Ceritasilat Novel Online

Mencari Busur Kumala 14

Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 14


mengangkat kedua lengannya pula namun kalah kuat,
i tekan dan akhirnya terlempar menumbuk tebing.
Dinding tebing melesak dimasuki punggung hwesio ini.
Sang kakek tertancap. Dan ketika semua melotot
namun sadar oleh hasil pertandingan itu, Fang Fang
melayang dan berayun kembali di atas Busur Kumala
maka pendekar ini menjura dalan-dalam dan saat itu
meleduklah tepuk riuh seribu orang lebih.
"Maaf, lo-suhu menghendaki sendiri kejadian
ini. Maaf dan sekali lagi lupakan kekurangajaranku ini
kepada lo-suhu yang terhormat."
Hwesio itu bergerak dan melepaskan diri dari
lekukan tebing yang mencetak tubuhnya. Orang dapat
55 membayangkan kehebatan hwesio ini pula. la melesak
akan tetapi tak apa-apa, padahal kalau orang lain
tentu sudah retak dan hancur punggungnya. Maka
ketika siapapun bertepuk dan memuji hwesio itu pula,
kakek ini bergerak dan melayang turun ke bawah
maka siapapun melihat wajah hwesio itu merah
padam akan tetapi matanya berseri-seri.
"Omitohud, sungguh pantas dan mengagumkan
seperti dewa. Kalau pinceng kalah seperti ini sungguh
tidaklah memalukan. Heh-heh, biarlah Hian-ko Sinkun merasakannya dan pinceng ganti menonton!"
(Bersambung jilid 24)
56 COVER 1 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0=
Karya : Batara
Jilid XXIV
*** "WUT!" Hian-ko Sin-kun berjungkir balik dan
terkekeh bergelak. "Kalau kalah seperti ini memang
tidak memalukan, Omei-san lo-suhu. Lihat sebuah
kancing baju Fang-taihiap pun lepas. Kau kalah
terhormat dan tidak terlalu kehilangan muka!"
"Omitohud," hwesio itu tersenyum dan
menjura. "Semua ini tidak lepas dari kebaikan Fangtaihiap dan watak luhurnya. Kalau ia mau menghindar
tentu dapat dan itu sekedar kemurahan belaka."
"Ha-ha, kalau begitu mundurlah. Biarlah aku
mendapat kemurahannya pula dan kujajal sampai di
mana tenagaku yang tua ini mampu menghadapinya!"
kakek itu sudah menyambar turun dan kini ia
terkekeh-kekeh menghadapi lawan. Sebuah kancing
baju tuan rumah memang copot dan itu adalah hasil
serangan hwesio itu tadi, meskipun sang hwesio tak
3 begitu gembira oleh keberhasilannya ini karena diamdiam ia tahu betapa tuan rumah berlambat
menghindar untuk memberinya muka. Maka ketika
kakek itu berhadapan dengan lawannya dan Fang Fang
tersenyum maka pendekar ini menjura memberi
hormat. "Locianpwe telah maju, dan aku tentu saja tetap
akan mempertahankan Busur Kumala sesuai kekuatan
ku. Karena aku adalah tuan rumah harap locianpwe
tak perlu sungkan-sungkan lagi dan justeru akulah
yang mohon kemurahan locianpwe agar dapat
memenangkan pertand'ngan ini."
"Ha-ha, kau tuan rumah yang menyenangkan.
Bersiaplah, Fang-taihiap, aku akan merebutnya dan
tak perlu kita banyak bicara lagi!" belum habis katakata ini mendadak kakek itu lenyap dan sudah
menyerang lawannya dengan amat cepat. Sin-hocoan-in alias Bangau Sakti Menerjang Awan
dikeluarkan, kakek itu bergerak amat cepatnya hingga
tahu-tahu kelima jarinya sudah berada di ujung hidung
lawan. Sekali cengkeram wajah lawan bisa celaka.
Akan tetapi ketika pendekar itupun lenyap dan kakek
ini terkejut lawan menghilang tak diketahui di rnana,
angin berkesiur dan ia merasa panggungnya ditotok
mendadak kakek ini menggerakkan kaki ke belakang
4 dan bagai kuda menendang ia menangkis sekaligus
mematahkan serangan tuan rumah yang begitu
mengejutkan dan tak kalah cepatnya.
"Duk!" kakek itu terpental dan orang bersorak
ramai ketika gebrakan yang ber langsung amat cepat
ini berkesudahan seri. Masing-masing pihak diserang
dan menyerang amat cepatnya. Akan tetapi ketika
kakek itu terkekeh dan menyambar lagi maka iapun
sudah membentak dan sekali ia meledakkan ujung
bajunya maka ujung baju itu menampar dan siapapun
tergetar oleh suaranya yang memekakkan telinga.
"Plak-plak!" tuan rumah menangkis dan kakek
ini terdorong. Dari adu pukulan ini ia merasa
telapaknya pedas. Hian-ko Sin-kun terkejut akan
tetapi kakek itu tergelak. Maka ketika ia menyerang
dan menyambar lagi kakek ini sudah beterbangan
amat cepat dan tubuhnya naik turun menyambarnyambar hingga akhirnya tak dapat diikuti mata lagi.
Bersoraklah para penonton oleh pertandingan
mendebarkan ini. Dua orang yang memiliki
kepandaian tinggi sudah sambar-menyambar di
puncak tebing. Mereka tak kelihatan lagi setelah
pendekar itupun mengimbangi lawan. Sin-bian-gin
kang alias Ilmu Kapas Sakti dikeluarkan Dan ketika
5 pendekar itupun melayang-layang di antara bayangan
kakek ini, betapa pukulan dan tamparan dihindari atau
ditangkis maka berkali-kali kakek itu terpental namun
ia maju lagi hingga pertandingan menjadi begitu
ramai. "Plak-duk!" sang kakek terhuyung lagi akan
tetapi tergelak menyambar berputar. Berkali-kali ia
terdorong dan berkali-kali pula telapaknya semakin
pedas. Tanpa terlihat orang lain kulit kakek ini memar.
Akan tetapi karena ia penasaran dan selalu menyerang
lagi maka kakek ini tak kenal sudah dan ia seakan tak
memperdulikan kulit tangannya yang mulai pecahpecah. Bahkan ujung lengan bajunya sudah robek dan
betapa kakek itu meringis menahan sakit namun
gerakan tubuhnya masih demikian cepat bagai
rajawali berkelebatan menyambar-nyambar mangsa
nya. "Ha-ha, ini baru tua bangka berjiwa muda. Ayo
keluarkan semua kepandaian-mu, Hian-ko Sin-kun,
keluarkan senjatamu!"
"Omitohud," Omei-san menimpali Sin-kun Butek. "Senjata dikeluarkan bukan untuk sebuah pibu,
Bu-tek, melainkan untuk mencari lawan dan
6 membunuh. Ini hanya pertandingan persahabatan
(pibu) dan bukan untuk menghilangkan nyawa!"
"Ha-ha, kau keledai bau selalu sok suci. Kalau
yang bertanding adalah anak kecil mungkin saja
sebuah nyawa mudah dihilangkan. Akan tetapi
pendekar itu bukan anak kecil, ia tahu menjaga diri
dan sebaiknya Hian-ko Sin-kun mencabut senjata.
Atau ia tak akan puas dan nanti dikiranya tuan rumah
hanya bocah kemarin sore yang tak mampu
mengalahkan kita tua-tua bangka ini!"
"Betul!" seruan nyaring seorang anak kecil
mengejutkan semua orang. "Kongkong tak akan
mudah dirobohkan biarpun lawannya bersenjata,
locianpwe. Aku berani bertaruh dan menjagoi kongkongku!"
"Cit Kong!" bentakan Tan Hong membuat anak
itu mengkeret di balik punggung ibunya. "Diam dan
jangan bersikap sombong. Anak kecil tak perlu
bersuara!"
"Ha-ha, itu pendukungku yang tak perlu
disalahkan. Kalau dia tak mau mengeluarkan senjata
biarlah aku yang mengeluarkannya, anak muda.
Akupun sudah gatal-gatal dan ingin memasuki arena
pertandingan kalau kakek itu tak mau mengeluarkan
7 senjata!" Sin-kun Bu-tek tiba-tiba mengeluarkan
sulingnya dan begitu kakek ini meniup mendadak
terdengar lengking menggetarkan yang membuat
semua orang terkejut. Kakek itu terkekeh-kekeh dan
meneruskan tiupan sulingnya dan Omei-san sang
hwesio terkejut. Hwesio itu membentak dan
berkelebat maju akan tetapi kakek ini tak perduli.
Lengking suling membuat orang berteriak, pasukan
Bu-goanswe tiba-tiba roboh. Dan ketika suling terus
ditiup sementara sang hwesio menjadi marah
mendadak hwesio itu menyambar Sin-kun Bu-tek
disertai bentakannya yang menggeledek.
"Berhenti!"
Akan tetapi dua bayangan berkelebat. Wanita
bermata biru dan suaminya ganti membentak hwesio
itu. Inilah menantu dan puteri Sin-kun Bu-tek. Maka
ketika hwesio itu terkejut dua bayangan menyambar
ke arahnya, betapa dua pukulan menangkis sekaligus
membuatnya terdorong maka seruan suami isteri itu
membuatnya terhenyak.
"Jangan ikut campur dan biarkan Fang taihiap
menentukannya sendiri. Kalau ia masih kuat maka
siapapun tak boleh membantunya... dukk!" hwesio itu
tergetar miring sementara dua suami isteri itu sudah
8 berhadapan dengannya dalam posisi siap tempur.
Yang wanita menyala-nyala sementara yang lelaki
mengangguk menyetujui. Sin-kun Bu-tek masih
meneruskan sulingnya dan bayangan lain berkelebat.
Tan Hong jago muda itu sudah menjura di depan
hwesio ini. Dan ketika sang kakek tertegun
membelalakkan mata maka kata-kata pemuda itu
membuat hwesio ini merandek. Orang-orang kangouw tiba-tiba mengeluh dan roboh terduduk, suara
suling semakin kuat membuat anak telinga
mendengking-dengking.
"Apa yang dikatakan dua orang ini benar.
Mundurlah dan biarkan suhengku melayani lawannya,
lo-suhu. Kalau orang lain membantu salah-salah
hasilnya berbeda. Terima kasih atas perhatian lo-suhu
dan kami keluarga Liang-san tak akan tinggal diam bila
ada kecurangan di sini."
Hwesio itu tertegun dan akhirnya mundur dan
iapun tiba-tiba tersipu malu. Ia lupa bahwa masih ada
orang kuat di pihak Liang-san, masih ada pemuda itu
yang ia tahu sendiri tak berada di bawah tingkatnya
jika ingin membantu. Maka mengebutkan bajunya
berseru mundur iapun memandang pertandingan lagi
sementara Sin-kun Bu-tek menambah kekuatan
9 sulingnya hingga tembok mulai bergetar dan retakretak.
"Omitohud, pinceng lupa. Maafkan dan kalau
begitu pinceng menonton!" kakek itu benar-benar
menonton dan ia akhirnya mengangguk-angguk dan
melihat betapa pendekar itu masih dapat melayani
lawannya biarpun dibantu Sin-kun Bu-tek. Tuan rumah
masih tetap tenang dan menyambar-nyambar
sementara dahi Sin-kun Butek mulai berkeringat.
Suara suling tiba-tiba menurun rendah dan akhirnya
lenyap. Pasukan Bu-goanswe dan orang-orang
kangouw bangkit berdiri, meskipun terhuyung dan
beberapa di antaranya roboh lagi. Dan ketika kakek itu
membuka mata dan tertawa bergelak, suara sulingnya
tak banyak membantu mendadak ia berseru mencelat
ke depan. Suling di tangannya tahu-tahu menotok
pundak kanan tuan rumah.
"Hwesio bau berlagak tengik. Ayo majulah
sekalian dan kita uji murid Dewa Mata Keranjang ini!"
"Omitohud," sang hwesio terkejut lagi. "Kau
curang, Sin-kun Bu-tek. Ini namanya bukan pibu!"
"Ha-ha, kau banyak sungkan dan terlampau
banyak memakai peradatan. Maju dan gempur bertiga
dan jangan khawatir lawan kita terluka!"
10 Hwesio itu terkejut mem belalakkan mata akan
tetapi iapun teringat keluarga Liang-san yang masih
berdiri di situ, terutama Tan Hong, Pemuda itu
ternyata tenang-tenang saja dan iapun merasa
penasaran. Harus diakui bahwa ia terlampau sungkan.
Dibanding Sin-kun Bu-tek yang tanpa tedeng alingaling ini memang dirinya bukan apa-apa, ia seorang
pendeta. Maka terbelalak betapa tuan rumah
dikeroyok dua, Sin-kun Bu-tek tergelak dan
menotokkan sulingnya namun terpental barulah ia
membuka mata lebar-lebar betapa sesungguhnya
pendekar itu amat sakti, jauh di luar dugaannya.
"Ha-ha, maju dan jangan bengong di situ. Lihat
hanya sekali ini kesempatan kita atau selanjutnya tuan
rumah tak akan meladeni kita lagi!"
Hwesio itu batuk-batuk dan mukanya
mendadak merah. Teringatlah dia ketika gagal
menemukan pendekar ini ketika Ia dan Sin-kun Bu-tek
berkeliaran mencari. Bahkan bersama Hian-ko Sin-kun
mereka bertiga gagal menemukan pendekar itu. Maka
terbelalak mendengar kata-kata ini sementara
pendekar itu tetap tenang melayani lawannya maka
terdengarlah seruan Hian-ko Sin-kun yang gemas
namun kagum bukan main.
11 "Keledai gundul, maju dan main-main di sini
mumpung kesempatan kita ada. Sin-kun Bu-tek betul,
lawan kita betul-betul luar biasa dan harus kuakui
behwa seorang diri aku tak kuat. Berduapun tak
mampu mendesak!"
"Omitohud!" hwesio itu bersinar. "Pinceng
belum melihat kekalahan kalian, Hian-ko Sin-kun.
Meskipun tak mendesak lawan akan tetapi Fangtaihiap pun tak mampu mendesak kalian!"
"Ha-ha, sungguh tolol dan masih juga sungkan.
Kalau kau tak mau maju biarlah kami mendesaknya
atau kau lihat kami yang roboh... des-dess!" Sin-kun


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bu-tek membentak keras dan suling di tangannya
mendadak lenyap menjadi sinar kebiruan. Tak ada
mata yang mampu melihatnya akan tetapi terdengar
ledakan keras. Tiba-tiba saja kakek itu menjerit dan
terlempar. Dan ketika Hian-ko Sin-kun juga mengeluh
dan terhuyung beberapa tombak maka tampaklah
baju pendekar itu robek namun ujung suling pecah
dan tangan Sin kun Bu-tek menggigil kuat.
"Omitohud...!" sang hwesio berseru memuji.
"Kau tampaknya harus mengeluarkan Sian-kongciangmu, Sin-kun Bu-tek. Dengan senjata saja masih
tak cukup!"
12 "Hwesio bau!" kakek itu memaki. "Kau hanya
bercuap-cuap akan tetapi tak pernah maju. Hayo
main-main di sini atau kupukul pantatmu nanti!"
"Heh-heh," Hian-ko Sin-kun tertawa. "Rugi tak
memasuki arena ini, keledai gundul. Daripada
berkaok-kaok lebih baik membantu dan puaskan hati
kita mumpung ada kesempatan!"
"Betul, atau kau pulang dan selanjutnya tidur di
pelukan ibumu. Sudah tak perlu membujuk dia lagi
dan mari keluar kan semua kepandaian kita!" Sin-kun
Butek melengking lagi dan kakek itu tampak gemas
dan marah terhadap hwesio ini. Berulang-ulang ia
membujuk akan tetapi hwesio itu tak maju juga. Maka
mendongkol melepas kemarahannya dan maju lagi
kakek itu menggerakkan sulingnya yang pecah dan
tangan kirinya tiba-tiba menampar mengeluarkan
kilatan tujuh warna. Hian-ko Sin-kun juga berkelebat
dan kini kakek itu mengeluarkan panah emas yang
berkeredep menyilaukan mata. panah yang mirip
dimiliki sutenya Sia-tiauw-eng-jin.
"Plek-plak!" dua orang itu terdorong namun
pendekar itu juga tergetar. Suling dan panah disambut
tuan rumah akan tetapi tenaga yang amat kuat
menolak dua kakek itu. Mereka terkejut akan tetapi
13 menerjang lagi. Dan ketika panah dan suling
menyambar cepat, juga pukulan dan ginkang yang
membuat dua kakek itu lenyap berkelebatan ke sana
ke mari maka sang hwesio tertegun di tempat namun
mukanya merah padam, la malu dan gusar juga
disuruh pulang untuk tidur di pelukan ibunya!
"Omitohud," akhirnya hwesio ini menggosokgosok telapaknya. "Kalau Fang-taihiap tak
menyuruhku tak mungkin pinceng maju, Sin-kun Butek. Pinceng bukan anak bayi dan masih mengerti
aturan. Hanya kalau tuan rumah menghendaki
barulah pinceng maju, bukan karena takut!"
"Ha-ha, kau memang cerewet dan biar saja
menonton di situ. Aku akan mengeroyoknya berdua
dan tak perlu bantuanmu lagi... uh, dess!" kakek itu
bergoyang-goyang dan tiba-tiba mengeluh ketika
suling di tangannya terpental dan hampir
menghantam kepalanya sendiri Tidak hanya itu
melainkan pukulannya tertiup balik, menghembus dan
menghantam
dudanya sendiri membuatnya
mengeluh. Dan ketika hwesio itu terbelalak namun
Sin-kun Bu-tek maju kembali, membentak
mengeluarkan It-ho-kai-san (Suara Gugurkan Gunung)
maka pasukan Bu-goanswe kembali menjerit dan
14 orang orang kangouw yang menonton di bawah juga
berteriak dan terlempar roboh.
"Auuugghhhhh-hiaaattttt!!"
Hebat bentakan atau suara It-ho-kai-san ini.
Tenaga yang dikeluarkan Sin-kui-Bu-tek tak mainmain. Ia adalah tokoh tua yang kemampuannya
setingkat mendiang Dewa Mata Keranjang. Maka
ketika ia mengeluarkan kesaktiannya itu dan suaranya
yang dahsyat menggugurkan tebing hebat kakek ini
maka yang lain harus mengerahkan sinkang untuk
melindungi isi dada yang seakan hendak pecah.
"Blarrr!"
Ledakan dahsyat itu disertai muncratnya bunga
api ke delapan penjuru. Semua terpekik dan roboh
mengaduh. Kiok Eng dan lain-lain juga mundur dan
duduk bersila, hanya Tan Hong dan hwesio itu yang
berdiri berkerut kening. It-ho-kai-san dikerahkan
hampir sepenuh pekikan. Dan ketika asap lenyap
mengiringi bunga api, puncak tebing runtuh disertai
hujan batu maka Busur Kumala terlempar oleh
pekikan It-ho-kai-san ini namun secepat kilat sudah
disambar pendekar itu sementara Sin-kun Bu-tek dan
Hian-ko Sin-kun terguling roboh bersandar dinding.
Suling di tangan kakek itu hancur sementara panah
15 emas di tungau Hian-ko Sin-kun menjadi dua. Patah
dan bengkok!
"Ha-ha, luar biasa kemajuanmu. Hebat dan
mengagumkan kesaktianmu, Fang taihiap. Sinkangmu
luar biasa sekali sementara tubuhmu itu, ah... kau
telah menguasai Sap-thi-hong-te (Asap Baja Pelindung
Bumi). Pesat sekali kemajuanmu dan aku si tua bangka
ini menyatakan takluk. Akan tetapi masih ada Omeisan hwesio bau itu yang siap mengeroyokmu apabila
kau minta. Hayo jangan tanggung-tanggung dan
biarkan tiga tua bangka ini tunduk luar dalam, ha-ha!"
"Benar, ia memiliki Sap-thi-hong-te Panah
emasku tak mampu melukainya dan ia menolakku
balik. Aduh, kalau lawan kita kejam tentu kita
mampus. Heh-heh...!" Hian-ko Sin-kun juga terkekeh
serak dan tampak kakek itu bangkit susah payah. Tadi
berdua dengan rekannya mereka melakukan serangan
hampir berbareng. Panah menyambar tenggorokan
sementara suling di tangan Sin-kun Bu-te menghantam kepala, setelah dekat diturunkan ke bahu
akan tetapi sungguh tak diduga senjata itu tak mampu
dibelokkan. Hian-ko Sin-kun juga merobah serangan
nya akan tetapi panah emas mendadak meluncur
lurus, tak mampu dimiringkan ataupun diungkit ke
bawah menuju pundak kiri. Ada tenaga gaib yang tiba16
tiba memaksa mereka bagaikan robot saja. Bukan
maksud mereka untuk melakukan serangan
membunuh. Maka ketika ke duanya terkejut tak
mampu merobah arah serangan, betapa Sian-kongciang menyambar pula dari tangan kiri Sin-kun Bu tek
maka keduanya diam-diam menjadi pucat betapa
serangan mereka ke tenggorokan dan batok kepala
bisa berakibat fatal, paling tidak dapat membahaya
kan keselamatan pendekar itu yang bisa luka parah.
Akan tetapi terjadi kejutan itu, yakni munculnya
hawa dingin disertai kekuatan yang tak mampu
membelok kan serangan mereka. Sebagai tokoh-tokoh
tua dan berkepandaian tinggi tentu saja mereka dapat
merobah arah serangan setelah jarak begitu dekat.
Mereka tak bermaksud melakukan serangan maut
karena pada detik yang sedemikian cepatnya itu
mereka akan segera membelokkan sasaran. Akan
tetapi ketika tiba-tiba saja mereka menjadi kaku oleh
serangkum hawa dingin bertenaga gaib, betapa
mereka seakan robot yang tak mampu merobah arah
serangan maka dua orang kakek ini mengeluh di dalam
hati dan yang mereka lakukan hanyalah mengurangi
tenaga tusukan akan tetapi itupun tiba-tiba membuat
mereka terkejut betapa bawah lengan sampai ke
ujung-ujung jari tak dapat dikuasai dan akibatnya
17 serangan mereka
membunuh. tetap hebat dan mampu "Tas-plak!" akan tetapi yang terjadi justeru
membuat dua kakek ini tertegun. Panah dan suling
mereka mengenai sasaran dengan tepat, tenggorokan
dan batok kepala. Akan tetapi ketika suling malah
hancur sementara panah menjadi cengkok dan patah
maka saat itulah mereka melihat dinding asap yang
seketika diketahui sebagai Sap-thi-hong-te yang hanya
dimiliki oleh orang yang sudah setingkat dewa!
"Uh!"
"Ah!"
Dua kakek itu terhuyung dan akhirnya roboh
terduduk. Mereka pucat memandang pendekar itu
akan tetapi kekaguman besar tak dapat disembunyi
kan lagi. Mereka begitu takjub akan kesaktian lawan
mereka ini. Muka ketika Sin-kun Bu-tek tergelak
berseru sementara rekannya terkekeh mengusap
panahnya yang patah maka keduanya bangkit berdiri
dan kata-kata itu memancing keinginan bertanding di
hati si hwesio Nepal.
Akan tetapi tuan rumah menjura dan
tersenyum halus. Pendekar itu menggeleng dan
berkata bahwa semuanya cukup, tak ada yang perlu
18 dipertandingkan lagi. Dan ketika pendekar itu
membungkuk merangkapkan tangan di depan dua
kakek ini maka kata-katanya membuat Sin-kun Bu-tek
tak puas. Kakek itulah yang ingin menunjukkan kepada
si hwesio Nepal bahwa pendekar ini mampu
menghadapi mereka bertiga.
"Maaf, dan cukuplah kiranya main-main ini.
Kalian telah membuatku susah payah, jiwi-locianpwe
(dua kakek gagah). Hanya berkat daya tahanku saja
aku dapat bertahan. Seandainya jiwi masih muda dan
belum dimakan usia belum tentu aku mampu
bertahan. Semua ini berkat nasib baik saja dan terima
kasih atas ke murahan Jiwi."
"Wah, tidak bisa. Belum cukup. Masih ada
Omei-san si keledai gundul yang belum turun arena.
Tangannya gatal-gatal. Lihat betapa mimik mukanya
kecewa kalau kau tak mau bertanding lagi!" Sin-kun
Bu-tek berseru menggeleng-geleng kepala dan katakatanya ini membuat si hwesio terkejut. Memang tak
dapat disangkal betapa tiba-tiba ia kecewa pendekar
itu tak mau bertanding lagi. Ia hanya menunggu
isyarat tuan rumah. Maka ketika mimik mukanya
masam akan tetapi tentu saja ia terkejut oleh seruan
itu maka buru-buru hwesio ini mengulapkan lengan
melempar ujung jubah.
19 "Omitohud, Sin-kun Bu-tek amat tajam. Karena
pinceng sudah bertanding dan mengaku kalah maka
tak selayaknya maju lagi menandingi Fang-taihiap.
Pinceng sudah mengakui kelemahan dan Sin-kun Butek jangan memaksa!"
"Ha-ha, kau seperti aku. Melihat lawan semakin
lihai tak mungkin mau sudah, hwesio bau. Kau belum
merasakan semua kepandaian Fang-taihiap dalam
keroyokan bertiga. Kalau kau pulang dengan cara
begini maka kuanggap kau munafik!"
"Omitohud, omongan apa ini. Munafik bagaimana?"
"Ha-ha, tak perlu pura-pura. Karena mimik
mukamu tampak kecewa maka akuilah terus terang
bahwa diam-diam kaupun ingin mengeroyok bertiga.
Kami berdua sudah kalah, tapi karena kau belum ikut
bertanding dan tak dapat mengeluarkan semua
kepandaianmu maka kau masih menyimpan
penasaran dan pulang ke Nepal tak seratus persen
puas., Hayo mengaku atau kuanggap dirimu pendeta
omong kosong!"
"Omitohud...!" hwesio ini memerah mukanya.
"Kata-kata Sin-kun Bu-tek sungguh tajam tapi pinceng
tak akan memaksa Fang-taihiap maju lagi. Kalau ia
meminta barulah pinceng masuk, akan tetapi kalau
20 dianggap sudah tak perlu lagi maka tak selayaknya kau
menyuruh ia bertanding!"
"Bagus, kalau begitu masuklah kelompokku.
Aku akan menantangnya sekali lagi dan tak akan
memaksa jika ia tak mau. Tapi kupercaya bahwa tuan
rumah bukan seorang penakut yang harus mundur
hanya gara-gara ditantang bertiga, ha-ha!" kakek itu
tergelak-gelak dan sang hwesiopun berubah mukanya.
Kata-kata ini amat cerdik dan langsung mengena.
Pendekar itu tak mungkin menyuruhnya maju hanya
kalau diminta Sin-kun Butek. Akan tetapi begitu kakek
itu mengeluarkan tantangan dan tak mungkin seorang
gagah menolak maka sekali tepuk kakek ini menjaring
dua keberhasilan. Pertama adalah memasukkan
hwesio itu dan kedua memaksa tuan rumah untuk
maju bertanding lagi.
"Ha-ha...!" Hian-ko Sin-kun kali ini terkekeh.
"Kau pintar, Sin-kun Bu-tek, licin seperti ular pula.
Kalau kata-katamu seperti ini tak mungkin Fangtaihiap menolak. Dan keledai gundul itu, heh-heh...
iapun pasti maju dan mau!"
Hwesio ini memerah tersipu dan mau tak mau
iapun pasti maju. Sin-kun Butek telah mengajaknya
seperti itu dan tak, mungkin ia mundur. Hanya kalau
21 tuan rumah menolak ia tak akan bertanding. Akan
tetapi karena sebagai orang gagah tak mungkin
pendekar itu menolak maka benar saja pendekar ini
maju ke de pan tersenyum menjura. Sikap dan katakatanya masih halus membuat senang.
"Sin-kun Bu-tek locianpwe benar-benar
memaksaku. Karena dia telah menantangku dan tak
mungkin aku mundur biarlah sam-wi maju dan aku
yang rendah tetap mohon kemurahan. Selanjutnya
siapapun harap tak memaksaku lagi dan urusan Busur
Kumala dianggap selesai."
"Ha-ha, sekarangpun sudah selesai. Dua orang
itu telah kaukalahkan, Fang-taihiap, pertandingan ini
bersifat tambahan. Hanya agar semua tahu kehebatan


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keluarga Liang-san maka kuminta kau melayani kami
bertiga. Nah, majulah, aku tak ragu-ragu lagi dan akan
mengeluarkan semua kepandaianku!"
"Benar, aku pribadi sudah menyerah kalah.
Busur tiruan tak akan kurebut lagi. Akan tetapi kalau
tuan rumah bermurah hati dengan memberikannya
kepada murid keponakanku nanti tentu saja dengan
senang hati akan tetap kuterima, ha-ha!"
Pendekar itu tersenyum ramah dan mengangguk berkata, "Hian-ko Sin-kun locianpwe tak perlu
22 khawatir. Kalau nanti semua urusan selesai tentu
dengan senang hati akan kuserahkan yang tiruan.
Betapapun kami hanya memerlukan yang asli."
"Bagus, terima kasih. Aku tak salah melihat
orang, Sin-kun Bu-tek. Fang-taihiap benar-benar bijak,
heh-heh!"
"Sudahlah tak perlu bergembira dulu. Gosok
kedua tanganmu dan siap bertanding!" Sin-kun Bu-tek
tertawa gembira dan iapun menggosok-gosok kedua
telapak tangannya dengan wajah berbinar-binar.
Kakek ini begitu girang bahwa lawan mau melayani
mereka bertiga. Inilah pertandingan akhir yang akan
membuatnya puas seumur hidup. Maka ketika ia
tertawa-tawa dan dua rekannya tersenyum pula maka
ia memberi tanda dan suling di tangan cucunya
mendadak menyambar dan ditangkap kakek ini.
"Hayoh!" seruan itu melengking penuh
semangat. "Majulah dan kita mulai, Fang taihiap. Kami
bertiga akan mengeroyokmu dan keluarkan senjata
mu!" "Aku akan tetap bertangan kosong saja,"
pendekar ini membungkuk dan menjawab halus.
"Kalau nanti terdesak biarlah kukeluarkan senjataku,
locianpwe. Sebagai tuan rumah biarlah locianpwe
23 menyerang dulu dan aku yang muda menghadapi
nya."
"Heh-heh, benar-benar luar biasa dan awas
kalau begitu. Aku tak akan banyak bicara lagi dan
terimalah seranganku!" kakek itu membentak dan
suling di tangannya mendadak melesat dan
mengeluarkan bunyi mengaung. Belum habis suling
bergerak maka tangan kiri kakek itupun me nyerang
cepat. Pukulan sinar putih menyambar. Dan ketika
pendekar itu menge lak namun kakek ini menyusul
dan menggerakkan sulingnya berputar mendadak
tertiuplah bunyi melengking dan... sebuah lagu
berirama cepat mengelilingi pendekar itu dan cahaya
suling berkeredep dan membungkus pendekar ini
untuk selanjutnya menyerang dan menusuk amat
cepat tak mampu diikuti pandangan mata.
"Plak-plak!" orang hanya mendengar tangkisantangkisan cepat dan pendekar itu berkelebatan
menghindar ketika Sin-kun Bu-tek tergelak dan
menyambar-nyambar. Kakek ini berseru dan
menggerakkan senjatanya semakin cepat karena saat
itu Hian-ko Sin-kun dan Omei-san berkelebat pula.
Hian-ko Sin-kun mempergunakan pa nahnya yang
bengkok sementara sang hwesio ragu-ragu
mempergunakan ujung lengan baju. Dua lengan baju
24 ini tiba-tiba mengeras dan berubah kaku, menyodok
dan mengemplang tiada ubahnya to-ya. Akan tetapi
ketika kebutan- sbutan-nya terpental bertemu lengan
pendekar itu, betapa dua rekannya juga tertolak dan
terpukul mundur maka sang hwesio diserukan agar
tidak setengah-setengah. Sorak gemuruh segera
meledak. "Serang dan pukul sepenuh tenaga. Keluarkan
semua kepandaianmu!"
"Ha-ha, benar sekali. Pukul dan serang sepenuh
tenaga, keledai gundul, yang kita hadapi bukan anak
kecil. Serang dan keluarkan semua kepandaianmu
atau kita tak akan puas menjajal semua kehebatan
lawan kita ini!" Hian-ko Sin-kun terkekeh dan tergelakgelak ketika hwesio itu berubah merah oleh seruan re
kannya. Hwesio ini memang banyak sungkan dan
terdengar pula tepukan anak kecil. Cit Kong, bocah itu
berseru pula memanaskan sang hwesio. Anak ini
terkekeh menjagoi kong-kongnya. Dan ketika si
hwesio semburat dan semakin merah padam maka
iapun membentak dan keluarlah dorongan Hong-sianpai-thian-sut yang memang menjadi andalannya.
"Betul, keluarkan semua kepandaian kalian.
Kakekku tak akan kalah, sam-wi locianpwe (tiga orang
25 tua gagah). Ayo pukul dan serang semakin cepat atau
nanti kalian roboh!"
"Diam, mundur dan jangan banyak bicara!" Tan
Hong membentak puteranya itu. "Jangan ganggu
mereka dengan teriakan-teriakanmu, Kong-ji. Biarkan
mereka bertanding dan jangan ganggu konsentrasi
nya!"
Cit Kong mengkeret dan kembali bersembunyi
di belakang ibunya. Seruan anak ini didengar semua
orang dan berkelebatlah dua bayangan tinggi besar.
Bu-goanswe dan Kok-taijin tertawa-tawa. Dan ketika
dua orang itu bertepuk dan memuji tuan rumah maka
jenderal ini tak ragu menyambar dan mengusap
kepala anak itu.
"Bocah ini bicara jujur, tak perlu marah-marah.
Karena aku juga menjagoi kong-kongmu marilah kita
menonton di pinggir dan jangan hiraukan ayah
ibumu!" anak ini tersenyum namun tak berani beradu
pandang dengan ayahnya ketika sang jenderal
memondong dan membawanya melompat mendekati
pertempuran. Empat bayangan sudah berkelebatan
amat cepat akan tetapi jenderal itu berseru keras ke
tika terdorong dan terpukul mundur oleh angin
pukulan yang menderu-deru. Tiupan suling kini
26 mencicit dan membuat anak telinga sakit. Dan ketika
semua orang berteriak dan apa boleh buat menjauhi
pertempuran maka jenderal ini duduk bersila dan
akhirnya melempar kembali anak itu kepada ayah
ibunya. Tiupan suling semakin tinggi dan menusuk
amat kuatnya, belum lagi ledakan-ledakan ujung jubah
yung memekakkan telinga.
"Bagus, kau selalu berpihak kepada ke turunan
Dewa Mata Keranjang. Rasakan telingamu, jenderal
bau, mundur dan sumpal dengan cepat atau kau
menari-nari, heh-heh!" Sin-kun Bu-tek tertawa-tawa
dan gemas menggerakkan sulingnya dengan kuat
ketika jenderal itu menjagoi lawan. Ia membuat nada
suling berirama cepat hingga orang terbawa tanpa
sadar. Beberapa di antaranya sudah menari-nari. Dan
ketika kakek itu penasaran mempercepat serangan
nya, suara suling meninggi rendah penuh kekuatan
sakti maka Cit Kong dan bibi serta ibunya berjengit dan
melenggang-lenggok untuk akhirnya... menari-nari!
Akan tetapi terdengar siulan halus. Siulan ini
menyusup di antara suara suling dan membawa nada
sejuk. Gerak cepat irama suling mendadak dikendali
kan. 27 Dan ketika orang berhenti bergerak untuk
menari-nari, siulan halus menetralisir suara suling
maka semua semburat merah betapa menari-nari
tanpa sadar. Bahkan Kiok Eng sendiri melengganglenggok menari ular menurutkan tiupan Sin-kun Butek
yang sengaja menggoda.
"Keparat, kakek ini usil. Kalau ayah tidak
memberinya pelajaran jangan-jangan ia berbuat lebih
gila lagi!"
"Ha-ha!" kakek itu tergelak. "Justeru inilah
kegembiraan kami, hujin. Kalau ayahmu mampu
meredam tarianku biarlar ia mencobanya yang lain
dan ingin kulihat mampukah kalian tak berjingkrakjingkrak!" suara suling tertelan siulan namun tiba-tiba
saja memberontak dan melepaskan diri. Memang
pendekar itu mengerahkan khikangnya untuk
meredam suara suling. Sin-kun Bu-tek membuat orang
melenggak-lenggok. Maka ketika siulan halus
meredam irama suling, kakek ini terkejut melepaskan
diri tiba-tiba iapun sudah bangkit lagi dan irama keras
membuat orang ingin berjingkrak dan pasukat Bugoanswelah yang pertama kali menjadi korban!
Lucu melihat seribu orang menari kuat. Tameng
can tambur dipukul-pukul gencar. Suasana menjadi
28 riuh dan seketika ramai. Akan tetapi ketika terdengar
benturan keras antara suling dan telapak pendekar itu,
juga ledakan ujung baju yang membuat dua orang itu
terpukul mundur maka ujung suling pecah dan Sin-kun
Bu-tek memaki-maki. Suara sulingnya menjadi kacau
dan otomatis buyar.
"Gila,
keparat tengik. menghancurkan senjataku!"
Kau kembali "Maaf, tangkisanku terlalu kuat. Nanti kuganti
sulingmu, locianpwe, bahkan kubuatkan yang lebih
bagus. Aku terpaksa mengimbangimu atau nanti
orang-orang itu menyerbuku termasuk anak isteriku
sendiri."
"Heh-heh, kau lihai. Akan tetapi dengan sisa
senjataku ini kupikir masih mampu membuatmu
repot... plak-dess!" suling menghantam ke depan di
saat Hian ko Sin-kun juga menggerakkan anak
panahnya yang bengkok. Hampir dalam saat yang
sama Omei-sanpun menamparkan lengan bajunya.
Akan tetapi ketika ketiga-tiganya terpental dan kakek
liu terkejut maka ia memuji dan selanjutnya mereka
berkelebatan menyerang pendekar ini. Penonton
sudah tidak berjingkrak dan mengumpat kakek itu
setelah ujung suling pecah.
29 Kini terbeliaklah semua mata menonton
pertandingan ini. Panah emas di tangan Hian-ko Sinkun mengeluarkan cahaya berkeredepan. Suling di
tangan Sin-kun Bu-tek juga mengeluarkan sinar
menyilaukan akan tetapi yang paling mengetarkan
justeru ledakan-ledakan ujung jubah Hwesio Nepal itu
berulang-ulang gagal membuat lawan terdorong. Kian
lama ia menjadi penasaran oleh kehebatan lawannya
yang muda ini. Dan ketika ia mulai sungguh-sungguh
tak sungkan lagi, betapa ia terpukul mundur dan
tenaga sakti amat kuat membuatnya terpental maka
kakek ini kagum sekali dan berulang-ulang memuji.
"Omitohud,
Fang-taihiap
benar-benar
mengagumkan. Sekarang pinceng benar-benar
percaya akan tetapi maaf pinceng akan mengeluarkan
semua kepandaian pinceng.!"
"Ha-ha, tolol dan masih juga sungkan.
Keluarkan semua kepandaianmu, hwesio bau, seperti
juga aku mengeluarkan semua kepandaianku. Lawan
kita bukan anak-anak lagi dan lihat betapa berkali-kali
kita terpental!"
"Omitohud, Sin-kun Bu-tek benar dan aku tak
perlu ragu-ragu lagi!" hwesio itu meledakkan ujung
bajunya dan selanjutnya ia menggetarkan tempat itu
30 dengan kebutan-kebutannya yang amat kuat. Kini
setiap ledakan membuat dada setiap orang tergetar.
Ada rasa sakit dan panas. Dan ketika semua mundur
apalagi ketika setiap kebutan mengeluarkan asap
maka orang membelalakkan mata betapa hwesio ini
melakukan dorongan dan pukulan yang membuat
dahinya berkeringat.
Akan tetapi yang mengagumkan adalah pendekar itu.
Semakin kuat lawan memukul semakin kuat pula
tangkisannya. Ia benar-benar mengimbangi dan
melayani lawan sesuai kekuatannya. Dikeroyok
bertiga masih tetap tenang aken tetapi cepat. Dan
ketika lawan semakin penasaran akan tetapi tak
mampu memukul mundur justeru merekalah yang
terhuyung dan mengeluh gemas maka Hian-ko Sin-kun
berkemak-kemik dan mendadak ia berkelebat
mempergunakan Sin-ho-coan-inn. (Bangau Sakti
Menerjang Awan).
"Fang-taihiap, aku mengeluarkan ilmu
simpananku!" kakek ini menghilang dan lenyap ke kiri
ketika tiba-tiba saja bentakan disertai disertai
kepretan sepuluh jari. Ia menyimpan panah
bengkoknya dan kakek ini mengerotokkan tulangtulang lengannya. Ajaib, lengan kakek itu memanjang
dan mengelepak. Dari kedua lengan itu muncullah
31 sayap dan kini sayap itu menyapu wajah lawan.
Pandangan seketika gelap dan tentu saja membahaya
kan. Dan ketika kakek itu membentak dan lenyap
mempergunakan puncak dari ilmunya yang disebut
Sin-ciak-khai-peng (Merpati Sakti Membuka Sayap)
maka saat ituh Sin-kun Bu-tek melempar sulingnya
pula dan berseru sambil menepuk telapak tangannya,
dahsyat sekali.
"Aku juga mengeluarkan simpanku!"
Penonton terkejut ketika kakek inipun lenyap
dan sebagai gantinya melesatlah cahaya putih
menyambar pendekar itu. Cahaya ini meledak bagai
petir dan pecah tujuh bagian, hebat berwarna-warni
dan semua berteriak oleh silaunya cahaya itu. Dan
ketika cit Kong juga terperanjat betapa kong-kongnya
tak mungkin menghindar, sayap dan tujuh sinar


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pelangi mengurung dari segenap penjuru maka sang
hwesio Nepal mengembangkan lengan bajunya dan
terdengarlah ledakan lebih dahsyat ketika sepasang
lengan baju yang terbuka lebar itu melayang turun
bagai lempengan baja menghantam kepala pendekar
itu. "Omitohud, pincengpun tak mau kalah!"
32 Tiga serangan dahsyat menuju berbarengan ke
tubuh pendekar itu. Siapapun menjadi ngeri dan dapat
membayangkan akibatnya. Kalau pendekar itu tak
kuat tentu hancur. Tan Hong hampir saja meloncat
menangkis pukulan-pukulan itu. Akan tetapi ketika
memancar cahaya terang benderang menerima tiga
serangan kakek-kake itu, terdengar bunyi
memekakkan yang membuat tebing bergemuruh
maka tiga serangan mengenai pendekar ini dan
terdengar jerit atau pekik kaget hampir serentak.
"Des-des-dess!"
Orang mematung ketika tiba-tiba saja pendekar
ini berdiri bergoyang-goyang mentara tiga kakek itu
melekat atau menempel di tubuhnya. Lengan Hian-ko
Silaui mengenai kepalanya sementara Sin-kun Bu-tek
bergetar kuat di sebelah kanan. Lengan jubah hwesio
Nepal tertahan di atas kepala sementara hwesio matimatian menurunkannya. Hawa mujijat melindungi
pendekar itu. Dan ketika semua terbelalak betapa
pendekar ini mengeluarkan pancaran kuat ke segala
penjuru, cahaya menyilaukan yang menangkis sinar
pelangi dan pukulan-pukulan tiga kakek itu maka Sinkun Bu-tek dan lain-lain menggigil mengerahkan
sinkang karena mereka tertahan atau diterima
semacam tenaga gaib di mana lengan jubah hwesio
33 Nepal tak mampu menyentuh kepala pendekar itu.
Ujung rambut pun tidak!
Kini terjadilah pemandangan aneh yang
membuat semua orang terpukau. Lengan Sin-kun Butek maupun Hian-ko Sin-kun bergetar-getar. Dari kulit
kepala sampai ujung kaki mengepulkan uap. Dan
ketika tiga orang itu berjuang mati-matian men
dorong lawan, tak terasa lagi dahi dan tubuh mereka
mengeluarkan keringat maka perlahan-lahan tubuh
pendekar ini tergencet sampai akhirnya menjadi tipis
dan terjadilah pemandangan luar biasa di mana tibatiba pendekar itu lenyap berubah menjadi asap dan
hilang tak berbekas.
"Awasi" yang kaget tentu saja tiga kakek itu
sendiri. Mereka sedang mengerahkan sinkang ketika
mendadak lawan mereka hilang. Mereka terbelalak
dan heran betapa lawan tersenyum-senyum. Digencet
dari tiga penjuru tetap saja tenang. Akan tetapi ketika
perlahan-lahan pendekar itu menipis dan tubuhnya
menjadi halus, sirna dan lenyap maka ketiganya kaget
bukan main karena saat itu tenaga mereka memukul
lawan dan kalau tidak cepat ditarik yang bakal celaka.
"Mundur!"
34 Bentakan hwesio Nepal tak perlul diulang.
Hilangnya lawan dan bertemunya tenaga mereka
dapat membuat semuanya hancur. Begitu seruan
dikeluarkan secepat kilat ketiganya melempar tubuh
bergulingan. Akan tetapi karena mereka sedang matimatian dan tak mungkin semudah itu menarik pukulan
maka dinding tebinglah yang menjadi sasaran dan
blarrr, pukulan tiga tokoh sakti itu membuat tebing
runtuh dan mereka terkubur hidup-hidup oleh batu
dan pasir yang berhamburan.
"Uhh!"
"Keparat!"
"Omitohud!"
Tiga kakek ini terpendam dan ketiganya batukbatuk oleh debu dan batu yang mengubur mereka.
Hampir sebatas leher ketiganya teruruk. Dan ketika
semua meleletkan lidah akan tetapi tertawa melihat
akhhir pertandingan ini, tiga kakek itu susah payah
mengeluarkan tubuh mereka maka terdengarlah
kesiur angin dingin dan plak-plak, batu dan
segalanya terlempar dan muncullah pendekar itu
membebaskan lawan-lawannya.
"Siluman!" Sin-kun Bu-tek terkekeh gemas
memaki kagum. "Kau hebat, Fang-taihiap, kau benar35
benar seperti siluman dan ilmu apa yang kaumiliki
tadi. Uh, rasanya seperti Ut-hong-san-sut (Manusia
Kabut Mengubah Roh)!"
"Benar, Ut-hong-san-sut. Kita tak salah
mengenali ilmu itu dan hebat sekali tuan rumah kita
ini. Aku tak penasaran lagi dan menyerah mutlak!"
"Omitohud, pinceng juga menyerah mutlak.
Fang-taihiap benar-benar luar biasa dan kesaktiannya
jauh di atas lawan-lawan yang pernah pinceng kenal.
Sungguh mengagumkan dan pinceng akan kembali ke
pertapaan dengan perasaan puas luar biasa!" hwesio
Nepal itu menjura dan mengebutkan lengan jubahnya
berulang-ulang sementara dua temannya mendecak
dan bersinar-sinar. Hian-ko Sin-kun maupun Sin-kun
Bu-tek harus mengaku kekalahan mereka akan tetapi
yang membuat kagum adalah sikap pendekar itu,
betapa lawan mereka menjura dan menolong mereka
dari tumpukan batu dan debu, membersihkan dan
turut menarik mereka dari lubang timbunan. Sikap
dan gaya pendekar ini amatlah bersahaja. Maka ketika
semua terkagum-kagum terutama sekali Sin-kun Butek, kakek inilah yang tahu masa muda pendekar itu
maka kakek inilah yang tiba-tiba kecewa kenapa dulu
ia tak bermantukan pendekar ini, hanya karena waktu
itu diketahuinya pendekar ini sebagai seorang yang
36 doyan wanita cantik menuruni watak mendiang
gurunya. "Ha-ha hmm! Kau benar-benar hebat akan
tetapi membuatku kecewa juga. Baiklah, Fang-taihiap,
kukira cukup semuanya ini dan baiklah sekarang aku
pergi. Hian-ko Sin-kun dan Omei-san tentu tak akan
memperebutkan Busur Kumala lagi dan kupercaya
kebijaksanaanmu. Terima kasih!" kakek itu memutar
tubuh dan membalikkan langkahnya ketika sambil
tertawa aneh ia mengajak menantu dan cucunya
pergi. Sekali berkelebat kakek itu menyambar turun
gunung. Lalu ketika menantu dan cucunya berkelebat
mengikuti maka orang melihat tiga bayangan
meluncur cepat, lalu lenyap.
"Ha-ha, aku juga. Kupikir tak ada gunanya aku di
sini lagi, Omei-san. Biarlah semuanya kupercayakan
pada Fang-taihiap. Barangkali murid keponakanku
masih bernasib baik atau kami tak perlu bermimpi
lagi!"
"Omitohud, pinceng juga!" sang hwesio berseru
dan menyusul, "Pinceng juga tak ada gunanya di sini
lagi, Hian-ko Sin-kun. Terima kasih untuk semua
pelajaran yang telah kuteria dan permisi kepada Fangtaihiap!"
37 Akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan
memanggil. Bayangan putih bergerak dan tahu-tahu
berada di depan dua tokoh ini. Fang Fang menjura di
depan dua kakek itu. Lalu sementara keduanya
tertegun maka pendekar ini berkata, "Maaf, jiwi
locianpwe dapat menjadi tamu kalau suka. Karena
kami akan segera ke Ang-bi-to membuktian keaslian
busur barangkali jiwi khususnya locianplwe Hian-ko
Sin-kun tak keberatan tetap tinggal. Sementara Omeisan lo-suhu kalau tak ada keperluan dapat mengiringi
kami minum teh. Dan Sin-kun Bu-tek locianpwe
maaf... aku harus mengganti sulingnya dan semoga
penggantian ini tak terlampau mengecewakan...
siuutttt!" seberkas cahaya emas mendadak meluncur
dai menyambar Sin-kun Bu-tek dan banyak orang
terkejut oleh sinar yang mengaung itu. Baru mereka
tahu bahwa sebatang su!ing yang amat indah dan luar
biasa menyambar atau mengejar Sin-kun Bu-tek yang
sudah menghilang. Kakek itu sudah di bawah gunung.
akan tetapi ketika terdengar ledakan halus dari lengan
baju yang menangkap suling, juga kekeh atau tawa
kakek itu maka orang menjadi kagum bahwa suling
yang melesat dan menyambar bagai benda bernyawa
ini dapat sampai ke tujuannya, padahal kakek itu
sudah sedemikian jauh dan lenyap tak terlihat.
38 "Ha-ha-heh-heh-heh! Kau masih juga ingat
janjimu sendiri, Fang-taihiap, suling penggantimu
telah kuterima dan terima kasih banyak. Aduh, emas
murni dan amat mahal, heh-heh-heh...!"
Orang tak mendengar kekeh kakek itu lagi
karena selanjutnya
Sin-kun Bu-tek tak memperdengarkan tawanya lagi melayang jauh di
sana. Kakek itu menggenggam suling emas sambil
berkaca-kaca. Ia kian kecewa saja oleh kenyataan
pahit ini. Dan ketika ia meluncur sambil terus diikuti
dua temannya maka terdenar Omei-san terkekeh
mengebutkan lengan bajunya, ganti menyusul Sin-kun
Bu-tek. "Omitohud, pinceng masih ada keperluan.
Paling tidak pinceng harus membersihkan pertapaan
pinceng, Fang-taihiap, terima kasih atas undanganmu.
Biarlah pinceng menemani minum teh di lain waktu
saja dan sekarang perkenankanlah binceng pergi...
wutt!" Fang Fang menjura dan merangkapkan tangan
ketika benar-benar hwesio itu tak mau dicegah. Ia
mundur dan memberikan jalan dan meluncurlah
hwesio itu menuruni Liang-san.
Dan ketika sekejap pakaian putihnya berkibarkibar, di pundak kirinya tahu-tahu terpanggul sutenya
39 yang tewas maka orang mendecak kagum akan
kehebatan hwesio ini, terutama ketika hwesio itu
tertancap dan melesak ke dalam tebing akan tetapi
masih hidup. Tanda seorang hwesio yang kosen dan
tangguh! "Wah, tinggal aku!" Hian-ko Sin-kun terkekeh
dan menengok sana-sini. "Agaknya aku pun ada
keperluan sendiri, Fang-taihiap, kecuali..."
"Tunggu!" dua bayangan berkelebat dan itulah
Kang Hu serta Kui Yang. "Undangan Fang-taihiap
jangan ditolak, suhu. Kami merasa berkepentingan
pula di Ang-bi-to. Sebaiknya suhu menemani kami dan
apa yang dikatakan Fang-taihiap diikuti saja!"
"Heh-heh, kalian anak-anak kecil mendikte
orang tua. Akan tetapi coba kutanya tuan rumah, apa
maksudnya. Kalau tidak begitu penting barangkali aku
pergi saja dan lihat dua orang tua kalianpun telah ada
di sini. Tentu mereka rindu kepada kalian!" kakek itu
terkekeh dan menghadapi pendekar ini dan benar saja
Bu-goanswe
maupun Kok-taijin
sama-sama melompat. Begitu dua muda-mudi ini maju seketika
merekapun maju. Tak dapat disembunyikan lagi
kebahagiaan dua orang tua itu. Dan ketika masingmasing menyambar dan merangkul dua muda-mudi
40 itu. Kang Hu, maupun Kui Yang tak mampu mengelak
maka pendekar ini berkata kepada kakek itu. Sikap dan
kata-katanya juga masih halus.
"Locianpwe kupikir ikut. Busur Kumala akan
ditentukan aslinya di sana. Karena yang tiruan segera
hendak kuberikan locianpwe maka mohon locianpwe
tak keberatan menemani kami. Selanjutnya terserah
locianpwe karena secepatnya pekerjaan ini harus
dilakukan."
"Eh, apa maksudnya ke pulau itu? Memangnya
asli dan tiruannya dapat ditentukan di Ang-bi-to?"
"Benar, locianpwe," seseorang tiba-tiba berkata
maju. "Dua busur ini sama hebat dan sama ampuh.
Akan tetapi karena yang tiruan tak dibuat untuk
penawar Kutukan Dewa maka yang asli yang akan
memperlihatkan dirinya. Di situlah kita semua menjadi
saksi. Busur Kumala tak dapat ditandingi dalam hal
yang satu ini."
Kakek itu menoleh dan membelalakkan mata
dan ternyata yang bicara adaluh dua empu istana itu.
Satu di antaranya menjelaskan dan kakek ini
mengangguk-angguk. Lalu ketika ia terkekeh dan
memandang pendekar itu maka ia berkata:
41 "Baiklah, aku ikut. Akan tetapi rasanya aku
harus berangkat duluan. He, kau... kakek itu
memanggil muridnya. "Kalian rasanya masih harus
berdekatan dengan orang tuamu, Kang Hu.
Menyusullah belakangan dan biar aku bersama Siauwtoh ke Ang-bi-to!" .
"Eh!" muda-mudi itu terkejut. "Tunggu suhu,
sebaiknya bersama-sama. Kenapa kau meninggalkan
kami dan harus bersama orang lain!"
"Ha-ha, aku harus mengurus paman gurumu
dan Siauw-toh inilah yang tepat mendampingiku.
Hayo kau berangkat dan jangan hiraukan orang lain di
sini!" kakek itu berkelebat dan menyambar ke kiri dan
tahu-tahu ia membawa jenasah Sia-tiauw-eng-jin.
Bersamaan itu murid keponakannya ditendang,
menyambar dan memondong laki-laki lain yang tewas
pula. Hanlun alias pembuat Busur Kumala tiruan. Dan
ketika kakek dan pemuda itu meluncur turun gunung,
cepat sekali mendadak orang-orang kang-ouw
bergerak dan mereka tiba-tiba memutar tubuh dan
meninggalkan tempat itu menyusul kakek ini, apalagi
karena saat itu seribu pasukan Bu-goanswe memberi


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jalan. 42 "Ha-ha, bagus sekali. Kita berhasil!" jenderal itu
menepuk-nepuk pundak puteranya akan tetapi
berlompatan Kiok Eng dan lain-lain. Setelah sekarang
urusan selesai maka ketegangan akan Busur Kumala
hilang. Semua wajah gembira oleh keberhasilan
pendekar itu memenangkan pertandingan. Akan
tetapi ketika terdengar tangis dan sedu-sedan di sanasini maka jenderal itu terkejut dan semua orang juga
terkejut dan menoleh.
"Ibu... ibu luka parah. Kau harus menolongnya,
ayah. Kita harus mendahulukan keselamatannya dan
serahkan busur itu!"
"Benar, serahkan Busur Kumala kepada orangorang itu. Biarkan Bu-goanswe menyelesaikannya,
ayah, sekarang selamatkan ibu dan utamakan
keluarga dulu!"
Beng Li dan Kiok Eng berkelebat di depan ayah
mereka itu dan mereka inilah yang menangis tersedusedu. Seruan atau kata-kata itu mengingatkan semua
orang dan mendadak merekapun berubah. Barulah
sekarang mereka teringat. Dan ketika dua wanita itu
meletakkan ibu mereka di depan sang ayah, Ming
Ming dan Ceng Ceng kehilangan banyak darah maka
dua orang nyonya ini megap-megap membuka mata.
43 Ceng Ceng tampaknya paling parah dan cahaya
mukanya redup.
"Nenek!" Cit Kong menambah keharuan lagi
dengan jeritannya yang melengking. Anak itu
melompat dan tiba-tiba mengguguk di samping ibunya
pula. Lalu ketika Ceng Ceng mengeluh dan menyentuh
anak ini maka wanita itu berkata, yang ditanyakan
justeru orang lain.
"Mana nenekmu Ming Ming... mana dia..."
"Aku di sini..." suara lemah lainnya terdengar.
"Aku di dekatmu, enci Ceng. aku juga luka parah.
Bagaimana keadaanmu..."
"Aku, ah... mana suami kita Fang Fang..."
"Aku di sini," suara halus terdengar. Aku telah
mencoba menyelamatkan kalian Ceng-moi, akan
tetapi..."
"Aku hu... aku, uh!" Ceng Ceng batuk-batuk dan
tiba-tiba wanita itu menangis. "Peluklah aku, suamiku.
Aku... aku rasanya tak akan lama..."
"Ibu!" Kiok Eng melengking dan menjerit
menubruk ibunya. "Jangan bicara seperti itu karena
ayah ada di sini. Percuma saja kalau ia tak dapat
44 menolongmu sementara orang lain dapat ditolong
nya!"
"Hush, jangan bicara seperti itu. Ayahmu
betapapun bukanlah dewa penyelamat Kematian,
puteriku. Ia manusia biasa dan takdir akan menentu
kan nasib siapapun. Aku tak mau kau memarahi
ayahmu dan biarkan ia dekat di sini... juga dekatkan
aku dengan ibumu Ming Ming..."
Ceng Ceng susah payah bicara dan Tan Hong lah
yang menarik dan menekan pundak isterinya. Wajah
gelap dan penuh luka menunjukkan keadaan darurat.
Sekali pandang saja tahulah dia nasib gak-bonya Ini
Maka ketika ditariknya isterinya itu dan juga Cit Kong,
Beng Li meletakkan ibunya di samping wanita itu maka
su hengnya itulah yang digenggam dan dipegangi
dengan jari -jari gemetar. Ceng Ceng menangis dan air
matanya tiba-tiba membanjir.
"Suamiku, maukah kau memenuhi sebuah
permintaanku...?"
"Kau minta apa?"
"Perjuangkanlah keselamatan Ming Ming dan
biarkan ia tetap hidup."
45 "Tidak!" Ming Ming tiba-tiba menjerit.
"Kauselamatkanlah dia, Fang Fang, selamatkan enci
Ceng dan jangan hiraukan aku. Keluargaku telah
membuatnya susah bertahun-tahun. Kami telah
membuatnya kehilangan cucu dan baru sekarang Cit
Kong kembali!"
"Akan tetapi kaupun sama saja. Kau lebih parah,
Ming Ming. Puterimu Beng Li keguguran. Aku masih
mendapatkan cucuku akan tetapi kau dan keluargamu
tidak...!"
"Aku tak mau bicara itu dan selamatkan dia.
Biarkan enci Ceng sembuh atau aku tak mau
mendampingimu seumur hidup. Aku bersumpah!"
wanita itu tiba-tiba kejang-kejang dan Ming Ming
menjerit-jerit agar suaminya menyembuhkan
madunya itu. Dua wanita yang sama-sama bertekad
ini tak mau mengalah. Lalu ketika madunya
mencengkeram dan berseru agar dia diam, pecahlah
tangis di sana-sini, maka Fang Fang menarik napas
dalam-dalam. Wajah pendekar ini berubah namun ia
tetap mencoba tenang.
"Ceng-moi, Ming-moi, kalau kalian selalu
bertengkar begini maka tak pernah ada habisnya.
Siapa yang harus kuturut di antara keduanya. Kalian
46 sama-sama keras kepala, akan tetapi kutahu bahwa
kalian sama-sama mencinta. Sebaiknya mari kita ke
atas dan lihat Eng-moi datang ke mari..." bayangan
hijau berkelebat dan itulah Eng Eng alias madu mereka
yang lain. Wanita itu mengguguk dan menubruk dua
madunya ini dan meledaklah sedu-sedu yang tiada
habisnya. Ceng Ceng terbatuk dan tiba-tiba
menggeliat. Lalu ketika ketiganya saling rangkul dan
membuat basah semua orang, tangis dan jerit pilu
menyayat-nyayat maka Eng Eng secepatnya naik ke
atas. Akan tetapi Ceng Ceng menggeleng, kuat-kuat.
"Tidak, tidak... aku ingin mendengar janjinya
dulu atau aku tak mati meram di sini. Biarkan suamiku
mendekat!"
Fang Fang mendekat akan tetapi Ming Ming
ganti berteriak. Wanita itu mengancam dan
bersumpah tak ingin disembuhkan dulu, yang penting
adalah Ceng Ceng. Akan tetapi ketika Ceng Ceng
membentak dan berseru bahwa dia isteri pertama di
situ, dia lebih berhak mengajukan permintaan maka
kenyataan bahwa Kiok Eng sebagai puteri tertua
membuat Ming Ming tertegun. Wanita itu menangis
dan akhirnya mengeluh berulang-ulang.
47 "Aku... mendekatlah dan dengar permintaanku.
Kalau kau tak mampu menyembuhkan Ming Ming
biarlah makamku tak perlu dibong-pai (batu nisan).
Kelak akan kuminta pertanggungjawabanmu apabila
kau melanggar!"
Fang Fang mengerutkan kening dan tiba-tiba
memejamkan mata. Teriakan dan seruan kecil
terdengar di sana-sini. Akan tetapi ketika pendekar itu
mengangguk dan membuka kembali kedua matanya,
basah namun tenang mendadak pendekar ini
mengulurkan lengannya dan berkata, "Kupenuhi
permintaanmu, Ceng-moi, akan tetapi sebelumnya
sudah kusadari bahwa segala kekuasaan berada di
tangan-Nya. Aku berusaha akan tetapi Dia-lah yang
menentukan. Semoga kesalahanku di ampuni dan
hukumanmu yang berat ini kuterima."
Ceng Ceng terbelalak akan tetapi tiba-tiba
mengeluh. Pandang matanya beradu dengan
suaminya itu dan mendadak ia menggapai. Lalu ketika
suaminya memeluk dan ia bergetar-getar keluarlah
bisik-bisik serak dari mulutnya yang kering, hampirhampir tak terdengar, "...kau... kau suami yang hebat.
Maafkan semua kesalahanku dan sembuhkanlah Ming
Ming... se... selamat tinggal!" cengkeraman kuat
menekan pendekar itu dan Ceng Ceng tiba-tiba
48 mengejang. Sedetik ia membelalakkan mata namun
menutup. Dan ketika tubuh itu terkulai bersamaan
jerit Kiok Eng, menghamburlah wanita itu menubruk
ibunya maka yang lain ada yang roboh pingsan dan
Ming Ming seketika menggeliat dan pingsan pula. Fang
Fang berdiri bergoyang-goyang akan tetapi pendekar
itu tiba-tiba menyambar tubuh Ming Ming dan
berseru kepada Tan Hong.
"Aku ke atas dan urus dulu gak-bomu ...!"
Tan Hong cepat menguasai keadaan dengan
tidak membiarkan isterinya mengerung-gerung di situ.
Bu-goanswe dai Kok-taijin juga bergerak dan semua
orang tiba-tiba saling menolong. Cit Kong memanggilmanggil neneknya namun Kang Hu memanggulnya.
Dan ketika bayangan lain saling susul dan menghibur
keluarga Liang-san, kini suasana penuh hujan tangis
maka sejenak urusan Busur Kumala dilupakan dan
semua perhatian tertumpah kepada jenasah Ceng
Ceng. Akan tetapi di puncak sana yang tak kalah
menegangkan juga terjadi. Fang Fang mencoba
menyelamatkan Ming Ming sekuat-kuatnya. Luka
wanita itu semakin parah setelah mengetahui
tewasnya Ceng Ceng. Dan ketika semalam penuh ia tak
49 tidur, Beng Li menemani ibu dan ayahnya itu maka
keesokannya Ming Ming semakin lunglai namun
anehnya wanita ini berkata agar suaminya itu
meninggalkannya.
"Cukup, selesaikan dulu urusan Ang-Bi-to. Aku
cukup sehat hanya butuh istirahat."
"Apa?"
"Aku tak mau berdebat, suamiku. Pergilah dan
selesaikan urusanmu di Ang-bi-to. Ada yang lebih
banyak kaulakukan di sana daripada menjagaku di sini.
Di sini ada Beng Li!"
"Ibu," Beng Li terisak-isak. "Seharusnya ayah
tetap di sini menunggumu dari pada ke sana. Di sana
sudah ada yang mengurus!"
"Tidak, dia berjanji kepada Hian-ko Sin-kun,
Beng Li, dan aku ingin urusan Busur Kumala tuntas.
Aku dan Ceng Ceng telah menjadi korban urusan ini
dan sekarang aku tak mau ayahmu bekerja setengahsetengah. Suruh ia pergi dan kutunggu ia di sini!"
Siapapun tahu watak wanita ini sebagaimana
halnya isteri-isteri Dewa Mata Keranjang yang lain.
Tidak muridnya, tidak subonya semua rata-rata keras.
Maka ketika Beng Li menangis sementara ayahnya
50 bangkit berdiri mencium kening isterinya berkata,
serak "Baiklah, Ming-moi maafkan semua
kesalahanku. Semoga kau benar-benar menungguku
dan kita berkumpul lagi."
Pendekar itu melangkah keluar dan selanjutnya
Tan Hong terutama Kiok Eng mengguguk di depan
kakinya. Pagi itu Liang-san berkabut dan segunduk
tanah merah membujur sepi. Semalam Ceng Ceng
telah di makamkan dan pagi itu semua orang
berkabung. Keluarga Liang-san sedang berduka. Dan
ketika sejenak pendekar ini memejamkan mata lalu
mengusap-usap kepala puterinya, membuka dan
mendorong mundur akhirnya pendekar ini
bersembahyang di depan makam isterinya itu.
Tak ada yang tahu apa yang dikatakan pendekar
itu ketika berkemak-kemik. Yang jelas tubuhnya
sedikit bergetar lalu tenang kembali. Dan ketika ia
bangkit menghadapi semua keluarganya, di tangan ya
tergenggam sepotong papan maka semua terbelalak
melihat sebuah tulisan aneh: MENDAHULUI.
"Tanamkan ini di makam ini. Ibumu Ming Ming
menyuruhku ke Ang-bi-to, Tan Hong. Aku pergi
sebentar dan selanjutnya kembali lagi."
51 Tan Hong, sang sute berkerut. Sebagai orang
yang jauh lebih muda tentu saja ia heran. Siapapun
merasakan keganjilan itu. Akan tetapi maklum ada
sesuatu yang tersembunyi di situ, sesuatu yang pasti
merupakan pelajaran maka pemuda ini pun
menggangguk dan menerimanya. Dan begitu
suhengnya itu tidak banyak bertanya lagi maka
tubuhnya berkelebat dan tahu-tahu lenyap di situ.
"Ayah...!"
"Kong-kong!"
Sang pendekar hanya melambaikan tangannya.
Ia terus bergerak dan lenyap. Dan Bu-goanswe serta
pasukannya ternyata telah meninggalkan tempat itu.
Tak mau terlampau gaduh dan mengusik keluarga
yang berduka jenderal ini mengajak pergi semua
pasukannya setelah pemakaman Ceng Ceng, apalagi
Tan Hong pun menghendakinya. Maka ketika hanya
keluarga itu yang berada di situ dan pagi itu semua
telah meninggalkan tempat, Liang san benar-benar
bersih maka pendekar ini langsung ke Ang-bi-to dan
ternyata Bu-goanswe dan lain-lain berada di situ, juga
dua empu istana yang paling berkepentingan.
Di sinilah terjadi yang mengagumkan. Dua Busur
Kumala yang sama-sama hebat dan begitu mirip itu
52 teruji. Masing-masing yang memiliki 14 batu giok
direndam. Sebuah gentong raksasa disiapkan. Dan
ketika satu di antaranya langsung membuat air
menjadi hijau, satunya tetap putih maka air yang
sudah kehijauan inilah yang menjadi obat bagi seluruh
penghuni Ang-bi-to dan lenyaplah penyakit Kutukan
Dewa itu ketika setiap orang meneguknya secawan
dan langsung sembuh!
Penghuni Ang-bi-to berjingkrak-jingrak. Tepuk
riuh dan sorak ramai tak dapat dicegah lagi. Tempat


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu benar-benar berguncang. Dan ketika di sinilah
busur yang asli ditemukan, yang tiruan diserahkan
pendekar itu maka pendekar ini ganti menyerahkan
nya kepada Hian-ko Sin-kun. Kakek ini berada di situ
pula dan jmenerimanya akan tetapi sambil terkekeh
berkejap-kejap menangis. Aneh.
"Heh-heh-ha-ha-ha! Terima kasih... terima
kasih, Fang-taihiap. Ternyata murid keponakanku
Hanlun demikian hebat, la mampu menandingi Busur
Kumala begitu hebatnya. Ah, puas aku. Biarlah
keturunannya menerimanya sekarang dan ijinkanlah
kami pergi!" akan tetapi ketika berkelebat dua
bayangan muda-mudi dan Kang Hu serta Kui Yang
berada di situ maka kakek ini tertegun membelalakkan
53 ata. Mereka protes kenapa hendak ditinggalkan begitu
saja. "Apa, kalian masih minta ditemani saja? Kalian
seperti dua anak kecil yang menyusu ibunya? Ha-ha,
aku dan Siauw-toh tak dapat dicegah. Kang Hu kalian
telah bertemu orang-orang tua kalian dan semua
ilmuku telah kalian warisi pula. Tidak, aku hanya
datang setelah arak pengantin tiba, Lihat orang-orang
tua kalian itu dan jangan halangi kami, ha-ha!" kakek
ini menunjuk Bu-goanswe dan Kok taijin dan
berkelebat menghilang ketika dua anak muda itu
menoleh. Tiba-tiba saja secepat kilat kakek ini
menyambar Siauw-toh. Dan ketika dua muda-mudi ini
terkejut akan tetapi guru mereka lenyap, itulah watak
Hian-ko Sin-kun maka keduanya bercucuran air mata
berlutut menghadap suhunya itu, berseru, minta agar
benar-benar datang, di hari pernikahan dan kakek itu
tergelak-gelak di sana. Dan ketika hari itu benar-benar
selesai dan semua orang bergembira, kecuali
pendekar itu maka Fang Fang kembali ke Liang-san
dan Bu-goanswe serta Kok-taijin menyusul, begitu
pula Kang Hu dan Kui Yang.
Apa yang diduga benar. Ming Ming yang luka
parah seperti Ceng Ceng hanya sebentar saja sehat.
Wanita itu benar-benar menunggu kedatangan
54 suaminya dan apa yang seharusnya terjadi benarbenar terjadi. Begitu bertemu iapun tertawa aneh.
Dan ketika suaminya memeluk dan ia berbisik-bisik
sejenak, orang tak tahu apa yang dibisikkan maka
wanita inipun roboh terkulai dan Beng Li serta lainnya
menjerit nyaring.
Kematian untuk kedua kalinya menghampiri
keluarga Liang-san. Beng Li mengguncang-guncang
tubuh ibunya sampai akhirnya roboh pingsan pula.
Dan ketika pemakaman akhirnya disiapkan dan untuk
kedua kalinya keluarga Liang-san berkabung maka
yang mengherankan adalah sikap atau wajah
pendekar itu. Wajah yang tenang bagai telaga yang
dalam dan sukar diikuti ke mana gerakannya.
Untuk kesekian kalinya lagi orang dibuat
tertegun. Sepotong papan lagi-lagi berada di tangan
pendekar itu. Dan ketika semua selesai sembahyang
dan masih terisak-isak maka pendekar itu menyuruh
Tan Hong menancapkan papan ini di makam Ming
Ming. "Tanamkanlah, dan selanjutnya jangan ganggu
aku. Biarkanlah aku sendiri dan kalian renungkan
makna dari semua kejadian ini."
55 Tan Hong berkerut, menarik napas dalam. Akan
tetapi bersinar-sinar dan mengangguk menerima itu,
untuk kedua kali menancapkan potongan papan ini
maka ia dan lain-lain akhirnya duduk bersila dan sehari
penuh menemani makam baru itu.
Apa yang mereka lakukan? Merenung. Tak ada
yang banyak bicara bahkan Cit Kong sendiri. Anak itu
sudah mengusap air matanya dan tiba-tiba sebuah
telapak kuat menepuk pundaknya. Dan ketika Bugoanswe dan Kok-taijin memberinya tanda, kakek
tinggi besar inilah yang menepuk pundaknya tadi
maka anak itu melompat dan selanjutnya mereka
bergerak menjauhi makam.
"Kakek Bu, apa yang dimaksudkan kong-kongku
itu dengan semuanya ini. Apa arti sepasang papan
itu!"
"Hm, sebuah pelajaran mendasar. Kita semua
tiba-tiba diingatkan akan itu, anak baik, dan aku tua
bangka ini harus mengakuinya pula. Kong-kongmu
hebat, akan tetapi seharusnya semua orang tahu."
"Tahu apa, aku bingung!"
"Tahukah kau apa yang ditulisnya itu?"
"Ya, papan yang aneh, tulisan yang singkat!"
56 "Coba kau baca itu."
"Mendahului dan menyusul!"
"Bagus, apa yang kau tangkap di sini? Apa yang
dapat kau terima dengan kecerdasanmu?"
"Aku terlampau muda, kakek Bu, aku tak
menangkap apa-apa selain arti tulisan itu!"
"Cit Kong memang masih anak-anak," Kok-taijin
menyela. "Anak sekecil ini masih jauh dari mengerti,
rekan Bu, kita rasanya memang harus memberi
penjelasan."
"Benar," dua bayangan berkelebat muncul.
"Ada yang amat dalam yang rasanya diberitahukan
Fang-taihiap, ayah, kami juga ingin tahu dan cobalah
kauterangkan!" Kang Hu dan Kui Yang muncul di situ
dan dua kakek tinggi besar ini tersenyum berseri-seri.
Dua-duanya menengok dan saling pandang. Kok-taijin
mengangguk m gembira puterinya muncul di situ.
Maka ketika ia mempersilahkan duduk dan Kui
Yang merangkul Cit Kong maka kakek ini menarik
napas dalam akan tetapi pandang matanya tertuju Bugoanswe.
"Barangkali anak-anak ini kaulah yang menjelas
kannya."
57 "Ha-ha, sama saja. Kaulanjutkan saja ceritamu,
taijin, sama saja!"
"Baiklah, akan tetapi kita harus saling isimengisi. Kita, hmm... rasanya kita pun akan saling
mendahului atau menyusul..."
"Nanti dulu!" Kui Yang berseru. "Apa yang
hendak kalian bicarakan ini, ayah, apakah kematian.
Kalau begitu mengerikan!"
"Ha-ha, semua orang akan ke situ. Kau atau aku
akan sama-sama menghadapi pengadilan, Kui Yang.
Karena itu berbuatlah kebajikan atau nanti terlambat
dan menyesal kemudian!"
"Ih, apa maksud paman Bu...!"
"Jelas, itulah yang hendak dimaksudkan Fangtaihiap. Kita kelak akan menghadapi kematian dan
karena itu ingat-ingatlah semua sepak terjang kita,
atau nanti terlambat sementara sebelah kaki sudah di
lubang kubur, ha-ha!"
"Mengerti aku," Kang Hu tiba-tiba berseru.
"Kiranya yang dimaksudkan adalah ini, kong-kong,
yakni kita harus berbuat baik atau nanti menyesal
tiada guna."
58 "Tidak hanya berbuat baik, akan tetapi banyak
berbuat baik. Berbuat baik sekali tempo tiada artinya,
Kang Hu. Manusia sesungguhnya terlampau banyak
dosa dan tak ingat bahwa akhirnya dekat atau jauh
seperti Ceng Ceng atau Ming Ming itu. Kematian
sewaktu-waktu dapat menjemput!"
"Ih, aku ngeri, akan tetapi pembicaraan ini menarik!"
"Ha-ha, ngeri atau tidak semuanya akan sama
dihadapi, Kui Yang. Baik kau atau aku akan
menghadapinya. Yang beda adalah hasil panen kita.
Kalau bagus tentu memetik bagus, kalau jelek tentu
jelek!"
"Benar, dan celakanya pada waktu menanam
tak ingat masa akhir. Manusia seakan hidup sepanjang
waktu dan tak akan bertemu Sang Pengadil."
"Padahal kelak kita bertemu, dan pasti
bertemu. Ha-ha, inilah cermin sebagian besar orang,
Kang Hu, dan aku setuju tanpa syarat peringatan yang
diberikan pendekar itu. Dia benar, kalau tidak
mendahului ya menyusul. Kalau tidak di depan ya di
belakang. Ha-ha!" Bu-goanswe terkekeh-kekeh dan
kakek ini tiba-tiba bangkit berdiri mengebutngebutkan lengan bajunya. Entah kenapa tiba-tiba air
matanya bercucuran. Dan ketika Kok-taijin juga
59 bangkit berdiri menyusul rekannya itu, tertawa dan
melangkah lebar tiba-tiba ia menyambar lengan
rekannya itu berkata serak,
"Goanswe, pilihlah sekarang.
mendahului atau menyusul!"
Kau ingin "Ha-ha, aku tak memilih yang manapun,
terserah Dewa Maut. Kalau ia datang kusambut tawa
lebar, taijin, belum datangpun aku tetap berhati-hati.
Kau sendiri pilih yang mana!"
"Akupun seperti kau, menyerahkan sepenuhnya
kepada Sang Penguasa Hidup. Kalau ia datang itulah
saatnya timbangan baik burukku, kalau belum datang
berarti bagian yang baik harus selalu kutambah, haha!"
"Benar, benar sekali. Dan kita sudah sama-sama
tua, taijin, kita segera sama-sama menghadap Sang
Pengadil. Ha-ha, berapa umurmu!"
"Tujuh puluh..."
"Wah, sama, akupun tujuh puluh. Mari
timbangan kita tambah agar yang baik selalu lebih
berat. Dan Kang Hu serta Kui Yang kita jodohkan. Lalu
generasi penerus kita beri tahu bahwa kalau tidak
mendahului kelak mereka akan menyusul, ha-ha...!"
60 dua orang tua itu tergelak-gelak dan Kang Hu serta Kui
Yang tergetar betapa mereka saling rangkul untuk
akhirnya lenyap di balik gerumbul pepohonan, sunyi.
Selanjutnya dua orang muda ini termangu-mangu
akan tetapi tiba-tiba terdengar isak Kui Yang. Gadis itu
melepaskan Cit Kong untuk berkelebat ke makam. Dan
ketika Kang Hu bergerak mengikuti kekasihnya
ternyata gadis itu sesenggukan di makam Ceng Ceng
maupun Ming Ming. Keluarga Liang-san ternyata telah
beristirahat meninggalkan tempat itu.
"Sudahlah," pemuda ini merangkul dan
menepuk halus pundak kekasihnya. "Yang tiada sudah
tiada, moi-moi, yang hidup harus selalu ingat dan
waspada. Mari kita pulang dan menunggu orang tua
kita di sana."
"Pulang?"
"Ya, tidakkah kau dengar kata-kata mereka tadi.
Mereka hendak segera meresmikan kita. Semua sudah
usai dan kita petik semua yang terjadi di sini, kita am
bil hikmahnya."
"Akan tetapi aku takut..."
"Takut?"
61 "Ya, siapa tidak takut. Kematian ada lah dunia
gelap yang menakutku bagiku, Kang Hu, kenapa ayah
dan kakekmu tadi bicara itu. Aku merasa ngeri!"
"Hm, ngeri bagaimana, semua akan mengalaminya."
"Betul, akan tetapi aku tak mau sendiri!"
"Maksudmu?"
"Kalau kelak kematian datang aku ingin
bersamamu, Kang Hu, tak mau sendiri!"
"Akan tetapi mana kita tahu," pemuda itu
tertawa. "Kematian adalah sebuah misteri dan
siapapun tak dapat mengetahuinya. Kalaupun ada
yang tahu maka hanya segelintir saja yang
merasakannya. Sudahlah tak perlu ketakutan dan
ingatlah kata orang-orang tua kita tadi, yakni
tambahlah selalu bagian yang baik agar kelak menuai
yang baik pula."
Kui Yang masih terisak dan membenamkan
mukanya di dada kekasihnya ini. Ia membiarkan saja
ketika perlahan-lahan pemuda itu membawanya
pergi. Dan ketika keduanya menjauhi makam dan
lenyap meninggalkan tempat itu maka perlahan-lahan
muncullah sesosok tubuh kecil berindap-indap.
Cit Kong! 62 Anak ini tertegun dan termangu-mangu.
Berulang kali ia menoleh dari makam yang satu ke
makam yang lain. Akan tetapi ketika ia mengeluarkan
suara aneh dari kerongkongannya tiba-tiba ia berlutut
dan gemetaran, lalu tak terasa lagi mengeluarkan titiktitik air mata untuk akhirnya menangis tanpa suara!
Dua makam itu tak bergeming oleh tangis Cit
Kong. Mereka tetap beku. Lalu ketika berkelebat
bayangan hitam dan Kiok Eng menyambar puteranya
maka terdengarlah isak lain dan selanjutnya sunyi.
Hidup telah berakhir.
Ceng Ceng dan Ming Ming telah meninggalkan
dunia yang fana ini. Dan sementara Liang-san mulai
rintik-rintik disusul kabut dan salju yang dingin maka
dua papan itu tetap abadi. Yang satu bertuliskan
"mendahului" sementara yang lain "menyusul". Kalau
tidak di depan ya belakangan. Akan tetapi pasti,
semuanya kelak ke sana...
TAMAT 63 PERNYATAAN
File ini adalah sebuah usaha untuk melestarikan bukubuku novel Indonesia yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kemusnahan, dengan cara mengalih
mediakan menjadi file digital.


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

File ini dihasilkan dari konversi foto menjadi teks yang
kemudian di kompilasi menjadi file PDF.
Tidak ada usaha untuk meraih keuntungan finansial
dari karya-karya yang coba dilestarikan ini.
CREDIT untuk :
? Awie Dermawan, beliau adalah sumber utama
dari foto koleksi Batara ini.
? Grup Kolektor E-Books
D.A.S 64 Mata Air Dibayangan Bukit 17 Pendekar Naga Putih 46 Petualangan Di Alam Roh Kisah Para Pendekar Pulau Es 2

Cari Blog Ini