Ceritasilat Novel Online

Triangle 4

Triangle Karya Jaisii Quwatul Bagian 4


Iya. Nevan membantunya. Dan itu yang membuat darah Senna naik. Selama ini
dia sudah cukup sabar dengan semua tindakan Neina, tapi sekarang tidak lagi.
Dia tidak boleh jatuh lebih dalam lagi. Kejadian di masa lalu jangan sampai
terulang. Senna tidak tahan lagi untuk berteriak kepada semua orang kalau dia masih
mempunyai seorang Ayah. Ayah yang sekarang adalah Ayahnya Neina. Di
rumah dia tidak pernah tenang.
"Harus aku bilang gimana sih ke kamu, Sen? Aku gak pernah punya niat seburuk
itu." "Stoop so drama di depan gue. Gue itu tau akal busuk lo jadi nggak usah deh
nutup-nutupin lagi."
"Kasih aku jawaban satu aja, kenapa kamu benci banget sama aku. Kasih aku
jawaban pasti, siapa tau aku bisa perbaikin itu. Aku mohon," pinta Neina agar
semuanya berakhir. Dia tidak mau menjadi orang yang dipandang buruk. Kalau
benar ia salah, Neina janji akan memperbaikinya.
Senna berbalik untuk menutup pintu UKS, dia menguncinya dari dalam supaya
orang-orang tidak bisa mendengar pembicaraannya dengan Neina. Neina
mengernyit bingung, apa yang akan dilakukan Senna? Senna mendekati Neina
lagi. Ia sudah memantapkan hati dan membulatkan keputusan.
"Lo mau tau jawabannya?"
"Iya. Aku pengin tau. Karna aku mau tau, apa kesalahan aku sampai ada orang
yang benci sama aku sampai segitunya. Aku wajib tau."
"Kesalahan lo itu fatal. Gue benci lo karna lo itu anak papa Ardi, Papa gue!"
akhirnya Senna membocorkan rahasia itu juga. Tidak peduli nanti akan berakibat
bagaimana. Sebelumnya Neina masih kurang percaya, optimis bahwa Senna sedang
berbohong. Dia hanya ingin menakut-nakutinya saja. Matanya menyipit, belum
menerima baik kata-kata Senna.
"Nyokap lo udah ngambil bokap gue. Dan sekarang? Lo juga mau ngambil pacar
gue? Orang yang satu-satunya bisa bikin gue bahagia, satu-satunya warna dalam
hidup gue. Sejahat itu kah lo? Berwajah manis dan berhati busuk! Jangan so
lungguh lo! Lo itu cewek perusak hubungan orang! Sama percis kaya Ibu lo
yang gak tau malu itu. Najis!"
Neina terkejut, matanya melotot, dadanya naik ke atas. Kata-kata Senna berhasil
menikam dadanya. "Nggak." Neina menggelengkan kepala tidak percaya. Itu
tidak mungkin. Semua ucapan Senna itu salah besar. Tidak mungkin.
"Iya. Bokap lo itu adalah bokap gue juga. Puas lo?! Maka dari itu, semenjak gue
tau kalau lo itu anak dari Ardi, gue jadi benci banget sama lo. Sekarang apa lo
masih gak terima kalau gue jahat sama lo? Lo nggak terima, hah? Siapa yang
jahat sekarang? Lo atau gue?"
"Nggak-nggak, nggak mungkin." Neina masih tidak ingin memercayainya.
Pandangannya datar, tangannya meremas permukaan brangkar yang sama sekali
tidak bisa untuk diremas. Jantungnya berdegup kencang. Jelas, seluruh tubuhnya
gemetar. Sekarang ia benar-benar takut.
"Nyokap lo itu selingkuhan bokap gue. Dia selingkuh sama nyokap lo padahal
dia udah punya nyokap gue." Senna melanjutkan dengan suara memelan.
Memberitahu Neina yang sebenarnya, hal yang salama ini tidak Neina ketahui.
Neina wajib tahu, supaya dia tahu diri, supaya dia berhenti bersikap seolah-olah
kalau dia itu cewek yang sempurna, baik luar dalam. Supaya dia tahu kalau
Mamanya itu perempuan paling bejat di seluruh dunia.
"Lo inget perempuan yang kemarin ngasih baju olahraga itu? Lo inget wajah
dia? Dia, perempuan yang udah disakitin sama nyokap lo sendiri. Minimal
sekarang lo tau, kenapa gue selalu nyebut pepatah kalau ?Buah jatuh gak akan
jauh dari pohonnya.?" Jelas Senna terang-terangan. Senna puas telah melepas
bebannya dengan cara membeberkan kelakuan buruk Tania kepada anaknya
sendiri. Di tengah kekagetannya, Neina berusaha mengingat saat Tania tiba-tiba syok
hanya karena mendengar nama Senna. Apa mungkin apa yang dibicarakan
Senna itu benar? Apa memang benar Mamanya adalah seorang perusak rumah
tangga orang? Mama yang selama ini ia bangga-banggakan. Mama yang selama
ini dia puji-puji. Seseorang membuka pintu dari luar, dan sepertinya itu adalah Nevan. Di luar
Nevan bertanya-tanya, mengapa Neina malah mengunci pintunya? Nevan
mengetuk pintu. Senna dan Neina melirik daun pintu, mendengar suara ketukan dari luar.
"Dan sekarang lo cinta kan sama Nevan? Lo mau coba rebut dia dari gue? Sama
dengan apa yang udah nyokap lo lakuin ke nyokap gue."
Neina menggeleng, lagi. Iya dia memang mengagumi Nevan. Tapi sama sekali
tidak mempunyai niat untuk merebutnya dari hidup Senna.
"Mata lo itu udah nunjukin kalau lo berharap sesuatu sama Nevan!"
Napas Neina semakin tersengal-sengal. Penyakit asmanya kembali tumbuh
setelah sekian lama sembuh. Tangannya memegang area jantungnya, berusaha
keras menormalkan paru-parunya. Tapi gagal, dada Neina semakin sesak. Sulit
untuk berbicara sementara Senna terus menekan dan memojokinya.
"Mau akting lagi? Lo mau akting supaya semua orang nyalahin gue?" rasanya
Senna ingin menangis. Di depan Nevan pun, dia selalu terlihat salah. Terutama
orang lain yang selalu menganggapnya sebagai pengganggu.
"Lo gak tau seberapa sakitnya gue dan nyokap gue selama ini. Kemariin, nyokap
gue pergi cuma karna dia gak nampakin kesedihannya di depan gue. Sengaja dia
pergi supaya bisa ngelupain wajah lo dan nyokap lo yang keterlaluan itu.
Padahal gue gak mau dia pergi. Gue masih butuh dia, gue pengin selamanya ada
di deket dia. Tapi gara-gara lo semuanya ancur, lo dan nyokap lo itu sama aja!"
wajah Senna merah padam, begitu pun dengan matanya yang berubah menjadi
merah. Gejolak amarah menggebu-gebu. Perempuan di depannya ini sudah
seperti serigala berbulu domba. Sehingga Senna ingin segera menyingkirkannya.
Mengupas bulu halusnya itu, membuka kebusukannya.
Neina semakin kesesakan, dadanya benar-benar sakit. Ada dua faktor yang
menyebabkan dadanya yang pengap, yaitu tentang kebenaran yang baru saja ia
ketahui, yang selama ini ditanya-tanyakan, juga penyakit asma yang menyerang
secara tiba-tiba. Air mata berjatuhan membasahi pipinya. Ingin menapis semua
perkataan Senna yang merajam jiwanya.
"Gue gak salah kan ngomong gini ke elo? Gue gak salah kan udah ngebenci lo?
Gue gak salah kan selalu ngebentak lo? Gue gak salah kan selalu natap lo
dengan keantipatian?"
Kondisi Neina semakin drop, dia ingin berbicara, namun tenaganya benar-benar
habis. Rasa sesak di dadanya tak kunjung menurun. Belum lagi dia juga
mendengar suara gedoran pintu dari luar, itu pasti Nevan. Neina ingin meminta
tolong. Sudah, ia tak ingin mendengar perkataan Senna lagi.
Senna juga tahu di luar Nevan sedang berusaha membuka pintu.
Nevan semakin cemas, tak henti-hentinya dia menggedor-gedor pintu UKS,
namun usahanya sia-sia. Petugas UKS yang baru tiba menghampiri Nevan
sambil bertanya apa yang sedang terjadi. Nevan hanya menjawab kalau di dalam
sedang terjadi keributan, dia mendengar suara seorang perempuan yang
berteriak, seperti sedang bertengkar.
Percuma memakai kunci duplikat, Senna tidak mencabut kunci yang berada di
dalam hingga menyulitkan petugas UKS untuk membuka pintu. Nevan semakin
panik, ia tahu pasti itu suara Senna.
"Okey. Setelah ini pasti gue orang yang bakal disalahin. Selamat Neina, lo
adalah siswa paling baik di sekolah ini, anak terbaik di mata Papa. Eh, kayaknya
gue salah udah nyebut dia Papa. Kayaknya manggil Ardi lebih terhormat."
Neina mulai terisak, kini tangannya mencekram dadanya. Senna menghapusi air
mata yang belum sempat jatuh ke wajah, lalu berbalik untuk membuka pintu,
siap menerima pertanyaan demi pertanyaan dari Nevan.
Cekrek. Begitu pintu terbuka, Senna langsung dihadapi dengan Nevan dan petugas UKS.
Sebelumnya mereka sempat saling bersitatap, namun Nevan segera berlari
masuk ke dalam, menangkap tubuh Neina yang pingsan. Senna masih mematung
di tempatnya, tanpa ingin menoleh ke belakang, tanpa ingin pergi meninggalkan
tempat ini. Kaki itu terlilit oleh tanaman yang tidak Senna ketahui. Kekuatannya
seperti sudah habis. Hatinya tiba-tiba sakit.
"Pak tolong, Pak," kata Nevan. Ia menidurkan Neina ke atas brankar agar Neina
bisa cepat diobati. Begitu selesai, Nevan lekas mengalihkan pandangannya
kepada Senna yang membelakanginya. Ia sama sekali tidak tahu apa yang terjadi
di antara mereka. Nevan menghampiri Senna, berdiri di depannya.
"Masih gara-gara cemburu?" tanya Nevan to the point.
"Iya." Senna menjawab dengan sorotan mata serius, menatap Nevan. Ia pun
berjalan keluar dari UKS, meninggalkan Nevan.
Nevan yang masih ingin berbicara, berlari mengejar Senna.
"Sen, tunggu!" Nevan mencekal tangan Senna dan kembali berdiri di depannya.
Menghalangi jalan Senna. Tidak akan membiarkan Senna pergi lagi.
"Mau apa? Kamu mau marahin aku? Silahkan!"
"Sebenernya apa yang udah kamu omongin ke Neina sampai dia syok dan
pingsan?" Nevan bertanya lagi meminta jawaban pasti. Untuk kali ini Nevan
masih memberi kesempatan. Tapi kalau Senna masih mencurigainya, biar cukup
sampai di sini. "Bukan urusan kamu! Mau belain dia? Silahkan. Mau pacaran sama dia?
Silahkan. Kamu gak suka sama sikap aku? Kamu ilfeel?"
"Oke kalau ini bukan urusan aku. Oke juga kalau kamu ngira aku udah bosen.
Emang begitu kan yang selalu kamu ucapin? Kamu selalu berburuk sangka.
Padahal selama ini, aku selalu ngalah sama kamu. Aku selalu ngalah sama
semua sikap kamu. Tapi kamu gak pernah peka sama apa yang udah aku lakuin
selama ini. Kamu nganggap ngalahnya aku ini gak berarti apa-apa. Aku cuma
pengin hubungan kita baik-baik aja. Sekarang aku tanya, apa pernah kamu minta
maaf duluan?" Senna terpegun tanpa ingin menjawab pertanyaan fakta dari Nevan.
"Daripada terus begini, lebih baik " Nevan menarik napas dalam. Bersiap
untuk mengatakan sesuatu.
"Kita putus." Dua kata mengerikan itu terlontar lugas dari bibir Nevan, sontak Senna meneguk
air liur yang dirasa kental. Matanya terhunus pada wajah Nevan, meminta
penjelasan atas apa yang barusan ia ucapkan. Apa telinganya tidak salah dengar?
Menekan barisan giginya dengan sedemikian kuat, menggerak-gerakan jemari
yang terkepal. Bibirnya gagap.
"Iya kita putus. Udah sampai di sini aja. Kalau dilanjutin juga tetep gak bakalan
bener. Daripada kita berantem terus, lebih baik kita akhirin hubungan ini. Kalau
kita putus, kamu gak bakalan benci sama Neina lagi, kan?"
"Neina? Cuma gara-gara dia kamu mutusin aku?" suara Senna gemetar, ada
gelembung yang menggantung di pelupuk matanya. Mata itu menghangat, sebab,
ini untuk pertama kalinya Nevan meminta putus.
Ingat, ini untuk yang pertama kalinya.
Terasa begitu menusuk ke dalam ulu hati yang paling dalam. Biasanya Senna
jago dalam hal menyembunyikan air mata, tapi sekarang rasanya tidak mampu
lagi. Buliran bening itu meluncur bebas di pipi bakpaw-nya. Berharap, jemari
Nevan yang akan menghapusnya. Namun nyatanya, tidak.
"Bukan karena dia. Aku cuma pengin kita putus, udah gitu aja. Karena dengan
begitu, kita gak bakalan berantem cuma karena hal sepele. Oke, aku pergi dulu."
Nevan berbalik setelah memberi Senna kepastian. Dia bersungguh-sungguh akan
keputusannya. Mungkin Senna bukanlah jodohnya. Tak seharusnya Nevan terus berharap kalau
Senna-lah yang menjadi belahan jiwanya, yang diidam-idamkan sejak dulu. Dia
memang gadis kecil yang pernah memberinya permen saat kecil, gadis yang baik
hati, gadis yang memujinya ?tampan?. Namun sekarang, dia gadis yang keras
kepala, sifatnya sudah berubah. Nevan merasa bahwa dia sudah tidak cocok lagi
dengan Senna. Dan yang jelas, ini bukan karena Neina.
Napas Senna serasa tersekat. Memandang punggung Nevan yang semakin
menjauh dari kedua iris hitamnya yang telah buram akibat air mata. Senna
mengeluarkan napas lewat mulutnya lemah. Masih tidak percaya bahwa Nevan
baru saja memutuskan hubungan ini. Senna membekap mulutnya, menahan
tangis yang akan segera meledak. Ia segera berlari untuk mendapatkan tempat
agar bisa menangis sekencang-kencangnya.
bagian20. Senna menangis sesenggukan, memeluk Nova dan Sasta, air mata terus tumpah
meruah, merebak di baju mereka. Baru kali ini Senna menangis separah itu,
membuat kedua temannya kebingungan. Tangisan Senna tak kunjung mereda,
hatinya terlalu sakit untuk sekadar bicara. Pernyataan putus yang dilontarkan
Nevan begitu menohok hatinya. Bahkan Senna masih belum percaya.
"Lo kenapa, Sen?" tanya Sasta panik, khawatir, terus mengusap punggung Senna
yang naik turun. "Iya Senna cerita. Lo nangisnya parah. Ada apa?" giliran Nova yang bertanya.
Penasaran. "Gue, gue, gue putus sama Nevan," di tengah napas yang tersengal-sengal,
Senna menjawab samar. Tangisannya semakin pecah. Seperti ada sesuatu yang
memagut keras dadanya. Pelukannya kian erat. Teman-teman yang lain juga ikut
buntu mendengar tangisan Senna. Biasanya dia berteriak karena terlalu
kesenangan, ini adalah tangisan pertamanya.
Nova dan Sasta tertegun, mereka terkejut bukan main, saling melirik dengan
lirikan tidak percaya. Mana mungkin Senna dan Nevan putus? Tidak-tidak.
Telinga mereka pasti salah mendengar. Mereka harus cepat-cepat membersihkan
kotoran dalam telinga saat ini juga ke dokter, sebelum benar-benar parah dan
mendengar hal-hal aneh lagi.
"Aah mana mungkin, Sen?" Nova tidak percaya. Pasti Senna sedang ngelantur.
Atau Senna salah minum obat.
"Gue seriuus." "Jadi lo beneran putus sama Nevan?!" ulang Sasta terperanjat. Mengundang
beberapa pasang mata untuk tertuju kepadanya.
Senna putus dengan Nevan?!
Kira-kira pertanyaan itulah yang kini mendominasi pikiran siswa-siswa kelas 11
IPS 5 ini. Secara, mereka semua tahu tentang hubungan romantis yang dijalani
Senna dan Nevan. Putus? Rasanya tidak mungkin. Hal yang mustahil.
Sayup-sayup berita ini akan menjadi viral di sekolah ini. Baik pedagang kantin,
guru-guru, terutama murid-murid, termasuk teman-teman Nevan yang entah
akan bagaimana reaksinya. Senang, mungkin?
Melihat Senna yang menangis rapuh, mereka percaya. Memang apa yang Senna
tangisi? Sudah pasti dia benar-benar telah putus hubungan dengan Nevan, lelaki
yang selalu ia puja, lelaki yang selalu membuatnya gempar di kelas. Dan yang
menjadi pertanyaannya, siapakah yang memutuskan? Senna? Atau Nevan?
Senna yang sangat tersakiti, tak mampu membendung tangisnya. Hingga
suaranya nyaris terdengar di semua sudut kelas ini. Hanya Nova dan Sasta,
sahabatnya yang bisa dijadikan sebagai penopang. Meskipun mereka kadang lola
dan menyebalkan, mereka adalah teman terbaik di mata Senna. Yang selalu sabar
menghadapi sikap buruknya, yang menerima apa adanya.
Mereka berusaha menenangkan Senna, meredakan tangisannya. Menelaah
tentang ucapan Senna. Jelas, mereka masih belum memercayainya.
"Lo diputusin?"
Sembari terus menangis, Senna mengangguk.
Nevan sudah mengubungi orangtua Neina. Karena Neina tak kunjung sadar,
terpaksa dia dibawa ke rumah sakit. Untung Tania bisa cepat datang, dia
menduga kalau penyakit Neina kambuh lagi.
Nevan berjalan menuju kelasnya, dengan membawa luka di hati. Dia yang
memutuskan, dia juga yang patah hati. Namun mungkin inilah yang terbaik.
Berhenti memaksa kehendak, dia dan Senna tak akan pernah cocok. Cowok itu
duduk di kursi koridor, menundukkan kepala, menyangga keningnya. Mencoba
merenung dan menenangkan penat dan hati. Kalau jodoh tidak akan kemana,
kok. "Lo nyari siapa? Hah?" tanya Ari menghampiri Nova yang berdiri di depan
kelasnya. Gaya bertanyanya seperti penjahat yang akan memalak targetnya.
"Gue nyari Dimas Anggara alias Nevan," jawab Nova sambil terus melemparkan
pandangannya ke semua kursi yang berjajar. Tapi ia tidak menemukan orang
yang dicari. Tas Nevan memang ada, terluntang-lantung di atas meja, tapi
orangnya tidak ada. "Dia kagak ada. Abis ngurusin Neina yang barusan pingsan," ujar Ari.
"Pingsan? Cewek itu pingsan lagi? Gara-gara apa?" tanya Nova masih sempatsempatnya kepo. Padahal tujuan dia kesini hanya untuk mencari Nevan, bertanya
tentang hubungannya dengan Senna yang katanya putus.
"Ya gue kagak tau, lah." Ari mengedikkan bahu tak tahu menahu. "Emang lo ada
keperluan apa sama Nevan? Oooh apa jangan-jangan lo mau selingkuh, ya? Lo
mau main di belakang sama sahabat lo sendiri?"
"Idih gue nggak serendah itu, yaa. Gue cari Nevan karna gue mau nanya,
katanya dia baru aja mutusin Senna"


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Astaga!" Sontak Ari terlonjak, mulutnya menganga.
Nova berjalan lagi, meninggalkan Ari yang masih tersentak. Ari ingin bertanya
lagi untuk meminta informasi lebih, tapi ternyata Nova sudah tidak ada di
depannya. Ia belum tahu jelas beritanya.
"Nevan mutusin Senna? Nevan mutusin Senna? Nevan mutusin Senna? Nevan
mutusin Senna?" Ari terus bergumam seperti itu sambil berbalik, kedua alisnya
bertaut, masuk ke kelas lagi, memainkan jemari-jemarinya bak seorang
Misterbean yang sedang berpikir keras. "Aaah kagak mungkin," cowok itu
menyeringai sambil menggeleng. "Hah?! Nevan mutusin Senna?!" otaknya baru
bekerja, cepat-cepat dia balik arah lagi, keluar dari kelas layaknya roket untuk
mencari keberadaan Nevan yang tak kunjung kembali.
"Nevan Nevan Nevan tunggu!!" Nova menjegat Nevan tatkala cowok itu baru
saja berdiri. Akhirnya ia menemukan makhluk tampan itu juga.
"Ini penting banget, ini penting banget. Ini pentiiiing."
"Ada apa?" "Lo beneran mutusin Senna?" tanya Nova pada akhirnya. Memastikan tentang
penyebab menangisnya Senna. Karena sampai saat ini dia masih belum percaya.
"Kenapa nanya ke gue? Senna pasti udah bilang, kan?" Nevan sedang malas
untuk membahas hal itu. Dia butuh sendiri.
"Anjir lo tega banget, sih! Punya salah apa Senna sama lo? Gak banget deh lo
mutusin dia. Ini itu mustahil"
"Lo tau gak novel Dilan? Tau kan salah satu quotes-nya? ?Tujuan pacar itu untuk
putus.?" "Lo jangan samain si Dilan sama hubungan elo, dong. Lo tau gak, Senna nangis
sampai nggak kekontrol. Lo adalah orang pertama yang berhasil bikin dia
nangis. Dasar Dimas Anggara gak punya hati, gue gak jadi deh nge-fans sama
lo." "Lo nggak tau apa-apa, Nov. Lo gak tau gimana hubungan gue sama Senna
selama ini. Jadi jangan nilai gue dengan pandangan lo sendiri. Sekarang lo pergi
dari hadapan gue, gue mau jalan."
"Ini Nevan, kan? Nevan, kan? Gue gak salah orang?" Nova menilik-nilik Nevan
dari ujung kaki sampai ujung kepala. Cowok di depannya ini pasti bukan Nevan,
dia orang lain yang menjelma sebagai Nevan. Luarnya emang sama, tapi di
dalamnya? Orang lain. "Gue Nevan." "Kalo lo emang beneran Nevan, lo gak mungkin mutusin Senna."
"Gue bilang lo nggak tau apa-apa," tanpa bicara lagi, Nevan melangkah lagi,
mengambil jalur lain, karena Nova tak akan mau memberinya jalan. Nova masih
berdiri di tempatnya, berarti Nevan benar-benar telah memutuskan hubungannya
bersama Senna. Ini beneran, kan?
Bukannya terbebas dari pertanyaan-pertanyaan, sekarang Nevan malah diserbu
pertanyaan heboh dari Ari. Nevan berusaha menghindar, kabar putusnya pasti
sudah sampai ke telinga Ari.
"Van, serius lo mutusin si Senna? Lo bohong, kan? Lo lagi becanda, kan? Lo gak
hilang akal, kan? Abis minum berapa botol bir, lo?" cerocos Ari tanpa interupsi.
Sindrom wartawan-nya semakin menjadi-jadi. Ini adalah berita paling hot jika
disiarkan dalam acara HotShot.
"Bukannya lo seneng ya kalau gue putus sama Senna? Itu kan yang elo mau?
Gue lakuin ini karna elo," jawab Nevan ngasal. Kedua bola mata Ari membulat
secara sempurna, demi dia? Padahal selama ini dia hanya bergurau semata. Apa
Nevan menganggap serius? "Gue gak maksud serius kok, Van. Sumpah." Ari mengacungkan dua jari ?vis?nya. Dia tidak ikut andil dalam problema antara Nevan dan Senna.
"Ya udah orang terlanjur udah putus," lanjut Nevan berjalan lagi. Ari masih
berpikir sampai menemukan jawaban yang pas. Nevan yang mutusin, kenapa Ari
yang dijadiin alasan mereka putus? Otak Nevan pasti udah geser gara-gara patah
hati. Nevan berhenti di kelas 11 IPS 5 ---kelasnya Senna. Ia bersandar di pintu,
mengintip ke dalam kelas itu, dan menemukan Senna yang sedang melamun
dengan wajah sembab. Sebenarnya bukan karena Neina, tapi Nevan sudah
memikirkan ini jauh-jauh hari. Makin ke sini hubungan mereka semakin buruk,
lebih sering bertengkar. Dan Senna yang tak pernah memercayainya, dia yang
selalu menuduh Nevan yang tidak-tidak, Senna kurang memercayai ketulusan
cintanya. Ditambah, Senna yang terlalu gampang cemburu. ?Maafin gue, Sen,?
batinnya, menatap Senna dari kejauhan.
Menyadari ada salah satu murid yang melihatnya, cepat-cepat Nevan
meninggalkan pijakannya. Tidak ingin Senna melihat keberadaannya.
"Sen! Tadi ada Nevan. Kayaknya dia nyariin elo!"
"Gue udah putus sama dia. Gak mungkin dia ke sini," balas Senna datar.
"Apa?! LO PUTUS SAMA KAPTEN TIM BASKET ITU?!" pekik siswa yang
ketinggalan berita. Senna mengalihkan pandangan ke lawang pintu, dan ia tidak menemukan
Nevan di sana. Senna harus lekas meminta penjelasan dari Nevan, mengapa dia
memutuskan hubungan secara sepihak.
Semenjak sadar, Neina belum ingin membuka mulutnya, apalagi berbicara
sepatah kata pun. Pandangannya berada ke jendela ruang inapnya. Pandangan
datar dengan segudang pertanyaan di kepala. Jika benar Papanya adalah Papa
Senna juga, berarti Papanya adalah orang jahat. Dan Mamanya adalah seorang
perusak rumah tangga orang. Mata Neina berkaca-kaca, kenyataan ini begitu
menyakitinya. Sulit untuk diterima. Neina ingin Senna menarik kembali
ucapannya, dan mengatakan bahwa ternyata dia hanya becanda.
"Neina Kamu makan, ya?" bujuk Tania, mengelus tangan Neina yang
ditempeli selang infus. "Setelah kamu makan, kamu cerita sama mama, apa yang
terjadi di sekolah sampai kamu syok dan bikin takut Mama."
Neina masih belum ingin menjawab, dia terlalu kecewa. Ia akan bicara sampai
Papanya datang. Sakit asmanya tidak sebanding dengan rasa sakit di hatinya.
Tania memandang Neina khawatir. Barusan dokter mengatakan tentang
penyebab pingsannya Neina. Asmanya kembali kambuh. Juga dokter menduga
bahwa Neina baru saja mendapatkan berita yang membuatnya syok berat. Tania
menjadi gelisah. Sebenarnya apa yang telah terjadi?
Apa ini ada hubungannya dengan Senna?
Tania sibuk menerka-nerka.
Nevan menghentikan laju motornya, di depan ada Senna yang sengaja berdiri
agar Nevan berhenti. Cowok itu membuka helm-nya, lalu turun dari motornya
untuk bertanya tentang apa tujuan Senna berdiri di sana.
"Apa semua cowok di dunia itu sama? Mentang-mentang ada yang lain, dia
langsung ninggalin cewek yang udah lama jadi pacarnya. Dasar cowok itu gak
emang tau malu. Gak punya hati ."
"Maksud lo apa?"
Ketika Nevan memanggilnya dengan sebutan ?lo?, entah mengapa itu membuat
hati Senna seraya ditoyor. Yang dulunya ?aku-kamu? ?sayang? kini berubah
menjadi ?lo-gue?. Dagu Senna gemetar. Menyadari kalau dia dan Nevan, sudah
tidak ada hubungan apa-apa lagi.
"Lo mutusin gue gara-gara Neina itu, kan? Emang bener ya kata nyokap gue,
kalau semua lelaki itu gak bener. Dulu gue puji-puji lo, dulu gue selalu bilang
kalau lo itu cowok yang beda dari yang lain, gue selalu bilang lo cowok baikbaik. Padahal nyokap gue tau, gimana sifat cowok sebenernya. Mereka itu selalu
nyari cewek yang gress. Tapi gue salah, lo itu sama kayak yang lain." Senna
berusaha menahan air matanya. Memang itu yang selalu ia lakukan di depan
orang lain. "Gue udah bilang. Ini gak ada sangkut-pautnya sama Neina"
"Mana ada maling yang mau ngaku"
"Dan sampai sekarang pun, lo masih punya prasangka buruk ke gue. Gimana gue
gak kecewa? Lo itu harusnya intropeksi diri, Sen. Cari apa penyebabnya gue
mutusin elo." "Iya gue ini terlalu over-protektif, kan? Gue gampang cemburu. Gue ini
rempong, gue ini centil. Gue ini jahat, gue ini galak. Makannya lo ilfeel.
Makannya lo gak tahan ngejalanin hubungan sama gue."
"Kalau karna itu alasannya, dari dulu gue gak akan pernah nembak dan jadiin lo
pacar," kata Nevan, pelan.
Kata-kata Nevan memang ada benarnya.
"Terus kenapa lo mau jadi pacar gue? Bahkan semua orang pun bilang lo gila
karna mau aja pacaran sama gue?" tanya Senna. Ini yang selalu ingin ia tanyakan
sejak dulu. Tapi selalu tak ada keberanian, takut kalau Nevan tersinggung.
"Karna gue cantik doang?"
Nevan menggeleng, kali ini ucapan Senna sudah keterlaluan dan menyinggung
perasaannya. "Lo terbangin hati gue, lo cintain gue dengan semua perlakuan baik lo, tapi
sekarang, lo tega ninggalin gue gitu aja. Gue gak bisa diginiin!"
"Ya terus mau lo apa?"
"Mau gue?" Senna melangkah lebih mendekat lagi.
"Lo jelasin ke gue, kenapa lo bisa segampang itu mutusin gue?" tanyanya
dengan sorotan mata tajam. Semuanya berubah dalam sekejap. Dari yang
awalnya saling sayang, kini berubah seperti musuh.
"Karna gue cinta sama Neina. Itu kan yang mau lo denger?"
Senna tergemap, sementara matanya terus menatap wajah Nevan intens, analitis.
Hidungnya kembang-kempis.
"Tapi sayangnya bukan karna itu. Dulu juga lo sering ngajak putus. Apa lo
nggak inget? Lo mainin kata ?putus?. Dan saat itu gue tetep coba bartahan. Lo
tetep aja, sama. Gak pernah berubah. Saat gue care sama masalah lo, lo nuduh
gue yang nggak-nggak."
Senna memicingkan mata, lalu tertunduk.
"Jangan pernah mikir kita putus karna orang ketiga."
"Lo tau kan kalau sikap gue ini emang kayak gitu. Harusnya lo ngertiin gue!"
berang Senna mengangkat kepalanya lagi, kali ini dengan mata yang berbinar.
Juga wajah yang memerah. Ia belum siap menjalani hari-hari tanpa Nevan.
"Tapi gue bukan cowok yang sempurna. Maaf, Sen." Nevan memegang kedua
bahu Senna yang mulai terisak, lagi. "Sekarang kita jalan di jalannya masingmasing. Jodoh itu nggak akan kemana, kok."
Senna menyingkirkan kedua bahu Nevan dengan kasar. "Gue benci sama lo!"
ujarnya keras. Senna segera berbalik, berjalan cepat meninggalkan Nevan,
membawa tangisnya. Ia benar-benar terluka. Kehilangan Nevan, seperti
kehilangan warna dalam hidupnya yang selalu hitam.
Fragmen kenangan indah mulai terputar dalam benaknya. Seperti adegan
flashback dalam sebuah film. Senna ingat saat ia hujan-hujanan manis bersama
Nevan, Nevan yang hobi menggelitikinya, saat mereka belajar main basket di
tengah lapangan. Senna bersandar di balik pohon, putus cinta menjadi hal yang mengerikan. Okey
orang akan menganggapnya lebay. Kenyataannya, bukan hanya cinta yang ia
dapatkan dari Nevan, tapi juga kebahagiaan, kasih sayang. Dan sekarang semua
itu telah pergi, dia bukan siapa-siapa Nevan lagi. Bukan perempuan spesial di
hidupnya lagi. Bukan apa-apa, hanya sebatas orang lain.
?Nevan lo jahat sama gue. Lo jahat. Lo jahat, Van. Gue gak nyangka, pelita
cahaya itu akan menjadi bomerang bagi diri gue sendiri?
Senna memeluk dirinya sendiri sambil tergugu lemah.
bagian21. Nevan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Neneknya datang sembari
membawa dua gelas jus jambu, lalu disimpannya di atas meja. Kata Sekar, dia
dan Nevan harus sering minum jus, minimal satu hari satu gelas. Setiap kali
Nevan pulang sekolah, Sekar pasti membuatkan cucunya jus buah.
"Kenapa? Kok kayak galau gitu?" tanya Sekar yang penasaran dengan raut yang
dipancarkan Nevan. Berbeda dengan hari-hari kemarin. Awalnya Sekar tidak
peduli, tapi lama-kelamaan dia jadi penasaran.
"Kamu nggak ngajak si Senna itu lagi? Udah lama dia nggak ke sini. Apa
jangan-jangan dia kapok ya datang ke sini, takut nenek ceramahin. Atau janganjangan, dia marah gara-gara waktu itu nenek udah ganggu kemesraan kalian, pas
pelukan itu loh. Ih Nevan! Kamu jangan sekali-kalinya ya berbuat yang nggaknggak, pacaran itu harus ada batasannya. Nenek nggak mau kamu sama Sen---"
"Aku sama Senna udah putus, Nek."
Sekar tercenung, ucapannya menggantung di tengah jalan setelah Nevan
memenggalnya. "Jadi Nenek gak usah khawatir, aku nggak bakal pacaran lagi, kok." Nevan
hendak berdiri untuk berlalu ke kamarnya.
"Etss etss etsss Tunggu, jangan dulu pergi," perintah Neneknya. Terpaksa
Nevan harus duduk lagi, tak sekali pun ia pernah menentang kehendak Sekar.
Dia adalah cucu paling patuh di dunia. Itu yang membuat Sekar bangga.
"Nenek belum selesai bicara, masa kamu main pergi aja. Nevan nenek butuh
penjelasan. Apa tadi? Kamu sama si Senna udah putus?"
"Iya. Nenek tau kan tali? Nah hubungan aku sama Senna itu ibarat tali yang
udah digunting, alias putus," jelas Nevan seolah Neneknya itu tidak tahu apa-apa
dengan istilah ?putus?. "Nenek tau, lah."
"Ya udah kalau Nenek tau. Aku ke kamar dulu ya, Nek. Capek."
"Kenapa kalian putus?" tanya Sekar yang lagi-lagi membuat Nevan harus tetap
duduk di tempatnya. Nevan bingung untuk menjelaskannya bagaimana. Senna juga tidak mengerti,
bagaimana dengan Neneknya dan orang lain.
"Ya udah kalau gak mau cerita. Tapi minum dulu jusnya," kata Sekar mengalah.
Ia tahu kalau remaja lagi putus cinta, pasti bawaannya galau. Malas bicara dan
lain sebagainya. Nevan menenggak jus jambu buatan Neneknya, setengah gelas, tidak, hanya satu
tegukan. Hingga jus itu masih terlihat utuh.
"Non, Non Senna." Bi Ijah mengetuk-ngetuk pintu kamar Senna, karena
semenjak ia pulang sekolah, Nona rumahnya itu belum pernah keluar lagi. Jam
menunjukkan pukul tujuh malam, Bi Ijah jadi khawatir. Senna belum makan,
belum minum. Apa yang sebenarnya terjadi dengan dia?
Bi Ijah sudah mencoba menghubungi Diana, memberi tahu kalau Senna tidak
mau keluar dari kamarnya. Dan Diana menjawab, agar Bi Ijah mau memaksanya
dan ia juga akan mencoba menghubungi Senna di sana.
Sekarang Bi Ijah mencoba menghubungi Nevan, siapa tahu Nevan tahu apa yang
sedang terjadi dengan Senna, dia kan pacarnya. Yang Bi Ijah tahu, kalau cewek
lagi galau, pasti cowoknya tahu apa penyebabnya.
Bi Ijah mulai menghubungi Nevan lewat telfon rumah. Bi Ijah hanya bisa
menggunakan telfon rumah, dia tidak punya ponsel. Kalau punya pun, Bi Ijah
tak akan bisa menggunakannya.
Nomor terhubung. "Halo Ini dengan Den Nevan?"
Nevan duduk di pinggiran rajang, dia baru saja berganti pakaian.
"Iya, ini Bi Ijah, kan? Ada apa Bi telfon saya?"
Nevan termenung, di telfon itu Bi Ijah berkata panjang lebar. Bertanya ini itu
tentang Senna. Tentang Senna yang tak kunjung keluar dari kamar, tentang
Senna yang tidak bicara sama sekali. Senna benar-benar mengurung diri di
dalam kamarnya. Bi Ijah bertanya lagi, mungkin saja Nevan tahu apa yang
sedang terjadi kepadanya. Dan menyuruh Nevan untuk datang ke rumah agar
mau membujuk Senna, siapa tahu saja Senna berubah pikiran dan mau keluar.
Nevan belum bisa menjawab apa-apa. Jelas Senna seperti itu, pasti karena
keputusan yang sudah Nevan ambil. Nevan merasa sangat bersalah. Tidak
seharusnya Senna melakukan itu.
"Maaf, Bi. Bukannya saya nggak mau, tapi saya bener-bener nggak bisa ke
sana." ?Loh?? "Bibi coba bujuk Senna aja."
?Udah bibi bujuuk. Tapi tetep ajaa?
Nevan menarik napas panjang. Dia bukan siapa-siapanya Senna lagi, jadi tidak
mungkin dia pergi ke sana.
"Bibi bilangin ke Senna" Nevan menjeda sebentar, "Hidup ini bukan tentang
cinta doang. Kita harus tetep bangkit, jangan lemah cuma karena patah hati.
Hidup bukan soal cowok doang, masih banyak hal yang bisa kita lakuin. Bisa
capai cita-cita? Atau ngebanggain orangtua? Saya tau Senna itu orangnya manja,
kasar. Dan itu bukan perilaku yang baik. Mungkin ini saatnya Senna buat
berubah. Dia bisa jadi orang yang lebih baik lagi."
?Bibi nggak ngerti, jadi non Senna itu patah hati karna apa, Den??
"Kita udah putus, Bi."
"Apa?!" "Ya udah saya tutup telfonnya."
Nevan memutuskan sambungan secara sepihak. Tercetak garis berlipat-lipat di
kening Bi Ijah. Sekarang dia sudah mendapatkan jawabannya. Jadi penyebab
Senna mengunci diri di kamar itu gara-gara dia putus dengan Nevan. Pantas saja.
Saat ini Senna pasti sedang sedih. Bagaimana pun, Nevan adalah cowok yang
paling ia sayangi. Bi Ijah buru-buru menghampiri kamar Senna lagi.
"Non Senna bukain pintunya, ya. Bibi mohon. Non harus makan, nanti kalau
sakit gimana. Waktu Nyonya Diana cerai sama Papa Non, dia gak pernah kok


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ngunci diri di kamar. Masa cuma gara-gara putus doang Non sampai kaya gini?"
Senna yang awalnya hanya menelungkupkan badan di atas kasur, melamun
dengan tetesan-tetesan air mata, kini tersadar begitu mendengar perkataan Bi
Ijah di luar sana. Entah mengapa, kata-kata itu begitu menggetik dadanya.
Dan dari mana Bi Ijah tahu kalau dia putus dengan Nevan?
"Non Senna harus kembali ceria. Bibi ngerasa aneh loh kalau liat non Senna
nangis kayak gitu. Biasanya kan kalau nangis suka ngabisin tisu. Nevan nitip
pesen sama Bibi, Non jangan sedih cuma karena putus cinta."
Senna lekas turun dari ranjangnya, menghapusi jejak air matanya. Wajahnya
benar-benar sudah lusuh gara-gara kelamaan nangis. Akhirnya Senna mau
membuka pintu, Bi Ijah menjadi sumeringah. Goal!!! Bi Ijah seperti bari saja
mendapatkan emas bersinar.
"Asiiik non Senna bukain pintu."
"Nevan yang mutusin gue, Bi! Dan apa kata dia, Bi? Jangan sedih?"
Tubuh Bi Ijah seketika ciut. "Iya, Non. Itu artinya Den Nevan masih sayang
sama Non Senna. Biar pun dia udah mutusin Non, tapi Non Senna harus percaya
kalau dia itu masih"
"Nggak, Bi. Dia mutusin gue karna dia udah ada yang lain, dia bosen sama gue."
"Aduuh, Non. Non itu kan pernah jadi pacarnya Den Nevan. Mana mungkin dia
mutusin Non Senna tanpa sebab. Yang Bibi tau, Den Nevan itu sayaaang tulus
sama Non. Bibi juga tau, masa Non nggak? Bibi kenal Den Nevan, masa Non
Senna nggak?" Senna bungkam untuk beberapa detik.
"Dia cuma pengin Non jadi perempuan yang lebih baik lagi. Den Nevan itu anak
yang baiik banget. Non harus percaya sama Bibi."
Senna berpikir, iya. Selama ini dia selalu beranggapan kalau Nevan tidak
menerima semua kekurangannya. Padahal, Senna merasa Nevan benar-benar
tulus. "Mungkin dengan Den Nevan mutusin Non, itu adalah keputusan yang paling
baiik." "Bibi tau apa?"
"Ya jelas Bibi tau, lah."
Senna ingat semua pertengkaran yang selama ini terjadi. Seperti rekaman yang
terputar lagi. "Kalau kamu marah, jangan ngelampiasin kemarahan kamu sama orang yang
gak salah apa-apa. Apalagi Bi Ijah, dia kan yang selama ini ngerawat kamu dari
kecil sampai sekarang "
"Aku cuma marah aja. Mama pergi tanpa pamit sama aku. Ini terjadi berulang
kali. Apa aku harus diem dan bersikap baik-baik aja? Aku bukan peran utama
yang selalu sabar dalam sebuah sinetron, Van! Ini udah yang kesekian kalinya.
Aku sendirian lagi di rumah." Senna menjatuhkan setitik air matanya. Kecewa
bercampur marah menggumpal dalam relung hatinya. "Jadi kalau kamu gak suka
sama sikap aku, ya udah kamu boleh pergi! Aku cuma pingin terima cowok yang
nerima aku apa adanya."
Nevan memadukan kedua alisnya. "Kamu kenapa, sih? Kok tiba-tiba ngomong
gitu? Aku cuma mau ngasih tau sesuatu yang bener. Tapi anggapan kamu selalu
sama, kamu anggap kalau aku itu so ngatur kamu, kamu selalu bilang kalau aku
gak nerima kamu apa adanya. Selalu begitu."
Entah mengapa, air mata Senna menetes lagi, mendarat di pipinya. Sadar, bahwa
dialah yang egois. Senna menggigit keras bibir bawahnya, menahan tangis yang
ingin diletupkan. Itu adalah alasan mengapa Nevan pergi. Karena kesalahannya sendiri. Tapi
Senna selalu menyalahkan Nevan atas semua pertengkaran. Apa itu yang
membuat Nevan kecewa? Dia selalu mengalah, tapi belum pernah sekali pun
dirinya mengalah. Sudah, akhirnya tangisan Senna keluar juga, ia terisak lagi, kali ini lebih terlihat
seperti anak kecil yang ditinggal pergi orangtuanya, berlalu lunglai ke kamarnya.
Senna sesenggukan, duduk di atas lantai.
Hal yang paling menyakitkan adalah, saat semua kekacauan terjadi, saat cintanya
putus, dia sendiri yang menjadi penyebabnya. Senna belum ingin putus dari
Nevan, dia butuh Nevan. Dia masih ingin menikmati hari-hari manis dengan
Nevan. "Gue egoiiis." Bi Ijah memandang Senna gelisah. Bukannya mereda, sekarang suara tangisnya
malah semakin kencang. Neina menapis tangan Ardi, dia tidak ingin disentuhnya. Lelaki itu membeliak.
Dari tadi Ardi berusaha merayu dan melembutinya, tapi anak itu masih saja
keras kepala. Neina terlalu kecewa hingga menyulitkan dia untuk bicara.
"Jangan bikin mama kamu tersiksa dengan diemnya kamu. Kamu harus makan
supaya kamu cepet sembuh."
"Kenapa Papa gak pernah bilang ke Neina kalau sebenernya Papa punya istri
lain selain mama," lirih Neina tanpa melihat pada orang yang ia ajak bicara. Ardi
terpaku, bagaimana bisa Neina bertanya seperti itu? Neina tahu dari mana?
Jantung Ardi nyaris melorot dari tempatnya. Kakinya bergetar. Vibrasi itu
mengguncangkan jiwanya. Dan Tania? Dia menjatuhkan segelas air putih di tangannya. ?PRAANG!!?
Ketakutannya selama ini terjadi juga. Kaki putih nan mulusnya melangkah
mundur, menatap Neina tak menyangka.
"Maksud kamu apa sayang? Papa nggak ngerti," ucap Ardi masih berpositif
thinking. Neina pasti sedang bergurau.
Neina mengalihkan pandangan kepada Ardi. "Papa nggak usah so nggak tau,
deh. Sekarang Neina udah tau, Papa punya anak lain selain Neina. Dan Papa
udah nyembunyiin itu semua dari Neina, bertahun-tahun, Pa."
"Ka kamu tau dari mana?" tanya Tania dengan suara gemetar, hendak
mendekati ranjang Neina. "Mama tau Senna? Mama tau dia, kan? Cewek yang aku ceritain, dan waktu aku
nyebutin nama Senna di depan Mama, Mama langsung kaget," mata Neina
berkaca-kaca. "Senna yang udah kasih tau aku. Sekarang aku tau, kenapa dia
banci banget sama aku, karna dia nganggap, aku udah ngerebut Papanya," isak
Neina. Sekarang dia tahu bagaimana sakitnya menjadi Senna. Ayahnya terlalu
kejam untuk melakukan itu, dia lelaki yang tidak mempunyai kewibawaan.
Selama ini Neina telah salah menilai orangtuanya sendiri.
Ardi tersentak lagi. Ternyata Senna yang sudah membeberkan semuanya, dia
yang membuat Neina masuk ke rumah sakit. Semua ini terjadi gara-gara anak
itu. Rahasia yang selama ini ia sembunyikan dengan apik, sudah hancur lebur,
seperti biskuit yang berubah menjadi kepingan-kepingan kecil. Menimbulkan
pikiran buruk di benak Neina.
"Walaupun Senna ngebenci aku, aku nggak akan benci sama dia. Dia gak salah
karna selama ini udah benci sama aku, itu hal yang wajar bahkan itu udah
kewajiban Senna buat ngebenci aku. Karna yang bikin dia benci sama aku, itu
gara-gara kalian berdua," air mata bercucuran tanpa henti, suaranya serak.
"Neina jadi malu sama diri Neina sendiri. Selama ini Neina dapetin kasih sayang
dari Papah, sementara ada Senna yang juga butuh kasih sayang Papah. Papah tau
gimana Senna di sekolahnya?"
Neina memegang dadanya, seperti ada benda berat yang menindihnya sehingga
Neina kesulitan bernapas. Ketika amarah memuncak, Neina tidak bisa berbuat
apa-apa. Dia ingin mengeluarkan semua kemarahannya, tapi dia terlalu lemah.
"Papa sama Mama pergi dari sini, Neina gak mau ngeliat kalian berdua. Neina
nggak mau liat kalian berdua. Neina benci sama kalian, Neina nyesel udah lahir
dari rahim Mama," napas Neina semakin sesak, tersendat-sendat.
"Nggak sayang." Tania ikut panik dan menangis. Berusaha menenangkan emosi
Neina. Dia harus tenang. Dia hanya mengetahui setengah cerita, bukan
sepenuhnya. "Dokter!" panggil Ardi.
"Neina minta keluar Keluaaaar" air mata bersimbuh di wajahnya. Kali
pertama dia membentak dan mengusir orangtua yang selama ini ia hormati.
Untuk memenuhi permintaan Neina, Tania lekas berlari meninggalkan Neina
membiarkan anaknya sendiri untuk menenangkan diri, dan Ardi sibuk
memanggil dokter. Neina masih menangis sejadi-jadinya, histeris. Enggan menerima kenyataan
pahit ini. Tak lama dokter dan beberapa susternya datang untuk memeriksa Neina,
terpaksa Ardi harus menunggu di luar.
"Gimana ini, Pah? Neina udah tau semuanya," ucap Tania kalang-kabut.
"Mama tenang, mama duduk dulu." Ardi memapah bahu istrinya.
bagian22. Esok harinya, Diana telah tiba di Indonesia ---lebih tepatnya di halaman rumah --berjalan menuju pintu. Karena terlalu khawatir kepada Senna, akhirnya dia
memutuskan untuk pulang, menghentikan sejenak aktifitas kerjanya di sana.
Bagi dia Senna jauh lebih penting dibandingkan yang lain, termasuk
pekerjaannya dalam hal mencari uang. Dia harus menjadi sosok Ibu yang baik
dan perhatian dalam pandangan Senna, anaknya.
Namun kaki itu berhenti melangkah ketika telinga Diana mendengar suara
decitan mobil di luar gerbang. Diana segera menoleh ke belakang, sebuah mobil
hitam berhenti di depan rumahnya. Kening Diana mengernyit, bertanya tentang
siapakah yang datang untuk bertamu.
Perempuan itu tersentak tatkala sosok Ardi keluar dari dalam mobil, dan masuk
ke dalam halaman rumah. Kedua bola mata Diana membesar, untuk apa laki-laki
itu datang lagi? Sejak perceraian itu, Diana sudah melarang Ardi untuk
menginjakkan kaki di rumah ini. Diana terlalu sakit hati.
Seperti sedang menahan amarah, Ardi terus melangkah dengan kepalan tangan
di tangan, berjalan sangat cepat, dan akhirnya tiba di depan Diana.
"Mau apa kamu datang ke sini?" Diana langsung bertanya ---lebih kepada
menantang. "Saya harus ketemu dengan Senna, anak kamu!"
"Dia juga anak kamu," tambah Diana bermaksud memperbaiki ucapan mantan
suaminya. "Oke oke" "Ada keperluan apa kamu ketemu Senna? Tumben. Bukan biasanya kamu nggak
peduli?" Diana bertanya lagi dengan nada enteng. Menyindir Ardi yang
sebelumnya memang belum pernah menanyakan tentang putri pertamanya.
Terlalu sibuk dengan putri kedua. Sampai lupa kepada Senna, anak yang dulu
sangat ia cintai. "Saya harus bicara sama anak itu. Karena kelakuannya sudah sangat
keterlaluan!" Ardi sudah tidak bisa menyendat emosi lagi. Gara-gara Senna
usahanya untuk menyembunyikan rahasia hancur.
Sebelum Diana memanggil Senna, Senna sudah lebih dulu keluar dengan
pakaian rapinya. Baju seragam, tas, dan sepatu. Sudah pasti dia akan segera
berangkat sekolah. Alhasil, matanya harus melihat keberadaan Ardi, juga
mamanya. Senna terpaku, pemandangan apa ini?
"Nah itu dia!" Ardi segera mendekati Senna.
Diana tercenung. Otaknya berspekulasi tentang apa yang akan dilakukan Ardi
terhadap Senna. Matanya kembali beralih kepada Ardi yang kini sudah
memegang pergelangan tangan Senna.
"Kamu ikut Papa."
"Iih nggak mau!" Senna melepaskan cengkeraman tangan Ardi. Dia ingin
berangkat sekolah, bukan ikut dengan lelaki itu.
Mata Diana mengerling, segera mendekati Senna dan Ardi. "Tunggu dulu ini ada
apa? Kenapa kamu tiba-tiba"
"Dia udah ngelakuin kesalahan yang fatal."
"Kesalahan apa?" kali ini nada suaranya seperti mendesak.
"Senna udah bocorin semua rahasia kita di depan Neina. Dan sekarang kondisi
Neina bener-bener drop. Dan itu semua gara-gara Senna." Tangan Ardi masih
memegang kuat tangan Senna hingga gadis itu merasa kesakitan, dan pada
akhirnya Senna berang, melepaskan kasar tangan Ardi untuk kedua kalinya.
"Ada apa sama Neina? Ada apa? Dia sakit? Pingsan? Atau mungkin
meninggal?" tanya Senna dengan beraninya, menantang di depan ayahnya
sendiri. Dia sudah tahu bahwa hal ini akan terjadi, di mana Ardi akan
menyalahkan dia atas apa yang terjadi kepada anak kesayangannya, Neina.
Diana bungkam tanpa suara. Dia ikut kaget mendengar Neina yang drop, juga
tentang Senna yang sudah membocorkan rahasia di masa lalu.
"Jaga ucapan kamu."
"Terus kalau Neina meninggal, kamu mau nyalahin aku?" tanya Senna lagi tanpa
rasa takut dengan tatapan menusuk yang ditajamkan ayahnya.
Ardi melayangkan satu tamparan keras di pipi Senna hingga Senna membuang
muka. Kontan tangannya langsung memegang pipi yang dirasa perih dan panas.
Namun hatinya jauh lebih panas, berbeda jauh, sangat-sangat berbeda. Pipi itu
berubah warna, merah. "Astaga." Diana terkejut dengan tindakan kasar Ardi kepada Senna, tidak pernah
menyangka kalau Ardi berani melakukan itu. Dia segera memegang kedua bahu
Senna, bertanya apakah dia baik-baik saja atau tidak. "Kamu itu, ya. Kasar
banget sama anak sendiri. Seumur hidup, saya belum pernah nampar Senna.
Kenapa kamu berani?"
Senna merasakan sakit yang sangat perih, sebelah tangannya mengepal di balik
seragam. Dan lekas mangangkat kepala, memberikan sorot lebih tajam kepada
Ardi, hampir saja matanya berair.
"Terus aja tampar sampai Papa puas. Apa? Neina drop? Dia drop karna aku,
kan? Ya udah Papa tampar aku terus, sampai bikin aku masuk rumah sakit.
Neina berhak tau tentang kejahatan orangtuanya. Dia berhak tau. Kalau aku
nggak ngasih tau dia, bakalan ada banyak cara yang bikin Neina tau. Karena
apa? Mau Papa sama istri Papa sembunyiin kesalahan kalian gimana pun, Neina
tetep bakalan tau, semuanya, bahkan gak ada satu pun yang tersisa." Senna
berkata dalam, mengancam ayahnya dengan telak.
Ardi bersyukur, Senna masih ingin memanggilnya dengan sebutan ?Papa?. Tadi
ia terlanjur emosi, karena perkataan Senna benar-benar tidak wajar.
"Maafin Papa. Tapi ucapan kamu bener-bener keterlaluan. Sekarang kamu harus
ikut Papa," lagi-lagi Ardi memegang paksa tangan Senna, menariknya turun ke
bawah, ia akan membawa Senna ke rumah sakit tempat Neina dirawat. Dia harus
melihat apa yang terjadi dengan apa yang telah ia lakukan. Senna memaksa tidak
ingin pergi, berteriak dan meronta tidak mau, tidak ingin dipertemukan dengan
Neina, tapi tenaga Ardi lebih besar jadi Senna hanya bisa pasrah. Ia masuk ke
dalam mobil saat Diana baru mengejar sampai pagar. Pintu mobil tertutup rapat
dan Ardi masuk di pintu kemudi.
Ia tidak boleh tinggal diam, dia harus ikut dengan Senna. Diana segera berlari
menuju mobilnya, membiarkan koper yang ia bawa tergeletak di luar, biar Bi
Ijah yang membawa. Sementara mobil Ardi sudah melesat jauh.
Mobil Diana ikut melesat memasuki jalan raya, mengejar mobil yang
ditumpangi Senna. Tidak boleh kehilangan jejak.
"Kayaknya Senna nggak sekolah, deh," tebak Sasta, ini sudah pukul tujuh pas,
tapi Senna belum datang. Padahal guru jam pelajaran pertama sebentar lagi
masuk. Kalau terlambat, Senna pasti dihukum lagi.
"Masih galau kali ya diputusin Nevan Ganteng," pikir Nova terus melihat ke
lawang pintu. Berharap Senna masuk dengan teriakan melengkingnya, atau tidak
dengan gaya arogannya. Atau, berteriak girang gara-gara dikasih hadiah Nevan.
Ahh tapi hal itu tidak akan terjadi, karena sekarang Senna bukan pacar Nevan
lagi. Mungkin saja mulai sekarang raut wajah Senna akan sedih.
"Masa iya sih Senna nggak sekolah?" Waktu lewat 10 menit dari sebelumnya.
Guru matematika datang, semakin menambah keyakitan Nova dan Sasta kalau
hari ini Senna tidak masuk sekolah. Tumben anak itu bolos. Mereka sudah
mencoba menghubungi Senna, lewat telfon, SMS, Whatsapp, BBM dan DM
instagram. Tapi tidak ada satu pun chat yang dibalas. Terpaksa, saat nama Senna
diabsen, Sasta menjawab alpa.
Sampai waktu istirahat tiba, mereka belum mendapatkan kabar apa-apa dari
Senna. Beberapa dugaan masuk akal hingga tak masuk akal sudah dipikirkan
Nova dan Sasta, dan hasilnya mereka tidak menemukan jawaban sama sekali.
Mereka ingat, sekarang ada pertandingan basket, tim Nevan! Ya!
"Sekarang kan Nevan tanding, ayoo cepatan ke lapangan," ajak Nova heboh,
berlari menuju lapangan agar mendapat barisan paling depan. Meski Nevan
bukan pacar Senna lagi, mereka masih ingin memberikan suport kepada tim
Nevan. Karena sebelum mereka pacaran pun, Nova dan Sasta sudah
mengidolakan Nevan. ?PRIIIIT!? Begitu peluit terdengar, kedua tim mulai bermain. Melempar dan men-drible
bola. Kedua tim sama-sama tidak ingin kalah, harus merebut kemenangan demi
kesenangan dan kebanggaan tersendiri, mengharumkan nama kelas. Dan bisa
melaju di babak lebih tinggi, yaitu pertandingan antar sekolah.
Nevan sempat melirik Sasta dan Nova yang meneriakinya di sisi lapangan,
hanya ada mereka berdua, tak ada Senna yang biasanya paling bersemangat dan
paling terberisik menyerukan namanya. Gara-gara kehilangan fokus, lawan main
tim Nevan baru saja memasukan bola ke dalam ring sebanyak dua kali.
Menyadari ketertinggalannya, Nevan mengedip-ngedipkan mata, kembali


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bermain secara serius, berhenti memikirkan Senna. Menyeka peluh di kening,
berlarian mengejar bola, menghalangi lawan yang akan memasukan bola
ketiganya. Kalau dia terus mengharapkan keberadaan Senna, yang ada timnya
akan menerima kekalahan. Nevan tidak mau membuat timnya kecewa. Fokus
fokus fokus! Tiap kali melempar bola, bola yang dilempar Nevan selalu melesat dari ring,
lelaki itu berdecak merutuki kesalahan fatalnya. Suporter Nevan berdesis dan
mengeluh. Tidak biasanya gerakan Nevan kaku dan menimbulkan kejelekan
dalam permainannya. "Nevan fokuuus, lo kenapa, sih?" tegur Ari yang kini berkeringat. Wildan, Satya
dan yang lainnya juga terheran-heran.
"Sori-sori." Nevan berusaha memberbaiki kesalahannya lagi. Berjanji tidak akan
melakukan kesalahan yang sama.
"Mungkin Nevan udah terbiasa disemangatin Senna. Jadi pas dia nggak ada,
Nevan ngerasa ada yang kurang." Nova berhipotesis, matanya lagi-lagi
menangkap kalau Nevan gagal memasukan bola. Sayang sekali.
Sebelum mereka menjalin hubungan, Senna sudah mengidolakan Nevan setiap
kali ada pertandingan basket di sekolah. Dia siswa paling depan yang selalu
berseru gempar menyemangati Nevan. Gara-gara kegilaannya itu, Nevan
meresponnya, selalu memberikan senyum sebagai ucapan terima kasih. Jelas, itu
membuat Senna meleleh. Saat itu, Nevan penasaran dengan anak kelas 10 IPS 5 itu. Yang sering dihukum
di depan tiang bendera setiap kali Nevan melihatnya. Atau, saat Senna dijewer
salah satu guru. Dari kelas 10, Senna memang terkenal dengan kerusuhan dan
kecentilannya. Sampai dipanggil Miss A, alias Miss Alay oleh penghuni sekolah.
Dan Senna selalu percaya diri, mambalas dengan ucapan ?Berarti gue personil
girlband Korea, dong. Satu grup sama Suzy Miss A.?
Senna mengingatkannya pada seseorang. Pada wajah anak perempuan yang
selalu ada dalam benaknya, sampai sekarang pun masih terlihat jelas. Begitu
bertemu dengan anak perempuan yang memberinya sebungkus permen, Nevan
ingin berkenalan, dia ingin bertemu dengan anak itu lagi. Jika ada kesempatan,
dia ingin bertemu dan berteman. Sampai-sampai Nevan menggambarkan wajah
anak perempuan yang bernama Senna, nama yang dipanggil pembantunya.
Wajah mereka sama, ada tahi lalat di dekat bibir, tapi hanya kelakuannya saja
yang berbeda. Memang di luar akal, tapi Nevan berusaha mempermanenkan
ingatan tentang pertemuannya bersama dengan Senna di kepala. Oke ini konyol,
tapi begitulah Nevan. Kalau satu ya satu. Kalau dia ya dia.
Begitu tahu kalau gadis yang selalu menjadi biang rusuh itu bernama Senna,
Nevan semakin yakin kalau Senna yang selama ini dipikirkan adalah Senna anak
kelas IPS. Satu sekolah dengannya, satu angkatan. Nevan berterima kasih
kepada Tuhan, karena telah menciptakan dunia sesempit ini. Mungkin ini
jawaban atas do?a-nya. Mulai dari sana, Nevan mulai melakukan perdekatan, alias PDKT. Membawakan
sekotak permen susu kepada Senna, langsung ke kelasnya. Hal pertama yang
dilakukan Nevan, hal yang tak pernah dilakukan sebelumnya.
"Ini buat permintaan terima kasih gue, karena lo selalu stay di lapangan tiap kali
gue tanding," kata Nevan memberikan sekotak permen itu di depan Senna, di
lawang pintu. Suaranya lembut, wajahnya rupawan.
Telak! Tindakan Nevan mendapat kehebohan di kelas Senna. Padahal, bukan
hanya Senna yang selalu men-suport-nya, tapi juga yang lainnya. Tapi kenapa
Senna yang hanya diberikan hadiah? Patut dijadikan tanda tanya besar.
"Apa?! Ini serius buat gue?" tanya Senna tidak percaya. Hampir meledakkan
kegirangannya. "Gue nggak mimpi, kan?!" pekiknya lagi, berdengung di telinga
Nevan. Iya itu memalukan, tapi Senna tidak peduli. Senyum merekah di bibir,
mata berbinar, kadar kecantikan Senna semakin bertambah di mata Nevan.
"Iya. Terima, ya. Soalnya buat beli ini tuh butuh perjuangan banget," canda
Nevan berlebihan. Sebenarnya itu hanya gurauan saja, supaya tidak terlalu
canggung. Di luar memang terlihat berani, tapi di dalam, jantung Nevan
berdebar kencang. "Ya jelas lah gue terima," cepat-cepat Senna membawa toples kotak itu dari
tangan Nevan. Bagaimana mungkin dia menolak pemberian kapten tim basket
idolanya. Wajah Senna bersemu merah, baru kali ini ada cowok yang meberikan
hadiah sebegitu manis dan cantiknya. Senna tersenyum lagi, memandang Nevan
penuh kagum. "Thanks. Oh, ya. Nanti pulang gue anter ya, lo dateng aja ke kelas gue. Gue
tunggu lo di sana." "Haaah?" seperti mendapat semburan air di padang pasir, Senna membeliak
sekaligus bersukacita. Seorang Nevan, yang tidak pernah menawarkan ajakan
brilian itu kepada cewek lain, yang terkenal, yang jago main basket, yang
ganteng, kini mengajaknya pulang bersama. Apa hari ini adalah hari
keberuntungan Senna? Wow, seumpama mendapatkan kartu lotre.
"Oke." Setelah menyampaikan hadiah juga ajakannya, Nevan berbalik
meninggalkan Senna yang masih setia bengong. Tangannya menampar keras
pipinya dua kali bergantian, sakit! Itu artinya, ini asli, bukan delusi ataupun
mimpi. Sekilas Senna memandang punggung Nevan semakin menjauh, dari
belakang saja sudah karen, apalagi tadi? Dari depan! Seyumnya, wajahnya,
dagunya yang terbelah dua, jiwa Senna seakan melumer.
"OH MY GOD!! Wouuuhhhh." Senna mengibaskan sebelah tangannya, agar ada
angin yang menyejukkan wajahnya yang panas gara-gara Nevan. Dia masuk ke
kelas, langsung mendapatkan pertanyaan kepo yang beruntun dari temantemannya yang juga mengagumi Nevan. Terutama Nova, yang selalu menyebut
Nevan sebagai Dimas Anggara KW.
Sejak itu Senna semakin semangat menjadi suporter heboh tim Nevan.
Pertandingan final ini selesai, dan tim Nevan harus menerima kekalahan. Gagal
bertanding dengan sekolah lain. Menyisakan kekecewaan fans, termasuk teman
satu timnya. Nevan duduk di pinggir lapangan, meminum sebotol air mineralnya. Kecewa
dengan dirinya sendiri. Memandang lurus-lurus ke arah lapangan yang kini
lengang. Suhu udara tidak terlalu panas, Nevan bisa leluasa bersantai dan
merenung di sini. Ketiga temannya datang menemani. Sebenarnya mereka juga kecewa berat, tapi
mereka harus tetap menerima kekalahan. Sepandai-pandainya tupai melompat,
pasti akan terjatuh juga. Begitu pun dengan Nevan, sepandai-pandainya dia
bermain basket, pasti pernah mengalami kekalahan. Teman-temannya hanya
khawatir, mengapa sepertinya saat pertandingan tadi, Nevan terlalu banyak
melamun sampai membuatnya lemah dalam bermain.
"Aaah lo nggak asik, Van!" Wildan menepuk bahu Nevan.
"Iyaa lo kenapa sih kayak gak fokus gitu, padahal cuma satu langkah lagiii
Cuma satu langkah lagi Van Ya Allaaah." Ari menggeleng-gelengkan kepala
frustrasi. Tadinya dia sudah berangan, kalau sampai tanding dengan sekolah lain,
dia akan mencari gebetan di sekolah itu. Tapi takdir malah berkata lain. Pupus
sudah harapannya. "Galau, ya? Nggak ada Senna?" goda Satya, tertawa jail.
"Iya. Kaleng rombeng itu kemana, ya?" tanya Nevan, sebenarnya lebih kepada
dirinya sendiri. Kembali menenggak air putihnya. Kali ini air itu bukan
pemberian Senna lagi. "Kagak sekolah kali. Atau masih galau gara-gara lo putusin." Ari
mengestimasi. "Lo yang mutusin lo yang galau, Van. Kayak cewek aja lo," lagilagi Ari menghibur.
"Sori ya gara-gara gue kita kalah."
"Ya udah nggak pa-pa, deh. Yang penting kita udah berusaha. Ini jadi
pembelajaran buat kita semua, jangan mau menang terus, kali-kali kalah keek,
ngasih kesempatan mereka buat menang," canda Ari mencairkan suasana.
Wildan dan Satya manggut-manggut setuju. "Lagian tim itu harus sama-sama,
jangan bergantung sama Nevan aja." Satya menimpali.
"Ke kantin, yuk! Gue laper, nih," ajak Wildan.
Nevan memilih untuk tetap berdiam diri di sisi lapangan, menikmati udara yang
sedang bersahabat, yang mau memberinga angin sepoi.
Sebenarnya, bukan maksud Ardi untuk memaksa Senna. Dia hanya ingin
mengikuti permintaan Neina yang ingin sekali bertemu dengan saudara satu
papanya. Yang dia inginkan hanya satu, bertemu dengan Senna. Hanya itu saja.
Tidak ada yang lain. Ardi tidak mampu menolak, ia juga harus berusaha
memaksa Senna. Meski Senna tidak mau, terpaksa dia harus memasuki ruangan bau obat-obatan
itu. Dan kini, dia sudah berdiri di dalam ruangan dengan wajah cuek, dia tidak
punya waktu banyak untuk berada di sini, hanya buang-buang waktu. Perlahan
Neina mulai turun dari ranjang inapnya, berjalan lamban mendekati Senna
dengan mata yang terus menampakan sorot bersalah. Ruangan itu lengang, yang
terdengar hanya embusan napas Neina yang berada tepat di depan Senna yang
kalem. "Makasih kamu udah mau jenguk aku," kata Neina mencoba tersenyum. Sedikit
kaku, tapi ada hal penting yang harus dibicarakan. Supaya bebannya terlepas.
"Apa? Jenguk lo? Gak usah kegeeran, deh. Gue dipaksa buat dateng ke sini. Liat
nih, tangan gue sakit gara-gara ditarik bokap lo."
"Ya ya yaa. Tapi aku bakalan tetep bilang makasih," ucap Neina lagi, wajahnya
masih pucat, bibirnya juga sama-sama pucat. Kondisinya memang belum stabil,
harus membutuhkan istirahat yang lebih lama lagi. Selain dengan Senna, Neina
tidak mau berbicara kepada siapa pun.
"Aku pengin kamu ke sini karna ada sesuatu yang mau aku bicarain," suara
Neina pelan. Senna membiarkan Neina bercerita, tanpa ingin memotong apalagi
menyahut. Terserah dia mau bicara apa, Senna tidak peduli. Untung dia masih
memiliki kemanusiaan, kalau tidak, ia tidak mau masuk ke sini hanya untuk
mendengarkan curhatan Neina, perempuan yang sangat ia benci sampai detik ini.
Lebih baik pergi ke sekolah bertemu dengan teman-temannya.
"Sekarang aku tau kenapa kamu benci banget sama aku. Sekarang aku tau
kenapa kamu nggak suka sama aku, begitu pun dengan Mama aku."
Senna menangguk-anggukan kepala dengan lipatan tangan di bawah dadanya,
masih terlihat dingin dan masa bodo. Sesekali juga menyelipkan sejumput
rambutnya ke belakang telinga.
"Makasih Senna." Neina mencoba tersenyum lagi, senyum yang hanya diberikan
kepada Senna semenjak di rumah sakit. "Makasih karna kamu udah kasih tau
aku semuanya. Makasih karna kamu aku tau yang sebenernya, walaupun
awalnya aku nggak percaya. Kalau kamu nggak bilang, mungkin sekarang aku
masih ngerasa kalau aku itu anak yang sempurna, punya orangtua yang baik dan
sayang sama aku. Tapi sekarang, aku tau kalau pandangan aku itu salah. Salah
besar. Aku tau, aku juga punya salah banyak sama kamu, bahkan dengan
kebencian kamu pun, nggak akan bisa buat bayar semua rasa sakit kamu.
Makasih Senna buat semuanya," Neina nyaris terisak, ia malu, ia merasa
bersalah. Di depan Senna, Neina adalah seorang peran antagonis.
Senna tertegun, menatap mata Neina yang menerbitkan rasa penyesalan
mendalam. Mendengar semua kata-katanya dengan telaten.
"Sejak kecil Papa sayang banget sama aku, sampai sekarang dia masih sayang
banget sama aku. Aku ngerasa bersalah karna di sini kamu kehilangan sosoknya.
Dia selalu kasih aku uang banyak, kasih aku perlakuan sayang dan lembutnya,
dia cium kening aku, dia selalu ngajak aku jalan-jalan"
"Lo mau pamer di depan gue?" lirih Senna menahan laju air matanya.
"Gak seharusnya aku dapetin semua perlakuan baik itu, aku ngerasa aku udah
rebut semua kebahagiaan kamu. Aku ngerasa berdosa"
"Itu lo tau, nyadar sekarang?"
"Aku emang pantes dapetin tatapan muak dari kamu. Tapi sekarang aku mohon
ampun, Sen," tanpa aba-aba, Neina bertekuk lutut di kaki Senna. Benar-benar
merasa bersalah. "Kamu boleh benci sama aku, kamu boleh injek-injek aku. Tapi
aku mohon, jangan benci Mama sama Papa kita, jangan benci mereka. Tolong
maafin kesalahan mereka di masa lalu," air mata Neina berjatuhan, tersedusedan di bawah kaki Senna, tertunduk. "Maafin aku, Sen. Kalau aku tau dari
awal, aku gak bakalan mau nerima semua perlakuan baik Papa. Aku bakal kasih
Papa ke kamu, aku bakalan biarin Papa ninggalin aku"
Senna melangkah mundur, menjauh dari Neina dengan mata membulat.
"Lo pikir gue mau dikasih sumbangan? Lo ambil aja tuh Papa kesayangan lo.
Gue nggak butuh!" "Aku ngerti, setiap kali aku ngomong, pasti kamu nggak setuju. Kamu anggap
kata-kata yang aku lontarin itu salah, kan?" Neina masih menyimpan lututnya di
atas lantai. "Tanpa Papa pun gue masih bisa hidup, hidup yang lebih enak dab lebih baik.
Gue gak butuh kasih sayang dari laki-laki yang nggak bisa setia. Laki-laki itu"
Senna menunjukkan tangannya ke pintu, karena di luar Ardi, Diana dan Tania
sedang menunggu, entah bagaimana suasana di sana. "Dia udah nyakitin nyokap
gue, dia udah bikin gue ngeliat air mata nyokap gue sendiri semenjak gue
berumur lima tahun. Dia nggak pantes disebut Ayah, nggak pantes." Senna
menggeleng. "Gue Nggak butuh belas kasihan lo."
Neina semakin merasa bersalah. Masih dalam posisi yang sama, tidak bisa
mengatakan apa-apa. Senna benar.
"Gue nggak butuh belas kasihan dari lo." Senna mengulangi kalimat yang sama.
"Jangan pernah bertekuk lutut lagi di depan gue, karena itu semua nggak akan
bisa bikin gue maafin orangtua lo."
"Kamu boleh benci aku terserah kamu. Sekalian kamu boleh bunuh aku, kalau
itu yang buat kamu seneng"
"Tapi sayang, gue nggak sejahat itu. Hati gue bukan iblis! Yang bisa bunuh
orang sesuka hatinya. Jadi elo, mendingan lanjutin aja hidup lo yang enak itu.
Nggak usah so mikirin gue, hidup gue udah enak, kok. Gue bisa shooping, gue
masih bisa dapetin kasih sayang dari nyokap gue. Gue masih bisa ketawa di
sekolah, gue masih bisa pa---"
Senna menghentikan ucapannya, sadar kalau sekarang hubungannya dengan
Nevan sudah putus. Senna memicingkan mata, mengapa dia harus teringat lagi
dengan Nevan. Menurut Senna, Neina adalah salah alasan mengapa Nevan
memutuskan hubungannya. "Selamat juga Neina, Nevan udah mutusin gue. Sekarang lo bisa sukain dia
sesuka lo, dia bukan milik siapa-siapa lagi." Senna menyeka matanya, bergegas
untuk pergi. Terlalu muak untuk berlama-lama di sini dan bersikap menjadi
cewek yang tegar. Yang sebenarnya terharu melihat Neina yang berani bertekuk
lutut hanya demi orangtuanya yang bejat itu.
Neina terperangah atas apa yang diungkapkan Senna, apa mereka putus garagara kehadirannya juga? Perlahan, Neina mulai berdiri dengan pandangan terus
tertuju kepada pintu yang baru saja Senna tutup, kaki gemetar. Neina masih
belum percaya, dia hanya sebatas mencintai Nevan dalam diam, tidak pernah
memiliki niat untuk memiliki atau merebutnya dari Senna. Tidak. Tidak pernah
sekali pun. bagian 23. "Kamu jangan seenaknya nyalahin anak saya. Neina udah dewasa, dia berhak
tau," sedari tadi Diana berusaha membela anaknya. Tania juga sepemikiran. Atas
semua yang terjadi, kita tidak boleh menyalahkan Senna. Karena yang salah
adalah, semua masa lalu yang terjadi beberapa tahun silam.
"Siapa yang menyalahkan Senna? Cara dia memberi tahunya yang salah"
"Iya emang aku sayang salah," suara Senna terdengar begitu ia menutup pintu,
keluar dari ruangan Neina. "Aku yang salah kan atas semua yang terjadi di
keluarga ini? Aku yang bikin Neina masuk rumah sakit. Aku yang udah bikin
semuanya runyam, aku yang udah bikin Papa marah." Sekarang terserah semua
orang akan menyalahkan, mencemooh, dan memarahinya. Mungkin dengan
begitu, konflik ini akan berakhir.
"Nggak Kamu nggak salah, Nak." Tania menghampiri Senna. Senna mendelik
malas, bagaimana mungkin perempuan yang telah merebut cinta mamanya
membela secara terang-terangan. Topeng jenis apa lagi yang akan ia pakai?
Tidak, Senna tidak akan tertipu.
"Saya ngerti kamu benci sama Neina, tapi tolong Berhenti kamu membenci
adik kamu, dia nggak salah apa-apa. Saya yang salah. Dulu saya masih terlalu
muda, jadi pemikiran saya sangat pendek, saya tidak berpikir akan seperti
apakah masa depan kita nanti. Nyatanya, cinta saya ke Papa kamu
mendatangkan bencana bagi anak-anak kami. Sudah lama sekali saya ingin
bicara dengan kamu, meminta maaf yang sebesar-besarnya," jika boleh meminta,
Tania ingin sekali kembali ke masa lalu. "Saya tahu kata maaf itu nggak akan
bisa bikin kamu menghilangkan kebencian kamu."
Senna malah menjauh, mengapa semua orang malah meminta maaf kepadanya.
Bukan dia yang pantas mendapat permintaan itu, karena kebenciannya berasal
dari rasa sakit yang dirasakan Diana, mamanya. Dan, dalam hal ini yang harus
disalahkan adalah Ardi. "Tante lebih baik minta maaf sama Mama, jangan sama aku. Tante nggak inget?
Tante udah rebut laki-laki itu dari Mama." Senna menunjuk papanya.
Semenjak tadi, Ardi hanya terdiam. Dan bukannya berusaha menenangkan
suasana, dia malah pergi melangkahkan kaki, entah akan pergi ke mana.
"Saya bener-bener minta maaf Diana." Tania menghampiri Diana yang masih
terpaku di tempat. Sulit sekali untuk melupakan apa yang terjadi di masa lalu.
Dia bisa saja memaafkan, tapi untuk melupakan rasanya jauh dengan kata pasti.
Diana diam tanpa kata, mendiami Tania yang terus berupaya agar dia mau
memaafkan kekhilafannya. Senna segera mendekati Diana.


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ma, ayo kita pulang dari sini. Senna udah gak kuat ada di tempat kaya gini,
baunya nggak enak," bukan itu alasannya, tapi Senna tidak mau melihat Diana
bersedih. Dan dia tidak mau melihat orang-orang yang sudah merebut semuanya.
Ardi berdiam diri di musala. Mendo?akan kesembuhan Neina, dan juga
memohon ampun karena telah menelantarkan Senna. Dia sadar, karena terlalu
mengkhawatirkan Neina, dia melupakan anak yang lainnya. Ketakutannya,
menjadikan bencana lebih buruk. Menumbuhkan kebencian Senna terhadap
Neina, juga kepadanya. Sebagai seorang Ayah, Ardi merasa berdosa. Jujur,
dalam lubuk hatinya yang paling dalam, dia masih sangat menyayangi Senna.
Namun melihat semua kebencian yang dipancarkan Senna, malah semakin
membuatnya merasa bersalah dan malu. Dan memilih untuk bersikap lebih
keras. Ardi malu kepada Senna, malu karena telah mengecewakan mamanya.
Menurutnya, pergi adalah cara terbaik. Ardi ingin melihat Senna menjadi anak
yang kuat, yang nanti bisa menjaga adiknya, Neina. Jadi anak yang mandiri.
Tidak seperti Neina yang lemah dalam fisik, dia lebih sering jatuh sakit.
"Van!" Ari menepuk bahu Nevan yang beru saja meng-upload satu foto di
instagram. Foto ketika ia mengenakan kaus basket. Padahal belum sempat satu
menit, likers-nya sudah mencapai 50 orang. Belum lagi, komentar pujian para
kaum hawa. Apalagi tentang caption yang Nevan buat.
?Butuh penyemangat.? ?Ahaaay aku bsa jdi penyemangat ka Nevan ko ?
?kakaak kenapa putus sama ka Senna??
?Jombloo, kakak bisa daftar gak, Van??
?Senna?? Kira-kira itulah komentar-komentar yang membanjiri kiriman Nevan.
"Gimana kalau pulang sekolah kita jenguk si Neina? Masa iya kita nggak jenguk
dia? Gak enak kan sama orangtuanya apalagi nyokapnya yang baik hati dan
tidak sombong itu?" usul Ari. Sebelumnya dia sudah mendiskusikan hal ini
kepada Wildan dan Satya, dan mereka sepakat untuk pergi, membawakan satu
paket buah sebagai makanan yang akan diberikan kepada orang yang sedang
sakit. "Lo kan udah putus sama Senna, jadi nggak usah takut kena marah dari dia lagi.
Lo udah terlepas dari dia, sekarang lo bebas dekatin Neina."
"Maksud lo apaan?"
"Gini yaa. Kalo gue liat-liat, lo ada perasaan ya sama Neina? Lo suka sama dia,
kan? Cuma, lo selalu dapet ancaman aja dari Senna, jadi susah buat lo ngajak
PDKT ke Neina. Ngaku aja loo, udaah nggak usah bohong."
"Ngomong apaan sih, lo? Gue nggak ngerti, deh, lo selalu aja ngejodoh-jodohin
gue sama Neina. Gue kan udah bilang sebelumnya, gue cuma anggap Neina
temen. Untuk sekarang, gue lagi nggak cinta sama siapa-siapa."
"Ya ya yaa canda, Vaan. Lo ketus banget, siih. Kan aku jadi takuut, atuuut,"
virus bencongnya kembali menyergap. Nevan bergidik. Entah hantu apa yang
merasukinya sampai harus berteman dengan makhluk macam Ari.
"Tapi omong-omong, lo setuju kagak?" tanya Ari lagi untuk memastikan.
"Gue setuju-setuju aja. Pulang sekolah?"
"Yap!" "Oke." Nevan sepakat.
Kembali dia membuka instagram, ada beberapa notifikasi masuk. Salah satunya;
?@SennaAthallaaaa likes your photo?
?@SennaAthallaaaa comment your photo "Kangen kamu"?
Cepat-cepat Senna menghapus komentarnya, tidak-tidak. Ini memalukan.
Sekarang dia sudah berada di area sekolah, nanti kalau ketemu Nevan gimana?
Bisa gawat, Senna akan menanggung malu, seolah dia yang masih berharap.
Lagipula kenapa sih komentar itu malah terkirim? Ibu jarinya memang nakal.
Senna mendecakkan lidah. Akhirnya komentar konyolnya itu telah terhapus,
namun Senna belum bisa bernapas lega. Berharap Nevan belum sempat
membuka komentar dalam fotonya. Kalau sempat ah tau ah!!!
Ketika Nevan melihat komentar fotonya, komentar dari Senna tiba-tiba
menghilang. Di notifikasi memang ada, tapi di kolom komentar sudah hilang. Itu
artinya, Senna menghapus komentarnya sendiri. Nevan menggeleng, menahan
tawa. Ada-ada aja tu cewek.
"Senna fluuu dari mana aja looo??" Nova bertanya gemas begitu Senna masuk
ke kelas dan berjalan menuju kursinya. Seperti sedang bertemu dengan teman
yang telah lama tak jumpa. Padahal hanya satu hari.
"Gue kemarin gak enak badan aja, makannya nggak masuk." Senna duduk di
bangkunya, berkilah. "Ciuss??? Bukan gara-gara galau mikirin Nevan, kan?"
"What? Galau mikirin Nevan? Buat apa juga gue galauin dia? Helloooow,
cowok itu masih banyak, ngapain juga gue tangisin mantan?"
"Jangan munaaa!!" komentar murid cowok yang sedang sibuk menghapus papan
tulis. "Apaan sih lo main nimbrung aja!" Senna hampir melempari cowok itu dengan
buku paket yang ada di atas meja. Dongkol sendiri. "Siapa yang muna? Tuh lo
tuh yang muna, so so-an bersihin papan tulis pasti ada maunya, kan?" Senna
menuding. "Kalau marah berarti lo ngerasa, dong."
"Anjir ngeselin banget lo!!"
"Bohoong," giliran Sasta yang menggoda. Mana mungkin seorang Senna yang
sangat mencintai Nevan nggak galau karena diputusin.
"Gue pecat lo jadi temen gue!" ancam Senna.
"Eeeh iya sori-sori."
"Sen, ada breaking news buat lo!" kata Nova yang siap meluncurkan berita
paling hot sejagat raya. Yang akan menggemparkan dunia. Sorot matanya
bergelora. Tidak ada inisiatif Senna untuk bertanya, masa bodo.
"Kemarin nih ya. Yayang Nevan kalah tanding, dan sayang bangeet, dia gagal
lolos di babak selanjutnyaaaa," wajah Nova berubah kecewa. Dia sangat
mendabakan kemenangan Nevan tapi nyatanya tim Nevan kalah.
Senna tertegun. Teringat dengan caption Instagram yang Nevan buat. Mungkin
gara-gara kekalahannya, dia menjadi kurang bersemangat.
"Serius lo? Bukannya Nevan jago, masa kalah." Senna mencoba basa-basi.
Sebenarnya dia juga kecewa, itu kan tahap final, kenapa harus kalah? Senna
sangat menyesalinya. "Sttt sstttt stttt jangan ribut! Kebetulan ibu Wina gak bakalan masuk. Gue pengin
lo semua diem" "Ada apaan emang?!"
Murid cowok itu melirik ke arah Dio yang sedang berkaca, merapikan
rambutnya, bersiap untuk menembak Siska di depan kelas. Sebetulnya dia sudah
mempersiapkan ini jauh-jauh hari, dan mungkin inilah waktu yang tepat.
Kesegaran di wajah Senna seketika pudar. Teman sekelasnya sibuk membantu
Dio untuk menembak Siska yang kini hanya cuek, memainkan gadgetnya. Yang
mau ditembak siapa, yang rempong siapa.
Senna malah ingat kembali saat dulu Nevan menembaknya di tengah lapangan,
seusai pertandingan basket.
Saat itu, Nevan menyuruh Senna untuk masuk ke lapangan, lewat perantara Ari.
Jantung Senna berdegup keras saat berjalan menghampiri Nevan yang baru saja
melempar bola ke dalam ring, menunggunya untuk mendekat. Seperti seorang
putri yang dipanggil pangerannya, begitulah khayalan lebay Senna. Pertanyaan
demi pertanyaan berjatuhan di otak, dalam rangka apa salah satu anggota tim
basket mengundangnya kemari.
Di sana, Senna berhadapan dengan Nevan, lagi-lagi Senna harus melihat
senyuman manis semanis madunya. ?Omegot ganteng banget ni cowok, gue
butuh oksigeeen mamaaa gue butuh oksigeeen?
"Lo ngapain ngajak gue ke sini?"
"Lo inget gak gue pernah bilang apa sebelumnya?" tanya balik Nevan,
menyelami wajah Senna yang mulai berpikir. Anak-anak yang masih berada di
sekitar lapangan terpana, melongo. Tidak biasanya pemandangan konyol ini
terjadi di tengah lapangan. Apa yang sebenarnya Nevan lakukan?
"Apa?" "Kalau lo udah ngabisin permen pemberian gue, gue bakal minta satu
permintaan," jawab Nevan mantap. Di belakang, Ari, Satya dan Wildan bisikbisik pelan, saling melempar pertanyaan, mengernyitkan kening. Kepo.
"Ooh permen itu. Iya udah gue abisin kok, sampai gigi gue sakiit." Senna
memegang pipinya yang bersemu merah, malu-malu kucing. Jelas, Nevan lakilaki pertama yang menerbangkan hasratnya. Senna langsung jatuh cinta, bukan
sekadar mengidolakan. "Oke." "Terus? Emang lo mau minta apa dari gue?" Senna sangat tertarik, tidak sabaran
menunggu jawaban Nevan. Matanya berbinar-binar. Karena apa pun yang ia
inginkan, pasti Senna kabulkan.
"Lo mau gak jadi pacar gue?"
Di detik itu juga, Senna merasa angannya terbang lebih tinggi lagi, melewati
lapisan atmosfer. Ketiga teman Nevan yang di belakang, ternganga tak percaya,
apa?! Nevan nembak cewek? Di depan lapangan?! Hari ini malaikat Isrofil harus
segera meniup terompetnya, supaya Nevan gagal nembak Senna. Seperti itulah
harapan teman-teman dan siswa-siswa yang menyaksikan adegan itu.
Senna belum bisa mengatakan apa-apa, terlalu terkejut, terlalu tiba-tiba, dan di
luar logika. Bibir Senna tergagap-gagap, tidak tahu harus menjawab apa. Detak
jantungnya memacu lebih cepat.
Para siswa yang mendengar itu, menggeleng-gelengkan kepala tak percaya.
Perempuan seperti Senna kah tipe Nevan? Cewek yang centil, biang rusuh, dan
menggemparkan. Tidak, ini pasti ada kesalahan teknis.
"Mau mau mau." Senna berseru kegirangan. Tidak ada alasan untuk menolak
Nevan, kalau dia tolak, berarti dia sudah melepaskan mutiara yang selama ini
didambakan di laut. Rugi. Di depannya ,Nevan tersenyum lega, syukurlah Senna
tidak menolaknya. "Oke sekarang kita pacaran, ya?"
"Serius?" Senna masih menganggap tembakan Nevan barusan hanya ilusi
semata. Namun ternyata ini nyata, bukan fantasi.
"Iya. Ya udah gue ke kelas dulu." Nevan bergegas pergi meninggalkan lapangan,
disusul dengan ketiga temannya yang masih memandang Senna dari bawah
sampai atas. Tidak ada yang patut dibanggakan, tidak ada pula yang patut
dikatakan istimewa. Tapi mengapa seorang Nevan menjadikan cewek itu sebagai
kekasih? Senna masih diam di tengah lapangan, sendirian. Terlampau dalam kesenangan
tak terduga. Sekarang dia sudah resmi menjadi pacar dari seorang kapten tim
basket yang banyak penggemarnya. Senna mencubit pipi chubby-nya keraskeras, sakit! Ya, ini nyata, bukan sekadar mimpi belaka. Asiiiiiiik!!!! Senna
nyaris pingsan. Tapi sekarang, menit ini, detik ini, dia bukan siapa-siapa Nevan lagi. Sebatas
teman yang tak akan pernah lagi saling menyapa. Dio sudah berhasil menembak
Siska, akhirnya mereka menjadi pasangan baru di kelas ini. Senna menyeka
pipinya, bingung, mengapa sekarang dia berubah jadi cewek yang cengeng.
Cowok, dengan gampangnya bisa nembak dan mutusin. Cowok bisa dengan
mudahnya melakukan kedua keputusan itu. Dia yang menerbangkan hasrat, dia
juga yang menjatuhkan angan. Mengapa harus cowok yang memilik kemampuan
brilian itu? Sementara cewek? Hanya bisa merasakan kesenangan di awal, dan
kesedihan di akhir. Menerima baik semua keputusan yang dibuat.
Tiba waktunya istirahat. Seperti biasa, Senna Sasta dan Nova pergi ke kantin
sama-sama. Untuk tiba di kantin, mereka harus melewati kelas 11 IPA 2. Begitu
lewat, saat itu pula Nevan dan kawan-kawan keluar dari kelas. Pertemuan pun
tak dapat dihindari. Memaksa kedua mata untuk saling melirik. Kaki-kaki itu
berhenti melangkah. Ari nyengir kuda, "Ehemm ketemu mantaan aduuuh eheeem." Selorohan yang
bermaksud menyindir, lalu ia bersiul ria, memandang langit-langit dengan
watado alias wajah tanpa dosa. Senna dan Nevan sempat saling menatap
seperkian detik, tapi Senna sudah lebih dulu pergi, melanjutkan perjalanannya
ke kantin. Dan Nevan terlihat lebih cuek dan santai, kedua tangannya berada di
kedua saku celana abunya.
"Hehe duluan Nevan ganteeng." Nova melambaikan tangan so imut. Dia sudah
lebih bebas menggoda Nevan, Senna tidak akan melarang lagi, karena dia bukan
pacar Nevan lagi. "Makin ganteng aja tu orang." Nova cengengesan, tak sadar
kalau dia mendapat delikan mata dari Senna.
Nevan berjalan di belakang Senna, tujuan mereka sama, sama-sama pergi ke
kantin untuk mengisi perut. Untunglah, Senna sudah kembali ke sekolah,
membuat Nevan lega karena kemarin ia mendapat kabar kalau Senna bolos.
Nevan bisa memerhatikan punggung Senna dari belakang. Dan di depan,
perasaan Senna tak keruan, merasakan aroma Nevan yang menyergap hidung.
Jantung berdetak tak menentu, menandakan kadar cintanya yang belum bisa
hilang, bahkan sampai setitik debu pun belum. Dan! Yang paling utama, apa
Nevan tahu tadi pagi Senna mengomentari foto Nevan di Instagram? Wajah
Senna memerah. Aduuh gawat.
"Eh kita jadi ya jenguk si Neina?" tanya Wildan lumayan kencang.
Neina lagi. Neina lagi. Senna malas mendengar nama itu. Nevan hanya
mengangguk sebagai tanda persetujuannya.
bagian 24. Diana bertanya tentang Senna yang pernah mengurung dirinya di kamar.
Perempuan itu sempat melupakannya, dan sekarang ia baru ingat dan langsung
bertanya. Siapa tau saja, ada unek-unek Senna yang akan disampaikan.
"Ooh soal itu." Senna melepas tas berukuran kecil dari punggungnya.
"Iyaa. Mama lupa kemarin nggak tanya soal itu. Kamu gak pa-pa, kan? Kamu
gak ada masalah, kan?"
"Soal itu aku" Senna masih ragu, apa ia akan menceritakan tentang asmaranya
kepada Diana atau tidak. Gelisah.
"Kok kaya gugup gitu? Ooh iyaa Mama tau, pasti gara-gara cowok, kan? Garagara cinta, kan?" Diana menebak. Sepemikiran dengan Bi Ijah, ketika remaja
seusia Senna galau, pasti gara-gara cinta. Cinta yang sebenarnya bukan prioritas
bagi seorang pelajar. "Aku baru diputusin Nevan. Makannya aku mogok segalanya." Senna berusaha
menyembunyikan kesedihan yang masih tersisa. Wajahnya biasa saja, nada
bicaranya biasa saja, tapi mata tidak bisa berbohong. Kebohongan itu akan
terlihat lewat mata, apalagi yang melihat adalah orangtua kita sendiri, orang
yang merawat kita dari kecil, orang yang sangat mengenali kita. Jadi berhenti
bersandiwara di depan mereka, tak usah sembunyi.
"Tuuuh kaan. Mama kan pernah bilang, kamu itu gak boleh pacaran Senna. Jadi
sakit hati kan akibatnya?" Diana sudah menduga dari awal. "Jangan deh kamu
main hati sama mereka. Sebelumnya kan Mama udah kasih tau, kamu fokusin
aja sama sekolah kamu yang nilainya jelek-jelek itu."
"Iiii Mama!" Senna masygul. Gemas dengan ucapan mamanya yang malah
memojokkan anaknya sendiri dan meledek tentang nilai jebloknya. Senna
meruncingkan bibir. "Mama bener! Coba aja kalau kamu nggak pacaran, nggak bakal ngerasain sakit
hati, kan? Mama itu pengalaman Senna."
"Tapi Nevan nggak seburuk Papa." Meski dia bukan pacar Nevan lagi, tapi ia
masih saja membela mantannya itu di depan Diana. "Lagipula, dia yang nembak
aku, bukan aku yang mau pacaran. Nevan kok yang ngajak."
"Dia juga kan yang mutusin?"
Senna melotot. "Kamu itu ya, mau aja dimainin sama cowok. Udah mending sekarang dengerin
Mama. Kamu lupain tentang pacaran, Mama bakalan siapin jodoh buat kamu,"
ungkap Diana, mendadak. "Ih apaan sih Ma jodoh-jodohan. Ini bukan zaman Siti Nurbaya keles! Udaaah
ah Senna nggak mau mikirin tentang cowok!"
"Ya udah bagus kalau gitu."
"Dih?" "Kenapa? Emang bener, kan? Dari awal Mama gak pernah setuju kamu pacaran.
Jadi gini, kan." "Tapi aku masih cinta sama Nevan," rengek Senna yang masih belum menerima
kenyataan. Mulut dan hatinya selalu kontra. Dia ingin menangis, dan berteriak
?GUE NGGAK BISA HIDUP TANPA NEVAN!?
Tadi waktu di kantin, Senna lebih sering memerhatikan Nevan yang sedang
ngobrol sambil ngopi dengan teman-temannya. Tanpa berani menyapa. Lebih
asik sewaktu belum saling mengenal, Senna lebih leluasa menyapa dan
memberikan senyum kepada Nevan, walau terkadang alay.
Sering sekali Senna tertangkap basah oleh si pemilik mata ketika sedang
mencuri-curi pandang. Senna memasukkan beberapa sendok sambal ke dalam
mangkuk baksonya, dengan mata terus tertuju kepada Nevan. Tidak peduli
dengan rasanya nanti, pedas, pedas sekalian. Dulu, selalu ada yang melarangnya
makan cabai banyak-banyak, tapi sekarang tak ada lagi. Orang itu sudah pergi
dan sibuk dengan teman-temannya, tak akan pernah memedulikannya lagi, tak
akan pernah melarang ini itu, orang itu benar-benar telah jauh dari
jangkauannya. Cinta Nevan yang diberikan untuknya terlalu besar, bagaimana bisa Senna


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melupakan itu semua. Senna rindu kebersamaan mereka, rindu dinasehati Nevan,
rindu kelembutannya, rindu kenangan-kenangan manis yang dulu dijalin. Rindu
menyanyi bareng, karokean di Mall.
Senna menarik ingusnya, bakso yang ia makan benar-benar pedas, sampai
menimbulkan air di ujung mata dan hidung.
"Lo kenapa, Sen?" tanya Sasta cemas.
"Pedes, gue kepedesan." Pandangan Senna masih datar.
"Minum-minum." Dengan gesit Nova menyodorkan sebotol air mineral. Senna meminumnya,
sebenarnya dia menangis bukan karena pedas, melainkan ingat Nevan. Dia tidak
bisa terus-menerus seperti ini.
Senna bangkit dari duduknya, berniat meninggalkan kantin, tidak tahan.
"Gue mau ke toilet dulu," pamitnya berlalu. Nova dan Sasta saling memandang.
Neina senang dengan kedatangan teman-teman sekelasnya, apalagi dengan
keberadaan Nevan. Seusai bercakap-capak dan bercengkerama, tertawa karena
gurauan Ari seperti biasa, mereka hendak berpamitan pulang, satu jam untuk
mengobrol rasanya sudah cukup. Namun Neina belum mengizinkan Nevan
pulang, mencegah setelah Ari menutup pintu. Memberikan kesempatan agar
mereka bisa berduaan. Neina mengubah posisi, menjadi duduk, dibantu juga oleh Nevan. Sebelumnya
Nevan bertanya, tapi pertanyaannya tidak digubris Neina. Gadis itu membawa
sebuah benda di atas bufet, benda berukulan kecil, warnanya pink. Nevan
mengenalinya, sudah tak asing lagi di mata.
"Jepitan itu" "Iya. Ini jepit milik Senna."
Nevan mengubah ekspresi, keningnya berkerut. Seolah meminta penjelasan
mengapa jepit rambut Senna bisa ada di sini. Mana mungkin Senna menjenguk
Neina ke tempat ini? Hal yang tidak mungkin. Itu pasti milik orang lain, Nevan
langsung berasumsi meski Neina sudah mengatakan kalau benda itu jelas milik
Senna. "Iya, kemarin dia dateng ke sini." Neina memberikan jawabannya,
menghentikan kebingungan Nevan.
"Jenguk kamu?" Neina menggeleng, "Bukan."
"Terus?" "Aku yang minta dateng."
Bukannya terbebas dari kebingungan, pertanyaan aneh malah kembali muncul di
benaknya. Neina menyuruh Senna ke sini, lantas Senna langsung
mengabulkannya? Rela bolos sekolah, hanya untuk memenuhi keinginan Neina,
Neina yang tidak berarti apa-apa dalam hidupnya, Neina yang selalu ia benci,
Neina yang selalu ia musuhi. Neina yang memuakkan.
"Kamu kaget?" Di hari ini Neina sudah mulai menampakkan kemajuannya,
kesehatannya sudah pulih walaupun belum begitu signifikan. Wajah itu tidak
terlalu pucat. Beberapa hari lagi, dia sudah diperbolehkan untuk pulang. Kendati,
rasa kecewa kepada orangtuanya belum bisa sirna.
"Lo nggak ketularan virus jail Ari?" pertanyaan yang diluncurkan Nevan
mengundang tawa Neina. "Kayaknya Senna belum ngasih tau apa-apa ke kamu, ya? Padahal kan kamu
pacarnya, berarti selama ini dia nyimpen semuanya sendirian" Nevan hendak
berkata bahwa dia tidak mempunyai hubungan apa-apa lagi dengan Senna, tapi
Neima sudah lebih dulu mengulurkan tangan, memberikan jepitan rambut Senna
kepadanya. "Aku takut dia nyariin ini. Nanti kamu kasihin, ya."
Nevan hanya menerima, tanpa mengatakan apa-apa. Itu adalah jepitan rambut
pemberian Nevan sendiri saat mereka masih memiliki hubungan spesial. Bahkan
semua aksesoris yang niatnya akan diberikan kepada Senna, sekarang masih
tertinggal di rumah Nevan. Kalau saja pertengkaran di cafe itu tidak terjadi,
mungkin semua aksesoris itu sudah berada di tangan Senna.
"Gue udah putus sama Senna." Nevan memandangi jepitan rambut di tangannya.
Cara berkatanya yang cuek, tidak menghadirkan keterkejutan bagi Neina. Gadis
itu mengedip-ngedipkan mata, meminta pengulangan kata. Jadi benar, Senna
memang sudah putus dengan Nevan, jadi kemarin Senna tidak berkamuflase. Dia
serius dengan ucapannya. Dan yang jadi pertanyaan Neina adalah, apa yang menjadi argumen putusnya
mereka. Hanya ada satu keyakinan Neina, pasti ini kesalahannya. Nevan
mengangkat kepala, "Mungkin gue sama Senna emang nggak cocok." Alih-alih
Nevan mengerti dengan reaksi yang diterbitkan Neina. Tanpa bertanya, Nevan
sudah tahu apa yang berada di kepala Neina.
"Aku udah tau. Kemarin Senna udah bilang"
"Senna curhat? Masa, sih?" Nevan semakin kelabakan, sebenarnya apa yang
terjadi di antara mereka? Membingungkan!
"Bukan begitu, kemarin"
"Lo harus jawan pertanyaan gue dulu. Kenapa lo pengin Senna dateng dan
kenapa Senna langsung nurutin? Bukannya kalian" untuk kedua kalinya
Nevan memotong ucapan Neina.
"Kita ini sodaraan, satu Ayah." Neina memenggal dengan jawaban singkat
namun terdengar mencengangkan di telinga Nevan. Masih belum mengerti, tibatiba romannya berubah gelisah. Ini serius, atau bohong, ini karangan, atau nyata.
Otak Nevan serasa berputar.
"Pasti Senna nggak kasih tau hal ini ke siapa pun termasuk kamu. Kamu tau,
waktu aku pingsan di UKS itu? Waktu ada Senna."
Nevan menggaguk paham. Saat itu juga dia memutuskan hubungannya dengan
Senna, saat itu juga dia mengatakan putus di depan Senna.
"Saat itu aku tau semuanya. Aku kaget setelah Senna cerita, aku syok, aku gak
terima. Aku gak terima kalau sebenernya Mama aku yang udah rebut Papa
Senna dari Mamanya." Rasa bersalah kembali menyergapnya. Menceritakan hal
ini kepada orang lain, sama saja dia sudah membeberkan aibnya.
Cerita Neina masih menggantung, belum sempurna. Nevan semakin bertanyatanya, penasaran, ingin mendengar cerita sepenuhnya. Tak pernah sekalipun dia
mendengar secuil cerita dari Senna tentang keluarganya. Selama ini dia hanya
diam, dan berkata kalau papanya sudah lama meninggal. Bagaimana Nevan tidak
terkejut ketika Neina baru saja mengatakan kalau ayahnya adalah Ayah dari
Senna juga. Jadi selama ini Senna berbohong kepada semua orang?
"Awalnya aku emang nggak percaya, tapi ternyata semuanya bener. Maaf aku
lancang udah kasih tau hal ini ke kamu. Tapi kamu berhak tau, aku takut kamu
mutusin Senna gara-gara aku. Aku takut kamu marah karna Senna selalu
ngelakuin tindakan buruk ke aku. Aku berhak dapet semua perlakuan itu, aku
berhak dibenci Senna. Jadi kamu nggak usah nyalahin Senna lagi, sekarang
semuanya udah jelas, kan?"
Selama ini Nevan sudah berusaha agar Senna mau bercerita tentang masalahnya,
tentang alasan rasa benci yang ditimbul kepada Neina. Tentang semuanya. Tapi
Senna selalu enggan bercerita, dan malah berbalik marah. Jika saja dia mau
bercerita, mungkin Nevan akan memberikan solusi. Ia menyesali hal ini,
seharusnya berita ini terlontar di bibir Senna.
"Dan kamu pun, kamu boleh benci sama aku. Aku malu sama diri aku sendiri.
Aku orang yang udah ngehancurin kebahagiaan Senna," lirih Neina dengan rasa
sesal yang mendalam. "Lo nggak salah." Nevan mencoba mengusir rasa bersalah yang mungkin telah
berkubang lama dalam jiwa Neina. "Ini adalah kesalahan orangtua lo, lo nggak
ikut andil dalam masalah ini. Lo juga korban, sama kayak Senna."
Kata-kata Nevan memang ada benarnya, tapi itu semua tidak cukup membuat
hati Neina tenteram. Rasa bersalah itu akan terus menghantui, akan terpatri,
apalagi ketika ayahnya memberikan kasih sayang penuh.
"Thanks buat informasinya, Na, gue balik dulu." Nevan masih terlalu kaget
dengan berita itu, hingga ia memilih untuk pulang, supaya bisa menenangkan
perasaannya. Nevan sudah membuka pintu, Neina segera turun dari ranjang, berniat menyusul
Nevan. Ia tidak bisa berlama-lama memendam perasaannya, tidak bisa menahan,
beban itu terlalu berat untuk ditanggung sendiri. Neina tidak bisa menunggu. Ini
adalah situasi yang pas untuk mengungkapkan isi hati, agar Neina tidak tersiksa.
"Tunggu, Van." Neina mencekal tangan Nevan di lawang pintu. Langkah cowok
itu terhenti sesuai permintaan Neina, hendak berbalik. Namun Neina mencegah,
lebih baik Nevan membelakanginya, Neina tidak mempunyai keberanian penuh,
dia terlalu malu. "Sebelum kamu pergi, izinin aku ngasih tau kamu sesuatu, rahasia aku. Yang gak
boleh siapa pun tau. Kamu pun, harus cepet-cepet hapus ingatan kamu kalau aku
pernah bicara ini." Neina gamang. "Sebelumnya, maaf kalau kamu sama Senna
putus gara-gara aku. Maaf kalau keberadaan aku, udah bikin kalian sering
berantem. Maaf karena kehadiran aku, udah ngerusak hubungan manis kalian.
Maaf buat semuanya," suara Neina memelan. Jantungnya semakin kencang
berdetak, beberapa kali menelan air liur.
"Maaf karena aku udah lancang jatuh cinta sama kamu"
Nevan tergemap. Neina mencintainya? Posisi Nevan masih membelakangi Neina
yang berusaha menanggung malu. Ia ingin berbalik, tapi Neina tidak mau
mengizinkan. Tangan itu masih menggenggam tangan Nevan, kian erat. Semakin
jengah. "Aku gak tau kenapa perasaan ini bisa tumbuh tanpa bisa aku cegah. Aku gak
tau kenapa aku bisa cinta sama kamu. Aku tau, perasaan aku ini udah ngelanggar
hukum, Senna pasti marah besar kalau dia tau aku cinta sama kamu. Jadi tolong,
kamu lupain ucapan aku ini, jangan pernah bahas."
Nevan meneguk ludah. Benarkah Neina sedang mengungkapkan perasaannya?
"Mungkin selama ini terlalu kegeeran. Padahal, kamu cuma anggap aku temen,
bahkan cuma temen baru. Tapi aku malah punya harapan lebih, maaf."
Keduanya teringat akan pertemuan pertama. Saat Nevan membiarkan Neina
duduk di sebelahnya, saat mereka mulai berkenalan, sampai membuat Bu Ida
yang sedang mengajar marah. Saat Nevan memberi pinjaman jaket kala rok
Neina kotor. Saat Nevan menggendong Neina ke UKS sewaktu Neina pingsan
gara-gara lemparan bola. Sebenarnya, apa yang membuat dirinya spesial sampai Neina jatuh cinta?
Kenapa hal itu harus terjadi, Nevan tidak ingin mematahkan hati Neina dengan
mengatakan bahwa dia hanya menganggap Neina teman. Kenapa rasa cinta itu
harus berbenih di hati Neina? Nevan memejamkan mata pelan.
"Aku gak berharap apa-apa, kok. Yang penting aku udah ungkapin rasa yang
sesungguhnya. Oke, Van. Kamu boleh pergi," perlahan Neina melepaskan tangan
Nevan, mundur, punggung Nevan masih terlihat, lalu masuk dan langsung
menutup pintu. Menyatakan perasaan kepada lelaki, bukanlah hal mudah. Neina
bersyukur bisa melakukan itu, walaupun nanti ia akan merasakan sakitnya cinta
bertepuk tangan. Neina bersandar di daun pintu, kecemasan mendominasi wajah dan pikiran. Apa
terdengar menggelikan? Lihatlah, dia baru saja mengungkapkan perasaan yang
selama ini mengggebu-gebu kepada seorang lelaki. Tindakan kali pertama yang
ia lakukan. Di sepanjang hidupnya.
Sejenak Nevan menoleh ke pintu yang sudah tertutup, tak ada sosok Neina, lalu
melangkah lagi, meninggalkan lokasi. Menyusuri koridor dengan jepitan rambut
di tangan. Hari ini dia mendapat banyak kabar mengejutkan. Tentang Senna,
juga Neina. Sampai tiba di luar rumah sakit, Nevan masih melamun. Jepitan rambut di
tangannya, memberikan sensasi harum shampo yang sering dipakai Senna.
Jika saja Senna bisa menjadi lebih dewasa, pasti sekarang mereka masih
bersama-sama. Dia masih sangat menyayangi Senna, tapi keadaan selalu tak
sejalan. Untuk apa tetap mempertahankan hubungan jika setiap hari harus
bertengkar. Nevan, sangat-sangat menyayangi Senna, ingin membahagiakannya, melupakan
kesedihannya. bagian 25. Hari ini Neina sudah diperbolehkan untuk pulang. Namun tetap, ia harus
istirahat penuh di rumah, tidak boleh beraktifitas dulu sebelum kondisinya betulbetul pulih. Berjalan ke dalam rumah, dituntun Tania. Selama perjalanan pulang,
tidak ada percakapan apa-apa di antara mereka. Neina masih terlalu kecewa,
hingga menyulitkan dia untuk kembali seperti semula. Semula yang dekat sekali
dengan orangtuanya, semula yang manja dengan mereka. Sekarang dia menolak
semua bantuan yang diberikan Tania ataupun Ardi.
Neina mendiami Tania, masuk ke dalam kamar. Tania harus lebih bersabar
menghadapi putrinya yang berubah. Di belakang, Ardi mencoba membujuk
Tania agar dia tidak perlu terlalu memikirkan Neina, anak itu hanya butuh
sendiri dan pelan-pelan bisa memaafkan mereka.
"Kalau aja dulu Papa nggak nikah lagi, pasti semua ini gak bakal terjadi." Dalam
situasi begini, emosi Tania bisa cepat naik dan turun dalam waktu singkat.
Menyalahkan apa yang ada di depan mata.
"Semuanya udah terlanjur, mau gimana lagi, Ma?"
Tania malas berdebat, dia langsung pergi dari hadapan Ardi. Mulai memikirkan
bagaimana caranya supaya dia dan Neina bisa kembali akur seperti sebelumnya.
Tania sangat merindukan Neina, rindu bercanda dengannya. Dalam beberapa
hari ini, ia belum pernah lagi melihat senyum Neina yang mengembang,
mendengar suaranya. Di dalam kamar, Neina meraih sebingkai foto yang terpajang di atas nakas.
Dalam foto itu, ada gambar wajahnya yang sedang tertawa, diapit oleh kedua
orangtuanya yang juga sama-sama tersenyum sukacita. Mereka memang baik,
satu kesalahan yang dilakukan di masa lalu, tak mampu membuat Neina
menumbuhkan rasa benci. Dia hanya kecewa, mengapa mereka malah
menyembunyikan hal sebesar itu kepadanya. Mengapa papanya harus
meninggalkan Senna, dia bisa kok berbagi kasih sayang seorang Ayah.
Seharusnya dia bisa adil.
"Nevan?... Ngapain lo ke kelas gue?" Senna masih belum percaya mengapa
Nevan bisa tiba-tiba datang ke sini, dan menemuinya. Sama seperti saat dulu dia
memberikan sekotak permen. Nevan memandangnya dalam, memacu jantung
Senna. "Ada yang harus gue omongin ke elo. Ini penting, menyangkut isi hati gue."
Senna terdiam dalam jangka waktu panjang. Tentang isi hatinya? Apa Nevan
ingin menarik kembali ucapan yang mengajaknya untuk putus?
"Lo mau nggak jadi pacar gue lagi? Kita balikan, yuk?"
"Ciyeeeeeeeee!!! Ekhemmm celebek-celebek," sorak murid-murid yang berada
di kelas 11 IPS 5. Menyaksikan aksi Nevan yang kembali menembak Senna
untuk yang kedua kalinya.
Mulut Senna terbuka, membentuk huruf O. Hatinya berbunga-bunga. Matanya
berbinar-binar. "Mauuu" Nevan menyeringai puas, dia mendekatkan wajahnya ke wajah Senna, Senna
memejamkan mata, menunggu apa yang akan segera dilakukan Nevan. Oke, kali
ini Senna harus bersabar, setelah sekian lama akhirnya Nevan mau juga
mencium bibirnya. Satu Dua Tiga.
BRUK! Tubuh Senna terhempas ke kramik yang dirasa sangat dingin. "Addduuuh!" ia
meringis kesakitan memegang bokong dan punggungnya, nyeri itu menjalar di
tubuhnya. "Iiiih! Kenapa gue jatuh segala, sih!" Rambutnya masih acak-acakan,
begitu pun baju dengan baju piamanya.
"Aaaa cuma mimpiii Kirain Nevan ngajak gue balikan. Kenapa juga gue harus
terima dia di mimpi itu, kalau aja nggak, pasti Nevan asli ngajak gue balikan,"
umpat Senna naik pitam, berusaha berdiri lalu naik ke atas kasur, mimpi itu
benar-benar mengganggu tidur nyenyaknya. Tak sengaja mata itu berhenti pada
jam waker yang bertengger di atas nakas, jarum menunjukkan pukul setengah
tujuh pagi. Senne melotot sekaligus memekik keras. "Whaatttt?? Jam tujuh????" suaranya
hampir menggoyangkan rumah, layaknya goyangan gempa berskala tinggi.
Cepat-cepat Senna mengurungkan niat untuk tidur lagi, dia harus mandi, ganti
baju dan pergi ke sekolah. Tapi kalau mandi dulu, malah makin kesiangan.
Okelah, untuk hari ini Senna tidak mandi. Mencuci muka dan gosok gigi akan
lebih cepat dan mempersingkat waktu. Walaupun sambil menggerutu, acara siapsiapnya hampir selesai.
Ia memakai baju seadanya, lalu swater biru yang masih bersih. Untuk
menghilangkan bau, Senna memakai semprotan parfum di sekujur tubuhnya.
Sampai wanginya menyengat, Senna bersin.
"Sial banget sih hidup gue!" Senna menyambar tas mininya, lalu berlalu keluar
dari kamar. Senna berlarian kecil menuruni anak tangga, di bawah ada Diana dan bi Ijah
yang sedang sarapan. "Mama nggak bangunin Senna?" ia membenarkan tali sepatu yang barusan
dipakai. Berjalan rusuh mendekati meja makan. Sepertinya, selain tidak mandi,
ia juga tak akan sarapan. Senna pasrah.
"Biasanya kan bangun sendiri. Kirain Mama kamu libur. Makannya nggak
Mama bangunin, takut ganggu."
"Iiiiih. Bibi juga!" amarah Senna terlempar kepada bi Ijah yang sedang menata
makanan di atas meja. "Kirain bibi Non Senna udah bangun."
"Euuuh ya udah!"


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tanpa mengucap salam, Senna melengos pergi. Ia hanya punya waktu 15 menit
untuk tiba di sekolah. Padahal perjalanan ke sekolah, membutuhkan waktu
sekitar 20 menit. Senna masuk ke dalam mobil, beberapa kali menghidupkan gas, tapi mobil tak
kunjung menyala. Senna mendengus dan menggerutu gemas. Nyatanya,
mobilnya kehilangan asupan bahan bakar. Senna menepuk jidat. Sial sial sial!! Ia
segera turun dari mobil, berlari ke luar halaman. Menunggu taksi lewat, harus
membuang waktu yang tersisa 13 menit.
Senna mengacak-acak rambutnya sampai berantakan. Lantas mengeluarkan
ponsel dalam sakunya, berniat menghubungi seseorang.
?Van, jemput aku di ru? Astaga! Senna menghapus apa yang baru saja dia
ketik, gila. Kenapa dia harus meminta jemput Nevan? Nevan siapanya? Dia
siapanya Nevan? Nevan siapa? Senna mengutuki diri sendiri. Bodo bodo bodo.
Begini nasib jomblo, tak ada kendaraan yang bisa menjemputnya kapan saja. Tak
ada yang bisa diandalkan.
Satu menit berlalu. 12 Menit lagi.
"Gimana ini? Masa gue harus naik angkot, masa gue harus jalan duluu?" Senna
mengucek-ucek matanya. Benar, ini memang hari sialnya. Dengan terpaksa
Senna harus melangkah, berjalan menuju tepi jalan raya, sambil berharap ada
taksi yang mau lewat, atau tukang ojek ganteng yang mau menawarkan
tumpangan. Hukuman dengan alasan kesiangan tak dapat dihindari. Dan yang
lebih parah, Pak Satpam tak akan mau membukakan pintu jika telatnya melebihi
waktu pukul tujuh lebih 15 menit.
Senna melambaikan tangan, menghentikan salah satu angkot yang meramaikan
jalan. Untuk pertama kalinya ia naik angkot, tak apa, Senna jadikan ini sebagai
pengalaman. Pengalaman baru sekaligus buruk.
Yang ini lebih sial lagi, Senna hanya mendapatkan tempat duduk secuil, diimpit
oleh ibu-ibu berbadan gemuk, yang membawa belanjaan dari pasar. Bau udang
mentah, bau seledri, bau ayam mentah, bau ikan mentah, menyergap hidungnya.
Senna membekap hidung dan mulutnya, tak tahan dengan bau dalam angkot
yang ditumpangi. Kalau kayak gini, badan Senna akan lebih bau. Ya Tuhaaan, ia
ingin segera turun. Sesekali juga angkot berhenti mendadak, entah menurunkan atau menaikan
penumpang. Kaki Senna menjadi pegal, angkot ini menyiksanya. Wajah Senna
sudah tak berbentuk lagi, cemberut selama perjalanan. Melirik arlojinya, waktu
sudah menunjukkan pukul tujuh pas! Perut Senna keroncongan meminta
makanan. Senna kelimpungan.
"Kenapa, neng?" tanya salah seorang penumpang laki-laki. "Kalau nggak cukup,
sini gendong sama emang aja."
"Iiih amit-amiit." Senna bergidik jijik. Ia tak tahan lagi. Dan sekarang, jalanan
semakin macet. Belum lagi, asap rokok mengepul di dalam angkot, berasal dari
tiupan bapak-bapak yang duduk dekat sopir.
"Bang kiri-kiri, bang! Kiriii!!" seru Senna melengking. Sopir menepikan
mobilnya. Beberapa pasang mata tertuju kepadanya, mungkin gara-gara
suaranya yang keras. Padahal Senna belum sampai, tapi ia ingin turun dari angkot menyebalkan ini.
Begitu turun, ia membayar uang. Angkot pun kembali melaju.
Senna memutuskan, hari ini ia tak akan berangkat ke sekolah, percuma. Kali-kali
bolos. Ia berjalan di trotoar sambil memikirkan kemana ia akan pergi. Senna
berhenti di depan halte, memandangnya sesaat dan mengambil keputusan kedua,
lebih baik duduk dulu di sana.
?Hari ini gue izin ya.? Pesan itu terkirim ke nomor Sasta.
Ada beberapa gerombolan anak kecil berbaju compang-camping yang
mengamen di stop-an. Pakaian mereka lusuh tak terurus, juga rambut yang
lepek. Namun, mereka sangat bersemangat mencari uang, pasti demi kebutuhan
hidup, agar mampu bertahan di atas kerasnya kehidupan. Ada pula orangtua
yang duduk di pinggir jalan, meminta sumbangan kepada orang yang berlalulalang. Ternyata, beginilah keadaan orang-orang di luar sana. Apa mereka pernah
bertanya, apa Tuhan itu adil? Si miskin semakin miskin, sementara si kaya
semakin kaya. Orang seperti dia pun, selalu bertanya demikian, bagaimana
dengan mereka? Senna tak pernah membayangkan bagaimana jika dia hidup dalam kemisikinan,
hidup di jalanan, serba kekurangan. Ia menelan ludah, selama ini ia tak pernah
bersyukur. Tak pernah menyadari, betapa senangnya dia hidup, memiliki
orangtua kaya raya. Memiliki pembantu yang siap melayani segala keperluan di
rumah. Memasakannya masakan untuk makan pagi siang malam.
Sejak kecil, kalau ia ingin jajan, tinggal meminta kepada Mama dan papanya.
Tapi anak-anak itu, untuk makan pun tak ada, bagaimana untuk membeli jajanan
apalagi baju? Harus mencari uang ke sana ke mari, entah mengamen, atau
menjual kantung plastik. Kadang, ada juga yang memilih jalan pintas; mencopet.
Itu bagi anak-anak yang tidak memiliki keimanan tinggi, tapi wajar, mereka
hanya ingin bertahan hidup.
Senna beranjak dari duduknya, sudah satu jam lebih dia berdiam diri di sana,
mengamati suasana kota Jakata. Ada dua orang anak kecil laki-laki yang berjalan
ke arahnya. "Kak, sepatunya mau disemir, nggak? Tuh sepatunya kotor," tangan anak itu
menunjuk ke bawah---sepatu yang dipakai Senna.
"Enak aja bilang sepatu gue kotor. Bersih, kok. Bilang aja mau dapetin duit."
"Ya udaaah biasa aja kali. Kita cuma mau nawarin dong."
"Orangtua kalian emang kemana? Tega banget nyuruh kalian kerja."
"Biasanya yang kerja Bapak saya, tapi dia lagi sakit."
"Mama?" "Ibu kami udah meninggal," keduanya merunduk.
Senna terpegun. Kehidupan mereka benar-benar mengenaskan. Sudah
ditinggalkan Ibu, sekarang ayahnya malah sakit, mereka pula yang
menggantikan pekerjaannya, menafkahi keluarga.
"Ya udah yuk, Dek," kakak dari kakak beradik itu mengajak pergi.
"Eh tunggu!" Senna menghentikan kepergian mereka. Kasian juga, barusan dia
sudah membentaknya. "Ya udah, nggak usah semir sepatu." Senna mengeluarkan selembar uang 50 ribu
dari saku bajunya. Itu adalah bekal sekolah Senna, kebetulan hari ini dia bolos,
jadi uang itu tak akan terpakai. "Nih," ia memberikannya kepada kedua anak
kecil di depannya. Sebelumnya, Senna tak pernah merasa seiba ini pada orang
lain. Rasanya, tangan itu ingin sekali memberi.
"Apaan itu, Kak?"
"Udah terima aja!" Senna menyimpan uang itu di tangan si Kakak, secara paksa.
"Uangnya harus dipakek sama hal yang berguna. Awas kalo nggak, gue pites
lo!" Belum sempat mengucapkan terima kasih, Senna sudah lebih dulu berbalik
pergi. Adik kakak itu saling memandang, uang 50 ribu di tangan kakaknya
seperti uang senilai 50 juta, jarang ditemukan. Biasanya receh 500 rupiah atau
100 rupiah. Paling besar pun hanya sebatas dua ribu atau lima ribu. Beruntung
mereka menawari semiran kepada kakak cantik barusan. Mereka kira, kakak
perempuan itu adalah gadis yang sombong, dapat dilihat dari wajahnya yang
selalu ditekuk. Judes. "Galak-galak tapi baik, ya kak."
Kakaknya mengangguk setuju.
Sejenak Senna menoleh ke belakang, entah mengapa ada euforia yang
menghampiri setelah membantu mereka. Ada untungnya dia bangun kesiangan,
karena sekarang, Senna merasa dirinya cukup. Senna bersyukur, masih ada
Mama yang sangat menyayanginya, memberinya harta benda, juga kasih sayang.
Tapi selama ini Senna selalu merasa kalau hidupnya serba kekurangan. Merasa
hidup tak adil. Anak jalanan seperi mereka masih bersemangat untuk hidip, gigih dalam
menjalani setiap rintangan, meski dengan segala kekurangan dan keterbatasan.
Tidur di kolong jembatan, makan seadanya.
Sementara Senna? Hanya putus cinta pun, sudah sangat membuat dirinya
terpukul dan kehilangan semangat hidup. Padahal itu hanya putus cinta, bukan
masalah yang patut ditangisi atau dibebani. Senna malu pada dirinya sendiri
yang selalu mengeluh. Hanya melihat Neina yang bahagia, mereka yang
memiliki keluarga utuh, tak pernah melihat ke bawah, kepada kehidupan yang
lebih sengsara. Senna menyusuri trotoar, melamun dan merenung. Sadar, selama ini dia selalu
egois. Merasa kalau dialah orang yang paling terluka.
Matahari semakin naik ke peraduan, hawa panas semakin menyeruak. Ada
pedagang es kelapa muda, tiba-tiba Senna haus. Ia mengintip saku bajunya,
tersisa uang lima ribu rupiah, sisa uang jajan kemarin. Kalau dibelikan kelapa
muda, bagaimana caranya ia pulang?
Baru pertama kalinya Senna merasa kekurangan uang. Dan itu, membuatnya
sadar betapa sulitnya mendapat uang, walaupun hanya seratus perak. Uang yang
kadang selalu disepelekan oleh kebanyakan orang, termasuk dirinya.
"Kayaknya gue harus pulang, deh," gumamnya pelan. "Dan harus naik angkot
nyebelin itu lagi? Iuuuuh." Tapi mau bagaimana lagi, hanya itu satu-satunya cara
agar dia bisa pulang. Namun ia tak akan pulang sekarang, suasana angkot di
siang hari seperti ini pasti akan lebih parah ketimbang tadi pagi. Sore hari lebih
baik. "Kayaknya ini emang bener-bener hari sial gue, deh!" Senna kembali
melanjutkan perjalanan. Tak sengaja, ia melewati sebuah warung, warung yang
dulu pernah disinggahinya bersama Nevan saat hujan turun. Sejenak Senna
berdiri di depan warung yang kini tutup.
Di sini, di sini mereka bermain hujan. Di sini Nevan menalikan tali sepatunya
yang terbuka sampai membuatnya jatuh. Di sini, mereka tertawa bersama
siraman air hujan, bermain air sama-sama sembari menari-nari seumpama anak
kecil. Dalam setiap embusan napas, mengapa ia selalu ingat Nevan? Bahkan dalam
mimpi pun, masih saja ada Nevan yang memberikan harapan. Apa di sana dia
juga selalu memikirkannya? Atau, tidak peduli?
"Senna nggak sekolah?" tanya Nevan kepada dua sejoli yang selama ini menjadi
teman baik Senna. "Izin katanya, gue nggak tau dia kemana. Dia cuma ngasih tau izin doang."
"Kenapa? Ada apa lo nyari Senna?" tanya Nova.
"Ada yang harus gue omongin ke dia."
Hari ini Senna hanya butuh waktu untuk sendirian. Berpikir jernih dan
menenangkan perasaan setelah hari-hari sebelumnya dihujani masalah. Untuk
sehari ini menjadi gelandangan, merasakan susahnya jadi mereka agar dia bisa
menjadi orang yang lebih bersyukur.
Seseorang mendekatinya, mengintai ponsel yang tergeletak di sebelah Senna
masih asik melamun. Perlahan, cowok bertopi dan bertato itu meraih ponsel
Pulang 3 Kutukan Bangsa Titan Percy Jackson And The Olympians 3 Karya Rick Riordan Siluman Hutan Waringin 1

Cari Blog Ini