Ceritasilat Novel Online

Dendam Seorang Jantan 2

Ratu Ayu 02 Dendam Seorang Jantan Bagian 2


lecutan yang menggeletar.
Lecutan itu benar benar mengejutkan orang tua yang berjongkok di belakang
Danang Seta. Orang tua itu terperanjat dan meloncat. Malang baginya, tanah tepian itu
agak gembur dan terjerembablah orang tua itu ke dalam lembah yang dalam.
Kepungan semakin sempit.
"Biadab. Susullah orang tua tidak berharga itu." Habis berkata demikian ia
memerintahkan lima saudaranya segera menangkap.
Danang Seta bukanlah seorang pengecut. Kalau saja ia menghindari perkelahian
adalah untuk tidak membuang waktu. Tetapi kali ini ia terpaksa harus mempertahankan
harga diri.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Matahari sudah pada bulatan langit yang tertinggi.
Danang Seta menebarkan penglihatannya, diantara kelima orang dicarinya letak
kelemahannya. Tetapi tiada seorangpun yang tampak tanda-tanda kelemahan. Mereka
hampir bersamaan tegap dan besarnya.
"Tuan, aku adalah seorang gembala. Masa tuan main kerubut akan menangkap
aku?" Danang Seta berkata setengah berteriak.
"Apa maksudmu"
"Aku ingin berkelahi secara kesatria"
"Adakah kau seorang satria? Menuduh orang tua dengan seenakmu? Bahkan
sekarang kau sudah membunuhnya." Kata orang bertopeng yang memberi aba-aba. Ialah
yang disebut lurah sewaktu menghajar seorang gadis kemarin siang.
Danang Seta terdiam, ia merasa tergelincir, cepat-cepat ia menghilangkan bekas
ucapannya, katanya. "Bukan begitu tuan, maksudku seperti seorang kesatria yang biasa
satu lawan satu."
"Kebiasaan itu tidak berlaku di daerahku."
"Bagaimana kalau sekarang tuan adakan."
Lurah itu mendongak, ia melihat ke arah gurunya. Seorang ini hanya berdiam diri
Lurah itu meloncat dari atas batu tempat ia memberi aba-aba dengan berkata keras,
"Tunggu! Biar kuhajar dia dan kupaksa mengatakan sesuatu, seperti sekarang ini dia
memaksakan perlakuan yang bukan kebiasaan kita."
Kelima yang mengepung menyibakkan diri. Sekarang lurah itu berhadapan dengan
Danang Seta, di samping itu kelima lainnya melingkar mengepung dengan sikap siaga.
"Ayo. Kulayani tantanganmu."
"Mana aku berani melayani tuan,"
"Bangsat! Masih muda sudah belajar berkata berbelit-belit."
"Ampuni tuan, bukan maksudku menantang tuan."
"Buset. Apa perdulimu." Belum juga habis kata-katanya, ia menyerang lambung
Danang Seta membiarkan kakinya mengenai lambungnya, dan jatuh bergulingan untuk
menghindari tenaga lontaran itu. Belum lagi Danang Seta bangun, secepat kilat lurah itu
melompat berdiri tegak di bagian kepala Danang Seta dan langsung menempelkan
kakinya pada kepala Danang Seta. Sebaliknya Danang Seta yang sengaja tidak
memperlihatkan kepandaiannya dalam olah jaya kawijayan, mau tidak mau ia bersiaga.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Kalau saja lurah itu menindihkan kakinya, maka ia akan berusaha mematahkan kaki lurah
yang mulai bersikap menghina itu.
Tiba-tiba saja ia melepaskan injakan itu dan pergi.
"Baik kupenuhi kemauanmu." Kata Lurah itu dengan meninggalkannya. Danang
Seta duduk kemudian berdiri.
"Baik kupenuhi kemauanmu." Lurah itu mengulanginya. Lurah itu
memerintahkan salah seorang adik seperguruannya untuk bertanding melawan
penantangnya. Kelima adiknya saling berpandangan, mereka berunding kemudian
mengundi diri.
Sekarang mengertilah Danang Seta bahwa yang dilakukan lurah itu terhadap
dirinya adalah salah satu cara untuk mengukur kekuatannya. Untunglah ia sudah dapat
menangkap apa yang dikehendaki oleh lurah itu, sehingga ia hanya menggunakan
sebagian tenaganya dalam menghadapi lurah topeng panji yang menjajagi ilmunya.
"Buset! Apa pedulimu ....."
Belum juga habis juga kata-katanya ia menyerang lambung.
Salah seorang yang menerima undian, memberikan tanda kepada lurahnya dengan
tiba-tiba saja menyerang perut Danang Seta.
Danang Seta adalah seorang prajurit pilihan, melihat gelagat lawannya cepat
mengempiskan perutnya dengan menjerit seolah-olah kesakitan karena pukulan
lawannya. Yang memukulnya tertawa keras sampai badannya bergoyangan.
"Kakang tubuhnya empuk, seempuk kapuk randu."
"Bagus! Pakailah sebagai santapan menjelang sore, setelah itu kuhadiahkan
perempuan yang kita gantung untukmu."
"Hadiah ulang tahunku kakang."
"Ya, kau telah genap lima tahun dalam perguruan kami."
"Adakah ini sudah mulai tuan?" Tanya Danang Seta.
"Kau sudah mendapat hadiah, masakan belum mulai." Tengah adik lurah itu
masih dikuasai oleh angan angannya tentang gadis montok yang akan dihadiahkan.
Kesempatan ini digunakan oleh Danang Seta untuk membalasnya. Dengan cepat ia
mengaitkan kakinya sebelah dan yang sebelah lainnya menginjak. Lawannya terpental
karena injakkan Danang Seta disertai tenaga dalamnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Satu-satu tuan. Tuan memukul perutku, sekarang aku mengait kaki tuan. Kita
sama-sama terjatuh." Kata Danang Seta dengan masih tiduran dengan memegang
perutnya.
Yang melihat kejadian itu tertawa keras. Mereka bersorak karena menganggap
perkelahian itu tak ubahnya sebuah lelucon yang menyenangkan.
Tetapi tiba tiba saja sebelum Danang Seta bangun, lawannya telah melontarkan
sebuah tendangan keras. Tangan kaki lawannya terangkat. Danang Seta menggulungkan
tubuhnya memasuki sela-sela diantara kedua kaki lawannya. Sudah barang tentu
lawannya yang berdiri di atas sebuah kaki dan tertumbuk tubuh Danang Seta yang
menggulung itu, jatuh dengan kaki terbuka. Dengan cepat Danang Seta memasang siku
siku tangannya menghantam pantat lawan.
Lawannya belingsatan menahan sakit. Masih untung wajahnya di balik topeng,
sehingga mukanya tidak tampak. Cepat Danang Seta meronta dan mendorong lawannya.
"Kurangajar!"
"Ada apa?" Tanya lurah topeng panji itu menahan geli.
"Ia berkelahi dengan cara perempuan."
"Maksudmu?" Tanya lurah itu kembali.
"Ia memegang pantatku kakang-"
"Sebaiknya kau menggunakan senjata agar perkelahian itu cepat selesai."
"Kakang memperbolehkan" Tanya adiknya. Lurah itu mengangguk.
Betapa terkejutnya Danang Seta melihat lawannya memegang belati, dengan
kesiagaan penuh Danang Seta tiada lagi mau dipermainkan oleh berandal-berandal yang
berhati binatang itu.
Waktu lawannya menyerang dengan menikamkan belatinya mengarah pinggang,
sebat Danang Seta menghindar memukul lengan lawannya. Gemertak bunyi hantaman
itu. Belum lagi orang bertopeng itu sadar akan perlakuan Danang Seta terhadap adik
seperguruannya, secepat kilat Danang Seta menghajar punggung sisi kanan. Hantaman
itu demikian kuat sampai tubuh lawannya tergerak balik. Waktu dada lawannya
menghadap dengan terbuka tangan kiri Danang Seta menghantam dada dengan sekuat
tenaga. Terdengarlah jerit yang mengerikan disertai robohnya sebuah tubuh dengan
melontakkan darah segar.
Danang Seta mengetahui bahwa dengan peristiwa itu ia akan mengalami
perlakuan yang kurang enak. Hatinya semakin mendendam ia telah kehilangan Tantri
yang sampai sekarang belum diketahui tempatnya, ia kehilangan keris pemberian ayahnyahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
hatinya terbakar, ia meloncat akan menyerang salah seorang lainnya. Tetapi waktu
kakinya menjejak tebing lembah longsor. Dan Danang Seta jatuh bersama bongkahan
tanah ke dalam lembah yang dalam itu.
Semua yang berdiri di tempat itu meloncat menjenguk ke dalam lembah, tanah
longsor itu masih juga berguguran.
"Tolong adikmu. Orang itu sudah mampus." Kata lurahnya.
Hanya gurunyalah yang memperhatikan permainan Danang Seta, guru itulah yang
mengerti bahwa gerak-gerak serangan Danang Seta yang kelihatannya seperti permainan
seorang dungu itu sebenarnya gerak-gerak yang berbahaya dan mematikan. Tetapi
melawan muridnya pemuda itu tidak dengan sungguh menyerang.
Kalau saja ada orang yang merasa terhina, maka guru itulah yang paling merasa
direndahkan oleh seorang pemuda yang umurnya tidak lebih dari sepertiga umurnya.
Dalam hati guru itu benar-benar memaki maki atas perlakuan Danang Seta terhadap
muridnya. Pukulan yang terakhir dikerjakannya hampir bersamaan waktunya adalah
gerakan olah jaya kawijayan tangguh yang tidak dapat diremehkan.
Guru itu kemudian mendatangi muridnya yang tertiarap dikerumuni murid-murid
lainnya, termasuk kakaknya tertua. Guru itu memegang punggung muridnya yang sebelah
kanan, tampak kebiruan, kemudian menelentangkan, dan ternyata tulang rusuknya patah.
"Bawalah beristirahat! Luka bagian dalamnya berat."
"Adakah masih mempunyai harapan guru?" Tanya lurahnya.
"Mudah-mudahan."
Lurah itu memandang gurunya dengan menarik napas panjang.
"Pukulan pemuda itu hebat." Tiba-tiba saja gurunya berkata.
"Rusuknya patah, warna biru pada punggungnya."
"Lukanya membutuhkan perawatan agak lama." Sambung gurunya.
Tengah mereka disibukkan oleh peristiwa yang baru saja dialami, mereka
mendengar rombongan yang mendekati tempatnya. Salah seorang diantaranya
diperintahkan untuk mengintai siapa yang berjalan melalui daerah terlarang itu.
Yang ditugaskan segera kembali.
"Mereka yang menunggui gadis yang kita gantung."
"Mengapa?" Lurah itu bertanya heran.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Mereka kemari dengan saling berbimbingan."
Lurah itu tidak sabar atas keterangan adiknya, ia ingin melihat sendiri. Demikian
kembali ia memaki, "Kurangajar, sungguh kurangajar. Siapa yang berani menghinaku."
Mereka dengan berbimbingan telah sampai. Betapa terkejutnya mereka yang baru
datang melihat salah seorang lurahnya terjerembab tak sadarkan diri.
"Ada apa?" Tanya Lurahnya.
Arya Sulung segera menceriterakan kejadian yang dialaminya.
"Bagaimana bentuk orang itu?"
"Seorang pemuda Ki Lurah ."
"Pemuda yang berwadiah indah bertubuh perkasa."
"Benar Ki Lurah Terdapat luka pada punggungnya."
"Heee?!!" Lurahnya setelah bertanya.
"Ya. pada punggungnya terdapat bekas luka." Gemak Paron menambah
keterangan.
Lurah itu tunduk. Tampak sikapnya ia berfikir. Teringat akan kejadian masa
lampau, lurah itu berkata serak, "Sudahlah sekarang pemuda telah mampus."
"Mati?" Arya Sulung bertanya heran.
"Jatuh ke lembah itu."
Mereka yang baru datang mengangguk berkali-kali. Dan mencoba menjenguk
lembah yang curam itu.
Tiba-tiba saja Lurah itu teringat akan kepentingan dirinya.
"Dibawa kemana gadis itu?"
"Tidak tahu kakang."
"Tidak tahu? Apa artinya semua ini."
"Kami tidak bisa melawannya kakang."
"Karena kamu masing-masing akan memakan gadis itu bukan." Keempat orang
itu saling berpandangan.
"Jawab pertanyaanku! Atau akan kudiamkan kau selamanya."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"A......... anu......"
"A........ a ........ anu, apa itu. Berkata yang benar."
Mulut mereka menjadi ternganga. Akan menjawab khawatir kalau malah lurahnya
menjadi marah. Tiba-tiba saja lurah itu menarik cambuknya dan langsung memukul orang
yang gagap menjawab pertanyaannya. Tak alang kepalang, cambuk dengan lenturan yang
luar biasa itu mengenai punggung dan pinggang orang itu. Orang itu tidak lain Kebo
Kuntet yang bertubuh bundar berwajah dungu. Ia akan menjerit, tetapi mulutnya
tersumbat. Kebo Kuntet sempoyongan, tubuhnya yang terlilit cambuk ditarik dengan
sekuat tenaga sehingga tubuhnya berputaran.
Lurah itu tertawa terbahak, dendam hatinya ditumpahkan kepada sereorang dan
kebetulan Kebo Kuntet yang menjadi sasaran. Teman-teman lainnya melihat dengan mata
jeling Sura Cere yang baru saja mendapat luka tiba-tiba jatuh pingsan. Sedang Gemak
Paron yang akan menjauh tiba-tiba sebuah lontaran cambuk mengenai kakinya dan tak
ayal lagi ia jatuh terlentang. Arya Sulung yang pura-pura tak mengetahui kejadian itu,
tiba-tiba saja kedua kakinya kena serimpung dan belum lagi ia dapat bergerak cambuk itu
ditarik dan tubuhnya jatuh tak ubahnya sebatang pohon.
"Manusia manusia gila tak tahu kewajiban."
Diluar pikiran adik adik seperguruannya, lurah topeng panji itu melangkah
mendekati Kebo Kuntet, mengangkatnya dan akan dilontarkan ke dalam lembah. Dengan
cepat gurunya meloncat menghadang dengan berkata, "Jangan lakukan itu."
Bagaimanapun Lurah ini terhadap gurunya tidaklah berani melanggar
perkataannya. Ia mengetahui bahwa lurahnya melarangnya tentu mempunyai alasan
alasan tertentu yang tidak diketahuinya.
"Mengapa guru melarangku?" Tanya lurah itu.
"Heem. Bukankah mereka masih saudara seperguruanmu."
"Ia telah melanggar."
"Bukan angger-angger perguruan yang dilanggarnya anakku." Kata guru itu
dengan menggelengkan kepala berkali-kali.
"Tetapi perbuatannya berbahaya guru."
"Tidak usah kau pikirkan, sejak dulu sudah berbahaya pekerjaan yang kita
lakukan."
Lurah itu diam sejenak, ia mendekati gurunya.
"Adakah aku melakukan kesalahan guru?" tanyanya berbisik.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Gurunya mengangguk, sedang muridnya berfikir.
"Bukankah mereka itu perisaimu? Kalau kau kehilangan mereka, perguruan kita
akan ringkih."
Teringatlah ia bahwa Kebo Kuntet masih diangkatnya, dengan menarik nafas
panjang dibantingnya Kebo Kuntet di depan gurunya. Sudah barang tentu, bantingan
yang dengan penuh kemarahan ini membuat anak buahnya tidak berdaya. Suara serak
lewat tenggorokannya disusul tubuh yang lemas terayun dan tak berkutik lagi.
"Ia hanya pingsan guru." Guru itu menarik napas panjang.
Sekarang lurah itu beralih marahnya, dendam yang membakar semakin menguasai
perasaannya. Teringatlah sekarang bahwa pemuda yang terluka pada punggungnya itu
adalah pembunuh kakaknya pada saat berkobarnya pemberontakan Sadeng. Cepat ia
meloncat mendekati lembah. Lembah itu sangat dalam, di sana sini terdapat mata air.
Dengan mengisyarati adik-adik seperguruannya mendekat.
"Berjajar pada tepian ini. Perintahnya. Semuanya berjajar dalam jarak masingmasing selangkah
"Hentakkan kaki berbareng setelah mendengar aba-abaku." Mereka semua
bersiaga, berdiri dengan kaki merentang kokoh.
"Pasakkan kakimu yang belakang,"
"Kakang adakah akan kita runtuhkan dengan tenaga gabungan."
"Bagus, kau telah mengerti maksudku."
Lurah itu telah siap membunyikan cambuknya. Dan demikian lecutan itu
terdengar, mereka bersama-sama menjejakkan kakinya dengan hentakan penuh. Benarbenar mengherankan tepian lembah beberapa kilan di depannya runtuh dengan suara
gemuruh.
"Bagus, bagus! Itulah tenaga gabungan perguruan Alas purwa yang dahsyat."
"Perbuatanmu berbahaya anakku." Semuanya menoleh termasuk lurah itu.
"Untunglah tenaga gabungan itu belum sempurna. Kalau sudah sempurna, tanah
yang kau injak bergetar dan berat tubuhmu karena hentakan akan menyebabkan
keruntuhan bagian yang lain. Tidak saja yang kau injak, tetapi tubuhmu yang
mengandung daya tekanan dalam, akan mengakibatkan runtuhnya tanah itu Dan kau
semua yang menyatukan segenap panca inderamu akan ikut serta dalam longsoran tanah
itu. Pikirkanlah kata-kataku ini."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Bagaimana untuk menghindari itu guru?"
"Kelak akan kusampaikan setelah aku menemukan intinya."
Mereka sudah melakukannya tampak menghela napas.
"Baiklah guru. tetapi aku telah puas. Orang yang membunuh saudara
seperguruanku sudah mampus. Dendamku sudah tersalurkan, walaupun aku tidak
melihat bangkainya dan tidak memenggal lehernya seperti janjiku." Kata Lurah itu
menepuk dada.
Ia diam sejenak, kemudian menyambung dengan tersenyum lirih dan seperti
berkata sendiri, "Tetapi kasihan si tua bangka yang akan menjadi mertuaku ikut
terjerumus."


Ratu Ayu 02 Dendam Seorang Jantan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apa katamu?"
"Orang tua itu guru."
"Mengapa dia?"
Anak gadis yang kugantung adalah anaknya."
"Gila!" Guru itu menghela napas.
"Semua itu karena ia teguh memegang pendiriannya guru."
"Andaikata ia melayani kau?"
Lurah itu tertawa sampai tubuhnya mendongak.
"Aku belum segila kakang Adipati muda Sadeng, guru."
"Dan sekarang kau kehilangan semuanya."
"Belum guru. Gadis itu pasti masih bersembunyi di sekitar tempat ini." Kata lurah
itu. "Hem." Gurunya mengangguk.
"Bukankah ia tidak bersama pemuda itu."
"Mungkin juga." Jawab gurunya.
"Adik-adikku! Kita cari gadis itu." Lurah itu menyapu debu yang melekat pada
pakaiannya. Adik-adik seperguruannya telah siap menantikan perintah.
"Adakah kalian mempunyai permintaan dalam pekerjaan ini?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Semua diam dengan menerka-nerka.
"Baik Kalau kalian tidak ada permintaan, aku yang akan memberi kalian. Jika
kalian mendapatkan gadis itu, ambillah ia sebagai isteri kalau kau mau. Kalau kau tidak
mau berikan kepada seseorang yang kau cintai. Sebaliknya kalau kau mendapatkannya
dengan dua orang, maka bagilah gadis itu menjadi dua."
"Kakang, kalau begitu ia akan mati terbagi."
"Itu terserah kalian."
"Sebaiknya kita mencari sendiri-sendiri." Kata seorang adiknya.
Mendengar ucapan itu lurah itu tertawa keras.
"Busyet kalian. Betul betul kalian monyet. Dengan diam diam kalian sudah jatuh
cinta dengan gadis itu." Kata Lurahnya dengan kembali terdengar tawanya dari dalam
topengnya.
Semuanya tidak berani memberi jawaban.
"Setan. Betul-betul setan." Lurah itu kelihatan berfikir.
Semuanya masih tunduk dan mengharapkan gurunya memberi jalan keluar.
"Bodoh. Semuanya berotak kayu. Aku senang melihat kalian mencintai seseorang. Kalian
boleh bersaing dalam mencari, tetapi setelah salah seorang mendapatkannya, selesailah
pers-alannya. Yang mendapatkan, memilikinja."
Adik-adiknya belum juga bergerak dari tempatnya.
"Apa lagi yang kalian tunggu! "
Mereka saling berpandangan, lalu memandang gurunya. Kakaknya dapat
menangkap perasaan adiknya.
"Oh Aku mengerti. Ya aku mengerti. Guru kumohon suka menjadi saksi atas
ucapanku ini."
Gurunya mengangguk.
Matahari sudah condong di sebelah barat hutan. Panas tidak lagi sepanas siang
tadi, bahkan terasa angin sore yang silir sudah berhembus menyenangkan.
Mereka berpencaran mencari hilangnya seorang gadis yang dihadiahkan kakaknya
kepada adik adiknya. Mereka mengetahui bahwa andaikata gadis itu ditemuinya,
kakaknya tidak akan mau menerimanya sebagai persembahan. Bahkan kakaknya merasahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
terhina kalau gadis itu sampai dipersembahkan. Kakaknya lebih suka mendapatkan
perempuan dari ujung pedangnya daripada atas pemberian dengan suka rela.
Setelah mereka mulai terpencar dan tak lagi tampak di matanya, segera lurah itu
pergi ke reruntuhan injakan kaki. Ia duduk memandangi reruntuhan yang bertaburan
mendebui lembah itu, kemudian memandang jauh. Sebentar ia melepaskan topengnya
dan menyapu keringat yang membasahi mukanya. Ia menghela napas, menelungkupkan
mukanya pada sela sela kedua lututnya.
Guru itu memandang dengan terharu. Didekatinya muridnya.
"Samberpati anakku." Kata gurunya dengan memegang bahu muridnya.
"Mengapa kau?" Guru menyambung bertanya.
Samberpati, demikianlah nama Lurah topeng panji itu, ia mengerti bahwa yang
memegang bahunya adalah gurunya. Ia menoleh dengan menempelkan tangannya pada
tangan gurunya
"Samberpati, aku mengerti perasaanmu." Muridnya masih belum menjawab.
"Sudahlah tak usah kau risaukan orang tua itu. Jangan kau takut andaikata gadis
itu mengetahui bahwa kau yang menjadi sebab kematian bapaknya."
"Guru, bukan itu yang menyebabkan."
Guru itu tercekat, ternyata ia salah terka. Diam diam guru itu memuji muridnya,
bahwa bukan sebab seorang gadis ia bermenung.
"Anakku dapatkah aku membantu memecahkan persoalanmu?"
Lurah topeng panji itu mengenakan topengnya, bersujud lalu berkata, "Adakah
aku cukup mampu untuk cita-cita kita?"
"Aku mengerti anakku. Kau belum memiliki seluruh yang kupunyai. Tetapi
sekarang tidak tepat waktunya, bahkan berbahaya untuk menurunkan suatu warisan."
Kata guru itu.
Tidaklah mengherankan sebab mereka adalah orang yang sangat percaya bahwa
hari mempunyai nilai-nilai tersendiri.
Kalau seorang guru berkata demikian maka muridnya tanpa menyadari sebab
musababnya harus menerima dengan sepenuh hatinya.
"Adakah guru masih berkeberatan terhadapku?"
"Ah. Kau terlampau perasa anakku. Pada malam anggara kasih ini akan
kuwariskan, malam demikian adalah malam yang baik."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Kembali Samberpati bersujud.
Matahari tinggal sepenggalah dari permukaan bumi, warna jingga mulai
bertebaran tersirat pada bulatan langit.
Hutan sudah mulai gelap. Mereka yang mencari gadis itu belum juga datang.
Samberpati duduk berhadapan dengan gurunya. Murid dan guru itu melepaskan
topengnya. Mereka mempercakapkan tentang cita-cita perguruannya dan menghancurkan
Majapahit. Kedua orang itu dibawa dalam angan-angannya, sehingga tidak dirasanya
bahwa malam sudah mulai merangkak. Bintang-bintang sudah memancarkan sinarnya.
Dan Bintang penceng menghiasi langit sebelah barat, bulan yang hampir
tenggelam untuk esok malam muncul kembali. Semakin besar dan semakin besar,
kemudian bundar. Hari itulah yang diharap-harapkan oleh Samberpati. Dan ia
mengimpikan menjadi seorang sakti pada jamannya dalam mengisi sejarah kehidupan
manusia.
Mereka menghela napas panjang. Keduanya mengenakan topengnya meloncat
diantara batu-batu besar dan di atas kedua kakinya yang kokoh guru itu mengawasi
muridnya yang bersujud dengan takzimnya.
"Guru, Majapahit hanyalah segelintir kelilip."
Guru itu mengetahui bahwa muridnya sedang dicekam angan-angannya.
Malam semakin malam, Bintang penceng tak tampak lagi. Betapa sebentarnya,
umur manusia sudah bertambah.
Bagian III
LEMBAH yang cukup curam itu merupakan lorong panjang yang keadaan
dalamnya tidak dapat dilihat oleh mata biasa. Di dalamnya terdapat sungai kecil yang
terkumpul dari beberapa mata air yang jernih, sehingga mengalirlah air itu merupakan
sungai. Lorong itu menghubungkan dua buah gua yang cukup besar, gua alam yang dapat
untuk bermain-main dan berloncatan dengan leluasa. Pada bagian terakhir dari gua yang
lain, terdapat jalan yang menghubungkan tanah pertanian orang tua itu. Jalan dalam gua
itu berliku liku dan hanya orang tua itu dengan dua orang muridnya yang mengetahui,
sebab di tempat itulah orang tua itu melatih kedua anak didiknya yang menyertainya
dalam pengembaraan.
Sebenarnyalah demikian, daerah itu sangat dikenal oleh orang tua yang
mempunyai sebutan Ki Pudak Kuning. Betapa tidak sebab daerah itu mempunyai peranan
yang sangat penting dalam membuntuti tingkah laku dan perbuatan jahat brandal-brandal
dari perguruan Alas Purwa. Di daerah itu pula orang tua itu membekali kedua anakhttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
kandungnya mengikuti jejaknya dalam mengabdikan diri kepada tumpah darah. Dan
untuk kedua anaknya gua itu merupakan daerah permainan yang menyenangkan.
Sehingga sewaktu dalam perkelahian dengan brandal topeng panji, karena lecutan
cambuknya orang tua itu tergelincir ke dalam lembah. Sebenarnya kejadian itu
dilakukannya dengan sengaja untuk mengelabui. Ia meloncat undur-undur kemudian
dengan meringankan tubuhnya ia terlontar. Ia tidak akan gentar terperosok ke dalam
lembah itu, sebab di dalamnya direntang sebuah jala. Sebentar ia mencari keseimbangan,
kemudian tegak berdiri di atas kedua kakinya. Ia mendongak ke atas dan melihat Danang
Seta keripuhan. Melihat kejadian ini, cepat-cepat ia menyatukan segenap kekuatannya,
kemudian melontarkan pukulan jarak jauh yang disertai dorongan tenaga dalamnya ke
arah tepian tebing dimana Danang Seta menjejakkan kakinya. Tanah yang kena pukul itu
mendadak berjatuhan dan Danang Seta turut terjerembab ke dalam lembah.
Danang Seta akan berusaha melenting, tetapi tubuhnya seperti tersedot. Usahanya
sia-sia. Berbeda dengan orang tua itu, Danang Seta sama sekali tidak menduga kejadian
itu, tubuhnya berkali-kali bergulungan dan membentur tanah padas.
Untunglah bahwa Danang Seta pernah mempelajari ilmu meringankan tubuh
sewaktu ia bersama pamannya di Sampang seorang pendekar yang tak asing lagi di daerah
itu. Tetapi untuk menghindarkan diri dari benturan itu adalah tidak mungkin. Danang
Seta seperti juga pemuda-pemuda lainnya adalah manusia biasa. Tidaklah mengherankan
pada saat tubuhnya menggeletak di atas jala, ia dalam keadaan setengah sadar matanya
berkunang-kunang, masih juga terasa dalam pandangannya yang kabur itu, bahwa jala
dimana ia terbaring dilepaskan beberapa orang, dan ia terhentak pada sebuah padas.
Peningnya semakin membenaki kepalanya sekitarnya menjadi gelap, kemudian ia tidak
lagi mengerti apa yang terjadi. Danang Seta pingsan.
"Angkat dia dan bawa ke dalam!" Terdengar seseorang memerintah.
Seorang pemuda sebaya Danang Seta, bertubuh kekar berparas indah, dia adalah
anak kandung orang tua yang bernama Ki Pudak Kuning mengangkat Danang Seta dan
dibawanya di tempat yang telah disediakan. Cahaya obor yang menerangi tempat itu
memberikan petunjuk bahwa tubuh Danang Seta benar-benar babak belur dan tulang
bahunya terkilir.
"Bapak, adakah ia tidak memerlukan pertolongan secepatnya."
"Ambilkan ramuan obat yang tersedia dalam tempatku." Pemuda yang diperintah
itu bernama Karang Seta, seorang pemuda yang cekatan, geraknya mantap dan penuh
kepercayaan pada diri sendiri.
Ki Pudak Kuning di samping ia seorang yang cukup berpengalaman dalam olah
jayakawijayan, ia juga seorang yang berpengalaman dalam obat-obatan. Hampir sepertigahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
umurnya dipergunakannya untuk menekuni segala macam ramuan obat dan menyelidiki
tumbuh tumbuhan yang dapat dipergunakan sebagai penawar bisa. Di bawah sinar obor
dipandanginya tubuh Danang Seta, dipijitnya bagian-bagian yang merintangi jalannya
peredaran darah. Gerak jantungnya dipercepat dan terasalah tubuh Danang Seta menjadi
hangat.
Orang tua itu tersenyum.
Waktu anaknya datang, segera disuruhnya memborehi tubuh Danang Seta yang
masih terbaring dengan nyenyaknya. Kau merasakan kehangatan tubuhnya telah
kembali?" Karang Seta mengangguk.
"Ambil benda yang terselip pada pinggangnya itu."
"Tadi dipergunakan untuk menandingi lawannya bapak."
"Waktu ia terperosok masih juga sadar bahwa ia membawa senjata yang bukan
miliknya" Kata orang itu.
"Mengapa demikian bapak."
"Karena ia yakin pada suatu saat senjata itu akan diminta oleh pemiliknya."
"Dan apa yang difikirkannya sekarang menjadi kenyataan." Orang tua itu
mengangguk.
"Tetapi, mengapa bapak berbuat demikian?" Tanya anaknya.
"Kita berusaha mengembalikan apa yang sebenarnya harus menjadi miliknya dan
apa yang sebenarnya milik kita."
"Karena itu bapak menghancurkan tanah tebing itu?" Orang tua itu mengangguk.
"Dan pemuda ini tak boleh mati di tangan mereka."
"Tetapi bapak tidak mempunyai sangkut paut."
"Benarkah ucapanmu itu?" Bapaknya bertanya.
Karang Seta mengingat-ingat.
"Tidakkah kau mengetahui saat kita membuntuti mereka yang melarikan seorang
gadis?" Kembali bapaknya bertanya.
"Oh. Maaf bapak. Ia telah menolong adikku."
"Mereka lebih dahulu bertindak daripada kita."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Bapak dan anak itu sebentar dalam angan-angannya sendiri-sendiri. Bagi Karang
Seta hanya itulah yang diketahuinya, ayahnya berbuat demikian sebagai balas budi,
sebaliknya untuk orang tua itu mempunyai hubungan yang lebih dari pada itu, hubungan
pengabdian terhadap tumpah darah yang mereka cintai.
"Mari kita tinggalkan!" Ajak orang tua itu.
Mereka pergi melalui lorong yang menghubungkan ke tanah pertanian, pategalan
jagung yang hampir menuai. Pintu itu memang tidak tampak karena tertutup sebuah
gerumbul dan pohon-pohon jagung, sehingga tampaknya seperti perbatuan-perbatuan
padas.
"Menjelang pagi kau harus menyediakan makanan." Karang Seta mengangguk.
Dalam hati ia selalu bertanya-tanya mengapa bapaknya menaruh perhatian terhadap
pemuda itu.
Kalau saja karena hubungan balas budi, bukankah bapaknya telah memberi
pertolongan. Namun karena kesetiaan seorang anak terhadap orang tuanya. Maka apa
yang diperintahkan dikerjakannya dengan senang hati. Karang Seta tidak mau
mengecewakan orang tuanya yang tinggal seorang itu.
Ditengah perjalanan menuju gubuknya, ia selalu berfikir dan menganyam segala
kejadian-kejadian yang berhubungan dengan peristiwa itu. Adakah bapaknya bermaksud
akan mengambil pemuda itu? Rupa-rupanya orang tua itu dapat menangkap apa yang
sedang mericuhi benak anaknya.
"Karang Seta, selama ia belum sembuh adalah tanggungan kita." Orang tua itu
diam sejenak, lalu menyambung, "Kau setuju bukan? Dan apabila ia telah sembuh, kita
adakan permainan."
"Tentu saja aku setuju bapak."
Bapaknya tersenyum dengan memandang, orang tua itu mengetahui bahwa fikiran
anaknya sedang menghitung bintang di langit yang tiada pernah dapat dilakukan oleh
seorang manusia.
Waktu sinar masuk ke dalam ruangan lewat sebuah lubang atas, Danang Seta
menggeliat, ia membuka mata, terasa tubuhnya nyeri. Ia menarik napas panjang. Betapa
herannya tarikan napasnya demikian longgar dan nyaman. Dirabanya bagian tubuhnya
yang babak belur dan tubuhnya yang diborehi. Ia duduk dengan mengingat kejadian yang
menimpa dirinya, berkelahi, jatuh pada sebuah jala, orang tua yang bernama Ki Pudak
Kuning mendahului terjerembab, kemudian ia berada dalam ruangan itu. Semua kejadian
itu telah dapat diingatnya dengan baik.
Sekali lagi ia menarik napas panjang, ia turun dari tempat pembaringan itu, ia pergi
ke sungai yang gemercik. Dibaunya air itu kalau-kalau mengandung racun.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Air baik." Gumamnya. Ia melihat ke atas terdapat beberapa lubang dimana sinar
matahari masuk. Keluar lewat lubang itu tidak mungkin tiada jalan yang dapat dilaluinya.
Waktu ia meraba pinggangnya, senjata itu hilang.
"Kurangajar!" Kembali ia bergumam. Matanya mulai menelusuri penjuru-penjuru
gua itu. Ia mencoba menempelkan telinganya pada dinding gua. Tiada sesuatu yang
didengarnya, menandakan bahwa padas gua itu tebal, ia mulai menghitung lorong-lorong
yang jumlahnya tidak kurang dari sepuluh buah. Dicobanya memasuki sebuah lorong.
Tidak sesuatu ditemuinya, terus berjalan. Betapa terkejutnya ia sampai pada gua itu
kembali dengan melalui lorong yang lain.
"Gila." Katanya setengah jengkel. Tiada terasa suaranya berkumandang
memenuhi gua itu. Ia baru menyadari bahwa ucapannya setengah berteriak.
Ia kembali menuju tempatnya semula. Matanya terbelalak dan mundur beberapa
langkah. Di tempat itu ia melihat telah tersedia makanan yang cukup lezat. Baunya
menarik hati menimbulkan selera.
Ditelitinya makanan itu.
"Tentu ada yang sengaja membuat permainan." Pikirnya.
Rasa lapar membeliti perutnya, berkali-kali ia meneguk liur. Danang Seta mulai
makan, tubuhnya benar-benar menjadi segar. Ditengah benaknya penuh pertanyaan itu,
ia berfikir lain, tempat itu dipergunakannya untuk beristirahat dan berlatih.
Apapun yang terjadi kemudian akan dihadapinya. Dengan pikiran demikian
hatinya semakin enak menghadapi segalanya.
Demikian sudah sepasar ia di tempat itu. Ia ingin melepaskan segala yang
membebani benaknya, tetapi tidaklah mungkin, siapa pelaku permainan itu selalu
mengiang-ngiang dalam benaknya.
Sekarang benar-benar tubuhnya telah pulih, bahkan berkat latihan-latihan yang
tekun untuk menghadapi bahaya, kekuatan pada dirinya menjadi lima kali lebih dahsyat
daripada semula. Tetapi kecemasan selalu membayangi.


Ratu Ayu 02 Dendam Seorang Jantan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kecemasan itu sudah sangat memuncak hatinya bergolak. Ia berdiri tegak, dengan
segenap kekuatan dihantamnya tembok yang membatasi dua lorong.
Biang!!! Tembok yang membatasi terbuat dari padas alam itu berguguran. Danang
Seta sendiri meloncat undur beberapa langkah dengan blmgsatan ia mengawasi sekitar,
mengawasi tangannya dan memandang reruntuhan batu-batu padas di hadapannya.
"Oh!!" Ia tiada mengerti apa yang akan diperbuatnya. Diendapkannya seluruh
pancaindranya, ia bersamadi mengucap terima kasihnya kepada Yang Maha Kuasa. Iahttps://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
berjongkok dan bersujud. Ia meminta maaf atas segala kesalahannya dan memohon
perlindungan.
Demikian ia selesai mengucapkan pernyataannya yang terakhir, ia melihat
bayangan seseorang berkelebat. Cepat Danang Seta meloncat mengejar, tetapi bayangan
itu telah hilang di balik tikungan.
"Hai jangan kau mengganggu aku. Kalau kau satria sejati marilah berhadapan."
Betapa mendongkolnya, katanya itu kembali berkumandang memenuhi gua, sehingga
menjadi lebih berisik. Tetapi Danang Seta tiada memperdulikannya, ia terus berteriak
menantang dengan sepenuh getaran karena hatinya bergolak, dengan berlari kian kemari.
Akhirnya ia kepayahan dan terduduk pada sebuah tempat di dekat mata air. Gua itu
menjadi hening.
"Jangan bermalas-malas anak muda perkasa." Suara itu terdengar dari arah
belakang.
Danang Seta tidak menjawab, cepat ia berbalik dan melontarkan pukulan.
Beberapa batu padas beruntuhan Tetapi yang bersuara telah hilang dan pandangan
matanya.
"Jangan senjata pamungkas itu kau pergunakan untuk bermain-main yang tidak
berarti tuan." Terdengar suara itu kembali dari arah yang lain.
"Gila! Keluarlah! Tampakkan dirimu. Kau setan atau apapun aku tidak akan
mundur." Habis berkata demikian ia mencoba mengejar, tetapi bayangan itu telah lenyap.
Danang Seta penasaran ia terus mengejar melewati lorong-lorong yang berlikuliku. Dalam hal ini Danang Seta dua kali tertinggal dengan bayangan itu. Bayangan itu
dengan lincah seperti melalui sebuah jalan desa, sedang Danang Seta sebentar-sebentar
berhenti untuk mengenali jalan yang dilaluinya, di samping itu ia harus berhati-hati.
"Hai kejarlah aku tuan. Mengapa tuan berhenti."
Danang Seta seorang yang tidak mengenal putus asa. Tetapi fikirannya mendapat
ketenangan. "Tidak ada gunanya mengejar."
"Ayo, kutunggu di sini." Seru bayangan itu.
Danang Seta tidak menjawab, bahkan ia akan kembali.
Tetapi hatinya tercekat. Ia tidak mungkin dapat mengenali jalan-jalan yang
dilaluinya tadi.
"Kembalilah tuan yang bodoh." Danang Seta tidak memperdulikannya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Terdengar bayangan itu tertawa keras, sehingga lorong itu beringsing bunyi
kumandang yang susul menyusul. Danang Seta seorang prajurit muda yang banyak
berpengalaman. Mendengar tawa bayangan itu ia dapat mengukur sampai dimana ilmu
yang dimilikinya.
"Hai tuan muda, sebenarnya kau tak lebih seekor kelinci."
Bagaimanapun Danang Seta menahan diri, ia seorang pemuda, hatinya terbakar,
dengan dilambari tenaga dalamnya ia melontarkan pukulan jarak jauh. Kesiur angin keras
melalui lorong itu.
"Bagus. Pukulanmu tak ubahnya kentut seorang anak perawan."
Dalam hati Danang Seta bersedih.
"Berlatihlah dan jangan menyombongkan diri!" Danang Seta menjadi kecil sekecil
biji kapok randu.
"Di kolong langit beribu orang seperti tuan, tetapi mempunyai rendah hati dan
menarik." Kata-kata dilontarkan terbata- bata.
Sekali lagi Danang Seta tersentuh hatinya yang paling dalam, mengakui ucapan
bayangan itu. Ia belum dapat mengendalikan gelonjak yang memerangi perasaannya.
"Maafkan aku tuan." Tiba-tiba saja terlontar ucapan itu dari mulut Danang Seta.
Bayangan itu tidak menjawab.
"Dan terima kasih atas pertolongan tuan." Sambung Danang Seta.
"Tiada sangkut pautnya, mengapa kau minta maaf dan berterima kasih kepadaku."
Bayangan itu berkata lembut.
"Karena aku beristirahat di daerah ini. Dan kuanggap daerah ini kepunyaan tuan."
Seru Danang Seta.
"Bukan punyaku. Tetapi baiklah terima kasih dan maafmu akan kusampaikan
kepada yang berhak menerimanya." Bayangan itu sebentar menunggu tanggapan Danang
Seta. Waktu tiada ucapan didengarnya, bayangan itu menyambung, "Terima kasih kau
telah mengenali dirimu tuan."
Danang Seta benar-benar tersentuh hatinya. Ia menyesali tingkah lakunya.
"Ikutilah jalan ke kanan, kau akan sampai di tempatmu semula." Bayangan itu
berkata dengan meninggalkan tempatnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Tiada terasa Danang Seta membungkuk hormat. Bayangan itu membalas
hormatnya, kemudian terbang meninggalkannya.
Sebentar Danang Seta tertegun. Ia kembali seperti petunjuk bayangan itu.
Sampailah pada sebuah induk gua, tiada berapa jauh dari situ kelihatan tempatnya
beristirahat.
Waktu ia memasuki ruangan dimana ia beristirahat, di dekatnya terdapat rontal
yang bertulisan, rontal itu mengabarkan bahwa Dyah Tantri dalam bahaya.
Sebuah beban lagi mengisi benaknya. Seperti biasa ia mencoba menenangkan
perasaannya. Dalam hatinya telah bulat berpendapat biarlah semua terjadi kalau
dikehendaki oleh yang menciptakannya. Danang Seta menuju ke sebuah mata air, seperti
biasa ia membersihkan diri, bersamadi memohon kekuatan. Dibaringkannya dirinya
dengan menengadah, pikirannya mulai merayapi dinding-dinding gua yang tinggi dan di
atasnya terdapat lubang-lubang yang memberinya sinar matahari, dan pada malam hari
ia melihat bintang-bintang yang berkerlipan dan kebetulan malam-malam itu menuju
malam anggara kasih, bulan semakin bulat purnama.
Jika malam sudah larut dan belum juga matanya terpejam, dirasanya dirinya
semakin kecil, tiada mungkin sesuatu dapat dilakukan tanpa kekuasaan yang lebih besar.
Ia mulai menimbang umurnya,, dan sekarang sama sekali tiada dapat berbuat sesuatu
bahkan apa yang akan terjadi atas dirinya besok pagi diserahkannya bulat-bulat kepada
yang Maha Kuasa.
Dicobanya mengenali bayangan yang selalu mericuhi benaknya, seorang bertubuh
indah kekar dan perkasa. Mukanya penuh dengan bulu, rambutnya tidak teratur, bahkan
pakaiannya yang compang camping, tetapi geraknya cekatan.
Sebagai seorang prajurit yang terlatih ia mengetahui bahwa bayangan itu bukanlah
bcntuknya yang sebenarnya. Bayangan itu berpura-pura menjadi seorang bukan dirinya.
Di bawah bayangan obor yang menerangi lorong ia melihat kecerahan wajah bayangan
itu, ia melihat kehalusan tubuh yang tertutup kainnya yang compang camping yang tidak
dikotorinya.
Dan sekarang sebuah rontal memberi berita yang mencekat hatinya.
Bulan yang hampir sebulat penampi itu memancarkan sinarnya penuh lewat
lubang gua, sebentar gua itu terang benderang. Bulan itu seperti mengejek.
"Bukankah yang paling berharga dalam hidup ini adalah pengabdian. Mati hanya
satu kali, dan mati itu tiada artinya kalau tidak disertai pengabdian yang diyakini, apalagi
bagi orang prajurit seperti kau."
"Aku tahu bulan, aku tahu."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Tetapi kau sekarang memikirkan seorang gadis."
"Gila kau bulan. Itupun sebagian dari pengabdianku."
"Hem. Pengabdian pada diri sendiri. Kebutuhanmu sendiri."
Danang Seta masih akan memberi penjelasan terhadap ejekan bulan itu, tetapi
Sang bulan telah hilang.
Seperti pada bayangan itu. Sekarang pada bulan itupun ia tidak dapat berbuat
sesuatu, bulan itu meninggalkannya karena mempunyai tugas yang tidak boleh berhenti,
hanya untuk menjenguknya.
Tiada terasa Danang Seta terlena.
Sewaktu ia terbangun karena dirasanya panas matahari. Danang Seta terkejut
karena ia terbaring di sebuah batu panjang di balik sebuah gerumbul kecil dekat pategalan
jagung.
Betapa malunya ia atas kejadian itu. Dan tiada terkalahkan, hatinya menjadi
semakin tersekat karena di pinggangnya terselip Kerisnya, keris pemberian ayahnya yang
memberinya kemantapan.
"Gila. Benar benar gila."
Waktu ia berdiri dan menjenguk di balik gerumbul itu dilihatnya sebuah sungai,
airnya mengalir membasahi batu-batu, sebentar basah, kemudian kering karena likuan
dan cahaya matahari pagi. Danang Seta mencuci mukanya. Didengarnya burung
berkicau, dua ekor burung dalam sarang sedang memberi makan anak anaknya.
Danang Seta tersenyum kecut. Ia iri terhadap burung itu, makhluk itu
mendapatkan kedamaian demikian menikmati pagi yang cerah, sedang ia dibebani
dengan bermacam-macam kejadian dan penghinaan yang dirasanya sangat berat. Lebih
lebih kejadian yang baru saja dialaminya pagi itu, senjatanya yang tiba-tiba saja sudah
terselip dipinggangnya, dia diletakkan diluar gua sama sekali tanpa terasa.
Baru saja ia naik dari sungai itu, dilihatnya dua orang yang berjalan menyelinap di
antara pategalan jagung. Tawanya yang berbeda menandakan bahwa kedua orang itu
berlainan jenis. Sepintas dilihatnya kedua orang itu saling bercengkerama.
"Jangan kakang, jangan kau mengganggu aku."
"Jika kau terus lari, maka aku akan terus mengejarmu."
"Aku akan lari sampai putus napasku."
"Nah, larilah!"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Laki-laki itu menangkap tangan perempuan yang dikejarnya perempuan itu
meronta nakal, kemudian kedua saling tertawa kecil dengan menyembunyikan dirinya di
balik sebatang pohon jagung.
"Kakang mengapa kau menakali aku."
"Karena aku senang padamu."
Danang Seta bersembunyi di balik gerumbul. Ia ingin melihat siapa kedua remaja
itu. Melihat kejadian yang membarai, hatinya bergolak, napasnya terengah-engah tak
ubahnya seorang yang sedang bekerja keras. Pemuda itu membelakangi tempat
persembunyian Danang Seta, sedang gadisnya bersembunyi di balik dada pemuda yang
bidang itu. Hal itulah yang menyebabkan Danang Seta bertambah berdentuman, gerak
jantungnya keras memukuli dadanya.
Sudah beberapa hari ia tercekam, hatinya yang berontak selalu ditahannya, dan
sekarang di matanya ia merasa direncanakan.
Hatinya semakin panas ketika mendengar gadis itu berprasetya bahwa hanya pada
pemuda itulah ia akan mengabdikan diri. Danang Seta yang sedang demam akan
kedamaian, rindu kepada kekasih, hari itu ia tak ubahnya sebagai burung yang terbang
dari sangkar. Dimatanya gadis yang berjanji itu adalah Dyah Tantri yang karena bujukan
pemuda itu barangkali sudah mengatakan bahwa ia sudah mati terjerumus dalam lembah
yang dalam. Atau barangkali pemuda itu adalah salah seorang dari saudara seperguruan
Topeng Panji.
"Kakang, aku akan menemui yundaku."
Pemuda itu mengangguk. Gadis itu melepaskan pelukan pemuda itu kemudian
pergi. Dalam jarak beberapa langkah gadis itu menoleh dengan melambaikan tangannya.
Tentu saja gadis itu tidak mengetahui bahwa merela diintip seseorang. Sebaliknya Danang
Seta, tidak dapat melihat dengan jelas wajah gadis itu sebab tertutup sebuah gerumbul.
Perpisahan itu demikian mesra terdengar di telinga Danang Seta.
Waktu gadis itu menuju sebuah rumah, benar-benar Danang Seta melihat tubuh
gadis itu tak ubahnya tubuh Dyah Tantri.
Ia menghela napas panjang. Sedianya akan meninggalkan tempat itu, ia tidak akan
mengganggu kebahagiaan kekasihnya.
Tidaklah semujur harapannya, desah napasnya didengar oleh pemuda yang tajam
pendengarannya. Dengan tiba-tiba pemuda itu membalik dan melontarkan pukulan jarak
jauh.
Kesiur angin menghembus menghalau beberapa tumbuh-tumbuhan. Pohon jagung
yang berdekatan tersapu dan beterbangan. Bagi Danang Seta yang masih berdarah muda,https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
adalah hal kebetulan kemendongkolan hatinya akan tersalur, di sampingi itu ia merasa
berkesempatan mencoba hasil latihan yang selama ini dibendungnya ia tidak mendendam,
sekedar kepenuhan yang berjejal memenuhi kepenatan hidupnya dapat diperingan.
Danang Seta melenting langsung berdiri tegak beberapa langkah di depan pemuda
itu. "Gila, tidakkah kau mengetahui sopan santun." Kata pemuda itu.
"Maafkan kisanak, aku tidak sengaja. Dan tidak niatku mengganggu." Jawab
Danang Seta.
"Alasan yang biasa dilakukan seorang pencuri."
"Pencuri?" Ulang Danang Seta
"Ya. pencuri yang biasa mengatakan baru sekarang mengerjakan, baru sekali ini
dan minta maaf."
"Maksudmu?" Danang Seta meminta penjelasan.
"Maksudku? Terimalah ini." Habis berkata demikian pemuda itu langsung
menyerang lambung, berbareng menggaplok tengkuk. Gerakannya demikian cepat
Danang Seta, cepat meloncat mundur akan menghindar tetapi kalah cekatan,
lambungnya kena gepak.
Kedua pemuda itu sebaya, besar tubuhnya tidak berbeda. Seorang tak ubahnya
seekor burung rajawali, sedang yang lain tangguh seperti seekor banteng. Telah beberapa
pukulan saling mengenai diri masing-masing. Pertarungan itu semakin seru dan seimbang.
Mereka saling mempertahankan nama masing-masing .
Matahari sudah agak condong kebarat, belum juga ada yang menyatakan kalah,
bahkan mereka saling bertahan menggunakan segala ilmu bela diri yang tersimpan.
Sebenarnya kedua pemuda itu saling bertanya-tanya dalam hati, sebab dari setiap
gerak mempunyai sumber yang hampir bersamaan, tetapi dalam perkembangannya agak
berbeda. Semakin seru pertarungan itu semakin terasa dalam hati kedua pemuda itu.
Tetapi keduanya saling bertahan, tak ingin mengetengahkan perasaannya.
"Kisanak siapa sebenarnya kau?" Tanya pemuda itu.
"Adakah patut aku berkenalan dengan kau, yang sudah saling bertempur sekian
lama?"
"Ya, memang tidak sepatutnya."https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Habis berkata demikian kedua pemuda itu bersiaga dengan masing-masing senjata
terhunus, Danang Seta menggunakan keris, pemuda itu menggunakan belati panjang.
Danang Seta meloncat maju mengarah lambung, pemuda itu menghindar
beberapa langkah surut, bersamaan dengan itu ia meloncat kesamping, tangannya
menjulur menusuk perut. Danang Seta cepat memiringkan tubuhnya dan menghantam
dengan tangan kirinya. Belum lagi niatnya terlaksana, pemuda itu menarik serangannya,
sikunya menusuk dada, dan tangan kirinya menghela keris Danang Seta yang berbahaya
itu. Dan bersamaan keduanya meloncat mundur beberapa langkah dan tegak berdiri di
atas kakinya yang kokoh itu. Kembali keduanya bersiaga.
Tiba-tiba dari arah pondok itu terdengar seseorang berteriak,
"Berhenti! Berhenti, jangan teruskan perkelaian itu!"
Kedua pemuda itu memandang asal suara itu. Ternyata seorang tua yang
rambutnya telah memutih dan kerut keningnya menandakan banyaknya usia yang
dimiliki. Tetapi orang tua itu tampak masih kekar dan tangguh, tidak seperti orang tua
yang menamakan dirinya Ki Pudak Kuning.
Orang tua itu dengan sekali loncat mengibaskan kedua tangannya betapa
terkejutnya belati dan keris yang tergenggam di tangan masing-masing, sudah berpindah
tangan. Kedua pemuda itu terlongoh-longoh dengan mulut ternganga. Belum lagi
keduanya sempat menyatakan sesuatu mereka telah jatuh terguling di tanah.
"Bagus!" Kata orang tua itu.
Kedua pemuda itu memandang dengan kagum.
"Kusangka kalian sudah tidak termakan oleh senjata." Orang tua itu memandang
keris dan belati yang berada di tangan kiri, dan tangan kanannya. Ia tersenyum
melanjutkan, "Tiba-tiba kalian hanyalah biji kapok randu yang mudah dipecahkan."
Kedua pemuda itu masih memandang keheranan.
"Sebaiknya kalian duduk di tempat ini saja." Habis berkata demikian orang tua itu
meloncat satu langkah, ditekannya punggung kedua pemuda itu. Dan tiba-tiba saja kedua
pemuda itu menjadi tidak berdaya.
"Berdiri!" Perintah orang tua itu, ia diam sejenak. Waktu melihat kedua pemuda
itu masih terlongoh-longoh maka orang tua itu melanjutkan, "Memang sebaiknya kalian
duduk saja." Habis berkata demikian orang tua meninggalkan mereka.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Kedua pemuda itu saling berpandangan dengan benak masing masing, keduanya
akan berdiri, kakinya tidak dapat digerakkan, keduanya tak ubahnya benda-benda yang
tidak berguna.
Danang Seta mencoba menyatukan segenap kekuatannya, tetapi tidak juga
berhasil, ia tidak berhasil menggerakkan kakinya.
"Kau dapat berdiri?" Tanya Danang Seta. Pemuda itu menggelengkan kepala.
"Salahmu. Mengapa kau dengan tiba-tiba melontarkan pukulan kepadaku. Kalau
saja kita saling bertanya, semua ini tidak akan terjadi." Danang Seta menyambung dengan


Ratu Ayu 02 Dendam Seorang Jantan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghempaskan napasnya.
"Ya, akulah yang bersalah. Kau suka memaafkan."
Danang Seta berfikir sejenak, kemudian mengangguk.
"Terima kasih."
Kembali keduanya berdiam. Keduanya merasakan betapa tidak bergunanya hidup
mereka. Kalau saja ada senjata di tangan maka mereka akan menghabisi nyawanya.
Namun jangankan senjata dipegang, kedua tangannya tak dapat digerakkan dengan
sempurna.
"Siapa sebenarnya kau?" Tanya pemuda itu.
"Namaku Danang Seta."
Pemuda yang lain menganggukkan kepalanya lalu berkata dengan takzimnya,
"Nama tuan aku telah mengenalnya. Nama seorang satria yang tangguh dalam membela
kebenaran dan keadilan." Pemuda itu menghela napas panjang dan menyambung,
"Maafkan atas kelancanganku tuan."
Dalam hati Danang Seta memaki-maki. Dalam keadaan yang lumpuh demikian
masih saja orang bersendau gurau memuji namanya.
"Gila kau. Apa artinya aku sekarang?"
"Tuan masih belum kehilangan nyawa."
"Kehilangan atau tidak samalah artinya kalau semacam ini." Pemuda itu menjadi
geli. Wajah Danang Seta sebentar merah membara, tetapi sebentar putih, seputih kertas.
"Orang tua angin-anginan itu sering berkata. Daun kapok randu yang tua saling
berguguran, tetapi tumbuh yang muda sebagai gantinya untuk melanjutkan sejarah
hidupnya. Sekarang apa yang dikatakan sebaliknya dengan perbuatannya, yang muda
dilumpuhkan." Pemuda itu berkata dengan mencibirkan bibirnya.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Hmm. Sebab kita bersalah."
"Apa hubungannya urusan kita dengan dia," Danang Seta seperti diingatkan.
Dalam keadaan saling tidak berdaya itu ia ingin melonggarkan dan membuang persoalan
yang menyesakkan dadanya.
"Aku belum mengenal namamu." Kata Danang Seta.
"Masih adakah perlunya saat kita hampir kehilangan nyawa."
"Biarlah kita mati bersama-sama asal sudah saling mengenal"
Pemuda itu mendehem, dengan mata redup ia memandang Danang Seta. Danang
Seta heran mengapa itu tampak sama sekali tidak mau berusaha mengatasi kelumpuhan.
"Hai mengapa kau kelihatan seenaknya saja?"
"Apa yang harus kufikirkan, apa perlunya menyusah diri. Bukankah semuanya
sudah terjadi?" Jawab pemuda itu.
"Kau juga sinting, seperti orang tua itu,"
"Hai! Jangan seperti orang gila. Aku memang orang tua sinting, masa itu akan
kubiarkan kalian sampai besok pagi." Tiba-tiba saja tanpa bersuara orang tua itu muncul
di balik batu.
"Hai tua bangka apa artinya ini?" Teriak Danang Seta.
"Jangan minta belas kasih." Bisik pemuda itu.
"Aku tidak akan mengasihani kalian, sebab kalian berkelahi di pategalanku. Dan
jagungku rebah-rebah karena kelakuan kalian." Kata orang tua itu dengan tetap pada
tempatnya
"Maafkan aku paman." Kembali Danang Seta berteriak.
"Mengapa kau meminta maaf Danang Seta?" kata pemuda itu.
"Karena kita dianggapnya bersalah."
"Si tua bangka itu telah menghukum kita."
"Maafku sampai matahari muncul di sebelah timur tuan-tuan yang perkasa."
Orang tua itu berkata dengan meninggalkan tempatnya. Jalannya demikian cepat, sekejap
ia telah sampai pada jarak seratus depa lebih.
"Busyet!" Gumam Danang Seta.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Busyet atau tidak apa mampu kau memperlunak kemauannya."
"Ya, aku salah. Mengapa aku meminta maaf?"
"Nah, kau sekarang menyadari. Sebagai seorang prajurit segala perlakuan lawan
harus dihadapi dengan keperwiraan." Kata pemuda itu dengan tenang.
Benar-benar hati Danang Seta tersentuh.
"Maaf, sebenarnya sudi atau tidak berkenalan dengan aku." Kembali Danang Seta
bertanya.
"Oh ya aku minta maaf, sampai lupa namaku Karang Seta."
"Siapa?" Danang Seta mengulangi bertanya.
"Karang Seta"
"Jangan kau bergurau kisanak"
"Bergurau? Mengapa?"
Danang Seta mengawasinya dengan tajam.
"Andaikata namamu dan namaku hampir bersamaan apa salahnya. Sejak lahir
itulah namaku. Dan apa gunanya aku berbohong hanya soal nama saja. Apa si perlunya
nama disembunyikan segala. Atau meniru nama orang lain biar kelihatan mentereng."
"Bukan demikian maksudku kisanak"
"Habis. Dalam keadaan seperti ini kau masih juga mencurigai aku, kau merasa
tersinggung lagi, hanya soal nama yang hampir bersamaan. Di Majapahit Baginda
memberikan anugrah nama kepada hambanya hampir bersamaan, pula. Toh tidak ada
persoalan"
Danang Seta sama sekali tidak merasa tersinggung, hanya saja ia terperanjat
karena nama yang hampir sama. Dalam hatinya timbul tanda tanya adakah hal itu
berhubungan dengan pekerjaannya. Tetapi Danang Seta tidak mengutarakan
pendapatnya. Ia tidak ingin membuat persoalan baru.
"Karang Seta, aku tidak bermaksud menyinggungmu."
"Kalau tidak mengapa kau berlaku demikian?"
"Ya, tetapi benar-benar aku tidak bermaksud menyakitkan hatimu,"
Kembali keduanya berdiam diri.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Matahari makin condong ke barat, kedua pemuda itu semakin cemas. Adakah
orang tua itu benar-benar menghukum sampai besok. Kalau saja benar-benar
dilakukannya, maka ia akan kedinginan. Kedua pemuda itu mencoba dengan sekuat
tenaga merebahkan tubuhnya.
Dengan pelahan-lahan kedua dapat berbaring.
"Karang Seta sebaiknyalah aku berfikir seperti kau"
"Maksudmu?"
"Tak usah memikirkan semua ini"
"Aku memikirkan kekasihku Danang."
"Siapa itu?"
"Kekasih ya kekasih, yang siang tadi kau lihat."
"Hebat kekasihmu Karang Seta."
"Kau memuji atau iri hati?.
"Benar-benar aku memuji. Berbahagialah kau mempunyai seorang istri yang setia
dan bertubuh indah."
"Pandansari, ya Pandansari namanya," Karang Seta berkata lembut dengan
memandang jauh.
"Pandansari." Ulang Danang Seta.
"Benar, Pandansari yang tuan tolong. Adakah tuan menaruh hati kepadanya?"
Tanya KarangSeta berterus terang.
"Mana mungkin aku telah mempunyai kekasih."
"Dimana kekasihmu?."
"Aku sekarang tidak mengetahui tempatnya."
"Mengherankan."
Danang Seta kemudian menceriterakan segala yang dialaminya sudah barang
tentu sejauh mungkin yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya.
"Pantas."
"Mengapa?" Tanya Danang Seta.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Setiap kau melihat perempuan hatimu tergetar dan kalau melihat orang sedang
memadu kasih hatimu terbakar."
"Begitulah kira-kira tepatnya aku tak mengerti." Keduanya kemudian tertawa.
Tiada terasa karena gosokan dengan tanah, tubuh mereka menjadi hangat dan
terasa agak nyaman.
"Danang, bagaimana kalau kita menyatukan kekuatan untuk melenyapkan
penyakit ini?" Tanya Karang Seta.
Danang Seta tampak ragu-ragu.
"Sebaiknya kita berusaha, aku merasa segar sekarang."
"Akupun demikian."
Kedua pemuda itu duduk beradu punggung, digosokannya dengan teratur, seolaholah kedua sedang berlari kencang. Nafasnya diatur sedemikian rupa, dihirupnya
kekuatan alam ditahannya, disatukan segenap kemauannya, mereka berusaha
mengumpulkan kekuatan dan dengan memohon kepada Yang Maha Kuasa, dengan
beradu punggung keduanya berdiri dengan tetap menyatukan kekuatan. Waktu keduanya
dapat berdiri tegak, mulai berlatih menggoyangkan kakinya.
Sebenarnya mereka kena tekanan aliran pembuluh darah besar pada punggungnya,
dan apabila tiada usaha memanaskannya aliran darah itu seperti terhenti. Namun lambat
laun akan dapat pulih kembali apabila tekanan itu mendapat pemanasan.
Orang tua itupun telah dapat mengira-ngirakan, apabila tekanan itu sampai,
merapatkan urat pembuluh darah, maka matilah mereka itu. Tekanan itu hanya
memperlambat, dan akan pulih dalam waktu beberapa saat. Cepat dan tidaknya
tergantung kepada kegiatan usaha mereka.
Benar-benar menjelang tenggelamnya matahari kedua pemuda itu sudah tertatihtatih melatih diri dan duduk di atas batu sebesar gajah tidak berapa jauh dari tempatnya
semula.
"Kau kenal orang tua itu."
Karang Seta mengangguk.
"Kau tinggal bersamanya?"
"Aku tinggal bersamanya."
"Dan Pandansari?" Danang Seta bertanya. Karang Seta tercekat mendengar
pertanyaan itu. Danang Seta mengerti perasaan Karang Seta.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
"Seperti kukatakan, kekasihku hilang. Sekarang aku sedang mencarinya, Dan
barangkali ada hubungannya dengan kehadiran orang tua yang menamakan dirinya Ki
Pudak Kuning."
"Pandansari anak Ki Pudak Kuning, yang sekaligus menjadi muridnya. Sedang
aku ........." Karang Seta diam sejenak, kemudian melanjutkan "Biarlah nanti orang tua
itu yang menjelaskan."
Danang Seta tidak akan menghujani pertanyaan-pertanyaan, sebab seperti juga dia
pada diri manusia ada hal-hal yang tidak perlu orang lain mengetahui atau kadang-kadang
diperlukan orang lain yang menjelaskan.
Bulan telah muncul di balik bukit, walaupun belum bulat, sinarnya cemerlang
karena cerah malam. Tiba-tiba saja kedua pemuda itu melihat datangnya sesosok
bayangan. Keduanya mengetahui bayangan itu adalah orang tua yang pagi tadi
menghajarnya.
"Kalian telah dapat duduk?" Tanya orang tua itu. Keduanya mengangguk.
"Baik. Kukira hukuman itu sudah cukup. Ternyata kalian bukan kelinci."
Kedua pemuda itu mencoba meloncat dari tempat duduknya, tetapi belum dapat
bergerak dengan baik. Orang tua itu tertawa terkekeh-kekeh. Danang Seta mendongkol
tidak keruan, giginya gemeretak menahan marah. Sebaliknya Karang Seta menerima
kejadian itu acuh tak acuh. Hal ini membuat Danang Seta lebih tak keruan.
"Mengapa harus disusahkan, dibunuhpun kita mati." Kata Karang Seta dengan
memandang bulan yang mengejek.
Tiba-tiba orang tua itu meloncat dan memukul punggung. Kedua pemuda itu
terperanjat dan meloncat, tetapi terasa loncatannya ringan, dan waktu kakinya menjejak
tanah mereka sudah dapat bergerak seperti biasa.
Keduanya membungkuk hormat, orang tua membalas.
Dalam hati tidak habis habisnya Danang Seta berfikir bahwa adakah orang ini Ki
Pudak Kuning dalam wujud yang sebenarnya, bukan sebagai seorang petani daerah
gunung Pandan, yang pernah bertemu beberapa hari yang lalu.
"Kalian telah sembuh."
Sekali lagi keduanya membungkuk hormat.
Orang tua itu kemudian mengajak mereka menuju pondoknya sudah barang tentu
keduanya tidak menolak.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Demikian Danang Seta melangkahkan kakinya masuk ke pondok orang tua itu, ia
terhenti di depan pintu. Dalam rumah itu duduk dua orang gadis dengan enaknya sedang
membersihkan belati.
Waktu ia melihat orang tua itu masuk disertai dua orang pemuda gadis itu berdiri
membungkuk hormat.
"Adakah dua orang ini yang bapak katakan." Orang tua itu mengangguk.
Nyala lampu menerangi wajah mereka.
"Kakang." Dyah Tantri menegur.
Keduanya saling berpandangan, tetapi diantara orang tua itu keduanya menahan
rindu. Sinar mata orang tua itu menatap wajah mereka dengan melemparkan senyum.
"Aku mengerti perasaan kalian. Seorang laki-laki akan melontarkan segenap
dendam jantannya, apabila telah bertemu kekasih." Orang tua itu diam sejenak, kemudian
menyambung, "Baiklah aku akan berterus terang kepada kalian."
Semuanya masih diam berdiri. Orang tua itu mempersilahkan mencari tempat
duduk.
Orang tua itu mulai berceritera,
"Telah lama aku berada di daerah ini. Pandansari adalah anak dan muridku.
Sedang Karang Seta seperti juga kau, Danang, ia seorang kesatria yang bertugas
mengamat-amati daerah Alas Purwa. Mereka berdua telah kupertunangkan."
Orang tua itu memandang Danang Seta yang kelihatan masih bertanya-tanya.
Orang tua itu melanjutkan, "Tak usah kau heran Danang, semuanya telah diatur. Kalian
tahu bukan, menjelang malam anggara kasih mereka mengadakan latihan terakhir."
"Maksud bapak?"
"Segalanya terletak pada kajian. Sekarang bulan setengah bulatan. Dapatkah hari
itu kalian capai adalah tergantung usaha kalian sebagai seorang yang memikul
kewajiban."
Danang Seta yang belum mengetahui duduk persoalan dan siapa sebenarnya orang
tua itu masih memandang dengan tanda tanya.
"Siapa sebenarnya paman?" Tanya Danang Seta.
"Masih perlukah aku memberi penjelasan?"https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Danang Seta merasa malu. Teringat ia akan kata-kata orangtua itu yang langsung
menyebutnya mempunyai tugas yang sama dengan Karang Seta yang telah
mendahuluinya bermukim di daerah Pandan Pungkuran mengikuti orang tua itu.
Karenanya Danang Seta tidak lagi berani bertanya.
"Tantri kau sudah siap. Juga kau Pandansari."
"Sudah paman." Jawab Tantri. Sedang Pandansari hanya mengangguk dengan
memandang Karang Seta.
"Kau tak usah berdendam kepadaku karena perpisahanmu dengan Tantri.
Danang, akulah yang membawanya bersama anakku Sari, agar tidak menyusahkan kau."
Kata orang tua itu.
Danang Seta menjadi tersipu-sipu.
"Dan aku pulalah yang menjatuhkan kau ke dalam lembah.
"Oh!!" Desah Danang Seta.
"Permainan ini memang berat, tetapi harus demikian, agar mereka tidak
mencurigai."
Danang Seta mengangguk.
"Mereka menganggap, aku telah mati, kau mati. Anak gadisku hilang tak keruan.
Sedang Karang Seta harus pergi memberi kabar mereka itu, akan pergi jauh mewartakan
sanak kadangku di tempat asal bahwa aku sudah mati dalam lembah itu. Dengan
demikian mereka tidak mencurigai. Kau mengerti maksudku?"
Semuanya mengangguk.
"Pergilah kalian malam ini. Sampaikan rontal ini kepada Mahapatih Arya Tadah,
dan sembahku kepada beliau."
'"Dan paman?"
"Kalian berempat mendahului. Aku masih mempunyai tugas yang lain malam
ini." Orang tua itu berkata dengan senyum dan memandang mereka. Semuanya menjadi
mengerti maksudnya.
"Malam terang bulan. Tetapi kalian harus berhati-hati." Keempat satria itu
membungkuk hormat, ternyata orang tua itu adalah seorang senapati yang sedang
menunaikan tugasnya dalam membuntuti brandal-brandal Alas Purwa yang menamakan
diri Cambuk Iblis.https://www.facebook.com/groups/Kolektorebook/
Mukhdan
Mereka masing-masing mengendarai kuda membawa berita yang segera
disampaikan. Di bawah sinar bulan hati mereka semakin bergolak. Tetapi tugas harus
diselesaikan terlebih dahulu.
Orang tua itu memandang dengan tersenyum.
TAMAT
Ikutilah ceritera lanjutannya "PENDEKAR WANITA"
MENUNTUT BALAS"


Ratu Ayu 02 Dendam Seorang Jantan di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hai Fani 1 Pendekar Rajawali Sakti 12 Rahasia Puri Merah Dracula 7

Cari Blog Ini