Ceritasilat Novel Online

Sang Idola 2

Merivale Mall 01 Sang Idola Bagian 2


Teresa tertawa terpaksa. "Ngaco, ah! Tapi jangan kencangkencang, dong," katanya hati-hati.
"Trims, Mam," jawab Danielle. Lampu berganti, ia segera
mengoper gigi dan menambah gas sedikit.
"Bagaimana perkembanganmu dengan Nick Hobart?" tanya
Teresa. "Kulihat kamu bicara dengannya di aula, tadi."
Danielle merengut dan menekan pedal lebih keras. Menyebut
nama Nick tak akan mengubah keadaan hatinya. Danielle yang lebih
banyak bicara. Nick tak menunjukkan tanda-tanda berminat
mendengarkan. Belum pernah hal semacam ini terjadi padanya.
"Segalanya berjalan sesuai rencana," katanya pada Teresa.
"Jadi kamu yakin dia akan mengajakmu ke pesta dansa?"
"Tak ragu sedikitpun." Danielle terdengar lebih yakin dari yang
sesungguhnya dirasakannya. "Aku sudah berbelanja gaun baru."
"Tiketnya sudah dijual seminggu ini. Kamu tahu, kan?" Teresa
melirik keluar jendela.
"Iya," jawab Danielle ketus. "Kita satu sekolah, kan?"
Teresa cuma tertawa. "Jangan gondok, dong. Kira-kira kapan
dia mau mengajakmu?"
"Mungkin akhir minggu ini. Mungkin malah lebih awal lagi.
Kami ada janji, malam ini."
"Malam ini, heh? Pokoknya segera telpon aku, ya! Sudah
kubilang dari dulu, kamu lebih kece dibanding si Lori brengsek itu.""Lori bukan si brengsek," sanggah Danielle. "Dia cuma ? agak
lugu. Ah, nggak tahu deh?" Rasanya kok segalanya jadi kacau
begini, sih?
Mereka memasuki tempat parkir Mall, tapi bukannya parkir,
Danielle malah menuju ke sebuah tempat di dekat pintu masuk.
"Jangan parkir di sini, non. Diderek mobilmu nanti."
"Aku nggak parkir, kok. Cuma ngedrop kamu saja. Aku lagi
segan jalan-jalan. Si Heather lagi senam di Body Shoppe. Kamu
pulang bareng dia saja."
Teresa memaklumi sikap Danielle, dan tak ingin
membantahnya. Entah kenapa si rambut merah itu sampai sesewot itu,
tapi ia senang bisa menjauh darinya. Sambil meraih tasnya, ia
membuka pintu dan keluar. Danielle mengoper gigi dan menderu
keluar.
Mengemudi tanpa tujuan untuk beberapa saat, lalu dia merasa
ingin bersama Christine, kakaknya yang sudah berusia sembilan belas
dan duduk di perguruan tinggi. Danielle terkenang betapa cantiknya
kakaknya itu, lalu memutuskan untuk tidak jadi menemuinya.
Akhirnya ia merasa lapar, lalu menuju ke sebuah kios fast-food
dan memesan lewat jendela. Beberapa menit kemudian ia sudah parkir
di depan restoran itu, membuka sandwichnya.
Begitu Danielle mulai menggigit hamburgernya, terasa ada
yang mengawasinya. Ia mengangkat kepalanya dan melihat
berkeliling, namun tak ada mobil lain yang parkir di dekatnya. Waktu
ia kembali hendak menggigit untuk kedua kalinya, tahu-tahu ia sudah
berhadapan dengan sepasang mata coklat besar yang melongok dari
jendelanya. Seekor anjing. Setelah merasa berhasil menarik perhatianDanielle, anjing itu mulai mendengking sambil berdiri-diri di atas
kedua kaki belakangnya.
"Huss! Sana pergi!" usir Danielle dari balik jendela mobilnya.
"Kamu nggak akan kuberi ini. Sana pergi!"
Seolah mengerti arti ucapannya, anjing itu mendongakkan
kepalanya dan mulai melolong keras. Kedua kupingnya tegak.
"Ah, sudah ah! Berisik!" Danielle menutup telinganya sendiri.
Tiba-tiba ada seorang lelaki mengetuk jendela jok sebelahnya.
Danielle menekan tombol pembuka kaca jendela.
"Hei, non, tolong masukkan anjingmu. Anak saya takut anjing,
dan kami mau kembali ke mobil."
"Itu bukan anjing saya," jawab Danielle.
"Apa?" Orang itu menangkupkan tangan ke balik telinganya.
"Nggak kedengaran! Bising sekali! Bukan saya. Tapi anak saya ini.
Dia takut anjing!"
"Hei! Itu bukan anjing saya!" seru Danielle lagi.
"Ayah! Suruh dia memasukkan anjingnya!" gadis cilik yang
digandeng orang itu mulai menjerit. Danielle tak sanggup berpikir
lagi.
Dibukanya pintu mobilnya dan ia berdiri memandang anjing itu
dengan tangan di pinggang. "Hei! Diam!" bentaknya pada si anjing.
Anjing itu diam seketika. Ia berdiri diam, hanya
menggoyangkan ekornya yang panjang. Lalu sebelum Danielle sadar,
anjing itu melompat masuk ke dalam mobilnya. "Hei! Nanti dulu!"
Danielle terdorong sampai nyaris jatuh.
"Terima kasih." Orang tadi mengangkat anaknya dan
membawanya ke mobilnya sendiri.Danielle masuk lagi ke BMW-nya dan memandangi si anjing.
Anjing itu balas menatapnya dengan waspada, dari tempat duduk di
sebelahnya. Wajahnya terasa paling bersahabat seharian ini.
"Kamu bangga pada dirimu sendiri, kan?"
Dijawab dengan gonggongan lirih pendek.
Danielle menggelengkan kepalanya. Dia memang selalu ingin
punya anjing, tapi ibunya melarangnya habis-habisan. Takut
rumahnya yang serba rapih jadi berantakan.
Tapi Danielle masih mengimpikan punya anjing ? herder
Rusia atau afghan, berbulu putih putih keperakan, atau sekedar pudel
putih biasa. Diamatinya anjing temannya ini. Tidak sama persis
dengan yang di impiannya. Bulunya yang coklat tampak kusut dan
kusam. Sepertinya, tiga perempatnya keturunan retriever ? yang
seperempat lagi entahlah. Dari sikapnya, pasti pernah dipelihara
seseorang.
Tapi entah bagaimana lepas dan kesasar. Tak ada peneng
ataupun tali leher.
Danielle meremukkan burgernya dan meletakkannya di kertas
pembungkusnya. Anjing itu melahapnya dengan sekali telan, Danielle
harus sigap menarik kertas bungkusnya sebelum ikut tertelan.
"Kamu masih lapar, ya?" tanyanya sambil menepuk-nepuk
kepalanya. Anjing itu berbaring di kursinya dan menjilati tangan
Danielle. Lalu menggeser tubuhnya dan meletakkan kepalanya di
pangkuan Danielle.
"Alaaah," desah Danielle. "Iya deh. Kamu boleh ikut aku. Tapi
harus nurut. Ikuti semua perintahku. Oke?!"Danielle menyalakan mesinnya dan keluar dari tempat parkir.
"Nah, enaknya kamu kupanggil apa, 'njing?" tanyanya santai. Kalau
tampangnya agak lebih cakep, bisa dicarikan berbagai nama lucu.
Ah, apa bedanya? Dia bisa dinamai apa saja, kan? Kebetulan
dia sedang ingat pada iklan 'Garbo Classic'. Hmmm?lucu juga kalau
dipanggil Garbo, ya? Mungkin dengan nama sehebat itu kelakuannya
bisa berubah jadi agak sopan sedikit.
"Kita sudah hampir sampai, Garbo," kata Danielle, mencoba
nama barunya. Rasanya cukup pas, kok. "Nah, Garbo, kita harus
menyelinap diam-diam ke kamarku. Kalau sampai ketahuan, habislah
kita."
Danielle mengemudikan mobilnya sepanjang jalan masuk,
melalui sebuah mobil van biru bertuliskan 'Premier Catering' warna
emas. Ibunya selalu memesan dari Premier setiap kali mengadakan
pesta. Entah siapa lagi tamu agung malam ini.
Terdengar olehnya suara Ibunya di dapur, memerintahkan ini
itu. Setidaknya orang-orang catering ini bisa mengalihkan perhatian,
sehingga ia bisa menyusupkan Garbo ke dalam rumah.
Diam-diam digiringnya anjing itu masuk lewat pintu depan,
naik ke kamarnya, dan menyuruhnya diam di kamar mandi kamarnya
lalu dikuncinya dari luar. Sebelum Garbo menjalani mandi-komplit,
dia tak ingin mahluk itu melingkar di sofanya ataupun keset kamarnya
yang putih. Tapi dia harus makan lagi dulu sebelum dimandikan.
Sekaranglah saatnya yang tepat untuk mencomot sedikit kuekue di dapur. Diam-diam ia kembali m?lalui pintu depan, lalu
berlagak masuk lewat pintu dapur seperti biasa setiap pulang sekolah.
"Hai Mam, aku sudah pulang," serunya seperti biasa."Oh, halo sayang," jawab Ibunya cepat. Lalu kembali
tenggelam dalam kesibukan 'pengarahan'nya. "Ini sudah hampir jam
empat. Dan semuanya belum beres." Bu Sharp mendengus jengkel
sambil menyisir rambut pendeknya yang tersasak dengan jarinya yang
berkuku terawat. "Kalau kita tinggal di kota besar, tentu nggak akan
serepot ini."
Semenjak usaha suaminya naik daun dan ia lebih sering
bepergian, Bu Sharp mendadak jadi merasa kota Merivale terlalu kecil
bagi keluarga mereka.
Cuma soal waktu saja, batin Danielle. Sebentar lagi pasti Ayah
akan menyerah dan memindahkan usahanya ke kota lain yang lebih
'berbudaya'.
"Aku perlu ikutan makan malam bersama tamu, nanti malam?"
tanya Danielle. "Lagi banyak pe-er, nih" Dibukanya kulkas untuk
mencari makanan buat Garbo.
"Iya. Harus. Dan kamu harus memakai rok rajutan pink yang
kita beli di New York itu. Jangan pakai pakaian kulit sama sekali.
Ayah pesan wanti-wanti agar kamu berpakaian pantas."
Kalau Danielle dipaksa ikut dinner tanpa maunya sendiri,
biasanya dia akan melawan dengan memakai pakaian seperti punk
rocker, atau seperti mahluk dari planet lain.
"Aku nggak suka rok itu, Bu. Kan sudah kubilang waktu Ibu
beli dulu. Aku nggak suka warna pink." Danielle merengut dan duduk
merentak di sebuah kursi. "Lagian tamu-tamu Ayah selalu mbosenin."
"Alah, ayolah sayang. Mereka nggak sejelek itu, kok. Mereka
punya anak seusiamu yang mau diajak juga. Mungkin kamu kenal dia.
Dia juga sekolah di Atwood, kok.""O ya? Siapa?"
"Pak Hobart dan istrinya. Dan anaknya, Nick. Sudah dulu sana.
Aku mau ngurus orang-orang catering ini dulu." Lalu ia menghilang
ke balik pintu.
Nick Hobart mau makan malam di sini! Danielle melompat
sigap dan berseru girang. Pucuk dicinta?! Sambil mengambil
setumpuk kue untuk Garbo dari tumpukan yang sudah tertata rapi di
baki, ia menerbangi tangga naik ke kamarnya.
Dalam seketika hari yang menyebalkan berubah jadi sangat
indah. Mungkin anjing bego itu membawa keberuntungan! Kalau saja
aku nggak harus memakai gaun pink jijay itu! Bagaimana kalau aku
pakai mini, dengan sabuk kulit hitam yang lebar, dan stocking tali-tali
yang ngetrend itu? Bisa kejang Ayah nanti! Tapi siapa peduli? Nick
bakal kelenger melihatku dengan pakaian seperti itu!
Dibiarkannya Garbo menghabiskan telur salmon dan daging
cincang, lalu merendamnya ke air hangat berisi bubuk busa. Dalam
sekejap Danielle ikut basah kuyup, dan mulai heran sendiri kenapa
tadi bisa iba pada anjing sejelek ini. Tapi begitu mulai kering, bulu
Garbo yang coklat segera tampak bersinar. Melingkar di tengah sofa
putihnya, tampangnya jadi cakep juga, walaupun sikapnya sama sekali
tidak seperti herder Rusia!
Sesudah dia sendiri mandi, Danielle menyemprotkan sedikit
Fallen Angel ke pergelangan dan rambutnya. Malam ini pasti dia
bakal mengajakku ke pesta dansa itu, harapnya. Kalau enggak, jangan
sebut namaku Danielle Sharp!
Tiba-tiba terdengar ketukan di pintunya. "Sayang?" terdengar
suara Ayahnya. "Boleh saya masuk?""Eh, sebentar." Danielle segera menyambar Garbo dan
melemparnya ke kamar mandi sebelum sempat meronta. Disepaknya
piring makannya ke lemari dan ditutupnya lemari itu dengan sekali
kibas.
"'Tumben, Yah, bisa pulang agak awal," sapa Danielle sambil
membukakan pintu kamarnya.
"Saya mau mandi dan ganti baju dulu sebelum keluarga pak
Hobart datang. Kamu cantik sekali, nduk. Selalu begitu kalau
memakai warna pink."
"Asyiiik!" Ayahnya sama sekali tak memperhatikan bahwa
gaun itu sudah disulap jadi mini.
"Kurasa kau akan menyukai mereka. Anaknya, Nick, juga
sesekolah denganmu."
Danielle balas tersenyum. "Bereslah, Yah."
"Gitu dong. Itu baru anak Ayah." Ayahnya membungkuk dan
memeluknya sekilas. "Ayah harus segera mandi, nih." Dengan lengan
masih di pundak anaknya, ia mencium-cium udara. "Kok rasanya ada
bau daging cincang, ya?"
"Emh, aku tadi kelaparan, jadi nyolong pate sedikit dari nampan
hors d'oeuvres tadi."
Ayahnya tertawa. "Kalau begitu buka dong, jendelanya, biar
baunya nggak kaya restoran begini."
"Iya, nggak kepikir tadi." Danielle menyetujui sambil
menutupkan kembali pintu kamarnya setelah Ayahnya keluar. Lalu
dibukanya pintu kamar mandi agar Garbo bisa keluar."Kamu juga harus ikut mikir gimana caranya terus
menyembunyikan semua ini," katanya pada Garbo. "Karena aku pun
jadi risih juga selintutan begini."
************
Danielle duduk di sebelah Nick waktu makan malam itu.
Cowok itu kelihatan oke banget sampai nafas Danielle serasa tercekat.
Saat duduk, digesernya kursinya lebih merapat, sehingga lengan
mereka selalu bersentuhan setiap kali mereka hendak mengambil
piring atau alat makan. Sesekali terlihat olehnya wajah Nick merona
bila ia menunduk dan meminta tolong dengan suara lembut agar Nick
mengambilkan sesuatu. Pada akhir santap malam, botol merica,
garam, piring roti, mentega, dan salad, semuanya terkumpul di sekitar
piring Danielle. Begitu saat berburu tiba, Nick sungguh merupakan
tantangan.
Selesai makan malam Ibunya menyilakan Danielle mengajak
Nick ke teras atas, sementara orang-orang dewasa pindah ke ruang
tamu untuk menikmati kopi dan ngobrol lebih jauh. Danielle, dengan
sangat patuh, segera melaksanakannya.
Disetelnya sebuah compact disc, dikecilkannya suaranya, lalu
duduk santai di sudut sofa di seberang Nick.
"Makan malamnya asyik, lho. Ibumu jago masak, rupanya,"
puji Nick. Danielle tahu bahwa sofa itu tak enak bagi tamunya. Kecil
dan terlalu empuk sehingga hampir tak mungkin bagi dia untuk santai
tanpa menyandar lebih dekat ke dirinya.
"Ini rahasia, ya," jawab Danielle dengan suara desah sambil
bergerak merapatkan diri. "Tapi janji, jangan ngomong sama siapapun. Juga kedua orang tuamu.""Oke," kata Nick ragu. "Selama tak ada yang dirugikan."
"Seluruh masakan itu buatan catering," Danielle mengaku. "Ibu
sama sekali nggak bisa masak. Merebus air saja nggak bisa."
Nick tertawa. "Kamu bisa saja! Pantesan dia selalu mengelak
setiap kali Ibuku menanyakan bagaimana caranya masak mousse
coklatnya itu. Kenapa nggak dia katakan saja terus terang? Orang
tuaku juga nggak akan peduli."
Danielle mengangkat bahu. "Mungkin dia mau membuat semua
orang mengira dia jago masak. Dia pernah ikut les masak, tapi tempat
kursusnya mengembalikan uangnya setelah tiga kali kursus. Karena
dia terlalu banyak menghanguskan masakan, katanya."
Setelah tertawa terbahak-bahak, akhirnya Nick merasa bisa
santai dan melunjurkan kakinya. Ia melipat tangannya di belakang
kepala. "Ah, kamu terlalu membesar-besarkan, Danielle." Ia terkekeh.
"Nggak mungkin, ah."
"Bener. Suwer," ucap Danielle lembut, sambil makin merapat.
"Sumpah, deh."
Ketika Nick kembali meletakkan lengannya ke punggung sofa,
praktis dia sudah setengah memeluk Danielle. Ditatapnya mata gadis
itu sesaat, lalu menatap ke arah lain. Tapi tak ada tempat lain lagi ?
sesuai dengan siasat Danielle. Setelah hening sejenak, Danielle
mengangkat kepalanya dan menatap matanya seolah tak sengaja.


Merivale Mall 01 Sang Idola di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ada apa, Nick?"
"Eh, nggak kok," jawabnya sambil balas menatap. Danielle
menyembulkan ujung lidahnya ke tepi bibirnya. "Kamu kok
mendadak jadi pendiam, sih?" katanya. "Sekarang giliranmu, dong."
Nick berdeham sedikit. "Giliranku?""Iya. Aku sudah membuka sebuah rahasia. Sekarang ganti
kamu."
"Rahasia? Mana aku punya rahasia?"
"Ah, masa nggak punya. Semua orang pasti punya rahasia,"
kejar Danielle. "Sekecil apa pun pasti ada. Nggak fair, dong. Aku
sudah nyeritain satu."
"Oh, ya, bolehlah. Kudengar Tio's Tacos mau bangkrut?"
"Lalu kenapa?" Danielle mulai kehilangan kesabarannya.
"Makanan di sana memang kacau."
"Iya, tapi sepupumu bisa kehilangan pekerjaan, dong."
Kegeraman Danielle memuncak seketika. Kini, sesudah Nick
terpojok di sofa hanya berdua dengannya, dilatar belakangi musik
lembut, tetap saja Lori muncul!
"Kasihan juga si Lori. Tapi jangan ngomong berita buruk
begitu, ah. Lagian, itu kan bukan rahasia lagi, Nick?" Diguilnya
selembar benang dari sweater Nick. "Sesuatu tentang dirimu,
misalnya." Ditatapnya mata Nick. "Misalnya siapa yang mau kau ajak
ke Pesta Dansa itu ?"
"Pesta Dansa? Aku malah belum memikirkannya sama sekali."
"Tapi kan tinggal dua minggu lagi? Kamu mau datang, kan?"
"Ah, iya sih.Pingin juga?" Nick ragu-ragu. "Tapi aku belum
mengajak siapa pun."
"Ada beberapa cowok yang sudah mengajakku," kata Danielle
dengan nada bangga. "Tapi itu kan bukan pesta dansa biasa. Aku mau
sama yang benar-benar kusukai ? yang benar-benar khusus bagiku.""Iya, aku juga," kata Nick. Ia menoleh ke arahnya. Mereka
sedemikian dekat, sehingga kalau ia bergerak sedikit lagi pasti
Danielle sudah tercium tak sengaja.
Danielle menatapnya dari bawah, dengan bibir agak membuka.
Ia menahan nafas. Akankah dia menciumnya? Kalau dia menciumnya,
dia akan bisa dibuat mengajaknya ke pesta itu. Cowok macam Nick
pasti akan mau melakukan segala hal yang berbau kehormatan.
Danielle memejamkan matanya, berharap semua itu terjadi. Dia
menunggu, membayangkan wajah anak itu mendekat ke wajahnya
sendiri.
"Nick? Ayo pulang. Pamitlah pada Pak dan Bu Sharp,"
terdengar suara Bu Hobart dari bawah tangga.
Begitu mendengar suara Ibunya, Nick segera melompat bangkit.
"Oke," jawabnya. "Jangan takut, Danielle. Aku tahu banyak cowok
yang mau mengajakmu ke pesta itu."
Sial! Danielle menyumpah sendiri. Tinggal lima menit saja lagi,
pasti dia sudah akan mengajakku.
"Kuantar sampai ke pintu, Nick," katanya dengan merdu.
"Asyik juga ada kamu di sini."
"Trims. Aku juga ngerasa asyik kok, ngobrol sama kamu,"
katanya sambil menyilakan Danielle mendahului di depannya.
Ada beberapa pigura foto di dinding tangga. Nick berhenti
untuk mengamati salah satu. "Bagus juga foto ini. Ini di danau
Barstow, ya?"
"Oh, itu sudah beberapa tahun yang lalu," kata Danielle, malu
karena Nick melihatnya di foto lama. Rambutnya masih dikucir dangiginya masih berkawat. "Aku sekitar sepuluh tahun, waktu itu. Yang
itu Christine, kakakku. Sekarang sudah kuliah."
"Yang kanan itu pasti Lori," tebak Nick sambil tersenyum.
"Kalian berdua sama-sama memakai kawat penahan gigi."
Danielle mengkerut. Dia dan Lori saling bergandengan dan
meringiskan gigi berkawat pada si pemotret. Waktu itu keluarganya
belum pindah ke daerah Wood Hollow Hills ini, dan mereka masih
bersahabat. Sedih juga kalau ingat pernah sedekat itu dengan
seseorang.
"Iya. Dulu kita segitu kompaknya, ya?" katanya dengan datar.
************
Garbo menyambut Danielle dengan jilatan kuyup ketika gadis
itu melompat ke tempat tidurnya. Beberapa menit kemudian terdengar
kedua orang tuanya menapaki tangga. Ia cemas jangan-jangan mereka
akan mengetuk pintunya. Ternyata mereka sedang bertengkar lagi.
"Hardware!" Terdengar olehnya keluhan Ibunya. "Semalaman
penuh kita cuma mendengar mereka cerita tentang hardware melulu!"
"Elektronik, maksudmu?" terdengar Ayahnya membetulkan.
"Tak lama lagi mereka pasti akan membuka toko elektronik di manamana."
"Aku tak peduli mereka mau bikin toko di lima benua, kek.
Pokoknya dia cuma menjual tumpukan kawat dan tembaga.
Memangnya ada orang kota besar yang bertamu semalaman cuma
ngobrol tentang alat anti interlokal? Tak mungkin! Orang kota cuma
ngomong tentang perjalanan, dan pakaian, dan kebudayaan. Begitu
juga kita, kalau sudah pindah dari kota kampungan ini."
"Alaaah, kamu kan dulunya juga dari desa, Bu."Lalu terdengar suara pintu dibanting. Namun tetap terdengar
oleh Danielle kata-kata kacau yang menembus dinding. Ditutupnya
kedua telinganya, lalu ditimbunnya dengan bantal. Lama-lama dia tak
tahan lagi. Diambilnya dompetnya, jaketnya, dan kunci mobilnya.
"Ayo, Garbo," katanya. "Kita jalan- jalan, yuk."Sepuluh
Danielle membawa mobilnya ke danau Barstow. Tempatnya
sepi, tapi dia tidak takut. Danau Barstow mengembalikan semua
kenangan indah di keluarganya ? waktu mereka masih jadi sebuah
keluarga. Waktu mereka masih bisa saling berbicara dengan wajar.
Diparkirnya BMW-nya lalu melangkah menuju ke tepi danau.
Garbo berketipak mengikutinya.
Malam terasa sangat dingin. Danielle mengancingkan ritsleting
dan menegakkan kerah jaketnya. Alunan air tampak menerpa lembut
garis pantai. Angin sepoi membawa aroma pinus. Dipejamkannya
matanya sambil menarik nafas dalam.
Tiba-tiba Garbo merunduk di depannya, sambil menggeram.
Mata Danielle terbuka seketika, dan menajamkan penglihatan ke
kegelapan. Awalnya tak terlihat apapun. Lalu terdengar suara langkah
kaki menginjak daun kering. Dan muncullah sesosok tubuh kekar dari
balik pepohonan.
"Hei, tenanglah, 'njing. Ada masalah?" tanya sebuah suara
serak. Siapa pun dia, pikir Danielle, agaknya Garbo sedikit pun tidak
membuatnya takut. Dia malah sepertinya geli melihat gaya sok galak
anjing itu.
"Lho, ini kan Danielle Sharp sama anjing pengawalnya?"Sosok itu memasuki bagian yang terang, dan Danielle
mengenalinya sebagai Don James, si biang keributan yang kasar dan
liar. Dia anak kelas terakhir SMA Merivale yang juga bekerja
sambilan sebagai montir di sebuah bengkel di kota.
Sebuah senyum sinis membersit di bibir Don. "Singkirkanlah
anjingmu. Aku ke sini bukan buat menakut-nakuti orang lain."
"Lalu ngapain kamu kemari?"
Don tertawa dan melangkah menghampiri. "Kamu duluan,
Sharp." Dipandangnya Danielle dengan tatapan nekat yang
membuatnya terkenal. "Mana ada cewek baik-baik seperti kamu boleh
keluar malam selarut ini."
Danielle mendengus dan mengibaskan rambutnya. "Orang
tuaku nggak pernah melarang aku. Aku boleh pergi sesukaku."
Dia tertawa lagi. "Sudah kuduga." Ia membungkuk dan
membiarkan Garbo mencium tangannya. "Anjingmu lucu juga. Berapa
umurnya?"
"Nggak tahu. Baru kutemukan tadi. Dia anjing liar."
Don tampak melengak. "Anjing liar, eh? Tahunya kamu bangsa
nggak tegaan juga, ya? Tapi ngapain kamu kemari di malam segini
larut?"
"Aku biasa ke sini, kadang-kadang. Buat nyepi."
"Itu pula alasanku," kata Don. "Di sini tenang dan damai. Dan
nggak ada yang akan mengganggumu. Apa yang lagi kamu pikirin?"
"Ada saja," jawabnya, kembali bersiaga atas pertanyaan polos
itu.Don duduk di sebuah karang besar dan bersedekap di depan
dadanya yang bidang. "Gimana sih rasanya jadi Danielle Sharp? Enak
nggak?"
"Apa maksudmu?"
"Ya. Kamu keren. Kamu bisa memikat cowok mana pun juga.
Dan orang tuamu mampu membelikan apa pun yang kamu ingini."
"Nggak betul itu," tukas Danielle sengit.
"Dan kamu pemberang. Seperti aku juga. Banyak persamaan
kita. Mungkin itu yang membuatku selalu menyukaimu, Rambut
Merah."
"Kamu nggak tahu sama sekali tentang diriku."
"Ah, kamu tahu apa." Ia memandang ke arah danau. "Kamu
mana tahu, jangan karena kamu nggak pernah tahu aku ada, terus
berarti aku juga nggak pernah memperhatikanmu."
Danielle sadar bahwa langkah terbaik dan teraman adalah
berbalik, masuk ke mobil, dan pulang. Tapi dia memutuskan untuk
tetap di situ. Ia tak ingin Don James mengira dia takut padanya.
"Aku tahu kamu ada," katanya. "Maksudku, aku tahu kamu
hidup."
"Tak seperti kamu memperhatikan Nick Hobart."
"Apa urusannya Nick dengan kita?"
Don mengangkat bahu. "Ayolah, Danielle. Aku tahu kamu
menyukai dia. Tapi kamu gagal memikat sang Penyerang Tengah itu,
kan?"
"Bukan urusanmu," sergahnya tandas.Don cuma tertawa sengak. "Ha haa. Rupanya kena per-nya.
Hei," lanjutnya dengan nada lebih ramah, "Nick sungguh bukan tipemu."
"Oh, gitu? Kamu lebih cocok, begitu?"
"Mungkin, tapi kemungkinan itu pasti sudah kau sapu habis."
Mereka berdua terdiam sejenak, saling menatap di bawah sinar
rembulan. Tiba-tiba terasa oleh Danielle desakan kuat untuk ikut
duduk bersama Don di karang itu. Tapi ia menahan diri. Ada sesuatu
pada diri Don yang membuatnya ingin bertindak berani. Asyik
bercampur ngeri, berada bersama anak itu.
"Lalu apa lagi yang ada di kepalamu? Musuhan sama orang
tuamu?"
Kok dia bisa menduga itu? "Kamu memata-matai rumahku,
ya?"
Don terkekeh. "Non, tak perlu pakai memata-matai kalau kamu
berbakat jadi pengamat. Kamu tinggal duduk dan nonton, maka akan
banyak hal yang luput dari perhatian orang." Ia berhenti sejenak
sambil masih lurus menatap mata Danielle.
"Keluarga kita, misalnya. Aku mulai sering 'nyepi' ke sini sejak
orang tuaku sering berantem ? persis seperti kamu sekarang."
Dia seperti bisa membaca isi pikiran!
"Ibuku ingin mengajak kami pindah dari sini," kata Danielle.
Tanpa sadar bagaimana kejadiannya, tahu-tahu dia sudah duduk di sisi
Don James dan menceritakan segalanya. Bahkan juga tentang Garbo.
Dia betul-betul menyayangi anjing tolol ini, namun tak bisa
terus-terusan menyembunyikannya di kamarnya."Hei! Kalau yang itu sih, gampang." Don melompat turun dari
karang, lalu memegangi tangan Danielle untuk membantunya. "Biar
dia kubawa pulang. Kayaknya dia juga suka padaku, kok. Kamu bisa
menengoknya kapan saja."
"Kamu mau memeliharanya? Cuma begitu saja?"
"Iya. Kenapa? Kami punya banyak tempat. Orang-orang
serumah nggak bakalan peduli. Lagian, aku selalu suka anjing."
Danielle tahu bahwa Don tinggal di sebuah peternakan di luar
kota, bersama teman-temannya. Jalanan ke sana selalu dipenuhi
motor, dan pesta mereka selalu sampai berhari-hari. Danielle sadar
bahwa ia takkan mungkin pernah bisa menengok Garbo di sana. Tapi
dia juga tahu bahwa Don akan merawatnya dengan baik.
"Kamu mau ikut aku, kan?" tanya Don pada anjing itu.
Diusapnya dada si anjing dan Garbo segera berdiri menjilati
wajahnya. "Tuh, kan? Takkan ada cewek bisa menolakku kalau aku
lagi sabar begini. Nah, gimana? Setuju?"
"Oke," jawab Danielle akhirnya. "Bawalah dia. Dia akan lebih
senang di tempatmu daripada di kamarku. Thanks, Don."
"Sama-sama," jawabnya sambil mereka menuju ke mobil
Danielle dengan Garbo di tengah.
Ini benar-benar hari paling tak terduga dalam kehidupan
Danielle. Tiba-tiba dia merasa kehausan, setelah mengingat
pengalamannya seharian ini.
Danielle membelai kepala anjing itu dengan lembut. Dia pasti
akan merindukan wajah lucu itu.
"Jangan takut. Akan kurawat dia baik-baik," Don seolah
berjanji."Aku tahu," jawab Danielle seraya menatapnya.
Don tersenyum, dan dua buah lesung pipit menghapuskan
ketajaman matanya. Danielle tak menyangka ternyata tampangnya
sebenarnya lumayan juga. Atau mungkin karena dia tak pernah
melihatnya tersenyum seperti itu. "Sampai ketemu kapan-kapan,
Rambut Merah."
Cowok itu melangkah ke arah danau bersama Garbo yang
menggerak-gerakkan ekornya. Danielle menatap mereka sampai
hilang dari pandangan.
Lalu dia pulang.Sebelas
Semua toko di Mall penuh oleh para pembelanja, Sabtu siang
itu. Kecuali Tio's Tacos. Lori memandang cemas para pengunjung
yang melirik ke Tio's, berdebat mau masuk atau tidak, kemudian
melanjutkan perjalanan. Entah sampai kapan Ernie bisa bertahan. Dan
kalau Tio's sampai tutup, ia takkan bisa lagi menambah tabungannya.
Kalau sudah begitu, tamatlah sudah tawaran pamannya tempo hari.
"Hai, Lori. Tak kusangka kamu bekerja di sini."
Lamunan Lori terputus seketika oleh sapaan Isabel Vasquez.
"Oh, hai, Isabel. Ini bukan shift-ku, tapi cuma mau nambah upah
lembur saja. Lagi belanja?"
Isabel mengangguk. "Aku lagi nyari kado buat nenekku. Ulang
tahunnya beberapa minggu lagi. Ingat dia dan San Antonio
membuatku kangen rasa tacos."
Lori segera menyiapkan pesanan Isabel dan menyajikannya di
sebuah nampan plastik. "Hmmm, tampangnya sih lumayan." Isabel
menggigit sedikit sementara nampannya masih di counter. Wajahnya
berubah seketika. Tampangnya menjadi seperti seorang korban
keracunan."Lori," katanya akhirnya, "kamu nggak perlu jadi orang
Meksiko untuk tahu bahwa masakan ini kacau." Dia memandang
berkeliling. "Pantesan nggak banyak pengunjung."
Lori membungkuk di atas counter. "Terus terang saja, kami
memang sudah nyaris tutup karena bangkrut."
"Memang pantas," jawab Isabel sambil menyorongkan kembali
nampannya kepada Lori.
"Pilih menu yang lain saja, gimana?" Lori menawarkan.
"Kentang goreng, mau?"
"Ada apa?" Ernie muncul di counter, di sebelah Lori.
"Anda pemilik restoran ini?" tanya Isabel.
"Ada masalah dengan pesanan anda, nona?" Ernie dengan
gugup meremas kepalanya.
Isabel menatap Ernie dengan cermat. "Nggak ada masalah,"
katanya. "Selain bahwa ini nggak pantas disebut taco. Apa pun
namanya itu, itu nggak pantas dimakan."
"Eh, sebentar, nona," Ernie melirik ke sekitar sambil berharap
semoga tak ada pengunjung yang mendengar. "Bagaimana kalau anda
ikut ke dapur untuk mendiskusikan hal ini, nona?"
"Vasquez," sela Lori memperkenalkan. "Isabel Vasquez."
"Nona Vasquez. Mari kita ke belakang dan kita bicarakan ini.


Merivale Mall 01 Sang Idola di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau perlu akan saya kembalikan uang anda ?"
"Saya nggak butuh uang kembali," kata Isabel sambil melalui
pintu ke arah dapur. "Saya cuma mau merasakan taco yang enak. Dan
Tio's ini adalah satu-satunya restoran Meksiko di Mall ini."
Lori berbalik untuk menerima pesanan tamu berikutnya. "Eh,
anu, mendingan pesan kentang goreng dan Cola saja, deh," kata anakitu sambil melirik cemas ke nampan taco Isabel tadi. Lori segera
menyingkirkannya.
Tak lama kemudian tibalah jam istirahatnya. Waktu ia kembali
ke dapur, tampak olehnya Isabel memakai apron, berdiri di sebelah
meja dapur sedang menyuruh Ernie kian kemari. "Nih, coba rasain."
Isabel menjumputkan sedikit masakan terbungkus tortilla-nya ke
piring Ernie. "Ini baru masakan Meksiko sejati!"
Ernie mengigit sedikit. "Enak!" serunya. "Enak sekali!
Bagaimana membuatnya? Anda hebat! Dengan menu seperti ini, aku
bisa jadi jutawan." teenlitlawas.blogspot.com
"Jadi, anda suka?" Isabel tersenyum puas. Dilepasnya apronnya
dan dilemparnya ke meja. "Di kampung saya, ini yang disebut taco.
Nah, Ernie. Semoga ada manfaatnya buat anda."
"Tunggu! Jangan pergi dulu!" Ernie terlompat dari kursinya.
"Tetaplah di sini. Saya bayar berapa pun. Anda mau jadi koki di sini?"
"Jadi koki?" Isabel tergugu sesaat. "Hihihi, entahlah."
"Jawablah iya." Ernie sudah seperti mengemis. "Anda sudah
mencicipi taco saya. Kami bisa bangkrut kalau anda tidak segera
bekerja di sini."
Isabel mengangguk. "Oke deh. Saya juga suka masak, kok.
Siapa tahu? Mungkin asyik."
Ernie menangkupkan kedua tangannya dan menari-nari di
dapur. "Syukurlah! Kita bangkit kembali! Bisa anda mulai hari ini?"
"Saya telpon ke rumah dulu." Isabel tersenyum.
Dengan riang Ernie menggosok-gosok kedua tangannya. Tak
pernah Lori melihatnya sebahagia ini. "Kita tampilkan menu baru,
mulai sore ini," soraknya sambil menghilang ke kantornya.Lori menatap Isabel, dan gadis berambut gelap itu mengedipkan
matanya. "Aku masuk minta taco, dapatnya pekerjaan. Benar-benar
dunia ini aneh, ya?"
**************
Beberapa saat setelah Ernie memasang menu baru, langganan
Tio's mulai mengalir masuk. Untuk pertama kalinya selama ini, Lori
benar-benar sibuk ? tamu berdatangan setiap menit!
Lori sedemikian sibuknya sampai tidak melihat Nick sampai
pemuda itu sudah berada tepat di depannya.
"Nick!" Senyumnya pecah seketika. Ia tak mendengar kabar apa
pun darinya sejak menelpon dulu, hampir seminggu lalu. Dan inilah
pertemuannya yang pertama sejak peristiwa di dok bongkar muat itu.
Disisihkannya seberkas rambut yang lepas dari ekor kudanya. Sudah
jelas Nick harus menunggunya sejenak sampai dia benar-benar bisa
santai.
"Ramai sekali, ya?" tanya Lori sambil tertawa. "Ernie menggaji
seorang koki baru, tadi pagi. Ceritanya panjang, tapi anak ini benarbenar menciptakan resep baru, dan sekarang Ernie sudah hampir
kuwalahan. Kalau setiap hari begini, rasanya aku tak perlu takut
kehilangan pekerjaan, deh."
"Selamat," kata Nick sambil memeriksa antrean di belakangnya.
"Terus terang saja, sekarang ini aku berharap tokomu ini agak sepian
sedikit. Ada yang mau kuomongkan."
Walaupun suaranya rendah dan bernada serius, ia masih
tersenyum dan memandang malu-malu ke counter. Hati Lori berdebar.
Mungkinkah dia mau mengajakku ke pesta dansa itu? Dia tak pernah
membayangkan akan begini kejadiannya ? dengan masakan Meksikoberseliweran dan dilatarbelakangi suara Ernie meneriakkan pesanan.
Tapi saat ini Lori akan mau saja berjingkrak di atas meja asal bisa
mendengar apa yang hendak dikatakan Nick itu.
"Lori!" panggil Ernie. "Kesini sebentar." Suaranya terdengar
mendesak. "Cepetan!"
"Pergilah," kata Nick lekas. "Jangan sampai kamu kena
perkara."
"Tapi kamu mau ngomong apa?" kejar Lori. Diomeli Ernie
masih terlalu murah untuk bisa mendengar ajakan ke Pesta Dansa.
"Oh, nanti sajalah." Nick tersenyum kepadanya. "Nanti aku
mampir lagi ? kalau sudah agak sepian."
"Lori, cepetan!" seru Ernie tak sabaran.
"Oke, oke, Ernie," seru Lori sambil berbalik. Namun ketika ia
berpaling kembali, Nick sudah lenyap.
Ia menghentak ke arah Ernie. Mau rasanya menumpahkan juice
strawberi itu ke kepalanya! Ia tak bisa menangkis perasaan bahwa
hilang sudah peluangnya untuk diajak ke Pesta Dansa itu.
***********
Ann Larson menghampiri Nick yang duduk di sebuah bangku di
depan Tio's. Agaknya pertanda baik, nih. "Hai, Nick," sapanya. "Ada
apa di dalam sana?"
"Ernie nemu koki baru atau entahlah," gumam Nick. "Kalau
cuma mau ngobrol sama Lori, lupain saja deh. Dia lagi sibuk banget."
"Oh, kamu kecewa, rupanya. Ada yang hendak kamu
sampaikan padanya? Nanti aku pulang sama-sama dia, kok. Naik bis
kota."Nick mendongak menatap Ann. "Aku mau ngajak Lori ke Pesta
Dansa, tapi dia nggak pernah pulang. Aku sampai kangen."
Ann hampir menjerit saking bahagianya, namun ia tetap
menahan diri. "Oh, jangan nyerah dong, Nick." Dia berhenti sendiri.
Dia tak ingin Lori kelihatan ngebet banget. "Maksudku, dia memang
sibuk, tapi hari ini dia pulang jam setengah enam. Tunggu saja jam
segitu."
"Ide bagus. Trims, Ann," kata Nick sambil tersenyum lebar.
"Ernie takkan bisa menyekap dia di dalam sana selama-lamanya." Dia
melirik jam tangannya. "Aku harus segera kembali ke toko, nih." Ia
melambai saat menuju ke toko Hobart. "Kalau ketemu Lori,
sampaikan aku menunggunya, nanti!"
"Beres!" Begitu Nick pergi, ia segera bergegas memasuki Tio's.
Antreannya masih panjang, dan Lori tampak masih amat sangat sibuk
di balik counter.
Bagaimana ini enaknya? pikir Ann. Lima menit lagi dia sudah
harus mengajar di Body Shoppe lagi. Lori masih akan sibuk pada
waktu itu. Ah, mendingan aku kirim pesan saja, deh! Dicarinya
selembar kertas dan pensil dari tasnya dan ditulisnya pesan singkat
buat Lori sambil berjalan menuju eskalator.
Lalu siapa yang bisa mengirimkannya? pikirnya sambil terus
menuju ke studionya. Lalu terlihat olehnya si Charlie, bocah tujuh
tahun anak pemilik Body Shoppe, Donna Baxter.
"Charlie," panggilnya. "Kamu mau cokelat?" Lori dan Patsy
sering meledek Ann, yang sebegitu ketatnya dengan fitness tapi selalu
tergiur oleh permen cokelat. Dia selalu membawa permen itu di
tasnya. Dikeluarkannya sebatang dan diulurkannya pada Charlie."He-eh!" Charlie mengangguk sambil meraih cokelat itu. "Tapi
jangan kasih tahu Mami, ya?"
"Beres," kata Ann sambil berjongkok di sampingnya. "Tapi aku
mau minta tolong kamu. Mengantarkan surat ini," katanya perlahan,
sambil menggenggamkan tangan anak itu ke suratnya. "Jangan sampai
jatuh di jalan. Bawalah ke Tio's Tacos. Tahu tempatnya, kan?"
"He-eh."
"Masuklah dan berikan ini ke gadis yang bernama Lori ? yang
cantik berambut kuning itu, lho. Kamu ingat, kan?"
"He-eh," Charlie mengangguk lagi. "Lori yang rambutnya
kuning."
"Benar." Ann menatapnya. Ia tidak yakin benar bahwa anak ini
mengerti semua pesannya. Tapi Charlie tahu semua liku-liku Mall. Ia
memutuskan untuk mengambil resiko. Paling jelek, surat itu tidak
sampai ke alamat. Nick akan tetap bisa mengajaknya, walaupun Lori
tidak mendapat kisikan sebelumnya.
"Oke, Charlie. Selamat bekerja."
Charlie menuju ke eskalator dan turun ke lantai satu menuju
Tio's Tacos. Ia mampir sejenak di Video Arcade untuk nonton anakanak yang lebih besar main game. Diperiksanya sakunya mencari coin
recehan. Namun yang ada cuma lima puluh perakan dan sisa-sisa
kartu baseball yang sudah seminggu ini dicari-carinya.
Charlie kembali menuju ke Tio's. Ramai sekali di sana. Untuk
sesaat ia lupa mau apa ke sana. Lalu ingat ? surat untuk Lori.
Diperiksanya sakunya. Tapi tak ada. Diperiksanya semua sakunya,
tapi tetap tak ada. Jauh juga dari Tio's ini ke Body Shoppe. Dia mau
balik lagi ke atas dan melapor ke Ann bahwa suratnya hilang. Semogadia tak harus mengembalikan permen coklatnya, karena sudah habis
dimakannya.
**************
Heather Barron melangkah seenaknya melalui Video Arcade,
melihat adakah yang menarik di dalam sana. Tepat ketika ia hendak
beranjak, tampak sebuah kertas terlipat tergeletak di lantai. Seperti
kertas pesan yang biasa dikirim antar teman sekelasnya, maka dia
membungkuk untuk mengambilnya, ternyata benar. Oh, ini sih
kebetulan banget! Sekonyong-konyong hari ini terasa cerah sekali.
'Lori ?' begitu tertulis. 'Tahu nggak? Nick mau mengajakmu ke Pesta
Dansa! Ann.'
Heather tertawa sendiri. Dia menduga Lori belum membaca
surat ini. Sekarang, kalau dia bisa mengacaukan hubungan Nick
dengan Lori, Danielle pasti akan berutang budi padanya. Apalagi
Danielle sudah menyebarkan kemana-mana bahwa dia dan Nick mau
datang bersama ke pesta itu.
Otaknya berputar cepat. Lalu ia menulis pesan, melipatnya, dan
membawanya ke Body Shoppe. Beruntung lagi. Tak ada yang ada di
meja depan. Heather menuliskan nama Ann di suratnya itu lalu
meninggalkannya di sana. Lalu ia menyelinap keluar sebelum ada
yang melihatnya di sana. Kemudian ia naik eskalator ke lantai empat,
ke The Manor Born, salon dimana dia dan kawan-kawannya biasa
merawat kuku dan rambut.
"Halo, nona Barron," sambut resepsionis.
"Hai, Sheere. Danielle sudah datang, belum?" Heather tahu
benar bahwa Danielle mau datang kemari.
"Katanya mau datang setengah jam lagi," kata Sheere."Tolong berikan ini ke dia ya, kalau dia datang nanti."
Diulurkannya surat yang ditemukannya di depan Video Arcade tadi.
"Baik, nona Barron."
*************
'Aku tak akan mau diajak Nick Hobart, walaupun dia cowok
terakhir di muka bumi ? Lori'
Ann tertegun. Aneh benar. Kenapa Lori? Ann kembali menatap
surat di tangannya, dan tahulah dia bahwa ini bukan tulisan Lori! Pasti
ada yang jahil.
Belum puaskah Danielle dan kawanannya atas perbuatan
mereka yang lalu? Sekarang tiba waktunya mencekokkan racun
mereka pada mereka sendiri. Sejenak Ann mempelajari keadaan. Lalu
mengeluarkan pensil, menghapus tanda tangan di bawah itu, dan
digantinya menjadi: 'Aku tak akan mau diajak Nick Hobart, walaupun
dia cowok terakhir di muka bumi ? Danielle'. Nah, tahu rasa mereka
sekarang, pikir Ann puas.
Selagi dia berpuas diri mengamati karyanya, terasa ada yang
menggamit lengannya. Charlie berdiri di sebelahnya, dengan mulut
berlepotan permen coklat. Pasti dia mau minta maaf.
"Ann, maaf ya," katanya. "Suratmu tadi hilang, terjatuh ? "
"Ya, biar deh. Nggak apa-apa, Charlie," kata Ann
menenangkan. "Kalau kuberi lagi kamu surat, bisa nggak kamu
mengantarnya tanpa harus terjatuh lagi?"
Charlie lekas mengangguk. "Bisa, deh."
"Oke. Bawalah ini ke toko Hobart Electronics, itu di seberang
Tio's Tacos. Kamu tahu tempatnya, kan?"Charlie mengangguk. "Aku kadang-kadang nonton teve di
sana."
"Berikan surat ini ke Nick. Yang jangkung dan rambutnya
coklat terang itu, lho. Namanya Nick, ingat?"
"Oke," kata Charlie. Diambilnya surat itu. "Nggak akan hilang
lagi. Aku janji."
Ann tersenyum ketika melihatnya menjauh. Beberapa menit lagi
Danielle dan geng-nya bakal menyesali semua trick busuk mereka
selama ini. Menyesali sekali.Dua belas
Charlie berlari menyusuri mall menuju toko elektronik itu. Dia
tak mau gagal lagi, kali ini. Tiba-tiba dia menabrak sepasang kaki
kokoh terbungkus celana jins. Sepasang tangan kuat menyambar dan
mengangkatnya sebelum ia terpelanting jatuh.
"Hei! Buru-buru amat, pelari cilik?" Don James menegakkan
anak itu lagi.
"Maaf, pak," kata Charlie sambil mundur. "Saya lagi buruburu."
"Oke, tapi sebaiknya berjalan biasa saja, kalau mau selamat
sampai di sana."
Charlie sudah menghilang lagi di antara keramaian ketika Don
menunduk dan menemukan selembar surat terlipat di dekat kakinya.
Pasti jatuh dari anak itu, pikirnya seraya membungkuk memungutnya.
Dibukanya surat itu dan dibacanya. Bukan main! 'Aku tak akan
mau diajak Nick Hobart, walaupun dia cowok terakhir di muka bumi
? Danielle'.
Don tersenyum lebar. Inilah kabar terindah seminggu ini!
Diambilnya sebuah bolpoin dan selembar kertas, lalu ditulisnya:
'Sesudah putus sama Nick, gimana kalau nyoba si sabar James ini?Kutunggu di dekat danau Sabtu depan, di malam Pesta Dansa. Jam
sebelas pas. Don.'
Sambil tertawa dilemparnya bekas surat buat Nick yang sudah
renyek itu ke tempat sampah. Mengenai tepiannya dan jatuh
menggelinding ke lantai, tapi Don tak hendak memungutnya.
Sebaliknya, dia malah berbalik karena ada seseorang menjawil lengan
jaketnya. "Maaf, pak," kata Charlie takut-takut. "Melihat kertas
terlipat jatuh di sini?" Suaranya terdengar gemetar.
Don membungkuk dan menggusai rambut Charlie. "Dik,"
katanya, "jangan takutkan suratmu yang hilang. Tapi tolong berikan
surat ini pada seseorang," katanya sambil mengacungkan suratnya
untuk Danielle itu. "Nanti kubelikan kamu es krim di sana itu."
Charlie memandang ke arah kios The Big Scoop dan
memancing. "Beliin es krim dulu, baru suratnya kuantar."
Mereka bersama-sama ke kios es krim itu dan Don membelikan
satu contong es krim. "Nah, sekarang giliranmu," kata Don pada
Charlie. "Berikan surat ini pada gadis cantik berambut panjang warna
merah. Namanya Danielle. Dia lagi di salon di lantai empat. Bawalah
surat ini ke sana, berikan pada penjaga, katakan untuk Danielle,
begitu. Bisa nggak?"
Charlie mengangguk. "Aku cuma ngomong: 'Ini buat Danielle',
begitu?" katanya sambil menjilati es krimnya.
"Pintar." Don mengangguk. "Di salon di lantai empat."
*************
Di The Manor Born, Sandy Peters sedang bertugas sebagai
resepsionis. Sheree sedang pergi. Sandy mendekat untuk melihat
daftar perjanjian di buku kulit merah. Siang ini bakalan padat sekali.Lalu terlihat olehnya surat terlipat bertulis nama Lori Randall di
atasnya. Sandy heran. Dia anak SM A Merivale juga dan kenal Lori.
Setahunya Lori tidak pernah kemari. Dia juga tahu bahwa Lori bekerja
di Tio's.
Sandy melihat jam-nya. Masih lima menit lagi sebelum jam
kerjanya. Dia segera bergegas turun dan masuk ke Tio's.
"Ini untukmu," kata Sandy sambil menganjurkan surat itu ke
seberang counter pada Lori. "Entah gimana kok nyasar ke salon."
"Trims, Sandy." Lori membuka surat itu.
Tertulis: 'Lori. Tahu nggak? Nick mau mengajakmu ke Pesta
Dansa! Ann.'
"Berita bagus?" tanya Sandy.


Merivale Mall 01 Sang Idola di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Amat sangat bagus!" jawab Lori sambil tersenyum manis
sekali. Ternyata benar. Tadi Nick mau mengajaknya ke pesta dansa.
Ingin rasanya melompati counter untuk memeluk Sandy erat-erat.
"Wah, nggak nyesel deh, aku buru-buru mampir kemari," kata
Sandy.
"Eh, sambil balik, bisa minta tolong sekalian, ngasihin ini ke
Patsy Donovan di Cookie Connection?"
"Beres," kata Sandy. "Aku lewat sana, kok."
***********
Danielle memasuki tempat parkir dan langsung memarkir
mobilnya. Karena masih ada waktu beberapa menit lagi, dia mau
jalan-jalan dulu keliling Mall.
Ia berdiri di depan Video Arcade ketika kunci mobilnya jatuh
dari sakunya, ke dekat tong sampah. Waktu mengambilnya kembali,
tampak olehnya sebuah kertas tergeletak di sampingnya. Diambilnyasekalian. Sepertinya sebuah surat?dan rasanya ada namanya di sana!
Dibukanya kertas itu dan dibacanya: 'Aku tak akan mau diajak Nick
Hobart, walaupun dia cowok terakhir di muka bumi ? Danielle'.
Lho?! Jelas si Lori dan geng-nya mau mengacaukan
hubungannya dengan Nick. Awas, tahu rasa mereka nanti.
Dengan cepat Danielle membuang kertas itu dan menuliskannya
kembali dengan nama pengirim ditulisnya Lori. Rasain, pikirnya.
Dengan surat yang sudah diubah itu di sakunya, ia menaiki eskalator
menuju ke salon. Kenapa tak terpikir olehnya hal sesederhana ini?
Begitu Nick menerima surat ini, tamatlah hubungannya dengan Lori.
Mungkin dia malah membutuhkan seseorang untuk pelarian.
*************
Akhirnya sampailah Charlie di pintu masuk salon. Waktu ia
memandang berkeliling, tampak olehnya seorang gadis cantik
berambut merah panjang hendak membuka pintunya. Sepertinya
dialah yang disebutkan pemuda di lantai bawah tadi. Tapi ia lupa
namanya.
"Hai, anak lucu," sapa gadis itu sambil menepuk kepalanya.
"Kamu kesasar? Mencari ibumu?"
Charlie menggeleng. "Enggak. Ibu ada di Body Shoppe.
Rasanya saya lupa nama tante, deh."
Body Shoppe? pikir Danielle. Pas benar!
"O ya? Memangnya kamu pernah tahu namaku?" Danielle
membuka dompetnya dan mengeluarkan selembar satu dolaran. "Dik,
di depan Video Arcade ada toko yang ada teve besarnya, kan? Kamu
tahu tempat itu, nggak?"
Charlie mengangguk. "Tahu banget!""Nah, ini kuberi sedolar buat main atau belikanlah sesukamu.
Tapi tolong bawa surat ini ke toko teve itu. Kasihkan ini ke Nick.
Ingat nggak?"
"Nick? Gampang! Aku bisa ingat terus."
"Bagus." Danielle tersenyum. "Ingat, toko yang ada tevenya,"
katanya menyuruh anak itu pergi.
Dibacanya surat yang diberikan Charlie kepadanya. Dari Don!
Kok dia bisa tahu, sih? Buru-buru diremasnya surat itu dan disakuinya
dalam-dalam. Nggak ada urusan lagi dengan Don James. Kalau
sampai Teresa atau Heather tahu dia pernah bertemu dengannya di
danau, habislah semua reputasinya.
**************
Charlie kembali ke eskalator menuju ke lantai satu. Waktu
lewat Cookie Connection, ia ingin beli kue cokelat dengan uang
pemberian Danielle tadi. Ia melangkah ke counter Patsy.
"Minta kue cokelat yang besar, dong."
Patsy menatapnya curiga. Anak itu sendirian dan dia biasanya
diakali anak-anak yang memesan sesuatu tapi tak punya uang buat
membayarnya. Manajernya sudah mengingatkan agar selalu
memeriksa apakah anak-anak itu punya cukup uang sebelum
melayaninya. "Punya uangnya, dik?" tanyanya dengan ramah.
Charlie mengangguk. "Ini dia," katanya sambil mengacungkan
uang sedolaran dari sakunya. "Tante cantik berambut merah itu
mengupahiku untuk mengirimkan ini ke toko yang ada teve di
etalasenya itu." Diacungkannya surat Danielle juga ke depan hidung
Patsy."Toko yang ada tevenya itu?" Apa pun yang hendak
disampaikan Danielle pada Nick, tentu tak mungkin baik untuk Lori.
Mungkin ini kesempatan baginya untuk membalas semua perlakuan
Danielle, Teresa, dan Heather padanya Jumat malam waktu itu. "Dik,
kuberi tambahan kue, seberapa pun banyaknya, asal kau berikan surat
itu padaku," kata Patsy. Anak itu bimbang. "Aku mau ke sana nanti,
biar kubantu menyampaikannya."
Charlie menimbang-nimbang sejenak. "Kue gandum," katanya,
sambil menyerahkan suratnya pada Patsy.
"Boleh." Patsy segera menyiapkan pesanan Charlie, lalu
membaca isi surat itu. 'Aku tak akan mau diajak Nick Hobart,
walaupun dia cowok terakhir di muka bumi ? Lori.'
Patsy terhenyak. Dia tahu kenapa Danielle mengirimkan surat
itu. Tapi ngapain Lori menulis seperti ini.
"Terima kasih atas tambahannya, ya," kata Charlie sambil
melenggang pergi.
"Sama-sama," jawabnya, masih sambil bingung atas surat yang
di tangannya. Ini sudah hampir jamnya istirahat, dan ia mau ke Tio's
dan meminta Lori menjelaskan semuanya.
Beberapa menit kemudian Patsy sudah menuju ke Tio's, dua
lantai dibawah. Sekilas terlihat bayangan dirinya di kaca. Ternyata dia
masih mengenakan apron Cookie Connection. Segera ia berhenti dan
menggulungnya lalu memasukkannya ke tas bahunya. Ia bergegas
menuju Tio's, melawan arus pengunjung yang memadat di hari Sabtu
siang itu."Apa maksudmu dengan tidak mau keluar bersama Nick
Hobart?" tanya Patsy pada Lori begitu ia sampai ke depan counter
Tio's.
"Kamu ini ngomong apaan, sih?" balas Lori. "Kamu nggak
nerima suratku? Ann bilang, katanya Nick mau ngajak aku ke Pesta
Dansa."
"Aku sudah nerima yang itu," jawab Patsy. "Tapi lalu ada anak
kecil yang membawa suratmu yang isinya 'Aku tak akan mau diajak
Nick Hobart, walaupun dia cowok terakhir di muka bumi!' "
"Aku nggak pernah nulis surat semacam itu! Mana dia?" usut
Lori.
"Jangan takut, ada kubawa," kata Patsy sambil merabai sakusakunya. "Di eh, di salah satu kantongku?" Dengan panik ia
memeriksa seluruh sakunya, lalu ingat bahwa tadi dia masih memakai
apronnya. "Ada di sini," katanya. Diraihnya tasnya, di mana tadi
disangkutkannya apronnya. "Lho?! Waduh, nggak ada!"
"Cari deh, buruan! Kalau sampai Nick menemukannya, bisabisa dia mengira akulah yang menuliskannya."
************
Nick melangkah keluar dari tokonya untuk memeriksa apakah
Tio's sudah mulai sepi. Wah, masih penuh juga. Ah, biarlah. Mungkin
aku bisa mengajaknya malam nanti, putusnya.
Waktu menjauhi Tio's, terlihat olehnya onggokan kain di dekat
kakinya. Pemilik toko bisa didenda kalau ada sampah di depan toko
walaupun itu bukan sampah mereka. Awalnya Nick mengira itu kain.
Lalu ternyata itu selembar kain apron. Diambilnya dan terbacalah
tolisan Cookie Connection di bagian depan.Nick merabai kantongnya. Kalau ada identitas pemiliknya, ia
bisa mengembalikannya untuk membantunya terhindar dari masalah.
Terasa ada kertas di sakunya. Diambilnya dan dibacanya: 'Aku tak
akan mau diajak Nick Hobart, walaupun dia cowok terakhir di muka
bumi ? Lori.'
Nick terperangah. Ia duduk di sebuah bangku dan membacanya
sekali lagi. Tak mungkin ia salah mengartikannya.
Betapa pun ramahnya sikap gadis itu belakangan ini, ternyata
ucapannya minggu lalu itu benar belaka. Dia tak mau berurusan
dengannya. Tentunya Ann sudah memberi tahu anak itu tentang
ajakannya. Dan inikah tanggapannya? Wah, bego benar aku! Kukira
dia juga suka padaku. Tapi kenapa dia sebegitu ramahnya?
Mungkinkah dia mau membalas kejadian di rumah Danielle dulu itu
karena menganggap itu gara-gara dirinya?
Diremasnya surat di tangannya itu. Ah, untung aku belum
terlanjur mengajaknya, pikirnya. Nick melangkah ke Cookie
Connection dan memberikan apron itu tanpa berkata sepatah pun pada
pemuda di balik counter. Belum pernah dia merasa sesia-sia ini
selama hidupnya.
*************
Patsy melacak kembali langkahnya sejak dari Tio's sampai ke
Cookie Connection lagi. Selangkah demi selangkah, dia semakin
cemas. Apronnya tak ada di mana-mana. Akhirnya sampailah dia
kembali di Cookie connection.
"Hei, Patsy! Ini apron-mu?" seru Jonathan dari balik counter.
Patsy segera menghampiri. Alhamdulilah! Ada yang
menemukannya dan mengembalikannya kemari!"Syukurlah!" katanya sambile menerima apronnya kembali.
Diperiksanya sakunya. Tidak ada! Semangatnya terbang seketika.
"Tadi ada suratnya di saku ini, ada nggak? Di lantai sana ada nggak?"
"Kayaknya nggak ada surat apa-apa, tuh?" jawab pemuda itu
sambil mengosongkan isi nampan kue menjadi tumpukan. "Si Nick,
yang kerja di toko elektronik itu yang mengirimkannya kemari. Tanya
saja dia. Mungkin dia menemukannya."
Patsy serasa pingsan seketika. Ngeri amat! Nick yang
menemukan apron itu ? dan juga surat palsunya! Bagaimana caranya
menjelaskan pada Lori? "Ini minggu terberat buatku," keluh Patsy.
"Pertama, kuhancurkan hidupku. Lalu sekarang hidup sahabatku."
Dengan bahu tunduk ia kembali ke Tio's untuk menyampaikan berita
buruk itu.
**************
Ketika urusan manicure-nya selesai, Danielle memutuskan
untuk mampir ke toko Hobart untuk mengecek keadaan Nick setelah
menerima berita itu. Semoga ini jadi berita buruk buat Lori, pikirnya
ceria ketika meluncur turun di eskalator. Dipandanginya cat kuku
pilihannya sore ini. Warna Scarlet Revenge ? pas benar! Tawa kecil
terlompat dari mulutnya tanpa sengaja.
Ia segera menemukan Nick begitu memasuki tokonya. Sedang
berdiri di samping rak kamera video, menjelaskan perbedaan masingmasing pada seorang calon pembeli. Senyumnya yang biasa kini tidak
terlihat. Sikapnya tampak sekali sedang tertekan, catat Danielle
dengan girang. Agaknya segalanya berjalan lancar.
"Kerja keras, Nick?" tanya Danielle begitu si pelanggan itu
pergi.Nick terkejut, dan berbalik untuk melihat siapa yang
menyapanya. "Oh, hai, Danielle."
Danielle mengambil sebuah telpon jinjing dan memainkan
tombolnya. "Aku cuma mampir saja, kok. Rasanya seneng banget deh,
waktu kamu sekeluarga main ke rumahku. Kalian gimana? Senang
juga?"
Nick menunduk. "Ah, iya, iya. Aku juga senang, kok."
Danielle diam sejenak, lalu memainkan jemarinya di rambutnya
yang berkilau. "Kapan-kapan kita keluar sama-sama yuk, Nick.
Maksudku, kita berdua saja, tanpa orang tua kita."
Ada sesuatu dalam ucapannya itu yang membuat Nick
mendongak seolah baru pertama kali melihatnya di situ. Pemuda itu
diam sejenak, lalu berkata. "Emh, kamu mau nggak datang ke Pesta
Dansa itu bersamaku? Kalau kamu belum punya pasangan. Aku sudah
terlanjur beli tiket dan mau mengajak seseorang, eh, maksudku aku
mengajak seseorang yang bisa betul-betul menikmati pesta semacam
itu." Ditutupnya ajakannya itu dengan senyuman kecut.
Danielle sadar bahwa dia hampir ketelepasan mengucapkan
seseorang lain. Tapi dia bisa memaafkan kegugupan Nick itu. Yang
penting, dia mendapatkan apa yang diburunya berminggu-minggu ini.
"Asyik sekali, Nick," sambarnya cepat. "Memang kamulah yang
kuharap mau mengajakku," katanya dengan berlagak malu-malu.
Nick merasa bersalah. Danielle bukanlah gadis yang benarbenar hendak diajaknya. Dia hanya sekedar pilihan kedua. Tapi
pilihan pertamaku nggak butuh kenal denganku, kenangnya dalam
hati. Dan Danielle sungguh menarik, kalau kau mau mengenalnya
lebih dekat."Bagus. Jadilah, kalau begitu." Nick memaksa diri tersenyum.
Dia tampil seolah yakin dan tak terlalu terguncang. Hatinya
masih kacau oleh Lori. Boleh saja. Di akhir kencan pertama pun nama
Lori pasti akan sudah terlupakan olehnya!Tiga belas
"Masa Nick datang ke pesta itu bersama Danielle! Bohong!
Pasti bohong," ratap Lori. "Rasanya pingin mati saja, deh!" Dia
menghempaskan diri ke tempat tidur, membasahi bantal dengan air
matanya. Ann dan Patsy saling bertukar pandangan.
Begitu Lori meninggalkan Tio's, tersebarlah berita ke seluruh
mall. Nick Hobart, sang bintang penyerang Cougar, telah meminta
Danielle Sharp menjadi pasangannya ke Pesta Dansa.
Hampir semua orang setuju bahwa mereka memang pasangan
yang pas. Tentu mereka akan menjadi pasangan terbaik di Pesta itu.
Anak Atwood tak ada yang heran oleh berita itu. Tapi tetap saja, Lori
dan kawan-kawannya sangat terpukul.
Lori mengangkat wajahnya dan menyusut hidungnya. "Danielle
? atau salah seorang kawannya ? yang menulis surat itu. Dan Nick
percaya! Sudah pasti dia tak perlu berpikir panjang untuk
mengajaknya," katanya kesal, di sela isaknya. "Dia tidak sebegitu
ingin mengajakku."
"Ayolah, Lor, ini semua kan cuma gara-gara muslihat
Danielle," Ann menghiburnya.
"Nick kelihatan kesal sekali sewaktu kuberi tahu bahwa surat
itu palsu," kata Patsy."Tapi tak cukup kesal untuk mengubah rencananya," kata Lori
dan kembali air matanya membanjir. "Yah, semoga dia bahagia. Dia
sudah mendapatkan apa yang dia kehendaki. Juga Danielle. Mulai
sekarang, aku nggak mau dengar lagi nama Nick Hobart," ucap Lori
tegas. "Ataupun nama sepupuku tercinta itu."
************
"Kamu yakin ini akan berhasil?" tanya Patsy pada Irving
Zalaznick ketika terdengar bel akhir jam pelajaran kimia.
"Oh, so pasti," jawab Irving sambil membetulkan kaca matanya
yang melorot di hidungnya, dan berusaha berjinjit. "Dia cuma
menunggu antara setengah sampai satu jam untuk mulai bekerja. Tapi
perlu beberapa botol shampo untuk mencucinya."
"Bagus!" kata Patsy. "Thanks berat, ya Irv. Kamu betul-betul
jenius, deh!" Dan tanpa sungkan diciumnya pipi cowok pemalu itu.
Irving memerah seketika, dari ujung hidung sampai ke tengkuk.
Dia tersenyum tersipu-sipu pada pasangan lab-nya. "Sama-sama."
Oh, ini sih bukan sekedar 'sama-sama'. Sama sekali enggak.
*************
Sepulang sekolah, Patsy mengeluarkan botol itu dari tasnya lalu
mengacungkannya ke depan sinar sambil tersenyum jahat. Cairan di
dalamnya membiaskan warna kehijauan. Seperti warna mata Danielle
Sharp. Ramuan di tangannya ini adalah bumbu utama rencananya!
Semenjak Heather dan Teresa mempermalukannya dengan
Steve Freeman, Patsy sudah bertekad untuk membalas dendam.
Tekadnya semakin bulat ketika Ann tak sengaja mendengar Teresa
dan Heather berkasak-kusuk di ruang loker Body Shoppe. Mereka
punya janji bersama Ben Frye dan Rob Matthews. Cowok-cowok itumengundang mereka makan pizza di restoran Italia Aunti Pasta's di
lantai pertama Mall, sesudah kursus aerobik. Ann melaporkan betapa
kedua anak itu ingin memikat cowok-cowok itu.
Nah, ramuan Irving ini akan cukup kena buat membalas
mereka. Kalau saja Danielle bisa kugarap sekalian, pikirnya sambil
menyelipkan botol itu ke tasnya. Anak itu harus bertanggung jawab
atas semua perbuatannya terhadap Lori!
Tapi sudah beberapa hari ini Danielle tidak muncul di Mall.


Merivale Mall 01 Sang Idola di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Semenjak berhasil memaksa Nick mengajaknya datang bersama ke
Pesta Dansa, dia jadi jarang terlihat. Kabar-kabamya dia
memanfaatkan setiap waktu untuk memilih-milih gaun. Kali ini dia
beruntung lolos, pikir Patsy.
Setibanya di mall, Patsy ikut Ann ke Body Shoppe dan
bersembunyi di balik shower. Dari balik tirai, dia bisa mengintip ke
seluruh ruang loker. Tepat pada saatnya, muncullah Teresa dan
Heather untuk berganti pakaian sebelum mulai senam. Mereka berdua
tak henti berceloteh tentang kencan mereka dengan Rob dan Ben.
Sesudah suasana sepi dan senamnya terdengar sudah dimulai,
Patsy menyelinap keluar dari shower dan bergerak ke loker Teresa dan
Heather. Dikeluarkannya botol shampo mereka, ditambahnya masingmasing dengan sedikit isi botolnya sendiri, lalu dikembalikannya lagi
ke tempat semula. Selesailah sudah bagian yang tersulit.
Patsy keluar lewat pintu belakang, sehingga tidak harus lewat
ruang senam. Dia mau mencari tempat yang enak di Aunti Pasta's,
agar bisa menikmati seluruh hiburan sore itu.
Sejam kemudian Patsy melihat Heather dan Teresa memasuki
restoran itu. Rob dan Ben sudah menunggu di meja depan sana. Iabersembunyi di balik daftar menu ketika kedua gadis itu lewat.
Namun Teresa dan Heather lagi begitu senangnya, sehingga tak akan
mengenali Patsy walau dia adalah pengantar makanannya sekali pun!
"Kayaknya penampilanku berantakan, deh," kata Teresa ketika
menghampiri meja kedua cowok itu. "Sehabis senam, biasanya aku
cuma memakai baju seadanya." Patsy mengira anak itu pasti mabok,
karena 'baju seadanya' itu adalah sepasang celana kulit hitam dan
sweater merah baru!
"Pasti itu gara-gara sinar lampu di sini," kata Rob. "Tapi ada
yang aneh, Heather. Rambutmu kok kayaknya jadi hijau."
Betul sekali, bung! Patsy bersorak dalam hati.
"Hijau?" Heather mengamati bayangannya sendiri di kaca yang
ada di sepanjang dinding sekitar meja.
"Iya, Heather, jadi semakin hijau," kata Teresa kaget. "Lho,
malah semakin merata cepat sekali!"
Heather mendelik ke arah Teresa. "Aku nggak ngetawain kamu,
nih. Lihat rambutmu juga!"
"Gila!" Ben bergantian memandang kedua gadis itu. "Kayak
nonton film pelajaran biologi, lho! Kayak daun yang baru tumbuh,
lalu berubah semakin hijau. Gila! Selera humor kalian gawat juga,
ya?"
"Ini bukan tertawaan, goblok! Ini bukan rencana kita!" jerit
Teresa sambil melompat bangkit dari kursinya. Sambil berusaha
menutupi rambutnya, ia lari ke cermin.
Heather mengikuti di belakangnya. "Ngeri amat! Gimana kalau
nggak bisa dicuci?""Ini kan barusan dicuci!" ucap Teresa. Dia sudah hampir
menangis.
"Yang itu sih jangan dihitung, non," desis Patsy dari balik daftar
menunya.
Rob, yang terkenal suka bercanda, menimpali, "Yuk berdoa
semoga rambut mereka nggak rontok semua. Pernah kau bayangin
mereka berdua botak?" tanyanya pada Ben.
Kedua pemuda itu tertawa terbahak-bahak. "Pasti ada yang
menjahili kalian," seru Ben. "Lihat saja rambut kalian!"
"Tega benar kalian!" jerit Heather. Semua mata di Aunti Pasta's
memandang ke arahnya ketika dia lari ke kamar kecil.
Teresa sekali lagi memandang ke cermin, dan tumpahlah air
matanya. Dengan kedua tangan menutup rambutnya, ia lari menyusul
Heather.
"Pasangan cinta yang mengharukan," Patsy berkomentar
sendiri.
Disaksikannya kedua cowok itu pergi tanpa menunggu Teresa
dan Heather lagi. Tunai sudah dendamku. Ditambah rentenya! Bahkan
Danielle Sharp-pun tak akan bisa menyusun siasat serapi ini. Trims
berat, Irving, di mana pun kau berada! pikirnya senang. Kaulah
pasangan lab terbaik yang pernah ada!
*************
Berita tentang gaya rambut baru Teresa dan Heather segera
menyebar luas. Lori sedang bekerja di Tio's ketika mendengarnya dari
Ann. Semua itu hanya sedikit mewarnai hari-harinya yang kelabu
minggu ini.Dia tak bisa menahan pikirannya mengingat Nick dan Danielle,
betapa pun kuatnya dia berusaha melupakannya. Percuma saja
dipikirin, katanya pada diri sendiri. Aku harus melupakan semua
tentang dia dan mulai mengurus hidupku sendiri ? kalau bisa!
Tapi Nick tak membiarkannya. Anak itu menelponnya dua
malam yang lalu, tapi dia tak ingin bicara dengannya. Tak perlu ada
penjelasan lagi. Dia sudah mengajak Danielle untuk menemaninya ke
Pesta Dansa, dan itu sudah tak bisa diubah lagi. Sesudah Pesta Dansa
itu, Nick dan Danielle sudah takkan terpisahkan lagi. Lori tahu benar.
Dia tak mau lagi berurusan dengan Nick. Semakin cepat dia
melupakan Nick, semakin baik jadinya.
Tapi Nick tak mau menyerah. Hari Kamis malam sebelum acara
pesta itu, ketika Lori pulang kerja, dijumpainya Nick berdiri di
samping Tio's, menunggunya. Lori berlagak seolah tak melihatnya dan
melangkah cepat ke arah lain.
"Lori! Tunggu!" panggil Nick sambil menjajari langkah Lori.
"Aku pingin bicara." Ditahannya lengan jaket Lori.
Lori terhenti, namun tak mau memandang ke arahnya.
"Tak ada yang perlu kita bicarakan, Nick," katanya lirih. "Saya
mau pulang."
Nick melepaskan lengannya, tapi lalu melangkah tepat di
depannya sehingga ia tak bisa lewat. "Banyak yang harus kita
bicarakan, Lori. Aku terus-terusan menelponmu seminggu penuh.
Kenapa kamu nggak mau bicara denganku?"
Lori membelalak ke arahnya. "Tahukah Danielle kamu nelpon
aku? Dia nggak akan senang. Dia sama sekali nggak suka hal itu.""Siapa bilang aku harus minta ijin Danielle untuk melakukan
apa pun? Dia nggak ada urusannya dengan ini, Lori. Dengan kita,
maksudku?"
"Oh, Nick, dia sangat berkepentingan dengan ini. Tak bisa
melihatkah kamu? Nggak ada kita-kitaan, Nick. Takkan pernah ada.
Hanya ada kamu dan Danielle." Lori merasa air matanya mulai
menyengat pelupuk.
"Lori, ayolah, jangan pergi dulu." Nick tetap menahan bahu
Lori dengan lembut ketika Lori hendak memaksa lewat. "Dengarlah
aku. Aku tak hendak mengajak dia. Aku sebenarnya mau ngajak
kamu. Semua ini cuma kesalahan tolol. Kamu juga tahu itu, dan kamu
juga tahu aku tak bisa mengelak lagi. Tolonglah kamu mengerti."
Untuk sesaat kemarahan dan patah hati Lori mencair oleh
permintaan Nick yang memelas. Dia ingin bisa memaafkannya. Dia
ingin Nick memeluknya erat-erat dan meyakinkannya bahwa sejak
saat ini segalanya akan kembali beres.
Tapi itu semua tak mungkin. Nick akan tetap datang ke Pesta
Dansa bersama Danielle. Sekali dia berpesta bersama gadis tercantik
di Merivale, sekali dia merasakan perlakuan orang-orang pada
Danielle Sharp dan Nick Hobart, pasangan ideal Atwood, takkan
mungkin dia akan bisa ingat lagi pada Lori Randall.
"Lori," bisik Nick. "Bisakah kita pergi ke satu tempat dan bicara
berdua?"
Lori segera memasang tatapan tegas, lalu menarik diri. "Tidak.
Maaf. Tak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Sampai ketemu lagi."
Lalu ia melangkah menjauh, dan berubah menjadi lari kencang
ketika menuju elevator kaca-dan-besi yang akan membawanyalangsung ke Body Shoppe. Penglihatannya kabur oleh air mata. Dia
sudah letih menangisi Nick Hobart. Kapankah semua ini berakhir?
************
Nick mengemudi tanpa tujuan berkeliling kota selama sekitar
sejam sebelum bisa cukup tenang kembali untuk pulang. Ketika
akhirnya masuk rumah, ia langsung ke tempat tidur.
Ia mondar-mandir keliling kamar, memindahkan buku dari satu
sisi meja ke sisi yang lainnya, dan meninju bantalnya bertubi-tubi.
Kenapa Lori tak mau mendengarnya sedikit juga? Sesaat tadi dia
sepertinya mau menerima. Tapi ternyata dia cuma berbalik dan pergi
begitu saja. Mungkin perasaan Lori tak sedalam perasaannya
terhadapnya.
Kenapa ia tak bisa menikmati bisa datang ke pesta bersama
Danielle? Dia kan gadis tercantik di Atwood. Hampir semua anak
Atwood akan sangat senang bisa keluar bersamanya.
Nick mendesah dan menghempaskan diri ke tempat tidurnya.
Mungkin aku sudah gila, pikirnya. Tergila-gila pada Lori. Dia begitu
manis dan lucu dan khusus. Apa jadinya kalau dia benar-benar tak
mau lagi bicara denganku?
Sebuah gagasan muncul di benak Nick! Lori tak mau
mendengarnya, tapi mungkin Danielle mau. Kalau dia berterus terang
kepadanya tentang semua ini, mungkin dia akan mengerti dan mau
membantunya lepas dari semua kesulitan ini. Gadis itu terkenal egois.
Namun kini setelah dia lebih mengenalnya, Nick menduga anak itu
akan lebih pemurah dari yang banyak diduga orang. Lagian, Lori kan
sepupunya sendiri. Mungkinkah itu ada artinya?Nick segera memutar nomor Danielle. "Hai, Danielle. Aku
Nick," ucapnya.
"Nick," terdengar suara Danielle seolah menerawang. "Aku
baru ngelamunin kamu."
"Ah, masa?"
"He-eh. Aku baru mencoba gaun yang baru kubeli buat ke pesta
itu, dan berharap semoga kamu menyukainya."
"Ah, pasti cantik sekali, Danielle. Kamu kan selalu kelihatan
cantik," Nick tergeragap. Sial! Dia sudah terlanjur beli gaun baru.
Mana bisa lagi membatalkan kencan, kalau sudah begini? Nick
menelan ludah. "Terus terang saja, Dan, aku nelpon kamu karena ada
soal penting yang mesti kusampaikan."
"Aku juga," sambar danielle cepat. "Aku sudah tak sabar ingin
mengucapkan betapa bangganya aku jadi pasanganmu ke pesta itu,
Nick. Mungkin ini nggak perlu kuucapkan, tapi waktu kamu dan
orang tuamu datang ke rumah malam itu, aku benar-benar berharap
kamu mengajakku ke pesta itu. Dan ternyata doaku terkabul!"
Tak mungkin lagi menyampaikannya, Nick memutuskan. Yah,
dia harus berterus terang dan mengatakannya secara jujur.
"Terus terang saja, Danielle," katanya dengan tegas. "Waktu
membeli tiket, sebenarnya rencanaku bukan hendak mengajakmu."
"Aku tahu," tukas Danielle dengan manis. "Kamu lagi sedih
soal mobilmu." Danielle mulai curiga bahwa ia hendak bicara soal
Lori. Maka dia bertindak sigap. Jangan sampai Nick membatalkan
ajakannya dan membuatnya malu. "Jangan takut, Nick. Aku mengerti
benar."
"Mengerti apa? Mobilku kenapa?""Aku ngerti kalau kamu agak kagok datang ke pesta dengan
naik mobilmu," ucap Danielle dengan suara selembut dan semerdu
mungkin. "Cukup aman, sih, aku tahu. Tapi kan memang agak kurang
pantas, ya?"
Mobil Camaro Nick memang sudah agak kusam. Danielle tidak
ingin datang ke pesta dengan mobil rongsokan itu! Itu tidak cocok
baginya, dan Nick barusan memberinya celah untuk
menyampaikannya. Jadi apa salahnya kalau dia agak menyinggungnya
sedikit?
"Umurnya baru tiga tahun, kok," tangkis Nick, membela
Camaro-nya. "Nggak akan ada yang memperhatikannya di malam
hari."
"Nick, kamu nggak perlu sungkan-sungkan kepadaku. Nggak
apa-apa, kok. Kita naik mobilku saja. Terus terang saja, aku barusan
mencucikannya dan meminyakinya. Jadi seperti baru lagi, deh."
"Karena memang masih baru," jawab Nick disertai helaan
nafas. Dia tak bisa menghindar dari kencan itu! Ah, sebodo!
Setidaknya Danielle benar-benar menyukai dirinya!
"Oke lah, kita naik mobilmu, Dan. Boleh saja," katanya
akhirnya.
"Oh, Nick. Kamu akan kelihatan keren banget, deh, di belakang
setir mobilku. Coba saja nanti. Seperti mimpi."
"Begitukah?"
"Iya. Pasti. Dan, Nick, itu baru awalnya."Empat belas
"Lori? Kamu nggak masuk kerja, sayang?" panggil Ibunya dari
bawah tangga.
"Aku turun sebentar lagi, Bu."
Malam inilah Pesta Dansa berlangsung. Danielle mungkin
sudah ada di The Manor Born, merias rambutnya, dan Nick ? tangan
Lori gemetar, menjatuhkan botol skin lotion yang terbuka ke lantai
kamar mandi. Menciprat di lantai dan bagian depan lemari. Itulah
jadinya kalau terus memikirkan Nick Hobart. Berantakan semua.
Pikirkan tentang masa depan, katanya menguatkan diri. Tentang
rancangan pakaian atau perhiasan yang cantik-cantik, atau mungkin
malah tentang pindah ke Paris atau New York. Pikirkan tentang
sekolah. Tabungannya masih jauh dari target. Dia harus berhasil
memenuhi sesuai batas waktu pamannya? semoga berhasil. Suatu
hari nanti mungkin aku akan lupa seperti apa tampang Nick Hobart,
katanya dalam hati.
"Lori, lima menit lagi," panggil Ibunya lagi.
Lori segera ke kamar tidur dan membuka lemarinya. Malam itu,
dia tidak akan memakai seragam oranye-nya. Tapi yang harus
dikenakannya malam ini akan membuat seragamnya yang biasa itu
menjadi jauh lebih menarik.Seminggu penuh Ernie memikirkan tentang cara terbaik
mengiklankan menu terbarunya. Kemarin dia baru mengumumkan
rencananya. Apa lagi yang lebih mencolok dibanding seorang gadis
cantik dalam kostum 'asli' Meksiko? Dia bisa membagikan contoh
gratis masakan lezat Isabel ke seluruh pengunjung Mall. Bagi Ernie,
ini adalah suatu langkah jenius. Dan Lori-lah gadis yang beruntung
terkena kewajiban mengenakan 'kejeniusan' Ernie itu!
Dipandanginya bayangan dirinya di cermin. Pakaian ini berhasil
sekaligus merangkum dunia pakaian, periklanan, emansipasi, dan
masakan Meksiko dalam satu paket, dan memundurkannya dua puluh
tahun! Gaun merah mencolok yang mengikat pinggang, pinggul, dan
paha Lori, masih ditambah dengan segala renda-renda. Lengannya
yang melembung menonjolkan belahan leher rendah yang
diselamatkan oleh bros bunga besar yang tersemat tepat di tengah
gaun.
Seolah masih kurang norak, Lori masih harus mengenakan
anting besar dan surban merah berisi pisang-pisangan palsu, jeruk,
anggur, dan mangga. Sempat juga dia bersyukur kebagian bertugas di
malam Minggu. Tak banyak pengunjung di saat seperti ini, apa lagi
dengan adanya Pesta Dansa itu.
"Aku sudah siap," seru Lori pada Ibunya ketika ia melangkah
ke dapur.
Teddy dan Mark lagi main halma di ruang tengah. Begitu
mengangkat wajahnya, Teddy segera terbahak-bahak melihatnya.
"Hei! Ini sih Miss Hot Tamale!"
"Nggak lucu, ah," ujar Lori kesal, sambil mencoba menegakkan
kepalanya agar terlihat agak anggun. Surbannya terjungkit ke depansampai nyaris menutup matanya. Segera dilepasnya untuk merapikan
rambutnya lagi.
Teddy melompat, merebut surban itu, dan memakainya.
"Sini, kembalikan! Setan cilik!" Lori mengejarnya sampai ke
dapur diiringi detak-detak sepatu bertumit tingginya di lantai. Teddy
mengelak dan kembali ke ruang tengah dimana dia merenggut Mark,
adik Lori yang berusia delapan tahun. Lalu mereka berdua menari
cha-cha-cha sekeliling meja tamu, masih diburu Lori.
"Aku serius nih, Teddy?kembalikan!" Tapi seruannya sia-sia
saja.
"Hee hee, senorita chantiks shudah marahe!" olok Teddy.


Merivale Mall 01 Sang Idola di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Zadi itulah ibu shang senoritaaa." Bu Randall muncul dalam
seragam perawatnya, dengan wajah tegas.
"Kami cuma main-main, kok." Teddy dengan takut-takut
melepas surbannya dan mengembalikannya pada Lori. "Aku suka
buah-buahannya, Lor. Cantik sekali."
"Trims." Lori mengenakan surban itu kembali dengan gemas.
Dengan bergaya segagah mungkin ia mengenakan jaketnya dan
berangkat.
Walau awalnya bisa berusaha tetap gagah, setelah beberapa jam
membagi-bagikan contoh masakan, Lori hanya bisa menduga-duga
seberapa berat lecet di kakinya. Namun ada segi baiknya juga: dengan
perhatian terpusat pada kakinya yang sakit, dia bisa melupakan
tentang Nick dan Danielle. Agak terlupakan, setidaknya.
***********
Danielle melemparkan sepatunya di bawah meja. Kakinya
serasa mau membunuhnya. Nick Hobart adalah pedansa terburuk didunia. Beberapa kali ibu jarinya terinjak. Kadang malah sampai dua
kali berturut-turut. Dan dia sepertinya nggak peduli pada apa yang
dilakukannya.
Memang, itulah masalah utama di malam itu. Nick Hobart
memang tidak apa-apa, tapi sama sekali tidak memperhatikan dirinya.
Cowok-cowok lain pasti bakal pingsan melihatnya dalam gaun hitam
tanpa tali pundak yang dikenakannya ini. Malah ada beberapa anak
yang meninggalkan pasangannya untuk mengajaknya berdansa. Tapi
apakah Nick peduli? Melirik saja pun dia tidak.
Jemari Danielle mengetuk-ngetuk meja. Sejauh ini, Pesta Dansa
ini benar-benar bencana, dan Danielle sadar bahwa mulai banyak
orang yang mengetahui hal itu.
"Kamu mau soda lagi?" Nick menawari.
Danielle pingin menjerit. Semalaman ini pembicaraan Nick
cuma menawari minum, atau kue, atau berdansa.
"Sudah, ah, trims. Aku juga sudah nggak mau makan lagi. Juga
dansa," sindirnya.
"Oh, ya sudah." Percuma saja sindirannya tadi. Nick cuma
duduk diam bersilang tangan di dada. Sinar bosan kembali membersit
di matanya.
"Eh, Nick, sori ya? Tapi aku bosen di sini, nih," kata Danielle.
"Aku juga," jawab Nick cepat. "Kamu mau kuantar pulang?"
"Pulang?" Danielle tak mempercayai pendengarannya sendiri.
Sekarang belum lagi jam sepuluh. Dia belum ingin pulang sekarang.
Bisa-bisa dia jadi bahan tertawaan di seluruh Atwood. "Aku pingin
pergi dari sini, tapi belum mau pulang. Kita cari ide di jalan saja,
yuk?" ajak Danielle sambil mengenakan sepatunya lagi."Oke." Nick mengangkat bahu tanpa kemauan. Beberapa menit
kemudia dia dan Danielle sudah meninggalkan Country Club itu
meluncur di jalan kecil di Wood Hollow Hills.
"Nah, sekarang enaknya kita ngapain?" tanya Danielle sambil
menatap wajah ganteng di sisinya. "Malam yang syahdu ? asyik buat
memandangi bintang."
Nick seperti linglung. "Ayahku punya teleskop di taman. Klub
bridge mereka sudah bubar saat ini. Tapi aku yakin akan mereka
ijinkan kalau kita pulang untuk mengambilnya."
"Kurasa kita nggak butuh teleskop, Nick," jawabnya cepat.
Kenapa sih, dia? Kalau cowok lain yang semobil dengannya,
justru dialah yang selalu meronta melepaskan diri.
"Gimana kalau kita cari makanan?" usul Nick.
"Tapi kita barusan makan malam, di sana tadi, Nick?"
Nick mengangkat bahu. "Mungkin karena baru habis berdansa
tadi. Aku jadi lapar lagi."
"Oke deh." Danielle menghela nafas. Rasanya ingin menjerit.
Malam ini berubah menjadi malam yang paling menyebalkan seumur
hidupnya!
"Gimana kalau kita cari pizza?" Nick memutar kemudi masuk
ke jalan besar.
"Aku punya ide bagus." Mata Danielle berkilat ketika sebuah
ide cemerlang menusuk benaknya. "Gimana kalau kita coba Tio's.
Katanya di sana ada menu baru."
"Tio's?" tanya Nick tercengang. "Beneran kamu mau ke sana?"
"Yakin," jawab Danielle santai. "Aku mendadak pingin
ngerasain nachos." Kalau sudah menyaksikannya bersebelahan denganLori, Nick pasti akan menyadari betapa beruntungnya dia sudah
memilih Danielle. Semoga kamu cukup berharga untuk ini, Nick
Hobart, ujar Danielle dalam hati. Belum pernah aku ngurusin cowok
sesusah kamu!
***********
Lori baru mondar-mandir di depan pintu ayun sambil membawa
senampan makanan, ketika tahu-tahu ia bertabrakan dengan Nick.
Tertegun di atas sepatu bertumit tingginya, ia lekas sadar kembali.
"Nick," tercetus dari mulutnya. "Ngapain kamu di sini?"
Matanya terbelalak cemas dan wajahnya menjadi semerah kostum
yang dipakainya.
"Lori?" Nick menatapnya seolah tak mempercayai matanya
sendiri. "Ngapain kamu berpakaian seperti itu?" Cara pengucapannya
membuat Danielle merasa Nick menyukai kostum itu. Tapi itu tak
soal. Reaksi Lori persis seperti yang diharapkannya.
"Oh, nggak nyangka bakal begini jadinya!" erang Lori. Ia
berbalik dan lari melalui pintu ke dapur.
Danielle tak bisa lebih gembira lagi.
"Lho, kok jadi begini, sih? Aku tadi ngomong apa?" tanya Nick
saat meletakkan baki makanan mereka.
"Jangan hiraukan deh, Nick." Danielle menepuk tangannya.
"Gimana kalau kita bawa makanan ini ke mobil? Biar aku yang
nyetir," katanya menawarkan diri.
Nick mengangguk dan membungkus makanannya. Jelas sekali
dia kecewa dan mau menuruti apa pun yang diusulkannya. Tapi
Danielle memutuskan untuk menahannya dulu untuk sementara.
**********Lori melepas surban dari kepalanya dan menghempaskan diri ke
sebuah kursi di belakang dapur. Tangannya mentutup wajahnya dan ia
mulai menangis.
Dua minggu ini ia berusaha melupakan Nick Hobart. Tapi itu
tak mungkin! Ia masih merindukannya dan akan selamanya demikian.
Yang terberat adalah, jelas sekali tadi betapa cocoknya
pasangan Nick dan Danielle. Jalan bersisian, dalam pakaian pesta,
mereka seolah pasangan yang keluar dari halaman majalah. Dan Lori
merasa seperti mahluk dari angkasa luar! Namun dengan demikian,
Lori masih bisa bersyukur, terpangkaslah sudah benang harapannya
yang terakhir yang diam-diam selama ini masih diharapkannya. Sejak
malam ini, tak ada lagi harapan tersisa.
************
Begitu Danielle membelok ke puncak bukit dan mematikan
mesin, Nick melompat keluar dari mobil seolah terpatuk ular. "Biar
kubuang saja makanan ini," katanya.
Ketika kembali, terlihat olehnya Danielle telah agak
memiringkan jok-nya. Musik lembut terdengar mengalun dari kaset
mobil. Tatapan Nick menerawang keluar lewat kaca depan, jemarinya
mengetuk-ngetuk dashboard tanpa sadar. Lalu terasa olehnya ujung
jari Danielle membelai tengkuknya.
"Malam ini indah sekali, ya?" bisik Danielle. "Tempat paling
romantis, kan?"
Nick merasa hangat di bawah dasi kupu-kupu yang dipakainya.
Dirabanya dasi itu. "Oh, biar kubantu kau melepasnya, Nick," kata
Danielle sambil menjangkau untuk mengendurkan dasinya."Thanks," ucapnya serak. Belum pernah dia bersama cewek
seagresif Danielle. Ia tak tahu harus bertindak bagaimana. Parfum
gadis itu memenuhi hidungnya dengan aroma mawar hutan. Bahkan
tercium juga dari rambut merahnya yang indah. Dan saat duduknya
terasa kian merapat, dia benar-benar sulit ditampik.
Nick berpaling kepadanya, hendak berusaha menjelaskan.
Sepasang mata sehijau pualam itu hanya beberapa senti dari matanya
sendiri. Kempa aku harus menolaknya? Nick bertanya dalam hati.
Aku menyukai Danielle, dan dia juga suka padaku. Tanpa sadar ia
sudah membungkuk hendak menciumnya.
Namun Nick tak mau melanjutkannya. Ia segera menahan diri.
Mata Danielle terbuka lebar dan membersitkan kejengkelan. "Ada apa
lagi?" tanya gadis itu kesal.
"Maaf, Danielle," ucap Nick. "Jangan kecewa. Nggak ada apaapa. Jangan marah." Dia benar-benar tak bisa menghapus bayangan
Lori di benaknya.
"Jangan kecewa?" raung Danielle. "Lalu aku harus bersikap
bagaimana lagi? Aku juga bisa marah. Jangan sekali-kali melarangku,
mister Gombal! Terus terang saja, inilah malam terburuk selama
hidupku. Rasanya mendingan tinggal di rumah sambil membenahi
baju-bajuku!"
"Sori, kalau kamu sampai sejengkel ini. Beberapa malam yang
lalu aku sudah hendak menjelaskan?"
"Sori, sori! Tahu nggak? Kamu sama sekali nggak mengajakku
bicara, atau melihat ke arahku, semalam penuh! Kubeli gaun ini nggak
murah, tahu? Belum lagi segala rias rambut dan make up-ku. Kutolakajakan lusinan cowok demi untukmu! Dan kamu cuma sori, sori,
melulu!" Danielle tak mampu lagi meneruskan kemarahannya.
Sambil menjangkau sedapat mungkin, dibukanya pintu di
sebelah Nick. Dengan sekali dorong, tergulinglah Nick keluar. "Sana,
pulanglah jalan kaki, Nick!"
"Lho, lho, kok?" masih terdengar oleh Danielle ucapan Nick
yang terperangah sebelum terjungkir keluar.
Danielle membanting pintu mobil, memasukkan persneling, dan
meninggalkan kepulan debu menyiram Nick.
Tolol benar dia selama ini! Nick Hobart sungguh goblok, egois,
menyebalkan, dan buta! Dia tak ingin melihatnya lagi. Takkan ada
siapa pun yang boleh memperlakukan Danielle Sharp seperti itu dan
bisa melenggang pergi seenaknya. Tak seorang pun!Lima belas
Sudah waktunya tutup di Tio's Tacos. Ernie menghitung semua
kuitansi, lalu mengangkat wajahnya.
"Lori dan Isabel ? tolong kalian ke kamarku segera! Aku mau
bicara ? secara pribadi!"
Isabel menatap Lori dengan pandangan bertanya. "Betul kan?
Bawangnya kebanyakan waktu meracik burrito yang terakhir tadi,"
bisiknya.
"Ngaco kamu, ah," kata Lori saat mereka berdua mengikuti
Ernie ke ruang kerjanya. "Kata Ernie rasanya enak sekali."
Tapi apa salah mereka? Mungkin Ernie tadi melihatnya waktu
Lori ngumpet di dapur, menunggu Nick dan Danielle pergi.
"Saya tahu kalian berdua sudah mau lekas pulang," kata Ernie
begitu mereka telah berada di ruangnya. "Tapi aku mau memberi
kalian sesuatu."
Sambil membungkuk di atas mejanya, diulurkannya pada kedua
gadis itu masing-masing selembar cek. "Sekedar bonus untuk
menunjukkan terima kasih saya. Kalian sungguh giat bekerja."
"Wow! Terima kasih, Ernie!" lengking Isabel.
"Wah, Ernie," kata Lori sambil menatap ceknya. "Anda
sungguh nggak perlu melakukan ini. Tapi saya senang menerimanya.Terima kasih!" Dengan bonus ini, dia bisa menambah tabungannya
dua ratus dolar lagi, sehingga pamannya akan melipatduakan
tabungannya.
"Hei? kalian memang pantas menerimanya. Isabel, untuk
masakannya. Dan Lori, untuk kesetiaanmu pada Tio's pada saat semua
orang sudah tak tahan lagi. Dan hei, bahkan orang senekat aku pun tak
akan mau jalan mondar mandir ke seluruh Mall dengan pakaian
semacam itu semalam penuh."
"Ernie," kata Lori, "Saya mau menabung uang ini buat uang
kuliah saya di jurusan desain. Dan yang pertama kali ingin saya
rancang adalah seragam baru untuk karyawan Tio's!" Sambil tertawa,
dilepasnya surbannya dan di letakkannya di atas meja Ernie.
Ernie ikut tertawa. "Setuju! Dan sekali lagi terima kasih, buat
kalian berdua!"
"Saya mau bersih-bersih dulu," kata Isabel sambil beranjak
keluar. "Lalu mau langsung pulang. Capai benar aku malam ini."
"Tunggu, Isabel. Biar kubantu." Lori bergerak menyusulnya dan
mendorong pintu ayun. Ketika memasuki mang makan, ia terpaku
seketika. Duduk di sebuah meja oranye itu; Nick Hobart!
***********
Danielle menginjak rem mendadak sampai bannya menjerit
keras, mematikan mesinnya, dan mencari kunci rumahnya di laci
mobil. Ketika meraba-raba, terasa olehnya sebuah kertas yang sudah
teremas.
Surat si Don! Tak pernah terpikir olehnya tentang ini sejak di
mall waktu itu. Katanya dia mau menunggunya malam ini ? tapi
seriuskah dia?Hanya ada satu cara untuk membuktikannya. Danielle
menyalakan mesinnya lagi dan melesat ke jalan raya, menuju ke
danau Barstow. Mungkin dia menulis surat itu sekedar mau
meledeknya ? mana mungkin dia mau menunggu jam sebelas malam
begini. Namun ia tetap memacu mobilnya. Masih terlalu dini untuk
pulang.
Ketika berhenti di tempat parkir di dekat danau, kandaslah
harapan Danielle. Tak ada satu pun mobil terparkir. Namun begitu ia
menginjak rem, terdengar suara gonggongan yang amat dikenalnya.
Garbo muncul dari balik pepohonan. Dan di belakangnya muncullah
Don James, memakai jaket ciri khasnya, sambil tersenyum.
*************
Tuxedo Nick kusut masai, dasinya terkulai kendur, sepatunya
berdebu. Dia tak pernah kelihatan seganteng ini, pikir Lori. Nick cuma
tersenyum. "Kurasa aku menunggumu," sapa Nick lirih.
Lori ragu melangkah beberapa tindak menghampiri. "Mana
Danielle?"
Sebuah senyuman membayang di sudut bibir Nick. "Dia, eh,
turunkan aku sedemikian buru-buru sampai aku nggak sempat nanya
dia mau ke mana." Nick menyusupkan tangannya ke saku celananya
lalu menggeleng. "Aku tak bisa menyalahkan dia. Aku memang
payah."
"O, ya?" Masih bingung, Lori semakin mendekat. "Aku jadi
bingung," katanya, menyambut tatapan Nick.
"Kalau ada cowok yang mengajakmu ke pesta, tapi semalaman
penuh dia membayangkan gadis lain, yang tak kalah cakepnya, masa
itu nggak nyebelin? Iya, kan?"Lori mengangguk. Tak tahu harus berkata apa. Hatinya mulai
berharap lagi, namun ia berusaha mengabaikannya. Dia tak tahan
untuk mengalami kekecewaan lagi.
"Lori," kata Nick lagi. "Aku tahu, mungkin kamu masih marah
padaku, tapi aku kemari cuma mau menyampaikan bahwa semalaman
ini aku terus memikirkanmu. Danielle dan aku ? ah, sungguh
kesalahan besar kok sampai kami bisa datang berdua. Aku harus
menjelaskan padanya bahwa semua ini percuma saja."
Sambil melangkah maju, sebelah tangan Nick meraih pinggang
Lori. Dengan sebelah tangannya yang lain, diangkatnya sedikit dagu
Lori agar ia menatap ke arahnya. Seraya membelai rambut pirangnya
yang sehalus sutera, ia menatap dalam ke mata Lori. "Oh, Lori,"
katanya. Suaranya serasa ikut membelai. "Cuma kamulah yang ingin
kutemui malam ini. Kamu percaya?"
Lori menatapnya dengan hati berbunga-bunga. Saat seindah ini
cukuplah untuk menebus segala kepiluan dan kekacauan hatinya
selama ini. Takkan ada orang lain lagi di antara mereka berdua. "Ya,
Nick. Aku percaya," desisnya.
Nick menatapnya entah untuk berapa lama. Lalu ia menunduk,
dan bertemulah bibir mereka. Lengannya yang kokoh merengkuh dan
memeluknya erat-erat. Entah sudah berapa kali Lori memimpikan saat
seperti ini. Tapi ini nyata. Ciuman dalam mimpi takkan sehangat dan
selembut ini. Kenyataan ini jauh lebih indah dari lamunanku selama


Merivale Mall 01 Sang Idola di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ini, pikir Lori, sambil balas memeluk Nick. Dia takkan pernah ingin
menjauh dari Nick lagi.
"Caramba!" seru Isabel yang berdiri di balik counter.Nick dan Lori segera memisahkan diri. Lori ter-sipu-sipu.
"Kamu semakin cantik kalau lagi tersipu-sipu begitu," komentar Nick
dengan tangan masih memeluk pinggangnya. "Wajahmu jadi pas
benar dengan warna rokmu."
"Oh! Seragam ini malu-maluin!" erang Lori dengan wajah
semakin memerah.
"Nggak jelek-jelek amat kok, Lor." Nick menenangkannya.
"Ah, kamu kan cuma menghiburku saja. Seragam norak
begini!"
Nick kembali menyandar dan menatapnya dengan lucu. "Nggak
jelek-jelek amat kok. Bener." katanya. "Terus terang saja, waktu
melihatmu memakai ini tadi, tiba-tiba aku takut."
"Takut?"
Nick mengangguk "Kamu kelihatan imut-imut banget. Aku
takut keburu diserobot cowok lain sebelum kita sempat membereskan
segala ini." Nick tersenyum dan menggandeng tangannya. "Aku ingin
mengantarmu pulang. Tapi aku nggak bawa mobil."
"Nggak apa-apa kok. Kita jalan saja."
"Jalan?!" Nick terbeliak dan menatap kakinya sendiri.
"Bagaimana kalau naik bis saja? Aku barusan jalan terus sejak dari
bukit sampai kemari." teenlitlawas.blogspot.com
"Bukit? Hampir lima kilometer lebih?"
"Panjang ceritanya," tukas Nick sambil tersenyum gagah.
"Benar kamu ingin mendengarnya?"
"Jangan takut. Aku akan ngomong kalau sudah mulai bosan,"
jawab Lori dengan mata berbinar. Dia takkan mau terlewat cerita ini
setitik pun.END
Api Di Bukit Menoreh 3 Dewi Ular 66 Misteri Anak Selir The Order Of Phoenix 16

Cari Blog Ini