Ceritasilat Novel Online

Tarian Iblis 2

Tarian Iblis Karya Abdullah Harahap Bagian 2


"Disana nanti, jangan sampai berpikir apalagi menyebut-nyebut si penghujat..."
Punggung Zulham kini mendarat di permukaan kaca.
Ular sanca di balik kaca menyerbu ke depan.
Kepala lancip itu membentur kaca sedemikian keras sehingga kepala lancip itu retak seketika mengeluarkan darah hitam. Ular sanca itu pun menggelupur ribut di dalam.Dan di luar kaca sepasang mata Zulham sudah akan terloncat ke luar manakala alam bahwa sadar Zulham bereaksi. Membayang seketika peristiwa mengejutkan di kantor polisi, ketika Maria dikeluarkan dari sel tahanan, lantas tiba-tiba mengamuk seperti banteng ketaton.Reflek, Zulham melepaskan cengkeramannya dari per-gelangan tangan Maria dan dengan satu sentakan, ka-lung di leher Maria terenggut lepas. Maria membelalak,biji matanya yang hampa terbalik menampakkan ha-nya warna putihnya saja. Lalu tubuhnya melemas dan jatuh melorot untuk kemudian terhempas di lantai.Zulham tengah mengatur nafasnya yang sesak, sewak-tu bisikan peringatan menyentak telinganya.
"Lempar-kan ke api. Cepat!"
Zulham percaya pada peringatan Rani Pusparini. Ia kuatkan tenaga yang seakan sudah luluh lantak.
Deng-an sisa-sisa yang ada ia menghambur ke pintu di mana dua pekerja yang saling bertubrukan tadi tengah menggeliat bangun.
Api, pikir Zulham. Dan api hanya ada di dapur. Tuhan telah menolongnya untuk lebih dulu melihat letak dapur sewaktu Zulham masuk ke ruangkandang-kandang ular itu.Zulham nyaris menubruk seorang koki yang berlari-lari keluar dari dapur karena keributan yang terjadi. Koki-koki lainya tengah bersiap mengikuti ke luar dapur manakala mereka di buat tertegun oleh munculnya seso-sok tubuh berwajah pucat tetapi dengan pandangan beringas.
Zulham mencari-cari dengan matanya.
Dan karena semua kompor terisi, ia menendang panci yang terjerang pada kompor terdekat, panci itu terlempar.Isinya berhamburan kian kemari, para koki yang me-nyaksikan pada menjerit dan masing-masing menjauh untuk menyelamatkan diri.Zulham melemparkan kalung dan liontin milik Mariake kobaran api.
Kemudian, ia menunggu. Tetapi Rani Pusparini tiba-tiba menegur keras,
"Keluar. Cepat! Aku aku melihat ada pintu di sebelah kananmu!"
Zulham berpaling ke kanan.
Benar ada sebuah pintu dalam keadaan terbuka.
Menghadap ke halaman bela-kang gedung.
Diterangi lampu-lampu, ia melihat jalan keluar masuk mobil, sebuah pintu gerbang dan ada kendaraan melintas di sebelah sananya, jalan raya.Zulham berpaling ke arah lain, pintu dari mana sebe-lumnya ia masuk.
Ia ragu-ragu. Tetapi keraguannya di-putus oleh bisikan tajam Rani Pusparini,
"Lupakan Maria!"
Zulham mengeluh. "Tidak." Bisikan gaib itu terdengar nyaris putus asa;
"Maria su-dah mati, dengar? Aku bahkan sudah melihat rohnya mengambang pergi. Aku juga melihat kemarahan sipenghujat iblis!"
Api kompor di mana kalung dan liontin itu dilempar-kan Zulham, tampak memarak hebat. Nyala hijau me-nebar bercampur dengan sinar merah redup, mengata-si biru merahnya api kompor.
Zulham merasa silau. Dan ketika api kompor ia dengar berdesas-desas mengejutkan, sementara kompor itu sendiri seakan berderak-derak, Zulham bergerak ke pintu terbuka di sebelah ka-nannya.
Sambil berteriak keras-keras.
"Kebakaran! Kebakaran! Semua Keluar!"
Zulham sadar bukanlah kebakaran yang akan menim-pa. Tetapi hanya itu satu-satunya penjelasan yang pa-ling mungkin untuk memberi peringatan pada siapapun yang masih ada di dalam gedung Hidup Bahagia.
Teriak peringatan Zulham terlontar hanya karena naluriah semata.Dan begitu ia tiba di pintu Zulham pun melompat keluar. Kemudian berlari secepatnya menuju ke pintu gerbang. Sambil dengan pikiran seram membayang di pe-lupuk matanya peristiwa Condet dan nasib yang me-nimpa Mama Eyang.
Ia bayangkan sinar merah me-ngejar di belakangnya.
Menerkam mengunyah dan setelahnya Zulham tinggal tulang belulang dengan sisa-sisa serpihan daging.
Ia juga teringat pada Maria.
Lalu di belakangnya ter-dengar bunyi ledakan membahana.
Seketika Zulham menjatuhkan diri di tanah.
Bumi terasa bergetar di ba-wah tubuhnya.
[] *** SEBELAS SEKUJUR tubuh Zulham terasa sakit-sakit. Matanyapun perih dan lelah. Ia tengah menyandar dikursi un-tuk beristirahat sejenak ketika ia dibuat terkejut oleh bunyi ketukan di pintu kamarnya.Terdengar suara bibinya dari luar pintu.
"Zul?" "Aku masih hidup, Bi Ipah!"
Zulham setengah berseru seraya bangkit dengan lunglai. Ia pergi ke pintu, mem-bukanya dan seketika berhadapan dengan bibinya.Latifah memperhatikan sejenak ke wajah ponakannya dengan mata kuatir. Sepasang mata Zulham tampak merah karena kurang tidur, wajahnya pun kusut ma-lah mendekati layu.
"Ada telepon untukmu," Latifah memberi tahu.
"Aku akan ke dapur untuk menyiapkan makan siangmu.."
Zulham bergegas pergi ke meja telepon dengan sebuah harapan muluk, ada petunjuk mengenai Tarida.Sebagaimana ia duga, yang menelepon adalah kapten Parluhutan Siagian. Tetapi kalimat pertama yang me-nyentak telinga Zulham adalah,
"Seharusnya aku lem-parkan kau ke penjara!"
Habis berujar sengit begitu Parluhutan diam.
Jelas dengan sengaja. Untuk memberi kesempatan berpikir pada Zulham bahwa sang Kapten tidaklah mengada-ada.Hanya satu orang saja yang keluar hidup-hidup daridalam gedung Hidup Bahagia.
Dia adalah Zulham. Pe-ngunjung terakhir yang masuk ke dalam gedung mela-lui pintu depan, tetapi keluarnya dari pintu belakang.Ada dua saksi mata yang jika dikehendaki bersedia mengangkat sumpah. Parluhutan sendiri dan supir taksi yang beruntung selamat semata-mata karena terdo-rong gerak hati untuk berkenalan dan jika mungkin menjalin persahabatan dengan seorang perwira polisi ia meninggalkan taksinya lalu bergabung dengan Parluhutan di tempat Kapten itu menunggu.
Ledakan itupun kemudian terjadi.
Menghancurkan tidak hanya gedung Hidup Bahagia, pelataran parkir serta apapun yang ada di sana dan menimbulkan kerusakan berat pada gedung-gedung atau rumah di sekitarnya.
"Tetapi nasib baik agaknya senantiasa menyertaimu."
Parluhutan menggerutu ditelepon tetapi dengan suara lebih lunak.
"Hasil penelitian dari tim Laboratorium Kriminal mengambil kesimpulan, sumber bencana adalah meledaknya salah satu kompor gas di bagian dapur. Pengusutan sementara menambahkan belum ada petun-juk sabotase."
Zulham menelan ludah. Tanpa perasaan gembira. Bangkai-bangkai ular itu, tak apalah.
Tetapi sekian be-las mayat manusia, ditambah sekian orang lainnya yang toh meninggal juga dalam perjalanan atau sete-lah tiba di rumah sakit... Zulham lebih tidak gembira lagi setelah teringat pada salah satu mayat yang dite-mukan.
Maria. Satu-satunya yang agak menghibur hati hanyalah keajaiban apa pun yang menyertai akhir per-jalanan hidup Maria.
Ia meninggal sesuai kodratnya sebagai manusia. Mengiang di telinga Zulham bisikan ga-ib Rani Pusparini setelah ledakan dan bunyi gemuruh yang menyertainya, berhenti.
"Tugasmu sudah tuntas, bung Zulham!"
Begitu Ranipusparini membisikan lewat kekuatan ilmu telepatinya.
"Kini, saatnya aku bermeditasi dengan tenang. Untuk menuntaskan apa yang menjadi tugasku sendiri. Sela-mat tinggal."
Dan tak ada lagi hubungan, sejak itu.Zulham menarik nafas panjang, lalu menanyakan apa yang terus mengusik pikirannya semenjak bencana itu kemudian berakhir.
"Bagaimana dengan kalung dan liontin Maria?"
Sang Kapten ikut latah, menarik nafas panjang.
"Jika itu kusebut-sebut, aku pasti ditertawakan. Maka, dibantu anak buahku, diam-diam aku melakukan pemeriksa-an sendiri. Tak ada petunjuk, tak ada bekas-bekas. Itu sebab aku bilang, kau bernasib baik. Ditambah kenyataan saksi mata lainnya yang mengetahui kehadiranmu membawa kesaksiannya ke dalam kubur! "
Alex, pikir Zulham. Pengacara Tenny Puspasari.
Dan Parluhutan telah bertindak bijaksana.
Sadar bah-wa mereka berhadapan dengan kekuatan gaib yang akan ditertawakan orang.
Parluhutan menasehatkan Zulham untuk buru-buru menyingkir sebelum pihak berwajib setempat tiba untuk melakukan pemeriksaan.
"Selain itu..'' Parluhutan berbicara lagi di telepon.
"Aku masih disibukkan pula untuk mencari penjelasan yang masuk akal, keberadaanku dilokasi peristiwa ada kait-an dengan kasus penculikan Tarida.Kasusnya tetap ge-lap dan tak tahunya aku malah menemukan korban kasus penculikan sebelumnya."
"Maria." desah Zulham terenyuh.
"Lalu Sebentar, Kap-ten. Anda menelepon tentunya bukan sekedar ingin berbual-bual mengenai semua tetek bengek itu?"
"Persis!" Parluhutan mendengus lega.
"Sebagaimana te-lah kukatakan, aku tidak suka dilangkahi."
Zulham menyeringsi kecut.
"Masih kuingat, Kapten."
"Satu hal lagi. Laporan selengkapnya, Bung. Tidak ada yang disembunyikan. Kutunggu di kantorku."
"Oke, Kapten! " Kembali lagi ke kamarnya, Zulham meneliti sekali lagi sejumlah catatan yang dibuatnya. Rangkuman dari dokumen-dokumen yang yang telah ia pelajari sejak dini-hari, dan dikombinasi dengan informasi yang masuk pagi hari ini dari koneksi-koneksinya.Zulnam meneliti setiap lembar catatan yang ia buat.
Pertama,. konglomerat Tridharma. 1. Perseroan maupun yayasan berkantor pusat di pemukiman elite 3-P. Pantai pasir putih.2. Sarana untuk sebuah kota pemukiman tersedia leng-kap ke arah satu tempat ibadah. Tak ada masjid, takada gereja, tak ada kelenteng, atau tempat sejenisnya.3. Lokasi tertutup untuk umum. Pendatang dari luar baru boleh melewati pintu gerbang satu-satunya jalan keluar masuk, setelah memperoleh persetujuan melalui pos jaga, dari penghuni atau pemilik tempat yang akan didatangi.4. Pejabat teras baik peseroan maupun yayasan, bertempat tinggal di 3-P. Begitu pula mereka yang disebut-sebut sebagai Anggota Kehormatan. Selebihnya, boleh pi-lih di mana suka dengan catatan. Siap hadir sewaktu-waktu ada pertemuan di 3-P.5. Negosiasi: perampok bertopeng hukum? 6. Tridharma terdiri dari: a. Dharma kepada diri sen-diri. b. dharma kepada sesama Anggota Keluarga. c.dharma kepada Kepala Keluarga.7. Anggota Keluarga jelas, perorangan, atau badan hukum. Tetapi, siapa Kepala Keluarga?
Zulham tercenung sejenak. Semua dokumen dan infor-masi telah ia lalap habis, beberapa di bulak-balik dua tiga kali. Tidak disebut-sebut siapa yang dimaksud de-ngan Kepala Keluarga satu-satunya petunjuk adalah dari berkas Tenny Puspasari. Dokumen mengenai Ya-yasan hanya menyebut pengunduran diri sukarela dari Tenny Puspasari sebagai pendiri sekaligus merangkap Direktris Kehormatan dari yayasan. Tenny juga menyatakan persetujuan untuk menyerahkan kedudukannya pada seorang pengganti yang akan ditentukan kemu-dian oleh pengurus lengkap Yayasan.Siapa?
Zulham mengutip lengkap keterangan tambahan dari koneksinya :
"Dokumen dimaksud, tidak berhasil dite-mukan dalam arsip resmi. Dua kemungkinan: Hilang atau sengaja dihilangkan!"
Ada bunyi bel terdengar sayup ke kamar Zulham.Mungkin Rosida atau Nurmala sudah pulang dari sekolah. Atau barangkali ayah mereka.
Zulham kembali mengingat-ngingat catatan apa yang masih kurang atau perlu ia lengkapi.
Ada memang. Jumlah atau jenis usa-ha Tridharma termasuk anak perusahaan melalui negosiasi. Atau kegiatan Yayasan panti asuhan dengan pri-oritas anak yatim piatu. Tetapi semua itu tidak terlalu menarik perhatian. Semua berjalan sah menurut hu-kum. Tetap ada hal lain yang menarik minat Zulham.Maka ia tambahkan dalam catatannya,
"Bonus: Dian-tara Anggota Keluarga, tercatat nama beberapa tokoh terkemuka di luar usahawan. Dari lapisan masyarakat kelas atas, kalangan politikus, dan beberapa dari kala-ngan militer dan kepolisian. Daftar, menyusul.
Zulham sendiri masih menunggu daftar dimaksud dari koneksinya di dinas intelijen Markas Besar Kepolisian RI. Zulham pun maklum apa maksud catatan penutup dari koneksinya.
"Semua informasi terlampir, tidak me-nyangkut rahasia negara. Selebihnya, disimpan untuk arsip dengan kemungkinan ada penyelidikan resmi dan sah."
Untuk kepentingan negara tentunya.
Zulham memasti-kan dengan perasaan agak kecewa. Lalu ia beralih pa-da catatan-catatan berikutnya. Haruskah ini ia terus-kan pada Parluhutan?
Tidak ada yang disembunyikan.
Amanat dan Zulham merasa bimbang sewaktu ia me-nelaah kembali catatan kedua yang telah ia buat infor-masinya masuk tadi malam, justru ketika Zulham ada di rumah gadis itu. Catatan itu lebih banyak berdasar pengetahuan Zulham sendiri.
Data pribadi dan kegiatan bisnis Rani Pusparini ia le-watkan saja. Data yang diperoleh koneksinya dari Di-rektorat Jendral imigrasi, Zulham hanya menulis satu kesimpulan saja:
R.P lebih banyak berdiam di luarnegeri, dengan Madras (India) tercatat sebagai tempat terakhir.Catatan berikutnya adalah:1. R.P dan T.P. diambil dari rumah yatim piatu oleh se-orang hartawan bergelar Raden. Diadopsi sebagai cucuangkat, kemudian dinyatakan sebagai pewaris yang sah.2. Orang tua asli, tidak diketahui. Begitu pula ke luarga atau kerabat dekat. NB : Idem dito dengan Maria Mag-dalena.3. Pengikut sekte atau aliran kepercayaan. NB nama sekte, belum diketahui. Ada kaitannya dengan aliran Hare Krishna dan Guru Maharaj Ji. penyembah berhala 4. Diduga mengetahui apa atau siapa oknum yang ter-libat dalam kasus Maria dan bukan mustahil juga Ta-rida.
Zulham menyandar lagi di kursinya.
Dengan mata ter-pejam, menahan perih.
Tarida... Dimana dia? Baik-baikkah dia?
Masih hidupkah, atau...Latifah, bibinya, muncul di pintu.
"Ada tamu untukmu Zul."
Zulham menggeliat, lelah.
" Siapa?" Latifah angkat bahu. " Dia hanya mau menyebut nama. Esih, kalau tak salah. Oh ya, makan siangmu Zul..."
Zulham seketika melompat dari kursiya. Latifah ia lewatkan begitu saja.
Ia langsung bergegas ke ruang tamu dengan perasaan lebih bergairah dari sebelumnya,bahkan kelelahan pisik maupun mentalnya seakan mendadak terobati. Bagaimana tidak, ada beberapa pertanyaan dan ia merasa pasti Esih mampu dan bersedia menjawabnya.Begitu Zulham muncul di hadapannya, Esih yang tam-pak pucat langsung saja terisak-isak.
Tanpa ujungpangkal. Diantara isak tangisnya pelayan bertubuh tinggi kurus itu berkata terputus-putus:
"...Rani. Hanya Oom yang dapat... menolong Rani!"
[] *** DUA BELAS Dan demikianlah adanya. Rani Pusparini seorang avonturir.
Bakatnya itu sudah terlihat semasih tinggal di panti asuhan. Sementara saudara kembarnya nyaris setiap tahun merebut predikat anak teladan, maka Rani pusparini tidak pernah kehilangan gelar sebagai anak favorit. Tentu saja gelar tak resmi dan bertendensi negatip. Ibu asrama sampai sering pusing memikirkan hukuman apa lagi kiranya yang pantas dijatuhkan pada Rani Pusparini. Karena kapan saja ada kesempatan, gadis itu pasti minggat diam-diam. Hanya sekedar untuk memuaskan perasaan ingin tahunya tentang dunia di luar panti asuhan.Belum lagi hukuman untuk sifat tidak kapok bermain jaelangkung atau permainan sejenis yang bukan hanya membuat gempar, tetapi acap kali membuat teman-temannya seasrama, termasuk saudara kembarnya takut tidur sendirian, atau takut berada di tempat gelap. Sampai kemudian, datanglah lelaki tua renta bergelar Raden itu. Membawa pergi si anak teladan si anak favorit memasuki dunia lain. Dunia yang sering menjadi lamunan Tenny Puspasari. Namun tidak pernah diharapkan oleh Rani Pusparini, walaupun hanya dalam mimpi. Beberapa tahun kemudian, si tua yang memang sakit-sakitan itu meninggal dunia. Dan meninggalkan pula hartanya. Warisan yang berlimpah untuk kedua cucu angkatnya.
"Apa tidak ada pewaris lain?"
Zulham menyeling cerita Esih yang berkali-kali harus diarahkan agar kisah yang ia ceritakan tidak kacau balau.
Esih terkejut. Sempat menerawang, lantas cepat- cepat menjawab:
" Tidak. Tidak ada. Kakek angkat mereka memang berasal dari generasi yang minus keturunan..."
"Hem, Terus?" Sementara Tenny Puspasari bergigih menamatkan stu-dinya di bidang manajemen, Rani Pusparini dengan leluasa melampiaskan bakatnya. Terutama setelah usianya mencapai usia yang tercantum dalam surat wasiat untuk mengelola sendiri harta bagiannya. Mengunjungi tempat-tempat yang sudah lama ia impikan, termasuk di luar negeri. Untungnya, sebagian kekayaan Rani ia gabungkan dengan kepunyaan Tenny Puspasari di-kelola oleh Tenny dengan sistem bagi hasil. Rumah peninggalan kakek angkat mereka lebih mirip tempat istirahat ketimbang tempat menetap untuk Rani Pusparini.Sesuatu mengusik pikiran Zulham, dan diutarakan seketika.
"Kok tahu semua itu?"
Esih hanya perlu tempo singkat untuk berpikir, lalu menjawab tandas:
"Mereka memang berbeda karakter yang langka pada diri saudara kembar. Tetapi Rani dekat dengan Tenny. Dan Tenny dekat dengan saya.Dan saya, adalah tumpahan isi hati Tenny!"
"Bi Esih tentunya cukup lama sebagai pelayan mereka berdua..."
Esih mengangguk. "Sejak hari pertama mereka diambil dari panti!"
"Sebelum ceritanya berlanjut, satu pertanyaan lagi." tu-kas Zulham cepat-cepat, teringat pada isi surat Rani Pusparini.
"San Fransisco. Dia bilang waktu ia di SanFransisco dia pernah hilang pegangan bahkan kemudian nyaris bunuh diri. Tahu tentang itu?"
Pundak kurus perempuan itu tampak bergetar. Wajahnya tampak semakin tua saja, selama ia melamun dan kemudian memberi penjelasan.
"Pertama, Tenny melakukan kekeliruan dalam bisnisnya. Mestinya Tenny berhenti seketika ia mengambil keputusan mundur dari yayasan Tridharma. Eh sebaliknya, ia bernegosiasi de-ngan mereka. Katanya ada perasaan jenuh. Hal yang mengherankan, mengingat ia masih muda dan sebelumnya termasuk ulet."
Tidak mengherankan, pikir Zulham, jika diingat siapa orangnya di belakang konglomerat Tridharma. Di mata Zulham dia adalah bangsat yang berlagak seperti nabi.
Di mata Rani Pusparini, penghujat iblis.
Dan di mata Tenny Puspasari. tak salah lagi, jelas adalah Kepala Keluarga. Tiba di situ, benak Zulbam kembali mumet. Siapa, Kepala Keluarga itu?"
"Agak berat hati saya mengungkapkan penyebab lain-nya..."
Esih masih berbicara. "Tetapi karena persoalannya sudah terlanjur sejauh ini... Biarlah saya akui saja.Saya tak tahu darimana Rani tahu. Tetapi ia punya uang lebih dari cukup untuk mencari tahu, bukan? Belum lagi jiwanya yang memang selalu ingin tahu. Dan akhirnya dia mengetahui, tetapi aku bersikeras menentang."
Zulham menyeringai. "Agak berbelit di telingaku.Coba diringkas!"
Esih gemetar lagi, menelan ludah sesaat, kemudian,
"Rani meminta pengakuan saya di bawah sumpah.Bahwa saya adalah... ibu kandungnya!"
Zulham terpesona. Selama beberapa saat ia hanya ternganga memandang. Adapun Esih, air mata menetes lagi di pipinya.
Air mata tua. Di pipi yang sudah tua. Setelah menguasai diri, Zulham mendesak halus,
"Dan?" " Saya menolak keras..."
"Sebentar. Bi Esih dari tadi menyebut nama-nama. Tanpa Non. Menurut dugaanku. Bi Esih sebenarnya adalah...."
Esih manggut-manggut. Dengan leher yang tampak seperti kaku.
"Betul Saya memang ibu kandung mereka."
"Lalu, mengapa..."
"Saya terikat pada sumpah sebelumnya. Sumpah yang saya niatkan dibawa sampai ke alam kubur. Tetapi...."
Esih kembali terisak-isak.
Zulham membiarkan sampai kemudian Esih sanggup melanjutkan sendiri tanpa di-tanya.
"Tenny tiba-tiba lenyap. Mungkin sudah mati...dan saya bertanggung jawab untuk itu. Karena sayalah yang menganjurkan agar ia menyembunyikan diri di sebuah kampung terpencil. Tanpa ia pernah tahu bahwa pada siapa ia kusuruh datang, adalah nenek kandungnya sendiri. Dari pihak ibu..."
Jadi, itulah tabir misteri mengapa Zulham menemukan sebuah mobil tak bertuan di hutan belantara Sumatera.Ia belum bisa mengungkap misteri lainnya: ular berkepala ganda yang menggeliat keluar dari tumpukah pakaian di dalam mobil. Ular yang mencucurkan airmata!
Zulham sependapat dengan Esih. Bahwa Tenny Puspasari lenyap.
Entah masih hidup atau sudah mati.
Yang pasti saudara kembar Tenny sudah bertekad untuk menyelamatkan roh Tenny Puspasari. Dan itu bukanlah petunjuk bahwa gadis itu masih hidup atau sudah mati. Kecuali bahwa Tenny Puspasari telah memasuki kehidupan lain. Kehidupan yang sudah sempat dimasuki Maria Magdalena.
Zulham bergidik. Seram. Dan sekaligus marah. Lamat- lamat ia mendengar suara Esih yang setengah merintih,
"Jika sejak semula kuakui semuanya. Tenny mungkin masih ada di sampingku. Juga Rani. Tetapi sekarang..."
"Pada siapa Bi Esih terikat sumpah mati itu?"
"Kakek angkat mereka..."
"Karena..." Zulham berdebar. "Orangtua yang malang itu,"
Esih bergemetar hebat. "Sesungguhnyalah, kakek kandung Tenny dan Rani!"
Luar biasa, Zulham membatin.
Luar biasa tabahnya Esih mengingat apa yang kemudian diceritakan Esih secara ringkas bagaimana semua itu sampai terjadi. Esih memang sudah berstatus pelayan, ketika putera satu-satunya majikannya menaruh hati padanya. Esih yang tahu diri berusaha menjauh bahkan minta berhenti.Tetapi putera majikan terus mengejar, sampai akhirnya Esih menyerah dan kemudian hamil.
Lalu tiba-tiba,muncul lah calon isteri yang sudah ditentukan jauh hari sebelumnya. Masih dari keluarga ningrat pula.Setelah sempat ribut dengan orangtuanya, maka ayah jabang bayi dalam perut Esih akhirnya menyerah.
Esih tidak menyalahkan. Dia juga mencintai laki-laki itu.
Atau menurut Esih, dia bahagia aku pun ikut bahagia.Kenyataannya Esih tak pernah bisa hidup berbahagia.Ia harus menyingkir jauh-jauh karena kehadirannya maupun kehadiran jabang bayinya merupakan aib buat keluarga si tercinta. Esih kemudian melahirkan tanpa bantuan bidan apalagi dokter, di rumah seorang penarik becak yang ada hubungan kerabat dengan Esih. Bekal yang diberikan oleh ayah si tercinta, lama kelamaan habis. Untuk tetap mengurus sendiri anak-anaknya, Esih tidak mungkin. Karena ia harus bekerja apalagi jika bukan sebagai pelayan dari satu ke lain rumah. Dan tidak ada majikan yang bersedia meneri-ma pembantu, sekaligus dua bayi merah yang harus dirawat dan dihidupi. Dikirim ke orangtuanya di Sumatera pun tak mungkin. Esih tak akan jadi pembantu dirumah orang, kalau orangtuanya di Sumatera mampu berbuat lebih dari itu.Satu-satunya jalan adalah menitipkan anak kembarnya di rumah yatim piatu.
"Tepatnya..." rintih Esih, sakit.
"Mereka kubuang. Terpaksa kubuang!"
Benar. Esih terpaksa. Terpaksa meninggalkan bayi kembarnya terbungkus selimut di pintu rumah pemilik sebuah panti asuhan ditengah malam buta. Hanya dengan pesan pendek :
"Tolonglah, demi Tuhan. Rani Pusparini dan Tenny Puspasari harus hidup. Tanpa mereka boleh tahu, betapa ibu mereka seorang yang hina dina.
Itu saja. Esih tidak pernah tahu bahwa ayah bayi kembar itu hi-dup sengsara di dunianya sendiri. Isterinya mandul,bercerai tak sampai hati. Mengangkat anak orang lain tak sudi karena mengapa tidak, anak atau darah daging sendiri?
Setelah pertengkaran yang berlarut-larut,akhirnya semua terbuka. Dan sang isteri bersedia menahan hati. Bahkan ia ikut mendampingi si suami, mencari kian kemari di mana gerangan Esih dan anak-anaknya yang terbuang. Lalu, kecelakaan lalu lintas menyu-dahi usaha mereka yang tak pernah berhasil itu.Tinggallah sang lelaki tua renta sendirian dan mulai sakit-sakitan. Bersama penyesalan yang tak kunjung habis. Disusul usaha yang tak kenal lelah, sampai akhir-nya berhasil menemukan Esih. Setelah saling memaafkan dan saling bertukar cerita. Esih bersedia memberitahu di mana anak kembarnya berada. Dengan syarat,
"Saya boleh mendampingi mereka sampai akhir khayat saya tiba. Atau karma berbalik, mereka tak suka lalu membuang saya!"
Si tua renta sepakat, tetapi juga dengan syarat : Ber-sumpahlah, kau tidak akan membuka rahasia bahwa kau ibu kandung mereka!
"Alasannya memang tidak bisa dibantah. Rani Pusparini dan Tenny Puspasari tidak boleh tahu mengapa mereka sampai terbuang di panti asuhan. Terutama tahu ibu mereka adalah bekas dan nyatanya memang selamanya seorang pelayan. Dikuatirkan, jika mereka tahu akan merusak jiwa atau masa depan anak kembar itu.Esih menyetujui dengan serta merta.
*** Kisah itu diselang makan siang atas desakan Latifah.Namun kecuali untuk menghidangkan penganan ring-an dan makan siang.
Latifah tetap memisahkan diri.
Ia cukup bijaksana untuk mengetahui. Walau tanpa dikatakan kapan ponakannya ingin dibiarkan sendirian.Nurmala, puterinya, sering memisalkan dengan sindir-an.
"Lihat dahinya. Satu lipatan, boleh nimbrung. Dualipatan, jagalah tutur kata. Dan tiga lipatan di dahi si Abang, minggat-lah...!"
Untuk menyingkirkan urusan dan perasaan sentimen-til, selesai makan siang Zulham pun mengarahkan Esih kembali ke inti masalah. Katanya,
"Mula-mula datang tadi, Bi Esih bilang, Rani boleh jadi akan mengalami nasib serupa dengan Tenny. Mengapa?"
Esih tampak mau menangis lagi, tetapi mampu menahan diri. Terbata-bata ia menjelaskan,
"Sebelum ia me-ninggalkan rumah. Rani menyuruh aku dan Johan menghadap, kami berdua dianjurkan menikah. Katanya lagi, rumahnya adalah rumah kami berdua pula.Ia belum pernah menaruh perhatian besar seperti itu.Apalagi kemudian ia merangkul dan menciumiku sebe-lum pergi. Saya lantas ketakutan. Takut, ia... tak akan pernah kembali!"
"Ah. Itu kan cuma prasangka..."
Esih menggeleng. "Ada lagi, ketika saya tanya dia akan pergi ke mana, jawaban Rani membingungkan. Namun entah bagaimana, membuat jantung saya berdetak.."
"Apa katanya?" Esih menirukan kata-kata Rani Pusparini:
"Aku mau jalan-jalan sebentar ke kampung asal. Melongok biawak yang konon telah berganti rupa menjadi seekor buaya raksasa!"
Zulham berdebar. "Kampung asal. Di mana itu?"
"Mula-mula, saya pun bingung," sahut Esih.
"Tetapi setelah bertukar pikiran dengan Johan, kami melihat hanya satu kemungkinan. Yakni panti asuhan dimana ia pernah tinggal bersama Tenny..."
"Oh..." Zulham ikut bingung. Tetapi ia mulai punya gambaran.
Dengan bernafsu, ia pun bertanya:
"Dimanakah itu?"
Esih menyebut nama dan alamat sebuah panti asuhan yatim piatu.
"Tetapi itu nama dan alamat lama. Sebelum panti itu terancam bangkrut, lalu Tenny mengambil alih. Dengan uang pensiun dalam jumlah besar untuk pengurus lama, yang memang sudah pada lanjut usia."
"Yang kubaca dalam dokumen Tenny adalah Panti Asuhan Tridharma. Itukah?"
"Barangkali Oom membacanya selintas saja. Atau terpengaruh oleh nama besar Tridharma. Pasti di dokumen itu tertulis dengan benar... walau barangkali hanya dalam satu dua alinea saja dicantumkannya. Nama yang benar, adalah Yayasan Dwidharma. Sebagai cikal bakal dari..."
Dwidharma atau Dwi Dharma?
Tak ada bedanya, hanya penyederhanaan selera. Tetapi Zulham seperti pernah dengar.
Kapan? Di mana? Dalam urusan apa? Ada bayang-bayang pembunuhan ataukah pemerkosaan?
Terhadap siapa? Mengapa? Ba-gaimana? Zulham berkeringat dingin ketika ingatan-nya sampai pada seseorang.
Tetapi gairahnya seketika meledak-ledak.
"Buaya raksasa.. ah. biawak itu. Siapa gerangan?"
"Dwidharma..." Zulham tersenyum, sabar.

Tarian Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orangnya, Bi. Nama orangnya!"
"Memang itulah namanya. Dwidharma namanya saya sering dengar dalam pembicaraan mereka, ia satu-satunya orang lama yang diajak Tenny bergabung setelah panti asuhan itu ia ambil alih..."
Zulham terhenyak. Bagaikan lumpuh mendadak.
Itulah dia. Panti asuhan yatim piatu dan Dwidharma.
Kasus kriminal pertama yang ia liput dalam awal perjalanan kariernya sebagai wartawan.
Kasus pertama,dan tentu saja meninggalkan kesan mendalam yang sulit dilupakan.
Terutama. kasusnya sendiri. Terbayang di pelupuk mata Zulham sosok seorang gadis kurus kecil, diturunkan dari sebuah truk dinas Jawatan Sosial. Zulham tertarik pada apa yang oleh mereka yang lain diremehkan dan dicap sebagai cerita isapan jempol seorang anak gelandangan setengah waras. Pengakuan si anak bahwa ia bekas penghuni sebuah panti asuhan yang katanya,
"Hidup di sana, sama dengan hidup di neraka!"
Tidak banyak yang menarik dan dapat dirangkai dan ceritanya yang kedengaran asal cuap itu. Kecuali dua hal perzinahan masal. Dan hukuman cambuk terhadap yang membuka rahasia. Dengan satu tambahan,yang membuat petugas pemeriksa menyingkirkan kasus si anak. Bocah perempuan yang tampak setengah waras itu menyebut-nyebut ia orang normal, hanya Kebetulan saja aku dijadikan korban sihir..."
Kasus si bocah perempuan semakin dipetieskan setelah ia menyebut nama panti asuhan dimaksud. Sebuah panti dengan nama terhormat, dikelola oleh orang-orang terhormat. Lebih-lebih lagi bukan sekali dua mere-but medali penghargaan baik dari organisasi massa.maupun dari pemerintah.
Tetapi Zulham penasaran. Justru yang tampak remeh acapkali tidak boleh disepe-lekan. Justru yang terdengar menggelikan ternyata mengejutkan. Zulham pun tidak selalu berpatokan pada logika kriminologi kejahatan di balik rupa yang buruk.Zulham sering membuktikan sebaliknya sifat keji, dibalik seraut wajah lembut.
Zulham bergerak sendirian.
Informasi yang menguatkan ia kutip di sana sini, beberapa sangat menyakinkan. Kelemahannya tidak ada bukti otentik. Lebih fatal lagi, Zulham punya tiga orang saksi yang malah bersumpah untuk kebenaran informasi yang mereka berikan. Tetapi hanya di hadapan Zulham, tidak di depan pihak berwajib apalagi sampai ke pengadilan.
Dalih mereka tidak terbantah.
"Aku masih ingin bernafas! Aku punya keluarga yang perlu dihidupi! Dan, Bercerita pada Bung pun sudah mengandung bahaya."
Satu dari tiga saksi Zulham itu kemudian mati secara mengerikan dalam peristiwa penodongan yang misterius. Dua lainnya semakin ketakutan dan akhirnya menutup pintu untuk Zulham. Sampai di situ, barulah Zulham memutuskan untuk menyerah. Tetapi sebelum ia menyerah, ia sempatkan mendatangi kepala panti asuhan hanya untuk memberitahu,
"Waktu akan ber-bicara."
*** "Oom?" Zulham tersentak. Bangun dari masa lalunya yang menyakitkan.
"Oom sakit?" Zulham menyeka keringat di dahinya, namun toh se-kujur tubuhnya tetap terasa dingin, teramat dingin.
Sampai-sampai ia menggigil.
Dan suaranya lepas dari mulutnya pun suara gigilan,
"Aku..baik-baik saja, Bi Esih..."
"Tetapi..." "Ada hal lainnya yang dapat atau Bi Esih ingin untuk peganganku?"
Zulham menukas. Lalu mereka masih berbincang-bincang sekitar bebera-pa menit setelah mana Esih pamit dan Zulham lang-sung menghambur ke kamarnya. Dibukanya dokumen Tenny Puspasari mengenai Yayasan Tridharma. Esih memang benar, Nama Tridharma sedemikian sering tertulis sehingga nama Dwidharma seakan terlewatkan dan Zulham pun salah teliti.
Tertulis pula alamat jelasnya.
Yang membuat Zulham kembali berpeluh dingin. Teringat, dia sendiri yang mengatakan:
"Waktu akan berbicara!"
Dan waktu, memang kemudian telah berbicara.
Tahun demi tahun berlalu, dan waktu akhirnya mempertemu-kan mereka. Sekali, di hutan belantara Sumatera.
Kali yang kedua di koridor rumah sakit.
Dua pertemuan yang seolah-olah dimaksudkan sebagai kelanjutan per-temuan mereka yang pertama.Pada pertemuan pertama mereka, Zulham hanya me-ngucapkan satu kalimat pendek. Dijawab oleh hanya satu kalimat pendek pula: Dengan suaranya yang lem-but, kharismatik.
"Kau mendatangi alamat yang keliru.Anakku!"
Zulham bangkit dari kursinya sambil berdesah,
"Lahaulaa". Ketika ia berganti pakaian, dia berbisik yakin
"Aku datang ke alamat yang benar!"
Ia tahu ke mana Rani Pusparini pergi.
Ia tahu, ke mana ia sendiri harus pergi.
Dan ia kini tahu di mana Tarida!
[] *** TIGA BELAS GAUNG suara riuh berisik membangunkan Tarida dari tidur yang resah dan sangat melelahkan, ia dengar campur aduk suara orang berbincang, teriak memang-gil, canda ria, tawa mengakak, cekikikan manja dan entah apa lagi. Mirip suasana di sebuah bar yang dipa-dati oleh pengunjung.
Tarida menggeliat bangun dari lantai.
Lantai di mana sebelumnya ia berulangkali terjaga lantas tertukar lagi,masih terasa dingin. Tetapi hawa sebeku es itu sudah hilang dari ruangan tempatnya disekap. Lalu, mata Tarida yang nanar menangkap adanya bias cahaya.Menembus dari dinding kaca yang sebelumnya ia lihat tertutup tirai. Dari sekian banyak lampu yang menyala terang benderang pada ruangan di seberang dinding kaca pemisah.Dan tampaklah sebuah ruangan besar dan luas, sebe-sar dan seluas sebuah lapangan basket.
Tidak tampak adanya meja.
Namun terlihat banjaran tempat duduk di Kiri kanan ruangan disusun bertingkat. Makin kebelakang letaknya semakin tinggi. Semuanya memakai jok dan sandaran tebal dan pasti empuk dan nyaman diduduki.Anehnya semua tempat duduk dibarisan kosong melompong. Ratusan manusia yang ada di ruangan itu entah mengapa lebih suka berdiri atau duduk sesukanya diasas kata Berkelompok-kelompok. dan sebagian dianta-ranya berjalan kian kemari untuk pindah dan berga-bung dengan kelompok lain. Tampak pula belasan anak-anak tanggung berpakaian rapi hilir mudik mengedarkan minuman yang seketika membuat kerongkongan Tarida bagai tercekik. Belum setetes air pun masuk me-lalui kerongkongannya semenjak ia diculik.
Entah su-dah berapa lama pula.
Tarida tidak tahu. Ia tidak lagi memperhatikan waktu.
Tarida menggeliat lagi memulihkan tenaga dan semangatnya yang sudah hancur berantakan.
Ia merangkak dengan susah payah.
Diantara bekas muntah. Dan bau air seni yang ia tahan-tahan dikala terjaga, namun toh keluar juga sewaktu ia tertidur.
Jatuh bangun bahkan sampai merayap.
Ia sampai ke dinding kaca.
Lalu me-lihat adanya kejanggalan Di kelompok terdekat, seo-rang bocah perempuan berusia paling juga 12 tahunan sedang beradu bibir dengan seorang lelaki manula.Dan tangan bocah perempuan menyelinap di balik celana si manula. Di kelompok lain, lebih mengejutkan lagi.Seorang lelaki dewasa merangkul dan menciumi seo-rang bocah lelaki sambil sebelah tangannya terus menerus mengusap-usap pantat si bocah. Beberapa orang dewasa juga brcumbu dengan bebas sesama mereka. Se-mentara yang lain asyik terus bersenggama seolah-olah apa yang berlangsung disekitar mereka adalah sesuatu yang lazim dan tidak perlu diributkan. Padalah hampir keseluruhan orang yang ada di ruangan itu berbusana dan berpenampilan seperti orang-orang terhormat.
Tetapi Tarida terus merangkak maju.
Berbeda dengan sebelumnya.
Tarida tidak lagi menu-tup mata, menjauh, atau bahkan lari menghindar.
Ia harus melakukan kontak dengan mereka, paling tidak satu dari mereka. Untuk memastikan apa yang telah menimpa dan lalu menyiksa pisik serta mental Tarida sedemikian rupa. Apakah benar ia terperangkap oleh halusian mengerikan. Atau terjebak dalam penamaan sihir yang selama ini tidak pernah ia yakini kebenaran-nya.Mulanya Tarida hanya mampu mengetuk-ngetuk kare-na tangan yang lemah. Ia pun hanya bisa merintih ka-rena lidah yang mengeras, kaku. Namun kemauan yang keras sedikit demi sedikit memulihkan tenaganya. Ia akhirnya mampu memukul-mukul kaca sambil berteriak-teriak histeris.
Bahkan berdiri, lari menendang-nendang.
Satu dua orang tampak menoleh memandang heran ke arahnya, kemudian kembali pada keasyikannya semula.
Seakan tak pernah melihat apa-apa.
Tarida tidak menyerah. Ia terus saja memukul dan menendangi kaca.
Terus sa-ja berteriak ke arah mereka.
Sampai suarannya parau,kemudian habis.
Buku-buku tangannya bukan hanya sakit, tetapi pada lecet dan berdarah.
Begitu pula deng-an kaki.
Hanya tinggal nafas yang terputus-putus.
Sampai akhirnya tubuh Tarida melorot pada kaca, jatuh berlutut di lantai. Dahi Tarida membentur-bentur lem-ah pada kaca di depan tempatnya berlutut sebagai upaya terakhir.
Sambil menangis terisak -isak.
Gaung suara itu, tiba-tiba berhenti.
Tarida baru menyadari setelah telinganya hanya mendengar suara orang mengisak.
Dan itu ternyata isak tangisnya sendiri. Ia tertegun dengan sedikit harapan membersit:
"Mereka mendengarku! Mereka akan meno-longku, dan..."
Akan tetapi, seketika itu juga pikiran lain datang me-nebas. Ratusan manusia di seberang kaca barangkali sudah tidak ada di tempatnya. Sebagaimana peristiwa peristiwa mengerikan sebelumnya, mereka telah sirna.
Dan Tarida telah sendirian lagi.
Kembali pada kesunyi-an. Tenggelam dalam gelap gulita.
Harap-harap cemas, Tarida mengangkat muka.
Diapun melihat. Melihat ratusan manusia di balik dinding kaca masih memenuhi lantai ruangan. Namun tidaklagi berdiri, duduk, atau hilir mudik. Ratusan manusia itu kini sama bersujud mencium lantai. Baik itu lelaki atau perempuan, tua atau muda, semuanya bersujud tanpa kecuali. Menghadap ke ujung ruangan yang berhadapan dengan ruang kosong tempat Tarida disekap.Ternyata bagian dalam gedung dimana Tarida berada, berbentuk oval.
Tarida di ujung oval yang satu.
Dan di ujung lainnya tampak tirai putih yang semula disangka Tarida adalah tembok, menutup perlahan-lahan ke samping kiri dan kanan.Tampak sebuah panggung besar dan lebar, di atas mana terlihat sesuatu yang mencengangkan Tarida. Sebuah singgasana emas berbentuk ular dengan kepala ganda. Tempat untuk duduk terletak di bagian mana tubuh ular raksasa itu terbelah dua, sementara dua sosok kepala ular masing-masing meliuk ke depan menyerupai tangan-tangan kursi. Besar dan tinggi maupun ukuran singgasana itu dapat dibayangkan, karena sosok tubuh laki-laki dewasa yang berdiri di kaki singgasana,tampak menjadi kecil tak berarti.Yang terutama mencengangkan Tarida adalah sinar berwarna kebiru-biruan yang meliuk-liuk hilang-hilang timbul di sekitar singgasana, membuat sosok ular berkepala ganda itu tampak bagaikan ikut meliuk-liuk hidup. Apalagi sepasang mata di masing-masing kepala,berkeriap-keriap mengeluarkan sinar merah menyerupai nyala api terus membara.Tarida mengalihkan perhatiannya pada sosok tubuh dikaki singgasana.
Siapakah orang itu? Pangerankah? Seorang Raja atau Sultan?
Mungkin salah satu diantara-nya. Yang pasti, dimana Tarida orang itu tampak biasa biasa saja. Berpenampilan parlente dengan busana mengikuti selera zaman, tanpa jubah kebesaran, tanpa tongkat komando di tangan. Posturnya malah tampak menggelikan. Sulit memastikan apakah dia itu bertu-buh tinggi besar atau saking gemuk malah terlihat jadi pendek. Raut muka tak terlihat jelas, kecuali bahwa ia tampaknya mempunyai wajah bundar yang berlemak pula.
Apa sih istimewanya orang itu?
Tarida segera memperoleh jawaban sewaktu telinga-nya menangkap gaung suara serempak dari ratusan orang yang bersujud mencium lantai itu,
"Selamat untukmu, Api dari kegelapan..."
Api dari kegelapan. Apa maksudnya? Nama atau sebuah julukan?
Lalu mengapa api dari kegelapan?
Secara instingtif naluri Tarida membisikkan sesuatu, dan seke-tika membuatnya miris seakan udara di ruangnya kem-bali sedingin es. Apalagi ketika mendengar gaung berikutnya dari para pemuja sang Api dari kegelapan itu.
"Cahayamu menyinari hidup kami... Melindungi kami..dari musuh-musuh yang terlihat dan tidak terlihat..."
Ritual. Itulah yang,telah dirasakan oleh Tarida.
Setelah gaung suara itu menjauh lalu hilang, sosok dikaki singgasana itu perlahan-lahan menapaki anak-anak tangga yang juga berlapis emas, atau hanya warna-nya saja berwarna emas. Dalam setiap langkahnya, or-ang itu meninggalkan sinar merah redup di tiap anak tangga. Ia kemudian duduk dengan nyaman di singgasananya yang empuk dan di tata mewah serta artistik tanpa menghilangkan kesan wujud ularnya. Dia mena-tap ke bawah, kemudian mengangkat tangan sambil angkat bicara.
"Berdirilah, Anak-anakku. Dan kembali-lah ketempatmu masing-masing..."
Tarida gemetar. Itulah dia orangnya. Yang berbicara kepadanya dan pernah memperlihatkan sosok dirinya. Orang bersuara lembut, kharismatik. Bahkan Tarida sendiri nyaris bangkit berdiri jika tidak perasaan linu, perih dan sakit ti-dak keburu mencegah. Perasaan yang merayap dan menggerogoti tidak hanya pisik, tetapi juga jiwa Tarida.Tanpa bersuara, ratusan manusia yang bersujut itupun berdiri untuk seterusnya secara tenang dan tertib mengambil tempat di banjaran kursi bersusun di kirikanan ruangan. Kecuali belasan anak-anak tanggung yang duduk bersila di bawah panggung tempat sing-gasana, dan balasan lainnya duduk bersila membelakangi dinding kaca yang memisahkan mereka dengan Tarida.
Semuanya duduk diam. Menunggu. Tarida terpenga-ruh. Diam-diam ikut menunggu Dengan jantung ber-debar. Dalam keheningan yang mendebarkan jantung itu, ter-dengar lagi suara lembut tadi di telinga Tarida.
Terasa begitu dekat. Seakan-akan si pembicara duduk di dep-annya, sedang berbicara kepadanya penuh welas asih.
"Anak-anak terkasih."
Orang yang duduk di singgasana menakjubkan itu memulai,
"Sebagaimana kalian semua sudah mengetahui, malam tadi musibah telah menim-pa beberapa orang anggota kehormatan dari keluarga kita. Sekaligus mengambil korban tenaga-tenaga teram-pil yang telah sekian lama mengabdi dengan setia. Aku tidak akan menyebut jumlah karena itu hanya akan menambah kepiluan hati dan membangkitkan kemarahan yang sia-sia saja. Apalagi, tidak seorangpun dari mere-ka yang dapat diselamatkan."
Tak ada suara komentar. Semua diam membisu deng-an wajah tanpa ekspersi.
Tarida lantas bertanya-tanya, siapa korban musibah di-maksud. Musibah apa, dan berapa orang yang jatuh sebagai korban. Menyimak kata-kata si pembicara, ten-tunya dalam jumlah yang mengejutkan.
Mereka semua mati, dan...
"Kita tidak boleh larut dalam kesedihan!"
suara kharis-matik itu bergaung di seantero ruangan.
"Karena airmata tidak akan mengembalikan mereka yang telah pergi. Namun demikian, Anak-anakku. Untuk mengenang mereka, silahkan mengangkat toast.."
Setiap orang di semua tempat duduk mengangkat se-rempak minuman yang tersedia di kursi masing-masing. Bagai dikomando, ratusan tangan teracung ke atas kemudian setiap orang menyicip minuman masing-masing dengan tenang dan tanpa bersuara. Sementara pembicara di singgasana, tidak minum apa-apa.
Ia hanya memperhatikan. Dan di balik dinding kaca tempatnya disekap.
Tarida terpaksa hanya bisa mengusap-usap kerongkongan dan menelan air liur sebagai pe-ngisi dahaga yang kian menjadi-jadi.
"Anak-anakku terkasih..." si pembicara meneruskan tanpa sekalipun menatap ke seberang ruangan.
Ke dinding kaca. Seolah-olah Tarida tidak ada atau tidak ia ketahui kehadirannya.
"Untuk pelipur lara dan pengendor dukacita, hari ini aku bermurah hati melimpahi kalian semua kegembiraan untuk menyaksikan dua pertunjukan menarik. Sekaligus sebagai pengadilan dengan anakku sekalian kuperkenankan bertindak sebagai hakimnya."
Ratusan wajah di balik dinding kaca perlahan-lahan memperhatikan emosi, kegembiraan, dan ketidak sabaran. Wajah bundar di singgasana tampak tersenyum samar-samar.
"Pertunjukan pertama," katanya.
"Justru ada kaitannya dengan musibah dimaksud. Akan kuperlihatkan pada kalian semua oknum yang bertanggung jawab atas musibah itu, untuk mana ia harus menebus dosa..."
Suara bisik-bisik terdengar disana sini.
Di mana-mana terlihat wajah-wajah yang penasaran. Dan dari singgasana terdengar suara lantang.
"Naikkan dia!' Tarida menunggu sambil mencari-cari dengan matanya. Siapa yang disebut-sebut, dinaikan dari mana dan ke mana. Kemudian ia sadari bahwa semua wajah da-lam ruangan di balik dinding kaca, sama memandang ke bawah. Yakni ke lantai di mana sebelumnya mereka berkeliaran dan kemudian bersujud memuja orang yang mereka sebut sang Api dari kegelapan.Diiringi bunyi dengungan halus, sebidang lantai yang letaknya cukup dekat dengan dinding kaca tampak se-perti membuka ke samping kiri dan kanan. Tampak kemudian sebuah lubang besar menganga hitam. Sesuatu terlihat naik ke atas, menuju permukaan lantai yang terbuka. Mula-mula, ujung sebuah balok lebih pendek terletak menyilang di sepertiga bagian atas balok panjang tadi.
Tarida berbisik terperanjat.
"Kayu salib!" Dan pada kayu salib itu terikat tubuh seorang laki-laki berpakaian santai dengan kedua tangan terentang kekiri ke kanan. Ia setengah terbungkuk menahan berat-nya bobot balok-balok tebal itu. Kepalanya merunduk tertekuk memandang ke arah bidang papan berbentuk bundar tempat dia menginjakkan kaki, dan akhirnya menutupi lubang besar di permukan lantai.Alam bawah sadar Tarida mengucap istigfar manakala pemandangan yang ia saksikan mengingatkan Tarida pada kisah Nabi Isa sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab suci. Yang membedakan dengan suasana di jam-an Romawi Kuno itu adalah selain pakaian si lelaki,juga kepalanya tidak dilingkari dengan kalungan akar-akar berduri. Rambut tebal bergelombang itu, terurai lepas, awut-awutan.Tarida belum tahu siapa orang itu, berapa usianya, ba-gaimana wajahnya diperlakukan sedemikian rupa. Karena balok-balok kayu di punggung orang itulah yangmenghadap ke dinding kaca. Si pemanggul kayu salib menghadap lurus ke ujung ruangan di seberang. Kepanggung, dan singgasana menakjubkan di atasnya terdengar bunyi desahan nafas berat.Lalu
"Tuhanku..." Suara itu pelan dan lirih, jelas di antara penderitaan-nya ia tersentak melihat pemandangan di depan mata-nya. Orang yang duduk di singgasana tersenyum lebar.Katanya,
"Aku anjurkan anak muda. Putarlah tubuhmu, dan lihatlah siapa di belakangmu.."
Tubuh di bawah balok-balok kayu tampak seperti menegang. Kaku, lantas perlahan-lahan, dan dengan gerakan susah payah, sosok tubuh itu memutar. Salib kayudi punggungnya ikut memutar ke arah berlawanan sampai tubuh itu menghadap langsung ke dindingkaca dan berhenti menegun.
Sejenak, Tarida terkesima.
Kini ia tahu, bahwa kehadirannya di balik dinding kaca memang sudah diketahui oleh orang yang duduk di atas singgasana.
Sikap tak acuhnya disengaja, dan inilah dia sebuah surprise yang nyaris mencopot jantung Tarida.
Diawali seruan getir, tertahan,
"Tari!" Si pemanggul salib tidak perlu mengangkat muka agar Tarida dapat melihat lebih jelas. Hanya dengan mende-ngar suara dan sebutan untuk namanya, Tarida sudah bisa menebak. Tubuhnya yang kaku dan didera sakit disana sini, toh masih kuat juga untuk merinding. Melalui bibirnya yang terbuka Tarida mendesahkan sebuah nama. Yang tak terdengar, bahkan oleh telinganya sendiri.
Zulham. [] *** EMPATBELAS MEMANG betul, Zulham mendatangi alamat yang be-nar. Di mana ia berharap akan bertemu dengan musuh lamanya. Lelaki misterius yang berlagak seperti nabi.Yang oleh Rani Pusparini disebut-sebut, bukan lagi se-kedar berlagak tetapi malah sudah menabikan dirinya sebagai utusan iblis.Dan seperti halnya Parluhutan, dalam diri Zulham su-dah lama tertanam sebuah prinsip:
jika keadaan memaksa, modal nekad pun jadilah. Namun begitu Zulham menyempatkan diri juga menyinggahi kantor polisi. Ia perlu seorang pendamping yang dapat dipercaya sebagai teman sekaligus pelindung. Tetapi Parluhutan tidak ada dikantornya karena ada tugas mendadak kelapangan. Tidak seorang pun yang dapat memberi penjelasan kemana kapten itu pergi, dimana bisa dihubungi, kap-an akan kembali. Parluhutan sendiri rupanya menjalankan aksi tutup mulut. Zulham memperoleh kesan dari pembicaraannya di kantor polisi bahwa Parluhutan membawa serta beberapa orang anak buah yang sudah terlatih dan berkemampuan tinggi.
"Seperti mau ke medan tempur saja."
Zulham sempat berseloroh.
Dan apa boleh buat, ia tinggalkan saja am-plop berisi catatan-catatan yang telah ia buat dan janji diserahkan. Amplop itu ia masukkan catatan tambah-an, kemana ia akan pergi dan untuk urusan apa. Ber-harap Parluhutan segera kembali ke kantor, kemudian menyusul belakangan. Itulah modal kedua Zulham yang lebih parah dan modal nekad modal angan-angan.Kemudian Zulham pun tiba di pintu gerbang keluar masuk pemukiman elite 3-P, Pantai Pasir Putih yang bangunan-bangunan maupun sarana pelengkapnya serba wah itu. Pada petugas jaga ia utarakan niatnya untuk menyumbang Yayasan Tridharma berencana pula sebagai donatur tetap.
"Hanya sumbangan kecil." Katanya.
Satu-satunya ke-benaran dari sekian kebohongan yang ia utarakan untuk dapat menembus ke 3-P.
"Yang saya rela dan iklas-kan setulus hati."
Tentu saja. Toh yang akan ia sumbangkan dan hanya untuk pertama dan terakhir kali adalah uang orang lain yang tidak lagi dibutuhkan pemiliknya, Tenny Puspasari.Berlangsung sebentar kontak ke kantor induk Yayasan.Seterusnya Zulham diantar ke tempat yang dituju. Di-sambut dengan ramah tamah, yang berlanjut ke kasak-kusuk antara sesama pengurus di dekat Zulham.
Dikarenakan Zulham menegaskan,
"Saya harus serahkan langsung ke tangan Tuan Dwidharma!"
Di mulut Tuan, di sanubari bangsat.
Salah seorang pengurus kemudian masuk ke balik sebuah pintu tertutup. Keluar lagi dengan segera lalu me-ngajak Zulham memasuki gang berbelok-belok melintasi sebuah taman yang di tata artistik dengan bukit-bukit mini berair terjun. Menuju ke gudang lainnya yang jauh lebih besar, lebih megah. Tetapi bukannya masuk lewat pintu utama. Melainkan lewat pintu belakang yang lebih menyerupai sebuah pintu darurat.
Zulham tidak banyak cincong.
Tidak ribut memprotes,ia mengikuti dengan patuh saja. Suatu keharusan jika kita hanya bermodal nekad doang, Zulham pun tidak bertingkah. Setelah menuruni tangga ke ruang bawahtanah dan masuk ke sebuah gudang, tahu-tahu saja beberapa jagoan sudah mengurung lalu mengikat diri-nya. Sambutan yang tidak ia duga-duga sama sekali.
Namun ia meyakini betul, semua itu toh akan berakhir ke tujuan semula juga, bertemu muka dengan si misterius yang berlagak nabi itu.Setelah harapan itu nanti terpenuhi, barulah Zulham masuk ke tahap berikutnya.
"Perlakukan aku sehendak hatimu. Tetapi, lepaskanlah Tarida!"
Tahap penutup, Zulham tidak berani membanyang-kan. Kecuali satu hal, apa yang akan terjadi, terjadilahl!
Dan memang kemudian terjadi.
Ia melihat musuh lamanya.
Ia tersentak sekaligus terpesona, bukan karena melihat sosok orang yang sudah menabikan diri itu. Me-lainkan, setelah melihat sosok singgasana yang didudu-kinya. Singgasana berbentuk lambang yang sudah iakenal betul, ular berkepala ganda. Dalam ukuran luarbiasa besar dan tampak menggeliat hidup karena pe-ngaruh sinar biru yang meliuk-liuk dan sinar merah membara di masing-masing matanya.
Setelah itu terjadilah anti klimaks.
Zulham sejak semula sudah yakin ia akan sampai ke tahap kedua. Namun begitu ia memutar tubuh yang tersiksa oleh beban berat balok-balok kayu salib, manakedua lengan diikat terentang pula, Zulham toh akhirnya tidak mampu bertahan.Tari-nya tampak terkurung di balik sebuah dinding ka-ca. Belum sampai 30jam semenjak Tarida menghilang,tubuhnya tampak sedemikian kurus, wajah pucat layu,sepasang matanya nyaris tanpa sinar kehidupan.
Tubuh itu pun tampak terus menerus gemetar. Tak ubah-nya seekor tikus yang terperangkap di dalam lubang yang di huni oleh ratusan ekor ular-ular ganas dan ber-bisa.Suara yang keluar dari mulutnya terasa amat menyakitkan,
"Tari!" Tidak sanggup melihat pemandangan yang memilukan hati itu, Zulham pun meronta dengan marahnya. Ia balikan tubuh sekaligus untuk melontarkan sekeran-jang kutuk ke alamat orang yang duduk di singgasana.Tingkah emosionil itu pun berakibat fatal dalam seke-tika. Zulham limbung, lantas ambruk dengan kerasnya di lantai.
Terhimpit balok-balok kayu salib.
Yang se-akan meremukkan tulang belulangnya.Menyaksikan kekasih yang dicintai tergeletak di bawah himpitan balok-balok kayu yang berat itu, entah ping-san atau sudah mati, Tarida mengerang dan merintih.Segenap perasaan sakit dan penderitaan yang dia tanggung sekian puluh jam tanpa berbenti, sekonyong-konyong lenyap entah kemana. Tenaga maupun semang-atnya tiba-tiba muncul kembali dengan kekuatan berli-pat ganda.Tarida serempak bangkit dan menjerit lantang ke arah singgasana di seberang sana.
"Biadab! Apa sesungguh-nya yang kau mau, hai kau api neraka yang terkutuk?"
Wajah bundar di atas singgasana, tidak memperlihat-kan reaksi apa-apa. kecuali, seulas senyum tipis. Lain halnya dengan ratusan manusia di balik dinding kaca,belum hilang gaung jeritan Tarida, ratusan kepala se-rempak terangkat, berpaling dari tontonan mengasyi-kan di lantai ke sosok yang tampak kecil tak berdaya dalam ruang besar tetapi kosong, di balik dinding kaca.Tarida melihat ratusan wajah-wajah yang marah. Lan-tas seseorang, entah siapa, tiba-tiba berseru seraya me-nuding Tarida.
"Rajam mulutnya yang kotor, Ooo...Api dari kegelapan!"
Seorang lainnya mengikuti,
"Seret dan paksa dia merangkak ke hadapan yang mulia!"
Disusul, "Salibkan saja bersama si pembunuh!"
Dan, "Berikan aku sebilah pedang! Akan kutebas..."
Umpat cerca, kemarahan, serta teriakan-teriakan nista datang dari segenap penjuru. Bukan hanya dari kalangan orang dewasa dan penampilannya tampak terhor-mat, tetapi juga dari kelompok anak-anak tanggung yang membelakangi dinding kaca, kini pada membalikan tubuh dan ribut memukuli kaca searah Tarida.
Tarida tidak bergeming di tempatnya.
Ia jelas takut. Tetapi setelah menit-menit serta jam-jam yang penuh ke-takutan telah ia jalani, rasa takut yang muncul se-karang ini, tidaklah berarti. Terlebih lagi, ia membayangkan Zulham sudah mati, ia pun bertekad, rela untuk menyusul!
Pikiran setengah sadar itu membantu Tarida untuk te-tap tegar, siap menanggung resiko apa pun juga. Ia putarkan pandang ke seantero ruangan dengan sepasang mata tak berkedip dan mulut terkatup rapat. Ia bahkan dapat menikmati suasana panas dan hiruk pikuk da-lam kemarahan yang membuta itu. Lalu ia melihat tidaklah seluruh hadirin ingin mencincang dirinya habis habisan. Ada walau hanya segelintir yang terlihat tetap duduk diam di tempat. Tanpa beraksi apa-apa, malah berpaling untuk tidak melihat ke dinding kaca. Disudut sebelah kanan luar dinding kaca itu, Tarida tiba-tiba beradu pandang dengan sepasang mata kaum sejenisnya. Sepasang mata sejuk bening, di seraut wajah cantik rupawan. Mata itu seakan ingin meneduhi Tari-da. Bibir ranum yang mengguratkan senyuman samar-samar itu, seakan memancarkan simpati.
Dan tersen-diri pada Tarida.
Terasa membersit kekaguman yang melintas di tengah perasaan kekuatannya.Pertukaran pandang itu berlangsung hanya sekilas dua. Setelah itu si cantik rupawan bermata bening se-juk itu, menatap ke sosok tubuh Zulham yang terhim-pit salib kayu.
Aneh, wajahnya seketika dingin membe-ku.
Saat berikutnya ia duduk dengan sikap tenang, terkendali, dan penuh penguasaan diri.
Saat mana terde-ngar suara lunak.
Lembut, kharismatik, datang dari jauh tetapi terdengar begitu dekat.
"Kuasailah diri kalian, Anak-anakku..."
Luar biasa. Di tengah gemuruhnya jerit dan teriak kemarahan, suara lembut itu tetap terdengar nyata di telinga setiap orang yang hadir. Terbukti dari pengaruh yang kemudian timbul. Amukan membuta itu perlahan lahan mereda, dan semua orang kemudian sudah duduk tenang dengan sikap tertib di kursi atau tempat duduk masing-masing.
Dan ratusan pasang mata, terpu-sat ke satu titik.
Orang yang duduk di singgasana.
Dikitari oleh sinar biru yang melingkar dan meliuk hilang-hilang timbul menambah kharismatik penampilannya,dan memberikan pengaruh gaib yang menakjubkan pada setiap orang pengikutnya.
Sunyi hening, seketika. Semua menunggu. Tanpa ada yang berani merusak keheningan di sekitarnya. Tetapi orang yang duduk di singgasana belum juga memperdengarkan suaranya yang berdaya tarik istimewa itu.Duduknya pun tenang dan diam, tampak seperti berpikir-pikir.
Lalu suatu saat, tangan kirinya meraih sesuatu dari bawah pegangan kursi singgasana.
"Tangkap ini!" ujarnya lembut dan melemparkan sesuatu ke bawah panggung.
"Dan lakukan tugasmu sebaik baiknya!"
Seorang bocah tanggung menangkap apa yang dilemparkan.
Tampaknya kantong kain entah berisi apa.
Bocah lelaki itu kemudian berjalan melintasi ruangan menuju ke tempat Zulham rebah tergeletak di bawah himpitan balok kayu salib. Pada waktu bersamaan,beberapa anak tanggung lainnya yang duduk membelakangi dinding kaca segera bangkit.
Mereka pun berjalan ke arah yang sama.
Dan kemudian membungkuk,lalu bergotong royong membalikkan tubuh Zulham yang tergeletak.
Terdengar bunyi kayu beradu.
Keras mengejutkan, tubuh Zulham kini berubah posisi, menghadap ke langit-langit ruang oval dengan balok-balok kayu salib berada di antara lantai dan punggungnya.
Tarida mengawasi harap-harap cemas.
Seketika ia merapatkan tubuh kedinding kaca manakala terlihat gerakan lemah pada pundak Zulham. Bibir Zulham yang tampak bengkak pasti karena akibat mencium lantai ketika tubuhnya am-bruk, pelan-pelan menggerimit mengeluhkan sesuatu.Ingin rasanya Tarida mendobrak kaca pemisah, kemudian lari untuk memeluk dan melindungi kekasih hati-nya. Tetapi ia sudah mengetahui kekuatan dinding itu.Dan jika pun mampu ia pecahkan, yang tentunya hanya angan-angan kosong belaka, apa yang dapat ia perbuat sendirian. Sementara di sekelilingnya ada ratusan manusia yang siap untuk menahan maksud Tarida lan-tas menyeretnya sejauh mungkin dari Zulham?
Bocah tanggung dari bawah panggung singgasana kini sendirian bersama Zulham yang tetap rebah di ataskayu Salib. Ia berlutut dengan tenang, wajah tampan-nya yang lembut kekanak-kanakan tidak memperlihat-kan emosi apapun juga. Kantong kain yang dibawa-nya, dibuka acuh tak acuh.
Isinya ditumpahkan ke lan-tai .
Beberapa buah paku-paku besar dan panjang dan sebuah palu.
Tarida hampir terlompat. Di luar sadarnya ia kembali meninju-ninju kaca sambil menjerit panik,
"Apa mau kalian Apakan dia..?"
Bocah itu bekerja cepat dan tangkas sekali, belum juga jeritan panik Tarida berakhir, sebuah paku besar sudah menancap kokoh di palang salib, menembus telapak tangan kiri Zulham.
Darah merah kental, seketika me-ngalir membasahi lantai.
Tubuh Zulham terlonjak dalam pingsannya kemudian ia tersadar dan mengaduh kesakitan.Di sana sini terdengar desahan nafas mengungkapkan perasaan campur aduk. Terbanyak desah kegembiraan,karena wajah mereka tampak bersinar-sinar senang.Apalagi setelah menyaksikan sosok tubuh gadis di balikdinding kaca jatuh berlutut di lantai.
Dengan mulut ternganga dan mata membelalak.
Tarida tidak mempercayai apa yang telah disaksikannya!
Sebelum paku kedua ditancapkan ke telapak tangan kanan Zulham, dari arah singgasana terdengar bisikan rendah:
"Tunggu.." Bergaung desahan nafas kecewa.
Namun tidak ada yang memprotes.


Tarian Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Si bocah tanggung pun hanya diam merunduk dan menunggu dengan patuh. Tarida mengangkat muka, menatap jauh ke seberang. Akan mereka hentikankah penyiksaan biadab atas diri Zulham?
Ba-gaimana pun jahat serta kejamnya orang yang mempunyai suara kontras itu, demikian Tarida berharap, dia itu tetap saja manusia adanya. Dia tetap memiliki rasa iba terhadap sesama walau itu tak lebih tipis dan sehe-lai rambut.
"Kau, Anakku!" Terdengar suara dengan sepasang ma-ta di wajah bundar itu menatap turus ke wajah Tarida.
"Dapat saja menghentikan penderitaan kekasihmu...Selama kau berjanji dan melaksanakan satu hal yang kukehendaki."
Kepala Tarida tertegak, mendongak.
"Apa.... apakah itu? Sebutkanlah."
Bisiknya bernafsu. Sadar bisikan itu mungkin tidak terdengar ke seberang sana, ia sudah si-ap mengulangi dengan suara yang lantang, ketika terdengar jawaban atas pertanyaannya.
"Seperti kukatakan padamu sebelum ini!"
"Aku..aku lupa.."
"Tak apa. Biarlah kusegarkan daya ingatmu. Niatmu berwudhu tak terlaksana. Makan malammu yang sebetulnya bercita rasa tinggi, berubah wujut atas kehen-dakku. Sama seperti kehendakku memberimu hiburan di luar kamarmu. Nah..."
Tarida beigidik, Seram. Jalan pikirannya kacau seketika, segala sesuatu sulit ia rangkai.
"Baiklah," Orang yang duduk di singgasana itu berusa-ha membantu.
" Biar kuulangi lagi. Kau ada di tempat-ku. Segala sesuatu dengan sendirinya berlaku atas ke-kuasaanku pula. Kau tidak kuperkenankan menyebut nama lain di tempatku. Satu-satunya nama yang bolehkau sebut, bila kau menghendaki sesuatu adalah nama-ku!"
Tarida mulai bisa merangkai .
Masih belum terarah, na-mun tidak lagi sekacau tadi. Ia beranikan diri untuk bertanya.
"Dan...siapa engkau ini?"
Hening yang menekan, seulas senyuman manis, dan ditutup oleh suara rendah, menekan.
"Iblis." Saking terperanjat, Tarida berucap dengan keras.
"Na-udzubillah...!"
Dalam seketika itu juga, si bocah tanggung yang jelas mengetahui apa dan kapan ia harus menjalankan tug-as tanpa menunggu adanya perintah sudah memaku telapak tangan kanan Zulham ke palang kayu.
Saat itu-lah Zulham tersadar sepenuhnya.
Saat paku tertanam semakin dalam karena dipalu semakin keras.
Zulham meronta. Dan meraung-raung kesakitan.
[] *** LIMA BELAS RAUNG kesakitan itu lagi-lagi merupakan titik balik.
Dalam diri Tarida. Alam bawah sadar gadis itu menahan Tarida supaya tidak ikut meraung apalagi sampai jatuh pingsan.
Jika itu terjadi, dia akan ikut hancur bersama Zulham. Ak-an sama-sama runtuh dalam ketidak berdayaan.
Itu bukanlah bukti cinta kasih. Karena cinta berkehendak,bila yang seorang jatuh maka ia harus dibantu oleh yang seorang lagi.
Agar tegak kembali. Paling sedikit,tidak sampai jatuh semakin dalam.
Tarida harus bertahan. Ia berjuang mencegah ratap tangis yang nyaris meled-ak.
Ia kuatkan hati serta imannya.
Dan berseru geme-tar dari balik dinding kaca ditujukan pada Zulham.
"Sebutlah nama Allah!"
"Bandel!" Suara mengeram itu datang dari arah singgasana. Pe-lan saja, tetapi dinding kaca bahkan lantai di bawah kaki Tarida, terasa bergetar dengan hebat. Ratusan orang yang berada di luar tampak menjadi gelisah. Di sana sini terlihat wajah-wajah ketakutan. Tanpa ada yang berani membuka mulut atau bergerak di tempatnya duduk.
Kemudian getaran itu berhenti sendiri.
Terdengar desahan nafas panjang dari arah singgasa-na. Yang mengherankan, suara yang kemudian disusul sebaliknya dari murka, suara orang yang duduk santai pada singgasana, terdengar gembira.
"Luar biasa. Ini dia permainan sesungguhnya! Bukan sekedar bersenang-senang. Tetapi juga dihadapkan pa-da tantangan. Dan aku menyukainya!"
Tarikan nafas lega berkumandang di sana sini.
Di balik dinding kaca, Tarida justru bertambah tegang.Apa maksud orang misterius itu?
Terdengarlah bunyi perintah lunak.
"Singkirkan anak hina itu.Dan bersihkan lantai dari darahnya yang kotor..!"
Gerombolan anak-anak tanggung yang membelakangi kaca,serempak bangkit. Sekali lagi mereka membantu temannya. Si anak yang telah menyalib Zulham deng-an wajah dan sikap tetap tenang, seolah-olah yang ba-rusan ia lakukan adalah memaku sebilah papan yang terlepas dari dinding.Bergotong royong mereka angkat balok kayu panjang di mana tubuh Zulham bagai menyatu. Zulham sendiri dibantu supaya tegak, sekalian dituntun meninggalkan tempat penyiksaannya. Supaya ia tidak terjatuh, bebe-rapa anak memegangi kayu balok, sisanya membersih-kan darah yang menggenangi lantai. Bukan memper-gunakan kain lap. Melainkan,mempergunakan lidah mereka masing-masing. Menjilat bahkan tampak sete-ngah menghirup darah yang ditinggalkan Zulham sampai lantai kembali bersih dan licin berkilat.Sayang, pemandangan yang mengejutkan itu tidak sempat disaksikan Tarida. Gadis itu perhatiannya lebih tertuju pada sang pemuda tercinta, ia lihat bagaimana Zulham dituntun tersuruk-suruk menuju sebuah tiang.Balok kayu ditegakkan beramai-ramai, supaya letaknya vertikal rapat ke tiang beton yang kokoh itu.
Akibatnya pada Zulham sungguh menyedihkan.
Kare-na kakinya tidak lagi memperoleh tempat berpijak, tu-buh Zulham tentu saja tergantung-gantung sekitar satu meter dari permukaan lantai. Bila dapat disebut kemu-juran, maka bermujurlah Zulham. Karena setelah tang-annya dipaku, tali pengikat pergelangan tetap dibiar-kan terikat ke palang kayu. Dengan cepat dan terampil pula anak-anak tanggung itu telah membelitkan tali tambang ke tiang salib sekaligus tubuh Zulham untuk diikat kencang ke tiang beton. Tubuh Zulham lantas tidak lagi tergantung- gantung.Namun tentunya upaya anak-anak tanggung ini tidak-lah dimaksudkan untuk mengurangi penderitaan Zul-ham. Dan kenyataannya, selama mereka bekerja, Zul-ham tidak berhenti-henti mengerang.
Sengsara. Tarida hanya mampu menggigit bibir.
Sambil berurai air mata. Dalam pada itu, orang yang mengaku diri sang Api dari kegelapan, bahkan kemudian lebih hebat lagi .sang iblis mengalihkan perhatiannya pada yang lain. Mata disapukan ke seantero ruangan dengan mulut tebal diwajah bundarnya yang lemak, mengulas senyuman puas.
"Aku tahu, Anak-anakku. Kulihat wajah-wajah yang kecewa di sana sini. Tetapi tidak usah kuatir. Pertun-jukan mengasyikkan tadi, pada waktunya nanti akan kita teruskan. Aku harap kalian semua nanti akan ter-puaskan. Karena selain bakal menjadi pertunjukkan puncak sekaligus penutup .kalian semua akan ikut ber-peran di dalamnya. Terserah kalian menentukan apa-kah cukup memaku kedua punggung telapak kaki an-ak hina itu ke kayu salib. Atau barangkali beramai-ramai memaku bagian demi bagian tubuh lainnya. Kare-na, kalianlah hakim-hakimnya!"
Kali ini, di mana-mana terdengar desahan nafas sukacita.
Tidak demikian halnya dengan Tarida.
Ia terbelalak ngeri, merintih pelan, lantas duduk terhenti di balik dinding kaca. Sekujur tubuhnya menggigil di alas lantai yang terasa semakin dingin. Puncaknya adalah Tarida tidak kuasa mencegah keluar apa yang semestinya ke-luar.
Roknya kembali melembab basah.
Dibasahi air seninya. Namun demikian, alam bawah sadar Tarida tetap ber-tahan. Alam bawah sadar itu menyadari dirinya tidak dalam keadaan suci bersih. Biar begitu ia yakin Tuhan Maha Pengampun.
Jauh di sanubari Tarida berdoa.
Berserah diri memohon kekuatan dan perlindungan-Nya.
Agaknya orang yang menduduki singgasana tahu betul apa yang sedang diperbuat Tarida. Sepasang ma-tanya yang bersinar dingin menatap lurus ke dindingkaca seakan ingin menembusnya, kemudian menembus pula ke sanuburi Tarida. Untuk membisikkan isi hati-nya,
"Aku pun ingin tahu, sejauh mana engkau mam-pu bertahan!"
Setelah satu dua kali helaan nafas panjang, orang itu berujar dengan suaranya yang khas. Lembut, kharismatik, dan ditujukan pada semua yang hadir.
"Baiklah...sementara kita menanti kelanjutan dan puncak pertun-jukan yang tertunda itu, marilah kita menyaksikan per-tunjukan kedua yang telah kujanjikan. Hanya sebuah pertunjukan kecil. Dan anggap saja sebagai selingan menggembirakan setelah dari tadi kalian semua sempat gelisah dan takut."
Tarida terusik untuk merintih, siapa lagi, yang berikut ini?
Ia memperhatikan ke luar dinding kaca.
Masih tak ter-dengar suara perintah.
Rupanya orang yang duduk disinggasana itu tengah menikmati reaksi tak sabar daripara pengikut yang memujanya dengan kepatuhan mutlak itu. Tarida ikut-ikutan memutar pandang, sela-in ketidak sabaran di sana sini ia juga kegelisahan.
Be-berapa malah tampak tegang dan pucat.
Pandangan Tarida berakhir pada sosok si cantik rupa-wan. Wanita molek bertubuh aduhai itu, lagi-lagi men-datangkan kekaguman di hati Tarida. Si cantik rupa-wan duduk begitu tenang, tetap dengan sikap terken-dali. Namun dengan jarak yang cukup dekat ke din-ding kaca, Tarida dapat melihat jakun di leher mulus dan jenjang itu. Jakun itu turun naik tidak teratur,seperti turun naik payudaranya yang mencuat ken-cang dan indah di balik gaun siangnya yang hitam pekat.
Tampak tidak teratur pula.
Di balik ketenangan wajah dan pengendalian sikap yang mengagumkan itu, jelas tersembunyi sesuatu yang bertentangan dengan penampilannya. Terbukti dari sinar matanya, ketika terdorong gerak naluri ia berpaling ke arah Tarida, dan seketika mereka kembali beradu pandang.Sinar mata itu memperlihatkan kemarahan malah seperti menyimpan dendam. Saking takut melihatnya, Tarida seketika berpaling. Ia kembalikan perhatiannya kelantai ruangan berbentuk oval itu. Bidang lantai persis di tengah-tengah seperti terjadi sebelumnya, perlahan-lahan membuka diiringi bunyi dengungan halus. Lub-ang hitam menganga sepersekian detik, lalu sesuatu naik ke atas dari dalam kegelapan.Awalnya Tarida hanya melihat adanya gerakan sinar merah seperti darah, redup namun menimbulkan efek silau.
Tarida sempat terpejam. Kemudian membiasa-kan lalu menyesuaikan tatap, matanya untuk dapat melihat jelas.
Lantai itu sudah menutup kembali.
Dan di atasnya dalam lingkaran sinar merah darah, Taridapun melihat sesuatu.
Mulanya ia sangka adalah sebuah simpul tambang yang bekas terputus. Lalu pelan-pelan ia lihat tambang hitam pekat itu bergerak.
Menggeliat hidup. Bagian yang tampaknya seperti terputus itu kemudian meliuk naik, lalu tertegak diam menatap ke singgasana.
Orang yang ditatap tersenyum lembut, lalu menyapa lebih lembut lagi.
"Aku harap kalian baik-baik saja. Anakku!"
Tambang-tambang tegak itu seketika meliuk-liuk liar.Tarida lantas akhirnya menyadari dengan terpana bahwa apa yang ia lihat itu adalah seekor ular bersisik hi-tam pekat dan berkepala ganda. Masing-masing kepala itu tampak berusaha melepaskan diri dari kungkungan sinar. Meliuk ke sini, meliuk ke sana.
Seperti akan me-matuk. Sinar merah redup itu ikut meliuk, menjauhkan diri dari setiap serangan kepala-kepala ular itu.
Seakan mempermainkan. Dengan sinarnya yang semakin me-rah, semakin redup, semakin menyilaukan.Sampai akhirnya dua sosok kepala bermoncong lancip itu kembali tertegak diam, seperti putus asa.
Di balik dinding kaca, Tarida diam-diam tersentak.
Lingkaran sinar merah dan sosok kepala ganda dan ular yang setengah tegak itu mengingatkannya pada liontin dikalung Maria.
Liontin itu ternyata lambang pemujaan kepada sang Api dari kegelapan yang juga mengaku diri iblis itu, dan kini tampak duduk dengan gembira disinggasananya.Dan di balik dinding kaca pemisah, Tarida kemudian menyaksikan peristiwa yang selain mendebarkan jan-tung juga mendatangkan pesona yang mencengangkan.Sosok ular berkepala ganda itu tahu-tahu bergerak tumbuh semakin besar, semakin tinggi. Sinar merah redup yang melingkarinya tidak lantas pecah, tetapi menam-bah lebar dan tinggi lingkaran sehingga tetap mengu-rung sosok ular yang pertumbuhannya berhenti setelah tingginya kira-kira mencapai ukuran tinggi manusia dewasa. Dengan kepala dan bagian tubuh sebesar ling-karan paha orang dewasa pula.Wujut kepala lancip perlahan-lahan merebak, terkelupas. Demikian pula sisik-sisik hitamnya yang pekat. Lalu dari bagian yang terkelupas itu, menggeliat keluar wujut lain yang lebih besar dengan bentuk yang lebih pantas untuk dilihat. Dalam tempo singkat, muncullah dua sosok kepala dan wajah manusia yang semakin jelas dan jelas, sampai tampak bersih dan utuh.
Yang satu, wajah seorang lelaki muda dan gagah.
Dan satu-nya lagi wajah cantik rupawan seorang wanita.
Perubahan wujud itu terus berproses semakin kebawah.
Tetapi Tarida tidak lagi terlalu memperhatikan pada proses, melainkan memusatkan pandang ke wajah yang wanita.
Setelah yakin, ia terkejut, dan pelan-pelan berpaling ke satu arah di luar dinding kaca. Ketempat duduk perempuan yang semenjak tadi menarik perhatiannya.
Dan, ia melihat raut wajah yang sama.
Bagai pinang dibelah dua.
*** Rani Pusparini tidak memenemui hambatan yang ber-arti untuk dapat menembus penjagaan ketat di pintu gerbang masuk pemukiman elite Pantai Pasir Putih.Dari beberapa kali pembicaraan dengan Tenny Puspa-sari sebelum saudara kembarnya itu menghilang dari rumah, cukup banyak keterangan yang berhasil ia kumpulkan. Salah satunya adalah liontin yang menjadi lambang kebanggan keluarga Tridharma, pemiliknya sang-at terbiasa. Pengurus teras, pribadi pemilik perusahaan dengan siapa Tridharma bernegosiasi dan anggota ke-hormatan. Relasi yang mempunyai pengaruh luas diluar kalangan bisnis.Selebihnya konon pula berstatus pegawai rendahan,tak lebih dari sekedar abdi. Yang kesetiaannya selain dibeli dengan kemewahan duniawi, diperteguh oleh sumpah setia dibawah pengaruh gaib kepala keluarga.
Termasuk mereka yang bertugas di pos jaga pintu ger-bang atau penerima tamu di pintu gedung pertemuan yang disebut ruang oval.Hambatan kecil yang harus ditangani Rani Pusparini hanyalah menyangkut teman-teman terdekat dalam sektenya yang ikut mendampingi.
Rani Pusparini lebih du-lu harus menunggu sampai teman-temannya masuk sendiri-sendiri atau dalam kelompok kecil. Sementara Rani mengawasi dari dalam mobil yang ia parkir tidak terlalu jauh sambil terus mengerahkan kemampuan bertelepati dengan sedikit pengaruh hipnotis agar para petugas jaga di pos jaga berpikir dan merasa yakin betul bahwa orang di dalam mobil yang menunggu palang pintu gerbang diangkat adalah penghuni setempat.
Atau relasi yang disebut-sebut sebagai anggota kehor-matan itu.
Di pintu masuk ruang pertemuan, tidak ada masalah.Lolos dari pos jaga, berarti oke untuk Ruang Oval.
Didalam pun ternyata aman-aman saja.
Seperti pernah dikatakan Tenny Puspasari, kursi di Ruang Oval tidak selalu penuh terisi. Sama halnya dengan kehidupan dibidang atau dunia lain, ada saja yang bolos. Kewajiban hadir, lambat laun diketahui Tenny Puspasari, tak lebih dari sekedar formalitas. Selama sumbangan rutin un-tuk yayasan tidak dilewati, sang Api dari kegelapan konon masih bersifat pemaaf.Kesulitan terbesar adalah kehadiran Rani Puspanni sendiri!
Teman-temannya beres karena kepala keluarga tidak terlalu mengenali siapa saja anak-anaknya.
Lain hal-nya Rani Pusparini.
Wajahnya adalah wajah Tenny Puspasari.
Sementara si penghujat tahu betul di mana dan bagaimana wujut Tenny Puspasari sekarang ini.
Dengan segera ia akan dikenali, dan si penghujat tahu betul siapa Rani Pusparini.
Satu-satunya harapan ada-lah duduk di sudut terjauh dari singgasana.
Mudah-mudahan saja si penghujat tidak mendadak tergoda untuk meminta, berdirilah kalian satu persatu.
Rani Pusparini mustahil pada bermeditasi Ruang di ru-ang oval karena pancaran gaib dari meditasinya akan tertangkap oleh kekuatan gaib yang lebih dominan, ka-rena sang Api dari kegelapan ada di lingkungan sen-diri. Siapa nyana, Rani Pusparini hanya perlu membu-ang muka sesekali saja karena perhatian sang Api dari kegelapan lebih tercurah pada yang lain (sosok kecil tak berdaya, di balik dinding kaca). Rani Pusparini tidak tahu mengapa, untuk apa, dan siapa tikus yang tertangkap itu. Ia juga tidak kuasa untuk berbuat apa-apa karena bukan haknya, bukan pula urusannya. Ia baru tersentak, setelah muncul kejutan yang ia sendiri tidak menyangka-nyangka itu.
Zulham! Memang benar, buat Rani Pusparini, Zulham tidak pu-nya arti khusus lagi, selesai mereka bersenggama.
Namun mau tidak mau, hatinya toh tertusuk.
Apalagi mengingat sesuatu di dalam kandungannya.
"Sesesuatu yang tidak akan pernah ada tanpa adanya Zulham.Rani Pusparini terpaksa harus berkutat melawan sifat manusiawinya untuk membantu Zulham. Ia berhasil mengendalikan diri.Tetapi sewaktu si penghujat mengumumkan akan ada pertunjukan kecil sebagai selingan, Rini Pusparini ter-sentak dan kendali dirinya agak mengendur. Semula ia berharap bahwa selingan menggembirakan itu hanya untuk ditonton sendirian oleh si penghujat, saat mana barulah Rani Pusparini keluar dari persembunyiannya.Siapa nyana saudara kembarnya bakal ditampilkan didepan semua orang. Dijadikan bahan tertawaan, cemoohan atau apa yang oleh si penghujat pasti ditekankan sebagai contoh ketidak setiaan!
Kemarahan Rani Pusparini pun bangkit seketika, tetapi lirikan tajam dari kursi-kursi di tempat terpisah, meno-long Rani Pusparini untuk pelan-pelan kembali pada kendali diri.
Lirikan teman-temannya itu jelas memperingatkan agar Rani Pusparini berkonsentrasi penuh pada apa yang ada dalam kandungannya. Bukan padahal-hal sepele di depan mata. Rani Pusparini kembali pada ketenangannya semula.Perhatian dan inti tenaga gaib si penghujat sedang ter-curah pada ular berkepala ganda dalam lingkaran me-rah redup. Jadi kesempatan pun terbuka untuk bermeditasi diam-diam, Rani Pusparini mengonsentrasikan inti tenaga gaibnya pula, sepenuhnya tercurah pada kandungannya. Sementara itu di tempat mereka masing-masing teman-temannya serempak berbuat sama.
Meditasi. untuk menciptakan tabir pelindung.
Yakni memasukkan warna warni gaib sebagai kamuflase, kecelah-celah tipis yang memisahkan inti tenaga gaib Rani Pusparini dengan inti tenaga gaib si penghujat.Pertumbuhan dan perubahan proses ular berkepala ganda dalam lingkaran merah masih tetap terlihat oleh mata kasat Rani Pusparini. Tetapi mata hatinya sudah lebih dulu menutup diri.
Demikian pula dengan telinga.
Telinga kasat terus mendengar, tetapi telinga hati menulikan diri. Rani Pusparini terbebaskan sudah dari pengaruh-pengaruh emosionil yang datang dari luar.Lalu, tiba-tiba si penghujat menghentikan konsentrasi dan menarik mundur inti tenaga gaibnya. Berakibat celah-celah tipis itu tahu-tahu terkuak menganga lebar selebar-lebarnya. Warna-warni gaib sebagai tabir selu-bung seketika melemah, kemudian buyar. Teman-teman Rani Pusparini terkejut, dan seketika menghentikan meditasi. Dengan sendirinya inti tenaga gaib Rani Pus-parini tidak lagi terlindungi. Inti tenaga gaibnya menja-di terbuka untuk dilihat dan diserang.Duduk tegang di kursi masing-masing, teman-temannya melirik kuatir ke arah Rani Pusparini.
Gadis itu tetap bertahan.
Ia sudah merasakan bukan denyut, melainkan getar kehidupan dalam kandungannya.
Getaran itu berhawa panas, tetapi ia tidak perlu takut. Selama masih beradadi dalam, hawa panas itu akan tetap menyesuaikan diri dengan suhu panas pada tubuhnya.
Entah nanti sesudah keluar.
Rani Pusparini tidak tahu dan tidak berani membayangkan.Ia juga sadar, si Penghujat tiba-tiba menarik mundur inti tenaga gaibnya.
Ia kini tanpa perlindungan.
Terbu-ka untuk di serang, dan jika itu terjadi dia akan mati.
Untuk menghindari serangan itu. Meditasi harus dihentikan, tetapi resikonya tetap sama.
Mati. Dan kematian itu datangnya berlambat-lambat menyakitkan.
Menghentikan meditasi, getar kehidupan yang sudah berproses dalam kandungannya akan ikut berhenti. Pa-dahal getar kehidupan itu sudah setangah jadi untuk memperoleh kesempurnaan bentuk getar kehidupan itu akan menyedot habis suhu panas di tubuh Rani Pusparini tanpa ia bisa mencegah. Akibatnya sangat fatal karena yang tersisa pada tubuhnya hanyalah suhu di-ngin semata, tanpa ada suhu pengimbang. Organ-organnya lambat laun akan membeku, lalu mengeras se-perti batu atau seperti gumpalan-gumpalan es.Tak ada jalan lain dari dua pilihan yang sama-sama buruk menakutkan itu. Ia memilih yang terbaik, tetap bermeditasi karena jika ia diserang kematian itu akan terjadi seketika. Sambil berharap ada keajaiban yang akan menolongnya.Keajaiban itu tak pernah muncul, tetapi Rani Pusparini tertolong juga, justru oleh si Penghujat sendiri.
Tampak jelas ia tidak menyadari kehadiran inti tenaga gaib yang asing disekitarnya. Santai-santai saja ia dud-uk di singgasana. Berpuas diri menikmati hasil kerjaan-nya yang sengaja tidak dituntaskan. Saking puasnya,ia malah sampai bertepuk tangan yang serempak disam-but membahananya tepuk tangan diseantero ruangan.Dari para pemujanya yang bertepuk tangan untuk menggembirakan hati sang Api dari kegelapan.Dengan wajah bangga ia memandang ke lingkaran sinar merah redup dan apa yang terkandung di dalam-nya. Hasil pekerjaannya yang sengaja dibuat tang-gung. Dari kepala sampai lutut, dua sosok tubuh bugil dan berlainan jenis itu sempurna wujud sebagai ma-nusia, namun lutut kedua orang dewasa dan berlainan jenis itu jumlahnya tetap satu.
Bentuknya tetap bulat. Tetap pula bersisik hitam pekat.
Itulah ekor. Yang meliuk-liuk lemah tak berdaya.
[] *** ENAMBELAS AZAB yang menyiksa tidak begitu terasa lagi setelah Zulham menyaksikan peristiwa mencengangkan yang berlangsung tidak jauh dari tiang beton tempatnya di-ikat. Tema horror masuk urutan ketiga film favoritnya setelah detektip dan spionase. Yang biasa ia lihat dalam film-film horror itu, umumnya adalah perubah-an wujud seorang manusia ke wujut hewan buas atau mahluk lainnya yang mendirikan bulu roma.Tetapi apa yang sekarang ia saksikan didepan mata sendiri justru kebalikannya. Setelah perasaan takjub-nya mereda perlahan-lahan, ia curahkan perhatian pada sosok tubuh yang wanita yang tampak belum se-penuhnya sadar pada apa yang terjadi pada dirinya dan lelaki yang satu lutut dengannya.
Ia amati wajah si wanita dengan terkejut.
Selama beberapa saat ia menyangka telah melihat Rani Pusparini. Hanya garis wa-jahnya tampak lebih lembut, lebih mendekati keibuan.Baru satelah teringat bahwa sosok itu muncul dari wu-jut seekor ular berkepala ganda dan ekornya pun ma-sih tersisa, Zulham sadar siapa wanita yang dilihatnya.Untuk pertama kali setelah sekian hari yang rasanya melalui masa yang sekian panjang, Zulham melihat wujut nyata dari seorang yang ia hanya tahu nama dan hanya melihat potonya.
Tak syak lagi. Wanita itu adalah Tenny Puspasari, dan laki-laki yang satu lutut dengannya tentulah orang yang disebut-sebut Rani Pusparini sebagai calon suami saudara kembarnya.
Zulham menghela nafas. Akan diapakan kedua sosok tubuh malang ini oleh manusia haram jadah di singga-sana itu?
Dan mengapa proses perubahan wujud tidak sempurna?
Zulham merasa yakin, si haram jadah itu pasti mampu melakukannya.
Jelas, dia punya maksud-maksud tertentu.
Zulham teringat apa yang dikatakan Rani Pusparini,
"Maksud angkara murka. Memuaskan hasrat bejat, menjijikkan."
Andaikata Rani Pusparini sekarang ada disini dan me-lihat...
Atau memang sudah? Zulham sudah akan menebar pandang ke sekitar un-tuk mencari kehadiran gadis yang ia pikirkan sewaktu tiba-tiba ia dibuat miris oleh suara jerit tangis ngeri ber-campur putus asa.Rupanya Tenny Puspasari sudah sepenuhnya sadar dan telah melihat ke wujud dimana tubuhnya tegak bertumpu. Sekujur tubuh gadis itu gemetar hebat, se-mentara wajah calon suaminya tampak dilanda teror.
Mereka lantas saling memeluk ketakutan.
Dan menggemalah suara lembut dari arah singgasana,
"Kuasai dirimu, anakku. Tenanglah, kau sudah pulang ke rumah."
Pengaruh suara jelas bukan kata-kata yang diucapkan,segera terlihat. Ratap tangis Tenny Puspasari mereda perlahan-lahan. Tinggal isak tangis yang ditahan, nam-un tubuh bugilnya masih gemetar. Dan calon suami-nya masih tetap dilanda teror. Sementara yang hadir diseantero ruangan oval itu, tak seorangpun yang be-rani membuka suara. Bahkan juga tidak untuk bergeser pada kursi yang mereka duduki. Khawatir, bunyi se-lembut apapun akan membangkitkan kemarahan or-ang yang duduk santai di singgasana. Dikitari sinar bi-ru misterius yang meliuk-liuk hilang timbul. Dan se-akan dijaga oleh sepasang ular besar bermata merah membara yang merupakan sandaran tangan singgasa-na.
"Untuk tidak berlarut-larut..." suara lembut itu terdengar lagi.
"Baiklah kuberitahu. Aku akan bermurah hati untuk menerimamu kembali sebagai anggota keluarga kita. Mungkin sekalian dengan lelakimu itu. Lelaki yang masih asing buat kami semua. Tentu saja dengan wujud lebih sempurna, tanpa ekor."
Tenny Puspasari seketika terdongak penuh harap.
Begitu pula calon suaminya.
Terdengar helaan nafas berat.
Lalu, "Namun anakku,untuk memperoleh pengampunan sekaligus juga mem-peroleh kesempurnaan bentuk tubuh kalian, engkau dan lelakimu itu lebih dulu harus menebus dosa, ka-rena telah minggat tanpa pamit. Dan dosa yang lebih besar lagi, kau serahkan kesucian dirimu yang agung kepada lelaki asing, bukan kepada salah seorang ang-gota keluarga kita yang mulia."
"Oh!" Tenny Puspasari merintih.
"Apa yang harus ku-lakukan Api dari kegelapan?"
"Menari..." Kedua orang yang terkurung dalam lingkaran sinar merah redup itu saling bertukar pandang sesaat. Ke-mudian kembali berpaling ke arah singgasana di atas panggung Tenny Pusparini mendesah tak yakin.
"Me...Menari?" "Sederhana bukan?" jawab orang yang ditatap, terse-nyum.
"Menari. Cuma itu! Sebagaimana engkau dan lelakimu pernah menari di jok belakang mobil kalian."
Tenny Pusparini menyentak, tertegun.
Kemudian sete-lah sekilas ke arah ratusan tempat duduk di sekitar ru-ang oval, tubuhnya bergidik keras. Calon suaminya menundukkan kepala seraya menggigil. Entah karena takut, atau karena marah. Tenny Puspasari sudah ak-an mengajukan protes ketika ia didahului oleh orang yang duduk di singgasana.
"Bila kalian menolak..." suara lembut itu berubah ding-in menusuk.
"Ada pilihan kedua sebagai penebus dosa.Kau, Anakku, akan kulepas dari lelakimu. Dengan resiko untuk lelakimu akan hidup selamanya tidak diatas kaki. Melainkan di atas ekor ularnya. Dan..."
Calon suami Tenny Puspasari tambah menggigil.
Mungkin terdorong naluri ekor ular di bawah lutut mereka berdua mengibas dalam satu sentakan, kemudian me-ngulai lemah di permukaan lantai.
"Resiko untukmu, Anakku tentunya ada pula. Kau ak-an hidup seterusnya pun juga tanpa kedua kakimu. Karena bila kau kulepas dari lelakimu dalam kondisi kali-an sekarang ini... sama halnya dengan diamputasi!"
Seketika Tenny Puspasari mengerang putus asa.
Sedang calon suaminya mendadak punya keberanian.
Ia terdongak, lantas berteriak berang.
"Kau...!" Hanya itu, karena lingkaran sinar merah redup yang mengurung tubuh mereka berdua tahu-tahu sudah meliuk, lalu dengan gerakan cepat pundak si lelaki di-patuk oleh ujung liukkan sinar.
Dia pun melolong seke-tika.
Lolongan sengsara. Dan setelah sinar merehre-dup itu kembali membentuk lingkaran semula, tampak-lah pundak si lelaki melepuh kehitam-hitaman. Sebagi-an daging pundaknya terpanggang hangus.Lelaki itu menggelepar dan nyaris jatuh jika Tenny Puspasari tidak segera merangkulnya lalu dipeluk, erat-erat.
Sempat menjerit melihat pundak calon suaminya.Tenny Puspasari kemudian memohon dengan suara setengah meratap.
"Jangan melawan dia. Ayolah kita lakukan saja supa-ya..."
Dan sambil menangis terisak-isak,
Tenny Puspasari mulai mengusap lalu menciumi calon suaminya.
Gerakan-nya kaku, terburu-buru, jelas ia tanpa birahi karena terpaksa. Calon suaminya merintih, bukannya karena te-rangsang, melainkan karena sakit yang masih mende-ra. Dalam ketakutannya Tenny Puspasari terus saja menggoyang-goyangkan pinggul. Tangannya mencari,memegang dan melakukan apa saja untuk membangkitkan birahi calon suaminya. Tindakan yang panik, dan tampaknya akan sia-sia belaka.
Tak tega melihat, Zulham berpaling.
Terpandang olehnya dinding kaca pemisah.
Dan Tarida yang berlutut disebaliknya dengan kedua telapak tangan menutupi muka. Tangan gadis itu tampak putih saking pucatnya. Lantas tanpa melepaskan telapak tangan dari wajahnya,
Tarida pelan-pelan membalik-kan tubuh.
Memunggungi dinding kaca.
Dengan pun-dak bergetar. Kepalanya terangguk-angguk. Rupanya ia sudah menangis tersedu-sedu.
Seketika Zulham berpaling lagi. Menatap lurus ke orang yang duduk di singgasana, jauh di depannya. De-ngan pandangan berang alang kepalang. Sumpah serapah menumpuk sudah di mulutnya.
Siap untuk ditumpahkan. Semuanya terdiri dari kata-kata paling kotor yang dapat diingatnya. Namun tak pernah terbayangakan dilontarkannya pada siapa pun juga, Akan tetapi kata-kata dan kalimat yang terdengar diseantero ruang oval itu justru berirama lembut danmanis pula.
"Aku akan menari atas nama mereka berdua."
Zulham sampai terkejut sendiri.
mustahil ia telah ber-bicara selembut itu dengan tutur kata yang manis pula.
Tetapi tunggu dulu! Ia memang sudah mantap, tapi belum satu huruf pun yang sempat ia keluarkan. Suara barusan pasti bukan pula suaranya. Jika tidak salah dengan itu, mestinya suara seorang perempuan.Yang aneh, mengapa semua mata tertuju serempak kearah dirinya?
Kesurupan setankah dia? Pertanyaan mencemaskan itu seketika terjawab waktu sesosok tubuh semampai berisi melewati tiang beton tempat Zulham dan kayu salibnya terikat kencang. Da-tang dari arah barisan tempat duduk di belakang tiang beton.
"Oh... jadi dialah yang angkat suara tadi."
Zulham membatin. Lega karena ia terbukti bukan kemasukan setan. Diawasinya sosok tubuh yang lewat dekat dengan kakinya. Karena posisi Zulham di tiang beton berada diatas, maka yang terlihat mulanya hanyalah rambut,pundak dan lengan-lengan putih halus. Disusul sosok tubuh bergaun hitam yang lekak-lekuk maupun irama langkahnya sekan sudah dikenali Zulham.Baru setlah perempuan itu memutar tubuh untuk berjalan di lantai arena menuju ke panggung singgasana,Zulham dapat melihat orangnya lebih jelas. Meski tak sekalipun perempuan muda bersosok menawan itu berpaling ke arahnya dan berlagak sekan-akan Zulham tak pernah ada disana. Zulham dengan segera menge-tahui siapa dia gerangan.
Rani Pusparini. Yang berjalan tenang, dan semakin jauh ia melangkah,semakin pinggulnya bergoyang.Tarian itu sudah dimulai.
[] *** TUJUH BELAS MUNCULLAH seketika reaksi beraneka ragam.
Zulham terpana. Terpana oleh kehadiran Rani Puspa-rini.Dan terpana setelah baru sekarang ia menyadari,betapa indahnya goyang pinggul gadis itu. Coba saja Zulham tidak dalam kondisi normal.
Badan pun ter-siksa. Otot-otot kejang karena diikat ke tiang beton tan-pa ada tempat kaki berpijak. Kedua lengan terus mene-rus pula terentang. Dengan telapak tangan terpaku kebalok kayu. Kedua-duanya sudah bengkak kebiru-biruan. Jari-jari pun sudah mulai memutih.
Mana darah masih menetes ke luar.
Kurang apa lagi siksaan yang diderita Zulham?
Dan toh, nafsu birahinya masih sempat untuk terlon-jak. Terbayang seketika saat ia berduaan dengan gadis itu dalam cottage, di atas sebuah altar.Di balik dinding kaca, Tarida merasakan adanya perubahan suasana. Telapak tangan pelan-pelan diturun-kan pula ia kembali membalikkan tubuh. Mulanya dengan risih, setengah hati, lantas kemudian menatap terpesona.Dia menyaksikan seorang perempuan bergaun hitam berjalan menyusuri lantai arena, lurus menuju ke arah panggung singgasana, pinggul perempuan itu bergo-yang gemulai. Tangan terangkat pelan, menggerai lep-as rambut hitamnya yang bersinar-sinar. Dan gerakan tangan-tangan itu sewaktu mengurai rambut, tak kurang pula gemulainya. Lengan kirinya kemudian meliuk setengah putaran. dengan arah ke atas tangan kanan memutar ke arah berlawanan.
Pinggang ditekuk,dan.... Ah! Tarida seperti mengenali sosok tubuh bergaun hitam itu.Ia pun berpaling, melihat ke satu arah yang sudah di hapalnya.
Kursi yang dilihatnya kosong.
Jadi dialah pe-rempuan yang menakjubkan itu. Perempuan misterius,satu-satunya orang yang seingat Tarida, memperlihat-kan reaksi berbeda dengan ratusan yang lain.
Tarida berpaling lagi! Dan tanpa disengaja matanya menangkap sosok tubuh Zulham yang terpaku ke kayusalib, terikat di tiang beton. Sepasang mata Tarida ma-sih cukup awas untuk melihat mentalnya yang semakin merosot, masih mampu menganalisa situasi di dep-an mata.
Ia melihat emosi. Di wajah dan bagian tertentu di tubuh Zulham.
Emosi seksuil.

Tarian Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Seketika itu juga, Tarida membuang muka.
Dengan berang. Karena cemburu. Terkurung oleh lingkaran sinar merah redup, Tenny Puspasari dan calon suaminya menghentikan gerakan panik mereka yang memang sia-sia. Sentuhan-sentuhan terpaksa itu tetap saja tidak menghasilkan apa-apa.Perhatian mereka berdua lantas teralih pada orang yang telah berbaik hati untuk menolong.
Si lelaki masih tampak menderita. Ia tahu siapa dan sedang apa si pe-nolong itu, namun sedikit pun ia tak tertarik. Yang menghantui pikirannya hanya satu, ekor ular di bawah tubuhnya.
Tenny puspasari menangis.
Bukan lagi tangis panik atau putus asa.
Melainkan ta-ngis terenyuh, ketika ia melihat kembali saudara kem-barnya. Ada banyak hal dari saudara kembarnya itu yang tidak disukai Tenny Puspasari. Karakternya, teman-temanya, terutama si Rudi, anjing berperilaku menakutkan itu.
Lalu berhala-berhalanya. Dan entah apalagi. Namun demikian Tenny Puspasari tetap mengasi-hi saudara kembarnya sebagaimana ia juga dikasihi oleh Rani Pusparini. Sebagai saudara kembar mereka tetap merasa dekat satu sama lain.Tak perduli apa yang menimpa dirinya, tak perduli bagaimana dan dengan apa si saudara kembar akan me-nolong, hanya ada satu reaksi di wajah dan sepasang mata Tenny Puspasari.
Kerinduan yang sangat. Namun tanpa menoleh kearahnya, si saudara kembar terus saja berjalan.
Terus saja menari. Ratusan orang yang duduk di kursi empuk bersusun,begitu pula kelompok anak-anak tanggung di dua ujung ruang oval pun memberi reaksi bermacam-macam. Ada yang hanya terpana saja, ada yang ditambah mulut ternganga segala.
Umumnya berdecak-decak ka-gum.
Sebagian besar dari mereka duduk resah.
Diam-diam terangsang. Beberapa yang lebih berani dengan mata tak beralih dari arena menggapaikan tangan untuk meraba ke kiri atau ke kanan. Tanpa mempeduli-kan apakah yang meraba itu pasangan sendiri atau pa-sangan orang lain.
Mana yang diraba memberikan sambutan hangat pula.
Pengaruh birahi gaib yang ditimbulkan Rani Pusparini membuat ratusan orang itu sama sekali tidak teringat untuk bertanya-tanya siapa gerangan wanita rupawan bertubuh seronok dan di setiap langkahnya menebar aroma erotis itu. Hanya segelintir pula yang teringat untuk membanding-bandingkan dengan gadis satunya lagi yang terkurung sinar merah redup. Lantas sempat dibuat terkesima melihat persamaan wajah yang bagai pinang dibelah dua.Tetapi ada beberapa orang yang tampak tetap tenang,tidak terpengaruh atau memang mereka orang-orang yang mampu mengendalikan diri dengan baik. Duduk di kursi masing-masing, di tempat terpisah-pisah, mereka hanya diam mengawasi setiap langkah maju Rini Pusparini. Dibalik sikap tenang mereka tersirat pan-dang bertanya,
"sudah siapkah gadis itu?"
Tampak gadis dengan gemulai mengurai rambut, per-tanda ia sudah siap!
Lalu diam-diam mereka melakukan meditasi awal.
Sambil berjaga-jaga menghadapi setiap kemungkinan yang tidak dikehendaki.Samar-samar,bibir mereka berkomat-kamit.
Sang Api dari kegelapan yang kepada Tarida telah mengaku diri sebagai iblis itu, reaksinya sukar ditebak.
Ia sempat terkejut, itu sudah pasti.
Yakni, ketika ada suara perempuan angkat bicara,
"Aku akan menari..."
Lalu perempuan itu bangkit dari kursinya.
Telah sekian tahun berjalan, sekian ratus kali pula ia menampakkan diri di hadapan mereka tetapi baru satu kali ini terjadi,ada orang yang berbicara atau bertindak bukan atas perintahnya, atau atas kehendak gaibhya. Tidak perduli siapa dan apa status sosial mereka di mata umum,tetapi di sini dia adalah hamba?
Kini, ada yang berani! Tentu saja dia terkejut. Tetapi dia adalah api dari ke-gelapan.
Api sebesar atau sekecil apapun tidaklah me-miliki perasaan.
Dan kegelapan adalah misteri yang tidak pernah terungkap.
Ia ditakuti atau dihindari teta-pi sekaligus merupakan tempat berlindung yang paling aman.Maka, bila pun sang Api dari kegelapan terkejut, keter-kejutannya tidaklah lebih dari kerutan dahi dan tersiratnya pikiran sambil lalu,
"Koq dia berani!"
Oh, oh dia kini mengerti.
Lihatlah perempuan yang berjalan sambil menari itu.
Ah bukan. Bukan berjalan sambil menari, tetapi berjalan seperti menari!
Itulah dia, si anak perempuan kecil yang omongannya lucu tetapi berani.
"Aku mengumpul sumbangan paling banyak. Boleh dong, minta tambah uang jajan."
Atau, "Bila aku keluar baik-baik dari pintu depan, pasti disuruh kembali. Maka aku kabur lewat jendela!"
Perempuan itu masih teus berjalan menyusuri lantai kepanggung di bawah singgasananya. Ia kini melangkah di samping sinar merah redup.
Oh, oh, ada wajah yang sama tetapi...
Aah tentu saja itu adalah sepasang bayi merah di depan, pintu.
Ia sendiri yang menemu-kannya tengah malam terbungkus selimut dan kain-kain usang.
Yang satu tersenyum padanya.
Kencing didadanya. Ia tertawa. Ia tidak suka yang satunya lagi. Kerjanya cuma menangis. Itu bukan pertanda kelembutan tetapi kelemahan. Ia lebih suka pada yang kencing di dadanya.Apalagi setelah anak itu tumbuh dan bisa merangkak,ia merangkak seperti menari. Setelah bisa berjalan, ia berjalan seperti menari.
Bukan main itu anak. Mana berani dan kuat pula.
Bah-kan meringis pun dia tidak sewaktu dicambuk ibu asrama pakai sapu lidi. Pun sewaktu menjatahi hukuman di depan kelas dengan berdiri diatas satu kaki selama jam pelajaran, anak perempuan kecil itu masih bisa se-nyum.
Oh... oh... dia memang sedang tersenyum di bawah sana sudah terhenti menyusuri lantai, dan kini berdiri sekitar empat atau lima meter dari panggung. Berkata dengan berani,
"aku masih akan menari untukmu. Dan aku pun akan memperlihatkan yang lainnya."
Lalu kedua lengannya terangkat gemulai, menggapai resluting gaun hitamnya di punggung.
Oh... oh... tangan-tangan kecil mungil yang ketika membuka bajunya di kamar mandi pun tampak seperti menari. Lantas kemudian ia kan dikejutkan oleh jeritan marah anak perempuan,
"Bapak mengintipku lagi ya? Awaslah kuadukan nanti ke ibu asrama!"
Dia suka sedih bila anak perempuan itu marah karena anak itu tidak akan mau nanti berjalan di depannya,tidak mau menari untuknya. Maka untuk menyenang-kan hati anak perempuan itu, dia buru-buru berjanji akan kapok sambil pura-pura ketakutan setengah mati.
Dia toh takut diadukan. Apalagi diadukan ke ibu asra-ma karena jika ibu asrama menghukum, konon pula sampai memecatnya. Berarti ibu asrama akan kehilang-an satu-satunya orang yang mampu membuat ibu asrama menggelinjang liar di tempat tidur. Yang mampu pula membuat ibu asrama mengalami orgasme duatiga kali berturut-turut sampai ibu asrama lelah sendiri,lantas terlelap puas.Dia selalu berangan-angan, suatu hari kelak ia akan melakukan melakukan hal yang sama dengan si anak perempuan yang kalau berjalan seperti menari itu.Tetapi sebelum waktu itu datang, muncullah orang kaya bergelar Raden itu untuk membawa pergi si anak perempuan kesayangannya dan anak satunya lagi itu.
Dia sebenarnya ingin ikut dengan mereka. Tetapi orang yang angkuh itu berkata dengan sombongnya,
"Oh. pembantu di rumahku sudah lebih dari cukup!"
Ibu asrama bersikeras pula menahan dirinya, terlepas dari urusan di tempat tidur, apa yang dijadikan dalih oleh ibu asrama memang benar,
"Kau lebih dibutuhkan disini. Anak-anak segan padamu, senang mendengar suaramu."
Maka itulah yang dia lakukan.
Menjaga dan mengurus semua anak-anak yang masih tinggal. Membuat mere-ka bukan hanya segan, tetapi juga takut pada dirinya.Lalu menguasai mereka dan kapan saja suka ia mempermainkan mereka karena memang ia tidak pernah menyukai mereka semua!
Demikian pula halnya dengan ratusan orang tolol yang sekarang ini berkumpul dihadapannya.
Tak lebih dari ratusan boneka mati.
Belum lagi ribuan lainnya di luarsana, yang dapat ia permainkan sekehendak hati.
Tak sekalipun dari mereka ada yang berani mengatakan tidak.
Dan itu mulai membuat dirinya bosan, jenuh, lalu...
Ah, sudahlah! Lupakan saja ratusan lintah-lintah tolol itu. Lihatlah ke bawah sana, anak perempuan kecil itu sudah mulai bersiram diri di kamar mandinya.
Tubuh kecilnya yang telanjang.
Ai! tubuh itu jauh lebih dewasa, lebih besar dan tubuh telanjang yang indah itu meliuk-liuk, berputar, terhempas-hempas, menggelinjang erotis. Hembusan nafas birahinya tercium sampai ke singgasana.
Tampak sudah tidak sabar menunggu.
Sekan mendesahkan rintih-an,
"sekian tahun kau merancang angan-angan. Seka-rang lakukanlah. Buat angan-angan indah itu menjadi kenyataan."
Sang Api dari kegelapan pun turunlah dari singgasananya dengan langkah-langkah teratur, anggun.
Di bibir panggung ia berhenti sejenak.
Menimbang-nimbang apakah ia turun saja ke lantai di bawah sana atau sebaiknya memerintahkan anak perempuan itu naik ke atas panggung, dimana mereka akan menari bersama-sama.
Hei, suara apa itu yang mengganggu?
Mulanya hanya desiran sayup-sayup,
"Maruta....Maruti..."
Lalu....Oh... oh... ada beberapa sosok tubuh lainnya. Orang-orang yang berani berdiri di kursi masing-masing dan bersuara lebih keras, lebih kompak.
"Oh Dewi Durga...bantulah. Oh Maruta Maruti, keluarlah...."
Dan di lantai, tubuh telanjang itu tampak melonjak-lonjak, mengerang, merintih, menghempas-hempas dengan hebatnya. Dan tiba-tiba ia mengejat keras seraya menjerit lengking terputus-putus.Bersamaan dengan itu, dari celah diantara dua paha telanjang itu menyemburlah keluar.
Bukan cairan da-rah, bukan pula bayi merah.
Suaranya berdesas-desus,sinarnya terang benderang menyilaukan mata. Benar,memang itulah yang melesat keluar dari rahim si perempuan.
Sinar terang berwarna ganda.
Sinar yang seakan membelah dua tetapi terdiri dari satu.
Perpadu-an warna yang mengejutkan.
Hijau dan hitam pekat. Yang dengan cepat meliuk untuk kemudian membesar dan semakin membesar dengan cepat sekali.
Hanya memakan tempo tidak lebih dari satu helaan nafas pendek. Dan, tahu-tahu saja ia sudah berdiri tegak di lantai.
Sesosok mahluk tinggi besar.
Sehingga meskipun ia teg-ak di lantai, tingginya sejajar dengan sang Api dari ke-gelapan yang berdiri terpana di atas panggung. Mah-luk itu semata-mata terbentuk dari sinar semurni-murninya sinar. Terdiri dari satu tubuh tetapi dengan dua wujut. Sinar hijau bersosok serta berwajah manusia dengan mata putih hampa. Dan sinar hitam pekat bersosok hewan buas raksasa, dengan mata kuning kemerah-merahan.
Mahluk itu menggeram. Suara geramnya seketika membuat bangunan Ruang Oval, bagai bergetar.
Sang Api dari kegelapan, tersentak.
Diam membeku dengan wajah pucat pasi.
Tercelentang letih di lantai,
Rani Pusparini yang bersimbah peluh memandang ter-sentak pula.
Bukan ke sosok mahluk yang telah melesat keluar dari rahimnya lantas berproses cepat dan sede-mikian rupa mengejutkan.
Rani Pusparini tersentak setelah ia melihat reaksi sang Api dari kegelapan.
Reaksi yang benar-benar manusia-wi.
Dan itu adalah mustahil. Telah terjadi kekeliruan.
Ada sesuatu yang salah! [] *** DELAPANBELAS Kesalahan itu terasa kian nyata sewaktu ia mendengar suara ribut diseantero ruangan. Campur aduknya seru-an, takjub, terkejut, jeritan panik dan juga tangis keta-kutan. Kesemuanya itu sesungguhnyalah reaksi yang sangat manusiawi, bukan dari reaksi ratusan manusia yang jiwa dan pikirannya telah kosong dan diganti ol-eh jiwa dan pikiran yang sesuai dengan kehendak or-ang yang telah menjadikan mereka semua sebagai hamba sahaya.
Tiba-tiba Rani Pusparini menyadari dimana letak kesa-lahan itu.Yakni ketika ia mengamati dengan lebih seksama dan melihat bahwa sinar biru yang meliuk-liuk di sekitar singgasana telah lenyap entah kemana. Merahnya bara api pada sepasang mata di masing-masing kepala ular ganda yang menjadi sandaran lengan kursi singgasanapun juga tidak terlihat lagi.
Walau hanya sekelipan saja.
Secara naluriah, Rani Pusparini berpaling ke belakang.
Tampak olehnya Tenny Puspasari dan calon suaminya sedang berdiri dengan pandangan takjub di atas kaki mereka masing-masing. Bukan lagi di atas ekor ular yang menyedihkan itu. Saudara kembarnya dan lelaki tampan di sebelahnya tampak belum menyadari keadaan itu. Dan Rani tidak merasa perlu memberitahu apa-lagi menyatakan kegembiraan dikarenakan sinar merah redup yang sebelumnya mengurung ke dua orangitu, ikut pula menghilang.
Hanya dengan melihat, Rani Pusparini sudah mengerti.
Seketika itu juga ia menggeliat bangun dengan susah payah seraya berteriak memperingatkan,
"Awas...!" Ia terlambat. Mahluk berwujut ganda yang sepenuhnya terbentuk dari sinar berwarna ganda itu pula itu sudah lebih dulu beraksi. Lengan hijaunya yang berwujut seperti lengan manusia sudah meraih lalu mencengkeram pinggang serta rusuk sang Api dari kegelapan. Diangkat naik, dibawa berputar sehingga punggung-sang Api dari kegelapan kini menghadap ke arah para pengikut-nya yang keadaannya semakin kacau. Pada saat Rani Pusparini meneriakkan peringatan, lengan hitam yang sinarnya seperti berbulu-bulu tebal dan panjang telah menebas.
Lurus dari kepala sampai ke antara dua paha.
Dan tubuh sang Api dari kegelapan yang tampak kecil tak berdaya dalam genggaman mahluk tinggi besar itu,seketika terbelah dua. Sebelah masih tetap dicengkram lengan hijau sementara sebelahnya lagi langsung jatuh terhempas di lantai. Darah pun menyembur, muncrat,lantas mengalir seperti anak sungai di permukaan lan-tai. Tetapi mengalirnya darah itu hanya berlangsung sedetik dua. Pada detik berikutnya, genangan darah tahu tahu menggumpal sendiri kemudian terangkat naik.Meninggalkan tubuh yang cuma sebelah di lantai. Dan menyatu dengan sisa darah yang masih menyembur-nyembur dari sisa tubuh lainnya yang masih diceng-kram sang mahluk.
Pada saat itu, mahluk tinggi besar berbentuk sinar hi-jau lembut dan hitam berbulu, ikut menyadari apa yang telah lebih dulu disadari Rani Pusparani. Ia jatuhkan bagian tubuh yang tersisa di lengan hijaunya disertai geraman terkejut. Ia kemudian meluruskan tegak seraya menggeram-geram dahsyat. Mata putih hampa di bagian wajah hijau serta mata kuning kemerah-merahan di bagian wajahnya yang hitam berbulu menatap bingung.Gumpalan darah itu terus naik dan bentuknya pun se-makin membesar dan membesar, kemudian dengan cepat bergulung-gulung seperti kabut atau awan merah yang mengapung di permukaan lantai dan bagian atasnya hampir mencapai lelangit ruang Oval. Tak ada suara yang menyertai proses pembentukan diri itu. Bahkan semua orang yang ada di dalam ruangan seakan disentakkan oleh seruan marah dan gaib untuk diam.
Dan sebelum ada yang sempat mengerdipkan kelopak mata, gumpalan awan darah itu bergerak melalui tubuh makhluk berwujud tak karuan itu. Makhluk itu menjeritkan suara yang menulikan telinga, lantas menyongsong datangnya serangan.
Sejenak terjadi gerak saling mendorong.
Terdengar suara yang mendirikan bulu kuduk. Geram sang makhluk yang begitu menggetarkan jantung serta desah nafas berat yang menyertai lonjakkan-lonjakkan awan darah. Kemudian tubuh makhluk bersinar-sinar hijau dan hitam itu bagaikan lenyap ditelan awan merah segar yang menggeliat dengan gumpalan-gumpalannya menaiki panggung.
Singgasana yang kokoh dan megah seketika berderak patah kemudian hancur berkeping-keping.
Lantas disertai teriakkan marah yang parau, gumpalan awan darah itu tampak seperti akan meledak. Cipratan darah segar menetes jatuh atau terlempar kian ke-mari.
Cipratan tetes darah ternyata berakibat mengerikan.
Tembok yang terkena langsung hancur.
Panggung seketika hangus menghitam, begitu pula lantai, dari kursi-kursi di dekat panggung terdengar jeritan-jeritan sengsara.
Beberapa sosok tubuh tumbang dari kursi-nya.
Tubuh-tubuh yang menghitam hangus.
Tubuh-tubuh lain yang setengah hangus apalagi yang masih se-gar bugar dengan seketika berlarian kian kemari untuk menyelamatkan diri. Teriakan panik dan jerit tangisanpun kian menggila.Di tengah kekacauan dan histerisnya manusia itu,menggemalah seruan parau dalam kemarahan yang sangat. Gumpalan awan darah menggelembung hebat,kemudian seperti mengempiskan diri sebentar. Lalu ketika gelembung itu kembali menjadi gumpalan-gumpalan awan, sesuatu melesat ke luar dan terbang menyebrangi ruangan.
Sosok bersinar-sinar hijau dan hitam pekat Melesat di sepanjang permukaan lantai ke arah dinding kaca yang terletak di ujung lain ruang Oval itu.
Zulham berteriak ngeri, "Menghindar, Tarida!"
Di balik dinding kaca, Tarida yang dalam posisi setengah berlutut tidak menunjukkan tanda-tanda untuk menghindar. Ia melihat datangnya bahaya dan ia sesungguhnya memang ingin melompat sejauh mungkin,namun sekujur persendian tubuhnya bagai lepas satu sama lain. Semangatnya pun ikut rontok sehingga ia tak mampu lagi mengeluarkan jeritan minta tolong yang terkilas di benak.
Lemah, pucat dan tak berdaya,ia hanya mampu menyaksikan datangnya sang mahluk yang terlempar keras itu menuju dinding kaca didepan mata.
Mata yang membelalak. Pasrah. *** Dengan derasnya tubuh mahluk besar yang sepenuh-nya terbentuk dari sinar itu mendarat di permukaan dinding kaca. Tepat di depan batang hidung Tarida.
Anehnya, tak terdengar suara benturan.
Juga tidak bu-nyi dinding kaca yang meledak, pecah. Apa yang terdengar adalah bunyi meleleh dan kepulan asap tipis.
Dinding kaca tampak meleleh, lantas menganga terbuka.
Sosok mahluk yang sepersekian detik tampak seperti menempel di bagian luar dinding kaca melotot jatuh kelantai.
Sesaat mahluk itu rebah terkulai.
Saat berikutnya, tubuh tinggi besar dengan wujutnya yang menyeramkan itu merangkak bangun.
Kepala menggeleng-geleng pusing.
Lalu diam, memandang kedepan.
Lurus ke wajah Tarida! Mata putih hampa dan kuning kemerahan itu seperti heran.Sepersekian detik cuma mata itu menatap.Kemudian sinar yang menjadi bagian pada tubuhnya meredup.
Meredup, semakin meredup.
Tak ubahnya voltase listrik yang tegangnya turun secara drastis.
Un-tuk kemudian, padam. Tak tampak apa-apa lagi. Tidak sinar. Tidak pula sosok mahluk atau wajah yang memiliki dua rupa yang sedemikian kontras: lembutnya ma-nusia dan buasnya hewan.Apa yang tampak kemudian oleh Tarida, baik lewat dinding kaca yang sudah terbuka menganga maupun dari dinding sisa lantai ruangan yang kosong melompong sebagian terbesarnya, begitu pula dengan banjaran kursi-kursi bersusun di kiri kanan arena kebanyak-an sudah kosong. Dan jika pun masih ada yang men-empati, hanyalah mayat yang hitam mengeriput atau tubuh yang menggeliat-geliat sengsara. Sementara yang di satu- satunya pintu keluar masuk ruangan masih terlihat gerombolan manusia yang saling desak, sa-ling dorong, dan saling tindih, sambil melompat atau menginjak-injak tubuh-tubuh yang tertumpuk dibawah mereka.
Dengan ngeri, Tarida berpaling ke tiang beton di dekat-nya.Zulham masih tersalib dan terikat ke tiang beton itu.Matanya yang kemerah-merahan, menatap ke arah Tarida dengan mulut masih ternganga.
Tak percaya bah-wa Tarida masih ada di depan mata, utuh, dan hidup pula. Bahkan pelan-pelan tampak bangkit berdiri terhuyung-huyung. Lantas dengan langkah limbung berjalan ke luar menuju tiang beton di mana Zulham teri-kat.
Dan pada saat gadis itu merangkul erat kedua kaki Zulham, terdengarlah suara berat parau bergaung membahana.
"Bodoh, sungguh bodoh!"
Zulham dan Tarida berpaling seketika.
Dan menyadari, mahluk itu masih ada di ujung lain ruang oval. Mahluk yang berbentuk gumpalan awan merah basah. Bergulung-gulung memenuhi bagian dimana tadinya terletak panggung serta singgasana. Dari beberapa bagian gumpalan awan merah basah itu tampak di sana sini menetes-netes darah merah segar.
Ada seseorang beringsut menjauh mengikuti dua tiga orang lainnya yang tampak menyeret sosok tubuh te-lanjang, mundur menjauh.
Di tempat yang mereka tinggalkan, terlihatlah dua bagian sosok tubuh yang kering mengeriput, sang Api dari kegelapan.
Lalu dua sosok yang telanjang bulat dalam keadaan setengah hancur dan jelas sudah mati. Tenny Puspasari dan lelaki pendampingnya.
"Dua-duanya bodoh!' Suara berat dan parau membahana itu terdengar lagi. Datang dari arah gumpalan awan darah. Karena di setiap bunyi kata atau desah nafas tersengal-sengal terlihat gerakan-gerakan yang seirama.
"Yang satu, takabur! Mentang-mentang selama ini semua kehendaknya kuturuti... Eh, lantas menyangka aku inilah budak, dan dia... iblisnya!"
Tarida seketika menyadari siapa yang dimaksud.
Zulham baru saat-saat setelahnya.
Yakni sosok tubuh yang terdiri dan dua belahan itu. Lalu siapa yang satunya lagi?
Tadi disebut-sebut dua. Dua-duanya bodoh! "Yang satunya lagi," gumpalan awan darah itu tampak hidup berdenyut-denyut.
"Emosionil, dan beri aku kekanak-kanakan!"
Terdengar tawa berat dan parau.
Gumpalan awan darah itu berdenyut lebih keras, seirama dengan bunyi tertawanya.Secara naluriah Zulham mencitrakan perhatiannya pa-da Rani Pusparini. Sosok telanjangnya tampak sangat menyedihkan.
Hampir sebagian dari tubuhnya sebelah bawah sudah hancur dan hangus melepuh. Bagian-bagian lebih ke atas juga mengalami cacat-cacat kecil, te-tapi wajahnya masih sepenuhnya utuh. Dan wajah itu tengah memandang ke arah gumpalan awan merah.Seraya rebah di haribaan seorang lelaki berpakaian ser-ba hitam. Tiga lainnya, juga memakai warna yang sama walau pun model berbeda sesuai selera, tentunya.
Rani Pusparini nyatanya tidaklah ditinggalkan oleh para pengikut sektenya yang setia. Mereka pun tampak ada yang terluka. Tetapi masih lebih beruntung diban-ding lima sosok lainnya. Zulham sempat menghitung jumlah mereka yang tadi berdiri serempak. Dan di tempat terpisah, ia melihat lima yang lain itu terkulai, mati.Gumpalan awan merah itu berdenyut agak lemah.
"Dia meski kekanak-kanakan sebenarnya memiliki ba-kat. Aku sudah mulai berpikir-pikir untuk berpindah ketempatnya. Tetapi kemudian, oh... sungguh permainan anak-anak. Sungguh bodoh! Andai saja dia sedikit bersabar. Ini menganggap roh dari dunia terasing ada-lah aku. Roh-roh kerdil yang senang melarikan diri,roh-roh yang suka usil! Dan yang tadi itu entah sudah berapa kali telinganya kujewer. Barangkali saja dia akan kapok!"
Ada suara batuk-batuk. Gumpalan awan darah itu se-akan mau pecah karenanya. Lantas suara lelah dan denyut-denyut kehidupan yang lemah, sementara tetes-tetes darah segar terus saja berjatuhan.
"Aku begitu jenuh! Muak pula. Semuanya hanya kesenangan duniawi. Tak satupun dari mereka berdua atau para pengikut mereka yang memberi tantangan. Kecuali,kau, anak manis..."
Tarida merasa tubuhnya dingin membeku.
Nalurinya membisikkan, dialah yang dimaksud.
"Sebenarnya aku masih ingin bermain-main dengan-mu. Kau memiliki keyakinan. Dan kekuatan tersembunyi yang tidak pernah kau ketahui. Aku masih tergoda untuk meruntuhkannya. Tetapi anak nakal tadi mem-buatku sempat terluka. Aku lelah, ingin istirahat.Dan..."
Batuk-batuk lagi. Kemudian sunyi. Gumpalan awan darah itu tampak tidak bergerak sedi-kit pun. Malah warnanya mulai menghitam, semakin hitam, kemudian menggelap dan hilang.
Di bekas gumpalan awan darah itu tampak bagian dari sebuah panggung yang hancur runtuh rata dengan permukaan lan-tai yang tampak menganga berlubang-lubang. Demiki-an pula halnya dengan singgasana. Tak ada lagi bentuk kecuali sepotong batu pualam, berbentuk kepala ular. Dengan lubang-lubang mata, bolong dan hitam.
Iblis atau siapa pun sesungguhnya dia telah pergi.
Tanpa pamit. Dengan cara yang sangat sederhana pula.
Tidak spektakuler seperti saat pemunculannya.
[] *** SEMBILANBELAS ATAS permintaan Bi Esih dan disetujui pula oleh Johan, Cottage dibongkar habis. Dan di bekas cottage itulah dimakamkan Rani Pusparini beserta saudara kembarnya. Tenny Puspasari. Kemudian dilakukan upaca-ra kecil oleh bekas para pengikut sektenya.
Zulham dan Tarida tentu saja tidak mengikuti. Mereka memisahkan diri bersama beberapa pelayat lain yang tak seberapa jumlahnya. Saat memisahkan diri itulah Zulham melihat sebuah kuburan baru di sudut paling jauh. Terpancang batu nisan bertuliskan:
"Rudi. Telah bereinkarnasi, tgl..."
Zulham bergidik. Teringat pada mahluk hitam legam dengan mata ku-ningnya yang kemerah-merahan itu. Sosok itulah yang ia lihat di Ruang Oval. Bentuk muka dan wujut tubuh Rudi dalam bentuk sinar berwarna hitam pekat.
Ia merasa pasti akan itu.
Sepasti ia yakin pada belahan lainnya yang berwarna hijau.
Bahkan Tarida pun tidak terkelabui. Pada Nurmala dan Rosida ia bahkan berani angkat sumpah.
"Wajah hijau itu, persis Zulham!"
Zulham memutar tubuh dengan gelisah.
Memandang ke kuburan dua bersaudara kembar itu.Di sebelah mana tadinya ada sebuah altar. Dan setelah ia meninggalkan tubuh Rani Pusparini, untuk apakah Rudi dipanggil masuk ke dalam cottage?
Masih terbayang di pelupuk mata Zulham, Rani Pusparini menutup pintu cottage begitu Rudi masuk ke dalam. Dan gadis itu tidak berbusana.Terngiang apa yang diucapkan si gadis:
"Masih ada upacara lain..."
Di atas altar, tentu ! Zulham bergidik lagi, lantas menggapai tangan Tarida.Berkata dengan gemetar:
"Ayo. Kita pulang!"
"Tunggulah sampai mereka selesai!"
Tarida menentang dengan suara lembut.
"Setidak-tidaknya hanya dengan cara itulah kau dapat menghormati dan berterimakasih pada Rani."
Tarida benar. Dan Zulham mengalah. Menghormati orang yang meninggal tidak ada salah-nya. Dan berterimakasih, Zulham pun harus.Sambil duduk di bangku taman yang rindang. Zulham diam-diam memperhatikan kedua telapak tangannya.Dua-dua telapak tangan itu masih terasa perih, kadang kadang. Tetapi dokter Anwar berkata meyakinkan,
"Nanti juga akan hilang sendirinya..."
Petugas di laboratorium menguatkan.
"Hasil rontgen memang memperlihatkan bekas tanda-tanda keretakan. Tetapi bagaima-na pun, tulang-tulangnya utuh, begitu urat. Ada pun mengenai..."
Rani Pusparinilah yang telah melakukannya.Sebelum bala bantuan datang, teman-temannya yang setia telah berjuang keras melepaskan dua telapak tangan Zulham dari palang kayu salib. Tentu saja dengan Zulham berkutat habis-habisan agar tidak sampai melolong-lolong kesakitan.Kemudian ia dibawa mereka ke tempat gadis itu berbaring.
Rani Pusparini tersenyum.
Lemah dan pucat, ia berbisik.
"Cjumlah aku..."
Tentu saja Zulham bingung, apabila setelah ia lihat sepasang mata Tarida membelalak. Tetapi atas anggukan teman-teman Rani Pusparini, permintaan gadis itu kemudian ia turuti.Lebih dulu gadis itu memastikan bahwa ibu dan jari telunjuk tangan kiri dan kanannya, benar-benar telah menutupi dan mengusap lubang menganga dan darah di dua telapak tangan Zulham. Setelahnya baru Zul-ham mendekatkan bibirnya ke bibir Rani Pusparini.
Te-rasa bibir itu seperti mengulum terasa masih hangat,sebelum bibir itu tiba-tiba dingin membeku. Zulham ti-dak akan lupa bagaimana ia terheran- heran melihat lubang menganga di kedua telapak tangannya tidak tampak lagi. Memang masih bengkak tetapi sepertinya tidak pernah ada bekas luka di situ.Namun yang paling sulit ia lepaskan dari ingatan adalah saat-saat ia menjauhkan bibirnya dari bibir Rani Pusparini. Dan menyadari bahwa selagi mereka berciu-man, gadis itu pun pamit untuk selamanya.
"Zul?" Zulham terperanjat. Lamunannya buyar. Sewaktu ia menoleh, matanya seketika beradu dengan sepasang mata sejuk bening, dengan sudut-sudut yang membentuk spesifik itu.Tarida seakan bukan hanya memandang, tetapi juga ingin menembus ke dalam melalui mata Zulham untuk membongkar apa yang tersembunyi di sebaliknya. Baru kemudian bertanya,
"Pernahkah kau sebelumnya men-cium dia?"
Nyaris saja Zulham menjawab.
"Mencium? Bahkan lebih dari itu."
Beruntung, ia keburu sadar dengan siapa ia berhadapan. Selain itu, ia pun dihinggapi semacam perasaan bersalah. Setelah berpikir-pikir sejenak Zulham balik bertanya,
"Mana yang kau inginkan. Tarida! Aku berdus-ta atau berkata sebenarnya?"
Tarida tersentak. Lalu kemudian tersenyum. Manis.

Tarian Iblis Karya Abdullah Harahap di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di-gapainya tangan Zulham.
Dibelai hangat, lalu berbisik lebih hangat lagi,
"Berdustalah!" [] Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,31 Agustus 2018
Terimakasih TAMAT Pewaris Ilmu Tokoh Sesat 1 Runner Up Girl Karya Hanna Natasha Misteri Tengkorak Berdarah 2

Cari Blog Ini