Ceritasilat Novel Online

Dewi Tombak 1

Dewi Tombak Karya Unknown Bagian 1


DEWI TOMBAK
HOA-CHIO YO SU NIO
Jilid I
KEWEDANAAN EK-TOUW dalam kabupaten Ceng-ciu di propinsi Shoa-tang, pada jaman
tahun kerajaan Kee-teng (tahun Masehi 1208-1224) dari ahala Song Selatan merupakan sebuah
kewedanaan kecil yang ramai sekali hanya amat disayangkan karena pemerintahan dimasa, itu
sangat buruk maka kewedanaan kecil itu telah menjadi daerah yang dikuasai oleh tiga pemerintah,
antara mana bangsa Kim sendiri telah menempatkan seorang bangsanya untuk memerintah
daerah itu sebagai Cian-hu, suatu jabatan yang untuk dijaman belakangan hampir sama
tingkatnya dengan wedana yang mempunyai kekuasaan dalam kalangan ketentaraan.
Orang ini bernama Wan Gan Cek, seorang pembesar yang gemar minum minuman keras dan
pelesir dengan perempuan-perempuan cantik. Tapi sebagai seorang pembesar yang sangat disegani
oleh rakyat dan anak buahnya, Wan Gan Cek tidak menunaikan tugasnya sebagai seorang Cianhu, malah setiap hari ia mengajak orang bawahannya keluyuran diluar atau keluar masuk rumahrumah minuman yang terkenal dalam kewedanaan kecil itu.
Pada suatu hari selagi ia asyik makan minum di atas loteng sebuah kedai arak dan dilayani oleh
beberapa orang bunga latar, tiba-tiba dari kejauhan ia melihat seseorang mendatangi dengan
menunggang seekor kuda putih yang dikaburkan bagaikan terbang cepatnya. Kuda tunggang itu
selain berbadan tegap, di atas punggungnyapun tergantung sebuah pelana yang baik sekali, selain
rajutan dan sulamannya indah, perhiasannya yang dibuat dari pada logam tampak berkilauan
cahayanya karena tertimpa sinar matahari.
Wan Gan Cek yang bersifat tamak dan selalu mengiler melihat orang lain memiliki barang sesuatu
yang lebih baik daripada punyanya sendiri, begitu melihat pelana yang dikenakan di punggung
kuda putih itu, ia lantas bertanya kepada seorang penasehatnya, Lauw Su-ya yang duduk di
sampingnya, "Siapakah penunggang kuda yang sedang mendatangi itu?"
Lauw Su-ya yang telah sekian tahun lamanya hidup di Ek-Touw dan kenal tidak sedikit orangorang yang menjadi para penghuni kewedanaan di situ, segera juga mengenali siapa adanya
penunggang kuda yang berbulu putih itu.
"Oh dialah Yo An Jie, yang membuka perusahaan kecil di See-ankie dan khusus membuat pelana,
" jawabnya dengan sikap yang sangat hormat. "Apakah Cian-hu Tayjin hendak membeli pelana?"
Wan Gan Cek menggelengkan kepalanya.
"Bukan, " katanya. "Cobalah engkau panggil dia menghadap kepadaku di sini."
"Aku segera pergi, " kata Lauw Su-ya. Tanpa diperintah satu dua kali, ia segera turun dari loteng
dan melambaikan tangannya ke arah Yo An Jie. "Yo An Jie, Cian-hu Lo-ya memanggilmu!"
Si pembuat pelana ketika tiba di muka kedai arak itu, segera menahan tali kekang kudanya dan
lompat turun dengan wajah berseri-seri.
"Apakah barangkali engkau hendak mentraktirkan minum?" katanya sambil tertawa."Bukan aku, " sahut su-ya she Lauw itu, "tapi engkaulah yang harus mentraktirku. Chian-hu Loya telah memerintahkan aku memanggilmu. Ini tentu berarti ada rejeki yang bisa kemudian
menyasar ke kantongmu. Ayoh, lekas engkau pergi menghadap Cian-hu!"
Sesudah menambatkan kudanya di bawah pohon, Yo An Jie segera mengikut Lauw Su-ya pergi
menghadap kepada Wan Gan Cek di atas loteng.
Tatkala melihat Yo An Jie, Wan Gan Cek yang congkak segera bertanya,
"Apakah engkau ini si pembuat pelana yang bernama, Yo An Jie?"
Yo An Jie mendongkol sekali melihat lagak Chian-hu bangsa Kim yang tengik itu, tapi sebagai
seorang pedagang tak layak ia berlaku kasar, maka apa boleh buat ia segera mengiakan pertanyaan
pembesar bangsa asing itu.
"Pelana yang dikenakan pada kudamu, " kata Wan Gan Cek, "Bukankah dibuat, daripada
mantel bersulam seorang wanita?"
"Pelana itu milik adik perempuanku Yo Su Nio, " sahut Yo An Jie, "Sudah barang-tentu dibuat
dan disulam dengan seindah-indahnya. Apakah barangkali Tayjin hendak memesan pelana yang
serupa ini?"
"Mana bisa aku bersabar sampai dibuatkan sebuah pelana lain?" Kata pembesar bangsa Kim itu
sambil menyengir. "Begini saja, pelana itu kau antarkan ke rumahku, nanti kuberi kamu hadiah
uang dua tiauw!" (Dalam perhitungan mata uang dijaman Song, uang satu tiauw sama dengan
1000 mata uang).
Tatkala itu karena kuda Yo An Jie menderita patah pinggang dan tengah diberi istirahat di
rumahnya, maka ia keluar dengan menunggangi kuda adik perempuannya Su Nio. Anak dara ini
selain sedari kecil gemar ilmu silat dan naik kuda, iapun pandai sekali dalam hal menyulam dan
ilmu surat. Tapi sungguh malang sekali ayah bunda mereka telah menutup mata sebelum usia
mereka menjadi dewasa. Begitulah dengan bekerja sama mereka berdua mencari nafkah dengan
jalan membuka perusahaan kecil yang khusus membuat pelana di rumah mereka sendiri yang
memakai merek See-an-kie.
Hari itu Yo An Jie sama-sekali tidak menyangka, bahwa Wan Gan Cek akan memanggilnya dan
meminta pelana milik adik perempuannya itu, maka dengan laku hormat ia menolak untuk
memberikan itu dengan berkata, "Chian-hu Lo-ya, pelana ini adalah milik adik perempuan
hamba, oleh karenanya tak dapat aku berikan kepada tuanku. Tapi jika Chian-hu Lo-ya
menginginkan juga pelana yang serupa, nanti akan kuminta adik perempuanku membuatkan pula
sebuah."
Wan Gan Cek yang menganggap diri sendiri sebagai raja di kewedanaan Ek-touw itu, belum
pernah mendengar ada orang yang berani menolak segala permintaannya. Keruan saja ia menjadi
kurang senang dan lalu membentak, "Hai, Yo An Jie, apakah sikapmu yang berbantahan itu
berarti hendak melawan segala perintah dan kehendakku? Coba engkau katakan!"
"Aku bukan membantah perintah atau kehendak tuanku, " kata Yo An Jie yang memang kerap
mendengar tentang perbuatan wedana bangsa asing yang lalim dan sewenang-wenang itu.
"Sebagaimana telah kukatakan tadi, pelana ini adalah milik adik perempuanku, maka aku merasatidak punya hak untuk memberikan kepada lain orang. Jika pelana itu milikku sendiri, sudah
barang tentu akan kupersembahkan kepada tuanku dengan segala senang hati .........''
"Tutup bacotmu!" bentak Wan Gan Cek dengan mata mendelik. "Ini adalah buat pertama kalinya
kehendakku ditentang orang! Masih bagus aku hanya minta pelana itu, tapi jika aku minta
jiwamu, apakah yang hendak kau katakan?"
Yo An Jie bukan seorang pengecut yang selalu suka manda saja dinista orang. Maka waktu
mendengar kata-kata si wedana bangsa Kim yang kasar itu, kontan amarahnya jadi meluap dan
segera menuding muka Wan Gan Cek sambil balas membentak, "Chian-hu jahannam! Bukannya
engkau melakukan tugasmu sebagai bapak rakyat, tapi sebaliknya hendak meniru perbuatan
pemeras dan perampok yang tidak mengenal peri kemanusiaan! Terhadap lain orang engkau boleh
berbuat sesukanya, tapi aku Yo An Jie tidak bersedia diperkuda oleh segala pembesar bebodor
seperti cecongormu ini!"
"Hai engkau berani melawan? Engkau berani memberontak terhadap seorang pembesar yang
dilantik sendiri oleh Seribaginda?" Tuding Wan Gan Cek ke arah pemuda she Yo yang berdarah
panas itu.
"Aku takut karena salah tapi tidak sudi menyerah jika pihakku benar!" kata Yo An Jie sambil
membalikkan badannya hendak segera turun dari atas loteng kedai minuman itu.
Wan Gan Cek jadi penasaran dan segera memerintahkan Lauw Suya dan anak buahnya untuk
menangkap Yo An Jie yang dianggap hendak memberontak kepadanya.
Tapi Yo An Jie bukan saja tidak menjadi gentar melihat anak buah wedana bangsa Kim yang
bersenjata lengkap itu, malah sebaliknya ia lantas menuding kepada Lauw Su-ya yang mengepalai
pengepungan itu sambil tertawa dingin dan berkata, "Lauw Su-ya, engkau dan aku sama-sama
bangsa Han, tapi mengapakah engkau rela mengkhianati negara sendiri dan membantu bangsa
asing menjajah dengan menggunakan tangan besi? Mengingat bahwa engkau adalah sesama
bangsaku, maka aku nasihati supaya engkau segera mundur! Kalau tidak, tinjuku yang tak
bermata ini akan membuat perhitungan terhadap siapapun tanpa memilih bulu!"
"Aiii, Yo An Jie, sungguh besar sekali nyalimu berani menggertak aku seorang tua?" bentak
Lauw Su-ya sambil membelalakkan matanya. Kemudian ia menoleh kepada para pengawal Wan
Gan Cek sambil berseru, "Ringkus dia!"
Kata-kata itu baru saja keluar dari mulut si Su-ya, ketika si pemuda she Yo telah lompat maju dan
segera menempeling muka penasihat she Lauw itu sehingga terdorong mundur dan jatuh
terlentang sambil berseru, "Pemberontakan! Pemberontakan!"
Kata-kata itu lalu disambung oleh Wan Gan Cek sendiri yang segera berbangkit dari tempat
duduknya sambil memerintahkah anak buahnya mengepung serta meringkus Yo An Jie.
Tapi Yo An Jie yang mudah naik darah dan memang sudah sangat jemu melihat tingkah laku
wedana bangsa asing yang sangat tengik itu, segera tangkap seorang serdadu yang hendak
memukul dengan toyanya, kemudian dilemparkannya ke arah Wan Gan Cek, sehingga dengan
menjerit kaget tercampur gusar ia jatuh terlentang kena ditomplok serdadu yang dilemparkan oleh
An Jie.
"Pemberontakan! Pemberontakan!" seru si pembesar bebodor.Sementara Yo An Jie yang melihat gelagat tidak baik, segera menggerakkan kaki dan tangannya
untuk memukul dan menendang para pengawal Wan Gan Cek yang hendak menangkapnya,
hinggc seketika itu juga di atas loteng telah terjadi pertempuran yang hebat sekali antara Yo An
Jie dengan anak buah Wan Gan Cek yang diumlahnya mencapai belasan orang banyaknya.
Setelah berhasil dapat merampas sebatang toya dari salah seorang serdadu bangsa Han yang telah
dirobohkannya, Yo An Jie, telah mengamuk bagaikan singa yang haus darah hingga dalam
sedikit saat saja beberapa orang pengawal pribadi Wan Gan Cek telah dapat dirobohkan. Sedang
Lauw Su-ya yang merasa sakit karena telah ditempeleng oleh si pemuda she Yo segera berlari-lari
turun ke bawah loteng dan memanggil lebih banyak serdadu jaga untuk bantu mempercepat
penangkapan itu.
Oleh karena kedatangan para serdadu jaga yang jumlahnya kian lama kian bertambah banyak itu,
akhirnya An Jie merasa khawatir juga dan menganggap tak mungkin ia menang untuk bertempur
dengan para serdadu dan pengawal yang jumlahnya kira-kira sudah hampir mencapai seratus
orang. Maka sambil membuka jalan darah dengan mengamuk bagaikan seekor banteng yang
sedang kalap, mula-mula ia berniat turun dari atas loteng dengan melalui tangga yang terdapat di
situ. Tapi ternyata tak mungkin dia dapat berbuat demikian karena para serdadu telah
mencegatnya di mulut pintu yang menjurus ke bawah loteng itu, maka ia putar haluan mendekati
jendela loteng, dari mana ia melompat turun bagaikan seekor burung layang-layang terbang keluar
gua. Gesit dan lincah gerakannya, sehingga dilain detik ia telah berada di bawah loteng dengan
tidak kurang suatu apapun. Kemudian, setelah mentahkan para serdadu jaga di muka kedai
minuman itu, ia segera cemplak kudanya, dan segera kabur menuju ke rumahnya sendiri.
Dengan demikian, terbebaslah ia dari pada pengejaran para serdadu itu, yang ternyata lebih
pandai gegares daripada menangkap orang!
Sementara Lauw Su-ya yang berhati keji mendadak timbul pikiran busuknya untuk mencelakai
An Jie dengan mempergunakan tangan orang lain. Sambil mengusap-usap pipinya yang bengap
ia mengadu kepada Wan Gan Cek sambil berkata, "Chian-hu Tayjin, itu bangsat Yo An Jie perlu
sekali kita bekuk selekas mungkin, pertama-tama untuk membalas sakit hati Chian-bu Tayjin,
sedang yang kedua untuk mencegah bibit pemberontakan dikemudian hari yang ada kemungkinan
dikepalai oleh pemuda jahat itu!"
"Memang benarlah apa katamu, " menyetujui Chian Gan Cek, "Karena jika dia tak lekas
dibekuk, kedudukan kita sendiri akan selalu terganggu dan tidak aman. Hai, para pengawalku!"
Ia teriakkan para pengawal pribadinya. "Ayolah kerahkan kawanmu untuk selekas mungkin
membekuk pemuda berbahaya itu. Barang siapa yang dapat menangkapnya hidup atau mati, akan
kuberi hadiah besar dan naik pangkat!''
Para pengawal itu yang haus dengan persenan dan kepangkatan, sudah barang tentu segera
menyanggupi dan tidak berayal lagi melakukan perintah itu. Tapi dikala mereka baru saja hendak
berangkat, tiba-tiba Lauw Su-ya teringat akan sesuatu dan berkata, "Nanti dulu. Kalian jangan
berangkat dulu!" Kemudian ia memiliki beberapa patah kata di telinga induk semangnya. "Lebih
baik Chian-hu Tayjin jangan berlaku tergesa-gesa. Biarlah kita ampuni dahulu jiwa bangsat she
Yo itu untuk beberapa waktu lamanya. Karena jika kita bekuk dia sekarang juga, orang pasti akan
menyelidiki sebab musabab daripada penangkapan kita itu, yang kesudahannya akan dapat
merugikan nama baik Chian-hu Tayjin, yang dikatakan hanya membalas dendam semata-mata
karena menginginkan barang orang yang tidak berapa berharga. Maka turut pendapat hamba,lebih baik kita mengatur siasat dengan otak yang dingin dan dengan cara yang lebih licin, agar
supaya tindakan kita bisa berhasil dengan sekali pukul!'
Oleh karena saran Lauw Su-ya ini, maka Wan Gan Cek terpaksa membatalkan maksudnya
menangkap pemuda she Yo yang berdarah panas dan tak sudi dipermainkan orang dengan
seenaknya saja.
Wedana bangsa Kim dan anak buahnya segera meninggalkan kedai minuman itu, setelah terlebih
dahulu mengancam pemilik kedai dan para pelayannya, agar supaya tutup mulut dan jangan
menyiarkan peristiwa tidak enak yang telah ia alami dengan pemuda she Yo itu.
Sementara Yo An Jie yang telah terlolos dari kepungan anak buah Wan Gan Cek, segera pulang
ke rumahnya dan memberitahukan hal itu kepada adik perempuannya Yo Su Nio, yang justru itu
tengah berlatih ilmu tombak di muka halaman rumahnya.
Sambil mencekal tombak Lee-hoa-chio yang bergagang panjang, Su Nio mendengarkan
penuturan kakaknya dengan perasaan mendongkol.
An Jie dan Su Nio meski dilahirkan dari satu kandungan tapi sifat mereka berdua justeru saling
berbedaan jauh sekali. Karena jika yang seorang bersifat jujur, kasar dan pemarah, adalah yang
lainnya bersifat lemah lembut dan peramah, murah senyumnya dan tidak sombong, hingga para
tetangga dan handai taulan semua senang sekali bergaul dengan mereka kakak beradik.
Di samping mencari nafkah dengan membuat pelana, kedua saudara ini hidup dengan rukun dan
sama-sama gemar ilmu silat, diwaktu luang mereka kerap berlatih dengan menggunakan senjata
kegemaran masing-masing yakni Yo An Jie mempunyai kesenangan memainkan golok sedang
Su Nio sangat gemar dengan tombak Lee-hoa-chio, yang dihias dengan bunga-bungaan yang
digantungkan pada bulu tombak.
An Jie yang di suatu waktu gemar berkelakar, tidak jarang menyerang adik perempuannya secara
sekonyong-konyong. Begitulah pada suatu hari ketika ia melihat Su Nio tengah berlatih
memainkan tombak dengan amat asyiknya, tiba-tiba ia berlompat maju sambil memainkan
goloknya dan berseru, "Su Nio, tengoklah golokku! Engkau boleh coba seranganku ini!"
Sambil berkata demikian, ia segera menerjang adik perempuannya yang lantas menyambuti golok
itu dengan tombaknya dan lantas berseru, "Waspadalah akan serangan balasanku!"
An Jie mempergunakan siasat Tay-peng-laktee (burung garuda turun ke tanah) hendak menabas
tombak si nona, tapi Su Nio tidak kalah gesit dan cerdiknya, segera putar tombaknya sedemikian
lincah sehingga seketika itu juga ia berhasil dapat menindih belakang golok kakaknya secara tepat
sekali.
"Sungguh bagus sekali!" An Jie bersorak sambil disusul dengan gelak tertawa yang nyaring dan
membuat burung-burung gereja yang hinggap di atap rumah terbang serabutan karena amat
kagetnya.
Su Nio merasa gembira telah berhasil dapat menindih golok sang kakak lekas-lekas tusukkan ujung
tombaknya pada leher orang sambil membentak, "Tengok ujung tombakku!"
Sambil membentak demikian, ia luncurkan tusukannya bagaikan kilat cepatnya. Syukur juga An
Jie bermata sangat celi. Begitu melihat ujung tombak berkelebat ke arah lehernya, segera iamenundukkan kepala untuk mengasih lewat tombak itu, kemudian dengan gerakan secepat angin
ia cekal gagang tombak yang lalu dikempit, hingga Su Nio yang kalah kuat, tidak berhasil dapat
membebaskan tombaknya itu.
Wajah Su Nio jadi berubah merah karena jengkel dan penasaran.
"Lepaskan tombakku!" bentaknya.
Tapi An Jie yang gemar bersenda gurau, hanya mengganda tawa dan mengejek, "Ayoh, dik,
hendak kusaksikan berapa besar tenagamu! Akan kuhitung sampai tiga. Jika selama itu, tak dapat
engkau menarik serta membebasan tombakmu, itu tandanya bahwa engkau masih perlu berlatih
pula sehingga 10 tahun lamanya! Ha ha ha! Hi hi hi!"
Hai mana, telah membuat Su Nio kheki bukan main dan tiba-tiba ia mendorong tombaknya
kemuka dengan sekuat tenaganya
Kali ini An Jie yang sama-sekali tak menyangka bahwa adik perempuannya akan menggunakan
siasat meminjam tenaga orang untuk merobohkan orang yang sama pula, hampir saja terdorong
mundur dengan tubuh terangkat ke atas. Lalu dengan hati terkesaap ia perberat tubuhnya sehingga
dapat berdiri tegak pula dan tak berhasil dikibaskan Su Nio sehingga terpental ke belakang.
"Ha ha ha!" si An Jie mentertawakan adiknya. "Ayoh, habiskanlah tenagamu untuk
mendorongku!'
Tapi siapa nyana selagi ia tertawa mengakak tiba-tiba ada sehelai daun yang melayang menukik
dan menimpa tepat pada lengan An Jie yang sedang menahan tombak yang ditarik mundur-maju
oleh nona itu. Timpaan daun itu telah membuat ia merasa kesemutan dan terpaksa melepaskan
tangannya yang mencekal tombak, maka tidak tempo lagi Su Nio jadi mundur ke belakang dan
jatuh terlentang tanpa ia dapat mempertahankan pula dirinya, si nona yang menganggap dirinya
dipermainkan oleh kakaknya, sudah tentu saja jadi mendongkol sehingga wajahnya berubah
merah. Tapi waktu ia hendak mengomeli sang kakak, tiba-tiba ada seorang tertawa terbahakbahak sambil berkata, "Ilmu silat Siauw-nio-cu sungguh lihay sekali!"
Tatkala Su Nio menoleh ke arah suara tertawa itu, ternyata di situ tampak seorang tua yang
rambut dan janggutnya sudah putih semua, tapi wajahnya tampak segar dan bercahaya, hingga
tidak salah lagi jika dia dikatakan sebagai seorang dewa yang baru turun dari kahyangan. Su Nio
jadi terbengong dan tinggal menatap wajah orang tua itu dengan perasaan kagum.
Tapi An Jie yang mudah naik darah dan merasa seakan-akan dipermainkan oleh orang tua itu,
keruan saja menjadi gusar dan lalu memaki, "Hai, engkau orang tua yang sudah hampir modar,
apakah perlunya mengganggu kami yang sedang berlatih? "Ni rasakan golokku!"
Dengan sekali lompat saja ia telah menerjang orang tua itu dengan goloknya.
Tapi alangkah gesitnya gerakan orang tua itu. Begitu ia menggerakkan tangannya menjambret ke
atas, dilain saat tangan itu teiah mencekal sebatang ranting pohong yang segera dipergunakan
untuk menangkis golok Yo An Jie.
"Sungguh menggelikan sekali perbuatannya orang tua ini." pikir si pemuda she Yo. "Apakah
otaknya sudah miring, sehingga ia berani melawan golokku dengan hanya mempergunakan
sebatang ranting pohon saja? Sudah, sudah! Akan kulihat bagaimana kesudahannya nanti!"Si empe tersenyum sambil mengelakkan bacokan Yo An Jie dengan hanya mengegos sedikit ke
arah kiri, kemudian ia menggerakkan ranting pohong di tangannya sambil berkata, "Anak muda,
sekarang jagalah serangan balasanku!"
Tanpa bergerak dari tempat ia berdiri, ia segera menggerakkan ranting pohong itu dan
diketukkannya dengan secara tepat pada bagian tengah golok Yo An Jie, hingga si pemuda jadi
terkejut dan golok di tangannya segera terpental sehingga beberapa belas kaki jauhnya. Karena
diluar sangkaan An Jie, ketukan ranting pohon orang tua itu ternyata hampir sama saja hebatnya
dengan kemplangan meja!
Hal mana, telah membuat An Jie gusar bukan kepalang.
"Engkau ini siluman dari manakah," bentaknya, "Yang telah memecahkan ilmu golokku dan
membuat senjata itu terpental karena ilmu silumanmu itu? Engkau harus mengerti, bahwa kami
Yo An Jie kakak beradik takkan mudah menyerah meski kepada siapa juga!"
Setelah berkata demikian, ia segera pergunakan dua tinjunya dengan sekaligus memukul pada
orang tua itu dengan sekuat tenaganya.
Tapi Yo Su Nio yang dari tadi memperhatikan gerak gerik si orang tua, yang dengan sebatang
ranting pohon telah berhasil dapat memukul jatuh golok kakaknya. Jika dia itu bukan seorang
pandai, cara bagaimana dengan mudah berbuat demikian?
Oleh karena menganggap pasti bahwa ia itu adalah seorang ahli silat yang sangat lihay dan tinggi


Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ilmu kepandaiannya, maka ia segera lompat dan menghadang kakaknya yang hendak memukul
orang tua itu sambil berkata, "Koko, sabar dulu!'' Kemudian ia menoleh pada orang tua itu sambil
memberi hormat dan berkata, "Lotiang orang dari mana? Apakah nama dan she Lotiang yang
mulia?"
Orang tua itu tampak sangat girang melihat sikap si nona yang begitu hormat, maka dengan
tersenyum ia lantas menjawab, "Nona, aku girang sekali melihat sikapmu yang begitu hormat,
hanya amat disayangkan bahwa aku orang tua yang telah lama meninggalkan kampung halaman
sendiri dan merantau kian kemari sekian lamanya, sampaipun she dan nama sendiri telah
kulupakan ............!"
"Jika demikian," kata si nona sambil tersenyum, "Sebutan apakah yang aku boleh pergunakan
untuk menyebut namamu?"
Si empe mengangguk sambil bersenyum dan berkata, "Ya, ya benarlah apa katamu. Dalam
runtunan saudara-saudaraku aku terhitung yang nomor enam, maka engkau panggil saja namaku
Lo Liok."
"Tapi panggilan itu agak kurang ajar kedengarannya." Kata si nona yang telah berlaku ramah dan
berseri-seri. "O1eh karena itu, ijinkanlah aku memanggil namamu dengan sebutan Liok Kong!"
Si empe tampak tertawa dan mupakat mendengar Su Nio memanggilnya dengan nama sebutan
yang berarti Pak Enam itu.
"Engkau sebut namaku demikian pun bolehlah," katanya. "Tapi apa yang sama sekali tidak
kunyana, adalah tentang pertemuan kita hari ini. Inilah sesungguhnya suatu pertemuan yangberjodoh. Maka jika engkau tak berkeberatan, apakah engkau sudi bersahabat dengan aku si orang
tua?"
Yo An Jie yang masih mendongkol terhadap orang tua itu, dengan mata membelalak lalu
memotong pembicaraan orang, "Usiamu sudah sedemikian tuanya, sehingga masih pantas
menjadi engkong adik perempuanku, maka dimanakah ada aturan orang tua bersahabat dengan
kanak-kanak"
Lo Liok tertawa bergelak-gelak mendengar omongan itu.
"Aku orang tua akan merasa sangat bahagia mempunyai seorang cucu serupa nona ini!" katanya
gembira.
"Jika demikian halnya." kata Yo Su Nio, "Akupun bersedia akan menjadi cucumu! Dengan
demikian, aku sekarang memberi hormat kepadamu sebagai seorang cucu menghormat
kakeknya."
Sesudah berkata begitu, nona itu lalu memberi hormat dengan jalan menjura di hadapan orang
tua itu.
"Aiii, tak usah engkau berlaku begitu sungkan. Tak usah engkau berlaku begitu sungkan!" Si
empe mengulangi, sambil mengangkat bangun nona itu.
An Jie yang melihat tingkah adik perempuannya, di dalam hatinya jadi semakin gusar dan lalu
mengomel, "Jika demikian selanjutnya engkau boleh buang she Yo itu dan pergi mengikut si tua
bangka Lo Liok itu!"
Su Nio jadi jengkel juga melihat sikap kakaknya yang begitu kasar dan uring-uringan tidak keruan
juntrungannya.
"Engkau sungguh sangat keterlaluan," bentaknya, "Apakah barangkali engkau hendak menyaingi
nenek bawel dan kakek yang sudah pikun?"
An Jie tak menyahut, tapi penglihatannya dengan tidak disengaja telah beralih kepada pipi orang
tua itu yang tampak sudah lama dicap sebagai seorang pembuangan, hingga dengan tersenyum
dingin ia mengejek, "Tidak tahunya engkau ini bekas seorang pembuangan? Hmm!"
Kata-kata ini telah menarik perhatian si nona, yang segera memperhatikan pipi orang tua itu, yang
sesungguhnya tampak bekas cap, tapi bekas cap itu kini sudah hampir lenyap sama sekali karena
amat lamanya.
Liok Kong tersenyum dan menjawab, "Benar. Diwaktu usiaku masih muda, aku memang pernah
dibuang ke lain tempat. Rumah tanggaku berantakan karena fitnahan pembesar yang lalim.
Demikianlah riwayat hidup yang singkat tapi jeias itu. Jika engkau tak biasa bercampur gaul
dengan seorang yang pernah menjalani hukuman, kiranya lebih baik aku meminta diri saja!"
Tapi Yo Su Nio segera menahannya sambil tersenyum dan berkata, "Ya ya, cucu tak punya
prasangka demikian. Harap engkau jangan menaruh sangkaan yang tak baik."
Liok Kong tertawa gembira. "Engkau ini sesungguhnya seorang cucu perempuan yang baik sekali,
" katanya, "Maka tak kecewa kiranya untuk menerima warisan pelajaranku, yang telah sekiantahun lamanya kuperoleh dari perantauanku dikalangan Kang-ouw. Tapi belum tahu apakah kau
sudi menerima warisan pelajaranku itu?"
Yo Su Hio yang memang gemar ilmu silat, sudah tentu saja jadi sangat girang dan lalu memberi
hormat kepada Liok Kong sambil berkata, "Cucu bersedia menerima warisan peiajaranmu yang
berharga itu!"
"Warisan pelajaranku ini merupakan ilmu tombak Lee-hoa-chio." kata orang tua itu. "Engkau
gemar ilmu permainau tombak, aku justeru mahir dalam ilmu tersebut. Tapi belum tahu engkau
dahulu belajar ilmu tombak dari siapa?"
"Sudah barang tentu akulah yang mengajarinya!'' sela Yo An Jie dengan suara kaku.
Liok Kong menghela napas sambil menjawab, "Sayang, sayang ilmu tombak yang begitu bagus
keliru dimainkannya, hingga rusaklah keaslian ilmu tersebut dari pada asalnya semula ..........."
"Jadi engkau menganggap bahwa ilmu tombakku itu jelek dan tak baik untuk dipelajari orang?"
bentak Yo An Jie mendongkol. "Tahukah engkau ilmu tombak itu berasal dari siapa? Itulah ilmu
tombak keluarga Yo yang terkenal! Jika engkau tak percaya marilah kita bertanding untuk menguji
keaslian serta kelihayannya!"
"Tidak usah kita bertanding," kata Liok Kong dengan sikap yang tenang. "Karena pasti engkau
takkan menang dalam pertandingan itu. Barusan aku hanya menggunakan sebatang ranting pohon
saja dan engkau tak dapat mengalahkan aku, apa lagi jika aku benar-benar bertanding dengan
bersenjata sebatang tombak! Ah, ini tidak, mungkin, ini tidak mungkin!"
Yo An Jie yang mendengar omongan tersebut menganggap bahwa dirinya dianggap sepi, hingga
ia menjadi semakin marah dan lalu mendesak minta juga bertanding ilmu tombak dengan orang
tua yang aneh itu.
Kesudahannnya Liok Kong suka juga mengabulkan permintaan si pemuda she Yo, dengan syarat
bahwa dia akan melawannya dengan sebatang bambu yang sama panjangnya dengan sebatang
tombak, namun pada bagiannya yang tajam dari bambu itu diikatkan sebuah pit (pinsil Tiongkok)
yang terlebih dahulu dicelupkan ke dalam bak (tinta Tiongkok). "Cara ini aku terpaksa ambil
untuk mencegah kecelakaan," kata orang tua itu, "Tapi bukan sekali-kali aku menganggap sepi
kepadamu."
Tapi An Jie tetap mendongkol dan tak berkata-kata sepatahpun. Setelah itu Liok Kong menyuruh
An Jie pergi mengambil tombak yang barusan dipergunakan oleh Yo Su Nio.
Setelah kedua pihak bersiap-siap, Liok Kong segera memberi isyarat untuk An Jie membuka
serangan terlebih dahulu.
Tanpa dianjurkan sampai dua kali, si pemuda she Yo segera berseru sambil menusukkan ujung
tombaknya ke arah ulu hati Liong Kong, siapa lalu menangkis dengan bagian tengah bambu yang
dipergunakan sebagai tombak itu. Kemudian, dengan suatu gerakan yang sukar dapat dilihat
karena amat cepatnya, pada baju di bagian dada An Jie telah tampak dua buah noda bak, suatu
tanda jika Liok Kong benar-benar mempergunakan sebatang tombak sungguhan. Si pemuda telah
menderita dua tusukan dalam waktu hanya sekejap mata saja!Tapi An Jie yang keras kepala tak mau mengerti dan membantlah, bahwa noda di bajunya itu
bukanlah karena akibat tusukan pit yang diikatkan pada ujung bambu Liok Kong, tapi karena
kecipratan oleh bak yang keluar dari pit diwaktu bambu itu digerakkan si orang tua.
Maka terpaksa Liok Kong harus melanjutkan pula pertempuran itu, yang ternyata berlangsung
lebih hebat daripada semula. Karena An Jie yang kepingin lekas-lekas mengakhiri pertempuran
itu telah memperhebat serangan-serangannya sehingga gerakan tombaknya hampir mirip dengan
baling-baling diterjang tofan. Tapi sebaliknya gerakan Liok Kong hanya seperti orang yang mainmain belaka. Tatkala pertempuran berlangsung lebih kurang 10 jurus lamanya, tiba-tiba mata Yo
An Jie jadi kabur dan akhirnya jatuh tersungkur ke tanah entah apa sebab musababnya.
Orang tua itu lekas membangunkannya sambil tersenyum dan berkata, "Apakah engkau tak
menderita luka?"
Yo An Jie memberengut terbengong sejenak, kemudian menggelengkan kepalanya.
"Jika engkau bertanding sungguh-sungguh denganku," kata Liok Kong akhirnya, "Siang-siang
engkau sudah menderita luka-luka parah yang akan dapat juga menewaskan jiwamu sendiri! Jika
engkau tak percaya omonganku, cobalah engkau tengok dan periksa berapa banyak noda-noda
totokan pit yang tampak pada pakaianmu!"
Yo An Jie yang terlampau keras kepala, tinggal membisu, tapi di dalam hatinya lambat-laun
merasa jeri juga terhadap orang tua yang baru dikenalnya itu.
"Sama sekali ada 108 noda totokan pit di atas bajumu itu!" kata Liok Kong pula. "Jika engkau tak
percaya, cobalah tanggalkan bajumu dan hitung sendiri totokan pit tersebut. Pasti tak lebih tak
kurang daripada jumlah yang telah kukatakan!"
An Jie turuti kata orang tua itu, dan setelah coba menghitung noda-noda totokan pit itu, benar
saja jumlahnya cocok dengan apa yang dikatakan Liok Kong, 108! Tidak kurang tidak lebih.
"Ilmu tombak Ya-ya sungguh lihay sekali!" puji Yo Su Nio dengan perasaan kagum. "Harap Yaya segera ajarkan aku ilmu tombakmu itu!"
"Tentu, tentu," sahut Liok Kong dengan hati gembira, "Apa lagi aku sendirilah yang telah
menyangupi untuk mengantarkan serta mewariskan itu kepadamu. Ilmu tombak ini, adalah
warisan dari Gak Hui, jenderal kenamaan yang kalian tentu pernah mendengar namanya. Ilmu
tembok ini meski hanya terdiri dari 13 jalan, tapi dapat berubah-ubah sehingga menjadi 39, 78,
dan sekian puluh atau ratus jalan, yang kerap membingungkan bagi siapa yang masih asing akan
ilmu itu."
"Bohong! Keteranganmu itu hanya isapan ejempo! belaka!" sela Yo An Jie yang merasa dirinya
disindir dengan kata-kata kata-kata membingungkan bagi siapa yang masih asing akan ilmu itu.
Dengan demikian, dialah yang menganggap dirinya "kena terpukul" oleh kata-kata orang tua itu!
"Aku bukan bicara takabur!" kata Liok Kong yang kali ini hendak sengaja mengejeknya. "Jika Su
Nio telah mempelajari ilmu tombakku 10 hari saja lamanya, niscaya kepandaiannya akan
melampaui dirimu sehingga 10 lipat! Maka janganlah engkau pandang rendah ilmu tombakku
itu!"Yo An Jie jadi semakin mendongkol lalu balas membentak, "Jika aku yang terlebih dahulu
mengajari ilmu tombak kepadanya sampai benar-benar kena dikalahkannya, aku bersedia menjadi
murid adik perempuanku!" . .
Liok Kong tertawa mengakak. "Ya, ya, itulah tandanya bahwa kelak engkau akan menjadi cucumuridku!" kata orang tua itu. Kali ini Yo An Jie yang telah mengetahui betapa lihaynya si empe
itu, hanya berani gusar di dalam hati, tapi tak berani coba-coba menantang bertanding pula.
Demikianlah untuk sekian waktu lamanya Liok Kong menumpang di rumah kedua orang kakak
beradik itu, dimana ia telah mengajarkan Su Nio ilmu tombak, yang kelak membuat si nona
terkenal dikalangan Kang-ouw sebagai Hoa-chio Yo Su Nio aiau si Dewi Tombak.
Di bawah pimpinan Liok Kong yang ternyata ada seorang gagah tak bernama yang sesungguhnya
mahir dalam ilmu tombak, Su Nio yang memang berbakat sangat baik, dengan lekas dapat
menguasai sebaik-baiknya sesuatu siasat permainan tombak yang telah diturunkannya oleh orang
tua itu maka dalam sedikit waktu saja permainan tombaknya telah memperoleh kemajuan
sehingga sepuluh lipat lebih lihaynya daripada beberapa hari yang lalu..
"Hanya tombak ini yang tergolong sebagai senjata bergagang panjang, lebih menguntungkan jika
dipergunakan dalam peperangan dengan berkuda daripada bertempur dengan berjalan kaki," kata
Liok Kong sebagai keterangan tambahan yang perlu diketahui oleh si nona. "Karena dalam
pertempuran di tempat yang sempit atau di dalam rumah, orang yang bersenjata tombak sukar
bergerak dengan leluasa. Maka kalau sampai kejadian kita bertempur di tempat sempit, lebih baik
kita mendahului melompat ke tempat terbuka, daripada mengasih diri kita dikepung di suatu
tempat yang kurang luas halamannya."
Su Nio berjanji akan memperhatikan petunjuk-petunjuk Liok Kong itu.
Pada suatu hari Liok Kong telah melenyapkan diri, hingga sia-sia saja Su Nio dan kakaknya
mencari kian-kemari. Tapi di dalam hati mereka tetap percaya, bahwa di suatu hari mereka akan
dapat saling berjumpa pula.
Begitulah lewatnya sang hari tak berbeda dengan melesatnya anak panah dari dalam busurnya,
hingga sebulan telah lampau sejak Liok Kong meninggalkan rumah keluarga Yo dengan secara
diam-diam. Tapi selama itu Su Nio telah dapat menguasai hampir seluruhnya siasat ilmu tombak
orang tua yang aneh itu.
Pada suatu hari selagi Yo An Jie keluar bepergian dan si nona di rumah berlatih ilmu tombak
dengan asyiknya tiba-tiba ada 7 atau 8 orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar datang
menyatroni ke situ dengan dikepalai oleh seorang laki-laki setengah tua yang pandai sekali
berbicara.
Orang laki-laki setengah tua itu begitu melihat nona Su Nio tengah berlatih dengan amat hebatnya,
segera datang menghampiri dan dengan laku yang ceriwis sekali lalu cengar-cengir sambil berkata,
"Aiii, nona manis, sungguh lihay sekali ilmu tombakmu! Tapi betapapun juga, kerlingan
matamu jugalah yang lebih lihay!"
"Apakah engkau tidak berkeberatan untuk mengikut kami menjumpai Chian-Hu Tayjin untuk
menjadi pelayannya diwaktu minum arak?" sambung orang setengah tua itu pula.Su Nio yang tak biasa dipermainkan dengan secara kurang-ajar serupa itu. lantas membelalakkan
matanya dengan alis berdiri dan membentak, "Tua bangka yang berkulit muka tebal! Ucapanucapan apakah itu yang telah kaukeluarkan dari bacotmu yang kotor?"
Salah seorang antara rombongan orang-orang kasar itu lalu tertawa sambil berkata. "Aiii,
sungguh tidak kunyana bahwa seorang gadis yang begini lemah gemulai berperangai begitu garang
bagaikan seekor kucing hutan! Hi, hi, hi!" Sudah itu ia berniat meraba dagu si nona, tapi Su Nio
lekas mundur sambil melintangkan tombaknya dan membentak, "Jangan coba mendekati
kepadaku! Kalau tidak, ujung tombak inilah yang akan menjadi bagianmu!"
Orang laki-laki kasar yang menganggap sepi tenaga si nona, tetap tidak menghiraukan ancaman
orang dan coba menghampiri juga sambil berkata, "Siapa she dan namamu?"
Su Nio lekas balikkan gagang tombaknya sambil dipukulkan pada tangan orang itu yang
mendadak hendak mencomlot buah dadanya dengan laku yang amat tidak sopan. Hal mana sudah
barang tentu telah membuat si buaya darat teraduh-aduh karena tangannya merasa kesakitan.
"Nona, sungguh kasar sekali perbuatanmu itu!" kata orang laki-laki setengah tua yang pandai
bicara. "Apakah engkau tidak mengetahui, bahwa kedatangan kami ini membawa perintah.
Chian-hu Tayjin? Tengoklah, semua tuan-tuan ini adalah para pengawal pribadinya!"
"Jika kalian datang kesini membawa perintah induk semangmu," kata nona Su Nio mendongkol,
"Mengapakah engkau tidak segera katakan itu, malah sebaliknya menunjukkan perbuatanperbuatan yang begitu kurang ajar?"
"Nona manis, janganlah engkau menjadi gusar dahulu," kata orang laki-laki setengah tua itu.
"Yang pertama-tama kami diperintah untuk membawa menghadap dirimu ke gedung Chianhu........."
"Coba terangkan apa maksudnya!" sela si nona tidak sabaran.
"Engkau ini toh sudah besar," kata orang laki-laki setengah tua itu sambil hahahihi bagaikan
lakunya cacing kena abu, "Masakah engkau tidak mendengar bahwa Chian-hu Tayjin sangat
mencintai dirimu?"
"Cis! Omongan apa yang kau ucapkan itu, tua bangka edan!" si nona membentak sambil
menudingkan ujung tombaknya ke arah dada orang itu, hingga si tua bangka ceriwis itu terpaksa
mundur sambil berkata, "Nona jangan gusar, nona jangan gusar. Aku hanya seorang suruhan
belaka. Singkirkanlah ujung tombakmu ini, aku masih ada beberapa patah kata yang hendak
disampaikan kepadamu ..........."
"Sudah cukup! Enyahlah kalian dari hadapanku!" kata Su Nio sambil memutar tombaknya,
hingga orang laki-laki setengah tua itu dan anak buahnya jadi berlomba mundur ke muka halaman
yang ada di muka gubuk itu, "Jika kalian tak mau berlalu juga, aku terpaksa pergunakan tombak
ini untuk mengusir kalian dengan kekerasan!"
"Orang perempuan ini rupanya bukan seorang baik-baik!" kata buaya darat yang barusan
dihantam tangannya oleh Su Nio dengan gagang tombak. Tapi sebelum ia mampu melanjutkan
bicaranya, nona itu telah berlompat maju dan menempiling mulutnya sehingga pengap dan
sebuah giginya copot. "Pemberontakan! Pemberontakan! " teriak orang itu. "Lekas laporkankepada Chian-hu Lo-ya bahwa di sini ada seorang pengacau yang sedang menantikan kesempatan
untuk memberontak serta menggulingkan pemerintah!"
"Segera tangkap perempuan liar itu!" kata yang lain-lainnya dengan suara yang hampir berbareng.
Sementara Su Nio yang sudah merasa jemu berurusan dengan mereka, segera putar tombaknya
bagaikan baling-baling cepatnya untuk mengusir mereka sekalian.
Dalam pada itu seorang pemuda yang bertubuh tegap telah datang juga ke situ dengan berkuda.
Ia berlompat turun dari kudanya dengan tergesa-gesa, tatkala menyaksikan si nona di keroyok
orang. Mula-mula ia pukul salah seorang antara para buaya darat itu sehingga meloso di tanah,
kemudian ia menerjang ke tengah kalangan pertempuran sambil membentak dengan suara
nyaring, "Apa sebab kalian mengeroyok adik perempuanku? Ni, rasakan dahulu sepasang
tinjuku!"
Orang itu ternyata bukan lain daripada Yo An Jie adanya, dengan gerakan secepat kilat telah
menghantam beberapa orang sehingga lari pontang panting bagaikan daun-daun kering tertiup
angin. Ada yang benjut kepalanya, ada yang bengap pipinya atau rontok giginya kena ditabrak
oleh pemuda gagah yang bertabiat kasar itu. Kemudian ia menuding pada laki-laki setengah tua
itu sambil mendamprat, "Hai, Su-ya jahanaml Dahulu aku sudah mengampuni perbuatanmu
yang busuk itu, tapi kali ini tak dapat aku berlaku begitu longgar pula! Tengok tinjuku ini yang
akan mengambil jiwa anjingmu disaat ini juga!"
Su-ya tersebut yang ternyata bukan lain daripada Lauw Su-ya, hanya pandai memutar lidah tapi
sama sekali tak punya kemampuan apa-apa. Maka kalau ia sampai kena digebuk oleh Yo An Jie
yang tinjunya mampu memukul mati seekor lembu, sudah bareng tentu tulang belulangnya akan
berantakan bagaikan bangunan belum dipasangi atap yang kena diterjang angin puyuh.
Tapi para buaya darat itu yang telah paham betapa berbahayanya keadaan si Su-ya pada saat itu,
dengan serentak maju mengepung Yo An Jie dengan golok atau toya di tangan masing-masing
hingga, pertempuran yang maha dahsyat telah terjadi di muka gubuk itu.
Tapi An Jie dan Su Nio tidak tampak gentar menghadapi lawan yang jumlahnya jauh lebih banyak
daripada mereka berdua. Mereka kakak beradik mengamuk bagaikan sepasang harimau yang
menerobos diantara kelompokan biri-biri hingga jeritan ngeri dan darah-darah yang cerecetan di
tanah telah membuat hati Lauw Su-ya jadi cemas dan lalu berseru, "Ayoh, mari kita lekas pulang
meminta bala bantuan! Kita harus laporkan kepada Chian-hu Tay-jin bahwa orang-orang
berbahaya serupa mereka ini tak boleh dibiarkan seenaknya mengacau di sana-sini!"
Oleh karena anjuran penasihat wedana yang penuh akal busuk itu, maka sekejap saja para buaya
darat itu telah lari pontang panting mengikuti Lauw Su-ya yang telah kabur duluan. Tapi Yo An
Jie yang merasa belum puas dan ingin melampiaskan seluruh kemarahan yang membakar dengan
hebat di dalam hatinya, segera mengejar dan memukuli orang-orang yang masih dapat dicekalnya,
hingga Su Nio jadi khawatir kakaknya nanti menerbitkan perkara jiwa maka lekas-lekas ia
mencekal tangan An Jie sambil berseru, "Koko, sabar dulu! Ingatlah bahwa jiwa manusia itu tak
boleh dibuat permainan!"
"Tidak perduli!" bentak Yo An Jie dengan napas ngos-ngosan, "Aku tidak penasaran menukar
jiwaku dengan mereka sekalian, jika aku telah membasminya dengan sesuka hatiku!"Tidak antara lama tampak seorang laki-laki usia tiga puluhan berlari-lari menghampiri mereka
berdua saudara dengan tergesa-gesa.
"Yo Toako, lekas kabur!" kata orang itu yang ternyata seorang berpangkat Tee-po atau agen polisi
yang bersahabat karib dengan pemuda she Yo itu. "Oleh karena hasutan Lauw Su-ya, kini Chianhui Thayjin hendak menyiapkan sepasukan tentara untuk menangkap kalian berdua saudara.
Maka sebelum bahaya besar yang mengancam tiba, aku nasihati supaya kalian berkemas-kemas


Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan segera kabur ke lain tempat!"
Yo An Jie yang mendengar kabar begitu, kegusarannya menjadi semakin berkobar dan lalu
berseru, "Akan kubunuh dahulu Chian-hu lalim dan Su-ya keji itu, barulah kemudian kabur ke
lain tempat."
"Aku bukan menganggap Toako takut terhadap mereka," menasihati Tee-po itu pula, "Tapi
jumlah mereka jauh lebih banyak daripada dirimu, hingga tidak mungkin kau berhasil melakukan
pembunuhan itu. Kini waktunya sudah sangat kesusu. Segeralah turuti nasihatku dan lekas-lekas
kabur dari sini sebelum terlambat."
Su Nio yang berotak cerdik dan mengerti juga betapa berbahayanya kedudukan mereka disaat itu,
lalu bantu membujuk kakaknya untuk menuruti nasihat Tee-po itu, hingga kesudahannya An Jie
mau menurut juga dan menghela napas putus asa. "Duapu-tuh tahun lamanya kita berusaha
dengan susah payah, tapi hancur lebur dalam waktu hanya sehari ini saja!" katanya sambil gelenggelengkan kepala.
"Lekaslah ber-kemas-kemas. Ya Toako!" kata si Tee-po dengan suara separuh memaksa. "Jangan
pikirkan segala harta benda, tapi keselamatan diri dan jiwamulah yang jauh lebih penting daripada
itu semua. Karena jika kalian tidak lekas-lekas kabur, cara bagaimana aku mesti menolak perintah
Chian-hu itu untuk menangkap kalian berdua saudara?"
Su Nio tak lupa mengucap terima kasih atas kebaikan hati Tee-po itu, kemudian ia berkemaskemas, membawa uang dan barang-barang berharga serta pakaian yang lalu dibungkus menjadi
dua bungkusan. Sudah itu ia menyamar dengan mengenakan seperangkat pakaian laki-laki,
membawa tombak dan mengenakan pelana tersulam pada kuda kesayangannya. Perbuatan mana
pun dituruti oleh Yo An Jie, yang setelah selesai berkemas-kemas, segera menyoren sebilah golok
Tanto di atas punggungnya.
"Gubuk serta seluruh isinya aku serahkan kepadamu." kata An Jie diwaktu menuntun kudanya
dari dalam istal kepada Tee-po yang menjadi sahabatnya itu. "Engkau boleh berbuat apa saja yang
engkau suka dengan itu semua. Selamat tinggal!"
"Selamat tinggal aku ucapkan kepada kalian berdua, saudara!" kata Tee-po itu dengan rupa
terharu. "Semoga Thian melindungi diri kalian sehingga bangsa Kim yang menjajah negara kita
dapat dibasmi dan diusir dan tanah air kita!"
Kemudian An Jie dan Su Nio cemplak kuda masing-masing dan meninggalkan kewedanaan Ektouw untuk merantau entah kemana tujuannya. Maka diwaktu pasukan tentara Wan Gan Cek
tiba di tempat yang dituju, mereka jadi kecewa melihat gubuk kakak beradik Yo itu sudah kosong.
DENGAN mengandal kuda mereka yang dapat berlari sangat cepat dalam waktu singkat An Jie
dan Su Nio telah terpisah 20 atau 30 lie jauhnya dari desa kuamen mereka. Dan tatkala melihat
bahwa di sebelah belakang, tidak tampak ada tentara Chian-hu yang mengejar, Su Nio lalumenahan tali kekang kudanya untuk beristirahat sejenak sambil berkata, "Hendak ke manakah
kita sekarang ini?"
"Entahlah," sahut An Jie sambil menghela napas panjang. "Jika bukan engkau yang menerbitkan
keonaran," kata Su Nio. "Niscaya kita tidak sampai mengalami peristiwa yang tidak enak ini
........."
"Memang benarlah apa katamu, dik," kata Yo An Jie, "Tapi apakah di dunia ini ada manusia
yang begitu sabar hati, untuk tidak menjadi gusar jika dihina orang? Ingatlah, bahwa penghinaan
dan pemerasan cara Cian-hu bedebah itu tak boleh didiamkan begitu saja. Sayang aku tak dapat
kesampaian untuk mencincang badannya dan meminum darahnya, kalau tidak, dia boleh
rasakan sendiri betapa tidak menguntungkan bersikap yang tamak dan keji itu!"
Mula-mula Su Nio menyesalkan diri kakaknya. Tapi setelah berpikir dengan otak yang lebih
tenang, dia berbalik membenarkan tindakan kakaknya dengan suatu kepercayaan bahwa Thian
tidak buta. Barang siapa yang bersalah, tentu tidak dibenarkannya, demikian pula kebalikannya.
Segala sesuatu yang telah terjadi, salah atau benar, sudah barang tentu tak dapat ditarik pulang.
Tapi apa yang kelak akan terjadi, harus dipikirkan dan ditimbang dengan semasak-masaknya,
Demikianlah pertimbangan si nona atas diri kakaknya, orang satu-satunya di dunia ini yang
menjadi pengganti ayah-bundanya.
Selagi berembuk kemana mereka harus tuju, tiba-tiba dari kejauhan tampak seorang perampuan
muda yang berbaju merah lewat di jalan yang sama dengan berkuda. Dan meski kemudian ia
sudah melewati mereka dan terpisah disuatu tempat yang agak jauh, matanya yang bagus masih
saja saban-saban dikerlingkan ke arah kakak beradik she Yo itu, hingga An Jie yang melihat begitu
jadi mendongkol dan lalu mengomel, "Hah, sungguh genit sekali lagaknya wanita berandalan
yang tak ketahuan dari mana asal-usulnya itu!"
Kata-kata itu justeru dapat didengar oleh si perempuan muda, yang seketika itu lalu menahan tali
kekang kudanya sambil melirik ke belakang dan mencibirkan bibir ke arah si pemuda she Yo.
An Jie yang merasa diejek orang, kontan matanya jadi membelalak dan menyemprotkan katakata yang agak pedas kedengarannya, "Hai, rupanya dia itu penjelmaan kera liar yang baru saja
kali ini menjumpai kita manusia. Tampaknya dia keheran-heranan setengah mampus!"
Tatkala nona baju merah itu mencibirkan pula bibirnya, Yo An Jie jadi sangat gusar dan lalu
membentak, " Jika belum kuajar adat si kera liar ini, tentulah dia belum kapok mengejek orang!"
"Koko, lagi-lagi engkau hendak menerbitkan keonaran!' Su Nio sesalkan kakaknya itu.
"Tidak! Aku mesti hajar adat si kera yang tidak mengerti adat sopan ini!" seru Yo An Jie yang
lantas saja mengejar dan berlompat untuk memukul nona baju merah itu dengan tinjunya.
Tapi begitu melihat tinju itu menyambar kejurusannya, dengan lantas ia tepuk pantak kudanya,
yang segera melompat kemuka secara tiba-tiba, hingga tinju Yo An Jie memukul angin!
Su Nio lekas-lekas memeluk tubuh kakaknya sambil berkata, "Jangan engkau mengumbar amarah
dengan tak ketahuan apa maksudnya. Ia berjalan menurut tujuannya sendiri, sedangkan kitapun
tak punya sangkutan sesuatu dengan nona itu. Maka apakah yang hendak engkau perebutkan?""Aku sangar jemu, melihat tingkah lakunya yang terlampau genit dan tak sopan itu!" kata si
pemuda.
Selagi mereka berdua bertengkaran, nona baju merah itupus lantas tepuk kudanya yang segera
kabur menuju ke dalam rimba, hingga sesaat kemudian ia telah lenyap di balik semak-semak yang
banyak terdapat di sepanjang jalan yang sunyi itu.
Tatkala tidak melihat lagi mata hidung nona baju merah itu, barulah amarah Yo An Jie menjadi
reda dan berkata, "Jika aku, seandainya hendak dijodohkan kepadanya, niscaya akan ku tolak
mentah-mentah!"
"E-eh. mengapa engkau jadi marah-marah sendirian?" kata si nona yang mendadak jadi tertawa
geli. "Dia kan merdeka untuk berbuat menurut caranya sendiri, tapi mengapakah engkau
mencampuri urusan orang lain?"
An Jie jadi bungkam, wajahnya memerah jengah. Rupanya ia mendusin bahwa dia barusan telah
kelepasan omong, yang sebenarnya telah diucapkannya dengan tidak berpikir pula. "Siapakah
kesudian memberikan nona itu sebagai jodohku? Aiii, dasar mulut sialan, sembarangan ucapkan
kata-kata tanpa dipikir pula!" pikirnya di dalam hati, gemas pada dirinya sendiri.
"Ya, mungkin juga akulah yang salah, " katanya lemas. "Ada kemungkinan dia mengerlingkan
matanya kepadamu, yang dikiranya seorang pemuda tampan! Tidak tahunya sesama jenis kelamin
juga yang menyamar sebagai laki-laki!"
"Kalau benar dia ada hati kepadaku," kelakar si nona sembil tertawa, "Akupun bersedia
menerima dia sebagai isterinya!"
"Mampus kau!" kata si An Jie sambil tertawa mengakak.
Mereka berdua jadi tertawa geli, kemudian melanjutkan perjalanan mereka untuk mencari rumah
penginapan dan kedai untuk melepaskan dahaga dan lapar mereka.
Petang hari itu setelah dahar dan menukar pakaian kedua orang kakak-beradik itu lalu masuk tidur
dalam sebuah kamar yang mereka sewa di suatu rumah penginapan satu-satunya di sebuah desa
yang sunyi terpencil. Tapi dikala baru saja mereka merebahkan diri belum berapa lama, tiba-tiba
mereka mendengar ringkikan kuda dari arah istal di belakang rumah penginapan itu.
Su Nio jadi terkejut. "Di istal mungkin juga ada pencuri," kata si nona kepada kakaknya.
An Jie pun segera memasang kuping mendengarkan.
"Itulah suara ringkikan kudaku si Putih, " kata si nona pula.
"Benar!" An Jie membenarkan.
Lalu Su Nio menutup rapat pakaiannya dan melompat keluar jendela kamar bagaikan seekor
burung layang-layang cepanya. Dari situ ia menuju ke istal kuda di belakang rumah penginapan,
dimana ia dapatkan pelana kudanya yang tersulam sangat indah telah lenyap.
"Kurang ajar!" gerutu si nona. "ari manakah datangnya pencuri yang begitu berani mati mencuri
pelana kesayanganku itu? Biar bagaimanapun aku harus mengambil pulang pelana itu!"Di bawah sinar rembulan samar-samar ia melihat ada sebuah bayangan manusia berpakaian
malam berkelebat bagaikan sebatang anak panah cepatnya, hingga Su Nio jadi sangat terkejut
dan segera mengejarnya sambil berseru, "Bangsat, hendak kemana engkau kabur? Tengoklah
senjata piauwku ini!"
Tapi Su Nio jadi kecewa ketika mendusin bahwa dia telah lupa membawa kantong piauw itu yang
biasa digantungkan di gegernya. Maka sebagai ganti senjata rahasia, si nona telah menanggalkan
salah sebuah cincin batu pualamnya, yang lalu disambitkan ke arah bayangan merah yang sedang
lari itu, hingga sesaat itu roboh ke tanah setelah terdengar satu kali suara, "Aduh!" yang garing
sekali,.
Selanjutnya bukannya menjadi marah, Su Nio malah jadi tertawa dan berkata, "Aiii, ternyata
dia-dia juga!"
Sementara si pencuri yang ternyata bukan lain daripada dara jelita yang pernah dijumpainya di
tengah jalan dan bertengkar dengan kakaknya itu, tampaknya jadi kesima dan menatap wajah si
nona dengan membisu.
Su Nio tampil kemuka sambil tersenyum dan bertanya, "Apakah nona suka dengan pelanaku yang
tersulam itu? Nanti akan kubelikan sebuah untukrnu!"
Setelah berdiam sejenak, nona yang berbaju merah itu lalu balik bertanya, "Apakah engkau punya
banyak pelana yang serupa itu?"
"Aku justeru membuka toko yang khusus menjual pelana," sahut Yo Su Nio.
"Kalau begitu," kata nona baju merah itu sambil mengusap-usap pelana yang tadi dicurinya itu
"Patutlah buatannya sedemikian indahnya."
Su Nio menyaksikan betapa senangnya nona itu dengan pelana yang masih dipegang di tangannya
itu, hingga dengan perasaan turut gembira ia berkata, "Jika engkau menyukai pelana itu, terimalah itu sebagai tanda persahabatan kita!"
"Tapi menurut adat sopan santun tak baik aku mengangkangi barang milik orang lain," kata nona
baju merah itu, "Maka aku merasa, sungkan untuk menerimanya."
Su Nio jadi tertawa dan lalu menerangkan kepadanya riwayat dari pada pelana bersulam itu.
"Gara-gara pelana ini," katanya. "Rumah tanggaku telah berantakan. Kakakku tak sudi
memberikannya kepada Cian-hu bangsa Kim. Tapi engkau ini adalah seorang Han, lagi pula
menjadi rekan dalam Raimba Persilatan. Maka kalau kau sudi, aku tidak berkeberatan untuk
mempersembahkan itu kepadamu, Siapakah she dan nama nona yang mulia?"
"Thio Siauw Giok," kata nona itu dengan rupa malu-malu.
Tatkala Su Nio menyodorkan tangannya untuk menjabat tangan nona itu, Siauw Giok lantas
mundur dengan perasaan jengah.
Tapi bersamaan dengan itu Su Nio telak melihat dengan jelas bahwa cincin batu pualam yang
barusan dipergunakannya sebagai senjata rahasia, kini telah dikenakan pada jari-manis Thio
Siauw Giok."Apakah ini juga engkau hadiahkan kepadaku?" tanya nona itu kepada Yo Su Nio.
Cincin itu sebenarnya ada sepasang dan menjadi warisan dari almarhumah ibu An Jie dan Su Nio
berdua hingga dengan begitu, barang itu dimiliki seorang sebuah oleh kedua saudara itu. Tapi
dalam waktu kesusu telah dipergunakan Su Nio sebagai senjata rahasia, sehingga akhirnya
terjatuh ke dalam tangan Thio Siauw Giok. Sekarang Siauw Giok menginginkan juga cincin batu
pualam warisan almarhumah ibunya itu, hingga ia jadi kemekmek dan tak dapat mengatakan
apakah dia mengabulkan permintaan nona itu atau tidak.
Sementara Thio Siauw Giok yang menyaksikan Su Nio tinggal membisu dan rupanya ragu-ragu
akhirnya tersenyum dingin dan berkata, "Kalau begitu, biarlah aku kembalikan itu kepadamu!
Ini tentunya hadiah dari seorang nona yang lainnya!"
Tapi Su Nio tidak menyahut dan lalu terima kembali cincin itu dari tangan Siauw Giok, yang lalu
dikenakannya pada jari tangannya sendiri.
Dalam pada itu Thio Siauw Giok menjadi gusar dan dengan tiba-tiba berkata. "Engkau
menganggap cincin batu pualammu itu sebagai jimat? Tengok ini, aku juga punya!"
Sambil merogoh ke dalam baju di dadanya, sekonyong-konyong ia menggunakan gerak Haythian-hoa-ie (hujan bunga di seluruh angkasa) melemparkan sesuatu ke telapak tangan Yo Su Nio,
hingga nona she Yo itu lekas menyambutinya dengan gerak Hay-tee lo-ciam (di dasar laut merogo
jarum) sambil memuji, "Sungguh suatu gerak cepat yang mengagumi sekali!" Kemudian
menyambuti sesuatu yang dilemparkan ke dalam telapak tangannya itu, yang tatkala diperiksanya,
bukan lain daripada sebuah cincin batu pualam yang bentuknya hampir sama dengan apa yang
dimilikinya.
Su Nio jadi heran dan bertanya, "Apakah cincinmu pun dapat dipergunakan sebagai senjata
rahasia?"
"Jika punyamu dapat, masakan punyaku tidak dapat?" kata Siauw Giok gusar. Bersamaan dengan
itu mengucurlah air matanya membasahi kedua belah pipinya.
Yo Su Nio jadi semakin heran melihat sikap Thio Siauw Giok begitu aneh. Ia pikir, apakah Siauw
Giok ini seorang perempuan nakal? Akhirnya ia menanyakan di mana tempat kediaman nona itu,
yang oleh Siauw Giok lalu dijawab bahwa orang tuanya telah dibunuh oleh bangsa Kim, sehingga
ia terpaksa buron dengan tak tentu kemana tujuannya.
Oleh karena mendengar penuturan itu, lagi pula karena Siauw Giok menangis tidak hentinya,
maka Su Nio lantas berpikir di dalam hatinya karena ia sendiri bersama kakaknya telah
mengalami kejadian yang sama hendak diperas serta dipermainkan oleh bangsa Kim sehingga ia
terpaksa buron dengan tak tahu kemana tujuannya. Kini Siauw Giok juga buron seorang diri saja,
bukankah lebih baik mengikut saja bersama-sama mereka.
Su Nio belum lagi mengutarakan suara hatinya ini, ketika dengan sekonyong-konyong terdengar
suara An Jie, "Dik, kau ada dimana?"
"Di sini!" sahut Su Nio singkat. Sesudah itu ia berkata kepada Thio Siauw Giok, "Kini hari larut
malam, apakah kau sudi mengikutiku bermalam di rumah penginapan ini?"Siauw Giok yang merasa tertarik kepada Yo Su Nio, sudah barang tentu menjadi sangat girang,
dan berkata, "Apakah itu tidak mengganggumu?"
Su Nio yang tidak mendusin bahwa dia masih mengenakan pakaian laki-laki lantas berkata, "Hal
itu sama sekali tidak mengganggu apa-apa. Engkau boleh tidur bersama-sama aku di satu
ranjang!"
Siauw Giok meski di dalam hati mencintai Su Nio yang dianggapnya seorang pemuda tampan,
tapi merasa tersinggung karena dirinya seolah-olah dianggap "sampah" hingga ia menjadi gusar
dan membentak, "Sialan kau! Engkau menganggap aku ini orang macam apa?"
Su Nio Yang hendak berbuat baik tapi mendadak dibentak orang, keruan saja menjadi
mendongkol dan lalu balas membentak, "Jika engkau tak mau tidur denganku, ya sudah!
Mengapakah engkau mesti marah-marah sampai begitu?"
Yo An Jie yang justeru sampai juga ke situ dan segera kenali gadis baju merah yang pernah
mengejeknya, dalam hatinya tiba-tiba menjadi "kumat" lagi rasa mendongkolnya dan lalu
mencampuri berbicara, "Jika engkau tak mau tidur bersama-sama, orang lainpun pasti takkan
memaksamu! Dasar perempuan tidak berbudi!"
"Apakah rasa terima kasih itu harus dibuktikan dengan pengorbanan diri?" Kata-kata itu sudah
tersedia hendak dicetuskan dari mulut nona Siauw Giok, ketika dengan mendadak ia merasa
jengah sendiri dan lalu mengubah cara bicaranya dengan cara menantang sebagai berikut, "Aku
tak gentar dengan kalian berdua orang! Kalian boleh maju mengepungku dengan serentak! Ayoh,
maju!"
Pada sebelum kedua saudara Yo itu beraksi. Siauw Giok telah mendahului menyerang dengan
siasat Siang-teng-boan-hoa (sepasang tengloleng menahan bunga), yang gerakannya tampak
lemah gemulai, tapi hebat sekali dalam kenyataannya.
Su Nio yang menyaksikan ilmu silat nona itu tampak terkejut, dan berkata, "Koko, hati-hatilah!
Nona ini mempergunakan ilmu pukulan dengan telapak tangan yang bernama Cee-gwa-soan
hong-ciang, atau angin puyuh di luar perbatasan!"
Yo An Jie yang agak menggigil karena diterjang angin yang keluar dari telapak tangan Siauw
Giok, segera berlompat keluar kalangan pertempuran sambil mengomel, "Terlebih siang telah
kuduga, bahwa dia ini adalah seorang budak perempuan yang ganas sekali! Kita orang baik-baik
cara bagaimana dapat melawan perempuan siluman serupa dia ini? Ayoh, kita jangan
meladeninya!"
Tapi Yo Su Nio yang kepandaian silatnya lebih tinggi daripada kakaknya, segera menggerakkan
kedua tangannya untuk menahan serangan-serangan Siauw Giok, hingga dengan sekejap saja
mereka jadi serang menyerang dengan amat dahsyatnya.
"Sungguh lihay sekali ilmu silat nona ini!" memuji Su Nio di dalam hatinya. Kian lama
pertempuran itu berlangsung kian bertambah terdesak dan memburuk keadaannya nona she Yo
itu. Karena dia yang mahir ilmu tombak, ternyata belum cukup lihay untuk meladeni bertempur
nona Siauw Giok dalam pertempuran dengan tangan kosong. Tapi bagi Siauw Giok juga mahir
ilmu Cee-gwa-soan-hong-ciang, kian lama gerak gerakannya jadi semakin cepat dan dahsyat,
hingga akhirnya Su Nio kena terdesak dan hanya dapat mempertahankan diri untuk tidak kenapukulan daripada balas menyerang, sebagai seorang lawan yang mempunyai kemahiran seimbang
dengan pihak orang yang diserang.
Dan tatkala mendapat kesempatan yang baik untuk turun tangan, Siauw Giok segera menerjang
dan memukul kepala Su Nio dengan telapak tangannya. Samberan telapak tangannya itu ada
sedemikian bebatnya, hingga Su Nio mengeluh di dalam hati dan dengan gugup memiringkan
kepalanya untuk menghindarkan pukulan lawan itu. Dengan cara ini, ia berhasil juga dapat
mengelakkan dirinya, tapi ikat kepalanya telah kena terpukul sehingga terpental dan rumbutnya
yang panjang dan bagus segera terurai di kedua bahunya!
Siauw Giok yang sama-sekali tidak menyangka bahwa Su Nio adalah seorang wanita juga seperti
dirinya sendiri, keruan saja jadi menceios hatinya dan bertanya, "Engkau siapa?"
Su Nio yang kini telah terbuka rahasianya tanpa ia sendiri dapat mencegahnya, dengan tertawa
lalu menjawab, "Aku inilah Yo Su Nio, yang membuka toko Pelana di bagian utara kewedanaan
Ek-touw."
Siauw Giok jadi terkejut mendengar nama itu. "Apakah engkau ini bukan Hoa-Chio Yo Su Nio?"
tanyanya.
Su Nio tersenyum. "Itulah hanya nama kosong belaka pemberian para sahabat dikalangan Kangouw," sahutnya merendah.
Thio Siauw Giok lekas membungkukkan badannya memberi hormat sambil berkata, "Sudah lama
Siauw-moay mendengar nama Cie-cie yang begitu tersohor, tapi baru hari ini dapat saling
berjumpa."
Su Nio tersenyum sambil membalas pemberian hormat itu. Tapi An Jie yang tinggal tetap
mempunyai prasangka tidak baik atas diri Siauw Giok lalu menyesali adik psrempuannya sambil
berkata, "Dik, hingga kapan engkau hendak menyudahi obrolanmu ini? Ayoh, mari kita pergi
tidur. Hari esok kita perlu melanjutkan perjalanan kita!"
Su Nio jadi kurang senang melihat sikap antipati kakaknya terhadap Siauw Giok, hingga ia
membentak, "Aku akan tidur atau tidak, itu tak usah engkau ambil perduli!"
Sementara Siauw Giok yang melihat kedua saudara itu jadi bertengkar karena dirinya, merasa
sangat tidak enak dan lalu berkata, "Sudahlah, Cie-cie boleh kembali ke sana! Aku juga hendak
berlalu. Semoga kelak kita saling bertemu pula!"
Sambil berkata begitu, ia mengangkat tangan memberi hormat dan segera hendak berlalu.
Tapi Yo Si Nio yang merasa kasihan kepadanya lekas menahan sambil berkata, "Dik, tunggu
dulu!"


Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siauw Giok merandek dan menoleh serta menatap wajah Su Nio yang tampak bermuram durja.
"Hendak kemana engkau?" tanya si nona she Yo dengan suara simpatik.
"Aku yang hidup sebatang kara," sahut Siauw Giok dengan perasaan pilu, "Menganggap empat
perjuru dunia ini sebagai rumah tanggaku."Su Nio lalu mencekal tangan Siauw Giok erat-erat dan berkata, "Dik, engkau dan kami berdua
saudara mempunyai nasib dan derita yang sama. Kami berduapun kini harus hidup dalam
perantauan dan entah ke mana kami tuju. Maka kalau engkau tidak berkeberatan, aku bersedia
menganggkat saudara denganmu."
"Jika Cie-cie mengijinkan." kata Siauw Giok dengan perasaan gembira, "Akupun akan girang
sekali dapat mengiringi kemana saja kalian pergi!"
Oleh sebab itu, mereka berdua segera mengangkat saudara disaksikan oleh An Jie, yang meski
dalam hati merasa kurang puas, tapi tak dapat berbuat lain daripada menuruti kehendak adik
perempuannya itu.
Siauw Giok lalu menjura empat kali dihadapan Su Nio dan mengaku sebagai saudara yang lebih
muda, dan Su Nio membalas hormat empat kali sebagai tanda menerima Siauw Giok sebagai
adik, sesudah itu nona Thio lalu menjura empat kali kepada An Jie sebagai tanda mengaku
saudara yang tertua. Mula-mula An Jie si pemarah tinggal membisu saja. Tapi ketika Su Nio
melirikkan mata kepadanya dengan perasaan kurang senang, An Jie terpaksa membalas
penghormatan Siauw Giok sambil berkata, "Jie-moay, aku suka terima dirimu sebagai saudara
kandungku yang kedua."
Hal mana, telah membuat Su Nio girang dan lalu mengajak Siauw Giok bermalam ke rumah
penginapan untuk kemudian sama-sama merantaui dunia luas.
Pada esok harinya sebelum berangkat mereka bertiga lalu berembuk, kemana kiranya mereka
harus tuju. Siauw Giok yang telah mempunyai lebih banyak pengalaman dalam perantauan, lalu
mengusulkan untuk mereka pergi ke kabupaten Teng-ciu dalam, propinsi Shoatang.
"Di sana ada serombongan penyamun yang dikepalai oleh dua orang kakak beradik Kwee Liat
dan Kwee Kin," Siauw Giok melanjutkan bicaranya. "Mereka berdua adalah orang-orang gagah
yang jujur dan terpaksa menjadi penyamun karena keadaan negeri yang terpecah belah dan tak
ada jalan lain untuk menjamin keselamatan dan peripenghidupan mereka sekalian. Mereka
seolah-olah menjadi musuh besar bangsa yang berkuasa di sana. Maka mengapakah tidak kita
pergi kesana saja untuk menggabungkan diri dengan mereka sekalian?"
Usul nona Siauw Giok itu diterima baik oleh An Jie dan Su Nio, dan syukur juga Siauw Giok
sendiri mempunyai seekor kuda tunggang yang baik serta sebungkus pakaian dan senjata yang
bisa dipergunakan dalam pertempuran, maka dengan cepat ketiga orang itu segera dapat
melanjutkan perjalanan mereka ke Teng ciu untuk menggabungkan diri dengan rombongan
penyamun Kwee bersaudara.
Bangsa Kim yang berkuasa di Teng-ciu pada masa cerita kita ini terjadi, sifatnya lebih kejam dan
buruk daripada jaman kabupaten tersebut dikuasai oleh pemerintah Song. Rakyat jelata diperas
dan diperlakukan dengan sewenang-wenang, dirampas anak isteri dan harta benda mereka,
sehingga akhirnya terjadilah banyak perlawanan dan penumpahan darah secara besar-besaran.
Sedang sebagian besar rakyat yang mengerti ilmu silat segera melarikan diri ke atas gunung atau
hutan-hutan belukar, dimana mereka saling bersatu menjadi perampok dan bergerilya terhadap
pasukan balatentara bangsa Kim yang ditempatkan di situ. Maka tidaklah heran jika diperbatasan
propinsi-propinsi Shoatang dan Shoasay terdapat banyak sekali orang-orang gagah yang menjadi
mata gelap dan terpaksa berkomplot menjadi perampok, untuk sementara mencari nafkah dan
mengganggu kesejahteraan negeri yang dikuasai oleh bangsa Kim itu.Rombongan penyamun yang dikepalai oleh kedua saudara Kwee itu kerap melakukan operasinya
di kewedanaan Ek-touw yang sudah dirajai oleh Wan Gan Cek, hingga tidak jarang mereka
berkunjung juga ke tempat kediaman Yo An Jie, dengan demikian mereka kedua pihak
mempunyai hubungan persahabatan yang baik sekali. Tapi setelah sekian lama mereka mencari
serta bertanya kepada orang-orang yang mereka jumpai di tengah perjalanan, ternyata mereka tak
berhasil dapat keterangan tentang sarang penyamun yang mereka hendak cari itu. Dan uang
bekalan mereka sudah menjadi banyak berkurang, maka bingunglah hati mereka bertiga, sesudah
berembuk akhirnya Yo An Jie telah mengutarakan pikirannya sebagai berikut, "Dik, engkau dan
Jie moay menantikan dahulu aku di sebuah rumah penginapan murah di desa Pek-hoa-tien
sedangkan aku sendiri akan pergi menyelidiki dimana kedua saudara she Kwse itu. Jika nanti
mereka dapat kutemukan, aku segera balik kembali untuk menjemput kailan berdua. Dengan
demikian, kita bisa beririt dalam pengeluaran ongkos sehari-hari."
Su Nio dan Siauw Giok mupakat dengan usul kakak mereka itu.
Begitulah setelah membagi dua uang bekalan yang masih ada, An Jie segera berangkat dengan
membawa bungkusan serta golok Ton-to yang jarang terpisah dari pinggangnya.
Selama menumpang di rumah penginapan kecil itu, Su Nio dan Siauw Giok selalu rajin berlatih
ilmu silat. Lebih-lebih nona Yo yang sangat terlarik dengan ilmu pukulan telapak tangan Siauw
Giok yang bernama Cee-gwa-soan-hong-ciang itu. Hingga dengan tak malu-malu pula ia segera
minta supaya sang adik itu sudi mengajarinya.
"Aku bukan seorang ahli," kata nona Thio dengan suara merendah, "Hingga belum cukup untuk
menjadi guru orang. Tapi untuk sekadar mengabulkan permintaan Cie-cie, marilah kita berlatih
bersama-sama untuk beberapa jurus."
Kemudian mereka berlatih pula hingga hari menjelang senja barulah mereka berhenti dan pergi
beristirahat.
DALAM omong-omong mengenai senjata mana yang paling digemari masing-masing Thio Siauw
Giok telah memberitahukan kepada Su Nio bahwa ia biasa mempergunakan sepasang gaetan
berkepala macan Houw-thauw-kauw, yang masing-masing berukuran seelo panjangnya. Sesudah
berkata demikian, ia segera pargi mengambil senjata itu dari .dalam bungkusan pakaiannya,
kemudian dipertunjukkan kepada Yo Su Nio sambil berkata, "Sedari kecil aku terkenal sebagai
seorang bocah perempuan yang nakal dan keras kepala, lagi malas! Kerjaku setiap hari hanya
berlatih ilmu silat tanpa guru dan seenaknya saja, meniru-niru cara tetanggaku yang memang
sudah mahir ilmu silat. Tapi karena ia biasa berlatih secara sembunyi, maka aku baru dapat
mencuri lihai dari kejauhan setelah berikhtiar sekian lamanya dan membuat lubang pada dinding
bilik rumahnya yang hampir cukup untuk aku mengintip ke dalam tanpa disadari oleh orang yang
bersangkutan itu. Tapi asap sukar ditutup rapat. Begitu ia mengetahui aku kerap mengintip ia
berlatih, ia marah bukan main, lalu mengadu pada ayah bundaku, hingga aku dapat rangketan
yang agak hebat dan ayahku. Malah lebih celaka lagi aku telah dipanggil keluar untuk meminta
maaf kepada tetanggaku itu! Aiii, Cie-cie. Bukan main dongkolku disaat itu. Tapi justeru itulah
aku jadi semakin giat belajar dan berjanji pada diriku, bahwa kalau nanti aku sudah mahir bersilat,
akan kutantang dia pie-bu tanpa syarat. Dia boleh pukul aku sampai mati tanpa menjadi urusan
apa-apa. Demikian juga aku boleh pukul dia sampai mati tanpa ada urusan dengan polisi."
"Begitulah aku berlatih dari bahan pelajaran yang telah kuperoleh dari tetangga itu, aku telah
sengaja mengubah beberapa bagian yang kuanggap dapat dipergunakan untuk "makan tuan",kemudian setelah menganggap sudah cukup sempurna untuk "dipergunakan" aku segera mulai
mencari gara-gara secara halus, aku sengaja membuat lukisan di dinding bilik tempat ia berlatih
dengan menggunakan arang, corat coret itu berbentuk lukisan dua orang yang sedang bertempur,
salah seorang antaranya telah dipukul roboh. Pada orang yang telah dirobohkan itu aku menulis
nama tetangga itu, sedang di sisi si pemenang aku tuliskan she dan namaku sendiri!"
"Tidak usah dikatakan lagi berapa gusarnya tetanggaku itu, yang ternyata telah menduga siapa
orangnya dan berniat mengadukan hal tersebut kepada ayah-bundaku, tatkala aku mencegah
kepadanya serta menanyakan apa maksud kedatangannya. "Engkau telah menghinaku dengan
membuat lukisan di atas bilik tempat kediamanku," katanya, "Dari itu, aku hendak mengadukan
hal itu kepada ayah bundamu,"
"Aku lalu mentertawakan serta memanaskan hatinya dengan mengatakan, "Engkau pengecut jika
berbuat demikian. Bukankah terlebih baik lagi jika kita melaksanakan maksud pie-bu itu dalam
kenyataan? Kini, seperti juga engkau sendiri, akupun telah berlatih untuk mencoba sampai dimana
kelihayanmu!"
"Bocah kurang ajar!" bentak tetanggaku itu sambil membelalakkan matanya. "Engkau berani
melawan seorang yang usianya jauh lebih tua daripada dirimu?"
Tanpa menjawab ba atau bu, segera juga aku gerakkan telapak tanganku untuk memukul muka
orang itu, sehingga dengan sebat ia terpaksa mundur sambil memasang kuda-kuda. Tapi aku terus
saja mendesaknya dengan menghujani pukulan-pukulan dengan kedua telapak tanganku.
Tetanggaku itu bukan takut kepadaku, ini dapat kubaca dari air mukanya hanya ia merasa malu
hati kepada ayah-bundaku, jika seumpama ia benar-benar meladeni aku bertempur, lagi pula usia
orang itu hanya beda dua atau tiga tahun saja daripada usia ayabku, hingga ia pikir tidak layak
untuk meladeni seorang bocah yang masih tepat menjadi anaknya sendiri. Tapi setelah aku
menyerangnya dengan berulang-ulang, ia tampak jadi jengkel juga dan membentak, "Dasar bocah
tak tahu mampus!" Sambil berkata begitu, barulah ia balas menyerang aku dengan siasat yang
baru kemudian aku ketahui namanya, ialah Pek-tiauw-kim-tauw atau rajawali putih menangkap
kelinci. Gerakan ini ada sedemikian cepat dan berbahayanya, sehingga aku hampir tak keburu
mengelakkan diri daripada tangannya yang mencengkeram ke jurusanku, dengan mana aku
ketahui ia bermaksud hendak mencengkeram dadaku, untuk kemudian membanting atau
melemparkan diriku. Tapi siapa nyana ketika cengkeramannya tiba pada baju bagian dadaku, aku
telah membarenginya melesat mundur dengan menendangkan kakiku ke tanah sekuat mungkin,
dengar mana aku telah berhasil dapat meloloskan diri, walaupun bajuku robek kena disentaknya.
Tapi selagi ia hendak mengulangi serangannya, tiba-tiba seorang Nikho atau paderi perempuan
tua yang tak diketahui dari mana datangnya telah menghadang dan dengan laku yang tenang
sekali telah mengibaskan lengan bajunya ke arah tetanggaku itu, sehingga ia terdorong mundur
dan hampir jatuh terlentang, kalau saja dia tak lekas-lekas menegakkan bee-sie dan memperberat
tubuhnya dengan ilmu Cian-kin-tui atau kaki seribu kati beratnya.
"Tuabangka masih saja suka meladeni anak kecil!" kata Nikho itu menyesali tetanggaku.
"Tapi dia telah berani kurang ajar terhadap orang yang hampir patut menjadi bapaknya!" bantah
orang itu sambil menuturkan kepada Nikho tua itu sebab musabab daripada kegaduhan itu.
Dan tatkala selesai mendengar penuturan tersebut, Nikho itu lalu berkata, "Sie-cu, jika demikian
halnya, engkau inilah yang terlampau mementingkan diri sendiri, sehingga sama sekali tak mauengkau memberi kesempatan untuk orang lain menuruti dikau belajar ilmu silat!" Manusia tidak
hidup sehingga 100 tahun. Oleh karena itu, alangkah baiknya jika pelajaran sesuatu yang
bermanfaat bagi ummat manusia diturunkan pula kepada generasi yang lebih muda, sehingga
pelajaran itu tidak menjadi buntu hingga kamu seorang saja? Kita manusia harus hidup dengan
berpokok pada kerukunan dan hidup damai. Sedang maaf-memaafkan dan saling mencintai satu
sama lain merupakan tugas abadi bagi kita ummat manusia di dalam dunia ini."
Demikianlah nasihat Nikho tua itu kepada tetanggaku, sehingga akhirnya ia insaf dan mengakui
kesalahannya, dan sejak saat itu menjadi kawanku berlatih sehingga akhirnya ia gugur dalam
perlawanan terhadap bangsa Kim yang mengacau ke tanah air kita dan merampas kekuasaan dari
pemerintah Song yang buruk dan penuh dengan para pembesar korup yang sangat merugikan
rakyat dan negara.
Sedang Nikho yang telah kukatakan itu. bukan lain dari pada guruku sendiri, dari siapa aku telah
memperoleh ilmu pukulan dengan telapak tangan yang bernama Cee-gwa-soan-hong-ciang dan
sepasang Houw-thauw-kauw ia telah serahkan kepadaku tatkala beliau pulang ke tempat
kediamannya di puncak Pek-in-hong yang terletak dalam pegunungan Thian-san."
Demikianlah Siauw Giok telah menuturkan, bagaimana ia belajar silat dengan secara singkat,
hingga Su Nio jadi sangat tertarik lalu bertanya, "Siapakah nama atau gelar gurumu itu?"
Thio Siauw Giok hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Entahlah," sahutnya, "Karena guru tak pernah memberitahukan kepadaku. Sedang orang-orang
yang pemah mengenalnya, hanya membahasakan beliau Lo-nikho saja, atau Nikho tua."
Sudah itu Su Nio diminta menuturkan tentang hal ihwal dirinya, cara bagaimana ia belajar ilmu
tombak sehingga kemudian mereka saling berjumpa bagaikan orang-orang yang sudah berjanji
dari di muka, telah menuturkan juga riwayatnya dengan singkat tapi cukup jelas, cara bagaimana
ia dan kakaknya dikejar-kejar oleh tusukan Cian-hu bangsa she Kim itu dan berguru pada seorang
tua ahli tombak, Gak-kee-chio (ilmu tombak keturunan Gak Hui) sehingga dengan cepat
namanya dikenal orang di kalangan Kang-ouw sebagai Hoo chio Yo Su Nio, atau Yo Su Nio si
Dewi Tombak.
ORANG yang kerap menghitung berkisarnya sang waktu, biasanya merasa tidak sabaran dan
merasakan bahwa jalannya waktu itu sangat pelahan. Tapi bagi mereka yang kurang
memperhatikannya, ada kalanya menjadi terkejut dan menganggap berkisarnya sang waktu
bagaikan melesatnya anak panah cepatnya. Demikian juga halnya dengan Yo Su Nio dan Thio
Siauw Giok yang semula menantikan kedatangan Yo An Jie dengan tidak sabaran, tapi kemudian
merasa terhibur dengan jalan setiap hari bersama-sama berlatih ilmu silat di halaman belakang
rumah penginapan kecil yang mereka tumpangi itu.
Tahu-tahu musim kemarau telah terganti dengan musim dingin, hingga Yo Su Nio dan Thio
Siauw Giok yang hanya mempunyai pakaian tipis jadi menggigil kedinginan. Lebih jauh tatkala
memeriksa perak hancur yang mereka miliki telah hampir habis ditukar dengan makanan dan
membayar ongkos penginapan, maka mulailah Su Nio menyesali kakaknya An Jie yang telah
bepergian begitu lama, tapi belum juga kelihatan kembali. Karena jika nanti perak yang masih ada
itu habis terpakai untuk ongkos-ongkos, dari manakah mereka dapat membayar ongkos
penginapan sehingga An Jie kembali untuk menjemput mereka berdua?Su Nio bingung bukan main memikirkan soal perongkosan mereka ini. Tapi Siauw Giok
sekonyong-konyong tertawa dan berkata, "Cie-cie tak usah dhawatir. Esok hari akan ada uang
yang dapat kuperoleh!"
Su Nio yang menganggap sang adik tentu akan melakukan perampokan secara diam-diam,
dengan lantas mencegahnya sambil berkata, "Jangan engkau berbuat sesuatu yang tidak patut!"
"Bukan merampok atau melakukan sesuatu yang melanggar undang-undang negeri," kata nona
Siauw Giok yang nakal itu. "Esok hari Cie-cie tentu akan ketahui bagaimana rencanaku!"
Tapi Su Nio kurang percaya, bahwa adik angkatnya akan dapat melakukan sesuatu untuk bantu
meringankan kesukaran mereka di waktu itu. Ia anggap Siauw Giok hanya berkelakar belaka.
Pada esok hari ketika ia tersadar dari tidurnya, Su Nio jadi terkejut ketika melihat Siauw Giok
telah keluar entah kemana perginya. Dia biasa bangun sesudah matahari mencorong menerangi
muka bumi," pikirnya, "Tidak kunyana pagi-pagi begini dia telah keluar dari rumah penginapan!"
Segera juga ia keluar menanyakan kepada pemilik rumah penginapan itu, "Kemanakah perginya
adik perempuanku itu?"
"Barusan pagi-pagi sekali Jie-khonio telah keluar membawa senjata dan berkuda," menerangkan
pemlhk rumah penginapan itu, "Entahlah dia mau kemana.?"
"Bersenjata dan berkuda," pikir Yo Su Nio. "Dia pasti hendak pergi merampok. Aku mesti cegah
perbuatannya yang nekat itu!"
Kemudian ia pergi mandi, menyisir dan menukar pakaian. Sudah itu ia keluar sendiri untuk
mencari kemana perginya sang adik itu.
Sementara Thio Siauw Giok yang berkuda menuju ke suatu tempat yang ramai di arah timur kota
Pek-hou-tien, sesudah menambatkan kudanya di bawah sebuah pohon di tepi jalan, segera
memberi hormat pada orang banyak yang berkumpul di situ sambil menerangkan, oleh karena
keputusan ongkos, maka ia berniat meminta sumbangan para dermawan di situ dengan permainan
silat yang ia akan pertunjukkan selanjutnya sebagai pembalasan terima kasihnya.
Sesudah berkata demikian, maka mulailah ia bersilat dengan tangan kosong, kemudian disambung
dengan permainan gaetan Houw-thauw-kauw yang selalu mendapat sambutan sorak sorai yang
riuh sekali. Tapi anehnya, meski permainan silat si nona tidak jelek, bukan saja tiada seorangpun
diantara para penonton yang suka memberikan sumbangan uang, malah tidak kurang antaranya
yang hanya menghela napas sambil berlalu dari situ dengan tidak banyak bicara pula.
Oleh sebab itu, tidaklah heran meski hampir setengah harian ia berjualan ilmu silat, tiada satu
sen pun yang dapat ia peroleh, hingga akhirnya timbul pikiran nekat di dalam hatinya dan
menghampiri kepada kudanya yang ditambatkan di bawah pohon itu sambil berkata dengan
perasaan terharu, "Merah, sudah sekian lamanya engkau mengikuti aku dengan tiada kurang
suatu apapun, tapi kali ini aku sangat menyesal mesti menjualmu untuk sementara waktu kepada
orang lain untuk menolong kesukaran kami sekalian di saat ini. Jika nanti koko keburu pulang
membawa uang, aku pasti akan menebusmu pula!"
Selagi Siauw Giok membuka tambatan kuda itu, tiba-tiba ada searang laki-laki bertubuh tinggi
besar dan beralis tebal tengah mengamati ke arah si nona dan kudanya itu. Tapi nona itu tidakmemperhatikan kepadanya, hanya menoleh pada orang-orang yang berkumpul di tepi jalan,
sambil berkata, "Tuan-tuan, kudaku ini dapat menempuh perjalanan 1000 lie jauhnya. Kini karena
keputusan ongkos, untuk sementara waktu hendak kugadai untuk 20 tail perak. Mohon supaya
tuan-tuan sudi menolong diriku yang dewasa ini sedang menderita kesukaran."
Harga yang sementara ditawarkan oleh Siauw Giok untuk kudanya yang berasal dari luar
perbatasan itu, sesungguhnya merupakan harga yang sangat murah. Tapi, anehnya, tiada
seorangpun yang membuka mulut menyatakan suka membeli kuda baik yang semurah itu
"Aiii, ternyata para penduduk Shoatang di sini adalah kaum miskin belaka!" kata si nona dengan
perasaan agak putus asa.
Tapi seketika itu juga orang tinggi besar yang beralis tebal itu segera menghampirinya sambil
menuding dan membentak, Engkau berani berjualan di sini tanpa meminta ijin dahulu dari aku?
Bagus sekali perbuatamu! Hendak kulihat siapa yang berani membeli kudamu itu!"
Siauw Giok belum lagi sempat meminta penjelasan terlebih jauh, ketika orang laki-laki itu dengan
secara tiba-tiba telah menyergap dengan jurus Yauw-sian-kim-hut, atau dewa siluman menangkap
Buddha, hingga si nona lekas-lekas menyampok tangan yang hendak mencengkeramnya itu
sambil balas membentak, "Aduh! Sungguh tak memakai aturan sekali!"
"Ya, memang aku tak biasa memakai segala aturan!" seru orang itu dengan mata membelalak.
"Berikan dahulu uang jago 10 tail perak, barulah boleh ada damai."
Siauw Giok yang beradat keras dan tak mudah mengalah dengan sikap kekerasan, sudah barang
tentu tak sudi menunjukkan kelemahan dan segera membentak dengan suara nyaring, "Kuda yang
hendak kujual ini adalah kudaku sendiri, maka apakah sangkut pautnya dengan dirimu?"
"Kurang ajar!" kata orang itu dengan suara keras. "Engkau berani melawanku? Boleh, boleh! Jika
engkau mampu tancap kaki di kota Pek-hou-tien ini, aku bersumpah takkan memakai nama Lauw
Lo Houw pula!"
Tapi sebelum ia selesai sesumbar, Siauw Giok telah mendahului maju menyerang dengan
sepasang gaetan Houw-thauw-kauw di tangannya.
"Tidak perduli namamu si Macan atau si Naga," katanya bengis, "Tapi tak urung gaetenku ini
akan mendobrak perutmu dan mengambil hati anjingmu tanpa ada damai pula!"
Lauw Lo Hauw yang bertangan kosong ketika melihat si nona maju menerjang bagaikan seorang
yang kalap, sudah barang tentu jadi terkesiap dan lekas-lekas kabur sambil berteriak-teriak, "Ong
Kauw-thauw ada dimena? Ong Kauw-thauw ada dimana?"
Tidak antara lama pengawal pribadinya yang bernama Ong Kauw-thauw itu telah melompat maju
dengan senjata sebilah golok Pok-to di tangannya.
"Lauw Chung-cu, aku datang!" kata pengawal pribadi itu.
Sambil berkata demikian, ia segera menerjang pada Thio Siauw Giok, hingga seketika itu juga
mereka jadi bertempur dengan tidak banyak bicara pula.Selama pertempuran berlangsung, Ong Kauw-thauw telah menyaksikan betapa dahsyatnya
permainan gaetan si nona, hingga dengan cepat ia bertanya, "Engkau ini seorang dari golongan
mana?"
Tapi dengan getas Siauw Giok menjawab, "Tidak usah engkau banyak tanya menanyai. Tengok
Houw-thauw-ku ini!"
Sementara Lauw Lo Houw yang barusan hampir saja kena dicelakai oleh nona itu, lantas
membentak dengan suara gemas, "Ringkus dia! Tak usah banyak tanya-menanya pula!"
Dengan menggunakan siasat Heng-sauw-sam-kang atau menyapu tiga sungai dengan cara
melintang, Ong Kauw-thauw telah mengibaskan gaetan nona Siauw Giok yang datang
menyambar golok di tangannya, sedangkan dengan tangan kirinya ia coba menyergap tubuh nona


Dewi Tombak Karya Unknown di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu dengan gerakan secepat kilat.
Thio Siauw Giok yang kalah tenaga, karuan saja jadi sangat terkejut. Karena begitu gaetannya
terpukul jatuh, ia melihat Ong Kauw-thauw telah membentangkan telapak tangan kirinya hendak
mencekalnya sedang ujung golok kauw-thauw itu telah melukai paha kirinya. Oleh sebab itu,
dengan cepat ia pergunakan ilmu Cee-gwa-soan-hong-ciang, tapi amat disayangkan ia telah
berlaku kurang cepat, sehingga untuk menolong dirinya ia terpaksa membuang diri kesamping,
dengan cara mana dapat juga ia membuat tangan Ong Kauw-tauw menangkap angin!
Dan tatkala guru silat she Ong itu hendak menubruk untuk menangkap diri si nona, tiba-tiba dari
samping kirinya ia merasakan ada angin yang menyambar kejurusannya dengan hebat serta
dibarengi oleh satu bentakan yang bengis, "Jangan lukai adik perempuanku!" Kemudian sepasang
gaetan kelihatan berkelebat menyambar ke arah tangan si orang she Ong yang hendak mencekal
tubuh nona Siauw Giok, hingga ia menjerit kesakitan dan goloknya jatuh ke tanah dengan
mengeluarkan suara bergerombrangan karena menimpa batu besar yang terdapat di tepi jalan.
Siapa gerangan orang yang baru datang itu?
Dialah bukan lain daripada Yo Su Nio yang setelah memungut gaetan Thio Siauw Giok yang
terpukul jatuh ke tanah tadi, ia segera menghantam tangan Ong Kauw-thauw sehingga gagal
membekuk adik angkatnya itu.
Dalam pada itu Lauw Lo Houw yang merasa sangat penasaran melihat pekerjaan tukang
pukulnya gagal karena dirintangi oleh Yo Su Nio, sudah tentu saja jadi sangat gusar dan lalu
memerintahkan anak buahnya yang berjumlah 7 atau 8 orang untuk segera mengepung kedua
orang dara perkasa itu dengan serentak, sehingga dalam waktu sekejapan saja Su Nio dan Siauw
Giok telah terkepung dari segala jurusan.
Syukur juga Su Nio keburu menyambar tubuh Siauw Giok yang luka di paha kirinya dengan
mengeluarkan banyak darah dan hampir tak dapat melawan musuh, hingga sambil mendukung
nona itu ia telah menerjang keluar dari dalam kepungan akan kemudian cemplak kuda Siauw
Giok yang telah dibuka tambatannya dan tengah makan rumput di bawah pohon itu. Dengan
demikian berhasillah mereka meloloskan diri dari dalam kepungan Lauw Lo Houw beserta anak
buahnya.
"Kejar dan tangkap mereka sekalian!" Su Nio mendengar si Harimau she Lauw itu telah
memerintahkan tapi sudah barang tentu tak mungkin mereka dapat menyusul kepadanya yang
berkuda sambil melarikan nona Siauw Giok yang terluka itu.Dari rumah penginapan di Pek-hoa tien Su Nio telah membawa bungkusan serta barang-barang
mereka berdua dan dibebankan di atas punggung kudanya, kemudian mengajak Siauw Giok
pindah ke lain rumah penginapan di kota Soan-hoa-tien yang terletak tidak berapa jauh dari kota
yang baru ditinggalkan mereka itu.
Disana setelah menambatkan sepasang kuda mereka. Su Nio sambil mendukung Siauw Giok lalu
menghampiri ke meja kasir dari rumah penginapan itu sambil meletakkan di situ sebuah tusuk
sanggulnya yang dibuat dari pada batu kumala sambil berkata, "Aku minta disediakan sebuah
kamar yang bersih. Tusuk sanggul ini aku titip kepadamu sebagai barang jaminannya. Hari esok
akan ku lunaskan perhitunganku ini."
Tapi si kasir agak terbengong melihat keadaan kedua nona itu, dengan yang seorang paha kirinya
berlumuran darah, hingga ia jadi terbengong sejenak tanpa berkata-kata.
Sementara Su Nio yang melihat si kasir tidak menghiraukannya, dengan lantas ia kerutkan alisnya
dengan wajah yang menandakan kurang senang dan bertanya, "Bagaimana? Apakah engkau menganggap bahwa tusuk sanggulku ini dibuat dari pada batu rongsokan?"
Si kasir yang menyaksikan sikap Yo Su Nio yang begitu garang, diam-diam jadi jeri juga dan lalu
dengan wajah yang berseri-seri menjawab, "Harap nona jangan gusar dulu. Kami bukan menganggap tusuk sanggul itu dibuat dari pada batu rongsokan, tapi kami di sini justeru tak ada kamar
yang kosong."
Su Nio yang khawatir akan diri Siauw Giok yang terluka itu, lalu coba memaksa dengan halus
sambil berkata, "Aku tidak meminta kamar yang mewah, tapi cukup dengan kamar sembarangan
saja, agar adikku yang terluka dalam pertempuran dengan kawanan perampok tadi dapat
beristirahat sambil diobati luka-lukanya itu."
Dikala si nona berkata demikian, seorang perempuan usia empat-puluhan yang berpakaian
mewah dan memakai pemerah bibir serta pipi, yang dari tadi selalu mengincar kepada kedua orang
dara ayu itu, tiba-tiba menoleh kepada si kasir yang berbareng menjadi juga pemilik rumah
penginapan itu sambil berkata, "Jika adik nona itu sakit, apakah salahnya engkau menerima
mereka menginap di sini? Nanti malam jika ada tamu yang berangkat dari sini. bolehlah kamar
itu diberikan kepada kedua nona ini."
Si kasir yang memang kenal baik nyonya itu, dengan lantas mengabulkan sambil berkata, "Jika
Lauw Heng-siu mengatakan demikian, akupun pasti tak dapat menolak saranmu itu. Mari nona,"
ia berkata kepada Yo Su Nio, "Aku antarkan dikau ke kamarmu."
Dengan demikian, Su Nio dapat menitipkan kedua ekor kuda mereka kepada pelayan rumah
penginapan untuk diberi rumput dan air, sedang bungkusan serta senjata mereka lalu diangkutnya
ke dalam kamar, dimana Su Nio beristirahat sambil mengobati lukanya Siauw Giok bekas terluka
oleh golok Ong Kauw-thauw itu.
Siapakah gerangan nyonya yang mengusulkan akan si kasir memberikan kamar kepada nona Su
Nio dan adik angkatnya itu?
Dialah bukan lain dari pada seorang mucikari atau menurut istilah yang lebih halus
kedengarannya "Heng-siu".Di daerah Shoatang pada jaman dahulu banyak terdapat rumah-rumah pelacuran, sedang kata
mucikari di sana dikenal orang dengan sebutan Heng-siu atau biang para pelacur.
Perempuan yang berpakaian mewah itu bukan lain daripada seorang mucikari yang memiliki
sebuah rumah pelacuran besar dan mewah yang letaknya tidak berapa jauh dengan rumah
penginapan kecll itu. Oleh karena dia kerap mondar-mandir mencari langganan di rumah
penginapan itu, maka tidak heran jika ia kenal baik kepada si kasir yang menjadi pemilik rumah
penginapan tersebut.
Lauw Heng-siu sendiri dimasa mudanya hidup sebagai seorang bunga latar dan dibuat barang
dagangan oleh pihak induk semangnya, sehingga segala macam pengalaman yang manis dan getir
telah pernah dikecapnya sendiri. Maka kali ini tatkala ia melihat wajah Su Nio dan adik angkatnya
yang begitu ayu dan berbareng mahir ilmu silat, dengan lantas timbul pikiran untuk
mempergunakan tenaga dan kecantikan mereka dalam hal mencari langganan dan keuntungan
besar. Oleh sebab itu, dengan lantas ia menganjurkan si pemilik rumah penginapan untuk
memberikan mereka kamar, meski ada kemugkinan ia menanggung resiko membayar ongkos
penginapan dan dahar mereka berdua jika seandainya mereka tak mampu mendapat uang untuk
melunaskan itu semua.
Begitulah setelah Su Nio selesai mencuci, mengobati serta membalut luka adik angkatnya itu, ia
segera minta supaya Siauw Giok beristirahat di dalam kamar, sedang ia sendiri lalu keluar
menyampaikan terima kasihnya kepada Lauw Heng-siu, yang telah menganjurkan kepada
pemilik rumah penginapan untuk menerima mereka menumpang di situ untuk sementara waktu
lamanya.
Setelah saling menanyakan she dan nama masing-masing serta bercakap-cakap seketika lamanya.
Lauw Heng-siu segera meminta diri dan kembali ke rumah pelacurannya dengan mengandung
pikiran yang tertentu di dalam otaknya.
LUKA Siauw Giok sebenarnya tidak berapa parah. Tapi karena mengeluarkan darah terlampau
banyak, maka luka itu kini telah menjadi bengkak. Su Nio jadi bingung dan lekas menggadaikan
antingnya yang dibuat dari pada batu kumala hijau untuk memanggil tabib.
Tapi sang nasib memang kerap berat sebelah dan tidak adil, juga jail agaknya terutama terhadap
kaum miskin yang serba kekurangan. Sejak luka Siauw Giok diobati oleh tabib, bukan saja tidak
menjadi sembuh, malah rasa sakitnya jadi kian bertambah, sehingga dua malam berturut-turut
dia tak dapat tidur oleh karenanya. Hal mana, sudah barang tentu, telah membuat Su Nio jadi
semakin bingung. Kuda Siauw Giok telah terpaksa dijual untuk membayar ongkos tabib, membeli
obat, membayar makan dan menyewa kamar, tapi ternyata luka Siauw Giok belum juga sembuh,
hingga Su Nio menjadi putus asa dan tak tahu apa yang harus diperbuat selanjutnya.
"Jika dilihat begini gelagatnya." katanya dengan perasaan terharu, "Si Putihpun tak dapat
dipertahankan pula dan harus juga dijual untuk menolong kesukaran yang tengah kita hadapi ini!"
Tapi Siauw Giok yang tengah merintih ketika mendengar demikian, dengan lantas memotong
pembicaraan kakaknya dengan mengatakan, "Jangan, jangan! Si Putih jangan dijual. Karena jika
dia dijual juga, cara bagaimana kita melanjutkan perjalanan kita nanti?"
Su Nio menghela napas dan pikirannya dirasakan pening karena menghadapi jalan buntu itu.
Tiba-tiba ia teringat, bahwa diwaktu berpindah tempat ke rumah penginapan itu, Su Nio lupaberpesan kepada pemilik rumah penginapan di Pek-hoa-tien, agar dia memberitahukan kepada An
Jie dimana tempat kediamannya sekarang, jika nanti ia kembali dan rnencarinya di situ. Oleh
karena itu, pada petang hari itu diuga ia pergi dengan diam-diam ke rumah penginapan di Pekhoa-tien itu, dimana ia telah menyampaikan pesannya kepada pemilik rumah penginapan yang
baik hati itu, yang telah berjanji akan menyampaikan pesannya kepada An Jie, jika nanti si
pemuda datang kesitu untuk menjemputnya.
"Diwaktu engkau meninggalkan rumah penginapan kami di sini," kata pemilik rumah penginapan
itu pula, "Aku dapat dengar diluaran bahwa Lauw Lo Houw dan anak buahnya mencarimu
berdua adik perempuanmu untuk ditangkap serta diserahkan kepada pembesar yang berwajib.
Oleh sebab itu, hati-hatilah engkau keliaran diluaran, agar supaya tak sampai mengalami sesuatu
hal yang tidak enak bagi dirimu."
Su Nio mengucap terima kasih atas kebaikan pemilik rumah penginapan itu, kemudian ia balik
kembali ke Soan-hoa-tien dengan tergesa-gesa.
Pada suatu petang tatkala Siauw Giok tersadar dari tidurnya dan meminta air teh untuk
melepaskan dahaga, ia melihat Su Nio duduk di muka ranjang sambil menundukkan kepala dan
mengucurkan air mata, hingga ia merasa sangat terharu dan lalu mencekal tangan kakak
angkatnya itu sarnbil berkata, "Cie cie, jika bukan karena aku, niscaya engkau tak sampai
mengalami kesukaran serupa ini. Oleh sebab itu, aku merasa sangat menyesal dan timbul suatu
pikiran untuk mencoba memperbaiki keadaan kita dewasa ini. Bagaimana pendapatmu jika kita
saling berpisahan dahulu untuk sementara waktu lamanya? Engkau boleh mengambil jalan
menurut pendapatmu sendiri, sedangkan aku akan mengambil juga jalanku sendiri."
Su Nio yang mendengar begitu, tak tertahan pula menjadi menangis terisak-isak sambil menutupi
mukanya di sisi ranjang.
"Dik!" katanya kemudian, "Dimanakah aku sampai hati meninggalkan dikau dalam keadaan
begini? Harap selanjutnya engkau jangan mengusulkan pula sesuatu hal yang bukan-bukan! Kini
engkau tak usah memikirkan segala sesuatu yang dapat mengecilkan ketabahan hati kita. Karena
jika nanti koko telah kembali, niscaya mudah dicari pemecahannya ........."
Selagi kakak dan adik perempuan itu saling menumpahkan rasa suka dan dukanya kepada kedua
pihak, mereka sama sekali tidak mendusin bahwa di luar kamar ada seorang yang tengah pasang
kuping mencuri dengar pembicaraan mereka. Dan begitu Su Nio menutup pembicaraannya, tibatiba pintu kamar terdengar diketuk orang dengan pelahan dan disusul oleh suatu pertanyaan,
"Apakah Su Nio belum tidur?"
Su Nio segera kenali, bahwa itulah Lauw Heng-siu adanya yang datang berkunjung ke kamarnya
pada petang hari itu.
Siauw Giok yang tak ingin dilihat orang karena matanya agak merah dan tampak titik-titik air
mata di pipinya, lekas-lekas membalikkan badannya menghadap ke belakang ranjang sambil
berpura-pura tidur, sedangkan Yo Su Nio lalu menyapu air matanya dan lekas membuka pintu
sambil memaksakan diri tersenyum.
Tapi Lauw Heng-siu segera melihat cukup jelas akan adanya awan mendung dibalik wajah si
nona yang manis itu. Dan tatkala Su Nio mempersilahkannya duduk, mucikari itu lalu mencekal
tangan si nona sambil bertanya, "Nona, apakah kakakmu belum juga kembali?""Belum!" sahut Su Nio sambil menggelengkan kepalanya.
"Jika engkau ada kesukaran sesuatu," kata mucikari she Lauw itu. "Segeralah engkau katakan
kepadaku, aku pasti bersedia menolongmu. Jika diberitakan, tentang kenal-mengenal, kita
memang baru saja pernah bertemu pada kali ini saja. Tapi itu tidak menjadi soal untuk tidak
menolong kawan yang justeru sedang membutuhkan pertolongan itu."
Yo Su Nio yang melihat sikap Lauw Heng-siu yang begitu manis dan baik hati, lalu tuturkan
segala kesukaran yang tengah dideritanya dewasa itu, hingga dengan tersenyum si mucikari lalu
Sang Penebus 10 Joko Sableng 42 Rahasia Darah Kutukan The Devils Dna 6

Cari Blog Ini