Ceritasilat Novel Online

Sabuk Kencana 5

Sabuk Kencana Ikat Pinggang Kemala Karya Khu Lung Bagian 5


Bicara sampai disitu, si nyonya tua itu berpaling kearah murid kesayangannya Poei Hong.
"Budak cilik, apakah kau anggap kau bisa hidup sampai sekarang ?" serunya.
Sepasang alis Poei Hong melentik, biji matanya yang bening memancarkan cahaya duka.
"Oouw suhu, tentunya kau orang tua telah menerima diriku sebagai murid, lalu dimanakah ibu ? sekarang ia berada dimana ?"
Dipandangnya wajah gadis itu, kemudian Koe sian sin-poo menghela napas panjang. "Aaii... ibumu tentu saja masih hidup."
Sementara itu Tonghong Beng Coe yang berada disisi kalangan tak dapat menahan rasa sedihnya lagi, titik2 air mata jatuh berlinang dengan derasnya membasahi seluruh wajahnya.
"Tidak aneh kalau selama banyak tahun ayah tak pernah memberitahukan persoalan tentang ibu kepadaku, siapa sangka ternyata beginilah kejadiannya, ooouw ibu, kau sungguh kasihan sekali," keluhnya.
Begitu sedih hatinya, bicara sampai disitu gadis Tonghong tak bisa menahan diri lagi, ia menangis ter-sedu2.
Menemukan adiknya menangis begitu sedih, Poei Hong ambil keluar sepucuk sapu tangan berwarna hijau dan diam2 membesut air mata yang jatuh membasahi pipi gadis itu, katanya:
"Ooouw .... suhu, kalau benar ibu masih hidup, entah sekarang ia berada dimana?"
Peristiwa menyedihkan macam ini paling mudah mempengaruhi orang lain untuk ikut berduka, mengetahui betapa menderitanya oen Hoa serta betapa jeleknya peruntungan Tonghong Beng Coe serta Poei Hong, semua orang merasa sedih, seketika itu juga seluruh ruangan diliputi oleh kabut kemurungan.
Bukan begitu saja, bahkan Lam-Hay siang In sang saudagar kosen dari laut selatan yang punya pandangan lebih luaspun tak dapat menahan rasa sedih tersebut, kelihatan jelas betapa murung dan kesalnya wajah sang jago berperut gendut ini.
"Sekarang ibumu tinggal didusun Wie-Kiok Tin yang letaknya diluar kota Tiang-an, didusun itulah bibimu Hong Sip Kioe Nio berada ..." kata Koe sian sin-poo sedih. Ia melirik sekejap keatas wajah murid kesayangannya, setelah itu menambahkan.
"Bocah, dalam hati kecilmu pasti kau sesalkan gurumu kenapa selama banyak tahun tak kuceritakan kejadian ini kepadamu dan terus mengelabuhi dirimu bukan ?"
"Oouw, suhu..." Poei Hong mengeluh sedih.
"Pantangan terberat bagi seseorang yang sedang belajar silat adalah pikiran yang cabang serta perhatian yang tak dapat dipusatkan jadi satu," ujar Koe sian sin-poo dengan wajah serius. "Seandainya kabar berita ini kuberitahukan sejak semula, maka tindakanku ini hanya mendatangkan keburukan bukan keuntungan bagimu, tentang soal ini apakah kau masih belum jelas ?"
Poei Hong bungkam dalam seribu bahasa, sepasang saudara kembar ini cuma bisa saling berangkulan dengan eratnya sambil melelehkan air mata.
Tiba2 Koe Sian Sin-poo mendehem ringan, mendengar suara itu Poei Hong segera lepaskan rangkulannya pada Tonghong Beng Coe dan mengundurkan diri kesisi nyonya tua itu.
"Bukankah kau berhasil merampas selembar peta mustika petunjuk kitab pusaka Yoe Leng Pit Kip dari tangan Peng Pok sin-mo?" tanya Loo sin-sian itu kemudian.
"Benar," Poei Hong mengangguk.
"Menurut petunjuk yang tertera diatas peta, dimanakah letak tersimpannya kitab pusaka itu ?"
"Ditebing Pek-Yan-Gay."
"Sudah ditemukan ?"
"Belum, selama beberapa hari beruntun aku dengan engkoh Hoo mendatangi tebing Pek Yan-Gay dan melakukan pencarian dengan teliti mengikuti petunjuk peta tersebut, namun sama sekali tidak ditemukan sedikit tanda2 yang mencurigakanpun, karena itu dengan putus asa dan kecewa kami pulang..."
Koe sian sin-poo mengerutkan dahinya rapat2, setelah termenung beberapa saat lamanya dia berkata:
"Kitab pusaka YOE LENG PIT KIP bukanlah kitab pusaka berisi ilmu silat mana sakti seperti yang disiarkan dalam dunia persilatan, menurut apa yang kuketahui isi kitab itu tidak lebih merupakan ilmu silat beraliran kiri yang sesat, keji dan ganas. Beberapa ratus tahun berselang kepandaian silat ini pernah muncul dalam Bu-lim tapi dalam waktu singkat telah punah kembali.
Sejak aku lahir dikolong langit tak pernah perkumpulan yang menyebut diri sebagai perkumpulan Yoe Leng Kauw itu munculkan diri kembali dalam dunia persilatan.
Kitab ilmu silat macam begini tidak akan mendatangkan manfaat apabila terjatuh ditangan kaum pendekar dan kalangan lurus, tapi seandainya benda tersebut didapatkan oleh para gembong iblis dari aliran sesat maka paling mudah menimbulkan malapetaka dalam dunia persilatan, iblis2 itu bisa menggunakan ilmu sesat tadi untuk mencelakai serta memusnahkan umat manusia, daripada mendatangkan bencana, keluarkanlah peta tadi, agar aku bisa memusnahkannya dari muka bumi."
Dengan cepat Poei Hong ambil keluar peta mustika tersebut dari dalam saku kemudian dipersembahkan ketangan gurunya.
Koe sian Sin-poo memperhatikan sekejap peta mustika tadi, kemudian di-lipat2nya benda tadi jadi segumpal kecil, setelah itu diletakkannya benda itu keatas telapak tangan. Dalam sekejap mata, peta mustika tadi bergemerisik lalu punah dan hancur jadi abu.
Menyaksikan peristiwa itu, semua jago yang ada didalam ruangan sama2 dibikin terkesiap.
"Ilmu silat apakah itu?" pikir mereka hampir berbareng.
Setelah memusnahkan kertas yang berisi peta mustika tadi, lambat2 Koe sian sin-poo berpaling, memandang kearah si kakek huncwee dari gunung Bong-san serta Cian Liong Poocu Lie Kie Hwie dengan sinar mata minta maaf, ujarnya:
"Aku serta si saudagar berperut gendut segera akan berangkat tinggalkan tempat ini dengan membawa serta Gong Yu dan Wan Hiang, kalianpun boleh mengundurkan diri untuk teruskan percakapan diantara kalian."
Kedua orang tua itu mengiakan, setelah memberi hormat mereka segera mengundurkan diri dari ruang tengah.
Sepeninggalnya kedua orang tua itu, air muka Koe sian-poo berubah jadi amat serius, ia berpaling kearah Hoo Thian Heng dan berkata:
"Bocah, tahukah kau apa hubunganmu dengan diriku? Kalau dibicarakan dari soal tingkatan sulit bagiku untuk menjelaskan sampai terang, pokoknya kau adalah keturunan dari keluarga Hoo kami yang ada dikota siang-yang dan akulah yang serahkan dirimu ketangan si saudagar berperut gendut ini untuk dirawat serta dididik ilmu silat.
Gurumu cuma pandai dan gemar akan ilmu berdagang, yang dibicarakan melulu soal jual beli belaka sehingga akhirnya mendidik kau jadi angkuh, dingin kaku dan tinggi hati. Syukur meski begitu kau masih belum tinggalkan tingkah laku seorang dari kalangan lurus, itulah bagus sekali."
Ucapan ini membuat Hoo Thian Heng jadi terperanjat, peluh dingin segera mengucur keluar membasahi seluruh tubuhnya.
Perlahan-lahan air muka Koe sian sin-poo pulih kembali seperti sediakala, seraya menuding kearah Poei Hong serta Tonghong Beng Coe katanya dengan nada menyayang:
"Jikalau mata tuaku belum melamur, kalian bertiga tentunya sudah jatuh cinta satu sama lainnya bukan? demikianpun bagus juga, aku si nenek tuapun akan segera mewujudkan apa yang kalian harapkan dan cita-citakan selama ini."
Bicara sampai disitu ia merandek dan berpaling kearah Lam hay siang In si saudagar kosen dari Laut selatan.
"Eee.... saudagar perut gendut, setujukah kau?"
Wajah saudagar perut gendut yang dasarnya penuh dengan daging segera dikerutkan sehingga tinggal sepasang matanya yang kecil sipit, ia tertawa terbahak-bahak.
"Haaa.....haaa....haaa inilah suatu dagang bermodal besar yang pasti bakalan datangkan keuntungan berlipat ganda, tentu saja perusahaan kami menerimanya dengan hati girang."
Meskipun Poei Hong dan Tonghong Beng Coe sama2 merupakan pendekar wanita yang berpandangan maupun berjiwa besar, membicarakan soal pernikahan, tak urung dibikin jengah juga sehingga kelihatan sekali gerak geriknya penuh perasaan kikuk.
Sekarang digoda pula oleh Lam-hay Siang In, mereka semakin likat sampai2 tak berani angkat kepalanya, sambil tundukkan kepalanya rendah2 dan cibirkan bibir mereka berbisik: "Hmmm sungguh menyebalkan."
Lam-hay Siang In atau si Saudagar kosen dari laut Selatan mengusap2 perutnya yang gendut, sekali lagi mendongak tertawa ter-bahak2.
"Haaa..haaa...bagus, bagus sekali belum saja jadi menantu kalian sudah berani memaki yang jadi gurunya?"
"Eeeei.... kau betul2 tak tahu diri," tegur Koe Sian Sie-poo dengan mata melotot. "Sudah tua bangka masih juga ajak kaum boan-pwee bergurau..."
"Apa salahnya?" goda sang saudagar kosen dari Lam-hay ini sambil memperlihatkan muka setan.
Tingkah laku yang lucu dari tokoh maha sakti mendatangkan rasa geli bagi semua orang yang ada didalam ruangan, namun mereka tak berani tertawa kecuali tutup mulut sambil menahan suara cekikikan yang serasa meloncat keluar dari ujung bibir.
Koe Sian Sin-Poo tidak menggubris si saudagar perut gendut lagi, air mukanya kembali berubah serius kepada Hoe Thian Heng katanya:
"Kaupun tak usah pulang ke Lam-hay lagi, sekarang juga hantarlah Tonghong kakak beradik berangkat kekota Tiang-an untuk mencari ibunya, setelah bertemu sampaikan maksud hatiku kepadanya, katakan bahwa aku setuju apabila mereka dua bersaudara sama2 dikawinkan dengan dirimu, setelah nikah mau tinggal dikota kay-hong juga boleh, mau dikota siang-yang pun terserah pada kalian sendiri."
Sembari bicara dari dalam sakunya ia ambil keluar sekantong mutiara yang memancarkan cahaya gemerlapan, tak usah dibilang lagi harganya tentu melebihi sebuah kota, setelah itu sambungnya lebih jauh:
"Ambil dan bawalah barang2 ini, yang separuh boleh kalian gunakan untuk keperluan nikah sedang yang separuh lagi gunakanlah untuk membeli sawah, kerbau dan rumah."
Dengan penuh rasa hormat dan berterima kasih Hoo Thian Heng menerima pemberian tersebut, sembari menjura dalam2 katanya:
"Budi kebaikan serta pemberian yang Loo Couw-cong berikan, Cucu sepanjang hidup tak nanti melupakannya dikemudian hari apabila Loo Couw-cong serta suhu turun gunung, kami mohon dengan sangat agar suka memerlukan singgah sebentar dikota Kay-hong, dengan begini aku yang jadi cucu bisa berbakti dan melayani Loo Couw-cung serta suhu sebisanya."
Lam-hay siang in atau si saudagar kosen dari Laut selatan tertawa ter-bahak2.
"Haaa....haaa... bocah kalau mau masih punya liang-sim, semestinya sediakan beberapa guci arak berusia banyak tahun serta Ham-Kang-hoa yang paling kudoyani untuk melayani aku si orang tua."
"Aaai.... aku lihat, makin tua kau semakin tak tahu diri," gerutu Koe sian sin-poo dengan alis melentik. "Tak aneh kalau muridmupun kau bawa jadi rusak macam kau.. aku baru tahu kiranya kau adalah seorang rakus yang pikirkan isi perutmu yang gendut belaka, kau bukan pedagang sejati yang lebih utamakan membicarakan soal jual beli."
Tiba2 nyonya tua itu merasa ucapannya rada sedikit keterlaluan, ia lantas tertawa dan menambahkan:
"Loote, tentunya kau tidak akan merasa gusar karena ucapan dari toa-ci rada sedikit kasar bukan?"
"Ooouw ...... tentu saja tidak, tentu saja tidak," jawab si saudagar Kosen dari Laut selatan sambil mengelus perutnya yang gendut, ia benar2 berjiwa besar dan tidak pikirkan sindiran tersebut kedalam hati.
Sementara itu Koe sian sin-poo telah berpaling kembali, sembari menatap wajah Hoo Thian Heng bertiga pesannya:
"Setelah menikah, kalian tak boleh abaikan latihan ilmu silatmu, kalian harus mulai bersiap siaga menghadapi malapetaka yang bakal melanda dunia persilatan dikemudian hari. Di samping itu kalianpun harus pasang mata baik2 mengawasi sepak terjang serta tingkah laku perkumpulan2 rahasia dalam dunia persilatan, seandainya keadaan sangat gawat, segeralah kirim kabar ke lembah Leng-im-Kok di-gunung Thay-Liang-san untuk laporkan kejadian itu kepadaku."
Sementara Hoo Thian Heng mengiakan, Gong Yu serta Lie Wan Hiang yang ada diluar ruangan telah siap dengan buntalan masing2, demikianlah Koe sian sin-poo serta Lam-Hay siang In masing2 orang menggandeng seorang bocah segera tinggalkan tempat itu dengan suatu gerakan yang cepat laksana sambaran kilat, dalam sekejap mata mereka telah lenyap dari pandangan.
Bong-san Yen Shu si kakek huncwee dari gunung Bong-san menghisap huncweenya berulang kali, kemudian mengepulkan asapnya segumpal demi segumpal sehingga menutupi hampir seluruh jagad.
"Akupun sudah semestinya kembali ke gunung Bong-san," katanya.
Ucapan si kakek ini kedengaran sekali membawa nada kesepian, murung, kesal dan sedih.
Cian Liong Poocu Lie Kie Hwie serta isterinya burung hong Hijau Thio see meskipun merasa girang hati karena putrinya diterima seorang tokoh sakti sebagai muridnya, tak urung merekapun merasa sedih hati atas perpisahan ini, mendengar pula ucapan si kakek huncwee dari gunung Bong-san yang membawa nada sedih dan murung, tak terasa muncul pula perasaan semacam itu dalam hati kecil mereka, suami istri berdua lantas menahan si kakek tua itu sebisanya.
Melihat maksud baik tuan rumah tak bisa ditampik lagi, si kakek huncwee dari gunung Bong-san inipun terpaksa batalkan niatnya untuk berdiam beberapa hari lagi dalam benteng.
Sementara itu Hoo Thian Heng dengan membawa Poei Hong, Tonghong Beng Coe serta empat orang dayang segera berpamit kepada tuan rumah dan berangkat ke utara menuju kota Tiang an.
Cian-Liong Poocu tahu kedua orang gadis itu keburu ingin menemukan kembali ibunya, maksud kepergian mereka tak dapat ditahan lagi, sedangkan Hoo Thian Heng pun harus melindungi keselamatan mereka sepanjang jalan, oleh karena itu ia tidak menahan lebih jauh.
Sambil tertawa si burung hong hijau Thio see berkata:
"Eeei.... kalian bertiga jangan lupa beritahu hari besar pernikahan kalian kepada kami suami isteri berdua yang bodoh looo... kami berdua pasti akan berangkat kekota Kay-hong atau siang-yang untuk menghadiri pesta perkawinan kalian sekalian mencicipi arak kegirangan."
Poei Hong serta Tonghong Beng Coe merasa amat girang sekali, meski demikian wajah mereka telah berubah merah dadu saking jengahnya menahan rasa malu.
Hoo Thian Heng buru2 menjura, janjinya: "Begitu ada kabar tentang hari pernikahan kami, kartu undangan pasti akan kami kirim kemari guna mengundang cianpwe sekalian datang kekota Kay-hong untuk ikut serta bergembira dengan kami."
Selesai berkata ia lantas meloncat naik ke atas kuda tunggangannya untuk menyusul beberapa orang gadis yang telah berangkat duluan.
Kuda "Hwee-Lioe-kie" dari Poei Hong serta keledai "Hek-jie" dari Hoo Thian Heng meskipun merupakan kuda2 jempolan yang dapat lari cepat, apa lacur kuda2 yang ditunggangi Tonghong Beng Coe beserta keempat orang dayangnya merupakan kuda2 biasa yang tak bisa mengimbangi kecepatan kuda2 tersebut, maka dari itu perjalanan tak bisa dilakukan seperti apa yang diharapkan.
Pada waktu itu sudah mendekati pertengahan bulan dua belas, jarak dengan tutupan tahun sudah tidak terlalu jauh lagi. Pikiran kedua orang gadis itu semakin gelisah lagi, mereka berharap bisa temukan kembali ibunya Poei oen Hoa dalam waktu singkat, sedangkan Hoo Thian Heng sendiripun mengharapkan pula bisa berjumpa dengan ibu mertuanya sebelum akhir tahun, dengan demikian pada tahun baru mendatang, seluruh keluarga dapat berkumpul dan bergembira bersama.
Siapa tahu, kuda2 dari dayang2 tersebut tak bisa lari cepat, mereka selalu ketinggalan jauh, maka dengan hati mangkel dan perasaan apa boleh buat mereka kendorkan kembali kecepatan kuda masing2.
Hari itu mereka sudah memasuki Propinsi Auw Pak. Sewaktu beristirahat disebuah rumah penginapan Hoo Thian Heng menyampaikan usulnya kepada Tonghong Beng Coe untuk mengutus keempat orang dayangnya pulang kekota Kay-hong lebih dahulu setelah itu mereka bertiga melanjutkan perjalanan siang malam, dengan berbuat demikian mungkin sebelum tutupan tahun nanti mereka sudah tiba dikota Tiang-an.
Tonghong Beng Coe sendiripun merasakan pula membawa serta keempat orang dayang itu hanya menyusahkan mereka serta membuang waktu dengan percuma saja, maka dari itu usul dari Hoo Thian Heng disetujui dengan suara bulat, Leng, Lam, Coei, Giok empat orang dayang segera dipanggil, setelah disampaikan pesan2 penting mereka diutus pulang lebih dahulu kekota Kay-hong.
Keesokan harinya tiga ekor kuda berlari dengan cepatnya meninggalkan rumah penginapan melanjutkan perjalanan ke utara, tidak sampai empat lima hari mereka telah keluar kota Tong Kwan.
Dalam pada itu bulan dua belas tanggal dua puluh lima telah menjelang datang, kalau dihitung waktunya satu dua hari lagi mereka bisa tiba didusun Wie-Kiok-Tin luar kota Tiang-an. Karena itu perjalanan tidak dilakukan secepat semula lagi, mereka lanjutkan perjalanan dengan riang gembira dan penuh gelak tertawa.
Tampaklah Poei Hong sambil mengelus bulu merah dari kuda Hwee-Lioe-Kienya berkata:
"Liong-jie selama beberapa hari ini aku selalu menyusahkan dirimu saja kau tentu merasa amat lelah bukan ?"
Kuda Hwee-Lioe-Kie meringkik panjang, se-akan2 ia merasa amat berterima kasih atas hiburan serta perhatian dari majikannya.
Hoo Thian Heng serta Tonghong Beng Coe yang melihat kecerdikan kuda tersebut, mereka sama2 memuji kuda Hwee Lioe-Kie benar2 merupakan kuda mustika yang jempolan.
Kuda itu benar2 cerdik, mendengar semua orang memuji akan kehebatannya, sepasang telinga segera dipentangkan lebar2, empat anggota kaki bergerak semakin cepat, dengan dipimpin olehnya mereka lari laksana sambaran kilat membelah bumi.
Agaknya keledai Hek Jie dari Hoo Thian Heng tak mau kalah, binatang itupun membedal cepat2 kakinya menyusul kuda dihadapannya, dengan demikian maka tertinggallah Tonghong Beng Coe seorang diri yang harus berusaha keras menyusul dua orang lainnya.
Setelah melewati Hoa-Im dan Lam-Thian, sewaktu sang surya lenyap dibalik gunung mereka telah tiba didusun Wie-Kiok-Tin diluar kota Tiang-an.
Hong sip Kioe Nio adalah salah satu di antara keluarga kaya yang ada dalam dusun itu, tentu saja dengan gampang sekali rumahnya berhasil ditemukan.
Demikianlah, ketiga orang muda itu dengan cepat telah tiba didepan perkampungan Liok Yang-san-cung dan segera melayang turun dari atas kuda.
Sang penjaga pintu menjumpai tetamu yang datang berdandan keren dan parlente, dimana yang lelaki ganteng rupawan, sedang yang perempuan cantik mempesonakan, segera lari masuk kedalam perkampungan untuk melaporkan kehadiran tiga orang itu.
Dalam waktu singkat, dari dalam kampung muncul seorang Koan-Kee atau pengurus rumah tangga yang segera membawa tetamunya masuk kedalam kampung.
Setelah berada dalam ruang tamu, si sastrawan berbaju biru Hoo Thian Heng mengutarakan maksud kedatangannya sembari mengajukan harapannya agar bisa berjumpa dengan Tonghong Hujien.
Tengah mereka bercakap cakap, dari luar pintu ruangan tamu muncullah dua orang wanita, seorang adalah nenek tua yang rambutnya telah beruban semua, sedang perempuan kedua masih berusia pertengahan, bajunya sederhana sekali dengan roman muka agung, baik potongan badan maupun raut wajahnya persis mirip Poei Hong serta Tonghong Beng Coe berdua.
Tentu saja perempuan inipun dapat melihat jelas bahwa raut muka sepasang gadis yang berada didalam ruangan tamu persis satu sama lainnya dengan wajah sendiri, atau dengan perkataan lain wajah kedua orang gadis itu merupakan penjelmaan dari wajah semasa masih muda dulu.
Hatinya sangat terperanjat, dua orang kakak beradik ini satu di utara yang lain di selatan secara bagaimana bisa berkumpul jadi satu?
Enam buah mata saling berbentur satu sama lain, masing2 orang merasakan hatinya tergetar keras.
Poei Hong serta Tonghong Beng Coe tak kuasa menahan diri lagi, mereka sama2 berseru: "Oouw ibu...."
Tubuh mereka berdua bagaikan burung walet terbang diangkasa segera berkelebat menubruk kedalam pangkuan Tonghong Hujien Poei oen Hoa.
Melihat sepasang putri kesayangannya sudah menginjak dewasa, lagi pula berwajah amat cantik bagaikan bidadari, Nyonya tua itu merasa hatinya kejut bercampur sedih, disamping rasa girang yang me-luap2.
Sepasang anak kembar ini sejak bayi telah berpisah dari kasih sayang ibu kandung mereka, kini mendapat cinta kasih itu kembali, saking girangnya bagaikan lebah dalam sarang, mendengung dan mengoceh tiada hentinya, hal ini malahan membuat Hoo Thian Heng merasa bagaikan diasingkan.
Si sastrawan berbaju biru Hoo Thian Heng bukan manusia bodoh, ia tahu diri dan tak ingin perlihatkan sikap kurang hormat dihadapan mertuanya, setelah merapikan baju ia lantas maju kedepan dan menghunjuk hormat dalam2 kepada nyonya tua itu, kemudian berlutut pula didepan Hong sip Kioe Nio.
Menjumpai Hoo Thian Heng berwajah ganteng, gagah, dan penuh sopan santun, si nenek tua itu jadi simpatik dan amat senang sekali, terutama sewaktu diajukannya beberapa pertanyaan ternyata dijawab semua oleh pemuda itu dengan lancar, hatinya makin senang.
Begitu gembiranya Hong sip Kioe Nio, sampai2 akhirnya ia hela napas panjang dan mengeluh:
"Seandainya cucuku yang bodoh Sun In Liong bisa mendapatkan separuhnya darimu.. Wahh... aku akan merasa amat bangga sekali."
Keesokan harinya, Tonghong Hujien mengundang Hoo Thian Heng untuk menghadap ke hadapannya, setelah meneliti seluruh badan sastrawan berbaju biru ini dari atas hingga ke bawah, ia mengangguk tiada hentinya.
"Ehmm.. kau memang naga diantara manusia, sebagai keturunan dari Koe sian sin-poo serta anak murid dari Lam-hay siang In, si saudagar Kosen dari Laut selatan, aku rasa tidak bakal salah lagi. Kemarin malam siauw-li telah menuturkan seluruh kejadian serta duduknya perkara kepadaku. Bocah aku amat setuju apabila mereka kakak beradik bisa dikawinkan dengan dirimu, dan menjadi istrimu yang setia, semoga kau bisa mencintai mereka berdua dengan segenap hati dan menjadi seorang suami yang baik dan terpuji."
Mendengar Poei oen Hoa, sang Tonghong Hujien ini setuju untuk mengawinkan kedua orang putrinya kepada dia seorang, si sastrawan berbaju biru Hoo Thian Heng jadi amat girang, dengan amat hormat ia lantas menjura kearah nyonya itu dalam2.
"Gak-boe," sapanya. (Gak-Boe artinya lbu mertua).
0000dw0000 Bab 12 UNTUK sementara waktu kita tinggalkan si satrawan berbaju biru Hoo Thian Heng yang berhasil mengawini dua orang gadis cantik sekaligus. Mari kita balik pada Tiga manusia beracun dari propinsi Biauw.
Sewaktu berada ditebing Pek Yan Gay gunung Im Boe-san yang termasuk dalam propinsi Koei Chiu dimana mereka saksikan tujuh orang saudara angkatnya ada empat orang telah menemui ajalnya, bahkan Im-yang siuwsu, Cie Tiong Kian sebagai ketua perkumpulan Im Yang Kauwpun kena terguling jatuh kedalam jurang oleh ikat pinggang Poei Hong, yang menyaru sebagai sastrawan berbaju putih, mereka lalu sadar dengan kekuatan beberapa orang tidaklah mungkin bisa mendapat harapan untuk peroleh peta mustika kitab pusaka Yoe Leng pit Kip tersebut.
Pek si-Tok-shu atau si kakek seratus bangkai Kiang Tiang Koei sebagai pemimpin diantara tiga manusia beracun itu cukup cerdik dan sigap, ditengah terlemparnya tubuh Im Yang siuw-su kedalam jurang yang dalamnya tak terhingga itu, ia lantas berpaling kearah Looe-jie serta Loo sam sambil berseru lirih:
"Hei, kalian mau tunggu apa lagi? Sekarang kita tidak pergi, nanti apa bisa lolos dari sini ?"
Berbicara sampai disitu tanpa menunggu jawaban lagi, bajunya yang berwarna biru dikibaskan kemudian bagaikan seekor burung bangau melejit ketengah udara dan meluncur turun kebawah tebing, disusul oleh manusia beracun kedua Hiam-Im-Tok-shu atau si kakek bisa dingin cia Ie Chong sana si manusia beracun ketiga Han-Peng-Tok-shu atau si kakek racun si Chin Tin san.
Menanti tubuh mereka bertiga sudah meluncur dua puluh tombak jauhnya, sewaktu berpaling maka tampaklah pada waktu itu para jago yang berada diatas tebing Pek-Yan-Gay pun sama2 melayang turun kebawah.
Tiga manusia beracun pernah melakukan kejahatan, hati mereka kuatir apabila gadis yang menyaru sebagai sastrawan berbaju putih itu mendendam kepada mereka atas perbuatannya dimana dengan paksa akan merampas kuda jempolannya, mereka sudah jera terhadap pemuda tetiruan tersebut. Karena ketiga orang itu sadar bila mereka sampai bertemu kembali dengan orang itu niscaya tiga lembar jiwa mereka bakal melayang.
Mengingat betapa lihaynya pihak lawan, pecahlah nyali tiga manusia beracun itu, mereka melarikan diri se-kuat2nya dari tempat itu.
Gunung In Boe-san meskipun sepanjang tahun tertutup oleh kabut yang tebal, sekalipun malam ini rembulan memancarkan cahayanya keempat penjuru bintang bertaburan diangkasa, cukup permukaan salju yang putih sudah memantulkan sinar yang cemerlang.
Tiga manusia beracun mengerahkan ilmu meringankan tubuh mereka hingga mencapai pada puncaknya, walaupun diantara sepuluh manusia sesat kepandaian mereka terhitung paling lemah, tapi cukup sebanding kalau dibandingkan dengan tokoh2 kelas wahid lainnya tentu saja selihay dan secepatnya mereka tak bisa dikatakan luar biasa.
Tampaklah tiga sosok bayangan manusia melayang dengan cepatnya diatas permukaan salju, menanti mereka sudah tiba dikaki gunung Im Boe-san fajarpun telah menyingsing, kokokan ayam bergema diempat penjuru.
Pek si Tok shu yang lari didepan tiba2 dikejutkan oleh teguran Hian im Tok shu, Cia le chong:
"Loo-toa, kita akan pergi kemana ? apakah kau punya rencana lain?"
Pada saat itu Pek si Tok-shu atau si Kakek seratus bangkai keadaannya bagaikan ikan yang terperangkap didalam jaring, ia cuma tahu menyingkir jauh2 dari gunung Im-Boe-san dan jangan sampai kena disusul oleh dua ekor anjing kecil tersebut, otaknya kosong melompong dan bingung, tentu saja ia tak punya rencana apapun. Kini setelah ditegur oleh Hian im Tok-shu, ia baru mendusin, pikirnya:
"Aah, benar, bukan tindakan yang tepat kalau lari terus menerus tanpa tujuan, kita harus berunding dan menyusun rencana lebih dahulu." Im Tok-shu serta Han-Peng-Tok-shu pun lantas berhenti.
Membicarakan dari watak maupun tabiat tiga manusia beracun dari wilayah Biauw ini, maka Kiang Tiang Koei adalah orang yang paling cerdik dalam menghadapi segala perubahan maupun segala situasi, Cia le Chong adalah orang yang paling licik, banyak akal, sedangkan orang yang paling kejam, ganas dan kasar adalah si manusia beracun ketiga Chin Teng san.
Ketiga orang ini saling berunding dan saling bertukar pendapat, akhirnya didapatilah sebuah kesimpulan yang menyatakan bahwa musuh tangguh bermunculan di-mana2 sementara komplotan mereka makin hari makin menipis, banyak diantaranya sudah menemui ajalnya.
Dalam keadaan ter-lunta2 tanpa rekan, tanpa sahabat mereka rasa satu2nya jalan yang paling tepat adalah pulang dulu kegunung Kho-Lee Kong-san dan sementara waktu bersembunyi didalam sarang mereka.
Selesai berunding tiga manusia beracun itu lantas kabur kearah Barat, sementara itu jalan raya masih sepi dan tak nampak sesosok bayangan manusiapun yang berlalu lalang, tiga orang membentuk satu garis lurus berkelebat dengan cepatnya kearah depan, menanti siang hari telah tiba mereka sudah tiba dikota Hoei swie.
Setelah mengalami pertarungan sengit, sekarang harus pula melakukan perjalanan cepat, ketiga orang kakek tua ini merasa amat lapar, haus dan letih sekali, tanpa banyak bicara lagi begitu sampai dikota mereka langsung mencari sebuah rumah makan untuk beristirahat sambil menangsal perut.
Warung makan kecil kebanyakan pada saat seperti ini hanya menjual bakpao, pia, serta kue2 kecil lainnya, untuk bersantap kenyang bukannya saatnya.
Mengenai keadaan tersebut Kiang Tiang-Koei maupun cia In chong mengerti sangat jelas, maka dari itu setibanya dikota Hoei-swie mereka lantas mencari rumah makan yang rada besar dan mencari tempat duduk dekat jendela.
Pelayan segera menghidangkan tiga mangkuk Bakmie kuah serta semangkuk besar kukusan daging, dasar perut sudah lapar tanpa sungkan2 lagi ketiga orang kakek itu dengan lahapnya menyikat seluruh makanan yang ada, keadaan mereka persis dengan angin puyuh yang menyapu daun kering, dalam sekejap mata telah tersapu bersih tanpa sisa.
Begitu habis, mereka meneriaki sang pelayan untuk menambahi lagi dengan hidangan lain sampai akhirnya tiga orang kakek itu menghabiskan empat puluh mangkuk banyaknya.
Kejadian yang luar biasa ini seketika memancing perhatian dari tetamu2 lain, dengan sinar mata tercengang mereka saling berpandangan.
Menyaksikan mereka bertiga diawasi banyak orang, Han Peng Tok shu Chin Teng san jadi naik pitam, dasar wataknya yang buas dengan sinar mata galak dipelototinya orang2 di sekitarnya.
"Maknya.... mau apa kalian awasi terus kakek moyangmu?" makinya keras2.
Didepan jendela duduk seorang pemuda berperawakan tinggi besar lagi kekar, wataknya agak berangasan, melihat tiga orang kakak tua berbaju biru yang kasar main kasar dan main maki seenaknya, ia jadi amat tidak puas, mendengar makian tersebut alisnya langsung dikerutkan dan balas memaki:
"Hmm Tuan, kau sudah bukan nona manis yang berusia delapan belas, kenapa takut ditonton orang? takut nggak laku kawin atau takut lama dilamar orang?"
Sebenarnya waktu itu Hian-Im-Tok-Shu Cie Ie Chong ada maksud mencegah adiknya yang nomor tiga ini bikin onar, tapi setelah mendengar diantara makian pemuda itu membawa nada sindiran yang pedas, ia segera mendengus, ucapan yang hendak diutarakan pun ditelan kembali ditengah jalan.
Diantara tiga manusia beracun Han-Peng Tok-Shu Chin Teng san paling ganas dan kejam, kalau orang lain tidak mengganggu dia mungkin ia akan berdiam diri, sekarang mendengar sindiran pedas dari pemuda tersebut hawa gusarnya langsung meledak, ia membentak keras badannya bagaikan seekor burung elang segera melayang ketengah udara dan menyambar kedepan, sepasang telapak dibentangkan bagaikan cakar setan langsung mencengkeram batok kepala pemuda itu.
Peristiwa ini terjadi sangat mendadak, bagaikan menjumpai bayangan setan disiang hari bolong, para tetamu yang kebetulan hadir dalam rumah makan itu jadi panik dan gaduh, jeritan kaget bergema memenuhi seluruh ruangan.
Walaupun pemuda itupun mengerti sedikit banyak ilmu silat kasaran, mimpipun ia tidak mengira si kakek tua yang memakai baju kasar sebetulnya memiliki ilmu silat sangat lihay, hatinya amat terkesiap.
Ingin sekali ia menyingkir tapi tidak sempat lagi, diiringi jeritan ngeri yang menyayatkan hati, batok kepalanya kena dicengkeram telak, otak segera berhamburan diatas lantai, jiwapun melayang seketika itu juga.
Han-Peng-Tok-shu Chin Teng san masih merasa belum puas, ketika tubuhnya melayang turun keatas tanah, sekali sepak ia tendang mayat pemuda itu ketengah jalan, lalu masukkan sepasang tangannya yang berlepotan darah kedalam mulut dan dihisapnya dengan nikmat, sehingga keadaannya waktu itu mirip dengan iblis penghisap darah.
Beberapa orang tetamu yang bernyali kecil tak kuat melihat adegan yang mengerikan itu, mereka pada jatuh tidak sadarkan diri, sampai-sampai para pelayan serta pemilik kedai pun gemetar keras saking takutnya.
Chin Teng san belum juga puas, sinar matanya yang buas menyapu wajah para tetamu lainnya, mendadak ia bergerak cepat, telapak tangannya kembali bekerja mengancam seorang kakek tua berbadan gemuk yang duduk disekitar sana, tapi sebelum ia sempat melancarkan serangan mematikan tiba2 dari luar kedai menggema datang dua bentakan nyaring.
Mengikuti bentakan tersebut melayang datang dua sosok bayangan manusia, cahaya pedang berkilauan menembus udara, dengan dahsyat langsung menusuk jalan darah "Im Tok-Hiat" pada pergelangan Han-Peng Tok shu.
"Binatang keji yang baru lolos dari jaring, kalian masih berani mengganas dihadapan umum sambil membunuh orang seenaknya?" bentak bayangan manusia tadi nyaring.
Chin Teng san terperanjat, buru2 ia tarik kembali telapaknya sambil melayang mundur kebelakang, ia sadar jagoan yang barusan datang adalah seorang tokoh Bu-lim yang memiliki ilmu silat sangat lihay.
Sementara itu si manusia racun pertama, si kakek seratus bangkai Kiang Tiang Koei telah bangkit berdiri, sambil tertawa dingin serunya:
"Aku kira tokoh sakti dari mana yang telah datang dan berani mencampuri urusan pribadi kami tiga bersaudara, tidak tahunya adalah Goan Kiang Gie-Hu atau si Nelayan dari sungai Goan Kiang serta sian Hee-It-Kiam atau si pedang tunggal dari sian Hoe-san Hee.....heee.....kalau kalian benar2 bernyali, ayoh mari kita bereskan persoalan ini ditepi sungai Liang- Kiang sebelah selatan kota."
"Hmm sungguh kecewa nama kalian tercantum diantara sepuluh manusia sesat dari kolong langit, setelah membunuh orang hendak ngeloyor pergi. Hukum Negara memang tak bisa berbuat apa2 terhadap kalian bertiga, tapi kau kira jala dari loohu sudi melepaskan ikan2 yang sudah terperangkap didalam jaring?" jengek si Nelayan dari sungai Goan Kiang Tong soe Kiat sambil mendengus dingin.
Manusia beracun kedua Hian-Im-Tok-shu Cia Ie Chong merasa amat mendongkol, sepasang matanya memancarkan cahaya berkilat, ia tertawa seram.
"Loo-toa, Loo-sam buat apa banyak usil dan bersilat lidah lebih jauh dengan keledai tua ini? sungguh menyebalkan kalau sebentar lagi hamba negeri pada berdatangan. Hhmmm, ayoh kita pergi," serunya.
Bersamaan dengan ucapan tersebut, ujung baju dikebaskan dan meluncurlah tiga sosok bayangan biru kearah depan, begitu cepat lari mereka dalam sekejap mata telah berada ditepi sungai.
Menjumpai ketiga manusia beracun itu melarikan diri, si pedang tunggal dari sian-Hee san serta si Nelayan dari sungai Goan-Kiang segera mengejar dari belakang, gerakan tubuh merekapun tidak kalah cepatnya.
Sambil lari Pek-si-Tok-shu Kiang Tiang Koei berputar tiada hentinya, manusia beracun ini tersohor karena akalnya yang cerdik, tentu saja banyak akal yang bisa muncul dari benaknya, ia berpikir:
"Meskipun ilmu silat dari Goan-Kiang-Gie Hu serta sian-Hee It-Kiam sangat luar biasa, rasanya kami bertiga masih sanggup untuk melayani kemauan mereka, hanya bagaimana kesudahannya apabila para jago yang baru turun dari bukit Pek-Yan-Gay sama2 menyusul kemari dan mengerubuti kami bertiga?"
"Aaai waktu itu menyesalpun tak berguna, aku lihat lebih baik untuk sementara waktu kita harus menyingkir dahulu dari dua setan alas ini."
Sementara otaknya baru berputar, mendadak terdengar si manusia beracun ketiga Han-Peng-Tok-shu-chin-Teng san berseru:
"Loo-toa, bukankah kita berjanji akan melakukan duel sengit ditempat ini?"
Manusia beracun kedua Hian-Im-Tok-shu-Cia Ie Chong jauh lebih cerdik, menjumpai Pek-si-Tok-shu berkelebat masuk kedalam hutan yang ada ditepi sungai, ia lantas mengerti kehendak saudara tuanya ini.
"Tutup mulut ayoh ikuti saja dirinya," segera hardiknya.
Sang tubuh dengan cepat menyusul ke depan diikuti Loo-sam dari belakang.
Pada hari2 biasa Chin Teng san si manusia beracun ketiga paling kagum atas tingkah laku dari Loo-toa serta Loo-jie, walaupun ia tak tahu permainan setan apa yang sedang dilakukan kedua orang itu, tapi ia yakin bahwa tindakan saudara2nya tentu tak bakal salah.
Barusan saja tiga bersaudara itu menyusup kedalam hutan, mendadak terdengar suara yang serak tapi nyaring berkumandang datang dari tepi sungai:
"Yauw-heng, sungguh licik dan lihay ketiga ekor ikan tersebut, aku lihat selembar jalaku ini agaknya tidak berdaya untuk menjaring mereka..."
Suara yang lain serak tapi nyaring pula segera menjawab ucapan tersebut, terdengar orang itu menyahut:
"Apa kau menyangka ikan2 itu benar2 sudah menyingkir jauh ? Kalau kau menduga demikian maka kelirulah sangkaanmu itu, padahal mereka justru belum pergi jauh, saat ini mereka lagi pasang telinga dan buka mata untuk mengawasi gerak gerik kita berdua."
Mendengar ucapan itu si manusia beracun ketiga Chin Teng san jadi amat terperanjat, pikirnya:
"Sungguh lihay ketajaman mata orang she Yauw itu, dari mana ia bisa tahu kalau kami sedang bersembunyi sambil mengawasi gerak gerik mereka ?"
Ia tidak menyangka kalau ocehan dari si pedang tunggal sian-Hee-It-Kiam Yauw Kie itu hanya akal licik yang hendak digunakan untuk memperdayai mereka.
Baru saja dadanya ingin bergerak, si manusia racun kedua telah menekan pundaknya sambil tertawa.
" Kalau kau bergerak, bukankah dengan tepat malah masuk kedalam perangkap mereka ?" bisiknya lirih.
Setelah mendengar ucapan itu, si manusia racun ketiga baru sadar, kiranya pihak lawan sedang menggunakan akal untuk memperdayai mereka, ia jadi sadar dan mengangguk. "oooouw kiranya begitu," pikirnya.
Dalam pada itu orang yang buka suara pertama kali tadi, kembali berkata dengan suara nyaring:
"Apakah kau maksudkan ketiga ekor ikan yang lolos dari jaring sedang bersembunyi di dalam hutan tersebut ?"
"Kenapa tidak," sahut orang kedua. "Rupanya tiga manusia beracun dari wilayah Biauw tidak lebih hanya pencoleng2 kurcaci yang bisanya curi ayam, tangkap anjing belaka, manusia macam begini mana sesuai dicantumkan diantara sepuluh manusia sesat dari kolong langit ? haa...haa...Tong-heng, aku lihat lebih baik kita lepaskan saja mereka satu kali ini, coba lihat ketiga ekor cucu kura2 itu hanya berani bersembunyi belaka, oouw sungguh patut dikasihani..."
Betapa gusar dan murkanya Han-Peng-Tok Shu atau si kakek Racun es Chin Teng san setelah mendengar penghinaan tersebut, begitu marahnya sampai rambut dan jenggot sama2 berdiri, mata melotot bulat dan mulutnya mendesis buas, ia ingin menubruk keluar dan adu jiwa dengan kedua orang itu.
Pek-si-Tok-shu si kakek seratus bangkai yang menyaksikan keadaan saudaranya, buru2 cekal lengannya erat2 dan mengirim beberapa kerlingan mata kearahnya, dicegah oleh sang Loo toa, si manusia racun ketiga tak bisa berbuat lain kecuali menghela napas panjang dalam hatinya.
Sementara ia menghela napas, suara yang serak dan nyaring tadi kembali berkumandang keluar dari luar hutan, terdengar ia berseru: "Yauw-heng, tahukah kau? seandainya tiga manusia beracun dari wilayah Biauw benar2 adalah tiga ekor ikan, orang lain suka buka jaring melepaskan mereka, jaring aku si Loo-Tong yang lebih besar dan lebih kuat pun akan melepaskan mereka pula untuk loloskan diri. Justru yang kutakuti adalah setelah ketiga ekor kura2 ini berhasil tapa jadi siluman kura."
"Waaah mereka akan ciptakan gelombang terbitkan bencana, membunuh orang seenaknya inilah bahaya dan patut diatasi mulai sekarang."
Mengikuti ucapan tersebut teriringlah helaan napas masgul, meski tiga manusia beracun tak dapat melihat jelas bagaimanakah perubahan air muka kedua orang itu, mereka bisa menduga kedua tokoh silat tersebut tentu sedang murung dan kesal.
Lewat beberapa saat kemudian, barulah terdengar orang kedua bicara dengan suara lirih:
"Bukankah sastrawan berbaju biru Hoo Thian Heng serta nona yang bersenjata ikat pinggang kumala itu telah masuk kedalam kota ? Mari kita kesana dan undang mereka datang untuk sama2 melakukan pencarian. Hmmm aku tidak takut mereka berhasil terbang kelangit."
"Benar, kita berbuat demikian saja," seru orang pertama tadi dengan suara yang lirih, begitu lirih se-akan2 bisikan nyamuk.
Selesai bicara terdengarlah ujung baju tersampok angin, beruntun kedua orang itu sama2 tinggalkan tempat itu dan dalam sekejap mata telah lenyap dari pendengaran.
Tidak lama setelah Goan Kiang Gie Hu atau si nelayan dari sungai Goan Kang, serta sian Hoe It Kiam atau si pedang tunggal dari sian-Hoe-san meninggalkan tepi sungai, tiga manusia beracun dari wilayah Biauw sama2 meloncat keluar dari dalam hutan.
"Mari kita cepat pergi dari sini," seru Pek si Tok shu, Kiang Tiang Koei dengan air muka terkejut serta ketakutan. "Menanti musuh tangguh pada berdatangan, bukankah kita bakal kerepotan dan mati konyol?"
-000d00w000- Jilid : 08 MELIHAT saudara tuanya gugup serta ketakutan, Hian im Tok shu si Kakek bisa Dingin cia le chong segera tertawa ter-bahak2.
"Haaa...haaa...,Loo-toa, kali ini dugaanmu meleset sama sekali. Menurut pendapatku kedua orang tua bangka itu tidak bakal kembali lagi."
"Bagaimana kau bisa tahu?" tanya Pek-si Tok-shu, agaknya orang she-Kiang ini rada kurang percaya.
Hian-Im Tok-shu Gia le Chong mengelus2 jenggotnya yang terurai dijanggut, memandang sang surya yang baru muncul dari balik awan ia termenung berpikir sebentar setelah itu katanya:
"Kalau apa yang dikatakan kedua orang itu benar, mereka tidak akan berbuat misterius dan sok rahasia tapi sengaja membiarkan kita ikut mendengar, kedua orang setan tua itu tidak lebih hanya takut kita tiga saudara bikin onar lagi didusun serta kota2 kecil sekeliling tempat ini, disamping itu merekapun harus mentaati pula pantangan bagi orang Bu-lim untuk mengejar musuh kedalam hutan, maka dari itu digunakannya siasat ini untuk memperdayai kita."
Pek-Sie-Tok-Shu Kiang Tiang Koei merasa pendapat ini sedikitpun tidak salah, ia lantas manggut2.
Mendadak... Gelak tertawa aneh berkumandang dari belakang tubuh mereka, suara itu amat dingin, kaku dan menyeramkan, begitu mengerikan sampai bulu roma pada bangun berdiri. Mereka bertiga jadi sangat terperanjat.
Dengan gerakan cepat, tiga manusia beracun dari Wilayah Biauw ini meloncat mundur beberapa tombak kebelakang, sinar mata dengan tajam menyapu sekeliling tempat itu.
Tapi suasana amat sunyi, hening dan tidak nampak sesosok bayangan manusiapun kecuali alang2 yang bergoyang terhembus angin sungai.
Terang2an mereka dengar suara tertawa seram itu muncul dari belakang tubuh mereka, sekarang kenapa tak nampak sesosok bayangan manusiapun? ketiga orang itu jadi tertegun dan melengak, hati mereka tercengang, heran dan merasa ngeri....
"Heeeeee..... heeeee....."
Sekali lagi gelak tertawa aneh tadi bergema menusuk pendengaran, suaranya seram membuat jantung berdetak keras. Kali ini ketiga orang manusia beracun itu mendengar jelas, suara tadi muncul dari lima depa disisi tubuh mereka.
Tiga manusia beracun dari wilayah Biauw semakin ketakutan lagi, sukma mereka seraya telah melayang dari raganya.
Haruslah diketahui ilmu silat yang dimiliki tiga manusia beracun ini meski tidak bisa menandingi kelihayan Peng Pok sin-mo, tapi merekapun masih terhitung jagoan nomor wahid dalam dunia persilatan, hembusan angin maupun gugurnya dedaun disekeliling beberapa tombak tak akan berhasil mengelabuhi pendengaran mereka.
Kini suara tertawa itu muncul dari lima depa dibelakang tubuhnya namun mereka bertiga tak seorangpun yang merasa, seandainya pihak lawan ada maksud mencabut jiwa mereka bertiga, bukankah sangat gampang bagaikan membalik telapak sendiri?
Tanpa ragu2 lagi tiga saudara bagaikan telah sepakat sama2 putar badan dan lari dari situ, tiga sosok bayangan biru laksana kilat telah meluncur dua tombak kedepan, dalam hati mereka berpikir.
"Aaaai kali ini, mungkin kami sudah lolos dari tangannya."
Siapa sangka kejadian kembali berlangsung diluar dugaan mereka, baru saja ketiga orang itu menghentikan gerakannya seraya menyapu sekeliling tempat itu, tertawa seram tadi kembali berkumandang dari belakang mereka bertiga.
Meski manusia racun pertama cerdas, manusia racun kedua licik dan manusia racun ketiga buas, terhadap musuh yang mengeluarkan suara tanpa kelihatan wujud dibelakang mereka ini, ketiga orang itu tak bisa berkutik.
Begitu mendengar suara tersebut, ketiga orang kembali berkelebat kedepan melarikan diri tapi tertawa seram tadi se-akan2 melekat dibelakang mereka kemana saja ketiga orang itu pergi dan sebagaimana cepatnya mereka lari, suara tersebut selalu muncul di belakang tubuh mereka.
Si manusia racun pertama Pek-si-Tok-shu membentak keras, badannya langsung kabur kearah Barat diikuti manusia racun kedua dan ketiga, mereka sama2 lari ter-birit2 seperti diuber setan.
Perduli bagaimana cepat tiga manusia beracun dari wilayah Biauw melarikan diri, tertawa seram tersebut tiada berputusan menggema datang terus.
Tidak lama kemudian ketiga orang itu sudah memasuki daerah pegunungan Pek-In-san.
Pek-In-san masih termasuk rentetan pegunungan Biauw yang tingginya dua ribu dua ratus meter dari permukaan air laut, letaknya tepat saling ber-hadap2an dengan gunung Im-Boe-san.
Diatas gunung pepohonan tumbuh dengan subur dan rimbunnya, awan putih melayang dekat dengan permukaan, jalan pegunungan ber-liku2 penuh dengan tikungan tajam, tebing curam lagi terjal, jurang yang dalam menganga siap menantikan korbannya, bukan begitu saja, binatang buaspun banyak berkeliaran disana-sini dengan ular2 berbisa malang melintang di-mana2, diantara kesemuanya ini kabut beracunlah terhitung paling lihay.
Begitu berbahaya dan mengerikannya gunung Pek-In-san ini, sehingga gunung tersebut dijuluki gunung angker siapapun tak berani menerobos masuk kedalam secara gegabah.
Tiga manusia beracun dari wilayah Biauw bukannya tidak mengerti akan mara bahaya, tapi mereka terpaksa harus melarikan diri ke-sana, dalam keadaan seperti ini tidak lain yang bisa dilakukan kecuali mengikuti suratan Takdir.
Kiranya si manusia racun pertama Pek si Tok shu Kiang Tiang Koei sembari melarikan diri ter-birit2 otaknya berputar keras pikirnya:
"Kendati ilmu silatmu sangat lihay, tidak nanti berani memasuki daerah pegunungan Pek-In-san ini. Hmm, kalau bajingan keparat ini masih juga mengejar terus tanpa pikirkan untung ruginya, akan kupancing dia memasuki daerah lembah gunung yang penuh dengan kabut beracun. Hmmm.... hmmm.....sampai saatnya, kalau bukan mati terpagut ular berbisa, kau akan mati karena menghirup hawa beracun."
Apa yang dipikirkan memang bagus sekali tapi tertawa seram yang berkumandang dari belakang menggema tiada hentinya, se-akan2 orang itu sama sekali tidak tahu akan keseraman serta kengerian gunung Pek In san.
Dengan napas ngos2an ketiga orang itu lari terus kedepan, seperminum teh kemudian tiga puluh li sudah dilewati, menurut dugaan mereka asalkan telah memasuki daerah pegunungan maka mereka bertiga bisa beristirahat dengan lega hati, siapa sangka musuh yang ada dibelakang tidak mau juga melepaskan mangsanya, ia selalu membayangi bagaikan kutu dalam rambut.
Makin lari tiga manusia beracun itu semakin terperanjat bercampur ngeri, bagaikan tiga ekor kelinci yang diancam pemburu, mereka ngacir kekiri kekanan dengan hebatnya hampir boleh dikata seluruh punggung gunung Pek-In-san telah dijelajahi.
Entah sudah berapa lama mereka lari dan berapa jauh dilalui, keringat telah mengucur keluar membasahi tubuh mereka, napas ter-sengkal2 bagaikan kerbau, baju biru yang mereka kenakan basah kuyup bagaikan diguyur air segentong, celana pada robek tersangkut duri dan rotan bahkan tangan merekapun lecet dan sehingga mengucurkan darah tersangkut duri yang tajam.
Selama hidup belum pernah tiga manusia beracun dari wilayah Biauw mengalami pengalaman yang begitu memalukan, sungguh mengenaskan keadaan orang2 itu.
Meskipun demikian, suara tertawa seram yang bergema dari belakang tubuh mereka masih belum juga berhenti, bagaikan bayangan setan mengikuti terus kemana mereka pergi.
Sejak semula si manusia racun ketiga, Han-Peng-Tok-Shu chin Teng San sudah tidak sabaran, seandainya ia tidak kagum terhadap Loo-toa serta Loo-jie, tadi ia sudah kehabisan sabar. Sekarang setelah ia tahu Loo-toa tak bisa mengetahui Loo-jie tak bisa memperlihatkan ketenangan hati, ia jadi mendongkol, sambil meraung keras mendadak tubuhnya berhenti berlari, sepasang alis berkerut dan putar badan dengan sebat. Teriaknya keras2:
"Maknya setan alas jangan menggertak orang orang belaka dengan permainan setanmu, kalau punya kepandaian ayoh tunjukkan diri, aku Han-Peng-Tok-shu chiu Teng San berada disini, berani kau layani diriku bertarung sebanyak tiga ratus gebrakan?"
Menjumpai Loo-sam berhenti dan menantang perang, mau tak mau Pek-Si-Tok-Shu Kiang Tiang Koei serta Hian In-Tok-shu Cia ie ciong ikut berhenti berlari, mereka sama2 menggabungkan diri jadi satu.
"Heeee....heeee.....lebih baik jangan banyak tingkah, jangan dikata bertarung sebanyak tiga ratus gebrakan, untuk menghadapi sebuah jari kelingkingku pun kau sudah tak sanggup."
Sewaktu pihak lawan mengucapkan kata2 itu, dengan sebat tiga bersaudara itu putar badan, sekarang mereka dapat saksikan kurang lebih lima depa dihadapannya berdirilah seorang kakek tua yang tinggi besar dan gemuk.
Wajah orang itu sangat dikenal oleh tiga manusia beracun, begitu menjumpai bahwasanya pihak lawan bukan lain adalah si kakek gemuk mereka sama2 menjerit kaget, bagaikan terpagut ular beracun air muka mereka bertiga, sama2 berubah hebat.
Kiranya orang itu bukan lain adalah si kakek gemuk yang hendak dicengkeram Han Peng-tok-shu sewaktu berada dirumah makan dalam kota Hoei-swie siang tadi.
Orang itu menyusul datang dengan kencangnya, tak usah ditanya bisa diduga maksud kedatangannya tentu hendak mencari balas.
"Mengherankan kalau benar orang ini memiliki ilmu silat yang sangat lihay, kenapa ia sama sekali tidak menunjukkan tanda2 hendak berkelit ataupun menghindar sewaktu aku hendak mencengkeram batok kepalanya?" pikir Han-Peng Tok-shu Chin Teng san dengan hati tercengang. "Aku tidak percaya kalau batok kepalanya lebih keras daripada baja."
Karena punya pikiran demikian, tak tahan lagi dengan perasaan ingin tahu ia lirik sekejap batok kepala si kakek gemuk yang gede dan aneh itu.
Agaknya orang itu bisa menebak apa yang sedang dipikirkan chin Teng san, kembali ia tertawa seram, sembari gelengkan kepalanya ia berkata:
"Bocah keparat dengan andalkan ilmu silat kucing kaki tigamu, kau anggap bisa mengganggu atau merusak seujung rambut loohu? Hmm jangan bermimpi disiang hari bolong. Terus terang kuberitahu kepadamu, pagi tadi kalau bukan Sian-Hen-It-Kiam keparat cilik she Tauw itu menolong selembar jiwamu, hmm...hmm...saat ini mungkin tulang kerangkamu pun sudah punah sama sekali."
Biauw-Kiang sam-Tok atau tiga manusia beracun dari wilayah Biauw jadi merasa geli habis mendengar ucapan itu, mereka merasa si kakek gemuk ini telah membalikkan kenyataan, tidak lebih ia hanya main gertak sambal sembari mengibul.
Bagaimana dalam kenyataannya? Seperti apa yang diucapkan si kakek gemuk itu, jikalau waktu itu sian-Hee-It-Kiam Yauw Kie tidak melancarkan serangan memaksa Han-Peng Tok shu mundur ke belakang, asal jari tangan chin Teng san menempel sedikit saja diatas rambutnya, maka bagaikan kena listrik bertegangan tinggi ia akan mati binasa dalam keadaan mengerikan, dalam sekejap mata tubuhnya akan punah tinggal segumpal darah kental.
Bagaimana bisa begini? Dan apa alasannya? Dalam cerita selanjutnya akan diterangkan lebih jauh.


Sabuk Kencana Ikat Pinggang Kemala Karya Khu Lung di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam pada itu rasa takut yang menyerang hati tiga manusia beracun sudah lenyap beberapa bagian, teringat mereka tiga bersaudara terdiri dari jago-jago lihay, bahkan tercantum pula sebagai anggota sepuluh manusia sesat dari kolong langit yang disegani tokoh silat baik dari golongan hitam maupun dari golongan lurus, sekarang apabila harus merasa ketakutan bagaikan tikus ketemu kucing, bukankah keadaan itu sangat memalukan ?
Lagi pula walaupun dikatakan si kakek gemuk ini memiliki kepandaian silat yang sangat lihay, dengan gabungan mereka bertiga apa yang perlu ditakuti lagi.
Kemungkinan besar bangsat ini cuma andaikan ilmu langkah serta ilmu meringankan tubuhnya yang rada aneh hendak menggertak mereka, kalau tidak kenapa ia tidak turun tangan terhadap mereka bertiga ? Tentu ia punya rencana hendak menakut-nakuti mereka bertiga sampai kehabisan tenaga, setelah itu baru menggunakan kesempatan itu turun tangan membereskan mereka.
Seandainya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki benar-benar dahsyat, kenapa ia tidak meloncat melampaui mereka kemudian menghadang perjalanan mereka ? Kenapa ia selalu hanya menguntit saja dari belakang ? Berpikir sampai disitu Pek-si-Tok-shu Kiang Tiang Koei merasa apa yang diduga tak bakal salah lagi, semangat, kemantapan serta keberaniannya pulih kembali seperti tempo dulu, ia segera tertawa seram.
"Siapakah anda?" ia menegur. "Kami tiga bersaudara sama sekali tidak bermusuhan dengan dirimu, hubungan kita bagaikan air sungai yang tidak mengganggu air sumur apa sebabnya kau menguntil terus tiada habisnya? Haruslah kau ketahui kami tiga manusia beracun dari wilayah Biauw bukan manusia yang bisa diganggu dan diremehkan seenaknya." Si kakek gemuk itu sama sekali tidak naik pitam, ia malah tertawa tergelak.
"Nah begitulah baru mirip seorang jagoan kangouw, ketika kujumpai keadaan kalian macam cucu kura2 yang tak berani nongolkan kepala serta macam kijang yang lari ketakutan, hatiku jadi ikut dongkol. Hmmm, masa seorang jagoan kenamaan kok nyalinya sekecil nyali tikus sungguh memalukan."
Bicara sampai disitu ia lantas geleng2kan kepalanya dan melanjutkan:
"Mengenai nama besar dari aku si orang tua jangan dikata kalian, meskipun sucouwmu yang sudah modar Pek-Tok-Tong-cu atau si-jejaka seratus racun Lie In mah masih harus sebut aku sebagai Lo-Couw Cong, coba katakan kalian sesuai tidak untuk tanya namaku?"
Ia merandek sejenak, kemudian terusnya: "Membicarakan soal hutang piutang yang kalian buat tadi pagi, yang kalian bunuhkan orang lain, sedang akupun bukan hamba negeri, apa perlunya aku ikut campur sama saja," seraya menuding kearah Han-Peng-Tok-shu Chin Teng san serunya:
"Keparat cilik ini hendak bikin sebuah jendela diatas batok kepalaku, secara bagaimana kau bisa katakan kalau hubungan kita bagaikan air sungai yang tidak mengganggu air sumur?"
Sewaktu berbicara, si kakek gemuk itu geleng2kan kepalanya, sehingga ludah muncrat kesana kemari persis hujan gerimis disiang hari bolong.
Semula Pek-si-Tok-shu Kiang Tiang Koei serta Hian-Im-Tok-shu Cia le Chong merasa terperanjat sewaktu mendengar pihak lawan mengetahui asal usul perguruannya, tapi dengan cepat merekapun berpikir:
"Aaaah benar, tadi kami sudah sebutkan gelar kami sebagai Tiga manusia beracun dan Wilayah Biauw, sebagai jago-jago kenamaan dalam dunia persilatan sudah sepantasnya kalau kakek gemuk ini bisa menduga siapakah nama kakek guru kami dan berasal dari perguruan manakah kami ini."
Karena punya pikiran demikian, kedua orang itupun tidak pikirkan persoalan ini lebih mendalam lagi.
Kan-Peng Tok-Shu chin Teng san hatinya panas, sebagai orang yang berhati kejam dan buas, ia tak tahan dihina terus-terusan, sambil tertawa seram badannya meluruk kedepan, sepasang lengan dengan salurkan hawa beracun, Han-Peng Tok-Kang segera didorong kedepan.
Orang ini berniat membinasakan si kakek gemuk itu dalam sekali gebrakan, maka dari itu tenaga beracunnya dikerahkan hingga mencapai delapan bagian, kehebatannya benar-benar laksana angin puyuh membelah bumi, begitu dahsyat sampai daun, debu dan pasir beterbangan di angkasa.
Dengan cepat si kakek gemuk itu menyingkir kebelakang, sambil gelengkan kepalanya yang gede dan aneh itu gumamnya:
"Waaah..... waaah....bahaya, bahaya sekali kalau sampai dibiarkan pukulan Racun es ini bersarang dibadan, seluruh cairan darah dalam badan akan membeku. Eeeee....bukan main tersiksanya kalau sampai begitu....Hiiiii ngeri."
Sambil berteriak ia lantas angkat kaki lari dari situ, ilmu meringankan tubuhnya benar2 hebat, dalam sekejap mata ia sudah berada dua puluh tombak jauhnya dari tempat semula.
Menyaksikan si kakek gemuk itu kabur ter-birit2, tiga orang manusia beracun itu jadi kecewa segera pikirnya.
"Sialan.... maknya, ternyata si tua bangka celaka itu tidak lebih cuma macan2an dari kertas, bisanya cuma main gertak sambal belaka ....Huuu...sialan benar."
Tanpa terasa lagi kejadian barusan terbentang kembali didepan mata, teringat betapa ngenesnya sewaktu melarikan diri ter-birit2 tadi, dari malu mereka jadi gusar, begitu sakit hati ketiga orang ini sampai ingin menguliti kakek sialan itu kemudian menggigit dagingnya keras2.
Mereka bertiga sama2 membentak keras bagaikan anak panah yang terlepas dari busur segera melesat kedepan mengejar si kakek gemuk yang sudah ngacir lebih duluan.
Kakek gemuk itu lihay juga, meskipun tiga manusia beracun dari wilayah Biauw telah kerahkan segenap tenaga yang dimilikinya, ilmu meringankan tubuh sudah digunakan mencapai puncaknya, namun jarak diantara mereka masih tetap seperti sedia kala.
Beberapa tebing telah dilewati, beberapa puncak sudah dilampaui tapi yang paling menjengkelkan adalah si kakek gemuk itu tetap bergerak dengan ringannya mengikuti hembusan angin, mereka bertiga cuma bisa melihat tak bisa menyusul orang. Diam2 mereka bertiga jadi mendongkol, pikirnya. "Hmm aku tidak percaya kalau tak dapat menyusul dirimu."
Mereka segera kerahkan ilmu meringankan tubuh Pat-Poh-Kan-san yang jarang sekali digunakan.
Para pengejar laksana sambaran kilat berkelebat kedepan, orang yang dikejar masih tetap seperti sedia kala bergerak lenggang2 kangkung seenaknya saja.
Tidak lama kemudian si kakek gemuk itu telah menerobos masuk kedalam sebuah lembah hingga dilihatnya tiga manusia beracun itu masih mengejar tiada hentinya ia lantas berpaling dan tertawa nyengir.
Melihat diri mereka diejek, ketiga orang itu jadi naik pitam.
"Hmm, akan kulihat kau hendak lari ke mana?" pikir mereka didalam hati.
Dalam sekejap mata tiga manusia beracun secara beruntun telah meloncat masuk kedalam lembah, tapi secara mendadak bayangan si kakek gemuk itu telah lenyap tak berbekas.
Tidak temukan jejak musuhnya ada disana Hian-Peng Tok-Shu Chin Teng San betul2 sangat murka, ia tak tahan dan mulai ber-kaok2 memaki kalang kabut.
Dalam pada itu Pek-si-Tok-shu Kiang Tiang Koei mengawasi keadaan disekelilingnya, tiga penjuru merupakan dinding tebing yang tinggi menjulang keangkasa, tegak lurus dan curam sekali, kiranya lembah tersebut merupakan sebuah lembah buntu.
Belum berhasil ditemukan apa sebabnya bayangan si kakek gemuk itu bisa lenyap secara tiba-tiba, Hian-Im-Tok-Shu cia le chong telah kerutkan sepasang alisnya seraya berkata:
"Loo-toa, bajingan itu pancing kita masuk kedalam lembah, apakah ia mempunyai rencana keji terhadap kita orang?"
"Loo-jie, kau tak usah ragu-ragu dan menduga yang bukan-bukan, digeledah saja," dengus Han-Peng-Tok-Shu Chin Teng san tidak sabaran.
Bersamaan dengan selesainya ucapan tersebut, tubuhnya segera berkelebat kearah lembah untuk melakukan penggeledahan.
Pek-Si-Tok-Shu serta Hian-Im-Tok-Shu sama sama merasa tindakan Loo-sam rada gegabah, meski demikian mereka ikuti juga tindakan saudaranya, masing-masing berpisah pada dua arah yang berhadapan untuk mulai dengan penggeledahan mereka.
Ketiga orang itu sudah menjelajahi hampir seluruh lembah, namun belum juga menemukan bayangan dari si kakek gemuk itu, dalam keadaan putus asa akhirnya mereka bertiga kumpul diatas sebuah batu cadas.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara gelak tertawa berkumandang keluar dari celah celah tebing kemudian menggema dan memantul dalam seluruh lembah, sehingga dalam waktu singkat seluruh angkasa telah dipenuhi oleh gelak tertawa si kakek gemuk itu.
"Keparat itu sedang main setan, kita jangan sampai terperangkap," seru Si racun ketiga dengan alis berkerut.
Pek-Si-Tok-Shu mengelus jenggotnya, setelah berbatuk ia berteriak:
"Hey sahabat. Tadi kau mentertawakan kami tiga bersaudara, sekarang bukankah kau sendiri pun main sembunyi macam cucu kura- kura ?"
"Bukankah aku si orang tua berada sama-sama kalian tiga orang keparat cilik telur busuk?"
Kembali suara itu muncul dari belakang tubuh mereka, ketika ketiga orang manusia beracun itu berpaling maka tampaklah si kakek gemuk yang punya kepala besar, aneh lagi licin sehingga memantulkan sinar tajam itu sudah berdiri di belakang mereka.
Setengah harian dipermainkan terus oleh si kakek gemuk itu, lama kelamaan tiga manusia beracun dari wilayah Biauw tidak kuat menahan diri, perut mereka terasa hampir meledak bertemu dengan musuh bebuyutan sepasang mata kontan merah membara.
Ketiga orang itu sama-sama membentak keras, enam buah telapak berbareng melancarkan pukulan yang dahsyat bagaikan gulungan angin puyuh menyapu jagad, dengan disertai desiran tajam serta bau busuk bangkai segera menerjang kearah dada lawan.
Tenaga serangan itu datangnya memang sangat dahsyat, tetapi cukup si kakek gemuk itu kebaskan tangannya kedepan, serangan yang begitu dahsyat tadi seketika lenyap tanpa bekas.
"Haa haaa....,haaa keparat cilik, ayoh tambah tenaga lagi, kalau cuma begini mana bisa mengapa apakan diri Loohu ?" jengeknya sambil tertawa tergelak.
Menyaksikan kehebatan lawan, ketiga orang manusia beracun itu jadi amat terperanjat. Pek-Si-Tok-Shu melirik sekejap kearah rekan rekannya kemudian pada saat yang bersamaan ketiga orang itu sama sama membuat gerakan setengah lingkaran busur didepan dada......
Braak! Enam buah bayangan telapak serempak didorong kedepan, tiga macam hawa pukulan beracun yang maha dahsyat dengan bergabung jadi satu garis lurus laksana gulungan ombak ditengah samudra serta mengiringi sambaran geledek sekali lagi menggasak keluar.
"Aduuuh...." jerit si kakek gemuk sambil sipitkan matanya.
"Braaak.. diiringi getaran keras tubuhnya yang besar lagi gemuk itu segera tergulung angin pukulan tersebut dan mencelat ke tengah angkasa.
Melihat lawannya terpental, tiga manusia beracun sama2 tertawa tergelak, suara mereka keras dan seram, seluruh rasa mangkel, dongkol dan marah yang selama ini berkumpul dalam dada segera tersalurkan semua.
Dalam perkiraan ketiga orang itu, si kakek gemuk itu tentu bakal menemui ajalnya termakan serangan beracun itu.
Sebab mereka sadar tiga macam ilmu pukulan beracun yang mereka gunakan merupakan pukulan beracun yang maha dahsyat, siapapun tokoh sakti dalam dunia persilatan dewasa ini tak ada yang sanggup menahannya, jangan dikata pukulan beracun itu sendiri, cukup tenaga gabungan tiga orang pun sudah mencapai empat lima ribu kati, tenaga sebesar itu cukup untuk menggetar hancur isi perut seseorang.
Sungguh tak nyana seorang tokoh sakti dunia persilatan yang memiliki ilmu silat maha lihay harus menemui ajalnya ditangan mereka tiga bersaudara tanpa mengerti duduknya perkara, kejadian ini sedikit banyak patut disayangkan.
Tapi ingatan lain segera berkelebat memenuhi benak mereka, siapa suruh orang itu tidak tahu diri dan mengganggu terus sampai menggusarkan kami....
Walaupun dalam hati tiga manusia beracun dari wilayah Biauw berpikir demikian, sepasang matanya sama sekali tidak berhenti memandang arah jatuhnya korban mereka.
Tampak tubuh si kakek gemuk itu berjumpalitan dan berguling tiada hentinya ditengah udara, rambutnya yang putih berkibar ditiup angin, dengan kaki diatas kepala dibawah tubuhnya terbanting jatuh keatas tanah, keadaannya persis dengan sebiji labu masak..... Kekejaman tiga manusia beracun ini sungguh melebihi harimau lapar, karena takut si kakek gendut itu belum putus nyawa, sewaktu tubuh korban mereka terbanting keatas tanah, secara serentak enam buah bayangan telapak kembali berkelebat menambahi dengan sebuah pukulan dahsyat lagi.
Kejadian aneh tiba2 berlangsung didepan mata, si kakek gemuk yang diduga pasti akan menemui ajalnya itu mendadak berteriak keras: "Aduuuh mak, mati aku....."
Sepasang lengan dikebaskan ditengah udara tenaga serangan yang menggulung kearahnya mendadak lenyap tak berbekas.
Tiga orang manusia beracun itu jadi terkesiap, sukma mereka terasa bagaikan melayang dari badan. Pek-si-Tok-Shu-Kiang-Tiang Koei segera menghardik lirih.
"Angin kencang berhenti !"
Tiga sosok bayangan biru laksana anak panah lepas dari busur segera berkelebat ke tengah lembah.
Terdengar si kakek gemuk bersuit nyaring, suaranya tinggi melengking bagaikan jeritan kuntilanak ditengah malam buta.
Bersamaan dengan jeritan tersebut bayangan hitam segera beterbangan dari seluruh penjuru lembah, suara cicit serta raungan aneh bergema amat ramai, suasana ketika itu sangat hiruk-pikuk dan menusuk pendengaran.
Empat lima belas tombak sekeliling mulut lembah, secara mendadak muncul ular beracun, tokek beracun, cicak beracun, laba2 beracun, kelabang terbang serta tawon hitam sekalian ber-juta2 macam binatang beracun mengerumuni seluruh permukaan tanah, begitu dahsyat sehingga permukaan langsung menghitam bagaikan permadani alam, suatu pertemuan pelbagai binatang beracun yang paling dahsyat selama ratusan tahun belakangan.
Tiga manusia beracun dari Wilayah Biauw adalah seorang ahli dalam ilmu beracun, mereka sadar binatang-binatang itu sangat berbisa, asalkan kena ditempeli niscaya akan mati binasa.
Mereka jadi terperanjat dan pecah nyali, dengan hati kebat kebit segera mengundurkan diri dari situ.
"Keparat keparat cilik, setelah kalian datang kelembah Cian-Cang-Kek ku kenapa buru buru hendak pergi? bukankah kalian disebut orang tiga manusia beracun dari Wilayah Biauw, kenapa musti takut dengan binatang binatang cilik yang tak berarti itu ?"
Bicara sampai disitu, ia lantas mengelus jenggotnya yang terurai sepanjang dada, sambil goyang kepala terusnya:
"Sekarang siang hari telah tiba, eeeei keparat cilik sekalian, kemarin kalian sudah berlarian sepanjang malam, pagi inipun belum sarapan, apakah perut kalian tidak merasa lapar? aku telah mempersiapkan perjamuan selaksa racun untuk menghormati kalian tamu tamu agung kalau dikatakan, bukankah santapan lezat ini merupakan hidangan istimewa buat dirimu ?"
Tidak menanti orang itu menyelesaikan kata-katanya tiga manusia berbisa segera putar badan menghadap kearah si kakek gemuk itu mereka sadar telah bertemu dengan seorang tokoh silat maha sakti, tiada harapan lagi buat mereka bertiga untuk loloskan diri, karena itu tak rasa lagi air muka mereka berubah hebat, perasaan jeri, ngeri dan berduka meliputi seluruh wajahnya.
Walaupun Tiga manusia beracun dari Wilayah Biauw tersohor dalam dunia persilatan karena ilmu berbisanya, tetapi kepandaian yang mereka kuasai terbatas sekali. Alasannya sewaktu belum lama mereka masuk perguruan dan belajar ilmu dari gurunya, Tok Nio-cu suhu mereka secara tiba tiba mati dibunuh musuh bebuyutannya, oleh karena itu kepandaian yang mereka dapatkan terutama dalam ilmu racun mereka belum menguasai terlalu mendalam.
Dalam keadaan ilmu yang terbatas, jangan dikata mendahar binatang2 beracun, untuk menangkap makhluk makhluk berbisa inipun mereka masih ragu ragu.
Melihat keadaan terkepung, merasakan pula kepandaiannya tidak ungguli orang, terpaksa Pek si-Tok-shu Kiang Tiang Koei maju kedepan sembari menjura, katanya:
"Tak nyana cianpwee seorang tokoh maha sakti dari dunia persilatan, boanpwee sekalian punya mata tak berbiji, apabila perbuatan perbuatan kami sebelumnya telah melanggar serta berbuat dosa kepada cianpwee, harap cianpwee sudi kiranya untuk memaafkan."
Si Kakek gemuk itu tidak menggubris atas ucapan tersebut, kembali ia tertawa terkekeh kekeh.
"Pepatah kuno mengatakan : Tuan Rumah tidak dahar, tetamu tak akan minum haa ....haa....haa....agaknya aku yang menjadi tuan rumah harus bergerak dahulu baru tetamu tetamuku mau ikut mencicipi perjamuan selaksa Racun ini."
Bicara sampai disitu ia lantas merogoh kedalam sakunya dan ambil keluar sebuah botol arak yang terbuat dari porselen serta sebuah cawan yang menyiarkan cahaya tajam, katanya kembali:
"Keparat cilik sekalian, arak ini merupakan arak simpanan Bunga Merah Ciang-Hong-I-Hua yang dibuat setelah dicampuri rumput pemutus usus serta pelbagai jenis bisa bisa yang hebat, siapa saja yang meneguk arak ini maka dia akan selalu awet muda, tidak mempan terhadap serangan beracun badannya bertambah gemuk dan pikirannya bertambah terbuka, mari, mari, mari kita keringkan secawan."
Sembari gelengkan kepalanya berulang kali ia buka tutup botol arak tadi dan menuangnya kedalam cawan, arak tadi warnanya hijau gelap dan baunya amis sekali.
Seandainya si kakek gemuk itu tidak mengatakan dari bahan apa saja arak tersebut dibuat, tiga manusia beracun dari wilayah Biauw tentu akan sambuti pemberian arak itu dengan senang hati, tapi kini setelah mengetahui arak itu terdiri dari pelbagai macam jenis racun yang lihay, mereka tak berani menyambutnya.
Kembali si kakek gemuk itu angsurkan cawan araknya kepada tiga orang itu, tiga manusia beracun dari wilayah Biauw mundur berulang kali kebelakang dengan ketakutan.
"Boanpwee sadar bahwa rejeki kami tipis sekali, lebih baik arak kehormatan itu menikmati sendiri saja buat Loocianpwee," katanya.
Memandang tiga orang tetamunya yang berdiri dengan wajah likat, si kakek gemuk itu kembali tertawa tergelak.
"Tiga sahabat cilikku yang terhormat kalau kalian tidak doyan minum arak, silahkan mencicipi sayur serta hidangan lezat ini."
Saat ini keempat orang itu sudah saling berubah sebutan bagi lawannya, rasa permusuhanpun makin lama semakin hilang.
Bersamaan dengan selesainya ucapan si kakek gemuk itu, sepasang tangannya menyambar kedepan menangkap seekor ular berbisa yang bentuk badannya kecil dan bersisik kuning emas serta seekor laba2 beracun.
Bagaikan makan bak-pao saja orang tua gemuk itu masukkan laba2 beracun tadi kedalam mulut lantas dikunyah dengan penuh rasa nikmat, pemandangan yang sangat mengerikan ini membuat tiga bersaudara tersebut jadi bergidik dan merasa hatinya tidak tenteram.
Selesai mengunyah laba2 beracun, kembali ia robek robek badan ular racun bersisik emas itu, lalu sepotong demi sepotong dimasukkan kedalam mulut, dikunyah dan ditelan dengan lezatnya, darah amis segera muncrat menodai seluruh mulutnya.
Begitu nikmat si orang tua gemuk itu mengunyah santapan istimewanya, membuat Pek si-Tok-shu Kiang Tiang Koei serta Hian-Im Tok-Shu Cia le Chong berdua yang menyaksikan jadi muak hampir2 saja mereka muntah, sepasang alis dikerut kencang.
Han-Peng-Tok-Shu chin Teng-san adalah seorang bodoh yang tak pernah menggunakan akalnya, sejak tadi perutnya sudah keroncongan minta diisi, sekarang melihat si kakek gemuk itu menikmati santapannya dengan begitu lezat, dalam hati ia lantas berpikir:
"Begitu nikmat ia sikat hidangan istimewa tersebut se-akan2 masakan yang lezat. Ehmm.... mungkin binatang jelek itu memang rasanya nikmat, daripada menanggung rasa lapar yang menyiksa badan, kenapa aku tidak ikut mencicipi? taruh kata akhirnya aku mati keracunan rasanya jauh lebih baik daripada mati jadi setan gentayangan."
Karena punya pikiran demikian, ia lantas maju kedepan dan menyambar seekor kadal beracun yang panjangnya satu depa, kemudian sambil pejam mata dimasukkan kedalam mulut dan mulai dikunyah. Ternyata rasanya segar, gurih dan nikmat sekali. Tak tahan lagi segera ia mendongak dan tertawa ter-bahak2.
"Haaa haaaa....bagus bagus sekali, Loo-toa, Loo-jie, ayoh cepat sikat binatang2 jelek itu. Waaah....rasanya sungguh segar, gurih dan nikmat."
Dalam menghadapi masalah apapun, yang paling ditakuti adalah tak adanya orang yang sudi buka jalan, setelah Loo-sam berkaok-kaok dengan penuh kegirangan, Pek-si-Tok shu serta Hian-Im-Tok-shu segera ikut berebut maju, menyambar binatang-binatang berbisa itu dan dikunyah dengan penuh kenikmatan.
Setelah dilihatnya ketiga orang itu saling berebut mendahar binatang-binatang beracun yang dihidangkan, kembali si kakek gemuk itu gelengkan kepalanya berulang kali.
"Nah beginilah baru bisa disebut sebagai anak murid perguruan Ciat-Tok-Bun yang tersohor itu. Ehmmm... Keberanian serta kenekatan kalian memang masih patut dipuji."
Mendengar mereka dipuji-puji oleh si kakek gemuk itu, tiga manusia beracun dari Wilayah Biauw ini jadi kegirangan setengah mati.
Tengah mereka sedang bergembira, mendadak dari tengah lembah berhembus datang angin keras yang membawa bau amis, disusul segulung bau harum semerbak menyambar datang menusuk hidung, dari balik lembah Cian-Ciang-Kok muncullah kabut yang segera membentuk jadi segumpal awan tebal.
Dibawah sorotan sinar matahari, kabut tersebut memancarkan cahaya keemas emasan tiba tiba meluncur turun dari tengah udara bagaikan sebutir peluru, lalu menyebar ke empat penjuru lambat-lambat, diantaranya ada yang menggumpal laksana sebuah roda kereta yang secara tiba-tiba merekah dan memancarkan lima buah warna warni bagaikan bianglala, bau harum semakin tebal dan menyebar ke seluruh penjuru lembah.
"Aaah kabut beracun Huang-Mao-Ciang," teriak Pek-si-Tok-Shu Kiang Tiang Koei dengan hati terperanjat.
Mendengar seruan itu air muka Hian-Im-Tok-Shu Cia Ie Chong berubah hebat, sementara Han-Peng-Tok-shu Chin Teng san sembari mengusap kering darah amis yang ber-belepotan diujung bibir bertanya:
"Loo-toa, apa sih yang disebut kabut beracun Huang-Mao-Ciang itu? kenapa membuat Loo-jie jadi ketakutan setengah mati?"
Menyaksikan kebodohan Loo-sam mereka yang sama sekali tak paham apa yang disebut kabut beracun Huang-Mao-Ciang, Pek-Si-Tok Shu menghela napas lirih.
"Habislah sudah... Aaaaaai tak nyana lembah Cian-Ciang-Kok merupakan tanah kubur bagi kita tiga bersaudara. Loo-sam selamanya kau tak pernah pikirkan masalah apapun kedalam hati, sekarang akan kuberitahukan kepadamu dan lain kali tak usah tanya lagi. Menurut ilmu pengetahuan kabut beracun adalah suatu gas jahat yang sering muncul didalam hutan, dipuncak gunung ataupun didalam lembah. Kabut macam begini banyak sekali terdapat dipropinsi In-Lam serta Koei-Cioe.
Sepanjang tahun semuanya ada empat macam kabut. Dimusim semi kabut itu disebut kabut Rumput hijau atau Cing Cau Ciang. Dimusim panas kabut itu disebut kabut bunga Hwee kuning atau Huang Bwee Ciang, dimusim gugur kabut itu disebut kabut Padi Baru atau Sim Hoo Ciang disamping itu masih ada pula kabut-kabut beracun yang bernama kabut bunga Tauw atau Tauw-Hoa-Ciang, kabut bunga seruni atau Kiok-Hoa-Ciang, kabut bunga Koei atau Koei-Hoa-Ciang serta nama-nama lain yang aneh."
Pek Si-Tok-Shu masih ingin meneruskan kata-katanya, namun dengan cepat Hian-Im Tok-Shu menarik ujung baju loo-toanya sembari berbisik: "Cepat lihat !"
Tampak si kakek gemuk itu sedang pentangkan mulutnya lebar2, kabut beracun lima warna yang sedang me-layang2 diudara dengan cepat terhisap dan meluncur masuk kedalam mulutnya semua, dengan tenang kakek gemuk itu menelan asap beracun tadi dan dinikmati dengan penuh kenikmatan. Tiga manusia beracun yang menyaksikan peristiwa itu jadi terbelalak dan berdiri melongo, pikir mereka. "Kepandaian apakah ini?"
Tak tahan lagi diatas tiga lembar wajah mereka yang jelek terlintaslah rasa kagum dan salut.
Tidak selang seperminum teh kemudian, si kakek gemuk itu sudah habis menghisap seluruh kabut beracun yang melayang diatas lembah itu kedalam perutnya, menjumpai wajah tiga manusia beracun yang demikian mengenaskan, ia jadi geli dan tertawa ter-kekeh2.
Bersamaan dengan melebarnya mulut si kakek gemuk itu, serentetan cahaya emas mendadak meluncur keluar bagaikan anak panah terlepas dari busur, pohon serta tumbuhan yang ada dua tombak dihadapannya mendadak jadi layu, daun ranting berguguran kemudian matilah pohon tersebut.
Apa yang barusan didemontrasikan benar2 merupakan suatu kepandaian yang tak pernah dijumpai selama hidup ketiga orang beracun ini, meski merekapun ahli dalam ilmu pukulan beracun, namun tak ada yang mengira bahwa dikolong langit ada orang yang bisa melancarkan serangan mautnya lewat tiupan mulut.
Tiga manusia beracun dari Wilayah Biauw jadi sangat kagum dan takluk benar-benar, mereka anggap si kakek gemuk ini sebagai malaikat yang baru turun dari nirwana.
Bukan begitu saja, saking kagumnya ketiga orang itu, mereka sama-sama berlutut diatas tanah, menjalankan penghormatan besar dan mohon si kakek gemuk itu sudi kiranya mewariskan kepandaian maha saktinya kepada mereka.
Mendengar permintaan ketiga orang itu, air muka si kakek gemuk itu mendadak berubah jadi serius. Katanya:
"Loohu adalah ciangbunjien keturunan ketiga dari perguruan Ciat-Tok-Bun, tempo dulu orang-orang sebut aku sebagai Ban-Tok-Ci-ong atau Maha Raja Laksa Racun. Karena tiap hari terjerumus dalam menyelidiki ilmu racun dan pukulan racun maka selama seratus tahun ini tak pernah munculkan diri kembali dalam dunia persilatan, menanti ilmu silat Ban-tok Koei-Tiong yang loohu latih telah mencapai puncak kesempurnaan, anak murid dari perguruan Cian-Tok-Bun telah punah dan tiada jejaknya lagi."
"Beberapa waktu berselang aku baru berhasil temukan kembali jejak dari kalian tiga ekor binatang tolol, ternyata kepandaian mau pun pengetahuanmu dalam hal ilmu beracun sangat cetek sekali, bukan saja amat cetek bahkan sama sekali tiada berarti, kalian tidak lebih cuma bikin malu nama besarku saja. Hmmm, mulai ini hari kalian harus berdiam dilembah selaksa kabut ini dan berlatih lebih giat, pelbagai ilmu beracun akan kuwariskan kepada kalian. Tapi kalian harus perhatikan selama berlatih kepandaian kalian dilarang keluar dari mulut lembahku ini barang setengah langkahpun, apakah kalian sanggup melakukannya?"
Tiga manusia beracun dari wilayah Biauw segera jatuhkan diri berlutut diatas tanah, sahutnya serentak:
"Anak murid keturunan kesepuluh menjunjung tinggi semua titah yang diucapkan Couwsu, tecu sekalian akan mentaati dengan setia."
000d00w000 Bab 13 SEMENJAK pertempuran dipuncak Pek-Yan-Gay yang terletak digunung in-Boe San dalam propinsi Koei-chiu untuk memperebutkan peta mustika dari kitab pusaka Yoe Leng pit Kip dalam sekejap mata dua tahun telah lewat.
Selama dua tahun ini dunia persilatan benar2 merasakan ketenangan yang luar biasa, meski ada terjadi bentrokan2 kecil namun semuanya merupakan pertarungan tak berarti, sepanjang masa keheningan tak sekalipun muncul peristiwa hebat yang menggemparkan.
Tentu saja selama beberapa waktu ini banyak jagoan dari kaum Liok-lim yang bermunculan, tidak ketinggalan pula jago2 muda dari kaum pendekar bermunculan disana-sini bagaikan jamur dimusim hujan.
Antara golongan Hek-to serta golongan Pek-to sepanjang jaman memang selalu bermusuhan bagaikan air ketemu api, walaupun tak bisa dihindari pertarungan2 yang menimbulkan bencana kematian, boleh dikata peristiwa tersebut bagaikan riak gelombang kecil ditengah samudra luas, tidak berharga untuk diungkap.
Setahun kembali sudah lewat, perkumpulan Im-Yang-Kauw yang terkenal akan kekuatan serta pengaruh besarpun tiada kabar beritanya, se-akan2 mereka punah tanpa sebab hilang lenyap dari muka bumi bagaikan uap di-siang hari...
Bukan begitu saja, bahkan para tokoh silat dari kalangan Hek-to yang punya nama tersohor seperti: Tiang-Pek-Siang-Hiong atau sepasang orang gagah dari gunung Tiang-Pek-san, cin-Nia-su-Cay atau Empat srigala dari bukit Chin-Nia, Boe-san sam-sioe atau Tiga manusia-jelek dari gunung Boe-san, Hian-Auw Tjhiet-Yan atau Tujuh Walet dari telaga Hian Auw, Bin-Lam-Liok-Pa atau Enam Raja ganas dari Hokkian selatan, say-Pak-Nao-Hiong atau lima manusia bengis dari gunung Lauw-san serta Cenghay-Ang-Hoa-Touw too atau sipendeta berambut merah dari Ceng hay pun tiada kabar beritanya, mereka semua hilang dari peredaran Bulim.
Masih hidupkah manusia-manusia ganas serta iblis-iblis bengis ini? ataukah mereka sudah mati semua ? tak seorangpun yang tahu jelas. Atau mungkin mereka berkumpul di suatu tempat dan sedang mempersiapkan suatu rencana baru yang maha besar? siapapun tak berani menduga.
Ketenangan serta keheningan yang meliputi seluruh dunia persilatan membuat Bu-lim Jie seng atau dua Rasul rimba persilatan ikut lenyap dari keramaian oe-Lwee-Ngo-Khie atau lima manusia aneh dari kolong langitpun bisa menggunakan waktu senggang ini untuk berpesiar menikmati pemandangan indah serta bersenang-senang minum arak, main catur atau cuma kongkouw-kongkouw belaka.
Dari pihak sembilan partai besar, seperti Siauw-lim-pay, Bu-tong-pay, Hoa-san-Pay, Kun-lun-pay, Go-bie-pay, Khong-tong-Pay, Thian-Cong-pay serta Heng-san-pay sama2 mengawasi gerak gerik anak muridnya dengan ketat, mereka berusaha untuk menghindari pelbagai bentrokan2 yang tak berguna.
Sedangkan dari partai Im-san-Pay, Kiong-Lay-Pay, Pek-Hoo-pay, Thian-Tay-pay, Hin-An pay, Tiang-pek-Pay karena kekurangan anggota serta manusia2 berbakat, menggunakan kesempatan ini mereka memupuk kader2 baru serta memperlihay jago2 mereka yang bisa diandalkan untuk menjaga keutuhan partai mereka masing2.
Makin tahun dunia persilatan berubah semakin hening semakin sunyi dari tahun sebelumnya, begitu hening, begitu sepi sehingga mendatangkan perasaan sumpek dan kesal dihati setiap orang.
Pada mulanya si sastrawan berbaju biru Hoo Thian Heng masih tiada hentinya mengawasi gerak-gerik dari tokoh2 silat kalangan hitam, sejak para gembong iblis itu secara beruntun mengundurkan diri dari dunia persilatan dan hilang lenyap dari keramaian, iapun dapat hidup dengan bahagia dirumah bersama kedua orang istrinya.
Selama ini dari pihak Poei Hong walaupun belum melahirkan seorang putrapun, dari Tonghong Beng Coe secara beruntun telah melahirkan sepasang anak kembar, dengan demikian iapun telah memberikan bibit menyambung keturunan buat keluarga Hoo.
Pada waktu Hoo Thian Heng tinggal diluar kota Kay-hong disana ia bangun sebuah perkampungan yang dinamakan perkampungan pa In-san-cung letaknya tidak lebih dari satu li dari induk rumah keluarga Tonghong.
Loo Hujien, Poei oen Hoa amat menyayangi cucu luarnya, maka ia lantas utus siauw Leng, siauw Lan, siauw Coei serta siauw-Giok empat orang dayang untuk pindah kedalam perkampungan Pa-In-san-cung, dimana mereka melayani nonanya dengan seksama.
Semua orang dibikin repot oleh empat orang bayi kembar tersebut, sedangkan keempat orang bayi kembar tadipun makin tumbuh makin menarik hati, membuat orang yang lihat jadi ketarik dan menyenangkannya.
Keempat bocah itu semuanya lelaki, yang sulung diberi nama In Boen dan In Boe sedang yang kecil diberi nama In Jien serta In Gie. Hoo Thian Heng yang kini sudah jadi ayah jadi kegirangan luar biasa, sebentar ia meraba yang ini sebentar lagi membopong yang itu, sepanjang hari tersenyum simpul terus, watak sombong, dingin, kaku serta tinggi hati yang pernah diperlihatkan tiga tahun berselang kini sudah lenyap tak berbekas.
Cian Liong Poocu Lie Kie Hwie serta isterinya si burung hong Hijau Thio See sejak putri kesayangan mereka Lie Wan Hiang bersama-sama dengan pendekar cilik Gong Yu mengikuti sepasang Rasul Rimba Persilatan berangkat kelembah Leng-in-Kok untuk belajar silat, setiap hari mereka merasa kesepian, oleh karena itu setiap tahun mereka tentu mengunjungi perkampungan Pa-In san-cung dan mertamu disana sampai beberapa bulan lamanya.
Si kakek huncwee dari gunung Bong-san Yu Boepun merasa kesepian, tapi ia pandai menghibur diri, sebagai seorang yang suka merantau, ia selalu berkelana kesana kemari disamping untuk hilangkan segala kemurungan. Boleh dikata diantara jago2 lihay hanya dia seorang yang masih mengembara tiada putusnya dalam rimba persilatan.
Suatu hari, ketika itu magrib telah menjelang datang ditengah musim semi yang berhawa sejuk, sang surya telah bersembunyi dibalik gunung, senja telah menjelang datang. Ketua kampung perkampungan Pa-In-san-cung, Ho Thian Heng ber-sama2 Cian-Liang Poocu Lie Kie Hwie yang kebetulan mertamu disana sedang berjalan2 ditepi sungai yang letaknya diluar perkampungan.
Air jernih mengalir dengan tenangnya rerumput nan hijau tumbuh subur bagaikan permadani, bunga2 tumbuh semerbak menyiarkan bau harum, pepohonan membuat suasana bertambah rindang, menyambut sinar lembayung dari sang surya yang bersembunyi di-balik bukit, pemandangan ketika itu benar2 indah dan mempesonakan.
Lie Kie Hwie benar2 dibikin terpesona sampai ia berdiri ter-mangu2, atau secara tiba2 ia dikejutkan oleh sampokan ujung baju yang membelah angkasa, tampaklah Hoo Thian Heng sedang berdiri ditepi sungai sambil pasang telinga memperhatikan sesuatu.
"Keponakan Thian Heng, apakah kau telah menemukan suatu peristiwa yang mencurigakan ?" segera ia bertanya dengan nada tercengang. Hoo Thian Heng mengangguk.
"Secara lapat2 boanpwe mendengar ada seekor kuda sedang berlarian dari jalan raya berbelok menuju kearah perkampungan kita dengan kecepatan laksana kilat," sahutnya. "Aku rasa kehadiran orang ini tentu dengan membawa berita yang penting."
Mendengar perkataan itu cian-Liong-Poocu segera ikut pasang telinga untuk mendengar, sedikitpun tidak salah terdengarlah suara keliningan serta derap kaki kuda yang santer secara lapat2 berkumandang datang kira2 lima li dari tempat ini. Hatinya jadi terperanjat. Pikirnya:
"Tenaga lweekang dari Thian Heng-te benar benar luar biasa, tak kusangka dalam waktu singkat ia berhasil mencapai kemajuan yang amat pesat. Agaknya berlatih ilmu silat yang paling penting adalah bakat yang paling baik, aku sudah banyak tahun berlatih giat, tapi sia2 belaka. Kepandaianku tak dapat mengungguli kemampuan pemuda ini....."
Sementara ia masih menghela napas dalam hatinya suara keleningan tadi makin lama bergerak semakin dekat, dalam sekejap mata penunggang kuda itu sudah mulai nampak didepan mata.
Ketika kedua orang itu menjumpai siapakah penunggang kuda tersebut, mereka sama2 perdengarkan jeritan kaget.
Kiranya orang itu adalah seorang kakek tua berusia enam puluh tahunan, wajahnya persegi empat warna merah padam, jenggot pendek menghiasi janggutnya dan memakai baju warna abu-abu, ditangan kakek itu mencekal sebuah benda yang panjangnya kira-kira tiga depa. Benda itu bukan cambuk kulit melainkan sebuah pipa huncwee yang panjang lagi berwarna hitam pekat.
Tak usah dipandang untuk kedua kalinya, siapapun akan tahu bahwa orang itu bukan lain adalah si kakek huncwee dari gunung Bong san, Yu Boe adanya.
Sepanjang hidup Bong-san-Yen-Shu paling gemar berkelana dengan jalan kaki, jarang sekali ia menunggang kuda, ini hari ia datang dengan terburu-buru bahkan membedal kudanya secepat itu, kalau bukan menjumpai peristiwa penting yang maha besar, tak bakalan ia berbuat demikian.
"Ayoh cepat pulang," tak kuasa lagi kedua orang itu berseru hampir berbareng.
Laksana anak panah terlepas dari busur, mereka enjotkan badan dan melayang kearah perkampungan, menanti si kakek Huncwee dari gunung Bong-san baru saja meloncat turun dari atas pelana, Hoo Thian Heng serta Lie Kie Hwie telah tiba didepan perkampungan dan menyambut kedatangannya dengan hormat.
Si kakek huncwee dari gunung Bong-san segera menyerahkan kuda itu ketangan seorang pelayan, sebagai seorang tetamu yang sering datang berkunjung, iapun tidak memakai segala peradatan. Begitu turun dari kuda langsung berjalan masuk kedalam kampung dan menuju keruang tamu.
Dalam pada itu ruang tamu terang benderang bermandikan cahaya, ketika mereka bertiga melangkah masuk kedalam, serentetan suara teguran yang merdu menggema memecahkan kesunyian, kedua orang nyonya Hoo yaitu Poei Hong serta Tonghong Beng Coe sambil menarik si burung hong hijau Thio see telah muncul menyambut kedatangan mereka.
Diantara sesama pendekar, tak pernah mereka bicarakan tentang segala tetek bengek kesopanan maupun adat istiadat. Begitu ambil tempat duduk Hoo Thian Heng siketua kampung perkampungan Pa-In-san-Cung segera menanyakan maksud kedatangan si orang tua itu. "Yu Loocianpwe, apa sebabnya kau datang kemari dengan ter-gesa2 macam diuber setan?"
Bong-san Yen-shu tidak langsung menjawab pertanyaan tuan rumah, bagaikan sepanjang perjalanan tak pernah menghisap huncweenya, saat ini ia hisap asap huncwee tersebut dalam-dalam, bergumpal gumpal asap putih segera menyebar memenuhi seluruh ruang tamu.
Air muka si kakek huncwee dari gunung Bong-san yang tegang membuat suasana dalam ruangan jadi sunyi-senyap tak kedengaran sedikit suarapun, beberapa saat kemudian barulah terdengar orang tua itu berkata:
"Malapetaka mulai melanda seluruh dunia persilatan, aku lihat cuwi sekalian belum mendapat kabar berita dari tempat luaran, aku lihat mulai sekarang kalian semua tak bakal bisa hidup tenteram lagi dirumah masing2, ketenangan serta kebahagiaan sudah lewat, bibit bencana mulai menentang dihadapan kita."
Ucapan ini bagaikan guntur membelah bumi disiang hari bolong, semua orang pada melengak dan berdiri menjublek.
"Cianpwee, kenapa tidak kau utarakan sejelas2nya kabar berita ini?" seru Tonghong Beng Coe dengan gagah, meski saat ini perempuan tersebut kembali hamil, namun kegagahannya sama sekali tidak berkurang.
"Akan kulihat kurcaci dan badut dari mana yang begitu bernyali berani terbitkan malapetaka."
Si kakek Huncwee dari gunung Bong-san menghirup seteguk air teh yang dihidangkan pelayan, memandang kearah Tonghong Beng Coe yang dipengaruhi emosi dalam hati ia merasa geli. Tapi sebagai seorang angkatan tua tentu saja ia tak mau tertawa dihadapan perempuan itu.
"Kalau cuma beberapa kurcaci cilik serta badut2 gentong nasi, tentu saja aku tak perlu repot2 melakukan perjalanan ribuan li untuk datang kemari minta bantuan," katanya sambil tersenyum.
"Coba bayangkan saja, tempo dulu apakah loohu jeri terhadap sepuluh manusia iblis dari kolong langit yang tersohor akan keganasan serta kelihayannya itu ?"
Maksud dari ucapan tersebut jelas sekali, malapetaka yang timbul kali ini jauh lebih lihay dan ber-lipat2 ganda lebih mengerikan dari pada malapetaka yang diterbitkan sepuluh manusia sesat tempo dulu.
Si burung hong hijau Thio see kerutkan sepasang alisnya rapat2, agaknya ia merasa tidak sabaran sebab si kakek huncwee dari gunung Bong-san ini bicara putar kayun belaka, sementara pokok persoalan sama sekali tidak di-singgung2.
"Toako cepat katakan sebenarnya apa yang telah terjadi?" serunya keras2.
Cian-Liong-Poocu Lie Kie Hwie segera melotot sekejap kearah istrinya, agaknya ia menegur bininya tidak pantas kehilangan tata sopan di hadapan si kakek itu.
Tentu saja si kakek huncwee dari gunung Bong-san dapat menyaksikan seluruh kejadian itu, tak terasa ia lantas tertawa ter-bahak2.
"Haa...haa...hia... teguran dari Te-hoe sedikitpun tidak salah, makin tua aku memang bertambah pikun, tidak kusampaikan kabar berita yang amat penting dan amat serius ini kepada kalian sebaliknya malah mengucapkan kata2 yang tidak berguna..."
Sinar matanya per-lahan2 menyapu sekejap para jago yang berkumpul didalam ruangan, air mukanya mendadak berobah amat keren dan serius, setelah ter-batuk2 terusnya:
"Sejak pertarungan diatas tebing Pek-Yan-Gay, kawanan iblis makin lama makin berkurang, boleh dikata hampir selama tiga tahun ini, dunia persilatan benar2 diliputi keheningan, tenang dan damai, siapa tahu pada tujuh hari berselang, dipropinsi selatan maupun Barat telah terjadi peristiwa pembunuhan berdarah yang sangat menggemparkan dunia persilatan."
"Para korban dari pembunuhan biadab itu kebanyakan merupakan pemuda-pemuda Bu-lim yang punya pamor hebat serta pemimpin2 kaum patriot yang menjagoi suatu daerah tertentu."
"Ditinjau dari peristiwa tersebut, pembunuhan biadab ini pasti bukan terjadi karena kebetulan, menurut perkiraan loohu dibalik peristiwa ini tentu sudah tersusun suatu rencana besar yang keji dan buas. Bahkan termasuk pula ambisi untuk merajai seluruh dunia persilatan, mendatangkan malapetaka serta bencana bagi umat Bu-lim."
"Yu Cianpwee, tahukah kau orang tua siapa-siapa saja yang menjadi korban dalam pembunuhan biadab itu ?" sela Poei Hong tiba-tiba.
Menggunakan kesempatan itu si kakek huncwee dari gunung Bong-san menghisap huncweenya, setelah menghembuskan segulung asap hitam terusnya:
"Korban-korban dalam pembunuhan biadab itu kebanyakan sudah dikenal oleh kalian semua, meski tidak kenal tentu pernah mendengar nama besar mereka, orang-orang itu adalah Siok-Tiong-It-Liong atau sinaga sakti dari su-Cuan- Glen Kie. Tiga bersaudara In yang dijuluki Tian-Lam-sam-Kiat atau tiga manusia perkasa dari Tian-lam, Kang-sek Pay-coe, See Ceng dari Anhoei Barat, Ci-Kiong-Kiem-Tan atau busur merah peluru emas Him Liang Pek, sang Cong Piauw-tauw perusahaan ekspedisi Cin-Wie Piauw-Kiok dari Ouw-Im selatan, Kheng-sen-Ciauw-Coe atau sipenebang kayu dari gunung Kheng-san di ouw-pak Tio Geng Ko, serta Kang-Lam-Pu-In-Tuo-Nong atau si petani bongkok dari Kangsee selatan Tian Cim Ceng. Dalam satu malam yang sama bukan saja mereka menemui ajalnya dalam keadaan mengerikan, bahkan bini, anak sampai pelayanpun dibabat habis semua, tidak selembar jiwapun dibiarkan hidup."
Para enghiong serta Bu-lim cianpwee ini rata-rata dikenal oleh jago-jago kita, mendengar berita duka itu mereka sama2 naik pitam air muka mereka berubah hebat, napsu membunuh mulai meliputi seluruh wajah, agaknya timbul niat membalas dendam dalam hati orang2 itu.
Si kakek huncwee dari gunung Bong-san merandek sejenak. Ia ketuk-ketukkan pipa huncweenya yang berwarna hitam pekat itu diatas lantai ruangan, kemudian ujarnya kembali dengan suara berat:
"Saat ini bayangan kaum iblis agaknya mulai bergeser kesebelah Utara, dua hari berselang gembong iblis itu sudah kelihatan bermunculan di perkampungan Kiok-It-san-Cung dari sian-Hee-It-Kiam Yauw Kie yang ada di Lam-yang. Atas kejadian itu si nelayan dari sungai Goan-Kang, Tong su Kiat telah mengadakan perundingan rahasia dengan loohu, ia bersependapat denganku, gembong2 iblis itu berani malang melintang tanpa pandang sebelah matapun kepada kita semua, dibelakang layar mereka pasti ada tulang punggung yang menunjang gerakan tersebut. Oleh karena itu ambil kesempatan ini kita harus mengundang beberapa orang tokoh lihay untuk membendung perbuatan mereka serta mencari tahu siapakah otak yang memimpin gerakan tersebut dari belakang layar, kita harus berusaha untuk membalaskan dendam sakit hati daripara korban pembunuhan biadab itu."
"Karena kejadian inilah mau tak mau loohu harus melakukan perjalanan siang malam untuk datang kemari minta bantuan dari keponakan Thian Heng agar suka turun tangan membantu atasi kejadian ini."
Dengan mata melotot dan alis melentik Poei Hong serta Hoo Thian Heng segera menyetujui permintaan itu, mereka lantas titahkan pelayan untuk siapkan keledai jempolan "Hek Jie" serta kuda jempolan "Liong jie".
Si burung hong hijau Thio see melirik sekejap kearah Tonghong Beng Coe yang lagi bunting, tiba2 ia berkata:
"Hian-tit, tepatkah tindakanmu itu ? Sekarang kawanan iblis sudah menyebar diseluruh penjuru tempat, mereka bisa munculkan diri dikota Lam-yang, apakah tidak mungkin bisa muncul pula dikota Kay-hong ini untuk terbitkan keonaran? menurut pendapatku yang bodoh, lebih baik Poei Hong tetap tinggal dirumah saja menjaga keselamatan dari Tonghong Beng Coe, sedangkan perjalanan menuju ke kota Lam-yang, kenapa tidak suruh suamiku menemani Thian Heng pergi ke sana? aku rasa setelah perkampungan Kiok-lt-san-cung dibelai dan dijaga begini banyak tokoh2 sakti, keselamatannya tanggung bisa dijamin."
Untung sekali si burung Hong hijau mengusulkan pendapatnya, kalau tidak entah bagaimana jadinya dengan perkampungan Pa-In-san Cung ?
Para jago merasakan apa yang diucapkan nyonya Lie sangat beralasan sekali, maka diputuskan Poei Hong tetap tinggal dirumah sementara Lie Kie Hwie sang Poocu dari benteng Cian-Liong-Poo menggantikan kedudukannya.
Thian Heng lantas mempersilahkan si kakek huncwee dari gunung Bong-san menunggang kuda jempolan Hwee-Lioe-Kie untuk menggantikan kudanya yang sudah kecapaian sementara ia sendiri tetap menunggang keledai jempolannya, cambuk bergeletar ditengah malam yang sunyi, mengiringi ringkikan panjang dari Hek Jie, empat kaki bergerak cepat dengan dipimpin dahulu oleh pemuda itu mereka segera berangkat ke Lam-yang.
Sementara itu Lie Kie Hwie sang Poocu dari benteng Cian-Liong-Poo menunggang kedua oei-Piauw-nya sendiri menyusul dibelakang kuda Hwee-Lioe-Kie, dalam sekejap mata mereka bertiga sudah lenyap dari pandangan mata.
Suara derap kuda makin lama makin menjauh sehingga akhirnya tak kedengaran lagi, saat itulah dibawah sorotan sinar rembulan ketiga orang jago perempuan itu saling berpandangan sekejap lalu bergumam:
"Semoga selamat sepanjang jalan dan pulang dengan membawa apa yang diharapkan." sambil menggandeng tangan adiknya, dengan perasaan penuh perhatian Poei Hong berkata:
"Adikku sayang, udara malam dimusim semi yang dingin ini tidak baik bagi kesehatanmu yang lagi bunting jabang bayi, mari kita segera masuk kedalam dan beristirahat."
Mengikuti dibelakang kedua orang itu, si burung hong hijau Thio see pun masuk kedalam perkampungan Pa-In-san-Cung, ia lantas memerintahkan para pelayan menutup pintu kampung, memperketat penjagaan dan mempersiapkan ronda malam untuk menghadapi segala kemungkinan.
Sekembalinya kedalam kamar, baik si burung hong hijau Thio see maupun Poei Hong merasa betapa beratnya tugas mereka untuk melindungi keselamatan perkampungan, pikirnya didalam hati:
"Jangan sampai terjadi peristiwa apapun dalam perkampungan sementara suamiku pergi, kalau tidak dikemudian hari tentu akan ditertawakan olehnya betapa tidak mampunya aku."
Hasil dari perundingan itu menetapkan si burung hong hijau Thio see dengan membawa siauw Leng, siauw Lan dua orang dayang meronda pada tengah malam pertama, sedangkan Poei Hong dengan membawa siauw Coei serta siauw Giok meronda pada tengah malam berikutnya.
Demikian, ketika tiba gilirannya untuk meronda, dengan kerahkan ilmu Ciet-Ciat-Thay-Nan-fe, Poei Hong mengelilingi perkampungan Pa-In-san-cung tersebut untuk melakukan pengontrolan.
Ketika itu sang rembulan memancarkan cahayanya keseluruh jagad, pepohonan bergoyang meninggalkan bayangan, perkampungan Pa-In-san-Cung diliputi kesunyian yang luar biasa, sekonyong-konyong ...
Jeritan setan bergema dari empat penjuru disusul meloncat masuknya berpuluh-puluh sosok bayangan hitam dari luar perkampungan, gerakan mereka sebat dan gesit laksana burung elang, seketika itu juga Poei Hong terkurung rapat2.
Pendengaran Poei Hong sangat tajam, merasakan desiran angin rada berbeda dan aneh ia lantas sadar, malam itu telah hadir tokoh2 silat yang tak diundang mencari satroni dengan perkampungan mereka.
Segera ia mendongak, tampaklah dua belas orang manusia berkerudung telah berdiri angker dihadapannya.
Orang2 berkerudung itu memakai baju hitam ditangan mencekal sebilah pedang dan memancarkan dua rentetan cahaya mata yang tajam lagi dingin dari balik kain kerudung, tak seorangpun yang buka suara, semuanya bungkam dalam seribu bahasa, gerak-gerik kaku dan mengerikan persis seperti dua belas sosok sukma gentayangan.
Poei Hong sebagai anak murid dari Koe sian-sin-Poo salah satu diantara sepasang Rasul Rimba Persilatan, tentu saja tidak anggap sebelah matapun terhadap manusia2 macam sukma gentayangan ini, diam2 ia kerahkan ilmu sakti "Koe Lie sin-kang" atau kura2 merekah siap menghadapi segala kemungkinan, dengan tenang ia menanti serangan musuh, di samping itu sinar mata yang tajam lagi dingin pun ditarik kembali.
"Siapakah kalian ? dengan alasan apa kalian begitu lancang menyatroni perkampungan Pa-in-san-Cung ? ayoh cepat utarakan maksud kedatangan kalian !" tegurnya dingin.
Bagaikan kena penyakit bisu kedua belas orang manusia berkerudung itu tetap membungkam dalam seribu bahasa, setelah saling mengerling sekejap tiba2 senjata pedang ditangan mereka bergerak cepat, sreet sreet serentetan desiran angin tajam mengiringi bunga2 pedang yang menyilaukan mata menyerbu datang dari empat arah delapan penjuru, langsung menggencet Poei Hong yang ada di tengah kalangan habis2an.
Bukannya menjawab, orang berkerudung itu malah melancarkan serangan mematikan, Poei Hong jadi naik pitam, ia gusar bercampur mendongkol. "Berhenti !" Bentaknya nyaring.
Bentakan itu membuat kedua belas orang manusia berkerudung itu merasakan hatinya tergetar keras, air muka dibalik kain kerudung-pun berubah hebat, pikirnya:
"Tak nyana tenaga lweekang yang dimiliki orang itu begitu dahsyat, tak pernah kujumpai manusia sehebat ini."
Tanpa pikir lagi mereka telah tarik kembali pedangnya sambil mundur ketempat semula. "Hmmm kalian semua tak dapat mengutarakan apa alasannya mencari satroni dengan perkampungan kami, tapi aku tahu kalian pasti punya hubungan yang erat sekali dengan pembunuhan2 biadab yang terjadi di propinsi selatan maupun Barat. Bukankah begitu?" Jengek Poei Hong sinis, air mukanya kontan berubah jadi kaku, dan adem bagaikan es.
Begitu tajam teguran tersebut, dua belas manusia berkerudung itu tetap membungkam dalam seribu bahasa.
Sepasang mata Poei Hong amat tajam dan pandai melihat gelagat, dari bentrokan mata dengan orang-orang berkerudung itu, ia lantas tahu bahwa apa yang diduga semula sedikitpun tidak meleset. Tak tertahan ia lantas mendongak tertawa lantang.
Tempo dulu sewaktu berada dipuncak Pek-Yan-Gay, jago wanita ini pernah mengeluarkan jurus-jurus saktinya untuk mengobrak abrik kawanan iblis, kemudian gelak tertawa tiada hentinya, atas kelihayan tersebut orang kangouw lantas menjuluki dia sebagai siauw-Bin-Loo-sat atau si iblis wanita berwajah riang.
Semula kedua belas orang manusia berkerudung ini tidak kenal siapakah Poei Hong, sebab setelah gadis ini menunjukkan kesaktiannya beberapa tahun berselang, ia lantas mengundurkan diri dan tidak berkelana kembali dalam rimba persilatan, tetapi setelah gelak tertawa nyaring bergema berulang kali, mereka mulai teringat akan si iblis wanita berwajah riang yang dilukiskan dengan memakai baju apa, bagaimana raut mukanya serta berapa usianya, mencocokkan kesemuanya itu ternyata tepat, hati mereka jadi sangat terperanjat, mereka terkesiap hebat.
Tak kuasa lagi, kedua belas orang itu sama2 mundur tiga langkah kebelakang.
Siauw-Bin-Loo-sat Poei Hong tarik kembali gelak tertawanya, sepasang mata segera melotot bulat, hardiknya:
"Aku rasa sekarang kalian tentu bisa menduga bukan siapakah aku, asalkan kalian suka mengaku siapakah dalang dari pembunuhan biadab ini, akan kuampuni selembar jiwa kalian semua, kecuali meninggalkan telinga sebelah kiri sebagai peringatan."
Hex Hall 4 Lupus Terserang Si Ehem Sejengkal Tanah Sepercik Darah 8

Cari Blog Ini