dari lima hari kau sudah akan dapat bermain-main dengan pedang?mu lagi. Tetapi menurut ucapan Suhu, racun pukulan imam jahat itu tidak bo?leh dianggap enteng. Aku disuruh oleh Suhu untuk membawakan ramuan pember?sih darah, gunanya untuk membersihkan darahmu dari sisa-sisa racun jahat itu."
Tong Wi-hong tertawa dengan sung?kan dan menyahut, "Wah, rupanya aku jadi sangat merepotkan seperti seo?rang bayi raksasa. Sudah tiga hari ini memang Cong-piau-thau (pemimpin) ha?nya memberikan obat kuat saja. Barang?kali memang penyakitku sudah tidak berbahaya lagi."
Song Kim tertawa ramah, katanya, "Kekuatan tubuhmu yang luar biasa itu memang jarang ditemukan. Beruntun kau menderita luka berat, dan beruntun pula kau sembuh dengan cepat. Tapi minumlah obat ini. Semakin cepat kau sembuh akan semakin melegakan kami."
Tong Wi-hong memang masih hijau dalam pengalaman, sedikitpun tidak mencurigai Song Kim. Selain itu, Song Kim sendiri agaknya memang seorang se?niman sandiwara yang berbakat, gaya?nya yang wajar dan sangat tenang itu tidak menimbulkan kecurigaan orang lain. Maka Wi-hong segera mengangkat cawan itu dan membuka tutupnya, sejenak hidungnya mencium bau aneh yang tipis, tapi tanpa curiga ia menempel?kan bibir cawan ke mulutnya dan siap untuk menenggak isinya sampai habis.
Di saat nyawa pemuda itu seakan-akan sudah bertamasya di depan pintu akherat, tiba-tiba dari luar pintu terdengarlah suara langkah-langkah kaki menuju ke kamar itu. Seketika mu?ka Song Kim agak berubah. Hebatlah akibatnya jika perbuatannya yang menco?ba meracuni Wi-hong itu sampai diketahui oleh gurunya. Tapi jika dia men?cegah Wi-hong menenggak isi cawan itu, tentu akan menimbulkan kecurigaan Wi-hong.
Tengah ia kebingungan, pintu ter?dorong dari luar, dan Cian Sin-wi me?langkah masuk dengan gagahnya. Sore itu ia memakai jubah panjang dari ba?han kain ringan, sikapnya segar dan santai. Ia semakin gembira ketika me?lihat Tong Wi-hong dan Song Kim nam?pak begitu rukun.
Sementara itu Tong Wi-hong telah batal menenggak isi cawan, sebab meli?hat kedatangan Cian Sin-wi.
"A-hong, bagaimana keadaanmu se?karang? Sudah bertambah baik, bukan?" tanya Cian Sin-wi begitu ia melangkah masuk.
"Berkat perawatan paman dan budi paman yang besar maka aku merasa sudah sembuh," kata Wi-hong sambil bangkit dan memberi hormat. "Semua obat pembe?rian paman ternyata sangat manjur. So?re inipun aku merasa sangat bersyukur karena paman berkenan menyuruh Song heng untuk mengirim obat pembersih darah untukku."
"Habislah sekarang riwayatku," keluh Song Kim di dalam hatinya. Diam-diam ia memaki kepada diri sendiri yang begitu terburu-buru ingin meracun Wi-hong sehingga kurang cermat dalam memperhitungkan waktu.
Sementara itu Cian Sin-wi sen?diripun nampak tercengang heran mende?ngar jawaban Wi-hong itu. "Menyuruh Song Kim untuk mengirim obat?" tanya?nya sambil melirik ke arah muridnya yang sedang menyembunyikan kegelisahan itu. Sekilas naluri pendekar tua ini tiba-tiba merasakan ada sesuatu yang tidak beres pada diri muridnya itu. Pendekar ini sudah cukup tua itu, peng?alamannya cukup banyak untuk merang?kai dan menyimpulkan persoalan yang bagaimanapun peliknya. Ia tahu ba?gaimana perkembangan hubungan segi-tiga antara Cian Ping, Tong Wi-hong dan Song Kim, dan ia tahu pu?la masing-masing sifat dari ketiga orang muda yang terlibat dalam cinta segitiga itu.
Sinar mata Cian Sin-wi setajam pisau menyambar ke arah Song Kim, mem?bayangkan tuntutan dan sekaligus kekecewaannya. Suaranya berat kian terde?ngar agak bergetar, "Kim-ji, benarkah yang kau bawakan itu adalah obat pem?bersih darah atas suruhanku?"
Song Kim menundukkan kepalanya karena tidak tahan menghadapi tatapan gurunya. Ia tidak segera menjawab, ia bingung harus membohong ataukah harus berterus terang? Di bawah tatapan ma?ta gurunya yang sangat berwibawa itu, Song Kim yakin bahwa ia tidak akan mampu merangkai cerita dusta yang ma?suk akal. Bahkan jika dustanya ke?tahuan maka hukumannya akan menjadi sangat berat. Paling ringan ia akan dicacadkan pundaknya sehingga tenaga?nya akan musnah, hukuman itu adalah hukuman yang paling menyakitkan hati bagi setiap penggemar ilmu silat.
Cian Sin-wi semakin habis kesabar?annya melihat muridnya nampak begitu gugup dan tidak segera menjawab. Cepat ia merebut mangkuk itu dari tangan Tong Wi-hong dan diangsurkan kepada Song Kim, sambil berkata, "Kim-ji, ji?ka aku menyuruhmu untuk minum isi mangkuk ini, kau akan menolak atau me?nerima?"
Muka Song Kim menjadi semakin pu?cat. Tiba-tiba teringatlah dia akan salah satu kelemahan gurunya, yaitu sangat menghargai kepada orang yang bersikap jantan dan jujur, sehingga pernah tertipu oleh orang yang berla?gak jujur. Jika ia mampu mengelabuhi gurunya saat itu, maka ia yakin hukum?annya akan diperingan, mungkin hanya akan dirangket seratus kali.
Akhirnya Song Kim menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya, kata?nya dengan suara tergagap, "Suhu, terus terang saja yang hendak kuminumkan kepada Tong-heng itu adalah racun Ang-hong yang sangat keras. Suhu ten?tu sangat mengutuk perbuatanku ini, namun semuanya ini nekad kulakukan ha?nya karena aku ingin mewujudkan impi?anku untuk hidup berdampingan dengan su-moay. Suhu, aku memang sangat ber?dosa, hukuman matipun tidak akan ku?tolak lagi."
Mangkuk yang terpegang di tangan Cian Sin-wi itu pecah berhamburan di lantai. Muka pemimpin Tiong-gi piau-hang itu mendadak nampak begitu muram dan sedih, nampak sekali betapa kece?wanya ia karena murid yang disayangi dan diharapkannya itu ternyata dapat melakukan perbuatan serendah itu. Se?mentara itu Tong Wi-hong hanya membungkam saja dan tidak ikut dalam pem?bicaraan itu. Dia marah kepada Song Kim yang telan berusaha membunuhnya dengan cara pengecut, tetapi sekali?gus Wi-hong juga iba kepada Song Kim, karena Wi-hong merasa bahwa dirinya?lah yang telah menghancurkan impian muluk Song Kim. Kini Tong Wi-hong ha?nya membisu, membiarkan guru dan mu?rid itu menyelesaikan urusannya sendiri.
Pengakuan Song Kim yang terdengar "jujur" dan "jantan" itu memang berhasil mempengaruhi sikap keras Cian Sin-wi. Cian Sin-wi tidak tahu kalau sikap muridnya itu hanya sandiwara dengan tujuan mencari keringanan hu?kuman, bahkan Song Kim sedang mengu?tuki gurunya sendiri di dalam hatinya, "Meskipun setan tua ini pernah men?didik dan merawat aku sejak kecil, te?tapi apa gunanya membesarkan aku ka?lau hanya ingin mematahkan harapanku dan cita-citaku? Hidup tanpa harapan demikian justeru lebih buruk dari kematian. Dan setan tua she Cian ini ikut memikul tanggung jawab atas musnahnya harapanku. Jika ia tidak memba?wa bocah she Tong itu ke tempat ini, maka kepahitan ini tidak akan terjadi atas diriku. Tetapi sekarang persetan dengan semuanya, terkutuklah semuanya!"
Sementara Cian Sin-wi sendiri dengan susah payah berusaha mengatasi kepedihan perasaannya yang terasa me?nyengat hati. Song Kim yang disayang?inya bagaikan anak laki-lakinya sen?diri itu ternyata benar-benar telah mengecewakan hatinya. Cian Sin-wi mungkin tidak akan begitu sedih seandainya Song Kim menantang berduel kepada Tong Wi-hong untuk memperebutkan Cian Ping misalnya. Tapi percobaan pembunuhan yang dilakukan dengan cara sangat hina dengan racun itu, hampir-hampir tidak bisa dipercaya oleh Cian Sin-wi. Tapi itu kenyataan.
Untunglah, pengakuan "jantan" Song Kim itu cukup menghibur Cian Sin wi, pikirnya, "Ternyata anak ini belum terlalu bejat dan masih punya sifat-sifat ksatriya, meskipun agaknya hampir luntur. Namun hukuman yang se?timpal baginya harus tetap dijatuhkan. Kalau tidak begitu, orang luar akan menuduhku hanya bertindak keras kepa?da orang lain tapi tidak berani me?nindak anggauta keluarga sendiri yang bersalah."
Suasana di dalam ruangan itu menjadi sunyi mencekam, hanya terdengar desah-desah napas berat dari tiga orang lelaki yang tengah dilanda ge?jolak perasaannya masing-masing itu. Tong Wi-hong merasa dirinya menjadi penyebab semua kejadian tidak enak itu. Sedangkan Song Kim dengan tegang?nya menantikan hukuman apakah yang akan dijatuhkan oleh gurunya ke atas dirinya.
Di tengah ketegangan itu, tiba-tiba terdengar langkah-langkah ringan dari luar disusul dengan terdorongnya pintu dari luar. Lalu Cian Ping masuk dengan muka yang berseri-seri, tangan?nya membawa nampan yang membawa mang?kuk-mangkuk bubur dan beberapa macam sayuran.
Namun begitu menemukan suasana yang kaku di dalam kamar itu, Cian Ping merandek dan langkahnya tertahan, mukanya menampakkan keheranan. Dilihat suhengnya sedang berlutut di depan ayahnya dengan muka yang tertunduk dalam-dalam. Sedang wajah ayahnya biarpun nampak tenang, tapi jelas tidak sedang tidak bergembira, bahkan samar-samar nampak adanya kedukaan dan kemarahan. Ketika Cian Ping menoleh ke arah Wi-hong, maka nampak anak muda itu tertunduk saja dan sama sekali ti?dak memperhatikan dirinya. Gadis itu menjadi bingung melihat suasana sea?neh dan sekaku itu.
"Song Kim," tiba-tiba suara Cian Sin-wi memecah kesunyian.
"Murid siap menerima hukuman," sahut Song Kim bergetar.
Lebih dulu Cian Sin-wi menghembuskan napas panjang beberapa kali, seakan-akan ingin dilontarkannya se?mua kekisruhan perasaannya sejauh-jauhnya. Suaranya kemudian menjadi sa?ngat tenang, tetapi tetap tegas dan tidak terbantah, "Kau adalah muridku bertahun-tahun, bahkan aku sudah menaruh harapan kepadamu untuk meneruskan kejayaan Tiong-gi Piau-hang ini lebih lanjut. Kau bertahun-tahun hidup ber?samaku dan kau tahu pula bagaimana sifat-sifat tabiatku. Oleh golongan hi?tam aku sangat dibenci karena sikapku yang keras terhadap mereka. Tapi oleh kaum pendekarpun aku tidak diterima sepenuhnya, karena aku dianggapnya terlalu keras dan tidak kenal ampun kepada penjahat. Song Kim, sikap kerasku terhadap sifat-sifat jahat itu ti?dak pernah menjadi lunak, dan demi Thian, tidak akan pernah menjadi lunak. Hanya dengan demikianlah maka Tiong-gi Piau-hang dapat dipertahankan selama puluhan tahun oleh kakekku dan ayahku, dan selamanya akan tetap demi?kian. Dengan sikap tangan besi terhadap kaum penjahatlah maka Tiong-gi Piau-hang menjadi besar dan jaya seper?ti sekarang. Karena alasan-alasan itu dalam persoalan apapun aku tidak akan pernah bergeser dari pendirianku ini. Perbuatanmu yang sangat licik dengan mencoba meracuni Wi-hong itu jelas sangat tercela dan tidak pantas dilakukan oleh seorang anggauta Tiong gi Piau-hang. Dengan kesalahan ini sebenarnya sudah cukup adil untuk mencacadkan pundakmu dan memusnahkan tenagamu. Tapi mengingat hubungan kita selama belasan tahun, dan juga mengingat bahwa kau masih punya sifat-sifat ksatriya dengan mengakui kesalahanmu, aku memperingan hukumanmu. Siapkah kau menerimanya, Song Kim?"
Dengan sikap sebaik mungkin, Song Kim menyahut, "Aku siap."
Sedangkan di dalam hatinya Song Kim tertawa karena merasa bahwa siasatnya untuk memperlunak hati gurunya telah berhasil. Pikirnya, "Paling-paling aku akan dihukum rangket seratus kali, atau disuruh mengirim barang ke tempat yang jauh, seperti hukuman yang sudah-sudah."
Terdengar Cian Sin-wi menarik napas. Meskipun hatinya merasa berat, namun dijatuhkan juga hukumannya, "Song Kim, semua pelajaran ilmu silatmu sudah tuntas kau terima. Sudah saatnya kau meninggalkan tempat ini untuk mengembangkan sendiri ilmu silatmu dan mengangkat nama di dunia persilatan."
Bagaikan halilintar meledak di tepi telinganya ketika Song Kim mendengar hukuman semacam ini yang dijatuhkannya. Tepatnya, ia diusir ! bagi Song Kim, hukuman ini terasa jauh lebih berat dan lebih menyakitkan dari pada hukuman badan lainnya. Hukuman pengusiran itu bagi Song Kim hanya setingkat dibawah hukuman pemusnah ilmu silat. Diusir dari rumah gurunya, berarti hukuman itu akan terasa seumur hidup, dia akan sangat menderita badannya karena harus berpisah dengan Cian Ping tanpa batas waktu yang pasti. Song Kim anak muda yang perkasa itu, tiba-tiba mencium lantai dan terdengar suaranya meratap parau, "Suhu, a... aku..." Hampir saja ia meminta ampun, namun karena merasa malu kepa?da Wi-hong, akhirnya ucapan yang sudah hampir meluncur dari bibirnya itu-pun ditelannya kembali.
Cian Sin-wi menarik napas, kata?nya berat, "Apa boleh buat, muridku, akupun merasa berat. Tetapi aku tidak ingin menerima tuduhan bahwa aku ha?nya berani bertindak keras kepada orang lain tetapi tidak berani bertindak keras untuk membersihkan rumah tangga sendiri."
Tidak ada jalan lain lagi, Song Kim tahu betul watak gurunya, apa yang diucapkan oleh gurunya tidak mungkin dijilatnya kembali. Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Song Kim memberi hor?mat sekali lagi kepada gurunya, lalu melangkah keluar sambil mengertakkan gigi. Sebelum meninggalkan ruangan itu, ia masih sempat memandang ke arah Wi-hong dengan pandangan mata me?mancarkan dendam yang berapi-api.
Cian Ping yang sedari tadi tidak bersuara itupun akhirnya juga dapat menyimpulkan apa yang terjadi, sete?lah mendengar ucapan-ucapan ayahnya. Ternyata Suhengnya itu telah berusaha membunuh Wi-hong karena tidak dapat lagi menahan rasa cemburunya, bahkan cara yang digunakannyapun cukup keji. Untung hal itu tidak sampai terjadi. Betapapun juga hubungan Cian Ping dan Song Kim sudah cukup lama, maka kepergian Song Kim itu cukup membuat gadis itu termangu juga.
Dengan langkah gontai Cian Sin-wi meninggalkan kamar Tong Wi-hong yang baru saja menjadi ruang "pengadilan" untuk muridnya itu. Setelah berada di dalam kamar sendiri, dan merasa ti?dak ada seorangpun yang melihat diri?nya, diam-diam Cian Sin-wi yang keras hati itu mengusap dua titik air mata yang mengembun di sudut matanya.
Bagi Song Kim sendiri, rumah Cian Sin-wi itu kini terasa bagaikan neraka yang tidak tertahankan lagi panasnya.
Meskipun saat itu hari sudah menjelang malam, namun Song Kim tidak ingin me?nunda kepergiannya sedetikpun. la langsung membenahi barang-barangnya dan malam itu itu juga ia meninggalkan gedung Tiong-gi piau-hang, bahkan me?ninggalkan Tay-beng, dilangkahkannya saja kakinya tanpa tujuan tertentu.
Sambil melangkahkan kaki semakin jauh, ia berkata dalam hatinya, "aku memang seorang anak yatim piatu yang melarat, tetapi akupun tidak pernah mengemis untuk minta dipelihara oleh Cian Sin-wi. Dan si tua she Cian itu meskipun telah menanam budi besar ke?padaku, tapi juga telah menghancurkan masa depanku, jadi impaslah semua ke?baikannya selama ini kepadaku."
Kepedihan hati yang berlebihan itu akhirnya merasuk hatinya dan beru?bah menjadi dendam kesumat yang memba?kar jantungnya. Tekadnya, "Aku suatu ketika akan kembali, dan mereka semua akan berlutut menyembahku dan mencium kakiku."
-o0^DwKz-Hendra^0o- PAGI itu, seperti biasanya cian Ping membawa sebuah nampan ber?isi mangkuk bubur dan sayur-sayuran ke kamar Tong Wi-hong. Meskipun peristiwa Song Kim berusaha meracuni Wi-hong itu baru terjadi kemarin, tapi keriangan gadis itu sudah pulih seluruhnya, kepergian Song Kim juga tidak terlalu merisaukan hatinya meskipun ada juga perasaan sedihnya. Tapi perasaan Cian Ping kepada kakak seperguruannya itu memang tidak terlalu baik, bahkan kadang-kadang terasa Song Kim sangat menjemukan.
Tetapi ketika gadis itu tiba di kamar Wi-hong, alangkah kaget dan se?dihnya setelah melihat kamar itu dalam keadaan kosong. Tempat tidur dan seli?mut masih dalam keadaan rapi, menandakan tidak pernah ditiduri. Hanya terdapat secarik kertas di dekat ban?tal. Cian Ping cepat-cepat meraih ker?tas surat itu dan membacanya dengan muka pucat dan bibir gemetar, "Ditujukan kepada paman Cian dan adik Ping yang berbudi. Aku si durha?ka ini mohon maaf bahwa malam ini telah meninggalkan tempat ini tanpa ber?pamitan kepada kalian. Aku juga mohon maaf bahwa kehadiranku di tempat ini ternyata hanya menimbulkan kekisruhan dan perpecahan antar anggauta keluar?ga yang tadinya hidup rukun. Budi ka?lian yang seberat gunung, aku tidak mampu menanggungnya lagi. Selamat ting?gal."
Dari orang pembawa celaka, Tong Wi-hong.
Nampan di tangan Cian Ping seke?tika jatuh berantakan, mangkuknyapun hancur semuanya. Sesaat gadis itu ber?diri termangu seperti orang linglung. Kemudian sambil menahan tangisnya, ga?dis itu berlari-lari mencari ayahnya sambil membawa surat itu.
Cian Sin-wi mengerutkan keningnya setelah membaca pesan Tong Wi-hong itu, meskipun hatinya tidak setuju dengan perbuatan Tong Wi-hong itu, namun dia-pun dapat memaklumi perasaan yang ber?golak di dalam hati anak muda itu. Wi-hong tentu merasa tidak enak karena seolah-olah kehadirannya membawa per?pecahan antara guru dan murid serta antara kakak dan adik seperguruan. Akhirnya si pendekar tua yang sudah kenyang dengan asam garamnya dunia itu cuma dapat menarik napas panjang sam?bil berdesah, "Ah, anak-anak muda yang keras hati itu memang susah diu?rus. Kapankah pikiran mereka akan men?jadi terbuka dan bertambah dewasa?"
Sementara itu Cian Ping menjadi sangat gelisah. Ia tahu bahwa meskipun luka-luka Wi-hong sudah hampir sembuh tetapi luka-lukanya keracunan masih bisa berpengaruh, dan badannyapun ma?sih lemah. Jika Wi-hong sampai bertemu dengan Song Kim yang mendendam, atau Te-yong Tojin yang memang mengincar nyawa semua anggauta keluarga Tong, maka Tong Wi-hong akan mengalami kesu?litan besar.
Cepat Cian Ping berlari-lari me?nuju ke kandang kuda yang terletak di-bagian belakang gedung Tiong-gi Piau hang itu, dan sesaat kemudian gadis itu telah berpacu di luar kota Tay-beng, tidak lupa ia membawa sepa?sang hau-thau-kaunya. Seperti gila ia mengelilingi kota Tay-beng beberapa putaran, bahkan dijelajahinya pula hu?tan-hutan cemara di luar kota, namun bayangan Tong Wi-hong tidak kelihatan.
Agaknya Tong Wi-hong sendiri sudah menduga bahwa kepergiannya tentu akan disusul, maka untuk menghindari penyusulan itu dia sengaja memilih ja?lan-jalan yang tidak wajar dan jarang dilalui orang. Ia mengambil jalan se?tapak di lereng-lereng bukit di seki?tar kota Tay-beng, jalan yang tidak bisa dilalui dengan menunggang kuda, itulah sebabnya Cian Ping tidak mene?mukan jejaknya.
Sebenarnya Wi-hong sendiri mera?sakan bahwa keadaan tubuhnya belum me?mungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh, tapi perasaan angkuhnya telah memaksanya untuk meninggalkan rumah Cian Sin-wi. Sebagai seorang lelaki muda yang berdarah panas, apalagi ju?ga keturunan keluarga persilatan yang terkenal pula, ia merasa tidak pantas terus-menerus hidup menumpang di rumah orang lain. Apalagi ia mempunyai perasaan bersalah bahwa kehadirannya di rumah itu ternyata telah menimbul?kan keretakan-keretakan hubungan.
Karena ia melewati jalan setapak yang sulit ditempuh, maka ia menjadi cepat lelah. Bahkan luka-luka lamanyapun mulai terasa mengganggu kem?bali, baik luka-lukanya akibat bertempur dengan pembunuh-pembunuh bayaran, maupun luka-luka beracun akibat ilmu Te-yong Tojin. Dadanya mulai terasa nyeri, kepalanya mulai pusing dan pe?rutnya mulai mual hendak muntah.
Tapi dengan mengeraskan hatinya, ia tetap melangkah maju, meskipun harus sambil berpegangan kepada pepohonan di tepi jalan. Dia ingin mencari sebu?ah tempat yang sepi dan nyaman untuk beristirahat sambil menyembuhkan luka-lukanya.
Tengah ia melangkah sempoyongan setapak demi setapak, tiba-tiba tempat itu digetarkan oleh suara tertawa yang sangat menusuk telinga. Dari atas se?batang pohon, meluncurlah sesosok tu?buh kurus yang memakai jubah imam ber?warna hijau tua, tangan kirinya memegang sebuah hud-tim (kebutan). Ternya?ta imam itu adalah Te-yong Tojin, si imam murtad yang tengah memburu sisa-sisa keluarga Tong untuk ditumpas ha?bis sampai ke akar-akarnya.
Melihat keadaan Wi-hong yang pa?yah setengah mati itu, si imam terta?wa terkekeh-kekeh sambil mengejek, "He he-he... beberapa hari yang lalu kau nampak gagah perkasa mengeroyok aku bersama dengan kedua temanmu itu, ke?napa kini kau begitu mengenaskan kea?daannya? Tapi aku berterima kasih ke?padamu, yang telah begitu sukarela me?nyerahkan diri kepadaku, setelah ber?hari-hari aku mencarimu di kota Tay-beng dengan sia-sia. Ha-ha-ha..."
Sejak bertemu dengan Wi-hong beberapa hari yang lalu itu, Te-yong Tojin merasa belum puas sebelum berhasil membunuh anak Tong Tian yang satu ini. Namun dia agak gentar kepada nama besar Cian Sin-wi dan tidak mau mena?nam permusuhan dengan tokoh keras itu, maka Te-yong Tojin tidak berani turun tangan kepada Wi-hong selama Wi-hong berada dalam perlindungan Cian Sin-wi. Tetapi dengan sabar ia terus menunggu di sekitar kota Tay-beng, menanti ke?sempatan sampai Wi-hong berjalan seo?rang diri, dan sekarang kesempatan yang ditunggu-tunggunya itu telah ada di depan matanya.
Bagi Tong Wi-hong, pertemuannya dengan imam jahat itu hanya punya satu makna, yaitu malapetaka besar telah menghadang di depan mata, bahkan mung?kin ujung hidupnya sudah tiba. Wi-hong tahu bahwa Cia To-bun sangat bernapsu untuk menumpas seluruh keturunan Kiang-se-tay-hiap Tong Tian, dan Te-yong To-jin adalah salah seorang dari kaki ta?ngan Cia To-bun yang paling tepercaya. Sebagai putera seorang pendekar, Wi?-hong sama sekali tidak gentar memper?taruhkan jiwanya, namun dia menyesal bahwa dia harus mati sebelum sempat menunaikan kewajiban keluarganya yang terbeban di pundaknya. Dan Cia To-bun, musuh besar keluarganya itu, masih ada di An-yang-shia sana hidup dengan segala kesewenang-wenangannya.
Namun penyesalan itu terlambat datangnya. Si algojo sudah ada di de?pan matanya, jalan untuk meloloskan diri sudah tidak ada.
Akhirnya Tong Wi-hong melolos pe?dangnya dan dilintangkan di depan dada, siap untuk bertempur sampai mati, ben?taknya sambil mengertak gigi, "Hidung kerbau busuk, minggir kau !"
Sahut Te-yong Tojin, "Ha-ha, be?nar-benar cukup garang dan tidak mema?lukan sebagai anak Kiang-se-tay-hiap. Tapi sayang pemuda segagah kau tidak berumur panjang, sebentar lagi kau akan terkapar sebagai mayat di tempat ini, tanpa diketahui seorangpun, dan badanmu akan menjadi santapan binatang binatang liar. He-he-he-he...."
Dan imam jahat itu bukan cuma berbicara saja, tapi juga bertindak ! Tiba-tiba ia melangkah maju dan menen?dang secepat kilat, tahu-tahu pedang yang terpegang di tangan Wi-hong te?lah lepas dari tangan dan terpental jauh. Dengan agak terkejut Wi-hong me?langkah mundur, namun Te-yong Tojin terus memburunya, sebuah tendangan la?gi mendarat di dada Wi-hong. Sebagai bekas murid Bu-tong-pay, imam jahat itu rupanya cukup menguasai Lian-hoan-tui (ilmu Tendangan Berantai) yang terkenal sebagai salah satu kepandaian khas kaum Bu-tong itu.
Wi-hong terpelanting ke belakang sambil mendekap dadanya, tiba-tiba mu?lutnya terbuka dan tersemburlah segum?pal darah segar dari dalam rongga da?danya. Dengan penuh kemarahan ia mena?tap Te-yong Tojin, makinya dengan sua?ra terputus-putus, "Imam iblis... den?dam Tong Wi-hong kepadamu... tak... tercuci... a... air tujuh samude...ra. Dendam Soat-San---pai ju... juga akan sela... lu memburu... mu...."
Muka Te-yong Tojin agak terkejut mendengar sumpah serapah itu. Hebat?lah akibatnya bagi dirinya jika sampai seluruh perguruan Soat-san-pay memu?suhinya, ia teringat bagaimana Tong Tian, salah seorang murid Soat-san-pay saja sudah begitu susah dilayani. Se?ketika itu juga wajah Te-yong Tojin dilapisi hawa membunuh yang meluap-lu?ap. Anak Tong Tian ini harus dibunuh dan kemudian dilenyapkan mayatnya, dan tidak akan ada seorangpun yang tahu bagaimana nasib Wi-hong kecuali dirinya sendiri.
Sementara di dalam hati Wi-hong sendiri telah timbul tekad untuk meng?adu jiwa, ingin mati bersama musuh ke?luarganya ini. Dengan cerdik Wi-hong lalu pura-pura terkulai mati dan tidak bergerak-gerak lagi. Ia akan me?mancing supaya imam itu mendekatinya, lalu akan dipukulnya ditempat yang mema?tikan agar mati bersama dirinya.
Sambil tertawa-tawa kepuasan, Te-yong Tojin melangkah mendekati tubuh Wi-hong yang dikiranya sudah pingsan itu. Tangan kanannya dari ujung jari-jari sampai ke siku tangan telah beru?bah warna menjadi biru kepucat-pucatan dan menyiarkan bau yang asam-asam pa?hit. Kiranya imam ini telah menyi?apkan pukulan beracun Tok-jan-jiu yang ampuh untuk menghabisi nyawa Wi-hong dalam segebrakan saja.
Imam itu semakin dekat dan Wi-hong?pun semakin tegang. Wi-hong sudah nekad, pukulan imam itu tidak akan ditangkisnya tetapi akan dibarenginya dengan pukulan sekuatnya ke arah ja?lan darah Ki-hay-hiat (Jalan Darah Kematian) di dada si imam.
Namun sebelum imam itu sempat me?mukulnya, tiba-tiba terdengar suara rerumput terinjak kaki. Te-yong Tojin terkejut sekali, cepat ia membalikkan badan dengan sikap bersiap, sambil membentak, "Siapa? Cepat keluar dari persembunyianmu !"
Wi-hong membuka matanya ingin me?lihat siapa yang datang itu, dan pan?dangannya yang mulai kabur itu masih bisa melihat seorang lelaki setengah baya muncul dari balik sebuah pohon. Nampaknya ia sudah cukup lama bersem?bunyi di situ, dan baru terpaksa ke?luar setelah dibentak oleh Te-yong To-jin.
Begitu muncul, lelaki itu lang?sung memberi hormat kepada Te-yong To?jin dan memperkenalkan namanya, "Aku yang rendah she Ting dan bernama Ciau-kun. Aku tidak sengaja lewat di tempat ini, maafkan jika telah mengganggu ke?sibukan To-tiang (bapak imam)."
Sedangkan bagi Tong Wi-hong yang sudah dalam keadaan tiga perempat pingsan itu, suara Ting Ciau-kun itu bagaikan memberi kekuatan baru kepada?nya. Dengan menahan rasa sakit di da?lam dadanya, ia berteriak memohon per?tolongan, "Paman Ting, kiranya kau yang datang! Tolonglah aku karena imam bangsat ini hendak menganiaya aku!"
Tetapi alangkah tidak mengerti?nya Wi-hong, ketika mendengar jawaban si paman Ting itu ternyata begitu tawar dan acuh tak acuh, "Oh, begitu. Aku tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian ini, lalu aku harus berbuat bagaimana?"
Sementara itu Te-yong Tojin ter?tawa dingin, katanya dengan bengis kepada Ting Ciau-kun, "Kalau begitu kau adalah paman dari anak ini. Kalau begitu, untuk menutup rahasia kematiannya, maka sebaiknya kaupun ikut kumampuskan sekalian!"
Sesuai dengan sifatnya yang berangasan dan kejam, maka begitu selesai bi?cara, Te-yong Tojinpun langsung bertin?dak. Ia melompat maju dan sebuah pukul?an dahsyat ia luncurkan ke arah batok kepala Ting Ciau-kun. Rupanya imam ini tidak ingin main untung-untungan, ma?ka dalam gebrakan pertama saja ia langsung sudah mengerahkan tenaga se?luruhnya, makin cepat lawannya mampus makin baik.
Ting Ciau-kun juga menyadari be?tapa hebatnya serangan imam itu, ia terkejut karena tidak disangka di hu?tan cemara itu akan menjumpai tokoh sehebat ini, namun dengan cepat iapun memberi perlawanan. Sambil menggeser kakinya, sekaligus ia mengeluarkan dua macam kepandaiannya yang diandalkan. Dengan tenaga pukulan Ngo-heng-ciang ia menyambut pukulan si imam secara keras lawan keras, sementara tangan lainnya dengan kekuatan Eng-jiau-kang mencoba untuk mencengkeram dan mere?mukkan persendian siku dari si imam. Demikianlah serangan ganas dibalas dengan serangan yang sama ganasnya pu?la.
Ketika dua buah tangan yang be?risi penuh tenaga itu beradu, ter?dengarlah suara seperti dua batang lempengan besi yang diadu. Ting Ciau-kun agak tergeliat pinggangnya dan kuda-kudanyapun tergempur sedikit, dengan demikian cengkeraman Eng-jiau-kang-nyapun tidak berhasil mencapai sasarannya. Sedang Te-yong Tojinpun terhuyung mundur dua langkah dengan air muka me?nampakkan kekagetannya. Sadarlah imam itu bahwa dia sedang berhadapan de?ngan seorang jago Nge-kang (Tenaga Ke?ras) yang cukup tangguh.
Sementara itu, Wi-hong menjadi tenteram setelah melihat pamannya te?lah bertempur dengan imam jahat itu. Pikir Wi-hong, tentu sang paman itu membelanya dan tidak akan membiarkan si imam mencelakai dirinya. Pada saat hati Wi-hong merasa tenang itu, sampai pulalah batas daya tahan tubuhnya. Pandangannya makin kabur dan akhirnya iapun kehilangan kesadarannya.
Dalam pada itu, Te-yong Tojin merasa bahwa dia menemukan seorang la?wan kuat yang belum tentu dapat dikalahkannya. Dasar ia memang cukup licik, maka iapun dapat melihat gelagat dan ganti siasat. Sambil menjura ia berka?ta, "Maafkan pinto(imam menyebut diri?nya sendiri) yang bermata buta sehing?ga tidak melihat gunung Tay-san melin?tang di depan mata. Ting Tay-hiap, kalau pin-to tahu bahwa pemuda ini ada?lah keponakanmu, tentu aku tidak akan meladeninya berkelahi, meskipun anak muda ini selalu bersikap kurang ajar kepadaku, bahkan pernah berusaha un?tuk membunuhku."
Di dalam hatinya Ting Ciau-kun mentertawakan kelicikan si imam, namun muka Ting Ciau-kun justeru menun?jukkan sikap sungkan. Sahutnya, "Ja?ngan Totiang bersikap terlalu sungkan kepadaku. Sesungguhnya anak ini bukan keponakanku dalam arti yang sesungguhnya, tapi cuma anak dari salah seorang kenalanku, dan hubungannya denganku juga tidak terlalu akrab. Aku memang sedang mencari anak ini, dan, he-he-he he... barangkali Totiang tidak mendu?ganya, sebab akupun ingin membunuh anak ini."
Ternyata Te-yong Tojin memang tidak menduga sama sekali akan perkataan Ting Ciau-kun itu, maka untuk sesaat ia jadi tercengang. Tanyanya, "Lho, apakah dosa dan kesalahan anak ini kepada Si-cu sehingga Si-cu sampai berniat membunuhnya?"
Ting Ciau-kun tidak menjawab per?tanyaan itu, sudah jelas ia keberatan untuk memberikan alasan yang sebenar?nya kepada imam itu. Sekenanya saja ia menjawab, "Maaf, masalahnya cuma suatu urusan pribadi yang tidak patut diketahui oleh orang luar. Kebetulan Totiang juga sedang hendak menghukum?nya, maka biarlah aku mengalah dan memberi kesempatan kepada Totiang un?tuk melampiaskan penasaran Totiang."
Rupanya Ting Ciau-kun ini selalu gelisah sejak Wi-hong dan Wi-lian di?culik dari rumahnya oleh bayangan tinggi besar yang tak dikenal itu. Meskipun ia tidak dapat melihat wajah penculik itu, tapi Ting Ciau-kun pu?nya dugaan kuat siapa yang melakukan hal itu, yaitu tentu kakak angkatnya sendiri, Siau-lim-hong-ceng (Si Rahib Gila dari Siau-lim) Hong-koan Hwesio. Karena gelisahnya, akhirnya Ting Ciau-kun meninggalkan rumahnya dan mengembara untuk menemukan jejak Wi-hong dan Wi-lian untuk dibunuhnya sekali supaya tidak menjadi bibit penyakit di kemu?dian hari. Hari itu ditemuinya Te-yong Tojin sedang hendak membunuh Wi-hong, hal itu tentu dirasa kebetulan bagi Ting Ciau-kun, maka dibiarkan saja Te-yong Tojin yang melakukan pembunuhan. Ting Ciau-kun malah berharap ia bisa cuci tangan. Jika besok ada orang Soat san-pay yang menanyakan kematian Tong Wi-hong, maka Ting Ciau-kun dengan mu?dah akan langsung menunjuk Te-yong To?jin sebagai pembunuhnya, dan dirinya sendiri bebas dari tanggung jawab.
Tetapi dalam hal sifat-sifat li?cik, ternyata kali ini Ting Ciau-kun menemui tandingannya. Te-yong Tojin tentu saja mengerti bahwa orang she Ting itu hendak membebankan seluruh tanggung jawab kepadanya, dan itu ber?arti permusuhan yang semakin mendalam antara Te-yong Tojin dengan pihak per?guruan Soat-san-pay. Maka Te-yong To?jin juga berusaha mengelakkan tanggung jawab itu. Katanya sambil menyeringai licik, "Setelah mengetahui bahwa anak muda ini ada persoalan dengan Sicu, mana berani aku turun tangan melan?cangi Sicu? Bukankah ini sama saja de?ngan aku tidak menghormati Sicu? Si?cu, urusan pribadimu itu silahkan kau selesaikan dengan tanganmu sendiri, biarlah aku tidak ikut campur lagi."
Begitulah aneh dan lucunya kalau dua orang manusia yang sama-sama licik bertemu. Masing-masing hanya ingin me?lihat hasilnya yang menguntungkan me?reka, tetapi tentang tanggung jawab biarlah dibebankan kepada orang lain. Peribahasa mengatakan : hanya ingin nangkanya tetapi tidak ingin getahnya. Kedua-duanya sama-sama mengingini ke-matian Wi-hong tapi juga sama-sama ti?dak ingin menanggung permusuhan dengan perguruan Soat-san-pay. Keduanya beru?saha saling menjerumuskan dengan ber?bagai tipu muslihat. Dan hasilnya? Se?telah saling berusaha menjerumuskan dan tidak berhasil, akhirnya kedua-duanya sadar bahwa mereka menghadapi orang yang sama liciknya dengan diri sendiri, dan persoalan siapa yang akan membunuh Wi-hong itu bakal tanpa penyelesaian sampai kapanpun.
Ting Ciau-kun akhirnya berkata, "Sudahlah, ternyata kepentingan kita berdua sama, yaitu kematian anak ini. Namun setiap perbuatan tentu ada aki?batnya, dan karena kita akan sama-sama menikmati hasilnya, aku mengusulkan bagaimana kalau pekerjaan ini kita lakukan bersama-sama dan akibatnyapun akan kita tanggung bersama? Tentu saja kita akan saling berjanji untuk menu?tup rahasia kematiannya serapat-rapat?nya."
Si imam juga menyadari, jika ia menolak usul itu maka keadaan akan berlarut-larut, dan entah kapan lagi akan didapat kesempatan sebaik itu un?tuk membunuh Wi-hong. Akhirnya dengan berlagak ksatriya ia menyahut, "Baik?lah, seorang laki-laki jantan, berani berbuat dan siap menanggung semua aki?batnya. Ting Sicu, marilah kita ber?sumpah."
Kedua orang itu segera saling menepukkan tangan tiga kali sebagai tan?da sumpah mereka.
"Nah, sekarang kita akan turun tangan bersama-sama," kata Ting Ciau -kun dengan lega. "Harap Totiang akan memukul dengan sepenuh hati, aku sen?diri juga akan berbuat serupa."
Kedua orang itu lalu mendekati tubuh Wi-hong yang masih pingsan itu, untuk melaksanakan niat jahat mereka, sesaat lamanya kedua orang itu ber?diri tenang untuk mengerahkan tenaga ke tangannya masing-masing. Tangan Te-yong Tojin dari ujung jari sampai ke siku tangan telah berubah warna menja?di kebiru-biruan dan mengeluarkan bau yang asam pahit. Sedang lengan Ting Ciau-kun yang kekar itupun telah menyembulkan otot-ototnya, karena iapun telah mengerahkan tenaga Ngo-heng-ciang sampai kepuncaknya.
Lalu keduanya serempak mengeluar?kan bentakan keras dan serempak pula menghantamkan pukulan andalan masing masing ke tubuh Wi-hong. Dua buah ta?ngan maut dengan dua macam tenaga pembunuh yang berbeda tetapi sama-sama ampuh, kini serentak meluncur ke tu?buh anak muda yang tidak berdaya itu.
Tetapi Wi-hong memang belum ditakdirkan mati semua itu. Di saat se?belah kakinya sudah menginjak gerbang akherat itu, mendadak terjadilah suatu perkembangan yang menyelamatkannya da?ri kematian. Tiba-tiba saja terlihat Te-yong Tojin meraung kesakitan sam?bil melompat mundur, begitu pula Ting Ciau-kun juga menggeram kesakitan sam?bil memaki-maki.
Apa yang terjadi? Ternyata pada masing-masing tela?pak tangan dari kedua tokoh licik itu telah menancap sepotong ranting kecil yanq lentur. Dan bukan cuma itu saja yang terjadi, sebab dari atas sebuah pohon ada segulung pukulan dahsyat me?nyambar ke arah Te-yong Tojin dan Ting Ciau-kun, membuat kedua orang itu se?rempak terhuyung mundur.
Biarpun Te-yong Tojin dan Ting Ciau-kun belum termasuk jago-jago sak?ti di jaman itu, namun merekapun bu?kan jago-jago silat kelas kambing. Ma?ka penyerang yang berhasil mengga?galkan serangan gabungan Te-yong Tojin dan Ting Ciau-kun itu jelas bu?kan tokoh sembarangan. Hanya dengan sepotong ranting yang kecil dan len?tur, ternyata orang itu berhasil me?lemparkan dan menembus telapak tangan kedua orang tokoh itu, padahal telapak tangan mereka sedang penuh pengerahan tenaga dalam ! Tokoh dunia persi?latan yang dapat melakukan hal itu agaknya pada jaman itu dapat dihitung dengan jari !
Ranting yang menancap di telapak tangan Ting Ciau-kun itu, biarpun cukup nyeri tetapi hanya menimbulkan luka luar saja.
Namun bagi Te-yong Tojin yang mempelajari ilmu beracun, maka ranting yang menancap di jalan darah Lau-kiong hiat di tengah-tengah telapak tangan itu, benar-benar menjadi malapetaka buatnya. Jalan darah itu adalah kele?mahan terbesar bagi orang-orang yang mempelajari ilmu beracun. Kini pukulan Tok-jan-jiu yang telah dilatihnya be?lasan tahun itu telah amblas dalam se?kejap mata. Tidak mengherankan kalau imam itu menjadi sedih dan murka luar biasa.
Ting Ciau-kun, sambil memegangi tangan kanannya yang kesakitan, berte?riak dengan marahnya, "Siapa yang men?coba mencari kematian dengan mencoba mencampuri urusan kami ini ? Hayo ke?luar !"
Sebagai jawaban, dari atas sebu?ah pohon terdengar sebuah tertawa dingin dan perkataan ejekan, "He-he, Ting Ciau-kun, sudah lama aku mencium akan kebusukan hatimu, namun baru hari inilah kutemukan bukti yang tidak ter?bantah lagi !"
Suara itu adalah suara yang sangat dikenal oleh Ting Ciau-kun dan sekali?gus yang paling ditakutinya. Begitu mendengar suara itu, semua sikap ga?rang Ting Ciau-kun lenyap seperti awan tertiup angin. Suara itu baginya ba?gaikan suara malaikat pencabut nyawa !
Dari atas pohon itu melayanglah seorang lelaki bertubuh tinggi tegap, berkepala gundul, dan berpakaian jubah paderi Buddha berwarna abu-abu yang sudah sangat lusuh, tangan kanannya me?megang sebatang tongkat bambu yang berwarna hitam legam. Dia bukan lain adalah Siau-lim-hong-ceng (Rahib Gi?la dari Siau-lim) Hong-koan Hweshio, tokoh yang paling ditakuti Ting Ciau-kun, meskipun tokoh itu meru?pakan kakak angkat Ting Ciau-kun pula.
Gemetarlah Ting Ciau-kun melihat kemunculan Hong-koan Hweshio, dengan suara gemetar pula ia mencoba menyapa, "Toa... toa-ko (kakak tertua)...."
Meskipun Hong-koan Hweshio bersi?fat gila-gilaan dan agak liar, tetapi dalam masalah memegang batas antara kebaikan dan kejahatan, dia benar-benar tegas dan tidak kenal ampun. Kepandaiannya cukup tinggi, sebab ia me?makai nama depan "Hong" yang berarti setingkat dengan Ketua Siau-lim-pay yang sekarang, dan di dalam kelenteng Siau-lim-si sendiri tidak banyak hi?tungannya rahib yang memakai nama de?pan Hong ini. Inilah sebabnya Ting Ci?au-kun yang licik ini sangat ketakutan kepadanya.
Rahib gila ini segera menatap Ting Cian-kun dengan dingin, "Kau ma?sih tidak merasa malu untuk memang?gilku sebagai kakakmu? Sudah lama aku mencium kebusukanmu. Kau kira aku ti?dak melihat ketika kau bersekongkol dengan Thay-san-sam-long (Tiga Seriga?la dari Thay-san) untuk mencegat Tong-Lo-ji (Tong si kedua, maksudnya mendi?ang Tong Tian) di luar kota Kiang-leng untuk merampas kitab milik Tong Lo-ji? Dan kau kira aku juga tidak tahu keti?ka kau menggeledah barang-barang di kamar A-hong dan A-lian ketika kedua anak itu menginap di rumahmu? Hem, Ting Ciau-kun, serigala berbulu domba, apa jawabmu sekarang ?"
Wajah Ting Ciau-kun menjadi merah padam dan pucat pasi berganti-ganti. Ia mengenal Toakonya ini berwatak sa?ngat keras, ia insyaf bahwa Toakonya tentu tidak akan memberi ampun kepadanya meskipun ia adalah saudara angkat?nya. Akhirnya Ting Ciau-kun menjadi nekad, serunya kepada Te-yong To-jin, "Totiang, sesuai dengan janji kita, mari kita tanggung bersama-sama semua aki?bat perbuatan kita !"
Siau-lim-hong-ceng juga seorang yang berwatak keras, maka seruan Ting Ciau-kun itu semakin mengobarkan amarahnya. Karena marahnya dia justeru tertawa terbahak-bahak, "Ha-ha-ha! Ka?lian sampah-sampah dunia persilatan ini silahkan maju serempak, supaya sekaligus dapat menghemat tenagaku untuk membersihkan bumi dari orang-orang semacam kalian! Hitung-hitung biarlah akupun membantu para hidung kerbau da?ri Bu-tong-pay itu membersihkan pergu?ruannya dari murid-murid murtad."
Te-yong To-jin sendiri memangnya sedang dalam keadaan marah dan kecewa bercampur aduk, sebab ilmu beracun Tok jan-jiunya telah lenyap gara-gara ra?hib setengah waras ini. Maka ajakan Ting Ciau-kun untuk maju serempak itu tidak perlu diulang untuk kedua kalinya, langsung mendapat sambutan imam itu. Bahkan Te-yong Tojin telah lebih dulu bertindak lebih dulu dari Ting Ciau-kun. Sambil menggeram marah, Te-yong Tojin melecutkan hud-timnya ke wajah Hong-koan Hweshio dengan sekuat tenaga. Biarpun tangan kanannya sudah lumpuh, tapi tangan kirinya masih cukup bertenaga dan berbahaya jika me?mainkan hud-timnya, apa lagi ditambah dengan sepasang kakinya yang masih da?pat bergerak dengan Lian-hoan-tui (Tendangan Berantai) yang tidak kalah berbahayanya itu.
Ting Ciau-kunpun segera menyusul ikut terjun ke gelanggang.
Demikianlah, dua orang tokoh yang sama-sama terkenal dan memiliki kepandaian khasnya masing-masing itu telah menggabungkan kekuatannya. Ja?rang tokoh dunia persilatan yang sang?gup menghadapi gabungan kekuatan kedua orang tokoh itu.
Tetapi lawan mereka kali ini ada?lah Siau-lim-hong-ceng, seorang tokoh maha sakti yang terhitung dalam "Sepu?luh orang terkuat di daratan Tiong-goan" saat itu, yang kepandaiannya seja?jar dengan Guru dari Te-yong Tojin di Bu-tong-san. Maka gabungan Te-yong Tojin dan Ting Ciau-kun itu bagaikan gelombang yang membentur tembok baja !
Te-yong To-jin lalu mengeluarkan salah satu jurus simpanannya. Kebutan di tangan kiri menegak ke atas, dan tiba-tiba setiap bulu-bulu kebutan itu berubah menjadi kaku seperti kawat sehingga hud-tim itupun berubah menja?di seperti sekuntum kembang raksasa. Gerakan itu indah dan namanyapun in?dah, yaitu Lian-hoa-tiong-chun (tera?tai di musim semi). Tapi dibalik se?gala keindahan itu terkandunglah suatu serangan maut yang tiada taranya. Bulu-bulu kebutan yang terpencar-pencar itu, terbagi-bagi, ada yang menyerang jalan darah gi-bun-hiat di tenggorokan, yau-im-hiat di belakang telinga, yang-pek-hiat di tengah-tengah batok kepala dan tay-yang-hiat di pelipis. Agaknya imam sesat itu sudah benar-be?nar marah, sebab kakinyapun ikut me?nendang ke tempat mematikan dengan tendangan mautnya.
Serangan maut itu masih diperbe?rat pula oleh gempuran Ting Ciau-kun dari arah lain dengan cengkeraman Eng-jiau-kang dan hantaman Ngo-heng-ciang-nya yang dilancarkan sekaligus.
Meskipun rahib Hong-koan tangguh pula, namun ia tidak berani meremehkan serangan-serangan kedua orang lawan?nya itu. Dengan lengan jubahnya yang lebar itu ia mengebas ke atas, segulung tenaga yang kuat segera tercipta dan membuat bulu-bulu kebutan Te-yong Tojin itu buyar tanpa mengenai sasa?rannya. Sementara itu tangan Hong-ko?an Hweshio yang lain menghantam ke de?pan dengan jurus Teng-san-gwa-hou (Mendaki Gunung Naik Harimau), salah satu jurus ampuh dari ilmu silat Siau-lim-lo-han-kun yang terkenal.
Terdengar suara bergedebuk keras dua kali berturut-turut, menyusul itu tampaklah Ting Ciau-kun dan Te-yong Tojin sama-sama jatuh bergulingan. Ternyata pukulan dahsyat Ting Ciau-kun secara telak berhasil mengenai pundak Hong-koan Hweshio, tapi rahib itu te?lah membentengi diri dengan ilmu kebal Tiat-po-san (Ilmu Baju Besi), se?hingga Ting Ciau-kun sendirilah yang roboh karena tenaga pukulannya yang membalik.
Apa yang dialami oleh Te-yong To?jin bahkan lebih berat dari teman sekomplotannya itu. Tendangan Lian-hoan-tuinya dengan telak menghajar perut Siau-lim-hong-ceng, namun Te-yong To?jin sendiri yang jatuh terbanting dengan pergelangan kaki yang keseleo. Imam itu merasa tendangannya tidak mengenai tubuh manusia namun seakan-a?kan mengenai tembok baja yang kuat bu?kan main. Bukan itu saja nasib sial Te-yong Tojin, tapi pundaknya sempat terserempet oleh jotosan si rahib se?hingga tulang pundaknya patah seke?tika. Jelas penderitaan imam itu jauh lebih besar dari apa yang diderita Ting Ciau-kun.
Namun Te-yong Tojin rupanya sudah kalap dan tidak memperhatikan lagi ma?ti hidupnya sendiri. Dengan mengertak gigi menahan rasa sakitnya, ia kembali melabrak maju sambil menggerung-gerung seperti orang gila. Kebutan di tangan kirinya sangat gencar melaku?kan serangan-serangan yang sudah tidak menghiraukan pertahanannya lagi.
Sebaliknya Ting Ciau-kun yang le?bih licik itu dapat berpikir lebih te?nang dibandingkan si imam. Melihat Te-yong-tojin telah menyerang Hong-koan Hweshio sekalap itu, Ting Ciau-kun merasa itulah sebuah kesempatan bagus untuk menyelamatkan dirinya sendiri. Secepat kilat ia melompat menjauhi ge?langgang, membalik tubuh, dan sekuat tenaga ia melarikan diri ke dalam hutan cemara!
Te-yong Tojin sempat pula melihat kaburnya Ting Ciau-kun, orang yang ba?ru saja saling menyatakan "setia ka?wan" dengan dirinya itu. Teriak imam itu dengan suara parau karena marahnya, "Bagus sekali bangsat she Ting! Menja?di setanpun akan tetap kuuber dirimu!"
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 10 SEBETULNYA imam itu masih ingin memakinya, tapi ia tidak menda?pat kesempatan lagi. Sebuah pukulan Poan-jiak-ciang telah mendarat dengan telak di dada Te-yong Tojin. Tubuh ku?rus imam itu terpental beberapa lang?kah surut bagaikan diseruduk kerbau raksasa, lalu terbanting dengan me?nyemburkan darah dari mulutnya. Imam itu masih mencoba menggeliat dan me?ronta dari cengkeraman maut, namun ma?ut tetap saja menjemputnya tanpa kenal ampun.
Selesai membereskan Te-yong Tojin, si rahib angin-anginan itu masih be?lum merasa puas, ia segera mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk membu?ru ke arah larinya Ting Ciau-kun. Agaknya rahib ini masih tetap merasa penasaran sebelum berhasil membekuk adik angkatnya yang berhati khianat itu.
"Bangsat pengecut! Kabur ke ujung bumipun akan tetap kukejar dirimu !" suaranya yang penuh kemarahan itu mengguntur, menggetarkan hutan cemara di luar kota Tay-beng itu. Bagai?kan seekor burung rajawali yang mela?yang di angkasa, Hong-koan Hwesio me?lompat-lompat dari pohon ke pohon de?ngan cepat sekali.
Waktu itu Ting Ciau-kun benar-benar dalam keadaan ketakutan sete?ngah mati, dan ini menyebabkan tubuh?nya seakan-akan mendapat tambahan te?naga entah dari mana datangnya. Ia ti?dak peduli lagi akan duri-duri dan ranting-ranting tajam yang menggores kulitnya dan merobek-robek pakaian?nya, dipacunya sepasang kakinya untuk berlari secepat mungkin. Untunglah hu?tan itu cukup lebat, sehingga Ting Ciau-kun bisa menyusup kesana kema?ri seperti seekor kelinci, bahkan ka?dang-kadang merayap-rayap seperti kadalpun tidak segan-segan dilakukannya asal bisa lolos dari pengejaran orang yang ditakutinya itu.
Sementara teriakan-teriakan Hong-koan Hweshio yang seolah bergaung di seluruh sudut hutan itu masih juga terdengar, "Pengecut ! Bangsat! Anak kura-kura! Hayo keluar dari persembunyianmu!"
Karena tidak berhasil menemukan buruannya, rahib berangasan itupun se?makin marah. Untuk melampiaskan kema?rahannya, ia menghajar roboh beberapa pohon yang batangnya sebesar paha! De?mikianlah hutan itu bagaikan diamuk seekor gajah karena kemarahan rahib itu.
Tengah rahib itu mengamuk kalang kabut, tiba-tiba didengarnya sebuah suitan nyaring dari arah tempat semu?la, yaitu tempat tubuh Wi-hong masih terbaring dalam keadaan pingsan.
Terkesiaplah Hong-koan Hweshio mendengar suitan yang tajam menusuk telinga itu, menandakan bahwa di tem?pat itu kembali telah muncul seorang tokoh sakti yang paling tidak sejajar dengan dirinya. Rahib itu juga menyesal karena merasa telah berbuat ce?roboh dengan meninggalkan Wi-hong ter?baring luka sendirian tanpa ada yang menjaganya, sehingga segala kemungkin?an buruk bisa saja terjadi atas diri anak itu. Dengan tergesa-gesa Hong-koan Hwesio berbalik ke tempat semula.
Dan begitu tiba di tempat semula, berteriaklah rahib itu dengan gugup dan marahnya, "Celaka tigabelas! Kena?pa aku begitu terburu napsu dan cero?boh meninggalkan A-hong sendirian di sini? Kini bagaimana aku harus ber?tanggung jawab kepada ayahnya di alam baka?" Ternyata tubuh Wi-hong sudah tidak ada di tempat itu lagi, jelas tidak mungkin pergi sendiri, sebab anak itu sedang dalam keadaan luka pa?rah. Satu-satunya kemungkinan adalah diculik oleh orang yang memperdengarkan suitan tadi.
Dalam bingung dan marahnya, sege?ra Hong-koan Hwesio mengerahkan tenaga dalam dan berteriak sekuatnya, "Saha?bat dari manakah yang telah mengambil keponakanku?! Harap suka memperlihatkan diri jika kau cukup jantan!"
Suaranya bergetar hebat bagaikan halilintar, biarpun si penculik sudah lari beberapa li tentu masih akan da?pat mendengarnya.
Teriakan rahib itu memang mendapatkan tanggapan. Dari kaki bukit yang berjarak kira-kira empat li dari situ terdengarlah suitan nyaring seperti tadi, lalu disusul suara jawaban lembut seperti nyamuk mengiang yang terdengar jelas kata demi kata menyelusup ke telinga Hong-koan hwesio, "Keledai gundul edan, tidak dapat berbuat lainkah kau selain berteriak-teriak dan mengamuk seperti orang gila? Akulah yang membawa A-hong. Ia dalam keadaan luka parah dan perlu pengobatan secepatnya. Jika ia harus menunggu sampai kau menghabiskan semua pepohonan di hutan ini, akan mati tak tertolong lagi. Nah, sampai jumpa lagi."
Mendengar suara yang dilontarkan dengan kepandaian coan-im-jip-bit (mengirim gelombang suara) itu, seketika tenanglah hati rahib Hong-koan, sebab ia sangat mengenal suara itu. Itu ada?lah suara seorang sahabatnya yang ber?nama Oh Yu-thian dan berjulukan Soat-san-kiam-sian (Dewa Pedang dari Soat-san). Antara Siau-lim-hong-ceng dan Soat-san-kiam-sian ada kesamaan tabiat, yaitu sama-sama bertabiat keras dan juga sama-sama gemar mengembara. Se?dang antara Soat-san-kiam-sian dengan Wi-hong ada hubungan perguruan, sebab Oh Yu-thian adalah angkatan tua dalam perguruan Soat-san-pay, dan Wi-hong harus memanggilnya "su-siok-co" (paman kakek guru) kepada tokoh itu.
Setelah merasa yakin bahwa nasib Wi-hong akan cukup terjamin dalam per?lindungan tokoh Soat-san-pay itu, maka kemarahan Hong-koan juga mulai susut sebagian besar, bahkan niatnya untuk menangkap dan menghukum Ting Ciau-kun juga mulai luntur. Kini rahib itu mu?lai berpikir untuk menguburkan mayat Te-yong Tojin. Bagaimanapun jahatnya imam itu pada masa hidupnya, tapi Hong koan Hweshio tidak akan sampai hati membiarkan mayatnya terkapar tidak terurus dan akan menjadi santapan bi?natang-binatang liar.
Maka meskipun dengan sangat se?derhana, tubuh Te-yong Tojinpun dima?kamkan selayaknya. Bahkan rahib Hong-koan sempat membuatkan sebuah tanda khusus di atas kuburan imam itu, agar kelak jika tokoh-tokoh Bu-tong-pay me?nanyakan tentang murid murtadnya ini, ia akan dapat menunjukkan kuburannya.
MATAHARI terbit di sebelah timur lalu berjalan dan kemudian tenggelam ke sebelah barat, membuat sebuah garis lingkaran raksasa yang diulang-ulangnya setiap hari. Pereda?ran alam semesta terus berlangsung dengan teratur dan mempesona. Tak seorang manusiapun, betapa hebatnya ia dalam dunia ini, yang bisa mempercepat atau memperlambat peredaran yang dikendalikan oleh Tangan Yang Maha Agung itu. Hari demi hari berlalu, dan tak terasa sudah dua tahun sejak keja?dian terbunuhnya Te-yong Tojin di de?kat kota Tay-beng itu.
Dua tahun bagaikan sedetik dalam umur alam semesta, namun cukup berarti bagi manusia. Selama dua tahun ini du?nia persilatan tidak pernah lowong da?ri gejolak yang terjadi di dalamnya. Gejolak kecil atau gejolak besar. Per?tentangan, pembunuhan demi pembunuhan, pembalasan demi pembalasan terus ber?langsung, manusia tidak jemu-jemunya saling menumpahkan darah di antara se?samanya. Kebangkitan dan keruntuhan silih berganti. Dan dalam anggapan ka?um persilatan, hal itu cukup wajar. Siapa yang lebih tinggi ilmunya, dialah yang benar, dan si lemahpun tergi?las tanpa daya.
Di antara gejolak-gejolak dunia persilatan itu, ada suatu kegiatan yang memaksa seluruh dunia persilatan untuk menumpahkan perhatiannya. Tidak perduli yang memandangnya dengan pe?nuh harapan maupun yang memandangnya dengan cemas.
Sudah setahun ini dunia persilatan digemparkan dengan munculnya suatu gerombolan kuat yang menamakan dirinya Hwe-liong-pang (Perkumpulan Naga Api), hanya dalam waktu satu tahun, gerom?bolan yang tadinya tidak dikenal orang ini telah berubah menjadi sebuah gerombolan yang paling ditakuti oleh dunia persilatan. Tokoh-tokohnya yang berkepandaian tinggi muncul di mana-mana, dan akibat-akibat perbuatannya-pun terasa di mana-mana. Tetapi belum ada seorangpun yang tahu apa tujuan perjuangan gerombolan Hwe-liong-pang ini, bahkan masih membingungkan seba?gian besar umat persilatan. Di bebera?pa daerah terdengar pujian-pujian yang memuji-muji Hwe-liong-pang sebagai gerombolan pembela rakyat tertindas dalam menentang penguasa-penguasa la?lim. Tetapi di tempat lain terdengar keluhan dan kutukan yang dialamatkan kepada gerombolan ini, dianggap seba?gai gerombolan penjahat kejam yang ti?dak segan-segan berbuat apapun demi mencapai tujuannya. Untuk sementara tidak dapat segera ditentukan apakah munculnya Hwe-liong-pang ini merupakan berkah atau kutuk bagi dunia persilatan.
Masih ada satu hal lagi yang mem?buat orang bingung terhadap Hwe-liong-pang ini. Yaitu, siapakah pemimpinnya dan di manakah cong-toh (markas pusat) Hwe-liong-pang, tak seorangpun tahu, kecuali tokoh-tokohnya sendiri. Yang terang, Hwe-liong-pang itu ada dan be?kerja dengan rapi serta punya keku?atan yang besar.
Kota Kay-hong adalah sebuah kota besar yang terletak di dataran rendah sungai Hoang-ho (Sungai Kuning). Kota ini sangat ramai dan hidup, selain ka?rena letaknya yang bagus untuk perda?gangan, juga karena peninggalan kebu?dayaan kunonya dan pernah menjadi pu?sat pemerintahan di jaman dulu.
Siang itu nampak kesibukan kota Kay-hong tidak ada bedanya dengan hari hari biasanya. Orang hilir mudik di jalan raya dengan keperluannya sendiri sendiri, ada yang begitu tergesa-gesa dan ada pula yang kelihatannya santai-santai saja. Nampak pula banyaknya orang-orang asing dari luar daerah, ka?rena kota Kay-hong memang terletak di jalur lalu lintas yang ramai, baik me?lalui darat maupun melalui sungai.
Di antara orang-orang yang berhilir-mudik di jalan raya itu, keliha?tanlah seorang lelaki memasuki kota dari sebelah timur, hanya dengan ber?jalan kaki. Dia bertubuh semampai dan padat, berpakaian ringkas, dan pada pinggangnya terlibatlah sehelai joan-pian (ruyung lemas atau cambuk) yang terbuat dari baja. Kepalanya memakai sebuah tudung bambu lebar yang tepi?nya melengkung ke bawah sehingga muka?nya terlindung oleh bayangan tutup ke?palanya. Dengan langkah-langkah yang mantap tetapi tidak tergesa-gesa, orang itu menuju ke arah sebuah rumah makan yang cukup ramai di tepi jalan, dan mengambil tempat duduk di dalam?nya.
Dengan acuh tak acuh ia perlahan-lahan membuka tudung bambunya dan menyandarkannya di kaki meja. Kini nam?paklah mukanya yang pucat dan dingin seperti muka mayat itu. Dilengkapi de?ngan pakaiannya yang berwarna abu-abu pucat itu, maka orang ini secara kese?luruhan telah menimbulkan kesan dingin dan menyeramkan. Membuat orang yang memandangnya jadi bergidik ngeri, mes?kipun saat itu adalah siang hari bo?long.
Pelayan-pelayan rumah makan itu agaknya cukup banyak pengalaman dalam meladeni tamu, sebab Kay-hong adalah kota besar tempat berkumpulnya macam macam manusia. Pelayan-pelayan itu ta?hu bahwa tamu bermuka pucat itu tentu orang-orang dunia persilatan yang bia?sanya gemar berkelahi itu, maka pelayan-pelayan itu tidak berani terlambat dalam meladeninya. Begitu orang itu duduk, seorang pelayan dengan sopan menanyakan apa yang hendak dimakan ta?munya, dan si tetamu memesan sepoci teh serta sepiring daging kambing bakar yang dimasak cara Mongol.
Para tetamu lain di rumah makan itu tidak begitu menghiraukan kehadir?an tetamu bermuka pucat itu. Tamu-tamu aneh semacam itu memang tidak kurang jumlahnya di kota sebesar Kay-hong.
Tiba-tiba dari arah jalan raya di depan rumah makan itu terdengar suara derap beberapa ekor kuda. Lalu tiga ekor kuda gurun yang perkasa muncul di depan rumah makan itu, dengan tiga orang penunggangnya yang berbadan tegap tegap pula. Beberapa pelayan cepat me?nyambut tamu-tamu baru ini, bahkan membantu menambatkan kuda mereka di samping rumah makan itu.
Ketiga orang yang datang menung?gang kuda itu lalu memasuki rumah ma?kan dengan langkah lebar dan dada mem?busung gagah. Sikap mereka yang gagah jelas menunjukkan bahwa mereka termasuk orang-orang dunia persilatan pula, yang dua orang bertubuh tinggi kekar, dan seorang lagi bertubuh gemuk pendek tetapi berotot gempal. Pakaian mereka yang berlumut debu menandakan bahwa ketiga orang ini baru saja menempuh sebuah perjalanan yang cukup jauh.
Tamu muka dingin yang datang le?bih dulu itu melirik sejenak ke arah tiga orang itu. Pandangan matanya nam?pak bersinar sejenak, setelah itu dengan santai dan acuh tak acuh ia me?lanjutkan menikmati daging kambing ba?karnya.
Ketiga orang penunggang kuda itu telah mengambil tempat duduk pula, dan meletakkan senjata-senjata yang mereka bawa. Lalu mereka memesan makanan dan minuman pula. Sementara menunggu da?tangnya pesanan mereka, mereka bertiga saling berbicara dengan ributnya, me?nandakan bahwa mereka berasal dari lingkungan kasar yang kurang terdidik.
Ketiga orang inipun tidak ter?lalu diacuhkan oleh orang-orang lain yang sedang di rumah makan itu. Terla?lu banyak jumlah orang-orang seperti mereka, dan mereka bertiga tidak memi?liki keistimewaan apa-apa untuk diper?hatikan secara berlebihan.
Namun tidak lama kemudian datang lagi seorang tamu, dan tamu kali ini sangat menarik perhatian terutama ba?gi kaum lelakinya. Sebab yang muncul belakangan ini adalah seorang gadis cantik berusia sekitar duapuluh tahun, berpakaian ringkas pula dan membawa sebuah tudung bambu yang digendongkan di punggungnya. Di dalam jaman seka?cau itu, ternyata ada juga seorang ga?dis cantik yang berani melakukan per?jalanan seorang diri, hal itu cukup mengherankan. Namun kalau orang meli?hat buku-buku tangan gadis itu berku?lit tebal, jelaslah bahwa gadis itu tampaknya memiliki bekal yang dapat diandalkan untuk berjalan seorang diri. Apalagi tatapan mata gadis itu sangat tajam dan memancarkan rasa percaya diri sendirinya yang tebal.
Dengan tenangnya gadis itu melin?tasi ruangan makan itu dan mendekati ke arah pengurus rumah makan itu, yang tengah duduk di belakang meja sambil membuat catatan-catatan. Tanya gadis itu, "Paman, apakah tempat paman ini juga menyediakan tempat beristirahat yang cukup nyaman?"
Pengurus rumah makan itu ternyata adalah seorang lelaki setengah tua yang berpunggung agak bungkuk. Cepat cepat ia meletakkan pena serta menja?wab sambil tertawa ramah, "Tentu saja ada, nona, bahkan tempatku ini merupa?kan tempat yang paling bersih dan paling nyaman di seluruh kota Kay-hong ini."
Gadis itu tertawa mendengar peng?urus rumah makan itu memuji-muji tem?patnya sendiri. Katanya. "Asal bersih, udaranya segar, dan suasananya nyaman, itu cukup buat aku."
Lelaki bungkuk itu sendiri yang mengantarkan gadis itu ke bagian bela?kang rumah makan yang dijadikan tempat penginapan itu. Di situ masih ada be?berapa tempat kosong. Gadis itu memi?lih sebuah tempat yang agak menyen?diri, dikelilingi oleh rumpun bunga-bu?nga yang manis dan sejuk.
Sebelum pengurus rumah makan itu pergi meninggalkannya, si gadis sempat memberikan setahil perak dan memesan agar disediakan nasi, beberapa macam sayuran dan sepoci arak ringan. Diam diam makin yakinlah pengurus rumah ma?kan itu bahwa gadis itu adalah seorang dari dunia persilatan, sebab pa?da jaman itu kurang lazim kalau seorang gadis minum arak, kecuali gadis-gadis dunia persilatan.
Setelah sendirian berada dalam biliknya dan menutupkan pintu, gadis itu meletakkan pau-hok (buntalan be?kal) dan tudung bambunya. Dibukanya jendela yang menghadap ke arah taman bunga, agar harum bunga yang segar itu masuk ke dalam. Lalu iapun duduk termenung sambil menunggu datangnya pesanannya.
Tiba-tiba lamunannya terputus ke?tika mendengar langkah-langkah kaki beberapa orang melintas di depan bi?liknya, diselingi suara orang-orang bercakap-cakap. Didengar dari suara mereka yang keras dan kasar, jelaslah yang sedang berjalan lewat itu adalah tiga lelaki berkuda yang duduk makan di ruangan depan tadi, dan agaknya merekapun juga menginap di tempat ini.
Sebenarnya gadis itu sudah cukup lelah oleh perjalanan jauh yang telah ditempuhnya, tetapi percakapan orang orang yang lewat di depan biliknya itu ternyata cukup menarik perhatian.
Terdengar salah seorang dari ke?tiga orang itu berkata dengan suaranya yang agak ditahan-tahan, "Tidak ada salahnya kita melepaskan lelah dan me?nyegarkan diri sejenak di tempat ini. Sudah beberapa hari kita terus mene?rus berpacu di atas punggung kuda, se?hingga rasanya pinggangku hampir patah."


Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu terdengar suara yang lain, "Baiklah, Sam-te (adik ketiga), tapi aku tegaskan bahwa kita hanya akan menginap semalam di sini, tidak boleh lebih. Besok pagi-pagi benar kita ha?rus sudah berangkat kembali, tidak boleh berlambat-lambatan. Kita harus ingat, bukan kebiasaan orang-orang Hwe-liong-pang untuk melepaskan buru?annya begitu saja, mereka pasti akan mengejar terus."
Terdengar suara yang pertama ta?di tertawa dan menyahut, "Ha-ha-ha, Ji-ko (kakak kedua), kenapa nyalimu jadi sekecil nyali tikus? Baru mengalami bahaya kecil saja kau sudah berubah demikian penakut. Secepat-cepatnya ge?rakan orang-orang Hwe-liong-pang itu, mereka tidak akan sanggup mengejar kita lagi. Dalam hal inipun kita masih akan ditertawai oleh teman-teman Hwe-li?ong-pang itu, mereka tidak akan sang?gup mengejar kita lagi. Dalam hal ini?pun kita masih akan ditertawai oleh teman-teman kita di dunia persilatan, karena terbirit-birit lari ketakutan, ibaratnya sampai suara daun jatuhpun sudah membuat kita kaget dan bermuka pucat. Ji-ko, betapa hebatnya orang-o?rang Hwe-liong-pang itu, namun hendak?nya jangan engkau lupakan bahwa kita bertiga adalah orang-orang yang berju?luk Hong-ho-sam-hiong (Tiga Jagoan Da?ri Hong-ho), yang pernah malang-melin?tang sepanjang sungai Hoang-ho ini. Sikapmu itu bisa membuat pamor kita jadi merosot."
Orang yang dipanggil "sam-te" itu agaknya masih akan mengoceh lebih pan?jang lagi, tapi terdengar suara lain yang bernada dalam dan cukup berwibawa, "Sam-te, jangan kehilangan kewaspadaan, perkataan Ji-te (adik kedua) itu cukup beralasan. Bagaimanapun juga kita harus bersikap hati-hati mengingat lawan yang kita hadapi itu bukan lawan sembarangan. Berurusan dengan Hwe-liong-pang tidak ada urusan benar atau salah, yang ada cuma siapa yang kuat dan siapa yang lemah. Dan kita juga tidak perlu malu mengakui bahwa kita bukan tandingan mereka sehingga kita ha?rus melarikan diri."
Agaknya si "sam-te" itu cukup me?nyegani toa-ko (kakak tertua) yang bi?cara terakhir itu, sehingga iapun ti?dak membantah lagi. Langkah ketiga orang itu terdengar semakin jauh, kemu?dian tidak terdengar lagi.
Gadis pengembara itu dapat me?nangkap percakapan itu, lalu ia mena?rik napas dalam-dalam sambil bergumam, "Hemm, di mana-mana kudengar orang membicarakan masalah Hwe-liong-pang dengan ketakutan atau dengan kekagum?an. Memangnya orang-orang Hwe-liong pang itu sesakti malaikat, atau berke?pala tiga dan bertangan enam? Huh, be?nar-benar menjemukan. Aku justeru ingin bertemu dengan orang-orang Hwe-liong-pang untuk menguji apakah ke?tangguhan mereka setimpal dengan nama besar mereka yang menakutkan atau cuma bualan kosong saja."
Sambil tetap duduk di tepi pembaringannya, gadis itu menggerak-ge?rakkan kedua tangannya melakukan gerakan-gerakan silat. Agaknya tangan?nya benar-benar sudah gatal-gatal ingin berkelahi!
Tidak lama kemudian, seorang pe?layan rumah makan itu masuk setelah lebih dulu mengetuk pintu. Tangannya membawa nampan berisi semua makanan dan minuman pesanannya tadi.
Setelah meletakkan makanan dan minuman itu di atas meja, pelayan itu segera hendak pergi. Tetapi gadis itu telah mengeluarkan perak setengah tahil yang diletakkan di atas meja, sam?bil berkata, "Uang ini akan menjadi mi?likmu, apabila kau dapat menjawab beberapa pertanyaanku secara baik."
Pelayan itu menyeringai memperli?hatkan deretan giginya yang coklat ka?rena terlalu banyak mengisap tembakau itu. Dengan gerak yang cepat karena sudah terbiasa menerima hadiah, ia me?nyambar potongan perak itu dan mema?sukkan ke kantongnya. "Silahkan bertanya, nona," katanya.
Gadis itu tidak bicara berputar-putar, langsung saja ia mulai bertanya tentang hal-hal yang ingin diketahui?nya, "Kau lihat tiga orang yang berbi?cara keras dan menyebut dirinya Hoang-ho-sam-hiong itu?" Dan ketika pelayan itu menganggukkan kepalanya, si gadis melanjutkan, "Nah, mereka menginap di sebelah mana?"
Menurut adat istiadat sangatlah janggal seorang gadis menanyakan di mana tempat laki-laki yang belum dike?nalnya. Tetapi pelayan itu cukup paham bahwa gadis yang berada di depannya itu bukan gadis sembarangan namun ada?lah gadis yang berkepandaian tinggi, urusan yang hendak dibicarakan dengan Hoang-ho-sam-hiongpun tentu urusan dunia persilatan yang tidak bisa di?campuri oleh sembarangan orang. Karena itu si pelayan tidak mau pusing-pusing lagi, yang penting ia sudah menerima hadiah, maka ia segera menerangkan bahwa Hong-ho-sam-hiong mengambil sebuah kamar besar di bagian belakang, yang sewanya agak murah karena berde?katan dengan istal kuda.
Gadis itu mengangguk-anggukkan kepalanya dan bertanya lagi, "Bagus. Kau tentu juga tahu di mana tempat menginapnya lelaki berpakaian abu-abu yang bermuka dingin seperti mayat hi?dup itu?"
Sahut si pelayan, "Ya, orang asing menyeramkan itu justeru menyewa kamar tepat berhadapan dengan kamar ketiga orang kasar itu. Meskipun ber?hadapan tetapi terpisah oleh sebuah halaman bunga yang agak luas."
Meskipun gadis itu sendiri belum banyak pengalamannya di dalam dunia persilatan, namun ia dengan cerdik da?pat menduga bahwa lelaki bertampang mayat hidup itu agaknya sengaja menga?wasi kepada tiga orang jagoan Hong-ho itu, dan agaknya di antara mereka "ada urusan". Tapi dari pihak manakah lela?ki bertampang mayat hidup itu? Apakah dari Hwe-liong-pang yang bertugas mem?buru dan "menyelesaikan" Hong-ho-sam-hiong? Jelas pertanyaan demikian tidak mungkin diajukan kepada si pelayan.
Maka gadis itu mengajukan perta?nyaan yang lain dalam masalah yang lain pula, "Baiklah, sekarang satu perta?nyaan lagi dan setelah itu kau boleh pergi. Apakah kau tahu di kota Kay-hong ini ada seorang sasterawan tua yang bernama Liu Tay-liong? Kalau tahu, di mana tempat tinggalnya?"
"Tak pernah kudengar nama itu," sahut si pelayan. "Aku memang mengenal beberapa orang she Liu, ada Liu Sam si tukang sepatu, ada pula Liu Toa-ya yang punya rumah jagal babi, juga Liu..."
"Sudahlah kalau tidak tahu," po?tong gadis itu mulai duduk memikirkan beberapa persoalan yang bergalau di dalam kepalanya. Didengar dari pembi?caraan Hong-ho-sam-hiong yang sempat dikupingnya tadi, jelaslah bahwa keti?ga orang itu sedang diburu-buru oleh orang-orang Hwe-liong-pang, entah ka?rena urusan apa. Sedangkan sikap orang bermuka dingin itupun cukup menarik perhatian. Tadi ketika gadis itu lewat di ruangan makan, gadis itu sempat me?lirik ke pinggang orang itu dan dapat dilihatnya sehelai cambuk baja yang melilit di pinggang orang bermuka dingin itu. Orang bermuka dingin itu?pun sempat melirik beberapa kali ke arah Hong-ho-sam-hiong, dan ternyata menyewa kamar yang berhadapan dengan kamar Hong-ho-sam-hiong pula, agaknya bukan tanpa maksud tertentu. Apakah orang bermuka dingin itu adalah suruhan Hwe-liong-pang yang hendak memburu Hong-ho-sam-hiong?
Selain rasa keinginan tahu dari gadis itu tentang urusan Hwe-liong-pang, gadis itu juga masih mengemban tugas, yaitu mencari sasterawan tua bernama Liu Tay-liong di kota ini, un?tuk menyampaikan surat dari gurunya. Tapi nampaknya orang yang bernama Liu Tay-liong itu cukup sulit untuk dicari.
Akhirnya gadis itu merasa bahwa yang penting adalah mengenyangkan pe?rutnya lebih dulu. Begitu perutnya ke?nyang, ditambah lagi dengan secawan arak yang terasa menghangatkan urat-u?ratnya, maka semangat gadis itupun berkobar kembali dan kelelahannyapun lenyap sebagian.
Terdorong oleh keinginannya un?tuk mengetahui tentang gerombolan Hwe-liong-pang yang sedang menjadi buah bibir orang itu, maka gadis itu memu?tuskan untuk menemui Hong-ho-sam-hiong hari itu juga dan mencari keterangan yang diperlukan. Tekadnya sudah bulat ia akan ikut campur dalam urusan itu, untuk menguji sampai di mana hasil la?tihan keras ilmu silatnya selama ini. Selain itu, iapun cukup berbesar hati bahwa ia akan mendapat keterangan se?perlunya dari ketiga orang itu, sebab nampaknya mereka merupakan orang-orang yang bersikap cukup terbuka.
Setelah agak merapikan pakaiannya, gadis itu lalu berjalan menuju tempat Hong-ho-sam-hiong menurut petunjuk pelayan tadi. Ia tidak sulit untuk mene?mukan tempat itu, sebab dari jarak be?lasan langkah sudah terdengar suara "Sam-te" yang keras itu, diselingi dengan suara dua orang lainnya yang memperingatkannya untuk berhati-hati.
Ketika gadis itu mengetuk pintu, segera terdengar suara gemerincing senjata-senjata disiapkan, agaknya ketiga orang jagoan Hong-ho itu begitu waswas sehingga setiap gerakan yang bagaimana kecilnyapun sudah cukup membuat mereka bersiap-siap dengan senjatanya.
"Siapa?!" terdengar suara bentakan "sam-te" paling keras.
"Aku ingin bertemu dan berbicara dengan tuan-tuan bertiga, harap tuan tuan bertiga suka membukakan pintu ba?giku," gadis itu menyahut dengan beraninya.
Ketiga jagoan Hong-ho itu terce?ngang karena mereka mendengar suara perempuan, apa lagi perempuan muda. Sejenak mereka bertiga saling bertukar pandangan. "Sam-te" yang bersenjatakan sebatang toya besi itu adalah yang pa?ling tidak sabaran, ia sudah melang?kah ke pintu, namun keburu dicegah oleh toa-konya yang bersenjata sebuah sam-ciat-kun (ruyung tiga ruas) dan ji-konya yang bersenjatakan sepasang liu-yap-to (golok tipis daun liu).
"Siapa kau? Harap menyebutkan na?ma," kata Ji-ko yang sifatnya lebih berhati-hati dari pada sam-tenya itu.
Gadis di luar pintu yang masih hijau dalam dunia persilatan itu men?jawab dengan polosnya, "Aku she Tong bernama Wi-lian. Aku ingin berbicara dengan tuan bertiga tentang urusan tuan-tuan dengan Hwe-liong-pang."
Jawaban yang terlalu langsung tanpa berliku-liku itu ternyata telah menimbulkan salah paham di pihak Hong-ho-sam-hiong. Ibaratnya bara api yang masih merah, sedikit tiupan saja akan cukup untuk mengobarkan kembali. Sam-te yang pemarah itu langsung menanggapinya sesuai dengan sifat pembawaan?nya, teriaknya, "Bagus, bangsat-bang?sat Hwe-liong-pang, ternyata kalian berhasil juga mengejar kami sampai ke tempat ini! Tetapi kau kira Hong-ho-sam-hiong akan menyerah begitu saja untuk diperlakukan semaunya oleh kali?an?!"
Gadis itu bukan lain dari Tong Wi-lian, anak ke tiga dari Tong Tian, yang baru saja berguru selama dua ta?hun di Siong-san itu. Ia sangat terke?jut mendengar tanggapan Hong-ho-sam-hi?ong yang kasar itu, namun Wi-lianpun cukup menyadari bahwa ia telah kesa?lahan bicara. Terhadap orang-orang yang sedang dalam keadaan perasaannya terlalu peka karena terancam bahaya itu, ucapan yang terlalu langsung bi?sa menimbulkan salah paham.
Ternyata kemudian Wi-lian juga tidak sempat memberi penjelasan kepa?da ketiga orang itu. Pintu telah ter?buka, lalu Sam-te yang bertubuh pendek gemuk tetapi gempal ini telah melompat sambil memutar toya besinya, lalu langsung disodokkan ke ulu hati Wi-lian. Toya besi itu nampaknya cukup berat, namun Sam-te ini ternyata mampu menggerakkannya seringan orang memain?kan sepotong bambu saja. Dari sini da?patlah dinilai bahwa orang ketiga dari Hong-ho-sam-hiong ini merupakan seorang jagoan dalam hal gwa-kang (Tenaga Luar) yang cukup dapat diandalkan.
Toa-ko dan Ji-konya terkejut me?lihat adik mereka itu langsung melaku?kan serangan yang demikian ganas mema?tikan. Bagaimana kalau keliru membunuh orang? Tetapi mereka sudah tidak sem?pat lagi mencegah si Sam-te yang pe?marah itu.
Ternyata Tong Wi-lian yang seka?rang berbeda dengan Tong Wi-lian dua tahun yang lalu. Serangan si pendek dari Hong-ho-sam-hiong itu tidak me?nyentuh sasarannya sedikitpun, sebab dengan gerakan Yan-cu-hoan-sin (Walet Membalik Badan) tubuh gadis itu telah melayang ke belakang, berputar sekali di udara dan kemudian mendarat di ta?nah dengan sangat ringannya.
"Harap tuan menyabarkan diri," Wi-lian masih mencoba bicara.
Kepandaian yang dipertontonkan Wi-lian itu ternyata telah mengejutkan Toa-ko dan Ji-ko pula. Sebagai orang-orang yang tengah terancam bahaya yang sangat ditakuti, mereka mudah berprasangka buruk terhadap orang la?in. Begitu melihat gadis itu berkepan?daian tinggi, mereka segera menghu?bungkan jangan-jangan gadis ini utusan Hwe-liong-pang yang ditugaskan untuk memburu dan membantai mereka? Sebagai orang-orang yang hidup di dunia persi?latan yang keras, Hong-ho-sam-hiong cukup kenal semboyan "lebih baik keli?ru membunuh orang tidak bersalah dari?pada diri sendiri terbunuh". Dan meli?hat Wi-lian selihai itu, seketika rasa curigapun timbul.
Melihat sam-te gagal dengan serangan pertamanya, si Toa-ko segera menyerukan kepada Ji-ko, "Turun tangan lebih dulu untuk merebut kedudukan, makin cepat makin baik !" Dan iapun tu?run tangan lebih dulu dengan menyabet?kan sam-ciat-kunnya ke batok kepala Tong Wi-lian.
Saudara tertua dari Hong-ho-sam-hiong ini adalah seorang yang selama belasan tahun sudah terkenal kegesitannya di sepanjang sungai Hong-ho. Ge?rakannya yang menubruk sambil mengepruk kepala itupun merupakan salah sa?tu gerakan andalannya yang jarang me?leset dari sasarannya. Terhadap seorang gadis muda yang tidak dikenal sa?ja si Toa-ko yang bernama Ang Hay-liong ini sampai mengeluarkan jurus kebanggaannya, hal mana menandakan bah?wa ia memandang urusan ini sebagai urusan mati hidup bagi dirinya dan ba?gi saudara-saudaranya.
Saat itu Wi-lian sedang "menari" dengan lincahnya di antara deru hantam?an toya besi si pendek gemuk yang menggebu itu. Gadis itu menjadi agak terkejut ketika merasa angin menerjang ke arah kepalanya dan tahu-tahu Ang Hay-liong telah menyerang dengan hebatnya.
Cepat gadis itu mengendapkan tu?buh dan kepalanya dengan gerakan Hong-hong-tiam-tau (Burung Hong Mengangguk?kan Kepala) sambil meluncur mundur. Gerakan menunduk dan meluncur mundur ini dilakukannya dengan cepat dan ra?pi, tanpa banyak melakukan gerak pendahuluan yang membuang tenaga. Sedetik kemudian ia sudah berada di luar jang?kauan senjata lawan-lawannya.
Tiba-tiba dalam diri Wi-lian tim?bul keinginan untuk menguji sampai di mana kemajuan ilmu silatnya setelah ia dua tahun berlatih di Siong-san di ba?wah asuhan tokoh-tokoh Siau-lim-pay itu. Selama dua tahun ia mendapat gem?blengan keras. Lari pagi dengan betis dan pundak dibebani kantong-kantong pasir adalah "sarapan" paginya, menuruni tempat-tempat berbukit-bukit dan men?daki lereng-lereng sehingga napasnya hampir putus dan kakinya hampir patah. Dilanjutkan dengan melakukan jurus-ju?rus silat sehingga ribuan kali, memukuli kantong-kantong pasir sehingga tangannya yang halus itu kini berubah menjadi berkulit tebal, menusukkan ja?ri-jarinya ke dalam pasir panas, ber?semedi semalam suntuk di udara terbuka yang dingin hanya dengan pakaian yang tipis dan berbagai latihan berat lainnya. Dan begitu turun gunung dan tiba di Kay-hong, ia langsung mendapat "ba?han ujian" yang baik untuk menguji sampai di mana kemajuannya selama ini. Maka dengan bersemangat ia segera me?layani ketiga lawannya yang garang ini.
Harimau Mendekam Naga Sembunyi 18 Tiga Mutiara Mustika Karya Gan Kl Api Cinta Sang Pendekar 2

Cari Blog Ini