Ceritasilat Novel Online

Antara Dua Pilihan 1

Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan Bagian 1


Satu Huh, pemain lawan itu terus menempel! Sekarang mau ke mana
dia? pikir Jack Baxter, pemain penyerang tim Merivale Viking itu.
Kini dia benar-benar tak terlindung. Ia harus segera mengoper bola
dalam beberapa detik ini juga, sebelum terganjal juga. Semenit lagi
pertandinganberakhir. Pada siapa ya?
Ah, itu dia di kanan. Anak itu seolah tiba-tiba muncul untuk
mendukung aku!
Jack bergeser ke kanan dan berharap bisa melepaskan diri dari
back lawan yang terus menempelnya seperti lem. Anak Westwood ini
tahu benar bagaimana caranya menutup jalan. Ia harus bisa
melepaskan diri! Ia maju dua langkah lagi untuk mengecoh pemain
belakang sialan ini.
Lalu Jack berputar gesit ke kiri. Berhasil. Lepas sudah. Nah,
ayo kaki, sekarang giliranmu beraksi. Aduh, dari mana datangnya
penjaga sudut ini?
Jack memindahkan bola ke sisi kirinya, dan menabrak anak itu;
untung dia kecil. Jack menatap ke depan dan terperanjat ... tak ada lagi
yang menghalanginya menuju gawang lawan.Tiga puluh kaki lagi?dua puluh?pada ke mana anak-anak
yang lain? Teman-teman se-timnya pasti telah mereka rubuhkan bagai
kartu domino. Sepuluh kaki lagi... hampir...
***********
Gina Nichols melompat tinggi kegirangan, saat pemain
penyerang tim Merivale, pacarnya, itu berhasil mencetak gol dengan
mulus. Berhasil! 13:7! Bel akhir pertandingan telah berbunyi.
Merivale berhasil mengalahkan Westwood. Sekarang giliran musuh
besar mereka, Atwood Academy.
Gina memimpin pasukan cheerleadernya melakukan gerakan
pujian, sebelum menyusul suporter lainnya turun ke lapangan. Sambil
menyibakkan kerumunan yang nyaris menggencetnya, ia berusaha
mendekati Jack.
Jack masih diarak di atas bahu teman-teman se-timnya,
sehingga ia harus membungkukuntuk mencium ujung rambut pirang
pacarnya yang dikucir tinggi itu. Namun ia sempat berseru "Nanti
sayang!"
Gina balas tersenyum, mata coklatnya yang besar nampak
membasah. Teman-teman cheerleadernya merangkulnya, kemudian
menarikan tarian kemenangan mengitari dirinya dan Jack. Pom-pom
mereka yang berwarna merah dan hitam nampak bergerak begitu
cepat sehingga mengaburkan pandangan.
Dia berhasil, pikir Gina. Kini Jack cuma tinggal mengalahkan
Nick Hobart, penyerang tengah tim Cougar Atwood. Dua puluh tahun
Merivale berusaha untuk merebut gelar juara, yang harus terbukti
dalam dua minggu ini. Merivale harus bisa mengalahkan Atwood.
Dan sekarang kedua pemain terbaik ini akan saling berhadapan. TapiJack akan menang. Ia harus berhasil. Pokoknya harus! tegas Gina
dalam hati.
*************
Di baris ketiga kursi penonton, Lori Randall, cewek enam belas
tahun, berdiri seraya merogoh-rogoh tasnya. Sejak Jum'at malam ia
berharap, semoga bertemu cowoknya, Nick Hobart, pemain penyerang
tim Atwood, di pertandingan final nanti.
Oleh karena itu Lori melepaskan lencana SMA Merivale-nya
yang bertuliskan "Merivale #1!" dan menyimpannya dalam tas, seraya
merogoh tas-nya seolah mencari kunci mobil.
Lori menahan nafas saat melihat temannya, Patsy Donovan,
berjalan kembali ke arahnya setelah puas bergabung dengan
kerumunan orang-orang di lapangan. Ia berharap Patsy tak tahu bahwa
lencananya telah dilepasnya. Tapi karena rambutnya yang pirang,
perubahan kulit mukanya segera terlihat jelas, dan tahulah Patsy
bahwa telah terjadi sesuatu.
"Hidup Merivale! Sikat Atwood! Hidup Merivale! Sikat
Atwood!" sorak Patsy, lalu ia menatap wajah cantik temannya itu.
"Ada apa Lor, kamu nggak kenapa-napa, kan?!"
"Lho, kenapa? Kita sudah menang, kan?" Lori berusaha
melembutkan suaranya. Segan membalas tatapan temannya, ia
menunduk memandangi ujung sepatu boot hitamnya. Rambut
pirangnya yang panjang tergerai menyembunyikan sebagian
wajahnya. Karena tak bisa berterus-terang, ia hanya memandang
sambil tersenyum malu-malu, lalu menengadah kembali dan ikut
bersorak.Si gendut Patsy melingkarkan lengannya ke pinggang Lori dan
mereka bergoyang-goyang mengikuti irama lagu bersama anak-anak
lainnya.
"Halo. Gila, penuh banget di sana!" sapa Ann Larson seraya
menghampiri Patsy dan Lori. Diacaknya rambut coklat kemerahan
Patsy sambil merangkul pinggangnya. "Berhasil juga, rupanya,"
komentarnya lagi, kali ini ditujukan pada hasil diet Patsy.
Mata coklat Patsy nampak berbinar mendengar pujian itu.
Memang, tampaknya dia cukup berhasil dengan program dietnya.
Kemudian dengan bergandengan tangan mereka bertiga
menuruni tangga, bergabung dengan arus bubaran penonton. Dengan
Patsy di tengah, diapit kedua gadis yang lebih tinggi, dari jauh mereka
jadi tampak seperti roti sandwich. Rambut ikal Ann yang coklat
nampak terayun-ayun, mengikuti gerak langkahnya.
Saat menatap Lori, Ann menyadari bahwa Lori sudah tidak
memakai lencananya.
"Hei mana lencanamu?" tanyanya keheranan.
"Nggak tahu tuh, mungkin terjatuh tadi," Lori mencoba untuk
mengelak, masih tak dapat berterus terang pada mereka.
"Untung aku barusan nemu satu lagi, pakai saja." Kata Ann lagi
sambil melepaskan lencana dari tas sekolahnya.
"Trims."
"Kita harus memberi semangat mereka biar da pat mengalahkan
Atwood. Nah kenapa kau tidak memakainya?" Ann keheranan ketika
Lori nampak ragu-ragu memakai lencananya.
"Sebentar," ulur Lori lagi."Oke Lor, sebenarnya ada apa?" Patsy menyentakkan tangan
Lori dan berdiri di depannya.
"Ah, anu, kurasa?ah, aku tetap harus cerita pada kalian. Aku
tahu kedengarannya bodoh sekali," akhirnya Lori berterus terang.
"Tapi setiap kali memakai lencana itu, aku merasa seperti tak setia
pada Nick."
Lega sekali rasanya setelah mengungkap semuanya. Kedua
sahabatnya itu memandang iba, dan Lori tahu bahwa ia akan selalu
tergantung pada mereka.
"Maaf Lor. Aku ngelupain Nick," kata Ann perlahan.
"Wah, gawat juga ya?" Patsy mengiyakan. "Nick-lah sasaran
utama tim Merivale di musim pertandingan ini. Ah, tapi setidaknya
kau kan punya pacar. Keren lagi."
Lori menganggukkan kepalanya dan tersenyum, menyetujui
pendapat teman-temannya. Nick memang ideal. Tak ada yang
mengatakan ia jelek. Tinggi seratus delapan puluh senti, tidak gemuk,
berotot, rambutnya coklat kekemasan dan matanya biru.
Di pertemuan pertama mereka, Lori tidak pernah menduga akan
bisa mendekati Nick, karena cowok itu sekolah di SMA Atwood,
sebuah sekolah swasta khusus anak-anak orang kaya.
"Nah Lor, kenapa tersenyum?" tanya Ann
"Siapa yang tersenyum?" tanyanya balik dengan bibir yang
masih tersenyum. "Aku cuman ingat waktu ketemu Nick pertama kali.
Dia benar-benar membuatku bingung. Apa aku sudah pernah cerita
gimana kita ketemu pertama kali?""Kayaknya belum, tuh. Yang waktu di Mall itu? Waktu kamu
lagi istirahat dari Tio dan berdiri di samping pancuran?" tanya Patsy
berlagak lugu.
"Yang waktu Nick menyelamatkanmu dari anak kecil yang
main skateboard itu? Tepat sebelum anak itu menabrakmu ke kolam
pancuran? Wah, kayaknya aku belum pernah dengar deh. Kamu
sudah, Patsy?" tanya Ann sambil menirukan wajah Patsy yang sok
lugu itu.
"Aduh, sori deh. Kukira kalian sudah pernah dengar," kata Lori.
"Yah, baru sepuluh atau dua belas kali. Kau mau ceritain lagi?"
"Itu dia!" Lori mengepalkan tangannya dan berlari mengejar
kedua temannya yang telah lari berpencar.
Akhirnya mereka berhenti di samping mobil Lori di tempat
parkir. Tak ada yang bisa berkata-kata. Semua tertawa dan terengahengah.
"Pulang yuk!" kata Lori akhirnya sambil memutar-mutar kunci
mobilnya di depan mereka.
"Bener deh, Lor, kita tahu pastilah susah untukmu, pacaran
dengan pemain terbaik Atwood. Kedua tim akan berusaha mati-matian
untuk menang. Selain itu pertandingan ini akan jadi bahan
pembicaraan dalam beberapa hari ini," kata Ann.
"Aku tak ingin memilih antara Nick dan SMA Merivale. Aku
ingin Viking menang tapi Nick juga!"
"Mungkin ada baiknya kamu pindah ke Atwood saja. Nyatanyata kau tidak mendukung Merivale," sela Gina Nichols yang tibatiba muncul dari kegelapan dan berjalan ke dekat lampu mobil. Jelasjelas ia telah mendengar pembicaraan mereka bertiga."Tenang Gina. Itu tidak benar, dan kau tahu itu," jawab Lori
tenang. Kata-kata Gina telah membuatnya marah, tapi ia berusaha
untuk menahan diri. Dia tahu, lebih baik menghindari keributan
dengan Gina, yang jelas-jelas membela Viking atau Jack Baxter,
tentunya.TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
"Lori tak perlu membuktikan apa-apa padamu Gina," Ann
membela temannya.
Cewek cheerleader itu coba mendelik ke arah Ann. Sikapnya
seolah dia adalah malaikat pelindung Merivale dan Jack.
"Nah, kalau begitu kenapa lencanamu nggak kamu pakai? Di
mobilmu juga nggak ada stiker sebuah pun," sergahnya lagi. "Kurasa
Nick Hobart nggak akan setuju. Nah, pilih mana? Nick atau kami?"
suara Gina sudah makin meninggi, hampir bisa disebut berteriak.
Di sekitar mereka mendadak semua mesin dimatikan, sehingga
suasana di tempat parkir itu menjadi terasa amat sepi. Terlihat orangorang keluar dari mobil mereka, mendengarkan dan ingin tahu apa
yang akan terjadi. Kalau dipakainya lencananya, ia merasa
menghianati Nick, tapi kalau tidak ia akan merasa demikian pula pada
sekolahnya. Satu-satunya suara yang terdengar adalah denting suara
mesin mobil yang mulai mendingin. Akhirnya Lori memutuskan.
Dipakainya lencananya untuk mengakhiri percakapan konyol ini.
Ia meraih tasnya dan mengeluarkan lencananya. "Nih," katanya
datar. "Puas?"
"Lihat saja nanti," sahut Gina geram, kemudian sebuah tangan
meraih pinggangnya."Ngapain saja kamu? Ayo kita rayakan," ucap Jack Baxter yang
tahu-tahu sudah berada di belakang Gina. "Biar Hobart dan aku yang
akan menentukannya di lapangan nanti."
Gina segera melangkah pergi bersama Jack, tapi tiba-tiba ia
berhenti dan berbalik lagi. "Nih, ada beberapa stiker untuk kau pasang
di mobilmu, Lor. Jangan lupa lokermu juga," tambahnya sebelum
melenggang pergi.
Terdengar semua mesin mobil dinyalakan. Lampu-lampu
dinyalakan. Dan diiringi decitan ban mobil, keluarlah mobil-mobil
dari tempat parkir itu.
"Gawat! Cewek gila!" omel Ann kesal. "Sok amat!"
"Yah, kurasa dia cuma mau mempraktekkan pelajaran dari
sekolah kepribadiannya di sini," komentar Patsy.
"Lupain saja deh," sela Lori. "Tak kuduga aku masuk dalam
daftar hitam Gina. Kalian tak perlu ikut terlibat. Sejak aku jalan sama
Nick, sikapnya seolah ngajak saingan. Cuma karena kita sama-sama
pergi dengan pemain terbaik, menurutnya pastilah kita saling bersaing
juga.
"Gina memang gitu," sahut Patsy pendek. "Ia pikir ia dapat
mengatur seluruh sekolah."
"Payahnya anak-anak percaya padanya." Ann menggelenggeleng. "Hati-hati Lor. Gina bisa menyusahkanmu, kalau mau. Ingat
apa yang dialami Sheryl Dobson?" tanya Ann, menyebutkan nama
anggota cheerleader lainnya. "Gina mengira Sheryl menyukai Jack,
lalu ia menjelek-jelekkan Sheryl. Dan kebanyakan orang percaya pada
Gina ? termasuk sahabat Sheryl sendiri. Sampai ia tak berani keluarrumah beberapa minggu. Kalau Gina sudah sirik pada seseorang, dia
tak akan buang-buang waktu lagi."
"Yah, semoga dia enggak mengincarku." Lori mencoba
tersenyum. Diambilnya sebuah stiker dan ditempelkannya salah satu
di depan bemper mobilnya.Dua
Sepulang sekolah Senin berikutnya, di mobilnya tampak Lori
serta Patsy dan Ann menuju tempat kerja mereka di Merivale Mall.
Lori sangat mencintai mobilnya itu, Triumph Spitfire merah,
yang dibelinya dengan harga sangat murah. Nick sering mengoloknya
bahwa Lori lebih mencintai mobilnya ketimbang dia, walau mereka
tahu bahwa itu cuma bercanda.
Lori merasa seperti menyakiti mobilnya itu, ketika memasang
stiker di bempernya. Ia cemas Gina Nichols akan memeriksa tempat
parkir sekolah, dan semua mobil yang tak ber-stiker akan mengalami
ban kempes ? atau bahkan lebih buruk lagi.
Ann dan Patsy setuju bahwa mendingan mengalah daripada
berhadapan dengan Gina.
Sesampainya di Mall, ketiganya segera berpisah. Ann ke Body
Shoppe, sebuah tempat senam di lantai tiga, di mana dia bekerja
sebagai instruktur aerobik. Patsy ke Cookie Connection, toko kue dan
es krim. Sedang Lori ke Tio's Tacos, restaurant Meksiko milik Ernie
Goldbloom.
Ketiganya sangat senang bekerja di Merivale Mall, bangunan
modern yang terbaru di kota ini. Suasananya benar-benar membuat
orang betah berbelanja di sana. Kubah kaca di tengah-tengah atapmemasukkan sinar matahari, yang menyinari tetanaman yang ada di
tiap lantainya. Di lantai terbawah terdapat air mancur dan bangkubangku batu yang ditata di antara rimbunnya dedaunan. Serasa
bagaikan sebuah oasis, teduh dan tenang.
Di Tio's, Lori segera mengenakan seragamnya yang tak
disukainya. Gaun nilon orange dilapis celemek kuning bertuliskan
'Tio's Tacos! Muchos Bue-nos!' yang dicetak besar-besar warna hitam.
Lori bercita-cita untuk menjadi perancang busana, sehingga baginya
seragam seperti ini betul-betul merusak pemandangan. Tapi karena
butuh uang untuk biaya kuliahnya nanti, Lori berusaha tidak peduli
hal itu. Setelah mengikat rambutnya dengan sebuah jepit besar, Lori
meraih lencananya yang bertuliskan 'Merivale #1!', namun tak
sanggup mengenakannya.
Pasti akan banyak anak-anak SMA Merivale, nanti, putusnya.
Jadi harus kupasang. Dipakainya lencananya. Eh, tunggu dulu. Nick
barusan lewat. Dia akan melihat lencana ini. Dengan hati-hati
dilepasnya lencananya, sambil berharap semoga tidak merusak
seragamnya. Toko ayah Nick, Hobart Elektronik, tepat di
seberangTio's, dan mereka berdua seringkali mencuri waktu untuk
ketemu.
Aku ingin Viking menang, pikir Lori seraya memasang
lencananya lagi. Tapi mengingat Nick, aku merasa tak enak. Dengan
gemas Lori menyentakkan lencananya. Dan tampaklah kerutan dan
benang terlepas dari bajunya akibat sentakannya tadi.
Lori melempar lencananya dan memutuskan untuk tidak
memikirkan hal itu lagi. Ia lekas berkaca, dan akhirnya diambilnya
lagi lencananya, lalu menyakuinya sambil keluar menuju counter.Saat Lori masuk ke dalam restaurant, terdengar olehnya suara
Gina Nichols memenuhi ruangan. Nalurinya menangkap tanda
bahaya. Lori cepat-cepat bersembunyi ke balik mesin milkshake dan
memasang lencananya kembali. Pas sekali! Gina telah menunggunya.
"Nah ini dia, Lori Randall!" Gina mulai menyerang. "Anak
Merivale paling fanatik." Cewek cheerleader itu menoleh dan tertawa


Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sinis ke arah teman-temannya. "Selamat atas lencanamu, Lor,"
tambahnya lagi.
"Syukurlah." Lori menatap Gina lurus-lurus. "Dengar Gin. Aku
anak Merivale, dan sudah pasti aku mendukung Merivale. Biarpun
aku pacaran sama anak Atwood tidak berarti bahwa aku tak setia!
Kalau kau tak percaya, terserah," kata Lori lagi. Tenang dan dingin.
Untuk sesaat Gina tampak kaget dan terbungkam. Dan sebelum
Gina sempat mengucapkan apa pun lagi, muncullah pemilik
restaurant, Ernie Goldbloom.
"Hei, nona," serunya. "Kalau nggak mau pesan apa-apa, jangan
di antrean! Menghalangi orang lain. Ya, silakan berikutnya!"
Lori melihat wajah Gina memerah, tapi akhirnya menyingkir
juga.
Satu angka untukku. Gumam Lori pada dirinya sendiri, lalu ia
mengambil pesanan dan menyorongkan sepiring tacos melintasi
counter. Lori bernafas lega saat melihat Gina dan geng-nya keluar
menjauhi restaurant.
***********
Pada saat istirahat, Lori duduk di sebuah bangku di depan Tio's.
Tampak olehnya sekelompok pemain tim Cougar. Semuanya memakai
kaos wol biru dan jaket kulit putih. Agaknya baru pulang latihan.Dan di tengah kelompok itu, terlihat seseorang yang melangkah
santai. Nick Hobart. Nick Hobart-nya! Lori masih sulit percaya bahwa
mereka berdua bisa berpasangan. Nick sedang ngobrol dengan
temannya, sehingga tidak melihat Lori.
Tampak sekali betapa akrabnya Nick dengan teman-temannya.
Hati Lori mendadak serasa berdenyut cepat dan membuatnya sesak
napas. Ia sadar bahwa ia sedang duduk di tengah Mall, tersenyumsenyum sendiri... Tapi ia tak peduli.
Yang diinginkannya saat itu hanyalah berlari ke arah Nick dan
menggusai rambut coklatnya yang tebal itu, tapi Lori berusaha untuk
menahan dirinya.
Nah! Akhirnya Nick melihat ke arahnya dan tersenyum.
Matanya tampak berkilat senang. Sambil tetap tersenyum Nick
mempercepat langkahnya dan berjalan mendahului teman-temannya.
"Hai Nick," sapa Lori seraya bangkit berdiri.
Nick segera memeluknya, sampai Lori agak terangkat.
"Nah, apa kabarmu?" tanya Nick, tangannya masih tetap
melingkari pundak Lori.
Lori tertawa. "Baik. Kamu?"
"Hei, apaan tuh?" tanyanya lagi, saat melihat lencana Lori yang
bertuliskan 'Merivale #1!'
"Tadi ada anak-anak cheerleader Merivale yang mampir ke
Tio's, jadi aku harus memakainya. Buat mereka, siapa pun yang tidak
mau memakainya adalah penghianat," jelas Lori.
Nick tertawa. "Kayaknya sernua orang sudah jadi gila gara-gara
pertandingan itu.""Iya. Kurasa ada yang jadi keterlaluan," kata Lori sambil
melepaskan tangannya dan memeluk Nick. "Jangan-jangan kita harus
bersedih selama dua minggu ini."
"Ah, biarin saja orang mau ngomong apa. Siapa peduli?" kata
Nick lagi, sambil tersenyum ke arah Lori. "Jangan sampai
pertandingan ini mengganggu kita. Pokoknya jangan sampai."
Lori tersenyum. Nick selalu mengerti. Mereka dapat saling
terbuka satu sama lain tanpa menyembunyikan perasaan masingmasing. Itulah sebabnya kenapa Lori sangat menyayanginya.
"Betul," jawab Lori sambil mengusap tangan Nick. Dilepas dan
disimpannya lencananya kembali. "Bagaimana latihanmu hari ini?"
Nick menunduk. "Payah"
"Kenapa?"
"Mainku jelek, hari ini," Nick menjelaskan. "Rasanya serba
terburu-buru dan hari ini benar-benar buruk bagiku. Itu saja."
"Masih cukup waktu, kan..." Ucapan Lori terhenti ketika tibatiba salah seorang teman seregu Nick yang berbadan besar
menghampiri mereka.
"Pantesan mainmu buruk hari ini, Hobart. Aku lupa pacarmu
anak Merivale!" katanya sambil tersenyum untuk menunjukkan
seolah-olah ia hanya bercanda. Tapi Lori tahu ia serius.
"Iya juga, ya," anak Cougar yang lainnya menimpali. "Dia anak
Merivale," tambahnya tanpa berusaha melunakkan ucapannya.
"Hei! Kalem dong ?" kata Nick. "Aku memang bermain buruk
hari ini. Itu saja. Tak ada hubungannya dengan Lori. Aku akan main
sebaik-baiknya untuk Cougar.""Baik," kata pemain Cougar lainnya yang bertubuh pendek
tegap. "Tapi kan lebih baik kalau cewekmu ini benar-benar memihak
kita."
"Namanya Lori. Kalian tahu itu. Sebutlah namanya."
"Tentu saja aku memihak kalian," Lori menyela.
Bagaimana bisa badut-badut ini menuduhnya tidak memihak
Nick?
"Kita buktikan saja. Aku punya tugas untuk cewekmu ini, eh
sori, Lori maksudku," kata yang lainnya lagi. "Jum'at depan, mau ada
acara pep rally di Atwood. Kamu bisa datang kan, Lor?" tanyanya
menantang.
Lori memandang Nick. Mungkinkah karena dirinya temanteman Nick akan tidak lagi mempercayainya? Lori tak akan
membiarkan hal itu terjadi.
"Boleh saja," jawab Lori. "Rugi dong, kalau enggak."
"Kalian dengar apa katanya, kan? Nah, sekarang pergilah
kalian. Kami mau ngobrol sendiri." Cowok-cowok itu segera menuju
Cookie Connection.
"Trims, Lor. Mereka bukan anak-anak yang jahat kok. Cuma
lagi tegang karena pertandingan nanti."
"Iya. Aku ngerti kok, Nick," kata Lori lagi. "Lagian, aku
memang ingin banget ikutan ke acara Rally itu. Aku masih tetap fans
no 1 mu, bukan?" tanyanya bercanda.
"Selalu." Nick tertawa seraya menjitak kepalanya.
Lori dapat membaca kecemasan di mata Nick. Dia tahu, mereka
berdua mencemaskan hal yang sama. Dua minggu ini benar-benar
akan menyulitkan mereka. Tapi dia tahu bahwa ia sangat menyayangiNick, dan tak ingin teman-teman Nick kehilangan kepercayaan
padanya, apalagi karena dirinya..
Kalau harus datang ke acara Pep Rally di Atwood Jum'at nanti,
untuk meyakinkan teman-teman Nick, dia akan datang. Tapi tentu saja
ia berharap tak seorang pun anak Merivale yang tahu.Tiga
Hari Jum'at berikutnya di Atwood Academy, tampak semua
orang sibuk bersiap-siap untuk acara pep rally nanti malam. Spandukspanduk besar dipajang di tengah-tengah koridor. Bertuliskan 'Cougar
sang Juara!' dan 'Atwood tak terkalahkan!' Tak seorang pun yang tidak
memakai baju berwarna biru putih, warna kebangsaan sekolah
mereka.
Di kelas psikologi Bu Ellis, Danielle Sharp, sepupu Lori
Randall, nampak gelisah. Kapan penderitaan ini akan berakhir?
pikirnya sambil memandangi jam tangan emasnya. Dikibaskannya
rambutnya yang berombak kemerahan sepundaknya itu.
Danielle terbiasa berbuat sesukanya hatinya, dan tak pernah
bisa menyembunyikan kebosanan. Ia menguap lebar dan mengetukkan
kuku-kukunya yang terawat rapih ke meja. Tak sabar rasanya untuk
segera pulang dan berganti pakaian untuk acara pep rally nanti malam.
Dia termasuk salah satu bintang tercantik di sekolahnya dan tak
seorang pun yang mengingkari hal itu.
"Danielle Sharp, tolong jelaskan teori perkembangan anak dari
Piaget?" Bu Ellis menatap Danielle dengan mata biru pucatnya."Eh, apa Bu? Saya tak mendengar pertanyaan ibu tadi,"
Danielle berusaha menghindar. Kalau saja ia dapat mengulur waktu!
Beberapa detik lagi bel akan berbunyi dan bebaslah dia dari kesulitan.
Bu Ellis menarik nafas kesal, tangannya membelai rambut
pendek hitamnya yang sudah mulai ditumbuhi uban itu. "Kita sudah
membacanya berulang-ulang sebagai tugas tadi malam, Danielle,
nampaknya kau tidak memperhatikan!"
Semua anak di kelas itu menertawakannya. Ingin rasanya ia
ngumpet di bawah meja. Sialan! Ia membuatku jadi bahan tertawaan!
Sesaat kemudian bel berbunyi, anak-anak segera membereskan
buku mereka dan bergegas keluar dari meja masing-masing.
"Sebentar, anak-anak!" seru Bu Ellis di sela keributan.
"Sebelum kalian keluar akan Ibu bagikan hasil ujian kalian minggu
lalu."
Seluruh kelas ber-'Huuuu!'. Tapi Bu Ellis tak peduli, dan mulai
memanggil nama mereka satu per satu. "Connors, Sigel, Wilson?
bagus sekali. Nancy, Sharp..."
Danielle segera mengambil kertas ujiannya. Hatinya berdebar,
tak berani membayangkan hasil ujiannya. Tapi ia harus tahu.
F! Aduh, tak mungkin! Memang, aku tidak mengerjakannya
dengan baik, tapi?ah, gawat, bisa-bisa aku nggak lulus, nih!
Anak-anak yang saling berdesakan di luar kelas tak terasai oleh
Danielle. Ia berjalan lurus ke lokernya dengan pikiran melayanglayang. Kalau sampai tahu, orangtuanya akan marah berat ? apalagi
Ayahnya. Bagaimana kalau Ayah menarik kartu kreditnya dan
menyetop uang jajan? Danielle panik sendiri.Disimpannya hasil ujiannya dalam buku catatannya dan
berjalan kembali melewati koridor di antara hiruk pikuknya suasana.
Bu Ellis masih di dalam kelas, sedang membereskan tumpukan
buku-buku dan kertas-kertasnya. Danielle berhenti sesaat di depan
pintu, lalu ia melangkah masuk.
"Danielle? Ada yang ketinggalan?" tanya Bu Ellis kepadanya.
"Tidak bu. Saya ingin membicarakan hasil test saya." Danielle
menunduk memandangi buku catatannya. "Saya gagal."
"Yah, kau tidak mengerjakannya dengan baik," sahut Bu Ellis
"Sebenarnya kau cukup mampu untuk mendapatkan nilai yang lebih
baik lagi. Ibu tahu itu."
"Dengan hasil test ini ? apakah ini berarti saya tidak akan lulus
mata pelajaran ini, Bu ?" tanya Danielle gugup.
Bu Ellis terdiam sejenak. "Mungkin saja. Kalau tidak berusaha
memperbaiki, kau bisa saja gagal."
"Tolong beri saya ujian susulan, Bu. Saya berjanji akan
berusaha lebih baik."
Bu Ellis memandang iba, namun perlahan-lahan ia
menggelengkan kepalanya dan menggaruk-garuk rambutnya.
"Ibu tidak mungkin melakukan itu. Tidak adil terhadap temantemanmu yang lainnya."
"Tapi Bu ? kalau saya sampai tidak lulus, Ayah saya pasti
akan sangat marah. Apa yang dapat saya lakukan untuk memperbaiki
nilai saya, Bu? Bagaimana kalau saya membuat makalah, apakah itu
dapat membantu?"Sejurus lamanya Bu Ellis menatap Danielle. "Kalau kamu
benar-benar ingin meningkatkan nilaimu, Ibu dapat memberimu jalan
keluarnya. Tapi mungkin kamu tak akan menyukainya ?"
Danielle merasa sangat lega, tanpa sadar ia mencium Bu Ellis.
"Bagaimana mungkin saya tak menyukainya Bu? Apa pun juga
akan saya lakukan ? sebutkan, Bu!"
"Nah, Ibu minta kamu menjadi sukarelawan di Downtown DayCare Center."
"Tempat Penitipan Anak?" Danielle terkejut. Di benaknya
terbayang tangan-tangan kecil anak-anak nakal yang akan mengotori
bajunya. Ia lemas seketika.
"Betul." Bu Ellis tersenyum tipis melihat reaksi Danielle. "Lima
belas jam bekerja sukarela. Hanya itu satu-satunya jalan untuk
meningkatkan peringkatmu. Kau suka anak kecil, kan?"
"Oh, tentu, Bu!" jawab Danielle cepat seraya melebarkan
matanya. "Kapan dapat saya mulai Bu?" Danielle berusaha kelihatan
gembira mendengar saran Bu Ellis.
Bu Ellis tersenyum tipis. "Mulailah sore ini juga, seusai
sekolah," sahutnya sambil mencatat sesuatu pada secarik kertas. "Ini
alamat dan nama pengasuhnya, Betsy Harper. Orang yang biasa
membantunya di sore hari baru saja berhenti dan Ibu tahu pasti dia
akan merasa sangat senang menerima bantuanmu."
Dengan galau Danielle menerima kertas itu dan menatap alamat
yang tertera di atasnya.
"Terima kasih, Bu," ujar Danielle sebelum meninggalkan kelas.
"Permisi."Di luar, Danielle berhenti dan menyandar ke dinding. Ingin
rasanya ia menjerit sekuat tenaga. Lima belas jam menjadi
sukarelawan di tengah-tengah monster-monster kecil! Aduh, apa aku
bisa tetap hidup nanti?
***********
Selesai jam terakhir, ketika menuju ke lokernya Danielle
melihat Heather Baron dan Teresa Wood menunggunya. Seperti biasa,
mereka nampak cantik. Danielle tahu bahwa mereka bertiga memang
selalu tampak seronok. Rambut hitam Heather yang panjang, dipadu
dengan rambutnya yang berombak kemerahan, dan rambut cokelat
Teresa.
"Hei, Dan," sapa Heather, "yuk, kita langsung berangkat ?"
"Siap?" tanya Teresa. "Kalian jadi mampir ke rumahku nanti
sore? Kita jadi berangkat sama-sama ke pep rally nanti sore, kan?"
Ya ampun! Aku betul-betul lupa! pikir Daniell gelisah. Harus
cepat-cepat buat alasan, nih!
"Wah, aku nggak bisa. Ditugasi Ibu buat ngambil bajunya di
tukang jahit." Danielle buru-buru menjelaskan."
"Kita pergi sama-sama saja."
"Jangan, eh, nggak usah deh." Danielle membuka lokernya
sambil berlagak mencari sesuatu. Padahal cuma mencari alasan.
"Kalian pasti akan bosan. Ibuku, anu ? eh, menungguku di
sana. Dia ingin aku melihatnya mencoba baju barunya itu."
Teresa dan Heather saling pandang dengan curiga. "Kamu kok
nggak pernah cerita-cerita sebelumnya, Dan? Ada apa sih,
sebenarnya?" tanya Heather, mata birunya menatap Danielle dan
Teresa bergantian."Benar, Dan, sikapmu kok mendadak jadi seperti CIA atau
apalah!" tambah Teresa.
"Hei, aku tahu berani taruhan, pasti dia punya cowok baru,"
ledek Heather dengan suara yang dinaik-turunkan, "Iya kan, Dan ?"
Danielle lega karena teman-temannya sudah menemukan
sendiri alasan yang tepat untuk sikapnya yang aneh itu. Biar saja
mereka menduga aku lagi sibuk dengan cowok baruku itu dalam
beberapa minggu ini. Apa ruginya? Paling-paling mereka cuma akan
menggosipkannya.
"Sebenarnya aku ingin ikut, tapi bagaimana lagi. Kalian tahu
kan, ada tugas memanggil."
"Beberapa tugas, tepatnya. Berani taruhan," kejar Teresa, mata
coklatnya mengedip sebelah saat Danielle membanting pintu lokernya
dan berlari turun ke aula.
***********
Day Care Center terletak di sebuah jalan kecil di Merivale,
berjajar dengan beberapa rumah kecil. Bangunan yang lebih kuno
nampak artistik dengan dindingnya yang dicat kuning putih. Sebuah
pagar mengelilingi taman bermain di samping dan belakang
bangunan. Di depannya terdapat papan yang bertuliskan 'Down Town
Day Care', dengan hiasan gambar pelangi di atasnya.
Begitu tiba di tempat itu, segera terdengar olehnya riuhnya jerit
dan sorak anak bermain, seolah ada ratusan anak. Danielle menarik
napas dalam dan perlahan-lahan ia membuka pintu.
Ternyata di dalamnya adalah sebuah ruangan yang sangat luas.
Setiap dindingnya berwarna pastel yang berbeda. Gambar anak-anak
ditempelkan di mana-mana. Rak-rak terbuka di sepanjang dindingpenuh berbagai mainan; binatang-binatang, boneka-boneka dan
mainan lainnya. Juga ada sebuah teater boneka yang terletak di sudut
ruangan.
Danielle melangkah masuk, tanpa ada yang mempedulikan.
Dengan dipimpin seorang wanita, Danielle menduga itu adalah Betty
Harper, anak-anak kecil yang ada di ruangan itu berbaris keliling


Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruangan. Masing-masing membawa sebuah alat musik mainan. Bunyi
drum, tambourine, dan juga peluit mereka memekakkan telinga.
Nantinya, Betsy Harper menjelaskan bahwa itu adalah barisan parade,
tapi Danielle menyebutnya penyiksaan.
Sedemikian bisingnya, sampai Danielle tak bisa berpikir dengan
tenang. Cuma lima belas jam, katanya dalam hati. Nggak jelek-jelek
amat, kok!
Dua jam kemudian Danielle harus mengakui. Memang nggak
jelek-jelek amat, tapi ini sih neraka buatan manusia! Ia kecapaian dan
serak karena harus terus menerus berteriak mengatasi jeritan anakanak balita itu. Segumpal lilin hijau menyelip di rambutnya. Sebuah
bekas tangan tercetak merah di rok kulit abu-abunya sampai ke kaos
merah jambunya yang ketat itu.
Setelah sebagian besar anak-anak sudah dijemput, barulah
Danielle mendapat kesempatan untuk ngobrol dengan Betsy, seorang
gadis lincah dan langsing. Danielle menduga usianya sekitar 20 tahun.
Ia kagum pada cara Betsy mengatur anak-anak kecil itu. Dia
sendiri begitu kehabisan semua tenaga dan kesabarannya, dan
tubuhnya serasa barusan tertiban gunung batu!
"Nah bagaimana hari pertamamu, Danielle? Kamu suka?" tanya
Betsy sambil tersenyum lebar."Lumayan..." Danielle mencoba untuk tersenyum. Kalau sampai
Betsy mengadu pada Bu Ellis bahwa aku tak suka di sini, nilai F ku
tak akan berubah.
Betsy tersenyum kembali, "Aku tahu, anak-anak kecil itu
awalnya susah diatur," ujarnya lagi. "Tapi kau akan menyukainya
nanti, selain itu ... kupikir anak-anak itu suka padamu."
"Mereka menyukaiku?" tanya Danielle tak percaya. Percuma
saja ia berpura-pura menyukai pekerjaan itu. Jelas Betsy
mengetahuinya.
"Apakah karena itu mereka melemparkan boneka padaku,
menempelkan tanah liat di rambutku dan memakai rokku sebagai lap
tangan?"
Betsy tertawa, matanya hitam yang lebar memandang dengan
simpatik.
"Sebaiknya pakailah pakaian yang sesuai kalau nanti kau datang
lagi," saran Betsy seraya membereskan mainan.
"Iya, akan kuingat itu," kata Danielle sambil membantunya
membenahi ruang bermain yang luas itu.
Akhirnya Day Care Center telah kembali bersih, anak yang
terakhir telah dijemput oleh ibunya.
"Nah, Senin mulai lagi," kata Betsy dengan gembira, sambil
mematikan lampu dan mengunci pintu. "Kamu akan datang lagi
Danielle?"
"Oh, jangan kuatir. Aku pasti datang," jawab Danielle. Ia
menunduk memandangi coretan cat pada rok kulitnya. Karena tak ada
pilihan lain!Empat
Atwood Academy betul-betul indah di waktu malam, pikir Lori
sewaktu mengendarai mobilnya memasuki lapangan parkir Atwood
malam itu. Seluruh dinding bangunannya dirambati tanaman rambat,
dan diterangi lampu sorot besar. Di pintu masuk terdapat sebuah
spanduk besar yang dipasang melintang pada dua buah pilar putih.
Warna biru putih spanduk itu memancarkan kebanggaan sekolah.
Ia melangkah masuk menyusuri jalan setapak, menuju ke arah
datangnya suara-suara orang menyanyikan lagu-lagu perjuangan
Cougar. Di kejauhan terlihat orang-orang yang berkumpul
mengelilingi api unggun yang besar. Tiap orang nampak mengenakan
baju biru putih dan masing-masing melambai-lambaikan sebuah
tulisan.
'Cougar tak terjinakkan!' terbaca olehnya salah satu dari tulisan
tersebut. Ia memandang berkeliling, takut ada yang mengenalnya.
Rasanya seperti memata-matai, walaupun kedatangannya ini hanyalah
demi Nick.
Tapi kalau ada anak Merivale yang menemukanku di sini,
matilah aku, pikirnya gelisah sambil kembali memandang sekali lagi
ke sekelilingnya. Tapi siapa tahu? Kalaupun ada lagi anak Merivale di
sini, pasti tak menutup mulut. Nick tidak memintanya datang, dan iasendiri tidak keberatan. Mana mungkin ia tak mau hadir di acara yang
sangat penting bagi Nick?
Lori belum menemukan wajah Nick di antara keramaian, tapi ia
berharap semoga Nick melihat kehadirannya. Bahwa ia
mendukungnya.
"Lho, Lor?! Ngapain kamu di sini?"
Lori tersentak berpaling, dan ternyata sepupunya, Danielle.
Seperti biasa, ia tampil begitu sempurna. Sweater Italia buatan tangan
yang berwarna biru bergaris-garis krem.
"Ssssst! Jangan keras-keras!" Lori segera menarik sepupunya ke
tempat terlindung. "Sini, jangan dekat-dekat kerumunan itu," ajaknya.
Lori tahu bahwa Danielle malu mempunyai saudara yang
bekerja di balik counter di Tio's Tacos. Sebelum ayah Danielle, paman
Mike, berhasil membangun Merivale Mall, Danielle dan Lori begitu
akrab, hampir seperti saudara kandung. Tetapi semenjak keluarga
Sharp pindah ke Wood Hollow Hill, daerah bergengsi Merivale,
mereka seolah terpisah. Walau masih tetap berteman, namun tak
sekarib dulu lagi. Lori tahu bahwa Danielle tak akan keberatan bicara
dengannya di tempat terlindung, karena tak akan ada yang melihatnya
ngobrol dengan saudaranya yang miskin itu.
"Lori, kenapa kau?" sapa Danielle penuh perhatian. Sikapnya
masih seperti Danielle yang dulu.
Lori kurang bisa menceritakan masalahnya pada Danielle. Anak
itu bisa saja akrab dengannya sesaat, namun sesaat kemudian sikapnya
sudah bertolak belakang lagi. Namun malam ini lain dari biasanya. Ia
seolah berada di daerah musuh, dan Danielle-lah satu-satunya orang
yang dikenalnya."Yah, aku datang ke sini untuk memberi selamat pada Nick.
Teman-teman seregunya telah meragukannya, karena pacaran sama
anak SMA Merivale. Tapi tentu saja aku tak ingin ada anak sekolahku
yang tahu aku kemari," jelas Lori dengan suara perlahan.
"Oh, gitu." Danielle mengangguk. "Jangan kuatir. Rahasiamu
aman bersamaku. Mana pernah aku ngobrol sama anak dari
sekolahmu?" Lori tersenyum mendengar kesombongan Danielle itu,
justru karena kesombongan sepupunya itu lah ia merasa aman.
Band Atwood Academy mulai memainkan lagu almamater.
Lampu sorot menyoroti kerumunan. Dari pengeras suara terdengar
sambutan para pendukung Cougar. Lori dan Danielle melangkah
maju.
Para cheerleader Atwood Academy melompat-lompat sambil
menggerak-gerakkan pom-pom mereka. Seseorang yang memakai
seragam Cougar bersalto di depan. Kemudian para pemain mulai
diperkenalkan. Lengkap dengan seragamnya mereka maju satupersatu dan berbaris di depan api unggun. Lori tak sabar menunggu
kemunculan Nick. Akhirnya muncullah Nick dengan senyum khasnya.
"Dan, inilah si nomor tiga puluh dua! Pemain terbaik kita ?
Nick Hobart!"
Terlupa bahwa ia tak ingin menarik perhatian, Lori bersorak
dan melompat-lompat, seperti pengunjung yang lainnya. Setelah
seluruh anggota tim diperkenalkan, para anggota cheerleader Atwood
memimpin seluruh hadirin menyanyikan lagu-lagu perjuangan
Atwood. Kemudian pelatih tim Cougar berpidato untuk menggugah
semangat anak-anak didiknya. Lori mengira acara telah usai, ketika
sesaat kemudian pembawa acara kembali ke depan."Dan sekarang, tibalah acara yang kita tunggu-tunggu. Ya!
Betul! Pelukan kemenangan!"
Lori tak bisa menebak apa yang dimaksud pembawa acara itu,
tetapi perasaannya mengatakan, 'Awas, bahaya!' Tampak olehnya satu
per satu pacar para pemain Cougar dipanggil untuk memberikan
pelukan kemenangan di depan hadirin.
Ingin rasanya Lori berlari menuju mobilnya, tapi kakinya serasa
berat untuk melangkah. Ia panik. Bagaimana caraku keluar dari sini?!
pikirnya gelisah. Kemudian terdengar namanya dipanggil.
Kalau aku keluar dan memeluk Nick di depan anak-anak
lainnya, tentu ada yang melihatku di sini!
"Maju Lor, semua orang menunggumu!" Danielle
mendorongnya maju.
Lori mengambil nafas dalam-dalam dan berlari kearah Nick.
Kegembiraan yang nampak di mata Nick membuatnya melupakan
Gina Nichols. Ia begitu bangga menjadi kekasih Nick. Sesaat
kemudian ia telah melupakan hal-hal yang mengganggunya, kemudian
mereka berpelukan lama di depan seluruh murid-murid.
"Aku senang kau datang, Lor," bisik Nick di telinganya sesaat
sebelum mereka berpisah. "Tak ada yang lebih berarti bagiku selain
kedatanganmu."
Lori tak berkata apa-apa. Ia hanya memandang Nick dan
tersenyum. Matanya berkaca-kaca.
"Aku tak mau kehilangan kesempatan ini," bisiknya lagi.
Tiba-tiba sebuah lampu blitz menerangi wajahnya. Lori kaget.
Dikejap-kejapkannya matanya untuk mencari siapa yang telah
memotretnya, namun orang itu telah menghilang dalam kegelapan."Siapa yang memotret tadi Nick? Kau melihatnya?"
Nick mengangkat bahu. "Selalu ada yang memotret dalam acara
ini. Jangan khawatir Lor. Pastinya sih bukan orang-orang dari majalah
Gadis," oloknya.
Seorang cheerleader di dekat mereka mendengar percakapan
itu. "Dia dari Merivale Mirror. Semoga dia mengambil fotoku juga."
kata gadis itu melenggang pergi seraya mengibaskan rambut tebalnya.
Mati aku, pikir Lori. Gina Nichols bakalan...
Seusai acara pep rally, para anggota Cougar dan kekasih mereka
memutuskan untuk melanjutkan acara di O'Burger, sebuah restoran di
Mall. Dengan mengabaikan kecemasannya, Lori menerima ajakan
Nick untuk ikut ke sana.
Lori dan Nick membawa mobil masing-masing dan bertemu di
lapangan parkir. Mereka tiba paling terakhir. Teman-teman seregu
Nick melambaikan tangan saat mereka melangkah memasuki restoran.
"Hei, sampai juga akhirnya, pemain penyerang kita," seru salah
seorang dari mereka. "Sekarang pesta bisa kita mulai."
Lori dan Nick duduk di belakang, memesan hamburger dan
coca cola.
Saat Nick berdiskusi dengan teman-temannya, Lori berbincangbincang dengan pasangan mereka.
"Tak mungkin Viking dapat mengalahkan kita," kata salah
seorang yang bernama Caroline. "Dalam dua puluh tahun ini kan
mereka belum pernah berhasil mengalahkan kita."
"Tim Merivale bukanlah tim yang profesional, Cougar pasti
akan mengalahkan mereka," ujar gadis lainnya yang bernama Tina,"Dasar sekolah murahan. Pernahkah kalian perhatikan pakaian cewekceweknya?" tanyanya dengan nada menghina.
Lori tak senang sekolahnya dilecehkan, tapi ia sadar bahwa
kalau ia membantah, pastilah akan menyebabkan kesusahan bagi
Nick.
Kemudian pembicaraan beralih ke model pakaian terbaru.
Walaupun seleranya sungguh jauh dari uang sakunya namun Lori tahu
banyak tentang perkembangan mode.
Gadis-gadis Atwood itu nampak terkesan dengan komentarnya
mengenai perkembangan mode terbaru dari Milan dan Paris.
"Kau pacar Nick, kan?" tanya Caroline padanya.
Lori mengangguk. "Benar."
"Sekolah di mana? Westwood?" tanya Tina, bernada akrab.
Lori menggeleng. "Bukan, di Merivale," sahut Lori kalem. Ia
melihat perubahan pada wajah mereka. Tina, yang telah menjelekjelekkan Merivale, tampak sungkan. Caroline terkejut dan kedua gadis
lain yang duduk tak jauh darinya tiba-tiba kehilangan senyum, wajah
mereka menjadi dingin, menatap Lori seolah-olah ia adalah seorang
musuh.
"Oh," akhirnya Tina bicara duluan. "Sori. Aku nggak tahu kamu
anak Merivale."
"Nah, sekarang kamu sudah tahu," sahut Lori lagi.
"Seharusnya kau kasih tahu kami dulu," sela Caroline.
"Kalian nggak ada yang nanya dulu."
Mereka semua terdiam, tak tahu harus berkata apa lagi.
Sebelum ada di antara mereka yang mulai berbicara lagi, Nickmenoleh ke arah Lori, menunjuk jamnya dan berkata. "Jam berapa,
Lor? Kita pulang, yuk."
"Iya. Sudah malam," jawab Lori setuju. Ia segera berdiri dan
mengambil tasnya, ingin rasanya ia cepat-cepat pergi dari situ.
"Selamat malam semua," katanya sambil menggandeng tangan Nick.
"Malam," sahut teman-teman Nick.
"Sampai ketemu di pertandingan final, Lor," seru Tina. "Kau
boleh duduk di tempat kami. Kita pasti akan sediakan tempat
untukmu. Ya kan, teman- teman?" tanyanya minta persetujuan dari
yang lainnya.
"Oh tentu," timpal Caroline. "Jangan lupa mencari kita, Lor."
"Mmmm ? tentu," jawab Lori lagi. Ia tahu, undangan mereka
hanya basa-basi.
Nick tidak menyadari hal itu. "Kelihatannya kalian sudah akrab.
Ngobrolin apa saja?" tanyanya saat mereka berjalan menuju tempat
parkir.
"Oh ? baju, semacam itulah," jawab Lori sambil mengangkat
bahu.
Nick kelihatan begitu gembira malam ini, sehingga Lori tak
ingin mengecewakannya dengan menceritakan reaksi gadis-gadis tadi.
Toh tak berakibat apa-apa, ia telah berhasil menyelesaikan
masalahnya tanpa membawa-bawa Nick.
Sesampai mereka di samping mobil Lori, Nick memutar
badannya dan berdiri di dekatnya. Lori memandang Nick dan mereka
berpelukan lama sekali.
"Trims atas kedatanganmu Lor. Aku menghargai sekali.""Kau tak perlu berterima kasih padaku, Nick. Aku memang mau
datang," bisik Lori di telinganya.
Nick tersenyum, jari-jarinya mengusap kening Lori. "Aku
tahu... kau tampak lain malam ini Lor. Kelihatan cantik sekali. Tak
heran kalau fotomu terpilih untuk dipasang di koran hari Senin."
"Oh, mudah-mudahan jangan," harap Lori.
Tapi begitu Nick tertawa dan menciumnya, lenyaplah seluruh
kecemasan Lori. Ia heran, mengapa hal seremeh pertandingan itu bisa
membuat mereka kebingungan.Lima
"Lalu apa yang terjadi?" tanya Ann, mata abu-abunya
membesar ingin tahu. "Aku berani taruhan, semua orang pasti
menyebut-nyebut nama Nick."
"Kau jadi datang dan memeluknya di depan orang-orang?"
Patsy menggeleng-geleng. "Nekad juga kau."
Lori mengangkat bahunya. "Lumayan juga sih ... tapi itu juga
gara-gara Danielle mendorongku," Lori tersenyum dan wajahnya
kelihatan berseri-seri. "Betul-betul menyenangkan berdiri di sisi Nick
dan mendengar setiap orang mengelu-elukan dia dan timnya. Nick
kelihatan senang aku datang."
Ketiga gadis itu berbicara perlahan, walaupun kantin Merivale
nampak penuh seperti biasanya. Tapi Patsy dan Ann tahu bahwa
mereka harus merahasiakan kehadiran Lori di acara pep rally Atwood.
"Lihat." Patsy, Ann dan Lori menoleh kearah Gina Nichols
yang berjalan kearah mereka, diikuti oleh beberapa anggota
cheerleader dan pemain-pemain bola regu Merivale.
Jantung Lori berdebar-debar, Gina berjalan sambil melambailambaikan selembar fotocopy dari Merivale Mirror. Tanpa perlu
membaca pun tahulah sudah Lori, kenapa Gina kelihatan begitu
marah.Mereka semua berdiri mengelilingi mejanya. Baru sekarang
Lori tahu bagaimana rasanya terkepung oleh segerombolan musuh.
Gina melemparkan koran tersebut ke atas meja, tepat menutupi
roti sandwich Lori. Di bagian berita Olahraga, terlihat fotonya sedang


Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memeluk Nick dalam acara pep rally di Atwood. 'Pahlawan Cougar
mendapat pelukan kemenangan!' nampak dicetak tebal.
"Betul kan, Randall! Kau penghianat," cemooh Gina. "Kau
hadir di acara pep rally Atwood Jum'at malam kemarin! Takkan ada
seorang pun di sekolah ini yang mau bicara denganmu lagi."
"Jangan cari keributan deh, Gin," balas Patsy. "Mendingan kau
cari saja orang lain untuk kau takut-takuti."
Lori menatap Gina dingin. "Betul. Aku memang datang ke
acara mereka. Karena Nick memintaku datang ke sana." Tapi Lori
juga sadar, semakin ia menjelaskan, semakin sulit posisinya.
"Oh, romantis sekali," sindir Gina. "Pacarku pun
membutuhkanku, dan kita berdua membutuhkan dukunganmu."
"Si Nicky Hobart membutuhkannya," sela anggota cheerleader
lainnya. "Begitu manisnya."
Anak-anak yang berada di sekitar mereka saling bergumam.
Lori merasa bahwa ada beberapa yang mengerti posisinya, tetapi Gina
dan teman-temannya tetap akan memojokkannya. Mereka bagaikan
gerombolan serigala yang sedang menyudutkan mangsanya. Mereka
akan terus melolong-lolong di sini kalau terus saja didiamkan, pikir
Lori lagi.
"Dengar," Lori mulai, "SMA Merivale adalah sekolahku, bukan
Atwood. Aku memang menyayangi Nick Hobart, tetapi aku tetap setia
pada sekolahku. Kalau kalian tak percaya, terserah kalian sendiri.""Pidato yang bagus, Randall," sela Gina lagi dengan cepat.
"Tapi kata-kata saja tak cukup. Kalau kau memang memihak kami,
kau harus ikut iring-iringan ke Atwood sore ini. Kita semua akan
membuat serangan persahabatan untuk mengingatkan mereka siapa
yang akan memenangkan pertandingan ini nantinya."
"Yah, betul!" seru seseorang dari tengah-tengah kerumunan.
"Kalau kau benar-benar mendukung Merivale, buktikan sore ini."
Patsy dan Ann memandang iba pada Lori. Setiap orang tahu apa
yang dimaksud dengan kunjungan persahabatan itu, yaitu iring-iringan
mobil yang memasuki daerah musuh. Mereka akan membunyikan
klakson keras-keras, meneriakkan slogan-slogan dan melempari lawan
dengan gumpalan-gumpalan krim dan telur.
Tapi begitu memandangi wajah-wajah sengit di sekitarnya,
tahulah dia, bahwa kalau ia tidak ikut berpawai ke Atwood, mungkin
ia akan dikucilkan.
"Okelah," sahutnya, "jika itu cukup, buat meyakinkan kalian."
***********
Seusai sekolah Lori menuju lapangan parkir dan menghias
mobil merah Spitfire nya dengan kertas krep, balon dan tulisan besar
yang bertuliskan, 'Hancurkan Atwood'.
Patsy dan Ann membantunya, tentu saja mereka tak akan
membiarkan Lori pergi sendirian.
"Kelihatannya mobil ini sudah sesuai dengan keinginan Gina,"
kata Lori. "Tapi bagaimana dengan Nick? Ia akan mengenali mobil
ini. Masa aku harus memegangi tulisan ini sambil nyetir?"
"Aku punya ide," kata Patsy. "Klub drama punya sekopor penuh
kostum dan topeng. Bisa kupinjam beberapa untuk kita. Nick tak perlutahu kalau kau ikut iring-iringan itu. Biar dia mengira seseorang telah
meminjam mobilmu."
"Ide bagus, Pats!" Lori memang nggak yakin Nick akan tidak
melihatnya dalam iring-iringan, dan entah apa yang akan terjadi kalau
Nick tahu. Semoga dia tidak melihat kita, pikir Lori menenangkan
dirinya.
Beberapa menit kemudian Gina Nichols dan Jack Baxter
memberi tanda agar iring-iringan mulai bergerak. Gina duduk di
samping Jack di sebuah mobil besar kap terbuka dan dipenuhi oleh
teman-teman seregu Jack dan gadis-gadis cheerleadernya.
Diiringi nyaringnya suara klakson, iring-iringan itu keluar dari
SMA Merivale menuju Atwood. Lori mengatur agar mobilnya berada
di belakang. Sesaat sebelum memasuki Atwood ketiga sahabat itu
mulai memakai topeng mereka.
Lori mengenakan topeng serigala jadi-jadian. Pengap rasanya,
dan ia tak dapat melihat jalanan di depannya. Tapi asal Nick tak
melihatnya aku tak keberatan berpanas-panas di sini, pikirnya.
Iring-iringan mobil itu memasuki halaman Atwood Academy.
Anak-anak Atwood, yang agaknya baru saja selesai pelajaran, keluar
untuk melihat apa yang terjadi. Hingar-bingar suara klakson
mengiringi kedatangan rombongan Merivale, yang lalu memarkir
kendaraan mereka mengitari bangunan sekolah, menghadap lapangan
atletik.
Anak-anak Atwood berlarian mengejar mereka, namun
disambut lemparan gumpalan-gumpalan busa dan telur, membuat
Atwood bagaikan sebuah medan perang. Dengan topeng dan bahupenuh gumpalan busa, Lori mengikuti mobil di depannya. Nick tidak
kelihatan. Semoga dia sedang berlatih, pikir Lori.
Akhirnya Gina memberi aba-aba untuk meninggalkan lapangan.
Lori menarik nafas lega. Pintu gerbang Atwood sudah di depan
matanya. Ah, sebentar lagi selesailah semua urusan konyol ini.
Tapi saat mobilnya hampir melalui pagar, segerombolan anakanak tim Cougar mengelilingi mobilnya. Dua orang di antaranya
melompat ke kap mobil.
"Hei, Brengsek!" sergah Patsy dari balik topengnya. "Pergi
kau!" katanya sambil mendorong salah satu di antaranya, Patsy dan
Ann akhirnya berhasil mengusir mereka pergi.
Tapi salah seorang diantaranya, yang bertubuh besar, malah
berdiri menghalangi mobilnya, mengakibatkan Lori harus menginjak
rem mobilnya kuat-kuat agar tidak melindasnya.
"Minggir kau," sergah Lori sambil menekan klakson kuat-kuat
dan berharap anak ini menyingkir. "Aku nggak takut melindasmu!"
"Coba saja, kalau berani." Salah seorang yang memakai
seragam mendekati mobil dan merenggut topeng Lori. "Siapa sih
kamu?!"
Lori mencoba melawan, tetapi orang itu begitu kuat dan
merampas topengnya.
"Pacar si Hobart!" serunya.
"Gila!" seru yang lainnya lagi.
Tiga orang lagi memiringkan kepalanya dan menoleh
kearahnya. "Yah ... betul dia! Betul!"Saat mereka sedang kebingungan, Lori cepat-cepat menginjak
gas mobilnya dan melesatlah mobil kecil itu pergi meninggalkan
orang-orang yang mencoba mengejar.
*************
Lapangan parkir Atwood masih berantakan, ketika rencana
serbuan balasan mulai disusun. Sisa-sisa telur bertebaran di manamana. Danielle juga menyaksikan serangan tadi, dan ia ingin ikut serta
dalam rencana pembalasan ke Merivale. Namun ia masih punya
beberapa tugas yang harus dikerjakan sebelum berangkat ke panti
penitipan anak. Ia benar-benar cemas menghadapi hari-harinya di
sana. Gila, pikirnya, rasanya aku belum lagi sembuh sejak Jum'at
kemarin.
Tapi saat Danielle mendekati mobilnya, tampak olehnya Teresa
dan Heather. Untung sekali! Akhirnya datang juga dua manusia yang
ingin kuajak bicara sekarang.
"Hei, Dan!" pangggil Heather sambil menghampirinya. "Mau
ke mana?"
"Anak-anak pada ngumpul di lapangan," tambah Teresa. "Kita
mau membalas perbuatan Merivale. Kau nggak ingin ikutan?"
"Eh ? tentu, dong. Tapi tolong telpon aku malam ini dan
ceritakan apa yang terjadi. Aku benar-benar harus pergi."
"Kau kan tahu, Danielle, kalau kau memang lagi punya cowok
baru, kita pasti akan tahu." Mata coklat Teresa menatap ingin tahu.
"Sebaiknya ceritain saja deh, sekarang."
Danielle tertawa. "Apa sih yang membuat kalian yakin aku lagi
nguber cowok baru?"Teresa yang paling suka ngerumpi mencoba mendesaknya lagi.
"Lalu kenapa tidak kau ceritakan pada kami? Segitu jeleknyakah dia?"
"Jenius deh, kalian! Tentu saja aku mesti sembunyi-sembunyi
untuk ketemu orang yang jelek," balas Danielle dengan suara
mengejek. "Aku kan bosan juga keluar bersama cowok-cowok suka
nelpon itu," tambahnya sambil tersenyum nakal ke arah Teresa.
"Lagian, biar nggak matiin pasaran kalian. Daaah!"
Selagi Teresa sibuk mencari-cari kata-kata balasan, Danielle
dengan gesit menyeberangi lapangan parkir dan masuk ke BMW-nya.
Kalian tak akan bisa membalasku, Teresa! Aku memang gagal
di pelajaran psikologi tetapi aku tahu bagaimana mengurusmu!
*************
Di kamar Lori, ketiga gadis itu buru-buru membersihkan badan
mereka, mereka semua terlambat bekerja.
"Kenapa aku sampai terpancing si Gina Nichols untuk ikut
iring-iringan itu?" tanya Lori pada teman-temannya saat ia mengambil
sebuah sisir dan menyisir rambut pirangnya yang panjang. "Nick pasti
akan marah besar kalau tahu aku ikut dalam serangan itu. Mungkin ia
tak mau bicara denganku lagi."
"Ia akan memaklumi, Lor," jawab Ann menenangkan temannya.
"Kamu cerita ke dia nggak, soal Gina yang menerormu dengan
lencana sialan itu?"
Lori menggelengkan kepalanya. "Gina memang penyakit, tapi
Nick begitu sibuk oleh pertandingannya. Aku tak mau
mengganggunya dengan masalahku lagi."
"Mungkin kau perlu ceritakan seluruhnya padanya. Aku yakin
ia akan mengerti kenapa kau berbuat seperti itu," sahut Patsy.Ia akan tak habis pikir, kenapa aku tak setia padanya! Dengan
gelisah Lori menarik-narik ujung rambutnya. "Semoga dia mau
mengerti," gumamnya akhirnya.
***********
Danielle memasuki tempat parkir Mall, lalu melepas nafas lega.
Hampir saja, tadi. Entah bagaimana lagi caraku merahasiakan ini
semua. Mendingan membuat Heather dan Teresa penasaran sampai
lima belas jamku ini selesai, daripada mendengar cemooh mereka
karena aku mau bekerja di panti penitipan anak demi nilai Bu Ellis.
Danielle memarkir mobilnya di dekat sebuah Departemen Store.
Dia jarang belanja di toserba semacam itu. Itu pun hanya di sebuah
toserba terkenal di Fifth Street Avenue di New York. Kebanyakan
baju-bajunya dibeli di butik ekslusif semacam Facades. Dan saat ini,
ia tahu bahwa di Facades tak mungkin ada barang yang hendak
dicarinya itu.
Lima belas menit kemudian tampak Danielle keluar dengan tas
belanjaannya. Ia menunduk. Takut ada yang melihatnya membeli gaun
semacam ini ? tapi tentu saja tak akan ada yang melihatnya kecuali
anak-anak di panti Betsy Harper.
Tas belanjaannya berisi sesetel baju biru bermodel sederhana.
Danielle hendak mengganti bajunya setibanya di panti. Ngeri amat
membayangkan lima belas jam penuh bersama sekumpulan monster
cilik yang serba bising dan cengeng.
Saat menuju ke mobilnya, Danielle mendengar namanya
dipanggil. "Danielle, Danielle!" Ia terdiam sesaat. Mungkin
khayalanku saja. "Danielle, Danielle!"Apaan sih? Ada yang main-main, nih! Danielle berpaling.
Aduh, oh! Itu dia di sana. Danielle menoleh ke kiri dan tampaklah
kepala seorang anak di belakang Volvo merah. Mau ngajak main
petak umpet, rupanya pikirnya. Ia merunduk dan bergerak ke arah
anak itu sampai berada tepat di balik Volvo. Ia mau menangkap badut
itu. Danielle menunggu dengan sabar. Ia tahu bahwa anak itu akan
muncul untuk mengintip ke mana perginya dia.
Nah itu dia! Nih, rasain! Uff! Seruan Danielle tercekat ketika
tahu-tahu dia sudah beradu tatap dengan mata hitam Don James.
Perlahan-lahan mereka berdiri tegak berhadapan di samping kap
mobil. Danielle tak berkata apa-apa. Ia hanya berdiri memandang
cowok itu.
Mereka hanya saling tatap, tanpa senyum. Akhirnya Don
memulai, "Halo. Apa kabar?" Nadanya datar. Di sudut bibirnya lamatlamat membayang sebuah takikan. Takikan itu kemudian melebar
menjadi seringai, yang membuat wajah garangnya agak melunak.
"Hai," hanya itu yang dapat terucap dari bibir Danielle. Kenapa
cowok ini selalu dapat membuatnya seperti ini. Ia membuang matanya
ke arah lain untuk menghindari tatapan mata Don. Kemudian setelah
memaksa diri menatapnya lagi, Danielle balas bertanya. "Mau ke
mana?"
"Iseng aja. Pizza-nya enak?" tanyanya masih dengan tersenyum.
Mereka berdua tahu bahwa yang dimaksud adalah pizza yang mereka
makan bersama-sama dengan Nick dan Lori.
Setiap kali memikirkan malam itu atau Don, jantung Danielle
selalu terasa berdebar-debar, seperti orang sedang jatuh cinta. Tapi iatahu, itu tak mungkin. Walaupun baginya, Don adalah cowok paling
keren yang pernah ditemuinya selama ini.
Seorang gadis baik-baik, tak akan ngobrol dengan Don James.
Apalagi pergi bersamanya. Don terkenal karena reputasi jeleknya.
Setelah lulus dari SMA Merivale, ia ingin menjadi montir di kota.
Danielle Sharp pacaran dengan seorang montir mobil?! Tak usah ya!
Jangan harap itu akan terjadi, betapa pun ia telah membuat jantungnya
berdebar-debar.
Don mengitari mobil, lalu menatap Danielle. Sinar temaram
matahari sore membingkai kepalanya. Dan Danielle tak tahu apa yang
lebih membuatnya silau, matahari sore atau wajah keren itu.
Tiba-tiba seekor anjing menguik dan menggaruk-garuk ujung
roknya. Danielle menunduk, dan tampaklah seekor anjing besar
berbulu kuning berdiri di sisi Don. Danielle membungkuk dan
menepuk-nepuk kepala anjing itu.
"Hai Garbo," sapanya.
"Gimana? Kau mau ikut jalan-jalan ke danau?" tanya Don.
"Sebenarnya ingin," jawab Danielle malu-malu, lalu
dijelaskannya masalahnya tentang pelajaran Bu Ellis dan tugasnya di
panti.
"Aku harus sudah sampai di sana sepuluh menit lagi,"
tambahnya. "Betsy meminta agar aku membuat acara baru untuk
menyibukkan anak-anak sore ini. Tapi aku belum tahu apa yang akan
kulakukan. Coba kamu tahu anak-anak itu. Bandel-bandel!"
"Seperti teman-temanku," ujar Don bercanda. "Di mana
tempatnya?""Don! Aku serius. Bagaimana caranya menghibur anak-anak
itu?"
Sesaat kemudian, seolah mengerti apa yang mereka bicarakan,
Garbo berbaring di kaki Danielle. Lalu berguling sambil menengking
seolah minta agar perutnya digaruk-garuk.
Don dan Danielle saling berpandangan, sama-sama menemukan
ide. "Aku tahu. Bolehkah Garbo kubawa serta? Ia dapat mengalihkan
perhatian anak-anak untuk sementara," kata Danielle.
"Dia ini memang biang pesta," jawab Don. "Dia pasti bisa
menyibukkan anak-anak sampai berjam-jam."
"Hei, kau mau ikut aku ke panti?" tanya Danielle pada anjing
itu. Garbo langsung duduk dan menyalak. Danielle dan Don tertawa
lepas.
"Yah, akhirnya kau punya tambahan sukarelawan," ujar Don. Ia
bersedia menjemput Garbo nanti ke panti.
"Sampai ketemu ?" Danielle tersenyum, dan meraih tali
Garbo. "Aku punya perasaan ini akan berhasil."
"Apanya, yang berhasil?" tanya Don lagi.
"Si Garbo," jawab Danielle, walaupun yang dimaksud
sebenarnya adalah dirinya sendiri. "Wah, untung aku ketemu kamu,
Don."
Don memperlihatkan senyuman khasnya. "Eh non, siapa pun
yang ketemu aku pasti akan beruntung. Kan sudah kubilang tadi.
Sampai ketemu nanti."
***********
Walaupun Danielle agak cemas menghadapi suasana panti sore


Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini, namun ternyata hari ini berlalu dengan tenangnya. Garbo benar-benar berhasil membahagiakan dan mengalihkan perhatian anak-anak
itu. Begitu dibebaskan di lapangan, anjing itu segera bermain-main
dengan anak-anak.
Sehabis bermain-main dengan Garbo, tampak sekali bahwa
anak-anak itu kelelahan. Kemudian mereka semua berkumpul di ruang
dalam dan Danielle membacakan sebuah cerita. Asyik juga ya,
pikirnya. Kini anak-anak ini tak lagi seperti lautan wajah-wajah
sumber kekacauan. Bahkan ia juga mulai hafal nama-nama mereka,
dan juga apa kesukaan atau ketidaksukaan mereka.
Tak lama kemudian orang tua mereka mulai menjemput. Dan
kali ini Danielle merasa berat hati melihat mereka pulang!
"Saya senang kau bekerja di sini Danielle," kata Betsy saat
mereka membereskan ruang bermain. "Membawa anjingmu benarbenar ide yang bagus."
"Ah, itu cuma kebetulan, kok," jawab Danielle. Atau nasib,
tambahnya dalam hati. Don James selalu ada saat dibutuhkan.
Mungkin sang Nasib sedang mencoba menjelaskan sesuatu
kepadanya. Mungkin ...
Jangan tertawa Danielle, sergahnya pada diri sendiri. Kau tahu
itu mustahil. Dia tak sesuai untukmu.
Namun tetap saja, ketika mendengar langkah Don di serambi
panti, Danielle tak dapat menahan detak jantungnya. Tanpa peduli apa
yang ada di otaknya, hatinya menjerit keras, aku tak tahan untuk
segera menemuinya!Enam
"Lori, kamu kok gitu, sih!" mata biru Nick tampak berkilat
marah. Lori serasa ingin bisa menghilang ke dalam bumi. Tapi ia
sadar bahwa hal itu tidaklah mungkin.
Mereka berdua tegak di depan Tio's. Lori baru saja selesai
bekerja dan tahu-tahu Nick sudah menunggunya di luar. "Kurasa
kamu sudah dengar kalau aku ikut datang ke Atwood tadi?" kata Lori
terbata- bata.
"Sejelas mendengar warta berita jam enam sore! anak-anak
Cougar yang memberitahuku. Kau membuatku malu!"
"Begini, Nick, biar kujelaskan dulu. Ini bukan masalahmu?"
"Mungkin. Tapi ini jadi masalah buatku!"
"Nick, jangan ngomong begitu, dong! Aku sayang bener sama
kamu!"
Untuk sesaat ingin rasanya Lori menangis. Situasi benar-benar
jadi gawat.
''Wah, caramu menunjukkannya hebat amat!" tukas Nick sinis.
Lori menarik nafas. "Nick, bisakah kita pindah ke tempat lain
yang sepi untuk membicarakan hal ini?" Kalaupun memang harus
putus dengannya malam ini, setidaknya hal itu terjadi di tempat yang
sunyi, pikirnya tabah."OK. Kita ke O'Burger saja," kata Nick, "bangku paling
belakang."
Begitu duduk, Lori langsung menceritakan betapa Gina Nichols
terus membuntutinya seperti detektif, untuk membuktikan kalau Lori
berkhianat dan tidak mendukung Merivale. Nick memandang iba, dan
tanpa sadar menjulurkan tangannya menggenggam jemari Lori.
"Lalu Gina melihat foto itu di koran sekolah pagi ini, dan
seluruh sekolah menuduhku penghianat. Kalau aku nggak ikut ke
Atwood, bisa-bisa aku dimusuhi anak satu sekolah."
Begitu mendengar kata-kata 'Atwood', wajah Nick menjadi
keruh kembali. Kemudian ia melepaskan tangan Lori.
"Lor, kamu kan nggak perlu ikut ke Atwood, kalau nggak mau."
Lori mulai kesal. Nick tidak mau memahami posisinya.
"Nick! Kau tak mau mengerti! Aku tahu, memang sulit
untukmu, tapi begitu juga untukku. Aku terjepit!"
"Yah, tapi setidaknya kamu kan nggak perlu berlatih, dan selalu
mencemaskan pacarmu memihak siapa," tukas Nick dengan kasar.
"Ada teman sereguku yang meledek bahwa boleh jadi aku akan
berniat untuk kalah dalam pertandingan, untuk membuatmu senang."
"Nick! Kenapa dia harus berpikiran seburuk itu..."
"Ya, dan kurasa dia serius," tambah Nick sambil menatap
dingin.
Lori tak dapat berkata apa-apa lagi. Nick kehilangan
kepercayaan dari teman-temannya, karena dia. Tapi masa bodoh amat!
Ia sendiri telah mendapat banyak kesulitan, tidakkah Nick mengerti?
Kalau saja ia mau mengerti."Aku tak habis pikir, kenapa kita jadi kacau cuma gara-gara
pertandingan ini?" desah Lori sedih.
Nick menarik nafas. "Yah ? mungkin ini memang lebih
penting dari yang kau duga, Lor."
Lori tercekat mendengar ucapan Nick barusan. "Apa
maksudmu?"
Nick mengangkat bahunya. "Entahlah ? terserahlah." Ia
memainkan sedotan di tangannya dan meremas-remasnya. Lalu
menggeleng-geleng masygul. "Kurasa cukup pembicaraan kita. Aku
mau pulang." Ia bangkit dan meraih jaket Cougar-nya. Lori tergugu,
Nick benar-benar mau pulang.
"Nick, tunggu! Aku ingin kau menang. Asal kau tahu. Aku, eh,
memang lagi bingung."
"Lor," ucap Nick lagi. "Sudah kau jawab sendiri. Kamu
bingung. Kalau sudah nggak bingung lagi, telponlah aku."
Dengan terheran-heran Lori memandangi Nick membayar
pesanan mereka di kasir dan melangkah meninggalkan restoran. Air
matanya menggenang, dan ia berharap semoga tak ada yang melihat.
Mungkin kalau sempat memikirkannya lagi, Nick dapat
mengerti bahwa ia pada posisi tersudut.
*************
Danielle setuju usul Teresa dan Heather untuk bertemu di
bioskop six-plex di Mall. Ia sudah berhasil menghindari mereka dua
hari terakhir ini, tapi mereka benar-benar ingin menemuinya. Dengan
sambil nonton film, ia pikir mereka tak akan sempat lagi
menginterogasinya.
"Kita ke Video Arcade, yuk," ajak Heather."Sekalian bisa melihat-lihat orang-orang lain," tambah Danielle.
"Ide bagus," timpal Teresa sambil mengeluarkan kertas bedak
dari dompetnya dan memeriksa rambutnya sambil berjalan. Teruslah
bersolek, Teresa, batin Danielle dan tersenyum sendiri. Ia tahu, apa
pun yang dilakukan Teresa selalu akan mengundang perhatian cowok.
Malam ini anak itu mengenakan celana kulit biru ketat dan atasan
sweater biru bertudung. Tak ada cowok yang lewat tanpa meliriknya.
"Akankah kita menemukan seseorang tertentu, Danielle?" tanya
Heather. TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
"Misalnya si misterius yang kau temui diam-diam sepulang
sekolah setiap hari," tambah Tina. "Kenapa kali ini kau tak
menemuinya ... malahan pergi sama kita-kita?"
Danielle hanya tersenyum. Ternyata lebih mudah menipu
Teresa dan Heather ketimbang anak-anak di Panti. Ia tahu sekarang,
tak begitu susah untuk menipu mereka beberapa hari lagi.
"Baru jam sembilan kurang seperempat," sahut Danielle sambil
tersenyum cerdik. Dia menunduk memandangi kuku-kukunya yang
terawat rapih dan merapihkan rambutnya dengan tangannya.
"Mungkin akan kutemui dia nanti, sesudah jalan sama kalian."
"Iya deeeh ?" cibir Teresa. "Kamu kok rapih amat, sih?"
"Ayolah Dan, kasih tahu kita, siapa sih dia?" pinta Heather.
"Aku janji kita nggak bakalan bilang siapa-siapa deh. Ya kan,
Teresa?"
"Mulutku terjahit," sumpah Teresa
Danielle ingin tertawa mendengarnya. Cerita rahasia sama
mereka? Sama aja bohong."Nah, nona-nona, aku kan nggak bilang akan menemui
seseorang," ucap Danielle mengejek mereka.
"Kita jalan-jalan di pertokoan aja yuk, lewat The Big Scoop,"
ajak Teresa. "Banyak 'pemandangan' di sana, siapa tahu kau mau
cerita ke kita nanti."
"Mungkin juga," jawab Danielle pendek. Ia merasa seperti
seekor kucing yang mempermainkan dua ekor tikus bodoh. "Tapi
mungkin juga tidak."Tujuh
Dua hari ini rasanya begitu lama bagi Lori. Setiap saat ia pulang
buru-buru, takut kalau-kalau ada pesan dari Nick. Tapi ia selalu
kecewa, Nick tak pernah menelponnya. Sejak disibukkan dengan
pertandingannya, Nick tak punya waktu lagi untuk menemuinya di
Mall. Ia ingin sekali menilponnya, tapi takut, jangan-jangan Nick
masih marah? Atau malah lebih gawat lagi? Bagaimana kalau Nick
menganggap bahwa mereka telah putus, sejak di O'Burger itu?
Hari Rabu sore, saat Lori sedang membantu ibunya
membereskan dapur, tiba-tiba telepon berbunyi. Ia begitu terkejut
sehingga menjatuhkan sebuah piring.
"Bodohnya aku ini," gumamnya sambil menatap pecahan
keramik Cina itu. Ini alat dapur yang ketiga yang dipecahkannya.
Sambil menarik nafas dalam-dalam dipungutinya pecahan piring itu.
Bu Randall, ibu Lori, mengangkat telepon seraya menatap
anaknya dengan heran. Lori menahan nafas ingin tahu siapa yang
menelpon. Begitu mendengar bahwa itu adalah Teddy, adiknya
sendiri, ia sangat kecewa. Diletakkannya pecahan-pecahan piring yang
dikumpulkannya dan menangis."Lori?" panggil ibunya sambil meraih pundak Lori. "Sudahlah.
Nggak apa-apa, kok. Sebenarnya ada apa? Ada yang mau kau
bicarakan?"
Lori mengangkat bahunya dan menyeka airmata dengan
punggung tangannya. "Aku? Nggak apa- apa, Bu... Betul."
Bu Randall berdiri dan menatapnya, menunggu. "Ayolah,
sayang. Kau tiba-tiba melompat seperti kucing. Bagaimana dengan
Nick?"
Inilah Ibunya! Beliau punya bakat khusus untuk menebak
perasaan seseorang. Yah, karena sudah enam tahun bekerja sebagai
perawat, jadi terbiasa mendengarkan keluhan orang lain. Mereka
berdua duduk berhadapan di meja dapur.
"Uh ? entahlah di mana dia sekarang Bu. Kami lagi musuhan
dan aku belum mendengar kabar dari dia dua hari ini."
"Kedengarannya serius? Apa yang kalian ributkan?"
Lori mengangkat bahu. "Yah, sesuatu yang konyol."
"Setiap pertengkaran hampir selalu konyol. Tapi kamu tahu?
Ibu berani taruhan, saat ini Nick pasti juga sedang di sekitar rumahnya
dengan bingung. Sebingung kamu sekarang. Mungkin dia takut
menelponmu karena mengira kau masih marah padanya. Mengapa kau
tak mencoba menelponnya duluan?"
"Haruskah?" tanya Lori penuh harap.
Bu Randall tersenyum, sambil membawa pecahan piring ke
belakang.
"Lebih baik kau coba. Karena kalau kau diam saja, orang lain
yang akan mengambil kesempatan."
Lori menarik nafas dalam-dalam, "Baiklah, mau kucoba."Sesaat kemudian, Lori menaiki tangga ke kamarnya dan
memutar nomor telepon Nick, yang begitu dia ingat. Tapi malam itu ia
memutarnya dengan perasaan was-was. Ia benar-benar gugup dan
suaranya terdengar bergetar saat mengatakan halo.
Tapi Nick kedengaran sangat gembira menerima telponnya.
Lori sadar, nasehat ibunya benar. Mereka kemudian membicarakan
tentang sekolah dan tugas-tugas mereka. Lalu Nick mulai
menyinggung persoalan sumber pertengkaran mereka kemarin.
"Maaf atas sikapku kemarin, Lor. Aku kecewa sekali waktu
kau..."
"Aku juga," jawab Lori. "Aku ragu-ragu untuk menelponmu.
Kupikir kau menganggap kita putus, saat meninggalkan O'Burger
kemarin."
"Putus?! Aku memang marah, tapi?putus?! Hei, mendingan
kita nggak usah ngomongin itu lagi, deh. Mungkin aku memang nggak
ngerti perasaanmu, tapi aku tak mau kita putus."
Dalam seketika lenyaplah segala mendung dua hari ini, dan Lori
merasa semangat hidupnya tumbuh kembali.
"OK. Setuju. Kita nggak akan ngomongin soal pertandingan
lagi."
"Bukan itu maksudku," jawab Nick jujur. "Tapi kuharap kita
lebih berhati-hati."
Tahulah Lori, Nick masih kesal padanya. Tapi setidaknya dia
tak ingin putus. Mungkin segalanya dapat lebih baik mulai sekarang...
************
"Wow! Kau menelponnya? Berani juga kau," komentar Ann
pada Lori keesokan harinya saat mereka berangkat sekolah. "Akujarang nelpon Ron. Tapi kami memang sering ketemu. Kecuali akhirakhir ini, karena dia lagi sibuk ngurusin makalahnya." Yang dimaksud
Ann adalah Ron Taylor, pacarnya yang mahasiswa tingkat pertama,
yang juga bekerja di Body Shoppe.
"Sedih banget membayangkan aku putus dengan Nick," kata
Lori. "Ia bilang ia tetap saja nggak bisa ngerti masalahku, tapi kita
berdua sudah janji untuk nggak meributkan soal itu lagi."
Ann tertawa senang mendengar kabar gembira itu.
"Kau dan Nick benar-benar pasangan serasi, Lor," komentarnya
tulus "Masa kalian putus hanya gara-gara pertandingan ini."
"Yah, syukurlah ada yang menilai begitu," kata Lori tertawa.
"Lupain saja Lor. Sabtu ini pertandingannya. Lalu, selesailah
masalahmu, dan semuanya kembali normal."
Lori memarkir mobilnya di tempat yang kosong. "Rasanya
ingin segera Minggu, deh," gumam Lori perlahan. "Aku ngeri
menghadapi hari-hari yang akan datang. Pertandingan ini benar-benar
mimpi buruk bagiku."
"Kalau soal mimpi buruk," sela Ann. "Gina Nichols datang lagi
tuh!"
"Aduh, sepagi ini?!" desah Lori. "Ada apa lagi, nih?"
Gina menghampiri mereka. "Mana lencanamu, Randall?"
tanyanya, seperti seorang sersan yang memeriksa kelengkapan anak
buahnya.
"Hai Gin, apa kabar?" sapa Lori pada cheerleader judes itu.
Ann menghampiri Lori dan menyikutnya. Apa langkah Lori
sekarang? Kalau rnelawan, Lori akan berada dalam daftar hitam Gina!Ann tahu kalau Gina benar-benar serius saat ini. Tapi Lori
hanya berdiri bersedakap. Mata birunya menatap Gina dingin.
"Nih, Lor ?" sela Ann, sambil mengangsurkan lencananya
sendiri kepada Lori. "Pakailah punyaku. Aku punya satu lagi di
lokerku."
"Nggak deh. Terima kasih." Lori tersenyum pendek pada Ann
seraya menolaknya.
"Aku nggak pakai lencana hari ini, Gina, karena aku lagi nggak
mau. Kalau kamu nggak suka, terserah."
Untuk sesaat Gina tampak tergugu, mukanya memerah. "Oh,
jadi begitu? Baik. Terserah kau. Jangan harap kau bisa mengelabui
kami lagi, Randall. Aku tahu kau tak mungkin mendukung kami,
walaupun kemarin kau bisa mengelabui kami."
"Aku tak pernah menipu, Gina. Aku benar-benar mendukung
sekolah kita, seperti anak-anak lainnya. Tapi terus terang saja, aku
muak dan capek melihatmu memojokkan aku."
Anak-anak lainnya berhenti dan mendengarkan pertengkaran
mereka, Tapi Lori tak perduli lagi. Aku harus melawan kali ini, biar
dia tidak lagi semena-mena padaku.
"Tapi cowokmu anak Atwood ?" Gina mulai meniupkan
racun.
"Jangan bawa-bawa Nick dalam hal ini! Kau memaksaku
melakukan sesuatu yang tak mungkin. Mulai sekarang, aku tak mau
ikutan konyol seperti kemarin," potong Lori. "Anggap saja aku
penonton yang netral. Yuk, Ann." Lori memandang sesaat pada wajah
Gina yang memucat. "Kita sudah terlambat.""Oke." Ann mengejar Lori dan sesaat memandang Gina yang
nampak terlongong-longong.
"Wah-wah-wah! Kau betul-betul membuatnya mati kutu." Ann
memuji Lori saat mereka memasuki gedung sekolah. "Dia betul-betul


Merivale Mall 03 Antara Dua Pilihan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbungkam."
"Jangan kuatir," jawab Lori sambil tersenyum tipis. "Aku yakin
ia pasti akan segera mencoba lagi."
**************
Sore itu di Atwood semua anak nampak bersiap-siap untuk
serangan balasan ke SMA Merivale. Mobil-mobil dihias dengan
bendera dan tulisan-tulisan besar. Berkaleng-kaleng krim busa dan
telur-telur ditumpuk di lapangan parkir, siap untuk dilemparkan.
Dengan mobilnya Danielle pergi ke Panti. Untung Heather dan
Teresa ikut dalam iring-iringan itu, jadi mereka tidak akan merecoki
hari ini. Sambil menyenandungkan lagu favoritnya, Danielle keluar
dari tempat parkir Atwood. Dua hari lagi tamatlah tugas di Panti itu,
dan hidupnya akan kembali normal. Aku harus berbuat seolah-olah
sudah putus sama si 'cowok misterius'. Aku memang suka anak-anak
itu, tapi aku juga suka jalan-jalan. Bekerja terus, tanpa main-main,
bukanlah tipeku!
Saat melintasi jalanan lebar Merivale yang teduh oleh
pepohonan, pikirannya melayang-layang pada Don James. Dia begitu
berbeda dengan teman-temannya. Caranya berpakaian, selalu
memakai celana Levis dan jaket kulit. Jelas tidak rapi, tapi garang.
Ia benar-benar terhanyut, sehingga tak menyadari bahwa
Corvette perak Teresa berada beberapa mobil di belakangnya."Jangan dekat-dekat," Heather mengingatkan Teresa, "Jangan
sampai dia tahu kita kuntit."
"Beres." Sambil tetap mengawasi BMW putih itu Teresa
membelokkan mobilnya ke jalur lambat. "Kalau sampai sekarang
nggak ketahuan, pasti nggak akan ketahuan terus. Lagian, dia mengira
kita ikut dalam serangan ke Merivale, kan? Danielle nggak bakal
nyangka kita nguntit dia."
"Sayang juga sih, nggak ikut ke Merivale," jawab Heather.
"Tapi memergoki Danielle dengan pacar barunya lebih asyik, kan?"
"Iya lah, yaa," jawab Teresa setuju.
"Kupikir ia akan terpaksa mengaku siapa cowoknya itu
sekarang," komentar Heather lagi. "Nah kita beri dia kesempatan
untuk itu."
"Tahu rasa Danielle sekarang," kata Teresa dengan geram.
"Mungkin," Heather menyetujui.
"Eh! Dia belok ke bangunan kuning itu. Pasti dia janjian di
sekitar tempat itu."
Danielle memarkir mobilnya tepat di depan Panti. Diambilnya
bajunya dari dalam mobil dan masuk ke dalam. Teresa memarkir
mobilnya tak jauh dari situ.
"Hei, Heather, dia masuk ke sana! Panti Penitipan Anak.
Mungkin cowoknya guru di situ!"
"Ih, tua amat! Pasti ada apa-apanya."
Kedua gadis itu buru-buru menyeberangi jalan, lalu ? sambil
berusaha tidak terlihat ? mencoba mengintip lewat jendela. Tapi
sebelum mereka maju lagi, muncullah Danielle tiba-tiba dalamsetelannya, diikuti gerombolan anak-anak kecil yang berlarian ke
halaman sambil bersorak-sorai.
"Teresa! Heather!" Danielle kaget sekali melihat temantemannya. Bagaimana mungkin mereka dapat menemukannya?
"Ngapain kalian?"
"Lucu," kata Teresa. "Kita baru mau nanyain itu ke kamu."
"Nah, mana cowok misteriusmu, Danielle?" tanya Heather.
"Atau sebenarnya ia tidak ada? Cuma segerombolan anak-anak bandel
ini? Lucu amat!"
"Lihat bajumu!" seru Teresa seraya menunjuk pakaian Danielle
yang nampak murahan itu. "Ya ampun! Di mana sih kamu beli baju
itu? Di obralan, ya?"
"Gila! Kalian ngikutin aku?!" Mata hijau Danielle menatap
kesal.
"Kita juga heran, ngapain kamu sembunyi-sembunyi cuma buat
ngasuh bayi-bayi!" jawab Teresa, ia puas bahwa penyidikannya ini
berbuah.
"Kenapa Dan? Ayah-ibumu sudah tidak memberimu uang jajan
lagi?"
Walaupun Danielle cukup kaya, tapi orangtua Teresa dan
Heather jauh lebih kaya lagi. Uang saku kedua gadis itu selalu lebih
dari Danielle.
"Ini tanpa bayaran. Asal tahu saja, Teresa," sergah Danielle.
"Ini kerja sukarela dan aku mau karena aku suka."
"Oh, betapa mulianya kau, Danielle," ledek Teresa. "Sepertinya
aku melihat lingkaran suci di kepalanya. Kau ngeliat juga nggak
Heather?""He-eh," jawab Heather setuju, lalu tambahnya "Lho, di
pundaknya juga mulai tumbuh sayap-sayap kecil. Indah, tak
terlukiskan."
"Kalian benar-benar picik!" Danielle tertawa kesal. Ingin dia
mengatakan pada mereka mengapa ia bekerja di sini. Tetapi kini ia
sudah kerasan menjadi sukarelawan di Panti ini. "Buat apa aku harus
buang waktu menjelaskan pada kalian kenapa aku di sini?" kata
Danielle dengan nada sombong.
Dengan sedikit mengangkat bahunya, ia berputar dan mengikuti
anak-anak ke tempat bermain.
"Aku harus kerja. Daaah..."
***********
'Pernyataan Kemerdekaan' Lori segera tersebar di sekolah. Gina
berusaha menghasut tiap orang bahwa Lori memihak Atwood.
Lori merasa bahwa beberapa anak menghindarinya karena
hasutan Gina. Tapi ia tidak peduli. Kalau mereka percaya begitu saja
pada cerita Gina, pastilah mereka bukan teman yang baik. Patsy dan
Ann sudah jelas akan memihak padanya. Lori tahu apa pun yang
terjadi, mereka selalu bersama.
Seusai sekolah mereka bertiga bersama-sama ke Mall untuk
membeli sepasang jeans hitam untuk Ann, sebelum mereka mulai
bekerja. Di kamar ganti di Pants Patio mereka berdesakan, saat Ann
mencobai celana dan baju atasan yang ia suka.
"Mau banget aku melihatmu menyikat Gina tadi pagi," kata
Patsy. Ia duduk di sebuah bangku dengan memangku setumpukan
baju."Lori betul-betul sewot tadi," Ann menarik resleting celana
jeans yang dicobanya dan berkaca. "Kupikir sejak kau dan Nick
baikan lagi, kau ingin menunjukkan bahwa kau berada di pihaknya.
Semua orang akan maklum kok, Lor. Apalagi Nick kan pacarmu."
Lori menarik napas dan menggelengkan kepalanya. Sahabatnya
pun tidak mengerti.
"Kukatakan pada Gina, mulai sekarang aku tidak memihak
siapa pun. Serius. Itu satu-satunya jalan. Aku tak dapat memutuskan.
Aku merasa harus setia pada Merivale, tapi juga pada Nick. Dan tentu
saja aku tak mau terombang-ambing seperti bola pingpong. Anakanak di sekolah seharusnya menyadari. Nick juga."
**********
Tanpa mengacuhkan Heather dan Teresa, Danielle memimpin
anak-anak kecil itu bermain. Mereka main Ular Naga serta Jembatan
Runtuh. Kemudian istirahat makan kue dan susu sebelum bermain
lagi.
Anak-anak kecil itu memaksa Danielle untuk bermain Hantu
Biru. Walau ia tidak tahu, tapi sungguh menyenangkan melihat anakanak itu ganti mengajarinya. Mereka membuat lingkaran besar, saling
bergandengan sambil menyanyikan sebuah lagu, sementara itu salah
satu anak, menjadi Hantu Biru, berjalan di luar lingkaran sambil
berusaha menangkap anak lainnya untuk bergabung dengannya.
Dengan segera anak-anak itu berubah menjadi lingkaran dan sebuah
rangkaian yang berayun-ayun keluar masuk lingkaran sambil
bernyanyi.
Danielle begitu larut sampai tak sadar bahwa Heather dan
Teresa menonton mereka bermain."Yuk, Heather, kita pergi. Bosan aku ngeliat yang beginian."
Heather, masih juga terheran-heran. "Entahlah. Nggak
kebayang olehku. Kok Danielle, yang kita kenal, bisa seperti itu?"
Teresa memandang Danielle. "Yah kau betul. Ada yang aneh."
"Danielle sengaja memancing kita, aku tahu," kata Heather lagi.
"Gimana kalau kita katakan padanya kita mau jadi sukarelawan juga.
Kita lihat apa katanya nanti. Mungkin kita bisa tahu kenapa ia begitu."
"Bagus!" sahut Teresa girang.
Sudah saatnya membawa anak-anak masuk. Danielle
membariskan anak-anak itu dan menghitung jumlah mereka saat
melintasi pintu taman.
Heather danTeresa menunggunya di pintu keluar. "Hei, Dan,
kau kelihatannya senang kerja begitu," tegur Teresa sambil tersenyum.
"Sabar amat kau menghadapi anak-anak itu," tambah Heather
berlagak terkagum-kagum. "Dan mereka juga nurut sama kamu."
"Mereka anak-anak kecil, masih balita." Danielle mengangkat
bahu. Kelihatannya mereka telah berubah. Apa mereka mau
menipunya?
"Wah sepertinya kau harus masuk sekarang." Teresa menunduk,
menghindari pandangan menyelidik Danielle.
"Anu, eh, maafkan kelakuanku tadi. Mengejekmu bekerja di
sini."
"Aku juga, Danielle," Heather menyela. "Aku betul-betul
kagum, kau mau jadi sukarelawan seperti ini. Boleh nggak kita
ikutan?"
"Mungkin Heather dan aku dapat membantumu. Lebih ringan
kan?" tanya Teresa lagi.Danielle tak tahu mau ngomong apa. Mana mungkin ia
menghindar lagi? Kalau Heather dan Teresa ikut bekerja di sini,
mereka akan tahu. Bahwa ia tidak benar-benar bekerja sebagai
sukarelawan, tapi karena Bu Ellis.
Harus ada jalan keluarnya.
"Yah, sepertinya asyik juga kalian membantu. Tapi sepertinya
Panti belum butuh tenaga sukarela lagi sekarang."
Heather dan Teresa kelihatan kecewa.
"Yah kalau gitu, sebaiknya kita masuk saja menawarkan diri,"
saran Heather memandang ke arah Teresa.
"Uh, jangan. Nggak perlu begitu," tukas Danielle cepat-cepat,
takut kalau Betsy Harper akan senang menerima bantuan mereka.
"Aku punya ide! Kita bawa saja anak-anak itu ke Mall, Senin depan
pulang sekolah. Bagaimana kalau kalian menemuiku di sana dan
membantu mengawasi mereka?"
Teresa dan Heather saling pandang. Akhirnya Teresa mulai
bicara. "Yah?sepertinya bagus juga. Kita pasti bantu kan, Heather?"
Danielle tak percaya, mana mungkin cewek-cewek sok ini
menyetujui idenya? Asyik juga, sih, mengasuh anak-anak itu bersama
Heather dan Teresa, pikirnya. Dan kali ini Betsy tak usah ikut. Kita
bertiga dapat mengawasi mereka.
Lalu Danielle memimpin anak-anak memasuki ruangan,
sementara teman-temannya kembali ke mobil Teresa.
Di mobil, Teresa dan Heather tertawa terbahak- bahak. "Hebat!"
kata Teresa. "Dia pikir kita betul-betul mau membantunya mengawasi
gerombolan anak nakal itu.""Kau lihat wajah Danielle tadi, waktu kita bilang kita mau
bantu? Siapa pun tahu, pasti nggak enak jalan-jalan ke Mall dengan
segerombolan bayi-bayi cengeng. Repot."
Setelah capek tertawa, Teresa berkaca, membetulkan bedaknya
di kaca spion.
"Bayangin waktu kita nggak muncul-muncul, dan Danielle
harus mengasuh bayi-bayi itu sendirian."
"Wah pasti hebat!"
Teresa menghidupkan mesin mobilnya dan pergilah mereka.
"Entah Danielle tahu atau enggak, ya, tapi setidaknya dia tahu,
jangan coba-coba menipu kita,"
"Tak sabar rasanya mendengar akhir ceritanya." Teresa
menyeringai senang.Delapan
Mungkin hanya Lori, Ann dan Patsy yang tidak ikut dalam
perang di SMA Merivale. Mereka harus bekerja.
Murid-murid SMA Merivale lainnya telah mendengar tentang
serangan dari Atwood dan sudah menyiapkan busa dan telur. Begitu
rombongan Atwood tiba, mereka segera berlari keluar dan
mengepung. Halaman sekolah jadi semrawut, seperti juga mobilmobil Atwood, begitu pertempuran itu selesai.
Ketika Nick menelpon Lori kemarin malam, mereka tidak
menyinggung sama sekali tentang serangan Atwood. Mereka ngobrol
tentang segala hal, kecuali urusan persaingan Atwood-Merivale. Dua
hari lagi selesailah semua urusan ini, pikir Lori. Ia harus bertahan
sampai pertandingan Sabtu nanti.
"Rasanya seperti buronan saja," keluh Lori pada Ann dan Patsy
Jumat itu. "Syukur semua masalah akan selesai besok. Aku sudah
tidak tahan lebih lama lagi. Aku nyaris menyerah."
Ketiganya berangkat kerja seusai pulang sekolah.
"Pertandingannya besok. Santai saja Lor, jangan terlalu dipikirin,"
Patsy mencoba menenangkan.
"Iya Lor. Sudah bagus selama ini kau bisa menjauhi sumber api.
Nick sudah nggak marah lagi, dan kayaknya Gina juga sudah nggakpeduli," tambah Ann. "Masalah apa lagi yang kiramu bakal bisa
membuat kacau lagi?"
Lori mengerutkan dahi sambil mencari tempat parkir. Tak tahu
harus ngomong apa lagi. Mungkin ia terlalu berlebihan.
"Nggak tahu deh. Tapi rasanya masih akan ada masalah lagi."
Kedua sahabatnya meyakinkannya bahwa semua kecemasannya
itu tidak perlu, sampai akhirnya Lori jadi agak tenang. Sekilas tampak
olehnya nomor tempat parkirnya. Dan perasaannya yang semula agak
mendingan itu tiba-tiba menjadi kacau lagi. Semua tempat parkir
penuh, tinggal yang nomor tiga belas! Terpaksa ia mengambilnya
juga, namun firasat buruknya muncul.
************
Sibuk sekali di Tio's. Lori bertugas menerima pesanan di
belakang counter. Padatnya pengunjung tidak merisaukannya, malah
sekalian untuk membuatnya melupakan segala kekuatirannya dan
membuat waktu cepat berlalu. Setelah antrian mulai susut, Lori
melirik jamnya. Ia kaget, satu jam lagi waktu pulang.
Tuh, kan. Itu cuma takhayul. Tak ada kejadian buruk, kan ?
Tapi beberapa detik kemudian, terdengar suara Gina Nichols.
Dengan segera tampak olehnya Gina dan gengnya dari Merivale
Vikings berkerumun di Tio's.
Ya ampun! Gina dan gengnya adalah orang-orang terakhir yang
harus ia layani. Sebaiknya aku tukar tempat sebentar dengan salah
satu crew dapur!
Lori cepat-cepat meninggalkan counter, menuju pintu
bertuliskan 'Khusus Karyawan'. Tapi dasar nasib. Ia pas berpapasan
Dewi Maksiat 2 Si Pisau Terbang Pulang Karya Yang Yl Racun Kelabang Merah 1

Cari Blog Ini