Ceritasilat Novel Online

Pahala Dan Murka 1

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 1


Pahala dan Murka - 1 0Kolektor E-Book adalah sebuah wadah nirlaba bagi para
pecinta Ebook untuk belajar, berdiskusi, berbagi
pengetahuan dan pengalaman.
Ebook ini dibuat sebagai salah satu upaya untuk
melestarikan buku-buku yang sudah sulit didapatkan di
pasaran dari kepunahan, dengan cara mengalih mediakan
dalam bentuk digital.
Proses pemilihan buku yang dijadikan objek alih media
diklasifikasikan berdasarkan kriteria kelangkaan, usia,
maupun kondisi fisik.
Sumber pustaka dan ketersediaan buku diperoleh dari
kontribusi para donatur dalam bentuk image/citra objek
buku yang bersangkutan, yang selanjutnya dikonversikan
kedalam bentuk teks dan dikompilasi dalam format digital
sesuai kebutuhan.
Tidak ada upaya untuk meraih keuntungan finansial dari
buku-buku yang dialih mediakan dalam bentuk digital ini.
Salam pustaka!
Team Kolektor E-BookPAHALA DAN MURKA
karya : Liang Ie Shen
Saduran : Gan K.L.
Penerbit:
Panca Satya
Kotak Pos 136
Semarang
Image Sources : Awie Dermawan
Rewrite/Edited : yoza
? Sept, 2018, Kolektor E-Book
Pustaka Silat
1980PENJELASAN
Cerita PAHALA dan MURKA pada 20 tabun yang lalu pernah
diterbitkan di Jakarta dengan judul PENG TJONG HIAP ENG dan
penulis menggunakan nama samaran Chin Yen.
Akan tetapi karena sesuatu hal pada waktu itu penulis tidak
mengakhiri cerita tersebut.
Kini penulis mengisahkan kembali dengan judul baru, dan
dengan sendirinya semuanya serba bara sesuai dengan kemajuan
selama 20 tahun ini.
Harap pembaca maklum.
Gan K.L.Pahala dan Murka - 1 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 1
SENJA di luar Gan-bun-kwan, salah sebuah gerbang Banli-tiang-sia (tembok besar) yang terkenal. Angin utara
meniup kencang.
Waktu itu adalah tahun ketiga Ceng-tong dinasti Beng (sebutan
tahun, kaisar Beng-eng-cong), belum ada empat puluh tahun sejak
meninggalnya Beng-thay-co, kaisar pendiri dinasti Beng (13681644) yang terkenal dengan nama Gu Goan-ciang. Pengaruh bangsa
Mongol seperti api yang padam telah menyala kembali di daerah
barat-laut, di antaranya suku bangsa Watze terhitung paling kuat,
setiap tahun pasti mengacau ke daerah pedalaman tembok besar,
sampai bertakhtanya Ceng-tong, pengaruhnya sudah menjalar
sampai di luar Gan-bun-kwan, hanya berjarak ratusan li saja
dengan benteng ini, di antara ratusan li ini menjadi daerah
persengketaan antara kerjaan Beng dan suku Watze dan merupakan
daerah yang tak berpenduduk.
Angin menderu-deru, pasir yang kekuning-kuningan dan daun
rontok beterbangan, sang surya sudah terbenam, suara keleningan
kuda bercampur dengan bunyi "oh-ka" (semacam alat tiap bangsa
Mongol), dalam keadaan demikian ini justru ada sebuah kereta
keledai sedang berlari dengan cepat di antara jalan di lembah bukit
melalui "daerah tak berpenduduk" ini.
Dengan kencangnya di belakang kereta keledai itu menyusul
seekor kuda bugus, penunggangnya adalah seorang lelaki setengah
umur berbadan tegap, punggungnya menyan dang kantung panah,Pahala dan Murka - 1 2
dan pedang tergantung di pinggang, kadang-kadang terlihat dia
menoleh memandang ke belakang.
Sementara itu angin utara meniup semakin heras, sayup-sayup
terdengar suara ringkik kuda dan suara beradunya senjata yang
berkumandang terbawa angin, saat itu juga tiba-tiba terdengar
suara jeritan panjang ngeri, sesudah itu, suara derap kaki kuda yang
riuh lambat-laun makin menjauh dan akhirnya sunyi.
Mendengar suara jeritan tadi, dari dalam kereta seorang tua
yang sudah ubanan seluruhnya te'lah menyingkap kerai kereta dan
bertanya, "Bukankah itu suara anak Teng memanggil aku? Apakah
dia mengalami sesuatu bencana? Cia-hiapsu, jangan urus aku lagi,
pergilah membantu mereka, bisa tiba sampai di sini, mati pun aku
ikhlas!"
Lelaki setengah umur penunggang kuda tadi menyahut,
"Selamat, Lopek (paman), coba dengarkan suara derap,tn kaki kuda
yang riuh ramai itu, tentu pasukan musuh sudah mundur. Lihat itu,
bukankah mereka sudah datang!"
Habis berkata ia lantas putar kudanya dan secepat terbang
memapak ke sana.
Sedang kakek di dalam kereta tiba-tiba menghela napas panjang,
air matapun lantas bercucuran. Dalam pada itu mendadak dari
dalam kereta melompat bangun seorang anak perempuan, mukanya
yang kedinginan kemerahan seperti buah apel, anak ini mengucekucek matanya, rupanya ia baru saja mendusin dari tidurnya.
"Yaya (kakek), apakah tempat ini sudah daerah Tionggoan
(Tiongkok)?" tiba-tiba ia bertanya.
Karena pertanyaan ini, si orang tua ini segera menghentikan
keretanya, dengan mata tak berkedip ia pandang tanah di bawahnya
dengan khidmat.Pahala dan Murka - 1 3
''Ya, inilah tanah daerah Tionggoan," sahutnya kemudian
dengan suara yang berat dan pelahan. "A Lui, coba turun ke bawah
dan ambilkan bagi Yaya segenggam tanah!"
Tatkala itu, dari mulut lembah bukit sana terlihat tiga ekor kuda
perang yang terluka membawa kembali tiga penunggangnya yang
berpakaian kumal dan robek, kuda-kuda itu lari dengan cepat
sembari mengeluarkan suara ringkik keras, penunggang yang
paling depan ternyata seorang hwesio.
Sesudah berhadapan, lelaki setengah umur yang memapak dan
diketahui she Cia tadi menyapa, "Tiau-im Suheng, di mana In Teng
Sute?"
"Dia tewas!" sahut hwesio itu dengan muram sembari tahan tali
kendali kudanya. "Sungguh tidak nyana, setelah melintasi sungai
dan gunung, sampai di sini, selagi Gan-bun-koan sudah berada di
depan mata, ia tetap tidak bisa lolos dari tangan murub. Namun
demikian, ia pun tidak malu sebagai seorang lelaki sejati, meski
sudah tcrluka parah ia masih membinasakan beberapa musuh,
sebelum ajalnya ia malah berhasil membunuh pula mumh yang
memimpin pasukan itu, maka prajurit-prajurit Mongol sama
ketakutan dan lari terbirit-birit, tak berani mengejar kita. lagi.
Manusia mana yang tidak mati, kalau seperti dia tadi, mati pun
berharga. Muridmu itu juga hebat, ia pun membunuh beberapa
musuh sekuat tenaganya dan kemudian gugur bersama Susioknya."
Mendengar penuturan ini, lelaki setengah umur tadi mendongak
ke atas dengan sinar mata penuh rasa kemarahan, tiba-tiba ia
berseru, "Gan-bun-koan sudah tertampak di depan, kita boleh
dikatakan tidak mengecewakan tugas yang In Teng Sute serahkan
kepada kita dan telah dapat mengantar pulang ayahnya, di alam
baka pun In-sute dapat tidur dengan ten-tram. Hanya saja In-taijinPahala dan Murka - 1 4
masih berduka, kejadian ini sementara hendaknya jangan
diberitahukan kepadanya."
Segera mereka larikan kuda menyusul kereta tadi, setelah dekat,
tertampaklah oleh mereka si orang tua tadi sedang menongkrong di
atas kereta, tangannya memegang secomot tanah, sikapnya aneh
sekali, sedang si anak perempuan berdiri di atas tanah dengan
penuh keheranan memandangi sang kakek.
"In-taijin, kami telah kembali!" seru Tiau-im Hwesio.
"Dan di mana anak Teng?" tanya si orang tua.
"Pasukan musuh telah kami bikin kocar-kacir, dia mengalami
luka ringan dan berada di belakang bersama murid Thian-hoa
Sute!" sahut Tiau-im Hwesio.
Sekalipun menjawab dengan berlagak tenang, namun tetap
takbisa menutupi rasa duka dan marahnya.
Air muka si orang tua berubah hebat, di bawah sinar matanya
yang memandang tajam, sekalipun Tiau-im dan Cia Thian-hoa
tergolong pendekar gagah berani juga menyurut mundur ! beberapa
tindak oleh pengaruh sinar matanya.
Kemudian orang tua itu berseru dengan tertawa, "Haha, ayahnya
pembesar setia dan anaknya putra berbakti, pembesar setia dan
anak berbakti tercakup dalam satu keluarga, aku In Ceng
menyesalkan apa lagi? Haha, haha!"
Di tengah surra tertawanya yang seram dan penuh mengandung
rasa duka itu. para penunggang kuda di samping kereta tiada yang
berani bersuara.
"Yaya, apa yang kautertawakan?" tiba-tiha si anak perempuan
tadi bertanya. "Aku merasa takur, Yaya, jangan kautertawa begitu
lagi. Mengapa Tia (ayah) belum juga pulang?"Pahala dan Murka - 1 5
Mendadak si kakek berhenti tertawa, lalu ia termenung.
"Besok pagi-pagi apa bisa tiba sair pai di Gan-bun-koan?"
tanyanya kemudian.
"Ya, malam ini Capgwe Capgo (bulan sepuluh tanggal lima
belas), sinar bulan tentu terang benderang, besok pagi-pagi kita
pasti akan sampai di sana!" sahut Cia Thian-hoa.
Dengan tangan masih menggenggam tanah tadi, seperti
memegangi barang mestika saja tiba-tiba si kakek menciumnya
dalam-dalam beberapa kali, sudah tentu yang ada pada tanah itu
hanya bau apak campuran daun busuk dan tangkai kayu yang lapuk.
Akan tetapi orang tua itu menyedot napas dalam-dalam
beberapa kali, s`eperti mencium bau harum yang aneh.
"Sudah dua puluh tahun, kini baru dapat kucium bau tanah dari
tanah air sendiri," ka tanya kemudian dengan tersenyum haru.
"Lopek lama berdiam di negeri asing, tapi jiwa setia dan tugas
negara tetap dipertahankan, di bandingkan So Bu yang 19 tahun
ditawan oleh musuh masih lebih lama satu tahun, sungguh
mengagumkan," ujar Cia Thian-hoa.
Air muka orang tua itu berubah agak cerah, ia ulur tangannya
menarik anak perempuan tadi ke atas kereta.
"A Lui," katanya pelahan," tahun ini kau berumur tujuh,
seharusnya mulai tahu urusan, malam ini Yaya akan menceritakan
satu kisah padamu, kau harus ingat baik-baik dalam hati."
"Em, harus ingat baik-baik dalam hati," anak perempuan itu
mengulangi kata-kata sang kakek, "Aku mengerti, tentu Yaya
hendak bercerita kisahnya sendiri!"
Mendengar ucapan anak ini, orang tua tadi jadi heran dan
memandangnya sekejap.Pahala dan Murka - 1 6
"Kau betul-betul cerdik sekali, jauh lebih pintar diripada waktu
aku mrsih sama kecilnya," ujarnya.
Maklumlah, bocah ini sejak dilahirkan baru bulan yang lalu
untuk pertama kalinya bertemu dengan kakeknya ini, tatkala itu ia
tanya ayahnya mengapa mendadak muncul seorang Yaya. Ayahnya
berkata padanya, "Sudah beberapa kali aku bercerita kisah ?So Bu
mengangon domba?, tetapi cerita mengenai diri Yaya akan jauh
lebih menarik daripada cerita So Bu, kelak Yaya tentu akan bercerita
padamu, dan kau harus ingat baik-baik dalam hati,"
So Bu ad tlah utusan kaisar Han (206 seb.M -220 ses. M) sebagai
misi perdamaian ke negeri Tartar, tapi setiba di sana ia ditahan dan
disuruh mengangon domba selama 19 tahun baru kemudian
dipulangkan.
Oleh sebab itulah sekarang begitu Yaya-nya hendak bercerita,
segera ia tahu pasti, kisah sang Yaya sendiri.
Begitulah maka semua orang pun mengitari kereta, seperti anak
perempuan itu, dengan penuh perhatian mereka ikut
mendengarkan kisah si kakek.
Terlihat si orang tua mengeluarkan, sebatang tongkat bambu, di
pucuk tongkat masih tersisa beberapa helai bulu.
"Ai, hiasan Su-ciat, (tanda utusan) sudah rusak oleh salju utara,"
demikian orang tua itu mulai berkata sambil menghela napas. "A
Lui, mengertikah kau apa yang di sebut ?Su-ciat?? Ini akan
kuterangkan. Pada dua puluh tahun yang lalu, kakekmu adalah
pembesar utusan maharaja Beng yang dikirim sebagai misi
persahabatan ke negeri Watze di Mongol, tongkat bambu ini adalah
pemberian kaisar, disebut ?Su-ciat? dan melambangkan kaisar,
jiwaku boleh melayang, tetapi keagungan tidak boleh musnah.Pahala dan Murka - 1 7
"Masa itu Mongol terbagi menjadi dua bagian, yang sebagian
disebut Watze dan yang lain adalah Tartar, kekuatan negeri mereka
masih sangat lemah. Kedatangan utusan ke-rajaan Beng menurut
peraturan harus memperoleh segala penghormatan mereka, tak
terduga pada hari penyerahan ?surat kepercayaan?, semula raja
Watze masih ramah-tamah, kemudian muncul seorang bangsa Han
yang mengenakan pakaian bangsa asing, ia menghadap rajanya
dengan membawa senjata, ia ajak raja Watze ke samping dan
dibisiki sesuatu, sambil bicara ia memandang padaku juga. Orang
Han ini berusia kurang lebih dua puluh tahun, tetapi sinar matanya
mengandung rasa benci dan dendam yang tak terhingga, seperti
antara dia dan aku ada permusuhan besar!"
"Apa orang itu kenal Lopek?" tanya Cia Thian-hoa.
"Tidak, sama sekali aku tidak kenal dia." sahut In Ceng. "Aku
berani berkata, dalam jabatanku aku cukup putih bersih, selamanya
tidak punya musuh, lebih-lebih tidak mungkin mengikat musuh di
negeri asing, aku tidas tahu mengapa dia begitu benci padaku. Cuma
waktu itu karena kulihat dia berdandan sebagai bangsa asing, aku
pun tidak sudi bicara dengan dia.
"Begitulah setelah ia bicara sejenak dengan raja Watze,
mendadak sang raja memerintahkan menawan diriku, bahkan
hendak merebut ?su-ciat? ku. Sudah tentu aku gusar dan segera
memprotes. Nyawaku boleh lenyap, tetapi su-ciat yang
melambangkan keagungan Sri Baginda Beng tidak boleh musnah.
"Sungguh konyol orang itu, meski jelas dia bangsa Han, demi
mendengar protesku itu ia malah tertawa, katanya. "Kerajaan
Beng? Haha! Apa kedatanganmu ini siap untuk menjadi pembesar
setia kerajaan Beng? Baik, akan kupenuhi cita-citamu itu untuk
menjadi So Bu kedua. So Bu menggembala domba, maka kau boleh
angon kuda saja!" Dan sejak itulah aku lantas mengangon kudaPahala dan Murka - 1 8
selatna dua puluh tahun di negeri utara yang dingin, semula aku
menarah harapan kerajaan Beng akan mengirim pasukan untuk
membebaskan diriku, tetapi setahun lewat setahun, sedikit pun
tiada kabar berita, belakangan kudengar bahwa kaisar Tay Heng
(Beng-seng-co) sudah wafat dan kaisar Jin-cong naik tatha, tetapi
tiada setahun kaisar ini pun mangkat dan digantikan oleh putra
makota yang masih kecil, orang pandai di tanah air sudah tiada lagi,
Thay-co dan Seng-co yang agung karena banyak meluaskan negeri
leluhur sudah tinggal kisah saja, maka aku pun putus asa, aku
menaksir pasti akan terkubur di negeri asing dan sukar pulang lagi


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ke tanah air, siapa tahu masih terdapat pula hari seperti sekarang
ini."
Mendengar penuturan ini, Cia Thian-hoa dan Tiau-im Hwesio
saling pandang tanpa bicara wajah mereka menunjukkan rasa
heran, seperti kagum, tetapi juga seperti tak acuh.
Namun In Ceng tidak memperhatikan sikap mereka ini, suaranya
makin berat, ia sambung lagi kisahnya.
"Selama dua puluh tahun ini, penderitaanku sudah tak terhitung
banyaknya, di tengah padang pasir tiada air minum, terpaksa
terkadang aku harus menghilangkan rasa dahagaku dengan minum
air kencing kuda, jika tiba musim rontok hingga musim dingin,
minum es dan telan salju juga bukan soal lagi! Ini saja masih
mending, yang paling menggemaskan adalah jahanam itu
kadangkala sengaja mengirim orang menilik diriku, di hadapanku
mereka mencaci-maki kaisar Beng. Begitulah, selama dua puluh
tahun ini aku hidup tersiksa lahir batin, sungguh menggemaskan
jahanam itu tidak mau membunuhku."
Mendengar cerita ini, In Lui, si anak perempuan itu, ternyata
naik darah juga.Pahala dan Murka - 1 9
' Siapa nama orang jahat itu?" tiba-tiba ia tanya. "Harap Yaya
beritahukan padaku, bila Lui-lui dewasa kelak pasti akan
membalaskan sakit hatimu ini!"
"Tidak lama kemudian aku pun mengetahui jahanam itu she
Thio dan bernama Cong-ciu, namanya Cong Ciu. tetapi sebenarnya
tidak Cong Ciu (Cong berati mmghormat ateu memuja, Ciu
maksudnya ahala Ciu) coba pikirkan saja, kerajaan Ciu adalah
pujaan bangsa Han kita, sudah bernama Cong-ciu, sebaliknya
mencaci-maki kaisar Beng, apa itu bukan berarti mengumpat
dirinya sendiri?"
Anak perempuan itu tentu saja tidak paham tentang Ciu segala,
selagi ia hendak tanya lagi terdengar kakeknya sudah berkata pula,
"Hal-hal demikian ini, setelah, kau sekolah dan dewasa tentu akan
paham sendiri, tidak perlu kujelaskan sekarang."
Sampai di sini ia merandek sejenak, sesudah itu mendadak
dengan suara keras ia tanya, 'Kedua Hiapsu (pendekar budiman),
coba katakan, apakah jahanam itu pantas dibunuh atau tidak?"
"Harus! Pantas!" demikian jawab Tiau-im Hwesio dan Cia Thianhoa berbareng sambil memukulkan tongkat ke tanah.
Atas jawaban yang tegas ini, In Ceng tersenyum, ia mengeluselus kepala cucu cilik itu dan melanjutkan ceritanya lagi.
Kiranya Thio Cong-ciu memang keturunan keluarga dorna,
ayahnya pernah menjabat sebagai pembesar di Mongol, menurun
sampai padanya bahkan lebih-lebih mendapat kepercayaan, baru
berumur dua puluh lebih ia sudah menjabat wakil perdana menteri
kerajaan Watze, bersama perdana menteri Tofan mereka
merupakan orang kepercayaan raja Watze, Totobua Khan,
badannya sangat sehat, sedikitnya dia masih mampu bertahan duitiga puluh tahun lagi. Meski aku menggembala kuda di tanahPahala dan Murka - 1 10
bersalju melulu, namun siang dan malam aku senantiasa berharap
agar dia jangan diberkahi berumur pendek!"
Tiau im Hwesio yang berwatak polos menjadi heran oleh katakata terakhir ini.
"Sebab apa begitu?" tanyanya tak mengerti.
Tetapi In Ceng tidak menjawab pertanyaannya, orang tua ini
sudah terlalu lama menderita, rasa gusar yang selama ini
terpendam tidak dapat ditahan lagi, ia tertawa dingin hingga
membikin In Lui cilik mengkirik, dilihatnya kakeknya
mengeluarkan sepotong kulit domba, di atas kulit yang sudah kering
itu terlihat tertulis beberapa baris huruf, lamat-lamat tercium bau
amis.
"In-lopek, apa surat darah ini tulisanmu?" tanya Cia Thian-hoa
terkejut.
"Ya, ini merupakan surat darah yang ke dua," sahut In Ceng
"Semula aku berharap pemerintah akan mengerahkan pasukan
untuk menolongku dan bekuk dorna itu untuk dihukum secara
setimpal, kemudian kusadar harapanku itu hanya sia-sia belaka, aku
ingin membunuh sendiri jahanam itu, tetapi diriku cuma seoran
sastrawan yang tak bertenaga sedikitpun, cara bagaimana mampu
balas sakit hati itu. Pikir punya pikir, harapanku satu-satunya hany
kucurahkan atas anak-cucuku, agar keturunanku meninggalkan
bidang sastra untuk belaja silat, dengan demikian baru dapat
membalas kan sakit hatiku yang dalam ini.
"Syukurlah Thian mengabulkan harapanku sepuluh tahun
setelah aku mengangon kuda anak Teng pun tiba di negeri asing
sana, ia telah ganti nama untuk mencari jejakku. Pada waktu aku
berangkat bertugas ia baru saja menempuh ujian Siucia (gelar ujian
kesusastraan jaman feodal), dia hanya seorang sastrawan yangPahala dan Murka - 1 11
lemah tetapi tatkala bertemu di tanah asing dia sudah berubah
menjadi seorang jago silat yang perkasa.
"Kiranya putraku mengetahui bahwa pemerintah tidak ingin
bersengketa dengan negara lain hanya karena membela diriku
seorang, oleh sebab itu anak Teng lantas buang bun (sastra) dan
belajar bu (silat), ia bcrcita-cita akan menjelajah negeri asing untuk
menolong ayahnya. Kabarnya dia telah belajar tujuh tahun di bawah
Thian-he-te-it-kiam-khek (pendekar pedang nomor satu di jagat
ini) Hian-ki It-su, walau ilmu silatnya belum cukup masak, tetapi
kalau cuma tiga-lima puluh orang biasa saja tidak nanti bisa
merobohkan dia. Saking tak sabar karena ingin menolong ayahnya,
sebelum tamat belajar ia lantas berangkat kemari."
Makin mendengarkan In Lui makin tertarik, bola matanya yang
hitam bulat mengerling kian kemari, dalam hati juga penuh rasa
heran.
"Kalau begitu, ayah jelas berkepandaian tinggi, mengapa sedikit
pun aku tidak tahu?" tanyanya. "Aku hanya tahu setiap hari dia
pergi mengangon domba bersama ibu. Suatu hari, ada seorang
prajurit telah menghina dia, hendak rebut pula dombanya, bahkan
memukulnya, namun sama sekali ayah tidak melawan, apalagi balas
menyerang."
"Ai, A Lui, kau masih kecil, masih banyak hal yang meski
kuceritakan kaupun takkan paham," ujar In Ceng dengan menghela
napas "Tetapi, seandainya kelak aku mati dan tidak sempat
menyaksikan kau dewasa, kedua paman yang berada di sini ini tentu
akan memberitahukan padamu."
Cia Thian-hoa mengerti cerita In Ceng malam ini sengaja
diperdengarkan padanya, tentu di dalam hal ini mengandung
maksud tertentu. Dilihatnya tubuh In Ceng rada gemetar dan
napasnya mulai tersengal, lekas, ia maju memapahnya.Pahala dan Murka - 1 12
"Lopek, mengaso saja dulu, masih banyak waktu untuk bicara
lagi, biarlah selelah sampai Gan-bun-koan nanti kita sambung lagi,"
ia bujuk orang tua itu. "Bila Lopek ada pesan apa-apa, pasti akan
Wanpwe laksanakan."
Akan tetapi In Ceng masih belum puas.
"Tidak, aku harus bercerita lagi, sudah terlalu lama hal-hal ini
tertahan dalam hatiku, kalau tidak dibeberkan sekaligus, rasa hatiku
takkan puas," katanya dengan napas tersengal-sengal dan terbatukbatuk, setelah berhenti sejenak ia sambung lagi, "Nyata Teng-ji
terlalu pandang enteng, ia mengira dengan kepandaiannya sudah
mampu menolongku keluar dari negeri musuh. Siapa tahu bahwa
di atas langit masih ada langit dan di atas orang pandai masih ada
yang lebih pandai. Di daerah Mongol ini ternyata banyak juga jago
kelas tinggi. Melulu bawahan Thio Gong-ciu saja terdapat beberapa
orang yang berkepandaian luar biasa.
"Aku menggembala di tanah bersalju itu, tetapi sebenarnya
diam-diam ada orang mengawasi. Dengan susah payah akhirnya
Teng-ji dapat menemukan .aku, belum sampai kami sempat
berunding cara bagaimana kabur, segera kedatangannya sudah
diketahui musuh, kalau tidak kusuruh dia lekas melarikan diri,
mungkin sekali dia akan tertawan musuh juga. Kemudian beberapa
kali ia bergebrak pula dengan anak buah Thio Gong-ciu, tapi selalu
tidak memperoleh keuntungan, setelah itu baru ia tunda niatnya
menolong ayah dengan tenaga seorang, diri. Karenanya ia lantas
turut pesanku, ia tukar nama dan ganti she serta tinggal di Mongol,
ia pura-pura sebagai orang yang surr.a sekali tidak paham tentang
ilmu silat. Tetapi diam-diam mencari kesempatan saling mengirim
berita denganku.
"Aku suruh dia tinggal di Mongol dan menikahi wanita asing,
perlunya supaya mem peroleh keturunan untuk membalaskan sakiPahala dan Murka - 1 13
hatiku ini. Kupikir bila sakit hatiku ini tak bisa dibalaskan puteraku
tentu dapat dibala oleh cucuku, cucuku takbisa, masih ada buyut ku
pula, bilamana keluarga In masih puny. keturunan, sakit hati ini
pasti akan terbalas Sedang mengenai keluarga Thio, seandainyi
Thio Ceng-ciu mati dia masih punya keturunan juga,keturunannya
harus menerima pembalasan akibat perbuatannya ini!
"Begitulah maka tujuh tahun kemduian ketika aku mendengar
bahwa Teng-ji mempunya: putra aku lantas menulis surat darah
yanf pertama, aku minta cucu laki-lakiku itu setelah dewasa kelak,
begitu bertemu dengari orang keturunan keluarga Thio Ceng-ciu,
tidak peduli tua atau muda, lelaki atau perempuan semua harus
dibunuh."
Kata-kata terakhir tni membikin Cia Thian-hoa mengkirik juga,
bibirnya bergerak, ia hendak buka suara, tetapi urung.
Hanya dalam hati ia berkata," Akibat benci ternyata bisa
memucnak hingga sedemikian ini! Cara pembalasan serupa ini apa
tidak lebih kejam dari pada saling bunuh di kalangan Kangouw.
Mungkin karena dua puluh tahun mengangon kuda di tanah
bersalju! ia sudah terlalu menderita lahir batin, oleh sebab itu
pikirannya agak kurang normal. Biarlah setelah kembali di tanah air
nanti sesudah kesehatannya pulih kembali, pelahan aku akan
menghiburnya."
Sementara itu dengan napas yang terengah In Ceng berkata pula
sambil tuding surat darah di tangannya, "Teng-ji telah menuruti
pesanku dan menjahit surat darah di dalam baju anaknya kemudian
anak itu diserahkan kepada salah seorang Suhengnya sebagai
murid. Sejak itu tempatku mengangon pun berpindah, kami putus
hubungan, akhirnya, sampai tiga bulan yang lalu, diam-diam ia
datang lagi menemuiku, ia beritahu padaku bahwa dia telah
mengundang saudara-saudara seperguruannya kemari buatPahala dan Murka - 1 14
membantu menolong diriku. Tatkala itu, mengingat usiaku sudah
makin lanjut aku sudah tiada pikiran buat melarikan diri lagi, maka
beritanya itu tidak menarik perhatianku, aku hanya tanya setelah
berpisah tujuh tahun apa dia tambah anak lagi? Ia bilang telalj
tambah pula seorang anak perempuan, ialal kau inilah! Maka
kutulis sepucuk surat darah lagi, yaitu supaya cucu perempuanku
jugj harus membalaskan sakit hatiku. A Lui, selan jutnya harus ingat
baik-baik, di mana pun ka-lau berjumpa orang keturunan Thio
Gong-ciu tidak peduli lalaki atau perempuan, tua atai muda,
semuanya harus dibunuh habis, lebui tulangmereka dan
sebarkannva sebagai abu!"
Begitu keras kata-katanya yang terakhir ini sehingga In Lui yang
mendengarkan sampai terkesima, air mukanya yang merah apel
menunjukkan rasa ketakutan, mendadak ia menangis "Yaya, masa
begitu banyak yang harus dibunuh?" katanya dengan tersendat. "Ai,
Lui-lui jadi takut, sejak dulu ibu mengajarku jangan sembarangan
membunuh binatang, bahkan domba yang baru lahir harus
dilindungi.
Ai, di manakah ibu? Tia-tia bilang selekasnya ibu akan datang,
mengapa belum tampak tiba, Tia-tia pun menghilang sekalian."
Sudah tentu ia tidak tahu bahwa ayahnya, In Teng, yang tukar
nama dan ganti she di negeri asing, mengenai asal-usulnya
sekalipun istrinya juga tidak dibcritahu. Sebulan yang lalu di luar
tahu istrinya ia minggat meninggalkan rumahnya.
Maka kata-kata dara cilik itu membuat lu Ceng menjadi gusar
hingga jenggotnya yang sudah memutih perak bergerak-gerak.
"Lui Lui!" teriaknya bengis. "Tidak mau kauturut pesanku?
Ketahuilah ayahmu ... ayahmu sudah . . . ."Pahala dan Murka - 1 15
Begitu bengis sikapnya dan keras suaranya sehingga In Lui
kuncup seketika, diam tak berani menangis lagi.
Melihat betapa ketakutan anak dara ini, In Ceng menghela napas,
sisa perkataan yang hendak diucapkannya tadi ia urungkan, ia tidak
tega memberitahukan kematian ayali si bocah ini.
Menyaksikan peristiwa ini, diam-diam Cia Thian-hoa menghela
napas juga, ia geleng kepala. Sementara itu tertampak In Lui
menunduk, dengan suara lembut katanya, "Aku akan menurut
pesan Yaya!"
In Ceng jadi girang, ia masukkan surat darah yang baru ditulis
tiga bulan yang lalu itu ke dalam saku anak dara itu.
"Tidak nyana aku In Ceng masih dapat melarikan diri dari nrgeri
musuh puiang ke tanah leluhur," ia mendongak dan tertawa puas.
"Aku hanya berhahap Thio Cong-ciu si jahanam itu j;ngan lekaslekas mati, biar dia sendiri menerima pembalasan dari cucuku! Ciahiapsu, harap mengingat pada Teng-ji, sukalah engkau menerima
dara cilik ini sebagai murid."
Permintaan yang tiba-tiba ini membikin Cia Thian-hoa jadi ragu.
"Soal ini boleh dirundingkan nanti," sahutnya kemudian "Lopek
jangan salah paham, bukan aku tidak mau menerima, kupikir harus
mencarikan seorang guru lain yang lebih baik dan lebih setimpal
baginya."
Cia Thian-hoa dan Thiau-im Hwesio adalah saudara
seperguruan InTeng, guru mereka, Hian-ki It-su berjuluk "Thianhe-tc-it-kiam-khek" atau pendekar pedang nomor satu di dunia,
bukan cuma ilmu pedang saja, juga ilmu silat jenis lain pun sangat
hebat, hanya saja tabiat Hian-ki It-su rada kukoai atau eksentrik,
seluruhnya ia punya lima murid, tiap-tiap muridnya hanyaPahala dan Murka - 1 16
diajarkan sejenis kcpandaian saja, seperti Cia Thian-hoa, ia hanya
memperoleh setengah ilmu pedangnya saja.
Mengapa disebut setengah? Kiranya Hian-ki It-su memiliki ilmu
pedang ganda, artinya dua macam ilmu pedang yang berlawanan
satu sama lain cara permainannya.
Di samping itu ia menggembleng pula dua batang pedang pusaka
jantan dan betina, pedang betina bernama "Ceng-beng" yang berarti
hijau tua, sedang pedang jantan bernama "Pek-hun" atau mega
putih, diturunkan kepada Cia Thian-hoa, sedang pedang betina
"Ceng-beng" diturunkan kepada seorang murid perempuan yang
lain, kedua orang sama-sama memperoleh semacam iimu pedang
yang saling berlawanan itu.
Pasangan ilmu pedang ini diciptakan Hian-ki It-su berdasarkan
hasil jerih-pavah selama hidupnya, apabila pasangan ilmu pepang
itu bergabung menjadi satu, maka boleh dikatakan tiada
tandingannya di kolong langit. Oleh sebab itulah di antara lima anak
muridnya kepandaian Cia Thian-hoa dan murid perempuan itu
terhitung paling tinggi dan keduanya sukar dibedakan mana yang
lebih unggul.
Mengenai In Teng, oleh karena pelajarannya memang belum
tamat, maka kepandaiannya paling lemah. Ada pun Tiau-im
Hwesio, ia adalah murid yang kedua, kepandaian yang diperolehnya
adalah "Hok-mo-teng-hoat", ilmu kepandaian luar badan sudah
mencapai tingkatan yang cukup sempurna.
Cia Thian-hoa dan Tiau-im Hwesio sama memenuhi undangan
Sute mereka, yaitu In Teng, masing-masing membawa muridnya
berangkat jauh dari negeri tengah -Tiongkok -menuju ke Mongol


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk membantu Suteuya itu menolong sang ayah.Pahala dan Murka - 1 17
Kebetulan sekali kedatangan mereka tepat pada waktu raja
Watze lagi merayakan kelahiran putra makotanya, negeri ini berada
dalam suasana pesta pora, pengawasan rada kendur, mereka
berhasil menewaskan beberapa benjaga dan akhirnya dengan
gampang bisa melarikan diri.
Tidak terduga setelah hampir dekat Gan-bun-koan baru
kepergok pasukan pengejar, dalam pertempuran sangit itu sayang
In Teng telah tewas, sedang murid satu-satunya Cia Thian-hoa pun
gugur dalam pertempuran mati-matian itu.
Begitulah, sesudah In Ceng bercerita tadi, saking letihnya
akhirnya ia tertidur pulas. Sedang In Lui dengan kesima masih
memandang sang kakek, tidak bersuara juga tidak tertawa.
Cia Thian-hoa menghela napas melihat adegan mengharukan
itu, ia melarikan kereta lagi di antara jalan lembah pegunungan itu.
Sementara itu sang dewi malam sudah menongol, di bawah sinar
bulan lembah sunyi ini laksana berselimutkan selapis kabut tipis,
suasana sepi dan terasa agak seram.
Cia Thian-boa memberi beberapa iris dendeng pada In Lui, ia
beri minum pula sedikit, habis itu ia tepuk-tepuk tubuh bocah ini,
tidak antara lama dara cilik ini pun terpulas.
Perjalanan dilanjutkan lagi, di antara goncangan kereta
mendadak In Ceng menjerit dalam mimpinya, "Heii, dingin! dingin
.... Hah, serigala, ada serigala!"
Mendengar orang mengingau, Tiau-im Hwesio menjadi geli.
"Mungkin orang tua ini mengira lagi mengangon kjda di daerah
utara sana!" katanya dengan tertawa.
Tidak lama terdengar juga In Lui berseru dalam tidurnya, "Ibu,
Lui Lui tidak mau bunuh orang, Lui Lui takut?"Pahala dan Murka - 1 18
C.ia Thian-hoa menggeleng kepala dengan bingung.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar bunyi suara panah melayang
lewat di udara lembah pegunungan itu, dalam mimpi In Ceng
mendadak melompat bangun sambil berteriak, "Seringala! Ada
serigala!"
Tetapi ketika orang tua ini membuka matanya, dilihatnya sinar
api biru meluncur di udara sedang menurun ke bawah, berbareng
itu tertampak Tiau-im Hwesio melayang pergi sejauh beberapa
tombak, maju memapak musuh.
"Lopek jangan takut, musuh yang datang tidak seberapa orang,"
seru Cia Thian-hoa.
In Ceng terkejut hingga tersadar dari tidurnya.
"Celaka!" ia mengeluh dengan suara gemetar, "yang datang ini
adalah jago nomor satu bawahan Thio Cong-ciu, ia she Ciamtai dan
bernama Biat-beng meski namanya seperti bangsa di utara, tetapi
sebenarnya ia bangsa Han. Anak Teng pernah bergebrak dengan dia
dan kecundang, kepandaiannya memang hebat." Cia Thian-hoa
tertawa.
"Lopek jangan kuatir, tongkat Suhengku dan kedua telapak
tangannya pernah mengguncangkan kalangan persilatan
Tionggoan (daerah tengah atau Tiongkok), jangankan cuma jago
nomor satu dari Mongol saja. Asalkan yang datang tidak banyak,
tanggung mereka bisa datang dan tidak bisa pulang, biar kami
tangkap dia untuk Lopek bawa pulang ke kotaraja sebagai tanda
pahala. Coba saja apakah jahanam ini masih berani ?Biat Beng?
(basmi Beng) atau tidak?"
Begitulah Cia Thian-hoa memang berjiwa patriot, ia paling benci
pada kaum pongkhianat, kini didengarnya bahwa oaang bernama
"Biat-beng" yang berarti menumpas kerajaan Beng, ia menjadiPahala dan Murka - 1 19
murka, ia lolos pedang terus memburu ke lembah sana untuk
membantu Suhengnya.
Setiba di sana Cia Thian-hoa melihat seorang panglima musuh
dengan jubah warna emas, bersenjata gaetan tajam "Siang-lionghou jiu-kau" sedang bertempur dengan Tiau-im Hwesio dengan
sengit. Kelihatan Tiau-im memainkan tongkatnya dengan hebat
laksana ular naga menari-nari di udara hingga membawa sambaran
angin yang menderu-deru. Akan tetapi lawannya, si panglima
ternyata tidak mau mengalah sedikit pun, ia putar kedua gaetannya
dengan cepat, ia menyampuk dan menyapu hingga tongkat Tiau-im
Hwesio yang lebih besar kena ditangkis miring ke kiri dan doyong
ke kanan.
Nampak keadaar. demikian, Thian-hoa terkejut, pikirnya.
"Kepandaian orang ini sungguh hebat, pantas In Teng Sute
kecundang olehnya, tampaknya Suheng pun bukan tandingannya."
Karena itu segera ia lolos senjata, begitu bergerak segera ia
melayang laksana burung raksasa terus menubruk dari atas, begitu
pedang berputar, dengan jurus "hut-liu-coan-hoa atau mengebut
pohon liu menmebus bunga, segera ia menusuk hulu hati orang.
Tipu serangan ini memang khusus un'uk mematahkan senjata
sebangsa gaetan dan lain sebagainya, adalah jurus serangan yang
lihai ciptaan Hian-ki It-su yang khas.
Senjata sebangsa gaetan "Hok-jiu-kau" memang bisa dibuat
mengatasi senjata golok, pedang dan sebangsanva. tetapi kiam-hoat
atau ilmu pedang ciptaan Hian-ki It-su ini lain daripada yang lain,
kiam-hoat ini dimainkan dengan cepat dan gesit, gerak
perubahannya pun bermacam ragamnya, dengan menuruti gerak
gaetan musuh bisa berbalik mengatasi musuh, jika musuh, tetap
menggunakan tipu biasa untuk menggaet dan merebut senjata,
maka sedikitnya jari tangannya bisa terpapas dan mungkin malahPahala dan Murka - 1 20
tenggorokannya bisa tertembus pedang, kiam-hoat ini betul-betul
sangat lihai.
Kini sekaligus Cia Thian-hoa keluarkan tipu serangan yang
hebat, pedangnya terus menusuk hulu hati lawan, dalam serangan
ini sewaktu-waktu bisa berubah menyerang ke kanan dan ke kiri,
lidak peduli musuh menyambut dari depan atau menangkis ke
samping, sekali-sekali pasti tak akan lolos dari bahaya tusukan ini.
Di luar dugaannya panglima musuh itu ternyata bisa memainkan
senjatanya dengan cepat sekali, mendadak gaetan yang kiri
menahan ke bawah, sedang yang kanan ia tarik ke atas, dengan
demikian hampir saja pedang Cia Thian-hoa tergaet lepas.
Dalam pada itu, mendadak sinar gaetan berkelebat, entah cara
bagaimana tahu-tahu senjata musuh itu lantas menyerang, pada
waktu Cia Thian-hoa sedikit terlambat karena senjatanya tergaet
tadi, ia berbalik jadi pihak terserang.
Diam-diam Cia Thian-hoa terkejut, sadar telah berhadapan
dengan lawan tangguh ia kumpulkan semangat, pedang bergerak
lagi, ia ganti taktik serangan secara cepat, dengan gerakan "liau-sityau-poh" atau menekuk lutut menggeser langkah, pedang ikut
berputar hingga menggaris sinar panjang, menyusul ia setengah
putar tubuhnya, ujung pedang kembali menusuk pula.
Tipu serangan hebat ini memaksa musuh harus tarik kembali
senjatanya dan menangkis dengan kedua gaetannya sambil
menggeser ke kiri. Namun Cia Thian-hoa segera menyusul serangan
lain, ia memberondong musuh dengan serangan gencar.
"Kiam-hoat bagus?" panglima itu berseru memuji.
Berbareng ia menangkis tiga kali, sesudah itu mendadak ia
berseru lagi, "Tahan dulu!"Pahala dan Murka - 1 21
Mana Cia Thian-hoa mau menurut, sinar pedang menyamber
lagi dengan serangan bertubi-tubi.
Rupanya panglima itu akhirnya naik darah juga. "Apa kaukira
aku takut padamu?" bentaknya gusar.
Kedua gaetannya bekerja cepat, beraneka ragam tipu serangan
dilancarkan, sinar kilat samber menyamber laksana dua ekor ular
perak selalu menempel sinar pedang Cia Thian-hoa.
Meski kiam-hoat Cia Thian-hoa bagus luar biasa, kini jadi tak
berdaya sama sekali terhadap musuh.
Di samping itu Tiau-im Hwesio pun tidak tinggal diam, melihat
Sutenya tak berhasil, sambil meraung segera ia putar tongkat dan
maju membantu.
"Melihat kepandaianmu, tentu kau ini jago silat kenamaan
daerah Tionggoan," panglima itu bergelak tertawa, "Kabarnya
tokoh silat kenamaan Tionggoan paling taat pada peraturan satu
lawan satu, kenapa sekarang kalian pakai cara mengeroyok?"
"Apa kau ini yang bernama Ciamtai Biat-beng?" bentak Tiau-im
Hwesio.
Dalam pada itu panglima tadi sedang menghindarkan serangan
Cia Thian-hoa, menyusul ia balas dua kali serangan, kemudian baru
menjawab, "Ya, kiranya kau juga kenal namaku!"
"Kau berbangsa Han, tetapi menjadi panglima negeri asing,
sungguh tidak tahu malu!" demikian Tiau-im Hwesio mengejek.
"Terhadap pengkhianat semacam kau ini siapa sudi bicara tentang
peraturan Bu-lim segala? Kini rasakan tongkatku!".
Damperatan ini membuat muka Ciamtai Biat-beng berubah
masam, mendadak ia bersuit panjang.Pahala dan Murka - 1 22
"Aku malang melintang di gurun utara, hatiku cukup bersih
untuk menghadapi Thian. Kau bilang siapa pengkhianat? Negara
mana yang kukhianati?" ia balas mendamperat. "Ciu Goan-ciang
kebetulan saja dapat merebut negeri Tionggoan, hanya manusia tak
berguna macam kalian ini yang sudi menghamba kepada anakcucunya!"
Berbareng itu ia berkelit atas kemplangan tongkat Tiau-im
Hwesio, sedang gaetannya sekali putar kembali ia lindungi tubuh
sendiri dibawah sambaran sinar pedang lawan, kemudian ia berkata
lagi dengan lantang, "Bicara pada hwesio kasar macam kau juga
percuma. Baiklah, kalau kau ingin berkelahi, biar kupanggil dua
orang muda untuk menyambut beberapa gebrakan darimu."
Habis bicara kedua gaetannya menuding ke depan, ia paksa Tiauim tarik kembali tongkatnya, sedang dua orang panglima muda di
belakangnya segera ayun senjata menggantikan dia mengerubuti
Tiau-im.
Meski ilmu silat kedua panglima muda ini belum bisa
menandingi Tiau-im Hwesio, tapi mereka pun bukan kaum lemah,
Tiau-im yang mengalami dua kali pertempuran seru dalam
setengah malam tenaganya sudah banyak berkurang, maka seketika
ia tak bisa mengalahkan mereka.
Pada saat itulah Cia Thian-hoa merasa ragu, hatinya tergerak
oleh ucapan Ciamtai Biat-beng yang gagah itu. Ia pikir orang ini
memang bukan orang biasa, tetapi bagaimana pun juga membantu
musuh melawan bangsa sendiri adalah tidak patut.
Karena itulah amarahnya memuncak lagi, ia putar pedang dan
menggempur pula.
"Jangan-jangan kau ini murid Hian-ki It-su bukan?" tanya
Ciamtai Biat-beng sambil menangkis.Pahala dan Murka - 1 23
Cia Thian-hoa terkesiap, ia tidak menduga musuh ini kenal nama
gurunya.
Ciamtai Biat-beng tertawa dan berkata lagi, "Dahulu meski
gurumu setelah berusaha sebisanya tetap tak mampu mengalahkan
guruku, kini kaupun ingin mengalahkan aku, mana bisa jadi? Kalau
kau tetap tidak tahu gelagat, baiklah boleh kita bertempur beberapa
ratus jurus untuk membela majikan masing-masing.
Bukan main kejut Cia Thian-hoa. Tiba-tiba ia teringat pada apa
yang pernah diceritakan gurunya bahwa kira-kira dua puluh tahun
yang lalu, gurunya pernah berebut kedudukan Beng-cu (ketua
perserikatan) kalangan Bu-lim dengan seorang gembong iblis,
mereka telah adu tenaga di puncak Go-bi-san selama tiga hari tiga
malam, kesudahannya tiada satu pun yang bisa menangkan
lawannya. Iblis itu she Siangkoan dan bernama Thian-ya, asalnya
adalah begal besar kaum Lok-lim (dunia penjahat), semenjak
pertandingan itu, iblis ini mendadak lenyap tak berbekas entah
bersembunyi ke mana. Kini demi mendengar ucapan Ciamtai Biatbeng tadi, teranglah Siangkoan Thian-ya telah mengasingkan diri ke
Mongol dan Ciamtai Biat-beng ini adalah muridnya.
Karena tertarik, sebenarnya Cia Thian-hoa hendak berhenti
bertempur, tetapi demi mendengar kata orang yang terakhir bahwa
"sama-sama membela majikan", seketika ia menjadi murka lagi,
segera ia mainkan pedangnya terlebih cepat hingga ibaratnya hujan
maupun angin tak bisa tembus, ia menyerang sekaligus menjaga
diri dan sebaliknya.
Namun Ciamtai Biat-beng itu ternyata tidak kalah lihainya, gerak
sepasang gaetannya sukar diraba, dalam sekejap pertarungan
mereka sudah berlangsung ratusan jurus, namun masih belum
tertampak siapa yang bakal menang atau kalah.Pahala dan Murka - 1 24
"Sayang Simouy (adik perempuan keempat, maksudnya adik
seperguruan) tidak disini, kalau dua pedang bersatu padu, tiga
orang Ciamtai Biat-beng juga akan mampus di bawah pedangku
ini," demikian pikir Cia Thian-hoa dengan gegetun.
Selanjutnya Ciamtai Biat-beng balas merangsak, beruntun
menyerang tiga kali, tetapi selangkah pun Cia Thian-hoa tidak mau
mengalah, kontan ia balas empat kali tusukan.
Keadaan tetap sama kuat dan sukar diakhiri, sekonyongkonyong Ciamtai Biat-beng bergelak tertawa lagi sambil melompat
keluar kalangan pertempuran.
"Bagaimana kataku? Kita sudah sama-sama mengeluarkan
seluruh kemahiran dan tetap belum bisa menang, tidakkah lebih
baik berhenti saja!"
Akan tetapi Cia Thian-hoa tidak mau terima usulnya.
"Urusan hari ini, antara patriot dan pengkhianat tidak mungkin
berdiri sejajar, boleh berhenti kalau sudah ada yang binasa!"
damperatnya gusar.
Karena jawaban ini, Ciamtai Biat-beng rada naik darah juga, ia
ayun gaetannya hingga Cia Thian-hoa didesak mundur.
"Sialan! Orang bermaksud baik disangka jahat, kedatanganku
justru hendak menolongmu, tahu?" bentak Ciamtai Biat-beng
dengan mendongkol.
Namun Cia Thian-hoa tak berani mengendurkan senjatanya,
pedang menangkis, segera ia balas menyerang.
"Beribu sungai dan gunung hampir kami lalui, kini sudah tiba
sampai di sini, ada bahaya apakah perlu pertolonganmu? Jika
engkau bersedia putar haluan dan kembali ke jalan yang benar,
maka lekas kau letakkan senjatamu dan ikut pergi bersama kami."Pahala dan Murka - 1 25
Ciamtai Biat-beng tertawa dingin.
"Kau ini sungguh tidak kenal mana yang busuk dan mana yang
baik, aku mendapat titah Thio-caisiang (perdana menteri) untuk
membujukmu kembali ke sana," dengan suara lantang ia
menjelaskan, "Tetapi kalau kau berkeras hendak kembali ke
Tionggoan, mungkin sebelum tiba di Gan-bun-koan kalian sudah
akan tertimpa malapetaka yang tak terduga!"
Ucapan ini membikin Cia Thian-hoa tambah murka, dengan
cepat pedangnya menyerang pula sembari mendamperat, "Kau
keparat, berani kau permainkan aku!"
Keruan dampratan ini membikin Ciamtai Biat-beng naih darah
juga.
"Baiklah, jika kau sendiri yang mencari kematian maka jangan
sesalkan diriku."
Tanpa bersuara lagi dengan menggertak gigi Cia Thian-hoa
menghujani lawan pula dengan serangan yang lebih hebat. Ciam-tai
Biat-beng juga tidak buka suara, ia pun putar gaetannya, ia
patahkan setiap serangan lawan, dengan demikian pertempuran
berjalan ratusan jurus pula, namun keadaan tetap sama kuat.
Tengah pertarungan berlangsung dengan seru, tiba-tiba
terdengar Ciamtai Biat-beng bersuit, habis itu ia bikin gerak pura

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pura, lalu membalik tubuh terus kabur. Kedua panglima muda tadi
pun segera melompat keluar kalangan terus menyusul kabur.
Sebaliknya Cia Thian-hoa dan Tiau-im Hwesio juga sudah kalap,
mana mereka mau melepaskan lawan, segera mereka mengejar.
Hanya sekejap saja mereka menyusur lembah dan melintasi
bukit. Cia Thian-hoa lebih bisa berpikir, tiba-tiba ia sangsi. Pikirnya,
"Orang ini sedikit pun belum ada tanda akan kalah, mengapa
mendadak kabur? Jangan-jangan ini hanya tipu muslihatnya? In-Pahala dan Murka - 1 26
taijin tertinggal di belakang sana tanpa penjaga yang kuat, sekalikali jangan sampai dikibuli dia!"
Karena pikiran ini, selagi ia hendak panggil Suhengnya buat
putar balik, sekonyong-konyong dilihatnya Ciamtai Biat-beng terjun
ke dalam jurang, keruan ia terkejut karena jurang itu sedikitnya ada
belasan tombak dalamnya, sedangkan di bawah jurang penuh batu
karang yang aneh dan berbahaya, dengan menerjun ke bawah apa
bukan cari mampus sendiri? Perbuatan lawan itu betul-betul di luar
dugaannya!
Belum sempat Cia Thian-hoa berpikir lain, sudah dilihatnya
Ciamtai Biat-beng yang terapung di udara telah menekuk tubuh
terus memancal, berbareng itu ia lemparkan seutas tali yang
ujungnya berkaitan tajam, kaitan ini menggantol pada pohon
cemara tua di seberang sana, menyusul mana tubuhnya lantas
melayang ke sana, seperti anak bermain bandulan saja ia mengayun
ke seberang.
Keadaan tebing ini curam dan berbahaya sekali, di sini dua
puncak tebing berjarak belasan tombak jauhnya, betapa tinggi
ginkang atau ilmu entengi tubuh seorang pun tidak nanti sauggup
melayang lewat begitu saja.
Tak tersangka Ciamtai Biat-beng dapat menggunakan cara tadi
untuk menyeberang ke puncak sebelah sana, dari sini kalau
melompa turun ke sana lagi kemudian membelok akai sampai di
tempat In Ceng berada bersama keretanya tadi.
Keruan bukan main kaget Cia Thian-hoa ia tahu bila harus putar
kembali melalui jalan datangnya tadi, setiba di tempat kereta pasti
In Ceng sudah kedahuluan dicelakai orang. Akan tetapi jurang
begitu lebar, tidak mungkin ia mampu melayang ke seberang, ke
mana lagi kalau tidak putar balik melalui jalan semula?Pahala dan Murka - 1 27
Keadaan sudah telanjur, mau-tak-mau ia harus putar balik
secepatnya, ia sudah ambi keputusan akan gempur Ciamtai Biatbeng mati-matian untuk membalas sakit hati In Ceng Dengan mandi
keringat dingin saking kuatirnya dan dengan susah payah akhirnya
Cia Thian-boa tiba kembali di tempat kereta tadi, dilihatnya Ciamtai
Biat-beng sudah berdiri di depan kereta, sedang In Ceng tertampak
berdiri di atas kereta, kedua orang muka berhadapan muka. Kedua
gaetan Ciamtai Biat-beng tergantung di pinggang, mukanya
mengunjuk senyuman sepeiti sedang meminta dengan sangat
dengan suaranya yang rendah, sebaliknya In Ceng tampak
membentak dengan bengis, ketika Cia Thian-hoa datang mendekat,
didengarnya In Ceng sedang mendamperat.
"Ngaco-belo!" demikian orang tua itu marah-marah. "Aku dan
Thio Cong-ciu sudah dendam sedalam lautan, jika hendak kau
bunuh boleh bunuh saja diriku, tidak nanti aku sudi kembali ke sana
dan berlindung di bawahnya!"
Mendengar makian ini, Cia Thian-hoa terheran-heran,
sementara itu dilihatnya Ciam-tai Biat-beug telah menoleh dan
tersenyum padanya.
"Sudah kausaksikan sendiri, bukan? Kalau aku mau ambil jiwa
In-loji (si tua In) adalah semudah seperti membaliki tanganku
sendiri, tidak nanti kutunggu sampai kaukembali ke sini?" kata
Ciamtai Biat-beng, habis itu ia bicara pula pada In Ceng, "In-loji, aku
telah memberi nasihat sebisanya, soal mati?hidup, celaka atau
bahagia, semuanya bergantung pada keputusanmu sendiri."
Mendengar ini In Ceng tambah murka hingga alis jenggotnya
bergerak-gerak.
"Apa kauminta aku kembali ke sana buat angon kuda dua puluh
tahun lagi bagi Thio taijin kalian?" ia menyindir.Pahala dan Murka - 1 28
Ciamtai Biat-beng bergelak tertawa.
"Justru lantaran Thio-taijin mengingat dirimu sudah angon kuda
selama dua puluh tahun tanpa tekuk lutut, maka dia menghormati
dirimu dan ingin kau kembali ke sana!" ia menerangkan dengan
sungguh-sungguh.
Tetapi penjelasan ini ternyata membikin In Ceng tambah murka
lagi.
"Thio Cong-ciu manusia pengkhianat, hina dan rendah, aku In
Ceng berhati setia bersih, siapa yang sudi dihormati dia?" ia
mencaci pula.
"Hm, ternyata tidak salah apa yang Thio-taijin katakan bahwa
kau hanya setia secara ngawur, tiada harganya diajak berembuk
urusan besar," tiba-tiba Ciamtai Biat-beng mengejek. "Ia pun sudah
menduga bahwa tidak nanti kau mau kembali, tetapi engkau
dipandangnya sebagai jantan juga, ia tidak tega berpeluk tangan
melihat kau antar kematian, oleh karena itu aku diperintahkan
menyusul kemari, tetapi sayang kau sia-siakan maksud baiknya."
Keruan saja In Ceng lebih naik darah, saking gusarnya hingga ia
gemetar sambil memegangi dinding kereta.
"Hm, bermaksud menolong aku?" kembali ia mendamperat.
"Aku In Ceng sudah menggembala kuda selama dua puluh tahun,
bila kini tubuhku bisa terkubur di tanah air sendiri, matipun aku
rela. Kau sudah mengejar sampai sini, kalau mau bunuh boleh
bunuh, di sini sudah bumi Tiongkok, darahku bisa menyirami
kampung halaman sendiri, apalagi yang perlu kusesalkan?"
"Siapa yang hendak membunuhmu? yang bermaksud
membunuh kau bukanlah kami," sahut Ciamtai Biat-beng dengan
gusar, lama-lama ia mendongkol juga.Pahala dan Murka - 1 29
"Kau sudah bunuh Teng-ji, kini sengaja kaudatang lagi
membikin marah padaku?" bentak In Ceng pula dengan
menggertak gigi saking gemasnya, tubuhnya gemetar dan
sempoyongan hingga hampir jatuh terjungkal dari keretanya,
namun Ciamtai Biat-beng keburu memapahnya.
"Putramu bukan dibunuh kami," panglima Mongol ini raasih
berusaha menjelaskan. "Bila kuceritakan belum tentu kau mau
percaya, silakan ikut kembali menemui Thio-taijin, tentu segalanya
akan menjadi jelas."
Namun In Ceng masih tetap ngotot, malah meludahi orang
dengan riak yang kental. tetapi dengan sedikit mengegos Ciamtay
Biat-beng bisa menghindarkan ludah orang.
"Bukan dibunuh oleh kalian? Hm. Apa mungkin orang-orang itu
adalah prajurit Beng ?" damperat In Ceng pula.
"Mereka adalah bawahan perdana menteri kami," sahut Ciamtai
Biat-beng dengan tersenyum getir, "Perdana menteri atau wakil
perdarudtei menteri serupa saja, semuanya juga musuh kini aku
berada dalam cengkeramanmu, lekas kaubunuh saja dan tidak perlu
banyak omong lagi," kembali In Ceng memaki.
Cia Thian-hoa yang ikut mendengarkan sejak tadi pun merasa
Ciamtai Biat-beng agak keterlaluan, sudah terang dia adalah
panglima perang kerajaan Watze, pasukan Watze telah membunuh
orang, kini ia malah menghina ayah orang yang dibunuhnya,
apalagi ayah orang yang dibunuh ini sudah menderita lahir batin
selama dua puluh tahun.
Pembicaraan kedua orang makin lama makin tegang, akhirnya
Ciamtai Biat-beng merangkap kedua kepalannya memberi hormat,
"In-taijin," serunya dengan lantang, ''apa yang ingin kukatakan
sudah habis, mau menurut atau tidak terserah padamu."Pahala dan Murka - 1 30
Saking gusarnya In Ceng tak sanggup bicara lagi, ia hanya
meniup kumis jenggotnya dengan napas yang tersengal.
Menyaksikan keadaan demikian, Cia Thian-hoa menjadi gusar.
"Mendesak orang tua yang tak bertenaga terhitung orang gagah
macam apa. Kalau berani, marilah kita bergebrak lagi tiga atau lima
ratus jurus," ia menantang orang.
Namun Ciamtai Biat-beng tidak menggubrisnya, dengan suara
berat ia berkata lagi, "Kalau begitu, baiklah aku berlalu saja. Thiocai-siang menyesal engkau telah disiksa untuk mengangon kuda
selama dua puluh tahun, ia merasa tidak enak sekali. Ia pun sudah
menduga tak nanti engkau mau kembali, oleh sebab itu ia suruh aku
memberikan tiga buah kimlong (kantung sulaman) padamu,
hendaknya kau turuti akal yang tersebut dalam kantung dan
mungkin jiwamu bisa diselamatkan. Kau Thio-caisiang, tiga buah
kimlong ini hitung-hitung sebagai balas jasamu yang telah
mengangon kuda selama dua puluh tahun."
Habis bicara ia mengayun tangannya terus membalik tubuh dan
melangkah pergi.
Selagi Cia Thian-hoa rada tercengang oleh kejadian itu,
sementara itu Ciamtai Biat-beng lantas lewat di sampingnya,
berbareng itu telah dengar suara gedebukan, In Geng jatuh roboh di
atas kereta.
Tanpa ayal lagi Cia Thian-hoa menghamburkan lima buah "Cungo-toat-hun-teng" paku penyamber nyawa, sekaligus ia mengarah
lima jalan darah maut.
Akan tetapi Ciamtai Biat-beng ternyata tidak gampang dibokong,
tanpa menoleh ia putar sepasang gaetannya, terdengarlah suara
gemerincing yang riuh, habis itu terdengar pula ia tertawa dingin,Pahala dan Murka - 1 31
kemudian bayangannya lantas menghilang di antara batu padas
besar dari pepohonan sana.
Dengan menghamburkan paku maut tadi Cia Thian-hoa
memang tidak yakin akan bisa merobohkan lawan, tetapi dilihatnva
orang dengan gampang saja hanya sekali sampuk tanpa menoleh
dapat menyapa jatuh semua pakunya, mau-tak-mau ia jadi terkejut.
Ketika ia berlari cepat mendekati kereta, ia lihat dengan kempaskempis dan muka merah padam In Ceng menggeletak di dalam
kereta, lekas Thian-hoa mengurut dan memijit dada orang tua ini,
sejenak kemudian terdengarlah kerongkongan orang tua ini
berbunyi dan memuntahkan riak yang kental.
"Ahh, bikin aku mati marah saja!" teriak In Ceng.
Lalu orang tua int pelahan duduk kembali, Cia Thian-hoa
mengerti orang saking marahnya hingga riak menyumbat
tenggorokan dan napas sesak, tetapi badannya tiada terluka, maka
ia merasa lega. Selagi ia hendak menghibur orang tua itu, tiba-tiba
terdengar suara teriakan Tiau-im Hwesio, dengan menyeret
tongkatnya hwesio ini berlari datang dengan cepat dari balik bukit
sana.
Kembali Thian-hoa terkejut nampak keadaan Suhengnya.
"Suheng, mengapa kau?" tanyanya cepat.
"Samte (adik ketiga), aku telah membikin malu perguruan kita!"
sahut Tiau-im dengan mendongkol. "Selama masih hidup, kalau
tidak kuhantam Ciamtai Biat-beng itu tiga ratus kali tongkatku, rasa
hatiku tidak akan puas!"
Cia Thian-hoa kenal watak Suhengnya yang keras dan
berangasan, maka ia menariknya berduduk, lalu bertanya, "Suheng,
ada apa boleh katakan saja nanti. Dengan saudara kita berempat,
jangankan hanya Ciamtai Biat-beng seorang, seandainya si iblis tuaPahala dan Murka - 1 32
Siangkoan datang sendiri, sakit hati ini pun tetap kita tuntut."
Dalam pada itu Tiau-im Hwesio telah minum seceguk air, kemudian
dengan penuh mendongkol ia bertutur, "Tadinya aku mengikuti
jahanam ini hendak mencelakai In-taijin, maka aku berusaha lekas
kembali ke sini, namun kedua bangsat cilik itu mengerubuti diriku
terus menerus, kalau hari biasa kedua bangs cilik ini tentu tidak
kupandang sebelah mata tetapi kini beruntun aku sudah mengalami
dua kali pertempuran, tenagaku sudah banyak berkurang, terpaksa
kutempur mereka sambil bergerak mundur, namun mereka terus
mendesakku. Setelah berlangsung lagi ratusan jurus, saking tak
sabar aku serang mereka dengan pukulan berbahaya, dengan
demikian aku sedikit di atas angin, tetapi baru saja aku hampir
berhasil, tiba-tiba jahanam Ciamtai Biat-beng muncul kembali. Aku
mengira dia sudah membikin celaka In-taijin maka segera
kukemplang dia dengan tongkatku, tapi kedua gaetannya terus
mengacip hingga tongkatku tertarik ke samping, berbareng itu
dengan akal bulus ia menjegal aku hingga jatuh tersungkur,
kemudian ia tambahi pula sekali tamparan padaku, ia mendamperat
aku sebagai hwesio dogol dan macam-macam lagi. Habis
mendamperat ia bawa kedua bangsat cilik tadi dan kabur. Kita
sudah berkecimpung selama dua puluh tahun di dunia kangouw,
kapan pernah dihina orang sedemikian rupa, coba apa tidak
menggemaskan?"
Dengan ceritanya yang panjang lebar si hwesio kasar ini berhenti
sejenak, mendadak pandangannya tertarik oleh sesuatu, ia berteriak
lagi. "He, bagaimana ini? Sudah kau labrak dia atau tidak? Mengapa
In-taijin tak kurang suatu apa pun, sebaliknya di atas tanah sini
terdapat tiga buah kimlong (kantong sulaman) yang indah ?"
Sambil berseru hwesio ini memungut ketiga kimlong indah itu,
terdengar pula ia memuji, "Bagus sekali, kantung bersulam gambar
unta. Eh, bukankah ini sulaman bangsa Mongol ? Ini barang milikPahala dan Murka - 1 33
siapa?' "Barang busuk milik orang busuk pula, robek dan lempar
saja" kata In Ceng tiba-tiba dengan gusar.
Tiau-im hwesio melenggong bingung, tetapi segera ia menurut,
dengan kuat ia hendak merobek kantung bersulam itu.
Tetapi perbuatannya tidak terlaksana, mendadak ia rasakan
tangannya kesakitan, tahu-tahu ketiga kantung itu direbut Cia
Thian-hoa Keruan Tiau-im terheran-heran atas kelakuan Sutenya
ini, katanya, "Sute, kau ......"
"In-taijin, biarlah kita lihat apa isi kantung ini", demikian Cia
Thian-hoa berkata kepada In Ceng. "Jika nanti isinya ternyata
memang benar omong kosong belaka baru kita robek dan buang
saja."
Cia thian-hoa bicara demikian disebabkan karena hatinya
merasa sangsi, ia tidak mengerti "mengapa Ciamtai Biat-beng yang
ilmu silatnya begitu tinggi ternyata tidak bermaksud mencelakai In
Ceng, lalu apa maksud tujuan kedatangannya ini? Apa memang
betul ia hendak "Menolong orang?" Tetapi mengapa ia sendiri
bersedia mengabdi pada negeri asing dan selama ini membantu
Thio Cong-ciu menyiksa In Ceng? Lagi pula Gan-bun-koan sudah
didepan mata, kalau sudah menginjak bumi Tiongkok, siapa lagi
yang hendak mencelakai In Ceng? Apa ini bukan omong kosong
belaka? Tapi bila kedatangannya dari jauh perlunya hanya untuk
berdusta saja, hal ini pun tidak mungkin, apalagi meski lagaknya
sombong, namun jelas ia sengaja mengalah juga, kalau tidak
mengapa Suheng bisa selamat jiwanya, semua ini sungguh sukar
dimengerti."
Begitulah kalau dalam hati Cia Thian-hoa penuh tanda tanya,
adalah pada waktu itu In Ceng telah menerima kantung sulam tadi,
dengan sinar mata yang penuh kebencian ia memandangnya, pada
luar kantung sulam yang pertama ia lihat tertulis "segera dibuka".Pahala dan Murka - 1 34
Dengan mendongkol segera In Ceng robek kantung itu, ia
keluarkan surat yang terisi di dalamnya, surat itu tertulis:
Saat ini juga segera kembali ke Mongol dan mungkin masih bisa
selamat, Ciamtai-ciangkun tinggal di Gohun, ia bisa memberi
bantuan.
Habis membaca, In Geng robek surat itu terus dibuang ke tanah.
Melihat alis jenggot orang tua ini bergerak-gerak dan wajah
muram, Cia Thian-hoa tak berani bertanya.
"Akal mujarab kantung sulam apa segala. bukankah tetap omong


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kosong belaka?" demikian In Ceng berkata dengan gemas sambil
memandang robekan kertas surat yang bertebaran jatuh ke bawah.
Kemudian ia ambil kantung kedua, ia lihat diluarnya tertulis:
"Dibuka setelah sampai di tempat berjarak tujuh li dari Gan-bunkoan".
"Justeru aku tidak mau turut pada katamu!" ujar In Ceng dengan
penasaran.
Ia robek dengan kuat, dari dalam kantung dikeluarkannya
secarik surat yang tertulis:
Waktunya sudah mendesak, saat ini dari Gan-bun-koan tentu
ada orang datang menyambut dirimu, jika pemimpin pasukan yang
datang menyambut bukan Ciu Kian Congpeng hendaknya segera
melarikan diri, biarkan Cia Thian-hoa dan Tiau-im yang mengawal
di belakang, dengan demikian mungkin kepulanganmu masih bisa
diselamatkan.
Congpeng (komandan militer kota) dari Gan-bun-koan, Ciu
Kian, yang disebut dalam surat itu adalah kawan karib In Geng
sesama kampung halaman, yang salu belajar bun atau sastra danPahala dan Murka - 1 35
yang lain belajar bu atau militer atau silat, keduanya sama-sama
terpilih pada waktu diadakan ujian negara, meski berlainan jurusan.
Usaha In Ceng hendak menolong ayahnya kali ini secara diamdiam banyak mendapat bantuan Giu Kian, sebelum rencana
menolong ayahnya itu dijalankan lebih dulu In Ceng sudah kirim
berita kepada Ciu Kian agar pembesar ini melaporkan pada
pemerintah, sepanjang jalan juga dikirim penghubung.
Karena itu, maka dalam hati In Ceng berpikir, "Mana bisa Ciu
Kian tidak menyambut kepulanganku ini? Kesetiaanku dapat
dibandingkan So Bu, jauh-jauh kupulang dari negeri asing,
seumpama kaisar tidak mendirikan tugu peringatan bagi jasaku,
sedikitnya akan mendapat kedudukan yang setimpal. Sungguh tidak
masuk diakal tipu muslihat musuh yang hendak memecah belah
ini!". Segera ia robek pula surat itu hingga hancur lebur.
Cia Thian-hoa melirik dari samping, sekilas ia lihat dalam surat
itu seperti tercantum namanya juga, ia menjadi heran. "Apa yang
dikatakan dalam surat itu?" tanyanya.
"Apalagi kalau bukan bohong belaka" sahut Iri Ceng dengan
gemas, "Cuma si dorna itu sungguh lihai juga, mereka seperti lebih
dulu sudah tahu akan kedatangan kalian berdua ke tanah asing sana
dan hendak menolong aku. Anehnya mengapa mereka tidak
mengadakan penjagaan?"
Thian-hoa berkerut kening, ia merasa heran juga, ia menunduk
dan berpikir, tambah besar rasa sangsinya.
Sementara itu In Ceng sudah ambil kantung sulam ketiga, selagi
ia hendak merobek pula, tiba-tiba tidak jadi.
Mendadak Cia Thian-hoa berseru kaget.Pahala dan Murka - 1 36
Kiranya diluar kantung itu tertulis. "Surat ini diaturkan untuk
dibuka oleh Cia Thian-hoa", Dengan dingin In Ceng meliriknya
sekejap, dalam hati timbul rasa curiga juga.
Thian-hoa sudah lama berkelana di dunia Kangouw, ia cukup
kenal tabiat manusia, melihat sikap orang tua itu, segera ia tahu
orang lagi merasa curiga.
"Dorna itu memang banyak tipu muslihatnya, In-taijin silakan
membukanya lagi, coba lihat apa yang dikatakannya?" ucapnya
kemudian dengan tersenyum.
Dengan agak ragu akhirnya In Ceng merobek kimlong itu, ia
membukanya pelahan dan melolos kertas surat di dalamnya, lalu
dengan suara pelahan ia membacanya; Saat ini tentu In-taijin sudah
tertangkap, di dalam kantung ini masih terdapat sebutir lilin,
hendaknya simpan baik-baik butiran lilin ini, sekali-kali jangan
dibuka, lekas menuju ke kotaraja dan menemui Ih Kiam untuk
mengadukan Ong Cin, bisa tertolong atau tidak nyawa In-taijin
bergantung pada tugasmu ini.
Habis membaca, In Ceng menjengek, saking gusarnya ia robek
pula kertas surat itu hingga hancur.
"Bohong besar, ngaco-belo! Aku In Ceng adalah pembesar setia
sejati, mustahil akan ditangkap?" damperatnya murka.
Berbareng itu ia lemparkan pula kantung sulam yang
dipegangnya.
Lekas Cia Thian-hoa jemput kantung sulam itu, ia coba merogoh
kantung itu, betul juga ia temukan sebutir lilin di dalamnya, segera
ia masukkan ke saku sendiri.
Melihat perbuatan orang, tiba-tiba air muka In Ceng berubah.Pahala dan Murka - 1 37
"Biar kusimpan dulu barang mainan ini, toh tidak banyak makan
tempat, untuk mainan pun boleh," cepat Cia Thian-hoa menjelaskan
maksudnya.
Akan tetapi In Ceng masih menjengek lagi, "Benda itu memang
ditujukan untukmu, hendak kausimpan boleh sesukamu. Aku In
Ceng sudah tidak bisa hidup bersama si dorna itu, sekalipun aku
harus mati dengan mayat tercencang juga tidak perlu
pertolongannya."
Begitulah, kereta lantas dilarikan pula dibawah sinar bulan
purnama, meski masih jauh dari Gan-bun-koan, tetapi suara-suara
tiupan terompet pasukan penjaga kerajaan Beng di tapal batas itu
sayup-sayup sudah terdengar.
Mendengar suara terompet, semangat In Ceng mendadak
bergelora, meski sudah jauh jalan yang ditempuh, semalam suntuk
tidak tidur lagi, namun sedikitpun tidak nampak letih pada
wajahnya. Bahkan orang tua ini lantas menengadah dan bersyair.
"Besok aku bisa berdandan pula dengan tangan memegang ?suciat? dan menghadap Sri Baginda," ujarnya kemudian.
"Dengan jiwa kepatriotan Taijin yang jarang ada selama
berabad-abad, betapa Sri Baginda akan menghargai Taijin tetap
belum setimpal bagi jasa Taijin," kata Cia Thian-hoa.
"Itu sudah menjadi kewajibanku sebagai pejabat, mana berani
kuharapkan balas jasa dari pemerintah," ujar In Ceng pula dengan
tersenyum.
Setelah berhenti sejenak, tiba-tiba ia bertanya, "Pada waktu aku
berangkat keluar negeri, saat itu tahun kesepuluh kaisar Eng Lok,
tetapi kini sudah lewat dua puluh tahun, kaisar pun sudah berganti
tiga kali, urusan pemerintahan yang sekarang aku sama sekali tak
tahu, entah siapakah yang memimpin pemerintahan?"Pahala dan Murka - 1 38
"Yang berkuasa ialah Ong Cin," tutur Thian-hoa.
Teringat pada apa yang dibacanya dalam kantung sulam tadi,
tiba-tiba ia berkata, "Kalau begitu Thian telah melindungi kerajaan
kita. Ong Cin ini tentu seorang pembesar setia dan Ih Kiam pasti
menteri dorna,"
Dalam pada itu Tiau-im Hwesio telah melarikan kudanya
menyusul dari belakang dan beriring disamping kereta, ketika
mendengar apa yang dikatakan In Ceng itu mendadak ia ketok
tongkatnya yang besar itu ke tanah.
"Taijin keliru," tiba-tiba ia berseru, "Ong Cin itu justru adalah
pembesar dorna, bilamana ia kepergok olehku, biar dia rasakan
tongkatku ini!"
"Apa katamu? Dia pembesar dorna?" tanya In Ceng dengan
heran, ia tidak percaya. "Mana bisa jadi, apabila dia seorang kan-sin
(pembesar dorna), mengapa musuh menghasut agar Ih Kiam tampil
ke muka untuk mengadukannya."
"Rupanya Taijin tidak mengerti bahwa Ong Cin ini adalah
seorang dayang dorna," Cia Thian-hoa ikut memperkuat ucapan
Suhengnya.
"Apa? Maksudmu dia seorang Thaykam (dayang kebiri)?" tanya
In Ceng dengan heran.
"Ya, betul," sahut Thian-hoa. "Kabarnya orang ini pernah
bersekolah di kampung asalnya dan pernah ujian, bahkan pernah
menjadi bupati, belakangan karena sesuatu kesalahan mestinya ia
dibuang ke tempat jauh, tetapi kebetulan kaisar memberi
pengampunan umum, sehingga akhirnya ia masuk istana dan
menjadi thaykam, kemudian ia diberi tugas melayani putra
mahkota bersekolah, yakni yang naik tahta kini, pada waktu kaisar
yang dulu mangkat dan putra mahkota naik tahta, Ong Cin pun naikPahala dan Murka - 1 39
pangkat menjadi thaykam penata usaha, ia mengurus semua
laporan dinas luar dan dalam, karenanya dia banyak bersekongkol
dengan pembesar-pembesar berkuasa dalam pemerintahan, main
kuasa dan terima sogok, belum ada tiga tahun, kebencian rakyat
padanya sudah merasuk tulang. Kali ini Taijin pulang ke kotaraja
juga perlu waspada padanya."
Demi mendengar keterangan ini. In Ceng jadi terkejut, namun
juga sangsi, setengah percaya dan setengah curiga.
"Sebaliknya Ih Kiam yang menjabat sebagai menteri militer
(menteri pertahanan) kabarnya sangat bijaksana dan bersih,"
demikian Cia Thiau-hoa menambahkan dengan tertawa.
In Ceng menjadi bungkam, dalam hati ia sedang berpikir, "Kedua
orang ini tidak lebih hanya pemberani dari kalangan kangouw saja,
apa yang mereka katakan belum tentu dapat dipercaya sepenuhnya,
biarlah setiba kembali di kotaraja nanti akan kuselidiki sejelasnya."
(Bersambung Jilid ke 2)Pahala dan Murka - 2 0Pahala dan Murka - 2 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 2
EMUDIAN terpikir lagi oleh In Ceng, "Mungkin apa yang
dikatakan kedua orang ini betul, tapi semua ini pasti juga
perangkap yang sengaja dipasang oleh Thio Cong-ciu
supaya aku mau percaya apa yang dikatakannya, di dalam hal ini
pasti terkandung iutrik tertentu."
Dalam pada itu In Lui tengah tidur dengan nyenyak di dalam
kereta, melihat parasnya yang merah apel, tanpa terasa In Ceng
menghela napas bila teringat satelah anak dara ini dewasa kelak
masih harus jauh-jauh menuju ke negeri asing di utara untuk
membalaskan sakit hatinya.
Tetapi dalam sekejap penderitaannya selama dua puluh tahun di
negeri bersalju terbayang pula, kembali hati dibakar ran dendam
hingga mengatasi rasa kasihannya terhadap In Lui,
Begitulah pikirannya timbul tenggelan sepanjang jalan, selang
tak lama tanpa terasi ia pun terpulas.
Waktu mendusin, hari sudah pagi, panji pasukan di Gan-bunkoan sudah tertampak jelas dari jauh.
"Di sini adalah Jit-li-poh, jarak ke Gan-bun-koan hanya Jit-li
(tujuh li) saja," demikian Tiau-im Hwesio menerangkan. "Di depan
sana terdapat pos penjagaan dari Gan-bun-koan yang memeriksa
barang bawaan orarg berlalu lalang."
Mendengar keterangan itu sekonyong-konyong In Ceng
melompat bangun, ia singkap kerai kereta dan bertanya, "Sudahkah
kelihatan Giu-congpeng datang?"Pahala dan Murka - 2 2
"Thian-hoa Sute sudah melaporkan ke dalam benteng sana,
tetapi belum ada kabar bahwa Ciu-congpeng hendak datang," sahut
Tiau-im Hwesio.
In Geng tertegun, ia menjadi geli sendiri.
"Ya, aku jadi dibikin bingung oleh kantung sulam setan itu,"
gumamnya, "Dengan sendirinya Ciu-congpeng tidak mengetahui
hari ini aku akan pulang, tetapi setelah dilaporkan tentu ia akan
datang menyambut."
Ia lantas memerintahkan keretanya berhenti menunggu di depan
pos penjagaan itu.
Pribadi Cia Thian-hoa memang pemberani, tetapi juga cermat,
melapor lebih dulu ke Gan-bun-koan bukan lain adalah buah
pikirannya.
Congpcng atau komandan militer Gan-bun-koan, Ciu Kian,
pernah juga beberapa kali Cia Thian-hoa menjumpainya, ia kenal
pejabat militer ini bukan saja sahabat karib In Ceng, bahkan berjiwa
besar dan bersemangat pahlawan, meski dia adalah pembesar
negeri, tetapi tiada bedanya dengan orang-orang gagah di dunia
Kangouw.
Perjalanan hanya tujuh li saja sebentar pun sudah sampai, Thianhoa melihat keadaan di atas benteng Gan-bun-koan biasa saja dan
tiada tanda-tanda yang mencurigakan, ia disambut oleh perwira
piket yang pernah beberapa kali menerimanya dahulu dan disilakan
masuk. Melihat keadaan demikian, hati Thian-hoa rada lega juga.
Diam-diam ia mentertawai Ciamtai Biat-beng sengaja membikin
cemas orang, padahal selama Ciu Kian masih bertugas di benteng
ini, siapa yang berani membikin susah In Ceng?Pahala dan Murka - 2 3
Sesudah disambut masuk ke dalam pendopo dan disuguh teh,
perwira piket berkata padanya, "Segera Congpeng-taijin akan
keluar, harap Cia-hiapsu menunggu sebentar."
Tanpa ragu Thian-hoa minum teh yang disuguhkan itu sambil
melepaskan jubah luarnya. Selagi ia menanti, sekonyong-konyong
dirasakan kepalanya pusing dan mata berkunang-kunang. Diamdiam ia mengeluh dan segera melolos pedang, akan tetapi perwira
tadi keburu mendahului merebut pedangnya, dari luar pendopo
segera pula dilempar masuk dua tali penyandung sehingga ia jatuh
keserimpet.
Lwekang Cia Thian-hoa sangat tinggi, meski terperangkap,
namun ia belum terbius seluruhnya, ia meronta dan berusaha
bangun, tapi seluruh badan tak bertenaga lagi, kepala dirasakan
puyeng dan ingin tidur, kelopak mata rasanya sukar dipentang,
diam diam ia kumpulkan tenaga dalamnya, ia berusaha melawan
rasa kantuk, namun dalam keadaan sadar tak sadar ia merasa
dirinya digotong pergi. Tak lama kemudian terdengar pula pintu
terkunci, rupanya ia sudah ditutup orang dalam sebuah kamar yang
gelap.
Dalam air teh yang diminumnya tadi ternyata dicampur dengan
obat tidur, jika orang biasa yang minum obat tidur semacam itu
pasti seketika akan roboh, namun Cia Thian-hoa adalah jago
gemblengan luar-dalam, sebisanya ia mengerahkan tenaga dalam
buat melawan serangan obat tidur itu, ia coba pertahankan
pikirannya agar tetap sadar.
Keadaan demikian entah sudah berselang berapa lama, tiba-tiba
terdengar pintu kamar dibuka orang, seorang menongolkan
kepalanya, waktu Thian-hoa mengamati, siapa lagi dia kalau bukan
Ciu Kian, Congpeng Gan-bun-koan.Pahala dan Murka - 2 4
Serentak Thian-hoa melompat bangun, sekuat tenaga ia hantam
dengan telapak tangan ke batok kepala orang.
"He, inilah aku!" Ciu Kian berseru sambil menangkis. Tenaga Cia
Thian-hoa belum pulih, karena tangkisan itu ia sendiri terhuyunghuyung mundur, kepala un menumbuk dinding keruan ia tambah
murka.
"Bagus! Tahu orangnya, tahu mukanya tapi tak tahu hatinya!
Congpeng-taijin, sungguh hebat sekali perbuatanmu yang rendah
ini!" teriak Thian-hoa.
Namun Ciu Kian lantas memburu maju dan pegang tangannya
sambil berbisik padanya, "Urusan sudah mendesak, lekas
kauminum obat penawar ini, mari kita segera pergi menolong Intaijin. Pedangmu sudah kubawakan, lekas kita berangkat!"
Sudah tentu Thian-hoa menjadi bingung.
"Apa katamu? Apa maksudmu sebenarnya?" serunya tak
mengerti.
Dalam kamar yang gelap itu tertampak sinar mata Ciu Kian
gemerdep dengan angker.
"Manusia macam apakah aku Ciu Kian ini, masa belum kau
ketahui?" desis Ciu Kian dengan suara tertahan. "Urusan sudah
terlalu mendesak, ada apa-apa boleh dibicarakan nanti saja, lekas


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kau ikut aku pergi."
Tanpa kuasa Cia Thian-hoa membuka mulut dan telan obat yang
dijejalkan ke mulutnya oleh Ciu Kian.
Memangnya benak Cia Thian-hoa masih sadar, kini ditambah
minum obat penawar pula, keruan dalam sekejap rasa kantuknya
tadi lenyap seluruhnya, segera ia terima pedang yang diangsurkan
Ciu Kian terus melompat keluar dari kamar tahanan itu.Pahala dan Murka - 2 5
Dalam pada itu terompet berbunyi di luar Gan-bun-koan, terlihat
perwira piket yang membius Cia Thian-hoa tadi muncul dan
bermaksud merintangi.
"Ciu-taijin, hendaklah kau pikirkan masak-masak, jangan
kaubikin susah hari depanmu sendiri!" demikian ia berteriak.
Namun Ciu Kian tidak menjawab, sesudah dekat mendadak ia
melompat maju, ia ayun pedangnya, sekali serang ia tabas tubuh
perwira itu menjadi dua potong, sesudah itu ia merebut dua ekor
kuda, bersama Cia Thian-hoa segera mereka menerjang keluar
markas militer itu, meski di luar benteng terdapat pula tidak sedikit
prajurit dan perwira, tetapi tiada seorang pun berani
merintanginya.
"Mereka sedang bertempur di Jit-li-poh sana, mari kita ambil
jalan kecil menuju ke sana." seru Ciu Kian dengan cambuknya
menuding kc depan, ia penuli bersemangat dan tampak gagah sekali
di atas kudanya meski usianya sudah lanjut.
Segera mereka larikan kuda ke jalan kecil di lereng bukit, di jalan
raya sementara itu sudah banyak kereta dan kuda yang lalu-lintas,
terdengar pula suara teriakan agar Ciu-cong-peng hendaklah
kembali. Namun Ciu Kian tidak menggubris seruan itu.
Kembali pada rombongan In Ceng, sesudah lama menanti di
depan pos penjagaan di Jit-li-poh, ia jadi mendongkol melihat orang
belum lagi datang menyambutnya.
Tiba-tiba dilihatnya di depan debu mengepul tinggi, belasan
penunggang kuda terlihat memburu datang, tidak antara lama
pintu pos penjagaan itu lantas terpentang, pembesar penjaga
menyambut keluar dengan hormat.
In Ceng dapat melihat dengan jelas bahwa di antara belasan
penunggang kuda dari Gan-bun-koan yang hendak menyambutPahala dan Murka - 2 6
dirinya itu ternyata tidak terdapat Ciu Kian, tentu saja dalam hati ia
kurang senang, namun ia menahan perasaannya, ia tetap bersikap
biasa, dengan tangan memegang "su-ciat" ia melangkah masuk ke
dalam pos jaga.
Di dalam pos penjagaan itu tersedia meja, enam belas prajurit
pengawal berbaris di kedua samping, dari tengah ruangan dua
orang "kim-ce" atau utusan kaisar dengan pakaian lengkap keluar
menyambutnya.
Melihat utusan kaisar, In Ceng merasa girang sekali, pikirnya,
"Kiranya Sri Baginda yang bijaksana masih ingat pada kesetiaanku
selama dua puluh tahun, maka kini mengirimkan utusannya
menyambutku di tapal batas sini."
Saking girangnya dan selagi ia hendak mengucapkan kata
sambutan, namun mendadak air muka Kim-ce yang keluar itu
berubah kereng dan membentak, "Pembesar khianat In Ceng, lekas
berlutut menerima titah Sri Baginda!"
Bukan main kejut In Ceng. Dengan tangan masih memegang "suciat", dengan suara gemetar ia coba membela diri.
"In Ceng bertugas keluar negeri, selama dua puluh tahun
mengangon kuda di tanah asing sana, bingga kini masih
mempertahankan tanda kesetiaan ini, aku merasa tak berdosa,
maka tak berani kuterima titah ini!"
Akan tetapi sebelum selesai bicaranya mendadak ia didorong
roboh ke lantai, lalu didengarnya salah seorang Kim-ce tadi
membuka surat perintah dan dibacakan dengan suara keras.
"Pembesar berdosa In Ceng, Siante (mendiang kaisar yang
dahulu) memberi segenap kepercayaan dan menugaskannya ke
negeri Watsu, namun bukannya membalas budi kepercayaan itu
sebaliknya malah bekerja pada musuh dan melupakan tanah airPahala dan Murka - 2 7
sendiri, Hari ini diam-diam dia pulang sendiri dengan maksud
bersekongkol dari dalam, dosa ini tidak dapat diampuni, sebenarnya
harus dihukum mati di depan umum, tetapi mengingat dia adalah
pembesar tua sejak kaisar yang dulu, maka hukuman diberi
keringanan dan memperkenankan dia minum obat untuk
membunuh diri."
Setelah mendengar amanat itu, tidak kepalang rasa kaget In
Ceng, dalam pada itu seorang prajurit pengawal telah menyerahkan
padanya sebuah botol kecil, di dalamnya berisi air obat yang
berwarna merah tua.
"Tertuduh In Ceng mengapa tidak lekas mengaturkan terima
kasih dan terima perintah?" terdengar prajurit itu berseru.
Seketika In Geng merasa batok kepalanya seperti kpna
dikemplang, ia terkejut, dongkol, gugup dan gusar pula, mendadak
ia samber botol tadi dari tangan si prajurit sambil berseru, "Coba
perlihatkan amanat itu padaku, aku tidak percaya hal ini betul-betul
terjadi?! Tentu palsu!"
Kim-ce tadi tertawa mengejek.
"Hm, besar sekali nyalimu, masa surat amanat raja boleh
sembarangan diperlihatkan kepadamu?" damperatnya kemudian.
Akan tetapi belum lenyap suaranya men dadak terdengar suara
gemuruh, kedua daun pintu yang setengah tertutup sekonyongkonyong mencelat terbang, menyusul seorang Hwesio kasar dengan
memegang tongkat besar secepat angin menerjang masuk.
"Peduli dia tulen atau palsu, bunuh saja semuanya!" demikian
Hwesio ini membentak.
Sementara itu keen imbelas prajurit pengawal tadi berusaha
melawan, tapi mana bisa menahannya, si hwesio memukul ke kiri
dan mengemplang ke kanan, di mana tongkatnya tiba, di situ segeraPahala dan Murka - 2 8
gunung runtuh dan batu pecah, asal tersentuh sedikitnya terluka
bila tidak mampus.
Saking takutnya muka kedua Kim-ce tadi
menjadi pucat, kaki mereka pun menjadi lemas dan gemetar,
Dalam pada itu si hwesio sudah menerjang sampai di tengah
ruangan, sekali ia ulur tangan kiri, segera salah seorang kim-ce itu
kena dicengkeram dan diangkat seperti elang menyambar anak
ayam saja.
"In-taijin berusaha mati-matian lari pulang dari negeri musuh,
tetapi kalian malah hendak mencelakai jiwanya, apakah sebabnya!"
demikian si hwesio mendamperat.
Habis itu, dengan sekali ketuk, ia hantamkan tongkatnya pada
kepala orang terus dilemparkan, keruan kepala kim-ce itu pecah
dan otaknya berantakan dan mampus di lantai.
Melihat kejadian mengerikan ini, mungkin saking bingungnya,
kim-ce yang lain berteriak-teriak. "Berontak, main berontak! Berani
sama kim-ce, apa hukumannya?"
Si hwesio tertawa terbahak, ia ulur tangannya dan kembali
diangkatnya kim-ce itu.
"Orang semacam kau ini, berapakah harganya sekati sebagai
kim-ce?" damperatnya lagi.
Ia tancapkan tongkatnya ke lantai, lalu
dengan kedua tangannya ia pegang kedua kaki orang terus
dibeset, kontan kim-ce sial ini terobek mentah-mentah menjadi dua.
Sementara itu para prajurit pengawal tadi beramai-ramai telah
kabur keluar dan meniup nafiri (sejenis terompet panjang), di
dalam rumah jaga mayat bergelimpangan dan tertinggal si hwesio
dan In Ceng berdua saja.Pahala dan Murka - 2 9
In Ceng terbelalak dan melongo, ia merasa seperti habis mimpi
buruk, ia tidak jelas apa yang terjadi di depan mata ini apakah betulbetul atau cuma khayal belaka.
"Perlihatkan surat amanat itu kepadaku!" serunya mendadak
sesudah menenangkan diri dan ketika melihat Tiau-im sedang
mendekatinya.
"Masih hendak lihat surat amanat apa segala, lekas ikut
berangkat saja," jengek Tiau-im.
Akan tetapi In Ceng lantas duduk bersila ke lantai.
"Perlihatkan surat itu padaku," katanya dengan tegas sekata
demi sekata.
Rupanya Tiau-im rada mendongkol juga, ia mendelik, tapi tidak
urung ia samber surat
amanat tadi dari atas meja terus dilemparkan kepada In Ceng.
"Baiklah, lekas baca, lekas!" serunya lagi. Sungguh ia tidak
mengerti akan kekukuhan orang yang luar biasa itu.
In Ceng buka surat amanat raja itu dan dibaca, mendadak
mukanya menjadi pucat laksana mayat, kiranya stempel pada surat
amanat dan kualitas kertas surat memang biasa dipergunakan
kaisar, semuanya ternyata tulen adanya.
In Ceng masih ingat ketika Beng-seng-co merebut tahta dulu,
pernah kaisar ini merebut cap kerajaan dari tangan thaykam yang
mengawasi benda kebesaran tersebur, tetapi thaykam itu
membanting cap kemala itu ke lantai sehingga cap tersebut gumpil
sebelah ujungnya, kemudian meski dipanggilkan tukang pandai
untuk menambalnya kembali, tetap keadaannya tidak sama seperti
aslinya. In Ceng masih kenal benar cap di atas surat amanat ini jelasPahala dan Murka - 2 10
kelihatan adalah cap yang gumpil itu, sekali-sekali hal ini tidak
mungkin dipalsukan.
"Sudah cukup melihatnya?" terdengar Tiau-im hwesio berseru
puda, agaknya ia tak sabar lagi.
Namun In Ceng tidak menggubrisnya,
matanya menatap ke depan.
Sekejap itu sekonyong-konyong penderitaan selama dua puluh
tahun di tanah asing laksana kilat berkelebat dalam benaknya. Akan
tetapi penderitaan itu kalau dibandingkan penderitaan yang kini ia
rasakan, hakikatnya masih belum apa-apa.
Hendaknya diketahui bahwa In Ceng bisa bertahan menderita
selama dua puluh tahun, sebabnya tiada lain hanya karena rasa
setianya kepada raja, ia penuh keyakinan bahwa dengan berhasilnya
lari kembali ke tanah air, pemerintah pasti akan memberi ganjaran
dan memuji jasanya itu, siapa tahu sebaliknya kaisar malah
menitahkan memberi hukuman mati padanya.
Kejadian ini seperti seorang yang sudah menaruh kepercayaan
dan memuja dengan segenap perasaannya serta menaruh
pengharapan yang besar, tetapi mendadak terbukti bahwa orang
yang selama ini dipujanya justru orang yang hendak
membunuhnya, rasa sakit dan putus asa semacam ini agaknya tiada
sesuatu lain yang bisa melebihinya di dunia ini.
Begitulah ketika Tiau-im berulang memanggil In Ceng, namun
tetap tiada jawaban, ia menjadi heran dan curiga.
Tiba-tiba terlihat In Ceng berdiri pelahan, batang bambu "suciat" yang sudah berdampingan selama dua puluh tahun dengan dia
di tanah bersalju itu dia tekuk sekuatnya, segera terdengar suara
"krak", bambu itu patah menjadi dua potong.Pahala dan Murka - 2 11
Dalam sekejap itu hati In Ceng terasa hampa belaka, jiwa raga
seperti beku, segalanya dirasakan seperti kosong, arti hidup yang
sebenarnya sudah lenyap, dunia ini seperti sudah terbang
meninggalkan dia. Tubuhnya rada gemetar, tiba-tiba ujung kakinya
tersentuh botol perak di lantai tadi, tanpa ayal segera In Ceng
berjongkok, disambarnya botol itu, dengan sekali tenggak ia
habiskan obat racun dalam botol itu.
Melihat perbuatan orang, Tiau-im Hwesio terkejut.
"Apa yang kaulakukan??? teriaknya kuatir dan memburu maju.
Akan tetapi sudah terlambat, In Ceng sudah roboh, dari mata,
hidung, mulut dan kupingnya telah keluar darah, nyata orang tua
ini sudah mati minum racun.
Memang obat racun dalam botol perak tadi adalah racun paling
jahat yang disebut "Ho-teng-ang" (jengger merak), cukup minum
setetes saja sudah bisa bikin jiwa melayang, apalagi menenggak
habis sebotol.
Melihat keadaan luar biasa ini, seketika Tiau-im hwesio
terkesima, dalam pada itu didengarnya di luar terjadi keributan,
suara orang bertempur, suara beradunya senjata, bahkan terdengar
pula terselip suara tangisan In Lui.
Kiranya kereta keledai mereka yang berhenti di luar pos jaga ini,
mungkin prajurit pengawal tadi mengepung kereta itu sehingga
telah bergebrak dengan kedua muridnya
Tanpa ayal segera Tiau-im Hwesio menerjang keluar, dengan
meraung keras, tongkatnya yang besar kasar berputar cepat, tetapi
secara beramai-ramai para prajurit itu membagi diri sebagian
untuk mencegatnya. Namun sekali ayun tongkatnya, segera Tiauim Hw lio membuat senjata kawanan prajurit sama terpental, hanya
sekejap saja ia sudah menerjang sampai di depan kereta.Pahala dan Murka - 2 12
Tanpa buang waktu lagi ia gendong In Lui yang masih tertinggal
di dalam kereta itu,
"Jangan takut, jangan takut!' ia menimang sembari tepuk-tepuk
dara cilik itu. Habis itu ia putar balik dan menerjang musuh lagi.
Dengan menggemblok dalam rangkulan Tiau-im, In Lui tidak
menangis lagi, sebaliknya anak dara cilik ini malah pentang lebar
kedua bola matanya yang hitam besar dan menyaksikan orang
bertempur.
Tiau-im Hwesio bersama kedua muridnya tadi masih terus
menerjang, mereka dapat merebut kuda dan dikaburkan dengan
cepat, ketika pasukan pengejar Gan-bun-koan memburu tiba,
segera mereka dihujani anak panah.
Tiau-im Hwesio bersama murid iya memutar senjata masingmasing dengan cepat untuk melindungi tubuh mereka, lantaran
inilah mereka rada lamban, maka lambat-laun pasukan pengejar itu
semakin lama semakin dekat.
"Celaka!" mau-tak-mau Tiau-im Hwesio mengeluh juga dalam
hati.
Kalau hanya dia sendiri, dengan tongkatnya itu tidak nanti ia
gentar meski dalam kepungan beribu prajurit itu, akan tetapi kini ia
menggendong In Lui, bagaimana pun ia harus memikirkan
keselamatan anak dara ini.
Selagi keadaan bertambah genting, sekonyong-konyong di
antara suara mendesir, dua anak panah bertenaga kuat menyambar
tiba, kedua murid Tiau-im Hwesio berbareng terjungkal dari kuda
mereka, ternyata tenggorokan masing-masing sudah tertembus
oleh anak panah dan tewas secara ngeri.Pahala dan Murka - 2 13
Tiau im menjadi murka, ia meraung keras, tongkat berputar
secepat angin, mendadak ia putar balik kudanya ke jurusan musuh
yang mengejar.
Kiranya ia berpikir, "Bagaimanapun nanti akan binasa juga, biar
kubunuh beberapa orang musuh dahulu."
Namun ketika sekilas melihat bola mata In Lui yang bundar besar
terbelalak, entah karena ketakutan atau bingung, Tiau-im menghela
napas gegetun.
Pada saat itulah sekonyong-konyong sebatang anak panah
menyambar datang lagi dan terbentur ujung tongkatnya dan
menerbitkan suara nyaring, dari suara benturan yang gemerincing
keras ini dapat diduga pemanah itu pasti bukan orang
sembarangan.
Dalam keadaan genting karena pasukan pengejar sudah dekat di
belakangnya, mendadak formasi pasukan pemerintah itu menjadi
kacau, hujan panah pun sekonyong-konyong berhenti, menyusul
terlihat dari dalam pasukan pengejar itu menerjang keluar dua


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

orang, satu di antaranya ialah Cia Thian-hoa, sedang seorang lagi
ialah Congpeng Gan-bun-koan, Ciu Kian.
Girang sekali Tiau-im melihat kedatangan kedua orang ini, tetapi
ia pun sangsi dan hampir tidak percaya atas penglihatannya sendiri!
Dilam pada itu seorang perwira pasukan pemerintah itu tiba-tiba
maju mencegat, tanpa ragu lagi segera Cia Thian-hoa menyerang
lebih dulu, dengan tipu "tiang-coa-cut-tong" atau ular panjang
keluar dari liang, pedangnya menusuk dengan cepat.
Akan tetapi dengan gerakan "teng-li-cong-sin" atau
sembunyikan diri ke bawah pelana, perwira itu tenyata mampu
menghindarkan diri, namun secara susul-menyusul kembali CiaPahala dan Murka - 2 14
Thian-hoa kirim tiga kali serangan yang lebih hebat dan ganas,
keruan perwira itu menjadi kerepotan.
"Oh-ciangkun, biasanya tidak jelek aku memperlakukanmu,
maka kini kuminta balas budi darimu!" demikian Ciu Kian
berteriak.
Perwira itu diam saja, mendadak ia putar kudanya, para prajurit
yang dipimpinnya juga pura-pura berteriak-teriak saja seperti
sedang mengejar, padahal tiada seorang pun yang betul-betul
mencegatnya.
Melihat keadaan ini, Ciu Kiah tak bisa menguasai perasaannya
lagi, ia memandang sekejap anak buahnya yang sudah sekian lama
sama-sama merasakan manis-pahit, air mata pun menetes, segera
ia terjang keluar kepungan dan menggabungkan diri dengan Tiauim Hvvesio terus kabur menuju ke utara.
Musim dingin di daerah utara, angkasa penuh awan, meski
sudah dekat lohor, namun sang surya belum lagi menongol,
keadaan cuaca mendung gelap.
Dalam keadaan demikian C.ia Thian-hoa bertiga melarikan kuda
mereka dengan cepat memasuki "daerah tanpa penduduk" di luar
Gan-bun-koan itu.
Sambil melarikan kudanya di antara lereng, lereng bukit,
memandang sekelilingnya yang su. nyi senyap, tanpa terasa Ciu
Kian mencucurkan air mata.
Sementara itu dari Tiau-im, Cia Thian-hoa sudah mengetahui
cara bagaimana In Ceng menghabisi nyawa sendiri dengan minum
arak racun setelah mematahkan "su-ciat" yang selama ini meniadi
benda kebanggaan orang tua ini, maka Thian-hoa tahu Ciu Kian
tentu lagi berduka mengenang sahabat karibnya ini.Pahala dan Murka - 2 15
Teringat pula bekas pembesar ini hendak menolong kawan,
untuk itu tidak sayang mengorbankan kedudukannya sendiri dan
memberontak, mau-tak-mau ia pun sangat terharu.
"Ciu-congpeng, keadaan sudah telanjur begini, sekarang kita
harus memikirkan cara bagaimana membalalas dendam kelak," ia
coba menghibur orang tua ini. "Cuma sayang Ciu-congpeng harus
tersangkut juga dalam perkara ini."
Ciu Kian tersenyum getir.
"Sebelum ini aku sudah bukan Congpeng lagi," sahutnya
kemudian. "Setengah bulan yang lalu aku sudah mendapat perintah
dipindahkan ke lain tempat, hanya karena Congpeng yang baru
belum datang, maka untuk sementara aku masih tinggal dalam
benteng, Oh-ciangkun tadi justru ialah pejabat Cong-peng
sekarang."
Keterangan ini membuat hati Cia Thian-hoa penuh diliputi tanda
tanya.
"Ciu-congpeng sudah banyak berjasa, mengapa mendadak
dipindahkan dari pos penting ini?" tanyanya tak tahan. "Sedang Intaijin yang setia tanpa kenal derita, mengapa pula mendadak
dihadiahi dengan hukuman mati."
Ciu Kian tidak menjawab pertanyaan orang, ia hanya
menggeleng kepala saja.
"Urusan pemerintah (politik), lebih baik jangan kau tanya,"
sahutnya kemudian dengan menghela napas panjang sambil
menengadah.
Ia merandek sejenak, akhirnya tak tahan juga dan berkata pula,
"Kini para menteri dorna berkuasa, yang mendapat kedudukan
hanya orang kepercayaannya. Aku bukan orang kepercayaan Ong
Cin, dengan sendirinya ia berdaya upaya memindahkan posPahala dan Murka - 2 16
tugasku, mengenai sebab apa pemerintah menghukum mati In
Ceng, sebab musabab ini aku sendiri tidik jelas. Cuma kaisar
sekarang masih terlalu muda, semua kekuasaan terkumpul di
tangan Ong Cin, maksud membunuh In Ceng tentu datangnya dari
Ong Cin juga."
Mendengar keterangan ini, Cia Thian-hoa terdiam, ia sedang
pikir.
"Itu Thio Cong-ciu dari negeri Watze apa pernah bertempur
dengan Ciu-congpeng?" tiba-tiba ia tanya.
"Apa kaumaksudkan pengkhianat itu?" kata Ciu Kian. "Sepuluh
tahun yang lalu pernah ia pimpin pasukan asing menyerbu ke sini
dua kali, kemudian karena kedua pihak berdamai, lalu tidak pernah
datang lagi."
"Tampaknya dia tahu jelas setiap gerak-gerik pemerintah kita,
jangan-jangan dia bersekongkol dengan pembesar kerajaan kita,"
demikian Thian-hoa tanya lagi.
Ciu Kian memandangnya sekejap.
"Dari mana kutahu, kalau tidak kaukatakan aku hampir lupa
juga," sahutnya kemudian. "Ong Cin dan perdana menteri negeri
Watze, Tofan, memang ada hubungan pribadi yang erat sekali,
kabarnya dengan Thio Cong-ciu pun sering berhubungan."
Cia Thian-hoa tambah sangsi, segera ia merogoh keluar bola lilin
yang dia simpan itu ia pecahkan lilin itu dan mengeluarkan secarik
kertas terus dibaca bersama Ciu Kian.
Surat itu ternyata tulisan tangan Ong Cin yang ditujukan kepada
Tofan dan Thio Cong-ciu berdua, dalam surat itu dirundingkan
penukaran bahan besi dari Tiongkok dengan kuda bagus dari
Mongol.Pahala dan Murka - 2 17
"Monggolia kekurangan bahan besi, kalau tiada besi tidak nanti
mereka bisa membuat senjata, bahkan panah saja tak mampu bikin,
dengan adanya pertukaran semacam ini akan sama dengan
membantu musuh?" Cia Thian-hoa menyesal atas kecerobohan
pejabat-pejabat tinggi itu.
"Ya, ada lagi yang hampir kulupakan, tiga hari yang lalu kedua
kim-ce itu sudah tiba di sini, malahan ada utusan dari Mongol yang
juga bertemu dengan mereka," tutur Ciu Kian. "Aku sangat curiga
bahwa terbunuhnya In Ceng justru adalah maksud Tofan dan Thio
Cong ciu."
"Tetapi kalau begitu, apa maksud Thio Gong-ciu memerintahkan
Ciamtai Biat-beng menghantarkan bola lilin ini?" ujar Cia Thianhoa. Habis itu lantas diceritakannya kisah pengalamannya, Kemudian
meski mereka menduga-duga lagi, namun tetap tidak dapat
menarik kesimpulan. "Mana jahanam Thio Cong-ciu itu mempunyai
hati baik?" ujar Ciu kian yang tidak percaya pada musuh ini, "Kalau
teringat pada siksaan dan perbudakan yang dilakukan terhadap In
Ceng selama dua puluh tahun ini sungguh aku menyesal tidak bisa
membunuhnya segera!"
"Yaya, yaya di mana'?!" tiba-tiba terdengar In Lui berteriak,
"Yaya suruh aku membunuh orang, kalian juga hendak membunuh
orang. Ah, aku takut, aku takut!"
"Membunuh orang jahat tidak perlu merasa takut," demikian
dengan suara pelahan Cia Thian-hoa menimangnya sembari
membelai rambutnya.
Mendadak ia melompat turun dari kudanya dan berkata kepada
Tiau-im Hwesio. "Boleh kauserahkan anak dara ini kepada Simoay
(adik keempat), aku akan berangkat ke Mongol lagi."Pahala dan Murka - 2 18
"Ada apa ke sana?" tanya Tiau-im heran.
"Bunuh Thio Cong-ciu!" sahut Thian-hoa tegas.
"Betul, harus begitu!" seru Tiau-im sambil mengetukkan
tongkatnya. "Sesudah kaubunuh Thio Cong-ciu, kelak anak dara ini
tidak perlu lagi membunuh orang. Baiklah, kita membagi tugas,
yang satu memelihara anak piatu ini dan yang lain balas sakit hati.
Sepuluh tahun lagi kita berjumpa kembali di Gan-bun-koan!"
ooOoo
Sang tempo berlalu dengan cepat, dalam sekejap saja sepuluh
tahun sudah lampau. Tahun ini adalah tahun ketiga belas kaisar
Ceng Tong dinasti Beng.
Keadaan selama sepuluh tahun nyata sudah banyak berubah, di
antara daerah seluas ratusan hektar di luar Gan-bun-koan, meski
masih sering terdengar suara ringkik kuda, namun Ciu Kian, itu
Congpeng dari Gan-bun-koan sepuluh tahun yang lalu, lambat-laun
sudah dilupakan orang. Sedang kisah In Ceng, itu pembesar utusan
raja yang baru pulang dari negeri asing lantas tewas secara
penasaran di benteng terpencil ini lebih-lebih tidak diperhatikan
siapa pun.
Hanya saja dalam beberapa tahun ini, di luar Gan-bun-koan
sebaliknya bercokol segerombolan kaum Lok-lim atau kawanan
berandal yang banyak membikin gempar.
Kawanan Lok-lim ini ternyata lain daripada yang lain, mereka
bercokol di daerah seluas ratusan li di luar Gan-bun-koan yang
dikenal sebagai "daerah tak bertuan" itu, mereka menggempur
prajurit asing, tetapi juga melawan tentara kerajaan Beng, walau
jumlah mereka tidak terlalu banyak, namun secara tak resmi telah
merupakan "kekuatan ketiga" di antara "dua besar" kerajaan BengPahala dan Murka - 2 19
dan Watze. Kedua-duanya, baik kerajaan Beng maupun Watze tiada
yang berani coba mengusik kawanan Lok-lim ini.
Tingkah laku kawanan Lok-lim ini pun menyendiri, mereka tidak
hidup dari merampok atau merampas kafilah yang lewat, tetapi
mereka malah bercocok tanam menyuburkan "daerah tak
berpenduduk" itu.
Kadangkala mereka pun turun gunung melakukan perampasan,
tetapi yang diincar selalu harta benda yang tidak halal dari pejabat
kotor dan pembesar korup.
Kawanan Lok-lim ini memakai panji pengenal "Jit-goat-ki", panji
bintang dan matahari, pemimpin gerombolan ini kabarnya adalah
seorang tua yang berjidat lebar dan bermata besar, orang luar tiada
yang mengetahui namanya. Pada waktu mereka bertempur
melawan pasukan pemerintah, tiap-tiap kali ia memakai topeng,
karena ia menggunakan ?Kim-to? atau golok emas, oleh karena itu
dalam arsip pemerintah ia disebut sebagai "Kim-to-lo-jat" atau si
penjahat tua bergolok emas.
Ada lagi sifat "Kim-to-lo-jat" ini yang aneh, meski ia bemusuhan
dengan pasukan pemerintah, tetapi selamanya ia tidak merampas
ransum yang dikirim untuk prajurit di Gan-bun-koan, lagipula tiap
kali bertempur dengan pasukan pemerintah, walaupun menang
tidak lantas mengejar untuk membunuh lebih banyak.
Pada musim semi tahun ini Peng-po atau kementerian
pertahanan telah mengirim sepasukan tentara mengawal rangsum
untuk Gan-bun-koan, perwira yang mengawal ini bernama Pui
Keng.
Catu tentara yang dikawalnya ini adalah gaji tentara sebesar
empat ratus ribu tahil perak, semuanya diangkut oleh seratus ekor
keledai terpilih, kecuali itu terdapat pula sepuluh keledai lainnyaPahala dan Murka - 2 20
yang mengangkat barang dagangan pribadi Teng Toa-ko, Congpeng
Gan-bun-koan yang sekarang. Prajurit yang mengawal seluruhnya
seratus orang, hal ini karena memang selama ini belum pernah
terjadi sesuatu alangan.
Bulan tiga dalam musim semi, jika di daerah Kanglam waktu itu
tetumbuhan menghijau permai dan burung beterbangan dengan
bebasnya tetapi di luar benteng tembok besar sebaliknya timbunan
salju masih belum cair, hawa dingin di musim semi masih sangat
terasa. Walaupun begitu, bagi pasukan pemerintah yang
menempuh jarak jauh itu masih dirasakan berkeringat juga.
Waktu itu hari sudah lewat lohor, sinar sang surya mulai serong
ke sebelah barat.
"Besok siang kita bisa tiba sampai di Gan-bun-koan," terdengar
Pui Keng berkata sambil menudingkan cambuk ke arah benteng
tujuan mereka. "Kali ini kita hanya berjumlah seratus orang pilihan
untuk mengawal barang penting ini, meski perjalanan jauh,
melewati gunung dan melintasi bukit, namun beruntung tidak
berkurang suatu apapun, kita harus merasa bersyukur."
"Kepandaian panah Pui-taijin, siapa di jagat ini yang tidak tahu,"
sahut kedua perwira pembantunya untuk mengumpak. "Sekalipun
dalam perjalanan ada sedikit gangguan kawanan penjahat kecil,
begitu mendengar Taijin sendiri yang mengawal, mana mereka
berani mengincar lagi!"
"Ah, mana!" kata Pui Keng sambil bergelak tertawa, ia senang
sekali atas umpakan kedua pembantunya.
Sebaliknya para prajurit yang mendengarnya diam-diam merasa
geli.Pahala dan Murka - 2 21
Sementara itu di tepi jalan raya yang dilalui pasukan tentara ini
terdapat sebuah kedai arak yang biasanya memang melayani kaum
saudagar yang lewat dan kehausan serta sekedar melepas lelah pula.
Rupanya karena umpakan tadi Pui Keng menjadi senang sekali
dan bermaksud traktir kedua perwira pembantunya itu,
"Perjalanan kali ini bisa selamat dan aman bukan melulu karena
tenagaku sendiri, kita sama-sama berjasa juga," katanya, Kini Ganbun-koan sudah dekat, tidak perlu terburu-buru lagi, marilah kita
mengaso dahulu. Biar kusuguh kalian secawan arak."
Habis itu ia mendahului melompat turun dari kudanya dan
masuk ke kedai arak disusul kedua perwira pembantunya.
Setelah Pui Keng habiskan beberapa cawan arak, sifatnya
menjadi makin temberang, tidak ada habisnya ia mengoceh tentang
kepandaian silatnya setinggi langit, katanya cara bagaimana ia
menaklukan sekawanan begal hanya dengan panahnya ketika ia
masih menjadi kepala opas di Tong-peng-hu.
Mendengar bualan Pui Keng itu, sudah tentu kedua perwira
pembantunya mengumpak lagi sehingga Pui Keng lupa daratan.
"Sayang Taijin sedang bertugas, kalau tidak gelar ujian tahun ini
tidak perlu diragukan lagi pasti akan jatuh di tangan Taijin,"
demikian salah seorang pembantunya menjilat.
Seorang lagi segera menimbrung juga, "Hari ini cuaca cerah,
hamba berharap Taijin suka perlihatkan kepandaian memanah
yang hebat, agar kami bisa bertambah pengalaman."
Pui Keng bergelak tertawa, ia tenggak araknya lagi, habis itu ia
ambil busur yang memang selalu menggemblok di pundaknva.
"Mari semua ikut aku!" ajaknya sambil mendahului keluar dari
kedai arak.Pahala dan Murka - 2 22
Ia lolos dua batang anak panah dan berkata lagi. "Lihatlah yang
jelas!"
Berbareng itu terdengarlah bunyi tali gen dewa, sebatang anak
panah dibidikkan ke angkasa, pada waktu panah pertama ini
hendak jatuh kembali ke bawah, menyusul Pui Keng lepaskan pula
anak panah yang kedua, dengan begitu kedua anak panah ini
bertemu di tengah jalan dan saling bentur, karenanya kedua panah
sama terpental dan jatuh ke bawah.
Menyaksikan demontrasi memanah yang hebat ini, sudah tentu
kedua perwira tadi bersorak memuji, bahkan para prajurit tadi
diam-diam harus mengakui juga bahwa komandannya memang
memiliki kemampuan dan tidak sembarang buka mulut.
Di tengah suara sorak-sorai yang ramai, tiba-tiba terdengar


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

suara derapan kaki kuda, dari jalan raya sana tertampak datang
seorang penunggang kuda, orang di atas kuda ternyata sedang
berseru memuji juga, "Panah bagus panah hebat!"
Ketika Pui Keng mengawasi, orang ini berdandan serupa Siucai
atau kaum sastrawan, pakai ikat kepala hijau dan bersikap ramah,
tetapi di punggungnya menyandang gendewa juga, kudanya kurus
kecil, sedang gandewanya pun jauh lebih kecil dari ukuran gendewa
umumnya, kalau dibandingkan gendewa baja Pui Keng yang kasar
besar berselisih terlebih jauh sekali.
Bisa jadi Siucai atau pelajar ini takut perjalanan kurang aman,
maka sengaja membawa gendewa untuk menambah
keberaniannya. Padahal busur yang tidak menarik ini lebih baik tak
usah dibawa-bawa, sebab jika betul-betul kepergok begal dengan
dandanannya saja segera orang tahu dia adalah anak pelajar yang
lemah.Pahala dan Murka - 2 23
Begitulah sesudah menambat kudanya pada batang pohon di
pinggir jalan, Siucai itu pun masuk ke kedai arak tadi.
Pui Keng pikir orang pun mempunyai gelar ujian, maka ia
mendahului memberi hormat dan menyapa, "Numpang tanya nama
Heng-tai (saudara) yang mulia, mengapa menempuh perjalanan
seorang diri, apa tidak takut perampok atau begal?"
"Siaute (adik, sebutan sendiri) she Beng bernama Ki," jawab sang
Siucai. "Congpeng Gan-bun-koan terhitung famili jauh Siaute,
karena tahun ini Siaute tidak lulus ujian, aku pun tidak sudi menjadi
guru di kampung sendiri, maka sengaja kukunjungi benteng
terpencil ini dengan harapan famili sudi menolong mencarikan
sesuatu pekerjaan di kantornya."
Mendengar penuturan ini, Pui Keng membatin, kiranya seorang
Siucai yang hendak membonceng cari pekerjaan.
"Kebetulan sekali," demikian ia lantas berkata, "famili saudara
Teng-congpeng justru adalah besan Peng-poh-siang-si (menteri
pertahanan) kami, kali ini aku mengawal catu tentara baginya,
berbareng juga membawa sedikit barang Teng-congpeng sendiri."
"Kalau begitu, sekali ini aku betul-betul telah bertemu dengan
orang agung," sahut siucai yang mengaku bernama Beng Ki itu.
"Karena kudengar di daerah ini banyak terdapat kawanan penjahat,
aku merasa takut maka aku . . . aku ...."
Sudah tentu Pui Keng dapat menangkap maksud orang, di bawah
pengaruh arak yang sudah cukup banyak mengalir masuk ke
perutnya, segera ia tepuk-tepuk dada.
"Hengtai bertemu denganku, mengapa takut lagi," serunya
sambil membusungkan dada. "Dengan busurku ini, sepanjang jalan
tiada sesuatu rintangan yang kualami, nyata kawanan penjahat
jauh-jauh sudah menyingkir lebih dulu, kalau Hengtai memangPahala dan Murka - 2 24
hendak menuju ke tempat pamili di Gan-bun-koan, maka kita
adalah kawan, marilah ikut bersama rombongan kami saja!"
Mendapat tawaran ini, air muka siucai itu menunjuk rasa girang,
berulang kali ia mengaturkan terima kasih, matanya juga
terbentang lebar memandang gendewa baja yang tersandang di
punggung Pui Keng itu.
Melihat kelakuan orang, kembali Pui Keng tertawa terbahakbahak.
"Gendewa baja ini bikinan khusus dengan ukuran yang
diperbesar, kalau tidak mempunyai tenaga antara lima ratus kati
jangan harap mampu pentang gendewa ini!" katanya dengan lagak
sombong.
"Hebat, hebat sekali!" berulang Beng Ki merendah.
Si Tangan Sakti 3 Lima Sekawan 12 Dalam Lorong Pencoleng Senopati Pamungkas 9

Cari Blog Ini