Ceritasilat Novel Online

Pahala Dan Murka 8

Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen Bagian 8


terus menabas, "trang", golok dan toya beradu, keduanya sama
tergetar mundur.
"Bagus, engkau memang tidak malu disebut jago nomor satu di
kotaraja!" seru Pit To-hoan.
Sekali putar, "wuttt", kembali tongkatnya menyabat.
Ujung golok Thio Hong-hu memapak toya lawan, sekali menutul,
dengan daya tolak toya lawan ia terus melompat ke atas, cahaya
golok berkelebat, langsung ia membacok dari atas.
Sungguh serangan yang lihai. Namun Pit To-hoan tidak menjadi
gugup, sekonyong konyong ia gunakan gerakan yang
mengagumkan, dengan kaki kanan menahan tanah, kaki kiri
terangkat ke atas dengan kepala mendoyong ke belakang, tabasan
golok lawan menyambar lewat di atas kepala.
Pada saat yang sama kaki kanan Pit To-hoan berganti
menendang ke atas sehingga golok Thio Hong-hu hampir mencelat
tertendang.
"Hah, Cin-sam-kai memang tidak bernama kosong!" puji Thio
Kong-hu.
Segera gaya serangannya berubah, sekaligus ia melancarkan
tabasan berantai tiga kali, serangan gencar ini mendesak Pit Tohoan terpaksa harus main mundur berulang.
Di sebelah sana Koan Ciong juga ludah mulai bertempur dengan
Thio Tan-hong.
Senjata Koan Ciong adalah ruyung tiga ruas, jurus serangannya
aneh, ia belum kenal Thio Tan-hong ini orang macam apa, maka dia
rada meremehkan lawan yang masih muda ini. Sekali ruyungnya
terangkat, dengan gerakan "Oh-liong-jiau-cu" atau naga hitamPahala dan Murka - 12 16
melingkar tiang, tanpa sungkan ruyungnya lantas menyabat dengan
harapan pedang lawan dapat dirampasnya.
Tan-hong mendengus, pedangnya berbalik memapak ke atas,
"sret", ujung ruyung musuh tegera tertabas putus sebagian,
berbareng ia menggeser ke samping, ia menyerang untuk kedua dan
ketiga kalinya secara berantai.
Keruan Koan Ciong lerkejut. Namun dia juga seorang jago kelas
tinggi, pada saat berbahaya mendadak ia pun mengeluarkan
gerakan menyerempet bahaya, dia tidak mundur sebaliknya
mendesak maju, mendadak ia menggunakan Kim-na-jiu-hoat, ilmu
menangkap dan memegang, untuk mencengkeram tangan musuh.
Cepat Tan-hong memutar balik pedangnya untuk menabas. Tapi
Koan Ciong sempat menarik ruyungnya dan menyabat pula ke
pinggang.
Tan-hong tidak mengalah selangkah pun, dengan gemulai ia
bergoyang ke kiri dan ke kanan sehingga serangan musuh mengenai
tempat kosong. Tanpa ayal ia menusuk lagi tiga kali.
Meski ruyung Koan Ciong lebih panjang tetap tidak mampu
menyentuh ujung baju Tan-hong, sebaliknya dia malah terdesak
mundur.
Sekali mendahului segera Tan-hong menyerang terlebih gencar,
tapi seketika tetap sukar membobol kepungan musuh.
Sementara itu pertempuran telah berubah menjadi kekacauan,
pasukan Kim-ih-wi sudah menyerbu ke perkampungan keluarga Pit
sehingga membikin panik semua penghuni.
Waktu Tan-hong memandang ke sana, tertampak Tiau-im
Hwesio dan Hoan Tiong sedang bertempur dengan sama kuat,
sedangkan Pit To-hoan tampak agak terdesak di bawah angin
menghadapi golok Thio Hong-hu.Pahala dan Murka - 12 17
Golok Thio Hong-hu terbuat dari baja murni, dalam hal senjata
dia sudah lebih beruntung, sedangkan kekuatan kedua orang
seimbang, namun Thio Hong-hu lebih muda dan kuat, ia putar
golok dengan cepat dan terus melancarkan serangan.
Pit To-lioan terdesak hingga terpaksa harus bertahan, ia putar
toyanya berjaga dengan rapat. Walaupun begitu, bila pertempuran
berlangsung lama tentu dia akan kewalahan.
Hanya Thio Hong-hu, Hoan Tiong dan Koan Ciong yang
bertempur satu lawan satu, selebihnya sudah terlibat dalam
pertempuran serabutan.
Waktu Tan-hong mengawasi lagi, dilihatnya berkat pedang
pusakanya In Lui berhasil' menabas kutung senjata kawanan Kimih-wi. dia melindungi Ciu San-bin dan lain-lain sembari bertempur
sambil mundur dan tampaknya sudah hampir sampai di depan
Tiau-im Hwesio.
Saat itu Hoan Tiong sedang menempur Tiau-im dengan sengit,
mendadak sinar hijau berkelebat, pedang In Lui secepat kilat
menusuk tiba dari depan.
Lekas Hoan Tiong menangkis dengan bandulnya. dengan
senjatanya yang berat itu Hoan Tiong mengira pedang lawan pasti
akan tergetar lepas. Siapa tahu mendadak sinar pedang berkelebat
lagi, cepat ia hendak menangkis pula, tapi bandul sebelah kiri
tertahan oleh tongkat Tiau-im sehingga sukar ditarik kembali.
Apa yang terjadi itu terlebih cepat untuk diceritakan, tahu-tahu
bahu Hoan Tiong sudah tertusuk pedang.
Sambil meraung murka, Hoan Tiong menyambitkan bandul kiri.
Serentak In Lui merasakan angin dahsyat menyambar tiba, cepat ia
mengegos, bandul itu terus menyambar ke sana dan "blang",
menghantam batu padas hingga kerikil berhamburan.Pahala dan Murka - 12 18
Pada kesempatan menyambitkan bandulnya, segera juga Hoan
Tiong melompat mundur.
Dari deru angin bandul musuh itu In Lui pun tahu kelihaian
musuh, ia tidak berani mengejar lagi, cepat bersama Tiau-im
menerjang keluar kepungan.
Kuda merahnya tiba-tiba berlari datang, segera In Lui
mencemplak ke atas kuda terus putar pedang dan mendahului
membuka jalan di depan.
Melihat In Lui sudah hampir lolos dari kepungan musuh, Tanhong sangat girang, semangatnya terbangkit, "sret-sret", dua kali
tabasan ia desak mundur lagi Koan Ciong, lalu teriaknya, "Paman
Pit, angkat kaki lekas!"
Tapi Pit To-hoan diam saja dan tetap bertempur dengan sengit,
seruan Tan-hong itu seperti tidak didengarnya,
Bekernyit kening Tan-hong, ia memandang lagi ke sana,
kelihatan In Lui sedang mendahului di depan diapit oleh Tiau-im di
kiri dari Ciok Cui-hong dan Ciu San-bin di kanan, di belakangnya
mengikut Hek Po-ceng dan lain-lain, tampaknya selekasnya mereka
akan menerjang keluar kepungan.
Tan-hong pikir inilah saatnya untuk pergi, mau tunggu kapan
lagi. Cepat ia berteriak pula, "Selama gunung tetap menghijau,
jangan takut tiada kayu bakar. Paman Pit, ayolah lekas terjang
keluar!"
Namun Pit To-hoan tetap tidak bersuara, sebaliknya ia putar
toyanya terlebih kencang.
Mendadak Tan-hong teringat kepada pembicaraan Pit To-hoan
dan Thio Hong-hu tadi, sebelum bertempur Thio Hong-hu telah
memancing dengan kata-kata kepada Pit To-hoan agar coba
menerobos lewat di bawah goloknya atau dengan lain perkataanPahala dan Murka - 12 19
bilamana Pit To-hoan tidak dapat mengalahkan Thio Hong-hu tentu
juga dia tidak mau lari.
Sebab itulah meski keadaannya sekarang terdesak di bawah
angin toh dia masih tetap memegang peraturan kangouw satu
lawan satu, jika tidak menyerah mengaku kalah, maka harus
berakhir dengan kematian.
Tan-hong merasa gelisah, pikirnya, "Dalam keadaan gawat
begini masakah masih mengutamakan kegagahan demikian?"
Tapi ia pun tahu watak Pit To-hoan, umpama dirinya
membantunya menggempur mundur musuh tentu juga dia tidak
mau angkat kaki.
Selagi serba salah, tiba-tiba terdengar suara seorang anak kecil
lagi berteriak, "Turunkan aku, ingin kuhajar kawanan bandit ini!"
Kiranya anggota keluarga Pit juga bertempur menghadapi
pasukan Kim-ih-wi, putra tunggal Pit To-hoan digendong oleh
seorang centing dan lagi meronta berusaha turun.
Tergerak pikiran Tan-hong, secepat terbang ia menerjang ke
sana, pedang berputar, kawanan Kim ih-wi sama terdesak mundur.
Sesudah dekat dongan centing keluarga Pit itu, sekonyong-konyong
ia rampas anak Pit To-hoan yang digendongnya. Tentu saja centing
itu menjerit kaget.
Tapi Tan-hong lantas berseru kepadanya, "Lekas kalian terjang
keluar!"
Mulut berucap, pedang bekerja, beberapa perajurit Kim-ih-wi
dibinasakannya, mendadak ia bersuit, kuda putih Ciau-ya-sai-cuma yang terkepung dan akan ditangkap musuh itu sedang
menerjang kian kemari, demi mendengar suitan sang majikan,
mendadak ia berjingkrak dan menerjang sehingga dua anggota
Kim-ih-wi terinjak roboh.Pahala dan Murka - 12 20
Mendadak Tan-hong melemparkan anak itu ke punggung kuda
sambil berseru, "Awas, duduk yang mantap!"
Meski usia anak itu baru tujuh atau delapan tahun, tapi nyalinya
besar, ia pegang tali kendali kuda itu dan membiarkan si kuda putih
membawanya lari.
Cepat Tan-hong sudah memburu lagi ke depan Pit To-hoan. Pada
saat itulah beberapa auggota Kim-ih-wi lagi berusaha menusuk
kuda putih dengan tombak, kuda putih meringkik dan si anak juga
berteriak-teriak.
Segera Tan-hong berseru, "Paman Pit, lekas lindungi anak!"
Berbareng pedangnya bekerja, "trang", tepat golok Thio Honghu di tangkisnya.
Pit To-hoan menghela napas, ia berlagak menyerang, tapi terus
berlari keluar kalangan. Segera ia menyambitkan tiga buah senjata
rahasia dan membinasakan bebepapa anggota Kim-ih-wi yang
berusaha menombak kuda putih itu, menyusul ia mencemplak ke
atas kuda dan merangkul erat anaknya.
Kuda putih itu meringkik lagi terus membedal ke depan secepat
terbang, hanya sekejap saja sudah menerjang keluar kepungan
musuh.
Thio Hong-hu menjadi gusar, golok berputar, waktu pedang
Tan-hong menangkis, hampir saja pedang tergetar terlepas.
Diam diam Tan-hong mengakui, "Orang ini memang tidak
bernama kosong, sungguh tidak malu disebut sebagai jago nomor
satu kotaraja."
Mendadak ia pun menabas. Diam-diam ia menggunakan tenaga
dalam, ujung pedang berputar, golok lawan terpapas sedikit.Pahala dan Murka - 12 21
Thio Hong-hu kaget, katanya dengan tertawa, ?'Huh, masakah
kutakut kepada pedang pusakamu? "
Sekali sampuk, kembali kedua senjata beradu, sekuatnya ia
memutar sehingga pedang Tan-hong sukar bergerak lagi.
Tan-hong juga bertambah semangat, serunya tertawa, "Bagus,
boleh kita ukur tenaga!"
Sekali menyentak dan berputar, pedang terlepas dari lengketan
golok lawan.
Tiba-tiba terdengar suara jepretan busur, menyusul kuda putih
meringkik panjang. Koan Ciong lantas berteriak, "Lekas kejar,
Toako, bangsat tua she Pit itu kabur!"
Seketika Thio Hong-hu sadar telah terjebak oleh akal Thio Tanhong yang ?gempur sini menolong sana?. Cepat ia putar goloknya
dan melompat keluar kalangan pertempuran Tan-hong menusuk
pula dengan pedangnya, tapi Thio Hong-hu lantas melancarkan
pukulan jarak jauh, angin pukulan yang dahsyat monyambar dada
Tan-hong dan membuatnya merasa panas pedas. Tentu saja Tanhong terkejut dan merandek.
Kesempatan itu digunakan Thio Hong-hu untuk merampas
seekor kuda dari anak buahnya terus dikebut untuk mengejar kuda
putih.
"Meski kudaku terkena panah, memangnya dapat kau susul dia?"
demikian Tan-hong mentertawakannya.
Tapi meski Pit To-hoan sudah lolos dari kepungan, ia sendiri
kembali terjeblos di tengah pasukan musuh.
Segera Hoan Tiong memapaknya dan menempurnya. Senjata
Hoan Tiong yang berbentuk bandulan bertangkai itu berbobot 80
kati lebih, pedang pusaka apa pun sukar menahasnya kutung,Pahala dan Murka - 12 22
ketambahan lagi kawanan Kim-ih-wi juga ikut mengerubut dari
samping, tentu saja Tan-hong sukar melepaskan diri.
Di sebelah sana rombongan In Lui sebenarnya sudah menerjang
keluar kepungan, tiba-tiba didengarnya suara teriakan di belakang,
waktu In Lui berpaling, dilihatnya Thio Tan-hong kini terkepung
dan sedang bertempur mati-matian.
Dengan sendirinya ia terkejut dan kuatir. "Sret", mendadak Koan
Ciong melepaskan panahnya, karena sedikit lengah, meski In Lui
sendiri tidak terkena, namun ia tidak keburu mcnyampuk dengan
pedangnya sehingga leher kuda terkena panah.
Kuda kesakitan dan melemparkan In Lui ke tanah, belum lagi
nona itu melompat bangun, kawanan Kim-ih-wi sudah membanjir
tiba, golok dan tombak serentak menyerangnya.
Dengan sebelah tangan menahan tanah, serentak In Lui
berputar, sinar pedang berkelebat, terdengar suara mendering
nyaring, beberapa golok dan tombak terpapas kutung.
Cepat In Lui melompat bangun. Pada saat itu Koan Ciong juga
memburu tiba dengan senjata ruyung tiga ruas terus menyabat
pinggang si nona.
Untuk menangkis sudah terlambat, terpaksa In Lui berjongkok
sehingga ruyung lawan menyambar lewat di atas kepala, "sret",
kontan ia balas menusuk sehingga Koan Ciong cepat melompat
mundur. Dan begitulah pertarungan seru kedua orang terus
berlangsung.
Sebenarnya kungfu kedua orang sembabat, cuma In Lui kalah
tenaga, setelah dua-tiga puluh jurus ia mulai mandi keringat dengan
napas terengah.Pahala dan Murka - 12 23
Koan Ciong bergelak teriawa, serangannya tambah gencar.
Belasan jago pengawal juga tersebar di sekelilingnya untuk menjaga
kalau In Lui melarikan diri.
Dalam pada itu Thio Tan-hong yang terkepung itu juga agak
kerepotan menghadapi Hoan Tiong ditambah anggota Kim-ih-wi
yang lain. Tiba-tiba dilihatnya In Lui jatuh ke bawah kuda, ia
menjadi kuatir, serentak ia berputar, pedang menangkis bandulan
Hoan Tiong, tangan lain terus mencengkeram seorang anggota
Kim-ih-wi terus diangkat dan digunakan sebagai tameng.
Bandulan Hoan Tiong menghantam lagi, tapi kuatir mengenai
anak buah sendiri, terpaksa ia tarik kembali senjatanya.
Tan-hong terus mengayun tubuh tawanannya sebagai tameng,
dalam sekejap saja dapatlah ia tetjang keluar kepungan Dengan
sendirinya Hoan Tiong tidak tinggal diam.
Tan-hong tertawa, "Ini, terimalah!"
Berbareng ia lemparkan tawanannya ke belakang.
Mau tak-mau Hoan Tiong harus tunduk kepada perintahnya,
terpaksa ia lempar senjata dan menangkap tubuh anak buahnya itu.
Terdengar suara tertawa Tan-hong yang nyaring, dia terjang masuk
ke tengah barisan musuh yang mengepung In Lui.
Saat itu keadaan In Lui rada gawat, ketika melihat Tan-hong
menerjang tiba, hatinya berdebar, bayangan surat berdarah
tinggalan kakek seakan-akan terpampang di depannya. "Musuh"
yang menggemaskan dan menarik ini kembali datang


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menyelamatkan dirinya. Apa dirinya harus memandangnya si
kawan atau lawan? Harus menerima pertolongannya atau pantang
menerima kepeduliannya sekalipun harus mati, begitulah selagi
sukar mengambil keputusan tahu-tahu ruyung Koan CiongPahala dan Murka - 12 24
menyabet, seketika In Lui terkejut, bayangan ruyung itu
menyambar tiba.
Untunglah segera sinar pedang berkelebat, Tan-hong berteriak
di sampingnya, "Lekas serang, adik cilik!??
Tanpa pikir In Lui mengayun pedangnya terdengarlah suara
"krak-krek" dua kali, tahu ruyung Koan Ciong yang terbentuk tiga
ruas itu putus menjadi empat bagian.
Tadi Koan Ciong sudah bertempur sampai ratusan jurus dengan
Tan-hong, meski dia terdesak, tapi belum lagi kalah. Sekarang ia
yakin dengan kekuatan orang banyak tentu lebih dari cukup untuk
menghadapi dua orang lawan.
Siapa tahu setelah kedua pedang bergabung, daya tempur Tanhong dan In Lui serentak berlipat ganda. Hanya satu jurus saja
sudah mematahkan ruyungnya. Keruan Koan Ciong terkejut, cepat
ia melompat mundur.
Tan-hong lantas menarik In Lui, kedua pedang bekerja sama
dengan rapat, hanya sekejap saja belasan jago Kim-ih-wi sudah terluka dan dirobohkan.
Tiba-tiba Hoan Tiong memburu datang dari depan, Koan Ciong
berseru, "Jiko awas!"
Serentak kedua pedang Tan-hong dan In Lui menyerang
sekaligus. Keruan Hoan Tiong terkejut, karena tak sempat
menangkis dan mengelak, terpaksa ia lemparkan senjatanya dan
menjatuhkan diri terus menggelinding jauh ke sana. Walaupun
begitu kepala pun terasa dingin, rupanya tidak urung kopiahnya
terpapas lepas juga, bahkan rambut pun ikut terpapas sebagian.
Belum pernah Hoan Tiong mengalami kecudang seperti ini, ia
melompat bangun, teriaknya murka, "Terjang dengan pasukan
berkuda!"Pahala dan Murka - 12 25
Barpuluh jago Kim-ih-wi lantas menceplak ke atas kuda masingmasing dan terbagi menjadi empat regu, serentak mereka
menerjang kearah Tan-hong dan In Lui. Dalam keadaan demikian,
betapa tinggi ilmu silat mereka juga sukar menahan terjangan
barisan berkuda yang dahsyat ini.
"Lekas naik ke bukit sana!" seru Tan-hong.
Bersama In Lui segera mereka menggunakan ginkang dan berlari
ke bukit di belakang perkampungan sana.
Jarak perkampungan keluarga Pit dengan bukit cuma satu li
jauhnya, ketika kedua orang hampir mencapai kaki bukit, mereka
keburu disusul oleh barisan kuda.
Tanpa ayal Tan-hong mengangkat lu Lui dan dilemparkan keatas
bukit.
Saking cepatnya lari, kuda Kim-ih-wi yang paling depan
berjingkrak kaget dengan kaki depan terangkat.
Segera Tan-hong meloncat ke atas setinggi-tingginya sehingga
kuda itu menubruk tempat kosong, dan dalam sekejap itu Tan-hong
pun hinggap di atas kuda, Kim-ih-wi itu ditendang mencelat.
Kuda itu masih terus berlari ke depan, hanya sekejap saja sudah
mencapai dinding tebing, cepat Tan-hong melayang ke atas,
diraihnya dahan pohon yang tumbuh di dinding tebing itu, seperti
main ayunan saja tubuhnya lantas terlempar ke atas dan sampai di
lereng bukit. Di situ terlihat In Lui sedang melongok ke bawah.
Tatkala itu hari sudah magrib, cuaca sudah mulai gelap, batu
padas pegunungan berserakan, pasukan berkuda itu tidak berani
sembarangan menerjang ke atas, mereka hanya berteriak-teriak
saja di kaki bukit.Pahala dan Murka - 12 26
Hoan Tiong memberi perintah, sebagaian Han-lim-kun di mulut
lembah sana ditarik ke sini, dengan panah terpasang di busur
mereka berjaga di kaki bukit.
"Nah, coba saja kalian sanggup tertahan berapa lama di atas?"
kata Hoan Tiong dengan tertawa.
Tan-hong berdua dapat memandang jauh dari atas bukit,
kelihatan di bawah panji berkibar di mana-mana, sekeliling bukit
ini telah terkepung rapat oleh Han-lim-kun.
Setelah bertempur setengah harian, kini Tan-hong dan In Lui
baru merasakan lelah dan lapar. Cuaca pada musim semi tidak
menentu, pada siang hari sinar sang surya cerlang cemerlang, pada
malam hari bisa mendadak turun hujan.
"Adik cilik, marilah kita mencari suatu tempat berteduh, aku pun
membawa sedikit rangsum kering," ucap Tan-hong.
In Lui diam saja dan melengos ke samping.
"Eh, di sana ada sebuah gua," kata Tan- hong pula sambil
menarik In Lui dan berlari ke sana.
Karena persentuhan anggota badan, dirasakannya tangan In Lui
sedingin es, dapat diduganya hati si nona pasti tidak tentram.
Apa yang disebut gua itu sebenarnya cuma celah-celah dua
potong batu padas besar, di atas balu melingkar pepohonan cemara
sehingga kebetulan dapat memayungi mereka dan tidak kehujanan,
Celah batu itu kebetulan cukup dibuat meneduh dua orang.
Sesudah Tan-hong menarik In Lui masuk ke situ, keduanya lantas
meringkuk muka berhadapan muka, detak jantung masing-masing
pun seolah-olah terdengar.Pahala dan Murka - 12 27
Tan-hong menghela napas pclahan, katanya, "Adik cilik, apakah
permusuhan antara kedua keluarga kita benar-benar tidak dapat
diakhiri?"
Cuaca sudah remang-remang, apalagi mendung dan hujan
sehingga Tan-hong tidak dapat melihat air muka In Lui, tapi dapat
didengarnya suara kresak-kresek baju tergeser, dapat diduganya si
nona sedang meraba tangkai pedang.
Kembali Tan-hong berkata pula dengan menyesal, "Kalau bukan
seteru takkan berkumpul. Adik cilik, boleh kau bunuh saja diriku,
aku takkan menyesal jika mati di tanganmu."
Mendadak guntur berbunyi, cahaya kilat berkelebat, muka In Lui
kelihatan pucat, juga tertampak dua titik air mata pada ujung
matanya, sebelah tangannya memegang tangkai pedang yang sudah
terlolos sebagian, tapi segera dilepaskan lagi. Hanya sekejap saja
sinar kilat lantas lenyap, keadaan gua itu lantas gelap lagi.
Dalam kegelapan terdengar suara napas In Lui yang berat,
sampai lama belum juga berbicara.
Tan-hong mengeluarkan rangsum, katanya, "Adik cilik,
makanlah sedikit."
In Lui bersandar dinding batu tanpa bergerak.
Tan-hong sangat sedih, tapi dia sengaja menggoda, "Eh, adik
cilik, sekali ini takkan kubilang kau makan gratis lagi. Nah makanlah
sedikit."
Dia sengaja mengangkat kejadian lucu pada waktu pertemuan
pertama kali mereka dahulu, maksudnya supaya si nona menjadi
gembira.
Tak tersangka mendadak "plok'?, rangsum yang disodorkan Tanhong itu disampuk jatuh ke tanah.Pahala dan Murka - 12 28
Tan-hong cuma menyengir saja dijemputnya kembali makanan
itu dan ditaruhnya di pinggir.
Sungguh tidak kepalang pedih hati In Lui ingin menangispun
tidak keluar air matanya.
Dalam kegelapan terdengar Tan-hong menghela napas, ucapnya
pelahan, "Balas membalas, tuntut menuntut, memangnya akan
berlangsung sampai kapan? Leluhurku berebut negeri dengan Cu
Goan-ciang, ada juga mewarisi pesan agar keturunannya harus
menuntut balas baginya. Tuntut balas keluargaku tidak cuma
terbatas membunuh musuh saja, bahkan juga diberi kewajiban
merebut dunia nya orang she Cu dengan gelar kerajaan Beng ini."
In Lui merinding, pikirnya, "Tuntut balas semacam ini sungguh
perbuatan yang paling kejam, jika keluarga Thio berhasil menuntut
balas, bukankah akibatnya akan banjir darah dan mayat
bergelimpangan? Apabila demi menuntut balas dan Thio Tan-hong
bersekongkol dengan pihak Watze, lalu pasukan asing itu diminta
masuk negeri ini untuk menjatuhkan pemerintah yang sekarang,
maka tindakannya ini boleh dikatakan maha berdosa dan khianat
terhadap bangsa sendiri, betapapun aku sendiri tidak dapat
mengampuni caranya ini."
Berpikir demikian tanpa terasa tangannya meraba tangkai
pedang lagi.
Didengarnya Tan-hong menyambung ceritanya lagi. "Kakekku
lari ke negeri Watze, waktu itu kekuatan orang Mongol masih
lemah, di bagian dalam terjadi perpecahan, pasukan Beng sering
memasuki padang rumput wilayah kekuasaan Mongol dan main
bunuh dan rampok, kerajaan Beng juga mewajiban mereka
mengirim upeti setiap tahun.Pahala dan Murka - 12 29
"Dengan sendirinya mereka sangat gusar dan penasaran, sebab
itulah mereka juga ingin menuntut balas. Ai, antara manusia dan
manusia, antara negara dan negara, kenapa bisa bermusuhan
sebanyak itu, sungguh aku tidak mengerti mengapa tidak dapat
hidup berdampingan dengan damai secara adil dan sama derajat."
Tergerak hati In Lui.
Tan-hong lantas menyambung, "Leluhurku dan raja Watze sama
ingin menuntut balas terhadap kerajaan Beng, dengan demikian
leluhurku lantas bekerja di negeri asing itu dan diangkat sebagai
menteri. Kerajaan Watze juga makin kuat, jabatan leluhurku juga
semakin tinggi, sampai pada ayahku bahkan kedudukan beliau naik
menjadi perdana menteri.
"Ayahku tidak pernah lupa kepada sakit hati leluhur, tetap benci
kepada keturunan Cu Goan-ciang dan juga orang-orang yang setia
kepada kerajaan Beng. Sebab itulah pada 30 tahun yang lalu ketika
kakekmu diutus ke negeri Watze, karena kakekmu selalu bangga
sebagai pembesar kerajaan Beng yang setia, dalam gusarnya ayahku
lantas menahan kakekmu dan membuangnya ke negeri es sana
untuk mengangon kuda selama 20 tahun."
In Lui mengertak gigi sehingga berkeriat-keriut, tiba-tiba
terpikir olehnya, "Kakekku dendam lantaran disuruh mengangon
kuda sdama 20 tahun, beliau lantas ingin membunuh segenap
anggota keluarga Thio. Jika begitu, orang she Cu yang telah
merampas negeri leluhurnya itu, tentu juga tidak dapat
menyalahkan dia bilamana mereka sangat gusar dan benci sehingga
kakek ikut kena getahnya. Akan tetapi macam-macam persoalan
begitu seharusnya tak perlu diurus oleh angkatan muda seperti
kami ini, namun kakek justru menyuruhku menuntut balas, apakah
harus kuabaikan pesan beliaul"Pahala dan Murka - 12 30
Sambil memegang tangkai pedangnya pikiran In Lui terasa
kusut.
Didengarnya Tan-hong berkata pula, "Kakekmu mengangon
kuda selama 20 tahun di negeri ei sana dan tetap pantang
menyerah, betapapun ayahku rada kagum juga kepadanya. Ayah
juga pernah bicara padaku mengenai kisah kakekmu itu, katanya
pada waktu kakekmu kabur pulang ke negeri leluhur, sesungguhnya
ayah sudah tahu sebelumnya, namun beliau berlagak tidak tahu dan
tidak mengirim pasukan untuk mencegatnya supaya kakekmu bisa
lolos.
"Ayah juga bilang waktu itu beliau mengirim Ciamtai-ciangkun
memberikan tiga buah kantung bersurat kepada kakekmu untuk
menyelamatkan jiwanya, cuma sayang kakekmu tidak percaya dan
menyia-nyiakan maksud baik ayah."
In Lui setengah percaya dan setengah sangsi, dia tetap diam saja,
tangan tetap menggenggam tangkai pedang.
Tan-hong menghela napas, katanya pula, "Sesungguhnya ayahku
memang agak keterlaluan memperlakukan kakekmu, pantas juga
maksud baiknya kemudian tidak dipercaya oleh kakekmu. Utang
leluhur dibayar anak cucunya ai, pantas juga engkau begini benci
padaku.
"Kini kerajaan Watze makin hari makin kuat, kerajaan Beng
tidak berani lagi mengganggunya, sebaliknya malah selalu
terganggu olehnya. Sepuluh tahun yang lalu guruku datang ke
negeri Watze, konon dia hendak menuntut balas bagi kakekmu, tapi
kemudian dia menjadi guruku malah.
"Ia mengajarkanku agar jangan lupa diriku adalah bangsa
Tionghoa dan jangan memusuhi negara leluhur sendiri. Sesudah
Suhu datang, watak ayahku juga seperti rada berubah, seringPahala dan Murka - 12 31
kulihat beliau mondar-mandir tak tenang, suka menghela napas
dan bergumam, "Balas, menuntut balas, apakah memang harus
balas membalas begini?"
"Pernah satu-dua kali kubujuk beliau, tapi ayah lantas melotot
padaku dan berucap, 'O, anakku, kendaknya ingat dendam
leluhurmu yang sedalam lautan.?
Keberangkatanku pulang ke negeri leluhur sekali ini
sesungguhnya di luar tahu ayah, urusannnya cuma diketahui oleh
guruku saja. Keadaan dunia persilatan di daerah Tionggoan juga
kudengar dari guruku. Sebagai orang Tiongkok tidaklah layak
kubantu bangsa Watze menjajah negeri leluhur sendiri, namun aku
juga harus menuntut balas . . . .
"Cara bagaimana engkau akan menuntut balas?" tanya In Lui
tanpa terasa.
"Setelah melintasi Gan-bun-koan dan mengamat-amati keadaan,
ternyata pemerintah Beng sudah teramat bobrok, jika ingin
menuntut balas rasanya tidak terlalu sulit bagiku. Apabila dapat
kudapatkan peta dan menemukan harta pusaka, lalu kukorek panji
pemberontakan dan mengumpulkan kawan sehaluan, jelas
dunianya orang she Cu tidak sulit kurebut kembali."
Iu Lui terkejut, tanyanya, "Kauingin menjadi raja?"
"Raja juga berasal dari orang biasa, kekuasaan seorang masakah
dapat bertahan hingga beratus turunan?" ujar Tan-hong dengan
tertawa. "Cuma tujuanku merebut negeri ini juga tidak melulu
karena ingin menjadi raja saja . .
"Juga ingin menuntut balas?" tukas In Lui.
"Juga bukan cuma ingin menuntut balas saja, alangkah baiknya
jika seterusnya negeri aman dan rakyat hidup sejahtera, selamanya
tidak ada peperangan, bukankah sejalanya menjadi baik?"Pahala dan Murka - 12 32
Setelah merandek sejenak, mendadak Tan-hong hergelak
tertawa dan bersajak, sajaknya orang berambisi besar.
Dalam kegelapan meski In Lui tidak dapat melihat mukanya, tapi
juga dapat membayangkan betapa latahnya anak muda itu.
Hatinya tak tahan, ia pun berkata, "Tapi apakah tujuanmu ingin
menjadi raja atau tidak, yang jelas bilamana engkau hendak
merebut negeri ini, betapapun akan jatuh korban dan banjir darah
juga. Apalagi pihak Mongol sekarang juga akan menyerbu ke negeri
ini, jika engkau memusuhi kerajaan Beng kan berarti membantu
pihak Watze."
Tan-hong tercengang tapi lantas berkata pula dengan lembut,
"Adik cilik, ucapanmu juga betul. Baiklah adik cilik, Toako menuruti
kehendakmu, jika kau bilang aku jangan menjadi raja tentu aku
menurut. Nah, adik cilik, katakan saja, aku akan menurut."
Suaranya lembut, nadanya manis.
Muka In Lui menjadi merah, damperatnya? "Siapa minta kau
turut kepada perkataanku?"
"Eh, kenapa jadi marah lagi?" ujar Tan-hong.
Dengan mulut menjengkit In Lui tidak bicara lagi.
Tan-hong menghela napas, tanpa terasa ia meraba rangsum
yang ditaruh di bawah tadi, ternyata tinggal sedikit saja, sebagian


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sudah dimakan In Lui ketika mendengarkan ceritanya tadi.
Diam-diam anak muda itu tertawa geli, Dalam kegelapan
dilihatnya sinar mata In Lui berkelap-kelip serupa bintang di langit.
"Boleh tidur saja, adik cilik," ucap Tan- hong lembut, pelahan ia
lantas bernyanyi lagu nina bobok.
In Lui memang sudah lelah, setelah makan kenyang, akhirnya ia
kantuk juga, pelahan pelupuk mata pun terpejam.Pahala dan Murka - 12 33
Dengan pedang terhunus Tan-hong berjaga di mulut gua. Waktu
itu hujan sudah reda, tapi di tengah malam gelap pasukan musuh
juga tidak berani menerjang ke atas.
Tan-hong sendiri juga sangat letih, tapi demi melindungi In Lui,
ia tidak berani tidur.
Tiba-tiba terdengar In Lui berseru, "Toako . . . Toako . . . Hei,
Kakek . . . Kakek"
Tan-hong mengiakan dan menoleh, tapi si nona tidak memanggil
lagi, suara napasnya teratur, rupanya cuma mengigau saja. Segera
ia menanggalkan baju luar sendiri dan dikemulkan pelahan pada
tubuh In Lui. Lalu duduk lagi di mulut gua untuk berjaga.
Dalam mimpinya In Lui melihat Tan-hong tergelak tertawa dan
juga menangis dengan memegang lukisan, ia merasa kasihan dan
coba memanggilnya, tapi mendadak muncul sang kakek dengan
memegang tongkat berbulu dan hendak menghajarnya sambil
membentak, "Kenapa kaupanggil musuh sebagai saudara, lekas
bunuh dia!"
In Lui menjerit kaget dan segera terjaga bangun.
Dilihatnya cahaya subuh sudah menembus ke dalam gua, setelah
menenangkan pikiran, baru dirasakan baju luar Tan-hong yang
semampir di atas tubuhnya itu. Mukanya menjadi merah, hati
terasa pedih, baju luar itu ditanggalkannya dan pelahan ia
melangkah keluar. Kelihatan anak muda itu duduk di atas batu
dengan bertongkat pedang dan kepala tertunduk.
Rupanya semalam suntuk Tan-hong tidak tidur, saking tak
tahan, ketika dekat fajar barulah ia mengantuk.
Seketika bayangan surat darah terpampang lagi di depan
matanya, sambil meraba tangkai pedang In Lui pikir inilah
kesempatan yang sangat baik, jika sekarang kuberi sekali tusukanPahala dan Murka - 12 34
pasti matilah dia. Tapi, ah, mana boleh aku bertindak demikian. O,
kakek, jangan, jangan paksa diriku!
Samar-samar kelihatan sang kakek mendekatinya lagi dengan
tongkat terangkat dan sedang melotot padanya dengan bengis.
Apakah masih dalam minipi?
Sambil meraba pedang In Lui melangkah maju, mendadak ia
menggigit jari sendiri dan terasa sakit, seketika ia sadar, bayangan
sang kakek pun lenyap. Ia masukkan lagi pedangnya yang sudah
terlolos sebagian, Lalu mengemuli Tan-hong dengan baju luarnya.
Tan-hong bergerak dan mengulet kemalasan, dengan tertawa ia
berdiri dan berkata, "Eh, adik cilik, sepagi ini sudah bangun, kenapa
tidak tidur lebih lama sedikit?"
Bibir In Lui tampak pucat, Tan-hong memandangnya lekat-lekat,
sorot matanya penuh rasa kasih mesra, sayang dan penuh
penyesalan.
Saking terharu hampir saja In Lui menangis, ia berpaling tidak
dan berani lagi memandang anak muda itu.
Tan-hong menghela napas, waktu ia memandang ke bawah
gunung, tertampak berpuluh jago Kim-ih-wi bercampur dengan
perajurit Han-lim-kun secara berkelompok sedang mendaki bukit
untuk mencari mereka di bawah cuaca pagi yang sejuk.
Kalau cuma beberapa puluh orang musuh mudah dihadapi, tapi
di bawah gunung panji berkibar di mana-mana, kepungan serapat
ini mana mampu membobolnya?
Dalam keadaan tak berdaya terlihat kelompok musuh sudah
sampai di pinggang gunung. Cepat Tan-hong menarik In Lui
bersembunyi di belakang batu padas.Pahala dan Murka - 12 35
Makin dekat regu penyidik musuh itu. Tiba-tiba terdengar Thio
Hong-hu berteriak. "Ayo, keluar! Sudah kulihat kalian, ayo keluar
untuk bicara!"
Terkesiap hati Tan-hong, sungguh tak tersangka jago nomor satu
kotaraja ini sedemikian cepat datangnya. Jika tokoh ini yang
memimpin sendiri pengepungan ini, tambah tipis harapan untuk
menerjang keluar.
Segera ia melompat keluar dari tempat sembunyinya dan
berseru. "Aha, Thio-taijin terkenal maha lihai ternyata juga perlu
mengerahkan beribu perajurit untuk mengepung gunung ini,
sungguh seorang gagah perkasa sejati!"
Muka Thio Hong-hu tampak merah, jawabnya, "Tidak perlu kau
pancing diriku dengan ejekan. Meski di bawah gunung ada ribuan
perajurit, tapi kalian boleh hadapi diriku seorang saja."
Tan-hong memutar pedangnya dan berseru, "Haha, bagus! Jika
begitu silakan jelaskan caranya!"
Hong-hu melirik mereka sekejap, katanya tiba-tiba, "Tampaknya
kalian berdua bukan orang dari kalangan hek-to, memangnya ada
hubungan apa antara kalian dengan Cin-sam-kai?"
"Tidak perlu kau tanya urusan ini," jawab Tan-hong. "Yang
penting, marilah kita bertempur 300 jurus, jika tidak dapat kau
kalahkan diriku, coba katakan, lantas bagaimana nanti?"
Tan-hong menyadari kekuatan latihan sendiri bukan tandingan
orang, tapi kalau bicara tentang kebagusan ilmu pedang pihak
sendiri agak lebih unggul, maka dalam 300 atau 500 jurus kedua
pihak mungkin sukar mengalahkan lawan. Ia tahu Thio Hong-hu
adalah jago nomor satu di kotaraja, orangnya tinggi hati, maka
sengaa memojokkannya dengan perkataannya dengan pernyataan
di muka.Pahala dan Murka - 12 36
Hong-hu memandang mereka sekejap lagi, lalu berucap dengan
tertawa, "Kukira tidak perlu bertempur satu lawan satu, kalian
berdua boleh maju saja bersama!"
"Hm, jika begitu selanjutnya ketiga tokoh utama di kotaraja
hanya akan bersisa dua saja," jengek Tan-hong, artinya bila satu
lawan satu maka tidak perlu disangsikan lagi Thio Hong- hu pasti
akan mati.
"Ah juga belum pasti," ujar Hong-hu dengan tertawa.
"Kepandaian kalian sudah kulihat, kalau satu-lawan-satu mungkin
kau sendiri mampu menahan 300 atau 500 jurus seranganku. Maka
boleh begini saja, kalian berdua maju bersama, dalam 50 jurus bila
kalian sanggup mengalahkanku, maka akan kuangkat kalian
menjadi calon utama pada pemilihan perwira musim panas nanti
tanpa melalui ujian."
"Hah, jika kami berdua mau mengalahkanmu, memangnya apa
susahnya?" jawab Tan-hong dengan tertawa. ''Sama sekali tidak
perlu 50 jurus, cukup dalam lima jurus saja kalau kami tidak
mampu menang, bolehlah terserah kepadamu apapun yang akan
kau lakukan atas diri kami. Tapi bila kami menang dalam lima jurus,
kami pun tidak sudi menjadi perwira segala, biarlah kami berucap
selamat tinggal begitu saja."
Jelas dia ingin menyatakan bila dalam lima jurus mereka
mengalahkan Thio Hong hu, maka mereka harus dilepas pergi.
Memangnya sebab apa Thio Hong-hu berkeras ingin menempur
mereka berdua?
Kiranya kemarin setelah gagal menyusul Pit To-hoan.
sekembalinya diketahuinya Koan Ciong dan Hoan Tiong sama
terluka akibat ilmu gabungan Tan-hong dan In Lui yang lihai itu.Pahala dan Murka - 12 37
Keterangan itu membuat Hong-hu tercengang, ia tahu
kepandaian si pemuda berkuda putih memang tinggi, tapi palingpaling juga cuma lebih tinggi setingkat daripada Koan Ciong berdua,
adalah tidak mengherankan bila gabungan kedua muda-mudi itu
dapat mengalahkan Koan Ciong berdua dalam beberapa puluh
jurus, mustahil jika dalam satu-dua gebrak saja lantas menang.
Sebagai seorang ahli kungfu, selama hidup Thio Hong-hu
menyelami berbagai ilmu silat, kini mendengar ada kungfu aneh,
tentu saja ia ingin tahu.
Ia yakin dirinya iidak nanti kalah dalam 50 jurus, sekarang Tanhong menyatakan dalam lima jurus saja, tentu saja ia tertawa,
serunya lantang, "Baik, Sekarang juga boleh kita mulai. Nah, awas,
inilah jurus pertama!"
Segera goloknya berputar, seperti menabas ke kanan juga serupa
memotong ke kiri, begitu menyerang segera ia incar kedua orang
dengan jurus "Liu-sing-siam-tian" atau bintang meluncur kilat
berkelebat.
Saat itu In Lui berdiri di tepi batu sana seperti orang linglung,
tahu-tahu golok Hong-hu menyambar tiba, keruan Tan-hong
merasa kuatir, serunya, "Awas adik cilik, lekas balas menyerang!"
Berbareng pedangnya juga bekerja, dengan jurus "Lan-kang-caitau" atau memotong sungai mencegat perahu, cepat ia memburu ke
depan In Lui untuk menangkis golok musuh.
Jurus serangan Thio Hong-hu itu mestinya mengarah kedua
orang, tapi golok lantas beradu dengan pedang, "creng", daya
serangan golok belum lagi lemah dan tetap menabas ke arah In Lui.
Baru sekarang nona itu menangkis dengan pedangnya, "creng".
golok lawan tertolak ke samping, tubuh In Lui juga tergetarPahala dan Murka - 12 38
mundur. Untung sebelumnya Tan-hong telah menangkisnya, kalau
tidak pedang In Lui bisa mencelat dari cekalan.
Hong-hu bergelak tertawa, serunya, 'Haha, gabungan pedang
kalian tidak lebih juga cuma begini saja. Awas, jurus seranganku
yang kedua adalah Pat-hong-hong-ih (hujan angin di delapan
penjuru), kedua pedang kalian harus menangkis bersama!"
In Lui tampak tidak bersemangat, sorot matanya juga buram.
Tentu saja Tan-hong sangat gelisah, desisnya, "Hei, adik cilik,
betapapun kau mbenci padaku juga harus gempur mundur dulu
orang ini. Asalkan masih hidup, kelak bolehlah kau balas dendam
padaku!"
Dalam pada itu golok Thio Hong-hu sudah menyambar tiba,
inilah jurus serangan inti dari ilmu goloknya, jauh lebih lihai
daripada serangan tadi.
In Lui terharu atas kebesaran jiwa Tan-hong, dengan berlinang
air mata pedang pusakanya lantas bergerak setengah lingkaran,
sekali kedua pedang bergabung, serentak cahaya pedang membura
serupa dua ekor naga mengacip sekaligus, seketika sinar golok
terdesak buyar.
"Bagus!" seru Hong-hu sambil menarik goloknya. "Ternyata
memang boleh. Nah, sambut sekali lagi!"
Keangkuhannya mulai lenyap, ia tidak berani lagi menyebut dulu
jurus serangannya.
Dengan tersenyum Tan-hong mendesis pula kepada In Lui, "Adik
cilik, cepatan sedikit seranganmu!"
Waktu itu Thio Hong-hu lagi mendesak maju, golok menyabat ke
kanan dan ke kiri, jurus serangan ini disebut "Hun-hoa-hut-liu",
menyingkap bunga menyabat pohon liu.Pahala dan Murka - 12 39
Serangan keras mengandung lunak, sembari menyerang juga
untuk bertahan.
Tan-hong tertawa panjang, pedang bekerja secepat kilat,
berbareng In Lui juga ayun pedangnya. Belum lagi serangan Honghu di lancarkan, tahu-tahu sudah tertutup oleh kedua pedang
lawan,
Keruan ia terkejut, sekuatnya ia putar goloknya dan ditarik
kembali. Serentak Tan- hong dan In Lui merasa terbetot oleh daya
lengket yang kuat, namun dalam sekejap pula mereka dapat
memunahkan tenaga lunak lawan itu.
Thio Hong-hu sempat juga bebas dari bahaya, dengan
sempoyongan ia melompat jauh ke sana, napas pun rada tersengal.
Diam-diam Tan-hong memuji ketangkasan orang memang tidak
malu disebut sebagai jago nomor satu di kotaraja.
Dilihatnya mata orang melotot dan berdiri dengan kuda-kuda
yang kuat, ajaknya terperanjat oleh gebrakan yang baru saja terjadi.
Kening Tan-hong berkernyit melihat sikap orang yang cuma
bertahan dan tidak mau menyerang lagi itu, pikirnya, "Orang ini
sungguh jago kangouw kawakan, sekarang dia cuma ambil sikap
bertahan, sedangkan janji lima jurus hanya sisa satu jurus saja,
padahal jurus terakhir ini belum tentu mampu mengalahkan dia."
Setelah pasang kuda-kuda dengan kuat, Thio Hong-hu lantas
berseru, "Nah, aku sudah mendahului menyerang tiga jurus, sisa
dua jurus boleh kalian gunakan bersama!"
Tan-hong melirik In Lui sekejap, dilihatnya sorot mata si nona
gemerdep. sudah pulih cahaya terang seperti sediakala dan sedang
menatap musuh dengan penuh perhatian.Pahala dan Murka - 12 40
Segera Tan-hong bersuit nyaring, kedua orang melompat maju
bersama, kedua pedang bergerak serentak, dua jalur perak terus
menikam ke bawah.
Cepat Hong-hu mendak tubuh, golok menangkis ke atas dengan
melintang. Tapi begitu kedua pedang lawan menyambar turun,
sinar perak menyilang terus berpencar lagi.
Lekas Thio Hong-hu membalik tubuh, golok berputar sembari
meloncat ke atas.
Sama sekali Tan-hong tidak menduga musuh masih berani
menggunakan jurus berbahaya begini di bawah kurungan kedua
pedang mereka, diarn-diam ia mengeluh, kalau sampai lawan
sempat menghindar berarti mereka harus mengaku kalah.
Gerak pedang Tan-hong lebih dulu daripada In Lui, pedang
sudah terjulur penuh, tampaknya musuh akan melompat lewat di
bawah pedangnya dan sukar menyerang lagi. Selagi gugup, tiba-tiba
dilihatnya ujung pedang In Lui telah menusuk, kontan Hong-hu
menjerit dan jatuh terjungkal.
Kiranya tusukan pedang In Lui yang bergerak belakangan itu
masih sempat mengenai tungkak kaki Thio Hong-hu, dalam kejap
terakhir itu dapat merobohkan musuh.
Kejut dan girang Tan-hong diam-diam ia pun heran, dengan
kungfu Thio Hong-hu yang hebat itu, asalkan lompatan itu agak
cepat, seyogianya tusukan In Lui itu akan meleset juga. Entah
mengapa gerak Hong-hu itu seperti tidak dilakukan sepenuh
kesanggupannya.
Dalam pada itu dengan gerakan "le-hi-tah-ting" atau ikan lele
melejit, sekali lompat Thio Hong-hu sudah berdiri lagi, dengan
menyengir ia berseru, "Paduan kedua pedang memang maha sakti.
Kalian boleh pergi!"Pahala dan Murka - 12 41
Cepat Koan Ciong berkata, "Toako, masa begitu saja mereka
dilepaskan pergi?"
"Seorang lelaki sejati, bila sudah berjanji mana boleh dijilat
kembali," kata Hong-hu. "Biarkan mereka pergi!"
Maka Koan Ciong tidak berani bicara lagi.
(Bersambung Jilid ke 13)Pahala dan Murka - 13 0Pahala dan Murka - 13 1
PAHALA DAN MURKA
Oleh : gan k.l.
Jilid ke 13
ELIHAT keraguan kawannya, Thio Hong-hu lantai
menambahkan, "Mereka bukan orang dari kalangan
hitam, lepaskan mereka juga tidak salah, buat apa
serakah ingin mendapat pahala?"
Muka Koan Ciong menjadi merah, "Jika Toako sudah
memutuskan demikian, kami tentu menurut saja."
Segera Thio Hung-hu memberi perintah agar Tan-hong dan In
Lui dibiarkan pergi dan dilarang merintanginya.
Tan-hong memberi hormat sebagai tanda terima kasih.


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Sudah dua kali kita bergebrak dan belum lagi kutahu namamu,
sesungguhnya engkau datang dari mana?" tanya Hong-hu.
Tan-hong menguap kemalas malasan, jawabnya, "Kakek
moyangmu she Thio, kakek moyangku juga she Thio. Thio sana
tidak sama dengan Thio sini, tapi 500 tahun yang lalu mungkin kita
adalah satu keluarga. Engkau lebih tua, biarlah kuhormatimu
sebagai Toako, adik merasa sangat lelah, di sini suasana terlalu
berisik dan tidak enak untuk mengaso, maaf tak dapat
menemanimu lebih lama di sini."
Tan-hong bicara seperti menggoda dan setengah bergurau, Koan
Ciong sangat mendongkol. sedangkan Thia Hong-hu tidak
mengacuhkan, ucapnya dengan tertawa, "Juga pendekar juga latah,
sungguh menarik saudara semacam ini. Baik boleh kau pergi saja!"
"Jiwa orang kangouw sejati, panglima perang juga menarik,
selama gunung menghijau dan air tetap mengalir, kelak pastiPahala dan Murka - 13 2
bertemu lagi, selamat tinggal." seru Tan-hong sambil melangkah
pergi dengan menarik In Lui.
Sepanjang jalan In Lui hanya diam saja. Belasan li jauhnya
pasukan tentara itu sudah jauh tertinggal di belakang sana, di depan
adalah jalan simpang tiga.
Kembali Tan-hong menguap, katanya, "Adik cilik, marilah kita
mencari suatu tempat istirahat dulu. Jalan yang tengah ini menuju
ke Centing, yang kiri mengarah ke Lunsia, marilah kita pergi ke
Centing saja."
Mendadak In Lui mengebaskan tangannya dan berkata ketus,
"Kau pergi ke arahmu dan kupergi ke jurusanku."
Tan-hong jadi melengak, "Masa engkau sedemikian benci
padaku?"
In Lui menghindari tatapan nemuda itu, jawabnya dengan muka
masam, "Terima kasih atas beberapa kali pertolonganmu. Cuma
permusuhan antar keluarga kita jelas tidak dapat dihapus. Ai,
sayang kakek sudah meninggal sehingga tidak mungkin dapat
membujuknya lagi. Pesan tinggalan leluhur mana boleh diingkari
oleh anak-cucunya? Ai, tampaknya memang sudah suratan nasib . .
. ."
"Aku tidak percaya kepada nasib."
"Memangnya mau apa jika tidak percaya?" kata In Lui. "Baiklah,
boleh kaupergi saja, jika engkau menuju ke timur, segera kupergi ke
barat."
"Bila engkau bertekad harus menuntut balas, kenapa engkau
tidak turun tangan sekarang juga?" ujar Tan-hong dengan sedih.
Mata In Lui menjadi basah, segera ia melangkah ke jalan yang
tengah dan berlari pergi tanpa menoleh lagi.Pahala dan Murka - 13 3
Sambil berlari In Lui sempat mendengar Tan-hong menghela
napas panjang di belakang dan berseru. "Bila bertemu hanya
membuatmu duka, tidak melihatmu aku yang sedih. Ai, daripada
kauduka biarlah aku yang sedih. Adik cilik, jagalah dirimu baik-baik,
pergilah!"
Hati In Lui terasa pedih, dengan menahan air mata ia tetap tidak
berpaling. Suara Senandung Thio Tan-hong sayup-sayup terdengar,
syair yang dibawakannya adalah syair percintaan dan pernyataan
rinduUsia In Lui sudah lebih 17 tahun, selama ini tidak pernah terpikir
olehnya persoalan cinta antar remaja, mukanya menjadi merah
demi mendeDgar syair percintaan Tan-hong itu. Diam-diam ia pun
bertanya kepada diri sendiri apakah dirinya juga telah jatuh dalam
jaringan cinta?
Sambil mengelamun langkahnya tidak pernah kendur, hanya
sekejap saja ia berlari satu-dua li lagi, waktu ia menoleh, bayangan
Tan-hong sudah tidak tertampak.
Setiba di Cengting, ssng surya belum lagi terbenam. In Lui
mencari sebuah hotel besar dan minta kamar kelas satu, ia tutup
pintu kamar terus tidur.
Entah berapa lama ia tidur, tiba-tiba terdengar suara bende
ditabuh dan suara orang berteriak. Pemilik hotol lagi menggedor
pintu setiap kamar sambil berseru, "Hotel ini sudah diborong oleh
pihak pemerintah, diharap para tamu suka pindah ke hotel lain.
Uang sewa akan dikembalikan sepenuhnya, soalnya karena
terpaksa, harap tuan tamu sudi memaafkan.??
Karena hotel itu di borong pihak pembesar, biarpun tidak mau
terpaksa juga para tamu harus mengalah.Pahala dan Murka - 13 4
Akhirnya giliran pintu kamar In Lui yang digedor, sebelumnya In
Lui sudah siap, begitu membuka pintu segera ia berkata, "Tidak
perlu omong lagi, segera kupergi."
"Maaf, tuan tamu," kata si pelayan sambil mengamat-amati In
Lui. Tentu saja In Lui heran, tegurnya, "Apa yang kaupandang!"
"Tampaknya tuan tamu bukan orang daerah sini, bila sekarang
harus mencari hotel lain, mungkin ada kesulitan,?? tutur si pelayan.
"Ada kesulitan apa?" tanya In Lui.
Sambil merapatkan pintu kamar si pelayan mendesis. "Apakah
tuan tamu tahu sebab apa pihak pemerintah memborong kamar
hotel kami!"
"Aku cuma mendengar suara berisik saja dan tidak tahu apa yang
terjadi," jawab In Lui.
"Kabarnya penbesar setempat perlu melayani utusan dari
Mongol, Sri Baginda mengirim komandan pasukan pengawal
mengantar utusan itu ke perbatasan. Siang tadi pihak hotel
menerima pemberitahuan dari kantor bupati, katanya kalau ada
orang asing yang mencurigakan menginap di hotel harus segera
dilaporkan. Sebab itulah kukira tuan tamu akan mengalami
kesulitan bila mencari hotel lain."
"Jika begitu mengapa kalian berani menerimaku, apa aku tidak
mencurigakan?" tanya In Lui dengan tertawa.
Tiba-tiba si pelayan berkata, "Tuan tamu she In bukan?"
Pada waktu masuk hotel In Lui menggunakan nama palsu, tentu
saja ia kaget oleh pertanyaan pelayan itu, sekali cengkeram segera
ia pegang tangan pelahan dan membentak dengan luara tertahan.
"Siapa kau?"Pahala dan Murka - 13 5
"Jangan kuatir, tuan tamu," desis si pelayan. "Kita adalah orang
sendiri. Jika tidak percaya, biarlah kuperhhatkan sesuatu titipan
seorang tamu lain kepadamu."
In Lui pikir jejak sendiri sudah ketahuan bila perlu toh harus
main kekerasan, umpama pelayan itu tidak dilepaskan juga tidak
mendatangkan keuntungan, Maka ia lantas melepaskan si pelayan.
Tidak lama pelayan datang pula bersama kasir, tampak si kasir
mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dengan saputangan dan
diserahkan kepada In Lui, katanya, "In-sangkong, inilah barang
tinggalan tuan tamu itu untukmu."
Pelahan In Lui membuka bungkusan kecil itu, kiranya isinya
adalah sepotong bunga karang hijau bersayap sembilan. Seketika In
Lui melenggong.
Bunga karang ini adalah tanda mata pemberiannya kepada Ciok
Cui-hong dahulu, segera ia tanya, "Dia juga datang, apakah dia
tinggal di sini?"
"Nona Giok baru datang kemarin, dengan jelas diuraikan raut
wajah In-siangkong dan kami disuruh menaruh perhatian," tutur si
kasir. "Ternyata hari ini juga In-siangkong mondok di hotel kami,
sungguh sangat kebetulan."
In Lui tidak dapat bicara lagi. Teringat olehnya akan cinta Giok
Cui-hong yang buta itu, ingin membebaskan diri ternyata tidak
gampang, diam-diam ia mengeluh.
"Terus terang, hotel ini adalah milik Hai-yang-pang yang
digunakan melayani tokoh dunia kangouw secara diam-diam,"
tutur si kasir. "Hong-thian-lui Ciok-locianpwe adalah kenalan lama
kami, semalam nona Ciok lalu di sini Secara tergesa-gesa dan
meninggalkan barang ini, In-siangkong diminta besok pagi pergi kePahala dan Murka - 13 6
Jing-liong-kiap, setiba di sana tentu ada orang akan memberi
petunjuk jalan kepadamu."
Terpaksa ln Lui mengangguk, tanyanya, "Jika begitu, malam ini
aku mondok di mana?" "Akan kami anggap In-siangkong sebagai
keluarga sendiri, cuma terpaksa kamar tamu ini harus dikosongkan
dan silakan pindah ke kamar pegawai," kata si kasir.
"Baik juga," seru In Lui girang. "Aku juga ingin lihat betapa
kerengnya utusan Mongol."
Setelah makan malam, In Lui mengaso sebentar dan
mengumpulkan semangat, didengarnya suara detak kaki kuda yang
ramai, pengurus hotel sama keluar menyambut.
In Lui tidak berani memperlihatkan diri, ia hanya mengintip dari
celah pintu, tertampak empat perwira mengiringi tujuh-delapan
orang Mongol memasuki hotel.
Orang Mongol yang berjalan di tengah dan disongsong ornng
banyak itu paling menyolok, waktu In Lui mengamati, segera
dikenalnya sebagai pangeran Mongol yang dahulu menyerang
markas Ciu Kian dan pernah bergebrak dengan dirinya itu.
Hotel ini paling besar di kota ini, kamar nya sangat banyak,
keempat perwira Han-lim-kun memeriksa setiap kamar yang
tersedia, setelah jelas tidak ada orang yang mencurigai barulah ia
menyilakan pangeran Mongol iru menempati kamar utama
Diam-diam In Lui sangat mendongkol melihat sikap perwira
kerajaan Beng yang rendah diri itu, pikirnya, "Sebentar baru kalian
tahu kelihaianku."
Tidak lama kemudian, semua orang sama tidur, hanya dua jago
Mongol dan dua orang perwira Han-lim-kun yang dinas berjaga
secara bergiliran.Pahala dan Murka - 13 7
In Lui berganti pakaian piranti jalan malam, didengarnya
kentongan sudah ditabuh tanda tengah malam, diam-diam ia
menerobos keluar melalui jendela dan bertiarap di ujung emper
rumah, ia liapkan senjata rahasia, ditunggunya bila kedua jago
Mongol itu berdiri menghadap ke sana, segera akan dibinasakannya
dengan senjata rahasia.
Tiba-tiba terlihat bayangan putih berkelebat di atap rumah, In
Lui terkejut, selagi berpaling segera dirasakan angin mendesir,
bayangan itu telah melayang lewat di sebelahnya.
Orang itu memakai kedok hitam, tapi bajunya putih sehingga
sangat menyolok di tengah kegelapan malam.
Teringat oleh In Lui pada waktu Thio Tan-hong menyatroni
Ciok-kah-cong dahulu juga berdandan semacam ini, jantungnya
seketika berdebar, cepat ia memberi tanda gerakan tangan.
Orang berkedok itu menoleh, lalu memberi tanda sambil
menuding ke sana, maksudnya menyuruh In Lui lekas pergi saja.
Sebelum In Lui melakukan sesuatu, mendadak orang itu
melompat ke bawah, segera terdengar dua orang menjerit, secepat
kilat orang berkedok itu sudah membunuh kedua jago Mongol itu
dalam sekejap saja.
Diam diam In Lui memuji tenaga pukulan orang yang dahsyat
itu, rasanya belum pernah terlihat Thio Tan-hong menggunakan
ilmu pukulan demikian. Lantas siapakah orang ini, apakah Tanhong atau bukan?
Selagi In Lui menduga-duga tidak pasti, kedua perwira Han-lirukun yang brrjaga di dalam telah berlari keluar karena meodengar
suara jeritan tadi. Tanpa bicara orang berkedok ini menubruk maju
dengan cepat, tahu-tahu hiat-to kelumpuhan pada pinggang kedua
perwira itu sudah ditutuknya.Pahala dan Murka - 13 8
Perwira yang sebelah kiri kontan roboh, tapi perwira yang
sebelah kanan terlebih kuat ilmu silatnya, tangannya sempat
menangkis sehingga tutukan orang berkedok tidak tepat pada
sasarannya.
"Anak cucu kaisar Kuning kenapa rela menjadi budak orang
asing?" bentak orang berkedok itu dengan suara tertahan.
Suaranya sangat rendah sehingga tidak jelas terdengar oleh In
Lui, ia cuma heran mengapa serangannya berubah menjadi tutukan
dan tidak menggunakan pukulan maut dengan tenaga raksasa tadi?
Dilihatnya gerak serangan orang berkedok itu berubah lagi,
cepat perwira itu melompat mundur, kesempatan tersebut segera
digunakan si orang berkedok untuk menerjang ke kamar, yaitu
kamar tempat tinggal pangeran Mongol itu.
Tak terduga, belum lagi tiba di depan pintu kamar, mendadak
pintu terbentang, seorang bergelak tertawa di dalam kamar,
serangkum angin dahsyat segera menyambar keluar dan tanpa
terasa orang berkedok tergetar mundur.
Waktu In Lui mengawasi, kiranya Ciamtai Biat-beng adanya.
Rupanya sudah lama Ciamtai Biat-beng masuk ke pedalaman,
cuma entah cara bagaimana sekarang dia bisa bergabung dengan
duta Mongol itu.
Orang berkedok ilu segera mendesak maju lagi, tapi sekali
berputar dan menyengkelit, kembali orang berkedok itu terbanting
jatuh. Namun dengan cepat ia melompat bangun lagi.
Tanpa terasa In Lui berseru, "Lekas pergi!"
Berbareng itu tiga buah piau kupu-kupu terus disambitkan ke
arah Ciamtai Biat-beng dari tiga jurusan. Namun sekali lenganPahala dan Murka - 13 9
bajunya mengebas, kontan Ciamtai Biat-beng merontokkan Ohtiap-piau atau piau kupu-kupu itu di tengah jalan.
Dalam pada itu dengan cepat orang berkedok itu menerjang
maju lagi, segera kedua telapak tangan Ciamtai Biat-beng memukul,
empat tangan beradu, "plak-plok", kembali orang berkedok itu
tergetar mundur beberapa langkah, cuma tidak jatuh.
"Kau mampu menyambut pukulanku, terhitung gagah perkasa
juga!" puji Ciamtai Biat-beng.
Tiga kali bergebrak selalu orang berkedok itu kecundang,
Bgaknya ia pun menyadari bukan tandingan Ciamtai Biat-beng,
segera ia membalik tubuh dan melompat ke atas rumah.
Selagi tubuhnya mengapung, perwira Han-Lim-kun tadi tepat
berada di dekatnya, segera perwira itu menyabat dengan
cambuknya,
Dengan gusar In Lui menghamburkan Oh-tiap-piau lagi, dengan
sendirinya perwira ini tidak setangkas Ciamtai Biat-beng, kontan
pergelangan tangannya terkena piau dan roboh pingsan.
Orang berkedok itu lantas melompat ke atas rumah dan
melayang lewat ke wuwungan sana, ia sempat mengucapkan terima
kasih ketika melayang lewat di samping In Lui, lalu kabur secepat
terbang.
Kembali In Lui melengak ketika didengarnya suara orang seperti
sudah dikenalnya, namun jelas bukan suara Thio Tan-hong.
Ketika In Lui termenung itulah, beberapa jago Mongol dan
perwira Han-lim-kun serentak menerjang keluar, waktu In Lui
memandang ke sana, tertampak Ciamtai Biat-beng sedang tertawa
ke arah tempat sembunyinya. Tentu saja nona itu kaget dan hampir
jatuh ke bawah.Pahala dan Murka - 13 10
"Di manakah penyatron tadi?" demikian beberapa jago Mogol itu
sama bertanya.
Mendadak Ciamtai Biat-beng membalik tubuh dan
menyambitkan anak panah bersuara ke jurusan yang berlawanan
dengan tempat sembunyi In Lui, serunya, "Kawanan penyatron
cukup banyak, tinggalkan dua orang untuk menjaga Ongya,
selebihnya ikut padaku mengejar ke sana!"
Langkah ini sungguh di luar dugaan In Lui. Jelas Ciamtai Biatbeng mengetahui tempat sembunyinya, mengapa dia sengaja
memancing kawannya ke tempat lain. Sungguh sukar dimengerti.
Sementara itu suasana di dalam hotel menjadi panik, diam-diam


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

In Lui turun ke bawah, dilihatnya si pelayan berdiri di pojok yang
gelap dan sedang menggapai padanya. Segera ln Lui mendekatinya.
"Lekas ikut padaku, lari saja mumpung keadaan kacau," desis si
pelayan.
In Lui ikut pelayan itu keluar dari belakang melalui pintu rahasia
tanpa diketahui orang. Pelayan membawanya ke sebuah bukit kecil
di luar kota, lalu berkata, "Subuh nanti akan datang orang memapak
dirimu."
In Lui menghela napas lega, di bawah cahaya bintang terlihat si
pelayan tersenyum aneh, kalanya, "Menurut pesan nona Giok, Insiangkong diharuskan menemuinya dengan membawa bunga
karang hijau itu, apakah sudah In-siangkong bawa dengan baik ?"
Baru lolos dari kesukaran sekarang harus menghadapi kesulitan
lagi, dengari mendongkol In Lui menjawab tak acuh, "Ya, sudah!"
Melihat air muka In Lui yang masam itu pelayan tidak berani
banyak omong lagi.Pahala dan Murka - 13 11
Selang tidak lama, tertampak muncul dua ekor kuda, yang seekor
ada penunggangnya, yang lain kosong. Sesudah dekat baru In Lui
mengenali penunggang kuda ialah Hwe-sin-tan Hek Po-ceng.
Karena rasa permusuhan Hek Po-ceng terhadap Thio Tan-hong
paling besar, maka In Lui tidak berkesan baik padanya. Tapi
sekarang berjumpa setelah lolos dari bahaya, betapapun dirasakan
senang juga.
Po-ceng memberi hormat dan bertanya, "Engkau juga sudah
lolos dengan selamat. Eh, di mana si bangsat cilik penunggang kuda
putih? Perwira tempo hari itu bukankah dia yang membawanya
kemari?"
In Lui mendengus, "Dia yang menyelamatkan Pit-loenghiong
dengan bertempur mati-matian, apakah hal ini tidak diceritakan
oleh Pit-cianpwe kepadamu?"
"Oo, masa begitu?" sahut Hek Po-ceng dengan melengak. "Aku
memang belum bertemu dengan Pit-locianpwe, nona Ciok memberi
pesan agar kubawa engkau ke sana, habis itu baru akan kucari dia."
"Sekarang Pit-locianpwe berada di mana?" tanya In Lui.
"Menurut cerita nona Ciok, sesudah Pit-locianpwe lolos dari
bahaya, sekeluarga sekarang mondok di tempat Na-cecu, dari sini
cuma berjarak belasan li saja. Eh, hari sudah hampir pagi, kita harus
lekas berangkat!"
Begitulah In Lui lantas naik kuda, Hek Po-ceng menjadi petunjuk
jalan. Kuda berlari dengan cepat, menjelang fajar mereka sampai di
suatu lembah.
"Inilah Jing-liong-kiap," kata Hek Po-ceng. Waktu kuda
meringkik, segera dari jauh sana ada suara orang bersuit.Pahala dan Murka - 13 12
"Nona Ciok sudah datang lebih dulu, silakan engkau masuk saja
ke sana, aku perlu menemui Pit-locianpwe dahulu," ujar Hek Poceng.
In Lui meninggalkan kudanya dan masuk ke lembah sana.
Tidak lama kemudian dari tikungan sana muncul satu orang,
jelas Giok Cui-hong adanya. Nona itu kelihatan berlinang air mata
dan menyongsong In Lui terus merangkulnya sambil berseru
gembira, "Oo, kita dapat bertemu lagi."
In Lui membawanya duduk di atas batu, katanya, "Sepagi ini
engkau menemuiku di sini kan tidak untuk bermesraan, bukan?"
Dengan mendongkol Giok Cui-hong melototnya sekejap, ia
mengusap air mata, lalu berkata pula, "Syukurlah kita telah
berjumpa pula, namun Ciu-toako . . . Ciu-toako . ..."
"He, kenapa dengan Ciu-toako?" In Lui menegas dengan kaget.
"Aku salah menilai Ciu-toakomu, sesungguhnya Ciu-toako
memang orang baik," kata Cui-hong tiba-tiba.
"Lekas ceritakan, bagaimana dengan Ciu-toako?" tanya In Lui.
"Hari itu engkau jatuh dari kuda dan terkepung, waktu kami
memutar balik untuk menolongmu, namun kami keburu dipisahkan
pasukan musuh," tutur Cui-hong. "Kemudian Thio Hong-hu
mengejar Pit To-hong dan gagal, jadinya aku dan Ciu-toako yang
kepergok. Kami berdua bukan tandingannya, hanya belasan jurus
aku tersampuk oleh punggung goloknya dan jatuh ke bawah kuda,
tampaknya aku akan tertawan, Syukurlah Ciu-toako berusaha
menolongku tanpa dihiraukan keselamatan sendiri."
"Ciu-toako melompat turun juga, tanpa memikirkan
kemungkinan akan terinjak kuda musuh, dia menarik kaki Thio
Hong-hu dan menggigitnya, tapi sekali hantam Thio Hong-huPahala dan Murka - 13 13
membuat Giu-toako jatuh pingsan dan ditawan pergi. Mungkin
karena lukanya harus segera diobati, aku tidak dikejar lebih lanjut."
Meski antara In Lui dan Giu San-bin pernah terjadi perselisihan
paham, namun hubungan mereka seperti saudara sekandung, tentu
saja In Lui menjadi kuatir, katanya cepat, "Jika begitu kita harus
berdaya menolongnya."
"Kuajak engkau ke sini justru ingin mencari akal untuk
menolong Ciu-toako," ujar Cui-hong. "Dengarkan dulu ceritaku,
masih ada suatu kejadian aneh. Sesudah lolos dari bahaya ketika
kemarin dulu aku bermalam di Kalr.oan, tengah malam aku terjaga
bangun oleh seorang berkedok yang memancingku ke luar kota.
Dari gerak-geriknya jelas kungfunya di atasku, tapi tampaknya juga
tiada maksud jahat padaku."
"Setiba di luar kota aku lantas ditinggal pergi. Tentu saja aku
heran dan sangsi. Esoknya baru kutahu semalam di dalam kota telah
terjadi penggrebekan besar-besaran, setiap hotel telah digeledah
dan setiap orang lalu diperiksa. Konon demi keamanan tamu agung
yang akan singgah di Kokoan. Rupanya sebelumnya orang berkedok
itu sudah tahu apa yang bakal terjadi, maka lebih dulu aku
dipancing keluar kota."
In Lui juga heran, gumamnya, "Orang berkedok? Apakah
potongan tubuhnya mirip si pem . . . pemuda berkuda putih yang
dahulu menyantroni rumahmu itu?"
"Dalam kegelapan aku tidak lihat jelas," jawab Cui-hong. "Pula
tidak terpikir olehku akan Pek-ma-suseng itu, maka tidak dapat
kubandingkan."
Muka In Lui menjadi merah, katanya pula, "Kutahu tamu agung
yang dimaksudkan adalah rombongan orang Mongol itu. LantaranPahala dan Murka - 13 14
Kokoan terhitung kota besar, maka sehari sebelumnya diadakan
pembersihan demi keamanan tamu agung."
"Eh, dari mana kautahui" tanya Cui-hong heran.
"Semalam aku pun melihat orang berkedok itu," tutur In Lui.
"Tentang ini biarlah kita bicarakan selanjutnya. Coba ceritakan dulu
kisahmu."
"Aku berjumpa dengan kawan ayah semalam dan mengetahui
Cin-sam kai Pit To-hoan juga sudah lolos dari bahaya. Altu lantas
mencari beliau, siapa tahu dia juga bertemu dengan orang
berkedok, bahkan orang berkedok itu meninggalkan sepucuk surat
kepadanya. Menurut Pit To-hoan, katanya orang itu sangat mirip
Thio Tan hong, cuma tidak jelas apakah dia atau bukan. Pit To hoan
baru datang di rumah Na-cecu dan segera orang berkedok itu
muncul dan meninggalkan surat. Lantaran Pit To hoan baru lolos
dari bahaya, dia tidak mau banyak urusan lagi, maka tidak mengejar
si orang berkedok.'?
"Apa isi suratnya itu?" tanya ]n Lui.
"Surat orang berkedok itu memberitahukan bahwa utusan
kerajaan Watze yang pergi ke Pakkhia itu adalah seorang pangeran,
mungkin akan mengajukan sesuatu syarat perundingan ke pada
kerajaan Beng. Meski antara kedua kerajaan sudah terjadi
keretakan, namun Sri Baginda raja masih berusaha merapatkan
keretakan itu. Sebab itulah utusan Watze disambut dengan hangat,
keamanannya juga dijaga dengan ketat."
"Selain itu surat itu juga memberitahukan bahwa Ciu-toako
tertawan oleh pasukan kerajaan, kita dianjurkan menyerempet
bahaya dengan mencegat pangeran Mongol itu, bilamana pangeran
asing itu dapat ditawan akan berarti satu kali pukul dua hasil.
Pertama dapat digunakan untuk menukar Ciu-toako, kedua jugaPahala dan Murka - 13 15
dapat memaksa pihak kerajaan mengadakan perdamaian dengan
pihak Watze."
"Surat itu pun mengatakan posisi Jing-liong-kiap sangat
strategis, untuk menangkap pangeran Mongol itu sangat tepat
dilakukan di telat ini. Bila tiba waktunya dia juga akan memberi
bantuan."
"Dan bagaimana dengan pendapat Pit-locianpwe?" tanya In Lui.
"Setelah mengetahui Ciu-toako tertawan Pit Tohoati juga sangat
cemas, jika mesti menyebarkan Lok-lim-ci lagi untuk mengundang
para pahlawan jelai makan waktu dan tidak keburu lagi. Karena
tidak ada jalan lain, terpaksa Pit To-hoan menyetujui gagasan orang
berkedok itu dan akan berusaha menangkap pangeran Mongol itu.
Dia menyuruh kami mengintai di sini secara bergiliran untuk
menjaga kemungkinan di luar dugaan, beliau sendiri segera akan
datang dengan memimpin para pahlawan."
In Lui termenung tanpa menanggapi, ia pikir Ciamtai Biat-beng
itu sangat perkasa, usaha menangkap pangeran Mongol rajanya
sulit tercapai.
Tiba-tiba didengarnya Cui-hong bertanya padanya. "Eh, apakah
pelayan hotel itu telah menyerahkan bunga karang padamu?"
"Sudah," jawab In Lui.
"Mumpung masih ada waktu, ingin kutanya satu hal padamu,"
kata Cui-hong.
"Hal apa?"
"Sepanjang jalan, cara bagaimana engkau terhadapku tentu
kautahu sendiri, meski resminya kita suami-istri, padahal bilakah
engkau pernah menganggap aku sebagai istrimu?"Pahala dan Murka - 13 16
"Ai, dalam keadaan begini buat apa bicara urusan ini?" ujar In
Lui. "Sudah sekian lama urusan ini menekam perasaanku, aku tidak
sabar dan harus kubikin terang urusan ini," kata Cui-hong.
In Lui kewalahan, dilihatnya sang surya sudah terbit, ia menduga
rombongan utusan Mongol itu segera akan sampai di selat itu, tibatiba ia mendapat akal dan berkata, "Enci Hong, kupaham
maksudmu. Kau suruh pelayan menyerahkan bunga karang padaku
kan berarti ...."
Ia sengaja berlagak menerka.
Maka Cui-hong lantas menukas, "Ya, masudku ingin tanya
bagaimana pikiranmu? Jika engkau tidak suka padaku, bunga
karang itu boleh kauberikan kepada orang lain, tapi kalau . . . ."
"Enci Hong," In Lui juga memotong ucapan si nona, "bunga
karang ini adalah tanda pertunanganku kepadamu, mana boleh
diserahkan lagi kepada orang lain. Sekarang kuserahkan lagi
langsung kepadamu."
Hati Cui hong sangat terhibur, ia terima bunga karang itu,
didengarnya In Lui berucap pula seperti tidak segaja, "Ai, Ciu-toako
sungguh orang yang baik, kan sama sekali aku tidak berdusta
padamu?"
Cui-hong melengak, waktu ia periksa bunga karang itu, terlihat
pada kelopak ketiga ada ukiran huruf "Ciu", air mukanya berubah
seketika, tapi belum lagi ia bicara, tiba-tiba terdengar ringkik kuda
ramai di luar lembah sana, serombongan orang tampak muncul.
Cepat In Lui dan Cui-hong bersembunyi di balik batu.Pahala dan Murka - 13 17
Rombongan ini satu regu pasukan pemerintah, pangeran Mongol
dan Ciamtai Biat-beng menunggang kuda berjajar memasuki selat
itu. "Wah, celaka!" desis Cui-hong. "Sekarang juga mereka sudah
datang, padahal Pit To-hoan belum kelihatan."
Pangeran Mongol itu kelihatan santai sambil menengak-nengok
ke kanan dan ke kiri dengan gagahnya.
Tiba-tiba terdengar suara orang menyanyikan lagu rakyat
Mongol, seorang datang dari depan, lagunya berbunyi :
Aku elang perkasa dari padang rumput,
Sayapku terbentang menembus awan,
Pagi kuterbang ke sungai Hanlan,
Pegang kuhinggap di kota Kalin,
Tiga bulan kuterbang kian kemari.
Tetap tak mampu terlepas dari tangan Khan Agung!
Lagu rakyat ini biasa dinyanyikan orang Mongol untuk memuja
pahlawannya, yaitu Jenghis Khan.
Tentu saja pangeran Mongol itu sangat senang, tak disangkanya
di daerah pedalaman Tiongkok ini bisa bertemu dengan orang
sebangsa, bahkan terdengar lagu yang menjadi kebanggaan orang
Mongol ini.
Pangeran itu lantas menghentikan kudanya dan berkata kepada
Ciamtai Biat-beng, "Coba dengarkan, wibawa Khan Agung pun
terbawa jauh ke sini, tampaknya kejayaan Khan Agung harus kita
kembangkan sekarang juga. Coba suruh panggil orang Mongol itu
ke sini."
Mendadak terdengar lagi orang itu bernyanyi :
Dengan kedua tangan Khan Agung menguasai jahat,
kejayaan dan nama beliau gilang gemilang,
namun akhirnya meninggal juga kembali ke bumi,Pahala dan Murka - 13 18
dan tanah yang dikuasai tidak lebih cuma seonggok.
Beberapa bait syair lagunya dinyanyikan dalam bahasa Mongol,
lagu gubahan orang itu sendiri.
Air muka pangeran Mongol itu seketika berubah, ketika orang itu
sudah datang di depannya, segera ia tanya, "Apakah kaudatang dari
Mongol? Lagumu yang tetakhir itu tidak pernah kudengar, dari
mana kau dapatkan lagu ini?"
Orang itu memakai topi laken ala Mongol, kedua tepi bagian
telinga melambai dua potong kulit kambing sehingga wajahnya
hampir tertutup semua, yang terlihat cuma mulut hidung dan kedua
matanya yang bersinar.
Dandanannya serupa kaum gembala Mongol yang umum, cuma
di daerah Tiong-goan yang berhawa hangat ini jelas pakaiannya
rada janggal tampaknya.
Dengan tertawa orang itu menjawab, "Lagu ini sengaja kugubah
untuk diperdengarkan kepadamu."
Mendadak ia menubruk maju, sekali pegang segera pergelangan
tangan si pangeran Morgol kena dicengkeramnya.
Ciamtai Biat-beng sudah berjaga-jaga sebelumnya, segera ia
menyikut, kontan orang itu roboh sambil menyeret pangeran
Mongol, cengkeramannya tetap erat tak terlepaskan.
Cepat sekali serangan Ciamtai Biat-beng, menyusul kakinya
melayang dan menendang iga punggung orang, tangan kanan juga
lantas mencengkeram ke bawah.
Tapi orang itu sempat menggelinding ke sana, tendangan
Ciamtai Biat-beng terhindar, namun tangan Biat-beng tahu-tahu
sudah menyambar tiba.Pahala dan Murka - 13 19
Rupanya ilmu silat pangeran Mongol itn juga tidak rendah,
kesempatan itu segera digunakan untuk balas menyerang, tangan
kiri memukul dan dengkul menyodok perut lawan.
Dalam keadaan tergencet dari muka dan belakang, terpaksa
orang itu melepaskan cengkeramannya dan melompat bangun
untuk menangkis serangan Ciamtai Biat-beng, meski ia tergetar
hingga sempoyongan, namun tangannya tidak kendur, berturutturut ia melancarkan lagi tiga kali pukulan, dia hadapi Ciamiai Biatbeng dengan keras lawan keras. Yang digunakan juga kungfu yang
sempurna, yaitu Tai-lik-kim-kiong-jiu, ilmu pukulan bertenaga
raksasa.
In Lui terkejut dan heran, "Ini dia si orang berkedok!"


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Meski wajah orang tidak terlihat jelas, namun dirasakan seperti
sudah dikenalnya, ruma tidak ingat di mana.
Sementara itu terlihat Ciamtai Biat-beng terus melancarkan
serangan lihai sehingga orang itu terdesak mundur, walaupun
begitu langkahnya tidak menjadi kacau, setiap peluang digunakan
untuk balas menyerang dengan sangat lihainya.
Diam-diam In Lui berpikir, "Orang ini bukan Thio Tan-hong, tapi
dia sanggup melawan Ciamtai Biat-beng sekian lamanya, jelas
kungfunya tidak di bawah Thio Tan-hong. Padahal semalam
Ciamtai Biat-beng sengaja melepaskan dia pergi, mengapa sekarang
membela pangeran Mongol itu dengan mati-matian, sungguh sukar
dimengerti.
Kawanan jago Mongol cukup kenal keperkasaan Ciamtaicangkun dan selamanya tidak memerlukan bantuan orang lain,
maka mereka hanya menonton saja di samping. Tapi kedua jago
Han-lim-kun ingin mencari muka, mereka lantas menyergap dari
kanan dan kiri.Pahala dan Murka - 13 20
Dengan gusar Ciamtai Biat-beng berhenti menyerang dan
membentak, "Berhenti!"
Selagi serangan Ciamtai Biat-beng berhenti itulah saat itu juga
dengan cepat luar biasa orang itu menggunakan pukulan dahsyat
dan melemparkan kedua perwira Han-lim-kun itu ke jurang. Lalu ia
berputar kembali untuk melabrak Ciamtai Biat-beng.
Beberapa jurus lagi, Ciamtai Biat-beng membentak dan "bluk",
dengan keras pundak orang itu terpukul, ia tergetar mundur
dengan sempoyongan.
Segera Ciamtai Biat-beng berhenti menyerang dan bergolak
tertawa. Serentak pula kawanan jago Mongol memburu maju untuk
menawan orang itu.
Pada saat itulah mendadak terdengar suara teriakan ramai, dari
depan sana menerjang keluar beberapa orang, pasukan pengawal
itu seketika kacau-batau, itulah rombongan Pit Tohoan, Na Thiansik, Hck Po-ceng dan lain-lain, dengan sendirinya pasukan tentara
tidak mampu menahan serbuan mereka.
Ciamtai Biat-beng melompat maju ke sana, langsung ia
menghadapi Pit To-hoan dan melancarkan pukulan berantai.
Dengan sama tangkasnya Pit To-hoan memutar tongkatnya
untuk mendesak mundur lawan, menyusul ujung tongkat lantas
menutuk mukanya.
Pit To-hoan terkenal sebagai Cin-sam-kai atau menggetar tiga
jagat, permainan tongkatnya sudah terlatih selama beberapa puluh
tahun, lihainya tidak alang kepalang.
"Bagus!" teriak Ciamtai Biat-beng, mendadak ia menyurut
mundur dan mencengkeram tongkat latvan.Pahala dan Murka - 13 21
Sodokan tongkat Pit To-hoan mengenai tempat kosong,
tebaliknya tongkat hampir terpegang lawan malah, untung dia
cukup berpengalaman, sekuatnya ia putar tongkatnya sehingga
serangan Ciamtai Biat-beng dapat dipatahkan. Diam-diam ia
terkejut dan heran juga.
Pada waktu kacau orang tadi sempat menghantam roboh
beberapa jago terus menerjang keluar kepungan.
In Lui berkerut-kening dan tidak habis mengerti bahwasanya
orang ini berani menyerang pangeran Mongol itu sendirian,
mengapa sekarang setelah datang bala bantuan berbalik kabur
malah?
Orang itu berlari dengan cepat, ternyata arahnya menuju ke
tempat sembunyi In Lui.
Mendadak In Lui melompat keluar dan menegur, "Siapa kau?"
Tapi orang itu lantas menghantam, cepat In Lui mengegos sambil
melolos pedang, teriaknya, "Meninggalkan kawan dalam keadaan
berbahaya adalah tindakan tidak setia, marilah kita terjang ke sana
lagi!"
Melihat In Lui melolos pedang pusaka, sinar mata orang itu
gemerdep, mendadak ia pun melolos golok terus membacok, hal ini
sungguh di luar dugaan In Lui, cepat pedangnya menangkis.
Tapi hanya sekali serangan saja orang itu lantas berlari pergi lagi
secepat terbang.
Ciok Cui-hong memburu keluar juga, katanya, "Sungguh orang
aneh!"
Sekilas memandang keadaan medan perang In Lui berkata,
"Jangan menghiraukan dia, marilah kita membantu Pit-lociampwe
saja!"Pahala dan Murka - 13 22
Dalam pada itu pertarungan antara Ciamtai Biat-beng dan Pit
To-hoan sudah berlangsung puluhan jurus dan keduanya masih
sama kuat.
"Bagus, engkau adalah orang gagah pertama yang pernah kulihat
sejak dulu masuk pedalaman sim," seru Ciamtai Biat-heng. "Biarlah
aku pun akan menggunakan senjata."
Ia pura-pura memukul, ketika musuh menghindar, cepat ia
melolas senjata yang berbentuk gaetan, sekali tangkis, "trang",
Hang-liong-pang atau toya penakluk naga Pit To-hoan tergetar.
Gaetan Ciamtai Biat-beng terus berputar sehingga toya lawan
hampir terlepas.
In Lui menjadi kualir, cepat ia menerjang ke tengah kalangan,
pedangnya berputar cepat, meiki beberapa senjata musuh dapat
ditabai patah, namun dia tertahan oleh dua jago Mongol yang
bersenjata tombak dan bendul berantai, senjata yang sukar tertabas
sehingga seketika In Lui tidak sanggup menembus kepungan.
Na Thian-sik, Hek Po-ceng, Ciok Cui-hong dan lain-lain juga
teralang sehingga tidak dapat bergabung.
Pit To-hoan telah mengeluarkan segenap kepandaiannya dan
tetap tidak dapat melepaskan diri dari serangan Ciamtai Biat-beng,
malahan beberapa kali toyanya hampir terampas oleh gaetan lawan,
diam-diam ia mengeluh bisa celaka.
Selagi keadaan bertambah gawat, sekonyong-konyong terlihat
pasukan tentara menjerit kaget dan sama menyingkir, terdengar
pula suara gemuruh menggetar lembah gunung.
Waktu In Lui mendongak, kiranya si orang berkedok yang
berdandan sebagai orang Mongol itu kini sudah berada di atas bukit
dan sedang melemparkan batu besar ke bawah.Pahala dan Murka - 13 23
Jing-liong-kiap itu sebagian adalah selat yang sempit diapit
lereng yang curam, jika batu besar dilemparkan dari atas,
keadaannya sungguh menakutkan, bila tertumbuk batu akibatnya
sukar dibayangkan.
Keruan pasukan tentara menjadi kacau dan lari serabutan untuk
mencari selamat. Kawanan jago Mongol juga gugup.
Semangat In Lui terbangkit, sekali tabas lawan bertombak
dilukainya, cepat ia menerobos ke sana, sekaligus ia serang Ciamtai
Biat-beng beberapa kali.
"Kembali kau anak dara ini lagi!" bentak Ciumtai Biat-beng
dengan mendelik, sebelah gaetannya menangkis, pedang In Lui
tertolah ke samping.
"Hari ini sukar menarik keuntungan, mari kita mundur saja!"
seru Pit To-hoan. sekali toyanya menangkis, segera mengundurkan
diri bersama In Lui.
Ciamtai Biat-beng hendak mengejar, tapi mendadak sepotong
batu besar menggelinding tiba, cepat Ciamtai Biat-beng simpan
kembali kedua gaetannya, ia pasang kuda-kuda dengan setengah
berjongkok, sekali pegang, dengan tenaga sakti ia lemparkan batu
itu sehingga membentur batu lain yang lagi menggelinding tiba
pula, "biang," batu krikil berhamburan.
Dengan sendirinya banyak perajurit yang terluka oleh batu,
sedangkan rombongan Pit-To-hoan sempat lari ke atas gunung di
tengah kemelut itu.
Ciamtai Biat-beng hendak mengejar, namun pangeran Mongol
itu sudah kadung ketakutan, cepat ia mencegah, "Sudahlah Ciamtai
ciangkun, musuh yang sudah kalah tidak perlu dikejar!"
Yang benar ia takut ada bala bantuan musuh yang mungkin
muncul lagi, maka Ciamtai Biat-beng disuruh menjaganya.Pahala dan Murka - 13 24
Setiba di atas gunung, segera Pit To-hoan berseru, "Tinggal dulu,
kesatria itu!"
Kiranya orang yang berdandan sebagai bangsa Mongol itu
mendadak bersuit ketika rombongan Pit To-hoan sampai di
pinggang gunung, ia terus turun melalui balik gunung sana. Waktu
Pit To-hoan sampai di atas, bayangan orang aneh itu sudah
menghilang.
"Sungguh aneh," gerutu Pit To-hoan.
Beramai-ramai mereka lantas melintasi gunung, waktu lohor
mereka sudah berada di rumah keluarga Na, mereka sama
membicirakan tokoh misterius berdandan orang Mongol itu dan
tidak dapat menebak asal-usulnya. Hanya satu yang dapat
dipastikan orang banyak, yaitu orang aneh berdandan Mongol ini
ialah si orang berkedok
"Bukan cuma orang ini saja yang aneh, panglima musuh
bersenjata gaetan itu juga aneh," ujar Pit To-hoan. Waktu kita
menerjang keluar, Hek-laute berjalan paling depan, bilamana batu
yang dipegangnya itu tidak dilemparkan ke atas melainkan
dilemparkan ke arah kita, pasti Hek-laute akan celaka."
"Bisa jadi dia juga menghindari jatuhnya korban di antara
tentara kerajaan, maka ia bertindak demikian," kata Hek Po-ceng.
"Orang itu bukan bangsa asing." tutur In Lui dengan tertawa.
"Dia bernama Ciamtai Biat-beng, dia bangsa Han yang dibesarkan
di negeri Mongol."
Pit To-hoan berkerut kening, katanya, "Meski aku juga sangat
benci terhadap anak-cucu Cu Goan-ciang, tapi membantu orang
asing dan memakai nama ?biat-beng' sebagai Semboyan, apa pun
tidak dapat dibenarkan."Pahala dan Murka - 13 25
In Lui lantas bercerita pula kejadian semalam Ciamtai Biat-beng
sengaja melepaskan dia, hal ini kembali menjadi bahan
pembicaraan orang banyak.
"Tentang asal-usul orang aneh itu biarlah kita selidiki lagi kelak,"
kata Pit To-hoan. "Apa maksud tujuan Ciamtai Biat-beng sementara
ini juga tidak perlu kita urus. Tugas kita yang penting sekarang
adalah cara bagaimana menolong San-bin."
Semua orang sama diam dan tidak mempunyai akal bagus.
"Jika tidak berdaya, terpaksa kita bertindak dengan kekerasan,
yaitu merampas kereta tawanan di tengah jalan," ujar In Lui.
'?Kekuatan pasukan tentara sangat besar, tawanan juga dikawal
ketiga tokoh terkemuka dari kotaraja, kukuatir selain gagal
merampas tawanan berbalik akan mengalami kerugian di pihak
sendiri," kata Hek Po-ceng.
"Baiklah kita cari akal dulu baru diputuskan lagi nanti," ujar Pit
To-hoan.
Petangnya pengintai datang melapor bahwa Thio Hong-hu
meninggalkan Koan Ciong dan sebagian besar Han-lim-kun serta
jago pengawal istana untuk membantu pemerintah setempat dan
mengadakan pembersihan terhadap berbagai pangkalan kaum Loklim. Thio Hong-hu sendiri bersama Hoan Tiong dengan beberapa
puluh perajurit Han-lim-kun pulang ke kotaraja dengan membawa
lawanan, dalam perjalanan diperkirakan besok akan lewat di sini.
"Hah, bagus, besok juga kita labrak mereka," seru Pit To-haan
dengan girang.
Malam ini In Lui bcrgulang-guling tak dapat pulas, teringat
kepada Ciu San-bin yang tertawan musuh, ia merasa kuatir, dengan
mengadu jiwa besok harus berusaha menolongnya.Pahala dan Murka - 13 26
Dalam benak tiba-tiba terbayang kelakuan San-bin ketika
meminta padanya suka memanggilnya sebagai kakak, teringat pula
sepanjang jalan secara samar-samar Ciu San-bin mengutarakan
rasa cintanya, hal ini membuatnya tidak tentram pula.
Pikirnya, "Untuk menolongnya dengan mati-matian dapat
kulakukan, jika aku harus menerima cintanya, inilah yang tidak
mungkin terjadi."
Terdengar suara batuk Giok Cui-hong di kamar sebelah, agaknya
nona ini pun diliputi berbagai kerisauan sehingga sukar tidur juga.
In Lui jadi teringat kepada Cui-hong yang kasmaran padanya itu,
tanpa terasa ia tersenyum geli. Bayangan Ciu San-bin dan Ciok Cuihong seakan-akan timbul bersama dalam benaknya.
Pikirnya pula, "Aha, biarlah begini saja, akan kujadikan mereka
sehingga terhindarlah segala kesukaran."
Akan tetapi apa benar tidak ada kesal lain lagi, sebab baru saja
bayangan Cui-hong dan San-bin lenyap dalam benaknya segera
bayangan Thio Tan-hong muncul pula, ini bukan lagi ''kesulitan"
yang lebih besar, bahkan persoalan yang sukar dipecahkan
Seketika In Lui merasa bingung, ia tidak berani berpikir lagi.
Esoknya pagi-pagi ia sudah bangun, segala sesuatu sudah diatur
oleh Pit To-hoan. Baru saja In Lui keluar sudah terlihat orang
berjubel di pelataran depan.
"Kami sudah menyelidiki dengan jelas." demikian Pit To-hoan
lantas bertutur, "Thio Hong hu dan Hoan Tiong hanya membawa
50-an perajurit Han-lim-kun untuk mengawal enam buah kereta
tawanan, satu di antara kereta itu khusus lebih besar, pada waktu
iringan kereta berjalan Thio Hong-hu selalu mengawasi di kanankiri bariian, penjagaan sangat ketat. Mungkin sekali San-bin
termasuk di antara tawanan yang digiring ke kotaraja itu. Kita tidakPahala dan Murka - 13 27
sempat menyebarkan Lok-lim-ci lagi, biarlah kita mengumpulkan
saudara di sekitar sini ditambah anak buah Na-hiante, seluruhnya
ada 40-an orang dan rasanya sudah cukup.
"Biarpun Thio Hong-hu sangat lihai, akan kuhadapi dia bersama
In-kongcu dan tentu sanggup menahannya. Keadaan Jing-liong-kiap
sangat strategis, cara menggelindingkan batu dari atas gunung
serupa si orang berkedok kemarin itu juga dapat kita gunakan."
"Batu besar digelindingkan dari atas gunung apakah takkan
melukai kawan kita sendiri atau menghancurkan kereta tawanan?"
kata Na Thian-sik.
"Tidak perlu mengunakan batu besar, cukup dengan batu
sebesar kepalan saja untuk menimpuk kawanan perajurit Han-limkun itu," ujar Pit To-hoan. "Cukup kita bikin kacau barisan mereka
agar tidak sempat menjaga kereta tawanan dengan ketat dan
cukuplah bagi kita Hendaknya Hek-cecu dan nona Ciok membawa
belasan saudara Kita manjat ke atas tebing dan hamburkan batu.
Lohor besok mungkin barisan musuh akan sampai di Jing-liongkiap, marilah kita berangkat sekarang juga."
Begitulah beramai-ramai semua orang lantas naik kuda, In Lui
berjalan sejajar dengan Pit To-hoan di depan, tanyanya tiba-tiba,
"Pit-locianpwe, mengapa engkau tidak menunggang kuda putih
itu?"
"Sudah kukembalikan kepada pemiliknya," jawab To-hoan
dengan tertawa.
"Sudah kaukembalikan ? Bilakah Thio Tan-hong bertemu lagi
denganmu?" tanya In Lui.
"Ciau-ya-sai-cu-ma ini memang kuda ternama yang sukar dicari
bandingnya," ujar Pit To-hoan, "Kuda ini sangat pintar, sesuai
perintah majikannya, tempo hari dia telah membawaku lolos dariPahala dan Murka - 13 28
kepungan musuh. Sesudah terhindar dari bahaya dia lantas
meringkik-ringkik dan tidak mau tunduk kepadaku lagi. Kutahu dia
mau kembali kepada majikannya, lantas kulepaskan dia."
"Cara bagaimana dapai kauketahui dia pasti akan kembali
kepada majikannya, jika di tengah jalan kepergok orang jahat, kan
bisa celaka?" ujar In Lui.
Pit To-hoan tertawa, "Kuda perang yang bagus pada umumnya


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

juga kenal majikan, apalagi Ciau-ya-sai-cu-ma yang jarang ada
bandingannya ini. Pula, orang yang tidak memiliki kepandaian
tinggi mana mampu menangkapnya?"
In Lui sebenarnya juga tahu kecerdikan kuda putih itu, cuma
lantaran dia menguatirkan Tan-hong, maka kuda putih dijadikan
alasan.
Seeudah bicara, mendadak Pit To-hoa;i tersenyum, kalanya pula,
"In-kongcu, kalau tidak kudengar dari nona Giok, sungguh aku tidak
percaya antara dirimu dan Thio Tan-hong ada permusuhan sedalam
lautan."
Muka In Lui menjadi merah, ia melarikan kudanya dengan lebih
cepat untuk mengelak ucapan Pit To-hoan itu.
Dengan sendirinya Pit To-hoan merasa heran, ia menduga di
dalam urusan ini tentu ada persoalan lain lagi, maka ia pun tidak
tanya lebih jauh.
Tidak lama kemudian tibalah mereka di selat gunung. Sesuai
rencana semula, Pit To-hoan memberi petunjuk agar semua orang
siap siaga.
Tampaknya matahari sudah mulai condong ke barat, tiba-tiba
terdengar pengintai di depan sana memberi kabar, "Sudah datang,
sudah datang!"Pahala dan Murka - 13 29
Semua orang sama siapkan senjata, tertampaklah sepasukan
tentara mengiring enam buah kereta tawanan memasuki selat
gunung dengan pelahan.
"Awasi kereta yang tengah itu," kata Pit To-hoan terhadap In Lui
Belum lagi mereka bertindak, mendadak Thio Houg-hu bergrlak
tertawa di atas kudanya dan berseru, "Aha, sudah tiba waktunya
bilamana mau merampas kereta tawanan!"
Keruan Pit To-hoan dan In Lui sama terkejut, ternyata Thio Hong
hu ini Sudah siap sedia dan menduga apa yang bakal terjadi.
Ibarat panah sudah terpasang di busur, terpaksa harus
dilepaskan. Dalam sekejap semua orang yang sudah siaga lantas
menerjang keluar.
Thio Hong hu telah membuat barisan melingkar untuk
melindungi kereta tawanan yang tengah.
Pit To-hoan mendahului menerjang ke depan dengan membawa
pasukannya.
Namun ke-50 perajurit Han-lim-kun adalah pasukan tempur
yang terlatih dan berpengalaman, barisan bisa berubah serentak
dan kerja sama dengan rapat. Meski gagah berani anak buah Nacecu juga tidak mampu membobolnya.
Terdengar Thio Hong-hu bergelak tertawa, serunya lantang,
"Aha, Pit tua yang berjuluk Cin sam-kai, tempo hari beruntung
kaudapat lolos, mengapa sekarang kaumasuk jaring lagi?!"
Pit To-hoan mendengus, "Hm, boleh lihat saja siapa yang masuk
jaring."
Mendadak ia bersuit, seketika suaranya bergema
mengguncangkan lembah pegunungan, inilah isyarat agar orang
yang siap di atas tebing menghamburkan batu.Pahala dan Murka - 13 30
Segera Hek Po-ceng menampakkan diri di atas gunung, tapi pada
saat yang hampir sama tiba-tiba terdengar suara mendesing, suara
sambaran senjata rahasia, tiga buah piau tahu-tahu menyambar
tiba.
Hek Po-ceng mengeluh, "Wah, celaka!" Terpaksa batu yang
dipegangnya disambitkan ke atas untuk membentur jatuh piau yang
menyambar tiba itu.
Waktu ia memandang ke sana, terlihat di puncak gunung
seberang sana muncul sepasukan tentara dan beramai
menyambitkan batu ke sebelah sini, di antara hujan batu terdapat
pula senjata rahasia sebangsa piau, panah dan sebagainya.
Yang memimpin adalah salah seoraag yang terkenal sebagai tiga
tokoh utama di kotaraja, yaitu Hoan Tiong.
Senjata rahasia yang disambitkan dia paling keras, meski Hek
Po-ceag sendiri juga ahli Am-gi atau senjata rahasia, terpaksa harus
menghadapinya secara hati-hati, jangankan orang lain, tentu saja
rada kerepotan.
Dan karena terjadinya perang senjata rahasia di atas gunung,
tentu saja mereka tidak sempat menghujani batu kepada pasukan
musuh di bawah.
Thio Hong-hu terbahak senang, serunya sambil mengacungkan
goloknya, "Haha, sebagai seorang panglima mana boleh bertindak
sembrono tanda meninjau keadaan medan? Wahai Cin-sam-kai,
meski ilmu silatmu tinggi, rupanya engkau sangat sedikit belajar
ilmu siasat!"
Pit To-hoan menjadi gusar. Hang-liong-yang berputar cepat
untuk mendesak mundur senjata musuh yang mengerubutnya,
habis itu mendadak sebelah tangannya meraih, dengan cepat
seorang perajurit musuh dicengkeramnya terus dilemparkan.Pahala dan Murka - 13 31
?'Sret-sret", pedang lu Lui juga menahas dua kali, seorang
perajurit dirobohkan, seorang lagi terluka dan cepat melompat
mundur.
Dengan bekerja sama Pit To-hoan dan In Lui menerjang ke
tengah pasukan musuh.
Thio Hong-hu terbahak, ia memberi tanda, serentak lingkaran
pasukannya berubah dan membeti jalan masuk bagi kedua lawan
sehingga anak buah Pit To hoan akhirnya terpisah di bagian luar.
Sambil berdiri membelakangi kereta tawanan, Thio Hong-hu
menuding dengan goloknya dan berseru, "Cin-sam-kai, marilah kita
bertempur 300 jurus lagi!"
Sekilas lirik ia tertawa pula terhadap In Lui, "Aha, bagus! Kaupun
datang! Baiklah, boleh kalian maju bersama, aku tidak perlu
bantuan orang lain."
Muka Pit To-hoan terasa panas, serunya, "Urusan hari ini aku
pun tidak peduli lagi soal main kerubut segala, yang penting biarlah
kuadu jiwa dengan mu!"
Dengan jurus "Hing-sau-jian-kun" atau sekaligus menyapu
seribu perajurit, kontan toyanya menyerampang.
Thio Hong-hu berdiri tenang saja, dengan gesit ia tangkis
setangan lawan sambil menyurut mandur, menyusul ia pun
mendesak mundur In Lui, bahkan terus balas menabas tiga kali
berturut.
Jika satu-lawan-satu, betapapun tenaga Thio Hong-hu lebih kuat
daripada Pit To-hoan, sekarang dia harus menghadapi In Lui pula,
setelah 30 an jurus, ia mulai kewalahan.
In Lui mengincar baik-baik kelemahan musuh dan mendadak
pedang menusuk. Cepat Thio Hong-hu mengegos ke samping,Pahala dan Murka - 13 32
namun gerak tubuh In Lui cepat luar biasa, peluang itu digunakan
untuk menerobos ke sana dan melompat ke atas kereta tawanan.
Jantung In Lui berdebar keras, tak terduga olehnya akan berhasil
semudah ini, ia pikir Thio Hong-hu bukan lawan empuk, mengapa
hanya dia sendiri yang menjaga kereta tawanan tanpa dijaga
pasukan? Umpama tinggi hati juga tidak boleh meremehkan musuh
sedemikian rupa?
Meski merasa curiga, tapi dalam keadaan demikian In Lui tidak
sempat banyak berpikir lagi, begitu melompat ke atas kereta
tawanan segera ia membuka kerudung kereta, dilihatnya seorang
meringkuk di dalam. Keadaan di dalam kereta agak gelap sehingga
tidak terlihat jelas siapa tawanannya.
Dengan cemas dan girang In Lui berseru, "Ciu toako!"
Ia pindahkan pedang ke tangan kiri, tangan kanan segera
menarik ke dalam kereta.
Tak tersangka mendadak terdengar orang mendengus, orang di
dalam kereta sekonyong-konyong bangun, sekali tangan meraih
segera pergelangan tangan In Lui tercengkeram.
Sungguh kejut In Lui tak terhingga.
"Ayolah masuk kemari!" bentak orang itu sembari membetot
sekuatnya.
Tanpa kuasa lagi In Lui terjerumus ke dalam kereta, waktu jatuh
pedangnya sempat menyobek kerudung kereta sehingga cahaya
matahari menyorot ke dalam, mendadak terdengar lagi orang itu
berseru, "He, kiranya kau?!"
Suaranya jelas menunjukkan rasa heran.
In Lui cukup cerdik dan dapat bekerja cepat, reaksinya juga
cekatan, mendadak gagang pedang digunakan menutuk, cepatPahala dan Murka - 13 33
orang itu lepaskan pegangannya dan bersama In Lui sama-sama
melompat ke luar kereta.
Di bawah cahaya sang surya terlihatlah orang itu memakai topi
bertutup telinga, kedua matanya kelihatan bersinar tajam, jelas dia
inilah orang yang menyamar sebagai gembala Mongol dan
menyergap pangeran Mongol itu.
Kedua orang berdiri berhadapan, jaraknya tidak ada satu meter,
In Lui dapat melihat jelas sinar matanya yang khas serta
perawakannya, jelas sama dengan orang berkedok yang dilihatnya
kemarin malam.
Dengan kegirangan In Lui lantas tanya, "Apakah kau tahu Ciutoako dikurung di kereta yang mana?"
Menurut jalan pikiran In Lui, jika orang ini pernah memberi
saran kepada Pit lo-hoan agar mencegat dan menangkap pangeran
Mongol, juga diam-diam pernah membantunya tempo hari, tentu
orang ini adalah kawan seperjuangan sendiri.
Siapa duga mendadak orang mendengus, "Hm, siapa urus Ciutoakomu?"
Mendadak pedang In Lui hendak dirampasnya. Keruan
perubahan sikap ini membuat In Lui terkejut, tahu-tahu jari orang
sudah hampir menyentuh pedangnya, tiba-tiba tetlihat sinar mata
orang mencorong terang, gerak tangannya seperti merandek tak
diteruskan.
Cepat In Lui angkat pedangnya, agaknya orang itu terkejut, jari
tangan lantas menjentik, "iring", batang pedang terselentik, tangan
In Lui kesemutan dan pedang hampir terlepas. Diam-diam ia kaget
dan mengakui Tai-lik-kim-kong-jiu orang ini sungguh luar biasa.Pahala dan Murka - 13 34
Dalam pada itu terdengar gelak tertawa Thio Hong-hu, katanya,
"Pit-ma, sekarang sudah kaulihat siapakah yang masuk jaring,
bukan?"
Segera terdengar suara orang meraung dan beradunya senjata,
agaknya Pit To-hoan menjadi murka dan menyerang sepenuh
tenaga.
Di sebelah lain In Lui juga melancarkan serangan pula, akan
tetapi setiap serangan selalu dipatahkan oleh orang aneh itu.
Hian-ki-kiam-hoat yane dimainkan In Lui sangat cepat dan sukar
diduga, beberapa kali orang itu hampir tertusuk, tapi entah
mengapa, dirasakan oleh In Lui seperti orang ini sudah dikenalnya,
entah di mana dan kapan, dirasakan seperti orang sendiri saja,
maka tusukannya yang mestinya dapat mengenai sasaran selalu
kandas begitu saja.
Agaknya orang itu pun menyadari dengan tangan kosong sulit
menghadapi pedang pusaka In Lui, mendadak ia pun melolos
goloknya, dengan golok di tangan kiri dan melancarkan serangan
kilat, tangan kanan tetap digunakan untuk menghantam dengan
gerakan lambat. Gerakan cepat dan lambat sekaligus ini ternyata
sangat hebat dan membuat In Lui rada kerepotan, ketika pedangnya
menangkis serangan orang, tahu-tahu pukulan orang menyambar
tiba pula.
Cuma aneh juga, beberapa kali In Lui menghadapi bahaya,
namun sambaran golok atau tenaga pukulan orang itu juga
menyambar lewat begitu saja, entah sengaja atau tidak, jadi serupa
serangan In Lui terhadap dia tadi.
Dilihatnya sinar mata orang itu mencorong terang, meski
melancarkan serangan cepat tetap juga mengawasi dirinya. Hati ln
Lui tergerak. sekali tangkis segera ia tanya, "Siapa kau sebenarnya?"Pahala dan Murka - 13 35
Orang itu pun membentak sambil menyerang pula, "Dan kau
sendiri siapa?"
In Lui melengak, jawabnya, "Kau bicara lebih dulu."
Orang itu seperti merasa heran dan berkata pula, "Kau bicara
dulu!"
In Lui mendongkol, ia pikir asal-usulku mana boleh kukatakan
padamu. Tapi ia pun ingin lekas mengetahui asal-usul orang, sedikit
ragu kembali ia menangkis tiga kali serangan orang, lalu tetap
berkata, "Kau bicara dulu!"
Cara bicara mereka serupa dua anak kecil yang bandel dan saling
ngotot.
Biji mata orang itu tampak berputar, sikapnya juga tambah aneh,
seperti orang yang bertemu dengan seorang kawan semasa kecil
dan sekarang sedang mengingat-ingat kejadian masa lampau untuk
dicocokkan dengan orangnya sekarang. Lantaran itu, gerak
serangan golok dan pukulannya menjadi lamban.
Selagi kedua orang tetap ngotot tidak mau bicara lebih dulu asalusul sendiri, di sebelah sana mendadak Pit To-hoan berseru,
"Keadaan gawat, ayo mundur dulu!"
Sekilas pandang In Lui melihat keadaan Pit To-hoan terdesak di
bawah angin, terkurung oleh cahaya golok Thio Hong-hu,
keadaannya sangat berbahaya. Sedangkan bala bantuan dari luar
tercegat pula oleh lingkaran pasukan tentara dan tak mampu
menerjang ke dalam.
In Lui menjadi gugup, cepat ia menyerang dengan lebih gencar,
akan tetapi orang itu pun menghadapinya dengan sama cepatnya
sehingga In Lui tidak sanggup menerobos lewat.
"Sesungguhnya kau mau bicara atau tidak?"Pahala dan Murka - 13 36
Karena mendongkol, In Lui diam saja dan tetap melancarkan
serangan. Dalam sekejap belasan jurus berlangsung pula, mestinya
In Lui kalah tenaga, cuma ilmu pedangnya lebih bagus sehingga
tidak sampai terdesak di bawah angin melainkan dapat menandingi
dengan sama kuat. Tapi sekarang lantaran menguatirkan keadaan
Pit To-hoan, perhatiannya terpencar sehingga kena didahului lawan
dan terdesak mundur berulang.
Selagi keadaan semakin gawat, sekonyong-konyong debu
mengepul di mulut lembah sana.
"Siapa itu berani main terobos di sini?" bentak Thio Hong-hu.
Mendadak terdengar suara tertawa aneh menggema angkasa
lembah pegunungan, delapan penunggang kuda berlari datang dari
depan sana, dua orang yang di depan berdandan sangat aneh, yang
satu hitam dan yang lain putih sehingga tampaknya sangat
menyolok dan lucu.
Hampir berteriak kaget In Lui melihat kedua orang aneh ini, jelas
mereka inilah Mako Putih dan Mako Hitam.
Juga dikenalinya empat orang di bagian tengah itu adalah
keempat saudagar emas intan yang pernah urusan bisnis ke Ciokkeh-ceng tempo hari. Sedangkan kedua orang perempuan dengan
ikat kepala di belakang adalah istri Mako Hitam dan Putih yang
bangsa Persi itu.
Kedelapan orang ini melarikan kuda mereka seperti di jalan raya
laja tanpa menghiraukan pertempuran kedua pihak yang sedang
berlangsung.
Kuda cepat Mako Hitam tiba lebih dulu di tempat pertempuran.
Dengan gusar Thio Hong-hu membentak, "Gelinding turun!"
Begitu ia melompat maju, kontan ia membacok kepala orang
dengan goloknya.Pahala dan Murka - 13 37
Mako Hitam mengekek tawa, tongkat kemala hijau menyodok ke
atas malah, mengincar hiat-to bagian perut lawan.
Keruan Thio Hong-hu terkejut, tak tersangka orang aneh ini


Pahala Dan Murka Karya Liang Ie Shen di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

setangkas ini, cepat ia menekuk tubuh di udara, sebelah kaki
hinggap kembali di atas pelana kuda, serentak golok menabas lagi
dua kali.
Kaget juga Mako Hitam, tak disangkanya perwira tentara ini
sedemikian lihai. Cepat tongkat ditarik terus menyodok pula ke
dada musuh Golok Thio Hong-hu lantas menangkis dan keduanya
sama kuat.
Akan tetapi ujung tongkat Mako Hitam lantas mencukit, Thio
Hong-hu cuma sebelah pantatnya saja masih duduk di atas kuda,
keadaannya tidak sebaik lawan, tapi dia juga ingin cepat menang,
mendadak ia tnendoyong ke depan, sebelah tangan terus
mencengkeram lengan Mako Hitam.
Hong-hu bergirang karena cengkeramannya kena sasaran, selagi
ia hendak mcngerahkan tenaga, mendadak bagian yang terpegang
terasa lunak dan sukar ditangkap, tahu-tahu lengan Mako Hitam
secara licin menekuk balik dan menampar mukanya.
Sudah tentu tidak terpikir oleh Thio Hong-hu bahwa yang
digunakan Mako Hitam adalah ilmu Yoga dari negeri Hindu (India),
semacam ilmu lwekang yang ajaib, yang dapat membuat otot daging
berkerut dan berubah bentuk sesuka hati.
Karena tidak terduga, tahu-tahu angin pukulan sudah
menyambar tiba. Thio Hong-hu menjerit kaget, cepat ia melejit jauh
ke sins meninggalkan kudanya.
Mako Hitam sendiri merata serangannya pasti akan berhasil,
siapa tahu akhirnya tetap luput mengenai sasarannya, ia menjadi
kaget juga.Pahala dan Murka - 13 38
Beberapa gebrakan itu berlangsung sangat cepat, belum lagi Pit
To-hoan memikirkan siapa orang ini, tahu-tahu Mako Hitam sudah
menerjang maju lagi dengan kudanya.
"Kawan dari garis mana? Hormat Pit To-hoan di sini!" seru Pit
To-hoan.
Biasanya nama julukan "Cin-sam-kai" cukup disegani, ia sangka
dengan memberitahukan namanya, tentu pendatang akan segera
bergabung dengan dia.
Siapa duga Mako Hitam hanya tertawa ngekek dan membentak,
"Peduli garis apa? Pokoknya lekas minggir, lekas enyah!"
Ia larikan kudanya terlebih cepat dan menerjang tanpa kenal
ampun.
Terpaksa Pit To-hoan angkat toyanya untuk merintangi,
serentak kuda Mako Hitam berjingkrak, tongkat Mako Hitam terus
menghantam dan ditangkis toya Pit To-hoan kontan toya tergetar
menceng ke samping. Sebaliknya tongkat kemala Mako Hitam juga
tergetar hingga hampir saja ia terperosot dari kudanya.
"Bagus, gagah juga kau, minggir saja!" seru Mako Hitam.
Tadi dia membentak dengari ucapan "enyah", sekarang dia
hanya minta orang "minggir" saja, nyata sudah jauh lebih sungkan.
Berulang menghadapi lawan tangguh, Pit lo-hoan tidak menjadi
gentar, kembali toyanya menyabat, sekali ini menghantam kuda.
Mako Hitam menjadi gusar, tongkat kemala menghantam ke
bawah untuk menahan tova orang, habis itu mendadak
dikendurkan sehingga hampir saja Pit To-hoan tersuruk jatuh dan
terinjak kuda, cepat ia melompat ke sana. Dilihatnya kuda lawan
telah melayang lewat di atas kepalanya.Pahala dan Murka - 13 39
Pada saat Mako Hitam perang tanding dengan Thio Hong-hu dan
Pit To-hoan, sementara itu Mako Putih juga sudah menyusul tiba
dan menerjang ke tempat pertempuran In Lui dengan orang aneh
itu. Tentu saja In Lui terkesiap, pikirnya, "Mako hitam-putih ini
pernah kecundang oleh gabungan pedang sendiri dengan Thio Tanhong. Jika dia masih sakit hati dan sekarang mau menuntut balas,
kan bisa runyam?"
Sekilas lirik dapatlah Mako Putih melihat lu Lui, mendadak ia
tertawa ngekek aneh, ia memutar kudanya ke sana, menerjang ke
arah pemuda aneh yang bertempur dengan In Lui.
Dengan gusar pemuda aneh itu menyambutnya dengan suatu
pukulan dahsyat, "brak," paha kuda terpukul dan hampir saja
keserempet. Segera pula golok pemudi aneh itu membacok.
Cepat Mako Putih menangkis dengan tongkat kemala putih,
orang itu tidak tahu tongkat kemala putih adalah senjata wasiat,
"trang," benturan kedua senjata mengakibatkan mata golok gempil
sedikit.
Sekali berputar segera orang itu menyabat lagi dengan goloknya,
tapi tongkat Mako Putih juga lantas menangkis, "trang," tahu-tahu
golok terpental ke udara.
"Kau mampu menangkis tongkatku, jiwamu kuampuni, lekas
minggir!" bentak Mako Putih. Lalu tongkatnya menuding In Lui dan
menambahkan, "tak dapat kaulawan orang ini, lekas lari saja!??
Waktu kakinya mengepit lebih kencang, kudanya terus
mencongklang cepat ke depan.
Kiranya sesudah Mako Hitam dan Putih dikalahkan oleh
gabungan ilmu pedang In Lui dan Thio Tan-hong, setelah kalah
bertaruh segenap harta benda di dalam kuburan itu lantas amblasPahala dan Murka - 13 40
berpindah tangan. Mereka menjadi lesu dan patah semangat, segera
mereka mengutus keempat pembantunya ke daerah selatan untuk
membereskan perdagangan dan menutup perusahaan, lalu
bermaksud pulang ke benua barat.
Siapa tahu secara murah hati Thio Tan-hong lantas
mengembalikan semua harta benda yang dimenangkannya itu.
Tentu saja kedua saudara hitam-putih itu sangat berterima kasih
dan merasa utang budi. Dengan modal itu mereka melakukan
beberapa transaksi besar lagi dan mengeduk keuntungan besar.
Sekali ini mereka pulang dari selatan ke utara, kedelapan kuda
mereka membawa harta benda yang cukup banyak, tujuan mereka
adalah secara diam-diam hendak melintasi pegunungan Himalaya
pulang ke Hindu untuk menjual batu permata yang dibawanya
kepada kaum pangeran di negeri Hindu. Siapa duga di sini mereka
kepergok pertempuran sengit.
Mako Hitam dan Putih menguasai suatu golongan tersendiri,
mereka tidak tunduk kepada golongan atau kalangan mana pun.
Apalagi rombongan mereka membawa harta benda yang cukup
besar nilainya, mereka kuatir dicegat oleh pasukan pemerintah,
sebab itulah rombongan mereka main terjang saja tanpa
menghiraukan siapa yang sedang bertempur.
Tapi lantaran mereka merasa utang budi kepada Thio Tan-hong,
maka demi melihat In Lui, mereka memberi bantuan sekedarnya.
Dalam hal ilmu silat bukan cuma Mako Hitam Putih saja sangat
tinggi, kedua istri bangsa Persi mereka dan keempat pembantunya
Salah Sambung Ii 1 Siluman Ular Putih 07 Tombak Raja Akherat Pedang Angin Berbisik 10

Cari Blog Ini