Ceritasilat Novel Online

Triangle 3

Triangle Karya Jaisii Quwatul Bagian 3


cemilan, dan bermain permainan. Di sore hari, Mall memang begitu ramai
dipadati para pengunjung.
"Ini ada acara apa sih sayang? Kok tiba-tiba ngajak ke mol?"
"Ini sebagai permintaan maaf aku, karna tadi aku gak mau kamu peluk."
Jawaban Nevan mampu membuat Senna menahan tawa, sebegitu khawatir kah
dia? Asiiik. Senna berseru dalam hati.
"Ya udah peluk sekarang aja."
"Ettss jangan-jangan" Nevan menjauhkan diri dari Senna, menghentikan aksi
gadis itu yang hendak memeluknya. Senna membeliak, mengapa Nevan tiba-tiba
menjaga jarak? "Kenapaa?" Senna memprotes.
"Gak enak diliat sama yang lain. Nanti kalau mereka sirik gimana?"
Senna hampir membuka mulutnya untuk mencecar, tapi ia malah ingin tertawa
malu, berlekas menabok bahu Nevan, tapi lelaki itu keburu berlari menghindar
menuju eskalator. Dan kini dia sudah berdiri di tangga berjalan itu dengan
pandangan meledek ke arah Senna yang masih berada di bawah. Senna mulai
mengejarnya, ikut menaiki eskalator meskipun tertinggal jauh. Nevan turun lagi
ke bawah, dengan langkah cepat padahal tadi dia hampir sampai di atas, ia
mengulurkan tangannya kepada Senna. Posisi mereka pun sekarang sama.
"Kayak orang gila ya, udah ke atas malah turun lagi. Nyari mati kamu itu."
"Biar sama-samaa." Ketika tangan mereka bertautan, jemari Nevan mengeluselus tangan Senna yang lembut. Dia juga membenarkan bando yang tersemat di
kepala Senna, bertanya tentang baju Senna yang sedikit kotor.
Senna yang malas membahas Neina, hanya menjawab enteng. Dengan alasan
kalau tadi Nova tak sengaja menjatuhkan minumannya.
Akhirnya mereka tiba di lantai atas, di sana ada arena bermain seperti Time Zone
yang kini sangat hiruk-pikuk. Banyak anak kecil, juga remaja yang memenuhi
arena bermain itu. Termasuk para ibu-ibu yang menunggui anak-anaknya yang
sedang asik bermain mandi bola. Ada yang memekik kegirangan karena
mendapatkan tiket panjang.
Sekarang Senna dan Nevan berada di dalam ruang karokean. Mereka memilih
tempat ini untuk bermain. Nevan tahu Senna sedang ada penat, mungkin ini satusatunya cara untuk menghilangkan pikirannya. Meskipun niat Nevan ini tidak
diketahui Senna, Senna tetap merasa senang. Dan Nevan berhasil, kendati dia
tidak mengetahui apa yang terjadi dengan Senna.
Keduanya sudah memegang microphone, menyanyikan lagu Percayalah milik
Afgan dan Raisa yang diputar di layar. Lirik yang dinyanyikan Afgan,
dinyanyikan Nevan. Lirik yang dinyanyikan Raisa, dinyanyikan Senna. Sebisa
mungkin mereka membangun chemistry layaknya sedang bermain video clip
sebuah lagu romantis. Ala-ala pasangan selebritis gituuu.
"Selamanya kita akan bersama Melewati segalanya, yang dapat pisahkan kita
berdua Selamanya kita akan bersama, takkan ada keraguan kini dan nanti
percayalaah" Suara mereka bergema dalam ruangan.
Nevan merangkul bahu Senna, mendekatkan tubuhnya, hingga mereka saling
menempel. Senna mendongkak sambil terus bernyanyi dengan bangga.
"Selamanya kita akan bersama, takkan ada keraguan kini daan nanti
percayalaah" Ia alihkan lagi pandangannya ke depan layar.
"Percayalaaaaaaahhhh," suara Senna nyaris meledakkan telinga Nevan. "Hanya
dirimu satu-satunya tercipta untukkuu.."
"Houwooooo" "Selamanya kita akan bersama Takkan ada keraguan, kini dan nanti,
percayaaaahh Huooooooooo Takkan ada keraguan, kini dan nanti, taaak
akan ada keraguaan, kita memiliih, percayalaah
Percayalaaah." Nevan dan Senna saling memandang penuh arti begitu musik berakhir. Wajah
mereka sangat berdekatan, hanya ada jarak beberapa cm, deruan napas pun
terdengar bersahutan. Senna menatap wajah tampan Nevan dengan sangat jelas,
begitu pun Nevan yang memandang jeli wajah Senna, bulu matanya lentik,
Nevan sangat terpukau. Kedua bibir itu hampir bersentuhan, namun akhirnya
Nevan segera menurunkan wajah, dia khilaf. "Astagfirullahaladzim," katanya
pelan, refleks. Senna menahan gelak ketika melihat wajah Nevan yang merah
seperti udah rebus. Lalu Nevan mengangkat kepalanya lagi, menutup mulutnya yang nakal.
Senna bertepuk tangan sebagai apresiasi atas nyanyiannya. Juga untuk
mencairkan suasana canggung barusan, tiba-tiba saja atmosfir ruangan ini
menjadi gerah dan panas. Dua-duanya sama-sama salah tingkah. Senna lalu
mengibaskan tangannya, begitu pun Nevan yang menggaruk kepalanya. Mereka
memang pacaran, tapi tak pernah sekali pun melakukan hal itu.
"Suara aku bagus, ya. Hehe."
"Iya, kayak kaleng rombreng."
"Iiih" Senna mendorong pipi Nevan dongkol. Masih saja dia meledeknya
dengan sebutan itu. Nevan mengganti lagu lagi. Kali ini ia memilih lagu milik Adam Suraja yang
berjudul ?Kusuka?. Senna mulai berjoged dengan gaya asik begitu musik mulai
berbahana. Nevan memerhatikan gadis itu dengan seksama, seperti seorang
sutradara yang sedang mencari pemeran utama dalam film yang akan segera
digarap. "Kusukaa padamu, sungguh aku suka.. Sejak pertama kamu, menampakan
dirimu." Senna mencolek hidung mancung Nevan. "Mungkiin ini cinta, tak
sekedar rasa. Sungguh aku mau, jelas aku mauu"
Senna meraih tangan Nevan, dan memutar tubuh bak sedang berdansa. Kembali
dia bernyanyi, begitu pun dengan Nevan.
"Kusukaa padamu, sungguh aku suka.. Sejak pertama kamu, menampakan
dirimu. Mungkiin ini cinta, tak sekedar rasa. Sungguh aku mauuu"
"Dari mata, dari kata, turun ke hati. Dari rasa, dari sayang, menjadi cintaa"
"Kusukaa padamu, sungguh aku suka.. Sejak pertama kamu, menampakan
dirimu. Mungkiin ini cinta, tak sekedar rasa. Sungguh aku mauuu"
Setelah sama-sama menjadi orang gila, mereka keluar dengan tawa cekikikan.
Menertawakan kegilaan yang baru saja mereka lakukan. Bernyanyi sekeras dan
se-alay mungkin. Senna tak ingin momen ini lebih cepat berakhir, jadi dia
memutuskan untuk mengajak Nevan makan di salah satu kedai bakso dalam mall
yang sama. Keduanya duduk berhadapan. Lalu memesan bakso kepada pelayan yang sedang
bekerja kesana-kemari. "Kamu seneng?" tanya Nevan menopang dagu.
"Seneng laah. Jarang banget kamu ngajak aku main." Senna terus memandang
wajah Nevan tanpa berkedip.
"Mumpung lagi santaai."
"Ooh kamu cuma ada waktu buat aku kalau kamu lagi santai doang?"
"Ih jangan suudzon gitu," kata Nevan so imut. "Tapi kamu nggak pa-pa, kan?
Ada masalah?" "Nggak adaa." Senna menggeleng-gelengkan kepalanya santai. Untuk sekarang
ia tak ingin berbagi masalahnya kepada siapa pun, termasuk Nevan. Ia belum
siap. Dari dulu sampai sekarang, Senna belum pernah membongkar aib keluarganya.
Terutama Ayahnya yang sudah menelantarkan dia dan juga ibunya. Itu terdengar
sangat memalukan dan hina. Jadi Senna hanya menjawab, bahwa Ayahnya sudah
meninggal ketika ditanyai tentang keberadaan suami dari ibunya. Meninggal
lebih terhormat dibandingkan dengan perceraian. Senna tak ingin dijuluki
sebagai anak korban broken home. Sudah cukup ia dipanggil Miss A yang
artinya Miss Alay, semuanya tindakan lebay ia lakukan hanya untuk menutupi
kesedihannya. Menjadi gadis yang sombong, arogan, dan centil, itulah cara dia
untuk menyembunyikan semua rasa sakit yang berkubang sejak dulu.
Hingga datanglah Nevan, lelaki yang begitu tulus mencintainya, tanpa
memandang segala kekurangan yang mengalir kentara dalam jiwanya. Bahkan,
Senna adalah salah satu siswa yang paling sering mendapat sorotan jijik dan
kesal dari para siswa di sekolah karena tindakan dan tingkahnya yang selalu
menggemparkan. Sampai saat ini, Senna belum tahu mengapa Nevan bisa jatuh
cinta kepadanya. Tapi Senna tak akan mengambil pusing tentang itu, karena
dia sudah terlanjur sangat-sangat mencintainya, tak ingin kehilangan Nevan, tak
ingin kehilangan dia walau sehari pun. Untuk itu, Senna tak akan pernah
membiarkan siapa pun untuk mengambil Nevan darinya.
Terutama Neina. "Kita belum shalat ashar, lho." Nevan melirik jam tangan-nya, jarum jam
menunjukkan pukul empat sore. Dididik oleh Nenek seperti Sekar, Nevan
tumbuh menjadi lelaki yang lumayan patuh kepada agama. Walaupun tidak sesholeh Nabi Muhammad dan para pengikutnya. Dia masih di bawah standar,
sangat sangat di bawah, masih menyukai hal yang berbau ?seks?. Wajar, dia
lelaki normal. Tapi Nevan berjanji, setelah dewasa, ia akan mengubah ke jenjang
yang lebih baik lagi. Menurut Senna, Nevan adalah segalanya. Dia yang dulunya jarang sekali
melaksanakan kewajibannya sebagai umat manusia, kini mulai berlatih. Yaah
meskupun, hanya Nevan yang selalu memperingatinya, dan hanya ketika berada
bersama Nevan ia melakukannya.
Nevan dan Senna berkunjung ke masjid besar setelah menghabiskan makanan
mereka. Keduanya membuka sepatu di ujung tangga.
Nevan menggelitiki kaki telanjang Senna dengan jahil.
"Iih kamu hobi banget sih kelitikin aku."
"Itu kuku ibu jari kaki kamu panjang. Jangan lupa catok. Mau ada setan
gelantungan di sana?" Nevan nyeletuk hingga membuat Senna bergidik.
"Ih jangan nakut-nakutin, deh!"
"Hahaha emang bener. Udah jangan ih ih ih nanti jadi ih ih," ledeknya. Nevan
mulai beranjak untuk mengambil air wudhu, meninggalkan Senna yang masih
cemberut. "Nevan jahaaaaaat." Senna menggerutu tanpa memedulikan orang-orang yang
mulai mengalihkan pandangan kepadanya.
Sepulang dari acara jalan-jalannya bersama Nevan, kini Senna sudah berjalan
menuju kamar dengan wajah sumeringah. Tak henti-hentinya bibirnya
tersenyum-senyum, apalagi ketika tadi saat ia dibonceng Nevan. Kedua
tangannya memeluk pinggang Nevan, dan sesekali juga Nevan memegang
tangan Senna yang melingkar di tubuhnya. Itu adalah momen paling
mengesankan bagi Senna, ia paling suka dengan itu.
"Senna Anak mamaa " panggil Diana yang ternyata masih stay di rumah.
Senna kira, dia sudah pergi. "Kamu telat lagi pulangnya, mama nunggu kamu
dari tadi," katanya memegang kedua bahu Senna lembut. Wajahnya selalu
memancarkan ketenangan dan kelembutan, Senna tahu bahwa Diana sangat
menyayanginya. Hanya saja, dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya. "Dari mana
aja? Mama udah siapin makanan buat kamu. Makanan yang paliiiiing enak!"
"Siapa yang masak? Mama atau bibi?" Senne menyelidiki dahulu.
"Ya mama, lah. Kenapa?"
"Soalnya kalau bibi aku gak bakal mau makan, udah kenyang."
"Manjaaa" Diana memegang hidung mungil Senna dan menariknya gemas.
"Kalau aku tau mama masih di sini, bakal aku kenalin mama sama Nevan."
"Nevan siapa?" "Pacar aku." "Pacar?" "Hmmm" Senna mengangguk seraya mengeluarkan ponsel dari dalam saku
bajunya. Kebetulan tadi ia sudah mengganti wallpaper ponselnya. Sejurus
kemudian, Senna memamerkan layar hp-nya kepada Diana. "Ini"
Dalam foto itu, ada foto selfie Senna dan Nevan yang tersenyum pepsodent.
Diana tertegun. "Ganteng kan, ma?" tanya Senna tersenyum. Menarik ponselnya lagi. Kini
giliran dia yang menatap wallpaper gadget-nya. Padahal baru tadi ketemu, udah
kangen lagi. "Nggak nggak nggak" Diana menggeleng-gelengkan kepalanya. Senna
mengernyitkan kening melihat respon Diana. "Mama lupa bilang sama kamu."
"Ada apa, ma?" Senna bertanya lagi dengan raut penasaran. Mencoba mencari
tahu sendiri lewat lekak-lekuk wajah Diana yang tampak gamang. Ada yang
tidak beres. "Mama lupa bilang sama kamu, kamu jangan dulu pacaran, Sen."
Senna membeliak mendengar pernyataan mamanya. Mendadak, terlalu cepat.
"Kenapa?" "Nggak pokoknya kamu jangan dulu pacaran," lanjut Diana menatap Senna
dengan segala permohonan. Senna yang tidak mengerti, mengubah mimik
menjadi kesal. Ada apa ini?! "Sekolah dulu yang bener. Mama tadi abis dari kamar kamu, ngeliat semua hasil
ulangan kamu dan ternyata semuanya jelek. Kamu gak belajar?"
Ck! Senna berdecak. "Sejak kapan mama peduliin nilai-nilai aku? Dan sejak
kapan nanyain aku tentang belajar ataupun pelajaran?"
"Pokoknya apa pun itu alasannya, kamu jangan dulu pacaran."
"Gak bisa gitu dong, ma," berang Senna tak terima.
"Ini perintah dari mama, Senna!"
"Oh aku tau. Pasti mama takut kan kalau pacar aku itu sama kaya lelaki bejat
itu?!" tuding Senna langsung pada inti dengan nista. "Oh ya ma, tadi aku ketemu
sama dia." "Apa?" Suara Diana tersekat di tenggorokan.
"Bukan cuma tadi, tapi juga beberapa hari yang lalu," belum menyelesaikan
perbincangannya dengan Diana, Senna melangkah karena terlanjur marah.
Bagaimana Senna tidak kesal, mamanya yang jarang pulang, sekalinya pulang
langsung melarang ini itu. Ditambah, ia harus mengingat pertemuan paling
menyebalkan itu. "Kamu serius? Kamu beneran ketemu sama papa kamu?" Diana menyusul Senna
yang mulai menaiki anak tangga. Ingin mengetahui cerita Senna lebih detail lagi.
"Papa aku?" Senna menoleh. "Papa aku dari mana? Orang dia udah jadi papanya
orang lain." "Sennaa, mama tau kamu marah sama dia. Tapi gimana pun, dia masih papa
kamu." "Mama itu kenapa, sih?! Perasaan, aku sering deh cerita tentang Nevan, tapi
kenapa sekarang mama baru larang aku?" Senna mengubah topik pembicaraan
setelah berada di atas balkon. Dia malas membahas ?mantan? Ayahnya. Tidak
ada waktu untuk membahas pria sialan itu.
"Mama pikir kamu cuma main-main, itu sebabnya mama diem. Tapi ternyata---"
"Menurut aku bukan karna itu, tapi karna selama ini mama gak pernah peduliin
aku." Senna membawa langkahnya lagi, masuk ke dalam kamar. Capai jika harus
berdebat dengan Diana. Cukup sampai di sini dia menyimpan kesabarannya. Dia
bosan. Bahkan ia tak butuh barang-barang mahal lagi.
Diana tidak tinggal diam, cepat-cepat dia menghampiri Senna lagi. "Mama cuma
takut, gara-gara lelaki kamu tersakiti. Mama gak pingin itu terjadi. Mama
khawatir." "Gak semua lelaki kayak gitu. Aku gak mau jadi pengecut atau munafik, ma.
Dengan bilang kalau semua lelaki itu sama. Semua lelaki itu gak sama, ma.
Cuma sekarang, kita harus pinter-pinter cari lelaki yang bener-bener tulus.
Jangan asal pilih. Dan aku, udah nemuin lelaki sebaik Nevan."
"Kamu belum tau bibit bebet bobotny! Dari mana kamu bisa nilai kalau dia itu
baik? Papa kamu juga dulu begitu."
"Mama yang gak tau, aku tau, aku kenal keluarganya. Bahkan Bi Ijah pun tau!"
Senna duduk di tepian ranjang dengan mood buruk. Terlalu muak dengan segala
persoalan ini. Senna tidak ingin kisahnya sama dengan kisah Romeo dan Juliet,
tidak direstui orangtua. Diana kembali terpegun. Mulutnya terkunci rapat.
"Udah deh, ma. Urus aja kerjaan mama, kayak biasa, jangan peduliin Senna."
Senna membuang muka dengan loyo. Ia sudah terbiasa dengan hidup bebas,
tanpa ada teguran apa pun. Jadi sekalinya ditegur, Senna akan menolak secara
terang-terangan. "Nyesel mama udah manjain kamu," lanjut Diana, berlalu meninggalkan Senna
dalam kamarnya. Sikap Senna yang seenaknya memang kesalahan dia sendiri
yang selalu mengabulkan semua keinginannya.
"Salah siapa?! Bukan salah aku!" teriak balik Senna berharap suara lantangnya
sampai pada telinga Diana.
bagian14. Setelah beberapa hari tak masuk sekolah karena sakit, akhirnya Neina bisa
kembali ke sekolah dengan kondisi yang lebih sehat dan bugar. Tapi ia tidak
berjalan sendirian di koridor itu, di sampingnya ada Tania yang terus
mendampinginya. Meski Neina terus memaksa Tania agar ia tidak usah
mengantarnya, tapi mamanya tetap bersikukuh ingin mengantar. Sepertinya ia
akan melakukan sesuatu, sesuatu yang tidak diketahui Neina. Tak henti-hentinya
Tania membetikan peringatan, agar Neina hati-hati, supaya dia tidak jatuh sakit
lagi. Sampai tiba di depan kelas, Tania memeriksa kelas Neina, melemparkan
pandangannya ke segala sudut kelas.
"Mama cari apa, sih?" tanya Neina kebingungan, garis berlipat tercetak di


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keningnya, menengok wajah Tania.
"Temen sebangku kamu itu mana? Yang minjemin jaket ke kamu waktu itu?"
"Buat apa mana cari dia?" sontak Neina terbelalang.
"Udaah kamu tunjukin aja."
Semua murid yang berada di kelas melemparkan pandangannya ke lawang pintu.
Bingung dengan kedatangan perempuan bergaya modis yang bersanding dengan
Neina. Sambil menerka-nerka, ?mungkin saja dia ibu dari Neina.? Mirip.
"Eh Neina. Lo udah masuk lagi?" suara itu menginterupsi aksi Tania yang
sedang mencari keberadaan murid lelaki yang selalu membantu anaknya. Meski
dia belum melihat Nevan, tapi Tania sudah menebak pasti dia pria yang sangat
baik. Untuk itu dia ingin bertemu dengan sosok aslinya.
"Eh, iya," jawab Neina agak kaku.
"Ini nyokap lo?" tanya Nevan lagi sembari memusatkan kedua iris hitamnya
kepada seorang perempuan di samping Neina. "Iya."
"Oh. Halo tante." Nevan menjulurkan tangan untuk menyalami. Tak lama
kemudian Tania menerima uluran tangan Nevan, lelaki itu membawa punggung
tangan Tania ke keningnya.
"Salam kenal, tan," lanjut Nevan lagi begitu melepaskan tangan Tania, tak lupa
dengan senyuman khas-nya. Sekar sudah mengajarkan Nevan banyak hal, salah
satunya, menyalamai orang yang lebih tua ketika bertemu.
"Kamu Nevan?" tanya Tania tanpa ragu. Nevan langsung menganggukkan
kepala. "Kok tau?" Nevan baru ?ngeh? Mengapa mama Neina tahu namanya.
"Neina kan suka cerita," jawab Tania sedikit melirik Neina yang wajahnya mulai
memerah seperti kepiting rebus. Terungkap sudah hobinya yang sering
menceritakan sosok Nevan kepada mamanya. Menyebalkan! Nevan ikut-ikutan
melirik Neina. "Iya, Neina suka cerita tentang kamu. Makannya tante ke sini kepingin ketemu
kamu, soalnya tante penasaran banget."
Neina tidak bisa berkutik lagi. Gawat! Bisa-bisanya Tania membocorkan tentang
hal memalukan itu. Wajah Neina yang putih, mendadak merah, dan semakin
merah padam. Dalam hati ia mengutuki diri, kalau ia berani, ingin sekali
mengusir Tania dari sini, menyuruhnya untuk pulang dan berhenti berbicara.
"Serius, tan?" tanya Nevan tak yakin. Yang ia tahu, Neina itu sosok cewek yang
pendiam, tapi di rumahnya mungkin dia bawel.
"Iya. Ngapain tante bohong?"
Merasa terpojok, Neina memutuskan untuk masuk ke dalam kelas, menggigit
bibir bawahnya dengan keras-keras. Tanpa sepengetahuannya, Ari, Wildan, dan
Satya yang sudah berada dalam kelas ternyata sedang serius menonton
pembicaraan Neina, Nevan dan Tania di lawang pintu. Seperti sedang menonton
sinetron, menebak apa yang akan terjadi di scene selanjutnya.
"Itu nyokap lo?" Ari langsung bertanya kepada Neina yang hendak duduk
dengan raut keponya. Tak ingin tertinggal berita sedikit pun. Dia ingin menjadi
yang ter-update. Layaknya wartawan yang selalu mengkepoi kehidupan para
artis. "Nyariin Nevan?" susul Wildan.
"Nevan laku," tambah Satya menyeletuk.
"Iya itu mama aku. Dan aku gak tau kenapa dia nyariin Nevan."
Pandangan teman-teman Nevan kembali teralih kepada Nevan yang masih
bercakap-cakap dengan Tania, dia juga tampak tersenyum-senyum sopan, juga
mengangguk-anggukan kepala. Neina kesal melihat mamanya yang so akrab,
sekarang mau disimpan di mana wajahnya? Saat ini ia benar-benar malu, malu
yang berada pada level tertinggi. Jika dalam istilah mie ramyun, itu adalah
tingkat paling pedas. Tania menepuk-nepuk bahu Nevan dengan karib. Ia tersenyum sebelum akhirnya
meninggalkan Nevan yang mulai mengubah ekspresi wajahnya. Memandang
kepergian Tania selama beberapa detik. Lalu Nevan masuk ke kelas, berjalan ke
bangkunya dengan otak yang terus bekerja.
Neina berdiri, memberi jalan Nevan untuk duduk.
"Bener-bener menang banyak lo, Van. Ngobrol apa aja sama nyokapnya Neina?"
tanya Ari yang belum bisa menghentikan aksi ingin tahunya.
"Kepo." Nevan menjawab singkat, padat, jelas. Tidak biasanya.
Sampai saat ini Neina belum berani bersuara atau hanya sekadar menolehkan
pandangannya ke arah Nevan. Dia ingin pindah dari sini, mulai tak nyaman
berada di dekat Nevan. Sekarang ia tak bisa bernapas secara normal, atau
bersikap senormal mungkin. Takut kalau Nevan malah menjauhinya setelah
mendengar cerita mamanya. Ia ingin menjelaskan, memberitahu kepada Nevan
bahwa apa yang diucapkan mamanya itu salah, tapi mulutnya benar-benar
terkatup rapat. Sangat-sangat kelabakan.
"Tenang aja kali gak usah takut gitu, gue gak akan marah kok kalau lo selalu
ceritain tentang gue ke nyokap atau bokap lo."
Lagi-lagi Neina memicingkan mata kala ia sedang tertunduk. Berharap bahwa
ini hanya mimpi. Mimpi paling buruk, dan ia ingin segera keluar dari bunga
tidur itu. "Wieeesssss!!!" seru Ari hampir ingin bertepuk tangan.
"Neina? Lo suka ceritain tentang Nevan ke nyokap lo?" respon Wildan berapiapi.
"Nevan banyak fans-nya. Jadi wajar kalau Neina juga terpukau." Satya
menambahkan. Ketiga makhluk itu duduk berjajar dalam satu meja. Mereka
selalu bercakap ria sebelum bel masuk berbunyi. Entah tentang sepak bola, atau
tentang PDKT-an dengan cewek yang selalu gagal.
"Ma.. maaf," akhirnya Neina mengangkat kepala, menghimpun keberanian
untuk bicara. Bagaimana pun, ia harus tetap menjelaskan, sebelum merasakan
malu yang berkepanjangan.
"Nggak pa-pa. Tadi nyokap lo bilang ke gue, katanya lo orangnya susah
bersosialisasi. Dia nitip pesen, supaya gue mau jadi temen lo selama di sekolah."
Sebenarnya masih ada satu hal yang sengaja Nevan tak ucapkan. Dia rasa, hanya
dia dan mama Neina yang mengetahuinya. Dan, tak penting pula untuk
dibicarakan. Apa yang tadi dipaparkan juga termasuk intinya.
"Sebenernya " "Udah Neina. Gue maklumin kok kalau lo sering cerita ke nyokap lo. Tapi
tenang aja, gue tau barusan nyokap lo terlalu ngelebih-lebihin." Nevan berusaha
membuat Neina menghilangkan kegugupannya.
Akhirnya Neina kembali menutup mulut. Semua kata-kata yang ingin ia
lontarkan, hilang tanpa jejak. Kabur begitu saja dari dalam otaknya. Tak ada
yang tersisa walau satu huruf pun. Untung Nevan mengerti.
Sudah lewat setengah jam pelajaran, tapi guru yang mengajar di jam pertama
belum juga datang. Kelas menjadi tidak teratur jika guru telat datang, semuanya
akan menjadi geger dalam waktu sekejap. Namun tiba-tiba Pak Budi datang
tanpa diundang, menghentikan aktifitas para siswa. Ada yang sedang memain
laptop, ngegosip, dan lain sebagainya. Semuanya menjadi sunyi senyap.
"Wa?alaikumsallam," ujar beberapa siswa, menyindir Pak Budi yang sama sekali
tidak mengucapkan salam ketika masuk.
"Pelajaran siapa ini?" tanyanya saat sudah berada di depan meja murid.
"Pak Iman, bahasa Indonesia," jawab mereka serempak ---tapi malas.
"Hey kamu, kamu, kamu" Pak Budi menunjuk Wildan, Ari dan Satya
satu persatu. "Ngapain duduk bertiga?... Pindah."
"Sementara, Pak. Mumpung gak ada guru," kata Satya yang masih PW di
tempatnya. Tak ingin diganggu, termasuk perintah guru sekali pun.
"Pindah. Kalau gak ada yang mau pindah, berarti salah satu dari kalian itu
setan," ancamnya. ?Njir bapak pake acara nipu segala. Kita bukan anak kecil lagi, pak. Yaelah.?
Neina yang masih bergulat dengan perasaan malunya, terus mengeluarkan
keringat dingin. Di sebelahnya, ada Nevan yang sedang menertawakan ketiga
temannya, dan sesekali melontarkan kalimat dukungan kepada Pak Budi. Si guru
yang kerjanya berpatroli di area sekolah.
"Tadi gue liat dan denger, ada ibu-ibu dateng ke sekolah ini dan nemuin Nevan
di koridor depan kelas 11 IPA 2, kalau gak salah gue denger, ibu-ibu itu minta
Nevan supaya mau terus nemenin anak perempuannya, kalau gak salah namanya
itu Neina. Serius gue gak salah denger, asli! Si Nevan di-booking sama nyokap
salah satu murid di kelasnya. Enak bener tu cewek."
Senna yang sibuk membuka lemabaran buku kini terhenti, menolehkan kepala ke
samping, pada cewek-cewek yang doyannya ngerumpi, berkumpul di satu meja
sambil bercerita ini itu.
"Pacar lo tuh, Sen. Lagi dideketin sama tante-tante," salah satu dari mereka yang
mengerti akan mimik mengejutkan Senna langsung menyahut. Peka.
"Apa?" perlahan Senna mulai berdiri, ingin memperjelas berita yang baru saja ia
dengar. "Iya. Kayaknya sih dia kayak yang nitip pesan gitu supaya Nevan mau jagain
anaknya yang sekelas sama Nevan. Mungkin murid baru itu kali."
Neina. Nama itu yang langsung terlintas dalam benak Senna. Tak salah lagi. Murid
perempuan yang mereka maksud pasti Neina. Bisa-bisanya dia membawa ibunya
untuk menarik perhatian Nevan. Ini tidak bisa dibiarkan. Kedua tangannya
terkepal, rasa benci kepada Neina itu semakin mejadi-jadi.
Tadinya Senna ingin mendatangi kelas Nevan, tapi Bu Ida masuk, menghentikan
langkah Senna yang baru berada di lawang pintu.
"Mau kemana kamu?" sergah Bu Ida sinis. "Sekarang waktunya masuk, bukan
keliaran ke luar." "Gak jadi, bu." Senna yang tak ingin membuat masalah, berbalik lagi menuju
bangkunya. Ia bisa menemui Nevan setelah jam pelajaran selesai ?di waktu
istirahat .Senna duduk di bangkunya dengan perasaan tak tenang, takut suatu hal
besar akan terjadi dalam hidupnya.
"Jangan-jangan si Neina itu bakal jadi PHO di dalam hubungan lo sama Nevan,"
komentar Nova sembari berpikir keras. Menakut-nakuti Senna yang sedang
menahan gejolak emosinya.
"Novaa!!! Tutup mulut lo!" sentak Senna dengan intonasi tinggi. Mengundang
ekor mata Bu Ida untuk melihat ke arahnya.
"Senna!" Kali ini Senna yang mendapatkan sentakan. Nova ikut jantungan
mendengar bentakan Senna, juga Bu Ida.
Senna berdecak kesal. Kini Senna dan kedua temannya sudah berada di depan kelas 11 -IPA-2. Begitu
Neina keluar, dengan sengaja Senna memajukan kaki kanannya, menghalangi
langkah Neina, dan Bruk!! Neina terjatuh dengan lutut yang mengahantam ubin. Nevan, Ari, Wildan dan
Satya juga melihat, sama-sama terkejut, apalagi ketika menyadari ada Senna
juga di sana. Akankah dia penyebab jatuhnya Neina?
"Gue nggak sengaja," ucap Senna dengan tampang tanpa penyesalan. Sementara
Neina mulai berdiri sambil menunjang ke tembok. Menahan rasa malu ketika
ada beberapa siswa yang hilir mudik di koridor dengan tawa yang ditahan-tahan.
Sebenarnya Nevan melihat jelas kalau Senna sengaja menghalangi jalan Neina,
tapi Nevan memilih untuk diam dan melanjutkan langkahnya keluar dari kelas.
Dia ingin membantu Neina, tapi Senna pasti akan melarang dan mengomel.
Neina yang sudah berdiri memandang Senna penuh tanya. Mengapa semenjak
dia bertemu dengannya, Senna selalu memancarkan sorot kejijian, permusuhan,
dan kebencian. Tangannya menepuk-nepuk lututnya yang sedikit nyeri. Tidak
mengerti dengan ini semua.
"Kenapa?" tanya Nevan sedikit berbisik kepada Senna begitu ia sampai di luar.
"Lo sirik hah sama Neina? Hah heh hoh???" seloroh Ari yang kini berada di
pihak Neina. Wajar, dari dulu dia memang tak pernah akur dengan Senna. Dan
sama, niatnya hanya untuk bergurau. Senna memelotot geram. Dalam situasi ini
Ari masih saja mendidihkan emosinya.
Nevan membawa Senna menjauh dari mereka, memilih tempat yang lebih sepi
untuk berbicara. Menjeda pertengkaran antara Senna dan Ari yang akan segera
terjadi. "Ada yang kamu sembunyiin. Soalnya dari pertama kali aku liat, kamu kayak
yang gak suka gitu sama Neina. Iya di awal aku anggap itu wajar, karna kamu
orangnya gampang cemburu. Tapi makin kesini, kamu malah semakin menjadijadi." Mereka tiba di kelas Senna yang kebetulan kosong melompong, semua
murid mengunjungi kantin tanpa bersisa. Kini hanya ada mereka berdua, dudui
di bangku Senna. "Emang kalau aku benci sama dia kenapa? Kamu gak suka?"
"Bukan begitu. Kalau kita benci sama seseorang, berarti harus ada alasannya.
Aku pernah bicarain ini sama kamu loh sebelumnya. Jaga sikap kamu, jangan
sampai, tindakan kamu itu bisa ngerugiin diri kamu sendiri."
"Intinya aku benci sama dia. Aku minta kamu pindah kursi aja nggak denger,
gimana aku nggak kesel?!" Senna masih belum ingin membocorkan rahasianya.
Ia tak ingin satu sekolah ini tau, kalau dia dan Neina mempunyai Ayah yang
sama. Termasuk Nevan. Oh, jadi itu alsannnya? "Cuma karena itu?" tanya Nevan.
"Iya cuma karena itu," jawab Senna menatap tajam Nevan. Jawabannya singkat,
dan alasannya juga mudah. Baiklah. Namun sebenarnya, alasan itu bukanlah
alasan yang sesungguhnya.
"Oke. Aku bakal pindah kursi," kata Nevan langsung memutuskan, suaranya
penuh kelugasan dan ketegasan. Dia pun berdiri, meninggalkan Senna sendirian
di dalam kelas. Senna membiarkan Nevan tanpa ingin menghentikannya sedikit
saja. Untuk sekarang Nevan harus mengalah lagi. Mungkin dengan dia mengabulkan
permintaannya, Senna akan berhenti memusuhi Neina. Bukan maksud Nevan
membela Neina, tapi ini juga untuk kebaikan Senna sendiri.
Senna mendesah keras. Kalau terus begini, yang ada Nevan akan salah paham.
Senna merutuki dirinya sendiri, tak seharusnya dia memamerkan kebencian
terhadap Neina di depan Nevan. Ini adalah kesalahan terbesar. Ia harus mencari
cara lain supaya Neina tidak betah lagi di sekolah sini, kalau perlu,
menyakitinya, membuat hidupnya tidak tenang. Supaya rasa sakit yang selama
ini Senna rasakan, bisa terbayarkan. Neina pun harus merasakannya juga.
Nevan kembali ke kelasnya, berjalan menuju bangku tempat ia duduk.
Mengambil tas ranselnya, lalu menyimpan tas itu di bangku Satya. Lalu
selanjutnya Nevan membawa tas Satya, disimpanya tas itu di kursi sebelah
Neina. Lantas Nevan duduk di jajaran paling belakang, sekarang ia sudah
bertukar tempat dengan Satya.
Nevan sedikit kecewa kepada Senna. Niat untuk pergi ke kantin raib sudah.
Ditambah, Nevan menjadi bimbang. Mama dari Neina barusan mewanti-wanti
agar dia mau menjaga Neina, mengantarnya kemana pun ia pergi. Perempuan itu
sudah memercayai Nevan untuk menjadi teman baik Neina. Karena dia takut
kejadian sebelumnya terulang, di mana Neina pingsan di sekolah.
Di sisi lain, ada Senna yang tak mungkin membiarkan dia berdekatan dengan
Neina. Nevan harap Senna bisa mengerti, namun pasti akan sulit, mengingat
sikap Senna yang terlalu childish.
Tak lama kemudian, ponsel Nevan bergetar. Nevan segera merogoh saku
bajunya, membawa ponselnya. Jemarinya men-slide layar, membuka pesan yang
baru saja masuk. Senna : Kamu marah? Jemari Nevan mulai mengetik keyboard hp-nya. Membalas pesan dari Senna.
?Iya? Tiga detik kemudian. Senna : udh pindah? gk sebangku lgi kan sama si neina?!
?Udah. Puas?? Tiga detik kemudian. Senna : makasih Nevan memasukan kembali ponselnya, malas untuk membalas. Kalau dia
melanjutkan lagi, pertengkaran ini tak akan ada ujungnya. Dan pada akhirnya,
akan berujujung dengan kata ?putus.? Dalam sebuah hubungan, memang ada
yang harus mengalah. Namun, setiap kesabaran akan ada batasan.
"Nggak dibales lagi?! Dasar cowok!" Senna mengumpat, melempar ponselnya
ke atas meja, lalu bersandar santai di kursi. Jika hubungannya dengan Nevan
hancur, maka orang pertama yang harus disalahkan adalah Neina.
Senna beranjak dari duduknya. Keluar dari kelas, menyusul teman-temannya.
Perutnya tiba-tiba lapar.
Begitu tiba di kantin, dia melihat Neina yang asik bercengkrama dengan temanteman Nevan di warung bi Titi. Tampangnya yang so polos dan baik, membuat
Senna semakin muak. Di balik kebahagiaannya, ada orang lain yang tersakiti.
Dulu Neina sempat merebut segalanya, tapi sekarang tidak.
"Aduuuuh. Sekarang lagi musim ya PHO? Dari yang ibu-ibu sampai anak
sekolahan?" suara Senna membahana di kantin. Beberapa pasang mata tertuju
kepadanya, termasuk Neina. "Aduuh omegot! Gak tau malu banget, pakek bawa
nyokap segala buat cari perhatian. Kampungan! Cuiihh!!"
Nova dan Sasta yang sedang makan mie bakso terpaksa menjeda, menghampiri
Senna. "Miss A kenapa tuh?!"
Neina tercenung. Apa sekarang cewek itu sedang menyindirinya?


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Senna berisik lo!" kata Ari memprotes. Telinganya hampir pecah.
"Suka-suka gue napa! Yang penting gue nggak muna!" Senna mengikuti
permintaan kedua temannya untuk duduk. Tak peduli kepada para siswa yang
berada di sana menatapnya dengan sorotan tak mengerti.
?Van, nih pacar lo bikin masalah lagi di kantin.?
Kira-kira itulah SMS yang dikirimkan Wildan kepada Nevan. Kebetulan Nevan
sedang ada dalam perjalanan menuju kantin. Jadi ia tak perlu repot-repot
membalas. Setibanya di kantin, dia langsung gabung dengan teman-temannya, juga Neina.
Nevan langsung memesan semangkuk mie bakso, mengisi perutnya yang
memaksa dia untuk pergi ke kantin, meski sebenarnya ia sangat malas
berkunjung ke tempat ini.
Senna terus menatap gerombolan anak kelas 11 IPA 2 itu penuh selidik. Nevan
sama sekali tidak menanggapi keberadaan Senna di sana. Namun, ada masa di
mana keempat mata itu bertemu, dan bersitatap seperkian detik. Senna
mendelikan mata. bagian 15. Neina menjadi kagok, karena sekarang yang duduk di sebelahnya adalah Satya,
bukan Nevan. Ia tidak tahu-menahu mengapa Nevan malah bertukar tempat
dengan Satya. Apa karena ia mempunyai salah? Satya juga tidak memprotes,
karena dalam perjalanan ke kantin, Nevan sudah menjelaskan semuanya.
Sebagai teman yang baik hati, Satya mengerti. Dan juga sepertinya mood Nevan
sedang buruk, jadi ketiga temannya tidak berani merecoki.
Neina hanya takut karena insiden tadi pagi, di mana Nevan tau kalau selama ini
dia selalu menceritakan tentangnya kepada Tania.
Neina ingin bertanya, tapi guru matematika keburu datang, niatnya tenggelam.
Semua murid duduk di bangku masing-masing. Menghentikan obrolan,
menyambut kedatangan guru dengan menjawab salamnya.
Di belakang, Nevan memandang punggung Neina. Tahu kalau gadis itu sedang
bingung. "Aku pingin bilang sesuatu deh sama mama." Neina membuka mulut setelah
sekian lama bungkam. Sementara Tania terus fokus menyetir, mempersilahkan
anaknya untuk berbicara. "Di sekolah, aku punya temen yang namanya Senna "
Tania tertegun. Nama itu seperti tak asing lagi di telinganya. Tiba-tiba saja
kefokusannya hilang sebagian, namun ia berusaha untuk tetap rileks. "Terus?"
Tangannya memutar stir ketika berada di persimpangan jalan.
"Kayaknya dia gak suka banget sama aku. Tiap ketemu, dia selalu liat aku
dengan tatapan benci. Aku juga nggak tau kenapa, mungkin dia terlalu
cemburu " Neina merunduk.
"Cemburu?" "Hmm" "Emang Senna itu siapa? Temen sekelas kamu?" tanya Tania. Membagi
pandangannya antara jalanan juga Neina. Dia selalu siap mendengarkan keluhan
Neina, di mana pun dan kapan pun itu.
"Mungkin dia nggak suka aku deket-deket sama Nevan, karena Senna itu
pacarnya." Telinga Tania terus mendengarkan cerita anaknya dengan teliti. Sambil terus
terpusat pada ruas jalan.
"Padahal aku kan niatnya cuma temenan doang, aku sama sekali nggak ada niat
buat rebut Nevan dari dia."
"Itu namanya dia itu terlalu takut." Tania langsung mengambil kesimpulan.
Remaja zaman sekarang memang selalu seperti itu, terlalu takut kehilangan
pujaan hatinya. "Awalnya aku ngewajarin tingkah Senna yang selalu sebel. Tapi makin ke sini,
kayaknya dia ada dendam sama aku."
"Mau mama temuin orangnya? Gak bisa gitu dong, masa dia tiba-tiba benci
sama kamu tanpa sebab?" Tania kini menoleh sebentar, merespon curhatan
Neina lebih. Sedikit tidak terima. Jelas Tania tidak setuju jika ada orang yang
membenci putrinya tanpa alasan. Tidak bisa dibiarkan.
"Senna juga sempet bilang, ?kalau buah jatuh, nggak akan jauh dari pohonnya?.
Berarti masalah ini, ada sangkut-pautnya sama orangtua Neina, mama mungkin,
soalnya " Kontan Tania menginjak rem secara mendadak, mobil berdecit di atas aspal,
tubuh Neina terdorong ke depan dengan keras, namun untung saja ada sabuk
pengaman yang menahan. Gadis itu tersentak, kedua bola matanya membola
secara sempurna. Melirik mamanya tak paham.
Jantung Tania nyaris lompat dari tempatnya. Senna, anak perempuan dari Diana,
istri pertama dari Ardi, suaminya. Mungkinkah Senna yang sedang diceritakan
Neina adalah Senna yang ia kenal? Senna yang dulu masih berusia belia. Tania
lekas menduga. Mendengar cerita Neina, membuatnya teringat kembali pada
masalah masa lalu. "Mama kenapa? Mama baik-baik aja, kan?" tanya Neina waswas. Tidak
biasanya Tania terkejut dengan sedemikian rupa. Neina sedikit panik.
"Mama nggak pa-pa. Tadi ada kucing lewat," jawabnya berkilah. Berusaha
menyembunyikan kegagapan dan kekagetannya.
"Ya Allah, ma. Kirain apa." Neina mengembuskan napas, kembali bersandar.
Meskipun sebenarnya Neina merasa masih ada yang menjanggal.
"Maafin mama." "Iya nggak pa-pa."
Tak lama kemudian, Tania mulai melajukan mobilnya lagi. Kali ini dengan
kecepatan rendah, meninggalkan pijakan sebelumnya, melayangkan debu-debu
ban mobil. Dengan pikiran yang terus melayang entah kemana. Kalau memang
benar Senna yang dimaksud Neina adalah Senna anak dari Diana, berarti, anak
itu bisa kapan saja memberi tahu Neina, kalau Ayahnya mempunyai satu anak
dari perempuan lain. Otaknya terus berspekulasi. Ya Tuhan, mengapa kedua
anak itu harus bertemu? Dan mengapa juga Senna tahu kalau Neina adalah anak
dari Ayahnya dengan tingkahnya yang membenci Neina. Apakah kebenciannya
itu berasal dari ketidakterimaannya? Pertanyaan-demi pertanyaan terus muncul
secara beruntun. Tania harus segera membicarakan masalah ini kepada Ardi.
Neina memerhatikan mamanya dengan penuh penyelidikan. Seperti ada sesuatu
yang sengaja ia sembunyikan. Neina harus mencari tahu, sayup-sayup ia merasa
kalau Senna, memang benar-benar mempunyai dendam, dendam yang sama
sekali tidak ia ketahui sama sekali. Dan, bisa saja mamanya tahu. Dan karena itu
dia terkejut. Kalimat ?buah jatuh tak akan jauh dari pohonnya? masih terus
terngiang di telinga Neina. Jelas itu bukan kalimat asal yang Senna lontarkan, ia
pasti mempunyai maksud tertentu.
Neina mengalihkan pandangannya ke jendela. Matanya menangkap sosok lelaki
yang ia kenal. Nevan. Cowok itu sedang nongkrong di kedai minuman. Sendirian. Motornya
terparkir di halaman kedai. Seiring dengan mobil yang terus melaju, Neina
mengalihkan lagi pandangannya ke depan.
Perasaan Neina menjadi tidak keruan. Sejujurnya, dia telah jatuh kagum kepada
Nevan, jatuh terlalu dalam. Senna sempat mengancam agar dia berhenti
memandang Nevan, dia tidak suka kalau dirinya berada dekat dengan Nevan. Di
sisi lain pula, ia tidak ingin jauh dari Nevan, bagaimana pun dia selalu merasa
tenang berada di sisinya. Meski pun hanya sebatas teman, Senna tak akan pernah
membiarkannya. Nevan menatap sebungkus rokok dalam etalase yang tak jauh darinya.
"Ngerokok enak kali, ya?" gumamnya menyipitkan mata, berpikir kalau dengan
merokok, ia bisa merasa lebih tenang. Namun Nevan sudah berjanji pada dirinya
sendiri untuk tidak merokok, ini adalah perintah dari neneknya.
Ya sudahlah. Ardi duduk di tepian ranjang, dengan pikiran terus tertuju pada momen jam-jam
sebelumnya. Di mana ia habis bertemu dengan Diana di sebuah restoran.
Pertemuan yang disengaja.
Saat Senna memberitahu Diana kalau dia telah bertemu dengan mantan
suaminya, perempuan itu langsung menghubunginya.
"Saya sama sekali nggak tau kalau kamu ada di Jakarta. Senna bilang, dia udah
ketemu sama kamu dua kali. Dan kamu tau apa yang dia bilang? Dia udah nggak
nganggap kamu sebagai Ayahnya lagi. Ya wajar, mana ada anak yang gak
kecewa waktu ketemu lagi sama Ayahnya yang udah tega ninggalin dia selama
beberapa tahun." Diana mengaduk-aduk minuman dingin di depannya.
Sebenarnya dia juga masih merindukan Ardi, tapi status mereka bukanlah siapasiapa setelah sidang perceraian yang dilakukan beberapa tahun ke belakang.
"Tapi tetap aja, Senna harus bisa jaga ucapannya. Dan saya minta, kamu harus
bujuk Senna supaya dia mau tutup mulut, untuk nggak bilang ke Neina, kalau
saya ini adalah Ayahnya juga."
Sebelumnya Ardi bercerita kalau Neina ---anaknya dengan Tania, satu sekolah
dengan Senna. "Kenapa? Dari dulu sampai sekarang, kamu emang selalu mentingin Neina.
Padahal, Senna juga anak kamu yang seharusnya dapet kasih sayang juga dari
kamu, dari Ayah Kandungnya sendiri. Apa kamu nanya Senna waktu kalian
ketemu?" "Kata-kata Senna kelewatan batas, sampai saya malas untuk bertanya."
Diana mengangguk paham. Padahal Senna seperti itu karena tekanan batinnya
sendiri, gara-gara kepergian Ardi, Ayah yang selama ini didambakan.
"Kamu tau kan, kalau kondisi fisik Neina itu berbeda dengan Senna. Dia lebih
sering sakit-sakiran, Neina itu lemah. Sedangkan Senna? Saya tau dia anak yang
kuat, tahan bantingan."
"Dan cuma karena itu, kamu ninggalin dia? Kamu fokuskan kewajiban seorang
Ayah hanya kepada Neina."
"Maaf. Dan saya minta untuk kesekian kalinya, bujuk Senna."
"Selama-lamanya bangkai disembunyikan, pasti akan tercium juga baunya.
Lama-kelamaan juga Neina akan tau masalah ini. Apalagi sekarang dia sudah
tumbuh dewasa, dia akan tau, kalau kamu ini mempunyai seorang mantan istri.
Dan siap-siap untuk kamu, kamu akan mendapatkan kebencian dari anak yang
selama ini kamu lindungi. Saya tau dia anak yang baik, jadi bagaimana
responnya saat dia tau kalau kamu pernah meninggalkan anak dan istri kamu
hanya demi kepuasan kamu? Kamu selingkuh di belakang kami, dan memilih
hidup selamanya dengan istri kedua. Saya ceraikan kamu, karena saya malu
mempunyai suami yang berani berselingkuh. Tapi kamu bertingkah seolah kamu
yang menceraikan saya." Roman wajahnya berubah, teringat kembali saat
kejadian di masa lalu. Sekarang, Diana bisa mengeluarkan kekecewaannya
terhadap lelaki itu, luka di hatinya masih belum sembuh.
Saat itu, Diana mencoba menyelidiki suaminya yang akhir-akhir ini sering sekali
pergi ke luar kota, dengan asumsi adanya pekerjaan dari kantor yang harus
dilaksanakan di sana. Sering sekali Diana memaksa Ardi supaya tetap tinggal, ia
juga harus menyisihkan waktu dengan istri dan anaknya, jangan sibuk bekerja.
Siapa yang tahu kalau di sana, Ardi mempunyai istri juga, menikah secara diamdiam.
Betapa terkejutnya Diana, suami yang selama ini disayanginya berselingkuh
dengan perempuan lain. Hal paling menyeramkan itu, terjadi dalam hidupnya.
Pertengkaran besar pun terjadi di antara mereka, hampir setiap hari. Senna yang
masih berusia lima tahun belum mengerti apa-apa, hanya bisa diam dalam kamar
bersama boneka yang selalu di peluknya.
"Mama sama papa kenapa berantem terus? Bukannya kalian saling sayang?"
tanya Senna meminta penjelasan atas apa yang terjadi akhir-akhir ini. Telinganya
bosan dengan segala kalimat-kalimat kasar yang selalu dilontarkan kedua
orangtuanya. "Pertengkaran dalam rumah tangga itu wajar, sayang. Jadi anak kecil gak perlu
tauu " Diana mencoba tersenyum meski air mata masih berjatuhan. Hanya itu
yang bisa ia jawab ketika Senna bertanya.
"Tapi kenapa mama nangis? Senna gak mau liat mama nangis, papa udah jahatin
mama, ya? Suara papa yang besar pasti udah bikin mama takut, kan?"
"Enggak sayang. Mama gak kenapa-napa. Mama cuma sedih sedikit. Kamu gak
usah khawatir, mama baik-baik aja."
Lantas Senna memeluk mamanya, menghirup wangi tubuh perempuan idolanya.
Di balik punggung Senna, Diana kembali menangis. Dan sampai sekarang, ia
belum ingin membuka rahasia Ardi kepada Senna, itu terlalu berat. Ketika suami
ketahuan selingkuh, istri memberontak, dan, tetap saja, suami tetap ingin
membela diri seolah istri yang salah. Dan itu yang membuat Diana terpukul.
Diana sempat menyusul ke kediaman Tania, seperti wilayah perkampungan,
bermaksud untuk melabraknya. Dan di sanalah semuanya terkuak.
Diana hanya menyuruh Senna diam di mobil bersama Bi Ijah, tidak ikut
dengannya. Ia tidak ingin putrinya tahu apa yang sedang terjadi.
"Bi, Senna kebelet pipis. Senna pingin pipis," kata Senna memegang
kemaluannya. "Yah non, di sini gak ada kamar mandi."
"Nanti kalau Senna ngompol di celana gimana? Nanti mama marah."
"Ya udah, yuk ikut bibi."
Akhirnya Bi Ijah mengajak Senna keluar dari mobil. Segera mencari tempat
yang sepi dengan bersemak-semak agar Senna bisa segera mengeluarkan air
kencingnya. "Bibi tunggu aja di sini, biar Senna sendirian."
"Aduh jangan non, nanti kalau non Senna kesasar gimana? Nanti mama non
nyalahin bibi." "Gak pa-pa, bi. Senna udah gede, jadi jangan dianter-anter." Senna segera
berlari, niat dia bukanlah untuk pipis, melainkan mencari keberadaan mamanya.
Namun di perjalanan, ia terhenti ketika melihat seorang bocah seusianya sedang
berjongkok sambil menangis di halaman rumahnya. Senna penasaran, mengapa
anak lelaki itu menangis? Senna melangkah lagi, mendekati bocah cowok
dengan pakaian kameja kotak-kotak itu.
"Loh, kenapa nangis? Kayak mama Senna aja," kata Senna dengan polosnya,
ikut berjongkok, mengintip wajah anak cowok di depannya. Rautnya penuh
kekepoan. Senna memang anak yang selalu kepo dan penasaran. Pandai bicara
dan pandai akrab dengan sesama
"Aku lagi sedih, mama sama papa aku udah pergi, dan gak bakalan kembali lagi.
Mereka ninggalin aku sama nenek," jawab bocah itu mengangkat kepala.
"Senna punya permen, mama kalau nangis suka minta permen. Dan setelah itu,
dia berhenti nangis. Nih " Senna menyodorkan sebuah permen yang digulung
seperti pocong. Permen susu kesukaannya. Ia selalu mengeluarkan jurus agar
orang yang sedang menangis bisa tersenyum lagi.
"Jangan nangis lagi. Kamu ganteng, deh," ucap Senna tertawa kecil. Ternyata
sifat centil Senna sudah melekat dalam dirinya sejak kecil.
Perlahan, anak cowok itu mulai mengambil permen yang berada di telapak
tangan Senna yang mungil.
"Makasih." Ini baru pertama kalinya ada anak perempuan berwajah cantik itu di
kampung ini. Wajahnya putih, bulu matanya lentik, serta rambut hitam pekat
yang sedikit kriting. "Sama-sama." Senna tersenyum, lalu tertawa lagi. Dia adalah anak yang selalu
ceria. Bocah lelaki yang umurnya sama dengan Senna memandang dengan sorot
persahabatan. "Non Senna!" panggil Bi Ijah, kontan Senna mengalihkan pandangannya ke
belakang, di sana ada Bi Ijah yang berusaha mengejarnya.
"Senna mau nyari mama!!" tariak Senna berdiri, berlari lagi meninggalkan anak
lelaki yang masih memandangnya penuh tanya. Mereka belum sempat
berkenalan. Lalu matanya berpindah pada sebungkus permen di tangan, permen
yang pasti manis, sama seperti wajahnya.
"Nevan!" seorang nenek memanggil di lawang pintu.
Hanya satu yang Nevan ingat, anak cewek itu bernama Senna, mempunyai tahi
lalat di dekat bibirnya. Hanya karena sebagai seorang istri yang kurang sempurna Ardi tega mendua.
Mencari perempuan yang menurutnya lebih baik, lebih sempurna, dan lebih
segalanya. Diana mampu bertahan hingga bertahun-tahun lamanya. Dia pikir,
Ardi mau meninggalkan Tania ---istri keduanya, namun Ardi sama sekali tidak
melakukan itu, sampai pada akhirnya Diana yang akhirnya menyerah dan
memilih untuk bercerai. Ardi yang sangat mencintai Tania, tidak bisa menggugat
cerai. Hati Diana benar-benar hancur berkeping-keping. Harus mengalami
perihnya cinta segitiga dalam rumah tangga.
Diana dan Ardi resmi bercerai ketika Senna duduk di bangku kelas enam SD.
Diana memilih untuk hidup sendiri, tanpa suami ia juga bisa bahagia, bersama
dengan Senna. Menginjak SD, Senna mulai tahu kalau sosok lelaki yang selama
ini dia puja-puja ternyata mempunyai istri selain Ibunya. Dan itu, sangat-sangat
membuat Senna kecewa, dia hilang rasa lagi kepada Ayahnya. Ayahnya yang
dulu selalu menggendongnya, yang selalu menciumnya, yang selalu
mengajaknya jalan-jalan, kini telah berubah.
Diana menjatuhkan setetes air matanya, air petanda kepedihan itu mengalir di
pipi setelah sekian lama kering. Hatinya kembali tergores kala mengingat
fragmen itu semua. Di saat itu pula, ia mulai memercayai perkataan kalau lelaki
itu tak ada yang setia. Oleh karena itu dia melarang Senna untuk mempunyai


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

hubungan dengan mereka, terkecuali, nanti dia sendiri yang akan mencarikan
jodoh untuk Senna. Tangannya meremas dadanya yang sesak. Namun di depan Ardi, ia tidak boleh
bertingkah lemah. Sekarang semuanya sudah berubah, dia adalah wanita yang
mampu berdiri tegak, tanpa didampingi seorang lelaki.
"Saya harap, kamu bisa menyayangi Senna. Karena dulu saat dia kecil, dia selalu
membangga-banggakan kamu, dia selalu mengagumi kamu, setiap kali kamu
pulang malam, dia pasti memuji kamu, tanpa tahu, apa saja yang kamu lakukan
di luar sana. Dan sekarang, paradigma dia terhadap kamu berbeda 190 derajat.
Kamu harus sadar, itu semua terjadi karena kesalahan kamu sendiri."
Ardi bungkam tanpa kata. Ardi ingat itu semua, ia ingat semua kenangan indah
yang ia bangun dengan Senna. Dulu dia selalu memandangnya penuh semangat
dan kekaguman, tapi di hari kemarin, anak itu menatapnya dengan penuh
antipati. Jujur, Ardi masih sangat menyayangi Senna.
Diana pun beranjak dari duduknya, pergi meninggalkan Ardi yang masih
mematung. Tak ingin berlama-lama mengobrol, takut menimbulkan
kesalahpahaman. Tania membuka pintu kamar, suaminya sedang duduk di sisi ranjang, dia lantas
menghampirinya. Ardi terlihat sangat frustrasi. Otaknya berpikir keras, semenjak
kepulangannya dari restoran, membuatnya bimbang.
"Ini gawat, pah," kata Tania.
"Ada apa?"Ardi menoleh.
"Ternyata Neina, satu sekolah sama Senna anak kamu. Kita salah udah masukin
dia ke sekolah itu," lanjutnya dengan napas tertahan-tahan.
Ardi yang telah mengetahuinya jauh-jauh hari hanya mengangguk. Kening Tania
berkerut, mengapa respon suaminya biasa saja?
"Kok papa gak kaget?"
"Papa udah tau."
Tania terbeliak. "Apa?"
"Dan mungkin, ini saatnya Neina tau yang sebenernya. Gimana pun dia harus
tau, kalau dia punya saudara dari ibu yang berbeda." Ardi telah membuat
keputusan. Tak ada salahnya jika Neina mengetahui hal ini. Dan itu memang
harus terjadi. "Itu sama aja kalau papa ngebiarin aib papa ketauan sama Neina, papa mau
Neina drop gara-gara tau kalau Ayahnya itu punya anak lain selain dia? Papa
mau Neina tau, kalau mama ini dulunya cuma istri simpanan, yang bahkan
mama sendiri gak tau kalau papa udah punya istri." Akhirnya Tania kembali
mengingat peristiwa di masa lalu. Yang kembali membuatnya menanggung rasa
bersalah. Ia menerima pinangan Ardi karena ia sama sekali tidak tahu kalau lelaki yang
dicintainya sudah mempunyai seorang istri. Jika saja ia tau, Tania tak akan
pernah mau menikah dengannya dan terlanjur sangat-sangat mencintainya.
Tania baru mengetahui itu ketika Diana datang ke rumahnya, dulu.
bagian 16. "Eeuuuuuhhhh!!!" Senna melempar tasnya ke atas sofa. Diana yang sedang
mencicikan air putih di dapur mendengar suara Senna yang sepertinya sedang
marah. Perempuan itu bergegas menemuinya. Takut kalau-kalau anak itu
menghancurkan semua barang-barang di ruang tengah.
"Ada apa sayang?" tanyanya panik.
Senna duduk dengan raut penuh kekesalan. Sebal, karena untuk kesekian
kalinya, ia bertengkar dengan Nevan. Diana menghampirinya, menyimpan gelas
yang dipegangnya di atas meja.
"Tumben mama ada di sini, nggak ke luar Negri lagi?"
"Ditanya malah balik nanya. Emang gak boleh ya mama tinggal di sini lebih
lama? Kamu nggak mau? Katanya kepingin terus ada di samping mama," kini
Diana tersadar, bahwa kepergiannya untuk bekerja, bisa menimbulkan pengaruh
buruk bagi Senna. Kasih sayang dari Ayahnya telah terenggut, dan jangan
sampai Senna berpikir bahwa Ibunya juga tidak menyayanginya.
Senna masih terus berbikir, tentang bagaimana caranya supaya Nevan
menghubunginya, tidak diam-diaman seperti ini, Senna menjadi stres. Ia tidak
bisa kalau tanpa Nevan. Diana yang masih merasakan sakit karena telah mendapatkan pengkhianatan dari
Ardi, memilih untuk hidup serba sibuk, bekerja kesana kemari dan mendapatkan
uang banyak. Karena menjadi sibuk, ia bisa melupakan segala keperihan yang
terjadi di masa lalu. Tugasnya hanya satu, bisa membahagiakan Senna, bisa
memberi semua keperluannya secara berlebihan, agar Senna tetap terlihat
sebagai anak yang serba berkecukupan.
"Mama masih ngelarang aku pacaran sama Nevan?" tanya Senna memastikan.
"Aduh Senna, bisa gak kamu jangan bicarain tentang pacaran, terutama cowok.
Mama ada di sini, kamu bisa curhatin hal lain. Kamu gak mau apa ngajak mama
jalan-jalan kemana gitu?" Diana mengalihkan topik pembicaraan. Malas
membahas tentang cowok. "Itu tandanya, mama masih larang aku. Oke, tapi maaf aku gak bakalan nurut."
Senna beranjak, meraih tasnya. Diana tak akan bisa diajak curhat tentang Nevan.
"Tunggu" Diana memegang pergelangan tangan Senna, menyuruhnya untuk
tetap tinggal. "Apa lagi, ma?"
"Mulai sekarang jangan pergi sebelum mama selesai ngomong. Itu namanya
nggak sopan, Senna," katanya dengan tegas, dan sedikit kasar. "Duduk."
Mamanya kembali menaikan level kegusaran Senna, dan mau tak mau dia harus
duduk lagi, acuh tak acuh. Senna mendelik untuk kebelasan kalinya.
"Mama kemarin abis ketemu sama papa kamu."
Refleks Senna menoleh setelah sebelumnya tak minat mendengar pembicaraan
mamanya. Kedua alisnya menyatu.
"Buat apa sih ma nemuin laki-laki kayak gitu lagi?!"
"Dia bilang sama mama, kalau kamu udah bicara yang nggak baik di depan dia.
Kamu jangan malu-maluin mama, dia mikir mama gak didik kamu dengan
benar." "Emang gak bener kan, ma?" penggal Senna.
"Senna!" "Dan harusnya papa itu intropeksi diri. Siapa yang udah bikin Senna kayak gini?
Siapa?! Gimana pun sifat buruk anaknya, itu berasal dari orangtuanya sendiri.
Jadi mama, ataupun ARDI nggak bisa nyalahin Senna," gadis itu menggeleng.
Diana ingin menampar Senna, namun tangannya hanya terhenti di udara. Mulut
Senna yang menyebut nama ?Ardi? tanpa panggilan ?Papa? sedikit membuat
emosinya naik. "Tampar Senna aja ma, tampar!"
"Astaga Senna, kamu kalau bicara dijaga."
"Udah terlanjur."
"Iya ini semua emang salah mama, ini semua salah mama yang selalu manjain
kamu, yang selalu ninggalin kamu demi kepentingan mama supaya bisa lupain
papa kamu. Harusnya mama benci sama dia, harusnya mama udah bisa lupain
dia, tapi asal kamu tau, mama nggak bisa. Mama nggak bisa. Papa itu cinta
pertama sekaligus cinta terakhir mama." Diana pelan-pelan meraih tangan Senna
dengan gemetar. Untuk pertama kalinya ia ingin mencurahkan semua isi hatinya
kepada Senna, putri sekaligus harta paling berharganya.
"Ini semua gak gampang buat mama, Sen. Di dalam hati mama yang paling
dalam, mama ini rapuh."
Senna menatap mamanya sayu. Perlahan kedengkian dalam hatinya melumer
ketika melihat ada butiran air mata yang bergelayut dalam pelupuk mata Diana.
Sakit hati yang dirasakan Senna hanya karena tidak mendapatkan kabar dari
Nevan, belum seberapa dengan rasa sakit hati mamanya. Belum pernah Senna
melihat Diana menampakan kesedihannya. Senna merasa bersalah.
"Sekarang ini mama lagi berusaha berdiri tegak. Jangan kalah sama orang lain.
Tunjukin kalau kamu itu anak yang baik, anak yang kuat di depan papa kamu,
termasuk di depan orang lain. Dengan begitu orang lain bakalan ngira, kamu itu
anak yang tahan bantingan, kamu anak perempuan yang sekuat baja. Tanpa
Ayah, kamu bisa hidup dengan baik. Kamu itu anak yang cantik, anak
kesayangan mama, kamu itu supernova-nya mama."
"Mama" Senna mencucurkan air matanya, ada kegentaran dalam suaranya.
Dipeluknya tubuh Diana, teringat akan cuplikan di masa lalu, di mana ia sering
melalukan hal ini sewaktu kecil. Setelah sekian lama Senna tidak menangis,
akhirnya di detik ini ia menangis di pelukan Diana, menumpahkan air mata,
menumpahkan segala keluh kesal, menumpahkan gumpalan emosi yang selama
ini ditahan-tahan, menumpahkan beban, menumpahkan unek-unek yang
berkampung dalam jiwa. Menangis adalah cara seseorang mengungkapkan
kegetiran yang dirasakan. Dan baru sekarang Senna membukanya, membiarkan
air matanya turun, meletupkan buihnya.
"Senna sayang mama, Senna sayang mama," ia masih belum mengakhiri
isakannya. "Maafin Senna, maafin Senna" Senna bersedu sedan di bahu
mamanya, pelukannya kian erat seiring dengan air mata yang terus tumpah
meruah. Sudah lama sekali ia tidak memeluk perempuan yang selama ini
menjadi perisai dalam hidupnya, meskipun kadang Senna tidak mengerti dengan
semua hal yang Diana lakukan. Kadang terlihat salah karena ia kurang mengerti.
Diana ikut menangis, mengelus rambut sehalus sutra milik Senna. Dia begitu
apik merawat rambutnya. Senna adalah anak yang mandiri.
Malam ini, Senna dan Diana sedang menikmati makan malam. Bi Ijah turut
bahagia melihat hadirnya kehangatan di rumah ini, dengan riangnya dia
menyiapkan beberapa menu makanan di atas meja makan. Makanan spesial yang
disuguhkan khusus untuk ibu dan anak yang kini akur.
Senna senang, sekarang ia tidak sendirian lagi. Ada Diana yang menemaninya
ketika makan malam. "Suapin," kata Senna manja. Kebiasaan masa kecilnya diungkit lagi.
"Ih manja banget! Emang kamu anak kecil?"
Meski di mulutnya Diana menolak, dia tetap mengindahkan permintaan Senna.
Menyuapinya, mamasukkan sesendok makanan ke dalam mulut Senna.
"Mama berapa lama lagi di sini? Masih lama, kan?"
"Besok, soalnya tadi siang kamu ngusir mama."
Senna yang awalnya terkejut, kini tersenyum. Senyum yang berasal dari orang
yang sering kelihatan ketus dan jutek, ternyata itu lebih terlihat menawan dan
sejuk. Karena sekalinya mereka tersenyum, itu adalah senyuman paling tulus.
"Iya-iya, aku nggak jadi ngusirnya." Senna memasukkan makanannya lagi ke
dalam mulut, mengunyahnya pelan.
"Sekarang terserah kamu aja. Kalau kamu izinin mama pergi, mama pergi, kalau
nggak, mama tetep tinggal."
"Nggak bisa gitu, ma. Nanti kalau mama gak kerja, dari mana Senna bayar uang
SPP? Dari mana Senna beli baju baru? Dari mana Senna pergi ke salon? Dari
mana Senna beli aksesoris rambut?" katanya secara berturut-turut. Lebih kepada
gurauan. Diana menggeleng. "Kalau gitu, berarti non Senna sendiri yang harus cari uang sendiri," canda bi
Ijah ikut nimbrung. Menyimpan gelas di atas meja.
"Bibiiii" Senna mendelik. Bi Ijah terkekeh.
Seseorang memegang bahu Senna yang hendak berjalan ke koridor. Senna
tertegun, dia mengenal sentuhan itu, segera ia berbalik. Senna juga mengenali
bau parfumnya, juga harum sampho-nya.
"Hay." Matanya langsung disambut oleh pemandangan permai, di depannya ada Nevan
yang sedang tersenyum dengan wajah sehangat mentari, sesejuk angin.
OH GOD! Ini di luar dugaan. Itu adalah senyum pertama Nevan setelah sekian lama tidak Senna lihat, setelah
bertahun-tahun lamanya. Menurut Senna, dua hari itu seumpama dua tahun.
Kalau begini, berarti Nevan sudah tidak marah lagi. Yess!!! Senna bersuka cita,
dalam hati dia kegirangan luar biasa.
"Sayang Udah lama banget kamu nggak nyapa aku," kata Senna malu-malu.
Beginilah mereka, kalau sudah marahan, pasti tak akan tahan, dan ketika
memulai lagi, selalu kaku.
Nevan tersenyum lagi. "Tadi di jalan, nggak sengaja aku nyerempet emang-emang tukang jepit,
alhasil " Nevan membuka ransel dari bahunya, lalu membuka resleting. Senna terus
memerhatikan gerakan Nevan secara saksama. "Jadi aku borong sebagian barang
jualannya. Dan masa aku yang pakai, nanti gak ganteng lagi, dong. Ya udah,
semuanya buat kamu."
Senna terpana melihat isi tas Nevan yang berisikan semua aksesoris perempuan.
Ada jepit, bando, gelang, ikatan rambut. Wuooww!! Spechles!
"Ini bukan yang ecek-ecek, kok. Ini dari Nevan, buat Senna." Nevan tersenyum
untuk yang kesekian kalinya.
Senna masih belum bisa berkata apa-apa. Mulutnya benar-benar terkunci rapat.
Itu memang hadiah yang biasa, namun menurutnya, benda-benda itu lebih indah
dari kalung berlian atau cincin emas.
Nevan mengambil sebuah jepit rambut, ditutupnya kembali resleting itu. "Nanti
aku kasihin ke kamu." Nevan mengaitkan ranselnya lagi di bahu kanannya.
Membuka jepitan berwarna pink. Dia melangkah lagi, mengapitkan jepit itu di
rambut Senna pada bagian dekat poninya, kebetulan hari ini Senna tidak
menggunakan aksesoris apa-apa di kepalanya. Nevan menata rambut hitam
Senna supaya lebih rapi, lalu mundur dan tersenyum, lagi. Memandang Senna
terpukau. Pacarnya ini memang sudah cantik dari sananya.
"Udah, cantik."
Senna mengembangkan senyum di wajah, tidak menyangka bahwa Nevan akan
seromantis ini. Dia lebih romantis dari film Titanic. Gadis itu sudah kehabisan
napas, mulutnya mulai terbuka
Dan Nevan segera menutup mulut Senna, menghentikan teriakannya.
Namun Senna tidak memberontak, membiarkan tangan Nevan yang harum
membekap mulutnya. Berjalan beriringan di lorong koridor.
Nevan melepas tangannya dari mulut Senna, beralih merangkul Senna berjalan
menuju kelas sambil terus bercanda. Hingga sampai di kelas 11 IPA 2, ada Neina
yang sedang menyapu lantai, karena hari ini adalah jadwal dia piket.
Nevan dan Senna yang sedang bercengkrama pun tidak bisa dihindari oleh mata
Neina. Di luar, Senna melirik Neina sekilas, mengapa dia harus melihat cewek
itu di saat seperti ini. "Aku masuk dulu," pamit Nevan. Nevan lupa kalau hari ini adalah jadwal
piketnya juga. "Ya sayang, yang rajin belajarnya," kata Senna sebelum akhirnya berlalu.
Sebelum masuk ke dalam kelas, langkah Senna terhenti. Sesuatu melintas dalam
benaknya. Pandangannya penuh dengan kebengisan, dalam setiap langkah,
Senna mengambil langkah lambat, laun. Rasa dendam itu tak akan pernah luput
dari dalam jiwanya. Ketika melihat air mata mamanya jatuh, Senna semakin
membenci Neina juga keluarganya. Mereka bahagia di atas penderitaan orang
lain. Ini tidak adil. Langkahnya tiba di depan kelas, Senna masuk dengan gaya percaya dirinya.
Menyapa teman-temannya dengan heboh.
"Novaa, Sastaa!!!" teriaknya melengking, nyaris menggema di seluruh penjuru
kelas. "Eh Senna udah dateng," kedua temannya lantas mendekati Senna. Kalau dia
sudah berteriak, berarti Senna sedang membutuhkan sesuatu yang urgency.
Jangan sampai telat, nanti dia ngamuk.
"Gue udah baikan sama Nevaann. Aaa seneng banget!! Liat nih, jepit rambut ini
juga dipakein sekaligus dibeliin sama Nevan" kata Senna gembira.
"Gue juga pingiin dooong," rengek Nova. "Apalagi pemberian Nevan, nggak papa deh yang harganya 500 rupiah juga."
"Nevan cuma milik gue, bebeb gue, jangan ada yang ngambil!" Senna melotot.
Sasta menoyor kepala Nova. "Dasar o?oon!!"
Sampai sekarang Senna tidak peduli penghuni kelas ini memandangnya risi.
Yang penting dengan begini, dia bisa merasa happy.
"Ari, Satya sama Wildan kemana? Bukannya hari ini jadwal piket mereka juga?"
Nevan ikut menyapu lantai di sebelah Neina yang sedang menyapu sembari terus
menunduk. Sekarang ia tidak bisa sesantai dulu jika sedang berada di dekat
Nevan. Semuanya berubah. Jantungnya selalu berdegup dengan kencang, seperti
kecepatan mobil ketika balapan. Neina tidak mampu mengontrolnya.
Barusan ketika Nevan bersama Senna, Neina sedikit cemburu. Padahal ia sama
sekali tidak punya hak untuk memiliki rasa cemburu itu. Dia bukan siapa-siapa
Nevan, hanya sebatas teman.
Inikah yang dinamakan cinta?
Merasa tidak mendapatkan jawaban dari Neina, Nevan lantas menepuk bahunya
hingga membuat Neina terperanjat.
"Kok gue ngomong dikacangin, sih? Kacang mahal."
"Emm tadi nanya apa?" tanya balik Neina, ia kehilangan fokusnya. Menoleh
walau masih terasa gugup.
"Etdaaahh.. Malah nanya balik, lo ngelamunin apa Neina?"


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ka " Ups!! Kontan Neina menutup mulutnya. Hampir saja keceplosan! Neina
memicingkan mata, mengutuki dirinya sendiri. Tangannya meremas-remas
gagang sapu yang dipegangnya.
"Ngelamunin gue?"
Neina tersentak lagi, melirik Nevan dengan sorotan tak percaya. Mimiknya
seperti orang yang baru saja melihat penampakan valak. Gawat! Apa Nevan bisa
membaca pikirannya? "Becandaa. Kenapa ekspresinya sekaget itu? Wajah lo juga merah." Nevan
terkekeh sambil menggeleng. Akhir-akhir ini dia selalu mendapati Neina yang
sedang melamun. Neina menjadi malu sendiri, dalam hati memohon supaya
warna wajahnya kembali putih. Nevan berhasil membuatnya kelimpungan.
Ari masuk ke dalam kelas begitu Nevan tengah mengeluarkan sampah dan debu
yang berserakan dengan sapunya ke luar. Anak itu datang sembari membawa
sebotol pengharum ruangan.
"Lo dari mana aja, sih?! Nih liat, kelas kayak kapal pecah. Lo tega ngebiarin
Neina yang beres-beres sendirian?" Nevan mencegat dengan pertanyaannya.
"Gue abis ngambil ini, nyai." Ari memamerkan pengarum ruangan di tangannya
kepada Nevan supaya dia berhenti marah-marah.
"Enak aja panggil gue nyai!" Nevan menjitak kepala Ari gemas.
"Anjir!" Neina tertawa. Ari meringis, mengusap-ngusap kepalanya yang barusan dijitak Nevan, lumayan
sakit. Ia berjalan mengitari kelas, menyemprotkan pengharum ruangan itu ke
segala sudut kelas, tiap jajaran, tiap bangku, ke bawah dan ke atas. Bau
pengharum itu pun semakin menyengat, mengganggu alat penghirup udara. Baunya menguasai kelas. Nevan mendesah melihat kelakuan temannya.
"Arii bauuu!!" pekik Dewi yang sedang menyantap roti sarapannya. Acara
makan paginya itu terganggu gara-gara tindakan Ari yang sangat menyebalkan.
"Biar wangi keles. Bukan bau ah lo ada-ada aja." Ari masih tetap
menyemprotkan pengharum ruangan itu. Hidungnya memang jagoan.
Yang lain menutup hidung sambil tak henti-hentinya menghujat Ari, berteriak,
memprotes, melempar pulpen ke kepalanya, dan lain sebagainya. Kelas kembali
ricuh, ditambah kedatangan murid yang baru tiba, mereka langsung mengoceh
tentang bau menyengat ketika memasuki kelas, bau yang sangat tidak
mengenakan. Sambil bertanya-tanya ?kerjaan siapa ini?!?
Berbeda dengan Nevan dan Neina, mereka menunggu di luar sampai guru
datang, biar guru saja yang menegur Ari.
bagian 17. Hari ini lapangan basket terdengar ramai, bagaimana tidak, sekarang kelas 11
dan 12 sedang bertanding basket antar kelas. Lebih tepatnya, ada Nevan yang
menjadi idola sekolah, sedang memantul-mantulkan bola untuk segera
dimasukkannya ke dalam ring. Bukannya mendukung kelas 12, murid yang
berada di penghujung sekolahnya itu malah mendukung Nevan. Pemain yang
berasal dari kelas 11, adik kelas mereka.
Suara tepukan tangan semakin membuat suasana semakin riuh. Melebihi para
suporter sepak bola. Sempat-sempatnya pula Nevan merespon teriakan fans-nya.
Entah itu dengan cara melambaikan tangan, atau tersenyum. Dan itulah yang
membuat Senna kesal, seharusnya Nevan hanya memberikan itu semua kepada
Senna, seorang. Di sebelah Senna, ada Nova yang juga sibuk berseru. Kalau
cewek itu bukan temannya, mungkin Senna sudah menendang Nova ke ujung
dunia. Di antara puluhan murid yang sibuk berteriak, ada satu orang yang hanya bisa
diam dengan mata yang terus tertuju pada satu objek. Di tangannya ada sebotol
air mineral. Sesekali bibirnya melekukkan senyum. Memerhatikan setiap gerakgerik Nevan. Ketika dia memasukan bola, ketika men-drible bola, ketika
menyeka peluh, ketika tersenyum. Neina tahu, tidak seharusnya ia mengagumi
Nevan sampai sedemikian rupa. Namun ini hati, yang tidak bisa dihentikan
dengan kata ?jangan.? Sesungguhnya ini tidak benar.
Tanpa ia sadari sendiri, ada Senna yang menatapnya dari kejauhan. Senna tahu
Neina sedang memandang Nevan di lapangan sana. Padahal Senna sudah
memperingatinya, agar Neina berhenti melakukan itu. Tapi cewek itu tetap saja.
Senna mendecakkan lidah. Jemu.
Pertandingan telah berakhir, dan untuk kesekian kalinya tim Nevan menang.
Lolos di babak berikutnya. Yang namanya pertandingan, ada yang menang dan
ada yang kalah. Jadi kelas 12 itu bisa menerima kekalahannya. Mungkin
memang tim Nevan yang lebih jago, faktor suporter pun memenuhi hipotesis
mengapa kalahnya kelas 12.
Satu persatu penonton mulai meninggalkan sisi lapangan, berbahagia atas
kemenangan yang diraih Nevan. Ada juga beberapa yang kecewa, yang bukan
termasuk fans Nevan. Neina ingin masuk ke area lapangan, untuk memberikan air minum di tangannya
ke Nevan. Tapi baru saja dia mengambil satu langkah, kakinya langsung terhenti.
Di sana, ada Senna yang sudah lebih dulu memberikan air minum, juga handuk
kepada Nevan. Tampak bermesraan seperti biasa. Tak henti-hentinya pula Senna
memuji, mengelap keringat Nevan.
"Aduuh bego banget sih kamu Neina, ngapain mau ngasih minum ke Nevan
segala." Neina bergumam pada dirinya sendiri. Merutuki kebodohannya. Ia tidak
bisa melakukan ini. Neina begitu menyesali perasaannya. Gadis itu mendengus.
"Eh Neina! Kok diem di situ, sini!" panggil Ari lantang.
Neina segera terbangun dari lamunannya, dilangkahkannya kaki mendekati
mereka. Bagaimana pun dia sudah terlanjur membeli air putih.
"Kayaknya cuma Nevan doang yang dikasih minum. Nih aku bawain juga buat
kalian. Tapi jangan rebutan," diberikannya air mineral itu kepada Ari untuk
diminum oleh Ari, Wildan dan Satya. Meskipun tak akan cukup. Tapi mereka
bisa menyeka haus untuk sementara.
"Waah, lo emang pengertian Neni," kata Ari menerima botol minuman itu
dengan perasaan berbunga-bunga.
"Neina," gadis itu meralat. Entah untuk keberapa kalinya.
"Hehe lupa," padahal sering, masih aja lupa. Ari mulai membuka penutup
minuman itu. Langsung diserbu oleh Wildan dan Satya, mereka benar-benar
haus, lupa membawa air putih. Sementara Nevan masih asik ngobrol dengan
Senna. Sejujurnya Senna sedikit risi dengan kedatangan Neina, gadis itu
merusak keadaan hatinya dalam sekejap. Dasar tidak tahu malu.
"Lu mah pelit, Sen!" sambar Ari.
"Hehh kalau gue mau, gue bisa beli satu dus air putih buat kalian. Tapi gue
males banget. Soalnya kalian nggak pernah ngedukung hubungan gue sama
Nevan. Tau rasa, kan!" balas Senna sengit.
"Enak aja bilang pacar gue pelit," bela Nevan.
Senna langsung menoleh kepada Nevan tidak percaya. Kali ini Nevan
membelanya secara terang-terangan. "Iya sayang, aku gak pelit, cuma
merekanya aja yang nyebelin. Wlee." Senna menjulurkan lidah tepat di depan
Ari, cowok itu bergidik. "Mana cabee mana cabee."
"Di warung, mang! Di pasar!"
Nevan lega, karena Senna tidak lagi menunjukkan kebenciannya kepada Neina.
Berarti dengan dia pindah bangku, semuanya selesai. Ternyata hanya karena itu
Senna membencinya, karena rasa cemburunya yang berlebihan. Sekarang
masalahnya sudah selesai.
Begitu kedua pasang mata itu bertemu, Neina tersenyum sumir, untuk sekadar
memberi senyum pun rasanya tak pantas, menjadi ragu. Namun Nevan malah
memberinya senyum manis, Neina semakin karut. Tak ada maksud apa-apa dari
senyuman itu, hanya sebatas sapaan ketika bertemu.
"Sayang kita ke kantin yuk, aku males liat orang yang kerjanya ngeliatin kamu."
Senna memeluk lengan Nevan, memaksanya untuk keluar dari area lapangan.
"Sayang-sayang, sayang burung!" ledek Ari. Dan untungnya, Senna bisa
mengontrol emosi. Karena ada orang yang lebih membuatnya kesal, Neina. Dia
membenci Neina melebihi apa pun. Ada dua kesalahan yang ia lakukan, dia yang
selalu memerhatikan Nevan, dan dia yang merebut semua kebahagiaan sejak
dulu. Dua kesalahan yang fatal.
Neina mengedip-ngedipkan matanya, matanya terlalu nakal. Ya Tuhan. Gadis itu
kini diserang oleh kegelisahan yang sulit dimengerti. Kalau begini, Nevan tak
usah bersikap manis, dengan dia begitu, Neina tak akan berharap.
"Duluan," hanya itulah yang diucapkan Nevan begitu ia pergi. Senna tak tahan
jika terus dekat-dekat dengan Neina.
Tanpa sepengetahuan Neina, Tania datang ke sekolahnya. Hanya untuk melihat
Senna, seperti apakah gadis itu sekarang? Tak sengaja ekor matanya menangkap
dua orang murid yang berjalan di koridor, salah satunya adalah murid yang Tania
kenali. Nevan. Teman Neina. Kalau dilihat dari gaya mereka berjalan, seperti dua orang yang berpacaran, alaala zaman sekarang. Kedua matanya menyipit, mereka semakin menghilang dari
pandangan Tania. Jika tidak salah mendengar, Neina pernah bercerita kalau
Nevan mempunyai kekasih bernama Senna.
Senna mengetik sesuatu di ponselnya, namun bibirnya juga terus berbicara, tak
sekali pun ia mendiami Nevan. Kadang juga mereka tertawa kecil, juga Nevan
yang mengacak-acak puncak kepala Senna sayang.
Senna. Ya, siswa perempuan itu pasti Senna. Seperti apa yang Ardi katakan,
bahwa Neina satu sekolah dengan putri Diana.
Tania menundukkan sedikit kepalanya. Ternyata benar. Tania menjadi gamang.
"Mama?" Suara itu menyentakkan Tania, kontan dia mengangkat kepala. Ada Neina yang
sedang berjalan ke arahnya dengan wajah yang mengerut. Mungkin dia bingung
dengan kedatangan Tania yang tiba-tiba. Benaknya terus bertanya.
"Kok mama bisa ada di sini, sih?"
"Emmm." Tania tampak gelagapan, berkempul-kempul. Gamam harus
menjawab apa. Sebab ia tidak memiliki alasan apa-apa.
"Tumben, ma. Mama mau ketemu Neina?"
"I iya " jawab Tania pada akhirnya. "Iya mama mau ketemu sama kamu.
Mama lupa mau ngasih tau ke kamu," dengan terpaksa Tania berargumen.
Padahal ia belum menyiapkan argumen apa yang akan disampaikan.
"Emang ada apa, ma?"
Ari, Wildan dan Satya menghentikan langkah ketika ingin memasuki kantin,
seperti biasa, mereka selalu kepo. "Wah, tuh nyokapnya Neina dateng lagi.
Mumpung lagi istirahat, mending kita samperin, yuk. Lumayaan bisa kenalan
sama tante cantik, calon mantuu!!" celoteh Ari seenaknya.
"Itu jatahnya Nevan, woy! Jangan diambil," sahut Wildan. "Suka-suka gue. Kan
Nevan ada si Senna." Satya hanya menggut-manggut setuju, tanpa ingin bicara.
Dia ?mah? setuju-setuju aja.
Mereka pun mendekati Neina dan Mamanya.
"Tante" Ari menyapa so akrab. "Tante mamanya Neina, ya?" tanyanya dengan
tinggat ke-PD-an paling tinggi. Wildan dan Satya cengengesan di sebelahnya.
Padahal bilang saja, mereka ingin ikut berkenalan.
"Eh iya saya mamanya Neina," jawab Tania sembari tersenyum ramah. Ia
bernapas lega. Tuhan telah menolongnya.
"Pantes, mirip banget. Sama-sama cantik, hehe," puji Ari.
"Bisa aja," tanggap Neina. "Kenalin, ma. Mereka ini temen-temennya Neina di
kelas," lanjutnya memberi tahu. Melupakan pertanyaan yang tadi diajukan
kepada Mamanya. "Oh temen-temen kamu."
"Iya tan." Ari menjulurkan tangan, "Kenalin nama saya Ari. Anak Rajin Iseng,
itu adalah kepanjangan Ari." Tania membalas uluran tangannya, nyaris tertawa
meledak mendengar penuturan Ari yang konyol. "Oo jadi anak iseng, ya?" ia
melepaskan tangannya lagi.
"Iya hehe" "Saya Wildan," giliran Wildan yang menyalami. Tania tersenyum lagi dan
membalas ulurannya. "Saya Satya," giliran Satya.
"Tante yang udah ngasih kita cokelat, kan? Aduuh cokelatnya enak banget,
apalagi Neina yang ngasihnya, jadi makin manis," Ari kembali memuji
hiperbolis. Neina tersenyum malu-malu, Ari senang sekali memujinya, dan
Neina tidak suka itu. Terlalu berlebihan dan melebihi kenyataan.
"Iya sama-sama."
"Hehe kapan-kapan minta lagi ya, tan," lanjut Ari yang langsung mendapat
sikutan dari Wildan. Dasar malu-maluin.
Tania terus tersenyum melihat tingkah ketiga anak lelaki di depannya ini.
Semuanya asik, syukurlah Neina bisa bergaul dengan mereka, jadi ia tak perlu
khawatir. Berbeda dengan sekolah Neina yang dulu, teman-temannya semuanya
bandel. "Kok tumben nggak sama Nevan?" tanya Tania yang mengejutkan Ari, Wildan,
Satya, termasuk Neina. Ketiga sejoli itu saling melirik penuh tanya.
"Emang harus sama Nevan terus, ya?" kata Neina tak minat.
"Ooh Nevan ya taan, biasaa, dia lagi apel sama pacarnya," jawab Ari kalem.
Seolah dia orang yang paling tahu tentang Nevan.
"Ooh gitu, ya." Tania mengangguk-anggukan kepala mengerti. Sebetulnya dia
bertanya hanya untuk basa-basi. Karena barusan ia juga melihat Nevan sedang
jalan dengan pacarnya, Senna. Anak perempuan yang menjadi alasan dia datang
ke sekolah ini. Untunglah teman-teman Neina datang, jadi ia tak usah bersusah
payah mencari asumsi lain. Dan pasti Neina juga sudah melupakan
pertanyaannya barusan. Mimik wajah Neina berubah lagi, keresahan yang menyerangnya belum sirna
juga. Dan Tania bisa melihat raut khawatir yang dipancarkan Neina.
Menerbitkan sebuah pertanyaan.
Seorang perempuan berhenti melangkah, sosoknya mengundang beberapa
pasang mata tertuju ke arahnya.
Diana menjatuhkan kantung plastik putih di tangannya, rahangnya mengatup
rapat. Pandangannya datar. Seorang perempuan yang dulu sangat ia benci kini
kembali menampakkan dirinya. Jantungnya berhenti berdetak. Kakinya bergetar,
perutnya mulas. Begitu pula dengan Tania, dia terkejut bukan main dalam diamnya. Ini kali
pertama, melihat Diana di depan mata secara jelas. Di sini ada Neina, jadi ia
tidak boleh gegabah. Pura-pura tidak kenal. Diana yang tidak ingin mengulang
kejadian masa lalu mencoba tetap rileks sembari terus mengatur detakan jantung
dan napasnya. Diambilnya kembali kantung plastik yang tadi ia jatuhkan, lalu
dilangkahkannya kaki mendekati mereka, berniat untuk bertanya.
Diana menarik napas pelan, "Halo selamat siang," sapanya tetap terlihat tenang,
kendati perasaannya masih tetap buncah.
"Siang," jawab Neina. Ari dan teman-teman juga menjawab, tapi pelan. Seolah
Neina yang mewakili. "Oh ya, kalau gitu mama pulang dulu," pamit Tania kepada Neina, ingin segera
keluar dari zona ini. Neina mengiyakan walau sebenarnya masih merasa aneh
dengan semua tindakan mamanya.
?Berarti anak ini Neina, anak Tania.?
Diana membatin sambil terus memerhatikan wajah Neina. Hanya anak itu yang
tidak tahu tentang semua yang terjadi. Anak itu yang telah membuat Senna
kehilangan kasih sayang dari Ayahnya. Namun tetap saja, ia tidak bisa
menyalahkan Neina yang tidak tahu apa-apa. Ini murni kesalahan kedua
orangtuanya. "Tante" panggil Neina mengernyit, menyadari kalau perempuan di depannya
ini terus memandangnya, membuat Neina sedikit salah tingkah.
"Eh, iya?" "Tante kok malah ngelamun? Tante ada keperluan apa? Siapa tau kita bisa
bantu." "Iya tante," sambung Ari yang ingin ikut berpartisipasi.
"Emmm Apa kalian tau murid kelas 11 IPS 5 yang namanya Senna?"
tanyanya dengan suara lembut. Sebisa mungkin menyembunyikan kegaguannya.
"Senna, tan?" ulang Neina.
"Senna? Cewek kaleng rombeng itu, tan? Yang orangnya itu bawel dan heboh
banget, mana centil lagi. Ngapain sih tante cari orang kayak gitu? Ada keperluan
apa?" cecar Ari bergelora.
"Ish." Neina menyenggol lengan Ari, menegurnya secara halus. Memberi gestur
agar Ari bisa menjaca ucapannya.
"Aduuh sampai dijulukin sebegitunya ya anak saya," ucap Diana menggeleng. Ia
sama sekali tidak tahu kalau Senna mempunyai panggilan di sekolahnya dengan
julukan ?kaleng rombeng?. Ingin tertawa juga, anak itu benar-benar, selincah
itukah dia di sekolah? Mungkin mereka hanya tidak tahu hal apa sajakah yang
selama ini Senna lalui. "Anak tante?!" ketiga anak itu bertanya serempak, dengan sorotan tak percaya,
bahkan kedua matanya hampir keluar dari tempat dan menggelinding ke bawah.
Kabar yang sangat mencengangkan, menggemparkan dunia.
"Iya Senna itu anak saya."


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Neina menahan gelak ketika melihat ekspresi Ari, Wildan dan Satya yang sedang
berupaya menyembunyikan rasa malu. Terutama Ari yang baru saja menjelekjelekan Senna di depan orangtuanya sendiri. Mampus! Ari menggaruk-garuk
dagunya, ia kelimpungan sendiri. Bagaimana ini?
"Kalau kalian tau, tolong kasihin ini ke Senna." Diana memberikan kantung
plastik yang sedari tadi ia pegang, dan benda itu diterima oleh Neina.
"Ini baju olahraga Senna yang ketinggalan. Tolong kasihin, ya."
Neina tersenyum seraya mengangguk sesopan mungkin. Matanya, mirip sekali
dengan Ardi, senyumnya, mirip sekali dengan Tania. Memori masa lalu kembali
terulang, seumpama video yang diputar mundur setelah lama berada di ujung
cerita. Mata Diana terus saja menatap Neina dalam-dalam, teliti.
"Nanti saya bakal kasihin ini ke Senna kok, tan," kata Neina memastikan.
Tadinya Diana ingin menemui Senna secara langsung, namun ia tak mampu
berlama-lama di sini. Tak ada gairah lagi dan terlanjur diterjang keterkejutan.
"Ya udah. Makasih," kata Diana disertai senyum untuk yang terakhir kalinya
sebelum ia memutar langkah, berjalan keluar dari area sekolah.
"Gila gue kira dia bukan nyokapnya Senna. Iya emang sama-sama cantik, tapi
dia lembut, lah anaknya kayak petasan di malam pergantian tahun," cerocos Ari
berkacak pinggang. Bak sedang melihat fenomena aneh di alam semesta.
"Iya, gue setuju sama lo," Wildan mengimbuhi, sambil terus menjangkau
kepergian Diana. "Ari kamu itu kenapa sih apa-apa dipikirin terus," ujar Neina yang mulai pergi
untuk menemui Senna dan memberikan pemberian mamanya.
"Ini baru pertama kali loh gue liat nyokapnya." Ari mulai berjalan di belakang
Neina, begitu pun dengan Wildan dan Satya.
"Dua calon mantu Nevan sama-sama kesini, bareng lagi," kata Satya bergurau.
Setelah menutup pintu mobil, Diana enggan langsung melajukan mobilnya. Ia
mendesah berat, bersandar di kursi kemudi. Tangannya memegang setir, sedikit
mencekramnya. Perasaannya bergolak. Mengapa pertemuan itu harus terjadi?
Ketika harus bertemu dengan wanita perusak rumah tangganya dulu, dengan
anaknya pula. Diana memegang kening dan memijatnya pelan. Dalam hal ini
yang paling harus disalahkan adalah Ardi.
Dan Senna? Apa yang ia rasakan ketika melihat Neina? Diana tidak bisa
membayangkan itu. bagian18. Tampak Senna sedang mencari sesuatu dari dalam tasnya. Tasnya kecil, mana
mungkin pakaian olahraga itu terselip. Sudah pasti ia lupa membawanya. Senna
berdecak, menutup tasnya lagi. Sial! Baju olahraganya pasti ketinggalan di
rumah. Dasar teledor. "Ayo Sen cepetan, nanti bapak marah kalau kita telat."
Ajakan itu semakin membuat Senna geram. Merasa terburu-buru, membuat
Senna malas. "Baju olahraga gue ketinggalan, gimana mungkin gue ganti baju. Udahlah kalian
aja, bilangin ke bapak kalau gue sakit."
"Nanti kalau sakit beneran gimana? Jangan bohong gitu, Sen," kata Nova.
"Ih lo nyumpahin gue?!"
Satu persatu murid mulai meninggalkan kelas setelah berganti pakaian, untuk
mendatangi lapangan, segera menemui Pak Gian yang akan langsung
mengabsen. Kalau sampai telat, mereka akan dihukum mengelilingi lapangan
sebanyak tiga keliling. "Lo minjen aja ke kelas lain," usul Sasta.
"Ya kali gue pake baju bekas orang lain. Yang ada gue bakalan kena keringet
mereka, iiiuuuh jijik!" Senna menolak dengan semena-mena. Ia tidak suka
meminjem hal yang ?dipakai? kepada orang lain, lebih baik tidak usah olahraga
sekalian. Isrilah minjam-meminjam tak ada dalam kamus kehidupannya.
Neina tiba di depan kelas 11 IPS 5, celingak-celinguk sambil mencondongkan
kepala. Tangannya lalu mengetuk daun pintu. Senna menoleh ke lawang pintu,
begitu pun dengan Sasta dan Nova.
"Senna," ujar Naina ragu. Sebab ia masih takut.
"Ngapain lo ke sini?!" tanya Senna lantang, nada suaranya juga menandakan
ketidaktertarikan. "Ini Tadi mama kamu ke sini dan ngasihin ini" Neina menjulurkan kantung
pelastik di tangannya. Senna tergemap, langsung bangkit dari duduknya dan
bergegas mendekati Neina.
"Apa?" "Iya dia titipin ini ke aku, soalnya nggak sengaja kita ketemu di deket koridor.
Katanya baju olahraga kamu ketinggalan"
Seperti tak ingin mendengarkan penjelasan Neina, Senna cepat-cepat keluar,
berharap mamanya masih ada di sini. Pandangannya diedarkan ke segala penjuru
sekolah, masih penuh harapan. Senna menggigit-gitit bibir bawahnya, yang ia
temukan hanyalah siswa-siswi berseragam, para penghuni sekolah ini, termasuk
guru. "Arghhhh!!" Senna berlekas menghampiri Neina lagi. Direbutnya dengan
kasar kantung pelastik itu.
"Lo itu bener-bener, ya!"
Neina mengerjap. Sasta dan Nova yang melihat tindakan Senna juga ikut
penasaran. Bingung, mengapa dia harus marah. Iya Senna memang terkenal
galak, tapi untuk sesuatu hal yang tak ada alasan, patut dijadikan pertanyaan.
Bukankah Neina tidak melakukan kesalahan apa-apa? Dia hanya memberikan
baju olahraganya. "Kalau aja nyokap gue gak ketemu sama lo, mungkin aja dia bakalan ngasih baju
ini langsung ke gue!"
"Kok kamu nyalahin aku? Mama kamu sendiri yang titip,aku nggak larang dia
buat ketemu sama kamu," wajah Neina seketika mengkerut, benar-benar
bingung. Dalam hal ini bahkan Senna masih menyalahkannya. Dia hanya ingin
menyampaikan amanah. Tapi di mata perempuan itu dia selalu salah.
"Jelas ini salah lo!" Senna menunjuk-nunjuk wajah Neina, urat-urat dalam
jemarinya terlihat dengan kentara. Ingin sekali berteriak bahwa semua masalah
yang terjadi dalam hidupnya itu disebabkan oleh Neina. Ingin berteriak bahwa
Neina telah merebut semua kebahagiaannya. Senna berpikir, pasti sekarang
mamanya sedang sedih sehabis bertemu dengan Neina, anak dari hasil cinta papa
dan selingkuhannya. Mata Senna berkilat-kilat. Kalau saja ini bukan di sekolah, dia sudah
melenyapkan Neina saat itu juga. Napas Senna menjadi terengah-engah,
diturunkannya kembali tangan yang tadi menunjuk Neina, ia harus mengontrol
amarahnya. Semua orang di sini akan menyalahkannya jika ia berbuat sesuatu
kepada Neina. Mereka tak akan tahu, kalau si pemilik wajah poloslah yang
memiliki segudang kesalahan.
"Kamu itu kenapa sih selalu nyalahin aku dalam hal apa pun. Apa sebegitu besar
ya kesalahan yang aku buat sampai kamu terus natap aku penuh rasa benci. Aku
gak bisa terus gini, aku gak terima ada orang yang benci banget sama aku tanpa
alasan." "Lo gak perlu tau kesalahan lo itu apa aja. Tapi suatu saat, lo bakal tau
semuanya, semua kesalahan lo dan kejahatan yang udah lo tutupin sama wajah
so lugu lo itu!" "So lugu apa? Aku emang kaya gini, sumpah demi Allah aku gak punya maksud
apa-apa. Selama ini aku diem karna aku tau mungkin kamu terlalu cemburu, tapi
sekarang " "Sekarang apa?!" potong Senna membentak. "Bahkan tadi, waktu di lapangan,
gue masih liat lo mandang Nevan sambil senyum-senyum. Lo pikir dia siapa?!
Lo mau berharap, hah? Lo mau ngelakuin apa yang udah pernah nyokap lo
lakuin?!" "A apa?" Senna mendelik, sial dia salah ngomong.
"Maksud kamu apa?"
Senna masih diam. "Ini yang buat aku bingung, kamu selalu bawa-bawa mama aku di saat kamu
marah sama aku" "Aduuh lo itu rempong banget, sih. Gak penting! Sekarang lo pergi dari hadapan
gue." Senna mengarahkan tangannya ke luar, agar Neina menyingkir dari
hadapannya saat ini juga, di detik ini juga. Ia benar-benar muak. Ingin muntah.
"Ini penting" "Gue bilang pergi ya pergi!" Senna mendorong bahu Neina hingga membuat
gadis itu nyaris terhuyung. Melihat mimik wajah Neina yang seolah
memperlihatkan ketidakterimaanya atas apa yang dilakukan Senna, Senna segera
menyahut. "Apa?! Gak suka?!"
Neina hanya menyentuh bahunya yang dirasa sedikit menimbulkan rasa nyeri.
"Nova, Sasta cepetan!" Senna berteriak lagi, lalu dilangkahkannya kaki
meninggalkan Neina yang masih termenung. Dari dalam Sasta dan Nova
berlarian menyusul Senna, tanpa memedulikan Neina.
Neina memandang kepergian Senna dengan pertanyaan-pertanyaan di otaknya.
Kedua bola mata Neina menghangat, mengapa rasanya begitu sakit. Meskipun
Senna bukan siapa-siapa, bahkan hanya seorang teman tidak begitu dekat,
namun saat dia mengatakan tentang kebenciannya, membuat Neina sedikit
teriris. Apa mungkin ia memiliki kesalahan yang fatal kepada Senna? Tebersit
kecurigaan dalam benaknya.
Neina membawa tungkainya lagi, meninggalkan pijakan sebelumnya dengan
langkah pelan, sambil terus memegang bahu yang tadi didorong Senna.
Tidak sesemangat biasanya, tidak selincah biasanya, tidak seheboh biasanya.
Saat pelajaran olagraga ini berlangsung, Senna hanya duduk diam di pinggiran
lapangan, melipatkan kaki yang menjadi topangan dagu. Terus memikirkan
tentang perasaan Diana di sana. Ia ikut merasakan sakitnya, bisa menebak
bagaimana keadaan hati mamanya sekarang ketika ia harus melihat Neina. Itu
artinya, kejadian masa lalu akan menggoyahkan pikirannya.
Yang lain sibuk dengan permainan kesukaan mereka ketika selesai melakukan
tes. Tes yang diberikan Pak Gian hanya sederhana, yaitu berlari memindahkan
batu seperti waktu SD. "Senna peduli sama mama, jadi gak salah kan Senna ngebenci orang yang bikin
mama sedih? Bukan maksud Senna buat sekasar itu sama orang lain." Senna
bergumam laun, seraya teringat saat dia mendorong Neina. Senna tahu dia tidak
tahu apa-apa. Namun, rasa benci itu semakin tumbuh tanpa henti, mengingat
bahwa dialah yang membuat ayahnya berubah.
Sedetik kemudian, Senna bangun dari duduknya, menepuk-nepukan kedua
telapak tangannya, menghilangkan debu. "Pak saya ke kelas, ya! Sebentar lagi
juga bel pulang, kan pak?"
Guru olahraga itu menganggukan kepala petanda setuju, lalu kembali terfokus
pada permainan di ponselnya lagi.
"Senna lo mau kemana?" seru Nova di tengah lapangan, sibuk melempar bola
voly. "Mau ke kelas, sumpek gue lama-lama di sini. Bikin kulit item," jawabnya
seraya berlalu meninggalkan lapangan. Senna anti matarahari, dia selalu jadi
orang pertama yang meninggalkan lapangan.
Senna berjalan menuju toilet, ia akan membasuh wajahnya dahulu dan
memoleskan sedikit pelembap. Ia harus berjalan seangkuh mungkin, agar orangorang tak akan menilainya dengan gadis menyedihkan. Dan untunglah, Senna
sudah melakukan hal itu sejak lama, jadi orang lain sudah terbiasa melihat
seorang Senna yang sombong, juga centil. Sesekali Senna menata rambutnya.
Begitu tiba, ia melihat Neina yang baru saja masuk ke WC perempuan.
Ide cemerlang pun muncul di kepalanya. GOD! Ini salah satu kesempatannya
untuk mengerjai Neina. Terima kasih Neina, dia yang sudah membuat mood-nya
hancur, dia juga yang membuatnya kembali seperti semula.
Buru-buru Senna mendekati WC itu, mengambil kunci toilet yang tergantung di
paku, lalu dikuncinya pintu WC dari luar, dengan begitu Neina tak akan bisa
kaluar. Senna menarik lagi kunci itu, dia menggatung-gantungkan kunci tersebut
di depan wajahnya, gadis itu menyeringai puas, mengangguk-anggukan kepala
mantap. Ini adalah pelajaran untuk Neina, karena barusan dia sudah berani
melawannya. Jam pelajaran kan sudah habis, jadi tak akan ada seorang murid
pun yang masuk. Walaupun Neina tak akan terjebak lama-lama di dalam, tapi
Senna tetap bersyukur, perempuan itu pasti merasa panik.
Senna menjatuhkan kunci itu dengan sembarang, kaluar dari area toilet, tidak
jadi membersihkan wajah. Karena ada hal lain yang lebih menyenangkan.
Di dalam, Neina ingin membuka pintu setelah selesai membuang air kecil,
tapi Keningnya berkerut, mengapa tidak bisa dibuka? Neina berusaha
membukanya lagi, tapi nihil, hasilnya tetap sama. Aneh. Apa pintu ini dikunci
dari luar? Pikir Neina. Ia mulai menggedor pintu, dan berteriak meminta
pertolongan. Seseorang membuka pintu, Neina bisa bernapas lega. Syukurlah, Neina kira dia
akan terkurung selamanya dalam toilet ini gara-gara orang jahil.
"Van, lo itu mikirin apa, sih? Perasaan dari tadi lo itu dieem terus, ada masalah?"
Ari bertanya saat mereka berjalan di koridor dengan membawa tas masingmasing, itu tandanya sekolah telah bubaran dan waktunya pulang.
"Nggak kenapa-napa."
Mereka turun menuju parkiran.
"Eh tunggu-tunggu, deh." Wildan merasa ada sesuatu yang janggal.
"Van, lo nggak ngajak Senna pulang bareng? Biasanya lu suka mampir dulu ke
kelasnya," lanjutnya, bertanya. Ini membuatnya aneh.
"Eh iya, Van. Apa jangan-jangan lo lupa, ya? Udah move-on? Udah berpaling,
ya? Udah bosen ya pacaran sama kaleng rombeng?"
"Kalian itu kenapa sih, gue nemuin Senna salah, gue gak nemuin dia juga salah.
Gue lagi males aja, lagi banyak pikiran," jawaban Nevan mampu membuat
ketiga temannya tertegun. Tidak biasanya dia sejutek itu, tidak biasanya juga dia
semarah itu. Mereka menyatukan kedua alis, mengecilkan sebelah mata.
Nevan meraih helm yang bertengger di stang motornya. "Gue cabut duluan,"
segera dipakaikannya benda itu di kepala.
Nevan naik ke atas motornya. Meninggalkan pertanyaan di benak ketiga
temannya. Begitu motor besarnya melesat, Neina datang menghampiri Ari,
Wildan dan Satya yang masih tercenung.
"Nevan ada masalah," kata Neina begitu tiba, ikut memerhatikan kepergian
Nevan. "Eh Neina," mereka baru menyadari kedatangan Neina. Langsung saja mereka
menampakan raut keingintahuan. "Nevan ada masalah apa? Lo tau?"
"Tentang Senna."
"Senna?" "Bukannya tadi mereka baik-baik aja? So sweet so sweetan, romantisromantisan, ayang-ayangan, kok tiba-tiba berantem lagi?" tanya Satya
kebingungan sendiri, menggaruk kepalanya. Ari dan Wildan manggut-manggut
setuju. Tadi di lapangan, mereka melihat dengan jelas bagaimana interaksi kedua
anak itu, manis-manisan. "Nggak berantem, sih."
"Terus kalo nggak berantem, kenapa?"
"Oooh gue tau. Pasti Senna nggak mau diajak ciuman sama Nevan, kan?" tebak
Ari sekenanya. "Kebalik kali, bro!" Wildan menyikut.
"Masa sih kayak gitu?" tanya Satya lagi.
"Bukaaaan." "Terus kenapa?"
"Tadi Nevan ngeliat aku dikunci di kamar mandi sama Senna. Makannya dia
kepikiran. Dia mikir, kayaknya Senna masih belum berubah. Padahal kita udah
pisah bangku, tapi Senna masih tetep gak suka sama aku."
"Adduh! Si kaleng rombeng kenapa lagi, sih. Gue juga aneh, dia itu gak suka
banget sama lo gitu. Apa jangan-jangan dia iri sama lo? Secara kan lo itu lebih
cantik, lebih putih, lebih baik, lebih lembut, dia takut kali kalau Nevan sampai
berpaling ke elo," tebak Ari lagi nyerocos.
?Aku tunggu kamu di cafe deket sekolah?
Senna baru saja keluar dari kelas, dia langsung mendapatkan pesan Whatsapp itu
dari Nevan. Senna sempat berpikir, kalau mau pergi jalan, biasanya Nevan
langsung nyamperin, tapi kali ini, harus susul-susulan segala. Apa ada hal
penting? ?Oke sayaang. Aku langsung otw?
Senna memasukkan hp-nya ke dalam saku. Lalu berlari untuk segera
mengunjungi Cafe yang dimaksud Nevan. Saat itu pula Sasta dan Nova keluar,
melihat kepergian Senna dengan gemas. Tu anak main pergi aja.
Senna duduk di depan Nevan yang sedari tadi sudah menunggunya. Ia
merasakan ada sesuatu yang berbeda, Nevan tampak lebih dingin, Senna menjadi
gugup saat ingin bertanya. Senna sempat menyapa dengan sapaan ?hay sayang?
Tapi Nevan membalas dengan ?hay? saja.
"Kamu nggak pesen apa-apa?"
Nevan menggelengkan kepala.
"Kamu mau ngasih jepit-jepit itu, kan?" Senna menebak untuk mencairkan
suasana. Mungkin Nevan hanya ingin ngobrol, bukan untuk ngopi bareng.
"Ada yang kamu sembunyiin dari aku. Sekarang aku kasih kamu kesempatan,
untuk cerita semuanya ke aku. Apa pun itu, jangan ada yang disembunyiin."
Senna mengernyit mendengar penuturan Nevan.
"Senna please. Aku gak pengin kamu nutupin masalah kamu, biar semuanya
jelas. Aku janji, aku bakalan ngertiin kamu."
"Maksud kamu apa, sih? Emang apa yang aku sembunyiin?"


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aku gak mau kamu benci sama seseorang tanpa sebab. Aku liat kamu dorong
Neina kenceng, itu apa maksudnya? Aku pikir dengan aku pindah kursi, kamu
bisa berteman baik sama dia, tapi nyatanya, kamu sama sekali belum berubah."
"Kenapa? Apa kamu sekhawatir itu sama Neina? Kamu takut dia kenapa-napa
karena udah aku dorong?!" balik tanya Senna menantang. Namun dalam hati
Senna menyesalinya, mengapa Nevan malah melihat kejadian itu. Senna tak
pernah menduga sebelumnya.
"Kamu kunciin dia di kamar mandi."
Senna membuka setengah mulutnya lagi. Lagi.
"Aku gak tau kamu punya masalah apa sama dia. Kenapa aku kayak gini?
Karena sebelumnya aku gak pernah liat kamu sebenci itu sama orang lain.
Segalak-galaknya kamu, kamu gak pernah lakuin itu semua." Nevan tahu betul
bagaimana sifat Senna. Bahkan sejak kecil pun, dia sudah mengetahuinya.
"Waah." Senna mengeluarkan napas lewat mulutnya, dia tampak kagum. "Oh
mentang-mentang kamu disuruh jagain Neina sama mamanya, kamu jadi
ngikutin dia terus? Sampai tau apa aja yang udah dia laluin. Waw, kamu emang
hebat, Van." "Sumpah bukan karna itu, itu semua aku liat bukan karna aku sengaja."
"Dan gak seharusnya juga kamu sekhawatir itu sama Neina!"
"Aku gak khawarin siapa-siapa. Di sini aku cuma mau dapet penjelasan yang
pasti. Dan kamu jangan mojokin aku dengan dugaan-dugaan kamu itu. Justru
yang bikin aku nanya gini, karna aku peduli sama kamu."
"Penjelasan apa?"
"Apa masalah kamu sama Neina?" tanya Nevan serius, menatap Senna dalamdalam, penuh ketelitian.
"Aku udah pernah bilang kalau aku cuma cemburu!"
"Cemburu?" "Ya ampun, Sen. Gaya cemburu kamu itu nggak banget!"
"Nggak banget gimana? Wajar aku cemburu, mana ada cewek yang nerima kalau
cowoknya disuruh jagain cewek lain sama orangtuanya? Mana ada?!"
"Tapi kan kamu tau sendiri, aku gak pernah berduaan sama Neina, di sana selalu
ada Ari, Wildan sama Satya. Kan kamu tau sendiri."
"Ya pokoknya aku gak suka!"
Nevan mengatup matanya. Dari dulu Senna tak pernah mengekangnya sampai
seperti ini. Dulu kalau dia cemburu, Senna hanya meneriaki si cewek agar
jangan dekat-dekat dengannya. Cemburu yang biasa, tapi sekarang? Dan Nevan
yakin, bukan karena itu Senna melakukan itu semua.
"Apa kamu tau, Van?" tanya Senna.
Nevan masih terdiam, tanpa ingin bertanya.
"Aku sering mergokin Neina lagi mandangin kamu kalau kamu lagi main basket.
Aku pernah larang dia, tapi dia tetep aja lakuin itu. Aku ngerasa, dia nggak
ngehargain hubungan kita. Please, aku gak mau ada orang ketiga, aku benci
orang ketiga, aku benci!"
Diam, hanya itu yang bisa Nevan lakukan sekarang.
"Dan asal kamu tau lagi. Apa kamu nggak nyadar, kita berantem gara-gara
siapa? Gara-gara Neina, kan?!"
"Aku ngajak kamu ke sini bukan buat bicarain tentang cemburunya kamu, tapi
aku mau kamu ceritain sesuatu."
"Aku udah jawab kenapa sih kamu nggak percaya?" Senna semakin kesal. "Aku
pulang aja, deh. Aku lagi males debat sama kamu." Senna berdiri, hendak
menggeser kursi dan pergi.
"Oke Senna. Oke kalau cuma itu alasannya. Alasan yang menurut aku, malumaluin."
Senna berhenti melangkah. Perkataan Nevan barusan, berhasil menohok hatinya.
Sama saja, Nevan telah menghujat Senna dengan telak. Gadis itu memicingkan
mata, meremas ujung rok abu-nya. Sungguh, ia belum bisa bercerita kepada
siapa pun. Senna lantas pergi tanpa berkata apa-apa.
Nevan bersandar di kursinya, mengembuskan napas. Senna tidak pernah
mengerti. bagian19. Ditutupnya pintu rumah dengan hentakan keras, hingga suaranya menggema di
setiap sudut rumah. Senna melangkah menuju ruang TV, mencari keberadaan
Diana, dia ingin curhat, sekaligus bertanya tentang keadaannya. Namun
Mamanya tak ada di sana. Senna lantas pergi ke dapur, biasanya Diana sedang
ngemil atau sekadar duduk sambil ngobrol dengan Bi Ijah.
Bukan Mamanya yang ia temukan, melainkan selembar kertas di atas meja yang
kini dipenuhi berbagai macam makanan. Penasaran, Senna meraih kertas itu dan
mulai membaca setiap rangkaian kalimatnya.
Ini adalah tulisan Mamanya.
?Sayang, kamu makan ya makanan yang udah mama siapin. Semuanya spesial
buat kamu. Maaf mama harus pergi, ada kerjaan mendadak, dan mama nggak
bisa nolak itu. Jangan marah, minggu depan mama pulang lagi, kok. Ya sayang?
Baik-baik sama Bi Ijah, jangan bentak dia melulu. Okee byeee
Salam cantik dari mama :* :* ?
Senna menyimpan kembali kertas itu dengan malas. Dia pergi saat dibutuhkan.
Sekarang? Dirinya harus curhat dengan siapa? Bi Ijah? Mana mungkin pembantu
yang katro? Pasti Diana pergi karena ingin melupakan pertemuannya dengan Neina. Senna
semakin membenci perempuan itu, kebenciannya naik satu tingkat lagi.
Sekarang Senna mengerti, untuk melupakan kesedihan adalah dengan cara
mencari kesibukan. Mamanya selalu melakukan itu sejak dulu. Daripada
menangis, lebih baik kita mencari kesibukan yang menghasilkan sesuatu, yang
membuat kita bangga kepada diri sendiri. Senna duduk di kursi, memandang
hidangan makanan di depannya.
Ada puding cokelat kesukaannya, Senna mulai mencicipinya. Diambilnya
sendok, lalu memotongnya hingga menjadi bagian kecil. Dimasukkannya ke
dalam mulut, rasa cokelatnya mulai menggelitiki lidah Senna. Lezat! Senna
tersenyum lamat sembari terus mengunyah.
"Eh non Senna udah pulang. Maaf bibi nggak denger, abis dari belakang," kata
Bi Ijah yang baru memasuki dapur sehabis memindahkan jemuran.
"Ini semua yang masak mama, Bi?" tanya Senna terus melahap pudingnya.
Menikmati sensasi manisnya.
"Iya. Katanya khusus buat kamu. Sebagai permintaan maaf karena nyonya gak
sempet pamitan sama non Senna."
"Semendadak itu, ya? Sampai-sampai gak pamit dulu. Padahal tadi mama dateng
ke sekolah Senna," ia mengangguk-anggukan kepala mengerti.
"Aduuh bibi juga nggak tahu, non." Bi Ijah meraih serbet lalu di simpan di
pundaknya. Saatnya membersihkan dapur.
Sial! Neina kesiangan gara-gara jam weker-nya rusak. Dia berlari ke kelasnya,
bel masuk sudah berbunyi 10 menit yang lalu. Gawat, mana jam pertama adalah
guru matematika yang selalu datang tepat waktu ke kelas. Dan yang terlambat,
terpaksa harus menerima hukuman. Karena terburu-buru, Neina tidak menyadari
kalau tali sepatunya tidak terikat dengan benar, hingga talinya terbuka di tengah
jalan. Bruk! Neina terjatuh. Tali sepatu itu yang membuat jatuhnya Neina. Ini yang kedua
kalinya Neina jatuh. Namun kali ini lututnya menyentuh tanah, hingga bagian itu
tergores, hampir mengeluarkan darah. Rasanya perih.
"Awh " Neina merintih kesakitan.
"Lo kayak anak kecil banget sih Neina," suara itu membuat Neina tersentak.
Cepat-cepat dia mendongkak, melihat siapa yang bicara.
"Sini gue bantu." Nevan mengulurkan tangannya, berniat membantu.
"Nevan?" "Iya gue." "Kok kamu ada di sini? Nggak masuk?"
"Udah gak usah banyak nanya, berdiri cepetan. Nanti seragam lo keburu kotor,
lagi." Perlahan Neina meraih pergelangan tangan Nevan, berusaha berdiri dengan kaki
yang mulai nyeri. Luka di lututnya sama seperti saat ia masih kecil, akibat dari
kerjaannya yang selalu main kejar-kejaran. Dan saat itu terjadi, Ayahnya-lah
yang selalu membantu. "Kaki lo berdarah, mending kita ke UKS aja."
"Kamu belum jawab pertanyaan aku."
"Gue tadi di suruh Bu Guru buat ngambil buku tulis yang minggu kemarin
dikumpulin. Eh gue liat lo jatoh, masa didiemin aja," jawab Nevan. Bagaimana
mungkin ia membiarkan Neina yang jatuh. Sebagai manusia, tolong-menolong
itu sudah sangat diwajibkan.
"Eh gak perlu ke UKS, aku langsung ke kelas aja, kamu pergi ngambil buku,"
sejujurnya Neina butuh obat untuk mengobati lukanya, tapi ia tak ingin
merepotkan Nevan. Sudah banyak sekali Nevan membantunya, Neina tidak
enak. "Eehh" Neina nyaris terjatuh jika Nevan tidak menyangga tangan dan
pundaknya. Kedua pasang mata itu pun langsung bertemu, debaran jantung
Neina kontan menjadi cepat, bersitatap dengan Nevan saat ini, membuatnya
gugup setengah mati. Suhu atmosfir tiba-tiba naik beberapa derajat. Kadar
ketampanan Nevan semakin terlihat jelas. Neina tidak kuat lagi.
"Tuh kan kaki lo itu emang harus disembuhin. Udah ayo ikut gue." Nevan
mengubah posisinya, Neina bisa mengembuskan napas lega. Karena terlalu
gagap, Neina mengikuti apa yang dikatakan Nevan. Sebelum pergi, Nevan
menggeleng begitu melihat tali sepatu Neina yang copot. Ia menyempatkan diri
untuk berjongkok, "Bentar."
Diikatkannya kembali tali sepatu Neina. Gadis itu tertegun, saat ini dia benarbenar kikuk. Beberapa kali mengedip-ngedipkan mata.
"Udah, yuk." Nevan mulai membopong Neina menuju UKS. Tidak peduli kalau
nanti dia mendapat amarah dari Bu Apri gara-gara telat membawa buku siswasiswa ke kelas. Ini yang membuat Neina nyaman, Nevan selalu berbuat baik
kepadanya. Dan Neina tahu sendiri, kepada semua orang dia juga begitu. Jadi ia
tak akan berharap lebih. "Santai aja kali kalau jalan, gak usah lari-larian gitu. Jatoh kan akhirnya."
"Kamu gak tau, sih. Aku kesiangan, nggak bisa santai."
"Makannya jangan kesiangan, biasanya suka paling pagi."
"Takdir, mungkin."
Nevan tertawa. Mereka tiba di UKS, Neina duduk di atas brankar dengan kaki yang
menggantung. Meringis beberapa kali.
"Lo tunggu di sini, ya. Nanti gue balik lagi, kok. Keburu Bu Apri ngamuk,"
buru-buru Nevan keluar dari ruang UKS, meninggalkan Neina yang
menertawakan kekalang-kabutan Nevan. Cowok itu ingin membantu, tapi di sisi
lain dia juga mempunyai kepentingan yang sangat mepet
"Nevan kemana, sih! Kita udah kehabisan waktu 20 menit," kata Bu Apri di
depan kelas, melirik jam tangan elegan-nya. Dia baru saja selesai menerangkan
materi di papan tulis, dan saatnya para murid untuk menyalin.
Yang lain malah bermohon-mohon supaya Nevan tidak datang, supaya
pembelajaran pun akan terlambat. Tidak akan nulis, deh. Males banget harus
nulis! "Terusin aja, bu!" usul Ari, mencuri-curi kesempatan. "Daripada nungguin yang
gak pasti." "Apa kamu? Mau ngehasut ibu?"
"Iya, bu. Eeeeeh." Ari keceplosan. Yang lain tertawa dan mendukung Ari,
membuat Bu Apri kesal. Mengapa sih makin ke sini murid itu semakin malas
belajar? Padahal mereka adalah penerus bangsa. Harus berlomba-lomba
menciptakan hal baru. Kalau nulis juga malas, gimana caranya untuk sukses?
"Ibu udah pernah bilang. Kalau buku tugas ya buku tugas, buku catetan ya buku
catetan. Jangan disatuin. Jadi gini, kan?"
"Mahal, buuuu."
"Ettdaaah Irit banget kamu. Heeh kamu nggak bisa bohongin ibu, ibu tau
kamu banyak duit," balas Bu Apri yang tidak percaya.
"Ih ibu jujur-jujur amat."
"Assalamu?alaikum." Nevan masuk dengan beberaoa tumpukan buku di
tangannya. Mengehentikan celotehan guru dan murid yang sejak tadi
berlangsung. Sebenarnya seru juga belajar dengan Bu Apri, dia selalu
menanggapi candaan-candaan murid. Tapi yang bikin gondoknya, dia selalu
masuk, tak pernah absen. "Idiiih Aa Nevan lama beneeer. Abis ngapain dulu? Apel, ya?! Jangan banyak
apel nanti ngeganggu pelajaran." Bu Apri langsung menegur.
"Hehe maaf, bu. Tadi di luar ada urusan." Nevan menyimpan tumpukan buku itu
di meja murid yang paling depan. "Dan sekarang urusannya masih belum
selesai. Neina tadi jatuh, jadi harus dibawa ke UKS. Nih tasnya, bu." Nevan
melepaskan tas yang semenjak tadi berada di bahunya.
"Aaah tuh kan apel sama Neina, bu!" seloroh Ari di ujung sana.
"Eh bukannya kamu sama Senna, ya?" tanya Bu Apri kepo. Hampir seluruh guru
tahu tentang hubungan Nevan dan Senna yang selalu menjadi viral di sekolah.
Menurut mereka, itu adalah hubungan paling aneh.
"Kan ngedua buu. Nevan gitu loooh, bisa dapetin dua cewek langsung," timpal
Ari lagi. Dia selalu memacu keributan. Sehari saja tidak berbicara, tidak bisa.
Mulutnya memang gatal. Latah.
"Tolong ke belakangin, estapet ke bangkunya Neina," pinta Nevan kepada anak
murid yang duduk di jajaran paling depan.
"Aaa diem kamu Ari! Emangnya kamu, nggak laku-laku," ujar guru
berkacamata berkulit putih itu, melirik bangku Ari ogah-ogahan.
"Ih ibu tega banget sama saya."
"Terus sekarang kamu mau kemana?" tanya Bu Apri kepada Nevan.
"Ya ke UKS lagi, bu. Gak enak, mamanya udah titipin Neina ke saya. Jadi
saya" "Ya ya ya udah sana. Tapi kalau balik lagi, ibu gak bakal biarin kamu masuk.
Usiiir usiiiir," jawab Bu Apri yang niatnya hanya untuk bergurau. Sambil mulai
membagikan buku tulis murid-murid.
"Usiiiirrrr buuu!!" sorak yang lain.
"Lo itu kegenitan banget sih jadi cewek. Mau cari muka di depan Nevan? Lo
mau nyuri-nyuri perhatian dia? Jangan mentang-mentang Nevan tu baik sama lo,
lo bisa seenaknya jatuhin diri lo di depan dia. Kesabaran gue udah bener-bener
abis!" Karena semenjak Neina jatuh, Senna sudah sempat melihatnya. Ia juga melihat
Nevan. Menyelidiki apa Nevan akan membantunya atau tidak. Dan nyatanya?
Sumpah Palapa 7 Dewa Arak 40 Gerombolan Singa Gurun Golok Halilintar 6

Cari Blog Ini