Ceritasilat Novel Online

Tapak Tangan Hantu 3

Tapak Tangan Hantu Karya Batara Bagian 3


Bi menghembuskan napasnya yang terakhir maka meledaklah isak tangis di murid-murid yang lain.
Isterinya tertegun dan pucat. Wajah Ju-hujin yang berubah-ubah dan merah pucat berganti-ganti.
Dialah yang menerima wanita itu namun karena luka-lukanya yang parah Ki Bi tak dapat ditolong lagi.
Dapat kembali dan melapor ke Hek-yan-pang saja sudah termasuk hebat, daya tahan wanita ini
mengagumkan. Tapi karena wanita itu tewas dan ju-hujin melengking maka tangannya menampar dan....
brakk, dinding depan roboh!
Anak murid menyingkir namun sang ketua menyambar lengan isterinya ini, mencengkeram dan
membawa masuk. Dan ketika mayat Ki Bi diurus dan Hek-yan-pang gempar maka tiga hari kemudian ketua
turun tangan sendiri, ke Hutan Iblis!
"Sebaiknya kau yang di rumah, aku yang ke sana. Di sini tak ada siapa-siapa, isteriku. Biarlah aku
sendiri dan kau jaga anak-anak."
"Tidak, tidak! Justeru aku yang ingin ke sana, suamiku. Aku seorang diri cukup. Kaulah yang di sini
dan biar kubunuh si binatang majikan Hutan Iblis itu!" Ju-hujin mengamuk dan marah-marah. Ju-taihiap
berkata namun dia menolak. Dan ketika sang isteri meloncat dan menyambar pedang, berkelebat ke telaga
maka sang pendekar terkejut dan menyambar lengan isterinya itu.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
54 "Niocu, kau tak boleh begitu. Kau yang jaga rumah, kau wanita!"
"Tidak, aku atau dia yang mati, suamiku. Sakit hati ini tak boleh dibiarkan dan biar aku atau dia yang
mampus!"
Terpaksa, pendekar ini menahan perahu. Sang isteri yang sudah melompat masuk dan siap
menyeberang dicegah dulu dengan kata-kata menyabarkan. Dia harus ikut kalau begitu. Dan ketika anakanak murid dipanggil dan yang tertua diminta menjaga perkumpulan, pendekar ini memberi pesan-pesan
maka berangkatlah mereka meninggalkan Hek-yan-pang.
Ju-taihiap tentu saja tak mungkin membiarkan isterinya sendirian. Kalau isterinya tak dapat dibujuk
dan ingin seorang diri ke Hutan Iblis baiklah dia mendampingi. Dari tewasnya Ki Bi dan empat sumoinya
dapat diketahui bahwa majikan Hutan Iblis benar-benar berbahaya. Agaknya memang dia harus turun tangan.
Kalau ada puteranya di situ tentu puteranya itulah yang akan diutus. Mengutus puteranya jauh lebih mantap
daripada mengutus isterinya ini. Terlalu berbahaya. Maka ketika dia menyertai dan Ju-taihiap mengayuh
perahunya maka perahu melesat meninggalkan telaga untuk sekejap kemudian sudah tiba di seberang. Di sini
anak-anak murid juga menyambut dan menyampaikan selamat jalan. Beberapa di antara mereka menangis
dan menyuruh sang ketua berhati-hati. Tak ada yang berani memandang Ju-hujin karena wanita itu tampak
marah dan beringas. Sapuan matanya membuat murid-murid bergidik. Ju-hujun sedang murka! Dan ketika
mereka melepaskan keberangkatan dua orang itu dengan wajah cemas maka Ju-taihiap sendiri sudah
menarik tangan isterinya berkelebat meninggalkan anak-anak muridnya. Dan begitu pendekar ini
memperlihatkan kepandaiannya yang luar biasa maka diapun lenyap bersama isterinya di luar hutan.
* * * Hari itu pendekar pedang ini tiba di kota Ma-ciang. Sehari semalam mereka berlari cepat dan melihat
wajah isterinya pendekar ini menjadi khawatir. Napas isterinya terengah-engah namun tak mau kalau diajak
berhenti. Dan ketika pagi itu mereka memasuki Ma-ciang dan kesempatan ini dipergunakan baik-baik Jutaihiap mengajak isterinya mencari rumah makan dulu.
"Aku penat, juga lapar. Aku ingin sarapan dulu, isteriku. Berhentilah sebentar dan lihat restoran itu."
Sang isteri berwajah gelap. "Makan? Lapar? Kau bohong, suamiku. Orang seperti kau tak mungkin
lapar atau letih. Kau sengaja ingin berhenti agar aku mengaso dulu. Aku tidak lapar, tidak lelah. Aku masih
kuat meneruskan perjalanan!"
"Hm, baiklah. Tapi tak ada jeleknya untuk mengisi perut, niocu. Dari sini ke Ci-bun hanya tinggal
beberapa saat lagi. Hitung-hitung cari berita dan siapa tahu mendapat keterangan. Ayolah, aku juga ingin
cuci muka dan ganti pakaian. Tubuh kita penuh debu. Lihat wajahmu jelek, masa isteri ketua Hek-yan-pang
tidak mandi!"
Swi Cu cemberut. Sang suami mencoba berkelakar tapi ia betul-betul tak mau tertawa. Selama
perjalanan mulutnya terkunci rapat dan kalau bicara hanya seperlunya saja. Tapi karena mukanya penuh
dengan debu dan benar saja kecantikannya buram, wanita mana mau berwajah jelek maka ia mengikuti saja
suaminya ini memasuki rumah makan yang ditunjuk.
Rumah makan itu besar dan dua suami isteri yang memasuki restoran ini meminta pelayan untuk
menyiapkan air hangat. Mereka perlu cuci muka dan membasuh tangan. Dan ketika mereka juga minta bubur
ayam, panas-panas maka restoran yang masih sepi dari pembeli membuat suami isteri ini leluasa menikmati
hidangannya.
Swi Cu membasuh mukanya dulu dan baru sang suami. Wajah yang semula hitam kini segar kemerahmerahan. Debu dan kotoran sudah tak ada lagi. Dan ketika mereka duduk menikmati hidangan, bubur panas
itu mata Ju-taihiap melirik bahwa hanya ada tiga orang di ruangan itu.
"Hm, sepi, masih terlalu pagi," katanya.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
55 Sang isteri diam saja.
"Eh, kau lihat tiga orang di sudut itu, niocu? Satu di antaranya serasa kukenal!"
"Hm, aku tak mau perduli dengan orang lain. Mari cepat habiskan makanan ini, suamiku, dan kita
lanjutkan perjalanan!"
"Tapi aneh ada hwesio memasuki rumah makan. Dan lihat, dia ke sini!"
Swi Cu atau Ju-hujin ini mengangkat mukanya. Dia terpaksa memandang karena hwesio yang
dimaksud suaminya itu bangkit berdiri dan benar saja melangkah lebar menghampiri dirinya. Wajah itu
tersenyum-senyum, namun mata itu memancarkan cahaya yang aneh. Dan ketika hwesio ini berhenti di meja
mereka dan menjura, sikapnya hormat maka dia berkata kepada suami isteri itu,
"Selamat pagi, agaknya Ju-taihiap di sini. Ah, kebetulan kita bertemu, taihiap. Ada sahabat pinceng
yang ingin bertemu. Tak disangka kita sama-sama di sini. Taihiap rupanya lupa kepada pinceng."
"Hm, siapa lo-suhu?" jago pedang ini bangkit dan membalas hormat orang, lupa-lupa ingat. "Aku
serasa pernah mengenalmu, lo-suhu. Tapi terus terang lupa!"
"Ha-ha, tak aneh, kita jarang bertemu. Tapi taihiap mungkin ingat bahwa pinceng adalah Tiong Liang
Hwesio, sahabat Eng Sian Taijin!"
Ju-taihiap terkejut. Tiba-tiba dia ingat bahwa hwesio ini dulu pernah bertemu di rumah Tek-wangwe.
Ada sedikit keributan di situ dan mereka pernah bertanding, hwesio ini kalah. Maka tersenyum dan ingat
siapa hwesio ini, dulu mereka tak menanam permusuhan maka pendekar ini berkata membalas kata-kata
orang,
"Oh, lo-suhu kiranya. Ya, ya... aku ingat. Sekarang aku ingat. Selamat bertemu, lo-suhu. Dan agaknya
bukan kebetulan kalau lo-suhu di sini."
"Pinceng memang akan mengantar kawan, bertandang ke rumah taihiap. Tak disangka ketemu di sini
dan kebetulan sekali. Maaf, taihiap mau ke mana? Akan pulang atau pergi?"
"Hm, mari lo-suhu duduk. Aku akan pergi, lo-suhu, ada keperluan sebentar. Ada apa lo-suhu
mencariku dan dapatkah kita bicara di sini."
"Ha-ha, tentu saja dapat, malah kebetulan. Eh...!" hwesio itu menggapai dua kawannya di sini, orangorang yang sejak tadi memandang dan mengamati penuh perhatian, dua laki-laki bermata tajam bagai elang
menyambar-nyambar. Pakaian mereka biasa-biasa saja tapi gagang pedang di belakang punggung mereka itu
jelas menunjukkan seorang ahli silat. "Kemari, Gan-siang-enghiong (dua orang gagah Gan). Ini Ju-taihiap
dan kebetulan kita bertemu di sini!"
Dua laki-laki itu bangkit berdiri. Mereka sebenarnya sudah sangat memperhatikan pasangan suami
isteri itu ketika Ju-taihiap memasuki restoran. Tapi karena suami isteri itu gelap dengan urusannya sendiri,
sang isteri bahkan tak menoleh atau melihat mereka maka ketika Tiong Liang Hwesio bisik-bisik dan
memberitahukan tamu yang baru masuk itu dua laki-laki ini bersinar dan gatal-gatal tangan. Mereka adalah
ahli-ahli pedang dari Nam-tung, dua jago timur yang bersahabat baik dengan hwesio ini. Maka ketika
kekalahan hwesio itu diceritakan dan Ju-taihiap terkenal sebagai ahli pedang jempolan, mereka ingin
menguji maka setelah menentukan harinya mereka lalu bersama dan bermaksud mencari pendekar itu untuk
diajak "kenalan".
Kini mereka bangkit dan berjalan mendekati meja suami isteri itu. Langkah mereka ringan dan gagah
dan sekali lihat Ju-taihiap tahu bahwa dua laki-laki ini orang-orang yang memiliki kepandaian cukup tinggi.
Pedang di belakang punggung itu agak mengesankan kejumawaan, pendekar ini tersenyum. Dan ketika
mereka tiba di dekat mereka dan langsung mereka membungkuk maka Ju-taihiap bangkit membalas hormat
dan sikap Ju-taihiap yang bersahaja dan ada kesan merendah menimbulkan kesombongan dua orang itu.
"Kami Nam-tung Siang-kiam (Sepasang Pedang Dari Nam-tung) sudah lama mendengar nama besarKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
56 taihiap, hari ini kebetulan bertemu, sungguh beruntung. Kenalkan, aku Gan Po, taihiap dan ini adikku Gan
Ciok. Kami sudah lama mengagumi ilmu pedang taihiap dan terus terang saja kami ingin membuka mata
meluaskan pengalaman. Apakah taihiap dapat memberi kami petunjuk-petunjuk berharga?"
Inilah tantangan langsung yang tidak basa-basi lagi. Dua orang itu sudah menjura namun dari
sepasang tangan mereka itu menyambar angin pukulan kuat. Mereka ingin menguji pendekar itu! Tapi Jutaihiap yang tenang dan berwatak lembut ini menyambut kalem.
"Jiwi enghiong (dua tuan gagah), kalian berwatak jujur, senang bertemu kalian. Tapi maaf, aku lagi
enggan beradu kepandaian karena sedang pepat (susah hati) memikirkan sesuatu." Pendekar itu menyambut
pukulan lawan, tentu saja tahu deru angin menyambar namun dengan sinkangnya dia menahan. Lawan
tertegun dan terbelalak karena pukulan mereka terhenti di tengah jalan, ditambah namun tiba-tiba mereka
terhuyung mundur. Kalah! Dan ketika mereka berseru tertahan namun Ju-taihiap buru-buru mengebut,
menarik kursi yang lain maka pendekar itu mempersilahkan dua tamunya duduk.
"Mari, silahkan. Kami akan memesan makanan untuk sam-wi."
Dua orang itu terbelalak. Dari adu pukulan tadi mereka merasa dorongan angin lembut namun kuat
menahan pukulan mereka tadi, menambah namun malah terhuyung. Dan ketika mereka kagum namun
penasaran akan ini, Ju-taihiap bersikap merendah maka sikap yang dianggap penakut ini membuat dua orang
itu tak tahu diri.
"Ju-taihiap, kau hebat. Tapi keistimewaan kami bukan pada ilmu pukulan melainkan ilmu pedang!"
"Ah," sang pendekar mengerutkan kening, "aku lagi tak bernafsu, jiwi enghiong. Maafkan dan jangan
mendesak. Kami sedang menerima persoalan."
"Apakah taihiap takut?"
"Tak tahu diri!" sang nyonya tiba-tiba membentak dan marah sekali. "Kalian orang-orang she Gan
rupanya ingin di hajar, tikus-tikus busuk. Kalau begitu marilah bersamaku dan jangan sombong dengan
pedang buruk di belakang punggung itu!"
"Ah," sang suami terkejut, menyambar dan menyuruh isterinya duduk. "Jangan kasar, niocu. Tak perlu
ribut-ribut. Kita di rumah makan. Kalau Gan-siang-enghiong ini ingin mengadu kepandaian biar kita terima
di lain hari. Sekarang tak ada waktu dan kita sedang mempersiapkan diri untuk urusan lain."
Dua laki-laki itu merah. Tak mereka sangka bahwa Ju-hujin demikian galak dan beringas. Mereka tak
tahu bahwa wanita ini sedang menahan sakit hati, sesuatu yang mengganggu sedikit tentu bakal membuatnya
mendidih. Maka ketika dia bersikap kasar dan langsung memaki dua laki-laki itu, Nam-tung Siang-kiam
terkejut dan gusar merekapun tak dapat mengendalikan diri dan orang kedua sudah membentak.
"Bagus, kami memang ingin menjajal kepandaian ketua Hek-yan-pang, hujin. Kalau kau dapat
mewakili dan menerima tantangan kami tentu saja kami gembira. Majulah, pedang burukku akan coba-coba
membeset kulitmu!"
"Tahan, nanti dulu!" sang pendekar menolak dan menggeleng kepala, sikapnya lagi-lagi dianggap
takut, jerih. Dua laki-laki itu bertambah sombong. "Pagi-pagi tak baik bertempur, Gan-enghiong. Kami
benar-benar tak mau menerima tantanganmu karena kami sibuk akan sesuatu yang lebih penting. Biarlah
kami pergi kalau kalian mendesak!"
Pendekar ini menarik dan menyambar lengan isterinya diajak pergi. Beng Tan tak mau ribut-ribut
karena majikan Hutan Iblis menanti mereka. Itulah musuh sesungguhnya dan tak perlu membuang-buang
tenaga di situ. Tapi sikapnya yang justeru diterima salah, disangka takut membuat dua laki-laki itu terbahak
dan mengejek, kata-katanya ditujukan kepada Tiong Liang Hwesio namun jelas sebenarnya ditujukan untuk
si jago pedang itu.
"Ha-ha, mana bukti omonganmu, Tiong Liang lo-suhu. Mana itu kegagahan dan kejantanan Ju-taihiap.
Lihat sekarang ia menyingkir dan buru-buru pergi melihat kami berdua. Ah, rugi kami jauh-jauh datang keKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
57 sini. Kami salah menghargai lawan!"
Ju-taihiap terkejut. Dia bukan terkejut oleh omongan laki-laki itu melainkan terkejut oleh bentakan
isterinya. Isterinya meronta dan tahu-tahu menyambar ke depan. Sebuah sinar hitam berkeredep menyambar
mulut orang she Gan itu. Dan ketika sinar ini amat cepat dan laki-laki itu terkejut mengelak, kalah cepat
maka ia membanting tubuh bergulingan namun ujung hidungnya kena terbabat.
"Crat!"
Sedikit saja darah keluar dari ujung hidung laki-laki itu. Dia adalah Gan Ciok atau orang kedua, adik
dari Gan Po. Dan ketika laki-laki itu bergulingan meloncat bangun sementara yang lain-lain kaget oleh
kecepatan nyonya ini bergerak maka Ju-taihiap tak berbuat apa-apa lagi karena api sudah disulut!
"Tiong Liang suhu, kau membawa penyakit!"
Hwesio itu pucat. Dia telah merasakan kepandaian jago pedang ini namun belum isterinya. Kini
melihat temannya dibabat san sekali sambar Ju-hujin membuat luka, beringas maka hwesio ini mundur dan
pandang mata tajam dari pendekar itu membuatnya jerih. Tapi Gan Ciok laki-laki itu sudah melompat
bangun. Kakaknya berkelebat dan memeriksa luka adiknya itu, memberi obat luar dan tampaklah betapa
marah kakak beradik ini. Dan ketika mereka membalik dan menghadapi nyonya itu, yang ganas dengan
pedang di tangan maka pedang hitam bergetar dan ujungnya mengental oleh sedikit.
"Orang she Gan, majulah. Kalian berdua boleh maju. Ayo, kutantang kalian dan jangan suruh suamiku
dulu!?
Gan Ciok tak dapat menahan diri. Ia amat marah sekali oleh serangan cepat si nyonya tadi. Ia terkejut
bukan main oleh gerak sambaran pedang itu. Kalau ia kurang cepat berkelit bukan hanya ujung hidungnya
saja yang hilang melainkan mukanya mungkin terbacok! Laki-laki ini gusar bukan main. Maka ketika
nyonya itu berdiri menantang sementara suaminya mundur menjauh, Ju-taihiap akhirnya melihat bahwa dua
orang ini harus diberi pelajaran maka begitu ia maju begitu pula si nyonya menyambut.
"Bagus, berani sekali kau melukai aku. Kalau tidak memenggal kepalamu tak mungkin aku mau
sudah... crang!" dan bunga api yang berpijar oleh dua pedang yang beradu segera membuat keduanya
bertanding dan Gan Ciok terkejut. Laki-laki itu merasa bahwa tenaga si nyonya cukup besar, mampu
menahan pedangnya dan membuat pedangnya terpental. Tapi karena itu bukan akhiran melainan awal dari
sebuah pertandingan maut maka laki-laki ini menggunakan daya pental pedangnya untuk membabat dan
membacok dari samping. Sang nyonya mengelak dan selanjutnya membalas cepat. Dan ketika pedang di
tangan keduanya sudah naik turun menyambar-nyambar, masing-masing mengeluarkan ilmu kepandaiannya
maka Ang-in Kiam-sut atau Ilmu Pedang Awan Merah dikeluarkan nyonya ini untuk menandingi lawan,
yang sudah bergerak dan menyambar-nyambar dengan pedang bersinar putih di tangan. Gan Ciok atau lakilaki itu ternyata mahir memainkan pedang. Ia mampu membacok dan menusuk dengan gerakan-gerakan tak
terduga, bahkan pedangnya juga sering menyendok atau menggarpu, yakni gerakan membabat atau menusuk
dari bawah atau depan. Namun karena lawan adalah isteri seorang jago pedang ternama, Ju-hujin bukanlah
wanita main-main maka ia mampu mengimbangi permainan lawan dengan sapuan atau bacokannya yang tak
kalah cepat.
Tadi Gan Ciok terbabat karena tak menyangka. Si nyonya langsung melengking dan mencabut
pedangnya itu, hidung menjadi korban. Namun setelah ia berhati-hati dan kini gulungan sinar pedangnya
mencoba untuk membungkus dan melenyapkan si nyonya, Ju-hujin terkurung namun sinar pedangnya
mampu menguak lawan maka maksud laki-laki itu gagal dan marahlah jago dari Nam-tung ini karena ia tak
dapat mendesak. Bahkan, setelah pertandingan berjalan limapuluh jurus malah pedangnya yang terbungkus
oleh pedang di tangan nyonya itu. Adu tenaga dan adu kecepatan ternyata masih dimenangkan nyonya ini.
Dan ketika satu gulungan sinar pedang disusul oleh pecahnya tiga cahaya hitam menyambar muka dan
tenggorokan lawan, laki-laki ini menangkis tapi pedang terpental ke bawah menusuk ulu hatinya maka dia
membanting tubuh bergulingan namun kancing baju di ulu hatinya copot.
"Bret!"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
58 Kejadian ini membuat si laki-laki pucat. Si nyonya demikian lihai dan ilmu pedangnya ganas sekali,
sedikit dia terlambat tentu perutnya tercoblos! Dan ketika ia bergulingan meloncat bangun sementara lawan
tertawa mengejek, mengejar dan menyerangnya lagi maka jago dari Nam-tung ini tertekan dan terdesak!
Saudaranya terbelalak dan Gan Po atau laki-laki pertama berubah mukanya. Sama sekali tak
disangkanya bahwa Ju-hujin itu demikian hebat. Ia tak tahu bahwa nyonya ini sudah jauh lebih lihai daripada
lima sepuluh tahun yang lalu, sewaktu masih gadis remaja dan belum menikah. Karena semenjak nyonya ini
menjadi isteri Ju-taihiap maka ilmu pedang Awan Merah itu disempurnakan dan jago pedang Ju-taihiap
sendiri yang menggembleng isterinya itu. Akibatnya Ju-hujin ini tentu saja menjadi lihai beberapa kali lipat
dan mendiang Hek-yan Tai-bo sendiri tak mungkin menang melawan cucu muridnya ini. Ju-hujin ini sudah
bukan lagi Swi Cu yang dulu, Swi Cu yang masih gadis dan dulu bersama mendiang sucinya (kakak
seperguruan perempuan) sering dikalahkan orang. Dengan kepandaiannya yang sekarang nyonya ini dapat
mengalahkan jago-jago kelas satu. Hanya beberapa orang terlihai saja mampu mengalahkannya, seperti
suamiya itu sendiri atau puteranya Han Han, juga Si Naga Pembunuh Giam Liong. Maka ketika orang she
Gan ini bicara sombong dan si nyonya yang sedang marah dibuat naik pitam, orang ini harus diberi pelajaran
maka begitu dia bertanding segera lawan dibuat terkejut oleh kehebatan dan kecepatannya bergerak. Ang-in
Kiam-sut terus menekan dan mendesak dan lagi satu kancing baju putus. Lawan bergulingan dengan amat
kaget dan gentar. Dan ketika Ju-hujin masih juga mengejar dan satu bacokan pedangnya membabat leher
lawan maka Ju-taihiap berseru keras untuk mencegah membunuh.
Namun saat itu Gan Po atau laki-laki pertama bergerak. Tepat di saat Ju-taihiap berseru pada isterinya
tiba-tiba laki-laki itu membentak dan menerjang maju. Ju-taihiap tak jadi bergerak dan kembali mundur. Dan
ketika pedang membacok leher Gan Ciok maka Gan Po atau laki-laki pertama ini menangkis.
"Cranggg...!"
Ju-hujin terhuyung mundur dan terkejut. Ia merah mukanya tapi lawan juga tergetar dan berseru keras.
Gan Po juga merasai hebatnya tenaga wanita ini. Tapi karena ia sudah maju menolong adiknya dan
sementara adiknya meloncat bangun ia sudah membentak dan menerjang lagi, pedang menyambar dan
menusuk dada wanita itu maka Swi Cu menangkis dan mereka sudah bertempur hebat.
"Bagus, kalian boleh maju berdua, orang she Gan. Hayo keroyoklah aku dan lihat kepandaian
nyonyamu!"
Laki-laki ini marah. Ia tergetar dan terhuyung lagi begitu pedang saling bentur. Isteri jago pedang ini
memang hebat. Namun karena ia juga menganggap diri sendiri ahli pedang dan sebagai ahli pedang tentu
saja penasaran oleh kepandaian jago lain maka ia menyerang lagi dan Gan Ciok yang pucat mendengar
seruan nyonya itu membentak dan benar-benar mengeroyok. Ju-taihiap berkerut kening namun ia mampu
melihat keadaan. Seorang lawan seorang isteri dapat mengalahkan. Kini melihat dua orang itu maju bersama
dan Siang-kiam atau Sepasang Pedang di tangan dua laki-laki itu sudah saling bungkus dan bantu-membantu
maka isterinya yang terlanjur minta dikeroyok tiba-tiba menghadapi lawan berat.
Tapi pendekar ini tidak khawatir. Isterinya tertekan tapi bukan terdesak. Dua batang pedang di tangan
dua laki-laki itu ternyata dapat bekerja sama dan masing-masing melindungi dan menyerang. Setelah mereka
berpasangan tampaklah bahwa dua orang ini memang orang-orang tangguh. Kalau Gan Ciok membuka


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lubang maka kakaknya inilah menutup, kalau sang kakak membuka lubang adiknya itulah yang menutup.
Dan karena lubang-lubang pertahanan ini selalu dijaga dan mulailah isterinya tertangkis bertemu satu di
antara dua batang pedang itu, entah Gan Ciok atau Gan Po maka dua tenaga berganti-ganti dari dua orang ini
membuat isterinya mandi keringat. Kecepatan gerak isterinya dapat dilawan pertahanan rapat dua orang itu,
masing-masing bantu-membantu dan inilah yang menyulitkan. Dan karena serangan selalu tertangkis
sementara isterinya harus berjuang mempertahankan dan menyerang sekaligus, lawan hanya bertahan atau
menyerang saja maka isterinya mulai lelah karena serangan-serangannya tak membawa hasil. Dan sekarang
Ju-hujin itu terdesak.
"Ha-ha, sekarang kesombonganmu lenyap, Ju-hujin. Mana kepandaian dan kehebatanmu. Ayo,
robohkan kami, atau kau yang roboh!"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
59 "Tak usah banyak mulut!" si nyonya membentak dan mempertahankan diri. "Kalian belum melihat
kepandaianku yang lain, tikus-tikus busuk. Kalau sekarang kalian mendesak aku maka biarlah kusembah
kaki kalian.... singgg!" sinar pedang tiba-tiba berobah, tajam menyilang kiri kanan dan sekonyong-konyong
dari bunyi desing itu keluar kilat menyambar menyilaukan mata. Dua laki-laki terkejut karena mendadak
mereka melihat adanya perobahan besar. Si nyonya tidak mengandalkan kecepatan geraknya melainkan
jurus-jurus aneh, yang berat dan mengeluarkan hawa panas dan dari hawa panas inilah muncul serangan luar
biasa yang membuat mereka terkejut. Cahaya menyilaukan dari pedang hitam itu memantulkan sinar putih.
Aneh, pedang hitam dapat memantulkan cahaya perak. Dan ketika mereka silau dan cahaya ini mengganggu
maka saat itulah mereka tak dapat melihat baik dan desing pedang di tangan si nyonya tahu-tahu menusuk
atau menikam bawah tubuh mereka.
"Pek-jit Kiam-sut (Ilmu Pedang Matahari)!"
Inilah seruan Tiong Liang Hwesio yang pernah melihat kehebatan ilmu pedang itu. Dua saudara Gan
baru kali itu merasakan dan mata mereka yang silau oleh pedang hitam membuat mereka kaget sekali karena
tak dapat melihat serangan. Bagaimana bisa melihat kalau cahaya terang dari pedang di tangan nyonya itu
menyilaukan mata. Mereka berkejap sejenak dan itu awal celaka. Dan ketika pedang mendesing dan mereka
melempar tubuh dengan kaget maka suara memberebet terdengar dua kali dan paha mereka tergores.
"Niocu, jangan membunuh!"
Ini suara Ju-taihiap. Tadi dua saudara Gan merasa sombong dapat menekan nyonya itu. Mereka tak
tahu bahwa Pek-jit Kiam-sut atau Ilmu Pedang Matahari belum dikeluarkan nyonya ini. Ju-hujin masih
bertahan dengan pedang Awan Merahnya itu. Maka ketika dia terdesak dan itulah saatnya mengeluarkan
ilmu simpanan, dua laki-laki ini harus diajar adat maka keluarkan Pek-jit Kiam-sut itu dan pedang hitam
yang tiba-tiba berobah dan mengeluarkan cahaya menyilaukan tentu saja membuat kaget lawan yang silau
pandangan. Jago pedang dari Nam-tung ini kaget bercampur gentar karena kalau mereka selalu berkejap
tentu lawan mudah menyerang. Dan ketika benar saja mereka harus sering berkejap dan tikaman atau
tusukan menghujani mereka, gaya bertahan dan menyerang dari mereka hancur dan pecah maka Gan-siangenghiong ini menjadi kalang kabut dan mereka seolah bergerak sendiri-sendiri lagi seperti semula. Padahal
seorang lawan seorang jelas mereka masih bukan tandingan nyonya ini, yang memang lihai. Dan begitu
mereka bergulingan dan pedang terus menusuk dan menikam, mengejar maka Silat Pedang Matahari tak
dapat mereka lawan dan tujuh luka "menggigit" dua jago pedang itu. Ju-hujin rupanya masih ingin terus
menghajar lawan sampai benar-benar roboh. Paha dan lengan luka-luka oleh tusukan pedangnya yang
meskipun tidak dalam namun cukup membuat darah mengucur. Dan ketika dua orang itu mengeluh dan
bergulingan ke sana ke mari, menangkis namun akhirnya pedang terlepas dari tangan maka ujung pedang si
nyonya tahu-tahu telah berhenti di leher Gan Po, bergetar!
"Nah, menyerah tidak!"
Laki-laki itu pucat. Gan Ciok, saudaranya, mengerang dan rebah di sana. Ada luka memanjang di bahu
adiknya itu. Tapi melihat bahwa dia kalah, sang nyonya bengis menekan kulit lehernya maka laki-laki ini
mengangguk.
"Kami.... kami menyerah. Hujin benar-benar hebat...!"
"Kalian masih berani coba-coba lagi? Masih berani kurang ajar?"
"Tidak, maafkan kami, hujin. Kami kalah. Kami mengakui kelihaianmu."
"Hm, kalau begitu jangan menghina suamiku pula atau nanti pedangku menebas putus leher kalian!"
Laki-laki itu merintih. Sang nyonya sudah menarik ujung pedangnya dan kulit yang teriris sedikit
terasa perih. Ju-hujin telah memberinya pelajaran. Dan ketika ia meminta pertolongan Tiong Liang Hwesio
yang sudah menolong adiknya maka hwesio itu pucat dan merah berganti-ganti dipandang nyonya ini. Lebih
takut terhadap Ju-hujin daripada Ju-taihiap. Maklum, sang isteri tampaknya lebih galak!
"Kau!" nyonya ini menuding. "Jangan membuat ulah lagi, hwesio bau. Sekali kau melanggar maka uluKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
60 hatimu kutembus pedang!"
"Maaf, kami salah... maaf...!" sang hwesio menunduk dan membungkuk-bungkuk. "Pinceng hanya
mengantar kawan-kawan pinceng ini, hujin. Bukankah biasa kalau orang-orang persilatan mengajak pibu.."
"Tapi kau tak tahu waktu. Bukankah suamiku sudah menolak dan meminta lain kali saja!"
"Maaf, hujin, kami memang salah. Baiklah pinceng menyingkir dan pinceng tak akan mengganggu
kalian lagi..." hwesio itu memapah teman-temannya dan mau melangkah pergi. Tapi baru dia ngeloyor dua
tindak maka si nyonya berkelebat dan ujung pedang menodong dadanya.
"Kau enak saja menyuruh kami membayar makan minum di sini? Kau menyuruh kami membayar
kerugian kepada pemilik restoran?"
"Ah, maaf...!" hwesio ini terkejut, sadar. "Pinceng lupa, hujin... lupa..! baiklah, biar pinceng bayar dan
jangan khawatir pinceng tak akan membuat rugi pemilik rumah makan!" lalu melepaskan dan menyuruh
teman-temannya berhenti sejenak hwesio ini buru-buru membayar ke kasir. Pemilik restoran ngumpet
bersembunyi dan pelayan-pelayannyapun lari berserabutan. Mereka tahu bahwa keributan di antara orangorang kang-ouw tak boleh dicampuri, atau mereka akan menjadi korban. Tapi ketika sang hwesio
mengeluarkan koceknya dan pemilik tentu saja muncul di meja kasir, menyeringai dan menerima uang maka
pemilik berseri-seri menghadap suami isteri itu. Sang hwesio sekarang ngeloyor pergi.
"Tak kami sangka bahwa kami kedatangan ketua Hek-yan-pang dan isteri. Ah, terima kasih atas
kemurahan kalian, taihiap. Kami tak jadi menanggung kerugian dan sekali lagi terima kasih...!"
Swi Cu tak menggubris kata-kata ini. Ia sudah menyimpan pedangnya dan hwesio itu bersama dua
temannya lenyap di luar. Dan ketika sang suami memegang lengannya dan menarik napas panjang maka
pasangan suami isteri itu melangkah keluar dan tidak menengok lagi kepada pemilik rumah makan. Mereka
baru berhenti ketika pemilik mengejar dan berteriak dari belakang, tepat ketika mereka sudah di luar pintu
pagar. Dan ketika dari samping muncul dua ekor kuda hitam dituntun pelayan maka pemilik rumah makan
itu, seorang laki-laki gendut berwajah ramah sudah menjura dan berulang-ulang membungkuk di depan
mereka.
"Taihiap dan lihiap katanya sedang melakukan perjalanan. Biarlah sebagai rasa terima kasih kami dua
ekor kuda ini untuk meringankan beban jiwi berdua. Taihiap boleh mengambil atau meminjamnya!"
"Hm, kau menghadiahkan kuda ini untuk kami?" sang pendekar mendapat pikiran baik. "Bagus,
kuterima, saudara. Tapi jangan sebagai hadiah Cuma-Cuma. Nih, sekedar pengganti harga kuda!"
"Ah, tidak, tak usah!" pemilik restoran menolak uang yang dikeluarkan. "Kehormatan bagi kami dapat
memberimu sesuatu, taihiap. Siapa tidak kenal taihiap dan nama besar taihiap. Ambillah, kami tidak butuh!"
"Kau sudah kaya?" sang pendekar tertawa. "Kalau begitu berikan pelayan-pelayanmu, wangwe
(hartawan). Pokoknya aku tak mau cuma-Cuma dan terserah!" uang dilemparkan ke tembok pagar rendah,
disusul oleh bayangan pendekar itu yang tahu-tahu sudah menaiki kuda di sebelah kiri. Lalu ketika dia
menyendal dan menarik tali kekang kuda lain maka pendekar itu berderap dan sudah menyuruh isterinya
naik.
Swi Cu mengerutkan kening dan mau menolak. Ia merasa heran kenapa suaminya menunggang kuda,
bukankah ilmu lari cepat mereka lebih cepat ketimbang kuda. Namun karena sang suami sudah berderap dan
uang di atas pagar dipandang terbelalak oleh pelayan dan pemilik restoran, sang nyonya meloncat dan
melarikan kudanya maka terjadi pemandangan menggelikan ketika majikan dan pelayannya sama-sama
menyambar uang itu.
"He, itu punyaku. Berikan!"
"Tidak, Ju-taihiap memberikannya untuk kami, loya. Kau tadi menolaknya!"
"Eh, minta kupecat? Baik, kau tak boleh bekerja di sini lagi, A-sam. Kalian boleh habiskan uang ituKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
61 dan nanti kelaparan merengek di rumah makanku!"
Dua pelayan itu tertegun. Akhirnya mereka bersungut dan mundur membiarkan uang itu diambil
majikan mereka. Diam-diam mereka mendongkol. Ternyata majikan ini hijau juga matanya oleh lima keping
uang emas itu. Dan ketika di sana Ju-taihiap mendengar ini dan tertawa maka dia sudah mengajak isterinya
meninggalkan Ma-ciang. Orang kalau sudah melihat duit tetap saja kelihatan watak aslinya. Rakus! Namun
ketika sang isteri cemberut dan diam di sampingnya maka pendekar ini memperlambat lari kudanya dan
menoleh.
"Kau sudah puas menghajar orang-orang tadi di sana?"
"Hm, kalau kau tidak mencegahku tentu aku lebih puas lagi kalau membunuh, suamiku. Mereka itu
orang-orang tidak tahu adat yang sombong!"
"Ah, sudahlah, tak perlu dipikir. Mari kita larikan kuda kita dan lihat siapa lebih dulu tiba di Hutan
Iblis!"
Jilid V
PENDEKAR ini tertawa melarikan kudanya. Kalau sang isteri sudah cemberut dan masih mengkal
dengan kejadian di Ma-ciang biarlah dia menghiburnya dengan balapan kuda. Sang isteri tentu menyusul dan
akan terbawa. Dan ketika benar saja isterinya itu mengejar dan kedua kuda lari congklang, mereka beradu
cepat maka pendekar ini menendang dan menyuruh kudanya lebih cepat lagi.
"Ha-ha, ayo, niocu. Percepat dan suruh kudamu berlari kencang. Lihat, kau kalah!"
"Hm, siapa bilang? Kau lebih dulu, suamiku, tentu saja menang. Ayo berendeng dan kita adu!"
"Begitukah? Ha-ha, baik. Mari berendeng dan lihat siapa yang menang. Aku tak mau dikata curang!"
dan berendeng menunggu isterinya kemudian membalap lagi suami yang sudah gembira melihat isterinya tak
marah lagi lalu mengajak balapan kuda melupakan peristiwa di restoran. Isterinya ini kalau sudah marah
harus didinginkan dulu, kalau tidak tentu akan selalu marah dan dia yang repot. Dan ketika sang isteri mulai
tersenyum dan berpacu melarikan kudanya maka bergeraklah mereka menuju selatan. Perjalanan dilakukan
dengan tawa dan akhirnya tak terasa lagi mereka tiba di wilayah Ci-bun. Kota ini sudah mereka masuki
menjelang gelap. Dan karena mereka tak mau singgah karena dusun Lam-chung tinggal beberapa puluh li
lagi maka pendekar dan isterinya ini meneruskan perjalanan dan sekarang mereka tak tertawa-tawa.
Banyak orang memandang mereka dengan terheran-heran. Pakaian berdebu dan wajah kotor tak
dihiraukan suami isteri ini. Mereka melintas di tengah kota untuk akhirnya keluar lewat gerbang pintu barat.
Dan ketika akhirnya mereka melintasi dusun Lam-chung dan masing-masing sama tertegun melihat
kerusakan dusun itu, kuda meringkik dan terhuyung kelelahan maka di situ mereka dapat melihat adanya
sebatang pohon raksasa yang menjulang tinggi di depan sana. Sang suami menghentikan kudanya.
"Itu Hutan Iblis! Kita sudah sampai di tempat tujuan dan biarkan kita lepas kuda kita di sini!"
Sang isteri tertegun, ikut berhenti juga. "Kau mau kita jalan kaki?"
"Kau tak capai, bukan?"
"Aku masih kuat, suamiku, dan kebetulan kita datang menjelang gelap. Bagus, kita jalan kaki dan
biarkan kuda kita beristirahat!" Ju-hujin meloncat turun dan membiarkan kudanya mencari air. Mereka
sendiri tak begitu capai karena tanpa kudapun mereka kuat melakukan perjalanan jauh. Bagi suami isteri
pendekar ini perjalanan ke Lam-chung bukan perjalanan melelahkan, meskipun cukup jauh. Dan ketika Jutaihiap juga mendorong kudanya untuk minggir, mencari rumput atau air maka pendekar ini memandang
sejenak pohon raksasa di tengah hutan itu. Hutan di depan itu terasa menyeramankan dan tegak seperti
raksasa siap menerkam, mengintai mereka.
"Kita harus berhati-hati, kita tak tahu penghuni hutan itu. Baik, mari ita ke sana, niocu. Kau diKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
62 sampingku dan kita mempergunakan ilmu kita menyelinap ke sana!"
Ju-hujin mengangguk dan membiarkan lengannya disambar suami. Ia merasa bahagia dan terharu
bahwa suaminya selalu memperhatikannya. Dalam keadaan bahaya perhatian suami ini terasa begitu lebih
besar, ia merasa nikmat, tenteram, meskipun ia tak merasa takut menghadapi pemilik Hutan Iblis itu. Dan
ketika ia bergerak dan sang suami mengajaknya berkelebat, bintang berkerlip lemah di langit timur maka
dengan kepandaiannya yang tinggi pendekar dan isterinya ini bergerak menuju Hutan Iblis.
Ju-taihiap tak merasa gentar meskipun tegang. Ia tak tahu bagaimana dan siapa penghuni hutan itu,
kecual bahwa penghuni hutan itu lihai dan ganas, terbukti dengan tewasnya dua murid Pek-lui-kong, juga
kakek itu sendiri yang harus melarikan diri dan mundur. Tapi ketika ia tiba di hutan itu dan bulan sabit juga
mulai muncul, langit semakin gelap namun cahaya benda-benda angkasa menerangi tempat itu maka
pendekar ini tertegun tak melihat apa-apa yang mencurigakan.
"Hutan ini kosong, tak ada penghuninya!"
"Dari mana kau tahu?"
"Telingaku, niocu, aku tak menangkap suara apa-apa dan tempat ini kosong!"
"Ah, aku tak percaya. Banyak srigala di tempat ini dan tak mungkin Pek-lui-kong bohong. Biar
kusuruh mereka keluar!" nyonya ini bergerak dan tiba-tiba mengeluarkan suara bentakan. Penghuni hutan
yang katanya ganas akan disuruhnya keluar dengan suara-suara gaduh. Ju-hujin menghantam dan
merobohkan sebatang pohon. Lalu ketika dia berkelebatan dan menyerang pohon-pohon liar, bentakannya
melengking dan menggetarkan isi hutan maka debum dan kerosak ranting-ranting yang patah membuat ribut
mulut hutan ini. Ju-hujin tak berani sembarangan menyerang ke dalam karena betapapun ia harus berhatihati. Ia tak mau ada serangan gelap dan curang. Tapi ketika semua ribut-ribut itu tak mendatangkan hasil dan
sang suami menunggu dengan sikap tenang akhirnya delapan pohon tumbang tapi tak ada srigala atau
pemilik hutan yang keluar. Bentakan dan pancingan isterinya tak berhasil.
"Nah, kau lihat. Tempat ini kosong. Daripada menghamburkan tenaga sia-sia lebih baik masuk ke
dalam dan kita lihat tempat ini!" Ju-taihiap berkata dan memasang obor. Pendekar ini telah tahu namun tak
ingin menyinggung perasaan isteri. Dia berpendengaran lebih tajam namun biarlah isterinya itu
membuktikan. Dan ketika sang isteri puas namun terbelalak di sana, merah, maka pendekar ini melompat ke
dalam dan masuk tanpa rasa takut sedikitpun. Obor di tangannya menerangi delapan penjuru dan yang
pertama tampak adalah tengkorak-tengkorak manusia dan tulang-tulang berserakan!
"Ih!" Ju-hujin terbeliak dan terpekik kecil. Dia mengikuti suaminya ini dan pandangan pertama itu
membuatnya terkejut. Hutan ini menyeramkan! Tapi ketika dia menggigit bibir dan mengepal tinju, tulang
dan tengkorak manusia ada di mana-mana maka suaminya menyendal dan di bawa maju semakin dalam.
"Tenanglah, lihat saja. Hutan ini benar-benar sarang iblis, niocu. Lihat saja kiri kanan di atas kita!"
Sang nyonya hampir menjerit dan kembali terbelalak. Ternyata di dahan-dahan pohon, tadi tak terlihat,
tampak puluhan mayat-mayat manusia yang sudah tinggal tulang-belulang saja. Ada yang digantung dan ada
pula yang terjepit di antara cabang dan ranting. Semuanya serba mengerikan dan dulunya tentu mayat-mayat
itu menderita sekali. Siksaan yang mereka terima tentu dahsyat. Dan hampir muntah melihat sesosok mayat
yang ususnya terburai, menggantung atau digantung di dahan pohon yang besar maka Swi Cu memalingkan
mukanya namun sang suami justeru terbelalak dan berseru tertahan.
"Siauw-hwi!"
Sang nyonya menoleh dan terkejut. Itu adalah murid Hek-yan-pang dan Siauw-hwi adalah satu dari
lima murid yang dibunuh pemilik Hutan Iblis ini. Ki Bi, murid utama membawa Siauw-hwi dan tiga adik
perempuan yang lain. Maka begitu suaminya berseru tertahan dan mengenal mayat itu, mayat dari murid
mereka sendiri tiba-tiba nyonya ini melihat suaminya meloncat dan sekali tangannya bergerak mayat itu
telah diambil dan diamati. Dan pendekar ini tertegun, wajah menjadi pucat namun berobah merah padam
oleh hawa amarah yang naik ke kepala. Di baju mayat itu tertulis sobekan surat yang membuat pendekar iniKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
63 tiba-tiba terbakar.
"Niocu, celaka. Kita harus cepat kembali!"
"Ada apa!"
"Lihat! Ancaman ini membahayakan murid-murid kita, niocu. Ah, kita saling mendatangi!"
Ju-hujin terkejut dan bergerak mendekati suaminya. Dia tak boleh muntah melihat mayat muridnya
ini, terbelalak ke sobekan kertas yang ditunjuk suaminya, di dada mayat itu. Dan ketika dia membaca dan
menggigil penuh marah maka surat itu seakan sebuah pemberitahuan, berbunyi singkat:
Semua anak murid Hek-yan-pang harus dibunuh!
Nyonya ini memekik. Tiba-tiba ia menyambar surat itu dan melemparnya ke kiri. Surat dikepal dan
meluncur seperti peluru. Dan ketika pohon di sebelah tumbang dihajar kertas peluru ini maka Ju-hujin
meloncat dan terbang keluar.
"Mata Iblis, jangan main ancam kau. Keparat, siapa takut padamu. Mari kita bertempur dan lihat siapa
yang akan mampus!"
Di luar nyonya ini mengamuk dan menghajar apa saja. Mulut hutan menjadi hiruk-pikuk oleh
tandangnya. Pohon dan apa saja dicabut. Lalu tak puas oleh semua ini ia kembali ke dalam dan menuju
pohon raksasa di tengah hutan itu. Tengkorak dan mayat-mayat manusia dilalui begitu saja. Tiga ekor ular
yang bergelantungan di pohon bahkan dikibasnya roboh, kepala mereka pecah. Dan ketika ia mengamuk dan
berkelebatan di puncak pohon ini, mencabut pedang membabat ranting dan cabang maka sekejap saja pohon
raksasa itu gundul bagian atasnya. Ju-hujin turun ke tengah dan pedang hitam di tangan kanannya
menyambar-nyambar kembali, sekejap kemudian sudah menggunduli lagi bagian tengah pohon ini. Namun
karena semakin ke bawah cabang dan ranting pohon itu semakin besar, dua kali nyonya ini menggedruk
batangnya namun pohon raksasa itu tak bergeming, hanya tergetar sedikit dan selanjutnya tegak dengan
sikap menantang maka sang nyonya menikam dan menusuk-nusuki batang pohon raksasa itu sampai
berlubang-lubang. Puluhan banyaknya.
"Niocu, sudah. Tak ada gunanya mengamuk di sini. Kita harus cepat pulang!"
Ju-taihiap menyambar dan menarik lengan isterinya ini. Pohon itu bakal dibabat gundul namun tak ada
gunanya menghajar tanaman ini. Yang harus di cari adalah si pemilik hutan, bukan barang atau isinya. Dan
ketika dia melompat turun dan pedang dirampas, sang isteri meronta namun ditotok maka Ju-taihiap tak mau
tinggal lagi di situ dan terbang ke Hek-yan-pang. Bayang-bayang mengerikan membuat dia gelisah hebat.
"Tak ada guna mengamuk di situ. Kita saling serbu. Ah, aku khawatir anak-anak murid kita, niocu. Si
Mata Iblis pasti mendatangi tempat kita sementara kita tak ada di sana!"
"Kau... lepaskan totokanmu. Keparat, lepaskan aku, Beng Tan. Bebaskan totokanmu atau kau bunuh
aku!"
Ju-taihiap terkejut. Sang isteri menyebut nama kecilnya begitu saja seperti ketika dulu mereka samasama muda, waktu isterinya ini juga marah-marah masalah si Golok Maut Sian Hauw. Maka tertegun dan
berhenti membebaskan totokan, mereka sudah jauh dari Hutan Iblis tiba-tiba pendekar ini menarik napas
dalam-dalam menahan marah atas sikap isterinya itu.
"Kau... kau tak hormat lagi kepada suami? Kau berani berkata seperti itu?"
Swi Cu mengguguk. Ditegur seperti itu tiba-tiba iapun sadar. Ia terlampau melampiaskan marah
kepada suaminya ini, padahal tak seharusnya ia bersikap kasar. Maka mengguguk dan menubruk suaminya
itu, meminta ampun iapun tersedu-sedu dan Beng Tan mengusap rambut isterinya itu dengan penuh kasih
sayang, lenyap kemarahannya.
"Sudahlah, kita selesaikan pertengkaran kita, Cu-moi. Tak perlu mengingat-ingat itu lagi dan mariKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
64

Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berangkat lagi. Kau harus tunduk dan turut kata-kataku."
"Kau... kau tidak memukulku?"
"Memukul?"
"Ya, aku kurang ajar kepadamu, Tan-ko, aku berani kepadamu. Kau pukullah aku agar aku tahu adat!"
"Ah, isteriku begini kok dipukul. Aku menyayangmu kok disuruh menghukum. Hush, kau bicara apa,
niocu. Kalau kau minta di hukum maka hukumannya adalah ini... cup!" Beng Tan mencium kening isterinya,
tersenyum dan isteripun tersedak penuh haru. Nyonya ini memeluk dan mendekap suaminya itu erat-erat,
membalas dan diciumnya bibir suami dua kali. Lalu ketika Beng Tan tertawa dan isteri tersenyum bahagia
tiba-tiba pendekar itu menarik isterinya diajak pulang ke Hek-yan-pang.
"Kuda kita..!"
"Biarlah, isteriku. Perjalanan kali ini harus dilakukan cepat agar pagi-pagi kita sudah sampai di rumah.
Biarkan mereka beristirahat karena kalau kita pacu tentu mati di tengah jalan!"
Swi Cu mengangguk. Ia tak memperdulikan lagi pada kuda mereka karena dengan berkuda perjalanan
malah dirasa lamban. Dengan ilmu kepandaian mereka yang sudah mencapai taraf tinggi begini larinya
seekor kuda bahkan dirasa terlalu pelan, apalagi mereka harus cepat-cepat tiba di Hek-yan-pang karena
firasat buruk menghantui dirinya, terutama suaminya itu. Dan ketika malam itu juga mereka meluncur dan
terbang menuju pulang maka benar saja keesokannya mereka disambut jerit tangis anak murid. Mayat dan
darah berceceran di telaga. Bahkan puluhan srigala tampak mengambang di permukaan telaga yang berwarna
merah darah!
"Pangcu...!"
Suami isteri ini tertegun. Tak mereka sangka bahwa perjalanan mereka terlambat. Murid laki-laki dan
wanita muncul dari kiri kanan dan rata-rata tubuh atau baju mereka bersimbah darah. Dan ketika anak murid
menjerit dan histeris menubruk mereka, dua orang ini terbelalak maka seratus lebih mayat-mayat murid Hekyan-pang membuat Ju-hujin melengking dan tiba-tiba melejit ke depan menuju pulau.
"Niocu...!"
Sang nyonya tak perduli. Ia sudah menyambar perahu di pinggir telaga meluncur ke tengah. Gedung
tempat mereka tinggal tampak hangus, api bahkan masih berkobar di beberapa tempat dan tempat tinggal
mereka itu rusak binasa. Puing-puing berserakan di mana-mana. Dan ketika nyonya itu mempercepat
perahunya sementara Ju-taihiap berkelebat dan meloncat di atas sepotong papan, bergerak dan
menaikturunkan lengannya berulang-ulang maka pendekar ini sudah mengejar isterinya yang sudah meloncat
ke darat. Dan di sinipun mayat-mayat bergelimpangan.
"Jahanam!" nyonya itu memekik dan menyerbu ke depan. Di sini anak-anak muridnya juga
bermunculan dan merekapun rata-rata bermandi darah. Ada yang terpincang-pincang dengan kaki putus,
seorang di antaranya bahkan buntung kedua lengannya. Dan ketika mereka itu merintih namun Ju-hujin
berteriak dan berkelebat menuju rumahnya sendiri, gedung di sebelah kiri bangunan yang terbakar maka
tempat inipun roboh tinggal puing-puingnya saja.
Nyonya itu melotot. Hek-yan-pang ternyata porak-poranda dan ratusan anak murid tinggal beberapa
puluh saja, itupun luka-luka dan terseok jatuh. Dan ketika nyonya ini mendelik dan mengepal tinju, Jutaihiap berkelebat dan menyambar lengan isterinya itu maka wanita inipun roboh dan pingsan tak kuat
menahan diri lagi.
"Pangcu, kami... kami diserbu pemilik Hutan Iblis. Kami diserang seorang laki-laki luar biasa dengan
ratusan binatang anak buahnya, srigala-srigala lapar...."
"Benar, dan kami banyak yang tewas, pangcu. Kami... kami tak dapat mempertahankan Kek-yanpang."Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
65 Murid-murid roboh satu per satu. Mereka sama mengeluh dan Ju-taihiap menggigil hebat. Musuh yang
dicari malah datang sendiri, bukan main, betapa beraninya. Namun ketika dia menolong isterinya dan para
murid pucat dan ngeri, mereka terguncang oleh peristiwa semalam maka pendekar itu menyuruh bangun
mereka semua untuk mengurus mayat dan membersihkan tempat itu.
"Mana Bo Lip, mana Kiat Bu. Kenapa mereka tidak nampak."
"Ampun, mereka... mereka tewas terbunuh, pangcu. Semua murid-murid utama binasa!"
"Dan Hwa Eng?"
"Eng-suci juga tewas, pangcu. Tak ada murid-murid utama yang hidup. Kami selamat karena
menceburkan diri dalam telaga, itupun masih dikejar dan disergap binatang-binatang jahanam itu!"
"Benar, kami bertarung mati hidup dengan binatang-binatang ganas itu, pangcu. Di air telagapun
srigala-srigala itu tak kenal takut. Mereka seolah kesetanan!" seorang murid lain berseru.
"Begitukah?" Ju-taihiap mengerotokkan giginya. "Baik, sekarang aku sudah di sini, A-hiong, tak usah
kalian takut dan kumpulkan semua teman-teman yang ada. Hitung berapa sisa mereka!"
Murid itu mundur. Ju-taihiap sudah menyadarkan isterinya dan begitu sadar nyonya inipun menjerit.
Ju-hujin membentak dan memberosot dari lengan suaminya, mengira bertemu musuh. Tapi begitu ditekan
dan disadarkan keadaannya maka nyonya ini tersedu-sedu dan menubruk suaminya itu. Para murid juga ikut
menangis.
"Jahanam... keparat! Kita sia-sia mencari musuh, suamiku. Dia... dia datang dan mengobrak-abrik
tempat kita, menghancurkan tempat kita. Ah, kalau saja aku ada di sini....!"
"Sudahlah," Ju-taihiap menghibur dan berkerut-kerut, wajah gelap dan matapun berapi-api. "Aku juga
tak tahu ini, niocu. Kalau saja aku mengerti tentu kutunggu jahanam itu. Dia berani datang, berarti benarbenar percaya akan kepandaian sendiri. Hm, mari kita tolong para murid karena mereka menunggu kita!"
Hari itu Hek-yan-pang benar-benar berkabung. Duaratus murid binasa sementara tiga ratus lebih
srigala juga terbunuh dan bergelimpangan mayatnya di mana-mana. Telaga dan daratan penuh bangkaibangkai terkapar, keadaan sungguh mengerikan. Tapi ketika Ju-taihiap ikut membersihkan tempat itu dan
seorang murid bercerita panjang lebar maka geraham pendekar ini bergemeretuk karena ketika ia tiba di
Hutan Iblis ternyata majikan hutan itu datang di Hek-yan-pang dan menghancurkan tempat ini.
"Tak kurang dari lima ratus srigala buas menyerbu di sini. Dan laki-laki itu, ah... menyeramkan sekali,
pangcu. Kalau dia menyeringai maka dua taringnya yang kuat seolah srigala sendiri yang siap menggigit dan
menerkam kita. Bahkan Bo Lip suheng dihisap dan disedot darahnya!"
"Benar," murid yang lain berseru, bergidik. "Manusia itu bukan manusia, pangcu. Dia iblis, manusia
srigala!"
Beng Tan terkejut. Ia segera mendengar kisah-kisah menyeramkan dari sepak terjang laki-laki itu.
Tapi karena dia sudah melihat kekejaman atau kebuasan majikan Hutan Iblis ini di tempatnya, ketika
semalam ia di sana maka ia mengepal tinju dengan kemarahan semakin terbakar.
Hari itu mayat-mayat dan puing-puing disingkirkan, yang masih hidup dihitung. Dan ketika anak
murid tinggal enam puluh orang, yang lain tewas atau hilang disantap srigala maka malamnya pendekar ini
duduk di bangunan darurat, murid-murid berkumpul.
"Sekarang kalian tenangkan hati, aku di sini. Kejadian ini tentu dibalas tapi biarlah kutunggu puteraku
Han Han. Kalau aku pergi jangan-jangan musuh datang lagi, kalian nanti repot. Biarlah besok kita bangun
tempat kita lagi dan untuk sementara ini aku tak akan meninggalkan markas."
Para murid mengangguk-angguk. Kalau pangcu mereka ada di situ tentu saja mereka berbesar hati.
Tadi sebagian besar sudah merasa takut kalau-kalau ketua mereka ini pergi lagi. Gara-gara ditinggal itulah
maka mereka diserbu. Dan ketika malam itu pendekar ini berdua dengan isterinya maka Beng TanKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
66 menjelaskan sikapnya agar isteri puas. Tadi isterinya tampak berkerut dan kurang senang dengan
keputusannya.
"Dengarlah, jangan salah paham," pendekar ini menarik napas dalam. "Bukan aku tak mau keluar,
niocu. Melainkan keselamatan para murid harus kita jaga. Siapa yang akan mampu melindungi mereka kalau
bukan kita? Kepergian kita sekejap sudah membuat perobahan besar-besar. Anak-anak murid utama kita
tewas. Aku terpaksa menunggu putera kita Han Han dan biarlah kita atau dia yang nanti menjaga di sini. Kau
tentu tak mau mengorbankan murid-murid, bukan?"
Sang isteri terisak. "Sebenarnya kau atau aku dapat berangkat, Tan-ko, untuk apa menunggu putera
kita Han Han. Kalau terlalu lama kita menunggu bukankah musuh akan mengejek seolah kita takut padanya?
Kenapa tidak kau atau aku saja yang menjaga di sini?"
"Hm, kalau begitu kau menghendaki kita membagi tugas? Kau tak sabar menunggu Han Han?"
"Aku tak sabar menemukan manusia binatang itu, suamiku. Aku terlanjur benci!"
"Tapi orang ini amat lihai, ia juga buas..."
"Aku tak takut!"
"Bukan masalah takut. Yang hendak kutekankan adalah masalah kewaspadaan, niocu, keselamatan
dirimu, keselamatan semua. Korban-korban sudah berjatuhan dan jangan kau menambah lagi. Aku khawatir
kau masih bukan lawan orang kejam ini!"
"Eh, kau merendahkan isterimu? Kau sangsi?"
"Bukan begitu. Kita bicara harus melihat kenyataan, isteriku, jangan main emosi saja. Kalau majikan
Hutan Iblis itu tak yakin akan kepandaiannya tak mungkin ia berani datang!"
"Ia tahu kita tak ada!"
"Hm, belum tentu."
"Ia tahu bahwa putera kita Han Han juga tak ada!"
"Hm, jangan merasa yakin. Kalau ia tahu bahwa kita atau putera kita ada di sini tak mungkn ia
mengerahkan semua bala tentaranya, niocu. Justeru karena ia tak tahu kita tak ada di sini maka semua
srigala-srigala itu dibawanya serta. Ingat bahwa di Hutan Iblis kita tak menemukan apa-apa. Tak seekor pun
srigala ada di sana!"
"Maksudmu?"
"Jelas, laki-laki ini mengira kita ada di markas, niocu, dan untuk itu ia mengerahkan semua
peliharaannya. Kalau ia tahu kita tak ada di sini mungkin seorang diri saja ia cukup membinasakan semua
murid-murid kita. Ki Bi dan lain-lain sudah dibunuh!"
Swi Cu tertegun. Akhirnya ia sadar dan dapat mengerti alasan suaminya itu. Ia menarik napas dan
mengepal tinju. Dan ketika apa boleh buat ia menurut dan tunduk kepada suaminya ini, menunggu putera
mereka Han Han maka sebulan kemudian Hek-yan-pang dibangun lagi namun pemuda itu tak kunjung
datang. Han Han sedang melancong dan pemuda itupun sedang berbulan madu. Setahun ini pemuda itu
menyenangkan isterinya dan pergi ke mana-mana, tentu saja repot. Dan ketika bulan kedua lewat dan
pemuda itu belum juga kembali maka Swi Cu yang berhati keras dan tak sabaran ini pergi! Nyonya itu
meninggalkan sepucuk surat kepada suaminya dan minta maaf pergi diam-diam. Ia menyatakan tak dapat
menunggu lagi dan biarlah suaminya menunggu di situ. Ia sanggup mencari majikan Hutan Iblis. Dan ketika
pagi itu Beng Tan tertegun kehilangan isteri, sungguh tak di sangka kenekatan isterinya itu maka surat di atas
meja itu dibaca menggigil"
Maaf, aku tak sabar menunggu, suamiku. Dua bulan sudah cukup. Aku tak mau kita
disangka takut dan majikan Hutan Iblis itu biar kucari. Kau jagalah baik-baik tempatKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
67 kita dan biar kita sama-sama membagi tugas!
Isterimu,
Swi Cu
Pendekar in pucat. Ia meremas hancur surat itu, terduduk dan mengeluh. Dan ketika ia menutupi muka
dan menahan perasaan yang bergolak maka jago pedang ini menangis meratap gemetar.
"Swi Cu.... Cu-moi, kenapa kau tak mau turut nasihatku? Ah, kau menantang bahaya, Cu-moi, dan kau
membuat aku bingung. Kau sekarang meninggalkan aku sementara aku tak mungkin meninggalkan anakanak murid. Ah, keparat. Kau keras hati dan keras kepala. Kau tak cukup sabar!"
Lalu membuka wajah yang basah air mata pendekar inipun terhuyung keluar, berkelebat dan mencari
isterinya di luar tapi sang isteri sudah pergi jauh. Anak-anak murid terheran tapi segera terkejut diberi tahu
tentang perginya Ju-hujin. Dan ketika mereka ribut dan berlarian mencari, gagal, maka Ju-taihiap menekan
hatinya yang terpukul dan menyuruh murid-muridnya masuk.
"Biarlah, tak usah dicari. Kalau hujin sudah berniat pergi tak mungkin kalian menemukannya. Biar
kalian bekerja seperti biasa dan kalau nanti Han Han datang biar aku yang mencarinya sendiri!"
Anak-anak murid ada yang menyesal dan girang. Mereka yang menyesal adalah murid-murid
bujangan yang belum berkeluarga, sementara mereka yang sudah berkeluarga dan kehilangan anak isteri,
atau suami yang tewas dibantai majikan Hutan Iblis justeru girang bahwa nyonya itu sudah bergerak! Mereka
ini jengkel dan gemas terhadap kelemahan hati pangcu. Siapapun tahu bahwa pendekar itu tak sekeras
isterinya. Ju-taihiap lebih lemah lembut dan biasanya tak mau bersikap sembrono. Kesabarannya dalam
masalah ini adalah bagian dari wataknya, yang dianggap oleh anak murid sebagai terlalu lamban dan lemah
hati. Maka ketika mereka gemas kenapa Ju-taihiap tak mau membalas musuh, bukankah isterinya dapat di
situ dan menjaga mereka maka kepergian Ju-hujin menggembirakan murid-murid ini yang dibakar oleh
dendam.
Ju-taihiap atau Ju-hujin bagi mereka sama saja. Pokoknya satu di antara mereka boleh pergi, yang lain
melindungi mereka sementara yang satu mencari musuh. Menunggu dua bulan sudahlah cukup, nanti musuh
mengira takut. Maka ketika pagi itu Ju-hujin dinyatakan pergi dan Ju-taihiap tertegun pucat, murid yang
gembira ini menjadi senang maka hari-hari berikutnya Ju-taihiap justeru kurus dan pucat.
Pendekar ini tak enak makan tak enak tidur membayangkan isterinya. Perbuatan isterinya itu dinilai
gegabah. Dan ketika dua minggu kemudian Ju-taihiap melewati hari-hari bagai di ujung bara maka
muncullah puteranya Han Han yang disambut jerit dan tangis gembira para murid.
"Ah, kongcu datang... kongcu datang........!"
Han Han, pemuda gagah berwajah lembut ini tertegun. Di sampingnya, seorang wanita cantik berusia
duapuluhan mengernyitkan alis. Dialah Tang Siu murid Kim-sim Tojin, isteri pemuda itu atau menantu Jutaihiap. Dan ketika dua muda-mudi itu berhenti di tepi telaga, perobahan dan wajah kampung tampak
berobah maka murid-murid lelaki dan wanita yang berlutut di depan dua orang muda itu mengguguk.
Peristiwa Hek-yan-pang segera diceritakan!
"Kongcu, kabar buruk. Kami, ah... kami diserbu mahluk jahat. Dua ratus murid tewas dan lain-lain
luka-luka. Enci Ki Bi menjadi korban dan kami semua tinggal enam puluh orang!"
"Benar, dan iblis itu, ah... iblis itu manusia keji, kongcu. Dia penghisap darah dan kepandaiannya amat
tinggi, kau ditunggu-tunggu ayahmu. Ibumu pergi!"
Bukan main kagetnya pasangan muda ini. Namun Han Han, yang berwatak tabah dan amat tenang lalu
memandang isterinya. Tang Siu, wanita itu, pucat dan menggigil. Kabar di tepi telaga ini mengejutkan. TapiKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
68 ketika wanita itu mengangguk dan Han Han menyentak lengannya tiba-tiba pemuda itu sudah berkelebat dan
membawa isterinya menyeberangi telaga, tidak dengan perahu melainkan dengan kedua kakinya bergerakgerak cepat seperti terbang. Han Han mempergunakan ilmunya Hui-thian-sin-tiauw (Rajawali Sakti Terbang
Ke Langit), satu ilmu meringankan tubuh yang membuat telapak kaki pemuda ini menyentuh ringan di atas
permukaan telaga, seperti kapas tertiup!
"Kongcu...!"
Namun pemuda itu telah tiba di seberang dan berjungkir balik mendarat di pulau. Han Han
mempergunakan ilmunya yang luar biasa hingga isterinya terangkat dan terbawa terbang seperti iblis
menyeberangi telaga. Siapapun bakal kagum dan mendecak melihat ilmu meringankan tubuh itu. Putera Jutaihiap ini memang hebat! Dan ketika ia tiba di seberang dan meletakkan kaki di sana, teriakan atau seruan
para murid rupanya terdengar di dalam maka Ju-taihiap berkelebat dan.... sang ayah itupun sudah berdiri di
depan puteranya. Wajahnya kurus dan pucat, sayu.
"Ayah...!"
"Han Han!"
Han Han menubruk dan memeluk ayahnya ini. Perobahan tidak biasa yang terjadi di pulau
menggetarkan pemuda ini. Bangunan yang kini kecil-kecil dan mirip barak-barak sederhana sudah
menggantikan bangunan megah dari markas Hek-yan-pang. Ketua Hek-yan-pang sendiri tampak acuh dan
tak memperhatikan. Semuanya begitu sederhana. Namun ketika ayah dan anak mampu memulihkan perasaan
mereka, masing-masing sama mampu mengendalikan diri maka Han Han bertanya apa yang terjadi, ayahnya
berkejap-kejap dan menahan sejuta perasaan mencekam.
"Kita... kita dirundung malapetaka. Ibumu pergi. Ah, ke mana saja kau selama ini, Han Han. Kenapa
lama amat dan tidak cepat pulang. Kita disatroni iblis!"
"Ibu... ibu pergi? Ke mana?"
"Aku tak tahu, Han Han, tapi yang jelas mencari musuh, majikan Hutan Iblis. Mari kita bicara di
dalam dan selanjutnya aku akan mencari ibumu!"
Pemuda itu bergetar dan menahan gelombang serangan batin. Tak biasanya ayah dan ibunya berpisah.
Dan ayahnya, ah... tampak begitu pucat dan kurus! Dan ketika ia menggigil sementara isterinya sudah
menangis dan memeluk dirinya maka si jago pedang menarik mantunya agar masuk ke dalam.
"Marilah, kita masuk. Di dalam lebih enak!"
Tang Siu meledak dan tersedu melihat perobahan wajah tempat tinggal ini. Barak yang dipakai Jutaihiap lebih mirip barak tentara perang daripada tempat tinggal sebuah merkas perkumpulan, apalagi ketua
seperti pendekar ini, jago pedang pilih tanding. Namun Han Han membawanya masuk dan para anak murid
mundur, kegembiraan dan kelegaan terpampang di wajah semua orang maka sambil duduk di kursi reyot
pendekar ini bercerita. Dan Han Han terutama Tang Siu tak dapat menahan tangisnya lagi.
"Bibi Ki Bi.... bibi Ki Bi tewas, ayah? Dan Bo Lip serta Kiat Bu juga binasa? Ah, hebat sekali. Siapa
majikan Hutan Iblis itu!"
"Aku juga tak tahu, karena waktu itu aku ke sarangnya tapi manusia itu justeru ke mari. Ia
menghancurbinasakan perkumpulan kita dan ibumu pergi tak sabar menunggumu. Dua bulan kau ditunggu!"
"Maaf, ayah, kami ke utara. Kami... kami mencari Giam Liong dan berkunjung ke Lembah Iblis..."
Han Han tampak menyesal dan penuh keprihatinan. Ia tak menyangka sama sekali perobahan besarbesaran ini. Ia pergi ke utara dan tak tahu adanya siluman jahat itu. Tapi ketika ayahnya selesai bercerita dan
ia mengepal tinju, diam-diam khawatir juga akan keselamatan ibunya maka sang ayah menutup.
"Kau sekarang sudah datang, aku yang akan pergi. Kau jaga baik-baik tempat ini, Han Han. Biar akuKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
69 mencari ibumu dan ini tugasku."
"Ah, ayah mau pergi? Sekarang juga?"
"Jangan!" Tang Siu berseru. "Besok atau dua tiga hari lagi. Gak-hu (ayah mertua). Kami masih
kangen kepadamu. Han-ko sebenarnya sudah ingin pulang sebulan yang lalu tapi aku yang mencegahnya.
Aku terlalu lama membawanya. Aku menyesal...!" wanita ini tersedu dan memegangi kaki mertuanya.
Sekarang Tang Siupun menyesal karena ingin menyenangkan hatinyalah Han Han sampai terlalu lama
meninggalkan ayah ibunya. Tapi ketika pendekar itu tersenyum dan mengangkatnya bangun Ju-taihiap
berkata,
"Tang Siu, kau dan Han Han tidak bersalah. Kalian pasangan orang-orang muda yang tentu saja ingin
menikmati bulan madu dengan sepuasnya. Siapa sangka bahwa di tempat ini ada malapetaka? Kau dan Han
Han tentu tak menyangka bahwa aku dan ibumu bisa meninggalkan markas. Dan karena selama ini Hek-yanpang tak pernah diganggu orang jahat maka tentu lebih tak disangka lagi bahwa di saat aku berdua pergi
datanglah manusia iblis itu. Sudahlah, hentikan tangismu. Aku tak berangkat sekarang melainkan besok. Aku
juga ingin bercakap-cakap dengan puteraku."
"Gak-hu... gak-hu mau mengampuni aku?"
"Ah, kau tak bersalah, Tang Siu. Semua ini sudah takdir. Bangkitlah dan siapkan minuman untuk
kami."
Tang Siu terisak. Mertuanya menepuk-nepuk pundaknya dan iapun diangkat bangun. Selama ini
mereka juga ke Kun-lun, mengunjungi guru mereka Kim-sim Tojin hingga itulah yang membuat lama. Di


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sana mereka hampir tinggal dua minggu, lalu perjalanan-perjalanan lain yang semuanya menghabiskan
waktu. Maka lega sang gak-hu benar-benar tak menyalahkannya, ia ringan hati maka Tang Siu menyiapkan
minuman dan makanan kecil untuk suami dan ayah mertunya ini. Dapur tampak kosong dan ia terharu,
semuanya tampak kurang terawat. Tapi ketika ia bergerak dan membenahi semua itu, ayah dan anak
bercakap-cakap di ruang tengah maka malam itu Ju-taihiap menghabiskan waktunya untuk berpesan dan
memberi nasihat kepada puteranya. Dia harus pergi dan Han Han menjaga rumah. Kini giliran anak yang di
situ dan ayah yang berangkat. Han Han terharu sekali. Tapi ketika keesokan paginya si jago pedang hendak
berangkat tiba-tiba terjadi kegegeran besar dengan masuknya Ju-hujin yang bersimbah darah, terhuyung dan
roboh di pintu depan.
"Gak-bo (ibu mertua)....!" Tang Siu menjerit dan melihat lebih dulu. Pagi itu Tang Siu hendak
menyiapkan arak hangat untuk ayah mertuanya, juga sudah membuntal pakaian bekal untuk perjalanan ayah
mertuanya. Maka ketika tiba-tiba di pintu depan roboh seorang wanita, Tang Siu tertegun dan terbelalak
maka wanita itu menjerit mengenal siapa yang roboh ini. Ju-hujin!
Teriakan dan jerit Tang siu membuat dua bayangan menyambar dari kiri kanan rumah. Han Han dan
ayahnya tahu-tahu muncul, Tang Siu mengguguk dan menubruk ibu mertuanya itu, yang roboh dan pingsan
dengan tubuh bermandi darah. Dan ketika ia melengking namun Han Han dan ayahnya menyambar tubuh
itu, mendorong Tang Siu maka pendekar ini pucat melihat keadaan isterinya.
"Niocu...!"
"Ibu!"
Hek-yan-pang menjadi gempar. Hari masih terlalu pagi untuk melihat datangnya Ju-hujin itu. Entah
bagaimana wanita itu tahu-tahu sudah di depan pintu, roboh dan pingsan di situ. Tapi ketika Ju-taihiap
menolong isterinya dan luka seperti cakaran atau gigitan merobek-robek tubuh Ju-hujin, hampir sekujur
tubuh maka pendekar itu menotok dan merobek baju sendiri untuk membersihkan darah. Dan wajah isterinya
tampak begitu pucat, kehilangan banyak darah.
"Han Han, ambilkan obat di kamarku. Rebus akar penawar racun dan pembersih luka!"
Han Han bergerak dan berkelebat ke belakang. Ia khawatir melihat keadaan ibunya Tang Siu
mengguguk membantu ayah mertuanya. Ju-taihiap tampak menggigil sementara anak-anak murid berkumpulKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
70 di luar. Matahari masih belum terbit dan rata-rata mata semua orang masih belum melek benar. Tapi begitu
guncangan itu datang dan Ju-hujin dikabarkan luka parah, semua ingin menolong maka di ruang depan Jutaihiap bekerja keras menyelamatkan isterinya, paling tidak menyadarkan dan membersihkan luka-luka. Dan
nyonya itupun akhirnya sadar, mengeluh, rintihannya menyayat.
"Keparat, binatang keparat! Kubunuh kau, Mata Iblis.... kubunuh kau....!"
Ju-taihiap menepuk dan mengguncang tubuh isterinya. Isterinya masih teringat pertempuran itu dan
cepat ia mengerahkan sinkang, menyalurkan hawa sakti dan isteripun sadar bahwa di situ ada suaminya. Dan
ketika wanita ini tertegun dan terbelalak, terisak tiba-tiba Ju-hujin menangis dan memegang tangan suaminya
itu. "Suamiku, maafkan aku.... aku... aku tak turut kata-katamu.... aku... aku bertemu lawan kita itu. Ia.... ia
benar-benar hebat...!"
"Sudahlah," Ju-taihiap tak sanggup menahan runtuhnya air mata, "luka-lukamu berat, niocu, jangan
banyak bicara. Tak perlu menyesal lagi. Putera kita Han Han telah pulang!"
"Han Han? Telah pulang? Ah, mana dia....?"
"Aku di sini, ibu. Maaf bahwa terlalu lama aku pergi!" Han Han muncul dan tahu-tahu sudah di
samping ayahnya. Pemuda ini membawa rebusan obat dan ibunya tiba-tiba tersedak, menangis dan Han Han
menunduk mencium ibunya. Lalu ketika ibunya tersedu dan memeluk erat-erat leher pemuda itu, seakan tak
mau dilepas tiba-tiba dia teringat menantunya dan bertanya di mana Tang Siu.
"Aku di sini, aku yang menemukanmu lebih dulu, gak-bo. Maafkan aku!"
"Oohh..!" sang nyonya menyambar dan memeluk mantunya pula. "Kau selalu mendampingi suamimu,
Tang Siu? Kau telah menikmati bulan madumu?"
"Maafkan aku," Tang siu mengguguk. "Gara-gara aku maka Han-ko tak segera pulang, gak-bo. Aku
menyesal!"
"Dan kau, ah...!" sang nyonya menggeliat. "Wajahmu bercahaya, Tang Siu. Kau rupanya hamil.... kau
sudah berbadan dua!"
Ju-taihiap terkejut. Ia tak memperhatikan hal-hal begitu namun isterinya yang sama-sama wanita tentu
saja lebih awas dan tajam pandangan. Ia terbelalak memandang menantunya lalu puteranya sendiri. Han Han
dan Tang Siu tampak sama-sama merah namun Han Han mengangguk perlahan padanya. Bukan main
girangnya hati pendekar itu. Dan ketika Tang Siu sendiri dipeluk dan diciumi gak-bonya, semua
mencucurkan air mata maka kedukaan sejenak yang mengganggu ini terganti keharuan dan kebahagiaan.
Namun sang nyonya mendadak menggeliat dan merintih kembali. Swi Cu melepaskan mantunya sementara
Han Han sudah mundur di samping ayahnya lagi. Lalu ketika nyonya itu batuk-batuk dan muntah darah, Han
Han menotok dan menolong ibunya maka kesedihan kembali muncul di sini, sang nyonya mengerang dan
kesakitan.
"Ibu sebaiknya tak usah banyak bicara. Luka-lukamu berat. Biarlah kau mengaso, ibu, dan kami akan
menunggu."
Nyonya itu menangis. Banyak bicara membuat ia megap-megap, tadi memang dipaksakan. Dan ketika
ia mengangguk namun kegembiraan dan kebahagiaannya bertemu kembali dengan anak dan mantunya
membuat luka itu semakin berat, ia terlalu memaksa kerjanya jantung maka Ju-hujin pingsan kembali setelah
menggeliat dan kejang-kejang.
Han Han dan ayahnya harus bekerja keras menyelamatkan wanita ini. Sayang, karena terlalu banyak
darah hilang maka tubuh nyonya itu lemas. Segala macam obat sudah diberikan dan celakanya setiap sadar
sang nyonya justeru hendak bicara banyak. Dua malam ia ditunggui dan malam ketiga ia bercerita bahwa
ketemu dengan sucinya Wi Hong, hal yang membuat sang suami dan anak tergetar. Maklum, itu tanda tak
baik! Dan ketika Ju-taihiap memejamkan mata sementara Han Han menggigit bibirnya, sang ibu meremasKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
71 tangannya maka wanita itu terbatuk bicara tersendat-sendat.
"Han Han, aku... aku bertemu dengan bibimu Wi Hong. Di sana ia mengajak aku pulang. Apakah
semalam aku tak di rumah ini? Aneh, Golok Maut Sin Hauw juga kulihat di sana. Ia menggapai...!"
"Ibu tak usah banyak bicara." Han Han nyaris tak kuasa menahan cucuran air matanya. "Sudah
kubilang berkali-kali agar kau diam dan mengaso, ibu, kenapa bicara juga dan memeras tenagamu. Kau
lemah, kau tak mau makan atau minum!"
"Ah, kau memarahi ibumu, Han Han? Aku salah? Aku.... aku tak boleh bicara dengan suami dan
anakku sendiri?"
"Bukan begitu," Han Han akhirnya memeluk dan meruntuhkan air mata di wajah ibunya ini. "Kau
dilarang karena demi kesehatanmu sendiri, ibu. Kami ayah dan anak ingin kau sembuh!"
"Tapi... tapi aku tak kuat. Ibu ingin melepas rindu, nak... ibu ingin bicara banyak sebelum mati. Ibu
sudah diajak bibimu Wi Hong dan suaminya Si Golok Maut!"
"Ibu...!"
"Eh, kenapa? Kau kenapa? Kau tahu ibu tak mungkin hidup lagi, Han Han. Kau dan ayahmu tahu ini.
Luka-lukaku parah, sebelum ajal aku ingin bicara banyak!"
Han Han mengguguk dan tak dapat menahan sedu-sedannya lagi. Semakin dilarang ibunya ini
semakin gila. Setiap sadar selalu menghabiskan tenaga dengan banyak bicara, hal yang dikhawatirkan tak
dapat dilakukannya lagi bila maut datang menjemput. Dan karena Han Han maupun ayahnya sama-sama
tahu bahwa ibunya ini tak mungkin tertolong, hanya berkat kepandaian mereka maka wanita itu masih hidup
untuk tiga hari ini maka Han Han menangis di wajah ibunya dan memeluk serta menciumi ibunya itu. Jutaihiap mencucurkan air mata melihat adegan ini.
"Niocu, sudahlah. Kenapa bicara tentang mati? Kau membuat kami ayah dan anak diremas-remas.
Kasihanilah Han Han!
"Kau, ah... kau juga menangis, suamiku? Kau tak rela aku pergi? Ini kesalahanku. Aku melanggar
nasihatmu. Biarlah aku pergi karena ini hukuman untukku!" dan ketika sang suami memeluk dan mencium
pipi isterinya itu maka Swi Cu tersendat-sendat bicara, napasnya mulai terengah-engah.
"Suamiku.... kau mau membalaskan sakit hatiku ini, bukan? Kalian berdua mau membunuh manusia
iblis itu? Dia.... dia mengerikan. Kalian berhati-hatilah karena benar-benar ia amat lihai...!"
"Sudahlah, jangan bicara, niocu. Lihat napasmu megap-megap!"
"Aku ingin menumpahkan rindu kepada kalian. Ah, kalau dua minggu aku bersabar lagi tentu tak akan
begini jadinya, Tan-ko. Anak kita Han Han sudah datang. Aih, aku memang keras kepala dan keras
kemauan.... aku... aku tak menuruti omongan suamiku sendiri!"
Han Han dan ayahnya menangisi wanita ini. Tang Siu mengguguk dan nyonya muda yang sejak tadi
tak turut bicara itu memijit-mijit kaki mertuanya. Tapi ketika Ju-hujin sadar dan memanggil menantunya itu,
gemetar menggapai maka Tang Siu maju dan dipeluk wanita ini, tangan Ju-hujin sudah dingin.
"Tang Siu, kau mau dengar kata-kataku?"
"Gak-bo hendak bicara apa?"
"Baik-baik dan tunduklah kepada kata-kata suamimu, anak baik. Jangan seperti aku yang selalu
menentang dan ingin membuat susah. Kau mencintai Han Han, bukan? Kau tak akan meninggalkannya,
bukan?"
"Aku mencintainya sepenuh hati, gak-bo. Dan Han-ko adalah segala-galanya bagiku!"Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
72 "Bagus, dan anakmu itu.... ah, bakal cucuku itu.... aduh, sayang aku tak dapat melihat wajahnya, Tang
Siu. Aku tak mungkin lama lagi karena maut datang menjemput....!?
"Ibu!"
"Hush! Ini malam hari atau siang, Tang Siu? Kenapa pandang mataku gelap? Aku merasa berkunangkunang.... ooh, beri dulu air minum...!"
Siapapun akan terobek-robek. Nyonya itu tampak mengejap-ngejap mata sementara Tang Siu tersedu
memberikan air minum. Ibu mertuanya ini benar-benar dalam keadaan gawat. Tapi ketika seteguk air dingin
dinikmati wanita itu tiba-tiba Swi Cu merasa tenang.
"Ah, belum malam rupanya. Aku sekarang dapat melihat wajah kalian bertiga lagi! Tang Siu, bantu
aku duduk...!"
Han Han mendahului. Pemuda ini menangis tanpa suara sementara isterinya tersedu-sedan, sang ayah
diam mematung dan memandang wajah isterinya itu. Aneh, Swi Cu tersenyum, menggapainya. Lalu ketika
dia mendekat dan isterinya itu setengah duduk di pembaringan maka wanita ini mencium tangan suaminya
itu. "Tan-ko, kau tak akan marah kepadaku bukan?"
"Kenapa marah? Aku tak pernah marah, Cu-moi, apalagi kepadamu."
"Tapi kadang-kadang aku membuatmu marah, seperti dulu ketika kita di Hutan Iblis!"
"Sudahlah, kenapa banyak bicara juga? Kau memang kadang-kadang bandel, niocu. Tapi betapapun
aku sayang padamu, kau isteriku. Kau hendak berpesan apa dan apa yang ingin kau katakan."
"Aku ingin mendapat hadiah cium, dari kau dan anak serta mantuku...."
Ju-taihiap tersedak. Betapapun gagah dan kuatnya dia namun menghadapi isteri yang di ambang maut
begini tetap juga dia bobol. Isak tertahan mencekik tenggorokannya. Tapi ketika tanpa banyak suara ia
mencium dan meremas jari isterinya itu maka Swi Cu tertawa dan minta Han Han maju memberikannya
pula. Han Han mencucurkan air mata dan mencium ibunya ini. Lalu ketika Tang Siu mengguguk dan
mencium ibu-mertuanya pula maka Ju-hujin tiba-tiba terkulai dan tertawa aneh.
"Aku puas.... aku puas.... selamat tinggal....! dan begitu wanita ini terguling di pembaringan spontan
anak dan mantunya menjerit. Tang Siu histeris.
"Ibu...!"
Namun wanita itu telah melayang jiwanya. Wajah yang tersenyum dan bibir yang terkembang itu
menunjukkan detik-detik terakhir perasaan wanita itu. Ju-hujin tampak bahagia. Dan ketika Tang Sui roboh
pingsan sementara Han Han dan ayahnya terhuyung memeluk mayat ini, sebagai orang-orang gagah mereka
harus dapat menerima kenyataan maka Beng Tan menyuruh puteranya menolong Tang Siu sementara dia
sendiri merawat dan membawa mayat isterinya ke ruang depan. Hek-yan-pang kini berkabung bukan oleh
kematian anak murid biasa melainkan justeru seorang tokohnya. Sebelum Beng Tan menjadi ketua maka juhujin itulah yang memimpin Hek-yan-pang. Perkumpulan ini benar-benar kehilangan oleh tewasnya Juhujin. Dan ketika mereka yang dulu girang melihat kepergian Ju-hujin tapi kini melihat wanita ini tewas
membela mereka, menyesal dan memukuli diri sendiri kenapa terlalu mementingkan ego sendiri akhirnya
menangis dan mengguguk di depan peti jenasah.
Ju-taihiap semakin pucat dan kurus oleh kematian isterinya ini. Setengah bulan tidak bertemu tahutahu sang isteri sudah menjadi mayat. Siapa tidak sedih! Tapi ketika masa perkabungan dilewatkan dan
pendekar ini telah berketetapan untuk mencari majikan Hutan Iblis itu, perjalanannya terhenti ketika dulu
isterinya datang bersimbah darah ternyata Han han menghadap dan berkata biarlah dia yang pergi, sang ayah
tinggal di situ.
"Aku tak menghendaki ayah pergi. Ayah sudah tua dan seharusnya beristirahat. Biarkan aku yangKolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
73 mencari dan membunuh manusia ini, ayah, bukan semata oleh sakit hati kita melainkan sekedar berdarma
bakti menumpas kejahatan membela kebenaran. Aku sudah bicara dengan sui-moi dan ia akan menemani
ayah di sini."
Sang pendekar tertegun, wajahnya tiba-tiba kelihatan menua. "Kau.... kau mau pergi, Han Han? Kau
mau menggantikan aku?"
"Benar, ayah, dan aku sudah bicara dengan Tang Sui. Aku pergi sendiri dan kutitipkan dia di sini.
Tang Sui hamil, tak enak harus bepergian. Kematian ibu telah kita hadapi dengan tabah dan aku yang akan
menggantikan ayah!"
Ju-taihiap terharu dan tiba-tiba memeluk puteranya ini. "Baiklah," katanya bergetar, "kau boleh pergi,
Han Han. Bagiku sama saja kau ataukah aku. Kau benar, jangan balas sakit hati ini semata karena dendam
atas kematian ibumu, melainkan mencari orang itu berdasar kebenaran menegakkan keadilan. Berangkatlah,
aku merestuimu, puteraku, dan kalau isterimu hendak kau titipkan di sini biarlah aku menjaganya."
Han Han terharu dan memeluk ayahnya itu pula. Tang Sui tiba-tiba muncul dan wanita ini terisak
berlutut di depan mertuanya, sedih melepas suami namun semalam mereka sama-sama memutuskan bahwa
dirinya harus di situ. Ia hamil, tak boleh bepergian jauh lagi. Dan ketika hari itu Han Han berangkat dan
buntalannya telah disiapkan sang isteri maka Ju-taihiap melepas puteranya dengan mata berkaca-kaca.
"Han Han, hati-hatilah. Ayah dan isterimu menanti di sini. Kalau bisa jangan lama, puteraku, ingat
bahwa sebentar lagi kau berputera!"
Han Han mengangguk dengan wajah sedikit merah. Ia memegang lengan ayahnya lalu ganti sang
isteri, memeluk dan mencium pipi isterinya itu sambil membisikkan sedikit kata-kata, berpesan agar Tang
Siu tak ke mana-mana dan menjaga diri baik-baik di situ. Lalu begitu dia berkelebat dan membalikkan tubuh
maka pemuda inipun meninggalkan Hek-yan-pang dan telah menyeberangi telaga. Sama sekali tak
menyangka bahwa musuh yang dicari justeru datang lagi ke tempat itu pada malam harinya!
* * * Malam itu langit tak berbintang. Hek-yan-pang sudah melewatkan masa perkabungan tapi seluruh
anak-anak murid dan Ju-taihiap sendiri masih tak dapat melupakan peristiwa itu. Kematian Ju-hujin benarbenar memukul. Dan ketika malam itu Ju-taihiap bercakap-cakap dengan mantunya, mereka membicarakan
Han Han yang baru saja pergi maka kentongan mulai dipukul sebelas kali dan malam menjelang larut.
"Tidurlah," Ju-taihiap akhirnya menyelesaikan percakapan. "Beristirahatlah, Tang Siu memang mulai
mengantuk dan angin malam tiba-tiba bertiup dingin. Ia menguap dan terkejut sendiri kenapa begitu saja
membuka mulut di depan gak-hunya. Ju-taihiap tampak tertegun juga. Tapi karena menganggap anak
mantunya terlalu lelah dan nyonya muda itu semburat meminta maaf, ia tersipu malu maka pendekar itu
mengulapkan lengannya tersenyum kasihan.
"Sudahlah, tak apa. Kau rupanya lelah, Tang Siu, tak sadar menguap lagi. Beristirahatlah, tidurlah."
Wanita itu mundur. Tang Siu masih semburat karena sungguh ia malu sekali. Betapa gegabahnya
menguap di depan mertua, seakan tak tahu sopan! Maka menunduk dan buru-buru menyingkir nyonya muda
inipun pergi ke kamarnya sambil mengutuk sendiri. Dan Ju-taihiap juga tiba-tiba bangkit berdiri, menuju ke
kamarnya. Namun ketika terdengar semacam suara menguik di sana, di seberang telaga mendadak pendekar
ini terkejut. Suara itu sudah berhenti lagi!
"Hm, apa itu. Apakah telingaku salah dengar!"
Jago pedang ini mengernyitkan kening dan curiga. Kewaspadaannya bangkit dan iapun menajamkan
pendengaran, tak mendengar apa-apa lagi dan tiba-tiba ia menguap. Sama seperti mantunya tadi mendadak ia
tak dapat menahan mulutnya, membuka dan berhembus begitu saja seolah tak disadari. Dan ketika ia
tertegun karena hawa udara bertiup semakin dingin, riak telaga terasa begitu sunyi maka pendekar ini tiba-Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
74 tiba mengantuk berat dan menuju ke kamarnya lagi. Kecurigaan tadi lenyap karena ia ingin segera tidur.
Tapi suara menguik itu terdengar lagi. Pendekar ini tersentak dan seakan tergugah. Sesuatu yang tidak
wajar sekonyong-konyong memberitahunya. Dan ketika ia terkejut karena ilmu sirep menyelubungi
perkampungan itu, angin yang berhembus dingin tiba-tiba juga membawa pengaruh memabokkan, ia sadar
dan menggedruk kakinya mendadak pendekar ini berkelebat dan menuju ke kamar menantunya itu. Wajah
berubah.
"Tang Siu, bangun. Ada sesuatu mengganggu kita!"
Namun anak mantu di dalam itu tak menjawab. Tiga kali pendekar ini mengetuk pintu kamar namun
nyonya muda itu seakan tak mendengar. Dan ketika Ju-taihiap terpaksa mendorong pintu kamar dan terkejut
karena pintu tak dikunci, anak mantunya itu tampak tidur mendengkur maka pendekar ini kaget sekali karena
aji sirep yang kuat telah melumpuhkan seisi telaga, termasuk anak mantunya itu yang baru saja bercakapcakap dengannya, baru beberapa detik saja!
"Tang Siu, bangun. Awas orang jahat mengganggu kita!" jago pedang ini menepuk dan mengguncang
mantunya tiga kali. Tepukan bukan sembarang tepukan karena pendekar itu juga mengerahkan kekuatan
batinnya untuk membuyarkan aji sirep. Mantunya itu tampak begitu pulas! Tapi begitu wanita muda itu
terkejut dan sadar, membuka mata dan kaget melihat ayah mertuanya di situ maka Tang Siu hampir menjerit
namun pendekar ini memberikan telunjuk di depan mulut.
"Sst, ada sesuatu yang tidak wajar. Ada pengaruh sirep!"
"Apa.... apa? Sir.... sirep?"
"Benar, kau buka seluruh kesadaranmu, Tang Siu. Ingat bahwa tadi kau menguap begitu saja di
depanku. Kau terpengaruh sirep, perkampungan Hek-yan-pang mencurigakan. Mari kita periksa dan cabut
pedangmu!" pendekar ini menepuk ubun-ubun mantunya agar lebih sadar lagi. Nyonya muda ini baru saja
tergeragap dan ia tampak bingung. Namun ketika ubun-ubunnya ditepuk iapun sadar sepenuhnya, berkelebat
menyambar pedang dan keluar bersama ayah mertuanya yang sudah berkelebat lebih dulu.
Dan wanita ini tertegun. Di luar, di tepi telaga tampak anak-anak murid yang berjaga mendengkur.
Mereka itu tidur seenaknya saja dan malang-melintang bersama temannya. Ada yang bahkan menindih
kepala temannya namun tak terasa! Dan ketika di mana-mana anak murid yang lain juga tertidur di baraknya,
Tang Siu terbelalak dan kaget sendiri maka telaga tiba-tiba beriak dan dari permukaannya muncul kepala
ratusan anjing berenang!
"Gak-hu!"
Ju-taihiap juga melihat itu. Di bawah bayangan malam gelap tampak air berkecipak sementara
moncong-moncong buas menyeringai dengan gigi-gigi yang tajam. Dua ratus anjing liar mendatangi Hekyan-pang. Srigala! Dan ketika pendekar itu sadar dan secepat kilat membentak mengguntur, tangan


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkelebat dan tahu-tahu sinar hitam kecil menyambar dari tangannya maka tiga belas srigala di depan
menguik dan roboh dengan kepala pecah!
"Bangun!"
Bentakan atau seruan pendekar itu dahsyat sekali. Aji sirep yang menyerang sekonyong-konyong
diterpa, terdorong dan anak-anak murid yang malang-melintang tidur berserakan terkejut. Mereka membuka
mata dan berlompatan bangun. Dan ketika mereka terbelalak karena ketua membunuh tiga belas srigala,
yang lain melihat moncong-moncong yang menyelam tenggelam maka serentak anak-anak murid berteriak
dan Hek-yan-pang gempar, tahu dan maklum apa yang terjadi.
"Majikan Hutan Iblis datang! Awas, manusia srigala itu muncul lagi...!"
Teriakan dan jerit kaget para murid ini disusul oleh pekik dan ketakutan para wanita dan anak-anak
yang terbangun dengan wajah pucat. Mereka itu adalah keluarga anak murid yang menikah, sisa dari enam
puluh orang yang masih hidup. Tapi ketika mereka berserabutan dan Ju-taihiap membentak agar tenang,Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
75 ketua ada di situ maka terdengar lolong aneh dan dari seberang telaga muncul sosok hitam yang berlari
seperti anjing dan menyalaknyalah, berenang atau mungkin merangkak seperti terbang mirip anjing siluman.
"Itu dia...! Itu manusia iblis itu!"
Ju-taihiap memandang dan terkejut. Dia melihat seseorang meluncur di permukaan telaga dengan cara
aneh, merangkak lalu berlari cepat seperti anjing, jalannya benar-benar seperti anjing. Namun ketika dia
lengah dan ratusan srigala liar muncul dan naik lagi kepermukaan maka anjing-anjing itu melompat dan
dengan gonggongan riuh mereka menyerbu dan menyerang anak-anak murid Hek-yan-pang.
"A-siu, awas....!"
"A-him, belakangmu!"
Ju-taihiap terkejut. Ia melihat seratus lebih srigala menyalak dan menyerbu anak muridnya. Mereka
tak takut meskipun tiga belas di antaranya sudah dibunuh. Dan ketika anak murid menyambut dan pedang
membacok atau menusuk srigala-srigala itu maka lolong dan menguiknya anjing yang roboh disusul oleh
jerit atau pekik kesakitan anak murid sendiri yang tergigit atau diterkam.
"Tang Siu, bantu mereka. Aku menghadapi majikan Hutan Iblis itu!"
Jago pedang ini bergerak dan kembali menyambitkan batu-batu hitam ke anjing-anjing liar itu. Sebelas
kembali roboh namun ada yang tak apa-apa, yakni seekor srigala putih berpunggung hitam. Dan ketika ia
terbelalak karena srigala itu hanya terbanting, bangkit dan berdiri lagi maka binatang itu menyerang
pendekar ini dan dengan amat berani menubruk dan mengangkat kedua kaki depannya tinggi-tinggi sambil
memperlihatkan taring-taring yang tajam berkilat.
"Keparat!" pendekar itu mengibas dan marah. Ia menambah tenaganya dan hewan itu melolong,
berdebuk dan menyerang lagi namun si jago pedang menyambarkan dua kerikil tajam ke matanya. Tepat
sekali mata itu pecah! Dan ketika binatang itu bergulingan dan meraung-raung, keadaan menjadi hingarbingar oleh jerit dan bentakan maka sosok yang meluncur di permukaan telaga seperti anjing berlari itu telah
mendarat, melompat dan menerkam pendekar ini dengan cara seperti anjing gila.
"Heh-heh, selamat bertemu, Ju-taihiap. Sudah lama kucari dirimu dan kita sekarang dapat
berhadapan.... plak!" sang pendekar mengelak dan terkejut. Ia membalik dan melihat sepuluh jari tangan
menubruk dengan kuku-kuku runcing. Kuku itu bagaikan cakar baja. Dan ketika ia terhuyung sementara
lawan terpental, menyalak dan menyerang lagi maka Ju-taihiap merasa seram karena ia seakan berhadapan
dengan manusia anjing yang gila namun ganas dan berbahaya sekali. Dua kali ia menangkis dan dua kali
lawan terpental namun dua kali itu pula manusia aneh ini mampu menyerang kembali. Wajah di balik topeng
karet persis seperti yang dikabarkan Pek-lui-kong dulu, sekarang pendekar ini dapat melihat jelas lawan. Dan
ketika ia mengelak dan menangkis sejumlah cakaran lagi, juga tubrukan-tubrukan cepat yang amat lihai dan
berbahaya maka pendekar ini tertegun karena tawa atau suara laki-laki ini mirip perempuan, juga rambutnya
yang diekor kuda itu, rambut pendek yang mengibas-ngibas seperti buntut atau ekor anjing pula!
"Kau siapa!" pendekar ini membentak. "Kau berani mengacau dan membunuh isteriku, manusia iblis.
Kau harus menerima hukuman dan terimalah pukulanku!" Ju-taihiap tak mungkin mengelak terus-terusan,
harus membalas dan keluarlah pukulan-pukulan Pek-lui-ciangnya. Cahaya kilat putih keperakan menyambarnyambar. Namun ketika lawan dapat menangkis dan mereka sama-sama terpental, Ju-taihiap terkejut maka
sadarlah pendekar ini bahwa lawan memiliki sinkang atau tenaga sakti yang tak di bawahnya. Dan dari mulut
orang itu keluar dengus-dengus pendek yang mengeluarkan uap hitam.
"Heh-heh, aku adalah aku, Ju-taihiap. Kau dan isterimu telah merusak tempat tinggalku. Kau akan
kubunuh.... des-plak!" pukulan dan tamparan mereka kembali bertemu, masing-masing sama mengerahkan
tenaga tapi uap hitam yang dihembuskan dari mulut laki-laki itu tak tahan diterima pendekar ini. Bau busuk
itu yang memuakkan, seperti bau mulut pemakan bangkai! Dan ketika Ju-taihiap mundur namun lawan
terkekeh, mengejar dan menubruk serta mencakarnya lagi maka bau ini benar-benar mengganggu dan
akibatnya pendekar itu terdesak. Ju-taihiap berubah!Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
76 "Kau manusia pemakan bangkai. Kau iblis srigala siluman!"
"Heh-heh, boleh kau katakan apa saja. Aku suka daging dan tulang sepertimu ini, Ju-taihiap, seperti
juga aku menikmati cuwilan daging atau darah isterimu, heh-heh...!"
Ju-taihiap marah. Ia membentak dan terpaksa mencabut pedangnya dan lawan yang aneh itu tertawa
bergelak. Tawanya seperti lolong srigala, menyeramkan! Dan ketika Ju-taihiap bergerak dan pedang di
tangan menyambar dan menusuk, lawan menangkis dengan kuku-kuku jarinya maka pedang terpental dan
pendekar ini terkejut karena lawan berani menangkis pedangnya dengan kuku-kuku seperti cakar anjing itu,
sadar bahwa pedang di tangannya bukanlah Pedang Matahari karena pedang yang ampuh itu dibawa
puteranya.
"Ha-ha, mainkan Pek-jit Kiam-sutmu, Ju-taihiap. Biar kulihat dan kurasakan kelihaiannya. Ayo,
ngiiikkkkk...!" lelaki itu menguik dan meringik seperti anjing. Ekor rambutnya mengibas dan sebentar
kemudian ia sudah berkelebatan melayani pedang yang menyambar-nyambar. Ju-taihiap kagum bahwa
lawan memiliki ilmu meringankan tubuh yang luar biasa, mampu menyelinap dan masuk keluar lewat sinar
pedangnya yang bergulung-gulung, dan ketika kekeh dan lolong silih berganti diperdengarkan lawannya itu,
Ju-taihiap merasa seram maka sebuah pukulan tiba-tiba menghantam dadanya dengan telak sekali, keluar
dari gulungan sinar pedangnya yang naik turun menyambar-nyambar.
"Dess...!" Ju-taihiap terjengkang dan merasa sesak napas. Ia melempar tubuh bergulingan untuk
menghindar dari serangan berikut, lawan mengejar dan benar saja tak membiarkan ia melompat bangun. Tapi
karena pedang diputar membacok dan ujung senjata ini mencuat dan menusuk di balik lingkaran pedang
lebar maka Ju-taihiap dapat melompat bangun kembali dan berhadapan lagi dengan lawannya itu.
"Ha-ha, heh-heh.... pedangmu kiranya tak begitu hebat. Apakah ini bukan Pek-jit-kiam (Pedang
Matahari)?"
"Iblis! Pedang Matahariku dibawa puteraku, manusia siluman. Tapi dengan pedang biasa inipun aku
sanggup menghadapimu. Awas.... sing-bret!" Ju-taihiap melakukan serangan balasan, meliuk dan memutar
kaki untuk akhirnya menusuk dengan gerak Bianglala Mencoblos Matahari, tangan kirinya menghantam
dengan pukulan Pek-lui-ciang hingga lawan terkejut dan lengah oleh tusukan pedang di tangan kanan,
bajunya menberebet namun kulit yang tertusuk tak apa-apa. Kebal! Dan ketika pendekar itu terkejut karena
lawan memiliki sinkang dan ilmu hitam luar biasa maka manusia srigala itu mulai melompat-lompat lagi
seperti anjing.
Jilid VI
"HA-HA, heh-heh. Keluarkan semua kepandaianmu, Ju-taihiap. Mainkan Pek-jit Kiam-sutmu dan kita
bertanding sampai kau atau aku mampus!"
Ju-taihiap merasa seram. Ia telah membacok tubuh manusia itu namun pedang di tangannya mental.
Baju laki-laki itu robek namun kulit tubuhnya tak apa-apa. Sinkang laki-laki ini kuat sekali. Dan ketika ia
mengelak dan mundur menjauhi uap busuk, gumpalan uap hitam yang keluar dari mulut laki-laki itu seperti
bau bangkai maka lawan terkekeh-kekeh dan suara tawanya itu membuat Ju-taihiap menutup hidung. Bau itu
semakin busuk dan membuat orang ingin muntah-muntah!
"Hayo, ha-ha..... hayo, Ju-taihiap. Maju dan jangan mundur-mundur. Hayo serang dan pakai
pedangmu untuk membacok lagi!" lawan tertawa dan melakukan serangan-serangan seperti anjing.
Lompatan-lompatan dan cakaran kukunya masih amat berbahaya tapi bukan itu yang membuat Ju-taihiap
mundur-mundur. Ia tak tahan oleh bau mulut lawan yang busuk. Setiap tertawa tentu bau itu menyerang
hebat, menguar dan inilah yang membuat si jago pedang menjauhkan diri. Maka ketika lawan mengejek
sementara anak muridnya mati-matian bertempur di sana, anak mantunya juga menusuk dan membacok
srigala-srigala itu maka ia melindungi diri sambil mundur memutar pedang disangka takut dan terdesak, hal
yanag membuat pendekar ini marah.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
77 "Kau tak usah banyak cakap. Maju dan robohkan aku, manusia iblis. Pedangku akan bicara kalau kau
berani mendekat!"
"Ha-ha, begitukah? Baik, aku maju dan kau jangan mundur!" lelaki itu melompat dan memekik seperti
anjing gila. Kaki dan tangannya sama-sama menekan tanah dan Ju-taihiap mengerutkan kening. Gaya itu
benar-benar seperti gaya lompatan binatang. Dan karena lompatan itu disertai pekik seperti anjing marah,
tahu-tahu meluncur dan menyambar dirinya maka Ju-taihiap menggerakkan pedang dan gemas tak mau
mundur lagi iapun menangkis.
"Trakk!"
Sepuluh kuku jari menyambut pedangnya. Pedang dan kuku sama-sama terpental tapi lawan tiba-tiba
mengeluarkan bentakan panjang. Suara "hahh" yang kuat meluncur bersama uap hitam, uap yang berbau
busuk itu. Dan karena saat itu ia sedang tergetar dan tak mungkin mengelak, uap menyambar mukanya maka
Ju-taihiap batuk-batuk dan pandang mata yang gelap membuat ia tak tahu akan adanya tendangan lutut dari
bawah.
"Ngekk!"
Ju-taihiap terjengkang dan roboh. Ia kaget dan bergulingan dan saat itu lawan tertawa bergelak,
mengejar dan mengeluarkan bentakannya lagi yang berbau busuk itu. Dan karena ia tak mungkin meloncat
bangun karena lawan mencegat dan mengancam dengan kuku-kukunya maka Ju-taihiap menangkis dengan
putaran pedang di mana ia semakin terlempar dan terpental karena mendadak tenaganya terasa berkurang
oleh rasa pening dan batuk-batuk dari uap hitam itu, hal yang membuat sang pendekar terkejut karena sadar
bahwa ia berada dalam bahaya. Uap atau bau busuk dari lawan itu ternyata beracun, gas atau hawa
memuakkan yang membuat kepala dan pandang mata gelap!
"Ha-ha, kau tak dapat melindungi dirimu lagi. Kau akan mampus, Ju-taihiap.... kau akan mampus,
plak-bret!" Ju-taihiap keteter dan kaget menangkis dua serangan lagi. Ia didesak dan terus bergulingan
sementara pedang bergerak kian lemah. Pening dan pandang mata gelap itulah yang mengganggu. Tapi
ketika pendekar ini mengeluh bahwa hawa beracun tersedot olehnya, ia tak diberi kesempatan memperbaiki
posisi maka saat itulah anak mantunya datang dengan seruan kaget. Tang Siu melihat ayah mertuanya yang
bergulingan tak dapat melompat bangun.
"Manusia iblis, kau jahanam terkutuk!"
Laki-laki ini kaget dan membalik. Pedang Tang Siu menyambar dan apa boleh buat dia harus
menangkis, rangsekan kepada Ju-taihiap dihentikan. Dan ketika bunyi berketrik membuat pedang si nyonya
terpental, kuku jari itu kuat melebihi baja maka majikan Hutan Iblis ini menggeram sementara Ju-taihiap
mampu meloncat bangun, mendapat kesempatan.
"Tang Siu, hati-hati dengan bau mulutnya. Lindungi dan tutup hidungmu dengan saputangan!"
Ju-taihiap. Yang sudah merasa dan tahu bahaya uap hitam ini cepat menelan pil penawar sambil
membebat hidungnya dengan saputangan. Ia meloncat bangun dan bersyukur bahwa menantunya datang
menolong, membentak dan ganti menolong mantunya itu karena Tang Siu menjerit diserang kuku jari,
terhuyung dan benar saja mendapat serangan uap hitam ketika lawan terbahak. Uap itu menyembur dan
menyambar muka si nyonya. Tapi ketika Tang Siu jatuh terduduk dan lawan terkekeh, melompat dan hendak
menusukkan kuku jarinya maka pendekar ini berkelebat dan pedang menangkis kuku-kuku hitam itu,
"Cranggg!"
Ju-taihiap sudah pulih tenaganya dan lawan terkejut. Manusia srigala itu terdorong mundur sementara
Tang Siu melompat bangun. Ia diserang bau busuk dan tawa laki-laki itu membuatnya muntah-muntah.
Nyonya ini pucat. Tapi ketika ayah mertuanya sudah menyerang laki-laki itu dan bau busuk ditahan penutup
hidung, Ju-taihiap tak begitu terpengaruh maka Pek-jit Kiam-sut kembali naik turun bergulung-gulung dan
laki-laki bertopeng itu terbelalak melihat uap hitamnya tak mempengaruhi jago pedang itu lagi. Dan Tang
Siu juga melompat dan menerjangnya, marah oleh bau mulut laki-laki ini yang seperti bangkai.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
78 "Gak-hu, iblis ini harus dibunuh. Ia tak boleh diberi ampun!"
"Benar, dan tujukan serangan-seranganmu ke mata atau lubang telinganya, Tang Siu. Ia cukup kebal
kalau diserang tubuhnya!"
Tang Siu sudah melengking dan berkelebatan sambar-menyambar. Ilmunya, Im-hong-sau-hun-kiam
keluar dengan hebat dan membuat lawan memekik. Ilmu ini adalah warisan Kim-sim Tojin dari Kun-lun
yang kalau sudah dimainkan membuat sinar pedang bergulung-gulung bagai topan di tengah lautan,
mengamuk dan membabat dan siapa lengah bakal roboh. Dan karena wanita itu masih dibantu ayah
mertuanya yang mainkan Pek-jit Kiam-sut dengan tak kalah hebat, bahkan lebih matang dan dua tingkat di
atas kepandaian anak mantunya maka laki-laki srigala yang tadinya mendesak dan merangsek Ju-taihiap
sekarang berbalik terangsek dan terdesak. Tang Siu sudah mempergunakan saputangan menutup hidung. Ia
mengikuti petunjuk ayahnya karena empat kali pedangnya terpental membacok tubuh lawan, menyambar,
dan kini menusuk atau menikam mata dan lubang telinga. Ju-taihiap sendiri menujukan seranganserangannya ke hidung atau mulut, sesekali menyambar mata atau lubang telinga kalau pedang di tangan
mantunya terpental, kaget bertemu kuku-kuku jari lawan. Dan karena betapapun juga dua orang ini bukanlah
orang-orang lemah, Ju-taihiap adalah seorang jago pedang sementara mantu perempuannya adalah murid
tokoh Kun-lun yang lihai, permainan pedang mereka tak terpengaruh lagi oleh bau busuk mulut lawan dan
berkali-kali bentakan lawan tak membuat mereka mundur maka ketika pedang bergulung dan naik turun
menyambar tiba-tiba saja alis kiri laki-laki itu terkena pedang di tangan Ju-taihiap.
"Cret!"
Alis ini luka! Laki-laki itu berteriak dan melompat mundur seperti anjing. Ia di kecoh pedang Tang
Siu sementara pedang ayah mertuanya menyambar dan menusuk dari kiri, gerak pedang menggunting yang
membuat manusia srigala itu bingung dan akibatnya menerima luka. Dan ketika ia melompat sementara Jutaihiap membentak dan mengejar lawan, melihat kesempatan ini tak boleh disia-siakan maka lelaki itu marah
dan tepat pedang menyambar Tang Siupun bergerak dari kanan ganti mengisi kesempatan yang diberikan
ayah mertuanya.
"Cret!"
Alis yang kanan luka. Dengan gerak cepat ayah dan menantu susul-menyusul mengirim serangan, Jutaihiap selalu menangkis kalau laki-laki itu mau menyerang anak mantunya. Dan karena hal ini selalu terjadi
berulang-ulang sementara laki-laki itu menjadi marah dan naik pitam, dua alis matanya mengeluarkan darah
maka ia melengking dan rambut ekor kuda dikibaskan ke depan dan pengikat rambutnya yang terbuat dari
gelang besi sekonyong-konyong lepas dan menyambar Tang Siu,
"Awas Tang Siu..!"
Nyonya muda itu terkejut. Sinar hitam menyambar ke arahnya dan ia miringkan kepala, membacok
dengan pedangnya tapi gelang rambut itu rupanya dikerahkan dengan tenaga luar biasa, membuat ia menjerit
karena pedang di tangan tiba-tiba terlepas dan mencelat. Dan ketika ia terpelanting sementara Ju-taihiap
kaget melihat laki-laki itu membalik, tertawa dan menyambar anak mantunya maka dengan buas laki-laki itu
mengangkat kedua tangannya di mana warna hitam gelap memenuhi telapak tangan laki-laki itu seperti asap
tebal yang mengeluarkan ledakan keras.
"Hek-mo-ciang (Tapak Tangan Hantu)!"
Ju-taihiap berteriak dan menimpukkan pedangnya. Dua telapak itu, yang gelap bersinar-sinar
menyambar anak mantunya dengan cepat dan kuat sekali. Tang Siu sedang terpelanting dan tak mungkin
mengelak serangan itu. Kalau nyonya itu bergulingan maka ia tetap dikejar tak ada kesempatan menangkis.
Satu-satunya cara adalah menimpukkan pedang dan pendekar inipun mencelat ke depan menghantam
punggung laki-laki itu. Kalau lawan meneruskan serangannya maka Pek-lui-ciang bakal mengenai dadanya
dan isi dada tentu rontok. Tang Siu akan celaka tapi lawan juga roboh. Maka ketika Ju-taihiap menimpukkan
pedang dan sambaran pedang yang bercuit ini menyambar tengkuk, tepat di bawah pusat kematian di mana
lawan tentu terkejut dan menangkis, berarti menunda serangan membalik ke belakang maka saat itulah jago
pedang ini mencelat ke depan melepas pukulan Petirnya mendorong lawan yang menghantam pedangnya.Kolektor E-Book
TAPAK TANGAN HANTU
BATARA
79 Perhitungan pendekar ini tepat karena ketika laki-laki itu membalik maka pedang ditangkis Hek-mo-ciang,
patah dan terlempar menjadi dua namun saat itu Pek-lui-ciang menyusul. Laki-laki itu terkejut dan dua bola
matanya berputar liar. Namun karena tak ada kesempatan menangkis dan Pek-lui-ciang harus diterima,
pukulan itu mengiringi pedang maka ketika beradu seketika asap hitam membubung dan laki-laki itu
mencelat sementara Ju-taihiap sendiri jatuh terduduk.
"Dess!"
Hebat sekali adu pukulan ini. Ju-taihiap, yang sudah mencuri kesempatan tetap saja tergetar dan jatuh
terdorong. Lawan mencelat tapi anak mantunya selamat. Beradunya pukulan itu amat kuat sehingga udara di
sekitar mereka meledak, pohon terguncang dan anak-anak murid atau para srigala terlempar. Mereka banyak
yang jatuh ke telaga. Dan ketika Ju-taihiap terbelalak dan roboh terduduk, terbelalak memandang lawan yang
mengeluh di sana maka laki-laki itu terbanting di atas sekawanan srigala dan terlempar ke telaga.
"Byurr!"
Asap gelap menghalangi pandangan sejenak. Sekumpulan srigala menguik seakan ikut merasakan
kesakitan, lari dan berenang ke telaga sementara laki-laki itu tak tampak tubuhnya. Ia tenggelam namun tibatiba muncul kembali, bukan di tempat semula melainkan sepuluh tombak di sebelah kanan. Lalu ketika ia
melolong dan lolongan ini diikuti lolongan anak buahnya, Ju-taihiap masih jatuh terduduk maka mendadak
laki-laki itu menyemburkan jarum beracun lewat mulutnya, ke arah Ju-taihiap dan Tang Siu.
"Awas...!"
Ju-taihiap mengebut dan menggerakkan tangan kirinya. Ia meruntuhkan semua jarum-jarum itu di
mana sebagian menyambar kembali ke telaga, mengenai laki-laki yang membuat manusia srigala ini
meraung dan menyelam, lenyap dan tiba-tiba muncul di tengah sana untuk kemudian berenang seperti cara
anjing berlari, cepat dan akhirnya meloncat ke darat untuk kemudian terbang meninggalkan pulau. Dan
ketika lolong kecewanya serasa mencabik-cabik malam, semua srigala tiba-tiba berserabutan dan lari
menyeberang telaga maka Tang Siu melempar tubuh bergulingan sementara anak-anak murid tertegun dan
menjublak melihat itu. Enam puluh srigala berhasil mereka bunuh tapi tujuh di antara mereka luka-luka.
"Ju-taihiap, kau licik. Kau mengandalkan keroyokan. Awas, lain kali aku datang dan mencabut
nyawamu lagi!"
Ju-taihiap bangkit berdiri dengan lutut terasa gemetar. Ia ngeri dan seram menghadapi manusia hewan
ini dan bersyukur bahwa ada Tang Siu di situ. Kalau anak mantunya tidak di situ entahlah apa yang terjadi.
Baru kali ini ia menghadapi pertandingan dengan seorang yang bukan manusia. Dan ketika ia lega bahwa
anak mantunya selamat, Tang Siu meloncat bangun dan tak berani menangkis jarum-jarum itu, khawatir
tenaganya kalah kuat dan itu memang tepat maka Ju-taihiap melihat anak-anak murid berlutut dan beberapa
di antaranya menangis.
"Kami.... kami masih akan menghadapi ancaman majikan Hutan Iblis itu lagi. Ah, jangan kau ke
mana-mana, pangcu. Jangan tinggalkan kami dan membiarkan kami sendiri!"
"Hm, bangunlah. Bangkitlah kalian!" pendekar ini mengebut dan masih berdebar oleh sepak terjang
manusia srigala itu. "Musuh sudah lewat, anak-anak. Tak ada yang tewas di antara kita. Kalian hanya tujuh
yang luka-luka. Berdirilah dan nanti kutolong!"


Tapak Tangan Hantu Karya Batara di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tujuh yang luka merintih. Mereka adalah para murid yang terlambat bangun oleh aji sirep. Mereka
paling akhir melompat bangun dan menerima serangan para srigala. Kaki dan tangan mereka ada yang lukaluka. Namun karena anjing-anjing itu digebah teman-teman yang lain dan pertolongan inilah yang
menyelamatkan mereka, menggigil dan berlutut di depan ketua maka Ju-taihiap menyuruh Tang Siu
Samurai Pengembara 3 2 Manusia Harimau Jatuh Cinta Serial Manusia Harimau Karya S B. Chandra Teluk Akhirat 1

Cari Blog Ini