Ceritasilat Novel Online

Prahara Akhir Pekan 2

Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan Bagian 2


ada proyektor baru?"
Sambil tersenyum Lori berkata, "Lama-lama betah juga kok.
Tadinya memang agak bingung."
Paul mengangguk mengerti lalu menatap mata Lori lengkap
dengan daya hipnotisnya. "Aku tahu maksudmu," katanya. "Aku juga
begitu waktu ikut Junior Weekend-ku dulu. Rasanya terasing kan?"
"Kira-kira," Lori setuju. Paul memang penuh pengertian.
Tiba-tiba terdengar bunyi pengeras suara memekakkan telinga.
Lalu teriakan huu bersahutan di seluruh auditorium. "Maaf penonton,"
suara seorang gadis memecah keriuhan, "Sang blender telah memakan
habis sisa film. Rasanya Anda sudah bisa menebak akhir ceritanya.
Sekali lagi, maaf. Acara ini selesai."
Jantung Lori berdetak cepat. Dia punya dua pilihan: mencari
Jack dan Danielle ? atau meneruskan pembicaraan dengan Paul.
Atau pergi begitu saja. Tapi kalau mau jujur, dia benar-benar
tak ingin pergi. Lagipula kaki Paul yang panjang melintang
menghalangi jalan, masa dia harus merangkak di bawahnya? Kejadian
tadi siang sudah cukup membuatnya malu. Pasti Paul mengiranya
orang yang kaku!Nah, ia bisa berbasa-basi dengan Paul barang satu atau dua
menit, lalu waktu orang-orang mulai pergi, dia bisa kabur. Sesudah itu
dia tak akan bertemu Paul lagi. Begitu acara Junior Weekend ini
selesai, ia akan pulang ke Merivale dan melupakan Paul ....
Dan dia tak dapat memungkiri rasa kecewa yang timbul jauh di
sudut hatinya. Tak akan bertemu Paul lagi... tak akan dilanda
kegugupan lagi... itukah yang diinginkannya?
Lori bingung, tapi dia merasa itu lebih baik dari pada menyesal
nantinya.
"Nah," katanya. "Sebaiknya aku pulang ke asrama. Sepupuku
Christine mungkin sudah menunggu."
"Kok buru-buru?" tanya Paul mengernyit. "Sayang sekali.
Kuharap bisa ketemu lagi sebelum kamu pulang, Lori?"
"Mmm, aku sibuk sekali. Selamat malam!" Tanpa ba-bi-bu Lori
langsung melangkahi kaki Paul dan berjalan melewati kursi-kursi
menuju jalur tengah. Ia menaiki tangga keluar kemudian berhenti
sejenak untuk menengok ke belakang auditorium.
Dilihatnya tanda di depan pintu aula: KAPASITAS BANGKU:
400. Ada empat ratus orang di sini, dan aku duduk di sebelah Paul.
Aneh sekali!Delapan
Moga-moga belum jam sembilan, pikir Danielle sambil
mendorong pintu kaca kantin. Ketinggalan sarapan berarti kehilangan
kesempatan bertemu Jack.
Diambilnya nampan kemudian meneliti ruang besar itu. Tak
seramai tadi malam ? kali ini benar-benar lowong! Beberapa
mahasiswa tampak loyo di balik kopi panasnya, mengobrol atau
membaca. Danielle heran, kegiatan mahasiswa Kensington cuma
membaca melulu. Termasuk Jack. Tak ada tanda-tanda keturunan
Aldrich yang terkenal hebat itu.
"Danielle, sini!" terdengar suara akrab memanggilnya. Christine
berdiri dan melambai, Lori ada di sampingnya.
Telurnya sudah dingin dua jam yang lalu, Danielle mengambil
bubur cereal dingin, jus, dan secangkir teh.
Dengan santai dihampirinya Christine. "Kok aku nggak
dibangunin sih?" tanyanya sebal. "Aku kan sudah bilang pingin
bangun pagi."
"Sudah kok," jawab Christine sambil tersenyum. "Tapi malah
diusir! Kapok deh!"Kakaknya benar. Christine selalu bangun paling pagi. Waktu
masih di rumah, Christine pernah membangunkan Danielle tapi
disambut dengan lemparan boneka.
"Lihat Jack nggak?" tanya Danielle berlagak tak peduli. "Aku
belum lihat."
Seusai nonton tadi malam, Jack mengantarnya ke depan asrama
dan mengatakan besok ingin bangun pagi. Tanpa cium atau apa pun!
Setidaknya mereka berdua bisa tidur nyenyak, Danielle menghibur
diri. Kencan malam itu mungkin sukses kalau Jack tidak tidur sambil
berjalan.
"Belum lihat tuh. Kamu, Lor?" tanya Christine. "Kamu kan
datang duluan."
"Jack sudah mau pergi waktu aku sampai di sini," ujar Lori.
"Pergi ke mana?" tanya Danielle penasaran.
"Nggak tahu, nggak nanya," jawab Lori sambil angkat bahu.
"Kami cuma saling melambai." Ia menatap sang sepupu dengan iba.
Danielle tersenyum kecut lalu menghirup tehnya.
"Sebenarnya aku pingin menemani kalian, tapi paper-ku harus
diselesaikan," sesal Christine. "Harus cepat-cepat nih. Kalian bisa
jalan sendiri kan?"
"Beres!" sahut Lori. "Aku mau ke toko buku, lalu jalan-jalan
keliling kampus. Pengenalan lingkungan."
Syukurlah! Lori tak akan mengikutinya sepanjang hari.
Christine pun sibuk. Berarti Danille bisa bikin acara sendiri ? dengan
Jack. Mungkin sekarang dia ada di kamarnya.
"Akhir pekan begini biasanya kalian nggak pergi-pergi ya?"
tanya Danielle pada Christine."Belum tentu," jawab Christine. "Kenapa? Kamu naksir cowok
ya?" Mata biru Christine berkejap curiga.
Lori meliriknya, seolah menunggu Danielle menceritakan
perasaannya pada Jack.
"Nggak kok," elak Danielle. "Cuma nanya."
"Maaf," kata Christine. "Soalnya kamu kan ketemu cowokcowok keren semalam." Christine berpaling kepada Lori. "Kamu
benar-benar nggak bisa ke pesta Sigma? Biasanya pestanya seru lho!"
Lori meringis lalu meletakkan cangkirnya. Rencana ke pesta
membuat perutnya mulas. "Sebenarnya pingin, tapi ada kerjaan."
"Oh, Lor, sayang sekali," Danielle berceloteh senang karena
Lori tak akan ada di dekatnya dan menunjukkan bahwa mereka anak
SMA. Danielle merasa tahu penyebab keengganan Lori ? takut
bertemu si pemandu tour itu.
"Aku juga nggak ikut," ujar Christine. "Tugasku banyak.
Kayaknya kamu yang paling senang di antara kita bertiga, Dan."
Memang, kata Danielle dalam hati.
Christine bangkit mengangkat nampannya. "Aku duluan.
Sampai nanti!"
Setelah Christine pergi, suasana jadi kaku. Danielle
menghabiskan tehnya. "Aku mau pergi sekarang," kata Lori akhirnya.
"Selamat senang-senang, Dan."
Danielle mengangguk datar. "Kamu juga," gumamnya
sementara pikirannya melayang sibuk menyusun rencana.
Begitu sepupunya hilang dari pandangan, Danielle segera
mendorong nampannya, berdiri dan mendatangi telepon merah dekat
pintu masuk. Tampaknya untuk keperluan di dalam kampus.Diangkatnya gagang telepon lalu memutar angka 0, berharap
mendapat sambungan.
"Operator. Bisa dibantu?"
"Ya, bisa disambungkan ke asrama Sigma Epsilon?" pinta
Danielle.
Didengarnya telpon berdering delapan atau sembilan kali
sebelum diangkat. "Sigma!" teriak suara berat tepat di telinga
Danielle, tepat di saat ia mulai putus asa.
"Oh, hei," sapanya ramah. "Jack Aldrich ada?"
"Sebentar. Jack! Aldrich!" teriak suara itu. Seperti ada pesta.
Berisik sekali, padahal baru jam sembilan lewat lima belas menit.
Pemuda itu rupanya menjatuhkan gagang telpon di lantai, Danielle
mendengar bunyi berderak. Ia terlompat kaget.
"Maaf," kata suara itu waktu kembali. "Jack nggak ada. Ada
yang bilang mungkin ke perpustakaan. Dari siapa ini?" tanyanya.
"Danielle ? Danielle Sharp," jawabnya.
"Wah, Danielle. Nanti malam ikut pesta nggak?"
"Pasti," Danielle tertawa kecil. Berdua dengan Jack Aldrich.
"Trims ya," tambahnya lalu menutup telepon.
Seingatnya, perpustakaan tak begitu jauh dari kantin. Ia
mencari-cari lipstick dan kaca kecil dalam tasnya.
Dengan hati-hati dioleskannya lipstick merah menantang di
bibirnya kemudian mengacak rambutnya dengan jari agar berkesan
seksi. Jack pasti akan segera lupa pada buku-bukunya!
************
Wow! pikir Lori waktu memasuki toko buku. Lengkap banget!Dia tak dapat memutuskan bagian mana yang akan didatanginya
lebih dulu, tapi nalurinya menuntunnya ke bagian busana. Ia ingin
tahu buku-buku yang biasa digunakan para pengajar dan ingin
membelinya satu.
Ia berhenti di depan rak bertulisan DESIGN, DLL. Diambilnya
sebuah buku besar berwarna merah berjudul A Complete History of
Fashion.
Buku tersebut memuat gambar-gambar berwarna baju-baju dari
beberapa jaman. Pelan-pelan dibukanya halaman demi halaman dan
mengamatinya ? bisa-bisa ia betah duduk di lantai berjam-jam.
Ia mencari harganya, lalu mengernyit. Lumayan mahal! Tapi ia
memerlukannya, berguna sekali untuk masa depannya ....
"Jangan dibeli."
Suara itu mengejutkannya. Ketika menoleh, matanya beradu
dengan si mata biru bagus itu lagi.
"Paul! Hai!" Lori menunduk kaku mengamati ujung sepatunya.
Setelah sikapnya semalam disangkanya Paul tak sudi bicara lagi
dengannya.
Tapi, sekarang ia di sini, berdiri sambil meringis di depan Lori.
Christine bilang kampus ini kecil, tapi kalau gini sih jadi nyebelin,
batin Lori.
"Aku beli buku canggih, nih." Paul tertawa sambil mengangkat
buku berjudul Adventures in Biotechnological Software. "Ini bacaan
bagus, jangan beli yang itu."
Lori melirik buku di tangannya. "Kenapa?" tanyanya.
"Kayaknya hebat.""Memang. Pinjam aja ? aku punya kok. Kupakai di kelas
design semester lalu tapi masih kusimpan karena suka gambarnya."
"Sekarang udah nggak ambil kelas design?"
"Masih dua semester lagi. Jurusanku kan program rancang,"
Paul tertawa.
"Ah, masa! Aku kan mau ambil jurusan itu juga!" seru Lori.
"Kamu mau ketemu sama penulis buku itu?" tanya Paul. "Dia
dekan sekaligus pembimbingku. Yuk ? kan asyik daripada nyangkut
di toko buku. Serius! Dia tuh selalu cari-cari pelajar berbakat."
"Oh, aku belum tahu apa aku cukup berbakat. Tapi mestinya
aku bawa berkas rancanganku. Sekarang di asrama sepupuku."
"Nanti kita ambil sambil mampir. Jadi kita bisa ngobrol," Paul
mengambil buku di tangan Lori dan mengembalikan ke tempatnya.
"Jangan kuatir, nanti kupinjami," janjinya.
Kita bisa ngobrol! Paul ingin mengenalnya lebih jauh! Asyik
sekali ? tapi menyeramkan! Lori tak sadar perasaannya membuatnya
bingung.
"Oke, kayaknya ? maksudku ? pasti! Berangkat yuk!"
Kesempatan emas, bisa bertemu dengan dosen design. Itulah
alasannya ke Kensington ? menjelajahi dunia perkuliahan.
Lori ingin tangannya tidak gemetar dan jantungnya tak
berdebar-debar setiap kali menatap Paul...Sembilan
Danielle jarang ke perpustakaan. Dia tak suka membaca ?
kenapa harus membaca kalau bisa senang-senang? Itu pendapatnya.
Tapi kalau Jack doyan baca, dia harus bertahan barang beberapa jam.
Jack di perpustakaan dan Danielle akan mencarinya walau harus
bergaul dengan rak buku usang yang berdebu dan apek.
Untung, dilihatnya Jack duduk di depan meja panjang dari kayu
oak di bagian buku referensi ? sendirian, tepat di depan susunan
buku-buku di rak tinggi. Sekarang, batin Danielle ketika
menghampirinya. Gimana supaya kelihatan wajar?
"Selamat pagi, Jack!" sapanya berbisik agak keras.
"Hei, Danielle," jawab Jack, mengalihkan pandangan dari
bukunya dengan tampang lucu. "Ngapain ke sini?"
"Hmm" ? Danielle tertegun ? "Aku mau bikin makalah
penting, mungkin aku bisa riset kecil-kecilan di sini. Perpustakaan ini
hebat." Dan kamu juga bikin cowok-cowok di SMA Atwood kagum!
"Untuk mata pelajaran apa?"
Danielle melirik sekilas ke buku-buku di atas meja. "Psikologi,"
jawabnya santai.
"Kebetulan, aku juga."
"Masa? Topiknya apa?""Oh, tentang hubungan saudara kandung, pengaruh kelahiran
terhadap kepribadian mereka."
"Maksudmu, kayak aku sama Christine? Kami beda jauh," ujar
Danielle sambil memberikan pandangan menggoda.
"Ah ? ya, memang. Contohnya apa?"
"Christine orang serius. Kamarnya selalu rapi, kerjaannya
belajar melulu. Kalau aku, lebih suka hidup senang ? makanya lebih
tenang. Christine selalu mikirin sesuatu sampai mati-matian," Danielle
menatap Jack. "Aku lebih santai." Ditunggunya tanggapan Jack.
Jack terdiam. Danielle sadar Jack butuh hiburan. "Mau
istirahat? Jalan-jalan yuk."
"Nggak bisa. Tugasku masih banyak. Kamu nanti ikut pesta
kan?"
"Pasti! Memang itu yang kutunggu-tunggu," candanya.
"Bagus. Aku juga." Jack tersenyum kemudian kembali
membuka buku dan mulai membaca lagi.
Danielle mulai bingung, digantungnya jas di ujung rak dan
menyusuri sejumlah rak sambil melihat buku-bukunya sekilas.
Kadang ia melirik Jack. Cowok itu menarik sekali bila sedang
berkonsentrasi.
Saking menariknya sampai-sampai Danielle memutuskan
mendekat lagi.
"Lihat, ada buku yang masih rapi," bisiknya di telinga Jack.
Judulnya Court-ship and trauma in Transylvania. Aneh ya?" Ia
cekikikan, menarik kursi di sebelah Jack lalu duduk. Ia bertanya
sambil bersandar pada kursi, "Kamu baca apa? Territorial Among
Siblings. Kayaknya bagus!"Jack mengosok-gosok ujung hidungnya. "Mmm, belum tahu
deh," gumamnya. "Belum sempat membaca. Kalau nggak kubaca
ujianku pasti hancur. Ngobrolnya nanti saja ya?"
Mukanya kembali tenggelam di balik buku. Danielle
memandangi punggungnya. Masa Jack lebih memilih buku usang dari
pada dia? Enak saja.
Harus ada cara lain supaya Jack mau keluar dari cangkangnya.
Kalau orang lain bisa, Danielle Sharp pasti bisa.
***************
Lori menatap pemandangan di luar jendela di belakang meja
gambar Pak dosen dengan cemas. Ia bersiap-siap menerima kritikan
tajam. Bapak itu melihat-lihat kumpulan berkasnya lebih dari lima
menit yang lalu tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hatinya akan
hancur berkeping-keping kalau ?
"Nona, gambar-gambar itu bagus sekali!" dosen bersandar di
kursi putarnya lalu mengangkat kakinya ke atas meja. Ditaruhnya
kumpulan berkas Lori dengan hati-hati di atas lemari arsip di
belakangnya.
"Masa depanmu cerah asal mau belajar giat dan
mengembangkan diri."
"Sungguh?" Lori memandang Pak Profesor dan Paul bergantian
sambil tersenyum cerah. "Terima kasih Pak Rosen! Terima kasih
karena bersedia melihat karya saya," katanya sopan.
"Terima kasih kembali. Kamu benar-benar mau kuliah di


Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kensington?" tanya Pak Rosen.
"Rasanya begitu.""Bagus. Kamu lihat sendiri," pak Rosen melanjutkan, "jurusan
seni Kensington sudah terkenal di mana-mana, saya ingin jurusan seni
jadi program utama di negara kita. Berarti kita harus menarik muridmurid SMA kelas terakhir lebih awal." Ia tersenyum main-main pada
Paul. "Paul adalah mitra kerja saya."
Lori bungkam. Di depannya ada pengarang buku bagus, orang
terkenal, dekan jurusan seni dan design di Kensington College dan
sekarang sedang memujinya ? mengundangnya belajar bersama.
Dulu ? kira-kira beberapa minggu yang lalu, kesempatan
kuliah di kampus termashur seperti Kensington bagaikan
memenangkan lotere baginya. Tapi nasib berubah dalam waktu
kurang dari dua puluh empat jam.
*************
"Ssst!"
Danielle duduk di depan Jack, berlagak membaca buku selama
dua puluh menit lewat, tapi lama-lama kesabarannya hilang. Tak ada
orang selain mereka berdua.
"Ssst!"
Kali ini Jack mengangkat kepalanya.
"Kamu haus? Aku haus nih," ia mencicit sambil tersenyum.
"Ada tempat minum di aula sana," jawab Jack, ia kembali
membaca.
"Aku nggak mau air putih. Bosan. Aku mau Coca Cola atau apa
kek."
"Ada mesin penjual minuman otomatis di lantai dasar ? di
sebelah kanan ruang audio visual. Gampang dicari kok." kata Jack
tanpa melihatnya."Oh. Anterin dong, sekalian kasih tahu tentang perpustakaan
ini."
Apakah ia terlalu gegabah? Danielle mulai berpikir bahwa ia
hanya buang-buang waktu saja. Jack belajar terus ? mungkin dia
memang kutu buku.
"Maaf, aku nggak bisa istirahat sekarang, Dan," kata Jack sabar,
ia sibuk merapikan rambutnya. "Hari Senin ada ujian, malam ini ada
pesta, aku masih harus membantu anak-anak menyiapkan pesta ?"
Jelas! Jack harus menyelesaikan semua tugasnya dulu supaya
bisa mendampingi Danielle dengan tenang di pesta.
Jadi dia naksir Danielle! Hmmm... sekarang masih ada waktu
sebentar bersama Jack. Cukup untuk melakukan sesuatu yang akan
membuat Jack memikirkannya sepanjang hari sebelum dia muncul di
pesta ? tampil sensasional.
"Kalau begitu biar kubelikan soda ke sini."
Wajah Jack langsung cerah. "Gitu dong! Beli deh cepetan! Eh,
nggak usah buru-buru, oke? Aku nggak ke mana-mana kok."
"Jangan pindah," oceh Danielle lembut sambil mengelus lengan
Jack dan berkedip. "Aku kembali secepat kilat. Mau Coke?"
"Jus saja. Tapi adanya di gedung senat. Di bawah nggak ada.
Nggak apa-apa kan?"
"Beres, Jack!" Danielle segera bangkit dan berbalik perlahan, ia
menyambar jas yang digantungnya di rak tepat di belakangnya.
Jas itu tak bergeser sedikit pun, ditariknya lebih kuat agar lepas.
Disangkanya kerahnya tersangkut, lalu ditariknya sekali lagi ?
Tiba-tiba, begitu jasnya terlepas, posisi rak bukupun miring,
Danielle mulai panik. Buku-buku itu akan ?Danielle menutup wajah, ngeri melihatnya. Ratusan buku
referensi jatuh ke lantai berdebam-debam!Sepuluh
Beberapa menit kemudian terlihat debu tebal mengepul. Mana
Jack? Terkubur hidup-hidup?
"Jack! Kamu nggak apa-apa?"
Orang-orang di ruang majalah melihat keributan itu dari jauh.
Debu mulai menipis. Danielle menarik nafas lega ketika melihat Jack
muncul.
"Nggak ada tulang yang patah ... mungkin," katanya sambil
bangkit dari meja dan membersihkan debu di bajunya. "Untung
perpustakaan lagi sepi. Kamu gimana?"
"Oh, aku nggak apa-apa," Danielle menjawab tanpa
memandang dan menyingkirkan gumpalan kotoran dari celana jeansnya. Memalukan! Inilah permulaan hubungan mereka, semua rencana
Danielle hancur, seperti buku-buku rapuh berbau apek yang
berserakan di sekeliling mereka.
"Biar kami bereskan," gumam Jack ketika salah seorang
petugas perpustakaan menghampiri mereka menanyakan penyebab
kekacauan itu. Sambil berjongkok, dipungutinya satu seri History of
Western Civilization. "WC empat-tujuh-tiga koma delapan-lima.
Berarti di ? atas sini..."Biar Jack mengerjakan sendiri. Danielle tak mau tangannya
kotor kena debu, nanti penampilannya rusak. Dia takut menyentuh
buku-buku ? yang tampak usang dan rapuh. Kalau buku-buku itu
terbuka akan menodai bajunya.
Kemudian, orang-orang yang bergerombol di situ segera
membantu Jack menyusun buku kembali ke raknya. Begitu
meletakkan buku terakhir, Jack segera berterima kasih pada mereka
dan duduk kembali di tempatnya, menekuni pelajaran. Danielle masih
berdiri di situ persis orang pikun. Jack tak memandangnya sama
sekali!
"Kamu tahu," katanya takut-takut, "seharusnya dibikinkan rak
baru lagi."
Jack tak mendengarkan. Ia melirik jamnya kemudian bersiul
kecil. "Dan, aku janji membantu anak-anak nyiapin pesta. Jangan
sampai mereka kecewa."
"Katanya mau istirahat? Kapan kamu bersantai?"
"Maunya sih begitu ? tapi mana sempat? Nggak apa-apa kan?"
Danielle tak bisa menjawab. Ia hampir menangis karena
kecewa. Semua kacau, bahkan Jack jadi benci padanya! Rasanya ia
ingin merangkak di bebatuan ? eh, di tempat tidurnya yang bersih ?
lalu mati.
"Hei, nggak parah kok," ujar Jack lembut. Disentuhnya bahu
Danielle. "Kamu datang ke pesta kan?"
Tatapan Jack lembut sekali. Semangat Danielle kembali
membara. Jack sayang padanya!
"Pasti dong!" Syukurlah ? ia tak marah karena musibah kecil
tadi."Christine dan Lori juga datang kan?" tanyanya.
"Lori? Nggak tahu deh," elak Danielle. "Christine harus bikin
paper ? panjang sih. Katanya mungkin nggak bisa datang."
"Oke, kalau begitu ? nanti kamu kuhubungi," kata Jack sambil
berdiri. Jack mengernyit, tapi lalu tertawa ketika melihat mimik
kecewa Danielle. Ia memasukkan lima atau enam buku dan catatannya
ke dalam ransel dan mengayunkannya ke pundak. "Daaah," katanya
lembut lalu pergi.
Nanti menghubungi? Kenapa nggak sekarang saja! Aku pingin
di sini terus sampai besok! Danielle mengawasi Jack menyapa
beberapa mahasiswa yang berpapasan dengannya. Dipandanginya satu
sampai dua menit, kemudian tersadar. Jack pasti marah padanya ?
acara belajarnya rusak gara-gara Danielle.
Bagaimana supaya Jack kembali baik padanya?
************
"Indah sekali hari ini." Lori menghela nafas lalu memejamkan
mata, menikmati kehangatan matahari musim gugur menerpa
wajahnya.
"Mm-hmm," Paul menyetujui. Mereka mampir membeli soda di
kantin kampus dalam perjalanan mengambil buku design Paul.
Mereka duduk di halaman rumput, menikmati sinar matahari dengan
malas.
"Tahu nggak," kata Paul tiba-tiba, "profilmu hebat. Kapankapan aku mau melukismu."
Mata Lori terbelalak dan wajahnya merah padam. "Ah, itu
rayuanmu pada setiap cewek," candanya menutupi rasa gugup.Paul menatapnya dengan mimik lucu, kemudian tertawa.
"Memang," katanya setuju. Ia berbaring miring dengan siku menahan
kepala, memandang kampus dengan mata setengah tertutup.
Ia masih malu ngobrol dengan Paul, tapi ia suka. Ia melirik
Paul. Ia ingin mencium ?
Hush. Dia dan Paul tak pernah kencan, tak pernah berciuman,
juga tak pernah benar-benar berduaan. Tapi kenapa ia berkhayal
seperti itu?
Lori mencintai Nick, ada yang istimewa di antara mereka ? ia
tak mau menghancurkannya! Ia ingin Patsy dan Ann ada di
sampingnya supaya ada yang diajaknya tukar pikiran. Mereka pasti
akan memberi pandangan dan melarangnya bertindak bodoh.
Paul memandangnya sambil tersenyum, riak kebahagian
menghampiri Lori. Pandangan Paul begitu mesra .... Tiba-tiba wajah
Nick melintas, terbayang tatapan mata birunya yang lembut dan
penyayang.
"Kenapa, Lor?" tanya Paul lembut. "Kayak habis lihat setan
aja."
"Apa? Mmm, nggak apa-apa, cuma barusan ingat tadi nggak
pamit siapa-siapa. Aku pulang ya." Lori siap beranjak.
"Hei! Mau kemana? Katanya mau ambil buku. Siapa yang mau
cari kamu? Semua sibuk sama urusan masing-masing." Paul
menyentuh lengannya. "Santai aja!"
Sentuhannya begitu hangat. Boleh juga, pikir Lori. Memang
betul. Aku bebas, mau apa aja. Nggak perlu takut. Bahkan, Danielle
dan Christine nggak mikirin aku. Nggak menunggu-nungguku.Tapi hati kecilnya tetap bertanya, Nick gimana ya? Lori tak
tahu jawabannya.Sebelas
Danielle melahap sisa cokelat Belgia milik Christine kemudian
menghela nafas. Sebenarnya ia tak suka ngemil, tapi kalau sedang
stres begini, cokelat bisa menenangkan hatinya.
Ia merasa agak bersalah karena mengambil cokelat tanpa seijin
Christine, tapi kemudian mengabaikannya. Lagipula, Christine
mengatakan sengaja menyimpan cokelat itu untuknya.
Cokelat habis. Waktunya beraksi lagi. Dia harus berusaha
sebisanya agar Jack jinak di tangannya.
Danielle bangkit dan tersenyum di depan cermin Christine.
Kemudian menuju ruang telepon dan memutar nomor telepon Sigma.
"Halo, ini Danielle Sharp. Jack ada?" tanyanya dengan suara
semanis mungkin. Malam nanti, ia akan bertemu dengan semua teman
Jack dan ingin membuat mereka terkagum-kagum padanya. Kalau
teman-teman Jack menyukainya, pasti Jack pun begitu.
"Aldrich? Nggak ada. Sedang tugas mengawasi kolam renang."
"Oh, begitu?" Pantas body-nya seksi. "Di mana?"
"Di pusat olah raga. Ada acara renang gratis mulai jam tiga
sampai jam lima."
"Oke ? trims." Ia menutup telepon lalu menghela nafas berat.
Bagaimana kalau ia menyusul Jack ke kolam renang? Kecelakaan diperpustakaan membuatnya kapok. Kapan Jack ada di kamarnya? Tapi
rasa putus asanya tak berlangsung lama. Danielle Sharp adalah gadis
yang banyak akal.
Ia buru-buru kembali ke kamar, membongkar semua kopernya.
Dilemparnya satu persatu isinya sampai menemukan yang dicari ?
baju renang baru, bikini seksi berwarna biru terang.
Ada untungnya bawa koper berat-berat, pikirnya senang.
Perpaduan rambut merahnya yang keren dan bikini birunya akan
menaklukkan Jack Aldrich!
*************
"Kamu menginap di asrama mana?" tanya Paul ketika
menyusuri trotoar sebelah selatan kampus bersama Lori.
"Atherton," jawab Lori sambil berusaha menghindari lirikan
mautnya. Ia selalu gugup ? sikap jelek yang harus diubahnya.
Besok ia pulang ke Merivale menemui Nicknya, dan bebas dari
segala godaan. Nick akan menjemput di bandara dan Paul hanya akan
tinggal kenangan. Tak perlu kuatir bertemu lagi.
Masalahnya, itu yang ia takutkan atau yang ia harapkan?
"Sudah sampai," kata Paul tiba-tiba, mereka berhenti di depan
bangunan batu bata bermodel kolonial dengan cahaya lampu hijau.
"Kita ambil buku dulu lalu sama-sama ke Atherton. Kebetulan aku
juga mau pergi," tambahnya. Naluri Lori mengatakan bahwa
sebenarnya Paul tak mau pergi ke mana-mana tapi tujuannya memang
ke Atherton. Dan Lori sama sekali tak keberatan.
"Boleh. Kutunggu di sini saja," kata Lori.Paul mengernyit. "Nggak pingin ke kamarku? Sekalian lihat
hasil karyaku. Aku bikin beberapa rancangan baru. Aku pingin tahu
pendapatmu."
Lori segera luluh. Ia ingin melihat kumpulan sketsa Paul. Toh
Paul banyak membantu siang ini, masa harus dikecewakan? Ia
menatap mata Paul. "Oke, tapi nggak bisa lama-lama soalnya ? hmm
?" Dia ragu sejenak. Selalu begitu kalau ia menatap mata Paul,
akibatnya sama: ia jadi gugup dan kalimatnya tidak selesai. "Aku tadi
kan sudah bilang banyak kerjaan, dan ..." Kayaknya lebih baik
memandang tanah saja, pikirnya.
Begitu menaiki tangga kamar Paul, Lori membayangkan isinya.
Paul pecinta seni: mungkin temboknya penuh sketsa dan lukisan.
Memang hiasan tembok itu penting.
Ketika Paul membuka pintu, yang pertama kali dilihat Lori
adalah sketsa peragawati dari krayon, berbingkai dan tergantung di
atas tempat tidur. Paul segera menerangkan ketika tahu arah tatapan
Lori.
"Itu gambar pertamaku, kupajang di situ supaya aku selalu ingat
tujuanku belajar seni ? jadi orang terkenal!" Lalu ia menuju rak buku
di samping tempat tidur.
"Ini dia, A Complete History of Fashion. Bawa aja. Kalau sudah
selesai, kirimkan lewat pos. Aku masih di sini sampai bulan Juni."
"Trims berat nih," kata Lori menerima buku itu.
"Yang ini koleksi lama," kata Paul, menarik kumpulan berkas
dari bawah tempat tidur. Ia membersihkan debu-debunya sebelum
membukanya. "Karya baruku disimpan di sekretariat jurusan," katanya
sambil menepuk-nepuk kasur. "Silakan duduk."Lori duduk di samping Paul dan membalik tiap lembar lukisan
pelan-pelan, mengamati goresan Paul yang berkesan berani dan peka.
"Semuanya bagus-bagus, Paul. Aku seperti bisa merasakan
hembusan anginnya di gambar ini!" katanya sambil menunjuk lukisan
pemandangan berkabut yang dilukis dengan pena dan tinta. "Kamu
berbakat sekali."
"Aku senang kalau kamu bilang begitu," jawabnya. "Itu
pandangan seorang seniman."
Seorang seniman? Lori menyukainya. Memang ia suka
merancang dan membuat sketsa, tapi tak tahu sampai sejauh mana
bakatnya. Paul memuji rasa seninya.
Setelah melihat-lihat lukisan Paul, dikembalikannya berkas itu
pada Paul lalu menunduk. Bingung, apa lagi yang harus dibicarakan?
Apakah ia harus mengatakan bahwa ia senang bertemu Paul? Atau
mengatakan bagaimana gugupnya kalau Paul menatapnya seperti itu?
"Lori, mmm ? kamu mau makan malam sama aku?" tanya
Paul tiba-tiba. "Aku tahu tugasmu banyak, tapi..."
"Oh," katanya berpikir sejenak. Hanya satu hal yang harus
dilakukan ? menerima ajakannya, tetapi berterus-terang tentang
Nick. Itu adil ? untuk mereka berdua.
"Paul ? trims, tapi ?" Ia mendongak agar bisa menatap Paul
? Paul harus tahu ia berkata jujur. "Kamu tahu ? aku, mmm ?"
Ayo Lori! Jangan gagap, keluarkan uneg-unegmu! Ia menarik nafas
panjang lalu memaksakan diri melihat lurus ke mata biru Paul yang
indah. "Aku mau bicara."
**************Kesan pertama Danielle pada kolam renang Kensington adalah
bau chlorine yang menusuk. Untung aku nggak pakai Fallen Angel,
batinnya, membayangkan parfum mahalnya. Begitu mahalnya, sayang
kalau harus dibuang-buang di kolam kecil begini.
Danielle celingukan, yang menarik perhatiannya adalah


Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

gerombolan mahasiswa berotot yang duduk-duduk di pinggir kolam.
Lain kali Danielle akan berusaha menarik perhatian mereka.
Tapi sekarang hanya ada satu mahasiswa yang digila-gilainya. Ia
mengabaikan rombongan mahasiswi yang melirik bikini seksinya.
Dengan hati-hati ia terus berjalan melewati ubin basah menuju pos
pengawas.
"Halo yang di atas!" Danielle melambai pada Jack dari bawah.
"Masih ingat aku?"
Jack melihat ke bawah dan tersenyum. "Hai, Danielle! Mau
berenang ya?" Tampaknya ia sudah melupakan kejadian tadi pagi, tapi
tampaknya juga tak mau turun ngobrol dengannya. Danielle mulai
patah harapan lagi. Apa Jack tak punya mata? Apa dia tak bisa melihat
baju renangnya begitu seksi? Ternyata memang tidak, yang dilihat
cuma para perenang yang ada di kolam ? seolah ada orang yang akan
tenggelam!
Gila, pikir Danielle. Nggak bakalan ada yang tenggelam di
kolam renang sekecil ini. Lagipula mereka kan sudah dua puluh
tahunan. Bisa jaga diri sendiri!
Ternyata Jack selalu bersikap serius ? terhadap pelajaran,
terhadap tugasnya sekarang ... juga terhadap pesta asramanya. Apa dia
tak pernah santai barang sebentar?"Rame sekali!" teriak Danielle di tengah bisingnya suara
percikan air dan teriakan orang-orang.
Tampaknya Jack tak mendengar. Danielle geram. Apa dia
sengaja tidak mendengarkan? "Wow!" serunya lebih keras. "Kolam ini
hebat!"
Kali ini Jack mendengar. Ia mengangguk, tapi matanya tetap
sibuk mengawasi kolam.
"Sejak kapan kamu tugas seperti ini?" tanyanya kembali
mencoba.
Jack memandangi para perenang bergantian. "Sejak aku masuk
Eagle Scout, regu penyelamat," jawabnya.
"Aku suka renang, tapi nggak ahli. Capek sih. Kolam renang di
rumahku lebih kecil dari ini. Ajarin berenang dong ?"
Saat itulah seorang lelaki tegap berseragam merah putih
berjalan menyusuri pinggir kolam. Jack langsung duduk tegak di
kursinya. "Itu pengawasku, Dan. Aku dipecat kalau ketahuan ngobrol
selagi bertugas."
"Oh, oke." Danielle berjalan ke pinggir kolam, lalu menoleh
untuk melihat apakah Jack memperhatikannya dari belakang. Tapi
ternyata tidak.
Kalau yang diperhatiin cuma orang berenang, lihat aku nih! Ia
mencelupkan kaki ke kolam dan agak merinding. Disingkirkannya
rasa takut, kemudian langsung terjun. Dilihatnya Jack sekali lagi
sebelum memulai gaya punggung. Ia pasti cuma mengawasi perenang
yang serius, pikirnya. Masuk akal. Ia berenang dengan gaya bebas
menuju jalur balap.Sudah lama Danielle tak berenang bolak balik, tapi ia terus
memancing perhatian Jack. Satu dua kali ia melihat Jack
mengawasinya, tapi ia tak begitu yakin.
Di putaran ke tiga, pinggangnya terasa agak ngilu. Sial! Pasti
kebanyakan makan cokelat. Ia berharap tak mengalami kram.
Karena lelah, ia berhenti mengayuh sejenak untuk melemaskan
lengan-lengannya. Kepalanya berada di bawah air dan ia merasa tak
punya kekuatan untuk mengangkatnya ke atas air, mengambil nafas.
Ia mengambil satu tarikan nafas ke udara lalu melanjutkan berenang.
Sekujur tubuhnya lemah, rasa sakit di pinggangnya makin tajam.
Di tengah kolam, Danielle baru sadar ia tak mungkin mencapai
tepi kolam. Tanpa punya pegangan apa pun badannya meluncur ke
bawah ? dengan cepat.
Wuuush! Air masuk ke telinga dan kepalanya terasa berdenyutdenyut.
Dengan sisa kekuatannya, Danielle berusaha mengapung untuk
berteriak minta tolong. Tetapi ketika ia mengangkat tangan, kepalanya
malah semakin tenggelam!
Mana Jack? Danielle menyipratkan air dan berusaha
mengangkat kepala untuk terakhir kalinya. "Tolong!" teriaknya.
Kemudian kolam itu menelannya.Dua belas
"Kasih tempat! Dia dibawa ke sini."
Danielle mendengar suara sayup-sayup. Perlahan ia membuka
mata dan melihat sinar lampu kuning terang menyilaukan di ruang
darurat kolam renang. Ia memejamkan mata dan memiringkan kepala.
Ketika ia membuka mata kembali samar-samar dilihatnya wajah Jack
Aldrich.
"Jack ?" gumamnya berat. "Ad ? ada apa?"
"Ssst ?jangan bicara dulu," bisik Jack di telinganya. "Kamu
cuma kram. Begitu kami angkat dari air, kamu sudah pingsan."
"Oh, Jack ?" Ditatapnya Jack dengan lembut. Wajahnya hanya
berjarak kurang lebih tiga inci dari wajah Danielle, bibirnya begitu
menggoda. "Kamu selamatkan aku ?"
"Hmmm," Jack menunduk tersipu, "memang tugasku. Dan
Christine pasti membunuhku kalau sampai ada apa-apa denganmu.
Sudah merasa baikan?"
"Kayaknya begitu." Danielle hampir pingsan lagi, kali ini
karena tenggelam dalam kebahagiaan. "Ya, aku nggak apa-apa. Trims,
Jack!"
"Kalau begitu ?"Jangan pergi, Jack ? temani aku! Danielle ingin
membisikkannya.
"Sebaiknya kamu pulang, biar bisa berbaring," kata Jack. Ia
menolong Danielle berdiri.
Jack menyelimuti bahu Danielle dengan handuknya kemudian
meminta teman gadisnya mengambil pakaian Danielle di loker.
"Kutunggu di luar, oke?" tanyanya.
"Oke," jawab Danielle setuju. Bagus! "Trims," katanya sambil
mengikuti gadis itu ke ruang loker, "tapi aku sudah baikan kok."
Memalukan. Tenggelam di depan Jack, tapi setidaknya Jack
memperhatikannya ? secara pribadi.
**************
"Sekarang aku mau pulang, tapi kamu harus berbaring dan
istirahat total," Jack memperingatkan Danielle sesudah membantunya
naik ke kamar Christine. "Istirahat saja malam ini. Pestanya mungkin
bikin kamu tambah pusing."
Apa Jack gila? Danielle tak akan mau ketinggalan pesta!
Bahkan bila kedua kakinya patah pun, Danielle akan memaksakan diri
menyeberangi kampus demi Jack.
"Aku nggak apa-apa kok. Sungguh ? malam ini pasti sembuh.
Bisa temani aku sebentar Jack? Rasanya masih payah, tahu kan ..."
"Maunya sih gitu, tapi aku sudah janji bantu teman-teman," kata
Jack sambil menuju ke pintu. "Istirahat ya?"
Waktu Jack memutar tombol pintu, tiba-tiba pintu terbuka dan
ia hampir terjungkal. Christine masuk, matanya berbinar-binar. "Hei,
kalian toh! Maaf Jack ? habis aku senang banget sih!""Halo, Christine," sapa Danielle datar, ia berbalik untuk
berbaring di tempat tidur milik teman sekamar Christine. Kakaknya
selalu muncul pada saat yang salah.
"Christine," sambut Jack, "gimana papernya? Nanti bisa ikut
pesta?"
"Kejutan!" pekik Christine sambil mengayunkan kertas di
tangannya. "Beres semua! Jangan tanya isinya kayak apa, pokoknya
masa bodoh! Yang penting aku ikut pesta tanpa beban."
Danielle terbelalak, ia mengalihkan pandangan dari tembok
kepada kakaknya. Kabar buruk!
"Hei, asyik! Hebat kamu, Christ!" kata Jack bersemangat.
Christine mengangguk. Matanya bersinar ketika beradu pandang
dengan Jack.
Danielle mulai curiga dengan kesunyian itu, Jack pun segera
sadar. "Aku pergi dulu, mau bantuin persiapan pesta. Sampai jumpa
Danielle, jangan lupa pesanku! Christine, adikmu dapat musibah kecil
di kolam renang. Dia harus istirahat."
"Ada apa?" tanya Christine kaget.
"Nggak apa-apa kok, Christ. Jack jadi penyelamatku." Danielle
mengedipkan mata pada Jack.
"Sampai nanti malam," kata Jack cepat-cepat sambil melambai
kemudian pergi. Kalau Christine nggak keburu datang, Jack nggak
bakalan cepat-cepat pulang, gerutu Danielle dalam hati. Kami belum
pernah benar-benar berduaan!
"Wow, Dani ? bener kamu nggak apa-apa?"
"Jangan cerewet!"Christine tak bertanya lagi. Ia lebih memikirkan paper-nya yang
sudah beres daripada kesehatan Danielle.
"Lihat ini!" seru Christine seperti baru saja menemukan fosil
berharga. "Sudah selesai, sempurna ? tanpa kesalahan cetak, catatan
kaki canggih ? nggak nyangka bisa selesai cepat!"
Ditaruhnya paper itu dengan hati-hati tepat di tengah meja,
Christine meloncat girang lalu menggosok-gosokkan kedua
tangannya. "Asyik. Sekarang tinggal bersihin kamar lalu siap-siap ke
pesta!"
Disusunnya buku-buku di atas meja menjadi tiga tumpukan
berbeda. Konyol, membosankan, dan super membosankan, pikir
Danielle memperhatikan tingkah kakaknya.
Pintu terbuka, dilihatnya Lori masuk dengan lunglai, matanya
menerawang. Ia tersenyum pada Danielle sambil membuka jasnya
perlahan.
"Hei, Lor," sapa Christine sambil membersihkan debu meja
dengan kertas tisu.
"Oh, hei. Ngapain kamu ? bersih-bersih?"
"He-eh."
"Mau dibantu?"
"Nggak usah, trims," Christine menjawab riang. "Aku memang
suka bersih-bersih kalau tugas-tugasku selesai. Paper-ku sudah beres,
yang kupikirin sekarang mau pakai apa ke pesta Sigma nanti malam."
"Selamat deh." Lori meringis.
"Aku juga pingin bantu," kata Danielle lemah, "tapi aku agak
gemetaran setelah hampir tenggelam tadi.""Apa?" seru Lori kaget. "Gimana ceritanya? Kamu nggak apaapa?"
"Sudah baikan kok. Tadi cuma kram, tapi sempat pingsan dan
Jack yang menolongku." Danielle menarik nafas berat dan menepuknepuk bantal lalu merebahkan diri. Ia merasa sakit tapi tak ingin
mengatakannya pada Lori maupun Christine. Mereka pasti akan
menyuruhnya tidur semalaman!
"Istirahat aja, Dani. Matilah aku kalau Ibu dan Ayah sampai
tahu." Christine tertawa sambil menggantungkan beberapa stel
pakaian ke lemari. Christine memang suka berbenah. Danielle tak
pernah mau membantu. Toh, Christine yang suka, kenapa harus
dibantu?
"Kayaknya beban beratku sudah hilang," gumam Christine
riang sambil membersihkan laci meja.
"Bagus dong," kata Lori. "Aku juga lagi senang nih."
"Mudah-mudahan kamu bisa ikut pesta," kata Christine. "Biar
tambah meriah. Masa kamu sibuk sama tugasmu sementara kami
senang-senang sih?"
Gigi Danielle gemeretak. Apa Christine tak bisa tutup mulut?
Dia tak membutuhkan kehadiran Christine dan Lori di pesta itu.
Pipi Lori memerah sebelum sempat menjawab. "Mungkin aku
datang, sama teman."
Teman itu mungkin si pemandu tour, tebak Danielle dalam hati.
Tak jadi masalah. Yang penting selama Lori tak mengganggu
acaranya dengan Jack, ia bisa bebas melakukan apa saja.
"Teman?" Alis Christine naik, menatap Lori dengan penuh
selidik. "Siapa, Lor? Namanya?"Wajah Lori menjadi merah padam. "Paul Peterson. Anak
jurusan seni," jawabnya.
"Aku kenal Paul," kata Christine, mengibaskan debu serbet ke
keranjang sampah. "Ia bersahabat dengan teman sekamarku.
Kayaknya ia baik kok."
"Memang."
"Bagus kalau begitu!" kata Christine sambil menyentuh lengan
Lori. Kemudian ia kembali ke lemari pakaiannya. "Bantuin pilih baju
dong!"
Dibukanya pintu lemari lebar-lebar, lalu mengambil rok mini
beludru berwarna hijau dan blus sutra gading kemudian
mengangkatnya. "Kayaknya cocok ya, menurutmu gimana?" tanyanya
pada Lori.
"Bagus kok." Lori mengangguk setuju.
Christine menghamparkannya di tempat tidur. "Sebaiknya kita
mandi sebelum keduluan orang lain. Malam Minggu begini biasanya
ngantri. Kamu ikut nggak, Dan?"
"Oh, nanti saja. Aku masih trauma sama air."
Sebenarnya Danielle butuh waktu untuk membuat rencana
bagaimana menyingkirkan Christine.
"Oke. Ini handuknya, Lor." Christine melemparkan handuk, lalu
menenteng handuk lain untuknya sendiri. "Yuk!" Ia menghambur
keluar dengan Lori di belakangnya.
Setelah mereka pergi, Danielle duduk mengamati situasi. Ia
bangkit dan mondar mandir di ruangan, disentuhnya meja yang sudah
dibersihkan Christine. Mendadak dia berhenti dan melihat ke bawah.Tiba-tiba terlintas niat jahat dalam pikirannya. Ia menatap paper
Christine. Kakaknya tak mungkin pergi kalau papernya lenyap.
Jantungnya berdebar-debar, ditariknya nafas panjang, berusaha
menentang kata hatinya. Bagaimanapun, katanya pada diri sendiri,
semua halal dalam perang dan cinta! Dan ini adalah masalah cinta!
Maaf, kak, batin Danielle sambil mengambil paper dari meja
lalu menyembunyikannya di sela rak lemari pakaian Christine.
"Sayang kamu nggak jadi ke pesta, Christ," katanya keraskeras. "Aku dan Jack akan merindukanmu!"Tiga belas
"Oke, aku sudah siap!" Christine berbalik dari cermin riasnya,
wajahnya sangat riang. Danielle mengakui, kakaknya seksi sekali ?
blus sutra gading itu mempercerah warna kulit dan rambutnya, rok
hijaunya melekat ketat di pinggulnya yang seksi.
Danielle iri, Christine selalu cantik dengan pakaian apapun?
walau cuma memakai kaos luntur dan jeans belel. Kalau dandanannya
begitu mempesona ? Danielle tak berani membandingkan dengan
dirinya.
"Keren banget," komentar Danielle iri.
"Iya!" timpal Lori tanpa nada iri sedikit pun. "Kamu cantik
sekali!"
Christine tertawa sambil memakai anting mutiaranya, lalu
menjawab, "Ini kan pesta istimewa. Dani, kamu kelihatan segar lho,
nggak ada bekas habis tenggelam dua jam yang lalu. Lori, aku suka
bajumu, Paul pasti kagum," katanya sambil meringis.
Lori tersipu-sipu lalu menarik rok dari wol biru-merah pucat
dengan pola indah. Ia merancangnya sendiri untuk dipadukan dengan
jaket beludru biru berpotongan ketat di pinggang. "Trims." Ia angkat
bahu merendah. Kemudian diliriknya jam lalu berseru, "Ya ampun!Aku harus ketemu Paul sekarang! Restoran Luigi tuh, jauh nggak sih,
Christ? Telat nggak ya?"
"Mmm..." Christine menghitung-hitung. "Nggak begitu jauh.
Cuma lima menit jalan kaki. Tempatnya di dekat University Avenue,
di pojok College Boullevard. Tunggu saja lima menit lagi, Jack
menjemput kok. Kita bisa berangkat sama-sama."
Uhh. Semuanya tak berjalan seperti yang diharapkan Danielle.
Apalagi tampaknya Christine tak sadar kalau paper-nya hilang.
"Trims, nanti Paul kuatir. Aku berangkat sekarang aja," kata
Lori, melangkah menuju pintu.
"Hei, Lor ? selamat pesta!" Danielle berharap kencan Lori
berjalan lancar. Paling tidak sepupunya itu tak akan mengganggu
acaranya. Seandainya Christine tahu makalahnya hilang!


Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, selamat pesta," ulang Christine.
"Trims. Mudah-mudahan pestanya seru!" kata Lori begitu
membuka pintu.
Setelah Lori pergi, Christine mengayunkan jasnya ke bahu.
Danielle mulai panik. Kalau rencananya tak berhasil, akhir pekannya
di Kensington musnah.
"Siap, Danielle?"
"Hampir." Untuk mengulur waktu, dipercikkannya beberapa
tetes parfum Fallen Angel di pergelangan tangan dan di belakang
telinganya. Ini taktik mahal, tapi dilakukannya agar kakaknya tetap
mendekam di rumah.
"Tahu nggak, Christ," kata Danielle, "minggu ini aku juga harus
menyusun paper. Mungkin, hmm, aku bisa nyontek punyamu. Aku
pingin tahu caranya bikin catatan kaki, soalnya ?""Mau lihat sekarang?" potong Christine. "Dani, sekarang
hampir jam delapan!"
"Aku nggak bakal baca semuanya, yang penting-penting aja
kok. Aku belum pernah bikin paper sebanyak ini, aku bingung. Kalau
gagal, bisa-bisa hilang kesempatan kuliah dan ?"
"Oke, oke. Cari saja sendiri," kata Christine, sambil berdiri di
depan pintu dengan tampang bingung.
"Trims. Di mana?" tanya Danielle pura-pura lugu.
"Di meja."
"Mana? Nggak ada." Ia menggoyangkan tangan. "Mungkin
kamu taruh di bawah tumpukan buku ini?"
"Nggak! Ada di tengah-tengah ? hei, mana dia?" tanya
Christine, setelah melihat mejanya kosong dan makalahnya tidak ada.
Dihampirinya Danielle, "Kutaruh di sini kok! Kamu juga ingat kan?"
"Masa?"
"Iya! Begitu aku masuk, aku langsung bilang 'syukur sudah
beres semua' lalu kutaruh di sini."
Wajah Christine tampak panik. "Lalu aku ngapain ya?"
gumamnya.
Danielle pura-pura cemas. "Astaga, mungkin waktu kamu
bersih-bersih kamu pindahin ke tempat lain. Jangan-jangan kamu
buang ke keranjang sampah," kata Danielle. Ia yakin sekali Christine
telah membuang sampah ke bak sampah di jalan.
Christine menutup mulutnya. "Nggak mungkin! Nggak
mungkin kubuang." Dilihatnya keranjang sampah. "Kosong! Aduh ?
sampahnya sudah kubuang! Gimana nih?""Nggak mungkin kamu buang," kata Danielle sambil mencubit
pipi mencegah tawanya pecah. "Kamu kan rapih. Mungkin kamu taruh
di laci."
Lima menit kemudian kamar seperti habis kemasukan maling.
Semua laci terbuka. Christine terduduk lemas di tempat tidur sambil
meremas kepalanya.
"Nggak masuk akal," keluhnya. "Jangan-jangan kubuang ke
got! Paper-ku nyasar ke pembakaran sampah."
"Tok, tok. Boleh masuk?"
Jack berdiri di depan pintu yang terbuka, tampak seperti
peragawan di sampul majalah mode. Ia memakai kemeja putih segar
dilapis setelan jas wol abu-abu. Rambut hitamnya yang ikal disisir
rapi ke belakang. Danielle terpana. Dandanannya khas mahasiswa.
Coba kalau Teresa dan Heather melihat.
"Jack, kamu pasti nggak percaya." Air mata Christine menetes
waktu menjelaskan apa yang terjadi. "Masa aku berbuat setolol itu! Itu
paper paling penting semester ini!"
Danielle merasa bersalah, tapi disingkirkannya perasaan itu.
Christine suka bekerja ? mungkin ia tetap gembira walau harus
mengulang membuat paper. Dan kalau melihat Jack dan Danielle yang
serasi sudah siap, pasti ia mengijinkan mereka pergi berdua saja.
"Oke, jangan panik," kata Jack tenang. "Kamu punya copynya?"
Sial, batin Danielle. Nggak terpikir sampai ke situ.
"Nggak ada," jawab Christine.
Danielle menghela napas lega.
"Hmm," kemudian lanjut Jack, "catatanmu masih ada?"Christine langsung meloncat dan menghampiri tasnya yang
tergantung di belakang kursi meja belajarnya. "Semua ada di sini."
"Hmm," desah Jack, "memang berat, tapi kalau kamu mulai
menyusun lagi sekarang, mungkin besok bisa selesai. Kamu pasti
masih ingat isinya."
"Sayang sekali! Berarti kamu nggak ikut pesta dong?" tanya
Danielle berusaha terdengar cemas. "Besok saja nyusunnya."
"Nggak bisa." Wajah Christine tampak sangat sedih. "Besok ada
ujian berat. Jadi malam ini aku harus ngebut," keluhnya.
Danielle kembali merasa berdosa. Begitu melirik Jack, perasaan
itu segera hilang. Ia akan minta maaf padanya kapan-kapan. Asal
jangan malam ini. TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
"Aku di sini saja, bantuin kamu," kata Jack lembut.
Oh, jangan! Danielle tak memperkirakan bahwa Jack akan
membantu ? mudah-mudahan Christine cepat sadar kalau Jack cuma
berbasa-basi.
Christine tampak senang dengan tawaran Jack sementara
Danielle kaget setengah mati. Christine akan menerima tawarannya!
Kemudian Christine menggeleng. "Jangan konyol, Jack. Nggak
bagus kalau ada dua orang mendekam di rumah malam Minggu
begini. Lagipula, ini kan tanggung jawabku. Kalian berangkat saja,
deh. Senang-senang. Jangan pikirin aku, oke?" Dengan senyum sedih
ia mulai membuka buku catatannya. "Oh, bagus ? ini konsep
pendahuluannya," ia mengalihkan pembicaraan.
Danielle memasang muka stres sementara hatinya gembira
bukan main. Ia menghampiri Jack, lalu menggandeng danmenariknya. "Ayolah," ajaknya lembut, "biar dia sendirian. Daah,
Christ! Mudah-mudahan cepat selesai."
Nggak terlalu lama?pokoknya cukup untuk menggaet dan
menaklukkan Jack Aldrich!
**************
"Hei, Jack. Kenalin dong temanmu," kata seorang mahasiswa
tinggi berambut hitam ikal, sambil menatap Danielle yang berdiri di
pintu masuk Sigma.
Jack berhenti untuk membantu Danielle melepas jasnya.
"Danielle Sharp, ini Drew Cooper. Danielle sedang ikut program
Junior Weekend. Tolong temani sementara aku mengontrol tape
recorder sama Tony."
Jack berbalik kepada Danielle sambil tersenyum hangat.
"Nggak apa-apa kan, Dan? Aku panitia, pasti sibuk. Paling nggak satu
jam pertama ini."
Danielle terlalu lemah untuk menjawab. Drew segera
menuntunnya ke ruang tengah. Dipandangnya Jack yang ada di
belakang mereka. Teganya Jack meninggalkannya dengan lelaki ini?
Ini kan malam terakhir mereka?
"Jangan kuatir, Jack," kata Drew. "Kujagakan Danielle. Itu kan
gunanya teman sekost? Yuk, Dan ? kita keliling ruangan."
"Kita ketemu lagi kan?" tanya Danielle pada Jack sambil
menarik tangannya dari genggaman telapak Drew yang basah.
"Pasti," jawabnya sambil tersenyum simpul. Kemudian dia
melakukan perbuatan yang membuat jantung Danielle serasa copot ?
ia mendekat dan mencium pipinya. "Selamat pesta. Sampai nanti.""Aku tahu malam ini bakalan seru," gumam Danielle begitu
Jack pergi. Inilah dia, di tempat kost mahasiswa dengan para pemuda
keren di sekelilingnya. Dan sang pemuda idaman baru saja
menciumnya ... ia akan merindukan Jack, tapi waktu terus berjalan!
"Hei, Drew! Apa kabar?" Dua mahasiswa keren menghampiri
Danielle dan Drew tak lama setelah mereka muncul di ruang pesta
yang besar.
"Baik. Kamu tanya-tanya pasti punya alasan," kata Drew. "Ini
Danielle. Teman Aldrich. Sayang dia bukan kencanku. Nona Sharp,
ini Chip, dan ini John."
"Halo Danielle, mau dansa?" tanya Chip. Begitu Danielle
mengangguk dipegangnya tangan Danielle dan menuntunnya ke lantai
dansa, di sana beberapa pasangan sedang berdansa mengikuti irama.
Jauh sekali dibanding cowok-cowok Atwood! Cowok
Kensington keren-keren dan pintar melucu. Mereka pintar, kaya, dan
bajunya keren pula ? bodynya mantap punya!
Lelaki seperti Nick Hobart dan Ben Frye ? membuat cowok
idolanya di SMA Atwood ? jadi seperti anak ingusan. Apalagi Don
James, hubungan mereka tinggal sejarah. Kensington College-lah
tempatnya bernaung sekarang.
Kemudian, waktu suasana mulai sepi, Jack akan
menghampirinya. Mereka akan berdansa, si cowok keren Kensington
yang berhasil ditaklukkannya.Empat belas
Lori dan Paul keluar dari restoran Luigi menerobos kegelapan
malam. Cuaca malam itu begitu lembab dan basah, Paul membantu
memakaikan jas Lori. "Dingin," kata Paul sambil mengusap kuping
Lori sekilas. "Kayaknya bakalan ada badai."
"Kayaknya sih." Suara guntur terdengar dari balik bukit,
menggema halus di malam itu. Tapi badai yang sebenarnya sedang
berkecamuk di hati Lori Randalls. Waktu makan malam tadi Lori
sudah berusaha mengumpulkan keberanian dan bercerita tentang Nick,
tapi ada sesuatu yang mengganjal begitu dicoba memulainya. Jauh di
lubuk hatinya, Lori ingin melanjutkan pengalaman gila-gilaannya itu.
"Mau jalan-jalan? Badai masih jauh kok, aku belum kenal baik
sama kamu, tapi akan kucoba tahap demi tahap. Masakan Italia tadi
benar-benar komplit."
"Mmmm, memang, lezat sekali." Lori menghela nafas senang.
Digenggamnya tangan Lori, jari-jari Paul begitu hangat. Lori
tahu ia sedang terancam kesulitan besar.
Sebenarnya menggenggam tangan Paul adalah perbuatan yang
wajar, tapi akibatnya sangat menyeramkan. Mereka berjalan
menyusuri pohon-pohon rindang, di sepanjang perjalanan Lori
menyandarkan kepalanya di bahu Paul."Kamu tahu, Paul," ujarnya sambil merenung, "aku selalu
berangan-angan jauh, supaya merasa seperti ? seperti, hmm ? orang
yang istimewa. Seniman sungguhan, perancang ngetop, seseorang
dengan masa depan yang amat cerah. Itulah yang kurasakan kalau
sedang sama kamu."
"Kamu hebat, Lor," kata Paul sambil melingkarkan tangannya
di bahu Lori. "Masa kamu belum yakin sih?"
"Paul?" Dihelanya napas panjang. "Aku mau mengatakan
sesuatu. Masalah yang selalu mengganggu pikiranku, dan ?"
Bunyi guntur memotong kalimat Lori sejenak. Lori kaget
setengah mati, Paul merengkuhnya lebih dekat.
"Mendingan kita ke asramamu saja," kata Paul waktu melihat
petir menyambar. "Oke?" Paul tersenyum.
Mereka berbelok di jalan berikutnya dan mempercepat langkah
begitu petir dan guntur sambar menyambar.
"Lor," ujar Paul, "kamu sudah lihat keadaan Kensington, apa
kamu pingin kuliah di sini?"
"Oh, iya! Pasti. Itu memang impianku." Dan lebih lagi ? itulah
masalahnya. Dia tak pernah memimpikan bertemu dengan Paul
Peterson dan ternyata hidup jadi lebih sulit dari yang dibayangkan.
"Aku senang," kata Paul sambil tersenyum. "Kamu pasti cocok
kuliah di sini."
"Masa?" Lori menahan nafas.
"Hmm ? aku pingin mengenalmu lebih jauh." Paul berhenti
sejenak lalu menatap mata Lori. "Lebih jauh."
Klaap!!! Petir kembali menyambar dengan cahaya putih yang
menyilaukan, kemudian hujan lebat menimpa mereka."Ayo lari!" teriak Paul sambil menarik tangan Lori menuruni
jalan menuju kampus.
"Aaahhhh!!" jerit Lori sambil tertawa dan lari kerepotan,
rambutnya yang basah menempel pada wajahnya yang juga basah
kuyup. Air hujan masuk ke sepatunya.
"Ayo! Kita berteduh di sini!" Paul menunjuk ke jalan masuk
yang beratap, dan mereka berlindung di bawahnya.
"Gila!" Lori tertawa sambil berusaha mengatur napas. "Kamu
basah kuyup, Paul ? tampangku kayak apa?"
Paul menyibakkan rambut yang menutup wajah Lori. "Kamu
tetap cantik," katanya pelan. Disentuhnya bahu Lori, kemudian
ditariknya pelan dan mencium bibir Lori dengan lembut.
Lori merinding senang, disingkirkannya segala perasaan
bingung dan gugupnya lalu membalas ciuman Paul dengan bergairah.
Sementara hujan terus turun membasahi tanah, dia dan Paul
berpelukan mesra seperti orang yang telah terpisah selama berbulanbulan.
Akhirnya Lori terhenyak dan membuka matanya. Ditatapnya
Paul dengan mesra.
"Wow," kata Paul sambil menyibakkan rambut Lori dan
tatapannya seolah menembus jiwa gadis itu. "Aku sudah menunggu
sejak tadi sore."
Disentuhnya pipi Lori. "Tadi kamu bilang mau membicarakan
sesuatu. Soal apa, Lori?"
"Oh, bukan apa-apa kok. Nggak terlalu penting." Lori
tersenyum."Bagus." Paul merapat sambil menarik Lori kembali, bibirnya
menyentuh wajah Lori kemudian mereka berciuman lagi.
**************
Antara senang dan lelah, Danielle berputar-putar di lantai dansa
untuk yang ke sekian kalinya. Teman dansanya kali ini adalah Freddy,
yang berdansa gila-gilaan.
"Begini," kata Freddy begitu musik berhenti, "Sudah malam,
nih. Kayaknya orang-orang sudah siap-siap pulang. Kita keluar yuk,
cari kopi atau yang lainnya."
Danielle menyukai perhatian teman-teman asrama Jack, tapi ia
tetap menyukai Jack ? dan hanya Jack. "Maaf, tapi aku datang ke sini
sama teman kencanku." Teman kencan yang tak berdansa sama sekali,
batin Danielle sedih. "Aku mau cari dia. Trims ya."
Danielle menyeberangi lantai dansa ke ujung ruangan di mana
ia melihat Jack terakhir kali, di meja minuman.
Tapi ia cuma melihat cowok yang tak dikenalnya. Berarti Jack
sedang mengambil jas mereka supaya bisa cepat pergi. Ia menuju ke
pintu mencari si cowok keren yang pintar.
"Hei," sapa Danielle. "Kamu lihat Jack Aldrich nggak?"
Cowok di situ kelihatan bingung. "Tadi sih lihat. Mungkin di
ruang tape. Coba saja ke sana." Ditunjuknya ujung ruangan stereo
system.
Danielle buru-buru ke sana, tapi cowok di sana pun tak tahu di
mana Jack. "Sudah tanya cowok-cowok di dapur? Mungkin dia
istirahat di sana," usul si cowok itu.
Hati Danielle berdebar-debar ketika memasuki dapur. Ada lima
cowok berdiri di sana sedang mencelupkan donat ke dalam gelassusunya masing-masing. Teman-teman dansa Danielle juga ada di
sana. "Makanan ringan di tengah malam," ujar salah seorang.
"Ada Jack Aldrich?" tanya Danielle sambil berusaha menutupi
rasa kecewanya. Semua tamu sudah pulang kecuali dia dan
gerombolan yang bersikap seolah pesta sudah selesai. Mungkin sudah
selesai menurut mereka, tapi untuk Danielle dan Jack belum karena
kencan mereka belum tuntas!
Mereka tampak bingung sejenak. Akhirnya salah seorang
angkat bahu dan berkata, "Maaf. Nggak lihat tuh."
Kemudian, cowok pendek berwajah kekanakan masuk ke dapur.
"Cari Jack Aldrich ya?" tanyanya.
Syukurlah! Mungkin Jack juga mencari ketika Danielle sibuk
mencarinya!
"Ya, betul. Di mana dia?"
"Kata Tony, Jack pergi satu jam yang lalu ? katanya sih mau
belajar untuk ujian," kata cowok itu. "Tapi dia pesan supaya salah satu
dari kita mengantarkan Danielle pulang ke asramanya, soalnya dia
anak SMA yang sedang berkunjung dan dia takut kalau sampai ada


Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa-apa dengannya."
Pipi Danielle serasa terbakar api. "Nggak usah repot ? aku bisa
pulang sendiri," katanya geram.
Jack bukan cuma membuatnya mati berdiri, tapi juga telah
menghinanya di depan teman-teman asramanya dengan menyebut
Danielle anak SMA!
Tapi ia mau memaafkan Jack, kalau yang bersangkutan minta
maaf. Didorongnya pintu dapur lalu buru-buru menyambar jasnya di
ruang depan.Begitu sampai di luar, Danielle baru sadar ternyata tadi hujan
lebat. Lucu, mungkin dia terlalu asyik dansa sampai tak tahu hujan
turun. Awan mulai jernih dan bulan purnama muncul. Jack
meninggalkannya gara-gara harus belajar? Benar-benar keterlaluan!
Semakin memikirkannya semakin panas hati Danielle.
Sesampai di ruang tamu asrama, air mata jatuh membasahi
pipinya. Teganya Jack berbuat begitu! Danielle lari menaiki tangga,
dan berjalan secepat mungkin di tengah kerepotannya dengan gaun
sutera dan sepatu hak pendeknya. Dia telah berkorban banyak untuk
Jack, tapi Jack memperlakukannya seolah ... dia bukan siapasiapanya! Penghinaan!
Ia ragu-ragu begitu sampai di depan kamar Christine. Ia tak
mau menceritakan kesedihannya pada Christine, ditariknya nafas
panjang dan menghapus air matanya. Perlahan, diputarnya tombol
pintu dan mendorongnya.
Christine tak ada di meja belajarnya, dan Danielle mengintip di
balik pintu dan membukanya kalau-kalau Christine ada di dekat
lemari pakaian.
Apa yang dilihat Danielle membuatnya bersumpah tak akan ke
Kensington College lagi. Di situ, tepat di depan matanya, Christine
sedang berpelukan mesra ? dengan Jack Aldrich!Lima belas
Tak mungkin.
Ia langsung berbalik dan lari ke pintu, Danielle menuruni
tangga dan keluar dari asrama. Ia berdiri di luar sejenak, bingung apa
yang harus dilakukannya. Aku harus ke mana? tanyanya geram.
Tiba-tiba ia tahu ? senat mahasiswa, di sana ada toko makanan
kecil yang tetap buka sampai jam tiga pagi. Danielle butuh tempat di
mana dia bisa duduk tenang, berpikir, dan merenung.
Ia berjalan menuju ruangan bercahaya hijau terang. Danielle
mengambil kue apel dan membayarnya di kasir. Kemudian ia
meneruskan berjalan ke bagian belakang ruang yang sepi. Waktu
berjalan di antara meja berlapis formika dan kursi plastik, dia tetap
terpaku pada kakinya, berharap tak bertemu dengan teman asrama
Jack.
Ketika sedang mencari tempat duduk, ia melihat sosok lembut
yang meringkuk di meja dengan kepalanya terletak di tangan.
"Lori! Ngapain kamu di sini?" tanya Danielle kaget melihat
penampilan Lori. Rambutnya kuyup, dan riasannya amburadul.
Danielle menaruh piringnya di atas meja dan menarik kursi. Ia duduk
di depan Lori dan menatap wajah sepupunya yang sedih."Lori, kenapa kamu? Kehujanan, atau habis nangis?" tanya
Danielle.
"Oh! Danielle ? rasanya hidupku hancur berantakan!"
"Ada apa? Soal kencanmu?" Mata Danielle menyipit. "Kamu
diapakan Paul?"
"Nggak. Maksudku dia hebat ? itu masalahnya!"
"Hah?" Lori memiliki Nick yang sedang setia menantinya di
sana dan seorang cowok keren di sini, dan itu jadi masalah? Danielle
jadi tertarik.
"Oh, Danielle ? malam ini asyik sekali... aku jadi sedih. Aku
bingung antara Paul dan Nick! Dua-duanya baik, hebat, tapi aku
nggak bisa mencintai kedua-duanya! Apa aku salah?"
"Kamu nggak salah, Lor," kata Danielle. Kali ini bersungguhsungguh. Lori selalu sempurna. "Kalau kamu suka, jalanin aja."
"Apa, maksudmu kencan sama dua-duanya?" tanya Lori kaget.
"Itu wajar kok untuk anak seumur kita," jawab Danielle santai,
sambil menggigit kue apelnya. "Itu namanya menduakan."
"Wow, kayaknya susah," Lori menghela nafas.
"Hmm, selama kamu bisa mengatur jadwal, gampang kan?"
Danielle berbicara berdasarkan pengalaman. "Begini, Lor, yang kamu
rasakan ini juga pernah kualami."
"Masa? Oh, Danielle, maaf. Aku terlalu sibuk sama masalahku
sendiri sampai nggak tahu masalahmu. Maaf ya?"
"Nggak apa-apa." Danielle menggigit bibirnya. Dia hanya bisa
melupakan masalahnya sebentar. Waktu Lori menanyakan hal itu lagi,
lukanya kembali menganga dan ia ingat lagi pada pengkhianatan tadi."Brengsek," omelnya sambil menggeleng-gelengkan kepala
dengan marah waktu membayangkan Jack dan Christine berciuman.
"Dia menduakan aku dengan kakakku sendiri!"
"Siapa?" Lori tampak bingung.
"Jack! Gila nggak! Waktu aku masuk kamar, dia sedang
mencium Christine! Padahal malam ini kan kencan kami! Kamu juga
ada waktu Jack mengajak aku, iya kan?"
"Sebentar, Dan, Jack kan mengajak kita semua," tukas Lori.
"Lor, ajakan Jack padamu dan Christine kan cuma basa-basi.
Padahal sebenarnya dia cuma mau mengajak aku sebagai teman
kencannya!"
Lori terdiam sejenak. Kemudian ia berkata, "Mungkin kamu
salah mengerti, Dan. Dia menghibur kita karena kita tamu Christine.
Mungkin dia mengajak kita untuk menarik perhatian Christine."
Danielle ternganga mendengar tebakan Lori yang konyol. Tapi
kemudian ia menutup mulutnya kembali. Terngiang olehnya Jack
selalu menyinggung nama Christine di setiap obrolan. Dan cara Jack
bertanya apa Christine ikut pesta Sigma.
Komentar Lori jadi masuk akal. Tapi kalau ternyata Lori benar,
Danielle bakal frustasi berat!
Kenapa sikap para mahasiswa begitu aneh? Kenapa mereka
belajar mati-matian? Kenapa mereka berpura-pura suka pada
seseorang padahal sebenarnya mengincar sang kakak?
"Oh, Lor," keluhnya, "aku merasa bodoh sekali!" Dia
menyingkirkan kue apelnya, selera makannya hilang.
Lori meraih tangan Danielle. Sejak awal perjalanan mereka,
baru kali ini Danielle senang sepupunya ada di sampingnya. Loripenuh pengertian, seseorang dari dunia yang lain, dengan nilai-nilai
tertentu ? begitulah.
"Tega-teganya dia mengabaikan aku dan mengejar Christine?
Teganya!" Danielle menahan tangis.
Itu pertanyaan yang tak perlu dikomentari. Lori bertopang dagu
kemudian mendekat kepada Danielle. "Masih pingin bicara lagi?"
tanya Lori.
"Aku banyak berkorban untuk si brengsek itu," Danielle
mengaku, air matanya menitik. Lalu dihapusnya dengan geram. "Tolol
sekali!"
"Kamu nggak tolol!" bantah Lori. "Kamu suka sama orang
padahal orang itu nggak tertarik sama kamu, itu bukan berarti kamu
tolol."
"Oke, kalau bukan tolol, berarti aku bodoh!"
"Sudahlah, Dani, aku juga di situ waktu ada Jack. Kayaknya
Jack memang suka kamu. Tapi bukan suka dalam arti cinta. Jack dan
Christine punya banyak persamaan. Mereka satu kelas, sesama
mahasiswa tahun kedua..."
"Jadi karena aku masih SMA?" tebak Danielle. "Dia cuma
menganggapku anak kecil yang manis, cuma itu! Oh, bisa mati aku ?
!"
"Dani," kata Lori, "jangan sedih begitu dong."
"Mau tahu puncaknya? Dia benar! Aku memang cuma anak
SMA!" Danielle merosot ke meja.
"Danielle," kata Lori lembut, "itu kan nggak apa-apa. Para
mahasiswa ini cuma lebih tua beberapa tahun dari kita ? dan mereka
juga pernah jadi anak SMA! Sabarlah. Sebentar lagi kita juga kuliah.""Lagipula," tambahnya, "dengan gaunmu yang oke itu, kamu
juga secantik mahasiswi."
Danielle kembali cerah. Memang benar ? ia telah membuat
kejutan, mahasiswa asrama Sigma menyukainya. "Iya," katanya
sambil menyeringai. Ia mulai tenang. "Tapi ini tetap jadi akhir
pekanku yang tersial," keluhnya. "Sungguh."
"Lihat sisi baiknya dong," saran Lori. "Kamu banyak belajar
tentang kehidupan mahasiswa dalam dua hari ini. Kalau kamu jadi
mahasiswa tingkat satu nanti, kamu sudah dua hari lebih maju dari
yang lain."
Danielle menatap Lori. Kadang ia kagum pada kedewasaan
Lori.
"Trims, Lor," katanya sambil tersenyum tulus. "Aku suka
dengar yang itu." Tiba-tiba ia mendapat ketenangan dari sepupunya
itu. "Kalau pulang ke Merivale nanti, kita harus sering ketemu ya?"
Mata Lori bersinar. "Aku suka dengar yang itu!"Enam belas
"Hari ini cerah ya, Lor?"
Christine duduk di depan Lori di aula makan, sambil
memainkan French toast yang terhidang di piringnya.
"Tadi malam juga asyik!"
"Oh?" gumam Lori sambil menyuap bubur sesendok penuh. Ia
sudah tahu kenapa Christine kelihatan begitu bahagia, tapi ia tak ingin
menyalahgunakan kepercayaan Danielle. Ia berusaha tak
menunjukkan emosinya. "Makalahmu sudah selesai?"
Wajah Christine mendadak muram sejenak. "Belum semua,
baru beberapa halaman dan mau kuselesaikan hari ini ? kalau
konsentrasiku penuh." Ia berhenti kemudian tersenyum sambil
memainkan bibirnya. "Tahu nggak? Aku sedang jatuh cinta!"
"Jatuh cinta?" tanya Lori pura-pura lugu.
"Iya ? sama Jack Aldrich! Lucunya, aku baru tertarik
sekarang, ternyata dia naksir aku sejak dulu. Karena masing-masing
sibuk sendiri jadi sama-sama nggak sadar. Nggak nyangka ternyata
dia naksir aku!"
"Masa?" kata Lori. Ia memang sudah curiga.
"Mm-hm. Aku senang sekali!" Christine menggeliat. "Ingat
waktu pertama kali kamu jatuh cinta pada Nick? Rasanya asyik kan?"Lori langsung menjatuhkan sendoknya waktu nama Nick
disebut, blusnya ternoda percikan bubur. Dengan gugup disekanya
noda itu dengan serbet.
"Apa aku salah omong?" tanya Christine.
"Nggak juga," Lori menghela napas. "Cuma ? ingat kencanku
semalam?"
"Kenapa, gagal?"
"Oh, Christ ? seharusnya aku tetap cinta pada Nick! Tapi Paul
datang dan membuatku menyerah. Kalau aku sudah pernah jatuh cinta
apa aku bisa jatuh cinta lagi?"
"Bisa aja." Christine tertawa. "Kedua teman sekamarku juga
mengalaminya. Umurmu kan masih enam belas tahun, Lori ? wajar
aja kalau suka pada lebih dari satu cowok."
Lori mengganti posisi duduknya. Ia selalu mengagungkan cinta
yang murni ? satu pacar untuk selamanya. Ketika dia bertemu Nick,
ia hanya mencintai Nick. Ia cinta berat pada Nick, tapi setelah ada dua
cowok mengisi kehidupannya, ia tidak lagi percaya pada kesetiaan dan
segala bagian-bagiannya.
"Nah." Christine mendekat. "Hari ini kamu pulang ke Merivale.
Paul bakalan tinggal kenangan, iya kan? Dan kalau kamu kembali ke
Kensington nanti, mungkin bisa kamu pertimbangkan lagi."
"Aku nggak bisa menemui Paul lagi!" keluh Lori. "Nanti akan
kuceritakan semuanya pada Nick. Mungkin dia langsung minta putus
saat itu juga. Lalu aku nggak punya siapa-siapa lagi."
"Hei, santai saja, Lor," kata Christine. "Satu-satu dong. Paul
sudah tahu soal Nick belum?"
Lori menggelengkan kepalanya."Oh, begitu." Christine mengangguk-angguk. "Seperti kata
pepatah ? kejujuran adalah hal yang terbaik. Aku percaya itu.
Jujurlah pada kedua-duanya, lalu ikuti kata hatimu dan pilih yang
terbaik. Itu saranku, mudah-mudahan berguna."
Lori bangkit dan mengecup pipi sepupunya. "Sangat berguna.
Trims, Christ."
"Mau kemana?"
"Ke asrama Paul. Aku mau pamitan, sekarang waktu yang tepat
untuk berterus terang tentang Nick ? mumpung sedang berani."
Disambarnya jaket yang tergantung di kursi belakangnya.
"Semoga lancar, Lor."
"Trims."
*************
Dengan malas Danielle melipat sweater ski Norwegia biru
hijaunya dan menghempaskannya ke koper. Walau telah mencurahkan
isi hatinya pada Lori semalam, ia masih merasa sakit hati. Akhir
pekan ini berubah menjadi musibah.
Setelah kecelakaan di perpustakaan, kejadian di kolam renang,
sikap Jack yang kelewatan di pesta Sigma semalam, ia yakin akan jadi
bahan tertawaan di kampus ini. Ia hanya berdoa semoga gosip itu
jangan sampai menyebar di SMA Atwood! Heather dan Teresa akan
mengejeknya kalau sampai mereka tahu ....
Oh, sudahlah. Danielle mengambil gaun suteranya dari lemari.
Heather dan Teresa bisa diurus nanti. Kan Danielle Sharp jago ngibul.
Ketika mengambil gaunnya dari rak, ia ingat makalah Christine
yang tersembunyi di atas kepalanya. Harus kukembalikan, batinnya.
Semua gara-gara makalah sialan itu!Danielle mengulurkan tangan untuk mengambil makalah itu.
Tapi sial, didengarnya pintu terbuka, lalu ? oh, gila! ? suara Jack
Aldrich! Tangannya berkeringat. Ia tak mau melihat Jack dan
Christine sekarang! Pergi dong, doanya dalam hati.
"Aku belum melihatmu sejak tadi malam, aku kangen!" kata
Jack dengan suara lembut dan mesra.
Oh, ciih. Danielle menunduk sebal.
"Mmmm, aku juga," jawab Christine. "Tapi sementara ini kita
belum bisa bersenang-senang ? aku harus menyelesaikan makalah."
"Oke, kamu boleh bebas sore ini. Tapi nanti malam kita makan
sama-sama," ujar Jack.
"Boleh. Hei, si Danielle ke mana ya? Tadi dia masih tidur
waktu aku keluar sarapan."
Itu kan sangkamu, gerutu Danielle dalam hati. Ia tak bisa tidur
semalaman, tapi ia pura-pura tidur nyenyak supaya tak perlu bercerita
tentang Jack.
"Pasti ia nggak di perpustakaan atau di kolam renang," kata
Jack sambil tertawa. "Kasihan Danielle. Kuharap akhir pekannya
menyenangkan terlepas dari kecelakaan itu. Dia anak hebat. Aku suka
padanya."
Anak hebat? Hati Danielle mulai panas. Jack Aldrich terlalu
serakah pada wanita, untung Danielle lepas darinya. Ia tidak mau ikutikutan jadi bodoh!
"Memang. Cantik lagi," ujar Christine. "Aku ke perpustakaan
dulu. Sekitar jam enam tiga puluh kamu kujemput, oke? Sekarang
pergilah. Tapi" ? suaranya jadi aneh ? "cium dulu dong!"
Suasana hening sejenak kemudian terdengar suara pintu ditutup.Tangan Danielle mulai kejang. Dengan hati-hati dilemaskannya
tangannya, kemudian meluruskan kaki.
Brak! Danielle memejamkan matanya. Ia menendang sesuatu ?
suaranya seperti kotak berisi jambangan dan wajan!
Ketika membuka mata ia melihat Christine berdiri di depan
pintu lemari sambil menatap Danielle. "Dani!" seru kakaknya.
"Ngapain kamu di sini?"
Danielle tersenyum pahit. "Beres-beres," jawabnya. Dengan
berlagak tak peduli dia melangkah keluar dari lemari dan memandang
kakaknya dengan sinis.
"Jadi kamu ada di sini waktu aku dan Jack ngobrol?" bentak
Christine. "Nguping ya!"
"Enggak," sangkal Danielle, rasa marahnya berkecamuk lagi.


Merivale Mall 06 Prahara Akhir Pekan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ngapain aku nguping obrolon cengeng seperti itu! 'Aku kangen'"
katanya sambil menirukan tampang Jack. "Nggak ada untungnya!"
"Danielle!" Christine tampak kaget ? dan sakit hati.
"Kusangka kamu ikut senang."
"Memang ? bahagia demi kakak yang menghancurkan akhir
pekanku!" Danielle keceplosan. "Kamu puas melihat acaraku
berantakan!"
"Kamu ngomong apa sih?" tanya Christine keras.
"Kamu kan tahu aku naksir dia," kata Danielle tanpa peduli
pada ekspresi wajah kakaknya yang kaget setengah mati, "kamu nggak
pernah bilang bahwa kamu sendiri naksir dia! Kamu jahat, Christ."
"Nih." Danielle benar-benar panas. Christine berdiri terpaku,
wajahnya pucat. "Cuma untuk membuktikan bahwa aku bukanpendendam." Dilemparkannya makalah tiga puluh halaman itu di
depan kakaknya. "Tadinya aku nggak mau berikan ini."
"Makalahku!" Christine tampak limbung. "Ketemu di mana?"
"Di mana kutaruh, itu yang benar."
"Maksudmu, kamu ? kamu mencurinya?" Christine tampak
seolah ingin mencekik Danielle. "Gila!"
"Habis aku harus gimana lagi? Itu satu-satunya jalan supaya aku
bisa berduaan dengan Jack tanpa kamu ganggu! Dan, tahu sendiri,
ternyata hasilnya malah sebaliknya. Tapi memang mau
kukembalikan."
"Kamu sadar? Gara-gara kamu aku jadi mati-matian kerja
ulang? Pingin menjerit rasanya!" kata Christine dengan kemarahan
yang meluap.
"Menjerit? Kamu kan pacaran sama Jack. Memang itu yang
kuharapkan. Kamu selalu dapat barang bagus."
Begitu Danielle selesai bicara, ia baru sadar sudah keterlaluan.
Suasana hening seketika. Christine bertanya dengan suara lemah,
"Apa maksudmu?"
Danielle mendadak takut air matanya menetes. "Nggak ada,"
ujarnya.
"Danielle, aku tahu kamu nggak keceplosan. Apa maksudmu?"
Danielle menarik napas panjang. "Oke, kalau kamu maksa,"
katanya sambil berusaha tetap tenang. "Hidupmu gampang, Christ.
Kamu selalu kelihatan cantik. Nilaimu selalu bagus. Ibu nggak pernah
mengecam kamu. Semua kecamannya disimpan untuk aku!"
"Yang kudengar di rumah melulu 'Christine begini, atau
'Christine nggak pernah seperti ini.' Aku menyesal karena nggak bisasesempurna kamu, tapi aku nggak bisa apa-apa!" Danielle terisak dan
air matanya tidak terbendung lagi.
"Oh, Dani." Danielle merasakan pelukan Christine. "Kau benarbenar menganggap begitu? Menganggapku sebagai legenda yang
kamu dambakan?"
Danielle bungkam. Tapi ia mengangguk dan menghapus air
mata dengan gaun sutranya.
"Kamu salah. Hidupku nggak segampang hidupmu. Kamu pikir
Ibu nggak pernah mengomeliku? Coba kalau kamu dengar
tuntutannya padaku."
Danielle mengambil tisu dari meja lalu menyeka hidungnya.
"Misalnya?" ia bertanya penasaran.
"Oh, kamu tahu ?, 'Christine kenapa kau belum punya pacar.'
'Christine, kenapa kamu nggak kuliah di Ivy League?' 'Christine,
kenapa kamu jarang pulang?"'
Danielle tertawa. Suara Christine persis ibunya waktu sedang
ngomel!
Christine menatap mata Danielle. "Begitu," ujarnya lembut.
"Itulah Ibu. Hadapi saja, dia nggak bahagia walau sudah bersuami.
Terimalah apa adanya."
"Kenapa sikapnya padaku nggak sama dengan sikapnya
padamu?" Danielle ingin tahu.
"Sama kok! Mungkin caraku menghadapinya agak lain. Kamu
melawan ? sedang aku menerima saja. Aku berusaha menyenangkan
hati Ibu ? sekolah sungguh-sungguh, ramah pada semua orang. Tapi
tahu nggak? Walau aku sudah bersikap baik, dia tetap protes.
Akhirnya aku jadi terbiasa."Danielle menghela nafas panjang. "Seharusnya aku juga
begitu," ujarnya.
Christine mengangguk. "Itulah, supaya Ibu senang saja, kamu
harus menulikan telingamu."
"Enak saja. Dia baru belajar bahasa isyarat kok," kelakar
Danielle. "Bayangin tuh!"
Mereka bertatapan dan kemudian tertawa terpingkal-pingkal.
"Oh, Dani," seru Christine sambil memeluk adiknya, "aku senang
punya adik kamu!"
Danielle membalas pelukan Christine.." Aku juga," katanya.
"Aku juga."Tujuh belas
Lori bergegas menyeberangi ujung kampus selatan menuju
asrama Paul, langkahnya mantap. Ia akan menceritakan tentang Nick
pada Paul ? secara halus.
Sulit bicara serius dengan Paul karena ia menginginkan pelukan
dan ciumannya. Tapi ia harus mengumpulkan seluruh keberaniannya,
dan tidak boleh menyerah.
Tiba-tiba dia berhenti tepat di depan asrama Paul. Ia melihat
Paul duduk di bangku kayu panjang ? ngobrol dengan seorang cewek
cantik. Paul menggenggam tangan gadis itu sambil tertawa-tawa,
pandangannya lebih memancarkan rasa cinta dari sekedar teman.
Lori merasa perutnya seperti terpukul. Tatapan itu sama seperti
yang diterimanya semalam ? seolah dia cewek paling istimewa di
seluruh dunia dan tak ada yang bisa menandinginya. Dan dari cara
cewek itu merapat pada Paul, tampaknya mereka memang saling suka.
Paul meletakkan tangannya di bahu sang cewek dan
merengkuhnya. Lori menutup matanya. Paul akan mencium gadis itu!
Hal yang juga dilakukan oleh Paul pada Lori semalam.
Dengan nafas terengah-engah Lori berbalik dan mulai berjalan.
Ia tak bisa menyebut kata yang tepat untuk menggambarkan Paul ?
soalnya dia seperti jenis orang baik-baik. Tapi ternyata dugaannyasalah ? salah besar. Rasanya ia ingin lari sejauh mungkin, jauh dari
Paul Peterson dan Kensington College dan semua perasaan hebat
maupun yang buruk selama akhir pekan ini.
"Lori! Hei, tunggu!" Suara Paul yang lembut memanggilnya
dari seberang lapangan. Lori menoleh dan melihat Paul melambai
pada cewek itu kemudian mengejar Lori. "Kamu pulang siang ini,
kan? Masa kamu nggak mau pamitan sih?" tanyanya.
"Oh, pasti!" Air mata Lori tak terbendung lagi.
"Lori, kenapa?"
Paul menatap tepat ke mata Lori. Paul tampak peduli pada Lori,
tapi itu cuma pura-pura, kata Lori dalam hati. Jadi selama ini Paul
cuma pura-pura naksir padanya?
"Kamu tahu sendiri kan?" tanyanya.
"Begini, Lori ? sayang kamu muncul di saat yang kurang
tepat, tapi sungguh, itu bukan masalah."
"Hmm," Lori gemetar, "kamu pe ? pe ? pegangan tangan
sama cewek itu ..."
"Lalu ...?"
"Dan, kukira setelah peristiwa semalam, kukira kita ? punya
hubungan istimewa yang serius."
"Serius? Tapi kita kan baru kenal dua hari, Lori? Mana
mungkin kita bisa serius dalam waktu secepat itu?"
Lori tak tahu apa yang harus dikatakannya. Memang kata-kata
Paul masuk akal, tapi kalau tidak naksir, kenapa Paul menciumnya?
"Cewek tadi itu teman akrabku. Perasaanku padanya sama
dengan perasaanku padamu. Aku juga suka sama kamu.""Banyak cewek cantik di dunia ini," lanjut Paul, "dan aku
pingin mengenal mereka."
Lori mencerna logika Paul. Walaupun ia berusaha mengerti,
baginya ? hal itu tetap tidak masuk akal.
"Kita masih muda, perjalanan kita masih jauh ?" kata Paul.
Tapi hal itu tak berpengaruh apa-apa terhadap masalahnya. Itu
masalah lain.
Semakin panjang Paul bicara, Lori makin ingin menentangnya.
Paul bukan jenis cowok idamannya.
Pandangan mereka berbeda jauh. Paul ingin mempelajari
karakter para gadis dan mengenal mereka lebih jauh. Tapi menurut
Lori, mendua bukan hal yang wajar. Bagi Paul ciuman adalah sekedar
ciuman ? bagi Lori ciuman adalah tanda pengikat. Tanda pengikat
yang berarti kamu sangat berharga bagiku, dan akulah yang kamu
utamakan.
Dan nyatanya tanda pengikat itu hanya untuk seseorang yang
sangat berarti untuknya. Nick Hobart!
*************
"Ayo dong, Lori ? ceritain semuanya! Kamu ketemu
mahasiswa yang keren-keren?" Mata abu-abu Ann Larson berbinarbinar penasaran.
"Dan kamu berikan nomor teleponku pada mereka semua?"
tanya Patsy Donovan. Hari Minggu malam itu mereka bertiga berjalan
menyusuri Merivale Mall menuju Sixplex.
Tapi Lori hanya memandangi mereka bergantian sambil
menggelengkan kepalanya, "Membosankan. Kalian pasti nggak mau
mendengarkan." katanya."Membosankan!" pekik Patsy. "Randall, jangan sembunyisembunyi. Ada apa di sana?"
Lori menatap etalase yang mereka lewati tanpa mempedulikan
pertanyaan Patsy.
"Kamu pasti kenalan sama seseorang!" seru Ann.
Lori tersenyum pada Ann. Cepat atau lambat ia pasti
menceritakan semuanya. "Oke," mulainya, "tapi ceritanya panjang.
Lebih panjang dan lebih rumit dari yang kubayangkan. Apa pun yang
terjadi, sekarang sudah selesai. Aku pulang ke Merivale, masih kencan
dengan Nick, masih SMA, dan kita bahagia. Aku belum siap kuliah ?
paling nggak untuk sekarang ini."
"Kamu mau ceritain pada Nick?" tanya Patsy.
Lori memandang toko Hobart Electronics, toko milik ayah
Nick. "Ya, akan kuceritakan ? semuanya," ujarnya tenang.
"Jangan kuatir, Lor. Apapun yang terjadi antara kamu dan Nick,
kami tetap mendukungmu," kata Ann. "Bagaimanapun, Nick pasti
mau mengerti."
"Kalian pasti bisa menghadapinya," Patsy setuju.
"Jangan tanya kenapa. Tapi kayaknya cowok itu cinta berat
sama kamu. Aku yakin aku nggak bisa mengerti," kelakarnya.
"Aku kangen sama kalian selama pergi!" Lori menggelenggeleng sambil tertawa.
"Hei ? jangan lupa, perpisahan membuat hati serasa meledakledak," Ann mengingatkan mereka.
"Oke, oke." Patsy menggandeng Lori. "Jadi sebenarnya ada
apa?"
******************"Jadi, Red ? kudengar kamu berakhir pekan di kampus. Kapan
pernikahannya?"
Tatapan Don James menantang Danielle dari depan pintu Video
Arcade. Beraninya dia, batin Danielle sambil menghindar darinya.
Benar-benar berani!
"Hei! Mau kemana?" teriak Don sambil mengejar Danielle.
Danielle berhenti melangkah dan melotot.
"Don, jangan ganggu aku!" pintanya. "Aku ada perlu."
"Jangan ganggu kamu? Nggak masalah. Setelah kamu puas
beramah-tamah dengan mahasiswa, kamu nggak sudi ngobrol sama
berandalan seperti aku. Betul kan?"
Danielle tak segera menjawabnya. Don memang benar ?
begitulah kira-kira. Sebaliknya, Danielle terlalu hebat untuk seorang
montir, walau Don keren ... dan pintar melucu ... dan baik ... dan ?
ada di sini!
Don berdiri tepat di depannya sambi menilai-nilai. "Red,
bukannya aku mau nakut-nakutin kamu, tapi mahasiswamu itu ?
siapa pun dia, jangan bantah yang satu ini ? mungkin secepat kilat
akan melupakanmu. Tahu ungkapan jauh di mata, jauh di hati? Kamu
pasti kembali padaku."
Itulah Don James. Ia selalu tahu isi pikiran Danielle, apa yang
sedang mengganggu pikirannya. "Don James, aku nggak bakal kencan
sama kamu walau kamu manusia terakhir di bumi ini!" kata Danielle
teguh. Ia berdoa semoga Don tak mendengar gosip akhir pekannya
yang mengerikan.
"Oke!" Don mengangkat bahu. "Tapi kalau ? memang begitu,
kalau ? kamu merubah keputusanmu, aku sudah nggak mau lagisama kamu! Mungkin aku sibuk, jadi jangan lupa," kata Don dengan
sombong.
Itu dia! kata Danielle dalam hati, ia berbalik pergi. Kalau dia
mau main-main, jangan harap aku mau bicara dengan dia lagi.
Danielle memperlambat langkahnya. Terbayang olehnya
kebaikan dan pengertian Don. Mungkin nanti kutelepon dia. Nggak
akan menyakitkan kalau bicara lewat telepon. Orang lain nggak perlu
tahu, katanya dalam hati.
Danielle menoleh menatap Don kemudian tersenyum memikat.
Don mengedipkan matanya, dan Danielle pun segera tahu tawaran
masih berlaku. TEENLITLAWAS.BLOGSPOT.COM
Walau Don bukan pilihan yang tepat untuknya, tapi lumayan
juga. Dan Danielle tahu, di sudut sana cinta sejatinya telah menunggu.
Itu cuma masalah waktu saja. END
Sumpah Aku Mau Banget 1 The Heroes Of Olympus 3 Tanda Athena The Mark Of Athena Dendam Sejagad 2

Cari Blog Ini