Ceritasilat Novel Online

Selamat Datang Halal 1

Selamat Datang Halal Karya Mawar May Bagian 1


?Selamat datang, halal By: Mawar May Takdir dan Jodoh Takdir Jodoh Menurut Kacamata Islam
TAKDIR JODOH?? Jodoh adalah salah satu misteri yang selalu dipertanyakan oleh umat manusia. Dan jika seseorang bertanya tentang jodoh kepada seseorang
yang lain. Maka akan terciptalah berbagai jawaban yang berbeda dari mereka.
Misalnya saja jika kamu bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang belum mempunyai tambatan hati. Mungkin mereka akan menjawab tentang jodoh dengan kriteria
sempurna. Misalnya jodoh yang tampan, mapan, dan shaleh/shalihah, punya beberapa hafalan, mempunyai keturunan atau nasab yang baik. Dan banyak lagi yang
lahir dari angannya. Berbeda lagi jika kamu bertanya tentang jodoh kepada seseorang yang sudah mempunyai seseorang (red:pacar, tambatan hati).? Mereka menjawabnya akan lebih
condong kepada karakter seseorang yang diyakini mereka akan menjadi pendampingnya kelak. Mereka tidak peduli lagi akan kelebihan dan kekurangan yang sebelumnya
dimiliki oleh tambatan hatinya itu, yang jelas seperti dia.
Jawaban ini juga akan berbeda lagi jika kamu menanyakan tentang jodoh kepada seseorang yang sudah menikah atau bahkan mempunyai momongan. Mereka akan menjawabnya
dengan sangat sederhana, seperti yang penting seorang muslim, shalih/shalihah, serta mampu berperan dalam keluarga.1
Seperti itulah jawaban-jawaban yang akan muncul jika kita bertanya tentang jodoh. Beragam jawaban akan muncul dan tentunya itu tergantung dengan persepsi
masing-masing orang yang dipunyai. Mereka hanya berusaha memberikan jawaban secara subjektif sesuai dengan apa yang mereka tahu.
Takdir Jodoh Menurut Islam
Berbicara tentang Jodoh, bagaimana cara pandang Islam dalam mengungkapkan rahasia di dalamnya? Apakah Jodoh merupakan takdir yang telah digariskan? Tetapi
kenapa Rasulullah juga memberikan kita pilihan untuk memilih jodoh yang kita inginkan? Kenapa begitu banyak nasehat yang menyarankan agar kita lebih berhati-hati
dalam memilih calon pendamping kita?
Dikarenakan hal itu pula, masih banyak manusia yang khawatir tentang jodohnya. Malah banyak yang dikarenakan hal tersebut malah memilih jalan setan seperti
pacaran sebagai bentuk "ikhtiar" tentang jodoh. Padahal hal tersebut benar-benar salah.
Dilain pihak, ada yang menghindari hal tersebut. Namun sangat sedikit upaya dalam ber"ikhtiar" yang benar sehingga pada umur yang semakin bertambah, dia
tidak kunjung mendapatkan jodoh. Kenapa hal ini terjadi? Sebenarnya jodoh itu pilihan atau takdir sih?
Padahal sesungguhnya Allah telah membocorkan persoalan tentang jodoh ini kepada kita melalui ayatnya Al-Qur?an Surat An Nur ayat 26 yang artinya :
Wanita-wanita yang tidak baik untuk laki-laki yang tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah untuk wanita yang tidak baik pula. Wanita yang. Baik
untuk lelaki yang baik dan lelaki yang baik untuk wanita yang baik. (Qs. An Nur:26)
Jika melihat dari potongan ayat Al-Qur?an diatas dapat dikatakan bahwa Laki-laki yang baik hanya untuk wanita yang baik. Sedangkan laki-laki yang tidak
baik juga untuk wanita yang tidak baik. Sungguh merupakan sebuah rahasia yang sebenarnya sudah lama terungkap jika kita mau mengkaji agama kita lebih dalam.
Karena dengan hal tersebut sesungguhnya kita sekarang dapat meyakini, memahami, dan mengamalkan apa yang terkandung di dalam ayat tersebut. Bagaimana?
Tidak sulit bukan jika kita ingin memahami jodoh dari kacamata kita sebagai seorang muslim.
Di dalam agama Islam, jodoh itu berarti seseorang yang telah tertulis namanya di Lauh Mahfuz bahkan jauh sebelum kita manusia diciptakan ke dunia dimana
dia akan ditakdirkan untuk menjadi pendamping hidup kita di dunia ini.
Namun bukannya kita tidak bisa memilih tentang jodoh karena yang tertulis di Lauh Mahfudz itu merupakan banyak pilihan jalan. Dan itu sebenarnya merupaka
hasil dari sikap dan akhlaq kita dalam menanggapi kehidupan yang sementara ini.
Jadi jodoh merupakan hal telah tertulis di Lauh Mahfudz,namun kita bisa memilih dengan siapakah kita akan nanti berjodoh. Tentunya pengaruh ahklaq dan
sikap kita di dunia akan menentukannya.
Seperti soal rejeki yang dimana hasilnya adalah merupakan faktor dari setiap usaha, ikhtiar, dan doa kita kepada Allah. Begitu juga dampak dari rezeki
tersebut dimana itu juga terpengaruh dari jalan kita dalam memilih apakah rezeki yang kita ambil merupakan rezeki halal atau haram.
Jadi apakah kamu masih bingung dalam memilih atau mendapatkan jodoh? Karena sesungguhnya jodoh yang akan datang kepadamu merupakan hasil dari setiap doa
dan usaha kamu. Jika ingin mendapatkan jodoh yang membawa kamu kepada kebahagiaan dan keberkahan dari Allah, maka dapatkanlah dia dengan berusaha dulu
mendapatkan cinta Allah. Rahasia Memilih Jodoh Dalam Islam
Rasulullah Muhammad shallallahu ?alaihi wa sallam bersabda bahwa, "Perempuan itu dinikahi karena empat faktor yaitu agama, martabat, harta dan kecantikannya.
Pilihlah perempuan yang baik agamanya. Jika tidak, niscaya engkau akan menjadi orang yang merugi" (HR Bukhari dan Muslim).
Dikatakan disini bahwa seorang laki-laki muslim dalam? memilih seorang wanita yang baik untuk dijadikan istrinya aka nada 4 faktor yang harus diperhatikan.
Yaitu Agama, martabat, harta, dan kecantikan. Dan ketahuilah bahwa Rasulullah mengharuskan kita untuk memilih agama dan kualitasnya terlebih dahulu, Baru
tiga faktor yang lain bisa menyusul.
Begitu pula dengan pihak wanita. Wanita dalam menerima pinangan laki-laki atau memilih calon pemimpin keluarganya kelak juga harus memperhatikan hal diatas.
Ketaqwaan calon pria yang ingin menikahinya harus menjadi pilihan utama.
Dan tentunya sebenarnya seseorang yang datang kepadamu untuk menikahi kamu atau seseorang yang akan kau nikahi merupakan cerminan daripada kamu itu sendiri.
Jadi jika kamu ingin mendapatkan seseorang yang lebih baik daripada seseorang yang telah datang kepadamu, kamu bisa ikhtiar dengan mengubah setiap akhlaq
untuk lebih baik dan berdoa kepada Allah agar dipertemukan dengan pasangan yang baik agamanya. Yang sanggup membimbing kita kepada surga Allah.
Hubungan Jodoh dan Cerai Mungkin akan banyak yang berpikir, jika seseorang yang kita nikahi, lama mendampingi kita, merupakan cerminan dari diri kita sendiri, dan bisa katakana
dia adalah jodoh kita. Kenapa ada banyak orang di dunia ini yang akhirnya memutuskan untuk bercerai atau berpisah?6
Dari sini kita kembali kepada yang namanya takdir. Bahwa sebenarnya di Lauh Mahfudz kita telah dituliskan banyak pilihan tentang jalan hidup apa yang akan
kita jalani. Itulah hak manusia yang kita miliki. Yaitu kita mempunyai kewajiban dalam "memilih" tentang apa-apa yang akan terjadi selanjutnya di dalam
hidup kita. Tentunya setiap pilihan tersebut sebenarnya memang telah tertulis dan ada jalan sendiri-sendiri termasuk urusan jodoh.
Rasulullah telah memberikan kita petunjuk dan juga nasihat untuk memilih pasangan hidup. Namun jika kita masih memilih pasangan hidup kita yang tidak sesuai
dengan petunjuk tersebut, sesungguhnya kita sedang berlarut diri daripada nafsu dan ego.
Maka dari itu jika pasangan hidup kita malah membawa kita menjauh diri dari Allah, jangan salahkan Allah yang telah menuliskan takdir. Karena semua itu
sebenarnya sudah sesuai daripada apa yang telah kamu pilih sebelumnya. Apa dengan cara yang baik dan halal sesuai Islam atau dengan cara maksiat.
Bukankah Allah sudah memperingatkan.. Rasulullah pun sudah berpesan. Kita sendiri yang menentukan pilihan, walaupun hasil akhirnya tetap ada di tangan
Tuhan, apakah mempersatukan dengan orang pilihan kita meskipun kita salah jalan , atau justru menggagalkan. Jika Allah menyatukan jangan berbangga dan
merasa benar dulu, belum tentu Allah meridhai pilihan kita tadi bukan? Karena Allah hanya akan meridhai yang baik-baik saja.
Tapi karena kasih-Nya, Dia mengabulkan apa yang kita usahakan, Dia mengizinkan semua itu terjadi, namun di balik kehendak-Nya tadi, tidak kah kita takut
Allah berkata.. "Inikah maumu? Inikah yang membuatmu bahagia? Inikah yang kau pilih? maka Aku izinkan semua maumu ini terjadi. Namun kau juga harus mempertanggung
jawabkan semua ini di akhirat nanti"
Jadi, kembali kepada diri masing-masing ya kawan dalam mendapatkan jodoh. Nah itulah Takdir Jodoh menurut pandangan Islam. Semoga tulisan ini dapat membuka
mata hati kamu agar tidak galau lagi dan juga bersemangat menjemput pasangan dengan penuh keridloannya. Aamiin
Waallahualam ISLAMEDIA - Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
*** ~Surat Pasrahku~ Dear Pemilik Hati Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.
Untukmu Pemilik Hatiku. Maafkan segala kesalahanku selama ini. Selama ini aku terlalu lalai pada Diri-Mu. Selama ini aku disibukan dengan dia dan dia hingga lupa walau hanya sekedar
menyapamu. Aku kini menyadari, bahwa seberapa besar usahaku untuk mendapat dia segaris lurus denganku. Tak akan pernah ada nilainya tanpa ridho Dari-Mu. Kini aku
tahu arti kegagalan yang menyapaku, aku sadar ini adalah cara-Mu untuk mengingatkan diriku.
Wahai pemilik sifat Ar-rohim....
Aku baru menyadari semua itu, menyadari kesia-siaan ku belakang ini. Benar kata-Mu jika Engkau berkehendak maka semuanya akan bisa terjadi bahkan semustahil
apapun itu. Wahai pemilik sifat Ar-rahman....
Kini semua ku kembalikan kepada-Mu. Tak ingin lagi aku berjalan menjauhi garismu. Biarkan aku menebus segala salahku, biarkan aku menepis di pinggir kesendirian
ku. Wahai Engkau Pemilik Hatiku.
Kupasrahkan semua kepada-Mu. Akan aku syukuri segala nikmatnya. Kan ku lakukan segala petunjuk-Mu.
Wahai Pemilik Hatiku. Terimalah kepasrahanku. Alhamdulillah. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarokatuh.
Dari Pencinta-Mu A.Z *** 1. Awal "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepada kalian, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar."
(Al-Baqarah:155) ---- Bila kehidupan ini seperti video yang bisa diputar sesuai dengan keinginan, ingin di-back atau mencari scane yang dia sukai mungkin Amira orang pertama
yang ingin mengubah takdirnya.
Ya, dia ingin mengubah takdirnya. Karena dia akan menjadi sosok pertama yang merasakan semua yang dia alami adalah sebuah ketidakadilan. Mengapa demikian?
Karena seperti kata orang penyesalan selalu datang di akhir karena bila datang di awal bulan penyesalan namanya melainkan rencana.
Amira menyesali keputusannya menolak Dinan, bukan karena Dinan tetap mengendap di dalam dadanya. Bukan. Ini semua disebabkan oleh sebuah kata salah satu
ustazah yang dia kenal. "Sosok yang baik itu tidak akan memberikan hubungan tanpa komitmen yang tidak mengikutsertakan Allah."
Kalimat itu begitu menohok Amira, karena semua orang jelas tahu bahwa Dinan menawarkan pernikahan bukan pacaran. Akan tetapi dari segala penyesalan itu
Amira tetap bersyukur dan mengambil hikmah di baliknya. Dia meyakini bahwa Allah selalu ada untuk hambanya.
Amira duduk di kursi teras, dia sedang menunggu sang ibu pulang dari kajian lingkungan. Ya, setelah dua tahun lebih tinggal di sini. Amira dan ibunya sepakat
untuk mencoba berbaur dengan orang sekitar sehingga mampu memanfaatkan waktu luang dengan mencari ilmu atau bermanfaat bagi orang lain.
Amira sesekali membenarkan posisi hijabnya, dia sedikit gelisah karena semua sudah menyapa namun sang ibu tak jua muncul meski bayangannya. Hari ini ibunya
ikut kajian di masjid dekat jalan besar. Di sana memang ada kajian rutin untuk umum di setiap hari Kamis.
"Kok ini belum pulang," kata Amira berdiri dari duduknya, dia membuka pagar kemudian tampak cemas menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Menunggu siapa?"
Amira segera menoleh, kemudian dia menunduk pandangan. Ya, Amira yang sekarang sudah lebih baik dibandingkan Amira yang dua tahun lalu.
"Itu, Pak Faris saya menunggu ibu."
"Ibu kamu Shalat Magrib sekalian, beliau akan pulang bareng istri saya."
Amira mengangguk tanda mengerti kemudian tak lama Faris pamit untuk pulang, dia juga menjelaskan bahwa dia pulang untuk menyalakan lampu rumahnya kemudian
kembali ke masjid. Amira terdiam sejenak kemudian memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, karena sayup-sayup angin malam sudah mulai terasa. Amira masuk dan tidak lupa menutup
pintu. Dia ingat benar bahwa jika saat menjelang malam maka setan akan berkeliaran. Ingat sebuah kisah tentang setan wanita yang selalu menakut-nakuti
anak kecil pada masa Nabi Sulaiman, makanya di saat senja anak kecil dilarang keluar dan dianjurkan menutup pintu dengan mengucapkan basmalah.
Amira mengambil wudu untuk menenangkan hati dan juga persiapan untuk Shalat Magrib. Dia masuk ke dalam kamar mandi dengan kaki kiri tak lupa dia mengungkapkan
doa. Setelah keluar dari kamar mandi dengan segala ritual sebelum Shalat Amira mendengar azan magrib berkumandang. Dia diam duduk di atas kursi sambil
mendengarkan azan dan menjawab azan sebagai mana yang sudah diajarkan.
Setelah azan Amira menggelar sajadah dan mengenakan mukena, dia tidak lupa memanjatkan doa karena menurut yang dia tahu bahwa di antara azan dan iqamah
itu terdapat waktu yang mustajab untuk dikabulkannya doa. Doa Amira tidak muluk-muluk, dia hanya ingin diampuni segala dosa-dosa yang pernah dia lakukan,
dosa kedua orang tuanya, dan saudara-saudaranya. Sederhana bukan?
*** Amira berjalan menuju dapur, di sana dia melihat sang ibu sedang memasukkan beberapa barang ke dalam lemari es.
"Ada yang dibantu, Bu?" Ibu Amira menoleh kemudian menggelengkan kepalanya.
"Ini sudah selesai," kata sang ibu sambil melipat kantong plastik.
"Ya sudah, kalau makan sayurnya masih di panci ya, Bu." Amira hendak melangkah.
"Kamu sudah makan?" Amira menoleh tersenyum sambil mengangguk sebelum dia kembali melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Sejak setahun yang lalu Amira berubah menjadi sosok yang lebih ih pendiam dari biasanya, dulu dia memang pendiam namun masih ada suara yang dia keluarkan
untuk hal-hal basa-basi biasa. Namun kini tidak lagi, entah dengan siapa pun dia menjadi individu yang introvert.
Amira membuka beberapa resep yang ada di mejanya, dia kembali berkutat dengan beberapa modifikasi resep yang dia lakukan. Amira sebenarnya sudah memiliki
banyak resep sebagai ciri khas dia sendiri namun entah mengapa dia masih suka melakukan hal ini. Amira suka menu dalam negeri dibandingkan menu kontinental
yang menurutnya tidak sesuai dengan lidahnya jadi dia sering membuat rangkaian menu yang hampir serupa dengan menu kontinental namun dengan komposisi menu
dalam negeri. Amira mendengar pintu terbuka, dia menoleh dan melihat sang ibu berdiri di depan pintu. Ibu Amira menatap dengan datar, entah apa yang telah terjadi.
"Abang dan mbak kamu akan pindah kemari lusa, kamu tidak ingin membereskan ruangan yang akan menjadi kamarnya." Amira tersenyum tipis.
"Insya Allah besok ya, Bu." Ibu Amira mengangguk kemudian menutup pintu kembali. Amira tersenyum kemudian dia kembali fokus pada buku yang ada di depannya.
Setelah selesai dengan buku dan penanya Amira membereskan meja kemudian dia menatap kalender yang ada di meja, dia melihat ada tanggal yang sudah dia lingkari
untuk besok lusa. Dia melihat daftar jadwal kegiatan yang sudah dia buat dia baru ingat bahwa dia ada jadwal untuk mengajar kursus memasak untuk sebuah
kegiatan ibu PKK sebuah perumahan.
Amira menatap barisan nama perumahan itu dalam diam. Dia menghela napas kemudian mengucapkan istigfar berulang-ulang untuk meminimalisir rasa yang menyusup
di rongga dada. Amira ingat pembicaraan dia dengan Nirmala di sore itu, sekitar satu tahun yang lalu sebelum Nirmala memutuskan untuk menikah. Iya, Nirmala kini sudah
menikah dengan salah satu temannya. Sore itu Nirmala mengatakan bahwa.
"Yang sudah lewat belum tentu kembali, jadi lebih baik kita menata diri bukan untuk menghadapi masa depan. Kita tidak bisa memaksa seseorang berjodoh dengan
kita seberapa kuat kita menjaga dan seberapa lama kita menunggu."2
Dulu dia berpikir bahwa kalimat itu ditunjukkan untuk Nirmala yang ternyata masih menyimpan rasa pada gebetannya yang tak bukan adalah Faris, tetangga
sebelah rumahnya. Beliau sudah menikah dan juga beliau yang menjadi pengganti Dinan saat Dinan memutuskan untuk resign. Namun kini satu hal yang Amira
sadari, bahwa kalimat itu bukan hanya untuk Nirmala namun juga untuk dirinya. Dirinya yang selama ini masih menyelam bersama masa lalu yang dia sesali.
Ini bukan sekedar awal namun sudah pertengahan jalan.
--- Semalam setelah menyelesaikan pekerjaannya, Amira segera ke kamar mandi karena dia merasakan sesuatu yang tak nyaman sehingga dia harus segera memeriksa
ternyata dugaannya benar bahwa tamu bulanan telah datang, Amira hanya mampu bersyukur atas apa saja yang menghampirinya. Dengan keadaan yang semacam ini
membuat Amira sedikit malas untuk bangun pagi, jadilah dia kesiangan. Waktu sudah menunjukkan pukul lima lebih dia baru keluar dari kamar.
Saat keluar kamar dia mendengar celoteh anak kecil, dia bingung namun dia segera memeriksa ke ruang tengah dan benar saja di sana sudah ada sang abang
dan anak pertamanya sedang berbincang.
"Kakak harus baik sama adik, katanya kakak mau kayak Fahma."
"Tapi tetap saja adik enggak boleh pakai baju kakak."
"Ya kalau pakai baju kakak adik masih enggak bisa, kebesaran."
"Berarti enggak pakai baju kakak?"
"Enggak," kata Arif menjawab pertanyaan sang anak.
Amira tersenyum melihat kehangatan di antara keduanya, dia jadi mengingat sang ayah. Dia masih terpaku di depan pintu hingga pekikan Fatimah menyadarkannya.
"Amah Am." Fatimah turun dari duduknya kemudian menghambur lari memeluk kaki Amira.
Amira menoleh ke tahun sang kakak yang tersenyum kepadanya, dia merasakan letupan bahagia melihatnya. Kemudian Amira berjongkok di depan ponakannya yang
sudah menginjak umur tujuh tahun.
"Assalamualaikum, kakak Fatimah." Amira membelai rambut Fatimah dengan sayang.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh, Amah." Fatimah langsung mengalungkan tangannya ke leher Amira. Sejak kecil keduanya memang sudah cukup dekat
sehingga hal yang terjadi ini adalah hal yang biasa.
"Amah sehat?" Amira mengangguk dengan pelan.
"Fatimah juga sehat, Abi sehat, Umi sehat dan dedek kecil juga sehat." Celoteh Fatimah masih dengan memeluk Amira.
"Semua sehat ucapkan," kata Amira yang disahuti antusias oleh Fatimah hingga melepas tangannya.
"Alhamdulillah." Fatimah menangkup kedua pipi Amira kemudian menghujani banyak kecupan.
"Sayang Amah." Fatimah kemudian berlari menuju sang ibu yang tampak memanggil. Amira hanya menatap keceriaan Fatimah dalam diam tanpa dia duga sang kakak
sudah berjalan mendekati.
"Bagaimana kabarmu?" Arif mengulurkan tangannya untuk membantu Amira berdiri, dan dengan senang hati Amira menerima kemudian dengan tanpa sungkan dia memeluk
sang kakak. Sejak kepergian Dinan sang kakak berubah menjadi hangat, dia tidak tahu apa yang dikatakan Dinan kepada sang kakak waktu sepekan sebelum lelaki itu pindah.
Namun, Amira harus mensyukuri apapun yang diucapkan lelaki itu karena mampu mencairkan hati sang kakak.
"Kalau baik kenapa bangun siang?" Arif memeluk sang adik dengan erat, kemudian dia menggoyangkan badannya ke kanan dan ke kiri.
Amira tidak menjawab pertanyaan Arif dia justru menikmati kehangatan sang kakak. Dia merasa terlindungi, rasa itu kembali.
"Fatimah begitu ceria, dia mirip denganmu." Arif tiba-tiba bersuara keluar dari jalur.
"Abang berharap, dia tumbuh menjadi sosok yang kuat seperti dirimu."
Amira mengurangi pelukannya kemudian memberi senyum hangat.
"Dia akan tumbuh lebih baik dari pada Ami. Dia akan menjadi sosok yang lebih baik pula dari Ami. Dia sempurna, dia memiliki dua orang tua yang sangat mengagumkan."
Arif mencubit pipi Amira. "Makin dewasa saja," kata Arif dengan senyum manis.
"Sudah tua juga," sahut sang ibu membuat Amira meringis. Dia yakin topik apa yang akan dibicarakan.
"Iya, tua enggak laku-laku."
"Abang, ucapan doa loh. Memangnya mau kalau Ami enggak laku." Bukan merasa bersalah Arif justru tertawa melihat wajah sewot sang adik.
Amira tak murni marah, dia hanya ingin merangkai kehangatan keluarga walaupun ini terasa terlambat tanpa hadirnya sang ayah. Namun mau bagaimana lagi,
takdir sudah menentukan dan manusia tak kuasa mengubahnya. Saat ini yang perlu Amira sadari hanya satu hal, bahwa Allah tak akan mengunci hamba melampaui
batas mampu dan setiap Allah memberi cobaan pasti ada kado indah di baliknya.
*** 2. Penyesalan ?????? ?????? ???? ?????????????? ???????? ??????????? ?????? ????????? ???????? ??????????? ??????????? ???????????? ???????? ???????? ?????? ??????????
"Dan (alangkah ngerinya), jika sekiranya kamu melihat ketika orang-orang berdosa itu menundukkan kepalanya di hadapan Rabbnya, (mereka berkata), "Wahai
Rabb kami, kami telah melihat dan mendengar, maka kembalikanlah kami ke dunia. Kami akan mengerjakan amal shaleh. Sesungguhnya kami adalah orang-orang
yakin."2 [as-Sajdah/32:12] ---- Amira membantu sang kakak ipar merapikan barang-barang bawaannya, kakaknya sudah memutuskan untuk pindah ke Kota ini karena menyadari usia sang ibu yang
sudah tidak muda lagi, juga kenyataan bahwa Amira sudah dewasa dan suatu waktu jika jodohnya datang maka mau tidak mau Amira harus tinggal dan mengikuti
sang suami. Dengan segala pertimbangan ini membuat Arif mantap untuk tinggal di rumahnya enggak dua tahun lalu dia belikan untuk sang ibu dan adik tinggal.
"Barang-barang mas Arif biar dirapikan sendiri, Mi." Amira menatap kemeja yang dia tata di gantungan baju.
"Enggak papa kok, Mbak. Toh ini enggak berat." Amira menoleh ke arah sang kakak ipar dengan senyum tipis.
"Aku enggak enak saja buat kamu capek kayak begini."
"Siapa yang bilang Ami capek? Orang Ami senang." Amira menatap baju-baju sang kakak ke lemari gantung.
"Aku senang melihatmu lebih tenang," kata Dinda, kakak ipar Amira.
"Dulu memang aku enggak tenang ya, Mbak?" Dinda menatap Amira kemudian tersenyum.
"Dulu kamu terlihat tidak nyaman, kamu tampak berbeda dan selalu gelisah hanya untuk sebuah kejadian yang sebenarnya kamu tidak salah. Namun sekarang,
kamu jauh lebih berbeda dan tenang."
Amira tersenyum tipis, dia tidak menyangkal hal itu karena dia memang merasakan hal itu, mungkin dengan seiring berjalannya waktu semua kan semakin mudah
dan dewasa. "Kegiatan kamu apa sekarang?" tanya Dinda sambil duduk, dia tidak kuat lama-lama berdiri karena usia kandungan sudah menginjak usia delapan bulan.
"Mengajar saja sih yang konsisten, kalau yang lain tidak ada yang konsisten lagi deh."
Dinda tersenyum. Dinda memang sosok yang ramah, Amira ingat dulu saat sang kakak memutuskan menikah sebelum berangkat ke Madinah. Amira yang dulu adalah
Amira yang ceria namun mudah takut, dia begitu dekat dengan wanita yang berstatus sebagai istri dari kakaknya. Dia tidak menduga bahwa Dinda akan bersikap
lebih baik dibandingkan kakaknya sendiri.
"Terus kalau pulang mengajar?"
"Kan saya ada jam hanya Senin sampai Kamis itu pun berangkat siang karena masuk setelah zuhur, jadi kegiatan sebelumnya mungkin kegiatan rumah tangga biasa.
Kalau Sabtu dan Ahad biasanya saya ada les memasak gitu."
"Jumat?" "Kalau Jumat itik kajian ustazah Lena." Amira menaruh koper yang sudah kosong di samping almari.
"Nanti ikut ya pas hari Jumat."
Amira tersenyum sambil mengangguk, kemudian dia berjalan menuju tempat tidur sang kakak dan duduk di samping ibu hamil.
"Kamu suka dengan pekerjaan kamu?"
"Suka, saya nyaman dengan semua itu." Amira tersenyum mengingat kegiatan yang menurutnya sungguh menyenangkan.
"Aku bisa melihat dari ekspresi wajah kamu." Dinda mengusap lembut sisi kepala Amira. Bagi Dinda Amira masih adik kecil yang sembilan tahun lalu dia kenal.
"Berarti hari ini kamu ada jadwal untuk les memasak?"
"Enggak Mbak, hari ini Ami ada acara dengan ibu-ibu PKK jadi guest star gitu." Amira berkata dengan tenang.
--- Amira melangkah keluar aula RW perumahan, dia sesekali berjabat tangan dengan ibu-ibu PKK dan mengumbar senyum tipis. Dia menghela napas saat sudah keluar
gerbang, Amira berdiri sejenak untuk mengecek ponselnya. Karena hari ini Amira tidak pergi sendiri melainkan di antar oleh sang kakak.
Abang Abang tunggu di dekat masjid.3
Amira mengerutkan keningnya tanda dia sedang berpikir keras, dia mencoba mengingat jalan yang cepat untuk menuju ke masjid perumahan. Amira sudah sering
datang kemari, dia menjadi salah satu pengisi kegiatan PKK di sini sejak empat bulan belakangan. Amira memilih melewati blog sebelah kanan karena saat
melewati blog sebelah kiri dia akan menjumpai beberapa warung kopi dan hal itu membuat Amira tidak nyaman.
Amira memilih yang sebelah kanan ingin menghindari keramaian para lelaki, namun dia melupakan satu fakta bahwa melewati blog kanan berarti dia melewati


Selamat Datang Halal Karya Mawar May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

depan rumah lama Dinan. Sekali lagi dia menghela napas, jujur dia masih tak bisa menyangkal rasa menyesal yang tak akan mengubah apa pun itu.
Amira berjalan dengan menunduk, sesekali dia mendongak untuk menatap jalan kemudian kembali menunduk lagi. Dia terdiam saat dia tepat berada di depan rumah
lama Dinan. Dia menatap kosong bangunan yang sudah tampak berubah, dulu setahu Amira tidak ada gazebo kecil dan kolam ikan dan sekarang sudah ada. Amira
melamun beberapa saat, hingga suara seorang perempuan berjilbab besar menyadarkan dirinya dari dunia bernama kenangan.
"Kakak jangan lari!" Perempuan berjilbab hitam itu berlari mengejar anak berusia satu tahun. Masih nampak kesulitan untuk berjalan. Amira miris melihatnya,
dia jadi ingat bahwa jika dia menerima lamaran itu mungkin perempuan beruntung itu adalah dirinya. Ya, dirinya yang akan mengejar anaknya yang mulai belajar
berjalan. Untuk ke sekian kalinya Amira menyesal, namun mau bagaimanapun penyesalan Amira dia tidak akan mengubah segalanya.
Perempuan itu menoleh heran ke arah Amira, saat menyadari itu Amira salah tingkah kemudian mengangguk dan berlalu pergi. Dia harus kembali menata hati
yang rasanya sudah porak-poranda. Ibarat puzzle yang sudah lepas dari tempat yang sesuai.
Amira kembali ingat perkataan Nirmala satu tahun yang lalu. Perkataan yang sebenarnya ingin sekali dia lupakan namun seolah tengah mencibirnya dengan senantiasa
muncul di ingatan. "Dinan balik ke kota ini memboyong semua keluarganya. Aku harap yang terbaik buat kalian, kamu bisa menerima takdir yang sudah ditentukan."
Amira kembali meringis, dia menutup wajahnya sejenak menggunakan jilbab lebarnya kemudian dia beristigfar dan kembali berjalan.
Amira menatap mobil sang kakak yang sudah ada beberapa langkah di depannya, dia langsung berjalan cepat dan membuka pintu mobil sang kakak lalu masuk,
hal itu membuat Arif terkejut. Dia heran dengan wajah Amira yang berbeda.
"Kamu kenapa, Mi?" tanya Arif membawa bahu sang adik menghadap ke arahnya.
"Bang, apa salah jika aku menyesal?" tanya Amira membuat Arif bingung, namun dia lebih bingung lagi dengan air mata yang keluar dari mata hidup sang adik.
"Menyesali sesuatu yang salah dan ingin mengubah menjadi lebih baik itu tidak salah. Jika kamu menyesal karena telah melakukan kebaikan sehingga berdampak
buruk bagimu itu baru salah." Arif menghapus pipi sang adik yang tampak basah, walau percuma karena seolah mata itu adalah sumber air yang tak berhenti.
"Aku menyesal telah melepas dia, Bang. Kalau saja aku menerima lamarannya aku mungkin yang saat ini menjadi istrinya, bukan wanita lain. Seandainya aku
bisa memutar waktu aku ingin kembali ke masa itu dan mengubah jawabanku."
Arif menarik tubuh Amira menuju dekapannya, dia membiarkan Amira meluapkan segala isi hatinya.
"Aku menyesal, Bang."
Arif menepuk lembut punggung sang adik.
"Aku menyesal menolak dia Bang. Aku ingin memutar waktu untuk mengubah segalanya." Tangis Amira menjadi, membuat Arif menghela napas pasrah. Dia tahu ini
akan terjadi tapi tidak dia duga jika hal ini cepat menghampiri.
Arif harus menunggu hingga beberapa menit untuk tuk menunggu tangis Amira mereda sebelum dia menasihati sang adik tentang segala ucapannya. Setelah isakan
Amira mengecil dia mengurai pelukan.
"Sudah lebih baik?" tanya Arif sambil menghapus sisa air matanya.
"Baju Abang kena ingus," kata Amira sambil tertawa kecil. Hal itu cukup membuat Arif lega bahwa adiknya sudah tidak setertekan tadi.
"Tidak masalah, asal kamu bahagia," kata Arif dengan nada menggoda.
"Ih, Abang gombal. Aku kasih tahu ke mbak Dinda."
Arif mengelus kepala sang adik gemas.
"Mbak kamu itu sudah khatam Abang gombali." Amira cemberut mendengar ucapan sang kakak.
"Ih, lelaki dan gombalannya." Amira berkata sambil mencibir.
"Baiklah sekarang serius. Kamu mau mendengarkan Abang." Amira menatap Arif tak yakin namun dia mengangguk kepalanya.
"Dalam suatu hadits riwayat Muslim yang artinya 'Bersungguh-sungguhlah dalam hal-hal yang bermanfaat bagimu dan mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam
segala urusan), serta janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa sesuatu (kegagalan), maka janganlah kamu mengatakan, ?seandainya aku
berbuat demikian, pastilah tidak akan begini atau begitu?. Tetapi katakanlah, ?ini telah ditakdirkan oleh Allah dan Allah berbuat sesuai dengan apa yang
dikehendaki?. Karena sesungguhnya perkataan seandainya akan membuka (pintu) perbuatan setan.' kamu pernah dengar?" Amira menatap arif kemudian menggelengkan
kepalanya. "Itu adalah sebuah hadits yang menjelaskan bahwa kita tidak boleh mengandaikan untuk mengubah sesuatu yang sudah lalu. Karena hal itu akan membuat murka
Allah. Jadi apa yang kamu lakukan itu tadi adalah salah. Segera beristigfar dan memohon ampunan Allah."
Amira menatap wajah Arif dengan tidak percaya. Dia tidak menduga jika ungkapan rasa kesal itu adalah sebuah ungkapan yang telah dilarang oleh Allah.
"Sekarang kamu mengerti?" Amira menatap Arif kemudian mengangguk.
"Jangan diulangi lagi," kata Arif dengan tenang kemudian mengelus punggung sang adik sebelum dia kembali duduk menghadap ke depan dan memasang sabuk pengaman.
"Bang, jadi kita tidak boleh menyesal?"
"Boleh menyesal, tapi dalam artian kita mau berubah. Sama halnya kamu yang saat ini pasti menyesal telah melakukan hal yang beberapa saat lalu kamu lakukan.
Dan penyesalan itu harus disertai dengan perubahan sama halnya dengan Taubat disertai dengan janji tidak akan mengulang kembali."
Amira mengangguk mengerti kemudian dia sibuk dengan dirinya sendiri yang mengucapkan istigfar di dalam hati berharap Allah mengampuni dosa-dosa yang telah
dia perbuat baik sengaja atau tidak.
"Ayo berdoa, kita berangkat pulang!" Arif memerintahkan dengan nada lembut. Arif sudah cukup lega dengan perubahan yang ada pada diri adiknya.
*** 3. Tak Terduga ???????? ????? ?????? ??????????? ??????????
"...Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya."
[Al-Furqaan/25 : 2] ---- Langit nampak redup, sang pijar seolah tengah bersembunyi untuk menyamarkan sinarnya. Namun meski sang pijar meredup udara panas masih melingkupi, terbukti
dengan banyaknya manusia yang mulai berpakaian terbuka di muka umum dan juga banyaknya orang yang mengibaskan segala sesuatu untuk menghadirkan sebuah
terpaan angin dingin. Amira melangkah dengan anggun, dia mengenakan baju terusan dengan bagian atas batik dan bagian rok polos berwarna hitam sehingga nampak pakaian formal
potongan padahal jika jilbabnya diangkat akan nampak jelas jahitan sambungan yang tertutup sabuk kain. Amira memakai flatshoes untuk melindungi kakinya.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," salam Amira duduk di depan seorang perempuan cantik berjilbab biru.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab perempuan itu kemudian berdiri memeluk Amira.
"Kangen," kata Nirmala dengan nada manja, Amira terkekeh mendengarnya.
"Baru juga sebulan gak ketemu," kata Amira mengambil duduk di depannya.
"Tetep aja kangen, orang biasanya setiap hari ketemu." Amira mengangguk setuju. Ya, dulu mereka selalu bertemu. Kecuali Selasa itupun kadang keduanya keluar
bersama di luar jam kerja.
"Yah beginilah hidup," kata Amira pelan menyisakan nada getir disetiap rangkaian kata.
"Ya sudah lupakan, bagaimana kabarmu?"
"As you see, I am fine. Bagaimana dengan Mbak?"
"Aku baik, baik sekali." Nirmala mengungkapkan dengan binar bahagia yang begitu terlihat.
"Alhamdulillah, mbak Mala nampak seger." Nirmala menyentuh kedua pipinya yang nampak bersemu merah.
"Benerkah? Alhamdulillah." Nirmala menjawab dengan nada bahagia namun kemudian wajahnya nampak cemberut. "Tapi Dinan bilang aku gendutan. Padahal kata
gendut itu sangat sensitif buat perempuan. Apa lagi ibu rumah tangga seperti diriku."
Amira meringis saat nama sakral itu disebut, bohong jika semua itu mempengaruhi perasaan yang dia miliki, karena nyatanya nama itu masih memiliki singgasana
sendiri dalam urusan hatinya.
"Kamu kenapa?" tanya Nirmala merasa tak salah, Nirmala sungguh tidak mengerti dengan kebungkaman Amira.
"Gak papa, ngomongin masalah gendut jadi ingat kalau berat badanku turun dua kilogram." Nirmala mengotot kemudian mengamati wajah Amira.
"Iya, kamu nampak lebih tirus? Kamu punya masalah?" Amira menggeleng karena dia memang tak memiliki hal yang mempengaruhi perasaan.
"Terus gimana bisa kamu kurusan?" Amira mengangkat bahu.
"Aku mulai kehilangan nafsu makan." Nirmala meringis, Amira bisa melihat raut prihatin di mata Nirmala untuk dirinya.
"Udah minum vitamin?"
"Udah, bahkan dibelikan susu juga sama abang. Tapi mau gimana lagi?" Amira nampak frustasi dengan masalah berat badannya, karena Amira memiliki hal yang
tak wajar, jika seseorang dengan mudah menaikan berat badan berbeda dengan Amira. Bahkan saat gemuk saja yang serasa berisi hanya pipinya badannya tetap
saja seukuran meski nampak lebih batat.
"Periksa ke dokter coba," kata Nirmala memberi ide.
"Iya nanti InsyaAllah." Nirmala mengaguk.
"Sampai lupa kan belum pesan." Nirmala nampak mencari pelayan kemudian memanggil dengan gerakan tangan. Amira menaruh tasnya kemudian mengeluarkan ponsel
untuk mengecek siapa tahu ada informasi penting.
"Kamu pesan apa?"
"Saya paket nasi ayam krispi ditambah tumis cambah dan minumnya teh dengan sedikit gula hangat." Amira kemudian sibuk dengan ponselnya membalas beberapa
pesan dari calon klien yang akan menjadi muridnya.
"Oh ya, nanti mas Damar kemari." Amira menatap Nirmala dengan heran, sebenarnya dia tidak akan heran jika Nirmala mengatakan bahwa suaminya itu akan menjemputnya
yang membuat heran kalimatnya seolah mengatakan bahwa suaminya akan ikut bergabung makan bersama.
"Kenapa?" "Gak papa, Mbak kok kayaknya aneh." Nirmala berkata sambil menunduk.
"Aku hamil," kata Nirmala sambil berbisik. Amira membulatkan matanya, dia menatap Nirmala dengan penuh semangat.1
"Mbak serius?" tanya Amira antusias.
"Ck, kenapa tanggapan kalian sama sih." Nirmala nampak menggerutu kesal.
"Gimana mbak?" "Enggak, kamu orang kedua yang mengetahui. Karena bagiku kamu tetap saudara yang paling istimewa." Nirmala menggenggam tangan Amira dengan penuh haru,
tanpa terasa setetes kristal jatuh di pelupuk mata keduanya.
"Terima kasih Mbak." Amira menggenggam balik tangan Nirmala.
"Nanti akan ada yang aku kenalkan kepadamu," kata Nirmala dengan nada penuh rahasia.
"Siapa?" "Teman mas Damar. Siapa tahu kalian cocok. Dia memang sudah pernah menikah tapi dia baik kok. Dia rekan dosen mas Damar."
"Jadi?" Amira menatap Nirmala penuh selidik. Sebenarnya ini bukan hal pertama yang dilakukan oleh Nirmala jadi Amira sudah kebal dengan kelakuan calon
ibu muda itu. "Ya dicoba dulu, walaupun aku tidak yakin tapi gak ada salahnya. Dia punya satu anak perempuan sudah umur empat tahun tapi dibawah asuhan sang ibu. Jadi
walaupun duda dia seperti single." Amira hanya menanggapi dengan senyum tipis, dia tidakenduga jika ibu muda ini sangat konyol.
"Tapi aneh tahu kehamilan ku ini, Mira!" Amira menatap Nirmala.
"Kenapa?" "Iya, aku gak ngerasain apapun gitu. Aku biasa saja makan dan tidurku gak terganggu, aku juga tidak morning sicknees." Amira menatap Nirmala kemudian mengangguk
kalau boleh jujur sebenarnya Amira bingung menanggapinya, selain karena dia belum pernah hamil dia juga kurang ilmu tentang hal ini. Dia jadi ingat obrolannya
dengan ustadzah Lena tentang seorang muslim harus memiliki pengetahuan yang luas, baik bidang agama, pengetahuan, kebiasaan, kesehatan atau apapun itu.2
"Sebenarnya saya juga kurang paham sih, Mbak. Tapi kata kakak ipar saya dulu saat hamil pertama beliau juga begitu, kata mbak Dinda dia ngebo gitu." Nirmala
nampak antusias dengan ucapan Amira.
"Jadi itu bukan sebuah masalah bukan?"
"Gak masalah sih Mbak, selama bayi yang dikandung dan ibu yang mengandung sehat." Amira tersenyum tipis.
"Doakan ya," kata Nirmala dengan senyum bahagia, Amira sebenarnya di dalam dadanya ada sedikit sayatan dia ingin juga merasakan yang dirasakan Nirmala.
"Sudah periksa ke dokter?" tanya Amira.
"Sudah, tadi diantar Dinan." Nirmala memelankan suaranya saat menyebut nama Dinan dia dengan segera menatap wajah Amira yang mencoba berlagak biasa, semua
itu terbaca oleh Nirmala namun dia tidak bisa berbuat banyak.
"Bagaimana keadaannya?" tanya Amira menatap kosong meja.
"Sehat kok. Terus diberi vitamin juga." Amira mengangguk lagi, meski matanya tak lepas dari rasa hampa.
"Oh ya, bagaimana ngidam dalam pandangan Islam?" Nirmala mencoba mencairkan suasana.
"Terima kasih," kata Amira saat pelayan menyajikan minuman terlebih dahulu.
"Belum paham banget sih," kata Amira sambil meringis.
"Kalau kata Dinan, ngidam itu udah ada sejak dulu." Nirmala mengatakan dengan nada tak yakin.
"Cuman katanya sih gak boleh ngikutin hal yang berlebihan dan aneh. Seperti kalau ngidam gak suka sama bau suami, itu tidak boleh dituruti soalnya itu
adalah hasutan syetan. Pokoknya kita harus memilah begitulah," kata Nirmala sambil menyeruput minumannya.
"Berarti tidak semua ngidam harus diikuti?"
"Iya, katanya juga kalau kita dilarang bilang kalau ngidam itu permintaan bayi dan akan menyebabkan sebuah keburukan jika tidak dituruti." Amira mengangguk
dia paham. "Terus kalau menurut dokter?"
"Dokter gak bahas sih, cuman bilang saja kalau suami harus memberi penjagaan dan pengertian yang lebih." Amira mengangguk.
"Terus tentang ngidam?"
"Bukan dokter yang bilang, tapi Dinan. Katanya sih kalau ngidam itu tidak ada sangkut pautnya dengan bayi, itu hanya murni keinginan sang ibu yang ingin
mendapatkan suatu yang membuat dia nyaman. Jadi tidak semua ngidam harus dipenuhi karena semua itu tidak berimbas kepada apapun kecuali pada diri sang
ibu." Amira mengangguk mengerti.
"Wah, jadi tambah ilmu." Nirmala mengangguk.
"Heran, Kok malah Dinan sih yang tahu banyak." Nirmala mengatakan dengan nada biasa saja, tak menyadari perubahan pada mimik wajah Amira.
"Mungkin dia lebih pengalaman," kata Amira tidak yakin.
"Iya juga sih, dia kan baru nunggu orang hamil." Nirmala membenarkan ucapan Amira. Tak lama makanan pesanan keduanya datang dan keduanya makan dengan sesekali
membicarakan hal-hal ringan, seperti menanyakan keadaan sekolah atau kegiatan sehari-hari.
Setelah selesai makan Amira pamit untuk ke toilet sebentar, dan Nirmala hanya mengangguk karena calon ibu muda itu masih menikmati ikan nila bakar. Amira
tersenyum tipis melihat kebahagiaan yang nampak di wajah sahabat dan sekaligus orang yang dia anggap saudara.
Amira sengaja ke toilet untuk membenarkan posisi gamisnya yang tak nyaman, juga ingin mencuci mulutnya yang terasa berminyak. Amira mencuci tangan dan
kemudian dia berjalan kembali menuju mejanya, dia sedikit heran saat di mejanya sudah ada dua lelaki asing, yang satu menghadap ke arahnya dia kenal sebagai
Damar, suami Nirmala namun yang satu lagi dia tidak bisa melihat wajahnya karena lelaki itu duduk membelakangi dirinya.
"Maaf," kata Amira sambil menggeser kursinya mendekati Nirmala.
"Amira," panggil lelaki itu dan Amira hanya bisa diam membungkam mulutnya dengan hal yang dia lihat.
"Kalian saling kenal?" tanya Nirmala dan Damar bersamaan.
"Iya," jawab Amira kemudian duduk di samping Nirmala.
"Bagaimana kabar kamu?" tanya Farhat mengulurkan tangannya. Namun Amira hanya mengangguk sambil menangkup kedua tangannya.
"Saya baik, Alhamdulillah."
"Wah, menakjubkan! Jadi kalian saling kenal. Hal itu bukankah memudahkan?" Nirmala dan Damar saling pandang dengan tatapan penuh arti, hal itu tidak luput
dari pengamatan Amira. "Dia mantan calon suami saya," kata Amira langsung membuat Nirmala melotot ke arah Farhat dan Amira bergantian, sebelum dia terbatuk-batuk entah karena
apa. "Jadi kalian?" Nirmala mengatakan itu setelah reda batuknya dan Damar dengan sabar mengelus punggung sang istri, hal itu mampu mencubit perasaan Amira.
"Iya, kami saling mengenal." Lagi-lagi Amira mengatakan hal itu dengan santai, karena dia yakin bahwa dia sudah tidak lagi memiliki perasaan kepada lelaki
itu. Namun dia memiliki cukup rasa penasaran dengan status lelaki itu yang sudah menjadi duda. Ingat dia saat bertemu sekitar dua tahun yang lalu rumah
tangga keduanya baik, begitu kata Fatih. Ah, semua itu bukan urusannya, bisa jadi rumah tangga nampak baik-baik saja namun di dalamnya sudah porak-poranda.
"Dan saya sepertinya tidak ingin mengulang masa lalu," kata Amira dengan tegas dan lugas. Ya, saat ini mungkin Amira tak ingin mengulang masa lalu namun
mulut manusia hanya bisa bicara dan kenyataannya hanya Allah yang tahu. Karena hanya Allah yang maha membolak-balikkan hati.
*** 4. Permainan "Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam
sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah" (QS. Al Hajj:70).
--- Amira berjalan tergopoh-gopoh dari halte bus depan komplek perumahan, dia baru saja pulang dari mengajar salah satu calon pengantin memasak. Ya, selain
mengajar di sekolah Amira memiliki dua pekerjaan lagi yaitu menjadi guest star di perkumpulan ibu-ibu juga mengisi kursus disalah satu WO milik salah satu
temannya. Sedang bisnis online yang pernah dia rintis dengan teman-temannya sudah dipelajari salah satu temannya sehingga dia hanya mendapatkan labanya
saja tanpa bekerja, karena kesibukan yang mulai merajalela.
"Aduh, aku telat banget. Masak acara pukul dua aku baru datang pukul empat," kata Amira sambil berjalan.
Tin...tin... Amira mendengar suara klakson mobil, dia berhenti karena dia heran dengan sang pengemudi. Bagaimana tidak heran dia sudah di pinggir apabila masih menghalau
jalan. Amira menoleh ke arah mobil, dia merasa tidak mengenal mobil di depannya, setelah kaca diturunkan baru dia melihat orang yang duduk di depannya.
"Mau bareng?" Pertanyaan itu terlontar dari sosok yang ada di balik setir. Amira terdiam sejenak. Kemudian dia menyadari sesuatu, bahwa takdir tidak akan
bisa diubah. "Tidak terima kasih." Amira menjawab dengan tenang, mencoba menyamarkan suara gemetar dari bibirnya.
"Ya sudah." Dinan kembali menutup kaca mobilnya dan menjalankan mobilnya.
"Hanya seperti itu?" Amira berkata dengan lirih, entah apa lagi yang akan dia harapkan. Dinan tadi bersama seorang perempuan yang tak tahu siapa karena
nampak duduk di kursi belakang. Amira juga tidak sempat untuk sekedar mengintip karena di sudah sibuk dengan menenangkan diri sendiri.
Amira menghela napas kemudian dia berjalan dengan pelan, tak lagi terburu-buru. Niatan yang begitu menggebu-gebu untuk melihat anak Faris sudah hilang
begitu saja tanpa bekas. Amira seolah kembali tenggelam dalam lautan kenangan.
Kejadian barusan mengingatkan dirinya pada kejadian Senin pagi itu, saat Nirmala yang sedang duduk bersama Dinan di mobil memberinya tawaran yang sama
dan dengan jawaban yang sama pula ia berikan. Kenangan itu seolah mencuat ke dalam permukaan. Ingatan tentang Dinan yang seolah dia pendam kini kembali
membayanginya, Amira mengusap wajahnya kemudian mengucapkan istighfar berulang-ulang.
Amira membuka pagar rumah kemudian dia sesekali menoleh ke rumah sebelah yang nampak ramai dengan bukti banyak mobil berjajar. Amira meringis merasakan
gemuruh di dalam hatinya. Dia menaruh rasa iri dengan segala kebahagiaan yang tidak dia dapatkan. Amira menunduk kemudian mengangkat wajahnya, tanpa sengaja
dia melihat kumpulan lelaki berjalan keluar rumah. Dia segera berpura-pura melihat dan kembali berkutat dengan kunci pagar yang tiba-tiba sulit dia buka
karena tangannya bergetar.
"Assalamualaikum," salam Faris membuat Amira menoleh.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab Amira menunduk.
"Baru pulang, Mi?" tanya Faris.
"Iya Pak." Amira menunduk.
"Oh, memangnya ada banyak job orang yang mau nikah?"
"Lumayan pak." "Ya sudah kami permisi, sudah adzan." Amira hanya menunduk kemudian segera membuka kunci pagar dan berjalan masuk. Menghindari segala hal tentang masa
lalu. Dia tadi melihat banyak orang yang dia kenal namun bukan mau sombong dengan tidak menyapa dia hanya menjaga dirinya sendiri.
Amira masuk ke dalam rumah tak lupa menutup kembali, kemudian dia. Segera melepas sepatunya dan berjalan menuju kamar mandi. Dia akan mencuci kaki dan
mengambil air wudhu untuk sholat asar sebelum datang ke rumah Faris. Kalau bukan karena keluarga kakak dan ibunya sedang pergi dia mungkin memilih tidak
datang namun mau bagaimana mana lagi dia harus datang sebagai perwakilan keluarga.
Amira mengambil air minum kemudian meminum hingga tandas sebelum dia masuk ke dalam kamar. Amira menggelar sajadah dan melaksanakan sholah asar sebanyak
empat rakaat. Setelah sholat Asar Amira tidak lupa dzikir kemudian dilakukan dzikir sore juga. Dzikir selain dzikir sholat wajib ada juga dzikir yang dilakukan
sesudah subuh dan sesudah sholat asar. Kalau kakaknya sering bilang melafalkan ma'surat.
Setelah rutinitas yang biasa dia lakukan selesai baru Amira mengambil satu set jubah yang sudah dia setrika tadi pagi sebelum berangkat mengajar. Amira
memilih gamis berwarna merah gelap dengan bentuk bagian bawah lebar setengah lingkaran. Ada tali di bagian pinggang yang tertutup dengan jilbab lebar.
Amira mengenakan jarum di bawah dagunya kemudian mengambil kotak hadiah yang sudah dia siapkan, namun sebelumnya dia tidak lupa memasukan ponsel ke dalam
saku. Amira kembali bercermin, kemudian keluar dari kamar dan menutup pintu. Amira melangkah menuju luar dan mengunci pintunya, dia dirumahnya sendiri jadi pintu
rumah harus dikunci saat dia pergi kemanapun. Amira keluar perkarangan sempit rumahnya, baru menutup pagar besi rumahnya dia melihat sebuah pemandangan
yang membuat mata gatal dan memerah. Di sana nampak Dinan sedang menggendong batita yang sedang disuapi oleh seorang perempuan cantik. Amira menghela napasnya,
dia sempat goyah namun dia harus kuat.
Amira melangkah menuju rumah Faris seolah tak melihat keluarga kecil itu, dia masuk lewat pintu depan dan disambut oleh Maida, istri Faris.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," salam Amira.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab Maida, yang awalnya hendak memanggil sang suami.
"Wah, kok repot sih Am."
"Gak repot kok Mbak, cuman kado kecil buat adek sholeh." Amira mengusap kepala bayi yang ada digendong oleh Maida.
"Mari masuk, sudah sepi!" Amira mengangguk.
"Maaf ya Mbak, gak sesuai undangan."
"Gak papa kok Ammah, yang penting doanya." Maida menjawab dengan suara anak kecil. Amira tersenyum mendengar ucapan itu.
"Iya, semoga menjadi anak yang Sholeh. Berbakti kepada orangtuanya, berkah untuk orang tua dan untuk ummat Islam." Amira membelai kepala bayi berusia tujuh
hari itu. "Aamiin, jazakillah doanya ammah."
"Aamiin waiyak," jawab Amira kemudian dia menjabat tangan para kerabat yang masih di rumah itu. Tak lama dia kembali duduk di samping Maida.
"Pingin gendong?" Amira mengangguk tak yakin.
"Tapi takut," kata Amira seperti cicitan.
"Gak papa, Mbak nanti juga terbiasa." Kata seorang perempuan dengan jilbab biru tua.
"Maklum belum pengalaman."
"Sini saya bantu," kata perempuan itu dengan ramah. Amira mengangguk tegang.
"Jangan dipaksa, Fa. Nanti kalau gak nyaman bahaya." Amira mendongak menoleh cepat ke arah Dinan dan Faris yang sudah berdiri tak jauh dari tempat dia
duduk. "Ya dipaksa dong Mas, kan mbaknya ini perempuan nanti juga bakal punya anak." Amira mencela mendengar ucapan perempuan itu. Dia tidak menduga akan demikian,
dia lupa jika perempuan ini adalah perempuan yang sama dengan yang dia lihat bersama Dinan.
"Gak deh Mbak, saya masih belum bisa."
"Jangan dipaksakan, seorang perempuan memiliki nalurinya nanti saat memiliki anak pasti berani dengan sendirinya." Dinan memberikan anak perempuan dalam
gendongannya kepada perempuan berjilbab biru tua itu.
"Kamu mau di sini atau pulang?"
"Mas Dinan mau pulang?"
"Iya, tapi gak ke rumah. Mau menjemput Damar dan Mala."
"Aku di sini saja." Dinan mengangguk kemudian berpamitan kepada Faris. Tanpa diduga Amira menoleh ke arah Maida yang sudah berubah ekspresinya.
Apa Maida tahu bahwa Nirmala sempat memiliki perasaan kepada suaminya?
Amira menghela napas pelan kemudian dia membelai lembut pipi bayi dipangkuan Maida.
"Namanya siapa Mbak?" Amira mencoba mencairkan suasana, dia tidak tahu namun suasana nampak canggung.
"Namanya Muhammad Ali. Panggil Ali Ammah."


Selamat Datang Halal Karya Mawar May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Wah, semoga berbudi luhur dan mulia seperti Ali bin Abi Thalib." Amira masih senantiasa membelai lembut pipi bayi mungil itu.
"Zahra mau lihat, cium Nak!" Bayi perempuan itu mencium pipi Ali dengan gemas.
"Pas lahir berapa Mbak beratnya?"
"Tiga puluh depan ons dan tinggi limapuluh."
"Cukup panjang ya," kata perempuan berjilbab biru tua.
"Iya," kata Maida.
"Kalau normal bisa langsung fresh ya Mbak. Dulu aku sempat dikasih marah sama mas Dinan karena pingin anakku lahir cesar. Kan kata orang bayi sesar itu
volume otaknya baik karena gak terjepit, jadi aku pikir gak papa kan cesar. Tapi mas Dinan ngotot minta normal, karena katanya pengaruh pada saluran pernapasan
gitu." "Ya namanya perempuan itu biasanya pingin normal, kok kamu aneh sih, Ga." Maida berkata dengan nada rendah.
"Kan dulu masih muda banget, Mbak. Pengetahuan kurang." Maida hanya mengangguk saja tanpa menjawab.
"Oh ya, keponakan kamu siapa namanya, Am?"
"Fatimah Mbak, sudah pernah ketemu?"
"Sudah, itu waktu jalan-jalan sebelum lahiran. Ketemu dia abis ikut abinya ke masjid sholat subuh." Amira tersenyum sambil mengangguk.
"Nama lengkapnya siapa?"
"Fatimah." Amira menjawab dengan yakin.
"Oh, hanya satu kata?"
"Iya," jawab Amira kemudian Maida mengaguk. Sedang perempuan yang tadi bersama Dinan sudah keluar mengikuti langkah kaki anaknya.
"Memang dalam Islam dianjurkan untuk memberi nama sekata, karena ditakutkan menjadi kumpulan beberapa orang kalau beberapa penggal kata. Terus juga ada
beberapa nama juga yang dilarang." Amira menatap Maida dengan antusias, bayinya dimasukkan ke dalam jilbab karena sedang menyusu.
"Iya, seperti pemberian nama menggunakan nama yang milik Allah, seperti Wahid, Karim, Rozak. Itu dilarang jika hanya satu nama maka harus ada yang lainnya
seperti Abdullah, Abdul begitu." Amira mengaguk kemudian tersenyum tipis.
"Terima kasih Mbak jadi tambah ilmu." Maida tersenyum.
"Menyandarkan nama dengan agama juga dilarang, Am."
"Maksudnya?" Amira nampak bingung.
"Addin, itu kan agama. Contohlah nama Syaifuddin, itu dilarang. Padahal selama ini Indonesia sangat menjamur nama dengan menyandarkan agama."
"Wah, baru tahu Mbak."
"Aku juga tahu dari mas Faris waktu kami membahas nama bayi."
"Terus kalau yang memiliki hak memberi nama itu suami benar ya, Mbak?"
"Iya, benar. Pemilik nasab dan pemberi nama itu adalah hal seorang suami." Amira mengaguk kemudian dia menatap ke arah jam. Sudah menunjukkan pukul lima
lebih, dia pamit untuk undur diri namun dilarang oleh Maida. Maida meminta Amira untuk makan terlebih dahulu.
*** 5. Tiba Waktunya "Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan . "
(QS. Ar Rahmaan: 29). --- Amira berjalan pulang ke rumah, dia membawa sekotak nasi dan cenderamata dari Maida. Dia sesekali memainkan kakinya saat berdiri di dekat sebuah mobil,
dia diam mengamati mobil merah yang sudah sejak empat tahun mengikuti kemanapun dia pergi. Mobil itu terparkir di pinggir jalan sekitar tiga atau empat
rumah di sebelah rumah Amira.
Amira selama ini tidak merasa terganggu, dia hanya heran apa lelaki di balik kemudi itu, apa dia tidak bosan dan lebih parahnya apa orang itu tidak memiliki
pekerjaan. Amira semakin heran dengan kelakuan yang tak wajar itu, ingin sekali rasanya dia berjalan mendekati mobil itu dan melihat langsung siapa pengemudi
di dalamnya, namun sayang Amira tak memiliki keberanian sebesar itu. Dia terlalu takut untuk mengetahui kebenaran yang ada.
"Kamu sudah mau pulang?"
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, Mbak!"
"Ups, lupa." Nirmala nyengir. " Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Amira hanya tersenyum kecil.
"Sudah mau pulang?" Nirmala mengulang pertanyaan.
"Iya," jawab Amira.
"Yah, padahal aku baru datang."
"Mampir kalau berkenan." Amira memberi kode ke arah rumahnya.
"Iya, nanti kami mampir deh. Siapkan makanan yang banyak." Amira tersenyum tipis sambil mengangguk.
"Ya sudah, aku masuk dulu." Amira mengangguk kemudian membawa netranya mengikuti langkah Nirmala.
"Ternyata tidak berubah," kata Dinan yang bersandar di dekat mobil. Amira terkejut, namun kemudian dia memasang wajah datar.
"Maaf," kata Amira pelan. Amira bisa melihat Dinan berdiri tegak kemudian melangkah.
"Assalamualaikum," suara salam Dinan terdengar di indra pendengaran Amira. Amira sempat menahan napas karena dia terlalu tegang, bahkan saat Dinan sudah
tidak terlihat dia merasa jantungnya masih berdebar dan lututnya terasa lemas.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," kata Amira pelan kemudian dia mengambil napas dan berjalan menuju pagar rumahnya.
Amira menaruh kotak nasi di atas meja makan kemudian dia masuk ke dalam kamar mandi namun sebelumnya dia sudah melepas kaos kakinya. Amira mengambil wudhu.
Amira keluar dari kamar mandi dengan kaki kanan terlebih dahulu kemudian dia mengambil piring untuk memindahkan sayur dan lauk pauk di dalam kardus supaya
tidak basi karena tercampur dengan nasi. Setelah hal itu selesai Amira melangkah menuju kamarnya.
Amira mengambil beberapa stel jubah kotor miliknya. Dia melepas segala peniti dan juga merogoh setiap kantong sebelum memasukkan ke dalam mesin cuci.
Amira memilah baju-baju sang ibu juga kakaknya yang warnanya senada dengan milik Amira. Kemudian memasukkan ke dalam bak cuci sebelum dia membasahi dan
memberi sabun cuci cair terlebih dahulu.
Amira menyalakan mesin cuci, dia mengambil setelan hingga kering. Jadi membutuhkan waktu cukup panjang dan bisa ditinggal oleh Amira. Setelah urusannya
selesai Amira melangkah menyalakan lampu rumah dan membawa beberapa gelas Yanga dan di meja menuju bak cuci piring.
Amira kembali ke kamar dan mengganti bajunya dengan terusan rumah yang biasa dia gunakan dan jilbab sebatas perut yang sering dia gunakan saat di rumah.
Amira kembali ke dapur, menyisingkan lengan kemudian mencuci beberapa piring dan gelas.
Amira berjalan menuju kamar mandi dan mengambil air wudhu karena adzan Maghrib sudah terdengar saling menyahut dari segala penjuru. Amira jadi ingat, sebuah
cerita bahwa jika di dengar dari luar angkasa satu suara yang tak pernah terputus sepanjang waktu berjalan yaitu adzan. Selalu sambungan menyambung hingga
awal hari hingga tak ada cela untuk tak mendengarkan suara itu. Amira sangat takjub dengan kuasa Allah bagaimana tidak? Di mana ada manusia mengatur hal
sedemikian rupa. Dengan yakin Amira akan menjawab tidak akan ada yang mampu.
Amira kembali ke dalam kamar dan melaksanakan sholat Maghrib. Dia akan melakukan sholat sunah rawatib juga. Setelah kewajiban yang dia miliki terpenuhi,
Amira kembali keluar dari kamarnya menuju mesin cuci yang tadi dia nyalakan. Namun belum menginjak tempat cuci dia mendengar suara ramai di depan rumah.
"Sini ikut bibi jangan gendong Tante Mala." Terdengar suara tegas Dinan, hal itu membuat Amira heran dan juga penasaran. Namun penasaran itu sepertinya
akan segera terjawab dengan syarat dia membuka pintu.
"Assalamualaikum," terdengar salam. Amira menatap pakaiannya, kemudian dia segera menyambar jilbab baru saja dia taruh di sandaran kursi. Amira memasang
jilbab dengan terburu-buru.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh," jawab Amira kemudian pintu terbuka. Nampak beberapa orang berdiri.
"Mari silahkan masuk!" Amira membuka pintu sedikit lebih lebar.
"Silahkan duduk," kata Amira dengan ramah, walaupun sebenarnya beritanya sudah terasa terkruwes karena nervous.
"Sebentar saya ke belakang," kata Amira hendak membuatkan minum.
"Tidak perlu repot, kita juga baru makan kok." Perempuan yang dia lihat di rumah Faris tadi membuka suara.
"Oh, tidak repot kok." Amira ke belakang mengambil jus mangga yang tadi dia taruh di kulkas. Amira tak lupa menyajikan beberapa kue kering.
"Silahkan," kata Amira.
"Terima kasih." Amira menoleh ke arah Nirmala yang sedang bersandar manja kepada suaminya.
"Mas Damar betah banget emang kayak gitu?" Amira bertanya dengan nada menggoda, Nirmala yang peka langsung melotot ke arah Amira.
"Kenapa Mbak? Ada yang salah?" Amira masih mencoba menggoda. Nirmala memutar bola matanya kemudian bangun dari sandaran.
"Tahu dengan sindiran begini dia bangun, saya minta tolong sejak tadi ke kamu Mira," kata Damar dengan nada menggoda dan dia harus meringis karena mendapat
hadiah cubitan dari Nirmala.
"Ini buat sendiri?" Nirmala mengambil satu toples dia bawa ke pangkuannya.
"Enggak, sama kakak ipar dan ibu."
"Maksudnya gitu. Ih, kamu...." Ucapan Nirmala terpotong deheman Dinan. Calon ibu muda itu meringis saat ditatap Dinan dengan penuh ancaman.
"Dinan nyebelin Mas," Nirmala mengadu kepada sang suami namamu hanya dibalas anggukan saja.
"Sendiri di rumah?" Dinan mengeluarkan suara.
"Iya, tapi bentar lagi juga pada pulang. Tadi udah SMS kalau udah di jalan." Amira menjawab dengan nada dibuat sebisa mungkin, padahal hatinya udah porak-poranda.
"Tinggal sama siapa?" Damar bertanya setelah menelan cookies yang disuap sang istri.
"Oh, ada keluarga kakak dan juga ibu." Damar mengangguk.
"Gak sepi kalau ada anggota yang lain," kata Damar sambil mengangguk.
"Yang ini enak." Amira menoleh ke asal suara, dia menatap heran Nirmala yang sudah membuka empat jenis cookies yang dia sajikan.
"Oh itu kue marmer Mbak. Enak dan keras, saya juga suka itu tapi buatan cukup lama karena mengalihkan adonannya sulit."
"Warnanya menarik," kata Nirmala masih dengan mengunyah cookies di depannya.
"Iya, itu kan rasa susu putih sama susu coklat dicampur. Namanya juga marmer jadi dicampur namamu tidak benar-benar campur." Amira menjawab dengan santai,
dia sudah bisa menguasai perasaan yang ada di dalam pikirannya.
"Mas Dinan gak mau nyoba?" Amira menoleh ke arah perempuan yang sedang memegang tubuh anaknya supaya tidak kabur. Amira cukup terpesona dengan kecantikan
dan juga keluwesan istri Dinan. Mungkin hal ini i sebanding dengan seorang Dinan yang sederhana.
"Udah kamu makan saja, ibu menyusui membutuhkan banyak asupan makanan." Rasanya Amira seperti terhimpit batu, dadanya sesak dan sulit untuk bernapas. Dia
tahu, cepat atau lambat dia akan melihat bagaimana sikap Dinan terhadap sang istri, namun dia masih belum menyangka jika rasanya sehancur ini.4
"Assalamualaikum," salam suara dari luar, ternyata keluarga Amira sudah pulang.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh." Amira berdiri dari duduk ya untuk menyambut kedatangan. Amira segera menghampiri sang kakak yang sedang menggendong
Fatimah yang tertidur dan mengambil dari gendongan.
"Wah ada tamu," kata Dinda saat melihat banyak orang di ruang tamu.
"Saya permisi ke belakang." Amira berpamitan untuk menidurkan Fatimah. Amira cukup lama di dalam kamar karena Fatimah memeluk lehernya dengan kuat.
Amira menutup pintu dengan pelan, dia takut membangunkan Fatimah yang nampak lelah. Amira berjalan keluar dan dia mengerutkan keningnya saat para perempuan
sudah ada di ruang keluarga dan lelaki di ruang tamu.
"Bu....Bu...." panggilan dari depan membuat ibu Amira segera berjalan menuju ruang tamu, Amira hanya mengangkat bahu kemudian duduk di samping Dinda.
"Ada apa Mbak?"
"Gak tahu, tadi Abangmu tiba-tiba manggil." Amira mengaguk.
"Oh iya, silahkan dinikmati." Amira menoleh ke arah Nirmala yang sudah bersandar.
"Kenapa Mbak?" Nirmala menoleh.
"Aku kenyang banget," kata Nirmala sambil menyengir. Amira hanya geleng-geleng kepala.
"Nanti tak kasih setiap orang satu toples cookies." Amira berdiri membuka lemari yang ada di belakang sofa.
"Beneran? Ah jangan deh aku jadi malu," kata Nirmala mengundang tawa. Amira tersenyum tipis melihat kelakuan ibu hamil itu. Ah, mungkin itu pengaruh hormon
juga. "Santai saja kali Mbak," kata Dinda di sela tawanya. Amira membawa dua tas kain. Satu tas untuk Nirmala dan satu tas untuk keluarga Dinan.
"Ini nitip buat bunda juga ya," kata Amira memasukkan toples sambil menghadap perembuat bergamis biru tua yang sedang menepuk-nepuk anaknya yang nampak
akan tidur. "Iya, terima kasih." Amira mengaguk.
"Diajak pulang," kata ibu Amira yang nampak bahagia setelah dari ruang tamu.
"Ibu seneng banget," kata Dinda.
"Iya, kelihatan banget ya?" Amira menghela napas kemudian menghela tamu ke depan dengan membawa dua kantung tas.
"Mir, everything is Okey." Bisik Nirmala saat ibu hamil itu memeluk Amira seolah lama tak akan berjumpa.
"Kalau semuanya baik-baik saja segera ngomong sama mas Damar." Nirmala cengengesan sambil melepas Amira di depan pintu.
"Kok kamu tau sih," kata Nirmala.
"Saya cukup peka." Amira menjawab dengan sewot.
"Ih, sewot amat." Amira menarik bibirnya tipis. Dia melihat Dinan yang mengambil alih balita perempuan itu dan menggendongnya. Dia kembali mengingat kejadian
di sore itu, Dia sudah bertekad untuk melepaskan.
"Dek, ingat Damar gak?" Arif bersuara membuat netra Amira menoleh ke arah Arif.
"Damar siapa?" "Ya Allah, jadi ini si mungil Ami." Damar berseru dengan suara excited membuat Amira merasa berlebihan dengan tanggapan Damar.
"Mas Damar kenal?" Nirmala menyuarakan keinginantahuan Amira.
"Iya, dulu kami tetanggaan." Amira menoleh cepat.
"Iya kah?" Amira bersuara tidak yakin.
"Iya, dia itu Dama yang biasanya main rumah-rumah sama kamu yang selalu berperan jadi suami kamu." Amira menoleh horor ke arah Nirmala yang juga nampak
syok. "Tapi mas Damar suami aku," kata Nirmala tak terima. Amira menghela napas.
"Ambil saja, Ami hanya masa lalu. Jugaan itu hanya main-main." Amira terkekeh geli.
"Mungkin lain kali kita perlu nostalgia, Mas." Amira berkata dengan nada menggoda.
"Amira!!!" Semua tertawa melihat wajah kesal Nirmala.
*** 6. Pertemuan "Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang
yang beriman harus bertawakal."
(QS. At Taubah:51) Amira tidak menduga jika saat ini dia duduk berhadapan dengan sosok yang berada diurutan kedua tak ingin dia temui, Farhat. Karena pada tangga paling atas
diduduki oleh seorang lelaki bernama Ardinan Nawwaf. Ya, lelaki itu masih menjadi daftar nomor satu orang yang harus dihindari dan tidak ingin ditemui
oleh Amira. Amira masih bisu dengan segala keadaan, keinginannya untuk membuat resep seolah gagal karena sosok pengganggu di depannya. Sungguh dia tidak memiliki sedikitpun
niat berbicara dengan lelaki itu, tapi apa daya saat lelaki itu yang tiba-tiba duduk di depannya dengan membawa secangkir kopi. Dia bisa apa? Mengusir?
Tidak mungkin dia harus menghadapi, Amira tak ingin dicapai sebagai perempuan gagal move on. Tapi setelah dipikir- pikir dia memang perempuan gagal move
on, tapi bukan sosok di depannya sebagai tersangka ada yang lainnya lagi.
"Bagaimana kabar kamu?" Amira menutup majalah yang dia baca.
"As you see, I am very good. So don't worry about me." Amira menjawab dengan nada dalam.
"Aku bisa melihat itu, ya kamu sudah berubah banyak sekarang." Amira menoleh ke kanan dan ke kiri.
"Kata pak Damar kamu free, jadi apa boleh kita mengulang kisah yang dulu." Inilah Farhat, lelaki yang selalu melakukan hal yang kadang diluar dugaan Amira
dan sering kali yang dilakukan adalah hal-hal yang menurut Amira tak nyaman.
"Bukankah jelas kalau aku tak ingin mengulang kisah masa lalu." Amira menjawab dengan santai.
"Kita tidak mengulang kisah masa lalu, kita membuat kisah baru."
"Selalu to the points." Amira berkata dengan nada menyindir.
"Kamu tahu secara pasti bahwa aku tak banyak bicara." Amira menaikan bahunya dengan santai, dia seolah tak terpengaruh.
"Bagaimana?" Amira masih diam saja.
"Aku tahu dan sadar bahwa yang kamu lakukan kepadaku waktu itu benar. Ya, kamu benar dengan menolak diriku karena aku merasakan kegagalan karena niatan
pernikahanku. Aku belajar dari semua itu, bukan sekedar kebutuhan yang harus jadi dasar kita menikah namun juga karena sebuah ibadah. Dan kini aku sudah
memperbaharuinya, niatku sepenuhnya karena ibadah." Amira menoleh ke kanan dia tak ingin sedikit saja melihat ekspresi wajah Farhat, karena entah mengapa
Amira bersimpati dengan perubahan Farhat.
"Aku ingin mengubah semuanya, ayo kita saling menyokong!" Amira tetap pada posisinya, dia bingung harus menjawab apa. Dia akan dengan senang hati meledak-ledak
jika Farhat akan bersikap egois dan tak mengakui kesalahan, namun ini tidak dia tidak memperkirakan tanggapan apa yang harus dia berikan.
"Amira," panggil Farhat penuh permohonan.
"Saya tidak tahu, yang jelas saya tidak bisa. Bukan saya belum bisa menelaah perasaan saya sendiri." Amira si pendiam itu memilih jujur dengan segala hal
yang di depan matanya, dia tak mampu hanya sekedar untuk berbohong dan membuat orang lain terluka.
"Jadi aku masih memiliki kesempatan?" Farhat nampak antusias, semua itu terdengar dari suaranya yang bersemangat.
"Semua orang memiliki kesempatan, hanya saja semua itu bukan kuasa saua untuk memberinya. Bagi saya semua yang lalu itu sebuah pelajaran, saya hanya belajar
dari yang sudah-sudah."
"Aku pikir kamu akan menolak memberi kesempatan," kata Farhat tak yakin.
"Mengapa harus? Allah saja yang maha dari segala maha mau memberi kesempatan hambanya yang berulang kali melakukan kesalahan. Jika saya mengaku beriman
kepada Allah berarti aku juga harus meneladani dan mengambil pelajaran bukan?" Amira menyeruput jusnya kemudian dia berdehem.
"Ini bukan sebuah hubungan asmara atau apapun. Kamu memiliki kesempatan yang sama dengan orang yang ada di luar sana. Karena saya tidak pernah tahu dengan
siapa akan menikah dan jodoh saya, yang saya tekankan semua ini belum finish karena saya belum tentu memilih kamu. No komitmen before marriage." Amira
mengeluarkan uang kemudian menaruh di meja dia hendak meninggalkan Farhat.
"Assalamualaikum," kata terakhir yang diucapkan Amira sebelum dia mengambil majalah dan berjalan keluar kafe yang dia kunjungi.
Amira melihat jam yang melingkar di lengan kanannya, kemudian dia menghela napas karena setelah sekian lama dia duduk di bangku tadi namun dia tak jua
mendapatkan resep baru. Amira mendorong pintu kaca, namun dia dikejutkan dengan ke hadiran sosok nomor satu yang dia hindari.
Dinan, lelaki itu berdiri tepat di depan pintu dengan mengenakan celana bahan di atas mata kaki dan kaos polos yang dilapisi kemeja flanel. Amira terdiam
cukup lama, karena dia merasa de ve ju dengan keadaan ini, seolah dia ditarik melewati dimensi waktu untuk kembali ke masa lampau.3
"Kamu hanya ingin berdiri di situ?" Suara itu menyadarkan Amira, sehingga membuat Amira menunduk salah tingkah.
"Maaf," kata Amira kemudian dia berjalan tanpa memperdulikan kehadiran Dinan. Dia berjalan serasa menyebut nama Allah dan banyak kalimat toyyibah yang
dia ucapkan untuk menenangkan detak jantungnya yang terasa begitu kencang. Dia merasa seolah jika tidak ditenangkan maka jantungku akan meledak dalam waktu
dekat. --- Amira meletakkan tas dan buku yang dia bawa di atas ranjang, Dia menghela napas panjang. Entah apa yang saat ini dia rasakan karena pada kenyataannya dia
tak mampu menilai seorang diri. Dia lelah dan dia tak ingin menelaah lebih dalam lagi.
Amira mengucapkan basmalah kemudian melepas jilbabnya, menaruh di hanger kemudian menggantungnya. Amira merasa janggal dengan kemunculan Dinan beberapa
saat yang lalu, dia merasa bahwa ini bukan sebuah kebetulan tapi dia tak berani berharap lebih karena dia ingat Dinan adalah salah satu suamiable, Dinan
tidak mungkin melakukan hal yang tidak menyenangkan itu.
Amira mengambil baju yang dia gantung di dekat jilbabnya kemudian dia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Amira masuk dengan kaki kiri
dan tak lupa untuk mengucapkan doa.
????? ?????????? - ??? ???? ???? ???? - ????? ?????? ?????????? ????? ? ?????????? ?????? ??????? ???? ???? ????????? ?????????????? ?
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika memasuki jamban, beliau ucapkan: Allahumma inni a'udzu bika minal khubutsi wal khobaits (Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari setan laki-laki dan setan perempuan)."
(HR. Bukhari no. 142 dan Muslim no. 375.)
Tak membutuhkan waktu lama, Amira keluar dengan baju yang berbeda, dia melangkah menggunakan kaki kanan terlebih dahulu dan mengucapkan doa.
????? ?????????? -??? ???? ???? ????- ????? ????? ?????? ???? ?????????? ????? ? ??????????? ?.
"Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa setelah beliau keluar kamar mandi beliau ucapkan "ghufronaka" (Ya Allah, aku memohon ampun pada-Mu).
(HR. Abu Daud no. 30, At Tirmidzi no. 7, Ibnu Majah no. 300, Ad Darimi no. 680. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.)
Amira kemudian kembali duduk di pinggir tempat tidurnya, dia jadi mengingat kebiasaan lamanya. Dulu Amira selau berlama-lama di kamar mandi, dia sangat
suka di kamar mandi karena baginya kamar mandi adalah tentang menyegarkan tubuh dan otak. Tapi sekarang tidak lagi, karena dia tahu bahwa kamar mandi adalah
tempat yang paling disukai syetan.
Amira juga ingat beberapa adab di kamar mandi yang baru dia pelajari saat usia sudah menginjak dewasa. Diantaranya adalah ; masuk dan keluar membaca doa,
masuk mendahului kaki kiri dan keluar mendahului kaki kanan, tidak membaca ayat Al-Qur'an di kamar mandi, tidak bernyanyi, tidak berlama-lama di kamar
mandi dan tidak boleh menggantung baju di kamar mandi. Jadi dari semua pelajaran itu Amira mulai mencoba merubah diri dan berusaha sebaik mungkin mengikuti
aturan yang sudah ditetapkan.4
Amira menatap tangannya, dia melihat cincin yang ada di jari manis sebelah kiri. Dia melihat ada noda putih di sela-sela cincin. Dia melepas cincin itu
kemudian menaruh di laci, kata kakaknya cincin itu dibeli di Arab Saudi jadi sangat berharga. Hah, Amira hanya mendesah mengingat pemaksaan Arif untuk
mengenakan cincin itu. Amira kemudian kembali masuk ke kamar mandi untuk wudhu karena adzan Maghrib sudah berkumandang.
"Ami," panggil Dinda, Amira hanya diam saja karena saat itu posisinya ada di dalam kamar mandi. Karena larangan di dalam kamar mandi berbicara itu sudah
mutlak jadi tidak bisa diganggu gugat kecuali ada sesuatu yang darurat.
"Iya, Mbak!" seru Amira setelah mengucapkan doa keluar kamar mandi dan doa sesudah wudhu. Amira segera mengenakan jilbab yang dia pakai di ruang kemudian
mengambil mukena. Sudah sejak hadirnya sang kakak ipar, Amira selalu sholat jamaah di rumah. Tidak lagi munfarid karena sang kakak dengan baik hati selalu
memanggil. Dulu Amira sering kali melakukan sholat sendiri atau sesekali dia pergi jamaah ke masjid. Namun, semuanya sudah berubah sejak Amira mulai sering mendatang
kajian dan dia mulai sedikit demi sedikit mempraktekkan semampunya mulai dari hal-hal kecil seperti anjuran masuk dan keluar rumah mendahului kaki apa
atau doa-doa juga tentang makanan.
Ah, membicarakan masalah makanan, Amira menjadi sangat semangat untuk belajar, dia adalah seorang guru memasak dan makanan adalah faktor utama kehidupan
jadi jika yang dimakan benar maka ibadah pun akan semakin giat. Begitu pikir Amira.
"Nanti simak mbak murojaah ya, soalnya mas-mu nanti ada rapat." Amira mengangguk kemudian menatap shof sholat dengan berdiri di sebelah kanan Dinda, dan
Fatimah berdiri di sebelah kiri sang ibu. Dulu Amira pikir shof sholat imam lelaki dan perempuan itu sama saja. Namun setelah mempelajari banyak hal tenyata
berbeda. Dari Roithoh Al Hanafiyah, dia mengatakan:
?? ????? ????? ????? ????? ?? ???? ??????
"'Aisyah dulu pernah mengimami para wanita dan beliau berdiri (sejajar) dengan mereka ketika melaksanakan shalat wajib." (HR. 'Abdur Rozak, Ad Daruquthniy,
Al Hakim dan Al Baihaqi. An Nawawi mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Namun hadits ini dilemahkan/ didho'ifkan oleh Syaikh Al Albani, namun dia
memiliki penguat dari hadits Hujairoh binti Husain. Lihat Tamamul Minnah, hal. 154)
Begitu juga hal yang sama dilakukan oleh Ummu Salamah. Dari Hujairoh binti Husain, dia mengatakan:
????? ?? ???? ?? ???? ????? ???? ?????
"Ummu Salamah pernah mengimami kami (para wanita) ketika shalat Ashar dan beliau berdiri di tengah-tengah kami." (HR. Abdur Rozak, Ibnu Abi Syaibah, Al
Baihaqi. Riwayat ini memiliki penguat dari riwayat lainnya dari jalur Qotadah dari Ummul Hasan)
Ummul Hasan juga pernah melihat Ummu Salamah -istri Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam- mengimami para wanita (dan Ummu Salamah berdiri) di shaf mereka.
(Atsar ini adalah atsar yang bisa diamalkan sebagaimana kata Syaikh Al Albani dalam Tamamul Minnah, hal. 504)
Ada pula ulama yang menganjurkan shalat jama'ah bagi wanita dengan sesama mereka berdasarkan hadits dalam riwayat Abu Daud dalam Bab "Wanita sebagai imam",
????? ??????? ??????? -??? ???? ???? ????- ?????????? ??? ????????? ???????? ????? ?????????? ????????? ????? ??????????? ???? ??????? ?????? ????????.
????? ?????? ??????????? ??????? ???????? ???????????? ??????? ????????.
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengunjungi Ummu Waroqoh di rumahnya. Dan beliau memerintahkan seseorang untuk adzan. Lalu beliau memerintah


Selamat Datang Halal Karya Mawar May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ummu Waroqoh untuk mengimami para wanita di rumah tersebut."
'Abdurrahman (bin Khollad) mengatakan bahwa yang mengumandangkan adzan tersebut adalah seorang pria tua." (HR. Abu Daud. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa
hadits ini hasan) Setelah sholat Amira duduk di depan sang kakak ipar dengan membuka Al-Qur'an, dia kan menyimak hafalan sang kakak. Kakak ipar Amira ini sangat ingin anaknya
menjadi hafidz atau hafidzah makanya sejak hamil sang kakak menghafalkan beberapa surat di dalam Al-Qur'an. Dimulai dari surat An-naba' hingga an-nass,
kemudian dilanjutkan surat Al-mulk sampai surat Al-mursalat
*** 7. Terperanjat "Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada
Kamilah kamu dikembalikan."
[AL-ANBIY?'/21 : 35] --- Pagi yang syahdu, sesyahdu nyanyian alam diiringi musik rintik hujan. Semilir angin dingin membelai melambai-lambai, gemericik air bersahutan saling melengkapi.
Sang mentari bersembunyi memberi kesempatan pada langit untuk menguasai.
Amira berdiri di teras rumah dalam diam. Dia mengambil payung kemudian kembali terdiam saat sudah ada di teras. Amira bingung dengan hal yang akan dia
lakukan, sebab hujan semakin meningkat ententitasnya.
"Ami, apa yang kamu lakukan?" Amira menoleh ke arah sang kakak yang sedang bersandar di pinggir pintu.
"Kok hujannya makin deras ya, Bang. Padahal hari ini Ami hanya materi saja kalau gak masuk kasian anak-anak." Arif menatap hujan kemudian menoleh ke arah
sang adik. "Saat hujan turun itu yang kita lakukan adalah mensyukurinya. Jangan mengeluh! Allah menciptakan semua ini seimbang sesuai kebutuhan." Arif berdiri tegak
kemudian duduk di kursi. "Iya, tapi ini mau berangkat." Amira ikutan duduk di samping sang kakak dengan meja bundar sebagai pembatas.
"Udah dia meminta manfaat belum?" Amira menoleh.2
"Maksudnya? "Ya kamu udah dia belum, kamu tahu bahwa saat turun hujan Allah menyebarkan banyak berkah. Oleh sebab itu kita harus mengucapkan 'Allahumma shoyyiban nafi'an'
yang artinya, Ya Allah turunkanlah pada kami hujan yang bermanfaat. Berarti kita harus yakin bahwa setiap hujan pasti membawa manfaat. Jangan mengeluhkan
hujan." Amira memajukan bibirnya, yang dia maksud dengan mengatakan bahwa hujan tidak segera reda bukan berarti dia tidak mensyukuri hujan tapi dia ingin
diberi kemudahan, bukankah itu sifat manusia sudah diberi satu kemudahan pasti menginginkan kemudahan lainnya.
"Kamu tahu, saat hujan turun adalah saat di mana doa-doa dihijabahi. Karena dalam sebuah hadits dijelaskan bahwa saat hujan termasuk waktu mustajab untuk
berdoa. Jadi, jangan mencelanya!" Amira menatap Arif dengan kening berkerut.
"Carilah do'a yang mustajab pada tiga keadaan ; Bertemunya dua pasukan, menjelang shalat dilaksanakan, dan saat hujan turun. Dikeluarkan oleh Imam Syafi'i
dalam Al Umm dan Al Baihaqi dalam Al Ma'rifah dari Makhul secara mursal. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat Shohihul Jaami' no.
1026." Amira mengaguk kemudian dia bersandar, dia melihat jam uang melingkar di pergelangan tangannya kemudian dia tersenyum tipis.
"Ayo Abang antar," kata Arif berdiri dari duduknya.
"Wah, ini salah satu berkah hujan." Arif menoleh ke arah Amira kemudian dia menyentil pelan dahi Amira.
"Dasar," kata Arif dengan senyum kemudian masuk untuk mengganti baju dan mengambil kunci mobil.
--- Amira masih diam di tempat duduknya, walau mobil Arif sifat parkir di dekat gerbang samping kanan, dia tadi saat masuk gang kembali melihat mobil merah
itu. Dia jadi tidak tenang, ingin rasanya dia mengadu kepada sang kakak tentang sosok penguntit yang sudah sejak lama mengikuti dirinya namun dia takut
jika sang kakak murka dan berbuat di luar kewajaran.
"Kenapa?" tanya Arif buka suara, karena sejak tadi sang adik hanya memasang wajah datarnya dan tak bersuara sama sekali.
"Enggak papa, lagi mikir aja gimana kalau mobilnya masuk sampai depan kantor." Amira bohong jika itu adalah hal yang dia pikirkan sejak tadi, karena pemikiran
absurdnya barusan hanya pemikiran sepintas untuk mengelabuhi sang kakak.
"Wah semakin ngelunjak!" Amira terkekeh mendengar ucapan sang kakak dengan nada geram dibuat-buat.
"Ya sesekali." "Sudah sana turun!" Amira tertawa kemudian mengambil tangan sang kakak untuk berjabat tangan dan mengucapkan salam sebelum dia memekarkan payung untuk
melindungi dari hujan. Amira hanya dia sejenak menghadap ke arah mobil sang kakak, kemudian saat sang kakak memberi kode dengan tangannya untuk segera pergi Amira mengangguk
dan berjalan masuk melalui gerbang yang terbuka sedikit.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh, Pak Rahmad."
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Bu Mira, basah-basahan ya Bu?"
"Alhamdulillah iya Pak. Mari!"
"Injih Bu." Amira mengaguk kemudian berjalan menuju gedung belakang, dia akan melihat ruangan yang digunakan untuk materi dan demo chef Ardi.
Hari ini sebenarnya hanya akan ada materi namun karena waktu luang sehingga Bu Rina mengundang chef Ardi untuk demo acara memasak. Amira berjalan dengan
pelan dan memilah jalan yang tidak digenangi air, dia tidak ingin kaos kakinya basah.
"Bu Mira," panggil pak Kamil dari depan kantin. Amira menoleh kemudian berjalan menuju kantin dia menutup payungnya dan meletakkan di pojokan. Amira melangkah
dengan pelan. "Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Amira mendekati beberapa dewan guru di sana.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh."
"Mari gabung Bu!"
"Terima kasih."
"Mau pesan apa?"
"Jeruk hangat ya, Bu."
"Iya, ditunggu!"
"Bu Mira kenapa datang ke h awal?" tanya Bu Tia.
"Ini Bu mau ada demo chef Ardi." Amira membenarkan posisi duduknya.
"Wah, berarti anak boga ada kegiatan?"
"Iya, awalanya ingin materi sebelum menghadapi demo dan lomba Bogasari. Tapi karena waktunya sangat luang bu Rina inisiatif buat chef Ardy demo lebih dahulu
supaya anak-anak ada pandangan." Amira menunduk sambil memainkan ujung jilbab.
"Emang benar salah satu pengisi acara hari ini pak Dinan?" Amira menoleh ke arah seorang guru yang berbicara.
"Iya, kan sejalan dengan jurusan yang diambil pak Dinan."
"Emang temanya apa?"
"Menyebar kata sejuta aksara indah." Amira tidak tahu yang menjadi pokok pembicaraan, dia hanya diam saja.
"Emang profesi pak Dinan sekarang, apa?"
"Kurang tahu juga, ada yang bilang seorang pengusaha ada yang bilang juga motivator dan masih banyak lagi." Amira tidak menyahut, dia diam saja tak ingin
bersuara. Ini adalah pokok pembicaraan yang sangat sensitif. Amira memilih menikmati jeruk hangat yang ada di depannya.
"Makin macho pak Dinan."
"Masak?" "Iya, calon suamiable banget." Amira tiba-tiba tersedak. Bu Tia dengan gesit menepuk punggung Amira.
"Kenapa Bu?" "Maaf, saya mau bernapas malah memasukkan air minum. Jadinya tersedak." Amira berkata dengan terpatah-patah setelah merasa sedikit reda dada dan hidungnya.
"Bu Mira di sini?" tanya Rindu melongak di depan pintu. Amira menoleh ke arah pintu.
"Iya Bu?" "Ada tamu." Amira menatap heran Rindu.
"Yakin buat saya Bu?" tanya Amira berdiri menghampiri Rindu.
"Iya, tadi katanya gitu."
"Siapa kira-kira?"
"Wah kurang tahu, coba ditemui. Beliau menunggu di ruang BK." Amira mengangguk kemudian dia kbali ke meja untuk berpamitan kepada guru-guru lainnya.
Amira membayar minumannya kemudian keluar dari kantin, tidak lupa dia berpesan kepada ibu kantin bahwa dia menitipkan payung di sana sebab hujan sudah
reda. Amira melewati lorong bangunan kelas sebelas, dia akan langsung menuju ruang Bimbingan Konseling. Amira sesekali membalas sapaan dari beberapa siswa
walau dia tidak yakin bahwa dia tahu nama satu-satunya anak.
"Assalamualaikum, Bu Mira." Beberapa anak yang duduk di teras menyapa Amira dan menjabat tangannya.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Kalian tidak ikut kegiatan jurnalistik?"" Amira bertanya sambil bergantian menjabat tangan.
"Masih break Bu." Amira hanya mengangguk kemudian pamit untuk ke ruang BK terlebih dahulu karena ada tamu. Setelah sampai di dekat ruang Bimbingan Konseling,
Amira mengambil napas, di sana jarak sekitar sepuluh langkah di depannya berdiri dua sosok lelaki yang dia kenal. Amira tak tahu mengapa takdir selalu
mempertemukan dirinya dengan sosok yang berdiri di sana.
Amira memencet hidungnya seolah membersihkan ingus, padahal tidak ada cairan apapun di hidungnya. Di sana berdiri, Faris dan Dinan sedang berbincang serius.
Amira bisa melihat dari dua raut wajah keduanya. Amira mengambil napas saat tanpa sengaja dia menilai penampilan Dinan yang tak biasa.
Apa benar kata guru-guru tadi di kantin bahwa Dinan kini bekerja di perusahaan? Karena dari yang dilihat Amira, saat ini Dinan mengenakan jas dan celana
bahan. Dia nampak lebih eksklusif untuk dipandang, apa lagi di leher dan mentari di dadanya terdapat dasi yang membuat dia semakin terlihat berwibawa.
Amira segera beristighfar saat mengingat kelakuannya. Dengan mencoba tenang dia harus segera masuk ke dalam ruangan bimbingan konseling.
"Assalamualaikum," salam Amira. Dan saat melihat ke depan dia hanya melihat pak Joko.
"Waalaikumsalam warohmatullahi wabarokatuh. Masuk Bu!" Amira mengangguk kemudian dia dipersilahkan duduk oleh pak Joko.
"Maaf Bu. Tadi ada tamu tapi katanya terburu-buru jadi belum sempat bertemu dengan Ibu. Beliau menitipkan secarik kertas nomor ponsel. Katanya teman lama
Ibu Amira." "Terima kasih, Pak. Kalau begitu saya permisi, assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh." Amira menerima kertas yang dilipat dia itu kemudian undur diri.
Amira berjalan menuju lorong labolatorium, dia ingat ingin memberikan kertas materi kepada salah satu anak didiknya jadi dia akan menemui di kelasnya.
Namun saat dia sudah ada di depan ruang laboratorium dia berhenti dan membuka lipatan kertas yang dia pegang.
Luluk K. Dan tertera nomor ponsel dan alamat sebuah kafe, Amira mengerutkan keningnya heran. Apa yang dimaksud semau ini? Amira sama sekali tidak menangkap maksud
di baliknya. Amira mengantongi kertas itu kemudian berjalan menuju tempat tujuannya.
--- Amira berjalan membuka pagar rumahnya kemudian dia masuk dan membalikkan badannya untuk mengunci pagar. Dia mengamati sekitarnya dia merasa heran kini
tak ada lagi mobil merah itu. Apa sudah bosan? Akan tetapi kalau bosan itu tidak mungkin sebab tadi siang mobil itu masih menguntit saat dia diantar sang
kakak ke sekolah. Amira hanya mengangkat bahu tak perduli, dia pikir semuanya tidak masalah selama tidak merugikan dirinya.
"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," salam Amira masuk ke dalam rumah yang tidak terkunci. Terdengar suara ramai di belakang. Amira melangkah
kemudian dia melihat keluarga sang kakak yang sedang bercanda di ruang keluarga.
"Sudah pulang, Ami."
"Iya," Amira mengambil tangan semuanya secara bergantian, dia sesekali menggoda sang ponakan yang nampak berantakan karena sedang bermain monopoli dengan
sang ayah. "Ami ke dalam," kata Amira berpamitan.
"Oh iya, tadi ada yang mengajukan ta'aruf katanya gak perlu nadhor mau langsung khitbah dan nikah. Datanya kakak taruh di meja kerja kamu." Amira menoleh
ke arah sang kakak dengan cepat, dia menatap horor sang kakak, sedang Arif sudah kembali berkonsentrasi dengan papan monopoli. Amira mendesah kemudian
dia berjalan masuk sambil menggerutu.
Amira melempar tasnya ke atas tempat tidur, dia segera duduk untuk meredakan rasa sesak di dadanya. Bagaimana bisa kakaknya dengan mudah menerima niatan
ta'aruf orang lain tanpa seizin Amira. Amira mendesah kemudian dia segera beranjak dari duduknya dan mengambil selembar kertas di atas mejanya.
Ardinan Nawwaf4 Amira melotot dengan mulut sedikit terbuka, dia seolah masuk ke dimensi lain saat menatap beberapa huruf yang berjajar membentuk nama yang sangat tidak
asing tertulis di bagian nama pada biodata di kertas itu.
*** 8. Poligami "Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."
[An-Nisaa'/4: 3]. ----- Poligami adalah salah satu di antara syariat Islam. Poligami juga adalah syariat yang banyak juga ditentang di antara kaum muslimin. Yang katanya merugikan
wanita, menurut mereka yang memegang kaedah emansipasi perempuan.2
Namun poligami sendiri bukanlah seperti yang mereka pikirkan. Para ulama menilai hukum poligami dengan hukum yang berbeda-beda. Salah satunya adalah Syaikh
Mustafa Al-Adawiy. Beliau menyebutkan bahwa hukum poligami adalah sunnah. namun ada beberapa syarat, diantaranya adalah; seorang yang mampu berbuat adil,
aman dari lalai beribadah sehingga bertambah ketakwaannya, mampu menjaga para istri, dan mampu memenuhi nafkah lahir dan batin.
Jadi menurut Amira poligami sah-sah saja, namun dia sebagai perempuan juga harus mempertimbangkan segala sesuatu terlebih dahulu. Dia benar-benar tidak
menduga jika lelaki yang diceritakan oleh Arif adalah Dinan. Amira yakin Dinan memenuhi kriteria di atas tapi dia tidak yakin pada dirinya sendiri. Poligami???
Tidak, semua itu tidak ada dalam pikirannya. Dia sungguh seolah-olah kehilangan fungsi otaknya saat ini. Amira duduk dengan napas putus-putus pertanda
bahwa dia tengah menahan emosi yang setiap saat akan meluap.
Amira menaruh dengan kasar kertas yang ada di tangannya. Dia ingin sekali rasanya melumat atau menyobek-nyobek kertas itu hingga tak berbentuk sedikitpun.
Tapi nalurinya masih bisa diandalkan sehingga dia hanya meletakkan secara kasar.
Amira taawudz sambil duduk dengan menggantung kakinya, setelah cukup dia beranjak dan berjalan ke kamar mandi, dia harus segera mandi dan wudhu untuk mendinginkan
kepalanya yang terasa mendidih. Dulu, dulu sekali sebelum Amira tahu tata cara meredakan amarahnya dia akan menggerutu atau teriak sepuasnya namun sekarang
dia tahu caranya. Kata salah satu ustadz pengisi kajian rutin di komplek perumahan, kalau sedang marah ada beberapa hal yang dilakukan. Pertama kali adalah meminta perlindungan
kepada Allah, kemudian mengubah posisi jika dalam keadaan berdiri segera duduk dan jika dalam keadaan duduk segera berbaring, mengambil air wudhu, berdiam
diri untuk menahan luapan emosi dan yang terakhir adalah mengingat keutamaan orang yang mampu menahan emosi.
Dalam sebuah hadits dari Mu?dz Radhiyallahu anhu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
???? ?????? ??????? ?????? ??????? ????? ???? ?????????? ??????? ????? ????? ??????? ????? ???????? ???????????? ?????? ???????????? ?????? ???????????
???? ????????? ??? ????? Barang siapa menahan amarahnya padahal mampu meluapkannya, Allah akan memanggilnya di hadapan para makhluk pada hari Kiamat untuk memberinya pilihan bidadari
yang ia inginkan. Bukankah sungguh menakjubkan balasan bagi orang yang mampu menahan emosi? Jadi saat kita mampu menahan emosi mengapa harus kita meluapkannya, padahal saat
kita meluapkannya kita kadang bisa lepas kontrol dan menambah dosa. Mengapa demikian? Coba bayangkan, saat kita marah kadang yang keluar dari bibir kita
adalah sesuatu yang kadang tidak kita pikirkan. Hal ini kadang mampu melukai perasaan orang lain, jadi saat kita melukai perasaan saudara kita sendiri
bukankah itu menambah dosa?
Setelah segar Amira keluar dari dalam kamar mandi, dia kemudian mengambil mukena untuk persiapan sholat Maghrib. Dan menengok ke arah jarum jam kemudian
dia berjalan mengambil Al-Qur'an, karena masih ada waktu sekitar lima belas menit lagi. Amira membaca beberapa surat di dalam Al-Qur'an secara rancak,
dia membaca beserta artinya.
Amira menutup Al-Qur'an saat dia mendengar panggilan sang kakak, seperti biasa dia melaksanakan sholat jamaah bersama sang kakak dan juga ponakan kecilnya.
Setelah sholat Maghrib tiga rakaat Arif memanggil Amira untuk diajak bicara.
Amira melepas mukenanya kemudian mengenakan kembali jilbabnya, dia mengambil air minum di dapur kemudian dia bawa ke ruang tengah. Di sana dia bisa melihat
Arif yang sedang membaca buku, entah apa judulnya yang jelas buku itu berukuran lebih kecil dari folio namun tebal sekali.
"Abang mau bicarakan apa?" Amira duduk di kursi yang bersebrangan dengan Arif.
"Berbincang-bincang saja," jawab Arif sambil memberi sekat pada buku. Dia menatap Amira kemudian menaruh kembali buku di atas meja.
"Mbakmu mana?" Amira menoleh ke arah pintu tempat sholat.
"Lagi nyimak Fatimah." Amira menaruh gelasnya di atas meja.
"Kamu sudah baca biodata yang Abang taruh di meja." Amira mendongak menatap wajah kakaknya kemudian mengangguk.
"Kamu pasti terkejut?" Amira kembali mengangguk.
"Apa yang akan kamu putuskan?" Amira menatap sang kakak kemudian menggeleng.
"Apa karena terkejut kamu kehilangan fungsi pita suara?" Amira tahu Arif sedang menggodanya namun dia masih enggan untuk bersuara. Dia tak bisa meluapkan
segala rasa di dalam tubuhnya dengan cara apa.
"Kamu tahu, boleh meminang seseorang sebanyak dia mau. Yang terpenting sang gadis tidak pada masa pinangan orang lain. Dan aku pikir Dinan tak bersalah."
Amira menatap sang kakak yang seolah lebih mendukung Dinan dibandingkan dirinya. Waah.... Hallo ini masa depan adikmu bang Arif, kamu rela adikmu menjadi
yang kedua. Sungguh mengejutkan!6
"Apa yang membuat kamu ragu?" Amira menatap wajah Arif kemudian dia menunduk, benarkan dia harus bercerita semuanya kepada sang kakak? Tapi sepertinya
sang kakak sangat pro dengan Dinan berarti pro juga dengan poligami. Ah, poligami dengan lelaki adalah sesuatu yang sudah melekat.
Mengapa perempuan tidak boleh poliandri jika lelaki boleh poligami. Ya Allah Amira, apa yang sudah kamu pikirkan? Jelas tidak boleh, bagaimana cara pemberian
nasib kalau wanita sampai poliandri, di mana otak kamu Amira.2
"Apa setiap lelaki memiliki rasa ingin poligami?" Arif menatap ke arah sang adik dengan santai, dia hanya sedikit terkejut tadi namun itu hanya sebentar.
Bagi Arif pertanyaan Amira masuk akal.
"Bisa jadi iya tapi banyak juga yang tidak. Bahkan mungkin yang iya delapan dari sepuluh orang. Namun yang melakukan hanya satu dari delapan orang." Amira
menatap Arif, dia mencerna baik-baik ucapan sang kakak.
"Menurut Abang, bagaimana sudut pandang tentang poligami?"
"Poligami itu diperbolehkan bahkan tertulis jelas dalam Al-Qur'an. Apa yang harus dipermasalahkan? Tidak ada permasalahan tentang poligami, justru beberapa
ulama berpendapat bahwa poligami itu sunnah hukumnya. Namun harus memenuhi persyaratan yang sudah ditentukan." Amira terdiam, apa yang menjadi dugaannya
benar jika sang kakak orang yang pro terhadap lelaki. Wajar saja Arif pro dia adalah lelaki yang membeberkan yang ada di dalam Al-Qur'an.
Amira adalah orang yang mempercayai adanya diperoleh poligami, ingat harus digaris bawahi bahwa diperbolehkan poligami bukan perintah poligami. Karena
Amira belum mengetahui dalil diperintahkan poligami. Amira bukan sosok yang menolak poligami, bukan. Karena dia sadar jika Allah mengijinkan poligami berarti
ada kebaikan yang diberikan oleh Allah yang tidak manusia ketahui. Atau bisa jadi ada cobaan ya g diberikan Allah yang tidak diketahui juga oleh manusia.
Kembali pada sudut pandang poligami menurut Amira. Dia bukan orang yang pro terhadap poligami dia juga bukan orang yang anti poligami. Baginya tetap poligami
diperbolehkan. Namun jika Amira yang dipoligami Amira akan dengan tegas berkata 'tidak'.4
Amira tidak menginginkan poligami, dia ingin seperti Khodijah yang menjadi istri satu-satunya Rosulullah. Dia ingin menjadi Khodijah yang tak dipoligami
oleh Rosulullah. Bukan karena tidak suka, bukan. Tapi karena dia hanya ingin menjaga hatinya dan menjaga hati kaumnya. Ya, dia tak ingin menjadi perempuan
yang melukai perempuan lainnya. Dia tahu, jika seseorang itu berpoligami pasti istri yang baik akan mengizinkan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa
di sudut hatinya dia pasti masih menyimpan sedikit rasa bernama tak rela.
Oleh sebab itu, Amira tak ingin menyakiti hati seorang istri. Selain itu Amira tidak yakin dia bisa menerima keadaan, dia sungguh tak yakin kalau dia tidak
akan iri terhadap madu. Karena dia hanya perempuan biasa, rasa iri itu selalu ada. Amira tahu, jika ikhlas dia bisa masuk ke dalam surga sesuai dengan
janji-Nya. Namun dia tidak yakin mampu menjadi ikhlas, bukankah jika sampai dia diperjalan rumah tangga tidak ikhlas malah mengotori hatinya dan membuat
dia gagal mendapatkan pintu surga? Bukankah lebih baik dia mencari pintu surga itu dengan cara ibadah yang lainnya? Yang tidak mempermainkan hati?
Ya, begitulah pemikiran Amira terhadap poligami. Dia tidak melarang orang lain untuk poligami namun dia jika boleh memilih dia tidak mau dipoligami.
"Apa yang kamu pikirkan?" Amira menatap cepat ke arah Arif.
"Mengapa pak Dinan masuk ke jajaran orang yang berpoligami?" Arif tersenyum.
"Karena dia memiliki potensi untuk memenuhi syarat berpoligami." Arif menjawab dengan santai. Amira melihat wajah Arif dengan seksama dia bisa melihat
dengan nyata bahwa ada ketulusan di dalam mata itu.
"Apa kamu tak mau dipoligami?" Amira menggeleng kemudian mengangguk.
"Aku bingung, kalau boleh jujur aku tak mau dipoligami tapi aku juga tidak bisa menolak poligami. Ah, Ami bingung." Arif bukannya prihatin dia malah tertawa
melihat kalimat rancauan Amira dan wajah frustasi sang adik.
"Jalani saja, surga kok balasan untuk perempuan yang rela dipoligami tapi dengan catatan ikhlas."
"Nah itu, itu yang sulit." Amira berkata dengan nada yang naik dan volume suara yang baik pula.
"Apa?" tanya Arif.
"Ikhlas." Arif mengangguk. "Kamu tahu Dek, ikhlas itu hanya Allah yang mampu menilai. Jadi serahkan semuanya kepada Allah. Dan yakinlah bahwa apa yang
Allah berikan kepada mu dalam keadaan seperti apapun itu adalah lebih baik daripada pilihanmu
Karena Allah memberi yang dibutuhkan hambanya bukan apa yang diinginkan hambanya." Arif menatap lekat Amira.
"Terus Ami harus menerima pak Dinan." Arif mengangkat bahunya.
"Sholat dulu biar dapat jawaban. Ingat Allah sesuai prasangka hambanya." Amira menatap sang kakak kemudian dia berlari ke arah sang kakak dan memeluknya.
"Kini aku tahu jawabannya," kata Amira dengan nada riang. Membuat Arif tersenyum tipis.
*** 9. Waktu Abu Bakar ash-Shidd?q Radhiyallahu anhu berkata:
Sesungguhnya All?h memiliki hak pada waktu siang, Dia tidak akan menerimanya di waktu malam. Dan All?h juga memiliki hak pada waktu malam, Dia tidak akan
menerimanya di waktu siang. 3
[Riwayat Ibnu Abi Syaibah, no. 37056].
Amira hari ini duduk di kursi depan Gramedia kota, dia berniat untuk membeli beberapa buku baru. Namun sayang sekali dia harus menerima pesan singkat bahwa
teman lamanya yang bernama Luluk ingin bertemu dengannya.
Amira duduk diam dengan memegang ponsel di tangan kirinya, dia sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat apa orang yang tengah dia tunggu sudah
muncul. Amira mendesah lelah saat dia menatap jam di pergelangan tangannya namun yang terlihat adalah perputaran jarum yang menurutnya sangat cepat. Amira
sudah menunggu hampir satu jam, namun wanita yang dia tunggu tak kunjung terlihat juga. Amira mendesah, kemudian dia sekali lagi melihat pesan yang tadi
sempat dia baca. Dan benar dia tidak salah. Dia mengirim pesan kemudian beranjak dari duduknya. Karena hari ini dia ada jadwal mengajar salah satu calon
pengantin. Amira lekas berdiri kemudian dia berjalan menuju halte, dia ujung matanya dia melihat Dinan dan seorang wanita sedang berbincang berdua, walau dia tahu
bahwa ada anak kecil berusia sekitar satu tahun di antara keduanya. Sesekali Amira lihat Dinan nampak menggoda anaknya. Hal itu membuat ingatan Amira menuju
selembar kertas biodata yang ada di kamarnya.
"Belum apa-apa aja aku udah baper, gimana kalau aku nikah dan lihat pak Dinan sama istri tua." Amira menghela napas kemudian dia berjalan dengan cepat,
seolah dia ingin meninggalkan adegan keluarga bahagia itu di belakang.
Amira segera duduk di halte kemudian dia menatap kendaraan yang berlalu-lalang di depannya. Dia sungguh tak sanggup jika harus memikul beban ini. Sungguh
dia lebih baik menyerah di awal daripada menyerah dipertengahan jalan.
Amira melihat ponselnya kemudian dia memilih membuka ponselnya dan memesan OJESY untuk mengantarnya ke tempat tujuan. Dia sudah tidak mood untuk naik kendaraan
umum. Setelah memesan Amira menunduk sambil memainkan ponselnya. Dia sedang memeriksa pemberitahuan di akun media sosialnya. Amira terkejut dengan postingan
yang ada di paling atas Instagram miliknya. Di sana ada gambar tangan besar saling bertautan di atas kertas yang berisi biodata yang begitu dia kenal karena
beberapa hari dia menerimanya. Amira segera menekan baca lanjutannya, dia terlongong-longong saat isi caption bukan kalimat seperti orang di media sosial
umumnya. Namun sebuah hadits tentang memilih perempuan.
"Wanita biasanya dinikahi karena empat hal: karena hartanya, karena kedudukannya, karena parasnya dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih wanita


Selamat Datang Halal Karya Mawar May di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang bagus agamanya (keislamannya). Kalau tidak demikian, niscaya kamu akan merugi." (HR. Bukhari-Muslim)
Amira terdiam sejenak kemudian dia menekan back dan mengunci layar ponselnya. Dia merasa gemetar di tangannya dia tidak tahu apa penyebabnya namun yang
pasti saat ini ingin rasanya dia menenggelamkan dirinya di bantal untuk menangis karena perasaannya teraduk-aduk.
"Ya Allah, ada apa denganku?" Amira segera beristighfar dan mengusap wajahnya.
"Galau Bu?" Amira segera menoleh ke sebelah kirinya dia terkejut dengan kehadiran Nirmala, dia tidak menyadari jika ada orang di sampingnya.
"Sejak kapan mbak di sini?" Amira bertanya dengan suara tergagap. Dia takut Nirmala mengetahui hal yang baru saja dia lakukan.
"Cukup jelas, melihat tangan kamu gemetar melihat postingan Dinan." Amira membuka mulutnya kaget sambil menutup dengan ke dua tangannya hal itu kontak
membuat Nirmala tertawa bahagia.
"Ya Allah.... Kayak gitu banget sih ekspresi kamu," kata Nirmala sambil memegangi perutnya.
"Mbak, jangan bilang...."
"Iya," jawab Nirmala santai. Sedangkan Amira langsung menutup wajahnya malu, seolah dia melakukan hal yang sangat memalukan padahal yang dia lakukan itu
tadi adalah unsur kesengajaan.
"Mbak," kata Amira dengan nada merajuk.
"Apa sih yang posting Dinan?" Nirmala dengan tak berdosa malah bertanya hal yang membuat Amira bertanya.
"Mbak...." seru Amira membuat tawa Nirmala benar-benar pecah. Amira mengangkat tasnya untuk menutupi wajahnya.
"Apa yang kamu lakukan di sini?" tanya Nirmala setelah reda tawanya.
Amira terdiam dia sampai lupa yang dia lakukan di sini, kemudian dia menoleh ke kanan dan ke kiri dan langsung membuka tas untuk mengecek ponselnya namun
tak ada pesan atau panggilan sama sekali. Padahal sudah cukup lama dia di sini.
"Tadi saya pesan OJESY. Kok lama ya?" Amira berkata dengan nada pelan.
"Ojek wanita ya?" tanya Nirmala membuat Amira menoleh.
"Iya, mbak ada lihat." Amira menilai ekspresi wajah Nirmala.
"Tadi udah dibayari sama Dinan dan bilang gak jadi." Amira melotot dengan raut wajah yang tak bisa dijaga lagi. Mungkin wajahnya sangat jelek saat ini
namun dia tidak perduli karena informasi yang dia terima sungguh mengejutkan. Bahkan dia merasakan napasnya tak teratur.
"Demi apa mbak!" seru Amira cukup kencang. Kemudian dia menyadari suaranya segera menoleh ke kanan dan ke kiri, Amira beruntung karena halte dalam keadaan
sepi. "Gak baik teriak ke orang hamil muda," suara Dinan membuat Amira membeku, dia seolah sudah menjadi batu. Tak ada kekuatan sedikit pun untuk menoleh ke
arah sumber suara. Amira merasa jantungnya siap meledak saat ini juga. Dengan gerakan cepat Amira memasukkan ponselnya ke dalam tas kemudian segera berdiri
dan berjalan cepat. Dia tidak menghiraukan panggilan Nirmala.
"Ya Allah...." kata Amira kepalang malu.
"Mira, mobilnya terparkir di sana." Amira menatap Nirmala horor kemudian menoleh ke arah mobil berwarna biru terparkir. Amira ingin merosot saat ini juga.
Dia kepalang malu, Ya Allah dia benar-benar malu.2
--- Amira duduk di jok belakang dengan Nirmala. Dia tidak bisa menolak keinginan Nirmala untuk mengantarnya, selain karena alamat yang dituju Amira sejalan
dan semuanya sudah tahu kebiasaan Amira yang sering tersesat karena lupa jalan. Padahal Amira sudah menyangkal bahwa dia sudah mulai hafal lingkungan perumahan
itu karena dia sering ke sana namun diantara keduanya tak ada yang percaya.
Amira menyandarkan tubuhnya, dia melirik ke arah Nirmala yang cengengesan entah karena apa, dia hanya menatap ponselnya dengan tawa-tawa keluar dari bibirnya.
Amira mendesah pelan, dia merasa tak nyaman.
"Berapa banyak job yang kamu punya, Mira?" Amira yang sedang mengamati lalu-lalang kendaraan menoleh ke arah Nirmala yang sudah fokus ke arahnya.
"Ada beberapa. Mengapa?" Nirmala memainkan bibirnya nampak bingung, Amira tak ingin bertanya dia hanya ingin melihat saja apa yang akan dilontarkan kembali
oleh calon ibu muda itu. "Emang gak capek apa?" Amira menatap curiga ke pada Nirmala yang membuat wanita itu kikuk.
Amira heran dari sekian banyak pertanyaan, mengapa Nirmala memilih pertanyaan yang menurutnya tidak bermutu?
"Ya lumayan Mbak. Tapi kan terbayar semua dengan rasa nyaman dan senang. Daripada banyak waktu terbuang sia-sia." Amira menjawab apa adanya.
"Emang kenapa kamu bisa memadatkan jadwal, sehingga untuk bertemu kita harus menunggu lama karena menyesuaikan jadwal yang kamu miliki." Nirmala berkata
dengan nada kesal yang sangat terlihat.
"Ya tadi, daripada tidak memanfaatkan waktu." Nirmala menatap Amira penuh penilaian, Amira menjadi salah tingkah. Karena kalau boleh jujur bukan itu alasan
Amira melakukan semua ini. Dia melakukannya karena cinta yang membuat dia berangan-angan panjang. Dia tidak ingin mengembang biakan harapan yang bisa jadi
bisa musnah dengan sekali sentakan.
"Pasti ada alasan lain," kata Nirmala dengan curiga.
"Ah, saya tidak ada." Nirmala semakin menekan Amira. Membuat Amira membuang muka untuk mengalihkan gerogi yang menyapanya.
"Ada yang kamu sembunyikan dariku?" Nirmala menatap Amira tajam, Amira menoleh sambil meringis.
"Tidak ada Mbak."
"Kok aku gak yakin ya," kata Nirmala sambil membuang muka. Amira mendesah lelah, dia tidak tahu cara menjelaskan semua niatnya kepada Nirmala. Tidak mungkin
dia bilang bahwa semua ini dia lakukan untuk menghilangkan bayang-bayang lelaki yang saat ini tengah ada di depannya dan fokus pada jalan tak menghiraukan
pembicaraannya, bukan? Lalu Amira harus menjawab apa? Dia tidak tahu.
"Ini di blog apa?" tanya Dinan membuat Amira selamat dari rasa tertekan, dia mendesah lega.
"Blog A pak, nomor 133." Amira menjawab dengan semangat, dia tak tahu tapi ini cukup membantunya untuk terlepas dari intimidasi calon ibu muda.
"Nanti kita tunggu dulu di rumah kamu ya, Din. Sebelum mengantar Amira pulang ada yang ingin aku bicarakan dengannya." Amira menoleh dengan cepat. Dia
tidak yakin bisa melakukan semuanya. Dia tidak ingin bertemu dengan istri Dinan dia tidak mau dan juga tidak mampu.
--- Amira terlongong-longong saat melihat dua orang yang mengantarnya tadi sudah berdiri di depan rumah.4
"Kenapa kaget?" tanya Nirmala dengan nada sinis.
"Enggak," jawab Amira dengan cepat dengan kepala yang bergerak ke kanan dan ke kiri.
"Terus kenapa wajah kamu kusut." Amira mencebik, dia tidak menyangka jika Nirmala akan mengetahui tak-tiknya untuk melarikan diri.
"Sudah Mala, ayo masuk!" Amira harus banyak-banyak berterima kasih kepada Dinan hari ini karena dia lah yang menyelamatkan dirinya dari intimidasi calon
ibu baru. Amira masih diam sejak beberapa menit yang lalu, dia bingung harus mengatakan apa.
"Kamu udah tahu orang yang tinggal di rumah Dinan?" Amira menoleh kemudian mengangguk dan menggelengkan kepalanya.
"Yang benar apa?"
"Pernah lihat saja sih." Amira dengan tekad tak mau kalah lagi.
"Pernah lihat?"
"Iya, sekitar dua atau tiga pekan yang lalu, saat pulang dari gedung RW." Amira melihat Nirmala mengangguk.
"Kamu tahu dia itu siapa?" Amira menoleh ke arah Nirmala dengan cepat, kemudian mengangguk.
"Yakin kamu tahu?" Amira menggeleng. Dia tidak yakin juga, karena terkadang kita berpikir sesuatu yang salah.
"Dia itu mantan halalnya Dinan." Amira terdiam mencerna ucapan kalimat yang menurutnya sangat sulit dimengerti. Dia kemudian menelan ludah susah saat mengerti
maksud dari ucapan Nirmala.
Dia mantan halalnya Dinan, berarti dia mantan istri Dinan. Tidak, Amira tidak boleh berburuk sangka tapi dia merasa tidak salah menafsirkan. Dia menoleh
ke arah Nirmala dengan horor.
*** 10. Massa Iddah "Tiga hal yang seriusnya dianggap benar-benar serius dan bercandanya dianggap serius: nikah, cerai dan ruju."
(Diriwayatkan oleh Al Arba'ah kecuali An Nasa'i. Dihasankan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah)
Amira masih terdiam duduk di atas kursi kerjanya, dia memandang biodata Dinan dengan sorot mata yang putus asa. Dia berpikir, berapa istrinya Dinan, sehingga
dia dengan mudah berganti wanita di waktu yang berbeda. Amira ingat wanita yang tinggal di rumah Dinan adalah wanita yang berbeda dengan wanita yang diajak
ke rumah Faris, dan yang lebih mengejutkan adalah bahwa keduanya memiliki anak seumuran. Amira sungguh tak mengerti dengan segala yang sudah terjadi.
Amira melipat kertas biodata Dinan yang nampak kumal itu, kemudian dia selipkan di sebuah buku besar. Dia beranjak dari duduknya dan berjalan menuju pintu
keluar, dia butuh udara segar supaya bayang-bayang kejadian siang tadi tak menghantui.
"Ammah," panggil Fatimah membuat Amira berjalan menuju gadis dengan dua kuncir kuda itu. Amira mengambil duduk lesehan di atas karpet sama yang dilakukan
sang ponakan. "Sedang apa?" tapi Amira mengamati kegiatan sang ponakan.
"Sedang membaca gambar, Mah." Fatimah nampak tak terganggu, Amira heran dengan sang ponakan. Mengapa Fatimah memanggilnya jika dia masih setia dengan membaca.
Ah, rasanya Amira cemburu dengan buku yang begitu diperhatikan oleh sang ponakan. Amira menggerakkan kepalanya, dia merasa mulai tak waras dengan pola
Burung Hoo Menggetarkan Kun Lun 15 Pengemis Binal 26 Sepasang Racun Api Dendam Empu Bharada 29

Cari Blog Ini