Jaksa Pao Dalam Paku Maut Bagian 4
Selang beberapa hari sesudah keberangkatan Teng bersama sahabat-sahabatnya. Tiong Bin mulai menjalankan Siasatnya. Dengan segera dia perintahkan dua biksu muda yang menjadi kepercayaannya untuk pergi ke rumah Teng Ji Tiong. Kedua
biksu muda itu diperintahkan membawa sebuah joli (tandu).
Karena jarak Kelenteng Perdamaian ke rumah Teng cukup jauh, akhirnya pada sore hari barulah kedua biksa muda itu sampai ke rumah Teng. Tubuh mereka bermandikan peluh dan debu. Begitu sampai kedua biksu muda itu bertemu dengan pelayan di rumah Teng. Kepada pelayan itu kedua biksu muda itu menyatakan ingin bertemu dengan Nyonya Teng Ji Tiong.
Pelayan segera masuk untuk menyampaikan keinginan kedua biksu muda itu. Begitu bertemu dengan Nyonya Teng pelayan itu berkata.
"Nyonya di luar ada tamu!"
"Siapa?" tanya Nyonya Teng.
"Dua biksu dari Kelenteng Perdamaian!" jawab pelayan
"Mau apa mereka datang? Minta sedekah"
"Bukan. mereka ingin bertemu dengan Nyonya!"
Karena penasaran dan takut ada pesan dari suaminya, Nyonya Teng pergi ke ruang depan. Begitu bertemu dengan Nyonya Teng. kedua biksu muda itu memberi hormat
"Suhu. apa maksud kedatanganmu'?"
"Celaka Nyonya! Suami Nyonya mendadak terkena serangan jantung." jawab salah satu biksu muda.
"Apa? suamiku kena serangan Jantung? Di mana sekarang"?" tanya Nyonya Teng.
"Beliau sekarang ada di Kelenteng Perdamaian dan sedang dirawat di sana. Mungkin karena kerja keras atau entah kenapa. tiba-tiba beliau pingsan. Sekarang Biksu Tiong Bin sedang mencoba mengobatinya. Dia berpesan agar Nyonya segera ke sana! Kami pun sudah siap menunggu perintah. Nyonya!"jawab biksu muda itu.
Mendapat kabar yang tiba-tiba itu. Nyonya Teng menjadi kaget.
"Kenapa suamiku tidak dibawa pulang saja?" tanya Nyonya
Teng cemas.
"Biksu Tiong Bin memang menyuruh kami agar membawa beliau ke mari. Tapi karena keadaannya amat gawat maka .rencana itu dibatalkan. Biksu Tiong Bin berpendapat.jika beliau itu dibawa ke mari. pasti beliau tak akan tahan menempuh berjalanan yang cukup jauh .Sebaiknya Nyonya saja yang datang ke sana untuk merawat beliau. Nanti apabila keadaannya sudah membaik. barulah beliau di bawa pulang ke mari " kata biksu muda itu.
Mendengar keterangan itu Nyonya Teng tampak sangat kebingungan .Akhirnya karena tak ada yang dapat dikatakan dengan terpaksa Nyonya Teng menyetUjui untuk pergi ke Kelenteng Perdamaian .Dengan cepat Nyonya Teng mengemasi pakaiannya .Selain itu dia juga membawa berbagai keperluan. seperti obat-obat dan sebagainya. Setelah semuanya Siap barulah dia berpesan pada pelayan agar menjaga rumah .Sesudah itu dengan tergopoh-gopoh ia naik joli yang sudah tersedia. Dengan tak membuang waktu kedua biksu muda itu segera memikul Joli itu Karena perjalanan yang harus mereka tempuh cukup jauh. maka tak heran kalau mereka tiba di Kelenteng Perdamaian pada malam hari .Begitu sampai joli itu terus digotong ke bagian dalam kelenteng. tepatnya ke tempat tinggal para biksu di kelenteng itu, Sedangkan hati Nyonya Teng masih diliputi rasa cemas memikirkan keadaan suaminya. Namun begitu turun ia agak 'kaget sebab di sana ia lihat Tiong Bin sedang menantinya. ' Nyonya Teng langsung bertanya
'Di mana suamiku?"
"Mari ikut denganku!" kata Tiong Bin. Nyonya Teng menurut lalu memasuki sebuah kamar. Namun di situ ia tak melihat Teng Ji Tiong dan hanya melihat kamar yang kosong. Kamar itu diterangi oleh cahaya lilin dan terdapat meja yang penuh hidangan lezat.
"Mana suami saya?" tanya Nyonya Teng.
Namun sambil senyum-senyum Tiong Bin menjawab,
"Sabarlah, Nyonya."
Melihat tingkah biksu yang tengik itu, Nyonya Teng kelihatan sudah tak sabar.
"Mana suamiku. lekas jawab!"
"Suami Nyonya sedang bepergian ke suatu tempat bersama kawan-kanannya. Tak lama sesudah beliau meninggalkan tempat ini_ kami mendapat kabar suami Nyonya Jatuh sakit. Aku segera menyusulnya untuk memberi pertolongan .Syukurlah penyakit suami Nyonya tidak parah_ hingga sekarang sudah agak baikan walau masih belum bisa bangun." jawab Tiong Bin.
"Jadi di mana suamiku sekarang?" desak Nyonya Teng
"Sabar Nyonya! Karena hari sudah malam. sebaiknya Nyonya istirahat saja dahulu di sini. Makan dan minumlah dulu. harap Nyonya mau memberi kesempatan kepada pemikul joli untuk beristirahat .Tapi jika Nyonya tetap memaksa ingin pergi juga malam ini. baiklah perjalanan bisa kita lanjutkan dengan memakai obor. tapi sesudah para pemikul makan dan istirahat. Namun menurut hematku. sebaiknya Nyonya bermalam saja di sini! Besok pagi-pagi sekali baru kita berangkat" kata Tiong Bin.
Nyonya Teng yang sudah tak sabar ingin melihat keadaan suaminya. sebenarnya tak setuju bermalam di kelenteng .Tapi karena alasan yang diberikan oleh Tiong Bin cukup masuk akal maka Nyonya Teng menyetujuinya. Terpaksa sebagai basa-basi ia menikmati makanan yang sudah disediakan. juga anggur beberapa cawan kecil.
Sesudah itu ia berkata.
"Apa para pemikul joli sudah siap?"
Tiong Bin menjawab.
"Harap Nyonya tunggu akan saya lihat!"
Kemudian Tiong Bin pergi meninggaikan nyoya Teng sendirian. Tak lama Tiong Bin sudah balik kembali.
"Menyesal sekali ternyata mereka amat kelelahan. Mereka menolak untuk melanjutkan perjalanan malam ini. jadi aku tak bisa memaksa mereka. Mungkin karena mereka tadi melakukan perjalanan pulang pergi jadi wajarlah kalau mereka kelelahan. Kurasa ada baiknya kalau mereka diberikan waktu istirahat yang cukup. Lebih baik Nyonya berangkat besok saja. Tenanglah. lebih baik kita makan lagi " Sesudah itu Tiong Bin menyerahkan secawan anggur pada Nyonya Teng. Namun Nyonya Teng diam seribu bahasa, rupanya dia bingung. kesal dan entah apa lagi. Maka dengan terpaksa ia terima juga cawan anggur itu Sesudah ia minum. .tiba-tiba kepalanya mulai pening tubuhnya terasa lemah. dan rasa kantuk pun datang dengan tiba-tiba. Nyonya Teng juga tak tahu kenapa begitu letih. mungkin karena ia telah melakukan perjalanan yang cukup jauh atau makanan dan arak yang dihidangkan oleh Tiong Bin telah diberi obat bius. Ia tak tahu semua itu .Hanya rasa kantuknya tak tahan lagi
"Oh. aku ngantuk sekali!" kata Nyonya Teng
"Mari kuantar ke kamar tidurmu!" kata Tiong Bin. Kemudian Biksu Tiong Bin segera mengantarkan Nyonya Teng ke kamarnya. Kamar milik Tiong Bin ternyata sangat bagus sungguh tak pantas kamar sebagus itu ditempati oleh seorang biksu seperti Tiong Bin .Alat rumah tangga seperti meja tempat tidur dan kursinya pun bagus-bagus. Tempat tidurnya dialasi dengan seprei yang bersulam dan bersih. Bantal dari kasurnya empuk. Kamar itu terletak paling ujung dari kelenteng itu. Keadaannya juga tenang. Bau harum tercium ketika Nyonya Teng memasuki kamar itu. Kamar itu hanya diterangi oleh sebuah lilin kecil
sehingga cahaya di kamar itu tampak remang-remang. Karena sudah tak tahan lagi. Nyonya Teng menjatuhkan diri ke tempat tidur tanpa menukar pakaian lagi.
Rasa kantuk membuat matanya susah untuk dibuka. Namun sebagai wanita baik-baik ia tetap waspada. Itu sebabnya ia tak bisa tertidur lelap.
"Teng!" Terdengar lonceng berbunyi satu kali, Nyonya Teng kaget. ia akan bangun. Namun mata dan kepalanya berat. ia tak dapat bangun walau pikirannya tetap waspada. Namun selang beberapa saat ia mendengar langkah orang mendekati kamarnya. Saat itu dia ingin membuka kedua matanya. tapi tak kuasa, Tak lama ia mendengar orang memutar kunci pintu. perlahan-lahan pintu kamar itu terbuka. Maka dengan sekuat tenaga Nyonya Teng memaksakan untuk membuka matanya .Betapa kagetnya dia ketika melihat Tiong Bin berdiri di hadapannya. Rupanya di kamar itu ada pintu rahasia. sehingga Tiong Bin bisa ke luar masuk dengan leluasa. Nyonya Teng memaksakan diri untuk bangun tapi tak kuasa. Waktu ia ingin menjerit sekuat-kuatnya lehernya seolah tercekik, Dengan demikian dia tak bisa menjerit untuk minta tolong.
Tiong Bin yang mengira Nyonya Teng sudah pulas dengan cepat membuka pakaiannya lalu tidur disamping Nyonya Teng
Pada saat paling kritis tiba-tiba teriakan Nyonya Teng bisa keluar.
"Tolong! Tolong!"
Namun Tiong Bin tak gentar akan teriakan Nyonya Teng
Malah dengan berani dia berkata.
"Berteriaklah sayang! Tak akan ada orang yang bisa mendengar dan menolongmu! Sudah lama sekali aku menunggu saat seperti ini. Ketahuilah semua ini sudah kuatur dengan baik .Jadi kurasa tak ada gunanya kau melawan. Kuharap kau bisa berpikir bijaksana dan tahu apa keinginanku! Lagi pula tak banyak yang aku inginkan. aku hanya minta agar kau menyerahkan tubuhmu yang montok untuk kunikmati malam ini!"
"Lepaskan! Bangsat, lepaskan aku!" teriak Nyonya Teng. Tapi Tiong Bin tetap memeluk tubuh montok Nyonya Teng. Saat itu Nyonya Teng meronta-ronta ingin melepaskan pelukan Tiong Bin, akhirnya ia melawan dengan menggigit tangan Tiong Bin. atau mencakar dan menendang dengan kakinya. Dengan sekuat tenaga Nyonya Teng mencoba mempertahankan kehormatannya.
"Lebih baik aku mati daripada menyerahkan kehormatanku padamu. hai anjing!" teriak Nyonya Teng.
Akhirnya karena perlawanan keras dari Nyonya Teng diam-diam Tiong Bin merubah taktik. Ia pun tak menggunakan kekerasan lagi untuk menaklukkan Nyonya Teng, Tak lama iapun membujuk dengan suara lembut,
"Manis, kuharap kau jangan melawan. Lebih baik kau menyerah sebab tak ada gunanya kau melawanku. Apalagi aku lebih kuat darimu. Sebaiknya kau terima nasib saja. Lagi pula siapa yang akan membocorkan kau pernah tidur denganku"? Kalau kau mau mengalah. besok akan kuantarkan kau ke tempat suamimu!" bujuk Tiong Bin,
Namun Nyonya Teng tetap pada pendiriannya. ia terus meronta-ronta ingin melepaskan diri dari pelukan biksu bajingan itu. Melihat Nyonya Teng tak mau mengalah. Tiong Bin marah. Ia lalu mengancam.
"Awas! Jika kau tak mau menyerah akan kusiksa kau. Ingat malam ini keinginanku harus terkabul. kalau perlu dengan membunuhmu terlebih dahulu. asal maksudku terlaksana! Jangan kau kira ancamanku bohong. aku bisa menguburmu di sini hidup-hidup! Kukira tak ada seorang pun yang akan mengetahui kejadian ini'?"
Nyonya Teng tetap berontak sambil mencoba menggigit
tangan Tiong Bin. Ketika pelukan jahanam itu lepas .Nyonya Teng segera melompat turun dari tempat tidur menuju ke pintu.
Ternyata usahanya sia-sua sebab dengan cepat Tiong Bln telah berhasil memeluknya kembali. Dengan kasar pakaian Nyonya Teng ditarik sampai robek. Sesudah itu tubuh Nyonya Teng dipangku dan dibawa kembali ke atas tempat tidur. Kemudian dengan kasar mulut Nyonya Teng disumbal dengan kain baju Nyonya Teng yang sobek. Sedang kaki dan tangan Nyonya yang malang itu lalu diikat ke tiang lompat tidur itu . Akhirnya dengan kasar pula Tiong Bin melepaskan seluruh pakalan Nyonya Teng sampai tak mengenakan sehelai benang,
Karena Nyonya Teng tak berdaya lagi dengan leluasa Tiong Bin bisa melampiaskan nafsunya
*** Esok harinya .
Tiong Bin tak seperti biasanya. ia bangun kesiangan. Ketika bangun. ia masih melihat Nyonya Teng terbaring tanpa pakaian di sampingnya. Kedua mata nyonya itu meneteskan air mata.
Melihat hal itu dengan senyum kemenangan Tiong Bin berbisik.
"Sekarang milikmu yang paling berharga telah kurenggut. Seharusnya kau tidak melawan malah kalau kau mau kuharap kau tetap menemaniku . Nanti kau akan kujadikan biksu dan rambutmu akan kueukur. Sesudah itu barulah kau dapat mengenakan jubah biksu Jangan takut. kau tak usah kerja keras. paling-paling kau hanya menemaniku tiap malam di sini. Kau juga akan kuurus dengan baik, Tapi ingat jika kau melawan seperti tadi malam. Jiwamu akan kuhabisi! Sekarang terserah. mana yang kau pilih untuk cara kematianmu. Kau ingin mati dengan tali. pisau atau racun!"
Mendengar ancaman Biksu Tiong Bin. Sebenarnya Nyonya Teng tak gentar hatinya tapi ternyata Nyonya Teng seorang bijaksana. Otaknya segera bekerja.
"Kehormatanku telah ternoda. dengan demikian aku tak akan bisa kembali ke masyarakat tanpa menangung malu dan rendah diri. Sekarang untuk apa aku melawan, tak ada gunanya. Supaya aku tetap bisa hidup. sebaiknya kuturuti kehendak jahanam ini. Siapa tahu bila ada penolongan dari Tuhan. aku bisa bertemu kembali dengan suamiku? Pada saat itu. akan kuadukan kejahatan si jahanam ini. Dengan demikian barulah aku bisa membalas dendam.
Karena berpikir demikian. Nyonya Teng dengan cerdik mengangguk.Hal itu membuat biksu jahanam itu amat puas. Ia peluki nyonya itu dengan kasih sayang. dia sendiri yang mencukur rambut Nyonya Teng. lalu mengenakan jubah biksu yang paling baru pada kekasihnya itu. Sejak itu tiap malam biksu jahanam itu bisa memuaskan nafsunya.
Sesudah sebulan lebih berpergian Teng Ji Tiong baru kembali dari tempat jauh. Ia langsung singgah ke Kelenteng Perdamaian untuk menemui Biksu Tiong Bin. Ketika Nyonya Teng mendengar kedatangan Teng Ji Tiong. dengan cepat Nyonya Teng yang memakai jubah biksu dan menyerbu ke luar .Karena Biksu Tiong Bin tak sempat mencegahnya. ia memburu ke arah Nyonya Teng, Teng yang melihat biksu muda yang tak dikenalinya sedang ke arahnya menjadi kaget. Karena mengira itu seorang calon biksu. dia segera membungkukkan badannya memberi hormat.
Namun begitu biksu muda itu mendekat. segera merangkulnya sambil berseru.
"Suamiku! Lupakah kau padaku. aku isterimu. Aku telah di bawa ke sini oleh Tiong Bin dengan Paksa, bahkan aku telah dinodainya. Siang malam aku berdoa agar kau segera menolong aku"
Mendengar jeritan serta ratapan isterinya. tentu saja Teng kaget bukan main. Begitu melihat Tiong Bin memburu ke arah isterinya, Teng segera mendorong isterinya ke samping. Kemudian dengan penuh dendam Teng memburu dan
menyerang ke arah Tiong Bin. Tiong Bin yang tak mengira akan diserang secara tiba-tiba. Karena tak tahan oleh pukulan yang bertubi-tubi dari Teng, Tiong Bin berteriak-teriak minta tolong.
Tak lama para biksu berdatangan. Ketika melihat Biksu Tiong Bin sedang dipukuli oleh Teng, para biksu segera mengepung Teng. Dalam waktu singkat Teng tertangkap. Tiong Bin yang marah segera mencabut goloknya hendak menikam dada Teng.
Namun isteri Teng segera menghalanginya,
"Bunuh aku dulu, baru kau bunuh suamiku!"
Melihat isteri Teng menghalanginya, Tiong Bin membatalkan maksudnya untuk membunuh Teng.
"Tahan dia dalam gudang" perintah Tiong Bin.
Sesudah itu dengan cepat Teng dimasukkan ke dalam gudang. Sedang istennya ditahan di dalam kamar. Tak lama Tiong Bin pergi ke gudang untuk menemui Teng, Maksud Tiong Bin kalau perlu sahabatnya itu akan dibunuhnya .
Begitu berhadapan dengan Teng, sahabat yang malang itu langsung menegur Tiong Bin,
"Bagus sekali perbuatanmu hai sahabat baikku. Sesudah kau rampas isteriku dan kau perkosa dia, sekarang kau akan membunuh aku. Ingat, bila kau bunuh aku, rohku tak akan membiarkan kau! Bila kau akan membunuhku, untuk terakhir kalinya izinkan aku menemui isteriku. Sesudah itu kau boleh bunuh kami bersama-sama!"
"Hm, enak betul permintaanmu! Jangan mimpi, apa kau kira aku akan mengizinkan kalian mati bersama-sama? 'Tidak bisa! Hai cuma kau yang harus mati, sedang isterimu akan tetap hidup menemaniku!" jawab Tiong Bin.
Mendengar ucapan Tiong Bin tampaknya Teng geram sekali .Tapi ia pun tak berdaya untuk melawannya.
Tapi akhirnya dengan sabar ia berkata lagi,
"Kalau demikian kehendakmu, izinkanlah aku bunuh diri!"
Mendengar permintaan Teng, tentu saja Tiong Bin mentertawakannya,
"Enak betul! Kau kira kau akan mati begitu! ketahuilah aku bermaksud berbuat baik di hadapan Budha. Kau tentu masih ingat lonceng besar di belakang kamar ketua kelenteng bukan? Nah, dengan cara itulah kau akan kubunuh. Nanti kau akan kukurung dibawah lonceng itu. Dengan demikian kau akan mati kelaparan dengan perlahan-lahan. Kukira itu cara yang terbaik untuk kematianmu!"
Sesudah itu Tiong Bin memerintahkan para pembantunya untuk mengurung Teng di bawah lonceng. Sesudah itu Tiong Bin baru kelihatan puas. '
*** Sejak pertemuan dengan suaminya, berhari-hari lamanya Nyonya Teng terus menangis. Dia pun tak tahu bagaimana nasib suaminya? Tapi apabila ia berada sendirian karena tidak melayani nafsu binatang dari si jahanam, Nyonya Teng berdoa pada Dewi Koan Im (Dewi Welas Asih). Dewi ini banyak disembah oleh wanita dikalangan bangsa Tionghoa.
Nyonya Teng memohon pada Deni Koan lm,
"Oh Dewi Koan Im, tolonglah hambamu. Perintahkan hal seseorang menolong untuk suamiku dan aku."
Demikian ia memohon tiap hari.
******
Di tempat lain, tepatnya di rumah Jaksa Pao yang lebih dikenal dengan panggilan Pao Kong, sedang melepaskan lelah. Malam itu Jaksa Pao sedang santai sebab tadi siang otaknya terpakai. Tenaganya pun terkuras karena mengurus berbagai perkara yang rumit. Hal ini sudah menjadi kebiasaan Jaksa Pao bila sudah bekerja keras, pada malamnya ia melepas lelah sampai jauh malam di kamar kerjanya. Saat itu Jaksa Pao sedang membaca cerita sambil bersandar untuk melewatkan waktu senggangnya. Terkadang Jaksa Pao tertidur di kursinya. Sudah
tiga malam berturut-turut Jaksa Pao tertidur di kursinya dan selalu diganggu mimpi buruk yang itu-itu juga
Walaupun Jaksa Pao paling terkenal tak percaya pada takhyul, tapi sebagai jaksa terpelajar, dia pernah mempelajari ajaran seorang ahli Tao, di antaranya Chuang Tzu. Chuang Tzu mengatakan, mimpi sebenarnya mengandung kebenaran. Jika orang cukup bijak, dia bisa mengurai misteri yang terkandung dalam mimpi itu. .
Hari itu Jaksa Pao sedang merenungkan mimpinya. Tiga malam yang lalu ia bermimpi didatangi Dewi Koan Im dan meminta agar dia datang ke Kelenteng Perdamaian dan mendatangi sebuah lonceng raksasa yang berhias sepasang naga hitam. Namun dalam mimpi itu tak dijelaskan apa kehendak Dewi Koan Im hingga Jaksa Pao tak mengerti makna mimpinya. Namun pada setiap kali ia bermimpi Dewi Koan Im seolah mendesaknya agar dia segera pergi ke Kelenteng Perdamaian untuk melihat lonceng itu. Karena lelah malam itu Jaksa Pao kembali tertidur di kamar kerjanya. Tapi anehnya malam itu ia pun bermimpi kembali.
Esok harinya. .
Ketika Pao Kong terbangun dari tidurnya. ia teringat pada mimpinya semalam. Karena mimpi itu terus berulang. Pao Kong bermaksud untuk mengambil cuti beberapa hari. Sesudah mendapat izin, Pao Kong yang ditemani oleh Thio Liong dan Tio Houw serta beberapa pembantunya segera berangkat ke Kelenteng Perdamaian,
Ternyata kedatangan Pao Kong yang mendadak dan tanpa pemberitahuan itu membuat para biksu kaget. Apalagi ketika Pao Kong langsung meminta agar ia diantar ke tempat lonceng bergambar naga hitam yang ada di dekat kamar ketua kelenteng .Tak lama beberapa biksu mengantarkan Pao Kong ke tempat
lonceng berada. Setiba di sana Pao Kong merasa kagum melihat lonceng yang besar dengan tinggi tak kurang dari 180 meter. Pada bagian luar lonceng itu, terukir gambar sepasang naga hitam yang sedang berebut mutiara. Buatannya amat bagus. Sesudah memperhatikan lonceng itu beberapa saat lamanya, tiba-tiba timbul keinginan Pao Kong untuk melihat bagian dalam lonceng. Karena keinginannya itu amat keras, dia langsung memerintahkan anak buahnya untuk mengangkat lonceng tersebut. Thio Liong dan Tio Houw serta beberapa anak buahnya segera melaksanakan perintah Pao Kong. Namun ketika lonceng yang besar dan berat itu terangkat, bukan main kagetnya Pao Kong. Ternyata di bawah lonceng yang besar itu terdapat sesosok tubuh manusia yang menggeletak lemas. Semula Pao Kong mengira orang itu sudah mati. Namun setelah Thio Liong memeriksa denyut nadinya, ternyata orang itu masih hidup. Dengan segera orang yang tergeletak di atas lantai itu diberi pertolongan. Setelah ia diberi minum air kaldu daging. perlahan-lahan orang itu mulai siuman.
Karena Pao Kong sudah menangani berbagai kasus kejahatan, ia segera mengetahui bahwa orang yang tergeletak di bawah lonceng itu ulah kejahatan yang dilakukan manusia. Karena amat tertarik .Pao Kong langsung menangani kasus yang amat misterius itu. Dengan cepat Pao Kong memberi perintah.
"Thio Liong. Tio Houw segera bawa anak buahmu! Jaga semua jalan ke luar kelenteng ini! Ingat jangan diperbolehkan seorang pun lolos!" kata Pao Kong.
"Baik. Tuan!" kata kedua anak buahnya yang setia itu.
Tak lama Pao Kong memerintahkan salah seorang anak buahnya untuk mengumpulkan semua biksu yang ada di kelenteng itu .Tak lama semua biksu telah berkumpul di ruang tengah kelenteng.
Sedangkan orang yang diketemukan di bawah lonceng pun sudah mulai segar. Saat itu dia sudah mulai kuat untuk berbicara. Melihat orang itu sudah segar kembali, Pao Kong bertanya,
"Siapa namamu? Kenapa kau berada di bawah lonceng itu?"
"Nama saya Teng Ji Tiong. Saya berada di bawah lonceng 'ini karena ulah Biksu Tiong Bin yang telah merampas isteri saya. Dia juga telah memaksa isteri saya untuk melayani nafsunya. Untuk pemuas nafsunya, isteri saya dijadikan biksu. Kemudian saya diletakkan di bawah lonceng supaya saya mati secara perlahan-lahan. Selama saya berada di bawah lonceng ini. saya tak diberi makan dan minum. Untung Tuan menolong saya." kata orang itu.
Mendengar keterangan Teng Ji Tiong, Pao Kong gusar. Dengan cepat ia memerintahkan anak buahnya agar mencari dan menangkap biksu yang bernama Tiong Bin. Selain itu anak buahnya juga diperintahkan mencari isteri Teng. Namun walau mereka sudah berusaha keras, anak buah Pao Kong belum berhasil menemukan orang yang dimaksud. Akhirnya karena penasaran. Pao Kong mengerahkan kekuatan yang lebih besar untuk mencari mereka.
Akhirnya di sebuah gang atau lorong yang gelap, anak buah Pao Kong menemukan sebuah kamar yang dindingnya bisa bergerak. Pao Kong segera memberi perintah untuk membuka kamar itu. Kemudian dengan menggerakkan dinding pada salah satu bagian. maka tampaklah sebuah jalan ke kamar bawah. Anak buah Pao Kong segera turun sambil membawa lilin. Ternyata untuk turun ke situ terdapat sebuah tangga. Karena gelapnya kamar di bawah tanah itu, tanpa sengaja salah seorang anak buah Pao Kong melanggar sesosok tubuh manusia yang menggeletak di lantai. Kaki dan tangannya terikat kuat. Setelah dihampiri, ternyata orang itu seorang biksu muda. Sedangkan mulut biksu itu disumbat dengan kain. Anak buah Pao Kong segera mengangkat tubuh biksu itu, lalu membuka ikatan kaki dan tangannya .Sesudah itu barulah orang itu dihadapkan pada Pao Kong.
"Siapa kau?" tanya Jaksa Pao.
"Saya isteri Teng Ji Tiong!" jawab biksu itu.
Tak lama anak buah Pao Kong pun sudah berhasil menangkap Tiong Bin. Ketika Nyonya Teng melihat suaminya masih hidup dan Tiong Bin sudah tertangkap, ia mencucurkan air mata karena sedih dan gembira.
"Sekarang. Nyonya ceritakan apa yang terjadi atas diri Nyonya?" kata Jaksa Pao.
Nyonya Teng segera menceritakan segala malapetaka yang menimpa dirinya. Saat itu Tiong Bin juga mendengarkan pengakuan perempuan malang itu, hatinya mulai goncang dan agak gentar. Sesudah Nyonya Teng selesai bercerita, dengan wajah bengis Pao Kong bertanya pada Tiong Bin,
"Apakah betul begitu?"
Karena takut Tiong Bin tak berani menyangkal.
"Benar, Tuanku." kemudian Tiong Bin mengakui segala kesalahannya.
Sementara itu seorang anak buah Jaksa Pao menuliskan pengakuan Tiong Bin.
Sesudah selesai membacakan pengakuan Tiong Bin. Jaksa Pao bertanya lagi,
"Apa betul pengakuanmu begitu? "
Karena dia tidak bisa membantah lagi. sambil menunduk dia mengakui semua itu. Sesudah itu anak buah Jaksa Pao meminta Tiong Bin agar menandatangani pengakuannya serta membubuhkan cap jempol.
Sesudah selesai barulah Jaksa Pao berkata,
"Padahal Biksu Tiong Bin amat terkenal. apalagi dia bersahabat baik dengan Teng Ji Tiong bahkan mereka sudah seperti dua orang saudara. Namun dia telah mengkhianati persahabatannya serta mencoba Merebut isteri sahabatnya dengan akal licik dan membawanya ke kelenteng untuk memuaskan nafsu binatangnya. Selain itu dia juga menyembunyikan isteri sahabatnya. dengan jalan menggunduli wanita itu, supaya tidak ketahuan. Dan atas perbuatannya itu berarti dia telah melanggar hukum itu. Sedangkan semua biksu di sini, termasuk ketua kelenteng kuanggap terlibat dalam kejahatan Tiong Bin. Karena walaupun mereka tahu Tiong Bin berbuat jahat, namun mereka membiarkan kejahatan ini berlarut-larut terjadi ditempat suci ini. Sebagai ganjaran atas perbuatan itu, Tiong Bin _sang jelas bersalah, kujatuhi hukuman pancung kepala! Sedangkan biksu yang membantu kejahatan Biksu Tiong Bin, semua harus diasingkan ke tempat gersang. Di sana kalian harus menjalankan kerja paksa selama sepuluh tahun. Untuk sementara. sebelum ada biksu lain untuk mengurus kelenteng ini, maka kelenteng ini disegel!"
Setelah keputusan itu dibacakan, tiba-tiba Nyonya Teng maju ke depan.
"Maaf Yang Mulia, saya telah mengambil suatu keputusan." kata Nyonya Teng.
"Keputusan apa?" tanya Jaksa Pao,.
"Sekarang setelah suami saya selamat dari mara bahaya, dan Biksu Tiong Bin yang jahat telah mendapatkan hukuman setimpal, saya rasa tak ada gunanya saya hidup lebih lama lagi. Jadi satu-satunya jalan untuk menebus dosa dan rasa malu saya. serta nama baik keluarga, saya harus bunuh diri!"
Kemudian sebelum semua orang menyadari apa yang akan terjadi, Nyonya Teng segera bangkit, lalu lari dan membenturkan kepalanya ke tiang kelenteng. Perempuan malang itu roboh bermandikan darah. Melihat hal itu dengan sigap anak buah Jaksa Pao memberikan pertolonganya. Jaksa Pao dan Tens Ji Tiong yang menyaksikan kejadian yang amat mengharukan itu jadi amat cemas.
Kemudian dengan berwibawa Jaksa Pao meneruskan kata-katanya,
"Teng Ji Tiong, kukira tidak ada alasan buat kau untuk malu menerima isterimu kembali. Kukira isterimu sangat berbakti dan suci. Dia begitu baik kepadamu. Kau menyaksikan sendiri bahwa dia sudah tak sayang pada jiwanya. Pada Zaman sekarang sudah tak banyak perempuan seperti isterimu ini. Oleh karena itu apa yang telah terjadi kuminta tidak menjadi penghalang untuk menerima kembali isterimu. Ambilah dia, perlakukanlah dia dengan baik seperti sedia kala!"
Karena Teng memang mencintai isterinya, dengan amat terharu ia pun menyatakan kesediaannya.
"Aku berjanji akan memelihara isteriku dengan baik!" kata Teng Ji Tiong.
"Syukurlah kalau begitu. Sekarang aku puas!" kata Jaksa Pao
Sesudah itu Jaksa Pao menutup persidangan. sedang anak buahnya menggiring para tahanan ke ibu kota. Sedangkan Teng dan isterinya pulang ke rumah mereka. Mereka amat bersyukur pada kebaikan Jaksa Pao. Akhirnya karena mimpi Jaksa Pao, Teng Ji Tiong selamat dari maut.
*******
BAB IX ORANG TAK BERBUDI
Dl Kampung Ci Thauw-tin ada sebuah gedung yang sangat bagus. Pemilik gedung itu adalah seorang hartawan gang berbudi luhur, dermawan dan baik hati. Hartawan itu bernama Cui Tiang Cia. Ia hidup bahagia bersama anak dan istrinya.
Di kampung itu, Cui Wangwee (Hartawan Cui) dikenal sangat suka menolong sesamanya, banyak tetangganya yang kesusahan pernah ditolongnya. Bukan itu saja setiap ada pengembara yang datang kemalaman ataupun kehabisan ongkos, mereka selalu diberi pondokan dan uang oleh Hartawan Cui Tiang Cia.
Maka itu Cui Tiang Cia sangat disukai masyarakat di sekitarnya. Selama dia tinggal di gedung bagusnya, orang belum pernah melihat atau mendengar Hartawan Cui berselisih dengan tetangganya. Ia memang cinta damai, dan sangat menyenangi kerukunan.
Pada suatu hari gedungnya kedatangan seorang hweeshio. Hweeshio itu mengetuk pintu pagar rumahnya. Mendengar ada yang mengetuk pintu pagar, pelayan Hartawan Cui membukakan pintu. Ketika melihat ada hweeshio berdiri di muka pintu pekarangan, para pegawai Cui memberi hormat.
"Guru hendak mencari siapa?" tanya pelayan Cui.
"Aku mencari Tuanmu, aku ingin bertemu denganya!" kata hweeshio itu.
"Ada urusan apa hingga Guru ingin menemui Tuan kami. Jika soal sumbangan, Guru tak perlu menemui beliau sebab sudan ada jatah untuk itu!" kata sang pelayan.
"Tidak! Aku datang bukan untuk minta sumbangan, tapi ini masalah yang sangat penting. Aku harus segera menemui Tuanmu!" kata si hweeshio dengan hormat.
"Kalau begitu silakan Guru masuk ke ruang tamu dahulu, saya akan memanggil majikan kami!" kata si pelayan
"Baiklah, lekas panggil dia!" jawab si paderi.
Pelayan itu lalu menyilakan tamunya duduk, kemudian dia sendiri bergegas ke dalam hendak menemui majikannya
Sesudah sampai di depan majikannya, pelayan itu segera memberi hormat.
"Tuan, di luar ada seorang hweeshio ingin bertemu dengan Tuan. Katanya ada urusan yang sangat penting yang akan dibicarakannya dengan Tuan." kata si pelayan.
"Baiklah kalau begitu aku akan menemuinya sendiri!" kata Cui Tiang Cia.
Hartawan Cui segera menemui tamunya itu di ruang tamu. . Ketika sudah berhadapan, Hartawan Cui segera memberi hormat seperti biasanya. ia sangat menaruh hormat pada penganut agama Budha.
"Selamat siang, Guru!" kata Hartawan Cui.
"Apakah Tuan yang bernama Cui Tiang Cia?" tanya si Paderi.
"Benar, Guru."
"Bagus." kata paderi itu.
"Sebelumnya aku minta maaf tidak bisa menyambut kedatangan Guru di depan sebab Guru tak memberi tahu terlebih dahulu." kata Hartawan Cui.
'Tak apa-apa. Kedatanganku yang tergesa-gesa ini hanya karena aku ingin segera menemui Tuan!". kata paderi itu
"Terima kasih banyak atas kesediaan Guru berkunjung ke rumah kami" kata Hartawan Cui
"Aku datang bukan dengan tujuan kunjungan biasa, tetapi ada sesuatu yang penting yang hendak aku katakan kepadamu; Tuan!" kata paderi itu.
"Tentu, Guru datang pasti dengan urusan penting. Tapi kalau begitu, Guru harus makan dahulu. Pelayan lekas sediakan makanan untuk kami!" kata Hartawan Cui.
Pelayan-pelayan Hartawan Cui sudah mengerti hidangan yang bagaimana yang harus mereka hidangkan, bila tamu majikannya seorang paderi .Karena mereka sudah tahu kalau hweeshio tidak makan daging, maka yang dihidangkan saat itu hanyalah nasi putih dan sayur-sayur yang tidak memakai daging atau lemak daging.
Setelah hidangan tersedia, Hartawan Cui lalu menyilakan tamunya makan bersama. Kemudian sambil makan mereka terus berbincang-bincang.
"Maaf Guru, Guru berasal dari mana?" kata tuan rumah
"Aku seorang paderi pengembara, jadi aku tidak punya tempat tinggal yang tetap. Kedatanganku ke sini, pertama-tama ingin menemui Tuan dan kedua aku harus menyampaikan satu berita yang amat penting kepada Tuan!" kata hweeshio.
"Begitu pentingkah soal itu bagi kami?" tanya Hartawan Cui
"Ya!"
"Persoalan apakah yang kiranya akan Guru sampaikan. Katakanlah. jika itu soal sumbangan, pasti akan kupenuhi permintaan Guru itu. Berapapun besar uang yang Guru butuhkan, katakanlah!" kata Hartawan Cui.
Mendengar kata-kata Cui Tiang Cia yang begitu tulus, paderi itu menganggukkan kepalanya kemudian ia berkata dengan penuh hormat.
"Terima kasih. terima kasih! Dari kata-kata Tuan, tahulah aku bahwa Tuan memang seorang dermawan yang budiman di kampung ini. Jadi apa yang aku dengar tentang Tuan, ternyata-bisa kubuktikan sendiri. Untuk sikap kedermawanan Tuan itu, wajiblah aku memberitahukan sebuah masalah maha penting, yakni soal keselamatan Tuan dan sanak keluarga Tuan di sini. Maaf, aku datang bukan untuk minta derma, aku tak pernah melakukannya." kata paderi itu.
"Maafkan atas kesalahanku telah berprasangka buruk menuduh kedatangan Guru di tempatku ini untuk minta derma. Lalu pesan apa yang akan Guru sampaikan kepadaku?" kata Hartawan Cui.
"Dengarkan baik-baik! Beberapa waktu lagi kampung ini akan dilanda banjir besar. Tuan harus segera menyiapkan sebuah perahu untuk menyelamatkan keluarga Tuan dan pegawai pegawai Tuan. Bila banjir itu benar datang, Tuan dan keluarga serta sanak famili Tuan dapat mempergunakan perahu itu. Aku yakin Tuan akan selamat!" kata paderi itu.
Mendengar berita itu, Hartawan Cui tak dapat berkata apa-apa karena kagetnya.
Dengan gugup lalu ia berlutut dan berkata lagi,
"Guru! Kapan banjir itu akan terjadi?" tanya Cui Tiang Cia,
"0 Mi To Hud! Maafkan, aku tak dapat mengungkapkan rahasia alam. Bila Tuan ingin tahu tanda datangnya bencana itu, begini saja. Tak jauh dari sini ada sebuah kelenteng, Tuan perhatikan mata patung yang ada di kuil itu, bila mata patung itu mengeluarkan darah, maka itulah tandanya banjir itu akan segera datang!" kata paderi itu.
"Lalu kami harus berbuat apa?"
"Segera setelah melihat mata patung itu berdarah, Tuan dan keluarga Tuan harus segera naik ke atas perahu untuk menyelamatkan diri. Ingat pesanku ini!" kata paderi itu.
Hartawan Cui mengangguk, tapi karena ia seorang yang
budiman ia teringat pada tetangga-tetangganya. Kemudian ia berkata pada hweeshio itu.
"kalau benar katamu itu, izinkan aku memberitahu tetanggaku, supaya mereka juga selamat dari mara bahaya ini" kata Cui.
Paderi itu tertawa, kemudian berkata dengan tegas,
"Hatimu memang mulia, tapi ingat tetanggamu itu semua jahat. Jadi aku rasa tak perlu kau beritahukan hal ini pada mereka sebab meski kau beritahukan juga, mereka tak akan percaya pada ucapanmu. Lebih baik Tuan jaga keselamatan Tuan dan keluarga Tuan saja. Tapi walau kau telah mendengar berita ini dariku, kau pun tak akan luput dari kesulitan!" kata paderi itu.
Mendengar ucapan paderi itu Cui Wangwe ketakutan sekali.
"Guru, kesusahan apa yang akan kualami?"
"Jangan takut, jiwamu akan selamat. Sekarang bolehkah aku meminjam pitmu dan kertas?" kata paderi itu
"Pelayan, bawakan alat tulis dan bak tinta serta kertasnya untuk Guru!" kata Cui.
Sesudah barang-barang yang diminta itu tersedia di meja, dengan cepat paderi itu menulis beberapa tulisan pada kertas, tapi Cui tak mengerti apa maksudnya. Setelah selesai dan kering surat itu diserahkan pada Cui Wangwee.Ternyata di dalam surat itu sang paderi menasihati agar pada saat terjadi banjir nanti ia tidak menolong orang yang terbawa hanyut. Sebab menurut sang paderi, orang yang ditolong bukan membalas budi, malah akan mencelakakan Cui.
"Apa artinya ini, Guru?"
"Simpan saja surat ini baik-baik, dikemudian hari Tuan tentu akan mengerti maksudnya!" kata paderi itu.
Hartawan Cui terpaksa menganggukkan kepalanya tanda
mengerti pada pesan si tamu. Setelah makan padri itu pamit akan melanjutkan perjalanannya
'Kenapa Guru tergeaa-gesa?"
"Aku harus segera pergi." kata paderi.
Cui masuk ke dalam kamarnya, lalu ia mengmbil uang sebanyak 10 tail. Kemudian uang itu diberikan pada si paderi untuk ongkos diperjalanan. Tapi pemberian itu ditolak oleh hweeshio itu.
"0 Mi To Hud! Aku seorang paderi, jadi aku tak butuh uang. Simpan saja uang itu kembali! Dan aku harap Tuan tidak marah!" kata paderi itu.
"Baiklah kalau begitu aku ucapkan selamat jalan!" kata Cui.
"Terima kasih, aku permisi!" kata sang paderi.
Cui segera mengantarkan tamunya ke luar. Tapi setiba di luar, dalam sekejap tamu itu menghilang. Cui segera bergegas ke kamarnya hendak menemui keluarganya.
Isteri Cui yang bernama Thio-si kaget melihat suaminya pucat.
"Ada apa Suamiku?"
"Tadi seorang paderi telah datang ke mari, ia mengatakan
kampung kita dalam bahaya. Tak lama lagi akan datang banjir besar yang akan menenggelamkan kampung ini!" kata suaminya.
"Oh celaka, apa jadinya dengan kita. Oh bagaimana bila banjir itu benar-benar datang?" kata isterinya dengan gugup.
"Sabar, aku disuruh membuat perahu besar, agar nanti jika bahaya itu datang kita harus segera naik ke perahu itu untuk Menyelamatkan diri." kata suaminya.
Mendengar penjelasan suaminya hati sang isteri agak lega. Hari itu juga Cui memerintahkan pelayannya agar memanggil beberapa tukang kayu untuk membuat perahu sebanyak 10 buah. Rekanan itu segera dimulai bahkan dilakukan siang dan malam.
Sedang tukang-tukang kayu itu amat senang sebab mereka dibayar cukup mahal oleh Cui. Perahu yang dibuatnya pun cukup besar, dengan demikian bila banjir terjadi perahu ini tak akan tenggelam dengan mudah. Apalagi pembuatannya juga kuat karena terbuat dari bahan-bahan terbaik.
Melihat Hartawan Cui membuat perahu demikian banyak dan besar-besar, orang-orang kampung semua heran. Mereka lalu bertanya-tanya pada pegawai hartawan itu.
"Untuk apa majikanmu membuat perahu begitu banyak? Apalagi besar-besar begitu!" tanya salah seorang tetangganya.
"Menurut majikan kami, dalam waktu dekat akan ada banjir besar. Kampung ini akan tenggelam!" kata pelayan Cui.
Mendengar berita itu semua orang tertawa terbahak-bahak sebab hal itu mereka anggap lucu. Sedangkan musim hujan saja belum datang, bagaimana akan terjadi banjir pikir mereka
Di antaranya malah ada yang penasaran lalu menanyakan sendiri pada Cui.
"Tuan mengapa Anda membuat perahu begitu banyak dan besar-besar?" tanya orang itu.
Karena Cui berhati tulus, ia menerangkan dengan sejujur jujurnya apa yang diketahuinya lewat seorang paderi. Tapi orang di kampung itu bukan percaya, malah mentertawakan Cui yang terlalu berkhayal. Apalagi seumurnya kampung itu belum pernah dilanda banjir. Jangankan banjir, kebecekan saja tidak pernah.
Mendengar ejekan tetangga-tetangganya, Cui tak mempedulikannya. Setelah perahu-perahu itu selesai, ia perintahkan agar pegawainya memuat barang-barangnya ke perahu. Sedangkan bujang perempuannya tiap pagi disuruh pergi ke kelenteng untuk melihat mata patung, sudahkah patung itu mengeluarkan darah?
Tiap pagi dengan rajin bujang perempuan Cui mendatangi
kuil itu, dan sepulangnya dari sana dia segera memberi laporan tentang apa yang dilihatnya di kelenteng itu.
'Bagaimana. apakah kau udah lihat mata patung itu berdarah?" tanya Cui.
"Belum Tuan, masih seperti sedia kala!" jawab bujang perempuan itu
Setiap pagi begitu saja kerja bujang perempuan itu. Selang satu bulan, ketika bujang perempuan itu tiba di kelenteng, di sana sedang berdiri dua orang tukang babi. Mereka pun heran melihat bujang perempuan itu tiap hari datang ke kelenteng, untuk memeriksa dan meraba-raba mata patung itu. Setelah itu barulah dia pulang.
Suatu hari mereka menghampiri bujang perempuan Cui lalu bertanya,
"Nona, mengapa tiap pagi kau memeriksa mata patung itu, padahal patung itu dari batu? Sebenarnya apa yang mengherankan dari patung batu itu? Kami lihat tiap pagi kau datang dan meraba-rabanya lalu pulang." kata salah seorang tukang babi.
"Aku datang atas perintah majikanku. Maksudnya untuk
memeriksa apakah mata patung itu sudah mengeluarkan darah atau belum?" kata si bujang perempuan.
"Ah, bagaimana mungkin patung batu bisa mengeluarkan darah?" kata yang lain.
"Aku pun tidak tahu, tapi kata majikanku bila mata patung itu berdarah, maka bencana banjir akan segera datang!" kata si bujang perempuan.
Mendengar keterangan dari wanita itu, kedua tukang babi itu saling pandang keheranan. Sedangkan si bujang perempuan itu pun pulang ke rumah majikannya. Setelah bujang perempuan itu pergi jauh, kedua tukang babi itu masih berdiam di situ.
"Heran, bagaimana mungkin majikan perempuan itu bisa tahu kalau kampung ini akan dilanda banjir?" kata yang seorang.
"mana aku tahu?" kata yang lain.
"Apakah kau percaya pada ceritanya? Aku kira perempuan itu dan majikannya sangat bodoh, sebab mana mungkin mata patung itu akan mengeluarkan air mata darah! Ditunggu sampai mati pun patung itu tak akan mengeluarkan darah." kata tukang babi yang satu.
"Kalau begitu, mari kita ganggu dia. Besok pagi-pagi sekali setelah kita memotong babi, darahnya kita oleskan ke mata patung itu. Aku yakin dia akan terkejut dan lari menemui majikannya untuk mengatakan bahwa mata patung itu sudah berdarah. Aku dapat membayangkan betapa lucunya dia?" kata yang lainnya.
"Ah memang lucu sekali! Itu benar-benar akal yang bagus. Besok kita kerjakan!" kata temannya sambil tertawa lalu pergi.
*******
Esok harinya....
Pagi-pagi sekali sesudah memotong babi yang akan dijual, tukang babi itu pergi ke kelenteng. Dengan hati-hati maka dioleskannya darah babi yang sengaja dibawanya dari tempat jagal. Lalu sesudah itu mereka pun bersembunyi. Sebenarnya kedua tukang babi yang iseng itu hanya ingin menggoda bujang Cui yang tiap pagi datang ke kelenteng hanya untuk melihat mata patung berdarah. Rupanya mereka ingin melihat apakah bujang perempuan yang kaget akan lari terbirit-birit menemui majikannya?
Pagi itu dalam keadaan cuaca masih gelap dan remangremang, bujang Cui berangkat ke kelenteng untuk menunaikan tugas rutinnya. Namun ketika ia meraba mata patung itu, dia jadi terkejut karena ia meraba benda cair. Dia segera membawa lilin yang selalu terpasang di kelenteng itu mendekati patung itu. Tiba-tiba dia menjerit kaget sebab mata patung itu benar benar berdarah. Kemudian dengan tak menghiraukan apapun
lagi ia segera lari ke luar dari kelenteng. Setelah wanita itu pergi kedua tukang babi itu tertawa terpingkal-pingkal. Tapi suara mereka tak terdengar oleh bujang Cui.
Setiba di rumah majikannya, napas pembantu itu hampir putus sebab dari kelenteng ia lari kencang sekali. Tidak heran ketika _ia tiba, wajahnya pucat dan napasnya sengal-sengal.
"Tuan...Tuan...!" katanya.
"Ada apa?"
"Matanya...Matanya.... Lihat mata patung itu sudah berdarah!" kata pelayan perempuan itu sambil menunjukkan kedua tangannya yang terkena darah.
Cui Wan-gwee yang terkejut, segera memerintahkan bujangnya mengangkut perahu mereka ke tepi sungai. Kemudian ia pun mengajak seluruh keluarga dan bujangnya untuk naik ke perahu. Dalam waktu singkat, mereka dan barang-barang mereka sudah ada di dalam perahu.
Saat itu memang musim Barat (musim panas), jadi tak seorang pun menduga akan terjadi banjir besar. Karena itu kelakuan Hartawan Cui menjadi tertawaan penduduk dan tetangga-tetangganya.
*** Malamnya tiba-tiba cuaca berubah, langit amat gelap sebab tertutup oleh awan, tak lama turunlah hujan sangat lebat. Hujan turun terus menerus selama tiga hari tiga malam. Dalam waktu singkat air sungai meluap dan akhirnya terjadilah banjir besar di daerah itu.
Dalam sekejap seluruh Kampung Ci Thauw-tin tenggelam. Rumah-rumah roboh dan hanyut terbawa air, teriakan orang Yang ketakutan karena terbawa arus sungai terdengar di mana-mana. Hampir dua juta jiwa mati tenggelam dalam air bah yang sangat berat.
Rupanya bahaya itu adalah takdir dari Tuhan, hanya Cui Tiang Sia dan sanak keluarga serta bujangnyalah yang selamat dari bahaya banjir sebab ia telah diberitahu terlebih dahulu tentang bahaya banjir yang akan datang oleh padri yang baik hati itu.
Setelah banjir agak reda perahu-perahu Cui Wangwe melayari sungai dengan perlahan-lahan. Ketika perahu-perahu itu tiba di kaki gunung, Cui melihat lutung terbawa hanyut.
Menyaksikan lutung itu sudah kepayahan, Cui memerintahkan pegawainya agar menolong lutung itu. Dengan cepat anak buahnya menyodorkan sebatang bambu pendayung, sehingga lutung itu dapat meraihnya. Kemudian lutung itu dinaikkan ke darat. Sedang perahu perahu milik Cui berlayar mengikuti arus sungai. Tak lama Cui melihat beberapa sarang burung gagak, ternyata dalam sarang burung yang dihanyutkan oleh air sungai itu terdapat anak-anak burung gagak yang kebasahan dan hampir mati. Kembali Cui memerintahkan agar anak buahnya menolong burung-burung itu. Tak lama perintah itu dilaksanakan, sehingga burung gagak itu bisa terbang kembali setelah sayapnya dikeringkan.
Baru saja burung-burung gagak itu diterbangkan, Cui melihat seseorang yang sedang hanyut. Tampak tubuh orang itu lemas dan hampir tak berdaya. Dengan cepat ia minta tukang perahu segera menolong orang itu. Tapi Thio-si mencegah suaminya untuk menolong orang itu.
"Binatang saja aku tolong, sedangkan ini manusia kenapa kau melarangku menolong orang itu?" kata suaminya.
Jaksa Pao Dalam Paku Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ingat, Suamiku, apakah kau lupa pada surat paderi yang pernah kau ceritakan padaku? Surat itu menyatakan bahwa pada saat banjir kau dilarang menolong orang yang sedang hanyut?" kata isterinya mengingatkan pesan paderi itu pada suaminya.
"Sudahlah isteriku, binatang saja aku tolong masakan
manusia yang hampir mati itu harus kubiarkan mati di depan mataku? Aku ingat pesan yang diberikan paderi itu padaku, tapi aku tak tega membiarkan nyawa manusia mati di depan mataku. Ayo pendayung, lekas tolong orang itu!" kata Cui Tiang Cia.
Anak buahnya segera bergerak dan menolong orang itu. Dengan cepat orang itu sudah dapat dinaikkan ke atas perahu, lalu air yang ada di dalam perutnya dikeluarkan. Tak berapa lama orang itu telah sadar dari pingsannya. Setelah orang itu sadar, Cui memberinya pakaian hangat agar orang itu tidak kedinginan. Orang itu diberinya makan.
Banjir itu benar-benar besar, sampai kampung halaman Cui benar-benar terendam air. Banyak orang mati tenggelam sehingga bangkai manusia terlihat terapung-apung dipermukaan air. Mayat-mayat itu terbawa hanyut bersama aliran sungai yang susul-menyusul menuju ke muara lalu ke laut.
Setelah berminggu-minggu, air baru mulai surut .Ketika air surut barulah Cui memerintahkan agar perahu-perahu mereka mendarat. Beberapa orangnya diutus Cui untuk memeriksa rumahnya, apakah rumah Cui ikut terbawa hanyut. Orang orangnya segera mendayung perahu menuju ke kampung asal Cui. Setelah ada setengah harian mereka kembali menemui majikannya.
Begitu mereka tiba Cui menyambut kedatangan mereka dengan pertanyaan,
"Bagaimana rumahku, apakah ikut hanyut juga?" kata Cui;
"Untung rumah Tuan tidak ikut hanyut hanya ada bagian bagian yang rusak terbawa air. Tapi kerusakan itu masih bisa diperbaiki." kata orang-orangnya.
"Lalu bagaimana keadaan rumah-rumah tetangga kita?" tanya Cui.
"Hampir semua hancur terbawa air bah!" kata mereka.
Cui mengeluh karena merasa kasihan. Tapi apa mau dikata
sebab bencana itu kehendak dari Tuhan. Akhirnya penduduk kampung yang moralnya mulai rusak binasa semua.
"Kalau begitu, mari kita kembali ke sana!" kata Cui.
Mendapat perintah itu, orang-orangnya segera kembali ke perahu. Beramai-ramai mereka mendayung dan mendekati kampung halaman mereka Ketika mereka mendarat, benar saja mereka melihat gedung milik Cui masih tegar berdiri. Dengan cepat anak buah Cui disuruh memperbaiki rumahnya itu. Dalam waktu singkat maka rumah itu sudah baik kembali. Selama pembantu laki-lakinya bekerja, para wanita sibuk memasak makanan untuk mereka. Sedangkan Cui memanggil orang yang ditolongnya.
"Siapa namamu dan dari mana asalmu?" tanya Cui Wang-wee
"Namaku Lauw Eng, sebelum banjir rumah kami di dekat kelenteng. Ayahku bernama Lauw Kan. Sekarang aku tak tahu, apakah orang tuaku masih hidup atau sudah mati?" kata Lauw Eng.
Mendengar keterangan anak itu, Cui manggut-manggut.
"Jika Tuan tidak keberatan, aku ingin menumpang di rumah Tuan sebab ke mana lagi aku akan pulang? Tuan lihat sendiri kampung ini sudah menjadi lapangan karena tersapu oleh air bah yang dasyat itu!" kata Lauw Eng
Mendengar kata-kata Lauw Eng, Cui yang pemurah menjadi luluh hatinya. Cui merasa kasihan karena Lauw Eng sudah yatim piatu.
'Jika Tuan mau menerimaku, aku bersedia mengerjakan apa saja, Percayalah aku tak akan menyia-nyiakan budi baik Tuan kepada saya." kata Lauw Eng.
"Hm, baiklah jika kau suka, aku tidak keberatan kau tinggal bersama kami." kata Cui wangwee.
Mendengar kesediaan Cui Wang-wae, hati Lauw Eng amat gembira, ia pun segera berlutut sambil mengucapkan terima kasih. Cui lalu mengangkat Lauw Eng sebagai anak angkatnya dan ia berjanji akan memperlakukan Lauw Eng seperti anak kandungnya sendiri. Lauw Eng sendiri hidup bahagia karena Cui memenuhi kebutuhan hidupnya.
*** Di istana Kaisar Song Jin Cong terjadi suatu kejadian yang menggemparkan. Permaisuri Thio Hong Houw telah kehilangan sebuah cap bernama Giokin. Cap tersebut hilang entah di mana. Seluruh istana telah diperiksa, tetapi_cap itu tetap tak dapat ditemukan. Melihat berbagai usaha sia-sia, Kaisar Song Jin Cong lalu memerintahkan pegawai negara agar segera membuat pengumuman.
Pengumuman menyatakan barang siapa yang dapat menemukan cap Giokin tersebut akan diberi kedudukan dan pangkat yang tinggi. Kemudian edaran yang dibuat harus disebar dan ditempel di berbagai tempat dan daerah-daerah kekuasaan Kaisar Song Jin Cong.
Oleh pegawai kerajaan selebaran itu dipasang ke desa-desa termasuk Desa Ci Thauw-tin yakni desa tempat tinggal Hartawan Cui Tiang Cia.
*** Pada suatu malam Cui Tiang Cia mimpi bertemu dengan malaikat. Malaikat itu berkata padanya,
"Hartawan Cui, kedatanganku ke sini untuk memberi kabar bahwa Thio Hong Houw telah kehilangan Cap Giokin. Cap tersebut sebenarnya tidak hilang, tapi terjatuh ke dalam Sumur Pi Kak Liu Li Ce yang terletak di belakang istana Kaisar Song Jin Cong, tepatnya di taman bunga'
Setelah berkata demikian malaikat itu menghilang.
Ketika Cui Tiang Cia terbangun, dia segera duduk di sisi
pembaringannya sambil mengingat-ingat apa yang ada dalam mimpinya tadi malam.
Pada suatu hari salah seorang dari pegawai Cui memberitahu bahwa di kampung mereka telah dipasang plakat yang isinya sayembara. Dalam sayembara itu dikatakan bahwa barang siapa yang bisa menemukan Cap Giokin maka orang itu akan diberi hadiah dan pangkat yang tinggi.
Mendengar laporan itu Cui kaget sebab apa yang terjadi cocok dengan impiannya. Cui Wamgwee kemudian menemui isterinya untuk diajak berunding.
"Isteriku, anak kita Cui Keng sudah besar. Jadi sudah sepantasnya dia kita kirim ke ibu kota untuk mengatakan bahwa Cap Giokin itu ada di dalam sumur seperti mimpiku. Siapa tahu ia akan memperoleh pangkat!" kata Cui Tiang Cia
"Maaf Suamiku, harap Kanda tidak marah! Kenapa Kanda masih menginginkan harta dan kedudukan, apakah hidup kita kurang bahagia? Ingat, anak kita hanya satu-satunya. Aku kuatir kalau Ciu Keng pergi ke ibu kota, dia akan mendapat bahaya dalam perjalanan." kata isterinya
Mendengar pendapat isterinya, Cui Tiang Cia termenung sejenak. Dia menganggap apa yang dikatakan isterinya memang benar. Apa lagi yang kurang pada dirinya, harta ada, anak sudah punya dan mereka sekarang sudah tua jadi untuk apa harta dan kedudukan. Oleh karena berpikir demikian Cui termenung terus.
Ketika ayah angkatnya sedang kebingungan Lauw Eng muncul, ia menemui ayahnya.
"Ayah, sejak kecil sampai dewasa aku dirawat oleh Ayah dan Ibu, tapi aku belum pernah berbakti pada Ayah dan Ibu. Jika Ayah tidak keberatan, biarlah aku yang akan pergi ke ibu kota untuk mengadu nasib. Siapa tahu mimpi Ayah itu benar? Dengan demikian aku pasti akan menjadi orang yang berguna." kata Lauw Eng, si anak angkat
Mendengar anak angkatnya berkata begitu, Cui senang sekali. Dari kata-katanya, Lauw Eng yang pernah dia selamatkan ketika banjir itu ternyata punya pikiran yang baik
Tapi Cui Tiang Cia tetap agak bimbang. Melihat ayah angkatnya bimbang Lauw Eng berkata lagi,
"Harap Ayah jangan bimbang, bila cap itu dapat kutemukan, aku akan memberikan hadiahnya untuk Adik Cui Keng, percayalah!"
Setelah mendengar kata-kata Lauw Eng, Cui sangat senang kemudian ia berkata dengan suara terharu,
"Baiklah, kau boleh
pergi. Tapi ingat bila kau memperoleh cap itu, kau harus berikan
hadiah dan pangkat itu pada adikmu." kata Cui.
"Ya, pasti akan kuberikan pada Cui Keng!" kata Lauw Eng.
Setelah diberi ongkos Lauw Eng berangkat ke ibu kota untuk ikut dalam sayembara yang diadakan oleh Kaisar Song Jin Cong.
Sebelum berangkat, kembali Lauw Eng berlutut di depan ayah dan ibu angkatnya sambil berkata,
"Harap Ayah dan Ibu tidak merasa kuatir, aku akan berangkat. Bila aku mendapatkan
barang itu, aku pasti akan menyerahkannya pada Cui Keng." katanya
"Baiklah, berangkat dan berhati-hatilah di perjalanan!" pesan Cui Tiang Cia.
Hari itu juga Lauw Eng berangkat ke Ibu Kota Tiang-an. Di ibukota keadaan tampak sangat ramai. Lauw Eng lalu
mendekati sebuah pengumuman lalu dengan tangannya pengumuman itu dirobeknya.
Melihat perbuatan Lauw Eng, salah seorang serdadu menangkapnya. Lauw Eng lalu dibawa menghadap ke depan Perdana Menteri Ong.
Di depan Perdana Menteri Ong, serdadu itu menerangkan kenapa Lauw Eng ditangkap.
"Siapa namamu?" tanya perdana menteri itu.
"Hamba bernama Lauw Eng!" jawab Lauw Eng.
"Hm, apakah kau tahu dimana adanya Cap Giokin itu sehingga kau berani merobek pengumuman itu?" kata perdana menteri.
"Rasanya begitu, Tuanku. Itu sebabnya saya berani merobek pengumuman itu." jawab Lauw Eng.
"Bagus, coba kau katakan dimana cap itu sekarang?" kata Perdana Menteri Ong.
"Menurut impian saya, barang itu tidak hilang. Barang itu sekarang ada di dalam sebuah sumur!" jawab Lauw Eng.
"Di dalam sumur?"
"Ya."
"Di mana itu?" tanya Ong Sinsiang.
"Menurut petunjuk malaikat sumur itu bernama Pi Kak 'Liu Li Ce yang ada di belakang taman bunga istana kaisar!" jawab Lauw Eng.
Mendengar keterangan itu betapa gembiranya Ong Sin-siang.
"Jika benar keteranganmu itu, pasti kau akan diberi hadiah oleh kaisar. Pengawal antarkan Lauw Eng ke tempat istirahatnya!" kata Ong Sin-siang.
"Terima kasih, Tuanku." jawab Lauw Eng yang segera mengikuti anak buah Ong Sin-siang ke tempat peristirahatannya
Sedangkan Ong Sin-siang sendiri bergegas ke istana, ia segera menghadap pada Kaisar Song Jin Cong.
Setelah memberi hormat, Ong Sin-siang berkata,
"Tuanku, hari ini hamba datang untuk menyampaikan kabar gembira pada Tuanku!"
"Bagus! Berita baik apa yang akan kau sampaikan kepadaku!" kata Kaisar Song.
"Tadi hamba bertemu dengan seorang pemuda yang mengatakan bahwa dia tahu di mana cap Giokin ini berada
" kata Ong Siu-siang.
"Benarkah begitu?" tanya baginda.
"Ya, menurutnya cap itu berada di dalam sumur Pek Kak Liu Li Ce, sumur itu berada di belakang istana Tuanku." jawab Ong Sin-siang.
"Ah syukurlah kalau begitu, tapi karena hal itu belum tentu benar sebaiknya kuperintahkan orang mencarinya di dalam sumur itu!" kata Baginda.
Tak lama Kaisar Song Jin Cong memerintahkan thaykam untuk memanggil Thio Hong Houw (Ibu Suri Thio) dan gundik kaisar agar segera menghadap.
Mendengar mereka dipanggil, kedua isteri kaisar itu segera menghadap.
"Apakah Yang Mulia memanggil hamba?" tanya Thio Hong Houw.
"Ya, ada berita bagus yang harus kau dengar!" kata Kaisar Song Jin Cong.
"Berita apa Yang Mulia?" tanya Thio Hong Houw lagi.
"Ong Sinsiang telah menemukan orang yang dapat menunjukkan tempat hilangnya cap Giokin itu." kata kaisar.
"Oh benarkah? Di mana benda itu sekarang?" tanya Thio Hong Houw.
"Menurut orang itu, cap itu sekarang berada di dalam Sumur Pek Kak Liu Li Cee yang ada di belakang istana. Apakah benar benda itu terjatuh di sana?" tanya kaisar.
Mendengar pertanyaan kaisar, Thio Hong Houw termenung Sejenak. Tapi tak lama dia tampak sangat gembira karena teringat sesuatu. Kemudian dia berlutut sambil berkata,
"Baginda, hamba baru ingat sekarang! Hamba rasa keterangan
orang itu benar sebab pada tanggal 15 bulan delapan ketika bulan purnama hamba dengan beberapa dayang-dayang bermain di kebun belakang. Mungkin ketika hamba sedang asyik melihat bunga-bunga bermekaran, Giokin itu terjatuh. Tapi hamba tidak tahu benda itu jatuh di mana. Setelah baginda menyebut nama sumur itu hamba baru yakin kalau benda itu terjatuh di sana."
Mendengar cerita permaisuri, kaisar hanya manggut manggut. Tak lama kaisar memerintahkan pegawainya untuk mencari cap itu di dalam Sumur Pek Kak Liu Li Cee.
Setelah mendapat perintah dari kaisar, para pegawai istana segera menguras sumur itu. Setelah sumur tersebut dikuras, para pegawai menemukan Giokin itu. Kemudian cap itu segera diserahkan kepada kaisar.
Setelah menerima cap itu, kaisar segera menunjukkannya pada permaisuri dan para menteri. Tak lama kaisar sudah memberi perintah.
"Cepat panggil Lauw Eng ke mari!" kata kaisar kepada pengawal.
Pengawal itu segera memanggil Lauw Eng datang ke istana .Tak beberapa lama, pengawal itu telah kembali bersama Lauw Eng.
Lauw Eng segera berlutut dan memberi hormat.
"Hormat saya Baginda!" kata Lauw Eng.
"Siapa namamu?" tanya Kaisar Song Jin Cong.
"Nama hamba Lauw Eng, Yang Mulia!"
"Kau harus menjawab pertanyaanku dengan jujur, kau mengerti!"
"Ya Tuanku, hamba akan menjawab dengan sejujur jujurnya!"
"Bagus, aku senang kau telah menunjukkan tempat hilangnya Giokin itu. Untuk itu kau akan kuberikan pangkat dan
hadiah yang besar. Tapi aku ingin tahu dari mana kau tahu kalau Giokin itu berada dalam Sumur Pak Kak Liu Li Cee?" tanya kaisar.
Mendengar dia akan mendapatkan pangkat dan hadiah yang besar, Lauw Eng mulai bimbang. Dia merasa sayang kalau hadiah dan pangkat itu sampai jatuh ke tangan Cui Keng, adik angkatnya. Karena serakah, dia ingin memiliki hadiah besar dari kaisar.
"Pada suatu malam hamba bermimpi telah berjumpa dengan seorang malaikat. Malaikat itu menjelaskan bahwa Tuanku telah kehilangan Cap Giokin dan membutuhkan pertolongan seseorang untuk mencari cap itu. Malaikat itu lalu memberi tahu hamba bahwa cap itu berada di dalam Sumur Pek Kak Liu Li Cee yang berada di taman bunga kaisar. Mulanya hamba pikir mimpi itu hanyalah mimpi biasa, tapi ketika hamba membaca pengumuman bahwa Tuanku telah kehilangan Cap Giokin hamba baru sadar bahwa mimpi hamba itu bukan sembarang mimpi. Setelah itu hamba memberanikan diri ke ibu kota dan menghadap pada Ong Sin-siang. Hamba sangat senang jika benda itu telah ditemukan." kata Lauw Eng.
"Oh begitu." kata kaisar.
Kaisar Song Jin Cong yang melihat ketampanan wajah Lauw Eng ingin mengangkatnya menjadi menantu.
"Aku kira kedua orang tuamu adalah orang yang budiman sehingga kau telah bermimpi berjumpa dengan malaikat. Karena itu sekarang kau akan kunikahkan dengan puteri keduaku yang bernama Tan Yang Kiongcu. Tan Yang Kiongcu adalah anak dari selirku yang bernama Ui Nio-nio." kata kaisar.
"Terima kasih Yang Mulia!" kata Lauw Eng sangat gembira.
"Baiklah sekarang kau boleh kembali ke penginapanmu dulu!" kata Kaisar Song Jin Cong.
Selang sepuluh hari kemudian, Lauw Eng dipanggil menghadap. Setelah tiba di hadapan kaisar, Lauw Eng segera memberi hormat.
"Lauw Eng, kau kuanugrahi sebuah gedung baru lengkap dengan perabotannyal" kata Kaisar Song Jin Cong.
"Terima kasih Yang Mulia!" kata Lauw Eng sangat gembira
Selang beberapa hari pernikahan Lauw Eng dan Tan Yang Kiongcu segera dilangsungkan. Semua menteri dan pejabat tinggi datang untuk memberi salam kepada kedua mempelai. Hari itu Lauw Eng tampak sangat gembira sehingga dia lupa akan janjinya pada Cui Tiang Cia, ayah angkatnya.
Dua bulan telah berlalu....
Cui Tiang Cia yang ditinggalkan di kampung halamannya mengharap-harap cemas kedatangan Lauw Eng. Dia merasa kuatir kalau putera angkatnya mendapat kecelakaan sebab sampai sekian lama dia belum juga mendapatkan kabar apa-apa.
Suatu hari salah seorang tetangga Cui Tiang Cia yang baru kembali dari Ibu Kota Tiang-an bercerita,
"Wah anak angkatmu Lauw Eng memang hebat, sekarang dia telah jadi menantu raja! Disamping itu dia juga telah menempati gedung besar dan hidup mewah di ibu kota."
Mendengar cerita tetangganya itu, Cui Tiang Cia hanya diam saja. Dia sadar kalau anak angkatnya telah ingkar janji.
Setelah tetangganya itu pulang, Cui Tiang Cia segera memanggil Cui Keng, puteranya.
"Cui Keng, lekas kau susul kakakmu ke ibu kota!"
"Untuk apa Ayah?"
"Menurut berita yang aku dengar, kakakmu telah berhasil menemukan Giokin itu. Sekarang kau harus menemuinya!" kata sang ayah.
"Kalau begitu baiklah, aku akan segera berangkat!" kata Cui
Hari itu juga Cui Keng dengan di temani oleh Siauw Ji berangkat ke Ibu Kota Tiang-an. Setelah beberapa hari menempuh perjalanan akhirnya mereka sampai juga di ibu kota.
Begitu sampai mereka segera mencari penginapan.
Keesokan harinya....
Pagi-pagi sekali Cui Keng sudah berangkat mencari kakak angkatnya. Tapi karena tidak tahu tempat tinggal Lauw Eng, dia jadi bertanya-tanya.
"Tuan kalau boleh aku tahu, di mana letak rumah Lauw Eng Huma?" tanya Cui Keng.
"Oh di sana! Dia tinggal di rumah yang mewah." kata orang itu sambil menunjuk ke arah sebuah gedung yang baru.
"Terima kasih Tuan!"
Mendengar keterangan orang itu Cui Keng tampak terkejut. Dia lalu berpikir,
"Jangan-jangan kakak telah berhianat pada keluargaku!"
Setelah berpikir begitu, dia segera berjalan ke arah rumah yang ditunjuk oleh orang itu. Tapi baru berjalan beberapa langkah, Cui Keng sudah dikejutkan oleh teriakan para prajurit.
"Awas awas, Huma mau lewat!"
Dari jarak yang agak jauh Cui Keng dapat menyaksikan kedatangan sebuah rombongan besar. Tak lama dia melihat Lauw Eng yang berpakaian mewah sedang menaiki seekor kuda yang bagus. Dengan angkuh Lauw Eng memandang ke depan.
Cui Keng mengawasi Lauw Eng dengan teliti. Setelah dia yakin bahwa itu adalah kakak angkatnya, Cui Keng baru berani mendekat.
"Kakak, apakah kau masih mengenalku?" sapa Cui Keng.
"Siapa kau?" tanya Lauw Eng pura-pura tidak kenal.
"Aku Cui Keng, adik angkatmu."
"Cuih, aku tidak pernah punya adik seperti kau!" kata Lauw Eng angkuh.
Mendengar makian itu, Cui Keng tahu bahwa kakak
angkatnya telah berubah.
"Oh Kak, masakan kau tak kenal padaku. Adikmu ini telah
melakukan perjalanan yang jauh." kata Cui Keng.
"Aku tidak kenal kau. Pengawal bawa orang ini ke gedungku!"
Mendapat perintah itu dengan cepat pengawal yang berada di samping Lauw Eng segera meringkus tubuh Cui Keng. Kemudian Cui Keng diseret menuju gedung Lauw Eng.
Sesampai di gedungnya, Lauw Eng segera memberi perintah.
"Pukul orang ini! Setelah itu masukkan dia ke dalam penjara!" kata Lauw Eng.
Ketika mendengar perintah itu, Cui Keng kaget. Dia tak menyangka kalau kakak angkatnya akan sekejam itu. Sedangkan pengawal yang mendapat perintah itu segera membuka baju Cui Keng dan memukulinya dengan rotan. Seluruh tubuh Cui Keng mandi darah akibat pukulan itu.
Mendengar kabar bahwa majikannya telah ditangkap dan dianiaya oleh Lauw Eng, Siauw Ji segera mendatangi gedung milik Lauw Eng untuk memohon agar Cui Keng dibebaskan. Tapi sebelum dia bertemu dengan Lauw Eng, dia sudah diusir oleh pengawal dan dilarang mendekati gedung Lauw Eng.
Karena tak dapat berbuat apa-apa, Siauw Ji akhirnya pulang ke penginapannya sambil menangis sedih.
*** Di penjara Cui Keng menangis siang dan malam. Dia teringat pada ayah dan ibunya. Dia sangat marah pada kakak angkatnya yang tak mengenal balas budi. Setelah ditolong dari
bahaya maut. sekarang dia malah merampas hadiah milik ayahnya. Bukan itu saja Lauw Eng juga tega menghukumnya, padahal dia tidak berdosa.
Pada suatu hari dengan hati yang pedih dan perut yang lapar karena tidak diberi makan, Cui Keng menangis dekat jendela yang menghadap ke luar selnya. Karena sedih, Cui Keng ingin mati di dalam penjara.
Melihat tingkah laku Cui Keng yang baik, para penjaga penjara pun merasa kasihan. Tapi mereka pun tidak dapat berbuat apa-apa. Jika mereka memberi makan Cui Keng, maka mereka akan mendapat hukuman berat dari Lauw Eng.
Ketika lapar Cui Keng sudah tak tertahan lagi, dia pun berdoa dan memohon agar Tuhan menolong dirinya. Tiba-tiba seekor lutung datang membawa buah-buahan untuknya. Saat itu Cui Keng merasa heran melihat lutung itu begitu baik kepadanya. Tanpa terasa diapun menangis. Rupanya dia sangat terharu dengan kebaikan lutung itu. Kemudian sambil menangis Cui Keng memakan buah-buahan itu.
Tiba-tiba Cui Keng teringat kalau ayahnya pernah menolong seekor lutung yang hanyut saat banjir datang. Sekarang tahulah Cui Keng bahwa lutung itulah yang pernah diselamatkan oleh ayahnya.
Sejak itu, sekalipun Cui Keng tak diberi makan oleh Lauw Eng, tapi Cui Keng tetap hidup sebab secara teratur lutung itu mengantarkan buah-buahan kepadanya
Pada suatu hari kepala penjara melihat sendiri bagaimana setianya lutung itu mengantarkan makanan pada Cui Keng. Diapun jadi heran mengapa lutung itu bisa begitu jinak.
"Eh_'Tuan Cui, bagaimana caranya lutung itu bisa jinak dan setia padamu?" tanya kepala penjara.
"Tahun lalu ketika kampung kami dilanda banjir, ayahku telah menolong lutung ini dari bahaya banjir. Kejadian Itu
bersamaan dengan saat kami menolong majikanmu Lauw Eng. Aku heran, binatang saja bisa membalas budi tapi mengapa Lauw Eng yang telah kami tolong malah menghukum dan menginginkan kematianku?" kata Cui Keng dengan sedih.
Mendengar kisah Cui Keng, kepala penjara merasa kasihan kepada Cui Keng, apalagi dia memang tidak berdosa. Kemudian kepala penjara itu memerintahkan anak buahnya agar jangan berlaku kasar pada Cui Keng.
*****
Pada suatu hari di luar penjara terdengar suara gagak. Cui Keng yang merasa heran segera memandang ke luar jendela. Di sana dia melihat sepuluh ekor gagak sedang berada dekat jendela penjara.
"Aku heran, mengapa banyak burung gagak di sini? Ah jangan-jangan mereka juga seperti lutung yang telah ditolong oleh ayahku." pikir Cui Keng.
Setelah berpikir begitu tiba-tiba timbul akalnya.
"Penjaga, boleh aku meminta kertas dan alat tulis?" tanya Cui Keng.
Penjaga itu segera mengambilkan apa yang diminta oleh Cui Keng.
"Ini Tuan!" kata penjaga itu sambil menyerahkan pesanan Cui Keng.
"Terima kasih, Pak!" kata Cui Keng.
Setelah penjaga itu pergi, Cui Keng segera menulis surat pada ayahnya. Kemudian Cui Keng memanggil burung gagak yang berada di luar.
"Hai burung gagak ke mari! Jika kalian burung gagak yang pernah kami tolong mendekatlah ke mari!" kata Cui Keng.
Sungguh ajaib, tak lama seekor gagak datang mendekati Cui Keng. Kemudian Cui Keng mengikatkan surat itu ke kaki gagak
itu sambil berkata,
"Kali ini aku memerlukan pertolonganmu. Tolong kau bawa surat ini kepada ayahku!"
Seperti mengerti kata-kata Cui Kerng, gagak itu terbang untuk menjalankan tugasnya. Hati Cui Keng jadi lega, dia yakin gagak gagak itu akan menyampaikan suratnya kepada ayahnya.
******
Sementara itu di rumahnya, Hartawan Cui sedang kebingungan.
"Aneh mengapa Cui Keng dan Lauw Eng belum juga kembali?" kata Cui Tiang Cia.
"Ya heran sekali mengapa mereka belum juga kembali." kata isterinya.
Namun ketika mereka sedang asyik berbincang-bincang, tiba-tiba mereka mendengar suara burung gagak yang ramai di depan rumahnya. Cui Tiang Cia segera ke luar untuk melihat apa yang terjadi.
Setibanya di luar Cui Tiang Cia heran melihat sekelompok gagak berkumpul di depan rumahnya. Lebih heran lagi ketika seekor gagak datang menghampirinya. Ketika itu Cui Tiang Cia dapat melihat di kaki gagak itu terikat sebuah kertas yang cukup besar.
Setelah dia mengambil kertas itu, maka tahulah dia bahwa kertas itu surat dari Cui Keng. Setelah membaca surat itu Cui Tiang Cia jadi sangat marah bercampur sedih. Dia tidak menyangka kalau anak angkat yang pernah ditolongnya akan tega berbuat hal itu kepada anaknya.
Melihat suaminya bersedih Thio-si bertanya,
"Mengapa Kanda begitu sedih?"
Cui Tiang Cia tak bisa berkata apa-apa, dia hanya menyerahkan surat ini kepada isterinya. Karena penasaran, Thio-si segera membaca surat itu.
"Oh anakku, mengapa kau sampai mengalami kesengsaraan seperti ini!" keluh Thio si sambil menangis.
Melihat isterinya menangis, Cui Tiang Cia bertambah sedih
"Apa kubilang kau jangan menyelamatkan manusia busuk itu! Tapi karena kau tak mau mendengarkan nasehatku dan pendeta itu maka sekarang anak kita harus menderita!" kata Thio-si.
Mendengar kata-kata isterinya, Cui Tiang Cia teringat pada pesan seorang pendeta setahun yang lalu. Pendeta itu berpesan agar Cui jangan menyelamatkan orang pada saat banjir, tapi karena kasihan Cui Tiang Cia malah menyelamatkan Lauw Eng dari maut bahkan dia telah mengangkat dan memelihara Lauw Eng seperti anaknya. Sekarang anak angkatnya itu telah mengkhianatinya dan telah berani menangkap serta menyiksa anak kandungnya sendiri. Kejadian itu sungguh tak diduga oleh Cui Tiang Cia.
Saat itu Cui Tiang Cia sangat menyesal telah menolong Lauw Eng yang tidak berbudi dan berhati busuk itu.
"Kanda sebaiknya kau susul Cui Keng ke Tiang-an!" kata Thio-si.
Tapi Cui Tiang Cia merasa ragu untuk menolong Cui Keng. Dia merasa kuatir akan mengalami nasib yang sama seperti anaknya. Apalagi paderi itu pernah berpesan, kalau dia menolong orang yang hanyut dia akan memperoleh bahaya besar.
Namun setelah berpikir agak lama, akhirnya rasa takut Cui Tiang Cia hilang. Dia jadi takut kehilangan putera kandungnya. Akhirnya dia memutuskan untuk berangkat mencari anaknya walau apa pun yang terjadi.
"Tak kukira dia akan berbuat sekeji itu. Binatang saja dapat membalas budi pada kita, tapi Lauw Eng lebih rendah dari binatang. Bukan membalas budi, dia malah tega mencelakakan
anak kita. Sudahlah Isteriku, kau jangan terlalu bersedih! Biar aku akan berangkat ke ibu kota untuk menyelesaikan masalah ini!" kata Cui Tiang Cia pada isterinya.
"Ya kau harus segera menolong anak kita!" kata isterinya.
"Baiklah aku berangkat sekarang."
"Jaga dirimu baik-baik Suamiku!"
"Ya kau juga harus menjaga dirimu!" kata Cui Tiang Cia.
Setelah segala sesuatunya siap, Cui Tiang Cia segera berangkat menyusul Cui Keng ke Ibu Kota Tiang-an.
*** Selang beberapa hari, Cui Tiang Cia tiba di Kota Tiang-an. Ketika dia sedang mencari penginapan, dia melihat kuda milik Siauw Ji. Setelah mencari-cari agak lama akhirnya dia menemukan Siauw Ji sedang meminta-minta dengan pakaian yang robek-robek. Melihat keadaan Siauw Ji, Cui Tiang Cia jadi sangat sedih.
"Siauw Ji! Siauw Ji!" panggil Cui Tiang Cia.
Merasa dirinya dipanggil, Siauw Ji segera menengok. Melihat majikannya datang, betapa gembiranya hati Siauw Ji.
"Tuan, syukurlah kau datang. Tolonglah majikan muda dalam bahaya!" kata Siauw Ji.
"Baiklah tapi sekarang mari kita makan dulu!" kata Cui Tiang Cia sambil mengajak Siauw Ji ke sebuah rumah makan.
Kemudian mereka memesan makanan. Tak lama pelayan membawakan makanan untuk mereka.
Sambil makan Siauw Ji menceritakan semua kejadian yang Menimpa Cui Keng dan perlakuan Lauw Eng kepada majikan mudanya. Mendengar hal itu, Cui Tiang Cia jadi sangat gusar.
Pada saat mereka sedang meneruskan makan, tiba-tiba mendengar ribut-ribut di luar.
"Minggir, minggir Huma hendak lewat!" teriak para serdadu,
"Tuan, itu Lauw Eng! Dia akan lewat jalan ini!" kata Siauw Ji sambil menunjukke arah rombongan itu.
Keduanya segera ke luar untuk melihat iring-iringan menantu raja yang akan melewati jalan itu. Tak beberapa lama tampak iring-iringan itu lewat. Lauw Eng terlihat sedang menunggang kuda dengan angkuhnya.
Melihat anak angkatnya itu, Cui Tiang Cia segera maju dan berteriak,
"Lauw Eng, Anakku!"
Mendengar ada orang yang memanggil namanya, Lauw Eng segera menoleh ke belakang. Tapi ketika mengenali siapa yang memanggil dirinya, Lauw Eng segera membuang muka seolah tak melihat ayah angkatnya.
"Lauw Eng, apa kau sudah lupa padaku? Oh mentang mentang sudah kaya lalu kau lupa pada budi baik ayah angkatmu!" teriak Cui Tiang Cia.
Hati Cui Tiang Cia jadi panas ketika menyaksikan tingkah laku Lauw Eng yang angkuh.
"Pengawal, lekas usir orang itu!" kata Lauw Eng.
Mendapat perintah dari Lauw Eng, anak buahnya segera mengusir Hartawan Cui. Betapa hancur hari orang tua itu mendapat perlakuan seperti itu dari anak angkatnya.
*** Semalam suntuk Cui menangisi nasibnya. Esok harinya Cui Tiang Cia segera mendatangi gedung Huma Lauw Eng. Lalu dia bermaksud untuk memohon agar Lauw Eng mau membebaskan puteranya dan berjanji tak akan menuntut kecurangan Lauw Eng kalau dia mau membebaskan puteranya. Tapi sebelum dia sampai ke gedung Huma, dia segera diusir oleh para pengawal
Kepada para pengawal Cui Tiang Cia menjelaskan bahwa Lauw Eng adalah anak angkatnya, tapi para pengawal itu tidak
mempedulikan ucapan Cui Tiang Cia.
"Jika kau tak mau mengaku aku sebagai ayah angkatmu tidak apa-apa tapi tolong kau bebaskan anakku! Apakah begini cara kau membalas budiku selama ini?" teriak Cui Tiang Cia.
Ketika penjaga itu kembali mengusirnya maka dengan terpaksa Cui Tiang Cia harus meninggalkan gedung itu. Saat itu hatinya sangat panas, dia akan segera mengadukan hal itu ke kantor residen. Tapi pada saat dia sedang berjalan, tiba-tiba terdengar suara teriakan serdadu.
"Minggir, minggir Jaksa Pao mau lewat!" kata para pengawal.
Ketika mendengar nama Jaksa Pao, Cui Tiang Cia teringat pada kepandaian dan kebijaksanaan Jaksa Pao.
Dengan cepat Cui Tiang Cia segera berlutut di tengah jalan. Melihat ada orang yang berlutut di tengah jalan Jaksa Pao segera memerintahkan anak buahnya menghentikan rombongan itu.
"Hai siapa kau?" tanya Jaksa Pao.
"Nama hamba, Cui Tiang Cia."
"Mengapa kau menghadangku di tengah jalan?"
"Maaf Tuanku ada perkara yang akan hamba adukan pada Tuanku!"
"Hm, kalau begitu datanglah ke kantorku!" kata Jaksa Pao.
"Terima kasih Tuanku!"
Cui Tiang Cia segera mengikuti rombongan Jaksa Pao. Setibanya di kantor Jaksa Pao, Cui segera mengadukan semua Pengalamannya dari awal sampai dia berjumpa dengan Jaksa Pao.
"Demikian laporan yang dapat hamba berikan. Hamba harap Tuanku bertindak seadil-adilnya." kata Cai mengakhiri ceritanya.
Mendengar pengaduan itu, Jaksa Pao sangat terkejut. Dia
tidak menyangka kalau menantu Kaisar Song Jin Cong berbuat sewenang-wenang. Tapi sebelum bukti-bukti kuat ia tidak berani menghukum Lauw Eng.
Dengan cepat Pao Kong memanggil Thio Liong dan Tio Houw.
"Cepat kalian selidiki, apakah ada orang bernama Cui Keng yang ditahan di dalam penjara! Jika ada lekas laporkan padaku!" perintah Jaksa Pao.
Thio Liong dan Tio Houw segera pergi ke penjara. Sesampai di sana mereka segera bertanya pada salah seorang pengawal.
"Apakah benar orang yang bernama Cui Keng ditahan di sini?"
"Ya ada! Sampai saat ini dia masih meringkuk di dalam penjara." kata penjaga itu. _
Setelah mendapatkan keterangan itu, Thio Liong dan Tio Houw segera melaporkannya pada Jaksa Pao. Mendengar laporan itu Jaksa Pao sangat marah.
"Tuan sebaiknya kau menunggu keputusan di penginapan saja! Aku akan memeriksa kasus ini sampai tuntas, nanti jika bukti-bukti cukup kuat Anda akan kupanggil lagi!" kata Jaksa Pao.
"Terima kasih Tuan!"
Jaksa Pao Dalam Paku Maut di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, pulanglah dulu ke penginapan!" kata Pao Kong lagi.
*** Esok harinya Pao Kong memerintahkan Thio Liong untuk datang ke gedung Lauw Eng.
"Katakan aku akan mengadakan pesta, jika dia tak keberatan aku ingin mengundangnya!" kata Jaksa Pao.
Thio Liong segera berangkat ke gedung Lauw Eng. Setiba di sana, dia segera menemui Lauw Eng, lalu menyampaikan undangan Pao Kong. Mendengar dia mendapat undangan dari
Jaksa Pao yang termasyur, Lauw Eng tak berani menolak. Hal ini karena Pao Kong sangat disegani di kalangan istana
"Baiklah aku akan datang ke pesta itu!" jawab Lauw Eng.
"Terima kasih Tuan, sekarang hamba akan kembali untuk melaporkan hal ini pada majikan hamba" kata Thio Liong.
Thio Liong segera kembali ke gedung Jaksa Pao. Kemudian dia segera menemui atasannya dan melaporkan tentang kesediaan Lauw Eng berkunjung ke gedung Jaksa Pao. Mendengar laporan itu Pao Kong sangat puas.
Malam harinya, Lauw Eng benar-benar datang ke gedung Jaksa Pao. Pao Kong sebagai tuan rumah menyambut tamu agung itu. Kemudian Lauw Eng segera diajak ke ruang tengah.
Setelah tamunya dipersilakan duduk, Pao Kong segera memanggil Thio Liang dan Tio Houw agar mendekat. Setelah dua orang kepercayaannya itu mendekat, Pao Kong berbisik ke telinga mereka.
"Hari ini aku akan menyelidiki kasus Cui Keng, lekas kalian tutup pintu kantor dan jaga rumah ini dengan ketat. Awasi jangan sampai ada orang yang bisa lolos dari rumah ini! Sementara kami makan dan minum, jika ada perintah dariku kalian harus membawakan seteko air, mengerti?
"Ya Tuan!" jawab mereka.
"Bagus lekas kerjakan perintahku!" kata Pao Kong.
Tak lama Thio Liong dan Tio Houw melaksanakan semua Perintah Pao Kong. Sedangkan Pao Kong segera menemui tamu agungnya. Kemudian mereka makan dan minum sambil tertawa dan berbincang-bincang. Di meja makan terhidang makanan yang lezat-lezat dan arak yang istimewa.
Mereka terus makan dan minum sepuasnya. Saat cangkir milik Lauw Eng kosong Pao Kong segera memanggil seorang pelayan.
"Pelayan lekas tambah minuman untuk Lauw Huma!" kata Pao Kong tampak kasar dan marah.
"Kalian tahu gelas kami sudah kosong mengapa kalian tidak segera mengisinya lagi?"
Ketika pelayan itu hendak menuangkan arak yang ada dalam teko ke gelas milik Lauw Eng, ternyata teko itu sudah kosong.
"Maaf Tuanku, teko ini sudah kosong." kata pelayan itu.
"Lekas ambil teko yang baru!" bentak Pao Kong.
Dibentak seperti itu, sang pelayan tampak gugup dan ketakutan, lalu dia pun segera pergi ke ruang belakang untuk mengambil teko yang baru. Tak lama dia telah muncul kembali ke ruang tengah.
"Pelayan, lekas layani Huma dan isi gelasnya!"
"Baik Tuan!" kata pelayan itu.
Dengan cepat pelayan itu mengisikan arak ke gelas Lauw Eng. Ketika Pao Kong melihat gelas Lauw Eng sudah terisi, dia segera bangun lalu berkata,
"Huma silakan minum!"
Lauw Eng segera berdiri dan membalas hormat pada Pao Kong sambil mengangkat gelasnya.
"Mari!" kata Lauw Eng.
Sesudah itu dengan cepat Lauw Eng meminum arak itu. Tapi setelah meminumnya, Lauw Eng merasakan keanehan sebab yang dia minum bukan arak melainkan air biasa. Lauw Eng yang merasa dipermainkan oleh tuan rumah, dengan sorot mata yang kurang senang dia memandang Pao Kong.
'Apa maksud Anda menuangkan air putih ke dalam gelasku?" tanya Lauw Eng.
Namun seperti tidak mendengar teguran Lauw Eng, Pao Kong malah tersenyum.
"Pelayan lekas tambahkan arak ke cangkir Huma!" kata Pao Kong.
"Tuan apa maksudmu? Apakah kau akan mempermainkanku? Mengapa arak kau ganti dengan air biasa? Padahal semua pembesar istana sangat menghormatiku, tapi mengapa kau malah mempermainkan aku?" teriak Lauw Eng sambil menolak pelayan yang menuangkan air ke dalam gelasnya
Mendengar teguran Lauw Eng, Pao Kong malah tertawa.
"Hai mengapa Huma begitu marah? Apakah air bukan minuman? Aku pun tahu bahwa semua pembesar hormat kepadamu, tapi rasanya aku tak layak menghormatimu. Mungkin Huma lupa bahwa setahun yang lalu Huma telah meminum air sungai bahkan air sungai'yang sanagt kotor. Bukankah waktu itu Huma hampir mati lemas? Sedangkan hari ini aku memang menyuguhkan air bersih yang sudah di masak, tapi mengapa Huma sangat marah? Bukankah air yang kuberikan lebih bersih dari air sungai yang meluap setahun yang lalu? Mana yang lebih enak air yang kuberikan itu atau air sungai yang kau minum saat itu?" sindir Pao Kong dengan tajam.
Ketika mendengar sindiran Pao Kong yang tajam, Lauw Eng jadi kaget. Rupanya dia tak mengira kalau Pao Kong telah mengetahui riwayat hidupnya. Dalam sekejap tubuh Lauw Eng gemetar ketakutan. Apalagi ketika tiba-tiba Pao Kong memerintahkan anak buahnya untuk memanggil Cui Tiang Cia.
"Lekas panggil Cui Tiang Cia datang ke mari!" perintah Pao Kong.
"Baik Tuan!" jawab pegawainya.
Pegawai itu segera memanggil Cui Tiang Cia di penginapan. Tak lama pengawal itu sudah kembali bersama Cui Tiang Cia.
"Hamba datang menghadap Tuanku!" kata Cui Tiang Cia.
"Bagus! Sekarang coba kau lihat siapa yang ada di depanmu!" kata Pao Kong.
Ketika Cui Tian Cia melihat Lauw Eng ada di depannya
dia menjadi marah. Dengan segera dia memaki Lauw Eng.
"Anjing budak, rupanya kau ada di sini! Hai manusia tak berbudi, padahal kau telah kutolong dari bahaya maut tapi mengapa kau membalas kebaikanku dengan kejahatan? Sekarang kau menipuku, suatu saat pasti kau akan menipu kaisar! Hebat sekali perbuatanmu itu, lalu apa kesalahan anakku sehingga kau memenjarakannya?" kata Cui penuh emosi.
Sesudah memaki Lauw Eng, dia segera berlutut dihadapan Pao Kong sambil berkata,
"Hamba mohon Tajjin mau memeriksa perkara ini supaya hati hamba puas. Jika hamba yang bersalah, Tayjin boleh menghukum mati hamba! Tapi jika dia yang terbukti bersalah harap Tayjin menghukumnya dengan hukuman yang setimpal!" kata Cui Tiang Cia
Mendengar pengaduan Cui Tiang Cia, Lauw Eng tidak bisa bicara apa-apa seakan lidahnya kaku. Tubuhnya pun gemetar sebab dia tahu bahwa jaksa yang ada di hadapannya adalah jaksa yang bijaksana dan tak pernah bisa disuap.
Pao Kong segera berdiri, lalu dengan penuh wibawa dia berkata,
"Pengawal lekas lucuti pakaian dan topinya!"
Mendapat perintah dari Jaksa Pao, pengawal itu segera melucuti baju dan topi Lauw Eng. Dengan lepasnya pakaian dan topi kebesaran itu, Lauw Eng bukan seorang Huma lagi melainkan hanya tertuduh biasa.
Setelah seluruh pakaian Lauw Eng dilucuti, Pao Kong lalu berkata lagi,
"Hajar tubuhnya dengan rotan sebanyak 40 kali!"
Tak lama dua orang pengawal segera maju ke depan. Seorang pengawal menyiapkan alat tulis di meja Pao Kong. Setelah itu Lauw Eng dipukuli sebanyak 40 kali. Ketika rotan mengenai tubuhnya, Lauw Eng menjerit kesakitan.
Akhirnya setelah hukuman itu dijalankan, Pao Kong baru memeriksa perkara itu.
"Bagaimana, apakah kau mau mengakui semua kesalahanmu?" tanya Pao Kong.
"Oh Tayjin, memang akulah yang bersalah. Aku tidak mengenal balas budi dan telah menipu ayah angkatku. Anugerah yang seharusnya menjadi miliknya telah aku rampas, bahkan aku telah memenjarakan anaknya tanpa sebab yang jelas. Bahkan Cui Keng telah kusiksa dan tak kuberi makan dengan maksud agar dia mati kelaparan di dalam penjara! Aku memang patut mendapat hukuman!" kata Lauw Eng sambil menangis.
Sesudah semua pengakuan Lauw Eng dicatat, Pao Kong membacakannya kembali. Selesai membacakan pengakuan itu, Pao Kong bertanya;
"Apakah pengakuan itu benar?"
'Ya Tayjin!"
"Kalau begitu, lekas tanda tangani!" perintah Pao Kong.
Tak lama dengan tangan yang masih gemetar Lauw Eng segera menandatangi pengakuannya. Hal ini sudah menjadi kebiasaan pada zaman itu bahwa seorang tahanan harus menandatangani pengakuannya. Maksudnya untuk mencegah timbulnya masalah dikemudian hari. Kemudian berkas itu disimpan dalam arsip pengadilan agar dapat diungkap lagi dikemudian hari.
"Bagus, sekarang bawa dia ke penjara!" kata Pao Kong.
"Ampuni aku Tuan!" ratap Lauw Eng.
Namun Pao Kong tak menghiraukan ratapan menantu kaisar itu. Kemudian kepada penjaga penjara, Pao Kong memerintahkan agar kaki dan tangan Lauw Eng dirantai. Sesudah itu barulah tatanan itu diiring menuju penjara
*** Esok harinya.... Pagi.-pagi sekali Pao Kong sudah datang ke istana. Setelah memberi hormat seperti biasa Pao Kong memberi laporan.
Setelah mendengar laporan Pao Kong, kaisar sangat terkejut . Sedangkan Pao Kong datang ke istana dengan maksud unuk meminta agar kaisar menjatuhkan hukuman kepada menantunya Yang bersalah. Apalagi menantunya telah membuat pengakuan secara tertulis.
Walau kaisar sangat terkejut, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa sebab bukti-bukti yang sangat kuat. Kemudian kepada Pao Kong kaisar meminta agar Cui Tiang Cia dipanggil menghadap.
Di hadapan Kaisar Song Jin Cong, Cui segera memberi hormat sambil berlutut dan menganggukkan kepala berkali-kali.
"Apa yang telah dilakukan oleh menantuku?" tanya Kaisar Song Jin Cong.
Cui Tiang Cia segera menceritakan pengalamannya, mulai dari Lauw Eng diselamatkan dari banjir sampai saat Lauw Eng mengambil haknya serta memenjarakan puteranya.
Mendengar keterangan Cui Tiang Cia, kaisar yang adil dan selalu berpegang pada hukum segera menyatakan Lauw Eng bersalah.
"Baiklah, untuk itu anakmu kuberi pangkat sebagai raja muda di Daerah Bu Siang-iwan. Selain itu aku juga mengucapkan terima kasih atas bantuanmu!" kata Kaisar Song Jiri Cong
Kemudian kepada pegawainya, kaisar segera memerintahkan agar Cui Keng dibebaskan. Ketika Cui Keng dipertemukan dengan ayahnya, mereka menangis bercampur bahagia. Sesudah itu mereka saling rangkul melepaskan rindu.
*** Esok harinya kaisar mengirim surat putusan ke gedung Jaksa Pao. Kemudian Pao Kong membacakan putusan bahwa Cui Keng dianugrahi pangkat sebagai raja muda di Daerah Bu Siang-Koan, sedangkan Lauw Eng dijatuhi hukuman mati.
Hari itu juga Cui Tiang Cia dan anaknya telah bersiap untuk pulang ke kampung halamannya. Sesudah mengucapkan terima kasih, mereka pamit pada Jaksa Pao.
Sesampainya di kampung, ibu Cui Keng yang melihat anaknya telah kembali menjadi sangat gembira. Kemudian Cui Tiang Cia menceritakan pengalamannya serta kebaikan Jaksa Pao kepada isterinya.
"Oh rupanya karena kebaikanmu selama ini, kau telah mendapat pahala yang sangat besar dari kaisar sehingga anak kita diberi pangkat sebagai raja muda di Daerah Bu Siang-knan. '
" Oh betapa senang hatiku!" kata Thio-si.
Hari itu keluarga Cui Tiang Cia mengadakan pesta sebagai ucapan syukur mereka.
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,20 Oktober 2018
Tak ada gading yang tak retak
Begitu pula hasil scan ceritasilat ini
Mohon maaf bila ada kesalahan tulis/eja pada cerita ini.
Terimakasih
TAMAT
Raja Naga 7 Bintang 6 Pendekar Naga Putih 29 Tersesat Di Lembah Kematian Pendekar Kembar 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama