Legenda Ular Putih Karya Marcus As Bagian 3
Selang beberapa lama ketika Ci Wan-'gwe kembali untuk menengok Han Bun di kamarnya dia lihat Han Bun sudah membuka matanya
'Bagaimana keadaanmu. Kanda Han Bun"" tanya Ci Wan-gwe.
"Sesudah meminum obat itu, tubuhku terasa segar 'dan merasa agak sehat." jawab Khouw Han Bun sambil tersenyum.
"Syukurlah kalau begitu' kata Hartawan Ci yang nampak senang sekali.
Tak lama Hartawan Ci menyuruh anak buahnya membukakan baju untuk Han Bun. Tapi karena Han Bun sudah agak sehat, ia bisa bangun untuk salin pakaian sendiri
"Ah sungguh mujarab sekali obat yang baru kubeli itu." kata Hartawan Ci.
"Di mana kau beli obat itu, Adik Ci?" tanya Han Bun.
"Di Jalan Gouw Tiauw-kee," kata Ci Kian.
"Ah memang hebat sekali, apa merek toko obat itu?" tanya Han Bun.
"Po Hoo Tong," jawab Hartawan Ci
"Aku menyuruh pelayan tua untuk membeli dan memasak obat itu. Namun baru kuminumkan sekali saja, kau sudah sembuh. Ah memang sungguh mujarab obat itu!"
"Kau bilang tokonya memasang merk "Po Hoo Tong?
"Benar Kanda Han Bun."
"Aneh?" kata Han Bun.
"Apanya yang aneh?" tanya Ci Kian,
"Merk toko obat itu sama dengan merk toko obatku. ketika
aku masih tinggal di Souw-ciu. Memangnya siapa pemilik toko obat itu?" tanya Han Bun.
"Kata pelayan tuaku pemiliknya dua orang Wanita, mereka cantik cantik." kata Ci Kian.
"Aneh? Nanti jika aku sudah sembuh betul. maukah kau mengajakku pergi ke toko obat itu?" kata Han Bun.
"Tentu saja aku mau. Tapi karena sekarang kau belum sembuh betul. lebih baik nanti saja. Sekarang sebaiknya kau istirahat hingga kesehatanmu pulih benar! Setelah kau sembuh, aku berjanji akan mengajakmu pergi ke sana!" kata Ci Kian.
"Ah terima kasih atas bantuanmu. Aku merasa amat berhutang budi kepadamu, Adik Ci," kata Han Bun.
"Kau tak usah berkata begitu. bukankah kita bersaudara? Nah sekarang aku pamit dulu, biarlah kau ditemani oleh pelayanku!" kata Ci Kian.
"Baiklah Adik Ci," kata Han Bun.
Walau mulutnya berkata begitu, namun sebenarnya hatinya berdebar terus. Rupanya dia khawatir kalau kedua siluman itu menyusulnya untuk mengganggu dan mencelakakannya. Itu sebabnya saat itu ia tak bisa tidur, hatinya merasa tak tenang.
__________
HARTAWAN CI JATUH CINTA PADA PEH TIN NIO
SELANG sepuluh hari setelah tubuh Khouw Han Bun benar-benar terasa segar dan sehat seperti sediakala, dia mengajak Ci Wan-gwe pergi berjalan-jalan. Dengan diantar oleh Lai Hin, pelayan Ci Wan-gwe, mereka berjalan sambil berbincang-bincang. Tak lama maka sampailah mereka ke toko obat "Po Ho Tong" yang katanya pemiliknya dua orang wanita cantik.
Ketika Han Bun singgah, ternyata pemilik toko obat itu benar-benar Peh Tin Nio dan Siauw Ceng. Dengan marah Khouw Han Bun lalu masuk ke dalam toko itu dan memakinya
"Hai siluman perempuan jahat dan tak tahu malu, belumkah kau puas menggoda dan menyusahkan diriku? Di Ki-kang kau telah mencelakakan aku, sehingga aku dibuang ke Souw-ciu. Untung ada Gouw Wan-gwee yang menolongku. Tapi sayangnya dia memaksaku untuk menikah denganmu. Di sana karena kau jadi pencuri, aku ditangkap dan di buang ke sini! Apa sih maumu sebenarnya'?" kata Khouw Han Bun sengit. Mendengar makian Han Bun. nampaknya Peh Tin Nio kebingungan. Tak lama air matanya membasahi kedua belah pipinya. Ternyata cacian Han Bun amat menyakitkan hatinya.
"Suamiku. kau memang keterlaluan, kenapa senang benar kau memakiku dan menyebut aku siluman perempuan? Ah sungguh teganya kau ini .Kita kan sudah jadi suami isteri, masakan aku mau menganiayamu?" kata Peh Tin Nio sambil menangis sedih.
"Sebenarnya barang-barang pusaka itu milik keluargaku. Tapi karena sekarang ayahku sudah meninggal, maka aku takut para petugas itu tak mempercayaiku. Mengingat hal itu maka terpaksa aku menghindar hingga akhirnya kau dituduh sebagai pencuri dan dihukum buang ke sini." katanya sambil menangis terisak-isak. Tapi tak lama ia sudah berkata lagi.
"Aku juga merasa ada orang yang memfitnah kita? Kukira hal itu karena toko obatmu maju, hingga orang jadi iri kepada kita dan memfitnah kita. Lagipula semua itu bukan kesalahanku!" kata Tin Nio.
Walau demikian Han Bun tetap masih memakinya. sedang Tin Nio dengan sabar menjelaskan hal itu.
"Yah, sekarang tinggal terserah kau saja .Sebenarnya kedatanganku ke mari hanya karena kewajibanku sebagai isteri. Dengan demikian aku harus tetap setia mendampingimu. Tapi Jika kau tidak mau menerimaku, yah itu sih terserah kau saja" kata Tin Nio seperti putus asa. Saat itu Ci Kian yang ada di samping Khouw Han Bun, merasa terharu ketika melihat Peh Tin Nio menangis. Maka itu dengan amat terpaksa dia ikut bicara.
"Kanda Han Bun, jika kudengar kata-kata Enso (Kakak ipar perempuan) kurasa mereka tidak bersalah,
" kata Ci Kian
"Padahal selama di perjalanan ke mari. aku dan Siauw Ceng sangat menderita karena harus mengalami kesengsaraan yang bukan main. Tapi nyatanya sesudah kami sampai di sini, kami bukan disambut dengan baik malah dimaki yang demikian menyakitkan. Apalagi kau katakan bahwa kami siluman perempuan dan sebagainya. Apakah ini yang dikatakan adil!" kata Tin Nio.
Mendengar kata-kata isterinya, Han Bun hanya menunduk saja. Apalagi sekarang pun Ci Kian justru membela Tin Nio. Akhirnya dia pun jadi serba salah .
"Lagipula apa salah kami? Bukankah kami membuka toko obat di sini hanya karena kami ingin menyambung hidup? Untung saja toko obat kami mendapat kepercayaan dari penduduk, sehingga obat yang kami jual sangat laku. Lagipula apakah kami salah kalau aku yang menyayangi suami sendiri lalu menyusul ke mari?" kata Tin Nio.
Namun Han Bun tetap diam saja
"Jika kau tak mau mengakui aku sebagai isterimu yang sah," kata Tin Nio melanjutkan.
"aku sih tak keberatan. Tapi coba kau lihat perutku yang kini tengah mengandung benihmu, apakah kau tak merasa kasihan pada anak yang di dalam perut ini?"
Sesudah berkata begitu. maka menangislah Peh Tin Nio sejadi jadinya. Akhirnya walau betapapun kerasnya hati Khouw Han Bun bagai batu karang. tapi ketika ia melihat Peh Tin Nio menangis dengan sedih. tak urung hatinya luluh juga .
Dengan perasaan terharu akhirnya Khouw Han Bun merangkul isterinya, lalu keduanya menangis sambil berpelukan. Saat itu Ci Wangwe yang menyaksikan adegan dramatis itu ikut terharu juga.
"Kanda Han Bun. seharusnya kau mengasihani isterimu yang setia ini .Kukira jarang sekali wanita yang seperti dia. Apalagi dia telah menempuh perjalanan yang amat Jauh. Kukira itu semua karena kesetiaannya kepadamu!" kata Hartawan Ci
"Sudahlah isteriku. kau Jangan menangis lagi. Aku terima bersalah sebab tanpa tegur sapa dahulu aku sudah memaki-makimu." kata Khouw Han Bun amat terharu.
"Tuan Khouw sudahlah. Kukira dalam kehidupan rumah tangga soal percekcokan sudah amat biasa." kata Siauw Ceng ikut menghiburnya.
Sesudah itu Tin Nio menyilakan Ci Wan-gwe dan Han Bun serta Lai Hin masuk ke toko obatnya .Sesudah ketiga pria itu masuk, Tin Nio menyuruh Siauw Ceng menyediakan air teh untuk mereka.
Sesudah mereka berbincang-bincang, menceriterakan pengalamannya masing-masing, Han Bun bersedia kembali untuk bersatu dengan isterinya. Mendengar hal itu Ci wan-gwe senang sekali. Bahkan dia pun sesekali mencuri pandang pada nyonya yang sedang hamil itu. Saat itu Lai Hin memperhatikan kelakuan majikannya itu.
"Oh alangkah cantiknya wanita ini!" pikir Hartawan Ci mengaguminya.
Saat Hartawan Ci menyaksikan kecantikan Peh Tin Nio, semangatnya seolah hilang. Pikirannya pun seakan terbawa oleh rasa ingin memiliki wanita cantik seperti itu.
Setelah lama mereka berbincang-bincang, akhirnya pertemuan itu dilanjutkan dengan pesta kecil. Makan dan minum dilakukan bersama. Semula Ci wan-gwe yang terpengaruh oleh kecantikan Nyonya Khouw, pura-pura menolaknya. Tapi karena Khouw Han Bun mendesaknya, akhirnya mau juga dia ikut makan dan minum bersama. Kemudian sesudah mereka puas makan dan minum, tak lama Hartawan Ci pamit pada Han Bun dan Peh Tin Nio untuk kembali ke gedungnya. Dalam percakapan terakhir, ketika Han Bun meminta izin untuk mengelola toko obat milik isterinya, Ci Wan-gwee tidak keberatan. Sesudah itu maka pulanglah Hartawan Ci ke rumahnya.
Dalam perjalanan pulang. otak Ci Kian masih teringat akan kecantikan Peh Tin Nio. Saat itu Walau dia berjalan dalam keadaan setengah mabuk arak, namun di otaknya tetap terbayang akan kecantikan Nyonya Khouw. Rupanya ia tak bisa melupakan kecantikan Peh Tin Nio.
'Isteriku Tan-si memang cantik," pikir Ci Kian.
"Tapi kecantikan Tin Nio melebihi wanita manapun yang pernah kulihat!"
Kini pikirannya selalu teringat akan kecantikan Peh Tin Nio, sejak dia pulang dari toko obat Peh Tin Nio,Ci Kian tak enak makan. Bahkan dia juga tak bisa tidur, sehingga kesehatannya agak terganggu.
Isterinya yang merasa heran lalu memanggil tabib untuk memeriksa penyakit yang diderita Ci Kian. Tapi nyatanya shinshe (tabib) itu tak menemukan penyakit apa-apa. Walau Ci Kian sudah diberi obat kuat (vitamin), namun penyakit Ci Kian tetap tak bisa disembuhkan.
Melihat keadaan penyakit majikannya, Lai Hin yang ikut mengantarkan majikannya dan Han Bun ke toko obat milik Peh Tin Nio, menduga bahwa majikannya itu sedang tergila-gila akan kecantikan isteri Han Bun. Apalagi saat itu dia sempat melihat majikannya sedang mengawasi Nyonya Khouw terus-menerus.
Pada suatu hari, ketika majikannya sedang menghela napas dan mengeluh sendiri. secara kebetulan Lai Hin masuk. Saat itu ia mendengar helaan napas majikannya. Melihat hal itu dengan memberanikan diri, maka berkatalah pelayan yang setia itu.
"Padahal di hadapan Tuan majikan sendiri Tuan telah mempunyai seorang bidadari. Tapi kenapa Tuan sia-siakan? Sebaliknya Tuan malah hendak ke See-thian (Langit Barat) karena memimpikan sesuatu yang teramat tinggi. Hamba rasa hal itu cuma akan menyusahkan Tuan saja!" bisik Lai Hin.
Ternyata ucapan Lai Hin terdengar jelas oleh isteri Hartawan Ci. Dia pun segera memaklumi akan kata-kata pelayannya. Ternyata maksud Lai Hin. majikannya sudah mempunyai isteri yang cantik elok di rumah, mengapa dia harus mencintai isteri orang? Bahkan para selirnya pun siap melayani apa maunya.Jika hal itu terus dipikirkan. itu akan menyusahkan diri sendiri
"Lai Hin, apa maksud ucapanmu itu?" tegur Hartawan Ci tiba-tiba
"Hamba bermaksud baik karena hamba merasa kasihan terhadap Tuan. Jika Tuan menuruti kata hati Tuan, sudah tentu sakit Tuan akan berlanjut. Dengan demikian Tuan harus terbaring tanpa daya di tempat tidur," kata Lai Hin
Lagi-lagi ucapan Lai Hin terdengar oleh isteri Ci Kian.
"Eh ada apa Lai Hin, coba kau ceritakan kepadaku kenapa sampai tuanmu ini jatuh sakit?" desak isteri Ci Kian.
Mendengar pertanyaan nyonyanya, Lai Hiu kaget. Dia juga tak berani berterus terang sebab dia takut kalau-kalau Ci Kian akan marah bahkan mencambuknya. Tapi karena isteri Ci Kian mulai curiga, ia terus mendesaknya
"Lai Hin, ayo lekas kau katakan! Apa sebenarnya yang telah terjadi?" desak isteri Ci Kian.
Karena didesak terus-menerus akhirnya walau Lai Hin merasa ragu dan ketakutan, ia pun mulai menceritakan apa yang dilihatnya ketika mereka berada di rumah isteri Khouw Han Bun beberapa hari berselang.
"Saat itu hamba lihat Tuan sedang melirik dengan penuh perhatian kepada isteri Tuan Khouw. Hamba akui isteri Tuan Khouw memang sangat cantik." kata Lai Hin dengan agak gugup.
Seaudah mendengar cerita pelayannya, isteri Hartawan Ci lalu masuk ke kamar suaminya. Saat itu sebenarnya hatinya merasa panas karena suaminya tergoda oleh wanita lain, tapi dengan sekuat hati dia mencoba untuk menahan amarahnya. Tak lama ia pun menemui sang suami yang terus mengigau,
"Suamiku, bagaimana keadaamnu? Apakah sekarang kau sudah merasa baikan?" tanya isteri Ci Kian.
Mendengar kata-kata isterinya, dengan perlahan-lahan Ci Kian membuka matanya. Namun begitu ia lihat yang ada di hadapan pembaringannya itu isterinya, Ci Kian segera
memejamkan matanya.
"Kanda walau aku isteri sahmu, tapi jika sakitmu disebabkan karena kau "rindu" kepada seorang wanita, Coba kaukatakan terus terang. Siapa sebenarnya wanita itu dan di mana tinggalnya" kata isteri Hartawan Ci.
Mendengar hal itu bukan main terperanjatnya Ci Kian. Apalagi dia tak menyangka kalau isterinya bisa tepat menebak penyakitnya. Akhirnya karena Ci Kian menganggap tak mungkin bisa berdusta lagi, dengan terpaksa dia menjelaskannya.
"Kau benar. Isteriku' Saat ini aku tergila-gila oleh seorang wanita cantik...." jawab Ci Kian.
"Apakah kau tergoda oleh kecantikan isteri Khouw Han Bun sahabatmu itu?"
"Oh Isteriku, ternyata tebakanmu tepat sekali. Hari itu sejak aku melihat kecantikan isteri Han Bun. pikiranku selalu terganggu karena teringat akan dia. Kurasa jika keinginanku tak terlaksana. penyakitku tak akan sembuh sampai menjelang ajalku..." kata Ci Kian terus terang.
"Hm. dasar lelaki mata keranjang! Apakah kau kira aku kurang cantik? Hm. sungguh memalukan. saking rindunya sampai kau sakit berat begini. Baiklah kalau begitu. demi cintaku kepadamu aku akan membantu mencari akal. Dengan demikian keinginanmu mungkin bisa terlaksana!" kata isteri Ci Kian.
Mendengar janji isterinya. seperti mendapat obat yang mujarab. dalam sekejab wajah Ci Kian berubah cerah. Tak lama dia pun memeluk isterinya.
"Oh Isteriku sayang. syukurlah kalau kau mau mengerti. Apalagi kau pun mau menyelamatkan nyawa suamimu.Sekarang coba kau katakan, akal apa yang hendak kau jalankan untuk menolongku?" kata Ci Kian girang.
Melihat suaminya begitu girang, isteri Ci Kian tersenyum puas.
"Secara kebetulan bunga-bunga botan (mawar) di taman bunga kita sedang bermekaran. Selain indah, baunya harum. Kau undang dia datang ke rumah kita. Dengan demikian dia bagaikan ikan yang masuk dalam jala. Tapi saat aku masih ada di dekatmu, jangan kau berbuat apa-apa, tunggu saja sampai aku pamit. Nanti pada saat kau sudah berdua, maka saat itulah kau boleh melakukan apa saja yang kau kehendaki. Bagaimana, apakah kau setuju?" kata isterinya
"Oh, sungguh hebat akalmu itu, Isteriku' Terima kasih atas kebaikan dan budimu'yang luhur itu," kata Ci Kian sambil menciumi isterinya.
"Baiklah, sekarang lekas kau makan obatnya. Nanti sesudah kau sehat, akal itu boleh kita jalankan," kata isterinya
"Baiklah. sekarang pun aku sudah sembuh." kata Ci Kian.
Mendengar jawaban Ci Kian. keduanya lalu berpelukan dengan mesra. Saat itu Ci Kian amat berterima kasih karena dia anggap hati isterinya begitu mulia.
*** ____________
PEH TIN NIO MEMBERI PELAJARAN PADA HARTAWAN CI
SELANG beberapa hari kemudian....
Keadaan Ci Wan-gwee benar-benar telah pulih karena itu isterinya mulai akan menjalankan siasat yang telah direncanakan untuknya. Hari itu isteri Hartawan Ci segera membuat sepucuk surat. Sesudah surat itu selesai dibuatnya, dia. segera memanggil Lai Hin.
"Lai Hin, lekas kau bawa surat ini ke toko obat Tuan Khouw. Setiba di sana kau sampaikan pesanku, bahwa aku mengundang isterinya datang ke mari. Kebetulan kini bunga-bunga mawar sedang berkembang di taman bunga. Katakan bahwa aku mengundangnya untuk menikmati keindahan taman bunga mawarku bersama-sama." kata isteri Ci Wan-gwee.
"Baik Nyonya." jawab Lai Hin.
Sesudah menerima surat dari isteri Ci Kian,
Lai Hin bergegas pergi ke rumah Khouw Han Bun. Kebetulan hari itu Han Bun ada di tokonya.
"Hai Lai Hin. selamat datang! Apa kabar?"
"Baik Tuan Khouw. terima kasih." jawab si pelayan.
"Bagaimana dengan keadaan Tuanmu?"
"Baik-baik saja, Tuan Khouw. Kedatanganku hari ini justru ingin menyampaikan surat undangan Nyonyaku buat Nyonya Khouw," kata Lai Hin.
"Memangnya ada pesta apa?" tanya Han Bun.
"Tidak ada pesta, Nyonya cuma ingin mengajak isterimu menikmati pemandangan indah di taman bunga "
"0h begitu, baiklah. Nanti akan kusampaikan padanya. sekalian kau tunggu saja di sini!" kata Han Bun.
'Jika nyonya bersedia, jolinya pun sudah tersedia Tuan Khouw," kata Lai Hin.
"Baiklah," kata Khouw Han Bun yang segera masuk ke dalam handak memberitahu isterinya
Kemudian ketika Han Bun sampai di depan isterinya, ia memberitahukan tentang kedatangan Lai Hin. Selain itu ia juga menceritakan maksud kedatangannya.
"Nyonya Ci mengundangmu untuk menikmati keindahan taman bunganya. Dia memang sungguh baik, tapi apakah kau bersedia?" kata Han Bun sambil tersenyum. '
"Dia mengundangku?" tanya Tin Nio agak keheranan.
'Ya. Katanya karena bunga-bunga mawar yang ada di tamannya sedang mekar, maka dia mengundangmu. Apakah kau bersedia pergi untuk menemuinya?" kata Han Bun.
Peh Tin Nio segera berpikir keras. Tapi dia yang maklum apa maksud dibalik undangan tersebut, segera memberi jawaban.
"Maaf, aku tak bisa pergi sekarang! Kuharap tolong sampaikan kepada Lai Hin agar besok pagi saja aku berangkat menemuinya. Selain itu sampaikan salamku pada Nyonya Ci, katakan juga bahwa dia jangan merepotkan diri untuk mengundangku." kata Tin Nio.
"Baiklah," kata Han Bun.
Tak lama maka keluarlah Khouw Han Bun untuk menyampaikan pesan isterinya.
"Baiklah kalau begitu. Biar akan kusampaikan pesan pada nyonya!!!" jawab Lai Hin.
Sesudah memberi hormat, Lai Hin lalu pamit untuk pulang ke gedung tuannya.
Sesampai di rumah Hartawan Ci, Lai Hin memberitahukan hal itu kepada Hartawan Ci dan isterinya. Mendengar kesediaan Peh Tin Nio, tentu saja Ci Wan-gwee menjadi girang bukan main sebab dengan demikian besok impiannya akan segera terlaksana.
*****
Esok harinya....
Pagi-pagi sekali di rumah keluarga Ci sudah sibuk hendak menyambut kedatangan Nyonya Khouw yang akan menjadi tamunya. Makanan dan minuman yang enak-enakpun sudah disediakan. Saat itu Lai Hin sudah diperintahkan menjaga di luar gedung. kalau-kalau tamu agung mereka sudah tiba. Tak lama Lai Hin bergegas masuk.
"Tuan, joli Nyonya Khouw sudah tiba!" kata Lai Hin.
Mendengar kabar tersebut Ci Wan-gnee memberitahu isterinya, sedangkan dia lalu bersembunyi di kamarnya .Nyonya Ci bergegas ke luar untuk menyambut kedatangan Nyonya Khouw. Begitu bertemu, Nyonya Ci mengawasi ke arah tamunya.
"Ah. pantas saja suamiku tergila-gila kepadanya .Ternyata Nyonya Khouw elok sekali parasnya." pikirnya.
Tak lama ketika keduanya sudah berhadapan mereka langsung saling memberi hormat. Turun dari joli. Nyonya 'Khouw langsung dibimbing masuk ke gedung Ci Wan-gwee.
Kemudian keduanya segera mengambil tempat duduknya masing-masing. Sambil memberi hormat, Nyonya Khouw berkata dengan manis.
"Pada kesempatan ini, aku ingin mengucapkan terima kasih. Aku dengar dari suamiku bahwa suami Nyonya amat baik, karena itu suamiku sangat berhutang budi kepada Tuan Ci dan
Nyonya di sini," kata Peh Tin Nio.
'Jangan dipikirkan soal itu!" kata Nyonya Ci.
"itu urusan kecil."
"Tapi, budi Tuan dan Nyonya Ci amat besar bagi kami sekeluarga .Apalagi sekarang Nyonya pun telah mengundangku dengan penyambutan yang begini meriah. Ah, entah kapan kami bisa membalas budi kebaikan Tuan dan Nyonya di sini," kata Tin Nio. '
"Ucapanmu membuat aku malu sekali, Nyonya Khouyw." kata Nyonya Ci.
"Padahal undanganku cuma undangan makan biasa yang sangat sederhana. Hari ini kulakukan karena suamiku sedang pergi mengunjungi saudaranya. Kuharap kau tak perlu bersikap terlalu merendah,"
"Terima kasih. Oh ya, katanya bunga-bunga di taman milik Nyonya sedang mekar? Betulkah begitu?" kata Tin Nio.
"Itulah yang menyebabkan aku mengundangmu. Aku ingin mengajakmu melihat-lihat taman bungaku!" kata Nyonya Ci.
Tak lama setelah hidangan disajikan oleh seorang pelayan lelaki, keduanya lalu bersantap sambil berbincang-bincang. Tampaknya mereka begitu akrab, keduanya bersenda gurau bagaikan sahabat lama saja.
Selesai makan Nyonya Ci mengundang tamunya ke taman bunga .Benar saja, ternyata di taman itu bunga-bunga mawar milik nyonya rumah tampaknya sedang bermekaran semua. Baunya juga amat harum. Di tempat ini berbagai bunga mawar terhimpun, sehingga warnanya menjadi beraneka warna. Ada yang merah tua, merah muda, dan ada pula yang kuning atau putih bagaikan salju .Tampaknya taman itu terawat baik, ini menandakan bahwa nyonya rumah amat menyukai taman bunganya.
Sesudah menikmati taman bunga yang disirami sinar matahari yang cerah. mereka tampak sedikit berkeringat. Melihat
hal itu, Nyonya Ci segera tersenyum
"Ah rupanya kau kegerahan, mari kita tukar pakaian agar kau tidak terlalu kepanasan," kata Nyonya Ci.
Nyonya Khouw menurut saja, maka itu mereka masuk ke sebuah kamar. Kemudian Nyonya Khouw membuka baju luarnya, lalu menukar pakaian dengan pakaian yang telah disediakan oleh nyonya rumah. Sesudah itu barulah Tin Nio dlpersilakan duduk.
"Pelayan! Pelayan!" kata Nyonya Ci,
Tapi tak ada sahutan. Ternyata ini sudah diatur sebelumnya karena skenarionya memang harus begitu. Rupanya ini sesuai dengan rencana yang diatur oleh Nyonya Ci.
"Ke mana pelayan-pelayan itu?" kata Nyonya Ci. Tak lama ia berkata kepada nyonya Khouw,
"Permisi, aku akan memanggil pelayan."
"Baiklah," kata Nyonya Khouw sambil tersenyum.
Ternyata Peh Tin Nio memang sudah tahu. kalau itu cuma siasat Nyonya Ci yang hendak menjebaknya .Maka itu dengan tersenyum dia membiarkan nyonya rumah meninggalkan dirinya sendirian di kamar itu.
Rupanya dia ingin tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ketika kepergian Nyonya Ci tak kembali lagi, tiba-tiba muncul Ci Wangwee ke kamar itu. Padahal menurut cerita isterinya, suaminya sedang pergi mengunjungi saudaranya. Namun Nyonya Khouw hanya berpura-pura kaget, lalu pura-pura ke luar untuk menghindar dari kamar itu. Tiba-tiba Ci Wan-gwee malah berlutut di hadapannya.
"Nyonya, kuharap kau jangan pergi! Kasihanilah aku sebab sejak pandangan mata kita bertemu di rumahmu, hatiku telah tertarik oleh keelokanmu. Nyonya Khouw. Oh, sekali lagi kumohon kasihanilah aku, tolong kau jangan pergi dari sini. Sungguh, aku sangat menudukanmu..' kata Ci Kian merayu Nyonya Khouw.
Melihat Ci Wan-gwee berlutut, dengan tenang Tin Nio menyilakan Ci Wan-gwee bangun
"Suamiku memang amat berhutang budi pada Tuan sebab kalau bukan karena pertolongan Tuan, entah bagaimana jadinya. ini kami berdua belum bisa membalas budi Tuan tersebut. Namun karena sekarang Tuan mencintaiku, jadi mana berani aku menolak cinta Tuan itu. Tapi...." kata Peh Tin Nio tak meneruskan.
"Tapi apa, Nyonya Khouw?"
"Kuharap jangan kau nyatakan cintamu di sini sebab kalau isterimu yang sangat ramah dan baik terhadapku tiba-tiba datang bagaimana? Apalagi kalau dia menemui kita sedang bermesraan, oh sungguh hal itu akan sangat mengecewakannya!" kata Tin Nio.
Mendengar kata-kata Peh Tin Nio, Ci Kian tertawa.
'Jangan khawatir," kata Ci Kian.
"Akal ini pun dialah yang mengaturnya, jadi kau jangan cemas. Sedangkan dia bagiku, bagaikan Khong Beng di zaman Sam Kok yang hidup kembali." kata Ci Kian sambil tersenyum puas.
"0 benarkah ini akal dia? Kalau begitu baiklah. tapi sebelumnya tolong kau tutup pintu kamarnya. Nanti kalau ada orang yang tiba tiba masuk pada saat kita sedang bermesraan, aku jadi jengah. Sekarang biar aku naik dulu ke tempat tidur itu," kata Nyonya Khouw.
Mendengar kata-kata itu. Ci Kian yang girang bukan main bergegas ke pintu untuk menguncinya dari dalam. Sedangkan Nyonya Khouw yang telah naik ke ranjang, segera menghilang dengan ilmu gaibnya. Namun di ranjang itu dia meninggalkan sepucuk surat untuk Ci Wan-gwee.
Sesudah mengunci kamar, dengan bergembira Ci Kian segera berbalik, lalu bergegas menuju ke ranjang yang
kelambunya telah tertutup. Rupanya dia mengira Peh Tin Nio sedang menunggunya di atas ranjang tersebut. Pikirannya pun segera melayang jauh, seolah dia akan menikmati tubuh indah dari si nyonya elok itu.
Begitu dia membuka kelambu, bukan main kagetnya Ci Kian sebab di sana terlihat seekor ular besar yang melingkar di atas tempat tidurnya 'Tak ampun lagi maka menjeritlah Ci Kian, lalu pingsan.
Sedangkan isteri Ci Kian yang ada di luar kamar bersama pelayan-pelayannya, ketika mendengar jeritan itu menjadi kaget. Tapi begitu mereka hendak masuk, pintu kamar tersebut dikunci dari dalam. Akhirnya dengan terpaksa mereka mendobrak pintu kamar, lalu dengan beramai-ramai mereka masuk .
Sampai di dalam kamar, mereka lihat Ci Wan-gwee telah tergeletak pingsan di lantai kamar. Tak berapa jauh isteri Ci Kian menemukan surat yang berasal dari Nyonya Khouw. Isteri Ci segera mencoba untuk menyadarkan suaminya. Kemudian sesudah agak lama, barulah suaminya sadar.
Sesudah Ci Kian sadar, Nyonya Ci segera membacakan surat dari Nyonya Khouw tersebut.
"Atas kehendak dewata, aku pertapa telah berjodoh dengan 'Khouw Han Bun. Maka itu perjodohan kami tak bisa dinodai oleh siapa pun. Kuharap lupakan hal itu jika Tuan Ci mau selamat!"
Mendengar isi surat itu, dalam sekejap wajah Ci Kian pucat pasi. Tubuhnya gemetar karena ketakutan. Walau demikian ia tak berani menceritakan apa yang telah dilihatnya. Sedangkan Nyonya Ci juga memperingatkan para pelayannya agar mereka menutup rapat rahasia yang baru terjadi. Mendapat pernyataan itu. semua pelayan berjanji akan tutup mulut. Padahal mereka jadi heran ke mana lenyapnya Nyonya Khouw itu.
Sedangkan Ci Kian dan isterinya merasa khawatir,
bagaimana jika Han Bun tiba-tiba datang mencari isterinya .Tapi untung walau sudah sekian lamanya, Han Bun tak kunjung datang. Sementera itu Lai Hin yang diperintahkan untuk memata-matai rumah Khouw Han Bun telah kembali dengan kabar gembira. Ternyata Nyonya Khouw telah kembali ke rumahnya dengan Selamat. Mendengar hal itu maka senanglah hati Ci Kian suami isteri.
Dikisahkan Peh Tin Nio yang meninggalkan rumah Ci Kian. langsung pulang ke rumahnya. Suaminya yang melihat isterinya tiba-tiba sudah pulang dengan cepat sekali menjadi kaget.
"Eh, kenapa kau sudah pulang? Apalagi kau pulang sendiri saja, memangnya ada apa?" tanya Han Bun.
"Tadi sesudah pertemuan selesai, aku memang diantar pulang. Tapi karena di tengah jalan aku tertarik untuk melihat-lihat bunga-bunga di tepi jalan, aku minta diturunkan." jawab Tin Nio berdusta
Rupanya Peh Tin Nio tak mau menceritakan tentang perbuatan Hartawan Ci yang mencoba ingin menggodanya dengan bantuan isterinya. Akhirnya pada menjelang malam, keduanya lalu tidur sambil menikmati malam yang indah.
___________
PEB TIN NIO BERTARUNG MELAWAN PENDETA HOAT HAY
KEESOKAN paginya, Tin Nio menceritakan kejadian di rumah Hartawan Ci kepada Siauw Ceng. Ketika Siauw Ceng mendengarnya, ia tertawa geli. Tak lama keduanya tertawa, mentertawakan kejadian yang dianggapnya lucu.
Beberapa bulan telah berlalu.
Tahun baru Imlek pun tiba. Pada harian Imlek Han Bun diundang ke rumah Hartawan Ci untuk makan dan minum arak. Mendapat undangan itu, Han Bun datang memenuhi undangan makan itu.
Setiba di sana, sambil makan mereka berdua berbincang bincang saling menceritakan pengalamannya di tahun yang lalu. Pada pembicaraan itu Hartawan Ci menyampaikan pendapatnya.
"Tahun ini cukup lumayan bagus, kalau kau tak keberatan mari kita pergi ke kelenteng. Di tempat ini ada sebuah kelenteng bernama Kim San-si. Udara di kelenteng nyaman dan sejuk serta indah .Sedangkan sekarang kelenteng itu dipimpin oleh kepala kelenteng yang bernama Hoat Hay Sian-su. Dan menurut cerita orang pendeta itu berilmu tinggi. Dia pandai meramal nasib orang dan kejadian yang belum terjadi. Maukah kau ikut bersamaku?" kata Ci Kian.
"Kalau Tuan hendak ke sana. mengapa aku tidak?" Jawab Han Bun.
Mendengar jawaban Han Bun, bukan main girangnya Ci Kian. Tak lama mereka segera bersiap. Setelah semuanya siap
lalu berangkatlah mereka bersama-sama ke Kelenteng Kim San-si. Sesudah menempuh perjalanan yang cukup jauh, maka tibalah mereka di Gunung Kim-san. Benar saja, ternyata pemandangan di tempat itu memang indah. Selain udaranya sejuk, pohon-pohonnya pun rindang. Unggas-unggas beterbangan dengan bebas, sedangkan suaranya bercicitan merdu.
Ketika mereka tiba di depan Kelenteng Kim San-si, keduanya lalu masuk ke Ruang Tay Hiang Po Thian. Di sana nampak pemimpin kelenteng yang bernama Hoat Hay Sian-su sedang duduk di Hun-cung (tempat duduknya). Sesudah bersembahyang pada patung Sam Po Hud dan Ji Lay Hud, mereka segera menemui pemimpin kelenteng tersebut. Kemudian keduanya memberi hormat dengan takjim.
"Silakan duduk,
" kata Hoat Hay mempersilakan mereka duduk.
Tak lama murid pendeta Hoat Hay menyuguhi teh untuk mereka.
"Siapa nama kalian?" tanya Hoat Hay Sian-su.
"Nama hamba Ci Kian," jawab Ci Kian.
"Sedangkan ini Khouw Sian alias Khouw Han Bun. Kami berasal dari Ciat-kang. Karena mendengar nama dan kepandaian Suhu di sini, kami berdua datang berkunjung untuk menemui Suhu,"
Tak lama pendeta itu mengawasi ke arah Han Bun. Namun sesudah ia memperhatikan cukup lama, akhirnya pendeta itu tersenyum sambil berkata.
"Maaf Tuan Khouw, kalau tak salah bukankah isterimu bermarga Peh?" tanya Hoat Hay tiba-tiba.
"Benar, Suhu! Tapi bagaimana Suhu mengetahui bahwa Istri hamba bermarga Peh?" jawab Han Bun.
Mendengar pertanyaan itu, Pendeta Hoat Hay hanya tertawa.
"Jangan kau merasa heran sebab aku sudah mengetahui segalanya. Apalagi setelah kuperhatikan dengan seksama, wajahmu yang pucat pasi. Aku yakin kau pasti terpengaruh oleh hawa siluman" kata Hoat Hay '
"Hawa siluman? Apa maksud Suhu?" tanya Han Bun keheranan
"Kuharap kau jangan abaikan keselamatan jiwamu, anak muda. Kalau kau dipengaruhi hawa siluman, seharusnya kau waspada!" kata Hoat Hay.
"Apa alasan Suhu hingga mengatakan begitu?"
"Dengar baik-baik, Nak. Sebenarnya isterimu kitu siluman ular putih Gunung Ceng Seng-san di Su-coan. Tepatnya dia Siluman ular putih yang sudah bertapa di Goa Ceng Hong-tong!" kata Hoat Hay tegas.
Mendengar keterangan itu, sudah tentu Khouu Han Bun kebingungan.
"Sesudah ular putih itu bertapa ribuan tahun, lalu ia pergi ke Hang-ciu. Kemudian setiba dia di gedung Raja Ong Hoat, di sana dia bertemu dengan siluman ular hijau dan menjadi sahabat. Ketika mereka bertemu denganmu. mereka mengganggumu bahkan berkali-kali telah menyusahkan dirimu. Ingatkah kau pada peristiwa pencurian di gudang uang yang dijaga oleh Ci-humu? Terakhir kali dia pun mencuri pusaka milik Liong Ong. hingga kau dibuang ke mari. Untung kau ditolong oleh Ci Wan-gawe ini!" kata Hoat Hay.
Mendengar penjelasan pendeta itu. Han Bun jadi kaget apalagi semua yang pernah terjadi pada dirinya diketahui dengan benar oleh pendeta itu. Bahkan secara satu persatu kejadian itu dapat dikisahkannya
Sesudah Han Bun mendengar keterangan pendeta itu. ia nampaknya jadi amat ketakutan.Sedangkan Ci Kian yang pernah melihat ular putih itu tak berani membuka rahasia sebab hal itu menyangkut rahasia pribadinya.
Akhirnya karena Han Bun ketakutan, ia berlutut memohon perlindungan pada pendeta itu.
"Suhu, tolonglah jiwa hamba" kata Han Bun sambil meratap.
"Harap kau bangun Nak, karena aku pendeta pengembara. Syukurlah kalau sekarang kau sudah insyaf akan bahaya yang mengancam jiwamu." kata Hoat Hay.
"Agar jiwamu selamat dan bahaya gangguan siluman itu, sebaiknya kau berdiam di sini bersama aku. Dengan demikian siluman itu tak akan berani mengganggumu lagi,"
"Tapi kalau hamba tinggal di sini. berarti hamba harus jadi hweeshio, Suhu?" kata Han Bun.
"Tidak! Kau tak usah jadi hwee-shio. Maksudku agar kamu bisa bersembunyi untuk sementara saja. Nanti sesudah kau aman dari bahaya, barulah kau boleh kembali ke duniamu." kata Hoat Hay sambil tersenyum
Ci Kian yang ketakutan. ikut pula menasihati Han Bun
"Sebaiknya kau turut nasihat Suhu untuk tinggal di sini" kata Ci Kian.
Karena Han Bun merasa ngeri ia pun lalu menurut. Tak lama Ci Kian lalu pamit pada pendeta itu. Sesudah pamit ia bergegas pulang ke gedungnya. meninggalkan Han Bun pada Hoat Hay Siansu
*****
Dikisahkan di rumah Han Bun.
Saat itu Peh Tin Nio sedang menunggu Han Bun dengan cemas. Walau hari sudah sore, namun Khouw Han Bun belum Pulang dari rumah Ci Kian. Padahal sebelum pergi, Han Bun berjanji akan segera pulang sesudah merayakan pesta makan di tahun baru Imlek
"Siauw Ceng, mengapa sempai saat ini suamiku belum juga kembali? Ah aku jadi cemas, kalau-kalau ia terhalang sesuatu," kata Tin Nio pada pelayannya.
"Mungkin pestanya belum bubar," jawab Siauw Ceng.
"Tapi hatiku merasa tak enak, Siauw Ceng!"
"Kalau begitu, biar akan kuselidiki," kata Siauw Ceng.
Sesudah itu dengan menggunakan ilmunya Siauw Ceng melayang terbang ke arah gedung Ci Kian. Ternyata Khouw Han Bun tak ada di gedung keluarga Ci. Ketika Hertawan Ci pulang ia disambut oleh isterinya
"Ternyata isteri Han Bun siluman," katanya
"Kini Han Bun ada di Kim San Si sedang berguru."
Mendengar cerita Ci Kian, maka tahulah Siauw Ceng di mana Han Bun berada.
Kemudian dengan hati-hati Siauw Ceng terbang ke arah Kim San-si. Ternyata di sana dia lihat Han Bun memang ada disana. tapi dia dekat dengan Pendeta Hoat Hay Sian-su.
Sesudah mengetahui dengan jelas di mana Han Bun berada maka pulanglah Siauw Ceng ke rumah. Setiba di rumahnya, dia melaporkan hasil penyelidikannya kepada majikannya.
Mendengar keterangan dari Siauw Ceng maka menangislah Peh Tin Nio. Hal itu membuat Siauw Ceng keheranan.
"Nio-nio, mengapa kau menangis?" tanya Siauw Ceng.
"Coba kau dengar baik-baik, Siauw Ceng! Di kelenteng itu berdiam seorang pendeta yang bernama Hoat Hay Sian-su .Ilmunya juga tinggi, dia terkenal beradat kaku dan keras. Kukira dari dialah suamiku tahu asal-usul kita. Apalagi kini suamiku ada di sana, itu pasti ulah si pendeta untuk menahan suamiku." kata Tin Nio sambil menangis.
Melihat majikannya menangis seperti putus asa. Siauw Ceng semakin bertambah heran.
"Mengapa nampaknya kau begitu
bersusah hati? Memangnya sampai di mana tingginya kepandaian pendeta itu? Sedangkan di Miauw-san dulu, bukankah kau pernah mengalahkan seorang pendeta? Apakah ilmu Pendeta Hoat Hay lebih tinggi dari ilmu kita, hingga kau begitu ketakutan?"
"Rupanya kau tak tahu, Siauw Ceng!" kata Tin Nio dengan sabar.
"Ketahuilah, kukira kepandaian Hoat Hay tak bisa dianggap remeh sebab untuk melawannya kita harus menggunakan siasat dan bersabar. Kalau tidak maka sia-sialah usaha kita. Lebih baik kita temui dia, lalu membujuknya agar dia mau menaruh belas kasihan kepada kita. Siapa tahu kita bisa membujuknya, sehingga suamiku dikembalikan kepadaku." kata Tin Nio.
"Jika menurutmu itu yang terbaik, aku menurut saja." jawab Siauw Ceng.
Akhirnya sesudah mereka berunding, keduanya lalu berangkat ke Kim San-si.
Tak lama setiba mereka di Kim San-si, mereka segera mencoba untuk masuk ke dalam kelenteng. Namun baru saja melangkah, keduanya telah dihadang pendeta kecil.
"Saudara kecil. tolong kau sampaikan kedatangan kami pada Suhumu. Kalau diizinkan, kami berdua ingin bertemu dengan Suhumu!" kata Tin Nio.
"Siapa sebenarnya kalian?" tanya pendeta cilik itu
"Tolong kau katakan pada Suhumu, bahwa isteri Khouw Han Bun datang untuk menjemput suaminya," kata Tin Nio.
"Baiklah. kau tunggu di sini!" kata pendeta kecil itu.
Kemudian pendeta itu bergegas masuk untuk melapor pada Suhunya.
"Suhu. di luar ada dua perempuan ingin bertemu Suhu. Tapi yang seorang mengaku istri Khouw Han Bun. katanya dia ingin
mengajak suaminya pulang!" kata pendeta kecil itu.
"Hm sungguh berani siluman perempuan itu datang ke mari, rupanya dia ingin mencari mampus!" kata Hoat Hay.
Sesudah berkata begitu, dengan membawa kim-phoa (mangkuk) dan tongkat besinya, pendeta itu lalu ke luar hendak menemui Peh 'Tin Nio dan Siauw Ceng. Kemudian begitu dia berhadapan dengan mereka, sambil menunjuk ke arah Tin Nio dan Siauw Ceng, pendeta itu berkata.
"Hai siluman, sungguh berani kau datang ke mari! Apakah kau mencari mati? Atau kau tak sayang lagi pada usaha tapamu yang ribuan tahun itu?" kata Hoat Hay dengan bengis.
"Suhu, kedatangan kami ke mari hanya untuk menjemput suamiku," kata Tin Nio. '
"Hm, katamu itu suamimu? Dia bukan suamimu, tapi korban dari kejahatanmu! Ayo jika kau mau selamat, lebih baik kau pulang saja. Tapi jika kalian memaksa, jangan katakan bahwa aku pendeta kejam!" kata Hoat Hay.
Mendengar ancaman itu, Tin Nio segera berlutut.
"Hud-ya, ampunilah hamba. Padahal hamba tidak bermaksud menyusahkan Han Bun. Kalau memang hamba berniat jahat, tentu sudah lama Han Bun binasa di tangan hamba. Apalagi kami sudah lama menikah dan menjadi suami-isteri. Hal itu karena kami ditakdirkan berjodoh. Untuk itu hamba mohon kebaikanmu, Hud-ya. Kembalikanlah suami hamba, budi Hud-ya tak akan kami lupakan seumur hidup hamba." kata Peh Tin Nio. '
Mendengar kata-kata Peh Tin Nio, pendeta itu malah tertawa.
"Kau benar, aku juga tahu kau kini sedang hamil. Tapi walau demikian aku tetap melarangmu mendekati Khouw Han Bun. Sebaiknya kau pulang saja ke gunungmu, bertapalah di sana sampai kau melahirkan anakmu .Nanti sesudah anakmu lahir
Legenda Ular Putih Karya Marcus As di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kau boleh serahkan anak itu pada Han Bun!" kata Hoat Hay yang tetap pada pendiriannya.
Mendengar kata-kata pendeta itu, Peh Tin Nio menangis sedih. Kemudian sambil meratap ia minta agar Han Bun dibebaskan pulang. Dengan demikian mereka bisa berkumpul lagi. Tapi karena Hoat Hay tetap bersikeras, akhirnya Siauw Ceng yang ada di samping majikannya menjadi panas hatinya. Dengan segera dia memaki-maki Pendeta Hoat Hay dengan kata-kata kasar.
"Hai kepala gundul, kukira kau bukan seorang pendeta suci! Sebab jika benar kau seorang pendeta, mustinya kau murah hati dan tidak berhati iblis seperti sekarang ini. Ternyata kau kejam sekali. padahal orang sudah merendah dan meratap serta memohon kepadamu, tapi kau tetap berkepala batu!" kata Siauw Ceng dengan sengit.
"Kau sangat kejam, gundul!"
Namun Hoat Hay hanya tersenyum saja
"Hai gundul, tidakkah kau tahu jodoh di antara majikanku dengan Han Bun sangat kuat. Lagipula-apa kau tega memutuskan tali jodoh orang? Lekas kau bebaskan majikan lelakiku, atau kau kucincang sampai hancur!" kata Siauw Ceng.
Kemudian selesai berkata, dengan segera ia meloloskan angkin yang ada di pinggangnya. Lalu dengan cepat dia serang wajah si pendeta itu dengan senjata wasiatnya. Dalam sekejap maka berubahlah angkin itu menjadi naga api yang berwarna merah. Tak lama ia pun langsung menyerang ke arah Hoat Hay.
Melihat serangan itu, dengan cepat pendeta itu mengangkat mangkuk emasnya, lalu dengan mangkuk emas itu dia sambut serangan Siauw Ceng. Maka tak ampun lagi senjata Siauw Ceng tersedot oleh mangkuk emas si pendeta.
Melihat serangan Siauw Ceng gagal, Tin Nio tak tinggal diam. Dia pun segera melontarkan senjata pusakanya. Melihat serangan Tin Nio yang tiba-tiba, Hoat Hay jadi kaget. Dia segera
mengangkat mangkuk emasnya, lalu dengan mangkok itu ' menangkis serangan Tin Nio, sehingga senjata Tin Nio tak berdaya.
Melihat serangannya gagal, Tin Nio 'menjadi kaget. Andai kata dia mengetahui kalau senjata yang ada di tangan Hoat Hay milik Buddha, sudah tentu dia tak berani sembarangan. Sedangkan Siauw Ceng yang gagal menyerang Hoat Hay, segera kabur meninggalkan Peh Tin Nio. Tak lama sesudah senjata lawan dimusnahkan, Hoat Hay kembali ke dalam kelenteng.
Kemudian ketika terdengar lonceng berbunyi, murid-murid di kelenteng itu berkumpul di halaman.
'Murid-muridku, coba kalian dengar baik-baik! Hari ini kelenteng kita kedatangan dua siluman ular ingin mengacau di sini. Kurasa kepergian mereka dengan penuh dendam, maka itu pasti mereka akan kembali lagi ke mari. Kuharap kalian waspada sebab menurut dugaanku dia akan minta bantuan Hay Liong Ong. Dengan demikian mereka pasti akan menyerang dengan air! Jadi berwaspada dan bersiagalah kalian!" kata Hoat Hay Sian-su.
"Baik, Suhu!" jawab mereka.
Sejak itu semua murid Hoat Hay Sian-su bersiap siaga.
___________
RAJA NAGA MEMBANTU PEH TlN NIO
DIKISAHKAN Peh Tin Nio dan Siauw Ceng yang berhasil kabur dari Kelenteng Kim San-si, segera kembali ke toko obatnya.
"Nio-nio, hwee-shio itu sangat busuk karena itu dia tak mau membebaskan suamimu. Aku jadi penasaran sekali. Bagaimana kalau kita kembali saja ke Kim San-si untuk menangkap si hwee-shio jahat itu. Sesudah itu barulah kita ambil suamimu'" kata Siauw Ceng.
"Lebih baik kau tenang saja. Untuk melawan hwee-shio yang lihay itu kita harus berhati-hati. Apalagi kim-phoanya amat berbahaya. Karena itu dia tak boleh diremehkan. Jika saja tadi kau tidak segera kabur. sudah tentu kau akan celaka oleh kim-phoanya." kata Tin Nio.
"Lalu apa akal kita sekarang?" tanya Siauw Ceng.
"Paling tidak kita pergi ke sana untuk minta dikasihani. Biarlah kita memohon dengan merendah diri." kata Tin Nio.
"Tapi entahlah. apakah dia mengasihani kita atau tidak?"
Mendengar hal itu Siauw Ceng jadi kecewa. tapi walau demikian mereka akan tetap kembali ke Kelenteng Kim San-si.
Malamnya,...
Peh Tin Nio dan Siauw Ceng benar-benar terbang ke angkasa. lalu langsung menuju ke kelenteng. Dari jauh mereka lihat Kim San-si dijaga ketat oleh ilmu Hoat Hay Sian-su. Sedangkan saat itu Hoat Hay Siansu sedang duduk tepat di depan Pintu Si Cian-bun. Pintu kelenteng tertutup rapat,
dengan demikian kedua wanita itu tak bisa menerobos masuk begitu saja.
Setelah Peh Tin Nio sampai di kelenteng itu, ia berlutut di depan Hoat Hay. Kemudian dengan menangis Peh Tin Nio mohon pada Hoat Hay agar si pendeta membebaskan Khouw Han Bun dan menyerahkannya kembali kepadanya.
"Hai siluman, untuk apa kau menangis minta dikasihani? Coba kau dengar baik-baik kata-kataku ini! Mulai sekarang Khouw Han Bun jadi muridku. Karena itu dia akan digundul untuk menjadi seorang pendeta. Cepat kau pergi dari sini, jangan membuat aku marah hingga tak sabar lagi. Jika kau ingin selamat, ayo pergi dari sini!" kata Hoat Hay.
Sekalipun Peh Tin Nio terus-menerus memohon kepada Pendeta Hoat Hay, tetap saja Hoat Hay tak mau membebaskan Han Bun. Akhirnya karena Tin Nio yakin pendeta itu tidak akan membebaskan Khouw Han Bun, ia pun menjadi tak sabar, lalu memaki-maki pendeta itu.
"Hai kepala gundul jahat, kenapa kau rampas suamiku? Apakah kau ingin putuskan jodoh kami, huh sungguh jahatnya kau!" kata Peh Tin Nio dengan suara nyaring.
"Eh kepala gundul. aku bersumpah tak mau hidup bersamamu lagi dalam dunia ini!" .
Begitu ucapan Peh Tin Nio selesai, dia langsung melemparkan mustikanya ke arah wajah si pendeta. Melihat serangan yang datang. Hoat Hay tak tinggal diam, dia pun lalu mengangkat kim-phoanya (mangkuk emasnya) untuk dipergunakan menangkis serangan lawan. Demikian hebatnya kim-phoa si pendeta, akhirnya senjata Tin Nio terampas dan tersedot oleh mangkuk emas itu. Kemudian dengan cepat Hoat Hay maju, lalu mengayunkan tongkatnya untuk membunuh Peh Tin Nio. Namun ayunan tongkat Hoat Hoey seolah terhenti di tengah jalan dan tongkat itu terasa berat. Dengan demikian Peh Tin Nio
dan Siauw Ceng mendapat kesempatan untuk kabur.
Karena sadar Peh Tin Nio tak boleh dibunuh olehnya, Hoat" Hay tak mengejarnya. Dia hanya membiarkan kedua wanita itu kabur dari hadapannya .Sesudah kedua musuhnya mundur, Hoat Hay lalu memerintahkan muridnya agar menutup pintu kelenteng dan menguncinya. Sesudah itu dia pun lalu masuk dan duduk kembali seperti tadi.
Sementara itu diceritakan bahwa Peh Tin Nio dan Siauw Ceng yang kabur dari Hoat Hay segera beristirahat .Rupanya ia sudah merasa aman karena tak dikejar lagi.
"Sungguh jahat hwee-shio itu. Selain mengambil suamiku. dia pun merampas mustikaku." kata Tin Nio.
"Lalu apa akal kita sekarang?" tanya Siauw Ceng.
"Kita balik lagi ke sana. tapi sebelumnya kita harus minta bantuan Hay Liong Ong agar kelenteng itu direndam dengan air laut!" kata Peh Tin Nio sengit.
"Bagus sekali, kalau begitu mari lekas kita laksanakan," kata Siauw Ceng.
Sesudah itu maka melayanglah keduanya ke angkasa, lalu keempat naga yang ada di empat penjuru lautan segera dipanggil .
"Kenapa Nio-nio memanggil hamba. apakah ada urusan penting?" tanya raja naga.
"Aku ingin minta bantuanmu!" kata Peh Tin Nio
"Apa yang harus kulakukan" tanya raja naga .
"Tolong kau limpahkan air laut ke Kelenteng Kim San-si agar kelenteng itu terendam air." kata Peh Tin Nio.
"Baiklah Nio nio!" kata para Liong Ong
Sesudah itu para raja naga itu segera mengatur semua anak buahnya yang terdiri dari kepiting, ikan-ikan dan setan-setan lautan. Kemudian dengan suatu kekuatan gaib, mereka segera mengolah air laut itu bergelombang. Tak lama air laut tersebut menyerbu ke arah Kota Cin-kang, bahkan ke Kim San-si.
Melihat air bah itu, maka tahulah Hoat Hay bahwa serangan itu karena ulah Peh Tin Nio dan kawan-kawannya .Tapi karena muridnya sudah dilengkapi dengan surat jimat (hu), maka begitu air bah tiba, air bah itu tidak bisa merendam Kelenteng Kim san-si. Namun demikian keempat raja naga itu tak putus asa, mereka terus saja mengalirkan air laut itu. Makin lama air laut itu semakin tinggi.
Namun sungguh kasihan sekali rakyat di Daerah Cin-kang karena permusuhan pendeta dan ular putih, maka yang menjadi korban hantaman banjir besar itu mereka. Air yang semula mengarah ke kelenteng, kini berbalik merendam kota.
Melihat hal itu Peh Tin Nio kaget, rupanya dia tak tega rakyat Cin-kang menderita terkena amukan banjir yang besar.
"Siauw Ceng coba kau lihat, bukan Kim sau-si yang terendam malah Daerah Cin-kang. Ah sungguh kasihan sekali orang-orang yang tidak berdosa itu. Agar mereka tidak menjadi korban ulah kita, banjir ini harus dihentikan!" kata Peh Tin Nio.
"Kau benar Nio-nio, lalu apa yang hendak kau lakukan sekarang?" kata Siauw Ceng.
"Sebaiknya kita minta agar ke empat Liong Ong menghentikan serbuan air laut ke darat," kata Tin Nio.
"Baiklah, aku sih menurut saja. Apa yang menurutmu baik, aku setuju saja," kata Siauw Ceng.
Sesudah itu Tin Nio segera memanggil ke empat raja naga itu. Kemudian dia meminta agar air laut itu ditarik dari daratan kembali ke laut. Mendengar perintah itu ke empat raja nag itu segera menggunakan ilmunya masing-masing. Tak berapa lama maka surutlah air laut itu dari daratan Cin-kang.
... Dikisahkan di Kelenteng Kim san si...
Ketika Hoat Hay Sian-su melihat air sudah mulai surut maka sadarlah dia bahwa hal itu bisa terjadi karena ke dua ular siluman itu menarik perintahnya pada ke empat raja naga .Dengan demikian air laut yang tadi melanda daratan, kini sudah kembali ke lautan.
Ketika murid-muridnya berkumpul termasuk Khouw Han Bun, Hoat Hay segera berkata,
"Tadi isteri dan budakmu datang ke mari untuk meminta agar aku mengembalikanmu. Tapi karena aku menolaknya, dia merendam daerah ini hingga Daerah Cin-kang dilanda banjir besar. Aku pun tidak tahu. entah berapa banyak jiwa manusia yang telah binasa karena ulah isterimu itu," kata Hoat Hay.
"Lalu bagaimana dia bisa mundur teratur?" tanya Han Bun
"Mungkin karena mereka merasa dosa terhadap Thian. maka isterimu dan budaknya kembali ke goanya di Ceng Hong Tong " kata Hoat Hay Sian-su.
"Benarkah?" kata Han Bun.
"Lalu bagaimana dengan hamba?"
"Karena sekarang isterimu sudah pergi, sebaiknya kau kembali ke Hang-ciu. Kebetulan di Kelenteng Leng In-si, Su-teku (adik seperguruan) ada di sana .Aku yakin dia mau menerimamu. Asal kau katakan bahwa aku yang menyuruhmu datang untuk menemuinya" kata Hoat Hay Sian-su.
Kemudian Hoat Hay membuat sepucuk surat untuk adik
seperguruannya. sesudah surat itu selesai ditulis, ia menyerahkannya kepada Khouw Han Bun.
Sedangkan Han Bun yang menerima surat dari Hoat Hay, lalu berangkat diantar oleh Pendeta Hoat Hay sampai di luar kelenteng.
Sebelum berangkat Han Bun mengucapkan terima kasih pada Hoat Hay.
"Suhu mungkin aku harus kembali dulu ke rumahku" kata Han Bun.
"Baiklah. tapi barang kali rumahmu pun sudah habis dilanda banjir!" kata Hoat Hay.
Sesudah pamit Han Bun meneruskan perjalanannya. Benar saja, begitu Han Bun sampai ke Daerah Cin-kang, ternyata rumah-rumah rakyat telah rata dengan tanah. Tampaknya rumah-rumah, hewan dan tanaman telah habis terbawa air bah.
Memang sungguh dasyat serbuan air laut itu. akibatnya daerah yang dilandanya ludes sama sekali.
______________
HAN BUN DAN ISTERINYA DATANG KE RUMAH LI KONG HU
DIKISAHKAN Peh Tin Nio dan Siauw Ceng yang melarikan diri dari Kelenteng Kim san-si, lalu kabur ke goanya di Ceng Hong-tong.
Sejak sampai di sana Peh Tin Nio tampak murung. Melihat hal itu Siauw Ceng menghampirinya.
"Nio-nio, jangan kau bersedih. Nanti aku ke sana untuk menyelidiki keadaan suamimu," kata Siauw Ceng.
"Benarkah kau mau ke sana?" tanya Peh Tin Nio ragu.
"Sungguh, aku akan ke sana." kata Siauw Ceng.
"Tapi kau harus berhati-hati sebab pendeta itu sangat li-hay," kata Peh Tin Nio.
"Baik, Nio-nio,
" kata Siauw Ceng.
Kemudian sesudah Siauw Ceng pamit, dia segera terbang ke arah Kelenteng Kim San-si. Namun ketika dia sudah hampir mendekati Kelenteng Kim San-si, Siauw Ceng segera mengubah dirinya menjadi seekor kupu-kupu. Tak lama kupu-kupu itu telah terbang, lalu memasuki kelenteng itu. Bahkan dia telah sampai di ruang tengah kelenteng. Tapi nyatanya tempat itu telah kosong karena Han Bun sudah kembali ke Hang-ciu. Keterangan itu didengarnya dari percakapan para pendeta murid Hoat Hay. Sesudah mengetahui semua itu, Siauw Ceng bergegas kembali ke Goa Ceng Hong-tong. Sesampai di dalam gua, dia langsung menemui Peh Tin Nio.
"Nio-nio. Han Bun tak ada lagi di kelenteng tersebut. Kabarnya
dia telah kembali ke Hang-ciu," kata Siauw Ceng.
"O syukurlah kalau begitu. mari kita susul dia!" kata Peh Tin Nio yang girang bukan main.
Akhirnya dengan tak membuang waktu lagi Peh Tin Nio dan Siauw Ceng segera terbang ke angkasa, langsung bergerak menuju ke Hang ciu. Karena keduanya memiliki kepandaian tinggi, sebelum Khouw Han Bun sampai di tujuan, di tengah jalan dia tersusul oleh keduanya.
Melihat suaminya sedang berjalan ke Hang-ciu seorang diri, Peh Tin Nio dan Siauw Ceng segera menghadangnya
"Suamiku, kau mau ke mana?" kata Peh Tin Nio dengan manis.
Mendengar sapaan itu Han Bun kaget. Namun ketika diawasinya si penyapa itu, dia menjadi kaget, ternyata itu isterinya Peh Tin Nio bersama Siauw Ceng.
Han Bun terdiam beberapa saat lamanya. Melihat hal itu Peh 'Tin Nio menangis di hadapan suaminya. namun ketika Peh Tin Nio mencoba untuk mendekati suaminya, Han Bun mundur beberapa langkah.
"Jangan mendekat, aku bukanlah Han Bun yang dulu, tapi seorang pendeta!" kata Khouw Han Bun.
Namun sambil menangis Peh Tin Nio berkata lagi.
"Suamiku, ternyata kau telah dipengaruhi oleh Pendeta Hoat Hay," kata Peh Tin Nio.
"Karena kau sudah percaya oleh bujukan orang, pasti kau telah dihasutnya. Dia tentu mengatakan bahwa aku siluman ular dan sebagainya. Dia pun tentu mengatakan bahwa aku akan mencelakakanmu. Padahal kita menjadi suami-isteri sudah cukup lama. Jadi seandainya benar aku ini siluman, tapi dalam hatiku aku tidak berniat ingin mencelakakanmu. Percayalah, aku benar-benar menyayangi dan cinta kepadamu. Ingat Suamiku, kini pun aku sedang hamil. Apalagi yang ada di dalam kandunganku adalah benihmu. Jadi
tegakah kau menyia-nyiakan bayi ini?" kata Peh Tin Nio sambil menangis.
"Tapi kini aku murid seorang pendeta!" kata Han Bun.
Mendengar keterangan tersebut, Tin Nio malah tertawa
"Suamiku, sungguh bodohnya kau ini. Jika kau menjadi pendeta, sudah tentu marga Khouw tidak mempunyai turunan lagi. Lalu siapa lagi yang akan menyembahyangi kuburan leluhurmu?" kata Tin Nio. _
Namun karena Han Bun diam saja, Tin Nio meneruskan kata-katanya.
"Baiklah, jika kau melupakan perjodohan kita hingga kau tidak mencintaiku lagi, aku maklum! Tapi tidakkah kau menyayangi keturunanmu yang ada di dalam perutku ini?" kata 'Tin Nio.
Mendengar ucapan Tin Nio yang disampaikan sambil menangis, hati Han Bun yang amat lembut merasa tak tega. Akhirnya walau dia terpengaruh oleh ucapan isterinya itu, dia diam saja.
"Tuan, sejak kau pergi dengan Ci Wan-gwee ke Kelenteng Kim Sansi, isterimu dan aku menjadi kebingungan karena kau tak pulang pulang .Namun ketika kami menyusulmu ke sana, tanpa kami duga air bah datang secara tiba-tiba sehingga Daerah Cin-kang dilanda banjir besar. Akhirnya karena tempat kita banjir, terpaksa kami pindah ke tempat lain untuk menghindari banjir tersebut. Kemudian setelah banjir itu mulai surut, barulah kami mencarimu. Dan sungguh beruntung kita bertemu di sini." kata Siauw Ceng.
Mendengar hal itu Han Bun hanya diam, tapi Siauw Ceng tak putus asa dia kembali meneruskan ceritanya.
"Setelah kami kehilangan kau, maka uang tokomu kami kirim ke rumah Ci-humu Li Kong Hu. Kemudian setelah kami tahu bahwa Tuan akan pergi ke Hang-ciu, akhirnya kami menyusul-sampai kita bisa bertemu di sini!" kata Siauw Ceng.
Namun Han Bun hanya menunduk saja, rupanya dia sedang merenungkan ucapan Siauw Ceng.
"isterimu amat mencintaimu, jadi kuharap kau jangan menyia nyiakan dia. Kalau dia bukan wanita baik-baik, pastinya dia tak akan menyusulmu sampai ke sini. Apalagi pria bukannya kau seorang!" kata Siauw Ceng.
Mendengar keterangan itu Han Bun semakin bertambah terharu, sebab isterinya demikian setianya. Apalagi jarak yang jauh bukanlah halangan baginya untuk menyusulnya ke Hang-ciu.
Tak lama Han Bun pun mendekati Peh Tin Nio.
"Isteriku, maafkan kekasaranku tadi," kata Han Bun.
Mendengar pengakuan suaminya, Tin Nio memegang tangan Han Bun, lalu ia pun menangis dengan amat haru.
"Suamiku, kau memang amat baik. Untuk itu aku berjanji untuk setia kepadamu sampai rambutku menjadi putih semuanya," kata Peh Tin Nio.
"Sekarang kau mau ke mana?" tanya Han Bun sambil membelai rambut isterinya.
"Aku pun belum tahu harus ke mana. Tapi belum lama aku pernah pergi ke rumah kakakmu, lalu menitipkan uang kita kepada Ci-humu di Hang-ciu. Bagaimana kalau kita ke sana untuk meminta uang itu sebagian sebagai bekal hidup kita sementara. Nanti selanjutnya kita baru memikirkan lagi." kata Tin Nio.
"Kalau itu yang kau pikirkan, aku menurut saja .Kukira Pikiranmu cukup baik. Sekarang mari kita menemui mereka di Hang ciu." kata Han Bun.
Sesudah ada kata sepakat, mereka bertiga lalu berangkat
menuju ke Cian Tong-koan.
Di Cian Tong-koan...,.
Saat Han Bun dan isterinya serta Siauw Ceng tiba di Hang-ciu, Li Kong Hu kebetulan ada di rumah. Dia sedang duduk di halaman depan rumahnya.
"Ci-hu, kami datang!" kata Han Bun.
Melihat kedatangan Han Bun, Li Kong Hu girang sekali. Tak lama ia pun menyambut kedatangan adik iparnya itu.
'Eh, darimana saja kau? Apakah kau baru sampai?"
"Benar Ci-hu," jawab Han Bun. Sesudah itu Han Bun segera memperkenalkan Peh Tin Nio dan Siauw Ceng pada Li Kong Hu.
"Silakan masuk!" kata Kong Hu pada Han Bun dan isterinya serta Siauw Ceng.
"Isteriku, Han Bun bersama isterinya datang!" kata Kong Hu.
Mendengar adiknya datang, Kiauw Yong langsung ke luar untuk menemui adiknya.
Namun ketika Kiauw Yong melihat dua wanita yang datang bersama Han Bun, ia keheranan.
"Siapakah mereka Han Bun?" tanya Kiauw Yong.
"ini isteriku Peh Tin Nio, sedangkan itu Siauw Ceng pembantu isteriku," kata Han Bun.
"O dialah isterimu, kalau begitu dia adik iparku," kata Kiauw Yong girang bukan main.
Tak lama Peh Tin Nio dan Siauw Ceng segera memberi hormat kepada Kiauw Yong dan suaminya.
"Adikku, sejak kau mendapatkan hukuman buang, aku amat kuatir atas nasibmu. Untung kau berkirim surat, memberi kabar
keadaanmu. Selain itu isterimu juga telah mengirim uang kepada kami. Sekarang untung kau sudah kembali, ayo silakan duduk!" kata Kiaaw Yong.
Mendengar ucapan kakaknya, Han Bun yang tak pernah merasa berkirim surat dan mengirim uang, tentu saja membantahnya. Tapi dengan cepat Peh Tin Nio mendahuluinya. Rupanya ia kuatir, kalau jawaban Han Bun akan berbeda.
"Ya, saat itu telah terjadi salah paham di Souw-ciu, karena pejabat telah mengira Han Bun mencari barang pusaka. Padahal barang itu milik keluarga kami almarhum. Akibatnya Han Bun dibuang ke Daerah Cin-kang. Tapi setibanya Han Bun di sana, telah terjadi banjir. Namun sebelum banjir itu, saya pernah mengirim sedikit harta kami agar Kakak menyimpannya. Bahkan di Cin-kang pun karena dia terpengaruh kata-kata manis seorang pendeta, Han Bun mau menjadi seorang pendeta. Akhirnya ketika terjadi malapetaka banjir, kami berpisah. Namun ketika kami sedang kebingungan, kami terpaksa datang ke mari. Dan secara kebetulan, di tengah jalan kami bertemu kembali. maka itu kami bersama-sama ke mari untuk numpang tinggal di rumah ini." kata Tin Nio.
"Tentu saja kalian boleh tinggal bersama kami," kata Kiauw Yong dan suaminya.
"Ya, tinggal saja kalian di sini bersama kami," kata Li Kong
"Nanti bila kau merasa betah di sini, kita akan mencari rumah yang mau dijual." kata Kiauw Yong. _ Mendengar kakak dan iparnya mau menerima mereka tinggal di situ. Han Bun merasa senang. Akhirnya sesudah makan, Han Bun menanyakan Hartawan Ong.
"Oh sungguh sayang kami tak bisa memberi kabar padamu. Sebenarnya Hartawan Ong sudah lama meninggal," kata Li Kong Hu.
Mendengar keterangan begitu, Han Bun kaget. Apalagi dia teringat akan kebaikan Hartawan Ong terhadapnya. Saking terharunya Han Bun pun menitikkan air matanya.
Tak lama Li Kong Hu mengambil bungkusan uang yang dikirim oleh Peh Tin Nio, lalu dia menyerahkan bungkusan itu pada Han Bun.
"Ci-hu, mengapa kau kembalikan uang ini? Lebih baik uang ini Cihu belikan rumah sederhana untuk kami," kata Han Bun.
'"Baiklah kalau begitu. Nanti akan kucarikan rumah untuk kalian tinggal,
" kata Li Kong Hu yang segera menyimpan uang itu kembali.
"Kebetulan ada tetangga yang menjual rumahnya," kata 'Kiauw Yong.
"O ya, aku baru ingat," kata Li Kong Hu,
"Baiklah, nanti pemilik rumah itu akan kudatangi."
"Terima kasih, Ci-hu" kata Han Bun pada Li Kong Hu.
Setelah Kong Hu menyimpan uang itu kembali, ia pun lalu pergi untuk menemui pemilik rumah yang akan dijual. Kemudian sesudah mereka tawar-menawar, maka rumah tersebut segera dibayarnya. sedangkan sisa uangnya dikembalikan kepada Khouw Han Bun.
Han Bun yang merasa girang, lalu membersihkan rumah itu. Kemudian sesudah segalanya dibereskan, maka pindahlah Khouw Han Bun bersama Tin Nio dan Siauw Ceng ke rumah yang baru mereka beli. Karena Peh Tin Nio merasa berdosa telah menyebabkan penduduk Cin-kang menjadi korban banjir, tiap malam ia bersembahyang menyembahyangi arwah korban yang tidak berdosa itu
__________
PEH TIN NIO DISELAMATKAN PEK HOO TONG CU
DIKlSAHKAN sejak Liok It Cin Jin dipermalukan oleh Peh Tin Nio, ia merasa sakit hati terhadap Peh Tin Nio. Maka itu ia selalu ingin membalas dendam terhadap Peh Tin Nio. Untuk itu It Cin Jin kembali ke gunungnya untuk bertapa .Namun suatu hari Liok It Cin Jin, kedatangan satu siluman yang ingin berguru kepadanya. Setelah muridnya dididik sekian lamanya, siluman ini menjadi pandai. Suatu hari Liok It berunding dengan muridnya. Dalam perundingan mereka berniat turun gunung untuk membalas dendam.
"Gouw Kong!" Liok It Cin Jin memanggil muridnya itu.
"Apakah Suhu memanggil hamba?" kata Gouw Kong setelah menghadap.
"Benar, aku ingin mengatakan sesuatu kepadamu." kata Liok It Cin Jin.
"Soal apakah itu Suhu?" tanya muridnya lagi.
"Setahun yang lalu ketika aku di Souw-ciu, aku berdiam di Kelenteng Li Tek Kun. Saat itu aku bertempur untuk melawan siluman ular putih. Setelah aku dikalahkan, aku digantung hingga aku sangat malu. Dan menurut penyelidikanku, kini si ular putih sudah kembali ke Hang-ciu. Dengan demikian aku berniat mengajakmu untuk mencari mereka agar aku dapat membalas dendam!" kata Liok It Jin Cin.
"Baiklah Suhu. Aku bersedia membantumu," jawab Gouw Kong.
Esok harinya maka berangkatlah mereka ke Hang ciu. Begitu sampai di Hang-ciu, mereka segera mencari tempat untuk bermalam. Kebetulan mereka bermalam di Kelenteng Seng Hong Bio.
Malam itu Liok It memerintahkan Gouw Kong untuk membalas dendam kepada Peh Tin Nio. Tak lama maka berangkatlah Gouw Kong ke rumah Khouw Han Bun, sesuai petunjuk gurunya.
Saat Gouw Kong sampai, Peh Tin 'Nio sedang sembahyang di kebun. Gouw Kong yang mengawasi dari angkasa segera mengetahui, bahwa wanita itulah siluman ular putih yang menjadi musuh gurunya. Akhirnya dengan tak menunggu waktu lagi Gouw Kong langsung menyambar ke bawah untuk membinasakan Peh Tin Nio.
Namun karena Tin Nio selalu waspada, ia dapat merasakan adanya sambaran angin dari atas kepalanya. Walau demikian sambaran itu tak terelakkan oleh Peh Tin Nio. Namun pada saat Peh Tin Nio dalam bahaya, tiba-tiba muncul Pek Hoo Tong Cu yang diutus gurunya. Ketika Pek Hoo Tong Cu mengetahui Peh 'Tin Nio akan dicelakakan oleh siluman itu, ia segera menyerang siluman itu hingga tewas. Kemudian sebagian dari tubuh Gouw Kong dibawa terbang, sedangkan yang sisanya ditinggalkan di tanah.
Saat itu Siauw Ceng sedang ada di belakang. Ketika ia mendengar suara ribut-ribut, dengan segera ia ke kebun. Melihat Peh Tin Nio tergeletak di tanah, segera saja Siauw Ceng menolongnya.
"Nio-nio kenapa kau? Apa yang terjadi?" kata Siauw Ceng kaget.
"Entahlah, aku pun tak mengerti sebab ketika aku sedang bersembahyang tiba-tiba saja aku diserang hingga terjatuh. Untung saja ada yang datang menolongku sehingga aku tidak
binasa." kata Peh Tin Nio.
Tak jauh dari mereka, terlihat bangkai Gouw Kong tergeletak di tanah. Tanpa berkata apa-apa lagi, Siauw Ceng segera membimbing majikannya lalu masuk ke dalam rumah
*** Dikisahkan Liok It Cin Jin yang sejak lama menunggu kemunculan Gouw Kong, mulai was-was. Sebab sudah sekian lama ia menunggu, tapi muridnya tak muncul juga. Malam itu juga secara diam-diam dia terbang ke rumah Khouw Han Bun.
Namun begitu sampai, dia jadi kaget setelah melihat potongan dari muridnya tergeletak di kebun. Kini tahulah dia bahwa muridnya telah binasa di tangan si ular putih.
Sementara itu Siauw Ceng yang sedang menyiapkan meja sembahyang, menengadah ke langit. Saat itu dilihatnya Liok It Cin Jin sedang melayang-layang hendak pergi. Melihat hal itu Siauw Ceng segera melompat dan mengejarnya.
"Hai _yauw-to tak tahu malu, kenapa kau kembali lagi? Apakah kau ingin mengganggu kami lagi? Padahal tahun lalu kau sudah kami kalahkan!" kata Siauw Ceng.
"Hai siluman ular hijau, kau jangan banyak mulut. Karena kau menbunuh muridku, maka aku bersumpah tak ingin hidup bersamamu di muka bumi ini!" kata Liok It Cin Jin.
Mendengar hinaan itu Siauw Ceng marah, dengan cepat ia mencabut pedangnya. Kemudian sesudah itu, dia langsung menyerang Liok It Cin Jin. Mendapat serangan itu Liok It Cin Jin tak tinggal diam, dia pun lalu menangkis serangan Siauw Ceng dengan senjatanya. Tak lama maka terjadilah pertarungan hebat di angkasa. Melihat Liok It tak mudah dikalahkan, Siauw Ceng segera mengeluarkan senjata pusakanya yang berupa sebuah angkin untuk menyerang Liok It Cin Jin. Karena Siauw Ceng meminta bantuan kepada Hong Kin Lek Su, Liok It Cin Jin tak berdaya hingga tertangkap kembali. Tak lama Siauw
Ceng menyuruh agar Liok It Cin Jin langsung dibawa ke Tong yang Tang Hay.
Sesudah ia berhasil menangkap dan menawan Liok It Cin Jin, Siauw Ceng masuk menemui Peh Tin Nio.
"Nio-nio, ternyata Liok It Cin Jin dan muridnya yang menyerangmu. Tapi sekarang dia telah aku tangkap dan dibawa pergi. Tapi herannya entah siapa yang menolong Nio-nio tadi." kata Siauw Ceng.
Tapi sesudah merenung sejenak untuk meramal, Peh Tin Nio segera mengetahui bahwa yang menolongnya Dewi Koan Im. Dialah yang mengirim Pek Hoo Tong Cu untuk menyelamatkan Peh Tin Nio.
Karena Peh Tin Nio amat bersyukur dan berterimakasih kepada Dewi Koan Im, ia bersujud ke arah Lam-hay tempat di mana Dewi Koan Im tinggal.
Tapi sejak kejadian itu Peh Tin Nio jatuh sakit, karena itu ia berbaring terus di atas tempat tidurnya. Melihat hal itu Han Bun menjadi kaget dan kebingungan. Siang dan malam dia terus menunggui isterinya.
Ketika Khouw Kiauw Yong mendengar isteri Han Bun sakit, dia segera datang untuk menjenguk ke rumah sang adik.
"Bagaimana keadaanmu?" kata Kiauw Yong sesudah bertemu Peh Tin Nio yang terbaring di tempat tidurnya.
"O, terima kasih atas kunjungan Kakak, rasanya sedikit baikan,
" jawab Tin Nio.
"Sekarang kau sedang hamil, karena itu jaga dirimu baik-baik"" kata Kiauw Yong. '
"Terima kasih, sudah tentu semua itu akan kuturuti. Aku dengar Kakak pun kini sedang hamil, benarkah?"
"Ya." jawab Kiauw Yong.
"Bolehkah aku bicara sesuatu pada Kakak?"
"Mengapa tidak, bicaralah," kata Kiauw Yong.
"Begini Kak, kita sama-sama sedang hamil. Jika nanti anak kita lahir dan semuanya laki-laki, biarlah dia bersaudara. Tapi apabila anakku yang laki-laki, sedang anak Kakak perempuan, bagaimana kalau kita jodohkan saja mereka?" kata Peh Tin Nio.
"Oh syukurlah, aku setuju. Walau nanti anakku lelaki perjodohan ini pun jangan dibatalkan," kata Kiauw Yong.
Namun ketika Peh Tin Nio akan melanjutkan kata-katanya, Khouw Han Bun masuk ke kamarnya .Melihat kedatangan Han Bun, Tin Nio menceritakan maksud mereka.
"0, aku setuju sekali. Kalau boleh tolong Kakak terima burung ini sebagai tanda perjodohan anak kita," kata Han Bun kepada kakaknya.
setelah menerima pemberian Han Bun, Kiauw Yong mencabut tusuk kondenya. Kemudian dia serahkan benda itu kepada Han Bun. Sesudah berbincang sebentar Kiauw Yong pun akhirnya pulang.
Selang beberapa hari kemudian karena hamilnya Tin Nio sampai waktunya, ia pun segera melahirkan. Ternyata anak Peh Tin Nio laki-laki yang mulus.
Esok harinya setelah Li Kong Hu mendengar bahwa isteri Khouw Han Bun melahirkan anak laki-laki, mereka girang bukan main.
Tak lama Li Kong Hu bersama isterinya datang ke rumah Han Bun untuk menjenguknya.
"Ah sungguh beruntungnya kau mendapat anak laki-laki, Han Bun," kata Li Kong Hu.
"Ya, aku harap anak Ci-hu perempuan. Dengan demikian kita bisa menjodohkannya," jawab Han Bun.
Sesudah itu mereka pun bercakap-cakap sambil tertawa tawa dengan girang. Kemudian anak Khouw Han Bun diberi nama Khouw Bong Kauw.
Selang dua hari Kiauw Yong pun melahirkan, ternyata anaknya perempuan. Anak mereka diberi nama Pek Lian. Melihat hal itu kedua keluarga girang bukan main sebab dengan lahirnya anak perempuan mereka akan dijodohkan dengan anak Han Bun menurut perjanjian yang telah disepakati.
__________
PEH TIN NIO DITANGKAP OLEH HOAT HAY SIAN-SU
SEJAK Hoat Hay Sian-su mengizinkan Khouw Han Bun pulang ke Hangciu, di tengah jalan Khouw Han Bun bertemu dengan Peh Tin Nio. Bahkan kini Han Bun dan Peh Tin Nio telah hidup berbahagia di Cian Tong-koan. Hoat Hay yang mendengar kabar itu merasa kurang puas. menghela napas. Walau demikian ia tak berdaya untuk mencegahnya.
Suatu hari....
Pada saat Hoat Hay sedang duduk bersemedi, seorang utusan datang membawa surat. Setelah surat itu dibaca, ternyata isinya menyatakan bahwa kini bintang Bun Kiong Cee yang menitis ke anak Khouw Han Bun telah lahir, Dengan demikian maka sampailah waktunya bagi Peh Tin Nio harus kembali.
"Sekarang pergilah kau ke Cian Tong-kaan, lalu temui Peh Tin Nio. Selain itu kau pun boleh membawa mangkuk emasmu untuk menangkap Peh Tin Nio. Bila sudah kau tangkap, maka kurunglah dia di Pagoda Lui Hong Tah di Hang-ciu." kata utusan Itu.
"Baiklah," kata Hoat Hay
Kemudian sesudah utusan itu pergi, Hoat Hay segera mengumpulkan murid-muridnya.
'Hari ini aku mendapat tugas untuk pergi ke Cian Tong-koan. Nanti jika aku pergi, kalian harus menjaga kelenteng ini baik-baik," kata Hoat Hay.
"Baik, Suhu," jawab semua muridnya
sesudah memberi wejangan kepada murid-muridnya, maka berangkatlah Hoat Hay ke Hangciu sambil membawa mangkuk emas dan tongkatnya. Tepatnya ia pergi ke Desa Cian Tong-koan. Sesampai di Cian Tongkoan, Hoat Hay langsung ke Kelenteng Leng In Si, lalu bermalam di situ.
**** Dikisahkan di rumah Khouw Han Bun....
Setelah usia Khouw Bong Kauw satu bulan, Han Bun berniat merayakannya. Padahal hati Peh Tin Nio merasa tak enak sejak kemarin. Sesudah dia mencoba meramalkan nasibnya, maka tahulah dia bahwa hari naasnya telah tiba. Mengetahui hal itu, dia kaget. dengan segera dia memanggil Siauw Ceng.
"Ada apa Nio-nio memanggil hamba?"
"Siauw Ceng, tadi setelah aku meramalkan nasibku, kukira besok aku akan menghadapi bahaya besar. Lalu apa akal kita?" tanya Tin Nio pada Siauw Ceng.
"Padahal kau berilmu tinggi, tapi mengapa kau ketakutan sampai begitu?" kata Siauw Ceng.
"Sebenarnya aku pun tak takut pada siapa pun, tapi karena ini takdir dari Thian, aku jadi takut sekali." jawab Peh Tin Nio.
"Bukankah kau bisa berdoa, jadi mengapa tak kan coba untuk bersembahyang?" desak Siauw Ceng.
"Baiklah kalau begitu, sekarang tolong kau sediakan meja sembahyangan," kata Tin Nio.
Siauw Ceng pun menurut. Tak lama ketika Siauw Ceng sedang mempersiapkan meja sembahyang, Tin Nio segera membersihkan tubuhnya dengan cara keramas dan mandi.Ternyata dia berniat akan bersembahyang di kebun belakang rumahnya.
Esok harinya..
Setelah Bong Kauw berusia sebulan, para tetangga Khouw Han Bun berdatangan untuk mengucapkan selamat pada Khouw Han Bun dan keluarganya. Namun pada saat pesta berlangsung, Khouw Han Bun diberitahu pelayannya, bahwa di luar seorang hwee-shio ingin bertemu .
Mendengar hal itu Han Bun segera ke luar. Namun setiba di luar. dia jadi kaget sesudah dia bertemu dengan tamunya itu, Ternyata dia Hoat Hay Sian-su dari Kim San-si
"Saudara Han Bun, apakah kau lupa siapa aku? Padahal ketika kau masih ada di Kim San-si, kau sudah kupesan agar jangan melayani perempuan siluman itu. Dan kedatanganku sekarang hendak menangkap siluman itu!" kata Hoat Hay.
"Maaf Suhu, kukira dia bukan siluman tapi wanita baik-baik. Maka itu mana tega aku membiarkan dia terlantar dalam keadaan hamil tua?" kata Han Bun membela diri.
Mendengar kata-kata Han Bun, Hoat Hay tertawa
"Ah kau memang bodoh Saudara Khouw. Tapi sudahlah, aku pun tak mau peduli lagi. Yang penting sekarang tolong kau beri aku air minum, aku haus!" kata Hoat Hay.
"Baiklah, Suhu," kata Han Bun. Kemudian sesudah itu ia berbalik hendak mengambilkan air teh.
"Tunggu!" kata Hoat Hay tiba-tiba.
"Ada apa Suhu?"
"Aku kuatir cangkirmu tidak bersih, karena itu sebaiknya air teh itu kau taruh di mangkuk emasku ini," kata Hoat Hay sambil menyerahkan kim-phoanya pada Han Bun.
Akhirnya tanpa curiga lagi Han Bun segera menerima kim phoa dari tangan Hoat Hay. Kemudian sesudah itu ia pun lalu masuk ke dalam akan mengambilkan air teh untuk si pendeta.
Namun saat Khouw Han Bun masuk ke kamar isterinya, Tin Nio menjadi kaget ketika ia melihat mangkuk anas bercahaya
yang ada di tangan Han Bun. Tak lama sebelum Peh Tin Nio sempat berbuat apa-apa, mangkuk emas itu sudah langsung menyambar ke kepala Peh Tin Nio yang tidak siap.
Melihat kejadian itu Han Bun yang kaget segera menjerit sambil mendekati isterinya. Kemudian dengan susah payah dia mencoba unutk mencabut mangkuk emas yang menempel di kepala isterinya. Tetapi betapa pun kuatnya tenaga Han Bun, tetap saja mangkuk emas itu tak bisa dicabut dari kepala isterinya. Melihat hal itu Han Bun kaget bukan main.
Apalagi ketika ia mendengar Peh Tin Nio menangis sambil meratap.
"Oh, Suamiku! Kini saatnya aku harus menerima balasan. Hal ini karena aku telah berdosa besar kepada Thian," keluh Peh Tin Nio.
Ketika Han Bun berusaha untuk menolong isterinya, Peh Tin Nio berkata.
"Suamiku, kukira usahamu sia-sia saja. Kuharap tolong kau jaga anak kita baik-baik. Agar anak kita bisa menyusui, sebaiknya anak ini kau serahkan kepada Encimu. Sekarang sudahlah. jangan kau menangis lagi sebab hal ini sudah menjadi takdir diriku..!" kata Tin Nio.
Akhirnya karena Han Bun tak berdaya lagi menolong isterinya. ia segera menangis dengan sedih. Ternyata kejadian itu telah menarik perhatian Siauw Ceng. Tak lama ia pun segera
masuk.
"Nio-nio. apa yang terjadi? Aku sudah sediakan meja sembahyang, tapi mengapa kau malah jadi begini...." kata Siauw Ceng.
Sesudah itu Siauw Ceng menangis sedih sekali.
"Sudahlah Siauw Ceng, kau jangan menangisi aku! Semua ini sudah takdirku. Kau memang sudah bertahun-tahun ikut denganku, tapi karena hari ini aku harus menanggung dosa
besar-ku kepada Thian, lebih baik sekarang kau lekas pergi ke Goa Ceng Hong Tong untuk bertapa lagi. Jangan kau hiraukan anakku sebab En-ci suamiku akan merawatnya. Berlakulah yang baik, jangan kau ganggu manusia. Sekarang lekas kau pergi dari sini!" kata Peh Tin Nio.
"Baiklah, Nio-nio," kata Siauw Ceng.
Legenda Ular Putih Karya Marcus As di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sesudah pamit, tanpa buang waktu lagi Siauw Ceng pun langsung pergi sebelum keadaan terlambat.
Ternyata suara ramai-ramai di kamar Khouw Han Bun telah menarik perhatian Li Kong Hu dan isterinya. Maka itu mereka segera bergegas masuk ke kamar Han Bun. Melihat Peh Tin Nio tertutup mangkuk emas milik Hoat Hay, mereka saling mengawasi dengan keheranan.
Tak lama Peh Tin Nio mengisahkan tentang dirinya dengan sabar.
"Sebenarnya aku siluman ular putih yang sudah bertapa 1.500 tahun lebih. Namun saat aku sedang berjalan-jalan dan tertidur, aku berhasil ditangkap oleh seorang pengemis. Kemudian aku di bawa ke pasar untuk dijual. Secara kebetulan Han Bun pada penitisan terdahulu, datang ke pasar, lalu membeli aku dari si pengemis. Sesudah dia membeliku, aku dibebaskannya. Sejak hari itu aku tak bisa melupakan budinya. Kemudian pada penitisan selanjutnya, aku mencarinya hingga kami menikah dan mempunyai anak ini." kata Tin Nio mengisahkan seluruh kisah hidupnya sampai akhir.
"Isteriku, kau jangan kuatir. Nanti secara beramai-ramai kami akan minta ampun kepada Hoat Hay agar dia membebaskanmu." kata Han Bun.
"Jangan, sebab hal itu percuma saja. Rasanya tak mungkin aku diampuni!" kata Tin Nio.
Padahal saat itu Hoat Hay sedang menunggu dengan sabar di luar kamar. Akhirnya karena Khouw Han Bun belum
juga muncul, tiba-tiba Hoat Hay mengetuk tongkatnya. Tak lama maka masuklah tubuh Peh Tin Nio ke dalam mangkuk emasnya. Ketika mangkuk itu berbalik sendiri, Han Bun menangis sedih. Demikian juga dengan Li Kong Hu dan isterinya. Han Bun mengangkat mangkuk emas itu, lalu membawanya ke hadapan Hoat Hay Sian-su.
"Suhu, kasihanilah hamba. Bebaskanlah dia!" ratap Han Bun pada Hoat Hay.
Namun Hoat Hay Sian-su menertawakan Han Bun.
"Sudahlah, kukira ini sudah takdir. dengan demikian kau tak dapat melawan takdir!" kata Hoat Hay.
Sesudah menerima mangkuk emasnya Hoat Hay berjalan pergi, sedangkan Han Bun mengikutinya dari belakang. Akhirnya ketika mereka sampai di Telaga Barat (See-ouw), tepat di Pagoda Lui Hong Tah, Hoat Hay membaca manteranya sambil mengangkat mangkuk itu. Tak lama maka keluarlah cahaya putih dari dalam mangkuk itu.
"Sekarang sudah waktunya kau harus tinggal di bawah pagoda ini, hai siluman ular putih!" kata Hoat Hay dengan sengit.
"Hud-ya, kelak bisakah aku terbebas dari hukuman ini?"
"Bisa saja, asalkan kau tekun dalam bertapa. Selain itu kau pun harus berbuat baik. Sebab jika saja kau tak bertapa dengan sujud dan bersih, maka seumur dunia pun kau tak akan bisa ke luar dari bawah pagoda ini!" kata Hoat Hay.
"Baiklah. akan kuterima hukuman ini!" kata Peh Tin Nio.
Sesudah itu maka masuklah tubuh Peh Tin Nio ke kaki pagoda. Melihat hal itu Han Bun menjerit sambil menangis sedih sekali. Akhirnya karena Han Bun terlalu sedih, ia pun lalu pingsan.
__________
PEH TIN NIO DIBEBASKAN DARI HUKUMAN ATAS PERMINTAAN ANAKNYA
KETIKA pesta itu menjadi kacau, dan Han Bun pingsan, Li Kong Hu dan isterinya mencoba menyadarkan Khouw Han Bun yang tergeletak di dekat Pagoda Lui Hong Tah.
Sesudah sadar, sambil menangis Khouw Han Bun berkata pada kakak perempuan dan ci-hunya
"Ci-hu dan En-ci, sesudah segalanya jelas bahwa isteriku siluman ular putih, Bong Kauw kuserahkan kepada kalian, agar kalian rawat dan didik dia baik-baik," kata Han Bun.
"Kau sendiri mau ke mana?" tanya Li Kong Hu.
"Aku akan ikut Hoat Hay Sian-su, biarlah kepalaku di gundul saja agar aku menjadi Hwe-shio," kata Han Bun dengan amat haru.
"Mengapa kau begitu putus asa, Adikku?" kata Kiauw Yong.
"Sudahlah enCi. Uang yang tersisa milik kami, dapat kau gunakan untuk merawat Bong Kauw," kata Han Bun,
"Bukankah kau telah berjanji akan mengasuh dan mengawinkannya dengan anak kami?" kata Li Kong Hu.
"Benar, tapi biar Ci-hu saja yang mengurus semuanya" kata Han Bun. Setelah memberi keputusan itu, Han Bun langsung bersiap-siap untuk pergi ke Giat-kang menjadi hwee-shio. Melihat hal itu dengan terpaksa Li Kong Hu menurut saja .Ketika Han Bun berangkat, Li Kong Hu segera membawa anak
Han Bun berikut harta Han Bun ke rumahnya. Sedangkan rumah Khouw han Bun lalu duual karena tak dihuni lagi.
Selang beberapa tahun.
Setelah Khouw Bong Kauw dewasa, ia sangat cerdas dan pandai. Dengan demikian maka tak heranlah kalau kawan-kawan di sekolahnya merasa iri kepadanya. Apalagi di antara anak-anak itu ada yang mengetahui bahwa Bong Kauw bukan asli anak Li Kong Hu. Beramai-ramai mereka mengejek Bong Kauw.
"Kawan-kawan, tahukah kalian bahwa Bong Kauw bukan orang she Li?" kata anak itu,
"Lalu she apa?" tanya kawannya.
"Dia she Khouw, ibunya pun siluman ular putih," kata anak itu.
Rupanya anak itu mengetahui rahasia Khouw Bong Kauw dari orang tua mereka.
Mendengar kata-kata anak itu, Khouw Bong Kauw kaget, namun dia diam saja. Sepulang dari sekolah, Khouw Bong Kauw tetap masih murung.
Melihat hal itu Khouw Kiauw Yong keheranan.
"Nak, kenapa nampaknya kau sangat bersedih?" Kata Kiauw Yong.
"Bu, bolehkah aku bertanya sesuatu kepada Ibu?"
"Boleh! Katakan, apa yang ingin kau ketahui!" kata Kiauw Yong.
"Hari ini ketika guru sekolah pergi, teman-temanku mengejekku. Mereka mengatakan bahwa aku bukan orang she Li tapi she Khouw. Bahkan mereka bilang bahwa ibuku siluman ular putih, apakah benar begitu?" tanya Bong Kauw.
Mendengar pertanyaan Bong Kauw, Kiauw Yong kaget. Tapi karena dia tak bisa mengelak, maka terpaksa Kiauw Yong berterus terang. Mendengar keterangan Khouw Kiauw Yong
yang menjadi ibu angkatnya, Bong Kauw kaget. Dalam Sekejap dia jatuh pingsan, hingga Kiauw Yong jadi bingung. Akhiran Kiauw Yong berusaha menyadarkannya.
Sesudah sadar dari pingsannya, Bong Kauw menangis.
"Sekarang aku baru tahu, siapa sebenarnya kedua orang tuaku. Tapi sekalipun ibuku siluman ular putih, aku tetap ingin menemuinya." kata Bong Kauw. .
"Bisa! Bisa saja anakku! Sebab dulu pun hwee-shio yang menangkap ibumu telah mengatakan demikian. Jika kau sudah besar dan pandai, kau bisa bertemu dengan ayah dan ibumu," kata Kiauw Yong.
Sejak itu karena Bong Kauw amat sedih, dia jatuh sakit. Li Kong Hu yang baru pulang dari kantornya, ketika mengetahui Bong Kauw sakit segera bertanya kepada isterinya..
"Sebenarnya apa yang menyebabkan dia terlalu sedih hingga ia jatuh sakit?" tanya Li Kong Hu.
"Aku telah berterus-terang mengenai orang tuanya ketika dia bertanya kepadaku." jawab Kiauw Yong.
"Kenapa kau begitu ceroboh, menceritakan hal itu tanpa batas? Apalagi anak itu masih kecil, dengan sendirinya dia belum tahu apa-apa!" kata Li Kong Hu menyesali perbuatan isterinya.
Karena Kiauw Yong merasa bersalah, dia pun diam saja .Apalagi saat itu keduanya sedang sibuk merawat dan mengobati Bong Kauw yang tiba-tiba jatuh sakit.
Sementara itu dikisahkan di tempat kediaman Dewi Koan Im di Lam-hay...
Saat itu Dewi Koan Im sedang merenung sendiri.
"Ah kiranya bintang Bun Kiok Cee sudah menitis. Kukira anak itu kini telah dewasa. Kalau begitu aku harus
menemuinya" pikir Koan Im.
Tak lama maka berangkatlah Koan Im ke tempat Li Kong Hu. Namun setelah hampir sampai ke rumah Li Kong Hu, Dewi Koan Im segera turun ke bumi. Sesudah itu dengan menyamar menjadi seorang tukang kayu, dia berjalan ke arah rumah Li Kong Hu sambil memikul seikat kayu,
Saat itu Li Kong Hu dan isterinya sedang menunggui Bong Kauw yang sedang sakit. Mendengar ada orang berseru-seru di luar rumahnya, Li Kong Hu segera ke luar.
Ketika dilihatnya seorang pertapa sedang membawa kayu, Kong Hu segera menyambutnya. Dia pun segera menyilakan tukang kayu itu masuk kerumahnya.
"Lo Suhu, siapakah sebenarnya Lo Suhu? Dan di mana tempat tinggal Lo Suhu?" tanya Kong Hu.
"Aku seorang pertapa yang tinggal di Kelenteng Thian Tiok-si," jawab si pertapa itu.
"Kebetulan aku mengerti obat-obatan, ini sebabnya aku sering mengembara, mengobati orang sakit dan menolong orang yang kesusahan."
Mendengar keterangan pertapa itu, tentu saja Li Kong Hu jadi girang. Apalagi sudah beberapa tabib dipanggilnya, dan sering membelikan obat, tapi penyakit Bong Kauw belum juga sembuh. Sekarang tiba-tiba ada seorang pertapa yang mengaku, dirinya pandai ilmu obat, tentu saja Kong Hu jadi senang sekali.
"Ah kebetulan sekali Lo Suhu" kata Li Kong Hu.
"Apanya yang kebetulan?" tanya si pertapa.
"Anak kami Bong Kauw sedang sakit. Padahal sudah banyak tabib yang kupanggil, tapi hingga kini dia belum membaik juga sekali pun sudah diberi obat. Nyatanya anak kami belum sembuh. Juga Sekarang secara kebetulan Lo Suhu datang, karena itu tolonglah kami Suhu." kata Li Kong Hu.
"Sudah seharusnya kita saling tolong-menolong sebagai
manusia. Jadi jika benar anakmu eakit, sudah tentu akan kubantu. Siapa tahu obatku bisa mengobati penyakitnya," kata si pertapa.
"Oh terimakasih Lo Suhu." kata Li Kong Hu dengan senang.
"Mari silakan masuk Lo Suhu,"
Tak lama maka masuklah pertapa itu ke kamar Bong Kauw. Kiauw Yong yang melihat kedatangan pertapa itu menjadi girang. Sesudah itu pertapa itu pun memeriksa pergelangan tangan Bong Kauw. Kemudian sesudah ia memeriksanya, ia pun berkata.
"Tenang, penyakit anakmu tak terlalu parah. Nanti sesudah kuberi obat, dia akan sembuh kembali," kata si pertapa.
Setelah pertapa itu memberikan sebuah pil, ia pun lalu pamit
Tak lama setelah si pertapa itu pergi, Li Kong Hu meminumkan obat itu. Ternyata Bong Kauw benar-benar sembuh. Melihat hal itu Li Kong Hu dan isterinya girang sakali. Demikian pula dengan Li Pek Lian, ia pun merasa senang takkala mengetahui Bong Kauw telah sembuh.
Sesudah Bong Kauw sembuh, Li Kong Hu memanggil guru untuk mengajar Bong Kauw.
Selang beberapa tahun, Bong Kauw pun menjadi pandai. Ketika Bong Kauw berumur 15 tahun, ia ikut ujian daerah ternyata dia lulus dengan angka terbaik. Bong Kauw memang tekun dalam belajar, oleh sebab itu ketika ia ikut ujian tingkat kabupaten, dia pun lulus dengan angka terbaik. Tak lama dia pun ikut ujian di ibu kota. Karena ketekunan dan rajinnya Bong Kauw belajar, akhirnya dia menjadi Cong Goan. Ketika Khouw Bong Kauw mendapat cuti, ia pulang ke kampung halamannya. Di sana dia disambut Li Kong Hu dan Khouw Kiauw Yong. Kemudian ketika kedua orang tua angkatnya menerangkan, bahwa Bong Kauw sudah ditunangkan dengan Pek Lian adik sepupunya sejak kecil ia setuju,
"Baiklah, aku bersedia mengawininya. Apalagi aku pun banyak berhutang budi pada Ibu dan Ayah," kata Bong Kauw.
Sementara itu Pek Lian yang mendengarkan percakapan itu dari balik dinding kamarnya merasa girang.
Tak lama ketika Bong Kauw kembali ke ibu kota, ia mengadukan perkara orang tuanya kepada raja. Raja yang merasa kasihan terhadap Bong Kauw segera memberi pangkat pada Han Bun. Mendapat kenyataan itu Bong Kauw amat girang. Suatu hari ketika ada kesempatan, kembali dia pulang ke kampung halamannya.
Namun ketika ia melewati Kelenteng Kim San-si. Bong Kauw teringat akan ayahnya. Kemudian dengan dikawal dua orang anak buahnya, Bong Kauw yang menyamar segera singgah di kuil itu.
Begitu sampai Bong Kauw disambut seorang Hwee-shio. lalu dipersilakan duduk dan disuguhi air teh hangat.
"Apakah Lo Suhu bernama Hoat Hay Sian-su?" tanya Bong Kauw.
"Bukan! Beliau Guruku!"
"Kalau begitu siapa nama Suhu?"
"Nama hamba Khouw Sian alias Khouw Han Bun." kata Pendeta itu. Lalu dia pun mengisahkan riwayatnya dari awal sampai akhir. Sesudah mengetahui bahwa pendeta itu Khouw Han Bun. Bong Kauw langsung merangkulnya.
"Ayah!" teriak Bong Kauw.
"Eh siapa kau, mengapa pula kau memanggilku Ayah?" kata Han Bun. Bong Kauw lalu mengisahkan riwayat hidupnya,
"Kini aku berhasil menjadi orang berpangkat Ayah."
Mendengar keterangan Bong Kauw yang jelas dan rinci, bukan main girangnya Han Bun. Tak lama maka dirangkulnya Bong Kauw sambil menangis.
"Aku senang bisa bertemu denganmu. Apalagi sekarang pun kau sudah besar dan pandai, serta telah menjadi Cong Goan. Tapi sayangnya ibumu masih dihukum di kaki Pagoda Lui Hong Tah di See-ouw, Hang-ciu sampai sekarang." kata Khouw Han Bun sambil menangis.
"Jangan sedih, Ayah. Mari kita pergi ke Pagoda Lui Hong Tah," kata Bong Kauw.
"Baiklah aku akan ikut. Tapi kau harus berjanji, bila kita sudah ke sana, aku akan kembali ke sini," kata Han Bun.
"Baiklah Ayah." kata Bouw Kauw.
Akhirnya sesudah Han Bun pamit dengan para hwee-shio, maka berangkatlah mereka. Sesampainya di rumah Li Kong Hu, mereka langsung disambut dengan gembira. Tak lama maka diadakan pesta makan, sehingga para tetangganya berdatangan untuk mengucapkan selamat.
Esok harinya....
Sesuai dengan pembicaraan dan niat Bong Kauw, mereka pergi bersama-sama ke Pagoda Lui Hong Tah. Di sana mereka berniat bersembahyang menyembahyangi Peh Tin Nio.
Setiba di sana mereka mengatur semua barang untuk bersembahyang. Kemudian setelah selesai Bong Kauw dan Han Bun serta Li Kong Hu dan isterinya bersembahyang.
Mereka pun lalu menangis, menangisi nasib Peh Tin Nio.
Namun secara tiba-tiba muncul Hoat Hay Sian-su dari atas Pagoda Lui Hong Tah.
"Selamat atas kedatanganmu, Cong Goan Khouw Bong Kauw. Ternyata kau sudah kembali ke kampung halamanmu,' kata Hoat Hay Sian-su.
Mendengar suara itu Li Kong Hu dan isterinya mendekati Bong Kauw.
"Bong Kauw, dialah guru ayahmu," bisik Li Kong Hu.
Mendengar hal itu Bong Kauw segera berlutut di hadapan Hoat Hay.
"Lo Suhu, hamba mohon agar Lo Suhu mengampuni dosa ibu hamba. Tolong bebaskan ibu hamba dari hukuman."
"Baiklah, pemohonanmu kukabulkan." kata Hoat Hay.
Tak lama ia pun membebaskan Peh Tin Nio. Dengan demikian Han Bun dan isterinya serta Bong Kauw bisa berkumpul kembali.
Kemudian sesudah ini Hoat Hay Sian-su meminta agar Peh Tin Nio dan Khouw Han Bun kembali ke asalnya yakni menjadi Dewa dan Dewi.
Tamat
(Pada versi lain bagian akhir kisah ini adalah Pendeta Hoat Hay di hukum dan bersembunyi dalam kepiting karena mencuri mangkuk emas dan Tongkat Wasiat milik Buddha.)
Ebook dipersembahkan oleh Group Fb Kolektor E-Book
https://m.facebook.com/groups/1394177657302863
dan Situs Baca Online Cerita Silat dan Novel
http://ceritasilat-novel.blogspot.com
Sampai jumpa di lain kisah ya !!!
Situbondo,28 Oktober 2018
Tak ada gading yang tak retak
Begitu pula hasil scan ceritasilat ini
Mohon maaf bila ada kesalahan tulis pada cerita ini.
Terimakasih
Makam Bunga Mawar 28 Pedang Siluman Darah 12 Pembalasan Surti Kanti Penculik Penculik Misterius 1
Mandarin Cersil Mandarin
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama
Cersil Indo Cersil Indonesia
Novel Barat Novel Barat
Novel Indo Novel Indonesia
Galeri Galeri
apabila halaman yg dicari tidak ada.Silahkan kembali dulu ke Menu Utama Blog Lama