Ceritasilat Novel Online

Untukmu Segalanya 1

Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya Bagian 1


Satu Sempurna. Benar-benar sempurna. Danielle Sharp, gadis
berusia enam belas tahun itu tersenyum kecil pada bayangannya di
cermin tiga sisi di butik Facades, toko yang paling bergengsi di
Merivale Mall. Celana yang terbuat dari kulit yang halus itu mengikuti
setiap lekuk tubuhnya. Warna biru cerah celana itu dan sweater angora
biru muda serasi benar dengan rambutnya yang merah dan mata
hijaunya yang cemerlang. Danielle mengamati bayangannya di cermin
untuk melihat penampilannya dari belakang. Baju itu kelihatannya
juga bagus sekali dari sisi itu.
Coba dia sudah memilikinya waktu dia punya kesempatan
untuk menggaet si penyerang tim Atwood, Nick Hobart.... Tetapi
tidak, ternyata cowok itu sangat membosankan waktu ada acara
Harvest Ball. Sepupunya, si mungil Lori Randall yang bersekolah di
Merivale High, dan Nick yang gagah itu sungguh merupakan
pasangan yang serasi. Merekalah pasangan paling baru di Merivale.
Yah, apa boleh buat. Danielle mendesah. Itu semua bagian dari
masa lalu. Namun Danielle merasa yakin, bahwa lain kali dia pasti akan
berhasil menggaet cowok yang diingininya. Makanya, dia harus bisa
memiliki celana kulit itu ? pokoknya harus.
Danielle meraba bagian pinggangnya dan melirik harganya.
Gila! Sambil menepiskan rambutnya ke belakang, Danielle melirik
bayangannya kembali sambil menimbang-nimbang. Celana itu bisa
menghabiskan sebagian besar dari uang sakunya ? padahal ayahnya
baru menegurnya karena bulan lalu dia sudah belanja melebihi batas.
Rasanya sisa uangnya takkan cukup untuk membelinya, tapi celana
dan sweater itu begitu sempurna baginya.
Danielle meringis kesal, sambil membelai celana yang halus
dan lembut itu. Oh, kenapa sih orangtuanya begitu pelit? Kenapa uang
sakunya harus dibatasi? Tak seorang pun temannya yang dibatasi
seperti dia. Sudah terbayang olehnya, bagaimana Teresa dan Heather
akan menertawakannya kalau tahu uang sakunya cuma terbatas.
Lagipula, semua orang pasti akan setuju kalau celana itu memang
diperuntukkan bagi dia. Bukankah sekarang lagi musim pertandingan
bola? Celana itu bisa dipakainya sekali atau dua kali untuk menonton
pertandingan. Saat itu seorang pembeli lain lewat dan menatap Danielle
dengan penuh kekaguman. Nah, benar kan?
Orang lain pasti akan mengambilnya, begitu dia tidak jadi
membeli celana itu. Bayangkan saja ? seorang lain nampang dengan
celana yang sebenarnya dibuat untuk dia! Nggak usyah, ya?
Danielle berjalan menuju ke meja kasir yang terbuat dari kayu
mahogani. Semua barang di Facades benar-benar unik ? dan mahal.
Karena itulah Danielle suka berbelanja di sana. Facades memang toko
yang paling mahal di mall itu. Dan Danielle selalu ingin yang terbaik
bagi dirinya. "Permisi," bisik Danielle kepada manajer toko itu. "Boleh
nggak saya bayar dengan uang muka dulu untuk barang ini?"
"Boleh saja, Nona Sharp," sahut manajer itu. "Kami selalu ingin
memberi servis yang terbaik untuk langganan kami. Celana itu
sungguh bagus untuk anda," tambah wanita itu dengan rasa kagum.
"Bagus. Kalau begitu saya akan membelinya." Danielle
mengucapkan selamat pada dirinya atas idenya yang hebat. Ayahnya
pasti sudah mendepositokan uang sakunya, hingga tagihannya akan
kembali menjadi nol. Uang saku bulanannya akan tetap utuh dan dia
tetap bisa mendapat barang itu.
Tiba-tiba mata manajer itu menyipit. "Oh, maaf. Kami bisa
menunda pembayarannya hanya selama tiga hari. Begitulah aturan di
sini." "Tapi aku belum bisa mendapat uangnya sebelum tanggal satu,"
Danielle memprotes. "Bisa nggak sih, aku mendapat pengecualian?"
Manajer itu menggelengkan kepala. "Maaf Nona Sharp. Aku
tidak bisa melanggar peraturan."
"Wah, kalau begitu servis anda pada langganan yang terbaik
kurang memuaskan. Mungkin saya tidak akan belanja di sini lagi!"
ujar Danielle sambil menekankan setiap kata yang diucapkannya.
Tetapi manajer itu hanya mengangkat bahunya tanpa daya.
Sekali lagi Danielle melihat celana itu dan ke arah kamar pas.
Betapa tragisnya, dia tak mampu membeli celana itu!
Tiba-tiba dia terhenyak mendengar suara yang sudah sangat
dikenalnya. "Ooooo! Danielle Sharp, celana itu! Bagus sekali!" Teresa
Woods menyerbu masuk ke dalam toko seperti angin ribut. Matanya
yang cokelat di bawah poni cokelatnya tampak penuh kedengkian.
Di belakang Teresa, Heather Barron yang berambut hitam
kemilau, mengangguk-angguk setuju. "Bagus banget! Asal kau tidak
membelinya, aku mau!"
Betapa dongkolnya Danielle. Kenapa dia tidak mengembalikan
celana itu lebih cepat ke tempatnya semula? Padahal dia tahu, kalau
Teresa dan Heather akan menemuinya di Facades sebelum mereka
bertiga latihan senam di Body Shoppe.
"Kamu mesti mengambilnya, Dan," Teresa mendesak. "Tapi
cepat ya? Kalau nggak, kita terlambat."
Danielle harus berpikir cepat. "Sebenarnya aku nggak terlalu
minat juga ?" katanya berbohong. "Kelihatannya agak longgar, iya
nggak?" "Gila, kamu!" ujar Heather sambil membelalakkan matanya
yang biru. "Kelihatannya bagus banget buat kamu!"
Teresa meraih label harganya dan memekik. "Harganya juga
murah! Ayo cepat, dong. Nanti kita terlambat, nih. Kenapa kamu
nggak langsung memakainya aja, sih?"
Danielle menggigit bibirnya dan terdiam sesaat.
"Kenapa sih, Danielle? Uangmu nggak cukup, ya?" ejek
Heather. Kata-kata itu memang mendekati kebenaran dan telak
mengenai Danielle. "Enak aja!" balas Danielle cepat. Lalu, dengan bahu yang
ditarik ke belakang dan kepala tegak, ia menuju kepada manajer toko
itu. "Aku jadi membelinya," katanya sambil menghempaskan kartu
kreditnya di atas meja kasir.
"Pilihanmu bagus, Danielle," kata Teresa waktu ia berjalan ke
kamar pas. "Ternyata kamu punya selera juga."
"Tunggu sebentar!" kata Danielle sambil berkedip. "Siapa tahu
ada yang naksir kamu."
"Huuu!" seru Teresa dan Heather serempak, sambil saling
menepuk tangan. "Mana tahan! Dua satu!"
Dua yang sangat mahal, pikir Danielle dalam hati. Apa boleh
buat.... *********** Lori Randall, sepupu Danielle yang berusia enam belas tahun,
mengerjapkan matanya yang biru cemerlang dan mengelus mobil
Triumph Spitfire berwarna merah itu.
Ya Tuhan ? aku benar-benar jatuh cinta! Lori mengelus
rambut pirangnya yang panjang dengan tangannya yang gemetar. Kau
memang benar, Nick, pikir Lori dengan tersenyum samar. Memang,
Nick telah pergi selama akhir minggu itu dan meninggalkan Lori
sendirian, tanpa pendamping.
Kemilau krom mobil itu menyilaukan matanya, waktu Lori
berjalan mengitari mobil itu. Memang, itu bukan mobil BMW putih
seperti punya Danielle. Tapi mobil itu benar-benar bagus.
Wally Warner bergegas menuju ke arahnya. "Baru datang pagi
ini, Lori, dan aku langsung teringat kamu." Wally tahu bahwa Lori
sudah lama ingin membeli sebuah mobil, dan selama bermingguminggu dia mencarikan mobil yang sesuai dan dengan harga yang
pantas untuk Lori. Ebukulawas.blogspot.com
Lori berusaha menenangkan dirinya. Sulit juga untuk berpikir
secara lurus kalau jantung lagi berdebar-debar. Tapi membeli mobil
bukan urusan yang kecil, sekalipun itu mobil bekas. "Oh, Wally ?
mobil ini nggak rusak atau semacam itu, kan?"
"Percaya, deh. Mobil ini bagus, Lori," kata Wally meyakinkan.
Dengan rasa bangga dia membukakan pintunya untuk Lori. "Coba
deh, kamu keliling-keliling blok ini, kalau mau. Pasti kamu akan
suka." Dengan tubuh gemetar karena gembira, Lori menyambut
kuncinya dan memasuki mobil itu. Wally menutup pintunya.
Bekledingnya (KBBI: penyelubungan tempat duduk (kursi, jok, dan
sebagainya) dengan lapisan lain seperti kain, plastik )) masih bagus
dan bagian dalam mobil itu maupun bagian luarnya juga bersih.
Lori mengelus dashboardnya. Kalau dia punya mobil, dia bisa
pergi ke mana saja dan kapan saja. Tak perlu lagi menunggu bus di
cuaca yang dingin, tak perlu lagi tergantung pada teman-teman atau
keluarga. Baru berpikir ke situ saja sudah membuatnya tersenyum.
Ia memutar kuncinya dan mesin mulai menyala. Dengan sedikit
sentuhan pada pedal gasnya, mobil itu pun mulai melaju.
Melewati jalan utama Merivale dengan hati-hati, Lori
tersenyum. Rasanya dia begitu beruntung akhir-akhir ini! Baru
beberapa minggu yang lalu, dia belum berani membayangkan dirinya
punya mobil. Setiap penny yang didapatnya akan langsung terpakai
untuk biaya sekolahnya. Tapi berkat Paman Mike, ayah Danielle, yang
menawarkan bantuan pinjaman uang untuk membiayai sekolahnya,
Lori bisa menabung. Orangtua Lori juga mendukung, meskipun mereka tidak sekaya
Paman Mike. Sebagai kepala sekolah dan perawat, gaji orangtua Lori
pas-pasan saja. Kalau ada pengeluaran khusus, Lori dan kedua
adiknya harus menabung dengan cermat.
Saat memasuki tempat parkir, Lori melambai pada Wally. Dia
langsung menghampirinya dengan memegang buku bon penjualan di
tangannya. "Nah, gimana Lor?" katanya dengan sikap yakin.
"Luar biasa, Wally. Rasanya kayak mimpi, deh." Lori mengelus
dashboard-nya. "Tapi sebelum aku jadi mengambilnya, berapa sih
harganya?" "Seribu limaratus dollar. Tapi jangan khawatir," ujar Wally
perlahan, sambil masuk ke ruang kantornya. "Di Wally's Wheels
semua bisa dirundingkan. Kalau kamu ambil mobil itu, kita bisa atur
pembayarannya secara cicilan, sesuai kesanggupan kamu."
"Terima kasih, Wally." Lori menghela napas saat Wally berlalu
untuk memberi kesempatan pada Lori untuk berpikir.
Sambil duduk di belakang kemudi mobil Spitfire itu, Lori
menepiskan sehelai rambut pirang dari depan matanya dan
membayangkan dirinya naik mobil itu ke rumah Nick Hobart.
Dia merasa heran, bahwa dengan begitu banyak gadis cantik di
sekelilingnya, Nick yang berambut tebal kecokelatan, mata biru jernih
dan bahu yang bidang itu, malah memilih dia. Bahkan waktu Danielle,
sepupunya yang cantik itu berusaha menggaetnya, Nick tetap setia
kepadanya. Nah, kalau dia jadi membeli mobil itu, paling tidak ada sesuatu
yang bisa dibanggakannya.
"Wally," katanya setelah dia kembali, "rasanya aku akan
membelinya. Tetapi aku juga masih harus pikir-pikir. Soal
pembayarannya, dan lain-lain."
"Yah, pikir-pikir saja dulu. Tapi kalau aku jadi kamu, aku
nggak akan berpikir terlalu lama. Mobil ini baru masuk hari ini, dan
sudah banyak yang berminat."
"Jangan begitu dong!" geram Lori. "Masa sih, kamu tega
memberikannya kepada orang lain. Pokoknya ? aku jadi
membelinya!" "Nah, gitu dong!" Wally mengangguk-angguk dan tersenyum.
"Karena kamu serius untuk membelinya, aku akan menahannya
sampai tanggal satu nanti. Tapi aku perlu tanda jadi sebesar dua ratus
lima puluh dollar dulu."
"Duh, Wally," desah Lori. "Belum pernah aku seserius ini
dalam hidupku." Seribu lima ratus dollar! Banyak benar. Tapi Lori lalu teringat
kata-kata ayahnya, "Di mana ada kemauan, di situ ada jalan!" Dia
akan bekerja ekstra keras untuk membelinya. Karena, batin Lori saat
ia berjalan ke halte bus, mobil Spitfire itu adalah impiannya. Dia harus
mendapatkannya. Harus! ************** Begitu selesai acara senam di Body Shoppe, Danielle bergegas
keluar dari tempat itu. Dia harus segera pulang. Sejak keluar dari toko Facades tadi,
firasatnya mengatakan bahwa dia telah melakukan kesalahan besar.
Habis, gimana lagi? katanya berkali-kali. Begitu sampai di
rumah, dia bertekad, aku akan menjumlahkan semua bon-bon
pengeluaranku. Kalau jumlahnya sudah melebihi uang sakunya, dia
harus melakukan sesuatu yang drastis!
Waktu membelokkan mobil BMW putihnya yang mengkilap ke
jalan masuk rumah, dia melihat Mercy ayahnya diparkir dekat tangga.
Rupanya dia pulang lebih cepat dari kantor.
Tiba-tiba Danielle merasa sangsi. Dia tak pernah pulang lebih
cepat. Sudah nasibnya kalau dia pulang lebih cepat hari itu.
Sebelum Danielle sempat membuka pintu mobil, ayahnya
bergegas keluar dari rumah sambil melambaikan amplop kelabu di
tangannya. Melihat itu, Danielle gemetar. Ayahnya langsung menuju ke
dia, dan wajahnya sama sekali tidak kelihatan ramah.
Dua Dengan diam-diam Danielle mendorong kotak dari toko
Facades ke lantai mobil sebelum dia keluar, lalu tersenyum semanis
mungkin. "Oh, hai Yah. Ada apa?" sapanya. Kadang-kadang dia dapat
meluluhkan hati ayahnya, meski akhir-akhir ini jarang berhasil.
"Danielle, kamu masih ingat pembicaraan kita bulan lalu?"
Pipi Danielle terasa panas. Bulan lalu ayahnya memanggilnya
ke ruang baca untuk bicara dari hati ke hati tentang pengeluaran.
"Ingat dong, Yah," jawabnya berusaha tenang. "Dan Ayah pasti
akan bangga kalau tahu caraku menahan diri."
Pak Sharp mengusap rambutnya dengan sebelah tangan. "Oh?
Masa? Lalu ini apa?" tanyanya dengan kaku sambil menyodorkan
amplop abu-abu. "Uang sakumu sudah dinaikkan bulan lalu. Dan
sekarang masih datang yang seperti ini."
Dengan gemetar, Danielle bersandar ke pintu mobil dan melihat
amplop itu. Di situ ada tagihan sebesar lima ratus sepuluh ribu, yang
membuatnya segera teringat kembali.
"Apa sih yang kamu lakukan? Memakai baju sekali saja, lalu
dibuang?" tanya ayahnya kesal.
"Ya nggak dong," tangkis Danielle. "Itu untuk membeli sepatu.
Aku kan perlu." Galak amat, sih? Lagian, ini kan tagihan bulan lalu,
dan ? "Berapa orang sih seumurmu yang bisa menghamburkan uang
ratusan ribu setiap bulan?" ayahnya terus berkata tanpa mengacuhkan
bantahannya. "Jaga dong batas pengeluaranmu. Belajarlah berhemat,
seperti sepupumu itu, Lori."
Danielle mengertakkan giginya. Lori lagi! Lori lagi! Tentu saja
Lori pandai menyimpan uang. Dia kan harus melakukan itu.
"Tapi Ayah! Lori kan sekolah di sekolah negeri! Masa sih, aku
harus pakai baju seperti dia di Atwood? Kalau dia sih, bisa saja
mengkombinasikan bajunya ? dia memang berbakat. Tapi aku? Bisa
jadi tertawaan di sekolah!"


Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aneh!" dengus ayahnya. "Pakaian Lori cukup bagus."
"Kalau Ayah menganggap baju obralan buatan dalam negeri
bagus...," gumam Danielle sambil menghela napas.
Tiba-tiba ayahnya terdiam. Tanpa berkata sepatah kata pun
diambilnya amplop itu dari tangan putrinya dan memasukkannya ke
saku jasnya. "Aku nggak tahu harus bicara apa lagi Danielle," kata
ayahnya. "Aku kecewa. Sangat kecewa."
Dengan gemetar Danielle bersandar pada mobilnya. Jelaslah,
ayahnya menilai dirinya bukan anak yang baik dalam segala hal, dan
itu menyakitkan. Lalu gimana, dong? Masa aku harus berlagak miskin? Masa sih
aku, Danielle, nggak boleh menginginkan segala yang terbaik? "Terus
terang, Yah, aku nggak tahu di mana salahku?" tanpa berpikir Danielle
menyanggah. Dia benar-benar kesal. "Kita kan mampu untuk itu?"
Pak Sharp menatap putrinya dengan gusar. "Ya, kita memang
mampu, Danielle, tapi masalahnya bukan itu. Kelakuanmu semakin
seperti anak kaya yang manja. Dan aku nggak suka itu."
"Jadi, salah siapa kalau kita kaya?" bantah Danielle ketus.
Kemudian diambilnya kotak Facades dari lantai mobil. Percuma
tanggung-tanggung, kalau sudah kepalang basah, pikirnya.
"Jangan membantah, Danielle!" sergah Pak Sharp. "Mulai
sekarang, kamu harus tanggung sendiri semua pengeluaran dengan
uang sakumu ? semua tagihan dan dendanya. Kalau tidak, tak ada
lagi uang saku untuk bulan depan. Kalau kamu perlu uang tambahan,
carilah sendiri seperti semua orang lain. Mengerti?"
Danielle langsung bangkit, terpukul berat. Masa sih, Ayah
serius. Tetapi tatapan tajam mata ayahnya meyakinkan bahwa kali ini
dia benar-benar serius. ************* "Dan pemenangnya adalah ? aku!" seru Lori, lalu
mengeluarkan upah mingguannya dari dalam amplop. Sambil
merasakan lembaran-lembaran uang itu dengan jarinya yang bersih
terawat, gadis cantik berambut pirang itu tersenyum penuh
kemenangan pada dua sahabatnya, si ikal Patsy Donovan dan si
jangkung anggun Ann Larson. "Dua kali gaji mingguan lagi, lunaslah
Spitfire merah itu!"
"Duh, Lori, aku ikut senang. Paling-paling aku cuma bisa
pinjam mobil kakakku!" seru Patsy yang gendut itu tertawa sambil
mencelupkan taco ke dalam saos sambal. "Ajak kami dong ke Wally,
biar kami juga bisa lihat!"
"Boleh," Lori mendesah bahagia. "Kupikir, pendaftaran di Body
Shoppe-nya harus ditunda dulu, Ann."
"Kan sudah kubilang Lor, aku bisa memberimu kartu gratis."
Mata bulat kelabu Ann menyipit saat dia memilin rambut cokelat
kemerahannya ke dalam topi baretnya.
Sebagai asisten instuktur aerobik di Body Shoppe, klub senam
di lantai tiga Merivale Mall, Ann boleh memberikan dua kartu gratis
setiap bulan. Tapi pengawasan di sana tidak ketat.
"Terima kasih buat tawarannya," Lori tertawa. "Tapi aku nggak
mau ngerepotin kamu." Dimasukkannya lagi uangnya ke amplop, lalu
ke dalam saku di celemek kuning yang dikenakannya di atas seragam
oranye Tio's Tacos. "Eh, tunggu!" celetuk Patsy yang sedang asyik mengunyah.
"Ann baru saja nawarin ke Body Shoppe gratis! Dan kalian menolak,
ya? Kalau aku sih, langsung iya saja!"
Ann menatap bola mata cokelat muda temannya yang gendut
itu. "Aku juga mau ngajak kamu, asal kamu keluar dulu dari
pekerjaanmu di Cookie Connection."
Patsy menimbang-nimbang tawaran itu, tetapi hanya sesaat.
"Lupakan deh, Ann. Aku kan butuh duit juga."
"Carilah pekerjaan di toko makanan sehat, misalnya!
Setidaknya di sana tidak terlalu besar godaannya," kata Ann.
"Bercanda, ah! Aku sama sekali nggak cocok buat citra toko
makanan sehat." "Sudahlah, Patsy!" kata Lori. "Yang penting kan hatimu."
"Hai! Bilang itu ke cowok-cowok itu!" desah Patsy dengan
mulut penuh, lalu kembali menggigit sepotong besar taco.
Cara Patsy makan membuat Lori dan Ann mengernyit. Patsy
menangkapnya dari sudut matanya. "Jangan pandangi aku seperti itu,
dong!" protesnya. Ann dan Lori terdiam. Mereka berdua tak tahu apa lagi yang
harus dilakukan untuk mengatasi kebiasaan buruk Patsy.
"Oke, oke. Aku mau buat pernyataan nih. Aku mau diet. Mulai
sekarang." "Oh, kalau kamu benar-benar serius Patsy," timpal Ann segera,
"akan kuberikan kartu bebas setiap hari selama sebulan penuh."
"Janji deh, Ann! Mulai dari sekarang orang akan melihat Patsy
Donovan yang sama sekali baru. Yang bertubuh langsing! Eh, jam
berapa ini?" katanya memotong ucapannya sendiri. "Waduh telat, nih.
Aku minta dijemput kakakku jam lima tiga puluh!"
Lori memandangi Patsy bergegas ke luar. Belum ada diet yang
berhasil untuknya. Tetapi Lori yakin, selalu masih ada harapan.
Ketika berpaling memandang Ann, dia terkejut melihat betapa
murung wajah temannya itu. Pasti bukan soal Patsy Donovan.
"Ann?" tanyanya lembut seraya menyentuh lengan temannya.
"Ada apa?" Ann menggigit bibirnya dan menggeleng. "Ah nggak ? aku
nggak mau merepotkanmu dengan urusanku yang konyol ini.
Mendingan aku mulai kerja dulu, deh."
"Eh, kok gitu sih, Aku kan sahabatmu? Iya kan? Siapa cowok
itu?" Senyum Lori disambut tawa lirih Ann. Matanya berbinar-binar.
"Ah, nggak terlalu gawat juga, sih. Setiap hari aku ketemu dia
di tempat kerja. Tapi ?"
Lori terbelalak kaget menatap temannya. "Ann! Maksudmu si
Ron Taylor?" "Persis! Ron Taylor, instruktur alat Nautilus dan si badan kekar.
Masa dia ngajak aku kencan!"
"Wah, asyik kan?"
"Iya juga, sih ? eh, nggak ding! Ohhh...," desah Ann. "Aku sih
suka aja diajaknya kencan, Lor. Tapi ?" Ann membenamkan wajah
dalam kedua tangannya dan mendesah lagi. "Kenapa sih, hidup ini
begitu rumit?" Lori berusaha menahan senyumnya. "Masih banyak yang lebih
gawat dibanding si keren Ron ngajakin kamu kencan, Ann."
"Ron Taylor mungkin memang keren, tapi kurasa dia cuma
tertarik pada tubuhku."
"Lho, apa salahnya?" Lori tersenyum. "Body-mu memang
keren, lho." "Ya, tapi?oh, Lori, kamu kok nggak ngerti, sih? Cuma itu
yang dia sukai. Setiap kali dia melihat ke arahku, aku selalu merasa
dia hanya melihat ke tubuhku. Sampai-sampai aku nggak berani
beradu mata dengan dia!"
"Memang nggak enak sih, kalau cuma jadi obyek. Tapi itu
semua kan masih harus dibuktikan dulu?" Ucapannya terpotong oleh
munculnya Ernie Goldbloom, alias Tio-nya dari Tio's Tacos.
"Maaf nona-nona, sebentar lagi jam sibuk orang makan malam.
Lori, kamu sudah siap?"
"Siiip, Ernie. Sebentar lagi, ya?"
"Oke deh, Lor. Aku pulang duluan." Ann tersenyum setengah
hati. "Nanti aku telepon kamu."
Lori menuju ke balik counter untuk menyiapkan diri
menghadapi jam sibuk makan malam. Biasanya dia sudah sampai di
rumah pada jam seperti ini. Tapi dengan Spitfire itu menunggunya, dia
harus mengambil semua peluang kerja lembur yang bisa diperolehnya.
Tiga Sambil menutup tirai Danielle mengambil selai kacang dan
sandwich. Tak mungkin dia muncul untuk makan malam bersama
orangtuanya saat ini. Selai kacang sebagai pengganjal perut rasanya
lebih baik daripada harus bertemu ayahnya yang sudah memarahinya
cuma untuk urusan sepatu.
Tetapi baru satu gigitan, sandwich itu tercekat di
tenggorokannya. Dibuangnya roti itu, lalu dia naik ke tempat tidur.
Diraihnya si Binky, boneka kelincinya, sambil berusaha menahan air
mata. Namun percuma saja. Sambil memeluk boneka itu dia menangis
nelangsa. Duh Binky, kenapa segalanya jadi kacau begini?
Setelah tangisnya mereda, Danielle membersit hidungnya dan
menghapus lunturan maskaranya, lalu menatap telepon merah muda di
rak putih di sebelah tempat tidurnya. Kalau saja dia dapat menelepon
seseorang, yang bisa diajaknya berbagi kesedihan. Tapi siapa?
Sahabat-sahabatnya? Teresa? Heather? Mana mereka bisa mengerti?
Uang mereka berton-ton, dan mana mau mereka diganggu oleh orang
yang punya masalah uang? Beberapa tahun lalu, dia pasti akan segera menelepon
sepupunya. Mereka dulu sangat bersahabat, bukan hanya sekedar
saudara sepupu. Tapi segalanya telah berubah setelah ayah Danielle
berhasil mengembangkan Merivale Mall. Keluarga Sharp pindah ke
Wood Hollow Hills, daerah orang-orang kaya di Merivale, dan
merengganglah hubungan kedua sepupu itu. Mereka bahkan tak lagi
bersekolah di SMU yang sama.
Tidak, menelepon Lori akan sangat memalukan. Lalu siapa?
Siapa yang bisa diteleponnya?
Danielle kembali menyandar ke bantalnya. Tak ada. Tak
seorang pun. Dia harus bisa mengatasi masalahnya sendiri. Sambil
menggaruk-garuk kepala dia turun dari tempat tidur dan menatap
bayangannya di kaca. Penampilannya benar-benar kacau! Dengan rasa
kesal dirapikannya dirinya kembali.
Benar nggak sih, ayahnya akan menyetop uang saku
bulanannya? Lalu gimana, dong? Heather dan Teresa pasti akan
segera menjauhinya begitu tahu dia bekerja jadi penjual kentang
goreng. Membayangkan itu saja sudah membuatnya bergidik.
Tidak, ia harus menemukan cara lain. Kalau tidak, berarti harus
siap melupakan semua teman dan segala kebiasaan jajan maupun
belanjanya. Yang pasti, ia tak bisa hidup tanpa uang. Titik.
Ia memutuskan untuk mendata dulu semua pengeluarannya
bulan itu. Selain celana kulit itu, anggarannya pasti belum melewati
batas. Tak pernah ia membuang bon-bon pembelian. Semuanya pasti
masih ada. Tapi di mana? Dengan memompa semangatnya, Danielle memeriksa seisi
kamar, membukai semua laci dan lemarinya. Dari tas kulit ular hijau
tua, muncul kuitansi acara bulanan Ladies Night di restoran L'Argent,
restoran termewah di Merivale, bulan lalu. Yang ini nggak perlu ikut
dihitung. Dari saku jaket kulit ada selembar tagihan dari Body Shoppe
dua minggu lalu. Dalam saku jeansnya ada dua lembar bon pembelian
dari Facades. Dari dompet ungu tua muncul tagihan untuk dua pasang
sepatu, dan yang terakhir untuk shampo, kosmetik, dan barang-barang
kecil lain. Danielle beranjak ke tempat tidur membawa semua kuitansi itu
dan meraih bolpen lembayung di samping telepon. Dengan serabutan
dijumlahkannya semua itu di balik selembar kertas. Gila! Diulangnya
lagi menjumlah angka-angka itu, namun hasilnya tetap sama. Padahal
akhir bulan masih dua minggu lagi. Untuk sesaat Danielle mulai
menyadari. Masalah utamanya adalah belanja!
Kalau memang benar, itulah yang harus diatasinya. Dan
memang, kalau sudah kepepet, Danielle Sharp bisa sangat disiplin.
*********** "Hei, Lori?" Suara itu mengejutkan Lori yang sedang mengelap meja
terakhir sebelum Tio's tutup. Dia berbalik dan tampaklah Ron Taylor,
dengan tas olahraga di bahunya. Tubuh kekarnya tampak bergerakgerak gelisah.
"Oh, hai Ron. Ada apa?"
"Sudah kemalaman tidak, untuk minum root beer?"
"Tidak juga, demi teman .... Mau yang besar atau sedang?"
"Oh, yang sedang aja. Kalau kau sudah mau pulang, aku bisa
mengantarmu," kata Ron penuh harap.
Apakah Ron ingin merayunya? Kayaknya sih tidak. Tapi
mengapa dia menawarkan tumpangan pada hari Jumat malam?
"Silakan, Ron," Lori tersenyum sambil meletakkan minuman
pesanan Ron dan melanjutkan tugasnya. Akankah ia menumpang
cowok lain saat Nick sedang mengunjungi kakek dan neneknya? Pasti
akan sulit mendapat bus kalau sudah malam begini.
"Baiklah, aku akan ikut denganmu, Ron. Terima kasih."
Saat mereka berjalan menuju ke tempat parkir, cahaya
gemerlapan Merivale Mall di belakang mereka, Ron tampaknya begitu
pendiam. Mungkin dia sedang berusaha mengumpulkan keberanian
untuk mengungkapkan isi hatinya.
"Eh, ke mana si Hobart? Sepertinya kalian lagi jadi bahan
omongan belakangan ini," ujar Ron akhirnya saat mereka memasuki
mobil. "Oh, dia lagi ada pertemuan keluarga di Hill Crest dan baru
pulang hari Minggu nanti."
"Masa? Nggak ada pertandingan minggu ini? Beruntung benar
dia, pelatihnya mengizinkan dia nggak ikut latihan."
"Kurasa bintang lapangan tengah memang layak mendapat hak
istimewa," Lori mencoba melucu.
"Iya sih," gumam Ron.
Lori mencuri pandang saat Ron menyalakan mesin mobil
Firebird birunya. Ada apa sih, sebenarnya?
"Begini, Lor," akhirnya Ron berkata setelah sampai di jalan
raya. "Aku perlu saranmu."
Jadi itu maksudnya. Rasa lega menyergap Lori. Setidaknya ini
tidak menyangkut dirinya.
"Anu, eh, kamu kan cukup dekat dengan Ann," lanjut Ron.
"Lho, kamu kan juga temannya?" kata Lori.
"Iya, memang. Pernah berteman, maksudku. Bukannya ada
masalah, tapi kupikir aku salah. Seperti malam ini. Dia sudah pergi
duluan, sebelum aku sempat menawarkan mencari hamburger atau
makan di luar. Dia selalu ramah. Tapi belakangan ini, setiap kali aku
mencoba mengajak dia jalan bersama, dia selalu menghindar." Lalu
keluarlah semua isi hati Ron, dan Lori hanya mendengarkan sepanjang
jalan sampai ke rumahnya.
"Mungkin karena kami satu tempat kerja. Atau aku tidak cocok
untuknya. Pernah nggak dia cerita padamu?" tanya Ron tanpa
semangat. Mata Lori menatap ke dashboard. Apa yang harus dikatakannya
agar si Ron bisa mengatasi masalahnya, tapi juga tidak mengkhianati
Ann? "Apa kamu yakin dia nggak mau keluar sama kamu? Janganjangan dia lagi sibuk."
Tapi Ron tampak melamun. "Aku ajak dia berenang Jum'at lalu,
tapi katanya dia punya acara lain. Kupikir, kami bisa bersepeda
berkeliling hutan lindung yang baru pada hari Minggu, tapi dia juga
menolak. Mungkin kalau kuajak dia main tenis...," katanya dengan
ragu-ragu. Lori mendesah. Kasihan, Ron. Nggak heran dia gagal terus
mengajak Ann. Ke mana pun dia mengajaknya, semua itu merupakan
kegiatan fisik. Ann mengira dia cuma mencari siasat karena tertarik
pada tubuhnya saja. "Mungkin kamu ngajak dia ke tempat-tempat yang tidak


Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

disukainya." "Tidak disukainya? Apa maksudmu?"
"Nah," ujar Lori berkeras, "mungkin karena Ann bekerja di
pusat kebugaran, dia ingin melakukan sesuatu yang lain di waktu
liburnya. Sesuatu yang bisa melatih pikirannya. Pernah dia bilang,
bahwa dia ingin ikut ceramah seorang penulis. Kalau tak salah, Lauren
Brook, yang menulis Spring Rain. Coba deh, ajak dia ke acara seperti
itu." "Ceramah? Nggak tahu deh, Lor. Nggak salah, ya?"
Lori mengangguk dan tersenyum. Ternyata cowok juga punya
perasaan halus, pikirnya. Mereka juga bisa menderita batin, persis
seperti kita para cewek. Ron tersenyum saat mereka berhenti di depan rumah Lori.
"Acara ceramah ? yah, kupikir boleh juga."
Empat Tinggal seratus delapan belas dollar untuk dua minggu lagi?
Bagaimana Danielle bisa bertahan hidup? Seluruh pagi itu ia merasa
tersiksa, melihat Teresa dan Heather meraup baju-baju bagus yang
mereka sukai. Yang paling parah adalah menahan diri setiap kali ia
merasa tergoda untuk mengambil salah satu baju.
Akhirnya mereka sampai juga di Facades. Teresa tampak
kepayahan waktu dia menenteng setumpuk besar pakaian ke meja
kasir. Teresa menghela napas berat dan menaruh pakaian-pakaian itu
di kursi beledu. "Heather di mana, sih?" dia bertanya, sambil
mengeluarkan kartu kredit gold dari tas kulit ular birunya.
Saat itu Heather muncul dari pintu kamar pas. Setumpuk blus
dan celana panjang tergantung di lengannya. Dia diikuti oleh seorang
pramuniaga bertubuh kecil yang hampir terbenam di balik tumpukan
besar baju beraneka warna.
"Bukan main!" ujar Teresa.
"Aku perlu semua ini," jawab Heather serius sambil meletakkan
baju-baju itu ke meja kasir. "Masa aku harus pakai baju yang itu-itu
terus. Kamu dapat apa saja, Danielle?"
"Oh, aku lagi nggak ingin beli apa-apa hari ini," kata Danielle
berkilah. "Aku mau belanja nanti-nanti saja, deh."
"Ih, mana tahan," cibir Heather seraya menyodorkan kartu
kreditnya kepada kasir. "Antarkan ke rumah, ya? Nah, ke mana kita
sekarang? Mau lihat-lihat sepatu, nggak?"
"Aku punya ide yang hebat," ujar Teresa tiba-tiba. "Yuk kita
jajan super sundaes. Kita lihat di Cookie Connection. Mereka mulai
menjual es krim, aku perlu yang segar-segar deh."
"Kedengarannya asyik juga ? aku ikut!" ujar Heather tertawa.
"Danielle?" "Nggak tahu, deh. Rasanya sih, aku nggak terlalu lapar."
Pengeluaran lima dollar untuk es krim sundae sekalipun akan
menambah ciut uang sakunya. Padahal masih ada begitu banyak hal
yang mesti dilakukannya dengan sisa uangnya itu.
"Ayo deh, Danielle!" kata Heather. "Kamu kan nggak gemuk.
Lagian kamu kan bisa menghilangkannya dengan senam."
"Bukan itu soalnya ?" kata Danielle memprotes.
"Asal bukan karena cowok aja," ejek Teresa. "Makanya kamu
sering murung ya, akhir-akhir ini?"
"Aku nggak murung," sahut Danielle ketus. "Masih banyak
urusan lain daripada cuma ngurusin cowok, tahu!" sahutnya dengan
galak. "Masa ya? Apa misalnya?" tanya Teresa sambil tertawa.
"Uh ? es krim! Ayo ah. Tiba-tiba aku kok lapar sekali, ya?"
************ Ron menjatuhkan dirinya di atas bangku kosong di ruang loker
dan membentangkan koran Merivale Mirror di depannya. "'Acara
Hiburan di Merivale ? Konser ? Ceramah ? Coba kita lihat ?"
katanya pada dirinya sendiri, sambil membalik-balik koran itu. "Nah,
ini dia! Lauren Brook. Penulis ini akan berceramah tentang bukunya
yang terakhir, Spring Rain, dan antologi cerita pendeknya yang baru
terbit, Love Always, Mary Jane. pukul 4.00 sore di Book Nook. Diberi
kesempatan untuk meminta tanda tangannya dan disediakan makanan
kecil.'" Spring Rain? Tentang apa sih, buku itu? pikir Ron dengan
cemas sambil menyapu rambut cokelatnya yang tebal dengan tangan.
Dia sama sekali tak tahu apa-apa. Sesudah ceramah, Ann ingin
membicarakan tentang buku itu. Dan dia akan mengatakan bahwa dia
belum membacanya. Lalu Ann akan bertanya, mengapa dia
mengajaknya ke ceramah itu. Apa yang akan dijawabnya? Aku hanya
ingin menyenangkan kamu? Itu kan ide temanmu?
Ron mendesah. Ide tentang ceramah Lauren Brook itu seperti
bencana yang akan melandanya. Selain itu, bagaimana kalau ia
tertidur? Tak ada yang lebih membosankan daripada mendengarkan
ceramah. Kecuali tentu ? Benar! Itu dia! Mata Ron menatap ke bagian bawah koran itu
dan menemukan apa yang dicarinya. Itu dia. Kencan yang bagus ?
dan pasti cocok untuk mereka berdua.
Sambil merobek iklan itu dan memasukkannya ke dalam
sakunya, Ron bergegas ke ruang tamu, persis saat Ann keluar dari
pintu. "Hai Ron. Kau lebih cepat dari aku hari ini."
"Sebenarnya, aku ingin menemuimu sebelum kau masuk,"
gumam Ron, sambil menatap karpet sementara dia berusaha memacu
keberaniannya. "Ann, apa kamu suka kalau kita pergi ke ceramah penulis buku
hari Senin sore jam empat?"
Mata abu-abu Ann berbinar gembira. Ceramah jam empat sore?
Itu berarti penulisnya Lauren Brook!
Sambil menatap Ron dengan malu-malu, Ann berkata, "Oh
Ron, aku suka sekali!"
"Bagus, kalau begitu kita ke sana." Dengan jantung berdebardebar karena senang, Ron berkata, "Sampai ketemu lagi!" Lalu dia
kembali ke ruang loker. Digedornya pintu loker dan berteriak
"Hebat!" Dia tak peduli siapa yang akan mendengarnya. "Dia suka
sama aku! Lori Randall, kamu memang jenius!"
************ "Lihat nggak, pelayannya? Mau mati nggak, sih?" ujar Heather
waktu Danielle bersama kedua temannya masuk ke sebuah stan dekat
pintu untuk mendapat pemandangan yang lebih baik ke dalam mall.
Teresa menyandar ke depan dengan rasa ingin tahu dan
berbisik, "Yuk, kita ledekin dia."
"Hai. Oh, halo." Waktu Patsy Donovan mengenali ketiga gadis
itu dia memaksakan diri untuk tersenyum sambil berdiri di samping
meja mereka. "Mau melihat daftar menu, atau sudah tahu mau pesan
apa?" ia bertanya, berusaha menghindari pandangan mata mereka.
"Daftar menunya, dong. Apa kabar?" tanya Danielle, seakanakan berbicara pada pembantunya.
"Baik. Dan kamu?" gumam Patsy sambil terus menunduk dan
memberikan daftar menu kepada mereka.
Heather dan Teresa hampir tak tahan untuk bersikap serius.
"Oh, kami baik-baik saja, terima kasih," gumam Teresa. "Nah,
rasanya kami semua mau pesan chocolate-chip super sundaes. Ada,
kan?" Tanpa disadarinya, Patsy buru-buru mengangguk. "Yeah.
Memang rasanya sedap...." katanya sambil menyingkir. Dia cepat
berbalik untuk mengambilkan air dan peralatan perak untuk menutupi
rasa malunya. Begitu dia pergi, Teresa berkata, "Tunggu sampai dia kembali,
akan kucecar dia habis!"
Danielle tak ingin meledek Patsy. Rasanya keji sekali. Tapi, apa
yang bisa dilakukannya? "Ya ampuuun, Patsy," ujar Teresa tanpa rasa bersalah, waktu
Patsy kembali membawakan tiga gelas air. "Berat badanmu turun
banyak banget!" Teresa melirik dengan licik ke arah kedua temannya.
"Oh, yeah," sahut Patsy. Air matanya mulai merembes ke luar.
"Oh, iya lho!" seru Teresa. "Kamu kelihatan sepuluh pound
lebih enteng, deh!" Heather mendengus, lalu melihat pada Danielle, yang membalas
pandangannya dengan tersenyum samar.
Begitu Patsy berbalik untuk pergi, tawa Teresa dan Heather
meledak. Patsy merasa kaku, air matanya jatuh membasahi
seragamnya. Dia mendengar tawa mereka dengan rasa tercekat di
tenggorokan. Mulai detik ini, dia bersumpah bahwa dia akan terus
berpegang teguh pada dietnya yang baru, meskipun dia harus mati
kelaparan! Tak seorang pun akan kubiarkan menertawakan si
"gembrot" Patsy Donovan ? lebih-lebih si tiga serangkai yang jahat
ini, batinnya, sementara dia menyiapkan sundae pesanan mereka.
"Kalian keterlaluan, deh," gumam Danielle ketika tawa kedua
temannya mereda. "Jangan khawatir, Danielle. Orang gendut biasanya nggak
peduli omongan orang. Soalnya, lemak itu membuat mereka jadi
kurang sensitif. Coba deh, kamu tusuk mereka dengan jarum. Pasti
mereka takkan merasakannya," ujar Teresa.
Tiba-tiba Heather melompat berdiri dari kursinya. "Itu dia!"
bisiknya. "Jangan membalik dan biarkan dia yang melihat kita!"
ujarnya memperingati mereka.
Danielle dan Teresa menjulurkan leher mereka dengan rasa
ingin tahu. "Itu dia!" pekik Teresa.
Danielle langsung mengerti siapa yang mereka maksudkan.
Berdiri di samping air mancur seakan-akan menunggu
seseorang, cowok itu tampak bagaikan Dewa Yunani dengan rambut
pirang gelap dan mata biru yang jernih.
"Cakep banget! Siapa sih, dia?" tanya Danielle.
"Itu kan si Keith Canfield, bego!" jelas Heather. "Dia baru
pindah ke Merivale minggu lalu. Tapi sampai sekarang orang nggak
tahu apa-apa tentang dia, kecuali namanya."
"Misterius juga, ya?" gumam Danielle. Sambil memperhatikan
cowok itu, rasa hangat menjalari tubuhnya. "Cakep banget dia!"
"Boleh juga, ya," kata Teresa.
"Hei! Jangan coba-coba, dekati dia, ya," kata Heather.
"Lho, lho!" kata Danielle sambil tetap menatap Keith. "Apa
ibumu nggak pernah mengajarkan? 'Semua dihalalkan, dalam urusan
cinta dan perang ?" Lima Dengan kepala menunduk dan duduk meringkuk, Danielle
mencorat-coret sambil berharap Pak Macintosh mengira dia sedang
mengerjakan soal. Biasanya ia menyukai pelajaran matematika, tapi
hari ini terlalu banyak hal yang harus dipikirkannya.
'Nyonya Keith Canfield ? Danielle Sharp Canfield ?'
tampaknya pas benar. Dijumlahkannya masing-masing huruf sesuai
rumus ramalan yang pernah dipelajarinya. Menurut rumus itu, dia dan
Keith adalah pasangan yang sangat serasi. Jadi, kalau saja dia kenal
cowok itu ? Misteri yang menyelimuti Keith semakin menambah
ketertarikan Danielle. Tentu saja juga karena penampilannya yang
jantan. Ia sedang membayangkan mereka berjalan berdua di aula
Atwood, saat sebuah suara memotong lamunannya.
"Nona Sharp? Kamu masuk hari ini? Nah, bagaimana
jawabannya?" suara Pak Macintosh tenang dan berwibawa. Tetapi ada
nada kecewa. "Bagaimana pertanyaannya tadi, Pak?" pinta Danielle sambil
menggigit pensil. "Kamu mau melucu, Nona Sharp? Atau memang tidak
mendengar?" Sebelum sempat mengakui kelalaiannya, terdengar bel berbunyi
dan loloslah Danielle dari bencana. Ketika dia akan keluar ruangan
kelas, Pak Macintosh menahannya.
"Danielle, saya tidak mengerti kamu. Bakat matematikamu
adalah karunia, tapi kamu menyepelekannya. Kadang-kadang kamu
begitu bersemangat, tapi kadang-kadang kamu cuma masa bodoh."
Danielle hanya dapat menghela napas. Dia berbakat dalam
matematika, tapi kadang-kadang rasanya seperti sebuah kutukan. Dia
ingin mengatakan pada Pak Macintosh, bahwa ada hal-hal yang lebih
penting dalam hidup ini. Tapi yang terucap malah, "Maaf, Pak."
Guru itu hanya mengangkat alisnya.
Danielle bergegas ke luar kelas. Untunglah, sekarang ada jam
kosong, pikirnya. Dia menuruni aula menuju kantor.
"Tok, tok," pelan-pelan dia mengetuk pintu kantor Bu Summers
yang setengah terbuka. Tidak seorang pun di Atwood yang tidak
dikenal oleh Bu Summers. Sebagai petugas pendaftaran, dia tahu
semua tentang murid-murid dan keluarganya.
"Hai, Danielle. Kamu kok semakin cantik saja?" katanya sambil
mengangkat wajah dari mejanya. "Apa yang bisa kubantu?"
Tanpa disadari Danielle, tahu-tahu keluarlah dari bibirnya
semua cerita itu. "Bu Summers, saya sedang mengerjakan buku tahunan, dan
saya perlu sedikit informasi tentang beberapa orang untuk data-data
lengkap mereka." Bu Summers mengangkat alisnya. "Wah, hebat amat. Biasanya
mereka menunggu sampai detik terakhir untuk mengumpulkan datadata itu."
"Oh iya. Tahun ini kami ingin mengerjakannya lebih awal.
Dicicil satu demi satu."
Jantung Danielle melonjak gembira ketika Bu Summers berdiri
dan berjalan ke lemari arsip yang berjajar di dinding kantornya.
"Kita mulai dari siapa?"
Danielle berlagak membuka-buka buku agendanya.
"Hem, lihat dulu. Bagaimana kalau Keith Canfield. Dia orang
baru. Mungkin ada arsip atau daftar nilainya, lamaran dan bahanbahan lain ?"
"Keith Canfield ? Keith Canfield. Ah ya. Ini dia, Keith
Canfield. Masuk ke sini Senin kemarin. Pindahan dari luar negara
bagian. Wah, hanya itu saja yang ada. Kami belum punya data
pribadinya. Siapa berikutnya?"
Tetapi ketika Bu Summers berbalik, Danielle sudah keluar dari
ruangan itu. ************ "Ih! Makanan apa sih, ini? Kacang?" Ann Larson mengerutkan
hidungnya mencium bau makanan di bakinya.
"Ah, sudahlah," Lori tertawa lepas. "Bagaimana kalau kamu
jadi juru masak lima ratus anak yang rewel?"
"Aku sih lapar ? makanan itu lumayan juga kelihatannya,"
kata Patsy seraya melihat ke mangkuk saladnya yang kosong. Sudah
tiga hari ini dia tidak makan apa-apa selain juice, salad, dan
semangka. Lori, yang bisa makan apa saja sesukanya tanpa takut jadi
gemuk, berusaha keras memberinya semangat. "Eh, Patsy, kalau aku
nggak salah, kelihatannya kamu lebih langsing, deh."
Dia berharap Patsy akan senang, tapi ternyata gadis malang itu
malah meledak tangisnya. Lori dan Ann saling berpandangan,
bingung. "Ada apa Patsy?" tanya Ann. "Kenapa?"
"Oh nggak apa-apa. Itu tadi ? ah, seperti kata Teresa Wood
kemarin. Dia cuma mau meledekku."
"Oh, si nenek lampir itu!" kata Ann tertahan. "Kapan sih, dia
kena batunya?" "Sebenarnya aku lebih kasihan sama dia daripada sama kamu,
Patsy." Lori menghela napas. "Kalau dia nggak sakit, masa dia bisa


Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menikmati kemalangan orang lain?"
"Kita ngomongin yang lain aja, deh," pinta Patsy. "Menurunkan
berat badan aja sudah susah, jangan ditambah lagi dengan ngomongin
itu terus. Gimana komentar orangtuamu tentang mobil itu, Lor?"
"Mereka sih oke-oke saja, kalau aku mampu membelinya
sendiri." "Wow," Patsy menggeleng kagum. "Orangtuamu begitu penuh
pengertian. Betul nggak, Ann?"
Tapi Ann diam saja, pikirannya tampak melayang-layang.
"Hei! Sadar Ann!" panggil Patsy. Menoleh kembali kepada
Lori, ia berkomentar, "Kayaknya teman kita lagi melanglang buana ke
Twilight Zone, deh."
"Ayo dong Ann." Lori mencubit pelan. "Ceritain dong, apa pun
itu." Senyuman kecil tampak di wajah Ann yang cantik.
"Nah, para penggemar olahraga ? Ron Taylor dan aku ? mau
kencan sepulang sekolah nanti!"
"Bercanda, ah!" seru Patsy. "Ron Taylor? Asyik amat! Kapan
sih mulainya?" "Sabtu pagi," jawab Ann, tersenyum. "Kupikir, aku salah
menilai dia. Tadinya kukira dia hanya menyukai tubuhku. Ternyata
dia mengajakku ke acara ceramah!"
"Ceramah siapa?" tanya Patsy ingin tahu.
"Lauren Brook. Kamu lihat nggak posternya di mana-mana? Itu
lho, penulis Spring Rain!"
"Kurasa Ron punya sisi peka juga," kata Patsy.
Lori tersenyum. Sarannya berhasil. Lori bangga dengan dirinya
dan bahagia untuk Ron dan Ann.
"Siapa yang mengira orang sekekar Ron Taylor juga senang
membaca buku seperti Spring Rain?" Ann tertawa. "Tadinya kukira
dia cuma suka membaca komik."
"Nah, makanya jangan suka menyangka orang lain yang,
bukan-bukan!" ujar Lorry dengan penuh kemenangan.
************ Di kantin sekolah Jane Haggerty sedang berkumpul dengan
teman-temannya. Apa pun yang terjadi di Atwood Academy, Jane
pasti tahu, sampai ke detilnya.
"Jadi mereka ada di sana, di belakang tungku di ruang
pemanas," dia bercerita. "Dan tiba-tiba, Pak Wooley masuk ke situ ?
"Oh, hai, Danielle," katanya saat Danielle menghampiri mereka.
"Ada kabar apa?"
"Sebenarnya, Jane, aku mengharap kau yang menceritakannya
padaku." Jane mengikik. "Kamu mau dengar mengenai apa, sih?"
"Yah, aku ingin tahu sesuatu secara pribadi ?"
Jane memberi isyarat agar teman-temannya menjauh.
"Kelihatannya menarik juga," katanya, sambil bersandar.
"Ada murid baru di sekolah. Namanya Keith Canfield. Aku mau
tahu segalanya tentang dia. Coba ceritakan."
Jane mengangkat kedua tangannya. "Sori, Danielle. Maunya
sih, aku bisa membantumu."
"Nah, apa dia sudah punya pacar?"
"Nggak aaaada yang taaahu!" ujar Jane dengan nada yang
seram, sambil menggerak-gerakkan jari-jarinya untuk menambah efek
yang seram. "Nah, apa yang diminati cowok itu? Di mana rumahnya?"
"Asal tahu aja, Danielle. Begitu kamu tahu itu, kasih tahu aku
ya? Maksudku, dia kan orang yang paling misterius. Hei! Mau ke
mana kamu? Mau dengar nggak, kabar terakhir si Georgia Ross dan
Greg Gilbert?" "Nggak ada waktu," ujar Danielle, sambil bergegas pergi. Jane
menatapnya, sampai dia hilang dari pandangan.
Oh, begitu toh! gumam Jane diam-diam. Tunggulah sampai
anak-anak lain tahu kalau Danielle Sharp sedang berburu si Tuan
Misterius. Danielle begitu terburu-buru ke kantin, sampai dia menabrak
seseorang di lorong. "Oh, maaf," katanya. Tiba-tiba dia sadar bahwa
dia sedang menatap mata yang begitu mempesona milik Keith
Canfield. Cowok itu berdiri tepat di depannya, senyuman malu
tersungging di bibirnya. "Oh, nggak apa-apa ?" ujarnya dengan sopan, sambil menatap
Danielle sejenak sebelum dia meneruskan langkahnya.
Danielle memandangnya sampai dia menghilang di belokan. Ia
merasa mimpinya menjadi kenyataan. Coba tadi ia mengatakan apa
saja kepada cowok itu. Tapi itu terlalu lancang, pikirnya. Bagaimana
kalau dia sudah punya pacar?
Tapi kalau dia belum punya ? Jantung Danielle berdebar
kencang. Dia baru saja ingin tahu lebih banyak tentang cowok itu.
Siang harinya, waktu mobil Keith Canfield keluar dari tempat
parkir sekolah, sebuah mobil BMW putih mengikutinya dari jarak
yang cukup jauh ? dengan Danielle Sharp duduk di belakang
kemudinya. Enam Ron sedang menunggu Ann waktu dia berjalan ke luar dari
Merivale High. "Limo anda sudah menunggu, Nyonya," ujar Ron sambil
mengulurkan tangannya dan mempersilakan Ann masuk ke dalam
mobil Firebird birunya yang butut. "Jangan perhatikan beberapa
goresan kecil di pinggirnya, yang dibuat pemiliknya terdahulu. Aku
sih nyetirnya mulus."
Ann tertawa. Ron memang punya selera humor yang tinggi, dan
Ann menyukainya. Dia masuk ke kursi depan lalu menurunkan kaca
jendelanya. Cuaca seakan mencerminkan hati Ann yang cerah. Di lapangan
sepak bola Merivale High, warna-warna hitam dan merah yang
membatasi gawang tertimpa sinar mentari yang terik. Dan di lapangan
di seberang kampus, beberapa pasangan remaja duduk sambil
berpegangan tangan di tepi danau sementara angsa-angsa berenangrenang dengan santainya di depan mereka.
Ann menoleh dan memperhatikan wajah Ron saat mereka
melalui jalan raya yang lebar menuju pusat kota. Wajah yang tampan
? kuat dan penuh perhatian.
"Hati manusia itu lucu ya Ann," ujar Ron dengan nada serius.
"Banyak orang kurang memperhatikannya. Itu sebabnya kita sering
menghadapi masalah di kemudian hari."
Bukankah itu inti cerita buku Spring Rain? pikir Ann dengan
penuh perhatian. Ron telah menangkap seluruh isi buku dan
menyatakannya dalam satu kalimat. Ternyata dia seorang pembaca
yang sensitif dan pintar.
Ron menoleh dan melihat Ann tersenyum padanya. Duak!
Mobil itu tiba-tiba menghantam pinggiran trotoar.
"Hei!" teriak Ann. "Ada apa?"
"Sori," gumam Ron. "Ada lubang di jalan. Mobil ini kan
rendah. Untung kita nggak kejebak."
"Oh," sahut Ann, sambil mengelus rambutnya yang dijalin
dengan rapi. "Bagaimanapun juga, aku tahu kau juga memperhatikan hati
seseorang. Karena itu aku senang mengajakmu ke ceramah ini." Ron
mengulurkan tangannya dan meremas tangan Ann dengan hangat. Dia
tersenyum. Angin sepoi-sepoi bertiup melalui jendela mobil dan
membelai rambutnya. "Oh Ron, Spring Rain bagus sekali, lho. Apa ya kira-kira judul
berikutnya?" Ron berpikir sesaat. Bingung juga menjawabnya. Ini kan musim
gugur, bukan musim semi, dan sudah dua minggu tidak turun hujan.
"Sesudah Spring Rain, apa berikutnya, ya? Autumn leaves,
barangkali." Ron mengangkat bahunya.
Ann bergetar karena gembira. Ron Taylor juga cerdik dan
jenaka, lebih dari segalanya.
"Nah, kita sudah sampai ?"
Mobil mendecit dan berhenti tiba-tiba.
"Ups!" ujar Ron, tersenyum lembut. "Maaf ya tadi, kamu tahu
kan bagaimana rem mobil-mobil tua macam begini."
"Aku suka mobil-mobil tua," ujar Ann dengan penuh semangat.
Dia melihat-lihat ke sekelilingnya. Rumah Sakit Merivale? Mau apa
mereka ke sana? Dia berpaling kepada Ron, tetapi dia sudah keluar
dari mobil, berputar untuk membukakan pintunya.
Uh-oh, pikir Ann, mengikutinya ke arah gerbang. "Ron?"
Apakah ini ceramahnya Lauren Brook?" tanya Ann dengan ragu-ragu,
takut mendengar jawabannya.
"Oh, penulis itu. Bukan. Ini malahan lebih baik lagi, Ann. Ini
sesuatu yang penting."
"Benar ya?" sahut Ann, berusaha menahan kekecewaannya.
Lagi pula Ron tak pernah menyebut-nyebut Lauren Brook; batin Ann.
Selain itu, dia harus bersikap terbuka dan lugas.
Tetapi waktu mereka sampai di pintu tempat diadakannya
ceramah, hati Ann menciut. Terbaca olehnya tulisan: Dr. Helga Heitz,
Penulis P3K dan Anda, Ceramah Resusitasi Kardiopulmonari Implikasinya dan Konotasinya di Masyarakat Barat. Ceramah dan
Demonstrasi. "Sebenarnya kita bisa pergi ke Lauren Brook," kata Ron saat
mereka berjalan ke ruangan yang luas. "Tapi kupikir kamu lebih suka
yang ini." Ann tak dapat menyalahkan Ron yang begitu ingin
menyenangkan dia. Ron dan Ann duduk di kursi di tengah auditorium, tepat waktu
si pembicara akan menaiki podium. Dia seorang wanita serius
berambut kelabu, dan mengenakan jaket dokter ahli bedah.
"Selamat sore," sapanya. "Saya terkesan akan banyaknya
pengunjung. Pertama-tama, saya akan memberi penjelasan singkat
mengenai berbagai aspek resusitasi kardiopulmonari, dan sesudah itu
kita akan mulai dengan bagian demonstrasi program ini."
Hmm, pikir Ann dalam hati. Mungkin juga aku bisa
mempelajari sesuatu. Ron meraih tangannya dan meremasnya sementara pembicara
melanjutkan ceramahnya. "Bagus juga, ya?" bisik Ron.
"Menarik sekali," ujar Ann berdusta. Dia menguap dan menoleh
ke Ron. Dia baru saja mengeluarkan sebuah buku notes kecil dari
sakunya dan mencatat sesuatu dengan serius, seakan-akan dia ingin
menangkap setiap patah kata.
"Kamu bisa menyalin catatanku nanti," bisik Ron.
Untung dia nggak meminta aku yang menulis, pikir Ann,
menghibur diri. Itu salah satu hal yang ditakutinya, dan ternyata
selama ini dia keliru menilainya. Sambil memperhatikan Ron
mencatat, Ann berpikir betapa manisnya cowok yang suka bekerja
keras itu. "Dan sekarang, untuk bagian demonstrasi program kita, kita
akan mulai dengan menekan telapak tangan ke dada dan melanjutkan
dengan resusitasi dari mulut ke mulut. Tapi aku perlu sepasang 'kelici
percobaan.' Apakah ada sukarelawan di sini?"
Ron segera mengangkat tangannya ke atas.
"Ngapain sih kamu? Turunkan cepat tanganmu!" bisik Ann
dengan panik, sambil menarik tangan Ron. Tapi terlambat.
"Pasangan muda itu di sana!" teriak si pembicara. Semua orang
berpaling ke arah mereka. Wajah Ann menjadi merah.
"Ron! Nggak mau!" bisik Ann dengan gigi mengatup rapat.
"Kamu gila, ya?"
"Demam panggung, ya? Jangan khawatir, Ann. Akan kupegang
tanganmu terus." "Mana mungkin, sih!" tukas Ann, suaranya terdengar lebih
putus asa. "Ron Taylor, kamu memang sudah merencanakan ini dari
awal, iya kan? Kamu ternyata cuma ?"
Dari atas panggung, Dr. Heitz memanggil, "Apakah ada
masalah?" Para pengunjung mulai bergumam.
"Jangan kira aku bisa kauperlakukan seenakmu saja!" tangis
Ann, sambil berlari ke luar dari ruangan itu. Air mata kemarahan
membasahi pipinya. "Ann! Tunggu!" Ron memanggil sambil mengejar Ann. "Dasar
sial!" gerutunya, mencari kunci mobil dari dalam sakunya.
************* Sesudah makan siang hari Senin itu, Danielle membolos
beberapa jam pelajaran untuk mencari tahu tentang Keith. Tetapi
semua usahanya menemui jalan buntu. Tak seorang pun pelatih tahu
sesuatu tentang dia, jadi ternyata dia tidak mengikuti kegiatan olah
raga apa pun juga. Guru drama malahan belum pernah mendengar
sesuatu tentang dia, sehingga dia tak mungkin menjadi aktor yang
berbakat. Dengan berdalih bahwa dia sedang mengumpulkan data-data
untuk menyusun buku tahunan, Danielle mendapatkan bahwa Keith
juga bukan anggota klub mana pun juga. Jadi, apa yang dilakukan
Keith sesudah pulang sekolah?
Bagaimana kalau dia menguntit mobilnya? Ketegangan
penguntitan itu sudah merangsang setiap pori dalam tubuhnya.
Danielle merasa dirinya seakan-akan seorang mata-mata, yang
menguntit agen rahasia ganda yang tampan, yang akan membawanya
ke tempat-tempat yang berbahaya, sampai akhirnya dia berada dalam
belas kasihannya saat ketahuan.
Ternyata Keith tidak menuju ke jalan-jalan yang berbahaya.
Jejaknya langsung menuju ke tempat parkir Merivale Mall. Danielle
masih memerlukan waktu tiga menit lagi untuk mendapat tempat
parkir yang kosong. Saat dia berlari masuk ke mall, Keith sudah
lenyap dari pandangan mata.
Ke mana ya, dia? batinnya. Ayo Danielle. Pikir ? ke mana
kamu akan pergi, kalau kamu jadi dia? Tak mudah untuk
menjawabnya. Mengira bahwa dia pasti tak akan ke tempat fast food atau
barang-barang murahan, Danielle langsung menuju ke eskalator
melewati lantai dua dan tiga, ke lantai paling atas. Aku akan mulai
dari atas, lalu menyusuri lantai di bawahnya, pikirnya dengan napas
terengah-engah. Daniele memejamkan matanya saat dia melewati Facades.
Percuma saja melihat etalase berisi baju-baju kalau tidak membelinya.
Dia takkan tergoda karenanya, lagi pula Keith takkan mungkin ada di
dalam butik itu. Danielle menuruni satu lantai lagi dan melirik ke dalam Body
Shoppe, lalu cepat menyapu pandangannya berkeliling. Tamara,
resepsionis di situ ada di belakang meja penerima tamu yang modern.
"Hai, Danielle," sapanya dengan riang.
"Oh, hai, Tamara," sahut Danielle. "Aku mau kasih kejutan buat
seorang teman. Namanya Keith Canfield. Apa dia sudah datang?"
Alis Tamara mengernyit. "Keith Canfield?" ulangnya. "Enggak
ada. Sori, Danielle."
"Aneh juga ?" gumam Danielle. Lalu, "Oh, sudah ya? Sampai
ketemu!" Sambil bergegas ke koridor, Danielle melihat kerumunan orang
di depan toko Book Nook. Di antara orang-orang itu Danielle serasa
mengenali jaket cokelat kekuningan yang dipakai Keith. Kerumunan
orang-orang itu masuk ke dalam toko dan Danielle mengikuti mereka.
Di dalam, seorang pengarang bernama Lauren Brook sedang
diperkenalkan. Diam-diam Danielle duduk di sebuah kursi di bagian
belakang dan mengamati orang-orang. Di barisan depan tampak
punggung berjaket cokelat kekuningan itu.


Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Akhirnya!" gumam Danielle diam-diam saat dia duduk. Tetapi
waktu seorang pengunjung lain yang terlambat masuk ke ruangan itu
dan si jaket cokelat menoleh, ternyata dia bukanlah Keith Canfield!
Dia orang lain, yang lebih tua ? umurnya sekitar tiga puluh tahun!
Dengan meminta maaf berkali-kali, Danielle keluar dari
barisannya, lalu keluar dari tempat itu untuk melanjutkan
perburuannya. Dengan panik dia berlari ke tempat parkir untuk
melihat apakah mobil Keith masih ada di sana.
Dari trotoar yang membatasi mall, dia melihat cowok itu. Dia
sedang memasukkan dua buah kotak ke dalam mobilnya. Danielle
mengenali tas-tas itu. Yang satu dari Outdoor Store, dan yang lainnya
dari Inquiring Photographer.
"Menarik juga ?"
Sambil berjalan di antara mobil-mobil lain menuju ke BMWnya, jantung Danielle berdebar-debar, takut kehilangan buruannya
lagi. Ternyata Keith adalah pekerja luar! Duh romantisnya! Danielle
sudah membayangkan Keith mengenakan kemeja kotak-kotak merah
dan hitam, menyalakan api di perapian dalam pondok kecil mereka di
tengah hutan. Danielle menjalankan mobilnya perlahan-lahan dan menjaga
jarak yang aman dari mobilnya. Dia akan mencari tahu di mana
rumahnya. Ini baru awalnya ? Mungkin dia tinggal di daerah
perbukitan, dan Danielle tidak merasa heran waktu dia menuju ke arah
Overlook Drive. Tetapi waktu Keith terus menyusuri ke arah puncak,
ke luar kota, dan ke arah hutan-hutan, Danielle tidak bisa
membayangkan ke mana cowok idamannya itu akan pergi.
Akhirnya dia membelok ke kiri, ke jalanan yang becek. Untuk
sesaat Danielle merasa ragu. Dia tak ingin mengotori mobil BMW
putihnya yang mengkilap dengan lumpur. Tetapi akhirnya
keingintahuannyalah yang menang. Dengan memasukkan gigi satu,
dia mengikuti Ron dari jarak jauh.
"Ngapain sih dia di situ?" pikir Danielle heran. Hari sudah
hampir pukul setengah enam sore dan matahari mulai turun ke
peraduannya. Sebentar lagi, hari akan menjadi gelap.
Akhirnya, melalui bayangan pepohonan dan kegelapan yang
mulai membayang, dia melihat mobil Keith berhenti. Danielle
memasukkan mobilnya ke dalam segerombolan semak, lalu keluar
dari mobil, dan memandang ke dalam kegelapan. Setelah berjalan
mendekati Keith, dilihatnya cowok itu keluar dari mobilnya, berjalan
ke bagasinya dan mengeluarkan salah satu tasnya. Dia mengambil
sepatu bootnya untuk berjalan kaki dan mengenakannya. "Dia akan
berjalan-jalan di hutan ?" pikir Danielle dengan kagum dan gemetar.
Untuk sesaat dia merasa ingin mengikutinya. Tetapi bagaimana
dengan binatang-binatang kecil di situ? Tak ada yang lebih
mengerikan daripada membayangkan seekor makhluk seram berkaki
enam merayap di tangannya. Lagi pula hari mulai gelap.
Ketika Keith sudah tidak kelihatan lagi, Danielle berbalik dan
perlahan-lahan kembali ke mobilnya.
Saat Danielle dalam perjalanan pulang, dia merasakan suatu
kemenangan. Dia telah tahu banyak tentang Keith Canfield, jauh lebih
banyak dari siapa pun juga. Apa pun yang dilakukannya di sana,
pastilah sesuatu yang mengagumkan, dan Danielle Sharp ingin sekali
tahu apa yang dilakukannya itu.
Tujuh Hari Selasa itu Lori berdiri di samping Nick Hobart, di antara
lusinan kotak di toko elektronik milik ayah Nick. Dengan pensil
terselip di belakang telinga dan daftar barang di tangannya, Nick
tampak bagai pemilik toko. Matanya tidak lepas dari Lori.
"Oh, Nick, aku nggak sabar deh untuk ngajak kamu melihat
mobil itu," kata Lori. "Dan aku pasti bisa membayar uang mukanya
kalau aku sudah mendapat gaji minggu ini. Itu mobil pertama yang
benar-benar kusukai ? selain Camaro-mu tentu saja."
Nick menarik topi baret Lori lebih dalam hingga hampir
menutupi matanya sambil bercanda. "Memangnya kau kira apa,
Randall?" ujarnya sambil tertawa. "Mobilku kan rodanya cuma
empat." "Kalau kamu benar-benar baik sama aku, mungkin kamu boleh
menyetir mobil Spitfire-ku. Sekarang aku harus pergi ? sudah harus
kerja lagi, nih. Sampai nanti ya, dan kita bisa ke tempat Wally untuk
melihat mobilku." Nick mengedipkan matanya dan melambai saat Lori berlari ke
pintu menuju ke tangga. Lori masih terus berlari menuju ke Tio's. Sampai suatu saat dia
bertabrakan dengan Ron Taylor, lalu jatuh terjerembab ke lantai.
"Hei, lihat-lihat dong kalau jalan," kata Lori sambil berdiri dan
membersihkan celananya. "Oh, sori Lori," gumam Ron dengan menyesal. "Aku benarbenar nggak melihat kamu datang."
"Apa mereka baru mengumumkan Perang Dunia Ketiga, atau
apa?" "Lebih gawat lagi. Kencan itu benar-benar jadi bencana." Ron
mendesah dan mengangkat kedua bahunya.
Lori hampir tak mempercayainya. "Kenapa?"
"Oh, ceritanya panjang dan aku harus masuk kerja. Anggap saja
ini musibah. Sampai ketemu lagi, Lori. Terima kasih untuk usahamu."
Lori memandang Ron melangkah dengan gontai, bagaikan
seorang laki-laki yang berjalan menuju ke tiang gantungan.
*********** Sambil berdiri di belakang meja tempat mengiris lettus, Lori
berpikir bahwa apa pun yang terjadi antara Ann dan Ron, dia ikut
bertanggung jawab. Advisnya ternyata telah berbalik, itu sudah jelas.
Jadi bagaimanapun juga dia harus menjernihkan suasana ini ? tapi
bagaimana caranya? Saat itu Ann masuk dan melemparkan tas olah-raganya ke
lantai, lalu menjatuhkan diri di kursi.
"Oh Lori, apa yang harus kulakukan? Aku mesti masuk kerja!
Kalau si tengil itu mendekati aku lagi, sumpah, aku akan berteriak."
"Kayaknya aku punya kesan bahwa kencanmu dengan Ron
benar-benar istimewa, deh," kata Lori, sambil duduk di depan
temannya. "Istimewa? Oh, memang benar. Malahan terlalu istimewa. Dia
mengajakku ke Rumah Sakit Merivale untuk mengikuti ceramah P3K,
dan dia mengharap aku untuk menciumnya di depan dua ratus orang
yang tidak dikenal. Apa nggak hebat, tuh?"
"Ceramah P3K?" "Percaya nggak. Demonstrasi pernapasan buatan dari mulut ke
mulut! Tahu nggak, Lor, dia cuma naksir tubuhku saja!"
" Ann, mungkin kamu salah paham, deh. Menurut firasatku sih,
Ron orang yang baik. Kupikir, kau harus memberinya kesempatan
lagi, atau paling nggak beri dia kesempatan untuk menjelaskan."
"Oh, Lori. Kamu selalu mengira semua orang baik. Wah, aku
sudah harus masuk kerja."
Lori mengangguk. "Pokoknya janji ya, jangan coret dia dari
daftarmu sebelum kau bicara dengan dia."
"Oke, tapi terus terang Lori, dia cuma punya satu kesempatan
lagi." Saat Lori mengawasi temannya pergi, ia mengernyit sambil
berpikir bahwa hubungan mereka jadi kacau gara-gara sarannya yang
buruk. Sayangnya, Ann dan Ron sebenarnya adalah orang-orang yang
sangat baik, dan ia tahu mereka saling menyukai. Kalau saja ia bisa
melakukan sesuatu agar mereka berbaikan kembali....
Ide itu datang secara tiba-tiba waktu Lori sedang mengisi
enchiladas. Ia minta izin untuk istirahat sekitar sepuluh menit, lalu
berlari ke eskalator menuju Body Shoppe untuk menemui Ron. Nasib
baik sedang menyertainya, karena saat ia masuk ke tempat itu, Ron
sedang berada di tempat resepsionis dan bercakap-cakap dengan
Tamara. "Ron, aku sudah tahu!" seru Lori gembira. "Ke Museum! Ann
kan senang sekali sama benda-benda seni! Pasti dia akan mau kalau
kau ajak dia ke sana. Lagi pula, nggak ada salahnya kan kalau ke
museum? Pasti berhasil, deh!"
"Nggak tahulah, Lor," kata Ron. "Ann lagi ngambek sekarang
ini. Aku rasa, dia belum mau ngomong sama aku."
"Pasti dia mau! Dia janji, maksudku ? dia pasti mau!"
************* "Apa nggak lucu kelihatannya! Danielle, tolong lihat warna ini
untuk Teresa!" Heather Barron sedang menunggui Teresa Woods,
yang sedang menyapu kelopak matanya dengan eye shadow yang
mengkilap. Setelah sapuan terakhir dengan bedak, dia mengumumkan,
"Nah, sekarang kau kelihatan benar-benar aneh!"
Teresa Woods duduk di sebuah kursi tanpa sandaran, kedua
sikunya bertumpu pada counter yang bercermin. Di depannya, sekitar
dua puluh botol kecil, tabung-tabung dan stoples berserakan, persis
seperti pramuniaga yang membukanya satu demi satu untuk dites
calon pembelinya. Sambil berpaling kepada Danielle, Teresa
mengerjap-ngerjapkan bulu matanya dengan genit.
"Nah Danielle, gimana pendapatmu?" dia bertanya. "Apa aku
akan membelinya?" "Yang jelas ? tidak," sahut Danielle.
"Oke," ujar Teresa dengan tenang. Tapi aku akan ambil yang
ini, dan yang itu." Itulah barang keempat dan kelima yang dibeli Teresa. Heather
sudah membeli sepuluh atau dua belas barang.
"Daniele!" pekik Heather tiba-tiba. "Coba deh, pemerah pipi ini.
Cocok deh buat kamu!"
Sebelum Danielle bisa memprotes, Heather sudah menyapukan
pemerah pipi warna pink itu pada pipinya. "Tu kan," kata Heather.
"Oh iya! Aku suka deh," timpal Teresa. "Itu baru Danielle."
"Sumpah. Kamu kelihatan tambah cakep, deh," kata Heather
lagi. Danielle membelai pemerah pipi itu. Pada label harganya
tercantum $16.95. Mana mungkin dia membuang uang sebanyak itu
untuk sebuah pemerah pipi sekecil itu.
"He-eh. Kayaknya terlalu ? terlalu kuning deh," Danielle
mencibir dan menyingkirkan benda itu.
"Itu warna koral," ujar sang pramuniaga membetulkan
ucapannya. "Warna koral memang cocok untuk yang berambut merah.
Menurut majalah Vogue yang terbaru, produk ini khusus dibuat untuk
yang berambut merah."
"Benar kan?" pekik Heather penuh kemenangan.
Danielle menggigit bibir bawahnya. "Oh, nggak tahu deh ?"
gumamnya, menghindari memberi jawaban yang jelas.
Saat itu Teresa mendekati Danielle. Dia melambaikan sebuah
pensil eyeliner warna biru. "Eh, lihat Danielle," rayunya. "Coba lihat
eyeliner ini. Kayaknya benar-benar bagus deh buat kamu. Cobalah
dulu." Eyeliner itu benar-benar bagus, pikir Danielle, mengambil
pensil itu dari temannya. Sambil melihat ke kaca pembesar yang kecil,
dia mengoleskan pensil itu tepat di atas bulu mata atasnya, lalu
mencorengnya dengan jarinya yang langsing. Sebuah garis lagi di
bawah bulu matanya yang bawah membuat lukisan itu jadi sempurna.
"Fantastis!" seru Heather. "Coba lihat, Cleopatra!"
Dia benar, pikir Danielle, melihat bayangannya di cermin.
Warna itu sungguh serasi dengan matanya yang kehijauan. Mungkin
dia perlu membuat perkecualian dan membelinya. Lagi pula, berapa
sih, harga sebuah pensil? Danielle melirik label harganya. Pensil itu
harganya $12.95! Benar-benar gila! Ternyata ekskursinya bersama Teresa dan
Heather cuma membuatnya frustrasi.
"Dia jadi mengambilnya," Teresa memberitahu pramuniaga itu.
Tetapi Danielle menutup kembali kotaknya dan meletakkannya
di rak kembali. "Tunggu sebentar, rasanya mataku kok gatal, ya.
Sebaiknya aku tidak memakai eyeliner baru. Mataku sensitif banget,
deh," katanya sambil berusaha menghindar.
"Tapi produk ini hipoalergenik," ujar si pramuniaga itu sambil
tersenyum. "Oh iya ? aku juga alergi sama jenis itu kok," tukas Danielle.
"Ah, Danielle. Katanya kamu nggak pernah alergi sama apa pun
juga," kata Heather, sambil mengernyitkan alisnya bingung.
Tetapi saat itu Teresa melompat dari kursinya dan meraih scarf
kashmirnya dari counter. "Jam berapa sekarang?" dia bertanya dengan
cemas. "Baru jam lima," sahut Danielle, sambil melihat jam yang
tergantung di lehernya. "Ya ampun! Aku ada janji! Terlambat deh! Cepat bungkus ini,"
perintahnya kepada si pramuniaga. "Aku ada janji untuk mengepas
mantel bulu rubah di bawah. Kok bisanya aku lupa, sih? Mau ikutan,
nggak?" ajak Teresa pada teman-temannya. "Paling juga setengah
jam." "Aku ikut," sahut Heather.
"Danielle?" tanya Teresa.
Danielle menggaruk dahinya. Buat apa membuang waktu
setengah jam hanya untuk melihat Teresa nampang dengan mantel
bulu rubahnya, sementara jutaan bulu-bulu sudah menutupi lengan
dan kakinya? "Nanti deh, aku nyusul," kata Danielle. "Aku mau belanja
sedikit lagi." "Belanja lagi?" Teresa menyindir. "Lucu juga. Kamu belum
membeli apa pun hari ini! Ada apa sih, Danielle? Kamu nggak jadi
miskin, kan?" "Iya, jangan kayak si Brenda Wagner. Dia segitu hematnya
sampai membayar semua bon pada waktunya biar nggak kena biaya
servis!" Teresa dan Heather tertawa terbahak-bahak.
"Nah, sampai nanti ya," ujar Danielle saat ketiganya berjalan ke
pintu keluar. "Yeah! Dan kami mau lihat nanti apa saja yang kau beli," seru
Teresa, sambil menuju ke toko penjual mantel bulu.
Delapan Melalui etalase toko yang beraneka warna, air mancur, dan
bangku-bangku batu, yang membuat mall itu enak buat mejeng,
tenggorokan Danielle serasa tercekat. Serba salah, dan salah tingkah.
Hidup jadi semakin tidak adil! Kalau saja ayahnya tahu betapa
beratnya menahan keinginan belanja seperti yang dilakukan temantemannya, pasti dia tidak akan pernah semarah itu kepadanya.
Sementara Teresa dan Heather tidak akan mau tahu mengenai
masalahnya. Mereka hanya mengira dia sudah berubah jadi pelit!
Danielle bergidik sendiri membayangkan kalau bertemu lagi
dengan mereka nanti. Mereka akan segera melihat apa saja
belanjaannya, padahal dia tidak ingin belanja apa pun. Dia sudah tak
mampu lagi, kalau masih ingin mendapatkan uang saku untuk bulan
depan. Tanpa sadar tahu-tahu dia sudah berada di lantai pertama, di
bawah logo berkelap-kelip oranye terang bertuliskan Tio's Tacos.
Tampak olehnya Lori, sepupunya, sedang berdiri di belakang meja
kasir, bercanda dengan Ernie Goldbloom, pemilik Tio's, dan dua orang
bocah cilik. Tanpa sadar Danielle masuk ke toko itu.
"Hai Lori," sapanya dari depan toko.
"Danielle!" Lori tampak kaget melihatnya. Danielle merasa
ragu-ragu ? tapi hanya sesaat. Lori tersenyum memberanikannya.
"Masuklah. Ernie, rasanya kamu sudah kenal sepupuku, Danielle
Sharp. Dia sudah pernah ke sini, dulu."
"Halo Danielle." Ernie mengangguk lalu tertawa. "Bagus Lori.


Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ajaklah semua keluargamu ke sini, semoga kamu dari keluarga besar.
Biar tempat kita makin laku. Danielle, cobalah enchilada, resep
terbaru kami. Aku mau pergi sebentar, mau membeli sepatu skate
untuk anakku yang besok ulang tahun. Kamu jaga gawang ya, Lori,"
katanya saat pergi. Ebukulawas.blogspot.com
"Dani, keren amat kamu!" kata Lori sambil berjalan mengitari
counter dan memeluk sepupunya. "Mau Enchilada?"
"Nggak, deh. Terima kasih. Aku sudah pernah cobain. Yang
dibuat dari kulit sepatu impor dari Meksiko itu, kan?"
"Eh, bukan, itu sih resep jaman sebelum Isabel."
"Sebelum Isabel? Kamu bicara apa, sih?"
"Oh, itu sudah beberapa minggu yang lalu! Kami punya koki
baru ? namanya Isabel Vasguez. Dia benar-benar ahli membuat
tamale asli. Dia ubah semua menu kita. Cobain deh ? pasti enak."
"Trims Lor, tapi nggak usah deh. Aku lagi depresi nih. Nggak
nafsu makan." "Danielle? Depresi? Dengan segalanya yang sudah kamu
miliki?" "Makasih Lor ? aku senang ada yang menghargaiku."
"Oh? Memangnya nggak ada lagi yang lain?"
"Sebetulnya ada seorang cowok yang aku sukai. Dia benarbenar kece," ujar Danielle lesu.
"Hmmm," kata Lori, mata birunya hangat penuh perhatian.
"Boleh juga, tapi masa sih itu membuatmu depresi. Apa sebetulnya
masalahmu?" Danielle tertawa hambar dan menaikkan kaca mata hitamnya ke
atas kepala. "Oh Lor, kamu kenal aku, kan? Tapi sungguh, aku nggak
mau bicara tentang masalahku. Bagaimana kabarmu?"
Itulah yang ditunggu-tunggu Lori. Dia sudah tak dapat menahan
diri lagi untuk bercerita tentang Triumph Spitfire-nya yang sudah
menunggu di Wally's Wheel. "Mobil tua sih, tapi baru jalan tiga puluh
lima mil, jadi seperti baru saja."
Sebenarnya Danielle ingin mendengar ceritanya, tapi dia benarbenar tidak bisa. Masalahnya jauh lebih pelik dari yang dibayangkan
Lori. "Jadi aku minta izin Tio untuk kerja lembur," lanjut Lori. "Dan
kutabung setiap sen ?"
Danielle menatap sepupunya dengan iba, namun gaung
masalahnya sendiri telah mengabaikan semua ucapan Lori. Kalau saja
Lori kaya, kata hati kecilnya. Maka ia bisa cerita apa saja padanya.
Tetapi Lori tidak akan pernah mengerti. Mana mungkin ia bisa?
"Nah, begitulah cerita tentang aku. Dan aku ? Danielle? Hei
Danielle! Kamu ngelamun, ya?"
"Sori, Lor. Aku senang mendengarnya, sungguh, Ceritain lagi
deh, semuanya." "Yah, akhirnya aku bisa punya mobil sendiri. Rasanya aku jadi
orang yang paling beruntung di dunia ini, deh."
Melihat sepupunya yang sedang berbunga-bunga itu, hati
Danielle dijalari rasa sayang. Sungguh bahagia Lori. Dia bisa puas
hanya dengan sebuah mobil bekas.
Tiba-tiba terbitlah semangat Danielle dan kebahagiaan
menghapus depresinya. Sungguh beruntung dia bertemu Lori.
Semuanya jadi terasa jernih kembali. Dia memang punya masalah
sesekali, tapi Lori, hampir selalu punya masalah dengan uang.
Dari sudut matanya Danielle melihat Heather dan Teresa
berjalan menuju Tio. Dengan menenteng berbagai bungkusan, mereka
sama sekali tak peduli keadaan sekelilingnya. Tanpa menatap
sepupunya, Danielle segera pamit. Dia bergegas agar temantemannya tidak melihat dia keluar dari mana.
"Hei! Aku di sini!" serunya.
"Ooo! Danielle ngapain kamu di Taco Bar?" tanya Teresa yang
sempat melihatnya waktu ia keluar.
"Kamu nggak makan di situ, kan?" ujar Heather. "Jangan
ngajakin aku, ya!" Wajah Danielle memerah. "Enggaklah, yaw! Aku cuma
menemui sepupuku sebentar. Ayahku meminta aku sesekali
menengoknya." Lalu dia ikut tertawa bersama teman-temannya.
Ketiga gadis itu lalu melanjutkan jalan-jalan.
************* Aroma Camaro yang sudah sangat dikenalnya membuat Lori
tersenyum saat duduk di jok mobil. Waktu lengan Nick melingkar di
bahunya, hatinya luluh bahagia seketika. Menjadi pacar Nick Hobart
membuatnya merasa sangat istimewa.
"Pasang sabuk pengamannya, Randall," kata Nick sambil
meremas pundaknya. "Sesudah mendapatkanmu, aku tak mau
kehilangan kamu, deh." Ia menarik tangannya dan mulai menyalakan
mesin mobil. "Ayo jalan, 'Pir'," ujar Lori sambil menunjuk ke arah menuju
Wally. "Ha, ha," sahut Nick, dan menatapnya. "Mulai, ya? Tapi begitu
kamu punya mobil impianmu sendiri, kamulah sopirnya. Sekarang,
mumpung masih bisa nih, ya?"
Sepanjang jalan Lori terus berceloteh tentang Spitfire-nya, dan
betapa mobil itu akan mengubah hidupnya.
Ketika memasuki halaman Wally's Wheel, Lori melihat mobil
itu diparkir di bawah salah satu lampu. Dia segera menunjuk.
"Di mana?" "Itu! Di belakang! Persis di sebelah Jeep. Keren, kan?"
Nick memarkir mobilnya di belakang mobil itu dan keluar.
"Hmmm ?" katanya seraya menyepak roda mobil itu perlahan.
"Gimana menurut kamu?" tanya Lori gelisah.
"Hmmm ?" hanya itu jawabnya. Nick mengitari mobil itu dan
memperhatikannya dari belakang.
Begitu melihat Lori, Wally Warner segera menghampiri sambil
merapikan celananya. "Ngajak cowokmu untuk ikut ngecek, Lor?" katanya. "Mau
lihat mesinnya?" Nick mengangguk. "Sebaiknya begitu, deh," katanya datar.
Kap mobil berbunyi berderit ketika Nick membukanya. "Jangan
khawatir, Bung," kata Wally cepat. "Dikasih oli sedikit, pasti beres."
"He-eh," kata Nick.
"Tutup distributornya kuganti yang baru. Gratis," kata Wally.
"He-eh, "kata Nick lagi.
Lori mondar-mandir gelisah waktu Nick memeriksa mesinnya.
Ketika berdiri tegak kembali, kening Nick berkerut.
"Akinya juga kuganti yang baru, Lor," kata Wally.
"Ehm Lori," kata Nick. "Bisa bicara sebentar?"
"Tentu. Wally?"
"Boleh. Tapi sebaiknya jangan berubah pikiran. Mobil ini sudah
banyak yang naksir. Aku cuma bisa menahannya sampai tanggal
satu." "Nick, gimana?" tanya Lori ketika Wally sudah di luar jarak
pendengaran. "Kayaknya perlu disetel lagi. Kamu sudah tahu, kan?"
"Ehm ? ya." Apakah Nick akan menghempaskan harapannya?
Atau mau memvonis bahwa itu cuma mobil rongsokan? Kalau iya,
matilah aku! "Belilah. Bagus kok," katanya. "Kubantu memperbaikinya
nanti. Gratis." "Oh Nick, terima kasih! Kadang-kadang aku heran sendiri,
kenapa aku bisa begitu beruntung."
"Aku juga," kata Nick tertawa. "Tapi kupikir, aku juga
beruntung, kok." Sembilan Lori melihat Nick dari deretan bangku penonton di lapangan
bola Atwood Academy sambil memegang secangkir cokelat panas.
Rambut pirangnya terselip di balik kerah jaket merah hitam SMU
Merivale yang dipakainya.
Sambil menghirup minumannya dengan masih mengantuk, dia
menikmati sepinya suasana stadion pada pagi hari itu. Sabtu esok,
tempat ini akan dipenuhi oleh penonton. Berada di tempat ini, bersama
para pemain yang sedang berlatih, membuatnya merasa begitu khusus,
menjadi 'orang dalam'. "Lori! Hai!" seru Nick dari seberang lapangan. "Lima menit
lagi, ya?" Para pemain lain ikut melihat ke arahnya dengan napas
terengah-engah dan mengepul karena dinginnya udara pagi.
"Hei, Hobart," ujar salah seorang dari mereka saat Nick
tersenyum malu-malu. "Boleh juga! Dia punya adik cewek lagi,
nggak?" Lori gemetar. Lima menit lagi dia sudah harus ke Le Pancake
Pavilion untuk sarapan, menemani Nick Hobart. Terserah Nick sajalah
untuk menemukan cara yang menyenangkan agar mereka bisa saling
bertemu di tengah kesibukan mereka. Sambil memperhatikan
pacarnya yang tampan berlatih di pagi hari itu, Lori bergetar bukan
cuma karena kedinginan. *********** Pada saat itu Ann Larson menatap jam di dinding Body Shoppe
lalu menguap panjang. Tega benar dia membangunkan aku jam enam
pagi untuk melakukan ini pikirnya sambil mengernyit.
"Jangan bilang aku nggak pernah bantu kamu, Patsy,"
gumamnya sambil mengantuk. "Kalau bukan karena sahabat karib,
mana mau aku datang ke sini sepagi ini."
''Uh! Uh! Sembilan! Huh! Sepuluh! Aku nggak percaya aku
bisa melakukannya." Patsy Donovan menghapus keringat di dahinya
dan berjalan ke peralatan berikutnya. "Aku mau coba semua peralatan
untuk melatih otot."
Wuih! seru Ann diam-diam. Patsy benar-benar melakukannya.
Setelah bertahun-tahun mengeluh mengenai berat badannya, Patsy
akhirnya memutuskan untuk mengatasi masalah kegemukannya itu.
Masalahnya, dia seakan-akan mau melakukannya dalam satu hari
sekaligus. "Bagus Pats. Tapi kayaknya sudah cukup, deh untuk kali ini.
Yuk kita sarapan dulu sebelum ke sekolah. Melihat kamu saja aku jadi
lapar. Gimana kalau kita makan setangkap pancake?"
"Aku sudah nggak makan pancake lagi, Ann," sahut Patsy
dengan muram. "Kalorinya hampir nggak ada. Aku sekarang selalu
bawa roti gandum dan lesitin ke mana saja aku pergi. Dan kalau aku
lapar, aku cuma makan wafer protein ini. Mau coba?" Patsy merogoh
tas olahraganya dan mengeluarkan sebuah cracker yang kelihatannya
seperti biskuit untuk anjing.
Ya ampuun, pikir Ann dalam hati. Semoga ini cuma satu tahap
yang sedang dilalui Patsy. Sebab kalau nggak....
"Tahu nggak, Pats," katanya. "Cepat ganti baju lalu kita cari
semangkok bubur gandum dan susu skim."
"Itu lebih cocok," sahut Patsy serius, hingga Ann terkejut. "Itu
cukup memenuhi kebutuhan tubuh kita. Kebanyakan orang nggak
mikir tubuh kita kan perlu serat. Hei, ngomong-ngomong soal
kesehatan, hai Ron!"
Ann berpaling dan melihat Ron di pintu masuk. Sial! Dia
mengejarnya terus sejak kencan mereka yang kacau itu, dan sekarang
dia mau menutupi jalan keluarnya.
"Halo, nona-nona," sapa Ron. "Em, Patsy, boleh nggak aku
ngomong sama Ann sebentar?"
Patsy mengangguk pada temannya. "Boleh aja."
"Ron, maaf ya," ujar Ann. "Patsy dan aku ada janji mau makan
pagi." "Nggak, kok," sahut Patsy, membantahnya. "Aku lagi nggak
mau makan banyak hari-hari ini."
"Kelihatannya berhasil lho, Patsy," komentar Ron dengan tulus.
"Jangan berhenti latihan ? pasti hasilnya akan lebih cepat."
Patsy berbinar-binar senang. "Aku tunggu di luar ya, Ann,"
bisiknya saat dia keluar dari pintu.
"Patsy, tunggu!" Ann memanggilnya dengan putus asa, tapi siasia.
Ron menyilangkan tangannya di dada dan bersandar ke pintu.
"Oke, mari kita selesaikan masalah ini. Katakan saja apa yang ingin
kau katakan." Ann menjatuhkan dirinya ke atas sebuah bangku, berusaha
untuk mengatakan apa yang dipikirkannya. Tetapi dia diam saja.
"Asal tahu saja, Ann, aku sudah berusaha untuk berbicara sama
kamu sejak kamu lari dari aku hari Senin itu. Sekarang kan hari
Jumat." Ron sebenarnya marah, tapi dia berusaha untuk tetap sopan dan
menahan diri. "Aku nggak tahu kenapa kau marah padaku, tapi aku
minta maaf." Ann memutar bola matanya. Dengan Ron berdiri di depannya,
dia tak punya kesempatan lagi. Dia sedang berjuang dengan sia-sia
melawan perasaannya sendiri. Sebenarnya, dia menyukai Ron ?
sangat menyukainya. Dan dia tak bisa menyangkal, bahwa apa yang
dikatakannya memang benar. Tapi, Ron masih harus banyak menebus
kesalahannya, dan Ann tak begitu gampang membebaskannya begitu
saja. "Dengar," katanya sambil duduk di bangku, tak jauh dari Ann.
"Aku kan nggak segitu jahat-jahat amat? Eh, kita juga sudah berteman
lama, kan? Masa sih, tiba-tiba aku bisa berubah jadi jahat?" Ann
tertawa mendengarnya. Ron mengambil kesempatan baik itu.
"Ayolah," katanya dengan lembut. "Aku tahu kau nggak
membenci aku. Kapan-kapan kita ke museum, yuk? Aku dengar, kau
suka seni. Mungkin kau bisa merubah aku biar suka juga. Aku suka
belajar hal-hal baru, tahu nggak."
"Oh, baiklah." Ann mendesah lega. "Kamu menang. Kapan kita
ke sana?" "Hari Selasa sore aku bebas. Jam setengah empat, oke?"
"Oke, Ron. Tapi jangan macam-macam lagi kali ini, ya?"
"Hei. Aku nggak suka mempermainkan orang, lho. Nah,
sekarang kau sarapan dulu. Aku nggak mau menahanmu lama-lama.
Sampai nanti." "Oke," sahut Ann, lalu keluar dari ruangan itu. Semua rasa
frustrasinya hilang sudah, dan di depan mereka menunggu acara yang
mengasyikkan. Ron memintanya untuk pergi bersama lagi. Mungkin
yang terakhir itu cuma kesalahpahaman ?
"Aduh!" Karena melamun, Ann terbentur ke pinggiran pintu.
"Jangan melamun dong kalau jalan, non," ujar Ron,
menggodanya. "Kan repot keliling museum pakai penopang di
ketiak." *********** "Jangan lupa ya, Danielle," teriak Teresa waktu mereka menuju
ke mobil masing-masing sepulang sekolah. "Nanti malam kan Jumat
malam terakhir bulan ini. Kita kan akan makan malam bersama di
L'Argent." Sambil melambai dan tertawa-tawa, Heather dan Teresa
menghilang ke dalam mall untuk belanja lagi. Kebanyakan orang
mungkin akan berpikir apa yang perlu mereka beli, tetapi Danielle
tidak. Dia sudah paham. Danielle mengepalkan tangannya. Tidak belanja serasa tidak
bernapas, dan mencoba untuk menghindarinya adalah yang paling
parah. Syukurlah mengenai Keith. Keberhasilannya menyelidiki
seluk-beluk cowok itu paling tidak bisa melupakan masalahnya.
Setiap saat Keith bisa saja keluar dari pintu dan menuruni
tangga, lalu ? Danielle telah bertekad bahwa hari ini dia akan mulai bicara
dengan cowok itu. Sudah waktunya untuk saling menyapa. Semua
jerih payahnya untuk mengejarnya, bertanya-tanya ke sana kemari,
dan menguntitnya dengan mobil tidak menghasilkan apa-apa.


Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mungkin saja Danielle sampai lupa akan harga dirinya dengan
bersikap begitu berani, dan kini dia tak akan mundur lagi.
Nah, itu dia. Daniel bergetar karena senangnya saat melihat
cowok itu berjalan menuruni tangga. Dengan pullover biru muda dan
celana abu-abu, Keith bagaikan seorang pangeran dalam dongeng.
Beberapa menit lagi Keith akan melewatinya menuju ke mobilnya,
lalu ? "Hei, Red!" Danielle terkejut waktu seseorang berjaket
merangkulnya dari belakang.
"Don James!" pekik Danielle girang. Don yang berambut hitam
kemilau itu tersenyum lebar kepadanya. Mata cokelat tuanya menatap
ke dalam matanya. Don adalah kakak kelas Danielle dan seorang jagoan yang
sudah lama menaruh hati pada Danielle. Meskipun Danielle tak mau
mengakui terus terang, sebenarnya dia juga sangat tertarik pada cowok
itu. Tentu saja belum terpikir olehnya untuk kencan dengan dia. Don
sedang belajar untuk menjadi montir, dan meskipun tangannya bersih,
di bawah kukunya selalu ada garis hitam. Meskipun begitu, Danielle
telah beberapa kali bertemu dengan dia di Danau Barstow secara
diam-diam. Mereka baru bercakap-cakap sebentar, karena waktu Don
semakin mendekatinya, Danielle langsung menjauh.
"Nah, Red, lagi ngapain kamu di sini? Lama juga ya, kita nggak
ketemu sejak malam Pesta Panen. Kamu cantik deh, kayak biasanya."
Biasanya Daniel selalu gembira bila bertemu Don, asal tak ada
yang melihat mereka. Tetapi sekarang, Keith sedang menuju ke
arahnya. Sebentar lagi dia akan sampai di situ, dan kecuali dia bisa
menyingkirkan Don, kesempatan emasnya akan hilang!
"Lain kali saja, Don. Oke?" katanya, berusaha menjauhkan diri
dari Don. Keith sudah hampir sampai!
"Ada apa sih, Red? Takut ketahuan bersama aku ya, di depan
teman-temanmu yang keren? Jangan khawatir," katanya, "aku akan
cuci tangan dulu." Terlambat! Keith sudah melewati mereka, dan Danielle tak bisa
berbuat apa-apa lagi. Don melihat pandangan cemas di mata Danielle
saat dia melihat melalui bahunya ke arah Keith yang menjauh. "Oh,"
kata Don. "Jadi itu, ya? Siapa sih, dia?"
Danielle patah semangat. Dia bukan saja kehilangan
kesempatan untuk bicara dengan Keith, tetapi Keith juga melihatnya
bicara dengan Don James! Mungkin saja dia mengira Don adalah
pacarnya! Hilang sudah kesempatannya, dan itu adalah salah Don.
Danielle mendesah putus asa dan membuang muka.
"Kau nggak mau bicara sama aku?" tanya Don. "Ayolah, kita ke
mobilku dan bicara di sana. Biar kau bisa melupakan si Romeo itu."
Danielle mendesah kecewa. Keith telah masuk ke mobilnya dan
pergi. Ya sudahlah. Dia mengangkat bahu. Apa boleh buat; Keith
hilang sudah. Mereka menuju ke mobil Don, sebuah mobil T-bird putih tua
yang sudah ditambah kecepatannya. "Ngomong-ngomong, siapa sih
cowok itu, Red?" tanya Don lagi. "Apa sih kelebihannya dari aku?
Selain uang, tentu saja."
Danielle tak dapat menahan tawanya. Kalau dipikir-pikir, dia
selalu merasa nyaman kalau berada bersama Don. Bahkan kalau dia
merasa lebih superior dari Don kadang-kadang, dia masih tetap
menyukainya juga. "Namanya Keith Canfield, dan dia membuat kamu dan cowok
lain di kota ini putus semua. Apa kamu sudah puas, bung?"
"Yah, paling nggak aku jadi tahu di mana tempatku." Don
memandang ke luar jendela selama beberapa saat. "Sudah berapa lama
kamu kenal dia? Dan kenapa dia begitu cuek sama kamu, sampai
nggak nyapa sama sekali? Apa kau dan pangeran itu lagi bertengkar?"
Muka Danielle menjadi merah karena malu. Bagaimana dia
harus mengaku bahwa dia tidak kenal dengan Keith? "Mati kucing
karena ingin tahu," katanya kepada Don, berusaha menutupi
kebenaran. "Yah, Red. Rasanya aku nggak bisa berbuat atau ngomong apa
pun untuk merubah pikiranmu. Tapi satu hal ?" Waktu Don maju ke
depan Danielle untuk membukakan pintunya, dia menatap mata
Danielle lekat-lekat. "Kau dan aku diciptakan untuk selalu bersama,
dan jauh di dalam hati, kita tahu itu." Wajahnya begitu dekat dengan
dia, hingga Danielle merasa hampir tak bisa bernapas. "Jadi ingat,
kalau dia cuma ada dalam impian, aku masih ada di sini. Dan
menunggu." Dia mengangkat jarinya dan menyentuh pipi Danielle.
"Mobil Anda sudah menunggu, Nyonya," katanya saat Danielle
keluar dari mobilnya. "Sampai ketemu lagi kapan-kapan ? kalau kau
lagi beruntung." Sepuluh Malam itu pelayan restoran L'Argent menyambut Danielle dan
mengantarnya melalui karpet hijau yang mewah ke meja di sudut
ruangan yang sudah ditempati oleh Heather, Teresa dan dua orang
temannya yang lain. "Ini dia, Nona Super Sharp!" seru Heather ketika Danielle
menuju ke kursinya. "Sekarang kita bisa mulai pesan," kata Teresa. "Inilah saatnya
'Dinner with Danielle'."
"Asyik! Judulnya pas banget. Kayak judul film Perancis," kata
Ashley Shepard ikut meramaikan suasana.
Apa sih asyiknya menjadi anggota grup ini, pikir Danielle. Dia,
Teresa, Heather, Ashley Shepard, dan Wendy Carter, adalah cewekcewek paling populer di Atwood Academy. Semua orang ingin jadi
seperti mereka. Danielle merasa beruntung dan sangat spesial. Berapa
banyak sih, cewek yang pernah bisa ikutan bersama mereka ke
L'Argent. "Halo, semuanya," katanya sambil duduk.
"Duh, Danielle, celanamu keren amat," puji Wendy Carter.
"Baru kali ini kulihat ada celana kulit warna itu."
"Percaya nggak, tadinya dia nggak mau mengambilnya, sampai
kita harus paksa dia," timpal Teresa. "Keren, kan?"
Danielle merasa hatinya terlambung untuk pertama kalinya
dalam beberapa hari terakhir ini. Tatapannya melayang ke dinding
cermin di belakang meja mereka.
Tampak olehnya lima gadis keren menikmati acara malam
bersama. Di sinilah tempatnya. Lucu juga kalau teringat betapa dua
tahun lalu, membaca menu pun dia tak bisa.
Pendekar Sadis 11 Si Tangan Halilintar Karya Kho Ping Hoo Pendekar Pengejar Nyawa 7

Cari Blog Ini