Ceritasilat Novel Online

Triangle 5

Triangle Karya Jaisii Quwatul Bagian 5


milik Senna. Tentu, pandangan Senna yang tertopang oleh lutut, melihat
ponselnya diambil. Bertepatan saat itu, Senna mengangkat kepala. Cowok itu mulai kabur,
membawa hp-nya. "Copeeet!!!" pekiknya, lantas ikut berlari mengejarnya.
"Copet!!!" Senna menunjuk-nunjuk cowok bertato itu, berlari sekencang
mungkin. Ponsel itu sangat berharga, ponsel itu banyak menyimpan fotofotonya, lagu-lagunya, juga nomor-nomor teman-temannya. "Copeeeeeettttt!!!!
Gue gak bakal biarin lo ngambil hp gue!!! Berhenti loo!!!"
Sampai tiba di pertigaan jalan, Senna terus berlari tanpa memedulika kendaraan
yang melintas ramai. Mendapat klakson dari beberapa motor dan mobil. Kali ini
Senna berhasil melewati jalan raya. Akibatnya, jarak dia dengan copet
menyebalkan itu semakin jauh. Senna semakin gondok, kenapa sih di dunia ini
harus ada yang namanya copet???
Senna tidak menyadari ada motor melintas saat ia akan menyebrang lagi. Dan,
keberuntungkan berpihak kepadanya. Motor itu berhenti, mengerem mendadak,
di depan tubuh Senna. Senna terkejut dalam diam ketika mendengar decitannya,
hampir saja nyawanya yang berjumlah satu melayang.
"Goblok! Anjing!" umpat si pengendara sepeda motor kepada Senna. Senna
mundur, mengusap dadanya yang berdegup keras. Dia orang pertama yang
melontarkan kata sekasar itu. Hatinya sakit. Motor kembali melesat.
"Dasar idiot! Lo yang mau nabrak gue kenapa lo yang marah?! Harusnya gue
yang nuntut elo! Harusnya gue yang ngatain elo goblok! Motor jelek aja bangga
lo!!! Ayoo gue laporin elo ke polisi, gue beranii!! Sinii baliiik!! Idioooooottt!!!
Iiiiiih." Senna greget sendiri, napas tersengal. Kesal setengah mati, amarahnya
naik ke ubun-ubun. Terlalu kesal, akhirnya ia menangis, berjongkok di pinggir
jalan, menangkup wajah dengan tangannya, emosinya memuncak. Hp-nya sudah
hilang, ada orang yang mengatainya ?goblok?. Kumplit sudah. Pasti semua orang
sedang memandangnya penuh selidik. Senna sesenggukan, bahunya berjengit.
Ada apa dengan hari ini? Sebuah tangan mendarat di bahu Senna, gadis itu menghentikan tangisnya,
membuka tangkupan tangan dari wajahnya, melihat siapa yang datang.
"Lo ngapain di sini?"
Dia Nevan. Senna tersentak, kontan berdiri. Nevan ikut berdiri, memandang
Senna penuh tanya. "Lo ngapain di sini? Kenapa nggak ke sekolah?" Nevan bertanya lagi. Tadi dia
sedang lewat, pulang sekolah, dan melihat Senna berteriak di pinggir jalan, lalu
menangis. Bukannya menjawab, Senna kembali menangis, terisak-isak lumayan keras.
Nevan semakin kalang-kabut, melirik sekitar. Semua orang sedang menatap ke
arahnya. Seolah menyalahkan dia atas menangisnya Senna. Senna terlalu syok
atas insiden tadi. "A, kalau punya pacar jangan disakitin terus," kata salah seorang pejalan kaki.
Senna masih menangis. Dia terharu, untung ada Nevan. Nevan mendekati Senna.
Kalau dia masih jadi pacarnya, sudah Senna peluk, dan mengadu tentang
kejadian yang baru saja ia alami.
"Gue anter pulang. Udah lo jangan nangis, sebelum semua orang nyangka kalau
gue yang udah bikin lo nangis."
"Emang elo kan yang udah bikin gue nangis? Elo yang nyakitin gue." Di tengah
isakannya, Senna masih bisa menjawab.
"Lo sodaraan kan sama Neina?"
Saat itu juga tangisan Senna terinterupsi. Sepertinya memang itu satu-satunya
cara supaya Nevan bisa menghentikan laju air mata Senna. Benar, Senna
berhenti menangis. "Sori. Mendingan sekarang gue anterin lo pulang."
"Lo tau dari mana soal itu?"
"Ini bukan tempat yang pas buat kita ngomong."
"Dan gue, nggak ada waktu buat bicara sama lo." Senna bergegas pergi.
"Sen" Tanpa mendengarkan Nevan, Senna sudah lebih dulu pergi. Ia tak punya minat
untuk membicarakan soal itu, terlalu muak untuk dibicarakan. Nevan mencoba
mengejarnya. Tak sengaja Senna menabrak gerombolan anak punk yang sedang membawa
minuman, dan alhasil, minuman mereka terjatuh dan pecah. Senna melotot, dia
akan terjerat masalah besar lagi. Wajah mereka sangar, ada anting di hidung, dan
warna rambut hijau, merah dan warna lainnya. Senna bergidik horor. Gawat.
"Sorrriiiii." Senna memasang wajah waswas.
"Dasar orang kaya emang kagak punya etika!"
Senna mundur, jengah dengan pemandangan mengerikan di depannya. Mereka
mempunyai wajah menakutkan, seram. Senna menelan air liurnya. Kakinya
gemetar. "Kita beli minuman itu pakek uang, uang hasil ngamen! Dan elo, udah ngabisin
semuanya. Ganti! Kalo nggak"
"Iya-iya gue ganti!" Senna segera merogoh sakunya, ia menepuk jidat. Uangnya
kan habis, bagaimana bisa dia mengganti minuman-minuman itu?
"Mana?!" mereka menagih dengan bentakan. Mereka semakin mendekati Senna.
"Jangan lo pikir lo orang kaya bisa semena-mena sama kita. Lo harus ganti!"
sorot matanya berkilat-kilat.
"Tunggu-tunggu." Nevan nyelip di tengah-tengah, Senna bisa mengeluarkan
napas lega. Untung ada Nevan, kalau tidak, pasti dia sudah mati dikeroyoki
anak-anak punk itu. "Dia nggak sengaja, dan dia udah minta maaf."
"Nggak bisa! Dia harus ganti! Dia pikir cari uang itu gampang?! Awas lu, ini
urusan kita sama tu cewek!" ketua dari kumpulan anak punk itu belum bisa
memaafkan Senna. Terlanjur marah, amarah yang tidak bisa dihentikan. Mereka
memang tipe orang yang sensitif, terutama kepada kaum orang kaya.
"Gue bisa ganti. Berapa?"
Senna berada tepat di belakang punggung Nevan yang tegap, hampir nempel.
Sekarang ini, laki-laki itu sedang melindunginya. Senna mati kutu, terus
bersembunyi di balik punggung Nevan.
"Seratus ribu!"
Nevan mengambil selembar uang berwarna biru dari saku bajunya. "Gue cuma
punya segini. Kalian terima aja, besok gue dateng lagi dan ganti setengahnya."
Jelas, mereka tidak menerima. Seratus ribu ya seratus ribu. Tidak boleh lebih dan
tidak boleh kurang. "Besok gue ganti lagi!"
"Kagak bisa!" Senna memicingkan mata, hidup mereka begitu sulit dan menyebalkan. Senna
menjadi geram. Di rumah dia punya uang banyak, kalau saja dia bawa, pasti
sudah diberikan, terserah mau berapa pun. Akhirnya Senna keluar dari
persembunyiannya. Menatap mereka menantang.
"Ribet banget sih lo semua! Gue punya banyak uang! Kalau perlu, kalian semua
bisa dateng ke rumah gue! Belagu banget sih lu pada, mau uang?? Ambiiil di
rumah gue, banyaaak!!!"
Tentu saja, perkataan Senna menyinggung anak-anak punk itu. Seolah mengejek
bahwa mereka adalah kaum miskin yang tidak punya apa-apa. Sementara dia
adalah orang kaya yang mempunyai segalanya, harta berlimpah. Senna baru saja
menurunkan harga diri mereka.
"Songong lo!" Tangannya mengepal, segera melayangkan pukulan. Tak
membedakan perempuan atau lelaki.
Kepalan itu nyaris mendarat di wajah Senna, kalau Nevan tidak segera
menahannya. "Lo jangan ikut campur!" kali ini dia melayangkan tonjokannya ke pipi Nevan.
Nevan segera menggenggam tangan Senna, ujung bibirnya terasa nyeri,
mengajaknya berlari, karena jika sudah berurusan dengan mereka, tak akan
pernah ada tamatnya. Orang lain juga akan cuek.
Mereka berlarian, mengejar Senna dan Nevan. Belum bisa melepaskan kedua
anak berseragam SMA itu. Senna ketakutan, tapi Nevan terus mengajaknya
berlari ke motor. Ada salah seorang dari anak punk itu yang memungut batu berukuran lumayan
besar, lalu dilemparkannya ke arah Nevan dan Senna.
Langkah Nevan dan Senna terhenti. Sepertinya, ini benar-benar hari sialnya
Senna. bagian 26. Dan ternyata, batu itu terlempar ke kening Nevan ketika dia berbalik, melihat
layangan batu yang akan segera menghantam kepala Senna. Mencoba
melindunginya, malah Nevan yang kena. Untung, Nevan masih bisa menahan
rasa sakitnya, tanpa diketahui Senna, dan Senna juga sibuk berlari. Lalu mereka
bergegas naik ke atas motor, Senna duduk di jok belakang dengan wajah
waswas. Bahkan tak ada waktu untuk Nevan memakai helm-nya. Motor melaju
dengan kecepatan kencang, meninggalkan sumpah serapah dari anak-anak punk
yang gagal mengeroyoki Nevan dan Senna. Mereka mengumpat dengan amarah
yang berada di titik akhir.
Gara-gara lemparan batu itu, kening Nevan terasa nyeri, berdenyut sampai
menimbulkan darah, tapi Nevan tak menghalaunya, tidak pula menyadarinya.
Meski pusing itu terus mengganggu konsentrasinya, Nevan tetap memaksa. Ia
tahu, lukanya harus segera diobati.
Di belakang, Senna sudah mulai merasa tenang, mengatur napas dan debaran
jantung yang tak normal. Membayangkan bagaimana jadinya jika Nevan tidak
menemukannya di tempat ini, habis sudah riwayatnya. Berada di atas motor
Nevan, dan menyadari kalau sekarang Nevan begitu dekat dengannya, membuat
suasana hati Senna tenteram, tenang dan bahagia. Setelah sekian lama berjauhan,
akhirnya Senna bisa merasakan sensasi indah ini lagi. Sensasi yang tak pernah
bisa dirasakan dengan laki-laki lain. Senna belum bisa move-on, di hatinya,
nama Nevan masih terpatri jelas. Meski sekarang statusnya sudah berbeda, dia
hanya seorang teman yang baru saja ditolong Nevan, bukan kekasihnya lagi.
Dengan tingkat keberaniannya yang tinggi, kedua tangan Senna memeluk
punggung Nevan, secara perlahan dan pelan. Biarkan rindu ini memeluknya,
untuk waktu yang sangat singkat. Nevan hanya diam dan tetap fokus begitu
merasakan ada tangan lembut yang kini merambat ke dadanya. Berpikir, pasti
Senna masih merasa takut. Darah di keningnya menetes ke bawah, mendarat di
tangan Senna. Pelukan itu kian erat ketika motor Nevan melewati polisi tidur.
Senna tahu ini gila, ia segera melepaskannya lagi, merasakan pula ada cairan
yang mendarat di tangannya, ia kira itu air hujan, hujan yang akan membuatnya
terjun ke masa di mana dia bermain hujan dengan Nevan. Tapi nyatanya, cairan
itu memiliki warna, warna merah. Darah siapa ini? Senna tercenung. Mana
mungkin ada kuntilanak melayang di udara, siang hari pula.
Tanpa ia sadari, Nevan sudah menepikan motornya di depan rumah Senna.
Senna yang masih memikirkan tentang darah siapakah yang menetes di
tangannya masih duduk di atas motor. Berpikir dan menduga-duga tentang hal
yang masuk akal. Nevan segera menoleh ke belakang, "Sen, udah nyampe. Turun," suara itu
membuyarkan lamunan Senna. Senna terperangah, melirik ke samping, pagar
rumah kokohnya berada tepat di depan mata. Buru-buru ia turun dengan jengah.
"Ya ampun, Van!" Senna menutup mulut begitu ingin mengucapkan terima kasih
kepada Nevan. "Kenapa?" "Kening kam eh kening lo berdarah! Jadi, darah yang ada di tangan gue ini
darah elo? Kening lo luka."
Nevan tidak menyadari itu, ia pikir lemparan itu hanya akan menimbulkan
memar, tapi nyatanya, sampai menimbulkan darah. Nevan mengangkat
tangannya, meraba luka yang perih, benar, rasanya basah, ia meringis selama
beberapa saat. Nevan melihat jemarinya, ada noda merah.
"Ini pasti gara-gara tadi. Ya udah turun, yuk. Biar gue yang obatin, rumah lo
masih jauh dari sini. Nanti kalau lukanya sampai parah gimana?" Senna
kepompongan, takut terjadi sesuatu dengan Nevan. Padahal itu hanya luka kecil,
tapi di mata Senna, itu luka yang sangat serius. Harus cepat diobati sebelun
infeksi. Untung Nevan mau menerima tawaran Senna, ia juga sudah tidak tahan dengan
luka di keningnya. Di belakang rumahnya, dengan hamparan taman rerumputan
hijau, dengan embusan angin sore, Senna mengobati luka Nevan dengan hatihati. Meneteskan betadine, kapas, dan yang terakhir plester. Dalam ketiga proses
itu, tentu Senna harus berhadapan langsung, bersitatap dekat dengan wajah
Nevan. Dengan mata yang terus berkedip-kedip mengusir kegugupan,
jantungnya berdegup tak keruan. Mungkin Nevan biasa saja, dan Senna yang
terlalu diambil romantis.
Sejak tadi, tanpa diketahui Senna, Nevan terus menyelami wajah Senna tanpa
berkedip, dari tatapan mata, hingga bibirnya yang selalu mengeluarkan lidah,
menjilat bibir tipisnya. Hubungan mereka memang sudah putus, tapi tidak tahu
bagaimana isi hati mereka masing-masing, entah masih saling menyimpan rasa,
atau tidak sama sekali. Atau yang lebih parah lagi, seperti orang yang tak
memiliki ikatan apa-apa ---baru kenal di jam itu---.
"Udah, selesai." Senna memecah kelengangan.
"Thanks." "Harusnya gue yang bilang makasih, tadi lo udah nolongin gue. Kalau gak ada
elo, gue gak tau gimana nasib gue."
"Lagian, kenapa lo ada di sana, sih? Dan kenapa lo tadi malah lari dari gue?"
Akhirnya, percakapan mereka tertarik pada masalah yang ingin dibicarakan
Nevan kepada Senna di pinggir jalan tadi. Mau tidak mau, Senna harus
menceritakannya. Siapa pula yang telah memberi tahu Nevan tentang rahasia ini.
"Oh iya iya iya. Lo tau dari mana gue sodaraan sama Neina?"
"Dari Neina." "Oh setelah putus dari gue, lo bebas ya buat deketin dia?"
Nevan mengernyit. "Ya bagus deh kalo lo udah tau gue sodaraan sama Neina. Jadi gue gak usah
cerita panjang lebar lagi." Senna rasa masalah ini sudah terselesaikan. Semua
orang akan tahu siapa dirinya, siapa Neina. Saudara satu Ayah yang tak pernah
diinginkan Senna. Teman sekolahnya akan tahu, siapakah Ayah Senna. Senna
memusatkan pandangannya ke depan.
"Kenapa lo nggak cerita dari awal ke gue sih kalau sebenernya bokap lo masih
hidup? Gue baru sadar, selama kita ngejalin hubungan, lo masih nyimpen
rahasia. Dan gue ngerti kok kalau misalnya lo gak mau berbagi ke siapa pun, gue
ngerti lo pasti terluka. Gue gak bisa nyalahin elo tentang hal ini. Dan sekarang
gue tau, kenapa lo selalu ngebenci Neina, lo anggap dia udah ngerebut
kebahagian lo, kan?"
"Kita ke sini itu bukan buat ngomongin soal ini terutama soal Neina."
"Gue cuma mau ngelurusin kesalahpahaman kita."
"Terus? Lo mau ngapain?"
"Gue ngerti gimana rasanya ditinggal orangtua. Lo benci sama keluarga Neina?"
Nevan mencoba bertanya. Meski dia bukan siapa-siapa Senna lagi, tapi ia masih
menyimpan rasa pedulinya.
"Iya gue benci sama mereka. Gue berhak benci sama mereka, dan gak boleh ada
satu orang pun yang larang gue buat benci sama mereka," kata Senna tegas dan
lugas. "Dendam itu gak bakal nyelesain masalah, Sen. Lebih baik sekarang lo buat
ikatan persaudaraan sama Neina. Gue tau kok, lo nggak terlalu benci sama dia,
cuma rasa dendam lo yang nutupin itu semua."
Senna tertawa kecut, "Ya ampuuun," kepalanya menggeleng. "Gue? Temenan
sama Neina?" Senna hampir tersedak dan cekikikan. Itu adalah hal paling
mustahil dalam hidupnya. "Gue? Harus temenan sama orang yang udah rebut
kebahagiaan gue?" Nevan menatap Senna serbasalah.
"Kayak orang gila ya gue kalau harus temenan sama Neina."
"Sen." Kali ini Nevan memandang Senna dengan sorot yang lebih dalam. "Ini
terjadi karena kesalahan bokap dan nyokap Neina. Dalam kasus ini, Neina nggak
punya salah apa-apa. Coba bayangin kalau lo ada di posisi Neina? Apa yang lo
rasain, ketika saudara lo nyalahin lo atas kehancuran yang terjadi? Sementara lo,
lo sama sekali nggak tau apa-apa."
"Lo ngebela Neina? Ooh iya yaaa. Emang dari dulu juga lo emang selalu belain
dia." "Gue nggak belain siapa-siapa. Oke Senna. Gue gak bisa berharap lebih sama lo.
Gue emang selalu dianggap salah. Apalagi sekarang, gue gak punya hak buat
ngatur hidup lo." Senna tertegun. Nevan mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Sebuah jepitan rambut.
"Nih. Neina nemuin ini di ruang inapnya. Dia nyuruh gue buat ngasihin ini ke
elo." Nevan menyodorkan benda itu.
Namun Senna tak kunjung menerimanya, dia hanya memandang barang itu
datar, tak ada minat untuk mengambil. Akhirnya Nevan simpan jepit itu di atas
meja. "Sekali lagi thanks," ucap Nevan mulai beranjak. "Gue cabut dulu." Nevan
hendak berpamitan dan pergi. Baru satu langkah ia berjalan


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tunggu," lirih Senna pelan. Nevab harus menyendat langkahnya.
"Gue tau, maksud lo baik. Tapi apa salahnya gue ngelampiasin amarah dan
kebencian gue sama mereka? Apa gue keliatan kayak tokoh antagonisnya? Iya,
gue antagonis yang selalu ngerasa sedih gara-gara gak punya kebahagiaan sama
sekali, semua orang jauhin gue karna gue jahat. Sementara si protagonis, dia
punya banya pendukung, karna dia selalu keliatan baik, seolah dia yang paling
terluka dan terinjak," suara Senna getir, gelembung air mata yang mulanya kecil,
membesar dan akhirnya turun di pipinya. "Gue tau lo masih sayang sama gue,
tapi kenapa lo mutusin gue, Van. Gue kangen elo, Van. Jangan pergi dulu."
Nevan masih setia di tempatnya.
"Selama ini gue nyimpen beban ini sendirian. Bahkan Sasta sama Nova pun
nggak pernah tau apa masalah yang pernah gue alamin. Gue harus gimana
sekarang, gue nggak punya temen buat berbagi. Semua orang ngira gue cewek
yang alay, yang rusuh, tapi mereka nggak tau apa-apa tentang hidup gue. Gue
bersyukur karna saat itu ada elo yang nerima gue apa adanya." Senna kembali
mengeluarkan air matanya. "Tapi sekarang orang itu udah pergi dari gue. Gue
nggak bisa gengsi-gengsian, gue masih cinta sama lo. Please Van, jangan benci
gue. Gue" napas tersengal dan tangisan Senna semakin jadi.
Nevan memutar badannya, dan mendekati Senna. Senna segera memeluk
pinggang Nevan dengan berlinang air mata. Sementara Nevan mengelus pundak
Senna, mengirim partikel ketenangan. "Maafin gue. Maafin gue."
Senna teresedu sedan. "Mulai sekarang lo bisa ceritain semuanya sama gue. Gue bisa kok jadi sahabat
lo." ?Bukan sahabat yang gue mau, Van. Bukaaan?
Sekarang Nevan sadar, cara mencintai dan menyayangi bukan untuk memiliki.
Tapi, bagaimana kita bisa mendengar keluh kesahnya, bisa menjadi pendengar
yang baik. Percuma saling memiliki jika isinya hanya pertengkaran,
pertengkaran dan pertengkaran. Jika mereka memang berjodoh, akan banyak
cara untuk menyatukan keduanya. Jika bukan, ada banyak cara pula untuk
memisahkan. Hanya menunggu waktu. Dan yang Nevan tahu, dia tak akan
pernah bisa mencintai perempuan lain lagi. Tak tertarik dengan mereka.
Kalau Senna sampai menemukan pria lain, Nevan harus rela. Itu artinya, Senna
memang bukan jodohnya. "Kenapa semua orang nyalahin gue," isak Senna.
Sebebenarnya, tadi siang, sekitar pukul 10 pagi, Senna bertemu dengan Tania.
Mereka bertemu di pinggir jalan saat Tania berangkat menuju kantornya.
Berpikir bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk berbicara dengan Senna.
Awalnya Senna menolak dengan ajakan Tania, tapi karena perempuan itu
memaksa, akhirnya Senna mau. Mereka mengobrol di salah satu restoran.
Sambil ngobrol, Senna meminta dipesankan makanan, sebagai bayaran karena
dia mau diajak ke sini. Tania menerima permintaan sederhana itu dengan manis
dan senang hati. "Tante mau bicara apa?" tanya Senna acuh tak acuh, sambil menyuapi
makanannya. Perutnya benar-benar lapar. Kalau saja ia tidak kelaparan, mana
mau berhadapan dengan perempuan menyebalkan di depannya ini.
"Tante tau, kamu belum bisa maafin kami. Kamu boleh benci sama Tante, karna
ini sempurna kesalahan Tante. Tapi Tante minta satuu permintaan, kamu jangan
benci Neina, ya. Alangkah baiknya kalau kalian berdua berteman." Tania
langsung pada topik pembicaraan.
"Jangan mimpi deh Tante liat kita berteman. Karna hal itu gak akan pernah
terjadi." Senna menenggak air minumnya. "Dan asal Tante tau, anak Tante itu
mau coba rebut pacar saya dari saya. Cukup Tante aja yang ambil Papa saya,
sekarang jangan diulang lagi. Nanti kejadian yang sama bakalan terulang,"
lanjutnya dengan nada menyindir. Kata-kata itu begitu menohok hati Tania.
"Tapi Neina nggak salah apa-apa. Tante rela ngelakuin apa aja supaya kamu
ilangin kebencian kamu ke Neina."
"Aku bukan orang yang mudah disogok." Senna menggelengkan kepala tak
peduli. "Emang Tante mau, aku minta Neina keluar dari sekolah itu? Kalian
pindah ke kota lain, semuanya beres, kan?"
Mata Tania terbeliak. Dia baru saja pindah ke kota ini, mana mungkin mereka
harus pindah lagi? Lagipula, mereka sudah sepakat untuk menetap di Jakarta.
Dan Neina? Dia terlanjur betah di sekolah itu, dia menyenangi tempatnya
menuntut ilmu. "Gak bisa, kan? Ya udaah nggak usah so soan mau ngelakuin apa aja."
Satu minggu berlalu. Dengan suasana yang sama, masih persoalan yang sama,
prolebma yang sama, masalah yang belum juga terselesaikan.
Baru saja Neina kembali masuk ke sekolah, sekolah mengungumkan bahwa
Senin depan kelas 10 dan 11 serentak diliburkan, dikarenkanan kelas 12 yang
mulai ujian. Kelas 11 IPA 2 bersorak ria, bertepuk tangan gembira, akhirnya ada
masa di mana mereka libur dan menghilangkan penat tentang pelajaran.
Bersenang-senang memanjakan otak.
"Asiknya kita liburan, nih!" Ari langsung memberi pendapat.
"Ide yang bagus!" timpal Wildan.
"Liburan?" Nevan menoleh ke belakang, omong-omong, dia tertarik dengan kata
itu. Sudah lama sekali dia tidak melakukannya. Itu ide yang sangat brilian. Kali
ini otak Ari cerdas. "Iya. Kemana kek, Van. Pakek mobil gue, bensin biar lo semua yang nanggung."
"Gaya lu Rii, kayak punya mobil aja!" sahut Satya. Dia datang ke sekolah aja
naik angkutan umum, mana mungkin punya mobil.
"Mobil-mobilan maksudnyaaa," ralat Ari keburu ketahuan.
"Emang dari kita siapa yang punya mobil?" tanya Wildan. Mereka hanya
memiliki motor, itu pun hanya Nevan dan Satya.
"Iya juga yaa."
"Emang liburan kemana? Harus ditentuin dong dari sekarang," kata Nevan, lebih
baik sekarang mereka membicarakan dulu kemana mereka akan berlibur, urusan
kendaraan bisa menyusul. "Gue penginnya sih ke pantai"
"Nah! Gue setuju." Nevan langsung memotong, benar-benar setuju dengan
keinginan Ari. Mereka sepemikiran.
Pantai. Neina tertarik dengan tempat itu. Dia penasaran, memang apa yang
sedang mereka diskusikan? Neina beranjak dan perlahan mendekati mereka.
"Emmm kalian, mau ke pantai?" tanya Neina.
Pandangan Neina dan Nevan saling bertemu, masih ada kecanggungan di antara
mereka, mengingat peristiwa di rumah sakit beberapa hari yang lalu. Di mana
Neina dengan bodohnya mengutarakan isi hatinya kepada Nevan.
"Yap! Bener, kita mau pergi ke Pantai Neni, ngisi waktu liburan. Libur khusus
anak SMA, yang pasti Ancol gak bakalan penuh dooong. Ini kesempatan kita
buat mantai, kayak di sinetron-sinetron itu, looh," jawab Ari bersemangat.
"Alaaay." Wildan menyenggol pinggang Ari. "Di sana lo bakal pakek topi
pantai, terus pake payung, sambil minum es jeruk. Coccoook bro! Sekalian
jemur badan, biar makin item," celoteh Wildan.
"Nggak, gue gak bakal lakuin itu. Gue mau nyebur dan nyari ikan duyung yang
cantik di dasar laut. Gue bakal buktiin ke semua cewek yang pernah nolak gue,
kalau gue bisa narik perhatian cewek cantik sang penghuni laut."
"Gaya luuuuu!" ledek Satya.
"Lo mau ikut?" Nevan menawari Neina. Pertanyaan yang pas, itu pertanyaan
yang ditunggu-tunggu Neina. Kebetulan dia butuh hiburan.
"Emang boleh?" Neina meminta persetujuan Wildan, Ari dan Satya.
"Ya boleh laaahh!!"
"Kita naik apaan ke sana?" tanya Ari lagi.
"Kebetulan di rumah aku ada mobil nganggur. Kalian bisa kok pakai mobil itu,"
usul Neina teringat pada mobil yang dibelikan papanya saat ulang tahun
kemarin. Mobil itu masih baru, jarang sekali Neina memakainya. Daripada
menetap di garasi, apa salahnya memberi pinjaman kepada teman-temannya?
"Nggak enak, ah," tolak Nevan.
"Iih gak pa-pa. Lagian itu sebagai tanda terima kasih aku karna kalian udah mau
ngajak aku. Mau yaa??" Neina memasang wajah memohon.
"Tapi kita ya yang bayar bensinnya?"
"Emmm Oke." Neina tersenyum setuju.
Dengan wajah berseri-seri, Neina berjalan di koridor sambil membawa sekotak
misting berisi sandwich buatan mamanya. Meski komunikasinya bersama Tania
belum seakrab dulu, tapi Neina masih mau menerima bekalnya. Dan kali ini,
sengaja Tania membuatkan bekal juga untuk Senna.
Nah, Neina sudah tiba di depan kelas Senna. Menunggu Senna keluar sambil
sesekali memandang bekal makanan di tangannya. Neina berjanji, ia akan
menjalin persaudaraan yang baik dengan Senna. Ia akan berusaha mendapatkan
maaf dari Senna. Tak lama kemudian, Senna dan kedua kawannya keluar dengan
cengkramaannya. Dan tiba-tiba, raut bahagia di wajah Senna pudar, dan
tenggelam dibawa waktu. Tercenung dengan kehadiran Neina.
"Hay, Senna," sapa Neina sedikit kaku.
"Ngapain lo?" "Aku Aku cuma mau ngasih ini." Neina menyodorkan kotak makanan itu
kepada Senna. "Ini bekal buat kamu, buatan Mama aku. Dia nitip ini, siapa tau
kamu suka." Senna memandang kotak makanan di tangan Neina penuh selidik. Dalam rangka
apa Neina memberikan bekal itu?
"Untuk kali ini terima ya, Sen. Aku mohon."
Perlahan, Senna mulai membawa kotak makanan itu. Tentu saja, tindakan yang
dilakukan Senna mengundang senyum merekah di bibir Neina.
"Buat gue, ya?" Kini misting itu sudah berada di tangan Senna. Neina
mengangguk-anggukan kepala, syukurlah Senna mau menerimanya. Senna
menilik-nilik makanan dalam kotak itu sesaat. Dan
BRAK! Senna melemparnya ke bawah, sampai sandwich itu keluar dari wadahnya,
bergabung dengan debu-debu yang berada di atas keramik sekolah. Neina
melotot, begitu pula dengan Sasta dan Nova. Sementara Senna, dia malah
tersenyum puas ke arah Neina. Lalu, diinjaknya makanam itu, tepat di depan
Neina yang kini menelan air liurnya. Senna injak dengan tekanan kuat sampai
sandwich itu kotor dan isinya berhamburan ke mana-mana.
"Lo pikir, dengan lo ngasih makanan ini ke gue, gue bakal ngubah niat gue buat
ngebenci lo selamanya? Lo pikir, dengan lo berbuat baik sama gue, lo bisa narik
perhatian gue? Lo mau dapet kasih sayang dari gue? Apa lo mau narik perhatian
orang-orang kalau sebenernya lo itu orang baik?"
"Ya ampun, Sen. Niat aku baik."
"Tadi lo udah kegeeran ya karna gue mau terima bekel itu dari lo? Aaah polos
banget sih lo jadi orang." Senna berkata sarkastis. Begitu menoyor hati Neina.
"Udah deh gak usah caper. Gue muak, gue enek sama lo. Minggir!" Senna
menyinggung bahu Neina, berjalan melewatinya dengan tampang angkuh.
"Aduuh kayaknya enak banget tuh sandwich," kata Nova berlalu menyusul
Senna. Neina masih terdiam, matanya menghangat. Lalu mulai memungut kotak
makanan yang tergeletak di bawah kakinya, air matanya jatuh. Tapi sebelum
Neina membereskan kotak makanan itu, sudah ada tangan lain yang
mendahuluinya. "Udah-udah biar gue aja."
Cepat-cepat Neina menghapus air mata yang baru saja menetes. Jangan sampai
orang lain melihatnya. Nevan berdiri, menutup misting itu lalu diberikannya kepada Neina.
"Senna emang jijik banget sama aku," lirih Neina.
"Sifat Senna emang gitu, jadi lo harus sabar. Gue tau kok Senna itu orang yang
baik, penuh kasih sayang. Jadi, lo gak usah takut buat ngambil hati dia. Senna
cuma gengsi, percaya sama gue." Nevan meyakinkan Neina. Neina masih
mempunyai kesempatan yang banyak.
"Makasih ya, Van."
Nevan tersenyum. Ternyata Senna belum benar-benar pergi, barusan dia menyaksikan bagaimana
Nevan membantu Neina. Senna menggigit-gigir bibir bawahnya, membuatnya
semakin yakin, kalau Nevan mencintai Neina.
bagian 27. "Mamaaa." Senna memeluk Diana yang sedang membereskan majalah-majalah
di meja. Senna menangis dalam pelukan Diana, persis seperti sewaktu Senna
masih menjadi anak kecil.
"Kamu kenapa, Sen? Pulang sekolah langsung nangis kayak anak yang baru
dijailin sama temennya."
"Gimana rasanya kalau orang yang kita cintain, cinta sama orang lain, orang
yang paling kita benci. Nevan cinta sama Neina, Maaa, dia cinta sama Neina.
Apa kejadian di masa lalu bakal terulang lagi? Senna cinta sama Nevan, Maa.
Cuma dia satu-satunya orang yang bikin Senna bahagia, yang bikin Senna
ketawa-ketawa. Tapi sekarang dia udah jauh dari Senna, dia udah jadi orang
yang nggak Senna kenal. Maaa, apa yang harus Senna lakuin? Ini sakit, Maa. Ini
sakit," isakannya semakin keras. Senna tak mampu menyimpan rasanya
sendirian. Tak mampu berkata bahwa dia baik-baik saja, Senna tidak sekuat itu.
Dia ingin menangis, menumpahkan segala keluh kesahnya.
"Ya ampun, Sen. Kamu apa-apaan, sih." Diana melepaskan rengkuhan Senna,
berlanjut menatap mata Senna yang sembab. "Jangan cengeng gitu cuma garagara cinta."
"Cengeng untuk yang pertama kalinya apa gak boleh, Ma? Pokoknya aku benci
sama Neina! Aku benci sama dia, Ma! Sampai kapan pun aku gak akan pernah
maafin dia. Dan aku, gak bakal biarin dia bahagia. Aku benci sama Neina, benci
benci benci! Aku bakal buat hidup dia menderita, aku"
Diana menutup bibir Senna dengan telunjuknya. "Gak baik nyimpen dendam
sama seseorang. Apalagi dia adalah saudara kamu. Mama ngerti sama
kemarahan kamu selama ini, kemarahan kamu sama Papa, Tante Tania, juga
Neina. Tapi cepat atau lambat, kamu harus buang jauh-jauh perasaan dendam itu.
Bagaimana pun, kita masih terikat tali persaudaraan. Anggap, itu semua hanya
kesalahan di masa lalu, dan sekarang tugas kamu adalah, terima semua yang
terjadi dalam hidup kamu."
"Terima? Terima apa, Ma? Aku gak mau diinjek-injek terus sama mereka!
Pokoknya, aku benci sama Neina! Aku benci dia! Selamanya, aku gak bakal
maafin dia. Dulu mamanya udah rebut Papa dari Mama, dan sekarang,
perempuan itu juga yang rebut Nevan dari aku."
"Istigrfar, Sen. Maafin Mama yang udah nyebabin kesalahah pahaman ini."
"Kesalah pahaman apa, Ma? Ini jelas-jelas kesalahn mereka, terutama Papa!"
Senna kukuh pada pendiriannya.
"Mama sekarang baru ngerti, kenapa dulu Papa kamu selingkuh. Karena dia
bosen, dia bosen sama sikap Mama yang kekanak-kanakan, Mama selalu ngatur
ini, ngatur itu. Mama selalu nuduh Papa yang nggak-nggak. Mungkin itu
sebabnya, Papa kamu cari perempuan lain, yang lebih ngertiin dia"
Laju air mata Senna terhenti, memandang Diana dalam. Itu adalah
pengungkapan yang pertama kali Senna dengar. Terdengar janggal di telinga,
apakah itu suatu kebenaran?
"Dan sama, Mama nggak pernah ngakuin kesalahan Mama. Seolah-olah
semuanya itu adalah kesalahan Papa kamu. Makannya Mama sempet bertahan
sama Papa kamu, bertahun-tahun jadi istri dari suami yang berpoligami. Karena
Mama, cinta sekali sama Papa kamu, Mama gak mau kehilangan dia. Mama
pengin milikin dia seutuhnya."
"Tapi seharusnya Papa ngertiin Mama juga! Papa harus terima Mama apa
adanya. Jangan mudah buat cari pendamping lain. Emang dulu Papa anggap
Senna apa? Kenapa dia tega ngeduain Mama setelah kalian punya anak?"
"Dulunya, Papa sama Mama itu dijodohin, atas permintaan kakek kamu." Diana
berbalik, dan berjalan menuju sofa. "Awalnya kami setuju, kami sama-sama
cocok, Mama cinta sama Papa, Papa cinta sama Mama. Awalnya manis, tapi
semenjak kita menikah, semuanya berubah." Diana duduk di sofa, melanjutkan
cerita. Kembali membuka lembaran yang telah ditutup lama.
Senna terus mendengarkan, belum mengubah posisinya sama sekali. Melupakan
sejenak luapan emosi yang sedari tadi membungkusnya.
"Karena terlalu cinta sama Papa kamu, Mama gak nyadar kalau Mama udah
genggam Papa kamu keras-keras. Mama larang dia punya sekretaris perempuan
di kantornya, Mama selalu ngikutin dia ke kantor. Mama takut dia kehasut sama
kecantikan perempuan lain. Waktu kita bertengkar, sama, Mama gak mau
dianggap salah." Cerita Mamanya, mengingatkan Senna pada ceritanya sendiri. Dia yang selalu
mengekang Nevan, menuduh Nevan yang tidak-tidak. Senna menatap Diana
prihatin. Seburuk itukah rumah tangga orangtuanya?
"Cuma laki-laki baik, yang bisa terima istrinya dalam kondisi apa pun. Cuma,
Papa kamu bukan lelaki yang sempurna, dia nggak masuk dalam kategori itu.
Bisa dibilang, Mama gagal dalam mencari jodoh. Kata orang, jodoh adalah
cerminan dari diri kita sendiri. Kita sama-sama punya kekurangan dan kelebihan.
Ini bukan sepenuhnya kesalahan Mama, bukan juga sepenuhnya kesalahan Papa.


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kita sama-sama salah, Sen. Maafin orangtua ini, yang udah bikin hidup kamu
selalu punya paradigma buruk."
Mulut Senna masih terkatup rapat. Shock dalam diam. Dia kira, papanya
meninggalkan mamanya tanpa alasan. Seperti pergi begitu saja dan selingkuh
begitu saja. Kalau dulu mamanya tidak overprotektiv seperti itu, apa sekarang
mereka masih bersama? Dengan begitu, keluarga ini akan utuh dan harmonis.
Seperti keluarga Neina. "Jadi mulai sekarang, kamu berhenti ya benci sama Papa kamu dan istrinya, juga
Neina. Terutama Neina, yang gak tau apa-apa. Dia korban kesalahan kita." Diana
terpaksa mengatakan semuanya, demi Senna, demi kebaikan Senna agar dia
tidak lagi menyimpan dendam. Agar semua masalah bisa tereselesaikan. Diana
sudah bahagia dengan Senna, tanpa perlu pendamping hidup. Biarlah semuanya
berjalan seperti air yang mengalir. Berhenti menengok ke masa lalu, mulailah
berjalan ke depan, lihat masa depan, jadikan masa lalu itu sebagai pengalaman
hidup. "Mama larang kamu pacaran, itu juga demi kebaikan kamu. Mama pengin cariin
kamu lelaki yang bisa terima kamu apa adanya. Yang bisa tetep bertahan sama
kamu. Jangan kaya kisah Papa sama Mama. Belajar dewasa aja, Sen."
"Aku udah nemuin dia, Ma. Aku udah nemuin cowok yang terima aku apa
adanya. Apa Mama tau? Di sekolah aku selalu jadi bahan gosipan temen-temen.
Mereka selalu bicarain aku ini itu, bilang kalau aku itu cewek yang berisik, alay,
dan centil. Tapi Nevan, gak sekali pun dia ngatain aku, dia selalu maafin aku
kalau aku punya salah. Tapi, cowok juga punya titik jenuhnya juga, kan. Itu
sebabnya dia mutusin aku, karena aku, selalu anggap semua pertengkaran yang
terjadi, berasal dari Nevan. Nevan pengin kita cuma jadi temen biasa, supaya
kita berhenti berantem." Senna mengusap pipinya.
Jujur, Diana baru mengetahui problema cinta yang dialami Senna. Ia beranjak
dari duduknya, menghampiri Senna lagi.
"Mungkin kalian emang belum jodoh. Sebelum kamu nyalahin orang lain, kamu
liat juga kesalahan kamu. Dengan begitu, kamu pasti bisa nerima hal itu. Kalian
itu masih SMA, wajar, kalian masih jadi anak-anak labil. Jangan terlalu
dipermasalahin, Sen."
"Tapi kenapa harus Neina?"
Diana memeluk Senna, menenangkan emosinya. Diana sadar, kalau dirinya
kurang memerhatikan Senna, terlalu sibuk dengan pekerjaan demi melupakan
Ardi. Mulai sekarang ia akan menjadi Ibu yang lebih lagi, yang lebih
memprioritaskan kebahagiaan anaknya.
"Mama sayang sama kamu. Kalau kamu sayang juga sama Mama, kamu harus
rela ngelupain semua masa lalu buruk yang pernah kamu alamin. Berhenti
ngebenci orang." Bagi Senna, sulit untuk melupakan, juga memaafkan. Terlalu rumit. Rasa benci
itu sudah terlalu menghunjam kukuh dalam jiwanya. Ditambah, rasa api
cemburu yang semakin membara tiap kali Nevan berbuat baik kepada Neina.
Merasa kalau Neina telah merebut Nevan dari pagutannya. Tapi apa dia bisa
melakukan itu semua? Demi menyenangkan mamanya.
"Lo bisa kagak nyetirnya?" tanya Satya yang duduk di sebelah jok kemudi.
"Bisa doong. Gue gini-gini juga pernah belajar nyetir waktu umur 12 tahun,"
jawab Nevan entah benar atau salah. Setelah menyalakan mesin mobil, Nevan
mulai melajukannya. Mobil itu melintas ke tengah-tengah kota, di atas trotoar.
"Gaya looo Vaaan," sahut Ari di belakang. "Lo kalah sama gue, gue udah belajar
nyetir bus primajasa waktu umur tiga tahun. Bayi yang ada di iklan susu itu
kalah juga sama gue, baru bisa dorong kursi aja bangga."
Neina tertawa, keempat teman laki-lakinya itu selalu bisa mencairkan suasana.
Membangun suasana khas humor, yang membuat bibir tak henti-hentinya tertarik
untuk tersenyum atau tergelak. Apalagi duduk di tengah-tengah Ari dan Wildan
yang kadang bersahabat baik, kadang juga berantem seperti Ara dan Adit dalam
animasi Pada Zaman Dahulu.
"Bahas iklan aja lu!"
Sesekali pula Neina melirik kaca spion, melihat wajah Nevan yang kini sudah
fokus menyetir. Matanya indah, itulah yang bisa Neina simpulkan saat ini.
Bukan hanya kamuflase, Nevan betul-betul bisa menyetir dengan benar. Neina
terkagum. Bisa dekat dengan Nevan, cukup menjadi kebahahiaan tersendiri bagi
Neina. Dan yang membuat Neina terbius adalah, jika sudah melihat senyum
Nevan yang mempesona. Nevan melirik kaca spion.
Telak! Neina ketahuan. Segera Neina menurunkan matanya, pura-pura ikut
dalam pertengkaran Ari dan Wildan gara-gara mempermasalahkan tentang
kecepatan mobil dan motor, siapakah yang lebih cepat di antara mereka. Kata
Wildan motor lebih cepat, tapi kata Ari mobil lebih cepat lagi. Seketika suasana
menjadi recok. Sesungguhnya Nevan masih memikirkan tentang ungkapan Neina dulu. Sering
pula Nevan memergoki Neina yang sedang memandangnya. Nevan malah
merasa bersalah. Kalau Nevan bisa, ia akan membalas cintanya.
"APA?! Nevan jalan-jalan ke pantai?!" Senna melelotot saat mendengar kabar
itu, terbangun dari rebahannya. Ponsel itu masih menempel di telinganya. Sorot
mata itu berapi-api. "Sama siapa?"
?Sama temen-temennya lah biasaaa.?
"Ih gak asik banget, sih! Kok dia nggak ngajak gue?!"
?Emang lo siapanya?? Di sana Nova bertanya polos.
Membuat emosi Senna tersulut.
"Anjir nyebelin banget sih lo! Gue gini-gini juga mantan terindahnya. Oke. Gue
sumpek di rumah, ya udah sekarang kita pergi ke sana!"
?Ke pantai?? "Iya!" ?Aaaaaaaaaa ayoooooo. Pasti seru! Apalagi ada Nevan ganteng!?
Malas mendengar seruan Nova, cepat-cepat Senna memutuskan sambungan
telfon. Lantas membanting ponsel, mengganti pakaian dan membereskan barangbarang yang akan dibawa. Kadang mendumal karena Nevan tidak mengajaknya
berlibur. Eh? Senna teringat kata-kata Nova ?Emang lo siapanya dia??
"Peduli amat. Alasan gue ke pantai bukan karna Nevan, orang gue juga sama
mau liburan. Lagian pantai itu kan tempat umum." Senna berkaca sambil
membenarkan anak-anak rambutnya.
Mengingat ini kota Jakarta yang jauh dengan pantai, akhirnya pantai Ancol yang
menjadi sasaran Nevan dan kawan-kawan. Mereka tak punya cukup banyak
uang untuk berlibur ke Bali. Pangandaran, Pameungpeuk, itu terlalu jauh.
Mereka tiba di atas pasir ---Pantai Beach Pool, di sana ada bentangan laut yang
luas, buih-buih air tampak menggenangi bibir pantai. Seperti prediksi, pantai ini
sedang kosong, mengingat ini adalah hari kerja. Bukan waktu berlibur anakanak. Jadi, mereka bisa berenang atau bersantai sesuka hati.
Nevan tertawa kagum ?terlihat jelas rentetan giginya yang rapi, melihat
hamparan pasir yang kadang dihantam barisan ombak, menimbulkan suara
syahdu. Langit biru tanpa awan, terlihat indah sejauh mata memandang.
Semakin memperindah pemandangan. Otaknya fresh, rumus-rumus kimia,
fisika, matematika yang selama ini memenuhu otak itu tiba-tiba hilang tak
bersisa. Saatnya untuk bersenang-senang.
Ari, Wildan dan Satya dengan jailnya mengangkat tubuh Nevan, membawanya
secara paksa ke tengah pantai, lalu menceburkan Nevan ke air hingga
menimbulkan tempias. Nevan yang mereaksi penolakan, langsung menoyor
kepala Ari, tak salah lagi, ini pasti idenya. Mereka masih basah kuyup. Anakanak remaja itu asik dalam dunia bolonnya.
Neina tertawa melihat kelakuan keempat sahabat itu.
"Aaah gak asik! Lo belum basah, Neni!" Ari berjalan ke arah Neina. Gadis itu
terbelalak, ia belum berganti pakaian. Namun, Ari sudah lebih dulu membawa
Neina ke tengah sebelum Neina menolak. Pantai di kawasan ini memang landai,
jadi Neina tak perlu khawatir tenggelam, ia tak bisa berenang. Airnya hanya
sampai di lutut. Karena Nevan dilempar ke dalam air tanpa ada belas kasihan, alhasil seluruh
badannya basah kuyup. Mereka semua tertawa terkikih-kikih. Ada dua
perempuan yang juga ada di sana ---tak jauh dari mereka, keduanya terus
memandangi Nevan, juga teman-temannya penuh ketertarikan. Merasa
beruntung dengan cewek yang berada di tengah-tengah keempat pemuda itu.
"Anjay ganteng! Apalagi tuh yang pakek baju angrybird."
"Jomblo bukan, ya?"
Mata mereka tertuju pada Nevan yang masih asik bercengkerama dengan ketiga
sahabatnya, juga Neina, bermain ombak. Kali ini Nevan balas menjaili Ari,
dengan menumpukan pasir basah di atas kepalanya. Hingga cowok itu marah,
dan membalas lagi dengan hal yang sama, melempar pasir. Untung Nevan bisa
cepat menghindar. Tapi Ari tak bisa membiarkan Nevan kabur, terus
mengejarnya sampai Nevan naik ke atas pasir, bukan di area air lagi.
"Lo gak bisa kabur, Van! Tega lo sama gue!"
Senna tiba, dengan pakaian pantai. Juga kacamata hitam, melihat ke arah pantai
dengan mengangkat dagu. Sasta dan Nova berdiri di sebelahnya, memandang
pantai takjub. Tak sabar untuk berenang di sana.
Nevan menghentikan larinya, menyadari ada cewek di depannya----cewek yang
sangat ia kenali. Meski cewek itu memakai kacamata, Nevan bisa mengenalinya
dengan jeli. Senna tertegun di balik kacamata hitam yang tersemat di mata. Baru
datang, cowok yang dinanti sudah datang dengan sendirinya.
bagian 28. "Senna?" Senna membuka kacamata hitamnya, lalu memandang Nevan. Ia tidak tahu
takdir sedang berpihak kepadanya atau tidak. Sebab, ada satu kabar baik, ada
juga kabar buruk. Kabar baiknya, Senna bisa langsung bertemu dengan Nevan
tanpa berusah payah untuk mencari. Kabar buruknya, Nevan juga bisa mengira
kalau dia ke sini karena ingin mengikutinya. Otomatis, harga diri seorang Senna
akan turun. "Kok lo ada di sini?" tanya Nevan dengan kernyitan di kening.
"Aduh, Van. Emang gue gak boleh ya liburan ke sini?" tanya balik Senna terlihat
sesantai mungkin. "Heem." Nevan tersenyum. "Kebetulan, ya." Sebenarnya Nevan tidak terlalu
peduli tentang apakah alasan Senna datang ke sini. Ya mungkin memang benar,
dia hanya ingin mengisi liburannya.
Senna lega, untung saja Nevan tidak curiga kalau dia ke sini bukan karena ingin
liburan, melainkan karena ia merindukan Nevan. Libur selama empat hari pasti
akan membuat dirinya jenuh.
"Wah wah wah, kok ada si kaleng rombeng sih di sini? Oooh gue tau, pasti lo
ngikutin kita, kan? Ngaku aja loo. Ahhhh Senna, Senna." Ari menggelenggelengkan kepala. Sepertinya Ari tahu betul niat Senna. Bukan karangan belaka,
namun ia yakin dengan dugaannya.
Senna melotot, "Apa lo bilang?! Gue ngikutin?!" protesnya gemas. "Nggak ya,
sori." "Aaaa ngaku aja."
"Nggak! Gue ke sini cuma mau liburan!" Senna tetap bersikukuh membela diri.
"Eh, bukannya setelah gue ngasih tau lo kalau Nevan jalan-jalan ke pantai lo
langsung ngajak kita buat ke sini, kan?" tanya Nova polos. Tangan Senna
terkepal, Nova betul-betul blo?on. Jengah bercampur marah kini menguasai
Senna. Sasta manggut-manggut.
"Apaan sih lo, Noov?" Senna melirik Nova, siap menyemburkan api amarah.
Nevan menahan tawa, sejujurnya dia lebih memercayai Nova. Ia kenal Senna,
Senna yang selalu gengsi. Ia juga kenal Nova, Nova yang tidak mungkin
berbohong. Dia orang yang paling jujur, menurut Nevan.
"Tuh tuh tuh kan gue bener! Dasar kaleng rombeng, udah tau udah jadi mantan,
masih aja ngikutin. Masih ngarep lo sama Nevan?"
"Iiiii Ariiii!!" Senna gregetan. Mengangkat tangan yang telah menjadi kepalan.
Urat-uratnya nyaris menembus kulit. Tanduknya hampir keluar.
"Apa-apa?? Gue bener, kan? Hahaha hihihi huhuhu hehehe hohoho..
Wkwkwkwkwk" "Tau akh!" Senna yang terlanjur dongkol, memilih untuk pergi dari sana. Membawa langkah
cepat di atas pasir. Anak-anak rambutnya berterbangan karena angin, Senna
menyingkirkan mereka dengan kesal. Nova dan Sasta saling melirik, alih-alih
mereka harus cepat mengejar Senna. Secepat kilat keduanya menyamakan
langkah dengan Senna. Nevan memandangi kepergiannya.
"Kebiasaan deh lo galak bener sama si Senna," kata Nevan menoleh kepada Ari.
"Ya abis kalau ada dia bawaannya pengin banget bikin dia kesel. Sori, Van." Ari
nyengir, lalu berlalu berlari ke bibir pantai lagi, kembali menikmati air laut,
bergabung dengan kedua temannya yang sedang asik bermain dengan ombakombak.
"Kenapa kamu nggak balikan aja sama Senna?" suara itu tiba-tiba mengejutkan
Nevan. Kontan dia berbalik. Ada Neina yang sedang tersenyum. Di sini, hanya
ada mereka berdua. Neina tau, kalau sampai Senna melihat dia ada di sini, pasti
dia akan marah besar. "Senna ke sini itu ngikutin kamu. Dan kamu juga, kayak yang bahagia karna ada
Senna di sini. Aku heran kenapa kalian bisa putus, padahal kalian itu pasangan
yang cocok menurut aku." Walaupun Neina berkata seperti itu, hatinya tidak
terlalu mendukung. Neina membenci hatinya sendiri. Namun ia harus cepat
memperasatukan Nevan dan Senna kembali. Mengingat, karena dialah mereka
putus. Dia yang telah menghancurkan semuanya.
"Lo ngomong apaan sih gue gak ngerti."
"Kamu ngomong aja deh kalau kamu tuh masih cinta sama Senna."
"Iya gue emang masih cinta sama di"
Ups. Nevan salah ngomong. Ia tidak enak mengatakan hal itu di depan Neina.
Bagaimana pun, dia begitu menghargai perasaannya. Nevan tak ingin menyakiti
pihak mana pun. "Kenapa?" "Gue" "Nggak pa-pa, Van. Aku tau kok kamu emang masih cinta sama Senna. Aku
udah pernah bilang, anggap aja aku nggak pernah ngomong gitu. Nggak usah
khawatir, Van. Aku ngerti." Sepertinya Neina harus cepat-cepat mengubur rasa
cintanya. Cinta tidak harus saling memiliki. Menjadi teman Nevan pun, sudah
membuat Neina senang. "Kamu nggak usah sungkan-sungkan, kamu berhak
cintain Senna, aku nggak mau jadi jembatan di antara kalian. Senna itu kakak
aku. Aku gak mau dia benci sama aku terus-terusan. Aku gak mau dia nyangka
aku udah rebut kamu dari dia. Bukan karna aku gak mau terus disalahin, tapi aku
gak mau terus ngerasa bersalah. Aku sayang sama Senna. Aku pengin banget
ngejalanin pertemanan baik sama dia. Bisa curhat-curhatan, bisa becanda,
bahkan bisa marah-marahan, tapi kita akan tetap sama-sama cinta."
Mereka berlanjut jalan-jalan di sisi pantai, membiarkan embusan angin
menemani. Membiarkan kaki-kaki itu berjalan di atas pasir yang halus.
"Kamu mau kan bantu aku?"
"Untuk?" "Untuk bikin Senna bahagia. Untuk bikin Senna riang lagi kayak sebelum kamu
mutusin dia. Kamu itu satu-satunya kebahagiaan Senna. Cuma lewat kamu,
Senna bisa jadi lebih tenang ngadepin masalahnya. Mungkin dengan begitu,
Senna perlahan bisa maafin aku. Aku sadar, selama ini aku udah rebut semua
kebahagiaan Senna." Beberapa detik Nevan melirik Neina. Gadis itu menghentikan langkah, membuat
Nevan ikut menjeda. Keduanya berbalik dan saling bersitatap.
"Cuma kamu satu-satunya harapan aku. Kamu mau kan kembali jadi pacar
Senna?" "Gak semudah itu, Na," mata Nevan menyipit, sinar matahari menyilaukan
korneanya. Rambut dan bajunya sudah mulai mengering.
"Kenapa? Bukannya kalian masih saling cinta? Apa susahnya?"
Nevan mulai mengimbang-imbanginya lagi. Sementara Neina menunggu
jawaban apa yang akan segera keluar dari mulut Nevan. Cukup lama mereka
diam tanpa berbicara, bermain dengan benak masing-masing.
"Jadi? Nevan ke sini sama Neina?" batin Senna baru mengetahuinya. Merasakan
hatinya tergores lagi, bilur-bilur hati kembali muncul. Nova dan Sasta sudah
berenang, bergabung bersama Wildan, Ari dan Satya.
Nevan dan Neina kembali berjalan, dan berhenti untuk sekadar duduk di atas
pasir. Melihat indahnya pantai. Mengobrol hal-hal kecil. Atau tertawa bersama
melihat Ari yang terjatuh, menindih tubuh Nova, alhasil mereka jadi saling
pandang layaknya di sinetron-sinetron Indonesia.
Senna berbalik, tak tahan lagi melihat kebersamaan mereka. Sebenarnya, Senna
bisa saja melepaskan Nevan untuk Neina. Tapi dia tidak sekuat itu, Senna terlalu
mencintai Nevan yang mungkin bukan jodohnya, bukan untuknya. Dia bukan
siapa-siapa. Mengapa cinta hanya singgah beberapa saat? Seperti kapal yang
terus melaju tanpa ada tempat untuk berlabuh selama-lamanya. Cinta membuat
kita menikmati manisnya cokelat, sampai menimbulkan nyeri pada gigi, lalu
menelan pahitnya obat untuk sembuh. Begitulah proses cinta. Riang kala
menikmati air hujan, lalu jatuh sakit setelahnya, hanya obat pahit sebagai
penghilang rasa sakitnya. Tapi menelan luka, tidak mampu menyembuhkan rasa
sakit hati, nyatanya malah semakin lara.
"Elo ke sini gara-gara Nevan, kan? Ciyeeee ngaku aja." Senna yang sedang asik
berjalan di sisi pantai Ria, tiba-tiba dihadang Ari dan kedua temannya yang


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terkenal jail. Otomatis, Senna kembali naik pitam.
"Ngaku aja, Sen. Gue gak bakalan bilang-bilang, kok." Ari memulai aksi
introgerasinya. Seolah mendesak tersangka yang enggan mengakui kesalahan
yang telah dilakukan. "Iiih apaan sih lo kepo banget! Terserah gue lah mau kemana-mana juga."
"Aaaaa gak usah bohong. Orang jelas-jelas tadi si Nova bilang."
"Ariiii lo bisa gak sih ngerecokin hidup gue. Lo mau apa? Lo mau jadi pacar
gue? Lo masih nge-fans sama gue?!"
"Ciyeee masih ngarep ya sama Nevan."
"Berisik iiih.. Gue gunting ya mulut lo supaya berhenti ngatain gue!"
"Gue gak percaya deh elo ternyata sodaranya Neina. Gak cocok, masa Neina
lembut dan yang ini galak." Wildan geleng-geleng kepala sambil memadukan
alis. "Gue-gue. Neina ya Neina. Gak usah banding-bandingin gue sama tu anak. Iya,
Neina emang baik gue jahat. Terserah kalian! Cuma, jangan pernah bilang kalau
gue itu sodaranya. Karena sampai kapan pun, gue gak akan pernah akuin dia
sebagai sodara gue, termasuk temen sekalipun." Senna malas bertengkar, dia
memilih untuk pergi. Memilih tempat lain untuk menyendiri. Menikmati suasana
dan aroma pantai, walau tanpa pasangan.
"Iiih sensitif banget, sih." Ari mendumal. "Akhir-akhir ini dia jarang ladenin
candaan gue. Mungkin lagi PMS kali, ye."
Senna tiba di dermaga, jembatan yang berada di pantai Bende. Bukannya tenang,
ia malah dihadapkan dengan pemandangan buruk. Yang membuatnya ingin
cepat-cepat pergi dari sini, atau lebih baik, lari dari bumi dan pindah ke planet
Mars. Atau mungkin, ada mobil yang menghantam kepalanya hingga
menyebabkan ia mengalami amnesia. Melupakan semua kenangan manis yang
terjadi. Di sana, Nevan dan Neina mengaitkan jari kelingking mereka sambil tersenyum.
Di antara hiliran bayu, juga pemandangan dermaga di sore hari, sebentar lagi
sunshet akan segera menampakan diri. Inilah jalan cinta Neina, yang hanya bisa
mengagumi tanpa dicintai. Cinta bertepuk sebelah tangan, terlibat dalam kisah
cinta segitiga, tak apa. Neina terima dengan manis. Mungkin menjadi sepasang
sahabat, itu bisa menjadi lebih baik. Nevan dan Neina berpelukan hangat. Nevan
telah memberikan kepastian, dia tidak bisa memaksakan cintanya.
Tak sengaja pandangan Nevan teralih ke samping. Ternyata ada Senna yang baru
saja menghapus air matanya dan bergegas untuk pergi dengan roman tak
bersahabat. Nevan tahu Senna sedang salah paham. Cowok itu lekas melepaskan
pelukannya, berlari mengejar Senna sebelum dia pergi dan berpikir yang tidaktidak.
"Sen, tunggu, Sen." Nevan berhasil menggenggam pergelangan tangan Senna.
Namun Senna segera menyentakkan tangannya. Berbalik dengan mata yang
berkaca-kaca. "Lo mau ngapain, hah? Lo mau pamer ke gue? Lo mau pamer karna sekarang lo
bisa bahagia setelah putus dari gue? Lo bangga karna udah nyakitin cewek kaya
gue? God job, Van! Lo emang laki-laki paling keren. Lo bisa bebas pilih
perempuan mana pun, lo itu ganteng, lo itu baik, pantes lah banyak yang suka!"
Nevan kelabakan, kedua alisnya menyatu. Tak paham dengan penuturan Senna
yang seolah menghujatnya.
"Iya gue ke sini karna gue ngikutin elo. Gue emang gak punya harga diri.
Berharap sama cowok yang udah gak ada rasa sama gue. Gue terlalu terobsesi
sama lo. Tapi sekarang gue sadar, buat apa terus cinta sama cowok yang
kerjaannya nyakitin gue?" air mata Senna berjatuhan. Untuk kedua kalinya ia
menangis di hadapan Nevan. "Elo Orang pertama yang berhasil terbangin gue,
sekaligus orang yang udah ngehempasin gue ke dasar bumi Lo cowok, gue
cewek. Cowok bisa kapan aja ngegenggam, dan ngelepasinnya gitu aja.
Sementara cewek? Cewek cuma bisa nunggu nunggu dan nunggu. Nevan, jangan
mentang-mentang lo ganteng, lo bisa mainin perasaan cewek sesuka hati lo.
Cewek kayak gue ini, cinta sama lo, elo yang udah bikin gue cinta. Tapi dengan
gampangnya lo ninggalin gue."
"Senna dengerin gue dulu. Lo itu apa-apaan, sih? Apa gue seburuk itu di mata
lo?" "Apalagi yang perlu didengerin?! Semuanya udah jelas. Lo emang udah
berubah. Oke gue bakalan cabut, selamat berlibur sama Neina. Gue bakal belajar
move-on. Dan satu lagi, iya, lo itu cowok paling buruk yang pernah ada di hidup
gue. Bahkan lo lebih buruk dari tumpukan sampah di jalanan!"
Nevan merasa hatinya baru saja ditoyor. Cowok itu tergemap. Menatap Senna
lamat. Senna menarik ingusnya, merasa bersalah dengan apa yang baru saja ia
ucapkan. Keduanya sama-sama tutup mulut. Keheningan menyapa. "Oke."
Nevan mengangguk, menarik napas pelan. "Oke gue maklumin kok kalau lo
benci sama gue." "Bagus kalau lo ngakuin itu."
Baiklah jika Senna membencinya. Nevan pasrah. Mungkin memang seharusnya
mereka tak bersama. "Gue punya satu cerita dan gue pengin lo dengerin itu. Kasih gue waktu lima
menit. Setelah itu, terserah lo mau pergi atau nggak."
Senna mengalihkan pandangannya ke samping, seolah enggan mendengarkan
Nevan. Sibuk menghapusi jejak air matanya. Lebih baik melihat air laut dan
cakrawala, ketimbang mendengar cerita Nevan yang pasti akan kembali
menyakitinya. "Dulu, waktu gue umur lima tahun, gue nangis di depan rumah. Gara-gara gue
kangen sama orangtua gue yang udah meninggal. Lagian, siapa yang sih yang
gak sedih karna udah ditinggal Mama Papa di waktu yang masih kecil? Terus,
waktu gue nangis, ada seroang anak perempuan, umurnya kira-kira sama kayak
gue. Dia nyempetin jongkok di depan gue, dan bilang gue ganteng, entah itu
fakta, atau emang untuk ngehibur. Dia juga ngasih sebutir permen ke gue"
Senna belum mengerti apa inti dari cerita yang Nevan paparkan. Apa
hubungannya dengan mereka? Untuk apa Nevan menceritakan masa kecilnya?
Senna tidak tertarik. Senna sudah bisa mengontrol emosinya.
"Permen yang manis sama kayak wajahnya. Gue inget wajah dia, sampai-sampai
gue gambar sketsa wajahnya, juga gue inget-inget di kepala. Supaya gue gak
lupa sama wajah itu, wajah yang cantik ditambah lucu. Karena gue yakin, gue
bakalan ketemu sama dia lagi. Suatu saat nanti mungkin. Dan dunia emang
sempit ya, sekarang gue udah ketemu sama cewek itu. Takdir Tuhan emang
selalu jadi kejutan."
Akankah anak kecil yang dimaksud Nevan itu Neina? Tiba-tiba pertanyaan itu
melintas di benak Senna. Rasa cemburu pun kembali mengepungnya. Tidak
salah lagi, dia pasti Neina. Nevan telah menemukan gadis itu, itu sebabnya ia
memutuskan Senna. "Kebetulan kita satu sekolah. Dia selalu neriakin gue waktu gue tanding basket.
Dia juga ngeidolain gue di sekolah. Asli awalnya gue gak percaya, tapi nytanya
emang bener. Kita ketemu lagi di usia remaja. Gue juga pernah pacaran sama
dia. Tapi sayang, hubungan kita putus karena sikap dia sekarang, beda sama dia
yang dulu." Senna mengerjap-ngerjapkan mata. Di luar dugaan. Asumsi Senna salah besar.
Apa Nevan sedang menceritakan sosok dirinya? Seorang Sennakah yang sedang
ia ceritakan? Senna yang sangat mencintainya?
"Sampai sekarang, gue masih cinta kok sama dia. Sambil berharap, kalau kita
bisa kayak dulu lagi. Gue pengin, dia berubah jadi cewek yang bisa ngehapus
dendamnya sama orang lain. Bisa lebih maafin kesalahan orang lain. Gue gak
minta apa-apa, gue cuma mau dia bisa ngertiin gue, dan selalu percaya sama gue.
Gak peduli dia mau galak, dia mau centil, dia mau alay. Asal dia selalu percaya
sama gue, gue bisa terus ada di sisinya."
Tidak salah lagi, Nevan memang sedang menceritakan kisahnya dengan Senna.
Senna tidak menyangka, ada satu rahasia yang baru saja terungkap. Rahasia
mengapa dulu Nevan tiba-tiba menembaknya, tiba-tiba datang ke kelas lalu
memberikan sekotak permen. Alasannya hanya satu, karena Nevan sempat
mengenal Senna beberapa tahun yang lalu. Senna bahkan tidak ingat kapan dia
memberikan Nevan permen. Sesetia itukah Nevan? Selama ini Senna selalu
berpikir buruk tentang Nevan. Senna salah besar.
"Gue juga pengin dia maafin adiknya. Gue tau dia itu nggak terlalu benci sama
adiknya, tapi dia terlalu gengsi dan mikir hal yang belum tentu tentang
kebenarannya." Senna masih bungkam, mencerna setiap kata yang dilontarkan Nevan. Semua
ungkapan Nevan, tak ada yang salah. Semuanya benar. Nevan lulus dalam hal
mengetes otaknya. "Gue sayang elo kok, Sen. Dan harapan gue cuma satu, lo percaya itu."
Nevan melangkah lagi, membawa Senna yang membatu ke dalam pelukannya.
Senna memejamkan mata, air mata jatuh membasahi baju Nevan. Nevan
memeluknya dengan segenap ketulusan yang ia punya. Berharap Senna mau
memercayai semua kata-kata yang terungkap dari lubuk hati, berhenti menilai
kalau dia pura-pura mencintainya. Senna yang sangat merindukan Nevan,
mengambil kesempatan untuk lebih mengeratkan rengkuhannya. Mengurungkan
niat untuk pergi, ingin sekali menarik kembali ucapan kotornya yang dilontarkan
kepada Nevan tadi. Kedua hati itu saling berdialog, mulut dibiarkan terkatup.
Detak jantung saling menyahut. Laut, dermaga, angin sore, menemani momen
indah itu.Juga Neina, yang terpaku di tempatnya. Ia juga ikut bahagia. Meski
masih tersimpan cinta untuk Nevan, Neina berjanji untuk segera mengenyahkan
itu dari hatinya. Terpaksa Senna harus naik bus gara-gara mobilnya yang enggan menyala. Ia
juga tidak mau naik mobil Neina. Dan akhirnya hanya Nova dan Sasta yang
menumpang. Sebagai lelaki, Nevan mengalah. Mobil Neina terlalu kecil, tak
akan muat menampung banyak orang.
"Ya udah. Kita naik bus aja. Mumpung masih ada," ajak Nevan kepada Senna.
Senna hanya mengikutinya dari belakang. Naik bus dengan Nevan tak apa,
bukan suatu hal yang berat bagi Senna. Neina mendukung kebersamaan mereka,
ia tersenyum memandang kepergian Nevan dan Senna.
Di sore hari ini, bus sangat dipadati para penumpang. Hingga mengharuskan
Nevan dan Senna duduk di kursi yang sama. Mereka belum seakrab dulu,
kecanggungan itu masih mengalir dengan kentara. Tak ada pembicaraan yang
terjalin begitu bus melaju dengan kecepatan rendah. Matahari mulai
meninggalkan peraduan. Menyisakan langit yang keorenan. Kalau status mereka
masih pacaran, mungkin Senna sudah memeluk lengan Nevan duluan dan tidur
nyenyak di sampingnya. Senna yang terlalu lelah mulai memejamkan mata, hingga tertunduk ke bawah.
Nevan segera membetulkan kepala Senna, menyimpan kepala itu di bahunya,
membiarkan Senna tidur di bahunya. Sebelah tangannya lagi, dipakai Nevan
untuk merapikan rambut Senna yang menutupi wajahnya, menyelipkan rambutrambut hitam itu ke belakang telinga. Matanya memandang kepala Senna, lalu
beralih ke jendela, melihat langit yang mulai gelap. Tiba-tiba bus yang
ditumpangi mengerem secara mendadak, dan refleks membangunkan Senna dari
tidurnya. Senna mengangkat kepala begitu menyadari kalau kepalanya
menempel di bahu Nevan. Dua-duanya jadi salah tingkah, tertegun bersama begitu mata itu bertemu. Di
belakang tempat duduk, ada anak kecil yang menyalakan handphone
orangtuanya. Menyetel lagu Surat Cinta Untuk Starla milik Virgoun. Membuat
atmosfir semakin tidak keruan. Nevan dan Senna saling membuang muka, dulu
mereka sangat menyenangi lagu itu, Senna yang mengawalinya. Ingat saat
mereka naik sepeda bersama. Dulu mereka begitu dekat, tapi sekarang semuanya
menjadi kikuk setelah keadaan berubah; menjadi mantan kekasih. Dalam
hatinya, Senna menjerit kegirangan, dia rindu momen berdua ini, dia
merindukannya. Jantungnya berdegup keras. Sedang enak-enak mendengarkan,
si anak menggantikan lagu, beralih ke lagu Percayalah milik Afgan dan Raisa.
Otomatis, Nevan dan Senna ingat saat mereka karokean di Mall waktu itu.
?Anjay siapa sih yang nyetel lagu-lagu itu?? batin Senna.
bagian 29. Senna membuka pintu, langsung disambut pemandangan tak enak, tak srek di
mata. Ia tertegun lama di lawang pintu, sedang ada apa ini? Sedang ada acara
apa ini? Mengapa sosok yang begitu ia benci sedang duduk manis di kursi itu?
Semua pasang mata tertuju ke arah Senna, terutama Diana yang langsung
berdiri, menyuruh Senna untuk mendekat.
Senna mulai melangkah, walaupun sangat malas. Berhenti di dekat Diana lalu
berkata, "Ma, mobil aku mogok di pantai. Tolong urusin, ya." Gadis itu
melangkah lagi, tidak menghiraukan keberadaan Tania dan Ardi.
Diana tidak terlalu memedulikan informasi Senna, yang dia inginkan sekarang
hanya satu, agar Senna bisa memaafkan kesalahan papanya. "Tunggu dulu
sayang. Kamu harus menghormati tamu. Jangan main pergi gitu aja."
"Tamu kayak gimana dulu yang harus kita hormatin, Ma."
"Ada sesuatu yang harus Mama sampain ke kamu. Makannya duduk dulu di
sini." "Nggak mau. Senna gak sudi."
"Senna!" bentak Diana sambil sedikit berbisik.
"Papa tau kamu masih benci sama Papa. Papa ngerti itu," suara Ardi
menghentikan keinginan Senna untuk tetap naik ke atas. "Tujuan Papa ke sini
punya niat yang baik, Sen."
Diana memandang Senna dan Ardi secara bergantian. Dia yang sudah
merencanakan ini. Diana tidak ingin Senna terus menyimpan dendam terhadap
papanya sendiri, termasuk Tania juga Neina. Putrinya bukan sosok orang yang
jahat, dia hanya terlanjur emosi, hingga membuatnya seperti gadis galak. Itu
semua terjadi hanya karena masa lalu, masa yang telah lalu yang sebaiknya tidak
perlu diungkit lagi. "Baik apanya? Papa mau minta maaf? Basi! Harusnya Papa tu minta maaf waktu
pertama kali kita ketemu. Tapi apa yang kamu lakuin? Kamu malah marahin
aku,kamu cuekin aku"
"Untuk hal itu kamu nggak ngerti apa-apa."
"Umur aku udah dewasa. Hal apa yang nggak bisa aku ngertiin? Udah jelas-jelas
waktu itu Papa telantarin aku sama Mama. Cuma demi kebahagiaan Papa."
Diana duduk kembali, membiarkan anak dan mantan suaminya berbicara. Ia
ingin masalah ini bisa cepat selesai. Tania juga menutup mulut, dalam hal ini dia
hanya diperbolehkan untuk diam.
"Aku udah tau semuanya! Aku udah tau kenapa dulu Papa ninggalin Mama.
Cuma karna Papa bosen, kan? Papa bosen sama sikap Mama. Padahal bukan itu
satu-satunya cara supaya Papa terlepas dari sikap Mama yang kekanak-kanakan.
Papa harusnya tuntun Mama, Papa harusnya berusaha bikin Mama terus percaya
sama Papa, jangan malah pergi gitu aja. Papa harusnya jadi cowok yang bisa
setia." "Itu adalah kesalahan masa lalu Papa. Tolong, jangan diungkit lagi. Kita ini
sekarang ada di masa depan. Tugas kita cuma satu, bisa memperbaiki kesalahan
yang pernah terjadi di masa lalu. Izinin Papa perbaikin kesalahan Papa dulu."
Ardi berdiri dan mendekati Senna. Ruangan itu lengang selama beberapa saat.
"Papa minta maaf kalau dulu waktu pertama kita ketemu lagi, Papa nggak peluk
kamu, nggak nyapa kamu. Papa terlanjur malu sama diri Papa sendiri. Omongan
nggak sopan yang kamu keluarin, itu nyakitin hati Papa. Bukan karna ucapan
kamu, tapi alasan kenapa kamu bersikap kaya gitu. Alasannya karna Papa
sendiri, Papa gagal didik kamu. Papa gagal didik kamu supaya jadi orang yang
lebih sopan. Papa minta maaf karna udah ninggalin kamu"
"Dan demi membahagiakan anak yang satu, Papa rela ninggalin anak yang
kedua," penggal Senna lumayan pelan. "Cuma karna kebahagiaan Neina, cuma
parna Papa nggak mau Neina sedih dan malu, Papa ninggalin aku waktu aku
masih pakek seragam merah putih. Waktu aku masih umur 12 tahun. Papa nggak
mau kan Neina tau kalau dia lahir dari perempuan yang udah rebut suami
orang?" Kata-kata Senna yang terakhir menohok hati Tania. Sindiran itu masuk ke dalam
telinganya dengan telak. Namun memang itulah realitanya. Yang selalu membuat
Tania ingin kembali ke masa lalu. Di mana ia tak akan melakukan kesalahan itu,
di mana ia akan memilih untuk berhenti mencintai Papa Neina. Namun siapa
yang bisa memutar waktu? "Tapi apa? Akhirnya kebongkar juga, kan? Dan saat itu terjadi, apa yang Papa
lakuin? Papa tampar pipi dan nyalahin aku, kan? Papa nyalahin aku atas semua
yang terjadi. Padahal dalam hal ini, aku ini korbannya." Senna menjatuhkan
setetes air matanya. Ingat saat dulu tangan papanya menampat pipinya.
"Walaupun Papa kaya gitu, Papa itu sayang sama kamu. Papa malu, Papa malu
sama kamu, Sen. Waktu itu Papa terlalu emosi, Papa kesel sama diri Papa, Papa
juga ketakutan, Papa takut kehilangan Neina. Papa khilaf. Keinginan Papa cuma
satu, Papa cuma pengin kamu percaya kalau Papa itu sayang sama kamu. Sayang
yang dari dulu sampai sekarang nggak pernah ilang. Kamu itu anak Papa. Kamu
sama Neina sama-sama anak yang Papa sayangin. Cuma yang beda, cara
perlakuan Papa yang berbeda. Kamu sama Neina berbeda. Papa tau kamu itu
anak yang kuat Senna. Papa inget waktu dulu kamu belajar naik sepeda sama
Papa, kamu jatoh, tapi kamu sama sekali nggak nangis. Papa masih inget masamasa kecil kamu" Ardi mencoba untuk memeluk tubuh Senna yang terpaku,
dan anaknya sama sekali tidak melalukan penolakan seperti apa yang ia
takutkan. Ardi memeluk Senna erat, pelukan yang seharusnya ia lakukan ketika
mereka bertemu. Senna yang terlalu merindukan papanya, membiarkan tubuh itu


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dipagut sambil menangis tersedu-sedu. Rasa benci itu kalah dengan rasa rindu.
Rindu yang selama ini menggebu-gebu, yang setiap hari mengganggu tidur. Tak
akan pernah ada yang tahu, betapa dekatnya dulu Senna dengan Ardi. Betapa
mesranya mereka, dan betapa lengketnya mereka di masa itu.
Dulu papanya yang mengajarkan Senna naik sepeda sampai Senna benar-benar
bisa mengayuhnya, mengelilingi komplek atau bermain di taman. Mengajarkan
Senna cara bercermin, menata rambutnya supaya terus terlihat cantik. Senna
harus tetap terlihat lucu dan cantik, agar orang yang melihat merasa gemas
dengan penampilannya. Saat jatuh dari sepeda, papanya yang akan
menggendong tubuh mungilnya sampa ke rumah. Lalu diobati dengan
sedemikian sabar dan lembut. Senna ingat semua kenangan manis itu, ia
mengingatnya. Tapi keadaan menjadi jungkir balik setelah Mama dan papanya
sering bertengkar. Senna kecewa, kasih sayang papanya diduakan. Senna syirik,
dia bukan satu-satunya anak yang papanya sayang. Ada anak lain juga yang
mendapatkan semua perlakuan baik manis itu. Selama ini ia mengira, papanya
hanya menyayangi dia seorang, hanya Senna-nya seorang. Senna yang selalu ia
puji ?anak cantik?. Tapi nyatanya, tidak. Itu sebabnya Senna kecewa, ia
membenci papanya sendiri. Bukan hanya mamanya yang ia selingkuhi, tapi
Senna juga. Mereka masih berpelukan. "Papa itu sayang kamu, Sen. Jangan pernah mikir
kalau Papa nggak sayang kamu. Mana mungkin ada orangtua yang benci sama
anaknya sendiri. Kita buka lembaran baru. Yang lalu biarlah berlalu."
Senna belum mampu berbicara apa-apa, hanya mampu menumpahkan air
matanya. Sedang bergulat dengan perasaannya. Rasa kesal dan benci itu seketika
luruh setelah mendengar pengakuan ?sayang? dari papanya. Seharusnya ia tak
boleh selemah ini. Rindu itu telah merusak semuanya, menghancurkan
kebencian menjadi kepingan-kepingan berlian. Bagaimana pun, Senna begitu
menginginkan kehadiran sesosok Ayah. Biarpun Mama dan papanya sudah
berpisah, tapi darah dirinya dan papanya masih tetap terikat. Istilah mantan istri
dan mantan suami memang ada, tapi mantan anak dan mantan Ayah? Tak akan
pernah ada. Darah anak mengalir dalam darah Ayah, begitu pun dengan darah
Ayah, darah itu mengalir dalam darah anak.
Diana dan Tania saling melirik, keduanya sama-sama tersenyum. Ikut trenyuh
dengan pelukan Senna dan Ardi. Diana tak akan menyesali kisahnya dulu,
karena itu semua memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan. Memang sudah
jalannya seperti itu. Yang penting sekarang, ia masih tetap bersama dengan
Senna, anak tercintanya. Juga, Senna dan papanya bisa akur kembali. Biarkan
cintanya hilang, tapi jangan sampai Senna kehilangan cinta papanya.
Entah apa yang membuat Senna sesemangat ini, dia membawa langkah di
koridor dengan roman bahagia. Selama ini dia telah salah paham, namun
sekarang ia telah mengetahui semuanya. Liburan telah berakhir, kembali ke
sekolah. Walau hanya empat hari, tapi mereka bilang, mereka merindukan
teman-teman sekelas. Senna menghentikan langkah, salah satu murid
menghalangi jalannya. Senna melangkah ke samping kanan, tapi sepatu di
depannya mengikutinya. Untung suasana hatinya sedang baik, ia mengembuskan
napas pelan lalu melangkah ke kiri, sepatu itu lagi-lagi mengikutinya. Oh God!
Akhirnya Senna mengangkat kepala, wajah tak asing kini terpantul di matanya.
Orang itu Nevan. "Lo" semenjak hari itu, Senna berubah menjadi kaku di depan Nevan. Kalau
bukan Nevan, mungkin Senna sudah merutukinya, atau meneriakinya dengan
lengkingan khas. "Eh sori, Sen. Gue juga gak tau kenapa gue ke kiri lo ikut-ikutan ke kiri, gue ke
kanan lo ikut-ikutan ke kanan."
"Apa kita emang sejalan?" tanya Senna tanpa sadar. Keceplosan.
"Hah?" Senna menyadari ucapannya, cepat-cepat dia menutup mulut jengah. "Nggak,
gue gak ngomong apa-apa."
"Oke gue ke kelas dulu."
Nevan hendak melangkah, tapi lagi-lagi langkah mereka sama, hingga keduanya
nyaris bertubrukan. Senna menjadi gerah, bertemu dengan mantan dengan cara
seperti ini membuatnya kelabakan. Keduanya tertawa lebar tanpa suara, samasama salah tingkah. Padahal ini di luar, suasana pagi, tapi rasanya sedang berada
di dalam oven. "Senna!" suara panggilan itu menghentikan tatapan mereka, Senna berbalik.
Bukan Nova, bukan Sasta seperti biasa, tapi dia adalah Neina. Neina berlari
riang ke arah Senna, lantas memeluk lehernya sembari tertawa bahagia, lumayan
histeris. Senna tercenung melihat tindakan Neina yang so akrab. Ada rasa risi,
ada juga rasa Ya begitulah.
"Kamu maafin Papa? Kamu maafin Papa kita? Aaaaaa makasih, Seen. Makasih
banget, itu artinya kamu pasti bakalan maafin aku juga." Neina berseru riang
begitu ia melepaskan pelukannya. Nevan yang masih berada di sana ikut
tersenyum. Sebenci apa pun anak kepada ayahnya, mereka tetap saja akan
menyayanginya, karena mereka butuh sosok Ayah.
"Sekali lagi makasih, Sen." Neina kembali memeluk Senna, tapi kali ini Senna
memberikan penolakannya. Padahal Neina berharap, kakaknya itu mau
membalas pelukannya dan mereka bisa tertawa dan berbahagia bersama-sama.
"Apaan sih, lo? So akrab banget sama gue," katanya sinis. Neina yang terlalu
bahagia tidak memedulikan delikan mata atau suara Senna yang dingin, dengan
Senna mau memaafkannya pun, itu sudah cukup. Bahkan lebih dari cukup.
Kalau Senna masih dingin, Neina maklumi. Memang seperti itu kan sikapnya?
Nevan mendekati Neina begitu Senna telah berlalu. "Percaya sama gue, Senna
tuh cuma gengsi doang."
Neina tersenyum. Tanpa Nevan beritahu pun, ia sudah mengetahuinya. Bukan
hanya karena Senna, hari ini juga Neina sangat bahagia karena ia bisa
berkomunikasi dengan baik dengan orangtuanya. Tadi Neina membantu Tania
memasak, tak henti-hentinya Tania mewani-wanti supaya Neina dan Senna bisa
berteman dengan baik. Dengan begitu, akan terjalin sebuah tali persaudaraan
yang tak akan pernah putus.
Bagian 30. "Aku boleh duduk di sini, ya?" tanya Neina kepada Senna. Senna yang sedang
mengobrol dengan kedua temannya tidak menggubris permintaan Neina, namun
telinganya mendengar. Sibuk memesan makanan kepada bi Titi. Akhir-akhir ini
Neina selalu ingin bergabung.
Tanpa mendapat anggukan, apalagi jawaban ?iya?, Neina nekat duduk di sebelah
Senna. Tak peduli kalau ia akan dikatakan tidak tau malu, ataupun so dekat.
Neina hanya ingin meyakinkan dirinya kalau Senna pasti mau memaafkannya.
Sedikit kikuk, Neina melirik Nevan yang duduk di meja tak jauh dari tempatnya
duduk, di sana Nevan terus meyakinkan Neina dengan gestur matanya. Tak usah
sungkan-sungkan untuk mendekati Senna. Senna tidak seburuk itu, dia hanya
gengsi. "Lo mau mesen apa?" tanya Nova, yang menghargai keberadaan Neina. "Samain
aja, deh," jawab Neina.
"Lo kenapa gak pernah ngasih tau gue sih kalau Neina ini saudara elo? Dan
bokap elo itu sama-sama bokapnya Neina." Pandangan Nova beralih kepada
Senna. Dia meminta jawaban yang akurat.
"Tau dari mana lo?" Sasta menyikut lengan Nova. Sepertinya, baru kali ini ia
mendengar kabar itu. Karena yang Sasta tahu, Senna sudah tak mempunyai Ayah
lagi. "Ari yang cerita sama gue."
"Oooh sekarang elo udah PDKT ya sama si Ari?"
"Amit-amiiit Aduuuuhh" Nova mengetuk-ngetukkan kepalan tangan ke
kepalanya dan ke atas meja. "Gue maunya juga sama Nevan."
Senna melotot, melemparkan sorot geram ke arah Nova. Cewek itu pun
tersenyum mengerti. "Woy! Emang Nevan mau sama elo?!" teriak Ari di sebrang sana. Ternyata, dia
ikut mendengarkan percakapan anak kelas 11-IPS-5 itu. "Jomblo kaya elo jangan
so kecantikan deh, so so an gak mau dijodohin sama gue. Gini-gini juga masih
gantengan gue daripada Nevan. Jangan bandingin gue sama Nevan, ya jelas
gantengan gue kemana-mana, lah."
Nova, Sasta juga Senna hampir memuntahkan apa yang ada dalam perut.
Layaknya ibu-ibu yang sedang nyidam atau anak-anak yang mabuk perjalanan.
Ari hanya mendengus sebal, ia menjadi bahan tawaan ketiga temannya. Kalau
dia menyebut dirinya tampan, pasti semua orang akan mengejeknya.
"Makannya, jangan kepedean kayak di iklan XL itu," ejek Wildan. "Aku juga
cinta sama kamuuuuuuuu. Kegeeran banget tu orang."
"Ganteng dari hongkong? Hahahahaha Ariii Ariii, Ari Untung sama elo juga
masih cakepan Ari Untung. Hahahahaha hihihihihiii huhuhuhu hehehehe
hohohoho wkwkwkwkwk" tawa Senna pecah. Ini sebagai balasan karena Ari
sudah merecokinya sewaktu di pantai dulu. Diam-diam Nevan memerhatikan
tawaan renyah Senna, sudah lama ia tak melihatnya seperti itu.
"Van! Mantan lo nyebelin banget, sih! Pokoknya gue gak bisa diginiin," berang
Ari menggebrak meja. "Lebaaaaaaaaaay."
"Serius loh gue baru tau, Sen. Kali-kali kek kenalin kita sama orangtua lo,"
bujuk Sasta penasaran. "Jangan bahas mereka deh, males gue."
Sasta memorotkan bibir. Baiklah.
"Berati kalian sodaraan, yah?" tanya Sasta kepada Neina. Kalau bertanya kepada
Senna, pasti ia tak akan mau menejawab. Sasta sudah mengenal sikapnya.
Neina tersenyum kecil dan mengangguk ragu. Karena sampai sekarang Senna
masih belum mau mengakuinya.
Hampir setiap hari Neina membawakan bekal yang sama untuk Senna, tapi
hasilnya sama, Senna tak pernah mau menerima. Tapi bagi Neina, penolakannya
tak sekasar saat pertama kali Neina memberikan Senna makanan. Dulu, Senna
tega melemparnya dan menginjak sandwich buatan mamanya. Tapi sekarang,
Senna mendiami sambil berkata ?Sori, perut gue udah kenyang. Gue gak butuh
bekel itu! Lo kira, di rumah gue gak makan apa?? Neina selalu ikut duduk di
tempat Senna nongkrong kalau sedang di kantin. Yang mengajak ngobrol hanya
Sasta dan Nova, padahal yang Neina inginkan adalah Senna. Tak lupa, Neina
selalu mengajak Senna pulang bersama, dan hasilnya sama, Senna selalu
menolak. Bahkan Neina sudah mulai menjaga jarak dengan Nevan, tak sedekat
dulu lagi. Tugasnya hanya satu, bisa menjadi saudara yang dianggap ada oleh
Senna. Kadang, Neina ingin seperti Nova dan Sasta, yang menjadi teman baik Senna.
Meski kadang Senna sering membentak mereka, tapi Neina yakin, bukan
maksud Senna untuk menyinggung mereka, emosi Senna hanya cepat tersulut.
Kadang, untuk menilai karakter seseorang, kita kudu mengenalnya lebih jauh.
Tak hanya sepintas, tapi lebih dalam, lebih lama, sampai akhirnya, kita mengerti
bagaimana cara dia memperlakukan orang lain.
"Sen, pulang bareng, ya," ajak Neina begitu Senna keluar dari kelasnya. Dalam
beberapa hari ini Senna merasa risi dengan keberadaan Neina yang selalu
mengikuti dan mengajaknya bicara. Gadis itu menarik napas dalam. Dalam hati
Neina memohon, supaya kali ini Senna mau mengabulkan permintaannya.
"Lo itu kenapa sih ngikutin gue terus? Gue bosen tau, gue enek."
"Aku cuma mau menjalin pertemanan, apa itu salah?"
"Kalau gue gak mau gimana? Lo mau maksa gitu?"
"Aku butuh kamu, Sen. Aku butuh temen. Kita ini saudara, apa nggak sebaiknya
kita lupain semua yang terjadi?" pinta Neina yang sudah bosan dengan usahanya
yang tak kunjung membuahkan hasil.
"Lo bisa cari temen kok, banyak di sini, bejibun! Anak kelas 10 ada, anak kelas
11, 12. Banyak kok, tapi kenapa lo kepingin gue? Kita emang saudara, tapi
bukan berati lo bisa seenaknya ngajak baikan sama gue! Gue maafin bokap gue
bukan berarti gue maafin elo juga! Gak usah kege?eran deeeh ah"
"Kamu bohong." Neina memotong.
"Bohong? Buat apa gue bohong? Mending sekarang lo pergi deh dari hadapan
gue," usir Senna. "Pusing gue setiap hari terus diikutin sama elo."
"Iya kamu bohong. Aku yakin, kamu udah maafin aku. Aku yakin itu."
Senna tertawa sarkastis. "Apa lo bilang?"
Neina tercenung. "Gue maafin orang yang udah ngerusak hubungan orang? Lo pikir segampang
itu?" "Berhanti nyangkut-nyangkutin masalah kita sama hubungan kamu sama Nevan.
Ayolah, Sen. Aku pengin kita punya pendekatan yang baik. Kita perbaikin
kesalahan orangtua kita di masa lalu. Aku mohon." Neina mendekat lagi,
berusaha menggapai kedua tangan Senna dan menggenggamnya.
Senna masih diam, enggan dipegang Neina, ia melipat kedua tangannya di
bawah dada. "Kamu gak mau maafin aku?"
Senna masih tidak mau menjawab.
"Oke. Kamu mau ikut aku ke suatu tempat gak?"
"Gak mau!" "Kamu harus ikut." Neina berusaha memegang tangan Senna secara paksa.
Setelah menggenggamnya, Neina membawanya berlari meinggalkan kelas.
Senna terbeliak, berani-beraninya Neina memperlakukannya seperti ini.
"Lepasin. Lo mau ngajak gue kemana, sih?"
Neina tidak menjawab sepatah kata pun, yang dia lakukan hanya terus menarik
tangan Senna, membawanya keluar dari area sekolah. Senna gelisah. Begitu tiba
di sisi jalan raya, Neina melepaskan tangan Senna. Kini dia berjalan sendiri,
menuju permukaan aspal. Dan berdiri di sana, menghadap ke arah Senna yang
kini matanya menyipit. Suara klakson terdengar beruntun, Neina benar-benar berada di tengah jalan,
membuat para pengendara mobil dan motor bersungut-sungut, menggerutu dan
meneriaki siswa berseragam putih abu-abu itu. "Aku tau kamu gak bakal biarin
aku ketabrak, kan? Ayo Sen bantuin aku, ajak aku ke sisi jalan," seru Neina di
antara kegaduhan. Sudah beberapa kali Neina nyaris tertabrak oleh motor, tapi
keberuntungan terus berpihak kepadanya.
Senna kelabakan. Kali ini Neina benar-benar nekat.
"Kalau kamu nggak sayang aku, benci banget sama aku yang udah ngerebut
semua kebahagiaan kamu, kamu bakal biarin aku ketabrak. Tapi kalau kamu
sayang sama aku, kamu udah maafin aku, kamu bakal akak aku ke pinggir,"
suara Neina bergetar. Senna melihat beberapa mobil dan motor yang berlalu lalang di depan, ada
beberapa yang hampir menabrak tubuh Neina dan menyumpah serapahinya.
Tindakan Neina betul-betul membuat Senna kalang kabut dan kesal. Ini gila,
benar-benar gila. Kali ini, di ujung jalan sana, Senna melihat ada mobil truk
besar melaju dengan kecepatan kencang. Dengan kaki gemetar, Neina masih
setia dengan pijakannya. Kalau ia tidak bisa mendapatkan kata maaf dari Senna,
Neina rela kalau dia harus mati. Supaya Senna berhenti menganggap bahwa
semua orang hanya menyayangi dirinya saja.
Tinggal beberapa meter lagi, truk itu tiba di dekat Neina. Senna segera berlari
menghampiri Neina, membawa Neina ke pinggir hingga keduanya sama-sama
terjatuh ke atas tanah, truk berwarna hijau itu melesat melewati jalan yang
barusan Neina injak. Neina melihat ban truk itu menggelinding, tidak terbayang
jika tubuhnya terlindas. Napasnya tersengal, nyaris saja ia melakukan hal bodoh.
Senna berdiri dengan tangan yang sedikit lecet, siap menyemburkan amarah.
"Lo itu gila apa bego, sih?! Lo mau mati di sana? Lo mau cari mati?! Hidup lo
itu dramatis banget tau! Lo mau semua orang nyalahin gue? Harusnya lo mikir,
kalau gue gak nyelametin elo, lo bakal mati dan semua orang bakal ngira kalau
lo mati itu gara-gara gue!" Senna benar-benar naik pitam. "Jangan mikir, gue
nyelametin elo karna gue sayang sama elo. Gue mau nyelametin diri gue
sendiri." "Maafin aku, Sen. Maafin aku." Neina mulai terisak. Ia tahu tindakannya
barusan itu sangat bodoh, hampir menyelakakan dirinya sendiri dan membuat
Senna ketakutan. "Aku bingung, harus dengan cara apa lagi supaya aku tau kalau
kamu itu udah maafin aku atau belum. Apa kamu ini anggap aku atau nggak.
Aku bingung. Yang aku pengen cuma satu, bisa akur sama kamu. Izinin aku
nebus semua kesalahan orangtua aku."
"Awh." Senna meringis, merasakan nyeri di lengannya. "Tapi tindakan elo itu
bener-bener keterlaluan! Lo mau mati sia-sia, hah? Apa elo udah banggain
orangtua elo? Apa elo udah capai cita-cita lo? Apa elo udah bayar hutang-hutang
kasih sayang orangtua lo?!" rajuk Senna terus menerus di depan wajah Neina
yang kini memicingkan mata. "Lo bener-bener gila! Dasar otak udang!"
Senna hendak pergi meninggalkan Neina yang masih menangis. Namun dengan
cepat Neina mengejar Senna, lalu memeluknya dari belakang. Senna terpegun, ia
menelan air liurnya, di punggungnya, Neina menangis. "Tapi dengan kamu
nyelametin aku pun, aku udah seneng. Makasih, Sen. Makasih. Sekarang aku
tau, kalau kamu tuh udah mau maafin aku. Aku pengin kamu jadi sahabat aku.
Tolong kasih aku kesempatan buat bahagiain kamu. Nebus semua rasa sakit yang
kamu alamin selama ini. Kita bisa saling menyayangi, saling mengasihi dan
saling mendengar. Aku pengin kamu tau, kalau aku sayang sama kamu, tulus.
Aku aku tuh selalu ngebayangin gimana kalau suatu saat kita bisa sama-sama
akur."

Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Senna sedikit trenyuh, menyeka ujung matanya. Dia memang membenci Neina,
tapi itu dulu. Karena dengan seiring waktu, hati yang keras itu kian melumer.
"Aku juga mau buat pengakuan Aku emang cinta sama Nevan, tapi kamu
nggak usah khawatir. Aku bakal secepatnya ilangin rasa itu. Nevan itu cuma
cinta sama kamu, kamu harus percaya, Sen. Maaf aku lancang cinta sama dia,
tapi aku berani janji, kisah orangtua kita nggak akan pernah terulang. Kamu mau
kan lupain semua hal yang pernah terjadi? Kita bisa sama-sama cintain Papa,
Mama kita. Kita bangun keluarga yang harmonis. Indah, kan?"
Dengan Senna terdiam pun, sudah cukup bagi Neina. Itu artinya, Senna setuju.
Semoga perkiraannya benar.
Apa dengan melupakan bisa membuat kita bahagia? Apa dengan mengikhlaskan
bisa membuat kita tenteram? Kalau begitu, apa salahnya mencoba? Untuk apa
terus menyimpan dendam kepada kesalahan yang telah lama terjadi? Yang
terpenting sekarang, Senna sudah kembali mendapatkan kasih sayang papanya.
Neina terus memeluk Senna erat. Di depan, Senna menjatuhkan titik air
matanya. Tiga pelukan yang membuatnya tenang, pelukan Nevan, papanya, dan
sekarang Neina. Sekarang Senna sadar, betapa banyak orang yang
menyayanginya. Senna menyentuh tangan Neina yang memeluknya.
Satu Dua Tiga Cekrek Satu foto terabadikan. Dalam foto itu, ada dua perempuan yang sedang tersenyum. Senna dan Neina.
Kedua anak yang dulu tak pernah akur, yang dulu tak pernah terlihat baik, selalu
saja ada pertengkaran. Yang dulu, tak sekali pun akrab. Foto itu menjadi viral di
sekolah. Terutama bagi kelas 11-IPA-2, si Ari.
"Ini asli?" tanya Nevan kepada Neina saat mereka sedang di kelas. "Lo sama
Senna udah baikan?" Nevan bertanya lagi, antusias. Neina tersenyum sambil
mengangguk, "Emang kamu kira itu editan? Aku gak jago Photoshop kali,"
cewek itu terkekeh. Dan Nevan ikut tertawa, memandang wajah Neina yang
berseri-seri. Ini kabar yang bagus, berarti Senna sudah mau menghapus semua
rasa dendamnya. Nevan terkagum.
Sengaja, Neina mengupload foto itu ke dalam akun media sosial Instagram. Foto
itu tersimpan saat Neina mengajak Senna untuk datang ke rumahnya. Bertemu
dengan Tania, juga papanya. Senna memang ogah-ogahan, tapi Neina terus
memaksa dan membujuk. Dan yang memoto mereka adalah Tania. Perempuan
itu berjanji, akan menganggap Senna sebagai putrinya juga. Diana juga, dia bisa
menjadi Ibu bagi Neina. "Lo upload foto itu di instagram? Ngapain, sih? Mau pamer kalau gue yang
cantik ini sodaranya elo? Hah?" labrak Senna saat melewati kelas 11-IPA-2.
Mereka berada di koridor depan kelas itu.
"Gak pa-pa kali. Sekali-kali orang tau kalau kita itu sekarang udah akur," jawab
Neina. "Apa? Cantik? Yang ada di foto itu tuh keliatan jelas kalau Neina yang cantik,
imut, manis, lembut. Nah elo?" datang-datang Ari langsung mengatai Senna
dengan ocehan-ocehan menyebalkannya. Senna langsung menoyor kepala Ari.
"Bisa gak sih sehari aja nggak hina-hina gue?!"
"Nggak bisaa. Itu udah jadi kebiasaan yang nggak akan pernah gue ilangin."
"Ariiii!!!" Nevan, Satya dan Wildan baru saja keluar, dan langsung bertemu dengan Senna.
Sebenarnya, Senna sudah mengharap-harapkan kedatangan Nevan, Nevan
adalah tujuan Senna mendatangi kelas ini.
"Roman-romannya, ada yang mau celebek-celebek, nih," goda Ari, melirik
Senna dan Nevan secara bergantian, dengan lirikan super jail. Karena mereka
sudah saling pandang beberapa detik.
"Di foto itu, lo keliatan cantik. Senyum itu keliatan tulus dari hati lo yang paling
dalam," puji Nevan yang mampu membuat Senna malu. Ia tersipu, dan
tersenyum. Jelas, dia begitu merindukan Nevan, merindukan candaannya,
merindukan keberaamaan mereka. Berharap-harap, akan adanya cinta lama
bersemi kembali, seperti yang Ari bilang.
Neina membisikkan sesuatu di telinga Ari, cukup lama dan membuat Ari
terdiam, mengangguk kecil. Lalu Neina tersenyum sebagai tanda permohonan.
"Okee siiip gampang. Pasti buat kita, kan?"
"Isshh, jangan selingkuhin Nova."
"Ett daah siapa yang jadian sama Nova yang gembrot itu?"
Neina menaikkan sebelah alisnya. Ari menengok ke kelas, di kelas hanya ada
dua orang murid. Ari berbisik-bisik, isyarat bibirnya mengatakan kalau mereka
harus segera keluar dari sana. Karena ada sesuatu yang harus dibicarakan, gawat.
Mereka mengangguk, berjalan keluar dari kelas.
"Aduuuuuuh, uang gue ketinggalan di kelas. Van, tolong ambilin dong, elo kan
sahabat terbaik gue."
"Etdaaah apaan nyuruh-nyuruh gue."
"Jadi lo nolak, niih?"
"Iya-iya. Emang uang lo di mana?"
"Di dalem kantong."
Senna menggeram kesal, Ari sudah mengganggu momennya bersana Nevan.
Padahal tadi, Nevan dan Senna sedang membicarakan soal foto.
Ari menarik tangan Senna, memasukkan tubuh Senna ke dalam kelas, dan
langsung menutup pintu. Senna membelalakkan mata, apa maksud Ari?
"Ariiii!!! Lo ngapain masukin gue ke sini?!" pekiknya tak mengerti sekaligus
dongkol. Tega-teganya cowok itu menguncinya di kelas orang lain.
Di luar, mereka tertawa cekikikan.
Nevan yang mendengar suara pintu yang tertutup, juga suara teriakan Senna,
mengalihkan pandangannya. Ia juga tak menemukan uang yang dimaksud Ari.
Senna baru menyadari, kalau dalam kelas ini, ada Nevan. Ia berbalik, pandangan
Senna dan Nevan otomatis saling bertemu. Kelas ini lengang, kosong, tak ada
siapa-siapa. Jantung Senna berdegup kencang, bagaimana ini? Senna
kebingungan. "Kok ditutup?" tanya Nevan, mendekati pintu.
"Kerjaan Ari, Van. Jangan salahin gue."
Baru saja tangan Nevan ingin membuka pintu, ponselnya sudah bergetar. Nevan
segera membuka isi pesan yang baru saja masuk. Dari Neina.
?Ini kesempatan kalian buat ngobrol. Tersisa 30 menit.?
Nyatanya, Senna mendapatkan pesan yang sama.
Mereka saling memandang setelah membaca isi pesan itu. "Kerjaan Neina," kata
Nevan dan Senna bersama, serempak dan di detik yang sama.
"Apa kabar?" lagi dan lagi keduanya bertanya di waktu yang sama. Nevan
menutup mulutnya, mempersilahkan Senna untuk bertanya duluan. Senna
mengibaskan tangannya, kalau di sini ada AC, ia akan menurunkan suhu udara.
Ruangan ini sudah seperti tak ada ventilasinya. Ia butuh angin.
Melihat Senna yang enggan bertanya duluan, Nevan mengambil langkah. "Apa
kabar, Sen? Lo baik?"
"Gue baik. Lo sendiri?"
"Hm. Sama." "Oooh, jadi elo udah baikan sama Neina?"
"Ya gitu, deh. Kayaknya gue emang harus ngelupain semuanya. Sama apa yang
pernah elo ucapin, kan? Kalo gue emang harus mau maafin Neina, meski
sebenernya sih Neina juga gak salah apa-apa."
"Yah, gue ikut seneng kalau kalian bisa akur. Tapi serius deh, lo keliatan cantik
banget di foto yang Neina upload."
"Lo jangan hina gue, deh. Orang kata Ari juga cantikan Neina." Senna
menggeleng. "Ternyata Senna udah berubah, ya. Rasa percaya dirinya mulai berkurang.
Sekarang dia jadi lebih minder." Nevan tertawa kecil.
"Emang Senna yang dulu gimana?"
Nevan menaikkan bahunya. Dalam kelas itu, Nevan dan Senna bercerita banyak. Mulai dari Senna yang
bertanya tentang luka di kening Nevan yang kini telah kering, sampai Senna
bertanya tentang cerita yang pernah Nevan ceritakan pada saat mereka sedang di
pantai. Saat Nevan mengungkapkan isi hatinya. Bagaimana keseharian mereka
dalam beberapa hari ini, dan masih banyak hal lain lagi. Waktu 30 menit itu
seperti 30 detik, tak terasa.
"Kayaknya gue lupa sesuatu, deh," pikir Nevan.
"Apa?" "Gue lupa belum ngasihin jepit-jepit yang waktu dulu itu ke elo."
Senna nyaris tertawa. Ternyata jepit-jepit itu masih ada di tangan Nevan, dia
belum memberikannya kepada siapa pun.
"Terus kapan mau ngasihin ke guenya?"
Saat mereka sedang enak-enaknya mengobrol dan tertawa, pintu terbuka dari
luar. Bukan Ari, ataupun Neina, tapi seorang guru. Dia adalah Bu Ida. Nevan dan
Senna terkejut, mampus. Dalam hati, mereka merutuki Ari. Keduanya segera
membuat jarak, menghadapkan diri ke arah bu Ida yang matanya siap
menyemburkan api. "Sedang apa kalian? Pacaran? Di dalam kelas? Berduaan?"
"Anu, Buu." "Kalian ini. Baru kelas sebelas udah pacaran. Ibu gak mau tau, kalian pergi ke
lapangan sekarang dan berdiri di bawah tiang bendera."
Senna terperanjat. Di tengah terik matahari dia harus berdiri di sana? Oh tidak!
Perawatan kulit yang selama ini ia jalani akan sia-sia. Warna hitam siap-siap
menghampiri kulit halusnya.
"Cepat! Kenapa bengong?!"
Nevan segera mengangguk, berlari ke lapangan sesuai perintah sang guru.
Sebelum bu Ida menaikkan level kemarahannya lagi. Mau tak mau, Senna juga
harus ikut, jangan sampai guru itu memberikan hukuman yang lebih parah. Bu
Ida menggeleng-gelengkan kepala melihat kepergian kedua murid itu.
Nevan dan Senna berdiri di bawah tiang bendera, di bawah teriknya matahari
yang membuat kulit panas. Senna mencibirkan bibir. Untuk kedua kalinya dia
dihukum dengan cara seperti ini. Cara yang sangat menyebalkan, kulitnya akan
gelap. Tapi melihat Nevan yang berada di sisinya, membuat Senna sedikit
bersyukur. Kejadian beberapa minggu yang lalu terulang lagi. Senna rela berjamjam dihukum kalau dengan Nevan.
"Sen, gue mau ngomong sesuatu sama lo," sambil menahan panas, Nevan
berusaha mengontrol perasaannya.
"Apa? Lo mau nembak gue lagi?"
"Kok taau?" Nevan melayangkan pandangan maut kepada Senna.
"Bukannya tadi di kelas lo udah bilang gitu, ya?"
Kedua ujung bibir Nevan tertarik ke samping.
"Tapi sori, gue gak bisa," kata Senna pada akhirnya.
"Iya gak pa-pa kok, gue ngerti."
"Gue gak bisa kalau lo belum bisa ngejar gue," ucap Senna melanjutkan, yang
membuat Nevan melekukkan senyumnya kembali. Senna segera berlari, tak
memedulikan hukuman yang sedang ia jalani. Nevan lantas mengejarnya, ia
berjanji akan menggelitiki tubuh Senna jika sudah berhasil menangkapnya.
Seperti adegan yang diputar kembali, mereka juga dulu pernah melakukan itu.
Neina yang berada di koridor memandang Senna dan Nevan sambil tersenyum
kecil. Ikut senang dengan kebahagiaan mereka. Meski di sini ia mencintai
Nevan, ia tak akan membiarkan cinta itu tumbuh terus-menerus. Neina yakin,
seiring dengan berjalannya waktu, ia akan melupakan Nevan. Meski itu akan
sulit, karena setiap hari mereka bertemu dalam satu kelas yang sama. Cinta
Nevan hanya untuk Senna. Keduanya tak akan pernah terpisahkan. Begitulah
Neina menafsirkannya. Cinta segitiga itu, akan segera berakhir.
Akhirnya Nevan bisa menangkap Senna, menangkap tubuhnya dari belakang,
terlihat seperti memeluk. Senna masih belum menghilangkan gelak tawanya.
"Kayaknya aku belum pernah ketemu sama mama kamu," kata Nevan yang
dagunya sudah berada di atas bahu Senna.
"Oh iya, ya." Senna baru menyadari.
"Jadi??" "Kamu mau ngelamar aku?"
"Kalau iya?" Senna tercenung, mengangkat alisnya, lalu detik selanjutnya mereka tertawa,
Nevan masih memeluk Senna dari belakang dan berusaha menggelitikinya.
Nevan dan Senna siap untuk bertengkar lagi, pertengkaran yang pasti terjadi
dalam sebuah hubungan. Entah ke depannya akan bagaimana, entah akan putus
kembali, atau awet sampai kelas 12, atau mungkin sampai keluar sekolah.
bagian 31: "Apa?! Nevan sebangku sama adik kelas? Cewek?!"
Itu adalah berita paling mengejutkan bagi Senna. Segera dia berlari menuju
koridor kelas 10, yang berada di lantai paling atas. Ini adalah hari pertama Ujian
Kenaikan Kelas, dan Senna malah langsung dihadapi dengan kabar
menyebalkan. Ini tidak bisa dibiarkan, jangan sampai cewek itu jadi jatuh cinta
kepada Nevan, seperti Neina dulu. Senna tidak mau putus lagi, dia alergi dengan
kata itu. Senna memasukkan kepalanya ke ruang 4, kelas yang dipakai kelas 11-IPA-2
untuk melaksanakan ujian. Nevan, Wildan, Satya dan Neina berada di ruang
yang sama, sementara Ari, dia memisahkan diri, melakukan ujian di ruang 3
karena huruf awal namanya huruf ?A?. Absennya berada di urutan paling
pertama. Dan benar saja, Nevan satu bangku dengan adik kelas yang berjenis kelamin
perempuan. Senna mengepalkan tangan gemas. Adik kelas itu sangat lucu, imut,
dan cantik. Senna merasa tersaingi, yang Senna tahu lelaki itu gampang sekali
pindah ke lain hati, kepada perempuan yang lebih kinclong. Mereka sedang
mengobrol, kebetulan siswi yang sebangku dengan Nevan sangat mengidolakan
Nevan kala cowok itu sedang bermain basket.
"Kak, nanti tolong kasih aku tau ya kalau ada soal yang aku nggak ngerti."
"Siiip." Nevan memamerkan jari jempolnya.
Merasa panas dengan pemandangan itu, cepat-cepat Senna masuk ke dalam
kelas. Menghampiri meja Nevan yang berada di jajaran tengah. Tak peduli
dengan beberapa pasang mata yang tertuju kepadanya.
"Ooh jadi ini kelakuan kamu di belakang? Seneng ya sebangku sama cewek?"
Nevan mendongkak, terkejut dengan keberadaan Senna yang datang secara tibatiba.
"Kamu itu nyebelin banget siiih." Senna mengerucutkan bibir. "Kamu pikir aku
gak makan ati setiap hari harus ngeliat kamu diidolain sama cewek-cewek?
Kamu pikir aku gak ngenes ngeliat kamu terus-terusan ngeladenin mereka?
Terus sekarang? Lima hari berturut-turut harus sebangku sama cewek lain?"
Nevan sedikit tertawa, sampai sekarang Senna masih cemburu. Dia masih
menjadi pacar yang gampang cemburu. Sepertinya, pengakuan di pantai itu
belum bisa membuatnya yakin. Nevan bangkit dari duduknya, dan berdiri di
hadapan Senna. Mereka menjadi tontonan utama dalam kelas. "Kenapa harus
cemburu terus, sih? Aku itu udah mentok sayang sama kamu, gak akan pernah
ada yang ngegantiin. Aku cuma cinta sama anak perempuan yang dulu pernah
bilang aku ganteng."
Pipi Senna bersemu merah. Semua murid yang berada di kelas itu bersorak,
bersiul-siul menanggapi gombalan Nevan. Nevan menerbitkan seringai gelinya
di depan Senna yang tersenyum malu. Amarahnya bisa langsung hilang dengan
cepat, berganti dengan bunga-bunga indah dalam hati.
"So sweeeeet." Senna mencubit kedua pipi Nevan, menggerak-gerakannya
dengan wajah gemas. Keduanya tertawa bersama, serasa kelas hanya milik
berdua. Lima tahun kemudian. Senna menangis meraung-raung di depan Diana, mamanya. Sampai suaranya
menggema di seluruh ruangan. Diana ingin sekali menutup telinganya, tapi ia
sadar, kalau sampai ia melakukan itu, Senna akan lebih mengamuk, bisa saja
membanting seluruh barang-barang yang ada di sekitarnya. "Ma, Nevan jahat,
Ma. Masa dia gak mau beliin aku martabak keju? Padahal aku lagi ngidam
anaknya. Dia tega sama aku. Makin ke sini dia makin nyebelin!" tak hentihentinya ia memanyunkan bibir. Sementara Diana masih fokus dengan bacaan di
majalahnya. "Lebay banget deh kamu, Sen."
"Iih Mama sama-sama nyebelin!"
"Tuh Nevan dateng. Mama ke atas dulu." Diana menutup majalahnya, lalu
berlalu meninggalkan Senna. Nevan menaikkan sebelah alisnya, lalu berjalan
mendekati Senna, duduk di sebelahnya.
"Kamu kenapa nangis?"
"Ya kamu abisnya nyebelin. Aku pengen dibeliin martabak keju, tapi kamu
nggak mau denger. Malah sibuk reunian sama si Ari yang nyebelin itu. Dia itu
emang selalu jadi pengganggu hubungan kita. Sampai sekarang juga, lama-lama
aku panggil dia PRTO." Senna mengelapi air mata dan ingusnya.
"Apaan tuh PRTO?"
"Perusak Rumah Tangga Orang," jawab Senna lugas.
"Hahaha emang ada ya istilah kaya gitu?"
"Ya ada lah!" "Oke-oke. Maafin aku."
"Aku gak butuh maaf. Aku butuhnya martabak keju. Yang banyaaaaak kejunya.


Triangle Karya Jaisii Quwatul di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kamu itu harusnya manja-manjain aku, bukannya malah"
Nevan mengecup bibir Senna, hingga rajukan cewek itu berhenti. "Mau
martabak keju? Mau rasa strauberi? Atau rasa cokelat? Rasa bluberi? Atau rasa
cinta? Martabak spesial rasa cinta Nevan."
"Iiiiiii bisa banget bikin amarah aku ilaaang!!!" Senna mencubit pinggang Nevan
gregetan. Padahal ia ingin sekali memarahi Nevan abis-abisan, tapi Nevan selalu
saja menginterupsi dengan kata-kata manisnya.
"Iya dooong." "Tapi jangan bikin aku kesel juga, dong."
"Ya udah kita siap-siap."
"Mau kemana?" "Jalan-jalan. Ini kan malam minggu, jangan kalah dong sama anak SMP yang
apel malem-malem," canda Nevan. Mengedipkan sebelah matanya, memberikan
isyarat. Senna yang mengerti, tersenyum hangat. Nevan membawa jaket panjang
Senna yang berada di atas kursi. Lalu dipakaikannya di tubuh Senna, merapatkan
kedua kancingnya, jangan sampai membuat Senna kedinginan. Mereka
tersenyum lewat bibir juga mata.
"Yuk." Senna dan Nevan berdiri, kebetulan Nevan sudah memakai pakaian hangatnya.
Pasangan itu mulai berjalan meninggalkan rumah. Nevan merangkul bahu Senna, begitu pun dengan Senna yang memeluk Nevan. Obrolan dan tawaan kecil tampak terjalin, sampai sosoknya menghilang di balik pintu.
Dalam ruang tamu itu, terpajang foto pernikahan Nevan dan Senna.
***Tamat.. Tusuk Kondai Pusaka 9 Si Bungkuk Pendekar Aneh Too Pek Koay Hiap Karya Boe Beng Giok Keranda Maut Perenggut Nyawa 3

Cari Blog Ini