Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya Bagian 2
Matanya memandang sekeliling ruang makan yang megah ini,
sambil mendengar lamat-lamat suara musik kuartet gitar.
"Lalu dia menelepon dari Swiss dan memintaku berlibur ke
sana! Aku mau dikenalkan pada istrinya yang baru dan juga
semuanya." Heather mendengus. Baru sekarang dia mendengar kabar
dari ayahnya setelah tahun ajaran sekolah dimulai.
"Oh, Heather," Teresa mendesah. "Enak dong kamu bisa main
ski di St. Moritz. Siapa tahu kamu bisa ketemu Lady Di atau orangorang lain semacam dia. Asyik, kan?"
Ashley Shepard mengeluh. "Aku cuma mau ke Vail. Bosan,
deh. Tapi ibuku bilang dia sudah bosan ke Eropa. Soalnya dulu dia
kan sekolah di sana. Aku kan baru tiga kali ke sana, padahal aku ingin
banget Natalan di Paris."
Pipi Danielle merona saat membayangkan rencana berlibur
keluarganya. Dia mungkin akan mengunjungi neneknya di Pittsburgh.
Tepat saat itu, muncullah seorang pelayan membawa daftar menu.
"Nona-nona?" katanya sambil menyerahkan selembar menu
pada setiap tamunya dengan gaya dan senyuman profesional.
"Syukurlah! Aku sudah kelaparan, nih," ujar Teresa. "Apa, ya
?" Sambil membuka menu di tangannya, tanpa sadar Danielle
hanya membaca kolom paling kanan saja. Hidangan pembuka di
L'Argent dimulai dari lima belas dolar, dan semuanya serba a la carte.
Namun, dia menenangkan diri sendiri, kecil kemungkinannya dia
harus membayar untuk acara malam ini. Tradisi di 'Malam Khusus
Cewek' ini adalah siapa pun yang menerima tagihannya, dialah yang
harus bayar. Dua bulan berturut-turut dia kebagian sial. Berarti
seharusnya malam ini berlaku Hukum Rata-rata. Masa sih, dia akan
mendapat tagihan tiga kali berturut-turut. Namun Danielle sudah
menyiapkan rencana. Begitu selesai hidangan penutup, dia akan
berlagak ke kamar kecil. "Oh! Lihat!" kata Wendy dengan mata berbinar. "Homard deu
maison. Sudah berabad-abad rasanya aku nggak makan lobster."
"Ah, aku nggak tahu mau pesan apa, tapi aku perlu hidangan
pembuka. Champignon farcis ini cukup enak, kan?"
"Kalau kamu pakai hidangan pembuka, kita juga, dong!" kata
Heather. "Enaknya apa, ya? Capon galantine, gimana? Kayaknya
sedap, deh." "Aku minta coeurs du palm."
"Oh, aku juga deh."
Mereka memesan tiga lobster, dua daging domba, dua jantung
kelapa, dua jamur, dan satu salad alpukat. Gelas-gelas kristal di dekat
piring mereka tampak berkilauan oleh minuman.
"Tebak, siapa yang aku dan Wendy lihat di Le Pancake Pavilion
pagi tadi." Ashley Shepard mencondongkan tubuhnya ke depan meja
sambil berbisik penuh gosip. "Pokoknya keren, deh!"
Wendy langsung bereaksi. "Nick Hobart! Sungguh maut!"
"Yeah, memang. Bukan main. Nggak nyangka dia mau jalan
sama cewek SMU Merivale. Kupikir dia pantas mendapatkan yang
lebih baik," sela Wendy sambil memecahkan seekor lobster.
"Ssst! Itu sepupunya si Danielle, tahu!" Heather terkikik saat
semua mata menatap Danielle.
"Oh, sori!" kata Wendi, namun jelas sekali hanya di mulut saja.
"Nggak apa-apa, kok," gumam Danielle sambil menyendok
salad-nya. "Benar, Daniell. Aku lupa. Tapi, terus terang ?"
"Sudahlah, lupakan saja si Nick Hobart," Teresa menengahi.
"Kita ngomongin yang gres saja, deh. Kemarin waktu upacara aku
lewat di depan Keith Canfield. Dia sudah hampir tersenyum padaku,
tapi tahu-tahu si Jane Haggerty menjatuhkan buku catatannya sampai
cowok itu mengambilkannya."
"Dia sekelas denganku di kelas Sejarah," ungkap Ashley. "Tapi
sejauh ini dia belum bicara sama siapa pun. Dia cuma datang,
mengangguk ke orang yang duduk di sebelahnya, lalu menyimak
pelajaran. Aneh, deh."
"Kayaknya dia cukup pintar. Dia pasti mau ke Yale atau
sebangsanya," canda Teresa.
"Ngomong-ngomong soal otak, tahu nggak siapa saja yang
mendaftar ke Harvard ?"
Perbincangan mereka terus mengalir, namun Danielle tak bisa
melepaskan Keith dari benaknya. Jadi mereka semua juga mengincar
si Keith! Berarti dia harus segera menyerang, agar tidak kehilangan
peluang untuk selama-lamanya.
Begitu menghabiskan suapan terakhir, Danielle mengusap
bibirnya dengan serbet linen dan meraba-raba dompetnya. Dari sudut
matanya terlihat si pelayan sedang menghitung tagihan. Sekarang
saatnya. "Sori ya, aku mau ke kamar kecil dulu," gumamnya samar.
Di kamar kecil ia diam menahan napas. Ini bagian yang paling
berat. Dia harus tinggal cukup lama agar tidak menjadi penerima
tagihan, dan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Ia hanya bisa berdoa
semoga waktunya pas. Akhirnya Danielle keluar dari kamar kecil dan kembali ke
mejanya. Sambil mendekat, dipandanginya wajah teman-temannya
mencari tahu siapakah kira-kira yang kebagian tagihan kali ini.
Sesudah acara makan malam ini, dia bisa merasa bebas.
"Tagihannya sudah datang?" tanyanya berlagak bersemangat.
"Belum," jawab Wendy sambil menunjuk ke seberang ruangan.
"Itu baru mau dibawa kemari."
Jelas sekali si pelayan menuju ke arahnya! Danielle tercekat.
Rasanya dia sudah berabad-abad berada di kamar kecil itu, ternyata
baru sekarang si pelayan menuju ke meja mereka dengan nampan
kecil mautnya. Dia berpikir cepat, dan memandang ke lantai. Kalau dia tidak
menatapnya, mungkin si pelayan akan menyerahkan nampannya ke
anak lain. "Ya ampun... lipstikku jatuh!" keluhnya sambil menunduk
menyembunyikan kepalanya ke kolong meja.
Waktu si pelayan menanyakan kontan atau kartu kredit,
terdengar Wendy bergumam, "Kartu kredit, kayaknya." Lalu dari
posisinya yang canggung tampak olehnya kaki si pelayan menjauh.
Sudah aman, rupanya. Namun kelegaan Danielle menguap seketika waktu ia melihat
baki hitam kecil itu tergeletak tepat di bekas tempat piringnya.
"Kubilang padanya, kayaknya kamu mau bayar pakai kartu
kredit, Dan," kata Wendy waktu teman-temannya yang lain cekikikan.
"Berarti tiga kali berturut-turut. Sungguh pemurah kamu, Dan.
Trims, ya," kata Heather.
"Yeah, Danielle. Enak deh, dinner sama kamu," timpal Teresa.
Sambil memaksakan dirinya tersenyum lebar, Danielle
membalik tagihan itu dan melirik angkanya sementara yang lain mulai
bangkit dari kursi. $107.75. Untung nggak ada yang pesan dessert. Itu
sih sama saja dengan uang sakunya sebulan! Tak ada sesen pun
sisanya. Temaram lampu restoran itu menutupi rasa malunya saat dia
merogoh tasnya, mencari kartu kreditnya. Sambil menaruhnya di atas
baki, dia berpikir kapan dia bisa menggunakannya lagi. Sebungkus
permen karet lagi, dan ludeslah dananya. Danielle sudah
membayangkan tampang galak ayahnya saat dia menggunting-gunting
kartu itu dan kartu-kartu kreditnya yang lain. Itulah akhir dari
segalanya. "Mademoiselle? Anda sudah selesai?" pelayan itu kelihatan
kabur. Danielle menatapnya dan melihat orang itu memegang slip
tagihan. "Oh, sebentar." Sambil menandatangani tagihan itu dengan
pena mungil L'Argent, dia melihat tempat di tagihan itu di mana
tertulis Service Charge. Bahkan tip yang kecil pun bisa lebih dari
sepuluh dollar! Apa boleh buat.
Sambil melihat-lihat ke kanan dan ke kiri untuk memastikan
bahwa tak seorang pun melihatnya, Danielle pura-pura menulis
tagihan itu, lalu cepat mengembalikannya kepada si pelayan. Lalu dia
berdiri dan bergegas ke ruang penyimpanan mantel. Dia tak mau ada
di situ kalau si pelayan melihat bahwa dia tidak mendapat tip sama
sekali. "Oh, pelayannya cakep banget!" seru Wendy di tempat parkir.
"Sayang, dia bukan orang Perancis."
"Kuharap kau memberinya tip yang lumayan, Danielle," kata
Heather, sambil menggandeng tangannya.
"Jangan khawatir." Danielle tertawa, pura-pura bersikap yakin.
Bagaimana dia akan melewati minggu depan tanpa uang?
Bahkan kalau dia ikut dengan Heather dan Teresa belanja, pasti akan
ada pengeluaran untuk jajan, parkir dan segala tetek-bengek.
"Menurut Heather, toko yang menjual segala macam antinganting itu lucu sekali," kata Teresa. "Kami besok mau ke sana. Mau
ikutan, nggak?" "Oh, sorry. Aku nggak bisa," sahut Danielle, sambil
memikirkan suatu alasan yang masuk akal.
"Duh, kenapa sih?"
"Karena, emm, sesudah malam ini aku 'didaratkan' alias nggak
boleh keluar lagi. Orangtuaku menuntut agar angka sejarahku naik."
Danielle mengernyitkan hidungnya untuk meyakinkan.
Sebenarnya, Teresa cukup tanggap. Dia bukan murid yang
pandai di sekolah dan cuma berusaha agar angka-angkanya pas-pasan
saja. "Yah, kasihan kamu. Kenapa nggak bilang?"
Kenapa nggak bilang? Wah, itu perlu alasan lagi.
"Yah, tahu kan ? aku nggak mau bikin kalian kecewa."
Kedengarannya sih, alasan itu cukup bagus, pikir Danielle. Tiba-tiba
dia bukan cuma korban orangtuanya yang perlu dikasihani, dia juga
seorang kawan yang penuh perhatian. Berdusta memang aneh.
Semakin sering dilakukan, semakin mudah melakukannya.
"Bakalan sepi deh, nggak ada kamu," ujar Teresa. Wow, baik
juga dia, pikir Danielle senang. Mungkin mereka memang menyukai
dia. "Tadinya kami mau nebeng mobilmu," kata Heather. "Mobil
Teresa kan mau dipoles."
Yah, mungkin tanpa dia mereka akan lebih senang. Yang
penting, mereka masih tetap mau berteman dengan dia.
"Selamat malam," katanya saat dia pamit untuk pulang.
Rumahku yang nyaman. Di sanalah dia akan menghabiskan waktunya
selama minggu depan. Paling tidak selama dia 'nyepi' akan ada
manfaatnya juga. Yang jelas, dia tak perlu mengeluarkan uang selama
dia berada di rumah. Sebelas Tinggal seminggu lagi dan Spitfire itu akan jadi miliknya. Lori
turun dari bus hari Sabtu pagi-pagi sekali agar dia bisa mampir untuk
melihatnya lagi. Dia membayangkan betapa bangganya kalau dia
membawanya pulang dan memarkirnya di depan rumah. Adik-adiknya
pasti akan senang sekali. Dan itu semua akan terwujud dalam kurang
dari satu minggu lagi! Enam hari lagi. Hari Jumat depan adalah hari
gajian di Tio's, dan uang yang didapatnya akan langsung
disetorkannya ke Wally's Wheels.
"Hai, Lori," sapa Wally saat Lori berjalan ke tempat mobilmobil diparkir. "Mau lihat apa mobilmu masih ada di sini?"
Lori tersenyum malu. "Iya juga sih. Rasanya aku sudah ingin
membawanya ?" "Lori, terus terang aja," ujar Wally, sambil menatapnya dengan
rasa kurang senang, "ada seseorang yang mau membelinya dengan
tunai." "Kamu belum menjualnya pada dia, kan?" pekik Lori. "Wally,
kamu janji ?" "Tunggu dulu, dong," tukas Wally memotong kata-katanya.
"Aku kan nggak bilang aku sudah terima uangnya. Setahuku, mobil
ini milik Lori Randall. Tapi kamu mesti ngerti juga dong, aku kan
penjual mobil, bukan tergantung pada mobil-mobil. Aku nggak bisa
menahannya lewat tanggal satu."
"Oh, aku tahu! Hari Jumat ini aku ke sini untuk membayar uang
mukanya. Janji, deh. Aku tinggal nunggu cek pembayaran gajiku saja.
Kan kamu tadi bilang tanggal satu."
Kerut di dahi Wally menghilang. "Iya, deh. Pokoknya asal aku
sudah menerimanya hari Jumat sebelum jam lima."
Lori mengulurkan tangannya dan menyalami penjual mobil itu,
sebelum dia tenggelam dalam pekerjaannya sepanjang hari itu.
Spitfire itu akan jadi miliknya! Nggak perlu diragukan lagi, deh!
*********** Ann sudah memikirkannya, dan menyimpulkan bahwa Ron
sama sekali bukanlah cowok yang brengsek. Mungkin dia cuma belum
berhasil baik waktu kencan mereka yang pertama, tetapi dia tak mau
menyerah. Itu membuktikan bahwa Ron menyayangi dia, paling tidak.
Sedangkan Ron, dia merasa dirinya sangat beruntung. Lori yang
baik hati itu telah menyelamatkan dia, meskipun acara P3K itu
berakhir dengan kacau. Kali ini, jangan sampai dia gagal lagi. Jangan
sampai ada yang merusak kencan mereka.
Kini, mereka sedang berjalan bergandengan tangan menaiki
tangga museum. "Bagus ya, gedungnya," komentar Ron dengan
kagum. "Iya, bagus sekali," sahut Ann dengan riang. "Aku selalu kagum
pada arsitektur sekolah Bauhaus. Garis-garisnya sederhana, tapi
anggun." "Mmmm," ujar Ron sambil mengernyit. Wuih! Kayaknya
nggak segitu gampang juga. Tapi dia senang bahwa Ann kelihatan
cerah, dan lebih dari itu, menyukai tempat itu.
"Nah, bagian mana yang mau kau lihat dulu?" tanya Ron
sesudah membeli karcis masuk.
"Yah, aku suka lukisan impresionis," sahut Ann. "Semua
pelukis, mulai dari Gauguin sampai Seurat. Kamu, gimana?"
"Yah ?" Ron tak tahu apa yang mesti dikatakannya. "Aku juga
suka mereka, tapi ada juga yang aku nggak begitu tahu." Duh, jangan
tanyakan nama-nama mereka, doa Ron dalam hati.
Untung doanya terkabul. "Yah, kita nggak perlu nonton yang
impresionis. Aku sudah sering nonton lukisan mereka, kok. Bagian
mana yang kamu ingin lihat?"
"Uhhh ?" ini dia, celaka kena batunya. "Kupikir, kita nonton
yang impresionis dulu, baru setelah itu aku pilih yang berikut." Ron
sama sekali tak punya gambaran apa-apa tentang museum.
Pada saat itu tampak olehnya sebuah papan nama di pintu aula:
Pameran Khusus, Tubuh Manusia dalam Gerakan." Selamat! pikir
Ron dalam hati. "Yah, aku selalu kagum pada karya Dukash. Tahu
nggak, karyanya Physicalists ?"
Ann berbunga-bunga. Rupanya Ron juga mengerti soal seni.
"Hebat benar!" pekiknya. "Aku nggak begitu tahu tentang Dukash
sebenarnya. Tapi aku suka hal-hal yang baru. Itu kan gunanya kita ke
museum, iya nggak?" Ron bergetar karena merasa sukses. Ternyata berhasil! "Oh,
kamu juga suka Dukash, ya ? dia benar-benar hebat, lho!" Ternyata
sikapnya benar-benar meyakinkan. Wah, asal saja dia bisa melewati
pameran impresionis itu tanpa menimbulkan kesan yang buruk ?
Ternyata, Ron benar-benar menyukaui lukisan impresionis,
khususnya karya van Gogh. Saat mereka berjalan ke ruangan di mana
dipamerkan seni pahat khusus, Ron dan Ann tampak santai dan
gembira. Sesudah melewati pintu dan masuk ke dalam ruangan,
Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
keduanya langsung berhenti. Di seluruh ruangan itu dipamerkan
patung-patung dari tembaga, kebanyakan patung perempuan ? benarbenar sebuah pameran patung telanjang!
Dengan tersipu-sipu Ron masuk ke dalam dan memperhatikan
patung seorang pelempar cakram di barisan tengah. "Wow!" bisiknya
dengan kagum. "Lihat bentuk badan patung ini."
Namun Ann masih berdiri di pintu. Dia merasa ngeri. Kencan
itu benar-benar mengecewakan. Masa dia diajak ke sebuah ruangan
yang penuh patung-patung telanjang. Akhirnya ketahuan juga sifat
Ron Taylor yang asli, dan ini sungguh keterlaluan.
"Hei, Ann," panggil Ron. "Ke sini deh. Coba lihat yang ini.
Pemahatnya benar-benar hebat. Lekuk-lekuk tubuhnya benar-benar
mengagumkan. Coba lihat otot-ototnya dan patung tanpa kepala itu di
sana." "Jangan kira aku segitu gobloknya," bentak Ann. "Dengar,
nggak ? aku nggak segoblok yang kau kira."
"Kenapa sih, Ann?" tanya Ron, sambil berusaha tertawa. "Kata
siapa kamu goblok? Aku cuma bilang, bahwa patung ini bisa jadi
semacam contoh bagimu. Kalau kau berlatih lebih keras, otot-otot
tricepsmu bisa?" "Nggak usah ngomong lagi!" teriak Ann, sambil
menghentakkan kakinya. "Aku mohon dengan hormat dan sangat,
jangan pernah ngajak aku lagi!" Ann lalu berlari ke luar dari ruang
pameran itu, dan sebelum Ron sempat mengatakan sesuatu, Ann
sudah hilang dari pandangannya.
************ Sekarang ganti film-lain ? ini film ke lima yang ditonton
Danielle dalam waktu dua hari. Dia menekan tombol Eject pada VCR
di ruang TV, lalu memasukkan tape lain ke dalam recorder.
Sambil duduk dengan santai di sofa dengan sepiring kue kering
asin, dia menarik kedua lututnya ke atas. Dia menyetel remote
controlnya dan menunggu. Tampak judul film itu pada TV "Sudah
Takdir," gambar permainan yang ramai dengan iringan suara tertawatawa, saat tape berputar kembali.
Pada saat itu, terdengar pintu depan ditutup dengan suara keras.
"Sore Yah, aku di ruang TV. Masuk dong ke sini," dia
memanggil ayahnya. Tambah seorang penonton tentu tidak akan
mengganggu. "Coba matikan TV-nya," sahut ayahnya, lalu langsung menaiki
tangga menuju ke kamarnya. Langkah kakinya terdengar berat di
tangga. Lalu rumah menjadi sepi kembali.
Danielle belum pernah merasa begitu depresi. Membayangkan
bagaimana teman-temannya bisa belanja dengan santai sambil
bertemu dengan Keith Canfield membuatnya dongkol bukan main.
Padahal film baru dimulai dengan memperlihatkan sekelumit
pemandangan kota Paris diiringi musik ringan. Lalu kuntum-kuntum
bunga bermekaran penuh yang dibuat dalam gerak cepat sementara
pasangan-pasangan muda berjalan-jalan sepanjang Sungai Seine. Dia
harus tahu apa yang terjadi dengan Keith saat itu juga. Setelah
menekan tombol Pause diangkatnya gagang telepon, lalu memutar
nomor telepon Jane Haggerty. Dia sudah hafal nomor itu.
"Oh, hai, Danielle. Kudengar kau lagi didaratkan, ya? Mau
dengar gossip baru, nggak?" tanya Jane.
"Wah, boleh juga."
"Jadi, aku bisa bantu apa?"
"Oh, aku cuma mau bilang halo. Dan kuingin tahu, apa kau
sudah dengar perkembangan baru mengenai cowok itu ? yang baru
itu ? kukira namanya Keith."
"Udah deh, Danielle." Jane tertawa cekikikan. "Aku sih mau aja
bantu kamu. Tapi terus terang, kalau kamu mau tahu tentang si Keith
itu, tanya aja sama Teresa Woods."
"Masa?" Danielle menggumam lemah.
"Iya! Kalau kau tanya aku, Teresa punya kabar yang paling
terpercaya. Dialah bagian kampanye-nya, aku cuma bagian kerjanya."
"Benar, nih?" Ternyata keadaan lebih buruk daripada yang
dikiranya. "Teresa malahan lagi berusaha agar dia bisa pindah ke kelas
Inggris yang sama dengan si Keith. Taruhan BMW-mu deh, dia pasti
akan duduk bersebelahan dengan si Keith besok pada waktu seperti
sekarang." "Dengarin dulu, Jane. Aku lagi nggak boleh keluar nih sama
bokapku. Padahal aku harus pergi." Danielle telah mendengar
segalanya dan dia berusaha untuk menahan diri. Setelah meletakkan
telepon, dia melihat ke seputar ruangan itu.
Sebenarnya, enak juga sih tinggal di rumah. Tapi itu dulu,
waktu dia masih kecil dan bisa menghabiskan waktu bersama kedua
orangtuanya. Pada waktu itu, ayah dan ibunya jauh lebih
menyenangkan daripada sekarang. Itu dulu, waktu ayahnya tidak
begitu sibuk di luar rumah mengurus bisnisnya. Sekarang, kalau
Danielle bisa ketemu ayahnya dua kali seminggu saja, itu sudah hebat.
Lalu ibunya! Danielle sama sekali nggak suka memikirkan dia.
Selama dua tahun terakhir, ibunya makin lama makin depresi saja. Dia
begitu mudah tersinggung, dan kadang-kadang dia malah seakanakan berada di dunia yang lain. Pada saat-saat seperti itu dia hampir
tak pernah memperhatikan Danielle seperti juga pada tanamantanamannya.
Setelah tinggal di rumah terus selama tiga hari sepulang
sekolah, Danielle merasa jenuh dengan persoalan orangtuanya. Kalau
ayahnya ada di rumah, pasti dia akan bertengkar dengan ibunya
mengenai apa saja. Benar-benar bego. Apa mereka nggak tahu, kalau
dia bisa mendengar setiap kata yang mereka ucapkan? Itulah yang
membuat Danielle mengurung diri di ruang TV, memasang film demi
film ke dalam VCR. Paling tidak, dia bisa agak terhibur dengan
fantasi Hollywood. Tetapi betapapun kerasnya dia memasang TV,
masih saja terdengar suara pertengkaran orangtuanya.
Tiba-tiba ibunya masuk ke ruangan itu dengan wajah yang
cemas. "Eh, Bu. Mau nonton TV nggak sama-sama aku? Nanti kuputar
balik dari awal." "Danielle!" seru ibunya, kaget melihat dia di sana. "Kamu di
rumah lagi malam ini?"
"Yah, memang begitu, Bu," sahut Danielle dengan santai.
"Tadi malam kamu kan juga ada di rumah?" tanya ibunya lagi.
"Iya, memang ?"
"Kayaknya, nggak biasanya kamu begitu. Nah, Ibu ke atas dulu,
ya?" ujarnya. "Sebentar, Bu. Ibu nggak mau nonton film ini sama aku?"
Bu Sharp tidak begitu memperhatikan apa yang dikatakan
anaknya. "Nggak, sayang," sahutnya dengan nada menjengkelkan
seperti biasa. "Kayaknya nggak, deh."
Tak lama kemudian Danielle sudah mendengar suara keributan
lagi dari atas yang terdengar ke dalam ruang TV itu melalui tempat
perapian yang berhubungan dengan kamar orangtuanya.
Dengan mengecilkan suara TV, Danielle menguping apa yang
dikatakan orangtuanya. Tetapi ada keheningan yang cukup lama. Apa
sih, yang mereka pertengkarkan kali ini? Apakah pengeluaran ibunya?
Apa karena ayahnya sering pulang malam? Apa soal bisnisnya? Apa
soal pergaulannya? Danielle menutup telinganya dan mengernyit.
Kenapa sih, Ayah dan Ibu nggak saling menyayangi dan bersikap
seperti orangtua yang baik?
Tiba-tiba Danielle tersentak dan menguping kembali. Mereka
sedang mempercakapkan dia!
"Aku nggak bisa melihat anak itu makin lama makin
memikirkan dirinya sendiri saja ?"
"Mungkin kalau kamu meluangkan sedikit waktu untuk dia,
sekali-sekali ?" "Kamu yang mestinya kasih contoh yang baik padanya.
Cobalah kasih contoh!"
"Aku! Kamu pikir dari siapa dia mewarisi sifat mementingkan
diri sendiri ?" Cukup sudah apa yang didengar Danielle. Dia mengambil jaket
bulu imitasinya dan tas suede-nya, lalu keluar rumah menuju ke
BMW-nya. Air mata membasahi pipinya dalam cuaca dingin saat dia
menyalakan mesin mobil lalu melaju dengan cepat ke jalan raya. Dia
akan membuat orangtuanya menyesali apa yang mereka katakan.
Dua belas Kriiing! Lori melirik jam. Pukul setengah delapan. Teleponnya
harus cepat, karena dia harus menyelesaikan karangan tentang sejarah
Amerika malam itu. Kriiing! Mungkin Nick, pikirnya dengan jantung berdebar.
Kriiing! Kalaupun itu benar Nick, dia tetap harus cepat. Besok
ada ujian penting, jadi bab tentang Perang Saudara pasti keluar.
"Halo?" "Lori? Ini Ron."
"Hei, Ron! Apa kabar? Gimana kencannya kemarin?"
Helaan napas berat terdengar dari ujung sana. "Kayaknya
sekarang benar-benar tamat, deh."
"Ya ampun!" Lori menyisihkan buku catatannya dan bertumpu
ke mejanya. "Ada apa? Bisa segawat apa sih, di museum?"
"Yah, begitulah! Tadinya semuanya lancar-lancar saja. Lalu,
blung! Kayak film horor aja. Mendadak dia kabur begitu aja dari
museum." "Masa sih Ann begitu, Ron? Aku sudah lama kenal dia, dan
setahuku dia selalu tenang. Mungkin ada ucapanmu yang dia salah
paham?" "Mungkin," kata Ron penuh sesal. "Mungkin karena aku
berkomentar soal otot triceps-nya ?"
"Emmm, tunggu dulu, Ron," tukas Lori. "Ngapain kamu
ngomongin triceps-nya dia segala di museum?"
"Eh, anu, kami sedang berada di ruangan yang penuh dengan
patung. Lalu aku bilang kalau dia rajin latihan, triceps-nya akan
sebulat punya patung itu. Lalu mendadak dia kabur begitu saja!"
Lori bersandar ke tempat duduknya, mendadak dia sakit kepala.
"Patungnya telanjang?"
"Telanjang? Emang iya."
Mau bilang apa lagi? Dia tak bisa mengungkapkan secara
gamblang kecemasan Ann atas motif Ron. "Mungkin museum itu
bukan gagasan yang baik, kalau begitu. Cari dong ide lain."
"Ucapannya yang terakhir sebelum pergi adalah dia tidak akan
mau kencan lagi sama aku."
"Hmmm," Lori merenung. "Ron, sebelumnya dia sudah pernah
ngomong begitu juga, kan?"
"Memang iya, sih. Tapi apa lagi dayaku? Dia sudah terlanjur
membenci aku." Ron tertawa pahit. "Tahu nggak, Lor, Nick sungguh
beruntung. Juga si Ann, karena punya teman sebaik kamu."
Namun Lori masih menduga-duga sebaik apa dirinya
sebenarnya. Mungkin ada baiknya dia berterus terang saja pada Ron.
"Lalu, harus kuajak ke mana lagi dia? Itu kalau dia masih mau
kuajak ke luar lagi, lho!"
Mari kita coba lagi, Lori berpikir keras. "Ron, kenapa nggak
cari sesuatu yang benar-benar aman? Ke sebuah restoran yang
romantis ? L'Argent, misalnya. Kayaknya di sana segalanya bakal
aman. Benar, nggak?"
"Iya," kata Ron. "Tapi tadinya di museum pun kupikir bakalan
aman. Dan, Lor, terimakasih atas semua bantuanmu, ya. Kalau sampai
aku bisa jadi sama Ann, aku benar-benar berhutang budi padamu."
Perlahan Lori meletakkan teleponnya. Senyumnya memudar
saat tatapannya terbentur pada tumpukan tugas di mejanya yang harus
diselesaikannya. Ah, sekarang kembali ke Pertempuran Gettysburg.
Dia mendesah berat. Kriiing! "Halo?" "Lori? Untung kamu ada di rumah." Terdengar isak Ann Larson
di ujung telepon. "Aku mau nelepon kemarin, tapi waktu itu aku lagi
kesal banget. Lalu aku nggak masuk sekolah hari ini. Teleponmu juga
sibuuuk terus ?" "Ann, kenapa sih kamu? Kamu ada di mana?"
"Di tempat kerja, lagi istirahat. Aku harus masuk. Aku butuh
uang." Perlahan Lori menutup buku sejarahnya. Jendral Grant, tunggu
sebentar, ya? "Oh Lori, rasanya aku mau mati, deh. Ternyata dia benar-benar
nyebelin. Sekarang terbukti, deh. Coba kalau kamu ikutan ke museum.
Ngomongnya yang bukan-bukan, aja!"
"Tunggu dulu, Ann. Tenang dulu. Apa yang terjadi?" Lori
beranjak ke tempat tidur dan menjatuhkan diri ke kasur. "Dia
menyentuhmu?" "Oh, nggak. Yang jorok itu otaknya, Lor. Dia membawaku ke
pameran patung telanjang supaya dia bisa ? dia bisa ?"
"Dia bisa apa, Ann?" tanya Lori, benar-benar heran.
"Agar dia bisa ? entahlah! Pokoknya seram!"
"Oh, ayolah Ann, kamu nggak merasa terlalu cemas, kan?
Nggak terjadi apa-apa, kan?"
"Memang nggak sih, tapi ?"
"Ann, dengar deh. Mungkin nggak sih, kamu salah paham?"
"Lori Randall," kata Ann, "masak sih aku sebego itu? Aku
yakin Ron Taylor cuma naksir tubuhku. Dia nggak peduli tentang aku.
Dia cuma nyari yang satu itu!"
"Kurasa kamu tetap harus memberinya kesempatan lagi, Ann."
"Apa?! Gila kamu! Mendingan mati, deh. Dia nyebelin, Lor!
Aku nggak mau lagi. Aku sudah cukup kenal dia."
"Aku juga kenal Ron, Ann," tukas Lori. "Dan aku nggak yakin
dia sejelek itu. Kamu juga menyukainya, kan?"
"Sudahlah, Lor, jangan bikin aku bingung. Aku meneleponmu
untuk nyari simpati. Kamu di pihak siapa, sih?"
"Aku di pihak kalian berdua!" Lori duduk tegak, dengan kedua
tangan memeluk lututnya. "Tapi aku lebih berat di pihakmu dong,
bego! Gimana kalau Ron ngajak kamu ke tempat yang benar-benar
menarik? Misalnya aja, ke restoran yang romantis."
"Wah! Kalau dia benar-benar mau kenal sama aku, pantes dong
kalau dia ngajak aku ke tempat kayak begitu!"
"Oh, nggak tahu juga deh, Ann."
"Iya deh, Lor. Mungkin aku mau kasih si tengil itu kesempatan
sekali lagi, asal dia mau ngajakin aku ke tempat yang sopan kayak
gitu. Tapi asal tahu aja, kalau kali ini gagal lagi, aku nggak tahu lagi
deh!" Lori mendengar telepon dimatikan. Dia berharap semoga kali
ini dia tidak membuat kesalahan lagi.
*********** Nggak ada yang bisa menghiburku selain daripada belanja.
Danielle keluar dari mobilnya dan bergegas menuju ke mall, sambil
menghapus air matanya. Dia menyeberang ke tempat pejalan kaki,
lalu melewati tempat-tempat penjualan makanan fast food dan video.
Semuanya tampak kabur saat dia melewati air mancur menuju ke
eskalator yang dilapisi khrom mengkilat.
Sampai di dalam mall, akhirnya dia bisa bernapas lega. Facades,
High Hats, To the Manor Born ? semua toko favoritnya ada di sana,
seperti teman-teman lama saja yang akan menyambut kedatangannya
dengan hangat. Mungkin ayahnya mengira dia sudah punya segudang pakaian,
tetapi dia tidak tahu bahwa masih ada begitu banyak yang belum
dimiliki Danielle. Seperti rok suede, misalnya. Dan tas yang cocok
dengan celana biru mudanya....
Danielle memasuki toko High Hats. Saat itu rasanya dia ingin
Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
memiliki segalanya yang dia inginkan. Kenapa tidak? Teresa dan
Heather nggak pernah meributkan masalah uang, kenapa dia tidak?
"Bisa saya bantu?" sapa seorang pramuniaga saat Danielle
masuk ke dalam toko itu. "Yah, saya melihat jumpsuit yang di etalase itu ?"
"Oh, iya. Barangnya baru datang dari Hong Kong. Seratus
persen sutera. Ada di sana, tuh. Nyaman sekali dipakainya, dan bisa
dipakai ke mana aja."
"Iya, bagus sekali," ujar Danielle menyetujui. "Aku perlu yang
seperti itu. Anggun, tapi nyaman dipakai. Duh, warnanya bagusbagus, ya?"
Danielle mulai memilih-milih di antara setumpuk jumpsuit,
menariknya secara berganti-ganti dari atas rak.
"Yang merah kayaknya cocok deh, buat saya. Tapi rasanya
yang ungu ini bagus juga. Duh, yang keemasan itu juga bagus banget
? Gimana milihnya, ya?"
"Ambil aja beberapa. Jadi kamu bisa pakai warna yang lagi
kamu sukai," saran si pramuniaga.
"Hmmm. Benar juga. Tapi saya nggak punya waktu banyak.
Toko-toko sebentar lagi tutup dan saya masih harus belanja yang lain.
Bisa nggak tolong masukkan ketiga celana ini ke dalam kantung. Dan,
oh, rasanya saya mau ambil yang merah muda juga."
Saat toko-toko akan tutup sejam kemudian, Danielle sudah
memboyong begitu banyak kantung-kantung belanjaan sampai dia
hampir tak bisa berjalan menuruni mall itu.
Pak Satpam sudah memegang kunci pintu mall waktu Danielle
melirik sebuah gaun di etalase Facades yang sedang diobral. Gaun itu
terbuat dari bahan wol lembut dengan kerah bersulam dan rok yang
lebar. Gaun itu pasti cocok untuk acara pesta akhir musim gugur bulan
depan. Dia sudah membayangkan memakai gaun itu sementara Keith
Canfield membawanya berputar-putar di lantai dansa.
"Tunggu!" teriaknya, sambil mengetuk pintu kaca toko itu.
"Aku harus membeli gaun itu. Ini darurat!"
Penjaganya melirik arlojinya, dan untung mau membukakan
pintu toko untuk Danielle.
"Toko akan tutup dua menit lagi, Nona," ia menjelaskan.
"Maaf." Tetapi waktu si manajer melihat Danielle dan semua
bawaannya, dia memanggil penjaga itu.
"Nggak apa-apa, Josef. Kita masih bisa buka beberapa menit
untuk Nona Sharp." Sambil menatap penjaga itu dengan dingin, Danielle bergegas
masuk ke dalam toko. "Terima kasih. Saya nggak akan lama, kok.
Saya cuma mau beli gaun yang di etalase itu. Kalau nggak ada yang
nomor tujuh, matilah saya."
"Anda mau mencobanya dulu, Nona Sharp?" tanya manajernya.
"Gaun yang etalase itu nomor tujuh. Sebentar saya ambilkan." Dia
mengambil gaun itu lalu memegangnya di depan Danielle.
"Nomor tujuh memang pas buat saya, jadi saya ambil. Dan, oh,
bisa nggak tolong ambilkan sekalian tas malam suede warna ros itu?
Kelihatannya cocok banget dengan gaun itu. Oh, bagus sekali gaun
itu!" "Anda sungguh beruntung, Nona Sharp. Gaun itu sudah habis
masa obralnya hari ini. Harganya diturunkan jadi seratus dollar
termasuk pajak." Waktu Danielle masuk ke mobilnya, dia merasa jauh lebih baik.
Dia malah merasa lebih ramah kepada orangtuanya. Sebenarnya
mereka nggak segitu jahat- jahat amat. Yah, orang memang suka
berbuat dan berkata yang aneh-aneh kalau sedang marah. Iya, kata
sebuah suara kecil dalam hatinya. Seperti menghambur-hamburkan
uang seton yang sebenarnya mereka nggak punya.
Dalam sekejap rasa bersalah menyergap Danielle. Dia pulang
ke rumah dengan hati serasa tertusuk. Dia baru saja menghancurkan
semua yang telah diperjuangkannya dengan susah payah.
Benarkah begitu? Saat dia memasuki jalan masuk yang
melingkar di pekarangan rumahnya, Danielle bertekad dalam hatinya.
Mungkin dia melakukan sesuatu yang tolol dengan pergi ke mall,
tetapi belum terlambat untuk membatalkannya. Kantung-kantung
belanjaan itu juga masih ada dalam bagasinya. Besok pulang sekolah,
semua itu akan dikembalikannya! Semuanya!
************** Akhirnya Ann selesai dengan latihannya malam itu. Sambil
membuka ikat kepalanya, dia berjalan ke loker dan membukanya. Di
dalam, di depan sepatunya di bagian bawah, tampak sebuah amplop
yang bertuliskan namanya. Apa sih, ini? pikir Ann heran, waktu dia
membukanya. "Ann yang baik," bunyi surat itu. "Aku nggak tahu apa yang
telah kulakukan sampai membuatmu marah. Tapi apa pun itu, aku
mau minta maaf. Dan kalau kau masih ikhlas memaafkan aku dan
memberi kesempatan sekali lagi, aku ingin mengajakmu makan
malam untuk melupakan semuanya di restoran L'Argent. Kalau kamu
setuju, masukkan saja surat kecil ini ke dalam kotakku kembali.
Temanmu, Ron. N.B. Biarpun kau nggak suka melihat aku, aku tetap
menyayangimu." Ann terhenyak di bangku kayu dan berusaha untuk tidak
tersenyum. Siapa sih, yang bisa membenci orang macam Ron?
Biarpun dia serigala, sikapnya begitu manis. Cepat-cepat dia
berpakaian, dan tanpa berpikir dua kali lalu memasukkan catatan kecil
bertuliskan 'Ya' ke dalam kotak berisi surat-surat Ron. Lagi pula,
pikirnya, nggak tiap hari aku bisa makan di L'Argent.
Tiga belas Esok harinya, Danielle begitu sibuk sampai dia hampir tak bisa
berkonsentrasi pada pelajarannya. Dia memikirkan tentang belanja
yang menyenangkan, mengembalikan barang-barangnya, dan
menghapus semua rekening dari kartu kreditnya, agar ayahnya tidak
tahu kalau dia sudah melewati batas uang sakunya.
Lagi pula, kalau dia tidak segera membereskan semua persoalan
ini, dia akan tersisih dari pergaulan. Dia tak bisa keluyuran kalau dia
tak punya uang untuk membeli bensin untuk mobilnya, dan dia tak
bisa kencan kalau harus mengenakan pakaian yang sudah ketinggalan
mode. Dengan kata lain, tanpa uang, hidup ini tidak berarti!
Pelajaran Sejarah itu rasanya seperti tiga tahun saja sebelum
usai. "Eh, sampai besok, ya," ujarnya kepada Heather dan Teresa di
tempat parkir. "Ini hari terakhir dalam bulan ini. Ini hari terakhir aku
didaratkan, lho." Setelah masuk ke dalam BMW-nya, dia segera menuju ke arah
rumah, kemudian berbelok ke arah lain waktu dia sudah berada jauh
dari Atwood Academy. Dia berbalik menuju ke arah mall melalui rute
lain sehingga tak perlu melewati sekolah lagi. Bagaimanapun juga, dia
harus tetap bertahan pada alasan bahwa dia tak boleh keluar rumah
oleh orangtuanya. Yang paling penting, Heather dan Teresa tak boleh
melihat kalau dia mengembalikan semua barang-barang itu ke tokotoko. Riwayatnya pasti akan tamat.
Sambil mengumpulkan semua barang belanjaannya dan
menutupi rambut merahnya dengan scarf, Danielle berjalan dengan
hati-hati ke dalam mall. Dia sangat cemas dan khawatir kalau-kalau
ada yang melihatnya. Setelah berhenti beberapa kali, bebannya sudah mulai
berkurang dan Danielle merasa agak lega. Dia masih belum percaya,
mengapa dia sampai begitu lepas kendali. Kalau bia berhasil
mengembalikan semua belanjaannya hari ini juga, dia bersumpah
bahwa dia tak pernah akan berbelanja lagi kalau sedang frustrasi.
"Eh, lihat! Itu Danielle!" Danielle langsung merasa dadanya
sesak saat dia meletakkan semua kantung-kantung belanjaannya di
lantai. Ternyata itu Teresa.
"Ngapain sih, kamu di sini?" tanya Heather, yang berjalan di
belakang Teresa. "Lho, katanya kamu lagi didaratkan," lanjut Teresa.
Danielle mendengar nada sinis dalam suaranya, namun dia
cuma diam saja. Dia benar-benar panik. Ini bisa menjadi musibah
paling buruk dalam hidupnya. Dia harus berpikir cepat.
"Iya, aku memang lagi didaratkan," katanya, setelah berpikir
beberapa saat. "Masa, ya," ujar Heather sambil mengangguk-angguk.
"Makanya kamu ada di sini ya, diam-diam belanja sendirian. Asyik
banget!" pekiknya, sambil mengangkat kedua jumpsuit dari dalam
kantung belanjaan Danielle.
"Danielle Sharp, kamu mau curang deh sama kita!" Teresa
menyindirnya, sambil menggoyang-goyangkan jarinya.
"Enggak! Sama sekali nggak! Kamu sih nggak ngerti," kata
Danielle, dengan terengah-engah. Dia bisa merasakan butir-butir
keringat bermunculan di dahinya. "Itu bukan untukku!"
"Masa, ah!" Kedua gadis itu saling berpandangan dengan sinis.
"Kalau begitu, untuk siapa dong? Untuk Keith Canfield?"
"Ini punya ibuku, tahu!" bentak Danielle. "Dia menyuruh aku
mengembalikannya!" "Ah, masa sih ibumu pakaiannya nomor tujuh," komentar
Teresa dengan heran. "Pasti dia sudah langsing banget sejak aku
terakhir kali melihatnya."
"Makanya dia meminta aku mengembalikannya," ujar Danielle,
berusaha menghindar sedapat mungkin. "Dia meminta barang-barang
ini diantarkan ke rumah, tapi ternyata terlalu kecil."
Dia menatap kedua temannya, untuk melihat apakah mereka
percaya omongannya. Kelihatannya mereka agak sangsi, tapi Danielle
yakin mereka bisa menerima omongannya.
"Sejak kapan sih, ibumu memakai jumpsuit sutera?" tanya
Heather. "Kukira dia lebih suka memakai baju-baju wol dan sepatu
hak tinggi." "Sejak dia meminta aku jadi konsultan busananya," balas
Danielle dengan telak dan mantap.
Berhasil. Teresa dan Heather tertawa-tawa mendengar
kegagalan Danielle memberikan saran kepada ibunya mengenai
masalah busana. "Ayo deh, kami mau ke The Manor nih, untuk merawat kuku,"
kata Teresa, dengan ramah lagi. "Mau ikut, nggak?"
"Oh, aku nggak bisa," sahut Danielle dengan rasa menyesal.
"Begitu aku selesai mengantarkan ini, aku harus langsung pulang. Aku
kan masih didaratkan."
Waktu teman-temannya sudah pergi, Danielle bersandar ke
dinding. Hampir saja ketahuan!
Sesudah mengembalikan jumpsuit itu, masih tinggal gaun
warna merah jambu itu yang harus dikembalikannya.
Danielle menuju ke toko Facades. "Saya mau mengembalikan
gaun ini. Soalnya agak terlalu kecil buatku," dia menjelaskan.
Pramuniaga itu memeriksa label harganya. "Oh, maaf, Nona
Sharp," katanya. "Gaun ini kan obralan. Kami nggak bisa menerima
kembali barang-barang yang dijual untuk obralan."
Kepala Danielle serasa dihantam palu, dunianya seakan-akan
runtuh. "Maksud Anda, saya terpaksa harus membelinya?" ujarnya
dengan bisikan yang galak.
"Yah, apa boleh buat. Memang begitulah," sahut si pramuniaga.
"Gaun itu bagus, lho. Banyak orang menyukainya. Tetapi peraturan di
sini adalah, barang obralan tidak bisa dikembalikan. Jadi gaun itu
sudah milik Anda." Sambil berjalan ke manajer toko, Danielle bertanya, "Apa
nggak bisa dibikin perkecualian untuk saya, secara pribadi? Hanya
sekali ini saja!" Majaner toko itu berusaha menahan rasa tidak sabarnya, tapi
jelas sekali dia sebal melihat Danielle. "Maaf sekali, Nona Sharp.
Rasanya saya tidak bisa membantu Anda," katanya, sambil
mengalihkan perhatiannya kepada pembeli lain.
Dengan rasa dongkol, Danielle mengambil gaun itu dan
memasukkannya ke dalam kantung belanjaan Facades. Masa bodoh
kalau gaun itu jadi kusut. Dia tak akan memakainya seumur hidup.
Rasanya terlalu menyakitkan hati.
Tega-teganya mereka memperlakukan aku kayak gembel! Saat
bergegas ke luar dari toko itu, pipi Danielle terasa panas. Air mata
yang hangat muncul di matanya. Dia nggak bakalan belanja di
Facades lagi ? nggak bakalan ? nggak bakalan!
Merivale Mall tampaknya kabur dalam warna-warna saat
Danielle menuruni eskalator ke lantai satu sambil merenungkan
nasibnya. Apa yang harus dilakukannya? Dia sudah belanja seratus
dollar melewati batas uang saku bulanannya. Semua usahanya, semua
pengorbanannya untuk tinggal di rumah, dan semua barang yang
sudah dikembalikannya sekarang tidak berarti apa-apa lagi. Bulan
depan dia akan jadi semiskin Brenda Wagner! Dan dia sudah
membayangkan bagaimana harus menjelaskan semua itu kepada
ayahnya. Dia akan menertawakannya! Kenyataan yang pahit adalah,
dia harus berusaha mendapatkan seratus dollar guna membayar
pengeluarannya di Facades agar jumlah itu tidak muncul berupa
tagihan, hingga riwayatnya akan tamat.
"Tio's Tacos." Kilatan lampu neon warna oranye itu
menghentikan langkah Danielle. Lori! Lori yang imut dan manis. Lori
takkan pernah menolak sepupunya!
Ernie Goldbloom memegang amplop cokelat itu sambil
bercanda di tangannya. "Lori, lihat nih. Sebenarnya hari gajian baru
besok, lho. Tapi aku tahu bahwa kau sangat menginginkan mobil itu."
Lori serasa ingin melompat dan mencium bosnya itu saking
senangnya, tapi dia tahu itu kurang sopan.
"Oh, Ernie! Anda orang yang paliiing baik, deh!" pekiknya.
Uang itu sudah ada di tangannya, dan itu berarti mobil Spitfire itu
sudah jadi miliknya! "Aku akan bantu Stu menyiapkan saus pedas dulu, sebelum
istirahat," kata Lori sambil tersenyum dan memasukkan amplop itu ke
dalam kantungnya sambil mengelusnya dengan girang, "Pokoknya
semua kerjaan kubereskan dulu deh."
"Hei, Lori, itu kan sepupumu?" kata Stu, saat mereka sedang
bekerja. Lori mendongak. Danielle sedang berjalan langsung ke
arahnya dengan senyuman lebar di wajahnya. Setelah Danielle
berusaha menghindar dari dia beberapa hari sebelumnya, Lori tidak
mengira akan bertemu sepupunya lagi begitu cepat di Tio's.
"Hai, Danielle," sapa Lori.
"Oh, Lori, senang sekali ketemu kau lagi. Aku perlu bicara
sama kamu, deh. Ini masalah hidup atau mati!" Dari dekat, senyuman
lebar itu rupanya lebih banyak menggambarkan rasa putus asa.
Pandangan itu sama dengan waktu Danielle tertangkap basah
mengutil sestoples kue. "Ada apa sih, Dani?" tanya Lori.
"Sebaiknya kita ngomong berdua aja," bisik Danielle dengan
mendesak, berusaha menghindari pandangan Stu. "Masalah ini terlalu
penting untuk dibicarakan di depan orang lain."
Masalah apa sih yang segitu pentingnya? pikir Lori. Tapi dia
tahu bahwa Danielle sedang bingung mengenai sesuatu. "Sebentar lagi
saya akan istirahat, tapi biarlah ini kukerjakan nanti saja. Nggak apa
kan, Stu?" katanya. Lalu Lori mengikuti Danielle ke luar.
Begitu mereka berada di luar Tio's, Danielle meraih tangan
sepupunya dan membimbingnya menuju ke sebuah bangku dekat
kolam. "Duh Lori," kata Danielle memulai pembicaraannya. "Aku lagi
ada masalah nih. Masalah yang berat sekali, soal kartu kreditku. Aku
perlu uang seratus dollar untuk membayar rekening belanjaan
Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekarang juga, biar jangan ada tagihan. Ini benar-benar darurat. Kau
tahu, aku takkan minta bantuanmu kalau bukan soal hidup atau mati."
"Tunggu sebentar, Danielle," ujar Lori, merasa lega bahwa
Danielle tidak menghadapi masalah yang lebih besar. "Uangmu kan
jauh lebih banyak daripada uangku. Kok, minta sama aku, sih? Apa
teman-temanmu nggak ada yang bisa meminjamkannya?"
"Itulah masalahnya, Lori!" seru Danielle. "Kalau mereka
sampai tahu aku ada masalah keuangan, mereka takkan mau bicara
lagi sama aku seumur hidup! Jadi mana mungkin aku ngomong sama
mereka? Dan orangtuaku nggak boleh tahu soal ini. Oh, Lori ?
kaulah satu-satunya orang yang bisa aku mintai tolong ? betul, deh!
Makanya, jangan sampai kau menolak. Aku bakalan mati, deh.
Bayangin, Ayah mengancam untuk menghentikan uang sakuku sama
sekali!" "Duh, D-Dani," gagap Lori. "Kayaknya waktunya nggak pas
deh, untuk minta tolong sama aku ?"
"Aduh Lor, tolongin dong! Kita kan harus selalu saling
menolong. Lagi pula ? kita kan saudara. Dan jangan bilang kalau kau
nggak punya uang," ujar Danielle ngotot, "karena aku tahu kau punya.
Kamu pasti punya barang seratus dollar sekarang."
"Wah," ujar Lori, "aku memang punya, sih. Soalnya, Ernie baru
saja membayarku ?" "Tuh, kan?" pekik Danielle dengan girang.
" Tapi, lanjut Lori, alasannya kenapa aku menabung terus,
kenapa Tio membayarku hari ini, adalah karena aku akan membeli
mobil yang kuceritakan padamu tempo hari itu."
"Yah, jangan kasih aku uang yang itu, dong. Pinjami aku
seratus dollar dari tabunganmu," kata Danielle, tanpa memahami
mengapa itu harus jadi soal.
"Semua uangku yang lain didepositokan, dan kalau aku
mengambilnya sebelum jatuh tempo, aku nggak akan mendapat
bunga. Aku nggak bisa dong melakukannya. Bisa-bisa aku nggak
kuliah nanti. Lagian, orangtuaku harus ikut menandatangani untuk
bisa mengambil uang itu. Terus terang, satu-satunya uang tunai yang
kupegang ini akan kubayarkan untuk uang mukanya."
Danielle menatap sepupunya dengan terperanjat. "Mana
mungkin!" gumamnya, sambil mengusap rambutnya dengan tangan.
"Maksudmu, kau nggak mau meminjamkan aku uang yang sangat aku
butuhkan, hanya karena kau mau beli mobil rongsokan itu?"
Lori mengernyit. Hatinya sakit, karena Danielle begitu
menyepelekan impiannya. Tetapi, kemudian dia menyadari bahwa
Danielle benar-benar membutuhkan uang itu ? apa pun alasannya.
"Jujur aja, Danielle! Kalau saja waktunya bukan sekarang,
dengan senang hati aku akan menolongmu. Tapi Wally cuma ngasih
waktu sampai besok untuk membayar mobil itu. Kalau aku nggak
ngasih uang mukanya sampai jam lima sore besok, hilanglah
kesempatanku untuk membeli Spitfire itu."
Otak Danielle bekerja keras. Lori memerlukan uang itu besok,
dan besok adalah tanggal satu! Masalahnya pasti sudah teratasi.
"Wah, bagus dong," ujarnya. "Besok semua tagihanku akan
lunas. Ayah akan mengirimkan uangnya ke rekeningku, dan aku bisa
menggunakan kartu kreditku sejumlah uang sakuku. Maksudku, besok
sih aku sudah punya uang. Aku bisa membayarmu langsung setelah
pulang sekolah!" Mata Danielle berbinar-binar girang, tetapi Lori
tidak yakin. "Nggak tahu deh, Dan. Aku sih nggak mau nyerempetnyerempet bahaya, deh. Iya kan? Maksudku, sudah ada orang lain
yang mau membeli mobil itu ?"
"No Problem!" Lori duduk dan berpikir. Semua rencana itu rasanya tidak begitu
meyakinkan. Dia teringat pada scarf yang dihadiahkannya kepada
Danielle hari Natal yang lalu. Scarf itu tertinggal di restoran, dan
Danielle sama sekali tidak berusaha untuk mendapatkannya kembali.
Danielle menunggu. Kelihatannya Lori tidak mau memberikan
uangnya. Tanpa terasa, air mata telah berlinangan di pipinya.
"Oh, ternyata kau sama saja dengan orang-orang lain," isaknya
tiba-tiba. "Nggak ada seorang pun yang mau menolongku." Lalu
tangis Danielle pun meledak, semua kekesalan dan sakit hatinya
selama minggu-minggu terakhir itu muncul semua.
"Sudah deh, Danielle. Jangan nangis, dong ?" pinta Lori.
"Nanti kupinjami uang itu." Lori merangkul bahu sepupunya untuk
menghiburnya. "Duh Lori, kamu-benar-benar seorang malaekat!" Danielle
menghapus air matanya sambil bangkit. "Dan jangan khawatir ? aku
akan mengembalikan setiap senmu besok siang. Sumpah, deh!"
"Aku masih belum ngerti untuk apa kau perlukan uang itu,"
desak Lori ingin tahu. "Oh, ceritanya panjang dan membosankan," sahut Danielle
sambil tersenyum samar. Lori merogoh kantongnya dan mengeluarkan lima lembaran
baru uang duapuluhan dollar dari amplop gajinya. "Nih, terimalah
Danielle," katanya dengan wajah yang cemas. "Tolong ya, jangan lupa
? besok pulang sekolah ? kita ketemu di sini. Oke? Aku perlu
sekali, lho." Danielle mengambil uang itu dari tangan sepupunya dan
menghitungnya. "Jelas dong, bego! Kau kira aku siapa? Aku akan
datang dengan kalung rantai yang kerincingan, siap untuk
mengantarmu ke Wally. Nggak usah takut deh ? mobil itu sudah jadi
milikmu!" Empatbelas "Hai Ann." "Hai Ron." "Malam ini indah, ya?"
"Indah sekali, nggak terlalu dingin."
Kemudian mereka diam lagi, suasananya terasa canggung.
Banyak hal rawan dalam kencan ini. Dan mereka berdua sama-sama
menyadarinya. Ini benar-benar kesempatan terakhirku, pikir Ron. Kalau gagal
lagi, mungkin dia harus berhenti dari tempat kerjanya sekarang.
Ann merasa dirinya seperti balon yang siap meletus. Betapa pun
ia mencoba menikmati perjalanan mereka ke restoran itu, dia tak dapat
menghapus bayangan buruk yang mungkin akan terjadi lagi malam
ini. "Boleh nggak aku tanya sesuatu?" tanya Ann, memecah
keheningan.. "Boleh," jawab Ron ingin tahu.
"Ron, pernahkah kamu menyelinap ke ruang loker cewek?"
begitu pertanyaan itu terucap dari bibirnya,
Ann menyesal sekali. Mengapa ia memakai kata menyelinap,
yang kedengarannya terlalu curiga.
Ron mengencangkan pegangannya pada setir mobilnya.
"Menyelinap ke kamar loker cewek?" ulangnya tak percaya, kemudian
suasana kembali sunyi. "Jadi, gimana caramu menempel pesan buat aku itu?" tanya
Ann lagi, tak sabar. Aha! pikir Ron, itu sebabnya dia ingin tahu.
"Sebenarnya Dona yang memasangnya di sana," jawab Ron
lirih. "Oh," komentar Ann lega.
"Nah, kita sudah sampai ?"
Mereka segera keluar dari mobil dan berjalan memasuki
restoran. Ron berusaha untuk santai. Semoga segalanya lebih lancar
sekarang ? dan suatu waktu mereka akan mengingat malam ini,
tanggal ini, saat pertama kali semuanya dimulai.
"Table pour deux?" tanya seorang pelayan menyambut mereka.
"Tidak, kami cuma berdua," jawab Ron.
Mata pelayan itu melebar, menatap Ron dengan heran.
"Lewat sini." Ia menuntun mereka melalui karpet yang tebal,
menuju ruang makan yang mewah, ke sebuah meja di samping pintu
dapur. "Oh, permisi," kata Ron perlahan kepada seorang pelayan yang
kebetulan lewat. "Ya, monsieur?" jawab si pelayan, sambil menghadap ke arah
Ron. "Maaf, saya bukannya mau rewel. Tapi asal tahu saja, malam
ini benar-benar penting buat kami dan, uh, saya lihat banyak tempat
bagus, meja yang lebih baik. Tapi kok pelayan tadi menyuruh kami
duduk di sini. Boleh nggak kami pindah meja ke tempat yang lebih
bagus?" "Wah, maaf, monsieur," jawab si pelayan. "Meja-meja itu sudah
dipesan." "Apa nggak ada yang lain?" bisik Ron pelan, sementara Ann
berlagak tak melihat ataupun mendengar. Sambil bangkit Ron
merogoh sakunya, mengambil uang lima dolar dan menyelipkannya
ke tangan pelayan itu. Pelayan itu hampir tak bisa menyembunyikan senyumnya.
"Mungkin anda lebih membutuhkannya daripada saya," jawabnya
sambil melipat uang tadi dan mengembalikannya ke saku jaket Ron.
Wajah Ron memerah, ia kembali duduk di meja. "Meja lain
sudah dipesan semua," ujarnya getir.
"Aku tahu," jawab Ann pendek, berusaha tidak mengacuhkan
meja-meja kosong di restoran itu.
"Nah," lanjut Ron lagi sambil tertawa kecil. "Kita lihat saja apa
yang mereka punya." Dia mengambil daftar menu dan sesaat
kemudian wajahnya sudah terbenam di dalamnya.
Pate du foie gras, Homard maison ? terbaca menu itu dalam
bahasa Perancis. Sialan, pikir Ron kecewa.
"Wah kacau," keluh Ann saat membaca daftar menunya.
"Sayang aku nggak ngerti bahasa Perancis. Kamu punya saran? Kamu
saja deh yang milih."
Kemudian ia menutup daftar menu itu dan menatap Ron dengan
pandangan yakin. "Oh, boleh, boleh ?" jawab Ron, sambil terbatuk-batuk kecil.
Pelayan tadi berdiri di samping mereka, menunggu dengan
catatan di tangan. "Ron?" tegur Ann sambil melihat ke arahnya.
"Oh ya, kukira sebaiknya kita mulai dengan makanan pembuka.
Apa ini?" tanyanya sambil menunjuk ke daftar menu, tak ingin Ann
tahu kalau ia tak dapat membacanya, apa lagi ngerti artinya!
"Escargot?" pelayan itu tersenyum. "Kenapa? Itu dimasak
dengan jeruk, ramuan bumbu, dan bawang putih."
"Oh," jawab Ron. "Kalau begitu tolong jangan pakai bawang
putih." Mata cokelat pelayan itu melotot keheranan. "Nggak pakai
bawang putih? Mais, c?est incroyable!"
"Tepat." Ron mengangguk dengan yakin. "Tolong siapkan dua,
dan untuk makanan utamanya. Ada saran?"
Mata pelayan restoran itu berbinar nakal. "Kami punya
makanan spesial, cervelle du veau au beurre noir. Cukup lezat,
menurut saya." Ron melihat ke arah Ann, dan Ann balas memandangnya penuh
percaya. Tak ada peluang lagi untuk bertanya-tanya segala. Lagi pula
kekonyolan apa lagi sih yang bisa terjadi di L'Argent?
"Boleh juga, buatkan dua," jawabnya yakin.
"Baik, monsieur." Ron dan Ann memandang pelayan itu
menghilang ke dapur. Sementara Ron dan Ann menunggu makanan datang, pikiran
mereka terganggu oleh gemerincingnya piring di dapur. Setiap kali
pintu dapur terbuka, mereka diterpa udara panas.
Setelah menunggu seabad, si pelayan muncul membawakan
makanan dua piring kecil. Saat dia menaruh sepiring di depan Ann,
dia memekik, "Iiih! Ular!"
"Mais, oui, mademoiselle, escargot," gumam si pelayan.
Ron gelagapan saat dia menatap isi piring di depannya dan
garpu kecil di sebelahnya.
"Nah, selamat makan," katanya dengan suara terengah-engah,
sambil menyuap sesendok penuh makanan berkuah cokelat kental itu.
"Maaf," kata Ann. "Aku mau ke toilet sebentar. Rasanya aku
nggak usah makan hidangan pembuka."
Ron berdiri sampai Ann pergi, lalu duduk kembali dan menatap
escargot itu. Nggak usah, deh, dia memutuskan. Setelah memanggil si
pelayan, dia menyuruh mengangkat piring-piring itu.
Lalu dia menunggu. Dan menunggu.
Kalau ada telepon di toilet wanita, Ann pasti sudah menelepon
seseorang dan menceritakan apa yang terjadi. Ron telah memesan
ular, dan dia ingin tahu kenapa? Apa dia ingin meledeknya? Atau
karena dia memang suka makan ular?
Hidangan utama sudah datang saat Ann kembali ke meja.
Sambil duduk Ron menatapnya seakan-akan hidangan itu hidup. Di
atas piring, 'sesuatu' yang menyerupai gumpalan agar-agar bergerak di
bawah siraman saus berwarna hitam.
Baunya enak," komentar Ron, sambil menancapkan pisau dan
garpunya di atas piring. "Ayo, cobain dong."
Ann berusaha untuk tersenyum sambil mengiris makanan di
piringnya. Makanan itu seperti sepon saat dipotong.
"Ron? Apa sih ini?" dia bertanya dengan sopan sebelum
mencicipinya. "Emmm, ayam, barangkali," sahut Ron asal saja.
"Ron, ini sih bukan ayam."
"Mungkin ikan ?"
Ann tak tahan lagi. Setelah memanggil pelayan, dia bertanya,
"Ini apa, sih?" Ebukulawas.blogspot.com
"Kenapa? Itu kan makanan khusus yang Anda pesan,
mademoiselle." "Ya, aku tahu itu," sahut Ann dengan tak sabar. "Tapi ini apa?"
"Itu kan cervelle du veau au beurre noir ? otak sapi muda saus
mentega hitam." Ann melemparkan serbetnya lalu berdiri. "Bagus sekali, Ron.
Aku mau pulang." "Tunggu, Ann!" panggil Ron dengan putus asa saat dia
mengawasi Ann berlari ke luar restoran. "Berapa semuanya?" tanya
Ron kepada pelayan restoran itu.
"Emmm, tunggu sebentar. Semuanya empat puluh enam dollar
sembilan puluh lima sen."
Dengan panik Ron merogoh dompetnya. "Ini lima puluh
dollar." Lalu dia segera berlari ke luar L'Argent.
"Ann, tunggu!" Ron berlari menyusul Ann ke halte bus.
"Kalau kau kira aku segitu begonya sampai kau bisa
mempermainkan seperti ini, Ron Taylor, kau salah besar."
"Tunggu sebentar! Siapa yang mengira bahwa kamu bego?"
tanya Ron dengan tak percaya.
"Udah deh, Ron."
"Gimana kau bisa punya pikiran seperti itu?" tanya Ron
terperanjat. "Gimana? Gampang! Dari kamu! Pertama, kau ingin agar aku
menciummu di depan ruangan yang penuh dengan orang. Lalu kau
membujuk aku ke museum, biar kau bisa menunjukkan patung-patung
telanjang. Dan sekarang, ini sudah benar-benar keterlaluan."
"Rasanya aku nggak percaya apa yang kau bilang itu! Kupikir,
kamu suka mendengarkan ceramah, pergi ke museum, dan makan di
restoran yang romantis. Kamu nggak tertarik waktu aku mengajakmu
Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berenang atau naik gunung."
"Apa itu bukan karena kau ingin melihat aku dalam pakaian
renang atau celana pendek?"
"Omong kosong! Aku sudah melihatmu dalam pakaian senam
setiap hari. Buat apa lagi? Satu-satunya alasan aku mengajakmu ke
tempat-tempat itu adalah karena aku ingin lebih mengenalmu.
Maksudku, aku selalu menyukaimu, tapi kita kan jarang bisa
ngomong-ngomong atau melakukan sesuatu bersama-sama, dan ?"
"Maksudmu, kamu benar-benar menyukai aku? Bukan cuma ?
sebagai objek?" "Tentu saja aku suka sama kamu! Aku benar-benar
menyayangimu." . Ron lalu meraih tangan Ann, dan hati Ann pun menjadi luluh.
"Maksudmu, kamu nggak memancing aku ke ceramah itu?"
tanya Ann perlahan. "Tentu saja tidak. Dan aku malahan nggak tahu, kalau ada
patung-patung telanjang di museum. Lagi pula, seperti kau tahu, aku
nggak ngerti sepatah pun bahasa Perancis."
Ann tak dapat menahan tawanya. "Kenapa kamu nggak
bilang?" Ron melepaskan tangannya dan memandang ke kejauhan. "Aku
nggak ingin kau mengira aku tolol."
"Ron Taylor, aku sama sekali nggak nganggap kamu tolol.
Kupikir kamu orang yang baik." Ann berjinjit dan mencium pipi Ron
dengan malu-malu. "Kukira, kamulah cowok paling baik yang pernah
kukenal." Mereka berciuman lagi, tetapi tiba-tiba Ann tertawa geli.
"Kenapa? Ada apa, sih?" tanya Ron dengan terperanjat.
"Pelayan itu. Dia benar-benar keterlaluan."
Mereka berdua tertawa-tawa, teringat pada pelayan yang
sombong itu. "Mau dengar yang lebih yahud lagi, nggak? Aku berikan
dia semua uangku." "Nggak semua, kan?" sahut Ann, menunjuk lembaran uang lima
dollar yang diselipkan pelayan itu di sakunya bersama bonnya.
"Hei! Mau tahu, nggak?" ujar Ron dengan gembira. "Kita kan
lagi berbisnis. Ann, kamu masih lapar, nggak?"
"Wuih, lapar banget!"
"Bagus. Mari kita makan pizza di Aunti Pasta's! Janji deh, aku
nggak akan pesan anchovies!"
"Menarik juga. Dan romantis banget,'"ujar Ann. Mereka
berjalan bergandengan tangan ke mobil Ron sambil tertawa-tawa.
Lima belas Dari tempatnya duduk di mall, Lori memandangi orang-orang
yang lalu lalang di sekitar air mancur dan pohon-pohon ficus yang
tinggi. Tetapi Danielle tak tampak batang hidungnya. Lori melirik
jamnya, masih dua-tiga menit lagi. Wah, pikir Lori. Semoga dia nggak
terlambat. Sambil bersandar di tembok, Lori mencoba menghapus
kecemasannya. Mana sih Danielle?
Tenang! katanya pada diri sendiri. Yakinlah. Danielle akan
datang ? pasti. Lagi pula, kan baru jam tiga....
************ Enaknya ngapain, yah? pikir Danielle saat berjalan ke arah
mobilnya sepulang sekolah. Rasanya ada sesuatu, deh ? Perasaan
bahwa dia masih 'didaratkan' membuat pikirannya jadi kacau.
Tepat ketika ia akan membuka pintu mobilnya, terdengar suara
seorang cowok menegurnya dari belakang.
"Hai, Danielle Sharp?"
Danielle berpaling, dan nyaris pingsan. Si Keith Canfield!
Tampaknya dia keren sekali dengan baju rompi wol warna abu-abu
dan mata birunya tampak bersinar menatapnya. Danielle berusaha
menenangkan diri sambil bersandar di pintu mobil. Dia tak ingin
kelihatan konyol. "Oh, hai," sapanya sambil merapikan rambut di keningnya.
"Kamu Keith, kan?"
Danielle mengepalkan kedua tangannya, namun berusaha
menyunggingkan senyuman polosnya yang paling menawan.
"Gimana, senang nggak tinggal di Atwood?" tanyanya lagi.
"Yah, boleh juga," jawab Keith.
Ternyata Keith Canfield termasuk cowok yang sedikit bicara,
pikir Danielle. Type keras dan pendiam. Danielle mengeluarkan
senyuman mautnya. Senyuman yang tak akan diabaikan cowok
Merivale mana pun. "Kamu ada waktu nggak, siang ini?" tanya Keith, membuat
jantung Danielle semakin berdebar.
"Aku?" jawab Danielle dengan tampang selugu anak kucing.
"Iya, kamu." "Oh, aku nggak tahu kalau kamu kenal aku."
"Ya jelas kenal, dong. Kamu yang paling cantik di sekolah ini,"
jawab Keith polos dan yakin. "Aku sudah mengamati, dan kamu
adalah yang paling top."
Danielle hampir tak mempercayainya ? mimpinya menjadi
kenyataan, di sini, di tempat parkir Atwood Academy.
"Mau minum soda atau apa saja? Pakai mobilku saja, yuk," ajak
Keith sambil merogoh kantongnya mengambil kunci mobil.
"Boleh," jawab Danielle, berusaha menahan keinginannya yang
meluap. "Tapi aku harus mampir dulu ke rumah sebentar, gimana?"
sambung Keith lagi. "Nggak apa-apa." Gila! Sekarang dia sekaligus bisa tahu di
mana rumah si Keith. Begitu Keith menginjak gas dan mobilnya meluncur ke luar dari
tempat parkir Atwood, Danielle Sharp pun terlambung ke langit ?
dan pupuslah ingatannya pada janji untuk bertemu Lori siang ini.
*********** Jam tiga lewat limabelas, pasti Danielle kena macet, pikir Lori
menenangkan hatinya. Atau mungkin kunci mobilnya terselip entah di
mana. Atau barangkali juga ban mobilnya kempes. Tapi pasti dia
nggak akan lupa. Nggak mungkin dia lupa. Lori mencoba
mengenyahkan pikiran-pikiran buruknya.
************* Dalam perjalanan, beberapa kali Danielle melirik ke arah Keith.
Di mana dia tinggal? Mereka melewati mall, menuju ke arah perbukitan melalui
Overlook Drive dan masih terus lagi sampai serasa bermil-mil
jauhnya. Akhirnya mobil itu berbelok ke jalan kecil yang berkelokkelok mengitari sebuah bukit. Pantes dia nggak pernah ikut kegiatan
ekskul apa pun. Rumahnya di ujung dunia, sih!
"Nah, kita sudah sampai," ujar Keith, sambil menghentikan
mobilnya di depan sebuah rumah yang tampaknya biasa-biasa saja.
Danielle agak kecewa. Rumahnya begitu sederhana. Yah,
pikirnya menghibur diri, mutiara juga tinggal di dalam kerang, kan?
"Bu?" panggil Keith, saat mereka memasuki rumah itu. Seorang
wanita berkacamata, memakai anting bulat besar, dan bercelemek,
wajahnya polos tanpa lipstik, keluar menyambut mereka.
"Halo sayang, mmm?" dia menggumam saat melihat Danielle.
"Bu, ini Danielle Sharp, teman sekolah."
"Oh, halo," sapanya, sambil menatap Danielle.
"Keith, ayahmu minta kita ketemu di kampus malam ini. Kita
makan malam sama-sama di sana."
"Baik, Bu." "Senang berkenalan denganmu, Danielle," kata ibunya lagi
sebelum menghilang ke dapur kembali.
"Ayahmu dosen, ya?" tanya Danielle saat mereka menaiki
tangga ke ruang atas. "Iya, ibuku juga. Ayah mengajar Hubungan Internasional dan
ibuku Sastra Amerika. Kening Danielle berkerut. Aha! pikirnya, Hubungan
Internasional. Jangan-jangan rumah ini hanya untuk menutupi
kegiatan mereka yang sebenarnya.
"Hubungan Internasional. Wah, kamu sering ke mana-mana,
dong." "Iya. Aku dilahirkan di Thailand, dan waktu umurku tiga tahun,
kami pindah ke Perancis. Semasa kecil kami lama di Skandinavia,
kecuali Malta. Tapi mulai sekarang aku akan menetap di Merivale,"
jawabnya sambil tersenyum. "Ayah memutuskan untuk bekerja
sebagai dosen di sini, dan aku suka. Aku suka Merivale, cocok untuk
tempat penelitianku."
Penelitian! Dia melakukan penelitian! Dengan susah payah
Danielle menahan keingintahuannya. Cowok ini seorang intelektual
dan keren lagi! "Ini kamarku." Mata Danielle mengamati seluruh ruangan. Di tembok terdapat
berkotak-kotak kupu-kupu. Aneh sekali, pikirnya.
"Kamu mengoleksi kupu-kupu, ya?" tebaknya ragu-ragu.
"Cuma iseng. Sebenarnya bukan kupu-kupu yang ingin kuteliti,
tapi ada lagi." Perlahan-lahan Keith membuka lemarinya, di dalamnya
ada ratusan kotak kaca. Dalam setiap kotak, terpaku dengan jarum,
terdapat berbagai jenis serangga. Masing-masing diberi label seperti
benda-benda antik di museum.
"Kutu!" pekik Danielle ketakutan, "kutu-kutu mati."
"Yang betul, serangga," jawab Keith mengoreksinya.
Jadi itulah yang dilakukannya di hutan. Ah, masa sih! Apakah
ini jawaban teka-teki yang menyelimutinya selama ini?
"Jadi ini bidang yang kamu minati, Keith? Kupu- kupu dan
serangga?" "Itu belum semuanya. Coba lihat ini." Keith kembali membuka
sebuah lemari besar, dan Danielle nyaris pingsan melihatnya.
"Laba-laba. Ini kan serangga juga?"
"Oh bukan, laba-laba berkaki delapan, sedang serangga cuma
enam." "Oh gitu, hebat sekali, Keith."
Keith memandang Danielle dengan kagum. "Eh Dan, nggak
semua cewek suka melihat itu semua, kamu betul-betul lain Dan, mau
lihat yang lain?" "Yah pasti ? hebat sekali, Keith, tapi kayaknya aku harus pergi
sekarang. Jam berapa sih, sekarang?"
Kenapa tadi aku nggak bawa mobil sendiri? Dengan begitu dia
bisa meratapi nasibnya sendiri di mobilnya.
"Jam lima kurang lima belas," jawab Keith melihat jam
tangannya. Jam lima ? jam lima ? Danielle tersentak seketika. Lori pasti
sudah menunggunya sejak jam tiga tadi!
"Keith. Aku harus sudah harus berada di mall sekarang juga.
Kita harus berangkat secepatnya!"
"Tapi aku belum pamerkan koleksi kepompongku."
"Keith, kamu mau ngantar aku sekarang juga atau harus
kubakar dulu semua seranggamu ini?"
Danielle buru-buru berlari menuruni tangga menuju mobil
Keith. Keith menyusul di belakangnya, bingung dan sedikit kecewa.
"Oke, aku antar, tapi kenapa begitu terburu-buru sih?"
"Kuceritakan nanti di jalan, tapi cepat dong!"
Enam belas Berdiri di tempat di mana dia berjanji untuk bertemu dengan
Lori, Danielle merasa menjadi orang paling jahat di muka bumi ini.
Kok bisa-bisanya dia lupa akan janjinya dengan sepupunya itu,
padahal dia sendiri yang berjanji?
Danielle mengernyit, membayangkan Lori berdiri
menunggunya di sini. Alasan apa yang bisa dibuatnya? Mengaku
bahwa dia sudah menunggu lama di situ, tapi Lori nggak munculmuncul juga ? Tapi mana bisa Lori percaya alasan konyol seperti
itu? Dia bukan anak bodoh.
Ah, nggak ada gunanya kalau cuma menyesali saja, pikir
Danielle seraya menyandangkan tasnya ke bahu dan beranjak ke
eskalator. Lagipula, masa sih Lori benar-benar menginginkan mobil
tua itu? Ternyata memang. Sambil mengusap keningnya, Danielle
merasa dirinya makin bersalah.
Dengan berusaha mengabaikan rasa tak enaknya, Danielle
menghibur dirinya sendiri. Lori akan melupakannya cepat atau lambat
dan pasti akan memaafkan kesalahannya.
Turun dari eskalator Danielle menengok ke kanan-kiri, dan
langsung menuju ke Facades. Di pintu masuk dia terhenti waktu
melihat Teresa dan Heather. Mereka berjalan dari satu rak ke rak yang
lain, mengambil baju-baju dan membanding-bandingkan. Entah
kenapa mereka tampak begitu konyol.
Danielle terhenti, berdiri kaku. Apakah dia juga tampak seperti
itu? Kenapa dia mau saja bertingkah sekonyol mereka?
Sambil mencari-cari uang koin di tasnya, dia berbalik dan
keluar lagi dari toko itu. Apa pun yang dapat dilakukannya untuk
menolong Lori agar mendapatkan mobil itu kembali, Danielle akan
melakukannya! Dia tak mau mengecewakan Lori.
"Halo? Wally Wheels?"
"Ya, betul Bu. Ini Wally. Ada yang bisa saya bantu?"
"Ehem." Danielle mengecilkan suaranya, berusaha agar
kedengaran seperti suara orang tua yang kaya-raya. "Begini, saya
melihat mobil Spitfire di tempat Anda, kemarin. Saya mau
membelinya untuk pembantu saya. Bisakah Anda tahan dulu sampai
saya datang ke sana nanti?"
Tawa Wally berkumandang di telepon. "Wah, Bu, saya sih mau
saja! Malah saya harap saya punya banyak mobil seperti itu. Tapi
mobil yang Anda maksud baru saja terjual."
"Oh ya? Dan Anda tidak bisa memberitahukan siapa
pembelinya, tentunya?" tanya Danielle dengan halus.
"Oh, pembeli biasanya tak suka kalau saya beberkan namanya."
Harapan Danielle nyaris pupus seketika.
"Mungkin Anda bisa melihat-lihat mobil lainnya ?"
"Begini, saya hanya mau membeli mobil itu, dan saya bersedia
mengganti pembayaran si pembeli itu dengan harga tinggi." Kalaupun
dia harus mengorbankan uang sakunya setahun penuh untuk
mengembalikan mobil Lori, dia akan rela.
"Oh, baik. Rasanya tak ada jeleknya saya berikan alamatnya.
Mobil itu dibeli Pak O'Connor. Tinggalnya di Victory Bulevar."
"Terima kasih banyak, Anda betul-betul telah membantu."
Danielle segera meletakkan gagang telepon dan berlari menuruni
eskalator. O'Connor di Victory Bulevar. Siapa tahu ada jalan lain,
semoga ? *********** "Hei, hei! Itu kan si Red!" seru Don James saat dia mendongak
dari video game Star Pirates-nya dan melihat Danielle sedang menuju
ke arahnya. "Pasti nasibku akan berubah. Tumben amat kau datang ke
Video Arcade, Dan? Kangen sama aku, ya?"
"Jangan ge-er dulu, ah," jawab Danielle, sambil menyeringai,
tapi mukanya merona. Baginya Don memang menarik. Dia berusaha
keras melawan keinginannya untuk memeluk Don.
Sambil menggandeng lengan Don, Danielle menatap matanya.
"Don, aku perlu bantuanmu ? banget."
"Oh ya?" senyum di wajah Don melebar. "Apa imbalannya?" ia
bertanya sambil mengerdipkan sebelah matanya.
"Aku serius, nih."
Senyum Don perlahan memudar, dan wajah kerasnya berubah
menjadi khawatir. Dia betul-betul menyukai Danielle, dan saat itu
Danielle tampak begitu putus asa.
Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Baiklah Red, apa pun itu, kubantu," ucapnya sungguhsungguh.
"Trims, tapi sebaiknya kita pergi sekarang. Jangan buang waktu
lagi." "Sekarang? Tapi aku masih sisa dua puluh musuh lagi!"
"Ayo, dong!" seru Danielle sambil menarik tangan Don. "Nanti
kujelaskan di mobil."
Sepuluh menit kemudian Danielle dan Don James sudah seperti
sepasang detektif. Mereka berdua duduk dalam mobil Don, sambil
menatap tajam ke seberang jalan, di mana mobil Triumph Spitfire itu
diparkir. "Jangan-jangan dia lebih suka tinggal seharian di rumah," kata
Don. "Kamu nggak takut berduaan saja sama aku selama itu?"
"Kamu bercanda?" tangkis Danielle. "Aku sih nggak takut
berduaan sama kamu ? yang kutakuti, cuma kalau ada yang melihat
kita." "Oh, gitu." Don mengangguk. "Begini, aku tahu tempat yang
lebih baik, kita bisa tetap mengamati mobil itu tanpa terlihat gengmu."
Boleh juga, nih! pikir Danielle. Nggak ada ruginya pergi sama
Don selama tak ada teman-temannya yang tahu. Dia sungguh baik.
Dan juga keren. "Begini," lanjut Danielle. "Selesai membantu aku sekali ini,
mungkin kita bisa pergi sama-sama."
"Asyiik!" pekik Don girang. Kemudian katanya dengan lebih
tenang, "Tapi aku harus lihat jadwalku dulu."
Tepat saat itu Danielle menaruh jarinya di bibirnya dan
menunjuk ke seberang jalan. Seorang lelaki gemuk tampak keluar dari
sebuah rumah dan berjalan ke mobil Spitfire-nya.
Pak O'Connor membawa mobilnya ke arah kota, kemudian
berhenti di deretan toko-toko bercat kuning lalu memarkir mobilnya di
depan restoran MacDonald.
"Bagus," kata Danielle. "Kamu ingat kan, gimana rencana kerja
kita?" "Yakin deh sama aku, Red," sahut Don.
Don dan Danielle menunggu sampai O'Connor keluar dari
mobilnya dan berjalan ke restoran. Waktu dia melewati mereka,
Danielle dan Don segera menundukkan kepala.
Sambil mengedipkan matanya, Don berbisik, "Oke, Red. Dia
sudah masuk. Ayo, kita mulai kerja."
Don membuka pintunya dan keluar. Danielle mengikuti di
belakangnya, lalu mereka menyelinap menuju ke mobil Spitfire.
Danielle berhenti sejenak dan mengamati jendela McDonald.
"Dia masih antre."
"Coba-coba dicoba," gumam Don sambil memegang kap mesin
mobilnya lalu membukanya. "Sekarang kita lihat ?"
Saat Danielle mengawasi, Don membuka tutup distributornya.
Setelah selesai Don bersorak lega. "Presto!" katanya. "Dan sekarang
madame, maukah menemani aku makan hamburger?"
Don segera mengantongi tutup distributor itu. Lalu dia
menggandeng lengan Danielle dan mereka berdua berjalan memasuki
restoran. "Kerja yang bagus, Sherlock," kata Danielle. "Sekarang mari
kita mulai dengan babak kedua."
Don tersenyum dan menaikkan kerah jaket kulit hitamnya untuk
menutupi mukanya. "Jangan khawatirkan aku, Red. Kamu lakukan
saja tugasmu sendiri," ujarnya sambil bercanda.
Sementara musik berkumandang di restoran itu, Danielle dan
Don memesan dua Big Mac besar, kentang goreng dan dua Coke.
Waktu berjalan melintasi restoran, jantung Danielle berdebardebar. Dia dan Don sedang melakukan tugas rahasia. Inilah
kekurangan yang dirasakannya kalau berada bersama Teresa dan
Heather, karena mereka lebih suka berbelanja.
"Itu dia sasaran kita," bisik Don, sambil membalik
membelakangi O'Connor. "Siap?"
Danielle menelan ludah dan mengangguk. Dia merinding.
Gimana kalau gagal? Tapi dia cepat menyingkirkan pikiran itu,
memusatkan perhatiannya dan mulai beraksi.
"Lihat tuh Freddy," ujarnya keras-keras, sambil menjatuhkan
dirinya di bangku di dekat O'Connor. "Itu kan Spitfire-ku yang tua.
Yang kujual ke Wally's Wheels itu."
"Ya ampun sayang, katanya mobil itu sudah mau dijadikan besi
tua," sahut Don dengan aksen Amerika Selatan yang kental.
Danielle terpaksa menggigit bibirnya agar tawanya tidak
meledak. Aktingnya Don ternyata hebat juga. Sambil memegang
mukanya dengan kedua tangannya, dan berusaha menahan gelinya,
Danielle memaksakan dirinya untuk melanjutkan.
"Yah, itulah yang dikatakan Wally kepadaku, Freddy. Tapi
rupanya dia ketemu pembeli yang bego. Kasihan juga orang yang
menghamburkan uangnya untuk barang rongsokan seperti itu. Waktu
aku memakainya, aku nggak tahu kapan mobil itu akan ambruk. Ingat
nggak, waktu aku terdampar di badai salju itu?"
Danielle merasa ada geseran di bangku yang terletak di
belakangnya, saat O'Conner lebih mendekat untuk menguping
pembicaraan mereka. Don menggeser duduknya agar mukanya tidak
kelihatan. "Pintar juga kau, yang, bisa jual mobil itu. Bayangin kalau kau
cuma mendapat dua puluh lima dollar sebagai gantinya. Apa pun akan
lebih baik daripada mobil yang mogok melulu."
Tiba-tiba O'Connor bangkit dan bergegas ke luar sementara
Danielle dan Don berusaha menahan diri.
"Red, kayaknya skenario kecil kita berhasil, deh."
O'Connor tampaknya sudah mandi keringat waktu dia berusaha
untuk menstarter mobilnya. Dia keluar, membanting pintunya, lalu
menendang ban mobilnya. Sambil menggerutu, dia menyeberangi
tempat parkir, dan Danielle dan Don tahu bahwa dia berjalan menuju
ke Wally's Wheels. "A-oke," gumam Don, sambil mengambil tutup distributornya
dari kantongnya dan menuju ke tempat parkir. "Tunggu sebentar, ya
Red. Jangan makan burgerku."
Danielle melihat dari jendela saat Don memasang kembali tutup
distributor itu. Saat Don kembali ke tempat duduknya, terdengar suara
O'Connor yang marah-marah di tempat parkir. Di sebelahnya, Allen
Schermer, seorang pramuniaga dari toko Wally's berdiri sambil
menggelengkan kepalanya. Danielle membuka daun pintunya sedikit
untuk menguping pembicaraan mereka.
"Aku beri mereka waktu tiga menit," kata Don, sambil melihat
arlojinya. "Yang mau kukatakan padamu, sobat, ujar O'Connor dengan
ngotot, "aku minta uangku kembali! Mobilnya nggak mau distart!
Kalau nggak percaya, coba aja sendiri!"
Pramuniaga itu lalu masuk ke dalam mobil. Dalam sekejap
mobil itu mulai menderu. "Pak O'Connor, kalau saya boleh ngomong, mobil ini
kondisinya bagus." Muka lelaki besar itu menjadi merah. "Maksudnya, Anda nggak
mau mengembalikan uangku untuk ? untuk bangkai ini?"
Pramuniaga itu mengangkat bahunya dan berjalan pergi. "Maaf,
Pak. Itu sudah ada dalam kontrak, dan jual beli ini sah."
Sambil menurunkan kerah jaketnya, Don keluar dari bangkunya
dan berjalan tanpa rasa bersalah ke O'Connor yang sedang marahmarah.
"Maaf, Pak," kata Don dengan nada suaranya yang biasa. "Itu
mobil Triump Spitfire, ya?"
O'Connor mengangguk, tetapi sebelum dia berkata apa pun,
Don mulai mengoceh. "Bagus banget mobil ini. Pasti senang
dipakainya, ya nggak?" Tanpa memberikan kesempatan sedikit pun
pada O'Connor untuk menjawab, Don melanjutkan, "Warnanya merah
lagi. Warna kesenanganku. Anda benar-benar beruntung, Pak. Kalau
nanti mau dijual, kasih tahu aku, ya? Namaku James, Don James. Aku
tinggal di Fairmont. Tanya saja sama orang-orang di sana, mereka
pasti tahu semua." Belum lagi dia berjalan tiga langkah, O'Connor memanggilnya.
"Hei, Bung!" teriaknya, matanya melebar dengan putus asa. "Anda
serius, nih? Mau beli mobil lem ? mobil ini?"
"Maksudnya, Anda mau melepasnya?" sahut Don.
"Yah ?" O'Connor terjebak dalam permainannya sendiri,
mencoba menarik satu-satunya pembeli yang berminat. "Biar kecil,
mobilnya bagus lho. Aku baru dapat uang dan aku mau beli yang lebih
besar. Asal harganya cocok, ambil saja."
"Oh? Gimana kalau seribu lima ratus?" tanya Don, sambil
menjalin jari-jarinya di punggung.
"Boleh!" seru O'Connor girang. Dia begitu gembira uangnya
bisa kembali dari penjualan mobil itu, sampai dia hampir tak bisa
menahan diri. Dengan penuh semangat dia menjabat tangan Don.
"Saya baru bisa kasih seratus dollar untuk uang mukanya ?
sisanya bisa kubayar secara cicil ?"
"Nggak apa-apa!" O'Connor menepiskan tangannya sambil
tersenyum penuh kemenangan. "Aku sudah cukup senang bisa terle ?
maksudku, aku senang mobil ini jatuh ke pembeli yang baik."
Waktu Danielle melihat Don berjabatan tangan dengan si lelaki
gendut itu, hampir saja dia melompat-lompat kegirangan. Dan dia
bersumpah bahwa dia tidak akan pernah membuat masalah lagi
dengan uang. Sambil berjalan ke arah Don, sesudah O'Connor pergi, Danielle
menghapus setitik air mata kebahagiaan. Uang sebesar itu rasanya
tidak begitu berarti lagi. Yang lebih penting adalah persahabatan.
Seorang sahabat seperti Don. Dan yang lebih istimewa, seperti Lori.
Lori! Danielle berdoa. Kau harus memaafkan aku!
Tujuh belas Lori menghempaskan diri ke kasur, berusaha menahan
tangisnya. Tak mungkin. Tega amat sih kau, Danielle? Air matanya
membasahi rambutnya saat dia berbaring menatap langit-langit. Dia
mencoba menahan sedu-sedannya. Mobil itu begitu berarti baginya
dan dia telah bekerja keras untuk membelinya.
Kemudian terdengar bunyi telepon, membuatnya melupakan
kesedihannya sesaat. Lori mengulurkan tangan, meraih tisu dan
membersit hidungnya. "Halo," katanya. Dia sampai heran sendiri mendengar suaranya
yang tenang. Ternyata dari Ann. "Lor, aku harus cerita ke kamu. Ron
ngajakin aku keluar minggu depan, dan minggu depannya lagi, kami
mau?" "Ah, syukurlah Ann," jawabnya gembira untuk sesaat.
"Yah," jawab Ann. "Dan kamu tahu Lor. Ajaib deh, caranya
kita ketemu. Rasanya seperti kami memang ditakdirkan untuk
bersama. Yah, pokoknya begitulah!"
Lori nyaris tersenyum. Betapa cepatnya mereka lupa.
Sebenarnya itu bukan suatu keajaiban ? tetapi ada seorang malaekat
yang membuat takdir itu bergeser ke arah yang baik.
"Ngomong-ngomong, si Patsy sudah turun tiga setengah kilo,
dan dia kelihatan jauh lebih langsing, deh. Apa lagi mukanya. Dia
begitu bersemangat, dan berniat untuk lebih kurus lagi. Oh ya, terima
kasih atas bantuanmu mendekatkan aku sama Ron, ya," kata Ann,
sambil terus berceloteh mengungkapkan semua isi kepalanya.
Dia tidak lupa bahwa Lori-lah yang menolongnya. Yah,
mungkin, cuma mungkin, kini Lori harus bisa memilih mana teman
yang perlu dibantunya. Dan dia tahu, bahwa dia tak mau membantu
Danielle lagi dalam waktu dekat.
"Kok kamu diam aja, sih ?" lanjut Ann lagi. "Wah aku lupa.
Egois amat sih aku ini! Eh, mobilmu itu. Gimana? Enak, kan? Boleh
nggak aku nebeng, kapan-kapan?"
"Nggak ada mobil, jadi ya nggak ada tebeng-tebengan," jawab
Lori pendek. "Lho?! Kenapa? Ada apa? Sudah dibeli orang, ya?"
"Yah, begitulah kurasa. Karena aku nggak muncul membawa
uang mukanya sampai jam lima kemarin."
"Yah, Lori! Kenapa, sih?"
"Susah deh, ngomongnya ?" tepat saat itu terdengar bunyi bel
di bawah. Bukan cuma sekali, tapi tiga kali berturut-turut.
Lalu terdengar seru ibunya. "Sabar, tunggu sebentar!"
"Kurasa itu adik-adikku. Aku benar-benar merasa ?"
Dari arah pintu masuk di ruang bawah terdengar suara Danielle.
"Hai, Bibi Cynthia! Sudah kenal Don James, kan? Boleh aku ke atas?
Aku mau ketemu Lori."
"Besar juga nyalinya. Akan kubilang padanya," kata Lori lewat
telepon. "Aku turun dulu, ya? Mau membereskan masalahku dulu.
Daah!" Lori segera meletakkan telepon dan menguatkan hati
menunggu munculnya Danielle. Dia mengingatkan dirinya bahwa ini
adalah kebodohannya sendiri, sampai bisa kehilangan mobil itu.
Selain itu, dia sudah tahu bahwa Danielle tak dapat dipercaya.
"Hai, Lori," sapa Danielle dengan nada manis. "Sori, terlambat.
Kamu sudah nungguin, ya? Aduh, kasian."
"Sudah deh, nggak usah pakai kasian-kasian, Dan," tukas Lori
kesal. Jelas sekali sepupunya itu tak kelihatan menyesal ? dia
malahan tersenyum lebar. Mungkin dia baru saja bertemu cowokcowok keren.
"Aku tahu aku sepupu yang nyebelin, dan teman yang nggak
baik," ujar Danielle seolah hanya membicarakan model pakaian
terbaru. "Begini Lor, aku tahu kamu pasti nggak akan percaya padaku,
tapi pasti kuganti. Aku nggak akan mengecewakanmu
"Kamu ngomong apa pun tidak akan memperbaiki keadaan ?
mobilku sudah lenyap. Sudah lepas. Mendingan kamu kembalikan
uang seratus dollarku, dan langsung pulang. Itu lebih baik buat aku."
Danielle menggerakkan kakinya, berusaha tersenyum. "Eh,
terus terang aja, aku nggak bawa uangnya," katanya dengan ragu-ragu.
Lori tegak seketika. "Danielle Sharp, kamu datang kemari
hanya untuk minta maaf karena belum punya uang untuk
mengembalikan uangku?"
Danielle menatap mata sepupunya itu. "Sori, Lor. Sori. Sudah
kubayarkan semuanya," ujarnya malu-malu.
"Kamu bayarkan semua?" jerit Lori. "Kamu pakai semua
uangku? Danielle! Tega banget sih kamu!"
"Jangan marah dong, Lor," lanjut Danielle. "Lihat aja deh,
untuk apa kubayarkan uang itu."
"Nggak usah," tukas Lori. "Buat apa aku lihat." Sungguh berat
rasanya menahan keinginannya untuk menjerit.
"Eh, harus ? Kamu harus melihat apa yang kubeli! Yuk, kita
lihat sama-sama." Danielle menarik pergelangan tangan Lori,
membawanya ke luar kamar dan menuruni tangga.
"Harganya benar-benar murah," celoteh Danielle. "Beneran lho,
Lor, tunggu deh sampai kamu lihat sendiri. Kamu pasti senang aku
membelinya. Eh, aku sudah bilang itu untuk kamu atau belum, sih?"
Lori tiba-tiba berhenti dan menyentakkan tangannya. Ini sudah
keterlaluan. "Oke, Danielle," katanya ketus. "Cukup. Kembalikan saja
uangku. Apa pun yang kau beli itu, kembalikan saja. Aku nggak butuh
hadiah, apa lagi yang dibeli pakai uang mobilku ? uangku sendiri."
Lori baru mengangguk memberi salam pada Don James, saat
mereka bertiga berdiri di pinggir jalan raya. Ngapain dia ke sini? pikir
Lori dengan bingung. "Sudahlah, Dan, jangan bercanda lagi deh.
Mana hadiah yang harus segera kamu kembalikan lagi itu?"
"Lho?! Mana tadi? Kamu tahu, Don? Aneh amat? Barusan saja
masih ada di sini!" kata Danielle. "Don, kan sudah kubilang, tolong
kamu jagain. Kok sampai bisa diambil orang, sih?"
Merivale Mall 02 Untukmu Segalanya di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Oke. Cukup sudah," kata Lori lagi sambil berbalik kembali ke
rumah. "Eh, mana aku tahu? Ah, apa itu yang datang ke sini, Nona
Danielle?" tanya Don dengan aksen Selatannya.
Tanpa sadar Lori berpaling, dan tampaklah mobil Spitfire
merahnya menuruni jalan. Mobil Spitfire merahnya? Kok di sini? Dan
kenapa pakai pita segala? Mungkinkah? Mendengar cekikikan di
belakangnya, dia menoleh ke arah sepupunya dan Don. "Inikah
hadiahmu itu?" Danielle mengangguk. "Kan sudah kubilang, aku sudah
berubah. Tentu saja kau tetap harus membayar cicilan bulanan dan
sisa uang mukanya. Gimana? Mau memaafkan aku sekarang?"
Pada saat itu juga mobil itu berhenti di depan mereka dan
muncullah Nick Hobart. Dia mengulurkan tangannya dan berjalan
dengan tenang ke arah Lori.
"Kayaknya aku sudah nyetir mobilmu duluan, maaf ya?"
katanya sambil memeluk Lori.
Dengan masih malu-malu, Lori berkata, "Maaf? Semua isi
dunia ini pun sudah kumaafkan." Lori mengangkat wajahnya dan
mencium Nick dengan lembut.
"Nah," kata Nick kemudian. "Mau tahu gimana ceritanya
sampai aku ikut kemari?"
Lori mengangguk, masih tetap merapatkan diri ke tubuh Nick.
"Danielle menelepon dan minta supaya aku menemuinya di
sudut jalan. Dan begitu tahu alasannya, dengan senang hati aku
setuju," katanya sambil merangkul Lori.
Lori melihat ke arah sepupunya dan tampaklah Don James juga
sedang memeluk Danielle seperti Nick memeluk dirinya. Saat itulah
Danielle baru menyadari siapa yang merangkulnya. Dia segera
berusaha melepaskan diri.
Sambil beranjak menghampiri sepupunya dia bertanya. "Kau
mau memaafkan aku? Tadi kamu bilang sudah memaafkan semua isi
dunia ini. Aku juga termasuk, kan?"
"Oh, Dani," seru Lori sambil memeluk sepupunya erat-erat.
"Sori, ya, aku tadi hampir marah sama kamu."
"Cuma hampir?" "Itu masih untung. Dikasih hati minta jantung, lagi!" jawab Lori
sambil tertawa. "Nah, mau ke mana kita sekarang? Mau makan pizza, nggak?
Aku yang traktir deh ? pokoknya, untukmu segalanya, deh. Tapi
kamu yang nyetir ya, Lor," jawab Nick sambil menyerahkan kunci
mobil. "Boleh!" jawab Lori dan Don serentak.
Danielle menengadah menatap Don, kemudian mengangguk
dan menjawab perlahan, "Baik, Tuan James." END
Misteri Jejak Zombie 1 Pendekar Slebor 08 Pengejaran Ke Cina Payung Sengkala 7
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama