Ceritasilat Novel Online

Tarian Iblis 1

Tarian Iblis Karya Abdullah Harahap Bagian 1


Tarian Iblis (Novel ini lanjutan Misteri Anak Anak Iblis)
Karya Abdullah Harahap Ocr by Yoza Upk Edit teks : Saiful Bahri Situbondo
Selesai di edit : 31 Agustus 2018,Situbondo
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Selamat Membaca ya !!! *** TARIAN IBLIS Novel Karya : Abdullah Harahap
Lukisan Cover : Fan Sardy
Diterbitkan oleh: BINTANG USAHA JAYA Surabaya
*** SATU Nafsu amarah menghasut Zulham untuk menghajar saja pintu gerbang warna oranye yang tegak menantang di depannya. Masukkan persnelling ke gigi satu,injak pedal gas dalam-dalam, lalu naikkan kopling dengan satu hentakan. Lonjakan keras mobil Zulham ak-an merobohkan pintu gerbang yang pongah itu. Dan unsur kejutan yang ia ciptakan akan membuyarkan konsentrasi gerombolan pemuja setan di dalam sana,sekaligus mencegah niat mereka untuk menjadikan Ta-rida sebagai korban sebuah upacara berdarah.
Tetapi sia-sia akal sehat berhasil membujuk Zulham agar tetap tenang dan bertindak hati-hati. Belum tentu gerombolan itu sedang berkumpul di dalam sana, dan lebih sial lagi Tarida mungkin mereka sekap di tempat lain. Zulham datang ke tempat ini hanya untuk menca-ri jawab atas sebuah pertanyaan yang membingung-kan,
"Mengapa harus Tarida?"
Rani Pusparini mungkin tidak bersedia menjawab. Tetapi setidak-tidaknya pertanyaan itu ada gunanya. Agar Rani dan teman-temannya yang misterius itu menyadari bahwa Zulham tahu siapa yang mendalangi penculi-kan Tarida.
Agar lebih mengesankan. Zulham sekalian akan memberitahu langkah-langkah apa saja yang te-lah ditempuhnya sebelum mendatangi Rani Pusparini.Bahwa pihak berwajib atau sekurang-kurangnya Kap-ten Parluhutan Siagian dan koneksi Zulham di MabesPolri menaruh minat khusus terhadap kasus Tarida bahkan pemberitahuan itu antara sesama mereka.
Lalu siapa tahu, mereka kemudian akan melepaskan Tarida,tak perduli bagaimana caranya!
Zulham pun turun dari mobil, berjalan menuju pintu gerbang. Melalui lubang persegi di daun pintu gerbang besi itu, dia memijit bell dengan keyakinan penuh bah-wa usahanya akan berhasil. Sambil menunggu, ia menimbang-nimbang kenyataan yang mungkin terpaksa ia harus hadapi. Parluhutan dengan tegas sudah mengingatkan,
"Kita jangan bertindak sebelum ada bukti-bukti yang kuat!".
Zulham tidak mau mengalah. Jawabnya,
"Aku lebih mengutamakan keselamatan Tarida!"
Koneksinya di Mabes Polri menguatkan,
"Zulham tahu apa yang harus ia lakukan. Paling tidak, perlu diambil tindakan pencegahan. Sebelum peristiwa-peristiwa mengerikan yang telah kalian ceritakan padaku, terulang kembali."
Zulham pun teringat bagaimana mereka bertiga bersi-lang pendapat mengenai satu pertanyaan,
mengapa harus Tarida? Koneksi Zulham di Mabes Polri itu berpen-dapat,
"Tarida mengetahui sesuatu!".
Tetapi Parluhutan lebih dulu sudah mengorek semua keterangan yang diperlukan dari Asep maupun isteri-nya, Sumirah.
Ia malah setengah menginterogasi suami isteri pelayan itu. Memeras semua ingatan mereka ten-tang apa yang mereka ketahui mengenai Tarida, sejauh mana hubungan Tarida dengan Maria.
Dan kesimpul-an Parluhutan adalah,
"Tampaknya Tarida bahkan tidak tahu apa-apa."
Zulham punya kesimpulan sendiri,
"Jangan lupa, kita berhadapan dengan para pemuja setan. Menurutku,Tarida diperlukan untuk suatu pengorbanan berdarah."
Pendapat Zulham itu justru mengembalikan mereka bertiga pada pertanyaan semula. Jika diperlukan sebu-ah pengorbanan berdarah, mengapa harus Tarida?
Pertanyaan yang benar-benar sulit untuk dijawab. Tidak semudah menjawab pertanyaan lain, ketika ia tahu dirinya diculik, mengapa Tarida tidak berusaha melo-loskan diri?
Karena menurut Asep, ketika ia keluar dari pintu mobil ia yakin betul pintu mobil tidak dalam ke-adaan terkunci. Lalu lintas di luar pintu gerbang rum-ah majikannya pun dalam keadaan ramai. Si penculik tidak mungkin tancap gas begitu saja.
"Keluar dari pintu gerbang, ia harus membelok dan tentunya dengan:kecepatan lambat pula. Jadi mestinya Tarida punya kesempatan untuk melompat keluar dari mobil.Kesimpulan Parluhutan,
"Kami telah memeriksa lokasi peristiwa. Ada satu dua saksi mata, yang ternyata tidak menaruh kecurigaan apa-apa. Mobil itu berlalu dengan santai-santai saja. Tidak tampak sesuatu yang mencurigakan. Tidak ada penumpang yang ribut atau berteriak minta tolong. Berarti, Tarida telah dibujuk, di-kelabui, atau lebih masuk akal lagi, sudah keburu di-bius. Dengan Chloroform, itu sudah pasti!"
Tarida lantas tidak berdaya.
Tarida yang malang, pikir Zulham, teringat pada keluhan bibinya, Latifah,
"Aku telah lepas omong mengenai hal-hal tertentu tentang dirimu dan Maria. Dan itu membuatnya tampak frustrasi.Sudah frustrasi, malah akan dikorbankan pula.Oleh para pemuja setan laknat itu!
Kemarahan Zulham bangkit kembali.
Dan ia sudah bersiap-siap untuk menggedor, ketika pintu gerbang itu berderit terbuka, selebar-lebarnya. Lantas Johan mun-cul dengan sebuah pertanyaaan mengejutkan,
"Masuk sajalah. Bung sudah ditunggu dari tadi oleh Non Rani!"
Padahal Zulham tadinya hanya bermodalkan nekad.Untung-untungan dapat dapat bertemu Rani Puspari-ni, semoga pula tengah berkumpul dengan teman-temannya yang misterius itu. Zulham sengaja bermaksud surprise. Ingin membuat kejutan, sehingga tidak mem-beritahu kedatangannya lebih dulu. Dan Johan tenang-tenang saja berkata, kehadiran Zulham malah sudah ditunggu.Situasi terbalik yang dihadapinya, membuat kepercayaan diri Zulham melemah. Lesu dan nyaris patah sema-ngat, ia naik lagi ke mobilnya dan memacunya melewati pintu gerbang, tanpa ada gairah untuk bertanya pa-da Johan, bagaimana Rani Pusparini sampai tahu ia akan datang. Apapun jawaban Johan hasilnya toh sa-ma saja, Zulhamlah yang mendapat kejutan lebih dulu,bukan gadis itu.
Seperti halnya kedatangan Zulham pertamakali di ru-mah itu, Esih sudah menanti di teras depan. Bedanya kali ini pelayan itu tidak didampingi oleh Rudi, mahluk yang mengerikan itu. Zulham pun tak lagi perduli apa-kah mahluk itu diam-diam menunggu di balik pintu lalu tiba-tiba menerkam dengan buasnya. Perhatiannya lebih tertuju pada suasana tenang dan sepi di sekitar mau pun di dalam rumah. Tidak ada kegiatan misteri-us seperti yang ia lihat pada malam sebelumnya.
Dan entah mengapa, tiba-tiba firasatnya mengatakan bah-wa jika ia bermaksud menyelamatkan Tarida, maka ia telah mendatangi alamat yang salah.Kejutan lain diterima Zulham setelah ia turun dari mo-bil dan berjalan naik ke teras. Esih menyambutnya de-ngan sebuah permintaan,
"sebelum Tuan saya antar menemui majikan saya, boleh saya minta sehelai kartu nama?"
Tak pelak lagi, Zulham bertanya jengkel,
"Untuk apa?" Dingin dan sabar perempuan itu menyahuti,
" Ada ba-nyak hal yang ingin saya bicarakan dengan Tuan. Te-tapi tidak sekarang, dan tidak di sekitar rumah."
Mendengar itu semangat Zulham kembali bangkit. Esih mengetahui sesuatu dan ingin membicarakanya. Di ba-wah empat mata dengan Zulham. Tidak di rumah ini,berarti sesuatu itu menyangkut kehidupan majikan Es-ih.
Mengapa tidak, pikirnya seraya mengeluarkan, sehelai kartu namanya dari dompet yang, ia serahkan ke tangan Esih. Akan banyak hal rahasia yang kelak dapat ia korek dari mulut perempuan itu, pikirnya lagi seraya memperhatikan bagaimana Esih dengan cepat dan tangkas langsung saja menyelipkan kartu nama yang ia terima ke balik kutangnya pertanda niat dan mak-sudnya memang sungguh-sungguh.
"Mari saya tunjukkan jalannya." perempuan itu mengajak masuk ke dalam rumah.
Kemudian meneruskan de-ngan suara rendah sebagai permulaan,
"Sudilah kira-nya Tuan memenuhi satu lagi permintaan saya."
"Katakan saja."
Zulham ikut latah merendahkan suara-nya. Sambil terheran-heran karena melewati saja kamar tamu bahkan kemudian kamar duduk yang luas dan megah. Sekilas ia melihat sebuah bar yang mewah, lalu meja pojok di atas mana tampak sebuah foto besar dal-am bingkai indah, dikelilingi kalungan bunga dengan sebuah lilin menyala di depannya.
Ingatan Zulham dengan cepat memastikan, itu adalah foto Tenny puspa-sari. Dan kalungan bunga serta lilin menyala jelas me-lambangkan pertanda berkabung.
Diam-diam Zulham mulai merasakan suasana mistis di sekitarnya.
"Bimbing dan bantulah majikan saya."
Esih barkata serius. "Dari apa?" Zulham menyahuti, setengah terkejut.
"Nanti tuan akan tahu sendiri."
Mereka memasuki koridor, melewati ruangan-ruangan lainnya di sepanjang koridor itu, yang tidak lagi me-naruh perhatian Zulham. Ke mana ia akan dibawa, itu perhatiannya yang pertama. Perhatiannya yang kedua,ia utarakan secara lisan,
"Mengapa harus aku, Bi Esih?"
"Karena dua hal." jawab Esih dengan suara semakin rendah, malah setengah berbisik.
"Pertama hanya Tuan satu-satunya orang yang diterima berkunjung oleh ma-jikan saya, tanpa janji temu lebih dulu. Hal kedua, ka-rena saat ini tuan ditunggu majikan saya di tempat yang tidak boleh dimasuki sembarang orang. Konon pula orang yang baru dikenal, dan bukan pada Anggota Keluarga sekte yang dianutnya!"
Semangat Zulham bertambah mekar jadi dugaannya se-lama ini mengenai Rani Pusparini serta teman-temannya yang misterius itu tidak keliru adanya, jangan-jangan laki-laki misterius dengan lagak seperti nabi itu ter-masuk anggota keluarga atau bukan tidak mustahil, di-alah justru yang bertindak sebagai kepala keluarga.
Dugaan itu mau tidak mau mendebarkan jantung Zul-ham. Ia begitu bernafsu untuk menayakan kebenaran dugaannya pada Esih dengan pernyataan tadi, tidak sekarang dan tidak di rumah ini!
Untuk menenangkan jantungnya, Zulham iseng-iseng berbisik,
" Aku tidak melihat atau mendengar suara Rudi!"
Esih berhenti tiba-tiba. Zulham yang berjalan di bela-kangnya hampir saja menubruk perampuan itu. Ia me-nahan langkah, sambil mengambil sikap waspada.Jangan-jangan mahluk yang ia tanyakanlah yang jus-tru telah menghentikan Esih dengan tiba-tiba.
Ternyata bukan. Mereka berdiri di teras belakang darimana tampak kebun dan taman yang luas mengham-par. Esih menunjuk ke jalan setapak menuju sebuah cottage besar dan arsitekturnya tampak lebih indah da-lam jilatan sinar rembulan.
"Tuan ditunggu di dalam sana. Silahkan..."
Sesaat, Zulham bimbang. Esih lantas menambahkan dengan senyum,
"Lupakan mengenai Rudi. Majikan telah mengurungnya di kamar tersendiri agar pertemuan Tuan dengannya tidak terganggu."
Zulham pun melangkahkan kaki.Dengan jantung semakin berdebar. Di depan cottage langkahnya sempat menegun, mengawasi dua patung marmer yang mengawal di kiri kanan pintu, dan masing-masingnya dilengkapi lilin besar yang sudah dinyalakan. Tirai-tirai jendela cottage tampak menutup untuk menghalangi pemadangan dari luar. Di balik tirai itu keadaannya tampak tenang dan remang-remang, jelas sinar samar-samar yang dilihat Zulham bu-kanlah berasal dari lampu listrik, melainkan dari kelap-kelip lampu lilin pula.
Apakah yang nanti yang dihadapi Zulham masih tetap seorang wanita muda berwajah cantik jelita dengan so-sok tubuh seronok menggairahkan ataukah telah beru-bah wujut seperti nenek-nenek sihir atau barang kali seperti mahluk-mahluk mengerikan yang sering dilihat Zulham dalam film-film horor atau pernah ia baca dalam novel-novel misteri?
Jangan lupa pada jawab Esih atas pertanyaannya tadi.
" Nanti Tuan akan tahu sendiri."
Zulham menelan ludah. Maju satu dua langkah. Lantas dengan tangan agak gemetar, pelan-pelan ia mengetuk pintu. Tak ada sahut-an apa-apa dari dalam. Zulham ragu-ragu sejenak, ke-mudian membulatkan tekad, sebelum ke rumah ini ia sudah menghadapi begitu banyak kejutan dan peristiwa-peristiwa mengerikan. Mungkin ia akan menghadapi sesuatu yang lebih dari semua itu. Ia siap dan sudah terlambat untuk surut.Maka dengan jantung memukul semakin keras, pintupun dia buka perlahan-lahan.[]
*** DUA Yang pertama-tama dilihat Zulham di keremangan ca-haya lilin yang menerangi satu-satunya ruangan dalam cottage itu, adalah punggung seseorang perempuan bergaun hitam, berlutut di ujung sebuah altar. Karena perempuan itu membelakangi pintu masuk, dengan sendirinya Zulham tidak dapat memastikan apakah yang ia lihat itu sosok Rani Pusparini, atau bukan.
Te-tapi pastilah dia itu bukan seorang nenek sihir. Terbukti dari sepasang lengannya yang terjulur ke atas, menyatukan dua telapak tangan di mana terjepit sebatang lilin menyala. Lengan itu kenyal, mulus, jari jemari yang menjepit lilin pun tampak lentik dan halus.Namun begitu Zulham patut merasa cemas, selain nyala lilin di antara tangan si perempuan, nyala belasan lilin-lilinnya yang diletakkan disekitar ujung altar yang berlawanan menerangi sebuah sosok lain yang tampak sedang disembah oleh si perempuan. Sosok yang tegak membeku itu memperlihatkan dua wujut makhluk yang kontras, yang menyatu mulai dari kepala, pung-gung, sampai kaki.
Sosok seekor hewan menyerupai anjing entah jenis apa dan sosok seorang lelaki berwa-jah tampan dan lembut. Perasaan cemas Zulham baru mereda setelah menyadari bahwa sosok berwujut gan-da itu ternyata sebuah berhala terbuat dari batu pualam, sama halnya dengan altar panjang di atas mana siperempuan masih tetap berlutut tanpa bergerak-gerak.Sewaktu Zulham masih menimbang-nimbang apakah ia akan terus masuk atau kembali saja ke rumah induk,terdengarlah suara rendah dan lunak yang sudah ia kenal.
Suara Rani pusparini, "Masuklah dan tutup pintunya, bung Zulham. Sebelum dia lebih banyak melihat dan mendengar."
"Dia?" desah Zulham, tersedak.
Tanpa bergerak di tempatnya, gadis itu memberitahu,
"Musuh kita bersama."
Pernyataan itu sudah cukup untuk mendorong lang-kah Zulham masuk ke dalam, setelah mana ia kemudi-an menutup pintu. Ia menangkap dua hal dari pernya-taan si gadis.
Pertama, kebenaran dari firasatnya bah-wa ia tidak akan menemukan Tarida di tempat ini. Bahkan tidak mustahil, Rani pusparini sama sekali tidak tahu menahu mengenai diculiknya gadis itu.
Hal kedua,lebih penting dari urusan Tarida. Zulham sadar betul bahwa musuh yang harus dihadapinya bukanlah mu-suh sembarangan. Ia belum tahu bagaimana harus me-nempurnya, kecuali barang kali lewat adu phisik.
Tetapi melawan kekuatan gaibnya yang bukan hanya dahsyat namun juga kejam dan biadab?
Bahkan Mama Eyang pun tidak sanggup menghadapinya. Konon pu-la Zulham!
Jelas Zulham memerlukan seorang pendamping yang ilmu gaibnya melebihi apa yang dimiliki Mama Eyang,dan entah mengapa kekuatan pendamping itu diyakini Zulham telah ia temukan kini. Kekuatan gaib yang ter-sembunyi di balik sosok tubuh perempuan yang berlu-tut membelakanginya.
Sosok bergaun hitam, seorang penyembah berhala yang seketika mengingatkan apa yang dikatakan oleh Mama Eyang,
"Kau dirangkul oleh kabut hitam...."
Kabut hitam yang dimaksud Mama Eyang tentulah Ra-ni pusparini, yang kini tampak mulai bergerak. Masih tetap dalam posisi berlutut diujung altar, sosok tubuh dibalik gaun hitam itu meliuk pelan mula mula ke kiri lalu ke kanan, dilakukan berulang ulang dengan gerakan tenang dan teratur seperti seekor ular sedang menari dengan liukan-liukan indah dari perpaduan gerak pinggang yang berlawanan arah dengan gerakan sepasang lengan. Nyala api lilin hitam ditangannya ikut pula meliuk-liuk dengan kelipan ritmis dan sekaligus menebarkan suasana mistis yang kian nyata dirasakan oleh Zulham.
Tontonan gratis itu disaksikan Zulham dengan mata terpesona, sampai akhirnya tarian ular itu berhenti de-ngan didahului tiga kali gerakan membungkuk lurus kekanan. Setelah itu, dengan lilin tetap terjepit diantara kedua telapak tangan. Rani Pusparini bergerak turun dari altar. Dengan bibir kumat kamit menggumamkan mantra-mantra yang tidak begitu jelas di telinga Zul-ham, gadis itu berjalan ke sudut ruangan di sebelah kiri pintu masuk.
Lantas membungkuk untuk menyalakan sebuah lilin hitam besar yang rupanya sudah tersedia sebelumnya di sana, dan tak sempat diperhatikan oleh Zulham.
Ketika nyala lilin itu membesar, sinarnya seketika menerangi lebih jelas sosok tubuh Rani Pusparini, dan seketi-ka membuat Zulham terpana. Barulah saat itu ia menyadari bahwa si gadis ternyata memakai gaun hitam yang bukan hanya tipis, melainkan juga tembus pan-dang. Tubuh di balik gaun itu membayang samar-samar. Dan jelas tanpa pelapis tambahan karena tampak payudara gadis itu menggantung indah ketika mem-bungkuk, lantas berayun lebih indah lagi sewaktu Rani Pusparini bangkit untuk berpindah ke dekat jendela,menyalakan lilin kedua di atas lantai.
Tanpa bisa ditahan lagi, birahi Zulham terlonjak keras.Pipinya memerah sementara jantung berdegap degup tak teratur. Untuk menahan gejolak nafsu yang diam-diam membangkitkan kelelakiannya, Zulham berpaling ke arah lain. Memandangi patung pualam berwujut ganda di kepala altar. Dengan susah payah ia pusat-kan pikiranya pada berhala itu.
Ia bayangkan tentulah memerlukan waktu dan biaya yang tidak sedikit untuk membuatnya. Si pemahat, selain memiliki imajinasi me-nakjubkan, pastilah memahami betul apa makna dari pahatannya. Suatu paduan nafsu hewani atau angka-ra murka dengan kelembutan yang mungkin diartikan sebagai cinta kasih.Perpaduan yang kontras itu mengingatkan Zulham pa-da sosok seseorang yang seakan terus bercokol dalam pikirannya, melekat seperti lintah. Orang yang oleh Ra-ni Pusparini barusan tadi disebut sebagai musuh kita bersama.
Bayangan lelaki misterius itu memaksa Zul-ham untuk berpaling memperhatikan Rani Pusparini,yang telah berpindah ke sudut lain untuk menyalakan lilin ketiga. Lagi-lagi, sebuah lilin hitam. Seraya berusa-ha menghindari pandangannya dari bayangan samar-samar di balik gaun hitam si gadis, Zulham menggu-mamkan apa yang semenjak tadi mengganggu pikiran-nya.
"Jadi.. kau mengenal bangsat sialan yang berlagak seperti nabi itu, Nona Rani?"
"Dia bukan lagi sekedar berlagak, bung Zulham!" sahut Rani Pusparini dengan nada serius sambil berpindah ke belakang patung. Membungkuk di sana, pasti untuk menyalakan sebuah lagi lilin hitam yang tidak terlihat dari tempat Zulham berdiri.
"Dia malah telah menabi-kan diri. Sebagai utusan iblis!"
Zulham tercengang. "Sebagai...apa?"
"Utusan iblis, Bung Zulham!" gadis itu menegaskan tanpa melihat pada lawan bicaranya.
Ia terus saja berpin-dah ke sudut lain untuk menyalakan lilin kelima.
"Dan kukira tak ada salahnya aku menasihatimu.." lanjutnya dengan nada lebih serius.
"Tidak baik meremehkan dia.Karena aku tahu betul, kau sendiri tentunya telah me-nyaksikan bencana-bencana mengerikan yang sengaja ia demonstrasikan di hadapanmu. Untuk membukti-kan siapa dirinya sebenarnya. Tanpa perduli apakah bencana yang ia timbulkan akan memakan korban nyawa orang-orang tak berdosa yang tidak berurusan apa-apa dengannya!"
Zulham kini terdiam. Semuanya semakin jelas kini. Penusukan yang gagal terhadap dirinya, bis antar kota yang menabrak pantat truk, gedung yang berantakan di dalam satu blok percetakan, dan terakhir sosok hangus mengeriput salah seorang pasien Mama Eyang, pasi-en lain yang mendadak buta total, sementara Mama Eyang sendiri hanya tinggal tulang belulang!
"Bagaimana kau mengetahui semua itu?" desah Zul-ham, tersedak.
Rani Pusparini bangkit setelah menyalakan lilin keenam lalu berpindah pada lilin ketujuh di sudut sebe-lah kanan pintu.
"Alam gaib, Bung Zulham. Alam gaiblah yang me-nyampaikannya padaku."
Ia masih belum juga memandang ke arah Zulham, seakan menghindari sesuatu.Terdengar lagi ia berkomat kamit ketika ia kemudian menyalakan lilin ketujuh. Lalu,
"Melalui cara itu pula,aku tahu betul, kau telah gagal menyelamatkan wanita malang itu, tengah malam tadi..."
"Maria..." "Hem. Jadi namanya, Maria."
Rani Pusparini berdesah tanpa makna apa-apa. Ia bergerak ke belakang Zulham membungkuk di sana untuk meletakkan lilin hitam yang semenjak tadi ia pegang dan dijadikan sebagai sumber nyala dari tujuh lilin hitam lainnya. Setelah ia berdiri tegak di sebelah Zulham, seraya menarik nafas lega.
"Selesai sudah..."
"Apa?" "Aku telah menutup pintu di delapan penjuru angin.Dengan demikian, terputuslah sudah komunikasi ke dalam dan ke luar dari ruangan ini. Melalui kekuatan roh jahat terkutuk yang kau bawa masuk bersama dirimu."
Zulham mengawasi wajah jelita itu dengan terheran-heran.
"Maksudmu..." "Ini!" Rani Pusparini mendadak sudah tegak di depan Zulham, merangkulkan kedua lengan kepundak si pe-muda yang masih terbengong-bengong itu. Tubuh me-reka seketika menyatu rapat. Kelembutan dan kehangatan tubuh gadis itu dalam sekejap telah menimbulkan bara api di sekujur tubuh Zulham. Mata mereka bera-du untuk pertama kali semenjak Zulham memasuki cottage.
Gadis itu tersenyum samar-samar, mendekat-kan bibirnya ke bibir Zulham yang tidak kuasa untuk mengelak.Seperti malam sebelumnya, ciuman itu berlangsung singkat saja. Namun telah melonjakkan kelelakian Zul-ham sebegitu keras sehingga ketika ciuman itu berakhir lutut Zulham serasa goyah.
Ia masih terpesona sebelum akhirnya menyadari bahwa Rani Pusparini dengan ce-pat sudah menjauh sambil menggenggam sesuatu di tangannya. Kalung dengan liontin berlambang ular ke-pala ganda yang sebelumnya melingkari leher Zulham.
Dan rupanya diam-diam telah dicopot Rani Pusparini selagi mereka berciuman tadi.Tanpa membuang tempo, gadis itu membawa benda tersebut kebelakang patung, dan kemudian meletakkannya di lantai, di antara belasan lilin warna-warni yang mengelilingi kaki patung.
"Lihatlah kemari, Bung Zulham!"
Zulham mendekat seraya berjuang keras menekan naf-su birahinya. Kemudian ia melihat apa yang dimaksud oleh Rani Pusparini.Dari lambang ular berkepala ganda pada liontin yang diletakkan gadis itu di lantai, muncul perlahan-lahan dua larik cahaya merah redup tetapi dengan sinar ta-jam menyilaukan mata. Sepasang garis merah itu ke-mudian menebar ke sekitar liontin, membuat lantai dibawahnya tampak seperti menyala merah.
Melihat itu Zulham nyaris terlonjak mundur karena seketika teringat apa yang ia saksikan di rumah Mama Eyang, serta akibat yang ditimbulkan oleh sinar merah redup tetapi tajam itu. Namun ia terpaksa menahan diri karena merasa malu setelah melihat Rani Pusparini tampak tenang-tenang saja. Mana keingin tahuannya mendesak pula begitu kuat.Takut-takut, ia melihat cahaya merah redup itu terus menebar semakin lebar, lalu mendadak berhenti mene-gun sewaktu mendekati batang-batang lilin yang me-ngelilinginya. Zulham menatap takjub, dan tanpa sad-ar menggumamkan keheranannya dengan bertanya pada si gadis.
"Mengapa ia seperti takut pada batang-batang lilin di sekitarnya?"
Rani Pusparini menyahuti pelan dan datar.
"Bukan lilinnya Bung Zulham. Tetapi nyala apinya. Seperti kau pasti tahu, iblis tercipta dari api. Oleh karenanya, si Penghujat yang menamakan dirinya utusan sang iblis tidak berani mengusik apalagi melangkahinya. Kita ak-an tetap aman Bung Zulham, selama kita berada diluar lingkaran nyala api lilin."
Kejadian berikutnya lebih menakjubkan lagi.Setelah berhenti menegun sejenak, tebaran cahaya me-rah itu bergerak surut Mundur ke arah berlawanan,mendekati kaki patung di kepala altar. Diam lagi seje-nak, cahaya merah itu kemudian membelah dua lalu bergerak maju dan semakin panjang saja sewaktu sepasang cahaya merah berbentuk seperti lengan itu mera-yap naik ke atas. Ujung masing-masing lengan merah itu lambat laun membelah dua, untuk kemudian mem-bentuk jari jemari.Jari jemari di lengan sebelah kiri meraba-raba sosok pa-tung berwujut manusia, sementara yang kanan meraba sosok patung yang berwujut hewan. Diraba bagian de-mi bagian seakan meneliti sambil terus saja naik ke atas sampai akhirnya berhenti di masing-masing wajah pa-tung. Cahaya merah berbentuk telapak tangan dan jari jemari itu kemudian bergerak lagi, meraba, lalu mengu-sap lembut di masing-masing wajah ganda pada berhala dan pualam itu.
"Apa yang dilakukannya?" bisik Zolham, ingin tahu.
Tanpa perubahan emosi di wajah maupun suaranya,Rani Pusparini menjelaskan.
"Tampaknya Si penghujat merasa puas dengan apa yang dirabanya. Kelembutan dan cinta kasih pada bagian patung berwujut manusia ia rasakan sebagai citra dirinya. Citra yang ia tampil-kan di hadapan para pengikutnya. Citra kharismatik yang menuntut kepatuhan, kesetiaan, dan pengabdian mutlak."
"Dan, wujut hewani?"
"Itulah dirinya yang sebenarnya. Angkara murka!"
Ra-ni Pusparini mendengus dengan campuran nada sinis serta perasaan muak.
"Oh!" Zulham manggut-manggut meski tidak memaha-mi keseluruhan penjelasan si gadis. Tetapi setidak-tidaknya ia telah merasakan gambaran itu, dalam dua kali pertemuannya dengan orang yang disebut Rani seba-gai si penghujat iblis. Sembari manggut-manggut deng-an mata tak berkedip, ia terus mengamat-amati cahaya merah yang membentuk lengan dan jari jemari itu ke-mudian bergerak lagi, turun perlahan-lahan ke lantai.Menyatu kembali, lantas bergerak surut dengan bentuk semakin mengecil. Sampai kembali tampak tak lebih dari dua larik cahaya yang akhirnya menghilang le-nyap di masing-masing lambang kepala ular pada lion-tin. Zulham menunggu sebentar dengan jantung masih berdebar, namun tidak terjadi suatu apa pun lagi.
Rani Pusparini menarik nafas lega. Katanya,
"Andaikata aku tidak lebih dulu menutup arus komunikasi di dela-pan penjuru angin, situasinya akan berbeda. Si penghujat akan mengetahui bahwa ia telah dikelabui. Jika itu yang terjadi, aku tidak yakin apakah kita berdua akan sanggup menghadapi bencana mengerikan yang mungkin akan terjadi."
Zulham mengawasi wajah si gadis dengan kagum. Ka-gum pada kemampuan ilmu gaibnya dan diam-diam sekaligus kagum pada kecantikan wajahnya yang tam-pak lebih alami tanpa polesan kosmetik.
"Bagaimana kau mengetahui semua hal-hal yang menakjubkan itu. Nona Rani?"
Gadis itu menarik nafas panjang dengan wajah beru-bah gundah.
"Dengan bantuan roh saudara kembarku.Tenny Puspasari."
"Oh..." "Beberapa waktu setelah Tenny meninggalkan rumah ini terakhir kali, rohnya tiba-tiba muncul sewaktu aku menghadiri sebuah jamuan makan malam."
Rani Pus-parini menjelaskan.
"Buat aku, pemunculan rohnya adalah sebagai suatu pertanda bahwa saudara kembarku itu telah mengalami bencana mengerikan, entah dimana. Pertanda itu sempat membuatku shock. Tetapi selama masa berkabung, aku selalu mengusahakan ber-hubungan dengan roh Tenny yang bergentayangan.Rohnyalah yang memberitahu aku mengenai apa yang telah terjadi pada dirinya. Dan bagaimana caranya aku menolongnya, jika mungkin membawanya pulang kembali ke rumah dalam keadaan selamat."
Seraya mengeluh dan dengan wajah memperlihatkan duka cita yang dalam, gadis itu bangkit perlahan-lahan dan berjalan lunglai meninggalkan lingkaran lilin disekitar kaki berhala, lalu terduduk lesu di atas altar. Si-nar lilin yang menerangi dari sekitar ruangan memper-lihatkan getaran samar-samar pada tubuh di balik ga-un hitamnya yang tipis dan tembus pandang itu. Zul-ham ikut bangkit, lalu duduk di sebelah gadis itu sam-bil berusaha menghindari pandangannya dari bayang-an payudara si gadis. Terutama, menghindari keingintahuan yang lebih memalukan lagi, untuk memastikan apakah gadis itu pun sama sekali tidak memakai ce-lana dalam di balik gaunnya.Namun demikian, birahi Zulham sudah bangkit lagi perlahan-lahan tanpa mampu ia cegah. Ia berjuang ke-ras menguasai lonjakan birahi itu dengan memusatkan konsentrasinya pada apa pun yang akan dituturkan oleh Rani Pusparini.
"Atas kehendak Yang Maha Pencipta, Bung Zulham.Secara kebetulan liontin terkutuk milik saudara kembarku itu jatuh ke tanganmu. Kau telah begitu baik deng-an berusaha mengantarkan barang milik Tenny ke ala-mat kami. Tanpa kau sadari, niat baikmu itulah justru yang akan membantuku menolong saudara kembar-ku." diam sejenak untuk menekan perasan berduka,gadis itu meneruskan lagi.
"Aku sangat berterima kasih untuk niat baikmu itu, Bung Zulham. Kalau pun toh liontin Tenny pada akhirnya lenyap, itu bukanlah atas kehendakmu. Aku tidak akan dan tidak pernah mem-persalahkanmu. Aku menganggapnya tak lebih dari ketidak beruntungan belaka..."
Ungkapan isi hati gadis itu tidak menarik perhatian Zulham. Perhatiannya lebih terusik pada penjelasan sebelumnya. Bahwa kalung Tenny Puspasari dapat menyelamatkan Tenny.
Mengapa tidak dengan Maria?
Satu hal lagi dan terasa begitu mengganjal, ia utarakan dengan lisan.
"Bangsat itu telah merampas milik Tenny lalu mengapa ia tidak merampas pula milik Maria?"
"Karena Mariamu itu maaf, tidak lagi dibutuhkan oleh si penghujat. Maria dianggapnya tak lebih sebagai kor-ban sampingan. yang setelah sarinya dihisap habis se-pahnya lantas akan dibuang begitu saja. Berbeda hal-nya dengan Tenny."
Rani Pusparini lagi-lagi berhenti.Payudara di balik gaun hitamnya tampak naik turun menahan gejolak kemarahan yang terpendam di seba-liknya.
"Tenny, sebagaimana dibisikan oleh rohnya, di-kutuk selagi berhubungan badan dengan calon suami-nya. Tubuh mereka berdua dibiarkan tetap menyatu, selagi kutuk itu berproses dan kemudian berubah wujut mereka berdua menjadi..."
"Seekor ular berkepala ganda!" cetus Zulham tak sadar.
Terbayang di pelupuk matanya peristiwa yang ia alami pada tengah malam buta di hutan berantara Sumatera itu, ketika ia menemukan sebuah mobil tak bertuan.Masih segar dalam ingatannya, bagaimana ia iseng-iseng meneliti tumpukkan pakaian di jok belakang mobil lalu tiba-tiba dikejutkan oleh munculnya seekor ular hi-tam legam yang menggeliat ke luar dari bawah tum-pukkan pakaian itu.
Ia begitu terpana sampai tidak siap menghadapi jika sewaktu-waktu ular mengerikan itu tiba-tiba mematuk.Nyatanya ular berkepala ganda itu hanya tegak memandang.Dengan bintik-bintik sepasang mata di masing-masing kepala ular itu, tampak meneteskan butir-butir air be-ning.
Tahulah Zulham sekarang bahwa ular itu mena-ngis dan sorot dua pasang mata di kepala ganda itu jelas bukan sedang memohon pertolongan untuk dise-lamatkan dari orang yang mereka takuti. Orang misterius yang kemudian muncul dan membawa pergi ular itu yang ia sebut sebagai anak-anaknya.
"Si Penghujat,"
Rani Pusparini bergumam getir di sebelah Zulham.
"Masih membutuhkan Tenny dan calon suaminya dalam wujut mereka yang sekarang. Untuk maksud angkara murka. Memutuskan hasrat bejat,menjijikan, sekaligus betapa keji."
Getaran suara si gadis membuat Zulham berpaling.Tampak olehnya pipi gadis itu dilinangi lelehan butir-butir air mata. Namun suara yang keluar dari mulut-nya terdengar masih tetap tegar dan tidak kenal menyerah.
"Aku harus mencegahnya, bung Zulham! Paling sedikit, jika pun toh akhirnya Tenny harus mati, aku mesti mengusahakan agar kematian saudara kembarku itu sesuai dengan kodratnya yang menjadi hak dan miliknya. Mati sebagai manusia, bukan sebagai..."
Ia tidak meneruskan, jelas, Rani tak tega menyebut perwujutan saudara kembarnya. Diam diam Zulham didatangi perasaan menyesal karena barusan tadi terlanjur mengutarakan wujut dimaksud seekor ular berkepala ganda, ia semakin menyesal sewaktu teringat apa sebenarnya maksud ular yang di temukan di hutan belantara Sumatera itu. Mohon diselamatkan, tetapi Zulham yang salah mengerti malah membiarkan mahluk malang itu jatuh ke tangan sang angkara murka.Zulham sudah siap untuk menawarkan bantuan untuk menolong sewaktu Rani Pusparini menatap lurus kematanya dan mendahului Zulham menayakan apa yang justru ingin ditawarkan oleh Zulham.
"Apakah kau bersedia membantuku, Bung Zulham?"
"Dengan sepenuh hati!"
Zulham menjawab tanpa ragu ragu.Sepasang mata yang indah di wajah cantik itu bersinar sinar penuh harapan.
"Percayalah..."katanya.
"Aku pun akan membantumu untuk menyelamatkan roh Maria..."
"Apalagi?" Zulham mendengus bersemangat.
"Katakanlah bagaimana caranya kita akan saling menolong."
Tiba tiba pipi gadis itu memerah.
"Mudah saja..." katanya.
"Hanya.. ah. Aku harap kau nanti menyukainya..."
"Demi Maria dan saudara kembarmu, mengapa tidak?"
Zulham bersiteguh.Rani Pusparini berdiri tegak.
"Pertama tama, aku harap nanti kau tidak bertanya atau mengganggu mantera yang ku ucapkan selama... itu kita lakukan..."
Tekanan kata Rani Pusparini mau tidak mau mendesak Zulham untuk bertanya.
"Itu...apa?" Gadis itu tersenyum samar samar.
"Belum apa apa kau sudah bertanya."
"Maaf." "Sebuah janji lagi. Janganlah menolak apa yang nanti kuminta kau lakukan."
"Tidak. Jika aku mampu, tentu saja."
Setelah berujar demikian, si gadis kembali naik ke altar.Bukan untuk duduk seperti semula, melainkan untuk rebah menelentang di sepanjang altar dengan wajah menghadap ke sosok wajah ganda di kepala berhala. Bibirnya komat kamit sebentar dengan nada tak menentu, diakhiri dengan suara memohon yang jelas dan tegas,
"Datang dan memasukilah diriku, Maruta..."
Lalu gadis itu diam menunggu dengan kelopak mata terpejam.Zulham menatap bingung.
Ia menunggu pula. Menunggu Rani Pusparini mengatakan sesuatu yang harus ia lalukan sambil sepenuhnya sadar posisi rebah si gadis telah merangsang birahinya sedemikian hebat. Gugup dan gemetar, ia akhirnya bertanya,
"Apa yang harus kuperbuat, nona?"
Tanpa membuka kelopak matanya si gadis berdesah lirih,
"Datang dan masukilah tubuhku."
Zulham terkejut dan mulai gelisah.
"Nona Rani..." Gadis itu mengepalkan tangan sebagai jawaban. Ada perasaan bersalah dan keinginan untuk menolak dalam diri Zulham tetapi sesuatu dorongan gaib yang didukung oleh tuntutan birahi menggerakan tangannya untuk menyambut tangan si gadis yang seketika menggengam kuat, lalu menarik tangan Zulham untuk diletakkan ke payudaranya.Seketika telapak tangan Zulham merasakan lembut dan kenyalnya payudara gadis itu, memancarkan baraapi yang membakar dengan cepat, menempur dan mendobrak benteng pertahananya yang semula ingin menentang. Tetapi lonjakan birahinya menyerang lebih hebat, dan Zulham tidak dapat lagi membendungnya.
Perlahan lahan ia membungkuk, lalu mencium bibir Rani Pusparini yang memekar terbuka. Tangan si gadis yang masih bebas meliuk naik untuk merangkul pundak Zulham sekaligus menarik tubuh Zulham untuk naik ke atas tubuhnya. Di antara ciuman yang menggebu, si gadis terdengar merintihkan ucapan samar samar,
"Maruta.. lakukanlah. Oh dewi Durga, tolonglah."
Zulham tidak tahu siapa yang menanggalkan pakaian di tubuhnya.
Dirinya atau si gadis. Begitu pula dengan gaun hitam Rani Pusparini yang telah terbang lebih dulu ke lantai di bawah altar. Ia hanya tahu, jiwanya seakan serasa mengambang ketika bagian dari raganya perlahan lahan mencari bagian tertentu di raga itu berusaha saling menyongsong, kemudian saling mendesak ke depan.Dan tiba tiba Rani Pusparini terpekik sayup.
Zulham lantas menyadari tabir yang memisahkan raga mereka terpecah dan di tengah gejolak nafsunya, diam diam Zulham sempat terkejut.Rani Pusparini ternyata masih perawan!
[] *** TIGA Penyesalan selalu datang terlambat. Setelah apa yang semestinya tidak boleh terjadi, telah terjadi. Akibatnya adalah Zulham telah melanggar pendirian yang selama ini dipegang dengan teguh bahwa ia tidak akan menyetubuhi seorang perempuan di luar nikah.
Zulham tidak akan mencari kambing hitam.Dengan berdalih bahwa ia berada di bawah pengaruh gaib Rani Pusparini. Atau karena gadis itu dengan sengaja telah merangsangnya dan ajakan persetubuhan datang dari pihak gadis itu dan pula Zulham hanya bersandar pada kenyataan bahwa sejak semula ia telah terangsang.
Ia telah berusaha mengendalikan diri tetapi hawa nafsunyalah yang kemudian menang.Dengan dihantui perasaan bersalah itu, Zulham diam diam mengenakan pakaiannya kembali. Ia tidak tahu bagaimana menebus dosa yang telah ia perbuat. Tetapi paling kurang, ia tahu bagaimana harus mempertanggung jawabkannya.
Ia mesti menikahi Rani Pusparini,terlepas dari apakah mereka saling menyintai atau tidak. Yang pasti, sampai perbuatan itu selesai mereka lakukan, Zulham tetap saja tidak merasakan adanya gairah cinta dalam sanubarinya.
"Barangkali cinta itu mungkin datang belakangan."bathin Zulham membujuk.
Namun demikian, masih ada dua hambatan yang harus ia hadapi. Ia tidak tahu apakah Rani Pusparini bersedia menikah dengannya. Dan yang lebih terpenting lagi, agama yang dianut Zulham melarangnya untuk menikahi seorang penyembah berhala.
Maka yang pertama tama harus ia lakukan adalah mengajak gadis itu meninggalkan sekte anutannya dan pada suatu hari kelak bersedia pindah agama. Mungkin itulah tujuan dari permohonan Esih,
"Bimbing dan bantulah dia..."
Lalu, bagaimana ia harus memulai?
Zulham masih dilanda kebingungan dan kegelisahan,sewaktu tiba tiba ia mendengar bisikan pelan dari mulut Rani Pusparini,
"Terima kasih, dewi Durga..."
Zulham berpaling terkejut. Mengawasi si gadis yang masih rebah menelentang di altar, masih belum mengenakan gaunnya. Gaun itu hanya sekedar ditutupkan secara serampangan saja sehingga sebagian dari tubuh Rani Pusparini tetap menonjol dengan jelas dan nyata di depan mata Zulham.
Entah karena birahinya sudah terlampiaskan, entah karena sebab sebab lain yang tidak ia ketahui, Zulham tiba tiba merasa heran pada dirinya sendiri.


Tarian Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia bukan hanya tidak lagi terangsang. Ia bahkan tidak merasakan pengaruh apa apa, sekalipun itu hanya perasaan tertarik, pada tontonan yang mempesonakan di altar terkutuk itu.
Yang lebih mengherankan Zulham adalah gadis itu sendiri.
Semenjak Zulham meninggalkan tubuhnya, Rani Pusparini masih tetap rebah tanpa bergerak. Dengan sepasang kelopak mata terpejam dan mulut mengatup rapat. Tidak sekali pun ia melihat ke arah Zulham atau mengutarakan sesuatu sebagai ungkapan hatinya. Selain simbahan keringat, tidak pula tampak emosi apa apa di wajahnya.
Tidak penyesalan, tidak kegembiraan apalagi rona bahagia. Wajah tanpa emosi dan tampak dingin itu seperti memberitahukan pada Zulham bahwa apa yang telah mereka lakukan tidak lebih dari semacam keharusan.
Bukan suatu kebutuhan. Ketika bibir indah yang terus mengatup itu akhirnya terbuka juga, ucapan pertama yang ia keluarkan sungguh menggiriskan perasaan Zulham,
"Terimakasih Dewi Durga". Sebagai pertanda bahwa pemujaan pada sang dewilah yang paling utama, bukan kenikmatan yang ia peroleh dari persetubuhan dengan Zulham!
Merasa disepelekan, kemarahan Zulham pun bangkit.Ia mendekat ke altar, lantas mendengus tak senang,
"Bangunlah sekarang. Kita harus berbicara!"
Tanpa membuka matanya, gadis itu berujar tenang,
"Selamat jalan, Bung Zulham."
Zulham pun membelalak mendengarnya.
"Apa?" "Jangan lupakan benda milik gadismu. Tanpa itu, kau tidak mungkin menyelamatkan rohnya."
"Hei!" "Kau akan mendapatkan petunjuk petunjuk dalam sebuah amplop tertutup yang nanti akan diberikan Bi Esih padamu. Pergilah. Masih ada upacara lain yang harus kujalani."
"Aku tidak sudi angkat kaki sebelum..."
Gadis itu tidak terusik apalagi tergoyahkan.
"Demi hubungan baik kita Bung Zulham. Terutama demi roh dan nyawa orang orang lain yang masih mungkin kita selamatkan. Aku memohon."
Nyawa orang lain. Tak perduli siapa, yang pasti Zulham tiba tiba diingatkan pada seseorang : Tarida!
Zulham menahan diri agar tidak merenggut bangun gadis itu, lantas memutar ke belakang altar. Mengambil kalung dan liontin milik Maria, kemudian dia bergegas keluar dari dalam cottage tanpa sekali pun menoleh kebelakang.
Ia hanya tertegun sejenak, sewaktu di belakangnya ia dengar bisikan lirih Rani Pusparini.
"Waktunya sudah tiba, Maruti."
Zulham tidak tahu apa maksud gadis itu, dan pada siapa katakata itu ditujukan. Ia pun tidak tahu mengapa sebelumnya gadis itu menyebut Maruta lalu kini menyebut Maruti. Timbul sekejap desakan untuk bertanya tetapi hati kecilnya mengingatkan ia hanya akan melakukan kesiasiaan belaka. Kehadirannya tidak lagi dipentingkan oleh si gadis.
Masih ada upacara lain,katanya.
Entah upacara apa pula...
Zulham menggeleng gundah dan berjalan melintasi kebun menuju rumah induk. Menjelang pintu masuk, Zulham tertegun. Ia mendengar bunyi langkah langkah samar mendatangi dari sebelah dalam rumah. Disertai bunyi geraman samar samar. Sebelum Zulham sempat berpikir, makhluk besar hitam setinggi pinggangnya itu sudah muncul di ambang pintu. Mahluk itu menatap ke arahnya dengan sorot mata yang tampak menyala kemerahmerahan. Gigi gigi taringnya berkilat kilat.
Mengancam. Zulham tidak berani bergerak.Mahluk itulah yang lebih dulu bergerak. Disertai geraman pendek, mahluk itu turun dari pintu. Turun dengan tenang, bukan melompat untuk menerkam seakan kehadiran Zulham tidak dianggapnya sama sekali,mahluk itu terus saja lewat menuju pintu cottage yang ditinggalkan Zulham dalam keadaan tetap terbuka.
Ketika Zulham berpaling dengan segan, sang mahluk sudah lenyap di dalam cottage.
Zulham sempat melihat bayangkan sosok tubuh Rani Pusparini, hanya sekilas, ketika gadis itu menutup pintu.
Sebuah upacara lain. Kali ini bersama Rudi. Upacara apa, kiranya? "Biarkan saja mereka, Tuan Zulham."
Zulham kembali berpaling, tersentak. Ternyata Esih sudah tegak di tempat dari mana tadi mahluk itu muncul dengan sebuah amplop besar dan tebal di tangannya.
"Non Rani telah berpesan agar saya menyerahkan ini pada Tuan, jika sudah waktunya Tuan pulang.." desah Esih dengan mata setengah terpicing mengawasi penampilan Zulham.
Zulham menerima amplop besar yang disodorkan pelayan itu, sambil diam diam merasa malu karena menyadari arti pandangan mata Esih. Zulham tahu betul,penampilannya tidak lagi serapih ketika mula mula ia memasuki cottage. Dan usianya sudah cukup untuk memahami apa yang telah terjadi selama Zulham berduaan dengan Rani Pusparini di dalam cottage. Terbukti dari sikap dan suara Esih mendadak terdengar dingin. Tidak lagi seramah dan sehangat tadi
"Mari saya antar ke depan, Tuan."
Esih mengantar Zulham sampai ke teras depan. Tanpa menunggu sampai Zulham masuk ke dalam mobil, dengan segera ia sudah masuk lagi ke dalam rumah dan menutup pintu sekaligus. Perubahan sikap dan tindakan pelayan itu buat Zulham hanya mempunyai sebuah makna. Sikap dan tindakan Esih itu dimaksudkan sebagai pengganti sebuah kalimat yang tak sudi ia utarakan secara lisan.
"Aku telah keliru menilai dirimu!"
Zulham bertambah malu. Sambil memacu mobilnya menuju pintu gerbang, Zulham lantas membathin;
"Aku sudah mulai dihukum...untuk dosa dosa yang telah kulakukan di dalam sana!"
Dan di dalam sana Esih sudah berada diruang tengah.Dengan tangan gemetar ia mengusap foto besar Tenny Puspasari yang dilingkari bunga rampai. Kepada foto itu Esih berbisik lelah dan getir,
"Katakanlah Tenny.Upaya apa lagi yang harus kulakukan untuk menebus dosa dosaku di masa silam?"
Esih kemudian jatuh berlutut.
Dengan air mata berlinang.
Putus asa. *** Di balik pintu cottage, Rani Pusparini juga tengah berlutut di lantai. Gadis itu sudah mengenakan gaun hitamnya namun membiarkan gaun itu dalam keadaan tidak terkancing. Jari jemarinya mengusap wajah sang mahluk dengan lembut.
"Kau tahu bukan, resiko apa yang akan menimpa dirimu?" bisiknya dengan getaran kasih sayang.
Mahluk hitam itu mendengking lemah.Rani Pusparini tersenyum menghibur.
"Kuharap Rudi,Reinkarnasimu di masa datang, lebih baik dari wujutmu sekarang..."
Dengkingan Rudi lebih kuat.
Lebih bersemangat. Rani Pusparini merangkul anjing besar itu kuat kuat,menciumi moncongnya, lantas berbisik lirih di telinganya yang tegak untuk mendengarkan.
"Selamat berpisah Rudi. Bantulah aku melalui rohmu."
Rani Pusparini kemudian bangkit dan merebahkan diri di altar dengan paha mulusnya yang putih padat dan dibercaki darah perawannya akibat persetubuhan dengan Zulham. Ia kembangkan terbuka selebar lebarnya. Kelopak matanya dipejam rapat lalu bibirnya menggumamkan sebuah permohonan bernada ritual.
"Dengarkanlah aku Maruti, Menyatulah dengan Maruta di dalam rahimku yang suci."
Seakan menerima perintah gaib, anjing besar di dekat pintu melangkah mendekati altar. Sepasang matanya menyala semakin memerah, semerah darah. Darah yang membercak di bagian dalam paha serta selangkangan Rani Pusparini. Darah yang kemudian dijilati Rudi perlahan lahan dengan gerakan lidah yang lembut,membelai lunak.Setelah bercak darah itu tidak lagi bersisa, Rudi menggeram pelan seranya menaikkan kaki depanya yang kuat kokoh ke atas altar, menempatkannya di kiri kanan pinggang Rani Pusparini. Raganya yang bawah kemudian ia rapatkan ke raga si gadis disertai gerakan panjang pendek pertanda birahinya sudah siap untuk meledak.Bibir Rani Pusparini kumat kamit lebih cepat.
"Lengkapilah wujutmu berdua Maruta Maruti. Oh dewi Durga atas kehindakmu. Jadikanlah!"
Mantera itu diucapkan si gadis berulang ulang menyertai gerakan maju mundur raga Rudi, sampai akhirnya suatu saat mahluk hitam itu melengkungkan tubuhnya dengan keras dalam suatu getaran hebat, disusul oleh suara lolongan panjang mendayu dayu.Setelah lolongan makhluk itu melemah berhenti kemudian berhenti terputus barulah Rani Pusparini berhenti komat kamit. Kelopak matanya dibuka, memperhatikan. Tubuh anjing hitam besar itu sudah terkulai tanpa bergerak. Dari perut sampai kepala jatuh di bawah tubuh Rani Pusparini dan sisanya setengah tertekuk dilantai.Perlahan lahan Rani Pusparini bangkit dari rebahnya.
Tubuhnya di tarik mundur menjauhi tubuh sang makhluk. Seranya merapikan dan mengancingkan gaunnya,ia kemudian menyandar pada sosok berhala untuk mengatur napas, kemudian duduk bersila.
Menunggu. Tubuh hitam besar itu tetap saja tidak memperlihatkan gerakan apa apa. Sepasang matanya yang terbuka pun tampak hampa, tanpa sinar kehidupan.
Mahluk itu jelas sudah mati.
Gemetar, Rani Pusparini membungkuk ke depan.Bangkai mahluk itu diseretnya sekuat tenaga sampai naik seluruhnya ke atas altar, lalu di dekapkan ke tubuhnya sendiri. Dengan mendekapkan kepala Rudi kedadanya, Rani pusparini pelan pelan meliuk liukkan tubuh dengan gerakan memutar secara ritmis sambil kepala ditengadahkan ke langit langit, perlahan lahan pula ia mulai bersenandung.
Senandung tanpa kata. Ia terus saja bersenandung sampai semua lilin di dalam cottage itu kemudian padam dengan sendirinya. Ruangan dalam cottage seketika berubah gelap gulita. Senandung Pusparini terdengar melemah, semakin lemah, dan akhirnya berubah menjadi tangis.
Tangisan dukacita. [] *** EMPAT Tarida membuka kelopak matanya perlahan lahan karena tidak melihat apa apa kecuali kegelapan yang menghitam pekat. Kelopak mata ia kerjap kerjapkan.Lalu gerakan kelopak matanya ia hentikan.
Ia memandang nyalang di sekitarnya.
Sama saja gelap gulita. Tangannya lantas meraba raba, lantas mengetahui bahwa ia rebah di tempat tidur besar dan empuk, hangat,pasti ia tidak sedang berbaring di kamar kostnya karena tempat tidurnya di sana adalah sebuah ranjang kecil dan sederhana. Juga bukan di kamar tidur yang ia tempati di rumah Maria karena tangannya sempat meraba kepala tempat tidur yang terbuat dari besi ukir,bukan kayu jati.
Tarida mengeliat bangun. Sekujur tubuhnya terasa lemas, dan kepalanya sedikit pening. Ia terpaksa harus merebahkan diri kembali sambil berpikir pikir dimana kiranya ia berada, mengapa suasana di sekitarnya selain gelap gulita juga hening. Teramat hening sebab yang terdengar oleh telinga Tarida hanyalah desahan nafasnya sendiri. Setelah mencubit pahanya keras keras dan yakin ia tidak sedang bermimpi. Tarida berkonsentrasi untuk menyingkirkan pikiran yang kacau balau dan perasaan cemas yang diam diam mulai mengerogoti.
Ia peras daya ingatannya, kemudian dirangkai dari awal. Terbayang di pelupuk matanya sosok seorang laki laki berpenampilan rapi dan sopan yang datang bertamu dengan cerita mengejutkan tentang Maria.
Tarida dan Asep terbujuk untuk meninggalkan rumah Maria bersama laki laki yang mengaku dokter itu. Dan dengan cara yang lihai telah mengelabui Asep agar keluar dari mobil sehingga hanya tinggal Tarida soorang yang ada di dalam mobil bersama tamu tidak dikenal itu. Teringat pula Tarida bagaimana ia dibuat terkejut oleh apa yang kemudian terjadi selagi Asep berlari lari masuk kembali ke rumah untuk mengambil pakaian Maria. Telinga Tarida menangkap bunyi dengingan halus,lalu sesuatu tampak muncul dari sandaran tempat duduk depan mobil. Lembaran kaca yang naik dengan cepat ke lelangit mobil dan seketika memisahkan kabin depan dengan kabin belakang. Bersamaan dengan itu tercium bau tajam yang menyengat hidung di kabin belakang. Mobil pun dijalankan perlahan lahan keluar dari pintu gerbang, membelok memasuki jalan raya.
Saat itulah Tarida baru menaruh curiga.
"Hei, apa...!" Kecurigaan yang sayangnya sudah terlambat. Ia tiba tiba merasa pusing, perut mual, dan pandangan matanya mulai nanar. Sadar bahwa dirinya diculik, Tarida bergerak ke depan pintu mobil untuk membukanya dan melompat ke luar selagi mobil itu masih dalam kecepatan lambat. Tetapi pintu mobil di sebelah kirinya terkunci tak dapat ia buka. Begitu pula pintu sebelah kanan yang ketika ditinggalkan oleh Asep, ia yakin tidak dalam keadaan terkunci.
Tarida pun panik setelah menyadari mobil kecil dan sederhana itu ternyata dilengkapi peralatan canggih yang serba elektris.Usaha terakhir yang dapat dilakukan Tarida adalah memukuli kaca jendela di sampingnya sambil berteriak teriak minta tolong.
Malang, tangan bahkan sekujur tubuhnya sudah keburu lemas. Suara yang keluar dari mulut Tarida pun tidak lebih dari sebuah erangan lemah.
Ia lantas tak sadarkan diri.
Satu hal yang terpikirkan olehnya sebelum jatuh pingsan adalah bahwa ia telah dibius.Agaknya Tarida pingsan dalam posisi duduk menyandar di jok belakang dengan kepala miring ke salah satu jendela belakang mobil. Karena sewaktu pengaruh obat bius itu mulai menghilang dan Tarida pelan pelan membuka kelopak mata, samar samar terlihat olehnya sebuah rumah besar dan megah. Mobil kecil itu membelok ke halaman yang luas di depan rumah mentereng tersebut, dan langsung menuju sebuah garasi pintunya menganga terbuka.
Di garasi besar itu, terlihat adanya sebuah mobil mewah. Dengan kelopak mata sengaja ia buat setengah terpicing. Tarida mengawasi sosok tubuh seorang laki laki perlente yang berdiri menunggu di samping mobil mewah itu. Tarida segera mengenali kepala botak yang khas dari laki laki itu.Sumadi, si pengacara!
Tarida nyaris melonjak kegirangan, jika tidak keburu ingat bahwa ia telah diculik. Sumadi terlihat, dan bukan mustahil justru si pengacara itulah dalangnya. Ketika mobil kecil yang membawanya berhenti di samping mobil mewah di dalam garasi. Tarida berusaha menguasai perasaan pening untuk memikirkan jalan meloloskan diri. Dengan berpura pura tetap pingsan, diam diam ia mendengarkan saat mesin mobil yang membawanya dimatikan.
Pintu bagian depan dibuka, dan penculiknya tentulah sedang melangkah ke luar tanpa adanya suara yang menandakan pintu itu telah ditutup kembali. Berarti, sistim elektris di mobil itu tidak lagi dioperasikan.Tarida mendengar pembicaraan pelan dan samar samar. Ia tidak tahu apa yang dibicarakan, dan ia pun tidak perduli. Inilah saatnya untuk kabur mumpung ada kesempatan. Diam diam Tarida menaikkan tombol kunci pintu mobil di sampingnya, lalu membuka pintu itu dengan hatihati. Sambil berdo'a semoga ia cukup kuat untuk berlari melintasi halaman yang luas tadi,paling sedikit ia akan berteriak teriak minta tolong dan berharap ada yang melihat dan mendengar suaranya.
Tarida yang malang. Ia kurang memperhitungkan pengaruh obat bius di tubuhnya sehingga ketika ia meloncat ke luar dari pintu mobil, ia sedemikian pening dan lemah. Tak pelak lagi ia malah jatuh terhuyung. Seseorang tahu tahu sudah menangkap tubuhnya dan lamat lamat ia mendengar suara Sumadi menggeramkan perintah,
"Pindahkan ia ke mobilku. Cepat!"
Tarida berusaha meronta. Rontaan lemah. Ia pun coba menjerit tetapi mulutnya di sekap. Dan ketika ia sudah dipindahkan ke mobil satunya lagi, sesuatu yang lain agaknya telah pula disekapkan ke mulut dan hidungnya. Saputangan dengan bau sengit yang sama.
Obat pembius. Tarida pun jatuh pingsan untuk kedua kalinya.
Dan di sinilah dia sekarang.Di sebuah tempat yang asing baginya. Sebuah ruangan yang gelap gulita, sendirian, dengan kesunyian yang terasa begitu menekan.
*** Tarida menarik nafas panjang, lantas menggeliat bangun.Perasaan pusing di kepalanya sudah hilang, namun sekujur tubuhnya masih terasa lemas. Ia duduk sejenak di tempat tidur, memulihkan kondisi pisik sebisa bisanya sambil otaknya terus bekerja.Ia telah diculik, itulah kenyataannya.Pertanyaan pertama adalah menngapa dan untuk apa?
Uang? Motivasi itu ia singkirkan jauh jauh. Keluarganya di Solo bukanlah orang kaya dan ia sendiri masih kuliah.
Sentimen pribadi juga bukan.
Tarida merasa tidak punya musuh. Atau pun jika di luar sepengetahuannya ada orang yang benci kepadanya, maka menculik Tarida sungguh terdengar berlebih lebihan.
Seks? Itu kedengarannya lebih masuk akal.
Dan itu membuatnya bergidik seram. Ngeri memikirkan ia akan dijadikan pemuas nafsu bejat seseorang.
Entah Sumadi, entah siapa.
Lebih ngeri lagi memikirkan kemungkinan setelahnya. Tarida sempat mengenali Sumadi di garasi rumah besar dan megah itu, dan apa yang diketahui Tarida harus ditutup rapat rapat dengan cara menghabisi nyawa Tarida!
Seraya mengawasi kegelapan di sekitarnya dengan wajah pucat dan sekujur tubuh terasa dingin membeku karena takut, Tarida memcoba menghibur diri sendiri.Asep dan isterinya Sumirah pastilah kebingungan karena Tarida tahu tahu menghilang, bersama tamu misterius yang mengaku dokter itu.
Semoga saja Asep menaruh curiga lantas memberitahu seseorang.
Entah Zulham (di mana dan sedang apa Zulham sekarang?) atau entah siapa saja, polisi kemudian dipelopori, yang kemudian akan...
Akan apa? Misalkan mereka tahu Tarida diculik.
Setelahnya? Jangankan Asep, Tarida pun tidak tahu siapa dan dimana alamat lakilaki yang mengaku telah menemukan dan merawat Maria yang terluka parah, di rumahnya.Mungkin saja Asep mengenali jenis plat nomor mobil?
Jika pun ia sempat dan masih ingat, belum tentu plat nomor itu asli.
Besar kemungkinan, palsu.
Lebih celaka lagi, Tarida telah dipindahkan ke mobil lain untuk dibawa lagi berkeliling, entah ke mana!
Berpikir sampai di situ, Tarida bertambah ketakutan.Tubuhnya semakin dingin, malah pelan pelan mulai menggigil. Sesuatu pun terasa mendesak minta dikeluarkan.
Yang tanpa sadar, terlontar sendiri dari mulut Tarida,
"Aku ingin kencing!"
Ia terkejut mendengar suaranya sendiri yang seketika memecah kesunyian di sekitarnya. Lebih terkejut lagi ketika tanpa suara, ia melihat sesuatu bergerak dan perlahan tetapi pasti muncul sinar terang dari salah satu bagian ruangan. Ternyata yang bergerak itu adalah sebuah pintu. Pintu yang membuka sendiri, ada penerangan di dalam, dan Tarida melihat sebuah kamar mandi di balik pintu yang menganga terbuka itu.
Bagaimana pintu itu bisa membuka sendiri?
Ataukah seseorang telah membukanya, dan orang itu dari tadi berembunyi di dalamnya?
Tarida menelan ludah. Takut takut, ia bertanya,
"Siapa di situ?"
Tak ada sahutan. Juga tidak terdengar suara atau terlihat gerakan maupun bayangan seseorang di dalam kamar mandi. Tarida memberanikan diri turun dari tempat tidur. Selagi turun ekor matanya diam diam mencuri alat ke sekitar ruangan yang dengan sendirinya memperlihatkan bentuk ketika pintu kamar mandi terbuka dan cahaya lampu menerobos ke luar.Tarida berjalan ragu ragu menuju ke kamar mandi sambil memastikan beberapa hal yang dilihatnya sekilas sekilas. Bahwa ia ada di sebuah kamar tidur yang dilengkapi dengan lemari dan seperangkat kursi meja.Bahwa di sebelah kanannya tampak dinding yang keseluruhan terbuat dari kaca serta tidak terlihat apa apa di luar dinding kecuali kegelapan yang menghitam pekat. Sesaat sebelum melangkahkan kaki memasuki kamar mandi, Tarida juga sempat menangkap bayangan samar samar sebuah pintu lain di sisi tembok sebelah kiri tempat tidurnya, pintu ke luar masuk ruangan, itu sudah pasti!
Tidak ada siapa siapa di dalam kamar mandi.Tadi jelas pintu itu telah membuka sendiri. Seseorang telah mendengar keinginannya untuk buang air kecil,lalu orang itu lantas membuka pintu kamar mandi dengan bantuan peralatan elektronik di luar ruangan tempat Tarida disekap.
Berati pula, apapun yang diucapkan Tarida di kamarnya dan bukan mustahil apa pun yang ia lakukan akan didengar dan diketahui orang itu. Mungkin ia Sumadi sendiri, mungkin pula orang suruhannya.Tarida menutup pintu kamar mandi. Sempat mengagumi suasana kamar mandi yang mewah dan lengkap dengan semua keperluan yang dibutuhkan. Tarida lebih dulu meneliti sekitar. Mencari cari barangkali saja ada lensa kamera yang sering ia lihat di pasar swalayan. Tetapi Tarida tidak menemukan apa yang ia cari,kalau pun ada lensa kamera, tentunya telah disembunyikan dengan rapi sekali. Barangkali kaca cermin dengan bingkainya yang indah, siapa tahu adalah kaca tembus pandang dua arah dengan pandangan dari dalam kamar mandi adalah pandangan satu arah sebagaimana lazimnya sebelah cermin.
Tarida sering melihat hal hal semacam itu dalam sebuah film atau membacanya dalam cerita cerita fiksi.
Tarida mendekat ke cermin itu.
Mengawasi rambutnya yang kusut masai dan wajahnya yang tampak kuyu dan pucat. Seraya membenahi rambutnya, Tarida bersungut sungut sendirian,
"Silahkan mengintip dan terkutuklah kau!"
Lalu ia melangkah ke kloset, dan kencing dengan posisi terbalik. Menghadap ke tembok kamar mandi. Selagi kencing itu, tanpa sengaja terlihat arloji di lengannya,iseng iseng ia meneliti.
Pukul sembilan lewat tujuh menit.
Malam atau pagi? Ia diculik menjelang maghrib, dibius dan tentunya telah tidur berjam jam lamanya.Dan sebagai seorang muslimat yang taat, hal pertama yang diingat Tarida adalah ia telah ditinggalkan waktu lohor, asyar, lantas magrib. Jika sekarang sudah malamhari.
Ditambah shubuh, jika sudah pagi, yang agaknya mustahil ia telah tidur selama itu.Ia yakinkan diri tentunya sekarang adalah malam hari.Namun toh sama saja, ia telah melewatkan dua waktu sholat. Itu membuatnya sedih dan merasa bersalah meskipun ia tahu kesalahan itu di luar kehendaknya. Ia akan menunaikan sholat magrib dijamak dengan isya,kemudian memohon ampunan Tuhan untuk dua waktu yang telah ia tinggalkan. Ia juga akan memohon perlindungannya atas nasib yang menimpa diri.Tetapi Tarida perlu sarana untuk sholat.
Hem.. mudah mudahan saja disekap ada telekung dan sajadah tersedia di kamar tempatnya disekap. Jika tidak ada, ia akan meminta pada penjaga di luar pintu kamar untuk mengambilkannya. Kalau permintaannya tidak pula dikabulkan, ia akap sholat di tempat tidur atau di lantai. Dan mempergunakan kain apa saja yang tersedia selama kain itu dapat di pakai sebagai pengganti telekung.Tarida selesai buang air kecil.Ia bersihkan auratnya dengan air dari kran di dekat closet. Air mengucur deras, bening dan rasanya sejuk sekali. Tarida memutuskan untuk sekalian berwudhu disitu saja, ia lalu mempersiapkan diri.
Berniat, membaca ta'awudz lalu Basmallah, dan...
Air sekonyong konyong berhenti menguncur!
Tarida terheran heran. Ia putar kran di depannya,membuka lebih besar.
Sama saja. Tak ada air yang keluar walau hanya tetesan sisa.
Ia berpindah ke kranbak mandi.
Baik kran penyedia air dingin mau pun kran untuk air panas pun sama saja tidak meneteskan air. Demikian pula halnya setelah Tarida membuka lebar lebar kran untuk shower.
Tarida tertegak, bingung.
Hal pertama yang teringat olehnya adalah kebiasaan menjengkelkan yang sering ia alami di rumah tempatnya kost, giliran air mati.
Dikamar mandi semewah ini?
Disebuah rumah atau gedung yang yang pasti mewah pula, mana mungkin mereka tidak punya sarana atau persediaan sumber air sendiri?
Tarida memandang ke sekitarnya dan berhenti searah cermin. Ia melihat wajahnya yang pucat menahan marah. Tarida tidak sudi beramah tamah dengan para penculiknya. Namun toh pertanyaan yang keluar dari mulut Tarida masih terdengar cukup sopan meski disertai kesal:
"Mengapa air kalian hentikan?"
Sepi. Tak ada suara. Tak ada reaksi. Tarida bertambah kesal. "Aku perlu air untuk berwudhu, kalian dengarkan? Atau kalian memang tidak pernah bisa menghormati orang lain yang hendak menunaikan ibadah agamanya?!"
Masih tetap sepi. Masih tetap tidak ada reaksi.
Atau barangkali memang tidak ada orang yang mengintip,tidak pula mendengarkan?
Dan di tempat ini memang berlaku pula sistim pembagian air?
Sewaktu Tarida kebingungan itulah, tiba tiba terdengar suara untuk pertama kalinya.
Bukan suara seseorang. Melainkan suara pelan dan halus berasal dari kran di samping closet. Tarida menoleh berharap itu suara akan munculnya air kembali. Tetapi apa yang ia lihat sungguh mengejutkan membuat tarida tidak mempercayai pandangan matanya sendiri.Kran itu bergerak Memutar pelan ke posisi menutup.Suara suara yang sama kemudian menyusul. Sewaktu Tarida memutar tubuh, tampaklah kran lainnya yang tadi ia putar membuka, kini sama bergerak menutup tanpa ada yang menyentuh. Belum pernah Tarida mendengar, melihat, membaca bahwa ada kran air yang bisa beroperasi secara otomatis dengan bantuan elektris.Ketakutan pun mulia menghinggapi Tarida. Ia mundur dengan tubuh gemetar ke arah pintu kamar mandi sambil matanya tak lepas mengawasi kran kran air yang terus saja memutar kini ke arah semula.
Membuka, menutup lagi, membuka... sampai akhirnya Tarida menginjakkan kakinya di luar pintu.
Dan pemandangan mengejutkan itu tak terlihat lagi. Karena lampu dikamar mandi mendadak sudah padam pula.Gelap gulita seketika di sekitarnya.
Tarida menahan nafas. Kemudian terpekik kaget sewaktu pintu kamar mandi di depan batang hidungnya menutup dengan hempasan keras. Begitu kerasnya sehingga telinga Tarida sedetik terasa pekak dan lantai yang diinjaknya terasa bergetar.Tanpa berpikir panjang lagi Tarida menghambur ketempat tidur. Karena gelap ia tidak tahu jalan. Menjeritlah Tarida sewaktu kakinya melanggar kursi dan ia terhuyung jatuh ke depan. Untungnya bagian atas tubuh Tarida justru jatuh di tempat tidur. Seketika itu juga ia merayap naik, rebah dengan sekujur tubuh bergemetaran. Ia tarik selimut menutupi tubuhnya dan hanya menyisakan sebatas hidung ke atas.Masih ketakutan Tarida memandang jelalatan ke sekitar ruangan. Ia hanya melihat kegelapan yang menghitam pekat.Dan merasakan kehingan telah kembali. Hening yang teramat sangat menekan sampai dada Tarida sesak dan ia merasa susah bernafas. Lalu suara suara itupun muncul perlahan lahan. Mulanya sayupsayup saja,tetapi makin lama makin jelas terdengar semakin dekat.
Langkah langkah kaki. Tarida melipat tubuhnya di bawah selimut.Langkah langkah kaki itu menghilang diganti oleh desah desah nafas berat, rengekan bayi yang terputus putus, lalu tiba tiba jeritan lengking perempuan. Jeritan itu semakin sengsara, lalu berubah menjadi lolongan panjang yang menciutkan jantung.Saking tidak tahan, Tarida melemparkan selimut. Melompat turun dari tempat tidur dan berlari ke arahpintu yang tadi sempat ia lihat. Kali ini selamat, tidak menabrak sesuatu dan lomapatan lompatan panjang kakinya memang mengarah langsung ke pintu yang ia cari.
Ia coba membuka pintu, namun terkunci.
Jelas dari luar. Sementara di dalam ruangan yang ia tempati, suara suara menakutkan itu semakin keras bahkan satu sama lain saling mengatasi. Langkah kaki hilir mudik, rengekan terputus seorang bayi, lolongan sengsara seorang perempuan, kini ditambah pula oleh tawa meringkik yang sangat dekat dengan telinga Tarida.Tak ayal lagi Tarida menggedori pintu. Seraya berteriak teriak panik.
"Keluarkan aku dari sini! Tolonglah...Siapa pun di luar sana bukalah pintu! Tolooong...!"
Sia sia saja. Pintu tetap saja terkunci dan tak ada orang yang datang menolongnya. Sementara suara suara mengerikan di dalam kegelapan kamarnya semakin menggila saja. Lelah memukuli dan menendangi pintu, tubuh Tarida kemudian meluncur ke lantai. Jatuh berlutut dengan telapak tangan menutupi kedua telinga. Dan mulut menjeritkan permohonan setengah menangis.
"Hentikan, Hentikan semua ini!"
Dan suara suara mengerikan itu lenyap seketika.Suasana sekitarnya kembali seperti semula.
Tetap gulita. Dengan kesunyian yang terasa lebih menyiksa.
Tarida terduduk di lantai.
Lemas. Kedua lengan ia lepaskan dari telinga, lalu jatuh terkulai di sisi tubuh Tarida. Ia terisak isak menyedihkan. Perasaannya begitu sakit karena sadar ia tengah dipermainkan. Apapun tujuan Sumadi beserta komplotannya untuk menculik dirinya, jelas lebih dulu mereka ingin bersenang senang.Dengan mempermalukan Tarida sekaligus meruntuhkan daya tahan pisik dan mentalnya secara perlahan lahan.
Tarida berhenti mengisak.
Ia kuatkan dirinya dan membulatkan tekad untuk tidak menyerah.
Ia tahu kini, ada komunikasi ke dalam dan keluar kamar tempatnya disekap. Ada pendengar dan ada speaker yang tersembunyi entah mana yang mengeluarkan suarasuara ke dalam kamarnya. Tarida juga yakin apa yang ia dengar tadi, tak lebih dari sebuah rekaman.Tarida juga yakin, mereka di luar sana tengah menertawakan dirinya dan barangkali juga tengah mempersiapkan permainan lain. Dan pasti mereka memiliki peralatan serba canggih. Termasuk untuk menutup dan membuka kran air di kamar mandi secara otomatis.Tarida inginnya rebah kembali di tempat tidur.
Tetapi lututnya masih gemetar.
Persendiaannya terasa kaku.
Ia lalu menyandar di pintu.
Mengatur nafas, mengumpulkan tenaga. Kemudian ia pun teringat untuk berdo'a:
"Ya Allah, tolonglah. Tanpa engkau, tiada aku berdaya."
Belum habis ia berdo'a, Tarida sudah menjerit lagi seraya memejamkan kelopak matanya. Sinar menyilaukan muncul entah dari mana, tak ubahnya sorot lampu dengan kekuatan beribu ribu watt. Ia juga merasakan tubuhnya gerah, kemudian panas sampai banjir keringat.Tarida pun mengeluh,
"Apa pula, ini?"
Sebagai jawaban atas keluhan Tarida, hawa panas menggerahkan itu tiba tiba saja berhenti. Digantikan oleh hawa dingin sejuk, menusuk. Tarida membuka kelopak matanya, takut takut, dan menyadari sekelilingnya kembali sudah gelap gulita. Apakah sinar menyilaukan tadi itu hanya halusinasi belaka?
Tetapi merasa begitu nyata.
Seperti halnya kini ia merasakan hawa sejuk menusuk. Peluhnya sampai seakan membeku menjadi es, dan tubuhnya menggigit keras.
"Oh.. jangan lagi." tanpa bisa ditahan,
Tarida mengisak kembali. "Kumohon...!" Hawa dingin itu pelan pelan menghilang.Tubuh Tarida pelan pelan pula terasa hangat dan udara di sekitarnya tercium segar menyenangkan. Tercium pula semerbaknya wangi bunga bunga yang secara ajaib memulihkan kekuatan pisik
Tarida walau belum seluruhnya.
Namun setidak tidaknya Tarida dapat bernafas dengan leluasa, mampu pula menggerak gerakkan tangan dan kakinya untuk mengendorkan otot ototnya yang kejang.Menyertai harum semerbak bunga bunga itu, terdengarlah suara lembut menyapa.
"Merasa lebih nyaman sekarang. Anakku?"
Tarida tertegun. Menahan nafas. Itu adalah komunikasi pertama dengan para penculiknya. Yang aneh, suara itu seperti datang dari tempat yang sangat jauh namun terdengar begitu jelas dan nyata. Itu bukan pula suara Sumadi karena selain amat lembut, suara orang itu pun terdengar kharismatik.Tergerak hati Tarida untuk melunakkan sikap. Lantas bertanya:
"Siapa... Anda?"
Pertanyaan Tarida tidak ditanggapi. Tetap lembut setengah membujuk. Suara itu berkata lagi.
"Supaya lebih enak, keluarlah dari kamarmu. Kau perlu hiburan."
Tarida membelalak tidak percaya.
[] *** LIMA Kecuali menyangkut kematian orang yang dikasihi, Zulham tidak suka berlarut larut dalam perasaan.
Roda kehidupan terus berjalan.
Zulham tidak mau tertinggal apalagi sampai tergilas, jika masih ada sesuatu upaya yang dapat dilakukan. Dan sudah merupakan adat Zulham, bila ia ingin mengerjakan sesuatu maka Zulham tidak suka menunda nunda.Tidak berapa lama setelah meninggalkan rumah Rani Pusparini, Zulham sudah duduk di pojok salah satu rumah makan menjelang pintu masuk jalan toll Ciawi.Ia pesan segelas kopi beserta snack lalu melepas benang pengikat tutup amplop besar pemberian Esih atas perintah majikannya. Di dalamnya ada sepucuk surat yang di tulis tangan oleh Rani Pusparini, sebuah amplop lebih kecil yang menggembung berisi seikat uang kertas yang masih dilengkapi label bank yang mengeluarkannya. Tercetak pula di label angka penunjuk satu juta rupiah.Dahi Zulham berkerut melihat uang itu. Untuk sepersekian detik lamanya Zulham merasa dirinya menjadi seorang gigolo, pemuas nafsu sex kaum wanita yang bersedia membayar mahal. Dan itu membuat Zulham merasa terhina.Tetapi kemudian teringat olehnya bahwa ikatan uang itu seperti ia kenal. Zulham juga tidak percaya bahwa Rina Pusparini bermaksud merendahkan harkatnya.Uang itu cepat cepat dimasukkan lagi ke amplop, lalu ia alihkan pikirannya pada dua buah dokumen tebal yang terjilid rapi. Satu atas nama yayasan Tridharma yang seketika mengingatkan Zulham pada Maria. Satunya lagi dibuat oleh sebuah kantor pengacara terkemuka atas nama Tenny Puspasari.Diperlukan tempo tidak sedikit untuk menelaah isi kedua dokumen. Jadi Zulham pun mendahulukan surat Rani Pusparini. Tulisan tangannya indah dan rapi, dengan bahasa yang enak dibaca. Gadis itu mendahului dengan pembukaan berupa sebuah perkataan pendek, Salam.
Tidak ada basa basi pemanis tetapi Rani Pusparini langsung kemasalah masalah. Pertanda gadis itu mempunyai persamaan sifat dengan Zulham, tidak suka berteletele.Bung Zulham, Rani Pusparini memulai isi suratnya.
Tundalah dulu menelaah isi dua dokumen terlampir. Dokumen dokumen itu tidak penting buatmu, kecuali sebagai bukti bahwa kita tidak bersilang jalan.
"Hem!" Zulham membatin seraya menyeringai.
"Halus juga caranya menyatakan bahwa ia tahu aku menaruh curiga atas dirinya.
Bung Zulham. Aku berharap kita sependirian mengenai apa yang terjadi hari ini. Yakni, tidak ada dorongan emosional bernama cinta dalam hubungan kita berdua. Bahkan puntidak, ketika pada akhirnya kita menyatu raga. Kita melakukannya sematamata atas kehendak Yang Maha Pencipta.
Tanpa sadar Zulham mengerang tak setuju. Itu namanya mengkambing hitamkan Tuhan. Zulham berpendapat manusialah yang berkehendak, Tuhan hanya menjadikan.
Itulah yang sudah terjadi. Zulham menuruti kehendak sesuatu yang diam diam bercokol dalam diri setiap manusia, menunggu saat manusia itu lengah atau tidak mampu mengendalikan diri. Saat mana sesuatu itu serempak keluar untuk mengambil alih kekuasaan.
Dan Zulham telah terkuasai, kemudian terbujuk menuruti kehendaknya. Kehendak setan!
Lalu setan apa pula kiranya yang telah mendorong Rani Pusparini untuk menyerahkan keperawanannya pada seorang lakilaki yang hanya ia kenal sepintas lalu?
Seingat Zulham, gadis itu hanya tahu nama dan sosok orangnya. Rani Pusparini belum atau mungkin tidak akan pernah bertanya, apa dan siapa sesungguhnya Zulham. Lebih mengherankan lagi, setan apa yang telah membantu Rani Pusparini menulis sepucuk surat yang kini ada di tangan Zulham. Surat yang jelas dan nyata telah lebih dulu dipersiapkan, dan Rani Pusparini sepenuhnya yakin bahwa Zulham akan datang menemuinya, kemudian bersedia memenuhi ajakannya untuk melakukan persetubuhan. Padahal tidak ada komunikasi sebelumnya di antara mereka berdua!
Janganlah merepotkan dirimu dengan memikirkan bagaimana aku tahu mengenai semua itu.
Bung Zulham. Tulis Rani Pusparini pada Zulham seakan tidak sedang membaca surat si gadis, penulisnya seolah olah duduk di depannya dan menyelami jalan pikiran Zulham.
Bukan main,pikir Zulham. Takjub. Buanglah pula niat untuk mempertanggung jawabkan apa
yang sudah kita perbuat! "Ah!" Zulham lagi lagi terjengah.
Aku merasa pasti niat itu ada dalam hatimu. Karena aku tahu kau seorang lakilaki yang baik .
Akan tetapi, Bung Zulham.
Kiranya kau yang perlu kuberi tahu bahwa kenangan manis yang berlangsung di atas altar pemujaanku itu aku lakukan dengan sukarela, Kau boleh saja menganggap telah merenggut keperawananku. Namun, sesungguhnya, itu kupersembahkan bukan untukmu, melainkan untuk Dewi Durga.Zulham terpaksa harus menyicipi kopinya sebentar seraya mengamati suasana sekitar. Sematamata untuk menyakinkan diri bahwa ia ada di sebuah restoran, bukan di sebuah kuil tua yang sunyi menyeramkan. Dikunyahnya sepotong dua snack, kemudian meneruskan bacaanya.
Dewi Durgalah penunjuk jalanku, Bung Zulham. Terutama ketika aku berkenalan ke Amerika.
Suatu ketika di San Fransisco, aku hilang pegangan, terjerumus dalam puncak keputus asaan... dan nyaris bunuh diri.


Tarian Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi Dewi Durga telah bermurah hati mengirimkan seseorang untuk mencegah niatku yang kekanak kanakan itu. Ia membawaku ketempatnya, dibimbing dengan ajaran Hare Krishna yang digabung dengan ajaran Guru Maharaj Ji.
Jiwaku pun hidup kembali.
Jiwa yang sudah sempat kuanggap mati tercabik cabik oleh hinaan yang tidak tertanggungkan.Sebagai imbalan dari pertolongannya, Bung Zulham.
kuberserah diri padanya. Apapun kehendaknya akan kulakukan,karena raga dan jiwaku adalah miliknya. Maka ketika aku dikenai larangan untuk menikah, maka aku pun patuh.Apalagi setelah Dewi Durga memberitahu bahwa keperawananku dibutuhkan untuk sebuah tujuan yang mulia di kemudian hari.
Hari itu telah datang. Bung Zulham. Hari yang mengantarkan dirimu ke altar pemujaanku, membawa serta roh suci dari Maruta diiringkan oleh abdinya yang setia, Maruti.
Dan siapa nyana tujuan yang mulia itu ternyata menyangkut kepentinganku dan saudara kembarku, Tenny Puspasari.
Tetapi yang pasti, hari itu telah datang.Hari untuk menghentikan si penghujat iblis!
Seketika terbayang di pelupuk mata Zulham, tampang memuakkan seorang lakilaki setengah umur dengan suara dan gaya yang kontras lembut, memukau. Yang mau tidak mau mengingatkan Zulham kembali pada Maria. Maria yang telah berubah wujut, dan entah bagaimana nasibnya sekarang. Zulham masih memiliki kesempatan untuk menyelamatkan roh Maria. Jika masih hidup, dibawa pulang ke rumah. Jika toh harus mati biarlah ia mati menurut kodrat semestinya sebagai manusia.
Itulah yang di katakan Rani Pusparini mengenai tekadnya untuk menolong saudara kembarnya.
Itu berlaku pula untuk Maria.
Tetapi mana janji Rani Pusparini?
Dia bilang, dia akan memberi petunjuk petunjuk. Tetapi apa yang telah dibaca Zulham dari tadi belum sekalipun menyebut nyebut tentang janjinya. Jangan jangan gadis itu hanya memikirkan saudara kembarnya. Dewi Durganya dan tujuannya sendiri!
Merasa tak enak hati, Zulham membaca lanjutan surat Rani Pusparini. Dan baru juga ia membaca kalimat pertama, ia sudah malu hati. Dan diam diam harus mengakui kemampuan batin gadis itu membaca pikiran orang tanpa melihat tempat dan waktu.
Mengenai gadismu itu... Zulham membaca. Aku telah meminta bantuan roh saudara kembarku sebagai mediator kealam gaib dari jenis... perwujutan mereka sekarang ini.
Lalu sewaktu aku bermeditasi, kepadaku diperlihatkan gambaran gedung gedung menjulang, gemuruhnya pesawat yang berputar putar turun dari langit, suasana di sebuah terminal bis antar kota, lalu sebuah jalan raya dengan lalu lintas lengang. Ada sebuah bangunan artistik yang dipelataran parkirnya tampak beberapa mobil mewah. Di bagian depan bangunan, terukir gambaran seekor ular kobra dikelilingi lampu warna warni. Dan tulisan dengan hurup hurup besar :
HIDUP BAHAGIA. Sayangnya hubungan kemudian terputus sehingga aku gagal mencari petunjuk tambahan.
Tenny yang memutuskan. Katanya, ia tidak tahan melihat lebih ke dalam.
Mama Eyang sempat melihat, pikir Zulham takjub.
Kotak kotak kaca, liukan gelisah sejumlah ular dan tongkat dengan simpul tali di ujungnya.Dari logo yang sempat kuperhatikan pada gedung gedung menjulang dan gemuruhnya bunyi pesawat yang nyaris tanpa henti...
kuat dugaanku, Bung Zulham.
Bahwa tempat itu berada di Cengkareng. Setidak tidaknya, di seputar bandara Soekarno Hatta!
Rani Pusparini memberi tahu dalam suratnya.Tidak tahu mengapa tetapi Zulham menganggap serius semua petunjuk yang dalam situasi lain, pasti akan ia tertawakan saking tak masuk di akal. Apalagi telah gadis itu mempersempit lokasi pencarian.
Masih mirip peta buta memang, tetapi Zulham tidak mengeluh. Ia dapat menanyai supir supir taksi yang biasa mangkal disana. Atau ia dapat meminta bantuan koneksi koneksinya.
Bung Zulham. Karena apa yang nanti kau minta di sana berkaitan dengan halhal gaib, dapat kupastikan mereka akan pasang harga. Lebih lebih mengingat mereka punya pelanggan yang tampaknya bukan orang orang sembarangan. Maka beserta surat ini, kulampirkan keperluan untuk itu agar kau tidak usah repot repot pulang atau menelpon entah ke mana untuk dapat membayar sesuatu harga permintaan. Kau tidak pula harus membuang buang tempo.
Ingatlah, setiap detik yang berlalu akan sangat berharga.Bukan mustahil, sewaktu waktu orang lain mendahului...mengambil gadismu.
Bukan mustahil pula si penghujat iblis keburu tahu langkah langkah yang kita lakukan.
Rani Pusparini seterusnya mengingatkan pula, bahwa tidak ada keharusan Zulham mengganti uang yang disertakan dalam suratnya.
Itu milik Tenny. Kau pula penemunya, bersama tas tangannya.
Tenny tidak lagi membutuhkannya.
Firasatku mengatakan, saudara kembarku itu tak akan pernah kembali hidup hidup.Pada kalimat itu, tampak tulisan Rani Pusparini tidak begitu rapi. Jelas dipengaruhi perasaan berduka cita.
Tetapi yah... mari kita sudahi tetek bengek itu.
Kembali kepokok masalah, Bung Zulham.
Aku tahu kau pasti dapat menemukan gadismu itu. Dan nanti di sana aku akun memberi petunjuk petunjuk tambahan.
Kuperingatkan, Bung Zulham.
Nanti di sana, jangan sekali kali berpikir apalagi sampai menyebut nyebut si penghujat...
Zulham tertegun. Bukan peringatannya, tetapi
"Nanti di sana aku akan.." dapat diartikan Rani Pusparini ada di tempat yang harus dicari Zulham. Lalu mengapa gadis itu bersusah payah menulis surat, tidak ikut saja sekalian dengan Zulham, dan Zulham tidak pula harus memeriksa petabuta.
Tak habis mengerti, Zulham meneruskan membaca.
Sebelum kututup suratku ini, Bung Zulham.
Kiranya perlu kuulangi bahwa kita menyatu raga untuk tujuan yang mulia. Berhasil atau tidaknya tujuan itu tercapai, bukan kita yang menentukan tetapi Yang Maha pencipta.
Kita hanya menjalankan tugas.
Dan setelah itu... secara pisik kita tidak lagi saling membutuhkan. Kau tentunya cukup arif untuk memahami apa yang aku maksud!
Tentu saja. Secara pisik tidak lagi saling membutuhkan,itu adalah penganti untuk sebuah kalimat pendek dan lebih sederhana pengucapannya:
"Selamat berpisah!"
Zulham menggelengkan kepala dengan senyuman samar di bibir. Lalu membaca penutup surat Rani Pusparini.
Sukses untukmu, Bung Zulham.
Dan lupakanlah si penghujat iblis.
Dia bukan tandinganmu! Tandatangan yang indah, lalu...
Rani Pusparini, pelayan sang Dewi.
Pelayan Dewi Durga, itu terserah Rani Pusparini tetapi membuang Zulham begitu saja untuk duduk diam sebagai penonton sungguh tidak disukai Zulham. Bagaimana mungkin Zulham melupakan begitu saja bangsat terkutuk yang berlagak seperti nabi itu. Penghujat iblis atau bukan, ia bertanggung jawab untuk kematian Bobby.
Ia permainkan Maria secara keji.
Dan kini,Tarida yang tidak berdosa apa apa entah telah diapakannya pula. Sekali Zulham tahu bahwa bangsat itu menjamah apalagi sampai menciderai Tarida.
Zulham meraih gelas di depannya.
Dengan tangan gemetar saking marahnya. Namun di tengah kemarahan itu, telinga Zulham toh diusik oleh peringatan beruntun mengenai apa atau dengan siapa berurusan.
"Kumpulkan seratus orang dengan ilmu hitam mereka yang tangguh." kata Mama Eyang.
Suara Agus, sahabatnya malah setengah menjerit;
"Dia manusia, tetapi bukan manusia!"
Dipertegas oleh peringatan Rani Pusparini,
"Dia bukan tandinganmu!"
Zulham mendekatkan gelas ke bibir. Sisa kopinya ia minum dengan wajah membeku.
Seakan ia tengah dipaksa meminum racun.
[] *** ENAM Tarida menunggu cukup lama, namun komunikasi telah terputus atau tepatnya diputuskan oleh orang yang memiliki suara kharismatik itu. Tarida sudah mengulangi pertanyaannya, siapa orang yang berbicara dengannya.
Tak ada tanggapan. Juga tidak setelah ia memberitahu bahwa sebelumnya ia telah berusaha membuka;pintu, tetapi pintu itu terkunci dari luar.
Tarida tidak segerah menyerah.
Ia coba sekali lagi. "Kalau Anda memang ingin menghiburku, tolonglah nyalakan lampu kamar ini!"
Tak ada sahutan. Sunyi lengang. Pemintaannya tidak dikabulkan karena kamar tempatnya disekap tetap dalam keadaan gelap gulita. Setelah menimbang nimbang sejenak, akhirnya Tarida memutuskan untuk mengikuti saja orang misterius memukau itu.
Ia bangkit dari lantai. Mencari pegangan pintu seraya membathin,
"Hiburan apa kiranya yang menungguku di luar sana?"
Pegangan pintu itu bergerak, lalu ia dorong ke depan.
Terbuka. Pasti kuncinya telah digerakkan secara elektris pula, pikir Tarida. Sementara pintu kamar ia buka semakin lebar. Ia belum percaya sepenuhnya bahwa ia akan dihibur. Kalau pun hiburan itu memang ada, ia juga tidak tahu bentuknya dan belum tentu akan melipur duka laranya. Bagaimana pun juga ia akan tetap;disekap entah untuk apa dan mengapa.Di depan pintu kamarnya, tampaklah koridor panjang yang kosong melompong. Lantainya berlapis karet merah hati, begitu pula warna dinding di kiri kanan. Tampak pula satu lantai hotel atau barangkali juga sebuah flat yang dihuni oleh kaum berduit.
Tetapi tunggu dulu. Mengapa semua pintu itu tertutup?
Mengapa takada orang yang lalu jalang?
Suasananya begitu sunyi sepi, bagai tak berpenghuni. Koridor panjang yang terang benderang itu, malah tampak seperti mati.Tetapi siapa tahu ada jalan dan kemungkinan untuk lolos.Tarida mengumpulkan keberaniannya dan melangkahkan kaki ke luar pintu. Mula mula ia hanya berjingkat.Kemudian langkahnya semakin tegas dan pasti. Ia melewati pintu demi pintu sambil berharap ia bertemu seseorang untuk tempat bertanya atau mendengar apa saja, misalnya alunan musik. Pendeknya apa saja yang mampu membantunya untuk merasakan bahwa ia tidak datang sendirian.
Kemudian ia berhenti dengan terkejut.Koridor itu berakhir di sebuah tembok yang tegak membeku, buntu. Tak ada lorong ke kiri atau ke kanan.
Tak ada jalan keluar masuk.
Tarida bergumam takjub, "Mustahil!" Pasti harus ada jalan keluar masuk ke lantai di mana ia berada. Barangkali ia telah melewatinya tanpa sadar.Atau barangkali juga, jalan keluar masuk itu letaknya tersembunyi di balik salah satu pintu tertutup yang telah ia lewati.
Bimbang. Tarida memutar tubuh. Diawasinya koridor panjang dihadapannya. Yang berakhir di pintu kamar yang ia tinggalkan tadi. Pintu yang masih terbuka lebar. Memperlihatkan kegelapan yang gulita di sebelah dalamnya dan kesunyian yang menekan di sekitarnya.Diawasinya pula pintu demi pintu lain sepanjang koridor. Lalu menyadari bahwa semua pintu bentuk dan warnanya sama, tanpa nomor:nomor dan tanpa petunjuk yang mana dari salah satu pintu itu menutupi jalan keluar masuk ke lantai tempatnya berada sekarang ini.
Apa boleh buat. Tarida harus nekad membuka pintu demi pintu. Ia dekati pintu pertama di sebelah kiri. Diketuk dan karena tak ada sahutan, pegangan pintu ia gerakan.
Terkunci. Begitu pula pintu sebelah kanan, ia berjalan pada pintu berikutnya. Kali ini ia tidak lagi mengetuk. Ia langsung menggerakkan pegangan pintu,mendorongnya dan pintu itu pun terbukalah.
Tarida seketika terpana. Tampak sebuah kamar besar di hadapan. Kamar tanpa perabotan apaapa, kecuali karpet lebar yang digelar pada lantainya. Dan di atas orang dewasa, dan dua tubuh anak tanggung. Tiga dari mereka adalah lakilaki, dua lainnya berjenis perempuan. Kelima orang itu sama telanjang bulat dan yang paling mengejutkan adalah mereka semua tengah bersenggama tanpa mengeluarkan suara. Dua di antaranya terlihat melakukan oral sex.Tarida pucat pasi menyaksikan pemandangan yang menjijikkan, yang membuatnya malu dan ngeri sekaligus. Sebelum salah seorang dari mereka mengetahui pintu telah ia buka. Tarida mundur perlahan lahan,bersijingkat menjauh, punggungnya membentur pintu lain yang tahu tahu membuka sendiri sehingga Tarida hampir saja terjungkal ke sebelah dalam.Sambil menutup mulut untuk menahan seruan terperanjat, Tarida meluruskan tegaknya lantas memandang ke dalam melalui pintu yang sudah terbuka itu.Wajah Tarida seketika pucat seperti kertas, nafasnya,dan jantung bagai terhenti tak berdenyut. Apa yang dilihatnya bukanlah sebuah kamar tidur, tetapi lebih menyerupai sebuah ruangan tempat menjagal. Lantainya basah, kotor, di sana sini tampak tulang belulang dan daging berserakan. Darah membercak dan mengalir dimana mana.Seorang lakilaki bertubuh tinggi besar dengan tampang menakutkan, tengah sibuk mengampaki sesuatu di atas sebuah meja jagal yang terbuat dari marmer.
Marmer itu bergelimang darah.
Dan diatasnya, sesosok tubuh perempuan telanjang, rebah terkulai dalam keadaan yang nyaris kehilangan bentuk, sementara si lelaki terus saja menghujamkan kampak yang memerah oleh genangan dan tetesan darah.Pemandangan itu sungguh di luar daya tahan Tarida.
Tanpa bisa lagi dicegah ia mengeluh,
"Astaga, apa..."
Mendadak si tukang jagal menoleh ke pintu. Begitu melihat Tarida, matanya tampak membelalak marah. Tubuhnya yang memerah oleh darah kemudian bergerak meninggalkan meja jagal. Korbannya si perempuan yang tadi ia kampaki entah bagaimana tiba tiba menggeliat bangun, lalu turun dari meja jagal dengan tubuh tampak hancur di sana sini. Berjalan mengikuti penjagalnya mendekati Tarida dengan mulut menyeringai lebar.
Mimpi buruk atau bukan, Tarida harus lari.Maka, dengan sekujur tubuh bergemetaran dan lutut goyah alang kepalang, ia mundur tersuruk suruk menjauhi pintu, memutar tubuh dengan susah payah, lantas berlari menyelamatkan diri. Satu satunya arah yang mungkin ia itu tuju adalah pintu kamarnya sendiri yang masih menganga terbuka. Namun sambil berlari, ia coba juga membuka pintu demi pintu lainnya,berharap menemukan jalan tersembunyi. Tiga dan pintu itu terkunci rapat.Tetapi pintu berikutnya terbuka. Tarida melihat ada tangga menurun diterangi nyala lampu yang bersinar redup.
Akhirnya, pikir Tarida. Akhirnya... Antara takut dan harapan yang berbunga, ia mencoba ke belakang secara naluriah. Si penjagal dan korbannya yang nyaris tak berbentuk itu sudah semakin dekat.
Masih ada lagi. Sosok sosok tubuh lainnya lima sosok tubuh bugil yang tadinya dilihat Tarida sibuk bersenggama, kini mengikuti untuk mengejarnya.
Wajah mereka semua tampak beringas. Dan karena mereka bergerak maju tanpa menimbulkan suara, tanpa sepatah kata pula, ketujuh sosok tubuh itu tak ubahnya zombie.
Mayat mayat yang bangkit dari kubur.
Tarida menjerit. Tetapi lidahnya kelu, tersekat tanpa suara pula. Secara membabi buta, ia melompati pintu terbuka di depannya, lalu berlari menuruni anak tangga demi anak tangga meninggalkan para pengejarnya. Semakin ke bawah tangga itu semakin remang remang dan melingkar bagai spiral tanpa ujung.
Tetapi Tarida tidak peduli.
Ia terus saja berlari turun, membelok, dengan jantung yang sudah mulai sesak dan paru paru seakan sudah akan meledak.Suatu saat, Tarida merasa ia tidak sanggup lagi berlari lebih jauh. Kecuali bila ia berhenti dan istirahat sejenak. Ia pun menyandar ke tembok, dengan nafas terputus putus dan lutut setengah tertekuk menahan bobot tubuhnya yang seakan berat luar biasa.Namun baru juga dua tiga tarikan nafas, bayang bayang itu sudah muncul. Bayangan sosok tubuh menuruni tangga ke arahnya, dan tampak pula bayangan kampak terayun ayun menyeramkan. Seketika Tarida mengabaikan jantung serta paruparunya. Ia kembali berlari turun, melompati anak tangga demi anak tangga yang mulai tampak remang remang saja.
Tiba di sebuah belokan, keadaannya malah lebih gelap lagi.Tetapi untuk pertama kali semenjak menuruni tangga,ia merasakan adanya tiupan angin segar dari arah depan. Ia juga melihat kelap kelip cahaya menerangi lantai nun di bawah.
Dan suara suara! Suara percakapan yang samar samar diselang seling tawa riang gembira.Semangat Tarida kembali berbunga, ia pun berlari turun semakin cepat. Tinggal beberapa anak tangga lagi ia akan selamat.Lalu sekonyong konyong anak tangga terakhir dan lantai di bawahnya, tahu tahu saja lenyap. Begitu pula suara suara dan kelap kelip cahaya tadi. Dalam keterkejutannya, Tarida terlambat menyadari bahwa kakinya sudah keburu melompat, tubuh pun sudah condong ke depan. Tanpa dapat lagi dicegah,
Tarida pun terhuyung jatuh.
Dengan ngeri ia membayangkan tubuhnya terjun lalu terhempas di lantai beton yang keras.Tetapi siapa nyana, lantai itu memang tidak pernah ada.Tubuh Tarida melayang, dan terus saja melayang menuju kegelapan yang menganga hitam di bawahnya.Memasuki ruang kosong, hampa dan gelap gulita yang seakan tanpa akhir. Saat itulah tiba puncak kengerian Tarida. Diikuti antiklimaks, Tarida akhirnya mampu juga mengeluarkan suara jeritan.
Dengan mata terpejam pasrah.
Tarida menjeritkan sebuah nama :
"YaAllah...!" Tubuhnya masih terus melayang semakin cepat. Sampai tiba tiba, semuanya berakhir.
Dalam seketika. [] *** TUJUH Keluar dari jalan tol Jagorawi, Zulham berhenti sebentar di tempat telepon umum pertama yang ia temukan.Ia segera menghubungi rumah Maria yang diterima oleh Asep.
"Sudah ada kabar mengenai Tarida?"
"Belum, Oom." "Bagaimana dengan Parung?"
"Sesuai dugaan semula, Om. Hanya isapan jempol. Ohya, Pak Kapten menanyakan Oom. Juga tiga telepon lainnya..."
"Dari?" "Dari rumah Oom. Bergantian. Mereka sangat kuatir..."
Zulham mengucapkan terimakasih pada Asep, lalu kembali ke mobilnya. Kapten Parluhutan pasti ingin membicarakan sesuatu, tetapi itu nanti aja. Seperti dikatakan Rani Pusparini, Zulham harus mengejar setiap detik yang tersisa. Selagi memacu minibusnya menuju Cengkareng. Zulham berpikir tentang keluarganya dirumah. Mereka menguatirkan Zulham, itu pasti. Tetapi mereka lebih-lebih menguatirkan Tarida.
"Terutama bibi Zulham."
"Selama tidak ada kabar bahwa Tarida baik-baik saja,aku tidak akan pernah tidur dengan nyenyak!" bibir-nya berkata serius.
Dan yang tidak habis dimengerti Zulham adalah kalimat lainnya,
"Dia mencintaimu.Dengan sangat!"
Tarida? Bibi Zulham barangkali telah melihatnya mela-lui nalurinya sebagai seorang perempuan. Tetapi mungkinkah Tarida jatuh cinta secepat itu?
Zulham menghitung-hitung dan kemudian terkejut sendiri. Baru dua tiga hari tetapi rasanya sudah begitu lama ia mengenal Tarida.
Masih ada lagi. Begitu sudah dapat dipastikan bahwa Tarida memang telah diculik, Zulham langsung terpukul. Sesuatu seakan direnggut lepas dari sanuba-rinya.Zulham membanding-banding dengan apa yang telah ia alami bersama Rani Pusparini. Gadis itu tidak hanya cantik, bertubuh seksi, dan masih perawan tulen sam-pai saat-saat terakhir Zulham masuk ke dalam cottage gadis itu. Rani Pusparini juga berpenampilan mena-wan, jelas berpendidikan dan kaya pula. Tetapi ketika Zulham membaca dalam surat gadis itu :
'Tidak ada dorongan emosionil bernama cinta..."
Zulham membenarkan yang ada hanya dorongan nafsu syahwat yang kemudian berakhir begitu saja, setelah nafsu syahwat itu tersalurkan.Tidak pula Zulham kecewa apalagi terpukul, setelah dalam surat itu Rani Pusparini menegaskan :...
"secara pisik kita tidak lagi saling membutuhkan!"
Selamat berpisah! Dan. Zulham tidak merasa kehilangan apa-apa!
*** Setelah enam kali gagal, Zulham akhirnya mendapat reaksi mengembirakan dari supir taksi ke tujuh yang ia tanyai.
"Hidup Bahagia? Tentu saja! Dengan tip meng-gembirakan dari pelanggan yang sering kuantarkan kesana, tentu saja aku bisa menikmati hidup bahagia..."
Zulham memutuskan untuk meninggalkan saja mini-busnya di pangkalan setempat. Setelah menyimpan amplop berisi uang milik Tenny di balik bajunya, ia minta:diantarkan oleh supir taksi tersebut, dari siapa ia kemudian memperoleh informasi tambahan yang benar-benar menarik.
"Bukan, Oom!" si supir menjawab salah satu pertanya-an Zulham.
"Memang banyak orang menduga bahwa itu tempat ibadah atau rumah para penginjil, dan en-tah apa lagi. Sebenarnya, itu adalah sebuah rumah makan eksklusip. Mereka punya pelanggan tetap, begitu-lah menurutku. Umumnya dari kalangan bisnis..."
"Sesuai logo di depan bangunannya, Oom!" supir taksi itu menjawab pertanyaan lainnya.
Tetapi menunya bu-kan hanya berasal dari ular kobra saja. Ada misalnya,bistik ular sanca... katanya untuk menjaga kebugaran tubuh.
Mau tetap awet muda? Pilih saja cocktail darah ular hijau. Dan..." si supir menyebut sejumlah menu lainnya yang kesemuanya mencengangkan Zulham.Menu apa pun, dan sebagian besar dari jenis ular pa-ling berbisa, khasiatnya lebih ditonjolkan ketimbang cita rasanya sebagai makanan atau minuman spesifik.
"Tetapi ada sejenis menu yang mereka tidak pernah mau membicarakannya secara terbuka." supir taksi itu masih terus saja berkicau.
"Menu untuk teman tidur.Entah apa maksudnya, dan..."
"Itulah yang harus kau pesan. Teman tidur!"
Zulham mendengar bisikan samar-samar. Terkejut ia memandangi si supir taksi di jok depan. Orang itu asyik terus bercerita tentang apa saja yang ia ketahui atau dengar mengenai rumah makan Hidup Bahagia. Suaranya lan-tang dan jelas bukan supir itu yang berbisik barusan.Barangkali ia sudah sedemikian terpengaruh oleh ce-rita si supir dan bisikannya sendirilah yang telah ia de-ngar.
Bisikan yang terlontar tanpa sadar.
Taksi melambat Zulham pun melihatnya. Sebuah bangunan artistik di sebelah kiri jalan dengan lampu warna warni mengelilingi ukiran gambar seekor ular kobra dengan tulisan besar disebelahnya :
HIDUP BAHA-GIA. Taksi sempat berhenti untuk memberi kesempa-tan sebuah mobil lain keluar lebih dulu dari pintu ger-bang halaman parkir.Mobil itu sudah keluar dan taksi sudah akan membelok masuk, sewaktu Zulham tiba-tiba menyadari sesuatu lantas berkata setengah berseru,
"Tunggu!" Taksi tidak jadi membelok. Zulham mengawasi mobil yang berlalu di depannya, kemudian meminta supir:taksi cepat-cepat mengikuti mobil di maksud.
"Dahului saja!" katanya memberitahu.
Setelah taksi sudah berdampingan dengan mobil terse-but Zulham mengeluarkan tangannya keluar jendela:untuk memberi tanda. Melihat apa yang dilakukan oleh penumpangnya, supir taksi secara naluriah ikut pula memberi tanda dengan lampu sign, sambil terus berpacu mendahului.
"Menepilah..." Zulham memerintahkan. Taksi menepi di pinggir jalan diikuti oleh mobil lainnya.
*** Parluhutan keluar dengan wajah gusar dari dalam mo-bilnya. Ia melangkah panjang menuju taksi di depan,sambil menggeram,
"Apa-apaan..." lalu ia melihat Zul-ham keluar dari taksi.
"Bah. Kau, rupanya!"
Zulham memandang ke bangunan berlogo ular kobraitu sambil bertanya keheran-heranan,
"Bagaimana An-da mengetahuinya, Kapten?"
Omelanlah yang ia terima.
"Hem, Mau berburu sendiri-an, ya? Setelah aku terpaksa memulung sekian banyak sampah yang kau tinggalkan di belakangmu?"
Zulham menyeringai. Kecut. "Panjang ceritanya,kapten..."
"Aku siap mendengarnya! Dengan catatan. Sekali lagi kau coba-coba melangkahi aku..."
Parluhutan bernafas panjang pendek, tampak benar-benar sedang marahbesar. Ia menyandar ke taksi di sebelah Zulham.
Lantas menggeram: "Haram jadah!" Zulham membisu saja. "Maksudku yang di sana itu..."
Parluhutan berujar lu-nak seraya menggerak-gerakkan dagu ke arah tempat yang barusan ia tinggalkan.
"Di sanalah aku baru tahu.Bahwa seorang penjaga pintu adakalanya masih lebih berkuasa dari seorang perwira polisi!"
Tanpa diminta, ia lalu bercerita dari awal.Setelah berpisah dengan Zulham, ia menelaah apa-apa yang ia dengar dari Asep. Ia menaruh minat khusus pada Sumadi karena sebelumnya Tarida diculik, pengaca-ra itulah orang terakhir yang ditemui Tarida. Ia juga memikirkan kecelakaan lalu lintas yang terjadi di de-pan kantor si pengacara. Lalu korban kecelakaan, dokumen misterius yang diterima Asep dari si pemuda ber-celana jean lusuh, setelah mana pemuda itu mengak-hiri hidupnya secara mengerikan.
"Sumadi lagi-lagi terkait!" dengusnya
"Maka kusuruh anak-anak untuk mengawasi dan menguntit Sumadi.Dengan perkiraan Tarida tentunya mengetahui sesu-atu. Si pengacara tahu bahwa Tarida tahu, begitulah.Lalu Tarida tiba-tiba menghilang..."
Salah satu laporan yang masuk, dengan seketika meng-gugah perhatian dan ingatannya, dilaporkan, Sumadi terlihat memasuki sebuah bangunan dengan logo se-ekor ular kobra, lengkap dengan rincian lainnya yang mengingatkan Parluhutan pada petunjuk yang pernah diberikan Mama Eyang. Sumadi hanya sebentar di da-lam untuk seterusnya pulang. Informasi berikutnya masuk dengan rincian baru Hidup Bahagia adalah sebuah rumah makan dengan menu sesuai logonya:
ular. Maria, pikir Parluhutan, terkejut.
Ia lalu menghubungi Zulham pertelepon.
"Tetapi karena kau tidak munculdi rumah Maria maupun di rumahmu sendiri, kuputuskan untuk tidak membuang tempo!" katanya, sementa-ra Zulham mendengarkan dengan penuh minat
"Tahu apa hasilnya?"
Parluhutan dihentikan di pintu masuk Hidup Bahagia.Penjaga yang menunggui pintu tertutup itu menyambut kedatangannya dengan sebuah permintaan lembut.
"Tanda pengenal, Tuan?"
" Apakah itu sebuah keharusan?"
"Tidak, bila Tuan adalah pelanggan lama..."
Mau tidak mau Parluhutan memperlihatkan kartu identitasnya. Sipenjaga pintu meneliti sekilas, tersenyum manis kemudian berujar sopan,
"Terimalah penyesalan saya Kapten. Tetapi sesungguhnya, saya tidak dapat membantu Anda."
"Aku memang tidak perlu bantuan siapa-siapa, hanya untuk masuk kedalam!" dengus parluhutan jengkel.
"Tentu saja, setelah lebih dulu aku menendangmu keluar!"
Penjaga pintu itu tetap tenang.
"Saya percaya, Anda mampu melakukannya!"
Penolakan yang santun itu mengendorkan kemarahan Parluhutan yang sudah sempat naik ke kepala.
"Coba andaikata ia ikut marah. Urusannya pasti akan lain!"
Parluhutan bersungut-sungut.Zulham menahan tawa di perut.
"Pasti akan lain. Bila Kapten membawa surat perintah..."
"Atas dasar apa? Petunjuk seorang dukun, eh... aku kesini kan bermodalkan nekad saja!"
"Andaikata anda diperbolehkan masuk"
Zulham ber-kata setelah berpikir-pikir.
"Apa, setelahnya?"
"Menanyai mereka. Apakah selama 24 jam terakhir,mereka menerima kiriman stock baru, stock ular, tentu! Kalau ada, aku akan membeli seekor diantaranya bera-pa pun harga yang mereka minta. Sepanjang ular itu ada lukanya, dan luka itu bekas di tembus peluru!"
"Ide yang menarik! "cetus Zulham, tertarik.
"Mau mencoba?" "Tetapi... Tanda pengenal."
"Siapa tahu, penjaga pintu di sana tiba-tiba jatuh cinta pada wartawan!" parluhutan memberi jalan.
Kartu pers. Dari media cetak yang kini di ambil alih oleh Tridharma. Mengapa tidak, pikir Zulham yakin bahwa rumah makan itu tentunya salah satu jenis usa-hanya yang dikelola oleh Tridharma pula.
"Sebagaimana anda katakan, Kapten. Bermodalkan ne-kad!"
Zulham memutuskan. "Aku akan menunggu di sini." parluhutan mendorong semangat Zulham.
"Dan bertepuk tangan dengan me-riah, begitu kulihat pintu terbuka untukmu!"
Zulham tertawa. Dengan perasan mendadak gelisah.Setelah pamit pada parluhutan, ia masuk ke taksi yang seketika memutar arah. Tak sampai satu menit berikut-nya, taksi itu pun berhenti di halaman parkir Hidup Bahagia. Lebih dulu Zulham meyakinkan bahwa Kartu pers-nya ada didompet. Ia rapihkan penampilannya sebentar, kemudian keluar dari dalam taksi.Pada langkah pertama, perasaan gelisah itu terus me-ngikuti. Saking gelisah, Zulham tanpa sadar melepas kancing paling atas kemejanya. Kemudian meneruskan langkah ke pintu di mana terlihat seorang penjaga berpenampilan menarik, berdiri menunggu.Selama satu detik, Zulham dan si penjaga pintu saling menaksir. Detik berikutnya Zulham sudah akan mero-goh dompetnya, ketika si penjaga pintu melihat ke da-da Zulham yang setengah terbuka. Saat itu juga, sipenjaga pintu mendekuk pundak untuk memberi hor-mat. Kemudian dengan senyuman lebar ia membuka pintu untuk Zulham.
"Silahkan, Tuan..."
Dari jauh, Kapten Parluhutan Siagian menyaksikan sampai Zulham masuk kemudian menghilang dibalik pintu yang segera sudah di tutupkan lagi.
Parluhutan tidak bertepuk tangan.


Tarian Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ia tercengang! [] *** DELAPAN "Bangunlah..." Tarida tidak segera membuka matanya.
Suara siapa itu? Ada di mana dia? Tangan digapaikan meraba-raba.
Ah, sebuah tempat tidur empuk dan hangat. Ia se-perti mengenalinya, tetapi yakin itu bukanlah ranjang dimana ia biasa tidur.
"Ayolah. Sudah waktunya makan!"
Suara itu terdeng-ar lagi.
Lembut, menyenangkan. Makan? Benar. Karena hidung Tarida membaui menu kesuka-anya yang biasa dihidangkan Esih jika ia menginap dirumah Maria. Ayam panggang dengan aroma bumbu ramuan khas Esih yang Tarida pernah mencobanya namun gagal. Juga tercium aroma lain yang tidak kurang juga merangsangnya Tetapi, bagaimana mungkin?
Tarida pun menggeliat bangun.
Bersamaan waktu de-ngan menyalanya lampu sehingga Tarida terkejut dan sempat silau karena matanya tiba-tiba diterpa cahaya terang benderang, setelah matanya terbiasa, bingung ia memandang berkeliling.
Tarida ada di sebuah kamar ti-dur mewah.
Tampak lemari besar di sepanjang satu sisi tembok. Lalu sebuah meja rias antik dengan cermin be-sar dimana tersedia seperangkat kosmetik dari merk id-aman Tarida yang ia hanya mampu membeli sesekali..
Ini pun tidak sekaligus. Kemudian Tarida seakan mengenali pula tirai tinggi dan lebar dengan bentuk melengkung ke arah luar. La-lu pintu kamar mandi, ke dalam mana ia merasakan pernah masuk dan menggalami hal-hal mengejutkan.Teringat sampai di situ, seketika Tarida berpaling kearah lain, pintu keluar dari kamarnya.
Dan tiba-tiba tubuhnya merinding.
Apakah benar ada lorong pan-jang di luar sana?
Lalu pintu-pintu tertutup, sekelom-pok orang sedang bersenggama, tukang jagal yang se-dang mengampaki tubuh seorang perempuan. Mereka:semua tahu-tahu ke luar untuk mengejarnya, termasuk perempuan yang nyaris tak berbentuk karena habis dikampaki penjagalnya. Tarida pun teringat bagaima-na ia melarikan diri menuruni tangga panjang berbelok-belok sampai akhirnya...
Ataukah Tarida telah tertidur lantas bermimpi yang bukan-bukan?
Tetapi semua kejadian itu serasa masih se-gar dalam ingatannya.
Semua itu seperti nyata. Malah saat ini pun sekujur tubuhnya lunglai, lelah alang-kepalang!
Dengan perasaan takut, Tarida menghindari matanya dari pintu tersebut. Kembali berpaling dan melihat kemeja duduk. Di situ terhidang apa yang aromanya tadi sudah tercium olehnya. Bekakak ayam, panggang ikan,kakap goreng, sambal kecap, lalap, dan tentu saja nasi yang masih mengumpulkan uap harum semerbak. Ba-gaimana mungkin semua itu tahu-tahu sudah terhi-dang di atas meja duduk?
Padahal ia tak mendengar ada orang keluar masuk. Satu-satunya jawaban adalah bahwa ia telah tidur. Dan sewaktu Tarida diteror mim-pi buruk, salah seorang dari penculiknya telah masuk ke dalam mengantarkan makanan untuk Tarida.
Ragu-ragu sejenak. Tarida kemudian turun dari tempat tidur. Bau makanan yang begitu kuat merangsang pe-rasaan laparnya. Dan ia harus makan, jika tenaganya ingin pulih kembali.
Persetan dengan gengsi! Ia duduk di kursi terdekat dan meraih air putih bening untuk membasahi kerongkongannya yang kering seba-gai permulaan. Gelas didekatkan ke bibir, dan sebagai-mana kebiasaan yang sudah mendarah daging, Tarida pun membaca Basmallah. Dan mendadak Tarida me-lompat berdiri dengan wajah pucat pasi. Serempak de-ngan itu, gelas di lepaskan seketika.
Gelas jatuh ke lan-tai. Pecah. Isi gelas membercik kian kemari, menggenang. Me-mang itulah yang dilihat Tarida, saat ia membaca basmallah. Air putih bening, tahu-tahu saja berubah sang-at merah, kental,dan menebarkan bau amisnya darah!
Secara naluriah, Tarida ganti memandang hidangan diatas meja. Bekakak ayam tampak meleleh mengeluar-kan cairan seperti nanah. Sesuatu tampak menggeliat keluar dari bagian dalam bekakak.
Ulat. Warnanya ku-ning kemerahan dalam jumlah yang mengerikan dan dalam tempo singkat bekakak itu sudah berubah jadi tumpukan ulat. Sama halnya dengan ikan kakap go-reng. Sementara lalap dikerubungi ratusan ulat hijau.Dan tempat nasi sudah dipenuhi tumpukan cacing yang bergulung-gulung menggelupur dengan suara be-risik, ribut.
Perut Tarida bergolak, mual.
Tubuhnya menekuk, lalu Tarida muntah dengan hebat.Setengah terbungkuk menahan isi perut yang bergolak.Tarida mundur ke arah tempat tidur. Dan ia terus mundur sampai kemudian punggungnya membentur tem-bok di mana ia kemudian berdiri menyandar. Bingung sesaat ia menduga bahwa ia telah mundur kearah yang salah, saat berikutnya ia tertegak seram ka-rena didatangi pikiran bahwa otaknya sudah tidak wa-ras lagi.
Betapa tidak! Setelah matanya yang sempat nanar akibat muntah-muntah dapat memandang nor-mal kembali, ia segara menyadari bahwa bukan arah-nyalah yang salah. Melainkan, segala sesuatu benda dikamar itu. Tempat tidur sudah tidak tampak di tempatnya.
Lenyap,entah kemana. Demikian pula lemari-lemari pakaian, meja rias dan segenap perlengkapannya,kursi-kursi maupun meja duduk beserta apapun yang tadi ada di atasnya. Termasuk ribuan mahluk-mahluk menjijikkan itu. Kesemuannya lenyap.
Sirna, tanpa bekas. Tarida kini ada di sebuah ruangan kosong me-lompong.
Terang benderang masih, namun teramat su-nyi menakutkan.Saat Tarida terbengong-bengong hilang akal itulah, su-ara itu muncul lagi.
Suara yang khas. Lembut, kharis-matik. "Siap menerima kenyataan Anakku?"
Tarida menatap berkeliling.
Namun seperti yang sudah-sudah, sia-sia saja matanya mencari petunjuk apalagi sosok orang yang berbicara kepadanya. Tarida menahan nafas, lantas menggagap dalam rintihan sakit.
"Apa maksud semua ini?"
"Maksudnya, Anakku. Untuk mengingatkan bahwa kau ada di tempatku..."
Suara lembut itu menyahut tenang.
"Apapun yang ada dan terjadi di sini, berlaku atas kehendakku. Siapapun tidak kuperkenankan me-nyebut nama lain di sini, kecuali, namaku..."
"Nama lain?" Tarida merintih tak mengerti.
"Aku tidak tahu apa..."
Ada desahan nafas samar. Desahan tak senang. Lalu ketika suara itu tak terdengar lagi, nadanya sudah be-rubah. Apa yang didengar Tarida adalah umpatan marah.
"Terkutuk! Gangguan apa pula ini?!"
Lantas sepi. Suara itu terdengar lagi walau desahan nafasnya saja.Tetapi kamar kosong melompong di mana Tarida bera-da terasa ditebari hawa nafas menggerahkan yang tiba tiba telah berubah dengan cepat menjadi dingin menu-suk.
Lampu pun padam. Gelap gulita seketika di sekeliling Tarida. Dalam kege-lapan yang teramat menekan.
Tarida mengeluh. Tak tahan oleh serbuan hawa dingin yang semakin menghe-bat. Perlahan-lahan, tubuhnya meluncur.
Jatuh ke lan-tai. Menggelepar. [] *** SEMBILAN Setelah dibuat heran atas sambutan si penjaga pintu,
Zulham kemudian dibuat takjub pula setelah menyaksikan suasana ruangan yang ia masuki. Seketika Zulham merasa berada di restoran sebuah hotel berbintang li-ma. Bukan di rumah makan biasa sebagaimana semu-la. Belum habis ia mengagumi segala sesuatu yang tam-pak serba wah, seorang pramulayan berseragam rapi dengan dasi kupu-kupu pada lehernya sudah mendatangi dengan cepat. Membungkuk sopan dan kemudian bertanya dengan suara ramah menyenangkan.
"Sudah pesan meja Tuan?"
"Belum." jawab Zulham seraya mengawasi sebagian besar meja di ruangan itu sudah terisi oleh para pengun-jung yang sedang bersantap dengan santai.
Alunan musik klasik dengan volume lunak, terasa menambah ke-santaian di sekitarnya.
"Bila demikian. Tuan. Mari saya antarkan ke salah satumeja yang belum dibooking. Silahkan."
Pramulayan itu membungkuk sopan dan mengajak Zulham untuk mengikuti.Bagai kerbau dicucuk hidungnya, Zulham hanya menurut patuh karena ia belum tahu apa yang harus diper-buatnya, bahkan apa yang mesti dipesan nantinya. Se-waktu menuju meja yang ditunjukkan pramulayan itu-lah Zulham melihat gerakan seseorang di salah satu meja. Orang itu melihat pada Zulham dengan panda-ngan tercengang, kemudian berbicara sebentar dengan suara rendah pada teman-temannya satu meja. Salah seorang dari mereka dikenali Zulham sebagai seorang perwira tinggi yang kariernya tengah menanjak sehingga nama maupun wajahnya akhir-akhir ini acapkali muncul di media cetak atau televisi.Baru saja Zulham menghenyakkan pantat di kursi, or-ang yang memandangnya dengan tercengang tadi sud-ah berada di hadapan Zulham. Ia mengulurkan tangan sambil berujar takjub.
"Bung Zulham. Tak kusangka."
"Apanya yang surprise, Pak Alek?" desah Zulham me-nyimpan gejolak perasaan seraya bangkit untuk me-nyambut uluran tangan orang tersebut.
Di dalam ia membathin. "Dia inilah pengacara terkemuka yang na-manya kulihat dalam dokumen Tenny Puspasari..."
Pramulayan berdiri dengan sopan.
Tidak berani mengusik karena pengacara itu masih berceloteh.
"Jika sejak dulu aku tahu kau termasuk."
Ia tidak meneruskan, ru-panya kewaspadaan pengacara itu belum sepenuhnya hilang. Lanjutnya, dengan suara rendah,
"Rapikan ke-mejamu, Bung. Sebelum mereka yang lain menganggapmu urakan!"
Sewaktu memasang kancing atas kemejanya yang tan-pa sadar di luar tadi telah ia lepas terbuka, barulah Zulham menyadari dua hal.
Pertama, surprises pengacara.
Dan sebelum itu si penjaga pintu.
"Jadi inilah tanda pengenal itu?" ia membatin.
"Liontin dengan lambang ular berkepala ganda."
Teringat pada liontin, mau tidak mau Zulham teringat pula pada pemilik sesungguhnya, Maria magdalena.Bagaimana caranya ia memastikan Maria ada di seki-tar tempat ini?
Dan bagaimana pula ia harus mengusir si pengacara agar bisa berpikir tanpa terganggu. Zul-ham kembali gelisah, sementara si pengacara dengan suara tetap rendah memberitahu bahwa ia dijamu rela-si, jadi tidak punya hak untuk mengundang Zulham bergabung di meja mereka.
"Meski aku sebenarnya ingin memperkenalkanmu...."
Semua itu didengarkan Zulham, sambil melihat acuh pada daftar menu yang sebelumnya telah ia terima dari si pramulayan. Sebelum pengacara itu semakin la-rut, Zulham memotong pembicaraannya dengan perta-nyaan asal-asalan saja. Sambil menunjuk ke salah satu daftar,
"Gelang-gelang capcay. Belum pernah kucoba."
"Harus, Bung!" Si pengacara menanggapi. "Untuk orang muda dan masih bujangan sepertimu, gelang-gelang cap-cay pasti sesuai. Capcay dengan campuran sosis alami."
"Sosis alami?" "Hanya bentuknya seperti sosis"
Si pengacara menjelas-kan dengan bersemangat.
"Tetapi yang ini lebih panjang. Diiris menuruti susunan gelang-gelang pada tu-buhnya. Dengan sendirinya, kulitnya dibiarkan utuh.Tidak dikelupas lebih dulu. Alami, bukan? Dan jangan sia-siakan bagian kepala, Bung. Kepala ular belang ber-khasiat untuk membuat inimu..."
Si pengacara menun-juk selangkangan sendiri.
"Kencang dan tahan lama."
Zulham merinding pucat. Terbayangkan Maria diiris-iris, dipotong-potong, kemudian dimasukkan ke oven atau penggorengan.Alex, si pengacara keliru menafsirkan perubahan di wajah Zulham.
Tertawa kecil, ia berkata,
"Agaknya, kau baru pertama kali kemari, ya?"
Zulham manggut saja sambil diam-diam mengingatkan diri sendiri bahwa wujud Maria sekarang ini tentulah bukan seekor ular belang. Kepingan sisik-sisik yang ia tinggalkan di rumah sakit, warnanya hitam legam.
Polos. Tetapi apa bedanya? Tetap saja Maria akan atau sudah?
"Untuk orang pemula, Bung Zulham. Mengapa tidak kau pesan empedu kobra saja. Toh..."
Ia menoleh lalu bangkit dari kursinya.
"Astaga. Aku telah melupakan relasi-relasiku. Datanglah ke kantorku kapan-kapan,Bung Zulham. Banyak yang akan kita perbincangkan setelah aku tahu bahwa kau juga.."
Ia melirik sambil lalu ke arah dada Zulham, tersenyum riang, kemudian berlalu.
Zulham menarik nafas panjang.
Lalu menyadari bah-wa pramulayan masih menunggu.
Zulham kembali gelisah. Pesan apa dia? Daftar menu itu sungguh mendirikan bulu roma. Dan Maria harus diambilnya utuh-utuh dari tempat ini. Dan Zulhamyharus menyebut nama. Tentu saja bukan nama Maria,tetapi nama jenis wujutnya sekarang ini. Yang mana-kah dari daftar menu itu? Atau ah... sebaiknya ia pesan minuman botol saja dulu sambil berpikir-pikir lagi.Ada suara tawa lembut dan terdengar samar-samar.Zulham berpaling pada si pramulayan, menyangka orang itulah yang menertawakannya. Pramulayan ter-senyum, dengan sikap sopan.
Bukan dia. Dan menga-pa pula dia harus tertawa?
Zulham kan belum sempat menyebutkan pesanannya, minuman botol, yang jelas terdengar menggelikan di tempat semacam ini.
"Teman tidur!" Suara itu terdengar lagi.
Sayup-sayup tetapi jelas dan nyata.
"Bukankah sudah kukatakan tadi, Bung Zulham?"
Zulham terkesiap. Itu adalah suara Rani Pusparini!
Zulham mengitarkan pandang ke sekitar, tetapi kema-na pun matanya mencari tetap saja ia tidak melihat Rani Pusparini. Sampai bisikan itu terdengar lagi ber-nada tak sabar.
"Bersegeralah, Bung Zulham. Waktuku sangat sempit. Aku khawatir ada yang menguping suara batinku yang kukirim ke batinmu!"
Telepati! Dan Zulham membayangkan sebuah cottage dengan seorang gadis duduk di sebuah altar, menghadap ke sebuah berhala berwujut ganda. Jadi itulah yang dimaksud-kan Rani Pusparini dengan isi suratnya.
"Disana nanti,aku akan memberi petunjuk-petunjuk tambahan..."
Zulham membulatkan hati. Tersenyum pada pramulayan, ia bertanya :
"Bagaima-na dengan... teman tidur? Masuk daftar ini tidak?"
Pramulayan membungkuk sopan dan menunjuk kesalah satu daftar.
"Yang ini. Tuan."
"N,N. snack" Zulham membaca. Lantas menggumam dengan dahi mengerut.
"No Name Snack. Snack tanpa nama?"
"Bukan snacknya, Tuan. Tetapi bahan bakunya. Dari jenis baru dan belum diketahui apa namanya. Stock terakhir baru masuk tadi pagi. Dijamin masih segar-segar.Tuan."
"Pagi tadi..." Zulham berdebar. Semoga belum ada yang mendahuluinya. Harap-harap cemas ia bertanya:
"Boleh melihat dulu... barangnya?"
"Dengan senang hati. Silahkan, Tuan..."
Pramulayan itu berjalan di depan menuju sebuah pintu dorong, masuk ke sebuah gang. Untuk menahan deburan jantung dan perasaan was-wasnya, Zulham iseng bertanya.
"Kok dinamai teman tidur, ya?"
"Saya sendiri tidak tahu, Tuan." jawab pelayan.
"Kon-on, akan menolong untuk mendapatkan teman tidur dengan mudah. Di mana dan kapan saja. Apalagi jika dimakan mentah-mentah, tentu saja dengan bumbu..."
Sementara si pramulayan menjelaskan bumbu khasmodel tempura.
Zulham bergidik di belakangnya.
Di-makan mentah-mentah. Seekor ular saja, memang.
Te-tapi bagamana jika ular itu adalah Maria?
Mereka membelok dan tiba di depan sebuah pintu yang setengah terbuka. Ada pintu tembus di seberang menuju sebuah taman terbuka, dan tampak suasana sebuah dapur yang sibuk di balik jendela-jendela kacasebelah kanan taman terbuka itu. Pramulayan berbica-ra dengan seseorang di dalam pintu yang setengah ter-buka, kemudian ke luar dan mempersilahkan Zulham masuk. Membungkuk sesaat, pramulayan itu kemudi-an berlalu.
Kembali ke ruang utama. Adapun ruangan yang dimasuki Zulham, mirip sebuah gudang. Ada tumpukan peti-peti kayu, serakan rumput-rumput kering, serpihan tanah, dan kemudian ter-cium bau yang terasa agak memualkan perut. Zulham kemudian melihat sejumlah kotak-kotak kaca yang me-nyatu ke dinding. Dan bau yang tercium oleh Zulham tentulah berasal dari balik kotak-kotak kaca itu. Ber-bagai ragam jenis ular yang mendirikan bulu kuduk Zulham.
Tiap jenis disimpan dalam satu kotak.
Kotak terbesar dengan mudah bisa ditebak.
Berisi ular Sanca. Dan salah seekor ular sanca itu terkapar di atas salah satu meja panjang sedang dikuliti oleh dua orang penjagal.Meja itu, bersimbah darah...
Perut Zulham bergolak hebat.
Ia harus berjuang kerasa gar tidak sampai muntah.
Lantas dengan perasaan ngeri melihat seekor ular hijau yang lehernya tercekik tali diujung sebuah tongkat, oleh penjagal lain dicem-plungkan seenaknya ke sebuah bejana besar berisi laru-tan berbau sengit.
Entah mau diapakan. "Tanpa nama, Tuan?"
Zulham terkejut dan berpaling pada petugas yang tadi diajak bicara oleh pramulayan.
Bingung sesaat. Zul-ham kemudian menganggukkan kepala.
"Sebelah sini, Tuan..."
Mereka memutari sebuah meja kosong.
Dan melewati kotak-kotak kaca berisi mahluk-mahluk yang berpe-nampilan indah namun entah mengapa menjijikkan banyak orang dan malah dari sudut pandang Zulham saat ini mengibakan. Mereka akan dijagal, namun toh mereka masih diberi tontonan gratis melihat sesama teman mereka dijagal lebih dulu. Atau mungkin ton-tonan itu yang membuat setiap ular di balik kotak kaca, tampak jinak?
Zulham kembali mau muntah waktu melihat ke sebuah keranjang yang ia lewati. Di dalamnya, penuh dengan tumpukan berbagai bentuk dan ukuran kepala ular.Hanya kepala!
"Silahkan, Tuan..."
Lagi-lagi Zulham berhenti, terkejut.
Ia tidak sadar diwajahnya yang sudah sepucat kertas malah sudah ber-simbah peluh dingin. Si petugas memperhatikan deng-an senyuman arif. Katanya, sopan,
"Memang, Tuan.Hanya sedikit pelanggan yang punya keberanian un-tuk masuk ke tempat kami bekerja."
Zulham mengawasi wajah si pembicara.
Mengingat pekerjaannya, dan apa yang disaksikan Zulham sebelum-nya, wajah yang ramah itu tampak seperti hantu saja di mata Zulham.
Ia bergidik, lalu berpaling ke sebelah kirinya. Dibalik kaca tampaklah dua ekor ular saling belit dengan liukan ringan. Dua lainnya merayap pelan sepanjang sisi kotak, salah satunya menjulurkan kepa-la.
Merapat setengah naik ke permukaan kaca.
Diakah Maria? Zulham mengamati sejenak.
Ular itu menurunkan ke-palanya dari kaca, kemudian ekornya melingkar diam.Tampak mengerikan karena sisiknya yang hitam legam ekor tumpul, kepala pun tidak selancip yang semesti-nya.
Malah kepala ular-ular hitam di depan Zulham tampak mendekati bulat, nyaris sebesar bola kasti. De-ngan titik kuning kemerah-merahan, bersinar redup.Mata yang seakan menyimpan kesedihan.
"Yang mana, Tuan?"
Zulham memperhatikan lagi dan menunjuk ke ular ke-lima yang tampak melingkar diam di sudut yang pa-ling jauh dengan kepala bulatnya rebah di rerumputan kering berlapis pasir. Ular yang satu itu, tak bergerak tampak sepertinya sudah mati.
"Mengapa dia?" tanya Zulham, terdorong gerak naluri.
"Sakit, Tuan. Masih dalam proses penyembuhan. Tidak menular dan tidak menimbulkan akibat apa-apa mem-ang, pada pelanggan. Namun khasiat ajaibnya dengan sendirinya tidak sehebat jika ia nanti sudah sehat."
"Sakit apa?" "Tampaknya bekas luka, Tuan. Luka tertusuk. Mung-kin di perjalanan ke tempat ini, dan..."
Zulham berpikir lain. Bukan luka tertusuk. Melainkan tertembus. Oleh peluru! Dengan jantung berdetak ke-ras, Zulham berkata setengah berbisik
"Boleh aku lihat? Aku tamatan fakultas kedokteran hewan..." tambah-nya sambil, diam-diam mengeluh, tak apa berbohong sedikit.
"Tak perlu repot-repot. Tuan. Kami punya dokter sendiri.."
"Boleh?" Zulham menatap tajam. "Demi langganan" orang itu tersenyum.
Diambilnya se-buah tongkat dengan tali pengait yang melingkar diujungnya. Empat ular yang sehat tampak menaikkan kepala, curiga. Sementara yang di kait menggeliat sedi-kit, namun tidak memperlihatkan perlawanan ketika lehernya dijepit tali simpul yang seketika mengencang.Si petugas mengeluarkannya dengan sangat hati- hati dari kotak kaca. Dan lebih berhati-hati lagi sewaktu meletakkan ular itu di atas sebuah meja kosong. Bahkan sempat ia usap-usap seraya berkata membujuk dengan ucapan yang tak jelas di telinga Zulham.
Tali simpul dilepas. Lalu:
"Silahkan, Tuan..."
Tanpa sadar, Zulham nyeletuk.
"Diakah?" "Ya, Tuan?" desah si petugas, sementara batin Zulham menangkap bisikan tajam.
"Liontin itu. Bung Zulham!"
Zulham menanggalkan kalung milik Maria dari leher-nya. Diperhatikan oleh si petugas yang keheranan. Zulham kemudian melingkarkan kalung itu ke leher ular di atas meja. Dengan liontin secara naluriah ia simpan dalam posisi menghadap ke wajah atau persisnya ke-pala sang ular. Disertai desahan bergetar:
"Maria?" "Ya Tuan?" Si petugas tambah bingung. Zulham mem-perkeras suaranya.
"Kaukah itu, Maria? Ini aku Zul-ham!"
Tiga orang petugas lain yang tengah sibuk bekerja, sa-ma berhenti lalu memandang ke arah Zulham, terus kearah ular di meja, lantas kembali memandang Zulham.
Terheran-heran. Kemudian terdengar suara berisik yang ribut. Di ham-pir setiap kotak kaca, mahluk- mahluk penghuninya sama bergerak liar. Beberapa diantaranya malah memukul-mukulkan kepala lancipnya dengan keras ke per-mukaan kaca tebal itu. Para petugas setempat terkesi-ma, kemudian sibuk mendatangi setiap kotak kaca,berkata-kata membujuk. Namun gerakan mahluk-mahluk didalamnya malah bertambah liar. Beberapa dari permukaan kaca sudah mulai basah digenangi darah.Lalu para petugas itu berdiri terpukau. Kebanyakan darah yang terlihat di permukaan kaca, warnanya bukan merah. Tetapi hitam...
Seseorang berseru ditahan.
Yakni petugas di sebelah Zulham. Matanya memandang ke arah mana Zulham tak berpaling oleh keributan mendadak itu. Diatas me-ja yang terlihat bukan lagi seekor ular hitam legam, melainkan sesosok tubuh perempuan telanjang.
[] *** SEPULUH Untungnya posisi Maria saat itu menelungkup sehing-ga penampilanya tidaklah terlalu memalukan.
Wajah-nya tergeletak miring.
Pucat dan tampak kurus. Meng-hadap ke liontin yang tergantung pada kalung yang
melingkari lehernya. Zulham memandang wajahnya dengan terpukau dan sekujur tubuh seakan lumpuh.Sadar bahwa ia telah menemukan Marianya.
Tangan-nya terulur kedepan, menyentuh wajah Maria. Dengan bibir menggerimitkan ucapan syukur kepada Ilahi.Ia raih tubuh telanjang itu, dibawa ke pelukan agar tu-buh Maria yang dingin sekali dapat merasakan kehangatan dadanya yang bergetar. Pada petugas disebelah-nya, Zulham memohon dengan suara bisikan saking tidak kuat menahan perasaan yang terharu biru.
"To-longlah... Ambilkan apa saja untuk menutupi tubuh Maria.."
Yang diminta tolong hanya tegak mematung dengan mulut ternganga dan sepasang mata dilanda teror, taklepas mengawasi sosok tubuh bugil dalam pelukan ta-munya. Dari arah lain,salah seorang rekannya terdeng-ar menggagap:
"Apakah mataku tidak salah lihat?"
Tetapi seorang lainnya, setelah mengatur nafasnya yang sesak sebentar kemudian bergerak menuju pintu sambil berkali-kali memandang ke tempat yang ia ting-galkan dengan pemandangan yang tak percaya. Sementara di balik kotak-kotak kaca, pemberontakan mahluk-mahluk itu telah berhenti mendadak.
Beberapa di anta-ranya tampak terkulai, mati.
Dalam pelukan Zulham, terasa tubuh Maria bergetar lemah. Kelopak matanya membuka pelan tetapi hanya mampu sebatas setengah mengatup. Namun sorot matanya yang pudar tampak berusaha mengenali.Kemudian terdengar rintihannya yang mengenaskan hati,
"Zul?" Zulham pun menangis. Sekaligus amarahnya bangkit.Dan ia melampiaskannya dengan kata-kata gemetar,
"Terkutuklah bangsat keji yang memperlakukanmu se-biadab ini, Maria. Akan kucari dia, dan..."
"Zulham. Jangan!" terdengar seruan peringatan di teli-nga Zulham.


Tarian Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Diakhiri keluhan pendek bernada kuatir.
"Oh... terlambat sudah..."
Siapa yang berseru sayup-sayup itu?
Mariakah? Pertanyaan-pertanyaan itu seketika terjawab oleh wa-jah Maria yang tampak berubah kejang, kaku. Begitu pula anggota tubuhnya yang masih setengah menggantung di atas meja.
Sepasang matanya membuka lebar.
Dan sinar mata itu, hampa.
Lantas dengan buas, sosok tubuh bugil dalam pelukan Zulham memberontak lepas. Sebelum Zulham sempat mengelak, dua telapak tangan yang halus tetapi sedingin es tahu-tahu sudah menjepit leher Zulham. Menjepit kuat seraya dari mulut Maria yang menyeringai, ter-dengar geraman keras.
Hiiihhh...!! Petugas yang tadinya berdiri kaku di sebelah Zulham,tak tahan lagi. Setelah menjerit, orang itu pun jatuh kelantai.
Pingsan. Dua rekannya lebih bermental baja.
Serempak mereka menyerbu ke depan untuk memban-tu tamu mereka yang terancam bahaya.
Dua-duanya menerima nasib sial. Satu terlempar ke pintu, memben-tur tubuh rekannya yang saat itu berlari-lari masuk membawakan kain yang tadi diminta Zulham. Pekerja satunya lagi terlempar ke salah satu kotak kaca-kaca pemisah sampai berderak pecah dan tubuh si pekerja menembus masuk ke dalam. Disambut oleh segerombolan ular kobra yang seketika menggelupur liar.Zulham pun mulai didesak mundur ke salah satu kotak lainnya Seekor ular sanca besar di belakang kaca pemi-sah, seketika mengangkat kepala dengan liukan men-unggu. Zulham mulai susah bernafas, sementara keduatangannya gagal untuk melonggarkan sepasang tang-an yang menjepit lehernya semakin kuat. Dalam panik ia menyadari siapa yang tadi berseru memperingatkan.Dan ia tahu apa yang dimaksud. Rani Pusparini jelas mengatakan,
Mahabharata 2 You Are My Dream World Karya Angchimo Kitab Mudjidjad 8

Cari Blog Ini