Ceritasilat Novel Online

Selamat Datang Cinta 2

Selamat Datang Cinta Karya Mawarmay Bagian 2


"Aku boleh tanya?" Amira meletakan gelas yang dia pegang.
"Boleh kok, Mbak. Bertanya belum dipungut biaya," kata Amira sambil bercanda.
"Kamu bisa bercanda juga ternyata." Amira meringis mendengar ucapan Nirmala. Ah, Nirmala tidak tahu saja seorang Amira dulu.
"Mau tanya apa?" Nirmala membenarkan posisi duduknya.
"Kamu kan guru boga, jadi kamu adalah guru yang mengajarkan kepada anak didiknya untuk membuat menu dan konsep menu yang menarik dan seimbang." Amira mengetahui
hal yang menjadi pokok pembicaraan, namun dia masih tenang menunggu kelanjutan ucapan Nirmala.
"Tapi sudah sekian kali kita makan bersama, kamu sepertinya selalu makan sesuatu yang menurut pengamatanku gak maching." Amira terkekeh, kemudian mengangguk.
"Ada banyak alasan sebenarnya kalau masalah itu." Amira kembali meminum jus yang ada di gelasnya.
"Kenapa? Aku penasaran!"
"Alasan pertama, karena saya suka coba-coba. Kedua, karena saya sesuatu yang beda supaya bisa mendapatkan sensasi yang berbeda pula. Dan masih banyak lagi
alasannya." "Semua itu tentang kamu?" Amira mengangguk sebagai jawabannya.
"Contohlah saya suka makan bakso tanpa saos, kecap dan sambal. Itu karena saya sudah pernah mencoba semuanya dan yang paling cocok cita rasanya yang tanpa
campur." Amira berkata dengan santai.
"Kamu memakan apa yang kamu suka?" Amira mengangguk.
"Saya suka makan apa yang saya suka dan saya mau."
"Kamu pemilik selera yang aneh," kata Nirmala dengan nada mengejek.
"Kata dosenku dulu 'jadilah diri sendiri.' begitu." Nirmala mengangguk setuju.
"Wah, benar kan yang aku lihat." Nirmala dan Amira mendongak menatap wajah lelaki yang berdiri di depan meja.
"Boleh gabung?" Fatih sudah duduk tanpa menunggu jawaban dari dua perempuan yang sedang menatap heran.
"Kamu?" Amira seolah kehilangan suara saat menatap Fatih, sudah lama dia tidak bertemu dengan lelaki itu.
"Kenapa terkejut begitu?" Fatih menatap wajah Amira dengan lekat.
"Kamu mengenalnya?" tanya Nirmala menoleh ke arah Amira.
"Iya Mbak." Amira mengaguk kemudian dia memasang wajah datar.
"Boleh gabung kah?"
"Kalaupun dilarang juga kami sudah duduk." Amira berkata dengan santai, Nirmala menyadari perubahan sikap Amira, dia menduga-duga hubungan diantara keduanya.2
"Itu kamu tahu," kata Fatih sambil terkekeh.
Kemudian perbincangan mengalir begitu saja, bahkan Nirmala yang awalnya tak suka menjadi aktif dalam berinteraksi dengan Fatih secara lisan.
--- "Kamu perlu beli baju?" tanya Nirmala setelah keluar toko sepatu.
"Gak perlu, baju aku masih banyak yang layak kok," kata Amira membawa belanjaan Nirmala yang bejibun. Dia baru tahu kalau Nirmala itu shopingholic karena
selama ini jarang sekali Nirmala mengajak belanja tapi sekali belanja semua toko dia datangi.
"Buat study tour lusa?" Amira menggeleng sambil tersenyum.
"Gak perlu Mbak, nanti beli di sana saja kalau perlu." Amira berjalan menuju salah satu autlet yang cukup terkenal.
"Kamu gak keberatan kalau aku ke dua toko lagi?" Amira menggeleng sambil terkekeh. Tentu saja dia tidak keberatan justru dia menikmati kebersamaan dengan
Nirmala, sebab dia merasa kebersamaan dengan Nirmala adalah kebersamaan bersama saudara yang tak pernah dia rasa.
"Mira, nanti sebelum berangkat tour kamu nginap di rumahku, Ya. Biar mudah berangkatnya." Nirmala kembali mencoba sepatu yang dia pilih.
"Mbak yakin mau pakai high heels?"
"Kenapa emangnya?"
"Dalam Islam itu dilarang, karena mengubah qodrat selain itu juga karena tidak baik untuk kesehatan." Nirmala mendongak, dia menatap Amira kemudian menatap
sepatu yang sedang dia coba. 4
"Bahaya banget ya?" tanya Nirmala polos.
"Banget, soalnya saat kita berjalan kaki kita menjadi tumpuan dari seluruh berat tubuh, dan dengan mengenakan high heels maka beban yang diberikan kepada
kaki kita menjadi tujuh kali lebih besar dibandingkan dengan menggunakan sepatu flat." Nirmala melepas sepatunya kemudian dia tersenyum tipis.
"Gak beli deh," kata Nirmala membuat Amira tersenyum.
"Tapi kalau jalan sama Dinan gak pakai sepatu hak tinggi, aku kayak anak kecil jalan sama bapaknya." Nirmala berjalan menuju rak sepatu flat.
"Gak papa, Mbak Mala kan jadi terlihat muda. Sudahlah Mbak disyukuri saja." Nirmala menoleh ke arah Amira yang memasang wajah biasa.
"Kamu bilang aku tua?" Amira menggelangkan kepalanya.
"Amira kan bilang biar awet muda, gak bilang Mbak Mala tua."
"Iya juga sih," jawab Mala sambil menunjuk sepatu flat di depannya.
---- "Din, kamu gak bercanda?" Nirmala sudah menanyakan hal ini sejak kemarin.
"Apa sih, Mal!" Dinan masih sibuk dengan jalan.
"Kenapa kamu bisa satu bus denganku. Bukankah kamu ada di bus delapan?" Dinan melirik sekilas melalu kaca tengah kemudian tak menghiraukan.
"Dinan," panggil Nirmala dengan berteriak, membuat Amira yang yang masih setengah mengantuk terjengkit kaget.
"Apa sih Mala?" Amira menghela napas, dua saudara ini jika bersama selalu saja ada yang menjadi perdebatan.
"Kamu sengaja biar bisa ngawasin aku kan?" tuduh Nirmala membuat Dinan berdecak.
"Gak ada niat," kata Dinan kemudian dia membelokkan mobilnya ke kanan.
"Pak, nanti mobil tolong diantar ke rumah ya," kata Dinan kepada pak Bagas, sopir rumah Nirmala.
"Enggeh, Mas." Dinan memarkirkan mobilnya di jalan supaya pak Bagas tidak terkena macet mobil antar jemput.
Amira menghela napas kemudian dia ikut membuka pintu saat Dinan juga melakukanya.
"Tumben banget bawaannya sedikit?" tanya Dinan saat menurunkan satu tas ransel, dia tahu ransel itu milik Nirmala karena dia hafal benar.
"Iya, nih sama Amira gak boleh bawa banyak barang. Jadi tas itu hanya isi switer dan beberapa peralatan seperti selimut saja." Amira merasa kikuk saat
Dinan menoleh ke arahnya kemudian tersenyum tipis.
"Kali ini berarti kamu memilih teman yang tepat," kata Dinan membawa ransel Nirmala diikuti dengan Nirmala dan Amira.
"Emang selama ini temanku salah?"
"Bisa jadi," kata Dinan. Amira tak bisa menahan senyumnya saat dia mendengar gerutuan Nirmala.
"Tapi Nan, ingat ya! Dia bukan temanku tapi saudaraku." Amira terharu dengan perkataan Nirmala yang menganggapnya sebagai saudara.
"Iya, bentar lagi juga jadi saudara kamu." Amira terdiam kemudian dia menoleh ke arah Nirmala yang juga tengah menoleh ke arahnya. Amira melihat Nirmala
mengangkat bahu kemudian dia juga melihat telunjuk Nirmala menuding ke arah Dinan kemudian mengetuk-ngetuk di pelipisnya.
Amira diminta untuk mengecek dan menempelkan kertas nomor bus. Dia berjalan cukup jauh dari kawasan sekolah menuju bus satu dengan bus yang lain.
"Capek ya?" tanya Doni yang membantunya menempel kertas.
"Iya, jalan dari sono ke sono." Doni terkekeh melihat ekspresi teraniaya Amira.
"Inilah yang dirasakan gurumu dulu, saat mengurus keperluan study tour." Amira meringis sambil mengangguk, dulu saat ada gurunya yang mengeluh sebagian
anak didik pasti mencibir.
"Jadi sekarang baru sadar kan, seberapa lelahnya menjadi guru yang menjadi panitia study tour? Jadi bukan hal wajar jika panitia diberi keringanan dalam
membayar, selain karena bertanggung jawab terhadap kegiatan dia juga capek mempersiapkan semuanya." Amira mengangguk setuju, karena dia merasakan semuanya
namun dia tidak menyesal karena dia bisa melihat wajah-wajah ceria anak didiknya yang beberapa hari lalu berwajah masam karena sibuk dengan ujian akhir
semester satu. "Apa lagi si Dinan, itu orang pasti capek banget. Udah jadi panitia ujian semester masih jadi panitia study tour juga. Bagian ketua bus lagi," kata Doni
kemudian memberikan botol air mineral kemasan kepada Amira.
"Kenapa harus malam sih?" tanya Amira sambil berusaha membuka tutup botol tapi tak kunjung bisa, kemudian ada tangan yang merebutnya.
"Karena kalau berangkat pagi, sampai tujuan bakal siang." Amira mendongak menatap Dinan yang memutar tutup botol.
"Pak Dk bener gak jadi ikut?" Doni berdiri dari duduknya.
"Enggak, dia mabuk kemarin pas kita tinjau lokasi." Dinan memberikan botol minum ke Amira.
"Duduk," kata Dinan melihat Amira hendak berdiri. Amira menoleh ke arah Dinan bingung.
"Dinan itu punya prinsip, makan minum harus dengan duduk." Amira menoleh ke Doni, kemudian mengangguk.
"Udah selesai?"
"Sudah." Doni berkata dengan santai.
"Yang bertugas absen anak-anak sebelum masuk siapa?" tanya Doni.
"Nih, si Mala." Amira menutup botolnya kemudian dia melihat tangan Dinan mengulur di depannya.
"Aku duluan, mau bantu Mala." Dinan mengangguk. Amira yang bingung dengan tangan Dinan mendongak, bertepatan dengan Dinan meunduk.
Amira menunduk bingung kemudian dia memberikan botol minum ke Dinan, dia pikir itu yang diminta Dinan. Dia menghela napas lega saat Dinan mengambil air
minumnya, namun dia kembali heran saat tangan Dinan kembali di depan wajahnya.
"Kan sudah Pak?" Amira berkata dengan polos, Dinan mengangguk kemudian dia berjongkok di dekat Amira duduk membuat Amira memundurkan tubuhnya. Dinan mengambil
tangan Amira dan membawanya berdiri.
"Eh," kata yang keluar dari bibir Amira secara alami.
*** 11. Cerita -Berpikir dahulu sebelum bertindak itu bukan sekedar untuk meminimalisir kekacauan, namun juga untuk memperindah cerita sebagai kenangan.--- Amira merasa jantungnya berdetak dengan kencang, bahkan kakinya terasa lemas. Dia tidak pernah merasa sedemikian rupa saat bersentuhan dengan seorang lelaki.
Tapi dengan Dinan dia merasakan banyak hal yang dia rasa tidak normal.
Dinan melepas pegangan tangannya membuat Amira bernapas lega namun juga merasa tak memiliki pegangan.
"Bu Am tidak papa?" tanya Deni membantu Amira. Dinan menoleh ke arah Amira kemudian dia berjalan melangkah mendekati beberapa guru.
"Gak papa, Den. Ini ada lubang jadi kakinya masuk." Amira menunjuk lubang yang ada di depannya.
"Oh, hati-hati Bu. Banyak lubang," kata Deni melepas pegangan.
"Iya, terima kasih." Amira mengangguk kemudian berjalan menuju bus yang akan dia tumpangi, di sana ada Doni dan Nirmala yang sedang sibuk mengatur anak-anak.
Amira menghela napas, dia sedang berpikir ada apa dengan dirinya. Dia berjalan menuju Nirmala.
"Dari mana?" Amira menunjuk ke deretan bus.
"Kok kamu berkeringat, padahal dingin loh ini." Amira mengusap keningnya.
"Jauh tadi jalannya," kata Amira. Nirmala mengangguk sambil terkekeh.
"Aku tahu kok, nih si Doni tadi sampai sini juga ngos-ngosan." Doni merasa namanya disebut dia menoleh.
"Apa?" "Gak ada." "Mana Dinan?" tanya Doni.
"Tadi berhenti di bus enam." Amira berkata dengan nada sedikit tak yakin.
"Ini udah semua?" Nirmala menoleh ke arah Doni. Dia masih kesal dengan Dinan jadi tak mau tahu tentang sepupunya itu.
Amira tersenyum tipis, sebenarnya jika dia menjadi Nirmala dia akan bahagia. Bagaimana tidak Nirmala memiliki saudara yang begitu memperhatikan dan juga
keluarga yang sangat baik. Bukan berarti keluarga Amira tidak baik, keluarga Amira baik namun tidak memiliki kedekatan personal antara satu dengan yang
lain. "Ngapain sih Dinan pindah bus?" Doni menoleh kemudian terkekeh.
"Kamu tahu kalau pak Mitra lagi pendeketan sama bu Misye. Nah, pak Mitra minta tuker ke pak Dinan biar banyak waktu bersama Bu Misye."
"Serius? Emang bu Misye mau?" Doni mengangkat bahu acuh, semua orang juga tahu kalau guru bahasa Inggris baru itu tidak suka dengan pak Mitra namun tengah
masa pendekatan dengan Dinan yang tak memperdulikan.
"Bukan lebih baik, jadi Dinan gak ada celah untuk dekat dengan Bu Misye?" Amira melihat Nirmala mengangguk setuju.
"Emang kenapa kalau pak Dinan dan bu Misye?" Amira mengeluarkan suara, dia merasa bingung dengan pemikiran dua orang yang ada di depannya.
"Aku gak setuju," kata Nirmala membuat Amira semakin bingung. Bu Misye adalah guru yang perekrutannya bersamaan dengan Amira jadi dia sedikit mengenal
guru satu itu. Selain guru yang cakap dalam bahasa Inggris juga cantik, apa yang salah dengan hal itu.
"Sudah, jangan bergosip." Dinan yang sudah berganti baju berdiri di samping Doni.
"Dinan, maaf ya," kata Nirmala langsung memeluk lengan Dinan namun berusaha dilepas oleh Dinan.
"Ini lingkungan sekolah, Mala."
"Ups lupa," kata Nirmala santai kemudian dia mengajak Amira untuk masuk ke dalam bus.
Amira duduk di bagian luar dekat jalan sedangkan Nirmala lebih memilih duduk di dekat kaca. Amira menoleh ke samping yang ada hanya Dinan yang menyandarkan
tubuhnya. "Kenapa?" tanya Dinan, Amira menggelangkan kepalanya. Padahal dia tidak yakin jika dirinya yang diajak bicara.
Amira berdiri, karena dia ingin melihat anak-anaknya yang tadi ramai menjadi sepi karena Dinan memerintahkan untuk kembali tidur karena jam masih menunjukkan
pukul dua dini hari. "Mau kemana?" kini giliran suara Doni yang terdengar dan tangannya di cekal oleh Dinan.
"Mau lihat anak-anak," jawab Amira dengan berbisik. Dia merasa tangannya terlepas kemudian dia melangkah ke depan, karena dia duduk di kursi tengah-tengah.
Amira melihat beberapa anak tidur dengan berselimut jaket, dia membenarkan posisi jaketnya saat nampak tidak nyaman. Dia melakukan ini karena dia mengingat
kejadian waktu SMP, gurunya juga melakukan hal yang saat ini dilakukan oleh Amira.
"Kamu belum tidur, Ju?" tanya Amira saat Juju nyengir saat dia membenarkan posisi jilbabnya.
"Belum bisa," kata Julia sambil menggeser duduknya, memberi ruang Amira untuk duduk.
"Peluk ya Bu, aku gak bisa tidur." Amira menoleh ke arah teman Julia yang sudah tidur pulas.
"Sempit Ju," kata Amira tapi membuat Julia tersenyum masam. Amira tak sanggup melihat itu kemudian dia duduk berdempetan walau tak nyaman.
Amira memposisikan tubuhnya di belakang sedang Julia duduk sedikit ke depan kemudian dia melingkarkan tangan Amira ditubuhnya dan menyandarkan tubuhnya
di dada Amira. Amira tahu, Julia memang siswa yang sedikit manja, karena Julia adalah salah satu anak didiknya di kelas boga. Amira membawa tubuh Julia kedalam pelukannya.
Dia membelai lembut bahu Julia sambil bersandar dan memejamkan mata.
Amira merasa tubuhnya terayun, dia juga merasakan bahunya ditepuk. Dia membuka mata, dia melihat Julia yang nampak nyaman dengan tidurnya dia melepaskan
tangannya dan menyandarkan tubuh Julia ke kursi.
"Pindah," suara itu membuat Amira terkejut. Amira mengaguk kemudian berdiri, karena kondisi jalan yang tak rata membuat tubuh Amira tergoyangkan dan terhenyung
ke depan tepat pada dada Dinan, sehingga tubuh keduanya nampak seperti berpelukan.
Keduanya diam sejenak, sebelum Amira menyadari keterkejutannya Dinan sudah menegakkan tubuhnya.
"Banyak anak," kata Dinan membawa tangan Amira kemudian berjalan lebih dulu dengan berpegang pada sandaran kursi.
"Tidurlah, perjalanan masih dua sampai tiga jam lagi." Amira duduk kemudian mengambil selimutnya dan Dinan membenarkan posisi sandaran Amira supaya nyaman.
Amira segera memejamkan matanya, berharap segala rasa yang memporak-porandakan sistem tubuhnya segera berakhir. Dia tidak tahu apa yang dia rasakan namun
yang jelas dia merasa tubuhnya bersikap berlebihan. Amira jadi berpikir, mungkin karena dia tidak pernah diberi perhatian sedemikian rupa oleh saudara
lelakinya jadi saat saudara Nirmala itu memperlakukan dirinya dengan baik tubuhnya merespon abnormal.
Ya, begitu adanya. --- Amira duduk di kursi dekat sebuah bangunan, dia menatap lekat bangunan itu hingga terbersit dalam ingatannya. Dulu, dia sering menghabiskan waktu untuk
berlibur ke kota ini. "Di sini dingin sekali," kata Nirmala menyusul Amira duduk menghadap ke masjid besar.
"Iya, dingin." Amira masih asik dengan sendirinya.
"Aneh gak sih kita bakal menghabiskan dua hari di kota Apel?" Amira menoleh ke arah Nirmala.
"Mengapa?" "Terasa aneh saja, biasanya kita berwisata puas ke Bali atau Lombok. Dla ini hanya di kota kecil."1
"Mbak pernah menghabiskan waktu di sini?" Nirmala menggelangkan kepalanya membuat Amira tersenyum.
"Di kota ini banyak tempat wisata," kata Amira membuat Nirmala menoleh cepat.
"Kamu pernah kemari?" Amira mengangguk kemudian berdiri.
"Ayo! Kita kembali ke bus untuk menuju penginapan." Amira berjalan lebih dulu dan disusul oleh Nirmala.
Nirmala berjalan di belakang Amira saat mengantri tiket masuk ke kawasan Jatim Park. Dia harus bersabar, karena saat ini memang sedang musim mendekati
liburan akhir tahun jadi wajar jika suasana ramai.
"Anak-anak kalian boleh berpencar. Tapi ingat, Dzuhur kita berkumpul di mushola. Nanti kalau kalian berjalan akan menemui mushola di dekat toilet dan kita
berkumpul di sana. Pukul sebelas tiga puluh." Suara pak Damar menggema. Amira melihat Nirmala berlahan menuju Dinan, entah apa yang keduanya bicarakan
namun satu hal yang Amira rasakan. Canggung karena keduanya sesekali menoleh ke arahnya.
"Bu Mira, ayo jalan!" Pak Kamil salah satu staf kurikulum mendekati Amira. Amira mengangguk kemudian mengikuti langkah rombongan. Dia canggung karena dia
harus berjalan bersisian dengan pak Kamil yang notabenenya adalah orang yang tidak dikenal oleh Amira.
"Bu Mira tidak ingin berpose?" tanya Kamil saat melihat Amira hanya sibuk mengamati sekitar.
"Tidak Pak," jawab Amira terus melangkah mengikuti pemandu wisata.
"Pak Kamil gak boleh genit," kata Dena salah satu siswa.
"Bapak gak genit," jawab Kamil membela diri, sedang Amira hanya terkekeh.
Amira mengamati sekeliling hingga matanya tertuju pada satu sudut, di mana seorang lelaki sedang tersenyum ke arahnya. Dan lelaki itu nampak berjalan mendekati
posisi dia berdiri. "Kita jodoh ya?" Fatih tersenyum di depan Amira.
"Apa yang kamu lakukan?" tanya Amira menoleh ke sekeliling namun semua nampak sibuk dengan hal yang mereka amati bahkan Kamil sudah sibuk memotret sana-sini.
"Oh, ikut adikku dan keluarganya berlibur." Amira mengangguk, dia jadi berharap Nirmala datang untuk membantunya.
Amira memang sejak tadi menghindari Nirmala, tepatnya saat Nirmala memaksanya untuk bercerita tentang perjalanan di kota ini. Canggung itu nampak terasa
saat Nirmala mengetahui kegagalannya menempuh tahap pernikahan. Entah karena apa? Tapi yang jelas Nirmala seolah berekspresi sama seperti Luluk saat mendengar
alasan dia memilih mundur dari pernikahan.
"Ayo jalan," kata Fatih membuat Amira mengangguk tak yakin. Amira dan Fatih berjalan dengan pelan dan Fatih banyak bercerita tentang tempat wisata ini,
baik dari masalah kebudayaan hingga penemuan-penemuan fosil yang terpajang. Amira banyak diam, dia tidak tahu harus menyahut seperti apa.
"Kamu haus?" Amira menggeleng tanda tidak, dia tidak haus tapi dia merasa tak nyaman di keramaian. Karena seolah bayangan masa lalu meruak dalam ingatannya.
Bayangan saat dia dan Farhat berlibur kemari, menghabiskan waktu mencoba segala wahana yang ada. Amira menggelangkan kepalanya mencoba mengenyahkan pikiran
itu tapi seolah tak bisa dia lakukan. Amira berhenti, tak dia hiraukan Fatih yang sudah berjalan di depannya bahkan sudah tak terlihat lagi.
"Ayo buat cerita baru," kata Nirmala menarik tangan Amira berjalan ke kanan, jalan yang berbeda yang ditempuh oleh Fatih. Dia tidak perduli yang dia inginkan
membuat cerita baru untuk dikenang menjadi lebih indah. Buka cerita yang dulu tak indah, namun keindahan cinta yang dulu sudah memudar dengan bergulirnya
bunga harapan. *** 12. Kenangan ~Kenangan bukan untuk dilupakan, namun untuk dikenang dan diambil sebagai pelajaran.~
--- Amira dan Nirmala tertawa saat keluar dari rumah kaca dengan kondisi basah, bagaimana tidak keduanya sering salah langkah dan mendapatkan semprotan air.
"Menyenangkan bukan?" tanya Nirmala membuat Amira tersenyum sambil mengangguk. Keduanya seolah lupa jika saat ini keduanya menjadi pendamping anak didik.
"Capek gak?" tanya Nirmala.
"Lapar." Amira menjawab dengan nada renyah setengah merajuk, membuat Nirmala sedikit terkejut namun dia tersenyum juga.
"Bagaimana kalau kita mencari makan?" Amira mengangguk setuju.
"Kemana kita harus pergi?"
"Ada di dekat kolam dan juga ada di dekat mushola."
"Dekat mushola saja, sambil melihat pemandangan." Amira mengangguk tanda setuju.
"Woe, makan gak ajak-ajak," kata Nirmala menepuk bahu Dinan. Kemudian dia mengajak Amira duduk tanpa izin.
"Udah distinasinya?" Amira melihat wajah datar Dinan. Dia merasa tak enak hati, entah karena apa.
"Ikut gak?" tanya Doni kepada Nirmala.
"Kemana?" "Wahana reptil." Nirmala mengangguk dan langsung mengikuti Doni.
"Kamu di sini sama Dinan." Amira menoleh dengan wajah heran. Amira menatap wajah Dinan datar membuatnya bingung.
"Kamu kenapa?" tanya Dinan sambil terkekeh. Amira memasang wajah bingung namun dia tetap menggelengkan kepalanya.
"Gak perlu tegang, ini bukan sidang skripsi kok." Amira menatap Dinan, dia tidak menyangka bahwa lelaki itu juga memiliki sisi humor.
"Mau makan apa?" tanya Dinan sambil menaikan tangan.
"Bakso sama jus jeruk." Dinan mengaguk kemudian dia mengatakan hal itu kepada pelayan.
"Kamu, ah. Amira, boleh kan aku panggil begitu?" Amira menoleh ke arah Dinan kemudian mengangguk ragu.
"Biar nyaman." Amira kembali mengangguk.
"Pak Dinan, hari ini terasa aneh." Amira melihat Dinan tersenyum.
"Saya tidak aneh, saya hanya sedang berpikir sesuatu untuk melakukan sesuatu." Amira menatap bakso yang dihidangkan di depannya.
Kemudian dia menyelimuti, Amira sibuk dengan bakso yang ada di depannya sehingga melupakan keberadaan Dinan yang ada di depannya. Setelah selesai makan
Amira minum kemudian mengelap bibirnya dengan tisu.
"Bicara soal apa ya pak?" tanya Amira setelah makan. Dinan menatap Amira kemudian kembali diam.
"Menurut Bapak, perkara korupsi e-KTP itu gimana?"
"Yakin kamu mau mengajak saja membicarakan itu?" Amira mengaguk kemudian menggelengkan kepalanya.
"Terus?" Amira sedikit kesal karena Dinan tak berusaha membuat topik pembicaraan.
"Apa harus kita bahas yang lagi jadi trending topik tentang salah satu arti yang lepas jilbab itu?" Amira bertanya dengan nada sedikit ketus.
"Mengapa membicarakan tentang orang lain?"
"Lalu?" "Mengapa tidak kita membicarakan tentang kita?"
"Apa?" Amira mengutuk bibirnya yang bertanya secara spontan. Dia melihat Dinan yang menatapnya datar.
"Saya tertarik dengan kamu, Amira." Amira menatap Dinan tak percaya, kemudian Amira mengangguk tak tau apa yang dia angguki.
*** Tertarik dan cinta itu hal yang berbeda, karena unsur rasa yang memang tidak sama. Amira berjalan bersama anak-anak satu busnya menuju pertunjukan lumba-lumba.
Tadi setelah saling diam keduanya berdiri dan berjalan menuju mushola untuk sholat Dzuhur dan akan pindah ke tempat wisata lainnya.
"Bu Mira," itu ada yang nyumbang lagu." Amira menoleh ke arah panggung pergelaran seni.
"Iya, kamu minat?"
"Gak, malu." Amira terkekeh.
"Bu Mira," panggil siswi itu.
"Iya," Amira menoleh ke arah gadis yang duduk di sebelahnya.
"Pak Dinan kok ganteng banget ya?" Amira menaikan alisnya kemudian dia menoleh ke obyek yang dilihat gadis itu, dia kembali menoleh ke arah gadis yang
duduk di sampingnya. "Kalau cantik jadi Bu Dinan dong?" Amira kembali fokus ke arah lumba-lumba yang menunjukkan bakatnya.


Selamat Datang Cinta Karya Mawarmay di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tapi sayang jarak umur kita hampir duabelas." Amira hanya tersenyum tipis.
"Pak Dinan mah suamiable. Tubuhnya bagus buat bersandar, pasti kuat juga kalau gendong terus wajahnya tampan gak pasaran jadi kalau diajak jalan gak malu-maluin.
Terus dia baik banget dan pengertian." Amira semakin risih dengan gadis yang ada di sampingnya. Entah, dia tidak suka jika gadis itu membahas Dinan bersamanya.
"Belajar saja yang benar, baru setelah itu kamu memikirkannya lagi." Amira berdiri dari duduknya untuk keluar dari lingkungan ini. Dia sudah tidak mood
lagi menonton pertunjukan lumba-lumba.
"Mau kemana?" tanya Doni yang berdiri di dekat pintu masuk.
"Keluar, di dalam gak nyaman."
"Kenapa? Kamu diajak gosipin Dinan?" Amira menatap wajah Doni tak percaya, dari mana lelaki itu tahu. Padahal lelaki itu sejak dia masuk dan keluar lagi
di sini. "Aku bukan bisa baca pikiran. Tapi aku juga merasakan hal yang sama sejak tadi. Jadi ladang curahan anak gadis orang." Amira melotot tidak percaya, sungguh
dia tidak menduga jika penggemar Dinan hingga sedemikian rupa. Dia sering mendengar anak didiknya membicarakan guru satu itu, akan tetapi dia tidak menduga
jika mereka sampai berani bercerita kepada sesama guru atau staf sekolah lainnya.
"Kamu tahu reaksi Dinan saat aku mengeluh?" Amira menggelangkan kepalanya, karena dia tidak tahu.
"Dia menatapku dengan datar." Doni berkata sambil menunduk, dia berbisik di sisi kanan Amira.
"Pak Doni yakin?" Amira melihat Doni mengangguk dengan tegas.
"Emang apa lagi? Dia kan tidak memiliki sisi manusiawi." Amira mengerutkan dahinya, dia ingin menyanggah hal itu namun dia urungkan. Baginya Dinan itu
manusiawi karena beberapa kali berbincang keduanya nyambung dan nyaman.
"Kalian membicarakan apa?" tanya Nirmala yang sudah berdiri di dekat pintu.
"Itu, si Mira diajak gosipin Dinan."
"Kalian gosipin Dinan?" Doni dan Amira menggelangkan kepalanya.
"Terus?" "Sudah lupakan, tu pak Mitra sudah memberi instruksi untuk berjalan keluar. Nanti di pasar juga pasti masih lama." Amira hanya diam kemudian melangkah
bersama Nirmala. "Belanja," kata Nirmala sambil tersenyum.
"Don, cari Dinan gih. Aku mau ditemani belanja." Amira menoleh ke arah Doni.
"Nanti aku temani kamu, Dinan biar bareng anak-anak." Amira melihat Nirmala menggelangkan kepalanya tidak setuju.
"Nanti Amira sama siapa? Dia kan mudah lupa jalan. Kalau hilang digorok baru tahu rasa." Doni berhenti kemudian menoleh ke arah Amira dan Nirmala.
"Ngeri banget ancaman kamu," kata Doni dengan wajah datar, namun bukannya takut Nirmala malah tertawa kecil.
"Ya biar ikut sama kita," kata Doni
"Kasian Amira, dia gak gila belanja kayak kita." Amira hanya menikmati perdebatan dua orang ini. Karena baginya ini bukan hal baru.
"Kita? Kamu kali." Doni menyahut dengan acuh kemudian berjalan kembali.
"Ngeselin kan, pantesan Sarah pindah ke lain hati." Doni diam tak menyahut lagi, dia tahu Sarah adalah mantan Doni. Hanya sebatas itu yang dia ketahui.
"Kamu lihat pak Dinan gak?" tanya Nirmala kepada salah satu siswa yang berdiri di dekat lorong seperti gua untuk masuk melihat macam-macam ikan.
"Oh, di sana sama Bu Misye." Siswa diajak bicara Nirmala itu menunjuk Dinan yang sedang berjalan berdua dengan guru bahasa Inggris.
"Dasar," kata Nirmala sambil berdecak kesal. Dia menarik tangan Amira untuk mendekati Dinan.
"Menurut pak Dinan?" Amira mendengar suara Misye bertanya.
"Ya, untuk edukasi tidak ada salahnya."
"Terus, kalau perancangan sistem fullday?"
"Saya tidak memiliki pendapat yang pasti, namun yang paling saya yakini adalah saya tidak setuju. Anak bukan robot yang harus selalu belajar, dia juga
harus memiliki waktu untuk mengembangkan apa yang dia inginkan."9
"Wah, pak Dinan benar-benar ayahable." Amira tersenyum tipis, dia jadi menyadari satu hal. Bahwa Dinan adalah sosok yang berada di tingkat lebih tinggi
darinya, jadi kalau Dinan tertarik padanya itu hanya sebatas obsesi atau ketertarikan bias yang tak akan bertahan lama.
"Dinan." Amira menunduk, dia tidak melihat wajah di depannya, dia sibuk dengan pemikirannya sendiri.
"Dinan, Amira sama kamu ya, aku mau belanja sama Doni."
"Kenapa harus dititipkan? Dia sudah dewasa bisa berjalan sendiri."
"Dia mudah lupa jalan, jadi harus ada yang menjaga."
"Ini tempat umum Bu Mala. Di sini banyak papan denah lokasi, walau guru boga Bu Mira pasti bisa membaca bukan. Iya kan pak Dinan?"
"Iya," jawab Dinan dengan datar. Amira menatap lurus ke depan berharap ada seseorang yang menolongnya, dia tidak ingin memiliki kenangan buruk di tempat
ini. Karena dia sudah berniat untuk mengubah kenangannya.
"Kalau gak mau menemani gak usah ngejek juga," kata Nirmala.
"Kamu kenapa si, Mala?" Amira mendengar Dinan bertanya.
"Aku cuman mau kamu merhatiin Amira sejenak." Dinan nampak menghela napas.
"Dia bukan anak kecil."
"Sudah Mbak," kata Amira.
"Mereka benar, saya gak akan tersesat di sini." Amira menatap Dinan dan Misye bergantian.
Amira tersenyum kemudian melepaskan tangannya dari tangan Nirmala.
"Ayo, mbak ditunggu pak Doni," kata Amira melangkah terlebih dahulu.
"Kalau," kata Nirmala sambil berjalan. Amira melangkahkan kakinya menuju gerombolan anak-anak.
"Bu Mira cantik," goda anak-anak membuat Amira tertawa.
"Kalian juga cantik," kata Amira membuat mereka histeris. Kemudian dia menoleh ke arah Nirmala yang nampak enggan meninggalkan dirinya.
"Gak papa," kata Amira. Nirmala mengangguk sambil berlalu dari hadapannya.
"Kalian mau langsung keluar atau mau lihat-lihat di pasar?"
"Bu Mira mau ke mana?"
"Jalan." Amira berjalan meninggalkan anak-anak itu, dia tahu dia orang yang sering lupa jalan tapi dari kelemahannya itu dia belajar arti sebuah semangat
untuk belajar dan berjuang. Dia tidak tersinggung dengan ucapan Misye dia diam saja karena dia tidak ingin ada perdebatan panjang di tempat umum.
"Bu Mira cocok pakai baju ini," kata salah satu siswa dengan berani menunjukkan daster dengan motif bunga yang sangat indah.
"Wah, Miss Misye ganti gandengan," celutuk salah satu anak yang ada di samping Amira.
"Makin muda aja yang digandeng." Amira menoleh ke arah Dinan dan Misye yang ternyata ada di toko yang sama dengannya. Dia diam kemudian kembali menekuni
baju-baju batik. "Bu lihat cocok? Beli couple yuk?" ajak Julia yang entah datang dari mana.
"Boleh, tapi warnanya jangan kuning gak lucu ah," kata Amira meninggalkan stan mengikuti tangan Julia menariknya.
"Warna biru bagus," kata Amira. Kemudian keduanya sepakat untuk membelinya.
"Kamu di sini?" Amira menoleh dan mendapati Fatih berdiri di sampingnya saat membalik badan dia bisa melihat Dinan yang menatap ke arahnya.7
"Wah, maaf untuk yang tadi. Soalnya saya kehilangan jejak kamu." Amira berkata dengan tak enak hati. Fatih mengangguk kemudian Amira melihat Fatih menoleh
ke arah Julia yang menatapnya dengan tatapan mata yang memuja.
"Boleh saya pinjam Bu gurunya?" tanya Fatih membuat Amira terkejut, Julia dengan polos mengangguk kemudian berjalan menuju temannya sebelum berbisik bahwa
baju couplenya dia bawa. Amira mengaguk kemudian dia berjalan di belakang Fatih karena jalan yang cukup ramai.
"Kita lihat aksesoris di sana!" Amira hanya mengangguk tanda setuju. Dia bisa melihat beberapa siswa yang menatap ke arahnya, karena banyak sekali siswa
yang study tour jadi di mana-mana dia seolah bertemu dengan siswanya.
*** 13. Lembaran _Saat kita melangkah menuju depan bukan berarti kita serta merta meninggalkan yang dibelakang. Karena di belakang ada bekas yang kita tinggalkan._
_____ Sepulang dari BNS Amira merasa tubuhnya tak nyaman, dia merasa pegal semua. Dia pikir ini adalah salah satu sebab kondisi dia yang sedang kedatangan tamu
bulanan. Jadi dia tidak mau ambil pusing.
Amira melangkah keluar kamar, dia berniat menuju kafetaria yang ada di lantai bawah dekat lobi. Tadi dia melihat plakat 24 jam di bawah nama kafe itu,
jadi dia pikir kafe itu pasti masih buka.
Amira memesan susu panas, kemudian dia membuka ponsel yang sejak pagi tidak dia buka sama sekali. Saat menyentuh layarnya dia jadi ingat waktu tanpa sengaja
dia melihat Julia membuka ponsel dengan wallpaper foto keluarga. Dia meringis kemudian meletakan kembali ponselnya di atas meja dan membuka buku yang dia
bawa. Pesanan Amira sudah datang, dia sesekali menyesap susu sapi yang sudah bercampur dengan bubuk coklat.? Amira menjadi ingat, selain kota ini terkenal sebagai
penghasil buah apel dan jeruk. Kota ini juga terkenal dengan penghasil susu segar, dia tersenyum tipis. Amira adalah pecinta susu segar, dia jadi ingin
mengunjungi koperasi atau tempat di mana berkumpulnya susu-susu segar.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" Doni membaca cangkir yang nampak mengepul asapnya dan aroma kopi meruak.
"Mungkin sama halnya yang pak Doni lakukan." Amira kembali fokus kepada bukunya.
"Kamu nampak berbeda sejak pulang dari Jatim Park," kata Doni mengamati sekitar, dia tidak ingin menatap wajah gadis yang di depannya.
"Berbeda bagaimana?" Amira mendongak dan dia melihat Doni mengacak rambutnya.
"Aku tahu Dinan dan kamu sedang dekat." Amira meletakan bukunya saat mendengar ucapan Doni.
"Lalu?" Amira melihat Doni enggan untuk bersuara.
"Jangan dengarkan ucapan yang kadang melukai perasaan, dia memang seperti itu. Dia hanya tak mampu mengungkapkan perasaan dengan kata-kata."
"Terus?" "Amira, dengarkan aku. Aku tahu kalau Dinan tertarik kepadamu. Kalau boleh jujur aku juga tertarik padamu sejak pertama kali aku bersinggungan denganmu.
Namun, saat aku melihat tingkah Dinan aku memilih mundur dan membiarkan Dinan mendekatimu. Bukan karena aku tak memiliki perasaan yang lebih besar, akan
tetapi karena hal yang dilakukan Dinan tidak biasa seperti dia memperlakukan perempuan lain. Jadi aku menyimpulkan bahwa kamu spesial bagi Dinan." Amira
menatap datar ke arah Doni. Informasi yang diperoleh malam ini sungguh mengejutkan. Bukan karena Dinan yang tertarik padanya, akan tetapi Doni. Ya Doni
baru saja memupuskan sebuah harapan.2
Amira membuang muka saat matanya segaris lurus dengan mata Doni. Dia menghela napas kemudian dia meminum susu hanyatnya hingga tandas.
Desember yang lembab, Desember identik dengan bulan hujan. Kalau orang Jawa bilang kata 'ber' pada bulan Desember adalah artinya sumber. Sumber adalah
di mana air itu muncul sehingga Desember sering dikenal dengan bulan hujan.
Amira melangkah menuju kasir, dia meninggalkan Doni begitu saja tanpa sedikitpun komentar. Dia sedang lelah tak ingin banyak pikiran menyerang.
Amira keluar dari kafetaria, dia langsung disambut dengan gerimis yang sejak tadi tak kunjung berhenti. Dia melangkah membiarkan tubuhnya dijatuhi oleh
mutiara langit, dia membiarkan semua itu. Dia berjalan ke sebelah kanan di sana nampak ada kolam renang di tengah taman. Dia berjalan dengan pasti.
Amira mendongak, dia hanya dapat melihat gelap yang menyelimuti langit, dia merasakan tubuhnya mulai menggigil namun tak jua dia ingin lepas dari suasana
tenang yang tengah menyapanya.
"Tertarik?" bisik Amira pelan hingga dia merasa ada tangan yang menariknya. Dia menoleh dan mendapati Dinan berjalan dengan cepat tak menghiraukan dirinya
yang tertatih mengikuti langkahnya.
Amira mengira Dinan akan mengajaknya untuk berteduh, akan tetapi yang dia pikirkan salah. Dinan mengajaknya keluar dari hotel dan berjalan menuju jalan
besar. Di sana hujan cukup besar hingga mampu membuat tubuhnya cepat basah.
"Kita mau kemana?" tanya Amira saat Dinan tak kunjung bersuara.
"Main hujan," kata Dinan memperlambat langkahnya.
"Aku pikir Bapak mau mengajak berteduh." Amira tersenyum tipis.
"Kalau saya mengajak berteduh, kamu yakin tidak protes?" Amira menggelangkan kepalanya, jelas dia akan melancarkan protes.
"Bapak, kita tidak akan tersesat bukan?" Amira merasa asing dengan gang yang dimasuki oleh Dinan. Dinan melepas tangannya kemudian dia memutar tubuh Amira
dua kali. "Ini ada di mana?" tanya Amira bingung. Saat menatap jalan dia sadar saat ini dia berada di tengah perempatan. Dan dia dengan yakin akan berteriak bahwa
dia lupa jalan yang mana yang sudah dia lewati.
Amira merasakan tepukan di atas kepalanya, dia mendongak dan melihat tangan Dinan terparkir di sana.
"Kamu tak akan takut lagi, karena selama kamu memegang tangan saya kamu akan ikut kemanapun saya pergi." Amira menatap wajah serius Dinan kemudian dia
merasakan genggaman di tangan kirinya.
Amira kembali merasakan tubuhnya di tarik, dia mengikuti Dinan. Dia melihat sebuah toko baju, dia heran apa yang akan Dinan lakukan. Dinan membawa Amira
masuk kemudian berbicara dengan pemilik toko. Setelah mendapat yang Dinan inginkan dia kembali mengajak Amira keluar.
Tangan kiri Dinan membawa dua kresek dan tangan kanan Dinan membawa payung besar. Kalau boleh jujur, saat ini tubuh Amira terasa menggigil namun bukan
sekedar karena hujan namun juga karena perlakuan Dinan yang menurutnya sangat romantis.
"Ayo!" Dinan mengajak Amira berjalan, kali ini hujan tidak lagi menyiram tubuh keduanya karena keduanya sudah berlindung di balik payung.
----- "Semalam dari mana?" tanya Nirmala duduk di depan Amira.
"Kapan?" Amira masih asik makan nasi yang ada di depannya.
"Semalam, aku cari gak ada terus datang-datang basah kuyup bikin lantai licin." Amira mendongak kemudian dia menjadi ingat kejadian semalam. Dia tersenyum
sendiri membuat Amira mendapat sentilan dari Nirmala.
"Malah senyum," kata Nirmala sambil berdecak kemudian dia makan sarapan yang sudah dia pesan.
"Main hujan Mbak." Amira berkata dengan tenang.
"Umur berapa sih?"
"Dua puluh empat, mau dua lima tahun."
"Gitu masih suka main hujan." Amira meringis mendengar gerutuan Nirmala.
"Barang udah ditaruh bus?" tanya Kamil dengan santai mengambil duduk.
"Sudah pak," jawab Nirmala.
"Kalian ada ide gak buat liburan khusus guru?" Amira dan Nirmala saling pandang.
"Kan gak semua guru ikut liburan ini, jadi rencananya nanti pas libur semester satu akan ngadain pariwisata khusus untuk guru dan staf."
"Terus dananya?"
"Transportasi ditanggung dana sekolah akan tetapi makan dan yang lainnya cari sendiri."
"Wah lumayan," kata Nirmala.
"Ada ide gak? Bu Misye minta ke Lombok. Kalau kalian siapa tahu ada ide yang lebih baik." Amira menyelesaikan makannya kemudian mengusap bibirnya dengan
tisu. "Saya gak ada." Amira minum air putih.
"Kalau Bu Mala?" Nirmala nampak berpikir.
"Raja Ampat gimana?" Amira tersedak karena celutuk Nirmala.
"Gak papa Bu?" tanya Kamil sambil menyerahkan air putih, Amira menggelangkan kepalanya kemudian menatap Nirmala yang sedang meringis.
"Emangnya kalau Pak Kamil pingin ke mana?"
"Ke teluk Kiluan." Amira mengerutkan dahinya, kemudian dia saling pandang dengan Nirmala.14
"Apa itu Pak?" Nirmala bertanya dengan heran.
"Itu tempat wisata yang ada di Lampung. Di sana sudah terdapat villa dan juga tempat wisata lumba-lumba. Pokoknya udah lengkap." Amira menggeleng.
"Musimnya sedang tidak mendukung untuk pergi ke tempat seperti itu Pak." Kamil mengangguk setuju. Amira heran, dia yang berpendapat disanggah malah setuju-setuju
saja tanpa bantahan. "Makanya saya gak usul ke sana," kata Kamil.
"Ke Transmedia aja," kata Nirmala.
"Mau ngapain ke sana?"? Nirmala hanya terkekeh saja. Kemudian ketiganya berpencar karena sudah mendapatkan panggilan untuk masuk ke dalam bus. Saatnya
melanjutkan perjalanan. Perjalan kali ini akan menuju sebuah taman besar yang ada di kota Malang, Selecta. Perjalanan tidak begitu jauh namun kota malang terkenal dengan kota
pendidikan yang padat merayap jadi wajar jika bus hanya bisa berjalan dengan kecepatan sedang.
"Pak Dinan sakit?" tanya salah satu anak yang tak sengaja memegang tubuh Dinan karena bus tiba-tiba mengerem mendadak.
"Enggak, hanya capek." Amira dan Nirmala saling berpandangan.
"Tapi aura tubuhnya panas sekali." Nirmala berdiri mendekati Dinan.
"Kamu sakit, pucat banget." Dinan tidak menyahut dia malah menutup wajahnya dengan jaket.
"Ih, Dinan." Nirmala berseru kesal, dia lupa jika di dalam bus ada banyak siswa.
"Mala," kata Dinan setengah mengeram.
"Pindah sana!" Nirmala meminta Dinan untuk pindah duduk dengan Amira. Karena menurut Nirmala mungkin bisa sedikit membantu Dinan untuk istirahat. Tempat
duduk yang ditempati Nirmala dan Amira ada tiga kursi sedang yang ditempati Dinan dan Doni dua kursi.
"Kepalaku pusing jangan ganggu," kata Dinan. Nirmala menatap Doni kemudian keduanya seolah berbicara dalam tatapan dan memaksa Dinan pindah duduk.
"Bentar ya Ra, biar tidak bocah bisa tidur. Soalnya itu bocah kalau sakit gak bisa minum obat. Karena obatnya cuman pelukan bunda dan tidur." Amira menggeser
duduknya, sehingga dia berada di dekat jendela. Dinan nampak ogah-ogahan pindah namun lelaki itu tetap pindah.
Amira mengamati Dinan yang duduk di sebelahnya dalam diam, dia juga melihat betapa sayangnya Nirmala kepada Dinan. Dengan telaten Nirmala membenarkan posisi
kursi sehingga Dinan nampak nyaman kemudian menyelimuti tubuhnya dengan selimut dan jaket.
Amira melihat tangan Dinan yang nampak putih, seolah darah tidak mengaliri. Dia menyentuh tangan itu untuk dimainkan di atas perut Dinan. Dia terkejut
dengan tangan dingin Dinan.
"Aku gak papa," guman Dinan dengan mata terpejam.
"Tolong oleskan minyak ke tangannya ya," kata Nirmala sambil memberikan botol minyak kayu putih, yang entah didapat dari mana. Amira mengangguk kemudian
menoleh ke arah Dinan. Amira mengambil tangan Dinan kemudian dia menuang minyak ke telapak tangan besar Dinan. Dia dengan pelan meratanya dengan tangan mungilnya. Amira merasa
sangat kecil saat tangannya berada di atas telapak tangan Dinan. Dia meringis kemudian segera menyelesaikan hal yang dia lakukan. Entah mengapa dia menjadi
gelisah dan AC terasa tak mampu mendinginkan tubuhnya.
*** 14. Tindakan ?Hubungan bukan sekedar sebuah kata yang terucap, akan tetapi dengan langkah untuk bertindak.?
--- "Ini bocah enak banget tidurnya," kata Nirmala berkacak pinggang di samping tempat duduk Dinan.
"Namanya juga sakit," kata Doni setelah dia menyuruh anak-anak untuk keluar bus.
"Bahu kamu gak pegal, Ra?" Amira meringis, entah sejak kapan kepala Dinan bersandar di bahunya, Amira tidak yakin karena dirinya juga tertidur.
"Lumayan," kata Amira sambil berbisik.
"Katanya pak Dinan sakit?" Bu Dyah masuk ke dalam bus.
"Iya ini," jawab Doni nunjuk ke Dinan.
"Perlu ke klinik?"
"Dia gak doyan obat, Bu." Amira menyentuh tangan Dinan sudah tak sedingin tadi. Selain itu juga tangannya sudah mulai ada semburat merah.
"Kamu di sini gak papa, Bu Mira?" Amira mendongak, dia menoleh ke arah Nirmala.
"Soalnya kalau dibangunkan kasian, tapi kalau Bu Mira berdiri nanti pasti bangun." Amira mengangguk tak yakin.
"Ya sudah, guru yang lain ngikutin anaknya, soalnya nanti pada buyar." Dyah keluar dari bus, menyisakan empat orang itu.
"Sorry ya," kata Nirmala sambil memainkan ujung jilbabnya.
"Santai saja Mbak," kata Amira.
"Ya sudah, nanti kalau ini bocah bangun ajak masuk aja," kata Nirmala. Amira mengangguk.
"Ajak makan dulu, dia belum sarapan." Amira menoleh ke Doni kemudian mengangguk.
"Saya matikan Acnya Bu?" tanya sopir bus.
"Iya pak, tapi jangan dikunci."
"Iya Bu, saya duduk di warung sana kalau mencari." Amira melihat warung yang ditunjuk kemudian mengangguk.
Amira menghela napas kemudian dia memposisikan dirinya dengan nyaman. Dia juga sangat lelah, kalau boleh jujur sebenarnya tubuhnya terasa pegal semua dan
hidung rasanya pengar. Amira mencoba memejamkan mata, dia akan mengistirahatkan tubuhnya untuk sejenak seraya menunggu Dinan bangun.
Amira tersadar dari lelapnya, namun dia belum memiliki keinginan untuk membuka matanya. Matanya masih terpejam seolah malas untuk terbuka. Amira diam serta
berpikir, dia merasa lehernya sedikit nyeri dan pegal. Dia nampak heran dengan apa yang dia rasakan, bukankah harusnya bahu kirinya kebas kenapa lehernya
yang sakit. Amira membuka matanya, dia menyipit saat cahaya menyerbu kornea. Kemudian dia duduk tegak menghadap orang yang ada di sampingnya.
Amira melihat Dinan menatap wajahnya dengan heran. "Mimpi buruk?" Amira menatap Dinan dengan pikiran yang tak menentu.
"Tidak," kata Amira sambil membenarkan posisi jilbabnya.
"Pak Dinan sudah bangun sejak tadi?" Amira terkejut saat melihat selimut yang dia gunakan. Dia menjadi bergerak salah tingkah.
"Lumayan, saya bangun tidur lagi bangun tidur lagi. Tidur di bus itu tidak ada nyaman-nyamannya sama sekali." Amira meringis mendengar ucapan Dinan, dia
tahu Dinan bukan mengeluh namun menyindir dirinya. Amira menatap jam hitam yang melingkar di pergelangan tangan.
"Ya Allah," pekik Amira tertahan.
"Ada apa?" Amira menoleh ke arah Dinan kemudian menatap Dinan tidak percaya.
"Tiga jam saya tidur," kata Amira menyerupai cicitan. Amira melihat Dinan mengangguk santai.
"Saya lapar, bagaimana kalau kita cari kamar mandi?" Amira kembali melipat selimut.
"Lapar kok ke kamar mandi?" Amira melihat ke arah Dinan yang sudah berdiri.
"Karena baik saya atau kamu butuh menghilangkan sisa bantal." Amira menatap heran.
"Saya tidur gak pakai bantal." Amira menyahut dengan cepat.
"Itu hanya perumpamaan."
"Saya guru boga gak ada perumpamaan." Amira merapikan pakaiannya kemudian mengambil dan serempangnya dan berdiri.2
"Ya sudah, mencuci wajah. Ada kan agenda mencuci dalam boga?"
"Harus dong, tapi konotasi tidak tepat. Pak Dinan guru bahasa Indonesia kok pakai bahasa Indonesia terjemahan." Amira terkikik pelan, entah dia merasa
senang mendebat hal yang dilontarkan Dinan.
"Baiklah, membasuh muka."
"Mau wudhu ya, Pak?" Amira menoleh ke belakang sebelum turun dari bus.
"Yah, sesuka Bu Amira saja. Yang penting kalau mau senyum jangan ditahan." Amira menatap malu kemudian segera berjalan keluar bus.
"Saya kira ini lupa, sudah tiga jam belum keluar juga." Amira meringis saat dia mendengar ucapan sang supir.
"Maaf," kata Amira tak enak.
"Santai saja Bu, gak papa kok." Amira mengangguk kemudian dia bertanya letak toilet dan tempat makan. Setelah mendapat petunjuk dia menoleh ke arah Dinan
yang nampak sudah hidup auranya dibandingkan tadi pagi.
"Ke sana toilet umum," kata Amira, Dinan mengangguk dan membiarkan Amira memimpin jalan.
--- Makan siang hari ini mendapat jatah dari sekolah dan sudah dipesankan di sebuah rumah makan dekat kawasan Selecta. Amira mengambil satu tumpuk nasi otak
yang ada di kantong plastik besar.2
"Perlu bantuan?" Doni sudah mengambil alih sebelum Amira menjawab. Amira hanya menghela napas, rasanya berdekatan dengan Doni ada sesuatu yang berbeda.
Dia merasa canggung. "Bu, ayo foto!" Amira ditarik salah satu siswa untuk foto bersama di dekat bus.


Selamat Datang Cinta Karya Mawarmay di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Senyum Bu," kata anak yang mengambil gambar, setelah beberapa sesi jepretan Amira menyerah, dia tidak cocok berada di depan kamera.
"Sini, Ibu yang ambil gambar kamu ikut foto," kata Amira mengambil kamera kemudian mengambil beberapa pose anak didiknya.
"Sudah! Ayo masuk!" Doni berteriak mengajak masuk anak didiknya. Amira menghela napas kemudian berjalan dibelakang.
"Kamu lihat tadi Pak Dinan tidur sama Bu Mira?"
"Iya, cocok ya!"
"Semalam aku juga lihat Bu Mira keluar sama pak Dinan."
"Benarkah?" "Iya, hujan-hujanan berdua."
"Di mana?" "Di samping hotel. Tapi gak lama udah bilang aja pas mau ambil fotonya." Amira mengerutkan keningnya, jadi kejadian semalam dipergoki oleh salah satu siswanya.2
"Jangan bilang kamu hanya ngayal, mana mungkin pak Dinan dan Bu Mira berhubungan. Orang di sekolah kita jelas ada aturan dilarang memiliki hubungan antar
guru dan staf." "Tapi beneran, kamu gak lihat tadi pak Dinan demam?"
"Beneran juga ya," kata salah satu tak yakin.
"Benar kali ya," kata Amira di belakang anak yang sedang bergosip, semua langsung menoleh ke arah Amira dan memasang wajah cemas.
"Sudah, sekarang saatnya masuk. Kita akan ke para layang dan Coban Rondo." Amira menahan tawanya. Dia geli melihat wajah ketakutan anak yang sedang bergosip.
Setelah semuanya masuk, baru Amira membekap mulutnya untuk menahan suara tawanya.
"Kenapa?" tanya Nirmala yang sudah berdiri di samping Amira.
"Gak papa, mereka lucu." Kemudian setelah dijawab pertanyaan yang dia lontarkan Nirmala mengajak Amira masuk ke dalam bus.
"Bu Mira, ini untuk ibu." Julia memberikan kantong plastik kepada Amira. Dia merasa sedikit heran namun dia hanya mengangguk dan mengucapkan terima kasih.
Amira kembali duduk, namun sebelumnya dia melepas tas yang dia gantung di bahu. Dia menaruh di sandaran kursi. Amira membenarkan posisi sandaran kemudian
mencoba duduk nyaman. "Popcorn Bu," tawar anak yang duduk di depannya.
"Terima kasih," jawab Amira mengambil popcorn di tangannya kemudian membagi dengan Nirmala.
"Dari siapa?" "Anak duduk di depan." Amira menjawab sambil menunjuk depan dengan dagunya.
"Dinan, ini minum kamu. Berat tahu," kata Nirmala mengulurkan tangannya yang berisi botol salah satu minuman kemasan isotonik.
"Gak baik Pak minuman kemasan." Amira berkata dengan pelan namun Dinan masih mampu mendengar karena terbukti lelaki berusia hampir tiga puluh tahun itu
menoleh. "Gak setiap hari," jawab Dinan. Amira melihat Doni membuang muka ke arah jendela.
Amira hanya diam kemudian dia larut dalam pikirannya sendiri, dia bingung akan hal yang akan dilakukannya selama liburan. Ada niatan untuk mengunjungi
sang ibu namun dia tidak memiliki stok kesabaran jika sudah berkunjung ke rumah sang kakak.
Tanpa terasa Amira beberapa kali menghela napas panjang, hingga membuat dua orang yang duduk dekat dengannya menoleh.
"Kenapa?" tanya Nirmala.
"Memangnya saya kenapa, Mbak?" Nirmala menatap Amira dengan penuh penilaian, dia menggenggam tangan Amira kemudian menggelangkan kepalanya.
"Kamu beberapa kali menghela napas berat. Kamu ada masalah?"
"Tidak ada," kata Amira tak yakin.
"Kamu terusik dengan obrolan anak-anak ya?" Amira menoleh ke wajah Nirmala.
"Obrolan apa?" Nirmala menaikkan satu alisnya.
"Kamu belum dengar?"
"Bagaimana aku dengar kalau sejak tadi saya gak gabung bersama mereka."
"Benar juga," kata Nirmala dengan pelan.
"Semalam kamu keluar dengan Dinan?" Amira sedikit terkejut dengan pertanyaan Nirmala yang melenceng dari pokok pembahasan.
"Kok tiba-tiba tanya?" Amira mencoba menghilangkan rasa gugupnya.
"Soalnya udah nyebar di kalangan anak-anak." Amira mengaguk kemudian tersenyum.
"Biarkan saja, nanti lama-lama juga hilang sendiri." Amira menjawab dengan nada dibuat sesantai mungkin.
"Adahal baru juga jadi hot news kedekatan Dinan dengan Miss Misye tapi udah berubah haluan aja gosipnya. Heran, pesona apa yang digunakan tidak bocah hingga
membuat anak-anak begitu ngefans." Amira hanya tersenyum kecil. Dia yakin bahwa Dinan saat ini mendengar gerutuan panjang dari sepupunya.
--- Amira tidak tahu harus bahagia atau bersedih, yang jelas dia tidak bisa mengekspresikan diri. Dia bingung namun tak jua membuka suara.
Bus yang ditumpangi Amira baru saja berhenti di depan jalan sekolah. Akhirnya mereka telah menyelesaikan kegiatan stadytour.
"Kamu pulang bareng aku?" Amira menatap Nirmala tak enak hati.
"Saya dijemput," kata Amira meringis.
"Dijemput?" Dinan mendekati Amira dan Nirmala.
"Tadi pagi kakak saya memberitahu bahwa beliau akan menjemput." Amira memang belum cerita kepada Nirmala tentang penjemputan paksa sang kakak, ah bukan
belum tapi mungkin tidak akan.
"Ya sudah, di mana kakakmu?" Dinan mencari keberadaan orang yang dimaksud Amira.
"Di sana," Amira menunjuk ke sebuah mobil berwarna putih tulang. Mobil itu memang mobil keluaran lama bahkan bahan bakarnya adalah solar.
"Mau kami antar?" tanya Nirmala melihat wajah cemas Amira.
"Gak perlu, Mbak. Untuk barang gak papa nitip dulu?" Nirmala mengangguk.
"Gak papa." "Ayo saya antar," kata Dinan berjalan lebih dulu.
"Terima kasih."
"Kamu tunggu di sini," kata Dinan menoleh ke arah Nirmala.
"Kamu yakin itu kakak kamu?" Amira menunduk dia tidak berani bersuara.
"Amira?" Dinan memanggil dengan nada bertanya. Dia mengabaikan beberapa wali murid dan siswanya yang mengamati keduanya penuh minat.
"Dia benar kakak saya," jawab Amira pelan.
"Lalu?" "Apanya?" "Mengapa kamu nampak tak tenang?"
"Saya hanya merasa canggung karena sudah sangat lama saya tidak bertemu dengan beliau." Amira berdoa semoga Dinan mempercayai ucapannya.
"Memang kadang jarak bisa mempengaruhi sebuah hubungan. Saya menyadari itu." Amira menghela napas lega, karena Dinan mempercayai ucapannya.
Dinan berdiri di dekat mobil kakak Amira. Kemudian dia menoleh ke arah Amira.
"Tapi saya tidak percaya dengan ucapan kamu. Jadi di lain waktu kamu punya hutang untuk menjelaskan." Dinan berkata dengan tegas. Amira termangu sendiri,
kelegaan yang sempat menyelimuti berubah menjadi ketegangan.
Dinan melangkah menuju kaca mobil dekat kemudi. Dia mengetuk sehingga kaca itu turun.
"Assalamualaikum," salam Dinan kepada sosok lelaki yang ada di depannya.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Arif membuka kaca kemudian mengamati Dinan.
"Saya rekan kerja Amira, Dinan." Dinan mengulurkan tangannya.
"Saya Arif, kakak Ami." Arif keluar dari dalam mobil kemudian menjabat tangan Dinan.
"Baiklah, senang berkenalan dengan Anda. Saya hanya meyakinkan bahwa perempuan itu benar-benar pulang dengan orang yang pasti." Dinan berkata sambil melirik
ke arah Amira. "Anda bisa jamin itu. Dan terima kasih atas perhatian Anda kepada adik saya." Dinan mengangguk kemudian dia berpamitan untuk pergi karena Nirmala sudah
menantinya. Amira bisa melihat Arif yang nampak menatap Dinan dengan wajah herannya.
"Kita pulang." *** 15. Keluarga ?Cinta itu hanya lima huruf berbeda dalam satu kata. Jadi cinta adalah sesuatu yang berbeda digabungkan menjadi satu kata supaya memiliki makna.?
---- Amira duduk di depan sang ibu dan kakak. Dia hanya diam mengikuti alur yang ada.
"Siapa lelaki semalam?" Amira menoleh ke arah Arif, dia hanya menatap wajah sang kakak dengan sendu. Bagaimana tidak? Setelah sekian lama tidak bertemu
dan bertukar kabar, pertanyaan yang muncul pertama kali dari bibir saudara lelakinya adalah pertanyaan menginterogasi.9
"Beliau rekan kerja." Amira menjawab dengan tegas. Tidak ada yang salah bukan dengan jawaban Amira?
"Kamu yakin?" Amira menatap sang kakak sambil mengangguk.
"Mengapa aku tidak percaya?" Amira mengangkat satu sudut bibirnya.
"Kenyataannya seperti itu, lalu Ami harus jawab apa?" Amira menjawab dengan sedikit sengit.
"Jaga sopan santun, Mi." Amira menoleh ke arah sang ibu, kalau boleh jujur dia sangat merindukan ibunya namun entah lenyap kemana perasaan itu saat melihat
wajah sang ibu yang menatapnya datar.
"Tidak ada seorang rekan kerja yang mencurigai kakak dari rekannya, Ami." Amira menatap Arif yang berkata dengan penuh penekanan. Amira diam sejenak, dia
ingin sekali menjawab bahwa tidak semua orang sama dengan Arif namun dia urungkan karena dia tidak ingin memperpanjang pembicaraan.
"Dia memang berbeda," jawab Amira tanpa dia sadari.
"Benarkan dugaanku, bahwa kamu memiliki hubungan spesial." Arif berkata dengan nada datar. Amira melotot kemudian mendesis pelan, dia tak ingin dianggap
sebagai adik yang memiliki sopan santun.
"Suruh dia menemui Abang, kalau tidak mau putus hubungan kalian. Tidak ada hubungan pacaran atau apapun. Ingat itu!" Arif berdiri dari duduknya, Amira
yang ingin menyanggah hanya bisa menahan di tenggorokan.
"Kamu harusnya lebih jeli lagi, Ami. Harus bisa belajar dari masa lalu. Gak semua bisa kamu agungkan atas nama cinta." Amira menoleh ke arah sang ibu yang
beranjak dari duduknya. Amira tergugu, dia menjadi ingat saat sehari di rumah Nirmala.
Nirmala adalah saudara sepupu dan sepersusuan Dinan. Ibu Nirmala adalah saudara kembar ibu Dinan. Jadi sejak kecil Nirmala diasuh oleh ibu Dinan bersama
dengan Dinan karena ibu Nirmala meninggal dunia saat melahirkan.
Meski sejak kecil Nirmala sudah tidak memiliki ibu namun Nirmala tumbuh menjadi gadis yang baik dan sopan. Walau sering kali Dinan berkata bahwa Nirmala
itu adalah perempuan kebanyakan suara, namun keduanya saling menyayangi.
Kemarin sebelum pergi study tour, Amira sempat menginap semalam di rumah Nirmala. Dan dia merasa iri dengan kehamonisan ayah dan anak yang ada di depan
matanya. Dia tidak menduga ditengah kesibukan sang ayah yang seorang dokter masih tetap menyempatkan diri untuk melakukan obrolan malam sebelum tidur dan
hal itu adalah contoh kecil dari sesuatu yang menyentil perasaan Amira.
Amira berdiri dari duduknya, dia ingin mengamati rumah kecil yang akan dia tempati. Ya, tadi pagi ibu dan kakaknya sudah menjelaskan bahwa Amira akan tinggal
di kota ini bersama sang ibu. Karena sang kakak berkata bahwa tidak baik seorang perempuan tinggal di kota orang tanpa pengawasan.
Amira keluar melalui pintu depan, dan jarak tiga meter sudah ada jalan raya. Ya, Amira memang akan tinggal di sebuah perumahan sederhana dengan rumah yang
sederhana pula. Dia menengok ke samping ternyata jarak rumah satu dengan yang lainnya sangat berdekatan.
"Kamu sedang apa?" Amira terlonjak kaget dengan pertanyaan sang kakak.
"Sedang melihat-lihat," jawab Amir kemudian melangkah menuju gerbang depan yang tingginya hanya sebatas perut Amira.
"Kamu tidak ingin mengatakan sesuatu?" Amira menatap Arif sejenak kemudian menggelengkan kepalanya.
"Tentang Farhat," Amira menatap Arif, dia tahu kakaknya menunggu penjelasan Amira tentang kejadian dua tahun yang lalu.
"Tidak ada." Amira menjawab dengan tegas. Dia tidak ingin mengulang kembali kejadian dua tahun yang lalu, saat dia bercerita tentang semua alasan dia membatalkan
lamaran Farhat, dia takut.
"Kamu tidak menganggap Abang?" Amira menatap Arif.
"Amira menganggap kok." Amira berkata dengan pelan. "Tapi untuk bercerita, Amira pikir itu sudah tidak perlu. Karena nasi yang basi tidak akan bisa didaur
ulang." Amira menunduk kemudian berpamitan untuk masuk ke dalam rumah terlebih dahulu.
"Jangan lupa sholat Dhuha sebelum kamu berencana untuk tidur." Amir hanya menjawab peringatan Arif dengan gumaman pelan.5
---- Kata orang keluarga itu adalah tempat kita bersandar saat kita lelah menempuh perjalanan kehidupan yang tak mudah. Namun semua itu tidak seratus persen
benar bagi Amira, karena Amira merasa keluarganya tak ubah orang asing yang tak mengenal dirinya dengan baik. Bahkan mungkin tidak mengenal dirinya sama
sekali hanya sebatas nama.
Amira duduk di pinggir tempat tidur, dia menghela napas dengan keras. Dia heran dengan Arif, tadi pagi saat Amira keluar dari kamarnya Arif sudah mengingatkan
Amira untuk sholat subuh. Tetapi Amira dengan lantang menjawab bahwa dirinya sedang kedatangan tamu bulanan. Dan Arif jelas mengerti itu, tidak mungkin
kan orang yang sudah jauh-jauh kuliah hingga Madinah tidak tahu tahu tentang haid? Kalaupun dia lelaki.
Amira merasa tak nyaman dengan rumah ini, dia merasa terintimidasi dan terpojokkan. Dia seolah pelaku dosa besar yang tak termaafkan. Padahal dia tidak
melakukan apapun. Kalaupun dia melakukan sesuatu itu semua tak akan mengubah banyak hal.1
"Yaa Allah ampunilah dosaku." Amira menunduk kemudian dia melihat ponselnya yang menyala.
Mbak Nirmala Jangan lupa, besok ada janji.
Amira mengangguk tanda mengerti, namun kemudian dia memukul keningnya karena menyadari bahwa Nirmala tidak akan mengerti jawaban darinya. Sebelum membalas
sudah ada chat masuk lagi.
Mbak Nirmala Dinan tadi tanya, kok kamu gak ada di kontrakan.
Amira membaca ulang pesan dari Nirmala, dia merasa sedikit heran. Mengapa Dinan tahu bahwa dia tidak ada di kontrakan.
Saya sedang di rumah yang dibelikan Abang saya. Mungkin saya akan pindah segera.
Amira nampak berpikir, dia merasa dirinya aneh. Entah karena apa dia merasa bahwa dia sangat terbuka dengan Nirmala padahal dia tidak pernah sedekat ini
dengan orang lain. Ah, mungkin dia sudah jatuh cinta pada perempuan itu. Perempuan yang nampak modis dan gaul padahal dia adalah perempuan yang lugu dan
polos. Amira meletakan ponsel di atas meja kemudian dia berbaring miring menghadap ke arah jendela, bisa dia lihat gorden yang melambai-lambai tertiup angin.
Dia kini sedang meratapi keadaan. Dia seolah letih dengan segala rasa yang tengah dia gadang-gadangkan.
Amira jadi ingat kejadian saat dia menceritakan semua kepada Luluk, saat itu keduanya sedang berada di kantin. Amira sudah menganggap Luluk sebagai saudara
karena hanya dengan Luluk dia dekat walaupun tidak sangat terbuka namun yang ada di garis edarnya hanya ada satu perempuan itu dan satu lelaki itu.
Amira masih ingat perkataan Luluk.
"Prinsip kamu itu gak relevan sama sekali," kata Luluk dengan nada mencemooh.
"Tapi setiap manusia memiliki tujuan, tidak sebatas memenuhi keinginan. Begitu pula aku, memiliki prinsip dan juga mimpi-mimpi." Amira berkata dengan menggebu-gebu.
"Tapi gak dengan melepas Farhat, Mira. Kamu tahu ada seseorang di luar kamu yang bisa berharap jadi kamu."
"Mungkin kita memang tidak memilki satu tujuan."
"Kamu salah, kalian memiliki satu tujuan namun kamu saja yang ngelunjak gak mau menerima keberadaan." Amira menatap Luluk dengan bimbang. Dia tak yakin
dengan pemikirannya. "Kamu kenal dengan baik Farhat, dia orang yang setia dan gak neko-neko. Di mana kamu dapat lelaki seperti dia? Kamu bakal menyesal jika melakukan semua
itu." "Aku tidak menyesal, yang aku sesalkan kenapa baru sekarang aku mengetahuinya." Luluk menatap Amira dengan mengejek.
"Sekarang belum, tapi nanti aku akan buat kamu menyesal karena telah melepasnya." Amira hanya diam saja saat Luluk berdiri dan berlalu dari hadapannya.
Amira membalikan badannya, dia mengubah posisi menjadi menghada ke arah lemari. Dia menatap ukiran yang ada di pintu lemari. Dia bohong jika setelah melepas
Farhat dia bahagia, karena pada kenyataannya setelah melepas lelaki itu semuanya menjadi berubah. Tak ada lagi tawa untuknya bahkan senyum tulus pun sepertinya
enggan menghampiri. Cinta, dulu dia beranggapan bahwa dia sangat mencintai lelaki itu, karena ketulusan hati dan kebaikan tingkahnya. Amira terpesona bukan karena fisik semata
namun karena kesucian jiwa. Awalnya dia ingin membawa cinta menuju satu titik keagungan namun ternyata cintanya hanya dianggap nafsu belaka.
Amira sangat menyayangkan sikap yang sudah dia lakukan selama itu, dia menyesal menjalin hubungan dengan Farhat. Dia telah menyia-nyiakan banyak waktu
karena sebuah perkara yang tidak berfaedah. Namun dia akan tetap bersyukur karena dengan begini dia bisa membedakan sesuatu yang benar dan salah untuk
kembali melangkah ke depan.
Amira bangun dari tempat tidur kemudian dia berjalan menuju jendela. Dia merasa kegelisahan yang tak menyenangkan, dia takut untuk melangkah ke depan.
Ingatannya membawa pada Dinan saat malam di mana keduanya bermain hujan-hujanan. Dia merasa geli sendiri namun juga merasa resah secara bersamaan. Amira
butuh diyakinkan dan dia butuh kepastian, tapi semua itu tak dia dapat dari Dinan.
Amira kembali duduk di tempat tidur, dia menatap kedua telapak tangannya. Tangan ini pernah bersentuhan dengan kulit hangat yang menyalurkan rasa penuh
perlindungan, tangan ini bukti nyata bahwa Dinan sama halnya dengan melindunginya. Namun, kembali lagi hatinya menepis bahwa Dinan tidak memberikan kepastian
dalam hubungan. "Lalu apa yang harus aku lakukan? Bagaimana cara untuk membuat pak Dinan bertemu abang?"
*** 16. Rasa ?Jika sebuah rasa itu terlihat. Maka kita tidak membutuhkan indera lain selain penglihatan. Dan menghilangkan indera perasa.?
--- Dinan membuka pintu mobilnya kemudian dia turun. Dia hanya ingin memastikan bahwa Nirmala benar-benar sampai pada tujuan.
Hari ini Nirmala memaksa ingin mengendarai sepeda motor sendiri, jadi dia tidak mengantarkan ke sekolah saat sepupunya itu memiliki jadwal piket di hari
libur. Dinan sebenarnya tidak seprotektif itu dengan Nirmala dulu, namun sejak perempuan itu kecelakaan beberapa bulan yang lalu Dinan semakin memperketat
pengawasan. Dia tak ingin kembali kecolongan.
Dinan melihat Amira yang sedang berjalan menunduk, dia sempat heran karena wajah perempuan itu nampak sayu dan lelah. Dan yang membuat dia semakin heran
Amira datang dari arah yang tidak biasa dia lakukan dan ingatannya membawanya kepada hari di mana dia mengembalikan baju Amira yang dia bawa, saat dia
berkunjung ke rumah kontrakan Amira sudah tidak pulang sekitar empat hari, itu tandanya dia tidak pulang ke kontrakan setelah dijemput sang kakak.
"Kemana perempuan itu pulang?" Dinan bertanya pada dirinya sendiri. Kemudian dia kembali masuk ke dalam mobil dan menjalankan.
Dinan mengendarai mobilnya menuju sebuah kawasan perumahan yang dekat dengan sekolah, dia akan menemui teman lama yang pindah rumah. Dia dengan pelan memarkirkan
mobilnya di pinggir jalan. Dia keluar tak lupa menekan tombol kunci mobilnya.
Dinan menatap rumah minimalis yang nampak sepi. Dinan sedikit heran karena biasanya kalau pindah rumah akan ramai namun keadaan rumah itu berbeda. Dinan
membuka gerbang yang tingginya hanya sebatas pinggangnya. Dinan masuk kemudian dia melihat pintu rumah terbuka dia sedikit heran.
"Assalamualaikum, Dinan!" Dinan menoleh ke arah samping rumah, di sana berdiri seorang lelaki dengan pakaian sederhana. Kaos putih dan celana panjang hingga
atas mata kaki. "Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab Dinan sambil menjabat tangan.
"Sorry, rumah masih rusuh. Mari silahkan!" Dinan duduk di kursi yang ada di teras.
"Maaf, istri sedang beres-beres di dalam." Dinan mengangguk.
"Bagaimana kabarmu? Lama gak ketemu."
"Baik. Kamu gimana?" jawab Dinan balik bertanya.
"Alhamdulillah, baik." Farid menatap wajah Dinan sejenak kemudian dia mengangguk.2
"Ada lowongan kerja di tempat kamu?" Dinan menatap sejenak.
"Kamu bukannya ada usaha keluarga?" Dinan berkata dengan tenang.
"Mau memajukan pendidikan Indonesia." Faris berkata dengan nada bercanda, Faris sosok yang humoris berbeda dengan Dinan yang cenderung pendiam.
"Mau menunggu setengah tahun lagi, sambil menghabiskan masa ajaran baru ini?" Dinan menatap serius.
"Bisa sih, toh saya masih terhitung pengantin baru jadi bisa nikmati masa pacaran." Dinan mengangguk.
"Baiklah nanti sebelum tahun ajaran baru. InsyaAllah." Faris menatap wajah Dinan dengan tenang.
"Apa yang membuat hatimu gelisah." Dinan menatap Faris dengan tersenyum masam, dia sudah sangat dekat dengan Faris bahkan dulu saat kuliah dia bisa dibilang
kembar dampit Faris, karena seringnya kebersamaan.
"Biasa, tetap masih sama." Faris menatap wajah Dinan dengan senyum penuh simpati.
"Halalkan atau tinggalkan."
"Tapi masa lalu masih sangat sulit. Apa lagi psikis yang baru saja menghadapi kegagalan." Faris menatap cepat ke arah Dinan, sedang Dinan berdecak kecil
saat melihat wajah Faris.
"Yakinkan dengan mendatangi keluarga, tunjukan keseriusanmu." Dinan tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Kamu benar, bahkan aku masih mendekati gadis itu. Dia gadis yang sulit untuk dimengerti." Dinan membuang muka saat menatap Faris yang sedang tersenyum
miring. "Aku dengan senang hati kamu gunakan."
--- Dinan masuk ke dalam rumah setelah membuka pintu, rumah nampak sepi karena tadi dia diberitahu bahwa sang ibu dan keluarga adiknya sedang pergi. Dinan
melangkah masuk kemudian menutup pintu kembali. Dia melepas sepatu kemudian berganti dengan sendal.
"Apa bunda akan menyukai Amira?" tanya Dinan sambil menyeduh teh di dapur. Dia menghela napas panjang.
Selama ini Dinan terlalu sibuk dengan dunianya sendiri hingga melupakan fakta bahwa dia membutuhkan pendamping. Usianya sudah hampir menginjak angka tiga
puluh, namun dia masih tetap tak memiliki ketertarikan pada sosok bernama wanita. Baginya cukup dengan adanya bunda, adik dan juga Nirmala. Karena menurutnya
tiga wanita itu sudah membuat dia ketar-ketir karena sifat protektifnya.
Semuanya berubah, saat dia melihat seorang perempuan yang begitu tangguh, padahal gadis itu sangat rapuh di matanya. Ingatannya pada sore itu saat dia
sedang duduk di sebuah kursi di kafe, dia melihat ada sesosok perempuan yang duduk sendiri, hal yang sangat langka karena kebanyakan wanita pasti membutuhkan
sahabat namun gadis itu sendiri. Dia merasa ada magnet sendiri sehingga membuat matanya setia mengikuti gerakan sekecil apapun yang dilakukan oleh wanita
itu. Awalnya Dinan tidak menyadari bahwa wanita itu adalah salah satu rekan kerjanya yang sempat ditawari tumpangan oleh Nirmala di pagi itu, dia pikir dia
orang lain karena pagi itu dia melihat gadis dengan penuh semangat berbeda dengan gadis yang saat ini sedang dilihatnya. Wanita itu nampak rapuh dan butuh
penyanggah. Lama-kelamaan Dinan tak acuh dengan semua hal tentang gadis itu, sehingga kejadian yang tak dia duga dia lakukan. Tepat pada acara gelar karya, dia sosok
yang terkenal tak pernah berbaur dengan keramaian tiba-tiba turun dan meninggalkan rapat hanya untuk mengikuti acara gelar karya. Hal ini membuat Dinan
resah sendiri sehingga dia kadang melakukan perbuatan yang ada di luar nalarnya.
Seolah semua telah direncanakan, dia kembali di tempat-tempat yang tak terduga dengan gadis itu, seorang guru yang nampak pendiam namun ramah dan penuh
kasih sayang. Dinan mulai terpesona hingga dia melakukan hal yang membuat dirinya dengan sadar menggenggam tangan gadis itu dan memasang badan untuk melindungi.
Semua itu sudah cukup bagi Dinan menyadari bahwa dia memiliki ketertarikan nyata.
Dinan menghela napas, dia bingung untuk mengambil langkah. Karena dia sadar bahwa saat dia menikah bukan hanya untuk dirinya sendiri melainkan juga untuk
sang bunda. Dinan besar dari keluarga broken home, namun semua itu tidak membuat Dinan tumbuh menjadi individu yang tidak baik bahkan justru sebaliknya.
Dinan sejak kecil selalu mengutamakan perasaan sang ibu dari pada perasaan dirinya sendiri. Jadi, jika dia ingin melangkah ke jenjang serius dengan Amira
dia harus mendapatkan persetujuan dari sang ibu.
Amira, satu nama yang beberapa Minggu ini masuk ke dalam daftar prioritas, dia ingin gadis bernama Amira itu tumbuh menjadi wanita yang kuat sekuat sang
ibu. Karena, dia yakin bahwa masalah yang tak dia ketahui tentang diri Amira bukan masalah sederhana namun masalah yang menguras perasaan dan tenaganya.
Dia ingin Amira tangguh dan kuat menghadapi kejamnya dunia.
Dinan menyeruput teh yang ada di cangkir dengan pelan, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Dia berpikir bahwa sang ibu akan menyukai Amira karena Amira
adalah sosok menantu idamannya sebab Amira pandai memasak dan bisa menjadi guru masak yang baik bagi sang ibu. Dinan tersenyum tipis saat ingat kejadian
beberapa hari yang lalu sebelum dia pergi study tour. Sang ibu menanyakan kesediaan Amira untuk mengajarinya memasak, dia berharap Amira mampu mencuri
hati sang ibu sehingga membuat langkahnya semakin mudah. Tapi Dinan melupakan satu hal, keluarga Amira.


Selamat Datang Cinta Karya Mawarmay di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dinan mendesah lelah saat menatap ponselnya, ada satu pesan dari yang tidak dia harapkan masuk, dia menunduk kemudian dia mengambil kunci dan dompet yang
ada di nakas. Dia segera berdiri kemudian berjalan meninggalkan kamarnya. Dia harus menjelaskan banyak hal kepada Nirmala tentang semuanya supaya tak ada
kesalahpahaman. *** 17. Menelaah Waktu itu adalah jawaban. Dari proses yang dialami dan dari usaha yang diusahakan._
--- Dinan berjalan menuju rumah Nirmala dengan tergesa-gesa, dia melihat Nirmala yang sudah berkacak pinggang di depan rumah.
"Jelaskan!" seru Nirmala.
"Aku mau masuk." Dinan menyingkirkan Nirmala dari hadapannya.
"Kamu," kata Nirmala dengan suara serak.
"Jelaskan Dinan!" Nirmala duduk di sebelah Dinan dengan santai.
"Apa?" tanya Dinan sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya.
"Semuanya," kata Nirmala dengan suara tegas.
"Baiklah," kata Dinan membenarkan posisi duduknya menghadap ke arah Nirmala. Dia menaruh ponselnya di atas meja dan menatap Nirmala dengan serius.
"Ayo jelaskan!" Dinan menatap mimik mata Nirmala.
"Aku haus," kata Dinan kemudian mengambil posisi duduk bersandar santai dan kembali mengambil ponselnya.
"Dinan," kata Nirmala kesal seraya menghadiahkan banyak pukulan di tubuh Dinan.
"Jangan bercanda," kata Nirmala hingga meneteskan air matanya.
"Maaf," kata Dinan masih fokus pada ponsel, namun bisa dipastikan bahwa ponsel itu berlayar gelap, mati.
"Kenapa gak bilang?" Nirmala berkata dengan terisak.
"Aku tak tahu bagaimana caranya," kata Dinan pelan. Nirmala mengusap air matanya, kemudian menoleh ke arah Dinan.
"Jadi kalau aku gak lihat dengan mata kepalaku sendiri kamu akan tetap menyembunyikan fakta ini?" Dinan menoleh kemudian tersenyum tipis.
"Aku tidak tahu. Tapi yang jelas aku tidak akan membiarkan kamu terluka." Dinan meletakkan tangannya di atas kepala Nirmala, namun Nirmala menepisnya.
"Aku tak sebodoh itu," kata Nirmala membuang muka.
"Anggap saja dia bukan jodohmu," kata Dinan sambil menaruh ponselnya.
"Jangankan hanya anggapan. Tapi ini kenyataan." Dinan mengangguk.
"Don't crying, please!" Dinan membawa Nirmala kedalam pelukannya. Dia tahu, sejak dulu Nirmala menaruh rasa pada sahabatnya namun Dinan bisa apa jika Faris
ternyata sudah melangkah lebih jauh dengan wanita lain.
"Aku nangis bukan karena patah hati," kata Nirmala.
"Lalu?" Dinan membelai lembut punggung Nirmala.
"Aku menangis karena selama ini telah menyia-nyiakan waktu yang aku miliki dengan mengharap dia," kata Nirmala dengan jelas kemudian terdengar isakan yang
sudah tak bisa dia tahan lagi. Kini Dinan hanya bisa diam saat Nirmala dengan sengaja menjadikan kemejanya sebagai lap ingus, iler dan iluhnya. Dinan tahuakan
terjadi seperti ini. "Tapi aku dengar mereka dijodohkan," kata Nirmala sambil mengelap hidungnya dengan lengan kemeja Dinan.
"Bisa dibilang begitu, bukan dijodohkan tapi dipilihkan oleh orangtuanya." Nirmala mendongak dengan mata berbinar penuh harap.
"Berarti aku masih memiliki kesempatan." Senyum Nirmala terbit dengan penuh keyakinan.
"Maksudnya?" Nirmala berkata dengan mencondongkan tubuhnya dan membawa bibirnya menuju dekat telinga Dinan.
"Rahasia." Dinan melotot kemudian meninggalkan Nirmala untuk mengambil minuman, dia tidak bohong jika dia bilang sejak tadi bahwa dia haus. Nirmala melepas
tawanya melihat gelagat kesal pada diri Dinan.
Dinan kembali ke universitas, dia ada janji untuk bertemu salah satu dosen di sana. Dia datang lebih awal, dia pikir hal itu lebih baik daripada membuat
orang lain menunggu. Namun niatan hanya ada di dalam hatinya karena tak bisa mempunyai bahwa kekesalan tengah menyapanya. Dia kesal, setelah dia datang
lebih awal ternyata dosen yang dia cari sedang ada workshop di luar kota beberapa hari. Dia sangat menyayangkan sikap sang dosen. Dinan menghela napas
kemudian kembali berjalan menuju mobilnya. Dia akan segera pulang untuk menghilangkan rasa kesalnya.
Dinan manusia biasa, dia juga memiliki rasa kesal dan juga marah seperti manusia pada umumnya. Namun, dia memiliki kendali yang sangat baik selama ini.
Dinan jadi teringat Amira dan dia secara langsung mendatangi rumah kontrakan.
Entah apa yang dilakukan oleh Dinan yang pasti dia ingin melihat Amira walau hanya dari jauh. Dinan mengerutkan dahinya saat melihat mobil merah yang terparkir
di depan rumah Amira, dia merasa tak asing namun dia lupa melihat di mana. Dinan turun dari mobil saat mesin sudah benar-benar mati.
"Assalamualaikum," salam Dinan membuat seorang remaja keluar.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab seorang gadis yang tak dikenal Dinan.
"Mas yang nyari mbak Mira bukan?" Dinan mengangguk.
"Wah, baru saja tadi pagi mbak Mira boyong. Mbak Mira sekarang tinggal sama ibunya di perumahan dekat sekolah." Dinan terdiam kemudian dia mengangguk.
"Pindah?" "Iya Mas." Dinan mengangguk.
"Baiklah terima kasih." Dinan kemudian pamit, kemudian dia meninggalkan rumah kontrakan Amira. Dia masih heran dengan mobil merah yang masih terparkir
di pinggir jalan. --- Dinan kembali berkutat dengan buku yang ada di depannya setelah dia melaksanakan sholat isya. Dia duduk di ruang tengah sambil menunggu sang ibu yang katanya
akan segera datang. Dinan menutup bukunya kemudian dia menghela napas, tidak pernah dia sesuntuk ini biasanya dia nyaman dengan kesendirian entah pengaruh dari mana membuat
dia tak nyaman dengan ketenangannya berada di zona nyaman.
Dinan beranjak dari duduknya, kalau ada yang tahu kerisauan Dinan pasti semuanya akan merasa tertarik dengan suara yang sudah siap disemburkan oleh Dinan.
Entah, dia merasa heran mengapa dia berubah menjadi lelaki banyak bicara dan bertingkah.
Dinan memasukkan bukunya di dalam jejeran tumpukan buku kemudian dia mengirim pesan kepada sang ibu bahwa dia pergi menemui Doni. Dia butuh didengar dan
yang dalam pikiran Dinan saat ini adalah menemui Doni.
"Ngopi aja yuk!" Doni keluar dari rumah.
"Masak baru datang, aku mau nyapa bapak dan ibu dulu." Dinan hendak melangkah namun ditahan oleh Doni.
"Udah gak ada, bapak dan ibu pulang kemarin." Dinan menoleh ke arah Doni.
"Kenapa?" "Biasa mendekati waktu panen di desa." Doni melepas cekalan tangannya kemudian melangkah keluar gerbang. Dinan dia sejenak kemudian melangkah mengikuti
Doni menuju tenda yang ada di pinggir jalan??warung kopi.
"Kopi pahit satu, kamu apa?"
"Teh tawar saja." Dinan melepas sendal kemudian mengambil duduk di atas tikar.
"Tumben tanpa kabar tiba-tiba datang," kata Doni mengambil duduk di sebelah Dinan.
"Di rumah sepi." Dinan mengeluarkan ponsel yang ada di sakunya.
"Emang bunda belum pulang?" Dinan menggelengkan kepalanya. Kemudian keduanya terdiam, menikmati semilir angin malam dan suara bising perbincangan juga
musik suara kendaraan. "Bagaimana perkembangan hubunganmu dengan Amira?" Dinan menoleh kemudian kembali menghadap ke arah depan dalam diam.
"Woe, ini tanya." Doni gemas dengan sikap Dinan. Dia memang sudah biasa dengan pembawaan Dinan namun kadang rasa kesal juga menghampiri jika dia sedang
pada mood tak sejalan, seperti saat ini.
"Biasa saja," jawab Dinan membuat Doni semakin gondok, daripada membuat ribut Doni memilih diam dan mengamati jalan. Doni tahu, minum kopi dengan Dinan
sama saja minum sendiri kecuali jika Dinan pada mode ingin berbicara.
"Tahun baru ada acara?" Dinan menoleh ke arah Doni.
"Gak ada, tahun baru cenderung hujan. Mending di rumah." Dinan menoleh ke jalan. Dia menghela napas.
"Gak boleh mendahului kehendak Allah," jawab Dinan dengan tenang.
"Dla itu fakta, tahun baru sering kali hujan." Dinan tidak menyalahkan pemikiran Doni karena memang ada benarnya.
"Kenapa?" Doni mengambil cangkir kopi yang sudah datang.
"Enggak ada." "Emang situ mau kemana?"
"Seperti biasa." Dinan menyeruput pelan teh tawar.
"Di lapangan alun-alun ada konser. Minat gak?" Dinan menatap Doni cepat, dia tidak salah dengar bukan Doni mengajak dia nonton konser hal yang sangat dihindari
oleh Dinan. "Ya kan aku cuman ngasih ide, jangan natap horor gitu!" Dinan mengangkat sudut bibirnya kemudian kembali menekuni cangkirnya.
"Tapi lumayan loh, artisnya cukup banyak yang terkenal." Doni kembali bersuara.
"Aku heran, laki benar gak sih kamu!" Dinan menoleh cepat, untung dia tidak sedang minum bisa tersedak atau menyemburkan minumannya karena terkejut dengan
ucapan seronoh Doni. "Kamu...." Dinan tak melanjutkan ucapannya dia sadar bahwa Doni sedang mengujinya, terlihat dari tawa yang sedang ditahan oleh sahabatnya.
"Kamu aneh, Dinan. Enggak suka sepak bola, basket, volly, dan olahraga lainnya. Gak suka balapan motor gak suka balapan mobil dan gak suka nongkrong dan
nonton konser. Wajarkan kalau aku menanyakan kenormalan seksualmu!" Dinan melotot kemudian tersedak mendengar ucapan frontal Doni. Dan Doni hanya bisa
menyemburkan tawanya. Dinan mengambil ponselnya kemudian memukulkan ujungnya ke kepala Doni.
"Aku masih punya iman." Dinan mengabaikan Doni yang menggerutu kesal karena Dinan.2
"Bercanda kali, Din."
"Bercanda itu lihat tema dan topiknya. Tidak meja bisa dijadikan bawan bercandaan." Dinan menjawab dengan tegas.
"Maaf," kata Doni kemudian sentai menyeruput kembali kopinya.
"Jangan terlalu kaku," kata Doni. Dinan hanya diam saja menikmati keramaian malam yang dia cari.
*** 18. Menghindar -Masalah itu untuk dipecahkan dan dicari jalan keluarnya, bukan untuk dihindari dan dibiarkan menumpuk begitu saja--- Amira duduk di depan Arif, dia tidak tahu apa yang akan dibicarakan oleh sang kakak sebelum pulang ke rumahnya, dia hanya sedang dilanda cemas yang berlebihan
terlebih jika menyangkut satu nama, Dinan.
"Kemarin Dinan menemuiku." Amira menatap cepat sang kakak. Amira tidak menduga jika yang keluar dari bibir kakak lelaki satu-satunya itu akan seperti ini.
Dia pikir Arif akan menagih janji tentang permintaannya membawa Dinan.
"Dia lelaki yang baik, cukup tanggungjawab. Tapi semua itu belum lengkap dan sempurna jika belum berani melamarmu." Amira semakin bingung, dia dilanda
rasa ingin tahu juga rasa takut bersamaan.
"Kenapa kamu diam saja?" Amira menatap kembali Arif, dia tidak tahu harus berekspresi seperti apa.
"Jangan takut, aku merestui kalian jika kalian menikah."
"Tapi Bang, kami tidak sedekat itu." Arif menatap mata sang adik.
"Lalu kamu nilai apa perjuangan Dinan? Dia berinisiatif menemui keluarga mu. Itu bukti dia serius."
"Tapi kami tidak memiliki hubungan itu," kata Amira masih mengelak. Entahlah semakin kemari dia semakin dilanda kegusaran. Kegagalan membuatnya tak yakin
mampu melangkah ke depan.
"Entahlah masalah apa yang terjadi diantara kalian tapi yang jelas seperti yang sudah Abang bilang tadi. Abang menyukai lelaki itu." Arif berdiri dari
duduknya kemudian meninggalkan Amira yang dilanda kebingungan. Dia mencoba mencerna semuanya. Dia tidak buta dan tak tuli, jika Dinan adalah sosok yang
baik. Tapi semua itu tidak mengubah semua persepsi terhadap sebuah hubungan serius.
Amira berdiri saat terdengar suara Arif berbicara sambil berjalan dengan sang ibu, dia juga mendengar ucapan Arif berupa nasihat untuk dirinya dan setelah
itu mobil menghilang dari hadapannya dan menyisakan dirinya dan sang ibu.
"Keputusan kamu benar dengan meninggalkan Farhat dan memilih lelaki yang lebih bertanggungjawab." Ibu Amira menepuk bahu Amira kemudian meninggalkan Amira
dengan sejuta rasa yang tak mampu dia ungkapkan dalam bentuk kata.
"Apa yang sebenarnya sudah pak Dinan lakukan?" Amira menghela napas kemudian mengikuti langkah sang ibu memasuki rumah. Dia tak lupa menutup pintu dan
menguncinya. Amira menuju kamarnya, dia ingat bahwa barang-barang yang dia bawa belum sempat dia sentuh sama sekali. Dia berjalan seraya berpikir, kapan kiranya Dinan
menemui sang kakak. Amira tak menyangka jika Dinan akan berjalan dengan cepat. Dinan, satu nama yang mampu menghipnotis dirinya. Namun hal ini tidak membuat dia tenang melainkan
rasa gelisah mengusik ketenangan hidup yang sejak dua tahun ini telah dia tata.
Amira membuka kardus bukunya, dia ingin menata ke rak buku yang sudah dibelikan oleh Arif, saat dia ingin beranjak dia melihat tas yang dititipkan Dinan
kepada Dini. Dia berjalan mengambilnya, dia penasaran apa yang ada di dalamnya.
Amira mengerutkan keningnya saat di dalam tas kertas itu terdapat bungkusan baju yang seingat Amira dia tidak merasa memiliki.
"Ada kertasnya," kata Amira saat dia menyentuh kertas.
I Will waiting for you, so please be happy.
Amira membalikan kertas itu, tidak ada tulisan lainnya. Dia heran bukan sekedar heran tapi sangat heran. Dia menaruh bungkusan itu kembali ke dalam tas
kemudian dia menyimpan di dalam lemari.
"Pak Dinan, rasa takut ini jadi semakin nyata."
--- Amira menghabiskan masa liburan dengan berbenah, dia menyibukkan diri hingga membuat Nirmala kesal dan bosan sendiri. Bagaimana tidak, setiap kali Nirmala
mengajak pergi keluar ada saja alasan yang dikeluarkan oleh Amira untuk menolah. Seolah dia tengah menjadi sosok yang super sibuk.
Amira menyiram tanaman yang ada di teras, ini adalah tanaman sang ibu berupa anggrek dan beberapa bunga kecil lainnya. Dia menaruh slang kemudian mulai
memunguti sampah daun yang ada di teras sebelum dia menyapu. Ya inilah rutinitas Amira di waktu setelah asar.3
"Ami, besok temenin ibu jalan ke supermarket." Ibu Amira berjalan dengan membawa nampan berisi dua cangkir.
"Mau belanja apa, Bu?" tanya Amira masih sibuk dengan pekerjaan.
"Ya ibu pingin lihat rame kota." Amira menoleh ke arah sang ibu kemudian dia mengangguk.
"Kamu emang gak pernah pergi ke tempat wisata saat libur?" Ibu Amira menatap curiga sang putri.
"Tidak pernah, Bu." Amira mencuci tangannya kemudian ikut duduk di teras bersama sang ibu.
"Terus, apa yang kamu lakukan? Wong kamu libur yo ora njenguk ibu." Amira tersenyum tipis.
"Kan baru dua tahun, libur semester lalu kan masih sibuk dengan kuliah. Jadi sering kali libur masih ngurus berbagai macam tugas. Kalau gak ada kegiatan
gitu." Amira menyandarkan tubuhnya.
"Dan ini liburan pertama kamu?"
"Iya Bu. Niatnya kemarin mau njenguk ibu tapi ibunya kan udah di sini." Ibu Amira meletakan cangkir yang dia pegang.
"Abangmu gak tega membiarkan kamu di sini seorang diri. Padahal ini juga sudah bilang kalau kamu akan baik-baik saja. Tapi ya gitu Abangmu, ngengkel."
Amira hanya menunduk kemudian menghela napas pelan. Dia tidak tahu hal apa yang membatasi perasaannya pada sang ibu, tapi sejak dulu Amira merasa bahwa
rasa sayang sang ibu kepada dirinya tidak sebesar rasa sayang ibu kepada abangnya. Hal ini juga yang menyebabkan dia lebih dekat dengan ayahnya.2
"Ibu betah tinggal di tempat abang?" Ibu Amira mengangguk dengan ringan.
"Di sana ibu terawat, sering diajak ngobrol dan pergi-pergi. Kalau di sini, kamu saja gak bisa naik kendaraan. Mau pergi kemana?" Amira meringis mendengar
ucapan sang ibu. Dia menyadari bahwa kekurangan yang menurutnya tidak bermasalah kini menjadi dipermasalahkan.
"Emang kamu gak ada teman yang ngajak pergi?"
"Ada Bu." Amira menjawab dengan jujur.
"Lelaki atau perempuan?" Amira menegakkan tubuhnya, bukan tegang atau bagaimana namun karena dia merasa pegal.
"Jangan bilang lelaki." Amira menggeleng saat mendengar tuduhan sang ibu.
"Perempuan kok, Bu. Tapi Ami tolak."
"Kenapa?" "Kalau Ami pergi ibu bakal sendiri di sini." Ibu Amira menganggukkan kepalanya.
"Kalau kamu mau pergi, ibu gak ngelarang asal kamu tahu waktu dan peraturan." Amira mengaguk dan tersenyum tipis.
"Iya, terima kasih." Ibu Amira kembali menyeruput teh yang ada di cangkir. Amira semakin bungkam dengan kediaman sang ibu. Dia bukan sosok pendiam seperti
Racun Berantai 1 Omen 2 7 Lukisan Horor Karya Lexie Xu Suling Naga 4

Cari Blog Ini