Ceritasilat Novel Online

Si Angin Puyuh 4

Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Lui Tian Karya Gan Kh Bagian 4


Setiap kali melancarkan pukulan Hong-thian-lui membentak keras. Sehingga hadirin pekak telinganya, tanpa merasa mereka menyurut mundur makin jauh dari gelanggang pertempuran, yang tak tahan segera menutup kuping dengan kain atau dengan tangan, namun mereka segan meninggalkan tontonan gratis yang seru ini.
Terkejut dan heran perasaan Lian Tin-san, pikirnya : "Lwekang bocah ini seperti tiada habisnya, sambung menyambung tak pernah putus. Kalau dalam seratus jurus aku tak mampu mengalahkan dia, di mana mukaku harus kutempatkan selanjutnya ?"
Semakin tempur makin sengit, kedua tinju Lian Tin-san menari nari dengan lincahnya, telapak tangan mengemplang, jari-jari pun menutuk, atau mencengkeram, memotong dan menggebuk bergantian, selalu merubah variasi, setiap jurus serangannya mengincar tempat penting ditubuh Hong-thian-lui.
Hong-thian-lui berdiri sekokoh gunung, kedua tinjunya bergerak kencang menerbitkan deru angin yang keras, beberapa jurus pernah terjadi telapak tangan Lian Tin-san hampir mengenai tubuhnya, tapi tiba-tiba ditarik kembali. Ternyata lawan takut terluka oleh kekuatan Lwekangnya, umpama dapat memukulnya roboh namun dirinya akan mendapat malu juga.
Semakin lama Lu Tang-wan makin kejut batinnya: "Tujuh puluh dua jalan Tay-sui-kim-na-jiu-hoat elang hitam sudah terlatih sempurna. Bila aku turun gelanggang menempurnya, mungkin sulit mencapai kemenangan. Bila terjadi seperti dulu, gugur bersama sudah merupakan keuntungan bagi aku."
Tanpa merasa seratus jurus sudah lewat. Betapapun lombok tua lebih pedas, setelah ratusan jurus lambat laun Lian Tin-san dapat menyelami dan meraba ilmu pukulannya yang lihay, maka gerak selanjutnya dengan hati hati ia lancarkan Kim-na-jiu-hoat dengan perobahan isi kosong yang sulit diduga, beruntun ia lancarkan tujuh delapan kembangan, lalu disusul serangan telak tujuannya membuyarkan perhatian Hong thian lui.
Sekarang ganti Hong thian lui yang hilang sabar, dalam perlawanan yang sengit itu ia gunakan tipu Gwa hou teng san (menunggang harimau panjat gunung) tubuhnya menubruk maju berbareng kedua pukulannya merangsek dari atas bawah. Sejak tadi Lian Tin-san perhatikan kelemahan lawan, susah payah ia mendapatkan kesempatan ini, tiba-tiba ia membentak; "Pergi !" penonton melihat kedua bayangan mendadak bergumul lalu terpental mundur. Maka terlihat baju Hong-thian lui robek dadanya tergores luka sepanjang lima senti. Untung dia sudah menggembleng diri sehingga kulit, tulang-tulang sekeras baja kalau tidak cengkeraman ganas tadi pasti bikin lobang besar didadanya. Karuan hadirin terbelalak dan melelet lidah.
"Yah!" teriak Lu Giok-yau, "Kau, kau, gantikan dia saja !"
Selama mengikuti perkelahian seru, Lu Tang-wan sudah punya pegangan untuk mengalahkan musuh segera ia berseru lantang; "Tiatwi Hiantit, kalian bertempur ratusan jurus sungguh harus dipuji! Sekarang kau mundurlah."
"Aku masih ingin minta petunjuk beberapa jurus elang hitam yang menggetarkan dunia persilatan!'' demikian jawab Hong-thian-lui.
Melihat orang membandel, Lian-Tin san menjadi keder juga, jengeknya dingin: "Bocah macam kau ini sebelum melihat peti mati agaknya tidak akan mengalirkan air mata?''
"Melihat peti matipun aku takkan menangis!'' saking bernafsu Hong-thian-lui robek seluruh bajunya bagian atas, maka kelihatan dadanya yang bidang kekar dan berotot. Bagai banteng ketaton ia menyerbu lagi.
Sepuluh jurus kemudian, Lian Tin-san gunakan tipu Yu-khong-tam-jiau, tangannya mencengkeram punggung, kalau kena kulit daging dedel dowel, bentaknya: "Masih tidak menyerah kalah!"
"Aku belum kalah kenapa harus menyerah!" seru Hong-thian lui sambil menerjang tanpa hiraukan luka luka punggungnya yang berdarah. Para tamu yang bernyali kecil sudah melengos tidak berani menonton lagi.
Beberapa jurus kemudian, Hong-thian-lui kena pukul lagi. Pukulan telak mengenai dadanya, lukanya makin parah, tapak tangan kelihatan mengecap didadanya yang kekar itu.
Lu Tang wan menjadi kawatir dan tak tega, ia menjengek: "Lian Tin-san, jelek jelek kau ini seorang yang kenamaan, dengan cara keji dan rendah kau hadapi bocah kurang pendalaman, umpama menang juga tidak perlu dibanggakan! Kalau ingin gagah, mari kau layani aku!"
"Bagus, majulah sekalian bersama bocah ini," demikian tantang Lian Tin-san, "Aku orang she Lian melawan dua orang juga tidak gentar."
Hong thian-lui tumplek seluruh perhatiannya untuk menempur musuh sehingga situasi sekelilingnya tidak dihiraukan olehnya. Apa yang diucapkan Lu Tang-wan hakikatnya tidak dengar, juga hiraukan. Tampak kedua biji matanya mendelik, gigi gemeratak, dengan nafsu berkobar ia serbu Lian Tin-san.
Hong-thian-lui tidak mau mundur, betapapun Lu Tang-wan tidak mau mengeroyok musuh. Lian Tin san maklum orang tidak mau kehilangan muka, maka seenaknya saja ia mengumbar obrolannya. Tapi menghadapi Hong-thian-lui yang menyerang gencar seperti harimau kelaparan ini, lambat laun gentar juga hatinya, lama kelamaan ia kerepotan melayani.
"Entah bocah ini menelan empedu harimau atau nyali biruang, selama setengah abad Locu (aku) mengembara dan malang melintang, belum pernah lihat bocah yang tidak takut mati begini. Tidak sukar aku memukulnya mampus, soalnya nanti dijadikan buah tertawaan orang gagah diseluruh dunia ? Kalau tidak dibunuh, merepotkan saja. Bagaimana baiknya ?"
Tatkala itu mereka sudah bertempur hampir dua ratus jurus. Meski seluruh badan Hong thian-lui penuh luka-luka, tenaganya-pun banyak terkuras. Tapi Lian Tin san sendiri juga basah kuyup oleh keringat, napas juga sengal-sengal, agaknya sulit melawan lagi. Sebaliknya walaupun sudah kehabisan tenaga, setiap pukulan Hong-thian-lui masih begitu keras dan menderu.
Akhirnya Lian Tin-san menggertak gigi, pikirnya : "Biar ditertawakan para sahabat Kangouw, betapapun jangan aku dikalahkan oleh bocah ini." maka timbul nafsunya membunuh, sorot matanya menjadi bengis dan buas. Tiba-tiba ia lompat menerjang seraya membentak : "Bocah keparat, kuantar nyawamu keakhirat !"
Julukan Lian Tin-san Elang hitam, maka tubrukan dari udara merupakan kepandaian paling menonjol dari seluruh ilmu yang dimiliki, mengenakan mantel hitam lagi sehingga berkembang seperti sayap, begitu menukik umpama seekor elang hitam besar.
Ditengah teriak kejut para hadirin, Hong thian-lui terpelanting jumpalitan, kelihatan badannya akan terbanting terlentang, sekonyong konyong sikutnya menutul tanah, tahu-tahu badannya melejit tinggi terus melompat bangun lagi. Dengan suara serak ia berteriak : "Aku belum kalah, Lian Tin-san, hayo maju lagi !''
Tampak lima lobang berdarah dipunggungnya. Ternyata dicengkeram Eng-jiau-jiu Lian Tin-san, sehingga punggungnya bolong.
Disaat Hong-thian-lui hampir terbanting, tanpa hiraukan aturan pertandingan, Lu Tang-wan memburu keluar, maksudnya hendak memapah Hong thian-lui sekaligus bersiaga bila Lian Tin-san menyerang lagi.
O^~dwkz^hendra~^O Jilid 07 Tapi dia terlambat satu langkah, sebelum ia tiba dipinggir Hong-thian-lui, tahu-tahu Hong thian-lui sudah mencelat bangun pula, malah menantang kepada Lian Tin-san.
Tiba-tiba Lian Tin-san tertawa kering, wajahnya tidak menunjukkan rasa puas setelah menang, mimik wajahnya lebih tepat dikatakan tersenyum getir.
"Apa yang kau tertawakan?" bentak Hong-thian-lui dengan gusar.
"Tidak perlu bertanding lagi."
"Aku belum roboh, apa kau anggap kau sudah menang?" semprot Hong-thian-lui.
"Memang kau tidak kalah. Akulah yang kalah !" sahut Lian Tin san.
Jawaban atau pengakuan Lian Tin san menggemparkan seluruh hadirin.
"Suhu, kau ..." Ko Teng-ngo bergegas maju.
Lian Tin-san tertawa getir, katanya : "Saudara Ling adalah pemuda gagah satu-satunya yang pernah kulihat selama hidup. Kepandaian tidak perlu dipersoalkan, berwatak gagah dan pantang mundur itulah yang membuat aku takluk. Orang she Lian belum pernah memuji orang, tapi terhadap saudara Ling ini, aku betul-betul kagum dan tunduk lahir batin. Aku terima kalah terhadapnya. Lu-loko, perhitungan kita dulu juga tidak perlu dibereskan lagi. Maaf. Harap atas gangguan ini, selamat bertemu pada lain kesempatan! Teng ngo, mari pulang!"
Badan Hong thian-lui babak belur dan terluka parah, masih berani menantang berkelahi, benar-benar diluar dugaan orang banyak, Lian Tin-san pasti menang bila pertempuran dilanjutkan, dengan mudah ia mengambil jiwa Hong-thian-lui bila mau. Mendadak dia menyerah kalah, hal ini lebih diluar dugaan para hadirin.
Lu Tang wan memandang punggung guru dan murid itu keluar dan menghilang diluar pintu, hampir dia tidak percaya akan kenyataan ini. Sungguh diluar tahunya bahwa kejadian selesai begitu saja. Dirinya selamat tanpa keluar keringat, permusuhan juga berakhir sampai disini.
Lo-enghiong Ciang Tiong-ping dengan hadirin ikut melengak heran, mendadak terbahak-bahak, serunya : "Hek ing Lian Tin-san pambeknya harus dipuji. Sungguh pintar dan cerdik sekali cara 'mengaku kalah' ini. Tidak malu sebagai dedengkot Kangouw."
Mendengar ucapan Ciang Tiong ping baru hadirin lain sadar dan paham. Ada tamu yang mengumpak kepada Lu Tang-wan : "Lu-cengcu, tidak perlu kau turun tangan, Elang hitam sudah lari ketakutan!'' lebih banyak orang memberi pujian kepada Hong-thian-lui: "Ling-lote, sepak terjang bak geledek mengguntur di langit menggetar seluruh dunia. Elang hitam yang kenamaan di Kang ouw juga takluk kepada kau !"
Mendengar umpak puji orang-orang itu Lu Tang-wan menjadi senang dan menyesal. Katanya; "Untung ada Ling-hiantit, kalau bukan keberaniannya melumpuhkan semangat tempur Lian Tin San, tidak mungkin elang hitam mau mundur teratur. Mungkin aku juga bukan tandingannya."
Pengakuan kalah Lian Tin-san, sesuai dengan penilaian Ciang Tiong-ping, memang cerdik pandai karena dia pandai melihat gelagat.
Maklum sebagai orang yang punya kedudukan tinggi dan tenar setingkat dengan Lu Tang-wan. Hong-thian-lui betapapun bukan lawannya, namun hadirin menyaksikan dia mengaku kalah sekaligus memberi kesan bahwa sebagai orang tua dia menghargai angkatan muda. Sebaliknya kalau dia tidak menyerah kalah, melanjutkan pertempuran, seumpama dia mengalahkan Hong thian-lui tenaganya juga terkuras habis.
Tatkala itu Lu Tang-wan tentu takkan melepaskan pergi begitu saja. Tadi dia sudah bilang, setelah mengalahkan Hong-thian lui baru akan menempur Lu Tang wan.
Mengingat kedudukan dan namanya, mungkin Lu Tang-wan tidak sudi menempurnya mengingat cara ini kurang bijaksana. Tapi Hong thian-lui terluka berat, atau mungkin terbunuh, hadirin pasti bangkit amarahnya jelas mereka akan melabrak dirinya.
Mempertimbangkan untung dan ruginya dari pada mengadu jiwa dengan Lu Tang-wan, jalan paling baik yang harus ditempuh adalah mengaku kalah saja terhadap Ling Tiat-wi. Lu Tang-wan setingkat dan sejajar angkatan dan kedudukan dengan dirinya, setelah ia mengaku kalah terhadap angkatan muda sudah tentu Lu Tang wan malu menantangnya lagi.
Peribahasa berkata "Selama gunung masih menghijau, tak perlu kawatir kehabisan kayu bakar" dengan mengambil peringatan kata kata peribahasa inilah, dengan selamat Lian Tin-san keluar dari pintu keluarga Lu.
Setelah Lian Tin-san dan muridnya pergi, para hadirin merubung maju, memberi selamat dan puji sanjung. Karena terdesak dan tak mampu maju, maka Lu Giok-yau berseru dari luar kalangan : "Yah, lekas kau obati luka-luka Ling-suheng!"
Belum lenyap suaranya, mendadak Hong-thian-lui terkekeh tiga kali, teriaknya : "Aku menang. Aku sudah menang !" sekonyong-konyong ia menyemburkan darah segar, ditengah gelak tawanya dia tersungkur.
Setelah bertempur sekian lama dan terluka parah, hanya keberaniannya saja yang menunjang semangatnya sehingga ia kuat bertahan. Setelah Lian Tin-san pergi, umpama tanggul bobol keterjang air bah, kepala mendadak pusing tujuh keliling, maka perlahan dia roboh lemas.
Diantara tamu tamu ada seorang tabib kenamaan bernama Tiam-jong ih-jun Yap Goan-ciang. Segera ia tampil kedepan memeriksa urat nadi Hong thian lui, katanya : "Liang siauhiap terluka parah urat nadi dan jalan darahnya. Untung hawa murninya tidak buyar, sehingga tidak membahayakan jiwanya. Tapi...."
"Tapi bagaimana?" tanya Lu Tang-wan gugup.
"Tapi harus banyak istirahat dengan perawatan teliti. Paling cepat harus istirahat tiga bulan baru sembuh kembali. Ai, sayang sepucuk Jian lian-ho siu ohku ketinggalan!" dari hasil pemeriksaan tabib ini menarik kesimpulan, bila tiada obat mujarab yang bantu memulihkan hawa dan tenaga murni dalam badannya, meski Hong thian-lui tertolong, selanjutnya akan dihinggapi penyakit tbc, kepandaian silatnya mungkin juga bakal punah.
Ciang Tiong-ping menimbrung : "Aku punya sebatang Lo sam jan, entah bisa dipakai tidak?"
"Bisa, bisa!" seru Yap Goan ciang girang, "Kolesom tua dari Tiang pek san ini, meski kasiatnya kalah dibanding Ho-siu-oh ribuan tahun, namun bisa bantu memulihkan tenaga Ling-siauhiap.''
Ciang Tiong-ping berkata tertawa : "Lu-toako, bicara terus terang, kolesom ini sebetulnya hendak kusumbangkan sebagai kado ulang tahun, sekarang terpaksa kuberikan kepada keponakanmu saja."
Lu Tang-wan kegirangan, cepat ia menjawab : "Itu lebih baik dari pada kau serahkan kepada aku, aku lebih banyak terima kasih kepadamu!"
Sesepuh Ceng seng pay yang bernama Siau Sim sin tampil keluarkan botol kecil, katanya: "Inilah Seng ci pek giok hou buatanku sendiri. Lu cengcu, simpanlah untuk mengobati lukanya setiap tiga hari satu kali."
Seng ci pek giok hou merupakan obat luar bikinan Ceng seng pay yang paling mujarab, jauh lebih baik dari Kim jong-yok lainnya.
Tersipu-sipu Lu Tang wan menerima serta berkata : "Setelah keponakanku ini sembuh, biar kuajak dia berkunjung ke Ceng-seng-san menyatakan terima kasih kepada kau. Kali ini sungguh banyak terima kasih akan bantuan para sahabat sekalian."
"Terima kasih apa," ujar Siau Sim-sin, "kita wajib saling bantu bukan."
Berdiri diluar kerumunan orang banyak perasaan Khu Tay-seng menjadi kejut dan pilu, batinnya : "Bocah ini umpama burung Phuniek, semua orang mengelu-ngelukan dia!"
Lu Tang wan berputar sambil membungkuk hormat kepada para tamu serta berkata: "Aku memohon diri dan maaf kepada para sahabat, biar kutolong dulu bocah ini. Sebentar lagi jamuan makan boleh dimulai."
"Kita adalah sahabat kental, kenapa sungkan," demikian ujar Ciang Tiong ping, "memang mengobati Ling-siauhiap lebih penting!"
Para tamu mundur memberi jalan kepada Lu Tang-wan yang memapah Hong-thian-lui masuk kedalam, Lu Giok yau dan Khu Tay-seng mengikut dibelakangnya.
Peristiwa yang dialami Hong-thian lui sudah dilaporkan kepada Lu-hujin, segera ia menyiapkan sebuah kamar kosong untuk Hong-thian lui.
Lu Giok-yau turun tangan membubuhi obat Seng ci-pek-giok hou ditubuh Hong-thian-lui yang terluka, hampir seluruh badan Hong-thian-lui babak belur, hatinya berdebar debar, katanya: "Luka luka Ling-suheng sungguh berat, ayah, coba lihat apakah dapat disembuhkan ?"
"Ada kolesom dan Seng ci-pek-giok-hou takut apa, Yap Goan-siang berani garansi untuk menyembuhkan dia, kau tak usah kawatir."
Khu Tay-seng mengekor dibelakang sang Piaumoay masuk kedalam, selama itu Piaumoaynya diam saja tanpa menyapa dia, seperti lupa akan kehadirannya. Keruan bertambah jelus dan benci hatinya, dengan mendelu ia berkata: "Dengan rawatan teliti Piaumoay tentu luka luka Ling-suheng dapat disembuhkan !"
Lu Giok-yau tidak perhatikan air muka orang, ia berkata pula: "Untung hari ini mendapat bantuannya, aku diselamatkan kan pantas aku merawatnya. Oh, ya, kau juga mendapat pertolongannya bukan, lenganmu nyaris putus dan cacad."
Merah muka Khu Tay-seng, katanya : "Ya, dia adalah penolongku, aku belum sempat berterima kasih padanya. Sayang aku terluka, terpaksa tidak ikut merawat dia." Lalu mengerut kening pura-pura menahan sakit. Sebetulnya luka-lukanya hanya lecet saja setelah dibubuhi obat juga tidak sakit lagi.
Diam-diam Lu-hujin berpikir : "Giok-yau tidak perhatikan luka-lukanya, maklum kalau dia merasa jelus." orang tua ini lebih teliti dan berpengalaman, sikap atau mimik wajah Khu Tay-seng yang cemburu itu sudah tentu tak dapat mengelabuinya maka ia menimbrung: "Tay seng, luka lukamu harus diobati. Biar kami yang rawat Ling-siauhiap, kau pulang istirahat saja. Tang-wan, menurut pendapatmu, perlukah minta Yap Goan-ciang memeriksa dan membuka resep obatnya ?"
"Luka-lukaku tidak perlu merepotkan banyak orang." cepat Tay seng mengelak diri.
"Kalau begitu lekas kau istirahat." demikian bujuk Lu hujin.
Sebaliknya Khu Tay-seng segan meninggalkan Piaumoaynya, tapi ia sebal melihat orang begitu telaten meladeni Hong-thian-lui, dalam hati ia berpikir : "Lebih baik mataku tidak melihat, dari pada aku naik pitam." maka ia berkata : "Terima kasih akan perhatian bibi. Kalau Ling-suheng siuman, harap Piaumoay sampaikan terima kasihku kepadanya." dengan uring uringan ia mengundurkan diri.
Entah berselang berapa lama kemudian, pelan-pelan Hong-thian-lui siuman namun masih diantara sadar setengah sadar, namun sudah punya perasaan. Lapat lapat terdengar oleh Hong-thian-lui Lu Tang-wan sedang berkata : "Surat Ling Ho apakah sudah kau simpan ?"
Mendengar Lu Tang-wan menyinggung surat ayahnya, Hong-thian-lui ingin tahu apa yang ditulis ayahnya dalam surat itu. Oleh karena itu meski dalam keadaan layap-layap ia memusatkan perhatian, lambat laun perasaannya lebih jelas dan tajam.
Terdengar Lu-hujin menjawab : "Untuk apa kau mendadak menyinggung surat itu? Sudah tentu sudah kusimpan."
"Apakah kau serahkan kepada Giok-ji untuk dibacanya ?" tanya Lu Tang-wan pula.
"Kenapa kau jadi pelupa, bukankah kau bilang supaya tidak memberi tahu hal ini kepada Ah-giok ? Mana kuserahkan kepadanya."
"Sekarang aku ingin merobah niatku malah." ujar Lu Tang-wan tersenyum simpul.
Lu-hujin mengerut alis, sahutnya : "Menurut hematku, urusan ini harus dipikir dan dirundingkan lebih mendalam."
Sampai disini terdengar suara Lu Giok-yau berteriak : "Yah, Ling toako sudah siuman belum, kolesom sudah kugodok." dilain saat terdengar langkahnya masuk kamar. Ternyata ia kebelakang memasak obat untuk Hong-thian lui.
"Wah, begitu besar perhatianmu kepada Ling-toako, dia belum sadar," demikian goda Lu Tang-wan.
"Taruh dulu di meja, supaya obat itu dingin, kalau dia bangun baru kasih dia minum.'' demikian Lu-hujin bicara.
"Yah, apa yang sedang kau bicarakan dengan ibu, kenapa begitu aku datang lantas bungkam semua."
"Tidak ada apa-apa, kami hanya membicarakan Ling-toakomu saja."
"Memang aku ingin bertanya kepadamu. Kenapa selamanya aku belum pernah dengar kau menyinggung paman Ling ini."
"Setelah kau dewasa baru akan kuberitahu, sekarang Ling-toako sudah datang biarlah kujelaskan." lalu dengan menekan suara ia melanjutkan; "Moyangnya adalah Hong-thian-lui Ling Tin, apa kau tahu Hong-thian lui Ling Tin?"
Kejut girang Lu Giok-yau teriaknya berjingkrak; "Hong-thian-lui Ling Tin salah satu dari seratus delapan pahlawan gagah Liang san bukan?"
"Hus, jangan keras-keras, jaga dinding sebelah ada pasang kuping, kalau diketahui orang luar bukan main akibatnya, kau harus ingat jangan kau bocorkan rahasia ini."
"Kau anggap aku bocah kecil, aku mengerti.'' selanjutnya ia mentowel kepada ibunya; "Bu, kenapa kau tidak beritahu kepada aku, kau hanya mengatakan dia sahabat kental ayah saja."
"Sekarang kau tahu kau tidak terlambat. Sebetulnya lebih baik kau tidak tahu saja." demikian sahut ibunya.
Kata Lu Giok-yau; "Sudah kukatakan pasti tidak kubocorkan, kenapa kalian tidak percaya kepadaku," demikian ia merengek.
Lu Tang wan tertawa, katanya: "Tadi aku tidak bicara dengan ibumu. Bocah keluarga Ling ini kelihatannya gendeng kekanak kanakan, martabatnya sih boleh juga, berjiwa kesatria."
Hong-thian-lui membatin : "Jelas paman Lu sedang membicarakan surat ayah, bukan membicarakan aku. Kenapa ia mengapusi putrinya ?"
Sementara itu terdengar Lu Tang-wan berkata sambil tertawa-tawa: "Giok-ji kutanya kau, kau harus menjawab terus terang."
Lu Giok-yau monyongkan mulut, sahutnya aleman; "Ayah, kapan aku pernah bohong kepada kau. Apa yang hendak kau tanya?"
"Kau suka pada Ling-toako tidak?"
Sebetulnya Hong-thian lui mau membuka mata, serta mendengar pertanyaan ini, menjadi batal dan memasang kuping lebih tajam pikirnya: "Kalau sampai diketahui nona Lu aku mencuri dengar, wah berabe dan runyam.''
Lu Giok-yau tertegun sebentar lantas menyahut; "Ayah, pertanyaan ini mengherankan."
"Dari segi mana kau merasa heran."
"Bantuan Ling-toako terhadap kita teramat besar, menjaga gengsi dan namamu. Ayah, apakah kau tidak suka kepadanya?"
"Kau belum mengerti maksud tujuanku. Kau sudah berumur delapan belas, aku hanya ingin tahu, ingin tahu ..."
Entah tidak tahu atau pura pura tidak tahu, namun wajah Lu Giok-yau kelihatan jengah (sayang Hong-thian-lui tidak melihat) serunya: "Ayah, kenapa kau ini ? Bicara juga plengak plenguk ! Ayah, apa yang ingin kau ketahui ?"
"Baik, kuberi umpama supaya kau jawab. Kau lebih suka Ling-toako atau lebih suka Piaukomu ?"
"Yah, kenapa kau tanya demikian ? Dengan Ling-toako aku baru kenal hari ini."
"Jadi, kau lebih suka Piaukomu ? Bocah goblok, terhadap ayah dan ibu kenapa malu-malu, coba katakan ?"
"Aku tidak tahu, aku tidak tahu !" demikian jawab Lu Giok-yau tersipu-sipu sambil membanting kaki. Meski malu ia nyatakan juga isi hatinya : "Sikap Piauko sangat baik terhadap aku. Tapi sepak terjang Ling-toako yang gagah berani sungguh membuat aku kagum. Ayah kau jangan tanya lagi, ah? Aku belum pernah memikirkan !"
Cepat Lu hujin menengahi : "Ya, usia Giok ji masih muda, kau tak perlu mendesaknya."
"Tapi surat Ling Ho harus segera kubalas."
"Paman Ling menulis surat apa kepada ayah?" tanya Lu Giok-yau mendadak dilihatnya mimik wajah ayahnya aneh dan getir, sebagai nona cerdik pandai, segera ia menerka beberapa bagian, kontan merah pipinya, cepat ia berkata : "Ayah, urusan orang tua aku tidak ingin tahu. Pertanyaanmu terlalu banyak. Sekarang giliranku tanya pada kau."
"Apa yang hendak kau tanyakan ?"
"Ayah, bagaimana kau bermusuhan dengan elang hitam ?"
"Bukankah itu urusan orang orang tua?"
"Aku ingin tahu, aku ingin tahu duduk perkaranya," demikian Lu Giok yau merengek dengan aleman.
Mendengar percakapan ayah beranak ini, jantung Hong thian-lui berdebar-debar.
"Apa yang ditulis ayah dalam surat itu ? Berulang kali Paman Lu menyinggung surat itu, lalu dia tanya putrinya suka kepada aku tidak, apakah kedua persoalan ini ada sangkut pautnya?" Dasar polos dan jujur Hong-thian lui masih main tebak, namun otaknya cerdik, lapat lapat ia meraba kemana juntrungan surat itu, tanpa merasa hatinya semakin berdetak keras.
Mungkin terlalu tegang pikirannya, tanpa merasa ia bergerak sedikit. Lu hujin lantas berseru, "Ling-suheng sudah siuman!"
Tak enak Hong-thian-lui pura pura tidur, pelan-pelan ia membuka mata.
Kata Lu Tang wan senang : "Baik, kau sudah bangun ! Bagaimana rasamu ?"
"Agaknya sudah baik. Terima kasih akan perhatian paman dan bibi."
"Kau jangan terlalu banyak omong. Giok-ji, ambil obat kolesom itu, minumkan kepada Ling toako."
"Entah dia dengar percakapan dengan ayah ?" jantung Lu Giok-yau berdetak, setelah memberi minuman kolesom kepada Hong-thian lui, ia memancing, katanya: "Ling-toako, tadi kami membicarakan kau ?!"
"Membicarakan diriku ?"
"Menurut ayah kau berjiwa patriot, dia sangat suka kepadamu. Untung mendapat bantuanmu sehingga ayah tidak dibikin malu."
"Sudah menjadi kewajibanku bukan? Entah kenapa paman bermusuhan dengan elang hitam Lian Tin-san itu ? Waktu aku bangun tadi, rasanya kalian sedang membicarakan soal ini bukan ?"
Selamanya Hong-thian-lui belum pernah bohong, baru pertama ini ia membual diam2 hati merasa menyesal.
Lu Giok-yau lega, pikirnya: "Ternyata percakapan kami tadi dia tidak dengar ?"
Tapi Lu hujin meraba sedikit kejanggalan, ia membatin: "Apa betul dia hanya mendengar percakapan terakhir ? Mana mungkin kebetulan. Ai, berabe kalau dia tahu persoalannya kalau lama dia tinggal disini, mungkin punya pikiran nyeleweng terhadap Giok-ji. Celaka bila kelak mereka menimbulkan keributan yang memalukan. Tapi dia terluka berat, menurut Yap Goan ciang harus istirahat tiga bulan. Apa aku harus mengusirnya ? Bagaimana baiknya ? Kecuali lekas-lekas mengikat perjodohan Giok ji dengan Tay seng."
Setelah termenung baru Lu Tang-wan bicara : "persoalan ini belum pernah kubicarakan dengan orang luar. Tapi Ling hiantit bukan orang luar, boleh saja kuceritakan sekarang.''
"Kalau tidak leluasa, lebih baik Tit-ji tidak tahu saja,'' demikian kata Hong thian-lui risi.
"Kan bukan urusan yang perlu dirahasiakan, tapi lebih baik jangan sampai bocor!"
Perasaan Hong thian-lui menjadi kurang enak, pikirnya : "Kau tak percaya padaku, lebih baik tak usah katakan saja.'' ucapannya sudah diambang mulut. Namun Lu Tang wan sudah bercerita.
"Peristiwa terjadi puluhan tahun yang lalu. Aku punya seorang kawan yang membuka Piaukiok di Lokyang, yaitu Houwi Piaukiok. Congpiauthaunya benama Bing Thing. Tahun itu kebetulan aku lewat Lokyang, menginap diperusahaannya. Dia minta aku membantu melindungi barang hantaran. 'Barang' hantaran ini sebenarnya cukup aneh."
Lu Giok-yau ketarik, tanyanya : "Yah, ternyata kau pernah jadi Piausu. Barang aneh apa yang kau kawal?''
"Coba kau terka, yang kukawal adalah pelajar lemah berusia enam tujuh belas tahun.''
"Putra bangsawan manakah dia?''
"Kakeknya pernah menjabat pangkat tinggi dikerajaan Song, belakangan kerajaan Song hijrah keselatan, sebelum dia lahir, ayahnya sudah melarikan diri ke Kanglam. Anaknya itu dititipkan dan diasuh oleh familinya. Sanaknya itu seorang juru tulis dikampungnya, nafkahnya cukup untuk makan satu hari saja."
"Kenapa minta perlindungan, apa takut diculik? Apakah dia mampu membayar ongkos?" demikian tanya Lu Giok yau.
"Bing Thing, Congpiauthau Hou-wi Piaukiok itu memang seorang yang aneh pula. Sepak terjangnya jauh berlainan dengan orang biasa. Kadang kala, umpama kau mau bayar dengan ribuan mas perak, belum tentu dia sudi mengantar barangmu, namun pernah tanpa memungut bayaran sesen pun, secara suka rela dia mau mengantar barangmu. Demikian juga kali ini, dia bekerja demi kepentingan orang lain."
Hong-thian-lui menimbrung : "Aku pernah dengar kisah Bing Thing mengawal barang dari ayah. Konon tiga puluh tahun yang lalu, Han Tay-wi tokoh besar persilatan yang mengasingkan diri di Lokyang pernah minta dia melindungi putrinya ke Yangciu kabarnya hendak menikah. Tatkala itu dia tidak tahu asal usul Han Tay-wi, untuk ongkos kawalan dia memasang tarip ribu tahil uang emas. Ditengah jalan dicegat kawanan begal. Bing Thing bukan lawan gerombolan begal itu, untung nona Han yang dia kawal turun tangan baru dia selamat. Tapi Han Tay wi tetap simpatik dan terima kasih kepadanya. Situasi waktu itu sangat genting, pasukan Mongol sudah bergerak menyerbu Tionggoan. Han Tay-wi sedang sakit, putrinya sebagai calon pengantin, seorang mempelai kan tidas pantas pergi ke rumah calon suaminya, 'Barang hantaran' ini kecuali Bing Thing tiada yang mau menerima. Masih untung kali itu Bing Thing sendiri yang melindungi angkutan itu, sehingga hanya menemui sedikit rintangan, kalau orang lain mungkin mendapat halangan yang lebih besar."
"Memang ada peristiwa itu. Belakangan Han Tay wi menjadi sahabatnya yang paling akrab. Aku pun mengenalnya dirumah Han Tay-wi, waktu itu aku masih muda dan belum lama berkelana, sebagai wanpwe aku berkunjung kepada Han Tay-wi. Hitung-hitung hubunganku dengan Bing Thing sudah hampir tiga puluhan tahun."
"Untuk kali itu apakah dia mengatur calon pengantin?" tanya Giok yau.
"Bukan, pelajar itu ingin ke Kanglam mencari ayahnya."
Semakin besar ingin tahu Lu Giok yau, tanyanya: "Cara bagaimana dia mencari Bing Thing untuk melindunginya?" dia kira orang orang yang punya hubungan dengan Bing Thing tentu kaum persilatan, hartawan atau pejabat pemerintah. Bocah rudin yang dititipkan dirumah juru tulis kampung mana bisa berkenalan dengan Bing Thing?
"Apakah pelajar itu bisa main silat?" tanya Hong-thian-lui.
"Aku dulu curiga, sanak orang itu mungkin seorang persilatan yang mengasingkan diri. Tapi waktu kuajak bicara, dia hanya pintar membuat syair atau pantun segala, sedikitpun tak bisa main silat."
"O, sungguh aneh !"
Lu Tang-wan meneruskan ceritanya : "Pelajar itu bernama Geng Tian. Cara bagaimana dia minta bantuan Bing Thing untuk mengantarkan ke Kanglam, atau Bing Thing sendiri secara suka rela mengantar, Bing Thing tidak pernah menjelaskan kepada aku. Dia hanya berkata kepadaku : "Geng-kongcu ini adalah putra seorang sahabatku, seorang diri aku mengantarnya ke Kanglam, rasanya kurang lega, maukah kau bantu aku ?"
Tatkala itu, akupun merasa heran, harus diketahui Bing Thing adalah Piau-thau yang paling terkenal dan paling laris perusahaannya. Hou-wi Piaukiok merupakan perusahaan terbesar di Lokyang, mengantar seorang pelajar lemah dan rudin, jangan kata takkan dibegal, seumpama ketemu rampok masa Bing Thing tak bisa menghadapinya ? Lagi pula Hou-wi Piaukiok punya puluhan Piausu, kalau Bing Thing masih kawatir, kenapa tidak bawa beberapa Piausu lebih banyak, kenapa harus minta aku yang bantu?"
"Tapi aku mengenal watak Bing Thing, kalau dia mau menjelaskan siang-siang sudah menerangkan kepadaku, kalau tidak mau omong, mungkin belum tiba saatnya. Siapakah ayah Geng-kongcu itu, belakangan baru dia memberitakan kepada aku."
"Siapakah ayah pelajar itu ?" tanya Lu Giok-yau.
"Sementara aku harus putar dulu ke belakang. Setelah Bing Thing menjelaskan kepada aku, maka akupun menceritakan belakangan saja," lalu ia melanjutkan : "Waktu itu Bing Thing pernah tanya aku, urusan lain kau tak perlu urus, aku hanya minta ketegasanmu, maukah kau bantu aku ?"
"Peristiwa ini terjadi puluhan tahun yang lalu, tapi hubungan eratku dengan Bing Thing sudah hampir dua puluh tahun, memandang persahabatan itu, tak enak aku menolak permintaannya. Maka tanpa banyak bicara lagi, aku menyanggupi, maka aku ikut mengantar Geng-kongcu itu."
"Dijalan Bing Thing bicara dengan aku, bila ditengah jalan ada orang menyakiti Geng-kongcu, biar dia yang menghadapi, kalau kalah baru minta aku maju membantu. Diapun berkata, kau tonton saja disamping bila kau merasa ilmu silatmu tidak unggul menghadapi musuh, kau harus cepat melarikan diri membawa Geng-kongcu, soal mati hidupku, kau tak usah urus."
"Melihat ia bicara serius, diam-diam aku mentertawakan dia, 'Seorang pelajar rudin masa ada begal yang sudi mengincarnya ?' Siapa tahu peristiwa telah terjadi !"
"Tentu elang hitam Lian Tin-san inilah!" sela Lu Giok-yau.
"Benar, hari itu sudah hampir petang, kami lewat disebuah selat gunung yang berbahaya, disitulah Lian Tin san menunggu kita."
"Sebetulnya setiap tindak tanduk Bing Thing sangat hati hati, menurut perhitungannya sebelum matahari tenggelam kita harus sudah lewat selat gunung ini, tujuannya adalah menghindari bahaya, siapa nyana justru di tempat inilah kita menemui kesulitan."
"Semula aku mematuhi pesan Bing Thing, menonton saja dipinggir, begitu melihat gelagat jelek, segera aku terjun kearena dan suruh dia membawa lari Geng-kongcu."
"Menurut watak Bing Thing, biasanya tentu dia tidak mau terima saranku. Tapi waktu itu tiada tempo berdebat, terpaksa ia bawa Geng-kongcu melarikan diri."
Mendengar sampai disini diam diam Hong-thian lui merasa kagum, batinnya, "Tak heran ayah menganggapnya sebagai sahabat kental, ternyata berjiwa pendekar !" waktu datang tadi, pertama dirintangi dan terjadi keributan dengan penyambut tamu, kedua melihat keadaan keluarga Lu yang serba mewah ini, meski tidak berkesan buruk kepada Lu Tang wan, betapapun hatinya sudah merasa segan. Dalam pandangannya ia merasa bahwa Lu Tang-wan bukan orang segolongan dengan ayah dan gurunya. Baru sekarang ia mendapat kesan lain mengenai Lu Tang-wan.
Lu Giok-yau berlinang air mata, katanya guguh : "Ayah, kau, kau ....''
"E, eh, baik-baik saja, kenapa kau nangis?" goda Lu Tang-wan.
"Tidak, tidak, aku terlalu senang, ayah, kau sungguh baik."
"Bocah goblok," ujar Lu-hujin tertawa, "Baru sekarang kau tahu ayahmu baik?"
Maksudnya mau menggoda putrinya, diluar tahunya Lu Giok-yau memang berpikir demikian. Dia berpikir : "Ternyata sepak terjang dan jiwa ayah gagah sebagai pendekar. Kenapa sekarang menjadi begitu penakut menghadapi urusan ? Apakah karena sejak pertempuran dengan elang hitam itu lantas dia ketakutan?"
Dalam pada itu Lu Tang-wan melanjutkan; "Setelah Bing Thing dan Geng-kongcu melarikan diri, aku tidak merasa kawatir apa apa, dengan rasa lega aku melabrak Lian Tin san. Memang tidak kosong nama elang hitam yang menggetarkan Kangouw, Bing Thing sudah menempurnya sekian lama tenaganyapun sudah terkuras sebagian besar, tujuh puluh dua jalan Eng-jiau-jiu masih dapat dimainkan begitu ganas dan lihay sekali. Coba kalian lihat, inilah tanda mata yang dia tinggalkan diatas badanku."
Lu Tang-wan meninggalkan jubah panjangnya, tampak dipunggungnya terbekas lima jalur luka-luka, setiap jalurnya panjang tiga inci, sekali pandang cukup menggetarkan hati orang.
Lu Giok-yau berteriak: "Yah, jadi kau terluka oleh cakar elang hitam! Ai, luka luka itu tidak ringan," waktu ia berpaling melihat Hong-thian-lui yang rebah diatas ranjang, luka luka orang jelas lebih parah dari ayahnya, serta merta ia menjadi berpikir pula; "Tapi dibanding luka Ling toako terpaut jauh sekali. Ling-toako baru mengembara, tapi berani menempur elang hitam, tindak tanduknya lebih mengagumkan."
Dengan tersenyum Lu Tang-wan berkata: "Memang luka ini kena cakar Eng jiau-jiu-nya, luka ini cukup parah juga. Namun akhirnya aku dapat mengalahkan dia. Aku meninggalkan tiga lobang yang dalam diatas tubuhnya, semua tusukan pedangku mungkin lukanya lebih berat dari aku." selesai berkata ia terloroh loroh.
"Lalu bagaimana dengan Geng kongcu? Belakangan apa kau pernah melihat dia?"
"Mereka sudah lari jauh dan tidak kecandak lagi, apa lagi aku terluka berat, mana mampu mengejar mereka. Belakangan memang aku pernah jumpa dengan Bing Thing, sedang Geng-kongcu sejak itu tak pernah ketemu lagi."
"Ayah, kisahmu ini belum selesai. Sebetulnya bagaimana asal-usul Geng kongcu itu?"
"Kau tak usah gugup, biar kuceritakan pelan pelan." setelah menenggak air teh ia melanjutkan : "Giok ji, hari ini kaudapat hidup mewah dan senang begini, sebetulnya karena rejeki yang diberi Geng kongcu."
Lu Giok yau teringat, katanya, "Memang waktu kecil kuingat kita tinggal digubuk yang reyot, tiba tiba kita pindah di gedung besar yang bertembok tinggi. Tahun itu....." dengan jarinya ia menghitung lalu melanjutkan, "Tepat pada sepuluh tahun yang lalu, ayah, jadi karena kau menolong Geng-kongcu, maka dia membalas kebaikanmu. Tapi bukankah kau pernah mengatakan dia sebagai pelajar rudin?"
"Sebetulnya Geng-kongcu punya asal usul besar, tapi rumah ini bukan pemberian Geng-kongcu. Giok ji, seharusnya kau dapat ingat siapakah orangnya?" nada ucapannya puas dan senang sekali.
"O, jadi paman Bing Thing?"
"Tidak salah, memang Bing Thing." sahut Lu Tang wan, teringat akan masa lalu ia tersenyum simpul, katanya : "tahun itu, waktu aku pulang merawat luka-lukaku, tahu tahu gubuk lama kita sudah hilang; dan berganti sebuah rumah gedung bertembok tebal dan tinggi, sudah tentu aku sangat heran dan kaget. Setelah bertemu dengan ibumu baru aku tahu Bing Thinglah yang membangun untuk kami."
Lu hujin lantas menimbrung : "Bing Thing suruh orang mengantar seribu tail mas, sebetulnya aku tidak berani terima, suruhan itu berkata bahwa jumlah sebesar ini adalah hasil tabunganmu diperusahaan Bing Thing minta aku menerima, keruan aku gopoh, heran dan takut."
Lu Tang-wan berkata : "Setelah sembuh sengaja aku pergi ke Lokyang mengembalikan seribu tahil mas itu kepadanya. Bing Thing terbahak bahak dan berkata : "Ini adalah honor yang harus kau terima setelah menjalankan tugas, hak milikmu sendiri kenapa kau kembalikan kepada aku?" Aku berkata, "Bukankah kaupun tidak menerima ongkos dari Geng kongcu?" Dia berkata : "Obyek pekerjaan ini, kadang kala menerima uang yang tidak semestinya kuterima. Umpama seribu tail mas pemberian Han Tay-wi itu seharusnya tidak boleh kuterima. Sekarang seribu tail mas itu kuberikan kepada kau, paling untuk menentramkan hati dan sekedar balas jasa belaka. Kalau kau tidak mau terima, kau tidak pandang mukaku lagi." apa boleh buat terpaksa dengan rasa terima kasih yang tak terhingga kuterima honorarium itu. Karena aku bantu Bing Thing melindungi Geng kongcu, maka aku menerima balas jasa yang cukup besar, maka menurut hematku, hari ini kita bisa hidup berkecukupan tidak lain adalah berkat pertolongan Geng-kongcu itu."
Lu Tang wan mengeduk cerita pengalaman masa lalu, bagi pendengaran Hong-thian-lui menusuk kuping, dalam hati ia membatin: "Dimulut saja paman Lu bilang tidak suka uang, tapi setelah menerima seribu tail uang mas itu, betapa senang hatinya."
Agaknya Lu Giok yau juga tidak sabar, segera ia menukas pembicaraan ayahnya : "Yah, urusan tidak begitu perlu, kelak kau ceritakan lagi. Sekarang ceritakan yang penting saja."
"Soal penting yang mana ?" tanya Lu Tang-wan.
"Sebetulnya bagaimana asal usul Geng-kongcu itu. Sudah sekian lama kau mengobrol belum menyinggung persoalan ini."
"Budak lemah macam kau kiranya juga berwatak keras, baiklah, kau ingin lekas tahu sekarang juga ceritakan." sampai disini dengan kalem ia menuang secangkir teh lalu diminumnya pelan pelan, akhirnya baru melanjutkan : "Apa kau pernah dengar nama Geng Ciau?"
"Apakah Geng Ciau yang punya julukan Kanglam Tayhiap itu ?" sela Hong-thian lui.
"Tidak salah, Kanglam Tayhiap itu adalah ayah Geng-kongcu itu."
"Wah, semakin membingungkan, sebagai putra Kanglam Tayhiap, kenapa dia tidak pandai silat?" demikian tanya Giok-yau.
"Mungkin sengaja menyembunyikan kepandaiannya." begitulah tambah Hong thian-lui.
"Bukan begitu, ribuan li kami jalan bersama berkumpul dua bulan lamanya, kalau dia bisa main silat betapapun takkan dapat mengelabui mataku," demikian jawab Lu Tang-wan.
Hong-thian Iui lantas berpikir dengan cermat, ia rasa rekaannya memang kurang beralasan. "Kalau Geng kongcu betul betul berkepandaian silat, dalam situasi yang tegang dan gawat itu, masa dia mau berpeluk tangan menonton saja, begitu tega ia melihat Bing Thing dan paman Lu menjual jiwa bagi keselamatannya sendiri."
Terdengar Lu Tang-wan tertawa lebar, katanya : "Kalian tidak perlu main tebak lagi, biar kuberi tahu. Dalam hal ini memang ada sebabnya."
"Sebelum Geng-kongcu diantar Bing Thing ke Kanglam, dia belum pernah jumpa ayahnya sejak lahir."
"Waktu ibunya mengandung, jaman itu sedang kalut dan geger peperangan. Tatkala itu, Geng Ciau berada dimarkas Panglima besar Lu King-bun di kerajaan Song selatan, suatu ketika ia mendapat perintah untuk menyelundup ke utara menjadi mata-mata, setelah melangsungkan pernikahan dikampung halamannya menurut rencana suami istri bersama hendak menuju ke Kanglam, tapi istrinya sudah bunting. Peperangan telah terjadi, maka ia harus kembali memberi lapor sebelum masa tugasnya selesai."
"Istrinya sudah bunting tua, terpaksa Geng Ciau berpesan, dan menitipkan kepada sanak pamilinya untuk merawat ibu beranak itu, menurut perhitungannya setelah keadaan tentram ia akan kembali menjemput mereka. Tak duga peperangan berlangsung dari bulan ketahun, setelah perang antara Kim dan Song, pasukan Mongol juga menyerbu ke dataran Tionggoan. Sebagai seorang pejabat penting dalam ketentaraan di kerajaan Song selatan, makin tidak leluasa meninggalkan kedudukannya itu."
"Setelah Geng-kongcu berumur tiga tahun, ibunya baru mendapat berita dari seorang pedagang yang baru pulang dari Kanglam, katanya Geng Ciau mendapat luka parah dalam suatu pertempuran, keadaannya sangat gawat. Mendengar kabar jelek ini, sudah tentu Geng hujin menjadi gugup dan gelisah. Tapi situasi sangat genting dimana-mana pasukan musuh tersebar dan merajalela mengganggu rakyat jelata, seumpama ia dapat mengelabui musuh, betapapun ia tidak akan bisa membawa bocah umur tiga tahun menyebrangi sungai besar untuk pergi ke Kanglam."
"Apa boleh buat, terpaksa Geng-hujin menitipkan putranya kepada sanak kadangnya, seorang diri ia pulang ke Kanglam untuk mencari suaminya. Sebentar saja tiga belas tahun sudah berlalu, bukan saja suami istri itu tidak pernah pulang kekampung halaman menyampaikan beritapun tidak. Oleh karena itulah, meski ayah bunda Geng-kongcu ini punya kepandaian silat yang tinggi, tapi dia sendiri tidak bisa main silat, dikampung dia hanya belajar sastra."
"O, ibunya juga seorang pendekar ?" tanya Lu Giok-yau.
"Benar, Geng-hujin adalah adik misan Geng Ciau sendiri, she Cin bernama Liok-giok. Dua puluh tahun yang lalu iapun seorang pendekar yang punya nama dikalangan Kangouw."
Hong-thian lui berkata: "Elang hitam Lian Tin san hendak membegal Geng-kongcu, apakah ia sudah tahu asal usul Geng-kongcu ?"
"Mengenai hal ini aku sendiri juga kurang paham." Demikian jawab Lu Tang-wan, "Waktu Geng-hujin pulang keselatan ia meninggalkan serenteng mutiara untuk putranya. Mutiara ini merupakan warisan keluarganya, harganya tak ternilai. Tapi tujuan Geng-hujin adalah untuk menjaga segala kemungkinan belaka, mutiara itu kelak akan menjadi tanda pengenal supaya ayah bunda dan sang putra dapat berkumpul kembali kelak."
"Waktu usia Geng Tian menanjak enam belas, sanak familinya yang rudin itu membawanya ke Hou-wi Piaukiok untuk menemui Congpiauthiau Bing Thing, katanya ada urusan penting yang harus langsung dibicarakan dengan Bing Thing. Kejadian macam ini sudah sering terjadi dalam perusahaan pengangkutan maka Bing Thing tidak merasa heran, di kamar rahasianya ia temui mereka."
"Tamu itu menjelaskan asal usul Geng-thian kepada Bing Thing lalu mengeluarkan serenteng mutiara berharga itu, katanya; "Aku seorang rudin tak mampu membayar ongkos. Kalau Congpiauthau sudi mengantar bocah ini ke Kanglam, mutiara ini adalah peninggalan ibunya, silakan ambil sebagai ongkos perjalanan."
"Sudah tentu Bing Thing tidak mau terima, ia bergelak tawa, tanyanya kepada tamu itu; "Kau dan aku belum pernah kenal, kenapa kau berani membeberkan rahasia ini kepada aku? Apakah tidak takut ditumpas seluruh keluargamu?" harus diketahui Geng Ciau merupakan panglima besar pasukan kerajaan Song selatan yang menduduki sepanjang jalur sungai Tingkang, kalau soal ini bocor dan dilaporkan kepada pihak musuh, sanak kadang yang berani menyembunyikan Geng-kongcu mungkin dihukum mati seluruh sanak familinya, apalagi menyimpan serenteng mutiara tak ternilai."
"Tamu itu menjawab: "Meskipun kami belum pernah kenal, namun ketenaran Bing-piauthau sebagai pendekar, sudah tersebar di seluruh pelosok dunia, siapa yang tidak tahu nama harummu? Kalau aku tidak mempercayai kau mana berani berkunjung ke Hou-wi Piaukiok?''
"Bing Thing bergelak tawa pula, katanya: "Pujianmu aku tidak berani terima. Tapi kau hendak bayar ongkos kepadaku berarti kau pandang rendah diriku," saat itu juga ia bekerja, kalung mutiara itu ia sembunyikan kedalam baju tebal Geng Tian yang butut lalu dijahit lagi."
"Rahasia ini hanya Bing Thing saja yang tahu. Tiga tahun kemudian setelah aku bertemu kembali dengan Bing Thing baru dia menceritakan kepadaku."
Begitu asyik Hong thian-lui mendengarkan, tanpa terasa ia menghela napas dan merasa kagum : "Bing lopiauthau memang pendekar yang perwira. Tapi sanak kandung Geng-kongcu itupun boleh dianggap seorang pahlawan bangsa yang harus dipuji pula."
Lu Tang wan menghela napas, ujarnya: "Sayang pahlawan bangsa ini akhirnya menghilang jejaknya, entah sembunyi atau mengalami bencana."
Hong thian lui terkejut, tanyanya: "Apa dia mengalami bencana?"
"Setelah Bing Thing mengantar Geng-kongcu dan kembali dari Kanglam, ia pernah mencari guru sekolahan kampungan itu untuk memberi kabar gembira. Tak duga balai sekolahan itu sudah tutup, menurut orang kampung sejak mengantar Geng-kongcu ke kota, guru Lu tak pernah kembali lagi. Bing Thing sangat kawatir, mungkin dia diculik gerombolan Lian Tin san."
"Semoga Thian memberkahi umatnya yang bijaksana dan memberikan jalan terang dan keselamatan padanya,'' demikian Lu Giok yau lantas berdoa.
Lu Tang-wan lantas melanjutkan, "Kejadian ini terjadi sebelum Lian Tin san menjalankan operasinya, memang mungkin orang itu tidak kuat disiksa lalu membocorkan rahasia kalung mutiara itu, sehingga Lian Tin-san mencegat dan membegal."
"Orang tua punya jiwa patriot dan setia bangsa, seumpama dia memang diculik Lian Tin-san, disiksa dan diperas, aku yakin dia takkan membocorkan rahasia ini."
"Semoga begitulah adanya," kata Lu Tang-wan, "Kalau kejadian tidak sesuai dugaan kita, bencana mungkin lebih besar."
"Kenapa begitu?" tanya Lu Giok yau.
Lian Tin-san membegal Geng-kongcu, apa tujuannya? Hanya ada dua kemungkinan, satu, mungkin hendak merampas mutiara itu, dua, dia sudah mengetahui asal usul Geng-kongcu, tujuannya hendak diserahkan dan dilaporkan kepada pemerintah Kim untuk menerima pahala dan pangkat kedudukan."
"Kalau tebakan pertama benar, jelas Lian Tin-san adalah begal umum yang mencari nafkah untuk kepentingan sendiri. Kalau dugaan kedua berarti dia telah menjadi antek penjajah Kim. Aku sudah bermusuhan dengan dia, apakah bencana ini tidak terlalu besar bagi kita?"
Lu-hujin ikut menimbrung, "Famili rudin itu apa tidak mungkin membeberkan kedua rahasia itu kepada musuh ?''
"Menurut aturan tidak mungkin. Seumpama benar famili rudin itu diculik Lian Tin san, jelas tujuan Lian Tin-san adalah kemaruk harta."
"Kenapa begitu?" tanya Lu-hujin, "Pakaiannya butut dan penuh tambalan, dia berani menginjak Hou-wi Piauwkiok, bagi seorang begal besar yang punya pengalaman dan pandangan tajam tentu tahu bahwa dia menggembol harta pusaka, kalau tidak mana mungkin bisa menggerakkan hati Bing Thing."
"Dan lagi, demi hidup gamini rudin itu membuka rahasia mutiara mahal saja, sudah tentu ia tidak mau seluruh keluarganya ditumpas habis dengan seakar-akarnya, kalau mengatakan rahasia lain yang lebih penting ?"
Lu-hujin manggut manggut maklum, katanya : "Kalau begitu, semoga Lian Tin-san hanya kemaruk harta." nada perkataannya kedengaran tersekat-sekat dan ragu-ragu, dalam hati ia membatin : "Semoga famili rudin hanya diculik dan diperas keterangannya mengenai mutiara itu saja."
"Benar," kata Lu Tang-wan, "Kalau bukan karena kemaruk harta, berarti Lian Tin-san sudah mengetahui siapa sebenarnya Geng-kongcu itu, atau mungkin secara diam diam ia sudah diperalat oleh penjajah Kim, pihak musuhlah yang mengutusnya kemari. Tapi, bila dugaan ini benar, pantasnya ia tidak perlu menculik famili rudin itu."
Lu Giok-yau segera menyela : "Ayah, kaupun tidak perlu kawatir. Peristiwa ini sudah berselang sepuluh tahun, Lian Tin san baru sekarang datang. Kalau dia memang diutus pihak penjajah Kim serta mengetahui rahasia Geng-kongcu, mana mereka membiarkan kita hidup aman tentram selama sepuluh tahun ini ?"
"Akupun berpendapat demikian," ujar Hong-thian-lui, "Lian Tin-san memukul aku, sudah tentu aku sakit hati terhadapnya. Namun sepak terjangnya hari ini, dia datang menuntut balas dengan peraturan kaum persilatan, kemungkinan besar dia tidak diperalat dan menjadi cakar alap alap kerajaan Kim."
"Kalian memang benar," demikian kata Lu Tang-wan, "Tapi, aku belum dapat menyelami tindak tanduk Lian Tin san, aku selalu curiga dan was-was. Karena itu aku tidak pernah menyinggung permusuhan dengan Lian Tin san pada orang lain."
Lu Giok-yau tertawa geli, godanya : "Ayah, kulihat tahun-tahun belakangan ini kau semakin menjadi penakut !"
"Sebagai manusia hidup dalam jaman tidak aman sudah jamak kalau berlaku hati hati dan waspada." demikian ujar Lu Tang-wan, sebentar ia merenung lalu melanjutkan, "Sudah beberapa tahun aku tidak kelana di Kangouw. Ling hiantit, setelah luka-luka sembuh, aku ingin keluar pintu."
"Ayah, untuk urusan apa?" tanya Lu Giok-yau.
"Pertama untuk menyambangi paman Lingmu. Tiat-wi mendapat luka dirumah kami paling cepat setengah tahun baru bisa pulang, aku memberi kabar kepada ayahnya supaya mereka tidak kawatir. Tujuan kedua aku ingin ke Taytoh menemui Liok-pangcu dari Kaypang. Pihak Kaypang punya berita yang paling cepat mungkin mereka bisa bantu menyelidiki seluk beluk diri Lian Tin-san."
Sebetulnya masih ada sebab lain yang tak enak dikatakan. Yaitu ia ingin membicarakan pernikahan Hong-thian lui dengan putrinya dengan ayah Hong-thian-lui. Soal pernikahan ia belum bisa memberi keputusan, maka ia harus tunggu setelah luka-luka Hong thian-lui sembuh sembari ulur waktu untuk memberi keputusan. Didalam jangka beberapa lama itu, dia akan memberi penilaian apakah sepasang muda mudi ini punya hoby yang sama serta cocok satu sama lain. Dan yang terpenting apakah Ling Tiat-wi setimpal menjadi mantunya.
Sudah tentu Hong-thian lui tidak tahu bahwa orang punya maksud tertentu. Katanya: "Paman tidak usah kawatir akan diriku, sejak kecil aku sudah biasa dihajar, luka-lukaku pasti sembuh dalam waktu dekat. Bukankah paman punya urusan penting, janganlah ditunda karena siautit. Keluarga kalian begitu baik terhadapku, bila sampai mengganggu urusan paman, wah, tentu hatiku tak bisa tentram."
"Kau sendiri bantuan yang sangat berarti kepada kami sehingga terluka berat begini, akulah yang harus banyak terima kasih kepada kau. Legakan hatimu dan rawatlah luka lukamu dengan tentram disini. Betapa pun semuanya itu kita harus tunggu setelah kau sembuh baru aku memberi kabar gembira kepada ayahmu.'' kabar gembira yang dia ucapkan ini punya dua arti yang berlainan, Hong-thian-lui tidak maklum namun bagi Lu hujin sangat menusuk telinga, ia paham kemana juntrungan kata-kata suaminya, diam-diam ia gundah, pikirnya: "Kalau dia berkukuh hendak menjodohkan putrinya kepada bocah gendeng ini, bagaimana baiknya ? Bocah ini berbudi kepada keluarga kami, watak dan karakternya memang boleh, ai, tapi tidak setimpal dibanding keponakanku yang terdekat itu.''
Diluar dugaan kesehatan Hong-thian-lui pulih kembali dengan cepat, perhitungan semula kira-kira setengah tahun baru bisa bergerak dan jalan, tapi dua bulan kemudian dia sudah turun ranjang.
Dalam jangka dua bulan ini sudah tentu Lu Giok-yau selalu berada disamping pembaringannya merawat sakitnya. Demikian juga Khu Tay-seng sering datang menanyakan kesehatannya. Hong-thian lui seorang polos dan jujur, ia anggap orang sebagai kawan karib.
Hari itu Hong-thian-lui memberanikan diri jalan-jalan di pekarangan, ulur tangan angkat kaki melemaskan otot dan tulangnya. Lu Giok-yau selalu mendampinginya, melihat dia bergaya main silat, setiap gerak tangan kakinya mengeluarkan angin menderu, ia menjadi girang, serunya : "Ling-toako, kesehatanmu sudah pulih kembali !"
Didalam pekarangan itu ada tersedia beberapa alat besar untuk latihan silat, saking bernafsu dan senang, Hong thian-lui lantas berkata : "Biar aku coba-coba."
Lu Giok-yau tak sempat mencegah, tahu-tahu Hong-thian lui sudah angkat batu latihan itu tinggi diatas kepalanya.
"Hai, lekas letakkan, nanti luka-lukamu kambuh lagi !" teriak Lu Giok-yau gugup, belum lagi ucapannya selesai, tampak Hong-thian-lui lempar batu besar itu ketengah udara lalu ditangkap dengan kedua tangan dan diletakkan kembali ditanah. Keruan Lu Giok-yau menjerit kaget dan ketakutan.
Setelah hilang rasa kejutnya Lu Giok-yau menjadi girang, serunya : "Ling Toako, kau bertubuh besi berotot kawat, biasanya aku tidak kuat mengangkat batu ini, namun kau mampu mengangkatnya seenteng kapas."
"Ah, masih terpaut jauh sekali." ujar Hong-thian-lui, "biasanya aku tidak keluarkan banyak tenaga untuk menarikan sepasang batu begini besar. Hari ini aku hanya mampu mengangkatnya saja, kelihatannya Lwe-kangku baru pulih tiga bagian saja."
"Tiga bagianpun sudah hebat." demikian puji Lu Giok-yau menghela napas. "Kau tahu, tabib sakti she Yap itu waktu memeriksa kau bilang kau harus berbaring setengah tahun baru dapat turun ranjang. Kau percaya tidak?"
Perasaan Hong-thian-lui menjadi lapang setelah menjajal tenaganya. Katanya: "Aku sudah sebal berbaring dua bulan diatas ranjang, latihan silatku menjadi terlantar, mulai hari ini aku harus mulai berlatih lagi."
Lu Giok-yau juga menjadi girang, katanya; "Ling-toako, ilmu pukulan yang kau gunakan untuk merobohkan Lian Tin-san itu sungguh menakjupkan. Kulihat setiap kau lancarkan pukulan tentu membentak pula. Mungkin Lian Tin-san sendiri merasa kupingnya hampir pecah. Apakah menjadi keharusan ?''
"Ilmu yang kulatih bernama Bit le-ciang (pukulan geledek), bentakan itu bukan saja untuk menambah perbawa juga semacam saluran Lwekang yang punya daya kekuatan khusus. Menurut Suhu merupakan dari aliran Hud-bun (aliran Budha) yang dinamakan Say-cu-hong (auman singa), gunanya untuk menyedot semangat lawan. Sungguh menyesal, bentakan hari itu mungkin mengejutkan kau?"


Si Angin Puyuh Si Tangan Kilat Hong In Lui Tian Karya Gan Kh di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak. Aku malah ketarik. Ling-toako, apakah kau mau mengajarkan kepadaku?"
Hong-thian-lui menjadi geli, ujarnya : "Sebagai kaum hawa kalau berkelahi gembar gembor, apakah tidak takut ditertawakan orang ?"
Lu Giok yau berkata cemberut : "Ibu sering bilang aku budak liar. Memangnya aku ini gadis liar kenapa takut ditertawakan orang. Kau tak sudi ajarkan kepada aku ya sudah."
"Tidak, bukan begitu maksudku, jangan kau salah paham." cepat Hong thian lui membujuk, "aku ingin punya teman berlatih. Tapi soal mengajar mana aku berani. Ginkang dan gerak gerikmu jauh lebih unggul dari aku, akupun ingin belajar padamu, apa kau sudi ajarkan padaku?"
"Bagus, baiklah dengan ajaran Ginkang itu aku barter dengan ilmu pukulanmu, kami sama sama guru tapi juga sama murid."
Dalam hati Hong thian lui tertawa geli: "kau kira Bit le ciang mudah dipelajari, hanya melatih Iwekang dasarnya saja harus berlatih tiga tahun." namun demi mengambil hati Lu Giok yau, dengan riang ia mainkan pukulan Bit-le ciang.
Ternyata daya tangkap Lu Giok yau tajam luar biasa, sekali lihat lantas berkata: "Hebat, marilah kita coba bersama. Tentang Ginkangku didalam setiap jurus permainanku nanti akan kuberikan petunjuk seperlunya kepada kau." dia merasa punya bidangnya sendiri untuk memberi petunjuk kepada Hong-thian-lui, hatinya sangat gembira dan bangga.
Ditengah pekarangan ini mereka memainkan Bit le ciang untuk serang menyerang. Meskipun tenaga Hong-thian lui cuma pulih tiga bagian dari kekuatan wajar, Lu Giok-yau merasakan berapa berat dan kuat tekanan tenaga permainannya. Dasar suka menang, segera ia kembangkan ringan tubuhnya, sengaja ia main petak untuk menggoda orang.
Betapapun kesehatan Hong-thian lui baru pulih sebagian kecil, meski punya tenaga pembawaan sehingga ia lekas sembuh dari luka parah, apalagi baru saja mampu berjalan, sudah tentu gerak geriknya lambat dan gentayangan, beberapa jurus kemudian, sedikit lena ia terjungkal roboh.
Lu Giok yau terperanjat, hatinya menyesal, cepat ia memapahnya bangun, katanya: "Akulah yang salah, sakit tidak?"
"Badanku kan belum keropos, begitu saja lantas sakit." demikian ujar Hong-thian-lui tertawa.
Sekonyong-konyong terdengar suara orang bergelak tawa mendatangi, waktu Lu Giok yau angkat kepala nampak dua orang masuk bersama. Mereka bukan lain adalah ayah dan Piaukonya.
Muka Lu Giok yau menjadi merah jengah, cepat ia lepaskan kedua tangan Hong-thian-lui. Sudah tentu semua adegan ini tidak lepas dari pandangan Khu Tay-seng, diam-diam timbul rasa jelusnya.
"Ling hiantit, sungguh tak sangka kesehatanmu pulih begitu cepat. Tapi jangan kau terlalu giat berlatih, yang penting kau pulihkan dulu kesehatanmu."
Khu Tay seng juga mendekat, dengan tawa dibuat buat ia ikut bicara : "Piaumoay, sungguh kau pantas menjadi untuk Ling-toako tidak sampai terluka. Ling toako, cukup berharga jatuhmu ini!"
Hong thian-lui tertegun batinnya: "Apa maksudnya?" meski dia seorang polos dan lapang dada, namun bukan seorang ceroboh betapapun ia tidak mengutarakan rasa hatinya.
"Piauko, kalau kau sakit bukankah akupun merawat kau? jangan kau sirik dan jelus begitu ?" dasar berwatak keras, Lu Giok yau utarakan isi hatinya secara lantang. Karuan Khu-tay-seng menjadi malu dan merah padam mukanya.
Lu-Tang-wan batuk-batuk, ujarnya; "Ling hiantit, kesehatan agak pulih sungguh aku ikut girang. Besok aku siap keluar pintu, kuharap kau seperti disini rumahmu sendiri, tentram dan legakan hatimu merawat luka. Paling lambat tiga bulan tentu aku sudah kembali, adakah kau punya pesan untuk disampaikan kepada ayah dan gurumu ?"
Hong-thian lui berpikir: "Tidak perlu tiga bulan, aku sudah dapat pulang sendiri. Namun menurut ucapan paman Lu, agaknya aku harus tinggal tiga bulan disini."
Sebetulnya iapun merasa berat untuk berpisah dengan Lu Giok-yau, tapi setelah melihat sikap dan mimik wajah Khu Tay-seng tadi, ia menjadi ingin pula lekas lekas pergi, untuk sesaat hatinya menjadi gundah dan tak tahu cara bagaimana harus bicara.
"Ling-hiantit, apa yang sedang kau pikirkan?" Lu Tang-wan ingat urusan putrinya, sehingga tidak enak untuk dibicarakan.
Hong-thian lui tersentak sadar, katanya tersipu-sipu; "Benar, aku punya suatu urusan harap paman Lu suka sampaikan kepada ayahku. Tapi, tapi....."
Melihat ia bersangsi Lu Tang wan lantas menukas; "Marilah bicara didalam saja. Giok ji sudah lama kau tidak berlatih bersama Piauko, kalian lanjutkanlah latihan ini."
Bahwasanya yang dipikirkan Hong-thian-lui adalah Ping hoat karya Go Yong itu. "Ping-hoat itu sekarang jatuh ditangan In-tiong-yan, apa perlu minta paman Lu menyampaikan kejadian ini kepada ayah?"
Waktu pertama kali Hong thian lui menginjak kakinya dirumah keluarga Lu, sikap Lu Tang wan terhadapnya panas dingin sukar diraba maka pengalamannya di Liang san itu ia tidak berani ceritakan kepada Lu Tang-wan. Tapi sekarang keadaan jauh berlainan, terutama setelah ia mendengar cerita Lu Tang wan mengantar dan melindungi Geng-kongcu itu, maka rasa sangsi dan kecurigaannya terhadap Lu Tang-wan laksana asap buyar sirna, sekarang dengan penuh kepercayaan ia menceritakan rahasia Ping-hoat karya Go Yong itu kepada Lu Tang-wan.
Setelah mendengar cerita rahasia ini di kamar rahasianya, bertambah lagi beban pemikiran Lu Tang wan. Katanya : "Untung kau tidak memperoleh Ping-hoat karya Go Yong itu.''
"Kenapa ?" "Karena bila kau membawa Ping-hoat itu, bahaya dan kesulitan yang bakal kau hadapi tak terhitung banyaknya."
"Aku tidak takut." jawab Hong-thian-lui tegas tanpa pikir.
Berkerut alis Lu Tang-wan, katanya dengan tertawa getir : "Waktu muda dulu watakku seperti kau sekarang. Tidak mengenal apa yang dinamakan takut. Akhirnya setelah mengalami berbagai kesulitan dan kerugian, baru sadar, setiap tindak tanduk harus berhati-hati dan waspada."
Mendengar ucapannya, Hong thian-lui menjadi kecewa dan berubah pandangannya terhadap Lu Tang-wan, dalam hati ia membatin : "Tak heran Giok-yau mengatakan, belakangan ini ayahnya bernyali kecil dan menjadi penakut. Kiranya setelah kaya nyalinya menjadi kecil !" maka timbul pertanyaan: "Bila sejak mula dia sudah tahu asal usul Geng-kongcu, apakah dia berani melindunginya? Bing Thing merahasiakan hal ini bukan mustahil karena tahu watak dan karakter sahabatnya ini."
Dilain pihak Lu Tang-wan tengah memikirkan urusannya: "Tiat wi bocah jempolan, namun berwatak berangasan, lambat laun bakal mendatangkan bencana. Usiaku sudah lanjut, yang kuharap melulu hidup sentosa di hari tua. Ai, apakah aku harus menyetujui perjodohan ini atau ditolak saja ?"
Setelah dipikir-pikir Lu Tang-wan berkata kalem : "Bukan aku takut urusan, bicara soal melawan penjajah, aku tak kalah dengan kalian ayah beranak. Tapi saat ini kita sedang berteduh diatap orang, tidak bisa tidak harus tunduk dan patuh. Kita harus tunggu saatnya baru bisa bergerak melawan musuh. Kalau tidak dengan tenaga dan kekuatan mana bisa membereskan urusan penting? Hiantit, meskipun kesehatanmu agak pulih, tapi kau harus sembunyi saja didalam rumah, jangan kau bergerak diluar. Bila terjadi sesuatu diluar dugaan, akulah yang berdosa terhadap ayahmu." ia tahu sukar membujuk Hong-thian-lui, maka ia putar kayun baru menuju kesasaran yang dituju.
Sebagai pemuda kampungan yang berwatak jujur, Hong-thian lui menjadi terharu dan tergerak sanubarinya, rasa segan dan hormatnya terhadap Lu Tang wan pulih kembali seperti semula. Katanya : "Paman Lu, legakan hatimu, aku pasti sembunyi saja didalam rumah, supaya tidak mengundang bencana bagi keluarga paman."
"Ai, agaknya kau belum memahami maksud hatiku. Bukan aku takut terembet ....."
"Tit-ji memang tidak pandai bicara, harap maafkan. Aku tahu nasehat paman adalah demi kebaikanku juga."
Lu Tang-wan tertawa lega, ujarnya, "Syukurlah kalau kau maklum."
Tapi beberapa hari kemudian setelah Lu Tang-wan berangkat, Hong thian lui melanggar pesan Lu Tang-wan. Tapi bukan sengaja ia melanggar pantangan ini, karena Lu Giok-yau yang ajak ia bermain diluar.
O^~dwkz^hendra~^O Jilid 08 Hari itu cuaca cerah, melihat Hong thian-lui sudah bisa berjalan tegap dan bergerak dengan leluasa, Lu Giok-yau lantas berkata : "Ling-toako, mari kuajak kau ke suatu tempat untuk bermain."
"Tempat apakah itu ?"
"Dibelakang gunung ada sebuah tempat sepi tersembunyi, itulah sebuah lembah sempit yang terapit dua gunung, lembah itu datar dan lapang, tempat paling bagus untuk berlatih silat."
"Aku tidak mau kesana."
"Kenapa ?" tanya Lu Giok-yau melengak heran.
"Ayahmu pernah berpesan supaya aku tidak keluar pintu."
"Kalau begitu aku berjanji tidak beritahu kepada ayah bila dia kembali."
Hong-thian-lui goyang kepala, sahutnya : "Begitupun tidak boleh."
"Kau ini plintat-plintut, kenapa tidak boleh ?"
"Seorang laki-laki tidak boleh menjilat ludahnya sendiri !"
"Pergi bermain kan bukan soal penting, kenapa bersikap serius ?"
"Ai, kau tidak tahu, aku, aku ..."
"Dalam hal apa aku tidak tahu ? Aku tahu bahwa kakek moyangmu adalah pahlawan gagah Liang san. Sejak dulu ayah pernah beritahu kepada aku."
"Kau sudah tahu syukurlah, jangan aku membawa petaka buat keluargamu."
"Aku bilang ayah bernyali kecil. Kenapa kaupun penakut?"
"Tetangga mana tidak tahu kau adalah tamu kami ? Aku tidak percaya bermain diluar bakal kepergok musuh yang mengenal kau? Apalagi lembah datar itu sepi dan jarang dikunjungi orang, tiada orang luar yang tahu tempat itu."
Hong-thian-lui paling takut dimaki sebagai setan bernyali kecil, apalagi selama hidup sampai sebesar ini baru pertama ia dianggap plintat-plintut. Ia menjadi penasaran dan garuk kepala oleh kebinalan Lu Giok-yau.
Melihat wajah Hong-thian-lui yang lucu, Lu Giok-yau tertawa geli, katanya : "Hayolah, jangan ragu ragu. Kau sudah sebal dua bulan diatas ranjang, sudah saatnya melemaskan otot dan tulang."
Akhirnya tergerak hati Hong-thian lui oleh bujukan Lu Giok-yau, setelah pikir-pikir, ia berkata: "Baiklah, aku akan temani kau. Tapi kau harus terima sebuah permintaanku."
"Lho justru aku temani kau bermain sekarang kau putar balik persoalannya dan menekan lagi dengan syarat ! Coba katakan, apa syaratnya ?"
"Jangan serius ? aku hanya pikir..."
"Pikir apa ? Katakan sewajarnya, kalau tidak akan kumaki kau plintat-plintut lagi lho..."
"Aku ingin mengajak saudara Tay-seng sekalian."
Lu Giok-yau tertegun sebentar, tanyanya : "Kenapa mendadak kau teringat kepadanya ?"
"Bukan teringat mendadak," sahut Hong-thian-lui tergagap, "Hari itu, hari itu, waktu latihan aku terjatuh, kau begitu . . . begitu baik terhadapku, kelihatannya dia merasa kurang senang."
Merah jengah muka Lu Giok-yau, katanya : "Kuanggap Tay-seng berpandangan cupat, ternyata kaupun berpandangan sempit."
"Lebih baik ajak dia, supaya tidak marah. Bertambah seorang, kalau latihan kan ramai."
Dalam hati Lu Giok-yau berpikir : "Memang selama dua bulan ini sikapku dingin terhadap Piauko, kelihatannya dia sirik dan jelus terhadap Ling-toako. Dengan kesempatan ini biar kupererat hubungan mereka." maka ia berkata tertawa : "Agaknya kau pintar perhatikan orang lain, tapi perlu kuperingatkan bila pergi bersama Piauko berarti kita tak bisa latihan bersama."
"Kenapa ?" "Beberapa kali dia kuajak latihan selalu menampik. Kutanya apa sebabnya dia tidak mau bicara. Meski dia tidak mau menjelaskan, aku sudah tahu isi hatinya. Ilmu silatnya tidak setinggi kau, suka agulkan gengsi pribadi lagi, sudah tentu ia tidak sudi berlatih dengan kau."
"Dia berpikiran cupat, aku tidak tahu malah. Cuaca begini baik, sebetulnya aku tidak ingin latihan, marilah kita jalan-jalan saja melapangkan perasaan."
Lu Giok-yau suruh seorang pelayannya memanggil Khu Tay seng. Setelah mendengar penuturannya, Khu Tay-seng tertawa, katanya : "Kalian pergi saja, lebih baik aku tidak ikut. Apakah tidak mengganggu ?"
"Apakah maksud ucapanmu ini ?" semprot Giok-yau sambil menarik muka.
"Aku hanya berkelakar. Piau-moay, jangan marah lho. Tapi kalian tunggu sebentar, aku ganti pakaian."
Tunggu punya tunggu, kira-kira setengah jam lebih baru Khu Tay-seng selesai ganti pakaian, kata Lu Giok-yau mengomel : "Kau bukan gadis pingitan, perlu pakai pupur dan poles gincu segala, ganti pakaian saja begitu lama ?"
"Kenapa gugup, sekarang belum tengah hari, masih banyak waktu untuk bermain sepuasnya. Kau kira aku hanya ganti pakaian saja ? Lihatlah, aku telah sediakan ransum untuk perbekalan."
?Piauko, agaknya aku terburu nafsu. Dengan membawa makanan kita bisa bermain lebih puas lagi, tapi ibu ..."
"Aku sudah suruh pelayan memberi tahu kepada beliau."
Lu Giok-yau semakin senang katanya : "Kaulah yang lebih cermat. Marilah berangkat."
Terkurung beberapa bulan Hong thian-lui merasa gemes sekarang berada dialam terbuka berdiri diatas rumput nan hijau ditimpa sinar matahari nan cemerlang, perasaan menjadi lapang sambil menyedot hawa segar, ia berkata; "Tempat ini memang baik sekali."
"Sebetulnya tempat ini memang dinamakan Pek hoa-kok (lembah seratus bunga), sesuai dengan namanya bila musim semi, ratusan macam kembang mekar bersama lautan kembang seperti permadani indah dalam lukisan."
"Apa benar?" ujar Hong-thian-lui terlongong, "Sayang musim semi ....."
"Setelah musim semi bagaimana? Kenapa tidak bicara lagi?"
Hong-thian-lui menghela napas, katanya; "Bila musim semi tiba, mungkin aku sudah tidak berada disini lagi.''
Tergerak hati Lu Giok-yau; dari nada ucapannya terang ia berat meninggalkan aku. Serta merta merah jengah selebar mukanya, sambil menunduk ia berkata tertawa; "Tiada orang yang mengusir kau pergi, terserah kau senang tinggal sampai kapan. Hm, umpama kau mau pergi aku akan menahanmu, tahun depan bila musim semi tiba, kita bisa menikmati keindahan ratusan kembang mekar semerbak.''
"Sudah lama aku meninggalkan rumah, sudah saatnya aku kembali. Menanti ayahmu pulang ....."
"Sudahlah jangan kau bicara soal yang menyebalkan. Apa kau suka kembang kembang liar ini?"
"Sudah tentu aku suka !"
"Baik, mari kubuatkan kalung kembang.''
Sejak tadi Khu Tay-seng berdiri diam dipinggir, hatinya merasa panas dan dongkol timbul rasa cemburunya, pikirnya : "Agaknya Piaumoay kepincut bocah gendeng ini. Huh, jangan salahkan aku."
Sekilas mata Lu Giok-yau melirik dilihatnya sang Piauko berdiri menjublek disana seketika ia menjadi sadar, pikirnya: "Aku hendak merujuk hubungan mereka, tanpa terasa mengabaikan dia lagi." segera ia berseru tersenyum : "Piauko, apa yang sedang kau pikir? Setelah kalung kembang ini, maukah kaupun kubuatkan sebuah kalung kembang pula?"
"Masa aku punya rejeki sebesar itu. Coba tebak apa yang sedang kupikir?" demikian ujar Khu Tay seng tertawa.
"Kalau tidak kau jelaskan mana kutahu?"
"Dipuncak sana tumbuh beberapa pucuk kembang seruni ungu, ingin aku memetiknya beberapa kuntum supaya kau buatkan kalung kembang, bukankah kembang seruni lebih indah lebih bagus."
Lu Giok yau bertepuk girang, serunya: "Pendapatmu memang tepat."
"Mari kutemani kau kesana," ujar Hong-thian-lui.
"Memetik bunga saja kenapa mesti berkawan, lebih baik kau di sini saja temani Piaumoayku."
"Baiklah, kau harus hati-hati, puncak itu cukup terjal."
"Terima kasih akan perhatianmu. Walaupun Ginkangku kurang baik, kupercaya takkan kepeleset jatuh."
Sementara Khu Tay seng memanjat puncak, Lu Giok-yau berkata pada Hong thian-lui : "Ling toako, hari ini sikap Piauko cukup baik terhadapmu."
"Sebenarnya Piaukomu bukan orang jahat, cuma pikirannya cupat dan pandangannya picik. Tapi inipun tak bisa salahkan dia, sejak kecil kalian dibesarkan bersama, setelah aku datang, tanpa sengaja membuat hubungan kalian renggang."
"Jangan kau bicara sembarangan." demikian omel Giok yau, "Kau sedang sakit, sudah tentu aku harus mendampingi kau. Kau tak perlu berkeluh kesah."
Perasaan Hong-thian lui menjadi hangat dan manis. Tak tahu dia apa yang harus diucapkan, dengan sikap linglung ia mendelong mengawasi orang menganyam kalung-kalung bunga.
Tatkala mereka melengos dengan rasa jengah, sekonyong konyong terdengar Khu Tay seng berteriak keras: "Lekas lari, lekas lari, musuh datang!"
Mendadak beberapa orang muncul diatas puncak, tampak Khu Tayseng lari terbirit birit, orang-orang itu mengejar dengan kencang dibelakangnya. Para pengejar itu ada tujuh delapan orang, ada laki-laki ada perempuan, yang terdepan adalah perempuan setengah umur. Tampak ia menyusul dibelakang Khu Tay-seng.
Mana mungkin Hong thian-lui mau lari? Dengan menghardik ia memburu maju: "Kurcaci jangan takabur."
Sementara itu Lu Giok yau juga berteriak, "Piauko jangan gugup, kami bantu kau."
Khu Tay seng berteriak lagi: "Piaumoay, lekas lari. Luka-luka Ling-toako belum sembuh, mana bisa berkelahi? Biarlah aku menahan mereka, lekas kau ajak dia pulang."
Lu Giok yau tahu watak Hong-thian-lui, apalagi dia sudah menerjang kedepan, untuk membujuknya sudah tak mungkin lagi. Mendengar teriakan Khu Tay seng ia malah mengerut kening, pikirnya : "Kenapa Piauko begitu ceroboh, dia membongkar keadaan Ling-toako yang belum sembuh bukankah mengunjuk kelemahan sendiri ?" bahwa Khu Tay-seng prihatin akan keselamatan Hong-thian-lui, benar benar diluar dugaannya. Oleh karena itu meski ia sesalkan kelalaian orang, betapapun hatinya sangat haru dan senang.
Dikata lambat kejadian sangat cepat, perempuan pertengahan umur itu sudah berhasil mengejar Khu Tay-seng, bentaknya, "Bocah keparat jiwamu sendiri belum tentu selamat, kenapa ingin melindungi orang lain? Mari rasakan golokku."
Gaman perempuan pertengahan umur adalah sepasang Liu-yap to panjang pendek, golok panjang membacok lurus, sedang golok pendeknya membabat miring, lekas-lekas Khu Tay seng melolos pedang menangkis dan melawan beberapa jurus. Sebelum Lu Giok yau menyusul tiba, ia sudah terbacok sekali.
Lu Giok-yau berteriak dari kejauhan, langkahnya dipercepat, tampak perempuan pertengahan umur itu mengayun tangan menyambitkan tiga buah Thi-liancu, kontan Khu Tay-seng mengeluh tertahan terus menggelundung kedalam semak belukar. Ternyata salah sebuah Thi lian cu tepat mengenai jalan darahnya.
Dua butir Thi lian cu yang lain terbang kearah Lu Giok yau. Gesit sekali Lu Giok-yau kembangkan permainan pedang Luan-ki-kong untuk menangkis, tring, tring, kedua Thi lian cu terpental balik.
Terdengar perempuan itu berseru tertawa : "Kepandaian genduk ayu ini ternyata lumayan. Apakah putri Lu Tang-wan ? Kupandang muka ayahmu, tidak kucabut nyawamu. Lekas kau tolong Piaukomu itu." Waktu Lu Giok-yau angkat kepala, Khu Tay-seng sudah menggelundung kesemak belukar setinggi badan manusia, dan tak kelihatan lagi bayangannya. Tempat itu cukup jauh dari Lu Giok-yau, segera ia berteriak: "Ling toako, coba kau ke sana memeriksanya. Hm, perempuan galak ini berani melukai Piaukoku, biar aku adu jiwa dengan dia."
Perempuan pertengahan umur itu menyeringai dingin, jengeknya : "Kuberi ampun tak mau lari, sungguh tidak tahu diri, lihat golok !"
"Sret !" kontan Lu Giok-yau kirim sebuah tusukan, cepat perempuan pertengahan umur angkat goloknya menangkis, sementara golok pendeknya yang lain membacok dari samping. Lu Giok-yau gunakan jurus Hong-biau-lok-hoa (angin menghembus kembang jatuh), menghindar sekaligus balas menyerang dengan jurus Giok-li-to so, yang diserang adalah tenggorokan lawan.
Perempuan pertengahan umur itu memaki gemas : "Budak busuk, kejam seranganmu." dengan gaya burung Hong manggut ia menghindar berbareng kedua golok panjang pendeknya terangkat menangkis, 'tring' serangan Lu Giok-yau berhasil dipatahkan.
Semula Lu Giok-yau menyangka kepandaian perempuan pertengahan umur ini jauh diatas dirinya, sebab kepandaian Khu Tay-seng lebih tinggi dari tingkatannya. Khu Tay-seng terluka hanya beberapa gebrak, maka ia sangka dirinya tak mudah menang, namun umpama bukan tandingan juga harus melawan sekuat tenaga. Tak diduga setelah saling serang, baru tahu bahwa kepandaian perempuan pertengahan umur ini tidak setinggi yang diduganya, kini ia kerepotan oleh serangannya.
Lu Giok-yau heran dan bertanya dalam hati, kenapa hanya beberapa jurus sang Piauko sudah terjungkal di tangan perempuan jahat ini. Tapi terpikir olehnya mungkin Khu Tay-seng terlalu tegang dan gugup sehingga dirobohkan. Ia bertempur melawan perempuan pertengahan umur itu, tiada waktu berpikir lebih lanjut.
Sementara itu, kawanan pengejar di belakang itupun sudah tiba. Salah seorang bermuka burik bertubuh tinggi besar segera berteriak : "Hotoaso, silahkan mundur. Biar budak ayu ini rasakan pasir penyabut nyawa." Baru saja dia hendak sambitkan senjata rahasianya, salah seorang lain berjambang bauk tebal mencegah dengan suaranya serak dan keras seperti lonceng : "Ciok-ceng cu, jangan semberono."
Si muka burik itu bertanya : "Tokko-heng, kenapa kau cegah aku ?"
Laki laki jambang bauk itu tertawa katanya : "Gadis ini ayu rupawan, apa kau mau membuatnya burikan seperti tampangmu yang jelek itu ?"
Laki-laki burikan itu malu jengah, berarti marah tapi tak berani bercuit, katanya tertawa pahit: "Tak kira Tokko-heng kasihan pada dara cantik jelita."
Si muka burik bukan lain adalah Ciok-jicengcu dari Ciok-keh-ceng di Tay-tong-hu dalam daerah Siam say. Sedang si jambang bauk adalah majikan tiga belas peternakan di Kwan tiong yaitu Tokko Hiong. Secara resminya ia sebagai direktur peternakan, namun diluar tahu orang, ia menjadi anggota Gi-lim kun kerajaan Kim dengan pangkat tituler.
Kedua orang ini pernah mendapat pelajaran pahit dikarang kepala harimau di puncak Liang-san. Dengan pasir beracun ia membokong Hek swan hong, tapi dipukul balik dengan Bik khong ciang-lat sehingga senjata makan tuan, hingga mukanya menjadi burik. Luka yang diderita Tokko Hiong rada ringan, namun urat nadinya terluka, setelah merawat lukanya beberapa bulan baru sembuh.
Setelah berhasil melarikan diri dari Liang san, demi menuntut balas juga karena kemaruk harta dan pangkat, Ciok-goan mohon bantuan Tokko Hiong, akhir resmi iapun diangkat salah seorang kaki tangan setia bagi penjajah Kim, langsung dibawah pimpinan Wanyen Tiangci.
Beberapa orang ini adalah sampah persilatan yang kena dipelet dan dijubuk oleh Wanyen Tiang-ci untuk menjadi kaki tangannya, secara rahasia mereka tercatat sebagai anjing alap-alap, hal ini tetap dirahasiakan dan belum terbongkar di kalangan Kangouw.
Diantara kawanan anjing alap alap ini, selain Ciok Goan, masih ada lagi adiknya, Ciok Khong, Sam ceng cu dari Ciok keh-ceng.
Ciok Khong sudah memburu tiba serta berteriak : "Biar aku yang layani budak ini, Jiko lekas kau bekuk Hong-thian-lui bocah itu."
"Benar, kita ringkus dulu tujuan utama." seru Ciok Goan sambil ulap tangan, beberapa orang memburu dibelakangnya kearah Hong-thian-lui.
Tokko Hiong mendengus hidung, jengeknya dingin: "Kalian harus hati-hati, meski bocah ini terluka, mungkin merupakan lawan berat bagi kalian.''
Belum habis dia bicara, terdengar suara gedebuk sebelum kawanan pengejar itu menangkap Hong-thian-lui, sudah jatuh terbanting sendiri.
Ternyata meski Lwekang Hong-thian-lui sudah pulih tiga bagian, untuk lari dan berloncatan, kedua kakinya masih kurang lincah, apalagi Ginkangnya memang jelek, saking gugup kakinya menjadi berat ribuan kati maksudnya hendak menolong Khu Tay-seng, sedikit kurang hati hati ia keserimpet dan jatuh terguling.
Ciok Goan berada paling depan, ia terloroh-loroh, katanya : "Tokko-heng, kau terlalu agulkan bocah ini. Lihatlah, berdiri saja bocah ini tak kuat, masa perlu takut." sembari berkata segenggam pasir beracun di tangannya disambitkan kearah Hong-thian-lui.
Ciok Goan sambitkan pasirnya dalam jarak beberapa tombak, diam-diam ia membatin: "Kunanti setelah racun bekerja dalam tubuhnya baru kubekuk dia tentu segampang membalikkan tangan."
Ternyata kepandaian Tokko Hiong paling tinggi diantara gerombolannya, melihat Tokko Hiong tidak berani pandang rendah bocah ini, maka Ciok Goan berlaku hati-hati dan waspada. Dia kira luka Hong-thian-lui belum sembuh, pasti tak berani menangkis pasirnya beracun, maka ia menyerang dulu dengan senjata rahasia dengan maksud mencari jalan mundur terlebih dulu bila terjadi sesuatu diluar dugaan.
Tak duga begitu pasir beracun disambitkan, terdengar Hong-thian lui menghardik sekeras guntur, tampak sebuah telapak tangannya dihantamkan keluar, serangkum hebat menabur kalutkan segenggam pasir beracun menggulung balik kearah dirinya. Keruan kaget Ciok Goan serasa arwahnya meninggalkan badan, cepat ia berguling guling ditanah untuk jiwanya selamat.
Terdengar Tokko Hiong terkekeh-kekeh mengejek disebelah sana, serunya : "Sudah kuperingatkan untuk hati-hati, kau tetap bandel, untung tidak terluka, tapi selanjutnya kau tidak perlu takut lagi. Mari maju bersama aku."
Secara diam-diam Tokko Hiong sudah membandingkan kepandaian Hong-thian lui dengan Hek-swan-hong. Tatkala dikarang kepala harimau dulu, dengan Bit khong-ciang-lat yang sama pula, Hong thian lui tak mampu melukai Ciok Goan, padahal dia tahu, Lwe-kang Hong thian-lui lebih unggul dari Hek-swan hong. Menurut pertimbangannya, Hong-thian lui masih membekal luka dalam yang masih cukup parah. Maka Tokko Hiong membatin : "Khu Tay seng ternyata tidak membual. Bocah ini belum sembuh seluruhnya, malah lebih parah dari sangkaanku semula.''
Hong thian lui duduk bersila di tanah berumput, bentaknya : "Yang tidak takut mati, silakan maju!"
Tokko Hiong mengejek dingin: "Bocah, kematian didepan mata masih berani main gertak segala? Sayang tenagamu sudah ludes, sekali gebrak saja kutanggung kau bakal lapor kepada Giam-lo-ong!"
"Coba buktikan." dengus Hong-thian-lui, "Memang aku tak ingin hidup lagi, umpama harus adu jiwa, kalian mesti ada yang ikut mampus sebagai tumbalnya."
Tokko Hiong bergelak mengejek, serunya, "Bocah memang kau tidak bernama kosong, tidak takut mati. Bukan coba-coba, tapi kenyataan mesti mampus !" karena Hong-thian-lui tidak mampu berdiri, segera ia menubruk maju serta menggerakkan kedua telapak tangan mengepruk batok kepalanya.
Hong-thian-lui berteriak mengguntur, kedua telapak tangannya menyongsong kedepan seketika ia rasakan telapak tangannya seperti menghantam papan besi yang membara. Untung tubuh Hong-thian-lui cukup keras dan kasar, yang terasa sakit hanya kulitnya saja.
Diluar tahunya lawan lebih menderita dibanding dia. Begitu Tokko Hiong mengadu pukulan, terasa jantungnya tergetar, isi perutnya seperti dipuntir dan jungkir balik cepat-cepat ia mundur dan mengendalikan hawa murni mengatur napas, lalu melangkah kebelakang Hong thian lui melancarkan sebuah pukulan lagi.
Hong thian lui tahu gerak-geriknya tidak leluasa, maka ia hanya bertahan belaka bila serangan musuh tiba, cepat sekali ia membalik tangan memukul kebelakang. Kali ini Tokko Hiong tidak berani adu pukulan lagi, dengan gerak naga sakti melenggong tahu-tahu ia memutar ke kanan Hong-thian lui.
Diam-diam Tokko Hiong merasa beruntung dalam hati, pikirnya; "Untung luka-luka bocah ini belum sembuh. Sekarang saatnya aku menggempur sekuat tenagaku."
Ternyata adu pukulan tadi hanya menjajal Lwekang Hong-thian-lui masih ada berapa bagian diketahui bahwa Lwekang Hong-thian-lui masih lebih kuat dari kemampuannya, namun tenaganya bakal terkuras habis dalam waktu yang singkat. Kalau Hong-thian-lui tidak mampu berdiri akan malas menyerang, apa pula yang harus ditakuti?
Dalam pada itu, Hong-thian-lui rasakan telapak tangannya panas seperti dipanggang. Bentaknya; "Kau Tokko Hiong yang menjagoi Kwan-tong itu? Latihan latihan Lui siu-ciangmu belum sempurna, mana dapat membuat aku cidera? Tapi, ingin aku tahu diantara kita belum pernah bermusuhan, kenapa kau hendak mencelakai jiwaku?"
Guru Hong-thian-lui pernah membicarakan ilmu silat dari berbagai aliran dan golongan diseluruh dunia ini. Lui-sin ciang Tokko Hiong meski belum matang dan termasuk kelas dua, namun gurunya pernah menyinggung kepandaian yang cukup hebat ini. Sudah tentu gurunya tidak tahu bahwa Tokko Hiong sudah menjadi antek musuh, anggapannya orang hanya menjagoi daerahnya belaka.
Berkerut alis Tokko Hiong, tiba-tiba timbul akal dalam benaknya, katanya terbahak-bahak : "Baiklah, supaya kau tahu dan mati dengan jelas ! Memang selamanya kita tidak pernah bermusuhan. Tapi bukankah kau bermusuhan dengan In-tiong-yan, apakah kau melupakan hal itu ?"
Hong thian-lui menjadi sadar, katanya : "O, kiranya kau komplotan perempuan siluman itu."
"Terima kasih akan pujianmu. Kami hanya anak buah In-tiong-yan saja, mana berani mengagulkan diri sebagai 'komplotan'-nya. Tapi cukong kita itu ketarik pada kau, katanya asal kau mau menjadi kawan karibnya dan ikut kami pulang menemui beliau, dia akan mengampuni jiwamu. Hehehehe, kulihat kau ini bukan bocah gendeng, kau harus pandai melihat gelagat dan menerima kebaikanku ! Mau untung atau mau rugi tergantung pikiranmu saja."
"Kentutmu busuk." maki Hong-thian-lui gusar, "Aku lebih rela mati dari pada minta ampun kepada siluman perempuan itu."
Hari itu ia pernah memperbincangkan pribadi In-tiong-yan dengan Hek-swan hong, semua orang mencurigai In tiong-yan adalah bangsa Nuchen (Kim), tapi Hek-swan hong sendiri tidak berani memastikan, sebaliknya dia curiga, kini setelah mendengar ucapan Tokko Hiong lebih mempertebal keyakinannya.
"Baik, bocah keparat, kau tidak menerima kebaikan, biar kuantar kau keakherat ! Bocah ini kuat bertahan lama, hayo maju, kalian takut apa ?" demikian Tokko Hiong berkaok-kaok.
Ciok Goan sudah merayap bangun, umpama burung yang ketakutan melihat bidikan panah, semula ia ragu-ragu setelah melihat Hong thian-lui benar-benar tidak mampu berdiri, sedang Tokko Hiong juga tidak terluka setelah beradu pukulan dengan lawan, nyalinya bertambah besar, segera ia mendahului maju menyerang.
Begitu Ciok Goan menyerbu, yang lain lainnya tak mau ketinggalan. Tapi mereka tak berani mendekati Hong thian lui, senjata yang mereka gunakan adalah tombak pedang dan bandulan serta senjata panjang lainnya, jarak mereka terpaut satu tombak lebih, main sergap dan menyerang tempat mematikan di tubuh Hong-thian lui.
Setiap Hong-thian-lui menggerakkan kedua tangannya, gerakannya membawa deru angin keras, pertahanannya amat kuat dan rapat, musuh tak mampu melukai dirinya, bila dekat senjata mental balik tergetar oleh tenaga pukulannya.
Namun ia tak mampu menerjang keluar kepungan, seperti dugaan Tokko Hiong, lambat laun tenaganya mulai terkuras dan makin lemah. Hong thian lui harus tetap bertahan, meski keadaannya sangat payah. Sebaliknya keadaan Lu Giok-yau disebelah sana jauh lebih berbahaya lagi.
Kepandaian Sam-cengcu Ciok-keh-ceng yang bernama Ciok Khong diatas engkohnya Ciok Goan. Permainan Pat-kwa-ce-kim-to-hoat sangat lihay, begitu kencang ia memutar goloknya sampai hujan angin tak dapat membasahi tubuhnya. Betapapun Lu Giok-yau masih cetek pengalamannya, tenagapun kalah kuat, apalagi mendengar Hong-thian-lui terjungkal jatuh, hatinya menjadi gugup, diserang dengan gencar oleh golok Ciok Khong, permainannya menjadi kalang kabut.
Bertanding tunggal, Lu Giok-yau kurang pengalaman, melawan Ciok Khong belum tentu menang, apalagi kepandaian perempuan pertengahan umur itu juga tidak lemah, kedua golok Liu-yap to panjang pendek itu ditambah Ce-kim to Ciok Khong, tiga golok melawan satu pedang, sudah tentu Lu Giok-yau terdesak dibawah angin, untuk membela diri rasanya tidak mampu lagi.
Terdengar Hong-thian-lui membentak : "Kalian kemari hendak menangkap aku, aku hanya tamu dirumah keluarga Lu, kenapa kalian mempersulit nona Lu !"
Ciok Khong bergelak tawa, serunya : "Untuk melepas nona Lu gampang saja, asal kau menyerah dan diringkus !"
"Kentut! Seorang laki laki lebih baik mati dari pada dihina. Aku Ling Tiat-wi tak sudi minta ampun kepada kalian bangsat kurcaci." demikian bentak Hong thian-lui dengan murka.
Tokko Hiong menjengek dingin : "Tapi kau tidak ingin nona Lu celaka bukan ? Kupuji kau gagah berani, seorang kesatria. Kau harus pikirkan kepentingan nona Lu ! Bukan soal kau minta ampun terhadap kami, tapi kau minta ampun untuk keselamatan nona Lu. Pepatah mengatakan seorang laki-laki berani berbuat berani bertanggung jawab, berkorban demi nona Lu, kau terhitung seorang laki laki siapa berani pandang rendah dirimu ? Apalagi majikan kami merasa kagum dan ingin bersahabat dengan kau, beliau takkan menyiksa atau menganiaya kau." Tokko Hiong yang cerdik punya perhitungan, meski situasi menguntungkan pihaknya, tapi ia kawatir kalau Hong thian-lui berlaku nekad, bertempur sampai titik darah penghabisan, bukan mustahil pihak mereka juga akan jatuh korban.
Setelah mendengar obrolan Tokko Hiong, Hong-thian-lui menjadi sangsi. Pikirnya : "Jika hanya aku saja, aku labrak mereka sampai gugur bersama. Tapi Lu Giok-yau ikut berkorban karena aku, aku malu bertemu dengan ayahnya..." tapi meskipun ia merasa serba sulit dan situasi memang gawat dan tidak menguntungkan pihaknya, kalau harus menyerah dan diringkus meski demi keselamatan Lu Giok-yau, betapapun ia tak sudi.
Lu Giok-yau berteriak : "Ling-toako, jangan kau ditipu mereka paling jiwa kita melayang. Kami tak lahir dalam waktu yang sama, biarlah gugur dalam hari bulan dan tahun yang sama, bukankah menyenangkan !"
Ciok Khong terbahak-bahak, serunya mengolok : "Bocah hitam itu besar rejeki; gadis rupawan yang genit ini ternyata rela sehidup semati bersamanya. Baik, genduk tak tahu malu ini rela mampus demi kekasih, biarlah aku menyempurnakan kamu."
"Hai, kita ringkus hidup-hidup saja !" Tokko Hiong segera berteriak.
"Saudara Tokko tak usah kawatir," sahut Ciok Khong menyengir, "aku hanya menggertak belaka. Tapi kalau genduk ini tidak mau menyerah, jiwa boleh diampuni, namun siksaan harus dia rasakan."
Berdiri alis Lu Giok-yau, makinya murka: "Bedebah mulut anjing takkan tumbuh gading, kalau bukan kau yang mampus biar aku yang mati.''
"Aku tidak bunuh kau, sebaliknya kau hendak bunuh aku?'' ejek Ciok Khong mengejek, "Aku kawatir keinginanmu sulit terkabul ! Hehehehe, aku jadi sayang melayani nona ayu genit macammu ini."
Mendengar pernyataan Lu Giok-yau tadi dada Hong-thian-lui merasa hangat dan mesra, teriaknya; "Adik Yau, terjanglah kemari. Benar, kita harus gugur bersama." Biasanya Giok-yau ingin berhubung lebih akrab dengan panggilan kakak beradik secara kekeluargaan, namun Hong-thian-Iui selalu memanggil 'nona Ku', untuk pertama kali ini ia dengar pemuda ini memanggil adik Yau kepadanya.
Lu Giok yau baru sadar oleh peringatannya itu, batinnya : "Benar, aku belum kembangkan Ginkangku kenapa tidak dicoba? bila bisa gabung bersama Ling-toako, tentu bisa saling tolong dan bantu, seumpama mati juga punya kawan seperjalanan.'' Maklum pergalamannya cetek, dikeroyok dua lagi. hatinya tegang dan nekad adu jiwa melulu, lupa untuk melarikan diri.
Agaknya perempuan pertengahan umur itu menebak isi hatinya, godanya tertawa : "Genduk ayu hendak menemui gendakmu bukan ? Hehehehe, kecuali kau bujuk dia menakluk kalau tidak jangan harap kalian bisa hidup bersama dalam dunia fana ini."
"Sret !" tahu tahu ujung pedang Lu Giok-yau menusuk kearah lambungnya. Cepat Ciok Khong melintangkan golok menangkis, "Trang!" kembang api berpijar pedang miring. Ciok Khong tak mau kalah menggoda ; "Maksud Hoa-toanio demi kebaikanmu, ucapannya tadi harus kautimbangkan dengan cermat."
"Kentutmu busuk !" maki Giok yau seraya obat abitkan pedangnya dengan jurus Giok-li-to-so Pek hong-koan jit dan Lo kong-sia ciok beruntun tiga rangkai serangan pedang memberondong kepada Ciok Khong secepat badai. Seolah olah ia sudah berlaku nekad untuk adu jiwa.
"Genduk goblok, apa benar kau hendak adu jiwa ?" olok Ciok Khong, dalam hati ia membatin : "Tokko Hiong melarang aku melukai dia, ini mempersukar tindakanku." belum lenyap pikirannya ini, sekonyong konyong dengan gaya Sip-hiong-jiau hoan-in (menyedot dada jumpalitan melampaui mega), tubuhnya mencelat kebelakang setombak lebih. Perempuan pertengahan umur memburu dan membacok, namun dengan gesit Giok yau melayang dan berkelebat mengegos, gerak geriknya selincah kera selicin belut, sekejap saja ia sudah lolos dari kepungan kedua musuhnya.
Perempuan pertengahan umur menjadi gugup, teriaknya : "Genduk busuk, kau kira bisa lari?" terdengar suara mendengung, dua biji Thi lian-cu menyamber dari arah depan, cepat Giok-yau mengegos miring, belum lagi kakinya berdiri tegak dua butir senjata mata uang tembaga sudah melesat tiba pula. Kepandaian menyambit senjata rahasia perempuan pertengahan umur ini belum termasuk kelas utama, namun sambitannya lincah dan mengagumkan. Senjata rahasianya melesat lewat diatas kepala Lu Giok-yau, tahu-tahu berputar balik menyerang lagi.
Terpaksa Giok-yau putar pedangnya menangkis, senjata rahasia perempuan pertengahan umur itu memberondong tak kenal putus. Lu Giok-yau kerepotan. Sebetulnya ilmu pedang Giok-yau berkelebihan untuk menjaga diri dari berondongan senjata rahasia musuh, soalnya ia sudah bertempur setengan jam, tenaganya terkuras, ia hanya mampu menjaga diri saja.
Ciok Khong terloroh-loroh, dengan langkah lebar ia memburu, teriaknya : "Akal bagus. Hoa-toanio, kurintangi dia, kau serang jalan darahnya dengan senjata rahasiamu."
Jelas Ciok Khong bakal melabrak tiba; mendadak terdengar suara "Trang tring" yang riuh, semua senjata rahasia disambitkan perempuan pertengahan umur mengapa tahu-tahu jatuh ketanah.
Kepandaian Ciok Khong betapapun lebih tinggi dan luas pengalamannya, sekaIi pandang tahulah dia, seseorang dengan segenggam batu yang diremas hancur menangkis seluruh senjata rahasia Hoa toania, gaya yang digunakan adalah Thian-li-san hoa. Seperti diketahui salah satu warisan keluarga Ciok yang kenamaan adalah pasir beracun pencabut nyawa disambitkan dengan jurus Thian-li san hoa, bedanya ia tidak mahir Bian-ciang untuk meremas hancur batu menjadi tepung. Hanya dengan butir pasir kecil berhasil meruntuhkan senjata rahasia yang terbuat dari besi, betapa tinggi Lwekang orang itu, terang dirinya bukan tandingan. Yang membuatnya lebih mengkirik adalah setelah meruntuhkan senjata rahasia Hoa-toanio, orang itu tetap tak mengunjukkan diri.
Sebaliknya Hoa toanio belum tahu bahwa senjata rahasia diruntuhkan pihak lawan, lebih tak tahu orang itu menggunakan cara apa dan dimana orang itu. Meski kepandaiannya tidak terhitung kelas satu dikalangan Kangouw, namun diantara kawan-kawannya, terhitung dia yang paling lihay. Sekarang secara misterius senjata rahasianya tahu-tahu runtuh semua, betapa malu dirinya, keruan ia menjadi gusar, makinya : "Kurcaci busuk, kalau berani silakan keluar, main sembunyi terhitung orang gagah apa ?" ia beranggapan orang itu sembunyi disekitar gelanggang pertempuran, kalau tidak mana mampu meruntuhkan senjata rahasianya ?
Ciok Khong mendesiskan mulutnya. Perempuan pertengahan umur itu menjadi tertegun heran, katanya : "Ciok-samko, apa maksudmu? Kau takut disergap bangsa pengecut, nyonya besarmu ini tidak gentar!" melihat orang belum sadar dan waspada, Ciok Khong mengerut kening, katanya merendahkan suaranya: "Hoa-toanio, kau salah pandang, coba kau lihat . . ."
Baru sekarang perempuan pertengahan umur itu tersentak kaget, memandang kearah yang ditunjuk Ciok Khong, tampak seorang laki-laki berusia tujuh delapan likur mengenakan jubah panjang warna biru tua, muncul dilereng gunung sana, jarak mereka masih terpaut ratusan tindak, orang itu berlenggang mendatangi kearah mereka. Tangannya mengebas-ngebas sebuas kipas, dilihat dandanannya seperti pelajar kutu buku.
Waktu itu menjelang pertengahan bulan sepuluh, meski musim dingin didaerah selatan terlambat datangnya dan belum turun salju, namun hawa sudah cukup dingin. Orang ini hanya mengenakan jubah panjang yang tipis, tangannya mengebas kipas lagi, terang bukan orang biasa.
Perempuan pertengahan umur menjadi keder, katanya, "Ciok samko, kau, kau kira dia inilah orangnya?"
Langkah orang itu lambat-lambat saja, seperti orang berjalan umumnya, tapi dalam sekejap mata tahu-tahu sudah berada didepan mereka, katanya dingin: "Benar, akulah yang meruntuhkan senjata rahasiamu. Sebagai ahli aku tidak perlu main sembunyi."
Sungguh kejut Hoa toanio bukan kepalang, harus maklum senjata rahasia terbang ratusan tindak jelas sukar dan tak mungkin dilakukan olehnya, tapi orang itu mampu meruntuhkan senjata rahasianya dengan batu kerikil saja, gaya apa yang digunakan musuh ia tidak tahu. Kepandaian senjata rahasia orang ini jauh lebih tinggi, entah berapa kali lipat lebih lihay.
Turun tangan dulu lebih untung, demikianlah Hoa-toanio berpikir secara licik. Diam-diam tangannya sudah menggenggam enam batang pisau terbang, bila orang itu makin dekat, dia akan menyambitkan senjata rahasianya dengan tipu Liok liong ping-ca (enam naga tandang bersama).
Betapapun pengalaman Ciok Khong lebih luas, cepat ia berkata ; "Hoa-toanio jangan semberono !'' tersipu-sipu ia menjura kepada orang itu serta sapanya: "Siapakah tuan ini, kenapa bermusuhan dengan kami ?"
Orang itu menggoyangkan kipasnya jawabnya tawar: "Sekarang aku belum tahu apakah perlu aku bermusuhan dengan kalian. Tunggu sebentar, biar kutanya dulu !"
"Tuan ingin tanya apa ?" Ciok Khong sangka orang itu hendak tanya kepadanya, ternyata orang itu berpaling dan tanya kepada Lu Giok-yau: "Harap tanya nona, Lu Tang wan itu pernah apamu ?"
Lu Giok-yau tidak kenal asal usul orang ini, dalam hati ia berpikir : "Selamanya ayah tak punya sahabat begini muda." entah untung atau bakal buntung segera ia menyahut: "Beliau adalah ayahku, kenapa ?"
Setelah mendapat jawaban, mendadak orang itu putar balik, katanya : "Sekarang sudah jelas aku bermusuhan dengan kalian, kalau ingin selamat, lekas menggelinding pergi."
Sejak tadi Hoa-toanio sudah siaga, spontan ia sambitkan enam pisau terbangnya ke arah orang itu.
Enam pisau terbang itu bertaburan kelap kelip ditengah udara, bermula menjurus lurus kedepan ditengah jalan tiba-tiba terpencar, dari berbagai jurusan terbang kearah orang itu, dari atas tengah dan bawah Hiat-to ditubuh orang itu terkurung oleh berondongan pisau terbang.
Orang itu berdiri tenang, kipasnya dikebaskan perlahan-lahan, mulutnya menyungging senyum ejek, ujarnya, "Mutiara sebesar beras juga memancarkan cahayanya." terdengarlah suara trang tring mirip orang memetik harpa, entah dengan cara apa ternyata enam pisau terbang itu ditangkis balik ke arah pemiliknya.
Saking keder perempuan pertengahan umur gemetar, lututnya goyah dan lemas. Ternyata enam pisau terbang yang mental balik itu, seperti formasi-formasi sambitannya tadi, terbang dari berbagai jurusan yang berlainan, kepandaian menyambut senjata rahasianya belum sempurna, dia pandai mengunakan gaya Liok liong-ping ca, tahu cara bagaimana menyerang melukai musuh, tapi tak tahu cara bagaimana harus mengatasi atau menangkis. Saking gugupnya, lekas kedua tangan memeluk kepala terus menggelundung ke tanah, badannya terguling guling kebawah lereng bukit.
Pisau terbang itu menyambar, terasa kepalanya dingin silir, kupingnya sempat dengar orang itu berkata : "Mengingat kau seorang perempuan, kuampuni jiwamu."
Waktu Hoa-toanio meraba kepalanya, ternyata kulit kepalanya yang tercukur kelimis sedikitpun tidak melukai kepalanya. Meski tidak terluka namun saking kejut terasa arwahnya terbang keawang-awang, tergopoh gopoh ia merangkak bangun terus lari pontang-panting tanpa hiraukan kawan-kawan lainnya.
Meski Hoa toanio lari sipat kuping, nasibnya cukup beruntung, paling hanya ketakutan dan tercukur rambutnya. Sebaliknya Ciok Khonglah kena getahnya.
Disaat Hoa-toanio menyambitkan pisau terbangnya tadi, berbareng Ciok Khong berputar kebelakang orang, menurut anggapannya, dibawah serangan hujan senjata rahasia, walaupun kepandaiannya tinggi pasti kerepotan, begitu lawan berkelit dengan leluasa dirinya akan menyergap dari belakang dengan bacokan goloknya.
Tak duga hanya sekali gerak tangan orang itu punahkan serangan Liok liong-ping ca Hoa-toanio yang cukup lihay, hakikatnya tidak perlu kelit atau menggeser kaki. Lebih mengagumkan, belakang kepalanya seperti tumbuh mata, disaat Ciok Khong membacok dengan goloknya, tiba-tiba sebelah tangannya yang lain terayun balik kebelakang. Belum lagi golok Ciok Khong mengenai sasaran, kipas lawan sudah menutuk telak dijalan darah di pergelangan tangan Ciok Khong.
Serangannya begitu lincah dan cepat luar biasa, umpama Ciok Khong sudah siaga, juga takkan luput dari serangan ini, apalagi mimpi juga ia tidak mengira, musuh begitu cepat membebaskan diri dari berondongan senjata rahasia, sekaligus menyerang dirinya. Terdengar "Trang !" Ce-kim to milik Ciok Khong terpental terbang ketengah udara, melayang jatuh kedalam jurang, goloknya berkerontangan menyentak batu-batu gunung, gema suaranya yang keras memekak telinga Ciok Khong sendiri.
Saking kejut dan ketakutannya, Ciok Khong berteriak: "Kau adalah Santian-jiu dari Kanglam?" San-tian-jiu berarti tangan kilat.
Orang itu mendengus hidung, katanya : "Kaupun kenal nama julukanku ? Baik, kuampuni jiwamu!'' mendapat pengampunan Ciok Khong lantas terbirit-birit mengikuti jejak Hoa-toanio.
Dilain pihak, Lu Giok-yau juga menjadi kegirangan, serunya : "Harap kau suka menolong Ling-toako."
"O, apakah Ling-toako itu adalah sahabatmu ?" tanya orang itu.
"Benar, benar. Lekaslah !" desak Giok-yau gugup.
Tak nyana orang itu berlaku kalem dan acuh tak acuh, bukan segera maju kesana malah tanya lagi : "Aku ingin tahu, siapakah ayahnya ?"
Hong-thian lui adalah keturunan pahlawan gagah gunung Liang-san, Giok-yau pernah mendapat pesan wanti-wanti dari ayahnya untuk merahasiakan asal usulnya. Tapi keadaan Hong-thian lui sekarang amat gawat, Lu Giok-yau tak sempat banyak pikir, sebentar sangsi segera ia menjawab: "Ayahnya bernama Ling Hou !"
Waktu San-tian jiu mengalahkan Ciok Khong, Tokko Hiong sudah tahu bahwa situasi tidak menguntungkan pihaknya segera ia memberi aba-aba kepada para kawannya : "Lekas, bunuh bocah ini !"
Tokko Hiong, Ciok Goan dan seorang lain yang menggunakan tombak berlomba menyerang. Mendadak Hong-thian-lui gunakan Hong tian-thau (burung hong manggut), ujung tombak menyerempet pundaknya. Dikata lambat prakteknya adalah secepat kilat, sementara itu telapak tangan Tokko Hiong juga menjulur tiba, tahu-tahu sudah beberapa inci diatas batok kepalanya. Ciok Goan lebih licin lagi, dia berputar kebelakang Hong-thian-lui, tinjunya menjotos punggung, yang diincar jalan darah penting yang mematikan.
Sudah tentu Lu Giok-yau menjerit kejut sambil meramkan mata. Dengan kalem San-tian-jiu berkata, "Tak usah gugup!" entah dengan gerak apa, laksana burung elang menukik dari angkasa menerobos hutan menerkam kelinci, belum suaranya hilang tahu-tahu sudah menyerbu ketengah musuh.
Sudah tentu Hong-thian lui tidak mudah diserang secara konyol. Begitu menggunakan Hong-thiam-thau sekaligus ia tangkap tombak lawan terus tarik dan menyendalnya, gagang tombak patah. Berbareng sikut kiri menyodok kebelakang menangkis jotosan Ciok Goan yang mematikan. Begitu dua tenaga raksasa saling bentrok, tinju Ciok Goan remuk, tulang tangannya hancur luluh kontan ia menjerit keras, melompat mundur beberapa tombak kebelakang.
Namun, Hong-thian-lui juga sudah kehabisan tenaga, meski berhasil melumpuhkan tombak musuh dan melukai Ciok Goan, tak urung lengannya pegal dan linu dan tak kuasa bergerak lagi. Sebetulnya begitu memukul mundur Ciok Goan dia hendak mengadu kekuatan dengan Tokko Hiong, namun ada hati memeluk gunung apa daya tangan tak sampai.
Kedatangan San-tian-jiu justru tepat pada waktunya, jarak telapak tangan Tokko Hiong tinggal beberapa inci dari batok kepala Hong-thian-lui. Mendadak terasa selarik angin kencang menerpa tiba, ternyata San-tian-jiu kirim pukulan ketengkuknya. Serangan ini cukup telak, musuh harus menyelamatkan diri sebelum menyerang musuh. Jika Tokko Hiong tidak berkelit atau meladeni serangan ini batok kepala sendiri mungkin terpenggal dari badannya.
Sudah tentu Tokko Hiong tidak berani mempertaruhkan jiwa raga sendiri dengan jiwa Hong-thian-lui, sebat sekali ia memutar tubuh, serempak kedua telapak tangannya melintang didepan dada sembari menangkis dan punahkan samberan telapak tangan San-tian-jiu.
Untung ia menangkis serangan telak San-tian-jiu, namun tak kuasa membendung tenaga murni lawan. Begitu tangan mereka bentrok, "Bleng!" Tokko Hiong menyemburkan darah segar, tubuhnya sempoyongan tujuh delapan langkah. Kamrat-kamratnya ketakutan, beramai angkat langkah menyelamatkan diri.
"Saudara Ling, aku terlambat setindak, bagaimana keadaanmu?" segera San-tian-jiu berjongkok.
"Aku tak apa-apa, lekas tawan seorang diantara mereka untuk dikompas keterangannya." katanya tidak apa-apa, padahal mukanya pucat pasi. San tian-jiu mengira luka-lukanya sangat parah, maka tak sempat ia mengejar para penjahat itu.
"Menawan seorang hidup apa susahnya?" ujar San-thian-jiu, sekali raih ia jemput sebutir batu, diremas hancur menjadi empat lima butir kerikil terus disambitkan kearah para penjahat yang lari terbirit birit dilereng gunung. Jarak mereka sudah ratusan langkah lebih, namun tiga orang berhasil disambit batunya. Sayang jaraknya terlalu jauh, dua diantaranya memiliki Lwekang tinggi, lukanya tidak berat, segera dipapah lari oleh kawan lainnya. Seorang yang lagi merangkak bangun hanya lari beberapa tindak; terus terjungkal roboh lagi.
"Tuh, tawanan hidup sudah tersedia, tak perlu mengompas keterangannya. Saudara Ling, coba kuperiksa, luka-lukamu perlu segera diobati.''
"Lukaku luka lama, sudah sembuh tujuh delapan bagian. Luka-luka baru ini hanya lecet dikulit belaka tak perlu dikawatirkan. Lekas kau tawan dua tiga orang lagi."
San-tiau-jiu tertawa geli, ujarnya : "Luka lama atau luka baru harus diobati, seorang tawanan hidup sudah cukup." tanpa memberi kesempatan Hong-thian lui bicara lagi, segera ia turun tangan mengurut dan memijat, menormalkan jalan darah Hong-thian lui. Lu Giok yau juga maju membubuhi Kim-jong-yok.
Setan Harpa 7 Dewi Ular Misteri Dewi Pembalasan Datuk Sesat Bukit Kubur 1

Cari Blog Ini