Ceritasilat Novel Online

Mencari Busur Kumala 9

Mencari Busur Kumala Karya Batara Bagian 9


akhirnya pecah bertemu jari-jari Kilat.
"Trakk!" kakek ini membanting tubuh
bergulingan dan saat itulah ia berseru memanggil
sutenya. Tentu saja ia gentar dan ngeri dan baru
sekaranglah ia menga kui kehebatan lawan. Keluarga
Pak dari Se-kiang memang tak boleh dibuat mainmain. Dan ketika dua sutenya berkelebat dan
menyerang jago tua itu, Lui-ciang Pak-Ju membalik
13 maka kakek gagah ini menangkis dan ia mengerahkan
delapan bagian tenaganya.
"Krak-krakk!" tongkat pun patah dan dua
pengemis itu melempar tubuh ke kiri kanan. Sinar Luiciang masih menyambar dan hawa panas membuat
muka terbakar. Pakaianpun rasanya berbau sangit.
Akan tetapi ketika mereka meloncat bangun dan sang
ketua menerjang lagi..., Hwa-i Kai-pangcu begitu
marah maka kakek ini mengeroyok lawan dan tak
segan-segan lagi mengembut dan berbuat curang.
"Bunuh dan robohkan dia!"
Jago Se-kiang berkilat matanya. Setelah ia
bertanding dan mengetahui kepandaian lawan maka
dilihatnya bahwa Hwa-i Kai-pangcu tak perlu ditakuti.
Tongkat hitamnya memang hebat akan tetapi dengan
Lui-ciang atau Tangan Kilatnya ia mampu menghalau.
Dari beberapa benturan dapat diketahui bahwa
sinkangnya lebih kuat. Kalau ia mau maka dapat
didesak dan dilukainya ketua Hwa-i Kai-pang itu. Akan
tetapi karena ia menahan diri dan ingin lawan mundur
dengan sendirinya, mengharap lawan tak nekat dan
pergi baik-baik ternyata harapannya ham pa dan kini
pengemis itu tak segan mengeroyok, bahkan ingin
membunuh dan merobohkannya.
14 "Hm, kalian Hwa-i Kai-pang benar-benar tak
tahu diri. Baiklah kalau begitu, pangcu, aku tak akan
memberi hati lagi dan jangan salahkan aku... srat!"
sebatang trisula kecil tahu-tahu menyambar keluar
menyambut tongkat-tongkat para pengemis itu, cepat
dan bagai kilat menyambut lalu melilit tongkat.
Gerakannya demikian luar biasa hingga tiga kakek itu
terkejut. Dan ketika mereka berseru keras menarik
tongkat, maksudnya melepaskan diri mendadak jago
tua itu memelintir dan... krek-krek-krek, tongkattongkatpun patah dan saat itu tangan kanannya
menyambar tiga orang ini. Sinar putih menyilaukan
pandangan.
"Awas!" Hwa-i Kai-pangcu kaget sekali dan
dialah yang pertama kali membanting dan melempar
tubuh bergulingan. Dua sutenya tampak tertegun dan
membe lalak di tempat, mengelak namun terlambat.
Maka ketika keduanya mengeluh dan terbanting, Luiciang atau Tangan Kilat menghantam leher mereka
maka dua orang ini roboh dan kulit mereka gosong.
Jago tua ini masih menahan tenaganya.
"Des-dess!"
Hwa-i Kai-pangcu menggigil dan meloncat
bangun dengan muka berubah. Ia tak mungkin
15 menolong sute-sutenya karena ia sendiri harus
menyelamatkan diri. Saat itu terdengar teriakan dan
jerit di mana-mana, anak buahnya dan sutenya yang
lain terlempar. Ternyata putera-pu-teri jago tua ini
menyelesaikan pertandingan juga, separoh dari
lawan-lawan mereka terkapar. Akan tetapi ketika saat
itu banyak orang berlompatan dan mereka inilah
orang-orang kang-ouw yang ta dinya berseliweran di
tepi pantai, menonton dan bersorak gaduh mendadak
belasan di antara mereka menerjang dan menyergap
orang-orang muda itu, terutama si gadis baju ungu Pek
Lian. "Tangkap dan bawa lari gadis ini, bantu Hwa-i
Kai-pangcu!"
Keadaan tiba-tiba ribut. Tanpa diduga belasan
orang itu menyerang dan berkelebatan ke tiga orang
muda ini. Keluarga Pak diserbu. Dan ketika Pak-hengte
(dua saudara Pak) terkejut dan membalik serta
menyambut, tentu saja mereka itu ka get dan marah
maka Pek Lian, adik mereka melengking dan
menggerakkan pedang membacok dan menikam. Para
penyerbu ini adalah kaum laki-laki berpakai an gelap
dengan gelang akar-bahar di tangan.
16 "Jahanam pengecut, kalian pasti antek busuk
Hwa-i Kai-pangcu... cring-tring-trangg!" bunga api
berpijar dan golok atau dayung yang bertemu pedang
di tangan gadis itu sebagian besar terpental akan
tetapi satu di antaranya mengenai bahu gadis ini. Pek
Lian menjerit dan terhuyung dan ujung dayung yang
mengenai bahunya membuat ia kesakitan, la sudah
melindungi dirinya dengan sinkang akan tetapi
pukulan itu amatlah berat. Seorang laki-laki berkumis
tebal terkekeh padanya. Namun ketika saat itu
ayahnya berkelebat dan membentak, juga kakaknya
tak mau tinggal diam maka mereka berlima
mendorong dan memukul orang-orang ini. Hong-see si
sais keretapun tak mau kalah.
"Mundur dan jangan campuri urusan kami, atau
kami bertangan besi!"
Orang-orang itu terlempar. Begitu si jago tua
mendorong dan menggerakkan ta ngannya ke kiri
kanan maka Lui-ciang menyambar orang-orang itu.
Dayung besi berdentang ketika menangkis, tanda beta
pa hebatnya Tangan Kilat jago Se-kiang ini. Dan ketika
mereka tergetar dan mundur terhuyung, tak kurang
dari empat belas orang maka Hwa-i Kai-pangcu tibatiba berseru girang dan mengangkat tangannya tinggitinggi, berseru mencabut tongkat barunya.
17 "Bagus, terima kasih untuk bantuan ini, saudara
Lo Yung. Bunuh dan robohkan keluarga Pak!"
"Heh-heh, jangan semuanya. Yang cantik ini
bagianku, pangcu, yang lain terserah olehmu. Aku
datang bersama anak buahku dan jangan khawatir,
mari kubantu dan basmi habis keluarga sombong ini!"
Jago Se-kiang itu terkejut. Sekarang ia melihat
laki-laki berkulit hitam bersenjatakan dayung itu,
orang yang tadi membuat puterinya menjerit. Dan
ketika sepasang matanya berkilat dan barulah dia tahu
bahwa inilah kiranya si bajak sungai Sin-go Lo-Yung,
Buaya Sakti yang biasa malang-melintang di perairan
Huang-ho maka ia membentak dan tiba-tiba
menggulung sepasang lengan bajunya. Suaranya kini
terdengar bengis dan tak memberi ampun.
"Hwa-i Kai-pangcu, kau kiranya membawa pula
orang-orang kotor ini. Baiklah kuselesaikan tugasku
dan kali ini kalian tak akan kuampuni!" berkata begitu
tiba-tiba jago tua ini berjongkok dan mengeluarkan
suara aneh dari tenggorokannya. Ia mengerahkan
tenaga dan mendorong, urat-urat lehernya
menggembung. Dan ketika dari dua lengannya
menyambar pukulan dahsyat ke orang-orang itu, Hwai Kai-pangcu dan si bajak sungai Yo Lung maka dua
18 orang itu menangkis akan tetapi mereka berteriak dan
terbanting.
"Des-dess!" dayung terpental dan nyaris
menghantam tuannya sendiri sementara Hwa-i Kaipangcu melempar tubuh berjungkir balik. Ia tak mau
tongkatnya patah lagi dan membuang tubuh ke
belakang. Ia merasakan dorongan yang amat dahsyat,
jauh lebih dahsyat daripada yang sudah-sudah. Maka
ngeri dan kaget menyelamatkan diri, tentu saja ia
berseru keras ternyata jago pedang itu mengejar akan
tetapi anak buah bajak menghalangi
"Des-des-plak!" dayung dan golok mencelat
sementara dua pemuda gagah Pak-hengte tak tinggal
diam. Orang-orang lain termasuk murid-murid Hwa-i
Kai-pang mengeroyok lagi. Mereka sombong setelah
mendapat bantuan dari luar. Akan tetapi ketika Pak
Lian juga membentak dan berkelebatan menyambar,
pimpinan bajak sudah dihadapi ayahnya maka
pedangnya tak kenal ampun lagi ketika membabat dan
menusuk orang-orang itu. Jerit kesakitan tak dapat
dicegah lagi.
"Crat-crat-singg!" gadis ini begitu marah
sehingga ia tak perduli seruan kakaknya. Pak Swi, yang
tampaknya lebih sabar dibanding Pak Han
19 memperingatkan agar adik perempuannya tak usah
membunuh. Musuh cukup dilukai dan dirobohkan
saja. Akan tetapi karena gadis itu terlanjur marah dan
iapun masih kesakitan oleh hantaman dayung si Buaya
Sakti Lo Yung maka ia menimpakan ini kepada anak
buahnya dan... seorang di antaranya terpenggal,
kejadian begitu cepat.
"Arghhh!"
Suara di tenggorokan ini bagai ayam
disembelih. Laki-laki itu roboh sementara pedang
masih menyambar dan berkelebatan. Tepi pantai
menjadi gempar. Dan ketika orang-orang kang-ouw
lain tak senang dan berlompatan maju, tandang gadis
itu dinilai kelewat kejam maka mereka berseru nyaring
dan tahu-tahu membantu para bajak dan Hwa-i Kaipang ini. Sebagian besar mengincar gadis baju ungu
dan rata-rata ingin mengeroyok dan menangkap gadis
itu, tentu saja dengan pandangan bergairah dan mata
liar. Akan tetapi kakek nelayan yang memegang
pancing dan jala tiba-tiba meloncat. Dialah orang
pertama yang ditanyai Pak Han tadi, kakek berpakaian
sederhana dan dikira nelayan biasa. Dan ketika kakek
ini terkekeh dan menggerakkan jalanya, juga pancing
20 yang menjeletar-jeletar maka musuhpun menjadi
kaget dan berteriak kesakitan betapa pancing kakek
itu menggantol kulit tubuh mereka. Ada yang
tertancap bahu kirinya atau juga te linga, sobek.
"Ha-ha-heh-heh-heh! Ini perlakuan tak adil,
buaya-buaya busuk. Kalian berpuluh-puluh orang
mengeroyok sebuah keluarga saja. Hayo keluar,...
keluar, atau pancingku menggigit kalian dan siapa
tetap di sini, heh-heh-heh...!"
Anak bajak dan para pengemis menjerit. Mata
kail atau pancing itu menyengat. Berulang-ulang kakek
itu menyendal dan menyabetkan pancingnya dan
seketika itu juga lawannya tergigit. Siapa yang terkena
lalu disontek, kulit atau secuwil daging kontan saja
berhamburan. Dan ketika ulah kakek ini juga
mengejutkan Hwa-i Kai-pangcu, si pengemis mengelak
dan bajunya yang tergantol maka kakek itu memakimaki namun tiba-tiba ia terbelalak dan mengingatingat.
"Kau... Chin Jiang Nelayan Timur. Ah, keparat
jahanam, orang she Chin, ada apa kau mencampuri
urusan kami!"
"Ha-ha-heh-heh...
aku main-main dan kebetulan berada di sini, Hwa-i Kai-pangcu, tak
21 mendapatkan ikan maka orang-orang pun boleh. Haha... biar kubawa pulang dan kuberikan cucu-cucuku,
bret-brett!" dua gumpal daging kembali tersontek dan
pemiliknya tentu saja menjerit dan mengaduh-aduh.
Mata kail itu tajam sekali, lagi pula ujungnya
melengkung, mirip gigi ular. Dan ketika Hwa-I Kaipangcu mengelak dan kembali memaki-maki, saat
itulah semuanya menjadi kacau maka terdengar derap
belasan kuda dan orang di luar pertempuran tiba-tiba
menyibak mundur. Sepasukan orang berkuda gagah
muncul dipimpin seorang perwiranya berpakaian
lengkap, dengan golok terhunus.
"Cao-ciangkun (panglima Cao)!"
Para pengemis dan anak buah bajak rupanya
terkejut. Mereka berubah dan sekonyong-konyong
menghentikan pertempuran. Hwa-i Kai-pangcu
bersuit. Lalu ketika ia membalik dan melarikan diri,
masuk dan lenyap di balik pohon-pohon besar maka
anak buahnya mengikuti dan saat itu pasukan berkuda
itu telah datang.
"Pak-taihiap (pendekar Pak)!"
"Cao-ciangkun!"
Perwira di atas kuda meloncat turun sementara
si jago tua Lui-ciang Pak-Ju berkelebat ke depan.
22 Mereka adalah dua sahabat yang kini bertemu.
Kedatangan keluarga itupun atas undangan Cao-ciang
kun. Maka ketika keduanya membungkuk dan saling
memberi hormat, buyarlah keruntunan orang-orang
lain maka perwira itu sudah menyimpan goloknya dan
berseri memandang keluarga gagah perkasa ini,
terutama gadis baju ungu yang tampak jelita dengan
anak rambut menjuntai, dahi berkeringat.
"Ha-ha, ini puterimu Pak Lian? Aduh, pangling
aku. Sudah besar dan gagah sekali. Bagaimana kalian
bertempur dengan pengemis-pengemis Hwa-i Kaipang itu dan kenapa tidak memasuki kota dulu!"
"Kami mengira kau berada di pulau i-tu,
menunggu dan mengharap perahu datang. Tak nyana
kau di daratan, ciangkun Kalau tahu mungkin kami
mampir ke kota."
"Ha-ha, aku baru saja mendapat panggilan,
kemarin baru meninggalkan Ang-bi-to. Baiklah, Paktaihiap, terima kasih atas undanganmu dan barangkali
sekarang juga kita ke pulau itu. Bicara di sana lebih
enak!"
"Tunggu..." satu dari dua pemuda itu tiba-tiba
berbisik kepada ayahnya. "Di mana kakek nelayan itu,
ayah. Aku tak melihatnya!"
23 "Benar," pemuda kedua, Pak Han, berseru pula.
"Kakek itu tak ada, ayah. Ia ternyata si Nelayan Timur


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Chin Jiang!"
"Apa yang kalian bicarakan," sang perwira
bertanya. "Siapa orang yang kalian cari, jiwi-kongcu.
Seingatku hanya orang-orang Hwa-i Kai-pang itu yang
mengganggu kalian."
"Tidak," si jago tua menjawab. "Ada seorang
yang telah membantu kami, ciangkun. Dan ia adalah
Nelayan Timur Chin Jiang. Hm, ke mana kakek itu dan
kenapa ia menghilang. Baru kutahu bahwa ia nelayan
aneh itu!"
"Nelayan Timur? Ia juga ada di sini?"
"Benar, akan tetapi sekarang pergi. Aku tak
sempat mengucap terima kasih dan sayang sekali ia
tak mau menemui kita. Hm, biarlah lain kali kuucapkan
terima kasih dan harap ciangkun membawa kami ke
Ang-bi-to bila urusan memang penting."
"Ah, benar, amat penting. Mari, tai-hiap, mari
pergi. Lihat aku sudah menyiapkan perahu dan biarlah
semua tunggangan kita di sini. Ada yang jaga!"
Rombongan berkuda sudah turun dari kuda
masing-masing dan benar saja saat itu tampaklah dua
24 perahu meluncur dari depan. Buih dan ombak yang
kecil tersibak ke kiri kanan sementara pasukan Caociangkun yang berjumlah tiga lusin orang bersiap-siap.
Mereka menambatkan kuda dan beberapa menjaga.
Dan karena tempat itu segera sepi oleh orang-orang
kang-ouw, mereka menyingkir dan rupanya gentar
oleh kegagahan keluarga Pak dari Se-kiang ini maka
tak lama dua perahu itu merapat. Masing-masing
perahu hanya ditumpangi dua orang, meskipun pe
rahu itu dapat memuat sepuluh orang. Dan ketika Caociangkun tertawa dan me lambaikan tangannya, dua
orang itu meloncat turun maka perwira ini berkelebat
dan berseru pada keluarga Pak itu, gerak an kakinya
ringan dan tahu-tahu ia sudah di atas perahu tanpa
menimbulkan guncangan berarti.
"Taihiap, jiwi-kongcu dan siocia, mari naik.
Perahu ini untuk kita sementara yang kedua itu untuk
pengawal-pengawal-ku!"
Kakek gagah itu mengangguk. Tubuhnya yang
tinggi besar tiba-tiba bergerak dan iapun tahu-tahu
telah melayang dan berada di dalam perahu. Hebat
kakek ini, ia seakan kecapung yang hinggap dan sama
sekali tak membuat perahu bergeming, padahal
tubuhnya jelas lebih besar dan lebih berat dibanding
Cao-ciangkun. Dan ketika perwira itu tertawa
25 sementara dua pemuda itu juga melayang seperti
ayahnya, disusul sang adik yang berjung-kir balik dan
hanya sedikit saja menimbulkan getaran maka perwira
ini terbahak berkata memuji,
"Hebat, ilmu meringankan tubuh dua puteramu
dan puterimu melebihi aku. Ah mereka orang-orang
berkepandaian tinggi, Pak-taihiap, sungguh kagum
aku melihatnya. Marilah kita ke pulau dan mudahmudahan kedatangan kalian banyak membantu
kesulitanku!"
Cao-ciangkun
memerintahkan
orangnya mendayung dan tak lama kemudian perahu ke pulau
Ang-bi-to. Bersamaan itu muncullah orang-orang
kang-ouw yang tadi menghilang. Mereka mengamati
kepergian orang-orang ini dengan mata bersinar-sinar.
Lalu ketika mereka tersenyum dan menghilang lagi,
dua lusin pasukan yang ada di situ bergerak dengan
sikap mengancam maka orang-orang itu lenyap lagi
namun tak lama kemudian dari arah lain, jauh dari
pantai tampaklah belasan perahu menyusul.
Mereka amat berhati-hati sekali membayangi
perahu Cao-ciangkun, bahkan memutar dan
mendekati Ang-bi-to dari belakang. Dan karena
mereka tak diketahui perwira ini dan hampir
26 bersamaan mendarat di sana, jauh di belakang pulau
maka Ang-bi-to tiba-tiba menjadi ramai dalam
kesunyian yang mendebarkan. Gerak-gerik mencuriga
kan namun pasti membawa ketegangan.
-oPulau ini ternyata tidak begitu besar. Setelah
mendarat dan berloncatan turun maka Pak-taihiap
dan putera-puterinya melihat betapa pulau itu
ditumbuhi pohon-pohon tinggi yang langsing kecil,
dari jauh seakan pinus namun ternyata bukan.
Cao-ciangkun menamakan pohon liu-song,
sejenis cemara yang sudah bersilang dengan pohon
lain yang daunnya bulat-bulat panjang. Dan begitu
menginjakkan kaki di tempat ini, rimbunnya pohonpohon dan daun segar menyambut mereka maka
keluarlah beberapa orang penjaga pulau, yakni anak
buah Cao-ciangkun juga.
"Selamat datang dan laporan," satu di antara
mereka berseru. "Barak pesananmu sudah selesai,
ciangkun. Akan tetapi kami tak berani menghalangi
Lun-ongya yang masuk keluar berjalan-jalan. Kami
dibentaknya."
"Hm, ia tak mau memasuki perkampungannya
sendiri? Apa yang selanjutnya ia lakukan?"
27 "Ia tak melakukan apa-apa, ciangkun, hanya...
hanya berbangkis dan batuk-batuk di tempat itu. Kami
tak berani mengusir."
Wajah Cao-ciangkun berubah. Tiba-tiba ia
menghela napas setelah berkerot sejenak. Lun-ongya
adalah satu dari sekian penderita yang berada di Angbi-to, pageran atau keluarga kaisar yang diasingkan.
Maka ketika ia mendengar laporan itu betapa sang
pangeran meninggalkan perkampungannya sendiri,
keluar dan berjalan-jalan di barak baru maka ia merasa
gemas namun tak mampu berbuat apa-apa.
"Siapa itu Lun-ongya," Pak Han tiba-tiba
bertanya heran. "Dan kenapa kau kelihatan tak
senang, ciangkun. Ada apa dengannya."
"Hm, ia penderita yang diasingkan. Menurut
perhitungan hidupnya tinggal setahun lagi, kongcu,
dan akhir-akhir ini ia sering membuat ulah. Aku tak
senang karena ia mengganggu tempat baruku.
Seharusnya tempat itu tak boleh dijamah para
penderita."
"Kalau begitu pindah Saja, jangan ke sana!"
"Mana mungkiri? Tempat itu kusediakan
untukmu, kongcu, maksudku untuk kalian semua.
Kalau belum apa-apa sudah dikotori orang padahal tak
28 sempat membangun yang lain maka apa yang harus
kukatakan. Lun-ongya memang menjengkelkan, akan
tetapi kita semua harus berhati-hati!"
"Apa maksudmu dengan kata hati-hati. Apakah
ia seorang lihai, ciangkun, atau penderita
berpenyakitan yang lemah dan bisanya menularkan
penyakit."
"Itulah, tepat kata-katamu terakhir tadi. Ia
penderita berpenyakitan yang berbahaya bagi orang
lain, kongcu. Kalau ia mendekati kita sebaiknya
menyingkir!"
"Hm, penyakit Kutukan Dewa hanyalah menular
kalau kita berhubungan intim. Asal kita tak meladeni
nya kupikir tak apa-apa, ciangkun. Bukankah begitu
yang kudengar." Lui-ciang Pak-Ju si jago tua bicara. Ia
tentu saja telah mengetahui ini sementara puterinya
merona merah. Bagaimanapun gadis itu juga tahu,
begitu pula dua kakaknya. Maka ketika gadis ini
melengos sementara Cao-ciangkun menghela napas
maka perwira itu mengangguk.
"Benar, kata-katamu tidak salah. Akan tetapi
pangeran ini tampan dan menarik sekali, taihiap.
lapun pandai membujuk. Kalau ia sudah mendekati
seorang pemuda dan merayunya maka orang tak akan
29 sadar dan jatuh di tangannya. Sudahlah tak usah kita
bicarakan dia dan jiwi-kongcu sebaiknya menjauh!"
Pak Han, putera kedua mencibir. Diam-diam ia
malah ingin tahu dan membuktikan kata-kata Caociangkun itu. Seberapa hebat daya bujuk dan
ketampanan nya. Coba ia lihat! Maka ketika semua
orang bergerak lagi dan masuk ke dalam, tampaklah
kini rumah-rumah kecil bertebaran di tengah pulau
maka di luar perkampungan itu terpasang kawat
berduri dan tiba-tiba terdengar jeritan dan keluhan
menyayat. "Biarkan aku mati... biarkan aku mati!"
Pak Han dan kakaknya berhenti. Sang ayah juga
berhenti namun Pak Han tiba-tiba berkelebat. Di
sebelah kiri mereka tak jauh dari situ terdengar
benturan seperti orang dihajar. Dak-duk dan teriakan
tiba-tiba lenyap. Dan ketika semua terkejut dan
berkelebat pula ke sini, Cao-ciang kun berseru hatihati maka semua tertegun melihat pemandangan
menggetarkan.
Seorang pemuda bersimbah darah dan roboh
telungkup, kepalanya bocor dan seluruh tubuhnya
berkudis, penuh nanah.
30 "Kenapa kau!" Pak Han berkelebat setelah
terpaku sejenak. "Siapa yang membuatmu begini dan
biar kuhajar orang tak kenal kasihan itu!"
Akan tetapi Cao-ciangkun membentak dan
menyambar serta menarik pemuda Se-kiang ini.
Perwira itu berseru agar membiarkan saja sang
korban, saat itu muncul beberapa pengawal tergopohgopoh. Dan ketika Pak Han tertegun kenapa Caociangkun menariknya mundur maka empat orang itu
melemparkan karung dan... bluk, tubuh pemuda
menjijikkan itu terbungkus, disambar kemudian
dibawa lari.
"Ia penderita yang tak tertolong. Ia ingin bunuh
diri, kongcu, nyawanya tinggal sehari ini. Ia pemuda
dari desa di seberang pantai!"
"Kenapa ia dibungkus? Kenapa pula ia diperlaku
kan kasar?" Pak Han terheran-heran dan tak puas
memandang perwira ini, nada bicaranya setengah
marah. "Hm, semua itu demi keselamatan pengawalku.
Kalau disentuh dan dipegang secara wajar maka bisulbisul di tubuhnya akan menular, kongcu, dan
pengawalku akan terkena kutukan dewa itu. Ia sudah
masuk kelompok amat berat!"
31 "Akan tetapi tak akan menular kalau tidak..."
"Ya-ya, aku tahu. Namun koreng atau nanah di
tubuhnya itu sudah membawa penyakit yang lain lagi.
Pengawalku bisa terserang ini, kongcu, dan itu tak
kalah berbahaya dengan penyakit utamanya!"
Pak Han membelalakkan mata ketika Caociangkun menjelaskan dan menarik napas dalam.
Tampak betapa wajah perwira itupun sedih, di
samping jijik. Dan ketika ia bergidik ngeri sementara
adiknya hampir muntah-muntah, Pak Lian sejak tadi
merasa mual maka muncullah satu dari empat
pengawal tadi, berlutut dan melapor.
"Maafkan, ciangkun... A-lui telah tewas. Kami
kecolongan ketika ia lari dan bunuh diri di sini."
"Sudahlah, betapapun ia tak mungkin selamat.
Lakukan tugas kalian berikutnya, Sam-tong, kami
hendak ke barak dan jaga jangan ada yang
mengganggu."
"Baik, kami menjalankan tugas," lalu ketika
pengawal ini bangkit dan pergi bergegas maka tak
lama kemudian tercium bau sangit yang aneh.
"Bau rambut terbakar!" Pak Lian tiba-tiba
berseru. 32 "Atau orang memanggang anjing!" Pak Han tak
kalah cepat.
"Bukan," Cao-ciangkun berkelebat dan
meninggalkan tempat itu. "Mayat pemuda tadi
disempurnakan, Pak-siocia (nona Pak). Maksudku
dibakar dan dijadikan abu. Mereka yang mati tak
boleh dikubur agar jasadnya tak membawa
malapetaka."
"Dibakar?" gadis itu terpekik. "Maksudmu
dibuat seperti orang memanggang anjing, ciangkun?
Kejam sekali!"
"Benar, kejam sekali!" Pak Han tiba-tiba berseru
pula dan kaget. "Kalau begitu biar kulihat sebentar,
ciangkun. Kalau anak buahmu kejam terpaksa
kuhalangi!"
Sang perwira tersentak dan berhenti. Pemuda
itu sudah memasuki pagar berduri dengan cara
berjungkir balik. Ia melayang begitu cepat dan tak
perduli siapa-pun. Namun ketika bayangan tinggi
besar berkelebat dan membentak pemuda itu,
mencengkeram punggungnya maka Pak Han kaget
betapa sang ayah melemparnya balik keluar.
"Berhenti dan jangan lancang. Kita tamu, Pak
Han, tahu aturan sedikit!"
33 Pemuda itu berjungkir balik dan turun dengan
ringan. Akhirnya ia hinggap kembali di luar
perkampungan sementara ayahnya bermuka merah.
Kakek gagah ini melotot. Dan ketika pemuda ini sadar
dan cepat meminta maaf, Lui-ciang Pak-Ju
membungkuk di depan Cao-ciangkun maka iapun
meminta maaf atas kelancangan puteranya.
"Mohon maaf atau biarkan puteraku kembali ke
pantai. Ia tak tahu aturan, ciangkun, harap kau
pandang mukaku dan tidak kecil hati."
"Ha-ha, ah, dia ini orang muda bersemangat.
Justeru perbuatannya menunjukkan watak mulianya,
taihiap. Ia ingin menentang apa yang dianggapnya
kekejaman. Pemuda seperti ini tak perlu ditahan.


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Biarlah kuperlihatkan di sana agar hatinya puas!"
berkata begini perwira itu menyambar lengan Pak Han
dan tiba-tiba meloncat. Ia tak jadi meninggalkan
tempat itu malah memasuki perkampungan. Dan
ketika semua terkejut dan Pak Han tertegun, mandah
saja dibawa maka Cao-ciangkun membawanya ke asal
bau dan tampaklah sebuah tungku pembakaran
menyala merah. Tak jauh dari sini tampak berderet
laci-laci batu tak berpintu, isinya abu tulang yang
membuat Pak Lian bergidik!
34 "Nah, itulah... lihatlah. Empat pengawalku
bekerja di sini, kongcu, sementara itu adalah abu
jenasah yang belum diambil kerabatnya. Kami
memang menyempurnakan jasad mereka dengan cara
begini dengan dua maksud. Pertama melenyapkan
sumber penyakit agar bumi Ang-bi-to tetap bersih
sementara yang kedua adalah mempertahankan
lahan. Bayangkan apabila ribuan orang harus dikubur
di sini sementara pulau ini tak pernah bertambah!"
Pak Han membelalakkan mata akan tetapi tibatiba menutup hidung. Adiknya dan yang lain-lain
melakukan hal yang sama. Bau menusuk tajam
menyengat mereka. Lalu ketika terdengar suara
berkeratak dari rapuhnya tulang-belulang, juga suara
pecah seperti tengkorak disambar api maka gadis itu
mengeluarkan seruan pendek dan membalik serta
meloncat pergi.
Cao-ciangkun tersenyum pahit memandang
pemuda itu. Pak Swi tiba-tiba menjawil adiknya dan
meloncat pergi. Sang ayah mengangguk-angguk. Lalu
ketika berpandangan dengan jago tua itu dan masingmasing memaklumi gejolak anak-anak muda akhirnya
dua orang inipun berkelebat dan keluar meninggalkan
perkampungan itu, apalagi ketika dari rumah-rumah
35 yang bertebaran itu menyeruak tubuh-tubuh kuyu dan
letih pucat. Para penderita kutukan dewa!
Sekali lagi Pak Han meminta maaf akan tetapi
sang perwira tertawa kecil. Diam-diam ia melihat
semangat dan kegagahan pada pemuda ini, Pak Han
anak muda yang peka lingkungan. Dan ketika akhirnya
ia membawa semua tamunya ke tempat yang dituju,
yakni barak baru yang telah dipersiapkan maka di sini
semua orang tertegun betapa di beberapa tempat di
lantai itu terdapat timbunan tanah seperti menutupi
kotoran ayam.
"Apa ini, kenapa tak dibersihkan."
"Ampun..." seorang penjaga muncul, berbisikbisik. "... kami... kami... ah Lun-ongya tadi di sini,
ciangkun, kami tak berani mengusir...!"
"Kalau begitu biar kusapu bersih!" Lui ciang PakJu tiba-tiba berseru. "Tak usah marah-marah kepada
pengawalmu, ciangkun. Ini urusan kecil dan biarlah ku
lenyapkan!" sang jago tua menggerakkan tangannya
dan tiba-tiba dari kedua ujung bajunya menyambar
angin kuat. Sekali kibas mencelatlah hamburan tanah
itu, tanpa bekas. Lalu ketika pendekar ini tersenyum
dan memandang tuan rumah maka Cao-ciangkun
36 menghela napas dan menunjuk beberapa bangku kayu
di situ, mengelilingi sebuah meja.
"Mari duduk, taihiap, sekarang kita bicara"
"Maaf," si sais Hong-see mendadak berkata,
suaranya pelan. "Apakah hamba tak di luar saja,
ciangkun. Hamba dapat melakukan penjagaan
bersama pengawal-mu. Pak-taihiap serta kongcu dan
siocia tentu lebih berkepentingan di sini."
"Baiklah," sang majikan ternyata tanggap,
mendahului. "Kau boleh di luar, Hong-see, akan tetapi
jangan jauh-jauh dan tetap dekat-dekat saja di sini."
"Terima kasih," laki-laki itu membungkuk.
"Hamba menerima perintah, taihiap, hamba akan
berjaga."
Cao-ciangkun menarik napas dan sedikit
menegur sahabatnya akan tetapi Lui-ciang Pak-Ju
tersenyum. Kakek gagah ini memberi isyarat. Dan
ketika putera-puterinya duduk mengelilingi meja itu
sementara Hong-see berkelebat keluar maka Caociangkun mulai bicara serius sementara Pak. Han
masih bertanya-tanya tentang tumpukan tanah kering
yang tadi menutupi bercak-bercak di lantai. Tak tahu
bahwa itulah dahak sang pangeran dan yang tadi tak
berani disentuh para penjaga kecuali menutupinya
37 saja dengan pasir atau tanah kering. Dahak dari orang
yang kena penyakit Kutukan Dewa!
"Baiklah kuceritakan apa yang hendak
kuberitahukan kepada taihiap dan jiwi-kongcu serta
siocia berempat. Bahwa malam nanti, tepat tengah
malam setelah bulan di atas kepala maka ada seorang
tamu istimewa yang harus kami jemput. Maksud kami,
seorang tawanan yang harus dijaga ketat dan kelak
diserahkan ke kota raja!"
"Tamu alias tawanan istimewa? Siapa dia ini,
ciangkun? Dan kenapa harus malam-malam pula?
Kenapa harus dijaga ke tat dan kau begitu
mempercayakannya ke pada kami?" Pak-taihiap tak
tahan dan bertanya sambil mengerutkan keningnya
sementara putera-puterinya mengangguk pula.
Mereka tak sempat bertanya karena sang ayah sudah
mendahului. Pak Han yang tadi berpikir tentang
kotoran tanah itu terlupa pula, tertarik dan terbawa
tanpa sadar. Dan ketika perwira itu menangguk dan
menoleh kanan kiri maka ia berkata hati-hati,
jawabannya seakan tak boleh didengar orang lain.
"Sst, tenang dan perlahan-lahan sajalah.
Sumber dari biang-petaka ini tertangkap, taihiap.
Maksudku bahwa orang yang dicari-cari istana telah
38 ditemukan. Seorang kulit putih, sumber bencana ini
tertangkap. Dialah mula-mula yang diduga
menyebarkan penyakit Kutukan Dewa itu. Ia bernama
Leiker. Akan tetapi karena orang ini menyembunyikan
sesuatu dan hendak dikompres, ia jahat dan licik maka
atasanku menghendakinya ditahan di sini dulu dan
malam nanti akan berdatangan orang-orang lihai
keturunan Liang-san, penangkap atau pembekuk
tawanan licik berbahaya ini!"
"Liang-san? Maksudmu keturunan atau muridmurid Dewa Mata Keranjang?" Pak taihiap terkejut,
tak dapat menyembunyikan kagetnya dan semua
putera-puterinya ikut berubah. Siapa tak mendengar
nama Liang-san, tempat atau hunian tokoh-tokoh
sakti, Dewa Mata Keranjang dan mu ridnya Fang Fang.
Dan ketika Cao-ciangkun mengangguk dan tampak
bangga, ia akan menjemput orang-orang gagah itu
maka keluarga ini dibuat terhenyak dan bersinar-sinar,
terutama Pak Lian gadis baju ungu.
"Benar, akan tetapi semuanya berlangsung
amat rahasia. Aku diperintahkan atasanku untuk
memperkuat pulau ini, taihiap, dan karena itulah aku
mengundangmu. Atasanku begitu khawatir, dan aku
menangkap kesungguhan dalam perintah ini. Konon,
kalau tidak salah maka Busur Kumala akan ditemukan
39 pula malam ini. Ang-bi-to dijadikan tempat pertemuan
tapi tak nyana orang-orang Hwa-i Kai-pang dan lainlainnya itu datang. Hidung mereka sungguh tajam!"
"Tunggu! Jadi, eh... jadi benar bahwa Busur
Kumala berada di pulau ini? Jadi benda yang dicari-cari
ini ada di Ang-bi-to?" Pak-taihiap memotong dan
wajahnya menunjukkan ketegangan.
"Sabar, aku belum selesai bercerita. Busur itu
tak ada di sini, taihiap, maksudku hari ini. Akan tetapi
malam nanti, bersamaan dengan datangnya tawanan
itu maka Busur Kumala diharapkan hadir pula. Katanya
orang kulit putih ini menyimpan benda itu. Karena itu
ia hendak dikompres dan dipaksa mengaku."
"Astaga, dan siapa tokoh Liang-san penangkap
nya itu. Apakah pendekar besar Fang-taihiap!"
"Aku tidak tahu, semuanya masih rahasia.
Pokoknya malam ini kami diminta memperkuat pulau
namun harus secara diam-diam. Aku mengundangmu
untuk minta tolong ini, tak menyangka bahwa orangorang kang-ouw itu muncul seperti siluman dan
mereka bisa mengacau tugas ku!"
"Hm-hm!" jago tua ini bersinar-sinar, tiba-tiba
pembantunya masuk, membungkuk dan berkata,
40 "Taihiap, ada sesuatu yang hendak ku laporkan.
Boleh sekarang atau tidak."
"Apa laporanmu," sang majikan berseru.
"Katakan dan jangan buang waktu, Hong-see, setelah
itu keluarlah kami ada pembicaraan penting!"
"Beberapa orang mendarat di belakang pulau,"
sais ini menjawab. "Mereka tampaknya orang-orang
kang-ouw itu, taihiap. Bolehkah hamba temui atau ada
pesan khusus."
"Hwa-i Kai-pang?"
"Belum jelas benar, akan tetapi rupanya
bukan."
"Kalau begitu biar kupanggil wakilku Unciangbu (kapten Un)!" Cao-ciangkun tiba-tiba berseru,
mendahului Pak-taihiap. "Jangan khawatir, Hong-see.
Biarlah kau bersama anak buahku dan Un-ciangbu me
mimpin!"
"Aku ikut!" Pak Han tiba-tiba berdiri, minta
tanda kepada ayahnya. "Kalau mereka bukan orangorang Hwa-i Kai-pang tentu orang-orang lain yang tak
kalah berbahaya, ayah, paling tidak seperti pengemispengemis busuk itu. Biarlah ku-bantu paman Hongsee agar pembicaraan mu tidak terganggu!"
41 "Betul, aku juga tiba-tiba tertarik," Pak Lian
berseru dan meloncat bangun. "Biarlah kubantu Hanko (kakak Han), ayah. Kalau mereka mendarat di
belakang pulau tentu mereka menyembunyikan
maksud tidak baik. Jangan-jangan semuanya jadi
kacau sebelum tawanan penting datang!"
"Aku juga," Pak Swi tak mau kalah. "Kami orangorang muda biarlah menjaga keamanan pulau, ayah.
Karena malam nanti akan ada peristiwa penting
biarlah sekarang juga kaum pendatang itu kami usir!"
"Terima kasih," Cao-ciangkun gembira dan
bertepuk tangan, masuklah Un-ciangbu wakilnya itu,
seorang laki-laki muda sekitar tiga puluh tahun dengan
wajah cakap dan tubuh gagah, membawa pedang.
"Semangat dan bantuan kalian amatlah kuhargai, jiwikongcu, terima kasih untuk kesediaan Pak-siocia pula
dan biarlah para pembantuku mengiringi. Unciangbu!" perwira itu berseru. "Ada laporan bahwa di
belakang pulau mendarat orang-orang asing yang
mencurigakan. Halau mereka dan sebentar lagi kami
datang!"
"Baik," kapten itu membungkuk. "Kami sudah
mendengar pula, ciangkun, dan kebetulan, menunggu
perintah. Biarlah kami berangkat dan kami lihat orang42
orang itu. Siap melaksanakan tugas!" lalu memberi
hormat dan berkelebat keluar perwira muda ini sudah
mengikuti Hong-see yang tak sabar mendahului
lainnya, lenyap diikuti Pak Han kakak beradik tak kalah
pula gadis baju ungu yang cantik jelita itu, yang
sempat dikerling sejenak oleh Un-ciangbu namun
ketegangan di be lakang pulau mengganggu mereka.
Cao-ciangkun melanjutkan kembali percakapan nya
dengan Pak-taihiap. Putera-puteri kakek gagah ini
telah meninggalkan ruangan. Dan ketika dua orang itu
bicara perlahan sambil sesekali mengangguk-angguk,
Pak-taihiap tampak bersinar dan tegang wajahnya
maka di belakang pulau anak-anak muda ini
menemukan sejumlah perahu yang penumpangnya
tak ada. Pak Han dan kakaknya hampir berbareng
berkelebatan di tempat, itu.
Tiba-tiba terdengar suit nyaring. Dari empat
penjuru mendadak muncul pengawal yang tak
mengenal dua orang muda ini. Mereka adalah penjaga
di kiri kanan pulau yang mendapat laporan tergesagesa. Maka begitu melihat dua pemuda itu dan
membentak sambil terus menyerang, Pak Han dan
kakaknya terkejut maka dua orang ini menangkis dan
berseru keras.
"Heiiii... kami orang-orang sendiri!"
43 Senjata dan tubuh orang-orang
itu berpelentingan. Mereka terpekik disambut pemudapemuda ini, tangan atau kaki Pak Han dan kakaknya
sekeras baja. Akan tetapi ketika mereka meloncat
bangun dan tak percaya begitu saja, dua pemuda ini
tak mereka kenal maka mereka menyerang lagi dan
saat itu muncullah Un-ciangbu yang membentak anak
buahnya itu.
"Berhenti dan buka mata kalian baik-baik. Ini
adalah Pak-kongcu dari Se-kiang Mereka tamu-tamu
Cao-ciangkun... duk dukk!" perwira itu yang malu dan
marah menendangi pengawalnya akhirnya membuat
pengawalnya terkejut dan tentu saja berhenti. Mereka
baru percaya setelah Un-ciangbu muncul di situ,
meskipun beberapa di antaranya terlanjur kesakitan
oleh tendangan dan bentakan pimpinan mereka ini.
Dan ketika saat itu gadis baju ungu juga muncul dan
mereka terkesima kagum, Pak Lian berkelebat di
sebelah kakaknya maka gadis ini menampakkan
ketidaksenangan akan tetapi Pak Swi menjawil dan
cepat menahan adiknya untuk tidak mengeluarkan
kata-kata keras. Gadis ini seorang pemarah dan cepat
tersinggung.
"Sst, mereka hanya salah paham. Kami dikira
para penyerbu itu."
44 "Benar, mereka salah paham," Un-ciangbu
menjura dan cepat minta maaf. "Anak buahku tak
mengetahui kedatangan Kalian, nona. Sekarang
bagaimana pendapat kalian setelah kita lihat perahuperahu kosong ini."


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kita berpencar," Pak Han berkata. "Kau dan
anak buahmu ke sana, ciangbu, kami ketiga penjuru.
Siapa menemukan musuh harap bersuit dan memberi
tanda bahaya!"
"Benar, agaknya kita harus berpencar. Mereka
tak di sini, ciangbu, marilah bergerak dan jangan
buang-buang waktu lagi," Pak Swi, yang lebih sabar
dan tenang menyetujui kata-kata adiknya dan Unciangbu mengangguk. Sebenarnya pria ini ingin
berdekatan selalu dengan tiga anak muda itu,
terutama Pak Lian. Akan tetapi maklum bahwa bahaya
sedang-mengancam, orang-orang kang-ouw ini harus
dicari maka ia berkelebat ke Selatan setelah lebih dulu
menyuruh perahu-perahu kosong itu ditarik dan
disembunyikan. Ini agar para pemiliknya kelabaKan
dan nanti tak dapat lari.
"Terima kasih, jiwi-kongcu, kami akan ke selatan
dan silahkan jiwi ke barat atau tempat lain."
45 Pak Swi tak menjawab melainkan meminta Pak
Han ke timur. Ia sendiri bersama adik perempuannya
berkelebat ke barat dan di tiga penjuru ini mereka
mengepung. Tak mungkin orang-orang itu lolos. Dan
ketika benar saja terlihat bayangan-bayangan gesit
menyelinap dan merunduk di hutan kecil di luar
perkampungan berpagar kawat, akhirnya mereka ini
melayang dan turun ke dalam perkam pungan maka
Pak Swi menjadi heran sementara adiknya tak sabar
melengking.
"Tikus-tikus busuk dari mana berani menyatroni
tempat ini. Menyerah atau ka mi menghajar!"
Orang-orang itu terkejut. Mereka adalah orangorang berpakaian singsat dan senjata atau gaya
mereka macam-macam, yang jelas beberapa di
antaranya di kenal gadis ini, yakni ketika di pantai dan
menonton pertandingan keluarganya dengan orangorang Hwa-i Kai-pang. Maka ketika orang-orang itu
terkejut namun mereka malah lari memasuki rumahrumah kecil di perkampungan itu maka gadis ini
semakin berang sementara Pak Swi membelalakkan
mata dan heran apa maunya orang-orang ini. Kenapa
malah berbaur dengan penderita Penyakit Kutukan
Dewa. 46 "Heii, berhenti. Atau aku membunuhmu!" Pak
Lian menyambitkan jarum-jarum halus dan orang yang
dibentaknya tadi menggerakkan senjata ke belakang.
Tang-ting-tang-ting membuat jarum runtuh
sementara orang itu menghilang di rumah terdekat,
mengejutkan gadis ini karena jelas lawan bukanlah
sembarangan. Ia menangkis tanpa menoleh. Akan
tetapi marah dan membentak gusar gadis ini-pun tak
perduli lagi dan menerjang memasuki pula rumah itu.
Lawannya menghilang di tempat ini.
"Hati-hati!" sang kakak berkelebat dan
memperingatkan adiknya. "Mereka tak kelihatan
takut terhadap kita, Lian-moi, bahkan tampaknya
berkesan buru-buru dan berani memasuki
perkampungan ini. Awas penyakit menular!"
Gadis itu membacok pintu rumah dan terdengar
teriakan kaget. Dua laki-laki muda berhamburan
sambil melipat celana dan mereka bertelanjang dada.
Tubuh mereka penuh bercak-bercak hitam. Akan te
tapi ketika mereka itu roboh ditendang gadis ini,
mencelat dan terguling-guling maka Pak Lian berseru
di mana lawannya tadi. Ia begitu marah hingga tak
perduli lawannya merintih-rintih, ada tanda-tanda
47 mereka ini melakukan sesuatu yang ganjil. Kolor
celana mereka terbuka lepas.
"Katakan di mana jahanam yang masuk tadi
atau kalian kuhajar. Ayo, di ma na dia!"
"Ampun, kami... kami tak tahu. Kami tak melihat
siapa-siapa, lihiap... kami... kami sedang asyik
bercintaan...!"
"Apa? Bedebah keparat!" gadis ini baru melihat
bagian yang terbuka itu dan bukan main malunya.
Seketika ia menjadi jengah dan mengutuk dua laki-laki
muda itu. Sudah di ambang kubur masih juga
menambah dosa. Maka ketika ia meloncat sementara
kakaknya menarik napas dalam, Pak Swi pun jengah
maka pemuda ini menyusul adiknya dan dua laki-laki
muda itu tampak mengeluh akan tetapi saling
berangkulan dan... akhirnya berciuman tanpa malumalu.
Dua kakak beradik ini ternyata tak gampang
menemukan lawan. Mereka memang melihat
bayangan-bayangan berkelebat akan tetapi lenyap di
rumah-rumah kecil itu. Setiap dikejar dan menendang
pintu maka yang terlihat adalah pemandangan
memalukan, yakni dua laki-laki atau lebih yang
berdekapan dan bermesra an di situ untuk kemudian
48 terpekik dan berhamburan ketika pemuda atau gadis
ini mendobrak rumah. Mereka tunggang-langgang
tiada ubahnya dua laki-laki pertama tadi. Maka ketika
Pak Lian menjadi gusar akan tetapi juga tersipu-sipu
jengah, perkampungan itu ternyata perkampungan
kotor maka Pak Swi tak kalah malu karena kaumnya
melakukan hal menjijikkan. Dan saat itu tiba-tiba
terdengar jeritan minta tolong.
"Tolong... tolong... lepaskan aku!"
Kakak beradik ini keluar. Tiba-tiba seorang di
antara penghuni diculik. Seorang kang-ouw bertubuh
tegap gesit memanggul dan membawa lari seorang
pria berkulit bersih dan sepintas seperti orang bule.
Tawanan di atas pundaknya itu meronta-ronta. Akan
tetapi ketika kakak beradik ini membentak dan
berkelebat menghadang mendadak dari empat
penjuru juga terdengar teriakan dan orang-orang
kang-ouw dengan memondong seorang tawanan
berkelebat keluar. Para penghuni ternyata diculik.
"Keparat, apa yang kalian lakukan dan berani
benar menculik orang di siang bolong. Lepaskan dan
berhenti!"
Akan tetapi gadis ini ditahan kakaknya. Pak Swi
lebih tertegun oleh kejadian yang terasa ganjil ini.
49 Pedang di tangan adiknya dicengkeram. Dan ketika
gadis itu terkejut dan berseru tertahan, penculik
dibiarkan lolos maka Pak Lian begitu herannya
membentak kakaknya ini.
"Swi-ko, apa yang kaulakukan ini. Kau membiar
kan musuh pergi!"
"Tenanglah, sabar. Mereka boleh lolos dari
perkampungan ini, Lian-moi, akan tetapi di pantai tak
mungkin lolos. Perahu-perahu mereka sudah
disembunyikan."
"Akan tetapi mereka dapat membahayakan
tawanan. Mereka dapat membunuh!"
"Tidak, lihatlah kejadian itu dan lihat pula Pak
Han dan Un-ciangbu muncul."
Gadis ini menoleh dan tiba-tiba matanya
membelalak lebar. Semula ia tak tahu namun tiba-tiba
melengos. Para penghuni yang diculik dan dibawa lari
tiba-tiba tertawa dan berhenti meronta-ronta.
Penculik mereka rata-rata bertubuh tegap dan kuat
gagah. Mereka ini tadinya terkejut namun sekarang
berseri-seri, diam dan memeluk lalu menciumi tubuh
penculiknya itu. Dan ketika mereka terkekeh-kekeh
termasuk pula penculik yang dihadang mereka tadi,
menggelandot manja dan menyembunyikan muka
50 dengan sikap kebanci-bancian maka Pak Lian tak dapat
menahan umpatan hatinya lagi dengan berseru,
"Tak tahu malu, jahanam terkutuk. Mereka
ternyata laki-laki yang sudah rusak dan benar-benar
tak dapat diperbaiki lagi!"
"Dan orang-orang kang-ouw itu mem
perlakukannya baik-baik. Mereka hati-hati dan tak
berkesan menyiksa, Lian-moi, akan tetapi sungguh
ganjil membawa lari orang-orang berpenyakitan."
"Benar, aneh sekali. Kalau begitu apa yang
mereka kehendaki dan lihat Un-ciangbu dan Han-ko
membentak dan mengejar mereka. Mereka lolos
keluar!"
Pak Swi masih tertegun sambil mencengkeram
pedang adiknya sementara orang-orang kang-ouw itu
memang berkelebatan keluar membawa lari penghuni
per kampungan, itu. Yang diculik rata-rata yang
berkulit putih kebule-bulean dan sikap mereka begitu
hati-hati dan tidak kasar. Merekapun diam dan
membiarkan saja telinga atau tengkuk mereka
diciumi. Hanya kalau tawanan mencium wajah atau
mulut barulah mereka ini menolak, itupun hati-hati
dan mendorong serta halus. Dan ketika para tawanan
51 terkekeh-kekeh dan akhirnya bagai gadis manja
dilarikan kekasih, sungguh keadaan ini membuat
orang tertegun maka hanya yang diculik atau dibawa
pengemis atau orang-orang tua para tawanan ini
memberontak. Ternyata Hwa-i Kai-pangcu pun tibatiba muncul di situ bersama anak buahnya, juga si
bajak Lo Yung.
"Lepaskan... lepaskan aku dan kalian pengemispengemis busuk bertubuh bau. Lepaskan aku, orangorang apek. Aku tak mau dengan kalian!"
"Benar, kaupun kakek tua bertubuh ceking. Aku
tak mau denganmu dan lepaskan aku!"
Pak Lian membuang mukanya dan gadis ini
marah bercampur bingung. Iapun jengah dan tak
mengerti maksud orang-orang itu, baik penculik
maupun tawanannya. Akan tetapi ketika kakaknya
berkelebat dan ia disendal maka Pak Swi seakan
tersentak sesuatu.
"Ah, ini ada hubungan dengan cerita Caociangkun. Sekarang aku mengerti!"
"Mengerti apa, apa yang kau tahu!"
"Lihat yang dibawa penculik-penculik itu, Lianmoi, mereka rata-rata berkulit putih bagaikan bule!"
52 "Ya, aku tahu. Tapi apa artinya?"
"Artinya adalah mereka menyangka tawanan
rahasia itu. Maksudku mereka menyangka bahwa
orang yang nanti malam akan kita jemput sudah ada
di sini. Mereka hendak mencari Busur Kumala!"
"Aku bingung, apa maksudmu. Ah, kepalaku jadi
pusing, Swi-ko, dan akupun tiba-tiba tak bernafsu
menolong mereka itu. Biar saja!"
"Tidak, mereka akhirnya berada dalam bahaya.
Para penculik itu akan membunuhnya, Lian-moi,
setelah tahu bahwa salah tangkap. Aku sekarang
mengerti dan mari kejar bersama kakakmu Pak Han!"
Gadis ini terbelalak lalu mengerutkan kening
dan iapun tiba-tiba cemberut. Setelah tahu dan
melihat kejadian itu maka ia pun tiba-tiba
mendongkol. Perasaan muak tak dapat ditahan lagi.
Akan tetapi karena masih bingung dan tak mengerti
jelas, keinginannya menolong orang-orang itu padam
maka Pak Lian tak mau banyak tanya lagi dan diamdiam ia malah ingin orang-orang kang-ouw itu
membunuh saja penghuni perkampungan yang
menjijikkan ini. Masih teringat olehnya dua orang lakilaki yang berciuman tadi, juga yang pakaiannya
kedodoran dan setengah telanjang!
53 Pak Lian memang tak tahu apa yang terjadi. Dia
tak tahu bahwa datangnya orang-orang kang-ouw itu
adalah untuk menculik Leiker, tawanan rahasia yang
tadi baru saja diceritakan Cao-ciangkun akan tetapi
malam nanti baru datang. Mereka sudah mendengar
berita itu dan alangkah tajamnya hidung orang-orang
kang-ouw ini. Penciuman mereka tajam dan apapun
agaknya sudah diketahui. Akan tetapi karena mereka
tak tahu bagai mana dan siapa Leiker itu, orang yang
katanya membawa pula Busur Kumala ma ka mereka
datang ke perkampungan ini dan menculik saja para
penghuni yang kira-kira seperti orang kulit putih, jadi
main sambar dan tidak banyak cakap, apalagi dalam
ketergesa-gesaan dan kejaran waktu yang pendek,
dikejar dan dibentak kakak beradik itu dan juga para
pengawal dan Un-ciangbu!
Apa yang diduga Pak Swi tidak salah. Pemuda ini
memang benar dan perkiraan nyapun tak bakal
meleset jauh kalau orang-orang kang-ouw itu nanti
tahu bahwa mereka salah ambil, membunuh dan
mencampakkan korbannya begitu saja. Maka ketika ia
mengejar dan jumlahnya ternyata begitu banyak, tak
kurang dari sembilan puluh orang menculik penghuni
maka perkampungan itu ditinggalkan cepat dan
tempat ini tiba-tiba begitu sepi. Hanya rintihan dan
54 keluhan di sana-sini bagi mereka yang terbanting atau
ditendang lawan, mereka yang bukan seperti orang
bule. "Berhenti dan mau apa mengambil tawanan.
Mereka orang-orang berpenyakitan, Hwa-i Kaipangcu, pembawa Kutukan Dewa. Kembalikan dan
jangan main-main atau kami menghajarmu!" Pak Han,
yang mengejar bersama Un-ciangbu membentak dan
memaki kakek pengemis itu. Kebetulan yang dibawa
adalah yang paling tampan dan halus sekali, sikap dan
gerak-geriknya bagai bangsawan. Dan karena pemuda
ini meronta-ronta akan tetapi kakek itu tak pernah
melepaskan, ia bahkan mengerahkan anak buahnya
menghalangi pemuda itu maka Pak Han menjadi kaget
ketika Un-ciangbu berbisik bahwa itulah Lun-ongya
(pangeran Lun).
"Hati-hati dan jangan gegabah. Yang dibawa
kakek itu bukan sembarang penghuni. Ia Lun-ongya!"
"Lun-ongya?"
"Benar, kongcu, karena itu hati-hati melepas


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pukulanmu. Biar kukerahkan anak buahku
menghadapi anak buah pengemis itu dan kita
menempelnya ketat!" Un-ciangbu membentak para
pembantunya untuk menghadapi para pengemis
55 ketika murid-murid Hwa-i Kai-pang itu melindungi
ketuanya. Memang kebetulan sekali kakek ini
menculik Lun-ongya. Biarpun bukan tawanan rahasia
akan tetapi ia dapat menyandera dan membahayakan
sang pangeran. Ketua Hwa-i Kai-pang itu licik. Maka
ketika Pak Han jadi tertegun sementara pengemis itu
sudah memasuki hutan, lenyap dan menuju belakang
pulau maka Hwa-i Kai-pangcu ini terkekeh dan
menantang.
(Bersambung jilid XVI.)
56 COVER 1 =0= "MENCARI BUSUR KUMALA" =0=
Karya : Batara
Jilid XVI *** "SIAPA berani menyerangku berarti menyerang
tawanan pula. Hayo, boleh coba-coba kalau ingin
tawanan ini mampus!"
Gertakannya berhasil. Un-ciangbu dan Pak Han
memang tentu saja tak berani gegabah dengan
menyerang kakek itu, a-palagi membokong. Sekali
kakek itu memindahkan tawanan tentu sang pangeran
yang kena. Licik benar pengemis itu. Akan tetapi
karena tak mungkin membiarkan saja dan kakek itu
amat berbahaya, yang diculik bukan sembarang
penghuni akhirnya Pak Han melihat bayangan
kakaknya dan juga Pak Lian.
"Swi-ko, Lian-moi, kakek itu membawa Lunongya. Hati-hati dan cegat di depan akan tetapi jangan
sampai menyerang pangeran!" pemuda ini
mengerahkan Coan-im-jip-bitnya (Kirim Suara Dari
3 Jauh) agar kakak dan adik perempuannya i-tu tahu.
Tentu saja seruannya ini tak didengar Hwa-i Kaipangcu karena memang dikerahkan lewat Coan-imjip-bit. Akan tetapi ketika kakek itu melihat dua kakak
beradik itu dan darahnya tiba-tiba berdesir, ia masih
tetap dikejar Pak Han dan Un-ciangbu maka ia
membentak dan jari-jarinya tiba-tiba mencengkeram
tawanan. "Jangan maju atau kubunuh dia. Pergi!"
Pak Swi membawa adiknya meloncat menjauh.
Untunglah ia telah mendengar Coan-im-jip-bit tadi
dan tentu saja terkejut. Kakek pengemis itu membawa
Lun-ongya? Kurang ajar. Maka pura-pura menyingkir
dan lenyap lagi maka iapun memutari pulau
berkelebat ke belakang. Ke mana lagi kakek itu kalau
tidak ke sana.
Hwa-i Kai-pangcu lega. Kakek ini girang bahwa
ancamannya berhasil. Ia mempercepat larinya
sementara Pak Han berseru di belakang. Ia menoleh
dan melihat pemuda itu mengepal tinju, tertawa dan
berkelebat melihat pantai akan tetapi berdesir tak ada
perahu. Perahunya lenyap. Dan ketika ia tertegun dan
saat itu muncullah si bajak sungai, ia berseri lagi
4 mendadak berkelebat bayangan tinggi besar dan tahutahu dengan amat cepatnya ia diserang dari samping.
"Lepaskan Lun-ongya atau kau mampus!"
Kakek ini kaget bukan main. Ia hendak berteriak
memanggil temannya ketika muncullah Lui-ciang Pak
Ju si jago tua. Lawan yang lihai itu mencengkeramnya
sementara tangan yang lain menghantam muka. Kuat
dan cepat sekali ia diserang. Dan karena tak ada waktu
menangkis ataupun mengelak, ia melempar tubuh
bergulingan mendadak jago tua itu menggerakkan
kaki dari bawah dan... dess, iapun ditendang dan
menjerit serta terlepaslah tawanan. Kejadian begitu
cepat. "Bagus, harap ongya tidak jauh dari kami dan
biar puteraku menerimamu. Awas!" jago tua itu sudah
menyambar dan menangkap sang pangeran dan tibatiba Lun-ongya dilontarkan ke arah Pak Han. Saat itu
pemuda ini memang sudah mendekat dan melihat
ayahnya itu, juga Cao-ciangkun yang membentak dan
menyerang si bajak sungai Lo Yung. Maka ketika ia
tertawa girang menangkap atau menerima pangeran
itu, lembut namun ku at maka Lun-ongya mengeluh
namun sepasang matanya berseri dan gembira bahwa
seorang pemuda gagah menangkapnya.
5 "Terima kasih," pangeran itu berkata halus.
"Akan tetapi lepaskan aku, kong-cu. Biar aku berdiri
dan tak usah kaugendong."
Pak Han tergetar dan cepat menenangkan
guncangan hatinya oleh pandang mata dan sikap serta
kata-kata halus itu. Sang pangeran memang teramat
halus na mun pandang matanya amatlah tajam, de
mikian tajam dan mengandung magnit yang khusus
hingga jantung di dada Pak Han berdebar. Entahlah,
pandang mata i-tu aneh dan ganjil, terkesan mesra
dan ingin bercumbu! Maka ketika pemuda ini
melengos dan semburat merah, ia cepat mengalihkan
pandang matanya pada Hwa-i-kai-pangcu ternyata
pengemis itu membentak ayahnya dan marah sekali.
Tawan an lolos gara-gara jago Se-kiang ini.
"Keparat, licik dan curang. Kau tak jantan
menyerang orang, Lui-ciang Pak Ju, akan tetapi aku tak
takut padamu dan terimalah ini... wut-wut!" tongkat
di keluarkan dan langsung saja kakek itu menyerang
lawannya. Ia bersuit dan mun cullah empat sutenya
yang lain, berkelebat namun dihadang Pak Han dan
adiknya serta Pak Swi, juga Un-ciangbu yang cepat
memanggil pasukan melihat banyak nya orang-orang
di situ. Dan ketika tempat ini menjadi ramai oleh
bentakan dan benturan senjata tajam, atau tongkat
6 dan dayung yang riuh-rendah maka di mana-mana
datanglah pengawal Cao-ciangkun yang disiapkan
tersembunyi.
Sesungguhnya
Ang-bi-to telah diperketat sejak akan da tangnya tawanan istimewa.
"Tangkap dan robohkan mereka, yang melawan
bunuh!" Cao-ciangkun sudah begitu gemas kepada
orang-orang ini karena semua itu bakal
membahayakan tugasnya. Kalau belum apa-apa ia
sudah diganggu dan diteror orang-orang ini, ia ba kal
berkurang kekuatannya untuk malam nanti maka ia
memerintahkan agar pasukannya menangkap atau
membunuh orang-orang itu, terutama para bajak
sungai pimpinan Lo Yung.
Sang bajak berkumis tebal terkejut. Ia telah
datang bersama Hwa-i Kai-pangcu dan lain-lain di
belakang pulau ini, maksudnya tentu saja ingin
mengail di air ke ruh. Ia dan Hwa-i Kai-pang memang
bersahabat. Akan tetapi setelah Cao-ciangkun muncul
dan celakanya perahu mereka tak ada, kelabakanlah
pimpinan bajak sungai ini maka ia mendengar jeritan
anak buahnya tertusuk Un-ciangbu. Wajahnya
menjadi pucat.
"Cari daun dan lajukan di atas telaga. Angin
ribut terlampau berbahaya!" tak ayal lagi pimpinan
7 bajak itu mengeluarkan kata-kata sandi. Ia
memerintahkan anak buahnya menemukan perahu
mereka, lari dan mencebur ke laut karena Caociangkun dan lain-lainnya amatlah berbahaya. Dan
ketika anak buahnya ada yang mengerti dan mencari
perahu, menemukan itu maka mereka melempar ini
ke pantai dan ganti berteriak pada pimpinannya.
"Daun telah ditemukan, siap melaju!" Lo Yung
sang pimpinan bajak girang.
Ia tiba-tiba sudah didesak begitu hebat oleh
Cao-ciangkun dan tentu saja gugup. Saat itu tiga
perahu telah dilempar ke air. Maka menghantamkan
dayungnya sekuat tenaga dan Cao-ciangkun
terhuyung tiba-tiba lelaki ini memutar tubuhnya dan...
tak perduli lagi kepada Hwa-I Kai-pangcu.
"Heii!" sang pengemis berteriak. "Bantu aku, Lo
Yung. Kita bersama-sama ke tempat ini!"
Sang bajak pura-pura tak mendengar. Ia telah
berjungkir balik ke perahunya se mentara anak
buahnya mendayung cepat. Pekik dan suitan
terdengar di sana-sini. Lalu ketika ia meninggalkan
pulau semen tara sang pengemis melotot lebar maka
saat itulah Lui-ciang Pak Ju menghantam pengemis ini.
8 "Desss!" Hwa-i Kai-pangcu terlempar dan
terbanting bergulingan dan tentu saja ia mengeluh.
Dicaci-makinya bajak sungai itu. Akan tetapi ketika
empat sute-nya berkelebat dan jarum serta piauw (pi
sau gelap) berhamburan ke tubuh jago Se kiang itu
maka pengemis ini ditolong su-tenya dan kabur
meninggalkan pertempur an. Satu dari tiga perahu
dirampas pengemis-pengemis Hwa-i Kai-pang ini.
"Suheng, tak perlu cemas. Kita masih dapat
melarikan diri!"
Kakek itu girang. Ia terpincang dan lari cepat
dibantu sute-sutenya. Sekali lompat akhirnya
melayang pula di perahu yang disediakan. Lalu ketika
semua mendayung sementara para murid dan yang
lain terkejut ditinggal pimpinannya maka mereka
inilah yang menjadi korban. Lui-ciang Pak Ju akhirnya
mengibas atau me runtuhkan semua senjata gelap
dengan ke dua tangannya yang hebat.
"Tangkap dan robohkan mereka. Bunuh kalau
melawan!"
Habislah nyali orang-orang ini mendengar
seruan itu. Mereka bukanlah lawan jago tua ini
maupun Cao-ciangkun. Apa boleh buat melempar
senjata dan cepat-cepat minta ampun, yang lain cerai9
berai dan entah lari ke mana, tentu ke hutan dan
beberapa saja masih membawa tawanan. Dan ketika
mereka itu ditangkap dan dijadikan tawanan, Caociangkun marah sekali maka orang-orang ini
dijebloskan di sebuah barak berdesak-desakan.
Enampuluh orang menyerahkan diri tapi sebagian
besar orang-orang tak berguna, bukan para tokoh atau
pimpinannya.
"Besok tenggelamkan saja ke laut, biar dimakan
hiu!" Cao-ciangkun melepas marahnya dengan
ancaman mengerikan. Tentu saja orang-orang itu
ketakutan Akan tetapi ini sebenarnya hanya gertak
kosong, lebih sekedar melepas jengkel da ripada
sungguh-sungguh. Dan ketika mere ka itu merintihrintih dan minta tobat un tuk menjadi budak, jangan
dibunuh akhirnya Un-ciangbu menendangi orangorang itu dengan gemas.
"Baik, kalau begitu semua bekerja di sini, di
dapur atau menyapu perkampungan? juga memikul
air. Siapa coba melarikan diri akan kubunuh dengan
anak panah cep!" kebetulan Un-ciangbu seorang ahli
panah dan ia melepas panahnya di dekat leher
seorang murid Hwa-i Kai-pang, amblas dan menancap
penuh di sebatang pohon. Dan ketika murid ini begitu
pucat dan roboh terjerembab, kaget dan pingsan
10 maka tawanan dijaga ketat dan pintu barak yang tebal
ditutup rapat. Semalam nanti tak diberi makan, biar
lemas! Cao-ciangkun masih uring-uringan namun
akhirnya Pak-taihiap menyebarkannya. Betapapun
Lun-ongya selamat. Maka menarik napas dalam
mengepal tinjunya perwira ini berkata, iapun melihat
kenya taan itu pula, "Baiklah, aku mau sabar. Akan
tetapi lain kali pasti kukejar dan kuhabisi tokoh-tokoh
Hwa-i Kai-pang itu, taihiap. Mereka membuat susah
dan mengacau rumah orang. Bayangkan kalau kita tak
memiliki kekuatan cukup dan dipermainkan mereka
itu, alangkah beratnya hukuman yang kuterima dari
kaisar! "Sudahlah, sekarang sudah lewat. Tak perlu lagi
kita memikirkan itu, ciangkun, sebaiknya lebih berhatihati lagi karena kupikir tak akan berhenti di sini saja.
Aku khawatir yang lebih besar datang."
"Maksudmu mereka akan kembali lagi?"
"Bukan mereka, tetapi yang lebih berbahaya
dan lihai. Aku..."
"Betul, kau mengingatkan aku. Hwa-i Kaipangcu dan lain-lain itu pasti memberitahukannya
kepada orang lain, taihiap, mereka yang lebih tinggi.
11 Tidak mustahil jika yang lebih berbahaya akan datang
ka rena orang-orang kang-ouw sungguh tajam
penciumannya!" Cao-ciangkun memotong dan
tampak semakin gemas akan te tapi penjagaan segera
dipasangnya di mana-mana. Mereka yang terculik
namun su dah dilepaskan lagi dihitung, ternyata hanya
beberapa saja yang belum kembali. Akan tetapi karena
mereka ini bukan para penghuni penting, seperti Lunongya misalnya maka malam itu Ang-bi-to dipa sangi
lampu terang-benderang dan hampir delapan penjuru
tak lepas dari penjagaan ketat, bahkan hutan kecil di
pulau itu juga diterangi bagian luarnya. Siapapun yang
bergerak di situ pasti ketahuan.
Bulan menyembul bagai gadis bersolek ketika
selepas maghrib pulau ini diselimuti warna gelap. Sang
malam datang. Riak-keriput laut memecah kering di
sana-sini. Angin begitu lembut, sepoi-sepoi basa. Akan
tetapi ketika bayangan selalu bergerak di luar
perkampungan itu, para pengawal atau penjaga yang
bertugas ron da maka kesunyian malam tiba-tiba
dipecahkan oleh suara jengkerik dan binatang


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pemangsa serangga. Mereka mengiramAkan lagu
senada di antara kemersik daun-daun nakal, yang
bergerak dan seakan bersentuhan menggoda untuk
menakut-nakuti mereka yang bernyali tikus.
12 Ang-bi-to berkerlap-kerlip. Cahaya atau sinarsinar obor yang terusik angin lembut tampak
bergoyang atau doyong ke kanan kiri. Angin tidaklah
berhembus kuat namun gerakannya yang pasti
membuat cahaya obor berubah-ubah, kadang padam
di kiri kadang padam di kanan. Beberapa yang terlalu
kecil malah benar-benar padam, membuat sang
penjaga mengumpat dan menyalakannya lagi. Dan
ketika bulan terus bergerak naik ke atas sementara
cahayanya yang kuning keemas-emasan menyebar
rata di seluruh permukaan pulau maka sesungguhnya
malam itu Ang-bi-to merupakan pulau yang penuh
pesona dan mentakjubkan.
Daun-daun bambu dan pek tua yang siap luruh
mendadak menggantung-gantung enggan. Mereka
seakan tak rela meninggalkan pokok tangkainya
sementara sang angin dingin menghembusnya
berulang-ulang. Warna kuning tua semakin berkilauan
ditimpa cahaya purnama, apalagi ketika daun-daun
hijau tua berubah warna, tersaput bagai emas dan
mereka menari di antara hembusan angin nakal. Awan
berarak tipis dan sesekali mengganggu sang dewi
purnama, bertingkah layaknya pemuda yang minta
perhatian si juwita. Akan tetapi karena bulan purnama
menunjukkan keangkuhannya dan tak sembarang
13 mega boleh menggoda di depannya maka sang bayu
dimintanya mengusir awan-awan nakal itu bagai
seorang ratu memerintahkan
pengawalnya
menghalau pemuda-pemuda berandal. Ang-bi-to
adalah tambatan hatinya dan sang dewi bulan hendak
bersolek sepuas-puasnya sebagaimana seorang gadis
yang sedang jatuh hati kepada seorang pemuda.
Dikerahkannya seluruh kecantikannya agar robohlah
ketangguhan sang pemuda!
Dan memang Ang-bi-to tampak tergun cang
hebat. Kalau pulau ini diibaratkan seorang pemuda
yang sedang bertapa maka perlahan-lahan sang
pertapa tergetar batinnya. Tanda ini tampak ketika
pulau itu bersinar-sinar, bangkit dan menerima
kecantikan dewi bulan yang menyapu seluruh
permukaannya dengan lembut. Segala isi pulau
berubah. Warna hitam perlahan-lahan menjadi
keemasan. Yang putih menjadi kuning muda
sementara yang hijau atau hitam berkeredep beralih
rupa. Kadang-kadang keabu-abuan akan tetapi
acapkali menguning-emas. Tak ada yang mentakjub
kan melihat tautan dua hati sedang bertemu. Pulau ini
bergerak perlahan-lahan dan tiba-tiba berkilauan. Dua
lampu besar di atas perkampungan seakan sepasang
mata sang pertapa memandang dewi bulan, takjub
14 dan terpesona. Dan ketika bulan semakin tersenyum
dan kian elok, sepasang mega kecil mematu lewat
maka dewi purnama tiba-tiba seakan tertawa ketika
pemuda di bawah, Ang-bi-to terkesima dan kian
takjub. Pulau ini seakan bengong hingga tak tahu
betapa bayang-bayang hitam mendadak mendekati
tempat itu sementara lautpun beriak tajam. Ada lima
perahu bergerak dan merapat untuk akhirnya para
penumpangnya berloncatan. Dentang duabelas kali
tiba-tiba tak terasa memukul-mukul tetap. Tepat
tengah malam!
Orang tak tahu siapa pendatang-penda tang
baru ini akan tetapi para penjaga segera berkelebatan.
Mereka telah menja ga pulau seketat mungkin.
"Siapa itu, dari mana hendak ke mana.
Berhenti!"
Duabelas orang tiba-tiba berhenti. Me reka
dihadang tigapuluh pengawal Cao-ciangkun, yang
membentak adalah seorang komandan dengan alis
tebal. Ia membawa golok lebar dan senjata ini tampak
berkilauan ditimpa sinar bulan. Siapapun ngeri melihat
kilatannya. Akan tetapi ketika seorang wanita
berpakaian serba merah melompat maju, berdiri
bertolak pinggang dan mendengus di depan
15 komandan ini maka ia balas membentak dan sikap
serta kata-katanya begitu dingin.
"Apakah anak buah Cao-ciangkun tak kenal
orang. Di mana pimpinanmu dan apakah kedatangan
kami tak diberitahukan. Memangnya ingin mampus.
Lihat baik-baik dan pandang aku!"
Sang komandan terkejut. Ia buru-buru
menghadang di tempat itu setelah seorang anak
buahnya memberi tahu. Tentu saja ia telah diberi tahu
pimpinannya bahwa malam ini akan datang tamutamu istimewa. Akan tetapi karena bentuk atau
jumlah tamu tak disebutkan Cao-ciangkun, ia hanya
diminta untuk melapor dan berlari ke pimpinan maka
ia tertegun karena apakah tamu-tamu ini yang
diundang. Dan iapun sebenarnya ingin pamer jasa di
depan kawan-kawannya. Siapa tahu ini gerombolan
pengacau! Maka terkejut dan bengong di depan
wanita cantik jelita itu, ia malah terpesona
memandang lawan bicaranya maka iapun lupa tugas
dan celakanya lupa susila. Ia kagum dan tiba-tiba
menyeringai lalu terkekeh di depan wanita berpakaian
serba merah ini, tak takut atau menganggap mainmain semua kata-kata dingin itu.
16 "Heh-heh, rupanya dewi kahyangan turun di
tempat kami. Pimpinan kami tak banyak menerang
kan, nona, akan tetapi aku sebagai pimpinan di sini
berhak menahan dan bertanya siapa kau. Tentunya
kau bukan peri malam yang diutus hantu. Katakan
siapa dirimu dan mau apa kawan-kawanmu keluyuran
di tempat ini. Aku Gun-siauw-ciangkun (perwira muda
Gun) harus tahu secara lengkap!"
Wanita itu tiba-tiba berkilat. Sepasang matanya
menyiratkan kemarahan Akan teman di sebelahnya
tiba-tiba menarik lengannya. Belum juga ia menjawab
maka teman inilah yang berkata, seorang pemuda
tinggi besar berkulit putih.
"Maaf dan jangan buang-buang waktu di sini.
Katakan saja pada Cao-ciangkun bahwa kami sudah
datang, sobat she Gun. Biarkan kami masuk atau
kalian antar sekalian. Urusan tak dapat ditunda."
"Heh-heh, siapa kau? Ada apa mengganggu
bicaraku dengan dewi kahyangan itu? Minggir, aku
hanya ingin bicara dengan dia!" Gun-siauw-ciangkun
mencoba berlagak dan ia memang tiba-tiba ingin
bersikap sok di depan wanita cantik jelita itu. Siapa tak
ingin membawa aksi di hadapan wanita cantik. Akan
tetapi ketika pemuda tinggi besar itu melangkah maju
17 dan tahu-tahu mencengkeram dan memelintir lengan
nya ke belakang maka komandan itu terkejut bukan
main dan berteriak.
"Ia isteriku dan jangan bicara kurang ajar. Aku
ingin masuk secara baik-baik dan panggil Caociangkun!"
Komandan itu pucat sekali. Golok di tangan
seakan tak berdaya dan lepas, ia menjerit oleh
cengkeraman dan pelintiran ini. Namun ketika ia
dilepaskan dan terhuyung membelalakkan mata, tiga
puluh anak buahnya terkejut maka iapun memungut
goloknya dan menerjang marah.
"Tangkap dan robohkan bule ini, kalau perlu
bunuh!"
Pemuda tinggi besar itu berkelit. Ia ternyata
gesit dan sesungguhnya saba.. Bacokan golok
dihindarinya manis. Akan tetapi ketika komandan itu
berteriak dan menjadi kalap, anak buahnya dibentak
ma ju maka tigapuluh orang itu tiba-tiba me nyerang
pemuda ini namun bayangan merah berkelebat dan
menyambar-nyambar. Geraknya bagai walet
menyambar mangsa.
"Keparat, tikus-tikus busuk ini tak da pat diajak
bicara baik-baik. Tampar dan robohkan mereka,
18 Franky, lalu hadapkan Cao-ciangkun... plak-plak-plak!"
selembar rambut hitam meledak dan menghantam
muka orang-orang itu dan tigapuluh anak buah
komandan ini tiba-tiba menjerit. Mereka tak mampu
mengelak apalagi menangkis lecutan rambut itu. Yang
tera sa ialah pipi atau muka yang begitu perih, darah
mengalir, mereka terbanting dan roboh bergulingan.
Dan ketika terakhir bayangan merah itu berkelebat di
de pan sang komandan, menyabet dan mem-beset
maka Gun-siauw-ciangkun berteriak terlempar
goloknya sementara pipi dan hidungnya sobek.
"Aduh!"
Wanita baju merah itu sudah berkacak
pinggang. Ia berhenti di depan komandan yang
terbanting itu, terbelalak, bicaranya sengau ketika
menuding-nuding wanita ini, darah tiba-tiba sudah
memenuhi mukanya. Dan ketika wanita itu menjengek
sementara beberapa bayangan berkelebat keluar
maka terdengar bentakan dan...
Cao-ciangkun muncul menendang pembantu
nya ini. "Kerbau dungu, apa yang kaulakukan. Berani
kau menyambut nyonya Franky seperti ini, Gun Lok.
Bedebah keparat memalukan aku saja. Hayo pergi dan
19 jangan perlihatkan hidungmu lagi... dess!" sang
perwira menendang sampai jauh dan komandan itu
terguling-guling. Ia mengeluh dan merintih untuk
akhirnya roboh, pingsan. Dan ketika semua terkejut
betapa Cao-ciangkun merah padam maka anak
buahnya menjatuhkan diri berlutut meminta ampun.
Tamu di depan mereka jelas tamu-tamu istimewa.
"Kami... kami hanya diperintah Gun-twako.
Ampunkan kami, ciangkun... kami tak melakukan apaapa...!"
"Diam, kalian telah menyerang. Cepat minta
maaf kepada siauw-hujin (nyonya) atau aku
menghajar semuanya!" Cao-ciangkun ternyata begitu
marah hingga ia membentak orang-orangnya ini. Di
belakang perwira itu tampak keluarga Pak berdiri
berbaris, memandang atau terkejut dan kagum
kepada wanita baju merah yang baru saja
berkelebatan menyambar-nyambar itu, membuat
pasukan Cao-ciang kun babak-belur. Dan ketika tiga
puluh orang itu berlutut dan minta ampun dengan
suara menggigil, kini menghadap ke arah suami isteri
muda itu maka Franky, pemuda kulit putih itu sudah
menjura ke pada Cao-ciangkun. Sikapnya halus dan
kata-katanyapun tenang. Usianya tak lebih dari tiga
puluh dua tahun dan Pak Lian gadis baju ungu
20 berdebar. Ia melihat betapa gagah dan tampannya
pemuda itu, pemuda asing bermata kebiru-biruan!
"Sudahlah tak perlu ciangkun menghajar anak
buah sendiri. Kami sudah datang ciangkun, selamat
malam dan maaf mengganggu. Kami terpaksa malammalam begini demi aman dan tenangnya tugas. Bo
lehkah sekarang kami masuk atau ciangkun mungkin
hendak memperkenalkan sahabat-sahabat yang
gagah."
"Ah-ah, akulah yang harus minta maaf.
Pembantuku bodoh dan kurang ajar, Tuan Franky,
mereka telah menghinamu. Nanti akan kuhukum
mereka setimpal ke salahannya dan benar inilah
sahabat-sahabat yang membantuku!"
"Sebut saja aku Franky, kita telah saling
mengenal."
"Baik, maaf. Tapi biarlah kuperkenalkan mereka
siapa dirimu dan isterimu itu. Mereka ini adalah
keluarga Pak dari Se-kiang!" Cao-ciangkun membalik
dan memperkenalkan suami isteri muda itu dan
Franky maupun isterinya mengangguk. Mereka tentu
saja dapat menduga bahwa kakek tinggi besar dan
gagah di belakang Cao-ciangkun ini bukanlah perajurit. Gerak-geriknya jelas orang persilatan. Dan ketika
21 benar bahwa mereka adalah jago-jago dari Se-kiang,
keluarga gagah perkasa maka Pak-taihiap melompat
maju dan membungkuk dalam-dalam di depan dua
orang ini, terutama wanita baju merah itu.
"Telah kudengar nama Fang-taihiap yang gagah
perkasa, dan kini aku bertemu dengan puterinya.
Selamat bertemu dan berkenalan, lihiap, kami
keluarga Pak hanyalah orang-orang kecil tak berguna.
Kami sungguh kagum akan sepak terjangmu tadi dan
itulah putera-puteriku yang bodoh dan belum bisa
apa-apa!"
"Ah, Pak-lo-enghiong (kakek gagah Pak)
terlampau merendah. Siapa tak kenal Tangan Kilatmu
hingga berjuluk Lui-ciang. Aku juga tak memiliki
kepandaian begitu tinggi harus dipuji-puji. Sudahlah
agaknya kita harus segera ke dalam atau yang kami
khawatirkan terjadi." Beng Li, wanita ini membalas
hormat. Iapun tentu saja bersikap halus dan hormat
kepada kakek gagah itu. Nama keluarga Pak telah ia
dengar. Dan ketika berturut-turut Pak Swi dan Pak Lian
juga menjura hormat, dibalas dan merasa kagum
maka pemuda itu diam-diam terpesona bahwa


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

keturunan Liang-san ini demikian cantik jelita dan
gagah. Alangkah beruntungnya pemuda kulit putih itu,
yang justeru dikagumi adiknya!
22 "Benar," Cao-ciangkun tiba-tiba sadar, rupanya
tahu gelagat. "Mari masuk dan cepat ke dalam, siauwlihiap. Di sini tidaklah enak dan mana tawanan penting
itu!"
"Ini...!" Franky ganti menunjuk, seorang kulit
putih bertubuh sedang segera menjadi perhatian,
menunduk dan sejak tadi menyembunyikan kedua
tangannya di belakang, terbelenggu. "Dialah yang
ingin kami titipkan di sini, ciangkun. Barangkali besok
kami harus mengerjakan urusan sejenak."
"Hm, diakah?" Cao-ciangkun bersinar-sinar,
maju dan mendongakkan wajah tawanan. Dilihatnya
seorang berusia empat puluh tujuh tahun menatapnya
geram, menunduk lagi. "Bagus sekali dia datang,
Franky. Kaisar sudah tak sabar menunggu dan besok
Kiang-taijin akan menjemput di kota!"
"Baiklah, mari kita masuk dan biarkan anak
buahku beristirahat. Mereka telah lelah mengikuti
perjalanan berbulan-bulan!" Franky berkata kepada
Cao-ciangkun dan iapun menyingkap sesuatu dari
balik bajunya. Ternyata sebuah senjata api terdapat di
sini, kecil dan nyaris ter sembunyi. Akan tetapi ketika
pemuda itu membetulkan bajunya dan menyelinap
kan lagi senjata itu maka Pak Lian terbelalak akan
23 tetapi Cao-ciangkun berkelebat dan segera mengajak
tamunya ke dalam.
"Mari, kau benar. Kita masuk, Franky. Di sini
anak buahku tetap menjaga!"
Duabelas orang itu bergerak sementara itu di
tengah laut tampaklah bayang-bayang hitam dari
perahu yang berhenti terapung-apung. Sayang jarak
terlalu jauh dan orang-orang inipun tak melihat,
apalagi siapa menyangka bahwa ada perahu lain
berani mengintil perahu-perahu wanita gagah ini.
Maka ketika mereka masuk sementara penjagaan
tetap diperketat ma ka Cao-ciangkun mengajak
tamunya ke barak di mana Pak-taihiap dan puteraputerinya menginap.
Akan tetapi semua orang tiba-tiba ter sentak.
Begitu tiba di tempat terang benderang dan wajahwajah demikian jelas mendadak saja Beng Li menjerit
kaget. Teriakan wanita ini disambut suaminya dan
sekonyong-konyong keduanya meloncat. Tawanan
didorong dan dirobek bajunya. Dan ketika keduanya
terbelalak dan menjadi pucat, semua menjadi kaget
maka orang itu ditendang dan Beng Li melengking.
Dari mulutnya berhamburan kata-kata asing yang tak
dimengerti Cao-ciangkun dan kawan-kawan.
24 "Bedebah, keparat jahanam. Kita tertipu!" Caociangkun baru mengerti setelah wanita muda itu
mempergunakan bahasa mereka. Beng Li mengeluar
kan kata-kata asing bahasa suaminya, sadar dan
kembali ke bahasa sendiri setelah melihat Caociangkun dan lain-lain kebingungan. Maka ketika ia
kembali ke bahasa da ratan dan perwira itu tentu saja
berubah, Pak-taihiap tak terkecuali maka wa nita ini
berkelebat dan tubuhnya tiba-tiba melayang keluar.
Suaranya membuat semua orang kaget.
"Cao-ciangkun, jahanam Leiker lenyap. Ia si
Muka Seribu. Yang kita lihat ini bukanlah dia
melainkan anak buah suamiku Brandy. Ia tentu lolos
ketika komandanmu tadi membuat ribut. Ayo cari dan
geledah seluruh pulau ini!"
"Nanti dulu, kami bingung. Bagaimana wajah
dan bentuknya, lihiap, apa pula ciri-ciri yang dapat
kami temukan. Kami masih buta!" Cao-ciangkun
kelabakan dan berseru serta mengejar wanita itu.
"Ia terluka dada dan punggungnya. Aku dan
suamiku telah menghajarnya. Ia tak mungkin lolos dan
keluar dari pulau ini asal tak ada perahu!"
"Ah, jadi ia terluka?"
25 "Benar, dan ia pandai mengganti-ganti wajah. Ia
si Seribu Muka dan-karena itu hati-hati. Kerahkan
semua orang dan celaka sekali jahanam keparat itu.
Kalau saja komandanmu she Gun itu cepat membawa
kami ke sini tentu tak terjadi semua peristiwa ini.
Terkutuk, bedebah keparat!"
Semua orang berkelebatan dan Cao-ciangkun
tiba-tiba semburat merah. Ia tentu saja kaget dan
marah bahwa gara-gara pembantunya maka tawanan
penting lolos. Celakanya ia tak tahu wajah dandang
pengawalnya ini dengan kaget dan malu sekali.
Pengawalnya itu terbata-bata dan begitu ketakutan,
saking takutnya sampai terkencing sambil bicara.
Maka ketika ditendang dan dimakinya pengawal nya
itu, yang menjerit dan berteriak maka perwira inipun
menjadi marah di samping gugup. Siapa orang-orang
itu dan mau apa. Dan saat itu muncul Pak-tai-hiap.
"Aku melihat bayangan-bayangan yang melesat
luar biasa cepatnya. Ada orang-orang lihai
berkepandaian tinggi menyatroni kita, ciangkun.
Agaknya apa yang kuduga tak meleset jauh. Hati-hati
dan eh... awas!"
Pak-taihiap menghentikan kata-katanya karena
tiba-tiba sebuah benda hitam me-Kakek tua bangka
26 dan seorang pemu nyambar sahabatnya itu.
Gerakannya amat cepat namun Cao-ciangkun
merendah Benar, ciangkun, akan tetapi pengli-1 kan
tubuh. Iapun menangkis atau menang
Merekaj kap benda ini. Dan ketika terdengar
suara keras dan panglima itu terhuyung maka di
lengan kirinya menempel setangkai daun yang
membuat perwira itu berubah. Ia terhuyung hanya
oleh setangkai daun! "Awas...!" kali ini tiba-tiba ia
bersebentuk tawanan. Yang diketahui hanya ta
wanan terluka, punggung dan dadanya. Maka ketika ia
berteriak dan memanggil semua pasukannya,
gegerlah pulau itu mendadak terdengar laporan
bahwa di pantai mendaratlah orang-orang lain
berpakaian macam-macam. Mereka lihai dan
merobohkan semua pengawal atau penjaga.
"Apa, Hwa-i Kai-pangcu dan bajak sungai itu?
"Bukan... bukan. Mereka orang-orang lain lagi,
ciangkun, bahkan tampaknya seperti setan-setan
kuburan. Kami melihat seorang pemuda dan kakek tua
bangka namun tiba-tiba lenyap!"
27 hatan kami hanya sekejap saja menghilang.
Hanya ketika terdengar tawa aneh dan kami disambar
angin dingin ta-i hu-tahu kami terbanting dan
terlempar entah oleh apa. Kami agaknya diserang
hantu. Mereka itu... setan-setan itu, mereka... dess!"
Cao-ciangkun menenru pada Pak-taihiap. Rekannya itu juga sedang
terbelalak dan bengong memandang daun di lengan
kirinya itu, sebuah serangan gelap ringan akan tetapi
akibatnya mengejutkan. Lengan panglima itu
membiru! Maka ketika ia berseru namun Pak-taihiap
tahu dulu, membalik dan menangkis maka... plak, lagilagi setangkai daun menyerang kakek tinggi besar i-tu
akan tetapi Pak-taihiap terpelanting.
"Aiihhhh...!" jago Se-kiang ini begitu
kagetnya hingga menggulingkan tubuhnya terus
meloncat bangun. Ia merasa pedas dan panas
sementara Lui-ciang atau Tangan Kilatnya seakan tak
berarti apa-apa. Ia telah mendengar serangan gelap itu dan membalik serta menangkis. Samar-samar
didengarnya tawa ditahan. Ma ka ketika ia menjadi
kaget betapa lengan nya seperti terbakar, lebam dan
membiru seperti Cao-ciangkun pula maka di
perkampungan tiba-tiba terdengar suara gaduh dan
28 kini seorang pengawal terjengkang di depan perwira
ini. Jeritannya seperti diganggu setan.
"Ciangkun, tolong, ada hantu mengamuk!"
Cao-ciangkun menjadi gusar. Dalam sekejap
waktu saja peristiwa susul-menyu sul terjadi begitu
cepatnya. Ia sampai tak tahu harus berbuat apa, mana
yang akan didahulukan. Maka menendang
pengawalnya ini berteriak gemas, meloncat dan
menghilang di luar akhirnya ia minta Pak-taihiap
mengiringinya.
Jago tua itu terbelalak. Ia masih merasa kaget
dan ngeri oleh serangan daun yang membuat
lengannya linu itu, lebam. Dapat diukur dan
diketahuinya bahwa penyerang ini seorang
berkepandaian tinggi, bahkan lebih tinggi darinya.
Maka ber debar dan mulai was-was, tempat itupun
menjadi ribut maka teriakan dan bentakan tiba-tiba
memenuhi Ang-bi-to dan pulau yang semula tenang
sunyi ini mendadak berubah, apalagi ketika mulai
terdengar jerit atau pekik kesakitan orang dilempar.
"Aduh, mati aku. Tolong!"
Perkampungan di tengah pulau tiba-tiba juga
kacau. Para penghuni yang semu la tidur dan lelap
bermimpi indah menda
29 ribut. Bayangan-bayangan menyambar di
rumah-rumah kecil ini dan pintu atau jendela
gedobrakan.
Seseorang menendang atau menghancurkan itu. Dan ketika piring gelas juga
berkerontangan ditendang orang-orang ini, meja kursi
jungkir balik maka tampaklah seorang kakek terkekehkekeh dan muncul serta menghilang di an tara orangorang lain.
"Heh-heh, mana si Leiker yang manis. Ayo... ayo
ke sini, orang ganteng. Kuselamatkan dirimu dari
tangan musuh-musuhmu. Ayo keluar dan tinggalkan
pulau!"
Di tempat lain di sebelah barat juga kacau.
Seorang pemuda menggendong busur tertawa-tawa
pula. Ia bergerak dan berkelebatan amat cepatnya
sementara tangannya bergerak-gerak melontar daunj daun muda. Ia menyambit siapa saja tanpa pandang
bulu, kesannya berandalan Akan tetapi hasil
perbuatannya mengejutkan. Siapapun yang tersambit
daun ini menjerit, pasti terguling dan berteriak-te riak
karena daun itu melekat kulit, kalau dicabut
meninggalkan luka lebar, berdarah! Dan ketika ia
tertawa-tawa dan pemuda inilah kiranya yang
menyerang Cao-ciangkun dan Pak-taihiap tadi,
geraknya begitu cepat bagai bayangan iblis maka ia
30 hanya mengganggu orang-orang yang berlarian
sementara matanya mencari-cari dan berkali-kali
mulutnya mendesah.
"Leiker, di mana kau. Ayo keluar dan mari
kuselamatkan!"
Kiranya kakek dan pemuda ini sama-sama
mencari orang yang sama. Mereka berkelebatan di
sekitar perkampungan dan barak-barak kecil. Dua kali
mereka bertemu. Akan tetapi ketika keduanya sa ma
terkekeh dan pemuda itu menghentikan sambitan
daunnya maka ia berseru atau bertanya pada kakek
tua itu. "Suhu sudah menemukan? Di mana si licik itu?"
"Heh-heh, sama seperti kau. Aku juga belum
menemukan keparat itu, Siauw-toh Akan tetapi ia
masih di sini. Ayo putari sekali lagi dan bekuk
lehernya!"
Pemuda itu tertawa, berkelebat dan lenyap lagi.
Ia ternyata Siauw-toh (Unta Kecil) dan kakek itu siapa
lagi kalau bukan Sia-tiauw-eng-jin (Bayangan
Pemanah Rajawali),
kakek aneh namun berkepandaian tinggi yang dulu kita kenal
mengganggu Kang Hu dan Kui Yang. Maka me lihat
kakek ini tahu-tahu berada di Ang-bi-to, tengah malam
31 dan mencari-cari ta wanan penting dapat dibayangkan
betapa berat tugas Cao-ciangkun harus berhadap an
dengan kakek sesakti ini, padahal dengan muridnya
saja, Siauw-toh si bocah nakal yang kini telah menjadi
seorang pe muda itu ia harus terhuyung dan Pak-tai
hiap bahkan terpelanting oleh sambitan sehelai daun!
Pulau Alis Merah memang tiba-tiba gaduh.
Ternyata bukan hanya kakek dan muridnya ini saja
yang menyatroni tempat itu melainkan puluhan orang
lain ber pakaian hitam-hitam, pakaian yang
menyembunyikan tubuh mereka dari gelap. Akan
tetapi karena Cao-ciangkun membu at tempat itu
terang-benderang dan seluruh pasukannya berjaga
ketat maka keda tangan orang-orang ini tak
terlewatkan juga akan tetapi beberapa pasang lampu
mulai dihancurkan. Sebagian tempat ge-lap-gulita.
"Prak-prangg!"
Keadaan semakin kacau. Para pengawal
bertabrakan sesama teman sementara pendatang
baru itu menyelinap enak. Mereka menghajar juga
pasukan Cao-ciangkun yang menghadang. Dan karena
di mana-mana terjadi kegaduhan dan sua sana begitu
hingar-bingar maka perkampungan tiba-tiba padam
dan bukan main riuhnya ketika penghuni dan tamu tak
32 di undang berdebukan di dalam gelap. Mereka saling
tumbuk.

Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Aduh!"
"Ooh... jahanam keparat!"
Cao-ciangkun sampai mendelik. Ia mencakmencak dan memaki serta menyu ruh menghidupkan
lagi lampu-lampu baru. Yang pecah diganti. Akan
tetapi ketika kembali padam disambut batu-batu
sekepalan dan entah siapa yang melakukan ini
akhirnya Ang-bi-to begitu gaduh dan kebakaran mulai
melanda bagian timur perkampungan. Api dan asap
menjilat cepat. Angkasa menjadi hitam.
"Tolong... tolong...!"
"Ah, pakaianku. Celanaku! Aduh, tolong, Caociangkun. Pakaianku habis terbakar. Celanaku...!"
seorang pria muda melolong-lolong di tepian sana
telanjang bulat. Ia baru saja buang air besar ketika
pantatnya terjilat. Seorang usil melempar bara api
membuatnya kaget, meloncat dan tunggang-langgang
akan tetapi barak kecilnya dimakan si jago merah.
Kejadian begitu cepat. Maka ketika ia berteriak-teriak
histeris namun akhirnya roboh, sebuah bayangan
tertawa ditahan mendadak bayangan ini meloncat
dan... ditendangnya penghuni yang telanjang bulat itu.
33 "Bresss!" api menyambut tubuhnya dan kontan
penghuni Pulau Alis Merah ini menjerit-jerit. Ia keluar
dengan tubuh hitam, menggelikan tapi sekaligus juga
me nyedihkan. Dan ketika ia lintang-pukang dan jatuh
bungun, seseorang berseri dan tertawa di kegelapan
maka orang ini lenyap di balik pohon-pohon rindang
dan se lanjutnya di empat penjuru kebakaran mu lai
mengamuk. Jelas ada seseorang yang mengacau dan
ingin membuat suasana keruh.
"Heii, berhenti. Siapa kau!" Pak Han, yang sejak
tadi bertugas melindungi Lun-ongya tiba-tiba
membentak dan berkelebat melihat bayangan
mencurigakan. Ia tak ikut menyambut rombongan
tamu ketika di pantai tadi. Hanya kakak dan a-dik
perempuannya yang menyambut. Maka ketika
bayangan merah berkelebat di luar pintu dan itulah
Beng Li yang marah dan gusar mencari-cari tawanan
maka bentakan pemuda ini disusul gerakannya
menyambar dan mencengkeram. Pak Han mengira
musuh berkeliaran.
"Duk-duk!" empat lengan beradu dan pemuda
itu terpental. Bukan main kagetnya pemuda ini
sementara bayangan itu-pun berhenti. Terjadi salah
paham. Beng Li menyangka inilah salah satu pengacau
yang mendatangi Ang-bi-to. Maka ketika alis wanita
34 itu terangkat dan kemarahan membuatnya tak
berpikir panjang mendadak wanita gagah ini
berkelebat dan kini menerjang pemuda tinggi besar
itu, rambut meledak sementara pedang pun tiba-tiba
dicabut. "Bagus, kau kiranya pengacau liar itu. Mari
rasakan hadiah dariku dan roboh atau kau mampus...
tar-tar!" rambut hitam gemuk menyambar tanpa
ampun dan Pak Han tentu saja kaget bukan main. Ia
terbelalak dan terpesona oleh wajah cantik gagah ini,
pakaian serba merah membuat wanita itu begitu
mempesonanya. Akan tetapi ketika rambut
menyambar dan pedang juga mendesing menusuk
dadanya, cepat sekali maka ia melempar tubuh
membanting diri bergulingan, kaget bahwa ia disangka
pengacau. "Heii, tahan, tunggu dulu. Kau siapa dan kenapa
berada di sini. Aku undangan Cao-ciangkun!"
Akan tetapi Beng Li tak percaya begitu saja. Ia
tadi diserang dan dicengkeram dan kalau ia tidak
menangkis dan bergerak cepat tentu ia roboh. Dari
lengan pemuda itu menyambar pukulan kuat, tanda
bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan. Dan
ketika pemuda itu ma sih dapat meloncat bangun
35 setelah terpen tal, tanda seorang yang berkepandaian
cu kup maka ia tak mau tertipu oleh seruan atau katakata pemuda ini. Lawan bisa saja mengecohnya dalam
usahanya menyelamatkan diri.
"Tak perlu banyak cakap atau pura-pura
kepadaku. Mampus dan robohlah atau serahkan
jiwamu baik-baik!"
Pak Han kelabakan. Tiba-tiba ia dikejar dan
mendapat tikaman berantai, rambut masih juga
meledak hingga ia bergulingan menjauh. Ia terkejut
dan pucat bahwa lawan begitu ganas. Tak disangkanya
lawan secantik ini dapat seganas i-tu. Akan tetapi
ketika ia mulai marah dan mengelak serta menangkis
sana-sini, dua kali ia menampar badan pedang maka
berkelebatlah bayangan kakaknya dan itulah yang
menguntungkan.
"Siauw-hujin, itu adikku. Jangan serang!"
Beng Li terkejut. Ia menghentikan pedangnya
dan membalik menghadapi pemu da ini. Di dalam
cahaya lampu yang temaram akhirnya terlihat juga
persamaan dua pemuda itu. Wajah Pak Han dan
kakaknya memang mirip, juga tubuh yang sama-sama
tinggi besar itu. Maka ketika ia terbelalak dan akhirnya
mengerutkan
36 kening, lawan meloncat bangun di sana maka
Pak Han tak kalah terkejut mende ngar seruan
kakaknya tadi.
"Swi-ko, siapa dia ini. Kenapa baru ini kulihat!"
"Dia adalah puteri Fang-taihiap, enci Beng Li.
Dialah yang datang mengantar tawanan penting
bersama suaminya Franky. Cepat minta maaf dan mari
bantu a-ku menemukan tawanan, Han-te. Leiker lolos
dan kini banyak dicari-cari!" Pak Swi menjelaskan
kepada adiknya dan tiba-tiba sang adik bergetar. Ada
rasa kecewa bahwa si cantik jelita ini seorang nyonya.
Dia salah kira, bukan gadis! Akan tetapi terkejut
bahwa itulah puteri Fang Fang atau murid Liang-san
maka pemuda ini cepat menjura dan berkata,
"Ah, maafkan aku. Aku tak tahu, en... ci. Aku...
aku sedang menjaga Lun-ongya di sini."
Berat bagi pemuda itu untuk menyebut "enci"
karena tiba-tiba perasaannya menjadi tawar. Ia
terlanjur tertarik dan hampir jatuh cinta oleh lawan
yang lihai ini, gagah dan cantik jelita. Akan tetapi
ketika ia sudah menyatakan maafnya dan Beng Li pun
lenyap kemarahannya maka wanita ini tiba-tiba
berkelebat dan meninggalkan tempat itu. Iapun
meminta maaf tak tahu-menahu.
37 "Tak apalah, aku juga minta maaf. Kalau begitu
bantu aku bersama kakakmu, saudara Pak Han.
Tawanan lolos dan ia amat penting bagi kita!"
Pak Han menarik napas dalam. Saat itu
muncullah Lun-ongya dan pangeran yang lembut dan
halus gerak-geriknya ini menjura di depan kakak
beradik itu. Ia baru saja meletakkan tubuhnya di
pemba ringan ketika tiba-tiba terdengar suara ribut.
Maka ketika ia bertanya namun kerling dan sudut
matanya lebih dekat kepa da Pak Han maka seakan
wajar-wajar sa ja ia berdiri di dekat pemuda ini.
"Apa yang terjadi, kenapa begini gaduh. Apa
yang terjadi denganmu, Han-kongcu, kudengar suara
dan teriakanmu. Apakah ada musuh menyerang,
siapa."
"Maaf, pangeran sebaiknya masuk saja. Ada
orang-orang berbahaya di tempat ini, tawanan
penting lolos. Kami rasanya tak dapat menjaga paduka
lagi dan mohon paduka bersembunyi di dalam!"
"Ah, ada musuh? Dan aku hendak ditinggalkan
sendirian? Tidak, jangan lakukan itu. Harap Hankongcu tetap bersamaku dan Jangan biarkan aku
sendiri. Ba gaimana kalau aku diculik lagi!"
38 "Benar," Pak Han tiba-tiba berkata ke pada
kakaknya. "Agaknya aku harus tetap melindungi
pangeran, Swi-ko, kupikir cukup banyak orang mencari
tawanan. Kau pergilah dan biar aku di sini!"
Sang kakak berkerut kening, namun akhirnya
mengangguk. Tentu saja ia tak tahu bahwa sang adik
sedang dilanda kecewa, yakni bahwa wanita gagah
perkasa tadi sudah bersuami, bukan gadis. Dan ka rena
lebih baik ia di situ melindungi Lun ongya, tak perlu
bertemu lagi dengan wa nita itu maka Pak Swi tak tahu
bahwa adiknya masih terpukul, apalagi alasan i-tupun
memang tepat. Maka berkelebat meninggalkan
adiknya pemuda inipun berseru, "Baiklah, jaga baikbaik pangeran. Lekas bersembunyi dan masuk ke
dalam, Han-te. Di luar ada musuh-musuh berbabaya
yang jauh lebih lihai daripada siang tadi!"
Yang begitu girang malah Lun-ongya.
Pangeran yang menyangka pemuda ini suka
kepadanya mendadak menyambar lengan Pak Han.
Tentu saja ia tak tahu bahwa pemuda ini sedang
kecewa oleh pe ristiwa tadi, masih terbayang oleh
kegagahan dan wajah Beng Li. Maka ketika ia
menggandeng dan malah merangkul pe muda ini, Pak
39 Han terkejut maka bisikan pangeran itu semakin
membuat putera Pak-taihiap ini terkejut lagi.
"Terima kasih, tak sia-sia aku menjatuhkan
pilihan kepadamu. Terima kasih, Han-kong... eh, Hante. Terima kasih bahwa kau mau menemani aku. Mari
kita ke dalam dan tutup pintu kamar rapat-rapat.
Biarlah kita tidur bersama dan jangan hiraukan segala
keributan itu!" berkata begini Lun-ongya meremas
dan meraba tubuh Pak Han dengan halus dan tiba-tiba
iapun mencium punggung pemuda ini. Pak Han bagai
tersengat ketika sesuatu yang tidak wajar dirasakan.
Sang pangeran sudah menggelandot manja. Dan
ketika ia ditarik dan sudah dibawa ke dalam, sang
pangeran menutup pintu barak maka iapun sudah
diajak ke atas pembaringan dan wajahnya tahu-tahu
diciumi halus!
Pak Han begitu kaget sampai terlonjak. Ia masih
begitu hijau akan tetapi ke tidakwajaran ini dirasanya
juga, apalagi ketika Lun-ongya meniup padam api lilin.
Maka melepaskan diri dan berkelebat keluar pemuda
inipun tiba-tiba berseru, menggigil.
"Ongya, aku tidak mengantuk. Biar aku di luar saja!"
Lun-ongya tertegun. Dia adalah seorang laki-laki
yang haus akan belaian dan kasih sayang laki-laki pula.
40 Melihat Pak Han yang begitu gagah dan tegap kuat
sudah membuat ia tergila-gila. Hanya ka rena ia
berwatak halus dan amat hati-hati maka ia tak segera
mendekati pemuda ini. Kerling dan pandang matanya
saja yang menyambar-nyambar, dua kali ia membuat
pemuda itu tersipu jengah. Maka ketika ia merasa
mendapat kesempatan akan tetapi ternyata salah,
atau mungkin pemuda itu kaget maka pangeran inipun
bersikap hati-hati dan siapa Pak Han membuat ia sadar
bahwa ia tak boleh terlampau bergesa.
Lun-ongya menarik napas dalam, menenangkan
sesuatu yang terasa robek. Ia sedikit terluka oleh sikap
pemuda itu. Akan tetapi tersenyum dan sudah
menguasai perasaan hatinya lagi maka ia menya lakan
lilin yang tadi ditiupnya padam. Lalu bergerak
membuka pintu barak iapun sudah melangkah tenang
menjura di depan pemuda itu. Pak Han masih panas
dingin di sudut.
"Maafkan aku, maafkan semua sikap dan
kelancanganku. Aku hanya terlampau girang bahwa
kau mau menjaga dan melindungi aku, Han-kongcu,
mengira... mengira diriku sahabatmu yang cocok.
Akan tetapi, ah... rupanya diriku terlampau kotor dan
tak cocok untukmu. Maafkan dan biarlah aku kembali
41 dan silahkan bantu kakakmu kalau tempat ini memang
didatangi musuh. Aku dapat menjaga diriku "
Pak Han terkejut, Lun-ongya berkaca-kaca. Lalu
sebelum ia menjawab atau mengatakan sesuatu
mendadak pangeran itu membalik dan setengah
berlari menutup pintu baraknya lagi. Tangis ditahan
tak dapat disembunyikan juga, tersedu, persis gadis
manja! "Ongya...!" Pak Han menjadi tak e-nak dan tibatiba iapun meloncat. Kalau ada apa-apa dengan
pangeran ini padahal sumbernya adalah dirinya tentu
ia bakal tak enak sekali. Rasa bersalah tiba-tiba
datang. Ia tiba-tiba merasa terlampau kasar dengan
sikapnya tadi. Maka bergerak dan sudah memasuki
bilik Lun-ongya, berdiri dan menjura hormat pemuda
ini cepat-cepat meminta maaf. Ia tak mau ditegur
ayahnya nanti.
"Ongya, maafkan aku. Aku... aku tidak
menganggapmu seperti itu. Justeru akulah yang tak
pantas dan tak cocok un tukmu. Aku tak bermaksud
apa-apa selain bahwa aku belum mengantuk. Tidur
dan biarlah aku berjaga dan tentu saja aku tak akan
meninggalkan tempat ini!"
42 "Tidak... tidak, aku ingin sendiri. Keluarlah, Hankongcu, pergilah. Aku tiba-tiba merasa tak berharga
dan ingin mati saja. Aku, ah... aku memang orang
kutukan!" lalu mengguguk menutupi muka nya
dengan bantal maka Pak Hanpun terkesima dan
tergetar hebat. Apalagi ketika tiba-tiba sang pangeran
meloncat bangun dan... menumbukkan kepalanya ke
dinding. "Ongya!" pemuda itu tak mampu menahan
teriakannya lagi dan seketika itu berkelebat. Ia tentu
saja tak akan membiarkan Lun-ongya celaka, di
tangannyalah keselamatan pangeran ini. Maka ketika


Mencari Busur Kumala Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ia mencengkeram namun sebagian dahi pangeran
terlanjur beradu, lecet dan berdarah maka Lun-ongya
bagai anak kecil meronta-ronta.
"Tidak, lepaskan aku. Tidak, Han-kongcu...
tidak. Biarkan aku mati dan jauhilah aku. Aku manusia
tak berharga... duk-duk!" dua kali kepalanya sempat
menumbuk lagi dan Pak Han menjadi terkesiap. Ia
menarik dan apa boleh buat menotok pangeran ini,
Lun-ongya mengeluh, lumpuh, roboh terkulai. Dan
ketika ia gemetar menggeleng berulang-ulang maka ia
berlutut membujuk pangeran ini, kata-katanya jelas
kebingungan.
43 "Aku, eh... paduka jangan bunuh diri.
Keselamatan paduka di tangan hamba. Kalau paduka
ingin hamba di sini biarlah hamba di sini. Paduka, eh...
jangan bunuh diri!"
"Kau benar-benar ingin menemani aku di sini?
Tidak di luar?"
"Benar, paduka. Asal... asal paduka ti dak
berbuat nekat."
"Kenekatanku tergantung dirimu. Kalau kau tak
menghargai aku tentu saja le bih baik aku bunuh diri,
Han-kongcu. Aku... aku merasa tersiksa di tempat ini.
Mati agaknya lebih baik!"
"Tidak, paduka tak boleh berpikiran seperti itu.
Itu pikiran pendek!"
"Baik, kalau begitu bebaskan totokan-ku dan
biarkan aku berdiri. Kau telah berjanji untuk tetap di
kamar ini menemaniku."
"Akan tetapi, eh... paduka tak akan melakukan
seperti tadi, bukan? Bukankah paduka tak akan
mengulangnya?"
"Apa yang kulakukan? Aku hanya melakukan
sesuatu sebagai tanda kagum kepadamu. Aku suka
44 kepadamu, tak perlu kusangkal. Akan tetapi kau tak
suka dan menolaknya. Hatiku sakit!"
"Maaf..." Pak Han semburat menggigil.
"Hamba... hamba tak biasa menerima itu, ongya.
Hamba... hamba takut!
"Takut? Kau seorang laki-laki keturunan Paktaihiap? Ah, sungguh tak kupercaya. Kau gagah dan
jantan, Han-kongeu, kau bukan keturunan orang
lemah. Aku tak melakukan apa-apa yang lebih dari itu. Kau bohong. Pasti karena aku orang kutukan maka
sengaja kau menghindar dan tak ingin kudekati. Kalau
itu yang benar biarlah kau pergi dan aku mati di sini!"
"Tidak, jangan...!" Pak Han menjatuhkan diri
berlutut. "Asal paduka tak melakukan lebih hamba
bersedia di sini. Akan tetapi kalau paduka membuat
hamba takut terus terang hamba tak sanggup!"
"Heh-heh-ha-ha-ha!"
Lun-ongya tiba-tiba tergelak, pemuda itu telah membebaskannya. "Kau
aneh dan membuatku penasaran, Han-kongcu. Aku
bukan seekor harimau buas yang harus membuatmu
ketakutan. Baiklah lihat sendiri nanti dan sekarang
temani aku tidur. Aku merasa aman kalau kau
bersamaku. Aku tak melakukan apa-apa!"
45 Pak Han panas dingin akan tetapi ten tu saja tak
dapat menolak. Bukankah Lun ongya berjanji tak akan
melakukan apa-apa? Mungkin sikapnya tadi memang
benar tanda kagum, tanda suka, tanda yang baginya
aneh karena harus menciumi muka segala, laki-laki
sama laki-laki. Akan tetapi karena ia harus membujuk
dan pan dai menjaga perasaan pangeran ini, bukan
kah keselamatan Lun-ongya di pundaknya maka iapun
terpaksa mengikuti ketika pa ngeran itu minta tidur
bersama. Lampu lilin lagi-lagi ditiup padam.
Mula-mula memang tak ada sesuatu yang
dilakukan pangeran ini. la menghadap tembok,
sementara Pak Han membelakangi punggungnya.
Akan tetapi karena lama-lama terasa pegal dan Lunongya bertanya bolehkah dia membalik, berhadapan
dengan pemuda itu maka tak ada jawaban lain bagi
Pak Han kecuali mengangguk. Dan sang pangeran
tersenyum!
"Kau tak takut berhadapan muka?"
"Tempat ini gelap, ongya, lagi pula kenapa
takut."
"Bagus, dan kau tak takut bila kupegang, bukan?
Atau putera seorang jago Se-kiang harus ketakutan
seperti anak kecil?"
46 "Mmmm, ini... ini tentu saja tak apa-apa.
Hamba tidak takut!"
"Hush, jangan meng-hamba, aku tak suka
dengar itu. Tadi kau bersikap aku dan kau, tidak
hamba!"
"Maaf, pangeran, ham... eh, aku bingung.
Sebaiknya paduka tidur dan dengarlah betapa
keributan masih terus berlangsung. Di luar
perkampungan ini tentu terjadi pertempuran seru!"
Lun-ongya tiba-tiba sadar akan tetapi celakanya
gerak tubuhnya merapat di tubuh Pak Han. Tiba-tiba
ia menggigil dan berbisik di telinga pemuda itu bahwa
per tempuran berlangsung seru di luar, ia lupa. Dan
ketika ia seakan orang ketakutan dan melekatkan
tubuh di punggung pe muda itu maka jari dan
bisikannya membuat pemuda ini berdesir.
"Han-kongcu, aku takut. Aku... aku tak ingin
kautinggalkan!"
Pak Han berdetak keras. Kalau saja Lun-ongya
hanya memeluk dan melekat biasa tentu ia tak akan
berjengit. Akan tetapi pangeran itu meraba pahanya,
turun dan akhirnya mengenai yang tak seha rusnya
disentuh. Memang seakan tak sengaja namun
membuat darah pemuda itu terkesiap. Dan ketika ia
47 berseru perlahan namun celakanya malah diperketat,
napas pangeran mendengus mendadak pangeran itu
membuka kancing celananya dan...
"Braakkk!" pintu kamar ditendang seseorang
dan itulah saatnya bagi pemuda ini melempar tubuh
berjungkir balik. Jari sang pangeran sudah terlampau
nakal. "Siapa itu berani mati mengganggu orang.
Jahanam!" Pak Han membentak untuk melepas
malunya dan makiannya ia tujukan kepada penendang
pintu ini. Dari gelap ia melihat bayangan seorang
pemuda, punggung memanggul busur dan pemu da
itu terkekeh-kekeh. Sinar bulan menerangi kamar itu.
Dan ketika ia melihat betapa Pak Han kedodoran,
kancing celananya terbuka tak sadar maka pemuda ini
merah padam melihat lawan menuding. Jari-jari Lunongya memang terlampau usil.
"Heh-heh, kau... ah, ha-ha-ha! Celanamu
terbuka, sobat, rupanya kalian asyik bercinta di sini.
Uh, kau pasti bukan Lun-ongya dan itulah pasti
pangeran yang kucari-cari!"
Pak Han masih menggigil dan pucat oleh
tudingan ini ketika lawan tiba-tiba berkelebat
melewati dirinya. Lun-ongya memang di situ di atas
48 pembaringan, ter kejut dan membelalakkan mata
namun berteriak keras ketika tahu-tahu disambar.
Tentu saja ia kaget, pendatang ini tak dikenal. Akan
tetapi ketika ia tertangkap dan roboh tertotok,
mengeluh dan berpindah cepat maka Pak Han baru
sadar ketika lawannya itu bergerak dan meloncat
keluar. Ia tiba-tiba begitu gusar dan marah.
"Heii, lepaskan pangeran atau kau mampus!"
pemuda ini berkelebat dan tentu saja ia melepas
pukulan Lui-ciangnya.
Lawan lewat begitu enak dan seakan tak
memandang sebelah mata, ia begitu marah. Akan
tetapi ketika pukulannya mengenai punggung lawan
namun ia yang terpekik dan terpental maka Pak Han
ka get bukan main betapa lawan tertawa-ta wa
meneruskan larinya.
"Ha-ha, kekasihmu ini tak kuapa-apAkan.
Sabarlah, kelak kukembalikan juga."
Pak Han begitu kaget. Ia melempar tubuh
bergulingan meloncat bangun namun lawan sudah
berada di luar pagar. Geraknya sungguh cepat sekali.
Akan tetapi karena ia begitu marah dan pangeran
itupun tanggungannya, ia tak mungkin melepaskan
49 lawannya ini maka pemuda itupun membentak dan
berkelebat me ngejar.
"Penculik hina, lepaskan pangeran!" Namun
lawan tak menggubris. Ia tertawa mengejek dan tibatiba menjejakkan kedua kakinya. Bagai siluman tahutahu lenyap. Dan ketika Pak Han terkesiap sampai
berseru keras maka berkelebatlah bayangan kakaknya
dan juga adiknya. "Swi-ko, Han-ko di sini!"
"Benar, dan kulihat Lun-ongya dibawa orang.
Eh, apa yang terjadi, Han-te, kau tampak pucat!"
Pak Han memang pucat dan akhirnya merah
padam melihat adik dan kakaknya berkelebat di situ.
Ia membetulkan kancing celana membuat sang kakak
heran, Pak Lian malah membuang muka. Dan ke tika
Pak Swi bertanya apakah seruannya betul, ia melihat
Lun-ongya dibawa seseorang maka Pak Han menggigil
setengah tergagap.
"Benar, ia... ia diculik jahanam itu. Seseorang
merampasnya dariku, Swi-ko. Ia bergerak cepat dan
lihai sekali. Pukulanku mental!"
"Tunggu, bagaimana bisa begitu. Dan kenapa
pakaianmu tak keruan!"
50 "Aku, eh... aku bertanding dengan jahanam itu.
Ia meraih dan hampir merobek pakaianku!"
"Kalau begitu kejar, ia belum jauh!" Pak Lian
tiba-tiba melengking dan Pak Han lega oleh seruan
adiknya ini. Ia melihat sinar mata kakaknya yang aneh.
Se bagai sesama pemuda ada sesuatu yang ditangkap
kakaknya itu, lama-lama ia pasti ketahuan. Maka
ketika adiknya meloncat sementara iapun tak mau
terlalu lama dipandang mendadak iapun berkelebat
dan berseru,
"Swi-ko, Lian-moi benar, la belum jauh. Mari
kejar dan tangkap jahanam itu!"
Pak Swi tak dapat berkata apa-apa se lain
mengangguk dan mengejar. Tiba-tiba iapun tak
memperhatikan keanehan yang dirasanya tadi, betapa
kancing celana adiknya menyingkap. Maka bergerak
dan menyusul berkelebat akhirnya tiga muda-mudi
Se-kiang ini memburu si penculik.
Kegemparan melanda di mana-mana. Kalau
semula Cao-ciangkun dan Pak-taihiap terkejut oleh
lontaran daun yang membuat mereka berteriak maka
apa yang terjadi selanjutnya betul-betul di lu ar
dugaan. Seorang kakek muncul, terkekeh-kekeh. Dan
ketika mereka tertegun melihat kakek itu maka kakek
51 ini justeru melotot dan berseru kepada mereka, teru
tama Cao-ciangkun. Sikap dan lagaknya seperti
menghadapi seorang anak kecil ingusan.
"He, di mana bule busuk bernama Leiker. Kau
tentu tahu!"
Cao-ciangkun kaget bukan main. Ia mengelak
dan hendak menghantam kakek ini akan tetapi lengan
kiri kakek itu terulur begitu cepat. Tahu-tahu
pundaknya dicengkeram. Dan ketika ia menggerakkan
tangan kanan yang memegang golok, membacok
namun lumpuh maka iapun tahu-tahu diangkat dan
dihardik lagi, kumis kakek itu bergerak-gerak.
"He, kutanya sekali lagi. Mana si bule Leiker. Ia
tadi di sini!"
Tentu saja perwira ini mengeluh. Ia tak dapat
menjawab karena pundaknya be gitu sakit. Kakek itu
seakan menenteng seekor kelinci dan ia begitu tak
berdaya, sungguh bukan main kagetnya panglima i-ni.
Dan karena ia hanya meringis dan menahan sakit, tak
menjawab maka... bruuk, dibantingnya tubuhnya dan
Cao-ciangkun setengah pingsan. Punggungnya seakan
remuk. 52 "Sialan, kau tiada ubahnya babi malas,
ditanyapun tak bisa jawab. Baiklah duduk manis di situ
dan aku tanya yang lain!"
Cao-ciangkun merem-melek. Ia bukannya
kenikmatan melainkan justeru menderita amat
sangat. Bantingan itu membuat nya tak mampu
berdiri. Jangankan berdiri, duduk saja seluruh tulangtulangnya berkerotokan. Sendi-sendinya seakan mrotholi (berlepasan). Maka ketika ia menahan sakit dan
sampai mengeluarkan air mata saking nyerinya maka
Pak-taihiap yang tak jauh dari situ tiba-tiba ditangkap
kakek aneh ini. Bukan main kaget dan herannya jago
Se-kiang itu.
"He, kau! Tentu kaupun bisa menjawab
pertanyaanku. Nah, mana si bule Leikar atau aku
melemparmu seperti babi malas di sana itu!"
Sama seperti Cao-ciangkun maka pendekar
inipun mengelak dan menangkis. Ia tentu saja marah
dan melotot dipelototi orang. Kakek ini seperti
bertanya kepada seorang bocah saja. Akan tetapi
ketika ia membentak dan mengelak namun jari-jari
kakek itu terulur, ia kaget bukan main maka
Bidadari Sungai Ular 1 Dibakar Malu Dan Rindu Karya Marga T Dewi Karang Samudera 1

Cari Blog Ini