Ceritasilat Novel Online

Pedang Pengacau Asmara 1

Pedang Pengacau Asmara Karya Okt Bagian 1


PEDANG PENGACAU ASMARA
(Jilid 1)
Karya : OKT A
Ketika itu hari telah lewat Lohor. Matahari telah tenggelam belum lama di balik
gunung Lan-san. Di muka pekarangan hotel Sam-hin-ki tampak ragu-ragu berdiri dua
wanita muda yang kelihatannya baru saja tiba. Yang seorang nyonya usia tigapuluhan
dan di sebelahnya lebih muda yang berparas cantik sekali. Tapi yang lebih tua usianya
tidak kurang pula menarik perhatian. Tubuhnya padat berisi berparas manis dan belum
kelihatan kerut merut di kulit wajahnya.
Seorang pelayan tidak berayal menyambut calon tamunya. Dengan hormat sekali
ia menyambut dengan tutur sapanya yang dipaksakan semanis-manisnya dan keramahan
yang telah terlatih. Ia memuji juga pada Sam-hin-ki dengan kata-kata setinggi langit sebagai terkenal kebersihan kamar-kamarnya serta suguhan tehnya yang wangi, sajian
makanannya yang lezat dan murah.
Kata-kata pelayan yang pandai bicara itu seperti letusan petasan berenceng,
sedikitpun tidak memberi kesempatan bagi keduanya bersuara.
"Kalau ji-wi hendak mencari penginapan," kata pelayan itu lebih lanjut,"ji-wi tidak
akan mendapatkan yang terlebih baik dari Sam-hin-ki di Ma-lan-tun ini......."
"Stop!" Bentak nyonya itu kesal."Kau tahu dari mana kami hendak bermalam
kemari?"
Si nona juga mendelikkan matanya. Pelayan itu jadi kemekmek.
"Jangan mulutmu saja yang dapat bicara manis! Apa benar kau dapat
menyediakan kamar yang luas dan bersih?"
"Ada .... eh, tentu, siocia ....." pelayan itu menjadi gembira lagi,"silahkan ji-wi
ikut, akan saya tunjukkan kamar yang pasti ji-wi setuju."
Penginapan merangkap rumah makan itu terpecah dalam tiga ruangan besar.
Pendopo pertama hanya disediakan untuk tamu-tamu luar yang datang untuk pesan
makanan atau minuman saja.
Pendopo kedua terdiri atas kamar-kamar besar yang masing-masing serambinya
ada tempat berupa ruangan tertutup sebagian-sebagiannya. Sedangkan pendopo ketiga
merupakan rentetan kamar-kamar besar seperti rumah-rumah petak saja. Kedua tamu itu
diajak pelayan ke pendopo ketiga yang letaknya di bagian belakang menghadap ke
pegunungan.Dengan demikian mereka harus melewati pendopo kedua dimana banyak tamu
sedang duduk-duduk di serambinya masing-masing. Semua mata memandang kagum
pada kedua tamu yang berani ini, tanpa pengiring laki-lakinya.
Si nyonya berbaju biru yang ringkas, bercelana sepan warna merah tua. Kakinya
yang kecil memakai kaos kaki merah darah dan sepatu melengkung. Pakaiannya yang
ketat lebih memperlihatkan pinggangnya yang halus bertubuh agak ketinggian di samping
nona berbaju serba putih itu.
Serba putih, cocok sekali kalau nona ini diberi julukan nona-serba-putih. Mulai
dari baju sampai ke celana dan kaos kaki, begitu juga sepatunya. Kulit badannya yang
kuning langsat jadi lebih cemerlang dengan pipinya semu merah bersinar kena pantulan
cahaya lentera.
Rambut keduanya sama hitam digelung ke atas tanpa memakai perhiasan. Jika si
nyonya gelungan atasnya diikat dengan pelangi warna biru muda, si nona menahan
gelung rambutnya dengan tusuk kondai terbuat dari bambu halus yang terukir.
Gadis inilah yang lebih menarik perhatian orang dan orang dapat menduga
bagaimana pula kebersihan dan kemontokan tubuhnya, dapat dikira dari tangannya yang
halus dan mungil dengan kuku-kuku yang terpelihara memegang sebuah bungkusan kecil.
Seorang lelaki yang duduk dekat sudut segera berkata pada kawannya yang duduk
di hadapannya,"Kau lihat Mo-sam, kedua betina itu kukira bukan wanita baik-baik.
Tanpa pengantar seorang pria, kurasa kalau bukan sebangsa tukang nyanyi tentunya dapat
kita sewa semalam suntuk!....."
Suara laki-laki itu cukup jelas terdengar oleh tamu-tamu lainnya yang segera
menoleh kepadanya. Orang mengenalnya sebagai kepala buaya darat bernama Lo-cit.
Yang dipanggil Mo-sam menyambut ucapannya dengan tertawa keras yang tak
sedap didengarnya,"Kalau toako menduganya dengan jitu, kita pasti bakal mendapat
kegembiraan malam ini! Ha-ha-ha.."
Tawa Mo-sam mendapat sambutan Lo-cit yang tak mau kalah memamerkan suara
terbahaknya yang lebih santer. Dari hidungnya terdengar suara dengus seperti suara
kerbau. Tapi ia tak berkata apa-apa lagi kecuali menuangkan arak ke cawannya yang
sudah kosong dan menenggaknya sekali teguk. Matanya dengan jalang mengikuti
lenggang kedua wanita itu yang terus berjalan tanpa ambil peduli pada pongah mereka.
Tak lama kemudian pelayan tadi telah keluar dengan menyungging sekulum
senyum di bibirnya yang tebal. Lo-cit memanggilnya sambil menggapaikan tangannya.
"Kau tentu tahu siapa kedua tamu betina itu. Siapa nama dan shenya? Akan
bermalam berapa hari di sini?" Tanya Lo-cit bernapsu setelah pelayan itu
menghampirinya.
Pelayan hotel itu tertawa, karena ia tahu dengan siapa ia berhadapan."Aku cuma tahu sedikit saja, Lo-ya," sahutnya"Nyonya itu Cin-him-si dan yang
muda Cin-Siau-hong, keduanya berhubungan ipar, lain-lain keterangan silahkan Lo-ya
tanyakan pada bagian terima tamu yang mencatat daftarnya."
Senyumnya tak pernah hilang dari bibinya, rupanya berkat diperolehnya hadiah 5
ci yang masih dipermainkan dengan kedua telapak tangannya, menandakan kedua tamu
wanita yang menarik perhatian itu puas dengan kamar yang ditunjukkan pelayan itu.
Si pelayan tidak menghiraukan lagi pada Lo-cit, yang menyebut nama Cin-him-si
dan Siau-hong berulang-ulang. Ia berlalu ke posnya kembali pada bagian penyambutan
tamu. Mo-sam saja yang menjadi geli melihat laku kawannya.
"Kenapa kau sebut nama orang seperti orang sedang berdoa, toako?" Ia
menggoda,"Apa dengan begitu Kwan-im nanti akan merestuimu?"
"Ah-ya .." Lo-cit berdesis seperti orang kepedasan, lalu bangun mengajak
kawannya berlalu.
Sebagai buaya darat ia memang sangat ditakuti oleh penduduk, sedangkan hotel
Sam-hin-ki tidak dapat menolak untuknya selalu harus tersedia kamar.
Begitu pula makan minumnya tak pernah berani pemiliknya menagih jika ia tidak
dengan rela membayarnya. Tentunya membayarnya juga semaunya saja itupun kalau
kebetulan ia sedang banyak uang dari hasil pemerasannya.
Lewat dekat meja kasir, ia berkata,"Hitung saja semua dan jangan lupa dicatat. . .
dan malam ini aku masih bermalam di sini!"
Lo-cit meninggikan suaranya pada kalimat terakhir sambil mendelikkan matanya
yang sebesar jengkol.
Kasir dengan tubuh gemetar berdiri memberi hormat sambil menganggukkan
kepala, wajahnya menyeringai persis seperti monyet kena terasi.
"Baik, Lo-ya......."
Baru setelah agak jauh, kasir itu membuang ludah dan melototkan matanya ke
punggung Lo-cit dan Mo-sam yang enak saja berjalan gontai tanpa menoleh lagi ke
belakang. Sebentar kemudian bayangan kedua bajingan itu sudah tak kelihatan lagi.
Pelayan tadi juga menggerutu sendiri,"Aku sudah duga pastilah kedua bajingan
tengik itu sedang mengatur siasat.....Kalau begini terus menerus hotel akan bangkrut.
Hamba hukum sendiri tidak berani mengambil tindakan apa-apa padanya."Huh, kapan
ya si Lo-cit itu kena batunya......"
Pelayan itu akan terus saja mengoceh jika ia tidak mendengar suara panggilan dari
dalam pendopo di belakang. Suaranya halus tapi tajam. Ia cepat menghampiri dan
ternyata Siau-hong yang memanggilnya.
"Apa kau sedia arak?" Nona itu mengulangi seruannya."Ada, ada, siocia," ia lekas menjawab. Sedangkan nona itu sudah membalikkan
badannya dengan cepat. Pelayan itu sampai tak percaya dengan matanya sendiri sebab
Siau-hong ringan sekali langkahnya tapi sangat cepat dan tahu-tahu sudah masuk ke
dalam kamarnya. Ia merasa heran.
Cin-him-si sedang duduk di depan mejanya, ketika Siau-hong membukakan pintu
pada pelayan yang membawakan pesanan arak dan hidangannya.
Selesai mengatur meja, pelayan itu hendak berlalu ketika ia ditahan dengan suara
Siau-hong yang merdu tapi terasa santar di telinganya.
"Tadi kudengar kau menggerutu seorang diri dan menyebut nama Lo-cit.
Bukankah dia yang disebut juga Touw-pa-cu, si Macan-tutul!"
Pelayan itu melengak atas pertanyaan tiba-tiba ini. Ia sungguh tidak mengerti
bagaimana kedua tamu itu kelihatannya mengenal benar pada Lo-cit. Dalam hatinya
terbit prasangka yang tidak-tidak. Namun ia menganggukkan kepala juga. Siau-hong
berpaling pada Him-si sambil tersenyum, matanya dibuat main.
"Nah, bagaimana ensoku?" Katanya kemudian.
"Hm, ya ." Itu saja jawab Him-si, dan keduanya kemudian tertawa.
Mengetahui pelayan itu memperhatikan gelak tawa mereka, Siau-hong semakin sengaja
bekakakan dengan genit. Keduanya saling bertepuk bahu. Pelayan itu menggelengkan
kepalanya, dan ia baru berlalu setelah Him-si mengulapkan tangannya.
Pelayan itu merapatkan pintu.
"Ah, kalau begitu kedua tamu ini memang bukan wanita baik-baik, hm . .. .
untungnya Lo-cit kalau begitu. Tapi ah, peduli setan, asal Lo-cit ingat uang hadiah saja
bagiku."
Tapi ia masih penasaran. Dari celah pintu ia dapat mengintip ke dalam.
Kelihatan si nona baju putih tengah memasukkan tulang paha ayam ke dalam
mulutnya yang mungil, Ia masih sempat melihat ketika Siau-hong menggerakkan
tangannya yang memegang tulang ayam itu, ketika tahu-tahu di depan matanya yang
nyaris kena tulang paha ayam itu, telah menyelip di sela pintu. Ia tidak mengerti
bagaimana caranya tulang itu dapat melayang begitu rupa.
Belum lagi hilang rasa kagetnya, ketika terdengar bentakan," Hai, apa perlunya
kau mengintip?!" bergeletar seluruh persendian tulangnya. Tentu saja tanpa bersuara ba
atau bu lagi ia mengeloyor pergi terbirit-birit.
Beberapa orang yang melihatnya jadi keheranan pada laku pelayan itu. Peluh
membasahi bajunya, Mukanya pucat pasi dan badannya gemetar terus.
"Kau kenapa, Siau-ji?" Tanya seorang tamu ingin tahu.
Kebetulan ketika itu kelihatan masuk Lo-cit dan kawannya. Mo-sam kelihatan
menggenggam sebuah kantong yang menerbitkan suara bergerincing mengiringi
langkahnya.Apa mau dikata pelayan itu menabrak tubuh Lo-cit, hingga ia terpental.
"Hai, apa-apaan ini? Siau-ji cepat bangun, dan panggil kedua itik yang baru datang
tadi!"
Pelayan atau yang dipanggil juga Siau-ji belum dapat menguasai rasa kagetnya, ia
tak dapat segera bangun. Mo-sam jadi marah, dan dijambaknya leher baju orang yang
diangkatnya ke atas.
"Kau tidak dengar? Kami minta dihibur oleh kedua bunga itu, dan katakan sudah
tersedia uangnya sebab kita tidak mau dihibur percuma asalkan pelayanannya cukup
memuaskan untuk semalam suntuk, kau dengar? Ha-ha-ha......"
Mo-sam mengancungkan kantong uangnya.
"Lebih baik jangan, Lo-cit-ya .... eh, Mo-ya . . . . ampun.....Aduh!"
Suara Siau-ji keluar dari lehernya yang mulai terasa dicekik Mo-sam terdengar
seperti suara ayam yang baru dipotong lehernya. Merasa dibantah Lo-cit telah
mendupaknya. Ia jatuh terguling-guling.
Baru saja Siau-ji hendak berdiri atau sebuah dupakan lagi telah bersarang di
perutnya. Ia tersungkur lemas sambil mengaduh terus.
"Bangsat kau ya! Sejak kapan kau berani bantah perintahku!"
Lo-cit menginjak tubuh pelayan yang tak berdaya itu. Kasir datang menengahi.
Tamu-tamu lainnya tidak seorangpun yang berani mendekat.
"Oh, jadi kau juga berani melawan? Hm, pantas ada majikannya yang sudah
mengajarkan Siauw-ji kurang ajar padaku ya!"
Lo-cit bahkan jadi marah pada kedatangan si kasir yang serta merta menerima
hadiah tempelengan juga di pipinya.
"Apa kau tidak tahu peraturan kami di sini? Setiap pendatang baru yang hendak
menjual kepandaiannya entah nyanyi, jual silat, jual badan atau yah......tegasnya buat cari
uang jual diri harus melalui ijinku dulu. Lagi pula aku masih punya kebijaksanaan ini,
sebagai percobaan apa halangannya mereka menghiburku lebih dulu. Tidak percuma,
kubayar! Nah, kau masih mau melindungi kedua tamu baru itu?"
"Bukan begitu, Lo-ya .... harap jangan marah dulu. Semua tamu harus kita hormati
dan pengurus hotel juga bertanggung jawab pada keselamatan tamunya." Kasir itu
berusaha menyabarkan Lo-cit, sambil menghapus darahnya yang keluar di sela-sela
bibirnya.
Lo-cit bahkan semakin marah. Kini giliran Ong Ciangkui, si kasir, dijambak
bajunya. Ong yang tak mengerti silat tidak berani melawan.
"Kau mau melindungi bunga raya? Apa kuasamu mencegahku, atau barangkali
kau mau kuhancurkan perusahaan hotel ini?"Percikan ludah Lo-cit berhamburan ke muka si Ong karena muka keduanya dekat
sekali. Bergidik tubuh Ong melihat mata Lo-cit yang seperti mau lompat menabrak
matanya sendiri.
Bagusnya datang seorang berpakaian mentereng dan berperut gendut. Ong
mengenalinya sebagai seorang hartawan di kota kecil Ma-lan-tun itu, Huang Wangwee.
"Ada apa sih ribut-ribut dengan orang sendiri?" Tanyanya sambil menepuk bahu
Lo-cit.
Mo-sam memberi hormat pada hartawan itu, sambil menuding ke arah Ong
Ciangkui yang sudah dilepaskan oleh Lo-cit.
"Kau lihat, Huang Wangwee sendiri mau menghargai kita. Kalau kau mau tahu,
uang ini juga darinya supaya kedua bunga raya itu tidak menjadi kecil hati dalam
pelayanannya nanti....."
"Tapi, tuan Huang......" Ciangkui cepat mendekat pada hartawan itu yang ia tahu
memang gemar daun muda juga, Lo-cit adalah orang ke-percayaannya. "Kedua wanita
itu belum tentu pekerjaannya demikian seperti yang diduga Lo-ya. Aku hendak
menjelaskan padanya bahwa kita nanti mau selidiki dulu apakah benar mereka itu datang
kemari bermaksud mencari langganan, ataukah orang baik-baik......."
Belum habis ucapan Ciang-kui, ketika dari arah belakang terdengar suara wanita
bernyanyi yang merdu sekali kedengarannya.
"Nah, apa kukata!" Lo-cit setengah berseru, ''Aku kan kawakan, kalau bukan
bangsa penyanyi sekalian pelipur lara dimalam hari ya, apalagi.... dasar sok pertahankan
tamunya!"
Huang Wangwee tersenyum. Didengarnya suara itu memang cukup merdu.
"Nah, Lo-cit, kau sabar saja menantikan di kamarmu. Nanti Ong Ciangkui akan
menanyakan pada kedua tamunya apakah memang benar keduanya itu datang untuk
mencari nafkah dengan menjual lagu saja atau lengkap. . . .ha-ha-ha... kau sendiri
kutunggu kabarnya apa boleh apa tidak buat menghiburku. Jangan lupa!"
Setelah mengucapkan kata-katanya Huang Wangwee segera berlalu.
"Tunggu apa lagi?" Kata Mo-sam kemudian sambil mendorong punggung Ong,
"Katakan sekarang juga keduanya ditunggu Lo-cit-ya. Kalau membangkang jangan harap
keduanya dapat enak saja jual diri tanpa melalui kami. Lagi pula tidak menghibur
percuma, kami juga tahu diri."
Ong Ciangkui tidak berani membantah lagi. Kalau benar kedua tamunya semacam
bunga raya, memang sudah jadi peraturan Lo-cit harus ditest dulu olehnya, sebagai belajar
kenal menurut istilahnya. Kalau tidak jangan harap orang dapat praktek begitu saja yang
tentunya akan mendapatkan gangguan dari bajingan itu.
Di luar dugaan Ong, kedua tamunya telah menerima undangan Lo-cit dengan
gembira.Dalam hati Ong dan begitu juga tamu-tamu lainnya merasa sayang sekali kedua
wanita yang kelihatannya seperti orang baik-baik tidak tahunya hanya sepasang bunga
raya yang kerjanya berpindah-pindah kota dan menjalankan pekerjaannya dalam hotelhotel.
Lo-cit dan Mo-sam telah menunggu di kamarnya dengan hati tak sabar. Keduanya
merasa Ong tidak bekerja cepat. Tapi setelah kedua "bunga raya" itu tampak mendatangi,
mereka tidak jadi memaki pada si Ong yang masih bengap pipinya bekas tangan Lo-cit
tadi.
Mo-sam keluar menyambut.
"Bagus. Bagus, mari masuk, Lo-cit-ya sudah tak sabar menunggu," katanya cengar
cengir. Menyusul kemudian Lo-cit juga keluar berdiri di belakang Mo-sam.
Sekarang Lo-cit dapat melihat dengan jelas wajah kedua"penyanyi" itu. Pada Cinhim-si ia seperti pernah bertemu entah dimana ia lupa lagi. Tapi ia tak sempat berpikir lagi
karena kedua"bunga raya" itu sudah masuk ke dalam kamar. Hatinya sendiri ikut
terbawa. Apalagi sambil lalu Siau-hong dan Him-si mengerling kepadanya.
Sambil tersenyum manis Siau-hong memberi hormat, tapi Him-si hanya berdiri
saja memandang padanya dengan sinar mata tajam.
"Kami berdua baru tiba di sini. Kami mohon Cit-ya suka membantu dan sudi
memberi petunjuk bila kami melakukan hal-hal yang kurang cocok."
Sambil bicara Siau-hong memainkan matanya, hingga Lo-cit jadi kesima.
Kemudian ia tertawa dengan gembira.
"Ha-ha-ha-.....ah, aku tak patut menerima penghormatan nona yang sedemikian
merendah. Hayo..Mo-sam, persilahkan kedua tamu kita mengambil tempat duduknya.
Mari, ji-wi jangan sungkan-sungkan lagi."
Lo-cit sudah lebih dulu mengambil tempat duduk. Mo-sam hendak menutup pintu,
tapi dicegah oleh Him-si.
"Lebih baik pintu jangan ditutup dulu. Hari masih belum terlalu malam, bukan?
Lagi pula aku tidak tahan jika tidak mendapat angin."
Mo-sam menurut dan pintu tetap terbuka lebar. Tamu-tamu lainnya mulai banyak
yang berkerumun di depan pintu hendak mendengarkan suara nyanyi dari kedua wanita
yang cantik itu. Semua sama menyesalkan kedua wanita muda yang telah melacurkan diri
itu. Kasir Ong juga masih menjublak di muka pintu. Lo-cit memerintahkannya supaya
Siau-ji menyediakan makanan dan minuman lagi. Lo-cit berlaku royal, si kasir mendapat
hadiah juga sebagai tanda jasanya dan penebus kena tempelengan tadi.
Siau-hong dan Him-si tanpa sungkan-sungkan lagi duduk di hadapan Mo-sam dan
Lo-cit. Lo-cit sebentar-sebentar mengubah duduknya sambil mengerdipkan mata pada


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siau-hong yang juga balas memandangnya dengan berani.Lo-cit membanggakan kejagoannya di daerah itu bahwa setiap pendatang yang
hendak mencari nafkah di daerah kekuasaannya harus meminta ijin padanya jika hendak
aman. Tapi iapun tidak mau percuma saja jika ia penuju pada gadis-gadis semacam
keduanya yang sedia melayaninya akan menerima persen sebagaimana mestinya. Juga
merupakan test jika memuaskan pasti akan mendapat banyak uang dari cukong-cukong,
seperti Huang Wanwee misalnya, tentu lain hari akan memesannya untuk menghibur.
Selama Lo-cit menghamburkan kata-katanya, Mo-sam sendiri mulai
menggeserkan bangkunya semakin lama semakin mendekat pada Him-si. Him-si hanya
tertawa kecil dengan lagak genit dibuat-buat.
Tidak lama kemudian Siau-ji yang rupanya sudah sembuh mendatangi membawa
hidangan-hidangan sambil mengangkati mangkuk-mangkuk bekas. Ia dapat bekerja
dengan gesit dan rapih. Ia juga menerima hadiah dari Lo-cit.
"Silahkan ciong-wi santapan, nanti kami bernyanyi menghibur tuan-tuan
sekalian," Siau-hong mengerdipkan matanya pada Him-si. Tapi Lo-cit salah arti.
"Oh, jangan begitu. Kami berdua juga tadi sudah tangsal perut. Apa halangannya
sekarang kita bersama minum-minum lagi dan sekedar cicipi makanan yang sudah
disediakan."
Lo-cit cepat menjawab sambil berusaha memegang tangan Siau-hong. Tapi ia tak
berhasil karena Siau-hong telah menyimpan tangannya kembali di bawah meja.
"Ah, jangan berlaku begitu, malu kan dilihat orang di luar......"
Him-si mengeluarkan alat tetabuhan yang berupa dua lempeng baja tipis, sambil
berdiri di samping Siau-hong. Dengan demikian ia telah dapat menghindarkan tubuh Mosam yang hampir saja menempel bahunya.
Him-si sudah memukul alat musiknya. Diadukannya kedua lempeng tembaga itu
menerbitkan suara tajam, tapi suara Siau-hong yang mulai keluar dari mulutnya yang
berbibir seperti delima merekah dapat mengalahkan bunyi itu sehingga orang-orang di
luar kamarpun dapat mendengarnya dengan jelas.
Lo-cit dan Mo-sam mendengarkan penuh perhatian sambil angkat sumpitnya ke
dalam mangkuk berisi daging babi yang hampir saja salah masuk ke dalam hidung
betetnya. Suara Siau-hong memang merdu sekali.
"Ji-kou-nio pergi berburu
Pada suatu hari Ji-kou-nio berhias,
Setelah menggulung rambutnya yang hitam,
Dipakainya kaos kaki dan sepatu,
Lalu menggantungkan di pinggang kantong
senjata,
Dan sambar tombaknya....."
Tamu-tamu penonton di luar bersorak memuji.
"Begitu ia keluar dari kamarnya,Iparnya menyambut dia dan bertanya,
Kemana Kou-nio hendak pergi?
Harimau dibukit Lam-san sudah dibunuh,
Srigala di bukit Pak-nia sudah terbasmi semua,
Dimana lagi ada binatang liar?
Higgga Kou-nio mau turun tangan?
Lo-cit menunda sumpitnya dan bertepuk tangan dengan riuhnya diiringi suara
ramai di luar.
"Sungguh suara yang teramat merdu setimpal dengan iringan musiknya biarpun
sederhana sekali..."
Kemudian Lo-cit dan Mo-sam saling berlomba menghabiskan araknya. Ketukan
musik berlangsung terus sementara Siau-hong siap akan masuk ke dalam bait selanjutnya.
"Ji-kou menyahut sambil tertawa,
Kau ternyata tidak tahu apa-apa,
Srigala dari Pak-hia tidak begitu beringas,
Sekarang muncul satu macan tutul yang buas,
Dan aku hendak cabut urat-uratnya
Supaya dia tidak mengganas lagi....."
Bila pada syair-syair bait-bait permulaan orang-orang masih mengiringi dengan
tepuk tangan, tapi setibanya di bait penutup semuanya terdiam. Mereka memandang pada
Lo-cit yang juga memandang pada Siau-hong dengan mata melotot.
Siau-hong telah mengubah kata-kata "pa-cu" dengan "Touw-pa-cu", tentunya itu
dimaksudkan sebagai gelaran dari Lo-cit sendiri.
"Perempuan geladak! Perempuan sundel! Jelas kau menghinaku!" Lo-cit bediri
dengan cawan arak baru saja diisi masih di tangannya, batal dibawa ke mulutnya. Cawan
itu dilemparkannya ke muka Siau-hong, tapi nona Hong hanya sedikit memiringkan
kepalanya dan cawan itu terbang menghajar dinding di belakangnya pecah belah dengan
isi berhamburan kemana-mana sampai muncrat keluar kamar. Lo-cit semakin marah.
Mukanya seperti kepiting direbus dan kelihatan bengis sekali. Tapi Siau-hong ganda
tersenyum dan ia masih tetap duduk di tempatnya,
"Kau masih berani memaki pula, Touw-pa-cu?" katanya dengan tenang, "Kalau
begitu nonamu benar-benar akan betot semua urat-uratmu!"
Di dalam amarahnya Lo-cit bersuara seperti geledek, lalu dijemputnya goloknya
dari bawah meja. Ia mencelat seraya membacok kepala Siau-hong. Tamu-tamu hotel yang
semula berkerumun ingin turut dihibur, kini menjadi panik. Dengan sendirinya mereka
bubar semua takut terembet. Namun ada juga diantaranya yang berani tetap menyaksikan
dari jauh ingin melihat bagaimana kesudahan penghinaan nona penyanyi itu. Mereka
inilah yang merasa ngeri sampai mengeluarkan suara jerit melihat bagaimana golok Locit hampir mendekat kepala Siau-hong yang tetap tenang-tenang saja dan tak ketinggalan
senyumnya yang manis.
"Gedubrak! Krasss!......"Kiranya ia telah melihat ensonya telah mengangkat kursi bekas duduknya tadi
yang disampokkan pada golok Lo-cit sebelum mampir di kepalanya.
Lo-cit sendiri semula merasa sayang dan agak menyesal goloknya sebentar lagi
akan membelah kepala mungil dari Siau-hong yang cantik itu, dan ia menjadi terkejut
karena sebagai pengganti kepala Siau-hong adalah kursi yang ditangkiskan oleh Him-si.
Him-si tidak hanya menangkis saja, tapi juga sisa kursi yang telah hancur itu disodokkan
ke mukanya. Ia terpaksa membungkukkan badannya menghindarkan tonggak kursi itu.
Mo-sam juga tidak ketinggalan memperlihatkan kegalakannya. Disambarnya
toyanya yang disandarkan di dinding. Ia menyerang Him-si, yang telah siap dengan Layhoa-tong-piannya (alat musik sepasang lempeng besi tadi) yang ternyata merupakan
senjatanya juga.
Siau-hong menendang meja yang penuh berisi makanan dan minuman arak itu
menimpa badan Lo-cit hingga bajunya basah dengan kuah sayur karena ia tak sempat
mengelak lagi.
Lo-cit benar-benar sudah sampai pada puncak kemarahannya. Goloknya
diputarkan bagaikan titiran hingga menimbulkan deru angin. Sementara itu Mo-sam
sedang berkutetan berusaha menarik toyanya yang sudah terjepit di antara kedua
lempengan alat musik itu. Sampai tubuhnya penuh peluh ia belum berhasil juga menarik
kembali toyanya.
Dengan sekali gentak saja telah berhasil membuat toya itu terlepas dari genggaman
tuannya. Ia membarengi kasih hadiah dua goresan panjang di pipi Mo-sam dengan
pinggiran lempengan Lay-hoa-tong-pian yang tajam sekali.
Mo-sam memekik kesakitan, sebab tahu-tahu ia merasa perih di kedua pipinya
yang mengalirkan darah segar, dan ia hanya dapat melihat berkelebatnya lempengan itu.
Mengertilah ia sedang berhadapan dengan seorang wanita bukan sembarangan. Ia jadi
jeri, dan segera ambil jalan keluar dengan menggelindingkan badannya melalui pintu.
Him-si mengejarnya.
Setelah Lo-cit bersungguh-sungguh memainkan goloknya Siau-hong sedikit
terdesak karena ruangan yang sempit menyebabkan ia sukar bergerak jika bertangan
kosong saja. Serangan-serangan Lo-cit cukup berbahaya, permainan silatnya cukup
lumayan. Terpaksa Siau-hong menghunus pedangnya, menangkis golok besar itu.
Ketika golok Lo-cit kembali mengancam dadanya ia menghenyakkan badannya
melengkung ke belakang. Tetapi kakinya yang bersepatu ujungnya mencuat telah
menyambar kaki Lo-cit.
Sedikitpun Lo-cit tak mengira di ujung sepatu gadis itu tersembunyi senjata pendek
berupa belati yang secara otomatis tersembul keluar dan membabat kakinya hampir
mengutungkan kakinya. Lo-cit sampai melempar goloknya ke lantai karena kesakitannya
untuk memegangi lukanya yang lantas mengucurkan darah bagaikan air mancur.
Lo-cit menyusul Mo-sam lari keluar pintu. Ketika itu Him-si sudah berhasil
menjejak pinggang Mo-sam yang menyebabkan ia terpelanting jauh. Begitu juga Siauhong dengan sekali dupak saja telah berhasil membikin Lo-cit tersungkur di tanah.Seperti telah berunding lebih dulu Siau-hong dan Him-si bertukar tawanan. Siauhong lompat ke arah Mo-sam yang sudah hendak bangkit lagi, sedangkan Him-si sudah
menjejak dada Lo-cit.
Mo-sam meringis kesakitan ketika ditarik telinganya dengan keras oleh Siau-hong
dan dibawanya mendekat pada Lo-cit. Terperosok dibuatnya Siau-hong pada Mo-sam
sampai menindih badan Lo-cit.
"Aku tadinya mengira Macan tutul sama tangkasnya dengan macan kertas. Eeh
tidak tahunya hanya sebegini saja kemampuannya. Kalau begitu kau bisanya pandang
hina semua orang dan sok menjagoi! Kau lebih cocok diberi gelar Touw-ci-cu alias Tikustanah."
Him-si bicara sambil semakin memperkeras tekanan kakinya di dada jagoan itu.
Lo-cit meringis kesakitan, tapi ia tidak berani menjamah kaki Him-si untuk mengurangi
tekanannya. Sedangkan Lo-sam merungkut bagaikan kucing kedinginan sambil memeluk
pundak kawannya. Badannya gemetaran.
"Kita tidak usah banyak cakap, enso. Aku sudah muak dengan bau tikus-tikus ini.
Langsung saja tanyakan padanya persoalan itu. Bila ia masih membandel atau berdusta,
nih goloknya, biar makan tuannya sendiri."
Siau-hong telah memungut golok Lo-cit yang dilemparkannya pada Him-si, yang
dengan cekatan telah menyambutnya. Golok besar itu kemudian ditodongkan di leher Locit. Kini Him-si memperlihatkan wajahnya yang keren dengan sinar mata tajam menusuk
hati Lo-cit yang telah merangkapkan tangannya sambil bersuara meminta ampun.
Tubuhnya merengket.
"Mudah saja memberi ampun padamu. Tapi aku heran apakah kau benar-benar
tidak ingat lagi padaku?"
Lo-cit sejenak menandang pada Him-si yang sengaja agak membungkukan
badannya.
"Ya, saya seperti pernah kenal, tapi tidak ingat lagi dimana kita pernah
berjumpa......" Lo-cit mengakui ingatannya yang tidak baik.
"Kau ingat Cee-lam, di kota mana kau pernah bekerja hanya untuk beberapa hari
saja pada rumah tangganya keluarga Him?'
Tiba-tiba Lo-cit kelihatan ketakutan. Kini ia ingat dengan siapa ia berhadapan. Ia
memang pernah bekerja pada keluarga Him-thian-lok yang telah meninggal dunia sebulan
sebelumnya ia masuk kerja sebagai pelayan. Padahal ia hanya pura-pura saja bekerja.
Nyonya itu kiranya adalah putri Thian-lok bernama Him-kun-eng. Setelah
menikah, biasa disebut Cin-him-si, karena suaminya she cin, atau saudara laki-lakinya
Siau-hong bernama Ji-hong.
"Nah, sekarang kau sudah ingat, bukan?"
Cin-him-si sengaja sedikit menekan golok itu di kulit leher tawanannya yang cepat
mengangguk-anggukkan kepala."Ya, ya,.... benar nyonya Cin, saya memang Lo-cit yang pernah bekerja di sana
tiga tahun yang lalu......"
"Dan kau juga yang mencuri sepasang pedang mustika itu! Kau hanya berlagak
bekerja padahal kau sudah berencana mencuri Toh-hoa-kiam tersebut. Kau benar-benar
licin, menggunakan kesempatan selagi orang berduka-cita!"
"Ampun nyonya Cin, ampun .... ya, ya benar Toh-hoa-kiam saya sendiri yang
mencuri."
Lo-cit ketakutan karena Him-si semakin lama menekan goloknya semakin keras.
Ia merasa perih di kulit lehernya yang mulai terluka menerbitkan darah. Lo-cit juga tak
berdaya melepaskan badannya dari tekanan kaki Him-si yang bagaikan tindihan seekor
gajah. Ia mengambil keputusan lebih baik berterus terang saja sebab jelas Him-si tidak
main-main lagi.
"Cepat katakan dimana sekarang Toh-hoa-kiam kau simpan?"
"Sepasang pedang itu telah kujual. Yang ron-ce perak dengan harga limaratus tail
perak pada kepala penjahat Hang-thian-liong yang bergelar Hun-bian-thian-ong, dan yang
ronce emas pada Tok-gan Kim-kong In-koan, hwesio kepala dari kelenteng Kim-san-si. Ia
membayarnya dengan harga delapanratus. Ini pengakuan yang sejujurnya nyonya Cin.
Aku minta sudilah diri saya yang rendah ini diampuni....."
Tamu-tamu penonton yang tadi bubar, kini telah datang kembali melihat dari
kejauhan. Dalam hati mereka menyoraki Lo-cit dan Mo-sam yang mati kutunya dalam
beberapa gebrak saja hanya oleh dua wanita yang semula di duga sebangsa penjual diri
itu. Siau-hong saling pandang dengan Him-si mendengar pengakuan ini. Him-si sudah
mengangkat goloknya semenjak tadi.
"Sekarang kau jawab pertanyaanku," Siau-hong turut bicara. "Tadi kau katakan
dan menyebut nama Hun-bian-thian-liong apakah bukan dia yang merampas kereta
piauwnya Sin-sian-cu Li-in?"
"Itu benar, nona. Kalau hendak mencarinya pergi saja ke Ceng-ciu sebelah
pedalaman di desa Ji-liong-cung."
"Hm. Bagus yah! Setelah mencuri pedang, sekarang berani mengajarkan orang
mencarinya sendiri pada pembelinya sedangkan kau sudah nikmati uangnya!"
Him-si memaki dengan sengit, tiba-tiba Lo-cit melihat berkelebatnya golok
kesamping kepalanya, dan ia tak kuasa mengelitnya, tahu-tahu ia merasa nyeri pada
bagian telinganya.
"Aduh!......Oh!"
Telinga kanannya telah menggelinding terlepas dari tempatnya.
"Dan kau juga konconya mesti senasib!"Mo-sam tidak mengerti bagaimana caranya Him-si melayangkan goloknya, telinga
kanannya senasib sapat juga. Ia teraduh-aduh sambil memegangi samping kanan
kepalanya, kelakuan yang sama juga dengan Lo-cit.
"Nah, ini obat penutup luka kalian. Lekas enyah dari hadapanku sebelum
pikiranku berubah!''
Him-si melemparkan sebungkus obat di depan Lo-cit. Darah menetes terus
membasahi lantai. Dengan menahan sakit kedua pecundang itu beranjak pergi dengan
menundukkan kepala tidak berani memandang pada siapapun.
"Apa yang harus kita katakan pada Huang Wangwee kalau ia menegurnya?...."
Mo-sam bertanya pada kawannya, Lo-cit yang jalan dipayangnya.
"Kau gila masih memikirkan segala pertanggungan jawab. Sudah bagus nyawa kita
tidak dimintanya!"
Him-si dan Siau-hong dengan tenang seperti tidak terjadi sesuatu kembali ke
kamarnya.
" Pedang yang berada di Kim-san-si kurasa akan lebih mudah untuk dimintakan
kembali." Kata Siau-hong pada ensonya sambil berjalan itu, "In-koan seorang petapa.
Kalau kita bicara sepantasnya dan sedia mengganti kerugian ia tentu mau mengerti. Tapi
yang ditangan Hang-thian-liong lebih sukar dimintanya. Ia terkenal jahat, bahkan tata
tertib dikalangan Kang-ouw saja ia berani melanggarnya, niscaya ia tidak akan melayani
kita."
"Kau bicara benar, enso. Tetapi yang penting kita mendahulukan mencari yang
lebih sukar diajak berundingnya." Sahut Siau-hong pula.
Semua mata memandang pada keduanya dengan rasa penuh kagum. Orang-orang
ramai membicarakan peristiwa itu. Mereka saling menduga siapa adanya kedua pendekar
wanita yang diduga buruk ternyata memiliki kepandaian luar biasa. Sebentar sebentar saja
seluruh penduduk dari mulut kemulut mengetahui hal itu, dan nama Siau-hong dengan
ensonya menjadi terkenal.
Apakah sesungguhnya pedang mustika yang disebut sebagai Toh-hoa-kiam itu?
Untuk mengenalnya kita terpaksa harus menarik roda jaman undur ke belakang
tujuh tahun.
Disalah satu hari pada tahun itu dikala matahari hendak kembali keperaduannya,
angin Barat utara bertiup dengan kencangnya. Mega putih bergulung-gulung di atas langit.
Tangkai pepohonan di hutan pinggir kota Cee-lam saling bersalam-salaman yang tentu
saja karena perbuatan sang baju yang iseng. Tapi tiupan angin terlalu keras menyebabkan
daun-daun berhamburan meninggalkan tangkainya bagi yang tidak terlalu kuat
melekatnya.
Hawa udara dingin sekali. Tidak lama kemudian hujan salju turun bagaikan kapas
berhamburan menebar menutupi alam di bawah. Semakin lama semakin tebal.
Diwaktu begitu orang lebih mau berdiam dalam rumah mengerumuni perapian.Beberapa ekor burung gowak beterbangan di udara dengan suara-suara
mengharukan mencari tempat perlindungan. Tapi tidak dapat terbang cepat, karena selain
sayapnya basah juga harus menghindar dari gumpalan salju.
Salju masih saja turun tak hentinya ketika saat malam tiba di bagian bumi itu
karena matahari telah lama menyilam. Belahan bumi di situ jadi putih laksana perak.
Bila kita kemudian menerjunkan diri pada setapak jalan menuju ke sebuah bukit,
bagusnya salju mulai sedikit hamparannya dari atas langit itu. Rembulan mengintip malumalu pada peristiwa ini. Sinarnya yang memantul di tebaran salju yang menebal di bumi
memberi pandangan mata yang amat mengasyikkan.
Mari kita mempercepat langkah mengikuti seorang yang berpakaian paderi. Ia
tidak memperdulikan hawa yang dingin, padahal pakaiannya yang kumal penuh tambalan
dan tampak robek sana sini juga teramat tipis untuk menahan udara sedingin itu.
Sepatunya juga sudah lusuh, tapi ia berjalan seperti tidak menginjak salju. Benar, ia
menginjak salju yang licin itu seperti jalan di atas tanah biasa.
Kalau ditaksir usianya sekitar lima puluh tahun tapi ia kelihatan lebih tua dari usia
sebenarnya dengan badan tak terurus itu.
Jalannya cepat sekali, sebentar saja telah tiba di depan kelenteng Sam-koan-tong.
Di depan pekarangan ia berhenti dan mengawasi ke dalam. Tiba-tiba ia tertawa bergelakgelak.
Dari mulut paderi itu kelihatan uap yang lebih mirip orang sedang


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menghembuskan asap tembakau. Kemudian ia bertindak masuk dengan langkah lambat
seperti kuatir mengusik orang yang sedang duduk bersamedi di dalam, dekat meja
sembahyang kelenteng itu.
Karena pintu kelenteng terbuka lebar-lebar siapapun dapat melihat ke arah dalam
bagaimana seorang nikouw bagaikan dewi bersimpuh duduk dengan mata terpejam. Ia
tidak hiraukan kedatangan hwesio muda itu.
"Ha-ha-ha...... aku tahu kau hanya pura-pura tidak tahu kedatanganku...... Tapi
biarlah, memang aku yang salah janji dalam hal selisih waktu yang semestinya kita
bertemu di sini."
Suara hweesio itu serak sekali. Si nikouw membuka matanya, dan tiba-tiba ia
membuang ludahnya ke lantai. Sekarang baru terlihat jelas bahwa nikouw itu sudah
berusia lanjut. Dari selipan penutup kepalanya tersembul rambutnya yang putih.
"Cih, dasar pemabukan, mana dapat menepati janjinya! Bau araknya saja bikin
mual perut.."
Hwesio muda itu menyambut makian nikouw dengan kembali menyuarakan suara
tawanya yang geli. Bahkan ia menjemput gendulnya yang menggandul di punggungnya.
Cepat mulut gendul itu telah menukik di bibirnya. Jakunnya turun naik menerima air katakata itu serta seperti sengaja sambil tetap demikian ia melangkahkan kakinya makin mendekat pada nikouw yang benci sekali pada bau arak."Prakkk!.......Huuuffff......."
Hwesio itu jadi gelagapan, karena araknya kini membasahi muka dan badannya
ketika gendulnya telah pecah. Hwesio itu juga mengerti tentu perbuatannya si nikouw
yang mengemposkan tenaga dalamnya menghancurkan gendul araknya. Dari sini saja
hwesio itu merasa kagum betapa tingginya Iweekang nikouw itu. Hanya sedikit
menggerakkan lengannya dan angin pukulan jarak jauh yang dahsyat tepat mengenai
gundulnya tanpa melukai dirinya.
Tapi hwesio aneh itu malah tertawa lagi lebih keras dari semula.
"Tidak boleh minum yah sudah. Dimaki juga boleh teruskan lagi. Tapi yang utama
sekarang aku mau tidur dulu. Ngantuk......"
Si hwesio benar-benar membuktikan kata-katanya. Apalagi dilihatnya kelenteng
itu cukup terasa hangat dan lantainya bersih, badannya telah direbahkan di sana untuk
kemudian terdengar gerosnya yang keras.
Si nikouw menggelengkan kepala. Namun ia sendiri kemudian juga memejamkan
matanya kembali.
Tapi baru kira-kira semakanan semangkok nasi, si hwesio telah mendusin dengan
kaget sekali. Ia lompat dalam keadaan tetap terbaring.
"Celaka! Kenapa kau tidak segera mengajakku berangkat tadi?"
Begitu ia tiba kembali di lantai kedua kakinya telah terjejak kembali melesat keluar!
Sebentar kemudian telah kembali lagi ke dalam. Dengan beraninya ia mengguncang bahu
nikouw yang masih bersamedi itu.
Baru saja tangannya menyentuh bajunya ia terpelanting beberapa meter.
"Oh, kau masih saja main-main?" 15
Kemudian tanpa membuka matanya, nikouw itu mengeluarkan suaranya yang
keren,"Aku yang main-main atau kau? Dari semenjak petang tadi aku bercokol di sini
menantikan kau. Dikala hari sudah gelap begini siapa yang kesudian keluar?"
Dengan lesu hwesio itu duduk agak jauh dari si nikouw. Kemudian ia perlihatkan
wajah keheranan.
"Eh, aku baru ingat, dimana kau letakkan bunga Toh itu?" Matanya celingukan ke
sekeliling ruangan.
Sekarang nikouw itu membuka matanya memandang jemu padanya.
"Dasar matanya diletakkan di belakang, pagoda sebesar gajah dekat pintu tidak
dilihatnya!"
Benar saja ketika si hwesio memandang keluar di samping pintu sebelah kanan
terletak sebuah pagoda yang mirip-mirip jambangan kecil. Ia merangkak menghampiri.
Dari mulutnya keluar kata-kata pujian."Ah, akhirnya kau rampung juga....."
Karena tertutup salju, di atas pagoda itu hanya kelihatan segundukan putih saja.
Kembali si nikouw memperlihatkan kelihaiannya. Dengan sekali kebut saja salju di atas
pagoda telah beterbangan. Seuntai dahan yang tidak terlalu tinggi dengan sepasang bunga
Toh kelihatan indah sekali. Apalagi di dahannya itu masih lengkap daunnya beberapa
helai yang hijau segar sangat kontras dengan kedua bunganya yang putih meletak.
"Yang mana yang pria dan mana yang wanita? Besarnya sama saja......"
Dengan mesra hwesio kita membelai sepasang bunga itu.
"Apakah kau sendiri sudah merampungkan dengan baik sarung bagi keduanya?"
Nikouw itu tidak melayani pertanyaan orang, dan ia sendiri sudah berdiri
kemudian melangkahkan kakinya menghampiri pagoda itu.
"Tentu saja sudah....., tapi sayang sekali kau telah hancurkan tadi!?"
"Apa?"
"Gendul tadi."
"Mana mungkin gendul yang bulat sebagai sarungnya?"
Keduanya saling berbantahan dengan seru.
"Kalau kau dapat menipu orang dengan sepasang bunga ini, apa kau kira akupun
tidak bisa! Sebaiknya kita jangan saling berbantahan lagi. Hayo kita berangkat sekarang
juga, di luar salju sudah berhenti. Lagipula kita belum terlambat benar."
Tanpa menantikan jawaban si hwesio telah mengangkat pagoda itu, "Tolong kau
yang kumpulkan hancuran gendul arakku itu."
Kini nikouw yang memandang keheranan pada tingkah laku yang ganjil dari
teman janjinya itu. Bagaimana mungkin dari pecahan gendul yang kelihatannya terbuat
dari tanah dapat dipersatukan kembali. Tapi ia mau menurut juga. Dikumpulkannya
pecahan-pecahan itu. Setelah menyentuh pecahan yang pertama barulah si nikouw
tersenyum dan di dalam hatinya memuji kelihaian teman edan itu.
Ternyata gendul terbuat dari baja murni. Ia sendiri menyangsikan ketika tadi ia
mengirim tenaga pukulan jarak jauhnya sanggup memecahkan gendul baja itu yang
sengaja diwarnai seperti warna tanah biasa. Jelas hwesio itu hanya berpura-pura saja dan
ia sendiri yang memecahkannya, dan hanya orang yang sudah tinggi sekali ilmu dalamnya
dapat menahan terjatuhnya pecahan-pecahan baja tanpa menerbitkan suara sedikitpun.
Setelah pecahan-pecahan itu terkumpul semua, dengan gembira ia cepat mengejar
keluar. Ternyata temannya sudah jauh sekali jalannya.
"Hai, tunggu aku, hwesio pemabukan! Aku tak dapat berjalan cepat di atas salju
selicin ini. Kakiku sedang encok......"Kalau diperhatikan si nikouw memang berjalan dengan agak timpang, tapi salju
yang licin tak menjadi halangan baginya.
Sungguh lucu pemandangan keduanya saling berkejaran menuju kota Cee-lam.
Yang satu menjunjung di tangan kanannya sebuah pagoda berisi sebatang pohon bunga
Toh, sedangkan yang lain menenteng pecahan gendul.
Sebentar saja keduanya telah memasuki gerbang kota Cee-lam. Jika di luar kota
tak ada seorangpun yang berada di jalan kecuali mereka berdua, tapi setelah masuk di
dalam kota ternyata banyak juga orang yang berlalu lalang.
Yang sempat melihat kedua murid Budha itu, merasa adanya keanehan dan juga
ada lucunya. Salah seorang yang iseng tak dapat menahan rasa ingin tahunya telah
menegur, "Kedua cut-kee-jin, dari mana kalian datang?"
Hwesio itu menjawab dengan suara lantang, "Kami baru datang dari luar pintu
Utara, dari Sam-koan-tong!"
Semua yang mendengar jawaban ini melengak kaget. Sam-koan-tong telah lama
tidak terurus lagi, dan sudah dianggap angker. Siapa yang dapat mempercayai kata-kata
ini. "Apakah jiwi suhu datang kemari untuk meminta derma?" Ada lagi yang bertanya.
"Oh, bukan!" Jawab hwesio itu dengan cepat, "Kami datang kemari buat mencari
jodoh!"
Kembali orang mendapatkan jawaban yang terlebih aneh, hingga akhirnya orang
tak mau bertanya-tanya lagi. Lebih-lebih si nikouw kelihatannya tidak senang dikerumuni
banyak orang. Pandangan matanya seperti mengusir mereka. Orang banyak lalu memberi
jalan pada kedua orang suci yang aneh ini.
Beberapa orang yang masih penasaran apa yang hendak dikerjakan kedua orang
suci itu mengikutinya dari belakang.
"Kalau melihat arah jalannya mungkin keduanya hendak memberi selamat pada
Patpi Jinhim Him-thian-lok......."
"O ya, bisa jadi, besok adalah hari shejitnya dan sekarang juga sudah banyak tamu
yang berdatangan."
"Tapi mana mungkin Patpi Jinhim mempunyai sahabat seperti keduanya yang
agak sinting biarpun mereka memakai pakaian orang suci..."
Pengikut-pengikut itu saling berbincangan satu sama lain, sampai mereka tiba
dekat sebuah rumah yang terpajang menandakan di rumah itu sedang ada sesuatu pesta.
Beberapa tamu kelihatan di serambi muka tengah bercakap-cakap, mereka juga melihat
kedatangan kedua orang suci itu lalu mengawasi keheranan.
Seorang centeng telah lari masuk memberitahukan pada tuan rumah akan adanya
kedua tamu aneh."Ah, ini memang kebiasaan orang-orang dari kalangan Kang-ouw," ujar Thian-lok
menerima kabar ini, tapi ia juga bertindak keluar. "Mereka tentunya mau memperbodoh
penduduk, supaya dari mereka dapat digaruk uangnya."
Puterinya yang juga mengiringi ayahnya berpendapat lain. Tentang kalangan
Kang-ouw, ia mengakui ayahnya telah berpengalaman luas. Tapi ia tidak menghendaki
ayahnya nanti sampai berlaku kasar pada kedua pendatang yang tak diundang itu, sengaja
ia menganjurkan pada ayahnya supaya berlaku sabar.
Seperti telah diterangkan di atas, puteri Him thian-lok bernama Him-kun-eng,
adalah puteri tunggalnya.
Thian-lok sendiri mendengar anjuran puterinya jadi tertawa geli. Tentu saja ia
tidak akan berlaku kasar, sebab menurut dugaannya mereka datang tentu hanya inginkan
sedikit dermaan darinya.
Di muka pintu ayah dan anak itu memandang keluar dimana dua orang aneh itu
sedang dikerumuni penduduk. Tiba-tiba Thian-lok mengeluarkan seruan tertahan, dan
cepat menyeret lengan puterinya menghampiri tamu yang tak diundang itu.
Si hwesio juga mempercepat langkahnya diikuti oleh si nikouw setelah melihat
tuan rumah keluar.
Thian-lok memerintahkan penjaga supaya membuka pintu lebar-lebar. Kedua
tamu yang tak sopan itu tidak memperdulikan hormat Thian-lok, dan berlalu begitu saja
di samping tuan rumah. Kun-eng mendelu dalam hati melihat tingkah yang tak pantas ini.
Tapi yang diherankan ayahnya tidak menjadi marah. Bahkan juga mengajaknya mengikuti dari belakang.
Tamu-tamu Thian-lok lainnya sampai berdiri semua buat melihat lebih jelas siapa
gerangan kedua tamu tidak sopan itu. Diantara mereka ada yang mengenalinya, seperti
juga Thian-lok mereka membelalakkan mata dan mengeluarkan suara kagum.
"Dua anggota Kanglam Cit-hiap!....."
Si hwesio setelah meletakkan pagodanya di atas meja, sedangkan si nikouw
melemparkan pecahan-pecahan gendul ke lantai sampai menerbitkan suara berisik,
keduanya serentak mencari tempat duduk. Di sini baru mereka mau menerima
penghormatan Thian-lok yang membungkukkan badannya dalam-dalam. Hwesio itu
sendiri tertawa berkakakan.
"Ah, sudahlah. Him Loo-tauw-ji, kau terlalu memakai peradatan. Inikah
puterimu?"
Si hwesio memandang pada Kun-eng dengan tak berkesip. Sedangkan Kun-eng
sendiri merasa heran apa sebab ayahnya berlaku sedemikian menghormat pada kedua
tamu ini. Jika tadi ia yang menganjurkan ayahnya supaya berlaku baik pada orang
kalangan Kang-ouw yang berlagak gila, sekarang ia balas pandangan si hwesio dengan
sinar mata membenci.Baru setelah dijelaskan siapa adanya kedua orang suci itu, Kun-eng mau memberi
hormat seperti yang diperintahkan ayahnya.
Ternyata si hwesio adalah Say-cee-thian Siang-ceng Siansu, dan nama sebenarnya
adalah Thio-kong-tay, adalah orang pertama dalam Kanglam Cit-hiap.
Sedangkan nikouw itu adalah orang ketiga dalam Kanglam Cit-hiap, ialah Huithian Siankouw In-ceng Suthay yang nama aslinya Ouw-ci-hee.
Biarpun Kun-eng menganggukkan kepala ketika ayahnya menerangkan orangorang luar biasa itu, dalam hatinya tetap mendongkol pada keduanya terutama pada
Siang-ceng Siansu yang masih tetap memandanginya.
"Terlebih dulu kami memberi selamat pada Him-Loo tauwji yang berulang tahun,
biarpun kami tak diundang. Semoga diberi panjang umur, dan cepat mendapat menantu."
In-ceng Suthay akhirnya membuka suara juga, seraya menjura pada tuan rumah,
siapa mengucapkan terima kasih atas ucapan selamat itu. Tapi Siang-ceng Siansu tidak
mengikuti temannya memberi selamat.
Disebut perihal jodoh, Kun-eng sendiri jadi malu, cepat ia berlalu dengan muka
merah. Kembali Siang-ceng tertawa berkakakan.
"Anak yang baik. Anak yang baik. Sayang sekali dalam hidupnya sebelum
mencapai kebahagiaan ia akan mengalami dua kali kedukaan .... Dan kau sebut-sebut
umur orang apa macam? Biarpun kita doakan umur orang akan percuma saja jika Thian
telah menakdirkan segala sesuatunya. Ah, Loo-tauw-ji, jika kau ada arak baik,
keluarkanlah. Arak digendulku telah ditumpahkan oleh perempuan sok jual lagak ini."
In-ceng Suthay mendelikkan matanya diejek sedemikian. Sedangkan Him-thianlok merasa tidak enak hati disebut-sebutnya perihal umur, padahal ia tahu orang pertama
dari Kanglam Cit-hiap itu terkenal juga sebagai ahli peramal.
Tetapi Thian-lok tidak mau banyak bicara, dan baru saja ia hendak memanggil
pelayan, In-ceng bersuara.
"Kau boleh minum arak sepuasnya setelah upacara kita selesai. Sampai mampus
mabukpun aku tak ambil pusing. Bagiku cukup air dingin saja, Loo-piauwsu!"
Pekerjaan Thian-lok memang dulunya sebagai piauwsu (pengantar barang,
semacam expedisi sekarang) yang sudah pensiun. Permintaan yang bertentangan ini
membuatnya bingung. Bagusnya Siang-ceng Siansu mau mengalah.
"Ah, kau benar juga perempuan cerewet," katanya kemudian sambil tersenyum,
lalu kata-kata selanjutnya ditujukan pada tuan rumah. "Sudah sepuluh tahun lamanya
kita berpisah. Di hari shejit ini kami hendak memberikan kenang-kenangan pada kau
berupa sepasang pedang mustika."
Thian-lok kegirangan, sebab ternyata jago Kanglam Cit-hiap yang awet muda ini
masih ingat janjinya sepuluh tahun yang lalu. Dalam kegirangannya cepat ia
mengutarakan ingin melihat pedang tersebut. In-ceng tersenyum."Terus terang saja, yang membuatnya bukan aku sendiri, tapi perempuan cerewet
ini." Jika In ceng selalu diejek sebagai perempuan bawel padahal ia termasuk seorang
yang alim tidak banyak bicara kalau tidak perlu benar, sebenarnya Siang-ceng hendak
memancingnya membuka suara. Tapi sekali ini In-ceng tidak meladeninya, ia tetap
tersenyum saja.
"Kau lihat itu," Kata Siang-ceng lebih lanjut, sambil menunjuk pada pagoda.
"Bukankah itu sepasang bunga Toh yang indah?"
"Ah, kembali kau main-main, Siansu," ujar Thian-lok agak kecewa.
"Tidak. Apakah pernah aku mendustai orang? Itulah juga sepasang pedang yang
kujanjikan. Kalau kau tak percaya juga, tanyakan saja sendiri pada suthay bawel itu!"
Tapi In-ceng suthay mendahului berkata, "Ia bicara hal yang benar. Harap kau
perhatikan baik-baik bunga Toh itu, Loo-piauwsu!"
Thian-lok dan beberapa tamu lainnya menurut dan menghampiri pagoda itu.
Hanya mata yang jeli saja dapat melihat bahwa bunga Toh itu biarpun kelihatannya benarbenar seperti bunga asli tapi nyatanya agak kaku. Ketika Thian-lok memegangnya, ia
terkejut sekali. Ia merasakan hawa dingin yang luar biasa, dan hampir saja jarinya tersayat
oleh kelopak "bunga" Toh itu!
In-ceng tidak bermaksud mempermainkan orang lebih lama lagi. Ia duduk di atas
meja bersemadi, dan mulutnya komat kamit. Semuanya memandang tidak mengerti apa
yang hendak dikerjakan nikouw ini. Begitu juga Kun-eng yang telah keluar kembali turut
memperhatikannya
Tiba-tiba In-ceng mengangkat tangan kanannya yang dilambaikan ke arah pagoda.
Aneh, salah satu bunga itu terlepas dari tangkainya terbang ke arah tangannya. "Bunga"
itu dilemparkan kembali ke udara, dan terdengar suara berdenting beberapa kali, telah
merobah diri jadi sebatang pedang yang bersinar menyilaukan mata dan memberi rasa
dingin pada para hadirin.
"Ini yang lelaki!" Kata nikouw itu, sambil menyambut pangkal pedang tersebut.
Sekali lagi In-ceng berbuat hal yang sama. Bunga yang satunya juga terbang dan
merobah diri menjadi sebatang pedang yang juga bersinar berkilauan, tapi memberi rasa
hangat pada sekelilingnya.
"Ini yang perempuan!"
Sekarang sepasang pedang itu telah tergenggam kedua tangan In-ceng. Thian-lok
dan hadirin lainnya melengak menyaksikan adegan ini. Kun-eng sampai meleletkan
lidahnya karena kagum, tapi dalam hatinya ia merasa girang sekali sebab ia tahu akan
menjadi pemilik sepasang pedang mustika itu.
"Kau lihat sekarang, Loo-tauw-ji! Betapa liciknya nikouw ini sampai kau mengira
aku telah mendustai kau. Ia telah menyihir sepasang pedang itu menjadi dua bunga Toh!"
"Maafkan aku, Siansu," Thian-lok cepat berkata sambil membungkukkan
badannya."Enak saja kau bilang aku telah main sihir! Lihat!" In-ceng memaki temannya,
sedangkan tangannya mulai bekerja. Ternyata pedang itu bagaikan mainan karet
lemasnya. Sebentar saja In-ceng dapat membentuknya kembali seperti rupa bunga Toh.
Semuanya mengeluarkan suara kagum. Di tangan In-ceng sepasang pedang itu dapat
dibuat lembut ataupun keras.
"Nah, sekarang hayo kau jangan banyak mulut saja mengoceh dari tadi. Mana
sarung untuk kedua pedang ini!" In-ceng memonyongkan bibirnya pada hwesio itu.
"Ha-ha-ha-.... Baik! Baik, akupun tak mau kalah dengan kau. Lihat!"
Siang-ceng lalu mengulapkan tangannya pada pecahan-pecahan gendulnya.
Bagaikan kumpulan tawon-tawon yang mengerubungi sekuntum bunga, pecahanpecahan gendul itu berkumpul semua di tangan Siang-ceng tindih menindih.
Setelah Siang-ceng berseru keras dan melemparkan pecahan-pecahan itu ke atas
udara. Kembali orang menyaksikan kemahiran tenaga dalam yang luar biasa! Pecahanpecahan baja itu telah bersatu kembali, karena hawa panas yang hebat telah mencairkan
logam itu.


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siang-ceng bergerak cepat. Ketika lempengan itu tiba kembali di tangannya, ia
segera menempanya menjadi lempengan tipis yang panjang
Sebentar kemudian dua bentuk sarung pedang telah menjadi. Sambil bekerja Siangceng menyeru pada Thian-lok untuk menyediakan dua macam runce warna emas dan
perak, juga segulungan cita merah pengikat sarung selongsong pedang.
Kedua pedang yang sudah diubah lagi dari bentuk bunga Toh itu kemudian diberi
runce oleh In-ceng. Yang laki-laki runce perak, sedangkan yang perempuan runce emas.
Siang-ceng juga sudah rapi membungkus sarung selongsong kedua pedang itu.
Setelah kedua pedang dimasukkan ke dalam sarungnya kemudian diserahkan pada Thianlok yang menerimanya dengan hormat sekali.
"Sepasang pedang ini beri nama "TOH HOA KIAM" saja yang berarti Pedang
bunga Toh," kata In-ceng kemudian. "Aku peringatkan pada kau, Loo-tauw-ji, jangan
sekali-sekali kau pandang ringan pada kedua pedang mustika ini. Kau tentu pernah dengar
tentang pedang-kayu-harum yang dibikin oleh golongan Too-kauw, yang biasa digunakan
untuk menundukkan siluman dan iblis. Toh-hoa-kiam ini aku yang bina sendiri selama
sepuluh tahun atas pesanan hwesio edan itu yang katanya akan dipersembahkan pada
seorang sahabat baiknya. Kau tak akan berusia lebih dari seratus tahun karenanya
jadikanlah sepasang pedang ini sebagai milik keturunan."
Thian-lok jadi terharu mendengar wejangan ini, ia sampai menganggukkan kepala
berkali-kali tanda menerimanya. In-ceng memandang tajam pada Kun-eng. Lalu ia
melanjutkan kata-katanya.
"Biarlah diketahui oleh keturunan Him yang akan mewarisi pedang ini. Yang
pertama-tama ia tidak boleh gampang menurunkan pedang untuk membunuh
sembarangan. Kedua, ia tidak boleh melakukan kejahatan macam apapun denganmengandalkan pedang ini. Ketiga, sepasang pedang ini harus dirawat dengan baik dan tak
boleh kena kotor. Kau harus ingat ini dengan baik!"
Kun-eng tahu perkataan itu dipesankan kepadanya dan ia segera menganggukkan
kepala.
Thian-lok menghampiri puterinya dan menyerahkan pokiam itu sambil berkata,
"Kau simpan Toh-hoa-kiam ini baik-baik."
Terdengar suara-suara dari tamu-tamu lainnya yang meminta dipertunjukkan
keistimewaan Toh-hoa-kiam.
Orang hanya dapat melihat Siang-ceng mengulurkan kedua tangannya, dan tahutahu kedua pedang itu telah keluar dari sarungnya yang masih tetap dalam genggaman
Kun-eng.
Kemudian Siang-ceng bergerak bagaikan titiran di seputar para hadirin. Semuanya
merasakan hawa panas berbaur dengan dingin yang luar biasa. Bagi yang belum tinggi
ilmu silatnya merasakan badannya panas dingin tak keruan rasa, sampai peluhnya berleleran.
Kun-eng sendiri yang telah menerima semua ilmu silat dari ayahnya, tidak
mengerti bagaimana Siang-ceng telah memasukkan Toh-hoa-kiam ke dalam
selongsongnya.
"Hanya sebegitu sajakah keistimewaan Toh-hoa-kiam, cuma dapat menerbitkan
hawa panas dan dingin?" Nyeletuk seseorang tamu seperti mencemooh Siang-ceng.
"Kau gerakkan kepala," kata Siang-ceng Siansu menunjuk pada orang yang
nyeletuk itu, lalu menunjuk lagi pada beberapa orang lainnya, "Kau pinggang, kau lengan
baju, kau sepatu, kau celana!"
Kelima orang yang ditunjuk itu menggerakkan badan mereka. Ada yang terlepas
ikat kepalanya, yang belah dua sepatunya, sedangkan tiga lainnya telah robek bagian
pakaiannya!
Begitu tajamnya Toh-hoa-kiam sanggup membuat kerusakan peralatan penutup
badan mereka tanpa mereka sendiri merasa, padahal pedang tadi hanya berkelebatan saja.
Bagaimana kalau benar-benar dibabatkan ke tubuh mereka? Kelima orang itu bergidik
sendiri. Barulah sekarang semuanya mengagumi pedang-bunga-Toh yang luar biasa itu.
Siang-ceng kemudian mengambil pagodanya yang kini tinggal tertancap batang
pohonnya saja.
"Apa lagi? Urusan telah selesai. Mari kita pergi. Apa kau masih mau menggaruk
hidangan orang lagi?"
Selesai dengan ucapannya In-ceng berjalan keluar dengan cepat biarpun agak
timpang sebab seperti pengakuannya pada hwesio itu kakinya sedang sakit encok. Siangceng kembali mengeluarkan suara tawanya yang panjang, ia bahkan lompat mendahului
In-ceng. Sikapnya yang brutal timbul lagi yaitu tanpa pamitan lagi pada tuan rumah.Thian-lok mengerti keduanya akan berlalu, ia juga tidak mau kalah segera
mengejar keduanya, sambil mengulapkan tangannya.
"Harap jiwi tunggu dulu! Bagaimana aku tidak jadi malu dipandang orang telah
menerima hadiah yang teramat berharga membiarkan tamunya pergi begitu saja? Bisabisa aku disebut sebagai telor busuk oleh tamu-tamu lainnya......."
Tapi bagaimanapun Thian-lok mengerahkan seluruh kepandaian berlarinya, ia
tetap ketinggalan pada jarak yang sama. Sedangkan In-ceng yang jalannya terseok-seok ia
tidak sanggup mengejarnya. Karenanya ia hanya berteriak-teriak saja.
"Harap jiwi suhu tunda dulu perjalanan untuk dahar bersama kami. Kalau
mungkin jiwi bermalam di tempat kami sampai besok. Besok ada acara ramai yang tentu
akan membuat jiwi gembira ......."
Kali ini Thian-lok mendapatkan jawaban dari si hwesio yang lebih dulu mengawali
dengan tawanya yang nyaring, tetap berjalan cepat dau tidak berpaling.
"Ha-ha-ha! Apa kau bukannya memang telor busuk, Loo-tauw-ji? Aku hendak
bertanya pada kau, dari mana kau peroleh uangmu?"
Dengan suara keras Thian-lok berteriak dengan napas terputus-putus, sebab ia
mulai merasakan lelah dan bajunya mulai basah dengan peluhnya, "Aku belum pernah
ambil uang yang tidak halal, bukankah jiwi tahu sendiri?"
"Itu kau benar," In-ceng mewakili kawannya berkata-kata,"Tapi kau adalah
seorang piauwsu tua yang telah bergelandangan di kalangan Kang-ouw buat belasan
tahun lamanya. Selama waktu itu siapa saja yang berani bentrok dengan kau tentu tidak
mendapatkan pengampunan lagi. Berapa banyak jiwa yang telah kau cabut? Boleh jadi
kau sendiri tidak ingat lagi, karenanya uangmu ada berbau sedikit darah. Cut-kee-jin tidak
sanggup membaui hidangan kau yang dibeli dengan uang itu . .. Maaf!"
Kiranya biarpun In-ceng sedang sakit encok ia masih sanggup mengkelebatkan
badannya, dan sekejap mata saja ia telah lenyap dari pandangan Thian-lok yang berdiri
menjublak mendengar kata-kata yang menyentuh hatinya itu.
Siang-ceng Siansu tidak mau kalah pada In-ceng yang telah melewati atas
kepalanya. Ia juga menjejakkan kedua kakinya di tanah lompat me-njusul si nikouw. Tapi
ia masih sempat meninggalkan gema kata-katanya pada Thian-lok.
"Maafkan aku sobat, kami masih ada urusan lain yang harus dikerjakan. Aku tahu
besok adalah hari shejitmu, dan juga kau merencanakan mencari jodoh bagi puterimu.
Aku hanya dapat memberi selamat, dan semoga puterimu akan mendapatkan jodohnya
yang setimpal......"
Siapapun tidak diberitahukan oleh Thian-lok bahwa besok pagi di hari pestanya ia
akan menyuruh orang mendirikan panggung lui-tay. Jelas orang pertama Kanglam Cithiap itu telah dapat membaca isi hatinya dengan jitu.
Ketika Thian-lok memperhatikan dimana ia kini berada, ternyata tanpa terasa ia
telah jauh di luar kota Cee-lam. Ia pulang dengan lesu.Keesokan harinya kita berada di hari penanggalan Cegwee Cee-pe. Hari kelahiran
Him-thian-lok.
Hari itu adalah hari yang dimuliakan oleh keluarga Him-thian-lok yang hanya
terdiri selain dirinya adalah istri dan puteri tunggalnya.
Pagi-pagi sekali beberapa orang suruhannya telah mendirikan sebuah panggung di
pekarangan depan rumah. Tamu-tamunya yang mulai banyak berdatangan semula
merasa heran untuk maksud apa panggung lui-tay didirikan (panggung untuk mengadu
kepandaian silat). Tapi mereka sebagai tamu yang terhormat tidak berani langsung
bertanya pada tuan rumah.
Setelah semua tamu dikira sudah berkumpul semua, tuan rumah bangkit dari
kursinya. Ia memberi hormat ke arah semua hadirin. Ia angkat bicara disambut dengan
meriah oleh famili dan para kerabatnya.
Ia mengatakan merasa girang menerima kehormatan dikunjungi atas
undangannya sendiri dan mengucapkan terima kasih atas perhatian semua famili dan
sobat-sobatnya yang telah memberinya selamat. Ia merasa belum pernah berbuat
kebaikan, dan lain-lain kata-kata merendah yang menunjukkan betapa luhur budi pekerti
tuan rumah itu.
"Menggunakan kesempatan baik ini," Patpi Jinhim si "Beruang-tangan-delapan"
yang terkenal di kalangan Kang-ouw ini melanjutkan pidatonya, "Aku ingin
mengutarakan sesuatu hal yang sudah lama terpendam dalam hati. Kini setelah setahun
lamanya aku mengundurkan diri sebagai piauwsu, aku menginginkan kehidupan yang
tenteram dimasa depan. Tapi ingat pada puteriku, Kun-eng, yang kini telah berusia
duapuluh tiga tahun........"
Sampai pada upacara ini para hadirin telah mengerti dengan tujuan apa lui-tay
dibangun. Semuanya bertepuk tangan dengan riuh, terutama para pemudanya yang
merasa dirinya memiliki sedikit kepandaian. Suara ramai itu menyebabkan pidato Thianlok terhenti sejenak. Setelah agak reda barulah Thian-lok melanjutkan pidatonya.
"Dalam usia yang cukup lanjut bagi seorang gadis, ia belum juga mendapatkan
pasangannya yang setimpal. Mungkin wajahnya yang buruk, ataukah terlalu pemilihnya
biarpun sudah banyak yang melamarnya ia selalu menolak dengan alasan masih ingin cari
pengalaman pada kehidupan remajanya. Tanpa dirasa olehnya bahwa usianya dari tahun
ke tahun bertambah terus. Ternyata setelah di desak oleh ibunya pemuda macam
bagaimana yang dipenujunya, ia memberi jawaban bahwa ia menghendaki kawan hidup
yang memiliki kepandaian buge (silat) melebihi dirinya. Sekarang kurasa adalah
temponya untuk mencari jodoh. Aku harap ciong-wi tidak menertawakan diriku yang
terlalu memanjakan puteri tunggal ini. Aku sayang sekali padanya. Menuruti kemauannya
yang tidak dapat ditawar lagi aku bahkan sengaja mendirikan lui-tay itu untuk maksud
tersebut."
Jago Shoatang itu lalu memandang ke segenap penjuru di saat ia menutup katakatanya sambil mengurut-urut jenggotnya yang panjang dan mulai berganti warna putih
di sana sini. Wajahnya berseri-seri menandakan kebungaan hatinya. Sejenak para hadirin
saling berkasak-kusuk satu sama lain. Beberapa di antaranya terutama yang muda-muda
saling menganjurkan untuk jadi orang pertama yang naik ke atas panggung menghadapiputeri bekas piauwsu yang selain termasuk jago belum menemui tandingannya juga
termasuk orang yang memiliki kekayaan. Ketambahan lagi kabar tentang Thian-lok
memperoleh hadiah pedang mustika dengan cepat telah diketahui banyak orang. Jika
dikatakan oleh orang tua itu bahwa puterinya berwajah buruk semua orang juga tahu itu
hanya kata-kata yang terlalu merendah. Siapa yang tidak tahu Kun-eng yang bertubuh
langsing jangkung semampai dengan wajahnya yang cantik!
Hati pemuda manapun terkesiap mendengar tantangan pi-bu untuk mencari jodoh
ini. Bagi yang tidak pernah belajar silat (bu) menyesal tidak dari masa kanak-kanak
mempelajarinya.
Tiba-tiba seorang yang kelihatan sudah cukup umur tapi masih berbadan kekar dari
arah duduk sebelah timur bangkit dari kursinya, dan sekali enjot tubuhnya telah berada
di atas lui-tay. Ia men-jura kepada Thian-lok dan juga kepada hadirin yang berada di
bawahnya. Setelah mana ia memeluk tangannya di muka dadanya. Semua orang
mengenalinya sebagai Ciu-beng-too si "Lutung Besi" atau Tiat-pwee-wan. Ia telah mulai
bicara sambil tertawa.
" Kehendak Him Loo-piauwsu memang ide yang baik, Liatwi barangkali belum
tahu terang tentang nona Him. Aku mengenalnya dengan baik. Nona Him sangat cantik
dan ilmu silatnya yang diturunkan dari ayahnya cukup sempurna. Karenanya siapa yang
berhasil menjadi jodohnya bagaikan lebih bahagia dari menang main ma-ciok jutaan tail!
Nenek bilang itu berbahagia ......Ha-ha-ha . . . Baiklah, dengan memberanikan diri saya
yang tua bangka ini mengajukan diri sebagai wasit jika tuan rumahnya berkenan."
Semua tamu menjadi geli dan sorak ramai diiringi tepuk tangan menyambut katakata lelucon itu. Ciu-beng-too memandang pada Thian-lok meminta pendapat atas
pengangkatan dirinya sebagai wasit pi-bu itu. Thian-lok tersenyum sambil memandang
pada sahabat kentalnya ini seraya menganggukkan kepala tanda setujunya.
"Sebelumnya terima kasih setelah tuan rumah berkenan," sambung katanya pula.
"Sekarang wasit mempersilahkan nona Him-kun-eng muncul sendiri.''
Mata tuan Beng-too dapat menangkap gerak di balik tirai di belakang Thian-lok
dan ia menduga Kun-eng bersembunyi di sana. Dugaannya tepat, sesosok bayangan gesit
sekali bagaikan burung walet telah hinggap di atas lui-tay di samping orang tua itu.
"Bagus. Bagus, tidak percuma Him Loo-eng-hiong mendidik anak ini. Ginkangnya
cukup sempurna."
Beng-too memuji serta membalas penghormatan gadis itu kepadanya. Hadirin juga
diam-diam di dalam hati memuji pada kelincahan gerak Kun-eng. Gadis ini berpakaian
ringkas warna biru terusan dengan celananya. Begitu juga sepatu dan kaos kakinya serba
biru. Rambutnya digulung ke atas berupa sebuah kondai yang diikat dengan pelangi yang
juga berwarna biru, menyebabkan dirinya kelihatan terang sekali tertimpa sinar matahari
pagi.
"Di sini berkumpul sekalian sobat kerabat kita. Antara mereka tentu akan ada yang
berniat mencoba kau. Ciu Loo-pehhu telah diangkat menjadi wasit yang akan
memutuskan siapa menang dan siapa yang kalah. Baiknya kau jangan memandang remeh
pada setiap lawan, dan kau harus berlaku hati-hati, anakku."Thian-lok memesankan pada Kun-eng yang juga mengangguk, setelah mana jago
tua itu duduk kembali. Kun-eng memperlihatkan simpatiknya dengan membungkukkan
badan ke arah para hadirin yang disambut dengan tepuk tangan serta suara-suara
mengagumi Kun-eng. Gadis ini jadi malu sendiri, mukanya merah dadu. Ia sendiri berada
di atas dapat memandang dengan jelas kepada semua tamu sekilas pandang. Ada yang
putih, yang hitam, yang jangkung, yang cakap, yang jelek, yang tua dan yang muda
beraneka corak wajah yang kesemuanya memandangi dirinya. Juga dari tamu-tamu
wanita yang ditemani ibunya tidak kurang pula mengagumi Kun-eng tercampur rasa iri,
karena tubuh Kun-eng yang jangkung semampai dalam pakaiannya yang ringkas itu
kelihatan molek sekali.
Karena likatnya Kun-eng cepat mundur ke tengah arena siap menantikan lawan.
Ciu-beng-too melaksanakan tugasnya sebagai pimpinan merangkap juga wasit dan juri
itu, sudah membuka suaranya kembali.
"Sekarang pertandingan dibuka! Siapa saja diantara tuan-tuan yang dirinya merasa
sembabat dengan nona Kun-eng dan merasa masih muda serta belum menikah
dipersilahkan naik ke atas untuk mencoba-coba."
"Siau-tee ingin mencoba........" seorang pemuda berwajah jenaka tiba-tiba maju
kemuka. Tapi lucunya ia mencari-cari tangga untuk naik ke atas.
Panggung lui-tay memang sengaja dibuat tinggi dan tidak diberi tangga untuk naik
ke atas. Bagi yang memiliki ilmu ringankan tubuh yang masih rendah tentu saja tidak
berani mencobanya.
Nona Him tergerak hatinya ketika melihat pemuda ini. Bangun tubuhnya sedang
saja, tapi sikapnya seperti ketololan. Kulit tubuhnya juga tidak dapat dikatakan hitam
maupun putih. Tapi Kun-eng jadi kecewa karena pemuda ini seperti badut saja bergaya di
bawah panggung. Ia masih mengitar kesana kemari dan menggerutu sendiri. Penonton
menertawai lagaknya.
"Mana tangganya untuk naik ke atas?" Gerutunya dan orang semakin santar
menyorakinya.
"Lompat. Lompat, badut kau! Bagaimana sih mau pi-bu tapi kagak becus lompat!"
Teriak seseorang dan ia mendahului lompat ke atas.
"Huh, biarlah aku yang mengajukan diri lebih dulu," kata pemuda kedua yang
telah menjejakkan kakinya di atas papan lui-tay.
Pemuda pertama memandang ke atas dengan wajah kosong. Kemudian ia masih
mencoba dengan jalan merambat di salah satu tiang. Ia berhasil juga menaiki tiang itu
untuk kemudian duduk di tepian panggung. Tentu saja pemandangan yang lucu ini
membuat hadirin semakin gaduh. Thian-lok sendiri turut tertawa.
Pemuda kedua yang sedang memberi hormat pada Beng-too dan nona Him
berpaling pada pemuda dungu yang kelihatan kelelahan habis merambat di tiang itu.
"Karena aku yang tiba lebih dulu di atas sini, jadi aku yang pertama berhak maju!"Pemuda yang sedang menghampiri orang yang duduk di tepian itu dikenal orang
bernama The-pek, adalah seorang muda berwajah bersih. Bibirnya merah dan pundak
leher, tapi badannya agak kurus. Secara keseluruhan ia termasuk cakap, tapi siapapun
mengetahui ia mempunyai sifat suka memandang rendah pada setiap orang dan
mempunyai nama yang kurang baik.
Thian-lok merasa kurang enak hati, sebab pemuda ini banyak akal liciknya. Ia
menguatirkan puterinya yang belum berpengalaman dalam bertempur secara terbuka. Ia
menyesal tak dapat mencegah pemuda yang sombong itu.
Kesombongannya itu terbukti, ketika ia mendekat pada pemuda pertama dan
mengirimkan dupakannya, selesai dengan kata-katanya. Pemuda dungu itu kelabakan,
tapi bagusnya di saat kaki The-pek hampir mengenai perutnya ia keburu merebahkan
dirinya rata dengan papan. Kaki The-pek melayang di atas punggungnya.
"Mengapa kau jadi mau berkelahi denganku? Apa kau naksir padaku, hah? Aku
laki-laki tahu! Sana pergi lawan nona Kun-eng kalau berani. Soal memutuskan siapa
lawan pertama bukan kau yang memutuskan, tapi wasit yang harus bersuara!"
Dalam keadaan rebah ia masih dapat mengeluarkan kata-kata makiannya yang
lebih mirip kata-kata banyolan.
Bagi mata yang awas dapat melihat bahwa gerak rebah pemuda dungu itu bukan
sembarangan gerak. Begitu juga Kun-eng dapat melihatnya, diam-diam ia merasa gembira
kalau benar pemuda berwajah jujur ini hanya pura-pura dungu saja.
Gagal dengan dupakannya dan kena hinaan lagi, The-pek jadi sengit. Ia mengubah
gerak tendangnya mengarah lurus ke tulang iga orang yang masih dalam keadaan rebah
memandang pada Beng-too seakan meminta cepat memberi keputusan siapa yang
pertama berhak maju bertanding dengan Him.
Begitu juga Kun-eng sampai menekap mulutnya menyaksikan tendangan maut itu.
Bila dupakan pertama hanya merupakan dupakan mengusir tanpa memakai banyak
tenaga, kini tendangan ini tidak boleh dibuat main. Kalau iga pemuda itu terkena tentu
akan remuk dan terjungkal ke bawah panggung.
Beng-too hendak mencegah The-pek, tapi sudah kasip. Penonton-penonton yang
tidak mengenal pada pemuda pertama itu jadi kaget juga sampai ada yang berdiri di atas
kursinya.


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tetapi The-pek kembali menendang angin. Ia sendiri tidak mengerti bagaimana
caranya pemuda ketolol-tololan itu telah menggeser badannya. Namun karena pemuda
itu rebah terlalu pinggir penggeseran badannya menyebabkan ia jatuh di udara. Bagusnya
ia sempat menyambar tepian papan hingga ia tidak sampai terjatuh ke bawah panggung
yang cukup tinggi letaknya.
Orang membayangkan jika ia sampai jatuh mungkin kakinya bisa patah, atau
badannya luka-luka, syukur ia masih dapat bergelajutan di tepi papan ituKetelengasan The-pek membuat hadirin mengeluarkan suara tertahan ketika Thepek menginjak-injak tangan yang berpegangan di ujung papan itu. Suara-suara tidak puasdilontarkan pada The-pek. Tapi Thian-lok masih awas matanya dapat melihat pada setiap
jejakan kaki ke tangan pemuda itu selalu kandas, karena tangan itu dengan lincah selalu
berpindah-pindah pegangannya.
"Cukup, The-kongcu. Kau yang berhak maju lebih dulu."
Beng-too menarik lengan The-pek yang masih saja menjejakkan telapak sepatunya
di tangan orang, penasaran sebab pemuda saingannya belum mau melepaskan ujung
papan lui-tay. Kemudian Beng-too bantu menarik ke atas tubuh pemuda konyol itu. Pucat
pasi wajahnya, tapi ia masih dapat tersenyum dan mengucapkan terima kasihnya.
"Nah, setelah wasit memutuskan kau yang berhak maju, ya persilahkan saja,
jangan jadi sengit padaku! Nah, aku yang tidak becus lompat ke atas ini akan
mengundurkan diri saja."PEDANG PENGACAU ASMARA
(Jilid 2)
Karya : OKT A
Pemuda itu memberi hormat pada The-pek sambil mengerlingkan matanya pada
Kun-eng diiringi senyum jenakanya. Kun-eng menundukkan kepala. Kemudian ia
kembali turun melorot di tiang di bawah sorakan riuh penonton-penonton.
"Celaka, tidak punya kepandaian tapi mau coba-coba adu nasib. Ah, dasar mau
konyol." Nyeletuk salah seorang penonton ketika pemuda badut itu kembali ke tempatnya
semula di sebelah seorang tua yang lantas menjewer telinganya. Tapi keduanya kemudian
tertawa riuh berdua saja. Orang tua kawan si bego itu dikenal sebagai jago Siauw-lim-si
bernama Li-kam-hoat bergelar Si-toya-palang-maut. Tapi pemuda tak dikenal itu tidak
diketahui siapa adanya.
Orang kembali mengarahkan pandangannya ke atas panggung, karena The-pek
mulai memasang kuda-kuda mempersilahkan Kun-eng menyerangnya lebih dulu.
Kemudian pertandingan yang dilakukan hanya bertangan kosong itu segera
berlangsung, sebab Kun-eng sudah mulai membuka serangannya yang pertama. Segera
saja pertandingan mulai berlangsung dengan serunya. Bila yang satu menyerang yang lain
menangkis atau berkelit begitu seterusnya silih berganti.
Jika mula-mula gerak tangan kaki mereka kelihatan lamban, mulai dengan jurus
ketigapuluh Kun-eng meningkatkan kecepatan geraknya yang juga diimbangi oleh Thepek. Tampik sorak terdengar menggembirakan suasana pertandingan. Bahkan semakin
menambah semangat bagi Kun-eng untuk mempercepat kemenangannya yang dirasanya
sebentar lagi akan berhasil diperolehnya. Ia sudah dapat meraba sampai dimana tingkat
kepandaian lawan dan telah melihat segi kelemahan pemuda sombong ini. Ia sendiri tidak
senang dengan kepribadian The-pek yang sudah diketahui memang berjiwa busuk.
The-pek mulai agak kacau dalam pembelaan dirinya dan belum berhasil mencari
lobang kelemahan si gadis yang sudah lama diidam-idamkannya. Sikapnya ini terlihat
juga oleh Kun-eng, menggunakan kesempatan orang sedang kebingungan matanya yang
jeli mengarah pada pundak lawan yang terbuka lebar. Saat mana The-pek habis berkelit
dari sabetan tangan kiri Kun-eng yang sebenarnya hanya gertakan belaka. Badannya agak
condong ke belakang. Pundak kanannya menjadi agak miring ke atas yang segera kena
ditepuk oleh Kun-eng. Sambil menepuk si nona sedikit mendorong sampai The-pek
terhuyung mundur beberapa tindak.
"The-hiantit dinyatakan kalah!" Seru sang juri dengan suara keras sambil
menuding pada The-pek. "Maaf, silahkan memberi kesempatan pada yang lain."Dengan air muka berobah merah menahan malu, The-pek melompat turun. Tanpa
berkata apa-apa ia ngeloyor meninggalkan arena itu.
Thian-lok merasa bangga pada puterinya yang telah berhasil mengalahkan Thepek yang kurang disenanginya. Ia sendiri tidak bermaksud menahan berlalunya pemuda
itu yang bersikap tidak sopan tanpa berpamitan lagi padanya sebagai tuan rumah yang
menyelenggarakan pesta shejit.
Ciu-beng-too sebenarnya tidak percaya kalau pemuda pertama yang
memperlihatkan sikap kebego-begoannya tadi benar-benar tidak memiliki kepandaian. Ia
seorang tua kawakan yang telah malang melintang di kalangan Kang-ouw tidak bisa
dikelabui matanya. Ketika pemuda bego tadi berkelit menghindarkan dupakan The-pek,
matanya yang awas telah dapat melihat kelitan itu bukanlah sembarang gerak. Diam-diam
ia sendiri sudah merasa simpatik pada pemuda itu. Dari atas ia mencari-cari dimana
pemuda itu. Ia melihatnya di samping Li-kam-hoat, yang juga adalah sahabat baiknya. Ia
mengulapkan tangannya ke arah pemuda yang balas memandangnya dengan mata
mendelong.
"Pemuda yang naik secara merambat tadi sekarang dipersilahkan maju!" Seru
Beng-too sambil menunjuk ke arah pemuda ini. Tapi ia kecele karena seruannya telah
dibalas dengan gelengan kepala dengan mulut berkomat-kamit.
"Aku orang goblok rasanya tidak sembabat dengan nona Kun-eng taruh kata aku
dapat mengalahkannya. Tapi melihat pertarungannya tadi dengan The-pek aku yakin
kepandaianku baru sampai pada tingkat turun naik panggung secara merambat saja. Aku
kagumi silat nona Kun-eng yang cantik jelita itu dan mendoakan saja supaya dapat lawan
yang setimpal dan sembabat padanya."
Suara yang keluar dari mulut pemuda bego itu bagi para hadirin yang lain bagaikan
suara nyamuk tapi jelas terdengar. Namun bagi Beng-too dan Kun-eng kedengaran tajam
sekali seperti menusuki lobang telinga. Keduanya cepat mengerahkan tenaga lwee-kang
ke bagian kepala, supaya jangan sampai syaraf pendengaran mereka terganggu.
Itulah ilmu mengirim suara yang tidak sembarang orang dapat melakukannya.
Bagi yang tidak mengerti hanya mengira si pemuda tolol itu suaranya memang jadi kecil
karena takutnya pada nona Kun-eng yang jelas termasuk memiliki silat kelas wahid.
Selesai dengan kata-katanya, segera disambut oleh suara-suara mencemoohkan si
pemuda bego yang dianggap sok jago belaka belum apa-apa berani menampilkan diri jadi
penantang nomor satu. Hampir saja ia nyaris kena dupakan The-pek yang telengas tadi!
Jika Beng-too kemudian memuji si pemuda yang terlalu merendahkan hati padahal
memiliki kepandaian tinggi, lain lagi halnya dengan Kun-eng. Gadis ini setelah
mengetahui pemuda itu sebenarnya hanya berlagak pilon, sekarang berbalik jadi sebal. Ia
merasa terhina padahal jelas maksud dibukanya pibu itu buat mencari pasangan bagi
dirinya. Ingin rasanya ia menjewer telinga si pemuda yang sok jual mahal ini.
Begitu juga Thian-lok menganggap pemuda yang belum mau menerangkan siapa
dirinya ini, jadi mangkel dalam hati. Tapi dilain pihak kalau ia merenungkan kata-katanya
seperti juga pemuda ini hendak mengatakan tidak satupun penantang-penantang putrinya
yang lain akan sanggup mengalahkannya kecuali ia sendiri. Diam-diam ia mengagumi sipemuda nakal ini. Harap saja puterinya sependirian dengannya, sebab ia sendiri
sebetulnya telah penuju pada si pemuda yang berlagak bego itu.
Siapakah sebenarnya pemuda ini, begitu hati kecilnya bertanya. Kalau melihat ia
datang bersama jago Siauw-lim-si sahabat lamanya, Li-kam-hoat, ia yakin pemuda ini
tentunya keturunan orang baik-baik. Ketika Li-kam-hoat baru datang memberinya
selamat, jago Siauw-lim ini hanya memperkenalkan si pemuda sebagai teman
perjalanannya saja tanpa mau menyebut namanya.
"Pemuda penantang yang tergeser jadi kedua setelah The-pek itu telah mengaku
kalah sebelum bertanding! Baiklah, kita tidak dapat memaksa. Sekarang siapa lagi yang
mau mengajukan diri naik kemari, dipersilahkan!" Kata Beng-too kemudian sambil
mengerdipkan matanya pada si pemuda. Li-kam-hoat kelihatannya tidak tertarik pada
lagak "teman perjalanannya" ini. Ia sibuk dengan cawan araknya yang sedang ditenggak
untuk dihabiskan isinya.
"Dari tadi kau kerjanya hanya menguras arak saja. Aku kuatir sebentar lagi aku
terpaksa menggendong kau pulang dari sini......."
Kata-kata si pemuda bego yang ditujukan pada Li-kam-hoat tidak diteruskan
karena tiba-tiba Kam-hoat menunda cawannya dan mendelikkan mata kepadanya.
"E-eh, kau mau urusin orang ya? Diri sendiri punya mata dapat melihat tapi tak
dapat membedakan mana barang yang baik atau buruk. Dasar kau bisanya hanya
membuat malu orang saja!"
Setelah memaki, Kam-hoat kembali menuangkan arak dari guci yang tersedia di
atas meja ke dalam cawannya, kembali ia asyik dengan minuman keras itu. Ia tidak peduli
pada temannya yang kelihatan marah dan menuding padanya, juga balas memaki.
"Hm, tua bangka yang tak tahu membedakan mana gunung dan mana bukit. Mana
mungkin aku boleh disejajarkan dengan nona Kun-eng yang bagaikan bidadari itu. Lagi
pula aku punya kebecusan apa? Aku mau tanya jika batu karang disejajarkan dengan batu
pualam apa cocok dilihat orang. Atau kedua batu itu diperadukan mana yang hancur?"
Disebut dirinya sebagai tua bangka Kam-hoat naik darah, kembali ia menunda
cawannya serta mendelikkan matanya.
"Oh, kau berani menghinaku di depan banyak orang pemuda dungu? Kau memang
mesti dihajar adat!"
Mendadak Kam-hoat entah bagaimana caranya dari mulutnya tersembur keluar
cairan arak yang mengarah perut teman mudanya sendiri. Si pemuda gelagapan, tapi
bagusnya ia dapat membuang diri ke depan. Cairan arak itu bagaikan peluru besi
menghajar kursi, dengan menimbulkan suara "brakk!" jadi terbelah dua.
Perhatian orang jadi terpusat kedua orang itu. Jika di atas lui-tay seorang pemuda
yang mengaku bernama Siang-ko-pa berwajah hitam sudah mulai adu tenaga dengan
Kun-eng kelihatannya jalan pertempuran tidak menarik, sebagian orang menjadi geli
dalam hati adanya pertengkaran di bawah lui-tay.Di atas lui-tay Kun-eng yang telah habis menjalankan 30 jurus pukulan-pukulan
yang terus menerus menekan Siang-ko-pa jelas akan segera menyelesaikan lawannya.
Sementara itu Thian-lok segera menghampiri Kam-hoat bermaksud menengahi pertikaian
kecil ini.
"Apa-apaan ini, sobat Kam-hoat? Kok dengan teman sendiri jadi seperti tikus dan
kucing?"
Tegur Thian-lok pada si jago Siauw-lim yang seperti lagak anak kecil tengah
mengejar si pemuda bego yang hendak ditangkapnya. Sambil mengejar Kam-hoat
sebentar-sebentar melepaskan "panah-araknya" yang membuat orang menyingkirkan diri
kuatir terkena semburan yang tadi telah terlihat betapa kehebatannya sanggup
menghancurkan sebuah kursi.
Thian-lok tahu sahabatnya Li-kam-hoat ini terkadang suka berbuat kelakuan yang
aneh. Ia berhasil memegang lengan Kam-hoat yang segera dituntunnya untuk duduk
kembali.
"Coba saja kau pikir. Apa sopan dia sebagai orang luar pakai melarangku minumminum. Kau sendiri sebagai tuan rumah tentu tidak berkeberatan mengeluarkan arak buat
tamunya sampai segentong, bukan?"
Kam-hoat mengadu pada Thian-lok yang menganggukkan kepala sambil
tersenyum. Ia mengulapkan tangannya memanggil si pemuda bego yang
menyembunyikan diri di belakang kursi. Lucunya wajahnya yang ketololan mengintip
sambil menjulurkan lidahnya kepada Kam-hoat yang balas mengacungkan tinjunya.
Melihat dirinya dipanggil akhirnya si pemuda bego mau juga menghampiri dengan
tindakan perlahan-lahan seperti tikus yang hendak mencuri makanan. Sikapnya ini
membuat orang tertawa.
Setelah tangan pemuda ini dicekal Thian-lok lalu mengeluarkan kata-kata
mendamaikan keduanya. Tapi masih saja Kam-hoat penasaran bermaksud menjewer
telinga si pemuda. Si pemuda ketakutan coba melepaskan diri dari pegangan Thian-lok,
namun ia kalah tenaga.
"Kau jangan kuatir, anak muda. Sobat tuamu si Kam-hoat ini tentunya kau tahu
sendiri suka berguyon. Biarkan saja ia minum-minum sampai mabuk sekalipun tidak jadi
persoalan. Kalau perlu sebaiknya kalian berdua menginap saja di sini jika sobatmu sampai
jatuh mabuk." Kata Thian-lok kemudian.
"Iya, berguyon sih berguyon, tapi si tua bangka tak tahu diri ini kalau kena pukul
benar-benar pukul. Bisa celaka aku jadi bulan-bulanan geguyonnya."
Thian-lok tersenyum dan balik memandang kepada Kam-hoat, yang masih juga
meronta-ronta tanpa berhasil melepaskan diri dari pegangan Thian-lok.
"Kau juga mau memandang padaku, bukan? Sebaiknya kita menyaksikan
pertandingan di atas. Tuh lihat, putriku sebentar lagi tentu akan berhasil menendang
lawannya."Keduanya mengalihkan pandangan ke atas, begitu juga hadirin lainnya kembali
memusatkan perhatian ke atas.
Pada saat Siang-ko-pa lompat menghindarkan sebuah tendangan Kun-eng,
ternyata si nona menyusulkan dupakan kedua secara beruntun. Serta merta Ko-pa yang
masih melayang di udara terkena dan terpental hampir saja terjungkal ke bawah
panggung. Hadirin menyoraki kemenangan Kun-eng yang mutlak itu.
Thian-lok berhasil membikin kedua tamunya yang tadi bertengkar turut mengikuti
jalannya pi-bu di atas lui-tay.
Yang menggantikan Ko-pa sekarang seorang yang mempunyai nama cukup
terkenal di kalangan Kang-ouw berasal dari Kang-lam. Ia meneriakkan namanya dengan
suara seperti guntur sebagai Soan-hoa-liong yang bergelar"Pek-sin-ciang" (Jenderalselalu-menang). Ia membanggakan bangun tubuhnya yang tegap sambil membusungkan
dada di hadapan Kun-eng yang jadi gemas dan ingin segera menjajal pemuda penjual
lagak ini.
Tapi lawan ini rupanya memang cukup tangguh. Kun-eng harus menghadapinya
berhati-hati. 60 jurus permainan silatnya dikeluarkan, namun keduanya masih terlihat
seimbang. Baru setelah Kun-eng mengeluarkan ilmu pukulan simpanannya yang disebut
"Lian-hoan-yan-yang Pat-koa-kun" segera kelihatan Hoa-liong keteter sampai tak dapat
balas menyerang. Ia berkelit terus sambil mengundurkan langkahnya yang tak beraturan
lagi. Ketika Kun-eng sambil berseru mengirimkan bogemnya dengan kedua kakinya
melayang ke samping tubuh lawannya, Hoa-liong lebih mau lompat turun ke bawah
daripada kena hajar. Tak ada lain jalan baginya dalam keadaan di bawah angin seperti
itu, kalau tidak kena dihajar bagian dadanya tentu perutnya yang akan terkena tendangan.
Hoa-liong masih kelihatan lebih berjiwa besar daripada lain-lain lawan Kun-eng
terdahulu. Ia mengakui kekalahannya sambil menjura dari bawah ke arah si nona yang
dikagumi kelincahannya. Begitu juga kepada Beng-too menjura sambil mengucapkan
terima kasih. Setelah itu ia kembali ke tempat duduknya semula. Itulah sikap yang jantan
dan jujur.
"Kukira akan sukar bagi nona Kun-eng menemui tandingannya. Jangan-jangan
sampai jadi perawan tua juga belum tentu ada pemuda sanggup mengalahkannya," Hoaliong menggerutu sendiri sambil tertawa kecut membikin para hadirin ikut tertawa riuh.
Sekarang barulah semua orang mengagumi puterinya Him-thian-lok, yang selain
cantik juga berkepandaian tinggi. Kalau "Pek-sin-ciang" saja yang orang tahu cukup lihai
sudah terkalahkan habis siapa lagi yang sanggup melawan si nona itu?
Beberapa pemuda yang semula sudah berniat turut adu nasib, membatalkan
maksudnya karena merasa menyangsikan kepandaiannya sendiri dan tidak ingin
mendapat malu. Ada juga beberapa orang yang sudah berumur atau sudah beristri merasa
unggulan untuk mengalahkan Kun-eng, tapi tentu saja mereka sungkan mengajukan diri.
Jadinya mereka hanya dapat menelan ludah dengan hati bagaikan dikilik melihat
kerupawanan Kun-eng, pada saat-saat bertanding kelihatan jelas liku-liku tubuh si nona
meliuk-liuk bagaikan seorang puteri kayangan sedang menari saja. Paling-paling istrinya
nanti di rumah jadi korban, akibat menikmati pandangan mata ke tubuh Kun-eng!Berkali-kali Beng-too berteriak mempersilahkan pemuda-muda lainnya yang mau
mencoba keberuntungan turut bertanding, tapi belum seorangpun yang bergerak. Lalu
Beng-too mencari si pemuda bego yang diherankan olehnya mengapa tahu-tahu sudah
berada di samping Thian-lok duduk berjejer juga dengan Li-kam-hoat yang mulai
menyibuki cawan araknya kembali.
"Benar-benar aku bo-hoat padamu, hai Kam-hoat kau jangan berlagak pilon ya!
Kalau pemuda itu punya kebisaan mengapa kau sembunyikan saja! Apa kau tidak takut
berdosa karena menghalangi jodoh orang? Cepat suruh pemuda kawanmu itu naik
kemari. Sebutkan namanya......Kalau kau masih berpura-pura juga jangan salahkan aku,
nanti kau yang kutantang adu tenaga di sini. Kalau sudah begitu, jangan kau pandang aku
sobatmu lagi!"
Beng-too jadi sengit sendiri dan ia sengaja memaki Kam-hoat untuk memanasi hati
orang. Kam-hoat balas tertawa sambil meletakkan cawannya di atas meja. Semua orang
berpaling mengawasi si kakek dan pemuda bego itu.
"Habis kalau orangnya berani-berani panas tahi ayam, bagaimana aku dapat
memaksanya. Sudahlah anggap saja dia wadam! Habisnya orang udik yang baru turun
gunung mau dibilang apa kedunguannya ini...."
Li-kam-hoat menjawab seraya menepuk bahu si pemuda melalui punggung Thianlok. Begitu keras tepukannya menimbulkan suara bergedebuk dan si pemuda terhuyung
ngusruk, terlempar dari kursinya.
"Lihat saja betapa anak ini tak punya guna. Ditowel begitu saja semaput," kata
Kam-hoat lebih lanjut. Pemuda itu benar-benar jatuh rebah di tanah. Tapi anehnya ia
tidak mengaduh atau muntah darah, Thian-lok juga ingin tahu sampai dimana kepurapuraan pemuda ketolol-tololan ini, ia diamkan saja ketika Kam-hoat bergerak dari
kursinya untuk mengangkat teman mudanya.
Si pemuda masih belum menggerakkan badarnya ketika ia dibawa ke bawah
panggung oleh Kam-hoat.
"Anak bego ini bernama Cin-jin-hong, hanya sok ikut-ikutan saja denganku
berkelana di kalangan Kang-ouw. Kalau memang nona Kun-eng mau menghajarnya,
ataupun sudah jatuh hati padanya tanpa bertanding lagi mau dijodohkan dengan pemuda
dungu ini yah silahkan saja. Aku sih tidak berkeberatan, bahkan bersyukur si dungu ini
mendapatkan jodoh dengan sangat mudah. Hayo juri yang adil, mari kita rangkapkan
jodoh mereka!"
Semua orang tertawa terpingkal-pingkal mendengar kata jenaka ini. Selesai dengan
kata-katanya Kam-hoat melemparkan tubuh Jin-hong yang segera mengapung tinggi
sebelum akan terjatuh di atas panggung lui-tay.
Kelihatannya tubuh Jin-hong akan terjatuh tepat di samping Kun-eng. Si nona
terpaksa menyingkir. Tetapi anehnya biarpun Jin-hong dalam keadaan "pingsan" pada
saat akan terjatuh di atas papan badannya seperti ada yang menahan. Arus kejatuhannya


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

semakin lama semakin berkurang kecepatannya. Ia dapat rebah dengan badan rata di atas
papan.Beng-too, Thian-lok, serta beberapa orang yang berkepandaian tinggi tentu saja tak
dapat dikibuli oleh Jin-hong yang masih juga berlagak pilon. Jelas pemuda ini telah
mengerahkan ilmu ringan tubuhnya.
Sekarang Kun-eng yang melototkan matanya pada si pemuda yang dilihatnya
diam-diam sedikit membuka matanya memandang dengan lucu kepadanya. Lebih lanjut
lagi dalam keadaan tetap rebah Jin-hong merintih-rintih sambil tangannya menggapaigapai kaki Kun-eng. Tentu saja Kun-eng tidak bersedia kakinya kena dijamah. Ia lompat
menyingkir.
Kun-eng anggap pemuda ini ceriwis. Menggunakan kesempatan selagi orang
masih rebah membelakanginya ia menendang punggung Jin-hong perlahan sambil
berkata,"Hayo kau bangun kalau mau bertempur......"
Tapi Kun-eng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena ketika ia hendak
menarik kakinya lagi setelah mendupak itu ia tak dapat melakukannya. Telapak kakinya
bagaikan menempel di punggung orang.
Kun-eng terkejut, ia cepat mengerahkan tenaga Iwee-kangnya yang disalurkan
pada bagian kaki tersebut, sampai napasnya tersengal-sengal ia belum dapat menarik
pulang kakinya.
Jin-hong sendiri seperti tidak tahu apa yang terjadi di belakang punggungnya, tibatiba ia bangkit berdiri. Mau tak mau kaki Kun-eng ikut terbawa ke atas mengikuti gerak
punggung si pemuda. Kun-eng jadi mendelu, sebab gerak si pemuda yang menghampiri
Cia-beng-too membikin ia ikut terbawa sambil terpincang-pincang dengan sebelah kaki
lainnya. Telapak kakinya masih menempel dengan keras di punggung orang.
"Hai, ada apa di punggungku?" Seru Jin-hong sambil menoleh ke belakang.
Hadirin tertawa riuh dan menyoraki si nona yang disangka sengaja sedang bermain-main
dengan si pemuda bego itu.
Jin-hong mendapatkan nona Kun-eng mengawasinya juga dengan wajah merah
matang pertanda malu bercampur gusar.
Kun-eng menyadari pemuda ini sesungguhnya lihai sekali tenaga dalamnya
sampai dapat menyedot telapak kakinya tanpa ia kuasa menariknya. Pemuda bego ini
boleh hebat Iwee-kangnya tapi ia belum tentu dapat menandinginya bertanding adu
kegesitan dan kelincahan tubuh, begitu pikir Kun-eng. Buktinya saja tadi Jin-hong naik ke
atas panggung musti merambat. Padahal untuk menaiki lui-tay orang mesti menggunakan
kepandaian gin-kang. Atau pemuda ini hanya pura-pura dungu? Ah, kalau begitu ia
kelewatan sekali, sampai detik itu masih mau mempermainkannya juga. Pikiran Kun-eng
berkecamuk terus sambil mencari akal supaya dapat melepaskan diri. Ia sudah mengambil
keputusan akan menghajar adat pada si pemuda ini.
Jin-hong juga tidak sampai hati mempermainkan terus pada si nona. Ia
mengendorkan sedotan ototnya di bagian punggung. Kebetulan juga Kun-eng sedang
mengemposkan seluruh kekuatan tenaganya di bagian kaki yang menempel di punggung
Jin-hong. Alhasil terlempar hampir saja terguling ke bawah lui-tay."Horeeee!. . . Nona Him sudah terkalahkan!" Teriak riuh Kam-hoat seorang diri
sambil bertepuk tangan. Penonton-penonton lainnya yang tak mengerti memandang
bingung kepada Kam-hoat. Tapi bagi yang mengerti memuji pada Jin-hong yang telah
mencapai tingkat tertinggi dari kemahiran Iwee-kang sampai dapat menyedot tenaga
lawan. Diam-diam Thian-lok sendiri girang dalam hati. Jelas bila sebentar puterinya
sampai bertempur dengan Jin-hong ia belum tentu dapat mengalahkan si pemuda yang
berlagak bego ini.
"Tidak! Tidak. Nona Him belum terkalahkan." Beng-too si wasit cepat
membantah Kam-hoat, biarpun ia tahu Kun-eng tidak nempil dengan Jin-hong dalam hal
Iwee-kang. "Perjanjian pertandingan pi-bu ini seperti telah dijelaskan tadi harus dilakukan
dengan tangan kosong dalam pengertian mesti saling menyerang......."
Kata-kata Beng-too terputus, sebab Jin-hong dengan suara nyaring mengatasi
suaranya sendiri sambil menjura pada Kun-eng yang sedang berbangkit berkata,
"Maafkan saya, nona Him. Baju saya memang sudah lama tidak dicuci, jadi lengket
dengan daki. Karenanya tidak heran kalau telapak kaki nona tertempel di punggungku.
Hanya yang membikin aku heran apa sebabnya kaki nona suka dengan punggungku yang
berbau ini?"
Kun-eng mau marah jadi batal, sebab Jin-hong mengeluarkan kata-katanya dengan
sikap dan suara jenaka. Tapi juga tidak bisa tertawa, sebab memang ia yang bersalah
berlaku tidak sopan pada Jin-hong. Ia menuding pada Jin-hong dengan suara sengaja
diketuskan.
"Kau memang tukang membadut! Kalau kau memang punya kebiasaan, hayo
tunggu apa lagi? Nih, terima!"
Kun-eng segera saja mengerakkan tangannya membuka serangan dengan gerak
tipu silat"Go-houw-pok-yang" (Macan-lapar-terkam-kambing). Kedua tinjunya
mengarah dada orang. Ketika tangannya hampir mencapai sasaran, tiba-tiba tinjunya
berobah jadi bentuk seperti hendak mencengkeram.
"Tunggu, tunggu-dulu, nona Him. Juri belum memberi tanda apakah kita sudah
boleh mulai bertanding atau......" Jin-hong masih juga melucu, sedangkan matanya
mengawasi pada Beng-too seolah-olah menganggap sepi serangan nona Him.
"Ou!...." Orang-orang di bawah panggung berseru tertahan, sebab sebentar lagi
Jin-hong akan tercengkeram dadanya.
"Bruss! Brettt!" Kesepuluh kuku-kuku nona Him yang runcing-runcing itu telah
mencakar robek baju Jin-hong. Tapi Kun-eng keheranan, karena ia merasakan jari-jari
kukunya seperti menggaruk sebuah batu keras. Ia hanya berhasil menghancurkan baju
orang tanpa sedikitpun melukai kulit dada si pemuda itu.
"Berhenti! Saudara Jin-hong dinyatakan kalah sebab ia telah tersentuh oleh nona
Him." Ju-ri mengeluarkan keputusan. Suara ramai penonton terdengar seperti tidak puas
pada adegan di atas lui-tay.
"Tidak adil! ....... Juri berlaku curang. Makan sogokan!" Protes Kam-hoat sambil
mengacungkan tinjunya pada Beng-too."Dengar dulu......terkecuali pada waktu bersamaan pihak lawan yang tersentuh
tubuhnya dapat membalas, juri boleh menganggap jalannya pertandingan seri. tadi
saudara Jin-hong tercengkeram dibuktikan dengan kehancuran bajunya tanpa ia dapat
menangkis atau membalas berarti dia dipihak kalah." Beng-too menjelaskan sebab-sebab
kekalahan Jin-hong, tanpa peduli pada Kam-hoat yang masih menudingnya dengan mata
mendelik.
"Apa kau melupakan nona Him telah dilemparkan ketika tadi kakinya berciuman
dengan punggung Jin-hong, hah?! Kau berlaku tidak adil sebagai juri!" Kam-hoat
mengajukan alasan protesnya.
"Aku tetap berpendirian, selama juri belum memberi aba-aba tanpa pertandingan
boleh dimulai, aku tidak berhak dinyatakan kalah biar ratusan kali aku diraba oleh nona
Kun-eng yang baik hati ini. Yah, aku sih tidak keberatan kalau dielus-elus. . ."
Semuanya tertawa riuh, kembali Jin-hong jadi badut dengan kata-katanya yang
membuat muka Kun-eng merah.
"Diam kau! . . . Siapa yang kesudian meraba tubuhmu yang bau itu!" Bentak nona
Him. Beng-too tersenyum sambil melirik pada Thian-lok yang dilihatnya berwajah
terang dan sedang mengawasi pada Jin-hong sambil menganggukkan kepala beberapa
kali. Kelihatannya ia penuju dengan pemuda yang penuh humor ini.
Kun-eng berdiri dekat sudut lui-tay, ketika Jin-hong menengok kepadanya ia
sengaja meleletkan lidah mengejek. Jin-hong ganda tersenyum saja.
"Baik, baik. Kuterima semua protes untuk membuktikan bahwa aku tidak disogok.
Nah, sekarang aku ingin bertanya pada saudara Cin. Harap diketahui pi-bu ini bukan
main-main. Kalau nona Kun-eng terkalahkan berarti jodohnya memang ada pada saudara
Cin. Bagaimana?" Beng-too menekankan pengertian pi-bu itu kepada Jin-hong dengan
lidah diplomasinya.
Jika tadi Kun-eng dapat mengejek Jin-hong, setelah Beng-too mengatakan hal
dirinya ia menjadi malu dan membuang muka. Ia tidak berani memandang pada pemuda
Jin-hong, hanya menundukkan kepala sambil mempermainkan ujung bajunya.
Mengertilah Thian-lok, si ayah, bahwa anaknya telah terpicuk oleh pemuda yang penuh
kejenakaan ini. Istrinya yang tenang-tenang duduk di barisan tamu-tamu wanita juga
memandang pada suaminya sambil tersenyum dan menganggukkan kepala.
Sedangkan Jin-hong menjadi merah wajahnya, hilang lagak jenakanya. Seperti
kehilangan akal ia mengarahkan pandangannya pada Kam-hoat. Melihat lagak teman
mudanya ini, Kam-hoat dari bawah menuding.
"Ah, dasar pemuda dungu! Kalau aku jadi kau, tanpa banyak cingcong lagi akan
kuminta doa pada dewi Kwan-im supaya dapat menowel kulit nona Him yang halus itu.
Masa hanya asal mengulurkan tangan saja kau tak sanggup? Sayang, aku sudah tua.......
ah, kalau tidak betapa beruntungnya aku mendapatkan gadis yang sedemikian cantik
sukar dicari bandingannya......Ambillah keputusan sendiri! Ah, dasar, sudah mulut
berbusa memprotes, sekarang mematung! Mau tunggu apa lagi! Nanti kalau kau yangkena dielus lagi, terang kau akan dinyatakan kalah oleh wasit. Nah, kalau kau takut
bertanding atau masih belum berani berjodohan, ya sudah, turun lagi saja melorot. . . ."
Beng-too tidak membiarkan Kam-hoat terus mengoceh, ia mengacungkan
tangannya ke atas sambil berseru,"Ya, sekarang pertandingan boleh dimulai!"
Jin-hong seperti ketakutan melihat Kun-eng mulai memasang kudanya siap
menerima serangan atau untuk mengirim pukulannya.
Siapapun jadi tertawa geli melihat tingkah Jin-hong. Tiba-tiba Kam-hoat
mengebaskan lengan bajunya ke arah Jin-hong, setelah mana ia berbalik dan kembali ke
tempat duduknya. Terkena angin pukulan akibat kebasan angin ini Jin-hong terlempar ke
arah berdirinya Kun-eng.
Beng-too juga terkejut merasakan angin pukulan Kam-hoat yang menerpa pipinya
perih, masih bagus ia bisa berkelit. Kalau tidak batok kepalanya yang akan terkena
lumayan juga sakitnya. Ia mengagumi kemajuan Kam-hoat, tapi ia herankan juga
bagaimana tubuh Jin-hong yang jadi pusat pengarahan pukulan kebasan itu tidak sampai
roboh menumprah bahkan seperti hendak memeluk Kun-eng.
Kun-eng kaget, Kalau sampai ia diamkan saja, keduanya bisa jadi berpelukan.
Menduga Jin-hong sebenarnya hanya berlagak pilon menyembunyikan kepandaiannya ia
langsung mengeluarkan tipu silat yang paling dibanggakan,"Go-houw-pok-yang".
Sekarang Jin-hong tidak bisa main-main lagi menghadapi pukulan yang berbahaya
ini. Ia melentik pada saat hampir saja ia dapat meraih tubuh orang. Kun-eng mengenali,
biarpun Jin-hong berusaha seperti orang kelabakan, gerak pemuda ini sesungguhnya
rangkaian dari tipu "Tok-bong-pa-bwee" (Ular berbisa goyang ekor) dengan sedikit
perobahan dimana tangan Jin-hong seperti hendak memukul atau lebih tepat mau meraba
pinggangnya yang halus.
Tentu saja Kun-eng tidak mengijinkan badannya diraba apalagi untuk dipukul.
Dengan gesit ia melambungkan badannya ke udara.
Setelah pertandingan berlangsung sampai 50 jurus masih belum terlihat siapa
diantara keduanya yang lebih tinggi kepandaian silatnya.
Anaknya jago Shoatang jadi penasaran, lantas ia keluarkan serangan "Lian-hoan
Yan-yang Pat-koa-kun" dengan mana sebelumnya ia telah berhasil merobohkan Soanhoa-liong.
Beda dengan pemuda she Soan, Jin-hong tidak jadi keder atau kebingungan
menghadapi kelincahan dan berbahayanya pukulan ini. Tenang adanya ia bergerak
dengan tipu "Kun-goan It-ki Tay-kek-kun", satu ilmu yang biasa digunakan untuk
melemahkan "Pat-koa-kun" yang terkenal itu.
Pukulan-pukulan Kun-eng mulai tidak mantap lagi, sebab hatinya juga mulai
gelisah. Si gadis merasa terkejut melihat lawannya cepat saja mengenali setiap pukulanpukulannya dan cepat menyesuaikan juga tipu-tipu tangkisannya dengan lincah sekali.
Sebaliknya iapun merasa girang mendapatkan Jin-hong benar-benar pandai silat selain
Iwee-kangnya yang memang sudah diketahuinya cukup tinggi.Penonton-penonton yang kurang mengerti silat mengira keduanya yang "menarinari" di atas panggung bagaikan seekor kupu-kupu jantan dikejar betinanya masih akan
berlangsung lama. Mereka mengeluarkan tempik sorak memuji. Bukan suara-suara
mengejek Jin-hong lagi. Sebaliknya mereka memuji pada kerendahan hati Jin-hong yang
ternyata sebenarnya seorang jago muda yang belum ternama di kalangan Kang-ouw.
Semuanya mulai mengira Jin-hong tentunya murid Li-kam-hoat dari Siauw-lim-si.
Tidaklah demikian halnya bagi pandangan Thian-lok atau beberapa pendekar tua
yang sudah berpengalaman. Yang diherankan kalau mau disebut Jin-hong sebagai murid
Kam-hoat mengapa setiap tipu pukulan anak muda ini banyak sekali tambahan-tambahan
geraknya? Ini juga yang membuat Kun-eng kelabakan.
Sorakan tambah ramai ketika mendadak Kun-eng melentik ke udara sekalian turun
hendak mendupak pundak lawannya, ia melihat Jin-hong seperti tidak mau melayaninya
lagi. Bahkan berlari menuju Beng-too, menyebabkan dupakan Kun-eng mengenai angin.
Tapi ia sempat juga menjejakkan kakinya pada kaki Jin-hong yang tengah bergerak
membikin pemuda ini terjungkel menubruk Beng-too.
"Apa sebabnya kau membiarkan diri kena tendang, hiantiit?" Beng-too
menyanggah badan Jin-hong yang dipanggil hiantit (adik kecil) menggantikan kata
"saudara" karena rasa simpatiknya.
Jin-hong tidak menjawab. Ia hanya mengacungkan lengan kanannya dan
membuka telapaknya. Di telapak tangannya terlihat sebatang tusuk kondai mas. Kun-eng
menjulurkan lehernya, ia mengenali benda miliknya sendiri.
Tanpa sadar Kun-eng memegang rambutnya, benar saja tusuk kondainya telah
lenyap. Kagum, malu, heran, tercampur aduk dalam hati Kun-eng karena sedikitpun ia
tidak merasa rambutnya terjamah pada saat ia berkelit menghindar dari pukulan Jin-hong
di bagian lehernya tadi. Itu juga sebabnya ia berlompat lagi untuk kesekian kalinya
menjauhi diri dari lawan. Jelas baginya jika Jin-hong tadi membiarkan dirinya kena
diterjang kakinya supaya ia tidak terlampau malu. Cepat ia lompat turun dari lui-tay
langsung masuk ke dalam rumah.
Beng-too tidak membiarkan berlanjutnya keheranan penonton, benda itu
dijemputnya dan diacungkan ke udara. Ia berkelakuan seperti anak kecil karena girangnya
sampai berjingkrak dan berulang-ulang berseru, "Anak yang baik, anak yang baik! Kau
yang menang!"
Barulah orang sadar apa yang terjadi, tusuk kondai itu berkeredepan memantulkan
cahaya matahari. Tepuk tangan serentak meramaikan udara dan juga suara-suara yang
memuji Jin-hong sebagai orang yang sembabat dengan nona Him-kun-eng. Lebih-lebih
lagi si kakek Kam-hoat yang sudah melayangkan tubuhnya ke atas panggung dan berkata
pada Beng-too.
"Mengapa kau tidak segera ajak ia turun menemui calon mertuanya? Rencana
busuk apa lagi yang mau kau jalankan?"
Bagaikan baru tersadarkan Beng-too lalu menyeret tangan Jin-hong lompat turun
ke bawah menemui Thian-lok diikuti oleh Kam-hoat.Thian-lok yang semenjak tadi hatinya sudah penuh dengan kegembiraan sekarang
meluapkan rasa kegembiraannya pada bakal menantunya yang berada di hadapannya.
"Anak ini tidak akan membikin malu anakmu," kata Beng-too pada sobatnya
sambil tertawa dan menunjuk pada Jin-hong. "Aku beri selamat pada kau!"
"Terima kasih," jawab tuan rumah sambil menganggukkan kepala.
"Hong-hiantit," kata Beng-too lebih lan-jut. "Kalau kau setuju mulai ini hari
sebaiknya kau memakai gelar ?Sin-ciu-cu? si Tangan-malaikat!"
Hadirin bersorak menyetujui gelar yang diberikan kepada Cin-jin-hong. Jin-hong
hanya tersenyum saja.
"Ah, gelar itu terlalu muluk bagiku yang rendah cuma bisanya mencopet belaka
....." Kata Jin-hong kemudian tapi disela oleh calon mertuanya.
"Oh, kau keliru, anak muda. Dengan kepandaian kau telah berhasil mencopet hati
puteriku, ha-ha-ha-ha!"
Jin-hong membungkukkan badannya memberi hormat sambil berkata. "Aku harap
atas kekurang ajaran saya tadi sudi kiranya loo-peh memaafkan aku."
"Hai, kau yang keliru, hiantit!" Seru Beng-too. "Mengapa kau memanggil loo-peh
pada mertua? Kau mesti memanggil gakhu, gakhu tay-jin, mengerti?"
Orang banyak tertawa riuh mengiringi kata-kata sindiran Beng-too.
"Kau telah berhasil mengalahkan anakku, berarti telah merebut hatinya pula.
Tusuk kondai boleh dipegang terus untuk disimpan sebagai tanda pertunangan. Ciulootauw silahkan serahkan kembali benda itu kepadanya." Kata Thian-lok pertanda ia
telah setengah meresmikan ikatan jodoh kedua anak muda itu.
Beng-too menurut petunjuk sahabatnya seraya berkata pada Jin-hong. "Hiantit
mempunyai apa yang dapat diserahkan sebagai penukar tanda ikatan pertunangan?"
Jin-hong bingung benda apa yang dapat di berikannya, ia hanya memandang pada
Kam-hoat seakan kembali meminta petunjuk. Hatinya sendiri jadi berdebar-debar.
Tampang tololnya kembali muncul.
"Dasar anak tolol! Buka saja ikat pinggang kau!" Kam-hoat memberikan
petunjuknya.
"Saya hanya mempunyai ini," jawab anak muda itu dan menyerahkan ikat
pinggangnya kepada Beng-too.
"Bagus, inipun bagus," kata Beng-too. "Inilah yang disebut Kim-giok-liang-yan,
ialah perjodohan antara tusuk kondai dan batu giok."
Ikat pinggang Jin-hong memang berhias dengan batu giok atau disebut juga
giokpwee.Beng-too menerima giokpwee dan diserahkan kepada Thian-lok yang
menyerahkan kembali kepada istrinya untuk disimpan.
Pesta dilanjutkan sampai jauh malam. Bagi tamu-tamu yang bermaksud bermalam
telah disediakan kamar. Pelayanan tuan rumah memuaskan tamu-tamu, dan
menggembirakan semuanya.
Keesokan harinya barulah tamu-tamu beruntun meminta diri kembali ke tempat
kediamannya masing-masing. Tapi Li-kam-hoat dan Ciu-beng-too, serta tentu saja Cinjin-hong ditahan sampai 5 hari lamanya bermalam. Kesempatan mana di gunakan dengan
baik oleh kedua pasangan muda, Jin hong dan Kun-eng bercengkerama atau pergi ke
tempat-tempat yang indah pemandangannya.
Ciu beng-too kemudian mengajak sobatnya Li-kam-hoat ikut dengannya ke tempat
kediamannya. Cin-jin-hong yang tidak mau ketinggalan dengan sobat tuanya juga ikut
serta ke Ci-ciu.
Untuk mengenal lebih jelas pada Cin-jin-hong yang akan memegang peranan
penting dalam cerita kita ini, baiklah kita tinjau riwayat hidupnya,
Jin-hong adalah anak piatu, dimana ayahnya telah menutup mata pada saat
adiknya perempuan yang bernama Siau-hong belum lama dilahirkan.


Pedang Pengacau Asmara Karya Okt di http://ceritasilat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka tinggal di pinggir kota Liok-an. Ibu mereka mendidik keduanya dengan
baik dan tidak bermaksud mencari suami baru. Warisan suaminya sudah cukup
menghidupi ketiganya.
Ketika kakak adik ini mulai besar datang saudara ibunya, Oey-pek-ek, seorang
tokoh Kang-ouw aliran silat Sayhu yang cukup terkenal. Menjelang tuanya dan kebetulan
juga ia tidak beristri, kemudian tinggal bersama. Mendapatkan kedua anak itu cukup
berbakat dididik silat ia merasa suka. Keduanya mulai menerima pendidikan silat.
Suatu hari mampir Li-kam-hoat, seorang sahabat kental Pek-ek. Kam-hoat juga
melihat di balik sikap Jin-hong yang ketolol-tololan itu terbayang kejujuran yang murni.
Jin-hong bukan seorang yang tumpul otaknya, tapi wajahnya dapat dirobah seperti orang
bego. Mungkin keadaan sekitar di alam bebas telah membentuk ia mempunyai wajah
lapang.
Ia senang sekali pada anak yang mulai meningkat dewasa ini. Ia mengutarakan
maksudnya pada Pek-ek mau membawa Jin-hong berkelana. Sebenarnya Li-kiam-hoat
pantang memungut murid dan ia hanya bersedia mengajak Jin-hong sebagai teman
seperjalanannya saja. Begitulah dengan perkenan ibunya, karena Jin-hong juga suka pada
si kakek itu, ia diperkenankan turut bersama Kam-hoat.
Kadangkala Jin-hong ditinggalkan di Siauw-lim-pay, terkadang juga diajak
berkelana. Jin-hong bukan murid resmi, tetapi setiap petunjuk silat dari Kam-hoat atau
dari tetua-tetua Siauw-lim ia dapat petik pelajaran yang berguna.
Pada setiap menjelang tahun baru Jin-hong pulang ke rumah, untuk kemudian
dijemput kembali oleh Kam-hoat. Menyertai Kam-hoat banyaklah pengalaman-pengalaman yang diperoleh Jin-hong, tapi tetap saja ia tidak dapat merobah sikap
kebiasaannya yang jenaka dan selalu perlihatkan tampang begonya.
Suatu ketika kebetulan Jin-hong sedang di rumah, Pek-ek mendadak jatuh sakit.
Mungkin juga usianya yang telah lanjut paman yang baik ini meninggal dunia.
Ketiga beranak ini menjadi sedih sekali kembali kehilangan orang yang paling
dekat. Dengan upacara sederhana paman yang baik budi ini dikebumikan.
Sejak itu Jin-hong kelihatan banyak berpikir. Ia tidak begitu memikirkan dirinya.
tapi yang membingungkan hatinya ialah Siau-hong dan ibunya siapa yang melindunginya
kalau ia sampai dijemput oleh sahabat tua Kam-hoat untuk diajak merantau lagi.
Jin-hong sudah mulai terbiasa hidup mengembara. Memandangi ladang gandum
yang selama ini menghidupi keluarganya, sejak kematian pamannya siapa yang mesti
urus? Sedangkan hasilnya tak lama lagi dapat dipungut. Mau tak mau tokh ia sebagai anak
laki-laki harus turun tangan
Sambil berjalan perlahan-lahan di tengah ladangnya ia memandang ke bukit yang
kehijau-hijauan dirimbuni perkebunan teh. Di sana ada juga sebidang tanah yang tidak
seberapa luas perkebunan teh warisan ayahnya. Liok-an memang tanah pegunungan yang
terkenal juga dengan hasil tehnya yang baik dan wangi.
Menikmati pemandangan alam sekitar bangkit juga rasa sayangnya pada kampung
halaman ini yang pemandangannya begitu indah dan hawa yang nyaman. Akhirnya ia
memutuskan kalau Kam-hoat datang menjemputnya ia akan menerangkan tidak mau ikut
mengembara lagi.
Baru saja ia hendak melihat-lihat perkebunan tehnya di atas bukit ketika muncul
adiknya yang seperti dirinya juga berpakaian putih seluruhnya sebagai tanda sedang
berduka cita.
Untuk menghilangkan rasa kesal Jin-hong mengajak adiknya jalan-jalan ke
perkebunan teh. Dengan tidak berkata apa-apa Siau-hong yang sama seperti kakaknya
hatinya sedang kesepian menurut saja.
Ketika itu panen teh juga sudah tiba untuk dipetik. Di sana sini kelihatan
sekelompok-kelompok pemetik daun teh sedang bekerja memetiki daun teh. Melihat Jinhong dan adiknya lewat di situ mereka semua memberi hormat sambil tersenyum. Ada
juga yang mengucapkan kata-kata ikut sedih atas kematian pamannya yang dikenal baik
oleh penduduk.
Selepas dari perkebunan orang lain, di seling dengan pohon-pohon bunga tak lama
lagi keduanya akan tiba di kebun teh milik keluarga Cin. Mata Jin-hong yang awas telah
dapat melihat seseorang berada di tengah-tengah perkebunan tehnya.
Keduanya mempercepat langkah mereka. Ketika mereka tiba di sana kelihatan
seorang paderi perempuan tengah asyik memetik daun teh. Kira-kira setengah kantong
kain telah terkumpulkan oleh nikouw itu. Ditaksir oleh Jin-hong tentu telah terkumpul 2
kati. Jumlah yang cukup lumayan banyaknya membuat Siau-hong marah besar.Jin-hong hendak mencegah adiknya yang kurang pengalaman telah mengikuti
napsu darah mudanya memaki pada si paderi.
"Orang suci bermuka tebal!" Caci Siau-hong, "Bagus benar perbuatan kau mencuri
daun teh kami!"
Nikouw itu menghentikan gerak tangannya dan mengangkat muka. Kiranya ia
memiliki wajah yang jelas dimasa mudanya tentu cantik sekali. Biarpun kerut-kerut di
dahinya menunujukkan ia sudah berusia cukup lanjut, tapi sisa-sisa kecantikan di
wajahnya yang bersih masih terlihat. Ditegur demikian ia tidak jadi marah, bahkan balas
tertawa kecil.
"Jangan gusar, siauw-si-cu," katanya dengan sabar. "Ketika kulewat di sini,
tertarik pada daun-daun teh yang begini segar-segar aku jadi tertarik untuk memetiknya
sedikit. Sudilah kau dermakan padaku, cukup setengah kantong ini saja. Aku tidak tahu
kebun teh ini milik kalian. Maaf, dan juga aku mengucapkan terima kasih atas dermaan
siauw-sicu ini."
Setelah itu si nikouw kelihatannya hendak berlalu. Tapi Siau-hong dengan gesit
telah lompat menghadangnya sambil menuding.
"Bicara memang gampang." Kata Siau-hong dengan marah sekali. "Kau mestinya
mengetahui kebun ini terawat baik, jika tidak mana mungkin dapat tumbuh sebagus ini.
Sudah mencuri enak saja minta maaf dan minta diderma segala. Jangan cari-cari alasan,
cepat serahkan kantong itu!"
Siau-hong mengajukan tangannya hendak merampas kantong kain yang
tergantung di pundak si nikouw. Tapi betapa heran Siau-hong, biarpun ia telah
mengeluarkan seluruh tenaganya kantong itu tidak bergeser dari pundak orang.
Jin-hong juga keheranan, cepat ia bantu adiknya ikut menarik kantong itu.
Semestinya jika tidak terampas seluruh kantong sekurang-kurangnya kain kantong itu
akan pecah ditarik olen mereka. Tapi di tangan si nikouw kantong kain berobah bagaikan
lembaran yang jadi kaku sendirinya.
Si paderi sedikitpun tidak bergeming dari tempatnya berdiri sambil memandang
pada keduanya dengan tersenyum manis. Jin-hong jadi panas, tidak memperdulikan
dengan siapa ia berhadapan diserangnya paderi itu. Ia melepaskan pegangannya dan
menyerang dada paderi itu dengan kedua kepalannya.
Mengetahui dirinya dalam bahaya si nikouw tetap tidak bergerak. Disaat Jin-hong
menyesal terlepas tangan tapi ia sudah kasip untuk menarik pulang kedua tangannya yang
hampir bersarang di dada paderi perempuan itu, tiba-tiba ia merasakan sebuah tenaga
tidak terlihat begitu keras menangkis sepasang tinjunya Tangannya berbalik deras tak
Pencuri Petir 4 Kisah Si Bangau Putih Bu Kek Sian Su 14 Karya Kho Ping Hoo Name Of Rose 1

Cari Blog Ini