Ceritasilat Novel Online

Perserikatan Naga Api 8

Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp Bagian 8


Sejenak lamanya Wi-hong berdiri di depan kuil rusak itu untuk mendeng?arkan suara-suara dari dalam kuil itu, ternyata sunyi tak terdengar suara apapun. Tanpa dapat menahan hati lagi, Wi-hong segera menendang pintu kuil itu dan menerjang masuk ke dalam. Ha?laman kuil rusak itu ternyata begitu kotor dan ditumbuhi rumput-rumput ila?lang setinggi perut manusia. Patung-pa?tung yang dipuja di tempat itupun sudah rusak semua dan berlapis debu te?bal, sedang meja sembahyangnyapun sudah miring dan lapuk dimakan rayap.
Keadaan kuil itu sunyi-sunyi saja. Orang su-coan yang diburu Wi-hong tadi ternyata lenyap begitu saja tanpa jejak seolah-olah ditelan bumi.
Tengah Wi-hong mengok kian-kemari mencari jejak buruannya, ti?ba-tiba dari balik sebuah patung terdengarlah sebuah tertawa yang seram.
Lalu muncullah seorang lelaki berpakaian katun warna abu-abu, bersepatu rumput dan berikat kepala putih. Orang inipun berpakaian daerah Su-coan tetapi jelas bukan orang yang diburu oleh Wi-hong pertama kali tadi.
Melihat Tong Wi-hong, orang ini me?langkah maju sambil berkata, "Selamat ber?temu, Siau-hiap (Pendekar Muda she Tong), maafkan penyambutanku yang agak terlambat ini."
Meskipun dengan agak was-was, Wi-hong terpaksa membalas juga hormat orang itu, dan balas menyapa pula, "Harap saudara memaafkan kepicikanku. Saudara meng?enal namaku, tetapi selama ini aku mera?sa belum pernah mengenal saudara."
Orang itu kembali memperdengarkan suara tertawanya yang seram, katanya, "Kalau Tong Siau-hiap ingin mengenal di?riku, baiklah kuperkenalkan diriku. Aku dari marga Au-yang dan bernama Siau-hui. Kedudukanku di dalam Hwe-liong-pang ada?lah Jing-ki-to-cu (Pemimpin Kelompok Panji Hijau)."
Berdesirlah jantung Wi-hong mendengar nama itu. Nama itu cukup disegani di Su-coan dan daerah-daerah sekitarnya. Cepat Wi-hong berkata dan menjura, "Oh, kiranya saudara ini adalah Co-siang-hui-mo (Iblis Terbang Di Atas Padang Rumput) yang termasyhur itu. Tak kusangka saudara sekarang sudah menjadi Jing-ki-tong-cu dalam Hwe-liong-pang. Hemm."
Saat itu sebenarnya hati Wi-hong sudah mulai merasa tidak tenteram. Be?berapa tahun yang lalu, ia memang per?nah mendengar nama Au-yang Siau-hui se?bagai seorang jagoan di daerah Su-coan, yang namanya sejajar dengan nama men?diang ayahnya atau nama Cian Sin-wi, meskipun kabarnya Au-yang Siau-hui ini masih cukup muda. Sayang bahwa tokoh mu?da berbakat itu merupakan tokoh golongan hitam. Dan kini, bertemu de?ngan tokoh muda golongan hitam di tempat yang sesunyi dan seseram itu benar-benar bukan hal yang menggembirakan. Apalagi kalau Wi-hong ingat bahwa kedatangan?nya ke tempat itu adalah karena ia di?pancing meninggalkan rumah Cian Sin-wi. Dan entah bagaimana keadaannya seka?rang rumah yang ditinggalkannya itu.
Dengan menahan diri agar tetap ber?sikap sopan, Wi-hong bertanya, "Malam ini mataku benar-benar terbuka karena telah berhasil bertemu seorang tokoh muda terkenal dari Su-coan. Tetapi aku minta maaf, aku ingin bertanya entah apa maksud saudara Au-yang menyuruh orang untuk memancingku ke tempat ini. Aku tidak punya banyak waktu, harap sau?dara terangkan dengan sejelas-jelasnya."
Au-yang Siau-hui menyeringai seram dan menyahut, "Rupanya kau sudah sadar bahwa kau dipancing. Tetapi jika kesadaranmu itu baru muncul di tempat ini, ma?ka tampaknya kau benar-benar sudah ter?lambat. Heh-heh-heh...."
Tiba-tiba Wi-hong menangkap ada sua?ra gemerisik di belakang tubuhnya, dan ketika ia membalik badan, maka dilihat?nya orang Su-coan yang dikejarnya tadi kini sudah berdiri menutup jalan mundurnya. Tangan orang itu memegang sebuah golok berbentuk bulan sabit yang tajam berkilat-kilat.
Sekali lagi Au-yang Siau-hui tertawa dan memperkenalkan orang itu kepada Wi-hong, "Orang yang di be?lakangmu itu adalah adik misanku yang bernama Au-yang Siau-pa. Kedudukannya di dalam Hwe-liong-pang cuma setingkat di bawahku, yaitu sebagai Jing-ki-hu-tong-cu (Wakil Kepala Kelompok Panji Hijau)."
Diam-diam Wi-hong mengeluh di dalam hatinya. Menghadapi kedua orang ka?kak beradik sepupu itu, jelas kedu?dukannya cukup genting. Tadi ketika ia meninggalkan rumah Cian Sin-wi, karena begitu tergesa-gesanya ia telah lupa membawa pedangnya. Untung diapun pernah memperdalam ilmu tangan kosong pu?la, meskipun tak semahir ilmu pedang?nya, sehingga Wi-hongpun mempersiapkan dirinya seadanya.
Au-yang Siau-hui telah berkata lagi, "Tong Siau-hiap tidak perlu gelisah dan putus harapan dalam menghadapi kami. Hwe-liong-pang kami selalu membuka pintu selebar-lebarnya bagi orang-orang muda berbakat, untuk ikut ambil bagian dalam gerakan besar kami. Dalam kesempatan ini aku tawarkan kepadamu suatu kesempatan untuk meraih kejayaan dan kemuliaan di kemudian hari, yaitu berjuang lewat Hwe-liong-pang. Jika kau menolak, hem, kau akan...."
Wi-hong yang sangat menguatirkan keselamatan seisi rumah Cian Sin-wi itupun segera menukas dengan cepat, "Jika aku menolak kalian akan membunuhku, bukan? Hemm, tetapi aku justru tidak yakin kalian akan mampu melukai kulitku, sekalipun hanya seujung rambut."
Berubah beringaslah wajah Au-yang siau-hui mendengar ucapan Wi-hong itu. Bahkan adik sepupunya, Au-yang Siau-pa lebih tidak sabaran lagi. Maka tanpa banyak bicara lagi ia segera mengirim sebuah bacokan kilat ke punggung Wi-hong sambil membentak keras.
Mendengar desir angin di belakangnya, cepat Wi-hong memiringkan tubuhnya ke samping sambil melakukan sebuah tendangan ke belakang dengan gerakan menyapu lutut, itulah jurus Liong-leng-sau-san (Naga Berputar Menyapu Gunung).
Agaknya Au-yang Siau-pa agak me?mandang enteng lawannya, sehingga ia menjadi agak lengah. Ia terkejut se?kali setelah melihat lawannya ternyata mampu menghindar dan membalas secepat itu. Tidak ampun lagi Jing-ki-hu-tong-cu dari Hwe-liong-pang itu tersapu lu?tutnya dan jatuh bergulingan di lantai kuil yang berlumut itu.
Au-yang Siau-hui berseru memuji, "Bagus sekali, kiranya ilmu tangan ko?song Soat-san-pay juga cukup hebat!"
Bukan hanya mulutnya saja yang be?kerja, tetapi Au-yang Siau-hui juga mu?lai menerjang ke depan dan melayangkan sebuah cengkeraman ke dada Wi-hong. Desir angin cengkeramannya ternyata membawa bau racun yang cukup keras, dan hal ini cukup menguatirkan Wi-hong.
Meskipun Soat-san-pay adalah sebuah perguruan yang terkenal dengan il?mu pedangnya, namun hal itu tidak ber?arti bahwa perguruan itu tidak mem?punyai ilmu silat tangan kosong yang dapat diandalkan. Tiap orang dunia per?silatan tentu tahu lihainya Hui-soat sin-ciang (Pukulan Sakti Salju Ter?bang) dari perguruan ini. Meskipun ke?hebatannya belum dapat disejajarkan dengan Tay-lik-kim-kong-ciang (Pukulan Malaikat Bertenaga Raksasa) atau Lo-han-cap-pek-ciang (Delapanbelas Pukulan Arhat) milik perguruan Siau-lim-pay, namun Hui-soat-sin-ciang ini cukup di?segani orang, terutama di kawasan barat. Ia dapat disejajarkan dengan Cui-sim-ciang (Pukulan Meremukkan Limpa) dari Jing-sia-pay, atau Kun-goan-kang (Pu?kulan Alam Semesta) dari Hoa-san-pay. Dan selama dua tahun bawah gembleng?an tokoh-tokoh Soat-San-pay, Wi-hong cukup mendalami ilmu tangan kosong per?guruannya ini, meskipun sebagian besar waktunya disita untuk ilmu pedangnya.
Demikianlah gambaran kemampuan yang dimiliki Wi-hong saat itu.
Begitu pukulan Au-yang Siau-hui tiba di depan dadanya, secepat kilat Wi-hong meliuk ke samping. Dengan telapak tangannya ia menghantam sam?bungan siku tangan Au-yang Siau-hui, sementara sikut tangan kiri Wi-hong me?nyodok ke jalan darah In-gi-hiat di pe?rut lawan.
Au-yang Siau-hui tidak berani me?remehkan serangan balasan lawan yang kelihatannya hanya melayang ringan tak bertenaga itu, sebab memang begitulah gaya khas dari ilmu silat Hui-soat-sin-ciang. Meskipun kelihatan ringan, tapi jika mengenai lawan akan mengakibatkan persendian lawan tergetar lepas dan otot-ototnyapun akan putus, karena serangan itu mengandung tenaga ter?sembunyi. Maka dengan cepat Au-yang Siau-hui menarik cengkeramannya dan mengganti serangannya dengan sebuah tendangan tinggi ke dagu lawannya.
Gesit seperti kera dan licin se?perti belut, begitulah kira-kira ge?rak-gerik Tong Wi-hong dalam pertempur?an itu. Tendangan Au-yang Siau-hui da?pat dihindarinya, dan sambil melejit maju ia membalas dengan membabatkan te?lapak tangannya ke leher lawan.
Tukar menukar serangan berlang?sung secara kilat antara kedua orang itu. Sementara Au-yang Siau-pa yang ba?ru saja mendapat pelajaran pahit dari Wi-hong itu kini telah bangun kembali. Setelah memungut kembali golok bulan sa?bitnya, ia langsung menerjunkan diri?nya ke dalam kancah perkelahian, mem?bantu kakak sepupunya.
Demikianlah, di tengah malam buta dan bertempat di sebuah kuil rusak di pinggiran kota Tay-beng itu nampaklah tiga sosok bayangan berkelebat saling menyambar dengan tangkasnya. Rumput ilalang setinggi perut yang memenuhi halaman kuil itu kini telah hampir ra?ta semua karena terinjak-injak oleh kaki ketiga orang yang bertempur itu. Kadang-kadang serangan mereka menyasar ke patung-patung atau perabotan-perabotan lainnya, sehingga keadaan kuil yang sudah berantakan itupun menjadi semakin berantakan lagi.
Ketiga orang yang menyabung nyawa itu telah mengerahkan kepandaiannya ma?sing-masing sampai ke puncaknya, meng?erahkan pula seluruh semangat untuk memenangkan perkelahian. Silih berganti tampak jurus-jurus cengkeraman yang ganas, sabetan-sabetan telapak tangan yang terarah dan keras, jotosan atau tendangan yang secepat kilat, dise?lingi sinar kilat dari sebatang golok berbentuk bulan sabit yang berkelebatan memancarkan hawa kematian. Ma?sing-masing pihak bernapsu sekali un?tuk menghancurkan lawan.
Ketika pertarungan mati hidup itu bergeser ke dalam kuil, maka bagian dalam kuil itupun ikut tersapu porak poranda, bagaikan habis dilewati angin puyuh.
Suatu ketika Au-yang Siau-hui melancarkan jurus Wan-hun-tau-giam-ong (Arwah Penasaran Menghadap Raja Neraka). Sepasang cakar tangannya itu mendadak bagaikan "terpecah" menjadi belasan pa?sang yang siap menerkam semua bagian tubuh lawannya. Begitu cepatnya, sehingga sulit diketahui mana serangan asli dan mana yang palsu, semuanya nam?pak seperti bayangan saja. Dengan jurus mautnya ini, entah sudah berapa ba?nyak lawan yang menyerahkan nyawanya kepada Jing-ki-tong-cu ini.
Dari lain jurusan, Au-yang Siau-pa menggerakkan golok bulan sa?bitnya bagaikan gelombang samudera mendampar pantai. Dengan demikian Au-yang Siau-pa bermaksud menutup jalan mundur bagi Wi-hong.
Tetapi tidak sia-sialah ini selama ini Wi-hong ditempa di Soat-san. Dalam saat yang sangat genting dan tidak banyak kesempatan untuk berpikir itu, Wi-hong masih sempat menyedot napas dan mengerahkan seluruh kekuatan ke kaki dan pinggangnya untuk melompat ke atas. Tubuhnya seakan berubah menjadi seringan asap dan tahu-tahu melayang ke atas. Maka loloslah ia dari gabungan serangan kakak beradik sepupu itu.
Kedua orang lawannya itu terkejut sekali melihat kenyataan yang tak pernah terlintas di benak mereka itu. Me?reka hampir-hampir tidak percaya bahwa dimuka bumi ini ternyata ada juga or?ang yang bisa lolos dari gabungan ser?angan mereka, apalagi kalau orang itu hanya seorang pemuda yang baru saja tu?run gunung dan sama sekali belum ter?kenal di dunia persilatan itu. Untuk sesaat kakak beradik sepupu itu berdiri terpaku tercengang.
Mereka tidak tahu bahwa Wi-hong sendiri sudah mandi keringat dingin. Wi-hong sadar sesadar-sadarnya bahwa ia lolos karena unsur keberuntungan, boleh dikatakan bahwa nyawanya baru saja lolos dari lubang jarum. Jika ia tadi terlambat sepersekian detik saja, pasti saat ini dadanya sudah berlubang oleh jari-jari tangan Au-yang Siau-hui, sedangkan punggungnya mungkin sudah terbelah oleh golok Au-yang Siau-pa.
Tapi Wi-hong cukup dapat berpikir cepat, ia harus segera menerjang kembali untuk lebih mendapatkan keuntungan penyerangan. Begitu kakinya menyentuh tanah, maka tubuhnya telah melambung kembali, dan dengan telapak tangan miring ia sekuat tenaga melepaskan se?buah hantaman ke ubun-ubun Au-yang Siau-pa.
Au-yang Siau-pa yang belum sempat memperbaiki kedudukan tubuhnya, terpaksa harus bergulingan ke samping untuk menghindari pukulan itu. Pukulan Wi-hongpun menyasar ke sebuah meja sem?bahyang yang tebal. Dan begitu terkena hantaman itu, seketika ujung meja itu semplak menjadi serpihan-serpihan kayu kayu halus. Demikianlah ampuhnya pukulan Hui-soat-sin-ciang dari Soat-san-pai itu.
Sekali lagi kakak beradik sepupu she Au-yang itu terkesiap melihat kehe?batan Wi-hong. Ternyata anak muda she Tong itu lain sekali dengan seperti yang digambarkan oleh Song Kim. Song Kim pernah mengatakan kepada Au-yang bersaudara itu bahwa Wi-hong hanyalah seorang "kutu buku" yang menangkap ayampun tidak bisa, cengeng, banci dan sebagainya. Tetapi ternyata kini Au-yang bersaudara itu cukup kerepotan menghadapi pemuda yang dikabarkan seba?gai kutu buku ini.
Tanpa membuang waktu sedetikpun, Wi-hong kembali telah melompat memburu Au-yang Siau-pa yang masih bergulingan di lantai itu. Begitu Au-yang Siau-pa melompat berdiri, maka Wi-hongpun lang?sung menyambutnya dengan tendangan kaki kirinya. Au-yang Siau-pa terkejut dan kelabakan mendapat serangan secepat itu, untuk menghindar atau mengambil goloknya sudah tak sempat lagi. Sa?tu-satunya jalan yang bisa dilakukannya hanyalah berusaha mengurangi tena?ga dorongan tendangan lawan dengan ja?lan mengempiskan perutnya ke dalam.
Walaupun begitu, toh tendangan Wi-hong itu tetap membuat isi perut Au-yang Siau-pa bagaikan jungkir balik. Sambil menyeringai menahan rasa mulas dan mualnya, Au-yang Siau-pa mencoba membuat jarak dengan lawannya.
Tujuan Wi-hong memang mencecar Au-yang Siau-pa yang kepandaiannya le?bih lemah dari kakak sepupunya itu, kalau si adik sudah dibereskan, maka akan dapat menghadapi kakaknya dengan lebih terpusat perhatiannya. Ia tidak akan membiarkan kakak beradik sepupu itu bergabung kembali, sebab telah terbuk?ti kerjasama mereka ternyata sangat berbahaya. Maka begitu melihat Au-yang Siau-pa mundur, Wi-hong justru mende?sak maju. Kali ini sambil melompat dan sepasang kakinya bagaikan baling-ba?ling yang berputar di udara, melancar?kan tendangan Hoan-lui-tui (Tendangan Halilintar Berputar). Tendangan kali ini nampaknya akan cukup untuk mengirim Au-yang siau-pa ke akherat.
Sekali lagi Au-yang Siau-pa dipak?sa mengotori pakaiannya sendiri dengan bergulingan di lantai berlumut. Tak urung ikat kepalanya masih sempat juga tersambar oleh kaki Wi-hong, sehingga terlempar lepas.
Tendangan susulan Wi-hong yang ti?dak berhasil mengenai sasaran itu kini mengenai patung besar yang terbuat dari tanah liat, yang langsung menghancurkan patung itu. Seketika itu debu tebal me?ngepul memenuhi ruangan itu. Untuk se?mentara serang menyerang jadi terhenti sejenak, karena masing-masing tidak da?pat melihat lawannya, karena pengliha?tan mereka terhalang oleh debu tebal itu.
Begitu debu muiai menipis, Au-yang Siau-hui tidak membiarkan adik sepupu?nya dijadikan bulan-bulanan lagi. De?ngan jari-jarinya yang runcing dan kuat itu segera menyerang lebih dulu, men?cengkeram tengkuk Wi-hong dari belakang.
Tapi Wi-hong sudah merasa ada se?rangan di belakangnya dan dapat meng?hindarinya. Jari-jari Au-yang Siau-hui itupun menancap di tembok.
Demikianlah ketiga orang itu telah mulai pertempurannya kembali. Namun ki?ni kelihatanlah bahwa keseimbangan per?tempuran itu sudah tidak seperti tadi lagi, Tong Wi-hong tampak agak unggul, hal ini disebabkan karena Au-yang Siau-pa sudah tidak dapat bertempur sepenuh hati lagi, perutnya masih saja terasa terganggu oleh perasaan mulas akibat tendangan Wi-hong tadi. Selain itu, se?mangat tempurnyapun sudah susut bebera?pa bagian. Tetapi hal itu tidak berarti bahwa Wi-hong akan dapat memenangkan pertempuran dengan mudah, sebab ketang?guhan Au-yang Siau-hui sebagai tokoh yang berjuluk Co-sing-hui-mo ternyata memang tidak mengecewakan. Lagi pula jabatan Jing-ki-tong-cu itu tidak akan diberikan kepada seseorang yang berke?pandaian lemah.
Sejalan dengan pertempuran yang semakin seru antara Wi-hong dengan orang-orang Hwe-liong-pang di kuil ru?sak di pinggiran Tay-beng itu, maka di gedung pusat Tiong-gi Piau hang yang terletak di tengah kota itupun juga sedang berlangsung suatu per?tempuran yang tidak kalah hebatnya.
Di tempat itu, pemimpin Tiong-gi Piau-hang, Cian Sin-wi yang disegani kaum liok-lim itu kini dipaksa untuk memeras keringatnya dalam menghadapi keroyokan tiga orang lawan tangguh. Sebaliknya ketiga orang Hwe-liong-pang yang menjadi lawannyapun itu ju?ga merasa bagaimana mereka bertiga ba?gaikan membentur tembok baja. Mereka sama sekali tidak menduga kalau da?lam usia yang mendekati 60 tahun, ter?nyata kemampuan jasmani Cian Sin-wi masih sehebat itu.
Meskipun bajunya telah melekat di kulit karena basah oleh keringat, gerak-gerik Cian Sin-wi tidak nampak kendor sedikitpun. Sepasang kaitan kepala-harimau masih bergerak dengan ce?pat, keras dan terarah, menyerang dan bertahan dengan baiknya, dan bahkan belum terdengar orang tua she Cian itu bernapas memburu.
"Tua bangka gila ini benar-benar bernapas kuda," geram An Siau-lun di dalam hatinya. "Nama besarnya sebagai tokoh yang ditakuti kalangan liok-lim ternyata bukan nama kosong belaka."
Di pihak lain, Cian Sin-wipun mengeluh dalam hatinya, "Jika aku ti?dak dapat menyelesaikan lawan-lawanku dengan cepat, maka akulah yang akan kehabisan napas lebih dulu. Napas tua?ku tentu tidak bisa menandingi napas setan-setan kecil ini."
Ternyata pertarungan tiga lawan satu itu benar-benar pertarungan yang seimbang, tidak ada satu pihak yang merasa punya kesempatan melebihi pihak lainnya. Semuanya hanya tergan?tung kecermatan dan kehati-hatian, se?bab sekali salah langkah agaknya akan sukar diperbaiki lagi.
Tetapi masih ada satu kelebihan Cian Sin-wi, yaitu bahwa dia jauh le?bih kaya dalam soal pengalaman bertem?pur dibandingkan ketiga lawannya. Bahkan dua pertiga dari umur Cian Sin-wi dilewatinya dengan menjelajah ke ber?bagai daerah untuk mengawal barang pada saat ia masih muda dan sering mengikuti ayahnya yang waktu itu masih memimpin Tiong-gi Piau-hang. Dengan segala pengalaman dan ketajaman perhitungannya, Cian Sin-wi perlahan lahan dapat melihat bahwa An Siau-lun merupakan titik terlemah dari pengepungan orang-orang Hwe-liong-pang itu.
Beberapa kali dilihatnya An Siau-lun sangat tergantung kepada si kembar Cong Yo dan Cong Hun dalam usaha pe?nyelamatan diri.
Karena itu, dengan bekal segudang pengalamannya, Cian Sin-wi mulai berusaha menekan An Siau-lun secara tersendiri dan berusaha memisahkannya dari kerjasama dengan kedua kawannya.
Pada suatu ketika Cian Sin-wi me?lihat kesempatan itu. Kaitan kanannya cepat berputar melintang dengan ge?rakan Hoan-kang-to-hay (Membalik Sung?ai Mengaduk Lautan) yang berhasil me?maksa si kembar dari Shoa-tang itu berlompatan mundur dengan gugupnya. Dan sebelum sempat terjadi pergantian napas bagi lawan-lawannya, kaitan ki?ri Cian Sin-wi telah menyerang An Siau lun dengan gerak Kong-jiok-kay-peng (Merak Membuka Sayap). Dua jurus yang berbeda dilancarkan serempak dengan tangan kiri dan kanan secara serasi sekali, hal mana cukup membuktikan ke?lihaian pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu.
Cepat An Siau-lun mengibaskan goloknya untuk menangkis serangan itu, namun alangkah terkejutnya orang she An itu ketika tiba-tiba saja goloknya telah terkait dan terkunci oleh senjata lawan. Bahkan kemudian An Siau-lun merasakan suatu tenaga yang luar biasa kuatnya telah menarik?nya. Secara mati-matian An Siau-lun mengerahkan tenaga dan memperkuat ku?da-kudanya agar jangan sampai golok?nya lepas dari tangannya.
Tetapi meskipun umur Cian Sin-wi sudah hampir enampuluh tahun, tenaga?nya tetap terlatih dengan baik, sebab setiap harinya ia tidak pernah lupa berlatih dengan ciok-so (Gembok Batu) yang diayun-ayunkannya sampai ratusan kali setiap kali latihan. Bukan saja tangan An Siau-lun sampai tergetar dan telapak tangannya pecah berdarah, bahkan kuda-kudanyapun mulai goyah, dan tubuhnya mulai mencondong ke de?pan.
Cong Yo melihat kesulitan yang menimpa rekannya itu dan berusaha menolongnya. Ia mencoba menendang pergelangan tangan Cian Sin-wi yang kiri, tetapi kaitan kanan Cian Sin-wilah yang menyambutnya dengan "hangat", se?hingga Cong Yo terpaksa melompat mun?dur sambil melontarkan segudang sum?pah serapah.
Saat itu nasib An Siau-lun ibarat telur di ujung tanduk. Cian Sin-wi ha?nya tinggal mengerahkan tenaga untuk menarik lawannya dan kemudian merobek perut lawan dengan kaitan yang satu lagi. Namun kemudian terjadi perobahan yang kurang menguntungkannya. Mendadak dilihatnya Song Kim telah ke?luar kembali dari dalam gedung, dengan memondong tubuh Cian Ping yang agak?nya pingsan, sedangkan Han Toan mengikuti di belakangnya.
Menemui kejadian macam itu maka Cian Sin-wipun tidak dapat menguasai gejolak hatinya lagi. Pengerahan tenaganyapun menjadi kendor.
Perkembangan itu tidak lepas da?ri pengamatan lawan-lawannya, terutama si penjahat kembar dari Shoa-tang itu. Setelah kedua saudara Cong itu saling mengedipkan matanya sebagai isyarat, maka keduanyapun serentak me?nyerang maju. Yang satu menghantam lengan kiri Cian Sin-wi yang tengah mengait golok An Siau-lun, sedang yang lainnya menyerang lambung kanan Cian Sin-wi.
Betapapun lihainya Cian Sin-wi, tapi ia tidak dapat bertahan dalam ke?adaan pikiran sekacau itu. Lengan ki?rinya tergempur keras dan sepasang senjatanyapun terpaksa lepas dari tangannya dan jatuh ke tanah.
An Siau-lun menyeringai bagaikan iblis haus darah. Sekuat tenaga ia me?nyentakkan goloknya agar lepas dari kuncian lawan, dan sekuat tenaga pula ia mendorongkan goloknya ke depan.
Di saat yang sangat membahayakan keselamatannya itu ternyata Cian Sin-wi masih dapat memperlihatkan ketang?kasannya dan kelemasan tubuhnya, de?ngan jalan melakukan gerakan penyela?matan Thi-pan-kio, di mana tubuhnya melengkung ke belakang dengan pung?gung hampir menyentuh tanah. Tetapi gerak penyelamatan itu rupanya tidak berhasil, untuk menanggulangi serbuan berikutnya. Pada saat Cian Sin-wi se?dang menggeliatkan punggungnya dan be?rusaha untuk bangkit kembali, maka em?pat buah tinju besi dari si kembar she Cong telah menghantam dadanya se?cara serempak.
Latihan Pukulan Pasir Besi dari kedua saudara kembar ini sudah cukup lihai, maka gempuran kedua pasang tangan mereka secara serempak itu te?lah berakibat hebat bagi Cian Sin-wi. Orang tua she Cian itu terpelanting ke belakang bagaikan daun dihembus angin, sedangkan mulutnya menyembur?kan segumpal darah segar.
An Siau-lun agaknya masih merasa mendongkol karena tadi nyawanya ham?pir saja terbang oleh tangan pemimpin Tiong-gi-piau-hang itu. Kini tibalah kesempatan untuk melampiaskan kedong?kolannya itu. Dia tidak mengalami banyak kesulitan untuk menghujamkan goloknya ke perut Cian Sin-wi yang tengah terbungkuk-bungkuk itu, bahkan golok itu menembus langsung sampai ke punggung piau-su tua itu.
Cong Yo dan Cong Hun serempak te?lah mengangkat kakinya untuk meng?injak tubuh Cian Sin-wi dan menghancur-leburkan tulangnya, tetapi Song kim telah berteriak mencegah, "Tahan!"
Sambil tetap memondong tubuh Cian Ping yang dalam keadaan lemas tertotok itu, Song Kim mendekati tubuh gurunya yang menggeletak berman?dikan darah itu. Tak terasa timbul ju?ga keharuan hati Song Kim melihat ke?adaan Cian Sin-wi. Betapapun juga Song Kim masih belum bisa melupakan budi baik bekas gurunya yang telah merawat, membesarkannya dan men?didiknya selama bertahun-tahun itu.
Song Kim menarik napas, katanya dengan menyesal, "Bukan kesalahanku jika kau sampai mengalami nasib se?buruk ini. Aku sudah menawarkan suatu jalan yang bisa menuju ke kemuliaan dan kejayaan kepadamu, karena menging?at budimu kepadaku, tetapi kau sendiri yang berkeras kepala dan memi?lih nasib burukmu ini."
Pandangan mata Cian Sin-wi sema?kin kabur karena kehabisan darah, te?tapi dari sela-sela kabut yang menu?tup matanya itu ia masih bisa memandang murid yang pernah disayanginya sepenuh hati itu. Tetapi orang tua itu sudah tidak dapat berbuat apapun lagi, bahkan ingin membuka mulut un?tuk memaki dan mengutukpun sudah tak mampu lagi. Dan entah bagaimana pera?saan Cian Sin-wi ketika melihat orang-orang Hwe-liong-pang itu pergi mening?galkannya begitu saja, dengan membawa puteri tunggalnya!
Kini tempat itu telah menjadi sunyi kembali. Pemimpin Piau-hang yang pernah malang-melintang di selu?ruh Kang-pak itu, kini terkapar berku?bang darahnya sendiri. Namun ternyata orang tua itu masih sempat berbuat se?suatu sebelum ajalnya. Dengan menggunakan jari-jari tangannya sebagai pena, dan darahnya sendiri sebagai tinta, ia masih sempat membuat huruf di lantai. Setelah itu kepalanya terkulai, dan itulah ujung hidupnya.
Segumpal awan yang kelabu melintas di depan bulan yang suram, seperti sehelai saputangan yang mengusap air mata sang dewi malam. Betapa jaya dan perkasanya seseorang, akhirnya toh kematian adalah bagian yang tak dapat ditolaknya.
-o0^DwKz-Hendra^0o- SEMENTARA itu, di kuil kosong yang terletak di pinggiran kota Tay-beng itu, Tong Wi-hong masih saja berkutetan seru melawan dua orang la?wan yang tangguh, yaitu Jing-ki-tong cu dan Jing-ki-hu-tong-cu dari Hwe-li?ong-pang.
Tindak-tanduk Wi-hong nampak semakin keras dan tak terkendali lagi, karena agaknya kemarahan sudah mulai menguasai perasaan anak muda lagi. Pukulan-pukulan maut dan tendangan-tendangan geledeknya terus diberondongkan keluar tanpa ampun.
Di pihak lain Co-siang-hui-mo Au-yang Siau-hui mulai merasa ganasnya lawannya itu. Meskipun ia telah dibantu oleh adik misannya yang se?kaligus wakilnya itu, tapi keadaan adiknya itupun tidak lebih baik dari dirinya sendiri. Napas Au-yang Siau-hui mulai kepayahan. Cengkeraman maut yang diandalkannya itu ternyata masih belum mampu mengatasi kelincahan Hui-soat-sin-ciang dari Soat-san-pay.
Yang lebih payah lagi adalah kea?daan adik misannya, Au-yang Siau-pa. Tendangan Wi-hong yang tadi itu ternyata sempat melukai bagian dalam pe?rutnya, dan luka dalam itu makin lama terasa makin mengganggu. Gerakan golok bulan sabitnya tidak secepat dan seganas semula. Bahkan kadang-ka?dang terlihat gerakan goloknya hanya melayang begitu saja tanpa kekuatan, atau hampir lepas dari tangannya.
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 15 Di DALAM hatinya, Au-yang Siau-pa mengutuk Song Kim tak habis-habisnya, "Ternyata bangsat Song Kim itu telah menipu kami. Dia mengatakan bahwa ilmu silat bocah she Tong ini tidak begitu tinggi, tetapi ternyata aku dan piau-ko (kakak misan) ternya?ta tidak dapat mengalahkannya, meski?pun sudah maju serempak. Jangan-ja?ngan Song Kim memang berniat busuk un?tuk menjerumuskan aku dan piau-ko agar mati di tangan bocah she Tong ini, su?paya dia sendiri bisa merebut kedu?dukan Jing-ki-tong-cu?"
Beberapa kali kedua orang kakak beradik sepupu itu harus berlompatan kalang kabut atau bergulingan di lan?tai kuil yang kotor itu, untuk menyela?matkan diri dari pukulan atau tendangan Wi-hong yang sedang marah itu.
Karena semakin terdesak, akhir?nya tanpa malu-malu Au-yang Siau-hui berteriak, "Kalau tidak mau menjadi anggauta Hwe-liong-pangpun tidak jadi soal, kenapa harus mendesak kami se?perti ini?"
Tong Wi-hong tertawa terbahak mendengar seruan yang tidak tahu malu itu. Sahutnya, "Setelah bertemu dengan lawan yang lebih kuat barulah kau berkata demikian. Namun Hwe-liong-pang terkenal sebagai perkumpulan yang se?ring memaksa orang untuk menjadi anggauta, bahkan tidak jarang dengan ancaman kekerasan. Karena itu semakin sedikit orang macam kalian ini, dunia-pun akan semakin tenteram."
Sambil terus menghindar dan me?nangkis Au-yang Siau-hui menyahut, "Kau hendak memusnahkan Hwe-liong-pang? Huh, jangan mimpi. Kau mungkin akan dapat membunuh kami berdua, tapi untuk memusnahkan Hwe-liong-pang apakah kau bisa? Dalam Pang kami tidak terhitung banyaknya orang berkepandaian tinggi."
Namun Wi-hongpun tidak kalah ger?tak, "Aku sendiri jelas tidak mampu menghancurkan Hwe-liong-pang. Tetapi jika seluruh kaum pendekar bergabung, maka Hwe-liong-pangpun akan dihancur?kan semudah menghancurkan patung ta?nah liat."
Au-yang Siau-hui bungkam mendeng?ar debatan itu, tetapi adik misannya-lah yang menyahut meskipun dengan na?pas yang hampir putus, "Persetan de?ngan bualanmu itu!"
Begitulah kakak beradik sepupu itu semakin terdesak ke dalam keadaan yang semakin sulit. Dan dalam keadaan terjepit itu nampaklah perbedaan watak antara kedua orang itu. Au-yang Siau-hui ternyata tidak sejantan nama besarnya yang ditakuti orang, ia le?bih banyak menggunakan akal licik atau kata-kata manis yang melemahkan Wi-hong. Sebaliknya adik misannya adalah seorang yang keras kepala, sam?pai matipun tak akan sudi mengeluar?kan keluhan atau menunjukkan kele?mahannya di hadapan lawan.
Dalam keadaan terdesak timbullah akal licik Au-yang Siau-hui untuk mem?buyarkan ketenangan lawannya, "Tong Siau-hiap, barangkali kau akan mampu membunuh kami, tapi apakah kau tidak menguatirkan keselamatan calon isterimu dan calon mertuamu?"
Perkataan ini memang tepat me?nyentuh masalah yang sedang digelisah?kan oleh Wi-hong, maka hati anak muda itupun tergoncang hebat dan ge?rakannya menjadi agak kendor. Ingatlah Wi-hong bahwa kedatangannya ke tempat itu bukan karena kemauannya sendiri melainkan karena dipancing. Pikirnya dengan waswas, "Jangan-jangan aku telah termakan siasat memancing harimau meninggalkan gunungnya? Supa?ya mereka dapat leluasa mengganggu pa?man Cian dan adik Ping?"
Timbulnya pikiran itu semakin menggelisahkan Wi-hong. Ia memaki di?rinya sendiri, "Alangkah gobloknya aku sehingga dapat terpancing oleh bangsat-bangsat ini dan bahkan membu?ang-buang waktu dengan bertempur di sini. Sudah cukup lama aku terlibat di sini, mudah-mudahan di Tiong-gi Piau-hang belum terjadi sesuatu yang berbahaya. Aku yakin paman Cian dan adik Ping sanggup menjaga diri, apala?gi di gedung itu ada pula beberapa orang piau-su yang tentu dapat mem?bantunya."
Meskipun merasa bahwa keadaan Tiong-gi Piau-hang tidak terlalu ber?bahaya, namun nafsu Wi-hong untuk me?ladeni bertempur kakak beradik Au-yang itu telah menyusut. Cepat ia melancarkan beberapa pukulan dan tendangan gencar, dan ketika kedua lawannya ter?desak maka Wi-hongpun menggunakan ke?sempatan itu untuk melompat keluar da?ri lingkaran pertempuran. Bagaikan bu?rung kepinis melompatlah ia melampaui tembok kuil itu, dan sesaat kemudian bayangan tubuhnyapun sudah tidak ke?lihatan lagi.
Sepeninggal Wi-hong, kakak bera?dik sepupu itupun menarik napas lega. Au-yang Siau-hui secara terang-terangan mengakui, "luar biasa bocah she Tong itu. Aku dijuluki Co-siang-hui-mo (Iblis Terbang Di Atas Rumput) karena keunggulanku dalam hal ilmu me?ringankan tubuh. Tetapi ilmu meri?ngankan tubuh bocah she Tong itu agaknya setingkat di atasku."
Meskipun kakak beradik sepupu itu merupakan tokoh-tokoh golongan hi?tam, tetapi juga punya sifat-sifat terbuka dan pengagum ilmu silat. Mes?kipun terhadap musuh, mereka tidak se?gan-segan memuji atau mengakui keung?gulan lawan jika kenyataannya memang demikian.
Kata Au-yang Siau-pa kemudian, "Piauko (kakak misan), dengan tipu muslihat kau telah berhasil mengusir bocah itu balik ke Tiong-gi Piau-hang. Namun apakah hal ini tidak membahaya?kan Song Kim dan kawan-kawannya apa?bila mereka masih berada di tempat itu? Bukankah kedatangan bocah she Tong itu akan dapat menjadi malape?taka bagi Song Kim dan yang lain-lain?nya?"
Sang kakak misan mendengus dan menyahut dengan dingin, "Persetan de?ngan nasib keparat Song Kim itu, bah?kan aku bersyukur jika dia mampus di tangan Wi-hong atau para piau-su dari Tiong-gi Piau-hang lainnya. Adikku, tahukah kau bahwa Song Kim telah mencoba menjerumuskan kita? Ia berkata bahwa kepandaian Tong Wi-hong tidak seberapa, tetapi kenyataannya kita ba?ru saja mengalami betapa hebatnya orang she Tong itu, jadi jelaslah bahwa Song Kim secara diam-diam hendak mele?nyapkan kita dengan meminjam tangan Tong Wi-hong. Aku tahu bahwa sudah la?ma Song Kim mengincar kedudukanku sebagai Jing-ki-tong-cu, apalagi karena ia agaknya mendapat dukungan dari gu?runya, si ular keropos berambut merah itu."
Au-yang Siau-pa adalah seorang yang jujur, pikirannya polos dan lu?gu, dan ia sama sekali tidak me?mahami jalan pikiran kakak misannya yang berliku-liku penuh akal itu. Apa boleh buat. ia hanya bisa menarik napas dalam-dalam sambil menyarungkan kembali golok bulan sabitnya. Pertentangan yang terjadi di dalam tubuh Hwe liong-pang sendiri itu pada hakekatnya Au-yang Siau-pa tidak tahu menahu.
Kakak beradik misan itu segera meninggalkan tempat itu.
Sementara itu Tong Wi-hong tengah berlari-lari dengan pesatnya, berlom?patan dari genteng rumah yang satu ke genteng rumah yang lain, menuju ke gedung Tiong-gi Piau-hang di tengah-te?ngah kota. Diam-diam ia sangat menyesali kecerobohannya yang telah meninggalkan Tiong-gi Piau-hang begitu saja. Kini ia cuma berharap dalam ha?tinya agar belum terjadi sesuatu yang gawat di gedung itu, namun suatu fira?sat buruk sempat juga menyelinap ke dalam hatinya. Maka iapun mempercepat langkahnya, sehingga kini gerakannya bagaikan segumpal mega yang melesat dengan ringannya.
Tay-beng memang bukan sebuah ko?ta yang terlampau luas. Maka setelah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, tidak lama kemudian Wi-hong te?lah tiba kembali di gedung Tiong-gi Piau-hang.
Hati anak muda itu berdebar ken?cang ketika melihat gedung itu dili?puti kesunyian yang mencekam dan meng?gidikkan hati. Saat itu malam sudah mendekati ujungnya, sudah hampir pagi. Biasanya pada saat-saat seperti itu para pelayan keluarga Cian tentu sudah bangun dan sudah mulai dengan kegiatannya, seperti menimba air atau membersihkan halaman rumah. Namun kini tidak nampak kegiatan apapun, ti?dak kelihatan sebatang hidungpun. Bah?kan lilin di ruangan tengah masih nam?pak menyala berkedip-kedip.
Dengan tidak sabar Tong Wi-hong langsung melompati tembok belakang dan langsung mendarat di halaman be?lakang gedung itu. Ia menengok kian kemari, dan berdesirlah jantungnya ke?tika melihat ada sesosok tubuh yang tengah meringkuk di bawah tembok sana.
Dihampirinya sosok tubuh itu dan diperiksanya. Debaran jantungnya jadi semakin keras ketika mendapat kenyata?an bahwa sosok tubuh di bawah tembok itu ternyata adalah seorang piau-su yang sudah menjadi mayat, dengan be?berapa luka-luka bekas senjata yang menghiasi tubuhnya.
Cepat Wi-hong berlari ke kamar Cian-ping dengan gugupnya. Dilihatnya kamar itu telah gelap gulita dan kosong melompong, ketika Wi-hong hendak melangkah masuk hampir saja ia jatuh terjerembab karena kakinya tersandung sebuah meja kecil yang melintang di dekat pintu. Tanpa diperiksapun Wi-hong sudah tahu bahwa keadaan kamar itu tentu telah porak-poranda.
Seperti kerasukan setan Tong Wi-hong terburu-buru kembali ke ruangan tengah di mana masih nampak lilin me?nyala itu. Dalam perjalanan menuju ke ruangan tengah itu, ditemui lagi mayat beberapa orang piau-su atau pelayan rumah yang bergeletakan di beberapa tempat. Sambil berlari, Wi-hong berte?riak-teriak, "Paman Cian! Adik Ping!"
Tidak ada jawaban, hanya gaung suaranya sendirilah yang bergema di gedung yang kosong itu.
Begitu ia tiba di ruangan tengah, Wi-hong hampir pingsan mendadak kare?na terkejutnya. Dari ruangan tengah itu ia bisa melihat langsung ke ha?laman tengah, dan dalam keremangan sua?sana dini hari ia melihat tubuh Cian Sin-wi tergeletak kaku, berkubang darah yang telah membeku karena dingin?nya malam. Setapak demi setapak, de?ngan pandangan mata nanar karena tidak percaya, Wi-hong mendekati tubuh itu.
Setelah dekat dengan tubuh itu, Wi-hong melihat bahwa meskipun tubuh itu sudah tak bernyawa namun matanya masih terbuka lebar. Dengan usapan te?lapak tangannya Wi-hong mencoba menu?tupkan kelopak mata pendekar tua itu, namun tidak berhasil biarpun dicoba beberapa kali. Wi-hong menjadi sedih melihat hal itu, bercampur pula dengan perasaan haru dan murka yang meluap. Sambil mengertakkan giginya ia mengu?capkan sumpahnya, "Paman Cian, aku tahu kau mati penasaran. Budimu kepa?da diriku setinggi gunung dan seluas samudera, aku bersumpah akan membalas?kan sakit hatimu kepada orang-orang Hwe-liong-pang yang telah berbuat se?keji ini. Jika aku melupakan sumpahku ini, aku bukan manusia tetapi bina?tang."
Tengah ia termangu-mangu dengan hati yang kacau, tiba-tiba pandangan matanya melihat beberapa huruf darah yang tertulis di dekat tubuh beku itu. Meskipun tulisan itu agak kacau karena rupanya ditulis dalam keadaan sekarat, tetapi terbaca juga oleh Tong Wi-hong. "Cian Ping dilarikan Song Kim dan orang-orang Hwe-liong-pang, nampaknya hendak menuju ke barat. Minta bantuan beberapa sahabat berilmu dan rebut kembali anak Ping."
Muka Wi Hong seketika menjadi be?ringas setelah membaca tulisan Cian Sin-wi yang terakhir itu. Seperti se?orang yang kesurupan setan, ia berla?ri menuju ke kamarnya sendiri untuk mengambil pedangnya, lalu ia pergi pula ke kandang untuk mengambil see?kor kuda yang buru-buru dinaikinya me?nuju ke arah barat.
Pagi itu juga Tong Wi-hong yang sedang dikuasai gejolak kemarahan itu telah mulai dengan pengejarannya, tan?pa mempedulikan kelelahan tubuhnya. Ketika Wi-hong tiba di gerbang kota Tay-beng, empat orang perajurit penja?ga tidak mengijinkannya lewat sebab belum saatnya untuk membuka pintu ko?ta. Terpaksa Wi-hong membuat pingsan keempat perajurit yang bernasib sial itu. Seorang diri saja Wi-hong mem?buka pintu gerbang kota, mengerek tu?run jembatan gantung, dan kemudian me?macu kudanya keluar kota.
Pagi hari itu kota Tay-beng menjadi gempar ketika tersebar berita tentang tewasnya Cian Lo-piau-thau yang dermawan dan sangat dihormati masyarakat Tay-beng itu. Bahkan kematiannya diikuti pula oleh belasan orang piau-su dan pelayan rumah yang meng?huni gedung itu, sedangkan anak gadis piau-su tua itu tidak nampak bayang?annya.
Seorang piau-su tua yang menjadi kepercayaan Cian Sin-wi, yang sering dipanggil Can Lo-toa, segera memimpin pengurusan mayat Cian Sin-wi dan mayat-mayat lainnya itu. Suasana duka meli?puti gedung yang megah itu. Berita kilat yang dibawa oleh kurir-kurir berkuda segera disebarkan kepada selu?ruh cabang Tiong-gi Piau-hang, yang mengabarkan bahwa pucuk pimpinan Tiong-gi Piau-hang telah tewas. Dalam surat itu sekaligus diperintahkan agar cabang manapun berusaha untuk menang?kap Song Kim si murid khianat itu, dimanapun diketemukannya.
Begitulah nasib Tiong-gi Piau-hang yang menyedihkan. Sebuah perusahaan pengawalan yang terbesar di Kang-pak dan telah berjaya selama tiga keturunan, kini dipaksa menelan pil pahit dari Hwe-liong-pang, sebuah per?serikatan yang berdirinyapun baru sa?tu tahun lebih! Tak pelak lagi orang-orang akan bertambah menggigil ke?takutan bila mendengar disebutnya na?ma Hwe-liong-pang!
Jenazah Cian Sin-wi dan para kor?ban Hwe-liong-pang lainnya segera di?masukkan ke dalam peti mati dan dile?takkan berderet-deret di ruangan tengah. Mayat beberapa orang pelayan dan beberapa piau-su segera dijemput oleh sanak keluarganya. Sementara itu orang-orang yang hendak memberi peng?hormatan terakhir kepada jago tua itu mulai mengalir datang.
Karena Cian Sin-wi merupakan seo?rang tokoh yang terkenal bukan saja di Tay-beng tetapi juga di seluruh wilayah Kang-pak, maka berita kematiannyapun segera menyebar cepat bagaikan terbawa angin.
-o0^DwKz-Hendra^0o- BAGIAN depan dan tengah dari ge?dung Tiong-gi Piau-hang yang lu?as itu kini dipenuhi dengan orang-orang yang melayat. Semuanya me?nunjukkan muka murung dan berduka. Pa?ra piau-su Tiong-gi Piau-hang menge?nakan pakaian belacu putih dan kepala terikat kain putih pula, nampak sibuk menyambut dan mempersilahkan para ta?mu yang terus berdatangan menyatakan dukacita bagi pemimpin Tiong-gi Piau-hang itu.
Di tengah-tengah ruangan tengah, sebuah peti mati besar nampak hampir "tenggelam" oleh tumpukan karangan bunga yang terus mengalir dari berba?gai pihak dan kalangan. Asap hio dan kayu wangi mengepul memenuhi segenap sudut gedung itu. Suasana berkabung menyelimuti setiap kegiatan di gedung megah itu.
Di antara para tetamu sendiri terdengar percakapan bisik-bisik tentang peristiwa terbunuhnya Cian Sin-wi itu. Banyak yang bercerita se?olah-olah melihat kejadian itu dengan mata kepalanya sendiri, dan yang mendengarkannyapun mengangguk-anggukan kepalanya, entah percaya benar-benar entah hanya basa-basi. Tetapi tidak seorangpun berani membicarakan atau menyebut nama Hwe-liong-pang, seolah-olah ketiga patah kata itu meru?pakan mantera pemanggil malapetaka yang paling tabu untuk diucapkan. Mak?lumlah, dalam pandangan umat per?silatan saat itu Hwe-liong-pang ibaratnya suatu perserikatan yang beranggautakan iblis-iblis ganas yang mena?kutkan. Selain itu, Hwe-liong-pang kabarnya juga punya "sejuta mata dan se?juta telinga", sehingga barangsiapa berani bicara sembarangan, boleh jadi nanti malam akan kehilangan batok kepalanya.
Tengah para tetamu yang melayat itu duduk bercakap-cakap sambil dilayani oleh para piau-su, mendadak mun?cullah seorang tamu yang cukup untuk mengalihkan perhatian semua orang, te?rutama bagi para lelakinya. Tamu itu ternyata salah seorang gadis yang da?tang seorang diri sambil menuntun seekor kuda, suatu penglihatan yang ti?dak lazim dijaman yang kolot itu. Apa?lagi gadis itu berpakaian ringkas se?perti umumnya orang dunia persilatan, meskipun punggungnya dirangkapi dengan mantel berwarna merah darah. Wajahnya ayu dan masih nampak cukup muda, namun pandangan matanya tajam dan berwibawa, membuat lelaki manapun tidak berani memandangnya secara kurang ajar. Dan meskipun gadis itu bersikap seperti orang dunia persilatan, namun ia justru tidak membawa senjata sepotongpun.
Gadis itu bukan lain adalah Tong Wi-lian, adik Tong Wihong, dan murid rahib sakti Hong-tay Hweshio dari Siong-san. Seperti diketahui, setelah bentrok dengan orang-orang Hwe-liong-pang di Kay-hong dan menyampaikan se?pucuk surat undangan Eng-hiong-tay ?hwe (Pertemuan Agung Kaum Ksatria) ke tangan Liu Tay-liong, maka Tong Wi-lian melanjutkan perjalanan ke Tay-beng untuk menyampaikan surat undangan yang sama kepada Cian Sin-wi.
Tetapi sejak melangkahkan kaki memasuki kota Tay-beng, Wi-lian te?lah mendengar berita tentang tewasnya Cian Sin-wi di tangan orang-orang Hwe-liong-pang. Maka gadis itu menjadi ke?cewa, sebab dengan demikian ia tidak dapat bertemu dan berkenalan sendiri dengan pendekar tua yang disegani golongan hitam itu.
Selain itu menurut gurunya, ba?rangkali dari mulut Cian Sin-wi ini?lah akan dapat dilacak jejak kakak ke?duanya, yaitu Tong Wi-hong. Tetapi ki?ni dengan matinya Cian Sin-wi, kepada siapakah ia akan bertanya tentang je?jak kakaknya itu?
Sesaat lamanya gadis itu ragu-ragu berdiri di depan pintu gerbang ge?dung yang digantungi tirai putih itu. Akhirnya seorang piau-su setengah u?mur mendekatinya dengan sopan dan me?nanyakan kepentingannya. Apa boleh bu?at, Wi-lian terpaksa menjawab dengan menyesuaikannya dengan keadaan, "Aku mendengar berita tentang wafatnya Cong Lo-piau-thau, maka aku ingin mem?beri hormat kepada layonnya."
Piau-su itu lalu mengantar Wi-lian ke ruangan tengah. Setelah bersembahyang secara agama Buddha di depan peti jenazah, secara sambil lalu Wi-lian mencoba memancing keterangan dari Can Lo-toa yang selalu mendampingi peti jenazah itu, "Paman, maafkan jika aku banyak bertanya. Aku agaknya kurang jelas mendengar berita kematian Can Lo-piau-thau, aku hanya mendengar dia wafat, namun apakah yang menjadi penyebabnya?"
Can Lo-toa menjadi heran karena gadis itu menanyakan suatu hal yang telah diketahui oleh umum. Namun demi sopan santun dijawabnya juga pertanya?an gadis itu, "Apakah nona belum men?dengarnya?"
Terpaksa Wi-lian meneruskan kebo?hongannya, "Aku memang sudah bertanya kepada beberapa orang yang kutemui di tengah perjalanan tadi, tapi jawaban mereka simpang-siur dan tidak seragam. Aku terpaksa harus mencari berita yang sebenarnya dari paman, yang meru?pakan orang terpercaya di Piau-hang ini setelah meninggalnya Cian Lo-piau-thau."
Tampak wajah piau-su tua itu me?nampilkan kemarahannya, sambil mengge?brak meja ia berkata dengan sengit, "Hemm, orang lain boleh ketakutan se?tengah mati mendengar nama Hwe-liong-pang, tapi aku seujung rambutpun tidak gentar kepada mereka. Bila mereka berani muncul, biarlah kusediakan ji?wa tuaku ini untuk mengadu jiwa dengan mereka, demi membalas budi mendiang Cong-piau-thau. Orang-orang Hwe-liong-pang itu makin lama makin sewenang-we?nang dan kurang ajar. Kemarin malam Cong-piau-thau telah dicelakai oleh orang-orang mereka dengan cara yang licik, karena Cong-piau-thau tidak mau menuruti ancaman mereka untuk ber?gabung dengan Hwe-liong-pang."
Teringat akan permusuhannya sen?diri dengan Hwe-liong-pang, alis Wi-lianpun ikut berdiri demi mendengar disebutnya nama perkumpulan itu. Ge?ramnya, "Ah, lagi-lagi setan-setan itu yang membuat bencana."
Beberapa orang tamu yang mejanya berdekatan dengan meja Wi-lian, dapat melihat pula sikap garang gadis itu. Orang-orang itu menjadi heran karena gadis semuda Wi-lian ternyata telah berani mencela dan memaki Hwe-liong pang secara terang-terangan di ha?dapan umum seperti itu. Tokoh persilat?an yang berani memperlihatkan sikap seperti itu agaknya di jaman itu su?dah tidak banyak lagi jumlahnya.
Karena suara Wi-lian terdengar ke seluruh ruangan, seketika itu juga ruangan tengah gedung Tiong-gi Piau-hang itu menjadi sunyi senyap. Semua mata menatap ke arah Wi-lian dengan perasaan heran bercampur cemas.
Sebaliknya Can Lo-toa menunjuk?kan sikap senang melihat sikap Wi-lian yang gagah berani itu. Tanya?nya, "Apakah nona juga mempunyai per?musuhan dengan Hwe-liong-pang?"
Sekali lagi ruangan tengah itu bagaikan tergetar, terkejut mendengar jawaban Wi-lian, "Ya, jika mereka tidak mencari aku, akulah yang akan mencari mereka. Di manapun aku menemui orang Hwe-liong-pang, aku harus bertempur dengannya!"
Beberapa orang tamu yang ber?nyali kecil segera mohon pamit kepada Can Lo-toa dan cepat-cepat mening?galkan tempat itu. Mereka menyebut na?ma Hwe-liong-pang saja tabu, tapi gadis ini malah menunjukkan sikap ber?musuhannya kepada Hwe-liong-pang se?cara terang-terangan.
Ada seorang tamu yang berpakaian perlente dan bertampang seperti orang kaya, segera mendekati Wi-lian dan berkata dengan setengah menegur, "Ha?rap nona sedikit berhati-hati dalam mengeluarkan kata-kata. Apabila ka?ta-katamu itu sampai ke telinga pihak Hwe-liong-pang, maka nona bakal mele?wati hari-hari nona tanpa ketenteraman sedikitpun. Bahkan beberapa orang yang tidak tahu apa-apapun bisa tersangkut urusan pula."
Beberapa orang piau-su Tiong-gi Piau-hang yang agak penakutpun segera menimbrung, "Betul sekali ucapan Nyo Sian-seng (tuan Nyo) ini. Harap nona tidak sembarangan bicara di tempat ini."
"Betul, kami bekerja sebagai piau-su tak lain hanyalah untuk menca?ri sesuap nasi untuk menyambung hidup, selamanya berusaha menjauhi permu?suhan dengan siapapun, buat apa menca?ri malapetaka buat diri sendiri?" sam?bung piau-su lainnya.
Wi-lian membuang muka mendengar kata-kata yang memuakkan itu. Sahutnya dengan dingin, "Oh begitu kiranya. Kiranya sebutan sebagai enghiong (ksatria) itu hanya berani kalian sandang jika keadaan sedang aman, begitu pula para piau-su hanya gagah perkasa jika sedang menerima ga?ji, tapi begitu Tiong-gi Piau-hang memerlukan pembelaan kalian karena hendak diinjak-injak oleh Hwe-liong-pang, kalian bersembunyi ketakutan. Hemm, eng-hiong macam apa itu?"
Orang berpakaian perlente yang dipanggil Nyo Sian-seng itu juga meru?pakan tokoh silat yang disegani di Tay-beng, meskipun tidak setenar men?diang Cian-sin-wi. Kini setelah disindir oleh Wi-lian di depan sekian banyak orang, ia menjadi naik darah. Katanya, "Nona, kau jangan besar mu?lut. Di hadapanku orang she Nyo belum pernah ada orang yang berani bersikap sekurang-ajar kau. Bahkan semasa hi?dupnya mendiang Cian Lo-eng-hiong sen?diri sering memberi muka kepadaku."
Memangnya perasaan Wi-lian juga sedang pepat karena kegagalan menemui Cian Sin-wi untuk menanyakan jejak kakak keduanya. Kini dijumpainya orang she Nyo yang bersikap menyebalkan ini, iapun naik darah. Tanpa dapat menahan perasaannya lagi ia segera menyahut, "Kalau begitu tuan ini tentu seorang pendekar yang ternama? Te?tapi kenapa tuan tidak mencoba menggunakan pengaruh tuan dan mengumpul?kan kawan-kawan sehaluan untuk bersa?ma-sama menentang kezaliman Hwe-liong-pang dan menegakkan keadilan? Bukan?nya aku membual, jelek-jelek aku sudah pernah bertempur dengan beberapa orang tokoh Hwe-liong-pang, bahkan de?ngan salah seorang dari empat orang yang mereka sebut Su-cia, dan ternya?ta mereka tidak menakutkan seperti yang digembar-gemborkan orang. Hanya orang-orang yang bernyali tikus saja yang ketakutan kepada mereka!"
Muka orang she Nyo itu memutih pucat dan merah padam secara ber?gantian. Akhirnya ia kehabisan kesaba?ran dan melangkah maju untuk bertem?pur, sampai lupalah "pendekar" itu bahwa yang dihadapinya hanyalah seorang gadis yang usianya saja pantas menjadi anaknya.
Melihat kedua tamunya itu bersitegang leher dan siap untuk berhantam, repotlah Can Lo-toa untuk melerainya. Untunglah orang she Nyo itupun dapat dibujuk oleh beberapa orang temannya untuk menyabarkan diri. Meskipun de?ngan masih menggerutu mendongkol, da?pat juga ia diajak untuk duduk di tem?patnya kembali.
Wi-lian sendiripun agaknya malas berurusan dengan orang yang sok pende?kar itu.
Sementara itu dalam hati Can Lo-toa sudah timbul kekaguman dan ke?san baiknya kepada gadis yang berse?mangat itu. Ia duduk menemani Wi-lian, sementara seorang piau-su telah da?tang membawakan teh dan beberapa ma?kanan kecil. Dalam kesempatan itu Wi-lian mencoba mengorek keterangan dari Can Lo-toa tentang kakaknya, ta?nyanya, "Paman, apakah benar di tempat ini pernah tinggal seorang yang bernama Tong Wi-hong?"
"Betul," sahut Can Lo-toa sambil menganggukkan kepalanya. "Dia adalah calon menantu Cong Lo-piau-thau. Kema?rin malam, ketika Lo-piau-thau terbu?nuh, kawanan bangsat Hwe-liong-pang itu juga menculik puteri tunggalnya. Kini Tong Siau-ya (tuan muda Tong) itu sedang mengejar orang-orang Hwe-liong pang untuk merebut kembali ca?lon isterinya itu. Hemm, mereka benar-benar pasangan yang serasi."
Sengaja Can Lo-toa memberi te?kanan pada perkataan "calon isteri" dan "mereka pasangan yang serasi". Ru?panya Can Lo-toa salah duga terhadap Wi-lian. Dikiranya gadis yang duduk di depannya itu juga ikut menaksir ke?pada Wi-hong yang tampan itu, maka Can lo-toa sengaja menyalakan "lampu merah" agar gadis ini mundur teratur sa?ja.
Tentu saja Wi-lian maklum kemana tujuan kata-kata Can Lo-toa itu. Diam-diam ia merasa geli dan sekaligus ce?mas juga mendengar kakak yang sering dimakinya sebagai "kutu buku" itu kini ternyata sudah punya calon iste?ri segala. Tetapi juga cemas kalau me?mikirkan bahwa kakaknya itu kini se?dang mengejar orang-orang Hwe-liong-pang dengan sendirian saja. Wi-lian sudah menyaksikan dan merasakan sen?diri bagaimana lihainya orang-orang Hwe-liong-pang seperti Kwa Heng, Ji Tiat, apalagi Sebun Say. Dan kini ka?kaknya mengejar musuh seorang diri, apakah tidak berbahaya?
"Paman, kemanakah kiranya Tong Wi-hong memburu penculik-penculik itu?"
Can Lo-toa agak mengerutkan ke?ningnya mendengar gadis itu terus me?nanyakan Wi-hong. Sahutnya, "Menurut tulisan darah yang ditulis oleh Lo-piau-thau sebelum ajalnya, agaknya kawanan penculik itu lari ke arah barat, dan Tong Siau-yapun agaknya juga mengejar ke sana. Ia sudah bertekad untuk merebut calon isterinya yang sangat dicinta..."
Ucapan yang ditujukan kepadanya itu cepat dipotong oleh Wi-lian sam?bil tersenyum, "Paman tidak usah kuatir bahwa aku akan berebut Tong Siau-ya kalian dari tangan nona Cian. Ka?lau si kutu buku Tong Wi-hong itu boleh mencemaskan calon isterinya, ke?napa aku tidak boleh mencemaskan calon kakak iparku?"
Seketika itu Can Lo-toa melongo mendengar perkataan gadis itu. "Mak?sud nona...."
Kata Wi-lian, "Dari tadi paman belum menanyakan namaku. Jika kutu buku itu bernama Tong Wi-hong, akupun She Tong dan bernama Wi-lian."
Seketika itu wajah Can Lo-toa agak kikuk karena prasangkanya tadi se?kaligus juga merasa senang setelah mengetahui bahwa gadis yang duduk di depannya ini adalah adik Tong Wi-hong. Sikapnyapun jauh lebih ramah.
Setelah mendapat keterangan ten?tang ke arah mana Wi-hong mengejar penculik, dan keterangan sekedarnya tentang daerah di sebelah barat kota Tay-beng itu, maka tanpa membuang waktu lagi Wi-lian segera berpamitan dari Can Lo-toa.
Can Lo-toa terkejut ketika mendengar gadis itu untuk ikut mengejar kawanan Hwe-liong-pang itu. Cegahnya, "Nona, orang-orang Hwe-liong-pang itu bukan ahli-ahli silat kelas kambing yang dapat dianggap enteng. Mereka be?gitu tangguh sehingga Lo-piau-thaupun tewas di tangan mereka, apa?bila nona hendak menyusul seorang diri apakah tidak berbahaya?"
"Tidak berbahaya," sahut Wi-lian sambil tersenyum manis. Secara acuh tak acuh ia menekan cawan teh yang terletak di depannya dengan meng?gunakan telapak tangannya. Seketika itu cawan teh itu amblas ke permukaan meja sampai hampir separuh tinggi ca?wan, begitu mudahnya, seakan-akan per?mukaan meja itu terbuat dari tahu sa?ja.
Sesaat Can Lo-toa melotot memandang cawan yang sudah "tertanam" sepa?ruh di permukaan meja itu, lalu mende?sah kagum. Katanya kemudian, "Baik?lah, agaknya nona cukup memiliki be?kal untuk memburu bangsat-bangsat itu. Tetapi hati-hatilah. Mereka bukan saja berilmu silat tinggi tapi juga kaya dengan akal licik."
"Tentu saja, paman. Nah, aku per?misi."
Can Lo-toa sendiri yang mengantar gadis itu sampai ke pintu gerbang de?pan. Sampai gadis itu dan kuda tung?gangannya hilang lenyap di tikungan sana, Can Lo-toa masih saja berdiri di bawah anak tangga, sambil menggu?mam seorang diri, "Hebat. Tak kuduga gadis seayu itu ternyata adalah see?kor macan betina yang garang. Keluar?ga Tong agaknya merupakan sarang ma?can. Benar-benar tidak mengecewakan seluruh Tiong-gi Piau-hang jika nona Cian kelak menjadi isteri Tong Wi-hong."
Dalam pada itu Wi-lian telah ti?ba di luar kota Tay-beng dan mulai me?larikan kudanya ke jurusan barat. Mes?kipun ia belum pernah menginjak da?erah itu, namun ia sudah mendapat gam?baran tentang daerah itu dari mulut Can Lo-toa. Tidak lama kemudian kota Tay-bengpun sudah jauh tertinggal di belakangnya, kini ia sudah melewati pula bukit-bukit berhutan cemara yang menurut sejarah pernah menjadi persem?bunyian dari seratus delapan orang pendekar Liang-san itu.
Kuda tunggangan Wi-lian adalah seekor kuda gurun yang tegar dan tang?guh. Sampai matahari hampir condong di sebelah barat, ternyata kuda itu masih sanggup berlari meskipun kece?patannya berkurang. Mata penunggang-nyalah yang menjadi silau karena ia berkuda ke arah tenggelamnya matahari.
Akhirnya gadis itu terpaksa meng?hentikan kudanya, sebab kini di de?pannya terbentanglah sebuah padang perdu yang luas seakan-akan tanpa tepi itu. Adalah tidak mungkin menjelajahi padang perdu itu dalam keadaan gelap seperti itu.
Wi-lian memutuskan untuk mencari se?buah desa atau rumah yang dapat ditum?panginya untuk bermalam. Dan setelah menyusuri sepanjang tepian padang per?du itu, ditemui jugalah sebuah desa kecil bernama Pek-tiap-tin, sebuah de?sa yang penduduknya hidup dari ber?buru binatang dan berladang di tanah yang kurang subur itu. Di desa itu ada sebuah rumah penginapan kampung yang sangat sederhana, namun buat Wi-lian dirasakan jauh lebih baik daripada harus bermalam di tengah padang perdu yang belum dikenalnya.
Para tetamu yang menginap di pe?nginapan kampung itu kebanyakan ada?lah para petualang miskin yang tidak mampu menyewa rumah penginapan yang memadai, atau nampak pula orang-orang yang bertampang suku bangsa luar perbatasan. Wi-lian tidak menggubris mereka, meskipun petualang-petualang itu memandang Wi-lian sambil menelan air liur.
Malam itu tidak terjadi sesuatu apapun atas diri gadis itu. Meskipun demikian, Wi-lian tidak berani ter?lalu lelap dalam tidurnya, sebab orang orang yang menginap di penginapan itu rata-rata bertampang buaya darat yang "kehausan" perempuan.
Keesokan harinya, setelah memba?yar biaya penginapannya, Wi-lian sege?ra menaiki kembali kudanya dan me?lanjutkan pengejarannya ke arah barat membelah padang perdu yang amat luas itu.
Berkuda semakin jauh bahkan se?telah matahari berada di puncak langit, ternyata jejak kakaknya dan orang-orang Hwe-liong-pang itu belum juga ditemuinya sama sekali. Bahkan orang-orang yang berpapasan dengannya makin lama makin sedikit, menandakan bahwa di depannya adalah daerah be?lukar yang jarang diinjak kaki manusia.
Mulailah timbul keragu-raguan di hati gadis itu, benarkah arah yang ditem?puhnya sudah tepat ?
Ketika ia menyapukan pandangan ke sekelilingnya, maka sejauh-jauhnya mata memandang yang kelihatan hanya perdu dan rumput kuning yang tak ada batasnya. Dan matahari yang tengah panas-panasnya itu benar-benar tak ke?nal ampun dalam memanggang semua mahluk yang di bawahnya. Untunglah Wi-li?an adalah seorang gadis gemblengan Siau-lim-pay, sehingga kegarangan alam itu tidak membuat tubuhnya ter?ganggu.
Tengah Wi-lian berpikir untuk me?nentukan langkah lain, ia tiba-tiba mendengar ada derap beberapa ekor ku?da dari arah belakangnya. Semakin dekat suara derap kaki kuda itu, telinga Wi-lian semakin jelas pula menang?kap isi pembicaraan antara para penunggang kuda itu.
"Benar-benar sialan, sudah hampir tujuh hari kita bergentayangan di tempat yang seperti neraka ini, namun belum juga kita temui jejak bang?sat-bangsat busuk itu!" terdengar seseorang menggerutu dengan suara keras.
Terdengar orang yang lainnya me?nyahut, "Kalau perburuan kita ini sam?pai gagal, pastilah kita akan didam?prat habis-habisan oleh thong-leng (kepala pasukan) yang belakangan ini selalu marah-marah saja. Tidak musta?hil kita akan mengalami penurunan pangkat atau pemotongan gaji."
Ketika Wi-lian menoleh dan memperhatikan para penunggang kuda yang datang dari belakangnya itu, nam?paklah ada tiga orang penunggang kuda yang searah dengannya. Karena jalur di tengah padang perdu itu cukup sem?pit, maka Wi-lian meminggirkan kudanya supaya tidak ditabrak oleh ketiga pe?nunggang kuda itu.
Setelah cukup dekat nampaklah ke?tiga penunggang kuda itu orang lelaki semuanya. Salah seorang dari mereka sudah cukup tua, kira-kira limapuluh tahun umurnya dan memelihara jenggot seperti kambing bandot. Yang dua orang lagi berusia kira-kira tigapuluh tahun sampai tigapuluh lima tahun. Ketiga orang itu nampak tangkas dalam mengendalikan kudanya masing-masing, menandakan mereka agaknya orang yang biasa berkelana atau cukup terlatih. Apalagi kalau dilihat dari senjata-senjata mereka yang digantungkan di pelana kudanya masing-masing.
Ketiga lelaki itu menunjukkan ke?heranannya ketika menemui seorang ga?dis berkuda sendirian di tengah pa?dang perdu yang sepi itu.
Rupanya setelah menempuh suatu perjalanan yang jauh dan menjemukan, salah seorang dari ketiga penunggang kuda itu timbul rasa isengnya untuk mengganggu Wi-lian. Sambil menyikut temannya yang berkuda di sebelahnya, ia berkata sambil cengar-cengir, "Eh, Lau Cun, kalu lihat anak ayam ini agaknya cukup lumayan untuk sekedar obat pelepas lelah kita. He-he-he-he-he !"
Telinga Wi-lian yang cukup tajam itu mendengar pula ucapan itu, dan mukanyapun menjadi merah. Kalau ia tidak sedang diburu urusan penting ingin rasanya ia berhenti sebentar untuk menghajar lelaki yang usil mulut itu. Namun saat itu Wi-lian sedang ma?las untuk berurusan dengan siapapun, maka ucapan kurang ajar itu pura-pura tidak didengarnya.
Namun sikap diam Wi-lian itu rupanya ditafsirkan salah oleh lelaki usilan itu. Ketika kudanya lewat di samping kuda Wi-lian, lelaki itu mem?perlambat kudanya dan tangannyapun menyelonong hendak meraba pinggul gadis itu.
Habislah kesabaran Wi-lian terha?dap lelaki buaya itu. Tangkas sekali ia menangkap tangan orang itu, lang?sung diputar dan didorongnya. Tak ampun lagi lelaki itu menjerit dan terlempar jatuh dari kudanya.
Kedua orang kawan seperjalanan?nya terkejut melihat kawannya kena dibanting semudah itu oleh seorang ga?dis. Lelaki yang berjenggot kambing itu agaknya punya pengalaman yang luas maka sadarlah ia bahwa yang diha?dapinya adaiah seorang pendekar wa?nita dunia persilatan yang tidak dapat dipandang ringan.
Sementara itu si lelaki buaya te?lah bangkit kembali dengan terta?tih-tatih sambil memaki-maki. Meski?pun hatinya sudah mulai gentar, tapi untuk menjaga pamornya dia membentak Wi-lian, "Hemm, gadis liar, jangan bangga karena berhasil membantingku. Itu berhasil kau lakukan karena aku tidak dalam keadaan siap. Untunglah kau sebab aku sedang ada urusan pen?ting sehingga tidak dapat menghajarmu, tapi hati-hatilah kau jika lain waktu bertemu lagi."
Jenis orang seperti ini memang terlalu banyak jumlahnya di kalangan persilatan. Kalah tetapi tidak mau mengaku kalah dan menutupi kekerdilan?nya dengan kata-kata yang garang. Ka?rena itu Wi-lian sama sekali tidak menggubrisnya.
Ketiga orang itu agaknya memang sedang buru-buru untuk suatu urusan penting. Bentrokan kecil dengan Wi-lian itu ternyata kemudian tak dihiraukan lagi, dan merekapun melanjutkan perjalanan mereka dengan tergesa-gesa menuju ke arah barat.
Sepeninggal ketiga orang itu, Wi-lian masih saja kebingungan mena?tapkan arah supaya bisa menyusul kakaknya. Akhirnya dibiarkannya saja kudanya berlari seenaknya.
Setelah berkuda terus hampir se?panjang hari, akhirnya padang perdu itu menemukan juga bentuknya yang lain. Kini yang tampak bukan hanya te?tumbuhan perdu melulu, tapi sudah mu?lai kelihatan pula beberapa jenis pe?pohonan yang agak tinggi.
Tak terasa, kembali sehari penuh telah dilewati dalam melacak jejak ka?kaknya yang tak tentu itu. Kini mata?hari sudah miring ke sebelah barat dan sinarnya tepat menyoroti muka gadis yang berpeluh itu.
Ketika Wi-lian sudah hampir pu?tus harapan dan hendak kembali ke Tay-beng sambil menunggu kakaknya di sana saja, tiba-tiba matanya melihat ada sesosok tubuh tergeletak di bawah serumpun semak. Karena jaraknya masih ada puluhan langkah, maka ia tidak da?pat menentukan, apakah orang yang dilihatnya itu masih hidup atau sudah mati. Terdorong oleh rasa ingin ta?hunya, cepat dilarikannya kudanya un?tuk mendekati tubuh itu.
Begitu dekat, seketika berkerutlah kening gadis itu. Tubuh yang ter?geletak itu ternyata adalah tubuh da?ri lelaki yang mencoba menggodanya ta?di, dan sudah dalam keadaan tak ber?nyawa lagi. Namun mata lelaki itu ma?sih melotot lebar-lebar, menandakan bahwa ia mati penasaran, sedangkan tangannya masih menggenggam pedangnya erat-erat. Pada dada lelaki itu nam?pak lima buah lubang yang agaknya di?buat dengan lima buah jari tangan, sedangkan lambungnya terkoyak lebar, nampaknya terkena jenis senjata sema?cam golok.
Wi-lian mengeliarkan pandangannya ke sekitar tempat itu. Nampaklah bah?wa gerumbul-gerumbul semak di sekitar tempat itu porak-poranda terinjak-injak kaki manusia, dan terdapat pula ranting-ranting pohon yang patah terkena sabetan senjata tajam. Dilihat dari bekas-bekasnya agaknya dapat disimpulkan bahwa di tempat itu terja?di suatu pertarungan hebat belum lama berselang. Namun ke mana dua orang pe?nunggang kuda yang lainnya? Kenapa me?reka membiarkan mayat kawan mereka begitu saja? Ataukah merekapun telah te?was tapi di tempat lain?
Kuil Siau-lim terkenal bukan saja sebagai pusat ilmu silat, tapi juga pusat penyebaran agama Buddha. Selama dua tahun digembleng di kuil Siau-lim, maka jiwa Wi-lianpun telah terpengaruh oleh ajaran Buddha yang mengajar?kan welas-asih itu. Meskipun lelaki yang telah menjadi mayat itu pernah mengganggunya, namun Wi-lian tidak sampai hati membiarkan mayatnya menja?di santapan binatang-binatang malam. Tanpa mempedulikan keletihan tu?buhnya, Wi-lian lalu mencoba mengubur?kan mayat orang itu. Tapi karena tak ada alat untuk menggali tanah, maka mayat itu diletakkan di sebuah tanah yang agak cekung, lalu di atasnya di?tutup dengan ranting-ranting dan ba?tu-batu, setelah itu baru diuruk tanah.
Sementara itu hari telah menjadi remang-remang. Sekitar tempat itu ti?dak nampak sebuah rumahpun. Akhirnya Wi-lian memutuskan, "Apa boleh buat, malam ini terpaksa aku tidur di atas dahan pohon. Semoga tidak ada gang?guan apapun."
Tengah gadis itu mencari-cari se?buah pohon yang dianggapnya cukup rim?bun dan cukup nyaman untuk tidur di dahannya, mendadak telinganya menang?kap suara yang menarik perhatian. Be?berapa puluh tombak dari tempatnya itu ada sebuah bukit kecil, dan dari balik bukit itu terdengarlah suara ringkik kuda bercampur aduk dengan suara dencing senjata beradu, dise?lingi pula suara bentakan-bentakan orang yang sedang bertempur.
Tadinya Wi-lian sudah hampir berputus-asa untuk menemukan jejak kakak?nya atau jejak orang-orang Hwe-liong-pang, maka ketika mendengar suara-sua?ra itu seketika harapannya timbul kem?bali. Meskipun tidak terlalu mengharap, tetapi siapa tahu dari orang-o?rang yang bertempur itu ia bisa mene?mukan jejak kakaknya? Bahkan tidak mustahil yang sedang bertempur itu adalah kakaknya sendiri.
Cepat dinaikinya kudanya dan di?pacunya menuju ke bukit kecil itu.
Namun sebelum kuda Wi-lian sempat mencapai bukit kecil itu, telah terde?ngar suara jeritan seram dua kali ber?turut-turut, disusul pula dengan sua?ra tertawa kemenangan bagaikan iblis meringkik. Lalu terdengar pula derap kaki kuda menjauhi bukit kecil itu. Agaknya sebelum Wi-lian sempat melihat siapa-siapa yang bertempur itu, per?tempuran itu sudah selesai lebih dulu.
Gadis itu berusaha memacu kudanya lebih cepat lagi, tetapi toh semuanya sudah terlambat. Di balik bukit kecil itu hanya ditemuinya dua sosok mayat yang masih hangat dalam keadaan luka luka yang mirip dengan luka-luka mayat pertama tadi. Di dekat mayat itu ada dua ekor kuda yang tengah meringkik-ringkik sambil berputar-putar ke?bingungan mencari tuannya.
Di bawah sinar matahari yang se?makin redup, Wi-lian seorang diri di tempat itu dengan hanya ditemani dua sosok mayat, meskipun nyalinya cukup besar tapi terasa ngeri juga. Cepat cepat ia memutar kudanya untuk segera meninggalkan tempat itu.
Namun baru saja ia membalikkan diri, tiba-tiba didengarnya salah sa?tu dari "mayat" itu merintih perlahan. Timbul harapan baru dalam hati gadis itu, "He, kiranya ada yang belum mati di antara kedua orang itu. Aku harus menolongnya, siapa tahu ia akan dapat menerangkan siapa yang telah bertempur tadi, dan barangkali aku akan mendapat jejak A-hong."
Cepat gadis itu melompat turun dan berlari mendekati orang yang me?rintih itu. Meskipun cuaca semakin ge?lap, tetapi Wi-lian tetap masih dapat mengenalnya sebagai lelaki berjenggot kambing yang dijumpainya siang tadi di tengah padang perdu. Luka-luka di tubuh orang itu ternyata sama dengan luka-luka orang yang telah dikuburkan?nya tadi. Ada bekas cengkeraman lima jari yang menembus dalam ke daging, dan ada pula bekas sabetan-sabetan golok yang memanjang.
Cepat Wi-lian menggunakan dua ja?ri tangannya untuk menotok beberapa buah urat penting di sekitar luka, dengan maksud untuk menghentikan meng?alirnya darah secara terus menerus. Tetapi agaknya pertolongan itu tidak akan banyak memberi harapan kepada orang itu, sebab keadaannya memang sangat parah.
Merasa ada orang yang menolong?nya; si jenggot kambing yang sudah ti?ga perempat mati itupun perlahan-lahan membuka kelopak matanya. Tanyanya dengan suara terputus-putus, "Sia..si?apa...kau....?"
Sahut Wi-lian langsung untuk menghilangkan kecurigaan orang itu, "Aku bernama Tong Wi-lian, murid Ra?hib Hong-tay dari Siau-lim-si di Siong san. Harap paman tenangkan diri, aku akan berusaha mengobati luka-luka paman ini."
Sebuah senyuman tipis terbentuk di bibir orang tua yang sedang sekarat itu. Katanya lemah, "Terima kasih, tetapi kukira nona tidak usah bersusah-payah untuk mengobatiku lagi. Aku me?rasa bahwa jiwa tuaku ini agaknya sudah tidak ada harapan untuk diperta?hankan lebih lama lagi, bahkan an?daikata aku berhasil hiduppun aku akan merasa menanggung malu karena ga?gal menunaikan tugas yang dibebankan di pundakku. Tapi sebelum aku mati, maukah nona menolongku?"
"Katakanlah, paman."
Terlihatlah dada lelaki tua itu bergelombang menahan sakit, keliha?tannya ia bernapas dengan payah se?kali. Tetapi ia berhasil juga menge?luarkan kata-katanya meskipun dengan suara yang lirih, "Nona, jika kau ada waktu pergilah ke dusun yang bernama Pek-tiap-tin, kira-kira tigapuluh li dari sini ke arah timur. Di sana kau carilah seorang Ting Thong-leng (Kepala Pasukan she Ting) dan katakan ke?padanya bahwa untuk melawan orang-orang Hwe-liong-pang itu harus dikerahkan suatu pasukan yang kuat, bah?kan agaknya para ko-jiu (jagoan) da?lam Lwe-teng-wi-su (Pasukan Khusus Pengawal istana) itupun harus ikut am?bil bagian. Kalau hanya mengirim pra?jurit-prajurit biasa seperti aku dan kawan-kawanku ini, hanya akan mengha?biskan nyawa manusia saja."
Wi-lian mengangguk-anggukkan ke?palanya. Lelaki berjenggot kambing itu meneruskan kata-katanya pula, "Ting Thong-leng yang kusebutkan tadi bernama Ting Bun dari Ibukota Pak-khia. Ting Tong-leng adalah pemim?pin dari regu ke sebelas yang memburu orang-orang Hwe-liong-pang, dan aku serta kawan-kawanku adalah anggauta regunya."
Mengucap sampai di sini, agaknya seluruh kekuatan hidup dari orang ini telah habis sama sekali. Nampaklah ia masih berusaha menggerakkan bibirnya untuk berkata-kata lagi, namun gagal, akhirnya kepalanya terkulai ke samping dan arwahnyapun terbang menyusul te?man-temannya yang telah mendahuluinya.
Wi-lian masih saja termangu-mangu di samping tubuh yang mulai mendingin itu. la sedang mencari jejak kakak?nya, tetapi yang diketemukan malahan jejak seseorang lain. Seorang lelaki muda yang juga punya arti dalam hi?dupnya, yaitu Ting Bun. Tetapi benar?kah pemuda yang merampas hatinya itu kini telah menjadi seorang Thong-leng dalam ketentaraan Kerajaan Beng? Pa?dahal keluarga Tong sangat mendendam kepada orang-orang berseragam praju?rit kerajaan, lalu bagaimana kelak ia harus menghadapi Ting Bun?
Gadis itu baru tersentak dari lamunannya setelah dikejutkan oleh kuda?nya yang meringkik dengan gelisah. Ce?pat Wi-lian menggeledah tubuh orang itu kalau-kalau ditemukannya sesuatu yang dapat ditunjukkannya kepada Ting Bun sesuai dengan pesan orang itu. Di kantong baju orang itu ditemukan seke?ping thi-pay (lencana besi) yang pada permukaannya terukir huruf-huruf, "Ong Liang, anggauta regu ke sebelas Pasukan Rahasia Kerajaan Beng".
Wi-lian menganggukkan kepalanya sambil mencamkan apa yang telah diba?canya itu. Pikirnya, "Ternyata Hwe liong-pang bukan hanya dimusuhi oleh kaum ksatria persilatan, tapi bahkan pihak Pemerintah Kerajaanpun meng?irimkan orang-orangnya untuk memburu Hwe-liong-pang. Sebenarnya macam apakah gerombolan yang aneh ini?"
Setelah menyimpan thi-pay itu di kantung pelana kudanya, sekali lagi Wi lian harus menambah kelelahan tu?buhnya untuk menguburkan kedua orang itu. Saat itu langit benar-benar te?lah menjadi hitam kelam, masih untung ada bulan sabit dan bintang-bintang yang menjadi cahaya di padang yang sangat luas itu.
Untung pula bahwa Wi-lian bukan seorang gadis cengeng melainkan cukup bernyali besar. Seorang diri di tengah padang yang gelap itu ia tidak merasa gentar sedikitpun. Ia merasa bahwa re?rumputan di tempat itu cukup tebal dan empuk, cocok untuk tempat istirahat guna memulihkan tenaganya. Ditambatkannya kudanya di tempat yang mudah dicapai, lalu ia sendiri membuka bekal ransum keringnya serta kantong airnya, untuk mengisi perutnya yang belum kemasukan makanan sejak tadi pa?gi.
Sengaja Wi-lian tidak membuat perapian, sebab nalurinya mengatakan bahwa banyak orang-orang Hwe-liong-pang yang berkeliaran di daerah itu. Menyalakan perapian sama saja dengan membe?rikan pertandaan bagi musuh dan memberitahukan di mana dirinya berada. Se?lesai mengenyangkan perutnya, ia duduk bersemedi dan melakukan latihan pernapasan untuk memulihkan tenaganya.
Sampai jauh malam gadis itu melakukan semedi. Setelah tubuhnya merasa segar kembali barulah ia mengurai silanya dan merebahkan diri di rerumputan yang tebal dengan beralaskan mantelnya. Sambil membaringkan tubuhnya, ia melamunkan perjalanan hidupnya yang penuh kekerasan dan pertentangan yang tak habis-habisnya, sangat jauh bedanya dengan kehidupan gadis-gadis remaja pada umumnya.
Pikiran gadis itu seakan-akan me?lompati ruang waktu dan melayang mun?dur ke suatu masa dua tahun yang lalu. Ketika itu ia masih tinggal di An-yang shia, kota kecil yang indah permai, di mana ia hidup di tengah-tengah se?buah keluarga dengan suasana yang hangat meskipun bukan tergolong keluarga yang kaya raya. Ia ingat akan men?diang ayahnya yang sikapnya sangat keras dalam mendidik anak-anaknya. Lalu ibunya yang merupakan seorang pe?rempuan yang lemah lembut, meskipun perempuan tua itu bisa juga menjadi garang jika pedangnya sudah tergenggam di tangannya. Perempuan tua itulah yang paling mengerti dan paling mema?hami anak-anaknya. Kemudian inga?tannya tertuju kepada Tong Wi-siang, kakak tertuanya yang bandel dan beng?alnya luar biasa, tetapi juga sangat menyayangi Wi-lian, meskipun kadang kadang juga mengganggunya sampai si a?dik yang nomor dua, Tong Wi-hong, yang oleh orang-orang seisi rumah diberi julukan "kutu buku" karena rajinnya dalam mempelajari buku-buku kesusasteraan dan ilmu pengetahuan. Kenangan masa lalu terasa begitu indah. Tapi pada kenyataannya, kini gadis itu sedang berada sendirian di tengah sebuah padang perdu yang luas dan gelap, ke?sunyian dan kedinginan tanpa teman. Tiba-tiba saja rasa rindu Wi-lian ke?pada kaum keluarganya telah begitu he?bat bergejolak di hatinya.
"A-siang, di manakah kau seka?rang? Tidak rindukah kau berkumpul dengan seluruh keluarga dan adik-adik?mu?" demikian kadang-kadang hati ga?dis itu ingin menjerit. Tetapi ia ti?dak tahu kepada siapa jeritan itu ha?rus ditujukan.
Lalu gigi gadis itu gemeretak pe?nuh kemarahan jika teringat bahwa ke?tenteraman yang membahagiakan itu ba?gaikan diguncang oleh badai yang dah?syat gara-gara ulah seorang yang ber?nama Cia To-bun. Seorang yang sangat bernafsu untuk menyingkirkan ayahnya, karena dianggapnya selalu merintangi kehendaknya, dan yang akhirnya berha?sil juga melampiaskan segudang den?damnya kepada keluarga Tong. Keluarga kecil yang bahagia itupun akhirnya tercerai-berai, seperti perahu yang pecah di tengah laut. Masing-masing anggauta keluarga berpencar-pencar dan saling tidak mengetahui nasib orang-orang yang dicintainya.
Wi-lian bukan seorang gadis cengeng, jiwa raganya telah mengalami gemblengan hebat. Namun diapun masih tetap seorang manusia yang punya pera?saan, apalagi ia seorang gadis remaja. Kenangan lama yang indah dan kenyata?an sekarang yang begitu pahit terasa telah merobek hatinya, dan tanpa sadar butiran-butiran air hangat mengalir dari pelupuk matanya. Salahkah kalau seorang manusia menangis karena me?rindukan kehangatan yang pernah dimilikinya?
Tengah gadis itu bergelut dengan berbagai macam perasaannya, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar ada?nya desir langkah halus di sekitar dirinya. Bahkan desir langkah itu terdengar semakin dekat dengan dirinya. Gadis itu menjadi tegang, pikirannya segera terpusat untuk menghadapi sega?la sesuatu yang bakal terjadi.
Ketika desir langkah itu tinggal beberapa langkah lagi dari dirinya, mendadak sesosok bayangan putih muncul di depannya, begitu mendadak seperti sesosok hantu yang muncul dari perut bumi saja. Mau tak mau Wi-lian terke?siap juga, cepat ia melompat berdiri sambil memasang kuda-kuda.
Sesaat lamanya kedua sosok ba?yangan itu berdiri dengan tegangnya dan penuh dengan kewaspadaan. Mes?kipun keduanya saling memandang, te?tapi tidak dapat melihat jelas wajah masing-masing karena gelapnya malam itu. Akhirnya terdengar si bayangan putih itu menyapa lebih dulu dengan sua?ranya yang berat bergetar, "Siapa kau? Kenapa kau bermalam seorang diri di tempat ini? Apakah kau orang Hwe-liong-pang?"
Sebaliknya Wi-lian mendengar sua?ra orang itu bagaikan bermimpi. Suara itu sudah sangat dikenalnya! Hampir saja menjerit karena gembiranya, ga?dis itu berseru, "Kutu buku, kaukah itu? aku A-lian!"
Bayangan putih itu nampak tercengang mendengar suara gadis itu, le?nyaplah kesedihan Wi-hong, diganti dengan kegembiraan yang meluap. Teri?aknya, "He, kau...kau adalah A-lian!"
Maka berpelukanlah kakak beradik yang sudah berpisah cukup lama itu, tak dapat dilukiskan kegembiraan mere?ka berdua.
Kiranya setelah beberapa lama Wi-hong mengejar orang-orang Hwe-liong-pang yang menculik Cian-ping itu, ia tersesat di padang perdu itu, sedangkan jejak musuh sedikitpun tidak dilihatnya. Malam itu kebetulan Wi hong lewat di bukit kecil itu, dan ia menjadi curiga ketika mendengar dengus dengus seekor kuda di kaki bukit itu. Diam-diam ia mendekati tempat itu un?tuk mengintai, siapa tahu dapat berte?mu dengan penculik-penculik itu, dan ia tidak menduga sama sekali bahwa yang akan ditemuinya justru adiknya.
Karena gembiranya, kakak beradik yang baru bertemu itu telah saling be?rebutan bicara, sehingga suasana yang tadinya sepi itu kini telah berubah menjadi sangat ributnya.
"A-lian, kenapa kau sampai di tempat ini?"
Sahut adiknya, "Aku sebenarnya se?dang mengemban tugas dari guruku untuk menyampaikan sepucuk undangan Eng-hiong-tay-hwe (Pertemuan Besar Kaum Ksatria) kepada Cian Lo-eng-hiong di Tay-beng. Tetapi begitu aku tiba di sana, aku hanya menjumpai peti jena?zah beliau. Namun dari mulut orang orang di Tiong-gi Piau-hang aku berhasil mendengar tentang jejakmu, katanya kau sedang mengejar penculik-pen?culik calon isterimu, maka tanpa pikir panjang lagi aku segera mengejar ke jurusan ini."
"Hah, kau benar-benar terlalu be?rani dan sedikitpun tidak menggunakan otak. Bagaimana kau seorang diri berani mengejar ke sini, padahal di da?erah ini sangat besar kemungkinannya bertemu dengan orang-orang Hwe-Liong pang yang jahat-jahat itu?" tegur ka?kaknya.
Wi-lian tersenyum mendengar ka?kaknya menegurnya seperti menegur anak kecil saja. Sahutnya, "A-hong, da?ri orang-orang Tiong-gi Piau-hang ku?dengar kabar bahwa kau sudah menga?lami kemajuan pesat dalam ilmu silat karena dididik langsung oleh Su-cou (kakek guru) dan beberapa Su-siok-cou (paman kakek guru). Tapi dengan kema?juan itu belum tentu kau sanggup meng?alahkan aku sekarang."
Wi-hong tertawa bergelak men?dengar jawaban adiknya itu, untuk se?saat lamanya ia jadi melupakan semua kesedihannya. Katanya, "Wah, besar ju?ga omonganmu, tapi aku percaya tentu?nya kau punya alasan untuk bersikap sombong. Selama ini aku cukup mencemas?kan dirimu, semenjak kita berpisah ja?lan karena menghadapi para pembunuh bayaran itu, nah, sekarang kau harus bercerita tentang apa saja yang kau alami selama ini."
-o0^DwKz-Hendra^0o- Jilid 16 SI ADIK segera menceritakan tentang semua pengalamannya secara singkat. Diam-diam Tong Wi-hong bersyukur karena mendengar adiknya yang seharusnya mengalami malapetaka besar itu malahan berbalik mendapat nasib sebaik itu.
Kata Wi-hong dengan muka berseri-seri, "Bagus! Hebat! Jadi kau sekarang adalah murid dari rahib sakti yang terk?enal itu? Pantas kau berani omong besar, dan tentunya ilmu silatmupun maju pesat juga."
Sahut Wi-lian sambil tertawa, "Sekarang kalau kau berani menggodaku lagi, ke manapun kau lari pasti berhasil kukejar dan kuhantam pantatmu."
Demikianlah, untuk sesaat lamanya kedua kakak beradik itu melupakan apa yang sedang menjadi beban pikir?annya masing-masing. Mereka bergurau dengan riang gembira seperti dulu la?gi, bahkan kelakuan mereka kadang-ka?dang seperti anak kecil saja.
Tiba-tiba wi-lian bertanya, "Eh, A-hong, kudengar dari orang Tiong-gi Piau-hang katanya kau sekarang adalah calon menantu Cian Lo-eng-hiong? Ke?tika mendengar berita itu, aku jadi sulit membayangkan bagaimana caranya kau merayu gadis itu, entah cara mera?yu itu kau dapatkan dari kitab yang mana?"
Kata-kata Wi-lian itu seakan-akan mengingatkan Wi-hong akan tugasnya yang belum selesai dalam menemukan Cian Ping kembali. Seketika itu juga air mukanya yang riang gembira itu be?rubah menjadi muram dan lesu, "Ya, te?tapi sekarang aku tidak tahu dimana beradanya calon isteriku itu aku tidak tahu, bahkan bagaimana nasibnya di tangan penculik-penculik itupun aku tidak tahu. Ia ibarat seekor domba gemuk di tengah serigala-serigala Hwe?liong pang itu. Kuharap saja Song Kim masih punya hati nurani yang mengingatkan akan kebaikan bekas gurunya dulu."
Wi-lian dapat memaklumi keri?sauan hati kakaknya itu, maka iapun tidak bersenda-gurau lagi. Tanyanya, "Apakah jejak penculik-penculik itu sedikitpun belum kau temui?"
Wi-hong menggelengkan kepalanya, "Kalau sudah kutemui, masakan aku akan duduk bercakap-cakap denganmu di tempat ini? Sudah satu hari dua malam aku berputar-putar di padang perdu yang luas ini, tapi belum kelihatan batang hidung mereka seorangpun juga."
"Tetapi justru baru pada sore ini aku menemui suatu kejadian yang barangkali bisa menjadi petunjuk pen?ting," kata Wi-lian.
Sang kakak terlonjak dari duduk?nya dan tanyanya dengan hampir berte?riak, "Apa katamu? Cepat ceritakan ke?padaku!"
Wi-lian lalu menceritakan ten?tang pengalamannya bertemu dengan tiga orang petugas rahasia Kerajaan Beng yang juga sedang memburu orang-orang Hwe-liong-pang. Tetapi ketiga orang petugas itu telah mengalami nasib ma?lang dan menemui ajalnya semuanya. Tidak lupa Wi-lian mengemukakan tentang bentuk luka-luka yang terdapat pada diri ketiga korban itu.
"Bekas cengkeraman lima jari tangan dan bekas sabetan golok yang memanjang?" tanya Wi-hong.
"Ya, kukira begitu."
Sang kakak segera menepuk paha?nya sambil berseru, "Pasti kakak bera?dik sepupu keparat itu!"
"Siapa mereka?" adiknya bertanya dengan tertarik.


Perserikatan Naga Api Karya Stevanus Sp di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pemimpin Kelompok dan Wakil Pe?mimpin Kelompok dari Jing-ki-tong, ka?kak beradik sepupu she Au-yang," kakak?nya menerangkan. "Si kakak sepupu ber?nama Au-yang Siau-hui dan di Su-coan terkenal dengan gelarnya sebagai Co-siang-hui-mo, adik sepupunya bernama Au-yang Siau-pa dan permainan golok sabitnya memang cukup hebat."
Wi-lian mengangguk-anggukkan ke?palanya dan berkata, "Oh, kiranya cu?ma seorang Tong-cu dan seorang Hu-tong cu. Di Kay-hong aku bahkan pernah ber?tempur dengan seorang Tong-cu dan dua orang Hu-tong-cu mereka, bahkan aku pernah bertempur pula dengan yang me?reka sebut Su-cia, yang kedudukannya lebih tinggi dari Tong-cu."
Wi-hong tidak tahu apakah adik?nya itu sedang membual atau tidak, te?tapi keterangan adiknya tentang mayat ketiga petugas Kerajaan itu telah me?rampas perhatian Wi-hong. Katanya dengan bernafsu, "Kalau begitu orang orang Hwe-liong-pang itu sebenarnya tidak jauh dari tempat ini. Adikku, marilah kita cari mereka!"
Namun Wi-lian menggelengkan kepa?lanya, "Dalam keadaan yang kelelahan dan serba tidak terawat seperti ini, andaikata kau temukan mereka juga be?lum tentu kau bisa menang. Aku usulkan bagaimana kalau kau makan dulu dan beristirahat sejenak memulihkan tenagamu, setelah itu barulah kita akan berangkat bersama-sama untuk mem?buru mereka. Kau setuju?"
Wi-hong merasa bahwa usul adiknya itu cukup masuk akal, karena andaikata bertemu dengan kakak bera?dik sepupu she Au-yang itu dalam kea?daan lelah, maka sama saja dengan mengantarkan nyawa. Maka iapun menye?tujuinya. Kemudian dengan lahapnya Wi-hong menghabiskan semua makanan dan minuman yang disodorkan kepadanya oleh adiknya. Keadaan tubuhnya memang tidak terawat sejak ia meninggalkan Tay-beng, maka kini terasa betul be?tapa lelahnya.
Setelah mengisi perut, kakak ber?adik itu segera duduk bersila dan mu?lai bersemedi untuk mengumpulkan se?mangat mereka. Ketika tengah malam te?lah lewat sedikit, Wi-honglah yang ha?tinya sudah tidak sabaran untuk menge?jar orang-orang Hwe-liong-pang. Maka ialah yang lebih dulu menghentikan se?medinya dan katanya, "Kukira sudah cukup istirahat kita. Kita berangkat sekarang."
Wi-lian memahami kegelisahan ka?kaknya itu, apalagi karena Wi-lian sendiripun juga sudah gatal tangannya ingin menghajar orang-orang Hwe-liong-pang itu, maka iapun menghentikan se?medinya dan mempersiapkan diri. Diringkaskannya pakaiannya. Tanyanya ke?pada kakaknya, "Kita akan berjalan ka?ki saja atau menunggang kuda?"
"Kita berjalan kaki saja, dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh, sebab jika kita menunggang kuda maka derapnya akan mengejutkan buruan-buruan kita itu, dan memberi mereka kesem?patan untuk melarikan diri. Eh, A-lian, mana senjatamu?"
Wi-lian melancarkan beberapa pu?kulan dan tendangan yang cepat dan keras untuk merobohkan beberapa ba?tang pohon, lalu katanya sambil terta?wa, "Tangan dan kakiku inilah senjata?ku."
Wi-hong kagum juga melihat kehe?batan ilmu tangan kosong adiknya itu, tetapi ia pura-pura menggerutu, "Wah, sifat kepala besarmu itu agaknya be?lum hilang-hilang juga."
Mulailah kakak beradik itu mengi?tari padang perdu itu dengan silang menyilang. Mereka hanya setengah ber?lari, sengaja mereka tidak berlari ke?ras-keras agar tenaga mereka tetap terpelihara sebelum bertemu dengan mu?suh.
Tetapi dasar anak-anak muda, ka?dang-kadang timbul juga rasa iseng di hati kakak beradik itu untuk saling menjajaki kemajuan masing-masing. Jika sudah demikian, maka kedua sosok tubuh itu tidak nampak bentuknya lagi karena gerakannya yang begitu cepat. Mereka hanya berujud dua sosok ba?yangan yang berkelebat bagaikan kilat di tengah-tengah padang perdu itu. Ternyata mereka tidak dapat saling me?ninggalkan satu sama lain, meskipun salah satu telah mengerahkan ilmu me?ringankan tubuhnya. Mau tidak mau kedua saudara itu timbul rasa bangganya melihat kemajuan saudaranya yang lain.
Sampai hari hampir menjadi te?rang, kedua saudara itu telah mengeli?lingi padang perdu itu tanpa hasil. Akhirnya mereka kembali ke kaki bukit kecil, di mana kuda tunggangan Wi-lian dan kuda tunggangan dua orang petugas Kerajaan itu masih ditambat?kan. Di tempat itu kakak beradik itu beristirahat lagi sambil memakan be?kalnya.
"Gila, mereka bagaikan hilang le?nyap begitu saja ditelan bumi," ge?rutu Wi-hong.
"Jika kita menyelidiki selama ha?ri terang, kemungkinan besar kita akan menemukan jejak mereka," kata Wi-lian. "Kukira mereka tidak mungkin berjalan kaki saja, tentu mereka berkuda, dan kuda-kuda mereka tentu me?ninggalkan jejak di tanah."
"Lalu kita sekarang harus berbuat apa?" Wi-hong yang pikirannya sedang keruh itu agaknya sulit untuk ber?pikir dengan jernih lagi.
Perlahan-lahan Wi-lian mere?bahkan diri ke atas rumput yang tebal sambil berkata, "Masih ada waktu se?dikit sebelum matahari muncul benar benar. Kita akan beristirahat lagi sebentar, sebab tidak mungkin melawan mereka dalam keadaan selelah ini."
Untunglah bahwa Wi-hong masih mempercayai akan kecermatan berpikir dari adik perempuannya itu, sehingga iapun menuruti usul adiknya itu. Mes?kipun demikian hatinya selalu saja me?lonjak-lonjak gelisah.
Kakak beradik itu melompat ba?ngun ketika sinar matahari pagi mulai menyengat tubuh mereka. Dan begitu me?lompat bangun sambil memandang tanah, Wi-lianpun telah berkata, "Nah, ka?ta-kataku betul tidak?"
"Kata-katamu yang mana?" tanya kakaknya dengan heran.
Gadis itu menunjuk ke tanah sam?bil berkata, "Jejak kaki kuda. Dalam keadaan gelap kita kebingungan menca?ri jejak mereka sampai ke mana-mana, padahal setelah hari terang barulah kita ketahui bahwa jejak musuh itu se?benarnya hanya beberapa langkah dari tempat istirahat kita. Aku yakin je?jak kaki kuda ini bukanlah jejak kuda para petugas Kerajaan, sebab para pe?tugas itu dari arah kota Tay-beng, pa?dahal jejak ini jelas sedang menuju ke arah barat-laut."
Maka pelacakan jejak musuhpun di?mulai, kali ini mereka menunggang ku?da sebab musuhpun menunggang kuda. Kini kakak beradik itu tidak perlu lagi berputar-putar mengitari padang perdu itu, sebab jejak lawan telah memberikan petunjuk arah yang jelas. Jejak itu masih nyata kelihatan di atas tanah meskipun telah lewat se?malam.
Setelah mereka berkuda puluhan li ke arah barat laut dengan melacak jejak itu, tiba-tiba Wi-lian berkata, "A-hong, berhenti !"
"Ada apa?" Dari atas punggung kudanya Wi-lian menunjuk ke tanah, sambil berkata, "Orang-orang Hwe-liong-pang itu agaknya memang cukup cerdik. Mereka tahu kalau diri mereka sedang dikejar. Maka mereka sengaja meninggalkan jejak ke arah barat laut, padahal di tempat ini mereka telah berbelok ke selatan setelah lebih dulu turun dari kuda mereka. Bekas-bekas penghapusan jejak ini cukup rapi dan hampir sem?purna, tapi untung aku masih bisa melihatnya."
Sekali lagi Wi-hong harus menga?gumi kecermatan adiknya itu. Dia mera?sa beruntung bahwa dalam saat seperti itu ia telah bertemu dengan adik pe?rempuannya, yang bukan hanya telah me?miliki ilmu silat yang tinggi, tapi juga memiliki kecermatan dan kecer?dikan dalam menghadapi semua keadaan. Jika Wi-hong sendiri, mungkin dalam keadaan pikiran yang keruh itu ia tidak akan dapat menemukan arah yang te?pat, dan mungkin saat itu ia masih sa?ja berputar-putar di tengah-tengat padang perdu itu tanpa tujuan.
Melihat jejak lawan, seketika itu juga semangat tempur Wi-hong ber?kobar hebat. Geramnya, "Bagus! Kini kita telah menemukan jejak bangsat bangsat itu. Tunggulah pembalasanku!"
Sementara itu si kun-su (penasehat perang) telah berkata pula, "A-hong, sekarang kita melanjutkan per?buruan kita dengan berjalan kaki saja. Jangan sampai musuh lari semakin jauh begitu mendengar derap kaki kuda kita."
Dugaan dan perhitungan gadis itu ternyata tepat juga. Dengan mengikuti jejak-jejak yang sengaja disamarkan itu, kini kedua kakak beradik itu me?mang telah semakin dekat dengan orang-orang yang mereka buru. Tetapi karena kakak beradik itu memang tertinggal agak lama, hampir semalam suntuk, maka setelah berjalan sampai hampir sore barulah berdua benar-benar berhasil mendekati tempat musuh.
Sementara itu, Song Kim dan ka?wan-kawannya sedang duduk bergerombol di rerumputan sambil membakar daging binatang buruan mereka. Tubuh Cian Ping yang masih dalam keadaan tertotok itupun rebah di antara mereka. Orang-orang Hwe-liong-pang itu tidak tergesa-gesa lagi untuk melanjutkan perjalanan, karena mereka mengira bahwa orang-orang yang memburu mereka tentu telah tersesat oleh jejak palsu yang mereka buat. Bahkan orang-orang Hwe-liong-pang itu berani membuat per?apian untuk menghangatkan badan dan berani pula bercakap-cakap dengan sua?ra yang keras.
"Orang-orang tolol Tiong-gi Piau-hang dan gerombolan kantong nasi yang menamakan diri petugas-petugas Keraja?an itu tentu tidak mampu lagi menyu?sul kita," kata Han Toan dengan bang?ganya, sambil menggerogoti segumpal daging rusa bakar.
"Tong-cu dan Hu-tong-cu kita te?lah mendahului kita menuju ke Lam-cang, dan kita harus secepatnya menyusul ke sana," kata An Siau-lun.
Keempat kawannya mengangguk-ang?gukkan kepalanya menyetujui usul An Siau-lun itu. Keempat kawannya itu ma?sing-masing adalah Han Toan, si murid durhaka Song Kim, serta dua orang saudara kembar bermuka burik yang ma?hir ilmu pukulan Thi-sah-ciang (Pukul?an Pasir Besi), yaitu Cong Yo dan Cong Hun dari Shoa-tang.
Terdengar pula suara Han Toan di antara suara mulutnya yang berkecap-kecap mengunyah makanan, "Ya, ku?dengar kabar bahwa bukan hanya Tong-cu dan Hu-tong-cu dari Jing-ki-tong kita saja yang berkumpul di sana. Namun tujuh orang Tong-cu dan tujuh Hu-tong-cu dari ketujuh kelompok yang lain-pun kabarnya juga sedang menuju ke Lam-cang."
"Wah, kalau begitu ramai sekali nih," kata Cong Hun.
"Tentu saja," sahut Song Kim. "Inilah pertemuan terlengkap dari Pang kita yang diadakan di luar cong-toh (Markas Pusat). Seluruh anggauta, dari Kepala Kelompok sampai anggauta terendah harus berkumpul di sana, ke?cuali yang sedang menjalankan tugas. Selain Jing-ki-tong (Kelompok Panji Hijau) kita, akan hadir pula semua anggauta dari Ui-ki-tong (Kelompok Panji Kuning), Ang-ki-tong (Kelompok Panji Merah), Hek-ki-tong (Kelompok Panji Hitam), Pek-ki-tong (Kelompok Panji Putih), Ci-ki-tong (Kelompok Panji Ungu), Lam-ki-tong (Kelompok Panji Biru) serta Jai-ki-tong (Kelom?pok Panji Coklat). Siapa yang berani melanggar perintah untuk menghadiri pertemuan itu, ancamannya adalah hukuman mati."
Terdengar Cong Yo bertanya, "Ki?ra-kira bagaimana kepandaian Tong-cu kita kalau dibandingkan dengan ke tujuh orang Tong-cu lainnya?"
Song Kim yang merasa dirinya le?bih tahu dari siapapun, segera mulai bicara panjang lebar tanpa disuruh, "Menurut Suhu (maksudnya guru barunya, bukan Cian Sin-wi), ke delapan orang Tong-cu dari Hwe-liong-pang kita itu memiliki kepandaian istimewa dan keunggulannya masing-masing. Misalnya saja Au-yang Tong-cu kita punya ilmu silat Mo-ci-jiau (Cengkeraman Jari Ib?lis) yang hebat, sedangkan Kwa Tong-cu dari Ui-ki-tong punya ilmu si?lat Kau-kun (Jurus kera) yang ampuh, sehingga ia mendapat julukan Thi-jiau-tho-wan (Monyet Bungkuk Berkuku Besi). Begitu pula para Tong-cu lain juga punya kepandaian masing-masing, tapi sulitlah diketahui siapa yang lebih unggul."
Melihat ke empat orang kawannya ter?angguk-angguk dengan kagum akan ceritanya, maka Song Kimpun meneruskan ce?ritanya dengan penuh semangat, "Perte?muan Hwe-liong-pang di Lam-cang ada?lah pertemuan terbesar yang pernah di?adakan oleh Pang kita. Yang akan ha?dir bukan hanya delapan Tong-cu dan delapan Hu-tong-cu saja, tetapi juga akan dihadiri oleh empat orang Su-cia (Duta Keliling) kita. Bahkan Te-liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Bumi), Thian liong Hiang-cu (Hulubalang Naga Langit), dan Kim-liong Hiang-cu (Hulubalang Na?ga Emas) juga akan hadir untuk men?dampingi Pang-cu (Ketua) kita."
"Hebat!" seru Cong Hun. "Tetapi apa maksudnya Pang-cu mengadakan per?temuan selengkap itu?"
"Hal ini aku kurang tahu," sahut Song Kim dengan agak tersipu.
Sebaliknya Han Toan cepat menim?brung, "Nah, hal ini malahan aku yang tahu!"
Serentak semua mata diarahkan ke?pada Han Toan, An Siau-lun segera men?desaknya dengan perasaan ingin tahu, "Hayolah cepat kau ceritakan kepada kami, jangan membuat kami jadi pena?saran."
Sengaja Han Toan berlagak jual mahal dengan menghabiskan dulu sisa-sisa daging bakarnya, dan membiarkan teman temannya menunggu ceritanya dengan tidak sabar. Setelah dagingnya habis, barulah ia bercerita, "Aku per?nah mendengar percakapan antara Tong-cu dengan adik sepupunya itu. Ka?tanya berkumpulnya para pimpinan Pang kita di Lam-cang itu adalah untuk mengimbangi gerakan dari golongan yang menamakan diri golongan lurus itu. Tahukah kalian, bahwa pada bulan depan di kuil Siau-lim-si di Siong-san akan diadakan pertemuan seluruh tokoh dunia persilatan untuk membahas tindakan bersama dalam menghadapi Hwe-liong-pang kita? Nah, tentu saja kita tidak boleh kalah gertak, oleh karena itulah Pang-cu mengumpulkan seluruh anggauta di Lam-cang, untuk menunjuk?kan bahwa kitapun punya kekuatan yang tidak dapat dihina begitu saja. Bahkan Pang-cu juga mengundang golongan-golongan yang selama ini tersingkir dari pergaulan, untuk bergabung dengan kita."
Cong Yo menyambut penjelasan Han Toan itu dengan tepuk tangan dan kata yang berapi-api, "Bagus sekali! Selama ini kita kita yang dicap sebagai golongan hitam ini telah kehilangan kebebasan bergerak kita, digencet oleh kaum munafik yang menamakan diri pendekar-pendekar budiman itu. Huh, sudah masanya kita harus bangkit dan mempersatukan segenap kekuatan kita, kini gilirannya kaum munafik itu yang harus gemetar ketakutan melihat keang?keran kita."
Untuk sesaat orang-orang Hwe-li?ong-pang mencoba meresapi kata-kata itu. Nampaklah betapa wajah mereka te?lah dipenuhi dengan perasaan bangga dan semangat yang berkobar-kobar. Yang terdengar hanyalah suara gemeretak ka?yu yang termakan api, sementara di ke?jauhan terdengar sayup-sayup kokok ayam hutan, menandakan tengah malam te?lah dilewati dan dini hari sudah mendekat.
Beberapa saat kemudian kesunyian itu dipecahkan oleh suara An Siau-lun, "He, adakah di antara kita yang per?nah melihat bagaimana wajah asli Hwe-liong-pang-cu kita?"
Tidak seorangpun menjawab perta?nyaan itu. Tetapi sikap diam mereka sudah merupakan jawaban "tidak".
Kemudian Han Toan berkata dengan suara yang berat, "Kita sebagai ang?gauta biasa, jangan harap seumur hidup bisa melihat wajah asli Ketua kita. Bahkan para Tong-cu dan Hu-tong-cupun hanya kadang-kadang saja bisa memandang wajah asli beliau. Kabarnya yang dapat melihat wajah Pang-cu seti?ap hari hanyalah Te-liong, Thian-liong dan Kim-liong Hiang-cu bertiga, kare?na mereka bertiga adalah saudara-sau?dara angkat Pang-cu yang hubungan?nya sangat erat. Namun agaknya ketiga Hiang-cu itupun meniru jejak Pang-cu, yaitu menutup wajah mereka di balik topeng-topeng yang menakutkan itu."
"Entahlah, mereka memang orang-orang berkepandaian tinggi te?tapi bersikap aneh," kata Song Kim. "Namun kudengar belakangan ini bahwa di antara ketiga Hiang-cu itu terjadi perselisihan pendapat yang agak hebat. Bahkan keretakan itu sudah menjalar ke bawah dan agak mempengaruhi ke delapan kelompok dalam Pang kita."
"He, kenapa aku belum pernah mendengar hal itu?" tanya An Siau-lun dengan keheranan. "Kenapa ketiga Hiang-cu itu sampai berselisih?"
Tiba-tiba Song Kim menyadari bahwa ia telah membicarakan sesuatu yang seharusnya tidak patut dibicara?kan secara terbuka. Membicarakan urus?an para atasan Pang adalah sama halnya dengan mencari malapetaka buat diri?nya sendiri, sebab hal itu tabu untuk dibicarakan. Muka Song Kim tiba-tiba menjadi pucat setelah sadar bahwa ia tidak dapat mengendalikan mulutnya. Dengan serta merta ia mencoba membe?lokkan arah pembicaraan, "Ah, tidak ada apa-apa, mulutku memang sering tidak terkendali. Anggap saja ucapanku yang tadi itu tidak ada."
Tetapi sifat ingin tahu adalah salah satu sifat manusia yang paling menonjol, tidak terkecuali bagi orang-orang Hwe-liong-pang itu. Ucapan Song Kim yang setengah-setengah itu malah menimbulkan perhatian mereka, sehing?ga An Siau-lun mendesak lagi, "Kata?kan saja apa yang kau ketahui, Song Kim, kenapa sampai ada perselisihan di antara ketiga Hiang-cu itu. Kami berjanji akan menutup mulut sera?pat-rapatnya, semua pembicaraan di tempat ini tidak akan bocor keluar. Bukankah begitu, kawan-kawan ??"
"Ya, apa yang kita dengar dari Song Kim ini hanya khusus untuk kita berlima," sahut Han Toan. "Aku bersum?pah akan menutup mulut serapat-rapat?nya. Hatiku sudah terlanjur gatal ingin mengetahui cerita selanjutnya."
Si kembar dari Shoa-tangpun agak?nya mempunyai perasaan yang sama. Ka?ta Cong Hun, "Betul, di tempat ini tidak ada orang yang mendengar pembica?raan kita...."
Dan Cong Yo menyambung, "Barang siapa di antara kita yang membocorkan percakapan ini, akan bersama-sama ki?ta tangkap dan kita robek mulutnya!"
Mendengar desakan kawan-kawannya itu, diam-diam Song Kim mengutuk keteledorannya sendiri yang tidak dapat mengendalikan mulutnya itu. Dengan berat hati ia menjawab, "Maaf, kawan-kawanku, bukannya aku tidak mempercayai janji dan sumpah kalian, tetapi kalian harus ingat bahwa manusia adalah penuh kekhilafan. Apalagi kalian tergolong manusia-manusia yang doyan arak. Jika suatu ketika kalian mabuk dan mengeluarkan perkataan ini tanpa sadar, maka bagian kita masing-masing adalah sebutir Racun Penghancur Tubuh yang mengerikan itu. Kita akan mengalami nasib seperti Tong-cu kita yang lama, Thio Tong-cu, yang mati dengan tubuh meleleh. Karena itu lebih aman buat aku dan buat kalian, jika sedikit mungkin saja diantara kita yang mengetahui urusan yang tabu ini."
An Siau-lun menarik nafas panjang dengan kesalnya, sedangkan Han Toan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Meskipun rasa ingin tahu itu menggebu-gebu dalam diri mereka, tetapi merekapun memaklumi kenapa Song Kim begitu ketakutan untuk membicarakan hal itu, seakan-akan membicarakan suatu mantera pemanggil iblis saja.
Mengetahui urusan rahasia para pucuk pimpinan Hwe-liong-pang adalah sama halnya dengan menyimpan racun dalam perutnya sendiri. Siapa yang berani menanggung bahwa di kemudian hari mereka tidak akan kelepasan bicara? Dan hal itu berarti kematianlah yang menjadi bagian mereka.
Akhirnya pembicaraanpun mulai beralih kepada soal-soal yang sudah biasa mereka percakapkan sehari-hari. Mulai soal arak, judi, main perempuan atau membunuh. Lalu kata-kata kotor pun mulai berhamburan dari mulut-mulut mereka, diselingi gelak tertawa mereka. Namun nampaklah bahwa Song Kim agaknya belum merasa tenang betul akan kata-kata yang terlanjur diucapkannya tadi, suara tertawanya masih kelihatan agak dipaksakan.
Pembicaraan yang paling "panas" adalah yang mengenai soal main perem?puan, masing-masing menceritakan pengalamannya sendiri-sendiri sehingga tan?pa sadar mereka mulai terangsang. Dan kini mata jalang mereka mulai tertuju kepada Cian Ping yang masih meringkuk dengan tubuh tertotok itu. Meskipun saat itu Cian Ping nampak agak kusut dan kurus, tetapi perempuan tetap pe?rempuan. Apalagi Cian Ping bukan ter?golong gadis yang buruk rupa.
Diam-diam Song Kim mulai berdebar-debar melihat kawan-kawannya mulai se?makin sering melirik ke arah Song Kim, dengan pancaran mata yang mirip serigala kelaparan itu.
Akhirnya apa yang dikuatirkan oleh Song Kim itupun terjadilah. An Siau-lun tiba-tiba saja berkata kepa?da Song Kim dengan cengar-cengir, "Eh, Song Kim, sungguh beruntung kita ini. Tak kuduga bahwa tugas untuk memberes?kan si tua bangka Cian Sin-wi itu ter?nyata demikian lancar. Bahkan kita berhasil pula...eh, berhasil...he-he-he...."
Song Kim pura-pura tidak mendengar perkataan itu dan pura-pura se?dang mengunyah dagingnya. Tapi agaknya Han Toan juga sependapat dengan An Si?au-lun, maka ia berkata sambil terta?wa, "Wah, Siau-lun bicara berbelit-be?lit. Bilang saja terus terang, bahwa kita butuh penghangat badan di malam yang dingin ini. Anak perempuan Cian Sin-wi ini telah berhasil kita tawan dengan kerjasama kita berlima, maka hasilnyapun akan kita nikmati bersa?ma-sama pula."
Mata Song Kim tiba-tiba menjadi berapi-api, geramnya, "Han Toan, ha?rap kau jaga mulutmu baik-baik selama kau masih ingin kuanggap sebagai ka?wanku. Khusus untuk gadis she Cian ini, ia punya tempat yang istimewa da?lam hatiku, ia tidak akan bisa kita samakan dengan perempuan-perempuan yang biasa kita culik lalu kita pakai beramai-ramai itu."
"Ah, masakan gadis ini lain dari?pada yang lain?" potong Cong Yo de?ngan acuh tak acuh.
Dan saudaranya menyambungnya sam?bil tertawa peringisan, "Perempuan te?tap perempuan, mana ada yang lain da?ripada yang lain segala. Kalau tidak percaya, coba buka pakaiannya, semu?anya akan sama saja."
Serempak meledaklah tawa orang-orang Hwe-liong-pang itu. Tentu saja Song Kim terkecuali, bahkan da?rahnya semakin mendidih mendengarkan senda-gurau kawannya itu.
"Tutup mulut kalian!" teriaknya.
Serentak orang-orang Hwe-liong pang itu terdiam bagikan cengkerik diinjak sarangnya. Kemudian terdengar suara An Siau-lun dingin, "Agaknya kau mulai hendak merusak kebiasaan yang selama ini sudah kita anut, Song Kim. Kau sudah mulai menjadi serakah dan mementingkan diri sendiri."
Han Toan juga berkata, "Selama ini kita selalu bekerja-sama, lalu me?nikmati hasilnya secara bersama-sama pula. Aku tidak ingin kebiasaan itu menjadi rusak hanya karena polah salah seorang diantara kita, dengan ala?san apapun."
Pendekar Aneh Dari Kanglam 4 The Hunger Games Karya Suzanne Collins Walet Besi 5

Cari Blog Ini